NILAI-NILAI PROFETIK DAN IMPLIKASINYA BAGI...
Transcript of NILAI-NILAI PROFETIK DAN IMPLIKASINYA BAGI...
NILAI-NILAI PROFETIK DAN IMPLIKASINYA
BAGI PENGEMBANGAN KURIKULUM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
(STUDI PEMIKIRAN KUNTOWIJOYO)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Tugas dan Syarat
guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam
Ilmu Pendidikan Islam
Oleh :
SRIYANTO
NIM: 053111418
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2011
Meterai
tempel
Rp
6000,00
PERNYATAAN KEASLIAN
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Sriyanto
NIM : 053111418
Jurusan/Program Studi : Pendidikan Agama Islam
menyatakan bahwa skripsi ini secara keseluruhan adalah hasil penelitian atau
karya sendiri, kecuali bagian tertentu yang dirujuk sumbernya.
Semarang, 09 Juni 2011
Saya yang menyatakan,
Sriyanto
NIM. 053111418
KEMENTERIAN AGAMA R.I. INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
FAKULTAS TARBIYAH Jl. Prof. Dr. Hamka (Kampus II) Ngaliyan Semarang
Telp. 024-7601295 Fak. 7615387
PENGESAHAN
Naskah skripsi dengan: Judul : Nilai-Nilai Profetik dan Implikasinya Bagi Pengembangan
Kurikulum Pendidikan Agama Islam (Studi Pemikiran Kuntowijoyo)
Nama : Sriyanto NIM : 05311418 Jurusan : Pendidikan Agama Islam Program Studi : Pendidikan Agama Islam telah diujikan dalam sidang munaqasyah oleh Dewan Penguji Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo dan dapat diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana dalam Ilmu Pendidikan Islam.
Semarang, 09 Juni 2011
DEWAN PENGUJI
Ketua, Sekretaris, Alis Asikin, M.A. Nadhifah, S.Th.I, M. S.I NIP. 19690724 199903 1 002 NIP. 19750827 200312 2 003
Penguji I, Penguji II, Dr. H. Fatah Syukur, M. Ag. Amin Farih M. Ag. NIP. 19681212 199403 1 003 NIP. 19710614 200003 1 002
Pembimbing I, Pembimbing II, Ahmad Muthohar, M.Ag. Dr. Ahwan Fanani, M.Ag. NIP. 19691107 199603 1 001 NIP. 19780930 200312 1 001
NOTA PEMBIMBING Semarang, 09 Juni 2011
Kepada
Yth. Dekan Fakultas Tarbiyah
IAIN Walisongo
di Semarang
Assalamu’alaikum wr. wb.
Dengan ini diberitahukan bahwa saya telah melakukan bimbingan, arahan dan
koreksi naskah skripsi dengan:
Judul : Nilai-Nilai Profetik dan Implikasinya Bagi Pengembangan
Kurikulum Pendidikan Agama Islam (Studi Pemikiran
Kuntowijoyo)
Nama : Sriyanto
NIM : 053111418
Jurusan : Tarbiyah
Program Studi : Pendidikan Agama Islam
Saya memandang bahwa naskah skripsi tersebut sudah dapat diajukan kepada
Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo untuk diujikan dalam Sidang Munaqosyah.
Wassalamu’alaikum wr. wb.
Pembimbing I
Ahmad Muthohar, M.Ag.
NIP. 19691107 199603 1 001
NOTA PEMBIMBING Semarang, 09 Juni 2011
Kepada
Yth. Dekan Fakultas Tarbiyah
IAIN Walisongo
Di Semarang
Assalamu’alaikum wr. wb.
Dengan ini diberitahukan bahwa saya telah melakukan bimbingan, arahan dan
koreksi naskah skripsi dengan:
Judul : Nilai-Nilai Profetik dan Implikasinya Bagi Pengembangan
Kurikulum Pendidikan Agama Islam (Studi Pemikiran
Kuntowijoyo)
Nama : Sriyanto
NIM : 053111418
Jurusan : Tarbiyah
Program Studi : Pendidikan Agama Islam
Saya memandang bahwa naskah skripsi tersebut sudah dapat diajukan kepada
Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo untuk diujikan dalam Sidang Munaqosyah.
Wassalamu’alaikum wr. wb.
Pembimbing II
Dr. Ahwan Fanani, M.Ag.
NIP. 19780930 200312 1 001
ABSTRAK
Judul : Nilai-Nilai Profetik dan Implikasinya bagi Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam (Studi Pemikiran Kuntowijoyo)
Penulis : Sriyanto NIM : 053111418
Skripsi ini membahas nilai-nilai profetik perspektif Kuntowijoyo dan
implikasinya bagi pengembangan kurikulum Pendidikan Agama Islam. Kajian ini dilatarbelakangi oleh pentingnya nilai-nilai profetik dalam pendidikan. Studi ini dimaksudkan untuk menjawab permasalahan: (1) Apa konsep nilai-nilai profetik perspektif Kuntowijoyo? (2) Bagaimana implikasi konsep nilai-nilai profetik perspektif Kuntowijoyo terhadap pengembangan kurikulum pendidikan Islam?
Penelitian ini, tergolong dalam jenis penelitian pustaka (library research), karena penulis menggunakan data dari sumber-sumber pustaka, seperti buku, jurnal, artikel, dan sebagainya yang mempunyai relevansi dengan tema permasalahan yang diteliti. Adapun teknik analisa data yang digunakan oleh penulis adalah teknik analisis isi (content analysis) dan metode interpretasi. Teknik ini dipilih karena penelitian ini bertujuan membedah ‘isi pemikiran’ atau konsep dari nilai-nilai profetik perspektif Kuntowijoyo. Di samping itu dalam penelitian ini juga menggunakan pendekatan historis dan pendekatan filosofis.
Dari hasil penelitian yang telah dilaksanakan, menghasilkan beberapa temuan sebagai berikut: a. Nilai-nilai profetik perfektif Kuntowijoyo terdiri dari: nilai humanisasi yang
mengandung arti memanusiakan manusia, menghilangkan kebendaan, ketergantungan, kekerasan, dan kebencian dari manusia, dengan melawan dehumanisasi, agresivitas, dan loneliness. Nilai liberasi berarti membebaskan, yang mempunyai signifikansi sosial. Membebaskan manusia dari belenggu sistem sosial, pengetahuan, politik, dan ekonomi, yang bersifat menindas dan tidak adil. Adapun transendensi bermakna teologis, yakni ketuhanan, artinya beriman kepada Allah SWT sebagai otoritas tertinggi.
b. Implikasi nilai-nilai pfofetik bagi pengembangan kurikulum PAI adalah: kurikulum secara substansi yaitu mengarah pada semua aktifitas sekolah yang mempengaruhi peserta didik agar tercapai tujuan yang diinginkan yaitu untuk meningkatkan keimanan, pemahaman dan penghayatan dan pengamalan peserta didik tentang ajaran agama Islam sehingga tujuan terbentuk manusia muslim yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, masyarakat berbangsa dan bernegara. Dari ketiga nilai inilah (humanisasi, liberasi, transendensi) yang menjadikan transformasi pendidikan Islam. Masing-masing mempunyai peran yaitu nilai humanisasi bertujuan untuk memanusiakan manusia. Liberasi bertujuan yaitu proses pembebasan manusia sebagai makhluk yang berpotensi. Sedangkan nilai transendensi bertujuan sebagai tujuan akhir pendidikan Islam (membentuk manusia yang beriman dan bertakwa. Dan sesuai dengan landasan pengembangan kurikulum nilai-nilai profetik (humanisasi, liberasi dan
transendensi) mempunyai peranan yang sangat penting dalam pengembangan kurikulum untuk pencapaian tujuan pendidikan PAI. Karena dari ketiga nilai ini mempunyai implikasi yang sangat mendasar dalam rangka membimbing kelangsungan hidup yang humanistic. Sehingga nilai-nilai transformasi pendidikan Islam merupakan bentuk dari proses pembentukan insan kamil. Nilai inilah yang semestinya harus dimainkan umat Islam untuk memberikan kontribusinya bagi pendidikan Islam melalui pengembangan kurikulum PAI. Dan kurikulum yang relevan untuk memuat ketiga nilai tersebut adalah integrated kurikulum dengan mengutamakan metode problem solving.
Dengan adanya mata pelajaran yang terintegrasi dalam unit, seorang anak diharapkan dapat berkembang secara fisik maupun psikis dan dapat menjangkau aspek kognitif, afektif, dan psikomotor.
TRANSLITERASI
Penulisan transliterasi huruf-huruf Arab Latin dalam skripsi ini berpedoman
pada SKB Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I. Nomor:
158/1987 dan Nomor 0543b/U/1987. Penyimpangan penulisan kata sandang (al-)
disengaja secara konsisten supaya sesuai teks Arabnya.
t ط A ا
z ظ B ب
‘ ع T ت
g غ S ث
f ف J ج
q ق H ح
k ك Kh خ
I ل D د
m م Z ذ
n ن R ر
w و Z ز
S \ h س
, ء Sy ش
y ي S ص
D ض
Bacaan Madd: Bacaan Diftong
a = a Panjang َاْو = au
i = i Panjang َاْي = ai
u = u Panjang
KATA PENGANTAR
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Segala puji bagi Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang berkat rahmat,
taufiq dan hidayah-Nya skripsi penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Nilai-Nilai Profetik dan Implikasinya Bagi Pengembangan Kurikulum
Pendidikan Agama Islam (Studi Pemikiran Kuntowijoyo)” dapat disajikan,
shalawat serta salam semoga selalu dilimpahkan kepada Rasulullah SAW yang
telah menuntun manusia ke jalan yang telah diridhai Allah.
Selanjutnya penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu demi kelancaran dalam penulisan skripsi ini, terutama
kepada:
1. Dr. Sudja’i, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo
Semarang.
2. Ahmad Muthohar M.Ag., selaku pembimbing I yang telah memberikan
bimbingan dan petunjuk dalam penulisan skripsi.
3. Dr. Ahwan Fanani, M.Ag., selaku pembimbing II yang telah memberikan
bimbingan dan petunjuk dalam penulisan skripsi.
4. Ratih Rizqi Nirwana S.Si. selaku dosen Wali studi serta Bapak, Ibu dosen dan
segenap karyawan/wati yang secara langsung ikut berpartisipasi.
5. Untuk kedua orang tua tercinta, yang telah membesarkan, mendidik, dan
menyayangi dengan seluruh jiwa dan raga dengan sepenuh hati.
6. Untuk seluruh Guru yang telah mendidik dan mengajar jiwa dan ragaku
dengan tulus dan ikhlas.
7. Seluruh anggota keluarga, Kakak dan Adikku yang telah memberi dukungan
yang sangat berharga baik fisik maupun secara material.
8. Seseorang yang ada di hatiku “Semoga Allah menjadikan engkau sebagai
penyejuk Jiwaku”. Dan membuat kedamaian untuk siap berjuang di jalan
Allah SWT dalam meniti kehidupan di dunia.
9. Sedulur tunggal kecer, Mas-mas, Mbak-mbak dan Adik-adik keluarga besar
UKM PSHT IAIN Walisongo. Dadio wong sing sabar! “sepira gedhening
sengsara yen tinompo amung dadi coba”
10. Untuk kawan-kawan HMI jayalah selalu. Apapun yang terjadi dan
bagaimanapun keadaannya tetap YAKUSA...!!!!!
11. Sahabat-sahabat PAI C 2005, semoga Allah mempermudah jalan hidup kita
dan sukses luar biasa
12. Para sahabatku pedagang kaki lima yang selalu memberi semangat dan
motivasi. Semoga kita semua sukses dan jaya selalu.
Teriring doa semoga Allah SWT membalas semua amal kebaikan dari
semuanya dengan sebaik-baik balasan.
Akhirnya dengan segala kerendahan hati penulis menyadari bahwa
penulisan skripsi ini belum mencapai kesempurnaan. Namun demikian, penulis
berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca pada
umumnya.
Semarang, 09 Juni 2011
Sriyanto
NIM. 053111418
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i
PERNYATAAN KEASLIAN .......................................................................... ii
PENGESAHAN ............................................................................................... iii
NOTA PEMBIMBING .................................................................................... iv
ABSTRAK ....................................................................................................... vi
TRANSLITERASI ........................................................................................... viii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... ix
DAFTAR ISI .................................................................................................... xi
BAB I : Pendahuluan
A. Latar belakang masalah ...................................................... 1
B. Penegasan Istilah ................................................................ 7
C. Rumusan masalah............................................................... 8
D. Tujuan dan Manfaat penulisan ........................................... 8
E. Kajian Pustaka .................................................................... 9
F. Metode Penelitian............................................................... 12
G. Sistematika Pembahasan .................................................... 16
BAB II : Biografi Kuntowijoyo dan Pemikiran Nilai-nilai Profetik
A. Biografi Kuntowijoyo ........................................................ 18
1. Riwayat Hidup ............................................................. 18
2. Latar Belakang Pemikiran ............................................ 20
3. Sosio-historis Perpolitikan Kuntowijoyo ..................... 23
4. Karya-karya Kuntowijoyo ............................................ 28
5. Penghargaan yang Diperoleh ....................................... 29
B. Pemikiran Kuntowijoyo tentang Nilai-nilai Profetik ......... 30
1. Pengertian Nilai Profetik .............................................. 30
2. Perlunya Ilmu Sosial Profetik ...................................... 39
3. Ilmu Sosial Profetik ..................................................... 45
BAB III : Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam
A. Pengertian Pengembangan Kurikulum ............................... 49
1. Pengertian Kurikulum .................................................. 49
2. Pengertian Pengembangan Kurikulum ......................... 52
B. Landasan Pengembangan Kurikulum ................................ 54
C. Pendekatan Pengembangan Kurikulum ............................. 56
D. Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum ............................ 59
1. Prinsip-Prinsip Pengembangan Kurikulum .................. 59
2. Kerangka Pengembangan Kurikulum .......................... 61
E. Kurikulum Pendidikan Agama Islam ................................. 66
1. Pengertian PAI ............................................................. 66
2. Tujuan Pendidikan Agama Islam ................................. 68
3. Pendekatan Pendidikan Agama Islam .......................... 70
4. Fungsi Pendidikan Agama Islam ................................. 71
BAB IV : Analisis Pemikiran Kuntowijoyo tentang Nilai-nilai Profetik
dan Implikasinya terhadap Pengembangan Kurikulum PAI
A. Nilai-nilai Profetik sebagai Landasan Pengembangan
Kurikulum PAI ................................................................... 78
B. Implikasi Nilai-Nilai Profetik Bagi Pengembangan
Organisasi Kurikulum PAI ................................................. 82
1. Tujuan Pendidikan ....................................................... 82
2. Organisasi Kurikulum .................................................. 84
3. Pokok Pendidikan Agama Islam .................................. 87
4. Proses Pembelajaran..................................................... 88
5. Cara Pelaksanaan Evaluasi Pendidikan Agama Islam . 90
BAB V : Penutup
A. Kesimpulan ........................................................................ 93
B. Saran-saran ......................................................................... 95
C. Penutup ............................................................................... 95
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di abad milenium seperti sekarang ini, ilmu pengetahuan dan
teknologi semakin maju, hal ini ditandai dengan peradaban manusia yang
telah mengalami pergeseran yang signifikan dalam berbagai bidang (sosial,
budaya, pendidikan, ekonomi, agama, dan iptek). Dengan peradaban dunia
yang semakin pesat pengaruhnya, dirasakan di Indonesia yaitu dengan
lahirnya globalisasi. Globalisasi adalah sebuah sistem yang mendunia,
meliputi seluruh aspek kehidupan manusia baik ekonomi, politik, budaya, dan
tentu di dalamnya termasuk juga pendidikan.1
Melihat realitas tersebut umat Islam harus mampu menyesuaikan diri
dengan perkembangan global tersebut. Guna menyelaraskan dengan tuntutan
zaman, transformasi (perubahan) sosial umat Islam tentunya harus tetap
dalam bingkai ajaran Islam. Maka agama harus mampu menjawab persoalan-
persoalan kontemporer yang muncul. Relevansi penafsiran agama dalam
merespon perubahan dunia yang begitu dahsyat menjadi sebuah tuntutan.
Sebagaimana disinyalir oleh Mun'im A. Sirry bahwa umumnya, agama yang
kehilangan kemampuan untuk merespon secara kreatif perubahan sosial,
kerap menampakkan wajah fundamentalistiknya. Jika agama gagal
membimbing umatnya, maka agama akan memasung pengikutnya pada
lembah kebingungan, kefrustrasian, dan pada akhirnya memunculkan reaksi
destruktif, konflik, dan kekerasan. Dengan kata lain, kesulitan dalam
mengatasi perubahan sosial dapat menyebabkan agama kehilangan pengaruh
dan relevansinya.2
Menurut Kuntowijoyo, pemahaman terhadap ajaran Islam, lebih
khusus lagi pada aspek teologi memerlukan penafsiran-penafsiran baru dalam
1 Musthofa Rembangy, Pendidikan Transformatif Pergulatan Kritis Merumuskan
Pendidikan Di Tengah Pusaran Arus Globalisasi, (Yogyakarta: TERAS, 2010), hlm. 13-15. 2 Mun’im A. Sirry, Membendum Militansi Agama; Iman dan Politik dalam Masyarakat
Modern, (Jakarta: Erlangga, 2003), hlm. 124.
2
rangka memahami realitas yang senantiasa berubah. Usaha melakukan
reorientasi pemahaman keagamaan, baik secara individual maupun kolektif
adalah untuk menyikapi kenyataan-kenyataan empiris menurut perspektif
ketuhanan.3 Jadi, ajaran agama perlu diberi interpretasi atau tafsir baru dalam
rangka memahami realitas.
Tafsir baru dalam rangka memahami realitas ini dapat dilakukan
dengan cara mengelaborasi ajaran agama ke dalam bentuk suatu teori sosial.
Ini dipilih karena akan mampu merekayasa perubahan melalui bahasa yang
obyektif dan lebih menekankan bahwa bidang garapannya lebih bersifat
empiris, historis, dan temporal. Ruang lingkup dari teori ini adalah pada
rekayasa untuk transformasi sosial. Maka muncullah konsep ilmu sosial yang
dicetuskan oleh Kuntowijoyo, yaitu Ilmu Sosial Profetik (ISP). ISP ialah ilmu
sosial yang tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial tetapi
juga memberi petunjuk ke arah mana transformasi itu dilakukan, untuk apa,
dan oleh siapa.
Dalam pengertian ini, maka ilmu sosial profetik secara sengaja
memuat kandungan nilai dari cita-cita perubahan yang diidamkan
masyarakatnya. Perubahan yang didasarkan pada cita-cita humanisasi atau
emansipasi, liberasi dan transendensi, suatu cita-cita profetik yang
diderivasikan dari misi historis Islam sebagaimana terkandung dalam QS. Ali
Imran (3) ayat 110:
öΝçGΖä. u�ö�yz >π̈Βé& ôMy_ Ì�÷zé& Ĩ$ ¨Ψ=Ï9 tβρ â÷ß∆ù' s? Å∃ρ ã�÷èyϑø9$$ Î/ šχöθyγ ÷Ψ s? uρ Ç tã
Ì�x6Ζßϑø9$# tβθãΖÏΒ÷σè? uρ «! $$ Î/ 3 .... ) ا ا. : ال عمران (
“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang ma'ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imran: 110)4
3 Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 1998), hlm.
287. 4 Depag RI, Al-Quran dan Terjemah, (Surabaya: Duta Ilmu, 2005), hlm. 80.
3
Kata (=>?آ) kuntum yang digunakan ayat di atas, ada yang
memahaminya sebagai kata kerja yang sempurna, (ABCD نCآ) kana tammah
sehingga ia diartikan wujud, yakni kamu wujud dalam keadaan sebaik-baik
umat. Ada juga yang memahaminya dalam arti kata kerja yang tidak
sempurna (AFGCH Iآ) kana naqishah dan dengan demikian ia mengandung
makna wujudnya sesuatu pada masa lampau tanpa diketahui kapan itu terjadi
dan tidak juga mengandung isyarat bahwa pernah tidak ada atau suatu ketika
akan tiada. Jika demikian, maka ayat ini berarti kamu dahulu dalam ilmu
Allah adalah sebaik-baik umat.5
Ayat di atas menggunakan kata (ABأ) ummah atau umat. Kata ini
digunakan untuk menunjuk semua kelompok yang dihimpun oleh sesuatu,
seperti agama yang sama, waktu atau tempat yang sama, baik
penghimpunannya secara terpaksa, maupun atas kehendak mereka. Bahkan
al-Qur’an dan Hadits tidak membatasi pengertian umat hanya pada kelompok
manusia. “Tidak satu burungpun yang terbang dengan kedua sayapnya
kecuali umat-umat juga seperti kamu” (QS. Al-An’am (6): 38). “Semut yang
berkeliaran, juga umat dari umat-umat Tuhan” (HR. Muslim).
Ikatan persamaan apapun yang menyatukan makhluk hidup, manusia
atau binatang seperti jenis, bangsa, suku, agama, ideologi, waktu, tempat dan
sebagainya, maka ikatan itu telah melahirkan satu umat, dan dengan demikian
seluruh anggota adalah bersaudara. Seungguh indah, luwes, dan lentur kata
ini, sehingga dapat mencakup aneka makna, dan dengan demikian dapat
menampung dalam kebersamaan dan aneka perbedaan.
Dalam kata ummah terselip makna-makna yang dalam. Ia
mengandung arti gerak dinamis, arah, waktu, jalan yang jelas, serta gaya
dan cara hidup. Dalam konteks sosiologi, umat adalah himpunan manusiawi
yang seluruh anggotanya bersama-sama menuju satu arah yang sama, bahu
membahu dan bergerak secara dinamis dibawa kepemimpinan bersama.
5
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an,
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 185-186
4
Kalimat (N CO نP?BQD) tu’minuna billah dapat dipahami sebagai percaya
kepada ajakan bersatu untuk berpegang teguh pada tali Allah, tidak bercerai
berai. Dengan demikian, ayat ini menyebutkan tiga syarat yang harus
dipenuhi untuk meraih kedudukan sebagai sebaik-baik umat, yaitu amar
makruf, nahi munkar dan persatuan dalam berpegang teguh pada tali atau
ajaran Allah.6
Tiga muatan atau pilar sebagai karakteristik ISP dari ayat di atas
adalah amar ma’ruf (humanisasi), nahi mungkar (liberasi), dan iman kepada
Allah (transendensi).7
Humanisasi yang dimaksud adalah memanusiakan manusia,
menghilangkan kebendaan, ketergantungan, kekerasan, dan kebencian dari
manusia. Tujuan humanisasi adalah memanusiakan manusia. Kita tahu bahwa
kita sekarang mengalami proses dehumanisasi karena masyarakat industrial
kita menjadikan kita sebagai bagian dari masyarakat abstrak tanpa wajah
kemanusiaan.
Liberasi (bahasa Latin liberare berarti memerdekakan) artinya
pembebasan, semuanya dengan konotasi yang mempunyai signifikansi sosial.
Tujuan dari liberasi adalah pembebasan dari kekejaman, kemiskinan
struktural, keangkuhan teknologi, dan pemerasan kelimpahan.
Transendensi (bahasa Latin transcendere berarti naik ke atas; bahasa
Inggris to transcend ialah menembus, melewati, melampaui) artinya
perjalanan di atas atau di luar. 8 Tujuan transendensi adalah menambah
dimensi transendental dalam kebudayaan. Kita sudah banyak menyerah
kepada arus hedonisme, materialisme, dan budaya yang dekaden. Kita
percaya bahwa sesuatu harus dilakukan, yaitu membersihkan diri dengan
mengingatkan kembali dimensi transendental yang menjadi bagian sah dan
fitrah kemanusiaan.9
6 M. Quraish Shihab, Tafsir…, hlm. 185-186
7 Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2007), hlm. 99.
8 Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu..., hlm. 98-99. 9 Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu..., hlm. 87-88.
5
Gagasan ini sebenarnya diilhami oleh Muhammad Iqbal khususnya
ketika Iqbal berbicara tentang peristiwa Mi’raj Nabi Muhammad SAW
seandainya Nabi itu seorang mistikus atau sufi, kata Iqbal tentu beliau tidak
ingin kembali ke bumi, karena telah merasa tentram bertemu dengan Tuhan
dan berada di sisi-Nya. Nabi mengubah jalannya sejarah. Beliau memulai
transformasi sosial budaya berdasarkan cita-cita profetik.10
Menanggapi konsep ISP Kuntowijoyo ini, Moeslim Abdurrahman
dalam Islam Transformasi menyebutkan pemikiran Kuntowijoyo ini tidak
jauh beda dengan istilah Teologi Transformatif, yaitu pemikiran yang
bertolak dari pandangan dasar bahwa misi Islam yang utama adalah
kemanusiaan.11
Upaya menanamkan dan memupuk nilai-nilai humanisasi, liberasi,
dan transendensi akan lebih efektif dilakukan melalui proses pendidikan.
Proses pendidikan tidak akan pernah lepas dari penanaman nilai-nilai, guna
membentuk profil manusia yang dewasa dalam pola pikir, sikap, dan tingkah
laku serta berakhlakul karimah. Hal tersebut senada dengan yang dikatakan
Prof. Ahmad Tafsir bahwa tugas pendidikan termasuk pendidikan di sekolah
yang paling utama ialah menanamkan nilai-nilai.12
Pengembangan kurikulum berbasis akhlak mulia dirasakan mendesak
untuk kondisi bangsa Indonesia. Terlebih mengingat kita mendambakan
terwujudkan Konsesus Nasional yang berparadigma Pancasila dan UUD
1945.13 Konsensus tersebut selanjutnya diperjelas dalam UU No. 20 tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang berbunyi “Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
10 Kuntowijoyo, Paradigma Islam ..., hlm. 289.
11 Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1997), hlm. 40.
12 Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam; Integrasi Jasmani, Rohani dan Kalbu
Memanusiakan Manusia, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2008), hlm. 49. 13
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), Cet. III, hlm. 3.
6
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokrasi serta bertanggung jawab”.14
Namun, dalam kenyataannya kecenderungan dunia pendidikan saat ini
masih kurang dalam menjalankan fungsi sosialnya. Hal ini ditandai dengan
banyaknya kejadian yang sering kali terlihat kasat mata seperti tawuran dan
tindakan asusila lainya, menunjukkan masih dipertanyakan tingkat
keberhasilan institusi pendidikan yang ada sementara ini. 15 Selain itu,
peristiwa yang acap kali terjadi pada masyarakat kita seperti korupsi, hukum
yang tidak adil, penipuan, kerusuhan sesama warga, pembunuhan, dan
perbuatan tercela lainnya juga sering terjadi. Kurikulum pendidikan diarahkan
hanya untuk mencetak manusia-manusia yang sudah dipeta-petakan menurut
keahliannya masing-masing. Pendidikan telah menciptakan manusia-manusia
mesin, manusia-manusia pragmatis, yang sangat kering akan dimensi spiritual.
Pendidikan semakin menjauhkan manusia dari kemanusiaannya
(dehumanisasi), dari kemerdekaannya (deliberasi), bahkan dari Tuhan-nya
(detransendensi).
Kurikulum sebagai acuan atau program untuk mencapai tujuan
pendidikan berpengaruh besar dalam membentuk output pendidikan
berkualitas. Begitu juga nilai-nilai yang tertanam dalam peserta didik juga
bergantung pada nilai-nilai yang terkandung dalam kurikulum yang menjadi
acuan. Terlebih lagi bila berbicara tentang Pendidikan Agama Islam (PAI), di
mana penanaman nilai-nilai menjadi suatu hal yang dominan, yang akan
berefek pada aspek afektif dan psikomotor sebagai wujud nyata kesalehan
vertikal dan kesalehan horizontal dalam diri peserta didik. Penelitian ini
dimaksudkan untuk mengkaji dan menganalisis konsep nilai-nilai profetik
perspektif Kuntowijoyo kemudian apa implikasinya bagi pengembangan
kurikulum PAI. Yang dimaksud kurikulum PAI di sini adalah kurikulum PAI
di jenjang menengah. Jenjang ini dipilih dengan asumsi bahwa output jenjang
14 Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, hlm. 8.
15 Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2004),
hlm. 169.
7
ini telah dianggap cukup dewasa secara fisik, psikis maupun intelektual dan
mampu bereksistensi dalam kehidupan kemasyarakatan. Ditemukannya
implikasi dari nilai-nilai profetik perspektif Kuntowijoyo terhadap
pengembangan kurikulum PAI ini diharapkan dapat menjadi sebuah alternatif
kriteria bagi pengembangan kurikulum PAI di masa depan.
B. Penegasan Istilah
Untuk memperjelas pengertian serta untuk menghindari adanya
kekeliruan memahami skripsi ini, perlu dijelaskan beberapa istilah yang
menjadi sentral dari judul skripsi ini, antara lain:
1. Nilai-nilai profetik
Nilai-nilai profetik yang dimaksud adalah nilai yang dapat
dijadikan tolak ukur perubahan sosial, hal ini tercakup pada ketiga
kandungan nilai ayat 110 surah Ali-Imran: “Engkau adalah umat yang
terbaik yang diturunkan di tengah manusia untuk menegakkan kebaikan
(amar ma’ruf), mencegah kemungkaran (nahi munkar) dan beriman
kepada Allah SWT.”
Kuntowijoyo menginterpretasikan bahwa ayat di atas memuat tiga
nilai dasar, yaitu humanisasi, liberasi, dan transendensi. Humanisasi
sebagai deriviasi dari amar ma’ruf mengandung pengertian kemanusiaan
manusia. Liberasi yang diambil dari nahi munkar mengandug pengertian
pembebasan. Sedangkan transendensi merupakan dimensi keimanan
manusia. Ketiga muatan nilai itu mempunyai implikasi yang sangat
mendasar dalam rangka membingkai kelangsungan hidup manusia yang
lebih humanistik.16
2. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam
Istilah kurikulum digunakan pertama kali pada dunia olahraga
pada zaman Yunani Kuno yang berasal dari kata curir dan curere, yang
pada waktu itu kurikulum diartikan sebagai jarak yang harus ditempuh
16 Khoiron Rasyadi, Pendidikan Profetik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004) , hlm. 304.
8
oleh seorang pelari. Orang mengistilahkannya dengan tempat berpacu
atau tempat berlari dari mulai start sampai finish.
Selanjutnya istilah kurikulum digunakan dalam dunia pendidikan.
Para ahli pendidikan memiliki penafsiran yang berbeda-beda tentang
kurikulum. Namun demikian, dalam penafsiran yang berbeda itu ada
yang kesamaannya. Kesamaan tersebut adalah bahwa kurikulum
berhubungan erat dengan usaha mengembangkan peserta didik sesuai
dengan tujuan yang ingin dicapai.17
Pendidikan agama Islam adalah pendidikan tentang ajaran. Ajaran
agama Islam dan merupakan salah satu mata pelajaran yang diajarkan
disetiap lembaga pendidikan baik pendidikan dasar, menengah maupun
menengah atas negeri maupun swasta. Dan dalam penelitian ini
difokuskan pada pendidikan menengah atas.
C. Rumusan Masalah
Latar belakang di atas, dapat diambil permasalahan yang menjadi
fokus pembahasan pada skripsi ini yaitu:
1. Apa konsep nilai-nilai profetik perspektif Kuntowijoyo?
2. Bagaimana implikasi konsep nilai-nilai profetik perspektif Kuntowijoyo
terhadap pengembangan kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI)?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan di atas, tujuan yang akan dicapai pada
penelitian ini yaitu untuk mengetahui:
a. Untuk mengungkapkan konsep nilai-nilai profetik perspektif
Kuntowijoyo.
17 Wina Sanjaya, Kajian Kurikulum dan Pembelajaran, (Bandung: Sekolah Pasca Sarjana
Universitas Pendidikan Indonesia, 2007), hlm. 2-3.
9
b. Untuk meneliti implikasi dari pemikiran Kuntowijoyo tentang nilai-
nilai profetik terhadap pengembangan kurikulum Pendidikan Agama
Islam (PAI).
2. Manfaat Penelitian
Berdasarkan permasalahan di atas, manfaat yang akan dicapai
pada penelitian ini yakni:
a. Ingin memberikan wawasan pada seluruh elemen masyarakat,
khususnya pelaku dan pemerhati pendidikan Islam tentang nilai-nilai
profetik perspektif Kuntowijoyo.
b. Ingin memberikan pengalaman yang konstruktif kepada para
akademisi dan pemikir pendidikan Islam, bahwa salah satu faktor
yang berpengaruh terhadap perkembangan kualitas pendidikan Islam
adalah kurikulum, maka pengembangan kurikulum yang
komprehensif dan mampu berdialog dengan realitas global, mampu
berdinamisasi dengan tuntutan zaman, serta responsif terhadap
kecenderungan perubahan masyarakat adalah suatu yang perlu.
c. Ingin memberikan sumbangsih pemikiran pada praktisi dan
akademisi pendidikan Islam dalam hal pengembangan kurikulum
PAI bahwa pengembangan kurikulum PAI yang berdasarkan nilai-
nilai profetik merupakan suatu keniscayaan dalam dunia pendidikan
Islam agar output pendidikan ini mampu menyesuaikan diri dengan
tuntutan globalisasi tanpa kekurangan ruh keislamannya.
E. Kajian Pustaka
Kajian pustaka digunakan sebagai bahan perbandingan terhadap
penelitian yang ada, baik mengenai kekurangan dan kelebihan yang ada
sebelumya. Selain itu juga mempunyai andil besar dalam rangka mendapatkan
suatu informasi yang ada sebelumya tentang teori-teori yang ada kaitannya
dengan judul yang digunakan untuk mendapatkan landasan teori ilmiah.
Sejauh pengamatan dan penelusuran peneliti ke berbagai literatur kepustakaan
10
tentang nilai-nilai profetik dan pemikiran Kuntowijoyo peneliti menemukan
beberapa tulisan dan penelitian. Berikut adalah daftar penelitian yang sudah
ada.
1. Skripsi yang ditulis oleh Sami’un di IAIN Walisongo Semarang pada
tahun 2006 yang berjudul: “Konsep Al-Qur’an tentang Khairu Al-Ummah
dalam Perspektif Pendidikan Islam”. Penelitian ini meneliti konsep al-
Qur’an tentang Khairu al-Ummah dengan menggunakan teknik analisis
deskriptif kualitatif data dan analisis semantik. Yang mejelaskan bahwa
karakteristik khairu al-ummah terdiri dari amar ma’ruf nahi munkar dan
iman kepada Allah SWT. sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an surat
Ali Imran ayat 110.18
Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian yang peneliti
lakukan pada fokus penelitiannya. Pada penelitian tersebut yang menjadi
fokus penelitiannya adalah Konsep Al-Qur’an tentang Khairu Al-Ummah
dalam Perspektif Pendidikan Islam. Sedangkan pada penelitian yang
peneliti lakukan yang menjadi fokus penelitian adalah Nilai-Nilai Profetik
dari Pemikiran Kuntowijoyo dan Implikasinya Bagi Pengembangan
Kurikulum PAI. Penelitian skripsi ini lebih spesifik dibanding penelitian
yang dilakukan oleh Sami’un.
2. Skripsi yang ditulis Indriyana dengan judul: “Pesan-Pesan Dakwah dalam
Novel Khotbah di Atas Bukit Karya Kuntowijoyo”. Fakultas dakwah IAIN
Walisongo Semarang tahun 2006. Penelitian ini, membahas mengenai
pesan-pesan dakwah yang disampaikan Kuntowijoyo dalam novel khotbah
di atas bukit. Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian yang peneliti
lakukan pada fokus penelitiannya. Pada penelitian tersebut yang menjadi
fokus penelitianya adalah pesan-pesan dakwah dalam novel di atas bukit
dari karya Kuntowijoyo.19 Sedangkan pada penelitian ini yang menjadi
18
Sami’un, Konsep Al-Qur’an tentang Khairu Al-Ummah dalam Perspektif Pendidikan Islam,tinjauan analisis deskriptif kualitatif data dan analisis semantik, Skripsi, (Semarang: IAIN Walisongo, 2006).
19 Indriyana, Pesan-Pesan Dakwah dalam Novel Khotbah Di Atas Bukit Karya
Kuntowijoyo, Skripsi, (Semarang: IAIN Walisongo, 2006).
11
fokus penelitiannya adalah nilai-nilai profetik Kuntowijoyo dan
implikasinya bagi pengembangan kurikulum PAI.
3. Selain itu, juga terdapat sebuah buku atau tulisan tentang nilai-nilai
profetik yaitu tulisan yang disajikan oleh Moh. Shofan dengan judul
“Pendidikan Berparadigma Profetik; Upaya Konstruktif Membongkar
Dikotomi Sistem Pendidikan Islam”. Yang diterbitkan oleh IRCiSoD
bekerja sama dengan UGM press pada tahun 2004 dalam buku ini
ditawarkan sebuah “Pendidikan Berparadigma Profetik; Upaya
Konstruktif Membongkar Dikotomi Sistem Pendidikan Islam”. sebuah
paradigma pendidikan yang berusaha melakukan sintesa antara sistem
pendidikan tradisional yang konsen dengan penjagaan iman dan sistem
pendidikan Islam modern yang konsen dengan perkembangan nilai-nilai
kemanusiaan dengan paradigma yang ditawarkan ini, pendidikan Islam
diharapkan mampu mencapai puncak tujuannya yaitu melahirkan manusia-
manusia yang beriman kokoh dan berilmu pengetahuan luas (Ulul Albab).
Untuk tujuan itu, paradigma profetik yang ditawarkan dengan
meminjam istilah Kuntowijoyo meliputi dimensi humanisasi, liberasi dan
transendensi. Sebagai sebuah cita-cita profetik yang sebenarnya adalah
derivasi dari misi historis Islam yang terkandung dalam al-Qur’an surat Ali
Imran ayat 110: “Engkau adalah umat terbaik yang diturunkan di tengah-
tengah manusia untuk menegakkan kebaikan (humanisasi), mencegah
kemungkaran (liberasi), dan beriman kepada Allah (transendensi)”.20
Tulisan tersebut dengan penelitian yang peneliti lakukan, keduanya
sama-sama membahas tentang nilai humanisasi, liberasi, dan transendensi.
Sehingga tulisan tersebut dapat dijadikan sebagai bahan kajian pendukung
pada penelitian ini.
4. M. Fahmi dalam bukunya yang berjudul “Islam Transedental; Menelusuri
Jejak-jejak Pemikiran Islam Kuntowijoyo” membahas tentang gagasan
Kuntowijoyo, seorang profesor ilmu budaya yang banyak memberikan
20
Selanjutnya baca buku karya Moh. Shofan, Pendidikan Berparadigma Pofetik; Upaya
Konstruktif Membongkar Dikotomi Sitem Pendidikan Islam, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2004).
12
perhatian terhadap kajian keislaman, pencetus gagasan perlunya Ilmu
Sosial Profetik.
Perbedaan dengan yang peneliti lakukan adalah fokus pada
kajiannya. Bahwasannya pada penelitian yang peneliti lakukan fokus pada
nilai-nilai profetik dan implikasinya bagi pengembangan kurikulum.
sedangkan pada buku M. Fahmi membahas pada kajian keislamannya.
F. Metode Penelitian
Pada dasarnya penelitian adalah kegiatan untuk menemukan,
mengembangkan dan mengkaji suatu pengetahuan, oleh karena itu penelitian
harus didasarkan pada penyelidikan dan pengumpulan data dengan analisa
yang logis untuk tujuan tertentu.
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah Penelitian Kepustakaan (library research)
yaitu serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan
data pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan penelitian.21
Penelitian kepustakaan ini dimaksudkan bahwa data-data informasi yang
dipakai sebagai dasar penelitian skripsi ini diambil dari membaca,
memahami buku-buku, majalah maupun literatur lainnya. Artinya
penulisan dengan kepustakaan murni yaitu menggunakan buku-buku
yang berkaitan dengan permasalahan yang penulis angkat.
2. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan dua pendekatan yaitu
pendekatan historis dan pendekatan filosofis. Pendekatan historis di sini
adalah sejarah hidup Kuntowijoyo. Pendekatan ini ditujukan untuk
meneliti kondisi sosial pada masa Kuntowijoyo karena pemikiran tokoh
tidak lepas dari pengaruh kondisi sosial sekitarnya.
Sedangkan pendekatan filosofis yang dimaksud adalah prosedur
pemecahan masalah yang diselidiki secara rasional melalui pernungan
21
Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004), hlm. 3.
13
atau pemikiran yang terarah mendalam dan mendasar tentang hakikat
sesuatu yang ada dan yang mungkin ada, dengan mempergunakan pola
berfikir aliran filsafat tertentu maupun dalam bentuk analisa sistematik
berdasarkan pola berfikir induktif, deduktif, fenomenologis, dan lain-lain.
Dan dengan memperhatikan hukum berfikir (logika). Cara kerja metode
ini selalu dihadapkan pada data kualitatif, di mana data yang digunakan
berbentuk uraian atau simbol-simbol verbal yang penafsirannya
bergantung pada pemakaian dalam kalimat. Penggunaan data di sini
untuk memberikan dasar berfikir bukan untuk memberikan hipotesis.22
Pendekatan ini dimaksudkan untuk meneliti kondisi kehidupan
Kuntowijoyo dalam kapasitasnya sebagai seorang pemikir yang tentu
mengalami tahap-tahap perkembangan pemikiran.
3. Teknik Pengumpulan Data
Metode yang digunakan dalam pencarian dan pengumpulan data
adalah metode dokumentasi. Metode ini digunakan untuk mencari data-
data mengenai hal-hal yang berhubungan dengan pokok pembahasan.
Seperti catatan, buku, surat kabar, majalah dan sebagainya.23 Langkah
yang ditempuh adalah mencari tahu atau mengumpulkan data-data
tertulis sesuai bahasan, data diambil dari sumber-sumber tersebut di atas
serta notulen, catatan harian dan sebagainya baik sumber tersebut sudah
dipublikasikan maupun yang belum atau tidak dipublikasikan.
Data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar dan bukan
angka-angka dan penelitian akan berisi kutipan-kutipan data untuk
memberi gambaran penyajian tersebut.24
22
Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1993), hlm. 66.
23 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), Cet. VIII, hlm. 188.
24 Lexy J. Maleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remadja Karya CV., 1989), hlm. 7.
14
Dalam hal ini data yang dikumupulkan penulis:
a. Sumber Data Primer
Sumber data primer adalah informasi yang secara langsung
memiliki wewenang dan tanggungjawab terhadap pengumpulan atau
penyimpanan data. Sumber data semacam ini dapat disebut juga
dengan sumber data atau informasi dari tangan ke tangan.25 Adapun
sumber data primer yang peneliti gunakan adalah buku yang berjudul
Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi; dan Islam sebagai Ilmu:
Epistemologi, Metodologi, dan Etika; karya Kuntowijoyo.
b. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder adalah data yang diperoleh lewat pihak
lain, tidak langsung diperoleh oleh peneliti dari subjek
penelitiannya.26 Adapun sumber data sekunder yang peneliti gunakan
diantaranya: “Pendidikan Berparadigma Profetik; Upaya Konstruktif
Membongkar Dikotomi Sistem Pendidikan Islam oleh Moh. Shofan,
Islam Transendental; Menelusuri Jejak-jejak Pemikiran Islam
Kuntowijoyo oleh M. Fahmi, Kritik Islam atas Marxisme dan Sesat-
Pikir Barat Lainnya oleh Ali Syari’ati penerjemah Husin Anis Al-
Habsyi dan sumber lain yang berkaitan dengan tema.
4. Teknik Analisis Data
Adapun analisis yang digunakan terhadap pemikiran Kuntowijoyo
diantaranya:
a. Content Analisis
Setelah data terkumpul, data dipilah-pilah, diklasifikasikan
dan dikategorikan sesuai dengan tema pembahasan yang peneliti
angkat. Proses analisis ini dilakukan dengan menggunakan content
analisis, yaitu mengungkapkan isi pemikiran dari tokoh yang
diteliti.27
25 Muhammad Ali, Penelitian Kependidikan Prosedur dan Strategi, (Bandung: Angkasa,
1993), hlm. 34. 26
Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 91. 27 Hadari Nawawi, Metodologi...., hlm. 68.
15
Secara teknis, content analisis mencakup: 28
1) Klasifikasi tanda-tanda yang dipakai dalam komunikasi
2) Menggunakan kriteria sebagai dasar klasifikasi
3) Menggunakan teknik analisis tertentu
Adapun langkah-langkah yang penulis tempuh dalam analisis
data adalah dengan mendasarkannya pada prosedur yang ditetapkan
Hadari Nawawi, yaitu sebagai berkut: 29
1) Menyeleksi teks (buku, majalah, dokumen) yang akan diselidiki
dengan mengadakan observasi untuk mengetahui keluasan
pemakaian buku tersebut, menetapkan standar isi buku di dalam
bidang tersebut dari segi teoritis dan praktisnya.
2) Menyusun item-item yang spesifik tentang isi dan bahasa yang
akan diteliti sebagai alat pengumpul data.
3) Menetapkan cara yang ditempuh yaitu dengan meneliti
keseluruhan isi buku dan bab per bab.
4) Melakukan pengukuran terhadap teks secara kualitatif, misalnya
tentang tema dalam paragraf pesan yang akan disampaikan.
5) Membandingkan hasil berdasarkan standar yang telah ditetapkan.
6) Mengetengahkan kesimpulan sebagai hasil analisis.
Dalam hal ini yang dianalisis adalah pemikiran Kuntowijoyo
tentang nilai-nilai profetik dan implikasinya terhadap pengembangan
kurikulum PAI.
b. Interpretasi
Yaitu cara menyelami isi buku untuk secepat mungkin
menangkap isi dan nuansa uraian yang disajikan.30 Dengan analisis
ini peneliti berusaha untuk menyelami pemikiran Kuntowijoyo
kemudian diungkapkan apa adanya dalam bentuk tulisan sesuai
28
Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1991), hlm. 49.
29 Hadari Nawawi dan Mimi Martini, Penelitian Terapan (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2005), hlm. 90-91. 30 Anton Beker dan Ahmad Charris Zubair, Metode Penelitian Filsafat, (Yogyakarta:
Kanisius, 1992), Cet. IV, hlm. 63.
16
dengan sumber data yang ada, baik dengan bahasa sendiri maupun
bahasa tokoh tersebut.
Dari sini, setiap data atau informasi yang diperoleh dari
masalah demi masalah dibandingkan dengan informasi lain yang ada.
Mekanisme tersebut dilakukan secara terus menerus dan bolak-balik,
sehingga mendapatkan hasil yang diharapkan kemudian diambil
kesimpulan.
G. Sistematika Pembahasan
Dalam penyusunan skripsi ini penyusun menggunakan sistematika
pembahasan yang dituangkan dalam tiga bagian dan disusun secara sistematis
untuk mempermudah pemahaman, sehingga mampu mencapai tujuan yang
dikehendaki oleh peneliti.
1. Bagian muka
Pada bagian ini terdiri dari: halaman judul, halaman pernyataan
keaslian, halaman pengesahan, halaman nota pembimbing, halaman
abstraksi, halaman transliterasi, halaman kata pengantar dan halaman
daftar isi.
2. Bagian isi
Bagian isi terdiri dari beberapa bab yang masing-masing terdiri
beberapa sub bab dengan susunan sebagai berikut:
Bab I : PENDAHULUAN
Bab ini diuraikan gambaran umum pembahasan skripsi yang
meliputi: latar belakang, penegasan istilah, perumusan masalah,
tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka, metodologi
penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab II : KUNTOWIJOYO DAN PEMIKIRANNYA TENTANG
NILAI-NILAI PROFETIK
Bab ini menjelaskan tentang biografi Kuntowijoyo yang
meliputi daftar riwayat hidup, latar belakang pemikiran
17
Kuntowijoyo, sosio-historis perpolitikan Kuntowijoyo, karya-
karya Kuntowijoyo dan penghargaan yang diperoleh
Kuntowijoyo serta pemikiran Kuntowijoyo tentang nilai-nilai
profetik yang meliputi pengertian profetik, perlunya ilmu sosial
profetik, ilmu sosial profetik.
Bab III : TEORI TENTANG PENGEMBANGAN KURIKULUM
Bab ini menjelaskan pengertian pengembangan kurikulum yang
meliputi pengertian kurikulum, pengertian pengembangan
kurikulum. Landasan pengembangan kurikulum. Pendekatan
pengembangan kurikulum. Dasar-dasar pengembangan
kurikulum yang meliputi prinsip-prinsip pengembangan
kurikulum, kerangka pengembangan kurikulum. Dan kurikulum
pendidikan agama Islam meliputi pengertian PAI, tujuan PAI,
pendekatan PAI, fungsi PAI.
Bab IV: ANALISIS TENTANG KONSEP NILAI-NILAI PROFETIK
MENURUT KUNTOWIJOYO DAN IMPLIKASINYA
TERHADAP PENGEMBANGAN KURIKULUM
Bab ini menjelaskan analisis pemikiran Kuntowijoyo tentang
nilai-nilai profetik sebagai landasan pengembangan kurikulum
pendidikan islam. dan implikasi nilai-nilai profetik bagi
pengembangan organisasi kurikulum PAI.
Bab V : PENUTUP
Bab ini akan diuraikan tentang: kesimpulan saran-saran dan
penutup.
3. Bagian akhir
Bagian akhir skripsi ini terdiri dari: daftar pustaka, lampiran-
lampiran dan daftar riwayat pendidikan penulis.
18
BAB II
BIOGRAFI KUNTOWIJOYO DAN PEMIKIRAN NILAI-NILAI
PROFETIK
A. Biografi Kuntowijoyo
1. Riwayat Hidup
Kuntowijoyo adalah seorang pemikir yang komplet. Ia
menyandang banyak identitas dan julukan. Selain seorang guru besar, ia
juga sejarawan, budayawan, sastrawan, penulis-kolumnis, intelektual
muslim, aktivis dan juga seorang khatib. Kuntowijoyo yang merupakan
putra pasangan Martoyo sebagai Pedalang dan Warastri, yang eyang
buyutnya adalah seorang penulis mushaf Al-Qur’an dengan tangan.
Kuntowijoyo lahir di Desa Ngawonggo, Kecamatan Ceper, Kabupaten
Klaten pada tanggal 18 September 1943. Ia merupakan anak kedua dari
delapan bersaudara.
Kuntowijoyo menempuh dunia pendidikan Sekolah Dasarnya di
Sekolah Rakyat Negeri Klaten, lulus pada tahun 1956. Setamat dari SD
Klaten, ia melanjutkan ke SMP Negeri Klaten, lulus pada tahun 1959.
Lalu melanjutkan studi ke SMA Negeri Solo, lulus pada tahun 1962.
Kemudian ia melanjutkan studinya di Fakultas Sastra UGM Yogyakarta,
lulus pada tahun 1969.1
Setelah lulus dari UGM, Kuntowijoyo melanjutkan kuliah di
University of Connecticut dan meraih master (M.A., American Studies,
1974) dan gelar doktor (Ph.D., Ilmu Sejarah, 1990) di Universitas
Columbia, dengan disertasi yang berjudul Social Change in an Agrarian
Society: Madura 1850-1940.2
Kuntowijoyo merupakan sosok yang dikenal sebagai seorang
intelektual yang rendah hati dan bisa bergaul dengan siapa saja. Ia juga
1 Badiatul Roziqin, dkk., 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia,(Yogyakarta: e-Nusantara,
2009), hlm. 180. 2 Kuntowijoyo, Penjelasan Sejarah (Historical Explanation), (Yogyakarta: Tiara Wacana,
2008), hlm. 177.
19
seorang intelektual muslim yang jujur dan berintegritas tinggi, meskipun
dalam kondisi sakit, Kuntowijoyo masih dengan sabar melayani
bimbingan mahasiswa.
Dalam perjalanan hidupnya Kuntowijoyo menikahi seorang
perempuan yang bernama Susiloningsih. Istrinya tersbut juga menjadi
dosen Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Jogja dan juga telah
meyelesaikan studi di Psychology Department, Hunter College of The
City University of New York pada tahun 1980. Dari pernikahannya
tersebut Kuntowijoyo dikaruniai dua orang anak yakni Punang Amari
Puja dan Alun Paradipta. 3 Dalam masa hidupnya, Kuntowijoyo
mengalami serangan virus meningo enchepalitis (infeksi yang menyerang
bagian otak). Dan Kuntowijoyo meninggal pada hari Selasa, 22 Februari
2005.
Kiprah Kuntowijoyo yang selain sebagai sejarawan, Kuntowijoyo
juga sebagai seorang kiai. Julukan kiai bagi Kuntowijoyo bukanlah hal
yang mengada-ada. Selain ia piawai dalam menjelaskan problem-
problem keIslaman, dan tulisan-tulisannya pun bernuansa Islami. 4
Kuntowijoyo juga ikut dalam pembangunan dan pembinaan Pondok
Pesantren Budi Mulia pada tahun 1980 dan mendirikan Pusat Pengkajian
Strategi dan Kebijakan (PPSK) di Yogyakarta pada tahun 1980.
Kuntowijoyo menyatu dengan pondok pesantren yang menempatkan
dirinya sebagai seorang kiai.
Ketua PP Muhammadiyah Prof. Dr. Syafi’i Maarif menyebut
kuntowijoyo sebagai sosok pemikir Islam dan sangat berjasa bagi
perkembangan Muhammadiyah. Menurutnya kritik Kunto sangat pedas
tetapi merupakan pemikiran yang sangat mendasar.
Kuntowijoyo sebagai seorang pemikir Islam ini, semasa kuliah, ia
sudah akrab dengan dunia seni dan teater karena semenjak kecil hidup di
lingkungan dunia seni dari ayahnya. Kunto bahkan pernah menjabat
3 Badiatul Roziqin, dkk., 101 Jejak ..., hlm. 181. 4 Badiatul Roziqin, dkk., 101 Jejak ..., hlm. 179.
20
skretaris Lembaga Kebudayaan Islam (Leksi) dan ketua Studi Grup
Mantika, hingga tahun 1971. Di organisasi ini, ia berkesempatan bergaul
dengan beberapa seniman dan kebudayaan muda, seperti Arifin C. Noer,
Syu’ban Asa, Ikranegara, Chaerul Umam, dan Salim Said.
2. Latar Belakang Pemikiran
Kiprah Kuntowijoyo dalam dunia tulis menulis berawal ketika
Kuntowijoyo duduk di bangku Sekolah Dasar. Kuntowijoyo ditempa oleh
dunia lingkungan yang sangat mempengaruhi pertumbuhannya semasa
kecil dan remaja. Ketika SD, Kuntowijoyo juga dimasukkan ke sekolah
agama, yaitu Madrasah Ibtidaiyyah (MI). Di MI inilah, Kunto kecil
sangat kagum kepada guru ngajinya, yaitu Ustadz Mustajab yang sangat
piawai menerangkan tarikh (sejarah Islam) secara dramatik. Seolah-olah
dia dan peserta didik lainnya ikut mengalami peristiwa yang disampaikan
oleh gurunya. Sejak itu, Kuntowijoyo tertarik dengan sejarah, yang
hingga kemudian ditekuni dan serius terjun mendalami ilmu sejarah. Di
MI inilah bakat menulis Kuntowijoyo sudah mulai tumbuh. Kedua
gurunya, Sariamsi Arifin (penyair) dan Yusmanam (pengarang) telah
membangkitkan gairah Kuntowijoyo untuk menulis. Hingga akhirnya
Kunto kecil sangat gemar membaca dan menulis.5
Kuntowijoyo yang dibesarkan di lingkungan Muhammadiyah,
yang semenjak kecil sudah akrab dengan dunia seni. Ayahnya yang suka
mendalang, mendidiknya untuk mendalami agama dan seni.
Latar belakang cetusan-cetusan pemikiran Kuntowijoyo salah
satunya bersumber dari pengaruh para filosof baik barat maupun timur
yang tidak bisa dipungkiri ikut mewarnai hampir semua ide-ide
Kuntowijoyo. Hal ini bisa dilihat dalam buku Kuntowijoyo yang berjudul
Penjelasan Kuntowijoyo (Historical Explanation), dengan piawai
Kuntowijoyo mengajak pembaca untuk melakukan “wisata akademik”,
yakni dengan mengamati bagaimana sejarawan bekerja (historians at
5 Badiatul Roziqin, dkk., 101 Jejak..., hlm. 180.
21
work) dan membekali para pembaca dengan “panduan wisata” yang
berupa rangkaian “review” konkret atas berbagai karya sejarawan.
Tema-tema karya-karya Kuntowijoyo antara lain menyoroti
fenomena sejarah kesadaran sosial umat Islam, tentang transformasi umat
Islam dalam menyikapi perkembangan global dengan industrialisasinya,
serta bagaimana agar umat Islam mampu dalam melakukan transformasi
sosial ke arah yang lebih baik. Perubahan yang didasarkan pada cit-cita
humanisasi, liberasi, dan transendensi, suatu cita-cita yang diderivasikan
dari misi historis Islam sebagaimana yang terkandung dalam QS. Ali
Imran (3), ayat 110.
Gagasan pemikiran Kuntowijoyo ini diilhami oleh Muhammad
Iqbal, khususnya ketika Iqbal berbicara tentang peristiwa mi’raj Nabi
Muhammad SAW. Seandainya Nabi itu seorang mistikus atau sufi, kata
Iqbal, tentu beliau tidak ingin kembali ke bumi, karena merasa tenteram
bertemu dengan Tuhan dan berada di sisi-Nya. Nabi kembali ke bumi
untuk menggerakkan perubahan sosial, untuk mengubah jalannya sejarah.
Beliau memulai suatu transformasi sosial budaya, berdasarkan cita-cita
profetik.
Dalam buku yang berjudul Dinamika Sejarah Umat Islam
Indonesia diterangkan bahwa Nabi telah memimpin umat secara berhasil,
dan itulah tugas sejarahnya. Dia telah mengubah superstruktur (budaya
musyrik, politeis diubah menjadi budaya-budaya tauhid, monoteis) dan
mengatur kembali struktur sosial (mengangkat derajat wanita dan kaum
budak pada kedudukan yang mulia). Di tengah-tengah umat Islam
terdapat suatu golongan yang dipanggil Allah untuk menyeru kepada
kebaikan dan mencegah kemungkaran. Yang mana setiap manusia adalah
sebagai khalifah, maka umat Islam diperintahkan Allah sebagai
pengendali sejarah, subyek sejarah di tengah-tengah manusia.6
6 Kuntowijoyo, Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia, (Yogyakarta: Shalahuddin
Press dan Pustaka Pelajar, 1994), hlm. 113-114.
22
Perwujudan sikap menurut Kuntowijoyo adalah obyektifikasi
yang merupakan perbuatan rasional nilai (wertrational) yang diwujudkan
ke dalam perbuatan rasional, sehingga orang luarpun dapat menikmati
tanpa harus menyetujui nilai-nilai asal. Misalnya ancaman Allah terhadap
orang Islam sebagai orang yang mendustakan agama bila tidak
memperhatikan kehidupan ekonomi orang-orang miskin dapat
diobyektifkan dengan IDT (Inpres Desa Tertinggal). Kesetiakawanan
Nasional adalah obyektifikasi dari ajaran tentang ukhuwah.7
Dengan tetap berpegang teguh pada Al-Qur’an, Kuntowijoyo
menawarkan bentuk penafsiran ajaran Islam yang lebih fungsional yang
mampu menjadi titik pijak penerapan ajaran Islam itu sendiri. Mampu
diterapkan dalam realitas masa kini dan di sini,8 pada periode ilmu, di
tengah transformasi sosial umat Islam yang sedang berjalan dalam era
globalisasi. Metode ini ia namakan strukturalisme transendental.
Melalui metode ini, Kuntowijoyo mencoba mengangkat teks
(nash) Al-Qur’an dari konteksnya, yaitu dengan mentransendensikan
makna tekstual dari penafsiran kontekstual berikut bias-bias historisnya.
Kuntowijoyo mencoba mengembalikan makna teks yang sering
merupakan respon terhadap realitas historis kepada pesan universal dan
makna transendentalnya.9
Dari pandangan Kuntowijoyo tentang sosok ideal cendekiawan,
dapat disimpulkan bahwa seorang tokoh, meskipun dia sudah meraih
gelar yang tinggi, secara intelektual atau akademik, tapi belum atau tidak
memiliki kepedulian terhadap persoalan sosial umat Islam di sekitarnya,
atau keberadaannya tidak fungsional dalam masyarakat, maka belum
pantaslah ia disebut seorang cendekiawan. Selain pandangannya tentang
sosok ideal seorang cendekiawan, pergumulan Kuntowijoyo yang intens
7 Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, (Bandung: Mizan, 1997), hlm. 68-69.
8 Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu Epistemologi, Metodologi, dan Etika, (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 2007), hlm. 27. 9 Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 1998), hlm.
331-332.
23
dengan ilmu-ilmu sosial dan budaya, serta kemampuan menelaah
pemikiran-pemikiran para filosof, baik dari barat maupun dari Islam
sendiri banyak mewarnai cetusan gagasan-gagasannya dalam wacana
pemikiran Islam, yang selalu menjadi tema-tema menarik untuk
diperbincangkan.
3. Sosio-historis Perpolitikan Kuntowijoyo
Menurut Kuuntowijoyo, pada masa Orde Baru terdapat beberapa
perubahan masalah, misalnya masalah politik kelas. Pada masa sebelum
tahun 1965, perkumpulan politik dan kelompok kepentingan kelas
banyak sekali.
Kuntowijoyo beranggapan bahwa pola kehidupan politik
Indonesia bersifat patron client. Pengelompokan politik tidak tidak
didasarkan hubungan atas aliran budaya maupun solidiritas kelas, tetapi
berdasarkan hubungan antara patron dan clients mereka, sebagai
hubungan berantai tanpa terputus. Seperti ditunjukkannya dengan
keterlibatan para pembesar dan pejabat, sebagai mesin birokrasi yang
sangat efektif untuk memobilisasi massa dalam kampanye pemilu pasca
1965. Sedemikian rupa, pada masa Orde Baru umat mengalami situasi
yang pada akhirnya memperpecah menjadi bentuk kelompok-kelompok
politik patron clients.10
Yang berakibat pada perubahan sistem ekonomi dari kapitalisme
agraris menuju kapitalisme industrial, yang menurut Kuntowijoyo
mempunyai paralelisme historis diantara keduanya. Pergantian tersebut,
apabila tidak bisa terkendali akan timbul sebuah ancaman terhadap
kehidupan material dan seluruh tatanan hidup. Kuntowijoyo
menyebutkan contohnya, yaitu dua gejala sosial yang mengancam;
industrialism dan urbanism. Industrialism adalah gejala sosial-ekonomi
yang menekankan kegiatan komersial dan industri, sehingga menggeser
10
M. Fahmi, Islam Transendental Menelusuiri Jejak-Jejak Pemikiran Islam Kuntowijoyo, (Yogyakarta: Pilar Religia, 2005), hlm. 179.
24
perekonomian petani, atau dengan bahasa radikal disebut sebagai
perampokan petani. Sedangkan urbanism, merupakan gejala sosial-
budaya. Urbanisasi menimbulkan keinginan baru, sensibilitas baru, dan
aspirasi baru.11
Kekhawatiran terhadap ancaman di atas, dapat dilihat dalam
masyarakat industrial yang disebutkan Kuntowijoyo, bahwa ada
kemungkinan akan terjadinya gejala anomy dan alienation. Anomi yaitu
situasi tidak adanya norma, atau hanya terjadi penyimpangan. Sedangkan
alienasi menurut Marxis Orthodox adalah hasil dari sebuah rezim
kapitalis, karena adanya pemilikan perorangan atas alat-alat produksi
yang menyebabkan kaum buruh tersingkirkan dari hasil kerjanya. Atau
menurut kaum Fredian melihat alienasi sebagai hilangnya keberanian
untuk menjadi diri sendiri.
Dalam memasuki masyarakat modern dan industrial,
meniscayakan dua hal: Rasionalisasi dan sistemisasi. Menurut Barrigton
Moore, Jr. Sebagaimana yang dikutip oleh Kuntowijoyo, ada tiga jalan
yang ditempuh masyarakat dunia dalam melakukan industrialisasi yaitu:
demokrasi, fasisme dan komunisme. Sementara Indonesia, menurut
Kuntowijoyo masih mencari ‘jalan’ menuju industrialisasi. Dengan
masyarakat yang plural, Indonesia tentunya akan ‘jalan’ sendiri.
Pancasila dan UUD 1945, menuntut untuk menggabungkan antara nilai
(value) dan kepentingan (interst), memadukan yang abstrak dengan yang
kongkrit yang absolut-universal-abadi dengan yang relatif-partikular-
sementara, dan yang ukhrawi dengan yang dunia. Sehingga muncullah
konsep teodemokrasi, yaitu konsep tentang kekusaan negara yang di
dalamnya terdiri dari konsep tentang kekuasaan (ketuhanan, kedaulatan
rakyat), konsep mengenai proses (kemanusiaan, kebangsaan), dan konsep
tentang tujuan (keadilan sosial).12
11
M. Fahmi, Islam Transendental..., hlm. 181-182. 12
Kuntowijoyo, Identitas..., hlm. 61.
25
Menurut Kuntowijoyo, konsep teodemokrasi telah dijalankan di
Indonesia namun masih tersendat-sendat. Terutama konsep demokrasi
karena masih ada pembredelan dan pencekalan-pencekalan. telah banyak
terjadi transformasi dalam umat Islam di Indonesia. Apalagi setelah
terbentuknya ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia). Di dalam
periode ini, Islam menjadi agama yang obyektif (untuk siapa saja tanpa
memandang predikatnya, memandang sesuatu sebagai sebenarnya tanpa
dipengaruhi pengetahuan pribadi), yang dapat diterima orang luar tanpa
menyetujui nilai-nilai asalnya.
Hasil dari pereode ini, menurut Kuntowijoyo dapat dilihat dalam
tiga bidang yaitu ilmu ekonomi Islam dan aplikasinya, politik praktis,
serta pemikiran agama dan juga psikologi Islam. Dalam periode ilmu,
ekonomi kini baru dimulai aplikasinya. Penerapan ekonomi syari’ah
dimulai dengan menggarap institusi modern, yaitu perbankan Islam
(Bank Syari’ah) yang dimulai pada tahun 1992 oleh minoritas kreatif
disekitar MUI (Majelis Ulama Indonesia). Bank Muamalat Indonesia
(BMI) adalah bank pertama yang direkomendasikan ke publik, setelah
keluar UU perbankan baru pada tahun 1992 (UU Perbankan No. 7/1992)
bahwa bank tanpa bunga atau bank “syari’ah” bisa didirikan. Kemudian
diikuti oleh pembentukan beberapa bank pedesaan yang beroperasi atas
dasar tanpa bunga.
Dalam bidang politik praktis, Kuntowijoyo beranggapan bahwa
PAN (Partai Amanat Nasional) yang berdiri pada 1998. Ketua
pertamanya adalah M. Amien Rais, PAN menyatakan diri sebagai partai
politik yang berakar pada moral agama, kemanusiaan dan kemajemukan.
Yang memperjuangkan kedaulatan rakyat, demokrasi, kemajuan dan
keadilan sosial untuk cit-cita suatu masyarakat Indonesia yang
demokratik berkeadilan sosial, otonom dan mandiri.
Tentang pemikiran agama, Kuntowijoyo menyebutkan pribadi
yang sesuai sebagai pemikir dan paling terprogram, menurutnya tidak
ada ad boc , namun Kuntowijoyo mencalonkan M. Amin Abdillah dari
26
IAIN (sekarang UIN) Sunan Kalijaga. Dalam pandangan Kuntowijoyo
Amin Abdullah memiliki tiga program yang telah dirintisnya. Ketiga
program tersebut adalah pertama, menjadikan agama sebagai gejala
objyektif. Kedua, budaya agama yang mengikuti zaman. Ketiga, ilmu
agama yang kritis.13
Tentang perkembangan psikologi Islam, Kuntowijoyo tidak
memperjelas keberadaanya. Hanya saja, ia menambahkan, bahwa
psikologi Islam masih dibawah umur dengan menyebutkan istilah
nggenduki.14
Dari uraian di atas, Kuntowijoyo mengemukakan gagasannya
tentang periodesasi sejarah kesadaran keagamaan umat Islam Indonesia,
setidaknya telah melakukan dua hal penting. Pertama, rekonstruksi
historiografi Indonesia dengan menepatkan Islam sebagai subyek historis
yang bukan hanya bagi umat Islam tapi juga bagi seluruh bangsa karena
signifikansi umat Islam dalam proses-proses sosio-kultural dan politik
bangsa yang selama ini seringkali diabaikan dalam historiografi formal.
Kedua, melalui periodesasi yang dikemukakannya, Kuntowijoyo ingin
meningkatkan perlunya belajar dari sejarah, sehingga tidak sekedar
mengulang-ulang cerita lama.
Selama ini, pengetahuan agama didapat melalui pendidikan yang
konvensional yang juga mengalami transformasi, seperti pesantren,
madrasah dan sekolah, yan diasuh oleh kiai, ustadz atau guru. Namun,
generasi baru tersebut mendapatkan pengetahuan agama melalui sumber
anonim-elektronik. Sehingga komunikasi-elektronik yang bersifat
terbuka antara elite dengan massa. Kuntowijoyo menyebutkan adanya
peubahan hubungan antara cendekiawan muslim dan masyarakat.15
Saat masa komunikasi lisan dan tulisan masih berjalan,
komunikasi dengan cara baru muncul sebagai perubahan penting dalam
komunikasi sosial, yaitu munculnya elektronika. Hubungan
13 M. Fahmi, Islam Transendental..., hlm. 190-191.
14 M. Fahmi, Islam Transendental..., hlm. 192.
15 M. Fahmi, Islam Transendental..., hlm. 194-195.
27
cendekiawan-masyarakat menjadi hubungan antara elite dan massa.
Menurut Kuntowijoyo, sifat solidaritas pada masa ini menjadi empat sifat,
yaitu; terbuka, kelompok kecil, proliferasi, dan mobile.
1) Terbuka. Penguasaan cendekiawan atas masyarakat melonggar,
semakin terbuka, tanpa perantara.
2) Kelompok kecil. Ada suatu gerakan keagamaan yang memutar jam
kembali, atau dalam pandangan sekuler disebut cuenter culture.
3) Proliferasi. Menyebarnya cendekiawan muslim di berbagai tempat
seperti di kampus, perusahaan, LSM dan sebagainya yang
menyebabkan tidak ada organisasi Islam yang dapat mengklaim
sebagai umatnya.
4) Mobile. Keberadaan cendekiawan dan masyarakat, selalu bergerak
dan berpindah.
Dalam pemahaman Kuntowijoyo, “Islamisasi pengetahuan”
merupakan upaya agar umat Islam tidak begitu saja meniru metode-
metode dari pengetahuan Barat yang telah mempengaruhi kebudayaan
Islam. Yaitu dengan cara mengembalikan pengetahuan kepada pusatnya
(tauhid). Menurut Kuntowijoyo, gerakan intelektual yang mainstream
Islamisasi pengetahuan yang berusaha mengembalikan pengetahuan
kepada tauhid, merupakan gerakan dari konteks kepada teks.16
Dengan memberikan alternatif Ilmu Sosial Profetik, tidak
bermaksud membedakan antara ilmu sosial Islam, dan ilmu sosial sekuler,
akan tetapi bertujuan merumuskan ilmu sosial yang obyektif.
Transformasi keilmuan menurut Kuntowijoyo, terdapat perbedaan yang
mendasar dari ilmu-ilmu sekuler dan ilmu-ilmu integralistik. Perbedaan
terletak dalam tempat berangkat, rangkaian proses, produk keilmuan dan
tujuan-tujuan ilmu.
Bingkai periodesasi kesadaran umat Islam apabila dilihat dari
penjelasan transformasi sosial umat Islam di atas, secara implisit
kuntowijoyo ingin agar Islam hadir sebagai agama yang mampu
16
Kuntowijoyo, Islam sebagai..., hlm. 8.
28
merangkul sebanyak mungkin orang, golongan, ideologi, kelas, budaya,
ataupun etnis. Ia ingin Islam menjadi agama yang menawarkan
kedamaian, bukan kebencian. Ia menolak cara pandang ideologis yang
bersifat tetutup, seraya menganjurkan cara pandang ilmu yang bersifat
terbuka. Hal ini terlihat dalam pemahamannya bahwa teori sosial Islam
bukan sesuatu yang bersifat permanen, tetapi dapat berubah-ubah sesuai
dengan kondisi-kondisi sosial masyarakat.17
4. Karya-Karya Kuntowijoyo
Kuntowijoyo merupakan sosok yang mumpuni. Sejumlah
identitas atau julukan yang ia sandang. Antara lain sebagai sejarawan,
budayawan, sastrawan, penulis-kolumnis, intelektual muslim, aktivis,
khatib dan sebagainya. Melalui kemampuan menulisnya Kunto mampu
menghasilkan karya-karya antara lain:
a. Karya-karya Kuntowijoyo yang berupa non-fiksi, antara lain: 18
1) Dinamika Sejarah Umat Islam (1985)
2) Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (Mizan, 1991)
3) Radikalisasi Petani (Bentang, 1993)
4) Demokrasi dan Budaya Birokrasi (1994)
5) Pengantar Ilmu Sejarah (Bentang, 1995)
6) Identitas Politik Umat Islam (Mizan, 1997)
7) Muslim Tanpa Masjid: Esai-esai Agama, Budaya, dan Politik
dalam Bingkai Strukturalisme Transendental (Mizan, 2001)
8) Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris: Madura, 1980, 1940
(Mata Bangsa, 2002)
9) SelamatTinggal Mitos Selamat Datang Realitas (Mizan, 2002)
10) Metodologi Sejarah, Edisi kedua (Tiara Wacana, 2003)
11) Raja, Priyayi, dan Kawula (Ombak, 2004)
12) Peran Borjuasi dalam Transformasi Eropa (Ombak, 2005)
17 M. Fahmi, Islam Transendental Menelusuiri Jejak-Jejak Pemikiran Islam Kuntowijoyo,
hlm. 207-208. 18 Kuntowijoyo, Penjelasan..., hlm. 177-178.
29
13) Maklumat Sastra Profetik (Grafindo Litera Media, 2006)
14) Budaya dan Masyarakat (1987; terbit ulang 2006)
15) Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, Dan Etika (Tiara
Wacana, 2007)
b. Karya Kuntowijoyo yang berupa Puisi, antara lain:
1) Suluk Awang-Awung (1975)
2) Isyarat (1976)
3) Makrifat Daun, Daun Makrifat (1995)
c. Karya-karya Kuntowijoyo yang berupa fiksi, antara lain:
1) Kereta Api yang Berangkat Pagi Hari, novel (1966)
2) Dilarang Mencintai Bunga-Bunga, kumpulan cerpen (1992)
3) Khotbah Di Atas Bukit, novel (1976, terbit ulang 1993)
4) Pasar, novel ( 1972, terbit ulang 1994)
5) Mengusir Matahari, kumpulan fabel (1999)
6) Hampir Sebuah Subversi, kumpulan cerpen (1999)
7) Impian Amerika, novel (1998)
8) Mantra Penjinak Ular, novel (2000)
9) Topeng Kayu, drama (2001)
5. Penghargaan yang Diperoleh
Beberapa penghargaan yang pernah diperoleh oleh Kuntowijoyo,
antara lain: 19
a. Penghargaan Sastra Indonesia, dari Pemda DIY (1986)
b. Penghargaan Penulisan Sastra, dari Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, untuk kumpulan cerpen Dilarang Mencintai
Bunga-Bunga (1994)
c. Penghargaan Kebudayaan ICMI (1995)
d. Satya Lencana Kebudayaan RI (1997)
e. ASEAN Award on Culture (1997)
f. Mizan Award (1998)
19 Kuntowijoyo, Penjelasan..., hlm. 178.
30
g. Penghargaan Penulisan Sastra, dari Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa (1999)
h. S.E.A. Write Award, dari Pemerintah Thailand (1999)
i. Kalyanakretya Utama untuk Teknologi Sastra, dari Menristek (1999)
Sedangkan hadiah yang pernah diterima Kuntowijoyo adalah
sebagai berikut:
a. Majalah Sastra, Cerpen “Dilarang Mencintai Bunga-Bunga” (1968)
b. BPTNI (Badan Pembina Teater Nasional Indonesia), naskah drama
“Rumput-Rumput Danau Bento” (1968)
c. Panitia Hari Buku Internasional, novel “Pasar” (1972)
d. Dewan Kesenian Jakarta, naskah drama “Tidak Ada Waktu bagi
Nyonya Fatmah, Barda, dan Carta” (1972)
e. Dewan Keseniaan Jakarta; drama “Topeng Kayu” (1973)
f. Harian Kompas, cerpen “Laki-laki yang Kawin dengan Peri” (1995)
g. Harian Kompas, cerpen “Anjing-anjing Menyerbu Kuburan” (1997)
B. Pemikiran Kuntowijoyo tentang Nilai-Nilai Profetik
1. Pengertian Nilai Profetik
Menurut bahasa, nilai artinya sifta-sifat (hal-hal) yang penting
atau berguna bagi kemanusiaan.20 Sedangkan secara istilah, nilai adalah
esensi yang melekat pada sesuatu yang sangat berarti bagi kehidupan
manusia.21 Nilai dapat didefinisikan sebagai konsepsi-konsepsi abstrak di
dalam diri manusia atau masyarakat, mengenai hal-hal yang dianggap
baik, benar dan hal-hal yang dianggap buruk dan salah. Misalya nilai
agama. Maksudnya adalah konsep mengenai penghargaan yang diberikan
oleh warga masyarakat kepada beberapa masalah pokok dalam
kehidupan beragama yang bersifat suci sehingga menjadi pedoman
tingkah laku keagamaan warga masyarakat bersangkutan.
20 Tim Redaksi, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, (Jakarta: PT. Gramedia,
2008), Cet. I, Edisi, IV, hlm.963. 21 M. Chabib Toha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1996), hlm. 60-61.
31
Sedangkan pengertian profetik, berasal dari bahasa inggris yaitu
prophet yang berarti nabi.22 Profetik juga berarti kanabian atau sifat yang
ada dalam diri seorang nabi. Yaitu sifat nabi yang mempunyai ciri
sebagai manusia yang ideal secara spiritual-individual, tetapi juga
menjadi pelopor perubahan, membimbing masyarakat ke arah perbaikan
dan melakukan perjuangan tanpa henti melawan penindasan.
Dalam sejarah, dapat dicontohkan misalnya kisah Nabi Ibrahim
melawan Raja Namrud, Nabi Musa melawan Fir’aun, Nabi Muhammad
yang membimbing kaum miskin dan budak belia melawan setiap
penindasan dan ketidakadilan. Dan mempunyai tujuan untuk menuju ke
arah pembebasan. Dan tepat menurut Ali Syari’ati “para nabi tidak hanya
mengajarkan dzikir dan do’a tetapi mereka juga datang dengan suatu
ideologi pembebasan.”
Secara definitif nilai profetik dapat dipahami sebagai esensi yang
melekat pada sesuatu yang sangat berguna bagi kehidupan manusia
seperti halnya sifat seorang Nabi. Nilai profetik juga merupakan
seperangkat teori yang tidak hanya mendeskripsikan dan
mentransformasikan gejala sosial, dan tidak pula hanya mengubah suatu
hal demi perubahan, namun lebih dari itu, diharapkan dapat mengarahkan
perubahan atas dasar cita-cita etik dan profetik.23
Untuk mendapatkan nilai-nilai profetik itu dapat kita peroleh dari
al-Qur’an dan al-Hadits. Rasulullah saw. bersabda:
JKوMNOP QآST UOVW XYZ[ا] وV^آ ]YO_اS`اJ_ا اabcT dbP U_ M^ef^g]Wا]`
)Mآ]hiوا ji]eiا kروا(
“Sungguh aku tinggalkan kepadamu sesuatu, jika kamu berpegang teguh dengannya kamu tidak akan sesat selama-
22
John Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006), Cet. XXVIII, hlm. 452.
23 Moh. Shofan, Pendidikan Berparadigma Profetik; Upaya Konstruktif Membongkar
Dikotomi Sistem Pendidikan Islam, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2004), hlm. 131.
32
lamanya, suatu perkara yang terang; Kitabullah dan sunnah Nabi-Nya.”24 Nilai Profetik menurut Kuntowijoyo merupakan nilai yang
memuat tiga hal yaitu humanisasi, liberasi, dan transendensi yang
diderivikasi dari kandungan surat Ali Imran ayat 110.25
a. Humanisasi
Dalam bahasa agama, konsep humanisasi adalah terjemahan
dari amar al ma’ruf yang makna asalnya menganjurkan menegakkan
kabaikan. Dalam bahasa ilmu, secara etimologi, humanisasi berasal
dari bahasa latin humanitas yang artinya “makluk manusia”, “kondisi
menjadi manusia”. Secara terminologi berarti memanusiakan manusia,
menghilangkan kebendaan, ketergantungan, kekerasan dan kebencian
dari manusia.26
Menurut Kuntowijoyo, konsep humanisasi berakar pada
humanisme-teosentris yang tak bisa difahami secara utuh tanpa
memahami yang menjadi konsep dasarnya. Humanisme-teosentris
maksudnya manusia harus memusatkan diri pada Tuhan, tetapi
tujuannya adalah untuk kepentingan manusia sendiri. Artinya
keyakinan religius yang berakar pada pandangan teosentris, selalu
dikaitkan dengan amal, yaitu perbuatan atau tindakan manusia,
keduanya merupakan suatu kesatuan yang tak terpisahkan.
Humanisme-teosentris inilah yang merupakan nilai inti (core-value)
dari seluruh ajaran Islam.27
Humanisme-teosentris dalam Islam di satu sisi memusatkan
perhatian pada fitrah manusia dengan SDMnya, baik jasmaniah
maupun ruhaniah sebagai potensi yang siap dikembangkan dan
ditingkatkan kualitasnya melalui proses humanisering sehingga
keberadaan manusia semakin bermakna. Di sisi lain pengembangan
24
Sirah Ibnu Hisyam, Juz 4, hlm. 603. 25
Kuntowijoyo, Islam sebagai..., hlm. 87. 26
Kuntowijoyo, Islam sebagai..., hlm. 98. 27
Kuntowijoyo, Paradigma Islam..., hlm. 228-230.
33
kualitas SDM tersebut dilaksanakan selaras dengan prinsip-prinsip
ketauhidan, baik tauhid rububiyah maupun uluhiyah.28
Menurut Ali Syari’ati, humanisme adalah ungkapan dari
sekumpulan nilai ilahiah yang ada dalam diri manusia yang
merupakan petunjuk agama dalam kebudayaan dan moral manusia,
yang tidak berhasil dibuktikan adanya oleh ideologi-ideologi modern
akibat pengingkaran mereka terhadap agama.29
Sejak awal abad 20 sampai sekarang humanisme merupakan
konsep kemanusiaan yang sangat berharga karena konsep ini
sepenuhnya memihak pada manusia, menjunjung tinggi harkat dan
martabat manusia dan menfasilitasi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan
manusia untuk memelihara dan menyempurnakan keberadaannya
sebagai makhluk paling mulia.30
Dalam pandangan Erich Fromm, bahwa manusia saat ini telah
melewati revolusi industri tahap pertama dan memasuki revolusi
industri tahap ke dua yang tidak hanya mengganti energi hidup dengan
energi mekanik tapi sampai pikiran manusiapun diganti dengan mesin-
mesin. Sibernetika dan otomatisasi (sibernasi memungkinkan
terciptanya mesin-mesin yang fungsinya jauh lebih cepat dan tepat
dibanding dengan otak manusia dalam menjawab persolan-persoalan
taknik dan organisasi yang penting. Ketika mesin-mesin sudah
menguasai pikiran manusia, secara tidak sadar manusia saat ini telah
berhenti fungsinya sebagai manusia, tapi tadak lain beralih menjadi
robot-robot yang tidak berpikir atau pikirannya dikendalikan dan tidak
berperasaan.31
28 Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam; Paradigma Humanisme Teosentris, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 12. 29Ali Syari’ati, Humanisme: Antara Islam dan Mazhab Barat, terj.: Afif Muhammad
(Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), hlm. 119. 30 Achmadi, Ideologi Pendidikan..., hlm. 21. 31 Erich Fromm, Revolusi Harapan: Menuju Masyarakat yang Manusiawi, terj.: Kamdani,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 27-29.
34
Salah satu efek industrialisasi menurut Kuntowijoyo adalah
terbentuknya masyarakat abstrak, masyarakat tanpa wajah
kemanusiaan. 32 Manusia telah menjadi robot atau mesin-mesin
industri. Manusia mengalami objektivikasi ketika berada di tengah-
tengah mesin poralitik dan mesin-mesin pasar. Sadar atau tidak sadar
kemajuan ilmu dan teknologi juga telah membantu kecenderungan
reduksionalistik. Yang melihat manusia dengan cara parsial. Maka
sngat tepat kalu tujuan humanisasi adalah memanusiakan manusia
yang dikatakan Kuntowijoyo.
Kuntowijoyo menambahkan, musuh humanisasi yang lain
adalah agrevitas kolektif ia mencontohkan adanya kerusuhan masal
yang dilakukan oleh mas man (manusia massa) yang terjadi di
Indonesia pada masa-masa sekarang dengan berbagai macam
sebabnya. Menurutnya, hal ini disebabkan karena kekumuhan material
yang berkembang menjadi kekumuhan spiritual. Humanisasi berusaha
untuk mencegah agar kekumuhan materi tersebut tidak berkembang
menjadi kekumuhan spiritual.33
Dan aspek lain yang menjadi titik tuju dari humanisasi adalah
loneliness (privatisasi, individuasi), yang saat ini sudah menggejala
dalam masyarakat kota. Contoh kecil adalah masyarakat kota jarang
sekali mengeahui tetangganya meskipun bergerombol mereka hidup
sendiri-sendiri. Pola hidup sendiri dan cenderung acuh terhadap
masyarakat sekitarnya ini dapat kita lihat pada kalangan masyarakat
menengah ke atas. 34 Saat ini yang masih punya fungsi melawan
lonelines adalah adanya pengajian, pertemuan karangtaruna, RT dan
RW.
Revolusi industri yang saat ini sudah merambah pada revolusi
sains dan teknik yang luar biasa telah menimbulkan problem-problem
moral yang belum pernah terjadi. Maka diperlukan adanya bimbingan
32 Kuntowijoyo, Islam sebagai..., hlm. 88. 33 Kuntowijoyo, Islam sebagai..., hlm. 101. 34 Kuntowijoyo, Islam sebagai..., hlm. 102.
35
supaya manusia mampu menuju nilai-nilai luhur kemanusiaan, yang
disatu sisi mendapatkan maknanya dari nilai-nilai transendensi.
b. Liberasi
Liberasi dalam pandangan Kuntowijoyo adalah bahasa ilmu
dari nahi munkar. Jika dalam agama, nahi munkar artinya mencegah
dari segala tindak kejahatan yang merusak, memberantas judi, lintah
darat, korupsi, dan lain sebagainya, maka dalam bahasa ilmu, nahi
munkar artinya pembebasan dari kebodohan, kemiskinan ataupun
penindasan.35
Secara etimologi, liberasi berasal dari bahasa latin liberare
yang artinya memerdekakan. Secara istilah, liberasi dapat diartikan
dengan pembebasan, semua dengan konotasi yang mempunyai
signifikansi sosial. 36
Menurut M. Amien Rais, pemahaman teologi harus dirubah.
Menurutnya, teologi hendaknya tidak lagi berbicara mengenai
ketuhanan saja, melainkan teologi lebih dari itu, yaitu juga berbicara
tentang hubungan antara ketuhanan dan kemanusiaan, teologi harus
kontekstual yang betul-betul mampu menyelesaikan masalah-masalah
kemasyarakatan yang sedang kita hadapi, misalnya membuat
pembebasan terhadap setiap gejala eksploitasi dalam masyarakat,
kemudian juga memberi santunan kepada anak-anak yatim dan
memperhatikan kaum fakir miskin.37
Liberasi dalam sistem pengetahuan menurut Kuntowijoyo
adalah usaha untuk membebaskan orang dari sistem pengetahuan
materialistis dari dominasi struktur misalnya dari kelas dan seks.38
Karena dalam ajaran Islam tidak mengenal ada struktur atau
perbedaan kelas sosial dalam masyarakat. Ajaran Islam juga
35 Kuntowijoyo, Paradigma Islam..., hlm. 229. 36 Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu..., hlm. 98. 37
M, Amien Rais, Tauhid sosial: Formula Menggempur Kesenjangan, (Bandung: Mizan, 1998), hlm 55.
38 Kuntowijoyo, Islam sebagai..., hlm. 103.
36
mengandung suatu moderasi, yaitu kemitra sejajaran antara pria dan
wanita dengan perspektif gender.39
Menurut Kuntowijoyo, the great transformation bagi umat
Islam adalah transformasi sosial umat dari sistem sosial agraris
menuju sosial industrial. Oleh karena itu, pembebasan dari sistem dari
sistem sosial yang membelenggu menjadi amat penting.40
Dari pandangan Kuntowijoyo tersebut, belenggu sistem sosial
berpengaruh dalam transformasi umat. Jika belenggu tersebut masih
ada dan tidak dilepaskan, maka umat Islam akan kesulitan untuk
beradaptasi dengan perkembangan dunia modern. Jika hal itu terjadi
maka efek selanjutya adalah umat tidak akan pernah maju, akan
terpinggirkan, hanya jalan di tempat bahkan bisa jadi melangkah
mundur.
Persoalan umat Islam yang semakin trend ke depan akan lebih
banyak berkutat pada persoalan sosial. Sebagai contoh dari
ketimpangan sosial adalah kemiskinan struktural, penindasan terhadap
kaum mustadh’afin (kaum tertindas) menuntut kepedulian segenap
elemen umat Islam. Dengan adanya ini agama harus berperan.
Meminjam pendapat Moeslim Abdurrahman bahwa agama harus
berani lebur memihak pada ajaran tauhid sosial dengan misinya yang
paling esensial adalah sebagai kekuatan emansipatoris yang selalu
peka terhadap pederitaan kaum tertindas.41
Pembebasan dari belenggu sistem ekonomi juga menjadi
sasaran lanjutan dari liberasi. Ekonomi yang menyebabkan
kesenjangan, memperbesar disparitas (jarak) antara si kaya dan si
miskin, sudah saatnya dihilangkan. Islam menentang kondisi seprti ini.
Menurut Kuntowijoyo umat Islam harus mampu meyatu rasa dengan
39 Kuntowijoyo, Islam sebagai..., hlm. 104. 40 Kuntowijoyo, Islam sebagai..., hlm. 104. 41 Moeslim Abdurrahman, Islam Sebagai Kritik Sosial, (Jakarta: Erlangga, 2003), hlm. 70.
37
mereka yang miskin, mereka yang terperangkap dalam kesadaran
teknokratis, dan mereka yang tergusur oleh ekonomi raksasa.42
Islam sebenarnya bersifat afirmatif terhadap upaya-upaya
pembebasan dari sistem ekonomi yang tidak adil, sistem ekonomi
yang menindas dan menguntungkan kelompok kecil. Dalam
pandangan Kuntowijoyo ini dikemukakan didasarkan pada Al-Qur’an
surat Al- Hasyr ayat 7 yang menyatakan bahwa Islam melarang harta
umatnya.43
Selanjutnya, liberasi politik berarti membebaskan sistem
politik dari otoritarianisme, diktator, dan neofeodalisme. Menurut
Kuntowijoyo, demokrasi HAM dan masyarakat madani adalah juga
tujuan Islam. Terkait dengan pembebasan sistem politik ini
menurutnya seorang intelektual Islam tidak boleh takut bernahi
munkar asal dilandasi dengan ilmu.44 Di sini tampak ada beban yang
harus dipikul di pundak intelektual muslim untuk selalu mengawasi
dan korektif terhadap penyimpangan dalam kehidupan politik, yang
merugikan kepentingan umat.
c. Transendensi
Transendensi dalam bahasa latin adalah transcendere yang
artinya “naik ke atas”. Dalam bahasa inggris adalah to transcend yang
artinya “menembus”, ”melewati”, “melampaui”. Menurut istilah
artinya perjalanan di atas atau di luar. Yang dimaksud Kuntowijoyo
adalah transendensi dalam istilah teologis. Yakni bermakna ketuhanan,
makhluk-makhluk gaib.45
Tujuan transendensi adalah untuk menambahkan dimensi
transendental dalam kebudayaan, dan tidak menyerah pada arus
hidonisme, materialisme dan budaya yang dekaden dan mampu untuk
42 Kuntowijoyo, Islam sebagai..., hlm. 88. 43 Kuntowijoyo, Islam sebagai..., hlm. 104. 44 Kuntowijoyo, Islam sebagai..., hlm. 105. 45 Kuntowijoyo, Islam sebagai..., hlm. 69.
38
membersihkan diri dari hal tersebut. 46 Dengan mengingat kembali
dimensi trnsendental yang menjadi bagian sah dari fitrah kemanusiaan
sebagai bentuk persentuhan dengan kebesaran tuhan
Banyak yang mengatakan bahwa pada abad 21 adalah
merupakan peradaban posmodernisme, yang menjadi cirinya adalah
semakin menguatnya spiritualisme yang menjadi salah satu tandanya
adalah dedifferentiation yaitu agama akan menyatu kembali dengan
“dunia”.47
Bagi umat Islam dedifferentiation ini bukanlah merupakan
sesuatu hal yang baru karena dalam Islam sendiri tidak meletakkan
urusan dunia dan akhirat suatu hal yang terpisah akan tetapi
berhubungan. Bagi umat Islam urusan dunia eksistensi selama hidup
di dunia akan mempengaruhi kehidupan akhirat kelak. Amal di dunia
tidak akan sia-sia begitu saja melainkan akan mendapat balasan di
akhirat kelak. Oleh karena itu, menurut Kuntowijoyo sudah
selayaknya jika umat Islam menempatkan Allah SWT sebagai
pemegang otoritas, Tuhan yang objektif, dengan 99 nama itu.48
Menurut Fromm, jika manusia tadak menerima Tuhan sebagai
otoritas, maka akan tampak: 1) relativisme penuh, di mana nilai dan
norma sepenuhnya adalah urusan pribadi, 2) nilai tergantung pada
masyarakat, sehingga nilai dari golongan yang dominan akan
menguasai, dan 3) nilai tergantung pada kondisi biologis, sehingga
darwinisme sosial, egoisme, kompetisi, dan agresivitas adalah nilai-
nilai kebajikan (1968: 87-88).49
Dengan melihat paparan di atas, nilai-nilai humanisasi dan
liberasi harus bertitik pangkal dari nilai-nilai transendensi. Yaitu kerja
kemanusiaan dan kerja pembebasan harus didasarkan pada nilai-nilai
46 Kuntowijoyo, Islam sebagai..., hlm. 88. 47 Kuntowijoyo, Islam sebagai..., hlm. 105. 48 Kuntowijoyo, Islam sebagai..., hlm. 107. 49 Roger Garaudy, Mencari Agama pada Abad XX: Wasiat Filsafat Roger Garaudy
(Jakarta: Bulan Bintang, 1986), hlm. 261.
39
keimanan kepada Allah SWT. Nilai transendensi menghendaki umat
Islam meletakkan posisi Allah SWT sebagai pemegang kekuasan
tertinggi. Dalam perspektif Roger Garaudy, transendensi menghendaki
kita mengakui keunggulan norma-norma mutlak yang melampaui akal
manusia.
Para Nabi pun masuk ke wilayah perjuangan politik, ekonomi,
pendidikan dan lainya pada zaman dahulu dengan dasar nilai-nilai
transenden ini dengan landasan keimanan dan penyerahan total kepada
Allah SWT.
2. Perlunya Ilmu Sosial Profetik
Yang melatar belakangi perlunya ilmu sosial profetik adalah
karena adanya perdebatan masalah tentang teologi yang terus menerus
yang tidak kunjung usai yaitu mereka yang berlatar belakang tradisi ilmu
keIslaman konvensional mengartikan ilmu teologi sebagai ilmu kalam,
yaitu suatu disiplin yang mempelajari ilmu ketuhanan, dan skolastik. Dan
sementara bagi yang berlatih dalam tradisi barat, katakanlah dari
cendekiawan Muslim yang tidak mempelajari Islam dari studi-studi
formal lebih melihat teologi sebagai penafsiran sebagai realitas dalam
perspektif ketuhanan, jadi lebih merupakan refleksi-refleksi empiris.
Perdebatan semacam ini misalnya, terlihat dalam seminar
mengenai teologi pembangunan yang diadakan di Kaliurang,
Yogyakarta. 50 Sementara pandangan dari kalangan pertama lebih
menekankan pada kajian ulang mengenai ajaran-ajaran normatif dalam
berbagai karya kalam klasik, kalangan kedua cenderung menekankan
reorientasi pemahaman keagamaan pada realitas kekinian yang empiris.
Ketika itu gagasan yang menarik adalah gagasan yang dikemukakan dari
pihak kedua yaitu bahwa dewasa ini kita perlu merumuskan suatu teologi
baru yang disebut telogi transformatif. Yang semula dilontarkan oleh
50 Seminar Nasional “Teologi Pembangunan”, Lajnah Kajian dan Pengembangan
Sumberdaya Manusia, Nahdhatul Ulama DIY, Kaliurang, 25-26 Juni 1988, sebagaimana dikutip Kuntowijoyo dalam Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi, hlm. 286.
40
Moeslim Abdurrahman yang menyiratkan serangkaian kritik tajam
terhadap teologi-teologi tradisioal yang dianggap sudah tidak tepat
sehingga perlu dirombak. Sehingga hal ini mengundang reaksi dari pihak
pertama yang menimbulkan perdebatan dan salah paham.51
Dengan mengemukakan contoh tersebut Kuntowijoyo hanya ingin
menyatakan bahwa di lingkungan kita, gagasan mengenai pembaruan
teologi atau sejenisnya, tampak belum bisa diterima. Dan harus ada cara
lain untuk menjembatani perdebatan tersebut yaitu dengan cara
menghindari istilah teologi, karena di samping akan membingungkan
istilah tersebut tampakya kurang begitu cocok dengan dengan apa yang
kita kehendaki. Gagasan Moeslim Abdurrahman tentang teologi
transfomasi akan lebih tepat misalnya jika diterjemahkan dengan istilah
ilmu sosial transformatif.52
Dengan mengganti istilah “teologi” ke “ilmu sosial”, Kuntowijoyo ingin menegaskan sifat dan maksud dari gagasan tersebut. Jika gagasan pembaruan teologi adalah agar agama diberi tafsir baru dalam rangka memahami realitas, maka metode yang efektif adalah mengelaborasi ajaran-ajaran agama ke dalam bentuk suatu teori sosial. Jelas bahwa lingkup yang menjadi sasaran dari gagasan tersebut adalah lebih pada rekayasa untuk transformasi sosial. Oleh karena itu, lingkupnya bukan pada aspek-aspek normatif yang bersifat permanen seperti pada teologi, tetapi pada aspek-aspek yang bersifat empiris, historis dan temporal. Dengan istilah “ilmu sosial”, maka gagasan tersebut tidak perlu diberi potensi doktrinal karena kita juga mengakui relativitas ilmu.53 Dengan perangkat teori sosial, kita akan mampu merekayasa
transformasi melalui bahasa yang objektif. Di samping itu dengan teori
sosial menekankan bahwa bidang garapannya lebih bersifat empiris,
historis, dan temporal.
Dalam dunia pendidikan nilai-nilai profetik sangat penting dan
pendidikan sudah saatnya menjalankan missi profetik. Hancurnya rasa
51
Kuntowijoyo, Paradigma Islam..., hlm. 286. 52
Kuntowijoyo, Islam sebagai..., hlm. 84. 53
Kuntowijoyo, Paradigma..., hlm. 287.
41
kemanusiaan dan terkikisnya semangat religius serta kaburnya nilai-nilai
kemanusiaan merupakan kekhawatiran manusia yang paling puncak
dalam kancah pergulatan global ini. Semua tataran kehidupan sudah
mengalami perubahan yang sangat mendasar dalam setiap ruas
kehidupan. Manusia sudah dihinggapi apa yang disebut globalisasi.
Globalisasi sudah melanda dunia, sikap interdependensi antar negara
semakin besar, dunia lebih tampak transparan dan terbuka, sehingga apa
yang terjadi di belahan barat dunia dapat kita terima beritanya dalam
waktu yang sangat cepat dan dengan serta merta akan membias
dampaknya pada setiap sendi kehidupan manusia, baik positif maupun
negatif.
Dengan mencermati perkembangan pendidikan Islam yang ada,
tampak jelas, bila kondisi Islam saat ini sangat tertinggal jauh dari
tuntutan masyarakat modern ataupun kepentingan dunia global. Sebagai
perubahan sosial pandidikan Islam dituntut untuk mampu memainkan
peranannya secara dinamis dan proaktif, dan diharapkan mampu
membawa perubahan dan kontribusi yang berarti bagi perbaikan umat
Islam.
Pendidikan umat Islam bukan sekedar proses penanaman nilai-
nilai moral untuk membentengi diri dari akses negatif globalisasi. Tetapi
yang paling urgen adalah bagaimana nilai-nilai moral yang telah
ditananamkan pendidikan Islam tersebut mampu berperan sebagai
kekuatan pembebas (liberating force) dari himpitan kemiskinan,
kebodohan, dan keterbelakangan sosial budaya dan ekonomi. Kandungan
materi pelajaran dalam pendidikan Islam yang masih berkutat pada
tujuan yang lebih bersifat ortodoksi diakibatkan adanya kesalahan dalam
memahami konsep-konsep pendidikan yang masih bersifat dikotomis.54
Berdasarkan pengamatan sosio–kultural, Kuntowijoyo menilai
bahwa selama ini umat Islam belum mendasarkan gerakannya pada
elaborasi yang mendalam tentang realitas sosial yang obyektif. Umat
54
Moh. Shofan, Pendidikan Berparadigma..., hlm. 28.
42
Islam masih mendasarkan diri pada kesadaran subyektif-normatif, artinya
Islam baru kita tampilkan dalam realitas subyektif. Usaha untuk
membentuk pribadi muslim, jama’ah, komunitas, dan umat misalnya,
hanya didorong oleh kesadaran normatif dalam realitas subyektif-
normatif. Akibatnya kita tidak pernah siap merespon tantangan-tantangan
perubahan sosial yang empiris, yang terjadi di masyarakat.
Dalam transformasi nilai yang sangat cepat dan pelik ini,
pendidikan tampil sebagai satu-satunya institusi yang mempunyai
peluang banyak untuk meluruskan bias dari nilai-nilai transformatif itu.
Pasalnya sekarang, pendidikan tidak hanya mengalami perubahan, akan
tetapi berganti wujud dan penampilannya, kalau tidak dikatakan lepas
sama sekali dari missi profetik, yaitu memanusiakan manusia.55
Pernyataan di atas memang sangat beralasan, paling tidak ada dua
pembenaran yang harus diformulasikan, yaitu: 1) Kekaburan konsepsi
pendidikan Islam, dan 2) kekaburan orientasi pendidikan Islam, yang
pada gilirannya pendidikan Islam akan kehilangan peran sentral dalam
missi profetik.56
Dengan tidak mengabaikan beberapa konsep pendidikan Islam,
maka pendidikan Islam merupakan suatu ikhtiar menanamkan nilai-nilai
Islami yang tidak terlepas dari landasan organik (al-Qur’an dan al-
Sunnah) yang sebagai tujuan akhirnya (ultimate goal) adalah manusia
taqwa.57
Kehadiran pendidikan Islam, baik ditinjau secara kelembagaan
maupun tujuan-tujuan yang hendak dicapai, masih sebatas memenuhi
tuntutan yang bersifat formalitas dan bukan sebagai tuntutan yang
bersifat substansial, yakni tuntutan untuk melahirkan manusia-manusia
penggerak sejarah. Walaupun dalam beberapa hal terdapat perubahan-
perubahan ke arah yang lebih baik, akan tetapi karena perubahan yang
terjadi masih sangat lamban, sementara gerak perubahan masyarakat
55 Khoiron Rosyadi, Pendidikan Profetik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 302.
56 Khoiron Rosyadi, Pendidikan..., hlm. 302-303.
57 Khoiron Rosyadi, Pendidikan..., hlm. 303.
43
berjalan cepat, bahkan bisa dikatakan sangat revolusioner, maka di sini
pendidikan Islam selalu tertinggal dan arahnya semakin terbaca tidak
jelas.58
Umumnya pendidikan adalah permasalahan kemanusiaan yang
menjadi sasaran bidik yang pertama. Pendidikan yang berwawasan
kemanusiaan bahwa pendidikan harus memandang manusia sebagai
subjek pendidikan. Oleh karena itu, starting point dari proses pendidikan
berawal dari pemahaman teologis-filosofis tentang manusia, yang pada
akhirnya manusia diperkenalkan akan keberadaan dirinya sebagai
khalifah Allah di muka bumi. Pendidikan yang lepas dari dasar-dasar
inilah yang pada akhirnya melahirkan tatacara hidup yang tidak lagi
konstruktif bagi tegaknya nilai-nilai kemanusiaan.
Menurut Kuntowijoyo, pendidikan Islam dulu sudah memiliki
komitmen yang tinggi dalam menngembangkan ilmu pengetahuan, baik
ilmu pengetahuan keagamaan meupun ilmu pengetahuan sekuler.
Komitmen keilmuan inilah yang mengharumkan nama Islam dan telah
menghantarkan masyarakatnya ke puncak peradaban. Hanya saja, setelah
muncul gerakan renaissance di Eropa, pusat pengembangan ilmu
pengetahuan yang pernah diraih dunia Islam kemudian diambil alih oleh
bangsa Barat hingga berlangsung sampai sekarang.59
Pendidikan Islam dimaknai sebagai sebuah tujuan beragama,
bukan sebagaimana fungsi pendidikan itu sendiri. Inilah yang disebut
sebagai krisis konseptual dalam sejarah pendidikan Islam. Hal ini terlihat
bahwa, pemaknaan pendidikan Islam telah menyimpang dari makna yang
sebenarnya, sehingga pengertian tentang pendidikan Islam hanya terbatas
pada pendidikan tentang agama Islam, dan bukan pengertian pendidikan
Islam dalam arti proses penggalangan intelektualisme Islam. Krisis
58
Moh. Shofan, Pendidikan Berparadigma..., hlm. 29. 59
Kuntowijoyo, Paradigma Islam..., hlm. 290.
44
konseptual dalam pendidikan Islam yang kemudian berimplikasi kepada
terjadinya disintegrasi dan fragmentasi pendidikan.60
Dari fenomena di atas, urgensitasnya dalam diskursus pendidikan
Islam kontemporer adalah pentingnya untuk dilakukan rekonseptualisasi
pendidikan Islam seperti terajut dari nilai-nilai yang yang terdapat di
dalam al-Qur’an.
Oleh karena itu, perlu adanya penyegaran kembali terhadap
konsep pendidikan Islam agar berfungsi sebagai praktek pembebasan
dengan tetap berpegang diri pada pesan-pesan yang terdapat dalam al-
Qur’an, merujuk pada teori Kuntowijoyo tentang paradigma profetik
yang terdiri dari dimensi humanisasi, liberasi, dan transendensi.
Gagasan pendidikan berparadigma profetik layak untuk
ditawarkan sebagai solusi pendidikan Islam di masa sekarang dan di
masa yang akan datang. Seperti Thomas Kuhn menyebutkan bahwa pada
dasarnya realitas sosial itu dikonstruksi oleh made of though atau made of
inquiry tertentu yang pada gilirannya akan menghasilkan made of
knowing tertentu pula.61
Dalam pengertian ini, paradigma berarti suatu konstruksi
pengetahuan yang memungkinkan kita memahami realitas sebagaimana
al-Qur’an memahaminya. Konstruksi pengetahuan dibangun dengan
tujuan agar kita memiliki “hikmah” yan atas dasar itu dapat dibentuk
perilaku yang sejalan dengan nilai-nilai al-Qur’an, baik pada level moral
maupun sosial.
Menurut Freire mengenai paradigma pendidikan terhadap
perubahan sosial, adalah sedagai upaya penyadaran terhadap sistem
pendidikan yang menindas yang menjadikan masyarakat mengalami
proses dehumanisasi. Paradigma yang dikembangkan memberikan ruang
bagi masyarakat untuk mampu mengidentifikasi ketidak-adilan dalam
sistem dan struktur yang ada, kemudian melakukan analisis bagaimana
60
Moh. Shofan, Pendidikan Berparadigma..., hlm. 31. 61
Kuntowijoyo, Paradigma Islam..., hlm. 230.
45
sistem dan struktur ini bekerja, serta bagaimana mentransformasikannya
untuk perubahan.
Adapun paradigma profetik dapat dipahami sebagai seperangkat
teori yang tidak hanya mendiskripsikan dan mentransformasikan gejala
sosial, dan pula hanya mengubah suatu hal demi perubahan. Namun,
lebih dari itu diharapkan dapat mengerahkan perubahan atas dasar cita-
cita etik dan profetik. Nilai profetik yang dapat dijadikan tolak ukur
perubahan sosial ini tercakup pada ketiga kandungan nilai dalam surat
Ali Imran ayat 110: “Engkau adalah umat yang terbaik yang diturunkan
di tengah manusia untuk menegakkan kebaikan (amar ma’ruf),mencegah
kemungkaran (nahi munkar), dan beriman kepada Allah SWT.”
Kandungan nilai-nilai humanisai, liberasi, dan transendensi,
diharapkan tingkat kesadaran teologis kita pada dataran normatif dapat
menjadi lebih historis dan konseptual. Dialektika antara kaidah normatif
dan teoritik sebagai upaya untuk membumikan spirit profetik (kenabian)
dalam dunia pendidikan, khususnya pendidikan Islam dapat tercapai
denga baik dengan tetap berporos pada ketiga nilai kandungan profetik.
Dengan demikian, pendidikan Islam tidak mengenal
persimpangan antara ilmu-ilmu objektif yang empirik dengan ilmu
subjektif metafisik, ilmu agama dengan ilmu umum, atau bukanlah
keterpisahan antara lapangan berfikir empirik dengan lapangan ideal
normatif. Kalau kita mau menelusuri sejarah, maka ilmu pengetahuan itu
integral, tidak dikotomik, semua bersumber dari al-Qur’an. Oleh karena
itu, pendidikan harus kembali pada missi profetik, yaitu memanusiakan
manusia, yang dalam terminologi islam sering disebut sebagai insan
kamil, syumul, dan manusia taqwa.62
3. Ilmu Sosial Profetik
Transformasi sosial adalah merupakan salah satu gagasan
Kuntowijoyo dengan dicetuskannya konsep Ilmu Sosial Profetik (ISP).
62
Khoiron Rosyadi, Pendidikan..., hlm. 306.
46
Yang ditawarkan Kuntowijoyo sebagai sebuah paradigma baru umat
Islam dalam memasuki periode ilmu. Yang diterima sebagai konsekuensi
munculnya masyarakat industri atau pasca industri.
Konsep ilmu sosial profetik tidak hanya berusaha menjelaskan
dan mengubah fenomena sosial tetapi juga memberi petunjuk ke arah
mana transformasi itu dilakukan, untuk apa dan oleh siapa.
Ilmu Sosial Profetik tidak sekedar mengubah demi perubahan
tatapi mengubah berdasarkan cita-cita etik dan profetik tertentu. Dan
secara sengaja memuat kandungan nilai dari cita-cita perubahan yang
diidamkan oleh masyarakat. Cita-cita masyarakat ini, menurut
Kuntowijoyo dapat dilacak dalam al-Qur’an al-Karim surat Ali Imran (3)
ayat 110:63
“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang ma'ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman, namun kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik.”64
Menurut Kuntowijoyo terdapat tiga muatan nilai yang dapat
ditarik dari penafsiran ayat terebut, yaitu amar ma’ruf (menyuruh
kebaikan), nahi munkar (mencegah kemungkaran), dan tu’minuna billah
(beriman kepada allah).65
Amar ma’ruf (menyuruh kebaikan) utuk mengangkat dimensi
dan potensi positif (ma’ruf) manusia, untuk mengemansipasi manusia
pada nur, kepada cahaya petunjuk ilahi untuk mencapai keaaan fitrah.
Fitah adalah keadaan dimana manusia mendapatkan posisinya sebagai
makluk yang mulia, sesuai kodrat kemanusiaannya. Yang disebut oleh
Kuntowijoyo humanisasi artinya memanusiakan manusia,
menghilangkan “kebendaan”, ketergantungan, kekerasan, dan kebencian
63 Kuntowijoyo, Paradigma Islam..., hlm. 288. 64 Depag RI, Al-Quran dan Terjemah, (Surabaya: Duta Ilmu, 2005), hlm. 80. 65
Kuntowijoyo, Islam sebagai..., hlm. 92.
47
dari manusia. 66 Humanisasi yang dimaksudkan Kuntowijoyo, berakar
pada humanisme teosentris yang memiliki arti bahwa manusia harus
memusatkan diri pada Tuhan, tetapi tujuannya adalah untuk kepentingan
manusia sendiri.
Nahi munkar (mencegah kemungkaran) dalam bahasa agama
melarang atau mencegah segala tindak kejahatan segala tindak kejahatan
yang merusak, dari mencegah orang mengkonsumsi narkoba, melarang
twuran, memberantas judi, menghilangkan lintah darat, sampai membela
nasib buruh dan memberantas korupsi. Dan disebut liberasi yang berarti
pembebasan semuanya dengan konotasi yang mempunyai signifikansi
sosial. Untuk membebaskan manusia dari kekejaman, kemiskinan,
pemerasan kelimpahan, dominasi struktur yang menindas dan hegemoni
kesadaran palsu.67
Iman kepada Allah dalam Al-Qur’an yang mempunyai arti khusus,
Kuntowijoyo menggunakan terminologi yang sangat umum, yaitu
transendensi sebagai padanan. Yaitu dalam istilah tologis, yakni
bermakna ketuhanan, makluk-makluk ghaib yang merupakan dimensi
keimanan manusia. 68 Transendensi adalah unsur terpenting dari etika
profetik dan sekaligus menjadi dasar dari dua unsur lainnya; humanisasi
dan liberasi. Transendensi memberi arah ke mana dan untuk tujuan apa
humanisasi dan libersi itu dilakukan.
Ketiga unsur etika profetik ini merupakan satu kesatuan yang
tidak dapat dipisahkan. Dan dari ketiga nilai tersebut di atas,
berhubungan dengan masalah sosial, artinya lebih menekankan pada
aspek interaksi dengan sesama manusia. Hal ini tidak lepas dari ide-ide
Kuntowijoyo yang memang banyak memperbincangkan persoalan sosial
umat Islam.
66
Kuntowijoyo, Paradigma Islam..., hlm. 229. 67
M. Fahmi, Islam Transendental..., hlm. 228-229. 68
Kuntowiyoyo, Islam Sebagai..., hlm. 98-99.
48
Amar ma’ruf nahi munkar merupakan kewajiban mu’min di mana
saja dan kapan saja, dalam segala dimensi baik politik, ekonomi, sosial,
budaya, pendidikan dan lainnya.
49
BAB III
PENGEMBANGAN KURIKULUM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
A. Pengertian Pengembangan Kurikulum
1. Pengertian Kurikulum
Istilah kurikulum semula berasal dari istilah yang digunakan dalam
dunia olah raga pada zaman Yunani kuno. Secara etimologi kurikulum
berasal dari bahasa Yunani, yakni dari kata “curir” artinya pelari. Kata
“curere” artinya tempat terpacu. Kurikulum diartikan jarak yang ditempuh
oleh seorang pelari.1 Sedangkan pengertian kurikulum secara terminologi
banyak dikemukakan oleh tokoh-tokoh pendidikan diantaranya:
Kurikulum menurut Saylor dan Alexander sebagaimana yang
dikutip oleh Peter F. Oliva, bahwa: “Curriculum as the plan for providing
sets of learning opportunities to achieve broad goals and related specific
objectives for an identifiable population served by a single school
center.”2
Kurikulum adalah sesuatu yang direncanakan sebagai pegangan
guna mencapai tujuan pendidikan. Apa yang direncanakan biasanya
bersifat idea, suatu cita-cita tentang manusia atau warga negara yang akan
dibentuk. Kurikulum ini lazim mengandung harapan-harapan yang sering
berbunyi muluk-muluk.
Apa yang dapat diwujudkan dalam kenyataan disebut kurikulum
yang real. Karena tidak segala sesuatu yang direncanakan dapat
direalisasikan, maka terdapatlah kesenjangan antara idea dan real
curriculum.
Smith dan kawan-kawan memandang kurikulum sebagai rangkaian
pengalaman yang secara potensi dapat diberikan kepada anak, jadi dapat
disebut potential curriculum. Namun apa yang benar-benar dapat
1
Nana Sudjana, Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar, (Bandung: Sinar Baru
Aglesindo, 1995), hlm. 1. 2 Peter F. Oliva, Developing the Curriculum, (Canada: Little, Brown and Company
Boston Toronto, 1982), hlm. 6.
50
diwujudkan pada anak secara individual, misalnya bahan yang benar-benar
diperolehnya, disebut actual curriculum.
Ibnu Sina secara sederhana mengemukakan bahwa kurikulum
adalah alat yang digunakan untuk menunjukkan sejumlah mata pelajaran
yang harus ditempuh untuk mencapai suatu gelar atau ijazah.3 Sedangkan
kurikulum dalam pendidikan Islam dikenal dengan istilah manhaj, yang
berarti jalan yang terang yang dilalui oleh pendidik bersama anak didiknya
untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan sikap mereka.4
Berbagai tafsiran tentang kurikulum dapat kita tinjau dari segi lain,
sehingga kita peroleh penggolongan sebagai berikut:
a) Kurikulum dapat dilihat sebagai produk, yakni sebagai hasil karya para
pengembang kurikulum, biasanya dalam suatu panitia. Hasilnya
dituangkan dalam bentuk buku atau pedoman kurikulum, yang
misalnya berisi sejumlah mata pelajaran yang harus diajarkan.
b) Kurikulum dapat pula dipandang sebagai program, yakni alat yang
dilakukan oleh sekolah untuk mencapai tujuannya. Ini dapat berupa
mengajarkan berbagai mata pelajaran tetapi dapat juga meliputi segala
kegiatan yang dianggap dapat mempengaruhi perkembangan siswa
misalnya perkumpulan sekolah, pertandingan pramuka, warung
sekolah dan lain-lain.
c) Kurikulum dapat pula dipandang sebagai hal-hal yang diharapkan akan
dipelajari siswa, yakni pengetahuan, sikap, ketrampilan tertentu. Apa
yang diharapkan akan dipelajari tidak selalu sama dengan apa yang
benar-benar dipelajari.
Mengenai masalah kurikulum senantiasa terdapat pendirian yang
berbeda-beda, bahkan sering yang bertentangan. Ketidakpuasan dengan
kurikulum yang berlaku adalah sesuatu yang biasa dan memberi dorongan
mencari kurikulum baru. Akan tetapi mengajukan kurikulum yang ekstrim
3
Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam: Seri Kajian Filsafat
Prendidikan Islam, (Jakarta: Raja Gravindo Persada, 2001), hlm. 69. 4 Omar Muhammad al-Toumi al-Syaibani, Filsafat Pendidikan Islam, (terj: Hasan
Langgulung), (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 478.
51
sering dilakukan dengan mendiskreditkan kurikulum yang lama, padahal
kurikulum itu pun mengandung kebaikan, sedangkan kurikulum pasti tidak
akan sempurna dan akan tampil kekurangannya setelah berjalan dalam
beberapa waktu.5
Macam-macam definisi yang diberikan tentang kurikulum.
Lazimnya kurikulum dipandang sebagai suatu rencana yang disusun untuk
melancarkan proses belajar mengajar di bawah bimbingan dan tanggung
jawab sekolah atau lembaga pendidikan beserta staf pengajarnya.
Ada sejumlah ahli teori kurikulum yang berpendapat bahwa
kurikulum bukan hanya meliputi semua kegiatan yang direncanakan
melainkan juga peristiwa-peristiwa yang terjadi di bawah pengawasan
sekolah, jadi selain kegiatan kurikulum yang formal juga kegiatan yang
non formal. Yang terakhir ini sering disebut kegiatan ko-kurikuler atau
ekstrakurikuler (co-curriculum atau extra-curriculum). Kurikulum formal
meliputi:
1) Tujuan pelajaran, umum dan spesifik
2) Bahan pelajaran yang tersusun sistematis
3) Strategi belajar mengajar serta kegiatan-kegiatannya
4) Sistem evaluasi untuk mengetahui hingga mana tujuan tercapai
Kurikulum non formal terdiri atas kegiatan-kegiatan yang juga
direncanakan akan tetapi tidak berkaitan langsung dengan pelajaran
akademis dan kelas tertentu. Kurikulum ini dipandang sebagai pelengkap
kurikulum formal. Yang termasuk kurikulum non formal ini antara lain:
pertunjukan sandiwara, pertandingan antar kelas atau antar sekolah,
perkumpulan berbagai hobby, pramuka dan lain-lain.
Ada lagi yang harus diperhitungkan yaitu kurikulum
“tersembunyi” (hidden curriculum). Kurikulum ini, antara lain berupa
aturan yang tak tertulis di kalangan siswa misalnya “harus kompak
terhadap guru” yang turut mempengaruhi suasana pengajaran dalam kelas.
5 S. Nasution, Asas-Asas Pengembangan Kurikulum, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2008),
hlm. 8-9.
52
Kurikulum tersembunyi ini dianggap oleh kalangan tertentu tidak
termasuk kurikulum karena tidak direncanakan.6
2. Pengertian Pengembangan Kurikulum
Telah disinggung pada pembahasan sebelumnya bahwa banyak
para ahli yang memberikan pengertian yang berbeda dalam mengartikan
kurikulum, namun secara substansial adalah sama yaitu mengarah pada
semua aktifitas sekolah yang mempengaruhi siswa agar tercapai tujuan
yang diinginkan.
Menurut Audrey Nichols dan S. Howard Nichools sebagaimana
yang dikutip oleh Oemar Hamalik, bahwa pengembangan kurikulum
(curriculum development) adalah: the planning of learning opportunities
intended to bring about certain desered in pupils, and assessment of the
extent to which these changes have taken place.
Rumusan ini menunjukkan bahwa pengembangan kurikulum
adalah perencanaan kesempatan-kesempatan belajar yang dimaksudkan
untuk membawa siswa ke arah perubahan-perubahan yang diinginkan dan
menilai hingga mana perubahan-perubahan itu telah terjadi pada diri
siswa. Sedangkan yang dimaksud kesempatan belajar (learning
opportunity) adalah hubungan yang telah direncanakan dan terkontrol
antara peserta didik, guru, bahan peralatan dan lingkungan di mana belajar
yang diinginkan diharapkan terjadi. Ini terjadi bahwa semua kesempatan
belajar direncanakan oleh guru; bagi peserta didik sesungguhnya adalah
“kurikulum itu sendiri”
Dalam pengertian di atas sesungguhnya pengembangan kurikulum
adalah proses siklus yang tidak pernah berakhir. Proses kurikulum tersebut
dapat ditampilkan dalam diagram sebagai berikut: proses tersebut terdiri
dari empat unsur yakni:
a. Tujuan: mempelajari dan menggambarkan semua sumber pengetahuan
dan pertimbangan tentang tujuan-tujuan pengajaran, baik yang
6 S. Nasution, Kurikulum dan Pengajaran, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1989), hlm. 5-6.
53
berkenaan dengan mata pelajaran (subject course) maupun kurikulum
secara menyeluruh.
b. Metode dan material: mengembangkan dan mencoba menggunakan
metode-metode dan material sekolah untuk mencapai tujuan-tujuan
tadi yang serasi menurut pertimbangan guru.
c. Penilaian (assessment): menilai keberhasilan pekerjaan yang telah
dikembangkan itu dalam hubungan dengan tujuan dan bila
mengembangkan tujuan-tujuan baru.
d. Balikan (feedback): umpan balik dari semua pengalaman yang telah
diperoleh yang pada gilirannya menjadi titik tolak bagi studi
selanjutnya.7
Menurut UU No. 20 tahun 2003, kurikulum dianggap sebagai
seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan
pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.8
Sesuai dengan konsep di atas maka pengembangan kurikulum pada
hakikatnya adalah proses penyusunan rencana tentang isi dan bahan
pelajaran yang harus dipelajari serta bagaimana mempelajarinya. Namun
demikian persoalan pengembangan isi dan bahan pelajaran serta
bagaimana cara belajar peserta didik bukanlah suatu proses yang
sederhana, sebab menentukan isi atau muatan kurikulum harus berangkat
dari visi, misi serta tujuan yang ingin dicapai, sedangkan menentukan
tujuan erat kaitannya dengan persoalan sistem nilai dan kebutuhan
masyarakat. Persoalan inilah yang kemudian membawa kita pada
persoalan menentukan hal-hal yang mendasar dalam proses pengembangan
kurikulum yang kemudian kita namakan asas-asas atau landasan-landasan
pengembangan kurikulum.
7 Oemar Hamalik, Manajemen Pengembangan Kurikulum, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2008), Cet. III, hlm. 96-97. 8 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm.
6.
54
Menurut David Pratt, sebagaimana yang dikutip oleh Wina
Sanjaya, bahwa istilah desain lebih mengena dibandingkan dengan
pengembangan yang mengandung konotasi yang bersifat gradual. Disain
adalah proses yang disengaja tentang suatu pemikiran, perencanaan dan
penyeleksian bagian-bagian, teknik dan prosedur yang mengatur suatu
tujuan atau usaha. Atas dasar itu, maka pengembangan kurikulum
(curriculum development atau curriculum planning) adalah proses atau
kegiatan yang disengaja dan dipikirkan untuk menghasilkan sebuah
kurikulum sebagai pedoman dalam proses dan penyelenggaraan
pembelajaran oleh guru di sekolah.9
B. Landasan Pengembangan Kurikulum
Ada beberapa landasan utama dalam pengembangan suatu kurikulum,
yaitu landasan filosofis, landasan psikologis, landasan sosial budaya, serta
perkembangan ilmu dan teknologi.
1. Landasan Filosofis
Landasan filosofis adalah dasar pemikiran yang mendalam untuk
menggambarkan dan menyatakan pandangan yang sistematis dan
komprehensif tentang pendidikan. Tujuan falsafah pendidikan pada
dasarnya sama dengan dasar dan tujuan ajaran Islam. Falsafah pendidikan
berisi teori umum tentang pendidikan Islam yang tercantum dalam al-
Qur’an dan Hadist. Jadi tujuan pendidikan Islam adalah mencapai tingkat
pengabdian yang paling tinggi yang mana tujuan itu seiring dengan tujuan
penciptaan manusia dalam al-Qur’an.10
Filsafat merupakan suatu cabang ilmu pengetahuan mengkaji satu
bidang pengetahuan manusia, daerah cakupannya terbatas. Filsafat
mencakup keseluruhan pengetahuan manusia, berusaha melihat segala
yang ada ini sebagai satu kesatuan yang menyeluruh dan mencoba
9 Wina Sanjaya, Kajian Kurikulum dan Pembelajaran, (Bandung: Sekolah Pascasarjana
Universitas Pendidikan Indonesia, 2007), hlm. 48-49. 10
Burhan Nurgitantoro, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum Sekolah: Sebuah
Pengantar Teoritik dan Pelaksanaan, (Yogyakarta: BPFE, 1988), hlm.15.
55
mengetahui kedudukan manusia di dalamnya. Sering dikatakan bahwa
filsafat merupakan ibu dari segala ilmu.11
Filsafat membahas segala permasalahan yang dihadapi oleh
manusia termasuk masalah-masalah pendidikan ini yang disebut filsafat
pendidikan. Walaupun dilihat sepintas, filsafat pendidikan ini hanya
merupakan aplikasi dari pemikiran-pemikiran filosofis untuk memecahkan
masalah-masalah pendidikan, tetapi antara keduanya yaitu antara filsafat
dan filsafat pendidikan terdapat hubungan yang sangat erat. Menurut
Donald Butler, filsafat memberikan arah dan metodologi terhadap praktik
pendidikan, sedangkan praktik pendidikan memberikan bahan-bahan bagi
pertimbangan-pertimbangan filosofis. Keduanya sangat berkaitan erat.
2. Landasan Psikologis
Untuk mencapai suatu proses pendidikan yang optimal, maka
dalam penyusunan kurikulum perlu melibatkan apa yang disebut dengan
psikologis. Suatu proses pendidikan yang menuntut perubahan yang terjadi
pada diri peserta didik dan hal-hal lainnya yang berhubungan dengan
perkembangan individu peserta didik, yang dapat dijadikan sebagai bahan
pertimbangan dan mendasari penngembangan kurikulum.12
Kepentingan dasar psikologis di sini menyangkut beberapa faktor
fundamental yang dimiliki oleh manusia, yaitu tahap-tahap kematangan
bakat-bakat jasmani dan intelektual, bahasa, emosi dan sosial, kebutuhan-
kebutuhan, minat, kecakapan yang bermacam-, perbedaan antara mereka,
faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan, proses
belajar, pengamatan mereka terhadap sesuatu, pemikiran mereka dan lain
sebagainya. Dengan mengetahui faktor di atas dapat mempermudah untuk
mengorganisir isi kurikulum, menjadi mudah bagi pendidikan dalam
menyampaikan materi pelajarannya sesuai dengan metode yang dipakai,
dan lain sebagainya.
11 Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2009), Cet. 11, hlm. 39-40. 12 Syamsul Ma’arif, Selamatkan Pendidikan Dasar Kita, (Semarang: Need’s Press, 2009),
hlm. 54-55.
56
3. Landasan Sosial Budaya
Nilai sosial budaya masyarakat bersumber pada hasil karya akal
budi manusia, sehingga dalam menerima, menyebarluaskan, melestarikan
dan atau melepaskannya manusia menggunakan akalnya. Dengan
demikian, apabila tidak terdapat nilai-nilai sosial budaya yang tidak
diterima atau tidak sesuai dengan akalnya akan dilepaskan. 13
Kurikulum
yang berorientasi pada landasan sosial budaya adalah agar turut serta
dalam proses pemasayaakatan (socialization) bagi peserta didik,
penyesuaian mereka dengan masyarakat Islam tempat mereka hidup,
memperoleh kebiasaan dan sikap yang baik pada masyarakatnya, cara
berfikir serta tingkah laku yang diinginkan, cara bergaul yang sehat, sikap
kerjasama dan menghargai, tanggung jawab dan kesediaan berkorban demi
membela akidah, tanah air, pengetahuan dan kemahiran yang akan
menambahkan produktivitas dan keikutsertaan mereka dalam membina
umat dan kepentingan membangun bangsanya.14
4. Landasan Ilmu Pengetahuan dan Teknlogi
Ilmu pengetahuan dan teknologi adalah nilai-nilai yang bersumber
pada pikiran atau logika. Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
secara langsung akan menjadi isi atau materi pendidikan. Sedangakan
secara tidak langsung memberikan tugas kepada pendidikan untuk
membekali masyarakat dengan kemempuan pemecahan masalah yang
dihadapi sebagai pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.15
C. Pendekatan Pengembangan Kurikulum
Yang dimaksud dengan pendekatan adalah cara kerja dengan
menerapkan strategi dan metode yang tepat dengan mengikuti langkah-
13 Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2009),
hlm. 270. 14 Khoiron Rosyadi, Pendidikan Profetik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 253.
15 Dimyati dan Mudjiono, Belajar..., hlm. 270.
57
langkah pengembangan yang sistematis agar memperoleh kurikulum yang
lebih baik. Pendekatan-pendekatan yang dikembangkan antara lain:
1. Pendekatan Subjek Akademis
Pendekatan subjek akademik dalam menyusun kurikulum PAI
dilakukan dengan berdasarkan sistematisasi disiplin ilmu. Pengembangan
kurikulum subjek akademis dilakukan dengan cara menetapkan lebih
dahulu mata pelajaran apa yang harus dipelajari peserta didik, yang
diperlukan untuk (persiapan) pengembangan disiplin ilmu. Masing-masing
aspek atau mata pelajaran tersebut memiliki karakteristik tersendiri yang
dapat dipergunakan untuk pengembangan disiplin ilmu lebih lanjut bagi
para peserta didik yang memiliki minat di bidangnya. Namun demikian,
dalam pembinaannya harus memperhatikan kaitan antara aspek atau mata
pelajaran yang satu dengan yang lainnya.16
2. Pendidikan Berorientasi pada Tujuan
Pendekatan yang berorientasi pada tujuan ini, menempatkan
rumusan atau penerapan tujuan yang hendak dicapai dalam posisi sentral,
sebab tujuan adalah pemberi arah dalam pelaksanaan proses belajar-
mengajar. Kelebihan dari pendekatan pengembangan kurikulum yang
berorientasi pada tujuan adalah:17
a) Tujuan yang ingin dicapai jelas bagi penyusun kurikulum
b) Tujuan yang jelas akan memberikan arah yang jelas pula dalam
menetapkan materi pelajaran, metode, jenis kegiatan dan alat yang
diperlukan untuk mencapai tujuan
c) Tujuan-tujuan yang jelas itu juga akan memberikan arah dalam
mengadakan penilaian terhadap hasil yang dicapai
d) Hasil penilaian yang terarah tersebut akan membantu penyusunan
kurikulum dalam mengadakan perbaikan-perbaikan yang diperlukan
3. Pendekatan dengan Pola Organisasi Bahan
16 Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah
dan Perguruan Tinggi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 140-142. 17
Abdullah Idi, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik, (Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2009), hlm. 200-201.
58
Pendekatan ini dapat dilihat dari pola pendekatan: subject matter
curriculum, corelated curriculum, dan integrated curriculum. 18
a) Pendekatan pola Subject Matter Curriculum
Pendekatan ini ditekankan pada berbagai mata pelajaran secara
terpisah-pisah dan tidak berhubungan satu sama lain.
b) Pendekatan dengan Pola Correlated Curriculum
Dan Pendekatan dengan pola mengelompokkan beberapa mata
pelajaran (bahan) yang sering dan bisa secara dekat berhubungan,
misalnya pengajaran materi shalat (fiqih) yang akan berkaitan dengan
materi keimanan (akidah) dan kekhusyu’an (akhlak).
c) Pendekatan dengan Pola Integrated Curriculum
Kurikulum ini merupakan usaha untuk mengintegrasikan bahan
pelajaran dari berbagai mata pelajaran, agar menghasilkan kurikulum
yang terpadu (integrated).
4. Pendekatan Rekonstruksionalisme
Pendekatan ini memfokuskan kurikulum pada masalah penting yan
dihadapi masyarakat. Pendekatan ini meliputi: (a) rekonstruksionalisme
konservatif, meningkatkan mutu kehidupan individu maupun masyarakat
dengan mencari penyelesaian masalah-masalah yang paling mendesak
yang dihadapi masyarakat. (b) rekonstruksionalisme radikal ini ingin
menggunakan pendidikan untuk merombak tata sosial dan lembaga sosial
yang ada dan membangun struktur sosial baru.
5. Pendekatan Humanistik
Kurikulum ini berpusat pada peserta didik dan mengutamakan
perkembangan afektif peserta didik sebagai prsyarat dan sebagai bagian
integral dari proses belajar.19
18 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2008),
hlm. 160. 19 Abdullah Idi, Pengembangan..., hlm. 202-203.
59
D. Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum
1. Prinsip-prinsip Pengembangan Kurikulum
Sistem pendidikan akan melakukan perubahan bilamana kondisi-
kondisi pada supra-sistem, masyarakat, mengalami perubahan. Perubahan
kurikulum adalah hal yang normal, dan diharapkan, sebagai akibat
perubahan dalam lingkungannya. Para pekerja atau spesialis kurikulum
bertanggung jawab untuk mencari cara untuk melakukan perbaikan
kurikulum secara berkesinambungan. Tugas para pekerja (tim
pengembang) kurikulum akan lebih mudah atau lancar, bilamana
mengikuti sejumlah prinsip yang telah diterima secara umum untuk
pengembangan kurikulum. Diantara prinsip-prinsip pengembangan
kurikulum antara lain:20
a. Prinsip Relevansi
Dalam pendidikan prinsip relevansi berarti perlunya kesesuaian
antara (program) pendidikan dengan tuntunan kehidupan masyarakat
(the needs of society). Prinsip relevansi ini dapat dilihat dari beberapa
aspek yaitu: (a) relevansi pendidikan dengan lingkungan anak didik; (b)
relevansi pendidikan dengan kehidupan yang akan datang; (c) relevansi
pendidikan dengan dunia kerja; (d) relevansi pendidikan dengan ilmu
pengetahuan.
b. Prinsip Efektivitas
Prinsip efektivitas yang dimaksudkan adalah sejauh mana
perencanaan kurikulum dapat dicapai sesuai dengan keinginan yang
telah ditentukan. Dalam proses pendidikan, efektivitasnya dapat dilihat
dari dua sisi, yakni: (1) efektivitas mengajar pendidik berkaitan dengan
sejauh mana kegiatan belajar mengajar yang telah direncanakan dapat
dilaksanakan dengan baik; (2) efektivitas belajar anak didik, berkaitan
dengan sejauh mana tujuan-tujuan pelajaran yang diinginkan telah
dicapai melalui kegiatan belajr mengajar yang telah dilaksanakan.
20 Abdullah Idi, Pengembangan..., hlm. 179-183.
60
c. Prinsip Efisiensi
Efisiensi proses belajar mengajar akan tercipta, apabila usaha,
biaya, waktu, dan tenaga yang digunakan untuk menyelesaikan program
pengejaran tersebut sangat optimal dan hasilnya bisa seoptimal
mungkin, tentunya dengan pertimbangan yang rasional dan wajar.
d. Prinsip Kesinambungan (Kontinuitas)
Prinsip ini menunjukkan adanya keterkaitan antara tingkat
pendidikan, jenis program pendidikan, dan bidang studi. Dalam
pengembangan kurikulum harus memperhatikan hubungan antara
bidang studi yang satu dengan yang lainnya.
e. Prinsip Fleksibilitas (Keluwesan)
Fleksibilitas berarti tidak kaku, dan ada semacam ruang gerak
yang memberikan kebebasan dalam bertindak. Fleksibiltas dalam
memilih program pendidikan dengan pengadaan program-program
pilihan yang dapat berbentuk jurusan. Dan fleksibilitas dalam
pengembangan program pengajaran ini dengan memberikan
kesempatan kepada para pendidik dalam mengembangkan sendiri
program-program pengajaran dengan berpatok pada tujuan dan bahan
pengajaran di dalam kurikkulum yang masih bersifat umum.
f. Prinsip Berorientasi Tujuan
Artinya bahwa sebelum bahan ditentukan, langkah yang perlu
dilakukan oleh seorang pendidik adalah menentukan tujuan terlebih
dahulu. Agar semua jam dan aktivitas pengajaran yang dilaksanakan
oleh pendidik maupun anak didik dapat betul-betul.
g. Prinsip dan Model Pengembangan Kurikulum
Dalam prinsip ini harus ada pengembangan kurikulum secara
bertahap dan terus menerus, yakni dengan cara memperbaiki,
memantapkan dan mengembangkan lebih lanjut kurikulum yang sudah
berjalan setelah ada pelaksanaan dan sudah diketahui hasilnya.
61
2. Kerangka Pengembangan Kurikulum
Pengembangan kurikulum ini harus mengacu pada sebuah
kerangka umum, yang berisikan hal-hal yang diperlukan dalam pembuatan
keputusan.
a. Asumsi
Asumsi yang digunakan dalam pengembangan kurikulum ini
menekankan pada keharusan pengembangan kurikulum yang telah
terkonsep dan diinterpretasikan dengan cermat, sehingga upaya-upaya
yang terbatas dalam reformasi pendidikan, kurikulum yang tidak
berimbang, dan inovasi jangka pendek dapat dihindarkan.
Dalam konteks ini kurikulum didefinisikan sebagai suatu
rencana untuk mencapai hasil-hasil yang diharapkan, atau dengan kata
lain suatu rencana mengenai tujuan, hal yang dipelajari dan hasil
pembelajaran. Dengan demikian, kurikulum terdiri atas beberapa
komponen, yaitu hasil belajar dan struktur (sekuens berbagai kegiatan
belajar).
Konsekuensi lebih jauh dari keharusan penggunaan dasar
teoritis untuk pengembangan kurikulum adalah pada pembelajaran
(instruction). Pembelajaran adalah proses mengajar yaitu menyiapkan
lingkungan mengajar agar siswa dapat berinteraksi dengan orang,
benda, tempat dan ide melalui penyampaian kurikulum merupakan
suatu proses perencanaan yang kompleks, mulai dari penilaian
kebutuhan, identifikasi hasil belajar yang diharapkan, serta persiapan
pembelajaran untuk mencapai tujuan dan pemenuhan kebutuhan
budaya, sosial dan personal.
Sesuai dengan definisi tersebut, kriteria evaluasi kurikulum
disiapkan jika hasil-hasil belajar yang diharapkan sudah teridentifikasi.
Pengembangan kurikulum melibatkan banyak keputusan pada
beberapa level yang berbeda, seperti anak-anak usia prasekolah, SD,
sekolah lanjutan (SLTP dan SMA), dan perguruan tinggi (termasuk
pendidikan kejuruan). Pengembangan kurikulum dapat difokuskan
62
pada unit yang sangat terbatas, misalnya pada satu guru dan satu siswa,
sampai pada scope yang luas dengan melibatkan kelompok besar,
misalnya kelompok guru di suatu daerah atau negara.
Dilihat dari aspek ruang lingkup pengembangan kurikulum,
tersirat adanya sejumlah pilihan untuk melakukan pengembangan
kurikulum. Akibatnya terjadi pertentangan antarkonsepsi kurikulum,
hal ini dapat memunculkan kontroversi di sekolah atau dalam
masyarakat. Oleh karena itu, administrator sekolah hendaknya
memahami secara mendalam perbedaan orientasi berbagai konsep
kurikulum tersebut.
Dalam pengembangan kurikulum kepemimpinan yang efektif
bergantung pada kemampuan menjelaskan dan menerapkan
pendekatan dalam tercapainya tujuan kurikulum, serta melibatkan
orang lain dalam proses perencanaan dan implementasinya.
b. Tujuan Pengembangan Kurikulum
Istilah yang digunakan untuk menyatakan tujuan
pengembangan kurikulum adalah goals dan objectives. Tujuan sebagai
goals dinyatakan dalam rumusan yang lebih abstrak dan bersifat
umum, dan pencapaiannya relatif dalam jangka pendek.
Aspek tujuan, baik yang dinyatakan dalam goals maupun
objectives, memainkan peran yang sangat penting dalam
pengembangan kurikulum. Tujuan berfungsi untuk menentukan arah
seluruh upaya kependidikan sekolah atau unit organisasi lainnya,
sekaligus menstimulasi kualitas yang diharapkan. Berbagai kegiatan
lain dalam pengembangan kurikulum seperti penentuan ruang lingkup,
sekuensi dan kriteria seleksi konten, tidak akan efektif jika tidak
berdasarkan tujuan yang signifikan. tujuan pendidikan pada umumnya
berdasarkan filsafat yang dianut atau yang mendasari pendidikan
tersebut.
Mengingat pentingnya tujuan ini, tidak heran jika perumusan
tujuan menjadi langkah pertama dalam pengembangan kurikulum.
63
Filosofi yang dianut pendidikan atau sekolah biasanya menjadi dasar
pengembangan tujuan. Oleh karena itu, tujuan hendaknya
merefleksikan kebijaksanaan, kondisi masa kini dan masa datang,
prioritas sumber-sumber yang sudah tersedia, serta kesadaran terhadap
unsur-unsur pokok dalam pengembangan kurikulum.
Secara lebih jauh, tujuan berfungsi sebagai pedoman bagi
pengembangan tujuan-tujuan spesifik (objective), kegiatan belajar,
implementasi kurikulum dan evaluasi untuk mendapatkan balikan
(feedback). Sebagai contoh, menurut Komite Pengembangan
Kurikulum Amerika Serikat, terdapat sepuluh tujuan umum (goals),
yaitu ketrampilan dasar (basic skills), konseptualisasi diri, pemahaman
terhadap orang lain penggunaan pengetahuan yang telah terkumpul
untuk menginterpretasi dunia (lingkungan kehidupan), belajar
berkelanjutan, kesehatan mental dan fisik, partisipasi dalam dunia
ekonomi, produksi dan konsumsi, warga masyarakat yang bertanggung
jawab, kreativitas dan kesiapan menghadapi perubahan (coping with
change).
Setiap tujuan yang bersifat umum di atas harus diuraikan lagi
menjadi beberapa sub tujuan (subgoals) yang lebih operasional.
Misalnya tujuan pengembangan ketrampilan dasar diuraikan menjadi:
1) Mendapatkan informasi dan pengertian melalui kegiatan
mengamati, mendengar, dan membaca.
2) Mengolah informasi dan pengertian yang diperoleh melalui
ketrampilan berpikir reflektif.
3) Berbagi informasi dan mengekspresikan pengertian melalui
kegiatan percakapan, menulis dan alat-alat nonverbal.
4) Memanipulasi lambang dan menggunakan pikiran matematis dan
sebagainya.
c. Penilaian Kebutuhan
Kebutuhan merupakan suatu hal yang pokok dalam
perencanaan (Unruh dan Unruh, 1984) dalam kaitannya dengan
64
pengembangan kurikulum dan pembelajaran, kebutuhan didefinisikan
sebagai perbedaan antara keadaan aktual (actual circumstance) dan
keadaan ideal yang dicita-citakan (envisioned ideal circumstance).
Dengan kata lain, suatu perbedaan antara keadaan riil dan ideal
kondisi, kualitas dan sikap.
Penilaian kebutuhan adalah prosedur, baik secara terstruktur
maupun informal untuk mengidentifikasi kesenjangan antara situasi
“di sini dan sekarang” (here and now situation) dan tujuan yang
diharapkan. Penilaian kebutuhan dapat mendahului maupun mengikuti
penentuan tujuan. Kebutuhan juga dapat dimanfaatkan oleh
pengembang kurikulum untuk melakukan revisi dan modifikasi
kurikulum.
d. Konten Kurikulum
Pada umumnya, konten kurikulum dipandang sebagai
informasi yang terkandung dalam bahan-bahan yang dicetak, rekaman
audio dan visual, komputer dan alat-alat elektronik lainnya, atau yang
ditransmisikan secara lisan. Konten kurikulum seperti ini sebenarnya
sangat potensial bagi siswa informasi menjadi konten bagi siswa jika
dapat memberi pengertian terhadap aktivitas yang berguna. Karena itu,
seleksi konten untuk kurikulum dan pembelajaran hanya merupakan
salah satu bagian dari tugas-tugas pengembangan kurikulum yang
berhubungan dengan konten tersebut. Konsekuensi yang lebih jauh,
penentuan konten kurikulum harus disertai dengan perencanaan
aktivitas yang bermakna.
e. Sumber Materi Kurikulum
Materi kurikulum yang diperlukan oleh para pengembang
kurikulum dapat diperoleh di buku-buku teks dan petunjuk bagi guru.
Materi tersebut juga dapat diperoleh di beberapa tempat seperti
perpustakaan kurikulum di berbagai universitas, khususnya pada
bagian pendidikan. Selain itu pusat-pusat sistem sekolah umum, pusat
pendidikan guru, kantor konsultan kurikulum, departemen pendidikan
65
dan agen-agen pelayanan regional lainnya, hg merupakan tempat untuk
memperoleh materi kurikulum.
Deskripsi dan analisis suatu pandangan komprehensif tentang
lapangan kurikulum tidak mungkin tersaji hanya dalam satu literatur.
Oleh karena itu, diperlukan sumber-sumber yang mendukung dalam
memperoleh informasi dan ide-ide lebih jauh tentang lapangan
kurikulum yang dikaji. Sumber-sumber yang dimaksud meliputi karya-
karya yang diterbitkan oleh asosiasi profesional, penerbitan berkala
dan buku-buku teks yang relevan.
f. Implementasi Kurikulum
Sebuah kurikulum yang telah dikembangkan tidak akan berarti
(menjadi kenyataan) jika tidak diimplementasikan, dalam artian
digunakan secara aktual di sekolah dan di kelas. Dalam implementasi
ini, tentu saja harus diupayakan penanganan terhadap pengaruh faktor-
faktor tertentu, misalnya kesiapan sumber daya, faktor budaya
masyarakat dan lain-lain.
Berbagai dimensi implementasi kurikulum yang penting untuk
dicermati adalah materi kurikulum, struktur organisasi kurikulum,
peranan atau perilaku, pengetahuan dan internalisasi nilai.
Keberhasilan implementasi terutama ditentukan oleh aspek
perencanaan dan strategi implementasinya. Pada prinsipnya,
implementasi ini mengintegrasikan aspek-aspek filosofis, tujuan,
subject matter, strategi mengajar dan kegiatan belajar, serta evaluasi
dan feedback.
g. Evaluasi Kurikulum
Evaluasi adalah suatu proses interaksi, deskripsi, dan
pertimbangan (judgment) untuk menemukan hakikat dan nilai dari
suatu hal yang dievaluasi, dalam hal ini kurikulum. Evaluasi
kurikulum sebenarnya dimaksudkan untuk memperbaiki substansi
kurikulum, prosedur implementasi, metode instruksional, serta
pengaruhnya pada belajar dan perilaku siswa.
66
Pertimbangan penting lainnya bagi evaluator kurikulum adalah
evaluasi formatif (Untuk perbaikan program), dan evaluasi sumatif,
untuk memutuskan melanjutkan program yang dievaluasi untuk
menghentikannya dengan program lain. Model-model evaluasi
kurikulum yang dapat dipilih dan diaplikasikan adalah model
pencapaian tujuan (goal attainment model), model pertimbangan
(judgment evaluation model), model pengambilan keputusan (decision
facilitative evaluation model), dan model deskriptif.
h. Keadaan di Masa Mendatang
Oleh karena manusia memiliki visi terhadap masa yang akan
datang, maka manusia selalu menghadapi tantangan yang semakin
berat. Dalam pengembangan kurikulum dan pembelajaran, pandangan
dan kecenderungan pada kehidupan masa datang sudah menjadi
kepentingan pokok.
Pesatnya perubahan dalam kehidupan sosial, ekonomi,
teknologi, serta berbagai peristiwa dunia, memaksa setiap warga
masyarakat berpikir dan merespon setiap perubahan yang dihadapi.
Oleh karenanya, harus dipikirkan solusi alternatif dalam menghadapi
situasi masa yang akan datang tersebut. Prediksi keadaan penduduk,
persediaan makanan, polusi, sumber-sumber yang tidak dapat
diperbaharui, ancaman nuklir, serta gejolak politik dan ekonomi, harus
direspons sejak sekarang, tidak terkecuali respon dari pengembangan
pendidikan. Dengan kata lain, setiap rencana pengembangan
kurikulum harus memasukkan pertimbangan kehidupan di masa depan,
serta implikasinya pada perencanaan kurikulum.21
E. Kurikulum Pendidikan Agama Islam
1. Pengertian PAI
Pendidikan Agama Islam (PAI) merupakan usaha sadar dan
terencana untuk menyiapkan siswa dalam meyakini, memahami,
21 Oemar Hamalik, Manajemen..., hlm. 185-191.
67
menghayati dan mengamalkan ajaran Islam melalui kegiatan bimbingan,
pengajaran dan atau latihan. Pendidikan Agama Islam yang dipelajari
oleh peserta didik dimaksudkan untuk membentuk peserta didik manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta
berakhlak mulia.22
Dalam kamus besar bahasa Indonesia pendidikan adalah proses
pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam
usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan.23
Kalau dikorelasikan dengan agama Islam, maka banyak tokoh-tokoh
pendidikan yang mendefinisikan pendidikan agama Islam.
Menurut Zakiyah Daradjat yang dikutip Abdul Majid dan Dian
Andayani, Pendidikan agama Islam adalah suatu usaha untuk membina
dan mengasuh peserta didik agar senantiasa dapat memahami ajaran
agama Islam secara menyeluruh, lalu menghayati tujuan yang pada
akhirya dapat mengamalkan serta menjadikan Islam sebagai pandangan
hidup.24
Tayar Yusuf mengartikan pendidikan agama islam sebagai usaha
sadar genersi tua untuk mengalihkan pengalaman, pengwetahuan
kecakapan dan keterampilan kepada generasi muda agar kelak menjadi
manusia bertakwa kepada Allah SWT. Sedangkan menurut A. Tafsir
pendidikan agama Islam adalah bimbingan yang diberikan seorang
kepada seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan
ajaran Islam.
Sedangkan Azizy mengemukakan bahwa esensi pendidikan yaitu
transfer nilai, pengetahuan, dan keterampilan dari generasi tua kepada
generasi muda agar mampu hidup. Oleh karena itu, ketika kita menyebut
22 Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Standar
Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar(KD) Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam dan
Bahasa Arab di Madrasah Aliyah, hlm. 81. 23
Tim Penyusun Pusat Pembinaan Dan pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), Cet. III, hlm. 204. 24
Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi:
Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004, (Bandung : PT. Remaja Rosda Karya, 2005), hlm.
130.
68
pendidikan Islam, maka mencakup dua hal, yaitu (a) mendidik peserta
didik untuk berperilaku sesuai dengan nilai-nilai atau akhlak Islam; (b)
mendidik peserta didik untuk mempelajari materi ajaran Islam berupa
pengetahuan tentang ajaran Islam.25
PAI yang hakikatnya merupakan sebuah proses itu, dalam
perkembangannya juga dimaksudkan sebagai rumpun mata pelajaran
yang diajarkan di sekolah maupun di Perguruan Tinggi. Jadi berbicara
tentang PAI maka dapat dimaknai dalam dua pengertian; sebagai sebuah
proses penanaman ajaran Islam, maupun sebagai bahan kajian yang
menjadi materi proses itu sendiri.
2. Tujuan Pendidikan Agama Islam
Tujuan pendidikan Agama Islam bertujuan untuk menumbuhkan
dan meningkatkan keimanan melalui pemberian dan pemupukan
pengetahuan, penghayatan, pengamalan serta pengalaman peserta didik
tentang agama islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus
berkembang dalam hal keimanan, ketakwaannya, berbangsa dan
bernegara, serta untuk dapat melanjutkan pada jenjang yang lebih
tinggi.26
Di dalam Garis-garis Besar Pedoman Pendidikan agama Islam
dijelaskan bahwa tujuan pendidikan agama Islam adalah untuk
meningkatkan keimanan, pemahaman, penghayatan dan pengamalan
peserta didik tentang ajaran agama Islam sehingga terbentuk manusia
muslim yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT serta berakhlak
mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.27
Tujuan Pendidikan Agama Islam tersebut adalah sebagai
berikut:
a) Menjadi hamba Allah
25 Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan..., hlm. 131.
26 Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan..., hlm. 133.
27 Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam; Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama
Islam di Sekolah, (Bandung PT. Remaja Rosda Karya, 2008), hlm.78.
69
Tujuan hidup yang dijadikan tujuan pendidikan ini dijelaskan dalam
surat Adz Dzariat ayat 56 sebagai berikut:
$ tΒuρ àMø)n=yz £ Åg ø:$# }§Ρ M}$#uρ āω Î) Èβρ ߉ ç7÷èu‹Ï9 ∩∈∉∪
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariat (51): 56)28
b) Mengantarkan peserta didik menjadi khalifah fil ardh
Yang mampu memakmurkan bumi dan melestarikannya dan lebih
jauh lagi, mewujudkan rahmat bagi alam sekitarnya, sesuai dengan
penciptaannya dan sebagai konsekuensi setelah menerima Islam
sebagai pedoman hidup. Firman Allah SWT:
!$ tΒ uρ š�≈ oΨù=y™ö‘r& āω Î) ZπtΗôq y‘ šÏϑn=≈ yè ù=Ïj9 ∩⊇⊃∠∪
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi)
rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiya’: 107)
c) Untuk memperoleh kesejahteraan, kebahagiaan hidup di dunia dan
akhirat, baik individu maupun masyarakat.29
Æ�tGö/$#uρ !$ yϑ‹ Ïù š�9 t?#u ª! $# u‘#¤$!$# nοt� ÅzFψ$# ( Ÿωuρ š[Ψs? y7t7ŠÅÁ tΡ š∅ÏΒ
$ u‹÷Ρ‘‰9 $# .... ∩∠∠∪
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan
bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi....” (QS. Al-Qashash: 77)
28 Depag, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Surabaya: Duta Ilmu, 2005), hlm. 756.
29 Ramayulis, Metodologi Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2005), hlm.
30-31.
70
Rumusan tujuan PAI tersebut mengandung pengertian bahwa
proses pendidikan agama Islam yang dilalui dan dialami oleh peserta
didik di sekolah dimulai dari tahapan kognitif, yakni pengetahuan dan
pemahaman peserta didik terhadap ajaran nilai-nilai yang terkandung
dalam ajaran Islam untuk selanjutnya menuju ketahapan afektif, yakni
terjadinya proses internalisasi ajaran dan nilai-nilai agama ke dalam diri
peserta didik, dalam arti menghayati, dan menyakininya. Tahapan afektif
ini terkait dengan kognisi dalam arti penghayatan dan keyakinan peserta
didik menjadi kokoh jika dilandasi oleh pengetahuan dan pemahamannya
terhadap ajaran dan nilai Agama Islam. Melalui tahapan afektif tersebut
diharapkan dapat tumbuh motivasi dalam diri peserta didik dan tergerak
untuk mengamalkan dan menaati ajaran Islam (tahapan psikomotorik)
yang telah diinternalisasikan dalam dirinya. Dengan demikian akan
terbentuk manusia muslim yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia.
3. Pendekatan Pendidikan Agama Islam
Dalam kegiatan pembelajaran pendidikan agama Islam ada enam
pendikatan
a. Pendekatan rasional, yaitu suatu pendekatan dalam proses
pembelajaran yang lebih menekankan pada aspek penalaran
b. Pendekatan emosional yaitu upaya menggugah perasaan (emosi)
peseta didik dalam menghayati perilaku yang sesuai dengan ajaran
agama dan budaya bangsa
c. Pendekatan pengalaman, yaitu memberikamn kesempatan kepada
peserta didik untuk mempratikkkan dan merasakan hasil-hasil
pengalaman ibadah dalam menghadapi tugas-tugas dan masalah dalam
kehidupan
d. Pendekatan pembiasaan, yaitu memberikan kesempatan kepada
peserta didik untuk bersikap dan berperilaku sesuai dengan ajaran
agama Islam dan budaya bangsa dalam menghadapi persoalan
kehidupan
71
e. Pendekatan fungsional, yaitu menyajikan materi pokok dari segi
manfaatnya bagi peserta didik dalam kehidupan sehari-hari dalam arti
luas
f. Pendekatan keteladanan, yaitu menjadikan figur guru (pendidik),
petugas lainya, orang tua serta anggota masyarakat sebagai cermin
bagi pesert didik.30
4. Fungsi Pendidikan Agama Islam
Pendidikan agama Islam mempunyai fungsi sebagai berikut:
a. Pengembangan, yaitu meningkatkan keimanan dan ketakwaan peserta
didik kepada alloh SWT yang telah ditanamkan dalam lingkungan
keluarga. Pada dasarnya dan pertama-tama kewajiban menanamkan
keimanan dan ketakwaan dilakukan oleh setiap orang tua dalm
keluarga. Sekolah berfungsi untuk menumbuh kembangkan lebih
lanjut dalam diri anak melalui bimbingan, pengajaran dan pelatihan
agar keimanan dan ketaqwaan tersebut dapat berkembang secara
optimal sesuai dengan tingkat perkembangannya.
b. penanaman nilai, yaitu sebagai pedoman hidup untuk mencapai
kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
c. Penyesuaian mental yaitu untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungannya baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial dan
dapat mengubah lingkungannya sesuai dengan ajaran agama islam
d. Perbaikan, yaitu memperbaiki kesalahan-kesalahan dalam keyakinan,
pemahaman dan pengalaman ajaran agama islam peserta didik dalam
kehidupan sehari-hari
e. Pencegahan, yaitu untuk menangkal hal-hal negatif dari lingkungan
atau budaya lain yang dapat membahayakan diri peserta didik dan
menghambat perkembangannya menuju manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Allah SWT
30 Abdul Majid dan Diyan Andayani, Pendidikan..., hlm.86-87.
72
f. Pengajaran tentang ilmu pengetahuan keagamaan secara umum (alam
nyata dan nir-nyata), sistem dan fungsionalnya.
g. Penyaluran, yaitu untuk menyalurkan anak-anak yang memiliki bakat
khusus dibidang agama islam agar bakat tersebut dapat berkembang
secara optimal sehingga dapat dimanfaatkan untuk dirinya sendiri dan
orang lain.31
Sebagai mata pelajaran, rumpun mata pelajaran atau bahan kajian
PAI memiliki ciri khas atau karakteristik tertentu yang membedakannya
dengan mata pelajaran lain. Adapun karakteristik mata pelajaran PAI itu
dapat dijelaskan sebagai berikut:
a) Pendidikan Islam merujuk pada aturan-aturan yang sudah pasti.
Pendidikan Agama Islam mengikuti aturan atau garis-garis yang sudah
jelas dan pasti serta tidak dapat ditolak dan di tawar. Aturan itu adalah
Wahyu Tuhan yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, semua yang
terlibat dalam Pendidikan Agama Islam itu harus senantiasa
berpegang teguh pada aturan ini.
Pendidikan pada umumnya bersifat netral, artinya pengetahuan
itu diajarkan sebagai mana adanya dan terserh kepada manusia yang
hendak mengarahkan pengetahuan itu. Ia hanya mengajarkan, tetapi
tidak memberikan petunjuk ke arah mana dan bagaimana
memberlakukan pendidikan itu.
Pengajaran umum mengajarkan pengetahuan, keterampilan,
nilai, dan sikap yang bersifat relative, sehingga tidak bisa diramalkan
ke arah mana pengetahuan keterampilan dan nilai itu digunakan,
disertai dengan sikap yang tidak konsisten karena terperangkap oleh.
perhitungan untung rugi, sedangkan Pendidikan Agama Islam
memiliki arah dan tujuan yang jelas, tidak seperti pendidikan umum.
b) Pendidikan Agama Islam selalu mempertimbangkan dua sisi
kehidupan duniawi dan ukhrawi dalam setiap langkah dan geraknya.
Pendidikan Agama Islam seperti diibaratkan mata uang yang
31Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan..., hlm 134-135.
73
mempunyai dua sisi, pertama; sisi keagamaan yang menjadi pokok
dalam substansi ajaran yang akan dipelajari, kedua; sisi pengetahuan
berisikan hal-hal yang mungkin umum dapat di indera dan diakali,
berbentuk pengalaman factual maupun pengalaman pikir.
Sisi pertama lebih menekankan pada kehidupan dunia sedangkan sisi
kedua lebih cenderung menekankan pada kehidupan akhirat namun,
kedua sisi ini tidak dapat dipisahkan karena terdapat hubungan sebab
akibat, oleh karena itu, kedua sisi ini selalu diperhatikan dalam setiap
gerak dan usahanya, karena memang Pendidikan Agama Islam
mengacu kepada kehidupan dunia dan akhirat.
c) Pendidikan Agama Islam bermisikan pembentukan akhlakul karimah
Pendidikan Agama Islam selalu menekankan pada pembentukan
akhlakul karimah, hati nurani untuk selalu berbuat baik dan bersikap
dalam kehidupan sesuai dengan norma-norma yang berlaku, tidak
menyalahi aturan dan berpegang teguh pada dasar Agama Islam yaitu
Al-Qur’an dan Hadits.
d) Pendidikan Agama Islam diyakini sebagai tugas suci
Pada umumnya, manusia khususnya kaum muslimin berkeyakinan
bahwa penyelenggaraan Pendidikan Agama Islam merupakan bagian
dari risalah, karena itu mereka menganggapnya sebagai misi suci.
Karena itu dengan menyelenggarakan Pendidikan Agama Islam
berarti pula menegakkan agama, yang tentunya bernilai suatu
kebaikan di sisi Allah.
e) Pendidikan Agama Islam bermotifkan ibadah. Sejalan dengan hal
yang dijelaskan pada sebelumnya maka kiprah Pendidikan Agama
Islam merupakan ibadah yang akan mendapatkan pahala dari Allah,
dari segi mengajar, pekerjaan itu terpuji karena merupakan tugas yang
mulia, disamping tugas itu sebagai amal jariah, yaitu amal yang terus
berlangsung hingga yang bersangkutan meninggal dunia, dengan
74
ketentuan ilmu yang diajarkan itu diamalkan oleh peserta didik
ataupun ilmu itu diajarkan secara berantai kepada orang lain.32
Berikut ini adalah Standar Kompetensi Kelulusan kurikulum
Pendidikan Agama Islam di tingkat Madrasah Aliyah, dan Madrasah
Aliyah Program Keagamaan:
a. Madrasah Aliyah
1) Al-Qur’an dan Hadits
Memahami isi pokok Al-Qur’an, fungsi dan bukti-bukti
kemurniannya, istilah-istilah hadits, fungsi hadits terhadap Al-
Qur’an, pembagian hadits ditinjau dari segi kualitas dan
kuantitasnya, serta memahami dan mengamalkan ayat-ayat Al-
Qur’an dan hadits tentang manusia dan tanggungjawabnya di muka
bumi, demokrasi serta pengembangan IPTEK.
2) Aqidah Akhlak
a) Memahami istilah-istilah aqidah, prinsip-prinsip, aliran-aliran
dan metode peningkatan kualitas Aqidah serta meningkatkan
kualitas keimanan melalui pemahaman dan penghayatan
asma’ul khusna serta penerapan perilaku bertauhid dalam
kehidupan.
b) Memahami istilah-istilah akhlak dan tasawuf, meningkatkan
metode peningkatan kualitas akhlak, serta membiasakan
perilaku terpuji dan menghindari perilaku tercela
3) Fiqih
Memahami dan menerapkan sumber hukum Islam dan
hokum taklifi, prinsip-prinsip ibadah dan syari’at dalam Islam, fiqih
ibadah, mu’amalah, munakahat, mawaris, jinayah, siyasah serta
dasar-dasar Istinbath, dan kaidah ushul fiqih
4) Sejarah Kebudayaan Islam
32
Ahmad Azhar, “Kapita Selekta PAI”, dalam
http://ahmadazhar.wordpress.com/2009/11/07/makalah-kapita-selekta-pai/, diakses 02 Juni 2011.
75
a) Memahami dan mengambil ibrah sejarah dakwah Nabi
Muhammad pada periode Mekah dan Madinah, masalah
kepemimpinan umat setelah Rasulullah SAW wafat.
Perkembangan Islam pada abad klasik atau zaman keemasan
(650 – 1250 M), abad pertengahan atau zaman kemunduran
(1250 – 1800 M), masa modern atau zaman kebangkitan (1800 -
sekarang), serta perkembangan Islam di Indonesia dan di dunia
b) Mengapresiasi fakta dan makna peristiwa-peristiwa bersejarah
dan mengaitkannya dengan kehidupan sosial, budaya, politik,
ekonomi, IPTEK dan seni
c) Meneladani tokoh-tokoh Islam yang berprestasi dalam
perkembangan sejarah atau peradaban Islam.33
b. Madrasah Aliyah Program Keagamaan
1) Akhlak
Memahami istilah-istilah akhlak dan tasawuf, menerapkan
metode peningkatan kualitas akhlak, dan membiasakan perilaku
terpuji serta menghindari perilaku tercela.
2) Sejarah Kebudayaan Islam
a) Memahami dan mengambil ibrah sejarah dakwah Nabi
Muhammad pada periode Mekah dan Madinah, masalah
kepemimpinan umat setelah Rasulullah SAW wafat.
Perkembangan Islam pada abad klasik atau zaman keemasan
(650–1250 M), abad pertengahan atau zaman kemunduran (1250
–1800 M), masa modern atau zaman kebangkitan (1800-
sekarang), serta perkembangan Islam di Indonesia dan di dunia
b) Mengapresiasi fakta dan makna peristiwa-peristiwa bersejarah
dan mengaitkannya dengan kehidupan sosial, budaya, politik,
ekonomi, IPTEK dan seni
33 Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Standar
Kompetensi Lulusan dan Standar Isi Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab di Madrasah,
hlm. 5-6.
76
c) Meneladani tokoh-tokoh Islam yang berprestasi dalam
perkembangan sejarah atau peradaban Islam
3) Tafsir
a) Mengenali pokok-pokok ilmu tafsir serta ilmu-ilmu yang dapat
membantu dan diperlukan dalam memahami dan menafsirkan
Al-Qur’an, sehingga dapat dijadikan bekal dasar dalam
memahami ayat-ayat Al-Qur’an, serta dijadikan pondasi untuk
melanjutkan pendidikan ke lanjutan yang lebih tinggi
b) Memahami ayat-ayat Al-Qur’an tentang:
c) Makanan yang halal, sehat, dan bergizi, dan bahaya minuman
keras
d) Pendayagunaan akal pikiran, pentingnya pengembangan alam,
dan pemanfaatan alam semesta bagi kehidupan manusia
e) Tata cara menyelesaikan perselisihan, musyawarah, dan ta’aruf
dalam kehidupan
f) Kepemimpinan, syarat0syarat, tugas dan tanggungjawab
pemimpin
g) Pembinaan pribadi dan keluarga, serta pembinaan masyarakat
secara umum
4) Hadits
a) Memahami ilmu hadits dan sejarahnya, sejarah penghimpunan
dan pembukuan hadits, cara menerima dan menyampaikan
hadits, pembagian hadits, ilmu jarh wa ta’dill, generasi perawi
hadits dan kitab-kitab hadits.
b) Memahami Al Hadits tentang taat kepada Allah dan Rasul-Nya,
kebesaran dan kekuasaan Allah, nikmat Allah, kewajiban dan
tanggungjawab manusia, serta pengembangan IPTEK
5) Ushul Fiqih
a) Memahami ilmu ushul fiqih, sumber hokum Islam yang
muttafaq maupun yang mukhtalaf dan kaidah-kaidah ushul fiqih
serta mampu mempraktekkannya.
77
b) Memahami dan menerapkan sumber hukum Islam dan hokum
taklifi, prinsip-prinsip ibadah dan syari’at dalam Islam, fiqih
ibadah, mu’amalah, munakahat, mawaris, jinayah, siyasah, serta
dasar-dasar Istinbath dan kaidah ushul fiqih
6) Ilmu Kalam
a) Memahami istilah-istilah aqidah, prinsip-prinsip, aliran-aliran
dan metode peningkatan kualitas aqidah serta meningkatkan
kualitas keimanan melalui pengamalan dan penghayatan al-
asma’ al-husna serta penerapan perilaku bertauhid dalam
kehidupan.
b) Memahami ilmu kalam, fungsi dan peranannya dalam
kehidupan, aliran-aliran dan tokok-tokoh yang berperan dalam
pengembangannya serta berbagai pandangan tentang ilmu
kalam.34
34 Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Standar
Kompetensi Lulusan dan Standar Isi Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab di Madrasah,
hlm. 8-10.
78
BAB IV
Analisis Pemikiran Kuntowijoyo tentang Nilai-Nilai Profetik dan Implikasinya
terhadap Pengembangan Kurikulum PAI
A. Nilai-Nilai Profetik sebagai Landasan Pengembangan Kurikulum PAI
Kuntowijoyo adalah salah seorang pemikir yang komplit, ia
menyandang banyak identitas. Selain seorang guru besar, ia juga seorang
sejarawan, budayawan, sastrawan, penulis-kolumnis, intelektual muslim,
aktivis dan juga seorang khatib.1 Dan dari hasil karya-karyanya mempunyai
banyak sumbangan terhadap pendidikan. Transformasi sosial merupakan
gagasan Kuntowijoyo dengan dicetuskannya konsep ilmu sosial profetik,
sebuah paradigma baru terhadap umat Islam dalam memasuki pereode ilmu.
Konsep nilai-nilai profetik perspektif Kuntowijoyo ini, terdiri dari humanisasi,
liberasi dan transendensi yang merupakan derivasi dari ayat al-Qur’an surat Ali
Imran (3) ayat 110.
Dari ketiga nilai tersebut berimplikasi dengan pengembangan
kurikulum yang dapat kita lihat dari peran penting atau fungsi nilai-humanisasi,
liberasi dan transendensi terhadap pengembangan kurikulum.
1. Nilai-nilai Humanisasi
Humanisasi menurut Kuntowijoyo adalah memanusiakan manusia.
Konsep humanisme ini berakar dari humanisme-teosentris maksudnya
adalah manusia harus memusatkan diri pada Tuhan, tetapi tujuannya adalah
untuk kepentingan manusia itu sendiri. Artinya keyakinan religius yang
berakar pada pandangan teosentris, selalu dikaitkan dengan amal, yaitu
perbuatan atau tindakan manusia, keduanya merupakan suatu kesatuan yang
tak terpisahkan. Humanisme–teosentris inilah yang merupakan nilai inti
(core-velue) dari seluruh ajaran Islam.2
1 Badiatul Rozikin, dkk, 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia, (Yogyakarta: e-Nusantara, 2009)
hlm. 180. 2 Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 1998), hlm.
228-230.
79
Humanisasi menegaskan manusia sebagai makhluk yang
berkesadaran. Ia ada di dalam dan bersama dalam dunia. Implikasinya ia
harus hidup sendiri bersama dengan manusia lainnya dan dapat menghadapi
realitas kehidupannya. Bagi Freire humanisasi inilah yang akan membawa
rakyat pada perubahan realitas secara manusiawi.3
Dengan demikian, citra manusia (nilai dasar menjadi manusia
sesungguhnya) adalah berfungsinya potensi dasar manusia secara optimal
sehingga sanggup menjalankan aktivitas kehidupan.
Humanisme dalam pendidikan adalah proses pendidikan yang lebih
memperhatikan potensi manusia sebagai makhluk sosial dan makhluk
religius serta individu yang diberikan kesempatan oleh tuhan untuk
mengoptimalkan semua potensinya. Humannisme dimaknai sebagai
kekuatan atau potensi individu untuk mengukur dan mencapai tingkat
ilahiah dan persoalan-persoalan sosial sehingga dalam hal ini tujuan
pendikan Islam dalam tataran humanistik adalah membudayakan manusia
utau memanusiakan manusia.
Dengan demikian, humanisasi sebagai derivasi amr ma’ruf
mengandung pengertian memanusiakan sesuai dengan tujuan pendidikan
Islam yaitu untuk membentuk manusia yang bertakwa atau insan kamil. dan
cara untuk mengoptimalisasi tidak lain melalui rangsangan pendidikan.
Dengan demikian dalam pengembangan kurikulum harus bisa mengarahkan
dan membawa proses pendidikan seperti apa yang menjadi tujuan dan cita
cita manusia atau warga negara yang dibentuk Seperti dijelaskan pada bab
sebelumnya.
2. Nilai-nilai Liberasi
Islam merupakan agama pembebas. Bersamaan dengan visi Nabi
Muhammad SAW. adalah membebaskan umatnya dari kebodohan menuju
pencerahan, maka pendidikan Islam diharapakan bisa memproses manusia-
manusia pembebas. Menurut Kuntowijoyo, liberasi adalah usaha untuk
3 Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, (Jakarta: LP3S), hlm. 1.
80
mebebaskan orang dari sistem pengetahuan matrealistis dari dominasi
struktur misalnya dari kelas dan seks.4
Demikian halnya dengan pendidikan Islam kebebasan merupakan
syarat mutlak untuk mengambangkan potensi peserta didiknya. Pendidikan
Islam harus mengemban misi membebaskan manusia dari keterkaitan
belenggu tradisi yang membawa kebekuan dan kemuduran. Pendidikan
Islam harus menciptakan dan membentuk lahirnya masyarakat baru dan
proses baru.5
Dengan demikian, liberasi sebagai derivasi dari nahi munkar
mengandung pengertian pembebasan terhadap segala bentuk determinisme
kultural dan struktural dan pembebasan dari sentralisasi menuju
desentralisasi. Sehingga liberasi pendidikan Islam adalah usaha
membebaskan manusia yang kreatif dan berkompetensi sesaui dengan
fitrahnya. dengan dasar hal tersebut hendaknya dalam pengembabangan
kurikulum menekankan pada pembebasan. kurikulum PAI harus dapat
menciptakan pribadi-pribadi manusia yang memiliki dimensi pembebasan
dari segala bentuk penindasan, orientasi pada materialisme dan hedonisme,
atau keterkungkungan pada kapitalisme global. Menjadi manusia yang
mampu memposisikan diri sebagai pemain perubahan serta dapat
mengendalikannya.
3. Nilai-nilai Transendensi
Transendensi dalam bahasa latin adalah transcendere yang artinya
“naik ke atas”. Dalam bahasa inggris adalah to transcend yang artinya
“menembus”, ”melewati”, “melampaui”. Menurut istilah artinya perjalanan
di atas atau di luar. Yang dimaksud Kuntowijoyo adalah transendensi dalam
istilah teologis. Yakni bermakna ketuhanan.6
4 Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu; Epistemologi, Metodologi, Dan Etika, (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 2007), hlm. 103 5 Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999),
hlm. 49. 6 Kuntowijoyo, Islam sebagai..., hlm. 69.
81
Yang merupakan dimensi keimanan manusia yang dijadikan sebagai
frame nilai humanisasi dan liberasi. Karena ajaran Islam sebagai pedoman
hidup yang sifatnya universal dan internal tidak mungkin bisa dipahami
secara rinci dan detail, mengingat kompleksitas masalah dan perubahan
zaman yang tidak linier.
Iman kepada Allah merupakan frame dari ajaran amr ma’ruf nahi
munkar. Kata amr ma’ruf nahi munkar terdiri dari beberapa unsur anggota
badan seperti hati, ucapan, tangan, sedangkan iman juga mengandung unsur
yang sama yaitu mengucapkan dengan lisan, membenarkan dengan hati dan
dikerjakan dengan perbuatan. Hal ini bisa dipahami jikalau amr ma’ruf nahi
munkar bentuk realisasinya berupa tindakan pribadi dan sosial, yang
menekankan pada perbuatan. Sedangkan iman adalah bentuk justifikasi
realitas ilahiyah dan diwujudkan dalam perbuatan (amal shaleh).
Sedangkan yang berkenaan dengan mu’amalah duniawiyah Islam
harus memberikan pedoman yang berupa nilai-nilai transformatif yang
dibutuhkan kompetensi manusia.
Nilai-nilai transendensi inilah yang dijadikan sebagai pokok-pokok
ajaran Islam diantaranya yaitu: Iman kepada Allah, Iman kepada Malaikat-
Malaikat Allah, Iman kepada Kitab-Kitab Allah, Iman kepada Nabi dan
Rasul Allah, Iman kepada hari Akhir dan Iman kepada Qada dan Qadar
Allah.7
Dari ketiga nilai dasar transformasi pendidikan Islam mempunyai
implikasi yang sangat mendasar dalam rangka membimbing kelangsungan
hidup yang humanistik. humanisasi sebagai derivasi dari amr ma’ruf
mengandung pengertian kemanusiaan manusia sebagai proses perubahan,
liberasi yang diambil dari nahi munkar mengandung pengertian pembebasan
terhadap segala bentuk determinisme kultural dan struktural. Sedangkan
transendensi merupakan dimensi keimanan manusia yang menempatkan
perubahan tetap berada dalam bingkai kemanusiaan dan ketuhanan
7 Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1998), hlm.
201.
82
(humanisme-teosentris). Sehingga nilai-nilai transformasi pendidikan Islam
tersebut merupakan bentuk dari proses pembentukan manusia takwa atau
insan kamil.
Mengingat pentingnya muatan transendensi, Demikian halnya dalam
pengembangan kurikulum PAI, harus menekankan dengan adanya muatan
transendensi seperti yang menjadi tujuan pendidikan agama islam yaitu
untuk meningkatkan keimanan, pemahaman, penghayatan dan pengamalan
peserta didik tentang ajaran agama islam sehingga terbentuk manusia
muslim yang beriman dan bertakwa kepada alloh SWT serta berakhlak
mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,
seperti yang sudah dijelaskan pada bab sebelumnya. Islam memberikan
kebebasan dalam menginterprtasikan pendapat, gagasan untuk
dikontektualisasikan dan dirubah sesuai dengan perubahan zaman. Yang
tetap berada dalam bingkai kemanusiaan dan ketuhanan.
B. Implikasi Nilai-Nilai Profetik Bagi Pengembangan Organisasi Kurikulum
PAI
1. Tujuan Pendidikan
Nilai–nilai profetik Kuntowijoyo terdiri dari nilai humanisasi,
liberasi dan transendensi. Ketiga nilai tersebut hubungannya terhadap
pendidikan dapat dijelaskan bahwa pendidikan sebagai proses humanisasi
dan liberasi dapat berarti suatu proses penyadaran akan eksistensi diri
manusia sendiri (manusia sesungguhnya menurut pandangan Islam)
terhadap realitas historis yang obyektif dan aktual sebagai bentuk tuntutan
yang menghendaki pertanggungjawaban akan makna hidup di tengah-tengah
lingkungan masyarakat.
Nilai liberasi yang merupakan pembebasan manusia dari segala
bentuk penindasan. Dalam pendidikan Islam merupakan media transformasi
83
nilai-nilai Islam yang di dalamnya terdapat misi pembebasan sebagai wujud
nyata dari Islam sebagai agama pembebasan.8
Praktik-praktik pendidikan yang didasarkan pada prinsip-prinsip
kebebasan ini, menuntut keterbukaan dan intensitas dialog dalam proses
belajar mengajar. Hal ini diperlukan karena dengan penciptaan suasana
dialogis, secara psikologis membuat peserta didik merasakan dirinya turut
terlibat, ikut menciptakan dan bahkan merasa memiliki. Karena berdampak
positif terhadap berkembangnya potensi-potensi dasar anak, sehingga
mudah menciptakan gagasan kreatif, mandiri dan mampu merekayasa
perubahan-perubahan secara bertanggungjawab. Sikap-sikap kemandirian
inilah yang dikehendaki dari kerja-kerja pendidikan sebagai praktek
pembebasan. Dengan berpijak dan berporos al-Qur’an dan Hadist.
Sedangkan nilai transendensi yang membawa manusia untuk
beriman kepada Allah. Al-Qur’an merupakan sumber inspirasi dan motivasi
yang dapat menggerakkan umat Islam untuk melibatkan diri dalam kerja
dan pengembangan ilmu pengetahuan dan sebagai landasan teologis. Dalam
pandangan al-Qur’an, kerja ilmu pengetahuan bukan sekadar dimaksudkan
untuk membaca hasil ciptaan Allah secara diskriptif semata-mata diletakkan
sebagai obyek ilmu apalagi seperti paradigma keilmuan modern yang
menolak penjelasan metafisis dan filosofis terhadap alam kosmik.9 Akan
tetapi, ilmu pengetahuan perlu diarahkan secara teologis, etis, moral untuk
membangun hubungan yang lebih dekat antara manusia dengan Allah SWT
sebagai pencipta dari mana semua pengetahuan bersumber, serta untuk
membantu manusia menjalankan tugas kekhalifahannya di bumi.
Dengan humanisasi, Islam menekankan pentingnya memanusiakan
dalam proses perubahan. Sedangkan dengan liberasi, Islam mendorong
gerakan pembebasan terhadap segala bentuk determinisme kultural dan
struktural seperti kemiskinan, kebodohan. Dan dengan transendensi,
8
Moh. Shofan, Pendidikan Berparadigma Profetik; Upaya Konstruktif Membongkar
Dikotomi Sistem Pendidikan Islam, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2004), hlm. 146. 9 Moh. Shofan, Pendidikan..., hlm. 148.
84
perubahan dicoba diberi sentuhan yang lebih maknawi, yaitu perubahan
yang tetap berada dalam bingkai kemanusiaan dan ketuhanan.
Dengan demikian pendidikan memiliki peran banyak, diantaranya
adalah membebaskan peserta didik dari belenggu kebodohan, kemiskinan,
keterbelakangan. Selain itu, pendidikan juga membebaskan kejumudan
berfikir dan determinisme sejarah. Pendidikan Islam yang semacam inilah
yang seharusnya perlu dipertimbangkan dalam kerangka mewujudkan
pendidikan yang meliputi tiga ranah yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik,
sebagai wujud nyata kesalehan vertikal dan kesalehan horizontal dalam diri
peserta didik.
Dengan melihat tujuan nilai-nilai profetik Kuntowijoyo tersebut
terhadap pendidikan yaitu nilai humanisasi dijadikan sebagai tujuan
pendidikan untuk memanusiakan manusia. Nilai liberasi dijadikan sebagai
tujuan pendidikan yaitu pembebasan manusia sebagai makhluk yang
berpotensi. Nilai transedensi dijadikan sebagai tujuan pendidikan yaitu
tujuan akhir pendidikan Islam. Membentuk manusia yang beriman dan
bertakwa (insan kamil).
2. Organisasi Kurikulum
Pola organisasi kurikulum pendidikan Islam terdiri dari: 1)
kurikulum berdasarkan mata pelajaran terpisah (separate subject
curriculum), 2) kurikulum berdasarkan mata pelajaran gabungan
(corelated curriculum) dan 3) kurikulum terpadu (integrated
curriculum).10
Dengan melihat penjelasan landasan filosofis nilai profetik
terhadap tujuan pendidikan agama Islam adalah nilai humanisasi
dijadikan sebagai tujuan pendidikan untuk memanusiakan manusia. Nilai
liberasi dijadikan sebagai tujuan pendidikan yaitu pembebasan manusia
sebagai makhluk yang berpotensi. Nilai transedensi dijadikan sebagai
10
Abdul Majid dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2008),
hlm. 159-161.
85
tujuan pendidikan yaitu tujuan akhir pendidikan Islam. Membentuk
manusia yang beriman dan bertakwa (insan kamil). Dan implikasi nilai-
nilai profetik terhadap pengembangan organisasi yang relevan adalah
menggunakan kurikulum terpadu (integrated curriculum).
Bahwasannya dari ketiga nilai tersebut berbicara mengenai etik
profetik yang tidak hanya berorientasi pada dunia saja akan tetapi juga
untuk akhirat. Untuk mencapai ketiga tujuan tersebut dalam PAI dengan
menerapkan Integrated curriculum yaitu meniadakan batas-batas antara
berbagai mata pelajaran dan menyajikan bahan-bahan pelajaran dalam
bentuk unit keseluruhan. Kurikulum ini merupakan usaha untuk
mengintegrasikan berbagai mata pelajaran, agar menghasilkan kurikulum
yang terpadu (integrated). Integrasi ini tercapai dengan memusatkan
pelajaran pada masalah tertentu yang memerlukan pemecahannya dengan
bahan dan berbagai disiplin atau mata pelajaran yang diperlukan. Bahkan
mata pelajaran menjadi instrumen dan fungsional untuk memecahkan
masalah itu. Oleh karena itu, batas-batas antara mata pelajaran ditiadakan.
Hal ini, karena semua kegiatan kurikulum mengintegrasikan
semua masalah kehidupan tanpa kecuali, sehingga kurikulum ini dapat
menghasilkan manusia yang sempurna (kamil) dan manusia yang komplit
(kaffah).
Berbagai disiplin atau mata pelajaran mencakup dari isi
kurikulum pendidikan agam Islam yang meliputi:11
a. Isi kurikulum yang berorientasi pada ketuhanan. Rumusan isi
kurikulum yang berkaitan dengan ketuhanan, mengenai dzat, sifat,
perbuatannya dan realisasinya terhadap manusia dan alam. Ilmu fiqih,
ilmu akhlak, ilmu-ilmu tentang al-Qur’an dan Hadits. Isi kurikulum
yang berpijak pada wahyu Allah SWT.
b. Isi kurikulum yang berorientasi pada kemanusiaan. Rumusan isi
kurikulum yang berkaitan dengan perilaku manusia baik manusia
sebagai makhluk individu, makhluk sosial, makhluk berbudaya dan
11
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu..., hlm. 155.
86
makhluk berakal. Bagian ini meliputi ekonomi, kebudayaan, sosiologi,
antropologi, sejarah, seni, biologi, matematika dan sebagainya. Isi
kurikulum ini berpijak pada ayat-ayat anfusi.
c. Isi kurikulum yang berorientasi pada kealaman. Rumusan isi
kurikulum yang berkaitan dengan fenomena alam semesta sebagai
makhluk yang diamanatkan dan untuk kepentingan manusia. Bagian
ini meliputi fisika, kimia dan sebagainya.
Ketiga bagian isi kurikulum tersebut, disajikan dengan terpadu
tanpa adanya pemisahan, misalnya apabila membicarakan Tuhan dan
sifatNya akan berkaitan pula dengan relasi tuhan dengan manusia dan
alam semesta. Membicarakan asmaul husna sebagai penjelasan
mengesakan Allah dari sifat-sifatNya juga menjelaskan pula bagaimana
manusia berlaku seperti perilaku Tuhannya, baik terhadap sesama
manusia maupun pada alam semesta. Jika Allah SWT. cinta yang inklusif
(ar-rahman) dan cinta eksklusif (ar-rahim), maka manusiapun harus cinta
demikian. Dengan demikian, isi kurikulum tersebut akan membicarakan
hakikat Tuhan manusia dan alam semesta.
Untuk merealisasikan kurikulum terpadu menurut Kuntowijoyo
dapat dilakukan dengan pendekatan lima metode, yaitu: (1) memasukkan
mata pelajaran keislaman sebagai bagian integral dari sistem kurikulum
yang ada. Misalnya memasukkan materi-materi bidang studi Islam secara
wajib mulai tingkat dasar sampai perguruan tinggi; (2) menawarkan mata
pelajaran pilihan dalam tudi keislaman. Setelah mengikuti mata pelajaran
keislaman yang diwajibkan pada tingkat pemula, pada tingkat berikutnya
diharuskan memilih studi-studi Islam secara bebas; (3) mengarahkan
terjadinya integrasi antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum,
atau paling tidak untuk menjembatani jurang pemisah antara keduanya,
misalnya diajarkan mata pelajaran ilmu sosial Islam, psikologi Islam dan
sebagainya; (4) tujuan utama program ini adalah memberikan semacam
keterangan keagamaan kepada mata pelajaran tersebut kemudian
mengintegrasikan ke dalam orde dan hierarki ilmu keislaman; dan (5)
87
terlebih dahulu mengintegrasikan semua disiplin ilmu di dalam kerangka
kurikulum pendidikan agama Islam. Setelah menempuh mata pelajaran
yang telah diintegrasikan di dalam kurikulum yang sudah dipadukan
antara ilmu-ilmu keislaman dan ilmu-ilmu umum, dalam jenjang
berikutnya, maka mereka akan memilih spesialisasi yang diminati.12
3. Pokok Pendidikan Agama Islam
Sebagaimana diketahui, bahwa dalam inti ajaran Islam meliputi;
a. Masalah keimanan (akidah), bersifat I’tiqod batin, mengajarkan
keesaan Allah, Esa sebagai Tuhan yang mencipta, mengatur, dan
meniadakan alam ini.
b. Masalah keislaman (syariah), syariah behubungan dengan amal lahir
dalam rangka menaati semua peraturan dan hukum Tuhan, guna
mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan dan mengatur
pergaulan hidup dan kehidupan manusia.
c. Masalah ikhsan (akhlak) merupakan amalan yang bersifat pelengkap
peyempurna bagi kedua amal di atas dan yang mengajarkan tentang tata
cara pergaulan hidup manusia.
Tiga inti ajaran Islam itu kemudian dijabarkan dalam bentuk rukun
iman, rukun Islam, dan akhlak; serta beberapa keilmuan yaitu tauhid, ilmu
fiqih, dan ilmu akhlak. Ketiga kelompok ilmu agama itu kemudian
dilengkapi dengan pembahasan dasar hukum Islam yaitu Al-Qur’an dan
Hadits, serta ditambah lagi dengan sejarah Islam (tarikh), sehingga secara
berurutan menjadi; a) Ilmu tauhid atau keimanan, b) Ilmu fiqih, c) Al-
Qur’an, d) Al-Hadits, e) Akhlak
Ruang lingkup bahan pelajaran Pendidikan Agama Islam secara
garis besar mewujudkan keserasian, dan keseimbangan antara:13
a. Hubungan manusia dengan Allah SWT
b. Hubungan manusia dengan dirinya sendiri
12
Kuntowijoyo, Paradigma Islam; Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 1998), hlm.
352-354. 13
Ramayulis, Metodologi Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2005), hlm. 22.
88
c. Hubungan manusia dengan sesama manusia
d. Hubungan manusia dengan makhluk lain dan lingkungan alamnya
Bagian bahan pelajaran Pendidikan Agama Islam meliputi;
a. Keimanan
b. Ibadat
c. Al-Qur’an
d. Akhlak
e. Syariah
f. Muamalah
g. Tarikh
4. Proses Pembelajaran
a. Media Pembelajaran
Penerapan media yang digunakan untuk menanamkan nilai-nilai
profetik dalam pembelajaran adalah yang berhubungan langsung dengan
benda, kejadian, dan keadaan yang sebenarnya.14 Media tersebut dapat
bersumber dari kegiatan dan pengalaman masyarakat atau yang
bersumber dari benda-benda alam, alam itu sendiri, dan contoh-contoh
aktivitas masyarakat. Media pembelajaran Pendidikan Agama Islam yang
dapat digunakan, misalnya buku, majalah, surat kabar, audio-visual,
praktik ibadah, keteladanan, dan perayaan-perayaan keagamaan,
termasuk juga menghadapkan peserta didik kepada maslah untuk
dipecahkan (problem solving).
b. Teknik atau strategi
Strategi model dalam pembelajaran PAI ini dapat menggunakan
media pendidikan yang berbasis moralitas ke dalam setiap materi
pembelajaran yang lain, sehingga isi atau muatan dari masing-masing
materi pembelajaran tersebut tidak hanya berupa verbalisme dan sekedar
hafalan, tetapi betul-betul berhasil membentuk sosok peserta didsik yang
14
Mukhtar, Desain Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Misaka Galiza, 2003),
hlm. 113-115.
89
memiliki akhlaqul karimah. Jadi, materi pembelajaran Pendidikan Agama
Islam bukan hanya sekedar untuk diketahui dan dihafalkan agar lulus
dalam ujian, namun harus diinternalisasikan dan dipraktikkan secara
nyata dalam proses pembelajaran tersebut. Di sinilah terjadi
pembentukan kepribadian (character building) peserta didik.
c. Metode
Ada sejumlah cara yang dapat ditempuh atau sejumlah metode
interaksi yang dapat dipertimbangkan sebagai alternatif-alternatif untuk
membina tingkah laku belajar secara edukatif dalam berbagai peristiwa
interaksi. Dalam pendidikan agama, hampir semua bahan dan materinya
dapat disampaikan dengan metode ceramah, baik yang menyangkut
akidah, syariah, maupun, akhlak. Hanya saja di dalam penerapannya
hendaknya dipadukan dengan metode-metode yang lain yang
memungkinkan dan dibantu alat-alat bantu mengajar lainya serta
peragaan.
Salah satu metode yang dapat yang diterapkan untuk
menanamkan nilai-nilai profetik dalam pengembangan kurikulum PAI ini
dapat menggunakan strategi pemecahan masalah (problem solving) yaitu
suatu metode dalam pendidikan PAI yang digunakan sebagai jalan untuk
melatih peserta didik dalam menghadapi suatu masalah, baik yang timbul
dari diri, keluarga, sekolah, maupun masyarakat, mulai dari masalah yang
paling sederhana sampai kepada masalah yang paling sulit.15 Hal ini
dimaskudkan untuk melatih dan mengembangkan kemampuan berfikir
kritis dan analitis bagi peserta didik dalam menghadapi situasi dan
masalah. Dengan demikian, pembelajaran ini sasarannya untuk melatih
dan mengembangkan keberanian peserta didik dan menumbuhkan rasa
tanggung jawab dalam menghadapi masalah-masalah yang mungkin
muncul dalam kehidupan di tengah-tengah masyarakat tempat ia kelak
berada.
15
Mukhtar, Desain..., hlm. 143.
90
Dengan menggunakan suatu metode ini akan mempermudah
guru dalam menyampaikan materi. Penggunaan metode atau stategi
inilah diharapkan dalam proses pembelajaran dapat berjalan dengan
lancar. Namun dalam pemilihan metode ini disesuaikan dengan materi
yang akan diajarkan sesuai dengan kebutuhan dalam proses belajar
mengajar.
Dalam konsep pendidikan Islam ada dua landasan utama yang
menjadi dasar pijakan pengembangan pendidikan selanjutnya yaitu al-
Qur’an dan al-Hadits sendiri. Sedangkan secara umum tujuan
pelaksanaan pendidikan Islam adalah:
a. Mengenal Tuhannya (Allah SWT; di sinilah urgensi tektualitas al-
Qur’an dan al-Hadits sebagai landasan untuk mengenalkan Allah
sebagai satu- satunya Tuhan dan tanpa sekutu).
b. Mengenal hukum-hukumnya; mengenal hukum-hukumnya
menemukan titik temunya dengan pembelajaran materi umum
misalnya ilmu alam, biologi, sosial, politik, ekonomi, budaya,
teknologi dan sebagainya yang hari ini banyak diminati manusia
modern.
c. Mengenal cara belajar hidup yang benar sesuai dengan tuntutan dan
tuntunan nilai- nilai yang telah diajarkan Allah dan rasulnya.
d. Mengenal dan belajar menyelesaikan masalah yang dimulai dari
mengenali masalah kemudian mampu secara mandiri
5. Cara Pelaksanaan Evaluasi Pendidikan Agama Islam
Selama ini, para guru PAI lebih banyak mengenal rodel-model
evaluasi acuan norma atau kelompok (Norm/Group Referenced Evaluation),
dan evaluasi acuan patokan (Criterian Referenced Evaluation). Dalam
pendidikan agama ternyata yang dinilai bukan hanya hafalan surat-surat
pendek, hafalan rukun shalat dan seterusnya, tetapi apakah shalatnya rajin
atau tidak. Di sinilah perlunya memahami model Evaluasi Acuan Etik.
91
Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam evaluasi adalah sebagai
berikut:
a. Jika yang akan dites atau dievaluasi adalah kemampuan dasar (aptitude),
maka digunakan evaluasi acuan norma atau kelompok (Norm/Group
Referenced Evaluation)
b. Jika yang akan dites atau dievaluasi adalah prestasi belajar (achievement),
maka digunakan evaluasi acuan patokan (Criterian Referenced
Evaluation)
c. Jika yang akan dites atau dievaluasi adalah kepribadian (personality),
maka digunakan evaluasi acuan etik. Pendidikan Agama Islam banyak
terkait dengan masalah ini.16
Dengan menggunakan evaluasi acuan etik ini, diasumsikan bahwa:
a. Manusia asalnya fitrah atau baik
b. Pendidikan berusaha mengembangkan fitrah (aktualisasi)
c. Satunya iman, ilmu, dan amal.
Yang akan berimplikasi pada:
a. Tujuan pembelajaran: menjadikan manusia “baik”, bermoral, beriman
dan bertakwa
b. Proses belajar mengajar: sistem mengajar berwawasan nilai
c. Kriteria: kriteria benar atau baik bersifat mutlak
Selain menggunakan evaluasi di atas, dapat juga menggunakan
evaluasi kegiatan orang lain. Evaluasi terhadap perilaku orang lain harus
disertai dengan amr ma’ruf dan nahi munkar (mengajar yang baik dan
mencegah yang mungkar).17 Tujuannya adalah untuk memperbaiki tindakan
orang lain, bukan untuk mencari aib atau kelemahan seseorang.
Dengan dorongan hawa nafsu dan bisikan setan, individu terkadang
melakukan kesalahan dan perilaku yang buruk. Ia tidak merasakan bahwa
tindakannya itu merugikan di kemudian hari. Dalam kondisi ini, perlu ada
evaluasi dari orang lain, agar ia dapat kembali ke fitrah aslinya yang
16
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah
dan Perguruan Tinggi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 53. 17
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu..., hlm. 216.
92
cenderung baik. Evaluasi dari orang lain cenderung objektif, karena tidak
dipengaruhi hasrat primitifnya.
Dengan menerapkan model pendidikan di atas peserta didik akan
berfikir kritis, mampu berkomunikasi efektif, memahami lingkungan
manusia, memahami individu dan masyarakat dan meningkatkan
kompetensi berpengetahuan, berpendidikan, bertanggung jawab, peduli
pada kesejahteraan sosial, dan beriman, takwa. Sehinggaa tercipta
pendidikan yang humanistik.
93
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Setelah penulis menyajikan berbagai uraian dalam bab-bab
sebelumnya tentang kerangka pemikiran Kuntowijoyo tentang nilai-nilai
pofetik dan pengembangan kurikulum PAI penulis memberikan hipotesa
sederhana sesuai dengan kapasitas kemampuan dan pemahaman penulis dalam
melakukan telaah serta analisis dari berbagai permasalahan. Adapun
kesimpulan itu adalah sebagai berikut.
1. Nilai-nilai profetik Kuntowijoyo terdiri dari tiga pilar yaitu: humanisasi,
liberasi dan transendensi yang diderivasi dari al-Qur’an surat Ali Imran
ayat 110. Konsep humanisasi adalah memanusiakan manusia,
menghilangkan kebendaan, ketergantungan, kekerasan dan kebencian dari
manusia. Konsep humanisme yang berakar pada humanisme-teosentris
yang tak bisa dipahami secara utuh tanpa memahami yang menjadi konsep
dasarnya. Humanisme-teosentris maksudnya manusia harus memusatkan
diri pada Tuhan, tetapi tujuannya adalah untuk kepentingan manusia
sendiri. Artinya keyakinan religius yang berakar pada pandangan
teosentris, selalu dikaitkan dengan amal, yaitu perbuatan atau tindakan
manusia, keduanya merupakan suatu kesatuan yang tak terpisahkan.
Humanisme-teosentris inilah merupakan nilai inti (core-value) dari seluruh
ajaran Islam. Liberari yang dimaksud Kuntowijoyo dalam ilmu sosial
profetik adalah berada dalam konteks ilmu dan bukan pada konteks
idiologis; yaitu ilmu yang didasari nilai-nilai luhur transendental.
Sedemikian rupa, nilai-nilai liberatif tersebut harus dipahami atau
didudukkan dalam ilmu soaial yang memiliki tanggung jawab profetik
untuk membebaskan manusia dari kekejaman kemiskinan, pemerasan
kelimpahan, dominasi struktur yang menindas dan hegemoni kesadaran
palsu. Sedangkan transendensi adalah unsur terpenting dari etika profetik
yang sekaligus menjadi dasar dari dua unsur lainnya; humanisasi dan
94
liberasi. Transendensi memberi ke arah ke mana dan untuk tujuan apa
humanisasi dan libersi itu dilakukan.
2. Implikasi nilai-nilai pfofetik bagi pengembangan kurikulum PAI adalah:
kurikulum secara substansi yaitu mengarah pada semua aktifitas sekolah
yang mempengaruhi peserta didik agar tercapai tujuan yang diinginkan
yaitu untuk meningkatkan keimanan, pemahaman dan penghayatan dan
pengamalan peserta didik, penghayatan dan pengamalan peserta didik
tentang ajaran agama Islam sehingga tujuan terbentuk manusia muslim
yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT serta berakhlak mulia
dalam kehidupan pribadi, masyarakat berbangsa dan bernegara. Dari
ketiga nilai inilah (humanisasi, liberasi, transendensi) yang menjadikan
transformasi pendidikan Islam. Masing-masing mempunyai peran yaitu
nilai humanisasi dijadikan tujuan pendidikan, yaitu untuk memanusiakan
manusia. Liberasi dijadikan tujuan, yaitu proses pembebasan manusia
sebagai makhluk yang berpotensi. Sedangkan nilai transendensi dijadikan
tujuan pendidikan yaitu, sebagai tujuan akhir pendidikan Islam
(membentuk manusia yang beriman dan bertakwa. Dan sesuai landasan
pengembangan kurikulum nilai-nilai profetik (humanisai, liberasi dan
transendensi) mempunyai peranan yang sangat penting dalam
pengembangan kurikulum untuk pencapaian tujuan pendidikan PAI.
Karena dari kitiga nilai ini mempunyai implikasi yang sangat mendasar
dalam rangka membimbing kelansungan hidup yang humanistik.
Humanisasi mengandung pengertian kemanusiaan manusia sebagai proses
perubahan, liberasi mengandung pengertian pembebasan tergadap segala
bentuk determinisme kultural dan struktur, sedangkan transendensi
merupakan dimensi keimanan manusia yang menempatkan perubahan
tetap berada dalam bingkai kemanusiaan dan ketuhanan. Sehingga nilai-
nilai transformasi pendidikan Islam merupakan bentuk dari proses
pembentukan insan kamil. Nilai inilah yang semestinya harus dimainkan
umat Islam untuk memberikan kontribusinya bagi pendidikan Islam
95
melalui pengembangan kurikulum PAI. Dan kurikulum yang relevan untuk
memuat ketiga nilai tersebut adalah integrated kurikulum.
B. SARAN-SARAN
Dengan segala kerendahan hati, penulis skripsi ini yakin bahwa di
dalam penulisannya masih banyak kesalahan dan kekurangan baik data
maupun sistematika yang masih butuh evaluasi. Hal ini tidak lain karena
keterbatasan kapasitas peneliti. Dengan demikian, kepada semua pihak,
peneliti sangat mengharapkan evaluasi dan kritik untuk kesempurnaan karya
ini. Hipotesis dari penelitian semacam ini sangat di perlukan tentunya dengan
data yang lebih lengkap dan valid untuk keberlangsungan perkembangan
pengetahuan baru yang bermanfaat bukan hanya menjadi coretan-coretan
naskah yang tidak berguna bagi masyarakat secara umum.
C. PENUTUP
Alhamdulillah, Segala puja dan puji syukur senantiasa kami panjatkan
kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan bimbingan dengan segala
rahmat, taufiq dan hidayah-Nya, sehingga peneliti dapat berikhtiyar
menyelesaikan penelitian ini meski masih banyak kekurangan yang perlu
dikoreksi. Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada beliau Nabi
dan Rasulullah SAW sang pembaharu sejati pembawa risalah ilahiyyah,
beserta para sahabat dan keluarga-Nya.
Ucapan terimakasih senantiasa penulis sampaikan kepada seluruh
pihak yang telah memberikan motivasi dan support selama penulis melakukan
penelitian, terutama dosen pembimbing skripsi yang selalu menyempatkan
waktunya untuk memberikan masukan dan bimbingan kepada peneliti.
Harapan yang sangat besar adalah peneliti mengharap semoga skripsi
ini bermanfaat dan menambah khazanah ilmu pengetahuan minimal bagi diri
peneliti dan bagi pembaca pada umumnya. Dan semoga apa yang teah
dikerjakan peneliti mendapat bimbingan dan ridha Allah SWT. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
A. Sirry, Mun’im, Membendum Militansi Agama; Iman dan Politik dalam
Masyarakat Modern, Jakarta: Erlangga, 2003
Abdurrahman, Moeslim, Islam Sebagai Kritik Sosial, Jakarta: Erlangga, 2003
_______, Islam Transformatif, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1997
Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam; Paradigma Humanisme Teosentris,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005
Ali, Muhammad, Penelitian Kependidikan Prosedur dan Strategi, Bandung:
Angkasa, 1993
Amien Rais, M., Tauhid sosial: Formula Menggempur Kesenjangan, Bandung :
Mizan, 1998
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta:
Rineka Cipta, 1991, Cet. VIII
Azhar, Ahmad, “Kapita Selekta PAI”, dalam
http://ahmadazhar.wordpress.com/2009/11/07/makalah-kapita-selekta-
pai/, diakses 02 Juni 2011.
Azwar, Saifuddin, Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009
Beker dan Ahmad Charris Zubair, Anton, Metode Penelitian Filsafat, Yogyakarta:
Kanisius, 1992
Chabib Toha, M., Kapikta Selekta Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1996
Daud Ali, Muhammad, Pendidikan Agama Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo,
1998
Depag RI, Al-Quran dan Terjemah, Surabaya: Duta Ilmu, 2005
_______, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Surabaya: Duta Ilmu, 2005
Echols dan Hassan Shadily, John, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2006, Cet. XXVIII
F. Oliva, Peter, Developing the Curriculum, Canada: Little, Brown and Company
Boston Toronto, 1982
Fahmi, M., Islam Transendental Menelusuiri Jejak-Jejak Pemikiran Islam
Kuntowijoyo, Yogyakarta: Pilar Religia, 2005
Freire, Paulo, Pendidikan Kaum Tertindas, Jakarta: LP3S
Fromm, Erich, Revolusi Harapan: Menuju Masyarakat yang Manusiawi, terj.:
Kamdani, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996
Garaudy, Roger, Mencari Agama pada Abad XX: Wasiat Filsafat Roger Garaudy
Jakarta: Bulan Bintang, 1986
Hamalik, Oemar, Manajemen Pengembangan Kurikulum, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2008, Cet. III
Idi, Abdullah, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik, Yogyakarta: Ar-
Ruzz Media, 2009
Indriyana, Pesan-Pesan Dakwah dalam Novel Khotbah di Atas Bukit Karya
Kuntowijoyo, Skripsi, Semarang: IAIN Walisongo, 2006
J. Maleong, Lexy, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remadja Karya
CV., 1989
Kuntowijoyo, Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia, Yogyakarta: Shalahuddin
Press dan Pustaka Pelajar, 1994
_______, Identitas Politik Umat Islam, Bandung: Mizan, 1997
_______, Islam sebagai Ilmu Epistemologi, Metodologi, dan Etika, Yogyakarta:
Tiara Wacana, 2007
_______, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi, Bandung: Mizan, 1998
_______, Penjelasan Sejarah (Historical Explanation), Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2008
Ma’arif, Syamsul, Selamatkan Pendidikan Dasar Kita, Semarang: Need’s Press,
2009
Majid dan Dian Andayani, Abdul, Pendidikan Agama Islam Berbasis
Kompetensi: Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004, Bandung : PT.
Remaja Rosda Karya, 2005
Majid dan Jusuf Mudzakkir, Abdul, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana,
2008
Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1999
Moh. Shofan, Pendidikan Berparadigma Pofetik; Upaya Konstruktif Membongkar
Dikotomi Sitem Pendidikan Islam, Yogyakarta: IRCiSoD, 2004
Mudjiono dan Dimyati, Belajar dan Pembelajaran, Jakarta: PT. Rineka Cipta,
2009
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam; Upaya Mengefektifkan Pendidikan
Agama Islam di Sekolah, Bandung PT. Remaja Rosda Karya, 2008
_______, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah,
Madrasah dan Perguruan Tinggi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2007
Muhajir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin,
1991
Muhammad al-Toumi al-Syaibani, Omar, Filsafat Pendidikan Islam, (terj: Hasan
Langgulung), Jakarta: Bulan Bintang, 1984
Mukhtar, Desain Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Misaka Galiza,
2003
Nasution, S., Asas-Asas Pengembangan Kurikulum, Jakarta: PT. Bumi Aksara,
2008
_______, Kurikulum dan Pengajaran, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 1989
Nata, Abudin, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam: Seri Kajian Filsafat
Prendidikan Islam, Jakarta: Raja Gravindo Persada, 2001
Nawawi dan Mimi Martini, Hadari, Penelitian Terapan, Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 2005
Nawawi, Hadari, Metodologi Bidang Sosial, Yogyakarta: Gajah Mada, 1993
Nurgitantoro, Burhan, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum Sekolah: Sebuah
Pengantar Teoritik dan Pelaksanaan, Yogyakarta: BPFE, 1988
Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 Tentang
Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar(KD) Mata Pelajaran
Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab di Madrasah Aliyah
_______, Tentang Standar Kompetensi Lulusan dan Standar Isi Pendidikan
Agama Islam dan Bahasa Arab di Madrasah
Quraish Shihab, M., Tafsir Al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an,
Jakarta: Lentera Hati, 2002
Ramayulis, Metodologi Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2005
Rembangy, Musthofa, Pendidikan Transformatif Pergulatan Kritis Merumuskan
Pendidikan Di Tenngah Pusaran Arus Globalisasi, Yogyakarta: Penerbit
TERAS, 2010
Rosyadi, Khoiron, Pendidikan Profetik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004
Roziqin, Badiatul, dkk., 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia,Yogyakarta: e-
Nusantara, 2009
Sami’un, Konsep Al-Qur’an tentang Khairu Al-Ummah dalam Perspektif
Pendidikan Islam,tinjauan analisis deskriptif kualitatif data dan analisis
semantik, Skripsi, Semarang: IAIN Walisongo, 2006
Sanjaya, Wina, Kajian Kurikulum dan Pembelajaran, Bandung: Sekolah Pasca
Sarjana Universitas Pendidikan Indonesia, 2007
Sudjana, Nana, Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar, Bandung: Sinar Baru
Aglesindo, 1995
Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo,
2004
Syaodih Sukmadinata, Nana, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek,
Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009, Cet. 11
Syari’ati, Ali, Humanisme: antara Islam dan Mazhab Barat, terj.: Afif
Muhammad, Bandung: Pustaka Hidayah, 1996
Tafsir, Ahmad, Filsafat Pendidikan Islam; Integrasi Jasmani, Rohani dan Kalbu
Memanusiakan Manusia, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2008
Tim Penyusun Pusat Pembinaan Dan pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1990, Cet. III
Tim Redaksi, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Jakarta: PT.
Gramedia, 2008, Cet. I, Edisi, IV
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009,
Cet. III
Zed, Mestika, Metode Penelitian Kepustakaan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2004
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Sriyanto
Tempat tanggal lahir : Wonogiri, 09 Mei 1985
Alamat Asal : Dukuh, RT/RW. 03/06. Ngaglik, Kec.
Bulukerto, Kab. Wonogiri
Jenjang Pendidikan Formal :
1. SD 01 Ngaglik Tahun 1997
2. SLTP N 01 Bulukerto Tahun 2000
3. SMK PGRI 02 Wonogiri Tahun 2004
4. IAIN Walisongo Semarang. Tahun 2011
Pendidikan Non Formal :
1. -
Pengalaman Organisasi :
1. PSHT (Persaudaraan Setia Hati Terate) Tahun 2009/2010
2. HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) Tahun 2006/2007
3. LBMI (Lembaga Bahasa Mahasiswa Islam) Tahun 2006/2007
4. CDIS (Central Democration for Islamic Studis) Tahun 2006/2007
Semarang, 09 Juni 2011
Penulis
Sriyanto
NIM. 053111418