NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF AL...

90
NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN SURAT AN-NAHL AYAT 90-91 Skripsi Diajukan Kepada Fakultas lmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd) Disusun oleh: Inna Aulia Roesmin NIM: 1113011000068 JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2018 M/1439 H

Transcript of NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF AL...

NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM

PERSPEKTIF AL-QUR’AN SURAT AN-NAHL AYAT

90-91

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas lmu Tarbiyah dan Keguruan

Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)

Disusun oleh:

Inna Aulia Roesmin

NIM: 1113011000068

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2018 M/1439 H

i

ABSTRAK

Inna Aulia Roesmin (1113011000068), Nilai-Nilai Pendididikan Akhlak

dalam Perspektif Al-Qur’an Surat An-Nahl Ayat 90-91

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pendidikan akhlak serta konsep

aplikasi pendidikan yang terkandung dalam surat An-Nahl ayat 90-91. Metode

penelitian yang digunakan adalah jenis kualitatif melalui library research (studi

kepustakaan), dengan cara mengumpulkan data atau bahan-bahan yang berkaitan

dengan tema pembahasan dan permasalahannya, yang diambil dari sumber-

sumber kepustakaan. Kemudian dianalisis dengan metode tahlili, yaitu metode

penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dengan cara mendeskripsikan uraian-uraian makna

yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an.

Berdasarkan hasil penelitian, disimpulkan bahwa dalam surat An-Nahl ayat

90-91 terdapat nilai-nilai pendidikan, diantaranya: keadilan, kebaikan, menepati

janji, dan melaksanakan sumpah. Nilai pendidikan tersebut memiliki penerapan

dengan beberapa metode, diantaranya metode ceramah, metode teladan, metode

pembiasaan, dan metode kisah.

Kata Kunci: Pendidikan Akhlak, Al-Qur’an, Surat An-Nahl Ayat 90-91.

ii

ABSTRACT

Inna Aulia Roesmin (1113011000068), Nilai-Nilai Pendididikan Akhlak

dalam Perspektif Al-Qur’an Surat An-Nahl Ayat 90-91

This study aims to determine the moral education and educational application

concepts contained in the letter An-Nahl verses 90-91. The research method used

is a qualitative type through library research(literature study), by collecting data

or materials related to the theme of the discussion and the problem, taken from

literary sources. Then analyzed by tahlili method, namely the method of

interpretation of verses of the Qur'an by way of describing the descriptions of the

meaning contained in the verses of the Qur'an.

Based on the results of research, concluded that in Surah An-Nahl verses 90-

91 there are educational values,among others: justice, kind, keeping promises, and

carry out the oath. The value of education has an implementationwith several

methods,among otherslecture method, exemplary method, method of habituation,

and story method.

Keywords: Education of Akhlak, Al-Qur’an, Surah An-Nahl Verses 90-91.

iii

KATA PENGANTAR

بسم هللا الر محن الر حيم

Assalamu’alaikum Warahmatullâhi Wabarakâtuh

Alhamdulillah segala puji bagi Allah yang telah memberikan rahmat, taufik,

hidayah, dan nikmat sehat yang telah diberikan kepada penulis, sehingga penulis

dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam tetap tercurahkan kepada

baginda Rasulullah, Nabi Muhammad SAW., sebagai suri tauladan terbaik,

beserta keluarganya, para sahabat dan para pengikutnya hingga akhir zaman.

Skripsi yang berjudul “Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak dalam Perspektif Al-

Qur’an Surat An-Nahl Ayat 90-91” ini. Disusun dalam rangka memenuhi salah

satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd) Fakultas Ilmu

Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Proses penyelesaian skripsi ini tidak hanya kerja keras dan usaha penulis,

namun penulis mengucapkan rasa terimakasih kepada semua pihak yang telah

membantu hingga terselesaikannya skripsi ini, terutama kepada:

1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA. selaku Rektor Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA. selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah

dan Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta.

3. Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag, dan Hj. Marhamah Saleh, Lc, MA.

selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam dan Sekretaris Jurusan

Pendidikan Agama Islam yang telah memberikan bimbingan dan ilmu

pengetahuannya.

4. Dr. Bahrissalim, MA. selaku Dosen Penasehat Akademik yang dengan

penuh perhatian telah memberikan bimbingan, arahan dan motivasi serta

ilmu pengetahuan kepada penulis selama masa perkuliahan.

iv

5. Dr. Abdul Ghofur, M.Ag. selaku Dosen Pembimbing yang dengan penuh

perhatian telah memberikan bimbingan, arahan, dan motivasi serta ilmu

pengetahuan kepada penulis selama bimbingan.

6. Bapak dan Ibu Dosen yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu

namun tidak sedikit pun mengurangi rasa hormat, yang telah membimbing

penulis selama kuliah di Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu

Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

7. Staf Administrasi Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) yang telah

membantu penulis dalam melengkapi surat-surat serta tandatangan ketua

jurusan.

8. Seluruh Staf Perpustakaan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK)

dan Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta yang telah menyediakan banyak referensi yang

menunjang dalam penulisan ini.

9. Kedua orang tua penulis, yaitu Ayahanda Edi Rusmin, dan Ibunda Noncin

Nasan, yang telah merawat putrinya dengan penuh kasih sayang, selalu

memberikan nasihat, motivasi, dan semangat. Sehingga penulis

termotivasi dalam menyelesaikan skripsi ini.

10. Kakak tecinta Gunawan (Alm.) semoga ditempatkan di tempat yang baik

di sisi-Nya. Amin Ya Rabbal ‘Alamin. Serta kedua adikku tercinta Annisa

Roesmin dan Aziz Hadi Wibowo Rusmin, karena canda dan tawa mereka

yang menjadi motivasi dan inspirasi bagi penulis dalam menyelesaikan

skripsi ini.

11. Teman-teman mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI)

angkatan 2013, khususnya sahabat CABHE(PAI B) yang telah

memberikan motivasi dan bantuannya sampai terselesaikannya skripsi ini.

12. Tak lupa segenap pihak yang telah membantu dan memberikan motivasi

yang tidak dapat disebutkan satu-persatu namanya, penulis mengucapkan

banyak terimakasih.

v

Akhirnya penulis ucapkan banyak terimakasih atas dukungan dan bantuan

semua pihak, baik yang bersifat moril dan materil. Penulis do’akan semoga

Allah SWT., membalas semua kebaikannya dengan limpahan Rahmat,

Hidayah-Nya dan Nikmat sehat dan dapat menjadi amal jariyah. Amin Ya

Rabbal ‘Alamin.

Jakarta, 28 Februari 2018

Inna Aulia Roesmin

vi

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

Transliterasi kata-kata Arab yang dipakai dalam penyusunan skripsi ini

berpedoman pada buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan

Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

1. Konsonan Tunggal

No. Huruf Arab Huruf Latin No. Huruf Arab Huruf Latin

tidak ا 1

dilambangkan ط 16

Ţ

2 ظ B 17 ب

Ť

3 ع T 18 ت

4 غ Ś 19 ث

Ġ

5 ف J 20 ج

F

6 ق H 21 ح

Q

7 ك Kh 22 خ

K

8 ل D 23 د

L

9 م Ż 24 ذ

M

10 ن R 25 ر

N

11 و Z 26 ز

W

12 ه S 27 س

H

13 ء Sy 28 ش

ʹ

14 ي ṣ 29 ص

Y

15 ة Đ 30 ض

H

2. Vokal

a. Vokal Tunggal

vii

Tanda Huruf Latin

A

I

U

b. Vokal Rangkap

Tanda dan

Huruf

Huruf Latin

Ai ى ي

Au ى و

3. Mâdd

Harakat dan Huruf Huruf dan Tanda

 ى ا

Î ى ي

Û ى و

4. Tâ’ Marbȗţah

Tâ’ Marbȗţah hidup transliterasinya adalah /t/.

Tâ’ Marbȗţah mati transliterasinya adalah /h/.

Kalau pada suatu kata yang akhir katanya adalah Tâ’ Marbȗţah diikuti oleh

kata yang menggunakan kata sandang al, serta bacaan kedua kata itu terpisah

maka Tâ’ Marbȗţah itu ditransliterasikan dengan /h/. Contoh:

hadîqat al-hayawânât atau hadîqatul hayawânât =حديقة احليواانة

al-madrasat al-ibtidâ`iyyah atau al-madrasatul ibtidâ`iyyah =املدرسة االبتدا ئية

Hamzah = محزة

5. Syaddah (Tasydīd)

viii

Syaddah /tasydīd ditransliterasikan dengan huruf yang sama dengan huruf

yang diberi tanda syaddah (digandakan).

Contoh:

yukarriru = يكر ر allama‘ = علم

al-maddu = المد kurrima = كر م

6. Kata Sandang

a. Kata sandang diikuti oleh huruf Syamsiyah ditransliterasikan dengan huruf

yang mengikuti dan dihubungkan dengan tanda sambung/hubung.

Contoh:

aş-şalatu = الصالة

b. Kata sandang diikuti oleh huruf Qamariyah ditransliterasikan sesuai

dengan bunyinya. Contoh:

ث al-falaqu = الفلق al-bâhiśu = البح

7. Penulisan Hamzah

a. Bila hamzah terletak di awal kata, maka ia tidak dilambangkan dan ia

seperti alif, contoh:

akaltu = أكلت ûtiya = أوت

b. Bila di tengah dan di akhir ditransliterasikan dengan apostrof, contoh:

syai’un = شيء ta’kuluna = ت كلون

8. Huruf Kapital

Huruf Kapital dimulai pada awal nama diri, nama tempat, bukan pada kata

sandangnya. Contoh:

al- Qur’an = القرآن

al-madînatul Munawwarah = المدي نة المن ورة

al-Mas’ûdî = المسعودي

ix

Daftar Isi

LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQASAH

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING

LEMBAR PERNYATAAN KARYA SENDIRI

ABSTRAK i

KATA PENGANTAR iii

PEDOMAN TRANSLITERASI vi

DAFTAR ISI ix

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Identifikasi Masalah 6

C. Pembatasan Masalah 7

D. Perumusan Masalah 7

E. Tujuan dan Manfaat Hasil Penelitian 7

BAB II KAJIAN TEORETIK

A. Pengertan Nilai 9

B. Pengertian Pendidikan Akhlak 14

C. Sumber Pendidikan Akhlak 18

D. Macam-macam Akhlak 19

E. Hasil Penelitian yang Relevan 31

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Objek dan Waktu Penelitian 33

B. Metode Penelitian 33

C. Fokus Penelitian 35

D. Prosedur Penelitian 35

x

BAB IV TEMUAN PENELITIAN dan PEMBAHASAN

A. Tafsir Al-Qur’an Surat An-Nahl ayat 90-91

1. Sejarah Surat An-Nahl dan Asbabun Nuzul Ayat 37

2. Teks Ayat dan Terjemahnya 39

3. Kata Mufradat 40

4. Tafsir Surat An-Nahl Ayat 90-91 41

B. Nilai-nilai Pendidikan Akhlak yang Terkandung di dalam Surat An-Nahl

ayat 90-91

1. Nilai Keadilan 49

2. Nilai Kebaikan 52

3. Nilai Menepati Janji 54

4. Nilai Melaksanakan Sumpah 55

C. Penerapan Pendidikan Akhlak dalam Surat An-Nahl ayat 90-91

1. Penerapan Nilai Keadilan 56

2. Penerapan Nilai Kebaikan 58

3. Penerapan Nilai Menepati Janji 59

4. Penerapan Nilai Melaksanakan Sumpah 60

BAB V KESIMPULAN

A. Kesimpulan 62

B. Saran 63

DAFTAR PUSTAKA 64

LAMPIRAN-LAMPIRAN

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur’an dijadikan sebagai acuan pokok dalam melaksanakan

pendidikan, karena al-Qur’an merupakan sumber nilai utama dari segala

sumber nilai yang ada di dalam kehidupan manusia. Al-Qur’an

memperkenalkan dirinya dengan berbagai ciri dan sifat. Satu di antaranya

adalah bahwa ia merupakan kitab yang keontetikannya dijamin oleh Allah

SWT., dan ia adalah kitab yang selalu dipelihara.1

Dalam kultur bangsa Indonesia dewasa ini, kata ‘pendidikan’ digunakan

untuk menunjuk atau menyebutkan jenis peristiwa yang dapat terjadi

diberbagai jenis lingkungan. Jenis peristiwa itu adalah interaksi antara dua

manusia atau lebih yang dirancang untuk menimbulkan suatu proses

pengembangan atau pematangan pandangan hidup pribadi. Sedangkan jenis

lingkungan tempat terjadinya interaksi ialah berupa keluarga, sekolah, tempat

bekerja, tempat bermain, berolahraga, atau berkreasi, ataupun tempat yang

lainnya.

Berdasarkan kesadaran kultural kolektif seperti inilah, dalam masyarakat

sekarang ini dikatakan suatu percakapan biasa yang terjadi dalam kehidupan

sehari-hari oleh pihak yang satu bisa dipandang sebagai suatu peristiwa

pendidikan. Sedangkan pihak yang lainnya hanya memandang sebagai suatu

peristiwa biasa, yang sama sekali tidak mengandung potensi mendidik.2

Bagi sebagian masyarakat awam, istilah pendidikan sering diartikan

dengan “sekolah”, “guru mengajar di kelas”, atau hanya “satuan pendidikan

1M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an Jilid 2, (Jakarta: Lentera Hati, 2010), Cet. VI, h.

531

2Mochtar Buchori, Ilmu Pendidikan dan Praktek dalam Renungan, (Yogyakarta: PT. Tiara

Wacana, 1994), Cet. 1, h. 6-7

2

formal”. Secara akademik, istilah pendidikan memiliki artian yang luas.

Pendidikan adalah proses peradaban dan pemberadaban manusia. Pendidikan

adalah aktivitas semua potensi dasar manusia dengan melakukan interaksi

antara manusia dewasa dengan yang belum dewasa. Pendidikan adalah proses

kemanusiaan dan pemanusiaan sejati tanpa adanya penyengajaan.3

Menurut Ramayulis dalam bukunya yang berjudul Ilmu Pendidikan Islam,

menyatakan bahwa “pendidikan berarti usaha sadar dan terencana untuk

mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik

secara aktif dapat mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan

spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak

mulia, serta keterampilan yang diperlukan bagi dirinya, masyarakat dan

negara”.4

Betapa pentingnya pendidikan bagi manusia, karena kepribadian dan

akhlak seseorang dapat terbentuk dan terarah di dalam menjalankan kehidupan

sehari-harinya. Dengan pendidikan, manusia mendapatkan informasi tentang

ilmu pengetahuan serta bagaimana berkehidupan yang baik yang diharapkan

oleh masyarakat sekitar. Sehingga dapat terciptanya hubungan yang baik di

antara masyarakat. Karena pendidikan bukan hanya mentransfer ilmu saja,

akan tetapi memberikan pengarahan bagaimana menjalankan kehidupan yang

baik di lingkungan sekitar.

Apabila tujuan pendidikan telah tercapai, maka seseorang akan memiliki

banyak ilmu pengetahuan serta beragam informasi yang didapatnya tentang

pembelajaran. Selain mendapatkan beragam ilmu dan pengetahuan, sesorang

diharapkan akan memiliki akhlak yang diharapkan. Karena dengan jalan

melaksanakan pendidikanlah, diharapkan seseorang memiliki akhlak yang

baik dan dapat dicontoh oleh orang lain.

Ketika seseorang telah memiliki akhlak yang baik, maka ia dapat

menjalankan kehidupannya dengan aturan yang sesuai di lingkungan

3Sudarwan Danim, Pengantar Kependidikan, (Bandung: Alfabeta, 2011), Cet. 2, h. 2

4Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), h. 30

3

masyarakatnya. Seseorang yang memiliki akhlak yang baik, semestinya ia

dapat menjalankan perilaku adil, berbuat kebaikan, dapat berbuat baik dengan

karib kerabat, dan juga menepati janji yang telah dibuat.

Akhlak secara kebahasaan bisa berarti baik atau buruk, tergantung kepada

tata nilai apa yang digunakan sebagai landasannya. Meskipun secara

sosiologis, di Indonesia kata akhlak sudah mengandung konotasi baik dan

tidak baik. Dengan demikian, “orang yang berakhlak” berarti orang yang

berakhlak baik.5

Seperti yang dikatakan A. Mustofa dalam bukunya Akhlak Tasawuf,

mengatakan bahwa “akhlak adalah tabiat atau sifat seseorang, yakni keadaan

jiwa yang telah terlatih, sehingga dalam jiwa tersebut benar-benar telah

melekat sifat-sifat yang melahirkan perbuatan-perbuatan dengan mudah dan

spontan tanpa dipikirkan dan di angan-angan lagi”.6

Jadi, pada hakikatnya akhlak merupakan suatu keadaan di dalam jiwa

yang terlatih dan juga telah melekatnya sifat-sifat yang dapat melahirkan

perbuatan-perbuatan dengan spontan tanpa adanya pemikiran terlebih dahulu

dalam melakukan suatu tindakan. Sehingga apabila suatu perbuatan dilakukan

dengan cara berpikir terlebih dahulu, maka dapat dikatakan itu bukanlah

akhlak.

Kedudukan akhlak dalam kehidupan manusia sangatlah menempati posisi

yang penting, baik sebagai individu maupun sebagai masyarakat. Karena,

jatuh bangunnya masyarakat tergantung bagaimana akhlaknya. Apabila

akhlaknya baik, maka akan baik dan sejahtera lahir dan bathinnya. Sedangkan

akhlaknya buruk, maka akan rusak dan tidak akan sejahtera lahir dan

bathinnya.

Apabila akhlak telah terbentuk dengan baik, maka manusia diharapkan

dapat melaksanakan kebaikan di dalam interaksi dengan seluruh masyarakat.

5Zakiah Daradjat, A. Sadali, dkk, Dasar-Dasar Agama Islam Buku Teks Pendidikan Agama

Islam pada Perguruan Tinggi Umum, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), Cet. 10, h. 253

6A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2014), cet. VI, h. 14

4

Perbuatan tersebut di antaranya adalah, dapat berlaku adil dengan siapa pun,

berbuat kebaikan, selalu berbuat baik kepada karib kerabat, serta menepati

perjanjian.

Beberapa fenomena yang terjadi saat sekarang ini, menunjukkan betapa

buruknya akhlak seseorang. Diantaranya, keadilan hanya diberikan kepada

mereka yang memiliki kekayaan. Sedangkan mereka yang miskin sama sekali

tidak mendapatkan keadilan. Sungguh kejam dan mirisnya fenomena yang

dihadapi sekarang ini.

Seseorang yang memiliki kekayaan yang berlimpah, akan melakukan apa

pun yang dia inginkan tanpa memperhatikan kerabatnya. Misalnya saja, ia

akan sering pergi mengerjakan ibadah haji atau umrah di setiap tahunnya,

membeli barang-barang mewah yang diinginkannya atau bahkan berlibur ke

luar negeri bersama dengan keluarganya. Padahal, jika ia melihat dan

memperhatikan kerabatnya yang sedang mengalami kesusahan, ada baiknya ia

memberikan pertolongan dengan harta yang dimilikinya.

Banyak orang yang berbuat janji, namun tak jarang pula ia

mengingkarinya dan tidak menepatinya. Terlebih apabila ia berjanji dengan

menyebutkan nama Allah. Sungguh mirisnya perbuatan yang tidak dapat

dipertanggung jawabkan ini. Padahal, Allah telah menyeru kepada hambanya

untuk menepati janji.

Kasus yang dapat kita lihat dan saksikan adalah kasus korupsi yang

menjerat Mantan Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah. Ia didakwa

melakukan tindakan korupsi dengan mengatur proses penganggaran di

Provinsi Banten terkait pengadaan alat kesehatan. Mantan orang nomor satu di

Banten ini didakwa merugikan negara sebesar Rp. 79 Miliar, dan menjalani

masa pemidanaan 5 tahun penjara.7

7Haris Fadhil, Kasus Alkes, Ratu Atut Didakwa Rugikan Negara Rp 79 Miliar, 2017,

https://news.detik.com/berita/d-3441349/kasus-alkes-ratu-atut-didakwa-rugikan-negara-rp-79-

miliar#

5

Sementara pada kasus lain terjadi kepada nenek Asyani yang diduga

mencuri tujuh batang kayu milik Perum Perhutani. Kayu jati yang diduga

dicuri oleh nenek Asyani itu berukuran kecil hanya sekitar 10 sampai 15

sentimeter, sedangkan kayu jati milik Perhutani yang hilang berdiameter 100

sentimeter.Kasus ini dilaporkan pada bulan Juli 2014, dan nenek Asyani

ditahan mulai Desember 2014 sementara persidangan baru dibuka 3 bulan

kemudian.8

Dari kedua kasus tersebut, kita bisa melihat betapa tidak adilnya dalam

penetapan hukum yang ada di Indonesia ini. Tersangka korupsi yang jelas-

jelas merugikan negara, masih menjalani masa pemidanaan selama 5 tahun

penjara. Sedangkan seorang nenek yang dituduh mencuri kayu jati, tidak

menjalani masa pemidanaan terlebih dahulu, bahkan ia langsung dipenjarakan

dan baru mulai dipersidangkan setelah 3 bulan kemudian saat ia dituduh

mencuri.

Sungguh mirisnya keadaan yang terjadi saat ini, banyak para calon

pemimpin daerah yang mengumbar janji manis kepada rakyat agar ia bisa

terpilih. Mereka berjanji akan menyejahterakan hidup rakyat, memperbaiki

sistem pendidikan dan mengurangi tingkat pengangguran. Namun, apalah

yang terjadi saat mereka terpilih menjadi seorang pemimpin, ia lupa akan

janjinya yang ingin menyejahterakan hidup rakyat, memperbaiki sistem

pendidikan dan mengurangi tingkat pengangguran. Kesempatan ini ia gunakan

untuk memperkaya diri sendiri dan melupakan janji-janji yang telah

dibuatnya.

Fenomena di atas perlu diperbaiki dengan upaya untuk membentuk dasar

keyakinan atau keimanan, maka diperlukan pula usaha membentuk akhlak

yang mulia dengan jalan melaksanakan pendidikan akhlak. Karena berakhlak

8Sutanti, Kasus Nenek Asyani Cermin Ketidak Adilan Hukum di Indonesia,

http://www.hariandepok.com/32793/kasus-nenek-asyani-cermin-ketidak-adilan-hukum-di-

indonesia, 2015

6

mulia merupakan modal bagi setiap manusia dalam melangsungkan pergaulan

antar sesamanya di dalam kehidupan, baik di dalam lingkungan keluarga,

masyarakat, maupun di alam sekitar.

Pendidikan akhlak perlu mendapatkan perhatian penuh agar intensif.

Dalam melaksanakan pendidikan akhlak ini, hendaknya ada pola yang dapat

memberikan kesan yang sungguh-sungguh bagi murid, pelajar dan mahasiswa,

yang memungkinkan teori-teori akhlak dapat diaplikasikan dan tercermin di

dalam pergaulan.9

Dari uraian yang telah penulis paparkan di atas, maka penulis akan

membahas Surat An-Nahl ayat 90-91, yang membahas tentang firman Allah

yang menyeru manusia untuk berlaku adil dalam sikap, ucapan dan tindakan,

walau terhadap diri sendiri. Juga menganjurkan berbuat ihsan, yang lebih

utama daripada keadilan dan juga pemberian apa pun yang sedang dibutuhkan

dan sepanjang kemampuan, lagi dengan tulus kepada kaum kerabat. Serta

tepatilah perjanjian yang telah diikrarkan dengan Allah dan janganlah

membatalkan perjanjian-perjanjian yang di akui di hadapan Pesuruh Allah.10

Dengan adanya kesenjangan antara teori dan kenyataan di atas, maka

penulis terdorong untuk mengkaji surat An-Nahl. Penulis tertarik untuk

membuat penelitian dengan judul: “NILAI-NILAI PENDIDIKAN

AKHLAK DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN SURAT AN-NAHL

AYAT 90-91”

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis

mengidentifikasi masalah yang berkaitan dengan judul yang akan dibahas

di dalam tulisan ini, yaitu:

9Hamzah Ya’qub,Etika Islam Pembinaan Akhlaqul Karimah, (Bandung: CV. Diponegoro,

1988), Cet. 4, h. 84

10M. Qurraish Shihab, Al-Lubab: Makna, Tujuan dan Pelajaran Surah-Surah Al-Qur’an,

(Tangerang: Lentera Hati, 2012), h. 187-188

7

1. Kurangnya pemahaman masyarakat terhadap nilai-nilai pendidikan

akhlak yang terdapat di dalam al- Qur’an.

2. Penerapan nilai-nilai pendidikan akhlak yang belum sesuai di

masyarakat.

3. Keburukan merajalela, kritis keadilan, janji yang tidak ditepati, serta

kurangnya berbuat baik terhadap karib kerabat.

C. Pembatasan Masalah

Agar terhindar dari meluasnya pembahasan dan penelitian ini, maka

penulis membatasi ruang lingkup penelitian hanya pada:

1. Isi Kandungan al-Qur’an surat An-Nahl ayat 90-91.

2. Penerapan nilai-nilai Pendidikan Akhlak yang terkandung di dalam

Q.S. An-Nahl ayat 90-91.

D. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis

merumuskan masalah yang berkaitan dengan judul yang akan dibahas

dalam penelitian ini, yaitu:

1. Apa sajakah nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam Q.S. An-

Nahl ayat 90-91?

2. Bagaimanapenerapan nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung

dalam Q.S. An-Nahl ayat 90-91 dalam kehidupan?

E. Tujuan dan Manfaat Hasil Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penulis memiliki

tujuan dalam mengadakan penelitian ini, yaitu mengetahui:

a. Nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam Q.S. An-

Nahl ayat 90-91.

b. Penerapan nilai-nilai pendidikan akhlak dalam Q.S. An-Nahl ayat

90-91 dalam kehidupan.

8

2. Manfaat Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian yang penulis bahas ini bagi

masyarakat umum adalah sebagai berikut:

a. Dapat dijadikan pedoman di dalam kehidupan sehari-hari dalam

menjalankan kehidupan.

b. Memberikan informasi dan pengetahuan dalam menerapkan

pendidikan akhlak.

c. Dapat berakhlak sesuai dengan apa yang telah diharapkan.

d. Sebagai sumbangsih karya ilmiah dengan memberikan manfaat

kepada para pembaca.

9

BAB II

KAJIAN TEORETIK

A. Pengertian Nilai

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata nilai berasal dari

bahasa Inggris “value” termasuk dalam bidang kajian filsafat. Nilai

diartikan harga atau sifat-sifat (hal-hal) yang penting bagi manusia.1 Untuk

mempunyai nilai, maka seseorang harus memiliki sifat-sifat yang penting

dan bemutu atau berguna dalam kehidupan manusia.

Nilai adalah suatu perangkat keyakinan ataupun perasaan yang

diyakini sebagai suatu identitas yang memberikan corak yang khusus

kepada pola pemikiran, perasaan, keterkaitan, maupun perilaku.2 Dengan

demikian, nilai memerhatikan pada perasaan dan juga berpusat pada pola

pemikiran dan juga perilaku seseorang.

Mohammad Noor Syam, menyatakan dalam bukunya yang berjudul

Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Kependidikan Pancasila, bahwa

nilai adalah suatu penetapan atau kualitas suatu objek yang menyangkut

suatu jenis apresiasi atau minat.3

Persoalan nilai ini biasanya terkait dengan akhlak, moral atau

karakter. Apabila kita melihat tindakan seseorang, kemudian kita akan

menunjukkan nilai baik atau nilai buruk dari tindakan orang tersebut. Nilai

bukan dipandang sebagai sumber kekuatan yang harus melekat kepada

semua tindakan, akan tetapi dipandang mendistorsi sampainya manusia

pada pengetahuan yang benar.

1Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,

2007), Cet. ke-3, h. 783

2Zakiah Darajat, Ahmad Sadali, dkk, Dasar-dasar Agama Islam Buku Teks Pendidikan Agama

Islam Pada Perguruan Tinggi Umum, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), cet. 10, h. 260

3 Mohammad Noor Syam, Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Kependidikan Pancasila,

(Surabaya: Usaha Nasional, 1988), h. 133

10

Namun, kini disadari posisi dan peran penting nilai dalam kehidupan

manusia. Nilai melekat di dalam semua tindakan dan perbuatan. Nilai

menjadi acuan penting dalam hidup manusia, supaya hidup dan tindakan

manusia menjadi bernilai. Nilai juga yang memberi artian terhadap ucapan

dan tindakan. Nilai juga yang melekat pada semua tindakan manusia di

berbagai bidang kehidupan.4

Sistem nilai merupakan ketentuan umum yang merupakan pendekatan

kepada hakekat filosofi dari ketiga unsur (keyakinan, sentimen dan

identitas). Oleh karena itu, sistem nilai ada yang bersifat Ilahi dan

normatif, dan ada yang bersifat duniawi, yang dirumuskan sebagai

keyakinan, sentimen maupun identitas yang dipandang sebagai suatu

kenyataan yang berlaku dalam tempat dan waktu tertentu karena bersifat

deskriptif.5

Nilai bukan hanya untuk memenuhi dorongan intelektual keinginan

manusia. Nilai berfungsi untuk membimbing dan membina manusia agar

menjadi lebih luhur dan lebih matang sesuai dengan martabat human-

dignity. Human-dignity adalah tujuan dan cita-cita manusia.6

Nilai digunakan untuk membimbing manusia agar menjadikan

manusia lebih luhur sesuai dengan martabatnya. Karena itu sistem nilai

terbagi menjadi beberapa sifat. Dengan demikian nilai berlaku pada waktu

dan tempat yang tertentu. Sehingga manusia dapat bersikap sesuai dengan

nilai yang diharapkan.

Pendidikan secara praktis, tidak terpisahkan dari nilai-nilai, terutama

yang meliputi: kualitas kecerdasan, kerajinan, ketekunan; bahkan nilai

yang dijabarkan dalam wujud kelas (tingkat, grade), dan nilai yang berupa

rank, score dan marks.7

4Achmad Sanusi, Sistem Nilai, (Bandung: Penerbit Nuansa Cendekia, 2015),h. 14-15

5Zakiah Darajat, Ahmad Sadali, Op. cit., cet. 10, h. 261

6Mohammad Noor Syam, Op. cit., h. 135

7Ibid., h. 139

11

Dengan beberapa pemaparan pengertian nilai di atas, maka penulis

dapat memahami bahwa nilai adalah takaran atau perasaan yang

memberikan banyak sedikitnya isi kepada pola pemikiran, perasaan

maupun perilaku pada kehidupan seluruh manusia.

Sumber nilai dalam garis besar terdiri atas dua macam, yaitu:

1. Nilai yang Ilahi: Al-Qur’an dan Sunnah

a. Al-Qur’an

Para ahli ilmu al-Qur’an, pada umumnya berasumsi bahwa

kata Qur’an, terambil dari kata Qara’a-Yaqra’u-Qira’atan-

waQur’anan ( وقرآن ا -قراءة -يقرأ -قرأ ), yang secara harfiah

berarti bacaan.8 Dalam al-Qur’an memang terdapat beberapa

kata Qur’an yang digunakan untuk pengertian bacaan,

diantaranya:

إنه لقرآن كريم

Sebagian ulama menegaskan bahwa kata Qur’an itu adalah

Mashdar (kata kerja yang dibendakan) yang diartikan dengan

isim maf’ul, yakni maqru’, artinya sesuatu yang dibaca.

Sebagian ulama dan Ahli Usul mendefinisikan al-Qur’an

sebagai kalam Allah yang tiada tandingannya (mukjizat) yang

diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW., dengan perantara

malaikat Jibril alaihis salam, dimulai dengan surat al-Fatihah

dan diakhiri dengan surat an-Nash dan ditulis dalam mushaf-

mushaf dan disampaikan secara mutawatir serta membaca dan

mempelajarinya merupakan ibadah.9

Menurut Istilah, al-Qur’an mempunyai arti sebagai

berikut:10

8Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya:

Pustaka Progressif, 1984), h. 1102

9Hasani Ahmad Syamsuri, Studi Ulumul Qur’an, (Jakarta: Zikra Multi Service, 2009), h. 2

10Abdul Djalal, Ulumul Qur’an, (Surabaya: Dunia Ilmu, 2000), Cet. 2, h. 8-9

12

Pertama, para ahli Ilmu Kalam (teologi Islam), berpendapat, al-

Qur’an adalah lafal yang diturunkan kepada Nabi Muhammad

SAW., mulai dari awal surat al-Fatihah sampai dengann surat

an-Nas, yang mempunyai keistimewaan-keistimewaan yang

terlepas dari sifat-sifat kebendaan dan azali.

Kedua, para ulama Ushuliyyin, fuqoha dan ulama Ahli Bahasa

berpendapat bahwa al-Qur’an adalah Kalam Allah yang

diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW., mulai awal dari

surat al-Fatihah sampai akhir surat an-Nas. Diantara mereka

ada yang memberikan definisi al-Qur’an dengan singkat dan

padat, seperti:

ل على النبى القرآن هو الكالم المنز

“al-Qur’an adalah Kalam yang diturunkan kepada Nabi”

ل الفاتحة الى سورة الناس ل على النبى من او القرآن هو اللفظ المنز

“al-Qur’an adalah lafal yang diturunkan kepada Nabi dari

awal surah al-Fatihah sampai surah an-Nas”.

b. Sunnah

Menurut bahasa, sunnah berasal dari bahasa Arab yang

terambil dari kata سنن yang artinya cara atau jalan.11 Sunnah

berarti:

الطريقة محمودة كانت اومذمومة

“Jalan yang terpuji dan atau yang tercela”

Bila kata sunnah disebutkan dalam masalah yang

berhubungan dengan hukum syara’, maka yang dimaksudkan

ialah segala sesuatu yang diperintahkan, dilarang atau

11Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya:

Pustaka Progressif, 1984), h. 669

13

dianjurkan oleh Rasulullah SAW., baik berupa perkataan,

perbuatan maupun ketetapannya.12

Pengertian sunnah yang lainnya diartikan: ة العادة المستمر

(tradisi yang kontinu). Sunnah yang baik seperti yang

dicontohkan oleh Nabi memang harus diikuti. Akan tetapi,

sunnah orang-orang yang tidak bertanggung jawab harus

dijauhi.13

Pengertian sunnah menurut ahli hadis, adalah:14

مااثر عن النبى صلى هللا عليه وسلم من قول أوفعل أو تقرير اوصفة

و بعدها.البعثة ا خلقية او خلقية او سيرة , سواء كا ن قبل

“Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW., baik berupa

perkataan, perbuatan, taqrir, perangai, budi pekerti,

perjalanan hidup, baik sebelum diangkat menjadi rasul

maupun sesudahnya”.

Definisi ini membatasi pengertian sunnah hanya pada

segala sesuatu yang bersumber dari Nabi, baik perkataan,

perbuatan, maupun taqrirnya yang berkaitan dengan hukum

syara’. Dengan demikian, sifat, perilaku, sejarah hidup, dan

segala yang bersumber dari Nabi SAW., yang tidak berkaitan

dengan hukum syara’ dan terjadi sebelum diangkat menjadi

rasul tidak dikatakan sunnah. Demikian pula tidak dikatakan

sunnah, segala yang bersumber dari sahabat dan tabi’in, baik

perkataan, perbuatan, maupun ketetapan-ketetapan.15

2. Nilai yang Duniawi: ra’yu (pikiran), adat istiadat dan kenyataan

alam.

Bagi umat Islam, sumber nilai yang tidak berasal dari Qur’an dan

Sunnah hanya digunakan sepanjang tidak menyimpang atau yang

12Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), Cet. 7, h. 4-7

13Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: Amzah, 2009), Cet. 3, h. 5

14Munzier Suparta, op. cit, h. 7-8

15Ibid., h. 9-10

14

menunjang sistem nilai yang bersumber kepada Al-Qur’an dan

Sunnah.16

Firman Allah SWT. dalam Q. S. Al-An’am ayat 153:

ق بكم عن سبيله ذا صراطى مستقيما فاتبعوه وأن ه بعوا السبل فتفر لكم ذ والتت

قون. )األنعام: كمبه وص (١٥٣لعلكم تت

Artinya:

“Dan bahwa (yang kami perintahkan) ini adalah jalanku yang lurus,

maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti dari jalan-Nya yang

demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa”.

B. Pengertian Pendidikan Akhlak

Pendidikan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal dari kata

dasar “didik”, yang artinya“memelihara dan memberi latihan (ajaran,

pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran.17

Istilah pendidikan adalah terjemah dari bahasa Yunani, yaitu paedagogie,

yang berarti “pendidikan” dan paedagogia, yang berarti “pergaulan

dengan anak-anak”. Sedangkan orang yang bertugas membimbing atau

mendidik disebut paedagogos. Istilah paedagogos berasal dari kata

paedos, yang berarti “anak”, dan agoge memiliki arti “saya membimbing

atau memimpin”.18

Pendidikan ialah proses membimbing manusia dari kegelapan,

kebodohan dan pencerahan pengetahuan. Dalam arti luas, pendidikan baik

formal maupun informal meliputi segala hal yang memperluas

16Zakiah Darajat, Ahmad Sadali, dkk, Dasar-dasar Agama Islam Buku Teks Pendidikan Agama

Islam Pada Perguruan Tinggi Umum, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), cet. 10, h. 262

17Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:

Pusat Bahasa, 2008), Edisi IV, h. 425

18Armai Arief, Reformulasi Pendidikan Islam, (Jakarta: CRSD Press, 2005), h. 17

15

pengetahuan manusia tentang dirinya sendiri dan tentang dunia tempat

mereka hidup.19

Pendidikan merupakan terjemahan dari kata paedagogie. Kata tersebut

tidaklah berdiri dengan sendiri, akan tetapi terdapat beberapa kata yang

mendukung berjalannya proses pendidikan. Seperti paedos, yang berarti

“anak” dan juga agoge memiliki arti “memimpin”. Dengan begitu

pendidikan dapat berjalan dan dilakukan jika ada anak dan juga ada yang

memimpin. Maksud dari anak disini ialah peserta didik dan yang

memimpin ialah pendidik.

Melalui pendidikan, akan membantu membimbing manusia ke arah

yang lebih baik lagi. Mendapatkan pencerahan dengan diberikannya

pengetahuan, sehingga jauh dari kata kebodohan dan ketidaktahuan.

Pendidikan formal ataupun informal dapat memperluas pengetahuan

tentang dirinya dan juga di lingkungan masyarakat.

Menurut Fuad Ihsan dalam bukunya yang berjudul Dasar-dasar

Kependidikan, menyatakan bahwa20:

Pendidikan adalah usaha manusia untuk menumbuhkan dan

mengembangkan potensi-potensi pembawaan baik berupa jasmani

maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai yang ada di dalam

masyarakat dan kebudayaan. Pendidikan bagi kehidupan umat

manusia merupakan kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi sepanjang

hayat.

Menurut UU No. 20 tahun 2003, “Pendidikan adalah usaha sadar

untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran

dan latihan bagi peranannya di masa yang akan datang”.21

Dari beberapa pemaparan di atas mengenai pendidikan, maka penulis

dapat menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha manusia untuk

19M. Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif Al-qur’an, (Jakarta: Amzah, 2007), Cet.

1, h. 21-22 20Fuad Ihsan, Dasar-dasar Kependidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2013), h. 2

21Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan

Nasional (Biro Hukum dan Organisasi Sekretariat Jendral Departemen Pendidikan Nasional:

2003), h. 49-50

16

mengembangkan segala potensi yang dimilikinya sehingga dapat

menumbuhkan dan mengembangkan potensi sebagaimana mestinya.

Sehingga pendidikan dapat dijadikan wadah untuk menjadikan

manusia mengetahui segala macam ilmu pengetahuan dan juga

memberikan latihan untuk dapat menjalankan kehidupannya. Dengan

diberikannya latihan, diharapkan dapat mebuka kemampuan yang dimiliki

oleh masing-masing individu.

Selanjutnya, pengertian akhlak. Kata akhlak berasal dari bahasa Arab

yang sudah di Indonesiakan, yang juga diartikan dengan istilah perangai

atau kesopanan. Kata أخالق adalah jama’ taksir dari kata 22.خلق Jadi akhlak

adalah perbuatan manusia yang bersumber dari dorongan jiwanya.

Sehingga gerakan refleks, denyut jantung dan kedipan mata tidak dapat

disebut dengan akhlak. Karena gerakan tersebut tidak diperintahkan oleh

unsur kejiwaan.23

Menurut A. Mustofa dalam bukunya Akhlak Tasawuf, mengatakan

bahwa:

akhlak bukanlah perbuatan, melainkan gambaran bagi jiwa yang

tersembunyi. Oleh karena itu, dapat disebut bahwa “akhlak itu adalah

nafsiah (bersifat kejiwaan) atau maknawiyah (sesuatu yang abstrak),

dan bentuknya yang kelihatan, kita namakan muamalah (tindakan)

atau suluk (perilaku). Maka, akhlak adalah sumbernya dan perilaku

adalah bentuknya”.24

Menurut Imam al-Ghazali, akhlak adalah segala perbuatan yang

dilakukan seseorang secara serius dan mendalam tanpa ada intervensi dari

pihak manapun.25 Kata akhlak secara bahasa merupakan bentuk jamak dari

kata khulukun, yang memiliki arti budi pekerti, perangai, tabiat, adat,

tingkah laku, atau sistem perilaku yang dibuat. Sedangkan secara

22Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya:

Pustaka Progressif, 1984), h. 364

23Mahjuddin, Akhlak Tasawuf I, (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), h. 1-5

24A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), h. 16

25Abuddin Nata dan Achmad Gholib, Modul Studi Islam II (Akidah Akhlak), (Jakarta: UIN

Jakarta Press, 2006), h. 71

17

terminologis, akhlak berarti ilmu yang menentukan batas antara baik dan

buruk, antara yang terbaik dan tercela, baik berupa perkataan maupun

perbuatan manusia, lahir dan bathin. Akhlak berarti budi pekerti atau

perangai.26

Dari penjelasan akhlak yang telah dipaparkan di atas, penulis dapat

menyatakan bahwa akhlak adalah segala sikap dan perbuatan manusia

yang dapat dibina yang bersumber dari dalam jiwanya sehingga dapat

menghasilkan perbuatan baik yang diharapkan oleh agama.

Akhlak merupakan perbuatan yang refleks, tidak berpikir terlebih

dahulu melakukan suatu perbuatan. Semua perbuatan yang keluar dari diri

seseorang dilakukan secara spontan. Apabila seseorang melakukan suatu

perbuatan, namun ia berpikir terlebih dahulu maka itu bukanlah akhlak.

Karena akhlak adalah perbuatan yang berasal dari jiwa setiap manusia.

Sementara, pengertian pendidikan akhlak adalah latihan mental dan

fisik yang menghasilkan manusia berbudaya tinggi untuk melaksanakan

tugas kewajiban dan tanggung jawab di dalam kehidupan bermasyarakat.

Bisa juga berarti suatu proses mendidik, memelihara, membentuk, dan

memberikan latihan mengenai akhlak dan kecerdasan berpikir baik yang

bersifat formal maupun informal.27

Menurut pandangan Ibn Sina mengenai pendidikan akhlak,

menyatakan bahwa tugas kedua orangtua atau pendidik adalah

memberikan penekanan kepada pendidikan agama kepada anak dan

peserta didik. Karena hal itu bertujuan untuk membentuk adab dan akhlak

yang baik. Selain itu, kedua orangtua atau pendidik perlu memberikan

contoh yang baik kepada anak dan peserta didik. Karena mereka adalah

golongan pertama yang perlu diberi pendidikan.

Hal ini karena anak-anak dan peserta didik akan melihat tingkah laku

orang dewasa yang berada di sekelilingnya. Jika tingkah laku orangtua

26Rois Mahfud, Pendidikan Agama Islam, (Surabaya: Erlangga, 2011), h. 96

27M. Yatimin Abdullah, Op. cit., h. 22-23

18

baik, maka secara tidak langsung anak akan turut mengikuti akhlak atau

moral yang ada pada orangtua. Ibnu Sina juga mengatakan bahwa

kehidupan itu adalah akhlak, tiada kehidupan tanpa akhlak.28

Berdasarkan pemaparan di atas tentang pendidikan akhlak maka

penulis dapat menyatakan bahwa pendidikan akhlak adalah kegiatan untuk

mendidik dan membentuk serta memberikan latihan mengenai akhlak dan

kecerdasan berpikir yang dapat melahirkan perangai yang baik, serta

menjadi tugas orangtua dan pendidik dalam memberikan penekanan

pendidikan agama kepada anak dan peserta didik. Sehingga akan bertujuan

untuk membentuk adab dan akhlak yang baik dan mulia kepada anak dan

peserta didik.

C. Sumber Pendidikan Akhlak

Kepentingan akhlak dalam kehidupan manusia dinyatakan dengan

tegas dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an menerangkan berbagai pendekatan

yang meletakkan Al-Qur’an sebagai sumber pengetahuan mengenai nilai

dan akhlak yang paling jelas. Pendekatan Al-Qur’an dalam menerangkan

akhlak mulia, bukan melalui pendekatan teoretikal, melainkan dalam

bentuk konseptual dan penghayatan. Akhlak mulia dan akhlak buruk

digambarkan dalam perwatakan manusia, dalam sejarah dan realitas

kehidupan manusia semasa Al-Qur’an diturunkan.29

Ketika ditanya tentang akhlak Rasulullah SAW., Aisyah menjawab:

كان خلقه القران

Artinya:

“Akhlak Rasulullah adalah Al-Qur’an”.

Pribadi Rasulullah SAW., adalah contoh yang paling tepat untuk

dijadikan teladan untuk membentuk pribadi yang akhlakul karimah.

28Abd. Rachman Assegaf, Aliran PemikiranPendidikan Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h.

96-97 29Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h. 21

19

Sumber ajaran akhlak adalah Al-Qur’an dan Hadits. Tingkah laku

Nabi Muhammad merupakan contoh dari suri tauladan bagi seluruh umat

manusia.

Allah SWT., berfirman:

روذكر هللا كثيريا. )الخزاب: لقد كان لكم في رسولي هللاي أسوةحسنة ل يمن كان ي رجوا هللا ولي وم ال خي٢١)

Artinya:

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang

baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan

(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. (QS. Al-

Ahzab: 21)30

Sebagai sumber pendidikan akhlak, al-Qur’an dan hadits menjelaskan

tentang bagaimana cara berbuat baik. Atas dasar itulah keduanya menjadi

landasan dan sumber ajaran dalam Islam secara keseluruhan, sebagai pola

hidup dan menetapkan mana perbuatan yang baik dan mana perbuatan

yang tidak baik. Sehingga dapat menjalankan kehidupan sesuai dengan

yang diperintahkan.31

D. Macam-macam Akhlak

Akhlak dari segi bahasa, berasal dari bahasa Arab, yang berarti

perangai, tabiat, watak dasar kebiasaan, sopan, dan santun agama.32

Akhlak adalah perangai atau sikap yang dapat dibina dan diciptakan yang

ada dalam diri masing-masing pribadi. Dengan demikian, yang dibutuhkan

seorang anak adalah pembinaan akhlak. Untuk mewujudkannya tidaklah

mudah, karena dibutuhkan kerja keras serta kesabaran orangtua selaku

30M. Yatimin Abdullah, Op.cit., h. 4 31Ibid., h. 198 32M. Ardhani, Akhlak Tasawuf “Nilai-nilai Akhlak/Budi Pekerti dalam Ibadat dan Tasawuf,

(Jakarta: CV. Karya Mulia, 2005), h. 25

20

pendidik. Dan arti dari sebuah pembinaan akhlak adalah usaha untuk

menjadikan perangai dan sikap yang baik sebagai watak seorang anak.33

Jelaslah bahwa, untuk membentuk akhlak baik dibutuhkan semua

elemen yang saling berhubungan. Orangtua tentunya menjadi elemen yang

pertama dalam membentuk akhlak seorang anak, selain itu juga pendidik

yang membina akhlak siswa disekolah dan juga yang sangat menentukan

adalah lingkungan tempat tinggal sekitar.

Karena akhlak adalah perangai atau sikap yang perlu dibina pada

masing-masing pribadi, maka perlu adanya pembinaan akhlak. Pembinaan

akhlak dapat dilakukan dengan cara memberikan pendidikan dan juga

dengan cara memberikan contoh ataupun teladan yang baik. Dengan cara

seperti itu diharapkan dapat menciptakan akhlak yang baik, yang

diharapkan oleh agama.

Para Ulama Akhlak menyatakan bahwa, akhlak yang baik merupakan sifat

para Nabi dan orang-orang Siddiq, sedangkan akhlak yang buruk

merupakan sifat syaitan dan orang-orang yang tercela. Dengan demikian,

akhlak terbagi menjadi dua jenis, yaitu: Akhlak Terpuji (Akhlak

Mahmudah) dan Akhlak Tercela (Akhlak Mazmumah)34.

Dilihat dari segi hubungan manusia dengan dirinya, serta

hubungannya dengan Tuhan, manusia dan lainnya, maka akhlak ada yang

berkaitan dengan dirinya sendiri, dirinya dengan Tuhan dan dirinya

dengan manusia.35

1. Akhlak Mahmudah (Akhlak Terpuji)

Akhlak yang baik ialah segala tingkah laku yang terpuji

(mahmudah), bisa juga dinamakan fadhilah (kelebihan). Akhlak yang

baik dilahirkan oleh sifat-sifat yang baik. Karena itu, dalam hal jiwa

33Muhammad Nur Abdul Hafizh, Mendidik Anak Bersama Rasulullah, (Bandung: Mizan,

1997), pnjmh. Kuswandi, Sugiri dan Ahmad Son Haji, h. 178

34Mahjuddin, Op. cit., h. 10

35Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 209

21

manusia memerlukan perbuatan-perbuatan lahiriah. Tingkah laku

dilahirkan oleh tingkah laku batin, berupa sifat dan kelakuan batin

yang juga dapat berbolak-balik yang dapat mengakibatkan berbolak-

baliknya perbuatan jasmani manusia.36

Akhlak Mahmudah banyak sekali jumlahnya, namun jika dilihat

dari segi hubungan manusia dengan Tuhan dan manusia dengan

manusia, maka akhlak mahmudah dapat dibagi tiga bagian. Pertama,

akhlak mahmudah kepada Allah. Kedua, akhlak mahmudah terhadap

diri sendiri. Ketiga, akhlak mahmudah terhadap sesama manusia.37

Pembagian Akhlak Mahmudah adalah sebagai berikut:

a. Akhlak Terhadap Allah

Hubungan manusia dengan Allah adalah hubungan makhluk

dengan Khaliknya. Tumpuan dan pokok ketergantungan adalah

ketergantungan kepada Yang Maha Kuasa, Yang Maha Perkasa,

Yang Maha Bijaksana, Yang Maha Sempurna, ialah Allah Rabbul

‘alamin, Allah Tuhan semesta alam. Ketergantungan manusa

kepada Allah ini, difirmankan di dalam Q.S. Al-Ikhlas ayat 2:

(٢هللا الصمد )االخالص:

Artinya:

“Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala

sesuatu”. (Q.S. Al-Ikhlas: 2)

Kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat, tergantung kepada

izin dan ridha Allah. Untuk itu, Allah memberikan ketentuan-

ketentuan agar manusia dapat mencapainya. Maka, untuk mencapai

kebahagiaan dunia dan akhirat, kita sebagai seorang hamba harus

mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah diberikan oleh Allah.

36 M. Yatimin Abdullah, Op.cit., h. 38 37 M. Ardhani, Op. cit., h. 49

22

Dalam Al-Qur’anul Karim, kewajiban manusia diformulasikan

dengan iman dan amal saleh, sebagaimana tercantum pada firrman

Allah:

ئكهمخيرالبريةالحاتاول ( ٧) انالذينامنواوعملواالص

رضىاللهعنهمور جزآؤهمعندرب همجناتعدنتجرىمنتحتهاالنهارخالدينفيهآابدا

(٨. )ذلكلمنخشىربه ضواعنه

Artinya:

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh,

mereka itu adalah sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi

Tuhan mereka adalah Surga ‘Adn yang mengalir di bawahnya

sungai-sungai; mereka di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha

terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Yang

demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada

Tuhannya”. (Q.S. Al-Bayyinah: 7-8)

Beriman dan beramal saleh dalam istilah lain disebut dengan

takwa, yang diperintahkan Allah kepada hamba-Nya, sebagaimana

firman Allah:38

تقاته وانتممسلمون.)يآايهاالذينامنوااتقواهللاحق ال (١٠٢ولتموتن

Artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah

sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah kamu sekali-kali

mati melainkan dalam keadaan beragama Islam”. (Q.S. Ali Imran:

102)

38 A. Mustofa, Op. cit., h. 154-159

23

Banyak alasan mengapa manusia harus berakhlak terhadap

Allah, diantaranya adalah sebagai berikut:39

1) Karena Allah telah menciptakan manusia dengan segala

keistimewaan dan kesempurnaannya.

2) Karena Allah telah memberikan perlengkapan pancaindera hati

dan nurani dan naluri.

3) Karena Allah telah menyediakan berbagai bahan dan sarana

kehidupan yang terdapat di bumi, seperti tumbuh-tumbuhan,

air, udara, binatang, dan lain sebagainya.

Akhlak terhadap Allah dapat dilakukan dengan cara berbuat

adil dan menepati janji. Karena, berlaku adil kepada Allah

memiliki arti menjadikan-Nya sebagai satu-satunya Tuhan yang

memiliki kesempurnaan. Kita sebagai makhluk-Nya harus

senantiasa tunduk dan patuh terhadap perintah-Nya dan menjauhi

segala larangan-Nya.

Adapun menepati janji kepada Allah, berarti wajib

menunaikan ikrar atau janji kita kepada Allah, yang disebutkan

dalam dua kalimat syahadat, yaitu dengan melaksanakan perintah-

perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya, dengan penuh

kesadaran dan keikhlasan yang mendalam.

Berkenaan dengan akhlak kepada Allah, dapat dilakukan

dengan cara memuji-Nya, yakni dengan menjadikan Tuhan sebagai

satu-satunya yang menguasai dirinya. Oleh karena itu, manusia

sebagai hamba Allah mempunyai cara-cara yang tepat untuk

mendekatkan diri kepada-Nya. Caranya adalah sebagai berikut:40

1) Mentauhidkan Allah

2) Beribadah kepada Allah

39M. Ardhani, Op. cit., h. 49-52 40 M. Yatimin Abdullah, Op.cit., h. 200-208

24

3) Bertakwa kepada Allah

4) Berdo’a khusus kepada Allah

5) Zikrullah

6) Bertawakal

7) Bersabar

8) Bersyukur kepada Allah

b. Akhlak Terhadap Diri Sendiri

Berakhlak yang baik terhadap diri sendiri dapat diartikan

menghargai, menghormati, menyayangi, dan menjaga diri sendiri

dengan sebaik-baiknya, karena sadar bahwa dirinya sebagai ciptaan

dan amanah Allah yang harus dipertanggung jawabkan dengan

sebaik-baiknya.

Untuk menjalankan perintah Allah dan bimbingan Nabi

Muhammad SAW., maka setiap umat Islam harus berakhlak dan

bersikap sebagai berikut:41

1) Hindarkan Minuman Beracun/Keras

Setiap muslim harus menjaga dirinya sebagai suatu kewajban,

untuk tidak meracuni dirinya dengan minuman beralkohol,

narkotika atau kebiasaan buruk lainnya yang bersifat merusak

dan merugikan diri.

2) Hindarkan Perbuatan yang Tidak Baik

Sikap seorang muslim untuk mencegah melakukan sesuatu

yang tidak baik adalah gambaran untuk pribadi muslim dalam

sikap dan perilakunya sehari-hari, sebagai suatu usaha untuk

menjaga dirinya sendiri.

3) Memelihara Kesucian Jiwa

Penyucian dan pembersihan diri dilakukan secara terus

menerus dalam amal saleh. Untuk keperluan memelihara

kebersihan diri dan kesucian jiwa secara teratur, perlu

41M. Ardhani, Op. cit., h. 55-56

25

pembiasaan sebagai berikut: taubat, muraqabah, muhasabah,

mujahadah, dan taat beribadah.

4) Pemaaf dan Pemohon Maaf

Menjadi umat yang pemaaf biasanya mudah, tetapi untuk

meminta maaf apabila seseorang melakukan kekhilafan

terhadap orang lain sungguh sangat sukar, karena merasa malu.

5) Sikap Sederhana dan Jujur

Setiap diri pribadi umat Islam harus bersikap dan berakhlak

yang terpuji, diantaranya bersikap sederhana, rendah hati, jujur,

menepati janji, dan dapat dipercaya.

6) Hindarkan Perbuatan Tercela

Setiap pribadi umat Islam harus menghindari dari perbuatan

yang tercela yang dapat mempengaruhi rusaknya akhlak yang

baik.

Akhlak terhadap diri sendiri dapat dilakukan dengan cara

berlaku adil dan juga menepati janji. Berlaku adil pada diri sendiri,

yaitu menempatkan diri pribadi pada tempat yang baik dan

benar.Diri kita harus terjaga dan terpelihara dalam kebaikan dan

keselamatan, tidak menganiaya diri sendiri dengan menuruti hawa

nafsu yang akibatnya dapat mencelakakan diri sendiri.Dimana kita

harus memenuhi kebutuhan baik jasmani maupun rohani sesuai

dengan norma-norma syariat.

Menepati janji terhadap diri sendiri berarti melaksanakan apa

yang telah diucapkan di dalam diri. Biasanya janji dalam hati,

tetapi kadang-kadang ada juga yang diwujudkan dalam lisannya,

atau bahkan secara tertulis, supaya tidak lupa akan janjnya itu.

Misalnya berjanji untuk bangun setiap pagi menjelang subuh,

Berjanji untuk melaksanakan rukun Islam yang kelima atau berhaji

ke Baitullah, dan berjanji untuk melaksanakan tasyakuran apabila

telah lulus dalam melaksanakan ujian sekolah.

26

Manusia yang berakhlak baik terhadap dirinya sendiri adalah

manusia yang terbina sumber dayanya secara optimal. Hal ini

semakin dirasakan pentingnya, terutama kepada manusia yang

memasuki abad ke-21, yaitu abad globalisasi dunia yang ditandai

oleh adanya persaingan yang amat tajam dan kompetitif.42

c. Akhlak Terhadap Sesama Manusia

Manusia adalah sebagai makhluk sosial yang kelanjutan

eksistensinya secara fungsional dan optimal banyak bergantung

kepada orang lain. Untuk itu, ia perlu bekerja sama dan saling

tolong menolong dengan orang lain. Islam menganjurkan

berakhlak baik kepada saudara, karena ia berjasa dalam ikut serta

mendewasakan kita, dan merupakan orang yang paling dekat

dengan kita. Caranya dapat dilakukan dengan memuliakannya,

memberikan bantuan, pertolongan, dan menghargainya.43

Akhlak terhadap sesama manusia dapat diterapkan dalam

berlaku adil dan juga menepati janji. Berlaku adil terhadap sesama

manusia berarti meletakkan sesama manusia pada tempat yang

sesuai,layak, benar, memberikan hak orang lain dengan jujur dan

benar serta tidak menyakiti serta merugikan orang lain.

Menepati janji terhadap sesama manusia berarti mematuhi dan

menunaikan sebagaimana mestinya, baik yang diucapkan ataupun

yang dituliskan. Janji secara tertulis misalnya, janji seorang

pegawai ketika diterima menjadi pegawai ia berjanji akan bekerja

dengan baik, dan bersedia diberhentikan jika ia bekerja dengan

tidak baik. Janji secara lisan misalnya janji seorang untuk

mewakafkan sebidang tanah untuk pembangunan masjid, atau

untuk fasilitas pendidikan umat Islam.

42Ibid., h. 57 43M. Ardhani, loc. cit.

27

Menurut Abu Bakar Muhammad dalam bukunya yang berjudul

“Membangun Manusia Seutuhnya”, yang dikutip oleh Yatimin

Abdullah, menyatakan bahwa sebagai seorang muslim harus

menjaga perasaan orang lain. Tidak boleh membedakan sikap

terhadap seseorang, baik dia berpangkat atau rakyat jelata, saling

merahasiakan rahasia sesama muslim, tidak boleh menggemborkan

kesalahan orang lain, baik lisan maupun tulisan, harus saling tolong

menolong dalam kebaikan dan ketakwaan kepada Allah SWT.

Adapun akhlak terhadap sesama manusia dapat diperincikan

sebagai berikut:44

1) Akhlak sebagai Anak

a) Kesopanan dan kesederhanaan makan.

b) Kesopanan dan kesederhanaan pakaian.

c) Kesederhanaan tidur.

d) Kesopanan dan kedisiplinan duduk.

e) Kesopanan dan kesederhanaan berludah.

f) Kesopanan dan kesederhanaan berbicara.

2) Akhlak kepada Ayah, Ibu, dan Orang Tua

a) Berbakti kepada kedua orang tua.

b) Mendoakan keduanya.

c) Taat terhadap segala perintahnya dan meninggalkan segala

yang dilarang mereka.

d) Menghormatinya dan merendahkan diri kepadanya.

e) Memberikan penghidupan kepada keduanya.

f) Menyayangi orang tua.

3) Akhlak terhadap Saudara

a) Adil terhadap Saudara

b) Mencintai Saudara

c) Jangan Su-Uzhan.

44 M. Yatimin Abdullah, Op.cit., h. 213-223

28

4) Akhlak terhadap Tetangga

a) Berbuat baik kepada tetangga.

b) Menolongnya jika memerlukan pertolongan.

c) Menengoknya jika ia sakit.

d) Saling memberi.

e) Menghormatinya.

5) Akhlak kepada Lingkungan Masyarakat

a) Berbahasa yang baik dan benar.

b) Ucapkan salam.

c) Perhatikan cara makan dan minum.

2. Akhlak Mazmumah (Akhlak Tercela)

Akhlakul madzmumah ialah perangai yang tercermin dari tutur

kata, tingkah laku dan sikap yang tidak baik. Akhlakul madzmumah

menghasilkan pekerjaan buruk dan tingkah laku yang tidak baik.

Akhlak yang tidak baik dapat dilihat dari tingkah laku perbuatan yang

tidak elok, tidak sopan dan gerak-geriknya yang tidak menyenangkan.

Tiang utama dari akhlak tidak baik adalah nafsu jahat.45Pembagian

Akhlak Mazmumah adalah sebagai berikut:

a. Akhlak Terhadap Allah

Akhlak tercela terhadap Allah, seringkali dilakukan oleh

manusia di setiap harinya.Perbuatan ini dilakukan dengan cara

tidak berbuat adil dan mengingkari janji. Manusia tidak dapat

berlaku adil kepada Allah memiliki arti menjadikan-Nya sebagai

bukan satu-satunya Tuhan yang memiliki kesempurnaan. Manusia

seperti ini senantiasa tidak tunduk dan patuh terhadap perintah-Nya

dan mengerjakan segala larangan-Nya.

Seseorang yang berjanji kepada Allah, namun seringkali

diingkari, yang disebutkan dalam dua kalimat syahadat, yaitu

45Ibid., h. 55

29

dengan tidak melaksanakan perintah-perintah-Nya dan

mengerjakan larangan-larangan-Nya, dengan tanpa kesadaran dan

ketidak-ikhlasan yang mendalam. Atas apa yang diyakininya.

Berikut ini akhlak mazmumah terhadap Allah:

1) Syirik

2) Riya

3) Nifak

b. Akhlak Terhadap Diri Sendiri

Berakhlak yang tidak baik terhadap diri sendiri dapat diartikan

tidak menghargai, tidak menghormati, tidak menyayangi, dan tidak

menjaga diri sendiri dengan sebaik-baiknya, karena tidak sadar

bahwa dirinya sebagai ciptaan dan amanah Allah yang harus

dipertanggung jawabkan dengan sebaik-baiknya.

Akhlak tercela terhadap diri sendiri dapat dilakukan dengan

cara tidak berlaku adil dan juga tidak menepati janji. Tidak berlaku

adil pada diri sendiri, yaitutidak dapat menempatkan diri pribadi

pada tempat yang baik dan benar. Menganiaya diri sendiri dengan

menuruti hawa nafsu yang akibatnya dapat mencelakakan diri

sendiri.Dimana kita harus memenuhi kebutuhan baik jasmani

maupun rohani sesuai dengan norma-norma syariat.

Tidak menepati janji terhadap diri sendiri berarti melanggar

apa yang telah diucapkan di dalam diri. Biasanya janji dalam hati,

tetapi kadang-kadang ada juga yang diwujudkan dalam lisannya,

atau bahkan secara tertulis, tetapi sering melupakan akan janjnya

itu.

Adapun akhlak tercela terhadap diri sendiri adalah sebagai

berikut:46

1) Dengki

46 A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2014), h. 199

30

2) Sombong

3) Boros

4) Merasa tidak perlu terhadap orang lain

c. Akhlak Terhadap Sesama Manusia

Akhlak tercela terhadap sesama manusia seringkali diterapkan

dalam tidak berlaku adil dan juga mengingkari janji. Tidak berlaku

adil terhadap sesama manusia berarti tidak meletakkan sesama

manusia pada tempat yang sesuai, layak, benar, tidak memberikan

hak orang lain dengan jujur dan benar sertamenyakiti serta

merugikan orang lain.

Menepati janji terhadap sesama manusia terkadang melanggar

dan mengabaikan sebagaimana mestinya, baik yang diucapkan

ataupun yang dituliskan. Janji secara tertulis misalnya, janji

seorang pegawai ketika diterima menjadi pegawai ia berjanji akan

bekerja dengan baik, dan bersedia diberhentikan jika ia bekerja

dengan tidak baik.Janji secara lisan misalnya janji seorang untuk

mewakafkan sebidang tanah untuk pembangunan masjid, atau

untuk fasilitas pendidikan umat Islam.

Adapun akhlak mazmumah terhadap sesama manusia adalah

sebagai berikut:47

1) Berdusta

2) Kikir

3) Khianat

4) Menipu

5) Culas

47Ibid., h. 199-200

31

E. Hasil Penelitian Yang Relevan

Berikut ini penulis akan menyajikan penelitian terdahulu mengenai

nilai-nilai pendidikan akhlak yang terdapat di dalam al-Qur’an. Beberapa

penelitian yang relevan dengan penelitian “Nilai-nilai Pendidikan Akhlak

dalam Perspektif al-Qur’an Surat An-Nahl ayat 90-91” adalah sebagai

berikut:

1. Nilai-nilai Pendidikan Akhlak dalam Surat Al-Maidah ayat 8, yang

ditulis oleh Khatimatul Husnah tahun 2014 di FITK UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta. Penelitian dilakukan dengan menggunakan

metode kualitatif dan menggunakan metode penafsiran dengan metode

tafsir tahlili. Adapun nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung

surat Al-Maidah ayat 8 adalah nilai kejujuran, nilai keikhlasan, nilai

keadilan, dan nilai ketakwaan. Pendidikan akhlak tersebut dapat

diaplikasikan dengan menggunakan berbagai macam metode,

diantaranya metode ceramah, metode nasihat, metode teladan, metode

pembiasaan, dan metode kisah.

2. Nilai-nilai Pendidikan Akhlak dalam surat Al-Mujadalah ayat 11-12,

yang ditulis oleh Komarullah Azami tahun 2014 di FITK UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta. Penelitian dilakukan dengan menggunakan

metode kualitatif dan menggunakan metode penafsiran dengan metode

tafsir maudhu’i. Adapun nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung

dalam surat Al-Mujadalah ayat 11-12 adalah melapangkan hati,

menjalin hubungan harmonis, memberikan sedekah, menghormati, dan

memuliakan. Konsep pendidikan akhlak tersebut dapat dilakukan

dengan pendekatan rangsangan-jawaban (stimulus-respone), yaitu

proses mengkondisi sehingga terjadi automatisasi dan dapat dilakukan

dengan cara latihan, tanya jawab dan dengan cara mencontoh.

32

Dari kedua penelitian yang relevan di atas, penulis dapat melihat

adanya persamaan dan perbedaan yang sudah ditulis oleh penulis-penulis

sebelumnya, yaitu:

1. Persamaannya: Pertama, keduanya sama-sama fokus dalam penelitian

pendidikan akhlak. Kedua, kedua skripsi tersebut sama-sama

menggunakan metode penelitian kualitatif. Sedangkan penelitian yang

dilakukan oleh penulis terhadap penelitian sebelumnya sama-sama

fokus dalam meneliti nilai-nilai pendidikan akhlak.

2. Perbedaannya: skripsi yang pertama memiliki fokus dalam meneliti

bagaimana mengaplikasikan nilai-nilai pendidikan akhlak yang

terdapat dalam surat Al-Maidah ayat 8 dan skripsi yang kedua fokus

dalam meneliti konsep nilai-nilai pendidikan akhlak dalam surat Al-

Mujadalah ayat 11-12 dengan menggunakan metode tafsir maudhu’i.

Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah fokus dalam

meneliti penerapan nilai-nilai pendidikan akhlak dalam dalam

perspektif al-Qur’an surat An-Nahl ayat 90-91 dan menggunakan

metode tafsir tahlily.

33

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Objek dan Waktu Penelitian

Objek dalam penelitian ini adalah mengenai kajian tentang tafsir surat An-

Nahl ayat 90-91.

Adapun waktu penelitian yang dilakukan oleh penulis yaitu selama satu

semester, terhitung dari bulan Juli 2017.

B. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan penelitian

kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif analisis yang menggunakan

teknik analisis kajian melalui studi kepustakaan (Library Research).

Karena penelitian ini merupakan library research, maka sumber data pada

penelitian ini adalah literatur-literatur yang berkaitan. Sebagaimana yang

dikatakan oleh Maman, “sumber data penelitian kualitatif ialah tindakan dan

perkataan manusia dalam suatu latar yang bersifat alamiah. Sumber data

lainnya ialah bahan-bahan pustaka, seperti: dokumen, arsip, koran, majalah,

jurnal ilmiah, buku, laporan tahunan, dan lain sebagainya”.1

Adapun literatur yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data

primer, yaitu kitab suci al-Qur’an, dan kitab-kitab tafsir al-Qur’an yang

menjelaskan surat An-Nahl ayat 90-91, diantaranya: kitab Al-Qur’an dan

Tafsirnya, Tafsir Al-Misbah karya M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Azhar karya

Hamka, Tafsir Ath-Thabari, dan kitab Al-Bayan: Tafsir Penjelas al-Qur’an.

Dan data sekunder, yaitu buku-buku yang membahas pendidikan akhlak.

Mengenai analisis data, menurut Imam Gunawan, “analisis data kualitatif

sesungguhnya sudah dimulai saat peneliti mulai mengumpulkan data, dengan

cara memilah mana data yang sesungguhnya penting atau tidak. Ukuran

1 U. Maman Kh, dkk., Metodologi Penelitian Agama Teori dan Praktek, (Jakarta: Raja Grafndo

Persada Press, 2006), h. 80

34

penting atau tidaknya mengacu pada kontribusi data tersebut pada upaya

menjawab fokus penelitian”.2

Karena penelitian ini merupakan penelitian tafsir, dalam meneliti ayat-

ayat al-Qur’an dengan mengacu pada pandangan al-Farmawi yang dikutip

oleh Abudin Nata bahwa metode tafsir yang bercorak penalaran (bukan jalur

riwayat) ini terbagi menjadi empat macam metode, yaitu: tahlili, ijmali,

muqarin, dan maudu’i.3

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode tahlili. Metode tafsir

tahlili adalah satu metode tafsir yang mufassirnya berusaha menjelaskan

kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai seginya dengan memperhatikan

runtutan ayat-ayat al-Qur’an sebagaimana tercantum di dalam mushaf. Dalam

hubungan ini, mufassir mulai dari ayat ke ayat berikutnya, atau dari surat ke

surat berikutnya dengan mengikuti urutan ayat atau surat sesuai yang

termaktub di dalam mushaf.4

Sedangkan metode maudu’i adalah metode tafsir yang membahas ayat-

ayat al-Qur’an sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua

ayat yang berkaitan dengan topik tersebut dihimpun. Kemudian dikaji secara

mendalam dan tuntas dari segala aspeknya, seperti asbab al-nuzul, kosakata,

istinbâth (penetapan) hukum, dan lain-lain. Semuanya dijelaskan dengan rinci,

serta didukung oleh dalil-dalil dan fakta, baik argumen tersebut berasal dari al-

Qur’an dan hadits, maupun pemikiran rasional.5

Perbedaan yang terdapat pada metode tafsir tahlili dan metode tafsir

maudhu’i, ialah dari caranya. Metode tafsir tahlili menjelaskan kandungan

ayat-ayat al-Qur’an dengan secara runtut. Sedangkan metode tafsir maudhu’i

membahas ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan tema atau judul yang telah

ditetapkan.

2 Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif Teori dan Praktik, (Jakarta: Bumi Aksara,

2013), h. 209

3 Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2011), h. 219

4Ibid.

5Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, ), h. 72

35

Menurut Abdul Muin Salim dalam bukunya Metodologi Ilmu Tafsir,

mengatakan bahwa “metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan

ayat-ayat al-Qur’an dari seluruh aspeknya. Penafsiran dengan metode tahlili

juga tidak mengabaikan aspek asbab al nuzul suatu ayat, munasabah

(hubungan) ayat-ayat al-Qur’an antara satu dengan yang lain”.6

Dengan demikian, metode tafsir tahlili merupakan suatu metode yang

bermaksud menguraikan dan menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari

seluruh isinya, sesuai dengan urutan yang ada di dalam al-Qur’an.

C. Fokus Penelitian

Menurut Sugiyono, “batasan masalah dalam penelitian kualitatif disebut

dengan fokus, yang berisi fokus masalah yang masih bersifat umum”.7

Dengan melihat pendapat Sugiyono di atas, maka penulis mencantumkan apa

yang ada di dalam batasan masalah menjadi fokus penelitian dalam penulisan

ini, yaitu mengenai tafsir surat An-Nahl ayat 90-91.

Jadi, dalam penelitian ini penulis bermaksud mengkaji tentang tafsir surat

An-Nahl ayat 90-91, dengan mencari data-data dan sumber yang membahas

mengenai ayat tersebut.

D. Prosedur Penelitian

Dalam penelitian tafsir yang menggunakan metode tafsir tahlili, ada

beberapa prosedur atau langkah yang harus diperhatikan. Mengacu pada

penjelasan Abudin Nata dalam buku Studi Islam Komprehensif, maka

prosedur penelitian tafsir surat An-Nahl ayat 90-91 adalah sebagai berikut:

1. Memulai penjelasan dari kosa kata yang terdapat pada ayat 90 dan 91 surat

An-Nahl. Pada tahap ini, penulis memulai dengan menjelaskan kosa kata

yang terdapat dari ayat 90 dan 91 surat An-Nahl dengan mengacu pada

kitab-kitab tafsir.8

6Abd. Muin Salim, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2005), h. 42

7Sugiyono, Metode Penelitian Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, (Bandung:

Alfabeta, 2008), h. 285-286

8 Abudin Nata, Studi Islam Komprehensif, (Jakarta: Prenada Media Group, 2011), h. 169

36

2. Setelah menjelaskan kosa kata per ayatnya, kemudian penulis menjelaskan

munasabah ayat 90 dan 91 dengan ayat-ayat sebelumnya. Di sini penulis

akan menjelaskan munasabah, yaitu hubungan ayat 90 dan 91 surat An-

Nahl dengan ayat sebelumnya. Hal ini sangat dibutuhkan untuk

mengetahui kejelasan makna ayat.9

3. Menjelaskan makna yang terkandung dalam ayat 90-91 surat An-Nahl

dengan dibantu dari penjelasan dari ayat lain, hadits Rasulullah SAW.,

atau ilmu pendidikan yang berkaitan dengan ayat tersebut. Dalam tahap

ini, penulis akan mencoba menjelaskan makna yang terkandung dalam

ayat 90 dan 91 surat An-Nahl dengan menggunakan literatur dari kitab

tafsir, kemudian hadits-hadits Rasulullah yang berkaitan dengan makna

ayat tersebut, dan juga buku-buku penunjang seperti buku-buku

pendidikan yang membicarakan seputar makna ayat tersebut. Selain itu,

pada tahap ini juga penulis menganalisis kajian tentang nilai-nilai

pendidikan akhlak yang terkandung di dalam ayat tersebut.10

4. Setelah menjelaskan makna ayat dan menganalisisnya, selanjutnya adalah

menarik kesimpulan dari ayat 90-91 surat An-Nahl. Kesimpulan dari

penelitian ini berkaitan tentang apa saja kandungan ayat 90 dan 91.11

9Ibid.

10Ibid. 11Ibid.

37

BAB IV

TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Tafsir Al-Qur’an Surat An-Nahl ayat 90-91

1. Sejarah Surat An-Nahl dan Asbabun Nuzul Ayat.

a. Sejarah Surat An-Nahl

Surat An-Nahl terdiri dari 128 ayat. Mayoritas ulama menilainya

Makkiyyah, yakni turun sebelum Nabi Muhammad SAW., berhijrah ke

Madinah. Nama An-Nahl terambil dari kata النحلي yang disebut pada ayat 68

surat ini. Hanya sekali itulah al-Qur’an menyebutnya. Ada juga ulama

yang menamainya surat an-Ni’am, karena banyak nikmat Allah yang

diuraikan di sini.1

Sebagaimana umumnya surat-surat yang turun di Mekkah, yaitu surat-

surat yang turun sebelum hijrah, mengandung soal-soal ketauhidan,

kerasulan dan kepastian akan datangnya hari kiamat. Kemudian, dalam

surat ini terdapat ancaman-ancaman terhadap orang-orang yang

mendustakan kebenaran al-Qur’an. Pada awal surat ini, menegaskan

kepastian datangnya hari kiamat itu dan pertanggung-jawaban mereka

terhadap amal perbuatan yang betul-betul akan diminta.2

Al-Biqa’i berpendapat bahwa tujuan pokok dan tema utama surah An-

Nahl adalah membuktikan kesempurnaan kuasa Allah dan keluasan ilmu-

Nya, dan bahwa Dia bebas bertindak sesuai kehendak-Nya lagi tidak

disentuh oleh sedikit kekurangan pun. Yang dapat menunjukkan makna ini

adalah sifat dan keadaan An-Nahl, yakni “lebah” yang sungguh

menunjukkan pemahaman yang dalam serta keserasian yang

mengagumkan. Keajaibannya juga terlihat pada jenisnya. Ia tidak hanya

1 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Volume 6, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 517

2 Zaini Dahlan dkk, Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid V Juz 13-14-15, (Yogyakarta: PT. Dana

Bhakti Wakaf, 1991), h. 326

38

terdiri dari jantan dan betina, tetapi juga yang tidak jantan dan tidak

betina3

Di dalam surat ini, ditekankan tentang perlengkapan-perlengkapan

dalam pergaulan hidup dengan sesama manusia. Bagaimana harus berlaku

adil, berbuat ihsan dengan sesama, bersedia berkorban untuk menolong

orang lain, keteguhan memegang janji dan setia kepada apa yang telah

dijunjung tinggi bersama.4

Adapun persesuaian surat ini dengan surat yang lalu, ialah di akhir

surat yang lalu Allah menerangkan tentang keadaan orang-orang yang

mengolok-olokkan Rasul dan mendustakannya dan mereka semua akan

ditanya di akhirat. Yang memberikan pengertian bahwa mereka semua

akan dikumpulkan di hari kiamat dan akan diminta pertanggungjawaban

terhadap segala perbuatan mereka di dunia.5

Pendapat as-Suyuthi yang menyatakan bahwa “surah yang terdahulu

merupakan pengantar bagi surah sesudahnya”, berarti surah An-Nahl ini

adalah pengantar bagi surah al-Isra’. Lebah dipilih untuk menjadi

pengantar uraian yang berkaitan dengan manusia seutuhnya, karena

seorang mukmin atau katakanlah manusia yang utuh, diibaratkan oleh

Rasul SAW., bagaikan “lebah”, tidak makan kecuali yang baik dan indah.

Seperti kembang-kembang tidak menghasilkan kecuali yang baik dan

bermanfaat seperti madu yang merupakan minuman dan obat bagi aneka

penyakit, tidak hinggap di tempat yang kotor, tidak mengganggu kecuali

ada yang mengganggunya, dan jika menyengat sengatannya pun menjadi

obat.6

3 M. Quraish Shihab, Ibid., h. 518-519

4 Hamka, Tafsir Al-Azhar Juzu’ 13-14-15-16-17, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), h. 213

5 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Al-Bayan: tafsir penjelas Al Qur-anul Karim,

(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2002), h. 601

6M. Quraish Shihab, Ibid., h. 519

39

b. Asbabun Nuzul Ayat

Asbabun Nuzul ialah, kejadian yang terjadi di zaman Nabi SAW., atau

pertanyaan yang dihadapkan kepada Nabi, sehingga turunlah satu atau

beberapa ayat dari Allah SWT., yang berhubungan dengan kejadian itu,

atau sebagai jawaban atas pertanyaan itu, baik peristiwa pertengkaran atau

merupakan kesalahan yang dilakukan. Bahkan suatu peristiwa atau suatu

keinginan yang baik.

Ayat-ayat al-Qur’an dibagi menjadi dua, yaitu:

1) Ayat-ayat yang ada sebab nuzulnya.

2) Ayat-ayat yang tidak ada sebab nuzulnya.

Dengan demikian, ada ayat al-Qur’an yang diturunkan sesudah

didahului sesuatu sebab dan ada ayat yang diturunkan tanpa didahului oleh

sebab.7

Mengenai asbabun nuzul pada surat An-Nahl ayat 90-91, hanya terdapat

pada ayat 91. Ketika itu, Rasulullah apabila menerima seseorang memeluk

agama Islam, langsung dibaiat (diadakan janji setia). Ayat ke-91

diturunkan untuk memberi perintah agar kaum muslimin berbaiat kepada

Rasulullah SAW., yakni berjanji setia untuk mempertahankan panji-panji

Islam dan memeluk Islam dengan penuh konsekuen.8

c. Teks Ayat dan Terjemahnya.

هى عني الفحشآءي والمنكري والب لعدلي وااليحساني وايي تآئي ذيى القر ب وي ن غيي يعيظكم اين هللا يمر بي

قض واوف وا بيعهدي هللاي ايذاعاهدتم وال (٩٠)لعلكم تذكرون ال يان ب عد ت و كييديها وقد جعلتم هللا وا ات ن

(٩١) اين هللا ي علم ما ت فعلون عليكم كفييال

7 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al Qur-an Ilmu-Ilmu Pokok dalam

Menafsirkan Al Qur-an, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2002), h. 18-19

8 A. Mudjab Mahali, Asbabun Nuzul Studi Pendalaman Al-Qur’an, (Jakarta: PT RajaGrafindo,

2002), Cet. 1, h. 533

40

“Sesungguhnya Allah memerintahkan berlaku adil dan berbuat ihsan,

pemberian kepada kaum kerabat, dan Dia melarang berbuat keji,

kemunkaran, dan penganiayaan. Dia memberi pengajaran kepada kamu

agar kamu dapat selalu ingat”. “Dan tepatilah perjanjian Allah apabila

kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah sesudah

meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksi atas

diri kamu. Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat”. (An-

Nahl: 90-91)

d. Kata Mufradat

memerintahkan berlaku adil : لعدلي يمر بي

berbuat baik : وااليحساني

pemberian kepada kaum kerabat : وايي تآئي ذيى القر ب

melarang : هى وي ن

penganiayaan : والب غيي

memberi pengajaran : يعيظكم

tepatilah perjanjian : واوف وا بيعهدي

kamu berjanji : عاهدتم

membatalkan : قضو وال ت ن

meneguhkannya : ت و كييديها

41

e. Tafsir Surat An-Nahl Ayat 90-91

1) Munasabah ayat

Pada ayat sebelumnya, Allah SWT menjelaskan azab yang akan

menimpa orang-orang kafir pada hari kiamat, serta kesaksian Nabi-

nabi atas umatnya pada saat itu. Al-qur’an sebagai petunjuk bagi umat

Islam dalam menghadapi kehidupan yang terakhir yaitu hari kiamat,

adalah alasan bagi Nabi SAW., terhadap umatnya untuk

mengemukakan kesaksian.9

Dalam ayat 90, dikemukakan sekelumit perincian yang dapat

menggambarkan kesimpulan petunjuk al-qur’an. Ayat ini dinilai oleh

paran pakar sebagai ayat yang paling sempurna dalam penjelasan

segala aspek kebaikan dan keburukan.10

Sementara pada ayat 91, Allah memerintahkan kaum Muslimin

untuk menepati ikatan perjanjian mereka dengan Allah, apabila mereka

sudah mengikat janji itu. Menurut ayat ini, semua ikatan perjanjian

yang dibuat dengan kehendak sendiri, wajib dipenuhi, baik perjanjian

itu sesama kaum Muslimin ataupun terhadap orang diluar Islam. Allah

SWT., melarang melanggar sumpah yang telah diucapkan dengan

mempergunakan nama Allah. Karena di dalam sumpah itu, Allah telah

ditempatkan sebagai saksi.11

Dengan demikian, pada ayat yang lalu Allah telah menjelaskan

azab yang akan menimpa orang-orang kafir pada hari kiamat dan

kesaksian Nabi-nabi atas umatnya. Kemudian pada ayat 90, dijelaskan

berbagai macam aspek kebaikan dan keburukan yang harus

dilaksanakan di dalam menjalankan kehidupan. Selanjutnya dalam ayat

91, Allah memerintahkan para kaum Muslimin untuk menepati

9 Zaini Dahlan dkk, Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid V Juz 13-14-15, (Yogyakarta: PT. Dana

Bhakti Wakaf, 1991), h. 446

10 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Volume 6, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 697

11 Zaini Dahlan dkk, Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid V Juz 13-14-15, (Yogyakarta: PT. Dana

Bhakti Wakaf, 1991), h. 454

42

perjanjian yang telah dibuat dan melarang melanggar sumpah yang

telah diucapkan.

2) Tafsir Ayat 90-91

Pada ayat berikut ini, Allah SWT menguraikan lagi pokok-pokok

isi al-Qur’an untuk dijadikan pegangan bagi umat Islam, hidup di

dunia ini menuju kebahagiaan akhirat. Diantaranya, Allah SWT

memerintahkan berbuat adil dalam melaksanakan isi al-Qur’an yang

menjelaskan segala aspek kehidupan manusia, serta berbuat ihsan.12

Ayat 90

هى عني الفحشآءي والمنكري حساني وايي تآئي ذيى القر ب وي ن لعدلي واالي اين هللا يمر بي

(٩٠لعلكم تذكرون )والب غيي يعيظكم

Kata (العدل) al-‘adl terambil dari kata (عدل) ‘adala yang terdiri dari

huruf-huruf ‘ain, dâl, dan lâm. Rangkaian huruf ini mengandung dua

makna yang bertolak belakang, yakni lurusdansama serta bengkok dan

berbeda. Seseorang yang adil adalah yang berjalan lurus dan sikapnya

selalu menggunakan ukuran yang sama, bukan ukuran ganda. Persamaan

itulah yang menjadikan seseorang adil tidak berpihak kepada salah seorang

yang berselisih.13

Menurut M. Quraish Shihab, manusia dituntut untuk menegakkan

keadilan walau terhadap keluarga, ibu bapak, dan dirinya, seperti yang

telah disebutkan di dalam al-Qur’an surat an-Nisa (4): 135, bahkan

terhadap musuhnya sekalipun, yang terdapat di dalam al-Qur’an surat al-

Maidah (5): 8. Kedua ayat tersebut memiliki redaksi yang serupa dengan

12 Zaini Dahlan dkk, Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid V Juz 13-14-15, (Yogyakarta: PT. Dana

Bhakti Wakaf, 1991), h. 446-447

13 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Volume 6, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 698

43

surat an-Nahl (16) ayat 90. Keadilan pertama yang dituntut adalah dari diri

dan terhadap diri sendiri dengan jalan meletakkan syahwat dan amarah

sebagai tawanan yang harus mengikuti perintah akal dan agama, bukan

menjadikannya tuan yang mengarahkan akal dan tuntunan agamanya.

Karena, jika demikian, ia tidak berlaku adil, yakni tidak menempatkan

sesuatu pada tempat yang wajar.14

Adil, yaitu menimbang yang sama berat, menyalahkan yang salah dan

membenarkan mana yang benar, mengembalikan hak kepada yang

seharusnya dan jangan berlaku zalim aniaya. Lawan dari adil ialah zalim,

yaitu memungkiri kebenaran karena ingin mencari keuntungan bagi diri

sendiri dan mempertahankan perbuatan yang salah. Selama keadilan masih

terdapat di masyarakat, pergaulan hidup akan aman sentosa, timbul amanat

dan saling mempercayai.15

Allah SWT., memerintahkan berbuat adil dalam melaksanakan isi al-

Qur’an yang menjelaskan segala aspek kehidupan manusia. Hak setiap

orang harus diberikan sebagaimana mestinya. Penyimpangan dari keadilan

adalah penyimpangan dari Sunnah Allah menciptakan alam ini dan hal ini

tentulah akan menimbulkan kekacauan dan kegoncangan dalam

masyarakat, seperti putusnya hubungan cinta kasih sesama manusia,

tertanamnya dalam hati manusia rasa dendam, kebencian, iri, dengki, dan

sebagainya.16

Menurut Tafsir ath-Thabari, adil itu pengakuan atas orang-orang yang

telah diberkati karunia-Nya, dan bersyukur atas kebaikannya, dan jagalah

keluarganya. Jika ini keadilan dan berhala tidak memiliki tangan yang layak

dipuji, maka kita tidak tahu Hamadha dan penyembahan, dan jangan menikmati

perbuatan tersebut. Dan tidak menguntungkan beribadah, selama kita melihat

14Ibid.

15 Hamka, Tafsir Al-Azhar Juzu’ 13-14-15-16-17, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), h. 280

16Zaini Dahlan dkk, Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid V Juz 13-14-15, (Yogyakarta: PT. Dana

Bhakti Wakaf, 1991), h. 447

44

bahwa tidak ada Tuhan selain Dia dan tidak memiliki pasangan, maka dia

berkata: Keadilan di sini berarti kesaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah.17

Setelah itu, diperintahkan berbuat Ihsan. Arti Ihsan ialah mengandung

dua maksud. Pertama, selalu mempertinggi mutu amalan, berbuat yang

lebih baik dari yang sudah-sudah, sehingga kian lama tingkat iman kian

naik. Kedua, ialah kepada sesama makhluk, yaitu berbuat tinggi lagi dari

keadilan. Sebab Ihsan adalah latihan budi yang lebih tinggi tingkatnya

daripada adil. Ketiga ialah memberi kepada keluarga yang terdekat. Ini

adalah lanjutan dari Ihsan. Karena, terkadang orang yang berasal dari satu

orangtua pun tidak sama nasibnya. Maka, orang yang mampu dianjurkan

berbuat Ihsan kepada keluarganya yang terdekat sebelum dia

mementingkan orang lain.18

Menurut Quraish Shihab, perintah ihsân bermakna perintah

melakukan segala aktivitas positif seakan-akan Anda melihat Allah atau,

paling tidak, selalu merasa dilihat dan diawasi oleh-Nya. Kesadaran akan

pengawasan melekat itu menjadikan seseorang selalu ingin berbuat sebaik

mungkin dan memperlakukan pihak lain lebih baik dari perlakuannya

terhadap Anda, bukan sekadar memperlakukan orang lain sama dengan

perlakuannya terhadap Anda.19

Ihsan berarti keutamaan seperti membalas kebaikan orang lain dengan

kebaikan yang lebih besar atau memaafkan orang lain. Tingkat keutamaan

(al ihsān) yang tertinggi ialah berbuat kebaikan terhadap orang yang

bersalah. Diriwayatkan bahwa Isa as., pernah berkata: “Sesungguhnya

keutamaan itu ialah kamu berbuat baik kepada orang yang bersalah

terhadapmu”. Bukanlah keutamaan bila kamu berbuat baik kepada orang

yang telah berbuat tidak baik kepadamu.20

17 Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, (Beirut: Darul Fikr,1995),

h. 212

18 Hamka, Tafsir Al-Azhar Juzu’ 13-14-15-16-17, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), h. 280-281

19M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Volume 6, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 699-700

20 Zaini Dahlan dkk, Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid V Juz 13-14-15, (Yogyakarta: PT. Dana

Bhakti Wakaf, 1991), h. 452

45

Pemberian kepada sanak keluarga sengaja ditekankan di sini, karena

orang mengabaikan hak keluarga atau lebih senang memberi bantuan

kepada orang lain yang bukan keluarganya. Boleh jadi karena ada maksud

tertentu di balik pemberian itu, seperti popularitas dan pujian. Perlu dicatat

bahwa satu di antara cara yang ditempuh Islam guna memberantas

kemiskinan, di samping kerja keras adalah memberi bantuan, dan karena

itu pula ketika sahabat Nabi SAW., bertanya kepada Nabi Muhammad

SAW., tentang nafkah, al-Qur’an telah menjelaskan di dalam surat al-

Baqarah (2): 215, yang menyatakan bahwa sasaran pertamanya adalah

kedua orangtua kemudian para kerabat.21

Menurut Quraish Shihab, kata (الفحشاء)al-fahsyâ’/keji adalah nama

bagi segala perbuatan atau ucapan, bahkan keyakinan, yang dinilai buruk

oleh jiwa dan akal yang sehat serta mengakibatkan dampak buruk, bukan

saja bagi pelakunya tetapi juga bagi lingkungannya.22

Allah melarang segala perbuatan keji, yaitu dosa yang amat merusak

pergaulan dan keturunan. Biasa di dalam al-Qur’an, disebut Al Fahsyaa’

yang dituju ialah segala yang berhubungan dengan zina. Dan yang dibenci

atau yang munkar, ialah segala perbuatan yang tidak dapat diterima oleh

masyarakat yang memupuk budi yang luhur dan segala tingkah laku yang

membawa pelanggaran atas aturan agama. Dan aniaya, yaitu segala

perbuatan yang sikapnya menimbulkan permusuhan terhadap sesama

manusia, karena mengganggu hak orang lain.23

Menurut Quraish Shihab, kata (املنكر)al-munkar/kemungkaran dari segi

bahasa berarti sesuatu yang tidak dikenal sehingga diingkari. Itu sebabnya

ia dihadapkan dengan kata al-ma’rûf/yang dikenal. Dalam bidang budaya,

kita dapat membenarkan ungkapan: “Apabila ma’ruf sudah jarang

21Ibid., h. 700-701

22Ibid., h. 700

23 Hamka, Tafsir Al-Azhar Juzu’ 13-14-15-16-17, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), h. 281-282

46

dikerjakan, ia bisa beralih menjadi munkar, sebaliknya bila munkar sudah

sering dikerjakan ia menjadi ma’ruf”.

Munkar bermacam-macam dan bertingkat-tingkat. Ada yang berkaitan

dengan pelanggaran terhadap Allah, baik dalam bentuk pelanggaran

ibadah, perintah non-ibadah, dan ada juga yang berkaitan dengan manusia,

serta lingkungan.24

Kata (البغي) al-baghy/penganiayaan terambil dari kata baghâ yang

berarti meminta/menuntut, kemudian maknanya menyempit sehingga pada

umumnya ia digunakan dalam arti menuntut hak pihak lain tanpa hak dan

dengan cara aniaya/tidak wajar. Kata tersebut mencakup segala

pelanggaran hak dalam bidang interaksi sosial, baik pelanggaran itu lahir

tanpa sebab, seperti perampokan, pencurian, maupun dengan atau dalih

yang tidak sah, bahkan walaupun dengan tujuan penegakan hukum tetapi

dalam pelaksanaannya melampaui batas.25

Ketiga perintah yang wajib dikerjakan dan larangan yang wajib

dijauhi itu ialah untuk keselamatan diri sendiri, supaya selamat dalam

pergaulan hidup. Pengajaran dan nasehat ini adalah datang langsung dari

Allah. Menurut riwayat Ibnu Jarir, bahwasanya Abullah bin Mas’ud

pernah mengatakan bahwa ayat ini adalah ayat yang paling jelas memberi

petunjuk mana yang baik dan mana yang tidak baik.26

Firman-Nya: (لعل كم تذك رون)la’allakum tadzakkarûn/agar kamu dapat

selalu ingat yang menjadi penutup ayat ini dapat dipahami sebagai isyarat

bahwa tuntunan-tuntunan agama, atau paling tidak nilai-nilai yang disebut

di atas, melekat pada nurani setiap orang dan selalu didambakan

wujudnya. Karena itu, nilai-nilai tersebut bersifat universal.

Pelanggarannya dapat mengakibatkan kehancuran kemanusiaan.27

24 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Volume 6, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 701-702

25Ibid., h. 702

26 Hamka, Tafsir Al-Azhar Juzu’ 13-14-15-16-17, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), h. 282

27 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Volume 6, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 703

47

Ayat 91

قضوا اال يان ب عد ت و كييديها وقد جعلتم هللا عل يكم واوف وا بيعهدي هللاي ايذاعاهدتم وال ت ن

(٩١ )اين هللا ي علم ما ت فعلون كفييال

Al-Biqâ’i menulis tentang hubungan ayat ini dengan ayat yang lalu

bahwa, setelah ayat yang lalu menghimpun semua perintah dan larangan

dalam satu redaksi singkat yang tidak dapat ditampung oleh kitab-kitab

dan dada manusia serta disaksikan oleh para pendurhaka yang keras kepala

bahwa redaksi semacam itu melampaui batas kemampuan manusia.

Menurut Quraish Shihab, yang dimaksud dengan ( اتنقضو )

tanqudhû/membatalkan adalah melakukan sesuatu yang bertentangan

dengan kandungan sumpah/janji.28

Menurut Quraish Shihab, yang dimaksud dengan (بعهد هللا)

biʽahdAllâh/perjanjian Allah dalam konteks ayat ini antara lain, bahkan

terutama adalah baiʽat yang mereka ikrarkan di hadapan Nabi Muhammad

SAW., untuk tidak mempersekutukan Allah SWT., serta tidak melanggar

perintah Nabi SAW., yang mengakibatkan mereka durhaka. Janji atau

sumpah yang menggunakan nama Allah yang kandungannya demikian

sering kali dilaksanakan oleh para sahabat Nabi SAW., sejak mereka masi

di Mekkah sebelum berhijrah. Memang, redaksi ayat ini mencakup segala

macam janji dan sumpah serta ditujukan kepada siapa pun dan di mana

pun mereka berada.29

Dalam ayat ini, Allah SWT., memerintahkan kaum Muslimin untuk

menepati ikatan perjanjian mereka dengan Allah bilamana mereka sudah

mengikat janji tersebut. Menurut Ibnu Jarir, ayat-ayat ini diturunkan

dengan bai’at (janji setia) kepada Nabi Muhammad SAW., yang dilakukan

oleh orang-orang yang baru masuk Islam. Menurut ayat ini, semua ikatan

28M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Volume 6, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 704

29Ibid, h. 704-705

48

perjanjian yang dibuat dengan kehendak sendiri, wajib dipenuhi baik

perjanjian itu sesama kaum Muslimin ataupun orang diluar Islam.30

Menurut Quraish Shihab, firman-Nya (بعد تو كيدها) baʽda taukîdihâ ada

yang memahaminya dalam arti sesudah kamu meneguhkannya. Ada pun

makna yang dipilih, yang jelas maksud meneguhkan/peneguhan tersebut

adalah menjadikan Allah SWT., sebagai saksi dan pengawas atas sumpah

dan janji-janji manusia.31

Ayat ini menekankan perlunya menepati janji, memegang teguh tali

agama, serta menutup rapat-rapat semua usaha musuh-musuh Islam yang

berupaya memurtadkan kaum muslimin, sejak masa Nabi SAW., di

Mekkah hingga masa kini. Kepercayaan seorang muslim akan keesaan

Allah dan kekuasaan-Nya seharusnya dapat menjadi jaminan bagi pihak

lain atas kebenaran ucapannya. Keyakinan itu seharusnya melahirkan

jaminan ketepatan janji, karena pengingkaran janji dan kebohongannya

mengundang murka Allah.32

Menurut Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, dalam tafsir

ath-thabari, menyatakan bahwa: taatilah perjanjian Allah, jika kamu

percaya kepada-Nya, dan peganglah perjanjian yang telah diucapkan, dan

perintahkan kepada dirimu sendiri untuk mempercayai orang-orang yang

telah kamu berikan janji dan percayalah kepada-Nya.33

Apabila telah bersumpah dengan memakai nama Allah akan

mengerjakan sesuatu pekerjaan atau tidak mengerjakan sesuatu, itu berarti

telah berjanji dengan Allah. Maka hendaklah janji dengan Allah itu

dipenuhi. Janganlah melalaikan sumpah yang telah diteguhkan dengan

30 Zaini Dahlan dkk, Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid V Juz 13-14-15, (Yogyakarta: PT. Dana

Bhakti Wakaf, 1991), h. 454

31 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Volume 6, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 706

32Ibid., h. 705-706

33 Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, (Beirut: Darul Fikr,1995),

h. 214

49

memakai nama Allah. Sumpah adalah termasuk ta’at, kebajikan dan

taqwa.34

Allah SWT., melarang melanggar sumpah yang diucapkan dengan

mempergunakan nama Allah. Karena di dalam sumpah demikian itu, Allah

telah ditempatkan sebagai saksi. Maka Dia akan memberi pahala bagi

mereka yang memenuhi apa yang diucapkannya dengan sumpah itu atau

membalas dengan azab bagi mereka yang mengkhianati sumpah itu.35

Menurut Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, dalam tafsir

ath-thabari, menyatakan bahwa: Jangan melanggar sumpah di mana Anda

memantapkan iman, maksudnya setelah seseorang menekankan iman

kepada dirinya sendiri, konsisten dalam iman Anda. Dikatakan bahwa:

berusaha memperalat haknya untuk dibenarkan: jika ditekankan, bahasa

orang-orang Hijaz, tapi orang-orang Najd Mereka mengatakan: Saya

membenarkan dan itu dibenarkan.36

B. Nilai-nilai Pendidikan Akhlak yang Terkandung di dalam Surat An-Nahl

ayat 90-91

1. Nilai Keadilan

Adil yaitu, seseorang yang dapat membagi dan memberi haknya

sesuai dengan fitrahnya, atau mampu menahan kemarahannya dan nafsu

syahwatnya untuk mendapatkan hikmah di balik peristiwa yang terjadi.

Adil dapat juga diartikan tindakan keputusan yang dilakukan dengan cara

tidak berat sebelah atau merugikan satu pihak tetapi saling

menguntungkan.37

34 Hamka, Ibid., h. 281-282

35 Zaini Dahlan dkk, Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid V Juz 13-14-15, (Yogyakarta: PT. Dana

Bhakti Wakaf, 1991), h. 454

36Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, (Beirut: Darul Fikr,1995),

h. 214

37M. Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif Al-qur’an, (Jakarta: Amzah, 2007), Cet.

1, h. 41

50

Pada hakekatnya, keadilan adalah kata sifat yang artinya adalah sifat

yang adil, tidak berat sebelah. Orang yang adil adalah orang yang tidak

bersikap berat sebelah terhadap orang lain dan tidak pilih kasih. Di pihak

lain, keadilan sebagai konsep mengindikasikan adanya rasa keadilan dalam

perlakuan (justice or fair treatment). Memperlakukan orang lain

merupakan pernyataan nilai tentang bagaimana selayaknya orang

diperlakukan. Dengan demikian, tiap orang mempunyai hak untuk

diperlakukan secara adil, hak yang merupakan hak asasi manusia.38

Keadilan ialah perlakuan sama yang didapat seseorang dari orang lain

dengan hak dan derajat yang sama. Sama disini dalam artian proporsional,

yaitu disesuaikan dengan pekerjaan dan kebutuhan. Banyak orang yang

tidak mengerti dan salah dalam menempatkan keadilan yang

sesungguhnya. Juga dapat terjadi kesenjangan dan kesimpangsiuran

masalah yang tidak jelas ujung pangkalnya dan juga penyelesaiannya.

Sehingga yang terjadi adalah kesalahpahaman antara yang satu dengan

yang lainnya dan akan menimbulkan ketidakadilan.39

Keadilan yang sesungguhnya tidak dapat ditemukan di dunia ini.

Keadilan yang hakiki ialah keadilan yang sesungguhnya di akhirat,

keadilan yang benar-benar adil karena hakimnya adalah Allah. Di dunia

keadilan yang ada hanyalah semu, dapat diperjualbelikan, dapat

dimanipulasi dan memihak kepada yang memiliki uang banyak, bukan

untuk orang miskin bahkan rakyat jelata, tetapi untuk orang-orang kaya.

Sesungguhnya keadilan yang hakiki itu hanyalah milik Allah. Allah

berfirman:

هووالملىئكةوشهد هوالعزيزهللاأنه،لإلىهإل لإلهإل أولواالعلمقآئمابالقسط

الحكيم

(١٨)

38 A. Prasetyantoko, Keadilan Sosial, (Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2004), h. 13

39M. Yatimin Abdullah, Op. cit., h. 138

51

Artinya: “Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak

disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan

orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada

Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi

Maha Bijaksana”. (QS. Ali Imran (3): 18)40

Keadilan adalah sifat yang penting untuk ditegakkan, baik di dalam

kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Tanpa keadilan, tatanan dalam

kehidupan akan berantakan dan tidak akan sejahtera. Seorang muslim

haruslah tetap menegakkan keadilan dalam keadaan apapun dan terhadap

siapapun tanpa pandang suku, agama dan jabatan. Keadilan haruslah

ditegakkan, baik terhadap orang yang dicintai maupun orang yang dibenci.

Karena Islam memerintahkan untuk memberikan kebenaran kepada orang

yang berhak, meskipun keadilan tersebut akan merugikan teman dan akan

menguntungkan musuh.

Misalnya bersikap adil dalam memberikan kesaksian, maka seseorang

tersebut tidak boleh memberikan kesaksian kecuali dengan sesuatu yang

ia ketahui. Ia tidak boleh mengurangi dan tidak boleh menambah, tidak

boleh mengganti dan tidak boleh mengganti kesaksian tersebut. Islam

mengharamkan kezhaliman, terutama kezhaliman orang-orang kaya

terhadap orang-orang miskin dan kezhaliman pemerintah terhadap

rakyatnya.

Menegakkan keadilan merupakan satu perintah Allah yang sangat

penting. Allah SWT., berfirman:

هللايأمركمانتؤدواالماناتالىاهلهاواذاحكمتم بينالناسانتحكمواان

ايعظكمبه بالعدل هللانعم هللاكانسميعابصيرا) ان (٥٨ان

Artinya: “Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada

yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di

40Ibid., h. 150

52

antara manusia hendaklah kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh

Allah Maha Mendengar, Maha Melihat”.(QS. an-Nisaa′: 58)41

Adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya. Apabila seseorang

memberikan hak kepada orang yang tidak berhak menerimanya, berarti ia

telah menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya (tidak adil). Dengan

berlaku tidak adil, maka ia telah melanggar perintah Allah, sehingga

menjadikannya jauh dari takwa dan jauh dari Allah.

Ketika menjatuhkan hukuman kepada para terdakwa kasus korupsi,

maka mestilah diberikan hukuman yang seberat-beratnya sesuai apa yang

telah diperbuatnya. Pada masa sekarang ini, para terdakwa kasus yang

sangat kriminal dijatuhkan hukuman yang ringan, sedangkan mereka yang

hanya mencuri sebatang kayu dijatuhkan hukuman langsung tanpa ada

masa pemidanaan.

Pada keluarga, adil diterapkan dengan cara menyayangi semua anak

tanpa adanya perbedaan. Memberikan uang jajan sesuai dengan kebutuhan

masing-masing anak. Sehingga orangtua dapat menerapkan keadilan di

dalam rumah, dan anak mulai belajar dan menerapkan adil terhadap

saudaranya.

Setiap keadilan pasti memiliki nilai keutamaannya, begitu pula

menegakkan keadilan. Ada tiga keutamaan yang akan diperoleh seseorang

yang mampu menegakkan keadilan, baik di dalam kehidupan di dunia

maupun di akhirat, yaitu:

1. Lebih Dekat kepada Takwa.

2. Dicintai Allah.

3. Memperoleh Keselamatan.42

2. Nilai Kebaikan

Seorang Muslim tidak melihat kebaikan hanya sebagai akhlak mulia

yang harus dilakukan, melainkan juga memandangnya sebagai bagian dari

41 Ahmad Yani, Be Excellent Menjadi Pribadi Terpuji, (Jakarta: Al Qalam, 2007), Cet. 1, h. 21-

22

42Ibid., h. 22-23

53

akidahnya dan tonggak besar keislamannya. Karena Islam dibangun di atas

tiga hal, yaitu iman, Islam dan ihsan.

Adapun ihsan di dalam ibadah ialah melaksanakan ibadah apa pun,

seperti shalat, puasa, haji, dan sebagainya, dengan benar dan

menyempurnakan syarat, rukun, sunat, dan etikanya. Perbuatan ibadah

tersebut akan sempurna apabila seorang hamba mengerjakannya dengan

perasaan tenggelam yang dalam, bahwa dirinya diawasi oleh Allah SWT,.

Sehingga seakan-akan ia melihat dan menyaksikan-Nya, atau merasa

bahwa Allah SWT., memperhatikan dan melihatnya.

Sedangkan ihsan di dalam muamalah ialah berbuat baik kepada kedua

orangtua, menjaga harta kekayaan anak-anak yatim, memenuhi kebutuhan

ibnu sabil, membayar upah kepada pekerja sebelum keringatnya kering,

dan masih banyak perbuatan baik lainnya yang dapat dikerjakan oleh

setiap manusia.43

Ihsan disini lebih ditekankan berbuat baik terhadap karib kerabat.

Karena karib kerabat adalah orang yang sangat dekat dan memiliki

hubungan darah, maka sudah sebaiknya harus lebih diutamakan daripada

orang lain. Saat sekarang ini, banyak sekali orang yang kaya dan hidup

berkecukupan, namun mengabaikan kesusahan yang dialami oleh karib

kerabatnya sendiri. Mereka yang kaya lebih mementingkan hidupnya

sendiri dan juga memperkaya hidup, bahkan menumpuk harta.

Amal yang ihsan menyangkut semua amalan, baik amalan hati, lisan

maupun fisik. Orang yang bertutur kata sopan, baik dan tidak menyakiti

orang lain maka itu dinamakan ihsan dalam lisan. Sedangkan orang yang

melakukan perbuatan yang terpuji dan mendatangkan manfaat bagi orang

lain maka itu dinamakan ihsan dalam bertindak atau perbuatan.

43 Abu Bakar Jabir El-Jazairi, Pola Hidup Muslim: Thaharah, Ibadah dan Akhlak, (Bandung:

PT. Remaja Rosdakarya, 1997), Cet. 2, Pnjmh. Rachmat Djatnika, h. 382-384

54

3. Nilai Menepati Janji

Menunaikan janji merupakan kewajiban bagi setiap orang yang

mengikrarkan janji tersebut selama janjinya itu mengenai kebaikan dan

kebenaran. Menepati janji juga merupakan salah satu bentuk dari nilai

tanggung jawab, yaitu tanggung jawab atas apa yang telah diucapkannya.

Akan tetapi jika janji itu berupa maksiat dan dosa maka janji tersebut

hukumnya haram dan tidak sah untuk ditunaikan.

Menunaikan janji adalah termasuk ketakwaan dan keimanan kepada

Allah dan merupakan perbuatan yang disenangi Allah SWT. Kewajiban

memenuhi janji terdapat dalam firman Allah surat al Isra’ ayat 34 :

العهدكانولتقربوامالاليتيمالبالتىهياح ان واوفوابالعهد سنحتىيبلغاشده

(٣٤مسئول.)

Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali

dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai dia dewasa, dan

penuhilah janji; Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan

jawabnya”.44

Untuk bisa mendapatkan keuntungan dari sebuah perjanjian,

seseorang kadang kala berani berbuat khianat, yaitu membatalkan

perjanjiannya yang telah diikatnya tanpa memeperdulikan keutamaan-

keutamaan dari perjanjian yang dibuat. Pembatalan tersebut kadang kala

menimbulkan keburukan atau kerugian dari salah satu pihak juga dapat

menimbulkan pertikaian dan permusuhan di antara mereka.

Misalnya saja, para calon kepala daerah yang mengumbar janji-janji

manis pada saat kampanye. Menarik perhatian pada semua rakyat agar

dipilih nantinya menjadi seorang pemimpin. Tidak sedikit dari mereka

yang melupakan janji-janjinya setelah terpilih. Rakyat banyak yang

menderita karena kebutuhan hidup semakin tinggi. Namun, pemimpin

44Al Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemahan Al-Qur’an,

1967), h. 429

55

seolah mengabaikan rakyatnya. Hidup dengan memperkaya diri atas

jabatan yang diembannya.

Sayyid Quthb di dalam tafsirnya menyatakan bahwa bila pada suatu

masyarakat janji tidak dipenuhi, setiap orang akan hidup dalam suasana

cemas, kalut, hilang pegangan, dan saling mencurigai. Oleh karena itu,

perjanjian harus berlangsung secara terang, jelas, dan terbuka, bukan

dengan maksud melakukan penipuan. Karena itu, ada banyak akad atau

perjanjian yang harus dipenuhi oleh seseorang, di antaranya:

1. Akad Keimanan.

2. Akad Nikah.

3. Akad Jual Beli.

4. Akad Perjanjian Umum.45

4. Nilai Melaksanakan Sumpah

Thabâthabâi menggarisbawahi bahwa kendati membatalkan sumpah dan

melanggar janji keduanya terlarang, akan tetapi pembatalan sumpah lebih buruk

daripada pelanggaran janji. Ini karena yang bersumpah menyebut nama Allah

dan, dengan menyebut nama-Nya, pihak yang mendengarnya merasa yakin

bahwa ucapannya itu pasti benar. Karena nama mulia tersebut merupakan

jaminannya.46

Pelanggaran terhadap bai’at perjanjian atau sumpah berarti

menjadikan sumpah sebagai alat penipuan sesama manusia. Jika seseorang

melakukan penipuan dengan bersumpah atas nama Allah berarti mereka

berbuat kebohongan dan tidak jujur dengan perbuatan yang telah mereka

lakukan. Sebab jika satu golongan atau seseorang membuat perjanjian

dengan golongan lain yang lebih kuat dari padanya untuk menentramkan

hati mereka, kemudian jika ada kesempatan dia menghianati perjanjian itu

maka tingkah laku seperti itu dipandang sebagai penipuan.47

45 Abu Bakar Jabir El-Jazairi, Op. cit,h. 254-257

46 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Volume 6, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 705

47Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: 2009), h. 379

56

Sudah jelas bahwa Allah SWT melarang seseorang melanggar atau

mengingkari sumpah yang telah diikrarkan. Perbuatan demikian termasuk

perbuatan yang dapat merugikan orang lain dan mendapatkan dosa dari

Allah. Ketika seseorang mengucapkan sumpah atas nama Allah tanpa

adanya unsur penipuan atau kebohongan berarti mereka telah mewujudkan

salah satu bentuk nilai kejujuran, dimana mereka telah menguatkan

kesaksian terhadap sesuatu dengan sumpah yang mereka ucapkan.

Jelaslah bahwa apa yang telah diucapkan atau disumpahkan harus

dilaksanakan. Karena itu dengan siapapun ketika mengucapkan sumpah

maka sumpah tersebut harus dilaksanakan. Apalagi mengucapkan sumpah

dengan atas nama Allah.

C. Penerapan Pendidikan Akhlak dalam Surat An-Nahl ayat 90-91

1. Penerapan Nilai Keadilan

Dalam proses pendidikan, pendidik memiliki peran yang sangat

penting untuk memberikan pengajaran dan pembelajaran terhadap peserta

didik. Peserta didik berhak mendapatkan pendidikan yang layak.

Pendidikan yang tidak memandang dari tingkatan sosial yang dimiliki oleh

para peserta didik.

Sebagai pemegang amanat, pendidik bertanggung jawab untuk

mendidik peserta didiknya secara adil dan tuntas (mastery learning) dan

mendidik dengan sebaik-baiknya dengan memerhatikan nilai-nilai

humanisme. Karena pada saatnya nanti akan diminta pertanggungjawaban

atas pekerjaannya tersebut. Allah SWT., berfirman:

عدلي إين هللا نيعيما إين هللا يمركم أن ت ؤدموا المانتي إيل أهليها وإيذا حكمتم بي الناسي أن تكموا بيل

ريا ) عا بصي ي (٥٨يعيظكم بيهي إين هللا كان سي

Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat

kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila

menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan

adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya

57

kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha

Melihat”. (QS. An-Nisa: 58)48

Untuk mengajarkan sikap adil, para pendidik perlu memiliki

penerapan. Para pendidik dapat menerapkan dengan menggunakan

beberapa metode, di antaranya metode ceramah, metode nasihat, teladan,

dan metode kisah.

Metode ceramah dan metode nasihat digunakan oleh pendidik untuk

menjelaskan bagaimana sikap itu bisa dikatakan adil. Perbuatan apa yang

bisa dikatakan adil, serta pada siapa adil dapat diterapkan. Kemudian,

pendidik dapat menjelaskan pentingnya berlaku adil dan menjelaskan

manfaat serta akibat seseorang berlaku adil.

Metode keteladanan dapat digunakan oleh pendidik dalam

mengajarkan sikap adil. Pendidik harus adil terhadap anak didiknya.

Misalnya dengan memberikan perhatian yang sama antara murid yang

tidak pandai dengan murid yang pandai, murid yang tidak berprestasi

dengan murid yang berprestasi. Karena hal tersebut merupakan kewajiban

seorang pendidik, dan peserta didik haruslah mendapatkan hak yang

berupa perhatian yang sama dari pendidik. Apabila pendidik tidak

memberikan perhatian yang sama antara peserta didik yang tidak pandai

dan yang pandai, maka peserta didik yang tidak pandai akan merasa tidak

dianggap dan diakui, bahkan akan merasa terkucilkan. Begitupun peserta

didik yang tidak berprestasi dan yang berprestasi, maka peserta didik yang

tidak berprestasi akan merasa rendah dan terabaikan. Sehingga akan

membuatnya menjadi tidak semangat dalam belajar. Oleh karena itu,

seorang pendidik haruslah bisa memberikan perhatian yang sama terhadap

anak didiknya. Sehingga hal tersebut bisa memberi tauladan yang baik

untuk peserta didiknya. Karena apa yang telah dilakukan oleh peserta didik

menjadi pusat perhatian dan contoh yang akan ditiru. Bila seseorang

berperan sebagai teman bergaul di dalam masyarakat, maka ia harus

48 Novan Ardy Wiyani dan Barnawi, Ilmu Pendidikan Islam, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,

2016), h. 98

58

bersikap adil terhadap teman-temannya, tanpa memandang dari keluarga

terpandang atau keluarga biasa.

Metode kisah adalah metode yang penting untuk diterapkan oleh

seorang pendidik. Karena metode ini mempunyai daya tarik yang

menyentuh perasaan. Sehingga akan meningkatkan aspek keimanan, dan

timbulnya kesadaran moralterhadap peserta didik. Contohnya dapat

diambil dari kisah tentang keadilan yang dilakukan Rasulullah SAW.,

yaitu:

Seorang wanita yang berasal dari suku Bani Makhzum pernah mencuri.

Karena takut tangannya akan dipotong, sanak keluarganya mengutus

Usamah bin Zaid untuk memohon pengampunan pada Nabi atas nama

wanita itu. Ketika Nabi mendengar kasusnya, tanda-tanda kemarahan

tampak pada wajah Nabi.

“Apakah kau mencoba membelokkanku dari batasan-batasan yang telah

ditetapkan Allah?” tanya Nabi. Usamah bin Zaid langsung mengakui

kesalahannya dan memohon pada Nabi untuk mendoakan pengampunan

bagi dirinya. Nabi kemudian berkhotbah pada orang-orang yang

berkumpul di situ:

Beliau berkata, “orang-orang di masa lalu mendapatkan kesulitan karena

memberikan kelonggaran sikap pada orang-orang yang memiliki jabatan

tinggi ketika mereka melakukan pencurian. Padahal, hal itu sangat

berlawanan dengan hukuman yang diberikan pada setiap pencuri dari

kalangan rakyat rendah. Demi Zat yang menguasai jiwaku, jika Fatimah

anakku yang mencuri, aku sendirilah yang memotong tangannya”.49

2. Penerapan Nilai Kebaikan

Seorang pendidik yang baik, hendaknya berfungsi sebagai pengarah

yang benar di hadapan peserta didiknya. Ia tidak boleh membiarkan waktu

berlalu tanpa peringatan kepada peserta didiknya bahwa tujuan pengajaran

49 Maulana Wahiduddin Khan, Buku Kecil Kearifan Islam, (Jakarta: Pustaka Alfabet, 2005),

Cet. 2, h. 160-161

59

itu adalah mendekatkan diri kepada Allah, dan bukan untuk mengejar

pangkat, status dan hal-hal yang bersifat keduniaan.50

Untuk mengajarkan kebaikan, para pendidik perlu memiliki

penerapan. Para pendidik dapat menerapkan dengan beberapa metode, di

antaranya metode ceramah, metode nasihat dan metode teladan.

Metode ceramah dan metode nasihat digunakan oleh pendidik untuk

menjelaskan bagaimana suatu perbuatan dikatakan sebagai kebaikan.

Perbuatan apa yang bisa dikatakan kebaikan, serta pada siapa kebaikan

dapat diterapkan. Kemudian, pendidik dapat menjelaskan pentingnya

berbuat kebaikan dan menjelaskan manfaat serta akibat seseorang berbuat

kebaikan.

Metode keteladanan dapat digunakan oleh pendidik dalam

mengajarkan sikap kebaikan. Sebagai seorang pendidik dituntut untuk

selalu berbuat kebaikan, baik di sekolah ataupun di luar sekolah. Karena

peserta didik akan menjadikan setiap kebaikan yang dilakukan oleh

pendidik sebagai contoh untuk diterapkan dalam kehidupan mereka.

Pendidik haruslah bertutur kata yang baik, berperilaku yang baik dan juga

selalu menjunjung tinggi nilai kebaikan. Apabila pendidik tidak dapat

menerapkan perbuatan kebaikan dengan semaksimalnya, maka akan

berdampak fatal bagi seluruh peserta didiknya. Maka ada pepatah yang

mengatakan “guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Seharusnya,

dengan adanya pepatah tersebut dapat dijadikan pedoman dalam setiap

melangkah. Misalnya saja, ada pendidik yang pemarah, sudah pasti peserta

didik akan menjadi lebih pemarah. Kebaikan harus selalu diterapkan

kepada peserta didik.

3. Penerapan Nilai Menepati Janji

Janji bukanlah hanya kalimat kosong yang diucapkan oleh seseorang

tanpa disertai kesadaran dan komitmen penuh, sebagaimana dilakukan

50 Sri Minarti, Ilmu Pendidikan Islam Fakta Teoretis-Filosofis & Aplikatif-Normatif, (Jakarta:

Amzah, 2013), h. 112

60

oleh kebanyakan kaum muslimin sekarang. Akan tetapi, janji adalah suatu

tanggung jawab yang tetap terukir dan akan diperhitungkan kelak di

hadapan Al-Khaliq. Terlebih janji seorang hamba kepada penciptanya

yang penuh keagungan dan kesucian.51

Untuk mengajarkan menepati perjanjian, para pendidik perlu memiliki

konsep penerapan. Para pendidik dapat menggunakan beberapa metode, di

antaranya metode ceramah, metode nasihat dan metode teladan.

Metode ceramah dan metode nasihat digunakan oleh pendidik untuk

menjelaskan bagaimana suatu perbuatan dikatakan sebagai menepati

perjanjian. Bagaimana seharusnya menepati perjanjian yang sudah dibuat,

serta menepati perjanjian kepada siapa pun yang telah dibuat. Kemudian,

pendidik dapat menjelaskan pentingnya menepati perjanjian dan

menjelaskan manfaat serta akibat seseorang menepati perjanjian.

Metode keteladanan dapat digunakan oleh pendidik dalam

mengajarkan sikap menepati perjanjian. Sebagai seorang pendidik dituntut

untuk selalu bersikap menepati perjanjian, baik di sekolah ataupun di luar

sekolah. Karena peserta didik akan bisa menepati perjanjian, apabila

pendidik selalu menepati perjanjian yang dibuatnya. Contohnya, seringkali

peserta didik diberikan tugas oleh pendidik, namun terkadang pendidik

mengabaikan tugas yang diberikan atau bahkan tidak menilai tugas di hari

yang telah ditentukan. Pendidik mestilah menepati perjanjian yang telah

dibuat, apalagi berjanji terhadap peserta didik.

4. Penerapan Nilai Melaksanakan Sumpah

Allah SWT., melarang melanggar sumpah yang diucapkan dengan

mempergunakan nama-Nya. Karena di dalam sumpah demikian itu, Allah

telah ditempatkan sebagai saksi. Dialah yang mengetahui segala ikrar yang

telah mereka sumpahkan.52

51 Muhammad Ali Hasyimi, Apakah Anda Berkepribadian Muslim?, (Jakarta: Gema Insani

Press, 1994), pjmh: Abu Fahmi, h. 22

52Zaini Dahlan dkk, Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid V Juz 13-14-15, (Yogyakarta: PT. Dana

Bhakti Wakaf, 1991), h. 454

61

Melaksanakan sumpah adalah perbuatan yang sering dilanggar pada saat

sekarang ini. Apalagi bersumpah atas nama Allah, dimana telah

menjadikan-Nya saksi dalam sumpah tersebut.

Untuk mengajarkan melaksanakan sumpah, para pendidik perlu

memiliki konsep penerapan. Para pendidik dapat menggunakan beberapa

metode, di antaranya metode ceramah, metode nasihat, teladan, dan

metode kisah.

Metode ceramah dan metode nasihat digunakan oleh pendidik untuk

menjelaskan bagaimana suatu perbuatan dikatakan sebagai melaksanakan

sumpah. Bagaimana seharusnya melaksanakan sumpah yang telah diucap,

serta melaksanakan sumpah kepada siapa pun yang telah dibuat.

Kemudian, pendidik dapat menjelaskan pentingnya melaksanakan sumpah

dan menjelaskan manfaat serta akibat seseorang melaksanakan sumpah.

Metode kisah adalah metode yang penting untuk diterapkan oleh

seorang pendidik. Karena metode ini mempunyai daya tarik yang

menyentuh perasaan. Sehingga akan meningkatkan aspek keimanan, dan

timbulnya kesadaran moral terhadap peserta didik.

62

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari berbagai uraian yang penulis paparkan sebelumnya, dapat

disimpulkan bahwa:

1. Al-Qur’an adalah sumber utama dalam ajaran Islam dan di dalamnya

mengatur segala kehidupan manusia. Sehingga dapat dijadikan pedoman

dalam menjalankan kehidupan sehari-hari.

2. Adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya. Apabila seseorang

memberikan hak kepada orang yang tidak berhak menerimanya, berarti ia

telah menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya (tidak adil).

3. Baik adalah perbuatan yang dilakukan dengan cara lisan dan perbuatan.

Orang yang bertutur kata sopan, baik dan tidak menyakiti orang lain maka

itu dinamakan ihsan dalam lisan. Sedangkan orang yang melakukan

perbuatan yang terpuji dan mendatangkan manfaat bagi orang lain maka

itu dinamakan ihsan dalam bertindak atau perbuatan.

4. Menepati Janji adalah bentuk dari nilai tanggung jawab, yaitu tanggung

jawab atas apa yang telah diucapkannya. Akan tetapi jika janji itu berupa

maksiat dan dosa maka janji tersebut hukumnya haram dan tidak sah untuk

ditunaikan.

5. Melaksanakan Sumpah adalahperbuatan yang harus dilakukan apabila

telah diucapkannya. Dengan siapapun, sumpah harus dilaksanakan.

Terlebih jika mengucapkan sumpah dengan atas nama Allah, maka wajib

dilaksanakan.

Adapun penerapan nilai-nilai pendidikan akhlak tersebut dalam

pendidikan adalah:

1. Pendidikan Keadilan dapat diterapkan dengan menggunakan beberapa

metode, di antaranya metode ceramah, metode nasihat, metode teladan,

dan metode kisah.

63

2. Pendidikan Kebaikan dapat diterapkan dengan menggunakan beberapa

metode, di antaranyametode ceramah, metode nasihat dan metode teladan.

3. Pendidikan Menepati Janji dapat diterapkan dengan menggunakan

beberapa metode, di antaranya metode ceramah, metode nasihat

danmetode teladan.

4. Pendidikan Melaksanakan Sumpah dapat diterapkan dengan menggunakan

beberapa metode, di antaranya metode ceramah, metode nasihat, metode

teladan, dan metode kisah.

B. Saran

Berdasarkan pada kesimpulan yang telah dikemukakan di atas, penulis

memberikan saran-saran sebagai berikut:

1. Orang tua sebagai pendidik pertama yang mengajarkan pendidikan akhlak

pada anaknya, wajib menanamkan nilai-nilai pendidikan yang telah

diajarkan dalam al-qur’an dan hadits. Agar tercipta kepribadian muslim

yang berakhlak baik dan selalu menegakkan perintah-perintah agama

dimanapun, kapanpun dan dengan siapapun.

2. Kehidupan dalam lingkungan masyarakat sangat berpengaruh dalam

membentuk kepribadian warganya. Usaha orang tua dalam menanamkan

pendidikan akhlak pada anaknya akan ada kesulitan atau hambatan, tanpa

adanya dukungan dari masyarakat sekitarnya. Oleh karena itu, masyarakat

hendaknya juga bertanggung jawab terhadap pendidikan akhlak warga

masyarakatnya. Agar tercipta lingkungan yang aman, damai dan sejahtera.

3. Guru sebagai pendidik dalam lingkungan sekolah, hendaknya mampu

menjadi tauladan, memberikan motivasi, bimbingan, dan mampu

menanamkan nilai-nilai pendidikan akhlak pada anak didiknya. Agar

tercipta generasi yang berakhlakul karimah.

64

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Yatimin. Studi Akhlak dalam Perspektif Al-qur’an. Jakarta: Amzah,

2007.

Agama, Departemen. Al-Qur’an dan Tafsirnya. Jakarta: Departemen Agama

Republik Indonesia,2009.

Agama, Kementrian. Al Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: Yayasan

Penyelenggara Penterjemahan Al-Qur’an, 1967.

Anwar, Rosihon. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia, 2010.

Ardhani, M. Akhlak Tasawuf “Nilai-nilai Akhlak/Budi Pekerti dalam Ibadat dan

Tasawuf. Jakarta: CV. Karya Mulia, 2005.

Arief, Armai. Reformulasi Pendidikan Islam. Jakarta: CRSD Press, 2005.

Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. Al-Bayan: tafsir penjelas Al Qur-

anul Karim. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2002.

Assegaf, Abd. Rachman. Aliran PemikiranPendidikan Islam. Jakarta: Rajawali

Pers, 2013.

Ath-Thabari, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir. Tafsir Ath-Thabari. Beirut: Darul

Fikr, 1995.

Baidan, Nashruddin.Metode Penafsiran Al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,.

Buchori, Mochtar. Ilmu Pendidikan dan Praktek dalam Renungan. Yogyakarta:

PT. Tiara Wacana, 1994.

Dahlan, Zaini dkk. Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid V Juz 13-14-15. Yogyakarta:

PT. Dana Bhakti Wakaf, 1991.

Danim, Sudarwan. Pengantar Kependidikan. Bandung: Alfabeta, 2011.

65

Daradjat, Zakiah, A. Sadali, dkk. Dasar-Dasar Agama Islam Buku Teks

Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum. Jakarta: Bulan

Bintang, 1996.

Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai

Pustaka, 2007.

Djalal, Abdul. Ulumul Qur’an. Surabaya: Dunia Ilmu, 2000.

El-Jazairi, Abu Bakar Jabir. Pola Hidup Muslim: Thaharah, Ibadah dan Akhlak,

Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1997.

Fadhil, Haris. Kasus Alkes, Ratu Atut Didakwa Rugikan Negara Rp 79 Miliar,

2017,https://news.detik.com/berita/d-3441349/kasus-alkes-ratu-atut-

didakwa-rugikan-negara-rp-79-miliar#

Gunawan, Imam. Metode Penelitian Kualitatif Teori dan Praktik. Jakarta: Bumi

Aksara, 2013.

Hafizh, Muhammad Nur Abdul. Mendidik Anak Bersama Rasulullah. Bandung:

Mizan, 1997.

Hamka. Tafsir Al-Azhar Juzu’ 13-14-15-16-17. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.

Ihsan, Fuad. Dasar-dasar Kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta, 2013.

Kh, U. Maman, dkk.. Metodologi Penelitian Agama Teori dan Praktek. Jakarta:

Raja Grafndo Persada Press, 2006.

Khan, Maulana Wahiduddin. Buku Kecil Kearifan Islam. Jakarta: Pustaka Alfabet,

2005.

Khon, Abdul Majid. Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah, 2009.

Mahali, A. Mudjab. Asbabun Nuzul Studi Pendalaman Al-Qur’an. Jakarta: PT

RajaGrafindo, 2002.

Mahfud, Rois. Pendidikan Agama Islam. Surabaya: Erlangga, 2011.

66

Mahjuddin. Akhlak Tasawuf I. Jakarta: Kalam Mulia, 2009.

Minarti, Sri. Ilmu Pendidikan Islam Fakta Teoretis-Filosofis & Aplikatif-

Normatif. Jakarta: Amzah, 2013.

Munawwir, Ahmad Warson. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap.

Surabaya: Pustaka Progressif, 1984.

Mustofa, A. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia, 2014.

Nata, Abuddin dan Achmad Gholib. Modul Studi Islam II (Akidah Akhlak).

Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006.

. Metodologi Studi Islam. Jakarta: Rajawali Press, 2011.

. Studi Islam Komprehensif. Jakarta: Prenada Media Group.

. Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat. Jakarta: Rajawali Pers, 2012.

Prasetyantoko, A. Keadilan Sosial. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2004.

Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia, 2002.

Sanusi, Achmad. Sistem Nilai. Bandung: Penerbit Nuansa Cendekia, 2015.

Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Mishbah Volume 6. Jakarta: Lentera Hati, 2002.

. Membumikan Al-Qur’an Jilid 2. . 2010.

. Al-Lubab: Makna, Tujuan dan Pelajaran Surah-Surah Al-Qur’an.

Tangerang: Lentera Hati, 2012.

Syam, Mohammad Noor. Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Kependidikan

Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional, 1988.

Syamsuri, Hasani Ahmad. Studi Ulumul Qur’an. Jakarta: Zikra Multi Service,

2009.

67

Sugiyono. Metode Penelitian Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D.

Bandung: Alfabeta, 2008.

Suparta, Munzier. Ilmu Hadis. Jakarta: Rajawali Pers, 2011.

Sutanti. Kasus Nenek Asyani Cermin Ketidak Adilan Hukum di

Indonesia.http://www.hariandepok.com/32793/kasus-nenek-asyani-cermin-

ketidak-adilan-hukum-di-indonesia. 2015.

Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem

Pendidikan Nasional . Biro Hukum dan Organisasi Sekretariat Jendral

Departemen Pendidikan Nasional, 2003.

Wiyani, Novan Ardy dan Barnawi. Ilmu Pendidikan Islam. Jogjakarta: Ar-Ruzz

Media, 2016.

Yani, Ahmad. Be Excellent Menjadi Pribadi Terpuji. Jakarta: Al Qalam, 2007.