NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF AL...
Transcript of NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF AL...
NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM
PERSPEKTIF AL-QUR’AN SURAT AN-NAHL AYAT
90-91
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas lmu Tarbiyah dan Keguruan
Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)
Disusun oleh:
Inna Aulia Roesmin
NIM: 1113011000068
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2018 M/1439 H
i
ABSTRAK
Inna Aulia Roesmin (1113011000068), Nilai-Nilai Pendididikan Akhlak
dalam Perspektif Al-Qur’an Surat An-Nahl Ayat 90-91
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pendidikan akhlak serta konsep
aplikasi pendidikan yang terkandung dalam surat An-Nahl ayat 90-91. Metode
penelitian yang digunakan adalah jenis kualitatif melalui library research (studi
kepustakaan), dengan cara mengumpulkan data atau bahan-bahan yang berkaitan
dengan tema pembahasan dan permasalahannya, yang diambil dari sumber-
sumber kepustakaan. Kemudian dianalisis dengan metode tahlili, yaitu metode
penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dengan cara mendeskripsikan uraian-uraian makna
yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an.
Berdasarkan hasil penelitian, disimpulkan bahwa dalam surat An-Nahl ayat
90-91 terdapat nilai-nilai pendidikan, diantaranya: keadilan, kebaikan, menepati
janji, dan melaksanakan sumpah. Nilai pendidikan tersebut memiliki penerapan
dengan beberapa metode, diantaranya metode ceramah, metode teladan, metode
pembiasaan, dan metode kisah.
Kata Kunci: Pendidikan Akhlak, Al-Qur’an, Surat An-Nahl Ayat 90-91.
ii
ABSTRACT
Inna Aulia Roesmin (1113011000068), Nilai-Nilai Pendididikan Akhlak
dalam Perspektif Al-Qur’an Surat An-Nahl Ayat 90-91
This study aims to determine the moral education and educational application
concepts contained in the letter An-Nahl verses 90-91. The research method used
is a qualitative type through library research(literature study), by collecting data
or materials related to the theme of the discussion and the problem, taken from
literary sources. Then analyzed by tahlili method, namely the method of
interpretation of verses of the Qur'an by way of describing the descriptions of the
meaning contained in the verses of the Qur'an.
Based on the results of research, concluded that in Surah An-Nahl verses 90-
91 there are educational values,among others: justice, kind, keeping promises, and
carry out the oath. The value of education has an implementationwith several
methods,among otherslecture method, exemplary method, method of habituation,
and story method.
Keywords: Education of Akhlak, Al-Qur’an, Surah An-Nahl Verses 90-91.
iii
KATA PENGANTAR
بسم هللا الر محن الر حيم
Assalamu’alaikum Warahmatullâhi Wabarakâtuh
Alhamdulillah segala puji bagi Allah yang telah memberikan rahmat, taufik,
hidayah, dan nikmat sehat yang telah diberikan kepada penulis, sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam tetap tercurahkan kepada
baginda Rasulullah, Nabi Muhammad SAW., sebagai suri tauladan terbaik,
beserta keluarganya, para sahabat dan para pengikutnya hingga akhir zaman.
Skripsi yang berjudul “Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak dalam Perspektif Al-
Qur’an Surat An-Nahl Ayat 90-91” ini. Disusun dalam rangka memenuhi salah
satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd) Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Proses penyelesaian skripsi ini tidak hanya kerja keras dan usaha penulis,
namun penulis mengucapkan rasa terimakasih kepada semua pihak yang telah
membantu hingga terselesaikannya skripsi ini, terutama kepada:
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA. selaku Rektor Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA. selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah
dan Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag, dan Hj. Marhamah Saleh, Lc, MA.
selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam dan Sekretaris Jurusan
Pendidikan Agama Islam yang telah memberikan bimbingan dan ilmu
pengetahuannya.
4. Dr. Bahrissalim, MA. selaku Dosen Penasehat Akademik yang dengan
penuh perhatian telah memberikan bimbingan, arahan dan motivasi serta
ilmu pengetahuan kepada penulis selama masa perkuliahan.
iv
5. Dr. Abdul Ghofur, M.Ag. selaku Dosen Pembimbing yang dengan penuh
perhatian telah memberikan bimbingan, arahan, dan motivasi serta ilmu
pengetahuan kepada penulis selama bimbingan.
6. Bapak dan Ibu Dosen yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu
namun tidak sedikit pun mengurangi rasa hormat, yang telah membimbing
penulis selama kuliah di Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
7. Staf Administrasi Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) yang telah
membantu penulis dalam melengkapi surat-surat serta tandatangan ketua
jurusan.
8. Seluruh Staf Perpustakaan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK)
dan Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah menyediakan banyak referensi yang
menunjang dalam penulisan ini.
9. Kedua orang tua penulis, yaitu Ayahanda Edi Rusmin, dan Ibunda Noncin
Nasan, yang telah merawat putrinya dengan penuh kasih sayang, selalu
memberikan nasihat, motivasi, dan semangat. Sehingga penulis
termotivasi dalam menyelesaikan skripsi ini.
10. Kakak tecinta Gunawan (Alm.) semoga ditempatkan di tempat yang baik
di sisi-Nya. Amin Ya Rabbal ‘Alamin. Serta kedua adikku tercinta Annisa
Roesmin dan Aziz Hadi Wibowo Rusmin, karena canda dan tawa mereka
yang menjadi motivasi dan inspirasi bagi penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini.
11. Teman-teman mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI)
angkatan 2013, khususnya sahabat CABHE(PAI B) yang telah
memberikan motivasi dan bantuannya sampai terselesaikannya skripsi ini.
12. Tak lupa segenap pihak yang telah membantu dan memberikan motivasi
yang tidak dapat disebutkan satu-persatu namanya, penulis mengucapkan
banyak terimakasih.
v
Akhirnya penulis ucapkan banyak terimakasih atas dukungan dan bantuan
semua pihak, baik yang bersifat moril dan materil. Penulis do’akan semoga
Allah SWT., membalas semua kebaikannya dengan limpahan Rahmat,
Hidayah-Nya dan Nikmat sehat dan dapat menjadi amal jariyah. Amin Ya
Rabbal ‘Alamin.
Jakarta, 28 Februari 2018
Inna Aulia Roesmin
vi
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Transliterasi kata-kata Arab yang dipakai dalam penyusunan skripsi ini
berpedoman pada buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
1. Konsonan Tunggal
No. Huruf Arab Huruf Latin No. Huruf Arab Huruf Latin
tidak ا 1
dilambangkan ط 16
Ţ
2 ظ B 17 ب
Ť
3 ع T 18 ت
‘
4 غ Ś 19 ث
Ġ
5 ف J 20 ج
F
6 ق H 21 ح
Q
7 ك Kh 22 خ
K
8 ل D 23 د
L
9 م Ż 24 ذ
M
10 ن R 25 ر
N
11 و Z 26 ز
W
12 ه S 27 س
H
13 ء Sy 28 ش
ʹ
14 ي ṣ 29 ص
Y
15 ة Đ 30 ض
H
2. Vokal
a. Vokal Tunggal
vii
Tanda Huruf Latin
A
I
U
b. Vokal Rangkap
Tanda dan
Huruf
Huruf Latin
Ai ى ي
Au ى و
3. Mâdd
Harakat dan Huruf Huruf dan Tanda
 ى ا
Î ى ي
Û ى و
4. Tâ’ Marbȗţah
Tâ’ Marbȗţah hidup transliterasinya adalah /t/.
Tâ’ Marbȗţah mati transliterasinya adalah /h/.
Kalau pada suatu kata yang akhir katanya adalah Tâ’ Marbȗţah diikuti oleh
kata yang menggunakan kata sandang al, serta bacaan kedua kata itu terpisah
maka Tâ’ Marbȗţah itu ditransliterasikan dengan /h/. Contoh:
hadîqat al-hayawânât atau hadîqatul hayawânât =حديقة احليواانة
al-madrasat al-ibtidâ`iyyah atau al-madrasatul ibtidâ`iyyah =املدرسة االبتدا ئية
Hamzah = محزة
5. Syaddah (Tasydīd)
viii
Syaddah /tasydīd ditransliterasikan dengan huruf yang sama dengan huruf
yang diberi tanda syaddah (digandakan).
Contoh:
yukarriru = يكر ر allama‘ = علم
al-maddu = المد kurrima = كر م
6. Kata Sandang
a. Kata sandang diikuti oleh huruf Syamsiyah ditransliterasikan dengan huruf
yang mengikuti dan dihubungkan dengan tanda sambung/hubung.
Contoh:
aş-şalatu = الصالة
b. Kata sandang diikuti oleh huruf Qamariyah ditransliterasikan sesuai
dengan bunyinya. Contoh:
ث al-falaqu = الفلق al-bâhiśu = البح
7. Penulisan Hamzah
a. Bila hamzah terletak di awal kata, maka ia tidak dilambangkan dan ia
seperti alif, contoh:
akaltu = أكلت ûtiya = أوت
b. Bila di tengah dan di akhir ditransliterasikan dengan apostrof, contoh:
syai’un = شيء ta’kuluna = ت كلون
8. Huruf Kapital
Huruf Kapital dimulai pada awal nama diri, nama tempat, bukan pada kata
sandangnya. Contoh:
al- Qur’an = القرآن
al-madînatul Munawwarah = المدي نة المن ورة
al-Mas’ûdî = المسعودي
ix
Daftar Isi
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQASAH
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING
LEMBAR PERNYATAAN KARYA SENDIRI
ABSTRAK i
KATA PENGANTAR iii
PEDOMAN TRANSLITERASI vi
DAFTAR ISI ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Identifikasi Masalah 6
C. Pembatasan Masalah 7
D. Perumusan Masalah 7
E. Tujuan dan Manfaat Hasil Penelitian 7
BAB II KAJIAN TEORETIK
A. Pengertan Nilai 9
B. Pengertian Pendidikan Akhlak 14
C. Sumber Pendidikan Akhlak 18
D. Macam-macam Akhlak 19
E. Hasil Penelitian yang Relevan 31
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Objek dan Waktu Penelitian 33
B. Metode Penelitian 33
C. Fokus Penelitian 35
D. Prosedur Penelitian 35
x
BAB IV TEMUAN PENELITIAN dan PEMBAHASAN
A. Tafsir Al-Qur’an Surat An-Nahl ayat 90-91
1. Sejarah Surat An-Nahl dan Asbabun Nuzul Ayat 37
2. Teks Ayat dan Terjemahnya 39
3. Kata Mufradat 40
4. Tafsir Surat An-Nahl Ayat 90-91 41
B. Nilai-nilai Pendidikan Akhlak yang Terkandung di dalam Surat An-Nahl
ayat 90-91
1. Nilai Keadilan 49
2. Nilai Kebaikan 52
3. Nilai Menepati Janji 54
4. Nilai Melaksanakan Sumpah 55
C. Penerapan Pendidikan Akhlak dalam Surat An-Nahl ayat 90-91
1. Penerapan Nilai Keadilan 56
2. Penerapan Nilai Kebaikan 58
3. Penerapan Nilai Menepati Janji 59
4. Penerapan Nilai Melaksanakan Sumpah 60
BAB V KESIMPULAN
A. Kesimpulan 62
B. Saran 63
DAFTAR PUSTAKA 64
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an dijadikan sebagai acuan pokok dalam melaksanakan
pendidikan, karena al-Qur’an merupakan sumber nilai utama dari segala
sumber nilai yang ada di dalam kehidupan manusia. Al-Qur’an
memperkenalkan dirinya dengan berbagai ciri dan sifat. Satu di antaranya
adalah bahwa ia merupakan kitab yang keontetikannya dijamin oleh Allah
SWT., dan ia adalah kitab yang selalu dipelihara.1
Dalam kultur bangsa Indonesia dewasa ini, kata ‘pendidikan’ digunakan
untuk menunjuk atau menyebutkan jenis peristiwa yang dapat terjadi
diberbagai jenis lingkungan. Jenis peristiwa itu adalah interaksi antara dua
manusia atau lebih yang dirancang untuk menimbulkan suatu proses
pengembangan atau pematangan pandangan hidup pribadi. Sedangkan jenis
lingkungan tempat terjadinya interaksi ialah berupa keluarga, sekolah, tempat
bekerja, tempat bermain, berolahraga, atau berkreasi, ataupun tempat yang
lainnya.
Berdasarkan kesadaran kultural kolektif seperti inilah, dalam masyarakat
sekarang ini dikatakan suatu percakapan biasa yang terjadi dalam kehidupan
sehari-hari oleh pihak yang satu bisa dipandang sebagai suatu peristiwa
pendidikan. Sedangkan pihak yang lainnya hanya memandang sebagai suatu
peristiwa biasa, yang sama sekali tidak mengandung potensi mendidik.2
Bagi sebagian masyarakat awam, istilah pendidikan sering diartikan
dengan “sekolah”, “guru mengajar di kelas”, atau hanya “satuan pendidikan
1M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an Jilid 2, (Jakarta: Lentera Hati, 2010), Cet. VI, h.
531
2Mochtar Buchori, Ilmu Pendidikan dan Praktek dalam Renungan, (Yogyakarta: PT. Tiara
Wacana, 1994), Cet. 1, h. 6-7
2
formal”. Secara akademik, istilah pendidikan memiliki artian yang luas.
Pendidikan adalah proses peradaban dan pemberadaban manusia. Pendidikan
adalah aktivitas semua potensi dasar manusia dengan melakukan interaksi
antara manusia dewasa dengan yang belum dewasa. Pendidikan adalah proses
kemanusiaan dan pemanusiaan sejati tanpa adanya penyengajaan.3
Menurut Ramayulis dalam bukunya yang berjudul Ilmu Pendidikan Islam,
menyatakan bahwa “pendidikan berarti usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif dapat mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan bagi dirinya, masyarakat dan
negara”.4
Betapa pentingnya pendidikan bagi manusia, karena kepribadian dan
akhlak seseorang dapat terbentuk dan terarah di dalam menjalankan kehidupan
sehari-harinya. Dengan pendidikan, manusia mendapatkan informasi tentang
ilmu pengetahuan serta bagaimana berkehidupan yang baik yang diharapkan
oleh masyarakat sekitar. Sehingga dapat terciptanya hubungan yang baik di
antara masyarakat. Karena pendidikan bukan hanya mentransfer ilmu saja,
akan tetapi memberikan pengarahan bagaimana menjalankan kehidupan yang
baik di lingkungan sekitar.
Apabila tujuan pendidikan telah tercapai, maka seseorang akan memiliki
banyak ilmu pengetahuan serta beragam informasi yang didapatnya tentang
pembelajaran. Selain mendapatkan beragam ilmu dan pengetahuan, sesorang
diharapkan akan memiliki akhlak yang diharapkan. Karena dengan jalan
melaksanakan pendidikanlah, diharapkan seseorang memiliki akhlak yang
baik dan dapat dicontoh oleh orang lain.
Ketika seseorang telah memiliki akhlak yang baik, maka ia dapat
menjalankan kehidupannya dengan aturan yang sesuai di lingkungan
3Sudarwan Danim, Pengantar Kependidikan, (Bandung: Alfabeta, 2011), Cet. 2, h. 2
4Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), h. 30
3
masyarakatnya. Seseorang yang memiliki akhlak yang baik, semestinya ia
dapat menjalankan perilaku adil, berbuat kebaikan, dapat berbuat baik dengan
karib kerabat, dan juga menepati janji yang telah dibuat.
Akhlak secara kebahasaan bisa berarti baik atau buruk, tergantung kepada
tata nilai apa yang digunakan sebagai landasannya. Meskipun secara
sosiologis, di Indonesia kata akhlak sudah mengandung konotasi baik dan
tidak baik. Dengan demikian, “orang yang berakhlak” berarti orang yang
berakhlak baik.5
Seperti yang dikatakan A. Mustofa dalam bukunya Akhlak Tasawuf,
mengatakan bahwa “akhlak adalah tabiat atau sifat seseorang, yakni keadaan
jiwa yang telah terlatih, sehingga dalam jiwa tersebut benar-benar telah
melekat sifat-sifat yang melahirkan perbuatan-perbuatan dengan mudah dan
spontan tanpa dipikirkan dan di angan-angan lagi”.6
Jadi, pada hakikatnya akhlak merupakan suatu keadaan di dalam jiwa
yang terlatih dan juga telah melekatnya sifat-sifat yang dapat melahirkan
perbuatan-perbuatan dengan spontan tanpa adanya pemikiran terlebih dahulu
dalam melakukan suatu tindakan. Sehingga apabila suatu perbuatan dilakukan
dengan cara berpikir terlebih dahulu, maka dapat dikatakan itu bukanlah
akhlak.
Kedudukan akhlak dalam kehidupan manusia sangatlah menempati posisi
yang penting, baik sebagai individu maupun sebagai masyarakat. Karena,
jatuh bangunnya masyarakat tergantung bagaimana akhlaknya. Apabila
akhlaknya baik, maka akan baik dan sejahtera lahir dan bathinnya. Sedangkan
akhlaknya buruk, maka akan rusak dan tidak akan sejahtera lahir dan
bathinnya.
Apabila akhlak telah terbentuk dengan baik, maka manusia diharapkan
dapat melaksanakan kebaikan di dalam interaksi dengan seluruh masyarakat.
5Zakiah Daradjat, A. Sadali, dkk, Dasar-Dasar Agama Islam Buku Teks Pendidikan Agama
Islam pada Perguruan Tinggi Umum, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), Cet. 10, h. 253
6A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2014), cet. VI, h. 14
4
Perbuatan tersebut di antaranya adalah, dapat berlaku adil dengan siapa pun,
berbuat kebaikan, selalu berbuat baik kepada karib kerabat, serta menepati
perjanjian.
Beberapa fenomena yang terjadi saat sekarang ini, menunjukkan betapa
buruknya akhlak seseorang. Diantaranya, keadilan hanya diberikan kepada
mereka yang memiliki kekayaan. Sedangkan mereka yang miskin sama sekali
tidak mendapatkan keadilan. Sungguh kejam dan mirisnya fenomena yang
dihadapi sekarang ini.
Seseorang yang memiliki kekayaan yang berlimpah, akan melakukan apa
pun yang dia inginkan tanpa memperhatikan kerabatnya. Misalnya saja, ia
akan sering pergi mengerjakan ibadah haji atau umrah di setiap tahunnya,
membeli barang-barang mewah yang diinginkannya atau bahkan berlibur ke
luar negeri bersama dengan keluarganya. Padahal, jika ia melihat dan
memperhatikan kerabatnya yang sedang mengalami kesusahan, ada baiknya ia
memberikan pertolongan dengan harta yang dimilikinya.
Banyak orang yang berbuat janji, namun tak jarang pula ia
mengingkarinya dan tidak menepatinya. Terlebih apabila ia berjanji dengan
menyebutkan nama Allah. Sungguh mirisnya perbuatan yang tidak dapat
dipertanggung jawabkan ini. Padahal, Allah telah menyeru kepada hambanya
untuk menepati janji.
Kasus yang dapat kita lihat dan saksikan adalah kasus korupsi yang
menjerat Mantan Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah. Ia didakwa
melakukan tindakan korupsi dengan mengatur proses penganggaran di
Provinsi Banten terkait pengadaan alat kesehatan. Mantan orang nomor satu di
Banten ini didakwa merugikan negara sebesar Rp. 79 Miliar, dan menjalani
masa pemidanaan 5 tahun penjara.7
7Haris Fadhil, Kasus Alkes, Ratu Atut Didakwa Rugikan Negara Rp 79 Miliar, 2017,
https://news.detik.com/berita/d-3441349/kasus-alkes-ratu-atut-didakwa-rugikan-negara-rp-79-
miliar#
5
Sementara pada kasus lain terjadi kepada nenek Asyani yang diduga
mencuri tujuh batang kayu milik Perum Perhutani. Kayu jati yang diduga
dicuri oleh nenek Asyani itu berukuran kecil hanya sekitar 10 sampai 15
sentimeter, sedangkan kayu jati milik Perhutani yang hilang berdiameter 100
sentimeter.Kasus ini dilaporkan pada bulan Juli 2014, dan nenek Asyani
ditahan mulai Desember 2014 sementara persidangan baru dibuka 3 bulan
kemudian.8
Dari kedua kasus tersebut, kita bisa melihat betapa tidak adilnya dalam
penetapan hukum yang ada di Indonesia ini. Tersangka korupsi yang jelas-
jelas merugikan negara, masih menjalani masa pemidanaan selama 5 tahun
penjara. Sedangkan seorang nenek yang dituduh mencuri kayu jati, tidak
menjalani masa pemidanaan terlebih dahulu, bahkan ia langsung dipenjarakan
dan baru mulai dipersidangkan setelah 3 bulan kemudian saat ia dituduh
mencuri.
Sungguh mirisnya keadaan yang terjadi saat ini, banyak para calon
pemimpin daerah yang mengumbar janji manis kepada rakyat agar ia bisa
terpilih. Mereka berjanji akan menyejahterakan hidup rakyat, memperbaiki
sistem pendidikan dan mengurangi tingkat pengangguran. Namun, apalah
yang terjadi saat mereka terpilih menjadi seorang pemimpin, ia lupa akan
janjinya yang ingin menyejahterakan hidup rakyat, memperbaiki sistem
pendidikan dan mengurangi tingkat pengangguran. Kesempatan ini ia gunakan
untuk memperkaya diri sendiri dan melupakan janji-janji yang telah
dibuatnya.
Fenomena di atas perlu diperbaiki dengan upaya untuk membentuk dasar
keyakinan atau keimanan, maka diperlukan pula usaha membentuk akhlak
yang mulia dengan jalan melaksanakan pendidikan akhlak. Karena berakhlak
8Sutanti, Kasus Nenek Asyani Cermin Ketidak Adilan Hukum di Indonesia,
http://www.hariandepok.com/32793/kasus-nenek-asyani-cermin-ketidak-adilan-hukum-di-
indonesia, 2015
6
mulia merupakan modal bagi setiap manusia dalam melangsungkan pergaulan
antar sesamanya di dalam kehidupan, baik di dalam lingkungan keluarga,
masyarakat, maupun di alam sekitar.
Pendidikan akhlak perlu mendapatkan perhatian penuh agar intensif.
Dalam melaksanakan pendidikan akhlak ini, hendaknya ada pola yang dapat
memberikan kesan yang sungguh-sungguh bagi murid, pelajar dan mahasiswa,
yang memungkinkan teori-teori akhlak dapat diaplikasikan dan tercermin di
dalam pergaulan.9
Dari uraian yang telah penulis paparkan di atas, maka penulis akan
membahas Surat An-Nahl ayat 90-91, yang membahas tentang firman Allah
yang menyeru manusia untuk berlaku adil dalam sikap, ucapan dan tindakan,
walau terhadap diri sendiri. Juga menganjurkan berbuat ihsan, yang lebih
utama daripada keadilan dan juga pemberian apa pun yang sedang dibutuhkan
dan sepanjang kemampuan, lagi dengan tulus kepada kaum kerabat. Serta
tepatilah perjanjian yang telah diikrarkan dengan Allah dan janganlah
membatalkan perjanjian-perjanjian yang di akui di hadapan Pesuruh Allah.10
Dengan adanya kesenjangan antara teori dan kenyataan di atas, maka
penulis terdorong untuk mengkaji surat An-Nahl. Penulis tertarik untuk
membuat penelitian dengan judul: “NILAI-NILAI PENDIDIKAN
AKHLAK DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN SURAT AN-NAHL
AYAT 90-91”
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis
mengidentifikasi masalah yang berkaitan dengan judul yang akan dibahas
di dalam tulisan ini, yaitu:
9Hamzah Ya’qub,Etika Islam Pembinaan Akhlaqul Karimah, (Bandung: CV. Diponegoro,
1988), Cet. 4, h. 84
10M. Qurraish Shihab, Al-Lubab: Makna, Tujuan dan Pelajaran Surah-Surah Al-Qur’an,
(Tangerang: Lentera Hati, 2012), h. 187-188
7
1. Kurangnya pemahaman masyarakat terhadap nilai-nilai pendidikan
akhlak yang terdapat di dalam al- Qur’an.
2. Penerapan nilai-nilai pendidikan akhlak yang belum sesuai di
masyarakat.
3. Keburukan merajalela, kritis keadilan, janji yang tidak ditepati, serta
kurangnya berbuat baik terhadap karib kerabat.
C. Pembatasan Masalah
Agar terhindar dari meluasnya pembahasan dan penelitian ini, maka
penulis membatasi ruang lingkup penelitian hanya pada:
1. Isi Kandungan al-Qur’an surat An-Nahl ayat 90-91.
2. Penerapan nilai-nilai Pendidikan Akhlak yang terkandung di dalam
Q.S. An-Nahl ayat 90-91.
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis
merumuskan masalah yang berkaitan dengan judul yang akan dibahas
dalam penelitian ini, yaitu:
1. Apa sajakah nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam Q.S. An-
Nahl ayat 90-91?
2. Bagaimanapenerapan nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung
dalam Q.S. An-Nahl ayat 90-91 dalam kehidupan?
E. Tujuan dan Manfaat Hasil Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penulis memiliki
tujuan dalam mengadakan penelitian ini, yaitu mengetahui:
a. Nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam Q.S. An-
Nahl ayat 90-91.
b. Penerapan nilai-nilai pendidikan akhlak dalam Q.S. An-Nahl ayat
90-91 dalam kehidupan.
8
2. Manfaat Penelitian
Adapun kegunaan dari penelitian yang penulis bahas ini bagi
masyarakat umum adalah sebagai berikut:
a. Dapat dijadikan pedoman di dalam kehidupan sehari-hari dalam
menjalankan kehidupan.
b. Memberikan informasi dan pengetahuan dalam menerapkan
pendidikan akhlak.
c. Dapat berakhlak sesuai dengan apa yang telah diharapkan.
d. Sebagai sumbangsih karya ilmiah dengan memberikan manfaat
kepada para pembaca.
9
BAB II
KAJIAN TEORETIK
A. Pengertian Nilai
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata nilai berasal dari
bahasa Inggris “value” termasuk dalam bidang kajian filsafat. Nilai
diartikan harga atau sifat-sifat (hal-hal) yang penting bagi manusia.1 Untuk
mempunyai nilai, maka seseorang harus memiliki sifat-sifat yang penting
dan bemutu atau berguna dalam kehidupan manusia.
Nilai adalah suatu perangkat keyakinan ataupun perasaan yang
diyakini sebagai suatu identitas yang memberikan corak yang khusus
kepada pola pemikiran, perasaan, keterkaitan, maupun perilaku.2 Dengan
demikian, nilai memerhatikan pada perasaan dan juga berpusat pada pola
pemikiran dan juga perilaku seseorang.
Mohammad Noor Syam, menyatakan dalam bukunya yang berjudul
Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Kependidikan Pancasila, bahwa
nilai adalah suatu penetapan atau kualitas suatu objek yang menyangkut
suatu jenis apresiasi atau minat.3
Persoalan nilai ini biasanya terkait dengan akhlak, moral atau
karakter. Apabila kita melihat tindakan seseorang, kemudian kita akan
menunjukkan nilai baik atau nilai buruk dari tindakan orang tersebut. Nilai
bukan dipandang sebagai sumber kekuatan yang harus melekat kepada
semua tindakan, akan tetapi dipandang mendistorsi sampainya manusia
pada pengetahuan yang benar.
1Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
2007), Cet. ke-3, h. 783
2Zakiah Darajat, Ahmad Sadali, dkk, Dasar-dasar Agama Islam Buku Teks Pendidikan Agama
Islam Pada Perguruan Tinggi Umum, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), cet. 10, h. 260
3 Mohammad Noor Syam, Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Kependidikan Pancasila,
(Surabaya: Usaha Nasional, 1988), h. 133
10
Namun, kini disadari posisi dan peran penting nilai dalam kehidupan
manusia. Nilai melekat di dalam semua tindakan dan perbuatan. Nilai
menjadi acuan penting dalam hidup manusia, supaya hidup dan tindakan
manusia menjadi bernilai. Nilai juga yang memberi artian terhadap ucapan
dan tindakan. Nilai juga yang melekat pada semua tindakan manusia di
berbagai bidang kehidupan.4
Sistem nilai merupakan ketentuan umum yang merupakan pendekatan
kepada hakekat filosofi dari ketiga unsur (keyakinan, sentimen dan
identitas). Oleh karena itu, sistem nilai ada yang bersifat Ilahi dan
normatif, dan ada yang bersifat duniawi, yang dirumuskan sebagai
keyakinan, sentimen maupun identitas yang dipandang sebagai suatu
kenyataan yang berlaku dalam tempat dan waktu tertentu karena bersifat
deskriptif.5
Nilai bukan hanya untuk memenuhi dorongan intelektual keinginan
manusia. Nilai berfungsi untuk membimbing dan membina manusia agar
menjadi lebih luhur dan lebih matang sesuai dengan martabat human-
dignity. Human-dignity adalah tujuan dan cita-cita manusia.6
Nilai digunakan untuk membimbing manusia agar menjadikan
manusia lebih luhur sesuai dengan martabatnya. Karena itu sistem nilai
terbagi menjadi beberapa sifat. Dengan demikian nilai berlaku pada waktu
dan tempat yang tertentu. Sehingga manusia dapat bersikap sesuai dengan
nilai yang diharapkan.
Pendidikan secara praktis, tidak terpisahkan dari nilai-nilai, terutama
yang meliputi: kualitas kecerdasan, kerajinan, ketekunan; bahkan nilai
yang dijabarkan dalam wujud kelas (tingkat, grade), dan nilai yang berupa
rank, score dan marks.7
4Achmad Sanusi, Sistem Nilai, (Bandung: Penerbit Nuansa Cendekia, 2015),h. 14-15
5Zakiah Darajat, Ahmad Sadali, Op. cit., cet. 10, h. 261
6Mohammad Noor Syam, Op. cit., h. 135
7Ibid., h. 139
11
Dengan beberapa pemaparan pengertian nilai di atas, maka penulis
dapat memahami bahwa nilai adalah takaran atau perasaan yang
memberikan banyak sedikitnya isi kepada pola pemikiran, perasaan
maupun perilaku pada kehidupan seluruh manusia.
Sumber nilai dalam garis besar terdiri atas dua macam, yaitu:
1. Nilai yang Ilahi: Al-Qur’an dan Sunnah
a. Al-Qur’an
Para ahli ilmu al-Qur’an, pada umumnya berasumsi bahwa
kata Qur’an, terambil dari kata Qara’a-Yaqra’u-Qira’atan-
waQur’anan ( وقرآن ا -قراءة -يقرأ -قرأ ), yang secara harfiah
berarti bacaan.8 Dalam al-Qur’an memang terdapat beberapa
kata Qur’an yang digunakan untuk pengertian bacaan,
diantaranya:
إنه لقرآن كريم
Sebagian ulama menegaskan bahwa kata Qur’an itu adalah
Mashdar (kata kerja yang dibendakan) yang diartikan dengan
isim maf’ul, yakni maqru’, artinya sesuatu yang dibaca.
Sebagian ulama dan Ahli Usul mendefinisikan al-Qur’an
sebagai kalam Allah yang tiada tandingannya (mukjizat) yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW., dengan perantara
malaikat Jibril alaihis salam, dimulai dengan surat al-Fatihah
dan diakhiri dengan surat an-Nash dan ditulis dalam mushaf-
mushaf dan disampaikan secara mutawatir serta membaca dan
mempelajarinya merupakan ibadah.9
Menurut Istilah, al-Qur’an mempunyai arti sebagai
berikut:10
8Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya:
Pustaka Progressif, 1984), h. 1102
9Hasani Ahmad Syamsuri, Studi Ulumul Qur’an, (Jakarta: Zikra Multi Service, 2009), h. 2
10Abdul Djalal, Ulumul Qur’an, (Surabaya: Dunia Ilmu, 2000), Cet. 2, h. 8-9
12
Pertama, para ahli Ilmu Kalam (teologi Islam), berpendapat, al-
Qur’an adalah lafal yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW., mulai dari awal surat al-Fatihah sampai dengann surat
an-Nas, yang mempunyai keistimewaan-keistimewaan yang
terlepas dari sifat-sifat kebendaan dan azali.
Kedua, para ulama Ushuliyyin, fuqoha dan ulama Ahli Bahasa
berpendapat bahwa al-Qur’an adalah Kalam Allah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW., mulai awal dari
surat al-Fatihah sampai akhir surat an-Nas. Diantara mereka
ada yang memberikan definisi al-Qur’an dengan singkat dan
padat, seperti:
ل على النبى القرآن هو الكالم المنز
“al-Qur’an adalah Kalam yang diturunkan kepada Nabi”
ل الفاتحة الى سورة الناس ل على النبى من او القرآن هو اللفظ المنز
“al-Qur’an adalah lafal yang diturunkan kepada Nabi dari
awal surah al-Fatihah sampai surah an-Nas”.
b. Sunnah
Menurut bahasa, sunnah berasal dari bahasa Arab yang
terambil dari kata سنن yang artinya cara atau jalan.11 Sunnah
berarti:
الطريقة محمودة كانت اومذمومة
“Jalan yang terpuji dan atau yang tercela”
Bila kata sunnah disebutkan dalam masalah yang
berhubungan dengan hukum syara’, maka yang dimaksudkan
ialah segala sesuatu yang diperintahkan, dilarang atau
11Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya:
Pustaka Progressif, 1984), h. 669
13
dianjurkan oleh Rasulullah SAW., baik berupa perkataan,
perbuatan maupun ketetapannya.12
Pengertian sunnah yang lainnya diartikan: ة العادة المستمر
(tradisi yang kontinu). Sunnah yang baik seperti yang
dicontohkan oleh Nabi memang harus diikuti. Akan tetapi,
sunnah orang-orang yang tidak bertanggung jawab harus
dijauhi.13
Pengertian sunnah menurut ahli hadis, adalah:14
مااثر عن النبى صلى هللا عليه وسلم من قول أوفعل أو تقرير اوصفة
و بعدها.البعثة ا خلقية او خلقية او سيرة , سواء كا ن قبل
“Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW., baik berupa
perkataan, perbuatan, taqrir, perangai, budi pekerti,
perjalanan hidup, baik sebelum diangkat menjadi rasul
maupun sesudahnya”.
Definisi ini membatasi pengertian sunnah hanya pada
segala sesuatu yang bersumber dari Nabi, baik perkataan,
perbuatan, maupun taqrirnya yang berkaitan dengan hukum
syara’. Dengan demikian, sifat, perilaku, sejarah hidup, dan
segala yang bersumber dari Nabi SAW., yang tidak berkaitan
dengan hukum syara’ dan terjadi sebelum diangkat menjadi
rasul tidak dikatakan sunnah. Demikian pula tidak dikatakan
sunnah, segala yang bersumber dari sahabat dan tabi’in, baik
perkataan, perbuatan, maupun ketetapan-ketetapan.15
2. Nilai yang Duniawi: ra’yu (pikiran), adat istiadat dan kenyataan
alam.
Bagi umat Islam, sumber nilai yang tidak berasal dari Qur’an dan
Sunnah hanya digunakan sepanjang tidak menyimpang atau yang
12Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), Cet. 7, h. 4-7
13Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: Amzah, 2009), Cet. 3, h. 5
14Munzier Suparta, op. cit, h. 7-8
15Ibid., h. 9-10
14
menunjang sistem nilai yang bersumber kepada Al-Qur’an dan
Sunnah.16
Firman Allah SWT. dalam Q. S. Al-An’am ayat 153:
ق بكم عن سبيله ذا صراطى مستقيما فاتبعوه وأن ه بعوا السبل فتفر لكم ذ والتت
قون. )األنعام: كمبه وص (١٥٣لعلكم تت
Artinya:
“Dan bahwa (yang kami perintahkan) ini adalah jalanku yang lurus,
maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti dari jalan-Nya yang
demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa”.
B. Pengertian Pendidikan Akhlak
Pendidikan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal dari kata
dasar “didik”, yang artinya“memelihara dan memberi latihan (ajaran,
pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran.17
Istilah pendidikan adalah terjemah dari bahasa Yunani, yaitu paedagogie,
yang berarti “pendidikan” dan paedagogia, yang berarti “pergaulan
dengan anak-anak”. Sedangkan orang yang bertugas membimbing atau
mendidik disebut paedagogos. Istilah paedagogos berasal dari kata
paedos, yang berarti “anak”, dan agoge memiliki arti “saya membimbing
atau memimpin”.18
Pendidikan ialah proses membimbing manusia dari kegelapan,
kebodohan dan pencerahan pengetahuan. Dalam arti luas, pendidikan baik
formal maupun informal meliputi segala hal yang memperluas
16Zakiah Darajat, Ahmad Sadali, dkk, Dasar-dasar Agama Islam Buku Teks Pendidikan Agama
Islam Pada Perguruan Tinggi Umum, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), cet. 10, h. 262
17Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Pusat Bahasa, 2008), Edisi IV, h. 425
18Armai Arief, Reformulasi Pendidikan Islam, (Jakarta: CRSD Press, 2005), h. 17
15
pengetahuan manusia tentang dirinya sendiri dan tentang dunia tempat
mereka hidup.19
Pendidikan merupakan terjemahan dari kata paedagogie. Kata tersebut
tidaklah berdiri dengan sendiri, akan tetapi terdapat beberapa kata yang
mendukung berjalannya proses pendidikan. Seperti paedos, yang berarti
“anak” dan juga agoge memiliki arti “memimpin”. Dengan begitu
pendidikan dapat berjalan dan dilakukan jika ada anak dan juga ada yang
memimpin. Maksud dari anak disini ialah peserta didik dan yang
memimpin ialah pendidik.
Melalui pendidikan, akan membantu membimbing manusia ke arah
yang lebih baik lagi. Mendapatkan pencerahan dengan diberikannya
pengetahuan, sehingga jauh dari kata kebodohan dan ketidaktahuan.
Pendidikan formal ataupun informal dapat memperluas pengetahuan
tentang dirinya dan juga di lingkungan masyarakat.
Menurut Fuad Ihsan dalam bukunya yang berjudul Dasar-dasar
Kependidikan, menyatakan bahwa20:
Pendidikan adalah usaha manusia untuk menumbuhkan dan
mengembangkan potensi-potensi pembawaan baik berupa jasmani
maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai yang ada di dalam
masyarakat dan kebudayaan. Pendidikan bagi kehidupan umat
manusia merupakan kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi sepanjang
hayat.
Menurut UU No. 20 tahun 2003, “Pendidikan adalah usaha sadar
untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran
dan latihan bagi peranannya di masa yang akan datang”.21
Dari beberapa pemaparan di atas mengenai pendidikan, maka penulis
dapat menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha manusia untuk
19M. Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif Al-qur’an, (Jakarta: Amzah, 2007), Cet.
1, h. 21-22 20Fuad Ihsan, Dasar-dasar Kependidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2013), h. 2
21Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional (Biro Hukum dan Organisasi Sekretariat Jendral Departemen Pendidikan Nasional:
2003), h. 49-50
16
mengembangkan segala potensi yang dimilikinya sehingga dapat
menumbuhkan dan mengembangkan potensi sebagaimana mestinya.
Sehingga pendidikan dapat dijadikan wadah untuk menjadikan
manusia mengetahui segala macam ilmu pengetahuan dan juga
memberikan latihan untuk dapat menjalankan kehidupannya. Dengan
diberikannya latihan, diharapkan dapat mebuka kemampuan yang dimiliki
oleh masing-masing individu.
Selanjutnya, pengertian akhlak. Kata akhlak berasal dari bahasa Arab
yang sudah di Indonesiakan, yang juga diartikan dengan istilah perangai
atau kesopanan. Kata أخالق adalah jama’ taksir dari kata 22.خلق Jadi akhlak
adalah perbuatan manusia yang bersumber dari dorongan jiwanya.
Sehingga gerakan refleks, denyut jantung dan kedipan mata tidak dapat
disebut dengan akhlak. Karena gerakan tersebut tidak diperintahkan oleh
unsur kejiwaan.23
Menurut A. Mustofa dalam bukunya Akhlak Tasawuf, mengatakan
bahwa:
akhlak bukanlah perbuatan, melainkan gambaran bagi jiwa yang
tersembunyi. Oleh karena itu, dapat disebut bahwa “akhlak itu adalah
nafsiah (bersifat kejiwaan) atau maknawiyah (sesuatu yang abstrak),
dan bentuknya yang kelihatan, kita namakan muamalah (tindakan)
atau suluk (perilaku). Maka, akhlak adalah sumbernya dan perilaku
adalah bentuknya”.24
Menurut Imam al-Ghazali, akhlak adalah segala perbuatan yang
dilakukan seseorang secara serius dan mendalam tanpa ada intervensi dari
pihak manapun.25 Kata akhlak secara bahasa merupakan bentuk jamak dari
kata khulukun, yang memiliki arti budi pekerti, perangai, tabiat, adat,
tingkah laku, atau sistem perilaku yang dibuat. Sedangkan secara
22Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya:
Pustaka Progressif, 1984), h. 364
23Mahjuddin, Akhlak Tasawuf I, (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), h. 1-5
24A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), h. 16
25Abuddin Nata dan Achmad Gholib, Modul Studi Islam II (Akidah Akhlak), (Jakarta: UIN
Jakarta Press, 2006), h. 71
17
terminologis, akhlak berarti ilmu yang menentukan batas antara baik dan
buruk, antara yang terbaik dan tercela, baik berupa perkataan maupun
perbuatan manusia, lahir dan bathin. Akhlak berarti budi pekerti atau
perangai.26
Dari penjelasan akhlak yang telah dipaparkan di atas, penulis dapat
menyatakan bahwa akhlak adalah segala sikap dan perbuatan manusia
yang dapat dibina yang bersumber dari dalam jiwanya sehingga dapat
menghasilkan perbuatan baik yang diharapkan oleh agama.
Akhlak merupakan perbuatan yang refleks, tidak berpikir terlebih
dahulu melakukan suatu perbuatan. Semua perbuatan yang keluar dari diri
seseorang dilakukan secara spontan. Apabila seseorang melakukan suatu
perbuatan, namun ia berpikir terlebih dahulu maka itu bukanlah akhlak.
Karena akhlak adalah perbuatan yang berasal dari jiwa setiap manusia.
Sementara, pengertian pendidikan akhlak adalah latihan mental dan
fisik yang menghasilkan manusia berbudaya tinggi untuk melaksanakan
tugas kewajiban dan tanggung jawab di dalam kehidupan bermasyarakat.
Bisa juga berarti suatu proses mendidik, memelihara, membentuk, dan
memberikan latihan mengenai akhlak dan kecerdasan berpikir baik yang
bersifat formal maupun informal.27
Menurut pandangan Ibn Sina mengenai pendidikan akhlak,
menyatakan bahwa tugas kedua orangtua atau pendidik adalah
memberikan penekanan kepada pendidikan agama kepada anak dan
peserta didik. Karena hal itu bertujuan untuk membentuk adab dan akhlak
yang baik. Selain itu, kedua orangtua atau pendidik perlu memberikan
contoh yang baik kepada anak dan peserta didik. Karena mereka adalah
golongan pertama yang perlu diberi pendidikan.
Hal ini karena anak-anak dan peserta didik akan melihat tingkah laku
orang dewasa yang berada di sekelilingnya. Jika tingkah laku orangtua
26Rois Mahfud, Pendidikan Agama Islam, (Surabaya: Erlangga, 2011), h. 96
27M. Yatimin Abdullah, Op. cit., h. 22-23
18
baik, maka secara tidak langsung anak akan turut mengikuti akhlak atau
moral yang ada pada orangtua. Ibnu Sina juga mengatakan bahwa
kehidupan itu adalah akhlak, tiada kehidupan tanpa akhlak.28
Berdasarkan pemaparan di atas tentang pendidikan akhlak maka
penulis dapat menyatakan bahwa pendidikan akhlak adalah kegiatan untuk
mendidik dan membentuk serta memberikan latihan mengenai akhlak dan
kecerdasan berpikir yang dapat melahirkan perangai yang baik, serta
menjadi tugas orangtua dan pendidik dalam memberikan penekanan
pendidikan agama kepada anak dan peserta didik. Sehingga akan bertujuan
untuk membentuk adab dan akhlak yang baik dan mulia kepada anak dan
peserta didik.
C. Sumber Pendidikan Akhlak
Kepentingan akhlak dalam kehidupan manusia dinyatakan dengan
tegas dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an menerangkan berbagai pendekatan
yang meletakkan Al-Qur’an sebagai sumber pengetahuan mengenai nilai
dan akhlak yang paling jelas. Pendekatan Al-Qur’an dalam menerangkan
akhlak mulia, bukan melalui pendekatan teoretikal, melainkan dalam
bentuk konseptual dan penghayatan. Akhlak mulia dan akhlak buruk
digambarkan dalam perwatakan manusia, dalam sejarah dan realitas
kehidupan manusia semasa Al-Qur’an diturunkan.29
Ketika ditanya tentang akhlak Rasulullah SAW., Aisyah menjawab:
كان خلقه القران
Artinya:
“Akhlak Rasulullah adalah Al-Qur’an”.
Pribadi Rasulullah SAW., adalah contoh yang paling tepat untuk
dijadikan teladan untuk membentuk pribadi yang akhlakul karimah.
28Abd. Rachman Assegaf, Aliran PemikiranPendidikan Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h.
96-97 29Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h. 21
19
Sumber ajaran akhlak adalah Al-Qur’an dan Hadits. Tingkah laku
Nabi Muhammad merupakan contoh dari suri tauladan bagi seluruh umat
manusia.
Allah SWT., berfirman:
روذكر هللا كثيريا. )الخزاب: لقد كان لكم في رسولي هللاي أسوةحسنة ل يمن كان ي رجوا هللا ولي وم ال خي٢١)
Artinya:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang
baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. (QS. Al-
Ahzab: 21)30
Sebagai sumber pendidikan akhlak, al-Qur’an dan hadits menjelaskan
tentang bagaimana cara berbuat baik. Atas dasar itulah keduanya menjadi
landasan dan sumber ajaran dalam Islam secara keseluruhan, sebagai pola
hidup dan menetapkan mana perbuatan yang baik dan mana perbuatan
yang tidak baik. Sehingga dapat menjalankan kehidupan sesuai dengan
yang diperintahkan.31
D. Macam-macam Akhlak
Akhlak dari segi bahasa, berasal dari bahasa Arab, yang berarti
perangai, tabiat, watak dasar kebiasaan, sopan, dan santun agama.32
Akhlak adalah perangai atau sikap yang dapat dibina dan diciptakan yang
ada dalam diri masing-masing pribadi. Dengan demikian, yang dibutuhkan
seorang anak adalah pembinaan akhlak. Untuk mewujudkannya tidaklah
mudah, karena dibutuhkan kerja keras serta kesabaran orangtua selaku
30M. Yatimin Abdullah, Op.cit., h. 4 31Ibid., h. 198 32M. Ardhani, Akhlak Tasawuf “Nilai-nilai Akhlak/Budi Pekerti dalam Ibadat dan Tasawuf,
(Jakarta: CV. Karya Mulia, 2005), h. 25
20
pendidik. Dan arti dari sebuah pembinaan akhlak adalah usaha untuk
menjadikan perangai dan sikap yang baik sebagai watak seorang anak.33
Jelaslah bahwa, untuk membentuk akhlak baik dibutuhkan semua
elemen yang saling berhubungan. Orangtua tentunya menjadi elemen yang
pertama dalam membentuk akhlak seorang anak, selain itu juga pendidik
yang membina akhlak siswa disekolah dan juga yang sangat menentukan
adalah lingkungan tempat tinggal sekitar.
Karena akhlak adalah perangai atau sikap yang perlu dibina pada
masing-masing pribadi, maka perlu adanya pembinaan akhlak. Pembinaan
akhlak dapat dilakukan dengan cara memberikan pendidikan dan juga
dengan cara memberikan contoh ataupun teladan yang baik. Dengan cara
seperti itu diharapkan dapat menciptakan akhlak yang baik, yang
diharapkan oleh agama.
Para Ulama Akhlak menyatakan bahwa, akhlak yang baik merupakan sifat
para Nabi dan orang-orang Siddiq, sedangkan akhlak yang buruk
merupakan sifat syaitan dan orang-orang yang tercela. Dengan demikian,
akhlak terbagi menjadi dua jenis, yaitu: Akhlak Terpuji (Akhlak
Mahmudah) dan Akhlak Tercela (Akhlak Mazmumah)34.
Dilihat dari segi hubungan manusia dengan dirinya, serta
hubungannya dengan Tuhan, manusia dan lainnya, maka akhlak ada yang
berkaitan dengan dirinya sendiri, dirinya dengan Tuhan dan dirinya
dengan manusia.35
1. Akhlak Mahmudah (Akhlak Terpuji)
Akhlak yang baik ialah segala tingkah laku yang terpuji
(mahmudah), bisa juga dinamakan fadhilah (kelebihan). Akhlak yang
baik dilahirkan oleh sifat-sifat yang baik. Karena itu, dalam hal jiwa
33Muhammad Nur Abdul Hafizh, Mendidik Anak Bersama Rasulullah, (Bandung: Mizan,
1997), pnjmh. Kuswandi, Sugiri dan Ahmad Son Haji, h. 178
34Mahjuddin, Op. cit., h. 10
35Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 209
21
manusia memerlukan perbuatan-perbuatan lahiriah. Tingkah laku
dilahirkan oleh tingkah laku batin, berupa sifat dan kelakuan batin
yang juga dapat berbolak-balik yang dapat mengakibatkan berbolak-
baliknya perbuatan jasmani manusia.36
Akhlak Mahmudah banyak sekali jumlahnya, namun jika dilihat
dari segi hubungan manusia dengan Tuhan dan manusia dengan
manusia, maka akhlak mahmudah dapat dibagi tiga bagian. Pertama,
akhlak mahmudah kepada Allah. Kedua, akhlak mahmudah terhadap
diri sendiri. Ketiga, akhlak mahmudah terhadap sesama manusia.37
Pembagian Akhlak Mahmudah adalah sebagai berikut:
a. Akhlak Terhadap Allah
Hubungan manusia dengan Allah adalah hubungan makhluk
dengan Khaliknya. Tumpuan dan pokok ketergantungan adalah
ketergantungan kepada Yang Maha Kuasa, Yang Maha Perkasa,
Yang Maha Bijaksana, Yang Maha Sempurna, ialah Allah Rabbul
‘alamin, Allah Tuhan semesta alam. Ketergantungan manusa
kepada Allah ini, difirmankan di dalam Q.S. Al-Ikhlas ayat 2:
(٢هللا الصمد )االخالص:
Artinya:
“Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala
sesuatu”. (Q.S. Al-Ikhlas: 2)
Kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat, tergantung kepada
izin dan ridha Allah. Untuk itu, Allah memberikan ketentuan-
ketentuan agar manusia dapat mencapainya. Maka, untuk mencapai
kebahagiaan dunia dan akhirat, kita sebagai seorang hamba harus
mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah diberikan oleh Allah.
36 M. Yatimin Abdullah, Op.cit., h. 38 37 M. Ardhani, Op. cit., h. 49
22
Dalam Al-Qur’anul Karim, kewajiban manusia diformulasikan
dengan iman dan amal saleh, sebagaimana tercantum pada firrman
Allah:
ئكهمخيرالبريةالحاتاول ( ٧) انالذينامنواوعملواالص
رضىاللهعنهمور جزآؤهمعندرب همجناتعدنتجرىمنتحتهاالنهارخالدينفيهآابدا
(٨. )ذلكلمنخشىربه ضواعنه
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh,
mereka itu adalah sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi
Tuhan mereka adalah Surga ‘Adn yang mengalir di bawahnya
sungai-sungai; mereka di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha
terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Yang
demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada
Tuhannya”. (Q.S. Al-Bayyinah: 7-8)
Beriman dan beramal saleh dalam istilah lain disebut dengan
takwa, yang diperintahkan Allah kepada hamba-Nya, sebagaimana
firman Allah:38
تقاته وانتممسلمون.)يآايهاالذينامنوااتقواهللاحق ال (١٠٢ولتموتن
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah
sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah kamu sekali-kali
mati melainkan dalam keadaan beragama Islam”. (Q.S. Ali Imran:
102)
38 A. Mustofa, Op. cit., h. 154-159
23
Banyak alasan mengapa manusia harus berakhlak terhadap
Allah, diantaranya adalah sebagai berikut:39
1) Karena Allah telah menciptakan manusia dengan segala
keistimewaan dan kesempurnaannya.
2) Karena Allah telah memberikan perlengkapan pancaindera hati
dan nurani dan naluri.
3) Karena Allah telah menyediakan berbagai bahan dan sarana
kehidupan yang terdapat di bumi, seperti tumbuh-tumbuhan,
air, udara, binatang, dan lain sebagainya.
Akhlak terhadap Allah dapat dilakukan dengan cara berbuat
adil dan menepati janji. Karena, berlaku adil kepada Allah
memiliki arti menjadikan-Nya sebagai satu-satunya Tuhan yang
memiliki kesempurnaan. Kita sebagai makhluk-Nya harus
senantiasa tunduk dan patuh terhadap perintah-Nya dan menjauhi
segala larangan-Nya.
Adapun menepati janji kepada Allah, berarti wajib
menunaikan ikrar atau janji kita kepada Allah, yang disebutkan
dalam dua kalimat syahadat, yaitu dengan melaksanakan perintah-
perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya, dengan penuh
kesadaran dan keikhlasan yang mendalam.
Berkenaan dengan akhlak kepada Allah, dapat dilakukan
dengan cara memuji-Nya, yakni dengan menjadikan Tuhan sebagai
satu-satunya yang menguasai dirinya. Oleh karena itu, manusia
sebagai hamba Allah mempunyai cara-cara yang tepat untuk
mendekatkan diri kepada-Nya. Caranya adalah sebagai berikut:40
1) Mentauhidkan Allah
2) Beribadah kepada Allah
39M. Ardhani, Op. cit., h. 49-52 40 M. Yatimin Abdullah, Op.cit., h. 200-208
24
3) Bertakwa kepada Allah
4) Berdo’a khusus kepada Allah
5) Zikrullah
6) Bertawakal
7) Bersabar
8) Bersyukur kepada Allah
b. Akhlak Terhadap Diri Sendiri
Berakhlak yang baik terhadap diri sendiri dapat diartikan
menghargai, menghormati, menyayangi, dan menjaga diri sendiri
dengan sebaik-baiknya, karena sadar bahwa dirinya sebagai ciptaan
dan amanah Allah yang harus dipertanggung jawabkan dengan
sebaik-baiknya.
Untuk menjalankan perintah Allah dan bimbingan Nabi
Muhammad SAW., maka setiap umat Islam harus berakhlak dan
bersikap sebagai berikut:41
1) Hindarkan Minuman Beracun/Keras
Setiap muslim harus menjaga dirinya sebagai suatu kewajban,
untuk tidak meracuni dirinya dengan minuman beralkohol,
narkotika atau kebiasaan buruk lainnya yang bersifat merusak
dan merugikan diri.
2) Hindarkan Perbuatan yang Tidak Baik
Sikap seorang muslim untuk mencegah melakukan sesuatu
yang tidak baik adalah gambaran untuk pribadi muslim dalam
sikap dan perilakunya sehari-hari, sebagai suatu usaha untuk
menjaga dirinya sendiri.
3) Memelihara Kesucian Jiwa
Penyucian dan pembersihan diri dilakukan secara terus
menerus dalam amal saleh. Untuk keperluan memelihara
kebersihan diri dan kesucian jiwa secara teratur, perlu
41M. Ardhani, Op. cit., h. 55-56
25
pembiasaan sebagai berikut: taubat, muraqabah, muhasabah,
mujahadah, dan taat beribadah.
4) Pemaaf dan Pemohon Maaf
Menjadi umat yang pemaaf biasanya mudah, tetapi untuk
meminta maaf apabila seseorang melakukan kekhilafan
terhadap orang lain sungguh sangat sukar, karena merasa malu.
5) Sikap Sederhana dan Jujur
Setiap diri pribadi umat Islam harus bersikap dan berakhlak
yang terpuji, diantaranya bersikap sederhana, rendah hati, jujur,
menepati janji, dan dapat dipercaya.
6) Hindarkan Perbuatan Tercela
Setiap pribadi umat Islam harus menghindari dari perbuatan
yang tercela yang dapat mempengaruhi rusaknya akhlak yang
baik.
Akhlak terhadap diri sendiri dapat dilakukan dengan cara
berlaku adil dan juga menepati janji. Berlaku adil pada diri sendiri,
yaitu menempatkan diri pribadi pada tempat yang baik dan
benar.Diri kita harus terjaga dan terpelihara dalam kebaikan dan
keselamatan, tidak menganiaya diri sendiri dengan menuruti hawa
nafsu yang akibatnya dapat mencelakakan diri sendiri.Dimana kita
harus memenuhi kebutuhan baik jasmani maupun rohani sesuai
dengan norma-norma syariat.
Menepati janji terhadap diri sendiri berarti melaksanakan apa
yang telah diucapkan di dalam diri. Biasanya janji dalam hati,
tetapi kadang-kadang ada juga yang diwujudkan dalam lisannya,
atau bahkan secara tertulis, supaya tidak lupa akan janjnya itu.
Misalnya berjanji untuk bangun setiap pagi menjelang subuh,
Berjanji untuk melaksanakan rukun Islam yang kelima atau berhaji
ke Baitullah, dan berjanji untuk melaksanakan tasyakuran apabila
telah lulus dalam melaksanakan ujian sekolah.
26
Manusia yang berakhlak baik terhadap dirinya sendiri adalah
manusia yang terbina sumber dayanya secara optimal. Hal ini
semakin dirasakan pentingnya, terutama kepada manusia yang
memasuki abad ke-21, yaitu abad globalisasi dunia yang ditandai
oleh adanya persaingan yang amat tajam dan kompetitif.42
c. Akhlak Terhadap Sesama Manusia
Manusia adalah sebagai makhluk sosial yang kelanjutan
eksistensinya secara fungsional dan optimal banyak bergantung
kepada orang lain. Untuk itu, ia perlu bekerja sama dan saling
tolong menolong dengan orang lain. Islam menganjurkan
berakhlak baik kepada saudara, karena ia berjasa dalam ikut serta
mendewasakan kita, dan merupakan orang yang paling dekat
dengan kita. Caranya dapat dilakukan dengan memuliakannya,
memberikan bantuan, pertolongan, dan menghargainya.43
Akhlak terhadap sesama manusia dapat diterapkan dalam
berlaku adil dan juga menepati janji. Berlaku adil terhadap sesama
manusia berarti meletakkan sesama manusia pada tempat yang
sesuai,layak, benar, memberikan hak orang lain dengan jujur dan
benar serta tidak menyakiti serta merugikan orang lain.
Menepati janji terhadap sesama manusia berarti mematuhi dan
menunaikan sebagaimana mestinya, baik yang diucapkan ataupun
yang dituliskan. Janji secara tertulis misalnya, janji seorang
pegawai ketika diterima menjadi pegawai ia berjanji akan bekerja
dengan baik, dan bersedia diberhentikan jika ia bekerja dengan
tidak baik. Janji secara lisan misalnya janji seorang untuk
mewakafkan sebidang tanah untuk pembangunan masjid, atau
untuk fasilitas pendidikan umat Islam.
42Ibid., h. 57 43M. Ardhani, loc. cit.
27
Menurut Abu Bakar Muhammad dalam bukunya yang berjudul
“Membangun Manusia Seutuhnya”, yang dikutip oleh Yatimin
Abdullah, menyatakan bahwa sebagai seorang muslim harus
menjaga perasaan orang lain. Tidak boleh membedakan sikap
terhadap seseorang, baik dia berpangkat atau rakyat jelata, saling
merahasiakan rahasia sesama muslim, tidak boleh menggemborkan
kesalahan orang lain, baik lisan maupun tulisan, harus saling tolong
menolong dalam kebaikan dan ketakwaan kepada Allah SWT.
Adapun akhlak terhadap sesama manusia dapat diperincikan
sebagai berikut:44
1) Akhlak sebagai Anak
a) Kesopanan dan kesederhanaan makan.
b) Kesopanan dan kesederhanaan pakaian.
c) Kesederhanaan tidur.
d) Kesopanan dan kedisiplinan duduk.
e) Kesopanan dan kesederhanaan berludah.
f) Kesopanan dan kesederhanaan berbicara.
2) Akhlak kepada Ayah, Ibu, dan Orang Tua
a) Berbakti kepada kedua orang tua.
b) Mendoakan keduanya.
c) Taat terhadap segala perintahnya dan meninggalkan segala
yang dilarang mereka.
d) Menghormatinya dan merendahkan diri kepadanya.
e) Memberikan penghidupan kepada keduanya.
f) Menyayangi orang tua.
3) Akhlak terhadap Saudara
a) Adil terhadap Saudara
b) Mencintai Saudara
c) Jangan Su-Uzhan.
44 M. Yatimin Abdullah, Op.cit., h. 213-223
28
4) Akhlak terhadap Tetangga
a) Berbuat baik kepada tetangga.
b) Menolongnya jika memerlukan pertolongan.
c) Menengoknya jika ia sakit.
d) Saling memberi.
e) Menghormatinya.
5) Akhlak kepada Lingkungan Masyarakat
a) Berbahasa yang baik dan benar.
b) Ucapkan salam.
c) Perhatikan cara makan dan minum.
2. Akhlak Mazmumah (Akhlak Tercela)
Akhlakul madzmumah ialah perangai yang tercermin dari tutur
kata, tingkah laku dan sikap yang tidak baik. Akhlakul madzmumah
menghasilkan pekerjaan buruk dan tingkah laku yang tidak baik.
Akhlak yang tidak baik dapat dilihat dari tingkah laku perbuatan yang
tidak elok, tidak sopan dan gerak-geriknya yang tidak menyenangkan.
Tiang utama dari akhlak tidak baik adalah nafsu jahat.45Pembagian
Akhlak Mazmumah adalah sebagai berikut:
a. Akhlak Terhadap Allah
Akhlak tercela terhadap Allah, seringkali dilakukan oleh
manusia di setiap harinya.Perbuatan ini dilakukan dengan cara
tidak berbuat adil dan mengingkari janji. Manusia tidak dapat
berlaku adil kepada Allah memiliki arti menjadikan-Nya sebagai
bukan satu-satunya Tuhan yang memiliki kesempurnaan. Manusia
seperti ini senantiasa tidak tunduk dan patuh terhadap perintah-Nya
dan mengerjakan segala larangan-Nya.
Seseorang yang berjanji kepada Allah, namun seringkali
diingkari, yang disebutkan dalam dua kalimat syahadat, yaitu
45Ibid., h. 55
29
dengan tidak melaksanakan perintah-perintah-Nya dan
mengerjakan larangan-larangan-Nya, dengan tanpa kesadaran dan
ketidak-ikhlasan yang mendalam. Atas apa yang diyakininya.
Berikut ini akhlak mazmumah terhadap Allah:
1) Syirik
2) Riya
3) Nifak
b. Akhlak Terhadap Diri Sendiri
Berakhlak yang tidak baik terhadap diri sendiri dapat diartikan
tidak menghargai, tidak menghormati, tidak menyayangi, dan tidak
menjaga diri sendiri dengan sebaik-baiknya, karena tidak sadar
bahwa dirinya sebagai ciptaan dan amanah Allah yang harus
dipertanggung jawabkan dengan sebaik-baiknya.
Akhlak tercela terhadap diri sendiri dapat dilakukan dengan
cara tidak berlaku adil dan juga tidak menepati janji. Tidak berlaku
adil pada diri sendiri, yaitutidak dapat menempatkan diri pribadi
pada tempat yang baik dan benar. Menganiaya diri sendiri dengan
menuruti hawa nafsu yang akibatnya dapat mencelakakan diri
sendiri.Dimana kita harus memenuhi kebutuhan baik jasmani
maupun rohani sesuai dengan norma-norma syariat.
Tidak menepati janji terhadap diri sendiri berarti melanggar
apa yang telah diucapkan di dalam diri. Biasanya janji dalam hati,
tetapi kadang-kadang ada juga yang diwujudkan dalam lisannya,
atau bahkan secara tertulis, tetapi sering melupakan akan janjnya
itu.
Adapun akhlak tercela terhadap diri sendiri adalah sebagai
berikut:46
1) Dengki
46 A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2014), h. 199
30
2) Sombong
3) Boros
4) Merasa tidak perlu terhadap orang lain
c. Akhlak Terhadap Sesama Manusia
Akhlak tercela terhadap sesama manusia seringkali diterapkan
dalam tidak berlaku adil dan juga mengingkari janji. Tidak berlaku
adil terhadap sesama manusia berarti tidak meletakkan sesama
manusia pada tempat yang sesuai, layak, benar, tidak memberikan
hak orang lain dengan jujur dan benar sertamenyakiti serta
merugikan orang lain.
Menepati janji terhadap sesama manusia terkadang melanggar
dan mengabaikan sebagaimana mestinya, baik yang diucapkan
ataupun yang dituliskan. Janji secara tertulis misalnya, janji
seorang pegawai ketika diterima menjadi pegawai ia berjanji akan
bekerja dengan baik, dan bersedia diberhentikan jika ia bekerja
dengan tidak baik.Janji secara lisan misalnya janji seorang untuk
mewakafkan sebidang tanah untuk pembangunan masjid, atau
untuk fasilitas pendidikan umat Islam.
Adapun akhlak mazmumah terhadap sesama manusia adalah
sebagai berikut:47
1) Berdusta
2) Kikir
3) Khianat
4) Menipu
5) Culas
47Ibid., h. 199-200
31
E. Hasil Penelitian Yang Relevan
Berikut ini penulis akan menyajikan penelitian terdahulu mengenai
nilai-nilai pendidikan akhlak yang terdapat di dalam al-Qur’an. Beberapa
penelitian yang relevan dengan penelitian “Nilai-nilai Pendidikan Akhlak
dalam Perspektif al-Qur’an Surat An-Nahl ayat 90-91” adalah sebagai
berikut:
1. Nilai-nilai Pendidikan Akhlak dalam Surat Al-Maidah ayat 8, yang
ditulis oleh Khatimatul Husnah tahun 2014 di FITK UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Penelitian dilakukan dengan menggunakan
metode kualitatif dan menggunakan metode penafsiran dengan metode
tafsir tahlili. Adapun nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung
surat Al-Maidah ayat 8 adalah nilai kejujuran, nilai keikhlasan, nilai
keadilan, dan nilai ketakwaan. Pendidikan akhlak tersebut dapat
diaplikasikan dengan menggunakan berbagai macam metode,
diantaranya metode ceramah, metode nasihat, metode teladan, metode
pembiasaan, dan metode kisah.
2. Nilai-nilai Pendidikan Akhlak dalam surat Al-Mujadalah ayat 11-12,
yang ditulis oleh Komarullah Azami tahun 2014 di FITK UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Penelitian dilakukan dengan menggunakan
metode kualitatif dan menggunakan metode penafsiran dengan metode
tafsir maudhu’i. Adapun nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung
dalam surat Al-Mujadalah ayat 11-12 adalah melapangkan hati,
menjalin hubungan harmonis, memberikan sedekah, menghormati, dan
memuliakan. Konsep pendidikan akhlak tersebut dapat dilakukan
dengan pendekatan rangsangan-jawaban (stimulus-respone), yaitu
proses mengkondisi sehingga terjadi automatisasi dan dapat dilakukan
dengan cara latihan, tanya jawab dan dengan cara mencontoh.
32
Dari kedua penelitian yang relevan di atas, penulis dapat melihat
adanya persamaan dan perbedaan yang sudah ditulis oleh penulis-penulis
sebelumnya, yaitu:
1. Persamaannya: Pertama, keduanya sama-sama fokus dalam penelitian
pendidikan akhlak. Kedua, kedua skripsi tersebut sama-sama
menggunakan metode penelitian kualitatif. Sedangkan penelitian yang
dilakukan oleh penulis terhadap penelitian sebelumnya sama-sama
fokus dalam meneliti nilai-nilai pendidikan akhlak.
2. Perbedaannya: skripsi yang pertama memiliki fokus dalam meneliti
bagaimana mengaplikasikan nilai-nilai pendidikan akhlak yang
terdapat dalam surat Al-Maidah ayat 8 dan skripsi yang kedua fokus
dalam meneliti konsep nilai-nilai pendidikan akhlak dalam surat Al-
Mujadalah ayat 11-12 dengan menggunakan metode tafsir maudhu’i.
Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah fokus dalam
meneliti penerapan nilai-nilai pendidikan akhlak dalam dalam
perspektif al-Qur’an surat An-Nahl ayat 90-91 dan menggunakan
metode tafsir tahlily.
33
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Objek dan Waktu Penelitian
Objek dalam penelitian ini adalah mengenai kajian tentang tafsir surat An-
Nahl ayat 90-91.
Adapun waktu penelitian yang dilakukan oleh penulis yaitu selama satu
semester, terhitung dari bulan Juli 2017.
B. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan penelitian
kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif analisis yang menggunakan
teknik analisis kajian melalui studi kepustakaan (Library Research).
Karena penelitian ini merupakan library research, maka sumber data pada
penelitian ini adalah literatur-literatur yang berkaitan. Sebagaimana yang
dikatakan oleh Maman, “sumber data penelitian kualitatif ialah tindakan dan
perkataan manusia dalam suatu latar yang bersifat alamiah. Sumber data
lainnya ialah bahan-bahan pustaka, seperti: dokumen, arsip, koran, majalah,
jurnal ilmiah, buku, laporan tahunan, dan lain sebagainya”.1
Adapun literatur yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data
primer, yaitu kitab suci al-Qur’an, dan kitab-kitab tafsir al-Qur’an yang
menjelaskan surat An-Nahl ayat 90-91, diantaranya: kitab Al-Qur’an dan
Tafsirnya, Tafsir Al-Misbah karya M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Azhar karya
Hamka, Tafsir Ath-Thabari, dan kitab Al-Bayan: Tafsir Penjelas al-Qur’an.
Dan data sekunder, yaitu buku-buku yang membahas pendidikan akhlak.
Mengenai analisis data, menurut Imam Gunawan, “analisis data kualitatif
sesungguhnya sudah dimulai saat peneliti mulai mengumpulkan data, dengan
cara memilah mana data yang sesungguhnya penting atau tidak. Ukuran
1 U. Maman Kh, dkk., Metodologi Penelitian Agama Teori dan Praktek, (Jakarta: Raja Grafndo
Persada Press, 2006), h. 80
34
penting atau tidaknya mengacu pada kontribusi data tersebut pada upaya
menjawab fokus penelitian”.2
Karena penelitian ini merupakan penelitian tafsir, dalam meneliti ayat-
ayat al-Qur’an dengan mengacu pada pandangan al-Farmawi yang dikutip
oleh Abudin Nata bahwa metode tafsir yang bercorak penalaran (bukan jalur
riwayat) ini terbagi menjadi empat macam metode, yaitu: tahlili, ijmali,
muqarin, dan maudu’i.3
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode tahlili. Metode tafsir
tahlili adalah satu metode tafsir yang mufassirnya berusaha menjelaskan
kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai seginya dengan memperhatikan
runtutan ayat-ayat al-Qur’an sebagaimana tercantum di dalam mushaf. Dalam
hubungan ini, mufassir mulai dari ayat ke ayat berikutnya, atau dari surat ke
surat berikutnya dengan mengikuti urutan ayat atau surat sesuai yang
termaktub di dalam mushaf.4
Sedangkan metode maudu’i adalah metode tafsir yang membahas ayat-
ayat al-Qur’an sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua
ayat yang berkaitan dengan topik tersebut dihimpun. Kemudian dikaji secara
mendalam dan tuntas dari segala aspeknya, seperti asbab al-nuzul, kosakata,
istinbâth (penetapan) hukum, dan lain-lain. Semuanya dijelaskan dengan rinci,
serta didukung oleh dalil-dalil dan fakta, baik argumen tersebut berasal dari al-
Qur’an dan hadits, maupun pemikiran rasional.5
Perbedaan yang terdapat pada metode tafsir tahlili dan metode tafsir
maudhu’i, ialah dari caranya. Metode tafsir tahlili menjelaskan kandungan
ayat-ayat al-Qur’an dengan secara runtut. Sedangkan metode tafsir maudhu’i
membahas ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan tema atau judul yang telah
ditetapkan.
2 Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif Teori dan Praktik, (Jakarta: Bumi Aksara,
2013), h. 209
3 Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2011), h. 219
4Ibid.
5Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, ), h. 72
35
Menurut Abdul Muin Salim dalam bukunya Metodologi Ilmu Tafsir,
mengatakan bahwa “metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan
ayat-ayat al-Qur’an dari seluruh aspeknya. Penafsiran dengan metode tahlili
juga tidak mengabaikan aspek asbab al nuzul suatu ayat, munasabah
(hubungan) ayat-ayat al-Qur’an antara satu dengan yang lain”.6
Dengan demikian, metode tafsir tahlili merupakan suatu metode yang
bermaksud menguraikan dan menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari
seluruh isinya, sesuai dengan urutan yang ada di dalam al-Qur’an.
C. Fokus Penelitian
Menurut Sugiyono, “batasan masalah dalam penelitian kualitatif disebut
dengan fokus, yang berisi fokus masalah yang masih bersifat umum”.7
Dengan melihat pendapat Sugiyono di atas, maka penulis mencantumkan apa
yang ada di dalam batasan masalah menjadi fokus penelitian dalam penulisan
ini, yaitu mengenai tafsir surat An-Nahl ayat 90-91.
Jadi, dalam penelitian ini penulis bermaksud mengkaji tentang tafsir surat
An-Nahl ayat 90-91, dengan mencari data-data dan sumber yang membahas
mengenai ayat tersebut.
D. Prosedur Penelitian
Dalam penelitian tafsir yang menggunakan metode tafsir tahlili, ada
beberapa prosedur atau langkah yang harus diperhatikan. Mengacu pada
penjelasan Abudin Nata dalam buku Studi Islam Komprehensif, maka
prosedur penelitian tafsir surat An-Nahl ayat 90-91 adalah sebagai berikut:
1. Memulai penjelasan dari kosa kata yang terdapat pada ayat 90 dan 91 surat
An-Nahl. Pada tahap ini, penulis memulai dengan menjelaskan kosa kata
yang terdapat dari ayat 90 dan 91 surat An-Nahl dengan mengacu pada
kitab-kitab tafsir.8
6Abd. Muin Salim, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2005), h. 42
7Sugiyono, Metode Penelitian Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, (Bandung:
Alfabeta, 2008), h. 285-286
8 Abudin Nata, Studi Islam Komprehensif, (Jakarta: Prenada Media Group, 2011), h. 169
36
2. Setelah menjelaskan kosa kata per ayatnya, kemudian penulis menjelaskan
munasabah ayat 90 dan 91 dengan ayat-ayat sebelumnya. Di sini penulis
akan menjelaskan munasabah, yaitu hubungan ayat 90 dan 91 surat An-
Nahl dengan ayat sebelumnya. Hal ini sangat dibutuhkan untuk
mengetahui kejelasan makna ayat.9
3. Menjelaskan makna yang terkandung dalam ayat 90-91 surat An-Nahl
dengan dibantu dari penjelasan dari ayat lain, hadits Rasulullah SAW.,
atau ilmu pendidikan yang berkaitan dengan ayat tersebut. Dalam tahap
ini, penulis akan mencoba menjelaskan makna yang terkandung dalam
ayat 90 dan 91 surat An-Nahl dengan menggunakan literatur dari kitab
tafsir, kemudian hadits-hadits Rasulullah yang berkaitan dengan makna
ayat tersebut, dan juga buku-buku penunjang seperti buku-buku
pendidikan yang membicarakan seputar makna ayat tersebut. Selain itu,
pada tahap ini juga penulis menganalisis kajian tentang nilai-nilai
pendidikan akhlak yang terkandung di dalam ayat tersebut.10
4. Setelah menjelaskan makna ayat dan menganalisisnya, selanjutnya adalah
menarik kesimpulan dari ayat 90-91 surat An-Nahl. Kesimpulan dari
penelitian ini berkaitan tentang apa saja kandungan ayat 90 dan 91.11
9Ibid.
10Ibid. 11Ibid.
37
BAB IV
TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Tafsir Al-Qur’an Surat An-Nahl ayat 90-91
1. Sejarah Surat An-Nahl dan Asbabun Nuzul Ayat.
a. Sejarah Surat An-Nahl
Surat An-Nahl terdiri dari 128 ayat. Mayoritas ulama menilainya
Makkiyyah, yakni turun sebelum Nabi Muhammad SAW., berhijrah ke
Madinah. Nama An-Nahl terambil dari kata النحلي yang disebut pada ayat 68
surat ini. Hanya sekali itulah al-Qur’an menyebutnya. Ada juga ulama
yang menamainya surat an-Ni’am, karena banyak nikmat Allah yang
diuraikan di sini.1
Sebagaimana umumnya surat-surat yang turun di Mekkah, yaitu surat-
surat yang turun sebelum hijrah, mengandung soal-soal ketauhidan,
kerasulan dan kepastian akan datangnya hari kiamat. Kemudian, dalam
surat ini terdapat ancaman-ancaman terhadap orang-orang yang
mendustakan kebenaran al-Qur’an. Pada awal surat ini, menegaskan
kepastian datangnya hari kiamat itu dan pertanggung-jawaban mereka
terhadap amal perbuatan yang betul-betul akan diminta.2
Al-Biqa’i berpendapat bahwa tujuan pokok dan tema utama surah An-
Nahl adalah membuktikan kesempurnaan kuasa Allah dan keluasan ilmu-
Nya, dan bahwa Dia bebas bertindak sesuai kehendak-Nya lagi tidak
disentuh oleh sedikit kekurangan pun. Yang dapat menunjukkan makna ini
adalah sifat dan keadaan An-Nahl, yakni “lebah” yang sungguh
menunjukkan pemahaman yang dalam serta keserasian yang
mengagumkan. Keajaibannya juga terlihat pada jenisnya. Ia tidak hanya
1 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Volume 6, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 517
2 Zaini Dahlan dkk, Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid V Juz 13-14-15, (Yogyakarta: PT. Dana
Bhakti Wakaf, 1991), h. 326
38
terdiri dari jantan dan betina, tetapi juga yang tidak jantan dan tidak
betina3
Di dalam surat ini, ditekankan tentang perlengkapan-perlengkapan
dalam pergaulan hidup dengan sesama manusia. Bagaimana harus berlaku
adil, berbuat ihsan dengan sesama, bersedia berkorban untuk menolong
orang lain, keteguhan memegang janji dan setia kepada apa yang telah
dijunjung tinggi bersama.4
Adapun persesuaian surat ini dengan surat yang lalu, ialah di akhir
surat yang lalu Allah menerangkan tentang keadaan orang-orang yang
mengolok-olokkan Rasul dan mendustakannya dan mereka semua akan
ditanya di akhirat. Yang memberikan pengertian bahwa mereka semua
akan dikumpulkan di hari kiamat dan akan diminta pertanggungjawaban
terhadap segala perbuatan mereka di dunia.5
Pendapat as-Suyuthi yang menyatakan bahwa “surah yang terdahulu
merupakan pengantar bagi surah sesudahnya”, berarti surah An-Nahl ini
adalah pengantar bagi surah al-Isra’. Lebah dipilih untuk menjadi
pengantar uraian yang berkaitan dengan manusia seutuhnya, karena
seorang mukmin atau katakanlah manusia yang utuh, diibaratkan oleh
Rasul SAW., bagaikan “lebah”, tidak makan kecuali yang baik dan indah.
Seperti kembang-kembang tidak menghasilkan kecuali yang baik dan
bermanfaat seperti madu yang merupakan minuman dan obat bagi aneka
penyakit, tidak hinggap di tempat yang kotor, tidak mengganggu kecuali
ada yang mengganggunya, dan jika menyengat sengatannya pun menjadi
obat.6
3 M. Quraish Shihab, Ibid., h. 518-519
4 Hamka, Tafsir Al-Azhar Juzu’ 13-14-15-16-17, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), h. 213
5 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Al-Bayan: tafsir penjelas Al Qur-anul Karim,
(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2002), h. 601
6M. Quraish Shihab, Ibid., h. 519
39
b. Asbabun Nuzul Ayat
Asbabun Nuzul ialah, kejadian yang terjadi di zaman Nabi SAW., atau
pertanyaan yang dihadapkan kepada Nabi, sehingga turunlah satu atau
beberapa ayat dari Allah SWT., yang berhubungan dengan kejadian itu,
atau sebagai jawaban atas pertanyaan itu, baik peristiwa pertengkaran atau
merupakan kesalahan yang dilakukan. Bahkan suatu peristiwa atau suatu
keinginan yang baik.
Ayat-ayat al-Qur’an dibagi menjadi dua, yaitu:
1) Ayat-ayat yang ada sebab nuzulnya.
2) Ayat-ayat yang tidak ada sebab nuzulnya.
Dengan demikian, ada ayat al-Qur’an yang diturunkan sesudah
didahului sesuatu sebab dan ada ayat yang diturunkan tanpa didahului oleh
sebab.7
Mengenai asbabun nuzul pada surat An-Nahl ayat 90-91, hanya terdapat
pada ayat 91. Ketika itu, Rasulullah apabila menerima seseorang memeluk
agama Islam, langsung dibaiat (diadakan janji setia). Ayat ke-91
diturunkan untuk memberi perintah agar kaum muslimin berbaiat kepada
Rasulullah SAW., yakni berjanji setia untuk mempertahankan panji-panji
Islam dan memeluk Islam dengan penuh konsekuen.8
c. Teks Ayat dan Terjemahnya.
هى عني الفحشآءي والمنكري والب لعدلي وااليحساني وايي تآئي ذيى القر ب وي ن غيي يعيظكم اين هللا يمر بي
قض واوف وا بيعهدي هللاي ايذاعاهدتم وال (٩٠)لعلكم تذكرون ال يان ب عد ت و كييديها وقد جعلتم هللا وا ات ن
(٩١) اين هللا ي علم ما ت فعلون عليكم كفييال
7 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al Qur-an Ilmu-Ilmu Pokok dalam
Menafsirkan Al Qur-an, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2002), h. 18-19
8 A. Mudjab Mahali, Asbabun Nuzul Studi Pendalaman Al-Qur’an, (Jakarta: PT RajaGrafindo,
2002), Cet. 1, h. 533
40
“Sesungguhnya Allah memerintahkan berlaku adil dan berbuat ihsan,
pemberian kepada kaum kerabat, dan Dia melarang berbuat keji,
kemunkaran, dan penganiayaan. Dia memberi pengajaran kepada kamu
agar kamu dapat selalu ingat”. “Dan tepatilah perjanjian Allah apabila
kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah sesudah
meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksi atas
diri kamu. Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat”. (An-
Nahl: 90-91)
d. Kata Mufradat
memerintahkan berlaku adil : لعدلي يمر بي
berbuat baik : وااليحساني
pemberian kepada kaum kerabat : وايي تآئي ذيى القر ب
melarang : هى وي ن
penganiayaan : والب غيي
memberi pengajaran : يعيظكم
tepatilah perjanjian : واوف وا بيعهدي
kamu berjanji : عاهدتم
membatalkan : قضو وال ت ن
meneguhkannya : ت و كييديها
41
e. Tafsir Surat An-Nahl Ayat 90-91
1) Munasabah ayat
Pada ayat sebelumnya, Allah SWT menjelaskan azab yang akan
menimpa orang-orang kafir pada hari kiamat, serta kesaksian Nabi-
nabi atas umatnya pada saat itu. Al-qur’an sebagai petunjuk bagi umat
Islam dalam menghadapi kehidupan yang terakhir yaitu hari kiamat,
adalah alasan bagi Nabi SAW., terhadap umatnya untuk
mengemukakan kesaksian.9
Dalam ayat 90, dikemukakan sekelumit perincian yang dapat
menggambarkan kesimpulan petunjuk al-qur’an. Ayat ini dinilai oleh
paran pakar sebagai ayat yang paling sempurna dalam penjelasan
segala aspek kebaikan dan keburukan.10
Sementara pada ayat 91, Allah memerintahkan kaum Muslimin
untuk menepati ikatan perjanjian mereka dengan Allah, apabila mereka
sudah mengikat janji itu. Menurut ayat ini, semua ikatan perjanjian
yang dibuat dengan kehendak sendiri, wajib dipenuhi, baik perjanjian
itu sesama kaum Muslimin ataupun terhadap orang diluar Islam. Allah
SWT., melarang melanggar sumpah yang telah diucapkan dengan
mempergunakan nama Allah. Karena di dalam sumpah itu, Allah telah
ditempatkan sebagai saksi.11
Dengan demikian, pada ayat yang lalu Allah telah menjelaskan
azab yang akan menimpa orang-orang kafir pada hari kiamat dan
kesaksian Nabi-nabi atas umatnya. Kemudian pada ayat 90, dijelaskan
berbagai macam aspek kebaikan dan keburukan yang harus
dilaksanakan di dalam menjalankan kehidupan. Selanjutnya dalam ayat
91, Allah memerintahkan para kaum Muslimin untuk menepati
9 Zaini Dahlan dkk, Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid V Juz 13-14-15, (Yogyakarta: PT. Dana
Bhakti Wakaf, 1991), h. 446
10 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Volume 6, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 697
11 Zaini Dahlan dkk, Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid V Juz 13-14-15, (Yogyakarta: PT. Dana
Bhakti Wakaf, 1991), h. 454
42
perjanjian yang telah dibuat dan melarang melanggar sumpah yang
telah diucapkan.
2) Tafsir Ayat 90-91
Pada ayat berikut ini, Allah SWT menguraikan lagi pokok-pokok
isi al-Qur’an untuk dijadikan pegangan bagi umat Islam, hidup di
dunia ini menuju kebahagiaan akhirat. Diantaranya, Allah SWT
memerintahkan berbuat adil dalam melaksanakan isi al-Qur’an yang
menjelaskan segala aspek kehidupan manusia, serta berbuat ihsan.12
Ayat 90
هى عني الفحشآءي والمنكري حساني وايي تآئي ذيى القر ب وي ن لعدلي واالي اين هللا يمر بي
(٩٠لعلكم تذكرون )والب غيي يعيظكم
Kata (العدل) al-‘adl terambil dari kata (عدل) ‘adala yang terdiri dari
huruf-huruf ‘ain, dâl, dan lâm. Rangkaian huruf ini mengandung dua
makna yang bertolak belakang, yakni lurusdansama serta bengkok dan
berbeda. Seseorang yang adil adalah yang berjalan lurus dan sikapnya
selalu menggunakan ukuran yang sama, bukan ukuran ganda. Persamaan
itulah yang menjadikan seseorang adil tidak berpihak kepada salah seorang
yang berselisih.13
Menurut M. Quraish Shihab, manusia dituntut untuk menegakkan
keadilan walau terhadap keluarga, ibu bapak, dan dirinya, seperti yang
telah disebutkan di dalam al-Qur’an surat an-Nisa (4): 135, bahkan
terhadap musuhnya sekalipun, yang terdapat di dalam al-Qur’an surat al-
Maidah (5): 8. Kedua ayat tersebut memiliki redaksi yang serupa dengan
12 Zaini Dahlan dkk, Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid V Juz 13-14-15, (Yogyakarta: PT. Dana
Bhakti Wakaf, 1991), h. 446-447
13 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Volume 6, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 698
43
surat an-Nahl (16) ayat 90. Keadilan pertama yang dituntut adalah dari diri
dan terhadap diri sendiri dengan jalan meletakkan syahwat dan amarah
sebagai tawanan yang harus mengikuti perintah akal dan agama, bukan
menjadikannya tuan yang mengarahkan akal dan tuntunan agamanya.
Karena, jika demikian, ia tidak berlaku adil, yakni tidak menempatkan
sesuatu pada tempat yang wajar.14
Adil, yaitu menimbang yang sama berat, menyalahkan yang salah dan
membenarkan mana yang benar, mengembalikan hak kepada yang
seharusnya dan jangan berlaku zalim aniaya. Lawan dari adil ialah zalim,
yaitu memungkiri kebenaran karena ingin mencari keuntungan bagi diri
sendiri dan mempertahankan perbuatan yang salah. Selama keadilan masih
terdapat di masyarakat, pergaulan hidup akan aman sentosa, timbul amanat
dan saling mempercayai.15
Allah SWT., memerintahkan berbuat adil dalam melaksanakan isi al-
Qur’an yang menjelaskan segala aspek kehidupan manusia. Hak setiap
orang harus diberikan sebagaimana mestinya. Penyimpangan dari keadilan
adalah penyimpangan dari Sunnah Allah menciptakan alam ini dan hal ini
tentulah akan menimbulkan kekacauan dan kegoncangan dalam
masyarakat, seperti putusnya hubungan cinta kasih sesama manusia,
tertanamnya dalam hati manusia rasa dendam, kebencian, iri, dengki, dan
sebagainya.16
Menurut Tafsir ath-Thabari, adil itu pengakuan atas orang-orang yang
telah diberkati karunia-Nya, dan bersyukur atas kebaikannya, dan jagalah
keluarganya. Jika ini keadilan dan berhala tidak memiliki tangan yang layak
dipuji, maka kita tidak tahu Hamadha dan penyembahan, dan jangan menikmati
perbuatan tersebut. Dan tidak menguntungkan beribadah, selama kita melihat
14Ibid.
15 Hamka, Tafsir Al-Azhar Juzu’ 13-14-15-16-17, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), h. 280
16Zaini Dahlan dkk, Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid V Juz 13-14-15, (Yogyakarta: PT. Dana
Bhakti Wakaf, 1991), h. 447
44
bahwa tidak ada Tuhan selain Dia dan tidak memiliki pasangan, maka dia
berkata: Keadilan di sini berarti kesaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah.17
Setelah itu, diperintahkan berbuat Ihsan. Arti Ihsan ialah mengandung
dua maksud. Pertama, selalu mempertinggi mutu amalan, berbuat yang
lebih baik dari yang sudah-sudah, sehingga kian lama tingkat iman kian
naik. Kedua, ialah kepada sesama makhluk, yaitu berbuat tinggi lagi dari
keadilan. Sebab Ihsan adalah latihan budi yang lebih tinggi tingkatnya
daripada adil. Ketiga ialah memberi kepada keluarga yang terdekat. Ini
adalah lanjutan dari Ihsan. Karena, terkadang orang yang berasal dari satu
orangtua pun tidak sama nasibnya. Maka, orang yang mampu dianjurkan
berbuat Ihsan kepada keluarganya yang terdekat sebelum dia
mementingkan orang lain.18
Menurut Quraish Shihab, perintah ihsân bermakna perintah
melakukan segala aktivitas positif seakan-akan Anda melihat Allah atau,
paling tidak, selalu merasa dilihat dan diawasi oleh-Nya. Kesadaran akan
pengawasan melekat itu menjadikan seseorang selalu ingin berbuat sebaik
mungkin dan memperlakukan pihak lain lebih baik dari perlakuannya
terhadap Anda, bukan sekadar memperlakukan orang lain sama dengan
perlakuannya terhadap Anda.19
Ihsan berarti keutamaan seperti membalas kebaikan orang lain dengan
kebaikan yang lebih besar atau memaafkan orang lain. Tingkat keutamaan
(al ihsān) yang tertinggi ialah berbuat kebaikan terhadap orang yang
bersalah. Diriwayatkan bahwa Isa as., pernah berkata: “Sesungguhnya
keutamaan itu ialah kamu berbuat baik kepada orang yang bersalah
terhadapmu”. Bukanlah keutamaan bila kamu berbuat baik kepada orang
yang telah berbuat tidak baik kepadamu.20
17 Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, (Beirut: Darul Fikr,1995),
h. 212
18 Hamka, Tafsir Al-Azhar Juzu’ 13-14-15-16-17, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), h. 280-281
19M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Volume 6, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 699-700
20 Zaini Dahlan dkk, Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid V Juz 13-14-15, (Yogyakarta: PT. Dana
Bhakti Wakaf, 1991), h. 452
45
Pemberian kepada sanak keluarga sengaja ditekankan di sini, karena
orang mengabaikan hak keluarga atau lebih senang memberi bantuan
kepada orang lain yang bukan keluarganya. Boleh jadi karena ada maksud
tertentu di balik pemberian itu, seperti popularitas dan pujian. Perlu dicatat
bahwa satu di antara cara yang ditempuh Islam guna memberantas
kemiskinan, di samping kerja keras adalah memberi bantuan, dan karena
itu pula ketika sahabat Nabi SAW., bertanya kepada Nabi Muhammad
SAW., tentang nafkah, al-Qur’an telah menjelaskan di dalam surat al-
Baqarah (2): 215, yang menyatakan bahwa sasaran pertamanya adalah
kedua orangtua kemudian para kerabat.21
Menurut Quraish Shihab, kata (الفحشاء)al-fahsyâ’/keji adalah nama
bagi segala perbuatan atau ucapan, bahkan keyakinan, yang dinilai buruk
oleh jiwa dan akal yang sehat serta mengakibatkan dampak buruk, bukan
saja bagi pelakunya tetapi juga bagi lingkungannya.22
Allah melarang segala perbuatan keji, yaitu dosa yang amat merusak
pergaulan dan keturunan. Biasa di dalam al-Qur’an, disebut Al Fahsyaa’
yang dituju ialah segala yang berhubungan dengan zina. Dan yang dibenci
atau yang munkar, ialah segala perbuatan yang tidak dapat diterima oleh
masyarakat yang memupuk budi yang luhur dan segala tingkah laku yang
membawa pelanggaran atas aturan agama. Dan aniaya, yaitu segala
perbuatan yang sikapnya menimbulkan permusuhan terhadap sesama
manusia, karena mengganggu hak orang lain.23
Menurut Quraish Shihab, kata (املنكر)al-munkar/kemungkaran dari segi
bahasa berarti sesuatu yang tidak dikenal sehingga diingkari. Itu sebabnya
ia dihadapkan dengan kata al-ma’rûf/yang dikenal. Dalam bidang budaya,
kita dapat membenarkan ungkapan: “Apabila ma’ruf sudah jarang
21Ibid., h. 700-701
22Ibid., h. 700
23 Hamka, Tafsir Al-Azhar Juzu’ 13-14-15-16-17, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), h. 281-282
46
dikerjakan, ia bisa beralih menjadi munkar, sebaliknya bila munkar sudah
sering dikerjakan ia menjadi ma’ruf”.
Munkar bermacam-macam dan bertingkat-tingkat. Ada yang berkaitan
dengan pelanggaran terhadap Allah, baik dalam bentuk pelanggaran
ibadah, perintah non-ibadah, dan ada juga yang berkaitan dengan manusia,
serta lingkungan.24
Kata (البغي) al-baghy/penganiayaan terambil dari kata baghâ yang
berarti meminta/menuntut, kemudian maknanya menyempit sehingga pada
umumnya ia digunakan dalam arti menuntut hak pihak lain tanpa hak dan
dengan cara aniaya/tidak wajar. Kata tersebut mencakup segala
pelanggaran hak dalam bidang interaksi sosial, baik pelanggaran itu lahir
tanpa sebab, seperti perampokan, pencurian, maupun dengan atau dalih
yang tidak sah, bahkan walaupun dengan tujuan penegakan hukum tetapi
dalam pelaksanaannya melampaui batas.25
Ketiga perintah yang wajib dikerjakan dan larangan yang wajib
dijauhi itu ialah untuk keselamatan diri sendiri, supaya selamat dalam
pergaulan hidup. Pengajaran dan nasehat ini adalah datang langsung dari
Allah. Menurut riwayat Ibnu Jarir, bahwasanya Abullah bin Mas’ud
pernah mengatakan bahwa ayat ini adalah ayat yang paling jelas memberi
petunjuk mana yang baik dan mana yang tidak baik.26
Firman-Nya: (لعل كم تذك رون)la’allakum tadzakkarûn/agar kamu dapat
selalu ingat yang menjadi penutup ayat ini dapat dipahami sebagai isyarat
bahwa tuntunan-tuntunan agama, atau paling tidak nilai-nilai yang disebut
di atas, melekat pada nurani setiap orang dan selalu didambakan
wujudnya. Karena itu, nilai-nilai tersebut bersifat universal.
Pelanggarannya dapat mengakibatkan kehancuran kemanusiaan.27
24 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Volume 6, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 701-702
25Ibid., h. 702
26 Hamka, Tafsir Al-Azhar Juzu’ 13-14-15-16-17, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), h. 282
27 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Volume 6, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 703
47
Ayat 91
قضوا اال يان ب عد ت و كييديها وقد جعلتم هللا عل يكم واوف وا بيعهدي هللاي ايذاعاهدتم وال ت ن
(٩١ )اين هللا ي علم ما ت فعلون كفييال
Al-Biqâ’i menulis tentang hubungan ayat ini dengan ayat yang lalu
bahwa, setelah ayat yang lalu menghimpun semua perintah dan larangan
dalam satu redaksi singkat yang tidak dapat ditampung oleh kitab-kitab
dan dada manusia serta disaksikan oleh para pendurhaka yang keras kepala
bahwa redaksi semacam itu melampaui batas kemampuan manusia.
Menurut Quraish Shihab, yang dimaksud dengan ( اتنقضو )
tanqudhû/membatalkan adalah melakukan sesuatu yang bertentangan
dengan kandungan sumpah/janji.28
Menurut Quraish Shihab, yang dimaksud dengan (بعهد هللا)
biʽahdAllâh/perjanjian Allah dalam konteks ayat ini antara lain, bahkan
terutama adalah baiʽat yang mereka ikrarkan di hadapan Nabi Muhammad
SAW., untuk tidak mempersekutukan Allah SWT., serta tidak melanggar
perintah Nabi SAW., yang mengakibatkan mereka durhaka. Janji atau
sumpah yang menggunakan nama Allah yang kandungannya demikian
sering kali dilaksanakan oleh para sahabat Nabi SAW., sejak mereka masi
di Mekkah sebelum berhijrah. Memang, redaksi ayat ini mencakup segala
macam janji dan sumpah serta ditujukan kepada siapa pun dan di mana
pun mereka berada.29
Dalam ayat ini, Allah SWT., memerintahkan kaum Muslimin untuk
menepati ikatan perjanjian mereka dengan Allah bilamana mereka sudah
mengikat janji tersebut. Menurut Ibnu Jarir, ayat-ayat ini diturunkan
dengan bai’at (janji setia) kepada Nabi Muhammad SAW., yang dilakukan
oleh orang-orang yang baru masuk Islam. Menurut ayat ini, semua ikatan
28M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Volume 6, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 704
29Ibid, h. 704-705
48
perjanjian yang dibuat dengan kehendak sendiri, wajib dipenuhi baik
perjanjian itu sesama kaum Muslimin ataupun orang diluar Islam.30
Menurut Quraish Shihab, firman-Nya (بعد تو كيدها) baʽda taukîdihâ ada
yang memahaminya dalam arti sesudah kamu meneguhkannya. Ada pun
makna yang dipilih, yang jelas maksud meneguhkan/peneguhan tersebut
adalah menjadikan Allah SWT., sebagai saksi dan pengawas atas sumpah
dan janji-janji manusia.31
Ayat ini menekankan perlunya menepati janji, memegang teguh tali
agama, serta menutup rapat-rapat semua usaha musuh-musuh Islam yang
berupaya memurtadkan kaum muslimin, sejak masa Nabi SAW., di
Mekkah hingga masa kini. Kepercayaan seorang muslim akan keesaan
Allah dan kekuasaan-Nya seharusnya dapat menjadi jaminan bagi pihak
lain atas kebenaran ucapannya. Keyakinan itu seharusnya melahirkan
jaminan ketepatan janji, karena pengingkaran janji dan kebohongannya
mengundang murka Allah.32
Menurut Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, dalam tafsir
ath-thabari, menyatakan bahwa: taatilah perjanjian Allah, jika kamu
percaya kepada-Nya, dan peganglah perjanjian yang telah diucapkan, dan
perintahkan kepada dirimu sendiri untuk mempercayai orang-orang yang
telah kamu berikan janji dan percayalah kepada-Nya.33
Apabila telah bersumpah dengan memakai nama Allah akan
mengerjakan sesuatu pekerjaan atau tidak mengerjakan sesuatu, itu berarti
telah berjanji dengan Allah. Maka hendaklah janji dengan Allah itu
dipenuhi. Janganlah melalaikan sumpah yang telah diteguhkan dengan
30 Zaini Dahlan dkk, Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid V Juz 13-14-15, (Yogyakarta: PT. Dana
Bhakti Wakaf, 1991), h. 454
31 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Volume 6, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 706
32Ibid., h. 705-706
33 Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, (Beirut: Darul Fikr,1995),
h. 214
49
memakai nama Allah. Sumpah adalah termasuk ta’at, kebajikan dan
taqwa.34
Allah SWT., melarang melanggar sumpah yang diucapkan dengan
mempergunakan nama Allah. Karena di dalam sumpah demikian itu, Allah
telah ditempatkan sebagai saksi. Maka Dia akan memberi pahala bagi
mereka yang memenuhi apa yang diucapkannya dengan sumpah itu atau
membalas dengan azab bagi mereka yang mengkhianati sumpah itu.35
Menurut Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, dalam tafsir
ath-thabari, menyatakan bahwa: Jangan melanggar sumpah di mana Anda
memantapkan iman, maksudnya setelah seseorang menekankan iman
kepada dirinya sendiri, konsisten dalam iman Anda. Dikatakan bahwa:
berusaha memperalat haknya untuk dibenarkan: jika ditekankan, bahasa
orang-orang Hijaz, tapi orang-orang Najd Mereka mengatakan: Saya
membenarkan dan itu dibenarkan.36
B. Nilai-nilai Pendidikan Akhlak yang Terkandung di dalam Surat An-Nahl
ayat 90-91
1. Nilai Keadilan
Adil yaitu, seseorang yang dapat membagi dan memberi haknya
sesuai dengan fitrahnya, atau mampu menahan kemarahannya dan nafsu
syahwatnya untuk mendapatkan hikmah di balik peristiwa yang terjadi.
Adil dapat juga diartikan tindakan keputusan yang dilakukan dengan cara
tidak berat sebelah atau merugikan satu pihak tetapi saling
menguntungkan.37
34 Hamka, Ibid., h. 281-282
35 Zaini Dahlan dkk, Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid V Juz 13-14-15, (Yogyakarta: PT. Dana
Bhakti Wakaf, 1991), h. 454
36Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, (Beirut: Darul Fikr,1995),
h. 214
37M. Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif Al-qur’an, (Jakarta: Amzah, 2007), Cet.
1, h. 41
50
Pada hakekatnya, keadilan adalah kata sifat yang artinya adalah sifat
yang adil, tidak berat sebelah. Orang yang adil adalah orang yang tidak
bersikap berat sebelah terhadap orang lain dan tidak pilih kasih. Di pihak
lain, keadilan sebagai konsep mengindikasikan adanya rasa keadilan dalam
perlakuan (justice or fair treatment). Memperlakukan orang lain
merupakan pernyataan nilai tentang bagaimana selayaknya orang
diperlakukan. Dengan demikian, tiap orang mempunyai hak untuk
diperlakukan secara adil, hak yang merupakan hak asasi manusia.38
Keadilan ialah perlakuan sama yang didapat seseorang dari orang lain
dengan hak dan derajat yang sama. Sama disini dalam artian proporsional,
yaitu disesuaikan dengan pekerjaan dan kebutuhan. Banyak orang yang
tidak mengerti dan salah dalam menempatkan keadilan yang
sesungguhnya. Juga dapat terjadi kesenjangan dan kesimpangsiuran
masalah yang tidak jelas ujung pangkalnya dan juga penyelesaiannya.
Sehingga yang terjadi adalah kesalahpahaman antara yang satu dengan
yang lainnya dan akan menimbulkan ketidakadilan.39
Keadilan yang sesungguhnya tidak dapat ditemukan di dunia ini.
Keadilan yang hakiki ialah keadilan yang sesungguhnya di akhirat,
keadilan yang benar-benar adil karena hakimnya adalah Allah. Di dunia
keadilan yang ada hanyalah semu, dapat diperjualbelikan, dapat
dimanipulasi dan memihak kepada yang memiliki uang banyak, bukan
untuk orang miskin bahkan rakyat jelata, tetapi untuk orang-orang kaya.
Sesungguhnya keadilan yang hakiki itu hanyalah milik Allah. Allah
berfirman:
هووالملىئكةوشهد هوالعزيزهللاأنه،لإلىهإل لإلهإل أولواالعلمقآئمابالقسط
الحكيم
(١٨)
38 A. Prasetyantoko, Keadilan Sosial, (Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2004), h. 13
39M. Yatimin Abdullah, Op. cit., h. 138
51
Artinya: “Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak
disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan
orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada
Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana”. (QS. Ali Imran (3): 18)40
Keadilan adalah sifat yang penting untuk ditegakkan, baik di dalam
kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Tanpa keadilan, tatanan dalam
kehidupan akan berantakan dan tidak akan sejahtera. Seorang muslim
haruslah tetap menegakkan keadilan dalam keadaan apapun dan terhadap
siapapun tanpa pandang suku, agama dan jabatan. Keadilan haruslah
ditegakkan, baik terhadap orang yang dicintai maupun orang yang dibenci.
Karena Islam memerintahkan untuk memberikan kebenaran kepada orang
yang berhak, meskipun keadilan tersebut akan merugikan teman dan akan
menguntungkan musuh.
Misalnya bersikap adil dalam memberikan kesaksian, maka seseorang
tersebut tidak boleh memberikan kesaksian kecuali dengan sesuatu yang
ia ketahui. Ia tidak boleh mengurangi dan tidak boleh menambah, tidak
boleh mengganti dan tidak boleh mengganti kesaksian tersebut. Islam
mengharamkan kezhaliman, terutama kezhaliman orang-orang kaya
terhadap orang-orang miskin dan kezhaliman pemerintah terhadap
rakyatnya.
Menegakkan keadilan merupakan satu perintah Allah yang sangat
penting. Allah SWT., berfirman:
هللايأمركمانتؤدواالماناتالىاهلهاواذاحكمتم بينالناسانتحكمواان
ايعظكمبه بالعدل هللانعم هللاكانسميعابصيرا) ان (٥٨ان
Artinya: “Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada
yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di
40Ibid., h. 150
52
antara manusia hendaklah kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh
Allah Maha Mendengar, Maha Melihat”.(QS. an-Nisaa′: 58)41
Adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya. Apabila seseorang
memberikan hak kepada orang yang tidak berhak menerimanya, berarti ia
telah menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya (tidak adil). Dengan
berlaku tidak adil, maka ia telah melanggar perintah Allah, sehingga
menjadikannya jauh dari takwa dan jauh dari Allah.
Ketika menjatuhkan hukuman kepada para terdakwa kasus korupsi,
maka mestilah diberikan hukuman yang seberat-beratnya sesuai apa yang
telah diperbuatnya. Pada masa sekarang ini, para terdakwa kasus yang
sangat kriminal dijatuhkan hukuman yang ringan, sedangkan mereka yang
hanya mencuri sebatang kayu dijatuhkan hukuman langsung tanpa ada
masa pemidanaan.
Pada keluarga, adil diterapkan dengan cara menyayangi semua anak
tanpa adanya perbedaan. Memberikan uang jajan sesuai dengan kebutuhan
masing-masing anak. Sehingga orangtua dapat menerapkan keadilan di
dalam rumah, dan anak mulai belajar dan menerapkan adil terhadap
saudaranya.
Setiap keadilan pasti memiliki nilai keutamaannya, begitu pula
menegakkan keadilan. Ada tiga keutamaan yang akan diperoleh seseorang
yang mampu menegakkan keadilan, baik di dalam kehidupan di dunia
maupun di akhirat, yaitu:
1. Lebih Dekat kepada Takwa.
2. Dicintai Allah.
3. Memperoleh Keselamatan.42
2. Nilai Kebaikan
Seorang Muslim tidak melihat kebaikan hanya sebagai akhlak mulia
yang harus dilakukan, melainkan juga memandangnya sebagai bagian dari
41 Ahmad Yani, Be Excellent Menjadi Pribadi Terpuji, (Jakarta: Al Qalam, 2007), Cet. 1, h. 21-
22
42Ibid., h. 22-23
53
akidahnya dan tonggak besar keislamannya. Karena Islam dibangun di atas
tiga hal, yaitu iman, Islam dan ihsan.
Adapun ihsan di dalam ibadah ialah melaksanakan ibadah apa pun,
seperti shalat, puasa, haji, dan sebagainya, dengan benar dan
menyempurnakan syarat, rukun, sunat, dan etikanya. Perbuatan ibadah
tersebut akan sempurna apabila seorang hamba mengerjakannya dengan
perasaan tenggelam yang dalam, bahwa dirinya diawasi oleh Allah SWT,.
Sehingga seakan-akan ia melihat dan menyaksikan-Nya, atau merasa
bahwa Allah SWT., memperhatikan dan melihatnya.
Sedangkan ihsan di dalam muamalah ialah berbuat baik kepada kedua
orangtua, menjaga harta kekayaan anak-anak yatim, memenuhi kebutuhan
ibnu sabil, membayar upah kepada pekerja sebelum keringatnya kering,
dan masih banyak perbuatan baik lainnya yang dapat dikerjakan oleh
setiap manusia.43
Ihsan disini lebih ditekankan berbuat baik terhadap karib kerabat.
Karena karib kerabat adalah orang yang sangat dekat dan memiliki
hubungan darah, maka sudah sebaiknya harus lebih diutamakan daripada
orang lain. Saat sekarang ini, banyak sekali orang yang kaya dan hidup
berkecukupan, namun mengabaikan kesusahan yang dialami oleh karib
kerabatnya sendiri. Mereka yang kaya lebih mementingkan hidupnya
sendiri dan juga memperkaya hidup, bahkan menumpuk harta.
Amal yang ihsan menyangkut semua amalan, baik amalan hati, lisan
maupun fisik. Orang yang bertutur kata sopan, baik dan tidak menyakiti
orang lain maka itu dinamakan ihsan dalam lisan. Sedangkan orang yang
melakukan perbuatan yang terpuji dan mendatangkan manfaat bagi orang
lain maka itu dinamakan ihsan dalam bertindak atau perbuatan.
43 Abu Bakar Jabir El-Jazairi, Pola Hidup Muslim: Thaharah, Ibadah dan Akhlak, (Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya, 1997), Cet. 2, Pnjmh. Rachmat Djatnika, h. 382-384
54
3. Nilai Menepati Janji
Menunaikan janji merupakan kewajiban bagi setiap orang yang
mengikrarkan janji tersebut selama janjinya itu mengenai kebaikan dan
kebenaran. Menepati janji juga merupakan salah satu bentuk dari nilai
tanggung jawab, yaitu tanggung jawab atas apa yang telah diucapkannya.
Akan tetapi jika janji itu berupa maksiat dan dosa maka janji tersebut
hukumnya haram dan tidak sah untuk ditunaikan.
Menunaikan janji adalah termasuk ketakwaan dan keimanan kepada
Allah dan merupakan perbuatan yang disenangi Allah SWT. Kewajiban
memenuhi janji terdapat dalam firman Allah surat al Isra’ ayat 34 :
العهدكانولتقربوامالاليتيمالبالتىهياح ان واوفوابالعهد سنحتىيبلغاشده
(٣٤مسئول.)
Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali
dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai dia dewasa, dan
penuhilah janji; Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan
jawabnya”.44
Untuk bisa mendapatkan keuntungan dari sebuah perjanjian,
seseorang kadang kala berani berbuat khianat, yaitu membatalkan
perjanjiannya yang telah diikatnya tanpa memeperdulikan keutamaan-
keutamaan dari perjanjian yang dibuat. Pembatalan tersebut kadang kala
menimbulkan keburukan atau kerugian dari salah satu pihak juga dapat
menimbulkan pertikaian dan permusuhan di antara mereka.
Misalnya saja, para calon kepala daerah yang mengumbar janji-janji
manis pada saat kampanye. Menarik perhatian pada semua rakyat agar
dipilih nantinya menjadi seorang pemimpin. Tidak sedikit dari mereka
yang melupakan janji-janjinya setelah terpilih. Rakyat banyak yang
menderita karena kebutuhan hidup semakin tinggi. Namun, pemimpin
44Al Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemahan Al-Qur’an,
1967), h. 429
55
seolah mengabaikan rakyatnya. Hidup dengan memperkaya diri atas
jabatan yang diembannya.
Sayyid Quthb di dalam tafsirnya menyatakan bahwa bila pada suatu
masyarakat janji tidak dipenuhi, setiap orang akan hidup dalam suasana
cemas, kalut, hilang pegangan, dan saling mencurigai. Oleh karena itu,
perjanjian harus berlangsung secara terang, jelas, dan terbuka, bukan
dengan maksud melakukan penipuan. Karena itu, ada banyak akad atau
perjanjian yang harus dipenuhi oleh seseorang, di antaranya:
1. Akad Keimanan.
2. Akad Nikah.
3. Akad Jual Beli.
4. Akad Perjanjian Umum.45
4. Nilai Melaksanakan Sumpah
Thabâthabâi menggarisbawahi bahwa kendati membatalkan sumpah dan
melanggar janji keduanya terlarang, akan tetapi pembatalan sumpah lebih buruk
daripada pelanggaran janji. Ini karena yang bersumpah menyebut nama Allah
dan, dengan menyebut nama-Nya, pihak yang mendengarnya merasa yakin
bahwa ucapannya itu pasti benar. Karena nama mulia tersebut merupakan
jaminannya.46
Pelanggaran terhadap bai’at perjanjian atau sumpah berarti
menjadikan sumpah sebagai alat penipuan sesama manusia. Jika seseorang
melakukan penipuan dengan bersumpah atas nama Allah berarti mereka
berbuat kebohongan dan tidak jujur dengan perbuatan yang telah mereka
lakukan. Sebab jika satu golongan atau seseorang membuat perjanjian
dengan golongan lain yang lebih kuat dari padanya untuk menentramkan
hati mereka, kemudian jika ada kesempatan dia menghianati perjanjian itu
maka tingkah laku seperti itu dipandang sebagai penipuan.47
45 Abu Bakar Jabir El-Jazairi, Op. cit,h. 254-257
46 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Volume 6, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 705
47Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: 2009), h. 379
56
Sudah jelas bahwa Allah SWT melarang seseorang melanggar atau
mengingkari sumpah yang telah diikrarkan. Perbuatan demikian termasuk
perbuatan yang dapat merugikan orang lain dan mendapatkan dosa dari
Allah. Ketika seseorang mengucapkan sumpah atas nama Allah tanpa
adanya unsur penipuan atau kebohongan berarti mereka telah mewujudkan
salah satu bentuk nilai kejujuran, dimana mereka telah menguatkan
kesaksian terhadap sesuatu dengan sumpah yang mereka ucapkan.
Jelaslah bahwa apa yang telah diucapkan atau disumpahkan harus
dilaksanakan. Karena itu dengan siapapun ketika mengucapkan sumpah
maka sumpah tersebut harus dilaksanakan. Apalagi mengucapkan sumpah
dengan atas nama Allah.
C. Penerapan Pendidikan Akhlak dalam Surat An-Nahl ayat 90-91
1. Penerapan Nilai Keadilan
Dalam proses pendidikan, pendidik memiliki peran yang sangat
penting untuk memberikan pengajaran dan pembelajaran terhadap peserta
didik. Peserta didik berhak mendapatkan pendidikan yang layak.
Pendidikan yang tidak memandang dari tingkatan sosial yang dimiliki oleh
para peserta didik.
Sebagai pemegang amanat, pendidik bertanggung jawab untuk
mendidik peserta didiknya secara adil dan tuntas (mastery learning) dan
mendidik dengan sebaik-baiknya dengan memerhatikan nilai-nilai
humanisme. Karena pada saatnya nanti akan diminta pertanggungjawaban
atas pekerjaannya tersebut. Allah SWT., berfirman:
عدلي إين هللا نيعيما إين هللا يمركم أن ت ؤدموا المانتي إيل أهليها وإيذا حكمتم بي الناسي أن تكموا بيل
ريا ) عا بصي ي (٥٨يعيظكم بيهي إين هللا كان سي
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan
adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya
57
kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat”. (QS. An-Nisa: 58)48
Untuk mengajarkan sikap adil, para pendidik perlu memiliki
penerapan. Para pendidik dapat menerapkan dengan menggunakan
beberapa metode, di antaranya metode ceramah, metode nasihat, teladan,
dan metode kisah.
Metode ceramah dan metode nasihat digunakan oleh pendidik untuk
menjelaskan bagaimana sikap itu bisa dikatakan adil. Perbuatan apa yang
bisa dikatakan adil, serta pada siapa adil dapat diterapkan. Kemudian,
pendidik dapat menjelaskan pentingnya berlaku adil dan menjelaskan
manfaat serta akibat seseorang berlaku adil.
Metode keteladanan dapat digunakan oleh pendidik dalam
mengajarkan sikap adil. Pendidik harus adil terhadap anak didiknya.
Misalnya dengan memberikan perhatian yang sama antara murid yang
tidak pandai dengan murid yang pandai, murid yang tidak berprestasi
dengan murid yang berprestasi. Karena hal tersebut merupakan kewajiban
seorang pendidik, dan peserta didik haruslah mendapatkan hak yang
berupa perhatian yang sama dari pendidik. Apabila pendidik tidak
memberikan perhatian yang sama antara peserta didik yang tidak pandai
dan yang pandai, maka peserta didik yang tidak pandai akan merasa tidak
dianggap dan diakui, bahkan akan merasa terkucilkan. Begitupun peserta
didik yang tidak berprestasi dan yang berprestasi, maka peserta didik yang
tidak berprestasi akan merasa rendah dan terabaikan. Sehingga akan
membuatnya menjadi tidak semangat dalam belajar. Oleh karena itu,
seorang pendidik haruslah bisa memberikan perhatian yang sama terhadap
anak didiknya. Sehingga hal tersebut bisa memberi tauladan yang baik
untuk peserta didiknya. Karena apa yang telah dilakukan oleh peserta didik
menjadi pusat perhatian dan contoh yang akan ditiru. Bila seseorang
berperan sebagai teman bergaul di dalam masyarakat, maka ia harus
48 Novan Ardy Wiyani dan Barnawi, Ilmu Pendidikan Islam, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,
2016), h. 98
58
bersikap adil terhadap teman-temannya, tanpa memandang dari keluarga
terpandang atau keluarga biasa.
Metode kisah adalah metode yang penting untuk diterapkan oleh
seorang pendidik. Karena metode ini mempunyai daya tarik yang
menyentuh perasaan. Sehingga akan meningkatkan aspek keimanan, dan
timbulnya kesadaran moralterhadap peserta didik. Contohnya dapat
diambil dari kisah tentang keadilan yang dilakukan Rasulullah SAW.,
yaitu:
Seorang wanita yang berasal dari suku Bani Makhzum pernah mencuri.
Karena takut tangannya akan dipotong, sanak keluarganya mengutus
Usamah bin Zaid untuk memohon pengampunan pada Nabi atas nama
wanita itu. Ketika Nabi mendengar kasusnya, tanda-tanda kemarahan
tampak pada wajah Nabi.
“Apakah kau mencoba membelokkanku dari batasan-batasan yang telah
ditetapkan Allah?” tanya Nabi. Usamah bin Zaid langsung mengakui
kesalahannya dan memohon pada Nabi untuk mendoakan pengampunan
bagi dirinya. Nabi kemudian berkhotbah pada orang-orang yang
berkumpul di situ:
Beliau berkata, “orang-orang di masa lalu mendapatkan kesulitan karena
memberikan kelonggaran sikap pada orang-orang yang memiliki jabatan
tinggi ketika mereka melakukan pencurian. Padahal, hal itu sangat
berlawanan dengan hukuman yang diberikan pada setiap pencuri dari
kalangan rakyat rendah. Demi Zat yang menguasai jiwaku, jika Fatimah
anakku yang mencuri, aku sendirilah yang memotong tangannya”.49
2. Penerapan Nilai Kebaikan
Seorang pendidik yang baik, hendaknya berfungsi sebagai pengarah
yang benar di hadapan peserta didiknya. Ia tidak boleh membiarkan waktu
berlalu tanpa peringatan kepada peserta didiknya bahwa tujuan pengajaran
49 Maulana Wahiduddin Khan, Buku Kecil Kearifan Islam, (Jakarta: Pustaka Alfabet, 2005),
Cet. 2, h. 160-161
59
itu adalah mendekatkan diri kepada Allah, dan bukan untuk mengejar
pangkat, status dan hal-hal yang bersifat keduniaan.50
Untuk mengajarkan kebaikan, para pendidik perlu memiliki
penerapan. Para pendidik dapat menerapkan dengan beberapa metode, di
antaranya metode ceramah, metode nasihat dan metode teladan.
Metode ceramah dan metode nasihat digunakan oleh pendidik untuk
menjelaskan bagaimana suatu perbuatan dikatakan sebagai kebaikan.
Perbuatan apa yang bisa dikatakan kebaikan, serta pada siapa kebaikan
dapat diterapkan. Kemudian, pendidik dapat menjelaskan pentingnya
berbuat kebaikan dan menjelaskan manfaat serta akibat seseorang berbuat
kebaikan.
Metode keteladanan dapat digunakan oleh pendidik dalam
mengajarkan sikap kebaikan. Sebagai seorang pendidik dituntut untuk
selalu berbuat kebaikan, baik di sekolah ataupun di luar sekolah. Karena
peserta didik akan menjadikan setiap kebaikan yang dilakukan oleh
pendidik sebagai contoh untuk diterapkan dalam kehidupan mereka.
Pendidik haruslah bertutur kata yang baik, berperilaku yang baik dan juga
selalu menjunjung tinggi nilai kebaikan. Apabila pendidik tidak dapat
menerapkan perbuatan kebaikan dengan semaksimalnya, maka akan
berdampak fatal bagi seluruh peserta didiknya. Maka ada pepatah yang
mengatakan “guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Seharusnya,
dengan adanya pepatah tersebut dapat dijadikan pedoman dalam setiap
melangkah. Misalnya saja, ada pendidik yang pemarah, sudah pasti peserta
didik akan menjadi lebih pemarah. Kebaikan harus selalu diterapkan
kepada peserta didik.
3. Penerapan Nilai Menepati Janji
Janji bukanlah hanya kalimat kosong yang diucapkan oleh seseorang
tanpa disertai kesadaran dan komitmen penuh, sebagaimana dilakukan
50 Sri Minarti, Ilmu Pendidikan Islam Fakta Teoretis-Filosofis & Aplikatif-Normatif, (Jakarta:
Amzah, 2013), h. 112
60
oleh kebanyakan kaum muslimin sekarang. Akan tetapi, janji adalah suatu
tanggung jawab yang tetap terukir dan akan diperhitungkan kelak di
hadapan Al-Khaliq. Terlebih janji seorang hamba kepada penciptanya
yang penuh keagungan dan kesucian.51
Untuk mengajarkan menepati perjanjian, para pendidik perlu memiliki
konsep penerapan. Para pendidik dapat menggunakan beberapa metode, di
antaranya metode ceramah, metode nasihat dan metode teladan.
Metode ceramah dan metode nasihat digunakan oleh pendidik untuk
menjelaskan bagaimana suatu perbuatan dikatakan sebagai menepati
perjanjian. Bagaimana seharusnya menepati perjanjian yang sudah dibuat,
serta menepati perjanjian kepada siapa pun yang telah dibuat. Kemudian,
pendidik dapat menjelaskan pentingnya menepati perjanjian dan
menjelaskan manfaat serta akibat seseorang menepati perjanjian.
Metode keteladanan dapat digunakan oleh pendidik dalam
mengajarkan sikap menepati perjanjian. Sebagai seorang pendidik dituntut
untuk selalu bersikap menepati perjanjian, baik di sekolah ataupun di luar
sekolah. Karena peserta didik akan bisa menepati perjanjian, apabila
pendidik selalu menepati perjanjian yang dibuatnya. Contohnya, seringkali
peserta didik diberikan tugas oleh pendidik, namun terkadang pendidik
mengabaikan tugas yang diberikan atau bahkan tidak menilai tugas di hari
yang telah ditentukan. Pendidik mestilah menepati perjanjian yang telah
dibuat, apalagi berjanji terhadap peserta didik.
4. Penerapan Nilai Melaksanakan Sumpah
Allah SWT., melarang melanggar sumpah yang diucapkan dengan
mempergunakan nama-Nya. Karena di dalam sumpah demikian itu, Allah
telah ditempatkan sebagai saksi. Dialah yang mengetahui segala ikrar yang
telah mereka sumpahkan.52
51 Muhammad Ali Hasyimi, Apakah Anda Berkepribadian Muslim?, (Jakarta: Gema Insani
Press, 1994), pjmh: Abu Fahmi, h. 22
52Zaini Dahlan dkk, Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid V Juz 13-14-15, (Yogyakarta: PT. Dana
Bhakti Wakaf, 1991), h. 454
61
Melaksanakan sumpah adalah perbuatan yang sering dilanggar pada saat
sekarang ini. Apalagi bersumpah atas nama Allah, dimana telah
menjadikan-Nya saksi dalam sumpah tersebut.
Untuk mengajarkan melaksanakan sumpah, para pendidik perlu
memiliki konsep penerapan. Para pendidik dapat menggunakan beberapa
metode, di antaranya metode ceramah, metode nasihat, teladan, dan
metode kisah.
Metode ceramah dan metode nasihat digunakan oleh pendidik untuk
menjelaskan bagaimana suatu perbuatan dikatakan sebagai melaksanakan
sumpah. Bagaimana seharusnya melaksanakan sumpah yang telah diucap,
serta melaksanakan sumpah kepada siapa pun yang telah dibuat.
Kemudian, pendidik dapat menjelaskan pentingnya melaksanakan sumpah
dan menjelaskan manfaat serta akibat seseorang melaksanakan sumpah.
Metode kisah adalah metode yang penting untuk diterapkan oleh
seorang pendidik. Karena metode ini mempunyai daya tarik yang
menyentuh perasaan. Sehingga akan meningkatkan aspek keimanan, dan
timbulnya kesadaran moral terhadap peserta didik.
62
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari berbagai uraian yang penulis paparkan sebelumnya, dapat
disimpulkan bahwa:
1. Al-Qur’an adalah sumber utama dalam ajaran Islam dan di dalamnya
mengatur segala kehidupan manusia. Sehingga dapat dijadikan pedoman
dalam menjalankan kehidupan sehari-hari.
2. Adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya. Apabila seseorang
memberikan hak kepada orang yang tidak berhak menerimanya, berarti ia
telah menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya (tidak adil).
3. Baik adalah perbuatan yang dilakukan dengan cara lisan dan perbuatan.
Orang yang bertutur kata sopan, baik dan tidak menyakiti orang lain maka
itu dinamakan ihsan dalam lisan. Sedangkan orang yang melakukan
perbuatan yang terpuji dan mendatangkan manfaat bagi orang lain maka
itu dinamakan ihsan dalam bertindak atau perbuatan.
4. Menepati Janji adalah bentuk dari nilai tanggung jawab, yaitu tanggung
jawab atas apa yang telah diucapkannya. Akan tetapi jika janji itu berupa
maksiat dan dosa maka janji tersebut hukumnya haram dan tidak sah untuk
ditunaikan.
5. Melaksanakan Sumpah adalahperbuatan yang harus dilakukan apabila
telah diucapkannya. Dengan siapapun, sumpah harus dilaksanakan.
Terlebih jika mengucapkan sumpah dengan atas nama Allah, maka wajib
dilaksanakan.
Adapun penerapan nilai-nilai pendidikan akhlak tersebut dalam
pendidikan adalah:
1. Pendidikan Keadilan dapat diterapkan dengan menggunakan beberapa
metode, di antaranya metode ceramah, metode nasihat, metode teladan,
dan metode kisah.
63
2. Pendidikan Kebaikan dapat diterapkan dengan menggunakan beberapa
metode, di antaranyametode ceramah, metode nasihat dan metode teladan.
3. Pendidikan Menepati Janji dapat diterapkan dengan menggunakan
beberapa metode, di antaranya metode ceramah, metode nasihat
danmetode teladan.
4. Pendidikan Melaksanakan Sumpah dapat diterapkan dengan menggunakan
beberapa metode, di antaranya metode ceramah, metode nasihat, metode
teladan, dan metode kisah.
B. Saran
Berdasarkan pada kesimpulan yang telah dikemukakan di atas, penulis
memberikan saran-saran sebagai berikut:
1. Orang tua sebagai pendidik pertama yang mengajarkan pendidikan akhlak
pada anaknya, wajib menanamkan nilai-nilai pendidikan yang telah
diajarkan dalam al-qur’an dan hadits. Agar tercipta kepribadian muslim
yang berakhlak baik dan selalu menegakkan perintah-perintah agama
dimanapun, kapanpun dan dengan siapapun.
2. Kehidupan dalam lingkungan masyarakat sangat berpengaruh dalam
membentuk kepribadian warganya. Usaha orang tua dalam menanamkan
pendidikan akhlak pada anaknya akan ada kesulitan atau hambatan, tanpa
adanya dukungan dari masyarakat sekitarnya. Oleh karena itu, masyarakat
hendaknya juga bertanggung jawab terhadap pendidikan akhlak warga
masyarakatnya. Agar tercipta lingkungan yang aman, damai dan sejahtera.
3. Guru sebagai pendidik dalam lingkungan sekolah, hendaknya mampu
menjadi tauladan, memberikan motivasi, bimbingan, dan mampu
menanamkan nilai-nilai pendidikan akhlak pada anak didiknya. Agar
tercipta generasi yang berakhlakul karimah.
64
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Yatimin. Studi Akhlak dalam Perspektif Al-qur’an. Jakarta: Amzah,
2007.
Agama, Departemen. Al-Qur’an dan Tafsirnya. Jakarta: Departemen Agama
Republik Indonesia,2009.
Agama, Kementrian. Al Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: Yayasan
Penyelenggara Penterjemahan Al-Qur’an, 1967.
Anwar, Rosihon. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia, 2010.
Ardhani, M. Akhlak Tasawuf “Nilai-nilai Akhlak/Budi Pekerti dalam Ibadat dan
Tasawuf. Jakarta: CV. Karya Mulia, 2005.
Arief, Armai. Reformulasi Pendidikan Islam. Jakarta: CRSD Press, 2005.
Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. Al-Bayan: tafsir penjelas Al Qur-
anul Karim. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2002.
Assegaf, Abd. Rachman. Aliran PemikiranPendidikan Islam. Jakarta: Rajawali
Pers, 2013.
Ath-Thabari, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir. Tafsir Ath-Thabari. Beirut: Darul
Fikr, 1995.
Baidan, Nashruddin.Metode Penafsiran Al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,.
Buchori, Mochtar. Ilmu Pendidikan dan Praktek dalam Renungan. Yogyakarta:
PT. Tiara Wacana, 1994.
Dahlan, Zaini dkk. Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid V Juz 13-14-15. Yogyakarta:
PT. Dana Bhakti Wakaf, 1991.
Danim, Sudarwan. Pengantar Kependidikan. Bandung: Alfabeta, 2011.
65
Daradjat, Zakiah, A. Sadali, dkk. Dasar-Dasar Agama Islam Buku Teks
Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum. Jakarta: Bulan
Bintang, 1996.
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka, 2007.
Djalal, Abdul. Ulumul Qur’an. Surabaya: Dunia Ilmu, 2000.
El-Jazairi, Abu Bakar Jabir. Pola Hidup Muslim: Thaharah, Ibadah dan Akhlak,
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1997.
Fadhil, Haris. Kasus Alkes, Ratu Atut Didakwa Rugikan Negara Rp 79 Miliar,
2017,https://news.detik.com/berita/d-3441349/kasus-alkes-ratu-atut-
didakwa-rugikan-negara-rp-79-miliar#
Gunawan, Imam. Metode Penelitian Kualitatif Teori dan Praktik. Jakarta: Bumi
Aksara, 2013.
Hafizh, Muhammad Nur Abdul. Mendidik Anak Bersama Rasulullah. Bandung:
Mizan, 1997.
Hamka. Tafsir Al-Azhar Juzu’ 13-14-15-16-17. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.
Ihsan, Fuad. Dasar-dasar Kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta, 2013.
Kh, U. Maman, dkk.. Metodologi Penelitian Agama Teori dan Praktek. Jakarta:
Raja Grafndo Persada Press, 2006.
Khan, Maulana Wahiduddin. Buku Kecil Kearifan Islam. Jakarta: Pustaka Alfabet,
2005.
Khon, Abdul Majid. Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah, 2009.
Mahali, A. Mudjab. Asbabun Nuzul Studi Pendalaman Al-Qur’an. Jakarta: PT
RajaGrafindo, 2002.
Mahfud, Rois. Pendidikan Agama Islam. Surabaya: Erlangga, 2011.
66
Mahjuddin. Akhlak Tasawuf I. Jakarta: Kalam Mulia, 2009.
Minarti, Sri. Ilmu Pendidikan Islam Fakta Teoretis-Filosofis & Aplikatif-
Normatif. Jakarta: Amzah, 2013.
Munawwir, Ahmad Warson. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap.
Surabaya: Pustaka Progressif, 1984.
Mustofa, A. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia, 2014.
Nata, Abuddin dan Achmad Gholib. Modul Studi Islam II (Akidah Akhlak).
Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006.
. Metodologi Studi Islam. Jakarta: Rajawali Press, 2011.
. Studi Islam Komprehensif. Jakarta: Prenada Media Group.
. Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat. Jakarta: Rajawali Pers, 2012.
Prasetyantoko, A. Keadilan Sosial. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2004.
Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia, 2002.
Sanusi, Achmad. Sistem Nilai. Bandung: Penerbit Nuansa Cendekia, 2015.
Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Mishbah Volume 6. Jakarta: Lentera Hati, 2002.
. Membumikan Al-Qur’an Jilid 2. . 2010.
. Al-Lubab: Makna, Tujuan dan Pelajaran Surah-Surah Al-Qur’an.
Tangerang: Lentera Hati, 2012.
Syam, Mohammad Noor. Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Kependidikan
Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional, 1988.
Syamsuri, Hasani Ahmad. Studi Ulumul Qur’an. Jakarta: Zikra Multi Service,
2009.
67
Sugiyono. Metode Penelitian Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D.
Bandung: Alfabeta, 2008.
Suparta, Munzier. Ilmu Hadis. Jakarta: Rajawali Pers, 2011.
Sutanti. Kasus Nenek Asyani Cermin Ketidak Adilan Hukum di
Indonesia.http://www.hariandepok.com/32793/kasus-nenek-asyani-cermin-
ketidak-adilan-hukum-di-indonesia. 2015.
Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional . Biro Hukum dan Organisasi Sekretariat Jendral
Departemen Pendidikan Nasional, 2003.
Wiyani, Novan Ardy dan Barnawi. Ilmu Pendidikan Islam. Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media, 2016.
Yani, Ahmad. Be Excellent Menjadi Pribadi Terpuji. Jakarta: Al Qalam, 2007.