NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM AL-QUR’ANe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2046/1/SKRIPSI...

117
NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM AL-QUR’AN SURAT AL-AN’AM AYAT 151-153 SKRIPSI Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Oleh ANA ZUHROTUN NISAK NIM 11113059 FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA 2017

Transcript of NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM AL-QUR’ANe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2046/1/SKRIPSI...

NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK

DALAM AL-QUR’AN

SURAT AL-AN’AM AYAT 151-153

SKRIPSI

Diajukan untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Pendidikan

Oleh

ANA ZUHROTUN NISAK

NIM 11113059

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

SALATIGA

2017

i

NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK

DALAM AL-QUR’AN

SURAT AL-AN’AM AYAT 151-153

SKRIPSI

Diajukan untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Pendidikan

Oleh

ANA ZUHROTUN NISAK

NIM 11113059

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

SALATIGA

2017

ii

iii

KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN Jl. Lingkar Salatiga Km. 02 Sidorejo Telepon: (0298) 6031364 Salatiga 50716

Website: www.tarbiyah.iainsalatiga.ac.id e-mail: [email protected]

SKRIPSI

NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM AL-QUR’AN

SURAT AL-AN’AM AYAT 151-153

iv

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN DAN KESEDIAAN PUBLIKASI

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Ana Zuhrotun Nisak

NIM : 111 13 059

Jurusan : S1 – Pendidikan Agama Islam (PAI)

Fakultas : Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK)

Menyatakan bahwa sripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya

saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan

orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode

etik ilmiah. Skripsi ini boleh di upload di perpustakaan IAIN Salatiga.

Salatiga, 13 September 2017

v

MOTTO

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang

baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan

(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (QS. Al-Ahzab,

33:21).

اكمل المؤمني إيانــــــــــــــا أحسنـهم خلقــــــــــــــــا“Orang mukmin yang sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya”

(HR. Imam Tirmidzi, No. 1187).

vi

PERSEMBAHAN

Yang utama dari segalanya, ucap syukur kepada Allah Swt. atas taburan

cinta dan kasih sayang-Nya yang telah memberikan kekuatan,membekali dengan

ilmu, serta memperkenalkan dengan cinta, atas karuniaserta kemudahan yang

Allah berikan akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan. Skripsi ini penulis

persembahkan kepada:

1. Terkhusus kepada ayahanda dan ibunda tercinta, terimakasih yang tak

terhingga karena selama ini telah mendidik dan merawatku dengan kasih

sayang serta pengorbanan yang tak tergantikan.

2. Saudara-saudaraku yang telah mewarnai hari-hari indah dalam

kebersamaan serta memberi semangat, do‟a, nasihat dan seluruh

bantuannya.

3. Ibu Dra. Urifatun Anis, M.Pd.I selaku dosen pembimbing skripsi yang

telah memberikan motivasi serta pengarahan sampai selesainya skripsi ini.

4. Sahabat-sahabat PAI 2013 terimakasih telah memberikan banyak

kenangan yang indah dan teman-teman seperjuangan yang telah

memberikan dukungan semangat dan do‟a sehingga dapat menyelesaikan

skripsi ini.

5. Teman-teman PPL 2016, KKN 2017 yang telah memberikan banyak

pelajaran tentang artinya kebersamaan dan kekeluargaan.

6. Dan tidak lupa kepada pembaca yang budiman sekalian.

vii

KATA PENGANTAR

Assalamu‟alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh

Dengan mengucap puji syukur kepada Allah Swt. atas segala limpahan

rahmat, taufiq, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Shalawat serta salam semoga tetap dilimpahkan kepada Nabi Muhammad Saw.

yang telah menuntun umatnya ke jalan kebenaran dan keadilan.

Skripsi yang berjudul “Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak dalam Al-Qur‟an

Surat Al-An‟am Ayat 151-153” disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna

memperoleh gelar sarjana strata satu (S1) jurusan Pendidikan Agama Islam di

IAIN Salatiga.

Penulisan skripsi ini dapat selesai tidak lepas dari berbagai pihak yang

telah memberikan dukungan moril maupun materiil. Dengan kerendahan hati,

penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd. selaku Rektor IAIN Salatiga

2. Bapak Suwardi, M.Pd. selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan

IAIN Salatiga yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk

melakukan penelitian.

3. Ibu Siti Rukhayati, M.Ag. selaku ketua jurusan Tarbiyah yang telah

memberikan kesempatan yang luas untuk menyelesaikan studi.

4. Ibu Dra. Urifatun Anis, M.Pd.I. selaku pembimbing yang telah dengan ikhlas

dan sabar mencurahkan pikiran dan tenaganya serta pengorbanan waktunya

dalam membimbing penyelesaian dalam penulisan skripsi ini.

5. Bapak Drs. Abdul Syukur, M.SI. selaku pembimbing akademik yang telah

memberikan bimbingan dan motivasi.

6. Bapak dan Ibu Dosen yang telah menyampaikan banyak ilmu pengetahuan

dan pengalaman dengan penuh kesabaran, serta karyawan IAIN Saltiga yang

telah memberikan bekal ilmu dan pelayanan hingga studi ini selesai.

7. Para guru yang menyampaikan pengetahuannya, semoga Allah memberikan

balasannya.

8. Ayah dan ibu yang selalu memberi semangat dan mendo‟akan.

viii

9. Saudara-saudara dan sahabat-sahabat semua yang telah membantu

memberikan dukungan dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Semoga amal mereka diterima sebagai amal ibadah oleh Allah Swt. serta

mendapatkan balasan yang berlipat ganda. Amin.

Penulis menyadari dan mengakui bahwa penulisan skripsi ini masih jauh

dari kesempurnaan, semua ini dikarenakan keterbatasan kemampuan serta

pengetahuan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat

diharapkan dalam kesempurnaan skripsi ini.

Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini memberikan sumbangan

bagi pengembangan dunia pendidikan khususnya pendididikan agama Islam.

Amin-amin ya rabbal ‟alamin

Salatiga, 13 September 2017

Penulis

Ana Zuhrotun Nisak

NIM: 111-13-059

ix

ABSTRAKSI

Nisak, Ana Zuhrotun. 2017. Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak dalam Al-Qur‟an

Surat Al-An‟am Ayat 151-153. Skripsi. Fakultas Tarbiyah dan Ilmu

Keguruan. Program Studi Pendidikan Agama Islam. Institut Agama

Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Dra. Urifatun Anis, M.Pd.I.

Kata Kunci: Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak

Penelitian ini tentang nilai-nilai akhlak dalam Al-Qur‟an surat al-

An‟am ayat 151-153, bahwa akhlak Islam adalah nilai-nilai yang terdapat

dalam Al-Qur‟an dan as-Sunnah. Akhlak menjadi bagian yang penting

dalam substansi pendidikan Islam sehingga Al-Qur‟an menganggapnya

sebagai rujukan penting bagi kaum muslim. Melihat realitas kehidupan

saat ini, terlihat banyak manusia yang mulai jauh dari nilai-nilai Al-

Qur‟an, untuk itu pendidikan akhlak menjadi alternatif utama untuk

mengatasi permasalahan tersebut. Dengan begitu, upaya menanamkan

kembali nilai-nilai akhlak mulia menjadi sangat urgen, dengan

berpedoman pada Al-Qur‟an dan sunnah Rasul Saw. Seperti sepuluh

wasiat Allah dalam surat al-An‟am ayat 151-153 yang memiliki

kandungan nilai-nilai akhlak yang patut untuk dikaji lebih lanjut seiring

dengan perkembangan zaman, karena itu penelitian ini diharapkan dapat

menggali nilai-nilai akhlak di dalamnya.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) Bagaimanakah nilai-

nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam Al-Qur‟an surat al-

An‟am ayat 151-153? (2) Bagaimana implementasi nilai-nilai pendidikan

akhlak yang terkandung dalam Al-Qur‟an surat al-An‟am ayat 151-153

dalam kehidupan sehari-hari?

Untuk menjawab penelitian tersebut, penulis menggunakan

penelitian library research dengan mengambil naskah surat al-An‟am

ayat 151-153. Metode yang digunakan adalah metode analisis isi yaitu

teks yang dianalisis sesuai dengan isi atau pesan yang terkandung dalam

teks tersebut.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai-nilai pendidikan

akhlak dalam surat al-An‟am ayat 151-153 terdapat akhlak yang baik dan

buruk, diantaranya: tidak berbuat buruk terhadap Allah, berbuat baik

kepada orang tua, tidak membunuh anak karena takut miskin, tidak

membunuh tanpa sebab yang benar, menjauhi perbuatan keji, tidak

mendekati harta anak yatim, menyempurnakan timbangan, berkata

dengan adil, memenuhi janji Allah, dan mengikuti jalan yang lurus.

Implementasi atau penerapannya adalah membiasakan akhlak-akhlak

baik tersebut ke dalam kehidupan dan selalu menyadari perbuatan yang

dilakukan akan dimintai pertanggungjawaban sehingga perbuatan buruk

dapat dihindari.

x

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL

LEMBAR BERLOGO

JUDUL .................................................................................................................... i

HALAMAN NOTA PEMBIMBING .................................................................... ii

HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. iii

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ............................................................ iv

MOTTO ................................................................................................................ v

PERSEMBAHAN ................................................................................................. vi

KATA PENGANTAR ....................................................................................... vii

ABSTRAKSI ........................................................................................................ ix

DAFTAR ISI ........................................................................................................ x

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ...................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ............................................................................... 6

C. Tujuan Penelitian ................................................................................. 6

D. Kegunaan Penelitian ............................................................................ 6

E. Kajian Pustaka ..................................................................................... 7

F. Metodologi Penelitian ......................................................................... 9

G. Definisi Operasioanal ........................................................................ 10

H. Sistematika Penulisan ........................................................................ 13

BAB II LANDASAN TEORI

A. Pengertian Pendidikan Akhlak........................................................... 15

B. Dasar Pendidikan Akhlak .................................................................. 18

C. Tujuan Pendidikan Akhlak ................................................................ 20

D. Ruang Lingkup Pendidikan Akhlak .................................................. 21

xi

E. Kalsifikasi Pendidikan Akhlak .......................................................... 33

BAB III DESKRIPSI SURAT AL-AN‟AM AYAT 151-153

A. Redaksi Ayat dan Terjemahan QS. Al-An‟am Ayat 151-153 .......... 36

B. Tafsir QS. Al-An‟am Ayat 151-153 .................................................. 49

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PPEMBAHASAN

A. Analisis Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak dalam QS. Al-An‟am Ayat

151-153 .............................................................................................. 64

B. Implementasi dalam Kehidupan Sehari-hari ..................................... 83

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ........................................................................................ 92

B. Saran-saran ....................................................................................... 93

C. Penutup .............................................................................................. 95

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 96

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

LAMPIRAN-LAMPIRAN

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia tidak akan bisa berkembang dan mengembangkan

kebudayaannya secara sempurna bila tidak ada pendidikan. Pendidikan

menjadi suatu keharusan bagi manusia karena pada hakikatnya manusia lahir

dalam keadaan tidak berdaya, dan tidak langsung dapat berdiri sendiri atau

dapat memelihara dirinya sendiri. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika

eksistensi pendidikan merupakan salah satu syarat yang mendasar untuk

meneruskan dan mengekalkan kebudayaan manusia (Sadulloh, 2014:10).

Islam memandang ilmu pengetahuan dengan mengembalikan kepada

fitrah manusia tentang mencari ilmu pengetahuan, dapat diketahui di dalam

Al-Qur‟an banyak ditemukan ayat yang menjelaskan tentang sains serta

mengajak umat Islam untuk mempelajarinya. Di dalamnya terkandung ajaran-

ajaran pokok menyangkut segala aspek kehidupan manusia yang kemudian

dapat dikembangkan sesuai dengan nalar masing-masing bangsa dan

kapanpun masanya akan hadir secara fungsional memecahkan persoalan

kemanusiaan, salah satunya adalah permasalahan pendidikan yang selalu

ramai diperbincangkan umat. Tidak diragukan lagi bahwa Al-Qur‟an adalah

sumber ilmu pengetahuan yang diturunkan bagi manusia sebagai pedoman dan

petunjuk dalam menganalisis setiap kejadian di alam ini, sekaligus menjadi

inspirasi terhadap pengembangan ilmu pengetahuan (Nizar, 2002:227).

2

Al-Qur‟an merupakan bacaan yang sempurna dan mulia, tidak ada satu

bacaan pun selain Al-Qur‟an yang dipelajari dan diketahui sejarahnya bukan

sekedar secara umum, tetapi ayat demi ayat, baik dari segi tahun, bulan, masa,

dan musim turunnya, malam atau siang, dalam perjalanan atau di tempat

berdomisili penerimanya (Nabi Muhammad Saw.), bahkan sebab-sebab serta

saat turunnya ayat, demikianlah kemukjizatan Al-Qur‟an dengan segala

kesempurnaannya (Shihab, 2014:21).

Ajaran yang terkandung dalam Al-Qur‟an diklasifikasikan menjadi tiga;

pertama, aspek akidah yang memuat ajaran tentang keimanan akan keesaan

Tuhan serta kepercayaan pada hari akhir, kedua, aspek syari‟ah memuat ajaran

tentang hubungan manusia dengan Tuhan dan sesamanya, ketiga, aspek

akhlak memuat ajaran tentang norma-norma keagamaan dan sosial yang harus

diikuti oleh manusia dalam kehidupannya secara individual atau kolektif

(Shihab, 1994:40). Salah satu konsep dasar bahwa Islam adalah sumber akhlak

telah dikemukakan sendiri oleh Nabi Muhammad Saw. yang berkaitan dengan

tugas beliau sebagai seorang utusan Allah, yaitu:

م مكارم الخلق انما بعثت لتم

“Sesungguhnya aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak” (HR.

Ahmad dan Baihaqi) (Imam Ahmad Ibn Hanbal, 1991:504).

Al-Qur‟an mengajak manusia untuk menyandang akhlak yang mulia,

dan sebaliknya, Al-Qur‟an mengingatkan manusia untuk berusaha keras

menghindari bermacam-macam jenis moral yang tidak terpuji, dinyatakan

dalam firman Allah Surat Al-Hajj ayat 77:

3

“Hai orang-orang yang beriman, rukuklah kamu, sujudlah kamu,

sembahlah Tuhanmu, dan berbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapatkan

kemenangan.”(Q.S. Al-Hajj, 22:77).

Akhlak mulia berguna dalam mengarahkan dan mewarnai berbagai

aktivitas kehidupan manusia di segala bidang. Seseorang yang memiliki ilmu

pengetahuan dan teknologi modern yang disertai dengan akhlak mulia akan

dapat memanfaatkan sebaik-baiknya untuk kebaikan manusia. Sebaliknya,

orang yang memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi modern, memiliki

kekuasaan, dan sebagainya namun tidak disertai dengan akhlak yang mulia,

maka semuanya dapat disalahgunakan yang berakibat bencana di muka bumi.

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa pendidikan akhlak bertujuan

untuk memberikan pedoman atau penerangan bagi manusia dalam mengetahui

perbuatan yang baik atau yang buruk. Terhadap perbuatan baik berusaha

dilakukan, dan terhadap perbuatan yang buruk berusaha dihindari (Nata,

2002:15).

Melihat realitas kehidupan saat ini, terlihat banyak manusia mulai jauh

dari nilai-nilai Al-Qur‟an yang dapat dilihat di dalam kehidupan sehari-hari,

lemahnya pemahaman terhadap Al-Qur‟an membuat berbagai macam

penyimpangan dalam kehidupan marak terjadi. Masih terlihat jelas fenomena

kemerosotan akhlak di negara yang mayoritas penduduknya muslim ini,

indikator-indikator tersebut dapat diamati dalam kehidupan sehari-hari seperti

4

pergaulan bebas, tindak kriminal, kekerasan, korupsi, penipuan, dan perilaku-

perilaku tercela lainnya, sehingga sifat-sifat terpuji seperti toleransi, kejujuran,

kepedulian, saling bantu, kepekaan sosial, yang merupakan jati diri bangsa

sejak berabad-abad lamanya seolah menjadi barang mahal (Juwariyah,

2010:21), padahal dalam surat al-An‟am ayat 151-153 ditekankan adanya

keharusan manusia untuk menghindari keburukan akhlak, baik terhadap Allah

maupun pada sesama manusia.

Peran keluarga dan sekolah memiliki peran penting dalam membentuk

akhlak, keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama yang menjadi

dasar pengembangan bagi watak anak dalam mengikuti perkembangan

pendidikan selanjutnya. Saat ini, perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi begitu kompleks, di mana keluarga tidak mampu untuk

menyampaikan secara lengkap dan utuh kepada anak-anaknya, maka

dibutuhkan lingkungan sekolah yang lebih mampu menyampaikan ilmu

pengetahuan teknologi tersebut (Sadulloh, 2014:196).

Namun, persoalan pendidikan abad ini memang sangat kompleks dan

heterogen, ditambah lagi dengan lahirnya berbagai macam lembaga

pendidikan yang terkadang kurang memperhatikan atau bahkan

mengesampingkan faktor nilai dan agama dalam proses pendidikannya.

Sehubungan dengan hal itu, sudah menjadi tugas para pendidik dan para

pengelola di dunia pendidikan bukan hanya sekedar mentransfer ilmu

pengetahuan ke kepala anak, akan tetapi juga harus sanggup menempatkan

5

dirinya sebagai uswatun hasanah dalam setiap tutur kata dan perbuatan,

karena keberadaannya merupakan cermin anak didik.

Melihat persoalan tersebut, maka upaya menanamkan kembali nilai-

nilai yang terkandung dalam Al-Qur‟an menjadi sangat urgen, salah satu cara

menuju akhlak mulia tentu harus mencontoh pribadi Rasulullah Saw. yang

memiliki sifat-sifat terpuji dan menjadi pedoman bagi umatnya, karena akhlak

beliau adalah akhlak Al-Qur‟an (Ya‟qub, 2005:257). Tak terelakkan lagi

bahwa dengan akhlak mulia, keteguhan iman, dan budi pekerti luhur

Rasulullah dapat merubah peradaban bangsa Arab Jahiliyah pada saat itu,

bangsa tersebut dapat dikatakan sebagai masyarakat yang uncivilized dalam

hampir segala aspek, terutama aspek moralitas. Agar kebiasaan Jahiliyah

tersebut tidak terulang masa kini, maka harus berpedoman pada ajaran Al-

Qur‟an dan sunnah Rasulullah Saw. yang menjadi cermin Al-Qur‟an. Seperti

sepuluh wasiat Allah dalam surat al-An‟am ayat 151-153 terkandung nilai-

nilai akhlak yang layak untuk dikaji seiring dengan perkembangan zaman.

Berangkat dari hal tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji lebih

dalam tentang materi ini dalam bentuk skripsi dengan judul “Nilai-Nilai

Pendidikan Akhlak Dalam Al-Qur‟an Surat Al-An‟am Ayat 151-153”.

6

B. Rumusan Masalah

Dari judul penelitian di atas, penulis berusaha untuk mengetahui

pendidikan akhlak maka dalam penelitian ini ada beberapa permasalahan

diantaranya:

1. Bagaimanakah nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam Al-

Qur‟an surat al-An‟am ayat 151-153?

2. Bagaimana implementasi nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung

dalam Al-Qur‟an surat al-An‟am ayat 151-153 dalam kehidupan sehari-

hari?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pokok masalah yang dirumuskan, berkembang menjadi

beberapa poin yang akan menjadi tujuan penelitian, tujuan itu adalah:

1. Untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam

Al-Qur‟an al-An‟am ayat 151-153.

2. Untuk mengetahui implementasi nilai-nilai pendidikan akhlak yang

terkandung dalam Al-Qur‟an surat al-An‟am ayat 151-153 dalam

kehidupan sehari-hari.

D. Kegunaan Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa

manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, yaitu:

1. Manfaat Teoritis

Memberikan sumbangan pemikiran bagi ilmu pendidikan Islam

pada umumnya dan pendidikan akhlak pada khususnya, terutama

7

mengenai nilai pendidikan akhlak dalam Al-Qur‟an dan nilai-nilai

pendidikan akhlak yang terkandung dalam surat al-An‟am ayat 151-153.

2. Manfaat Praktis

Dapat memberi manfaat bagi para pendidik dan pemikir di masa

mendatang tentang akhlak dengan dimensi akhlak terpuji dan akhlak

tercela, serta dapat mensosialisakikan pendidikan akhlak di masyarakat

yang sejalur dengan ajaran Islam.

E. Kajian Pustaka

Kajian pustaka adalah suatu istilah untuk mengkaji bahan atau literatur

kepustakaan (literature review). Bentuk kegiatan ini memaparkan dan

mendeskripsikan pengetahuan, argumen, dalil, konsep, atau ketentuan-

ketentuan yang pernah diungkapkan dan diketemukan oleh peneliti

sebelumnya yang terkait dengan objek masalah yang hendak dibahas. Adapun

karya-karya yang mendukung dan dijadikan kajian pustaka sebagai berikut:

1. Penelitian yang ditulis oleh Fatkhul Manan Jazuli dengan judul skripsi

“Konsep Pendidikan Akhlak Anak Terhadap Orang Tua dalam Al-Qur‟an

Surat Al-Isra‟ 23-25”. Menyimpulkan bahwa nilai-nilai pendidikan akhlak

berdasarkan QS. Al-Isra‟ ayat 23-25 dalam dunia pendidikan Islam yaitu:

pendidikan akidah di sekolah hendaknya mengajarkan tauhid yang

dilakukan dengan pendekatan yang lebih komprehensif dan pendidikan

birru al-walidain (berbuat baik kepada kedua orang tua).

2. Penelitian yang ditulis oleh Siti Khoerotunnisa, IAIN Salatiga, jurusan

PAI (2016) dengan judul skripsi “Nilai-nilai Akhlak dalam Perspektif

8

Pendidikan Islam (Kajian Tafsir Surat Al-Hujurat Ayat 11-13)”.

Menyimpulkan bahwa Al-Qur‟an mengandung nilai-nilai yang universal

dan menjadi penyempurna dari kitab-kitab sebelumnya, pada ayat 11

dijelakan larangan saling mengolok satu sama lain, ayat ke 12 dijelaskan

tentang ghibah atau pergunjingan, serta taubat. dan ayat 13 menjelaskan

tentang ta‟aruf atau saling mengenal.

3. Penelitian yang ditulis oleh Muhammad Khoirul Anwar, IAIN Salatiga,

jurusan PAI (2017) dengan judul skripsi “Peran Keluarga dalam

Membentuk Karakter Anak (Telaah Surat An-Nahl Ayat 78)”.

Menyimpulkan bahwa keluarga mempunyai peran penting dalam

membentuk karakter/akhlak anak dengan mengoptimalkan potensi pada

anak (pendengaran, peglihatan, dan hati), berinteraksi sesuai dengan

kemampuan dan pengetahuan anak, serta keluarga harus memberikan

uswah atau teladan yang baik bagi anak. Upaya yang dapat dilakukan

dalam membentuk karakter anak dalam surat an-Nahl ayat 78 yaitu dengan

cara menanamkan nilai akidah, nilai dan ajaran ibadah, jiwa sosial,

memberikan pengawasan dan perhatian, serta menjaga jasmani dan

kesehatannya.

Dari beberapa skripsi yang sudah disebutkan di atas berbeda dengan

skripsi yang penulis buat, persamaannya yaitu sama-sama membahas tentang

akhlak akan tetapi pengambilan ayat berbeda, penulis mengambil surat al-

An‟am ayat 151-153.

9

F. Metodologi Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, digunakan beberapa teknik yang relevan

untuk sampai pada tujuan penelitian, yang meliputi:

1. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang digunakan oleh peneliti yaitu library

research, penelitian dengan mengumpulkan data-data yang berhubungan

dengan objek penelitian, bahwa jenis penelitian yang dilakukan

menggunakan metode library research. Dengan mengumpulkan data-data

yang diperlukan, baik yang primer maupun skunder, dicari dari sumber-

sumber kepustakaan seperti buku, majalah, artikel, dan jurnal (Kuswaya,

2009:11).

2. Sumber Data

Data penelitian ini diperoleh dari Al-Qur‟an surat al-An‟am ayat

151-153, selain itu, sumber data penulis juga diambil dari buku-buku yang

relevan dengan pembahasan dalam skripsi ini. Sumber data di sini yaitu

sumber data primer dan sumber data skunder.

a. Sumber Data Primer

Sumber data primer merupakan sumber data yang berkaitan

langsung dengan penelitian yaitu Al-Qur‟an surat Al-An‟am ayat 151-

153 beserta tafsirannya menurut para ulama, diantaranya kitab tafsir

Al-Misbah karya Quraisy Syihab, kitab tafsir Al-Maraghi, kitab tafsir

An-Nur, dan kitab-kitab lain yang relevan.

10

b. Sumber Data Skunder

Sumber data skunder adalah pengumpulan data yang dicari di

dalam dokumen atau sumber pustaka, data tersebut adalah data

skunder yang telah tertulis atau diolah oleh orang lain (Wiratama,

2006:36). Data skunder merupakan sumber data yang mengandung dan

melengkapi sumber-sumber data primer, yang diambil dengan cara

mencari, menganalisis buku-buku, internet, dan informasi lainnya yang

berkaitan dengan judul skripsi.

3. Metode Analisis Data

Metode yang digunakan adalah metode analisis isi (content

analysis). Menurut Sumadi Suryabrata (2010:85), metode analisis isi

adalah data deskriptif atau textular yang sering dianalisis menurut isinya

atau pesan yang terkandung dalam teks tersebut.

Metode ini digunakan penulis untuk mendeskripsikan isi atau

kandungan yang ada dalam Al-Qur‟an surat al-An‟am ayat 151-153

mengenai nilai-nilai akhlak apa saja yang terkandung dalam ayat tersebut.

G. Definisi Operasional

Untuk memperjelas makna judul serta menghindari penafsiran dan

penjelasan juga sebagai batasan penulisan. Maka penulis akan menjelaskan

istilah-istilah yang penting di dalam judul. Adapun istilah-istilah itu:

1. Nilai Pendidikan Akhlak

Nilai dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sifat-sifat

yang penting atau berguna bagi kemanusiaan (Tim Redaksi KBBI,

11

2007:789). Nilai adalah sesuatu yang memberikan makna pada hidup yang

memberi acuan, titik tolak, dan tujuan hidup. Nilai adalah sesuatu yang

dijunjung tinggi, yang dapat mewarnai dan menjiwai tindakan seseorang.

Nilai itu lebih dari sekedar keyakinan, selalu menyangkut pola pikir dan

tindakan sehingga ada hubungan yang amat erat antara nilai dan etika

(Adisusilo, 2012:56). Dalam pembahasan ini, nilai yang dimaksud adalah

nilai pendidikan akhlak dalam Q.S. Al-An‟am ayat 151-153.

Secara terminologi, pendidikan merupakan terjemahan dari istilah

pedagogi yang berasal dari bahasa Yunani Kuno paidos (budak) dan agoo

(membimbing). Jadi, pedagogi diartikan sebagai „budak yang

mengantarkan anak majikan untuk belajar (Jumali dkk, 2004:19).

Dinamakan pendidikan jika kegiatan mencakup dimensi pengetahuan

sekaligus kepribadian, dengan demikian hakikat pendidikan adalah

kegiatan formal yang melibatkan guru, murid, kurikulum, evaluasi,

administrasi yang secara simultan memproses peserta didik bertambah

pengetahuan, skill, dan nilai kepribadian dalam suatu kalender akademik.

Akhlak secara etimologi, akhlak merupakan bentuk jamak dari

khuluq (خلق) yang berarti budi pekerti, tingkah laku, perangai atau tabiat

(Munawir, 1984:364). Akhlak dalam perspektif pendidikan Islam yaitu

untuk membentuk manusia yang memiliki karakter baik, keras kemauan,

sopan dalam bertutur kata dan perbuatan, tingkah laku mulia, bersifat

bijaksana, sopan dan beradab, ikhlas, jujur, dan suci.

12

Dengan kata lain, pendidikan akhlak memiliki tujuan untuk

memberikan pedoman atau penerangan bagi manusia dalam mengetahui

perbuatan yang baik atau yang buruk. Terhadap perbuatan baik berusaha

dilakukan, dan terhadap perbuatan yang buruk berusaha dihindari supaya

melahirkan manusia yang memiliki keutamaan (al-fadhilah), serta

berprinsip untuk mencapai kebahagiaan dalam berhubungan dengan Allah

Swt. (hablun minallah) disamping berhubungan dengan manusia (hablun

minannas) dan alam sekitar, agar tercipta manusia yang memiliki

kesempurnaan dibanding makhluk lainnya (Nata, 2002:16).

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa nilai pendidikan

akhlak adalah sesuatu yang dijunjung tinggi oleh masyarakat maupun

bangsa yang dilakukan untuk mengetahui, mengembangkan, menciptakan

sifat atau tingkah laku pada seseorang untuk berlaku sesuai dengan nilai

dan norma yang ada.

2. Al-Qur‟an Surat Al-An‟am Ayat 151-153

Surat ini terdapat pada juz 7-8 dan merupakan urutan surat yang

ke-enam, terdiri atas 165 ayat, dan termasuk golongan surat Makkiyah,

secara harfiah al-An‟am bermakna ternak, dinamai demikian karena sekian

ayatnya berbicara soal ternak dalam konteks kehalalan dan keharamannya.

Menurut sejumlah riwayat, keseluruhan ayatnya turun sekaligus, tidak ada

surat panjang lain yang turun sekaligus, kecuali surat ini (Shihab, 2012:3).

Telaah ini penulis fokuskan pada ayat 151-153 yang berisi nilai-

nilai pendidikan akhlak, menurut Quraish Shihab (2012:3), ayat ini dapat

13

dinilai sebagai sepuluh wasiat Allah yang dianugerahkan-Nya pada umat

al-Qur‟an. Dalam realita kita temui banyak akhlak tercela yang masih

sering dianggap remeh dalam prakteknya, namun sebenarnya banyak

akibat berbahaya yang ditimbulkan. Penelitian ini juga ditujukan agar

lebih memahami nilai beretika dalam hidup berdampingan dan lebih

berhati-hati dalam menyikapi kondisi tertentu dalam menjalani kehidupan.

H. Sistematika Penulisan Skripsi

Sistematika penulisan skripsi yang disusun terbagi dalam tiga bagian

awal, yaitu bagian awal, bagian isi, dan bagian akhir. Bagian awal terdiri dari

sampul, lembar berlogo, halaman judul, halaman perstujuan pembimbing,

halaman pengesahan kelulusan, halaman pernyataan orisinalitas, halaman

motto dan persembahan, halaman kata pengantar, halaman abstrak, halaman

daftar isi, dan halaman daftar lampiran.

Bagian isi dalam penelitian ini, penulis menyusun ke dalam 5 bab

yang rinciannya adalah sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan. Pada bab ini akan dibahas latar belakang

penelitian, rumusan dan tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kajian pustaka,

metodologi penelitian, definisi operasional, dan diteruskan sistematika

pembahasan yang digunakan dalam membuat penelitian ini agar lebih

terstruktur dan sistematis.

Bab II Landasan Teori. Pada bab II akan dibahas tentang pengertian

pendidikan akhlak, dasar pendidikan akhlak, tujuan pendidikan akhlak, ruang

lingkup, dan klasifikasi pendidikan akhlak.

14

Bab III Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak Dalam Al-Qur‟an Al-An‟am

Ayat 151-153. Berisi redaksi Al-Qur‟an surat al-An‟am ayat 151-153 dan

terjemahya, asbab an-nuzul surat al-An‟am, munasabah ayat, dan dilanjutkan

penafsiran Q.S. Al-An‟am ayat 151-153.

Bab IV Analisis. Pada bab ini dibahas tentang nilai-nilai pendidikan

akhlak yang terkandung dalam Al-Qur‟an surat al-An‟am ayat 151-153,

dilanjutkan pembahasan mengenai implementasinya dalam kehidupan sehari-

hari.

Bab V Penutup. Bab ini merupakan akhir dari pembahasan yang

berisi kesimpulan penulis dari pembahasan skripsi ini, saran-saran, serta

kalimat penutup.

15

BAB II

LANDASAN TEORI NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK

A. Pengertian Pendidikan Akhlak

Pendidikan akhlak terbentuk dari dua kata yaitu, pendidikan dan

akhlak. Pengertian pendidikan dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia)

adalah suatu proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok

orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan

pelatihan yang berupa proses, cara, dan perbuatan mendidik (KBBI,

1990:263). Sedangkan pengertian pendidikan dalam Undang-undang RI No.

20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat 1 yaitu:

“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan

suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif

mengembangkan potensi dirinya sehingga memiliki kekuatan spiritual,

keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, dan

keterampilan yang diperlukan oleh dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.”

Menurut Ki Hajar Dewantara dalam buku Materi Umum Untuk Guru

Sekolah (2007:3), pendidikan adalah daya-upaya untuk memajukan

bertumbuhnya budi pekerti, pikiran, dan tubuh anak dalam rangka

kesempurnaan hidup dan keselarasan dengan dunianya.

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan

adalah usaha sadar dan terencana untuk menumbuhkan potensi peserta didik

16

dalam rangka kesempurnaan hidup dan keselarasan dengan dunianya, salah

satu hal yang perlu dikembangkan adalah persoalan tentang akhlak.

Pengertian akhlak dari segi bahasa (lughatan), term “akhlak” berasal

dari bahasa Arab dari kata اق ل خ – ق ل خ ي – ق ل خ artinya menjadikan, membuat,

menciptakan (Munawir, 1984:120). Kata akhlak seakar dengan kata Khaliq

(Pencipta), makhluq (yang diciptakan) dan khalq (penciptaan). Kata khuluq

tercantum dalam QS. Al-Qalam ayat 4, ayat yang dinilai sebagai konsiderans

pengangkatan Nabi Muhammad Saw. sebagai Rasul:

“Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas budi pekerti yang

agung”(QS. Al-Qalam 68:4).

Pengertian akhlak secara istilah (isthilahan) dapat merujuk pada

beberapa pendapat pakar di bidang ini. Ibn Miskawaih yang dikenal sebagai

pakar bidang akhlak terkemuka dan terdahulu mengatakan bahwa akhlak

adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan

perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan (Nata, 2002:3).

Sementara itu, Imam al-Ghazali yang dikenal sebagai Hujjatul Islam

(Pembela Islam) menjelaskan bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam

jiwa, yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan gampang dan mudah,

tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan (Ilyas, 2007:2).

Menurut Ahmad Amin, akhlak didefinisikan sebagai kehendak yang

dibiasakan, sedangkan Abdullah Darraz mengemukakan bahwa akhlak adalah

17

suatu kekuatan dalam kehendak yang mantap, yang membawa kecenderungan

kepada pemilihan pada pihak yang benar (akhlaq al-mahmudah) atau pihak

yang jahat (akhlaq al-madzmumah) (Supadie, dkk, 2012:216-217).

Kesimpulannya, akhlak adalah suatu perbuatan yang dimiliki manusia

sejak lahir dan menjadi kebiasaan yang tertanam dalam jiwa, sehingga akan

muncul secara spontan ketika diperlukan tanpa memerlukan pemikiran atau

pertimbangan serta dorongan dari luar.

Term akhlak dalam pendidikan, akhlak menunjukkan bahwa

pendidikan sangat menekankan pada perilaku. Dalam ajaran Islam, akhlak

sangat penting bagi kehidupan manusia karena hakekatnya pendidikan akhlak

selalu bersumber pada Al-Qur‟an dan hadis, dengan kedua pedoman tersebut

diharapkan memperoleh gambaran tentang pendidikan akhlak.

Berdasarkan uraian di atas, pendidikan akhlak dapat diartikan sebagai

usaha sadar yang dilakukan secara berkesinambungan dalam membina sikap

manusia agar terbentuk sifat-sifat yang terpuji dan menghindari sifat-sifat

yang tercela. Pendidikan akhlak ini berkaitan dengan perubahan perilaku,

maka dalam pendekatannya menggunakan cara keteladanan, latihan, dan

pembiasaan dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam buku Pendidikan Islam karya Haidar Putra Daulay (2007:228)

pendidikan akhlak diistilahkan dengan budi pekerti, yaitu bagian integral

yang tidak dapat dipisahkan dari pembentukan manusia seutuhnya, karena

pendidikan budi pekerti tersebut memiliki kedudukan strategis yang selama

ini diterapkan melalui pendidikan agama.

18

Menurut Ilyas dalam buku kuliah akhlak (2007:11), kedudukan akhlak

adalah sebagai berikut:

a. Rasulullah menempatkan penyempurnaaan akhlak mulia sebagai misi

pokok risalah Islam.

b. Akhlak merupakan salah satu pokok ajaran Islam.

c. Akhlak yang baik (mahmudah) akan memberatkan timbangan kebaikan

seseorang pada hari kiamat.

d. Rasulullah menjadikan baik buruknya akhlak seseorang sebagai kualitas

seseorang di hari kiamat.

e. Iman menjadikan akhlak terpuji sebagai bukti dari ibadah kepada Allah.

f. Nabi Muhammad selalu berdo‟a agar Allah membaikkan akhlak beliau.

g. Banyak ayat Al-Qur‟an yang berhubungan dengan akhlak.

B. Dasar Pendidikan Akhlak

Dasar pendidikan akhlak dalam Islam bersumber pada Al-Qur‟an dan

hadis karena akhlak merupakan sistem moral yang bertitik pada ajaran Islam

(Ahmad dan Salimi, 1994:199). Al-Qur‟an merupakan dasar utama dalam

Islam yang memberikan petunjuk di jalan kebenaran dan mengantarkan pada

pencapaian kebahagiaan di dunia dan akhirat. Dasar pendidikan akhlak

terdapat dalam surat Ali Imran ayat 14:

19

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru

kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang

munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran, 3:104).

Ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah menganjurkan hambanya

untuk dapat menasehati, mengajar, membimbing, dan mendidik sesamanya

dalam hal melakukan kebajikan dan meninggalkan keburukan. Dengan

demikian, Allah telah memberikan dasar yang jelas mengenai pendidikan

akhlak yang merupakan suatu usaha untuk membimbing dan mengarahkan

manusia supaya berakhlak mulia.

Dasar pendidikan akhlak dalam hadis dijelaskan Rasulullah dalam

sabda beliau:

م مكارم الخلق انما بعثت لتم

“Sesungguhnya aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak”.

(HR. Ahmad dan Baihaqi) (Imam Ahmad Ibn Hanbal, 1991:504).

Dari ayat Al-Qur‟an dan hadis di atas menunjukkan bahwa dasar

pendidikan akhlak adalah Al-Qur‟an dan hadis, dari dasar tersebut dapat

diketahui bahwa kriteria suatu perbuatan itu bersifat baik atau buruk.

C. Tujuan Pendidikan Akkhlak

Pendidikan akhlak merupakan upaya untuk melahirkan manusia

berkepribadian muslim yang mudah untuk melaksanakan ketentuan hukum

dan ketetapan syari‟at yang diperintahkan, atau dengan kata lain tujuan

pendidikan akhlak yaitu untuk membentuk karakter muslim yang taat dan

mempunyai akhlaq al-karimah (Syafri, 2014:104).

20

Sebagaimana akhlak mulia yang terdapat pada Nabi Muhammad Saw.

yang mana dari situlah akhlak mulia dapat dicontoh dan senantiasa berada

dalam kebenaran serta berjalan di jalan yang lurus. Perintah untuk

menjadikan Nabi Muhammad sebagai teladan terdapat pada firman Allah

Surat al-Ahzab ayat 21:

Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri

teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah

dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”(QS. Al-

Ahzab, 33:21).

Ayat tersebut menjelaskan bahwa Rasulullah Saw. merupakan figur

utama sebagai utusan Allah Swt. yang patut dijadikan panutan dalam

menjalani kehidupan di dunia dan mencapai kehidupan di akhirat. Maka,

dapat diketahui bahwa tujuan utama pendidikan akhlak yaitu agar manusia

berada dalam kebenaran dan selalu berada di jalan yang lurus, jalan yang

digariskan oleh Allah Swt. Inilah yang akan mengantarkan manusia pada

kebahagiaan dunia dan akhirat. Akhlak seseorang akan dianggap mulia jika

perbuatannya mencerminkan nilai-nilai yang terkandung dalam Al-Qur‟an.

Tujuan lain pendidikan akhlak yaitu:

a. Mempersiapkan manusia beriman yang senantiasa beramal shalih.

b. Mempersiapkan insan beriman dan shaleh yang dapat berinteraksi

dengan baik dengan muslim maupun non muslim.

21

c. Mempersiapkan insan beriman dan shaleh yang mampu dan mau berbuat

amar ma‟ruf nahi munkar, serta berjuang di jalan Allah demi tegaknya

Islam (Mahmud, 2004:159).

D. Ruang Lingkup Pendidikan Akhlak

Ruang lingkup pendidikan akhlak sangat luas, mencakup seluruh

aspek dalam kehidupan, baik secara vertikal dengan Allah Swt. maupun

secara horizontal sesama makhluk-Nya (manusia, binatang, tumbuh-

tumbuhan, dan benda-benda yang tak bernyawa). Ruang lingkup akhlak

tersebut dapat dipaparkan sebagai berikut:

1. Akhlak Terhadap Allah

Akhlak terhadap Allah dapat diartikan sebagai sikap atau

perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh manusia sebagai makhluq dan

kepada Tuhan sebagai Khaliq. Sekurang-kurangnya ada 4 alasan

mengapa manusia perlu berakhlak kepada Allah, yaitu:

a. Karena Allah yang telah menciptakan manusia.

b. Karena Allah yang telah memberikan perlengkapan panca indera,

berupa pendengaran, penglihatan, akal pikiran dan hati sanubari,

disamping anggota badan yang kokoh dan sempurna kepada

manusia.

c. Karena Allah yang telah menyediakan berbagai bahan dan sarana

yang diperlukan bagi kelangsungan hidup manusia, seperti bahan

makanan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, air, udara, binatang

ternak dan sebagainya.

22

d. Allah yang telah memuliakan manusia dengan diberikannya

kemampuan menguasai daratan dan lautan.

Namun demikian, meskipun Allah telah memberikan berbagai

kenikmatan terhadap manusia, bukan menjadi alasan Allah perlu

dihormati. Bagi Allah, dihormati atau tidak, tidak akan mengurangi

kemuliaan-Nya, akan tetapi sebagai manusia sudah sewajarnya

menunjukkan akhlak yang pas kepada Allah (Nata, 2002:147-148).

Titik tolak akhlak terhadap Allah adalah pengakuan dan

kesadaran bahwa tiada Tuhan selain Allah, Dia memiliki sifat terpuji

yang begitu agung, jangankan manusia, malaikat pun tidak ada yang

mampu menjangkau hakikat-Nya (Shihab, 1999:261). Banyak cara yang

dapat dilakukan dalam berakhlak kepada Allah Swt., diantaranya: tidak

menyekutukan-Nya (mentauhidkan-Nya), mencintai-Nya, taqwa, ridha

dan ikhlas terhadap segala keputusan-Nya, selalu berdo‟a kepada-Nya,

selalu berusaha mencari ridha Allah, dan sebagainya (Nata, 2002:148).

2. Akhlak Terhadap Sesama Manusia

a. Akhlak Terhadap Rasulullah

Menurut M. A. Salamullah (2008:36), beberapa akhlak yang

harus dilakukan oleh setiap muslim terhadap Rasulullah Saw. yaitu:

1) Mengimani dan Menjalankan Ajaran Rasulullah Saw

Umat Islam wajib beriman kepada Rasulullah Saw.

beserta risalah yang dibawanya. Makna mengenai ajaran

Rasulullah adalah menjalankan ajarannya, menaati perintahnya,

23

dan berhukum dengan ketetapannya. Allah berfirman dalam

dalam QS. Al-Hasyr ayat 7:

...

Artinya: “...Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka

terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka

tinggalkanlah dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya

Allah amat keras hukumannya.” (QS. Al-Hasyr, 59:7).

Dengan demikian, maka semua perintah Rasulullah Saw.

wajib ditaati dan semua larangannya dijauhi sebagai bukti cinta

kepada Rasulullah Saw.

2) Mencintai Rasulullah Saw.

Cinta kepada Rasulullah tidak cukup hanya dibuktikan

dengan membaca shalawat dan salam, tetapi juga harus

diwujudkan dengan tindakan konkret, diantaranya adalah

menjalankan ajaran Rasulullah Saw., rindu bertemu beliau serta

memperbanyak membaca shalawat dan pujian kepada Rasul.

3) Meneladani Akhlak Rasulullah Saw.

Sikap dan ketaatan Nabi Muhammad Saw. pada ajaran

yang terkandung dalam Al-Qur‟an menjadi bagian yang tidak

terpisahkan dalam kehidupannya sehingga patutlah jika umatnya

meneladani akhlak beliau.

24

Akhlak kepada Rasulullah Saw. merupakan wujud

kecintaan dan keimanan umatnya kepada sang pemimpin yaitu

Rasulullah Saw. dengan menaati, menjalankan perintahnya serta

mengikuti jejak beliau, manusia akan dijamin kesejahteraannya di

dunia dan akhirat.

b. Akhlak Pada Diri Sendiri

Akhlak terhadap diri sendiri mencakup semua persoalan yang

menyangkut diri sendiri, baik secara rohani maupun secara jasmani

(Nasharuddin, 2015:257). Adapun akhlak pribadi menurut Yunahar

Ilyas (2007:81) dalam buku kuliah akhlak meliputi:

1) Shidiq

Shidiq (ash-sidqu) secara bahasa berasal dari Bahasa

Arab kata صدقا -يصدق –صدق artinya benar, nyata, atau

berkata jujur, lawan dari dusta atau bohong (al-kazib) (Munawir,

1984:770). Seorang muslim dituntut selalu berada dalam

keadaan benar lahir batin yaitu benar hati, benar perkataan, dan

benar perbuatan.

2) Amanah

Amanah secara bahasa berasal dari kata يأمن –أمن-

artinya dapat dipercaya (Munawir, 1984:40). Dalam أمانة

pengertian yang luas, amanah mencakup banyak hal, yaitu

25

menyimpan rahasia orang lain, menjaga kehormatan, menjaga

diri sendiri, menunaikan tugas-tugas yang diberikan dan lain-

lain. Sifat amanah seakar dengan kata iman, antara keduanya

terdapat kaitan yang sangat erat, sekali menipis keimanan

seseorang semakin pudar pula sifat amanah pada dirinya.

3) Istiqamah

Term istiqamah secara bahasa berasal dari kata استقام–

استقامة -يستقيم yang berarti tegak lurus atau berdiri (Munawir,

1984:361), sedangkan pengertian dalam KBBI, istiqamah

diartikan sikap teguh pendirian dan selalu konskuen. Dalam

terminologi akhlak, istiqamah adalah sikap teguh dalam

mempertahankan keimanan dan keilaman sekalipun menghadapi

berbagai macam tantangan dan godaan.

4) ‘Iffah

Pengertian „iffah, secara etimologi adalah bentuk masdar

dari عفة -يعف –عف artinya menjaga kehormatan diri,

kesucian diri, tak mau mengerjakan yang keji (Munawir,

1984:272). Secara istilah, „iffah adalah memelihara kehormatan

diri dari segala hal yang akan merendahkan, merusak dan

menjatuhkannya.

26

Nilai dan wibawa seseorang tidaklah ditentukan oleh

kekayaan dan jabatannya dan tidak pula ditentukan oleh

rupanya, tetapi ditentukan oleh kehormatan dirinya. Oleh karena

itu, untuk menjaga kehormatan diri, setiap orang harus

menjauhkan diri dari segala perbuatan dan perkataan yang

dilarang Allah Swt. dengan mengendalikan hawa nafsunya,

tidak hanya dari hal-hal yang haram, bahkan kadang-kadang

harus menjaga dirinya dari hal-hal yang halal karena

bertentangan dengan kehormatan dirinya (Ilyas, 2008:90).

5) Mujahadah

Mujahadah berasal dari kata مجاهدة -يجاهد –جاهد

yang berarti berjuang (Munawir, 1984:93). Dalam konteks

akhlak, mujahadah adalah mencurahkan segala kemampuan

untuk melepaskan diri dari segala hal yang menghambat

pendekatan diri kepada Allah Swt., baik hambatan yang bersifat

internal maupun yang eksternal.

Hambatan yang bersifat internal datang dari jiwa yang

mendorong untuk berbuat keburukan, hawa nafsu yang tak

terkendali, dan kecintaan pada dunia. Sedangkan hambatan

eksternal datang dari syaithan, orang-orang kafir, munafik, serta

para pelaku kemaksiatan dan kemungkaran.

Untuk mengatasi dan melawan hambatan tersebut

diperlukan kemauan keras dan perjuangan yang sungguh-

27

sungguh yang disebut mujahadah, apabila seseorang

bermujahadah untuk keridhaan Allah Swt. maka Allah akan

menunjukkan jalan kepanya untuk tujuan tersebut.

6) Syaja’ah

Secara bahasa syaja‟ah berasal dari kata يشجع –شجع

شجاعة – artinya berani (Munawir, 1984:695). berani bukan

berarti siap menantang siapa saja tanpa memperdulikan apakah

seseorang berada di pihak yang benar atau yang salah, dan

bukan pula berani memperturutkan hawa nafsu, tetapi berani

yang berlandaskan kebenaran dan dilakukan dengan penuh

pertimbangan. Keberanian tidaklah ditentukan oleh kekuatan

fisik, tetapi ditentukan oleh kekuatan hati dan kebersihan jiwa.

Betapa banyak orang yang fisiknya besar dan kuat, tapi hatinya

lemah. Sebaliknya, betapa banyak yang fisiknya lemah tapi

hatinya kuat.

7) Tawadhu’

Tawadhu‟ secara bahasa berasal dari kata يتواضع –تواضع

تواضعا - artinya merendahkan diri, rendah hati, lawan dari

sombong atau takabur (Munawir, 1984:501). Orang yang rendah

hati tidak memandang dirinya lebih dari orang lain, sementara

28

orang yang sombong menghargai dirinya secara berlebihan.

Rendah hati tidak sama dengan rendah diri. Sekalipun dalam

praktiknya orang yang rendah hati cenderung merendahkan

dirinya di hadapan orang lain, tapi sikap tersebut bukan lahir

dari rasa tidak percaya diri.

Orang yang tawadhu‟ menyadari bahwa apa saja yang

dimiliki adalah karunia dari Allah Swt. Sikap tawadhu‟

membuat seseorang dihormati dan dihargai, tidak akan membuat

derajat seseorang menjadi rendah.

8) Malu

Malu (al-haya‟) adalah sifat atau perasaan yang

menimbulkan keengganan melakukan sesuatu yang tidak baik.

Orang yang memiliki rasa malu, apabila melakukan sesuatu

yang tidak baik akan terlihat gugup dan sebaliknya, orang yang

tidak punya rasa malu akan melakukannya dengan tenang tanpa

ada rasa gugup.

Sifat malu dapat dibagi menjadi tiga jenis. Pertama,

malu kepada Allah Swt. kedua, malu kepada diri sendiri, dan

ketiga, malu kepada orang lain. Orang yang malu kepada Allah

apabila tidak mengerjakan perintah-Nya dan tidak menjauhi

larangan-Nya, dengan sendirinya malu terhadap diri sendiri.

Penolakan datang dari dalam dirinya sendiri, ia akan

29

mengendalikan hawa nafsunya dari keinginan-keinginan yang

tidak baik.

9) Sabar

Pengertian sabar secara bahasa berasal dari kata صبر–

صبرا -يصبر berarti sabar, tabah (Munawir, 1984:760). Secara

terminologis, sabar artinya menahan diri dari segala sesuatu

yang disukai dan tidak disukai karena mengharap ridha Allah.

Hal-hal yang tidak disukai seperti musibah kematian, sakit,

kelaparan dan sebagainya, sedangkan sabar dalam hal-hal yang

disukai misalnya segala kenikmatan duniawi yang disukai oleh

hawa nafsu, sabar dalam hal ini berarti menahan dan mengekang

diri dari memperturutkan hawa nafsu.

Menurut Imam Ghazali, sabar merupakan ciri khas

manusia dan binatang, malaikat tidak memerlukan sifat sabar.

Binatang tidak memerlukan sifat sabar karena binatang

diciptakan tunduk sepenuhnya pada hawa nafsu, bahkan hawa

nafsu itulah satu-satunya yang mendorong binatang untuk

bergerak atau diam. Sedangkan malaikat tidak memerlukan sifat

sabar karena memang tidak ada hawa nafsu yang harus

dihadapinya. Malaikat selau cenderung pada kesucian, sehingga

tidak diperlukan sifat sabar untuk memelihara dan

mempertahankan kesuciannya.

30

10) Pemaaf

Pemaaf adalah sikap suka memberi maaf terhadap

kesalahan orang lain tanpa ada sedikitpun rasa benci dan

keinginan untuk membalas. Dalam bahasa Arab, sifat pemaaf

disebut dengan al-„afwu yang berarti kelebihan atau yang

berlebih, sebagaimana terdapat dalam QS. Al-Baqarah ayat 219:

... ...

“...Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka

nafkahkan. Katakanlah: “Yang berlebih dari keperluan...” (QS.

Al-Baqarah, 2:219).

Ayat tersebut dapat dipahami bahwa yang berlebih

seharusnya diberikan agar keluar, dari pengertian mengeluarkan

yang berlebih itu, kata al-„afwu kemudian berkembang

maknanya menjadi menghapus. Dalam konteks ini, memaafkan

berarti menghapus luka atau bekas luka yang ada di dalam hati.

c. Akhlak dalam Keluarga

Setelah manusia lahir, keluarga akan terlihat jelas fungsinya

dalam dunia pendidikan, yaitu memberi pengalaman kepada anak

baik melalui pemeliharaan, pembinaan, ataupun pengaruh yang

menuju terbentuknya tingkah laku yang diinginkan oleh orang tua.

Orang tua (keluarga) menjadi pusat kegiatan rohani pertama pada

anak, baik tentang sikap, cara berbuat atau cara berpikir. Keluarga

31

juga menjadi pelaksana pendidikan Islam yang akan mempengaruhi

pada pembentukan akhlak mulia.

Akhlak dalam keluarga dalam buku Pendidikan Agama Islam

yang dikutip oleh Muhammad Daud Ali (2008:358) diantaranya

yaitu berbakti pada kedua orang tua (birru al-walidain) dengan

ikhlas, saling membina cinta dan kasih sayang dalam kehidupan

keluarga, mendidik anak dengan kasih sayang, dan memelihara

silaturrahim.

d. Akhlak Bermasyarakat

Hidup bermasyarakat adalah hal yang tidak bisa lepas dari

seorang manusia, karena penciptaan manusia sebagai makhluk sosial

membuatnya selalu membutuhkan orang lain. Untuk itu, menjaga

akhlak dalam hidup bermasyarakat adalah hal yang sangat penting

agar hubungan baik dengan orang lain selalu terjalin dengan

harmonis sehingga dapat menciptakan rasa cinta dan damai di

masyarakat.

Akhlak di sini juga termasuk yang ada disekitar, yaitu

tetangga. Akhlak yang dapat diterapkan dalam bermasyarakat

menurut Mohammad Daud Ali (2008:358) di antaranya: memuliakan

tamu, menghormati nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat

bersangkutan, saling menolong dalam kebaikan dan takwa,

menganjurkan anggota masyarakat dan diri sendiri untuk berbuat

32

baik dan mencegah diri serta orang lain melakukan perbuatan

munkar.

e. Akhlak Bernegara

Melihat zaman yang semakin berkembang dari waktu ke

waktu menuntut manusia untuk memahami akhlak secara esensial,

dalam arti bahwa manusia memahami akhlak bukan hanya sebagai

sikap atau perilaku saja. Melainkan akhlak tersebut

diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, seperti dalam

kehidupan berbangsa dan bernegara diperlukan akhlak dalam

melaksanakan bakti seseorang terhadap negara, agar menjadi

semakin sensitif terhadap persoalan yang terjadi pada bangsa dan

negara.

Akhlak bernegara meliputi: Mencintai tanah air, mendirikan

pemerintahan yang adil dan kuat serta menaatinya, mengembangkan

pendidikan, memerangi musuh dan mempertahankan tanah air, serta

menyusun tentara dan membangun pertahanan yang dapat membela

dan menjaga negara (Husein, 2004:21).

3. Akhlak Terhadap Lingkungan

Di samping akhlak kepada manusia, Allah juga memerintahkan

untuk berbuat baik kepada alam sekitar. Akhlak yang diajarkan Al-

Qur‟an terhadap lingkungan pada dasarnya bersumber dari fungsi

manusia sebagai khalifah yang menuntut adanya interaksi antara manusia

dengan sesamanya dan manusia terhadap alam. Kekhalifahan

33

mengandung arti pengayoman, pemeliharaan, serta bimbingan, agar

makhluk mencapai tujuan penciptaannya.

Dalam pandangan Islam, seseorang tidak dibenarkan mengambil

buah sebelum matang atau memetik bunga sebelum mekar, karena hal ini

berarti tidak memberi kesempatan kepada makhluk untuk mencapai

tujuan penciptaannya. Hal ini mengartikan bahwa manusia dituntut untuk

mampu menghormati proses-proses yang berjalan dan terhadap semua

proses yang terjadi. Yang demikian mengantarkan manusia bertanggung

jawab sehingga tidak melakukan perusakan.

Binatang, tumbuh-tumbuhan dan benda-benda tak bernyawa

semuanya diciptakan oleh Allah Swt. dan menjadi milik-Nya, semuanya

memiliki ketergantungan pada-Nya. Keyakinan ini menghantarkan

manusia untuk menyadari bahwa semuanya adalah “umat” yang harus

diperlakukan dengan wajar dan baik (Nata, 2013:129-130).

Uraian tersebut memperlihatkan bahwa akhlak Islami sangat

komprehensif, mencakup berbagai makhluk yang diciptakan Allah, tidak

hanya berbicara tentang hubungan dengan manusia, tetapi juga berbicara

tentang cara berhubungan dengan binatang, tumbuhan, air, dan

sebagainya. Dengan cara demikian, masing-masing makhluk akan

merasakan fungsi dan eksistensinya di dunia ini.

E. Klasifikasi Akhlak

Keadaan jiwa yang ada pada seseorang itu adakalanya melahirkan

perbuatan terpuji dan adakalanya melahirkan perbuatan tercela. Oleh karena

34

itu, akhlak ditinjau dari sifatnya diklasifikasikan menjadi dua yaitu akhlak

terpuji dan akhlak tercela (Supadie, dkk, 2012:224). Akhlak yang terpuji

(akhlaq al-mahmudah) adalah segala macam sikap baik (terpuji) yang perlu

diimplementasikan dalam hidup. Contohnya:

a. Mengesakan Allah. Nabi Muhammad Saw. diutus kepada manusia

dengan menyampaikan misi menyampaikan kalimat Tauhid, yaitu

menyembah kepada Allah semata dan tidak menyembah kepada selain-

Nya, karena itu, setiap muslim wajib beriman atau percaya bahwa Tuhan

itu Maha Esa.

b. Berbuat baik kepada orang tua, baik dalam keadaan masih hidup atau

sudah meninggal. Hanya dengan ridha orang tua, seorang anak dapat

menjalani hidupnya dengan damai dan selamat di dunia dan akhirat,

karena dengan ridha orang tualah Allah berkehendak menurunkan ridha-

Nya.

c. Merawat dan mendidik anak dengan kasih sayang. Sebagai amanat yang

dititipkan Allah kepada orang tua, anak wajib dirawat, dibesarkan, dan

diasuh dengan penuh kasih sayang serta mendidiknya dengan baik,

contohnya; memberikan asupan makanan yang bergizi, memenuhi

kebutuhan anak dari nafkah yang halal.

d. Ikhlas, secara bahasa berakar dari kata akhlasha yang berarti bersih,

jernih, murni, tidak bercampur. Secara terminologis, ikhlas adalah

berharap semata-mata mengharapkan ridha Allah Swt. Pendidikan akhlak

dalam Islam menegaskan pentingnya niat yang ikhlas karena Allah

35

semata, agar akhlak itu senantiasa orisinil tidak dibuat-buat yang berubah

karena perubahan jabatan, lingkungan, waktu, tempat, dan seseorang

yang diajak bergaul (Hafidz dan Kastolani, 2009:111).

Sedangkan akhlak yang Tercela (akhlaq al-madzmumah) adalah

segala macam sikap dan tingkah laku yang buruk (tercela). Contohnya:

a. Dusta atau bohong, yaitu pernyataan tentang sesuatu yang tidak sesuai

dengan keadaan yang sesungguhnya. Dusta tidak hanya berkaitan dengan

perkataan saja, tetapi juga dengan perbuatan (Supadie, 2012:226).

b. Membunuh. Pembunuhan tanpa dasar dilakukan sengaja merupakan

suatu kejahatan, sebab itu merupakan pelanggaran terhadap kreasi Allah

Swt. tidak ada bedanya antara kasus pembunuhan yang dilakukan

sendirian ataupun beramai-ramai, semua pelakunya akan masuk ke

neraka (Az-Zuhaili, 2013:192).

c. Zalim, berarti berbuat aniaya, tidak adil alam memutuskan perkara, berat

sebelah dalam tindakan atau mengambil hak orang lain. Perbuatan

tersebut disebabkan beberapa faktor, yaitu perasaan benci dan cinta, serta

mengutamakan kepentingan diri sendiri (Supadie, 2012:227).

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa pendidikan akhlak

yang harus diajarkan kepada manusia adalah akhlak terpuji dan akhlak

tercela. Akhlak terpuji diajarkan agar manusia selalu melakukan perbuatan

mulia yang diperintahkan Allah Swt., sedangkan akhlak tercela diajarkan

supaya manusia menghindarinya, mengetahui dampak dari perilaku tercela,

dan menjadikannya pelajaran agar tidak diterapkan dalam kehidupan.

36

BAB III

DESKRIPSI SURAT AL-AN’AM AYAT 151-153

A. Redaksi Ayat dan Terjemahan QS. Al-An’am Ayat 151-153

1. Redaksi ayat dan Terjemahan

37

Artinya:

151. “Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan

atas kamu oleh Tuhanmu Yaitu: janganlah kamu mempersekutukan

sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa,

dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut

kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka,

dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik

yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah

kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya)

melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar". demikian itu yang

diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya).

152. Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali

dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. dan

sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak

memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar kesanggupannya.

dan apabila kamu berkata, Maka hendaklah kamu Berlaku adil,

Kendatipun ia adalah kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah. yang

demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.

153. Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu

yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-

jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari

jalan-Nya. yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.”

(QS. Al-An‟am, 6:151-153).

2. Isi Pokok Kandungan

Surat Al-An‟am adalah surat ke-enam, al-An‟am berarti hewan

ternak, terdiri dari 165 dan termasuk golongan surat Makkiyah. Kata al-

An‟am ditemukan dalam surat ini sebanyak enam kali, dinamai al-An‟am

(hewan ternak) karena surat ini banyak menerangkan hukum-hukum yang

berhubungan dengan hewan ternak dan juga hubungan hewan tersebut

dengan adat istiadat serta kepercayaan orang-orang musyrik. Menurut

kepercayaan mereka, hewan tersebut dapat disembelih sebagai kurban

untuk mendekatkan diri kepada sesembahan mereka (Departemen Agama

RI, 2009:64).

38

Pokok-pokok isinya:

a. Keimanan

Bukti-bukti keesaan Allah serta kesempurnaan sifat-sifat-Nya;

tentang kenabian Muhammad; penegasan Allah atas kenabian

Ibrahim, Ishak, Ya‟kub, Nuh, Daud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa,

Harun, Zakaria, Yahya, Isa, Ilyas, Alyasa‟, Yunus, Luth; penegasan

tentang adanya risalah dan wahyu serta hari pembalasan dan hari

kebangkitan; sesatnya kepercayaan orang musyrik dan keingkaran

mereka terhadap hari kiamat.

b. Hukum

Larangan mengikuti adat istiadat yang dibuat-buat oleh kaum

jahiliyah; makan yang halal dan yang haram; sepuluh wasiat dalam

dalam Al-Qur‟an; Tauhid, keadilan dan hukum, dan larangan mencaci

maki berhala.

c. Kisah

Kisah umat-umat terdahulu yang menentang rasul-rasul; kisah

pengalaman Nabi Muhammad dan para nabi; dan cerita Nabi Ibrahim

membimbing kaumnya kepada agama Tauhid.

d. Lain-lain

Sikap keras kepala kaum musyrik; cara nabi memimpin

umatnya; bidang-bidang kerasulan dan tugas-tugasnya. Tantangan

kaum musyrik untuk melemahkan rasul; kepercayaan orang-orang

musyrik terhadap jin, setan, dan malaikat; beberapa prinsip

39

keagamaan dan kemasyarakatan, dan lain-lain (Departemen Agama

RI, 2009:64).

3. Asbab An-Nuzul

Asbab an-nuzul memiliki arti turunnya ayat-ayat Al-Qur‟an yang

ditrunkan oleh Allah Swt. kepada Nabi Muhammad Saw. secara

berangsur-angsur bertujuan untuk memperbaiki akidah, ibadah, akhlak,

dan pergaulan manusia yang sudah menyimpang dari kebenaran. Karena

itu dapat dikatakan bahwa terjadinya penyimpangan dan kerusakan dalam

tatanan manusia menjadi sebab turunnya Al-Qur‟an. Asbab an-nuzul

(sebab turunnya ayat) di sini maksudnya sebab-sebab yang secara khusus

berkaitan dengan turunnya ayat-ayat tertentu. Sedangkan menurut

sebagian ulama seperti Imam Asy-Sya‟bi mengatakan turunnya Al-

Qur‟an ke Baitul Izzah pertama-tama dimulai dari malam lailatul qadar,

setelah itu turun secara berangsur-angsur sedikit demi sedikit dalam

berbagai kesempatan dari beberapa waktu yang berlainan (Djalal,

2012:51-55).

Ibnu Kasir (1999:189) mengambil dari Al-Hakim yang

meriwayatkan dalam kitab Mustadraknya, dari Jabir, “Tatkala surat al-

An‟am turun, Rasulullah Saw. bertasbih kemudian bersabda:

لقد شيع هذه السورة من الملئكة ماسد الفق

“Surat ini diantarkan oleh malaikat yang memenuhi cakrawala.” (HR al-

Hakim).

40

Dalam tafsir Al-Misbah (Shihab, 2012:313), surat al-An‟am ayat

151-153, menurut sejumlah riwayat, keseluruhan ayat-ayatnya turun

sekaligus. Pakar hadis at-Thabrani meriwayatkan, surat ini diantar oleh

tujuh puluh ribu malaikat dengan alunan tasbih.

Di samping keterangan tersebut, sebagian ulama mengecualikan

beberapa ayat – sekitar enam ayat yang menurut mereka turun setelah

nabi berhijrah ke Madinah, yaitu ayat 90, 93, dan 151-153, karena ada

riwayat yang hanya menyebutkan dua ayat, yaitu ayat 90 dan 91. Riwayat

lain bahkan hanya mengatakan satu ayat, yaitu ayat 90. Tetapi riwayat-

riwayat itu mengandung kelemahan-kelemahan, apalagi seperti tulis pakar

tafsir dan hadis Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, “Banyak riwayat

mengatakan seluruh ayat ini turun sekaligus. Persoalan yang

diinformasikan riwayat itu bukan persoalan ijtihad atau nalar tetapi

sejarah, bukan juga persoalan yang berhubungan dengan hawa nafsu yang

dapat mengantar kepada penolakannya, atau persoalan redaksi, yang bisa

menjadikannya memiliki kelemahan. Karena itu, riwayat-riwayat yang

turunnya seluruh ayat-ayat surat ini sekaligus pastilah punya dasar yang

dapat dipertanggungjawabkan”.

Di sisi lain, riwayat pengecualian beberapa ayat yang dikemukakan

dinilai oleh sekian banyak ulama memiliki kelemahan-kelemahan,

sehingga tidak wajar bila dijadikan dasar untuk menolak riwayat yang

demikian banyak tentang turunnya surat ini sekaligus. Riwayat yang lebih

banyak, karena lemah, dapat saling memperkuat.

41

Tidak ada surat panjang lain yang turun sekaligus kecuali surat al-

An‟am ini, hal ini untuk membuktikan bahwa Allah mampu

menurunkannya sekaligus tanpa berbeda mutu, karena kemaslahatan

menuntut diturunkannya sedikit demi sedikit.

Turunnya sekaligus seluruh ayat surat ini tidak menjadikan riwayat

sebab nuzul beberapa ayatnya harus ditolak. Karena seperti diketahui,

sebab nuzul tidak harus dipahami dalam arti peristiwa yang menjelang

turunnya ayat. Tetapi juga dipahami dalam arti peristiwa-peristiwa yang

petunjuk dan hukumnya dikandung oleh ayat yang bersangkutan, selama

peristiwa yang dinyatakan sebagai sebab nuzul itu terjadi pada periode

turunnya Al-Qur‟an. Baik terjadi sebelum maupun sesudah turunnya ayat

yang dimaksud.

Dalam tafsir Al-Misbah (Shihab, 2012:314), Imam Suyuthi

menyebut riwayat yang memnginformasikan bahwa surat ini turun di

waktu malam, dan bumi bergoncang menyambut kehadirannya. Riwayat-

riwayat yang disinggung di atas oleh sebagian ulama dinilai sebagai

riwayat-riwayat yang dha‟if atau lemah. Karena itu, tidak halangan untuk

mengakui turunnya surat ini sekaligus. Apalagi seperti tulis Al-Baqi‟,

tujuan utama surat ini adalah memantapkan tauhid dan ushuluddin atau

prinsip-prinsip ajaran agama.

Dalam tafsir Al-Misbah (Shihab, 2012:315), Sayyid Quthub

memulai tafsirnya tentang surat ini dengan menguraikan ciri-ciri surat

Makkiyah, di mana surat al-An‟am merupakan salah satu diantaranya.

42

Pakar ini menulis bahwa surat-surat Makkiyah berkisar pada uraian

tentang wujud manusia di alam raya dan kesudahannya, tentang

hubungannya dengan alam dan makhluk hidup lainnya, serta

hubungannya dengan Pencipta alam kehidupan. Uraian surat ini tidak

berbeda dengan tema tersebut. Di sini ayat-ayatnya berbicara tentang

ketuhanan dan penghambaan diri makhluk kepada-Nya, baik di langit

maupun di bumi.

Sayyid Quthub juga meggarisbawahi nama surat al-An‟am. Oleh

pakar, penamaan surat ini dikembalikan pada kenyataan yang hidup

dalam masyarakat ketika itu, berkaitan dengan hakikat hubungan manusia

dengan Allah Swt. masyarakat jahiliyah ketika itu memberi hak kepada

diri mereka untuk menghalalkan yang haram dan mengharamkan

sembelihan, makanan, serta aneka ibadat yang berkaitan dengan binatang,

buah-buahan, bahkan anak-anak. Oleh karena itu, ayat-ayat surat al-

An‟am bermaksud membatalkan pandangan jahiliah itu, agar di dalam

hati manusia tertanam hakikat yang diajarkan oleh ajaran agama ini. Yaitu

hak menghalalkan dan mengharamkan hanyalah wewenang Allah, dan

setiap bagian terkecil bagian kehidupan manusia harus sepenuhnya

tunduk kepada ketentuan hukum-hukum Allah Swt. Dengan demikian,

pada hakikatnya surat ini bertujuan memantapkan tauhid, ushuluddin

sekaligus memantapkan kewenangan Allah Swt. dalam segala persoalan.

Di sini pula maka wajar jika dia turun sekaligus tidak bertahap.

43

Memang, prinsip-prinsip ajaran agama tidak ditetapkan Allah Swt.

secara berahap, berbeda dengan tuntutan yang berkaitan dengan hukum.

Pada dasarnya hukum menuntut pelaksanaan dengan melakukan yang

diperintahkan dan meninggalkan yang dilarang. Jika hukum-hukum yang

beraneka ragam dan mencakup banyak hal yang turun sekaligus, tentu

yang dituntut melaksanakannya akan mengalami kesulitan, terlebih jika

ketetapan yang dituntut itu tidak sejalan dengan kebiasaan selama ini.

Itulah sebabnya, dalam bidang hukum Al-Qur‟an sering kali menempuh

cara bertahap seperti yang terlihat dalam tuntutan meninggalkan minuman

keras (Shihab, 2012:315-316).

4. Munasabah Ayat dan Surat

Munasabah secara etimologi berarti kedekatan (al-muraqabah) dan

kemiripan atau keserupaan (al-musyakalah), munasabah juga berarti

hubungan atau persesuaian. Secara terminologi, munasabah adalah ilmu

Al-Qur‟an yang digunakan untuk mengetahui hubungan antar ayat atau

surat dalam Al-Qur‟an secara keseluruhan dan latar belakang penempatan

tertib ayat dan suratnya. Menurut Shihab, sebagaimana yang dikutip oleh

Baidan bahwa munasabah adalah kemirip-miripan yang terdapat pada hal-

hal tertentu dalam Al-Qur‟an baik surat maupun ayatnya yang

menghubungkan uraian satu dengan yang lainnya (Baidan, 2010:184-

185). Adapun relevansinya yaitu:

44

a. Munasabah Surat Al-An’am dengan Surat Al-Maidah

Surat al-An‟am merupakan surat ke-6 diturunkan di Makkah

sebelum nabi berhijrah. Dinamai al-An‟am karena surat ini banyak

menerangkan hukum-hukum yang berhubungan dengan hewan ternak

dan juga hubungan hewan tersebut dengan adat istiadat serta

kepercayaan orang-orang musyrik.

Surat al-Maidah adalah surat ke-5 yang diturunkan di Madinah

sesudah nabi berhijrah dan berjumlah 120 ayat. Dalam surat ini,

beberapa kali Allah menegaskan bahwa Nabi Isa dan ibunya bukanlah

Tuhan sebagaimana anggapan banyak orang Nasrani di Najran. Nabi

Isa adalah seperti rasul-rasul lain, yang mengajak Bani Israil untuk

mengesakan Allah dan menaati perintah-perintah-Nya. Dalil yang

menunjukkan hal tersebut yaitu firman Allah:

45

Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman: "Hai Isa

putera Maryam, Adakah kamu mengatakan kepada manusia:

"Jadikanlah aku dan ibuku dua orang Tuhan selain Allah?". Isa

menjawab: "Maha suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa

yang bukan hakku (mengatakannya). jika aku pernah mengatakan

Maka tentulah Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku

tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya

Engkau Maha mengetahui perkara yang ghaib-ghaib".

“Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa

yang Engkau perintahkan kepadaku (mengatakan)nya Yaitu:

"Sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu", dan adalah aku menjadi

saksi terhadap mereka, selama aku berada di antara mereka. Maka

setelah Engkau wafatkan Aku, Engkau-lah yang mengawasi mereka.

dan Engkau adalah Maha menyaksikan atas segala sesuatu.” (QS. Al-

Ma‟idah, 5:116-117).

Maka, pada surat al-An‟am dijelaskan tentang kekuasaan Allah

dalam penciptaan langit, bumi, dan semua isinya, termasuk manusia.

Allah juga memberi petunjuk kepada manusia untuk memilih jalan

yang terang yaitu keimanan, serta meninggalakan jalan yang sesat

yaitu jalan kegelapan. Dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah

firman Allah dalam surat al-An‟am ayat 153:

Artinya: “Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah

jalanKu yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu

mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai

46

beraikan kamu dari jalanNya. yang demikian itu diperintahkan Allah

agar kamu bertakwa.” (QS. Al-An‟am, 6:152).

Kemudian, Firman Allah:

Artinya: “Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan

apa yang ada di dalamnya; dan Dia Maha Kuasa atas segala

sesuatu.” (QS. Al-Ma‟idah, 5:120).

Pada akhir surat al-Ma‟idah tersebut, ditegaskan bahwa milik

Allahlah kerajaan langit dan bumi serta segala apa yang terdapat di

dalamnya, Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Pada awal surat al-

An‟am, Allah menegaskan pula bahwa segala puji adalah milik-Nya

yang menciptakan seluruh jagat raya beserta isinya, dan Allah pula

yang menjadikan gelap dan terang dalam kehidupan manusia

(Departemen Agama RI, 2009:65).

Dalam tafsir Al-Maraghi (1992:112), relevansi antara surat al-

An‟am dengan surat al-Maidah adalah sebagai berikut:

1) Sebagian besar kandungan surat al-Maidah menerangkan tentang

bantahan dengan Ahli Kitab, sedang sebagian besar surat al-

An‟am menerangkan tentang bantahan terhadap kaum musyrikin.

2) Surat al-An‟am berisi hukum-hukum tentang makanan yang

diharamkan dan binatang sembelihan diterangkan secara ijmal

(global), sedangkaan surat al-Ma‟idah diterangkan secara rinci,

dan ia diturunkan kemudian.

47

3) Surat al-An‟am dimulai dengan pujian terhadap Allah, sedangkan

surat al-Ma‟idah ditutup dengan penetapan hukum.

b. Munasabah Ayat

Dalam tafsir Al-Qur‟an dan Tafsirnya (Departemen Agama RI,

2009:296), surat al-An‟am ayat 151-153 memiliki munasabah

(korelasi) dengan ayat sebelumnya. Dalam ayat sebelumnya yaitu ayat

145-150 diterangkan beberapa jenis hewan yang diharamkan dan

bantahan kaum musyrikin yang mengharamkan sesuatu yang tidak

diharamkan Allah bagi mereka, serta penolakan alasan mereka yang

dibuat-buat untuk membenarkan kemusyrikan mereka dalam surat al-

An‟am:

48

Artinya: “Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu

yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang

yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau

darah yang mengalir atau daging babi - karena Sesungguhnya semua

itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.

Barangsiapa yang dalam Keadaan terpaksa, sedang Dia tidak

menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka

Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Dan kepada orang-orang Yahudi, Kami haramkan segala

binatang yang berkuku dan dari sapi dan domba, Kami haramkan atas

mereka lemak dari kedua binatang itu, selain lemak yang melekat di

49

punggung keduanya atau yang di perut besar dan usus atau yang

bercampur dengan tulang. Demikianlah Kami hukum mereka

disebabkan kedurhakaan mereka; dan Sesungguhnya Kami adalah

Maha benar.

Maka jika mereka mendustakan kamu, Katakanlah: "Tuhanmu

mempunyai rahmat yang luas; dan siksa-Nya tidak dapat ditolak dari

kaum yang berdosa.

Orang-orang yang mempersekutukan Tuhan, akan

mengatakan: "Jika Allah menghendaki, niscaya Kami dan bapak-

bapak Kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) Kami

mengharamkan barang sesuatu apapun." demikian pulalah orang-

orang sebelum mereka telah mendustakan (para Rasul) sampai mereka

merasakan siksaan kami. Katakanlah: "Adakah kamu mempunyai

sesuatu pengetahuan sehingga dapat kamu mengemukakannya kepada

kami?" kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu

tidak lain hanyalah berdusta.

Katakanlah: "Allah mempunyai hujjah yang jelas lagi kuat;

Maka jika Dia menghendaki, pasti Dia memberi petunjuk kepada kamu

semuanya".

Katakanlah: "Bawalah kemari saksi-saksi kamu yang dapat

mempersaksikan bahwasanya Allah telah mengharamkan (makanan

yang kamu) haramkan ini" jika mereka mempersaksikan, Maka

janganlah kamu ikut pula menjadi saksi bersama mereka; dan

janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang

mendustakan ayat-ayat Kami, dan orang-orang yang tidak beriman

kepada kehidupan akhirat, sedang mereka mempersekutukan Tuhan

mereka.” (QS. Al-An‟am, 6:145-150).

Sedangkan pada ayat 151-153 ini diterangkan beberapa pokok

larangan yang bersangkutan dengan perkataan dan perbuatan, sifat

yang utama dan beberapa macam kebajikan. Pokok-pokok ajaran itu

terkenal dengan “al-Wasaya al-„Asyr” (Sepuluh Perintah Tuhan).

B. Tafsir QS. Al-An’am Ayat 151-153

1. Ayat 151

Dalam tafsir Al-Qur‟an dan Tafsirnya (Departemen Agama RI,

2009:269), permulaan ayat 151 menerangkan tentang perintah Allah

kepada Nabi Muhammad Saw. agar mengatakan kepada kaum

50

musyrikin yang menetapkan hukum menurut kehendak hawa nafsunya

bahwa ia akan membacakan wahyu yang akan diturunkan Allah

kepadanya. Wahyu tersebut memuat beberapa ketentuan tentang hal-

hal yang diharamkan kepada mereka. Ketentuan-ketentuan itu

datangnya dari Allah, maka kententuan-ketentuan itulah yang harus

ditaati karena Dia sendirilah yang berhak menentukan ketentuan

hukum dengan perantara wahyu yang disampaikan oleh malaikat

kepada Rasul-Nya, yang memang diutus untuk menyampaikan

ketentuan-ketentuan hukum kepada umat manusia.

Ketentuan-ketentuan hukum yang disampaikan rasul kepada

kaum musyrikin itu berintikan 10 ajaran pokok yang sangat penting,

yang menjadi inti dari agama Islam dan semua agama yang diturunkan

Allah ke dunia. Lima ketentuan di antara sepuluh ketentuan itu

terdapat dalam ayat ini, empat buah di antaranya terdapat dalam ayat

berikutnya (152), sedang satu ketentuan lagi terdapat dalam ayat 153.

Para ulama menamakan sepuluh ajaran pokok itu “al-washaya

al-„Asyr” (sepuluh perintah), yang mana dalam ayat 151 ini disebutkan

lima yaitu:

a. Jangan mempersekutukan Allah

b. Berbuat baik kepada orang tua (ibu dan bapak)

c. Jangan membunuh anak karena kemiskinan

d. Jangan mendekati (berbuat) kejahatan secara terang-teraangan

maupun secara tersembunyi

51

e. Jangan membunuh jiwa yang diharamkan membunuhnya

Adapun larangan tidak boleh mempersekutukan Allah adalah

pokok pertama yang paling mutlak, baik dengan perkataan atau dengan

i‟tiqad. Seperti mempercayai bahwa Tuhan itu bersekutu, atau dengan

perbuatan seperti menyembah berhala-berhala atau sembahan-

sembahan lain.

Setelah Allah memerintahkan manusia agar bertauhid dan

jangan mempersekutukan-Nya, maka Allah memerintahkan manusia

agar berbuat baik terhadap kedua orang tua. Urutan ini jelas

menerangkan bagaimana bagaimana pentingnya berbuat baik terhadap

kedua orang tua, meskipun mereka salah atau menyuruh anaknya

mempersekutukan Tuhan, namun seorang anak tetap harus berbuat

baik kepada mereka di dunia ini, dan harus menolak dengan sopan

tentang suruhan atau ajakan orang tua untuk menyekutukan Tuhan,

sebagaimana firman Allah:

...

Artinya: “Dan jika keduanya memaksamu untuk

mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu

tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan

pergaulilah keduanya di dunia dengan baik....” (QS. Luqman, 31:15(.

Yang dimaksud berbuat baik terhadap kedua orang tua adalah

menghormati keduanya, baik dengan perkataan maupun dengan

52

perbuatan dengan penuh rasa cinta dan kasih sayang, bukan karena

takut atau terpaksa. Penghormatan tersebut wajib, di samping

kewajiban anak membelanjai ibu bapaknya yang tidak mampu, sesuai

dengan kesanggupan anak itu.

Perintah berbuat baik kepada orang tua diikuti dengan larangan

kepada orang tua membunuh anak mereka karena takut kemiskinan,

karena Tuhan akan memberi rizki kepada mereka dan anak-anak

mereka.

Pada ayat ini Allah melarang mendekati perbuatan-perbuatan

keji apalagi mengerjakannya, baik perbuatan seperti; berzina atau

menuduh orang berbuat zina, baik dilakukan terang-terangan atau

sembunyi.

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas dalam menafsirkan ayat ini,

pada masa Jahiliyyah orang-orang tidak memandang jahat melakukan

zina secara tersembunyi, tetapi mereka memandang jahat jika

dilakukan dengan ternag-terangan. Maka, dengan ayat ini Allah

mengharamkan zina secara terang-terangan atau tersembunyi.

Pendapat lain mengatakan bahwa yang dimaksud dengan perbuatan

yang nampak (terang) ialah semua perbuatan dengan anggota tubuh,

sedangkan yang tersembunyi adalah perbuatan hati seperti takabur, iri

hati dan sebagainya. Pada ayat ini Allah juga melarang pula

membunuh jiwa tanpa sebab yang benar menurut ajaran Tuhan.

53

Setelah diterangkan lima dari ajaran pokok yang sangat penting

tersebut, Allah mengakhiri ayat ini dengan suatu penegasan yang

maksudnya: demikian itulah yang diperintahkan Tuhan kepadamu agar

kamu memahami tujuannya bukan seperti tindakanmu yang

menghalalkan dan mengharamkan sesuatu menurut hawa nafsu

(Departemen Agama RI, 2009:269-272).

Dalam Tafsir Al-Misbah (Shihab, 2001:330) Ayat ini

memerintahkan Rasul Saw. agar mengajak mereka meninggalkan

posisi yang rendah dan hina yang tercermin pada kebejatan moral dan

penghambaan diri kepada selain Allah Swt. menuju ketinggian derajat

dan keluhuran budi pekerti. Pertama dan yang paling utama adalah

larangan mempersekutukan Allah.

Kedua, setelah menyebut causa prima, penyebaab dari segala

sebab wujud dan sumber segala nikmat, disebutnya penyebab

perantara yang berperan dalam kelahiran manusia, sekaligus wajib

disyukuri yakni ibu bapak. Karena itu, disusulkan dan dirangkaikan

perintah pertama dengan perintah ini dalam makna larangan

mendurhakai ibu bapak, sedemikian tegasnya sehingga dikemukakan

dalam bentuk perintah berbakti, yakni dan berbuat baiklah secara dekat

dan melekat kepada kedua orang ibu bapak secara khusus dan

istimewa dengan berbuat kebaktian yang banyak lagi mantap atas

dorongan rasa kasih kepada mereka.

54

Ketiga, setelah menyebut sebab perantara keberadaan manusia

di bumi, dilanjutkan pesan berupa larangan menghilangkan keberadaan

itu yakni larangan membunuh anak karena khawatir ditimpa

kemiskinan dan menyebabkan prasangka bahwa bila seorang anak

lahir akan menambah beban. Sumber rizki hanyalah Allah dan manusia

tinggal berusaha mendapatkannya.

Setelah melarang kekejian yang terbesar setelah syirik, yaitu

durhaka kepada orang tua dan membunuh, kini dilarang mendekati

segala macam kekejian yang menjadi pengajaran keempat, yaitu

jangan mendekati perbuatan-perbuatan keji, seperti membunuh dan

berzina, baik terang-terangan ataupun tersembunyi. Kelima, disebut

secara khusus satu contoh yang sangat buruk dari kekejian itu yakni

larangan membunuh jiwa yang diharamkan Allah tanpa sebab yang

dibenarkan, yaitu berdasarkan ketetapan hukum yang jelas (Shihab,

2012:728-729).

Jadi, ayat ke 151 mengandung tuntunan umum menyangkut

prinsip dasar kehidupan yang bersendi kepercayaan akan keesaan

Allah Swt. hubungan antara sesama berdasarkan hak asasi,

kehormatan, dan kejauhan dari segala bentuk kekejian akhlak.

2. Ayat 152

Dalam tafsir Al-Qur‟an dan Tafsirnya (Departemen Agama RI,

2009:272), Setelah ayat sebelumnya menyebut lima wasiat Allah yang

merupakan larangan-larangan mutlak, ayat ke-152 dilanjutkan dengan

55

larangan yang berkaitan dengan harta setelah sebelumnya pada

larangan kelima disebut tentang nyawa, karena harta adalah sesuatu

yang nilainya sesudah nyawa.

Adapun larangan mendekati harta anak yatim maksudnya,

siapapun tidak boleh mendekati, menggunakan atau memanfaatkan

harta anak yatim baik dari pihak wali maupun dari pihak lain kecuali

pendekatan itu bertujuan untuk memelihara dan mengembangkan harta

anak yatim. Jika anak yatim itu sudah dewasa barulah diserahkan harta

itu kepadanya. Mengenai usia, para ulama menyatakan sekitar 15-18

tahun atau dengan melihat situasi dan kondisi anak, mengingat

kedewasaan tidak hanya didasarkan pada usia tetapi pada kematangan

emosi dan tanggung jawab sehingga bisa memelihara dan

mengembangkan hartanya dan tidak berfoya-foya atau

menghamburkan warisannya. Disebutkan dalam firman Allah:

Artinya: “Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu

menakar dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih

utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. Al-Isra‟, 17:35).

Perintah Tuhan menyempurnakan takaran dan timbangan

adalah sekedar menurut kemampuan yang biasa dilaksanakan dalam

soal ini, karena Tuhan tidak memberati hamba-Nya melainkan sesuai

dengan kemampunnya. Yang penting tidak ada unsur penipuan. Yang

56

dimaksud tentang keharusan berkata adil kendati pun terhadap

keluarga ialah setiap perkataan terutama dalam memberikan

kesaksiandan putusan hukum. Ini sangat penting bagi setiap

pembangunan terutama di bidang akhlak dan sosial tanpa membedakan

orang lain dengan kaum kerabat.

Ayat ini diakhiri dengan ungkapan “semoga kamu ingat”,

sebab semua perintah atau larangan tersebut dalam ayat ini pada

umumnya diketahui dan dilaksanakan orang-orang Arab Jahiliyah,

bahkan mereka bangga karena memiliki sifat-sifat terpuji itu. Jadi ayat

ini megingatkan agar mereka tidak lupa atau agar mereka saling

mengingatkan pentingnya melaksanakan perintah Allah tersebut

(Departemen Agama RI, 2009:274).

M. Quraish Shihab (2012:735) mengemukakan bahwa pada

ayat ini larangan tentang harta dimulai dengan larangan yang keenam

yaitu larangan mendekati harta kaum lemah, yakni anak-anak yatim,

hal ini sangat wajar karena anak-anak yatim tidak dapat melindungi

diri dari penganiayaan akibat kelemahannya, larangan ini tidak sekedar

melarang memakan atau menggunakan, tetapi juga larangan

mendekati.

Dalam mengelola harta termasuk menyerahkan harta anak

yatim, memerlukan tolok ukur, timbangan dan takaran. Maka dalam

ayat ini menyebut wasiat yang ketujuh, yaitu menyempurnakan takaran

57

dan timbangan dengan adil, sehingga kedua belah pihak yang

menimbang dan ditimbangkan merasa senang tidak dirugikan.

Selanjutnya larangan yang kedelapan menyangkut ucapan,

karena ucapan berkaitan dengan penetapan hukum, termasuk dalam

menyampaikan hasil ukuran dan timbangan, lebih-lebih karena

manusia sering kali bersifat egois dan memihak kepada keluarganya.

Untuk itu, dinyatakan bahwa apabila seseorang berucap seperti

menetapkan hukum, persaksian, atau menyampaikan berita maka

janganlah curang dan berbohong. Berlaku adillah tanpa

mempertimbangkan hubungan kekerabatan dan dan kedekatan.

Wasiat yang kesembilan mencakup ucapan dan perbuatan,

yaitu jangan melanggar janji yang kamu ikat dengan dirimu, orang lain

atau dengan Allah. Penuhilah janji Allah itu karena kesemuanya

disaksikan oleh-Nya, dan yang demikian itu diwasiatkan kepada kamu

agar kamu terus menerus ingat, bahwa itulah yang terbaik bagi semua.

Dalam pengamatan sejumlah ulama Al-Qur‟an, ayat-ayat yang

menggunakan kata-kata jangan mendekati seperti ayat di atas biasanya

merupakan larangan mendekati sesuatu yang dapat merangsang jiwa

atau nafsu untuk melakukannya. Dengan demikian, larangan

mendekati mengandung makna larangan untuk tidak terjerumus dalam

rayuan sesuatu yang berpotensi mengantar kepada langkah

melakukannya. Adapun pelanggaran yang tidak memiliki rangsangan

58

yang kuat, biasanya larangan langsung tertuju pada perbuatan itu,

bukan larangan mendekatinya.

Dalam hal ini, M. Quraisy Syihab (2012:338) berkata bahwa

ayat di atas menggunakan bentuk perintah menyangkut takaran dan

timbangan. Menurut Thahir Ibn „Asyur, hal tersebut mengisyaratkan

bahwa mereka dituntut untuk memenuhi secara sempurna timbangan

dan takaran. Perintah ini juga mengandung dorongan untuk

meningkatkan kemurahan hati dan kedermawanan yang merupakan

salah satu sifat terpuji.

Ayat ini juga menggunakan bentuk perintah menyangkut

berucap yang adil. Hal ini mengisyaratakan bahwa yang disukai Allah

adalah menampakkan sesuatu yang haq, tetapi dalam saat yang sama ia

adil dan bahwa seseorang seharusnya tidak berdiam diri dalam

menghadapi kebenaran.

Ayat ini ditutup dengan wasiat kesembilan yaitu perintah

memenuhi janji Allah. Rangkaian kedua kata ini dapat berarti apa yang

ditetapkan Allah yang dalam ini adalah syariat agama bisa juga dalam

arti apa yang kamu telah janjikan kepada Allah untuk melakukannya

dan yang telah kamu akui atau bisa juga berarti perjanjian yang Allah

perintahkan untuk dipelihara dan dipenuhi.

3. Ayat 153

Dalam tafsir Al-Qur‟an dan Tafsirnya (Departemen Agama RI,

2009:274), ayat 153 menerangkan bahwa Rasulullah diperintahkan

59

untuk menjelaskan kepada kaumnya bahwa ayat Al-Qur‟an yang

mengajak kepada jalan yang benar, menghimbau mereka agar

mengikuti ajaran Al-Qur‟an demi kepentingan hidup mereka, karena

Al-Qur‟an adalah pedoman dan petunjuk dari Allah untuk memperoleh

kebahagiaan dunia dan akhirat yang diridhai-Nya. Inilah jalan yang

lurus, ikutilah, dan jangan mengikuti jalan lain yang akan menyesatkan

kamu dari jalan Allah.

Dalam Sunan Ahmad, an-Nasa‟i, Abu Syaikh dan al-Hakim

dari Abdullah bin Mas‟ud, diriwayatkan dalam sebuah hadis yang

maksudnya: Aku dan beberapa sahabat lainnya duduk bersama

Rasulullah, lalu Rasulullah membuat garis lurus dengan tangannya dan

bersabda, “ini jalan-jalan yang sesat.” Pada setiap ujung jalan dari

jalan-jalan itu ada setan yang mengajak manusia menempuhnya,

kemudian Rasulullah membaca ayat ini (al-An‟am/6:152).

Para ahli tafsir mengatakan bahwa bercerai berai dalam agama

Islam karena perbedaan mazhab dilarang oleh Allah, karena

melemahkan persatuuan mereka dan sangat membahayakan agama itu

sendiri. Kemudian ayat 153 ini diakhiri dengan anjuran bertakwa

karena dengan bertakwalah dapat dicapai kebahagiaan dunia dan

akhirat yang diridhai Allah Swt (Departemen Agama RI, 2009:274).

M. Quraish Shihab (2001:151) mengatakan bahwa ayat ini

melanjutkan wasiat yang kesepuluh yaitu firman Allah yang

penafsirannya adalah: dan bahwa ini, yakni kandungan wasiat-wasiat

60

yang disebut di atas atau ajaran Islam keseluruhan adalah jalan-Ku

yang lapang lagi lurus, maka ikutilah dia dengan kesungguhan dan

janganlah kamu mengikuti jalan-jalan lain yang bertentangan dengan

jalan-Ku ini, karena jalan-jalan itu adalah jalan yang sesat, sehingga

bila kamu mengikuti ia mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya yang

lurus lagi lapang itu. Yang demikian, yakni wasiat-wasiat yang

sungguh tinggi nilainya itu diwasiatkan kepada kamu agar kamu

bertakwa, sehingga terhindar dari segala macam bencana.

Ketiga ayat di atas menekankan bahwa kesepuluh tuntunan

Allah itu merupakan wasiat-Nya. Wasiat adalah perintah yang baik dan

bermanfaat lagi menyentuh akal dan perasaan agar dilaksanakan oleh

yang diperintah walau di luar kehadiran yang memerintahkannya.

Melaksanakan perintah tanpa kehadiran yang memerintahkannya

merupakan bukti kesadaran pelakunya tentang pelaksanaan perintah itu

serta bukti keikhlasan melakukannya.

Dapat disimpulkan bahwa ayat ke-153 mengandung prinsip

umum yang menyangkut segala tuntunan kebajikan, yaitu mengikuti

jalan kedamaian, jalan Islam, dan memperingatkan agar tidak mencari

jalan kebahagiaan yang menyimpang dari jalan Allah tersebut.

Quraish Shihab mengambil dari pakar tafsir, Fakhrur ar-razi,

yang digelari dengan ”Al-Imam”, diikuti dan dikembangkan

pendapatnya oleh banyak mufasir, lebih kurang menyatakan bahwa

ayat 151 mengandung pesan menyangkut perintah dan larangan yang

61

sangat jelas dan terang. Manusia dapat mengetahui betapa buruknya

hal-hal tersebut dengan mudah. Siapa yang menggunakan akalnya, dia

pasti mengetahui betapa buruknya mempersekutukan Allah, durhaka

pada orangtua, membunuh, dan lain-lain kekejian yang disebut disana.

Manusia yang di anugerahi akal tidak akan melangkahkan kaki ke arah

sana, kecuali jika telah dipengaruhi oleh hawa nafsunya. Karena itu,

ayat ini menekankan bahwa cukup dengan menggunakan akal yang

sehat manusia akan terdorong untuk menghindarinya. Atau,

kesemuanya harus dipahami baik dengan menggunakan akal yang

sehat. Karena itu, ayat tersebut ditutup dengan agar kamu memahami.

pesan-pesan ayat itu sangat agung lagi mulia, sehingga ia ditutup

dengan menyebut akal yang merupakan sesuatu yang paling agung dan

mulia pada diri manusia, sejalan dengan agung dan mulianya kelima

persoalan yang diuraikan ayat tersebut.

Ayat 152 ditutup dengan ( لعلكم تذكرون) la`llakum tadzakkarun/

agar kamu mengingat. Menurut al-Iskafi dalam tafsir Al Misbah,

karena larangan-larangan disana lebih banyak berkaitan dengan harta,

untuk itu ayat ini megundang manusia mengingat bagaimana jika hal

tersebut terjadi pada diri dan anak-anak mereka. Sedangkan, menurut

Thabathaba`i, yang mengembangkan pendapat ar-Razi, bahwa 4

persoalan yang dirangkum oleh ayat itu adalah hal-hal yang sulit dan

memerlukan penalaran sehingga diperlukan pemikiran dan ingatan

untuk mempertimbangkan kemaslahatan dan mudharat yang di

62

akibatkannya dalam berkehidupan bermasyarakat. Apalagi yang dapat

tersisa dari kebajikan satu masyarakat bila yang kuat atau besar tidak

lagi menyayangi yang lemah atau kecil, bila terjadi kecurangan dalam

timbangan dan takaran, atau bila tidak ada lagi kepastian dan keadilan

hukum? Karena itu, ayat ini ditutup dengan kalimat agar kamu

mengingat. An-Naisaburi menilai bahwa melanggar keempat wasiat

yang dikandung ayat 152 adalah amat buruk. Pesan ayat itu

mengandung peringatan keras dan tuntunan, karena itu, ia ditutup

dengan kata yang menunjuk kepada peringatan itu.

Ayat 153 ditutup dengan ( قون ت ت لعلكم ) la`allakum tattaqun/agar

kamu bertakwa/menghindari dari bencana dan siksa oleh al-Iskafi

dinilai mengandung tuntunan bahwa agama yang disyariatkan Allah

swt. merupakan jalan menuju kebahagiaan abadi. Karena itu ayat ini

menelusuri jalan itu dan tidak menoleh ke jalan-jalan lain sehingga

dapat menghindari kedurhakaan sekaligus dapat bertakwa, yakni

menghindari bencana dan siksa-Nya.

Dapat dikatakan bahwa kebanyakan wasiat ayat pertama

menggunakan bentuk redaksi larangan, yakni mencegah, sehingga

sangat wajar jika ia ditutup dengan kata yang mengandung makna

pencegahaan, yaitu ta`qilun, karena akal adalah “tali” yang mengikat

sesuatu sehingga mencegah kebebasannya. Akal pada manusia adalah

sesuatu yang menghalangi dan mencegah seseorang terjerumus dalam

kesalahan. Adapun ayat 152, kebanyakan wasiatnya disampaikan

63

dalam bentuk perintah, sementara larangan yang dikandungnya tidak

secara eksplisit dan nyata. Untuk mengindahkan wasiat-wasiat itu,

diperlukan daya ingat terus-menerus. Oleh karena itu, ayat 152 ditutup

dengan kalimat agar kamu mengingat secara terus-menerus.

Dalam hal ini, M. Quraish Shihab (2012:153-154)

mengemukakan bahwa kebanyakan wasiat ayat pertama menggunakan

bentuk redaksi larangan, yakni mencengah, maka sangat wajar jika

ditutup dengan kata yang mengandung makna pencegahan, yaitu

ta‟qillun, karena akal adalah “tali” yang mengikat sesuatu, sehingga

mencegah kebebasannya.

Adapun ayat 152 kebanyakan wasiatnya disampaikan berbentuk

perintah, untuk mengindahkannya perlu daya ingat terus-menerus.

Oleh karena itu, ayat ini ditutup dengan kalimat agar kamu mengingat

secara terus-menerus. Pada ayat 153 para ulama menilai bahwa

perurutan penutup ketiga ayat di atas, yakni berakal, mengingat, dan

bertaqwa menunjukan hubungan sebab akibat. Hasil penggunaan akal

adalah terus-menerus awas dan ingat, sedang mereka yang terus awas

dan ingat, akan terhindar dari bencana, dan itulah makna hasil akhir

yang diharapkan yaitu taqwa.

64

BAB IV

PEMBAHASAN

A. Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak dalam QS. Al-An’am Ayat 151-153

Berkaitan dengan pendapat para mufassir yang telah dijelaskan dalam

bab sebelumnya, maka dalam Al-Qur‟an Surat al-An‟am ayat 151-153

terdapat beberapa nilai-nilai pendidikan yang harus dimiliki oleh manusia dan

diimplementasikan dalam kehidupan, baik terhadap dirinya, keluarga,

masyarakat, dan negara.

151. Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas

kamu oleh Tuhanmu Yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu

dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah

kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan

memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati

perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun

yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan

Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar".

demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya).”

(QS. Al-An‟am, 6:151).

65

Nilai-nilai dalam pendidikan akhlak dalam surat al-An‟am ayat 151

diantaranya:

1. Larangan Berakhlak Tercela Terhadap Allah

Larangan berakhlak tercela terhadap Allah dalam hal ini, dilarang

berbuat syirik, yaitu sebesar-besar dosa yang dilakukan seorang hamba

terhadap Tuhan yang telah menciptakan dan memberi berbagai macam

nikmat yang tidak terhingga. Allah Swt. berfirman:

... ...

"...Janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia..." (QS.

Al-An‟am, 6:151).

Haram hukumnya menyekutukan Allah dengan sesuatu yang lain,

tidak ada Tuhan selain Allah, Dia memiliki sifat terpuji yang begitu

agung, tidak ada yang dapat menjangkaunya. Berkaitan dengan hal

tersebut, Ahmad Mustafa Al-Maragi (1992:112) menyatakan bahwa tidak

boleh menyekutukan Allah dengan sesuatupun, sekalipun besar wujudnya

seperti malaikat, para nabi, dan orang-orang shaleh, karena kebesaran

mereka tidak dapat mengeluarkan mereka dari wujud sebagai makhluk

Allah yang tunduk kepada-Nya dengan kekuasaan dan ridha-Nya.

Syirik dikatakan dosa yang paling besar dan kedzaliman yang

paling besar karena ia menyamakan makhluk dengan Khaliq (Pencipta).

Yang dilakukan manusia umumnya adalah menyekutukan dalam uluhiyah

Allah, yaitu dalam hal-hal yang merupakan kekhususan bagi Allah,

seperti berdo‟a kepada selain Allah di samping berdoa kepada Allah, atau

66

memalingkan suatu bentuk ibadah seperti menyembelih kurban,

bernadzar, dan sebagainya kepada selain Allah. Maka dari itu, barang

siapa menyembah dan berdo‟a kepada selain Allah berarti ia meletakan

ibadah tidak pada tempatnya dan memberikan kepada yang tidak berhak,

hal itu merupakan kezaliman yang paling besar.

Syirik dilihat dari sifat dan tingkat sanksinya dapat dibagi menjadi

dua, yaitu:

a. Syirik Besar (asy-syirku al-akbar). Syirik besar adalah menetapkan

(mengakui) adanya Tuhan selain Allah, menjadikan sekutu bagi Allah.

Syirik besar merupakan dosa yang tidak akan mendapat ampunan

Allah. Seperti berdo‟a kepada selain Allah atau mendekatkan diri

kepadanya atau bernadzar untuk selain Allah, baik untuk kuburan, jin

atau syaitan, dan lainnya.

b. Syirik Kecil (asy-syirku al-asghar). Syirik kecil adalah semua

perkataan dan perbuatan yang akan membawa seseorang kepada

kemusyrikan. Perbuata ini masih diampuni jika pelakunya bertaubat

sebelum meninggal. Syirik kecil termasuk perbuatan dosa yang di

khawatirkan akan menghantarkan pelakunya kepada syirik besar

(Rahman, 2009:35).

Sungguh besar kedzaliman seorang hamba yang berlaku syirik,

maka, Allah telah menetapkan beberapa konsukuensi logis yang akan

diterima oleh orang tersebut sebagai hukuman atas kejehatan terbesar

yang telah diperbuat, sanksi di dunia dan di akhirat. Dengan demikian

67

seharusnya menyembah hanya kepada Allah sesuai yang disyariatkan

lewat Rasul-Nya.

Dapat disimpulkan bahwa syirik adalah perbuatan seorang hamba

yang menjadikan sesuatu selain Allah sebagai sekutu bagi-Nya,

menyamakannya dengan Tuhan, mencintainya seperti mencinta Allah,

takut kepadanya seperti takut kepada Allah. Larangan berbuat syirik

adalah wasiat pertama yang terdapat dalam surat Al-An'am ayat 151.

2. Berbuat Baik Kepada Orang Tua (Birru Al-Walidain)

Salah satu ayat tentang keharusan taat kepada orang tua dalam

surat al-An'am merupakan wasiat Allah Swt. kepada hamba-Nya. Allah

berfirman:

... ...

“...berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa...” (QS.Al-

An‟am, 6:151).

Yang dimaksud dengan berbuat baik kepada orang tua adalah

menghormati keduanya, baik dengan perkataan maupun dengan perbuatan

penuh rasa cinta dan kasih sayang, bukan karena takut atau terpaksa, serta

tidak boleh menyakiti hati orang tua. Ayat ini menegaskan bahwa

pernyataan “berbuat baik kepada orang tua” seharusnya dijadikan sebagai

hal yang besar dan penting oleh setiap orang, di mana seseorang wajib

melaksanakannya secara langsung tanpa melalui perantara.

Berkaitan dengan hal ini, Ahmad Mustafa Al-Maragi (1992:113)

menyatakan bahwa berbuat baik kepada orang tua dilakukan dengan

68

kebaikan yang sempurna dan lengkap, tidak tanggung-tanggung atau

keberatan. Sikap seperti ini mengharuskan sikap seseorang untuk tidak

melakukan sesuatu yang buruk, seberapapun kecilnya. Maka, menyakiti

hati orang tua termasuk dosa besar

Jadi, perintah ini mengajarkan pada manusia tentang perlunya

menghormati penyebab perantara, yaitu orang tua adalah penyebab

perantara yang memungkinkan seseorang lahir di dunia, hidup dan

berkembang sebagai manusia. Oleh karena itu, penghormatan kepada

orang tua dalam Islam sangat lekat dengan peribadatan pada Allah.

Bahkan ridha Allah digantungkan dalam rida kedua orangtua.

Dengan begitu, setiap muslim diperintahkan untuk memperlakukan

orang tua dengan baik dan bergaul dengannya dengan cara yang santun,

sekalipun mereka (orang tua) musyrik. Orang yang tidak berbakti kepada

kedua orang tuanya akan masuk neraka meskipun banyak melakukan

amal kebajikan di dunia. Firman Allah Swt. dalam surat Luqman ayat 14:

Artinya: “Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu

bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu” (QS. Luqman, 31:14).

3. Larangan Membunuh Anak

Anak merupakan anugerah besar yang patut disyukuri. Anak

merupakan amanah dari Allah, layaknya amanah, orang tua harus bisa

69

menunaikannya sebaik mungkin. Penelantaran terhadap amanah dapat

mengundang kemurkaan Allah Swt. apalagi membunuhnya karena takut

kemiskinan, sebagaimana firman Allah dalam surat al-An‟am ayat 151:

... ...

“...dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut

kemiskinan...”(QS. al-An‟am, 6:151).

Dalam ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa Allah Swt.

mengasihi hamba-Nya melalui kasih orang tua terhadap anaknya, karena

Allah Swt. melarang membunuh anak-anak sebagaimana Dia juga

berwasiat kepada orang tua untuk memberi harta waris bagi anak-

anaknya. Adanya larangan ini karena orang Arab Jahiliyah telah

membunuh anak-anak mereka, lalu akibat digoda setan, mereka mengubur

anak hidup-hidup karena khawatir cela dan takut kemiskinan.

Berkaitan dengan hal ini, Allamah Kamal Faqih Imani (2001:353)

menyatakan bahwa selama masa Jahiliyah, orang Arab tidak hanya biasa

mengubur anak perempuan hidup-hidup, bahkan salah seorang dari

mereka juga membunuh anak laki-laki mereka yang dianggap sebagai

modal yang penting di masyarakat saat itu, karena takut kemiskina.

Maka, Allah melarang hal itu dengan firman-Nya: “Dan

janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan.”. Ini

ditunjukkan dengan didahulukan perhatian terhadap kemiskinan seperti

dalam firman-Nya: “Kamilah yang akan memberi rizki kepadamu dan

kepada mereka.” Wasiat ini mengajarkan jaminan hidup dari Allah bahwa

70

Dia telah mengatur rizki setiap makhluk-Nya karena Dia Sang Pemilik

kehidupan.

Kesimpulannya yaitu anak adalah amanah dari Allah yang harus

dijaga, tidak boleh membunuh anak karena haram hukumnya dan tidak

boleh takut miskin sebab anak, karena yang akan memberi rizki kepada

semua makhluk hanyalah Allah Swt.

4. Larangan Mendekati Perbuatan Keji

Dalam Kitab Tafsir Al-Maraghi (1992:115) disebutkan bahwa

Fahisyah (perbuatan keji) adalah ucapan dan perbuatan yang jelek seperti

zina, mabuk, rakus, mencuri, dan perbuatan tercela lainnya. Kata

jamaknya fawahisy, sedangkan dalam istilah syara‟ adalah segala sesuatu

yang sangat buruk dan keji berupa dosa atau maksiat.

Perbuatan yang keji yaitu dosa-dosa besar yang buruk baik yang

nampak diantaranya maupun yang sembunyi. Maksudnya, tidak boleh

mendekati perbuatan keji yang terlihat maupun yang samar atau yang

berkaitan dengan lahir dan yang batin. Larangan mendekati perbuatan keji

adalah lebih mendalam daripada larangan melakukannya karena hal itu

meliputi larangan terhadap pengantar dan sarana yang menjadi jembatan

kepada perbuatan keji. Hal yang pasti bahwa seluruh jenis kemaksiatan

adalah perbuatan keji dan dzalim, karena perbuatan itu adalah bentuk

pengingkaran kepada Allah, bahkan sekecil apapun jenis kemaksiatan itu.

71

Al-Qur‟an telah menyebutkan tentang haramnya perbuatan-

perbuatan keji secara berulang-ulang baik yang tampak ataupun

tersembunyi. Allah Swt. berfirman:

“Katakanlah: “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang

keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa,

melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan)

mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan

hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah

apa yang tidak kamu ketahui.”(QS. Al-A‟raf, 7:33).

Dapat disimpulkan bahwa fahisyah adalah segala sesuatu yang

sangat buruk dan keji, yang dapat mengakibatkan kerugian pada pelakunya

juga orang lain, perbuatan ini sangat dibenci oleh Allah, maka harus

dijauhi. Wasiat ini mengajarkan untuk selalu berusaha menutup jalan yang

memberikan peluang kemaksiatan dan dosa. Allah tidak hanya melarang

perbuatan keji, tetapi mencegah sarana dan jalan yang mengantarkan

terwujudnya perilaku dosa. Mencegah adalah lebih baik dari pada

mengobati.

5. Larangan Membunuh Jiwa yang Diharamkan

Kedudukan manusia di sisi Allah Swt. mempunyai posisi yang

agung, di mana Allah berfirman dalam surat al-Isra‟ ayat 70:

72

“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami

angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang

baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna

atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS. Al-Isra‟,

17:70).

Pembunuhan tanpa dasar dan dilakukan secara sengaja adalah

suatu kejahatan yang tidak terampuni, sebab itu merupakan pelanggaran

terhadap kreasi Allah Swt. pelakunya akan mendapat balasan di neraka.

Dalam hal ini, Ulil Amri Syafri (2014:93) menyatakan bahwa ditetapkan

barangsiapa membunuh satu jiwa manusia seolah-olah ia membunuh

manusia seluruhnya. Karena seseorang itu adalah anggota masyarakat dan

membunuh seseorang berarti juga membunuh keturunannya.

Sikap keburukan ini merupakan bentuk sikap yang merusak dan

berefek luas. Karena itu, Islam memerintahkan manusia untuk menjaga

jiwa dan menjaga keturunan. Dalam surat al-An'am, Allah SWT

berfirman:

...

“...Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah

(membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. Demikian

73

itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahami

(nya).” (QS. Al-An'am, 6:151).

Penggalan ayat tersebut memiliki maksud bahwa dilarang

membunuh jiwa kecuali berdasar sesuatu yang benar (ketetapan hukum

yang jelas), karena jiwa manusia telah dianugerahi Allah sebuah

kehormatan yang tidak boleh disentuh dalam bentuk apapun, itu berarti

bahwa Al-Qur‟an menegakkan prinsip kehidupan yang mendukung nilai-

nilai asasi manusia. Allah telah menjaga jiwa manusia sehingga tidak

boleh melenyapkan nyawa orang lain tanpa ada kebolehan dari syariat

Allah.

Jadi, haram hukumnya membunuh jiwa yang diharamkan karena

nyawa manusia adalah hak prerogatif Allah, sesama manusia tidak punya

hak menghilangkannya. Orang kafir dan bahkan orang yang menolak

eksistensi Tuhan pun oleh Allah diberi hak hidup di dunia diberi rizki.

Wasiat ini mengingatkan manusia jangan mudah menghalalkan darah

sesama hanya karena beda ras, suku dan keyakinan. Hal ini merupakan

perilaku keji yang melahirkan kesengsaraan dunia dan akhirat.

74

Artinya: “Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali

dengan cara yang lebih bermanfa`at, hingga sampai ia dewasa. Dan

sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak

memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar kesanggupannya.

Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil kendatipun

dia adalah kerabat (mu), dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu

diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat” (QS. Al-An‟am, 6:152).

Nilai-nilai yang terdapat dalam surat al-An‟am ayat 152 diantaranya:

1. Larangan Mendekati Harta Anak Yatim

Yatim menurut bahasa berarti tidak punya ayah. Kata jamak dari

yatim adalah aitam atau yatama. Jadi, Anak yatim adalah anak yang

ditinggal mati ayahnya ketika masih kecil (belum baligh).

Dalam surat al-An‟am ayat 152, larangan mendekati harta anak

yatim maksudnya: siapapun tidak boleh mendekati, menggunakan atau

memanfaatkan harta anak yatim, baik dari pihak wali maupun dari pihak

lain kecuali pendekatan itu bertujuan untuk memelihara dan

mengembangkan harta anak yatim. Jika anak yatim itu sudah dewasa

(berkemampuan mengurus hartanya) barulah harta tersebut diserahkan

padanya, sehingga anak yatim itu memiliki kematangan emosi dan

tanggung jawab untuk bisa mengembangkan hartanya dan tidak

menghamburkan warisannya.

Berkaitan dengan hal ini, Ahmad Mustafa Al-Maragi (1992:118)

menyatakan bahwa yang dimaksud “hingga sudah dewasa” adalah masa

75

seseorang mencapai pengalaman dan pengetahuan. Untuk mencapai masa

balighnya dengan batasan minimal jika anak tersebut telah bermimpi

keluar mani yang merupakan permulaan umur dewasa, ketika itu ia

menjadi kuat sehingga keluar dari keadaannya sebagai anak yatim. Batas

minimal ini biasanya antara umur 15 sampai 18 tahun.

Dalam wasiat ini, memiliki maksud larangan mendekati untuk

mengurus harta anak yatim. Kalau dirasa tidak dapat beramanah atau

tidak berkemampuan untuk mengurus harta itu, maka tidak boleh

mengurusnya. Mendekati harta anak yatim dilarang kerana jika seseorang

dekat dengan harta itu dapat menyebabkan seseorang mudah untuk

mencuri atau memakannya.

Anak yatim merupakan anak yang dalam keadaan lemah dan

belum berkemampuan untuk mengurus hartanya. Seseorang yang masih

kecil dan belum baligh tidak diberikan untuk memegang harta

peninggalan ayahnya. Jika anak yatim yang memegangnya, ditakutkan

ada yang mencuri, terkena tipu, dan sebagainya. Maka, sepatutnya ada

orang yang dewasa yang menjaga hartanya bagi pihaknya.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud larangan di sini

adalah setiap perbuatan yang menggerogoti harta anak yatim dan

melanggar hak-haknya. Memakan harta anak yatim hukumnya haram dan

tidak boleh memelihara dan menjaga harta tersebut kecuali orang yang

dapat menjaga hukum Allah Swt. yang akan mengawasinya. Orang yang

76

menjadi wali atau pengasuh anak yatim harus menjaga harta mereka dan

mengelolanya dengan baik.

2. Perintah Menyempurnakan Takaran dan Timbangan

Perintah Allah untuk menyempurnakan takaran dan timbangan

adalah sekedar menurut kemampuan yang biasa dilaksakan dalam soal

ini, karena Allah tidak memberati hamba-Nya melainkan sekedar

kemampuannya, yang penting tidak ada unsur menipuan. Allah Swt.

menyuruh mencukupkan (menyempurnakan) timbangan. Perintah atas

sesuatu berarti melarang sebaliknya, kebalikan mencukupkan adalah

mengurangi. Allah Swt. berfirman:

...

...

“...Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil.

Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar

kesanggupannya...” (QS. Al-An‟am, 6:152).

Allah menyuruh menegakkan keadilan dalam hal mengambil dan

memberi, demikian pula Allah mengancam orang yang meninggalkan hal

tersebut, firman Allah dalam surat al-Muthaffifin ayat 1-3:

77

“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang. (Yaitu)

orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka

minta dipenuhi. Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk

orang lain, mereka mengurangi.” (QS. Al-Muthaffifin, 83:1-3).

Yang dimaksud dengan orang-orang yang curang ialah orang-

orang yang curang dalam menakar dan menimbang. Perkataan الكيل

لميزان وا bermaksud setiap cara timbangan dan sukatan yang dimasukkan

ke dalamnya. Kerana di zaman sekarang cara ukuran sudah semakin

canggih, maka apapun cara timbangan perlu dipastikan timbangan itu

tepat. Apabila menakar untuk orang lain atau menerima takaran dari

orang lain hendaknya dilakukan dengan sempurna dan adil, tidak boleh

curang.

Jadi, memenuhi timbangan dan takaran harus dilakukan pada dua

saat, yaitu ketika menjual dan membeli, sehingga seseorang akan rela

kepada orang lain sebagaimana rela terhadap diri sendiri. Segala yang

sudah dijelaskan dalam Al-Qur‟an wajib menjalaninya dan khususnya

bagi para pedagang harus mengetahui hukum-hukum yang berkaitan

dengan perdagangan.

3. Agar Berkata Adil

Allah berfirman:

... ...

“...Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku

adil kendatipun dia adalah kerabat (mu)...”(QS. Al An‟am, 6:152).

78

Berkata adil meskipun terhadap keluarga adalah setiap perkataan

terutama dalam memberikan kesaksian dan putusan hukum. Hal ini

sangat penting bagi setiap pembangunan terutama di bidang akhlak dan

sosial, tanpa membedakan orang lain dengan kaum kerabat. Allah Swt.

menyuruh berlaku adil dalam perbuatan dan perkataan baik terhadap

terhadap kerabat maupun bukan kerabat dan Allah Swt. juga menyuruh

berlaku adil terhadap setiap orang di setiap waktu dan keadaan.

Pangkal jujur adalah kesediaan bersikap adil dalam semua situasi.

Keadilan lahir karena kebenaran bertindak, kebenaran bertindak terjadi

karena kejujuran dalam menerima secara total kenyataan dari seluruh hal

yang terjadi. Dalam ayat 152, jujur dikaitkan dengan ucapan, hal ini

mengisyaratkan bahwa ucapan sering berkaitan dengan penetapan

hukum. Jadi, seorang yang melakukan perbaikan antara manusia harus

bersikap jeli dalam menetapkan keputusan antara lawan, maka ia melihat

dengan saksama dan tidak bergesa-gesa dalam memutuskan suatu hukum

sehingga tidak menyesal di kemudian hari. Seseorang yang mengetahui

suatu kesalahan yang terjadi tapi ia tidak mengatakannya, hal ini menjadi

sumber ketidak adilan. Oleh karena itu Allah Swt. berfirman:

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepa-

damu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti,

79

agar kamu tidak menim-pakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa

mengetahui keadaannya yang menyebabkan ka-mu menyesal atas

perbuatanmu.”(QS.Al-Hujurat, 49:6).

Maksudnya, apabila seseorang mengatakan suatu perkataan yang

sifatnya memutuskan atau menghukumi atau suatu persaksian atau

meluruskan suatu perkara, maka hendaknya ucapan itu bersumber dari

kebenaran dan keadilan tanpa cenderung kepada hawa nafsu atau

menyimpang karena suatu manfaat tertentu, yang demikian itu karena

kebenaran lebih berhak untuk diikuti.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa berbuat adil dalam

hal ucapan adalah wajib hukumnya, sebagaimana adil dalam perbuatan

sesuai apa yang diperbuat manusia. Berbuat adil agar selalu bersama

kejujuran dalam segala ucapan, seperti apapun hubungan itu dengan

orang yang diberi bersaksi untuknya atau dihukumi atasnya.

4. Menetapi Perjanjian Terhadap Allah

Menepati atau memenuhi janji berarti melaksanakan apa yang

diperintahkan serta menjauhi apa yang dilarang Allah Swt dan Rasul-

Nya. Janji adalah sesuatu yang harus ditepati oleh seseorang terhadap

yang lain, baik kepada Allah dengan menyimak dan mentaati ajaran-Nya

maupun kepada sesama manusia. Janji itu wajib ditepati selama bukan

maksiat. Allah Swt. telah menyuruh kita untuk menepati janji dalam surat

Al-An'am ayat 152:

... ...

80

“...Dan penuhilah janji Allah...” (QS.Al-An‟am, 6:152).

Penggalan ayat tersebut bersifat umum terhadap semua apa yang

dijanjikan Allah kepada hamba-Nya dan mungkin bermaksud semua apa

diakadkan antara dua orang dan akad atau janji itu dinisbatkan kepada

Allah Swt. dari segi keharusan menjaga dan memenuhinya. Oleh karena

itu, Allah akan menurunkan azab dengan segera kepada manusia, kecuali

kepada orang yang selalu menepati janji. Adapun dalil yang

menunjukkan atas hal tersebut dalam firman Allah „Azza wa Jalla:

“Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta

pertanggungan jawabnya. (Yakni manusia diminta pertanggung

jawabannya).” (QS. Al-Isra, 17:34).

Berkaitan dengan hal ini, Ahmad Mustafa Al-Maragi (1992:112)

menyatakan bahwa janji di sini mencakup hal-hal sebagai berikut:

a. Apa yang telah diperintahkan Allah lewat lisan para Rasul-Nya.

b. Apa yang telah Allah datangkan berupa akal, tabiat, dan fitrah-fitrah

yang sehat.

c. Apa yang dijanjikan oleh manusia kepada Allah.

d. Apa yang dijanjikan oleh manusia dengan sesamanya.

Maka, seseorang yang beriman pada Rasul berarti dia telah

berjanji pada Allah ketika beriman itu untuk mematuhi perinyah dan

larangan-Nya. Dan apa saja yang Allah syariatkan pada hamba-Nya dan

81

dan dipesankan pada mereka, semua itu termasuk janji (perintah Allah)

pada mereka.

Dalam pembahasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa seseorang

yang berjanji harus ditepati dan dipenuhi karena berjanji adalah hutang,

ketika seseorang menepati janji, secara tidak langsung ia telah

menghormati janji-janjinya dan komitmen dengan ucapannya. Jika janji

itu dilanggar, maka konsekuensinya adalah sanksi di dunia dan akhirat.

Orang yang tidak menepati janjinya adalah ciri-ciri orang munafik.

“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang

lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang

lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang

demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-

An‟am, 6:153).

Nilai yang tekandung dalam surat al-An‟am ayat 153 adalah:

1. Hanya Menempuh Jalan Allah yang Lurus.

Arti shirat al-mustaqim adalah Al-Quran Al-Karim dan Sunnah

yang suci, atau Islam yang bijak, atau syariat yang lurus, atau agama

yang lurus (hanif). Semuanya adalah satu makna. Dalilnya adalah firman

Allah Swt dalam surat Al-An‟am ayat 153:

82

“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang

lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan

(yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-

Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu

bertakwa.” (QS. Al-An'am: 153).

Firman Allah Ta‟ala, “...maka ikutilah dia; dan janganlah kamu

mengikuti jalan-jalan (yang lain)...”Jalan Allah dimunfaridkan tiada lain

karena jalan kebenaran itu satu dan jalan-jalan lain dijamakkan karena

jalan itu bercerai-berai dan bercabang (Ar-Rifa‟i, 1999:319). Oleh karena

itu, ayat ini berisi perintah agar manusia mengikuti jalan kebenaran yang

lurus serta larangan mengikuti jalan-jalan kesesatan dan kebatilan yang

diwasiatkan Allah, bertujuan mempersiapkan manusia agar menghindari

apa saja yang menyebabkan kesengsaraan dan penderitaan di dunia dan

di akhirat.

Jadi, yang dimaksud dengan berjalan di atas shirat al-mustaqim

adalah menjadikan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya sebagai jalan

kehidupan (way of life) serta pemahaman generasi salaf terdahulu, baik

akidah, ilmu pengetahuan, dan amal.

Dalil yang menguatkan makna ini, Allah Swt. berfirman:

83

“Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang

yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan)

mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (QS.

Al-Fatihah, 1:6-7).

B. Implementasi Nilai-nilai Pendidikan Akhlak Q.S Al-An’am Ayat 151-153

dalam Kehidupan Sehari-hari

Sejarah telah membuktikan bahwa pendidikan akhlak mulia sangat

ampuh dalam melakukan peranannya sebagai praktek akhlak bangsa. Bangsa-

bangsa di masa lalu yang mencapai kejayaan dan kemakmuran, karena

ditopang oleh kemuliaan akhlak bangsanya. Sebaliknya bangsa-bangsa yang

mengalami kehancuran ternyata bermula dari kehancuran akhlak bangsanya

(Nata, 2013:214).

Pendidikan akhlak mulia secara historis merupaka respon terhadap

adanya kemerosotan akhlak pada masyarakat dengan karakter budaya kota,

yaitu masyarakat cenderung ingin serba cepat, tergesa-gesa, pragmatis,

hedonistik, materialistik, penuh persaingan yang tidak sehat dan menghadapi

berbagai masalah: sosial, politik ekonomi, budaya, ilmu pengetahuan, dan

sebagainya. Masyarakat yang hidup dalam budaya kota tersebut merupakan

perhatian utama dalam pendidikan akhlak. Lahirnya agama Islam di Makkah

dan berkembang di Madinah merupakan sampling yang representative

84

tentang perlunya agama ini mampu membentuk akhlak masyarakat pada

budaya kota tersebut (Nata, 2013:213).

Dari fenomena yang terjadi di lingkungann sekitar menunjukkan

bahwa kehidupan yang ada diukur dari segi materi, sehingga akhlak yang

seharusnya dimiliki dan diimplementasikan dalam kehidupan seseorang

kurang diperhatikan. Dalam kaitannya dengan surat al-An‟am, penulis akan

memaparkan bagaimana mengimplementasikan akhlak-akhlak yang ada

dalam surat al-An‟am ayat 151-153 dalam kehidupan sehari-hari.

Sebagaimana yang telah diketahui dalam surat al-An‟am ayat 151-153

yang telah dipaparkan sangat sesuai dengan kedaan saat ini dimana nilai-nilai

religius yang sudah mulai bergeser dengan arus modernisme dan arus

globalisasi. Maka dalam ayat tersebut telah dijelaskan segala bentuk perintah

dan larangan yang harus dilakukan oleh manusia dalam kehidupannya.

Dalam Islam, menetapkan nilai-nilai akhlak tidak hanya pada teori

saja, melainkan juga menuntut umatnya untuk mengimplementasikan atau

mempraktikkan akhlak tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Penerapannya

dalam kehidupan berawal dari sebuah pendidikan, sebagaimana yang telah

diketahui bahwa pendidikan merupakan sesuatu yang sangat penting bagi

manusia, maka hal yang harus ditempuh bahkan merupakan sebuah

kewajiban adalah menuntut ilmu atau mendapatkan pendidikan. Seseorang

yang dapat menerapkan akhlak-akhlak yang ada dalam surat al-An‟am ayat

151-153 merupakan mereka yang memperoleh pendidikan mengenai akhak-

akhlak tersebut, sehingga mereka mengetahui mana akhlak yang harus

85

diterapkan dan ditinggalkan dalam kehidupannya sehingga dapat berinteraksi

dengan baik terhadap sesama makhluk ciptaan Allah.

Dalam suarat al-An‟am ayat 151-153 terdapat beberapa akhlak tarpuji

yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-sehari dan akhlak yang harus

ditinggalkan dalam kehidupan, diantaranya yaitu:

1. Akhlak Terpuji yang Merupakan Perintah

Pertama, kewajiban berbakti kepada kedua orang tua. Peranan

orang tua dalam kehidupan seorang anak tidak dapat dipungkiri, manusia

lahir ke dunia melalui ibu dan bapak. Susah-payah yang dialami oleh ibu

dan bapak dalam memelihara anaknya baik ketika dalam kandungan

maupun setelah lahir ke dunia. Dengan kesadaran tersebut, sebagai anak

sudah seharusnya berakhlak yang baik kepada keduanya dengan berbakti

kepada kedua orang tua semampunya.

Berbuat baik pada kedua orang tua dapat dilakukan dengan banyak

cara, seperti taat kepada orang tua selama tidak mengajak untuk

bermaksiat kepada Allah, berkata yang baik pada mereka, menghormati,

mendo‟akan keduanya, memuliakan sahabat mereka, tidak berkata yang

menyakitkan, dan lain sebagainya. Jika pun perintah orang tua

bertentangan dengan agama, maka cara menolaknya dengan cara yang

baik. Berbuat baik pada orang tua tidak terbatas oleh waktu, bahkan dapat

dilakukan meskipun sudah meninggal, yaitu dengan cara: mengurus

jenazahnya, memohonkan ampun atas dosa keduanya, memuliakan

86

sahabat-sahabatnya, menghubungkan tali silaturahim dengan orang-orang

yang dulu dekat dengan keduanya.

Dalam realitas kehidupan saat ini, masih banyak perilaku manusia

yang tidak menunjukkan akhlak terpuji kepada orang tua, seperti

membantah perkataan orang tua, membentak atau berkata buruk pada

keduanya, mengabaikan nasihat mereka, dan lain-lain. Melihat realita

tersebut, menjadi tugas para pendidik termasuk orang tua untuk

mengajarkan bagaimana mengimplementasikan perintah Allah untuk

berbuat baik pada kedua orang tua.

Kedua, perintah menyempurnakan timbangan atau takaran.

Penerapannya adalah: setiap orang hendaknya memahami hukum-hukum

jual beli agar tidak sampai terjerumus menjadi golongan orang yang

mengurangi timbangan, baik karena sengaja maupun karena faktor

ketidaktahuan.

Menyempurnakan timbangan dilakukan dengan tidak mengurangi

hak orang lain dalam takaran, pada waktu menakar barang hendaknya

dilakukan dengan secermat-cermatnya, tidak boleh mengurangi ataupun

melebihkannya. Karena itu, seseorang yang menakar barang yang akan

diterima orang lain tidak boleh dikurangi, sebab tindakan itu merugikan

orang lain. Demikian pula, jika seseorang menakar barang orang lain yang

akan diterima dirinya, tidak boleh dilebihkan sebab tindakan itu juga

merugikan orang lain.

87

Ketiga, Berkata dengan adil. Penerapan dalam kehidupan sehari-

hari, pertama dengan cara menyingkirkan godaan hawa nafsu, kemudian

membiasakan diri untuk jujur dalam berkata dengan tidak berdasarkan

hawa nafsu serta tidak curang dalam berkata. Artinya ketika berkata

dengan orang lain, maka berkatalah dengan benar, tidak berbohong, lurus,

tidak menyelewengkan kata, dan tidak keji dengan tidak melihat seperti

apapun hubungan dengan orang lain, baik dalam memberi saksi untuknya

atau dihukumi atasnya.

Orang yang dapat berkata adil (jujur) pada orang lain akan

membangun relasi yang baik sehingga disukai banyak orang, peka

terhadap masalah lingkungan dan menjadikan lingkungannya damai dan

tentram. Perilaku adil itu tidak hanya bagi diri sendiri, tapi juga pada orang

lain. Semua yang dikerjakan seseorang akan berimbas pada dirinya

sendiri. Karena itu, hendaknya memperlakukan orang lain dengan layak

dan memberikan hak orang lain dengan jujur dan benar.

Keempat, mengikuti jalan Allah dengan penuh kesungguhan. Jalan

Allah adalah jalan yang lurus, jalan kebenaran dan keadilan. Penerapannya

dengan menyadari bahwa satu-satunya jalan yang harus ditempuh adalah

jalan Allah, membiasakan diri selalu mengikuti perintah-perintah Allah

dan menjauhi larangan-Nya dengan mengamalkan ajaran-ajaran yang

dikandung dalam Al-Qur‟an, agar mendapatkan kebahagiaan di dunia dan

akhirat serta terhindar dari dosa yang membawa siksa.

88

2. Akhlak Tercela yang Merupakan Larangan

Pertama, haram berbuat tercela terhadap Allah, yaitu syirik. Dalam

akhlak berdimensi vertikal, manusia sebagai hamba Allah sudah

sepantasnya memiliki sekaligus mengimplementasikan akhlak yang baik

kepada Allah Sang Pencipta (Khaliq). Salah satu akhlak kepada Allah

yaitu mentauhidkan Allah dan tidak menyekutukan-Nya kepada sesuatu

yang lain. Menyekutukan Allah dengan sesuatu yang lain (syirik) adalah

perbuatan dosa besar.

Penerapannya dalam kehidupan sehari-hari agar terhindar dari

perbuatan syirik dapat dilakukan dengan menyadari bahwa yang berhak

disembah dan dimintai pertolongan hanyalah Allah, maka berdo‟a atau

bernazar hanya kepada Allah. Menyadari bahwa perbuatan syirik adalah

dosa yang paling besar karena menyamakan makhluk dengan Sang Khaliq

akan berdampak pada pelakunya sendiri baik di dunia maupun di akhirat.

Kedua, larangan membunuh anak. Penerapannya dalam kehidupan

sehari-hari dengan menyadari bahwa sesungguhnya Allah yang memberi

keluasan rizki ataupun menyempitkannya kepada siapa saja yang

dikehendaki-Nya. Dengan segala nikmat yang telah diberikan Allah,

hendaknya seorang hamba tetap bersyukur dan bersabar dalam keadaan

bagaimanapun dengan tetap taat pada-Nya.

Jadi, sebagai orang tua, tidak pantas merasa keberatan untuk

membiarkan anak-anak hidup bersama mereka, baik saat miskin maupun

saat kaya, apapun keadaannya harus tetap bersabar dan tidak membunuh

89

seorang anak apalagi anak kandung, karena bukanlah mereka yang

memberi rizki pada seorang anak, tetapi hanya Allah Swt. yang dapat

memberi rizki bagi makhluknya. Untuk itu, rizki yang diberikan Allah

haruslah dijemput dengan usaha dan do‟a.

Ketiga, larangan mendekati perbuatan keji. Dalam Islam, perbuatan

keji tidak dapat ditolelir sehingga mendekati perbuatan tersebut dilarang,

karena bukan hanya dapat merugikan diri sendiri tetapi juga orang lain,

dan jika dibiarkan akan merusak tatanan masyarakat. Perbuatan keji

merupakan perbuatan dosa yang sangat jelek. Banyak kasus perbuatan keji

yang dapat ditemui saat ini, seperti zina, mabuk, mecuri, dan perbuatan

tercela lainnya.

Penerapannya dalam kehidupan sehari-hari yaitu dengan

menyadari bahwa tidak ada manusia yang bebas dari dosa, baik disengaja

maupun tidak, maka, manusia yang paling baik itu bukan yang tidak

melakukakan dosa, tetapi manusia yang menyadari akan kekurangannya

kemudian berusaha untuk memperbaiki dan menggantinya dengan amal

shaleh serta berusaha menjauhi perbuatan-perbuatan keji yang dapat

menjerumuskannya dalam api neraka.

Menjauhi perbuatan keji dilakukan dengan cara mengontrol

dorongan hawa nafsu, mempertebal keimanan dengan senantiasa

melaksanakan ibadah dan amal shaleh, dengan begitu akan senantiasa

diingatkan oleh siksa dari Allah apabila berbuat dosa. Misalnya dengan

shalat fardhu dengan baik dan benar, dengan shalat yang baik dapat

90

mencegah dari pebuatan keji dan munkar. Sebagaimana dalam firman

Allah dalam surat al-„Ankabut ayat 45:

“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab

(Al Qur'an) dan dirikanlah salat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari

(perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat

Allah (salat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang

lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al-„Ankabut,

29:45).

Keempat, larangan membunuh jiwa tanpa sebab yang dibenarkan.

Penerapannya dilakukan dengan menghargai hak setiap makhluk,

menyadari bahwa Allah mengharamkan membunuh jiwa tanpa sebab

karena dosa membunuh adalah kehinaan, kemudharatan, dan kekekalan

dineraka. Menyadari bahwa dalam dimensi akhlak horizontal, membunuh

jiwa merupakan akhlak madzmumah yang menjadi kejahatan dan

kezhaliman kepada yang terbunuh. Karena jiwa seseorang bukanlah milik

dirinya akan tetapi milik Allah, maka seseorang hanya boleh menyikapi

jiwa sesuai dengan syari‟at yang ditentukan Allah.

Kehidupan yang aman merupakan hak seseorang, Allah

menganugerahkan pada seseorang sebuah kehidupan untuk memakmurkan

bumi, bahkan kehidupan yang aman menjadi hak hewan-hewan, maka

tidak boleh dibunuh kecuali demi kemanfaatan anak Adam, serta

diharamkan dibunuh sia-sia begitu saja.

91

Kelima, larangan mendekati harta anak yatim. Penerapannya dalam

kehidupan sehari-hari yaitu dengan memelihara atau mengembangkan

harta anak yatim. Tidak boleh menggunakan secara tidak sah serta tidak

boleh mengurus harta itu jika tidak berkemampuan melakukannya.

Kemudian, menyerahkan kembali ketika anak yatim sudah cukup umur

dan memiliki kemampuan untuk mengurus hartanya dengan membawa

beberapa saksi dalam serah-terima harta itu.

Keenam, larangan melanggar janji. Berjanji hukumnya mubah atau

boleh dan menepatinya adalah sebuah kewajiban yang termasuk bagian

dari iman, maka tidak boleh melanggar janji terhadap diri sendiri, orang

lain, maupun terhadap Allah, karena itu adalah tanda dari kemunafikan.

Jika perjanjian itu bersifat maksiat maka tidak boleh ditepati.

Implementasi dalam kehidupan sehari-hari agar tidak melanggar

janji yaitu dengan membiasakan diri, jika mempunyai janji yang bersifat

positif harus ditepati, menyadari bahwa sebuah janji akan dimintai

pertanggungjawaban di sisi Allah Swt. dan jika tidak ditepati akan

mendapat azab-Nya, mengingat bahwa jika janji itu tidak ditepati berarti

telah melanggar perintah Allah dan selalu berpikir terlebih dahulu ketika

membuat perjanjian, apakah bisa menepatinya atau tidak. Jika tidak,

sebaiknya janji tersebut diurungkan. Dengan menepati janji, akan

memberikan pengajaran kepada seseorang untuk konsisten dengan apa

yang diucapkannya.

92

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Bedasarkan pembahasan pada bab-bab sebelumnya dapat disimpulkan

sebagai berikut:

1. Nilai-nilai pendidikan akhlak dalam QS. Al-An‟am ayat 151-153

diantaranya adalah: larangan berbuat buruk terhadap Allah, berbuat baik

kepada kedua orang tua, larangan membunuh anak, larangan mendekati

perbuatan keji,larangan membunuh jiwa yang diharamkan, larangan

mendekati harta anak yatim, tidak curang dalam menakar dan

menimbang, agar berkata adil, menetapi perjanjian terhadap Allah, dan

hanya menempuh jalan Allah yang lurus.

2. Implementasi nilai-nilai pendidikan akhlak tersebut dalam kehidupan

sehari-hari. Dalam surat al-An‟am ayat 151-153 terdapat beberapa akhlak

yang harus diaplikasikan dalam kehidupan serta akhlak yang harus

ditinggalkan.

a. Akhlak terpuji yang harus diaplikasikan

Berbakti pada kedua orang tua, menyempurnakan timbangan

atau takaran, berkata dengan adil, dan mengikuti jalan Allah dengan

penuh kesungguhan. Implementasinya dapat dimulai dari diri sendiri

kemudian pada orang lain dengan cara membiasakan sikap-sikap

93

tersebut dalam aktifitas sehari-hari, serta dapat dilakukan dengan

memberikan contoh sikap-sikap tersebut di hadapan orang lain.

Jika seseorang dapat membiasakan diri dengan sikap-sikap

tersebut, sudah pasti akan menjadi bagian dari kepribadiannya

sehingga membuat kehidupannya terasa tenang dan bermanfaat bagi

diri sendiri maupun orang lain.

b. Akhlak tercela yang harus dihindari

Larangan menyekutukan Allah, larangan membunuh anak,

larangan mendekati perbuatan keji, larangan membunuh jiwa tanpa

sebab yang dibenarkan, larangan mendekati harta anak yatim, dan

larangan melanggar janji. Perbuatan-perbuatan tersebut merupakan

larangan yang harus dihindari karena dapat menimbulkan keburukan

bagi pelakunya maupun orang lain, cara menghindarinya dengan cara

mengontrol hawa nafsu, menyadari bahwa perbuatan-perbuatan

tersebut membuat hati tidak tenang, akan dicatat dan

dipertanggungjawabkan di dunia maupun di akhirat. Ketika

mengucapkan atau melakukan sesuatu harus disadari terlebih dulu

apakah perbuatan itu baik atau buruk, sehingga seseorang dapat

berhati-hati dan tidak terjerumus ke dalam perbuatan tercela.

B. Saran-saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, kiranya penulis akan memberikan

sedikit saran yang dapat menjadi bahan masukan bagi pelaksana pendidikan

94

akhlak untuk peningkatan kualitas pendidikan. Beberapa saran yang dapat

penulis sampaikan antara lain:

1. Bagi Pendidik

Pendidik menempati posisi yang penting dalam pendidikan akhlak

karena pendidik merupakan model dari pendidikan akhlak yang diajarkan.

Selain pendidik, lingkungan juga menjadi faktor keberhasilan pendidikan

akhlak serta menjadi pendukung terwujudnya internalisasi nilai-nilai

akhlak pada peserta didik. Oleh sebab itu, pendidik harus mempersiapkan

diri semaksimal mungkin untuk menjadi model dari nilai-nilai akhlak

yang diajarkan.

2. Bagi Lembaga Pendidikan

Lembaga pendidikan merupakan lembaga yang menyediakan

fasilitas dimana terdapat interaksi antara pendidik dan peserta didik dalam

proses pembelajaran, maka dalam hal ini lembaga dituntut agar mampu

memberikan pendidikan yang berkualitas termasuk memberikan

pendidikan akhlak pada anak didiknya agar memiliki kepribadian mulia

dan sesuai dengan harapan masyarakat karena lembaga pendidikan

disebut lembaga pencetak generasi bangsa dan kemajuan suatu bangsa

tergantung pada akhlak bangsa tersebut.

3. Bagi Peneliti

Hasil dari analisis nilai-nilai pendidikan akhlak dalam surat Al-

An‟am ayat 151-153 ini masih banyak kekurangan, maka dari itu

diharapkan bagi peneliti baru dapat mengkaji ulang penulisan ini.

95

C. Kata Penutup

Alhamdulillahirabbil‟alamin, penulis ucap puji syukur kepada Allah

Swr. atas rahmat, hidayah, dan inayah-Nya. Shalawat serta salam semoga

selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw. akhirnya penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini dengan lancar.

Penulisan skripsi ini sebagai bentuk pengabdian, rasa syukur dan

keprihatinan penulis terhadap keadaan moral zaman sekarang yang pandai

dalam IPTEK namun kurang bisa mengaplikasikan pengetahuannya. Dalam

penelitian ini penulis menyadari meskipun sudah berusaha semaksimal

mungkin, namun masih terdapat kekurangan serta kesalahan. Hal itu semata-

mata merupakan keterbatasan ilmu dan kemampuan yang dimiliki penulis.

Maka dari itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari berbagai

pihak dami kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya penulis berharap semoga

skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca pada

umumnya. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang

memperlancar penelitian ini baik berupa tenaga maupun do‟a.

96

DAFTAR PUSTAKA

Adisusilo, J.R, Sutarjo. 2012. Pembelajran Nilai Karakter Konstruktivisme dan

VCT Sebagai Inovasi Pendekatan Pembelajaran Afektif. Jakarta: PT Raja

Grafindo.

Ahmad, Abu dan Noer Salimi. 1994. Dasar-dasar Pendidikan Islam. Jakarta:

Bumi Aksara

Al-Maragi, Ahmad Mustafa. 1992. Tafsir Al-Maraghi Juz VII, terj. Semarang:

CV. Toha Putra

Al-Qarni, „Aidh. 2007. Tafsir Muyassar, terj. Jakarta: Qisthi Press

Ar-Rifa‟i, Muhammad Nasib. Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu

Kasir. Terj. Jakarta: Gema Insani Press

Az-Zuhaili, Wahbah. Ensiklopedi Akhlak Muslim: Berakhlak Terhadap Sesama

dan Alam Semesta. Jakarta: PT Mizan Publika

Daulay, Haidar Putra. 2007. Pendidikan Islam: Dalam Sistem Pendidikan

Nasional di Indonesia. Jakarta: Prenada Media Group

Departemen Agama RI. 2009. Al-Qur‟an dan Tafsirnya (Edisi yang

Disempurnakan). Jakarta: Departemen Agama RI

Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Jakarta: Balai Pustaka

Ensiklopedi Tematis Al-Qur‟an. 2005. Jakarta: PT Kharisma Ilmu

Hanbal, Abu Abdullah Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hanbal. 1991. Musnad Al

Imam Ahmad bin Hanbal, Terj. Beirut: Darul Fikri

Husein, Ibnu. 2004. Pribadi Muslim Ideal. Semarang: Pustaka Nm

Ibn Hanbal, I.A. 1991. Musnad Imam Ahmad Ahmad bin Hanbal. Beirut: Darul

Kutub al Ilmiyyah

Ilyas, Yunahar. 2007. Kuliah Akhlak. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset

Imani, Allamah Kamal Faqih. Tafsir Nurul Qur‟an: Sebuah Tafsir Sederhana

Menuju Cahaya Al-Qur‟an. Jakarta: Nur Al-Huda

Jawaz, Yazid bn Abdul Qadir. 2009. Syarah dan „Aqidah Ahlus sunnah wal

Jama‟ah. Bogor: Pustaka Imam Asy-Syafi‟i

97

Jumali, M, dkk. 2004. Landasan Pendidikan. Surakarta: Muhammadiyah

Univercity Pers

Juwariyah. 2010. Hubungan Antara Keharmonisan Dalam Keluarga dengan

Prestasi Belajar PAI. Salatiga: STAIN Salatiga

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2017. Materi Umum Untuk Guru

Sekolah.

Kuswaya, Adang. 2009. Pemikiran Hermeneutika Hassan Hanafi: Sebuah

Tawaran Metodologis dalam Penafsiran Al-Qur‟an. Salatiga: Salatiga Pers

Mahmud, Ali Abdul Halim. 2004. Akhlak Mulia. Jakarta: Gema Insani

Munawir, Ahmad Warson. 1984. Kamus Al-Munawwir Arab Indonesia

Terlengkap. Surabaya: Pustaka Progresif

Nata, Abuddin. 2002. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Nata, Abuddin. 2013. Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia. Jakarta: Rajawali Pers

Nizar, Samsul. 2002. Filsafat Pendidikan Islam. Cet. I. Jakarta: Ciputat Press

Rahman, Roli Abdul. 2009. Menjaga Akidah Akhlak. Solo: Tiga Serangkai

Pustaka Mandiri

Sadulloh, Uyoh, dkk. 2014. Pedagogik (Ilmu Mendidik). Cet III. Bandung:

Alfabeta

Shihab, M. Quraish 1994. Membumikan Al-Qur‟an. Cet. I. Bandung: Mizan

_______, Wawasan Al-Qur‟an. Bandung: Mizan, 1996

_______, Wawasan Al-Qur‟an: Tafsir Maudhu‟i Atas Berbagai Pesoalan Umat.

Bandung: Mizan, 1999

_______, Al-Lubab: Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Surat-surat Al-Qur‟an.

Tangerang: Lentera Hati, 2012

_______, Lentera Al-Qur‟an: Kisah dan Hikmah Kehidupan. Bandung: Mizan,

2014

Supadie, Didiek Amad, dkk. 2012. Pengantar Studi Islam. Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada

98

Suryabrata, Sumadi. 2010. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada

Syafri, Ulil Amri. 2014. Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur‟an. Jakarta:

Rajawali Pers

Wiratama, I Made. 2006. Pedoman Penulisan: Usulan Penelitian Skripsi dan

Tesis. Yogyakarta: Andi Offset

Ya‟qub, Abdurrahman. 2005. Pesona Akhlak Rasulullah Saw. Bandung: Al-Bayan

xcix

c

ci

cii

ciii

civ