NILAI-NILAI KETELADANAN RASULULLAH (Telaah Kitab Ar-Rasul...

89
i NILAI-NILAI KETELADANAN RASULULLAH (Telaah Kitab Ar-Rasul Al-Mu’allim Wa Asalibuhu Fi At-Ta’lim Karya Abdul Fattah Abu Ghuddah) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Kewajiban dan Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Oleh: PUJI SANTOSO NIM: 111 14 381 JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA 2018

Transcript of NILAI-NILAI KETELADANAN RASULULLAH (Telaah Kitab Ar-Rasul...

i

NILAI-NILAI KETELADANAN RASULULLAH

(Telaah Kitab Ar-Rasul Al-Mu’allim Wa Asalibuhu Fi At-Ta’lim

Karya Abdul Fattah Abu Ghuddah)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Kewajiban dan Syarat

Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh:

PUJI SANTOSO

NIM: 111 14 381

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA

2018

ii

iii

iv

v

MOTTO

“Menjadi baik itu mudah, dengan hanya diam maka yang

tampak adalah kebaikan. Yang susah adalah membuat diri

kita bermanfaat karena ini adalah perjuangan”

(KH. Sahal Mahfudz)

vi

PERSEMBAHAN

Puji syukur kehadirat Allah SWT. atas limpahan rahmat serta karunia-

Nya, skripsi ini penulis persembahkan untuk :

1. Ayah dan ibunda penulis tersayang, Sugiyanto dan Sumarmi yang

selalu membimbing, memberikan doa, nasihat, kasih sayang, dan

motivasi yang tiada henti.

2. Keluarga besar penulis terkhusus bagi kakek dan nenek, Supardi dan

Suminah.

3. Pengasuh Pondok API Al-Masykur Bapak KH. Afif Dimyathi beserta

keluarga.

4. Ketiga saudara kandung penulis, Dek Maman, Dek Aziz dan Dek

Fahmi atas motivasi yang tak ada hentinya sehingga proses

penempuhan gelar sarjana ini bisa tercapai.

5. Sahabat dan teman dekat yang selalu memberikan motivasi kepada

penulis dan membantu menyelesaikan skripsi ini.

6. Keluarga besar dan santri Pondok Pesantren API Al Masykur.

7. Kang Rahmat, Kang Mustaqim, Kang Yusuf, Kang Barok yang selalu

memberi inspirasi dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Teman-teman PAI angkatan 2014 yang tidak bisa penulis sebutkan satu

persatu.

9. Mbak Insanul Kamila, orang yang selalu menjadi motivasi bagi saya

dalam menyelesaikan skripsi ini. skripsi ini, penulis persembahkan

khusus kepadanya.

vii

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrohim

Puji syukur alhamdulillahi robbil‟alamin, penulis panjatkan

kepada Allah Swt yang selalu memberikan nikmat, kaunia, taufik, serta

hidayah-Nya kepada penulis sehinggap penulis dapat menyelesaikan

skripsi ini dengan judul Nilai-Nilai Keteladanan Rasulullah (Telaah Kitab

Ar-Rasul Al-Mu‟allim Wa Asalibuhu Fi At-Ta‟lim Karya Abdul Fattah

Abu Ghuddah).

Tidak lupa shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan

kepada nabi agung Muhammad SAW, kepada keluarga, sahabat, serta

para pengikutnya yang selalu setia dan menjadikannya suri tauladan yang

mana beliaulah satu-satunya umat manusia yang dapat mereformasi umat

manusia dari zaman kegelapan menuju zaman terang benerang yakni

dengan ajarannya agama Islam.

Penulisan skripsi ini pun tidak akan terselesaikan tanpa bantuan

dari berbagai pihak yang telah berkenan membantu penulis

menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu penulis mengucapkan banyak

terimakasih kepada:

1. Rektor IAIN Salatiga, Dr. H. Rahmat Hariyadi, M.Pd.

2. Bapak Suwardi, M.Pd. selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu

Keguruan IAIN Salatiga.

3. Ketua jurusan PAI IAIN Salatiga, Ibu Hj. Siti Rukhayati, M.Ag.

viii

4. Bapak Dr. Rasimin, S.Pd., M.Pd. selaku pembimbing akademik

sekaligus pembimbing skripsi yang telah membimbing dengan ikhlas,

mengarahkan, dan meluangkan waktunya untuk penulis sehingga

skripsi ini terselesaikan.

5. Bapak dan Ibu dosen yang telah membekali berbagai ilmu

pengetahuan, serta karyawan IAIN Salatiga sehingga penulis dapat

menyelesaikan jenjang pendidikan S1.

Penulis sepenuhnya sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari

kesempurnaan, maka kritik dan saran yang bersifat membangun sangat

penulis harapkan. Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi

penulis khususnya, serta para pembaca pada umumnya.Amin.

Salatiga, 27 September 2018

Puji Santoso

NIM. 11114381

ix

ABSTRAK

Santoso, Puji. 2018. Nilai-Nilai Keteladanan Rasulullah (Telaah kitab Ar-Rasul

Al-Mu‟allim Wa Asalibuhu Fi At-Ta‟lim Karya Abdul Fattah Abu

Ghuddah). Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan. Jurusan Pendidikan

Agama Islam. Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing:

Dr. Rasimin, S.Pd., M.Pd.

Kata Kunci: Keteladanan, Kitab Ar-Rasul Al-Mu’allim Wa Asalibuhu Fi At-

Ta’lim

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui

tentang nilai-nilai keteladanan Rasulullah dalam kitab Ar-Rasul Al-Mua‟llim Wa

Asalibuhu Fi At-Ta‟lim karya Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah. Pertanyaan

yang ingin dijawab melalui penelitian ini sebagai berikut: (1) Apa signifikansi

nilai-nilai keteladanan Rasulullah dalam kitab Ar-Rosul al-Mu‟allim wa Asalibuhu

fi at-Ta‟lim karya Abdul Fattah Abu Ghuddah?, (2) Bagaimana relevansi nilai-

nilai keteladanan Rasulullah dalam kitab Ar-Rosul al-Mu‟allim wa Asalibuhu fi

at-Ta‟lim karya Abdul Fattah Abu Ghuddah dengan praktek pendidikan saat ini?,

(3) Bagaimana implikasinya?.

Skripsi ini merupakan penelitian studi kepustakaan atau library research.

Seluruh data baik dari data primer dan data sekunder diperoleh dengan

menggunakan metode dokumentasi. Setelah data terkumpul, selanjutnya

dilakukan analisis. Metode yang digunakan untuk menganalisis data adalah

dengan diskristif analisis isi atau content analysis.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertama, nilai-nilai keteladanan yang

terdapat dalam kitab ar-rosul al-mu‟allim wa asalibuhu fi at-ta‟lim karya Syekh

Abdul Fattah Abu Ghuddah meliputi: memudahkan dan tidak memberatkan, kasih

sayang, sabar, lemah lembut, adil, rendah hati dan sederhana memiliki peran

penting demi terwujudnya tujuan pendidikan. Kedua, pemikiran Syekh Abdul

Fattah Abu Ghuddah tentang nilai-nilai keteladanan masih sangat relevan jika

diterapkan pada zaman sekarang. Ini berdasarkan refleksi terhadap realitas yang

ada. Nilai keteladanan yang terdapat dalam karangan beliau bersifat tetap,

dimanapun dan kapanpun nilai-nilai tersebut akan terus berlaku. Hal itu

berdasarkan al-Quran dan Hadis Nabi. Dimana keduanya berlaku sepanjang hayat

tidak dipengaruhi tempat dan waktu. Ketiga, keteladanan memiliki dampak atau

implikasi yang sangat berpengaruh terhadap seseorang. Hal ini disebabkan oleh

karena manusia cenderung untuk meniru atau mencontoh perbuatan yang

dilakukan oleh orang lain. Terlebih lagi bagi anak didik yang masih berada dalam

masa perkembangan dan pertumbuhan, mereka menganggap apa yang dilakukan

oleh gurunya merupakan tindakan yang layak untuk dicontoh dan diikuti.

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ………………………………………..……. i

HALAMAN PERSETUJUAN ……………………………..……. ii

HALAMAN PENGESAHAN ………………………………...…. iii

HALAMAN PERNYATAAN …………………………………… iv

HALAMAN MOTTO ……………………………………………. v

HALAMAN PERSEMBAHAN ………………………………… vi

KATA PENGANTAR ………………………………………….. vii

ABSTRAK ……………………………………………………….. ix

DAFTAR ISI …………………………………...………………… x

BAB I PENDAHULUAN ……...……………………………….... 1

A. Latar Belakang Masalah ……………………………….. 1

B. Rumusan Masalah ……………………………………... 6

C. Tujuan Penelitian ……………………………………… 7

D. Manfaat Penelitian …………………………………….. 7

E. Kajian Pustaka ………………………………………… 8

F. Metode Penelitian …………………………………..… 11

G. Definisi Operasional ………………………………….. 14

H. Sistematika Penulisan ………………………………… 16

BAB II BIOGRAFI ……………..……………………………… 17

A. Biografi Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah ……………. 17

B. Setting Sosial ……………………………………………. 18

C. Karya Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah ……………… 19

BAB III DESKRIPSI PEMIKIRAN …………..………….... 22

A. Pengertian Nilai Keteladanan ……………..……………. 22

xi

B. Pemikiran Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah Tentang Nilai

Keteladanan dalam Kitab Ar-Rasul al-Mu‟allim Wa Asalibuhu Fi

at-Ta‟lim ……………………………………………………... 24

BAB IV PEMBAHASAN ……………………………………...… 34

A. Signifikansi Pemikiran Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah .... 34

B. Relevansi Pemikiran Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah Tentang

Nilai Keteladanan dengan Zaman Sekarang ……………..… 56

C. Implikasi Pemikiran Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah Tentang

Nilai Keteladanan ………………………………………....… 63

BAB V PENUTUP ........................................................................... 66

A. Kesimpulan ………………………………………….……. 66

B. Saran …………………………………………………....… 67

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

xii

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kehidupan ini sebagian besar dilalui dengan saling meniru atau

mencontoh oleh manusia yang satu pada manusia yang lain. Kecenderungan

mencontoh ini sangat besar peranannya pada anak-anak, sehingga sangat besar

pengaruhnya bagi perkembangan anak. Sesuatu yang dicontoh, ditiru atau

diteladani itu mungkin yang bersifat baik dan mungkin pula bernilai keburukan

(Nawawi,1993: 213).

Kata teladan dialihkan dengan kata uswah yang kemudian diberi sifat di

belakang seperti hasanah yang berarti baik. Keteladanan adalah metode

influentif, yang paling menentukan keberhasilan dalam mempersiapkan dan

membentuk sikap serta perilaku moral, spiritual dan sosial anak. Hal ini karena

pendidik adalah contoh terbaik dalam pandangan anak didik yang akan

ditirunya dalam segala tindakan dan sopan santunnya, disadari maupun tidak.

Oleh karena itu, masalah keteladanan menjadi faktor penting dalam hal baik

buruknya anak didik yang menjadi objek bimbingan dan arahan (Supriyatno,

2009: 27-29).

Fungsi pendidik dalam kegiatan pembelajaran sangat berpengaruh

terhadap hasil yang akan dicapai. Sebagai pendidik mempunyai tanggung

jawab besar, bukan hanya saat waktu proses pendidikan itu berlangsung, tetapi

juga menjadi dalam kehidupannya (Sudarto, 2018: 107). Oleh karena itu

xiii

seorang guru harus mempunyai karakter yang baik, karena guru adalah contoh

ideal bagi anak didiknya.

Sebagai teladan, guru harus memiliki karakter yang dapat dijadikan profil

dan idola bagi anak didik, guru adalah mitra anak didik dalam kebaikan, guru

harus dapat memahami tentang kesulitan anak didik dalam hal belajar dan

kesulitan lainnya di luar masalah belajar, yang bisa menghambat aktifitas

belajar anak didik. Guru adalah bapak rohani bagi seorang anak didik dalam

memberikan santapan jiwa dengan ilmu pendidikan akhlak. Untuk itu setiap

guru harus memiliki karakter yang baik dan terintegrasi, karakter yang baik ini

tentu saja ditinjau dari segi murid, orang tua dan dari segi kebutuhan tugasnya

(Mufron, 2013: 43).

Menurut Lickona (dalam Rasimin, 2016: 148) Karakter yang baik adalah

sesuatu yang kita inginkan bagi anak-anak kita. Karakter yang baik adalah

hidup dengan tingkah laku yang benar yakni tingkah laku benar dalam hal

berhubungan dengan orang lain (seperti kedermawanan dan rasa simpati) dan

berhubungan dengan diri sendiri (misalnya kontrol diri dan tidak berlebih-

lebihan). Karakter itu sendiri terbentuk dari tiga bagian yang saling berkaitan:

pengetahuan moral, perasaan moral, dan perilaku moral. Karakter yang baik

terdiri atas mengetahui kebaikan, menginginkan kebaikan, dan melakukan

kebiasaan-kebiasaan pikiran, kebiasaan hati, kebiasaan perbuatan. Ketiganya

penting untuk menjalani hidup yang bermoral; ketiganya adalah faktor

pembentuk kematangan moral.

xiv

Berdasarkan hal tersebut di atas, karakter baik atau mulia meliputi

tentang kebaikan baik yang berhubungan dengan orang lain atau diri sendiri,

hal tersebut lalu menimbulkan komitmen terhadap kebaikan, dan akhirnya

benar-benar melakukan kebaikan. Ada dua hal penting yang harus dilakukan

oleh seorang pendidik selain pengajaran, yaitu keteladanan (modeling) dan

pembiasaan (habituation) (Nuh, 2013: 53).

Seorang pendidik merupakan salah satu unsur penting dalam dunia

pendidikan. Seorang pendidik merupakan tokoh sentral yang diharapkan

mampu membimbing dan mengarahkan peserta didik menjadi lebih baik.

Tugas dan tanggung jawab seorang guru sungguh sangat berat. Di

pundaknyalah tujuan pendidikan secara umum dapat tercapai atau tidak. Inilah

mengapa tidak semua orang bisa menjadi guru yang berhasil. Hanya orang-

orang tertentu yang mempunyai rasa cinta terhadap anak-anak atau peserta

didik dan berdedikasi tinggi terhadap dunia pendidikan saja yang mampu

menjadi seorang guru (Azzet, 2011: 13).

Mendidik menurut Sutari Imam Barnadib (dalam Muliawan, 2005: 142)

adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dengan sengaja dengan

tujuan memengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan pendidikan. Guru

hendaknya mendidik anak didik dengan cara-cara yang baik (keteladanan)

yang bisa menumbuhkan etika dan perilaku yang baik dalam pergaulan sosial.

Jadi menurut Imam Ghazali seorang guru harus mampu memberikan contoh

yang baik kepada anak didiknya (Barizi, 2011: 239).

xv

Mendidik merupakan kegiatan yang menyentuh sikap mental dan

kepribadian anak didik. Sedangkan kegiatan mengajar dan latihan sebagai salah

satu bentuknya, lebih erat hubungannya dengan aspek intelektual dan

ketrampilan. Akan tetapi harus diakui bahwa mengajar yang baik, pada

dasarnya berarti juga sebagai kegiatan mendidik (Nawawi,1993: 211).

Sementara dalam konsepsi Islam, pendidikan hakekatnya bertujuan untuk

membentuk manusia yang mempunyai kesadaran tentang kewajiban, hak dan

tanggung jawab sosial serta sikap toleran agar hubungan antar manusia dapat

berjalan harmonis (Jalaluddin, 2001: 95).

Namun dalam kenyataannya, pendidikan belum mampu mengantarkan

anak didik meraih tujuan ideal yang telah ditetapkannya yaitu, berpengetahuan

luas serta menjunjung nilai moral yang luhur, hal ini dibuktikan dengan masih

sering terjadinya kenakalan remaja seperti hubungan seks di luar nikah,

narkoba dan kenakalan remaja lainnya bahkan yang lebih parah ada oknum

guru yang tega melakukan perbuatan asusila terhadap anak didiknya, miris

melihat kondisi pendidikan sekarang ini. Seorang guru yang seharusnya

menjadi teladan bagi anak didiknya malah melakukan perbuatan tercela seperti

itu. Bukan memberikan contoh teladan yang baik, malah merusak masa depan

anak didiknya. Pendidikan yang selama ini berlangsung baru sekedar transfer

of knowledge. Sedangkan nilai-nilai luhur yang terdapat di dalam proses

pendidikan tersebut belum mampu diterapkan dalam kehidupan nyata.

Berdasarkan penjelasan di atas, penulis mencoba untuk menganalisis

nilai-nilai keteladanan Rasulullah SAW. yang terkandung dalam karya Abdul

xvi

Fattah Abu Ghuddah, karena Rasulullah merupakan suri tauladan yang

sempurna bagi umatnya. Salah satu karya Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah

adalah kitab ar-rasul al-mu‟allim wa asalibuhu fi at-ta‟lim yang merupakan

kitab yang membahas berbagai persoalan dalam dunia pendidikan terutama

yang berkaitan dengan cara mendidik yang baik sesuai dengan apa yang

dipraktekkan oleh Rasulullah semasa hidupnya. Karena Rasul merupakan

pendidik terbaik yang pernah ada. Melalui karakter yang ada dalam diri Nabi

dan metode yang diterapkannya, beliau mampu memberikan pengajaran

kepada para sahabatnya secara efektif dan efisien, serta membekas dalam diri

para sahabatnya.

Karya beliau ini mengajak kita semua untuk menjadi seorang pendidik

yang berkarakter khususnya, serta mampu menjadi suri tauladan (uswah) di

lingkungan kita hidup pada umumnya, sehingga kita mampu memberikan

perubahan ke arah yang positif, mampu memberikan warna dalam hidup yang

singkat ini, baik untuk keluarga dan masyarakat dimana kita tinggal serta

bangsa dan negara. Hidup bukanlah sekedar rutinitas tanpa nilai, tapi

merupakan suatu dinamika yang terus bergerak menuju suatu perubahan,

sehingga kita harus mampu berperan di dalamnya. Sifat keteladanan Nabi ini

telah disebutkan, sebagaimana difirmankan Allah SWT di dalam surat al

Ahzab ayat: 21. Firman tersebut mengatakan sebagai berikut:

كم ب رسول اللو أسوة حسنة لمن كان ي رجو اللو والي وم اآلخر وذكر اللو كثريالقد كان ل

Artinya: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang

baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan

(kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah. (QS. Al-

Ahzab: 21).

xvii

Dalam ayat di atas secara menjelaskan bahwa Allah SWT menjadikan

sosok Nabi Muhammad SAW sebagai teladan bagi seluruh umat manusia.

Keteladanan tersebut berlaku di dalam semua lini kehidupannya. Oleh karena

itu, penulis berusaha mengungkapkan nilai-nilai keteladanan yang ada dalam

diri Rasulullah, sebagai pijakan bagi kita untuk meneladani akhlak Beliau yang

mulia.

Keteladanan memegang peran penting dalam upaya pembentukan

karakter seseorang. Karena pada umumnya anak didik belum paham dengan

baik tentang konsep kebaikan. Dalam kehidupan ini, khususnya dalam dunia

pendidikan kesulitan yang biasa dihadapi oleh anak-anak adalah

menerjemahkan konsep kebaikan yang abstrak ke dalam tindakan. Konsep

yang abstarak tersebut harus dikonkretkan terlebih dahulu agar bisa

diaplikasikan dalam kehidupan. Salah satu cara untuk mengkonkretkannya

adalah dengan member contoh atau keteladanan (Munir, 2010: 11-12).

Untuk itu bagi umat Islam, keteladanan yang paling baik dan utama,

terdapat di dalam diri Rasulullah Muhammad SAW. Keteladanan Rasulullah

mencakup semua lini kehidupan mengingat posisi dan profesi Nabi begitu

komplit dan kompleks. Rasanya sulit menemukan tokoh besar dengan sisi

kehidupan yang begitu kaya seperti dijalankan Rasulullah (Nuh, 2013: 171-

172).

Berdasarkan pemaparan masalah di atas, kitab karya Abdul Fattah Abu

Ghuddah Ar-Rosul al-Mu‟allim wa Asalibuhu fi at-Ta‟lim ini layak diteliti

untuk mencari nilai-nilai keteladanan Rasulullah SAW sebagai panutan bagi

xviii

kita dalam kehidupan sehari-hari khusunya untuk dalam mendidik. Beranjak

dari latar belakang yang sudah penulis paparkan di atas, maka penulis mencoba

menyusun sebuah skripsi dengan mengangkat judul tentang nilai-nilai

keteladanan Rasulullah (telaah kitab ar-rosul al-mu‟allim wa asalibuhu fi at-

ta‟lim karya Abdul Fattah Abu Ghuddah).

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang diuraikan di atas, yang akan menjadi pokok

pembahasan dalam penelitian ini adalah:

1. Apa signifikansi nilai-nilai keteladanan Rasulullah dalam kitab Ar-Rosul al-

Mu‟allim wa Asalibuhu fi at-Ta‟lim karya Abdul Fattah Abu Ghuddah ?

2. Bagaimana relevansi nilai-nilai keteladanan Rasulullah dalam kitab Ar-

Rosul al-Mu‟allim wa Asalibuhu fi at-Ta‟lim karya Abdul Fattah Abu

Ghuddah dengan praktek pendidikan saat ini?

3. Bagaimana implikasi nilai-nilai keteladanan Rasulullah dalam kitab Ar-

Rosul al-Mu‟allim wa Asalibuhu fi at-Ta‟lim karya Abdul Fattah Abu

Ghuddah dengan praktek pendidikan saat ini?

C. Tujuan Penelitian

Dari persoalan di atas tujuan yang hendak penulis diskripsikan dalam

penelitian ini adalah:

1. Mengetahui signifikansi nilai-nilai keteladanan Rasulullah dalam kitab Ar-

Rosul al-Mu‟allim wa Asalibuhu fi at-Ta‟lim karya Abdul Fattah Abu

Ghuddah.

xix

2. Menemukan relevansi nilai-nilai keteladanan Rasulullah dalam kitab Ar-

Rosul al-Mu‟allim wa Asalibuhu fi at-Ta‟lim karya Abdul Fattah Abu

Ghuddah.

3. Mengetahui implikasi nilai-nilai keteladanan Rasulullah dalam kitab Ar-

Rosul al-Mu‟allim wa Asalibuhu fi at-Ta‟lim karya Abdul Fattah Abu

Ghuddah dengan praktek pendidikan saat ini.

D. Manfaat Penelitian

Suatu pengkajian dan telaah baru terhadap suatu ilmu pengetahuan

diharapkan mampu menambah dan memberikan temuan dan informasi baru

yang dapat diambil manfaatnya. Manfaat bagi para praktisi yang aktif dalam

bidang ini maupun kepada khalayak yang membaca serta mempelajari kajian

ini. Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat sebagai

berikut:

1. Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan kontribusi

yang poitif dalam bidang pendidikan dan wawasan yang lebih luas tentang

nilai-nilai keteladanan Rasulullah. Serta diharapkan dapat memberikan satu

tambahan literature dalam memperkaya khasanah keilmuan islam dan menjadi

suatu masukan serta rujukan bagi penelitian lebih lanjut yang berkaitan dengan

masalah ini.

2. Manfaat praktik

xx

Sebagai masukan yang membangun dalam pemberdayaan dan

peningkatkan kualitas suatu lembaga pendidikan khususnya pendidikan agama

islam. Diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam kebijakan yang

terkait dengan pendidikan. Serta sebagai syarat untuk memperoleh gelar

sarjana strata satu (SI) pada jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas

Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, Institut Agama Islam Negeri Salatiga.

E. Kajian Pustaka

Penelitian Arif Cahya Wicaksana (2014) tentang “Relevansi Nilai-Nilai

Keteladanan Bisnis Rasulullah dengan Pendidikan Akhlak (Studi Buku Karya

Muhammad Syafii Antonio Ensiklopedia Leadership dan Manajemen

Muhammad SAW Bisnis dan Kewirausahaan)”. Disebutkan bahwa adanya

nilai-nilai yang terkandung dalam bisnis Rasulullah terutama nilai-nilai akhlak.

Rasulullah mengajarkan bentuk transaksi bisnis yang sarat dengan nilai-nilai

etika, akhlak, dan kemanusiaan.

Penelitian Cholid (2009) tentang “Manajemen Metode Pembelajaran

Rasulullah SAW (Studi atas Kitab Tarbiyah al Nabi Liashabih Karya Khalid

Abdullah al Qurasyi)”. Disebutkan bahwa metode yang digunakan dalam

proses pendidikan sangat berpengaruh terhadap proses penanaman nilai-nilai

yang terkadung dalam proses pendidikan itu sendiri. Hal itu dapat dilihat dari

keberhasilan Rasulullah dalam dakwahnya.

Penelitian Nur Saifuddin Anshori (2013) tentang “Pendidikan Karakter

Nabi Muhammad SAW dalam Buku Sirah Nabawiyah Terjemahan Kitab Ar

xxi

Rachiqu al Makhtuum Karya Syeikh Shafiyurrahman al Mubarakfury”.

Disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW. merupakan suri teladan yang baik.

Karakter Beliau dapat dijadikan sebagai bahan pendidikan karakter yang

selama ini kurang mengena serta nilai-nilai pendidikan karakter yang terdapat

dalam buku sirah nabawiyah ini masih sangat relevan jika diterapkan pada

konteks zaman sekarang.

Penelitian Anang Umar (2015) tentang “Nilai-Nilai Keteladanan Nabi

Muhammad Saw. pada Perang Badar al-Kubra dan Relevansinya dengan

Kompetensi Pendidik dalam Pendidikan Islam”. Disebutkan bahwa terdapat

nilai-nilai keteladanan dalam diri Nabi Muhammad SAW. dalam perang Badar

al-Kubra yaitu: nilai kepribadian, nilai sosial, nilai kecerdasan, nilai motivasi,

nilai memahami orang lain, nilai ketegasan dan nilai-nilai keteladanan nabi

tersebut sesuai dengan kompetensi seorang pendidik pada zaman sekarang.

Penelitian Miss Saining Samae (2017) tentang “Pengaruh Keteladanan

Guru dalam Menanamkan Nilai Akhlak Siswa di Madrasah Tsanawiyah Negeri

2 Surakarta”. Disebutkan bahwa keteladanan guru memiliki pengaruh dalam

menanamkan nilai akhlak siswa di MTs Negeri 2 Surakarta, hal ini dapat

dilihat dari dua segi, yaitu segi perkataan dan segi perbuatan.

Penelitian Nurna Noviatri (2014) tentang “Kontribusi Keteladanan Guru

dan Pola Asuh Orang Tua Terhadap Kedisiplinan Siswa Kelas V SD Negeri

Se-Kecamatan Mantrijeron Kota Yogyakarta”. Disebutkan bahwa adanya

kontribusi serta pengaruh dari keteladanan guru terhadap kedisiplinan siswa

kelas V.

xxii

Penelitian Ifa Istinganah (2015) tentang “Pengaruh Keteladanan Guru

Akidah Ahklak dan Keteladanan Orang Tua Terhadap Nilai-Nilai Akhlakul

Karimah Siswa di MTsN se-Kabupaten Blitar”. Disebutkan bahwa adanya

pengaruh keteladanan guru dan orang tua terhadap pembentukan akhlakul

karimah pada anak.

Peneitian Melly Nurbaity (2017) tentang “Pembentukan Kepribadian

Anak Melalui Keteladanan Orang Tua di Lingkungan Rumah Menurut Konsep

Pendidikan Islam”. Disebutkan bahwa keteladanan orang tua memiliki

pengaruh terhadap pembentukan kepribadian anak.

Penelitian Ina Siti Julaeha (2014) tentang “Keteladanan Orang Tua

dalam Mendidik Anak Menurut Abdullah Nasih „Ulwan”. Disebutkan bahwa

orang tua adalah peletak awal pembentukan kepribadian Islam melalui

keteladanan yang dilakukan di dalam lingkungan keluarga. Baik buruknya anak

ditentukan dari pengaruh sikap yang dicontohkan orang tua kepadanya. Dalam

penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian literatur dengan

menggunakan pendekatan analysis content.

Penelitian Puji Tulus Santoso (2013) tentang “Pengaruh Keteladanan

Guru Terhadap Pengamalan Akhlakul Karimah pada Siswa Kelas VIII SMP

Negeri 1 Sumbang Kabupaten Banyumas”. Disebutkan bahwa keteladanan

guru mempunyai pengaruh dengan kategori sangat kuat dan sangat tinggi

terhadap pengamalan akhlakul karimah pada siswa kelas VIII. Dalam

penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian kuantitatif.

xxiii

F. Metode Penelitian

Pengertian metode, berasal dari kata methods (Yunani) yang dimaksud

adalah cara atau jalan. Metode merupakan kegiatan ilmiah yng berkaitan

dengan suatu cara kerja (sistematis) untuk memahami suatu objek atau subjek

penelitian, sebagai upaya untuk menemukan jawaban yang dapat

dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan termasuk keabsahannya (Ruslan,

2010: 24).

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Jenis penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian literature (library research). Metode

literature atau metode kepustakaan adalah salah satu metode penelitian

pendidikan yang menggunakan cara telaah pustaka (Muliawan, 2014: 71).

Dalam penyusunan skripsi ini penulis mengambil data dari pendapat para

ahli yang dituangkan dalam buku-buku, istilah ini biasanya disebut library

research (penelitian pustaka) yaitu mengadakan penelitian dengan cara

mempelajari dan membaca literatur-literatur yang ada hubungannya dengan

permasalahan yang menjadi objek penelitian. Studi kepustakaan merupakan

tehnik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaah terhadap buku-

buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan laporan-laporan yang ada

hubungannya dengan masalah yang akan diteliti (Nazir, 1985: 111)

2. Sumber penelitian

Sumber data penelitian adalah subjek darimana data itu diperoleh

(Arikunto, 2014: 172). Sedangkan data-data tersebut terbagi dalam dua bagian:

xxiv

a. Sumber data primer

Sumber data primer adalah sumber data yang paling utama digunakan

dan sesuai dengan permasalahan ini. Sumber primer dalam hal ini adalah hasil-

hasil penelitian atau tulisan-tulisan karya peneliti atau teoritisi yang orisinil

(Hadjar, 1996: 83). Adapun sumber data primer adalah Kitab Ar-Rosul al-

Mu‟allim wa Asalibuhu fi at-Ta‟lim karya Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah.

b. Sumber data sekunder

Sumber sekunder adalah bahan pustaka yang ditulis dan dipublikasikan

oleh seorang penulis yang tidak secara langsung melakukan pengamatan atau

berpartisipasi dalam kenyataan yang ia deskripsikan. Dengan kata lain penulis

tersebut bukan penemu teori (Hadjar, 1996: 84). Data ini berupa dokumen,

buku, majalah, jurnal, dan yang lainnya yang berkaitan dengan permasalahan

penelitian. Diantaranya adalah:

1) Agus Khudlori. Muhammad Sang Guru.

2) Umar Husein Assegaf. Mendidik dan Mengajar ala Rasulullah.

3) Rahmat Hidayat. Muhammad SAW The Super Teacher.

4) Muhammad Suwaid. Mendidik Anak Bersama Nabi SAW.

3. Metode pengumpulan data

Untuk memperoleh data-data yang diperlukan dalam penelitian ini,

penulis menggunakan Metode Dokumentasi. Menurut Suharsimi Arikunto

(2010:274) Metode Dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau

xxv

variabel yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti,

notulen rapat, agenda dan lain sebagainya.

4. Analisi data

Untuk menganalisis data penulis menggunakan beberapa metode, yaitu:

a. Metode diskristif

Metode deskriptif adalah pemaparan gambaran mengenai situasi yang

diteliti dalam bentuk uraian naratif (Sudjana, 1989: 198). Peneliti melakukan

analisis data dengan menggambarkan buah pemikiran Syekh Abdul Fattah Abu

Ghuddah dalam kitab Ar-Rosul al-Mu‟allim wa Asalibuhu fi at-Ta‟lim.

b. Metode analisis

Metode Content Analisys (analisis isi) yaitu analisis terhadap makna

yang terkandung dalam pemikiran, menganalisa dan memahami dari sebuah

pendapat maupun sebuah buku, baik sebagian maupun keseluruhan untuk

mengetahui, memahami dan menjelaskan isi dari sebuah buku tersebut

(Suryabrata, 1996: 85).

Dalam proses penelitian ini penulis menggunakan teknik analisis isi

(content analysis) dalam bentuk deskriptif analisis yaitu berupa catatan

informasi faktual yang menggambarkan segala sesuatu apa adanya dan

mencakup penggambaran secara rinci dan akurat terhadap berbagai dimensi

yang terkait dengan semua aspek yang diteliti. Maka, di sini penulis

menggambarkan permasalahan yang dibahas dengan mengambil materi-materi

yang relevan dengan permasalahan, kemudian dianalisis, dipadukan, sehingga

dihasilkan kesimpulan (Bungin, 2008: 155-159).

xxvi

G. Definisi Operasonal

1. Nilai-nilai

Nilai adalah sifat yang melekat pada sesuatu (sistem kepercayaan) yang

telah berhubungan dengan subjek yang memberi arti (yakni manusia yang

meyakini) (Thoha, 1996: 60).

Menurut Spranger (dalam Asrori 2008: 153) nilai diartikan sebagai suatu

tatanan yang dijadikan panduan oleh individu untuk menimbang dan memilih

alternatif keputusan dalam situasi soaial tertentu.

Sedangkan menurut Muhammad Noor Syam, 1986 (dalam Muhaimin dan

Abdul Mujib 1993: 109) nilai adalah suatu penetapan atau suatu kualitas objek

yang menyangkut suatu jenis apresiasi atau minat.

Dengan demikian yang dinamakan nilai adalah suatu yang berharga yang

dijadikan pedoman oleh seseorang dalam bertindak.

2. Keteladanan

Dalam kamus besar Indonesia disebutkan, bahwa keteladanan dasar

katanya teladan yaitu perbuatan atau barang yang patut ditiru dan dicontoh.

Oleh karena itu keteladanan adalah hal-hal yang dapat ditiru atau dicontoh

(Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995: 129).

Menurut Al-Ashfahani (dalam Arief, 2002: 117) al-uswah dan al-iswah

sebagaimana kata al-qudwah dan al-qidwah berarti suatu keadaan ketika

seorang manusia mengikuti orang lain, apakah dalam kebaikan, kejelekan,

kejahatan atau kemurtadan.

xxvii

Keteladanan adalah hal yang dapat ditiru atau dicontoh oleh seseorang

dari orang lain. Namun keteladanan yang dimaksud di sini adalah keteladanan

yang dapat dijadikan sebagai alat pendidikan Islam , yaitu keteladanan yang

baik sesuai dengan pengertian uswah (Armai Arief, 2002: 117.)

Keteladanan, dalam proses pendidikan berarti setiap pendidik harus

berusaha menjadi teladan anak didiknya. Teladan dalam semua kebaikan dan

bukan teladan dalam keburukan. Dengan keteladanan itu diharapkan anak

didik, akan mencontoh dan meniru segala sesuatu yang baik di dalam perkataan

dan perbuatan pendidiknya (Nawawi, 1993: 215).

Keteladanan adalah suatu contoh yang dapat dijadikan acuan oleh orang

lain karena dianggap orang yag dijadikan contoh tersebut mengandung nilai

yang baik dan luhur. Seorang guru yang dicintai oleh anak didiknya adalah

guru yang mempunyai kepribadian layak ditiru. Inilah kepribadian utama yang

harus dimiliki oleh seorang guru. Menurut falsafah Jawa, kata guru berasal dari

kalimat “bisa digugu (dipercaya) dan ditiru (dicontoh)”. Jadi, orang yang

menjadi guru adalah seorang yang bisa dipercaya dan ditiru tingkah lakunya

oleh anak didiknya (azzet, 2011: 55). Jadi keteladanan adalah suatu hal baik

berupa perkataan atau tindakan yang bernilai positif yang dapat dijadikan

contoh yang dapat panutan bagi orang orang lain.

H. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini tersusun dalam tiga bagian utama, yaitu

bagian awal, bagian inti, dan bagian akhir. Bagian awal terdiri dari: sampul,

lembar berlogo, judul (sama dengan sampul), persetujuan pembimbing,

xxviii

pengesahan kelulusan, pernyataan keaslian tulisan, motto dan persembahan,

kata pengantar, abstrak, daftar isi, daftar tabel, daftar gambar, dan daftar

lampiran.

Bagian inti dalam penulisan penelitian ini, penulis menyusun dalam lima

bab dengan rincian sebagai berikut:

Bab I berisi pendahuluan. Dalam bab ini penulis akan memaparkan

tentang pokok-pokok penulisan dalam skripsi ini. bagian ini memuat: latar

belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,

kajian pustaka, metode penelitian, defenisi operasional dan sistematika

penelitian.

Bab II berisi biografi. Dalam bab ini akan dipaparkan mengenai biografi

tokoh, setting sosial, dan karya-karyanya.

Bab III berisi deskripsi pemikiran.

Bab IV berisi pembahasan, dalam bab ini akan disajikan pembahasan

mengenai signifikansi nilai-nilai keteladanan Rasulullah telaah kitab ar-Rosul

al-Muallim wa Asalibuhu fi at-Ta‟lim karya Syekh Abdul Fattah Abu

Ghuddah, relevansinya dengan praktik pendidikan saat ini serta implikasinya.

Bab V berisi penutup yang merupakan refleksi dari penulisan skripsi

dalam bentuk kesimpulan dan saran.

xxix

BAB II

BIOGRAFI

A. Biografi Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah

Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah lair di kota Aleppo, Suriah, 17 Rajab

tahun 1336 H / 1917 M. Pada masa mudanya, Syekh Abdul Fattah

menyelesaikan pendidikan menengah di Suriah, lalu melanjutkan ke jenjang

perguruan tinggi di Mesir, yaitu Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, dan

lulus pada tahun 1368 H / 1948 M. Setamat dari Fakultas Syariah Al-Azhar,

dia mengambil spesialisasi bidang pedagogi (pengajaran) di Fakultas Bahasa

Arab di universitas yang sama dan lulus pada 1370 H / 1950 M. Setelah itu, dia

kembali ke negeri asalnya, Suriah (Khudlori, 2015: 342).

Segudang pengalaman di dunia pendidikan telah dia lakoni, bahkan dia

tergolong pakar di bidang satu ini. Sepulang dari Mesir, dia bekerja sebagai

guru di Aleppo, lalu menjadi dosen di Fakultas Syariah di Universitas

Damaskus. Tak berselang lama, Syekh Abdul Fattah pindah ke Saudi Arabia

dan mengikat kontrak dengan Universitas Imam Muhammad Ibnu Saud di

Riyadh, dimana ia bekerja sebagai dosen. Selain itu, dia juga mengjar di

Ma‟had Ali li al-Qadha‟ (sekolah tinggi yudisial), menjadi profesor

pembimbing untuk mahasiswa pascasarjana, dan lain-lain (Khudlori, 2015:

342- 343).

Selama periode 1385-1408 H / 1965-1988 M, Syekh Abdul Fattah

berpartipasi dalam pembangunan Universitas Imam Muhammad Ibnu Saud dan

xxx

pembentukan kurikulumnya, seta diangkat menjadi anggota Majlis Ilmi

(Dewan Ilmiah) di kampus itu. Syekh Abdul Fattah juga pernah ditugaskan

sebagai profesor tamu di Universitas Islam Umm Durman, Sudan, dan

beberapa perguruan tinggi di India. Pernah pula berpartipasi dalam berbagai

seminar dan konferensi ilmiah Islam tingkat internasional. Sekembalinya dari

Sudan, dia mengajar di King Saud University di Riyadh. Dia pernah

menempati posisi-posisi penting dalam dunia pendidikan serta memberikan

kontribusi terhadap perkembangan banyak lembaga dan perguruan tinggi.

Beliau merupakan sosok yang patut dijadikan contoh, beliau memiliki

komitmen sangat tinggi untuk selalu membaca dan terus belajar, meskipun

salah satu matanya di kemudian hari buta dan salah satu telinganya tidak dapat

mendengar. Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah meninggal pada 9 Syawal 1417

H atau 16 Februari 1997 M di Riyadh dalam usia 80 tahun, tetapi kemudian

dibawa ke Madinah dan dimakamkan di Baqi‟ sesuai keinginan Beliau

(Khudlori, 2015: 343-344).

B. Setting Sosial

Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah merupakan ulama Suriah yang dikenal

karena kiprah akademiknya. Ayah beliau, yang bernama Muhammad bin

Bashir dikenal baik karena ketaatan dan keshalehannya. Ayah Beliau

merupakan pengusaha di industri teksil. Pada pertengahan 1960-an Syekh

Abdul Fattah Abu Ghuddah menggalang ulama di Suriah dan membawa

persatuan di kalangan umat Islam. Beliau mengangkat isu-isu kontemporer dan

xxxi

digunakan untuk berbicara melawan gelombang sekularisme. Pada tahun 1962,

Beliau terpilih sebagai anggota parlemen untuk kota Aleppo, meskipun

perlawanan sengit ia hadapi dari pesaing lainnya. Beliau menggunakan posisi

ini untuk membantu dan mempromosikan kepentingan Islam dan umat Islam di

Suriah.

Syekh Abdul Fattah pun sempat dipenjarakan pada tahun 1966 dan

menghabiskan sebelas bulan di penjara dengan ulama lainnya sebelum

akhirnya memutuskan untuk pindah ke Arab Saudi. Disana, Beliau mengajar di

Universitas Imam Muhammad Ibn Saud di Riyadh selama tahun 1965-1988.

Beliau menyibukkan dengan aktivitas akademik sebagai Profesor tamu di

Universitas Islam Um Durman di Sudan. Beliau juga berpartisipasi dalam

berbagai seminar dan konferensi dan juga bekerja untuk jangka waktu di King

Saud University di Riyadh.

(Wulandari. 2008. Setting Sosial Syekh Abdul Fattah Abu Guddah,

https://m.replubika.co.id/2008/06/08/Syekh-Abdul-Fattah-Abu-Ghuddah-

Ulama-Pecinta-Ilmu.html, diakses pada 28 Agustus 2018).

C. Karya Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah

Kitab ar-rasul al-mu‟allim wa asalibuhu fi at-ta‟lim pada awalnya

merupakan materi kuliah umum yang diminta oleh direktorat Fakultas Syahriah

dan Fakultas Bahasa Arab di Riyadh, Kerajaan Saudi Arabia, pada tahun 1385-

1386. Tema ini ar-Rosul al-Muallim wa Asalibuhu fi at-Ta‟lim dipilih menjadi

xxxii

materi kuliah pada kedua fakultas tersebut, karena besar korelasinya dengan

dunia keilmuan, pengajaran dan para pelajar itu sendiri (Khudlori, 2015: xiii).

Untuk mengembangkan materi tersebut menjadi sebuah kitab yang

lengkap, pengarang kitab ini menambahkan banyak catatan di dalamnya,

termasuk pembahasan-pembahasan penting yang menyenpurnakan isinya.

Selain itu, beberapa catatan juga diperluas sehingga dirasa cukup sesuai

konteks dan sebagian yang lain dipersempit pembahasannya, sehingga jadilah

kitab yang lengkap. Kitab ini sangat penting, mengingat kitab ini berhubungan

dengan sisi terpenting kehidupan Rasulullah sebagai seorang guru beserta

sejarah hidupnya (Khudlori, 2015: xiii-xiv).

Dalam kitab ini, pengarang kitab ini banyak mengutip dari hadis Nabi

Muhammad SAW yang berkaitan dengan petunjuk Rosulullah dalam mengajar

beserta metode-metodenya. Secara garis besar kitab ini terbagi menjadi dua

pembahasan, yakni:

1. Deskripsi kepribadian Rasulullah, sifat-sifat yang mulia, keistimewaan,

serta perilakunya yang bijaksana

2. Membahas rahasia dan metode-metode Rosulullah dalam mengajar, serta

bimbingan dan arahan beliau yang lurus seputar dunia pendidikan.

Hadis-hadis yang yang terdapat dalam buku ini tidak hanya berupa

pengajaran tetapi juga berupa pengarahan, sehingga diharapkan melalui hadis

tersebut mampu memberikan gambaran, contoh, dan arahan yang jelas seputar

dunia pendidikan dan pengajaran. Hadis-hadis tersebut diambil diantaranya

dari Imam Bukhri, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam Nasa‟i, Imam

xxxiii

Tirmidzi dan Imam Ibnu Majah dari kitab mereka masing-masing (Khudlori,

2015: xiv-xv).

Diantara karya dari syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah adalah:

1. Safahat Min Sabril Ulama' (Lembaran Kesabaran Ulama')

2. Mas'alat Khalq al-Qur'an wa Atharuha fi Sufuf al-Riwat wa al-Muhaddithin

wa Kutub al-Jarh wa al-Ta`dil.

3. al-Ulama' al-`Uzzab al-Ladhina Atharu al-`Ilm `ala al-Zawaj.

4. Kitab Ar-Rosul al-Mu‟allim wa Asalibuhu fi at-Ta‟lim

5. Qimatu az-Zaman „inda al-Ulama‟

6. Umarau al-Mukminin fi al-Hadis

7. Safahat musyrikoh min tarikh sima‟i al-Hadis

8. al-Isnad min ad-Din

9. Min Adabi al-Islam

10. Tahqiq Ismii as-Shohihain wa Ismi Jami‟ at-Turmudzi

11. Lamahat Min Tarikh as-Sunah wa Ulumul al-Hadis

12. Tarajim Sittah Min Fuqaha al-aliim al-Islami fi al-Qarn ar-Rabi‟

Kitab-kitab di atas merupakan hasil karangan Syekh Abdul Fattah Abu

Ghuddah. Beliau merupakan sosok yang patut dijadikan contoh, beliau

memiliki komitmen sangat tinggi untuk selalu membaca dan terus belajar

(Norazamudin. 2009. Karya Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah,

https://abuawatif.Wordpress.com/2009/04/06/Jejak-Ulama-5-Syekh-Abdul-

Fattah-Abu-Ghuddah.html, diakses pada 28 Agustus 2018).

xxxiv

BAB III

DESKRIPSI PEMIKIRAN SYEKH ABDUL FATTAH ABU GHUDDAH

TENTANG NILAI KETELADANAN

A. Pengertian Nilai Keteladanan

Dalam kehidupan ini, khususnya dalam dunia pendidikan kesulitan yang

biasa dihadapi oleh anak-anak adalah menerjemahkan konsep kebaikan yang

abstrak ke dalam tindakan. Konsep yang abstarak tersebut harus dikonkretkan

terlebih dahulu agar bisa diaplikasikan dalam kehidupan. Misalnya, seorang

anak diberi pengertian oleh orang tua atau gurunya bahwa ia harus

menghormati setiap orang. Sikap hormat di mata anak adalah sesuatu yang

sangat abstrak. Anak harus di ajari tentang bagaimana wujud penghormatan

kepada orang tua, guru, teman sebaya, tamu, tetangga, dan kepada setiap orang.

Apabila sebuah kebaikan sudah dipahami oleh anak, dan anak juga sudah

menyepakati bahwa hal itu harus diwujudkan dalam tindakan nyata, maka

orang yang sering berinteraksi dengan anak, seperti orang tua dan guru harus

segera mengambil langkah untuk segera memberikan pertolongan dan

dukungan kepada anak untuk mewujudkannya. Bentuk pertolongan yang

dimaksud adalah memberi teladan tentang kebaikan-kebaikan tersebut (Munir,

2010: 11-12).

Seorang anak yang hatinya masih suci merupakan mutiara yang masih

polos tanpa ukiran dan gambar. Dia siap diukir dan cenderung kepada apa saja

yang mempengaruhinya. Jika dia dibiasakan dan diajarkan untuk berbuat

xxxv

kebaikan, dia akan tumbuh menjadi anak yang baik. Sedangkan apabila dia

dibiasakan berbuat jahat dan dibiarkan begitu saja seperti membiarkan binatang

ternak, maka dia akan sengsara dan binasa (Suwaid, 2017: 19).

Keteladanan adalah hal yang dapat ditiru atau dicontoh oleh seseorang

dari orang lain. Namun keteladanan yang dimaksud di sini adalah keteladanan

yang dapat dijadikan sebagai alat pendidikan Islam , yaitu keteladanan yang

baik sesuai dengan pengertian uswah (Arief, 2002: 117.)

Keteladanan dalam proses pendidikan berarti setiap pendidik harus

berusaha menjadi teladan anak didiknya. Teladan dalam semua kebaikan dan

bukan teladan dalam keburukan. Dengan keteladanan itu diharapkan anak

didik, akan mencontoh dan meniru segala sesuatu yang baik di dalam perkataan

dan perbuatan pendidiknya (Nawawi, 1993: 215).

Keteladanan adalah suatu contoh yang dapat dijadikan acuan oleh orang

lain karena dianggap orang yag dijadikan contoh tersebut mengandung nilai

yang baik dan luhur. Seorang guru yang dicintai oleh anak didiknya adalah

guru yang mempunyai kepribadian layak ditiru. Inilah kepribadian utama yang

harus dimiliki oleh seorang guru. Menurut falsafah Jawa, kata guru berasal dari

kalimat “bisa digugu (dipercaya) dan ditiru (dicontoh)”. Jadi, orang yang

menjadi guru adalah seorang yang bisa dipercaya dan ditiru tingkah lakunya

oleh anak didiknya (Azzet, 2011: 55).

Keteladanan memegang peranan yang sangat penting. Sekeras apa pun

yang kita suruh atau larang tidak akan didengar apabila perbuatan kita tidak

seimbang dengan apa yang telah kita katakan. Sebelum menyuruh orang lain,

xxxvi

Rasulullah telah melakukannya terlebih dahulu. Rasulullah tidak melarang

sebelum Beliau meninggalkannya. Kata dan perbuatan Rasulullah memiliki

ketersambungan yang rapi. Inilah realitas keteladanan Rasulullah yang telah

ditorehkan dalam sejarah (Hidayatullah, 2011: 44).

Jadi keteladan adalah suatu hal yang mengandung nilai positif yang dapat

dicontoh dan diikuti oleh orang lain. Keteladanan memegang peran yang

sangat penting dalam pembentukan karakter anak didik ke arah yang positif.

Melalui keteladanan anak didik dapat mengkonkretkan nasehat-nasehat dari

pendidik yang masih bersifat abstrak.

B. Pemikiran Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah Tentang Nilai Keteladanan

dalam Kitab ar-Rasul al-Mu’allim Wa Asalibuhu Fi at-Ta’lim

Salah satu karya Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah adalah kitab ar-rasul

al-mu‟allim wa asalibuhu fi at-ta‟lim yang merupakan kitab yang membahas

berbagai persoalan dalam dunia pendidikan terutama yang berkaitan dengan

cara mendidik yang baik sesuai dengan apa yang dipraktekkan oleh Rasulullah

semasa hidupnya. Karena Rasul merupakan pendidik terbaik yang pernah ada.

Melalui karakter yang ada dalam diri Nabi dan metode yang diterapkannya,

beliau mampu memberikan pengajaran kepada para sahabatnya secara efektif

dan efisien, serta membekas dalam diri para sahabatnya.

Karya beliau ini mengajak kita semua untuk menjadi seorang pendidik

yang berkarakter khususnya, serta mampu menjadi suri tauladan (uswah) di

lingkungan kita hidup pada umumnya, sehingga kita mampu memberikan

xxxvii

perubahan ke arah yang positif, mampu memberikan warna dalam hidup yang

singkat ini, baik untuk keluarga dan masyarakat dimana kita tinggal serta

bangsa dan negara. Hidup bukanlah sekedar rutinitas tanpa nilai, tapi

merupakan suatu dinamika yang terus bergerak menuju suatu perubahan,

sehingga kita harus mampu berperan di dalamnya.

Kitab ar-rasul al-mu‟allim wa asalibuhu fi at-ta‟lim merupakan suatu

solusi yang tepat bagi pendidik dan calon pendidik, karena di dalamnya

membahas personality atau kepribadian Rasulullah sang uswah terbaik bagi

umat manusia. Pendidik yang ideal adalah seperti yang ada dalam diri Rasul,

maka seharusnya bagi para pendidik dan calon pendidik meniru atau

mencontoh segala yang dipraktekkan oleh Beliau. Salah satu nasehat yang

sangat ampuh agar orang mau melakukan yang apa yang kita perintahkan

adalah melalui keteladanan. Melalui keteladanan ini Rasul menjadi sosok

pendidik yang sangat berpengaruh dan segani baik kawan atau lawan.

Adapun nilai-nilai keteladanan yang terkandung dalam kitab ar-rasul al-

mu‟allim wa asalibuhu fi at-ta‟lim karya Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah

adalah:

1. Memudahkan dan Tidak memberatkan

Seorang pendidik harus memahami sifat dasar manusia, bahwa manusia

diciptakan dengan perbedaan potensi yang menjadi ciri khas yang

membedakan dirinya dengan orang lain. Memudahkan bukan berarti

menyepelekan atau menganggap gampang suatu hal, tetapi melaksanakan

xxxviii

sesuai dengan yang disyariatkan, selama tidak melanggar syariat atau hukum

yang berlaku.

Begitu pula seorang pendidik dalam menyampaikan materi kepada anak

didiknya harus disesuaikan dengan kemampuan masing-masing individu. Salah

satu cara memudahkan bagi anak didik adalah menggunakan berbagai variasi

metode karena setiap individu itu unik. Jadi jangan sampai apa yang

disampaikan membuat mereka bingung dan merasa kesusahan.

Adapun sikap memudahkan yang tercermin pada diri Rasulullah dalam

kitab ar-rasul al-mu‟allim wa asalibuhu fi at-ta‟lim adalah:

وروى مسلم ب كتاب الطالق من صحيحو, ب قصة ختيريالنىب صلى اهلل عليو و سلم زوجاتو فاختارتو رضي اهلل عنها, ورغبت منو ان ال الشريفات رضي اهلل عنهن, وقد بداء بعائشة منهن

خيرب غريىا اهنا اختارتو, فقال ذلا عليو الصالة والسالم: ان اهلل مل يبعثىن معنتا وال متعنتا, ولكن بعثىن معلما ميسرا

Artinya: Muslim dalam kitab shahihnya (bab perceraian), meriwayatkan

proses yang dilakukan Nabi Muhammad SAW. dalam memilih istri-

istrinya. Perempuan pertama yang Dia pilih adalah Aisyah, dan

Aisyah pun menginginkannya. Mengetahui hal itu, dia meminta agar

Rasulullah tidak memberi tahu perempuan lain. Rasul pun menjawab,

“Sesungguhnya Allah tidak mengutusku untuk menjadi orang yang

menyusahkan dan merendahkan orang lain. Tetapi dia mengutusku

sebagai seseorang guru dan pemberi kemudahan (Khudlori, 2015: 7).

Imam Ghazali menjelaskan bahwa di balik jawaban samar Rasulullah di

atas, yaitu tidak menjawab Aisyah dengan tegas dan tidak membentaknya,

terdapat pelajaran bahwa salah satu seni mengajar adalah seorang guru boleh

menegur muridnya ketika melakukan akhlak tercela dengan lemah lembut,

sindiran halus, tidak menggunakan cara frontal, serta dilakukan dengan penuh

xxxix

kasih sayang tanpa celaan serta Rasul diutus untuk memberi kemudahan pada

umatnya.

2. Kasih sayang

Mendapat kasih sayang merupakan keinginan semua orang, contohnya

seorang anak didik yang mendapatkan kasih sayang dari gurunya, dia akan

merasa nyaman dalam mengikuti pelajaran, sehingga apa yang disampaikan

oleh gurunya akan mudah dicerna, semua ini muncul karena adanya rasa cinta

yang timbul dihati anak didik kepada gurunya, selain itu akan terciptanya

kondisi belajar yang kondusif pula. Karena seorang guru adalah orang tua bagi

anak didiknya, sehingga guru harus menyanyangi anak didiknya sepeti anaknya

sendiri.

Adapun sikap kasih sayang yang tercermin pada diri Rasulullah dalam

kitab ar-rasul al-mu‟allim wa asalibuhu fi at-ta‟lim adalah:

عن مالك بن احلويرث رضى اهلل عنو, قال: اتينارسول ’ وروى البخارى ومسلم, واللفظ للبخارىاهلل صلى اهلل عليو و سلم وحنن شيبة متقاربون, فأقمنا عنده عشرين ليلة, وكان رسول اهلل رحيما

رفيقا

Artinya: Bukahari dan Muslim meriwayatkan dengan redaksi Bukhari, kisah

dari Malik bin Huwairits ra. sebagai berkut: Kami, para pemuda

berumur sepantaran pernah datang kepada Rasulullah dan menginap

di rumahnya selama 20 malam. Kami mendapatinya sebagai orang

yang sangat penyanyang dan santun (Khudlori, 2015: 24).

Selanjutnya sifat yang harus ada dalam diri pendidik adalah rasa kasih

sayang, selain sebagai guru, pendidik juga berperan sebagai orang tua ke dua

bagi anak. Tanpa rasa kasih sayang ini pendidik hanya akan melakukan tugas

xl

mengajar saja, padahal seorang guru juga berperan sebagai pendidik dan

pembimbing bagi anak didiknya tersebut.

3. Sabar

Sifat keteladanan yang selanjutnya yang harus ada dalam diri pendidik

adalah sabar, kita harus menyadari bahwa kita sebagai makhluk sosial tidak

akan pernah lepas dari yang namanya masalah dengan individu lain. Solusi

terhadap segala masalah yang ada salah satunya adalah sabar dan mencari

solusi terbaik untuk mengatasinya. Seorang pendidik harus mampu menahan

diri, emosi dan juga bertahan dalam situasi sulit.

Adapun sikap sabar tercermin pada diri Rasulullah dalam kitab ar-rasul

al-mu‟allim wa asalibuhu fi at-ta‟lim adalah:

وروى الرتمذى ب الشمائل, عن أنس رضى اهلل عنو قال: كان رسول اهلل صلى اهلل عليو و سلم يعيد الكلمة ثالثا لتعقل عنو

Artinya: Dalam kitab Syamail, Imam Tirmidzi meriwayatkan kisah dari Anas

ra. sebagai berikut: Rasulullah SAW. sering mengulang-ulang

ucapannya sebanyak tiga kali, agar setiap ucapannya dapat dipahami

(Khudlori, 2015: 26).

رسول اهلل صلى اهلل عليو عنها قالت: ماكانوروى الرتمذى ب الشمائل, عن عائشة رضى اهلل و سلم يسرد كسركم ىذا, ولكن كان يتكلم بكالم بني فصل, حيفظ من جلس اليو

Artinya: Imam Tirmidzi meriwayatkan dalam kitab asy-Syama‟il kisah dari

Aisyah ra. sebagai berikut: Rasulullah SAW. tidak pernah berbicara

tergesa-gesa sebagai mana biasa kalian lakukan, akan tetapi beliau

berbicara dengan ucapan yang jelas, sehingga orang yang duduk di

majelisnya bisa menghapal ucapannya dengan mudah (Khudlori,

2015: 26).

xli

Nabi SAW. dalam mengajar para murid sangat sabar dan tidak marah

atas setiap pengulangan pembicaraan yang diminta berulang-ulang dan juga

setiap masalah yang didiskusikan berulang-ulang. Ini adalah cara beliau

membantu membantu murid untuk memahami dan menguasai pengetahuan

serta melekatkannya di ingatan mereka serta mengetahui kesulitan pengetahuan

yang mereka hadapi (Hidayat, 2015: 169).

Dalam hadist di atas secara jelas menerangkan bahwa Rasul sangat sabar

dalam pengajaran kepada anak didiknya. Hal itu dapat terlihat dari cara beliau

menyampaikan materi, bahkan beliau mengulang-ulang ucapannya supaya

sahabat yang mendengarkannya paham.

4. Lemah lembut (Rahmat) dan Tidak Kasar

Lemah lembut adalah sikap baik hati atau ramah, tidak mudah marah

atau emosi. Sikap ini penting dalam menghadapi anak didik yang masih dalam

tahap pertumbuhan dan perkembangan. sikap usil dan nakal yang mereka

lakukan pada dasarnya adalah untuk mencari perhatian, sehingga seorang

pendidik harus memahaminya.

Adapun sikap lemah lembut tercermin pada diri Rasulullah dalam kitab

ar-rasul al-mu‟allim wa asalibuhu fi at-ta‟lim adalah:

عن احلسن بن على قال: قال احلسني بن على: سألت أىب )على بن ’ وروى الرتمذى ب الشمائلصلى اهلل أىب الطلب( عن سريةالنىب صلى اهلل عليو و سلم ب جلسائو فقال: كان كان رسول اهلل

س بفظ, وال غليظ, والصخاب, والفحاش, عليو و سلم دائم البشر, سهل اخللق, لني اجلانب, لي والعياب, والمداح, يتغافل عما اليشتهى, وال يؤيس منو راجيو, والخييب فيو

Artinya: Dalam kitab asy-Syama‟il, Imam Tirmidzi meriwayatkan kisah dari

Hasan bin Ali berikut: Husain bin Ali mengatakan. “Aku pernah

xlii

bertanya kepada bapakku (Ali bin Abi Thalib) tentang kehidupan Nabi

SAW. ditengah-tengah para sahabatnya. Dia menjelaskan,

“Rasulullah SAW. adalah orang yang selalu menampakkan wajah

riang dan ceria, memiliki akhlak dan tabiat lembut, tidak berkata

kasar, bukan orang yang keras, tidak suka berteriak, tidak pernah

berkata dan berbuat kotor, tidak pernah mencela, tidak pernah

memuji berlebihan, mudah melupakan hal-hal yang tidak dia sukai,

tidak memupus harapan orang yang berharap padanya, tidak punya

mengecewakannya (Khudlori, 2015: 32).

Melalui hadis di atas, kita dapat melihat sosok Nabi SAW yang memiliki

akhlak yang sempurna, kita sebagai umatnya harus meneladani sikap

Rasulullah SAW diantaranya adalah: orang paling lembut, paling halus budi

pekertinya, paling baik akhlaknya, paling indah pergaulannya, mampu

menahan amarah, memaafkan dan memohonkan ampunan, mamaafkan dan

mementingkan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi.

5. Adil

Sikap berlebihan atau ekstrim, tercela dalam urusan apapun. Oleh karena

itu kita temukan, bahwa Rasulullah SAW. menyukai sikap moderat dalam

masalah-masalah pokok agama (Suwaid, 2017: 45). Menempatkan sesuatu

sesuai dengan tempatnya, tawasuth, tengah-tengah. Sikap inilah yang

dinamakan adil.

Adapun sikap adil tercermin pada diri Rasulullah dalam kitab ar-rasul al-

mu‟allim wa asalibuhu fi at-ta‟lim adalah:

روى الرتمذى ب الشمائل أيضا عن سيدنا على رضي اهلل عنو ب وصفو جمللس كان رسول اهلل كرم صلى اهلل عليو و سلم, قال: كان يعطى كل جلسائو بنصيبو, الحيسب جليسو أن أحدا أ

عليو منو

Artinya: Dalam asy-Syama‟il, Imam Tirmidzi meriwayatkan kisah dari

sayyidina Ali ra. yang menjelaskan tentang sifat (kondisi) majelis

xliii

Rasulullah SAW. sebagai berikut: “Nabi memberikan hak setiap

orang yang hadir dalam majelisnya secara adil, sehingga tidak satu

orang pun merasa ada orang yang lebih mulia di mata beliau.”

(Khudlori, 2015: 36).

Berdasarkan hadis di atas dengan sangat jelas dipaparkan salah satu sifat

Nabi SAW sebagai sosok yang adil. Sifat ini merupakan sifat terpuji

(mahmudah) yang harus dimiliki oleh setiap umat Islam yang mengaku sebagai

umatnya Nabi Muhammad SAW. Karena beliau sendiri sebagai orang yang

paling utama telah mempraktekkannya selama Beliau masih hidup.

6. Rendah Hati

Rendah hati atau tawadhu‟ adalah menampakkan kerelaan diri untuk

turun dari kedudukannya (Hidayat, 2015: 172). Jadi, perasaan dimana

seseorang tidak merasa lebih dibandingkan dengan orang lain, merasa lebih

buruk dibandingkan dengan orang lain. Inilah yang dinamakan rendah hati.

Adapun sikap rendah hati tercermin pada diri Rasulullah dalam kitab ar-

rasul al-mu‟allim wa asalibuhu fi at-ta‟lim adalah:

روى البخارى ب األدب ادلفرد, ومسلم و النسائى, واللفظ دلسلم عن محيد بن ىالل, عن أىب اهلل عليو و سلم وىوخيطب, قال: رفاعة العدوى رضى اهلل عنو قال: انتهيت اىل النىب صلى

فقلت: يارسول اهلل, رجل غريب جاءيسأل عن دينو, اليدرى ما دينو.قال: فأقبل علي رسول اهلل صلى اهلل عليو و سلم, وترك خطبتو حىت انتهى ايل, فأب بكرسي حسبت قوائمو حديدا, قال: فقعد عليو رسول صلى اهلل عليو و سلم وجعل يعلمىن مما علمو

هلل, ب أتى خطبتو فأب اخرها

Artinya: Imam Bukhari dalam kitab al-Adab al-Mufrad, juga Muslim dan

Nasa‟I meriwayatkan-dengan redaksi Muslim- kisah dari Humaid bin

Hilal, bersumber dari Abu Rifa‟ah al-Adawi ra. sebagai berikut: “aku

pernah datang kepada Rasulullah saat dia sedang berkhotbah.

Kukatakan padanya, “wahai Rasulullah, orang asing ini datang

kepadamu untuk menanyakan perihal agamanya, sebab dia tidak tahu

xliv

bagaimana agamanya itu.” Rasulullah lalu menghampiriku dan

meninggalkan khotbahnya. Setelah sampai keadaku, beliau

mengambil sebuah kursi yang kuyakini pondasi-pondasinya terbuat

dari besi, lalu beliau duduk di atasnya dan mengajariku apa-apa yang

telah Allah ajarkan kepadanya. Setelah itu, beliau melanjutkan

khotbahnya dan menyempurnakannya hingga selesai (Khudlori, 2015:

36).

Dalam hadis ini terkandung sifat rendah hati Nabi SAW, kelembutannya

dan sifat kasih sayangnya terhadap umat Islam. Sikap rendah hati ini tercermin

dari sikap tanggap Nabi yang mau mengahampiri sipenanya untuk menjawab

pertanyaannya. Beliau selalu berusaha menyatukan jiwa dengan para

pengikutnya, hal inilah yang senantiasa dilakukan Rosulullah. Tidak adanya

jurang pemisah pembeda yang bisa menggoyahkan persatuan dan kesatuan, hal

ini pulalah yang senantiasa diwaspadai Rasulullah. Sehingga Beliau selalu

membangun persamaan sebagai manusia yang sama tunduk hanya kepada

Allah SWT (Hidayatullah, 2011: 69).

7. Sederhana

Sikap selanjutnya yang ada dalam diri Rasulullah adalah sederhana,

sederhana dalam tindakan dan ucapan. Sikap ini juga yang harus ada dalam diri

setiap pendidik dan calon pendidik.

Adapun sikap rendah hati tercermin pada diri Rasulullah dalam kitab ar-

rasul al-mu‟allim wa asalibuhu fi at-ta‟lim adalah:

ئل عن احلسن بن على رضى اهلل عنهما, قال: سألت خاىل ىند بن أيب وروى الرتمذى ب الشماىالة, وكان وصافا لر سول صلى اهلل عليو و سلم, فقلت: صف ىل رسول صلى اهلل عليو و سلم, فقال: كان رسول اهلل متواصل األحزان, دائم الفكرة, ليست لو راحة, طويل السكت,

تتمو باسم اهلل تعاىل, ويتكلم جبوامع الكلم, كالمو اليتكلم ب غريحاجة, يفتتح الكالم و خيفصل, الفضول وال تقصري, ليس باجلاب والادلهني, يعظم النعمة وان دقت, اليذممنها شيئا, غري

xlv

انو مل يكن يذم ذواقا والديدحو, والتغضبو الدنيا والماكان ذلا, فاذاتعدي احلق مل يقم لغضبو ال ينتصر ذلاشيئ حىت ينتصرلو, واليغضب لنفسو و

Artinya: Imam Tirmidzi kembali meriwayatkan dalam kitabnya (asy-Syamail),

kisah dari Hasan bin Ali ra. sebagai berikut: aku pernah bertanya

kepada pamanku Hindun bin Abi Halah, dia adalah orang yang

banyak mengetahui sifat-sifat Rasulullah SAW. “Jelaskan padaku

sifat-sifat Rasulullah,” ucapku. Dia menjawab, “Rasulullah adalah

orang senantiasa bersedih, selalu berpikir, tidak mengenal lelah,

pendiam (tenang), tidak bicara kecuali yang perlu, memulai dan

menutup dengan menyebut nama Allah, berbicara dengan jawami‟ al-

kalim (kalimat yang singkat namun padat), perkataannya rinci, tidak

terlalu panjang dan tidak terlalu pendek. Beliau bukan orang yang

berperangai kasar dan hina, selalu menghargai nikmat sekecil apa

pun dan tidak mencelanya sedikit pun. Beliau juga tidak suka mencela

makanan dan minuman, dan tidak pula memujinya. Beliau tidak

pernah marah dalam persoalan dunia dan seisinya. Apabila suatu

kebenaran dilecehkan, dia akan bangkit membela kebenaran itu tanpa

disertai kemarahan sedikit pun, beliau juga tidak pernah marah

apalagi menang untuk kepentingan dirinya sendiri (Khudlori, 2015:

27).

Hadis di atas kita dapat mendeskripsikan bagaimana sifat Rasulullah,

beliau merupakan sosok yang paling sederhana, baik dalam perbuatan dan

ucapan beliau. Ini sangat penting, karena di jaman yang hedonis dan pragmatis

ini kebanyakan orang hanya mementingkan gengsi saja. Kalau sifat ini tidak

ada dalam diri pendidik dan calon pendidik yang ada hanyalah usaha untuk

mencari kesenangan pribadi dengan mencari keuntungan duniawi aja.

xlvi

BAB IV

PEMBAHASAN

A. Signifikansi Pemikiran Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah

Adapun signifikansi nilai-nilai keteladanan Rasulullah SAW. yang

terkandung dalam kitab Ar-Rosul al-Mu‟allim wa Asalibuhu fi at-Ta‟lim karya

Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah yang dapat penulis ambil adalah sebagai

berikut:

1. Memudahkan dan Tidak memberatkan

Salah satu prinsip dalam proses belajar mengajar adalah mempermudah

penjelasan kepada peserta didik, tidak mempersulit penjelasan hingga membuat

peserta didik sulit untuk mengerti dan memahami pelajaran yang disampaikan.

Pilihlah penjelasan yang mudah dicerna oleh peserta didik dengan bahasa yang

tepat, lugas dan simpel. Begitu juga pemilihan metode dan media belajar yang

tepat dan sesuai dengan materi serta tingkat kemampuan peserta didik tanpa

mengabaikan aspek tujuan dari pembelajaran yang dilaksanakan. Seorang

pendidik harus memilih strategi dan pendekatan yang mempermudah proses

belajar mengajar, sehingga materi yang disampaikan akan mudah dipahami

oleh peserta didik (Suryani, 2012: 80). Rasulullah SAW sendiri tidak pernah

diberi dua pilihan kecuali mengambil pilihan yang paling ringan, selama hal

tersebut tidak melanggar syariat yang telah ditetapkan (Suwaid, 2017: 44).

Berdasarkan uraian di atas, dapat kita pahami bahwa Rasulullah tidak

menghendaki mempersulit syariat yang ditetapkan oleh Allah SWT kepada

makhluknya. Karena pada dasarnya syariat yang diturunkan oleh Allah SWT

xlvii

adalah untuk memudahkan manusia dalam menjalani kehidupan di dunia ini.

Hal itu sejalan dengan dasar syariat, yaitu memudahkan, tidak menyulitkan dan

menyedikitkan beban.

Oleh karena itu, seorang pendidik yang baik adalah pendidik yang

memudahkan anak didiknya. Salah satu caranya adalah dengan menggunakan

berbagai variasi metode dalam proses pembelajaran karena setiap anak didik

menangkap informasi berbeda-beda, selain itu guru harus memahami apa yang

harus diajarkan kepada anak didiknya, karena tantangan yang akan dihadapi

oleh anak didik ke depan sangat kompleks, berbeda dengan yang dihadapi oleh

pendidik pada saat itu, jadi anak didik harus dibekali dengan kemampuan untuk

menghadapi zamannya nanti. Itulah diantara cara memudahkan pendidik bagi

anak didiknya.

Allah SWT berfirman dalam surat al Baqarah ayat: 286. Firman tersebut

mengatakan sebagai berikut:

ال يكلف اللو ن فسا إال وسعها ذلا

Artinya: Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan

kesanggupannya. (QS. al Baqarah: 286)

Begitupun dengan kepribadian Rasulullah, Beliau dalam menyampaikan

dakwahnya menggunakan cara-cara atau metode yang mudah dipahami oleh

para sahabatnya. Sehingga apa yang disampaikan oleh beliau membekas dalam

diri para sahabatnya, sehingga menjadi karakter yang melekat kuat dalam

kepribadian mereka. Adapun sikap keteladanan Nabi yang bersifat

memudahkan dan tidak menyulitkan dalam kitab ar-rasul al-mu‟allim wa

asalibuhu fi at-ta‟lim adalah sebagai berikut:

xlviii

وجاتو وروى مسلم ب كتاب الطالق من صحيحو, ب قصة ختيريالنىب صلى اهلل عليو و سلم ز الشريفات رضي اهلل عنهن, وقد بداء بعائشة منهن فاختارتو رضي اهلل عنها, ورغبت منو ان ال

خيرب غريىا اهنا اختارتو, فقال ذلا عليو الصالة والسالم: ان اهلل مل يبعثىن معنتا وال متعنتا, ولكن بعثىن معلما ميسرا

Artinya: Muslim dalam kitab shahihnya (bab perceraian), meriwayatkan

proses yang dilakukan Nabi Muhammad SAW. dalam memilih istri-

istrinya. Perempuan pertama yang Dia pilih adalah Aisyah, dan

Aisyah pun menginginkannya. Mengetahui hal itu, dia meminta agar

Rasulullah tidak memberi tahu perempuan lain. Rasul pun menjawab,

“Sesungguhnya Allah tidak mengutusku untuk menjadi orang yang

menyusahkan dan merendahkan orang lain. Tetapi dia mengutusku

sebagai seseorang guru dan pemberi kemudahan. (Assegaf, 2015: 8).

Berdasarkan hadis di atas, nilai keteladanan yang patut di contoh oleh

kita sebagai umat beliau, khususnya kita sebagai pendidik ataupun calon

pendidik adalah memudahkan dan tidak memberatkan. Seperti yang kita

ketahui syariat Islam bukanlah aturan yang turun untuk memberatkan umat

Islam dalam menjalankannya. Bukti bahwa syariat Islam mudah dan tidak

memberatkan bisa kita lihat pada contoh-contoh penerapan ajaran islam

sebagai berikut: orang yang berpergian diperbolehkan mengqashar atau

menjama‟ sholat, bolehnya tayammum jika ada halangan, dalam keadaan

darurat kita diperbolehkan makan makanan haram.

Hal ini juga didukung oleh Hadis Nabi yang menyatakan bahwa dalam

berdakwah Nabi melakukannya dengan cara bertahap. Hal ini dilakukan untuk

mempermudah umatnya. Hadisnya adalah sebagai berikut:

وروى البخاري ومسلم , واللفظ لو, عن ابن عباس رضي اهلل عنهما: أن النيب صلى اهلل عليو و سلم بعث معاذا اىل اليمن, فقال: إنك سيأب قوما من اىل الكتاب, فادعهم إىل شهادة أن ال إلو إال

xlix

فأعلمهم أن اهلل افرتض عليهم صدقة, تؤخذ من اهلل و إين رسول اهلل, فإن ىم أطاعوا لذلك أغنيائهم فرتد على فقرائهم, فإن ىم أطاعوا لذلك فإياك وكرائم أمواذلم, واتق دعوة ادلظلوم, فإنو

ليس بينهاوبني اهلل حجاب Artinya: Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dengan redaksi dari Imam

Muslim, kisah dari Ibnu Abbas ra. berikut: ketika Nabi mengutus Mu‟ad

bin Jabal ke Yaman, Beliau berwasiat, “Saudara akan mendatangi

(bertemu) umat Ahli Kitab. Serulah mereka supaya bersaksi bahwa tiada

Tuhan selain Allah, dan aku adalah utusan-Nya. Jika mereka telah patuh

(menerima seruan itu), beritahu mereka bahwa Allah mewajibkan orang-

orang kaya di antara mereka untuk bersedekah (membayar zakat)

kepada orang-orang miskin di antara mereka pula. Jika mereka telah

menaati kewajiban itu, maka hormatilah harta mereka. Dan takutilah

doa orang-orang yang teraniaya, sebab sungguh, tiada penghalang

antara doa mereka dan Allah.”

Hadis di atas secara jelas menjelaskan bahwa Rasulullah ketika

berdakwah dilakukan secara bertahap, hal ini dilakukan untuk mempermudah

bagi para umat Beliau. Karena pada dasarnya syariat Islam diturunkan untuk

mempermudah umat dalam menjalani kehidupan ini.

Hal seperti itulah yang harus diterapkan oleh seorang pendidik dalam

menjalankan tugasnya, yaitu memudahkan bagi anak didiknya. Seorang

pendidik dalam menyampaikan materi kepada anak didiknya harus disesuaikan

dengan kemampuan masing-masing individu. Seorang pendidik harus paham

bahwa anak didik merupakan individu yang sedang tumbuh dan berkembang,

mereka memiliki karakteristik yang beragam. salah satu yang harus dipahami

oleh pendidik adalah adanya perbedaan potensi yang ada dalam diri anak didik.

Setiap anak dilahirkan di dunia ini dengan membawa potensi masing-masing

yang berbeda antara satu orang dengan orang yang lain.

Oleh karena itu, melalui pemahaman yang benar tentang potensi anak

didik yang beragam. Seorang pendidik harus menyesuaikan metode yang

l

digunakan dalam proses pembelajaran, sehingga mungkin terjadi dalam

menyampaikan satu mata pelajaran, seorang pendidik menggunakan berbagai

variasi metode. Hal ini bertujuan untuk memudahkan anak didik dalam

memahami materi yang disampaikan oleh gurunya.

Selain itu, materi yang disampaikan harus disesuaikan dengan

perkembangan anak didiknya, sehingga dalam menyampaikan materi harus

dilakukan secara bertingkat mulai dari yang paling mudah sampai yang paling

sulit jangan terbalik. Selanjutnya mengkaitkan materi di dalam kelas dengan

kehidupan nyata, agar anak didik dapat menangkap nilai yang terkandung di

dalamnya, sehingga dapat mengaplikasikan apa yang dia pelajari dari gurunya.

Dan yang terakhir adalah anak didik dibekali dengan skill atau kemampuan

untuk menghadapi tantangan zaman yang akan dihadapinya.

2. Kasih sayang

Sifat selanjutnya yang harus ada dalam diri seorang pendidik adalah

kasih sayang. Dalam buku menyemai kreator peradaban karya Mohammad

Nuh (2013: 82) menyebutkan: kalau guru mengajar dengan hati, murid akan

mendengarkan dengan hati. Guru yang mengajar dengan cinta, murid pasti

akan membalasnya dengan cinta. Guru yang pandai menghargai murid, murid

pasti akan menghargai guru. Inilah ungkapan yang harus diketahui dan

dipahami oleh setiap pendidik.

Hal tersebut senada dengan apa yang telah dipraktekkan oleh Rasulullah,

yaitu penyayang. Sifat penyayang telah menghiasi segala tutur kata, sikap,

perbuatannya (Hidayatullah, 2011: 63). Hal inilah yang telah dipraktekkan oleh

li

Rasulullah sehingga beliau menjadi pendidik yang berpengaruh dikalangan

sahabatnya. Rasulullah merupakan contoh sempurna dalam hal kasih sayang,

hal tersebut sejalan dengan tujuan awal pengutusan Beliau menjadi rasul, yaitu

menjadi rahmat bagi seluruh alam.

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan di atas dapat diambil

kesimpulan, seorang pendidik harus memiliki rasa kasih sayang terhadap anak

didiknya sebagaimana dia menyanyangi anaknya sendiri. Namun yang perlu

ditekankan adalah kasih sayang yang diberikan harus sesuai dengan

profesionalitas seorang guru. Memiliki rasa kasih sayang itu harus, tetapi tidak

berlebihan. Membangun kedekatan antara pendidik dan anak didik merupakan

suatu keniscayaan yang harus ada, agar tercipta kondisi pembelajaran yang

nyaman, kondusif dan tidak membosankan.

Namun kedekatan yang dibangun harus tetap ada jarak yang

memisahkan, sehingga rasa hormat, adab atau sopan santun anak didik kepada

pendidiknya tetap ada. Kedekatan antara pendidik dan anak didik yang terlalu

juga akan berdampak negatif, kasus-kasus seperti pelecehan seksual,

pemerkosaan oleh guru kepada muridnya merupakan akibat buruk kedekatan

yang berlebihan. Sifat Rasulullah ini telah diceritakan oleh Allah SWT di

dalam al-Quran. Allah berfirman:

ليكم بالمؤمنني رءوف رحيم لقد جاءكم رسول من أن فسكم عزيز عليو ما عنتم حريص ع

Artinya: Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri,

berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan

dan keselamatan) bagimu, Amat belas kasihan lagi Penyayang

terhadap orang-orang mukmin (QS. at Taubah: 128).

lii

فبما رمحة من اللو لنت ذلم ولو كنت فظا غليظ القلب الن فضوا من حولك

Artinya: Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut

terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,

tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu (QS. Ali „Imron:

159).

Adapun sikap keteladanan Nabi yang bersifat penyayang dalam kitab ar-

rasul al-mu‟allim wa asalibuhu fi at-ta‟lim adalah sebagai berikut:

عن مالك بن احلويرث رضى اهلل عنو, قال: اتينارسول ’ مسلم, واللفظ للبخارىوروى البخارى و اهلل صلى اهلل عليو و سلم وحنن شيبة متقاربون, فأقمنا عنده عشرين ليلة, وكان رسول اهلل رحيما

رفيقا

Artinya: Bukhari dan Muslim meriwayatkan dengan redaksi Bukhari, kisah

dari Malik bin Huwairits ra. sebagai berkut: Kami, para pemuda

berumur sepantaran pernah datang kepada Rasulullah dan menginap

di rumahnya selama 20 malam. Kami mendapatinya sebagai orang

yang sangat penyayang dan santun. (Assegaf, 2015: 18).

Dari hadis di atas kita dapat memahami sifat penting lainnya yang dapat

membantu keberhasilan pendidik dalam menjalankan tugasnya adalah sikap

penyayang. Melalui sifat inilah anak akan tertarik kepada gurunya dan

mengikuti semua perkataannya. Dengan perantara sifat ini juga, anak akan

berperilaku baik dan menjauhi perilaku yang tidak terpuji.

Melalui sifat dan watak ini seorang guru dituntut untuk mencintai dan

menyanyangi murid-muridnya seperti cintanya terhadap anal-anaknya sendiri

dan memikirkan keadaan mereka seperti ia memikirkan anak-anaknya sendiri.

Mencintai anak murid yang bukan anaknya sendiri adalah merupakan

pekerjaan yang secara psikologis cukup berat. Apabila hal ini dapat dilakukan,

maka sesungguhnya dialah seorang bapak yang suci dan bapak yang teladan.

liii

Dengan cara demikian seorang murid dengan rasa cinta dan sayang pula akan

mematuhi segala ajaran yang diberikan oleh gurunya tersebut (Mufron, 2015:

46-47).

Berdasarkan penjelasan di atas dapat kita ambil kesimpulan sebagai

berikut: seorang pendidik yang mengharapkan keberhasilan dalam mengajar

harus memiliki sifat kasih sayang dalam mendidik. Melalui sifat kasih sayang

dari pendidik, sang anak akan berhias dengan akhlak yang terpuji, dan terjauh

dari perbuatan tercela. Oleh karena itu, Islam memberikan perhatian besar

terhadap sifat kasih sayang ini, dengan menganjurkan untuk memiliki sifat itu

sesuai dengan yang disampaikan oleh Allah SWT melaui al-Quran dan hadis

nabi-Nya. Mendapat kasih sayang merupakan keinginan semua orang,

contohnya seorang anak didik yang mendapatkan kasih sayang dari gurunya,

dia akan merasa nyaman dalam mengikuti pelajaran, sehingga apa yang

disampaikan oleh gurunya akan mudah dicerna, semua ini muncul karena

adanya rasa cinta yang timbul dihati anak didik kepada gurunya.

Namun perlu penulis tekankan di sini, kasih sayang yang seorang

pendidik berikan kepada anak didiknya harus sesuai dengan professionalitas

seorang guru. Jangan sampai kedekatan yang telah terbangun mengarah kepada

hal-hal yang bisa menimbulkan efek negatif baik untuk pendidik maupun

peserta didik. Karena banyak kasus kejadian seperti pemukulan seorang murid

kepada gurunya, hubungan badan antara guru dan murid baik karena suka sama

suka atau terpaksa biasanya terjadi karena kedekatan yang berlebihan. Jadi

kasih sayang yang diberikan harus sesuai dengan batas kewajaran.

liv

3. Sabar

Sabar secara bahasa berarti melarang dan menahan. Menurut syara‟,

sabar adalah menahan nafsu dari ketergesaan, menahan lisan dari keluhan, dan

menahan anggota badan dari perbuatan yang menimbulkan kerusakan. Ada

yang mengatakan sabar adalah akhlak yang mulia. Dengannya, seseorang akan

tercegah dari perbuatan tercela. Sekaligus sabar adalah kekuatan untuk

mencapai kebaikan dalam segala hal (Asy-Syafi‟i, 2006: 101).

Sabar adalah kunci kekuatan dan kesuksesan hidup. Dalam pepatah arab

kita kenal man shabara zhafira barang siapa bersabar, ia akan sukses. Sabar

tidak berarti menunggu secara pasif sampai persoalannya selesai dengan

sendirinya, akan tetapi secara aktif menyelesaikan dalam menghadapi

tantangan dan persoalan. Sabar dibagi menjadi dua: sabar menghadapi takdir

dan sabar menghadapi tantangan. Kita harus bisa membedakan mana kenyataan

sulit yang sudah ditentukan dan berada di luar kendali kita dan mana keadaan

yang menuntut peran kita untuk mengatasinya (Nuh, 2013: 160).

Berdasarkan keterangan di atas, sabar adalah kunci kesuksesan dalam

setiap hal termasuk di dalamnya adalah mendidik. Pendidikan merupakan

upaya perubahan ke arah yang lebih positif dan ini merupakan proses yang

sangat panjang yang membutuhkan usaha yang sungguh-sungguh serta

kesabaran yang tiada ujungnya. Dalam proses pendidikan seorang pendidik

akan selalu berinteraksi anak didiknya. Karena anak didik sebagian besar

waktunya dihabiskan dibangku sekolah. Banyak manfaat yang kita dapatkan

lv

dengan adanya interaksi sosial ini, salah satunya adalah membantu anak didik

dalam mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya.

Namun kita juga harus menyadari yang namanya berinteraksi dengan

individu lain pasti suatu saat akan terjadi gesekan yang menimbulkan masalah.

Gesekan yang terjadi tersebut karena adanya perbedaan tujuan masing-masing

individu yang sangat berpotensi menimbulkan masalah. Suatu masalah antar

individu merupakan suatu keniscayaan yang tidak bisa dihindari. Oleh karena

itu dibutuhkan sikap bijaksana dalam menghadapi setiap masalah yang ada.

Begitu pula seorang guru, yang setiap harinya berinteraksi dengan anak

didiknya. Yang namanya masalah pasti ada dan kadang tidak bisa dihindari.

Sikap selanjutnya yang akan menentukan segalanya, apakah masalah itu

dihadapi dengan sabar atau penuh emosi. Banyak disebutkan dalam Al-Quran

tentang sifat sabar ini. Firman tersebut mengatakan sebagai berikut:

م وأقاموا الصالة وأن فقوا مما رزق ناىم سرا وعالنية ويدرءون باحلسنة والذين صب روا ابتغاء وجو ربار يئة أولئك ذلم عقىب الد الس

Artinya: Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan

Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezki

yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-

terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang

Itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik) (QS. Ar-Ra‟d:

22)

فد وما عند اللو باق ولنجزين الذين صب روا أجرىم بأحسن ما كانوا ي عم لون ما عندكم ي ن Artinya: Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah

adalah kekal. dan Sesungguhnya Kami akan memberi Balasan kepada

orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang

telah mereka kerjakan (QS. An-Nahl: 96).

lvi

Adapun sikap keteladanan Nabi yang bersifat sabar dalam kitab ar-rasul

al-mu‟allim wa asalibuhu fi at-ta‟lim adalah sebagai berikut:

وروى الرتمذى ب الشمائل, عن أنس رضى اهلل عنو قال: كان رسول اهلل صلى اهلل عليو و سلم يعيد الكلمة ثالثا لتعقل عنو

Artinya: Dalam kitab yang sama, Tirmidzi meriwayatkan kisah dari Anas ra.

sebagai berikut: Rasulullah SAW. sering mengulang-ulang

ucapannya sebanyak tiga kali, agar setiap ucapannya dapat

dipahami. (Assegaf, 2015: 19).

رسول اهلل صلى اهلل عليو نوروى الرتمذى ب الشمائل, عن عائشة رضى اهلل عنها قالت: ماكا و سلم يسرد كسركم ىذا, ولكن كان يتكلم بكالم بني فصل, حيفظ من جلس اليو

Artinya: Tirmidzi meriwayatkan dalam kitab asy-Syama‟il kisah dari Aisyah

ra. sebagai berikut: Rasulullah SAW. tidak pernah berbicara tergesa-

gesa sebagai mana biasa kalian lakukan, akan tetapi beliau berbicara

dengan ucapan yang jelas, sehingga orang yang duduk di majelisnya

bisa menghapal ucapannya dengan mudah. (Khudlori, 2015: 26).

Mengulang-ulang penjelasan dalam mendidik dan mengajar merupakan

aspek yang perlu diperhatikan oleh para pendidik, karena peserta didik adalah

individu yang berbeda satu sama lainnya dalam kemampuan menangkap dan

memahami pelajaran, oleh karena itu pengulangan dalam menjelaskan

pelajaran mutlak diperlukan. Memberi penjelasan serta pengulangan penjelasan

terhadap peserta didik hendaklah dengan cara yang baik, dengan penuh

perhatian dan kasih sayang tanpa ada rasa marah atau kejengkelan (Suryani,

2012: 85-86).

Terkadang orang merasa jengkel dan marah ketika ditanya oleh orang

lain dengan beberapa pertanyaan dalam masalah yang sama. Padahal boleh jadi

orang yang bertanya terus karena daya pemahaman setiap orang berbeda-beda

lvii

(Hidayat, 2015: 169). Inilah yang harus dipahami oleh setiap pendidik, adanya

perbedaan potensi antar individu yang sudah menjadi ketetapan untuknya.

Pada sebuah kondisi yang membolehkan kita marah, pada status yang

semua orang pun akan mengatakan wajar jika kita marah, pada tataran semua

orang akan menolelir jika kita marah, dalam situasi yang demikian membuat

layak serangkaian kalimat marah bisa tertumpah. Namun dalam tatanan hidup

meneladani Rasulullah maka pada ke semua kondisi, status, tataran, situasi

yang lazimnya seseorang marah, justru menahan marah bahkan tidak

memunculkannya dalam aura secara langsung, inilah akhlak teladan yang telah

diperbuat dalam perilaku Rasulullah (Hidayatullah, 2011: 85-86).

Berdasarkan keterangan serta penjelasan dalam hadist di atas dapat kita

ambil kesimpulan bahwa Rasul sangat sabar dalam pengajaran kepada anak

didiknya. Hal itu dapat terlihat dari cara beliau menyampaikan materi, bahkan

beliau mengulang-ulang ucapannya supaya sahabat yang mendengarkannya

paham. Rasulullah sangat menghargai orang yang bertanya berkali-kali atau

meminta ulang terus dalam hal yang sama, karena Beliau adalah orang yang

paling sabar atas segala pertanyaan muridnya.

Begitupun seharusnya yang dilakukan oleh setiap pendidik dalam

menyampaikan materi pelajaran kepada anak didiknya. Seorang pendidik harus

mampu melawan rasa bosan dalam menyampaikan suatu pelajaran walaupun

itu merupakan materi yang sama sebelumnya. Dibutuhkan sikap bijaksana

dalam mengatasi berbagai perbedaan anak didik yang beraneka ragam serta

memiliki karakteristik yang unik.

lviii

4. Lemah lembut dan Tidak Kasar

Diantara metode yang terpenting dalam mendidik atau mengajar adalah

mendidik dengan cara lemah lembut. Dengan kelembutan maka diharapkan

pelajaran yang disampaikan akan mudah dicerna dan dipahami oleh peserta

didik. Seorang pendidik hendaklah menjadi pembimbing bagi peserta didik,

oleh karena itu pendekatan yang diperlukan dalam mendidik adalah dengan

sikap lemah lembut dengan cara menuntun dan membimbing peserta didik ke

arah kebenaran (Suryani, 2012: 83-84).

Pendidikan memiliki peran sentral dalam membangun manusia yang utuh

dan membangun tatanan sosial yang teduh. Kegersangan sosial terjadi karena

ketidakseimbangan antara pengembangan akal dan kecerdasan hati. Di antara

sekian banyak ranah pedagogik yang harus diberikan perhatian khusus saat ini

adalah ranah hati. Sebab hati adalah lokus dari apa yang membuat seorang

manusia menjadi manusiawi, pusat dari kepribadian manusia. Itulah mengapa

dikatakan, bila ingin membangun manusia maka bangunlah hatinya. Sebab hati

adalah umm (ibu) dari segala kebahagiaan hidup sekaligus menjadi pangkal

malapetaka bagi kehidupan manusia (Nuh, 2013: 119-120).

Upaya untuk mewujudkan hal tersebut adalah dengan meneladani

Rasulullah, karena dalam diri Rasulullah terdapat kesempurnaan budi pekerti

yang nyata, seperti keramahan, kelembutan, kesabaran, kelapangan dada, kasih

sayang, dan keagungan akhlak. Dari itu semua, seorang guru dituntut untuk

meneladani Rasulullah SAW. sang guru dan pemberi nasehat yang terpercaya

(Khudlori, 2015: 35).

lix

Sifat lemah lembut Nabi tergambar dengan jelas bagaimana Beliau

memperlakukan Hasan, Husain, Usamah bin Zaid, putra-putra Khadijah,

Salamah bin Salamah, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Ja‟far, Umamah bin

Zainab, pelayan beliau, Anas bin Malik dan saudaranya serta anak-anak

Madinah seluruhnya. Beliau sangat mencintai dan menyanyangi mereka.

Diciumnya mereka, diusap kepala dan wajah mereka, dicandainya mereka,

diajaknya mereka dengan baik, dibimbingnya mereka, diajarinya mereka dan

diperlakukannya mereka dengan lembut (Nuh, 2013: 121).

Oleh karena itu, seorang pendidik harus bersikap santun dan lemah

lembut dalam mendidik anak didiknya. Akan tetapi bukan berarti pendidik

harus selalu bersikap lemah lembut dalam mendidik anak didiknya. Sebab

maksud dari lemah lembut di sini adalah menahan emosi saat sedang

meluruskan anak ketika melakukan kesalahan. Maka dari itu, jika pendidik

melihat kondisi menuntut untuk memberikan hukuman, maka pendidik boleh

melakukannya, agar anak dapat berubah menjadi baik (Hakim, 2016: 651).

Berdasarkan uraian di atas, seorang pendidik harus bersikap santun dan

lemah lembut dalam mendidik anak didiknya. Sehinnga proses belajar

mengajar dapat berjalan dengan nyaman dan kondusif. Serta materi pelajaran

yang disampaikannya akan dipahami oleh anak didiknya dengan baik. Namun

yang harus dipahami lebih lanjut adalah lemah lembut bukan berarti

membiarkan saja ketika anak didik melalukan suatu kesalahan tanpa diberi

teguran atau hukuman. Lemah lembut di sini harus dipahami secara benar.

Seorang pendidik boleh memberi hukuman kepada anak didiknya dalam upaya

lx

menciptakan rasa tanggung jawab dalam diri anak ketika melakukan suatu

kesalahan, itu merupakan konsekuensi logis agar anak paham bahwa yang

dilakukannya itu suatu kesalahan, sehingga dia tidak akan mengulanginya lagi.

Seorang pendidik harus memiliki sifat ini, seandainya seorang pendidik

memiliki sifat yang kasar, niscaya muridnya akan merasa tidak nyaman dalam

anak tersebut saat mengikuti pembelajaran. Sifat Rasulullah yang penuh

kelembutan ini telah diceritakan oleh Allah SWT di dalam al-Quran. Allah

berfirman:

فبما رمحة من اللو لنت ذلم ولو كنت فظا غليظ القلب الن فضوا من حولك

Artinya: Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut

terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,

tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu (QS. Ali „Imron:

159).

Adapun sikap keteladanan Nabi yang bersifat lemah lembut dalam kitab

ar-rasul al-mu‟allim wa asalibuhu fi at-ta‟lim adalah sebagai berikut:

سألت أىب )على بن عن احلسن بن على قال: قال احلسني بن على:’ وروى الرتمذى ب الشمائلجلسائو فقال: كان كان رسول اهلل صلى اهلل أىب الطلب( عن سريةالنىب صلى اهلل عليو و سلم ب

لني اجلانب, ليس بفظ, وال غليظ, والصخاب, والفحاش, ق,عليو و سلم دائم البشر, سهالخلل والمداح, يتغافل عما اليشتهى, وال يؤيس منو راجيو, والخييب فيو والعياب,

Artinya: Dalam kitab asy-Syama‟il, Tirmidzi meriwayatkan kisah dari Hasan

bin Ali berikut: Husain bin Ali mengatakan. “Aku pernah bertanya

kepada bapakku (Ali bin Abi Thalib) tentang kehidupan Nabi SAW.

ditengah-tengah para sahabatnya. Dia menjelaskan, “Rasulullah

SAW. adalah orang yang selalu menampakkan wajah riang dan ceria,

memiliki akhlak dan tabiat lembut, tidak berkata kasar, bukan orang

yang keras, tidak suka berteriak, tidak pernah berkata dan berbuat

kotor, tidak pernah mencela, tidak pernah memuji berlebihan, mudah

melupakan hal-hal yang tidak dia sukai, tidak memupus harapan

orang yang berharap padanya, tidak punya mengecewakannya.

(Khudlori, 2015: 32).

lxi

Dari hadis di atas sudah jelas bahwa memiliki sifat yang lembut. Sifat

inilah yang harus ditiru oleh setiap pendidik, karena pada dasarnya setiap

manusia ingin mendapatkan perlakuan yang lembut. Tugas dari pendidik tidak

hanya mengajar tapi juga mendidik, sehingga murid tidak hanya menambah

ilmu, tetapi juga tumbuh.

5. Adil

Sikap berlebihan atau ekstrim, tercela dalam urusan apapun. Oleh karena

itu kita temukan, bahwa Rasulullah SAW. menyukai sikap moderat dalam

masalah-masalah pokok agama (Suwaid, 2017: 45). Prinsip persamaan adalah

prinsip yang berakar dari konsep dasar bahwa manusia mempunyai kesatuan

asal yang tidak membedakan derajat, baik antara jenis kelamin, kedudukan

sosial, agama, bangsa, suku, maupun ras atau warna kulit. Sehinnga setiap

orang memiliki hak yang sama memperoleh pendidikan (Sudarto, 2018: 80).

Seorang pendidik yang memperlakukan sama terhadap anak didiknya

dalam berinteraksi, dan menerapkan keadilan diantara mereka dalam hal

memberi maka akan hilanglah rasa hasad dalam diri mereka. Selain itu juga

akan hiang berbagai macam kedengkian dalam hati mereka. Bahkan anak akan

hidup bersama kawan-kawan mereka dan para pendidik mereka di atas prinsip

saling memahami dan mencintai (Hakim, 2016: 277-278).

Perbuatan pilih kasih terhadap anak-anak merupakan faktor besar dalam

melahirkan penyimpangan pada kejiwaan anak. Fenomena ini memberikan

dampak yang buruk, karena sifat ini akan melahirkan kedengkian dan

kebencian. Selain itu juga menyebabkan rasa takut, malu, minder, dan suka

lxii

menangis. Hal itu akan mendorong anak untuk saling bermusuhan,

bersengketa, dan berbuat dosa (Hakim, 2016: 262). Jika para pendidik

menghendaki anak-anak mereka selamat dari gangguan kejiwaan, rasa rendah

diri, penyakit-penyakit hati seperti iri, dengki, kerusakan hati nurani, maka

tidak ada cara lain bagi mereka kecuali dengan berbuat adil dan tidak pilih

kasih (Hakim, 2016: 264).

Berdasarkan penjelasan di atas, seorang pendidik idealnya harus adil

terhadap semua anak didiknya, tidak pilih kasih. Karena seorang guru pilih

kasih terhadap anak didiknya, hal ini akan menimbulkan rasa cemburu di hati

anak yang lain. Guru yang baik adalah guru yang berlaku adil kepada anak

didiknya. Adil dalam pengertian berlaku sesuai dengan keadaan dan

kebutuhan, adil di sini bukannya bila pemberian dalam jumlah yang sama,

tetapi adil dalam perlakuan, kasih sayang dan pemberian sesuai dengan tempat

dan keadaan. Seorang pendidik tidak boleh pilih kasih diantara anak didiknya,

karena bila demikian akan berdampak negatif, anak didik akan benci dan

dendam keada gurunya. Banyak disebutkan dalam Al-Quran tentang sifat adil

ini. Firman tersebut mengatakan sebagai berikut:

س أن تكموا بالعدل إن اللو إن اللو يأمركم أن ت ؤدوا األمانات إىل أىلها وإذا حكمتم ب ني النايعا بصريا ا يعظكم بو إن اللو كان س نعم

Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada

yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila

menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan

dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-

baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar

lagi Maha melihat (QS. An-Nisa: 58).

lxiii

هى عن الفحشاء والمنكر والب غي يعظكم إن اللو يأمر بالعدل واإلحسان وإيتاء ذي ال قرىب وي ن رون لعلكم تذك

Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat

kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari

perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi

pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran (QS:

An-Nahl: 90).

Adapun sikap keteladanan Nabi yang bersifat adil dalam kitab ar-rasul

al-mu‟allim wa asalibuhu fi at-ta‟lim adalah sebagai berikut:

لشمائل أيضا عن سيدنا على رضي اهلل عنو ب وصفو جمللس كان رسول اهلل روى الرتمذى ب اصلى اهلل عليو و سلم, قال: كان يعطى كل جلسائو بنصيبو, الحيسب جليسو أن أحدا أكرم

عليو منوArtinya: Dalam asy-Syama‟il, Tirmidzi meriwayatkan kisah dari sayyidina Ali

ra. yang menjelaskan tentang sifat (kondisi) majelis Rasulullah SAW.

sebagai berikut: “Nabi memberikan hak setiap orang yang hadir

dalam majelisnya secara adil, sehingga tidak satu orang pun merasa

ada orang yang lebih mulia di mata beliau.” (Khudlori, 2015: 36).

Berdasarkan keterangan hadis di atas, Rasulullah memperlakukan

sahabatnya dengan adil, seperti itu juga yang harus dilakukan oleh setiap

pendidik kepada anak didiknya. Adil dalam pengertian berlaku sesuai dengan

keadaan dan kebutuhan, maksudnya adil dalam perlakuan, kasih sayang dan

pemberian sesuai dengan tempat dan keadaan.

Namun konteks adil yang terdapat dalam hadis tersebut juga harus

disesuaikan dengan kondisi yang ada. Pembagian dan penataan tempat juga

mutlak dilakukan demi kenyamanan peserta didik, contohnya dengan

menempatkan orang-orang yang memiliki keterbatasan penglihatan dibagian

depan, akan tetapi dengan tetap memperhatikan konsep keadilan. Itulah konsep

lxiv

keadilan yang dimaksud oleh Nabi, yaitu memberikan setiap orang sesuai

dengan haknya.

6. Rendah Hati

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan sebelumnya, pendidikan

merupakan suatu proses yang sistematis dan terencana, semua tersusun rapi

dan terorganisir, baik dari perencanaan sampai pelaksanaannya, akan tetapi

walaupun demikian dalam pelaksanaannya sendiri tidak luput dari yang

namanya kesalahan. Dari kesalahan tersebut kita melakukan evaluasi untuk

perbaikan ke depannya. Begitu juga dengan pendidik, dalam melaksanakan

tugasnya pasti akan melakukan kesalahan dan kekeliruan. Kritik dan saran

sangat penting untuk memperbaiki kesalahan yang telah dilakukan.

Kesediaan seorang menerima saran dan kritik dengan lapang dada

merupakan suatu perbuatan yang terpuji. Merasa dirinya masih penuh dengan

kesalahan, inilah yang disebut rendah hati. Rendah hati atau tawadhu‟ adalah

menampakkan kerelaan diri untuk turun dari kedudukannya (Hidayat, 2015:

172). Rendah hati merupakan salah satu akhlak yang terpuji. Setiap pendidik

harus mempunyai sifat ini dalam menjalankan tugasnya.

Di samping mengajar dan mendidik dengan cara yang baik, seorang

pendidik juga harus menjadi pendengar yang baik bagi peserta didiknya.

Peserta didik yang diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat ataupun

permasalahan yang ada, hal demikian itu dapat melatih peserta didik untuk

belajar mengekspresikan pikirannya dan mencoba mencari solusi permasalahan

lxv

yang ada dengan kemampuan yang ada padanya (Suryani, 2012: 87). Interaksi

yang terbangun antara guru dan murid idealnya harus berjalan timbal balik.

Seorang guru yang lebih berperan aktif dalam proses belajar mengajar

dinilai tidak membuat murid bisa berkembang dengan baik dalam menjalani

proses belajar, proses pembelajaran di kelas hanya berjalan satu arah, yakni

dari guru kepada murid (Azzet, 2017: 33). Jadi seorang guru harus mampu

menumbuhkan sikap kritis terhadap didiknya, berani mengungkapkan

pendapatnya, bertanya dan menegur apabila terjadi kesalahan dalam proses

belajar, begitu pula seorang guru harus siap menerima segala bentuk kritik dan

saran dari muridnya sebagai upaya perbaikan kedepannya. Banyak disebutkan

dalam Al-Quran tentang sifat rendah hati ini. Firman tersebut mengatakan

sebagai berikut:

ا سالماوعباد الرمحن الذين ديشون على األرض ىونا وإذا خاطب هم اجلاىلون قالو

Artinya: Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-

orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila

orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata

(yang mengandung) keselamatan (QS. Al-Furqon: 63).

واخفض جناحك لمن ات ب عك من المؤمنني Artinya: Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu,

Yaitu orang-orang yang beriman (QS. As-Syuara: 215).

Adapun sikap keteladanan Nabi yang bersifat rendah hati dalam kitab ar-

rasul al-mu‟allim wa asalibuhu fi at-ta‟lim adalah sebagai berikut:

lxvi

روى البخارى ب األدب ادلفرد, ومسلم و النسائى, واللفظ دلسلم عن محيد بن ىالل, عن أىب رفاعة العدوى رضى اهلل عنو قال: انتهيت اىل النىب صلى اهلل عليو و سلم وىوخيطب, قال:

جل غريب جاءيسأل عن دينو, اليدرى ما دينو.فقلت: يارسول اهلل, ر قال: فأقبل علي رسول اهلل صلى اهلل عليو و سلم, وترك خطبتو حىت انتهى ايل, فأب بكرسي حسبت قوائمو حديدا, قال: فقعد عليو رسول صلى اهلل عليو و سلم وجعل يعلمىن مما علمو

اهلل, ب أتى خطبتو فأب اخرهArtinya: Bukhari dalam kitab al-Adab al-Mufrad, juga Muslim dan Nasa‟I

meriwayatkan-dengan redaksi Muslim- kisah dari Humaid bin Hilal,

bersumber dari Abu Rifa‟ah al-Adawi ra. sebagai berikut: “aku

pernah datang kepada Rasulullah saat dia sedang berkhotbah.

Kukatakan padanya, “wahai Rasulullah, orang asing ini datang

kepadamu untuk menanyakan perihal agamanya, sebab dia tidak tahu

bagaimana agamanya itu.” Rasulullah lalu menghampiriku dan

meninggalkan khotbahnya. Setelah sampai kepadaku, beliau

mengambil sebuah kursi yang kuyakini pondasi-pondasinya terbuat

dari besi, lalu beliau duduk di atasnya dan mengajariku apa-apa yang

telah Allah ajarkan kepadanya. Setelah itu, beliau melanjutkan

khotbahnya dan menyempurnakannya hingga selesai. (Khudlori,

2015: 36).

Berdasarkan penjelasan hadis di atas, seorang guru yang baik adalah

seorang yang terbuka, artinya mau menerima kritik dan saran, walaupun itu

berasal dari anak didiknya. Sikap inilah yang dinamakan rendah hati. Merasa

dirinya tidak lebih baik daripada orang lain. Berbeda dengan rendah hati,

rendah diri adalah sifat tercela. Sifat ini yang akan menyebabkan seseorang

menjadi pesimis, tidak punya semangat hidup dan tidak punya tujuan hidup.

Sebagai manusia biasa pendidik tak akan luput dari kesalahan. Melakukan

suatu kesalahan adalah hal manusiawi. Oleh sebab itu dalam mengajar dia

harus siap menerima saran dan kritik dari anak didiknya ketika dia melakukan

kesalahan dalam penyampaian materi di kelas.

7. Sederhana

lxvii

Nabi Muhammad SAW. merupakan teladan yang baik dalam berperilaku

hidup sederhana. Sehingga generasi Islam juga harus menjalani kehidupan

sebagaimana yang telah diteladankan oleh Beliau. Hal ini bertujuan supaya

mereka selalu siap menghadapi segala kemungkinan yang akan

menghadapinya. Jika umat Islam terlalu lama larut dalam kenikmatan dan terus

menerus dalam kesenangan dan tergiur bujukan harta benda yang berlimpah,

maka mereka nantinya akan cepat sekali roboh dan menyerah kepada musuh.

Jiwa kesabaran dan ketegaran dalam berijtihad di jalan Allah akan menjadi

pudar dari jiwa-jiwa pemudanya (Hakim, 2016: 170).

Rasulullah SAW. Merupakan sosok yang puas dengan hal kecil dari

dunia dan tidak tertarik pada keindahannya. Beliau tidak terlena dengan

manisnya dunia, meskipun kekuasaannya terbentang dari ujung negeri Hijaz

sampai Irak, dan dari ujung Yaman sampai Pantai laut Oman. Dialah manusia

paling zuhud terhadap harta dan barang simpanan, paling menghindari

mengambil manfaat dan menimbun harta. Bahkan ketika wafat, beliau tidak

meninggalkan satu barangpun. Hal itu dilakukannya dalam rangka

memalingkan keluarga Beliau dari kecintaan terhadap dunia (Khudlori, 2015:

51-52).

Kesenangan dunia terkadang bisa menipu, sebab tipu daya adalah usaha

yang diprakarsai oleh setan dan dibidani oleh liarnya nafsu dunia. Memandang

segala kesenangan yang bertempat di dunia hanyalah sesaat, inilah cara

pandang yang diajarkan Rasulullah kepada setiap pengikutnya. Sehebat apapun

kesenangan yang bertempat di kehidupan dunia tetap masuk kategori sesaat.

lxviii

Sehingga segala nikmat yang terasa dalam interval waktu sesaat akan

berpengaruh pada kepuasan (Hidayatullah, 2011: 84).

Berdasarkan penjelasan di atas, Pendidik hendaknya bersifat sederhana

sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah serta membebaskan

niatnya semata-mata hanya untuk Allah dalam seluruh pekerjaan edukatifnya.

Esensi tugas seorang pendidik adalah sebuah pengabdian, sehinnga seorang

pendidik harus dengan ikhlas dalam menjalankan tugas dan kewajibannya.

Seorang pendidik harus bisa terlepas dari sifat rakus dan tamak, karena hal

tersebut akan mempengaruhi seorang pendidik dalam menjalankan tugasnya.

Banyak disebutkan dalam Al-Quran tentang sifat rendah hati ini. Firman

tersebut mengatakan sebagai berikut:

إن ربك ي بسط بسط ف ت قعد ملوما مسورا وال تعل يدك مغلولة إىل عنقك وال ت بسطها كل ال الرزق لمن يشاء وي قدر إنو كان بعباده خبريا بصريا

Artinya: Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan

janganlah kamu terlalu mengulurkannya[852] karena itu kamu

menjadi tercela dan menyesal. Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan

rezki kepada siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya;

Sesungguhnya Dia Maha mengetahui lagi Maha melihat akan hamba-

hamba-Nya (QS. Al-Israa: 29-30).

Adapun sikap keteladanan Nabi yang bersifat sederhana dalam kitab ar-

rasul al-mu‟allim wa asalibuhu fi at-ta‟lim adalah sebagai berikut:

على رضى اهلل عنهما, قال: سألت خاىل ىند بن أيب الرتمذى ب الشمائل عن احلسن بن ىالة, وكان وصافا لر سول صلى اهلل عليو و سلم, فقلت: صف ىل رسول صلى اهلل عليو و

سلم, فقال: كان رسول اهلل متواصل األحزان, دائم الفكرة, ليست لو راحة, طويل السكت, تعاىل, ويتكلم جبوامع الكلم, كالمو اليتكلم ب غريحاجة, يفتتح الكالم و خيتتمو باسم اهلل

lxix

فصل, الفضول وال تقصري, ليس باجلاب والادلهني, يعظم النعمة وان دقت, اليذممنها شيئا, غري انو مل يكن يذم ذواقا والديدحو, والتغضبو الدنيا والماكان ذلا, فاذاتعدي احلق مل يقم لغضبو

شيئ حىت ينتصرلو, واليغضب لنفسو وال ينتصر ذلاArtinya: Tirmidzi kembali meriwayatkan dalam kitabnya (asy-Syamail), kisah

dari Hasan bin Ali ra. sebagai berikut: aku pernah bertanya kepada

pamanku Hindun bin Abi Halah, dia adalah orang yang banyak

mengetahui sifat-sifat Rasulullah SAW. “Jelaskan padaku sifat-sifat

Rasulullah,” ucapku. Dia menjawab, “Rasulullah adalah orang

senantiasa bersedih, selalu berpikir, tidak mengenal lelah, pendiam

(tenang), tidak bicara kecuali yang perlu, memulai dan menutup

dengan menyebut nama Allah, berbicara dengan jawami‟ al-kalim

(kalimat yang singkat namun padat), perkataannya rinci, tidak terlalu

panjang dan tidak terlalu pendek. Beliau bukan orang yang

berperangai kasar dan hina, selalu menghargai nikmat sekecil apa

pun dan tidak mencelanya sedikit pun. Beliau juga tidak suka mencela

makanan dan minuman, dan tidak pula memujinya. Beliau tidak

pernah marah dalam persoalan dunia dan seisinya. Apabila suatu

kebenaran dilecehkan, dia akan bangkit membela kebenaran itu tanpa

disertai kemarahan sedikit pun, beliau juga tidak pernah marah

apalagi menang untuk kepentingan dirinya sendiri (Khudlori, 2015:

27).

Berdasarkan hadis di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwa Rasulullah

bukan orang yang berperangai kasar dan hina, selalu menghargai nikmat

sekecil apa pun dan tidak mencelanya sedikit pun. Beliau juga tidak suka

mencela makanan dan minuman, dan tidak pula memujinya. Beliau tidak

pernah marah dalam persoalan duniadan seisinya. Apabila suatu kebenaran

dilecehkan, dia akan bangkit membela kebenaran itu tanpa disertai kemarahan

sedikit pun, beliau juga tidak pernah marah apalagi menang untuk kepentingan

dirinya sendiri.

Sikap yang telah dicontohkan oleh Rasulullah di atas sudah seharusnya

dicontoh oleh setiap pendidik, yaitu bersikap sederhana. Melalui sikap ini,

dalam diri pendidik akan muncul sikap rela berjuang dan pengabdian, karena

lxx

orientasinya bukan sekedar berupa materi. Dan pendidik seperti inilah yang

dibutuhkan oleh bangsa ini sekarang. Menjadikan profesi guru sebagai ajang

mencari nafkah merupakan suatu yang tidak dapat disalahkan, akan tetapi

jangan sampai dijadikan tujuan utama, karena hal ini akan menjadikan seorang

pendidik kehilangan rasa pengabdiannya.

B. Relevansi Pemikiran Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah Tentang Nilai

Keteladanan dengan Zaman Sekarang

Di zaman sekarang ini, tentu berbeda dengan pada saat Abdul Fattah Abu

Ghuddah menuntut ilmu. Dengan realita yang ada saat ini banyak sekali kita

lihat bahwa nilai-nilai keteladanan sudah tidak diperhatikan lagi. Banyak kasus

terjadi yang menjadikan sosok guru tidak lagi menjadi panutan yang baik bagi

anak didiknya. Padahal seorang pendidik merupakan contoh ideal bagi anak

didiknya.

Keteladanan memegang perang penting dalam dunia pendidikan karena

kehidupan ini sebagian besar dilalui dengan saling meniru atau mencontoh oleh

manusia yang satu pada manusia yang lain. Tak terkeculai anak didik kepada

pendidiknya. Karena mereka menganggap apa yang dilakukan oleh gurunya

adalah suatu yang benar dan patut untuk dicontoh. Kecenderungan mencontoh

ini sangat besar peranannya pada anak-anak, mereka merupakan pribadi yang

unik dimana mereka akan melakukan sebagaimana yang mereka lihat.

Sehingga keteladanan sangat besar pengaruhnya bagi perkembangan anak.

lxxi

Sesuatu yang dicontoh, ditiru atau diteladani itu mungkin yang bersifat baik

dan mungkin pula bernilai keburukan.

Namun yang dimaksud keteladanan dalam konteks sekarang adalah

keladan dalam hal kebaikan dan bukan teladan dalam keburukan. Oleh karena

itu, setiap pendidik harus berusaha menjadi teladan yang baik bagi anak

didiknya. Selain bertugas untuk mengembangkan potensi yang ada dalam diri

anak didik, Seorang pendidik juga harus mampu membimbing dan

mengarahkan anak didiknya menjadi lebih baik, yaitu memiliki pengetahuan

yang luas serta akhlak yang mulia.

Melihat realitas tersebut, pendidik memegang fungsi yang sangat penting

serta tanggung jawab yang tidak mudah. Seorang pendidik tidak hanya sekedar

transfer of knowledge tetapi juga menjadi teladan bagi anak didiknya. Tidak

hanya mencerdaskan anak didiknya dalam bidang kognitif saja, melainkan juga

aspek akhlak dan moral pula. Fungsi pendidik dalam kegiatan pembelajaran

sangat berpengaruh terhadap hasil yang yang dicapai. Oleh karena itu pendidik

mempunyai tanggung jawab besar, bukan hanya saat waktu proses pendidikan

itu berlangsung, tetapi juga menjadi dalam kehidupannya.

Sebagai teladan, guru harus memiliki karakter yang dapat dijadikan profil

dan idola bagi anak didik. Seorang pendidik merupakan tokoh sentral yang

diharapkan mampu membimbing dan mengarahkan peserta didik menjadi lebih

baik karena peserta didik masih dalam masa pertumbuhan dan perkembangan

membutuhkan seorang figur yang dapat membimbing dan mengarahkannya

serta dapat dijadikan contoh. Sehingga seorang pendidik harus mampu

lxxii

menempatkan dirinya sebagai sosok yang layak untuk ditiru serta mampu

memberikan contoh atau suri tauladan yang baik kepada anak didiknya.

Dari keterangan pada bab sebelumnya kita akan menemukan begitu

banyak nilai-nilai keteladanan yang dapat kita ambil dari kitab Ar-Rosul al-

Mu‟allim wa Asalibuhu fi at-Ta‟lim. Namun apakah nilai-nilai yang terdapat

dalam kitab tersebut masih relevan jika diterapkan pada kondisi sekarang.

Mengingat di zaman globalisasi ini, kita dihadapkan dengan kondisi yang

sangat kompleks, berbeda jauh saat awal kitab ini dikarang.

Dari keterangan tersebut, penulis mencoba menganalisis apakah nilai-

nilai keteladanan yang dipaparkan oleh syekh Abdul Fattah ini masih sesuai

apa tidak. Inilah yang akan menjadi topik bahasan pada saat ini. Serta dalam

kaitannya dengan tujuan pembuatan skrispi ini penulis mencoba untuk

mengeksplorasi relevansi pemikiran Abdul Fattah Abu Ghuddah dalam konteks

kekinian. Apakah pemikiran beliau tentang pendidikan (khususnya tentang

nilai-nilai keteladanan) masih relevan untuk diterapkan di era globalisasi saat

ini ataukah tidak. Melihat zaman sekarang sudah berbeda jauh dengan zaman

dahulu. Secara garis besarnya penulis akan menjelaskan pemikiran beliau jika

dikaitkan dengan realitas yang ada pada zaman sekarang, antara lain sebagai

berikut:

Pertama, Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah berpendapat bahwa nilai

keteladanan yang harus ada dalam diri pendidik adalah memudahkan dan

tidak menyulitkan anak didiknya. Seorang pendidik dalam menjelaskan

haruslah menggunakan cara-cara yang mudah dicerna oleh peserta didik,

lxxiii

yaitu dengan bahasa yang tepat, lugas dan simpel. Begitu juga pemilihan

metode dan media belajar yang tepat dan sesuai dengan materi serta tingkat

kemampuan peserta didik.

Nilai keteladanan yang pertama ini, yaitu memudahkan dan tidak

menyulitkan masih relevan jika diterapkan pada zaman sekarang. Melalui

sifat ini seseorang akan bijak dalam menghadapi berbagai individu yang

berbeda. Begitupu seorang pendidik, melaui sifat ini dia akan menjadi orang

yang bijak dalam mengembang tugas dan tanggung jawabnya, karena dia

menyadari setiap anak didik itu bersifat unik serta memiliki karakteristik

yang berbeda karena perbedaan potensi yang ada dalam diri mereka.

Sehingga dalam menyampaikan materi kepada didiknya, seorang pendidik

akan menggunakan cara atau strategi yang sesuai dengan tingkat

kemampuan anak didiknya.

Kedua, Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah berpendapat bahwa nilai

keteladanan selanjutnya yang harus ada dalam diri pendidik adalah memiliki

rasa kasih sayang. Seorang pendidik harus memiliki rasa kasih sayang

terhadap anak didiknya sebagaimana dia menyanyangi anaknya sendiri,

maksudnya seorang guru dituntut untuk mencintai dan menyanyangi murid-

muridnya seperti cintanya terhadap anal-anaknya sendiri dan memikirkan

keadaan mereka seperti ia memikirkan anak-anaknya sendiri.

Nilai keteladanan yang selanjutnya adalah kasih sayang. Sifat ini

masih sangat relevan jika diterapkan pada konteks zaman sekarang. seorang

pendidik yang baik adalah pendidik yang mencintai dan menyanyangi

lxxiv

murid-muridnya seperti cintanya terhadap anal-anaknya sendiri dan

memikirkan keadaan mereka seperti ia memikirkan anak-anaknya sendiri.

Karena seorang pendidik adalah orang kedua bagi anak didiknya, sehingga

wajar bila seorang pendidik mencintai dan menyanyanginya.

Ketiga, Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah berpendapat bahwa nilai

keteladanan selanjutnya yang harus ada dalam diri pendidik adalah sabar.

Sabar adalah kunci kesuksesan dalam setiap hal termasuk di dalamnya adalah

mendidik. Seorang pendidik harus menyadari bahwa anak didik merupakan

individu yang masih tumbuh dan berkembang, kesalahan dan kekeliruan yang

mereka lakukan harus dipahami sebagai sebuah proses untuk menjadi lebih

baik. Kesalahan yang mereka lakukan bukanlah hasil final tapi hanyalah

sebuah proses untuk memperbaiki kesalahan yang ada.

Nilai keteladanan sabar masih relevan jika diterapkan pada konteks

zaman sekarang. Dimana dalam dunia pendidikan, sifat ini bertujuan untuk

menguatkan manusia khususnya pendidik dalam menghadapi ujian, kesulitan,

dan mempertahankan diri agar terhindar dari perbuatan yang merugikan diri

sendiri sekaligus anak didiknya. Jadi sifat sabar akan menjadikan pendidik kuat

dan tabah dalam menjalani profesinya sebagai seseorang yang membimbing

dan mengarahkan anak didiknya.

Keempat, Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah berpendapat bahwa nilai

keteladanan selanjutnya yang harus ada dalam diri pendidik adalah Lemah

lembut dan Tidak Kasar. Seorang pendidik hendaknya menjadi pembimbing

bagi peserta didik, oleh karena itu pendekatan yang diperlukan dalam mendidik

lxxv

adalah dengan sikap lemah lembut dengan cara menuntun dan membimbing

peserta didik ke arah kebenaran. Dengan kelembutan maka diharapkan

pelajaran yang disampaikan akan mudah dicerna dan dipahami oleh peserta

didik.

Nilai keteladanan yang selanjutnya adalah lemah lembut. Sifat ini masih

relevan jika diterapkan pada zaman sekarang ini. Sifat ini tak jauh berbeda

dengan sifat kasih sayang, maksudnya sifat ini harus ada dalam diri setiap

pendidik. Melaui sifat lemah lembut seseorang akan menjadi orang yang

disayangi dan didengarkan semua perkataannya. Begitu pula dengan seorang

guru, semua nasehat ataupun perkataannya akan didengarkan jika guru tersebut

dalam menyampaikannya dilakukan dengan cara-cara yang seperti ini.

Kelima, Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah berpendapat bahwa nilai

keteladanan selanjutnya yang harus ada dalam diri pendidik adalah adil.

Seorang pendidik hendaknya memperlakukan sama terhadap anak didiknya

dalam berinteraksi dan menerapkan keadilan diantara mereka dalam hal

memberi, yaitu adil dalam pengertian berlaku sesuai dengan keadaan dan

kebutuhan, adil dalam perlakuan, kasih sayang dan pemberian sesuai dengan

tempat dan keadaan.

Nilai keteladanan selanjutnya adalah adil. Sifat ini masih sangat relevan

jika diterapkan pada zaman sekarang ini. Seorang pendidik adalah orang tua

bagi anak didiknya, jadi sudah seharusnya dia bersikap adil dalam setiap

tindakannya. Melalui sifat ini anak didik akan nyaman dalam mengikuti setiap

lxxvi

kegiatan yang dilakukannya, karena dia merasa diakui akan eksistensinya.

Sehinnga semangat untuk belajar akan tumbuh pada setiap anak didik.

Keenam, Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah berpendapat bahwa nilai

keteladanan selanjutnya yang harus ada dalam diri pendidik adalah rendah hati.

Pendidik yang baik adalah seorang yang bersifat terbuka, artinya mau

menerima kritik dan saran, walaupun itu berasal dari anak didiknya. Seorang

pendidik juga merupakan manusia biasa yang tak pernah luput dari yang

namanya kesalahan. Sikap untuk mengakui kesalahan dan menerima kritik

maupun saran merupakan sikap yang harus ada dalam setiap diri seorang

pendidik.

Nilai keteladanan selanjutnya adalah rendah hati. Sifat ini masih relevan

jika diterapkan pada zaman sekarang. Sifat ini akan menghindarkan seseorang

dari sifat sombong. Selain itu kerendahan hati dapat menjadikan seseorang

menghormati serta menghargai orang lain. Jadi sifat ini akan menjadikan

pendidik bersikap terbuka dalam menerima kritik maupun saran walaupun itu

berasal dari anak didiknya. Melalui sifat ini juga seorang pendidik melakukan

intropeksi diri demi perbaikan kedepannya.

Ketujuh, Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah berpendapat bahwa nilai

keteladanan selanjutnya yang harus ada dalam diri pendidik adalah sederhana.

Di zaman yang pragmatis dan hedonis ini menjadikan semua orang menjadi

rakus, semua diukur berdasarkan keuntungan materil saja. Jadi sifat sederhana

ini harus ada dalam setiap pendidik, agar rasa pengabdian muncul, sehingga

ketika melakukan tugas dan tanggung jawabnya dilakukan dengan hati.

lxxvii

Nilai keteladanan selanjutnya adalah sederhana. Sifat ini masih relevan

jika diterapkan pada zaman sekarang. Sifat ini akan menghindarkan seseorang

dari perbuatan yang berlebihan, baik dalam ucapan maupun tindakan. Begitu

juga dengan seorang pendidik, sifat ini sangat dibutuhkan dalam menyikapi

semua apa yang dilakukan anak didiknya, baik dalam memberi pujian ataupun

hukuman, sehingga semua masih berada dalam koridor pendidikan. Kalau sifat

ini tidak ada dalam diri pendidik yang ada hanyalah usaha untuk mencari

kesenangan pribadi dengan mencari keuntungan duniawi aja.

C. Implikasi Pemikiran Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah Tentang Nilai

Keteladanan.

Manusia hanya akan menjadi manusia melalui pendidikan. Mendidik

berarti memanusiakan. Untuk menjadi manusia beriman diperlukan

pendidikan. Ajaran-ajaran Allah SWT berupa petunjuk yang harus dikerjakan

dan larangan yang harus ditinggalkan, perlu disampaikan dari generasi ke

generasi melalui proses pendidikan (Nawawi,1993:101-102).

Pendidikan harus dipahami sebagai suatu proses. Proses yang sedang

mengalami pembaruan atau perubahan kearah yang lebih baik. Dengan

demikian, pendidikan dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang mengalami

proses perubahan kearah yang lebih baik. Apapun bentuknya, selama suatu

konsep atas objek yang diamati atau objek itu sendiri mengalami proses

perbaikan dalam arti perubahan kearah yang lebih baik, maka objek atau

konsep tersebut berhak disebut sebagai pendidikan (Muliawan, 2005: 99).

lxxviii

Seorang pendidik merupakan salah satu unsur penting dalam dunia

pendidikan. Seorang pendidik merupakan tokoh sentral yang diharapkan

mampu membimbing dan mengarahkan peserta didik menjadi lebih baik

(Azzet, 2011: 13). Oleh karena itu,cseorang pendidik harus mampu menjadi

contoh atau teladan bagi anak didiknya.

Keteladanan adalah metode influentif, yang paling menentukan

keberhasilan dalam mempersiapkan dan membentuk sikap serta perilaku moral,

spiritual dan sosial anak. Hal ini karena pendidik adalah contoh terbaik dalam

pandangan anak didik yang akan ditirunya dalam segala tindakan dan sopan

santunnya, disadari maupun tidak. Oleh karena itu, masalah keteladanan

menjadi faktor penting dalam hal baik buruknya anak didik yang menjadi objek

bimbingan dan arahan (Supriyatno, 2009: 27-29).

Berdasarkan uraian di atas, keteladanan memiliki dampak atau implikasi

yang sangat berpengaruh terhadap seseorang. Hal ini disebabkan oleh karena

manusia cenderung untuk meniru atau mencontoh perbuatan yang dilakukan

oleh orang lain. Terlebih lagi bagi anak didik yang masih berada dalam masa

perkembangan dan pertumbuhan, mereka menganggap apa yang dilakukan

oleh gurunya merupakan tindakan yang layak untuk dicoontoh dan diikuti.

Sehingga seorang pendidik harus menjadi contoh yang ideal bagi anak didinya,

karena anak didik membutuhkan figur yang dapat mereka jadikan contoh

dalam menjalani kehidupannya.

lxxix

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari berbagai penjelasan dan analisis yang sudah penulis paparkan di

atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Nilai-nilai keteladanan yang terdapat dalam kitab ar-rosul al-mu‟allim

wa asalibuhu fi at-ta‟lim karya Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah

meliputi: memudahkan dan tidak memberatkan, kasih sayang, sabar,

lemah lembut, adil, rendah hati dan sederhana memiliki peran penting

demi terwujudnya tujuan pendidikan.

2. Pemikiran Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah tentang nilai-nilai

keteladanan masih sangat relevan jika diterapkan pada zaman sekarang.

3. Keteladanan memiliki dampak atau implikasi yang sangat berpengaruh

terhadap seseorang. Hal ini disebabkan oleh karena manusia cenderung

untuk meniru atau mencontoh perbuatan yang dilakukan oleh orang lain.

Terlebih lagi bagi anak didik yang masih berada dalam masa

perkembangan dan pertumbuhan, mereka menganggap apa yang

dilakukan oleh gurunya merupakan tindakan yang layak untuk dicoontoh

dan diikuti.

lxxx

B. Saran

Dalam rangka mwujudkan tujuan pendidikan ada beberapa catatan

penting yang harus diperhatikan oleh seorang pendidik, yaitu:

1. Seorang pendidik harus mampu menjadi contoh teladan bagi anak

didinya, karena seorang pendidik merupakan sosok ideal di mata anak

didiknya, sehingga mereka berasumsi bahwa segala tindakan seorang

pendidik patut untuk dicontoh dan ditiru.

2. Seorang pendidik memiliki tugas dan tanggung jawab yang berat, tidak

hanya sekedar mengajar tetapi juga mendidik.

3. Seorang pendidik harus menyadari bahwa setiap individu memiliki

potensi yang berbeda-beda, sehingga seorang pendidik harus bijak dalam

menyikapinya.

lxxxi

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.

______, Suharsimi. 2014. Cet. 15. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.

Jakarta: Rineka Cipta.

Arief, Armai. 2002. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam. Jakarta:

Ciputat Pers.

Asrori, Mohammad. 2008. Psikologi Pembelajaran. Bandung: CV Wina Prima

Asy-Syafi‟i, Imtihan. 2006. Cet. XVI. Tazkiyatun Nafs (Konsep Penyucian Jiwa

Menurut Ulama‟ Salaf). Solo: Pustaka Arafah.

Azzet, Akhmad Muhaimin. 2011. Menjadi Guru Favorit. Yogyakarta: Ar Ruzz

Media.

______, Akhmad Muhaimin. 2017. Cet. 1. Pendidikan Yang Membebaskan.

Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Barizi, Ahmad. 2011. Pendidikan Integratif (Akar Tradisi dan Integratif Keilmuan

Pendidikan Islam). Malang: UIN-Maliki Press

Bungin, Burhan. 2008. Penelitian Kualitatif: Komunikasi Ekonomi, Kebijakan

Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1995. Edisi ke-2. Cet. 2. Kamus Besar

Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Ghuddah, Abdul Fattah Abu. Tanpa Tahun. Mendidik dan Mengajar ala Nabi

SAW. terjemahan oleh Umar Husein Assegaf. 2015. Bantul: CV. Layar

Creativa Mediatama.

_______, Abdul Fattah Abu. Tanpa Tahun. Muhammad Sang Guru. Terjemahan

oleh Agus Khudlori. 2015. Temanggung: Armasta.

Hadjar, Ibnu. 1996. Dasar-Dasar Metode Penelitian Kualitatif Dalam

Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Hakim, Arif Rahman. 2016. Cet. 7. Pendidikan Anak Dalam Islam. Solo: Insan

Kamil.

Hidayat, Rahmat. 2015. Cet. 1. Muhammad SAW the Super Teacher. Jakarta:

Zahira.

lxxxii

Hidayatullah, M. Nur. 2011. Cet. 1. Sang Pemimpin Muhammad SAW. Bekasi:

Zalfa Publishing.

Jalaluddin. 2001. Teologi Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo persada.

Mufron, Ali. 2015. Cet. 2. Ilmu Pendidikan Islam. Yogyakarta: Aura Pustaka.

Muhaimin dan Abdul Mujib. 1993. Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Filosofis

dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya. Bandung: Trigenda.

Muliawan, Jasa Ungguh. 2005. Pendidikan Islam Integratif. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

Muliawan, Jasa Ungguh. 2014. Metodologi Penelitian Pendidikan. Yogyakarta:

Penerbit Gava Media.

Munir, Abdullah. 2010. Cet. 1. Pendidikan Karakter (Membangun Karakter Anak

Sejak dari Rumah). Yogyakarta: Pedagogia.

Nawawi, Hadari. 1993. Pendidikan Dalam Islam. Surabaya: Al Ikhlas.

Nazir. 1985. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Norazamudin. 2009. Karya Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah,

https://abuawatif.Wordpress.com/2009/04/06/Jejak-Ulama-5-Syekh-

Abdul-Fattah-Abu-Ghuddah.html.

Rasimin. 2016. Pengembangan Karakter Multikultural Mahasiswa Dalam

Pembelajaran Civic Education (Studi Pada Mahasiswa Jurusan KPI

Fakultas Dakwah IAIN Salatiga). Journal of Communication, 1, 147.

Ruslan. Rosady. 2010. Metode Penelitiaan Public Relations dan Komunikasi.

Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Sudarto. 2018. Cet. 2. Filsafat Pendidikan Islam. Yogyakarta: Deepublish.

Supriyatno, Triyo. 2009. Cet. 1. Humanitas Spiritual dalam Pendidikan. Malang:

UIN Malang Press.

Suryabrata, Sumardi. 1996. Metode Penelitian. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Suryani. 2012. Cet. 1. Hadis Tarbawi (Analisis Paedagogis Hadis-Hadis Nabi).

Yogyakarta: Teras.

lxxxiii

Thoha, M Chabib. 1996. Cet. 1. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar Offset.

Uhbiyati, Nur. 2009. Long Life Education. Semarang: Walisongo Press,

Semarang.

______, Nur. 2013. Cet. 1. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan Islam. Semarang:

Pustaka Rizki Putra.

(Wulandari. 2008. Setting Sosial Syekh Abdul Fattah Abu Guddah,

https://m.replubika.co.id/2008/06/08/Syekh-Abdul-Fattah-Abu-Ghuddah-

Ulama-Pecinta-Ilmu.html, diakses pada 28 Agustus 2018).

lxxxiv

DAFTAR SURAT KETERANGAN KEGIATAN (SKK)

Nama: Puji Santoso Jurusan : Pendidikan Agama Islam

NIM : 111-14-381 Dosen Pembimbing: Achmad Maimun, M.Ag.

NO. KEGIATAN PELAKSANAAN SEBAGAI NILAI

1.

OPAK STAIN Salatiga 2014

“Aktualisasi Gerakan Mahasiswa

yang Beretika, Disiplin dan

Berpikir Terbuka”

18-19 Agustus

2014

Peserta /

Participant

3

2.

OPAK Jurusan Tarbiyah STAIN

Salatiga 2014 “Aktualisasi

Pendidikan Karakter sebagai

Pembentuk Generasi yang

Religius, Educative dan Humanis”

20-21 Agustus

2014

Peserta /

Participant

3

3.

Orientasi Dasar Keislaman

(ODK) “Pemahaman Islam

Rahmatan Lil „Alamin Sebagai

Langkah Awal menjadi

Mahasiswa Berkarakter”

21 Agustus 2014 Peserta /

Participant

3

4.

Achievement Motivation Training

“Dengan AMT Semangat

Menyongsong Prestasi”

23 Agustus 2014 Peserta /

Participant

2

5.

Library User Education

(Pendidikan Pemustaka) UPT

Perpustakaan STAIN Salatiga

28 Agustus 2014 Peserta /

Participant

2

6.

Training Pengembangan Diri dan

Komunikasi oleh KAMMI

Salatiga

18 September 2014 Peserta /

Participant

2

7. Seminar Nasional “Implementasi 04 November 2014 Peserta / 8

lxxxv

Kurikulum 2013 pada Mapel

Bahasa Arab Tingkat Dasar dan

Tingkat Menengah”

Participant

8.

Seminar Nasional “Berkontribusi

untuk Negeri melalui

Televisi/TV”

05 November 2014 Peserta /

Participant

8

9. Kursus Pembina Pramuka Mahir

Tingkat Dasar (KMD)

08-12 November

2014

Peserta /

Participant

2

10.

Seminar Nasional “Perbaikan

Mutu Pendidikan Melalui

Profesionalitas Pendidikan”

13 November 2014 Peserta /

Participant

8

11.

“Seminar Nasional

Enterpreunership” Gerakan

Pramuka Racana Kusuma Dilaga

– Woro Srikandhi

16 November 2014 Peserta /

Participant

8

12.

Seminar Nasional “Cegah Kanker

Serviks sebagai Pembunuh No. 1

Wanita Indonesia”

16 November 2014 Peserta /

Participant

8

13.

Pelatihan Manajemen TPQ

“Mendongeng Cerita Islam dan

Membuat Alat Peraga Edukatif

(APE)”

04 Juli 2015 Peserta /

Participant

2

14.

Seminar Motivasi

“Menumbuhkan Semangat

Berprestasi Sebagai Wujud

Pengabdian Bangsa di Era Global

24 desember 2015 Panitia /

committee

2

15.

Talk Show “Be Scholarship

Hunter of Home Country

(Indonesia) and Abroad

University”

29 September 2015 Peserta /

Participant

2

lxxxvi

16.

“English Course and Camp”

EGYPT Islamic Boarding and

Course Pare, Kediri

09 Januari – 09

Februari 2016

Peserta /

Participant

2

17.

“Top Ten Members” EGYPT

Islamic Boarding and Course

Pare, Kediri

09 Februari 2016 Peserta /

Participant

2

18. Seminar Nasional “Esensi

Dakwah Kontemporer” 21 Mei 2016

Peserta /

Participant

8

19. Scholarship Seminar “Unlocking

the Future through Scholarship” 23 Mei 2017

Peserta /

Participant

2

20.

Seminar Nasional ITTAQO

“Menciptakan Peluang Ekonomi

Kreatif Berbasis Bahasa Arab

melalui Implementasi

Edupreunership”

30 Mei 2016 Peserta /

Participant

8

21.

ESQ Character Building – I “ESQ

Training – Champion Mentality

Mahasiswa Bidikmisi IAIN

Salatiga”

13 Juni 2016 Peserta /

Participant

2

22.

PAD MAHASISWA AL-

KHIDMAH KOTA SALATIGA

“Mahasiswa Generasi Penerus

Bangsa Berwawasan Nusantara

Berahklak Mulia”

29-30 Oktober

2016

Peserta /

Participant

3

23.

Lomba Qiroatul Ahbar pada

Musabaqoh Lughoh Al-„Arabiyah

(MLA) “Mewujudkan dan

Mengembangkan Intelektualitas

melalui Bahasa Arab”

08 Oktober 2016 Peserta /

Participant

2

24. Kursus Pembina Pramuka Mahir 06-11 September Peserta / 2

lxxxvii

Tingkat Lanjut (KML) Golongan

Penegak

2016 Participant

25.

Surat Keputusan Rektor IAIN

Salatiga tentang Susunan

Pengurus Ya Bismillah (Youth

Association of Bidikmisi

Limardhotillah) IAIN Salatiga

Masa Bakti 2017

15 Desember 2016

Pengurus

(Devisi

Kebahasaan)

/ Bahasa

Arab

8

26.

Kursus Bahasa Arab “Yaumiyyan

Kaamilan 1” Al-Azhaar, Pare,

Kediri

05 Januari – 02

Februari 2017

Peserta /

Participant

6

27.

“Hafal 2000 Mufrodat” Kursus

Bahasa Arab Al-Azhaar, Pare,

Kediri

02 Februari 2017 Peserta /

Participant

2

28.

Workshop “Penguatan Kapasitas

Manajerial dan Jaringan Pesantren

dalam Promosi HAM dan

Penyelesaian Konflik secara

Damai”

28-29 Maret 2017 Peserta /

Participant

2

29.

Pelatihan Penyusunal Proposal

Penelitian “Mengembangkan

Kemampuan Menulis sebagai

Aktualisasi Diri dalam Bidang

Penelitian”

14-15 Juni 2017 Peserta /

Participant

3

30.

Ramadhan In Campuss

“Bersahabat dengan Al-Qur‟an,

menjadi Keluarga Terdekat Sang

Maha Rahman”

15 Juni 2017 Peserta /

Participant

2

31. Anniversary YA BISMILLAH

ke-5 “Satukan Arah, Satukan 12 Agustus 2017

Peserta /

Participant

2

lxxxviii

lxxxix