Nia Refrat
-
Upload
nia-sahra-labetubun -
Category
Documents
-
view
75 -
download
2
Transcript of Nia Refrat
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Mata merupakan organ sensorik untuk melihat berbagai hal di sekitar kita. Diketahui
mata memiliki beberapa lapisan dari luar ke dalam, yaitu sklera, koroid, dan retina. Sklera
seperti bagian tubuh yang lain, tentu dapat sakit juga. Sakit akibat peradangan pada sklera biasa
disebut skleritis. Skleritis didefinisikan sebagai gangguan granulomatosa kronik yang ditandai
oleh destruksi kolagen, sebukan sel dan kelainan vaskular yang mengisyaratkan adanya
vaskulitis. Sedangkan Episkleritis adalah suatu reaksi inflamasi pada jaringan episklera yang
terletak di antara konjungtiva dan sklera. Skleritis dan episkleritis sering disebabkan oleh
penyakit yang berhubungan dengan imunitas, dan penyakit metabolik sistemik. Episkleritis
umumnya mengenai satu mata dan terutama perempuan usia pertengahan dengan bawaan
penyakit reumatik.
Prevalensi skleritis diperkirakan mencapai 6 kasus dari 10.000 populasi, 94%
diantaranya dengan skleritis anterior dan 6% adalah skleritis posterior. Dari data internasional,
tidak ada distribusi geografis yang pasti mengenai insiden skleritis. Di Indonesia belum ada
penelitian mengenai penyakit ini. Penyakit ini dapat terjadi unilateral atau bilateral, dengan
onset perlahan atau mendadak, dan dapat berlangsung sekali atau kambuh-kambuhan. Pada
15% kasus, skleritis bermanifestasi sebagai gangguan kolagen vaskular dan gejala bertambah
hingga beberapa bulan. Angka morbiditas ditentukan oleh penyakit primer skleritis itu sendiri
dan penyakit sistemik yang menyertai. Rasio antara perempuan dan laki-laki adalah 1,6:1.
Berdasarkan umur skleritis biasanya terjadi pada usia 11-87 tahun, dan rata-rata orang yang
menderita skleritis adalah usia 52 tahun.
Angka kejadian episkleritis tidak diketahui pasti karena banyaknya pasien yang tidak
berobat. Tidak ada perbedaan jenis kelamin, namun terdapat laporan 74 % kasus terjadi pada
perempuan dan sering terjadi pada usia dekade 4-5. Pada anak-anak episkleritis biasanya
menghilang dalam 7-10 hari dan jarang rekuren. Pada dewasa, 30 % kasus berhubungan
dengan penyakit jaringan ikat penyertanya, penyakit inflamasi saluran cerna, infeksi herpes,
gout, dan vaskulitis. Penyakit sistemik biasanya jarang pada anak-anak.
Skleritis dan episkleritis dapat menimbulkan berbagai komplikasi, hal ini terutama
pada skleritis yang tidak ditangani dengan baik. Sedangkan episkleritis merupakan penyakit
self-limiting. Penatalaksanaan skleritis dan episkleritis tergantung pada penyakit yang
mendasarinya. Oleh karena itu perlu diagnosis yang tepat sesuai dengan etiologinya guna
penatalaksanaan lebih lanjut.
B. RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah yang akan dibahas dalam referat ini adalah mengenai anatomi,
histologi dan fisiologi sklera, definisi skleritis dan episkleritis, klasifikasi, etiologi,
patofisiologi, diagnosa dan diagnosa banding, penatalaksanaan, komplikasi, serta prognosis
skleritis dan episkleritis.
C. TUJUAN
Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah sebagai kajian keilmuan dan pemahaman
materi tentang skleritis dan episkleritis secara lebih mandalam dalam rangka menunjang
kegiatan praktek di lapangan.
D. MANFAAT
1. Menambah wawasan mengenai ilmu kedokteran tentang penyakit mata pada umumnya,
Khususnya tentang skleritis dan episkleritis.
2. Sebagai proses pembelajaran bagi dokter muda yang sedang mengikuti kepaniteraan
klinik bagian ilmu penyakit mata.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. ANATOMI, HISTOLOGI, DAN FISIOLOGI
Sklera yang juga dikenal sebagai bagian putih bola mata, merupakan kelanjutan dari
kornea. Sklera berwarna putih buram dan tidak tembus cahaya, kecuali di bagian depan
bersifat transparan yang disebut kornea. Sklera merupakan dinding bola mata yang paling
keras dengan jaringan pengikat yang tebal, yang tersusun oleh serat kolagen, jaringan
fibrosa dan proteoglikan dengan berbagai ukuran. Pada anak-anak, sklera lebih tipis dan
menunjukkan sejumlah pigmen, yang tampak sebagai warna biru. Sedangkan pada
dewasa karena terdapatnya deposit lemak, sklera tampak sebagai garis kuning.
Sklera dimulai dari limbus, dimana berlanjut dengan kornea dan berakhir pada
kanalis optikus. Enam otot ekstraokular disisipkan ke dalam sklera. Jaringan sklera
menerima rangsangan sensoris dari nervus siliaris posterior. Sklera merupakan organ
tanpa vaskularisasi, menerima rangsangan tersebut dari jaringan pembuluh darah yang
berdekatan. Pleksus koroidalis terdapat di bawah sklera dan pleksus episkleral di atasnya.
Episklera mempunyai dua cabang, yang pertama pada permukaan dimana pembuluh
darah tersusun melingkar, dan yang satunya lagi yang lebih di dalam, terdapat pembuluh
darah yang melekat pada sklera.
Secara histologis sklera terdiri dari banyak pita padat yang sejajar dan berkas-berkas
jaringan fibrosa yang teranyam, yang masing-masing mempunyai tebal 10-16 mikro dan
lebar 100-150 mikro dibandingkan dengan kornea jaringan fibrosa sklera mempunyai
daya pembiasan yang lebih kuat, tidak mempunyai jarak yang tetap antara berkas jaringan
fibrosanya, dan mempunyai diameter yang berbeda-beda. Hal inilah yang membuat sklera
menjadi opak. Sklera mempunyai kekakuan tertentu sehingga mempengaruhi pengukuran
tekanan bola mata walaupun sklera kaku dan tebalnya 1mm sklera masih tahan terhadap
kontusio trauma tumpul. Ketebalan sklera bervariasi, maksimum 1 mm terdapat di dekat
nervus optikus dan minimum 0,3 mm pada insersio otot-otot rektus. Lapisan sklera terdiri
atas episklera, stroma, lamina fuska dan endotelium. Struktur histologis sklera sangat
mirip dengan struktur kornea.
Di sekitar nervus optikus sklera ditembus oleh arteri siliaris posterior longus dan
brevis dan nervus siliaris longus dan brevis. Arteri siliaris longus dan nervus siliaris
longus berjalan dari nervus optikus menuju ke korpus siliaris di sebuah lekukan dangkal
pada permukaan dalam sklera pada meredian jam 3 dan 9. Sekitar 4 mm di belakang
limbus, sklera ditembus oleh 4 arteri dan vena siliaris anterior. Beberapa lembar jaringan
sklera berjalan melintang bagian anterior nervus optikus sebagai lamina kribrosa. Bagian
dalam sklera berwarna hitam, coklat disebut lamina fuska, dihubungkan dengan koroid
oleh filamen-filamen yang terdiri dari jaringan ikat yang mengandung pigmen dan
membuat dinding luar dari ruang suprakoroid dan ditembus oleh serat saraf dan pembuluh
darah. Permukaan luar sklera anterior dibungkus oleh sebuah lapisan tipis dari jaringan
elastik halus yaitu episklera.
Sklera mempunyai 2 lubang utama yaitu:
- Foramen sklerasis anterior, yang berdekatan dengan kornea dan merupakan tempat
melekatnya kornea pada sklera.
- Foramen sklerasis posterior atau kanalis sklerasis, merupakan pintu keluar nervus
optikus. Pada foramen ini terdapat lamina kribosa yang terdiri dari sejumlah
membran seperti saringan yang tersusun transversal melintas foramen sklerasis
posterior. Serabut saraf optikus lewat lubang ini untuk menuju ke otak.
Episklera mengandung banyak pembuluh darah yang menyediakan nutrisi untuk sklera dan permeabel terhadap air, glukosa dan protein.
Episklera juga berfungsi sebagai lapisan pelicin bagi jaringan kolagen dan elastis dari sklera dan akan bereaksi hebat jika terjadi inflamasi pada sklera. Jaringan fibroelastis dari episklera mempunyai dua lapisan yaitu lapisan viseral yang lebih dekat ke sklera dan lapisan parietal yang bergabung dengan fasia dari otot dan konjungtiva dekat limbus. Pleksus episklera posterior berasal dari siliari posterior, sementara itu di episklera anterior berhubungan dengan pleksus konjungtiva, pleksus episklera superfisial dan pleksus episklera profunda.
Sklera berfungsi untuk menyediakan perlindungan terhadap komponen intra okular.
Pembungkus okular yang bersifat viskoelastis ini memungkinkan pergerakan bola mata
tanpa menimbulkan deformitas otot-otot penggeraknya. Pendukung dasar dari sklera
adalah adanya aktifitas sklera yang rendah dan vaskularisasi yang baik pada sklera dan
koroid. Hidrasi yang terlalu tinggi pada sklera menyebabkan kekeruhan pada jaringan
sklera. Jaringan kolagen sklera dan jaringan pendukungnya berperan seperti cairan
sinovial yang memungkinkan perbandingan yang normal sehingga terjadi hubungan
antara bola mata dan socket. Perbandingan ini sering terganggu sehingga menyebabkan
beberapa penyakit yang mengenai struktur artikular sampai pembungkus sklera dan
episklera.
B. DEFINISI SKLERITIS DAN EPISKLERITIS
Skleritis merupakan peradangan pada lapisan sklera yang sering rekurens dan
ditandai dengan adanya infiltrasi selular, destruksi kolagen, dan remodeling vascular. Hal
ini terjadi karena diperantarai oleh proses imunologis atau sebagai akibat dari suatu
infeksi dan trauma lokal. Skleritis juga dapat didefinisikan sebagai gangguan
granulomatosa kronik yang ditandai oleh destruksi kolagen, sebukan sel dan kelainan
vaskuler yang mengisyaratkan adanya vaskulitis.
Episkleritis didefinisikan sebagai peradangan lokal sklera yang relatif sering
dijumpai. Kelainan ini bersifat unilateral pada dua-pertiga kasus, dan insidens pada kedua
jenis kelamin wanita tiga kali lebih sering dibanding pria. Episkleritis merupakan reaksi
radang jaringan ikat vaskular yang terletak antara konjungtiva dan permukaan sklera
yang bersifat ringan dan dapat sembuh sendiri. Episkleritis dapat
mempengaruhi pada satu atau kedua mata. Episkleritis terjadi pada perempuan lebih
banyak daripada laki-laki dan paling sering terjadi antara usia 40 dan 50 tahun.
Perjalanan penyakit mulai dengan episode akut dan terdapat riwayat berulang serta dapat
berminggu-minggu atau beberapa bulan.
Skleritis
Episkleritis
C. KLASIFIKASI
Skleritis diklasifikasikan menjadi :
1. Skleritis Anterior
Merupakan 95% penyebab skleritis. Insidensi skleritis anterior sebesar 40% dan
skleritis anterior nodular terjadi sekitar 45% setiap tahunnya. Skleritis nekrotik terjadi
sekitar 14% yang biasanya berbahaya. Bentuk spesifik dari skleritis biasanya tidak
dihubungkan dengan penyebab penyakit khusus, walaupun penyebab klinis dan
prognosis diperkirakan berasal dari suatu inflamasi. Berbagai varian skleritis anterior
kebanyakan jinak dimana tipe nodular lebih nyeri. Tipe nekrotik lebih bahaya dan
sulit diobati.
a. Difus
Bentuk ini dihubungkan dengan artritis rematoid, herpes zoster oftalmikus dan
gout.
b. Nodular
Bentuk ini dihubungkan dengan herpes zoster oftalmikus.
c. Nekrotik
Bentuk ini lebih berat dan dihubungkan sebagai komplikasi sistemik atau
komplikasi okular pada sebagian pasien. 40% menunjukkan penurunan visus. 29%
pasien dengan skleritis nekrotik meninggal dalam 5 tahun. Bentuk skleritis
nekrotik terbagi 2 yaitu dengan inflamasi dan tanpa inflamasi (scleromalacia
perforans)
2. Skleritis Posterior
Sebanyak 43% kasus skleritis posterior didiagnosis bersama dengan skleritis anterior.
Biasanya skleritis posterior ditandai dengan rasa nyeri dan penurunan kemampuan
melihat. Dari pemeriksaan objektif didapatkan adanya perubahan fundus, adanya
perlengketan massa eksudat di sebagian retina, perlengketan cincin koroid, massa di
retina, udem nervus optikus dan udem makular. Inflamasi skleritis posterior yang
lanjut dapat menyebabkan ruang okuli anterior dangkal, proptosis, pergerakan ekstra
ocular yang terbatas dan retraksi kelopak mata bawah.
Episkleritis diklasifikasikan menjadi :
1. Episkleritis Simple
Merupakan jenis yang paling umum dari episkleritis (80%). Peradangan biasanya
ringan dan terjadi dengan cepat. Hanya berlangsung selama sekitar tujuh sampai
10 hari dan akan hilang sepenuhnya setelah dua sampai tiga minggu. Pasien dapat
mengalami serangan dari kondisi tersebut, biasanya setiap satu sampai tiga bulan.
Penyebabnya seringkali tidak diketahui. Dapat lebih lama terjadi pada pasien
dengan penyakit sistemik. Pada anak kecil jarang kambuh dan jarang
berhubungan dengan penyakit sistemik. Beberapa pasien melaporkan serangan
lebih sering terjadi saat musim hujan atau semi. Faktor presipitasi jarang
ditemukan namun serangan dapat dihubungkan dengan stress dan perubahan
hormonal. Biasanya jinak, sering bilateral, reaksi inflamasi terjadi pada usia muda
yang berpotensi mengalami rekurensi. Gejala klinis yang muncul berupa rasa
tidak nyaman pada mata, disertai berbagai derajat inflamasi dan fotofobia.
Terdapat pelebaran pembuluh darah baik difus maupun segmental. Wanita lebih
banyak terkena daripada pria dan sering mengenai usia dekade 40-an.
2. Episkleritis Nodular
Lebih menyakitkan daripada episkleritis simple dan berlangsung lebih lama.
Peradangan biasanya terbatas pada satu bagian mata saja dan mungkin terdapat
suatu daerah penonjolan atau benjolan pada permukaan mata. Ini sering berkaitan
dengan kondisi kesehatan, seperti rheumatoid arthritis, colitis dan lupus. (30%
kasus, 5% berhubungan dengan artritis rematoid, 7% berhubungan dengan herpes
zoster ophthalmicus atau herpes simplex dan 3% dengan gout atau atopy).
Nodular episcleritis (20%) terlokalisasi pada satu area, membentuk nodul dengan
injeksi sekelilingnya.
D. ETIOLOGI
Radang pada episklera dan sklera mungkin disebabkan reaksi hipersensivitas terhadap penyakit sistemik, dapat juga karena adanya kelainan
jaringan ikat ataupun dapat terjadi secara spontan dan idiopatik.Pada banyak kasus, kelainan-kelainan skelritis murni diperantarai oleh proses
imunologi yakni terjadi reaksi tipe IV (hipersensitifitas tipe lambat) dan tipe III
(kompleks imun) dan disertai penyakit sistemik. Pada beberapa kasus, mungkin terjadi
invasi mikroba langsung, dan pada sejumlah kasus proses imunologisnya tampaknya
dicetuskan oleh proses-proses lokal, misalnya bedah katarak.
E. PATOFISIOLOGI
Mekanisme terjadinya episkleritis diduga disebabkan oleh proses autoimun. Proses
peradangan dapat disebabkan oleh kompleks imun yang mengakibatkan kerusakan
vaskular (hipersensitivitas tipe III) ataupun respon granulomatosa kronik
(hipersensitivitas tipe IV). Jaringan imun yang terbentuk dapat mengakibatkan kerusakan
sklera, yaitu deposisi kompleks imun di kapiler episklera, sklera dan venul post kapiler
(peradangan mikroangiopati). Tidak seperti episkleritis, peradangan pada skleritis dapat
menyebar pada bagian anterior atau bagian posterior mata.
Degradasi enzim dari serat kolagen dan invasi dari sel-sel radang meliputi sel T dan
makrofag pada sklera memegang peranan penting terjadinya skleritis. Inflamasi dari
sklera bisa berkembang menjadi iskemia dan nekrosis yang akan menyebabkan penipisan
pada sklera dan perforasi dari bola mata. Inflamasi yang mempengaruhi sklera
berhubungan erat dengan penyakit imun sistemik dan penyakit kolagen pada vaskular.
Disregulasi pada penyakit auto imun secara umum merupakan faktor predisposisi dari
skleritis. Proses inflamasi bisa disebabkan oleh kompleks imun yang berhubungan
dengan kerusakan vaskular (reaksi hipersensitivitas tipe III dan respon kronik
granulomatous (reaksi hipersensitivitas tipe IV). Interaksi tersebut adalah bagian dari
sistem imun aktif dimana dapat menyebabkan kerusakan sklera akibat deposisi kompleks
imun pada pembuluh di episklera dan sklera yang menyebabkan perforasi kapiler dan
venula post kapiler dan respon imun sel perantara.
F. DIAGNOSIS
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan didukung oleh
berbagai pemeriksaan penunjang.
1. Skleritis
a. Anamnesis
Pada saat anamnesis perlu ditanyakan keluhan utama pasien, perjalanan
penyakit, riwayat penyakit dahulu termasuk riwayat infeksi, trauma ataupun
riwayat pembedahan juga perlu pemeriksaan dari semua sistem pada tubuh.
Gejala-gejala dapat meliputi rasa nyeri, mata berair, fotofobia, spasme, dan
penurunan ketajaman penglihatan. Tanda primernya adalah mata merah. Nyeri
adalah gejala yang paling sering dan merupakan indikator terjadinya inflamasi
yang aktif. Nyeri timbul dari stimulasi langsung dan peregangan ujung saraf
akibat adanya inflamasi. Karakteristik nyeri pada skleritis yaitu nyeri terasa berat,
nyeri tajam menyebar ke dahi, alis, rahang dan sinus, pasien terbangun sepanjang
malam, kambuh akibat sentuhan. Nyeri dapat hilang sementara dengan
penggunaan obat analgetik. Mata berair atau fotofobia pada skleritis tanpa disertai
sekret mukopurulen. Penurunan ketajaman penglihatan biasa disebabkan oleh
perluasan dari skleritis ke struktur yang berdekatan yaitu dapat berkembang
menjadi keratitis, uveitis, glaucoma, katarak dan fundus yang abnormal.
Riwayat penyakit dahulu dan riwayat pada mata menjelaskan adanya
penyakit sistemik, trauma, obat-obatan atau prosedur pembedahan dapat
menyebabkan skleritis seperti :
Penyakit vaskular atau penyakit jaringan ikat
Penyakit infeksi
Penyakit miscellanous ( atopi,gout, trauma kimia, rosasea)
Trauma tumpul atau trauma tajam pada mata
Obat-obatan seperti pamidronate, alendronate, risedronate, zoledronic acid
dan ibandronate.
Post pembedahan pada mata
Riwayat penyakit dahulu seperti ulserasi gaster, diabetes, penyaki hati,
penyakit ginjal, hipertensi dimana mempengaruhi pengobatan selanjutnya.
Pengobatan yang sudah didapat dan pengobatan yang sedang berlangsung dan
responnya terhadap pengobatan.
b. Pemeriksaan Fisik
- Daylight
Sklera bisa terlihat merah kebiruan atau keunguan yang difus.
Setelah serangan yang berat dari inflamasi sklera, daerah penipisan sklera
dan translusen juga dapat muncul dan juga terlihat uvea yang gelap. Area
hitam, abu-abu dan coklat yang dikelilingi oleh inflamasi yang aktif yang
mengindikasikan adanya proses nekrotik. Jika jaringan nekrosis berlanjut,
area pada sklera bisa menjadi avaskular yang menghasilkan sekuester
putih di tengah yang dikelilingi lingkaran coklat kehitaman. Proses
pengelupasan bisa diganti secara bertahap dengan jaringan granulasi
meninggalkan uvea yang kosong atau lapisan tipis dari konjungtiva.
- Pemeriksaan Slit Lamp
Untuk menentukan adanya keterlibatan secara menyeluruh atau
segmental. Injeksi yang meluas merupakan ciri khas dari diffuse anterior
scleritis. Pemeriksaan kelopak mata untuk kemungkinan blefaritis atau
konjungtivitis dapat dilakukan. Pada skleritis, terjadi bendungan yang
masif di jaringan dalam episklera dengan beberapa bendungan pada
jaringan superfisial episklera. Pada tepi anterior dan posterior cahaya slit
lamp bergeser ke depan karena episklera dan sklera edema. Pada skleritis
dengan pemakaian fenilefrin hanya terlihat jaringan superfisial episklera
yang pucat tanpa efek yang signifikan pada jaringan dalam episklera.
- Pemeriksaan Red-Free Light
Pemeriksaan ini dapat membantu menegakkan area yang mempunyai
kongesti vaskular yang maksimum, area dengan tampilan vaskular yang
baru dan juga area yang avaskular total. Selain itu perlu pemeriksaan
secara umum pada mata meliputi otot ekstra okular, kornea, uvea, lensa,
tekanan intraokular dan fundus.
- Pemeriksaan Visus
Visus normal atau menurun. Gangguan visus lebih jelas pada
skleritis posterior.
- Pada skleritis posterior dapat ditemukan tahanan gerakan mata, sensitivitas
pada palpasi dan proptosis. Pada pemeriksaan funduskopi ditemukan
papiledema, lipatan koroid dan perdarahan atau ablation retina.
c. Pemeriksaan Penunjang
Dilakukan untuk mencari etiologi dari skleritis. Pemeriksaan laboratorium
dan radiologi yang dapat dilakukan yaitu :
- Pemeriksaan darah lengkap dan laju endap darah
- Factor rheumatoid dalam serum
- Kadar asam urat serum
- Antibodi antinuclear serum (ANA)
- Serum antineutrophil cytoplasmic antibodies (ANCA)
- B-Scan Ultrasonography dapat membantu mendeteksi adanya skleritis
posterior.
2. Episkleritis
a. Anamnesis
Pasien mengeluhkan rasa tidak nyaman (mild to moderate) yang
berlangsung akut, seringkali bersifat unilateral, walaupun ada yang melaporkan
tidak nyeri, kemerahan, nyeri seperti ditusuk-tusuk, nyeri saat ditekan, dan
lakrimasi. Pada tipe noduler gejala lebih hebat dan disertai perasaan ada yang
mengganjal. Tanda objektif dapat ditemukan kelopak mata bengkak, konjungtiva
bulbi kemosis disertai pelebaran pembuluh darah episklera dan konjungtiva.
b. Pemeriksaan Fisik
Ditandai dengan adanya hiperemia lokal sehingga bola mata tampak
berwarna merah muda atau keunguan. Juga terdapat infiltrasi, kongesti, dan edem
episklera, konjungtiva diatasnya dan kapsula tenon di bawahnya.
- Episkleritis Sederhana
Gambaran yang paling sering ditandai dengan kemerahan sektoral dan gambaran
yang lebih jarang adalah kemerahan difus. Jenis ini biasanya sembuh spontan
dalam 1-2 minggu.
- Episkleritis Noduler
Ditandai dengan adanya kemerahan yang terlokalisir, dengan nodul kongestif dan
biasanya sembuh dalam waktu yang lebih lama. Pemeriksaan dengan Slit Lamp
yang tidak menunjukkan peningkatan. Permukaan sklera anterior
mengindikasikan bahwa sklera tidak membengkak. Pada kasus rekuren, lamela
sklera superfisial dapat membentuk garis yang paralel sehinggga menyebabkan
sklera tampak lebih translusen. Gambaran seperti ini jangan disalah diagnosa
dengan penipisan sklera.
Pada kasus yang jarang pemeriksaan pada kornea menunjukkan adanya
dellen formation yaitu adanya infiltrat kornea bagian perifer. Pemeriksaan fisik
lainnya adalah adanya uveitis bagian anterior yang didapatkan pada 10 %
penderita. Pemeriksaan visus pada penderita episkleritis tidak menunjukkan
penurunan.
c. Pemeriksaan Penunjang
Pada kebanyakan pasien dengan episkleritis yang “self limited”
pemeriksaan laboratorium tidak diperlukan. Pada beberapa pasien dengan
episkleritis noduler atau pada kasus yang berat, rekuren, dan episkleritis sederhana
yang persisten atau rekuren, diperlukan hitung jenis sel darah (diff count),
kecepatan sedimentasi eritrosit (ESR), pemeriksaan asam urat serum, foto thoraks,
pemeriksaan antibodi antinuklea, rheumatoid factor, tes VDRL (Venereal Disease
Research Laborator)) dan tes FTA-ABS (Fluorescent Treponemal Antibody
Absorption).
G. DIAGNOSIS BANDING
1. Skleritis
- Konjunctivitis alergika
- Episkleritis
- Gout
- Herpes zoster
- Rosasea okular
- Karsinoma sel skuamosa pada konjunctiva
- Karsinoma sel skuamosa pada palpebra
- Uveitis anterior nongranulomatosa
2. Episkleritis
- Konjungtivitis
Disingkirkan dengan sifat episkleritis yang lokal dan tidak adanya keterlibatan
konjungtiva palpebra. Pada konjungtivitis ditandai dengan adanya sekret dan tampak
adanya folikel atau papil pada konjungtiva tarsal inferior.
- Skleritis
Dalam hal ini misalnya noduler episklerits dengan sklerits noduler. Untuk mendeteksi
keterlibatan sklera dalam dan membedakannya dengan episkleritis, konjungtivitis,
Konjungtivitis
dan injeksi siliar, pemeriksaan dilakukan di bawah sinar matahari (jangan
pencahayaan artifisial) disertai penetesan epinefrin 1:1000 atau fenilefrin 10% yang
menimbulkan konstriksi pleksus vaskular episklera superfisial dan konjungtiva.
- Iritis
Pada iritis ditemukan adanya sel dan ”flare” pada kamera okuli anterior.
- Keratokonjungtivitis limbic superior.
H. PENATALAKSANAAN
1. Skleritis
Terapi skleritis disesuaikan dengan penyebabnya. Terapi awal skleritis adalah
obat anti inflamasi non-steroid sistemik. Obat pilihan adalah indometasin 100 mg
perhari atau ibuprofen 300 mg perhari. Pada sebagian besar kasus, nyeri cepat mereda
diikuti oleh pengurangan peradangan. Apabila tidak timbul respon dalam 1-2 minggu
atau segera setelah tampak penyumbatan vaskular harus segera dimulai terapi steroid
sistemik dosis tinggi. Steroid ini biasanya diberikan peroral yaitu prednison 80 mg
perhari yang ditirunkan dengan cepat dalam 2 minggu sampai dosis pemeliharaan
sekitar 10 mg perhari. Kadangkala, penyakit yang berat mengharuskan terapi
intravena berdenyut dengan metil prednisolon 1 g setiap minggu.
Obat-obat imunosupresif lain juga dapat digunakan. Siklofosfamid sangat
bermanfaat apabila terdapat banyak kompleks imun dalam darah. Tetapi steroid
topikal saja tidak bermanfaat tetapi dapat dapat menjadi terapi tambahan untuk terapi
sistemik. Apabila dapat diidentifikasi adanya infeksi, harus diberikan terapi spesifik.
Peran terapi steroid sistemik kemudian akan ditentukan oleh sifat proses penyakitnya,
Uveitis
yakni apakah penyakitnya merupakan suatu respon hipersensitif atau efek dari invasi
langsung mikroba.
Tindakan bedah jarang dilakukan kecuali untuk memperbaiki perforasi sklera
atau kornea. Tindakan ini kemungkinan besar diperlukan apabila terjadi kerusakan
hebat akibat invasi langsung mikroba, atau pada granulomatosis Wegener atau
poliarteritis nodosa yang disertai penyulit perforasi kornea. Penipisan sklera pada
skleritis yang semata-mata akibat peradangan jarang menimbulkan perforasi kecuali
apabila juga terdapat glaukoma atau terjadi trauma langsung terutama pada usaha
mengambil sediaan biopsi. Tandur sklera pernah digunakan sebagai tindakan
profilaktik dalam terapi skleritis, tetapi tandur semacam itu tidak jarang mencair
kecuali apabila juga disertai pemberian kemoterapi.
Skleromalasia perforans tidak terpengaruh oleh terapi kecuali apabila terapi
diberikan pada stadium paling dini penyakit. Karena pada stadium ini jarang timbul
gejala, sebagian besar kasus tidak diobati sampai timbul penyulit.
2. Episkleritis
Episkleritis adalah penyakit self-limiting menyebabkan kerusakan yang sedikit
permanen atau sembuh total pada mata. Biasanya dalam waktu 4-5 minggu penyakit
ini akan menghilang dengan sendirinya. Oleh karena itu, sebagian besar pasien
dengan episkleritis tidak akan memerlukan pengobatan apapun. Namun, beberapa
pasien dengan gejala ringan menuntut pengobatan.
- Terapi pada mata
Episkleritis simple sering membutuhkan pengobatan. Air mata buatan
berguna untuk pasien dengan gejala ringan sampai sedang. Selain itu dapat juga
diberikan vasokonstriktor. Pasien dengan gejala lebih parah atau berkepanjangan
mungkin memerlukan air mata buatan (misalnya hypromellose) dan atau
kortikosteroid topikal.
Episkleritis nodular lebih lama sembuh dan mungkin memerlukan obat
tetes kortikosteroid lokal atau agen anti-inflamasi. Topikal oftalmik prednisolon
0,5%, deksametason 0,1%, atau 0,1% betametason harian dapat digunakan.
Steroid Topikal mungkin cukup berguna, akan tetapi penggunaannya dapat
menyebabkan rekurensi. Oleh karena itu dianjurkan untuk memberikannya dalam
periode waktu yang pendek. Terapi topikal dengan Deksametason 0,1 %
meredakan peradangan dalam 3-4 hari. Kortikosteroid lebih efektif untuk
episkleritis sederhana daripada daripada episkleritis noduler.
- Terapi sistemik
Jika episkleritis nodular yang tidak responsif terhadap terapi topikal,
sistemik agen antiinflamasi mungkin berguna seperti Oral Non Steroid Anti-
Inflammatory Drugs (NSAIDs). Obat yang termasuk golongan ini adalah
Flurbiprofen 300 mg sehari, yang diturunkan menjadi 150 mg sehari setelah gejala
terkontrol, atau Indometasin 25mg tiga kali sehari. Obat ini mungkin bermanfaat
untuk kedua bentuk episkleritis, terutama pada kasus rekuren. Pemberian aspirin
325 sampai 650 mg per oral 3-4 kali sehari disertai dengan makanan atau antasid.
Untuk aktivitas sehari-hari, sun glasses berguna untuk pasien dengan
sensitivitas terhadap cahaya. Episkleritis memiliki hubungan yang paling signifikan
dengan hiperurisemia (Gout), oleh karena itu Gout harus diterapi secara spesifik.
Pasien yang diberi pengobatan dengan air mata artifisial tidak perlu diperiksa kembali
episkleritisnya dalam beberapa minggu, kecuali bila gejala tidak membaik atau malah
makin memburuk. Pasien yang diberi steroid topikal harus diperiksa setiap
mingggunya (termasuk pemeriksaan tekanan intraokular) sampai gejala-gejalanya
hilang. Kemudian frekuensi pemberian steroid topikal ditappering off. Kepada pasien
harus dijelaskan bahwa episkleritis dapat berulang pada mata yang sama atau pada
mata sebelahnya.
I. KOMPLIKASI
Penyulit skleritis adalah keratitis, uveitis, glaukoma, granuloma subretina, ablasio
retina eksudatif, proptosis, katarak, dan hipermetropia. Keratitis bermanifestasi sebagai
pembentukan alur perifer, vaskularisasi perifer, atau vaskularisasi dalam dengan atau
tanpa pengaruh kornea. Uveitis adalah tanda buruk karena sering tidak berespon terhadap
terapi. Kelainan ini sering disertai oleh penurunan penglihatan akibat edema makula.
Dapat terjadi glaukoma sudut terbuka dan tertutup. Juga dapat terjadi glaukoma akibat
steroid. Skleritis biasanya disertai dengan peradangan di daerah sekitarnya seperti uveitis
atau keratitis sklerotikan.
Pada skleritis akibat terjadinya nekrosis sklera atau skleromalasia maka dapat
terjadi perforasi pada sklera. Penyulit pada kornea dapat dalam bentuk keratitis
sklerotikan, dimana terjadi kekeruhan kornea akibat peradangan sklera terdekat. Bentuk
keratitis sklerotikan adalah segitiga yang terletak dekat skleritis yang sedang meradang.
Hal ini terjadi akibat gangguan susunan serat kolagen stroma. Pada keadaan ini tidak
pernah terjadi neovaskularisasi ke dalam stroma kornea. Proses penyembuhan kornea
yaitu berupa menjadi jernihnya kornea yang dimulai dari bagian sentral. Sering bagian
sentral kornea tidak terlihat pada keratitis sklerotikan.
Sebuah komplikasi episkleritis yang mungkin terjadi adalah iritis. Sekitar satu dari
10 orang dengan episkleritis akan berkembang ke arah iritis ringan. Selain iritis, bila
peradangan lebih dalam pada sklera dapat menimbulkan skleritis.
J. PROGNOSIS
Prognosis skleritis tergantung pada penyakit penyebabnya. Skleritis pada
spondiloartropati atau pada SLE biasanya relatif jinak dan sembuh sendiri dimana
termasuk tipe skleritis difus atau skleritis nodular tanpa komplikasi pada mata. Skleritis
pada penyakit Wagener adalah penyakit berat yang dapat menyebabkan buta permanen
dimana termasuk tipe skleritis nekrotik dengan komplikasi pada mata. Skleritis pada
rematoid artritis atau polikondritis adalah tipe skleritis difus, nodular atau nekrotik
dengan atau tanpa komplikasi pada mata. Skleritis pada penyakit sistemik selalu lebih
jinak daripada skleritis dengan penyakit infeksi atau autoimun. Pada kasus skleritis
idiopatik dapat ringan, durasi yang pendek, dan lebih respon terhadap tetes mata steroid.
Skleritis tipe nekrotik merupakan tipe yang paling destruktif dan skleritis dengan
penipisan sklera yang luas atau yang telah mengalami perforasi mempunyai prognosis
yang lebih buruk daripada tipe skleritis yang lain.
Prognosis episkleritis umunya baik, dapat sembuh sempurna tetapi dapat bersifat
residif yang dapat menyerang tempat yang sama ataupun berbeda-beda dengan lama sakit
umunya 4-5 minggu. Umumnya kelainan ini sembuh sendiri dalam 1-2 minggu. Namun
kekambuhan dapat terjadi selama bertahun-tahun. Pada kebanyakan kasus perjalanan
penyakit dipersingkat dengan pengobatan yang baik.
BAB III
KESIMPULAN
Skleritis didefinisikan sebagai gangguan granulomatosa kronik yang ditandai oleh
destruksi kolagen, sebukan sel dan kelainan vaskular yang mengisyaratkan adanya vaskulitis.
Skleritis disebabkan oleh berbagai macam penyakit baik penyakit autoimun ataupun penyakit
sistemik, infeksi, trauma dan idiopatik. Skleritis dapat diklasifikasikan menjadi skleritis anterior
dan skleritis posterior. Gejala-gejala pada skleritis dapat meliputi rasa nyeri, mata berair,
fotofobia, spasme, dan penurunan ketajaman penglihatan. Terapi skleritis meliputi terapi
medikamentosa dan pembedahan. Komplikasi berupa keratitis, uveitis, glaukoma, granuloma
subretina, ablasio retina eksudatif, proptosis, katarak, dan hipermetropia. Prognosis skleritis
tergantung pada penyakit penyebabnya.
Episkleritis adalah suatu peradangan pada episklera. Sklera terdiri dari serat-serat
jaringan ikat yang membentuk dinding putih mata yang kuat. Sklera dibungkus oleh episklera
yang merupakan jaringan tipis yang banyak mengandung pembuluh darah untuk memberi makan
sklera. Di bagian depan mata, episklera terbungkus oleh konjungtiva. Kelainan ini idiopatik pada
sebagian besar kasus, namun dalam kasus tertentu mungkin ada hubungan dengan beberapa
penyakit sistemik yang mendasari seperti rheumatoid arthritis, poliarteritis nodosa, lupus
eritematosus sistemik, penyakit radang usus, sarkoidosis, granulomatosis Wegener, asam urat,
herpes zoster atau sifilis. Prognosis akhirnya baik karena biasanya akan sembuh dengan
sendirinya dalam 1-2 minggu, dan tidak akan mempengaruhi visus
DAFTAR PUSTAKA
Bolumleri. Sklera. http://www.eyestar.com.tr/htm/sklera.htm [diakses 3 Juni 2014]
Gaeta, TJ. Scleritis. http://www.emedicine.com [diakses 1 Juni 2014]
Galor A, Thorne J. Scleritis and Peripheral Ulcerative Keratitis.http://www.pubmed.com [diakses 2 Juni 2014]
Ilyas, S. Ilmu Penyakit Mata Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2008.118-20
Ilyas, S. Ikhtisar Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2009.89-92
Maza, MS. Scleritis. http://www.emedicine. com [diakses 2 Juni 2014]
Roy Sr H , episkleritis, http://emedicine.medscape.com [diakses 3 Juni 2014]
Subramanian M. Eye. http://www.medlineplus.com [diakses 3 Juni 2014]
Watson PG, Hayreh SS. Scleritis dan episkleritis. Br J Ophthalmol. 1976; 60:163-91 [diakses 1
Juni 2014]