NIA PURNAMASARI-FUF.pdf

79
MAKAM KERAMAT DAN PERUBAHAN SOSIAL (Studi Kasus di Masyarakat Sekitar Makam Dalem Cikundul, Majalaya, Cianjur) SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Sosiologi Agama (S. Sos) Oleh: Nia Purnamasari 104032201031 PROGRAM STUDI SOSIOLOGI AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H/2009 M

Transcript of NIA PURNAMASARI-FUF.pdf

Page 1: NIA PURNAMASARI-FUF.pdf

MAKAM KERAMAT DAN PERUBAHAN SOSIAL (Studi Kasus di Masyarakat Sekitar Makam Dalem Cikundul, Majalaya, Cianjur)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Untuk Mencapai Gelar

Sarjana Sosiologi Agama (S. Sos)

Oleh:

Nia Purnamasari

104032201031

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1430 H/2009 M

Page 2: NIA PURNAMASARI-FUF.pdf

MAKAM KERAMAT DAN PERUBAHAN SOSIAL

(Studi Kasus di Masyarakat Sekitar Makam Dalem Cikundul, Majalaya, Cianjur)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Untuk Mencapai Gelar

Sarjana Sosiologi Agama (S. Sos)

Oleh:

Nia Purnamasari 104032201031

Dibawah Bimbingan

Dra. Jouharotul Jamilah, M.Si

NIP. 150 282 401

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1430 H/2009 M

Page 3: NIA PURNAMASARI-FUF.pdf

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang belaku di UIN Syrarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 24 Februari 2009

Nia Purnamasari

Page 4: NIA PURNAMASARI-FUF.pdf

ABSTRAKSI

Nia Purnamasari

Makam Keramat dan Perubahan Sosial

Yang dimaksud makam keramat di sini adalah makam Rd. Aria Wira Tanu

atau lebih di kenal dengan Makam Dalem Cikundul, yang berada di kampung Majalaya, Cianjur. Beliau merupakan pendiri utama kabupaten Cianjur, dan juga

bupati pertama Cianjur. Pengeramatan terhadapnya sudah terjadi sejak dulu. Kekeramatan tersebut berangkat dari pemahaman teologis yang berawal dari

ajaran tasawuf yang menggambarkan tentang sosok yang memiliki karomah.

Sedangkan secara sosiologis, seseorang bisa dikeramatkan karena ia memiliki

kharisma di masyarakat, kharisma itu bisa karena ilmunya ataupun

kepribadiannya. Pengeramatan terhadap wali masih berlangsung hingga saat ini.

Banyak para peziarah yang datang dan kedatangannya membawa perubahan.

Perubahan-perubahan yang terjadi berdampak kepada masyarakat sekitar

makam. Masyarakat jadi lebih kreatif untuk membuka lahan usaha, seperti

berdagang. Bahkan banyak yang menggantungkan hidup dari keberadaan makam,

seperti: tukang parkir, penjaga tol, dan pengemis. Kharisma yang dimiliki Dalem

Cikundul tidak akan pernah luntur sampai kapan pun. Seperti yang diungkapkan

oleh Weber, bahwa ada tiga wewenang yang akan selalu berputar yaitu:

Wewenang kharimatik, berganti wewenang tradisional, kemudian wewenang

rasional, beralih lagi menjadi wewenang kharismatik, begitulah seterusnya. Subyek yang diteliti adalah masyarakat sekitar Makam Dalem Cikundul,

dimana mereka merupakan orang-orang yang hampir setiap hari ada di sana. Penelitian ini ingin mengetahui sejauh mana makam keramat Dalem

Cikundul mampu mengubah kehidupan sosial ekonomi keagamaan masyarakat sekitar makam. Melalui observasi dan wawancara, diketahui bahwa perubahan-

perubahan yang terjadi berawal dari pengeramatan terhadap Makam Dalem Cikundul. Perubahan yang paling menonjol dalam kehidupan masyarakat adalah

setelah reformasi. Dimana setelah reformasi semua berubah, mulai dari ekonomi,

sosial, bahkan kepengurusan makam pun ikut berubah. Tapi, dalam hal kegamaan

tidak terlalu nampak perubahannya. Karena, pada umumnya masyarakat

mengakui dan mengimani akan adanya yang sakral (ruh) dan masih melaksanakan

ritual keagamaan, seperti: Maulidan, Rajaban, dan Muharraman.

Page 5: NIA PURNAMASARI-FUF.pdf

KATA PENGANTAR

��� ا ا���� ا�����Alhamdulilah, segala puji dan syukur hanya pantas kita panjatkan

kehadirat Ilahi Robbi, Sang pemilik Jagat Raya ini. Atas izin dan Ridho-Nya,

akhirnya penulisan skripsi ini dapat selesai dengan waktu yang telah ditentukan.

Sholawat beserta salam kita haturkan kepada manusia paling sempurna,

pemimpin umat yang telah menuntun kita menuju jalan kebenaran, baginda besar

Muhammad SAW, tidak lupa pula untuk keluarga dan sahabatnya. Penulis

menyadari tidak ada yang sempurna di dunia ini, begitupun dalam penulisan

skripsi ini banyak kekurangannya. Oleh karena itu, tegur sapa dan keritik yang

membangun sangat penulis harapkan demi perbaikan-perbaikan di masa depan.

Penulisan skripsi ini tidak mungkin cepat selesai tanpa bantuan dari

berbagai pihak. Maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima

kasih kepada:

1. Drs. M. Amin Nurdin, MA. Selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Dra. Ida Rosyidah, MA. Selaku Ketua Jurusan Sosiologi Agama Fakultas

Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3. Dra. Jouharotul Jamilah, Msi. Selaku Sekretaris jurusan Sosiologi Agama

Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan juga

dosen pembimbing yang dengan sabar selalu membimbing dan mengarahkan

penulis dalam menyelesaikan skripsi ini

4. Bapak Iput yang telah bersedia untuk membantu dan membukakan cakrawala

berfikir kepada penulis. Dan kepada bapak Drs. Makmun Ikhsan, Apt, yang

telah meminjamkan buku-bukunya kepada penulis

Page 6: NIA PURNAMASARI-FUF.pdf

5. para petugas perpustakaan Utama dan perpustakaan fakultas ushuluddin dan

Filsafat terima kasih atas pelayanannya

6. Kepala desa beserta jajarannya, terima kasih atas informasi dan kesediaannya

untuk membantu dan memudahkan penulis

7. Untuk ayahanda tercinta bapak M. Saepudin dan Ibunda tersayang C. Aisah,

yang tak pernah lelah mendorong, menguatkan dan memberikan kasih

sayangnya. Cucuran keringat dan do’a tulus tidak akan pernah sanggup ananda

membalasnya.

8. Untuk kakak-kakakku, kang Dasep, teh Dede, teh Lilis, teh Neni dan teh Ai

yang selalu memberikan support. Makasih atas perhatian dan kasih sayangnya

yang tidak pernah putus, juga kakak iparku (a’ Enjon, kk, a’ Diki) dan tidak

lupa untuk keponakan-keponakanku Cindy, Daffa, Najwaa, Rafli dan Alifa,

yang selalu menantikan kehadiranku

9. Untuk saudara-saudaraku Umi, Ita, Uthi, Uus, dan Zumi, yang selalu

mewarnai kehidupanku, tawa yang indah sewaktu kita bersama, semoga

silaturahmi kita tidak akan pernah putus walau jarak memisahkan kita. Umi

makasih ya atas bantuannya selama ini.

10. Untuk saudara-saudaraku di kostan PGRI, teh Ufah dan teh Nei makasih ya

atas motivasinya, juga buat Neng dan Beti, ayo Semanga!!! jangan males….

11. Untuk sahabat-sahabatku, teman seperjuangan, Aya, Nenk, Opik, Amir,

Syiqqil, Wahid, Budi, Hari, Asep, Njah, Ina, Mamih dan teman-teman

Sosiologi Agama angkatan 2004. Semoga kita bisa sukses bareng-bareng ya....

Ciputat, 24 Februari 2009

Penulis

Page 7: NIA PURNAMASARI-FUF.pdf

DAFTAR ISI

ABSTRAK....................................................................................................... i

KATA PENGANTAR...................................................................................... ii

DAFTAR ISI.................................................................................................... iv

DAFTAR TABEL............................................................................................ vi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .......................................... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................... 7

D. Metodologi Penelitian ................................................................. 7

E. Sistematika Penulisan.................................................................. 10

BAB II KAJIAN TEORI

A. Makam Keramat ......................................................................... 12

1. Pengertian Makam Keramat .................................................. 12

2. Simbol dan Sakralitas............................................................ 14

B. Perubahan Sosial......................................................................... 18

1. Pengertian Perubahan Sosial.................................................. 18

2. Faktor-faktor Perubahan Sosial ............................................. 20

3. Pola-pola Perubahan Sosial ................................................... 22

C. Agama dan Perubahan Sosial ...................................................... 26

1. Peranan Agama dalam Perubahan Sosial ............................... 26

2. Agama dalam Proses Modernisasi ......................................... 28

Page 8: NIA PURNAMASARI-FUF.pdf

BAB III GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

A. Gambaran Umum Kampung Majalaya ........................................ 31

1. Geografi dan Demografi kampung Majalaya.......................... 31

2. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Majalaya ...................... 33

3. Kehidupan Keagamaan Masyarakat Majalaya ........................ 34

B. Makam Dalem Cikundul ............................................................. 35

1. Sejarah dan Perkembangan Makam Dalem Cikundul.............. 35

2. Sakralitas Makam Dalem Cikundul ........................................ 43

BAB IV MAKAM DALEM CIKUNDUL DALAM MENGUBAH

KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI KEAGAMAAN

MASYARAKAT

A. Perubahan Kehidupan Sosial....................................................... 45

1. Perubahan Sosial yang terjadi sebelum tahun 1990................ 46

2. Perubahan Sosial yang terjadi setelah tahun 1990 .................. 51

B. Perubahan Kehidupan ................................................................. 53

1. Komersialisasi Makam .......................................................... 53

2. Tumbuh dan Berkembangnya Peziarah.................................. 57

C. Perubahan Kehidupan Keagamaan .............................................. 59

1. Kepercayaan Kepada yang Sakral .......................................... 59

2. Ritual Keagamaan ................................................................. 61

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan................................................................................. 64

B. Saran .......................................................................................... 65

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 66

LAMPIRAN

Page 9: NIA PURNAMASARI-FUF.pdf

DAFTAR TABEL

Tabel I. Perubahan jumlah Pengunjung dari tahun ke tahun........................... 47

Tabel II. Data Instansi yang pernah datang...................................................... 49

Tabel III. Data Negara yang pernah datang ...................................................... 50

Page 10: NIA PURNAMASARI-FUF.pdf

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam masyarakat modern dewasa ini, dimana kemajuan teknologi

yang terus berkembang, arus globalisasi yang tidak terbendung. Ada satu

fenomena kehidupan yang cukup menarik untuk dicermati, yaitu

membludaknya jumlah peziarah ke makam, baik makam wali maupun

makam-makam yang di anggap keramat 1. Salah satu makam yang di anggap

keramat oleh masyarakat sekitar adalah makam Cikundul.

Makam bisa disebut keramat jika penghuni makam tersebut adalah

orang yang memiliki pengaruh di masyarakat. Pengaruh tersebut bisa

berbentuk kharisma. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Weber bahwa

kharisma adalah suatu kelebihan tertentu yang terdapat dalam karakter dan

kepribadian seseorang 2. Kharisma akan diterapkan pada suatu mutu tertentu

yang terdapat pada kepribadian seseorang, yang karenanya dia terpisah dari

orang biasa dan diperlakukan sebagai orang yang dianugerahi kekuasaan atau

mutu yang bersifat adiduniawi, luar biasa, atau sekurang-kurangnya

merupakan kekecualian dalam hal-hal tertentu 3.

Seseorang yang memiliki kharisma biasanya diperlakukan secara

istimewa dalam masyarakat karena dianggap sebagai orang yang dianugerahi

1 Suci dan bertuah yang dapat memberikan efek magis dan psikiologis kepada pihak lain.

2 Doyle Paul Jhonson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jil. I, (Jakarta: PT. Gramedia,

1986), h. 229 3 K. J. Veeger, Realitas Sosial, (Jakarta: PT. Gramedia, 1993), h. 182

Page 11: NIA PURNAMASARI-FUF.pdf

kekuasaan, sehingga para pengikut yang setia memiliki komitmen terhadap

normatif atau moral yang digambarkannya atau dicontohkannya. Menurut

Weber, otoritas kharisma biasanya ada dalam tokoh-tokoh agama, karena

mereka condong dihormati dan ditiru. Ketika otoritas kharisma ada pada

tokoh-tokoh agama maka ada dua kemungkinan yang akan terjadi.

kemungkinan pertama, kharisma tersebut bisa berlangsung lama dan bisa juga

hanya bersifat sementara saja..

Kepercayaan masyarakat pada makam keramat diakui atau tidak

berangkat dari sebuah pemahaman teologis yang berawal dari ajaran tasawuf

yang menggambarkan tentang sosok yang memiliki karomah tersebut. Yang

mana ada tiga hal yang menonjol pada diri mereka, yakni karamah, barakah,

dan syafaat. Ketiga hal itu melekat dan menjadikannya sebagai tokoh keramat,

baik ketika hidup maupun setelah meninggal, sehingga untuk mencari tiga hal

itulah makamnya menjadi pusat ziarah.

Asal muasal fenomena ziarah kubur sebenarnya bukan berasal dari

Islam, melainkan tradisi Yahudi dan Nasrani. Namun, tidak dapat di pungkiri

bahwa dalam Islam pun ada tradisi ziarah yang telah membudaya. Ziarah

kubur diperbolehkan jika untuk mengingat kematian ataupun mengambil

I’tibar (hikmah), yang tidak diperbolehkan adalah meminta-minta pada

makam, mengucapkan sumpah dengan nama mereka, mendirikan bangunan di

atas kuburan mereka, dan sebagainya.

Mayoritas rakyat muslim melakukan ziarah kubur di hampir semua

negeri mereka, di Afrika Utara, Mesir, Sudan, Irak, Iran, Afganistan, India,

Pakistan, Bangladesh, Turki, Malaysia bahkan Indonesia.

Page 12: NIA PURNAMASARI-FUF.pdf

Di Indonesia, pemujaan terhadap wali dalam arti ziarah ke makam wali

merupakan ritual yang sangat lazim. Makam wali yang sering dikunjungi oleh

peziarah adalah makam wali songo yang ada di Jawa, tidak terkecuali makam-

makam lain seperti makam Cikundul.

Salah satu permasalahan menarik yang muncul dalam fenomena ziarah

pada masyarakat adalah permasalahan sosial ekonomi. Dimana makam, jika

dilihat hanyalah sebuah pekuburan biasa tanpa makna. Tapi lain halnya jika

yang mendiami makam tersebut adalah seseorang yang memiliki kharisma dan

pengaruh di masyarakat.

Keberadaan makam Cikundul sebagai objek para peziarah, secara tidak

langsung telah memberikan banyak perubahan di segala bidang kehidupan.

Tidak terkecuali pada bidang sosial dan ekonomi. Yang ditandai dengan

banyaknya peminta-minta, setiap orang beramai-ramai ingin menjadi kuncen,

banyak orang yang berjualan di sekitar makam, tersedianya lapangan parkir,

dan lain-lain.

Perubahan-perubahan yang terjadi membawa dampak positif dan

negatif. Dampak positif yang bisa di ambil adalah sedikit banyak bisa

mengurangi jumlah pengangguran, membuka lahan usaha walaupun cuma

berdagang, sedangkan dampak negatifnya, komersialisasi yang dilakukan

terhadap makam bisa menimbulkan penyalah artian makam Cikundul.

Terjadinya perubahan sosial dimanapun dan kapan pun, termasuk di

daerah makam merupakan suatu kewajaran (natural) yang timbul sebagai

sebuah proses dari pergaulan hidup manusia. Semakin berkembangnya

Page 13: NIA PURNAMASARI-FUF.pdf

kehidupan manusia, maka kehidupan masyarakat pun akan turut berubah.

Perubahan itu pun terjadi pada masyarakat yang berada di sekitar makam,

apalagi makam yang dianggap keramat.

Setiap masyarakat manusia selama hidupnya, pasti mengalami

perubahan-perubahan. Perubahan itu ada yang bergerak cepat ataupun lambat.

Perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat dapat bersifat progress atau

regress, luas ataupun terbatas, cepat atau lambat mengenai nilai-nilai sosial,

norma-norma sosial, pola-pola perilaku organisasi, struktur lembaga

kemasyarkatn, lapisan-lapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang,

interaksi sosial dan sebagainya.4

Perubahan-perubahan yang terjadi secara lambat memerlukan waktu

lama, dimana terdapat suatu rentetan perubahan-perubahan kecil yang saling

mengikuti dengan lambat, dinamakan evolusi. Perubahan-perubahan terjadi

dengan sendirinya, tanpa rencana ataupun suatu kehendak tertentu. Sedangkan

perubahan yang terjadi secara cepat, mengenai sendi-sendi atau dasar-dasar

pokok dari pada kehidupan masyarakat (yaitu lembaga-lembaga

kemasyarakatan) lazimnya dinamakan "revolusi". Unsur-unsur yang pokok

dari pada suatu revolusi adalah adanya perubahan cepat bahwa perubahan

tersebut mengenai dasar-dasar atau sendi-sendi pokok dari kehidupan

masyarakat. 5

Wilbert Moore sebagaimana yang dikutip oleh Robert H Lauer

mengartikan perubahan sosial sebagai "perubahan penting dari struktur

4 Drs. Kurnadi Shahab. M. Si., Sosiologi Pedesaan, (jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), h.

14 5 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: CV. Rajawali, 1986), h. 292

Page 14: NIA PURNAMASARI-FUF.pdf

sosial", dan yang dimaksud dengan struktur sosial adalah "pola-pola perilaku

dan interaksi sosial". Moore memasukkan ke dalam definisi perubahan sosial

berbagai ekspresi mengenai struktur seperti norma-norma, nilai-nilai, dan

fenomena kultural. Pengertian lain dalam melihat perubahan sosial sebagai

variasi atau modifikasi dalam setiap aspek proses sosial, pola sosial, dan

bentuk-bentuk sosial serta "setiap modifikasi pola antar hubungan yang mapan

dan standar perilaku. Semua itu menunjukkan bahwa perubahan sosial itu

adalah fenomena yang rumpil dalam arti menembus ke berbagai tingkat

kehidupan sosial.6

Perubahan sosial merupakan konsekuensi utama dari proses

modernisasi yang dialami oleh suatu masyarakat. Namun, ada yang

berpendapat bahwa perubahan sosial terjadi karena adanya perubahan dalam

unsur-unsur yang mempertahankan keseimbangan masyarakat seperti

perubahan dalam unsur-unsur geografis, biologis, ekonomis, atau

kebudayaan.7

Setiap perubahan sosial sebagai realitas yang menjadi sasaran,

senantiasa membawa tiga aspek, yaitu: aspek manusia, aspek waktu, dan aspek

tempat. Dengan kata lain, setiap perubahan yang berarti digerakkan oleh

manusia, dalam unit waktu tertentu dan lingkungan tertentu.8

Pada umumnya, tempat di sekitar makam hanyalah tempat biasa yang

tidak memiliki keistimewaan apa pun. Tapi, ramainya peziarah telah

6 Robert H Lauer, Perspektif tentang perubahan Sosial, edisi ke-2, (Jakarta: PT. Rineka

Cipta, 1993), h. 4 7 Abdullah Masmuh dkk, Agama Tradisional Potret Kearifan Masyarakat Samin dan

Tengger, (Jogjakarta: LKis, 2003). 8 Drs. D. Hendropuspito OC, Sosiologi Sistematik, (Jogjakarta: Kanisius, 1989), h. 256

Page 15: NIA PURNAMASARI-FUF.pdf

mengubah masyarakat di sekitar makam menjadi medan budaya (cultural

sphere) di mana banyak orang keluar masuk dengan membawa adat dan

kebiasaan yang berbeda. Kedatangan mereka telah mengubah kehidupan

masyarakat Majalaya. Perubahan yang paling menonjol di bidang ekonomi.

Masyarakat tidak lagi mengandalkan ekonomi dari pertanian saja, seperti

halnya di daerah pedesaan, tapi juga dari sector lain seperti perdagangan

melalui komersialisasi makam.

Komersialisasi yang dilakukan telah banyak memberikan pengaruh

yang cukup signifikan terutama dalam hal ekonomi, itu bisa terlihat dari

banyaknya masyarakat Majalaya yang kini sebagian bermata pencaharian

berdagang di sekitar makam. Makam tidak lagi hanya pekuburan biasa, tapi

juga sudah seperti tempat wisata.

Dari latar belakang masalah di atas, maka penulis tertarik untuk

mengangkat judul "Makam Keramat dalam Mengubah Kehidupan Sosial

Ekonomi Masyarakat" sebagai judul penelitian dalam skripsi ini.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Pokok permasalahan dalam penelitian skripsi ini adalah perubahan

sosial ekonomi pada masyarakat di sekitar makam keramat. Penelitian ini

dibatasi pada perubahan sosial ekonomi yang terjadi dari tahun 1990 sampai

sekarang. Dan untuk lebih memperdalam penelitian ini, secara geografis

dibatasi pada masyarakat yang ada di sekitar makam yang berada di kampung

Majalaya desa Cijagang kecamatan Cikalongkulan kabupaten Cianjur.

Page 16: NIA PURNAMASARI-FUF.pdf

Berdasarkan pembatasan masalah diatas, dapat dirumuskan pertanyaan

penelitian yang nanti akan terjawab dalam hasil penelitian skripsi ini, yaitu:

"Bagaimana makam yang keramat Cikundul mampu mengubah

kehidupan ekonomi masyarakat Majalaya?"

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui bagaimana masyarakat Majalaya, khususnya yang

berada di sekitar makam memahami keberadaan makam tersebut.

b. Untuk mengetahui sejauh mana makam Cikundul bisa meningkatkan

ekonomi masyarakat Majalaya.

c. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh makam Cikundul mampu

mendatangkan peziarah.

2. Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Menambah wawasan sosial keagamaan, terutama mengenai makam

keramat.

b. Sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana di Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Page 17: NIA PURNAMASARI-FUF.pdf

D. Metode Penelitian

Permasalahan yang terjadi di masyarakat terus berkembang, butuh cara

untuk mengetahui gejalanya. Maka dilakukanlah penelitian. Penelitian

dilakukan karena dorongan atau rasa ingin tahu yang besar terhadap sesuatu.9

Metode yang dilakukan dalam penelitian skripsi ini adalah:

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif dengan metode

deskriptif, yakni metode yang dimaksudkan untuk eksplorasi dan

klarifikasi mengenai suatu fenomena atau kenyataan sosial, dengan jalan

mendeskripsikan sejumlah variabel yang berkenaan dengan masalah dan

unit yang diteliti. Sedangkan pendekatan yang digunakan adalah studi

kasus.

Dimana studi kasus merupakan suatu pendekatan untuk

mempelajari, menerangkan atau menginterpretasikan suatu kasus (case)

dalam konteksnya secara natural tanpa adanya intervensi.10

Studi kasus diambil karena diharapkan bisa menjelaskan suatu

fenomena sosial yang ada di masyarakat secara gamblang dan jelas,

terutama dalam perubahan sosial ekonomi pada masyarakat sekitar makam

di kampung Majalaya Cianjur.

9 Sanapiah Faisal, Format-format Penelitian Sosial, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

2003), h. 3. 10

Agus Salim, Teori dan Paradigma Penelitian , Pemikiran Norman dan Egon Guba,

(Yogyakarta: PT. Tirta Wacana Yogya, 2001), h. 93.

Page 18: NIA PURNAMASARI-FUF.pdf

2. Subjek Penelitian

Penulis mengambil subjek dalam penelitian ini adalah masyarakat

di sekitar makam yang berada di daerah kampung Majalaya desa Cijagang

kecamatan Cikalongkulon kabupaten Cianjur.

3. Tekhnik Pengumpulan Data

Adapun tekhnik pengumpulan data yang penulis lakukan adalah

sebagai berikut:

a. Observasi Partisipan, yaitu dengan melakukan pengamatan secara

langsung terhadap fenomena-fenomena yang diselidiki, seperti:

menjamurnya pedagang-pedagang di sekitar makam, banyaknya

peminta-minta, membludaknya peziarah pada waktu-waktu tertentu,

dan lain-lain.

b. Wawancara mendalam (indepth Interview), yaitu peneliti atau petugas

penelitian melakukan "interview" dengan informan secara lisan dan

mendalam.

c. kepustakaan (Library Research), yakni dengan membaca, memahami,

dan menginterpretasikan buku-buku yang berhubungan dengan

penulisan skripsi ini.

4. Instrumen Pengumpulan Data

Instrument yang digunakan untuk pengumpulan data dalam

penulisan skripsi ini adalah pedoman wawancara. Pertanyaan-pertanyaan

yang dimuat dalam pedoman wawancara hanya hal-hal pokok, dan

umumnya berbentuk pertanyaan terbuka.

Page 19: NIA PURNAMASARI-FUF.pdf

5. Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah

analisis data kualitatif, dengan tidak menggunakan angka atau statistik,

tetapi berupa analisis terhadap data yang berkaitan dengan penjelasan-

penjelasan dan pandangan-pandangan penelitian skripsi ini. Dalam

penelitian kualitatif ini, setiap kejadian yang terjadi di lapangan penulis

catat, baik dari hasil wawancara maupun observasi, kemudian peneliti

mereduksi (merangkum, mengikhtisarkan, menyeleksi) aspek-aspek

penting yang muncul dan mencoba membuat ringkasan pada tiap-tiap

kasus, berdasarkan kerangka teori dan pedoman wawancara.

D. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini disusun secara sistematis berdasarkan

pembahasan yang dibutuhkan dan disusun kedalam lima bab sebagai berikut:

1. Bab pertama (I) membahas tentang pendahuluan yang berisi latar belakang

masalah, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,

metode penelitian, serta sistematika penulisan.

2. Bab kedua (II) membahas mengenai kajian teori yang digunakan sebagai

rujukan dalam penelitian skripsi ini, yaitu: pertama berisi pembahasan

mengenai makam dan pensakralan terhadap makam. Dan yang kedua

membahas tentang perubahan sosial, terutama berkaitan dengan perubahan

sosial, ekonomi dan keagamaan.

Page 20: NIA PURNAMASARI-FUF.pdf

3. Bab ketiga (III) berisi profil daerah dan objek penelitian yang

mendeskripsikan kondisi geografis dan demografis daerah penelitian.

Selain itu, bab ini juga memberi gambaran serta sedikit analisis mengenai

kondisi sosial, ekonomi dan agama masyarakat Majalaya.

4. Bab keempat (IV) merupakan analisa dari hasil penelitian dalam skripsi

ini, berisi analisa proses terjadinya perubahan sosial ekonomi dari tahun

1990 sampai sekarang.

5. Bab kelima (V) berisi penutup yang membahas kesimpulan dan saran-

saran, serta daftar pustaka dan lampiran-lampiran.

Page 21: NIA PURNAMASARI-FUF.pdf

DAFTAR PUSTAKA SEMENTARA

Ag, Muhaimin, Islam dalam Bingkai Budaya Lokal Potret dari Cirebon, Jakarta: Logos, 2002.

Al-Albani, M. Nashiruddin, Tuntunan Lengkap Mengurus Jenazah, Jakarta: Gema Insani, 1999.

Dikumpulkan oleh Henri Chambert-Loir & Claude Guillot, Ziarah & Wali di

Dunia Islam, Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2007

Faisah, Sanapiah, Format-format Penelitian Sosial, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003.

Jhonson, Doyle Paul, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jil. I, Jakarta: PT.

Gramedia, 1986.

Laure, Robert H, Perspektif tentang Perubahan Sosial, edisi ke-2, Jakarta: PT.

Rineka Cipta, 1993.

Masmuh, Abdullah dkk, Agama Tradisional Potret Kearifan Masyarakat Samin

dan tengger, Jogjakarta: LKis, 2003.

Nurdin, Amin dan Ahmad Abrori, Mengerti Sosiologi, Jakarta: UIN Jakarta Press,

2006.

Razak, Yusran dan Ervan Nurtawab, Antropologi Agama, Jakarta: UIN Jakarta

Press, 2007.

OC, Hendropuspito, Sosiologi Sistematik, Jogjakarta: Kanisius, 1989.

Salim, Agus, Teori dan Paradigma Penelitian, Pemikiran Norman dan Egon

Guba, Jogjakarta: PT. Tirta Wacana Yogya, 2001.

Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: CV. Rajawali, 1986.

Subhani, Syaikh Ja’far, Tauhid dan Syirik Studi Kritis Faham Wahabi, Bandung: Mizan, 1987.

Syam, Nur, Islam Pesisir, Jogjakarta: LKis, 2005.

Veeger, K. J., Realitas Sosial, Jakarta: PT. Gramedia, 1993.

Page 22: NIA PURNAMASARI-FUF.pdf

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Makam Keramat

1. Pengertian Makam Keramat

Para wali dianggap orang yang memiliki kekuatan luar biasa, itulah

mengapa makamnya selalu dipadati peziarah. Dalam tradisi jawa, makam

dianggap mengandung kesakralan. Arti makam diambil dari bahasa Arab

berasal dari kata maqam yang berarti tempat, status, atau hirarki. Sedangkan

tempat menyimpan jenazah dalam bahasa Arab disebut Qabr, yang lebih

dikenal dengan kubur atau kuburan. Pada umumnya kuburan atau makaman

digunakan untuk menyebut tempat menguburkan atau memakamkan mayat.

Namun, ada kekhususan mengenai penggunaan kata makam atau kubur

tersebut, yakni jika yang dikuburkan itu adalah seorang wali atau orang suci,

maka tempat penguburannya disebut makam wali bukan kuburan wali.11

Keramat (dari bahasa Arab, karamah) mengandung arti kemuliaan atau

kemurahan. Di kalangan orang-orang tasawuf atau tarekat, berkembang

pengertian bahwa keramat adalah keadaan atau perbuatan luar biasa yang

timbul pada diri, atau dilakukan oleh para wali Allah. Banyak contoh yang

beredar di kalangan mereka, tentang keramat itu, seperti dapat mengharungi

lautan dengan sajadahnya (sajadah: tikar untuk Shalat), mengetahui adanya

11Nur Syam, Islam Pesisir (Yogyakarta: LKis, 2005), h. 139.

Page 23: NIA PURNAMASARI-FUF.pdf

bahaya sebelum terjadi, berada di dua tempat yang berjauhan pada waktu yang

sama dan lain sebagainya.

Tidak semua keadaan atau perbuatan luar biasa itu disebut keramat.

Yang terjadi pada diri nabi atau rasul, tidak disebut keramat, tapi mukjizat

(mu’jizat), sedangkan yang dilakukan oleh orang-orang kafir atau orang-orang

yang tidak beragama Islam, secara saleh disebut sihir, yang dapat juga disebut

mejik hitam.12

Bagi sebagian masyarakat yang mempercayainya, makam tidak hanya

sekedar tempat untuk menyimpan mayat. Akan tetapi, makam merupakan

tempat keramat, karena di situ dikuburkan jasad orang keramat. Jasad orang

keramat tidak seperti orang kebanyakan, karena diyakini bahwa jasadnya tidak

akan dimakan binatang tanah, seperti: cacing tanah, ulat pemangsa jasad

manusia, dan lain-lain. Selain itu, jasadnya juga tidak akan rusak, serta rohnya

memiliki kekuatan untuk mendatangi makamnya. Dia dianggap sebagai orang

yang dekat dengan Allah SWT, sehingga dijadikan perantara doa agar doanya

cepat sampai kepada Allah SWT. Memang, tidak semua orang berziarah itu

benar tujuannya, sebab ada juga di antara mereka justru malah meminta roh

penghuni makam untuk mengabulkan doa atau permohonannya.

Pemujaan terhadap wali adalah ritual yang berlaku sejak lama di

kalangan dunia Islam. Masalah yang terjadi adalah masalah mendekatkan diri

kepada Allah SWT melalui perantara para wali yang sholeh.

12Tim penulis IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ensiklopedi Islam Indonesia

(Jakarta: Djambatan, 1992), h. 533-534.

Page 24: NIA PURNAMASARI-FUF.pdf

Islam telah menentukan tempat-tempat dan waktu-waktu yang

memiliki keutamaan atau kekeramatan dibandingkan tempat lainnya. Dalam

ibadah-ibadah khusus, seperti shalat, berdoa, membaca al-Qur’an, dan

sebagainya. Kita dibenarkan tabarruk atau mencari keutamaannya. Namun

yang perlu dipahami bahwa ketentuan itu datangnya dari Allah SWT dan

rasul-Nya. Kita tidak dapat menentukan sendiri atau meraba-raba hal apa dan

di mana yang sekiranya mengandung kekeramatan atau keberkahan. Perkara

semacam itu termasuk mughayyabat (perkara gaib) yang tidak dapat dipahami

maksud hakiki dengan menggunakan akal atau intuisi belaka.13

2. Simbol dan Sakralitas

Simbol atau lambang dianggap sebagai suatu hasil kreatifitas manusia.

Di antara binatang-binatang, hanya manusialah yang mampu menciptakan

bahasa simbolik dan pemikiran abstrak. Dia tidak hanya berbuat dan bereaksi,

tetapi juga mengembangkan dan menanggapi perbuatan. Simbol adalah bentuk

objek atau tanda apapun yang melahirkan respon sosial yang diakui bersama.14

Simbol ataupun lambang memiliki makna penting bagi suatu agama, karena

dalam simbol terdapat inti emosi keagamaan yang hanya bisa dipandang tidak

dapat diekspresikan. Maka semua upaya itu semata-mata merupakan

perkiraan-perkiraan karena itu bersifat simbolik.15

13Endra K. Pridhadhi, Makhluk Halus dalam Fenomena Kemusyrikan

(Jakarta: Salemba Diniyyah, 2004), h. 186.

14M. Amin Nurdin dan Ahmad Abrori, Mengerti Sosiologi (Jakarta: UIN

Jakarta Press, 2006), h. 62.

15Elizabeth K. Nottingham, Agama dan Masyarakat (Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada, 2002), h. 13.

Page 25: NIA PURNAMASARI-FUF.pdf

Simbol memiliki beberapa karakteristik, yaitu: pertama, simbol dibuat

dan dikembangkan secara bersama-sama dalam masyarakat. Ada budaya

masyarakat India yang masih menganggap bahwa sapi merupakan simbol

bagi umat Hindu, hanya mereka yang meyakini demikian. Begitu juga dengan

hajar aswad yang diyakini umat Islam sebagai simbol suci meskipun hanya

sebuah batu. Kedua, simbol mungkin memiliki lebih dari satu makna. Ketiga,

ada keterkaitan langsung antara budaya dengan pemaknaan terhadap sebuah

simbol. Simbol bisa berbeda sesuai waktu dan tempatnya, juga bisa berbeda

makna simbol tentang sesuatu pada satu kelompok dengan kelompok lain

terutama di masyarakat yang tingkat keragamannya sangat tinggi.

Menurut Eliade sebagaimana yang dikutip oleh Yusron Razaq

berpendapat bahwa simbol mengungkap dimensi-dimensi realitas tertentu

yang akan menjauhkan pengetahuan kita. Sesuatu yang ada dalam sebuah

simbol memiliki kekuatan melampaui pemahaman dan kendali kita yang

disebut olehnya bersama Rudolf Otto sebagai “yang sakral”.16

Mungkin terpikir di benak kita tentang sesuatu yang sakral. Yang

sakral adalah yang berada di luar dirinya dan tidak terjangkau oleh akal atau

penalaran manusia yang lebih kita kenal dengan yang transenden. Sesuatu

yang sakral itu lebih mudah dikenal dari pada didefinisikan. Ia berkaitan

dengan hal-hal yang penuh misteri, baik yang sangat mengagumkan maupun

yang sangat menakutkan. Dalam masyarakat, yang kita kenal terdapat

16Yusron Razaq dan Ervan Nurtawab, Antropologi Agama (Jakarta: UIN

Jakarta Press, 2007), h. 34.

Page 26: NIA PURNAMASARI-FUF.pdf

perbedaan antara yang suci dengan yang biasa atau yang sering kita katakan

antara yang sakral dan yang sekuler atau duniawi (the sacred and the secular

or the profane).

Sesuatu yang sakral dan yang profan berkaitan erat dengan

pengalaman keagamaan manusia. Mengenai yang sakral dan yang profan

dibicarakan pula oleh Emile Durkheim sebagaimana yang dikutip oleh

Thomas F O’dea. Durkheim menyatakan yang suci lebih tinggi martabatnya

dibandingkan dengan yang profan dan mengandung sifat serius yang lebih

tinggi.17

Yang sakral berhubungan dengan milik bersama, berlangsung terus

menerus atau dapat pula sebentar saja yang ditujukan kepada seseorang,

tempat, waktu atau benda tertentu. Sebagai sifat yang dipercayai, ia bukanlah

sesuatu yang dapat ditunjukkan dan dapat dibawa pergi. Ia adalah kualitas

yang tidak dipunyai pada benda yang sakral itu sendiri semenjak awal benda

itu ada, tetapi dia adalah aura misterius yang ditambahkan kepada benda yang

sakral itu. Yang sakral menimbulkan sikap yang juga antagonis. Di satu sisi

orang menghormatinya, memberikan sesajen kepadanya, mengunjunginya

dengan pengorbanan tenaga dan biaya yang besar, tetapi di sisi lain menurut

Coillois, ia juga berbahaya punya hal-hal yang taboo dilakukan terhadapnya.

Kalau kesuciannya dilanggar dan ditabookan dikerjakan juga, yang

bersangkutan dipercayai akan mendapat bahaya.

Sebaliknya yang profan adalah sesuatu yang biasa, yang rasional, yang

nyata, tidak ada perlakuan istimewa dan penghormatan terhadapnya.

17Thomas F O’dea, Sosiologi Agama (Jakarta: CV. Rajawali, 1985), h. 36.

Page 27: NIA PURNAMASARI-FUF.pdf

Memikirkannya seperti merumuskan teori dan mengamati dan melakukan

eksperimen terhadapnya, boleh dan sangat dianjurkan, tetapi tidak perlu

diiringi dengan doa dan dzikir. Segala sesuatu di alam ini sebenarnya profan,

karena kesakralan itu hanya anggapan sepihak dari manusia atau masyarakat

yang memercayainya saja.

Dalam kehidupan beragama juga ditemukan sikap mensakralkan

sesuatu, baik tempat, buku, orang, benda tertentu dan lain sebagainya. Sakral

(sacred) berarti suci. Pasangannya dari yang sakral adalah yang profan, yaitu

yang biasa saja atau yang alamiah. Dalam setiap agama memiliki sesuatu yang

disakralkan atau disucikan. Kitab suci Al-Qur’an, bulan Ramadhan, Tanah

Haram, Waliullah, Ka’bah, adalah suci dalam agama Islam. Tanda Salib,

Gereja, hari natal, kitab Bibel atau al-kitab dipercayai suci dalam agama

Kristen. Kasta Brahmana, kitab Weda, sungai Gangga, hari Nyepi, Pura adalah

suci dalam kepercayaan agama Hindu. Totem, adalah suci dalam pandangan

masyarakat primitif yang mempercayainya. Kitab Tripitaka, patung Sidharta

Gautama, Vihara, dipercayai suci dalam ajaran agama Budha. Sinagog, kitab

Taurat, hari Sabat, suci dalam pandangan penganut agama Yahudi.

Sakral atau pun tidak sakral kalau dilihat secara material, fisik atau

kimiawi sebenarnya sama saja, karena suci atau sakral bukan terletak pada

sifat benda itu sendiri, melainkan diberikan oleh manusia atau masyarakat

yang menyucikannya kepada benda yang disucikan. Menurut Durkheim

sebagaimana yang dikutip oleh Bustanudin Agus, manusia atau masyarakat

Page 28: NIA PURNAMASARI-FUF.pdf

yang mempercayainya itu sajalah yang menjadikannya suci atau bertuah, tidak

karena adanya sesuatu yang lain atau istimewa dalam benda tersebut.18

B. Perubahan Sosial

1. Pengertian Perubahan Sosial

Di dunia ini tidak ada yang tetap semuanya senantiasa berubah. Begitu

pula dengan masyarakat. Masyarakat adalah objek dari perubahan. Masyarakat

senantiasa berubah di semua tingkat kompleksitas internalnya. Di tingkat

mikro terjadi perubahan interaksi dan perilaku individual. Di tingkat mezzo

terjadi perubahan kelompok, komunitas dan organisasi. Di tingkat makro

terjadi perubahan ekonomi, politik dan budaya (kultur). Masyarakat ada setiap

saat dari masa lalu ke masa mendatang. Kehadirannya justru melalui fase

antara apa yang telah terjadi dan apa yang akan terjadi.19

Perubahan sosial dipandang sebagai sebuah konsep yang serba

mencakup, yang menunjuk kepada perubahan fenomena sosial di berbagai

tingkat kehidupan manusia, mulai dari tingkat individual hingga tingkat

dunia.20

Meskipun tidak ada arti yang jelas mengenai perubahan sosial. Akan

tetapi, banyak pendapat menilai bahwa perubahan-perubahan sosial

merupakan gejala-gejala wajar yang timbul dari pergaulan hidup manusia.

18 Bustanudin Agus, Agama dalam Kehidupan Manusia (Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada, 2006), h. 80

19Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial (Jakarta: Prenada, 2007), h.

65.

20Robert H. Lauer, Perspektif tentang Perubahan Sosial edisi kedua

(Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1993), h. 5.

Page 29: NIA PURNAMASARI-FUF.pdf

Menurut Gillin sebagaimana yang dikutip oleh Soerjono Soekanto

mengatakan bahwa perubahan-perubahan sosial adalah suatu variasi dari cara-

cara hidup yang telah diterima, yang disebabkan baik karena perubahan-

perubahan kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk,

ideologi, maupun karena adanya difusi ataupun penemuan-penemuan baru

dalam masyarakat tersebut. Sedangkan menurut Samuel Koening mengatakan

bahwa perubahan-perubahan sosial menunjuk modifikasi-modifikasi yang

terjadi dalam pola-pola kehidupan manusia. Modifikasi-modifikasi tersebut

terjadi karena sebab-sebab yang intern maupun sebab-sebab ekstern.

Definisi lain dikemukakan oleh Selo Soemardjan yang menyatakan

bahwa perubahan-perubahan sosial adalah segala perubahan-perubahan pada

lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang

mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap-sikap,

dan pola-pola perikelakuan di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.

Tekanan pada definisi tersebut terletak pada lembaga-lembaga

kemasyarakatan sebagai himpunan pokok manusia; perubahan-perubahan

mana kemudian mempengaruhi segi-segi lainnya dari struktur masyarakat

tersebut.21

Lain halnya menurut Hendropuspito. Menurutnya, tidak ada arti yang

khusus mengenai perubahan sosial. Namun ada beberapa definisi yang di

angkat dari data hasil pengamatan tentang perubahan yang terjadi dalam

21 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: Rajawali,

1986), h. 285

Page 30: NIA PURNAMASARI-FUF.pdf

masyarakat. Dari data tersebut dapat ditarik dua rumusan mengenai definisi

perubahan sosial. Pertama, perubahan sosial didefinisikan sebagai perbedaan

keadaan yang berarti dalam unsur masyarakat dibandingkan dengan keadaan

sebelumya, bisa pula diartikan sebagai perubahan sosial yang pasif. Kedua,

perubahan sosial adalah proses perkembangan unsur sosio-budaya dari waktu

ke waktu yang membawa perbedaan yang berarti dalam struktur dan fungsi

masyarakat dan diartikan lain sebagai perubahan sosial aktif.22

Perubahan sosial yang terjadi di tingkat makro meliputi ekonomi, di

mana ekonomi merupakan sentral dari kehidupan manusia. Persoalan ekonomi

dapat dikatakan sama tuanya dengan sejarah manusia. Perkembangan

persoalan ekonomi berjalan seiring dengan perkembangan dari pertumbuhan

manusia itu sendiri dengan pengetahuan teknologis yang dimiliki.

Sosiologi memandang ekonomi sebagai studi bagaimana cara orang

atau masyarakat memenuhi kebutuhan hidup mereka terhadap jasa dan barang

langka dengan melakukan pendekatan sosiologi.

Hubungan ekonomi dan masyarakat saling berkaitan satu sama lain.

Sosiologi memandang ekonomi sebagai bagian integral dari masyarakat.23

2. Faktor Perubahan Sosial

Untuk mengetahui suatu perubahan yang terjadi pada masyarakat, maka

perlu diketahui penyebab yang mengakibatkan terjadinya perubahan-

22Hendropuspito OC, Sosiologi Sistematik (Yogyakarta: Kanisius, 1989), h.

256.

23Damsar, Sosiologi Ekonomi (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997),

h. 15.

Page 31: NIA PURNAMASARI-FUF.pdf

perubahan itu. Faktor-faktor tersebut, disadari atau tidak, telah memberikan

pengaruh yang cukup signifikan bagi perkembangan masyarakat selanjutnya.

Ada dua faktor yang terjadi dalam perubahan sosial: faktor penyebab

dan faktor penunjang. Faktor penyebab adalah faktor yang langsung

mengakibatkan timbulnya perubahan sosial, baik berupa kejadian yang semula

tidak ada menjadi ada, maupun pengubahan realitas yang sudah ada

sebelumnya menjadi bentuk yang lain. Sedangkan faktor penunjang dalam

bahasa latin occatio hanya menciptakan kesempatan atau situasi yang

membantu penyebab menghasilkan akibatnya.

Adapun yang menjadi faktor penyebab dan penunjang perubahan

adalah sebagai berikut:

a. Faktor Penyebab Perubahan

Perubahan terjadi di tengah-tengah masyarakat tidak mungkin

bisa dibendung. Perubahan adalah sesuatu hal yang wajar dan alami.

Sangat sulit menentukan penyebab perubahan sosial yang murni dan

tepat terjadi, karena bidang penyelidikan terlalu luas dan kabur serta

kurang pembatasan yang jelas.

Faktor penyebab perubahan sosial bisa dikategorikan menjadi

faktor manusia dan non manusia.

1) Faktor manusia

Kedudukan manusia sangat sentral dan penting dalam

masyarakat dan dalam perkembangan masyarakat, maka wajar jika

para ahli sosial serentak menunjuk manusia sebagai faktor

penyebab utama perubahan.

Page 32: NIA PURNAMASARI-FUF.pdf

2) Faktor non manusia

Jumlah faktor non manusia yang menyebabkan perubahan

sosial cukup besar. Sebagian dari faktor-faktor itu pada mulanya

merupakan akibat yang ditimbulkan oleh manusia. Namun

kemudian menimbulkan perubahan masyarakat. Perubahan-

perubahan non manusia antara lain: pertambahan penduduk, sistem

ekonomi, penerapan penemuan baru (teknologi modern dan mode),

sistem pendidikan yang terencana, arus sekulerisasi, dan lain-lain.

b. Faktor penunjang perubahan

Faktor-faktor yang menunjang perubahan sosial meliputi:

1) Jiwa yang terbuka terhadap perubahan, terutama jiwa revolusioner

yang hidup dalam suatu masyarakat yang mau mengubah apa saja

yang telah ada.

2) Bertambahnya perbendaharaan ilmu pengetahuan memungkinkan

bertambahnya pemecahan baru mengenai berbagai masalah yang

dihadapi.

3) Timbulnya keinginan-keinginan baru yang dikobarkan sebagai

cita-cita nasional dan harus diperjuangkan pencapaiannya akan

membuka hati bangsa sehingga mengadakan perubahan-perubahan

guna memuaskan keinginan tersebut.

4) Bertambahnya penduduk merupakan tantangan berat yang perlu

dijawab dengan perubahan sosial.

5) Penemuan-penemuan baru di sektor-sektor sosio-budaya tertentu.

Page 33: NIA PURNAMASARI-FUF.pdf

6) Kemajuan negara-negara lain juga merupakan faktor peluang bagi

Negara-negara terbelakang.24

3. Pola-pola Perubahan Sosial

Perubahan sosial adalah istilah yang taksa (ambiguous). Kadang kala

istilah ini digunakan dalam pengertian yang sempit, yang mengacu pada

perubahan-perubahan struktur sosial (keseimbangan di antara berbagai kelas

sosial, misalnya). Tetapi juga, kadang-kadang digunakan dalam pengertian

yang sangat luas yang mencakup organisasi politik, perekonomian dan

kebudayaan.

Perubahan di sini penekanannya lebih kepada pengertian yang lebih

luas. Perubahan sosial dapat dikategorikan ke dalam beberapa tipe atau pola

utama, yaitu:

a. Pola linear

Ide statisme atau yang dikenal dengan pola perubahan sosial

linear (Etzioni, 1973: 3-8, Kamanto Sunarto, 2000: 213), meyakini

bahwa kehidupan ini pasti, baku, tetap dan tiada toleransi untuk

perubahan. Dua tokoh pemikiran yang bisa dijadikan acuan terdapat

dalam karyanya August Comte dan Herbert Spencer, sebagaimana yang

dikutip oleh Rusmin Tumanggor. Menurut Comte, bahwa peradaban

manusia senantiasa mengikuti suatu arah perubahan yang pasti, alami,

sama dan tidak terelakkan. Sementara Spencer menambahkan bahwa

struktur sosial berjalan secara evolusioner kearah ukuran yang lebih

24Hendropuspito OC, Sosiologi Sistematik. h. 264-268.

Page 34: NIA PURNAMASARI-FUF.pdf

besar, kemajemukan, keterpaduan, dan kepastian. Sehingga suatu

masyarakat menjadi suatu bangsa yang beradab.

Spencer adalah label yang diberikan pada model yang

menekankan pada evolusi sosial, dengan kata lain perubahan sosial

yang berlangsung secara pelan-pelan dan kumulatif (evolusi bukan

revolusi) dan perubahan sosial itu ditentukan dari dalam (endogen

bukannya eksogen).25

Namun ada pula pandangan unilinear bahwa masyarakat

berkembang ke arah kemunduran, dinamakan primitivisme, suatu

pandangan yang dikemukakan oleh Wilbert Moore.

b. Pola siklus

Menurut pola yang kedua, yaitu pola siklus, di mana mereka

menolak apapun yang bersifat tetap, stabil, dan baku. Menurut mereka,

masyarakat berkembang seperti roda, kadang di atas kadang di bawah.

Pandangan perubahan sosial pola siklus ini dapat dilihat pada

karyanya Oswald Spengler dan Vilfredo Pareto. Bagi Spengler,

kebudayaan tumbuh, berkembang, dan pudar laksana perjalanan

gelombang. Ia mencontohkan kebudayaan-kebudayaan besar seperti

kebudayaan Yunani, Romawi, dan Mesir. Menurutnya, kebudayaan

Barat akan mengalami hal yang sama (tumbuh dan pudar). Sementara

bagi Pareto, setiap masyarakat memiliki dua lapisan, yaitu: lapisan atas

(elite) dan lapisan bawah (non elite), yang berkuasa dan yang tidak

25 Peter Burke, Sejarah dan Teori Sosial (Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia, 2001), h. 198

Page 35: NIA PURNAMASARI-FUF.pdf

berkuasa. Aristokrasi berjalan hanya dalam jangka waktu tertentu saja

dan akan selalu berganti dengan aristokrasi baru yang berasal dari

lapisan bawah. Aristokrat yang berupaya mempertahankan

kekuasaannya akan digulingkan oleh lapisan bawah dengan kekerasan

atau revolusi. 26

Tokoh lain yang menggagas pola siklus ini adalah Ibnu Khaldun,

ia menyatakan bahwa sejarah tidak akan berakhir, sejarah akan

senantiasa bergulir. Karena pada hakikatnya, sejarah adalah catatan

tentang masyarakat umat manusia. Sejarah itu sendiri identik dengan

peradaban dunia; tentang perubahan yang terjadi pada watak perubahan

itu, seperti keliaran, keramahtamahan, dan solidaritas golongan

(ashabiyah); tentang revolusi dan pemberontakan oleh segolongan

rakyat melawan golongan yang lain dengan akibat timbulnya kerajaan-

kerajaan dan Negara-negara dengan berbagai macam tingkatannya;

tentang kegiatan dan kedudukan orang, baik untuk mencapai

penghidupannya, maupun dalam ilmu pengetahuan dan pertukangan;

dan pada umumnya tentang segala perubahan yang terjadi dalam

peradaban karena watak peradaban itu sendiri.27

c. Pola campuran

Dalam melihat perubahan yang terjadi pada masyarakat. Max

Weber dan Karl Marx merupakan dua tokoh klasik yang menyinggung

26Rusmin Tumanggor, Sosiologi dalam Perspektif Islam (Jakarta: UIN

Jakarta Press, 2004), h. 53.

27Ibnu Khaldun, Muqaddimah. Penerjemah Ahmadie Thoha (Jakarta:

Pustaka Firdaus, 2005), h. 57.

Page 36: NIA PURNAMASARI-FUF.pdf

perubahan. Keduanya berapresiasi terhadap perubahan sosial secara

linear sekaligus siklus.

Misalnya, masyarakat komunis yang didambakan Marx hasil dari

pemikiran konflik yang dikonstruknya adalah siklus perjalanan

bertahap dari masyarakat sebelumnya, yaitu feodalisme dan

kapitalisme. Pemikiran linear dari Marx dilihat dari pandangannya

bahwa perkembangan pesat kapitalisme mengakibatkan konflik antara

kaum buruh dan kaum borjuis yang dimenangkan oleh kaum buruh

dilanjutkan kemudian membentuk masyarakat komunis (masyarakat

yang tidak mengenal pembagian kerja tetapi diganti dengan kerja

sama). Menurut Marx, bahwa Negara-negara jajahan Barat akan

mengalami Proses yang sama yang dialami oleh masyarakat Barat.

Senada dengan Marx, Weber melihat perkembangan linear dari

masyarakat searah meningkatnya rasionalitas masyarakat. Di lain

pihak, Weber menyebut tiga wewenang yang ada dalam masyarakat

yang akan selalu beralih (siklus). Pada saat tertentu masyarakat

memiliki wewenang kharismatik dan mengalami rutinisasi sehingga

beralih menjadi wewenang tradisional, hingga wewenang rasional

kemudian menjadi wewenang kharismatik lagi dan begitu seterusnya.28

C. Agama dan Perubahan Sosial

1. Peranan Agama dalam Perubahan Sosial

28Rusmin Tumanggor, Sosiologi dalam Perspektif Islam. h. 54.

Page 37: NIA PURNAMASARI-FUF.pdf

Agama ialah suatu jenis sistem sosial yang dibuat oleh penganut-

penganutnya yang berporos pada kekuatan-kekuatan non empiris yang

dipercayainya dan didayagunakannya untuk mencapai keselamatan bagi

mereka dan masyarakat luas pada umumnya.29

Setiap agama, paling tidak memiliki terdiri atas lima dimensi: ritual,

mistikal, ideologikal, intelektual, dan sosial. Dimensi ritual berkenaan dengan

upacara-upacara keagamaan, ritus-ritus religius, seperti shalat, misa atau

kebaktian. Dimensi mistikal menunjukkan pengalaman yang meliputi paling

sedikit tiga aspek: concern, cognition, trust dan fear. Keinginan untuk mencari

makna hidup, kesadaran akan kehadiran Yang Maha Kuasa, tawakal dan

takwa adalah dimensi mistikal. Dimensi ideologikal mengacu kepada

serangkaian yang menjelaskan eksistensi manusia vis-a-vis Tuhan dan

makhluk Tuhan yang lain. Dimensi intelektual menunjukkan tingkat

pemahaman orang terhadap doktrin-doktrin agamanya. Kedalaman tentang

ajaran-ajaran agama yang dipeluknya. Dimensi sosial disebut Glock dan Stark

sebagai consequential dimensisons adalah manifestasi ajaran agama dalam

kehidupan bermasyarakat. Ini meliputi seluruh perilaku yang didefinisikan

agama.30

Pembahasan mengenai peran agama dalam mengubah kehidupan sosial

ekonomi masyarakat dibahas oleh Max Weber yang terkenal dalam bukunya

The Protestant Ethic and Spirit of Capitalism, di mana prinsif agama (dalam

29D. Hendropuspito OC, Sosiologi Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1998), h.

34.

30Jalaludin Rahmat, Islam Alternatif, 9th ed. (Bandung: Mizan, 1998), h. 37-38.

Page 38: NIA PURNAMASARI-FUF.pdf

hal ini Calvinis) sangat kondusif bagi pertumbuhan ekonomi (kapitalisme).

Weber mencoba menganalisa doktrin teologis dari beberapa aliran/sekte

Protestanisme, terutama Calvinisme, yang dianggapnya aliran yang paling

banyak menyumbang bagi perkembangan semangat kapitalisme. Ajaran

Calvin tentang takdir dan nasib manusia di hari nanti, menurut Weber adalah

merupakan kunci utama dalam hal menentukan sikap hidup dari para

penganutnya. Takdir telah ditentukan; keselamatan diberikan Tuhan kepada

orang terpilih dan berusaha untuk memerangi segala keraguan dan godaan

setan, sebab ketiadaan kepercayaan, berarti kurangnya rahmat. Untuk

memupuk kepercayaan pada diri itu maka manusia haruslah bekerja keras.

Sebab, hanya kerja keras saja satu-satunya yang bisa menghilangkan keraguan

religius dan memberikan kepestian akan rahmat.31

Menurut perspektif Weberian, dalam konteks yang berbeda-beda,

agama dapat menjadi sumber perubahan dan tantangan sosial. Adakalanya

juga sebagai sumber keteraturan sosial dan legitimasi status quo. Namun,

Weber juga meyakini bahwa agama secara gradual akan kehilangan

signifikansi sosial sebagai konsekuensi dari rasionalisasi organisasi sosial dan

ekonomi modern.32

2. Agama dalam Proses Modernisasi

31Taufik Abdullah, Agama, Etos Kerja, dan Perkembangan Ekonomi

(Jakarta: T. Pn., 1978), h. 8.

32Rusmin Tumanggor, Sosiologi dalam Perspektif Islam, h.39.

Page 39: NIA PURNAMASARI-FUF.pdf

Modernisasi merupakan gejala universal. Modernisasi sering

diidentikan dengan kemajuan atau evolusi.

Satu fenomena yang menandai abad 20 dan terutama setelah perang

dunia kedua adalah pesatnya pertumbuhan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Ilmu pengetahuan dalam watak dan perkembangannya menganggap dirinya

otonom dan bebas dari segala ikatan, baik agama, maupun sosial. Akibatnya,

tidak jarang penemuan-penemuan ilmu pengetahuan dan penerapan teknologi

bertabrakan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam suatu agama. Hal ini

disebabkan karena ilmu pengetahuan yang kini meliputi seantero segi hidup

dan kehidupan umat manusia lahir dan dikembangkan di dunia Barat.33

Perkembangan ilmu dan teknologi yang semakin canggih telah

menggeser nilai-nilai agama yang telah ada. Ilmu pengetahuan seolah diyakini

bagaikan “agama baru” yang mampu menjawab kehidupan umat manusia.

Aspek metafisika yang sakral karenanya hilang dan segala sesuatu

dipandang hanya secara materi belaka. Di sinilah inti modernisme yang

ditolak oleh kaum tradisional, yaitu suatu pandangan yang hanya

mempercayai materi. Segala sesuatu diukur sebatas benda yang bisa dilihat

secara indrawi saja. Berbeda dengan masyarakat yang tradisional, yang

memandang bahwa segala sesuatu memiliki hakikat. Hakikat itulah yang

sebenarnya adalah realitas.34

33Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini (Jakarta: CV. Rajawali,

1987), h. 65.

34Komarudin Hidayat dan Muhammad Wahyudi Nafis, Agama Masa Depan

(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), h. 188.

Page 40: NIA PURNAMASARI-FUF.pdf

Pada dunia modern, yang profan menempati posisi dan pengaruh yang

sangat penting dan menggeser pengaruh yang sakral. Fenomena ini biasa

dikenal dengan sekulerisasi.

Sekulerisasi muncul pertama kali di Barat pada abad pertengahan, di

mana dominasi agama terhadap lembaga-lembaga sosial lain menurun. Gereja

pada pada waktu itu yang sangat berkuasa, datang membawa pemikiran dan

ajaran khurafat menentang akal dan rasio, mempertahankan kebekuannya

melawan ilmu dan kebebasan, tampil dengan kekolotannya menghadapi

kemajuan. Bersama para raja menghadapi rakyat dan bersama-sama dengan

kaum feodal memusuhi kaum buruh dan mereka yang tertindas di bumi.

Gereja memusuhi orang-orang yang menyampaikan teori ilmu yang

bertentangan dengan ajarannya, seperti berpendapat bahwa bumi itu bulat

dianggap suatu kekafiran dan keluar dari agama. Inilah faktor yang membidani

lahirnya gerakan sekulerisme di Barat.35

Di dunia yang semakin modern ini, pengaruh agama diyakini

Durkheim akan semakin menurun. Pengaruh agama akan diambil alih oleh

penjelasan ilmiah dan kegiatan upacara keagamaan akan menempati sebagian

kecil saja ruang dan waktu kehidupan seseorang. “Tuhan yang dulu telah

mati” kata Durkheim sebagaimana yang dikutip oleh Amin Nurdin dan

Ahmad Abrori.

Pada masyarakat modern, bentuk alternatif agama dikenal dengan

nama “civil religion” atau agama sipil yang diutarakan Durkheim. Civil

35Dr. Yusuf Qaradhawi, Sekular Ekstrim (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,

2000), h. 7.

Page 41: NIA PURNAMASARI-FUF.pdf

religion didefinisikan sebagai sekumpulan kepercayaan dan ritual keagamaan

di luar institusi keagamaan yang sudah ada. Pandangan Durkheim tersebut

tercermin pula dalam teori Robert N Bellah mengenai civil religion

sebagaimana yang dikutip oleh Dadang Kahdi. Dalam pengamatan Bellah, di

Amerika ada gejala yang disebutnya civil religion, suatu konsep Rossseu

seperti tampak dalam dokumen-dokumen berdirinya Amerika Serikat,

upacara-upacara dalam penerimaan jabatan-jabatan kenegaraan dan hari-hari

pesta yang memperingati peristiwa-peristiwa penting di Amerika. Di situlah

tumbuh American's Nation Self Under Standing. Menurut Bellah, civil religion

adalah 'subordinasi' bangsa pada prinsif-prinsif etis yang mengatasi bangsa itu

sendiri. Bellah menolak anggapan bahwa yang dimaksud dengan civil religion

adalah ideologi yang memberi legitimasi cara hidup bangsa Amerika, bukan

pula suatu pemujaan diri suatu bangsa.36

36 Dadang Kahdi, Sosiologi Agama (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,

2002), h. 123.

Page 42: NIA PURNAMASARI-FUF.pdf

BAB III

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

A. Gambaran Umum Kampung Majalaya

1. Geografi dan demografi Kampung Majalaya

Kampung Majalaya, Desa Cijagang, Kecamatan Cikalongkulon,

Kabupaten Cianjur, selain dikenal dengan udaranya yang sejuk, juga sebagian

wilayahnya menjadi objek wisata ritual yang banyak dikunjungi masyarakat

dari berbagai daerah. Di sana dimakamkan seorang wali pendiri Cianjur, Rd.

Aria Wira Tanu Datar, yang menjadi bupati pertama Cianjur.

Batas-batas administratif Kampung Majalaya adalah: sebelah barat

berbatasan dengan Desa Mekarjaya; sebelah timur berbatasan dengan Desa

Sukamulya; sebelah selatan berbatasan dengan Desa Majalaya; dan sebelah

utara berbatasan dengan Desa Sukamulya.

Kampung Majalaya memiliki luas 523.615 hektar tanah dengan fungsi

yang berbeda-beda, sesuai dengan kegunaannya. Adapun tata guna lahannya

adalah sebagai berikut: 110 hektar berupa sawah dengan irigasi ½ teknis;

6,205 hektar berupa sawah tadah hujan; 36,740 hektar berupa tegal/ladang; 20

hektar permukiman; 195,225 hektar tanah perkebunan milik perorangan; 13

hektar tanah pekuburan (tanah wakaf); dan 179,185 hektar luas prasarana

umum lainnya.

Page 43: NIA PURNAMASARI-FUF.pdf

Meskipun lahan perkebunan lebih luas dibandingkan dengan lahan

pesawahan, tetapi Kampung Majalaya lebih mengandalkan pertanian sebagai

penghasilan utamanya.

Kantor Desa Cijagang terletak di Jalan Keramat Cikundul No. 01.

Untuk memasuki Kampung Majalaya atau berziarah ke makam Dalem

Cikundul sangat mudah, karena sudah memadainya sarana dan prasarana

transportasi. Jarak yang harus ditempuh dari kota Kabupaten Cianjur sekitar

21 km, sedangkan dari kota kecamatan sekitar 4 km.

Kampung Majalaya telah memiliki berbagai sarana transportasi dan

komunikasi yang relatif memadai, antara lain: jalan yang relatif bagus dan

dapat dilalui oleh berbagai jenis kendaraan, seperti truk, mobil, bahkan bis

besar; sarana komunikasi dengan tiga wartel; televisi dan radio yang dimiliki

oleh semua penduduk; dan adanya satu kantor pos pembantu.

Air sebagai sarana paling penting untuk kehidupan manusia.

Kebutuhan air bersih penduduk Majalaya diperoleh dari sumber air yang ada

di daerah tersebut berupa: tujuh mata air, tujuh belas sumur gali, lima sumur

pompa, 175 PAM, dan satu sungai.

Untuk sarana kesehatan masyarakat terdapat sebuah puskesmas yang

dilengkapi dengan ruang praktek dokter umum, rumah bersalin, dua toko obat,

dan empat posyandu.

Kampung Majalaya juga terkenal dengan bola volinya. Untuk

memfasilitasi warganya yang gemar terhadap olah raga, terdapat lapangan

sepak bola, lapangan bulu tangkis, meja ping pong dan lapangan voli.

Page 44: NIA PURNAMASARI-FUF.pdf

Untuk penerangan rumah, hampir semua warga menggunakan jasa

PLN untuk menerangi rumahnya.

Demi terwujudnya masyarakat yang cerdas, sebagaimana yang

dicanangkan oleh pemerintah dengan wajib belajar sembilan tahun. Maka di

Kampung Majalaya terdapat berbagai lembaga pendidikan: satu TK milik

swasta, empat SD/Sederajat milik pemerintah, dan satu SLTP/Sederajat milik

pemerintah. Akan tetapi, jika para siswa ingin melanjutkan ke jenjang yang

lebih tinggi, mereka harus keluar dari Desa Majalaya untuk bersekolah SLTA

yang ada di Kecamatan Cikalong Kulon, yang jaraknya tidak terlalu jauh dan

bisa ditempuh dengan ojek atau angkutan umum. Selain pendidikan formal,

terdapat pula pendidikan formal keagamaan: satu madrasah diniyyah, yang

belajarnya dari siang hari sampai sore hari, dan lima Pondok Pesantren. Selain

itu, ada pula pendidikan non formal/kursus, seperti bela diri dan sebagainya.

Untuk lebih jelasnya, jumlah lembaga tersebut digambarkan dalam tabel

berikut:

Tabel Lembaga Pendidikan di Majalaya

No Uraian Volume Keterangan

1. TK/RA 1

2. Madrasah Ibtidaiyah 1

3. SDN/Sederajat 4

4. SLTP/Sederajat 1

Jumlah 7

Kampung Majalaya mempunyai penduduk sebanyak 4.609 jiwa, yang

terdiri dari 2.333 penduduk laki-laki dan 2.276 penduduk perempuan. Dengan

Page 45: NIA PURNAMASARI-FUF.pdf

kepadatan penduduk 27 orang per km2. Sementara itu, jumlah kepala keluarga

terdapat 1.201 orang.

2. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Majalaya

Pada umumnya mayoritas penduduk masyarakat Majalaya

bermatapencaharian sebagai petani maupun buruh tani, sebagaimana data yang

diambil dari monografi desa Cijagang sebagai berikut: 60 orang sebagai

petani, 1.126 orang sebagai buruh tani, 59 orang sebagai PNS, 60 orang

sebagai pedagang, tiga orang sebagai montir, dua orang sebagai TNI, satu

orang sebagai POLRI, 26 orang sebagai pensiunan TNI/POLRI/ABRI, enam

orang sebagai dukun kampung terlatih, empat orang sebagai tukang jahit, tiga

orang sebagai tukang cukur, dua orang sebagai tukang service elektronik, tiga

orang sebagai tukang gali sumur, lima orang sebagai tukang pijat dan urut,

satu orang sebagai dokter, empat orang sebagai paramedis, dua orang sebagai

bidan, empat orang sebagai perawat, dan 50 orang sebagai tukang ojek. Untuk

lebih jelasnya, digambarkan dalam tabel berikut:

Tabel Profesi Penduduk Majalaya

Jenis kelamin No. Jenis Pekerjaan

Laki-laki Perempuan

1 Petani 618 orang 32 orang

2 Buruh Tani 830 orang 295 orang

3 PNS 32 orang 27 orang

4 Pedagang 60 orang 60 orang

5 Montir 3 orang -

6 TNI 2 orang -

7 POLRI 1 orang -

8 Dukun Kampung 3 orang 3 orang

Jumlah 1549 417

Page 46: NIA PURNAMASARI-FUF.pdf

Jika ditelusuri lebih jauh mengenai mata pencaharian penduduk

Majalaya, ada sebagian penduduk yang bekerja dalam dua bidang profesi

sekaligus, misalnya sebagai penjaga makam dan tukang parkir (petugas K.5).

Di sepanjang jalan menuju makam Dalem Cikundul, banyak ditemui

warga yang memanfaatkan lahan atau rumah yang dijadikan tempat usaha,

seperti warung atau pun toko. Sehingga pengunjung/peziarah tidak perlu

khawatir merasa kehausan atau kelaparan ketika berada di tempat ziarah.

Bahkan, saat malam tiba, kadang masih ada warung yang buka hingga larut

malam, apalagi pada malam jumat kliwon di bulan Mulud dan Rajab.

Ramainya pengunjung tidak hanya pada malam jumat kliwon di bulan

Mulud atau Rajab saja, tapi pada bulan-bulan biasa pun kadang masih ramai.

Keramaian pengunjung bisa dilihat pada hari minggu dan malam jumat.

Kesibukan masyarakat setempat nampak pada waktu-waktu tersebut.

Namun, pada hari-hari biasa, banyak warung yang tutup dan suasana pun

semakin sepi, meski ada satu atau dua pengunjung yang datang.

3. Kehidupan Keagamaan Masyarakat Majalaya

Mayoritas Penduduk Majalaya beragama Islam, meskipun ada

sebagian yang beragama Katolik. Untuk sarana peribadatan, tersedia lima

mesjid dan 26 langgar/surau. Dalam kehidupan sehari-hari, penduduk

berupaya taat dalam menjalankan syariat agama. Ketaatan penduduk dalam

menjalankan aktifitas keagamaan bisa dilihat dengan diadakannya pengajian

rutin setiap hari, yakni ba’da Ashar, yang dilakukan bergilir di setiap RT. Pun,

apabila ada hari-hari besar keagamaan seperti Mulud, Rajab atau pun tahun

Page 47: NIA PURNAMASARI-FUF.pdf

baru Islam, Remaja Mesjid selalu memperingatinya dengan melakukan

berbagai acara, seperti Muludan, Rajaban, Tabligh Akbar maupun khitanan

massal. Mauludan atau Rajaban ini biasanya diisi dengan acara pembukaan,

pembacaan ayat suci al-Qur’an, sambutan dari panitia, ceramah yang diisi oleh

kiayi/ustadz yang ditokohkan oleh masyarakat setempat, dan terakhir ditutup

dengan doa. Puncak peringatan Mauludan atau Rajaban biasanya diadakan di

makam Dalem Cikundul, dengan konsep acara yang sama. Namun,

kiayi/ustadz yang menjadi pembicara biasanya diundang dari luar daerah,

seperti Bandung, Sukabumi, Cianjur kota dan sekitarnya.

B. Makam Dalem Cikundul

1. Sejarah dan Perkembangan Makam Dalem Cikundul

Pada tahun 1529, dalam rangka penyebaran agama Islam, Talaga

direbut oleh Cirebon dari negara Pajajaran. Sejak itu kebanyakan rakyatnya

masuk agama Islam, tetapi raja-raja Talaga masih tetap menganut agama lama,

yakni Hindu. Urutan raja Talaga adalah sebagai berikut:

a. Prabu Siliwangi

b. Mundingsari

c. Mundingsari Leutik

d. Pucuk Umum

e. Sunan Parung Gangsa

f. Sunan Wanapri

g. Sunan Ciburang

Page 48: NIA PURNAMASARI-FUF.pdf

Sunan Ciburang mempunyai putera bernama Aria Wangsa Goparana.

Dengan demikian Aria Wangsa Goparana merupakan keturunan (generasi)

ketujuh dari Prabu Siliwangi terakhir. Aria Wangsa Goparana merupakan

orang pertama yang masuk agama Islam. Oleh karena masuk agama Islam ini

tidak direstui oleh orang tuanya, maka terpaksa Aria Wangsa Goparana

meninggalkan keraton Talaga dan pergi menuju Sagaraherang. Di sini Aria

Wangsa Goparana mendirikan Nagari (Sansk = Desa, Bld = negorij). Di

Sagaraherang Aria Wangsa Goparana mendirikan pesantren dan menyebarkan

agama Islam ke daerah sekitarnya.

Aria Wangsa Goparana wafat pada akhir abad ke-17 dan dimakamkan

di Kampung Nangkabeurit, Kecamatan Sagaraherang, Kabupaten Daerah

Tingkat II Purwakarta. Putera-puterinya adalah: (1) Djayasasana, (2)

Wiradiwangsa, (3) Candramanggala, (4) Santaaan Kumbang, (5) Yudanagara,

(6) Nawing Candradirana, (7) Santaan Yudanagara, dan (8) Nyi Murti.

Aria Wangsa Goparana menurunkan para bupati Cianjur yang bergelar

Wira Tanu dan Wira Tanu Datar serta para keturunannya.37 Diantara putranya

yang paling terkenal adalah Rd. Aria Wira Tanu yang nama kecilnya adalah

Djayasasana.

Sejak masa mudanya Djayasasana sangat takwa kepada Allah swt.,

tekun memperdalam agama, dan rajin bertapa Setelah dewasa, Jayasasana

meninggalkan Sagaraherang yang diikuti oleh sejumlah rakyat, lalu bermukim

37Bayu Suryaningrat, Memperingati Har Jadi Cianjur Ke-306 (Bandung:

Tpn, 1982), h. 7-8.

Page 49: NIA PURNAMASARI-FUF.pdf

di Cijagang. Rakyatnya bertempat tinggal terpencar, yang umumnya di pinggir

berbagai kali.

Rd. Djayasasana sendiri bertempat tinggal di Cikundul. Oleh karena

itu, sub-nagari Cikundul menjadi ibunagari dari seluruh sub nagari tempat

pemukiman rakyat Djayasasana. Beberapa tahun sebelum tahun 1680,

keseluruhan sub nagari tempat pemukiman rakyat Djayasasana ini disebut

Cianjur.

Pada tahun kurang lebih 1652 rakyat Djayasasana tersebut di atas

pernah dihitung oleh Puspawangsa (Ki Puspa dan Ki Wangsa) dan ternyata

ada 300 umpi atau kurang lebih 1100 orang, yang diantaranya 200 orang

diperintah oleh Mataram, selebihnya oleh Rd. Djayasasana sendiri, untuk

menjaga batas Barat. Sejak saat itu, Rd. Djayasasana Aria Wira Tanu (Wira

Tanu = senapati). Rakyatnya adalah orang merupakan satu kesatuan

masyarakat. Berdasarkan keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa

kolonisasi rakyat Wira Tanu terjadi sebelum tahun 1652 dari Sagaraherang ke

Cikundul dan sekitarnya.

Pada saat yang bersamaan, banyaknya rakyat Wira Tanu, yang pada

1652 sudah ada 300 umpi atau kurang lebih 1100 orang, tentunya sudah

bertambah dan cukup banyak untuk satu padaleman atau kabupatian. Oleh

karena itulah tidak mengherankan jika VOC pada tahun 1680 menyebut Wira

Tanu sebagai “regent” dan yang dimaksud dengan “negorye” Cianjur tidak

lain dari pada kabupatian Cianjur, karena wilayah kekuasaan “regent”

dinamakan “regenschap”. Dari uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa

Page 50: NIA PURNAMASARI-FUF.pdf

padaleman atau kabupatian Cianjur lahir atas prakarsa sendiri pada tahun

1677, pada saat kekuasaan “de facto’ atas daerah cianjur khususnya dan

sebelah Barat Citarum umumnya, ada pada daerah yang bersangkutan. Jadi,

Cianjur adalah merdeka secara “de facto”.

Rd. Aria Wira Tanu, yang dimakamkan di Cikundul, disebut “Dalem”

Cikundul. Aria Wira Tanu adalah Dalem, atau bupati pertama dan

penghabisan dari Cianjur yang merdeka secara “de facto”

R. Wira Tanu wafat tahun 1633 dimakamkan di Kampung Majalaya,

Desa Cijagang, Kecamatan Cikalongkulon, Kabupaten Cianjur. Sekarang

banyak orang yang berziarah ke makam beliau. Makam tersebut diberi nama

“Dalem Cikundul”. Beliaulah yang paling populer di antara anak cucu

keturunan R. Wangsa Goparana.

2. Sakralitas makam Dalem Cikundul

Pensakralan terhadap makam Dalem Cikundul bersumber dari

Kharisma yang dimiliki R. Wira Tanu. Dulu, pada saat Dalem Cikundul

dilahirkan, banyak kejadian-kejadian yang menandai kelahirannya. Di antara

ciri-ciri yang dimiliki oleh Dalem Cikundul:

a. Dalam penuturan sebagian penduduk: saat sang bayi lahir, diketahui

oleh kakek dan nenek ahli Sunda Sanghyang dari Negeri Talun (kini

termasuk Desa Ponggang, Kecamatan Sagalaherang, Kabupaten

Subang) bahwa jari telunjuk dan jari tengah sang bayi sama tinggi dan

sama besarnya. Menurut terkaan si kakek, sang bayi inilah yang besok

akan menjadi raja Sunda.

Page 51: NIA PURNAMASARI-FUF.pdf

b. Pangeran Jaya Lalana/Jaya Sasana/R. Dalem Cikundul sejak burey

(anak sekitar umur tiga tahun) mempunyai kegemaran naik ke bukit dan

menghadap ke arah kiblat, dengan seolah-olah merenung serta

menerawang. Banyak penduduk mengetahui bahwa sang burey itu

mempunyai indera yang tajam luar biasa, terutama pendengaran,

penglihatan, perabaan, dan gaung suara yang berat (sekali pun berisik,

tapi masih dapat didengar oleh orang yang dipanggil).

c. Beberapa minggu sebelum sang jabang bayi dilahirkan, di langit

sebelah tenggara muncul bintang kemukus yang berwarna kuning

keemasan, dengan ekornya menunjuk ke arah kiblat. Kemudian, begitu

sang jabang bayi lahir dengan selamat, tanpa disadari bintang kemukus

tersebut hilang dari pandangan.

d. Nama Sagalaherang bukan dari kata “Sagara dan Herang”, melainkan

dari sebuah kondisi: yakni begitu adzan berkumandang tanda syukur

atas lahirnya seorang jabang bayi, yang kemudian diberi nama

Pangerana Jaya Lalana, terdengar oleh rakyat di daerah Dayeuh Kolot

dan Cibodas yang secara naluriah tahu bahwa sang jabang bayi

putranda dari Kiyai Aria Wangsa Gofarana telah lahir. Sehingga, secara

serentak segala tabuh-tabuhan di Mesjid, Musholla, gardu-gardu,

kentongan-kentongan antarkampung, ditalu dengan gemuruh. Pelita

dipasang di segala tempat, jalan-jalan, tempat-tempat pemandian dan

tempat-tempat orang berkumpul, jembatan-jembatan sampai ke tempat

Page 52: NIA PURNAMASARI-FUF.pdf

pekuburan rakyat/desa. Maka, muncullah sebutan “Sagalaherang”, yang

artinya: segalanya bercahaya terang benderang.

Page 53: NIA PURNAMASARI-FUF.pdf

BAB IV

MAKAM DALEM CIKUNDUL

DAN PERUBAHAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT

Jika dilihat secara kasat mata, makam Dalem Cikundul nampak sama

dengan makam-makam lainnya yang ada di sana. Namun, kharisma yang dimiliki

oleh R. Aria Wira Tanu, atau lebih dikenal dengan Dalem Cikundul (penghuni

makam tersebut), bagi penduduk nampak berbeda. Perjuangan dan jasa-jasa yang

telah diberikannya membuat orang di sekitarnya, atau yang mengenalnya dari

sejarah, menganggap bahwa beliau adalah orang suci yang dekat dengan Allah

swt. dan bisa memberikan karomah bagi siapa saja yang mendoakannya.

Meskipun dunia sudah semakin modern dan teknologi berkembang begitu pesat,

penghormatan dan pengeramatan terhadap Dalem Cikundul masih berlangsung

hingga saat ini.

Kehadiran atau keberadaan makam Dalem Cikundul yang dikeramatkan

tersebut selalu dikunjungi oleh para peziarah dari berbagai kota, baik dari dalam

kota maupun luar kota, bahkan dari luar negeri sekali pun. Tidak dapat dipungkiri,

keberadaan makam ini cukup berpengaruh terhadap kehidupan sosial, ekonomi,

dan keagamaan masyarakat yang berada di lingkungan makam tersebut. Pengaruh

tersebut dapat bersifat negatif maupun positif.

Sisi positif yang bisa diambil dari keberadaan makam tersebut adalah

dalam segi ekonomi. Dengan adanya makam, otomatis akan banyak peziarah yang

datang. Kedatangan peziarah membuat masyarakat berpikir kreatif untuk

Page 54: NIA PURNAMASARI-FUF.pdf

melakukan perdagangan demi menunjang hidupnya. Selain itu, para pemuda dapat

memanfaatkan lahan kosong yang bisa dijadikan tempat parkir, lalu mereka bisa

berkontribusi sebagai petugas parkir.

Akan tetapi, kita patut prihatin akan dampak negatif yang bisa ditimbulkan

oleh keberadaan makam tersebut. Misalnya, ada orang yang lebih percaya kepada

makam dan menyalahartikan maksud dan tujuan berziarah. Hal itu menimbulkan

pengikisan akidah umat.

Dari hasil penelitian yang penulis lakukan, banyak informasi yang penulis

dapatkan di sana. Salah satunya adalah bahwa ternyata keberadaan makam Dalem

Cikundul dapat memberikan keberkahan pada masyarakat di sekitar makam

maupun pada peziarah.

Untuk mengetahui lebih jauh bagaimana hasil penelitian yang penulis

lakukan, di bawah ini penulis akan memaparkan hasil penelitian mengenai

perubahan-perubahan yang terjadi pada masyarakat sekitar makam Dalem

Cikundul dengan melihat kehidupan sosial, ekonomi, dan keagamaan.

A. Perubahan Kehidupan Sosial

1. Perubahan sosial yang terjadi sebelum tahun 1990

Perubahan adalah suatu keniscayaan yang tidak akan ada seorang pun

yang bisa menghentikannya. Laju pertumbuhan terus berkembang; perubahan

akan terus dan terus terjadi seiring dengan generasi-generasi baru yang terus

bermunculan.

Begitupun dengan masyarakat. Masyarakat selalu dinamis, tidak statis.

Masyarakat di mana pun pasti akan mengalami perubahan-perubahan. Namun,

perubahan itu ada yang cepat, ada juga yang lambat. Seperti halnya

Page 55: NIA PURNAMASARI-FUF.pdf

masyarakat yang berada di sekitar makam Dalem Cikundul, mereka

senantiasa mengalami perubahan dari waktu ke waktu.

Dahulu, sebelum memasuki tahun 1990 atau lebih tepatnya tahun

1970-an, lokasi di sekitar makam tidak sepadat sekarang: daerahnya masih

berupa hutan; belum banyak penduduk yang tinggal di sana; dan rumah-rumah

pun masih jarang. Tidak hanya itu, yang berjualan di sana tidak begitu banyak;

kurang lebih ada sembilan atau sepuluh pedagang. Seperti yang dituturkan

oleh pak TW:

”.....kapungkur mah nya neng didieu masih hutan keneh, teu acan aya

bumi-bumi cara ayeuna, bapak ge kapungkur mah teu didieu, tapi dipalih

kulon cakeut mimih, terang teu? Anu dagang ge henteu rame cara ayeuna,

paling ge aya meureun salapan atawa sapuluh jongko, eta mun teu salah mah

tahun 1970-an, tapi ayeuna mah tos rame.....”38

(“dulu mah ya neng di sini masih hutan, belum ada rumah-rumah seperti sekarang, bapak aja dulu tidak

tinggal di sini, tapi di sebelah barat dekat rumah Mimih, tau engga? Yang dagang juga tidak seramai sekarang, paling Cuma sembilan atau sepuluh

jongko, itu kalo engga salah mah tahun 1970-an, tapi sekarang mah udah rame”)

Pada tahun 1990-an, yang bertepatan dengan pemerintahan Orde baru,

di mana pembangunan terus digalakkan, masyarakat merasakan kesejahteraan

dan ketentraman. Pada masa inilah kedatangan peziarah membludak. Namun,

bukan berarti sebelumnya tidak ada peziarah. Akan tetapi, puncaknya peziarah

yang datang terjadi pada masa Orde Baru atau sekitar tahun 1990-an.

Tabel I. Perubahan Jumlah Peziarah dari Tahun ke Tahun

Tahun Jumlah Peziarah

1990 184.329 orang

1991 230.611 orang

38Wawancara pribadi dengan Bapak TW, Cijagang, 20 Januari 2009.

Page 56: NIA PURNAMASARI-FUF.pdf

1992 236.980 orang

1993 253.441 orang

1994 307.245 orang

1995 329.078 orang

1996 401.077 orang

1997 438.743 orang

1998 350.526 orang

1999 371.538 orang

2000 296.501 orang

2001 270.017 orang

2002 297.615 orang

2003 257.779 orang

2004 238.040 orang

2005 237.779 orang

2006 276.076 orang

2007 178.571 orang

Sumber: data diambil dari pendaftar pengunjung

Banyaknya peziarah yang datang biasanya pada bulan-bulan tertentu

saja, seperti pada bulan Mulud dan Rajab, apalagi jika Kliwon. Pada jumat

Kliwon di bulan Mulud atau Rajab, peziarah yang datang begitu banyak,

hingga memadati perkampungan warga. Bahkan, peziarah yang datang

membawa kendaraan tidak bisa parkir di sana, mereka harus memarkir

kendaraannya di dekat rumah-rumah penduduk sehingga untuk menuju ke

makam mereka harus rela berjalan kaki. Hal itu terjadi karena sarana parkir

kurang memadai. Seperti apa yang diungkapkan oleh mang UF, penjaga tol

masuk:

”....emang kangtos rame pisan, itu tuh nuju zamanna pak Harto,

kuncenna masih keneh mang Tarya, anu ziarah seueur, nu ziarah ge sampe

kudu jalan kaki sagala, soalna mobilna teu tiasa leubeut, nya kan lapangan

Page 57: NIA PURNAMASARI-FUF.pdf

parkirna ge kur aya anu aya dijero wungkul teu acan aya anu didieu.....”39

(“memang sempet rame banget, itu tuh waktu zaman pak Harto, kuncennya

masih mang Tarya, yang ziarah banyak mereka sampai harus jalan kaki,

soalnya mobilnya engga bisa masuk, ya karena lapangan parkirnya Cuma yang di dalam doang yang belakang belum ada”)

Hal senada pun diungkapkan oleh ID (petugas parkir/K. 5), ”enya

kapungkur mah sarana parkirna kurang jadi anu parkir ngamankeunna agak

hese,”40 (“iya dulu sarana parkirnya kurang jadi kita-kita yang parkir

ngamaninnya agak susah”)

Peziarah yang datang terdiri dari berbagai daerah, tidak hanya dari

dalam kota saja melainkan dari luar kota bahkan luar negeri yang pernah

datang, umunya mereka hanya berwisata saja dan menikmati keindahan

pemandangannya. Tidak hanya itu, pejabat daerah dan kru TV pun pernah

datang ke makam Dalem Cikundul.

Tabel II. Data Instansi yang Pernah Datang

No. Instansi yang Pernah Datang

1 Kapolda Jawa Tengah

2 Pangdam III Siliwangi

3 Rektor IPB Bogor

4 Rektor Jayabaya

5 Gubernur LEMHANAS

6 DAN REM OGI SK

7 DANDIM 1018 Cianjur

8 Bupati Cianjur

9 KAJARI Cianjur

10 Mentri Kehutanan RI

11 Wakil Gubernur Jawa Barat

39Wawancara pribadi dengan mang UF, Cijagang, 21 januari 2009.

40Wawancara ribadi dengan ID, Cijagang, 21 Januari 2009.

Page 58: NIA PURNAMASARI-FUF.pdf

12 Anggota DPR Cianjur

13 Kapolres Cianjur

14 Crew TV-Jkt

15 Crew TVRI

16 Crew Trans TV

Sumber: data diambil dari pendaftaran pengunjung

Tabel III. Data Warga Negara yang Pernah Datang

No. Nama negara Jumlah orang

1 Austria 1 orang

2 Australia 8 orang

3 Brunei 41 orang

4 Belanda 12 orang

5 Kanada 1 orang

6 India 1 orang

7 Inggris 2 orang

8 Jepang 3 orang

9 London 1 orang

10 Malaysia 23 orang

11 Perancis 2 orang

12 Singapura 10 orang

13 Swedia 2 orang

14 Thailand 6 orang

15 Swiss 1 orang

16 Turki 1 orang

17 USA 1 orang

Sumber: data diambil dari pendaftaran pengunjung

Manusia memiliki garis hidup yang beragam; tidak semua orang

memiliki nasib yang sama. Ada yang kaya dan ada yang miskin. Di tempat

ziarah mana pun, selalu ada orang-orang fakir miskin yang mengais rezeki

dari belas kasih orang lain. Begitu pula yang terjadi di makam Dalem

Cikundul.

Page 59: NIA PURNAMASARI-FUF.pdf

Seiring dengan berjalannya waktu, perubahan demi perubahan terus

terjadi. Perubahan tidak hanya terjadi di masyarakat pedagang atau pun para

peziarah yang datang dan terus berkembang. Perubahan yang cukup signifikan

terjadi dalam kepengurusan makam. Dulu, sebelum negara ini melakukan

reformasi, makam Dalem Cikundul dikelola oleh yayasan Wargi Cikundul,

tapi sekarang, setelah reformasi, makam Dalem Cikundul di bawah naungan

Desa.

2. Perubahan sosial yang terjadi setelah tahun 1990

Seperti sudah disinggung sebelumnya, banyaknya peziarah yang

datang terjadi sekitar tahun 1990-an. Lain halnya ketika memasuki tahun

2000. Jumlah pengunjung/peziarah semakin menurun dari tahun ke tahun.

Reformasi menandai babak baru pemerintahan Indonesia. Krisis

moneter yang melanda bangsa ini berpengaruh kepada semua lapisan

masyarakat, mulai dari masyarakat kota hingga masyarakat desa, tidak

terkecuali masyarakat Makam Dalem Cikundul.

Meskipun krisis dan jumlah pengunjung semakin menurun, tapi hal itu

tidak mematahkan semangat para pedagang untuk tetap berjualan. Jumlah

pedagang malah semakin bertambah yang tadinya 30 orang menjadi 60 orang

lebih. Seperti apa yang dituturkan oleh ID (petugas K.5/parkir),

“......abdi kirang terang pami tahun 1990-an mah, tapi mun teu lepat

anu dagang didieu kurang leuwih kapungkur mah aya 30 urangan, tapi

ayeuna tos aya 60 urang leuwih meureun, eta teh teu acan anu dagang

asongan seperti tukang keresek, tukang bakso, tukang bubur sareng nu

sanesna, mun di itung-itung aya meureun 70 urangan mah......”41

(“saya

kurang tau percis kalo tahun 1990-an, tapi sepengetahuan saya yang dagang di

41Wawancara pribadi dengan ID, Cijagang, 21 Januari, 2009.

Page 60: NIA PURNAMASARI-FUF.pdf

sini kurang lebih dulu ada 30 oranglah, tapi sekarang udah ada kali 60 orang

lebih mah, itu belum termasuk yang dagang asongan, tukang kresek, tukang

bakso dan lainnya, mungkin kalo di itung-itung ada 70-an orang lebih mah”)

Para pedagang yang masih juga berjualan meskipun sepi adalah Ibu

NN dan Ibu NE, berikut penuturannya: “Biasana ge dagang teh tiap hari tara

pernah tutup cara ayeuna ning, bari sepi ge da nu meser mah aya wae.”42

(“biasanya juga dagang tiap hari engga pernah tutup seperti sekarang,

walaupun sepi yang beli mah ada aja”)

“.....warung buka tiap hari tapi ayeuna mah sepi neng, tapi warung

mah tetep buka, nu meser paling urang dieu wungkul, tutup paling jam

salapan weungi tapi mun masih rame kadang dugikeun ka jam sapuluh.....”43

(“warung buka tiap hari tapi sekarang mah sepi neng, tapi warung mah tetep

buka yang beli paling orang-orang sini aja, tutup paling jam sembilan malam

tapi kalo masih rame kadang nyampe jam sepuluh”)

Tapi lain halnya yang dilakukan oleh Bapak TW, warungnya buka

kalau rame saja, berikut penuturannya, “Tapi ayeuna mah karena sepi jadi

dagangna ngan pas rame wungkul, cara ayeuna sepi jadi tutup we.”44

(“kalo

dulu jualannya tiap hari sampe 24 jam kali, tapi sekarang karena sepi jadi buka

pas rame aja kayak sekarang sepi jadi tutup aja”)

Berkurangnya pengunjung tidak mengurangi jumlah peminta-minta,

justru semakin banyak, walaupun mereka minta-minta Cuma waktu-waktu

tertentu saja. Seperti yang diungkapkan oleh Ibu YY, “abdi nyuhunkeun di

dieu pas hari-hari tertentu wungkul, lamun rame karek kadieu, lamun teu

42Wawancara pribadi dengan Ibu NE, Cijagang, 20 Januari, 2009.

43Wawancara pribadi dengan Ibu NN, Cijagang, 19 Januari, 2009.

44Wawancara pribadi dengan Bapak TW, Cijagang, 20 Januari, 2009.

Page 61: NIA PURNAMASARI-FUF.pdf

rame mah tara kadieu.”45

(“saya minta di sini pas hari-hari tertentu saja, kalo

rame baru kesini kalo engga rame mah engga pernah ke sini”)

Dari pertama jalan memasuki makam akan nampak pemandangan yang

memprihatinkan, potret tempat ziarah. Peziarah akan menemui para peminta-

minta dari beragam usia, mulai dari anak-anak, remaja bahkan orang tua.

Ketika kita menaiki anak tangga, para peminta-minta berjejer bahkan di

samping gerbang kuburan banyak peminta-minta yang memasang alat dari

botol bekas aqua yang diikatkan pada bambu sebagai alat untuk memudahkan

para dermawan untuk memberikan sebagian rezekinya.

Selain itu, kepengurusan makam yang awalnya dikelola oleh yayasan

kini beralih dikelola oleh desa. Sejak reformasi bergulir di DPR, kepengurusan

makam pun mengalami reformasi. Ada kecemburuan sosial yang terjadi pada

sebagian masyarakat, sehingga mereka meminta supaya dilakukan reformasi

pada kepengurusan makam. Hal tersebut seperti apa yang dituturkan oleh Pak

AS selaku kuncen (juru kunci) di sana,

“....perubahan yang terjadi sejak reformasi, karena ada kecemburuan

sosial pada sebagian masyarakat, sehingga terjadilah perubahan-perubahan,

makam yang tadinya dikelola oleh yayasan sekarang dikelola oleh desa.....”46

Hal senada juga diungkapkan oleh Bapak EW, “Kapungkur mah

dikelola ku Yayasan Wargi Cikundul tapi saatos tahun 1998 dikelola ku

desa.” (“dulu dikelola oleh yayasan Wargi Cikundul tapi sejak tahun 1998

dikelola oleh desa”)

45Wawancara pribadi dengan Ibu YY, Cijagang, 19 Januari 2009.

46 Wawancara pribadi dengan Bapak AS, Cijagang, 25 Januari 2009.

Page 62: NIA PURNAMASARI-FUF.pdf

Kemudian, perubahan yang cukup menonjol adalah keterlibatan ketua

RT tiap-tiap ke Rt-an yang dilibatkan untuk menjadi juru kunci (kuncen).

B. Perubahan Kehidupan Ekonomi

1. Komersialisasi Makam

Dalam perkembangan kehidupan ekonomi masyarakat, keberadaan

makam keramat Dalem Cikundul telah banyak memberikan keberkahan

kepada masyarakat sekitarnya. Apalagi dalam hal ekonomi. Masyarakat tidak

lagi mengandalkan pekerjaan hanya dalam sektor pertanian saja, melainkan

bertambah ke dalam sektor perdagangan. Kejelian masyarakat dalam melihat

potensi yang dimiliki untuk melakukan perdagangan telah turut serta dalam

menambah income untuk desa atau pemerintah daerah.

Para pedagang yang menempati warung (jongko) tetap atau permanen

harus membayar infak kepada desa. Besarnya tergantung tempatnya. Jika

warung (jongko) yang berada di depan sebelum memasuki makam infaknya

sebesar Rp. 10.000 perbulan. Sedangkan warung (jongko) yang di bawah

dekat makam infaknya Rp. 30.000 perbulan. Hal ini seperti yang dituturkan

oleh Ibu NN.

“....artos anu dihasilkeun biasana mah di anggo kanggo sewa

tempat/infak Rp. 30.000 sasasih, soalna tanah nu di anggo tanah wakaf, teras

kanggo meser barang dagangan anu tos seep, dagang pan aya sepina tara

angeur, jadi kedah pinter-pinter urang, lamun penghasilan langkung ageung,

biasana dimanfaatkeun kanggo meser barang-barang anu tos seep......”

(“uang yang dihasilkan biasanya dipakai untuk sewa tempat/infak Rp. 30.000

sebulan, soalnya tanah yang dipakai adalah tanah wakaf, terus untuk beli

barang dagangan yang sudah habis, dagangkan ada sepinya tidak pernah sama, jadi gimana pinter-pinter kita, kalo penghasilan lebih besar biasanya

dimanfaatkan untuk membeli barang-barang yang telah habis”)

Page 63: NIA PURNAMASARI-FUF.pdf

Begitupun yang dilakukan oleh Ibu NE, berikut penuturannya,

“.....artosna nya kanggo emam sadidinteun, kadang incu sok

nyuhunkeun ongkos jang sakola kadieu, soalna indung bapakna mah jarang

masihan acis, kanggo, kredit elektronik seperti TV, Rice Cooker, sareng

kanggo sewa jongko Rp. 10.000 sasasih.......” (“uangnya ya buat makan sehari-hari, kadang cucu suka minta ongkos tuk sekolah kesini, soalnya orang

tuanya jarang ngasih uang, buat kredit elektronik kayak TV, Rice cooker, sama buat sewa jongko Rp. 10.000 sebulan”)

Di samping itu, adanya objek wisata ziarah makam Dalem Cikundul

memberikan banyak perubahan bagi pembangunan makam, terbukti dengan

dibangunnya mesjid, memperbaiki jalan yang telah rusak, dan lain-lain.

Bahkan setiap tahunnya, objek wisata ziarah makam Dalem Cikundul

memberikan income buat desa sebesar Rp. 17 juta tiap tahunnya.

Selain itu, sebelum para peziarah memasuki makam Dalem Cikundul,

mereka harus melalui gerbang masuk terlebih dahulu, dengan membayar tiket

masuk yang ketentuannya sudah diatur oleh Perda No. 11 tahun 2005. Adapun

ketentuan yang berlaku adalah sebagai berikut: untuk satu orang Rp. 1000,

untuk sepeda motor Rp. 1000, untuk Bis Rp. 2.500, dan untuk sedan, colt,

truck dan sebagainya Rp. 1.500. uang-uang tersebut disetorkan ke Pemda

setiap dua minggu sekali dengan besar penghasilan 60% masuk ke kas desa,

40% masuk ke kas Pemda.

Sedangkan jika di lapangan, peziarah yang hendak memarkirkan

kendaraannya harus mematuhi peraturan yang ada. Mereka harus membayar

uang K5 (kebersihan, keindahan, kenyamanan, keamanan, dan ketertiban) atau

parkir, besarnya: untuk mobil Rp. 5000, untuk Colt Rp. 10.000, untuk Bis Rp.

20.000, dan untuk Motor Rp. 1000. untuk hak kelola K5 atau parkir tersebut

Page 64: NIA PURNAMASARI-FUF.pdf

diserahkan kepada Karang Taruna sebagai organisasi kepemudaan atas SK

dari Kepala Desa.

Dalam Karang Taruna terdapat berbagai divisi salah satunya yaitu K5

atau parkir. Dalam K5 atau parkir tersebut dibagi kedalam 9 group yang terdiri

dari 7 orang. Biasanya uang dari hasil K5 atau parkir diberikan ke kas Karang

Taruna sebesar Rp. 7000 perminggu, selebihnya dibagi rata kepada yang

bertugas saat itu, yang dikoordinir oleh ketua group masing-masing. Hal ini

seperti apa yang dituturkan oleh KK selaku ketua Karang Taruna.

“.....sebenarnya sih petugas K5 atau kasarnya mah tukang parkir bukan

seutuhnya pengangguran, karena mereka juga bekerja serabutan, ada yang jadi

tukang ojek, ada yang suka ke pasir nyari kayu, ada yang ngajar dan lainnya,

jadi tukang parkir hanyalah sampingan sajalah, lumayan atu kanggo nambah

penghasilan. Sesepi-sepinya masih tetep dapat uang walaupun Cuma Rp.5000.

dan yang jadi tukang parkir adalah anggota Karang Taruna, usianya sekitar 25

s/d 40 tahun.. karena gini, kita udah dikasih kepercayaan oleh Kepala Desa

untuk bertanggung jawab dalam mengelola parkir dan itu ada Sk nya. Di Karang Taruna sendiri yang bertugas menjadi petugas K5 terdiri dari 9 group,

satu group terdiri dari 7 orang dan mereka bekerja di roling, mereka bekerja setiap hari selama 24 jam, mereka di tempat-tempat yang sudah disepakati,

memang kelihatannya mereka engga ada, padahal mereka ada, biasanya mereka bersembunyi di warung-warung. Penghasilan yang didapatkan terserah

group mereka mau digimanain tapi yang jelas mereka harus ngasih ke kas Karang Taruna pergroup sebesar Rp. 7000 perminggunya. Kalo lagi sepi, kita

pake sistem ngutang, kayak gini di saat sepi mereka engga bayar tapi aklo lagi

rame mereka bayar double, karena engga mungkinkan sepei terus, pasti ada

ramenya, uang yang Rp. 7000 itu untuk kemajuan Karang Taruna....”47

Ekonomi sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia. Jenis

pekerjaan apapun akan dilakukan demi bisa survive hidup di dunia. Ada

banyak faktor yang melatarbelakangi kenapa mereka harus bekerja. Salah

satunya karena agama, sebagaimana yang dibahas oleh Max Weber, di mana

47Wawancara pribadi dengan KK, Cijagang, 26 Januari 2009.

Page 65: NIA PURNAMASARI-FUF.pdf

prinsif agama (dalam hal ini calvinis) sangat kondusif bagi pertumbuhan

ekonomi (kapitalisme).

Namun, di lapangan penulis tidak menemukan hal tersebut. Dari

beberapa responden yang diteliti, mereka mengatakan motivasi mereka

bekerja adalah faktor kebutuhan. Sebagaimana yang dituturkan oleh EW,

“.....motivasi saya mau menjadi kuncen (juru kunci) itu karena:

pertama, kepercayaan masyarakat yang menganggap bahwa saya memiliki

kelebihan yaitu ilmu. kedua, karena ibadah. Dan yang ketiga ya karena materi,

saya tidak memungkiri bahwa saya butuh materi untuk bertahan hidup, da

urang mah sanes banceuy ( kita mah bukan banceuy)......”

Hal tersebut sama seperti yang diungkapkan oleh Ibu NE, “abdi mah

dagangn nya karena butuh” (saya dagang ya karena saya butuh).

Begitupun yang diungkapkan oleh mang UF, “abdi mah damel didieu

teh da butuh mun teu aya padamelan anu sanes mah hoyong ngalih tapi

zaman ayeuna milari damel teh da ninganan susah.” (“saya kerja di sini

karena butuh kalo ada pekerjaan lain, pengen pindah tapi zaman sekarang

nyari kerja susah”)

2. Tumbuh dan Berkembangnya Peziarah

Pada hakekatnya berziarah ke makam adalah untuk menyadarkan

manusia bahwa hidup di dunia hanya sementara, suatu saat kita juga akan

menjadi bagian dari penghuni makam tersebut. Orang yang berziarah ke

makam pada umumnya telah mengetahui siapa sebenarnya orang yang

menghuni makam tersebut. Informasi itu bisa didapatkan dari keluarga atau

pun tetangga. Seperti yang terjadi pada Ibu MA yang mengetahui makam

Page 66: NIA PURNAMASARI-FUF.pdf

Dalem Cikundul dari keluarganya. Para peziarah yang datang ada yang

bersama rombongan maupun datang sendiri-sendiri.

Kedatangan peziarah sangat dinantikan para pedagang. Karena dari

kedatangan merekalah sumber penghasilan didapat. Dagangan yang biasa

ditemui di sana adalah berbagai jenis makanan khas seperti manisan ceremai,

manisan malaka, lantak goreng, manisan belimbing, puruy, sale dan lain-lain.

Terdapat pula pernak-pernik seperti tasbih, mainan anak-anak, aksesoris, dan

lain-lain. Selain itu, warung nasi dan makanan-makanan ringan pun tersedia di

sana.

Tumbuh dan berkembangnya para peziarah memang bisa

meningkatkan taraf hidup masyarakat walaupun tidak banyak. Setidaknya

masyarakat bisa bertahan hidup di tengah masyarakat yang dilanda krisis.

Namun, akhir-akhir ini jumlah peziarah semakin menurun dan itu berpengaruh

terhadap penghasilan para pedagang maupun orang-orang yang mengandalkan

hidup dari para peziarah. Seperti apa yang diungkapkan oleh Ibu NN, berikut

penuturannya,

“.....ayeuna mah sepi paling kengeng ngan ukur Rp. 30 ribu atawa 40

ribu sadinten, lamun rame paling Rp. 200-300 ribu sawengi tara pernah

langkung, tapi pernah waktu zaman pak Harto, kengeng ageung sampe

kapeser emas renceum kenca katuhu, tapi saatos krismon bujeng-bujeng

kengeng sakitu sareng deuih nu ziarah teh ayeuna mah sok nyarandak bekel

nyalira paling kadieu mah meser rencangna wungkul......” (“sekarang mah

sepi paling dapet Cuma Rp. 30 ribu atau 40 ribu sehari, kalo rame paling

Cuma Rp. 200 ribu semalam engga pernah lebih, tapi pernah waktu zaman

Pak Harto, penghasilan besar sampe bisa beli emas gelang kiri kanan, tapi

setelah krismon boro-boro dapet segitu dan lagi yang ziarah sekarang suka

bawa makan sendiri kesini Cuma beli lauknya doang”)

Page 67: NIA PURNAMASARI-FUF.pdf

Tidak hanya Ibu NN yang merasakan hal tersebut tapi yang lainnya

juga merasakan hal tersebut. Karena sumber keuangan berada pada

kedatangan para peziarah. Ibu NE pun mengalami hal yang sama, berikut

penuturannya,

“....penghasilan teu tangtos, kadang kengeng 300 ribu, komo mun sepi

paling kengeng 30 ribu atawa 50 ribu, kadang-kadang teu kengeng sama

sakali, tapi pernah sakali kengeng sajuta sawengi, bulan mulud jum’at kliwon

mun teu salah mah, tapi waktu zaman pak Harto......” (“penghasilan engga

tentu kadang dapet 300 ribu, apalagi kalo sepi paling dapet 30 ribu atau 50

ribu, kadang-kadang engga dapet sama sekal, tapi pernah sekali dapet satu juta

semalem, bulan mulud jum’at kliwon kalo engga salah, tapi waktu zaman pak

Harto”)

Tapi lain halnya yang dirasakan oleh bapak AS dan Ibu YY, menurut

mereka banyaknya peziarah tidak berpengaruh terhadap penghasilan mereka,

berikut penuturannya. Menurut Ibu YY, “Teu ngaruh-ngaruh teuing sih,

soalna pernah keur rame malah teu meunang acis sama sekali” (“tidak

berpengaruh banget sih, soalnya, waktu rame malah tidak dapat uang sama

sekali”), sedangkan menurut bapak AS, “ka bapak mah teu ngaruh soalna

bapak jadi kuncen teh dah penghormatan ka bapak karena dipinta ku desa,

lagian bapak mah niatna ge ibadah” (“buat bapak tidak berpengaruh, soalnya,

bapak jadi kuncen sebagai penghormatan karena dipinta oleh desa, lagi pula

bapak mah niatnya juga ibadah”)

C. Perubahan Kehidupan Keagamaan

Penulis membatasi perubahan keagamaan di sini pada kepercayaan

terhadap yang sakral (atau yang gaib) dan ritual (atau kegiatan keagamaan).

1. Kepercayaan kepada yang sakral atau yang gaib

Page 68: NIA PURNAMASARI-FUF.pdf

Yang dimaksud dengan kepercayaan kepada yang sakral atau yang

gaib di sini adalah kepercayaan terhadap ruh. Ruh merupakan perkara gaib,

yang tidak bisa diraba oleh tangan, dilihat oleh mata, dan dijangkau oleh akal.

Namun, umat muslim mempercayai dan mengimani akan eksistensinya.

Dalam dunia yang semakin modern ini, di mana teknologi semakin

canggih, dan temuan-temuan baru semakin bermunculan, kepercayaan

masyarakat terhadap yang sakral atau yang gaib tidak berubah.

Penulis melihat tidak ada perubahan dalam hal kepercayaan terhadap

yang sakral atau yang gaib. Semua responden mempercayai bahwa ruh Rd.

Aria Wira Tanu atau Dalem Cikundul bisa memberikan keberkahan kepada

masyarakat maupun kepada pengunjung. Berikut penuturan mereka Bapak

AS,

“....ruh ngadatangan kuburna saatos 3 hari, 7 hari, sabulan, bulan-

bulan tertentu, bahkan tiap tahun, meureun ceuk roh teh, ‘euh itu aing keur

didaharan ku cacing’, lamun urang-urang mah, moal bisa masihan

kaberkahan kecuali orang-orang anu boga elmu, soalna ku elmuna eta tiasa

masihan kaberkahan jang batur, soalna anjeuna langkung cakeut jeung gusti

Allah......” (“ruh akan mendatangi kuburnya setelah 3 hari, 7 hari, satu bulan, bulan-bulan tertentu, bahkan setiap tahun. Mungkin kata ruh teh, ‘oh ternyata

itu jasad saya yang sedang di makan cacing’, kalo orang seperti kita, kita

tidak bisa memberikan keberkahan kecuali orang-orang yang berilmu,

soalnya karena ilmunya itu bisa memberikan keberkahan kepada orang lain,

karena ia lebih dekat dengan Allah swt.”)

Hal senada diungkapkan ID,

“....saya percaya yen ruh Rd. Aria Wira Tanu tiasa masihan

kaberkahan ka urang, komo ka nu didagang anu ngagantungkeun ekonomina

ka nu ziarah nya karena aya makam eta, teras bisa membuka lapangan

pekerjaan eta buktina kaberkahan ayana makam.....” (“saya percaya bahwa

ruh Rd. Aria Wira Tanu bisa memberikan keberkahan kepada kita, apalagi

bagi pedagang yang menggantungkan ekonominya kepada peziarah ya karena ada makamnya, terus bisa membuka lapangan pekerjaan eta buktina

keberkahan adanya makam”)

Page 69: NIA PURNAMASARI-FUF.pdf

Lain halnya yang diungkapkan oleh bapak EW, “ruh moal mere

nanaon soalna tos teu aya, anu dicari ku urang mah karomahna” (“ruh tidak

akan memberikan apa-apa, soalnya udah engga ada yang dicari oleh kita

adalah karomahnya”)

Dan bagi MA, dia tidak hanya percaya bahwa ruh bisa memberikan

keberkahan, tapi juga ia bisa merasakannya, berikut penuturannya,

“.....tiap kali saya datang, dan berziarah ke sini, selalu ada

manfaatnya, batin saya jadi lebih tenang, setiap kali datang ke sini selalu ada

peruabahan salah satunya ya itu tadi, perubahan itu bukan karena

makamnya tapi karena ziarah yang saya lakukan hanya sebagai syareat saja

hakikatnya tetap dari Allah swt., Kalo ada yang mengatakan bahwa itu

bid’ah atau apapun itu, bagi saya itu hak orang terserah kepercayaan

masing-masing, tapi bagi saya ziarah ke makam apalagi makam wali

disunahkan oleh Rasulullah SAW......”

Meskipun mereka masih mengimani dan meyakini akan keberkahan

yang diberikan ruh Rd. Aria Wira Tanu/Dalem Cikundul, demi menjaga

supaya peziarah tidak salah dalam memaknai ziarah mereka, sebelum

memulai tawasul, biasanya juru kunci (Kuncen) mengingatkan terlebih

dahulu bahwa kita tidak boleh meminta kepada kuburan, akan tetapi kita

hanya berdoa kepada Allah swt. Ziarah hanya sebagai jalan atau syariat saja.

Tidak ada ritual khusus dalam pelaksanaan ziarah, yang dilakukan

oleh peziarah hanya tawasul saja. Walaupun ada para peziarah yang

melakukan mandi di tempat-tempat yang dianggap keramat seperti

pemandian Cijagang, Cikahuripan, dan Ciasihan. Demi menjaga niat baik

para peziarah, biasanya juru tawasul/kuncen sebelum melakukan tawasul suka

Page 70: NIA PURNAMASARI-FUF.pdf

mengingatkan kepada pengunjung bahwa mereka hanya berdoa kepada Allah

swt. saja bukan kepada makam/eyang.

2. Ritual atau Kegiatan Keagamaan

Dalam kegiatan/ritual keagamaan di sini adalah Peringatan Hari Besar

Islam (PHBI). Dalam kegiatan keagamaan tidak ada yang berbeda dari tiap

tahunnya, kegiatan yang biasanya dilakukan adalah Mauludan, Rajaban, dan

Muharraman (dalam menyambut tahun baru Islam). Sebagaimana diketahui

bahwa bulan Mulud adalah bulan yang sangat istimewa bagi umat Islam,

karena pada bulan inilah baginda besar kita Muhammad SAW dilahirkan.

Begitupun dengan bulan Rajab, di mana Rasulullah melakukan perjalanan

dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa hingga ke Sidratul Muntaha dan

mendapatkan tugas/perintah untuk melaksanakan sholat 5 waktu, peristiwa itu

dikenal dengan Isra Mi’raj.

Perayaan untuk memperingati Mauludan maupun Rajaban dari satu

tempat ke tempat yang lain hampir sama. Sama halnya dengan di daerah

makam. Di Majalaya sendiri, peringatan Mauludan dan Rajaban dilaksanakan

pada masing-masing mesjid dari tiap ke-Rtan secara bergilir setiap harinya.

Sedangkan di makam Dalem Cikundul peringatan Mauludan dan Rajaban

dilaksanakan sesuai kesepakatan dari 3 pihak, yaitu: Pengurus Makam

Keramat Cikundul, Desa dan Karang Taruna. Pelaksanaan Mauludan maupun

Rajaban yang diadakan di makam biasanya lebih ramai dibandingkan dengan

di mesjid-mesjid yang ada di Majalaya. Karena, selain diramaikan oleh para

peziarah, sudah menjadi kebiasaan untuk memperingati Maulud Nabi dan

Page 71: NIA PURNAMASARI-FUF.pdf

Rajaban selalu mengadakan Tablig Akbar dengan mengundang pembicara

(da’i) dari luar daerah. Peringatan tersebut sudah berlangsung sejak lama,

turun temurun dari dulu.

Sedangkan untuk memperingati tahun baru Islam (Muharram), agenda

yang selalu dilaksanakan adalah khitanan masal. Peserta khitan massal

diambil dari anak yang tidak mampu, anak yang sudah layak untuk dikhitan,

dan anak yang mau dikhitan walaupun usianya masih kecil. Pelaksanaan

khitan massal sudah berlangsung sejak tahun 1998 dengan Djarum Super

sebagai sponsor tetap. Djarum Super bisa menjadi sponsor tetap karena

hampir di setiap warung menjual rokok Djarum Super dan laris. Selain

Djarum Super, dana lain diperoleh dari donatur, serta mengajukan proposal

kepada instansi yang ada seperti PEMDA. Semua orang terlibat dalam

menyukseskan acara khitan masal tersebut, mulai dari kepala desa, aparatur

desa, ketua RT, pengurus makam, bahkan masyarakat seluruhnya.48

48Berdasarkan hasil pengamatan penulis atas informasi dari warga sekitar

yang bukan responden yang telah ditetapkan.

Page 72: NIA PURNAMASARI-FUF.pdf

OUT LINE

MAKAM KERAMAT DAN PERUBAHAN SOSIAL

(Studi Kasus di Masyarakat sekitar Makam Dalem Cikundul, Cianjur)

BAB I PENDAHULUAN

F. Latar Belakang Masalah

G. Pembatasan dan Perumusan Masalah

H. Tujuan dan Manfaat Penelitian

I. Metode Penelitian

J. Sistematika Penulisan

BAB II KAJIAN TEORI

D. Makam Keramat

3. Pengertian Makam Keramat

4. Simbol dan Sakralitas

E. Perubahan Sosial

4. Pengertian Perubahan Sosial ekonomi

5. Faktor-faktor Perubahan Sosial ekonomi

6. Pola-pola Perubahan Sosial ekonomi

F. Agama dan Perubahan Sosial

3. Peranan Agama dalam Perubahan Sosial

4. Agama dalam Proses Modernisasi

Page 73: NIA PURNAMASARI-FUF.pdf

5. Perubahan Sosial Keagamaan di Indonesia

BAB III GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

A. Gambaran Umum Kampung Majalaya

4. Geografi dan Demografi kampung Majalaya

5. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Majalaya

6. Kehidupan Keagamaan Masyarakat Majalaya

B. Makam Dalem Cikundul

1. Sejarah dan Perkembangan Makam Dalem Cikundul

2. Sakralitas Makam Dalem Cikundul

BAB IV MAKAM DALEM CIKUNDUL DALAM MENGUBAH

KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT

D. Perubahan Kehidupan Sosial

3. Pemahaman terhadap Sakralitas Makam

4. Stratifikasi Sosial dalam Birokrasi Makam

E. Perubahan Kehidupan Keagamaan

3. Tentang Tuhan

4. Kepercayaan terhadap Makhluk Halus

F. Perubahan Kehidupan Ekonomi

3. Komersialisasi Makam

4. Tumbuh dan Berkembangnya Peziarah

Page 74: NIA PURNAMASARI-FUF.pdf

BAB V PENUTUP

C. Kesimpulan

D. Saran

Page 75: NIA PURNAMASARI-FUF.pdf

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik. Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi. Jakarta: T. Pn, 1978.

Agus, Bustamin. Agama dalam Kehidupan Manusia. Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada, 2006.

Al-albani, M. Nashiruddin. Tuntunan Lengkap Mengurus Jenazah. Jakarta: Gema

Insani, 1999.

Ali, Mukti. Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini. Jakarta: CV. Rajawali, 1987

Burke, Peter. Sejarah dan Teori Sosial. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001

Chambert, Henri, dkk. Ziarah & Wali di Dunia Islam. Jakarta: PT. Serambi Ilmu

Semesta, 2007.

Damsar. Sosiologi Ekonomi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997.

Faisal, Sanapiah. Format-format Penelitian Sosial. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003.

Hidayat, Komarudin dan Muhammad Wahyudi Nafis. Agama Masa Depan.

Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003.

Jhonson, Doyle Paul. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jil. I, Jakarta: PT. Gramedia, 1986.

Kahdi, Dadang. Sosiologi Agama. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002.

Khaldun, Ibnu. Muqaddimah. Penerjemah Ahmadie Thoha. Jakarta: Pustaka

Firdaus, 2005.

Lauer, Robert H. Perspektif Perubahan Sosial. edisi ke-2. Jakarta: PT. Rineka

Cipta, 1993.

Nottingham, Elizabeth K. Agama dan Masyarakat. Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada, 2002.

Nurdin, Amin dan Ahmad Abrori. Mengerti Sosiologi. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006.

Page 76: NIA PURNAMASARI-FUF.pdf

Nurhadiansyah, Iman. "Pariwisata dan Perubahan Sosial". Skripsi S-1 Fakultas

Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2005.

OC, Hendropuspito. Sosiologi Agama. Jogjakarta: Kanisius, 1998.

_ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _. Sosiologi Sistematik. Jogjakarta: Kanisius, 1989.

O'dea, Thomas F. Sosiologi Agama. Jakarta: CV. Rajawali, 1985.

Pridhadhi, Endra K. Makhluk Halus dalam Fenomena Kemusyrikan. Jakarta: Salemba Diniyyah, 2004.

Qaradhawi, Yusuf. Sekular Ekstrim. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2000.

Rahmat, Jalaludin. Psikologi Agama. Bandung: Mizan, 2003.

Razaq, Yusron dan Ervan Nurtawab. Antropologi Agama. Jakarta: UIN Jakarta

Press, 2007.

Salim, Agus. Teori dan Paradigma Penelitian, Pemikiran Norman dan Egon

Guba. Jogjakarta: PT. Tirta Wacana Jogja, 2001.

Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: CV. Rajawali, 1986.

Subhani, Syaikh Fajar. Tauhid dan Syiriq Studi Kritis Faham Wahabi. Bandung:

Mizan, 1987.

Sucipto, Toto. "Budaya Spiritual di Lingkungan Makam Keramat Wangsa

Goparana Sagalaherang". Dalam Sindu Galba, ed. Budaya Spiritual

Masyarakat Sunda. Bandung: Alqaprint Jatinangor, t.t.

Syam, Nur. Islam Pesisir. Yogyakarta: LKis, 2005.

Sztompka, Piotr. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada, 2007.

Tumanggor, Rusmin. Sosiologi Perspektif Islam. Jakarta: UIN Jakarta Press,

2004.

Veeger, K. J. Realitas Sosial. Jakarta: PT. Gramedia, 1993.

Sejarah Singkat dan Silsilah Rd. Aria Wira Tanu Datar (Rd. Ngabehi Jayasasana)

Dalem Cikundul di tulis oleh Cc Irwansyah.

Wawancara pribadi dengan Ibu Maska’nah, 18 Januari 2009.

Wawancara pribadi dengan Ibu NN, 19 Januari 2009.

Page 77: NIA PURNAMASARI-FUF.pdf

Wawancara pribadi dengan Ibu YY, 19 Januari 2009.

Wawancara pribadi dengan Mang UF, 19 Januari 2009.

Wawancara pribadi dengan Ibu NE, 20 Januari 2009.

Wawancara pribadi dengan Bapak TW, 20 Januari 2009.

Wawancara pribadi dengan Bapak EW, 20 Januari 2009.

Wawancara pribadi dengan ID, 21 Januari 2009.

Wawancara pribadi dengan Bapak AS, 25 Januari 2009.

Wawancara pribadi dengan KK, 26 Januari 2009.

Page 78: NIA PURNAMASARI-FUF.pdf

Nomor : Istimewa

Lampiran : Satu berkas

Hal : Proposal Pengajuan Judul Skripsi

Kepada Yang Terhormat

Ketua Jurusan Sosiologi Agama

Di tempat

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Salam sejahtera saya sampaikan. Semoga kita selalu dalam lindungan Allah SWT dan senantiasa di beri kemudahan dan sukses dalam menjalankan aktivitas sehari-

hari.

Sehubungan dengan syarat untuk mendapatkan gelar S-1 pada Universitas Islam

Negri Syarif Hidayatullah Jakarta. Maka, saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Nia Purnamasari

NIM : 104032201031 Fak/Prodi : Ushuluddin dan Filsafat/Sosiologi Agama

Semester : IX

Bermaksud untuk mengajukan proposal skripsi dengan judul “Makam Keramat

dan Perubahan Sosial ekonomi (Studi Kasus di Masyarakat sekitar Makam

Dalem Cikundul, Majalaya, Cijagang, Cikalongkulon, Cianjur)”.

Sebagai bahan pertimbangan, maka saya lampirkan:

1. Out line Skripsi

2. Abstraksi

3. Daftar Pustaka Sementara

4. Sertifikat Praktikum

Demikian proposal ini saya ajukan, atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.

Wassalamua’laikum Wr. Wb.

Jakarta, 5

Agustus

2008

Dosen Pembimbing Akademik Pemohon

Dra. Jauharatul Jamilah, Msi Nia

Purnamas

ari

Mengetahui,

Ketua Jurusan Sosiologi Agama

Dra. Ida Rosyidah, M.A.

Page 79: NIA PURNAMASARI-FUF.pdf