ni putu oktaviani rinika pranitasari

112
TESIS LARUTAN PENCUCI HIDUNG SALIN ISOTONIS TIDAK TERBUKTI MEMPERCEPAT WAKTU TRANSPOR MUKOSILIA PADA RINOSINUSITIS AKUT NI PUTU OKTAVIANI RINIKA PRANITASARI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015

Transcript of ni putu oktaviani rinika pranitasari

Page 1: ni putu oktaviani rinika pranitasari

TESIS

LARUTAN PENCUCI HIDUNG SALIN ISOTONIS

TIDAK TERBUKTI MEMPERCEPAT WAKTU

TRANSPOR MUKOSILIA PADA

RINOSINUSITIS AKUT

NI PUTU OKTAVIANI RINIKA PRANITASARI

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2015

Page 2: ni putu oktaviani rinika pranitasari

TESIS

LARUTAN PENCUCI HIDUNG SALIN ISOTONIS

TIDAK TERBUKTI MEMPERCEPAT WAKTU

TRANSPOR MUKOSILIA PADA

RINOSINUSITIS AKUT

NI PUTU OKTAVIANI RINIKA PRANITASARI

NIM 0914078202

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2015

Page 3: ni putu oktaviani rinika pranitasari

LARUTAN PENCUCI HIDUNG SALIN ISOTONIS

TIDAK TERBUKTI MEMPERCEPAT WAKTU

TRANSPOR MUKOSILIA PADA

RINOSINUSITIS AKUT

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister

Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik,

Program Pascasarjana Universitas Udayana

NI PUTU OKTAVIANI RINIKA PRANITASARI

NIM 0914078202

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2015

Page 4: ni putu oktaviani rinika pranitasari
Page 5: ni putu oktaviani rinika pranitasari

Tesis Ini Telah Diuji pada

Tanggal 27 Maret 2015

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan

SK Rektor Universitas Udayana No: 797/UN14.4/HK/2015

Tanggal 12 Maret 2015

Ketua : dr. Luh Made Ratnawati, Sp.THT-KL

Anggota :

1. Prof. Dr. dr. N. Adiputra, PFK, MOH, Sp.Erg

2. Dr.dr. Ida Sri Iswari, Sp.MK, M.Kes

3. Prof.dr. I. N. Tigeh Suryadhi, MPH, Ph.D

4. Dr.dr. I Wayan Putu Sutirta Yasa, M.Si

Page 6: ni putu oktaviani rinika pranitasari
Page 7: ni putu oktaviani rinika pranitasari

UCAPAN TERIMA KASIH

Om swastiastu,

Atas karunia Tuhan Yang Maha Esa akhirnya tersusunlah sebuah karya tulis

untuk memperoleh gelar keahlian di bidang THT-KL. Karya tulis ini selain

merupakan suatu karya akhir juga dilatarbelakangi suatu keinginan dan harapan

bagi perkembangan keilmuan di bidang THT-KL. Karya tulis ini dapat

diselesaikan berkat bantuan, motivasi, bimbingan dan peran serta berbagai pihak.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang

tidak terhingga dengan segala ketulusan hati kepada yang terhormat:

1. Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. I Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD

dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Putu

Astawa, Sp.OT(K) yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk

mengikuti dan menyelesaikan Program Pascasarjana Kekhususan Kedokteran

Klinik (combined degree) dan PPDS-1 Ilmu Kesehatan Telinga Hidung

Tenggorok-Bedah Kepala Leher.

2. dr. Anak Ayu Sri Saraswati, M.Kes, Direktur Utama RSUP Sanglah

Denpasar, atas segala fasilitas yang disediakan dan diberikan selama penulis

mengikuti pendidikan spesialis.

3. Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Raka

Sudewi, Sp.S(K), atas kesempatan yang telah diberikan pada penulis untuk

menjadi mahasiswa program pascasarjana, program studi kekhususan

kedokteran klinik (combined degree).

Page 8: ni putu oktaviani rinika pranitasari

4. dr. Eka Putra Setiawan, Sp.THT-KL(K), sebagai Kepala Bagian Ilmu

Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Bedah Kepala Leher Fakultas

Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar, atas segala

dorongan dan bimbingan selama penulis mengikuti pendidikan spesialis.

5. dr. Dewa Gede Arta Eka Putra, Sp.THT-KL sebagai Ketua Program Studi

PPDS-1 Ilmu Kesehatan THT-KL, atas segala kesempatan, bimbingan dan

motivasinya.

6. dr. I Gede Ardika Nuaba, Sp.THT-KL(K) sebagai Sekretaris Program Studi

PPDS-1 Ilmu Kesehatan THT-KL, atas segala kesempatan, bimbingan, dan

motivasinya.

7. Ketua Program Pascasarjana Kekhususan Kedokteran Klinik (combined

degree), Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila, Sp.And,FAACS yang telah mem-

berikan kesempatan penulis untuk menjadi mahasiswa Program Pascasarjana

Kekhususan Kedokteran Klinik (combined degree).

8. dr. Luh Made Ratnawati, Sp.THT-KL sebagai pembimbing I atas segala

dorongan, motivasi dan bimbingan yang diberikan sejak awal sampai akhir

pendidikan.

9. Prof. Dr. dr. N. Adiputra, PFK, MOH, Sp.Erg sebagai pembimbing II atas

segala waktu dan bimbingannya selama ini.

10. dr. Made Sudipta, Sp.THT-KL atas motivasi, bimbingan dan pengertiannya

selama penulis menempuh pendidikan spesialis.

11. Prof. Dr. dr. I Gede Raka Widiana, Sp.PD-KGH atas bimbingan dan arahan

statistika mulai dari penyusunan proposal penelitian kepada penulis.

Page 9: ni putu oktaviani rinika pranitasari

12. dr. I Wayan Gede Artawan Eka Putra, M.Epid atas bimbingan dan arahan

statistika yang diberikan kepada penulis.

13. Kepala-kepala sub bagian dan para konsultan di Bagian/SMF THT-KL FK

UNUD/RSUP Sanglah yang telah banyak memberikan kesempatan dan

bimbingan selama saya mengikuti pendidikan.

14. Para senior, rekan residen, dokter muda atas bantuan dan kerjasamanya

selama mengikuti pendidikan dan selama penelitian berlangsung.

15. Paramedis di poliklinik THT atas bantuan dan kerjasamanya selama penulis

menempuh pendidikan spesialis dan penelitian.

16. Ayahanda, Ir. I Wayan Kariadi dan Ir. Nym Ginastra serta ibunda tercinta, Ni

Putu Lasni dan Ni Wayan Sriadi, kakak dan adik terkasih maupun keluarga

besar saya atas segala pengorbanan, dukungan material, doa dan motivasinya

selama penulis menempuh pendidikan spesialis.

17. Suami tercinta, dr. Kadek Bayu Dwi Putra dan anak-anakku tersayang, Gde

Arjuna Prabasutha dan Kadek Anindya Pramesti atas pengertian dan

pengorbanan dalam mendampingi penulis selama menjalani masa pendidikan.

18. Semua pihak yang telah membantu karya akhir ini yang tidak bisa disebutkan

satu per satu.

Semoga Tuhan yang Maha Esa senantiasa melimpahkan karunia dan rahmat-

Nya atas kebaikan yang telah dilakukan.

Denpasar, Februari 2015

Ni Putu Oktaviani Rinika P.

Page 10: ni putu oktaviani rinika pranitasari

ABSTRAK

LARUTAN PENCUCI HIDUNG SALIN ISOTONIS TIDAK TERBUKTI

MEMPERCEPAT WAKTU TRANSPOR MUKOSILIA PADA

RINOSINUSITIS AKUT

Transpor mukosilia merupakan salah satu mekanisme pertahanan saluran

pernapasan. Adanya gangguan pada sistem tersebut menjadi predisposisi

terjadinya infeksi sinonasal. Larutan pencuci hidung dengan salin isotonis

dipercaya dapat mengurangi gejala akibat rinosinusitis dengan cara membersihkan

sekret, mengurangi odema dan mengeluarkan bahan-bahan berbahaya yang masuk

bersama udara pernapasan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai efektivitas

waktu transpor mukosilia larutan pencuci hidung salin isotonis pada pasien

rinosinusitis akut.

Desain penelitian: eksperimental, pre-post test with control group design.

Waktu transpor mukosilia diukur menggunakan uji sakarin terhadap 20 pasien

rinosinusitis akut sebelum dan 7 hari sesudah pemberian larutan pencuci hidung

salin isotonis dan terapi standar (ciprofloxacine, pseudoephedrine/triprolidine,

ambroxol) pada Kelompok Perlakuan dan terapi standar pada Kelompok Kontrol.

Hasil: Rerata waktu transpor mukosilia sebelum perlakuan pada Kelompok

Perlakuan adalah 35,5 ± 10,7 menit dan 29,2 ± 7,7 menit pada Kelompok Kontrol.

Rerata waktu transpor mukosilia sesudah terapi adalah 22,9 ± 8,7 menit dan 18,0

± 5,6 menit berturut-turut pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol.

Median selisih waktu transpor mukosilia sebelum dan sesudah terapi adalah 11,0

± 7,5 menit pada Kelompok Perlakuan dan 9,4 ± 5,3 menit pada Kelompok

Kontrol (p=0,499).

Kesimpulan: Penambahan larutan cuci hidung salin isotonis pada

rinosinusitis akut memiliki efek waktu transpor mukosilia yang sama dengan

pemberian antibiotika, dekongestan dan mukolitik tanpa larutan cuci hidung salin

isotonis.

Kata kunci: Salin isotonis, rinosinusitis akut, transpor mukosilia.

Page 11: ni putu oktaviani rinika pranitasari

ABSTRACT

ISOTONIC SALINE NASAL SOLUTIONS WAS NOT PROVEN

IN INCREASING MUCOCILIARY TRANSPORT TIME IN ACUTE

RHINOSINUSITIS

Mucociliary clearance is a major element of the defense system of the entire

respiratory tract. Impairment of the mucociliary clearance serves as a medium for

sinonasal infections. Saline nasal irrigation is believed to alleviated rhinosinusitis

symptoms by clearing excess mucus, reducing congestion and remove infectious

materials from the inspired air. The aim of this study was to determine the

efficacy of mucociliary transport time of isotonic saline nasal solutions in patients

with acute rhinosinusitis.

This was an experimental study, pre-post test with control group design.

Mucociliary transport time was measured by the saccharine test on 20 acute

rhinosinusitis patients before and after 7 days’ treatment with intranasal isotonic

saline solutions and standard therapy (ciprofloxacine, pseudoephedrine/

triprolidine, ambroxol) for the case group and standard therapy for the control

group.

Result: The average mucociliary transport time before therapy were 35,5 ±

10,7 minutes and 29,2 ± 7,7 minutes for case group and control group,

respectively. The average mucociliary transport time after therapy were 22,9 ± 8,7

minutes and 18,0 ± 5,6 minutes for case group and control group, respectively.

The mean difference mucociliary transport time before and after therapy were

11,0 ± 7,5 minutes and 9,4 ± 5,3 minutes for the case and control group,

respectively (p=0,499).

Conclusions: The addition of intranasal isotonic saline solutions in acute

rhinosinusitis patients has the same effect of mucociliary transport time with oral

medication with antibiotic, decongestan and mucolitic without intranasal isotonis

saline solutions.

Keyword: Isotonic saline, acute rhinosinusitis, mucociliary clearance.

Page 12: ni putu oktaviani rinika pranitasari

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ............................................................................................ i

PRASYARAT GELAR ...................................................................................... ii

LEMBAR PERSETUJUAN ............................................................................... iii

PENETAPAN PANITIA PENGUJI .................................................................. iv

PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ................................................................. v

UCAPAN TERIMA KASIH .............................................................................. vi

ABSTRAK ......................................................................................................... ix

ABSTRACT ....................................................................................................... x

DAFTAR ISI .................................................................................................... xi

DAFTAR TABEL ............................................................................................... xv

DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xviii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ............................................................................ 1

1.2 Rumusan Masalah ....................................................................... 3

1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................ 3

1.4 Manfaat Penelitian ...................................................................... 4

BAB II KAJIAN PUSTAKA .............................................................................. 5

2.1 Hidung dan Sinus Paranasal ........................................................ 5

2.1.1 Anatomi dan fisiologi hidung............................................. 5

2.1.2 Anatomi dan fisiologi sinus paranasal ............................... 7

Page 13: ni putu oktaviani rinika pranitasari

2.2 Sistem mukosilia hidung .............................................................. 10

2.2.1 Palut lendir ......................................................................... 11

2.2.2 Silia ..................................................................................... 12

2.2.3 Sel goblet ............................................................................ 13

2.2.4 Transpor mukosilia ............................................................. 14

2.2.5 Pemeriksaan fungsi mukosilia............................................. 15

2.3 Rinosinusitis akut ......................................................................... 16

2.3.1 Definisi ................................................................................ 16

2.3.2 Insiden ................................................................................. 17

2.3.3 Patofisiologi ........................................................................ 18

2.3.4 Gejala klinis dan diagnosis ................................................. 20

2.3.5 Komplikasi .......................................................................... 22

2.3.6 Penatalaksanaan .................................................................. 22

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KERANGKA KONSEP DAN

HIPOTESIS PENELITIAN ................................................................ 27

3.1 Kerangka berpikir ........................................................................ 27

3.2 Kerangka konsep .......................................................................... 28

3.3 Hipotesis penelitian ...................................................................... 28

BAB IV METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan penelitian ................................................................... 29

4.2 Lokasi dan waktu penelitian ........................................................ 29

4.3 Subjek dan sampel penelitian ....................................................... 29

4.3.1 Populasi penelitian .......................................................... 29

Page 14: ni putu oktaviani rinika pranitasari

4.3.2 Teknik pemilihan sampel ................................................ 30

4.3.3 Kriteria sampel ................................................................ 30

4.3.4 Besar sampel ................................................................... 32

4.4 Variabel penelitian ....................................................................... 32

4.4.1 Identifikasi dan klasifikasi variabel ................................ 32

4.5 Definisi operasional variabel......................................................... 32

4.6 Bahan dan alat penelitian .............................................................. 35

4.7 Prosedur kerja ............................................................................... 36

4.8 Alur penelitian ............................................................................... 39

4.9 Analisis data ................................................................................. 40

BAB V HASIL PENELITIAN ........................................................................... 41

5.1 Karakteristik subjek berdasarkan kelompok perlakuan ................. 41

5.2 Gejala klinis subjek berdasarkan kelompok perlakuan .................. 42

5.3 Keadaan septum nasi subjek berdasarkan kelompok perlakuan .... 44

5.4 Perbedaan rerata waktu transpor mukosilia sebelum dan sesudah

perlakuan pada masing-masing kelompok perlakuan .................... 45

5.5 Perbandingan selisih waktu transpor mukosilia sebelum dan

sesudah perlakuan berdasarkan kelompok perlakuan ................... 47

BAB VI PEMBAHASAN .................................................................................. 49

6.1 Karakteristik subjek berdasarkan kelompok perlakuan ................. 49

6.2 Gejala klinis subjek berdasarkan kelompok perlakuan .................. 50

6.3 Keadaan septum nasi subjek berdasarkan kelompok perlakuan .... 50

6.4 Perbedaan rerata waktu transpor mukosilia sebelum dan sesudah

Page 15: ni putu oktaviani rinika pranitasari

perlakuan pada masing-masing kelompok perlakuan ................... 51

6.5 Perbandingan selisih waktu transpor mukosilia sebelum dan

sesudah perlakuan berdasarkan kelompok perlakuan ................... 52

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 52

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 57

LAMPIRAN ....................................................................................................... 62

Page 16: ni putu oktaviani rinika pranitasari

DAFTAR TABEL

Halaman

5.1 Karakteristik subjek berdasarkan kelompok perlakuan ............................ 41

5.2 Gejala klinis subjek berdasarkan kelompok perlakuan ............................. 43

5.3 Keadaan septum nasi subjek berdasarkan kelompok perlakuan ............... 44

5.4 Hasil analisis perbedaan rerata waktu transpor mukosilia sebelum dan

sesudah perlakuan pada masing-masing kelompok perlakuan.................. 45

5.4 Perbandingan selisih waktu transpor mukosilia sebelum dan sesudah

perlakuan berdasarkan kelompok perlakuan ............................................. 47

Page 17: ni putu oktaviani rinika pranitasari

DAFTAR GAMBAR

Halaman

2.1 Dinding lateral hidung............................................................................. 6

2.2 Kompleks ostiomeatal ............................................................................. 10

2.3 Lapisan mukus dan cairan perisilia ......................................................... 11

2.4 Struktur ultrasilia tubulus ........................................................................ 13

2.5a Forsep aligator dan tablet sakarin ........................................................... 15

2.5b Tablet sakarin diletakkan di ujung anterior konka inferior ..................... 15

2.6 Pencucian hidung dengan teknik irigasi menggunakan neti pot ............. 25

3.1 Bagan kerangka konsep penelitian .......................................................... 28

4.1 Bagan rancangan penelitian .................................................................... 29

4.2 Bagan alur penelitian............................................................................... 39

5.1a Grafik boxplot waktu transpor mukosilia sebelum perlakuan pada

masing-masing kelompok perlakuan....................................................... 46

5.1b Grafik boxplot waktu transpor mukosilia sesudah perlakuan pada

masing-masing kelompok perlakuan....................................................... 46

5.2 Grafik garis selisih waktu transpor mukosilia sebelum dan sesudah

perlakuan pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol ............... 48

6.1 Forsep alligator dan pinset bayonet......................................................... 71

6.2 Stopwatch dan tablet sakarin merk Equal ............................................... 71

6.3 Tablet sakarin diletakkan 1 cm di belakang ujung anterior konka inferior

kavum nasi (tampak depan) .................................................................... 72

Page 18: ni putu oktaviani rinika pranitasari

6.3 Tablet sakarin diletakkan 1 cm di belakang ujung anterior konka inferior

kavum nasi (tampak samping) ................................................................ 72

Page 19: ni putu oktaviani rinika pranitasari

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Ethical clearance ........................................................................... 62

Lampiran 2 Informasi tertulis kepada responden ............................................... 63

Lampiran 3 Surat pernyataan persetujuan .......................................................... 65

Lampiran 4 Lembar penelitian ........................................................................... 66

Lampiran 5 Randomisasi blok ........................................................................... 70

Lampiran 6 Foto dokumentasi ........................................................................... 71

Lampiran 7 Data statistik ................................................................................... 73

Lampiran 8 Data responden ............................................................................... 83

Page 20: ni putu oktaviani rinika pranitasari

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Saluran pernapasan merupakan bagian tubuh pertama yang berhubungan

langsung dengan lingkungan luar. Secara fisiologis hidung merupakan salah satu

organ pernapasan yang berfungsi sebagai penyaring dan pertahanan lini pertama

terhadap partikel inspirasi. Silia epitel respiratorius, kelenjar penghasil mukus dan

palut lendir membentuk mekanisme pertahanan dalam sistem pernapasan yang

dikenal sebagai sistem mukosilia.

Fungsi mukosilia yang efektif tergantung pada tiga komponen yaitu palut

lendir, gerakan silia dan sel goblet. Gangguan pada jumlah dan pergerakan silia

serta produksi palut lendir akan menyebabkan gangguan transpor mukosilia

hidung (Ramon dkk., 1999). Penilaian fungsi transpor mukosilia dapat dilakukan

dengan uji sakarin yang sederhana, non invasif, mudah, murah dan merupakan

pemeriksaan baku emas untuk uji perbandingan (Ramon dkk., 1999; Naxakis

dkk., 2009). Transpor mukosilia akan memanjang pada infeksi saluran napas atas,

rinitis alergi dan rinosinusitis (Inanli dkk., 2002). Pada rinosinusitis fungsi muko-

silia terganggu karena perubahan kualitas dan kuantitas rheologi mukus

(Georgitis, 1994) atau kerusakan pada epitel bersilia hidung dan sinus paranasal

(Naclerio dan Gungor, 2001).

Rinosinusitis akut adalah inflamasi pada mukosa kavum nasi dan sinus

paranasal dalam waktu 4 minggu atau kurang dengan gejala hidung buntu, nyeri

Page 21: ni putu oktaviani rinika pranitasari

pada wajah, ingus kental dan post nasal drip purulen. Rinosinusitis akut

membawa dampak ekonomi berupa tingginya biaya pengobatan dan menurunnya

produktivitas kerja akibat banyaknya pekerja yang absen (Busquets dan Hwang,

2006). Sinus paranasal merupakan kelanjutan saluran pernapasan bagian atas

(Metson, 2005) dan sebanyak 0,5%-2% infeksi saluran napas atas berkembang

menjadi rinosinusitis (Levine, 2005). Di Indonesia, infeksi saluran napas atas

merupakan penyakit yang sering ditemukan, demikian pula dengan rinosinusitis

akut yang banyak dijumpai meskipun belum terdiagnosis, sehingga angka

kejadiannya belum jelas dan belum banyak dilaporkan (Mulyarjo, 2004).

Diagnosis rinosinusitis akut didapatkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik

dan pemeriksaan radiologi (Thaler, 2001). Penatalaksanaan rinosinusitis akut

berupa pemberian obat-obatan meliputi: antibiotika, dekongestan oral/topikal,

mukolitik maupun tindakan pembedahan (Thaler, 2001; Conrad, 2006). Pencucian

hidung dengan menggunakan larutan salin telah lama dikenal sebagai terapi

tambahan pada rinosinusitis, rinitis alergi maupun pascapembedahan sinus

(Garavello dkk., 2003). Pencucian hidung dengan larutan salin dapat memperbaiki

drainase sinus dan fungsi mukosilia hidung, mengurangi mediator inflamasi,

mempercepat penyembuhan mukosa dan mencegah perlengketan mukosa

pascapembedahan (Papsin dan McTavish, 2003; Rabago dan Zgierska, 2009).

Penggunaan larutan salin sebagai pencuci hidung juga dapat mengurangi waktu

penggunaan antibiotika sehingga dapat meningkatkan kepatuhan pasien dan

mengurangi biaya pengobatan (Papsin dan McTavish, 2003).

Page 22: ni putu oktaviani rinika pranitasari

Manfaat cuci hidung dengan larutan salin pada rinosinusitis kronis telah

banyak dipublikasikan sedangkan penggunaan larutan cuci hidung salin pada

kasus rinosinusitis akut masih kontroversial (Achiles dan Mosges, 2013). Inanli

dkk. (2002) menyatakan tidak ada perbedaan waktu transpor mukosilia yang

signifikan pada rinosinusitis akut yang mendapat terapi amoxicillin/clavulanic

acid dibandingkan dengan amoxicillin/clavulanic acid dan larutan cuci hidung

salin isotonis. Sementara itu penelitian Ural dkk. (2009) menunjukkan perbedaan

yang signifikan terhadap waktu transpor mukosilia sebelum dan sesudah

pemberian larutan cuci hidung salin isotonis pada rinosinusitis akut. Penelitian

mengenai manfaat penggunaan larutan cuci hidung salin isotonis pada

rinosinusitis akut masih sangat sedikit (Kassel, 2010), karena itu penulis tertarik

untuk meneliti mengenai efektivitas larutan salin isotonis sebagai terapi tambahan

pada rinosinusitis akut.

1.2 Rumusan Masalah

“Apakah larutan pencuci hidung menggunakan salin isotonis dapat

mempercepat waktu transpor mukosilia pada pasien rinosinusitis akut ?”

1.3 Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui efektivitas waktu transpor mukosilia larutan pencuci

hidung salin isotonis sebagai terapi tambahan pada pasien rinosinusitis akut.

Page 23: ni putu oktaviani rinika pranitasari

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian dapat memberikan informasi dan pengetahuan mengenai

penggunaan larutan pencuci hidung salin isotonis pada pasien rinosinusitis akut.

Page 24: ni putu oktaviani rinika pranitasari

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Hidung dan Sinus Paranasal

2.1.1 Anatomi dan fisiologi hidung

Struktur luar hidung dibentuk oleh sepasang tulang hidung pada bagian atas

lateral dan kartilago pada bagian inferior di sisi lateral. Struktur tersebut

membentuk piramid hidung sehingga memungkinkan terjadinya aliran udara di

dalam kavum nasi (Krouse dan Stachler, 2006). Septum nasi merupakan struktur

tengah hidung yang tersusun atas lamina perpendikularis os etmoid, kartilago

septum, premaksila dan kolumela membranosa (Ballenger, 2003; Krouse dan

Stachler, 2006). Deviasi septum yang signifikan dapat menyebabkan obstruksi

hidung dan menekan konka media yang menyebabkan obstruksi kompleks

ostiomeatal dan hambatan aliran sinus (Welch dan Goldberg, 2008).

Dinding lateral kavum nasi tersusun atas konka inferior, media, superior dan

meatus (Gambar 2.1). Meatus superior merupakan celah sempit di atas konka

media dan terletak di antara septum nasi dan os etmoid (Ballenger, 2003). Meatus

media terletak di antara konka media dan inferior. Meatus media merupakan

struktur penting dalam patofisiologi rinosinusitis karena melalui meatus ini

kelompok sinus anterior (sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior)

berhubungan dengan hidung (Ballenger, 2003; Krouse dan Stachler, 2006).

Meatus inferior berada di antara konka inferior dan dasar rongga hidung. Pada

Page 25: ni putu oktaviani rinika pranitasari

permukaan lateral meatus lateral terdapat muara duktus nasolakrimalis (Ballenger,

2003).

Gambar 2.1

Dinding lateral hidung (Levine, 2005)

Perdarahan hidung bagian dalam berasal dari a.etmoid anterior, a.etmoid

posterior cabang dari a.oftalmika dan a.sfenopalatina. Bagian anterior dan

superior septum dan dinding lateral hidung mendapatkan aliran darah dari

a.etmoid anterior, sedangkan cabang a.etmoid posterior yang lebih kecil hanya

mensuplai area olfaktorius. Terdapat anastomosis antara arteri-arteri hidung di

lateral dan arteri etmoid di daerah antero-inferior septum yang disebut pleksus

Kiesselbach. Sistem vena di hidung tidak memiliki katup dan hal ini menjadi

predisposisi penyebaran infeksi menuju sinus kavernosus. Sedangkan persarafan

hidung terutama berasal dari cabang oftalmikus dan cabang maksila nervus

trigeminus (Ballenger, 2003).

Fungsi fisiologi hidung adalah filtrasi, proteksi, humidifikasi, penghangat

udara, penghidu dan renonansi suara. Sistem vaskuler dan sekresi hidung berperan

penting dalam mempersiapkan udara inspirasi sebelum masuk ke saluran napas

atas dan sistem trakeobronkial (Metson, 2005; Krouse dan Stachler, 2006; Walsh

dan Kern, 2006). Saat inspirasi aliran udara masuk ke vestibulum dengan arah

Page 26: ni putu oktaviani rinika pranitasari

vertikal oblik dan mengalami aliran laminar. Ketika udara mencapai nasal valve

terjadi aliran turbulen sehingga udara inspirasi langsung mengadakan kontak

dengan permukaan mukosa hidung yang luas (Dhillon dan East, 1999; Probst

dkk., 2006). Aliran turbulen tersebut tidak hanya meningkatkan fungsi penghangat

dan humidifikasi tetapi juga fungsi proteksi (Krouse dan Stachler, 2006; Walsh

dan Kern, 2006).

Vibrise yang terletak di orifisium bertugas menyaring partikel besar yang

masuk melalui hidung. Partikel yang kecil akan mengenai mukosa dan menempel

pada sekret hidung, sedangkan partikel yang berukuran kurang dari 0,5 µm akan

melewati sistem penyaringan di hidung dan masuk ke saluran napas bawah

(Dhillon dan East, 1999).

Udara inspirasi yang normal memiliki suhu sekitar 30C dan kelembaban

relatif sekitar 80%. Udara yang terlalu kering dan suhu yang terlalu ekstrim dapat

menghambat kerja silia (Dhillon dan East, 1999). Humidifikasi dipertahankan

oleh adanya sekresi dan transudasi dari kelenjar hidung, epitel sel goblet dan

pembuluh darah di lamina propria, sedangkan pengaturan suhu dikerjakan oleh

sistem vaskuler intranasal, terutama jaringan venous erektil yang banyak terdapat

pada konka inferior (Probst dkk., 2006).

2.1.2 Anatomi dan fisiologi sinus paranasal

Sinus paranasal terdiri atas sinus maksila, etmoid, sfenoid dan frontal.

Mukosa sinus dilapisi oleh epitel respiratorius pseudostratified yang terdiri atas

sel kolumnar bersilia, sel kolumnar tidak bersilia, sel mukus tipe goblet dan sel

Page 27: ni putu oktaviani rinika pranitasari

basal. Membran mukosa bersilia bertugas menghalau mukus menuju ostium sinus

dan bergabung dengan sekret dari hidung. Ostium adalah celah alamiah tempat

sinus mengalirkan drainasenya ke jalan napas (Sargi, 2007). Jumlah silia makin

bertambah saat mendekati ostium (Ballenger, 2003).

Secara klinis berdasarkan lokasi perlekatan konka media dengan dinding

lateral hidung maka sinus dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok sinus

anterior dan posterior. Kelompok sinus anterior terdiri dari sinus frontal, maksila

dan etmoid anterior yang bermuara ke dalam atau dekat infundibulum. Kelompok

sinus posterior terdiri dari sinus sfenoid dan etmoid posterior yang bermuara di

atas konka media (Ballenger, 2003).

Sinus maksila disebut juga antrum Highmore merupakan sinus paranasal

terbesar. Dasar sinus dibentuk oleh prosesus alveolaris os maksila dan palatum

durum. Dinding anteriornya berhadapan dengan fosa kanina. Gigi premolar kedua,

gigi molar pertama dan kedua tumbuh dekat dengan dasar sinus dan hanya

dipisahkan oleh membran mukosa sehingga proses supuratif di sekitar gigi

tersebut dapat menjalar ke mukosa sinus (Ballenger, 2003; Welch dan Goldberg,

2008). Silia sinus maksila membawa mukus dan debris langsung ke ostium

alamiah di meatus media (Ballenger, 2003; Welch dan Goldberg, 2008).

Perdarahan sinus maksila dilayani oleh cabang a.maksila interna yaitu

a.infraorbita, a.sfenopalatina cabang nasal lateral, a.palatina descendens,

a.alveolar superior anterior dan posterior. Inervasi mukosa sinus maksila dilayani

oleh cabang nasal lateroposterior dan cabang alveolar superior n.infraorbital

(Ballenger, 2003).

Page 28: ni putu oktaviani rinika pranitasari

Sinus frontal merupakan pneumatisasi superior os frontal oleh sel etmoid

anterior. Sinus ini mengalirkan drainasenya melalui resesus frontal (Welch dan

Goldberg, 2008). Suplai darah sinus frontal dilayani oleh cabang supratrokhlear

dan suborbita a.oftalmika, sedangkan drainase vena dialirkan ke sinus kavernosus.

Inervasi mukosanya dilayani oleh cabang supratrokhlear dan supraorbital n. V1

(Ballenger, 2003).

Sinus etmoid terdiri atas dua kelompok sel, yaitu sel etmoid anterior yang

bermuara ke infundibulum di meatus media dan sel etmoid posterior yang

bermuara ke meatus superior (Ballenger, 2003; Krouse dan Stachler, 2006).

Cabang nasal a.sfenopalatina dan a.etmoid anterior dan posterior, cabang

a.oftalmika dari sistem karotis interna melayani sinus etmoid dan aliran venanya

menuju sinus kavernosus. Inervasi dilayani oleh cabang nasal posterior nervus V2

dan cabang etmoid anterior dan posterior nervus V1 (Ballenger, 2003).

Sinus sfenoid merupakan sinus terakhir yang mengalami perkembangan yaitu

pada usia dewasa awal. Struktur penting yang terletak dekat dengan sinus ini yaitu

n.optikus dan kelenjar hipofisis yang terletak di atas sinus, pons serebri di

posterior, di lateral sinus sfenoid terdapat sinus kavernosus, fisura orbitalis

superior, a. karotis dan beberapa serabut nervus kranialis (Ballenger, 2003; Welch

dan Goldberg, 2008). Perdarahan sinus dilayani oleh cabang a.sfenopalatina dan

a.etmoid posterior. Inervasinya dipersarafi oleh cabang etmoid posterior nervus V1

dan cabang sfenopalatina nervus V2 (Ballenger, 2003).

Fungsi utama sinus paranasal adalah mengeliminasi benda asing dan sebagai

pertahanan tubuh terhadap infeksi melalui tiga mekanisme, yaitu: terbukanya

Page 29: ni putu oktaviani rinika pranitasari

kompleks ostiomeatal, transpor mukosilia dan produksi mukus yang normal

(Jackman dan Kennedy, 2006).

Kompleks ostiomeatal adalah pertemuan jalur drainase kelompok sinus

anterior yang terdiri dari meatus media, prosesus unsinatus, hiatus semilunaris,

infundibulum etmoid, bula etmoid, ostium sinus maksila dan resesus frontal

(Gambar 2.2). Jika terjadi obstruksi pada kompleks ostiomeatal oleh mukosa yang

inflamasi atau massa, akan menyebabkan terjadinya obstruksi ostium sinus, stasis

silia dan infeksi sinus (Ballenger, 2003; Probst dkk., 2006; Welch dan Goldberg,

2008).

Gambar 2.2

Kompleks ostiomeatal (Levine, 2005)

2.2 Sistem Mukosilia Hidung

Sistem mukosilia terdiri dari palut lendir, silia epitel respiratorius dan sel

goblet (Passali dkk., 2005; Probst dkk., 2006). Komponen mukosilia memiliki

peran penting dalam memelihara integritas hidung dan sinus paranasal (Quraishi

dkk., 1998). Gangguan pada sistem mukosilia oleh karena infeksi dapat menye-

babkan perubahan pada mukosa dan terjadi rinosinusitis (Krouse dan Stachler,

2006). Rheologi dan komponen viskoelastisitas palut lendir ditentukan oleh

Page 30: ni putu oktaviani rinika pranitasari

struktur polimerik dan derajat hidrasi. Perubahan pada rheologi palut lendir dapat

mempengaruhi mekanisme kerja silia.

2.2.1 Palut lendir

Palut lendir adalah lapisan mukus yang melapisi permukaan epitel hidung

berkonsistensi lengket dan liat, berukuran 12-15 µm, dihasilkan oleh kelenjar

seromusinosa lamina propria dan sel-sel goblet pada mukosa hidung dengan

sebanyak 0,5-1 ml/cm3 dalam 24 jam (Quraishi dkk., 1998). Palut lendir terdiri

dari dua lapisan yaitu: a) lapisan sol disebut juga cairan perisilia, memiliki

kedalaman 0,5-2,0 µm, terletak di lapisan dalam menyelimuti batang silia, bersifat

kurang viskus, merupakan komponen Newtonian yang memungkinkan terjadi

pergerakan silia, b) lapisan gel disebut juga lapisan mukus, memiliki kedalaman

7-10 µm, terletak di superfisial ditembus oleh batang silia bila sedang tegak

sepenuhnya, bersifat lebih viskus merupakan komponen non Newtonian dan

bekerja membawa partikel asing (Gambar 2.3) (Quraishi dkk., 1998; Ballenger,

2003; Krouse dan Stachler, 2006; Probst dkk., 2006).

Gambar 2.3

Lapisan mukus dan cairan perisilia (Quraishi dkk., 1998)

Page 31: ni putu oktaviani rinika pranitasari

Palut lendir mempunyai pH = 7 atau sedikit asam, mengandung 95% air,

2,5-3% protein dan glikoprotein, 1% lemak, 1% mineral serta 0,02% DNA

(Quraishi dkk., 1998). Komposisi ini tergantung pada aktivitas sel goblet, kelenjar

seromukus, kelenjar lakrimalis dan penguapan udara inspirasi (Passali dkk.,

2005). Fungsi palut lendir ini adalah sebagai pelicin, menangkap dan

mentransporasikan partikel maupun gas yang larut (Ballenger, 2003). Cairan

perisilia kaya akan albumin, Ig G, Ig M dan faktor komplemen (Stierna, 2001).

Sifat biorheologik palut lendir terdiri dari: kohesi dan kemampuan

mengangkut partikel, kemampuan meregang, elastotiksotrofi, kemampuan

merayap dan adhesif (Quraishi dkk., 1998). Palut lendir dibersihkan ke arah

nasofaring setiap 10-15 menit oleh gerakan silia dan digantikan oleh mukus segar

yang disekresikan kavum nasi dan mukosa sinus (Walsh dan Kern, 2006).

2.2.2 Silia

Silia memiliki ukuran panjang ± 6 µm dan lebar ± 0,3 µm. Tiap sel bersilia

memiliki sekitar 150-200 silia yang tersusun atas mikrotubulus dan dihubungkan

oleh lengan dynein (Probst dkk., 2006). Di dalam silia terdapat sebuah

mikrotubulus yang tersusun longitudinal yang disebut aksonema. Mikrotubulus ini

tersusun berpasangan yaitu sembilan pasang di bagian luar dan dua mikrotubulus

tunggal berada di tengah aksonema membentuk karakteristik pola 9 plus 2

(Gambar 2.4) (Ballenger, 2003).

Palut lendir selalu bergerak dan gerakan ini karena adanya silia. Silia

bergerak untuk menghalau mukus dan debris yang terperangkap melalui ostium

Page 32: ni putu oktaviani rinika pranitasari

dan ke hidung. Silia juga dapat tertarik ke bawah searah gravitasi. Ostium sinus

maksila berada di superior dinding medial sinus sehingga tanpa gerakan silia yang

menyapu mukus ke atas maka sinus maksila tidak akan pernah mengalami

drainase (Metson, 2005).

.

Gambar 2.4

Struktur ultrasilia tubulus (Ballenger, 2003)

Pergerakan silia dikenal dengan ciliary beat. Makin ke depan pergerakannya,

maka pukulannya makin kuat di mana silia dalam keadaan ekstensi penuh. Ciliary

beat memiliki dua komponen yaitu effective stroke dan recovery stroke. Effective

stroke terjadi ketika silia berada dalam keadaan tegak lurus terhadap permukaan

sel dan ujung puncaknya menyentuh palut lendir (Quraishi dkk., 1998). Recovery

stroke merupakan pukulan yang bersifat kurang kuat dan lebih lambat, gerakannya

melengkung ke belakang ke arah dirinya sendiri sehingga tidak mencapai

gumpalan mukus di atasnya (Stierna, 2001). Pergerakan silia terjadi secara

metachronus dan berlangsung 3-25 mm/menit dengan frekuensi 12 Hz (Stierna,

2001) atau 1000 kali atau lebih per menit (Ballenger, 2003).

2.2.3 Sel goblet

Sel goblet epitel dan kelenjar seromukus pada mukosa hidung menghasilkan

palut lendir (Ballenger, 2003; Krouse dan Stachler, 2006; Probst dkk., 2006). Sel

Page 33: ni putu oktaviani rinika pranitasari

goblet lebih banyak ditemui pada sinus maksila dibandingkan sinus lainnya,

sedangkan kelenjar lebih banyak ditemui pada hidung dibandingkan pada sinus

paranasal. Hal ini fisiologis karena pada ruang tertutup seperti pada sinus

paranasal, sel goblet cukup efektif dalam menghasilkan mukus untuk mencegah

terjadinya kekeringan mukosa dan untuk menunjang transpor mukosilia (Passali

dkk., 2005). Suatu penelitian eksperimental menggunakan kelinci ditemukan

penurunan jumlah sel goblet disertai involusi dan berkurangnya jumlah kelenjar

secara signifikan pada sinusitis dengan derajat inflamasi yang berat (Stierna,

2001).

2.2.4 Transpor mukosilia

Transpor mukosilia adalah mekanisme pergerakan silia untuk mengalirkan

sekret dari kavum nasi ke nasofaring. Durasi yang dibutuhkan bahan partikel

untuk berjalan di sepanjang permukaan kavum nasi menuju nasofaring disebut

dengan waktu transpor mukosilia (Probst dkk., 2006). Adanya infeksi dapat

menghambat siklus metachronous silia dan sistem transpor mukosilia yang

efisien. Beberapa virus, misalnya: virus influenza, rhinovirus, adenovirus, virus

herpes simpleks dan RSV dapat mengubah ultrastruktur aksonema dan bahan

viskoelastik palut lendir sehingga mengganggu fungsi transpor mukosilia

(Ballenger, 2003).

Transpor mukosilia dipengaruhi oleh a) faktor eksternal yaitu struktur kimia

partikel yang diangkut, b) faktor lingkungan yaitu suhu, humiditas, kontak dengan

larutan hipertonik atau hipotonik, bahan asam atau basa, bahan polusi, dan c)

Page 34: ni putu oktaviani rinika pranitasari

faktor internal yaitu aktivitas silia dan bahan rheologik mukus (Ballenger, 2003;

Passali dkk., 2005).

2.2.5 Pemeriksaan fungsi mukosilia

Aktivitas silia pada mukosa nasal dapat dievaluasi dengan metode langsung

maupun metode tidak langsung. Metode langsung menggunakan stroboscopy,

roentgenography serta teknik photoelectron membutuhkan tehnologi yang

canggih sehingga tidak selalu tersedia pada masing-masing pelayanan kesehatan.

Metode tidak langsung misalnya uji sakarin dan penggunaan 99m

Tc-MAA. Uji

sakarin merupakan pemeriksaan yang aman, mudah, cepat dan dapat dipercaya

untuk menilai transpor mukosilia hidung (Ramon dkk., 1999; Naxakis dkk.,

2009). Sedangkan aktivitas transpor mukosilia pada sinus paranasal dilakukan

dengan menyuntikkan bahan pada kavum paranasal dan menunggu waktu

bersihannya, namun metode tersebut bersifat invasif (Passali dkk., 2005).

Gambar 2.5

(A). Forsep aligator dan tablet sakarin; (B). Tablet sakarin diletakkan di ujung

anterior konka inferior (Scadding dan Lund, 2004)

Pada uji sakarin, tablet sakarin berdiameter 1 mm diletakkan sekitar 1 cm di

belakang ujung anterior konka inferior untuk menghindari daerah metaplasia

Page 35: ni putu oktaviani rinika pranitasari

skuamosa dengan menggunakan forsep kecil (Gambar 2.5). Pasien diminta tetap

bernapas biasa melalui hidung, tanpa bersin, mengendus, makan maupun minum.

Kemudian pasien diminta untuk menelan satu kali setiap satu menit dan

melaporkan jika merasakan rasa manis di tenggoroknya. Variasi lain adalah

dengan memberikan pewarna pada sakarin dengan menggunakan Evans blue,

sehingga pewarna dapat terlihat di nasofaring (Ballenger, 2003; Scadding dan

Lund, 2004).

Individu normal memiliki waktu transpor mukosilia kurang dari 20 menit.

Nilai rerata waktu transpor mukosilia hidung pada orang sehat dilaporkan

bervariasi. Inanli dkk. (2002) menyatakan rerata waktu transpor mukosilia sebesar

9,05 ± 3,46 menit sedangkan Ural dkk. (2009) menyatakan 17,53 menit. Waktu

transpor mukosilia akan memanjang pada rinosinusitis, diskinesia silia primer dan

kistik fibrosis (Scadding dan Lund, 2004). Penelitian Inanli dkk. (2002)

melaporkan rerata waktu transpor mukosilia pada rinosinusitis akut sebesar 24,72

± 6,16 menit dan penelitian Ural dkk. (2009) sebesar 30,08 menit.

2.3 Rinosinusitis Akut

2.3.1 Definisi

Pada tahun 1997 The American Academy of Otolaryngology Head and Neck

Surgery Paranasal Sinus Committee mengusulkan untuk mengganti terminologi

sinusitis dengan rinosinusitis. Membran mukosa hidung dan sinus secara

embriologis saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan serta menunjukkan

proses penyakit yang sama yaitu obstruksi hidung dan adanya sekret. Sinusitis

Page 36: ni putu oktaviani rinika pranitasari

tidak akan terjadi tanpa adanya rinitis dan rinitis tidak terjadi tanpa sinusitis,

sehingga istilah rinosinusitis lebih tepat digunakan (Devaiah, 2004).

Rinosinusitis adalah kelainan yang ditandai oleh inflamasi mukosa kavum

nasi dan sinus paranasal atau keterlibatan tulang di bawahnya. Osteitis dapat

terjadi sebagai akibat langsung infeksi atau operasi sinus disertai kurangnya

preservasi mukosa. Osteitis merupakan salah satu penyebab utama kekambuhan

penyakit meskipun sudah dilakukan operasi atau pemberian antibiotik (Thaler,

2001; Devaiah, 2004; Benninger dan Gottschall, 2006).

Task Force on Rhinosinusitis pada tahun 1996 membuat klasifikasi

rinosinusitis sebagai berikut: a) Rinosinusitis akut, jika gejala berakhir dalam 4

minggu atau kurang; b) Rinosinusitis subakut, jika gejala menetap 4-12 minggu;

c) Rinosinusitis kronis, jika gejala menetap selama lebih dari 12 minggu; d)

Rinosinusitis akut rekuren, jika pasien dengan 4 episode serangan atau lebih per

tahun dengan interval bebas gejala di antaranya dan e) Rinosinusitis kronis

eksaserbasi akut, didefinisikan sebagai perburukan gejala tiba-tiba pada pasien

yang telah terdiagnosis rinosinusitis kronis setelah mendapat pengobatan, berupa

berulangnya gejala seperti awal (Thaler, 2001).

2.3.2 Insiden

Infeksi saluran napas adalah jenis infeksi paling sering yang ditemui dalam

praktek sehari-hari (File, 2006). Sinus paranasal merupakan kelanjutan saluran

pernapasan bagian atas sehingga sering terlibat infeksi (Metson, 2005). Sebanyak

0,5%-2% infeksi saluran napas atas berkembang menjadi rinosinusitis (Levine,

Page 37: ni putu oktaviani rinika pranitasari

2005). Centers for Disease Control and Prevention melaporkan lebih dari 35 juta

(17,4%) orang Amerika dewasa terkena sinusitis pada tahun 2001 (Metson, 2005).

Sementara itu di Indonesia di mana penyakit infeksi saluran napas akut masih

merupakan penyakit utama di masyarakat, kiranya rinosinusitis juga banyak

dijumpai meskipun belum terdiagnosis, sehingga angka kejadiannya belum jelas

dan belum banyak dilaporkan (Mulyarjo, 2004).

2.3.3 Patofisiologi

Patofisiologi rinosinusitis digambarkan sebagai lingkaran tertutup dimulai

dengan inflamasi mukosa hidung khususnya kompleks ostiomeatal. Inflamasi akut

pada mukosa sinus berupa hipersekresi mukosa dan odema yang dapat

menyebabkan obstruksi aliran ke luar sinus (Busquets dan Hwang, 2006). Ketika

terjadi obstruksi kompleks ostiomeatal, mukus tidak dapat mengalir ke luar

ostium, silia berhenti bergerak secara efektif sehingga drainase sinus terhenti

(Metson, 2005). Perlambatan gerakan silia dan peningkatan sintesis mukus

menyebabkan terjadinya retensi sekret di sinus (Stierna, 2001). Lingkungan yang

hangat dan lembap akan menjadi media yang sangat baik bagi bakteri dan adanya

stasis sekret akan mempercepat multiplikasi bakteri (Metson, 2005; Benninger

dan Gottschall, 2006).

Adanya interleukin dan leukotrien serta infeksi bakteri menyebabkan mukus

menjadi lebih kental, berwarna kuning atau hijau disebut pus atau mukopurulen.

Beberapa pus di sinus dikeluarkan dari ostium melalui kompleks ostiomeatal dan

ke nasofaring menjadi post nasal drip (Metson, 2005).

Page 38: ni putu oktaviani rinika pranitasari

Terjadinya rinosinusitis dipengaruhi oleh faktor host yaitu genetik dan struktur

anatomi, faktor agen dan lingkungan (Metson, 2005; Busquets dan Hwang, 2006;

Jackman dan Kennedy, 2006). Kistik fibrosis dan sindrom Kartagener merupakan

penyakit genetik berupa gangguan gerakan silia. Bahan polusi seperti asap rokok,

debu, bahan kimia, faktor alergi maupun infeksi dapat menginduksi peradangan

mukosa sinus (Naclerio dan Gungor, 2001). Rinitis alergi telah diketahui sejak

lama sebagai salah satu faktor predisposisi rinosinusitis (File, 2006).

Pada rinosinusitis akut mikroba yang berperan adalah virus, bakteri dan

jamur. Selain menimbulkan obstruksi pada kompleks ostiomeatal akibat inflamasi

dan odema virus respiratorius juga memiliki efek sitotoksik langsung pada epitel

dan silia nasal yang menyebabkan terganggunya bersihan mukosilia pada fase

resolusi pasca infeksi virus akut (Benninger dan Gottschall, 2006). Hal ini dapat

menjadi faktor predisposisi terjadinya infeksi bakterial sekunder (Busquets dan

Hwang, 2006). Rhinovirus juga dapat meningkatkan kemampuan adheren bakteri

patogen seperti Streptococcus pneumoniae dan Hemophilus influenzae di

nasofaring (Benninger dan Gottschall, 2006). Pasien dengan penurunan sistem

kekebalan tubuh akan mudah terinfeksi oleh jamur (Thaler, 2001). Pada kasus

rinosinusitis berulang maupun menetap setelah diberi pengobatan antibiotika yang

adekuat perlu dicurigai adanya imunodefisiensi sebagai faktor yang memperberat

(Busquets dan Hwang, 2006).

Obstruksi ostium sinus dapat disebabkan oleh polip hidung, deviasi septum,

konka bulosa dan konka media paradoksal. Jaringan parut akibat pembedahan

sebelumnya atau akibat trauma juga dapat mengganggu drainase sinus. Infeksi

Page 39: ni putu oktaviani rinika pranitasari

gigi dapat menyebar ke kavum sinus dan menjadi sinusitis maksila persisten.

Kelainan anatomi kraniofasial di mana terjadi perubahan anatomi sinus juga dapat

menjadi predisposisi terjadinya sinusitis (Busquets dan Hwang, 2006).

2.3.4 Gejala klinis dan diagnosis

Diagnosis rinosinusitis didapatkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang (Thaler, 2001; Benninger dan Gottschall, 2006). Anamne-

sis meliputi gejala, onset dan durasi gejala serta penyakit penyerta yang ber-

hubungan misalnya riwayat asma, kistik fibrosis, penyakit imunodefisiensi, alergi,

perokok, polip hidung, massa pada hidung, riwayat trauma maksilofasial atau

infeksi gigi (Benninger dan Gottschall, 2006; Probst dkk., 2006).

Pasien dicurigai kuat menderita rinosinusitis jika memenuhi dua kriteria

gejala mayor atau satu gejala mayor dan dua minor atau jika ada sekret purulen

pada pemeriksaan endoskopi nasal. Pasien yang hanya memenuhi satu kriteria

gejala mayor atau dua kriteria minor dicurigai menderita rinosinusitis (Levine,

2005; Benninger dan Gottschall, 2006; Busquets dan Hwang, 2006). Kriteria

gejala mayor rinosinusitis meliputi nyeri/rasa tebal pada wajah, hidung tersumbat,

ingus kental, post nasal drip purulen, gangguan penghidu, demam, adanya sekret

purulen pada pemeriksaan endoskopi nasal. Kriteria gejala minor meliputi sakit

kepala, napas berbau, batuk, nyeri telinga, rasa penuh di telinga (Busquets dan

Hwang, 2006).

Pemeriksaan intranasal untuk menegakkan diagnosis rinosinusitis dilakukan

dengan rinoskopi anterior menggunakan spekulum hidung atau endoskopi hidung.

Page 40: ni putu oktaviani rinika pranitasari

Pemeriksaan dengan endoskopi terutama bermanfaat dalam mengevaluasi

kompleks ostiomeatal (Probst dkk., 2006). Pada pemeriksaan intranasal didapat-

kan mukosa hidung hiperemi, konka kongesti atau hipertrofi, adanya sekret

hidung mukoid/purulen, dapat ditemukan polip hidung, deviasi septum, konka

bulosa atau konka media paradoksal (Thaler, 2001; Benninger dan Gottschall,

2006; Fokkens dkk., 2007). Pemeriksaan rongga mulut dilakukan untuk melihat

abses gigi. Dasar sinus maksila berdekatan dengan akar gigi rahang atas sehingga

infeksi pada gigi tersebut dapat menyebar ke sinus dan menimbulkan sinusitis.

Drainase sinus berupa sekret purulen ke nasofaring dapat terlihat di posterior

orofaring berupa post nasal drip (Benninger dan Gottschall, 2006).

Pemeriksaan sinus juga dapat dilakukan dengan menggunakan metode

palpasi. Nyeri pada rinosinusitis akut adalah khas berupa nyeri menusuk atau rasa

sakit yang terlokalisir pada sinus yang terkena. Palpasi pada sinusitis maksila akan

menimbulkan nyeri di infraorbital yang meluas ke gigi maksila dan kadang-

kadang ke telinga. Nyeri pada sinusitis etmoid berupa nyeri di kantus medial dan

dorsum hidung. Nyeri pada sinusitis frontal berupa nyeri di supraorbital yang

meluas ke bitemporal atau oksipital, sedangkan nyeri pada sinusitis sfenoid

terutama di verteks tulang tengkorak (Thaler, 2001; Benninger dan Gottschall,

2006).

Radiografi posisi Waters merupakan salah satu pemeriksaan diagnostik

rinosinusitis. Hasil dikatakan positif jika ditemukan perselubungan, penebalan

mukosa atau air fluid level di kavum sinus, namun hasil yang negatif tidak

menyingkirkan kemungkinan rinosinusitis (Thaler, 2001). CT scan menjadi

Page 41: ni putu oktaviani rinika pranitasari

penunjang diagnostik pilihan dalam menilai kemungkinan terjadinya komplikasi

atau sebagai penunjang sebelum tindakan pembedahan dilakukan (Levine, 2005).

Aspirasi sinus dan pemeriksaan kultur sekret sinus merupakan pemeriksaan

baku emas dalam mendiagnosis rinosinusitis. Pemeriksaan ini diindikasikan pada

rinosinusitis yang gagal dengan pengobatan antibiotika multipel, rinosinusitis

disertai imunodefisiensi atau diabetes melitus yang tidak terkontrol (Benninger

dan Gottschall, 2006).

2.3.5 Komplikasi

Komplikasi rinosinusitis akut dibagi menjadi komplikasi ekstrakranial dan

intrakranial. Komplikasi ekstrakranial terutama mengenai orbita, yaitu berupa:

selulitis preseptal, selulitis orbita, abses subperiosteal, abses orbita. Komplikasi

intrakranial meliputi: meningitis, trombophlebitis sinus kavernosus, abses epi-

dural, abses subdural dan abses otak (Thaler, 2001).

2.3.6 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan rinosinusitis akut dapat berupa pemberian medikamentosa

atau tindakan pembedahan. Berdasarkan pedoman terapi rinosinusitis PERHATI-

KL Kelompok Studi Rinologi tahun 2007, pengobatan rinosinusitis akut adalah

pemberian antibiotika lini pertama atau antibiotika lini kedua jika tidak ada

perbaikan klinis dalam 2 x 24 jam (Soetjipto, 2007). Terapi tambahan dapat

berupa dekongestan oral/topikal, mukolitik atau pencucian hidung dengan larutan

salin isotonis (Papsin dan McTavish, 2003; Soetjipto, 2007; Yeung, 2011).

Page 42: ni putu oktaviani rinika pranitasari

Pemakaian antibiotika untuk pengobatan rinosinusitis berdasarkan antibiotika

yang telah terbukti keefektifannya atau berdasarkan hasil kultur dan sensitivitas.

The Bacteriology of Rhinosinusitis di Amerika Serikat seperti dikutip dari Levine

(2005) menyatakan bakteri patogen terbanyak pada rinosinusitis akut adalah

Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Staphylococcus aureus,

dan Moraxella catarrhalis. Antibiotik lini pertama yang direkomendasikan untuk

pengobatan rinosinusitis akut adalah: amoxicillin, doxycicllin dan trimethoprim/

sulfamethoxazole. Namun tingginya angka resistensi menyebabkan amoxicillin

tidak lagi dipilih sebagai terapi lini pertama untuk rinosinusitis akut. The Food

and Drug Administration Amerika Serikat seperti dikutip dari Thaler (2001)

menyatakan beberapa antibiotika berikut dapat digunakan sebagai pengobatan

rinosinusitis akut yaitu: amoxycillin clavulanate, cefpodoxime, cefuroxime axetil

dan untuk pasien dewasa dapat digunakan ciprofloxacin, cefditoren, levofloxacin,

moxifloxacin. Jika pasien memiliki riwayat alergi terhadap antibiotik β-lactam

atau merupakan kontraindikasi penggunaan fluoroquinolone, maka azithromycin

atau clarithromycin dapat menjadi pilihan alternatif. Pengobatan dengan

antibiotika harus dilanjutkan minimal selama 10-14 hari. Pengobatan yang lebih

singkat dapat menimbulkan kekambuhan infeksi dan kemungkinan terjadinya

resistensi antibiotika (Thaler, 2001).

Pemberian dekongestan memberikan efek vasokonstriksi pada pembuluh

darah hidung, menurunkan aliran darah dan mengurangi odema pada mukosa

hidung. Dekongestan oral golongan adrenergik- agonis misalnya: phenyl-

propanolamine dan pseudoephedrine. Penggunaan dekongestan topikal (oxy-

Page 43: ni putu oktaviani rinika pranitasari

metazoline) dapat digunakan selama 3-5 hari untuk mengurangi gejala serta untuk

meningkatkan kecepatan drainase sinus. Penggunaan dekongestan topikal yang

lebih lama dapat menyebabkan terjadinya rinitis medikamentosa oleh karena efek

rebound vasodilatation (Thaler, 2001). Pemberian mukolitik (guanifesin,

ambroxol) berfungsi untuk mengencerkan sekret sehingga membantu fungsi

drainase (Thaler, 2001; Levine, 2005).

Penggunaan larutan cuci hidung dengan salin terbukti aman bagi anak-anak,

orang dewasa, kehamilan maupun usia lanjut (Papsin dan McTavish, 2003).

Pencucian hidung dengan larutan salin isotonis dapat diberikan sebagai terapi

tambahan pada rinosinusitis, rinitis alergi, infeksi saluran napas atas dan

pascapembedahan sinus. Kontraindikasi penggunaan terapi ini adalah trauma

wajah yang belum sembuh sempurna, gangguan neurologis dan muskuloskeletal.

Tidak ada peneliti yang melaporkan adanya efek samping yang serius terhadap

penggunaan larutan salin isotonis ini. Keluhan yang sering ditemui adalah rasa

tidak nyaman dan cemas pada saat penggunaan awal larutan tersebut (Rabago dan

Zgierska, 2009).

Pencucian hidung dilakukan dengan mengalirkan larutan salin ke dalam

kavum nasi menggunakan teknik irigasi maupun semprot. Teknik irigasi

dilakukan dengan memanfaatkan gaya gravitasi menggunakan tekanan tangan

dengan syringe atau neti pot (Gambar 2.6), sedangkan teknik pencucian hidung

dengan semprot menggunakan kemasan botol semprot yang bertekanan positif

rendah (Rabago dan Zgierska, 2009).

Page 44: ni putu oktaviani rinika pranitasari

Gambar 2.6

Pencucian hidung dengan teknik irigasi menggunakan neti pot

(Rabago dkk., 2006)

Mekanisme kerja larutan salin sebagai larutan pencuci hidung belum

diketahui dengan jelas, namun diperkirakan dapat memperbaiki fungsi mukosilia

hidung melalui efek fisiologisnya yaitu: membersihkan mukosa hidung dari sekret

atau krusta, mengurangi odema mukosa, melembabkan kavum nasi, mengurangi

mediator inflamasi dan risiko perlengketan mukosa serta mempercepat

penyembuhan mukosa pascapembedahan sinus (Papsin dan McTavish, 2003;

Hauptman dan Ryan, 2007; Rabago dan Zgierska, 2009; Yeung, 2011).

Penggunaan larutan salin sebagai pencuci hidung juga dapat mengurangi waktu

penggunaan antibiotika sehingga dapat mening-katkan kepatuhan pasien dan

berkurangnya biaya pengobatan (Papsin dan McTavish, 2003).

Sediaan larutan salin berupa larutan salin hipotonis (NaCl 0,45%), isotonis

(NaCl 0,9%) dan hipertonis (NaCl 3%, 5%, 7%). Larutan cuci hidung salin

isotonis dan hipertonis sama-sama dapat memperbaiki waktu transpor mukosilia

hidung (Boek dkk., 1999; Ural dkk, 2009). Kedua larutan tersebut berbeda dalam

hal kekuatan osmotik dan gradien konsentrasinya (Hauptman dan Ryan, 2007).

Larutan salin isotonis adalah larutan yang tidak memiliki gradien osmotik

Page 45: ni putu oktaviani rinika pranitasari

(Garavello dkk., 2003) dan diyakini sebagai larutan yang paling fisiologis ter-

hadap morfologi seluler epitel hidung (Kim dkk., 2005), sehingga aman dan

nyaman digunakan pada bayi, ibu hamil maupun usia lanjut (Healtley dkk., 2001).

Pada larutan salin hipertonis, kondisi hiperosmolar di saluran pernapasan

menyebabkan pelepasan kalsium dan prostaglandin E2 dari intraseluler,

peningkatan availabilitas adenosine triphosphate pada aksonema silia sehingga

terjadi peningkatan ciliary beat frequency (Daviskas dkk., 1996; Shoseyov dkk.,

1998). Larutan salin hipertonis juga dapat menginduksi respon neural yang akan

menyebabkan perubahan vaskuler pada mukosa hidung dan menimbulkan rasa

tidak nyaman berupa sensasi terbakar dan iritasi pada mukosa hidung sehingga

akan mempengaruhi kepatuhan pasien dalam penggunaannya (Hauptman dan

Ryan, 2007).

Tindakan pembedahan diindikasikan pada rinosinusitis akut yang gagal

dengan terapi konservatif dan rinosinusitis akut dengan komplikasi intrakranial

atau ekstrakranial. Tindakan pembedahan dapat berupa irigasi sinus atau bedah

sinus endoskopi fungsional (Busquets dan Hwang, 2006).

Page 46: ni putu oktaviani rinika pranitasari

BAB III

KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.2 Kerangka Berpikir

Rinosinusitis akut adalah inflamasi pada mukosa hidung dan sinus paranasal

yang berlangsung selama 4 minggu atau kurang dengan gejala hidung buntu, nyeri

pada wajah, ingus kental kental dan post nasal drip purulen. Rinosinusitis dapat

berkembang dari infeksi saluran napas atas. Rinosinusitis dapat mempengaruhi

kualitas hidup pasien berupa berkurangnya waktu kerja yang efektif dan dampak

ekonomi berupa besarnya pengeluaran untuk mengobati penyakit tersebut.

Ada tiga hal utama yang berperan dalam menjaga fungsi fisiologis sinus,

yaitu: terbukanya kompleks ostiomeatal, transpor mukosilia yang normal, kualitas

dan kuantitas sekret yang normal. Gangguan pada sistem mukosilia menyebabkan

terjadinya rinosinusitis. Obstruksi pada kompleks ostiomeatal saat inflamasi akut

mukosa sinus menyebabkan sekret tidak dapat mengalir ke luar ostium. Odema

pada mukosa menyebabkan mukosa sinus yang berhadapan saling berdempetan,

sehingga pergerakan silia menjadi tidak efektif. Hal tersebut menyebabkan retensi

sekret yang akan menjadi media bagi pertumbuhan bakteri. Adanya bakteri

direspon oleh tubuh berupa perubahan kualitas dan kuantitas sekret sehingga

viskositasnya menjadi lebih kental dan purulen.

Aktivitas silia pada mukosa nasal dapat dievaluasi dengan dua metode yaitu

metode langsung dengan stroboscopy, roentgenography, photoelectron maupun

metode tidak langsung dengan uji sakarin dan 99m

Tc-MAA. Uji sakarin adalah uji

Page 47: ni putu oktaviani rinika pranitasari

yang sederhana, non invasif, mudah dan murah serta merupakan pemeriksaan

baku emas untuk uji perbandingan.

3.2 Kerangka Konsep

Gambar 3.1

Bagan kerangka konsep penelitian

3.2 Hipotesis Penelitian

Larutan pencuci hidung menggunakan salin isotonis dapat mempercepat

waktu transpor mukosilia pada pasien rinosinusitis akut.

Riwayat operasi hidung

dan sinus paranasal

Gangguan pengecap

Dekongestan

Merokok

Rinosinusitis akut

Umur

Jenis kelamin

Indeks massa tubuh

Perubahan viskoelastisitas sekret

Gangguan fungsi silia

Waktu transpor mukosilia hidung

melalui uji sakarin

Terapi standar rinosinusitis:

Antibiotika

Dekongestan oral

Mukolitik

Larutan pencuci hidung

salin isotonis

Tumor sinonasal

Polip hidung

Deviasi septum nasi

Hipertensi

Page 48: ni putu oktaviani rinika pranitasari

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian eksperimental pre-postest

design with control group.

Gambar 4.1

Bagan rancangan penelitian.

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Poliklinik THT, RSUP Sanglah, Denpasar pada bulan

Agustus - Desember 2014.

4.3 Subjek dan Sampel Penelitian

4.3.1 Populasi penelitian

Populasi target adalah semua pasien rinosinusitis akut. Populasi terjangkau

adalah semua pasien rinosinusitis akut yang berobat ke Poliklinik THT-KL RSUP

Sanglah, Denpasar.

K. Perlakuan Uji sakarin

sesudah

Uji sakarin

sebelum

K. Kontrol Uji sakarin

sesudah

Uji sakarin

sebelum

R Populasi Sampel

Page 49: ni putu oktaviani rinika pranitasari

4.3.2 Teknik pemilihan sampel

Pengambilan sampel pada Kelompok Perlakuan maupun Kelompok Kontrol

dilakukan secara berurutan (consecutive sampling), yaitu setiap pasien yang

memenuhi kriteria inklusi penelitian dimasukkan dalam sampel penelitian sampai

kurun waktu tertentu hingga jumlah sampel yang diperlukan telah dipenuhi.

Sampel yang bersedia mengikuti prosedur penelitian kemudian menandatangani

informed concent dan selanjutnya ditetapkan sebagai sampel penelitian. Pemilihan

Kelompok Perlakuan maupun Kelompok Kontrol pada sampel dilakukan secara

random dengan teknik randomisasi blok. Subjek akan mendapat pengobatan A

yaitu terapi standar berupa antibiotika ciprofloxacin 2 x 500 mg, dekongestan

pseudoephedrin 60 mg/triprolidin HCl 2,5 mg 3 x 1 tablet dan mukolitik

ambroxol 3 x 30 mg selama 7 hari atau pengobatan B yaitu terapi standar

ditambah larutan pencuci hidung salin isotonis, sesuai dengan nomor amplop yang

telah ditentukan secara randomisasi blok (Lampiran 5).

4.3.3 Kriteria sampel

Kriteria sampel pada penelitian ini terdiri dari kriteria inklusi dan kriteria

eksklusi.

4.3.3.1 Kriteria inklusi

Sampel pada penelitian harus memenuhi kriteria inklusi meliputi:

a. Usia 15 - 60 tahun dan kooperatif.

b. Pasien terdiagnosis rinosinusitis akut

c. Bersedia mengikuti penelitian dengan menandatangani informed consent.

Page 50: ni putu oktaviani rinika pranitasari

4.3.3.2 Kriteria eksklusi

Kriteria eksklusi pada penelitian ini meliputi:

a. Menderita polip hidung.

b. Menderita tumor sinonasal.

c. Menderita gangguan pengecap.

d. Menderita hipertensi.

e. Riwayat pengobatan dengan dekongestan dalam 2 hari terakhir.

f. Riwayat operasi hidung dan sinus paranasal dalam 3 bulan terakhir.

4.3.4 Besar sampel

Besar sampel dihitung menggunakan rumus Pocock (2002) sebagai berikut:

n=2 σ2

(μ2-μ

1)2

.f(α,β)

n1=n2=2 (3,46)

2

(4)2 .10,5 = 15,71 ~ 16

Keterangan:

n : Besar sampel.

: Standar deviasi = 3,46 (Inanli, 2002)

: Tingkat kesalahan tipe I sebesar 0,05

β : Tingkat kesalahan tipe II sebesar 0,1

f (,β) : Nilai pada tabel = 10,5

µ2- µ1 : Selisih waktu transpor mukosilia minimal antara kelompok

perlakuan dengan kelompok kontrol yang dianggap bermakna = 4 menit.

Besar sampel (n1=n2) = 16

Page 51: ni putu oktaviani rinika pranitasari

Perkiraan drop out sebesar 10% dari jumlah sampel, sehingga didapatkan:

𝑛′ = n +10

100 x 16

𝑛′ = 17,6 ~ 18

Jadi penelitian ini membutuhkan sampel minimal sebesar 36, yaitu 18 orang

untuk kelompok perlakuan dan 18 orang untuk kelompok kontrol.

4.4 Variabel Penelitian

4.4.1 Identifikasi dan klasifikasi variabel

a. Variabel bebas: larutan pencuci hidung salin isotonis

b. Variabel tergantung: waktu transpor mukosilia

c. Variabel kendali: umur, jenis kelamin, indeks massa tubuh, tumor sinonasal,

polip hidung, operasi hidung dan sinus paranasal, gangguan pengecap,

dekongestan, merokok, hipertensi.

4.5 Definisi Operasional Variabel

a. Umur adalah: lama hidup yang dihitung berdasarkan tanggal lahir yang

tercantum pada tanda pengenal dalam satuan tahun (kartu pelajar, kartu

tanda penduduk).

b. Jenis kelamin adalah: laki-laki atau perempuan yang tercantum dalam tanda

pengenal (kartu pelajar, kartu tanda penduduk).

c. Indeks massa tubuh atau IMT adalah: ukuran antropometri massa tubuh

yang ditentukan dengan membagi berat badan dalam kilogram dengan tinggi

badan dalam meter kuadrat. Kriteria dibagi menjadi underweight bila IMT

Page 52: ni putu oktaviani rinika pranitasari

<18,5, normal bila IMT 18,5 – 22,9, overweight bila IMT 23 – 24,9, obese

bila IMT 25 – 29,9 dan obese tipe 2 bila IMT ≥30.

d. Rinosinusitis akut adalah: peradangan mukosa hidung dan sinus paranasal

yang berlangsung kurang dari 4 minggu berdasarkan anamnesis,

pemeriksaan rinoskopi anterior dan foto Waters. Diagnosis ditegakkan

dengan adanya 2 atau lebih gejala mayor atau 1 gejala mayor dan 2 gejala

minor. Gejala mayor berupa hidung tersumbat, pilek kental, nyeri/rasa tebal

pada wajah, gangguan penghidu, sakit kepala. Gejala minor berupa demam,

napas berbau, batuk, nyeri telinga, rasa penuh pada telinga. Pada rinoskopi

anterior didapatkan mukosa hidung hiperemi, sekret mukoid atau

mukopurulen dari meatus nasi media. Foto Waters menunjukkan adanya

perselubungan, penebalan atau air fluid level pada sinus paranasal.

e. Penderita tumor sinonasal adalah: pasien yang terdiagnosis tumor sinonasal

dengan ditemukannya massa tumor pada kavum nasi berdasarkan

pemeriksaan rinoskopi anterior atau berdasarkan pemeriksaan radiologi.

f. Penderita polip hidung adalah: pasien yang terdiagnosis polip hidung

dengan ditemukannya massa putih bertangkai dan kenyal pada kavum nasi

berdasarkan rinoskopi anterior atau berdasarkan pemeriksaan radiologi.

g. Deviasi septum nasi adalah: deformitas septum nasi berbentuk huruf C atau

S, deviasi ke salah satu sisi kavum nasi, penonjolan berupa krista atau spina

yang didapatkan berdasarkan rinoskopi anterior.

Page 53: ni putu oktaviani rinika pranitasari

h. Operasi hidung dan sinus paranasal adalah: setiap tindakan pembedahan

pada hidung dan sinus paranasal baik dengan bius lokal maupun umum yang

dilakukan dalam 3 bulan terakhir.

i. Gangguan pengecap adalah: gangguan dalam merasakan sensasi rasa di

lidah berdasarkan anamnesis.

j. Pemakaian dekongestan adalah: penggunaan obat yang mempunyai efek

dekongesti secara oral, semprot atau tetes hidung dalam 2 hari terakhir.

k. Merokok adalah kebiasaan menghisap rokok sebanyak paling sedikit satu

batang per hari selama setahun yang diperoleh melalui anamnesis. Kriteria

dibagi menjadi perokok (IB ≥1) dan bukan perokok (IB=0) berdasarkan

Indeks Brinkman atau IB, yaitu hasil perkalian lama merokok dalam tahun

dengan jumlah batang rokok yang dihisap setiap hari.

l. Hipertensi adalah: penyakit sistemik berupa tekanan darah sistole lebih dari

140 mmHg atau tekanan diastole lebih dari 90 mmHg berdasarkan kriteria

Joint National Comittee (JNC) 7 yang diukur menggunakan tensimeter atau

adanya riwayat konsumsi obat antihipertensi berdasarkan anamnesis.

m. Terapi standar rinosinusitis adalah pemberian terapi pada rinosinusitis

terdiri dari antibiotika: ciprofloxacin dengan dosis 2 x 500 mg per oral,

dekongestan: pseudoephedrine 60 mg/triprolidin 2,5 mg dengan dosis 3 x 1

tablet per oral dan mukolitik: ambroxol 3 x 30 mg per oral selama 7 hari.

n. Larutan pencuci hidung salin isotonis adalah: larutan pencuci hidung yang

mengandung NaCl 0,9% dikemas dalam botol infus 500 ml yang diberikan

Page 54: ni putu oktaviani rinika pranitasari

dengan cara disemprotkan ke dalam kavum nasi menggunakan syringe 10

ml dengan dosis pemberian 3 x 10 ml selama 7 hari.

o. Kelompok perlakuan adalah: kelompok yang mendapat terapi standar

rinosinusitis dan larutan pencuci hidung salin isotonis.

p. Kelompok kontrol adalah: kelompok yang mendapat terapi standar

rinosinusitis.

q. Uji Sakarin adalah: uji yang dilakukan untuk mengukur waktu transpor

mukosilia menggunakan tablet sakarin merk Equal berukuran diameter 1

mm yang diletakkan 1 cm di belakang ujung anterior konka inferior

menggunakan forsep aligator.

r. Waktu transpor mukosilia adalah: waktu yang dibutuhkan oleh tablet

sakarin mulai saat diletakkan 1 cm di belakang ujung anterior konka inferior

sampai ke nasofaring yang ditandai rasa manis di tenggorok dalam satuan

menit yang diukur menggunakan stopwatch. Waktu transpor mukosilia

dibagi menjadi waktu transpor mukosilia sebelum perlakuan yang diukur

sebelum pemberian terapi dan waktu transpor mukosilia sesudah perlakuan

yang diukur 7 hari setelah pemberian terapi.

s. Selisih waktu transpor mukosilia adalah selisih waktu transpor mukosilia

sebelum dan sesudah perlakuan.

4.6 Bahan dan alat penelitian

Pada penelitian ini digunakan bahan berupa tablet sakarin merk Equal

berukuran diameter 1 mm, sedangkan alat yang digunakan berupa:

Page 55: ni putu oktaviani rinika pranitasari

a. Formulir kuesioner penelitian.

b. Larutan NaCl 0,9%.

c. Syringe 10 ml.

d. Alat-alat pemeriksaan THT rutin.

e. Forsep aligator.

f. Stopwatch.

4.7 Prosedur kerja

a. Pasien rinosinusitis akut yang berobat ke RSUP Sanglah, Denpasar yang

memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi serta bersedia mengikuti prosedur

penelitian dengan menandatangani formulir informed concent dimasukkan

sebagai sampel penelitian.

b. Kemudian dilakukan pendataan sampel berdasarkan nama, jenis kelamin,

umur, berat badan, tinggi badan, keluhan dan riwayat pengobatan.

c. Selanjutnya sampel dibagi menjadi dua kelompok yaitu Kelompok

Perlakuan yang mendapatkan terapi standar berupa antibiotika, dekongestan,

mukolitik dan larutan pencuci hidung salin isotonis serta Kelompok Kontrol

yang hanya mendapat terapi standar. Penentuan kelompok dilakukan secara

random dengan menggunakan teknik randomisasi blok.

d. Pada Kelompok Perlakuan maupun Kelompok Kontrol dilakukan uji sakarin

sebelum perlakuan. Pasien diminta untuk berkumur dengan air putih

kemudian duduk di kursi periksa dalam posisi badan tegak dan kepala agak

Page 56: ni putu oktaviani rinika pranitasari

menunduk kurang lebih 10, bernapas melalui hidung dengan mulut

tertutup, tanpa bersin, mengendus, makan maupun minum.

e. Uji sakarin dilakukan dengan meletakkan tablet sakarin berukuran diameter

1 mm pada 1 cm di belakang ujung anterior konka inferior kavum nasi

menggunakan forsep aligator. Selanjutnya pasien diminta untuk menelan

ludah setiap 1 menit sampai terasa manis di tenggorokan. Dengan

menggunakan stopwatch ditentukan lamanya waktu mulai saat sakarin

diletakkan di mukosa hidung sampai dirasakan manis pertama kali di

tenggorok yang disebut waktu transpor mukosilia sebelum perlakuan dan

kemudian waktu dicatat dalam satuan menit.

f. Setelah pengukuran selesai dilakukan pencucian hidung menggunakan

larutan fisiologis dan pasien berkumur dengan air putih untuk

menghilangkan efek tablet sakarin yang tersisa.

g. Selanjutnya pada Kelompok Perlakuan diberikan terapi standar dan larutan

pencuci hidung salin isotonis yang dialirkan ke kavum nasi menggunakan

syringe dengan dosis 10 ml sebanyak 3 kali sehari selama 7 hari sedangkan

pada Kelompok Kontrol diberikan terapi standar yang terdiri dari antibiotika

ciprofloxacin 2 x 500 mg, dekongestan pseudoephedrin 60 mg/triprolidin

HCl 2,5 mg 3 x 1 tablet dan mukolitik ambroxol 3 x 30 mg selama 7 hari.

h. Setelah pengobatan selama 7 hari, dilakukan uji sakarin sesudah perlakuan

pada Kelompok Perlakuan maupun Kelompok Kontrol dan didapatkan

waktu transpor mukosilia sesudah perlakuan dalam satuan menit.

Page 57: ni putu oktaviani rinika pranitasari

i. Kemudian waktu transpor mukosilia sebelum perlakuan pada ke dua

kelompok dibandingkan dengan waktu transpor mukosilia sesudah

perlakuan dan selanjutnya dilakukan analisis secara statistik.

Page 58: ni putu oktaviani rinika pranitasari

4.8 Alur Penelitian

Gambar 4.2

Bagan alur penelitian

7 hari terapi 7 hari terapi

Kelompok Perlakuan:

Terapi standar (antibiotika,

dekongestan oral, mukolitik)

Larutan pencuci hidung salin

isotonis

Kelompok Kontrol:

Terapi standar (antibiotika,

dekongestan oral, mukolitik)

Uji sakarin sebelum perlakuan

(waktu transpor mukosilia sebelum)

Uji sakarin sebelum perlakuan

(waktu transpor mukosilia sebelum)

Uji sakarin sesudah perlakuan

(waktu transpor mukosilia sesudah) Uji sakarin sesudah perlakuan

(waktu transpor mukosilia sesudah)

Rinosinusitis akut

Rinosinusitis akut di poliklinik THT

RSUP Sanglah, Denpasar

Kriteria inklusi:

Usia 15-60 tahun

Kooperatif

Kriteria eksklusi:

Tumor sinonasal

Polip hidung

Gangguan pengecap

Dekongestan

Operasi sinonasal

Hipertensi

Sampel penelitian

(consecutive sampling)

Informed concent

Pengambilan data:

Demografi, Keluhan, Riwayat pengobatan

Random (randomisasi blok)

Page 59: ni putu oktaviani rinika pranitasari

4.9 Analisis Data

Hasil penelitian disajikan secara deskriptif, yaitu dalam bentuk persentase

untuk data umur, jenis kelamin dan indeks massa tubuh. Uji normalitas data waktu

transpor mukosilia sebelum perlakuan pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok

Kontrol dilakukan dengan uji Shaphiro-Wilk.

Data waktu transpor mukosilia sebelum perlakuan pada ke dua kelompok

berdistribusi tidak normal, sehingga dilakukan analisis terhadap nilai selisih waktu

transpor mukosilia sebelum dan sesudah perlakuan pada ke dua kelompok.

Normalitas data selisih waktu transpor mukosilia sebelum dan sesudah perlakuan

pada ke dua kelompok menunjukkan data berdistribusi tidak normal, sehingga

selanjutnya uji perbandingan dilakukan menggunakan uji Mann-Whitney.

Page 60: ni putu oktaviani rinika pranitasari

BAB V

HASIL PENELITIAN

5.1 Karakteristik Subjek Berdasarkan Kelompok Perlakuan

Pada penelitian ini terdapat 40 orang sampel yang memenuhi kriteria inklusi

dengan karakteristik seperti yang ditampilkan pada Tabel 5.1.

Tabel 5.1

Karakteristik subjek berdasarkan kelompok perlakuan

Karakteristik

Kelompok

nilai p Perlakuan

(n=20)

Kontrol

(n=20)

Umur, rerata ± SD

15-25 tahun

26-35 tahun

36-45 tahun

46-55 tahun

33,5 ± 11,8

6(30,0)

4(20,0)

6(30,0)

4(20,0)

30,3 ± 8,8

5(25,0)

10(50,0)

4(20,0)

1(5,0)

0,338a

Jenis kelamin

Laki-laki

Perempuan

15(75,0)

5(25,0)

8(40,0)

12(60,0)

0,025b*

Indeks massa tubuh, rerata ± SD

Underweight

Normal

Overweight

Obese

Obese 2

23,8 ± 3,8

2(10,0)

6(30,0)

5(25,0)

6(30,0)

1(5,0)

23,4 ± 4,3

1(5,0)

9(45,0)

2(10,0)

7(35,0)

1(5,0)

0,748a

Status merokok

Merokok

Tidak merokok

5(25,0)

15(75,0)

2(10,0)

18(90,0)

0,212b

a : Hasil independent T-test

b : Hasil Pearson Chi Square test

* : Bermakna secara statistik

Umur subjek dalam penelitian ini dibagi menjadi empat kategori dengan

frekuensi terbanyak pada Kelompok Perlakuan adalah umur 15-25 tahun dan 36-

0,182b

0,682b

Page 61: ni putu oktaviani rinika pranitasari

45 tahun yaitu masing-masing sebesar 30%, sedangkan pada Kelompok Kontrol

frekuensi terbanyak adalah umur 26-35 tahun, yaitu sebesar 50%. Terdapat

perbedaan rerata umur antara Kelompok Perlakuan dengan Kelompok Kontrol,

dimana rerata umur pada Kelompok Perlakuan adalah 33,5 ± 11,8 menit dan

rerata umur pada Kelompok Kontrol adalah 30,3 ± 8,8 menit. Perbedaan rerata

umur tersebut tidak bermakna secara statistik dengan nilai p = 0,338.

Sebanyak 75% subjek pada Kelompok Perlakuan berjenis kelamin laki-laki

sedangkan pada Kelompok Kontrol sebanyak 60% subjek berjenis kelamin

perempuan. Terdapat perbedaan distribusi proporsi jenis kelamin yang bermakna

secara statistik dengan nilai p = 0,025.

Indeks massa tubuh subjek penelitian sebagian besar adalah normal yaitu

sebesar 30% pada Kelompok Perlakuan dan 45% pada Kelompok Kontrol. Rerata

indeks massa tubuh pada Kelompok Perlakuan adalah 23,8 ± 3,8 kg/m2 sedangkan

pada Kelompok Kontrol adalah 23,4 ± 4,3 kg/m2. Perbedaan rerata indeks massa

tubuh tersebut tidak bermakna secara statistik dengan nilai p = 0,748.

Subjek yang merokok pada Kelompok Perlakuan sebesar 5% dan pada

Kelompok Kontrol sebanyak 2% dan perbedaan distribusi proporsi status

merokok tersebut tidak bermakna secara statistik dengan nilai p = 0,212.

5.2 Gejala Klinis Subjek Berdasarkan Kelompok Perlakuan

Gejala klinis subjek berdasarkan kelompok perlakuan diuraikan pada Tabel

5.2 di bawah ini.

Page 62: ni putu oktaviani rinika pranitasari

Tabel 5.2

Gejala klinis subjek berdasarkan kelompok perlakuan

Gejala klinis

Kelompok

nilai p Perlakuan

(n=20)

Kontrol

(n=20)

Hidung tersumbat

Hidung kanan

Hidung kiri

Keduanya

Tidak tersumbat

2(10,0)

3(15,0)

15(75,0)

0(0)

3(15,0)

3(15,0)

14(70,0)

0(0)

0,889a

Pilek

Ya

Tidak

20(100,0)

0(0)

20(100,0)

0(0,0)

*

Nyeri pipi

Ya

Tidak

6(30,0)

14(70,0)

4(20,0)

16(80,0)

0,465a

Sakit kepala

Ya

Tidak

15(75,0)

5(25,0)

15(75,0)

5(25,0)

1,000a

Gangguan penghidu

Ya

Tidak

7(35,0)

13(65,0)

9(45,0)

11(55,0)

0,519a

Demam

Ya

Tidak

5(25,0)

15(75,0)

2(10,0)

18(90,0)

0,212a

Napas berbau

Ya

Tidak

4(20,0)

16(80,0)

3(15,0)

17(85,0)

0,677a

Dahak di tenggorok

Ya

Tidak

17(85,0)

3(15,0)

16(80,0)

4(20,0)

0,677a

Keluhan lain

Batuk

Nyeri telinga

Penuh di telinga

Tidak ada

5(25,0)

1(5,0)

1(5,0)

13(65,0)

3(15,0)

0(0)

2(10,0)

15(75,0)

0,577a

a : Hasil Pearson Chi Square test

* : No statistics are computed because pilek is a constant

Sebagian besar subjek mengeluh ke dua hidung tersumbat yaitu sebanyak

75% pada Kelompok Perlakuan dan 70% pada Kelompok Kontrol. Gejala lain

Page 63: ni putu oktaviani rinika pranitasari

yang dikeluhkan oleh pasien meliputi: pilek pada semua subjek ke dua kelompok

(100%), nyeri pipi sebanyak 30% pada Kelompok Perlakuan dan 20% pada

Kelompok Kontrol, sakit kepala sebanyak 75% pada ke dua kelompok, gangguan

penghidu sebanyak 35% pada Kelompok Perlakuan dan 45% pada Kelompok

Kontrol, demam sebanyak 25% pada Kelompok Perlakuan dan 10% pada

Kelompok Kontrol, napas berbau sebanyak 20% pada Kelompok Perlakuan dan

15% pada Kelompok Kontrol, dahak di tenggorok sebanyak 85% pada Kelompok

Perlakuan dan 80% pada Kelompok Kontrol.

Keluhan lain yang dirasakan subjek adalah batuk sebanyak 25% pada

Kelompok Perlakuan dan 15% pada Kelompok Kontrol, nyeri telinga sebanyak

5% pada Kelompok Perlakuan, rasa penuh pada telinga sebanyak 5% pada

Kelompok Perlakuan dan 10% pada Kelompok Kontrol.

5.3 Keadaan Septum Nasi Subjek Berdasarkan Kelompok Perlakuan

Sebanyak 60% subjek pada Kelompok Perlakuan dan 70% pada Kelompok

Kontrol tidak mengalami deviasi septum nasi seperti ditampilkan pada Tabel 5.3.

Tabel 5.3

Keadaan septum nasi subjek berdasarkan kelompok perlakuan

Septum nasi Kelompok

nilai p Perlakuan (n=20) Kontrol (n=20)

Deviasi septum

Deviasi ke kiri

Deviasi ke kanan

Bentuk S

Tidak deviasi

3(15,0)

2(10,0)

3(15,0)

12(60,0)

4(20,0)

2(10,0)

0(0)

14(70,0)

0,348a

a : Hasil Pearson Chi Square test

Page 64: ni putu oktaviani rinika pranitasari

5.4 Perbedaan Rerata Waktu Transpor Mukosilia Sebelum dan Sesudah

Perlakuan Pada Masing-Masing Kelompok Perlakuan

Uji normalitas data waktu transpor mukosilia sebelum perlakuan pada

Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol menunjukkan data berdistribusi

normal sehingga uji perbandingan dilakukan dengan uji t-tidak berpasangan. Pada

Tabel 5.4 di bawah akan diuraikan hasil analisis perbedaan rerata waktu transpor

mukosilia sebelum dan sesudah perlakuan pada masing-masing Kelompok

Perlakuan.

Tabel 5.4

Hasil analisis perbedaan rerata waktu transpor mukosilia sebelum dan sesudah

perlakuan pada masing-masing Kelompok Perlakuan

Variabel

Kelompok Beda

Rerata 95% CI nilai p

Perlakuan

(n=20)

Kontrol

(n=20)

Waktu transpor

mukosilia sebelum

perlakuan

35,5 ± 10,7 29,2 ± 7,7 6,3 0,366-12,290 0,038a

Waktu transpor

mukosilia sesudah

perlakuan

22,9 ± 8,7 18,0 ± 5,6 5,0 0,249-9,703 0,040a

a : Hasil independent T-test

Rerata waktu transpor mukosila sebelum perlakuan pada Kelompok

Perlakuan adalah 35,5 ± 10,7 menit dan pada Kelompok Kontrol adalah 29,2 ± 7,7

menit, seperti ditampilkan pada Gambar 5.1A. Beda rerata waktu transpor

mukosilia sebelum perlakuan pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol

Page 65: ni putu oktaviani rinika pranitasari

adalah 6,3 menit dengan asumsi 95% confidence interval sebesar 0,366-12,290

adalah berbeda bermakna (nilai p=0,038).

Rerata waktu transpor mukosilar sesudah perlakuan pada Kelompok

Perlakuan adalah 22,9 ± 8,7 menit dan 18,0 ± 5,6 menit pada Kelompok Kontrol,

seperti ditampilkan pada Gambar 5.1B. Beda rerata waktu transpor mukosilia

sesudah perlakuan pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol adalah 5,0

menit dengan asumsi 95% confidence interval sebesar 0,249-9,703 adalah berbeda

bermakna (nilai p=0,040).

Gambar 5.1

Grafik boxplot waktu transpor mukosilia sebelum perlakuan (A)

dan sesudah perlakuan (B) pada masing-masing kelompok perlakuan

Nilai rerata waktu transpor mukosilia sebelum perlakuan pada Kelompok

Perlakuan dan Kelompok Kontrol berbeda secara statistik dengan nilai p=0,038

sehingga uji perbandingan dilakukan terhadap selisih waktu transpor mukosilia

sebelum dan sesudah perlakuan pada masing-masing kelompok perlakuan.

A B

Page 66: ni putu oktaviani rinika pranitasari

5.5 Perbandingan Selisih Waktu Transpor Mukosilia Sebelum dan Sesudah

Perlakuan Berdasarkan Kelompok Perlakuan

Uji normalitas data selisih waktu transpor mukosilia sebelum dan sesudah

perlakuan pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol tidak berdistribusi

normal, maka selanjutnya dilakukan uji non parametrik Mann-Whitney dengan

hasil seperti yang dipaparkan pada Tabel 5.5.

Tabel 5.5

Perbandingan selisih waktu transpor mukosilia sebelum dan sesudah

perlakuan berdasarkan kelompok perlakuan

Variabel Kelompok

nilai p Perlakuan (n=20) Kontrol (n=20)

Selisih waktu transpor

mukosilia sebelum-sesudah

perlakuan, median (IQR)

11,0(7,5) 9,4(5,3) 0,499a

a : Hasil Mann-Whitney test

Nilai median selisih waktu transpor mukosilia hidung sebelum dan sesudah

perlakuan pada Kelompok Perlakuan adalah 11,0 ± 7,5 menit dan 9,4 ± 5,3 menit

pada Kelompok Kontrol. Perbedaan tersebut secara statistik tidak bermakna

dengan nilai p = 0,499. Hasil tersebut dapat dilihat pada Gambar 5.2 di bawah ini.

Page 67: ni putu oktaviani rinika pranitasari

Gambar 5.2

Grafik garis selisih waktu transpor mukosilia sebelum dan sesudah

perlakuan pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol

Page 68: ni putu oktaviani rinika pranitasari

BAB VI

PEMBAHASAN

6.1 Karakteristik Subjek Berdasarkan Kelompok Perlakuan

Sebanyak empat puluh subjek yang memenuhi kriteria inklusi penelitian ini

memiliki kisaran usia antara 16 sampai 52 tahun dengan rerata 33,5 ± 11,8 tahun

pada Kelompok Perlakuan dan 30,3 ± 8,8 tahun pada Kelompok Kontrol. Pada

penelitian ini rentang usia yang dipilih adalah usia 15 tahun sampai 55 tahun yaitu

usia remaja sampai dewasa muda yang tingkat kooperatifnya baik serta untuk

meminimalisir bias oleh karena umur. Sakakura dkk. (1983) menyatakan tidak

adanya perbedaan waktu transpor mukosilia hidung pada subjek yang berusia < 60

tahun, demikian pula penelitian oleh Homer dkk. (2000) yang menyatakan tidak

ada perbedaan yang bermakna antara usia dengan waktu transpor mukosilia

hidung.

Sebagian besar subjek pada Kelompok Perlakuan berjenis kelamin laki-laki

(75%) sedangkan pada Kelompok Kontrol berjenis kelamin perempuan (60%).

Beberapa peneliti (Homer dkk., 2000; Ho dkk., 2001) menyatakan tidak ada

perbedaan yang signifikan mengenai jenis kelamin terhadap waktu transpor

mukosilia hidung.

Rerata indeks massa tubuh pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol

hampir sama yaitu sebesar 23,8 ± 3,8 kg/m2dan 23,4 ± 4,3 kg/m

2. Valdez dan

Cruz (2009) menyatakan adanya perlambatan waktu transpor mukosilia pada

individu dengan indeks massa tubuh abnormal. Pada individu obese cenderung

Page 69: ni putu oktaviani rinika pranitasari

bernapas lewat mulut sehingga membuat rongga hidung terkadang tidak aktif

sedangkan pada individu underweight, buruknya nutrisi akan mengganggu

imunitas sehingga rentan terkena infeksi saluran napas atas.

Sebanyak 25% subjek adalah perokok pada Kelompok Perlakuan dan 10%

pada Kelompok Kontrol. Penelitian oleh Proenca dkk. (2011) menunjukkan

adanya perlambatan waktu transpor mukosilia yang bermakna pada perokok

dibandingkan dengan bukan perokok. Asap rokok memiliki efek siliostatis

sehingga dapat mengubah sifat viskoelastisitas mukus yang berpengaruh terhadap

sistem mukosilia hidung (Corbo, 1989).

6.2 Gejala Klinis Subjek Berdasarkan Kelompok Perlakuan

Gejala klinis yang ditunjukkan oleh subjek sebagian besar adalah pilek,

hidung tersumbat, sakit kepala dan adanya dahak yang mengalir di tenggorok. Hal

ini sesuai dengan kriteria European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal

Polyps (EPOS) tahun 2007 yang menyatakan diagnosis rinosinusitis meliputi dua

atau lebih gejala seperti: hidung tersumbat, sekret hidung (anterior/posterior

nasal drip), nyeri wajah dan gangguan penghidu (Fokkens dkk., 2007).

6.3 Keadaan Septum Nasi Subjek Berdasarkan Kelompok Perlakuan

Sebagian besar subjek tidak mengalami deviasi septum, yaitu sebanyak 60%

pada Kelompok Perlakuan dan 70% pada Kelompok Kontrol. Penelitian oleh

Mariappan dkk. (2014) menyatakan bahwa deviasi septum nasi memperlambat

waktu transpor mukosilia hidung pada sisi konkaf kavum nasi. Hal ini diperkuat

Page 70: ni putu oktaviani rinika pranitasari

oleh temuan histologi yang menyatakan mukosa septum sisi konkaf mengandung

banyak infiltrat inflamasi dan sedikit kelenjar mukosa dibandingkan mukosa

septum sisi konveks.

6.4 Perbedaan Rerata Waktu Transpor Mukosilia Sebelum dan Sesudah

Perlakuan Pada Masing-Masing Kelompok Perlakuan

Rerata waktu transpor mukosila sebelum perlakuan pada Kelompok

Perlakuan adalah 35,5 ± 10,7 menit dan 29,2 ± 7,7 menit pada Kelompok Kontrol,

sedangkan rerata waktu transpor mukosila sesudah perlakuan pada Kelompok

Perlakuan adalah 22,9 ± 8,7 menit dan 18,0 ± 5,6 menit pada Kelompok Kontrol.

Nilai rerata waktu transpor mukosilia pada rinosinusitis akut dilaporkan

bervariasi. Inanli dkk. (2002) mendapatkan nilai rerata waktu transpor mukosilia

pada kelompok rinosinusitis akut sebelum diberikan terapi oxymetazoline topikal

sebesar 24,72 ± 6,16 menit sedangkan pada kelompok rinosinusitis akut sebelum

diberikan terapi larutan cuci hidung salin isotonis didapatkan rerata waktu

transpor mukosilia sebesar 16,84 ± 9,56 menit. Ural dkk. (2009) melaporkan nilai

rerata waktu transpor mukosilia pada kelompok rinosinusitis akut sebelum

diberikan terapi larutan cuci hidung salin isotonis adalah 25 menit sedangkan pada

kelompok rinosinusitis akut sebelum diberikan terapi larutan cuci hidung salin

hipertonis adalah 30,08 menit. Nilai rerata waktu transpor mukosilia pada

rinosinusitis akut sesudah pemberian larutan cuci hidung salin isotonis

berdasarkan penelitian Ural dkk. (2009) adalah 17,75 menit dan 15,07 ± 9,20

menit pada penelitian Inanli dkk. (2002).

Page 71: ni putu oktaviani rinika pranitasari

6.5 Perbandingan Selisih Waktu Transpor Mukosilia Sebelum dan Sesudah

Perlakuan Berdasarkan Kelompok Perlakuan

Nilai median selisih waktu transpor mukosilia hidung sebelum dan sesudah

pemberian terapi pada Kelompok Perlakuan adalah 11,0 ± 7,5 menit dan 9,4 ± 5,3

menit pada Kelompok Kontrol dengan nilai p =0,499. Hasil penelitian tersebut

menunjukkan tidak ada perbedaan waktu transpor mukosilia hidung yang

bermakna antara rinosinusitis akut yang mendapat terapi antibiotika, dekongestan,

mukolitik dan larutan cuci hidung salin isotonis dengan rinosinusitis akut yang

mendapat terapi antibiotika, dekongestan dan mukolitik saja.

Penelitian mengenai efektivitas larutan cuci hidung salin isotonis pada

rinosinusitis akut sangat terbatas dan dengan hasil yang bervariasi. Inanli dkk.

(2002) melakukan penelitian pada 60 pasien rinosinusitis akut dengan rerata umur

27 tahun (kisaran usia: 12-75 tahun) dan 10 orang sehat dengan rerata umur 20

tahun (kisaran umur: 15-32 tahun). Pasien rinosinusitis akut dibagi menjadi 5

kelompok yaitu: Kelompok I (n=12) yang mendapat terapi antibiotika oral

amoxicillin 500 mg/clavulanic acid 125 mg 3 x sehari, Kelompok II (n=14) yang

mendapat antibiotika oral dan fluticasone propionate 1x2 semprot pada masing-

masing kavum nasi, Kelompok III (n=9) yang mendapat antibiotika oral dan

oxymetazoline 0,05% 3x1 semprot pada masing-masing kavum nasi, Kelompok

IV (n=12) yang mendapat antibiotika oral dan larutan cuci hidung NaCl 3% 3x10

ml sehari dan Kelompok V (n=13) yang mendapat antibiotika oral dan larutan

cuci hidung salin isotonis 3x10 ml sehari. Uji sakarin dilakukan sebelum

Page 72: ni putu oktaviani rinika pranitasari

pemberian terapi, 20 menit sesudah pemberian terapi serta minggu pertama, ke

dua dan ke tiga sesudah pemberian terapi.

Rerata waktu transpor mukosilia pada rinosinusitis akut sebelum terapi pada

Kelompok I adalah 17,16 ± 8,48 menit, Kelompok II adalah 11 ± 4,70 menit,

Kelompok III adalah 24,72 ± 6,16 menit, Kelompok IV adalah 19,45 ± 9,35

menit, Kelompok V adalah 16,84 ± 9,56 menit. Pada kelompok yang mendapat

larutan cuci hidung salin isotonis tidak menunjukkan perbaikan waktu tranpsor

mukosilia yang bermakna secara statistik antara sebelum terapi yaitu sebesar

16,84 ± 9,56 menit dan 20 menit sesudah pemberian terapi yaitu sebesar 15,07 ±

9,20 menit. Waktu transpor mukosilia menunjukkan perbaikan yang bermakna

secara statistik antara sebelum terapi dan tiga minggu sesudah terapi ditunjukkan

pada kelompok yang mendapat larutan cuci hidung salin hipertonis 3%, namun

perbaikan waktu transpor mukosilia tersebut tidak bermakna secara signifikan jika

dibandingkan dengan perbaikan waktu transpor mukosilia pada kelompok yang

mendapat terapi antibiotika oral.

Penggunaan larutan cuci hidung dengan salin hipertonis telah banyak

dilaporkan dan terbukti efektif dapat mempercepat waktu transpor mukosilia

dibandingkan dengan larutan salin isotonis. Hal ini dikemukakan oleh Talbot dkk.

(1997) yang menyatakan perbaikan waktu transpor mukosilia yang bermakna

secara statistik setelah pemberian larutan cuci hidung salin hipertonis 3%

dibandingkan kelompok yang mendapat larutan cuci hidung salin isotonis pada

orang sehat. Hasil tersebut dikuatkan oleh penelitian Homer dkk. (2000) yang

menyatakan perbaikan waktu transpor mukosilia yang berbeda bermakna pada

Page 73: ni putu oktaviani rinika pranitasari

orang sehat yang diberikan larutan cuci hidung salin hipertonis 5% dibandingkan

pemberian larutan cuci hidung salin isotonis.

Larutan salin hipertonis merupakan larutan alkali ringan. Suasana alkali

menyebabkan palut lendir berada dalam fase sol sehingga sekret bersifat kurang

viskus. Pemberian larutan salin hipertonis menyebabkan keadaan hiperosmolar di

saluran pernapasan sehingga terjadi pelepasan kalsium dan prostaglandin E2 dari

intraseluler, peningkatan availabilitas adenosine triphosphate pada aksonema silia

dan peningkatan ciliary beat frequency (Daviskas dkk., 1996; Shoseyov dkk.,

1998; Garavello dkk., 2003). Larutan hipertonis juga memiliki efek mukolitik

pada konsentrasi NaCl 7% (Boek dkk., 1999), efek antibakteri (Shoseyov dkk.,

1998) serta dapat mengurangi odema mukosa (Lee dkk., 2003).

Ural dkk. (2009) melakukan penelitian pada 12 pasien rinosinusitis akut yang

mendapat terapi larutan cuci hidung salin isotonis 4 ml yang disemprotkan pada

masing-masing kavum nasi menggunakan syringe, sebanyak 2 kali sehari selama

10 hari. Uji sakarin dilakukan sebelum terapi dan setelah 10 hari pemberian terapi.

Rerata waktu transpor mukosilia sebelum pemberian larutan cuci hidung salin

isotonis adalah 25 menit dan sesudah terapi adalah 17,75 menit dengan nilai

p=0,041. Hasil penelitian tersebut menunjukkan perbaikan waktu transpor

mukosilia yang bermakna secara statistik pada rinosinusitis akut yang mendapat

larutan cuci hidung salin isotonis.

Hasil penelitian Ural dkk. (2009) berbeda dengan hasil penelitian ini

dimungkinkan karena pada penelitian Ural dkk. (2009) terapi yang diberikan

hanya larutan cuci hidung salin isotonis tanpa pemberian antibiotika, dekongestan

Page 74: ni putu oktaviani rinika pranitasari

dan mukolitik. Selain itu, uji sakarin evaluasi dilakukan setelah 10 hari pemberian

terapi. Pada penelitian ini dilakukan pemeriksaan uji sakarin evaluasi setelah 7

hari pemberian terapi berdasarkan pedoman penatalaksanaan rinosinusitis akut

oleh Kelompok Studi Rinologi PERHATI-KL tahun 2007, yaitu: pemberian

antibiotika, dekongestan dan mukolitik selama 7-14 hari (Soetjipto dkk., 2007).

Chodankar dkk. (2014) melakukan penelitian pada 20 pasien rinosinusitis

akut yang dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu: Kelompok I (n=5) mendapat

terapi antibiotika amoxicillin/clavulanic acid 3x sehari dan analgetika ibuprofen

2x400mg, Kelompok II (n=8) mendapat terapi antibiotika, analgetika dan larutan

cuci hidung salin hipertonis, Kelompok III (n=7) mendapat terapi antibiotika,

analgetika dan larutan cuci hidung salin isotonis. Uji sakarin dilakukan sebelum

dan 10 hari sesudah pemberian terapi. Rerata waktu transpor mukosilia pada

rinosinusitis akut sebelum terapi adalah 16,34 ± 1,78 menit. Perbaikan waktu

transpor mukosilia yang bermakna secara statistik ditunjukkan pada kelompok

yang mendapat terapi larutan cuci hidung salin hipertonis dan salin isotonis.

Chodankar dkk. (2014) tidak melakukan analisis lebih lanjut terhadap perbaikan

waktu transpor mukosilia antara kelompok yang mendapat terapi oral tanpa

larutan cuci hidung, kelompok yang mendapat larutan cuci hidung salin hipertonis

maupun salin isotonis.

Hauptman dan Ryan (2007) melakukan penelitian terhadap 80 pasien

rinosinusitis akut maupun kronis yang mendapat larutan cuci hidung salin isotonis

dan hipertonis 3%. Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah skor minimal

SNOT-20 sebesar 20. Skor SNOT-20 bekisar antara 0 sampai 100, dengan skor

Page 75: ni putu oktaviani rinika pranitasari

yang lebih tinggi menunjukkan beratnya gejala. Sebelum uji sakarin dilakukan,

pada masing-masing subjek dilakukan penilaian derajat obstruksi hidung

menggunakan skala Likert dengan skor berkisar 1 sampai 10, dimana skor 1

menunjukkan tidak ada gangguan sedangkan skor 10 menunjukkan gejala yang

sangat mengganggu. Hasil penelitian ini menunjukkan perbaikan waktu transpor

mukosilia dan keluhan obstruksi hidung yang bermakna secara statistik pada

kelompok yang mendapat larutan cuci hidung salin isotonis maupun hipertonis.

Karakteristik umur dilaporkan memiliki pengaruh yang bervariasi terhadap

waktu transpor mukosilia. Meskipun beberapa peneliti menyatakan tidak ada

pengaruh faktor umur terhadap waktu transpor mukosilia, namun Kao dkk. (1994)

dan Agius dkk. (1998) menyatakan bahwa peningkatan umur berpengaruh

terhadap pemanjangan waktu transpor mukosilia.

Sebagian besar peneliti melaporkan bahwa jenis kelamin tidak mempengaruhi

waktu transpor mukosilia, namun penelitian oleh Valia dkk. (2008) menyatakan

bahwa pada laki-laki terjadi pemanjangan rerata waktu transpor mukosilia

dibandingkan dengan perempuan.

Larutan cuci hidung salin isotonis dilaporkan memiliki efek terhadap

perbaikan waktu transpor mukosilia pada rinosinusitis kronis yang lebih nyata

dibandingkan pada rinosinusitis akut. Pada rinosinusitis akut terjadi perubahan

viskoelastisitas sekret, sedangkan pada rinosinusitis kronis telah terjadi kerusakan

epitel dan hilangnya struktur silia sehingga terjadi gangguan ciliary beat

frequency (Georgitis, 1994). Pemberian larutan cuci hidung salin isotonis pada

rinosinusitis akut diharapkan dapat memperbaiki aktivitas mukosilia hidung

Page 76: ni putu oktaviani rinika pranitasari

secara langsung dengan cara membersihkan sekret dan bahan iritan yang masuk

melalui udara pernapasan, menjaga kelembaban, mengurangi odema mukosa dan

mediator inflamasi (Papsin dan McTavish, 2003; Ural dkk., 2009), sedangkan

pada rinosinusitis kronis, larutan cuci hidung salin isotonis dapat memperbaiki

aktivitas mukosilia dengan cara meningkatkan ciliary beat frequency.

Penggunaan larutan cuci hidung dengan salin isotonis pada rinosinusitis akut

masih banyak diperdebatkan. Pada penelitian ini tidak terjadi perbaikan waktu

transpor mukosilia yang bermakna dengan penggunaan larutan cuci hidung salin

isotonis pada rinosinusitis akut. Pemberian larutan cuci hidung nampaknya lebih

menunjukkan hasil yang bermakna terhadap perbaikan waktu transpor mukosilia

melalui peningkatan ciliary beat frequency (Ural dkk., 2009).

Keterbatasan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Tidak dilakukannya

pembagian subjek berdasarkan derajat beratnya penyakit yang dapat dihitung

menggunakan skor SNOT-20 maupun derajat beratnya obstruksi hidung yang

dapat diukur menggunakan skala Likert maupun peak nasal inspiration flow, 2.

Tidak dilakukannya metode matching terhadap variabel umur, jenis kelamin dan

waktu transpor mukosilia sehingga distribusi variabel tersebut pada ke dua

kelompok perlakuan tidak merata.

Page 77: ni putu oktaviani rinika pranitasari

BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penambahan

larutan cuci hidung salin isotonis pada rinosinusitis akut memiliki efek waktu

transpor mukosilia yang sama dengan pemberian antibiotika, dekongestan dan

mukolitik tanpa larutan cuci hidung salin isotonis.

7.2 Saran

1. Sebaiknya dilakukan pembagian subjek berdasarkan derajat beratnya penyakit

yang diukur bersadarkan skor SNOT-20 dan derajat obstruksi hidung yang

dapat diukur dengan skala Likert maupun peak nasal inspiration flow.

2. Sebaiknya dilakukan metode matching terhadap variabel umur, jenis kelamin

dan waktu transpor mukosilia sehingga variabel tersebut terdistribusi secara

merata pada kedua kelompok perlakuan.

3. Sebaiknya dilakukan penghisapan sekret hidung sebelum pemeriksaan uji

sakarin untuk mengurangi kemungkinan subjek memiliki sekret hidung yang

sangat kental.

Page 78: ni putu oktaviani rinika pranitasari

DAFTAR PUSTAKA

Achiles, N. and Mosges, R. 2013. Nasal Saline irrigations for The Symptoms

of Acute and Chronic Rhinosinusitis [abstract]. Curr Allergy Asthma Rep 13(2)

Agius, A.M., Smallman, L.A., Pahor, A.L. 1998. Age, Smoking and Nasal

Ciliary Beat Frequency. Clin Otolaryngol 23: 227-30.

Ballenger, J.J. 2003. Anatomy and Physiology of The Nose and Paranasal

Sinuses. In : Snow, J.B. and Ballenger, J.J., editors. Otorhinolaryngology Head

and Neck Surgery. 16th. Ed. Spanyol: BC Decker Inc. p. 547-60.

Benninger, M.S. and Gottschall, J. 2006. Rhinosinusitis: Clinical Presentation

and Diagnosis. In: Brook, I., editor. Sinusitis From Microbiology to Management.

New York: Taylor & Francis Group. p. 39-52.

Boek, W.M., Keles, N., Graamans, K., Natzijl, H., Rijk, P. 1999. Physiologic

and Hyper-tonic Saline Solutions Impair Ciliary Activity in Vitro. Laryngoscope

109: 396-9.

Busquets, J.M. and Hwang, P.H. 2006. Nonpolypoid Rhinosinusitis:

Classification, Diagnosis, and Treatment. In: Bailey B.J., and Johnson, J.T.,

editors. Head & Neck Surgery-Otolaryngology. 4th

. Ed. Philadephia: Lippincott

Williams & Wilkins. p. 405-16.

Chodankar, S., D’sa, C., Tiwari, M., Goel, H.C., Andhale-Goa, D. 2014.

Imapct of Isotonic and Hypertonic Saline on Mucociliary Activity in Various

Nasal Pathologies. National Journal of Otorhinolaringology and Head & Neck

Surgery 2(11): 9-11.

Conrad, D.A.2006. Medical Management of Acute Sinusitis. In: Brook, I.,

editor. Sinusitis from Microbiology to Management. New York: Taylor & Francis

Group. p. 203-17.

Corbo, G.M. 1989. Measurement of Nasal Mucociliary Clearance. Archieves

of Disease in Childhood 64:546-50.

Daviskas, E., Anderson, S.D., Gonda, I., Eberl, S. Meikle, S., Seale, J.P.,

Bautovich, G. 1996. Inhalation of Hypertonic Saline Aerosol Enhance in

Asthmatic and Healthy Subjects. Eur Resp J 9: 725-32.

Devaiah, A.K. 2004. Adult Chronic Rhinosinusitis: Diagnosis and Dilemmas.

Otolaryngol Clin N Am 37: 243-52.

Dhillon, R.S. and East, C.A. 1999. Ear, Nose and Throat and Head and Neck

Surgery. Philadelphia: Churchill Livingstone. p. 30-5.

Page 79: ni putu oktaviani rinika pranitasari

File, T.M. 2006. Sinusitis : Epidemiology. In : Brook, I., editor. Sinusitis from

Microbiology to Management. New York: Taylor & Francis Group. p. 1-14.

Fokkens, W., Lund, V., Mullol, J., Bachert, C., Cohen, N., Cobo, R.,

Desrosiers, M., Hellings, P., Holmstorm, M., Hytonen, M., Jones, N., Kalogjera,

L. 2007. European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps (EPOS),

[cited 2014 Oct 1]. Available from: URL: http://ep3os.org/pocket guide.php.

Garavello, W., Romagnoli, M. Sordo, L., Gaini, R.M., Di Berardino, C.,

Angrisano, A. 2003. Hypersaline Nasal Irrigation in Children With Symptomatic

Seasonal Allergic Rhinitis: A Randomized Study. Pediatr Allergy Immunol 14(2):

140-3.

Georgitis, J.W. 1994. Nasal Hyperthermia and Simple Irrigation for Perrenial

Rhinitis. Changes in Inflamatory Mediators. Chest 106: 1487-92.

Hauptman, G. and Ryan, MW. 2007. The Effect of Saline Solutions on Nasal

Patency and Mucociliary Clearance in Rhinosinusitis Patients. Otolaryngology-

Head and Neck Surgery 137(5): 815-21.

Healtley, D.G., McConnell, K.E., Kille, T.L., Leverson, G.I. 2001. Nasal

Irrigation for The Alleviation of Sinonasal Symptoms. Otolaryngol Head and

Neck Surgery 125(1): 44-8.

Ho, H.C., Chan, K.N., Hu, W.H., Kan, W.K., Zheng, L, Tipoe, G.L., Sun, J.,

Leung, R., Tsang, K.W. 2001. The Effect of Aging on Nasal Mucociliary

Clearance, Beat Frequency and Ultrastructure of Respiratory Cilia. Am J Respir

Crit Care Med 163: 983-8.

Homer, J., England, R., Harwood, G., Stafford, N. 2000. The Effect of pH of

Douching Solution on Mucociliary Clearance. Clin Otolaryngol 24: 312-3.

Inanli, S., Ozturk, O., Korkmaz, M., Tutkun, A., Batman, C. 2002. The

Effects of Topical Agents of Fluticasone Propionate, Oxymetazoline, and 3% and

0,9% Sodium Chloride Solutions on Mucociliary Clearance in The Therapy of

Acute Bacterial Rhinosinusitis In Vivo. Laryngoscope 112: 320-5.

Jackman, A.H. and Kennedy, D.W. 2006. Pathophysiology of Sinusitis. In:

Brook, I., editor. Sinusitis from Microbiology to Management. New York: Taylor

& Francis Group. p. 109-29.

Kao, C.H., Jiang, R.S., wang, S.J., Yeh, S.H. 1994. Influence of Age, Gender

and ethnicity on Nasal Mucociliary Clearance Function. Clin Nucl Med 19: 813-6.

Kassel, J.C., King, D., Spurling, G.K. 2010. Saline Nasal Irrigation for Acute

Upper Respiratory Tract Infections [abstract]. Cochrane Database Syst Rev 17(3)

Page 80: ni putu oktaviani rinika pranitasari

Kim, C.H., Song, M.H., Young, E.A. Lee, J.G., Yoon, J.H. 2005. Effect of

Hypo-, Iso- and Hypertonic Saline Irrigation on Secretory Mucins and

Morphology of Cultured Human Nasal Epithelial Cells. Acta Otolaryngol 125:

1296-300.

Krouse, J.H. and Stachler, R.J. 2006. Anatomy and Physiology of the

Paranasal Sinuses. In: Brook, I., editor. Sinusitis from Microbiology to

Management. New York: Taylor & Francis Group. p. 95-108.

Lee, S.H., Song, J.S., Lee, S.H., Hwang, S.J., Lee, H.M. 2003. Effect of

Hypertonic Seawater (Sinomarin) on Mucociliary clearance in normal subjects. J

Rhinol 10(1,2): 19-22.

Levine. H.L. 2005. Diagnosis and Management of Rhinosinusitis. In: Levine,

H.L. and Clemente, M.P., editors. Sinus Surgery Endoscopic and Microscopic

Approaches. New York: Thieme. p. 90-9.

Mariappan, R.G., Dhanalakshmi, M., Mathaikutty, D.M., Shanmugam, R.,

Shanmugam, U., Swaminathan, B. et al. 2014.Clinico-Pathological Correlation

and the Effects of Septal Surgery on Nasal Mucociliary Clearance. Sch. J. App.

Med. Sci 2(5C):1691-5.

Metson, R.B. 2005. The Harvard Medical School Guide to Healing Your

Sinuses. New York: McGraw-Hill. p. 3-33.

Mulyarjo. 2004. Diagnosis Klinik Rinosinusitis. Naskah Lengkap Pendidikan

Kedokteran Berkelanjutan IV Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Kepala

Leher FK Unair. Surabaya 28 Agustus. h. 17-25.

Naclerio, R.M. and Gungor, A. 2001. Etiologic Factors in Inflammatory

Sinus Disease. In : Kennedy, D.W.,.Bolger, W.E., Zinreich, S.J., editors. Disease

of The Sinus, Diagnosis and Management. London: B.C. Decker Inc. p. 47-55.

Naxakis, S., Athanasopoulos, I., Vlastos, I.M., Giannakenas, G., Vasiilakos,

P., Goumas, P. 2009. Evaluation of Nasal Mucociliary Clearance After Medical or

Surgical Treatment of Chronic Rhinosinusitis. European Archieves of Oto-Rhino-

Laryngology and Head & Neck 266(9): 1423-6.

Papsin, B. and McTavish, A. 2003. Saline Nasal Irrigation: Its Role As An

Adjunct Treatment. Can Fam Physician 49: 168-73.

Passali, P., Passali, G.C., Passali, F.M., Bellussi, L. 2005. Physiology of The

Paranasal Sinuses. In : Levine, H.L. and Clemente, M.P., editors. Sinus Surgery

Endoscopic and microscopic Approaches. New York: Thieme. p. 57-63.

Pocock, SJ. 2002. Clinical Trials: A Practical Approach. Chichester: John

Wiley and Sons.

Page 81: ni putu oktaviani rinika pranitasari

Probst, R., Grever, G., Iro, H.. 2006. Basic Otorhinolaryngology, A Step-by-

Step Learning Guide. New York: Thieme. p. 1-25.

Proenca, M., Xavier, R.F., Ramos, D., Cavalheri, V., Pitta, F., Ramos, E.M.C.

2011. Immediate and Short Term Effects of Smoking on Nasal Mucociliary

Clearance in Smokers. Rev Port Pneumol 17: 172-6.

Quraishi, M.S., Jones, N.S., Mason, J. 1998. The Rheology of Nasal Mucus: a

Review. Clin. Otolaryngol 23: 403-13.

Rabago, D., Barret, B., Marchand, L., Mundt, M. 2006. Qualitative Aspects

of Nasal Irrigation Use by Patients With Chronic Sinus Disease in a Multimethod

Study. Ann Fam Med 4: 295-301.

Rabago, D. and Zgierska, A. 2009. Saline Nasal Irrigation for Upper

Respiratory Conditions. Am Fam Physician 80(10): 1117-9.

Ramon, P., Victor-John, C., Benjamin, S. 1999. A Comparison of The Mucus

Transport Time Between Filipinos Living in Urban and Rural Areas. The

Phillipppine Journal of Oto-Rhino-Laryngology Head & Neck Surgery 14(3): 2-6.

Sakakura, Y., Ukai, K., Majima, Y., Murai, S., Harada, T., Miyoshi, Y. 1983.

Nasal Mucociliary Clearance Under Various Conditions. Acta Otolaryngol 96:

167-73.

Sargi, Z.B. and Casiano, R.R. 2007. Rhinologic and Sleep Apnea Surgical

Techniques. In: Kountakis, S.E. and Onerci, M., editors. Surgical Anatomy of

Paranasal Sinuses. Berlin: Springer-Verlag. p. 17-21.

Scadding, G.K. and Lund, V.J. 2004. Investigative Rhinology. London:

Taylor & Francis Group. p. 83-94.

Shoseyov, D., Bibi H., Shai, P., Shosayov, N., Shazberg, G., Hurvitz, H.

1998. Treatment With Hypertonic Saline Versus Normal Saline Nasal Wash of

Pediatric Chronic Sinusitis. J Allerg Clin Immunol 101: 602-5.

Soetjipto, D dkk. 2007. Perhimpunan Dokter Spesialis THT-KL Indonesia

(PERHATI-KL). In: Kelompok Studi Rinologi, editors. Guideline Penyakit THT-

KL di Indonesia. Jakarta: PT. Bristol Myers Squibb Indonesia.Tbk. h. 63.

Stierna, P. 2001. Physiology, Mucociliary Clearance, and Neural Control. In :

Kennedy, D.W., Bolger, W.E., Zinreich, S.J., editors. Disease of The Sinus,

Diagnosis and Management. London: B.C. Decker Inc. p. 35-45.

Thaler, E.R. 2001. Management of Acute Rhinosinusitis. In : Kennedy, D.W.,

Bolger, W.E., Zinreich, S.J., editors. Disease of The Sinus, Diagnosis and

Management. London: B.C. Decker Inc. p. 149-54.

Page 82: ni putu oktaviani rinika pranitasari

Talbot, A.R., Herr, T.M., Parsons, D.S. 1997. Mucociliary Clearance And

Buffered Hypertonic Saline Solution. Laryngoscope 107: 500-3.

Ural, A., Oktemer, T.K., Kizil, Y., Ileri, F., Uslu, S. 2009. Imapact of Isotonic

and Hypertonic Saline Solutions on Mucociliary Activity in Various Nasal

Pathologies: Clinical Study. The Journal of Laryngology & Otology 123: 517-21.

Valia, P.P., Valero, F.C., Pardo, J.M., Rentero, D.B., Monte, C.G. 2008.

Saccharin Test For The Study of Mucociliary Clearance: Reference Values for a

Spanish Population. Arch Bronconeumol 44: 540-5.

Valdez, R.J.L. dan Cruz, E.S. 2009. Nasal Mucociliary Clearance (Mucus

Transit Time) and Abnormal Body Mass Index (Underweight and Obese) in

Filipino Adult Volunteers. Philippine Scientific Journal 42(1): 10-3.

Walsh, W.E. and Kern, R.C. 2006. Sinonasal Anatomy, Function and

Evaluation. In : Bailey B.J, and Johnson, J.T., editors. Head & Neck Surgery-

Otolaryngology. 4th

Ed. Vol.1 Philadephia: Lippincott Williams & Wilkins. p.

307-18.

Welch, K.C. and Goldberg, A.N. 2008. Sinusitis. In : Mahmoudi, M., editor.

Allergy & Asthma, Practical Diagnosis and Management. New York:

McGrawHill. p. 62-7.

Yeung, DF. 2011. Efficacy of Nasal Saline Spray to Relieve Symptoms of

Chronic Sinusitis. UTMJ 88(2): 84-7.

Page 83: ni putu oktaviani rinika pranitasari
Page 84: ni putu oktaviani rinika pranitasari
Page 85: ni putu oktaviani rinika pranitasari

Lampiran 2

INFORMASI TERTULIS KEPADA RESPONDEN

Penelitian : Larutan pencuci hidung salin isotonis mempercepat waktu

transpor mukosilia pada rinosinusitis akut.

Peneliti Utama : dr. Ni Putu Oktaviani Rinika Pranitasari

Handphone 081338940957

Alamat tugas : Sub Bagian/SMF THT-KL FK UNUD/RSUP Sanglah

Denpasar

Kepada

YTH. Bapak/Ibu/Saudara/i

Di tempat

Rinosinusitis akut adalah inflamasi pada mukosa hidung dan sinus paranasal

yang terjadi selama 4 minggu atau kurang, ditandai gejala hidung buntu, nyeri

wajah, ingus kental dan dahak kental (post nasal drip) di tenggorok. Rinosinusitis

akut sering terjadi menyertai infeksi saluran napas atas, pilek alergi maupun

paparan polusi. Pada infeksi tersebut terjadi gangguan pengaliran lendir di dalam

rongga sinus sehingga lama-kelamaan lendir akan menumpuk dan memperparah

infeksi yang telah terjadi. Pengobatan standar yang diberikan adalah pemberian

antibiotika, dekongestan dan mukolitik. Penggunaan larutan pencuci hidung salin

isotonis masih terbatas pada rinosinusitis kronis yang telah menjalani pembedahan

sinus. Beberapa penelitian telah mengungkapkan manfaat pemberian larutan

pencuci hidung terhadap kesembuhan pasien.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas pemberian larutan

pencuci hidung salin isotonis pada penderita rinosinusitis akut dibandingkan

dengan pengobatan standar. Larutan salin isotonis adalah larutan yang relatif

aman, murah, mudah ditemui di apotek dan mudah digunakan.

Bapak/Ibu/Saudara/i diundang untuk berpartisipasi dalam penelitian ini.

Penelitian ini dilakukan sama seperti pemeriksaan rutin THT yang biasa dilakukan

untuk mendiagnosis suatu penyakit, yaitu wawancara, pemeriksaan fisik rutin

Page 86: ni putu oktaviani rinika pranitasari

pada telinga, hidung, tenggorok serta pemeriksaan radiologi (foto polos sinus

paranasal). Kemudian saya akan memeriksa uji sakarin menggunakan tablet

sakarin yang akan diletakkan pada permukaan bagian dalam rongga hidung

bawah. Saya akan meminta Bapak/Ibu/Saudara/i untuk menelan ludah setiap

setengah atau satu menit, sampai terasa manis pertama kali di tenggorok, yang

merupakan waktu transpor mukosilia. Waktu diukur dengan menggunakan

pengukur waktu (stopwatch). Setelah itu, tablet sakarin yang masih tersisa di

dalam hidung akan dicuci menggunakan larutan isotonis yang disemprotkan ke

dalam hidung dan kemudian berkumur dengan larutan air mineral. Bahan kristal

sakarin bersifat aman dan tidak menimbulkan risiko yang berbahaya bagi subjek

penelitian.

Bapak/Ibu/Saudara/i akan dibagi menjadi dua kelompok, kelompok yang

akan mendapatkan pengobatan standar dan kelompok yang akan mendapatkan

pengobatan standar ditambah larutan pencuci hidung salin isotonis. Pembagian

kelompok akan dilakukan secara acak berdasarkan randomisasi blok. Setelah 7

hari mendapatkan pengobatan, Bapak/Ibu/Saudara/i akan diperiksa uji sakarin

evaluasi dengan cara yang sama seperti pemeriksaan sebelumnya.

Partisipasi Bapak/Ibu/Saudara/i dalam penelitian ini bersifat sukarela. Apabila

tidak bersedia ikut serta dalam penelitian ini, Bapak/Ibu/Saudara/i tetap akan

mendapat pelayanan kesehatan standar rutin sesuai dengan standar prosedur

pelayanan.

Identitas Bapak/Ibu/Saudara/i dalam penelitian ini akan disamarkan. Hanya

dokter peneliti, anggota peneliti dan anggota komisi etik yang dapat melihat data

Bapak/Ibu/Saudara/i. Kerahasiaan data akan dijamin sepenuhnya.

Page 87: ni putu oktaviani rinika pranitasari

Lampiran 3

SURAT PERNYATAAN PERSETUJUAN

(INFORMED CONSENT)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama :

Umur / Jenis kelamin :

Alamat :

menyatakan bahwa saya telah mengerti sepenuhnya atas penjelasan yang

diberikan oleh dr. Ni Putu Oktaviani Rinika P. dari bagian THT / FK Udayana,

RSUP Sanglah, Denpasar mengenai: prosedur pemeriksaan, prosedur tindakan,

resiko serta manfaat tindakan uji sakarin yang akan dilakukan kepada diri saya.

Dengan demikian saya bersedia mengikuti / menjalani seluruh prosedur

pemeriksaan yang dilakukan untuk penelitian mengenai:

“LARUTAN PENCUCI HIDUNG SALIN ISOTONIS MEMPERCEPAT

WAKTU TRANSPOR MUKOSILIA PADA RINOSINUSITIS AKUT”

Surat pernyataan persetujuan (informed consent) ini saya buat dengan

sukarela dan tanpa ada paksaan dari pihak manapun, agar dapat dipergunakan

bilamana diperlukan.

Denpasar, ……….. 20..

Penanggungjawab peneliti, Peserta penelitian,

dr. Ni Putu Oktaviani Rinika P. …………………………….

Page 88: ni putu oktaviani rinika pranitasari

Lampiran 4

LEMBAR PENELITIAN

Nomor Penelitian :

Tanggal berobat :

Nomor rekam medis :

A. Identitas Penderita

Nama : Tinggi badan : cm

Jenis kelamin : Berat badan : kg

Umur : tahun IMT : kg/m2

Alamat : Tekanan darah : mmHg

Telepon :

B. Anamnesis

1. Apakah ada keluhan hidung tersumbat? Jika Ya, pada hidung yang mana?

a. Ya, hidung kiri / kanan / keduanya

b. Tidak

2. Apakah ada keluhan pilek/ingus kental?

a. Ya

b. tidak

3. Apakah ada keluhan nyeri pipi?

a. Ya

b. Tidak

4. Apakah ada keluhan sakit kepala?

a. Ya

b. Tidak

5. Apakah ada gangguan penciuman/penghidu?

a. Ya

b. Tidak

6. Apakah ada keluhan demam? Jika Ya, sejak kapan?

a. Ya, sejak …….

b. Tidak

Page 89: ni putu oktaviani rinika pranitasari

7. Apakah ada keluhan dahak yang mengalir di tenggorok?

a. Ya

b. Tidak

8. Apakah ada keluhan bau mulut atau nafas berbau?

a. Ya

b. Tidak

9. Apakah ada keluhan lainnya? Batuk, nyeri telinga, penuh di telinga?

10. Apakah Saudara pernah dinyatakan menderita tumor hidung dan sinus

paranasal atau sedang menjalani pengobatan kemoterapi/radioterapi

berkaitan tumor tersebut? Jika Ya, sebutkan sejak kapan?

a. Ya, sejak …….. bulan

b. Tidak

11. Apakah Saudara menderita gangguan pengecapan?

a. Ya

b. Tidak

12. Apakah Saudara menggunakan obat tetes/semprot hidung? Jika Ya,

sebutkan nama obatnya dan sudah berapa lama!

a. Ya, …….

b. Tidak

13. Apakah Saudara pernah menjalani operasi hidung dan sinus paranasal?

Jika Ya, sebutkan alasannya dan kapan.

a. Ya, …….., pada …………..

b. Tidak

14. Apakah Saudara pernah dinyatakan menderita hipertensi atau sedang

mengkonsumsi obat antihipertensi?

a. Ya

b. Tidak

15. Apakah Saudara merokok? Jika Ya, sebutkan sudah berapa lama merokok

dan berapa batang per hari?

a. Ya, ….. tahun, …… batang per hari

b. Tidak

Page 90: ni putu oktaviani rinika pranitasari

C. Pemeriksaan Fisik THT

1. Telinga

Kanan Kiri

Daun telinga Normal/abnormal Normal/abnormal

Liang telinga Lapang/odema Lapang/odema

Membran

timpani

Intak/perforasi/retraksi/hiperemi Intak/perforasi/retraksi/hiperemi

2. Hidung

Kanan Kiri

Kavum nasi Lapang/sempit/massa Lapang/sempit/massa

Konka Dekongesti/kongesti Dekongesti/kongesti

Mukosa Merah muda/hiperemi/livide Merah muda/hiperemi/livide

Sekret Tidak ada/serus/mukoid/

purulen

Tidak ada/serus/mukoid/

purulen

Deviasi septum Deviasi ke kanan/kiri/bentuk S//tidak ada deviasi

Post nasal drip Ada/tidak ada

3.Tenggorok

Kanan Kiri

Mukosa faring Merah muda/hiperemi Merah muda/hiperemi

Tonsil T1/T2/T3/T4

Merah muda / hiperemi

Rata/tidak rata

Kripte melebar -/+

Detritus -/+

T1/T2/T3/T4

Merah muda/hiperemi

Rata/tidak rata

Kripte melebar -/+

Detritus -/+

Dinding belakang

faring

Granula hipertrofi -/+ Granula hipertrofi -/+

D. Hasil foto Waters :

Page 91: ni putu oktaviani rinika pranitasari

E. Diagnosis :

F. Terapi :

G. Hasil pemeriksaan uji sakarin :

1. Uji sakarin sebelum terapi : .......................... menit.

2. Uji sakarin sesudah terapi : ……….……..... menit.

Page 92: ni putu oktaviani rinika pranitasari

Lampiran 5

RANDOMISASI BLOK

a. Kelompok kontrol mendapat terapi standar, diberi kode A.

b. Kelompok perlakuan mendapat terapi standar ditambah larutan pencuci

hidung salin isotonis, diberi kode B.

c. Besar blok = 6

d. Sekuens pengobatan :

No. Sekuens No. Sekuens No. Sekuens No. Sekuens

00-04 AAABBB 25-29 ABABAB 50-54 BAAABB 75-79 BABBAA

05-09 AABABB 30-34 ABABBA 55-59 BAABAB 80-84 BBAAAB

10-14 AABBAB 35-39 ABBAAB 60-64 BAAABB 85-89 BBAABA

15-19 AABBBA 40-44 ABBABA 65-69 BABAAB 90-94 BBABAA

20-24 ABAABB 45-49 ABBBAA 70-74 BABABA 95-99 BBBAAA

e. Jumlah sampel = 36, dipilih 6 angka yaitu:

f. Maka sekuens pengobatan sbb:

No.Amplop

1 A 9 B 17 A 25 B 33 B

2 A 10 B 18 B 26 B 34 A

3 B 11 A 19 A 27 A 35 B

4 B 12 A 20 B 28 B 36 A

5 B 13 B 21 A 29 A 37 A

6 A 14 A 22 A 30 A 38 A

7 A 15 B 23 B 31 A 39 B

8 B 16 A 24 B 32 B 40 B

AABBBA-ABBBAA-BABAAB-ABAABB-BBABAA-ABBABA-AABBBA.

Page 93: ni putu oktaviani rinika pranitasari

Lampiran 6

FOTO DOKUMENTASI

Gambar 6.1 Forsep alligator (kiri) dan pinset bayonet (kanan)

Gambar 7.2 Stopwatch (kiri) dan tablet sakarin merk Equal (kanan)

Page 94: ni putu oktaviani rinika pranitasari

Gambar 6.3 Tablet sakarin diletakkan 1 cm di belakang ujung anterior konka

inferior kavum nasi (tampak depan).

Gambar 6.4 Tablet sakarin diletakkan 1 cm di belakang ujung anterior konka

inferior kavum nasi (tampak samping).

Page 95: ni putu oktaviani rinika pranitasari

Lampiran 7

Data statistik

Explore

Kelompok

Case Processing Summary

Kelompok

Cases

Valid Missing

N Percent N Percent

waktu sakarin pretest Terapi standar dan larutan

nasal salin

20 100.0% 0 .0%

Terapi standar 20 100.0% 0 .0%

Case Processing Summary

Kelompok

Cases

Total

N Percent

waktu sakarin pretest Terapi standar dan larutan

nasal salin

20 100.0%

Terapi standar 20 100.0%

Descriptives

Kelompok Statistic

Std.

Error

waktu sakarin Terapi standar dan Mean 35.5185 2.38187

Page 96: ni putu oktaviani rinika pranitasari

pretest larutan nasal salin 95% Confidence

Interval for Mean

Lower Bound 30.5332

Upper Bound 40.5038

5% Trimmed Mean 35.0494

Median 34.7550

Variance 113.466

Std. Deviation 10.6520

4

Minimum 21.23

Maximum 58.25

Range 37.02

Interquartile Range 13.98

Skewness .737 .512

Kurtosis -.090 .992

Terapi standar Mean 29.1905 1.73193

95% Confidence

Interval for Mean

Lower Bound 25.5655

Upper Bound 32.8155

5% Trimmed Mean 28.8633

Median 27.3200

Variance 59.991

Std. Deviation 7.74541

Page 97: ni putu oktaviani rinika pranitasari

Minimum 18.90

Maximum 45.37

Range 26.47

Interquartile Range 10.76

Skewness .825 .512

Kurtosis -.173 .992

Tests of Normality

Kelompok

Kolmogorov-Smirnova

Statistic df Sig.

waktu sakarin pretest Terapi standar dan larutan

nasal salin

.138 20 .200*

Terapi standar .140 20 .200*

a. Lilliefors Significance Correction

*. This is a lower bound of the true significance.

Tests of Normality

Kelompok

Shapiro-Wilk

Statistic df Sig.

waktu sakarin pretest Terapi standar dan larutan

nasal salin

.937 20 .210

Terapi standar .921 20 .106

Page 98: ni putu oktaviani rinika pranitasari

Case Processing Summary

Kelompok

Cases

Valid Missing

N Percent N Percent

waktu sakarin pretest Terapi standar dan larutan

nasal salin

20 100.0% 0 .0%

T-Test

Group Statistics

Kelompok N Mean

waktu sakarin pretest Terapi standar dan larutan nasal

salin

20 35.5185

Terapi standar 20 29.1905

Group Statistics

Kelompok Std. Deviation Std. Error Mean

waktu sakarin pretest Terapi standar dan larutan nasal

salin

10.65204 2.38187

Terapi standar 7.74541 1.73193

Page 99: ni putu oktaviani rinika pranitasari

Independent Samples Test

Levene's Test for Equality of

Variances

t-test for Equality

of Means

F Sig. t

waktu sakarin pretest Equal variances assumed 1.476 .232 2.149

Equal variances not assumed 2.149

Independent Samples Test

t-test for Equality of Means

df Sig. (2-tailed) Mean Difference

waktu sakarin pretest Equal variances assumed 38 .038 6.32800

Equal variances not assumed 34.702 .039 6.32800

Independent Samples Test

t-test for Equality of Means

95% Confidence Interval of the

Difference

Std. Error

Difference Lower Upper

waktu sakarin pretest Equal variances assumed 2.94497 .36621 12.28979

Equal variances not assumed 2.94497 .34755 12.30845

Page 100: ni putu oktaviani rinika pranitasari

GGraph

GGraph

Explore

Kelompok

Case Processing Summary

Kelompok Cases

Page 101: ni putu oktaviani rinika pranitasari

Valid Missing

N Percent N Percent

waktu sakarin postest Terapi standar dan larutan nasal

salin

20 100.0% 0 .0%

Terapi standar 20 100.0% 0 .0%

Case Processing Summary

Kelompok

Cases

Total

N Percent

waktu sakarin postest Terapi standar dan larutan nasal

salin

20 100.0%

Terapi standar 20 100.0%

Descriptives

Kelompok Statistic Std. Error

waktu sakarin postest Terapi standar dan larutan Mean 22.9475 1.95639

Page 102: ni putu oktaviani rinika pranitasari

nasal salin 95% Confidence Interval

for Mean

Lower Bound 18.8527

Upper Bound 27.0423

5% Trimmed Mean 22.6528

Median 20.9750

Variance 76.550

Std. Deviation 8.74926

Minimum 10.00

Maximum 41.20

Range 31.20

Interquartile Range 12.98

Skewness .680 .512

Kurtosis -.145 .992

Terapi standar Mean 17.9710 1.25012

95% Confidence Interval

for Mean

Lower Bound 15.3545

Upper Bound 20.5875

5% Trimmed Mean 17.9217

Median 17.7950

Variance 31.256

Std. Deviation 5.59070

Minimum 9.43

Page 103: ni putu oktaviani rinika pranitasari

Maximum 27.40

Range 17.97

Interquartile Range 8.67

Skewness .237 .512

Kurtosis -.777 .992

Tests of Normality

Kelompok

Kolmogorov-Smirnova

Statistic df Sig.

waktu sakarin postest Terapi standar dan larutan nasal

salin

.148 20 .200*

Terapi standar .126 20 .200*

a. Lilliefors Significance Correction

*. This is a lower bound of the true significance.

Tests of Normality

Kelompok

Shapiro-Wilk

Statistic df Sig.

waktu sakarin postest Terapi standar dan larutan nasal

salin

.940 20 .236

Terapi standar .944 20 .288

T-Test

Group Statistics

Page 104: ni putu oktaviani rinika pranitasari

Kelompok N Mean

waktu sakarin postest Terapi standar dan larutan nasal

salin

20 22.9475

Terapi standar 20 17.9710

Group Statistics

Kelompok Std. Deviation Std. Error Mean

waktu sakarin postest Terapi standar dan larutan nasal

salin

8.74926 1.95639

Terapi standar 5.59070 1.25012

Independent Samples Test

Levene's Test for Equality of

Variances

t-test for Equality

of Means

F Sig. t

waktu sakarin postest Equal variances assumed 4.606 .038 2.143

Equal variances not assumed 2.143

Independent Samples Test

t-test for Equality of Means

df Sig. (2-tailed) Mean Difference

Page 105: ni putu oktaviani rinika pranitasari

waktu sakarin postest Equal variances assumed 38 .039 4.97650

Equal variances not assumed 32.299 .040 4.97650

Independent Samples Test

t-test for Equality of Means

95% Confidence Interval of the

Difference

Std. Error

Difference Lower Upper

waktu sakarin postest Equal variances assumed 2.32170 .27647 9.67653

Equal variances not assumed 2.32170 .24907 9.70393

GGraph

Explore

Kelompok

Page 106: ni putu oktaviani rinika pranitasari

Case Processing Summary

Kelompok

Cases

Valid Missing

N Percent N Percent

selisih waktu sakarin pretest dan

postest

Terapi standar dan larutan nasal

salin

20 100.0% 0 .0%

Terapi standar 20 100.0% 0 .0%

Case Processing Summary

Kelompok

Cases

Total

N Percent

selisih waktu sakarin pretest dan

postest

Terapi standar dan larutan nasal

salin

20 100.0%

Terapi standar 20 100.0%

Descriptives

Kelompok Statistic Std. Error

selisih waktu sakarin

pretest dan postest

Terapi standar dan larutan

nasal salin

Mean 12.5710 1.19998

95% Confidence Interval

for Mean

Lower Bound 10.0594

Upper Bound 15.0826

5% Trimmed Mean 12.1622

Median 10.9650

Page 107: ni putu oktaviani rinika pranitasari

Variance 28.799

Std. Deviation 5.36646

Minimum 5.47

Maximum 27.03

Range 21.56

Interquartile Range 7.48

Skewness 1.149 .512

Kurtosis 1.364 .992

Terapi standar Mean 11.2200 .99053

95% Confidence Interval

for Mean

Lower Bound 9.1468

Upper Bound 13.2932

5% Trimmed Mean 10.9978

Median 9.3850

Variance 19.623

Std. Deviation 4.42980

Minimum 5.52

Maximum 20.92

Range 15.40

Interquartile Range 5.25

Skewness 1.112 .512

Page 108: ni putu oktaviani rinika pranitasari

Case Processing Summary

Kelompok

Cases

Valid Missing

N Percent N Percent

selisih waktu sakarin pretest dan

postest

Terapi standar dan larutan nasal

salin

20 100.0% 0 .0%

Kurtosis .472 .992

Tests of Normality

Kelompok

Kolmogorov-Smirnova

Statistic df Sig.

selisih waktu sakarin pretest dan

postest

Terapi standar dan larutan nasal

salin

.159 20 .200*

Terapi standar .204 20 .029

a. Lilliefors Significance Correction

*. This is a lower bound of the true significance.

Tests of Normality

Kelompok

Shapiro-Wilk

Statistic df Sig.

selisih waktu sakarin pretest dan

postest

Terapi standar dan larutan nasal

salin

.898 20 .038

Terapi standar .875 20 .015

NPar Tests

Page 109: ni putu oktaviani rinika pranitasari

Mann-Whitney Test

Ranks

Kelompok N Mean Rank Sum of Ranks

selisih waktu sakarin pretest dan

postest

Terapi standar dan larutan nasal

salin

20 21.75 435.00

Terapi standar 20 19.25 385.00

Total 40

Test Statisticsb

selisih waktu

sakarin pretest dan

postest

Mann-Whitney U 175.000

Wilcoxon W 385.000

Z -.676

Asymp. Sig. (2-tailed) .499

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .512a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: Kelompok

GGraph

Page 110: ni putu oktaviani rinika pranitasari

GGraph

Page 111: ni putu oktaviani rinika pranitasari

Lampiran 8

DATA RESPONDEN

No Nama Jenis

kelamin Umur Tinggi Berat IMT

Hidung tersumbat

Pilek Nyeri pipi

Sakit kepala

Ggn penghidu

Demam Napas

bau Dahak

tenggorok Keluhan lain

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

1 LTD L 23 175 57 18.61 Keduanya Ya Ya Ya Tidak Tidak Tidak Ya Batuk

2 WSM P 34 155 50 20.81 Kiri Ya Tidak Ya Ya Tidak Tidak Ya Telinga penuh

3 NAY L 28 165 65 23.86 Keduanya Ya Ya Ya Ya Tidak Tidak Tidak Tdk ada

4 AMP L 32 165 82 30.12 Keduanya Ya Tidak Ya Ya Tidak Ya Ya Tdk ada

5 JSM L 20 160 45 17.58 Keduanya Ya Ya Ya Tidak Tidak Ya Ya Tdk ada

6 DUT P 30 155 42 17.48 Keduanya Ya Ya Ya Tidak Tidak Tidak Ya Tdk ada

7 NBR P 16 148 42 19.17 Keduanya Ya Tidak Ya Tidak Tidak Tidak Ya Tdk ada

8 YMA L 20 174 58 19.16 Keduanya Ya Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Ya Tdk ada

9 DYP P 27 165 57 20.93 Keduanya Ya Tidak Ya Ya Tidak Tidak Ya Tdk ada

10 FSL L 39 178 84 26.51 Keduanya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Batuk

11 CHS L 32 170 97 33.56 Kanan Ya Tidak Tidak Ya Tidak Tidak Ya Tdk ada

12 DPM P 30 157 51 20.69 Keduanya Ya Tidak Ya Ya Tidak Tidak Tidak Tdk ada

13 MSR L 55 180 90 27.78 Keduanya Ya Ya Ya Tidak Tidak Tidak Ya Tdk ada

14 BTK L 37 165 80 29.38 Kanan Ya Tidak Ya Tidak Tidak Tidak Tidak Tdk ada

15 NND L 47 173 70 23.39 Kiri Ya Tidak Ya Ya Tidak Ya Ya Nyeri telinga

16 HAM P 27 155 46 19.15 Keduanya Ya Tidak Tidak Ya Tidak Ya Ya Tdk ada

17 WNS P 45 155 60 24.97 Kiri Ya Ya Ya Tidak Tidak Ya Tidak Tdk ada

18 PNB L 22 160 60 23.44 Kiri Ya Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Ya Tdk ada

19 FDP L 38 170 75 25.95 Keduanya Ya Tidak Tidak Ya Tidak Tidak Ya Tdk ada

20 KHM L 23 170 83 28.72 Kiri Ya Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Ya Tdk ada

21 LIM P 49 160 55 21.48 Keduanya Ya Tidak Ya Tidak Tidak Ya Ya Telinga penuh

22 GKP L 17 165 71 26.08 Keduanya Ya Tidak Tidak Ya Tidak Tidak Ya Tdk ada

23 WAR L 39 182 72 21.74 Keduanya Ya Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Ya Tdk ada

24 ALD L 16 180 56 17.28 Keduanya Ya Tidak Ya Tidak Tidak Tidak Ya Telinga penuh

25 WDU P 36 160 72 28.13 Keduanya Ya Ya Ya Tidak Ya Tidak Ya Batuk

26 CGA L 18 175 69 22.53 Kanan Ya Tidak Ya Tidak Tidak Tidak Ya Tdk ada

27 ASP P 36 168 55 19.49 Keduanya Ya Ya Tidak Tidak Tidak Tidak Ya Tdk ada

28 AST P 29 156 46 18.9 Keduanya Ya Tidak Ya Tidak Tidak Tidak Ya Tdk ada

29 LGS P 21 167 60 21.51 Keduanya Ya Tidak Ya Tidak Tidak Tidak Ya Tdk ada

30 DRS L 16 172 56 18.93 Kiri Ya Tidak Ya Ya Tidak Tidak Ya Tdk ada

31 ARW P 32 158 62 24.83 Keduanya Ya Tidak Ya Tidak Tidak Tidak Ya Tdk ada

32 BSR L 42 165 64 23.51 Keduanya Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak Ya Batuk

33 CKE P 39 158 61 24.44 Keduanya Ya Tidak Ya Ya Ya Tidak Tidak Batuk

34 WRD L 30 165 66 24.24 Keduanya Ya Tidak Ya Ya Ya Tidak Ya Batuk

35 TRA L 49 166 73 26.49 Keduanya Ya Tidak Ya Ya Tidak Tidak Ya Tdk ada

36 MBL P 27 160 66 25.78 Keduanya Ya Tidak Ya Ya Tidak Tidak Ya Tdk ada

37 SRN P 33 155 64 26.64 Keduanya Ya Tidak Tidak Tidak Ya Tidak Tidak Batuk

38 NTM L 32 162 75 28.58 Kanan Ya Tidak Ya Tidak Tidak Tidak Ya Tdk ada

39 KSD L 36 160 73 28.52 Keduanya Ya Tidak Ya Tidak Tidak Tidak Ya Tdk ada

40 MTR P 52 150 51 22.67 Kanan Ya Ya Tidak Tidak Ya Tidak Tidak Batuk

Page 112: ni putu oktaviani rinika pranitasari

DATA RESPONDEN

No Tumor

sinonasal Ggn

pengecap Obat

topikal Riw.

Operasi Hipertensi Merokok

Deviasi septum

Foto Waters Diagnosis Kelompok Waktu

sebelum Waktu sesudah

16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27

1 Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Ke kiri Sinusitis maksila Rinosinusitis akut, faringitis Kontrol 18.9 9.43

2 Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Ke kanan Rinitis, sinusitis maksila, sinusitis

etmoid Rinosinusitis akut Kontrol 27.47 18.37

3 Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Ya Bentuk S Rinitis, sinusitis maksila Rinosinusitis akut Perlakuan 58.25 41.2

4 Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Sinusitis maksila Rinosinusitis akut Perlakuan 48.93 21.9

5 Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Sinusitis maksila, sinusitis etmoid Rinosinusitis akut Perlakuan 28.73 12.15

6 Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Sinusitis maksila Rinosinusitis akut Kontrol 23 15.22

7 Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Sinusitis maksila Rinosinusitis akut Kontrol 34.5 25.45

8 Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Ke kiri Rinitis, sinusitis maksila Rinosinusitis akut Perlakuan 28.83 20.33

9 Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Sinusitis maksila Rinosinusitis akut Perlakuan 35.23 21.58

10 Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Ya Tidak Sinusitis maksila , sinusitis etmoid Rinosinusitis akut, tonsilofaringitis akut Perlakuan 40 31.2

11 Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Ya Ke kanan Rinitis, sinusitis maksila Rinosinusitis akut Kontrol 36.42 16.22

12 Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Sinusitis maksila Rinosinusitis akut Kontrol 41.32 27.4

13 Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Bentuk S Rinitis, sinusitis maksila Rinosinusitis akut Perlakuan 43.1 29.45

14 Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Ke kiri Rinitis, sinusitis maksila , sinusitis

etmoid Rinosinusitis akut Kontrol 27.17 18.4

15 Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Ke kiri Sinusitis maksila Rinosinusitis akut, OE difusa S Perlakuan 24.8 16.38

16 Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Sinusitis maksila Rinosinusitis akut Kontrol 25.23 17.72

17 Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Sinusitis maksila Rinosinusitis akut Kontrol 26.88 17.87

18 Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Rinitis, sinusitis maksila Rinosinusitis akut Perlakuan 46.02 31.18

19 Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Sinusitis maksila , sinusitis etmoid Rinosinusitis akut Kontrol 43.92 23

20 Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Ke kiri Rinitis, sinusitis maksila Rinosinusitis akut Perlakuan 36.07 14.5

21 Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Ke kiri Rinitis, sinusitis maksila Rinosinusitis akut Kontrol 20.73 13.35

22 Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Sinusitis maksila Rinosinusitis akut Kontrol 21.1 14.6

23 Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Sinusitis maksila Rinosinusitis akut Perlakuan 24.35 16.65

24 Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Ke kanan Rinitis, sinusitis maksila Rinosinusitis akut Perlakuan 21.23 10

25 Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Sinusitis maksila Rinosinusitis akut, tonsilofaringitis akut Perlakuan 31.42 15.45

26 Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Bentuk S Sinusitis maksila , sinusitis etmoid Rinosinusitis akut Perlakuan 21.73 16.27

27 Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Rinitis, sinusitis maksila Rinosinusitis akut Kontrol 21.82 9.7

28 Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Rinitis, sinusitis maksila Rinosinusitis akut Perlakuan 56.23 40.55

29 Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Rinitis, sinusitis maksila Rinosinusitis akut Kontrol 24.37 13.07

30 Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Sinusitis maksila Rinosinusitis akut Kontrol 28.42 17.05

31 Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Sinusitis maksila Rinosinusitis akut Kontrol 23.67 10.18

32 Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Ya Tidak Sinusitis maksila , sinusitis etmoid Rinosinusitis akut, tonsilofaringitis akut Perlakuan 34.28 26.15

33 Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Sinusitis maksila Rinosinusitis akut, tonsilofaringitis akut Perlakuan 36.7 26.52

34 Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Rinitis, sinusitis maksila Rinosinusitis akut, tonsilofaringitis kronis

exc.akut Kontrol 31.67 19.02

35 Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Ya Tidak Sinusitis maksila Rinosinusitis akut Perlakuan 28.22 20.37

36 Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Ke kiri Rinitis, sinusitis maksila Rinosinusitis akut Perlakuan 45.37 26.33

37 Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Sinusitis maksila Rinosinusitis akut, tonsilofaringitis akut Kontrol 32.23 26.72

38 Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Ya Tidak Sinusitis maksila Rinosinusitis akut Kontrol 29.62 20.32

39 Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Ya Tidak Rinitis, sinusitis maksila Rinosinusitis akut Perlakuan 29.07 18.37

40 Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Ke kanan Sinusitis maksila Rinosinusitis akut, tonsilofaringitis akut Perlakuan 37.18 28.75