Newsrhetor edisi 48

24
NewsRhetor Ada apa dengan LKM ? Menanti Gebrakan SEMA & DEMA pasca Pemilwa. Akankah vakum (lagi)? Edisi XLVIII/Mei 2016 Media Komunikasi Mahasiswa Setelah menunggu berpuluh purnama... Sema dan Dema dilantik jua... RHETOR

description

Ada apa dengan LKM? Menanti Gerakan SEMA & DEMA pasca Pemilwa. Akankah vakum (lagi)?

Transcript of Newsrhetor edisi 48

Page 1: Newsrhetor edisi 48

NewsRhetor

Ada apadengan LKM?Menanti Gebrakan SEMA & DEMA pasca Pemilwa.Akankah vakum (lagi)?

Edisi XLVIII/Mei 2016

Media Komunikasi Mahasiswa

Setelah menunggu berpuluh purnama...Sema dan Dema dilantik jua...

RHETOR

Page 2: Newsrhetor edisi 48
Page 3: Newsrhetor edisi 48

alam sejahtera bagi pembaca setia

NewsRhetor.

Kebahagian jelas terpancar dari

segenap awak redaksi LPM Rhetor.

Media cetak berbentuk buletin yang pembaca

sekalian pegang akhirnya terselesaikan meski

badai konvergensi media terus mengalir deras.

Memang bukan perkara mudah, semua

menginginkan serba instan, cara memproduksi

sebuah berita (praktisi media) hingga cara

menikmatinya (pembaca). Selain itu kendala lain

seperti kebutuhan anggaran yang lebih juga

menjadi masalah klasik jika masih ingin

mempertahankan media cetak.

Media terus mengikuti perkembangan, dari

cetak menuju cyber media (media online). Tak

dapat dihindari, eksisitensi media cetak perlahan

menurun, tergerus oleh media online. Beberapa

surat kabar harian dan majalah banting setir

mencari siasat. Ada yang mensiasati dari isi

laporanya “khas” adapula yang mensiasati

dengan cara penerbitanya. Beberapa media

kedapatan mengurangi jumlah halaman, rubrik,

hingga harus rela mengurangi terbitan, yang

semula satu minggu tujuh kali menjadi enam kali

terbit. Begitupun yang terjadi di Lembaga Pers

(LPM) Rhetor, eksisistensi media cetak

NewsRhetor juga terkena imbasnya.

Siasat taktis harus dimiliki oleh semua

praktisi media, termasuk LPM Rhetor. Meski

badai cyber media mendominasi informasi yang

dikonsumsi masyarakat, namun NewsRhetor,

media cetak LPM Rhetor akan tetap

dipertahankan, sebagai corong informasi di

Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Suanan

Kalijaga. Salah satu siasat agar tidak tergerus

oleh eksistensi media online adalah dengan

mempertahankan kekhasan isi pemberitaan.

Seperti tagline News Rhetor, kritis, solutif, dan

humanis. News Rhetor akan setia menjembatani

komunikasi masyarakat kampus.

Sebagai langkah nyata News Rhetor dalam

mempertahankan isi pemberitaanya, adalah

dengan melakukan penerbitan berkala.

Mempublikasikan hasil refleksi atas realitas

kedalam karya tulis. Rhetor juga menyadari,

jurnalisme tak hanya dapat menagandalkan

versi cetaknya. Apalagi dalam perkembangan

teknologi informasi yang kian pesat membuat

para pegiat Jurnalisme harus menyesuaikan

dirinya di era ke kinian, di era new media, ruang

virtual. Laporan-laporan naratif yang sering

menguras halaman kini tak perlu khawatir

dengan jumlah halaman, karena adanya media

online. Begitupun dengan buletin yang

pembaca sekalian pegang, bisa di akses dilaman

online Lpm Rhetor. Dengan hadirnya buletin ke

XLVIII di tangan pembaca ini diharapkan dapat

menjadi sarana penyaluran bakat jurnalistik

sekaligus sumber informasi bagi mahasiswa

mengenai perkembangan kampus.

Pembaca yang budiman, selamat membaca!

SALAM REDAKSI

News Rhetor diterbitkan oleh Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) RHETOR FDK UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Pelindung: Dekan FDK UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Penasehat: WD III FDK UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Pembina: Nanang Mizwar Hasyim M.Si Pimpinan Umum: Acep Adam Muslim Sekretaris Umum: Nelis Restin Fajrin

Bendahara: Anindia Eka Puspitasari, Muhammad Hadi, Fatkhu Riza Pemimpin Redaksi: Eko Sulistyono

Redaktur News Rhetor: Tri Junita Sari Redaktur Rhetor Online: Ihda Nurul S Redaktur Fotografi: Rofida Ilya

Redaktur Bahasa: Sarjoko Staf Redaksi: Hadi Mulyana, Tiara Apriani, Dyah Retno Utami, Vicky Mazaya, Emy Rosiana,

Ahmad Faza Azkiya, Ika Nur Khasanah, Fahri Hilmi, Maesaroh, Syihabuddin Koordinator PSDM: Amin Awlawy

Staf PSDM: Puput Sahara, Iko Khumairo, Septia Annur Rizkia, Astutik, Anom, Ikhlas Al-farisi, Nisa Zahro Istiqomah

Jarkom: Asran, Mr. Lafzee, Riza Aji Banasthi, Tuffy S, Wulan, Javank Kohin Pradana, Perusahaan: Royhan Asrofi

Tata Letak: Sarjoko Cover : Twitter SEMA U

S

Tajuk... 4 || Laporan Utama...6|| Laporan Khusus...9 ||Rhetorika...12 || Orator...13 || || Opini...15 || Sketsa...16 || Cerpen...16 || Cerpen...17 || Shutter Speed...21

DAFTAR ISI

News Rhetor edisi XLVIII/Mei 2016 3

Page 4: Newsrhetor edisi 48

emokratisasi kampus merupakan

kondisi diamana semua civitas

akademika (Rektorat, pengajar,

mahasiswa maupun pegawai) memiliki

hak yang sama. Misalnya, dalam

merumuskan kebijakan dalam menentukan

orientasi penyelenggaraan pendidikan di tingkat

universitas semuanya memiliki hak yang sama,

tidak kalah penting, civitas akademika juga memiliki

hak yang sama dalam mendapatkan informasi

publik.

Sayangnya, tidak semua mahasiswa memahami

konteks demokrasi. Berdasarkan angket yang kami

sebar di UIN Suanan Kalijaga Yogyakarta, masih

banyak mahasiswa yang tidak paham dan tidak

mau memahami kata tersebut. Berikut ada

beberapa catatan kami yang mungkin bisa

menunjukan bahwa demokratisasi kampus

hanyakah bualan:

Pertama, Mahasiswa masih dipandang sebagai

masyarakat kelas dua. Beberapa kebijakan penting

di kampus seperti orientasi penyelenggaraan

pendidikan misalnya, jarang melibatkan mahasiswa.

Orientasi penyelenggaraan pendidikan hanya

dilakukan oleh elit-elit kampus, rektora dan

jajaranya. Artinya, kampus sebagai miniature

negara dalam penerapan demokrasi tanpa disadari

telah ternoda. Jika tidak ada demokratisasi kampus

itu berarti tujuan universitas hanya melayani

kepentingan segelintir orang.

Kedua, hak untuk mendapatkan

informasi publik masih dibatasi.

Ditanya masalah transparasi UKT

(uang kuliah tunggal) misalnya,

kampus masih belum ada

transparansi secara utuh.

Akibatnya, kebanyakan

mahasiswa tidaka tahu

menahu transparasi UKT

yang mereka bayarkan.

Tahunya ya hanya kuliah di

UIN lebih murah dibandingkan dengan kampus lain.

Perlu dicatat, ukuran murah dan mahal bukan dari

jumlah uang yang dibayarkan melalui UKT satu

kampus dengan kampus lain, melainkan jumlah UKT

yang dibayarkan berbanding lurus dengan fasilitas

yang diberikan oleh kampus. Selain itu, pendapatan

UKT kampus yang didistribusikan untuk kegiatan

kemahasiswaan seperti UKM (unit kegiatan

mahasiswa) juga tidak ada transparasi yang jelas.

Ketiga, dalam beberapa kasus, posisi kampus

sebagai ruang akademik tidak mencermminkan sikap

akademis. Demokrasi menghendaki, semua orang

bebas bersuara dan berekspresi selama tujuanya

murni untuk kegiatan akademik. Masih teringat

beberapa kali kegiatan diskusi, nonton film yang

akan diselenggarakan di kampus dilarang. Alasanya,

ada oknum yang tidak menghendaki adanya

pemutaran film bahkan diskusi yang akan

dilaksanakan oleh mahasiswa. Harus kita

garisbawahi, di wilayah itu nyatanya kampus tidak

mampu mempertahankan kedaulatanya sebagai

ruang akademik.

Keempat, terbaru adalah pelibatan mahasiswa

dalam pemilihan wakil mahasiswa (Pemilwa). Para

pimpinan mahasiswa masih di dominasi oleh satu

golongan. Dalam prosesnya, pelibatan lembaga lain

di kampus seperti LPM di kampus sebagai kontrolnya

juga dibatasi. Entah siapa yang tidak menunjukan

sikap tak dewasa, yang jelas pemilwa ada indikasi

tidak transparan.[Redaksi]

D

RHETOR menerima tulisan baik berupa opini, cerpen, puisi, surat pembaca dan lain

sebagainya. Karya dikirim ke email [email protected] dengan menyertakan subyek

jenis karya. Redaksi berhak mengedit tanpa menghilangkan esensi karya tersebut.

Bagi yang dimuat, semoga diberi balasan yang setimpal dari Allah Swt...

Masyarakat Kelas DuaMahasiswa Itu

SakitSSenyatanya Nyelekits

A: Alhamdulillah, doa saya terkabul

B: Doa apa, bro?

A: Ini, jadi mahasiswa

B: Syukurlah. Betewe dapet jurusan

apa, nih?

A: Pengennya jurusan A. Tapi dapet-

nya jurusan B.

B: Lha, kok kamu ambil?

A: Daripada jadi pengangguran?

B: Kakakku habis jadi sarjana juga

masih nganggur....[]

Asal Tidak Nganggur

Mahasiswa masih dipandang sebagai masyarakat kelas dua. Beberapa kebijakan penting di

kampus seperti orientasi penyelenggaraan pendidikan misalnya, jarang melibatkan

mahasiswa

TAJUK

News Rhetor edisi XLVIII/Mei 20164

Page 5: Newsrhetor edisi 48

Surat Pembaca

News Rhetor edisi XLVIII/Mei 2016 5

da apa dengan UIN? Mengapa Aada pengurangan jumlah sks

Pusat Bahasa (PB) di tahun

2015, Khususnya Bahasa Arab. Apakah

karena kampus kami sudah pandai,

cerdas serta mahir dalam berbahasa

asing?. Belum lagi standar nilai yang

harus dicapai saat ujian, skor 500.

Apakah ini adil ? Apakah ini adil bagi

mereka yang tak ada beside apapun

dalam bidang itu. Karena, beberapa di

antara kami (termasuk penulis)

mungkin baru mengenal bahasa Arab,

baru belalajar menghafal

wahidun,ist’naini,tsa’lata sampai

‘arbaatun.

Itu artinya, bagi kami para mualaf

pemula harus memeras pikiran,

tenaga dan waktu agar bisa mengejar

dan setara dengan mereka yang

sudah terbiasa dengan bahasa arab.

Tidak mungkin juga kita ini berfokus

pada satu bidang saja, mahasiswa juga

dituntut memenuhi tugas yang lainya.

Kalau begini siapa yang mau

disalahkan, Saya, atau kampus?. Ada

yang bilang Salah sendiri masuk UIN.

Bagi penulis, tidak bisa begitu dong

kawan. Seharusnya pihak kampus juga

memperhatikan mereka yang berasal

dari SMK/SMA karena mereka juga

tahu beside kami. Tetapi sepertinya

pihak yang diatas menutup ,tak mau

melihat dan menggap kami tak ada,

atau menggangap kami ini pandai,

cepat mengguasai? sungguh lucu.

Apalagi dalam semingu hanya

satu kali pertemuan, yang berarti

selama satu semester ada 14 kali

pertemuan. Bagiu penulis, waktu

tersebut sangatlah kurang. Sangat

kurang untuk mengetahui, memahami

dan mengaplikasikan ilmu terkait.

Padahal menurut kakak senior tahun

sebelumnya pertemuan selama satu

semester ada 28 kali. Itupun hasilnya

belum memuaskan, apalagi jumlah

sksnya dikurangi seperti ini.

Tahukah kekhawatiran kami

selanjutnya atau apa yang kami

resahkan?, ketika kami terjun

ditengah masyarakat. Sebagai alumni

UIN, kelak kami pasti akan digadang-

gadang sebagai orang yang paham

agama termasuk dalam berbahasa di

lingkungan tempat kami berada.

Namun, kami mendustakan itu. Pada

akhirnya nama besar Instansi pula

yang akan dibawa. Pahamilah kami

maka kami akan memahami.

Ketahuilah maka kami pun akan

mengetahui. Berfikirlah maka kamipun

akan berfikir.

Memang dalam surat Al Maidah:2

di jelaskan hakikatnya Suatu keadaan

manusia tidak akan berubah kecuali

manusianya sendiri yang menggubah.

Petatah Ingris pun menggatakan “Do

the best you can do and then God do

the best you can’t do “ kami percaya

itu ,tetapi kami butuh dukungan

fasilitator dari pihak kampus.

(Hindun, mahasiswa KPI)

Kenapa Jumlah SKSPB Dikurangi?

Page 6: Newsrhetor edisi 48

News Rhetor edisi XLVIII/Mei 20166

khir 2015 lalu merupakan

awal kembali terbentuknya

Lembaga Kegiatan

Mahasiswa (LKM), di

Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan

Kalijaga Yogyakarta, setelah hampir

dua tahun lembaga yang terdiri dari

Dewan Mahasiswa (DEMA) dan Senat

Mahasiswa (SEMA) ini vakum. Setelah

melewati tahap yang cukup panjang,

dimulai dari adanya tim ad-hock yang

dibentuk oleh pihak kampus hingga

terbentuknya Panitia Pemilihan Umum

Mahasiswa Universitas/Fakultas

(PPUM-U / PPUM-F).

Alimatul Qibtiyah, Wakil Dekan

III Fakultas Dakwah dan Komunikasi

(FDK) UIN menegaskan bahwa LKM

berawal dari Pemilwa yang

sebelumnya digodok oleh tim ad-hoc.

“pelaksanaannya telah diserahkan

kepada mereka termasuk penentuan

kriteria dan persyaratannya,” tegas

Alim (Rabu, 20/04). Selain itu, lanjut

Alim, pihak kampus juga memberikan

sedikit arahan terkait pelaksanaan.

Walaupun pada pelaksanaan lapangan

diserahkan kepada mahasiswa.

Perhelatan Pemilwa berlangsung

ramai sekaligus riuh dengan beragam

intrik-intrik politik dari masing-masing

kubu yang terlibat. Bahkan pemukulan

mahasiswa saat debat kandidat calon

presiden mahasiswa pun terjadi. Hal

ini mendapat tanggapan dari

beberapa kalangan, salah satunya Ira

Amelia. Mahasiswa prodi Bimbingan

dan Konseling Islam ini

mempertanyakan mengapa hal-hal

demikian harus terjadi saat Pemilwa.

“Mereka kok teriak demokrasi tapi

seakan gak paham arti demokrasi itu

apa. Aku gak mau nyalahin partai

LKM Harus Punya Kreatifitas Agar Dikenal Mahasiswa

Oleh: Ikhlas Alfarisi

LAPORANUTAMA

Suasana pelantikan SEMA & DEMA UIN Sunan Kalijaga. Setelah melewati proses yang panjang dan melelahkan, mahasiswa berharap lembaga tersebut tidak vakum (lagi).

A

Page 7: Newsrhetor edisi 48

manapun, dan masing-masing

boleh punya cara yang berbeda

untuk memenangkan partainya,

tapi kok sampai terjadi seperti itu

pada tahap prosesnya,” keluh Ira.

Selain itu, pada saat

pemilihan Ira juga menyesalkan

molornya waktu pemungutan

suara. Rencana pemungutan

berlangsung pukul 09.00, diundur

lantaran surat suara belum siap

untuk didistribusikan. Akhirnya

mahasiswa harus menunggu lebih

lama lagi. “Tapi setelah kami pergi

sebentar, malah tiba-tiba pemilihan

dimulai dan panitia terkesan lebih

mementingkan satu golongan

saja,” ujar Ira kesal.

Sementara itu, di Fakultas

Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK),

terjadi peristiwa nahas. Laily

Nurmahasiswa prodi Manajemen

Pendidikan Islam, mengalami

pingsan akibat terlalu lama

berdesakan tak beraturan di

antrean menuju TPS. Setelah

dikonfirmasi oleh News Rhetor,

ternyata memang pada prakteknya

proses pencoblosan masih kurang

kondusif. “Pada tataran prakteknya

panitia masih terkesan maunya

praktis. Tapi enggak memikirkan

kondisi mahasiswa yang lain secara

keseluruhan,” sesal Laily.

Lain di FTIK lain pula di FDK.

Malam harinya, PPUM-F FDK

melakukan penghitungan suara

dadakan serta tertutup, Kamis

(3/12) 2015. Hal ini menuai teguran

dari Alimatul Qibtiyah. Alim

menyesalkan proses yang dadakan

dan tertutup itu. “Atik sebagai

ketua PPUM-F boleh berdalih ini

untuk keamanan, tapi kan semua

elemen kampus harus mengetahui

jalan prosesnya, selebihnya kami

serahkan kepada teman-teman,”

papar Alim beberapa saat sepulang

penghitungan suara.

Sementara Atik, selaku ketua

PPUM-F menangkal hal itu. Hal ini

terjadi bahwa PANWASLU sendiri

tidak hadir saat jalannya

penghitungan suara serta

beberapa peraturan terkait

keamanan.

“Padahal memang

sudah kami

siapkan tempat

untuk mereka.

Selain itu, ini

aturan dari pusat

demi keamanan.

Kami tidak ingin

terjadi hal-hal

yang tidak

diinginkan,”

ujarnya berdalih.

Setelah Pemilwa, lalu apa?

Meskipun banyak dinamika

yang terjadi, LKM pada akhirnya

terbentuk setelah diadakan

pelantikan berlangsung. Rapat

kerja dari tingkat Universitas

sampai pada Himpunan Mahasiswa

Program Studi (HMPS), juga telah

dilaksananakan. Mahasiswa

sebagai masyarakat

kampus,banyak berharap akan

kinerja Student Government mereka

yang baru.

Seperti yang disampaikan

oleh Muhammad Shiddiq,

Mahasiswa jurusan Komunikasi dan

Penyiaran Islam ini. Ia mengatakan

dengan kembali aktifnya LKM, agar

lembaga ini betul-betul

menjalankan perannya sebagai

sarana mediasi diantara mahasiswa

UIN Sunan Kalijaga secara umum

yang terdiri dari beberapa

golongan agar tidak terjadi kubu-

kubuan. “Sebenarnya adanya kubu-

kubuan itu wajar sih. Tapi ketika

sekarang sudah terpilih, ya sudah

gak adalagi kubu-kubuan dan LKM

seharusnya bisa menetralkan hal

itu,” ujar Shiddiq.

Selain itu, hasil Pemilwa pun

tak seperti yang diharapkan.

Banyak dari mahasiswa tidak tahu-

menahu soal perhelatan tersebut.

bahkan siapa yang terpilihpun

banyak tidak tahu. Berdasarkan

angket sebanyak 500 angket yang

disebar News Rhetor di lima

fakultas berbeda menghasilkan

Alimatul Qibtiyah, Ph.D, wakil dekan FDK (tvmu)

Berdasarkan 500 angket

yang disebar News Rhetor

di lima fakultas berbeda

menghasilkan hasil yang

mencengangkan. Sebanyak

80% mahasiswa tidak tahu

siapa yang menjadi Presiden

Mahasiswanya saat ini

Sum

ber:

Polli

ng N

ew

s R

heto

r

News Rhetor edisi XLVIII/Mei 2016 7

Page 8: Newsrhetor edisi 48

hasil yang mencengangkan.

Sebanyak 80% mahasiswa tidak

tahu siapa yang menjadi Presiden

Mahasiswanya saat ini. Bahkan

bagaimana mereka dipilih dan

prosedur pemilihannya pun tidak

tahu.

Ketidaktahuan ini pun

mendapat perhatian dari Alimatul

Qibtiyah. Ia memberikan banyak

catatan terkait kepengurusan LKM.

“Yang namanya LKM kan sangat

berkaitan betul dengan yang

namanya politik. Mungkin saja

banyak mahasiswa yang tidak

tertarik dengan politik sehingga

berimbas pada ketidaktahuannya

akan presiden mahasiswa di

kampusnya,” kata Alimatul Qibtiyah

menanggapi hal tersebut.

Ia juga menyarankan agar

LKM melakukan kreaifitas tertentu

agar LKM dapat dikenal oleh

mahasiswa dengan memanfaatkan

dana dari kampus dalam

pelaksanaan Program Kerja

(Proker). Selain itu, LKM diharapkan

agar tidak menggantungkan diri

pada pendanaan kampus. “LKM

tidak selalu dapat menggantung-

kan dari pendanaan kepada

kampus, karena memang dana

yang sangat terbatas,” tegasnya.

Salah mahasiswa?

Sementara itu, ketidaktahuan

mahasiswa ditanggapi berbeda

oleh Arta Wijaya pada Selasa,

(26/04). Presiden Mahasiswa

terpilih ini beranggapan bahwa

dalam mekanisme pemilihan dari

pihak Wakil Rektor (WR) III kurang

masif melakukan proses sosialisasi

kepada mahasiswa secara umum.

“Bisa jadi banyak mahasiswa yang

memang tidak mau tahu soal ini,

disebabkan sosialisasinya yang

kurang mengena terhadap

mahasiswa,” tegasnya.

Selain itu, Arta menambahkan

bahwa masalah lain juga ada pada

pihak mahasiswa sendiri.

Mahasiswa seharus berinisiasi

sendiri tidak selalu menunggu dari

pihak atas. “Seharusnya ada bottom

up dari mahasiswa, bukan malah

selalu top down dari atas kebawah,”

ujarnya. Bahkan ia juga

beranggapan mahasiswa tidak

hanya tidak tahu siapa Presiden

Mahasiswanya. Rektor kampusnya

sendiri pun tidak. “Jangankan kami

sebagai Presiden Mahasiswa, boleh

jadi rektor UIN saja mereka tidak

tahu, WR (WakilRektor) III saja

jangan-jangan mereka tidak tahu,”

tandas Arta.

[Editor: Suhairi Ahmad]

News Rhetor edisi XLVIII/Mei 20168

HISTORYWILL ABSOLVEME!Fidel Castro

Page 9: Newsrhetor edisi 48

News Rhetor edisi XLVIII/Mei 2016 9

eberapa jurusan yang ada di Fakultas Dakwah

dan Komunikasi (FDK) yaitu KPI, IKS, MD, BKI,

PMI kedapatan sudah memiliki Lab untuk

menunjang kegiatan kemahasiswaan. Hanya

saja, keberadaanya belum dimanfaatkan secara

maksimal.

Permasalahanya klasik, mahasiswa yang kurang

mengapresiasi keberadaan lab maupun pengurus yang

kurang serius mengelola lab. Sebut saja lab yang ada di

jurusan KPI (Komunikasi dan Penyiaran Islam). Lab yang

belum lama berdiri tersebut belum banyak diketahui oleh

mahasiswa. Bahkan menurut sebagian mahasiswa,

adanya lab KPI hanya untuk tempat kumpul, rapat, dan

pengganti ruang kuliah saja.

Adanya lab KPI memang belum sepenuhnya disadari

oleh sebagian besar mahasiswa, bahkan yang sudah dua

tahun menjadi mahasiswa KPI, mengaku belum tahu di

mana letak Lab KPI. “Katanya sih KPI punya lab, tapi

belum tahu ada di mana,” ungkap salah seorang

mahasiwa KPI angkatan 2014, Annida Ma’rufah.

Habibaturrohma, mahasiswa dari jurusan BKI saat

ditanya oleh NewsRhetor mengaku belum tahu jika di

ruangan yang dikhususkan untuk laboratorium jurusan di

fakutas Dakwah dan Komunikasi juga terdapat lab KPI.

“Aku kira lab KPI ya PPTD itu. Ada juga, tho, di ruangan

ini?”

Keheranan tersebut berangkat dari kurang eksisnya

lab KPI di kalangan mahasiswa. Tidak adanya kegiatan

yang rutin dilakukan juga membuat lab KPI sepi

pengunjung dan tidak disadari keberadaannya. Dari

beberapa Mahasiswa yang berhasil News Rhetor temui,

mereka menyatakan bahwa LAB KPI memang kurang

eksis di kalangan mahasiswa KPI sendiri.

Pemanfaatan Lab KPI yang kurang maksiaml

disampaikan oleh Ketua HMPS Dakwah

Firdaus Ismail. “Padahal, melihat sejarahnya,

lab dibuat untuk mewadahi seluruh LKM

yang ada di dakwah,” ungkapnya. Ia juga

mengakui bahwa pemanfaatan lab KPI yang

kurang maksimal juga dikarenakan belum

tersosialisasikannya program-program yang

diagendakan oleh lab KPI. Padahal, menurut

mahasiswa KPI yang akrab disapa Daus

tersebut, harusnya lab KPI memiliki prospek

untuk mewadahi kegiatan yang dilakukan

mahasiswa. “Aku rasa memang itu tujuan

dibangunnya lab,” tukas Firdaus.

Pihak Spasi juga ikut mengomentari

terkait peranan lab untuk kegiatan

kemahasiswaan. Menurut Nur Fitriatus

Shalihah, lab bisa sangat berguna jika

difungsikan dengan baik. Namun sampai

saat ini belum begitu maksimal fungsinya.

“Lab KPI perlu dimaksimalkan lagi penggunaanya juga

sosialisasinya, berguna banget sebenarnya. Selain itu,

selama ini masih banyak yang enggak tahu kalau

mahasiswa KPI bisa makai lab, enggak kayak jurusan lain

yang sudah tahu,” ungkapnya.

Pihak pengelola lab KPI, yang diwakili Nanang

Mizwar Hasyim mengiyakan jika mahasiswa kurang ngeh

dengan keberadaan lab KPI. Ia juga menambahkan

bahwa program lab belum berjalan secara maksimal

dikarenakan keterbatasan fasilitas yang ada, juga sumber

daya manusia yang mau dengan aktif ikut mengelola lab

KPI. Pengelola lab tidak bisa fulltime. Bahkan, salah satu

pengelola lab juga memegang bagian stategis di PPTD.

Nanang, sapaan akrabnya, juga mengiyakan jika

sampai saat ini hanya LPM Bukit dan Forum diskusi Spasi

yang menggunakan lab KPI, itupun hanya untuk kumpul-

kumpul. “Kita pernah membuat kelompok diskusi tapi

sampai saat ini belum berjalan,” ungkapnya

Alasan lain kenapa lab belum bisa eksis di kalanagan

Mahasiswa adalah karena sebagian besar Mahasiswa

lebih memilih PPTD yang memfasilitasi kegiatan

Mahasiswa KPI yang berbasis praktik. “Basik keilmuan KPI

kan ada jurnalistik, ada broadcasting. Fasilitas

pengembangan broadcasting ya adanya di PPTD,”

tambahnya.

Mengenai kegiatan dan program kerja ke depan,

Nanang mejelaskan masih belum ada program yang

pasti. Meski, mungkin akan ada kerjasama dengan pihak

HMPS, itupun masih wacana. Sedangkan untuk kerjasama

dengan pihak PPTD, Nanang mengatakan belum ada”.[]

Kurang Eksis!Lab KPI

Oleh: Ihda Nurus Sholihah

DOK : EKO

B

LAPORANKHUSUS

Page 10: Newsrhetor edisi 48

News Rhetor edisi XLVIII/Mei 201610

Kata orang, setelah zaman milenium berganti modern, kepedulian mulai rontok satu persatu dari sosok-sosok manusia di bumi. Kepedulian sama halnya seperti es di

atas bara api, mulai meleleh lalu menguap. Hilang. Tapi bagi kami, kepedulian menjadi bagian dari hal yang kami sukai. Hal yang membuat aku, kau, dia, dan mereka menjadi kami, menjadi kita.”

Mengawali perkumpulan lewat percakapan dan

kesamaan tujuan, yakni berbagi dengan sesama,

sebuah komunitas yang berdedikasi pada wilayah

kepedulian sosial mulai tumbuh. Suka Peduli, itulah

nama yang tercetus sebagai apresiasi atas komunitas

sosial yang terbentuk di Jurusan Komunikasi Penyiaran

Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi angkatan

tahun 2015. Seorang punggawa yang mengadaptasi

kegiatan lamanya semasa di SMA, Wildan Prakoso,

menjadi pencetus atas komunitas sosial ini.

Bersama rekan-rekan KPI 2015, ia dan beberapa

rekannya mulai mengadakan kegiatan suka berbagi di

beberapa wilayah lokal di Yogyakarta. Biasanya, mereka

mengawali Suka Peduli dengan berbagi makanan bagi

orang-orang yang membutuhkan, seperti berbagi nasi

bungkus di sepanjang jalan Malioboro, lalu

mengunjungi sebuah kompleks kumuh di daerah

Gedong Kuning,.

Publikasi dan hasil jepretan kamera menjadi saksi

awal berdirinya komunitas ini, kemudian membuat

dampak positif bagi mahasiswa lain. Di akhir

September 2015, Suka Peduli mulai menarik perhatian

orang-orang di lingkungan Fakultas Dakwah. Satu

persatu orang mulai bertanya, mengajukan diri,

bergabung dan semakin loyal dengan Suka Peduli.

Anggota semakin banyak, ide-ide bermunculan,

donatur bertambah. Kini, sumber dana komunitas ini

juga bisa lebih banyak, tidak lagi hanya terbatas dari

infak mingguan mahasiswa KPI 2015.

Merespon antusiasme mahasiswa, Suka Peduli

mulai membentuk formasi barisan yang serius. Bagi

para pengurus, gagasan-gagasan tak bisa begitu saja

terabaikan, komunitas jelas butuh koordinasi yang

sistematis. Kesepakatan pun terjalin. 02 Oktober 2015

ditetapkan sebagai hari resmi lahirnya Suka Peduli,

komunitas yang berdedikasi pada masyarakat kurang

mampu, anak-anak yatim dan/atau piatu, serta

lembaga-lembaga masyarakat yang memerlukan

bantuan. Dengan visi-misi yang tertulis sebagai bentuk

kesepakatan bersama atas kesamaan tujuan antar

anggota, satu persatu ide dan gagasan mulai

direngreng menjadi suatu realitas.

Suka Peduli melaksanakan program kerjanya untuk

mengajar di beberapa TPA/TPQ di wilayah Yogyakarta.

Beberapa yang sudah terlaksana adalah kegiatan

mengajar di TPQ daerah Sagan, TPQ An-Nur

Demangan, panti asuhan Mafaza, Umbulharjo, panti

asuhan Al-Wahhaab, Condong Catur, dan kegiatan

terakhir adalah di TPQ Al Istiqomah, Berbah pada 23

April 2016.

Selain Suka Mengajar, komunitas ini masih aktif

berbagi dan melakukan kegiatan amal lainnya seperti

berbagi makanan yang rutin dilakukan dua minggu

sekali, berkunjung dan berbagi bahan makanan atau

kebutuhan pokok di panti-panti asuhan. Selain itu,

Suka Peduli juga pernah mengadakan suatu acara

mengaji bersama di salah satu kompleks kumuh di

daerah Gedong Kuning yang mana pernah menjadi

lokasi untuk Suka Berbagi juga. Meskipun, acara

LAPORANKHUSUS

Oleh: Ika Nur Khasanah

Membangun Suka dalam Kepedulian

Suka Peduli

Page 11: Newsrhetor edisi 48

News Rhetor edisi XLVIII/Mei 2016 11

mengaji memang tidak rutin diadakan, sebab tergolong dalam acara besar Suka Peduli. Selain itu, tidak semua tempat bisa diadakan acara akbar seperti pengajian ini.

Dari masing-masing kegiatan,

selalu dilakukan pada hari sabtu atau

jum’at siang menjelang sore atau

pada malam hari. Hal itu

menyesuaikan pada kesamaan waktu

luang yang dimiliki para anggota

Suka Peduli. Selain itu juga

menunggu terkumpulnya dana,

sehingga kegiatan itu tidak tergolong

asal-asalan saja. Meski ini komunitas

yang tergolong masih baru, namun

untuk mengadakan kegiatan-kegiatan

yang ada dalam program kerjanya,

Suka Peduli selalu mempersiapkan

dengan kemampuan yang paling

baik.

“Kita ada briefing, kalau perlu

adakan musyawarah besar semua

anggota—itu kalau acaranya besar

dan butuh persiapan banyak. Kita

juga ada beberapa divisi, ada tim

survei juga,” kata Wildan sebagai

ketua komunitas.

Ketua menyadari bahwa

kegiatanya tidak mudah, perlu

persiapan matang. “Sebab seminggu

atau dua minggu sebelum acara, kita

adakan survei lokasi, atau survei

kebutuhan—misal itu di panti asuhan.

Kita juga ada divisi lain seperti

publikasi dan komunikasi, divisi acara,

divisi kaderisasi, hubungan

masyarakat dan sie konsumsi.”

lanjutnya.

Wildan juga mengatakan bahwa

dalam pelaksanaannya, pembekalan

sebelum acara diharapkan akan

menjadi suatu pelatihan tersendiri

bagi masing-masing anggota. Sebab

komunitas ini dibentuk bukan sekedar

untuk berbagi saja, tapi

menumbuhkan sikap peduli,

tanggung jawab dan kepekaan sosial

juga.

Semakin banyaknya kegiatan

yang dilakukan Suka Peduli terhadap

masyarakat, Wildan sebagai ketua

sekaligus pencetus Suka Peduli

memiliki suatu harapan supaya

komunitas ini tidak berhenti di satu

angkatan saja. Kedepan, ia

menginginkan komunitas ini

diresmikan sebagai suatu organisasi

di Fakultas agar generasi selanjutnya

ikut menjadi bagian dari para

pemerhati sosial serta tidak

kehilangan rasa kepedulian terhadap

sesama.

Begitulah Suka Peduli, berawal

dari bungkusan nasi di sepanjang

jalan Malioboro hingga menjadi

komunitas dengan anggota dan

relawan yang tidak sedikit—berharap

kegiatan-kegiatannya tidak pupus

begitu saja. Suka Peduli akan selalu

peduli kamu, kalian dan mereka.

LAB KPI

Oleh: Fulan

Semakin banyaknya

kegiatan yang dilakukan

Suka Peduli terhadap

masyarakat, Wildan sebagai

ketua sekaligus pencetus

Suka Peduli memiliki

suatu harapan supaya

komunitas ini tidak

berhenti di satu angkatan

saja.

Page 12: Newsrhetor edisi 48

News Rhetor edisi XLVIII/Mei 201612

cakadut adalah istilah saya, Amungkin istilah orang sunda lainnya juga untuk menyebut

sesuatu yang bermasalah dan kacau. Istilah itu juga relevan jika dikaitkan dengan keadaan demokrasi Indonesia. Demokrasi indonesia yang saat ini boleh di bilang dalam keadaan Acakadut. Agaknya penilaian ini tak terlalu berlebihan, mengingat dinamika sosial-politik yang ada begitu carut-marut. Sebab kepentingan perebutan kekuasaan, banyak hal yang sesungguhnya lebih penting, bahkan mendesak, yang itu bersentuhan dengan nasib rakyat banyak, terabaikan.

Terciptanya sebuah demokrasi yang benar-benar demokratis, mensyaratkan adanya partisipasi rakyat, baik demokrasi yang berkaitan dengan kebebasan, berserikat, berkumpul, berpendapat, pers, orientasi seksual, hingga menentukan nasib nasib sendiri. Dalam proses demokratisasi, rakyat punya kedaulatan penuh melakukan gerakan di segala sector. Suara rakyat adalah suara Tuhan.

Dewasa ini, idealitas dan realitas demokrasi itu sendiri berbenturan, jelas bermasalah. Idealnya, adanya sistem demokrasi tercipta pula check and balance dari demokrasi itu sendiri yang akan menjadikan segala tatanan kian membaik. Tetapi realitas berbicara lain, check and balance berupa partisipasi rakyat, suara dan ekspresi mereka sebagai bentuk kritik membangun dan kontrol terhadap penguasa selalu saja syarat dengan adanya refresif alias tindakan militeristik dari aparat kepolisian, militer dan aparat negara lainnya.

Di hampir seluruh Indonesia, proses demokratisasi terhambat sebab adanya watak militeristik. Watak militeristik tak hanya dilakukan oleh represif apparatus seperti tentara dan polisi, namun juga oleh ormas-ormas sipil yang tumbuh dan berkembang membawa misi kontraproduktif terhadap gerakan rakyat. Sayangnya, ormas-ormas itu justru dibiarkan

hidup, bahkan tak jarang bersama-sama aparat melakukan intimidasi dan kekerasan terhadap gerakan rakyat.

Rendanya kualitas demokrasi kita juga tercermin dalam pendidikan, khususnya perguruan tinggi. Alih-alih menjadi ruang dialektis dalam memberikan pendidikan yang demokratis, kampus malah terlibat dalam penghancuran demokratisasi itu. Tercatat, beberapa kali kampus melakukan tindak tak demokratis bagi gerakan mahasiswa dengan melakukan pelarangan, pembubaran, pembredelan, bahkan ancaman drop out bagi kegiatan-kegiatan yang dianggap tak sesuai misi kampus.

Dalam tiga tahun terakhir misalnya, di tahun 2014-2016, kasus-kasus ancaman dan tindak antidemokrasi terjadi terhadap pers mahasiwa. Semua didalangi oleh birokrasi kampus. Kasus dibredelnya Persma Lentera, kampus Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, yang isi buletinnya mengangkat isu ‘65. Persma Poros dibekukan oleh birokrasi Universitas Ahmad Dahlan sebab isinya yang mengkritisi kampus. Serta pembubaran kegiatan-kegiatan diskusi, bedah buku, serta bedah film.

Lembaga pendidikan memang salah satu lahan bagi berkembangnya kapitalisme. Lewat penundukan kesadaran palsu, ia masuk dan meninabobokkan siswa dan mahasiswa pun. Kapitalisme mensyaratkan pengamanan asset-aset di dalam pendidikan, dalam hal ini pengaman kebijakan di kampus. Kemudian ia bermetamorfosis menjadi laku dan tindak kekerasan yang militeristik.

Ironisnya, kampus sebagai wadah intelektual, mempunyai kedaulatan akademik secara kompherensif dan sepertinya semua orang mempercayai bahwa intelektualitas civitas akademik, terlebih aparat kampus dapat dipertanggung jawabkan intelek-tualitasnya. Kewajarnya, saya rasa semua juga faham, seperti yang dijelaskan di atas bahwa sektor pendidikan merupakan salah satu instrumen kapitalisme yang juga

mensyaratkan adanya tindakan militeristik dan penindasan.

Lha, inilah prodak demokrasi kita yang menggelinding selama ini (pasca Orde Baru), tidak terdesain secara rapi, demokrasi yang dijalankan dengan kegugupan-kegugupan sosial-politik, bahkan direduksi sedemikian rupa oleh negara. Ini memang bukan jaman orba Suharto, tapi watak-watak orba masih terus hidup hingga zaman ini.

Demokrasi memang bukan jalan akhir. ia hanya proses menempatkan kedaulatan rakyat pada posisi dan porsi yang utuh. Winston Churchill, misalnya, terus terang mengakui bahwa sesungguhnya, demokrasi bukan sistem politik yang terbaik, tetapi belum ada sistem lain yang dianggap lebih baik. Hal tersebut menandakan bahwa demokrasi bisa menjadi pedang bermata dua, mata yang satu untuk mendorong kemajuan dan kesejahteraan, mata yang lain sebaliknya. Semua tergantung banyak faktor, bagaimana dinamika aktor-aktornya, kultur politik, hingga hal-hal yang lebih spesifik lagi, misalnya kesadaran kolektif masyarakat.

Sudahlah, kita telah terlanjur memilih demokrasi sebagai suatu sistem sosial-politik di era reformasi ini. Harapannya, demokrasi harus mengarah pada Rahmat, bukan laknat. Karenanya, mutlak, demokrasi harus berkualitas, dalam arti aktor-aktor yang ada harus mampu bersinergi secara demokratis dalam pembangunan segala sektor, dan orientasi dari semua itu adalah kemajuan, keadilan serta kesejahteraan.

26 Mei 2015, 15.30 WIB (Waktu Indonesia Berdiskusi).

Adam Mozlem. Saat ini detik-detik terakhir menjabat Pimpinan Umum (PU) di LPM Rhetor priode 2015-2016 dan masih sibuk berdinamika di markasnya. Ia masih buronan Dosen Pembimbung Akademik (DPA) karena belum mood garap skripsi.

RHETORIKA

AcakadutOleh : Adam Mozlem

Page 13: Newsrhetor edisi 48

News Rhetor edisi XLVIII/Mei 2016 13

eperti bunyi undang-undang Sklise republik ini, bahwa salah satu tugas Negara

ialah mencerdaskan kehidupan bangsanya. Amanat itu tertanam hingga kealam bawah sadar kita. Diingatnya terus-menerus kata-katanya, hingga kita geram melihat realisasinya yang tak kunjung tiba. Dalam konteks itu, Negara harus menjamin akses dan pendidikan yang berkualitas bagi rakyat Indonesia. Menjamin lembaga pendidikan yang demokratis dan bervisi kerakyatan.

Namun, persosalan dalam dunia pendidikan kita memang sangat kronis. Jerat kapitalisme yang masuk kedalam negara Indonesia juga turut menyerang dunia pendidikan. Melalui proses liberalisasi pendidikan nasional, praktik-praktik komersialisasi, diskriminasi, serta perampasan kebebasan akademik seakan menjadi legal untuk dilakukan oleh birokrasi kampus, aparat serta organisasi masyarakat yang reaksioner. Imbasnya, pendidikan menjadi mahal dan sulit diakses masyarakat, ruang-ruang demokrasi dalam kampus menjadi sempit, serta jamian kebebasan akademik menjadi hilang.

Imbas lain dari proses liberalisasi tersebut ialah terkoop-tasinya lembaga pendidikan ke borjuasi-borjuasi dan pemilik modal. Imbasnya, swastanisasi pendidikan menjadi semakin massif dan menjamur. Dengan dalih otonomi kampus, biaya kuliah dinaikkan, atau dibuat logika subsidi silang seperti mekanisme Uang Kuliah Tunggal (UKT). Negara menjadi lepas tangan untuk memberikan akses pendidikan bagi rakyat,

pendidikan sepenuhnya dibiarkan sesuai dengan kebutuhan pasar.

Kita tahu, kalau pendidikan nasional kita hari ini jauh dari kebutuhan rakyat, pendidikan nasional kita hari ini jutrsu hadir untuk melanggengkan dominasi kapitalisme di Indonesia. Akhirnya, eksploitasi sumber daya alam kita menjadi dibiarkan, rakyat menjadi apatis terhadap perampasan sumber daya alam oleh borjuasi dan elit politik Negara. Padahal, jika sumber daya alam yang ada di Indonesia dikuasai Negara dan diperuntukkan sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyat seperti amanat UUD 33 2, maka dijamin pendidikan nasional kita akan menjadi gratis. Namun lagi-lagi, Negara menjadi lepas tanggung jawab dan ikut serta melanggengkan liberalisasi tersebut.

Sementara itu, demokratisasi di dalam kampus juga masih saja terus dirampas, kebebasan akademik dan mimbar akademik menjadi tak terjamin. Imbasnya, diskriminasi sering terjadi, pemberangusan kajian, kegiatan-kegiatan mahasiswa, pemberangusan kebebasan pers, bahkan kriminali-sasi menjadi tontonan yang sering terjadi di lingkungan kampus. Kasus-kasus itu real terjadi, dan banyak menimpa mahasiswa dan tenaga pendidik.

Ya berbagai persoalan dari mahalnya biaya pendidikan dan tak adanya demokratisasi kampus memang buah dari langgengnya proses liberalisasi didalam pendidikan nasional kita. Akar masalahnya adalah kapitalisme yang menjerat Negara kita. Elit politik, borjuasi, serta biroksai

kampus saat ini semua tunduk pada mekanisme kerja kapital, sehingga rakyat menjadi korbannya. Pendidikan mahal, demokratisasi kampus diberangus, mahasiswa hanya dicekoki kurikulum pragmatis, sumber daya alam dirampas, kemiskinan menjamur, akhirnya penindasan terus terjadi tanpa henti.

Dominasi kelas

Lembaga pendidikan dalam negara sebenarnya hanyalah alat untuk mengukuhkan dominasi kelas. Kelas yang menguasai Negara ialah kelas yang akan melakukan kontrol terhadap lembaga pendidikan di dalamnya. Itu terjadi di Indonesia, kemenagan kapitalisme yang mendorong otoritarianisme rezim orde baru turut berkontribusi besar terhadap corak pendidikan nasional kita hari ini. Bahwa keniscayaan kapitalisme ialah mendorong agar sistem pendidikan berada dalam kontrol borjuasi.

Hal itu persis seperti yang dikatakan Bourdieu sebagai dominasi habitus, bahwa proses yang berjalan dalam lembaga pendidikan adalah proses reproduksi budaya kelas dominan. Bahwa lembaga pendidikan mempengaruhi dan memaksakan kelas terdominan (peserta didik) untuk mengikuti budaya atau kebiasaan kelas dominan. Pendeknya, berjalannya proses pendidikan dalam Negara ialah sebagai representasi kebutuhan kelas penguasa. Celakanya, Indonesia selama puluhan tahun dikuasai oleh rezim orde baru hingga neo-orbanya, yang dalam banyak term disebut sebagai representasi dari kepentingan

Pendidikan &

Perjuangan KelasOleh : Ahmad Hedar*

“Sistem pendidikan harus menjadi kekuatan penyadar dan pembebas bagi umat manusia” – Paolo Freire

ORATOR

Page 14: Newsrhetor edisi 48

kapitalisme.

Bagaimana melawannya

Dalam praktek perubahan sistem, perjuangan kelas adalah sebuah solusi yang mesti dilakukan. Peserta didik (Siswa, Mahasiswa), dan tenaga didik (Guru, Dosen) harus mampu membaca kelas dan habitusnya. Mereka harus sadar bahwa perubahan sistem pendidikan tidak bisa diubah secara normatif. Sistem pendidikan nasional tidak bisa hanya diubah dengan melakukan tambal sulam kebijakan. Jauh dari itu, perjuangan secara politik dengan merebut dominasi kelas bojuasi harus dilakukan.

Dalam konteks itu, kita bisa belajar dari Kuba, Revolusi pendidikan kuba dimulai dengan Revolusi Kuba secara ekonomi dan politik. Negara miskin yang pada tahun 1961, dibawah pemerintahan yang revolusioner, mampu menasionalisasikan seluruh jenjang pendidikan dari

Sekolah Dasar hingga Pendidikan Doktoral dan menggratiskannya. Tak hanya gratis, Lembaga Pendidikan di Kuba juga mampu memproduksi tenaga pendidik yang berkualitas hingga berkontribusi besar terhadap pengentasan buta huruf dan pelayanan kesehatan bagi rakyat. Di Kuba proses Demokratisasi pendidikan juga tak sekedar menjadi reproduksi pengetahuan dalam kelas, melainkan menjadi praktek dengan mendorong siswa dan mahasiswanya untuk terlibat dalam perjuangan politik rakyat Kuba.

Itulah alasan mengapa kemudian kesadaran kelas dan habitus menjadi penting. Uang Kuliah Tunggal, pembatasan kebebasan akademik, rendahnya mutu pendidik adalah riak-riak kecil dari kondisi pendidikan yang kapitalistik. Melawannya secara normatif bak melawan riak-riak kecilnya.

Karenanya, rakyat yang

terekploitasi dengan direbut hak pendidikan dan politiknya harus mampu melakukan pengorganisiran dengan bersatu dengan elemen rakyat di sektor buruh, tani dan sektor rakyat yang melawan lainnya. Semua dilakukan dalam rangka mobilisasi kekuatan melawan kelas dominan borjuasi. Pendidikan gratis, ruang yang demokratis, serta mutu yang merakyat akan mampu tercipta jika kelas yang mewakili borjuasi direbut.

Ahmad Hedar. Penulis merupakan Pemimpin Umum Persma RHETOR periode 2013-2015 dan Aktif dalam Gerakan Nasional Pendidikan (GNP) di Yogyakarta.

“Pengetahuan tentang apa pun,

karena segala sesuatu memiliki sebab,

tidak diperoleh atau tidak akan lengkap

kecuali diketahui penyebabnya.” -Avicenna

News Rhetor edisi XLVIII/Mei 201614

Page 15: Newsrhetor edisi 48

News Rhetor edisi XLVIII/Mei 2016 15

erbicara perihal pendidikan,

semua orang tentu

menginginkan untuk

mengenyam bangku

pendidikan yang setinggi-

tingginya. Mulai dari Taman Kanak-

kanak sampai Perguruan Tinggi,

entah negeri maupun swasta. Dari

yang semula belum faham menjadi

faham, itulah tujuan mula dari sebuah

pendidikan. Yaitu membebaskan

manusia dari kebodohan dan

ketertindasan.

Sayangnya, harapan

mengenyam pendidikan

tersebut tidak dirasakan oleh

masyarakat secara menyeluruh.

Mahalnya biaya pendidikan

juga tidak berbanding lurus

dengan peningkatan kualitas

pendidikan yang lebih baik. Di

UIN Sunan Kalijaga sendiri

mulai bermunculan beberapa

masalah, pengurangan jumlah

SKS (Sistem Kredit Semester)

yang ada di Pusat Bahasa salah

satunya. Sehingga, hal tersebut mulai

diresahkan oleh mahasiswa angkatan

2015. Jika sebelumnya jumlah SKS

pada bidang studi Bahasa berjmlah 3

SKS dengan 3 kali pertemuan dalam

satu minggu, kini menjadi 2 SKS yang

hanya ada satu kali pertemuan dalam

setiap minggunya. Ada apa di balik

sistem pendidikan ini?

Jumlah SKS sudah mengalami

pemadatan, sedang biaya UKT tiap

tahunnya mengalami kenaikan. Tiap

tahunnya UIN sendiri mendapatkan

dana dari BOPTN. Tahun ini jumlah

nominalnya sebesar 29 M, sedang

tahun kemarin berjumlah 23 M. Itu

yang dari pemerintah. Jika ditambah

dengan biaya UKT yang tiap

tahunnya naik, pasti banyak dana

yang masuk.

Jika seperti itu adanya , maka

mahasiswa adalah salah satu pihak

yang dirugikan. Baik secara akademik

maupun secara ekonomi. Bentuk

semacam ini bukan lagi tujuan

esensial dari pendidikan sebagai

bentuk pencerdasan dan penyadaran

untuk bangsa ini. Lembaga

pendidikan justru disamakan dengan

komoditi, suatu bentuk usaha atau

bisnis yang mengedepankan pada

untung dan rugi. Penulis

membahasakanya dengan

“Komersialisasi pendidikan”.

Pendidikan saat ini dijadikan

formalitas belaka, sekedar mencari

ijazah dan gelar sarjana untuk

membantu memudahkan mencari

pekerjaan. Toh nantinya, kampus bisa

dibilang sebagai wadah untuk

mencetak para tenaga kerja yang

akan dikirim kepada para pemilik

modal.

Persoalannya tak cukup selesai

sampai disitu saja. Pendidikan saat ini,

tidak hanya di UIN tapi semua

Universitas sudah terlibat pada

agenda neo-liberalisme. Yang

menggunakan logika kekuasaan,

sehingga membuat para mahasiswa

menjadi apatis, hedonis, dan

individualis. Nalar yang dibangun

oleh sistem neolib akhirnya

mencengkeram dunia pendidikan,

karena pendidikan adalah ranah yang

strategis dalam membentuk tatanan

sosial melaui intelek dan sosialisasi.

Beberapa praktik neoliberalisme

dalam pendidikan antara lain,

berupaya untuk melepas tanggung

jawab pemerintah dalam mendanai

pendidikan, menyamakan dunia

pendidikan dengan dunia industri,

dan dunia pendidikan sekadar

menjadi subsistem dari tatanan

ekonomi neolib. Pengetahuan telah

menjadi sejenis modal yang dikelola

dan diperjualbelikan.

Penulis menegaskan, sebagai

generasi yang terdidik mengajak

kepada semua khalayak untuk

sadar pada agenda pendidikan

yang telah diselewengkan oleh

oknum-oknum yang tidak

bertanggung jawab. Hirroh

pendidikan selain untuk

pencerdasan bagi anak

bangsa, juga untuk memahami

ketimpangan sosial yang ada

dimasyarakat dan juga sebagai

upaya memperbaiki bentuk

tatanan negara yang timpang

tindih. Hal semacam itu perlu

dikembalikan dengan bentuk

penyadaran kepada seluruh elemen

masyarakat. Sikap kritis juga perlu

ditanam pada setiap individu.

Bagi penulis yang paling penting

adalah, pendidikan diperlukan untuk

semua lapisan masyarakat tanpa

memandang ras, suku, jenis kelamin

maupun warna kulit. Orang miskin

juga berhak atas pendidikan yang

layak. Sejatinya pendidikan itu untuk

memahamkan yang belum faham,

memberitahu yang belum tahu.

Bukan pada siapa yang mampu

membayar, dialah yang berhak

mendapat pendidikan yang layak.

Karena apa? Tugas dari pemerintah

adalah untuk mengayomi rakyatnya

juga memberikan kehidupan yang

layak.[]

OPINI

BOleh: Septia Annur Rizkia

Komersialisasi Pendidikan

Lembaga pendidikan

justru disamakan dengan

komoditi, suatu bentuk

usaha atau bisnis yang

mengedepankan pada

untung dan rugi.

Page 16: Newsrhetor edisi 48

Pagi baru menguap beberapa

waktu yang lalu, dan siang belum

naik begitu terik di pematang

langit, Selasa (03/05). Wajah-wajah

mahasiswa dan mahasiswi dengan

kepentingannya masing-masing

berseliweran di lorong lebar gedung

rekorat lama kampus timur Universitas

Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Beberapa orang keluar masuk salah satu

ruangan di sebelah kanan pintu masuk

gedung itu. Serangkai kalimat bertuliskan

Pusat Layanan Difabel (PLD) menyambut

di samping kiri pintu ruangan. Menjadi

identitas bagi petak persegi panjang

yang sudah ditata dengan apik menjadi

ruangan khusus untuk melayani

kebutuhan para

mahasiswa/i difabel.

Beberapa

orang yang

baru masuk

saling

bertegur

sapa,

kadang

menggu-

nakan

bahasa

isyarat ketika

menyapa para

penyandang

tunarungu. Salah satu

yang terlihat begitu

akrab dengan para difabel

di ruangan itu adalah seorang

gadis bernama Rahma. Mahasiswi

jurusan Ilmu Kesejahteraan

Sosial semester enam ini

terlihat begitu lihai

memberikan kode bahasa

bagi seorang mahasiswa

tunarungu. Komunikasi

verbal yang baik dari seorang

pendamping penyandang difabilitas.

Mengusut lebih dalam perihal

pendampingan, Rahma adalah salah satu

mahasiswi yang sejak semester tiga

sudah membantu para difabel dalam

kegiatan mereka di kampus. Secara

umum mungkin orang-orang mengira

para pendamping hanya membantu

sebatas menemani saja. Namun tidak

sesimpel itu, ada banyak hal remeh yang

ternyata ada selama menjadi

pendamping. Rahma mengatakan,

pendampingan ini memang rutin

dilakukan. Hampir setiap hari, selama

kuliah. Mungkin, katanya, yang lebih kita

prioritaskan untuk didampingi saat di

kelas adalah penyandang tunarungu.

Soalnya mereka akan sulit mengikuti

penjelasan langsung dari dosen.

Meski para pendamping lebih sering

menemani tunarungu, bukan berarti

penyandang difabilitas lainnya

terabaikan. Pasalnya, para pendamping

juga menghargai kemampuan mereka

dan menyesuaikan terhadap kebutuhan

para difabel. Sehingga, ketika

penyandang difabel netra tidak

didampingi, bukan berarti pendamping

itu tidak berlaku atau pilih kasih. Namun

karena para tunanetra jauh lebih mampu

mendengarkan penjelasan dosen dan

beberapa memang tidak sepenuhnya

tidak bisa melihat.

Rahma yang sudah hampir dua

tahun menjadi pendamping, merasa

tidak masalah dengan kegiatan yang

harus dia lakukan bersama kawan-kawan

difabel. “Itu adalah keinginan dari diri

sendiri, meskipun awalnya karena teman

juga, kan dulu temanku ada yang ikut

jadi pendamping juga. Kelihatannya asyik

dan enggak ada salahnya juga ikut jadi

SKETSA

Oleh: Ika Nur Khasanah

“Kelihatannya Asyik...”Rahma

News Rhetor edisi XLVIII/Mei 201616

Page 17: Newsrhetor edisi 48

pendamping,” ceritanya.

Mengenai sistem

pendampingan sendiri, tiap

relawan dan penyandang difabel

masing-masing menyerahkan

jadwal kuliahnya supaya dapat

dibagi kapan akan

pendampingan dan siapa kiranya

yang akan didampingi. Bagi

Rahma, meskipun dia harus

berbagi waktu dengan para

difabel, rasanya tidak masalah

ketika semuanya dilakukan

dengan tulus dan sungguh-

sungguh.

Dari sekian hal, yang menarik

dari beberapa sosok

penyandang difabel adalah

tingkat optimisme mereka.

Misalnya saja ketika Fikri,

penyandang tunanetra

memaparkan mengenai

keseharian mereka selama di PLD.

Mereka yang memang menyadari

kekurangannya tidak lantas

menutup diri dan enggan

menerima bantuan dari orang

lain. Meskipun masing-masing

mereka tentu punya keinginan

untuk melakukan hal-hal secara

mandiri. Di balik itu mereka juga

memiliki pola pikir yang relatif

mengagumkan, pasalnya selain

menguasai ilmu-ilmu di bangku

perkuliahan, para penyandang

difabel itu juga mengikuti setiap

perkembangan informasi dengan

baik.

Fikri sebagai

salah satu

penyandang difabel

yang tak bisa

disepelekan pola

pikirnya. Ketika

disinggung

mengenai kampus

UIN Sunan Kalijaga

yang notabene

dipandang sebagi

kampus inklusi,

dirinya mengatakan itu kurang

tepat. Baginya yang hampir

setiap hari berada di PLD,

menganggap istilah kampus

inklusi masih kurang pas

disandangkan dengan UIN Sunan

Kalijaga apabila hanya mengacu

pada PLD sebagai tolak ukurnya.

Pemuda bertubuh agak tambun

itu menyatakan keinginannya

pada pihak kampus supaya tidak

hanya menempatkan pelayanan

difabel di satu gedung atau

ruangan saja. Setidaknya tiap

fakultas memiliki ruangan khusus

untuk pelayanan difabel

sehingga akses bagi penyandang

difabel lebih mudah.

Lain dengan Rahma, dia yang

menjadi pendamping hanya

berharap kesediaan relawan

untuk ikut mendampingi kawan-

kawan difabel. Terlebih ketika

masa ujian berlangsung,

kebanyakan waktu yang sangat

dibutuhkan oleh para difabel

adalah ketika mereka sedang

dalam waktu ujian. Keterbatasan

yang mereka miliki bukan hal

yang harus dikasihani, melainkan

dilengkapi sehingga kita sama-

sama menjadi pribadi yang utuh.

Tanpa memandang status

maupun kepentingan masing-

masing, dirinya berharap

kedepannya pelayanan difabel

lebih baik dan sungguh-sungguh

menghargai para penyandang

disabilitas.

Fikri berharap, kelak akan

banyak Rahma Rahma yang lain

di PLD membantu orang-orang

yang senasib denganya.

Begitupun pendidikan di

Indonesia, ia mengharapkan

kelak, pendidikan akan semakin

berpihak kepada penyandang

difabel, pendidikan inklusi. []

Ketika disinggung mengenai

kampus UIN Sunan Kalijaga

yang notabene dipandang

sebagi kampus inklusi,

dirinya mengatakan itu

kurang tepat.

News Rhetor edisi XLVIII/Mei 2016 17

Page 18: Newsrhetor edisi 48

News Rhetor edisi XLVIII/Mei 201618

Hari sudah terang ketika akhirnya suara-suara itu tak lagi terdengar, tapi setelahnya

udara jadi terasa menyesakkan. Asap hitam berkeliaran terbawa angin, remah-remah abu dan bara-bara kecil berterbangan di luar rumah. Sisa-sisa ledakan di beberapa toko, ruko, dan rumah penduduk. Termasuk di dalamnya rumah pamanku yang terkena imbas ledakan. Sambil terbatuk-batuk kecil, aku membasahi tiga lembar kain kecil. Menyerahkannya pada kakak perempuanku, paman—yang kehilangan rumahnya—dan satunya lagi kupakai sendiri sebagai masker.

Setelah menyuruh kakakku untuk tenang dan menutup portal bawah tanah, aku mengendap-endap menuju jendela depan. Mataku menyipit, mengintip dari celah markis. Berusaha untuk tidak membuat gerakan yang ganjil. Takut-takut kalau masih ada mob yang berkeliling di jalan, setelah lama memutar-mutar bola mata ternyata tak ada manusia satu pun yang berkeliaran di jalan.

Mataku menyisir jalanan lagi, sekarang lebih jauh. Sedikit gegabah dengan menyingkap markis selebar muka. Rumahku masih utuh (lantai satunya), dua lantai di atas entah seperti apa. Beruntung pondasi rumah ini dibuat sedemikian rupa, memang disiapkan untuk situasi seperti ini. Dua rumah di

seberang sudah hancur, satunya masih berdiri kokoh di beberapa sisi dinding, rumah satunya lagi tak berbentuk. Puing-puing mobil dan Sqeil (mobil terbang untuk satu orang, bentuknya hampir seperti kursi roda bermeja—yang isinya panel pengendali—dengan atap tempat baling-baling), serpihan kaca, kayu, batu bata dan entah apa lagi.

Jalanan sangat berantakan. Sebuah helikopter rusak masih menyisakan api kecil dan asap pekat. Tergeletak seperti rongsokan, tak jauh dari rumahku. Setelah

yakin tak ada mob lagi dan tak ada satu pun orang yang terjebak di luar, aku menutup markis. Berjalan normal ke bungker, sudah bisa bernapas lega.

Tanganku membuka portal bungker sambil melepas kain yang kupakai untuk masker. Kembali menemui paman Keth dan Soi—yang masih gemetaran takut. Aku menggeleng, memberitahukan bahwa tak ada mob di luar. Soi menghambur dan memelukku, dia sangat khawatir—sudah sifatnya selalu mencemaskan orang lain. Soi mencengkeram erat mantel bagian belakangku, suara isakkannya tak begitu jelas karena bibirnya merapat ke mantelku. Bungker lengang. Selain deru napas yang sedikit berantakan, suara isakan halus Soi, dan derap langkah paman yang berjalan pelan ke sofa—tak ada percakapan setelahnya, mulutku masih enggan menjelaskan apapun.

Bulan September yang kacau, tak ada perkiraan satu pun atas kejadian ini. Kami semua sama tahu betapa rumitnya sistem keamanan dunia tahun-tahun terakhir. Tapi dengan banyak pertimbangan, mengingat posisi buldan yang sangat aman dan menjanjikan—kami terlanjur yakin hal itu tak akan berdampak pada buldan kami. Tidak untuk malam tadi dan hari ini. Semuanya tiba-tiba begitu kacau. Mob datang serentak dengan mobil-mobil semi militer, aku yakin mereka telah lama

memodif mobil-mobil itu supaya bisa sampai di sini, buldan Wichlyz.

Tak ada satu pun ide yang melintas tentang hal itu, semuanya merasa aman. Sampai para mob entah dari mana itu datang dan memporak-porandakan seluruh buldan. Dengan helikopter sejenis CAIC WZ-10—helikopter jadul yang sepertinya ikut dimodif ulang, mereka membombardir benteng perbatasan. Meluncurkan rudal-rudal sialan yang berhasil membawa pasukan mob bergerilya masuk. Lalu tanpa aba-aba, para mob secara destruktif berhasil melumpuhkan seluruh warga. Tak sedikit yang mati karena hal itu. Aku termasuk yang beruntung sempat masuk bungker, entah dengan tetangga yang lain.

Meskipun dalam satu tahun terakhir kami banyak menyiapkan amuisi dan persenjataan lengkap, tapi tadi malam semuanya begitu tak terduga. Aku terus memastikan situasi lewat Detch, temanku. Walaupun para mob merusak trafo listrik, mematikan semua pemancar dan sengaja melakukan aksinya di malam hari, tapi kami masih bisa berkomunikasi.

Buldan Wichlyz memiliki sistem yang sangat berbeda, hasil rancangan beberapa pemuda—termasuk aku dan Detch. Sistem komunikasi itu tetap berfungsi meskipun tak ada matahari, dan tak ada listrik. Alat komunikasi itu hanya berupa chip kecil yang terpasang di bawah kulit tengkuk kami, tersambung dengan tulang belakang dan otomatis otak kami juga. Cara kerjanya adalah dengan mengambil tenaga dari aliran darah kami, seperti bagian dari tubuh manusia.

Kami menamainya sistem Miqlo, dan sepanjang kami belum mati, sistem itu tetap aktif. Kita hanya perlu memikirkan apa atau siapa yang akan kita ajak bicara. Semuanya sudah otomatis berjalan, jika itu adalah pesan, maka pesan itu akan muncul di kepala kita. Seperti kita melihat pesan itu di depan mata.

Melalui cara itulah aku terus bertanya jawab soal keadaan sekitar pada Detch. Dia pemantau buldan kami, bersama beberapa teman dia menempati sebuah rumah atau sebut saja barak khusus yang di desain mirip dengan bebatuan. Mereka membentuk koloni khusus, berlatih untuk saat-saat tak terduga seperti sekarang. Dari sanalah kami melihat semua

CERPEN

Cerpen Ika Nur Luthfi Di Saku Jaket Elektrik

Page 19: Newsrhetor edisi 48

News Rhetor edisi XLVIII/Mei 201619

pergerakan, dan melancarkan beberapa serangan balasan malam tadi. Setelah secara sepihak kami dibuat babak-belur, setengah jam selanjutnya kami mulai melancarkan serangan balasan. Melepaskan rudal-rudal yang terpasang di lajur senjata tak terlihat, membombardir sebagian besar mobil mereka. Hal itu terus terjadi selama empat jam lebih, sampai akhirnya mereka dengan begitu saja melepas rudal ke rumah-rumah penduduk—yang sebelumnya hanya menembakkan ke arah gedung-gedung pusat buldan. Kami kewalahan, tak banyak yang bisa kami lakukan—apalagi dengan posisi tersembunyi seperti itu. Koloninya Decth jelas tak akan mau mati sia-sia dengan menunjukkan diri di depan pasukan mob.

Serangan balik mob itu berhasil membungkam perlawanan kami, aku tak begitu paham bagaimana situasi itu terjadi. Hanya lewat penjelasan Horf yang ada di barak dan sesekali Decth menjelaskan sambil terus mengomando pasukannya—aku memahami situasi di atas rumah kami. Aku yakin, mob itu sangat marah karena tak dapat menemukan asal dari serangan itu—bahkan sebagian besar warga Wichlyz saja tak tahu ada barak rahasia yang menempel di tebing pembatas buldan. Malam itu, suara rentetan senjata mengisi udara, bersambungan dengan dentuman bom, suara mesin helikopter yang terus mengintai, berputar-putar di atas rumah-rumah warga. Malam yang panjang dan melelahkan.

***“Siapa menurutmu?” paman Keth

mencoba memecah hening yang menggantung beberapa manit lamanya. Aku masih diam, menebak-nebak jawaban yang mungkin pas. Soi baru saja tertidur dengan masih memelukku—bedanya sekarang kami sudah duduk di sofa, tepat di hadapan paman Keth.

“Bukankah kita tidak terlibat faksi manapun?” pertanyaan keduanya lebih tepat ditanyakan pada dirinya sendiri—dia lebih paham soal faksi-faksi itu.

“Aku rasa tujuan mereka bukan karena ada faksi, tapi karena tidak adanya faksi itu.” Aku menghela napas pendek, menyisir rambutku dengan jari. “Kita satu-satunya yang bebas, mereka sepertinya sudah tahu soal perkembangan teknologi kita. Aku pikir ini kabar buruk. Setelah penyerbuan lima tahun lalu, aku pikir semuanya sudah berakhir.”

“Kau pasti bergurau, Jey.” Paman terkekeh kecil, mencoba mencairkan ketegangan. Kami diam beberapa saat, mataku lekat menatap Soi. Kakakku tak

mungkin bertahan lama dalam situasi ini, dia sudah kadung trauma sejak kejadian lima tahun lalu.

“Paman,” tatapanku berpindah ke arah iris mata paman yang sangat coklat.

“Hm? Kau punya ide? Katakan, Nak. Aku kelaparan, tidak bisa berpikir dengan baik.” Paman Keth mencoba bergurau soal lapar, tapi sepertinya keponakannya sedang serius. Wajahnya tak menampakkan dia akan tertawa dengan kalimatnya tadi.

“Ini soal Soi,” suaraku sedikit bergetar. Aku sedang membahas soal kakakku, dan tak sedikitpun berniat meladeni paman Keth yang kelaparan.

“Aku takut dia tidak bisa bertahan dengan kondisi ini. Bisakah kita bawa dia ke baraknya Detch? Satu-satunya tempat yang tak mungkin diketahui musuh hanya di sana. Aku khawatir soal Soi, Paman.” Keningku berkerut, aku menghela napas panjang, lalu menyandarkan punggung sambil memejamkan mata. Aku kehabisan ide.

“Kau yakin hanya Soi yang kau khawatirkan?” Paman Keth entah kenapa bertanya seperti itu, sepertinya dia mencoba memancing sesuatu yang belum pernah kami bicarakan sebelumnya.

“Eh? Maksud Paman apa?” Aku membuka mata, kembali duduk tegap. Sesuatu di dalam diriku bergolak lembut, semakin lama semakin jelas. Sosok itu terbayang di bola mataku yang hijau jernih. Diam-diam aku menunuduk, menyadari semburat merah di pipiku akan terlihat jelas jika aku terus menatap ke depan.

“Jey, tak apa. Aku paham jika kau sudah memiliki perasaan demikian, itu wajar. Jangan disembunyikan terus begitu, apalagi situasinya seperti ini.” Paman Keth tersenyum tulus, mata coklatnya memandang teduh ke arahku. Mungkin dialah satu-satunya orang yang tak ingat kalau rumahnya hancur, tak peduli dengan situasi sekitar yang jauh dari tenang.

“Kami hanya bersahabat, paman, tidak lebih...” aku semakin menunduk, dahiku hampir menyentuh dahi Soi yang tidur di pangkuanku. “Aku hanya sahabatnya. Hanya itu baginya. Lagi pula, ini bukan saat yang tepat untuk membahasnya, kita harus memikirkan alasan mob itu tiba-tiba kemari.”

“Haaah, baiklah. Kau benar, ini bukan saat yang tepat. Jadi, apa kau kebetulan punya beberapa makanan? Aku lapar, sejak semalam belum makan.” Paman Keth bersiul riang, mengikuti kemauanku untuk mengalihkan pembicaraan. Laki-laki empat puluh tahun itu benar-benar tak pas dengan umurnya. Baik sikap maupun tubuhnya, menyiratkan bahwa

dia jauh lebih muda dari umurnya sekarang. Perawakannya yang tinggi tegap bahkan bisa mengelebui orang—mengira usianya baru tiga puluhan awal.

“Tentu saja ada. Ini bunker, kalau tak ada makanan namanya kuburan, Paman.” Paman Keth tertawa lepas dengan ucapanku. Lama-lama bunker ini hangat juga dengan percakapan. Soi bangun tepat pukul satu siang—saat aku dan paman Keth masih serius membahas soal mob yang menyerang kemarin malam. Soi ikut dalam perbincangan yang belum menemui titik terang, masih menggantung. Antara kemungkinan ini itu, alasan ini itu dan lainnya. Semua masih samar-samar, sama seperti sesuatu yang terus bergerak lembut di dalam sini. Masih abu-abu untuk bisa dicaritahu siapa pemilik rasa ini.

Pukul tiga sore, Detch dan teman-temannya yang berada di barak mengabarkan lewat Miqlo bahwa situasai bisa dikatakan aman. Dalam radius lima kilometer sudah tak ada lagi mob, jadi kami bisa keluar rumah. Aku dan paman Keth memutuskan untuk pergi ke reruntuhan rumahnya. Sedangkan Soi pergi bersama beberapa teman lain, mengurus warga yang terluka akibat serangan semalam.

Aku pikir, dengan berhentinya serangan mob itu maka semuanya bisa diulang dari awal. Tapi kehancuran itu bukan hanya bertahta pada materi saja, sebab enam jam setelahnya Detch memberitahu seluruh warga mengenai kepulangan peneliti buldan kami. Itu serangan mematikan selanjutnya, yang meski tak pernah melukai kami tapi mampu melumpuhkan harapan kami. Setengah tahun lalu, buldan Wichlyz mengirimkan sekitar enambelas orang yang tergabung dalam tim peneliti pusat.

Aku tak mau menjelaskan hubungannya sebab ini semua sudah jelas sejak serangan pertama para mob itu. Tidak ada, satupun dari mereka tak ada yang benar-benar kembali. Orang terakhir yang bisa Detch hubungi adalah Hylj, ketua tim peneliti. Dan hal terakhir yang sampai di perbatasan buldan kami adalah Sqeil miliknya, tanpa awak—hanya ada beberapa barang yang sebagian tak berbentuk.

Ika Nur Lutfi. Penulis adalah pengagum Soe Hok Gie. Menulis beberapa tulisan di berbagai media. Kini menjadi redaktur Rhetor Online.

Page 20: Newsrhetor edisi 48

Selamat Datang HilangKuperkenalkan pada kalianSebuah negeri tanpa pintuNegeri dimana jendela adalah pintuDan pintu hanyalah formalitas

Kalian takkan mengiraManusia negeri itu bermuka duaBermuka dua maka makin berkuasaUang adalah TuhanPangkat adalah panggung sandiwaraMedia menjadi kiblat dunianya

Ini realitaTakkan kau temukan malu di negeri ituKarena rasa malu adalah benaluIni realitaBerkeliaran psikopat Tak ada rasa takutYang ada hanya celurut

Ini belum selesai kawanKetika kejujuran disuarakanPara petinggi pura-pura lawatanKejujuran terabaikan dionggokkan dalam pojok tulisanKejujuran adalah pendar dalam gemerlapan

KetikaKeadilan didengungkanDan para agen perubahan turun ke jalanHingga noda merah tumpah bercucuranPara petinggi bersimpati Tapi dalam bualanTertawalah kalian

Musnah sudah, tak ada yang tersisaNegeri itu telah terlelapMenuju pintu binasaAkibat sandiwara kursi penguasa*AzhiYogyakarta, 13 November 2015

Dari AnakmuSehelai kertas yang lusuh, ditemani tinta biruDisebuah ruangan yang bidangSemesta inilah saksinya..Saksi atas semua kebohonganmuSaksi bahwa kau bermuka dua di hadapankuKau Dusta di kala kau lelah,Kau Dusta dikala kau sakitKebohonganmu membuat aku buta!!!

Buta akan kedurhakaanku..Saat ku di perintah, terkadang aku membantahDi kala ku lemah, ribuan rintihan aku keluhkanDi saat asyik dengan duniaku, aku mengacuhkanmuBahkan, ketika ku berkehendak aku menuntut.Namun.. senyum lembutmu tetap kau berikan,Dari waktu ku ditimang hingga sampai detik iniPikir ku pun melesat jauh ke masa silam.Riwayat semasa ku belia, kala kau rela terbangun ketika aku terusikRela mengorbankan seluruh waktu, jiwa dan raga..Saat virus menyapaku, kaulah tabib di atas fajar dan senjaMengirimkan jutaan doa terbaik dalam setiap sujudmu.Menakjubkan sekali manusia ini.Cintanya melebihi dalamnya samudra...Kasihnya melebihi bintang di angkasa....Sayangnya melebihi cahaya surya yang menyinari dunia...Makhluk itu ialah ibu...Terimakasih ibu, kau Wanita terhebat yang pernah aku jumpai,Meski daya tak sampai menebus semua yang kau berikanPercayalah, aku sangat mencintaimuDari anakmu..Rahma nisa

Lelah BerkataHanya ada tumpukan ideYang bersarang di benaknyaTak ada rasa, tak ada energiBahkan tak ada lagi satu katapun yang berani keluarDari mulutnya yang liat Seakan telah mati jiwa dan akalnyaSeakan telah hilang jasadnya Di bawah kegelapan kotak yang sempit ituDimanakah dirinya yang duluYang selalu ada dan hidup di antara merekaSekarang dan dahulu sungguh berbeda Sekarang dia bagaikan tak ada lagi di antara merekaSeperti orang yang diasingkan hidupnyaBahkan suaranya bagaikan suara pohon yang sulit untuk didengar dan dimengertiHanya keadaan diam yang memaksa dirinya untuk sekarang iniSeakan nyaman dengan keadaannya yang tetap diamApakah dia sudah melepaskan kebutuhannyaYang mengharuskan dirinya terlibat dengan dunia luarAkan tetapi sekarang dia sekarang tidak lebih dari mayat hidup Tak mau lagi hidup seperti halnya manusia berakal.

Endang Santika. Penyair.

Sajak-sajak Endang Santika

News Rhetor edisi XLVIII/Mei 201620

Page 21: Newsrhetor edisi 48

News Rhetor edisi XLVIII/Mei 201621

Dok : LPM RHETOR

Page 22: Newsrhetor edisi 48

www.lpmrhetor.com

DON’T HATE THE MEDIABECOME

THE MEDIA-J. BIAFRA

News Rhetor edisi XLVIII/Mei 201622

CLICK!

Page 23: Newsrhetor edisi 48

Keluarga Besar LPM RHETOR

Telah Berpulangdengan Tenang Kawan Fuad karena Gelar Sarjana Mudanya

Page 24: Newsrhetor edisi 48

“Bila kaum muda yang telah belajar di sekolahdan menganggap dirinya terlalu tinggi

dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita

yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali”

-Tan Malaka