New VITALITAS BAHASA SUWAWA · 2020. 2. 13. · adalah upaya yang hasilnya tidak senyata...
Transcript of New VITALITAS BAHASA SUWAWA · 2020. 2. 13. · adalah upaya yang hasilnya tidak senyata...
1
LAPORAN PENELITIAN
VITALITAS BAHASA SUWAWA
DARMAWATI M.R.
KANTOR BAHASA GORONTALO
TAHUN 2019
2
PRAKATA
Penelitian ini merupakan salah satu usaha kecil dalam memberikan
sumbangsih pemikiran mengenai kepunahan bahasa. Status bahasa Suwawa di
Peta Bahasa keluaran Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, yang hanya
terhitung sebagai sebuah dialek dari Bahasa Gorontalo, mengancam
keberadaannya sebagai satu bahasa yang memiliki kekhasan dan kearifan lokal—
sebagaimana bahasa daerah lainnya. Namun, tidak hanya karena itu, Penelitian
Usup dan Machmoed pada tahun 2014 mengelompokkan bahasa Suwawa sebagai
sebuah bahasa bukan sebuah dialek. Bahasa Suwawa juga masih dituturkan di
beberapa wilayah Gorontalo. Terlepas dari itu, penelitian vitalitas ini mutlak perlu
dilakukan untuk mempertegas keraguan yang ada mengenai status bahasa ini.
Semoga penelitian ini dapat menjadi bahan renungan, tambahan informasi,
tuntunan bagi pembaca, baik itu masyarakat umum, pihak pemangku kepentingan,
komunitas, tetua adat, untuk mengetahui secara memadai perihal vitalitas bahasa,
khusunya bahasa Suwawa. Penelitian ini masih banyak kekurangan dan
memerlukan banyak saran. Oleh karena itu, pembaca dapat ikut berkontribusi
dalam mencari pemecahan dari permalahasan keterancaman bahasa Suwawa ini
dari kepunahan.
Gorontalo, 2019
Peneliti
3
DAFTAR ISI
PRAKATA ...........................................................................................................................
DAFTAR ISI ............................................................................................................. ..........
DAFTAR TABEL..................................................................................................... ..........
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................... ..........
1.1 Latar Belakang .................................................................................................
1.2 Masalah dan Tujuan ....................................................................................... 7
1.3 Manfaat Kajian ................................................................................................ 8
1.4 Ruang Lingkup Kajian .................................................................................... 8
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI ..................................................... 10
2.1 Kajian Pustaka ............................................................................................... 10
2.2 Landasan Teori ............................................................................................. 11
2.2.1 Kepunahan Bahasa dan Penyebabnya .............................................. 11
2.2.2 Faktor Penentu Vitalitas Bahasa......................................................... 15
2.2.3 Tingkat Vitalitas Bahasa ...................................................................... 18
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ................................................................................... 22
3. 1 Pengumpulan Data .......................................................................................... 8
3. 2 Pengolahan Data .............................................................................................. 9
3.3 Analisis Data ..................................................................................................... 9
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................................. 22
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ........................................................................ 22
4.2 Bahasa Suwawa ........................................................................................................... 24
4.3 Komposisi Responden ................................................................................................ 27
4.4 Vitalitas Bahasa Suwawa ........................................................................................... 29
4.4.1 Penutur .................................................................................................. 30
4.4.2 Ranah Penggunaan Bahasa ................................................................. 31
4.4.3 Kontak Bahasa ...................................................................................... 34
4.4.4 Sikap dan Kebijakan ............................................................................ 37
4.4.5 Sikap Bahasa ......................................................................................... 38
4.4.6 Bilingualisme ........................................................................................ 40
4
4.4.7 Posisi Dominan Masyarakat Penutur ................................................ 42
4.4.8 Pembelajaran ........................................................................................ 43
4.4.9 Dokumentasi ........................................................................................ 45
4.4.10 Tantangan Baru .................................................................................. 46
BAB V PENUTUP....................................................................................................................... 48
5.1 Simpulan ............................................................................................................. 48
5.2 Saran .................................................................................................................... 49
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................. 51
LAMPIRAN ................................................................................................................................. 54
1. Data .............................................................................................................................................
2. Kuisioner....................................................................................................................................
3. Dokumentasi Kegiatan ............................................................................................................
5
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Apa yang hilang ketika suatu bahasa lenyap? Pertanyaan inilah yang coba
dijawab oleh Rymer dalam tulisannya, “Suara-Suara yang Sirna” di majalah
National Geographic Indonesia 7 tahun lalu. Rymer mengindentifikasi sebagaian
besar penyebabnya adalah zaman yang kian mengglobal, terhubung, dan
homogen. (Rymer, 2012). Bahasa yang dipakai di tempat terpencil tidak lagi
terlindung oleh batas negara atau batas alam dari bahasa yang mendominasi dunia
komunikasi dan perdagangan. Orang tua di pedalaman sering mendorong anaknya
supaya meninggalkan bahasa suku yang dipakai leluhur dan menggunakan bahasa
yang dapat dipakai untuk meraih pendidikan dan kesuksesan yang lebih tinggi.
Rymer mengkhususkan tulisan itu untuk bercerita mengenai keberadaan 235.000
penutur bahasa Tuva di belahan Rusia, yang kian hari kian terdesak oleh bahasa
Inggris, Mandarin dan bahasa Rusia
Terkait kepunahan bahasa ini, Ibrahim menyebutkan bahwa lima fakta
yaitu : pertama, bahasa-bahasa yang masuk kategori terancam punah sebagian
besarnya berada di daerah atau negara berkembang yang miskin sumber daya
manusia dan sumber daya alam. Kedua, beberapa di antara bahasa-bahasa yang
6
terancam punah memiliki jumlah populasi etnik yang masih banyak. Ketiga,
sebagian besar bahasa yang terancam punah merupakan etnik minoritas
terisolasi atau minoritas yang berada dalam wilayah yang multibahasa dan
multietnik. Keempat, sebagian besar bahasa yang terancam punah tidak
merupakan bahasa sehari-hari yang diajarkan oleh orang tua kepada anak-
anaknya di rumah. Kelima, kepunahan bahasa sebagian besar muncul di
wilayah multibahasa yang memilih sebuah bahasa lingua franca dalam
komunikasi lintas etnik (Ibrahim, 2009) .
Harrison memaparkan bahwa punahnya bahasa menandakan erosi
pengetahuan yang dimiliki manusia (Harrison, 2007). Dalam beberapa literatur
disebutkan,pengetahuan itu mencakup pengetahuan mengenai obat-obatan yang
disediakan alam. Akan tetapi, persoalan kepunahan bahasa tidak hanya sampai di
situ. Dadang Sunendar selaku Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan
Bahasa menyebutkan bahwa kepunahan bahasa bukan sekadar kepunahan
kosakata atatu tata bahasa melainkan kehilangan warisan budaya bangsa yang
sangat berharga (Harimansyah, 2017). Meskipun upaya pelindungan bahasa
adalah upaya yang hasilnya tidak senyata penyelamatan spesies lumba-lumba
langka yang terluka di Samudra Fasifik atau bahkan penyelamatan lautan dari
buangan sampah plastik penduduk dunia—secara mate-ekonomis, melainkan
perjuangan untuk memberikan sumbangan signifikan dalam rangka mengelola
kekayaan batin bangsa.. Bahkan, UNESCO mengingatkan bahwa ketika sebuah
bahasa punah, dunia kehilangan warisan yang sangat berharga–sejumlah besar
7
legenda, puisi, dan pengetahuan yang terhimpun dari generasi ke generasi akan
ikut punah.
Dalam kaitannya dengan keberadaan bahasa terancam punah, Indonesia juga
tak luput dari masalah ini. Fenomena kepunahan bahasa juga ditemukan di
Indonesia yang merupakan negara multibahasa dan multietnik. Sebagian dari 652
bahasa daerah yang ada di Indonesia mengalami ancaman kepunahan. Lauder
(2008) menyatakan ada 169 bahasa daerah di Indonesia yang terancam punah.
Anderbeck (2012:4) dalam “Portraits of Indonesian Language Vitality”
menyatakan bahwa 1 dari tiap 4 bahasa di Indonesia berstatus vital (EGIDS 1-6a),
1 dari tiap 4 bahasa berstatus terancam (EGIDS 6b), dan 1 dari tiap 4 bahasa
bersatus sekarat (EGIDS 7-8b) atau sudah punah (EGIDS 9 dan 10). Faktor-faktor
seperti urbanisasi, ekspansi ekonomi, frekuensi bepergian, percampuran budaya,
sentralisasi politik, media pendidikan, media massa seperti televisi, telepon seluler,
internet merupakan faktor yang berkontribusi terhadap kepunahan bahasa di
Indonesia.
Sejak tahun 2015, Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan (dulunya
bernama Pusat Bahasa) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah
melakukan kajian mengenai vitalitas bahasa. Hasilnya, Badan Bahasa mendata
jumlah bahasa daerah yang mengalami kemunduran sebanyak 56 bahasa, dalam
status rentan 30 bahasa, terancam punah sebanyak 19 bahasa, kritis sebanyak 30
bahasa, dan punah 10 bahasa.
Berbicara tentang vitalitas bahasa akan menyangkut banyak hal mengenai
keberadaan bahasa di sebuah masyarakat tuturnya dan pada akhirnya setiap hasil
8
penelitian mengenai daya hidup bahasa tertentu akan berujung pada satu
kesimpulan penting: apakah status bahasa tersebut terancam kepunahan atau
masih dalam status aman. Bahasa yang terancam punah dalam hal ini adalah
bahasa-bahasa yang tidak lagi digunakan oleh penutur muda dalam komunitas
tutur bahasa yang bersangkutan karena tekanan ekonomi dan sosial yang
menyebabkan anak-anak muda tersebut berhenti menggunakan bahasa ibu
mereka dan mulai menggunakan bahasa yang dominan seperti bahasa Indonesia.
Lalu, bagaimana daya hidup bahasa Suwawa?
Menanggapi hal tersebut dan peta bahasa yang telah diluncurkan oleh Badan
Bahasa pada tahun 2019 lalu, bahasa Suwawa perlu diadakan penelitian
vitalitasnya. Dalam peta bahasa tersebut, bahasa Suwawa tidak termasuk dalam
bahasa-bahasa yang terdapat di Gorontalo, padahal penuturnya masih terdapat
sekitar 5000 orang (Ethnologue, n.d.).
Pada tahun 1986, Usup telah melaporkan bahwa jumlah penutur bahasa
Suwawa pada tahun 1984 terdapat 15 ribu orang (Usup, 1986). Sementara itu, 28
tahun setelahnya, tepatnya pada tahun 2012, SIL melalui situs ethnologue.com
melaporkan bahwa jumlah penutur bahasa Suwawa tinggal 5000 orang
(Ethnologue, n.d.). Data tersebut dapat dimaknai bahwa dalam kurun waktu 30
tahun, jumlah penutur bahasa Suwawa berkuraang sebanyak 67%. Ethnologue
juga memeringkat posisi keterancaman bahasa Suwawa berada pada posisi nomor
7. Di satu penelitian lain, Firdaus mengungkap bahwa saat ini kriteria vitalitas
bahasa Suwawa masih tergolong stabil dan mantap, tetapi terancam punaah dan
masuk dalam garis indeks 4-5 jika dilihat berdasarkan visualisasi yang tampak
9
pada diagram laba-laba. (Firdaus, 2018). Penelitian itu mengambil lokasi di
Kecamatan Suwawa Timur dan Suwawa Selatan. Masih ada daerah penutur
bahasa Suwawa yang belum terjangkau dan belum sempat diambil data vitalitas
bahasanya, seperti di Kecamatan Suwawa Tengah dan TImur. Sementara itu dari
data Usup, penutur bahasa Suwawa tersebar di kecamatan Suwawa, Bone Pantai.
Jika benar bahwa bahasa Suwawa adalah bahasa induk bahasa Gorontalo,
seharusnya penuturnya dapat berjumlah lebih banyak daripada jumlah tersebut.
1.2 Masalah
Masalah dalam kajian ini adalah bagaimanakah daya hidup bahasa
Suwawa di Kecamataan Suwawa Selatan, Kabupaten Bone Bolango, Provinsi
Gorontalo berdasarkan sepuluh indikator vitalitas bahasa?
1.3 Tujuan Penelitan
Sejalan dengan masalah tersebut kajian ini bertujuan untuk memaparkan
tingkat daya hidup bahasa Suwawa di Kecamataan Suwawa Selatan, Kabupaten
Bone Bolango, Provinsi Gorontalo berdasarkan sepuluh indikator vitalitas
bahasa.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil kajian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang lebih
jelas tentang kondisi kebahasaan di Gorontalo, khususnya tentang daya hidup
bahasa Suwawa di Kecamataan Suwawa Selatan, Kabupaten Bone Bolango,
10
Provinsi Gorontalo, terutama diDesa Bondaraya, Desa Bondawuna, dan Desa
Bonedaa. Dengan teridentifikasinya daya hidup atau vitalitas bahasa ini,
pemerintah dapat mengambil kebijakan berdasarkan tingkat keterancaman
bahasa, misalnya dengan melakukan dokumentasi, revitalisasi, ataupun
revivalisasi bahasa.
1.5 Lingkup Penelitian
Kajian vitalitas bahasa Suwawa di Kabupaten Bone Bolang dibatasi
pada bahasa Suwawa yang dituturkan di tiga desa, yaitu Desa Bondara, Desa
Bondawuna, dan Desa Bonedaa. Ketiga desa ini berada di Kecamatan Suwawa
Selatan, Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo. Vitalitas atau daya
hidup dalam kajian ini melingkupi vitalitas bahasa dalam sepuluh variabel,
antara lain (1) penutur, (2) kontak bahasa, (3) bilingualisme, (4) posisi dominan
penutur, (5) ranah penggunaan bahasa, (6) sikap bahasa, (7) sikap dan
kebijakan pemerintah, (8) pembelajaran, (9) dokumentasi, dan (10) tantangan
baru.
11
BAB II
TEORI DAN GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
Bahasa daerah di Indonesia berjumlah ratusan. Badan Pengembangan dan
Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) hingga Agustus 2017 telah memverifikasi
sebanyak 669 bahasa daerah—bukan dialek atau subdialek. Jumlah bahasa
tersebut diperoleh berdasarkan hasil pengolahan data pemetaan bahasa yang
diambil di 2.357 daerah pengamatan (DP) di seluruh Indonesia yang dilakukan
sejak tahun 1992. Jumlah tersebut tentunya akan bertambah seiring dengan
bertambahnya jumlah DP dalam pemetaan berikutnya. Artinya, masih banyak
bahasa daerah yang belum dipetakan. Sebagai perbandingan jumlah bahasa hasil
pemetaan yang dipublikasikan pada tahun 1972, Lembaga Bahasa Nasional
(sekarang Badan Bahasa, Kemendikbud) menyebutkan ada 418 bahasa daerah
berdasarkan inventarisasi bahasa-bahasa di Indonesia pada tahun 1969—1971.
Informasi bahasa-bahasa yang telah dipetakan oleh Badan Bahasa dapat dilihat di
http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/petabahasa.
Berbagai lembaga internasional pun telah mencoba memetakan bahasa di
Indonesia dengan metodologinya masing-masing. Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) melalui program United Nations Educational, Scientific, and Cultural
Organization (UNESCO) dengan proyek Atlas of the World’s Languages in Danger
(http://www.unesco.org/languages-atlas) dan Summer Institute of Linguistics
12
(SIL) Internasional dengan proyek Ethnologue (https://www.ethnologue.com)
merupakan contoh lembaga dunia yang telah melakukan upaya pemetaan bahasa.
Karena perbedaan metodologi itu pula, jumlah bahasa hasil pemetaan lembaga-
lembaga tersebut pun berbeda-beda. Misalnya, dengan memasukkan pengakuan
penutur secara sosiolinguistik, SIL (Simons dan Fennig, 2017) menyebut jumlah
bahasa di Indonesia sebanyak 719 bahasa daerah dan 707 di antaranya masih aktif
dituturkan. UNESCO sendiri baru mencatatkan 143 bahasa daerah di Indonesia
13
Di antara ratusan bahasa yang terdapat di Indonesia tersebut hanya tiga
belas bahasa yang memiliki penutur di atas satu juta, yakni bahasa Jawa, Sunda,
Batak, Bali, Bugis, Madura, Minang, Rejang Lebong, Lampung, Makassar,
Banjar, Bima, dan Sasak (BPS, 2010). Namun, dari tahun ke tahun jumlah bahasa
daerah tersebut terus berkurang.
Apabila kita melihat peta kebahasaan di Indonesia—berdasarkan pemetaan
yang dibuat UNESCO—yang menggambar kepunahan bahasa di Indonesia (lihat
Gambar 1.1 Peta Kepunahan Bahasa), kita dapat menemukan bahwa bahasa-
bahasa yang terancam punah tersebut terbanyak terdapat di wilayah Indonesia
bagian timur. Bahasa tersebut memiliki jumlah penutur sedikit dan bahkan sudah
mulai ditinggalkan oleh penuturnya. Berbeda dengan di pulau Jawa yang hanya
memiliki tiga bahasa terbesar (Jawa, Sunda, dan Madura) dengan beragam
dialeknya.
2.1 Bahasa Suwawa
Bahasa Suwawa sebagai salah satu bahasa daerah di Indonesia tergolong
berpenutur tidak begitu banyak. SIL juga memiliki nama lain untuk penutur
bahasa Suwawa yaitu Bonda, Bone, Bunda, Bune, Suvava, Toewawa. Status
bahasa Suwawa menurut SIL termasuk pada kategori 7 (shifting) artinya bahasa
Suwawa mengalami pergeseran. Bahasa Suwawa termasuk juga pada rumpun
Austronesia. Bahasa Suwawa masih perlu diungkap kriteria vitalitasnya.
Pemilihan bahasa itu sebagai objek penelitian dilandasi pertimbangan bahwa
14
bahasa Indonesia telah mendesak esksistensinya apalagi wilayah pakai bahasa
Suwawa telah tergerus akibat bersinggungan dengan bahasa Gorontalo dan
masyarakat pendatang. Sehubungan dengan itu, masalah yang dianalisis sesuai
dengan latar belakang masalah tadi adalah karakteristik responden dan
penetapan kriteria vitalitas bahasa Suwawa berdasarkan hubungan nilai rerata
indeks dengan karakteristik responden. Nama ‘Suwawa’, berasal dari bahasa
Suwawa: tuwawa atau tuwawa’a (bahasa Gorontalo: tuwawu = satu) yang
merupakan serapan dari kata towawa’a yang artinya ‘satu tubuh’ atau ‘satu
badan’ (Pateda, 1985). Makna kata towawa’a tersebut hingga saat ini beragam,
tetapi memiliki keselarasan. Ada yang memaknainya sebagai suatu kesatuan
sosial berdasarkan genealogi, teritorial, dan kultural masyarakat Suwawa.
Artinya, masyarakat Suwawa merupakan suatu kesatuan masyarakat yang
terintegrasi secara emosional berdasarkan faktor kekeluargaan, wilayah, dan
budaya. Ada juga yang memaknainya terbatas pada segi teritorial kontemporer.
Kerajaan Suwawa juga memiliki istana kerajaan seperti kerajaan-kerajaan pada
umumnya di Indonesia, istana tersebut dikenal dengan sebutan leda-leda
(Yogyakarta: keraton). Leda-leda merupakan tempat dilangsungkannya
pemerintahan Kerajaan Suwawa khususnya sebagai tempat bersidangnya raja-
raja Suwawa. Sayangnya, tidak semua raja Suwawa sempat menikmati nuansa
pemerintahan kerajaan di ledaleda (Usup, 1986). Dalam perkembangannya,
Kerajaan Suwawa banyak mengalami pergantian raja. Penelitian tentang bahasa
Suwawa sudah banyak dilakukan, ada yang sudah berbentuk kamus yang
disusun oleh Pateda, (1985), berjudul Kamus Bahasa Suwawa-Indonesia. Selain
15
itu, ada juga yang meneliti tentang struktur bahasa Suwawa oleh Jahja (1986)
dengan judul Morfologi dan Sintaksis Bahasa Suwawa. Buku tersebut
diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
2.2. Vitalitas Bahasa
Vitalitas atau daya hidup suatu bahasa merujuk pada intensitas
penggunaan dan eksistensi sebuah bahasa sebagai alat komunikasi dalam berbagai
konteks sosial untuk tujuan tertentu. Suatu bahasa dapat dikatakan memiliki
vitalitas yang tinggi apabila penutur bahasa tersebut berjumlah banyak dan variasi
bahasa tersebut digunakan secara luas. Karakteristik ini merupakan salah satu ciri
bahasa yang akan terus digunakan dan diturunkan dari generasi ke generasi
(Meyerhoff, 2006: 108).
Hasil kajian terhadap vitalitas bahasa digunakan untuk menentukan status
sebuah bahasa berdasarkan kategori berikut.
1. Bahasa berstatus punah, yakni bahasa yang sudah tidak dituturkan atau
tidak ada penuturnya lagi.
2. Bahasa berstatus sangat terancam, yakni bahasa yang penuturnya 40 tahun
ke atas dan sangat kritis (critically endangered) karena penuturrnya
sedikit, berusia 70 tahun ke atas.
3. Bahasa berstatus terancam punah, yakni bahasa yang hanya digunakan
oleh penutur berusia 20 tahun ke atas atau generasi tua dan digunakan
dalam ranah keluarga.
4. Bahasa berstatus mengalami kemunduran, yakni sebagian anak-anak dan
16
kaum tua menggunakannya, tetapi jarang digunakan dalam ranah
umum/publik.
5. Bahasa berstatus stabil, tetapi terancam punah, yakni bahasa yang
digunakan semua anak-anak dan kaum tua, tetapi jumlah penutur sedikit.
6. Bahasa berstatus aman, yakni bahasa ini digunakan dalam semua ranah
komunikasi.
Tujuan utama dari pengategorian ini adalah untuk mengetahui tingkat
kondisi atau status vitalitas bahasa yang dapat diarahkan untuk menyelamatkan
sebuah bahasa ini dari kepunahan.
Warami (2016:4) menggambarkan kondisi bahasa-bahasa yang jumlah
penuturnya sedikit dalam lima tahapan klasifikasi vitalitas sebagai berikut.
1) Bahasa yang dianggap berpotensi terancam adalah bahasa yang secara
sosial ekonomi tergolong minoritas serta mendapatkan tekanan yang
cukup besar dari bahasa mayoritas.
2) Bahasa yang dianggap terancam punah adalah bahasa yang tidak
mempunyai lagi generasi muda yang dapat berbahasa ibu, penutur yang
fasih hanyalah kelompok generasi menengah atau dewasa.
3) Bahasa yang dianggap sangat terancam punah adalah bahasa yang hanya
berpenutur generasi tua berusia di atas 50 tahun.
4) Bahasa yang dianggap sekarat adalah bahasa yang dituturksn oleh
beberapa orang sepuh, yaitu sekitar 70 tahun ke atas.
17
5) Bahasa yang dianggap punah adalah bahasa yang penuturnya tinggal satu
orang sehingga tidak ada lawan berkomunikasi dalam bahasa itu.
2. 3 Kepunahan Bahasa
Kepunahan bahasa terkait dengan kematian bahasa. Artinya, kondisi
yang menggambarkan sebuah bahasa tidak lagi dituturkan. Salah satu keadaan
yang memperlihatkan gejala-gejala kepunahan bahasa adalah penurunan
jumlah penutur aktif secara drastis. Sebuah bahasa dinyatakan punah ketika
tidak lagi memiliki penutur. Menurut UNESCO (2003), bahasa dikatakan
terancam punah ketika penuturnya berhenti menggunakannya; digunakan di
ranah komunikasi yang semakin berkurang jumlahnya; dan berhenti diwariskan
dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Jika sebuah bahasa kehilangan
seluruh penutur jatinya, bahasa itu menjadi punah atau mati. Krauss (2007)
menyatakan sebuah bahasa berada pada kondisi terancam punah jika tidak ada
transmisi ke generasi muda. Campbell (1994), sebagaimana disebutkan oleh
(Janse, 2003), mendefinisikan kepunahan bahasa dengan “the loss of a
language due to gradual shift to the dominant language in language contact
situations”. Situasi itu mencakup tahap intermediate bilingualism di mana
bahasa subordinat digunakan oleh penutur yang jumlahnya berkurang sejalan
dengan penurunan jumlah konteks penggunaannya.
Penyebab kepunahan bahasa dapat dikelompokkan ke dalam empat
kategori utama, yaitu (1) bencana alam, kelaparan, dan wabah penyakit; (2)
peperangan dan genosida; (3) penindasan; (4) dominasi kultural, politik atau
18
ekonomi (Sallabank, 2010: 56–57). Empat kategori tersebut dapat dibagi
kembali menjadi lima faktor umum berikut.
1) Ekonomi: misalnya, kemiskinan di daerah pedalaman dapat
menyebabkan migrasi ke daerah perkotaan. Demikian pula
apabilaekonomi daerah meningkat, kepariwisataan dapat
menyebabkan kedatangan penutur bahasa mayoritas.
2) Dominasi kultural oleh kelompok masyarakat mayoritas,
misalnya dunia pendidikan hanya menggunakan bahasa mayor
atau resmi. Politik: misalnya, kebijakan pendidikan yang
meniadakan atau mengabaikan bahasa daerah dan larangan
penggunaan bahasa minoritas di ranah publik.
3) Sejarah: misalnya, kolonisasi, perselisihan daerah perbatasan,
kemunculan satu kelompok masyarakat dan ragam bahasanya
dalam dominasi kultural dan politik.
4) Attitudinal: misalnya, bahasa minoritas diasosiasikan dengan
kemiskinan, kebutaaksaraan dan penderitaan, sedangkan
bahasa mayoritas diasosiasikan dengan kemajuan.
Menurut (Ibrahim, 2009), ada tiga penyebab utama kepunahan bahasa,
yaitu (1) orang tua tidak lagi mengajarkan bahasa ibu kepada anak-anak serta
tidak lagi menggunakannya, (2) pilihan sebagian masyarakat tutur untuk tidak
menggunakannya dalam ranah komunikasi sehari-hari, dan (3) tekanan sebuah
bahasa mayoritas dalam masyarakat tutur multilingual. Penyebab pertama dan
19
kedua terkait dengan sikap dan pemertahanan bahasa masyarakat tuturnya.
Pilihan untuk tidak menggunakan dan kebiasaan orang tua untuk tidak
mewariskan bahasa ibu kepada anak-anaknya akan mempercepat gerak menuju
kepunahan. Sebaliknya, pemertahanan bahasa yang kuat akan memperkuat pula
daya hidup bahasa tersebut. Sementara itu, penyebab ketiga terkait dominasi
komunikasi dalam mobilitas sosial-ekonomi serta penguasaan sumber-sumber
kekuasaan kelompok mayoritas pemilik bahasa mayoritas yang mau tidak mau
harus dihadapi oleh semua penutur, terutama penutur bahasa minoritas. Hal ini
menyebabkan penutur bahasa minoritas meninggalkan bahasa ibunya untuk
kemudian menggunakan bahasa mayoritas. Selanjutnya, di luar pemertahanan
bahasa, penyebab terdalam dari kepunahan bahasa adalah para penuturnya (1)
berpikir tentang dirinya yang inferior secara sosial, (2) terikat masa lalu, (3)
bersikap tradisional, atau (4) secara ekonomi kehidupannya stagnan. Summer
Institute of Linguistics atau SIL mencatat setidaknya ada dua belas faktor
penyebab kepunahan bahasa, antara lain (1) jumlah penutur yang kecil, (2) usia
penutur, (3) digunakan atau tidaknya bahasa ibu oleh anak-anak, (4)
penggunaan bahasa lain secara reguler dalam latar budaya yang beragam, (5)
perasaan identitas etnik dan sikap terhadap bahasanya secara umum, (6)
urbanisasi kaum
muda, (7) kebijakan pemerintah, (8) penggunaan bahasa dalam pendidikan, (9)
intrusi dan eksploitasi ekonomi, (10) keberaksaraan, (11) kebersastraan, dan
(12) kedinamisan para penutur dalam membaca dan menulis sastra.
20
Dalam konteks Indonesia, kepunahan bahasa menurut (Tondo, 2009)
disebabkan oleh faktor alamiah dan faktor non-alamiah. Faktor alamiah yang
tidak dapat dihindari kejadiannya dapat berupa bencana alam, pengaruh bahasa
mayoritas, komunitas bahasa yang bilingual atau multilingual, pengaruh
globalisai, migrasi, dan perkawinan antaretnik. Sementara faktor non-alamiah
dapat berupa kurangnya penghargaan terhadap bahasa daerah, intensitas
pemakaian bahasa daerah yang rendah, pengaruh ekonomi, dan pengaruh
pemakaian bahasa Indonesia.
Tidak jauh berbeda dengan penyebab kepunahan yang disebutkan
sebelumnya, (Tondo, 2009) menyebutkan faktor penyebab kepunahan bahasa
dalam konteks bahasa di Indonesia, yaitu sebagai berikut.
1) Pengaruh bahasa mayoritas di wilayah tutur bahasa daerah. Hal ini
dapat dilihat dalam kasus bahasa Yaben yang digunakan di Kampung
Konda dan Wamargege, Kabupaten Sorong Selatan. Bahasa ini
mendapat pengaruh yang kuat dari bahasa Melayu Papua. Dalam
banyak ranah, masyarakat etnik Yaben cenderung memilih
menggunakan bahasa Melayu Papua.
2) Kondisi masyarakat penutur yang bilingual atau multilingual di mana
penutur mampu menggunakan dua bahasa atau lebih.
3) Globalisasi yang terjadi di berbagai dimensi kehidupan manusia, seperti
ekonomi, sosial, politik, dan budaya mendorong penutur sebuah bahasa
untuk dapat berkomunikasi dan berinteraksi dengan penutur bahasa lain
21
dengan sebuah bahasa yang diterima secara global. Misalnya dengan
bahasa Inggris.
4) Migrasi penduduk dari daerah asalnya baik karena pekerjaan maupun
pendidikan turut menentukan kelangsungan hidup bahasanya.
5) Perkawinan antaretnik sebagai salah satu akibat interaksi sosial
antaretnik yang ada di Indonesia turut pula mendorong proses
kepunahan bahasa daerah. Pasangan suami istri beda etnik seringkali
mengalami kesulitan untuk mempertahankan bahasa etniknya dan harus
memilih salah satu bahasa etnik yang akan digunakan dalam
komunikasi sehari-hari. Bahkan, memilih bahasa lain yang dapat
dipahami oleh kedua belah pihak, seperti bahasa Indonesia.
6) Bencana alam dan musibah juga dapat menjadi penyebab kepunahan
sebuah bahasa. Kelaparan, peperangan, penyakit, gempa bumi, tsunami
dan bencana lainnya dapat memusnahkan penutur sebuah bahasa.
7) Kurangnya penghargaan terhadap bahasa etnik sendiri, terutama pada
generasi muda. Bahasa daerah seringkali dianggap kurang memiliki
prestise, sementara bahasa lain dipandang lebih bergengsi, misalnya
bahasa Indonesia, bahasa Inggris, atau bahasa lain yang dominan.
8) Pengaruh bahasa Indonesia terhadap bahasa daerah. Persaingan dengan
bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi kenegaraan yang memiliki
pengaruh sangat kuat telah menyebabkan bahasa-bahasa daerah
mengalami pergeseran. Bahkan, bagi banyak orang Indonesia bahasa
22
Indonesia telah menjadi bahasa primer sehingga tidak sedikit yang
menggunakannya sebagai bahasa pertama.
9) Faktor ekonomi. Banyak penutur bahasa daerah yang lebih sering
menggunakan bahasa lain, misalnya bahasa Inggris, dengan maksud
memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang lebih baik.
10) Kurangnya intensitas komunikasi berbahasa daerah dalam berbagai
ranah, khususnya dalam ranah rumah tangga.
Pengabaian penggunaan bahasa daerah oleh penutur usia muda juga
merupakan gejala sebuah bahasa akan mengalami kepunahan. Dewasa ini,
generasi muda tidak cakap lagi menggunakan bahasa daerah mereka masing-
masing. Kebanyakan hanya menguasai secara pasif. Generasi muda tersebut
mengerti dengan bahasa daerah mereka, tetapi tidak dapat berbicara dengan
bahasa tersebut. Jika keadaan seperti ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin
beberapa tahun mendatang akan semakin banyak bahasa daerah yang pada
akhirnya punah terkikis zaman.
2.4 Faktor Penentu Vitalitas Bahasa
Menentukan vitalitas sebuah bahasa bukanlah pekerjaan yang mudah
karena harus mempertimbangkan berbagai faktor yang berbeda dan jalin menjalin.
Komunitas tutur yang kompleks dan pola penggunaan bahasa dalam komunitas itu
yang beragam merupakan hal yang sulit untuk diselidiki. Bahkan, jumlah
23
penutur tidak selalu menjadi indikator vitalitas yang jelas karena bahasa yang
dituturkan oleh ribuan penutur dapat saja berstatus terancam, sedangkan bahasa
yang dituturkan ratusan penutur dalam kondisi stabil (Brenzinger, 2007:x). Ada
sejumlah faktor yang terlibat dalam penentuan tingkat vitalitas bahasa. Faktor
tersebut dapat dikelompokkan dalam tiga kategori umum, yaitu (1) basis
penutur, (2) ranah penggunaan, dan (3) dukungan atau tekanan internal maupun
eksternal terhadap penggunaan bahasa (Grenoble, 2011:38–40). Basis penutur
merupakan faktor paling penting dalam pengukuran vitalitas. Basis ini tidak
hanya mencakup jumlah penutur, tetapi yang lebih penting mencakup distribusi
generasi penutur dan proporsi penutur bahasa target dalam total populasi.
Indikator pergeseran bahasa yang jelas adalah ketika anak berhenti belajar
bahasa itu. Agar suatu bahasa dapat bertahan hidup, ia harus memiliki penutur
masa depan. Jumlah penutur relevan dalam penentuan vitalitas karena basis
penutur yang lebih kecil mungkin lebih rentan terhadap pergeseran tiba-tiba,
tetapi pada kenyataannya beberapa bahasa dengan jumlah penutur yang relatif
kecil dapat cukup stabil, terutama jika kelompok tetap dalam isolasi relatif,
tanpa kontak berkelanjutan dengan bahasa lain yang melibatkan hubungan
dominasi asimetris. Jumlah total penutur juga relevan dalam hal pentingnya
persentase populasi yang menuturkan bahasa itu. Dengan basis penutur yang
besar, jika beberapa penutur beralih ke bahasa lain, itu bukan tanda bahwa
bahasanya dalam bahaya. Selain basis penutur, hal yang harus dipertimbangkan
dalam pengukuran vitalitas adalah sikap masyarakat terhadap bahasanya. Pada
umumnya, sikap positif akan meningkatkan vitalitas bahasa, sedangkan sikap
24
yang negatif mendorong terjadinya pergeseran bahasa. Selanjutnya, hal yang
berkaitan dengan dokumentasi. Pendokumentasian sebuah bahasa tidak secara
langsung mempengaruhi vitalitasnya. Akan tetapi, banyaknya dokumentasi
dapat mengindikasikan bahwa bahasa itu digunakan dengan kuat di banyak
ranah. Pendokumentasian dapat merangsang diskusi di masyarakat tentang
pergeseran bahasa dan dapat memotivasi anggota masyarakat untuk berpikir
tentang vitalitas bahasa.
Pada tahun 2003, UNESCO menetapkan sembilan kriteria yang
digunakan untuk penentuan tingkat ancaman kepunahan bahasa. Sembilan
faktor itu merupakan kunci dalam mengukur vitalitas bahasa, yaitu (1)
transmisi bahasa antargenerasi, (2) jumlah absolut penutur, (3) proporsi penutur
dalam total populasi, (4) ranah penggunaan bahasa, (5) respon terhadap ranah
dan media baru, (6) bahan pendidikan bahasa dan literasi, (7) sikap dan
kebijakan pemerintah, termasuk status resmi dan penggunaan bahasa, (8) sikap
anggota masyarakat terhadap bahasanya, dan (9) jumlah dan kualitas
dokumentasi. Dengan menerapkan faktor-faktor ini, sistem pemeringkatan 5
sampai 0 digunakan untuk menggambarkan daya hidup bahasa. Misalnya,
tingkat 5 dengan faktor 1 menunjukkan bahwa semua anggota suatu komunitas
merupakan penutur dari bahasa. Tingkat 0 menyatakan bahwa semua penutur
sebuah bahasa telah meninggal. Faktor 1 sampai 8 digunakan untuk mengukur
vitalitas bahasa dan tingkat keterancaman dengan menangkap dinamika dari
proses pergeseran bahasa tertentu. Faktor yang paling penting di antara faktor
itu adalah transmisi bahasa antargenerasi yang memastikan sejauh mana
25
pemerolehan bahasa anak-anak dalam komunitas itu. Bahasa tanpa penutur
muda jelas terancam oleh kepunahan. Selanjutnya, faktor 9 bertujuan
membantu penentuan urgensi dokumentasi dengan fokus pada kuantitas dan
kualitas dari data bahasa yang sudah ada dan sudah dianalisis. Faktor terakhir
ini merupakan upaya untuk memberikan indikator pemeringkatan bahasa
berkenaan dengan kebutuhan mendesak untuk dokumentasi.
2.5 Tingkat Vitalitas Bahasa
Tingkat vitalitas bahasa berbeda antara satu pakar dengan pakar
lainnya. Sejumlah skala yang berbeda digunakan untuk mengungkapkan
tingkat vitalitas sebuah bahasa. Pada umumnya, skala itu berpusat pada vitalitas
penutur seperti persentase atau proporsi penutur antargenerasi dan ranah
penggunaan bahasa. (Grenoble dan Whaley, 2006) mengajukan enam skala
yang menggambarkan tahapan keterancaman sebagai berikut.
1) Safe: semua generasi menggunakan bahasa itu di semua ranah; bahasa itu
memiliki basis penutur yang besar dibandingkan bahasa lain yang
dituturkan di daerah yang sama. Bahasa yang aman biasanya memiliki
status resmi dan berfungsi sebagai bahasa pemerintahan, pendidikan, dan
perdagangan. Selain itu, bahasa yang aman memiliki prestise tinggi.
2) At risk: tidak ada pola penyusutan basis penutur yang tampak, tetapi bahasa
itu tidak memiliki karakteristik bahasa yang aman; digunakan di ranah
terbatas atau memiliki penutur yang lebih kecil daripada bahasa lain di
daerah yang sama. Sikap bahasa menjadi kunci pada tahap ini. Sikap positif
26
terhadap bahasa dapat menguatkan vitalitas, sedangkan sikap negatif dapat
menyebabkan pergeseran.
3) Disappearing: sebuah bahasa dikatakan hilang ketika ada pergeseran yang
tampak ke bahasa lain dalam komunitas tutur bahasa itu. Karena itu, bahasa
tersebut digunakan di ranah yang lebih terbatas dan bahasa komunikasi
yang lebih luas menggantikannya di rumah dengan persentase yang besar.
4) Moribund: sebuah bahasa dikatakan sekarat jika tidak lagi ditransmisikan
ke anak-anak dan basis penutur secara konsisten menyusut.
5) Nearly extict: sebuah bahasa dikategorikan hampir punah jika hanya
beberapa penutur generasi tertua yang tersisa.
6) Extict: bahasa disebut punah jika tidak ada lagi mempunyai penutur.
(Crystal, 2002) menyebutkan lima skala ancaman kepunahan bahasa
berikut.
1) Potentially endangered, yakni bahasa yang memiliki potensi besar
menjadi bahasa yang punah, misalnya bahasa yang tertinggal secara
sosial dan ekonomi.
2) Endangered, yakni bahasa yang terancam punah disebabkan hanya
memiliki penutur muda yang sangat sedikit yang tetap menggunakan
bahasa ibunya. Penutur fasih bahasa ini hanya penutur dewasa.
3) Severely endangered, yakni bahasa yang benar-benar terancam karena
penutur aktif adalah kelompok usia di atas 50 tahun.
4) Nearly extict, yakni bahasa yang dalam kondisi sekarat karena
penuturnya adalah orang-orang yang sangat tua.
27
5) Extict, yakni bahasa yang sudah mati karena tidak lagi memiliki penutur.
(Krauss, 1997) menggunakan sepuluh skala untuk membedakan
berbagai level berdasarkan usia, distribusi penutur, dan tingkat penggunaan.
Skala Krauss sangat informatif karena menguraikan jumlah penutur
berdasarkan generasi dan usia dalam generasi yang lebih tua. Skala Krauss
dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 2.1 Tingkat Vitalitas Bahasa menurut Krauss (1997)
a the language is spoken by all generations including all,
or nearly all, children a- the language is learned by all or
most children
b the language is spoken by all adults, parental age and up, but
learned by few or no children
b- the language is spoken by adults aged 30 and older, but not by
younger parents
c the language is spoken only by adults
aged 40 and older c- all speakers aged 50 and older
-d all speakers aged 60 and older
d all speakers aged 70 and older
28
d- all speakers aged 70 and older, with fewer than 10 speakers
e. extict, no speakers Sumber: Grenoble (2011)
Selain teori sosiolinguistik, digunakan juga teori vitalitas menurut Fishman
dalam (Ibrahim, 2009), vitalitas bahasa atau keterpakaian bahasa adalah
pemakaian sistem linguistik oleh suatu masyarakat penutur asli yang tidak
terisolasi. Jadi, vitalitas mempersoalkan apakah sistem linguistik tersebut masih
memiliki penutur asli yang menggunakan atau tidak. Teori kriteria vitalitas bahasa
yang diterapkan mencakup pada (1) sangat kritis, (2) sangat terancam, (3)
terancam, (4) mengalami kemunduran, (5) stabil, mantap, tetapi berpotensi
mengalami kemunduran dan (6) aman (Grimes, 2002). Sangat kritis (critically
endangered) berarti hanya sisa sedikit sekali penutur karena semua berumur 70
tahun ke atas dan termasuk berusia kakek-nenek buyut. Sangat terancam
(serserely endangered) berarti semua penutur berumur 40 tahun ke atas dan
termasuk berusia kakek-nenek. Terancam (endangered) berarti semua penuturnya
berusia 20 tahun ke atas dan termasuk berusia orang tua
tua. Mengalami kemunduran (eroding) berarti sebagian penutur terdiri atas anak-anak
dan kaum tua. Kondisi stabil dan mantap, tetapi terancam punah (stable but
threatened) berarti semua anak-anak dan kaum tua menggunakannya, tetapi
jumlah penutur sedikit. Aman (safe) berarti tidak terancam punah karena bahasa
ini diharapkan dipelajari oleh semua anak dan semua orang dalam kelompok etnis
tersebut.
29
2.6 Masyarakat Tutur
Bahasa adalah milik individu dan kelompok (Wardhaugh, 2006:). Hal ini
merupakan pijakan awal pikiran mengenai munculnya istilah masyarakat tutur.
Istilah ini mengarahkan kita lebih jauh bahwa seseorang, secara linguistik akan
bertindak seperti orang lain, berbahasa yang sama atau dialek yang sama serta
ragam yang yang sama, menggunakan kode yang sama, sehingga dianggap
sebagai satu kelompok atau masyarakat tutur yang sama, Padahal menurut
Wardhaugh, konsep masyarakat tutur tidak sesederhana itu. Kita harus terlebih
dahulu mampu membedakan antara bahasa, dialek, dan ragam bahasa ketika ingin
menjelaskan mengenai masyarakat tutur.
Fishman menyebut masyarakat tutur sebagai suatu masyarakat yang
anggota-anggotanya setidak-tidaknya mengenal satu variasi bahasa beserta
norma-norma yang sesuai penggunaannya (Fishman1972). Senada dengan
Fishman, Chaer berpendapat bahwa masyarakat tutur bukanlah masyarakat yang
berbicara dengan bahasa yang sama, melainkan suatu masyarakat yang
mempunyai norma-norma yang sama dalam menggunakan bentuk-bentuk bahasa
(Chaer dan Agustina, 2004). Djokokentjono bahkan menambahkan adanya unsur
perasaan di antara penuturnya, bahwa mereka merasa menggunakan tutur yang
sama berdasarkan konsep inilah maka dua buah dialek yang secara linguistik
merupakan satu bahasa dianggap menjadi dua bahasa dari dua masyarakat tutur
yang berbeda.
Pendapat Gumperz lebih detail lagi. Menurutnya, masyarakat tutur timbul
karena rapatnya komunikasi atau karena integrasi simbolis dengan tetap mengakui
30
kemampuan komunikatif penuturnya tanpa mengingat jumlah bahasa atau variasi
bahasa yang digunakan (Gumperz, 1982). Kompleksnya suatu masyarakat tutur
ditentukan oleh banyak atau luasnya variasi bahasa yang didasari oleh
pengalaman dan sikap para penutur tempat variasi itu berada.
Verbal repertoir suatu masyarakat merupakan cerminan repertoir seluruh
penuturnya (Fishman 1972:28). Cerminan itu menyangkut luas jangkauan,
kedalaman, pemahaman, dan keluwesan repertoir itu, sehingga berdasarkan sempit
dan luas repertoirnya, masyarakat tutur dibedakan atas dua macam, yaitu 1)
masyarakat tutur yang repertoir pemakainya lebih luas dan menunjukkan verbal
repertoir setiap penutur lebih luas pula, dan 2) masyarakat tutur yang repertoir
pemakainya sempit, yaitu masyarakat tutur yang sebagian anggotanya mempunyai
pengalaman dan aspirasi hidup yang sama, namun menunjukkan pemilikan
wilayah linguistik yang sempit, termasuk perbedaan variasinya.
31
BAB III
METODOLOGI
Penelitian Vitalitas Bahasa Suwawa ini akan menghasilkan data yang
melengkapi penelitian mengenai daya hidup bahasa Suwawa sebelumnya
(Firdaus, 2017) dengan lingkup DP berbeda untuk dapat menjangkau wilayah
penutur lebih luas. Kegiatan penelitian dilakuakn oleh tenaga peneliti dari
Kantor Bahasa Gorontalo dan dibantu oleh 125 pembantu lapangan yang
terdiri atas pemuka masyarakat baik tokoh adat, maupun anggota
masyarakat, pihak pemerintah daerah, kalangan pendidik dan mahasiswa.
DP yang dijadikan sasaran ada 3 desa, yaitu Desa Bondaraya, Desa Bonedaa, dan
Desa Bondawuna di Kecamatan Suwawa Selatan.
Kegiatan penelitian ini diawali dengan pengumpulan data tahap awal berupa
pengamatan ke daerah sasaran selama 3 hari. Secara lengkap, langkah kerja
penelitian dituangkan ke dalam tabel berikut.
No. Uraian
Kegiatan
Bulan I (Maret) Bulan II (April) Bulan III (Mei) Bulan IV Juni
M
1
M
2
M
3
M
4
M
5
M
1
M
2
M
3
M
4
M
5
M
1
M
2
M
3
M
4
M
5
M
1
M
2
M
3
M
4
M
5
1. Persiapan
(Proposal dan
Instrumen
Penelitian)
x x x x x
2. Pengambilan x x x x x
32
3.1 Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam kajian ini menggunakan teknik angket
(kuesioner),. Adapun data dalam penelitian ini ini terdiri atas data primer dan data
sekunder. Data primer dijaring dengan menggunakan instrumen berupa kuesioner.
Materi kuesioner mengandung data pribadi responden dan data situasi kebahasaan.
Bentuk kuesioner yang digunakan adalah kuesioner dengan menggunakan tertutup.
Kuesioner didistribusikan ke 125 orang penutur bahasa Suwawa yang berdomisili
di Desa Bondaraya, Desa Bonedaa, dan Desa Bondawuna di Kecamatan Suwawa
Selatan. Penutur dipilih dengan mempertimbangkan usia mereka berkisar dari usia
15-25, 25—50, dan >50 tahun.
3. 2 Pengolahan Data
Langkah-langkah pengolahan data dalam kajian ini meliputi penyuntingan,
pengodean, pemrosesan, dan pengecekan data. Penyuntingan data merupakan
proses menata dan menyusun semua lembar jawaban yang terkumpul
berdasarkan nomor skala yang telah ditentukan. Pengodean dilakukan dengan
mengklasifikasikan jawaban responden menurut jenisnya dengan cara menandai
setiap jawaban dengan kode tertentu. Pemrosesan data dimulai dengan
memasukkan data kasar dalam bentuk tabulasi pada program excel kemudian
Data
3. Pengolahan
Data
x x x x x x x
4. Penyusunan
Laporan
x x x
33
diolah dalam program SPSS 22.Terakhir, pengecekan data dilakukan
untuk mengevaluasi apakah masih ada kesalahan atau tidak.
3.3 Analisis Data
Data kuantitatif yang diperoleh melalui teknik kuesioner dianalisis
secara deskriptif kuantitatif berdasarkan penghitungan frekuensi dan
presentase. Penghitungan ini menggunakan aplikasi program excel dan SPSS
untuk sarana analisisnya.
34
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Sebelum membahas bagaimana daya hidup bahasa , disajikan karakteristik responden
yang terjaring pada penelitian kali ini. Karakteristik itu meliputi karakteristik responden
berdasarkan jenis kelamin, usia, pekerjaan, pendidikan, dan bahasa yang dikuasai.
Tabel 1 Karakteristik Responden berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis Kelamin
Frequency Percent
Valid
Percent
Cumulative
Percent
Valid Laki-laki 40 32.0 32.0 32.0
Perempuan 85 68.0 68.0 100.0
Total 125 100.0 100.0
Dari tabel tersebut tampak bahwa responden yang terjaring di penelitian ini adalah
laki-laki berjumlah 40 orang (32%), dan perempuan 85 orang (68%)
Tabel 2 Karakteristik Responden berdasarkan Jenis Usia
Frequency Percent
Valid
Percent
Cumulative
Percent
Valid 15-25 35 28.0 28.0 28.0
25-50 70 56.0 56.0 84.0
>50 20 16.0 16.0 100.0
Total 125 100.0 100.0
Dari tabel tersebut tampak bahwa responden yang terjaring di penelitian ini adalah
penutur berusia 15—25 berjumlah 35 atau 28%, penutur berusia 25-50 berjumlah 70 orang
(56%), dan berusia 50 tahun ke atas 20 orang (20%).
Tabel 3 Karakteristik Responden berdasarkan Jenis Pendidikan
Frequenc
y Percent
Valid
Percent
Cumulative
Percent
35
Valid SD 28 22.4 22.4 22.4
SMP 12 9.6 9.6 32.0
SMA 81 64.8 64.8 96.8
S1 4 3.2 3.2 100.0
Total 125 100.0 100.0
Dari tabel tersebut tampak bahwa responden yang terjaring di penelitian ini adalah
berpendidikan terakhir SD berjumlah 28 atau 22,4%, penutur berpendidikan terakhir SMP
berjumlah 12 orang (9,6%), penutur berpendidikan terakhir SMA berjumlah 81 orang atau
(64,8%), dan penutur berpendidikan terakhir S1 hanya 4 orang atau 3, 2%.
Tabel 4 Karakteristik Responden berdasarkan Pekerjaan
Frequency Percent
Valid
Percent
Cumulative
Percent
Valid Ibu Rumah
Tangga 51 40.8 40.8 40.8
Petani 18 14.4 14.4 55.2
Pelajar 21 16.8 16.8 72.0
ASN 2 1.6 1.6 73.6
Aparat Desa 21 16.8 16.8 90.4
Swasta 12 9.6 9.6 100.0
Total 125 100.0 100.0
Dari tabel tersebut tampak bahwa responden yang terjaring di penelitian ini adalah ibu
rumah tangga berjumlah 51 atau 40.8 %, petani berjumlah 18 orang (14,4%), pelajar 21 orang
atau (16,8%), ASN 2 orang (1,6 %), aparat desa 21 orang (16.8%) dan swasta 12 orang atau
9,6%.
Tabel 5 Karakteristik Responden berdasarkan Bahasa yang Dikuasai
BahasaDikuasai
Frequency Percent
Valid
Percent
Cumulative
Percent
Valid Bahasa 114 91.2 91.2 91.2
Bahasa
Gorontalo 11 8.8 8.8 100.0
Total 125 100.0 100.0
36
Dari tabel tersebut tampak bahwa responden yang terjaring di penelitian ini adalah
yang menguasai bahasa 114 orang (91,2%)dan yang menguasai bahasa Gorontalo 11 orang
(8.8%).
Tabel 1 Kriteria Vitalitas Bahasa
Angka dan Garis
Indeks
Kriteria
Vitalitas Diagram Jaring Laba-
No.
Bahasa
(Grimes, Laba**
2001)* Angka Garis
Indeks Indeks
1.
Sangat kritis
dan 0,0—0,20 1--2
terancam
2. Terancam 0,21—0,40 2—3
3. Mengalami 0,41—0,60 3—4
kemunduran
4. Stabil dan 0,61—0,80 4—5
mantap, tetapi
terancam punah
5. Aman 0,81—1 5—6
Sumber: Grimes (2002) dalam Mahsun (2011)
37
A. Kriteria Vitalitas Bahasa Berdasarkan Jenis Kelamin
Hubungan jenis kelamin yang terdiri atas dua subbagian (laki-laki dan perempuan)
dikaitkan dengan semua subindeks dapat dijadikan sebagai penentu kriteria vitalitas bahasa .
Hal itu mengacu pada besaran nilai rerata setiap subindeks berdasarkan variabel jenis
kelamin yang kemudian divisualisasi dalam bentuk diagram jaring laba-laba.
Tabel 6 Rekapitulasi Jenis Kelamin Dikaitkan dengan Subindeks
Jenis
Indeks Laki-laki Perempuan
indeks 1 4,15 3,824
indeks 2 2,425 2,394
indeks 3 3,095 2,847
indeks 4 3,665 3,687
indeks 5 3,713 3,593
indeks 6 3,16 3,142
indeks 7 3,515 3,259
indeks 8 3,18 2,938
indeks 9 3,09 2,738
indeks 10 3,355 3,233
Rata-rata 3,3348 3,1655
Dari data-data tersebut, dapat kita simpulkan seperti pada Tabel 6, nilai rata-rata laki-
laki 3.3348 + nilai rata-rata perempuan 3,1655 / 2 = 3,25015. Angka ini berada pada
garis 3, berarti termasuk pada kategori 4, 3—4, mengalami kemunduran. Secara lebih
detail hal tersebut dapat kita lihat pada visualisasi intepretasi dengan menggunakan diagram
jaring laba-laba berikut.
38
B. Kriteria Vitalitas Bahasa Berdasarkan Kelompok Usia
Hubungan variabel kelompok usia yang terdiri atas tiga subbagian (15< 25 tahun, 25—
50 tahun, dan >50 tahun) dengan semua subindeks termasuk juga sebagai salah satu aspek
yang dijadikan penentu kriteria vitalitas bahasa . Acuannya adalah besaran nilai rerata setiap
subindeks berdasarkan variabel kelompok usia pada Tabel 7 di bawah ini yang kemudian
divisualisasi dalam bentuk diagram jaring laba-laba.
Tabel 7 Rekapitulasi Kelompok Usia Dikaitkan dengan Subindeks
Jenis
Usia15 <25 Usia 25–50 Usia >50
Indeks
indeks
1 3,600 4,000 4,250
indeks
2 2,043 2,561 2,485
indeks
3 2,717 3,039 2,900
indeks
4 3,503 3,774 3,660
indeks
5 3,477 3,740 3,520
indeks
6 3,103 3,167 3,160
indeks
7 3,303 3,374 3,290
indeks
8 2,971 3,021 3,070
indeks
9 2,460 2,971 3,110
0,000 1,000 2,000 3,000 4,000 5,000
Jumlah Penutur
Total Ranah Penggunaan
Total Kontak Bahasa
Total Sikap dan …
Total Sikap Bahasa
Total Bilingualis…
Total Posisi Dominan …
Total Pembelajar…
Total Dokument…
Total Tantangah …
Laki-laki
Perempuan
Total
39
indeks
10 3,023 3,420 3,190
Rata-
rata 3,020 3,307 3,264
Dari data-data tersebut, dapat kita simpulkan seperti pada Tabel 7, nilai rata-rata
penutur berusia 15-25 3.020 + nilai rata-rata penutur berusia 25—50 3,307+penutur
berusia >50 3,264/3 =3.197. Angka ini berada pada garis 3, berarti termasuk pada
kategori 4, 3—4, mengalami kemunduran. Secara lebih detail hal tersebut dapat kita lihat
pada visualisasi intepretasi dengan menggunakan diagram jaring laba-laba berikut.
C. Kriteria Vitalitas Bahasa Berdasarkan Kelompok Pendidikan
Hubungan variabel kelompok pendidikan yang terdiri atas empat subbagian (SD, SMP,
SMA, dan S1) dengan semua subindeks termasuk juga sebagai salah satu aspek yang
dijadikan penentu kriteria vitalitas bahasa . Acuannya adalah besaran nilai rerata setiap
subindeks berdasarkan variabel kelompok pendidikan pada Tabel 8 di bawah ini yang
kemudian divisualisasi dalam bentuk diagram jaring laba-laba.
Tabel 8 Rekapitulasi Kelompok Pendidikan Dikaitkan dengan Subindeks
Jenis
Indeks SD SMP SMA SARJANA
0,000
1,000
2,000
3,000
4,000
5,000 Jumlah Penutur
Total Ranah Penggunaan
Total Kontak Bahasa
Total Sikap dan Kebijakan
Total Sikap Bahasa
Total Bilingualisme
Total Posisi Dominan …
Total Pembelajaran
Total Dokumentasi
Total Tantangah Baru
15-25
25-50
>50
Total
40
indeks 1 4,321 3,833 3,802 4,000
indeks 2 2,571 2,067 2,424 1,825
indeks 3 3,157 2,833 2,859 2,950
indeks 4 3,850 3,767 3,610 3,650
indeks 5 3,693 3,683 3,591 3,850
indeks 6 3,357 3,300 3,070 2,800
indeks 7 3,350 3,467 3,316 3,400
indeks 8 3,150 3,100 2,974 2,650
indeks 9 3,200 3,067 2,717 2,450
indeks 10 3,243 3,467 3,242 3,500
Rata-Rata 3,389 3,258 3,161 3,108
Dari data-data tersebut, dapat kita simpulkan seperti pada Tabel 8, nilai rata-rata penutur
berpendidikan terakhir SD 3,389+ nilai rata-rata penutur berpendidikan terakhir SMP 3,258
+ nilai rata-rata penutur berpendidikan terakhir SMA 3,161 + nilai rata-rata penutur
berpendidikan terakhir S-13,108/4 =3,229 Angka ini berada pada garis 3, berarti
termasuk pada kategori 4, 3—4, mengalami kemunduran. Secara lebih detail hal tersebut
dapat kita lihat pada visualisasi intepretasi dengan menggunakan diagram jaring laba-laba
berikut.
D. Kriteria Vitalitas Bahasa Berdasarkan Kelompok Pekerjaan
0
1
2
3
4
Jumlah Penutur
Total Ranah Penggunaan
Total Kontak Bahasa
Total Sikap dan Kebijakan
Total Sikap Bahasa
Total Bilingualisme
Total Posisi Dominan …
Total Pembelajaran
Total Dokumentasi
Total Tantangah …
SD
SMP
SMA
S1
Total
41
Hubungan variabel kelompok pekerjaan yang terdiri atas 6 subbagian (ibu rumah tangga,
petani, ASN, aparat desa, pelajar, dan swasta) dengan semua subindeks termasuk juga
sebagai salah satu aspek yang dijadikan penentu kriteria vitalitas bahasa . Acuannya adalah
besaran nilai rerata setiap subindeks berdasarkan variabel kelompok pekerjaan pada Tabel 9
di bawah ini yang kemudian divisualisasi dalam bentuk diagram jaring laba-laba.
Tabel 9 Rekapitulasi Kelompok Pekerjaan Dikaitkan dengan Subindeks
Jenis
Indeks
Ibu Rumah
Tangga Petani Pelajar ASN
Aparat
desa Swasta
indeks 1 4,059 4,167 3,429 4,500 4,048 3,583
indeks 2 2,579 2,567 2,090 2,650 2,348 2,017
indeks 3 3,010 3,167 2,762 2,300 2,943 2,575
indeks 4 3,816 3,622 3,486 3,800 3,752 3,383
indeks 5 3,733 3,556 3,329 3,300 3,857 3,500
indeks 6 3,245 3,244 3,205 3,000 3,029 2,725
indeks 7 3,380 3,667 3,319 2,800 3,257 2,958
indeks 8 2,973 3,433 3,081 2,700 2,852 2,792
indeks 9 3,014 3,356 2,433 3,500 2,710 2,267
indeks
10 3,227 3,444 3,114 4,100 3,448 3,033
Rata-
Rata 3,304 4,167 3,429 4,500 4,048 3,583
Dari data-data tersebut, dapat kita simpulkan seperti pada Tabel 9, nilai rata-rata
penutur yang bekerja sebagai ibu rumah tangga 3,304+ nilai rata-rata penutur bekerja
sebagai petani4,167 + nilai rata-rata penutur yang statusnya pelajar 3,429+ ASN 4,500 +
nilai rata-rata penutur yang bekerja sebagai aparat desa 4,048+ penutur yang bekerja di
sektor swasta 3,538/6 =3, 832. Angka juga ini berada pada garis 3, berarti termasuk
42
pada kategori 4, atau 3—4, mengalami kemunduran. Secara lebih detail hal tersebut dapat
kita lihat pada visualisasi intepretasi dengan menggunakan diagram jaring laba-laba berikut.
E. Kriteria Vitalitas Bahasa Berdasarkan Bahasa dikuasai
Hubungan variabel kelompok pekerjaan yang terdiri atas 2 subbagian (bahasa dan
bahasa Gorontalo) dengan semua subindeks termasuk juga sebagai salah satu aspek yang
dijadikan penentu kriteria vitalitas bahasa . Acuannya adalah besaran nilai rerata setiap
subindeks berdasarkan variabel kelompok usia pada Tabel 10 di bawah ini yang kemudian
divisualisasi dalam bentuk diagram jaring laba-laba.
Tabel 10 Rekapitulasi Kelompok Bahasa yang dikuasai Dikaitkan dengan Subindeks
0
1
2
3
4
Jumlah Penutur
Total Ranah Penggunaan
Total Kontak Bahasa
Total Sikap dan …
Total Sikap Bahasa
Total Bilingualisme
Total Posisi Dominan …
Total Pembelajaran
Total Dokumentasi
Total Tantangah …
Ibu Rumah Tangga
Petani
Pelajar
ASN
Aparat Desa
Swasta
Total
43
Jenis Indeks
Bahasa Suwawa
Bahasa Gorontalo
indeks 1 3,921 4,000
indeks 2 2,414 2,291
indeks 3 2,930 2,891
indeks 4 3,670 3,782
indeks 5 3,640 3,536
indeks 6 3,140 3,227
indeks 7 3,321 3,545
indeks 8 3,004 3,127
indeks 9 2,840 2,955
indeks 10 3,254 3,455
Rata-Rata 3,214 3,281
Dari data-data tersebut dapat kita simpulkan seperti pada Tabel 10, nilai rata-rata
penutur yang menguasai bahasa 3,214 + nilai rata-rata penutur yang menguasai bahasa
Gorontalo3,281 /2= 3,171. Angka ini juga berada pada garis 3, berarti termasuk pada
kategori 4, 3—4, mengalami kemunduran. Secara lebih detail hal tersebut dapat kita lihat
pada visualisasi intepretasi dengan menggunakan diagram jaring laba-laba berikut.
44
0
1
2
3
4
Jumlah Penutur
Total Ranah Penggunaan
Total Kontak Bahasa
Total Sikap dan Kebijakan
Total Sikap Bahasa
Total Bilingualisme
Total Posisi Dominan …
Total Pembelajaran
Total Dokumentasi
Total Tantangah …
Bahasa Suwawa
Bahasa Gorontalo
Total
45
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Kondisi kebahasaan masyarakat Suwawa di Desa Bondaraya, Bondawuna, dan
Bonedaa, Kecamatan Suwawa Selatan, Kabupaten Bone Bolango, pada umumnya tidak
jauh berbeda dilihat dari sepuluh indikator vitalitas bahasa. Dari sepuluh indikator, semua
indikator berada di angka garis yang sama (3—4) mengalami kemunduran. Indeks
keterancaman bahasa Suwawa di tiga desa tersebut tidak menunjukkan perbedaan yang
signifikan. Bahasa Suwawa di tiga desa itu dapat dikategorikan ke dalam kelompok bahasa
daerah yang terancam punah..
Dari uraian pada bab-bab sebelumnya, beberapa simpulan dapat dibuat
mengenai kondisi kebahasaan bahasa Suwawa di Suwawa Buom, Otvai, dan
Aimoli di sepuluh indikator vitalitas bahasa sebagai berikut.
1) Masyarakat penutur bahasa Suwawa merupakan mayoritas penduduk di Desa
Bondaraya, Bondawuna, dan Bonedaa.
2) Mobilitas penutur Suwawa ke daerah lain tidak terlalu tinggi. Kontak bahasa
antarpenutur beda bahasa terjadi sebagai akibat adanya penutur bahasa lain .
3) Masyarakat penutur bahasa Suwawa cenderung dwibahasawan. Selain bahasa
Suwawa, mereka dapat berkomunikasi dengan bahasa Indonesia dengan baik.
Bahkan, sebagian kecil penutur menguasai bahasa daerah lain.
46
4) Masyarakat Suwawa hampir tidak mempunyai posisi dominan dalam bidang
pertaian, perdagangan, pemerintahan, dan kesenian. Mayoritas masyarakat
Suwawa bermata pencaharian petani dan pekebun.
5) Penggunaan bahasa Suwawa terbatas pada ranah domestik, seperti rumah dan
lingkungan sekitar (ketetanggaan). Akan tetapi, bahasa Indonesia telah mulai
memasuki ranah rumah. Di ranah publik seperti instansi pemerintahan,
pendidikan, dan pusat kesehatan, bahasa Suwawa cenderung tidak digunakan.
Demikia pula dalam ranah agama dan jual beli; bahasa Suwawa cenderung
sedikit digunakan.
6) Masyarakat Suwawa cenderung memiliki sikap positif terhadap bahasanya.
Mereka merasa bangga dan menganggap bahasa Suwawa lebih penting
daripada bahasa daerah lain. Demikian juga dengan pemerintah dan lembaga
adat; mereka menghargai penggunaan bahasa Suwawa.
7) Pemerintah tidak menetapkan peraturan tentang pelestarian bahasa Suwawa
serta sanksi pelanggaran penggunaan bahasa Suwawa.
8) Orangtua cenderung mengajarkan bahasa Suwawa kepada anak-anaknya,
tetapi penguasaan bahasa anak-anak tidak terlalu baik. Bahasa Suwawa tidak
diajarkan di sekolah. Bahasa ini juga tidak mempunyai bahan ajar dan
ortografi.
9) Jumlah dokumentasi bahasa Suwawa cukup memadai. Telah ditemukan tata
bahasa yang komprehensif, kamus, rekaman video, dan rekaman audio.
10) Bahasa Suwawa jarang digunakan di ranah dan media baru seperti internet,
media penyiaran (televisi/radio), media cetak, dan sistem hukum.
Kondisi daya hidup bahasa Suwawa yang lemah dalam sebagian besar indikator
vitalitas menempatkan bahasa Suwawa pada situasi terancam punah.
5.2 Saran
Pelindungan dan pelestarian bahasa bukan hanya tanggung jawab pemerintah,
baik pusat maupun daerah. Peraturan dan kebijakan apapun yang ditetapkan oleh
pemerintah mengenai pelestarian bahasa tidak akan dapat
47
mempertahankan vitalitas sebuah bahasa jika masyarakat tuturnya sendiri tidak
memiliki kesetiaan dan kebanggaan terhadap bahasanya. Begitu juga
sebaliknya. Oleh karena itu, sinergi yang kuat antara pemerintah dan
masyarakat penutur sangat diperlukan dalam rangka pelindungan dan
pelestarian bahasa Suwawa. Kegiatan revitalisasi bahasa Suwawa hendaknya
difokuskan pada transmisi bahasa antargenerasi sebagai “gold factor” vitalitas
bahasa. Dengan demikian, peningkatan jumlah penutur muda yang menjadi
tujuan pokok revitalisasi dapat terwujud. Selain itu, kegiatan
pendokumentasian bahasa Suwawa juga perlu dilakukan karena dokumentasi
bahasa ini masih sangat terbatas.
48
DAFTAR PUSTAKA
Ethnologue. (n.d.). Suwawa | Ethnologue. Retrieved May 6, 2019, from https://www.ethnologue.com/language/swu
Firdaus, W. (2018). Tekanan Kepunahan Bahasa Suwawa: Analisis Tingkat Daya Hidup Bahasa.
Harimansyah, G. (2017). Pedoman Konservasi dan Vitalitas Bahasa. Pedoman. https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Harrison, K. D. (2007). When Languages Die The Extinction of the World’s Languages and the Erosion of Human Knowledge. New York: Oxford University Press Inc.
Ibrahim, G. A. (2009). Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya. Linguistik Indonesia, 29(1), 35–52. https://doi.org/10.18860/ling.v5i1.609
Rymer, R. (2012). Suara-Suara yang Sirna - National Geographic. Retrieved January 16, 2020, from National Geographic website: https://nationalgeographic.grid.id/read/13278468/suara-suara-yang-sirna
Usup, H. T. (1986). Rekonstruksi Protobahasa Gorontalo Mongondow.pdf (p. 467). p. 467. Jakarta: Universitas Indonesia.
Anderbeck, Karl. 2012. “Portraits of Indonesian Language Vitality”.
Dalam Pacific Linguistics’ ICAL 2012 Proceeding, Vol. 12: Language Documentation and Cultural Practices in Austronesian World.(http:www.academia.edu/ 3370703/Portraits-of-Indonesian-Language-Vitality, diakses 7 Mei 2018)
Austin, Peter K. dan Julia Sallabank (ed.). 2011. The Cambridge Handbook of Endangered Language. Cambridge: Cambridge University Press.
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. 2017. Bahasa dan Peta Bahasa di Indonesia. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Alor. 2017. Alor Barat Laut dalam
Angka 2017. Kalabahi: Badan Pusat Statistik Kabupaten Alor.
-----------. 2017. Teluk Mutiara dalam Angka 2017. Kalabahi: Badan
Pusat Statistiik. Kabupaten Alor
Bradley, David. 2011. “a Survey of Language endangerment”. Dalam
Peter K. Austin dan Julia Sallabank (ed.) The Cambridge
49
Handbook of Endangered Language. Cambridge: Cambridge University Press.
Brenzinger, Matthias. 2007. “Language Endangerment Throughout the World” dalam Matthias Brenzinger (ed.) Language Diversity Endangered. Berlin: Mouton de Gruyter.
--------- dan Tjeerd de Graaf. tt. Documenting Endangered Languages
and Language
Maintenance. (http://www.mercator-
research.eu/fileadmin/mercator/
research_ project_files/endangered_languages/Article%20EOLSS.doc, diakses 11-12-2015).
Grenoble, Lenore A. 2011. “Assessing Language Endangerment”. Dalam Peter K. Austin dan Julia Sallabank (ed.) The Cambridge
Handbook of Endangered Language. Cambridge: Cambridge University Press.
Grenoble, Lenore A. and Lindsay J. Whaley. 2006. Saving Languages:
an Introduction to Language Revitalization. Cambridge:
Cambridge University Press.
Haan, Johnson Welem. 2001. “The Grammar of Suwawa: a Papuan
Language Spoken on the Island of Alor East Nusa Tenggara”. University of Sydney: Departement of Linguistics.
50
DOKUMENTASI PENELITIAN
1. Desa Bondawuna
51
2. Desa Bondaraya
52
3. Desa Bonedaa
53
PANDUAN WAWANCARA PENYELAMATAN BAHASA YANG HAMPIR PUNAH DI INDONESIA UNTUK PENUTUR BAHASA SUWAWA DAERAH PENGAMATAN (BAHASA SUWAWA) Petunjuk Pengisian 1. Jawaban kuisioner hendaklah ditulis secara jelas dengan menggunakan tinta 2. Ada pertanyaan yang menuntut lebih dari satu jawaban 3. Apabila dalam memberikanjawaban informan ragu-ragu atau berpikir lama,
hendaklah jawabannya itu ditandai untuk dicek kebenarannya setelah selesai seluruh daftar tanyaan. A. Data Pembantu Lapangan dan daerah pengamatan
1. Nama :..............................................................................................
2. Jenis kelamin : [ ] Laki-laki [ ]Perempuan 3. Usia : [ ] < 25 tahun (Generasi I)
[ ] < 25-50 tahun (Generasi II) [ ] > 60 tahun (Generasi III)
4. Tempat lahir : Desa :......................................................................
Distrik :......................................................................
Kabupaten :...................................................................... Provinsi :......................................................................
5. Kelompok suku bangsa dan bahasa Anda : a. Suku Anda : ................................. bahasa ibu-Anda :
............................ b. Suku istri/suami : bahasa ibu istri/suami
Anda : .................................. Anda : .............................
c. Suku ayah Anda : .................................. bahasa ibu- ayah Anda : .............................
d. Suku ibu Anda : .................................. bahasa ibu-Ibu Anda :
............................. e. Suku kakek-Anda :................................... bahasa ibu- kakek
Anda : .............................
f. Suku nenek-Anda : .................................. bahasa ibu- nenek
54
Anda : .............................
6. Pendidikan tertinggi Anda:................................... pada tahun : ............................
7. Pekerjaan terakhir Anda :.................................... di :.............................
KUISIONER PENELITIAN VITALITAS BAHASA SUWAWA
Tim Penelitian Bahasa Terancam Punah
Yth. Para Informan Terima kasih atas kesediaan Anda menjadi responden dalam penelitian ini. Sebelumnya perlu kami informasikan bahwa terdapat tidak kurang dari 646 bahasa daerah termasuk di dalamnya bahasa daerah Anda. Pemerintah mempunyai perhatian yang sangat besar terhadap kelestarian bahasa –bahas aitu. Oleh Karen itu, kantor Bahasa Gorontalo ,elalukakan penelitian vitalitas bahasa sebagai bentuk awal upaya pelindungnan terhadap-bahasa-bahasa itu. Informasi yang Anda berikan ini sangat membantu kami untuk mennetukan langkah yang tepat terhadap bahasa daerah Anda. Untuk itu, kami mohon kesediaan Anda untuk memberikan informasi sejujur-jujurnya. 1. Ketika berdiskusi tentang ilmu pengetahuan modern, bahasa yang digunakan
adalah.... A. selalu bahasa Suwawa B. bahasa Suwawa lebih banyak dari bajasa Indonesia C. bahasa Suwawa sama banyak dengan bahasa Indonesia D. bahasa Suwawa lebih sedikit dari bahasa Indonesia E. tidak pernah menggunakan bahasa Suwawa
2. Bahasa yang digunakan ketika sayan berurusan dengan petugas kesehatan....
A. selalu bahasa Suwawa B. bahasa Suwawa lebih banyak dari bajasa Indonesia C. bahasa Suwawa sama banyak dengan bahasa Indonesia D. bahasa Suwawa lebih sedikit dari bahasa Indonesia E. tidak pernah menggunakan bahasa Suwawa
55
3. Bahasa yang digunakan dalam selebaran yang ditulis pemerintah untuk warga etnis
Suwawa adalah.... A. selalu bahasa Suwawa B. bahasa Suwawa lebih banyak dari bajasa Indonesia C. bahasa Suwawa sama banyak dengan bahasa Indonesia D. bahasa Suwawa lebih sedikit dari bahasa Indonesia E. tidak pernah menggunakan bahasa Suwawa
4. Bahasa yang digunakan ketika berkomunikasi dengan kelompok etnis Suwawa.... A. selalu bahasa Suwawa B. bahasa Suwawa lebih banyak dari bajasa Indonesia C. bahasa Suwawa sama banyak dengan bahasa Indonesia D. bahasa Suwawa lebih sedikit dari bahasa Indonesia E. tidak pernah menggunakan bahasa Suwawa
5. Bahasa yang digunakan untuk berbicara dengan keluarga di rumah.... A. selalu bahasa Suwawa B. bahasa Suwawa lebih banyak dari bajasa Indonesia C. bahasa Suwawa sama banyak dengan bahasa Indonesia D. bahasa Suwawa lebih sedikit dari bahasa Indonesia E. tidak pernah menggunakan bahasa Suwawa
6. Surat-surat dari sekolah untuk saya menggunakan
A. selalu bahasa Suwawa B. bahasa Suwawa lebih banyak dari bajasa Indonesia C. bahasa Suwawa sama banyak dengan bahasa Indonesia D. bahasa Suwawa lebih sedikit dari bahasa Indonesia E. tidak pernah menggunakan bahasa Suwawa
7. Bahasa yang digunakanaparat kecamatan atau kelurahan ketika berbincangn dengan
orang-orang dari sesame etnis A. selalu bahasa Suwawa B. bahasa Suwawa lebih banyak dari bajasa Indonesia C. bahasa Suwawa sama banyak dengan bahasa Indonesia D. bahasa Suwawa lebih sedikit dari bahasa Indonesia E. tidak pernah menggunakan bahasa Suwawa
8. Bahasa yang digunakan untuk ibadah keagamaan A. selalu bahasa Suwawa B. bahasa Suwawa lebih banyak dari bajasa Indonesia C. bahasa Suwawa sama banyak dengan bahasa Indonesia D. bahasa Suwawa lebih sedikit dari bahasa Indonesia E. tidak pernah menggunakan bahasa Suwawa
9. Bahasa yang saya gunakan untuk berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa A. selalu bahasa Suwawa
56
B. bahasa Suwawa lebih banyak dari bajasa Indonesia C. bahasa Suwawa sama banyak dengan bahasa Indonesia D. bahasa Suwawa lebih sedikit dari bahasa Indonesia E. tidak pernah menggunakan bahasa Suwawa
10. Bahasa ini digunakan dalam perjanjian sewa-menyewa atau jual beli
A. selalu bahasa Suwawa B. bahasa Suwawa lebih banyak dari bajasa Indonesia C. bahasa Suwawa sama banyak dengan bahasa Indonesia D. bahasa Suwawa lebih sedikit dari bahasa Indonesia E. tidak pernah menggunakan bahasa Suwawa
11. Bahasa yang digunakan di sekolah untuk menyampaikan pelajaran kepada para
siswa A. selalu bahasa Suwawa B. bahasa Suwawa lebih banyak dari bajasa Indonesia C. bahasa Suwawa sama banyak dengan bahasa Indonesia D. bahasa Suwawa lebih sedikit dari bahasa Indonesia E. tidak pernah menggunakan bahasa Suwawa
12. Kegiatan tawar menawar di pasar menggunakan bahasa
A. selalu bahasa Suwawa B. bahasa Suwawa lebih banyak dari bajasa Indonesia C. bahasa Suwawa sama banyak dengan bahasa Indonesia D. bahasa Suwawa lebih sedikit dari bahasa Indonesia E. tidak pernah menggunakan bahasa Suwawa
13. Bahasa yang digunakan untuk menulis surat/SMS untuk keluarga saya A. selalu bahasa Suwawa B. bahasa Suwawa lebih banyak dari bajasa Indonesia C. bahasa Suwawa sama banyak dengan bahasa Indonesia D. bahasa Suwawa lebih sedikit dari bahasa Indonesia E. tidak pernah menggunakan bahasa Suwawa
14. Bahasa yang digunakan dalam mengiklankan barang yang dijual
A. selalu bahasa Suwawa B. bahasa Suwawa lebih banyak dari bajasa Indonesia C. bahasa Suwawa sama banyak dengan bahasa Indonesia D. bahasa Suwawa lebih sedikit dari bahasa Indonesia E. tidak pernah menggunakan bahasa Suwawa
15. Ketika berbicara kepada saya, guru atau kepala sekolah menggunakan bahasa
A. selalu bahasa Suwawa B. bahasa Suwawa lebih banyak dari bajasa Indonesia C. bahasa Suwawa sama banyak dengan bahasa Indonesia D. bahasa Suwawa lebih sedikit dari bahasa Indonesia
57
E. tidak pernah menggunakan bahasa Suwawa
16. Angota kelompok etnis Suwawa yang mampu berbahasa Indonesia…. A. sangat banyak B. banyak C. sedikit D. sangat sedikit
E.tidak ada
17. Kelompok etnis Suwawa yang berperan dalam pemerintahan…. A. sangat banyak B. banyak C. sedikit D. sangat sedikit
E.tidak ada
18. Buku sekolah yang ditulis dalam bahasa Suwawa…. A. sangat banyak B. banyak C. sedikit D. sangat sedikit
E.tidak ada
19. Orang dari kelompok etnis lain yang menguasai bahasa Suwawa…. A. sangat banyak B. banyak C. sedikit D. sangat sedikit
E.tidak ada
20. Penutur bahass Suwawa yang tinggal lama di daerah lain yang berbeda bahasa…. A. sangat banyak B. banyak C. sedikit D. sangat sedikit
E.tidak ada
21. Kelompok etnis Suwawa yang memerankan peran penting dalam pertanian…. A. sangat banyak B. banyak C. sedikit D. sangat sedikit
E.tidak ada
22. Kosakata baru yang ditemukan dalam bahasa Suwawa…. A. sangat banyak B. banyak C. sedikit D. sangat sedikit
E.tidak ada
23. Kelompok etnis Suwaw yang memerankan peran penting dalam kesenian…. A. sangat banyak B. banyak C. sedikit D. sangat sedikit
E.tidak ada
24. Warga etnis lain yang datang ke daerah saya ini…. A. sangat banyak B. banyak C. sedikit D. sangat sedikit
E.tidak ada
25. Bahan bacaan bahasa Suwawa…. A. sangat banyak B. banyak C. sedikit D. sangat sedikit
E.tidak ada
26. Anggota keklompok etnis Suwawa yang mampu menggunakan bahasa daerah lain secara baik… A. sangat banyak B. banyak C. sedikit D. sangat sedikit
E.tidak ada
58
27. Anggota kelompok etnis Suwawa yang mampu berbahasa asing… A. sangat banyak B. banyak C. sedikit D. sangat sedikit
E.tidak ada
28. Orang yang bisa diajak komunikasi dengan bahasa Suwawa di internet…. A. sangat banyak B. banyak C. sedikit D. sangat sedikit
E.tidak ada
29. Tulisan-tulisan yang ditemukan dalam bahasa Suwawa… A. sangat banyak B. banyak C. sedikit D. sangat sedikit
E.tidak ada
30. Ada bahan ajar yang memadai untuk pelajaran bahasa Suwawa…. A. sangat banyak B. banyak C. sedikit D. sangat sedikit
E.tidak ada
31. Orang yang tidak mampu menggunakan bahasa Suwawa akan dikucilkan. A. sangat setuju B. setuju C. kurang setuju D. tidak setuju
E.sangat tidak setuju
32. Setiap anggota kelompok etnis Suwawa harus mampu memggunakan bahasa Suwawa…. A. sangat setuju B. setuju C. kurang setuju D. tidak setuju
E.sangat tidak setuju
33. Bahasa Suwawa lebih penting dari pada bahasa lain A. sangat setuju B. setuju C. kurang setuju D. tidak setuju
E.sangat tidak setuju
34. Setiap orang tua akan mengajarkan bahasa Suwawa kepada anak-anaknya. A. sangat setuju B. setuju C. kurang setuju D. tidak setuju
E.sangat tidak setuju
35. Orang yang tidak menggunakan bahasa daerah ini akan dianggap melanggar adat. A. sangat setuju B. setuju C. kurang setuju D. tidak setuju
E.sangat tidak setuju
36. Orang yang tidak menggunakan bahasa daerah ini akan dibenci banyak orang. A. sangat setuju B. setuju C. kurang setuju D. tidak setuju
E.sangat tidak setuju
37. Bahasa Suwawa wajib digunakan dalam layanan publik pada hari tertentu A. sangat setuju B. setuju C. kurang setuju D. tidak setuju
E.sangat tidak setuju
38. Lembaga adat mengembangkan baahsa Suwaw agar tetap digunakan.
59
A. sangat setuju B. setuju C. kurang setuju D. tidak setuju E.sangat tidak setuju
39. Penggunaan bahasa Indonesia menghambat perkembangan bahasa Suwawa A. sangat setuju B. setuju C. kurang setuju D. tidak setuju
E.sangat tidak setuju
40. Pemerintah daerah mengembangkan dan melindungi bahasa Suwawa A. sangat setuju B. setuju C. kurang setuju D. tidak setuju
E.sangat tidak setuju
41. Orang tua menegur anaknya apabila melakukan kesalahan dalam menggunakan bahasa Suwawa. A. selalu B. sering C. kadang-kadang D. jarang E.tidak
pernah
42. Bahasa Suwawa digunakan di dunia maya A. selalu B. sering C. kadang-kadang D. jarang E.tidak
pernah
43. Saya akan menegur atau membetulkan jika seseorang salah dalam menggunakan bahasa Suwawa A. selalu B. sering C. kadang-kadang D. jarang E.tidak
pernah
44. Penutur bahasa Suwawa bepergian ke daerah lain yang berbeda bahasa A. selalu B. sering C. kadang-kadang D. jarang E.tidak
pernah
45. Saya dapat menggunakan bahasa Suwawa. A. sangat menguasai B. menguasai C. kurang menguasai D. sedikit menguasai E.
tidak menguasai
46. Keluarga saya dapat menggunakan bahasa Suwawa. A. sangat menguasai B. menguasai C. kurang menguasai D. sedikit menguasai E.
tidak menguasai
47. Saya dapat menggunakan bahasa daerah lain. A. sangat menguasai B. menguasai C. kurang menguasai D. sedikit menguasai
E.tidak menguasai
48. Keluarga saya dapat menggunakan bahasa daerah lain. A. sangat menguasai B. menguasai C. kurang menguasai D. sedikit menguasai
E.tidak menguasai
49. Saya dapat menggunakan bahasa asing
60
A. sangat menguasai B. menguasai C. kurang menguasai D. sedikit menguasai E.tidak menguasai
50. Keluarga saya dapat menggunakan bahasa asing A. sangat menguasai B. menguasai C. kurang menguasai D. sedikit menguasai E.tidak menguasai
51. Keluarga saya dapat menggunakan bahasa Indonesia A. sangat menguasai B. menguasai C. kurang menguasai D. sedikit menguasai
E.tidak menguasai
52. Anak-anak masih dapat berbahasa Suwawa dengan… A. sangat menguasai B. menguasai C. kurang menguasai D. sedikit menguasai
E.tidak menguasai
53. Saya mampu berbahasa Indonesia dengan… A. sangat menguasai B. menguasai C. kurang menguasai D. sedikit menguasai
E.tidak menguasai 54. Masyarakat tutur bahasa Suwawa masih mampu menggunakan bahasa Suwawa A. sangat menguasai B. menguasai C. kurang menguasai D. sedikit menguasai
E.tidak menguasai 55. Penutur bahasa Suwawa menyukai siaran radio berbahasa daerah lain A. sangat suka B. suka C. kurang suka D. tidak suka
E.sangat tidak suka
56. Dibanding penutur bahasa daerah lain di sekitar daerah saya, jumlah penutur bahasa Suwawa
A. lebih banyak B. sama banyak C. lebih sedikit D. sangat sedikit E.tidak ada
57. Jarak daerah ini dengan kota… A.< 10 km B. 11—15 km C. 16—20 km D. 21—30 km E. >30
58. Penduduk daerah ini yang berbahasa Suwawa daripada yang berbahasa daerah
lain…. A. lebih banyak B. sama banyak C. lebih sedikit D. sangat sedikit
E.tidak ada
59. Penyusunan tata bahasa Suwawa A.sangat lengkap B. lengkap C. kurang lengkap D.tidak lengkap E.tidak ada
60. Bahasa Suwawa telah memiliki sistem aksara. A.lebih banyak B. sama banyak C. lebih sedikit D. sangat sedikit E.tidak ada
61
61. Dokumentasi tentang bahasa Suwawa dapat ditemukan secara mudah
A. sangat mudah B. mudah C. agak sulit D. sulit E.sangat sulit
62. Dokumentasi tentang bahasa Suwawa yang disusun dalam bentuk buku
A. sangat banyak B. banyak C. sedikit D. tidak ada E.tidak tahu
63. Sistem aksara bahasa Suwawa telah dimasukkan dalam unicode A. sangat banyak B. banyak C. sedikit D. tidak ada E.tidak
tahu
64. Ada peraturan daerah yang mebuat bahasa Suwawa lestari A. sangat banyak B. banyak C. sedikit D. tidak ada E.tidak
tahu
65. Dokumen tentang bahasa Suwawa sudah ditemukan sejak seabad yang lalu A. sangat banyak B. banyak C. sedikit D. tidak ada E.tidak
tahu
66. Dokumentasi berupa rekaman audio dapat ditemukan juga dalam bahasa Suwawa A. sangat banyak B. banyak C. sedikit D. tidak ada E.tidak
tahu
67. Ada peraturan yang menghambat penggunaan bahasa Suwawa A. sangat banyak B. banyak C. sedikit D. tidak ada E.tidak
tahu
68. Sudah ada dokumentasi tentang sejarah bahasa Suwawa A. sangat banyak B. banyak C. sedikit D. tidak ada E.tidak
tahu
69. Kamus bahasa Suwawa telah disusun. A. sangat banyak B. banyak C. sedikit D. tidak ada E.tidak
tahu
70. Bahasa Suwawa didokumentasikan dengan baik. A. sangat baik B. baik C. kurang baik D. tidak baik E.sangat tidak baik
71. Ada kewajiban penggunaan bahasa Suwawa dalam ranah pemerintahan pada hari tertentu. A. selalu B. sering C. kadang-kadang D. jarang E.tidak
pernah
72. Kelompok etnis Suwawa yang memainkan peranan penting dalam perdagangan
62
A. sangat banyak B. banyak C. sedikit D. tidak ada E.tidak tahu
73. Penggunaan bahasa Suwawa ini dihambat oleh penggunaan bahasa daerah lain. A. selalu B. sering C. kadang-kadang D. jarang E.tidak
pernah
74. Bahasa Suwawa mudah digunakan dalam berinternet. A. sangat mudah B. mudah C. agak sulit D. sulit E.
sangat sulit
75. Saya bangga dengan bahasa Suwawa
A. sangat bangga B. bangga C. kurang bangga D. tidak bangga E. sangat tidak bangga
76. Penggunaan bahasa Suwawa dianjurkan pemerintah.
A. sangat dianjurkan B. mengikuti C. kurang mengikuti D. tidak mengikuti E.sangat tidak mengikuti
77. Saya dapat menggunakan computer untuk menuliskan bahasa Suwawa tanpa
kendala teknis A. selalu B. sering C. kadang-kadang D. jarang E.tidak
pernah 78. Masyarakat etnis Suwawa mendengarkan siaran radio nasional
A. selalu B. sering C. kadang-kadang D. jarang E.tidak pernah
79. Daerah ini sukar dijangkau dari daerah lain dan dari kota
A. sangat mudah B. mudah C. agak sulit D. sulit E.sangat sulit
80. Perusahaan swasta mengizinkan penggunaan bahasa Suwawa dalam berurusan dengan mereka. A. selalu B. sering C. kadang-kadang D. jarang E.tidak
pernah
81. Bahasa Suwawa diajarkan di sekolah formal. A. sangat setuju B. setuju C. kurang setuju D. tidak setuju
E.sangat tidak setuju
82. Kosakata bahasa Suwawa dikembangkan mengikuti tantangan zaman. A. sangat mengikuti B. mengikuti C. kurang mengikuti D. tidak
mengikuti E.sangat tidak mengikuti
83. Pemerintah menghargai penggunaan bahasa Suwawa.
63
A. sangat menghargai B. dianjurkan C. kurang dianjurkan D. tidak dianjurkan
E.sangat tidak dianjurkan
84. Lembaga adat melindungi bahasa Suwawa dengan A. sangat baik B. baik C. kurang baik D. tidak baik E.sangat tidak
baik
85. Bahasa Suwawa lebih member manfaat daripada bahsa daerah lain. A. sangat setuju B. setuju C. kurang setuju D. tidak setuju
E.sangat tidak setuju
86. Saya memperoleh banyak manfaat dari bahasa Suwawa. A. sangat setuju B. setuju C. kurang setuju D. tidak setuju
E.sangat tidak setuju
87. Bahasa Suwawa dianggap paling penting di daerah ini. A. sangat penting B. penting C. kurang penting D. tidak penting
E.sangat tidak penting
Ciutkan
l
b
s
Kecamatan Suwawa Selatan, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo
Desa
Bondaraya
Bondawuna
Bulontala
Bulontala Timur
Bonedaa
Libungo
Molintogupo
Pancuran
2