New T E S I Srepository.ub.ac.id/2351/1/EVA VAJRIYANTI.pdf · 2020. 4. 17. · Tempat/Tanggal Lahir...

143
PENGARUH AUDITOR SPESIALIS INDUSTRI DAN MEKANISME KOMITE AUDIT TERHADAP MANAJEMEN LABA DENGAN PRUDENCE SEBAGAI VARIABEL MODERASI T E S I S Untuk Memenuhi Pesyaratan Memperoleh Gelar Magister Oleh: EVA VAJRIYANTI 156020310111018 PROGRAM MAGISTER AKUNTANSI PASCASARJANA FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2017

Transcript of New T E S I Srepository.ub.ac.id/2351/1/EVA VAJRIYANTI.pdf · 2020. 4. 17. · Tempat/Tanggal Lahir...

PENGARUH AUDITOR SPESIALIS INDUSTRI DAN

MEKANISME KOMITE AUDIT TERHADAP MANAJEMEN

LABA DENGAN PRUDENCE SEBAGAI

VARIABEL MODERASI

T E S I S

Untuk Memenuhi Pesyaratan

Memperoleh Gelar Magister

Oleh:

EVA VAJRIYANTI

156020310111018

PROGRAM MAGISTER AKUNTANSI

PASCASARJANA FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2017

T E S I S

PENGARUH AUDITOR SPESIALIS INDUSTRI DAN MEKANISME

KOMITE AUDIT TERHADAP MANAJEMEN LABA DENGAN

PRUDENCE SEBAGAI VARIABEL MODERASI

Oleh:

EVA VAJRIYANTI

156020310111018

telah dipertahankan didepan penguji

pada tanggal 1 Agustus 2017

dinyatakan telah memenuhi syarat

Menyetujui

Komisi Pembimbing,

Imam Subekti, SE., M.Si., Ak., Ph.D Abdul Ghofar, SE., M.Si., M.Acc., Ak., DBA

Ketua Anggota

Mengetahui,

a/n. Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Universitas Brawijaya

Ketua Program Magister Akuntansi

Dr. Roekhudin, SE., M.Si., Ak.

NIP. 19621127 198802 1 001

LEMBAR IDENTITAS KOMISI PEMBIMBING DAN PENGUJI

Judul : PENGARUH AUDITOR SPESIALIS INDUSTRI DAN

MEKANISME KOMITE AUDIT TERHADAP

MANAJEMEN LABA DENGAN PRUDENCE SEBAGAI

VARIABEL MODERASI

Nama Mahasiswa : EVA VAJRIYANTI

Program Studi : AKUNTANSI

KOMISI PEMBIMBING

Pembimbing 1 : Imam Subekti, SE., M.Si., Ak., Ph.D

Pembimbing 2 : Abdul Ghofar, SE., M.Si., M.Acc., Ak., DBA

TIMPENGUJI

Dosen Penguji 1 : Dr. Lilik Purwanti, M.Si, Ak.

Dosen Penguji 2 : Dr. Rosidi, SE, MM, Ak.

Tanggal Ujian : 1 Agustus 2017

a/n. Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Ketua Program Magister Akuntansi

Dr.. Roekhudin, SE., M.Si., Ak.

NIP. 19621127 198802 1 001

ORISINALITAS TESIS

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa sepanjang

pengetahuan saya, di dalam naskah TESIS dengan judul:

PENGARUH AUDITOR SPESIALIS INDUSTRI DAN MEKANISME KOMITE

AUDIT TERHADAP MANAJEMEN LABA DENGAN PRUDENCE SEBAGAI

VARIABEL MODERASI

tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk

memperoleh gelar akademik di suatu Perguruan Tinggi, dan tidak terdapat karya

atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang

secara tertulis dikutip dalam naskah ini dan disebutkan dalam sumber kutipan

dan daftar pustaka.

Apabila ternyata di dalam naskah TESIS ini dapat dibuktikan terdapat

unsur-unsur PLAGIASI, saya bersedia TESIS ini digugurkan dan gelar akademik

yang telah saya peroleh dibatalkan, serta diproses sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku (UU No. 20 Tahun 2003, pasal 25 ayat 2 dan

pasal 70).

Malang, 1 Agustus 2017

Mahasiswa,

Nama : Eva Vajriyanti

NIM : 156020310111018

PS : MAGISTER AKUNTANSI

PPS FEB UB

iv

RIWAYAT HIDUP

Nama : Eva Vajriyanti

Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat/Tanggal Lahir : Singaraja, 21 Oktober 1994

Agama : Islam

Status : Belum menikah

Alamat Rumah : Jalan Jalak Putih 1, Singaraja-Bali

Email : [email protected]

Pendidikan

2000-2006 MIN Singaraja

2006-2009 SMP Negeri 2 Singaraja

2009-2012 SMA Negeri 1 Singaraja

2012-2015 S1 Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas

Udayana

2015-2016 Program Profesi Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Universitas Brawijaya

2015-2017 S2 Magister Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas

Brawijaya

v

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Berusahalah (berdoa dan berikhtiar), karena hasil tidak

akan pernah mengkhianati usaha.

Kunci bahagia: Cukup Allah bagi kita dan yakinlah pada

Allah tanpa keraguan sedikitpun.

Tesis ini kupersembahkan untuk:

Ibu dan Bapak tercinta, my endless love.

Terima kasih atas semua kasih sayang dan doa yang tidak pernah terputus.

Kakak-kakak dan seluruh keluarga, my precious.

Terima kasih atas kasih sayang dan dukungan yang super.

vi

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puja dan puji syukur saya haturkan kepada Allah S.W.T,

sang Maha Pencipta yang senantiasa mengiringi saya disepanjang hidup saya,

sang Maha Pemberi yang senantiasa memberikan saya kenikmatan tanpa batas.

Hanya karena berkat dan rahmat-Nya saya mampu menyelesaikan Tesis

berjudul “Pengaruh Auditor Spesialis Industri dan Mekanisme Komite Audit

terhadap Manajemen Laba dengan Prudence sebagai Variabel Moderasi”

dengan baik dan lancar. Tesis ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat

kelulusan dalam meraih derajat Magister Akuntansi Program Pasca Sarjana (S-2)

di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unversitas Brawijaya. Penulis telah berusaha

dengan segenap kemampuan untuk menyelesaikan tesis ini, namun penulis

masih mengharapkan saran dan kritik yang membangun. Besar harapan penulis

tesis ini dapat bermanfaat dan membantu semua pihak yang memerlukan.

Malang, Agustus 2017

Penulis

Eva Vajriyanti

vii

HALAMAN PERSEMBAHAN

Tesis ini tidak akan berhasil tanpa bimbingan dan arahan dari berbagai

pihak yang telah meluangkan waktunya untuk membantu penulis dalam

penyusunan tesis ini. Penulis menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya

kepada;

1. Imam Subekti, SE., M.Si., Ak., Ph.D. selaku dosen pembimbing utama, atas

waktu, masukan, arahan, dan motivasi yang begitu berharga, sehingga

penulis tidak patah semangat dapat menyelesaikan tesis ini. Terima kasih

Pak, semoga Allah senantiasa memberikan rahmat dan nikmat-Nya pada

Bapak dan keluarga. Semoga cepat jadi guru besar ya Pak.

2. Abdul Ghofar, SE., M.Si., M.Acc., Ak., DBA selaku dosen pembimbing kedua,

yang senantiasa memberikan solusi serta masukan yang sangat berharga

dalam penyelesaian tesis ini. Terima kasih telah menjadi teman berdiskusi

dan inspirasi saya Pak. Semoga Allah senantiasa memberikan rahmat dan

nikmat-Nya pada Bapak dan keluarga. Semoga cepat jadi guru besar ya Pak.

3. Para penguji, Dr. Lilik Purwanti, M.Si, Ak.dan Dr. Rosidi, MM, Ak., yang telah

banyak memberikan masukan untuk menyempurnakan tesis saya.

4. Orang tua, kakak-kakak, kakak-kakak ipar, keponakan-keponakan yang

senantiasa memberikan doa dan dukungan. Terima kasih atas segala kasih

sayang yang tanpa batas, kalian adalah my endless love, I love you.

5. Para pimpinan lembaga Universitas Brawijaya, khususnya Program Studi

Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya, atas

segala fasilitas yang diberikan. Para dosen di Program Magister Akuntansi

yang telah memberi banyak ilmu selama saya menempuh perkuliahan. Tidak

lupa kepada para pegawai (mas dimas, mas wid, mas gigih, mbak tri dan

mbak ida) yang banyak membantu penulis dalam urusan administrasi.

viii

6. Konco kentel manis, Ranita, April, Easty, Dea, Mbok Wiwid, Dito, Hendra,

yang senantiasa sabar menghadapi kegilaan saya. Terima kasih sudah

menjadi teman diskusi, teman curhat, teman jalan bareng, teman in

everything, I love you. Tidak lupa juga kepada Hidayati, Mbak Atma, Iyus,

Ismi, Sisca, Ricky, Mbak Astri, Fera, si polos Hardi, kalian juga punya tempat

tersendiri dihatiku guys, I love you.

7. Teman-teman Joint Program angkatan 26. Terima kasih atas pertemanan

yang selama ini kita jalin dan atas berbagai diskusi selama di kelas.

Kebersamaan selama ini tidak akan pernah saya lupakan. Semoga kita bisa

keep in touch selamanya, dan see you on top guys.

8. Semua murid-murid les private saya (Anggiku tersayang, Anita, Ilham,

Hansel, Wahyu, Keisha, Dinar, Safira, Angel, Ratu, Tiara, Febri, Jihan, dan

banyak lagi yang tidak bisa saya tulis satu per satu), meskipun kalian tidak

berkontribusi langsung dalam penulisan tesis saya, tapi kalian sangat

membantu kakak untuk dapat uang tambahan shopping, hehe. Semoga ilmu

kakak bermanfaat dan bisa jadi amal jariyah kakak ya, jangan pernah lelah

dalam belajar adik-adikku sayang.

ix

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................. i IDENTITAS KOMISI PEMBIMBING DAN PENGUJI ..................................... ii PERNYATAAN ORISINALITAS .................................................................... iii RIWAYAT HIDUP ......................................................................................... iv MOTTO DAN PERSEMBAHAN .................................................................... v KATA PENGANTAR ..................................................................................... vi HALAMAN PERSEMBAHAN ........................................................................ vii DAFTAR ISI .................................................................................................. ix DAFTAR TABEL ........................................................................................... xii DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xiii DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xiv ABSTRAK .................................................................................................... xv BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang masalah ............................................................... 1 1.2 Motivasi Penelitian ........................................................................ 12 1.3 Rumusan Masalah ........................................................................ 13 1.4 Tujuan Penelitian .......................................................................... 14 1.5 Kontribusi Penelitian ..................................................................... 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kajian Teori .................................................................................. 17 2.1.1 Teori Agensi (Agency Theory) .............................................. 17 2.1.2 Teori Akuntansi Positif (Accounting Positive Theory) ........... 19 2.1.3 Teori Prospek (Prospect Theory) ......................................... 21 2.1.4 Manajemen Laba ................................................................. 22

2.1.4.1 Definisi Manajemen Laba ........................................ 22 2.1.4.2 Pola Manajemen Laba ............................................. 23 2.1.4.3 Motivasi untuk Manajemen Laba ............................. 24

2.1.5 Manajemen Laba Akrual ...................................................... 25 2.1.6 Manajemen Laba Riil ........................................................... 31 2.1.7 Auditor Spesialis Industri ...................................................... 33 2.1.8 Tata Kelola Perusahaan ....................................................... 35 2.1.9 Komite Audit ........................................................................ 37 2.1.10 Mekanisme Komite Audit ................................................... 39 2.1.11 Prudence ........................................................................... 41

2.2 Kajian Empiris ............................................................................... 44 2.2.1 Manajer Melakukan Manajemen Laba untuk Menghindari

Kerugian............................................................................... 44 2.2.2 Auditor Spesialis Industri dan Manajemen Laba................... 45 2.2.3 Mekanisme Komite Audit dan Manajemen Laba .................. 46 2.2.4 Mekanisme Komite Audit, Manajemen Laba dan Prudence . 48

BAB III KERANGKA KONSEPTUAL PENELITIAN

3.1 Kerangka Konsep Penelitian ......................................................... 49 3.2 Hiptesis Penelitian ........................................................................ 52

3.2.1 Manajer Melakukan Manajemen Laba untuk Menghindari Kerugian............................................................................... 52

3.2.2 Pengaruh Auditor Spesialis Industri terhadap Manajemen Laba ..................................................................................... 53

x

3.2.3 Pengaruh Mekanisme Komite Audit terhadap Manajemen

Laba ..................................................................................... 55 3.2.4 Prudence dalam Memoderasi Pengaruh Mekanisme Komite

Audit terhadap Manajemen Laba dan Prudence .................. 59

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Jenis Penelitian ............................................................................. 62 4.2 Populasi dan Sampel .................................................................... 62 4.3 Jenis dan Metode Pengumpulan Data .......................................... 63 4.4 Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel ............................. 64

4.4.1 Variabel Dependen ............................................................. 64 4.4.1.1 Manajemen Laba Akrual ........................................... 65 4.4.1.2 Abnormal Cash Flow of Operation (ABNCFO) .......... 67 4.4.1.3 Abnormal Production Cost (ABNPROD) ................... 68 4.4.1.4 Abnormal Dicretionary Expense (ABNDISCR) .......... 69

4.4.2 Variabel Independen ........................................................... 70 4.4.2.1 Auditor Spesialis Industri .......................................... 70 4.4.2.2 Ukuran Komite Audit ................................................ 70 4.4.2.3 Independensi Komite Audit ....................................... 71 4.4.2.4 Keahlian Komite Audit .............................................. 71 4.4.2.5 Rapat Komite Audit .................................................. 71

4.4.3 Variabel Moderasi ............................................................... 72 4.5 Analisis Data ................................................................................. 73 4.5.1 Analisis Statistik Deskriptif ................................................... 73 4.5.2 Uji Asumsi Klasik ................................................................. 73

4.5.2.1 Uji Normalitas ........................................................... 73 4.5.2.2 Uji Multikolinearitas .................................................. 74 4.5.2.3 Uji Heteroskedastisitas ............................................. 74 4.4.2.4 Autokorelasi ............................................................. 74

4.6 Pengujian Hipotesis ..................................................................... 75 4.7 Model Analisis Data ..................................................................... 75

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Analisis Model Estimasi Manajemen Laba ........................... 77 5.1.1 Hasil Uji Asumsi Klasik Model Estimasi Manajemen Laba ... 77 5.1.2 Hasil Analisis Regresi Model Estimasi Manajemen Laba ..... 80

5.2 Hasil Analisis Pengujian Hipotesis ................................................ 81 5.2.1 Hasil Analisis Statistik Deskriptif .......................................... 82 5.2.2 Hasil Analisis Regresi Linier ................................................. 85 5.2.3 Hasil Uji Asumsi Klasik Regresi Berganda Hierarki .............. 89

5.2.3.1 Hasil Uji Normalitas .................................................. 90 5.2.3.2 Hasil Uji Multikolinearitas .......................................... 90 5.2.3.3 Hasil Uji Heteroskedastisitas .................................... 91 5.2.3.4 Hasil Autokorelasi ..................................................... 92

5.2.4 Hasil Analisis Regresi Berganda Hierarki ............................. 93 5.3 Pembahasan Hasil Pengujian Hipotesis........................................ 103

5.3.1 Manajer Melakukan Manajemen Laba Untuk Menghindari Kerugian .............................................................................. 103

5.3.2 Pengaruh Auditor Spesialis Industri terhadap Manajemen Laba .................................................................................... 105

5.3.3 Pengaruh Mekanisme Komite Audit terhadap Manajemen Laba .................................................................................... 107

xi

5.3.4 Prudence dalam memoderasi Pengaruh Mekanisme Komite Audit terhadap Manajemen Laba ......................................... 111

BAB VI KESIMPULAN, KETERBATASAN, DAN SARAN

6.1 Kesimpulan ................................................................................... 114 6.2 Implikasi Penelitian ....................................................................... 116

6.2.1 Implikasi Teoritis .................................................................. 116 6.2.2 Implikasi Praktis ................................................................... 117 6.2.3 Implikasi Kebijakan .............................................................. 117

6.3 Keterbatasan dan Saran ............................................................... 118 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 119 LAMPIRAN-LAMPIRAN .............................................................................. 127

xii

DAFTAR TABEL

4.1 Prosedur Pemilihan Sampel ................................................................. 63 5.1 Hasil Uji Multikolinearitas Model Estimasi Manajemen Laba ................ 78 5.2 Hasil Uji Heteroskedastisitas Model Estimasi Manajemen Laba ........... 79 5.3 Hasil Uji Autokorelasi Model Estimasi Manajemen Laba ...................... 80 5.4 Hasil Analisis Regresi Model Estimasi Manajemen Laba ..................... 81 5.5 Hasil Analisis Statistik Deskriptif ........................................................... 82 5.6 Perusahaan yang Teridentifikasi Melakukan Manajemen Laba ............ 86 5.7 Hasil Uji Multikolinearitas Analisis Regresi Linier ................................. 87 5.8 Hasil Uji Heteroskedastisitas Analisis Regresi Linier ............................ 87 5.9 Hasil Uji Autokorelasi Analisis Regresi Linier ....................................... 88 5.10 Hasil Analisis Regresi Linier ................................................................. 89 5.11 Hasil Uji Multikolinearitas Model Regresi Hierarki ................................ 91 5.12 Hasil Uji Heteroskedastisitas Model Penelitian ..................................... 92 5.13 Hasil Uji Autokorelasi Model Penelitian ................................................ 92 5.14 Hasil Analisis Regresi Berganda Hierarki ............................................. 93 5.15 Ringkasan Hasil Pengujian Hipotesis ................................................... 102

xiii

DAFTAR GAMBAR

3.1 Kerangka Konsep Penelitian ................................................................ 52

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Nama Perusahaan Sampel .................................................... 128 Lampiran 2 Statistik Deskriptif Data Estimasi Manajemen Laba ............... 130 Lampiran 3 Hasil Analisis Regresi Untuk Estimasi Manajemen Laba (SHORTDA)........................................................................... 131 Lampiran 4 Hasil Analisis Regresi Untuk Estimasi Manajemen Laba (LONGDA) ............................................................................. 133 Lampiran 5 Hasil Analisis Regresi Untuk Estimasi Manajemen Laba (ABNCFO) ............................................................................. 135 Lampiran 6 Hasil Analisis Regresi Untuk Estimasi Manajemen Laba (ABNPROD) .......................................................................... 137 Lampiran 7 Hasil Analisis Regresi Untuk Estimasi Manajemen Laba (ABNDISCR).......................................................................... 139 Lampiran 8 Statistik Deskriptif Variabel Penelitian .................................... 141 Lampiran 9 Hasil Analisis Regresi Untuk Hipotesis 1 dengan Variabel Dependen SHORTDA ............................................................ 142 Lampiran 10 Hasil Analisis Regresi Untuk Hipotesis 1 dengan Variabel Dependen LONGDA .............................................................. 144 Lampiran 11 Hasil Analisis Regresi Untuk Hipotesis 1 dengan Variabel Dependen ABNCFO .............................................................. 146 Lampiran 12 Hasil Analisis Regresi Untuk Hipotesis 1 dengan Variabel Dependen ABNPROD ........................................................... 148 Lampiran 13 Hasil Analisis Regresi Untuk Hipotesis 1 dengan Variabel Dependen ABNDISCR ........................................................... 150 Lampiran 14 Hasil Analisis Regresi Berganda Hierarki dengan Variabel Dependen ABNCFO .............................................................. 152 Lampiran 15 Hasil Analisis Regresi Berganda Hierarki dengan Variabel Dependen ABNPROD ........................................................... 155

xv

ABSTRAK

Eva Vajriyanti. Program Magister Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya, 2017. Pengaruh Auditor Spesialis Industri dan Mekanisme Komite Audit terhadap Manajemen Laba dengan Prudence sebagai Variabel Moderasi. Ketua Pembimbing: Imam Subekti, Komisi Pembimbing: Abdul Ghofar. Penelitian ini berfokus pada perusahaan yang melakukan manajemen laba untuk menghindari kerugian. Penelitin ini memiliki tujuan untuk menguji pengaruh auditor spesialis industri dan mekanisme Komite Audit yang terdiri dari ukuran, independensi, keahlian, dan rapat Komite Audit terhadap manajemen laba, serta menguji pengaruh prudence dalam memperkuat pengaruh negatif mekanisme Komite Audit terhadap manajemen laba. Data penelitian dikumpulkan dari 83 perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia selama empat tahun pengamatan (2012-2015). Penelitian ini memberikan bukti empiris bahwa manajer melakukan manajemen laba untuk menghindari kerugian dengan menurunkan arus kas operasional dan memperbesar biaya produksi. Penelitian ini memberikan bukti empris bahwa auditor spesialis industri berpengaruh negatif terhadap manajemen laba yang dilakukan dengan mengelola biaya produksi, sedangkan auditor spesialis industri berpengaruh positif terhadap manajemen laba yang dilakukan dengan mengelola arus kas operasional. Mekanisme Komite Audit yang terdiri dari ukuran, keahlian, dan rapat Komite Audit tidak berpengaruh terhadap manajemen laba yang dilakukan dengan mengelola arus kas operasional dan biaya produksi. Penelitian ini juga memberikan bukti empiris bahwa prudence tidak memoderasi pengaruh ukuran, independensi, dan rapat Komite Audit terhadap manajemen laba yang dilakukan dengan mengelola arus kas operasional dan biaya produksi, prudence juga tidak memoderasi pengaruh keahlian Komite Audit terhadap manajemen laba yang dilakukan dengan mengelola arus kas operasional, namun prudence memperlemah pengaruh negatif keahlian Komite Audit terhadap manajemen laba yang dilakukan dengan biaya produksi. Kata Kunci: Auditor spesialis industri, Manajemen laba akrual, Manajemen laba riil, Mekanisme komite audit, Prudence

xvi

ABSTRACT

Eva Vajriyanti. Master of Accounting, Faculty of Economics and Business, Brawijaya University, 2017. The Effect of Industrial Specialist Auditor and the Mechanism of Audit Committee on Earnings Management with Prudence as Moderating Variable. Supervisor: Imam Subekti, Co-Supervisor: Abdul Ghofar. This research focused on the firm that performs earnings management to avoid negative earnings. This research is aimed at testing the effect of industrial specialist auditor and the mechanism of audit committee which consist of size, independence, expertise, and the audit committee meeting on earnings management, in addition to test the effect of prudence in strengthening the negative effect of the mechanism of audit committee on earnings management. The data were collected from 83 manufacturing companies during four years of observation (2012-2015). This study provides empirical evidence that manager performs earnings management to avoid negative earnings by minimizing cash flow from operations and increasing production costs. This study provides empirical evidence that the industrial specialist auditor has negative effect on earnings management by production costs, meanwhile, industrial specialist auditor has positive effect on earnings management by cash flow from operations. The mechanism of the audit committee which consist of size, expertise, and the audit committee meeting has no effect on earnings management. This study also provides empirical evidence that prudence does not moderate the effect of the size, independence, and the audit committee meeting on earnings management by cash flow from operations and production costs, prudence also does not moderate the effect of the expertise of the audit committee on earnings management by cash flow from operation, meanwhile, prudence weaken the negative effect of the expertise of the audit committee on earnings management by production costs. Keywords: Accrual earnings management, Industrial specialist auditor,

Mechanism of audit committee, Prudence, Real earnings management.

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manajemen laba merupakan isu yang menarik banyak perhatian

akademisi dan praktisi dalam beberapa tahun terakhir ini. Hal ini terjadi seiring

dengan munculnya berbagai fenomena manajemen laba di berbagai perusahaan.

PT. Kimia Farma, PT. Indofarma, dan PT. Katarina Utama merupakan contoh

perusahaan di Indonesia yang melakukan manajemen laba. PT. Kimia Farma

menyajikan laba lebih tinggi sebesar Rp 32,6 milyar pada tahun 2001 (Lestari,

2014). PT. Indofarma juga menyajikan laba lebih tinggi pada tahun 2001 (Armein,

2005). PT. Katarina Utama berkaitan dengan kasus menipulasi laporan

keuangan tahun 2009 (Surgery, 2012). Kasus baru muncul dari PT. Inovisi

Infracom Tbk (INVS) yang perdagangan sahamnya di suspensi selama empat

bulan di tahun 2014. Hal ini terkait dengan temuan Bursa Efek Indonesia (BEI)

terhadap adanya beberapa salah saji laporan keuangan pada tahun 2014, yang

menyebabkan aset menjadi lebih tinggi (Anonim, 2015). Penelitian-penelitian

sebelumnya, seperti penelitian Ferdawati (2009), Subekti (2012b), Lestari (2014),

Vajriyanti et al. (2015), serta Aditama & Purwaningsih (2016) telah membuktikan

bahwa manajemen laba terjadi pada banyak perusahaan di Indonesia.

Studi-studi sebelumnya mengenai manajemen laba lebih banyak berfokus

pada manajemen laba akrual. Graham, Harvey, & Rajgopal (2005) menemukan

bukti bahwa manajer lebih menyukai manajemen laba riil dibandingkan dengan

manajemen laba akrual. Penelitian Cohen & Zarowin (2010) menemukan bahwa

perusahaan yang sebelumnya melakukan manajemen laba akrual untuk

meningkatkan kinerjanya, maka akan berubah melakukan manajemen laba riil

pada periode setelahnya. Gunny (2010); Zang (2012); Zhu, Lu, Shan, & Zhang

2

(2015) juga menemukan bahwa kini perusahaan utamanya lebih memilih

melakukan manajemen laba melalui aktivitas riil daripada melalui pengelolaan

komponen akrual, namun manajer juga menggunakan kedua cara tersebut untuk

mencapai target laba yang diinginkan. Bukti empiris di Indonesia juga

menemukan bahwa perusahaan publik di Indonesia cenderung melakukan

manajemen laba riil daripada manajemen laba akrual untuk menghindari

kerugian (Subekti, 2012b).

Graham et al. (2005) menduga bahwa penekanan manajer yang lebih

besar pada manajemen laba riil disebabkan oleh keengganan mereka untuk

menggunakan manajemen laba berbasis akuntansi, sebagai akibat dari skandal

akuntansi Enron dan WorldCom. Hal ini juga terkait dengan semakin besarnya

keterbatasan manajer dalam mengelola akrual. Generally Accepted Accounting

Principles (GAAP) yang bersifat rule based memberikan aturan sampai ke hal-hal

yang kecil. Hal ini menyebabkan aturan-aturan dalam standar menjadi sangat

ketat, sehingga membatasi manajer untuk mengelola akrual. Zang (2012) juga

menyebutkan bahwa manajemen laba akrual dibatasi oleh pengawasan pihak

luar dan fleksibilitas. Manajemen laba akrual sering menjadi sorotan auditor,

sedangkan manajemen laba riil kurang disoroti oleh auditor dan regulator, sebab

tindakan manajemen laba riil mirip dengan keputusan bisnis normal (Graham et

al., 2005). Fleksibilitas terkait dengan kemampuan manajemen laba riil yang

dapat dilakukan di sepanjang periode. Ketika target laba tidak tercapai melalui

manajemen laba riil, maka manajer akan melakukan manajemen laba akrual di

akhir periode, sehingga hal ini dapat mengurangi risiko perusahaan apabila

hanya mengandalkan pada manajemen laba akrual saja.

Manajemen laba merupakan isu yang kontroversial. Dechow & Skinner

(2000), Riduwan (2010), dan Febriyanti et al. (2014) mengungkapkan ada

banyak pro dan kontra terkait manajemen laba. Pihak yang pro menganggap

3

bahwa manajemen laba merupakan hal yang boleh dilakukan sepanjang tidak

melanggar prinsip akuntansi, serta menganggap manajemen laba bermanfaat

untuk melindungi perusahaan dalam menghadapi berbagai kontrak dan

mengantisipasi kejadian yang tidak terduga. Pihak yang kontra menganggap

bahwa manajemen laba sama saja dengan manipulasi laba, manajemen laba

dapat mengurangi kualitas laba dan keandalan informasi dalam laporan

keuangan, serta dapat menyesatkan stakeholders dalam mengambil keputusan.

Manajemen laba merupakan fenomena yang menarik untuk diteliti,

karena hal ini dapat merugikan perusahaan dan stakeholders. Manajemen laba

bahkan dapat menyebabkan kebangkrutan, hal ini dibuktikan dengan runtuhnya

perusahaan-perusahaan nomer wahid di Amerika Serikat akibat manajemen laba

yang mengarah ke fraud. Enron Corp, Xerox Corporation, Walt Disney Company,

dan Worldcom merupakan beberapa perusahaan yang mengalami kebangkrutan

akibat skandal kejahatan korporat melalui manipulasi pembukuan (Irianto, 2003).

Berdasarkan hal-hal yang telah disebutkan sebelumnya, maka penelitian

ini tertarik untuk menguji beberapa faktor yang dapat menurunkan manajemen

laba. Fokus penelitian ini adalah perusahaan yang melakukan manajemen laba

untuk menghindari kerugian. Hal ini dikarenakan perusahaan memiliki tekanan

yang kuat untuk dapat memenuhi harapan para stakeholders, salah satunya

untuk memiliki kinerja baik yang tercermin dari laba yang positif (Handayani &

Rachadi, 2009). Hayn (1995), Burgstahler & Dichev (1997), Roychowdhury

(2006), dan Subekti (2012b) menemukan bahwa manajer melakukan manajemen

laba untuk menghindarkan perusahaan dalam melaporkan kerugian. Pertama-

tama penelitian ini menguji apakah manajer melakukan manajemen laba untuk

menghindari kerugian. Penelitian ini selanjutnya menguji faktor-faktor yang dapat

membatasi manajemen laba. Penelitian ini menggunakan audit sebagai faktor

yang dapat menurunkan manajemen laba. Mekanisme audit dapat dilakukan

4

secara internal maupun eksternal. Penelitian ini menggunakan auditor spesialis

industri sebagai mekanisme audit eksternal, dan menggunakan mekanisme

Komite Audit sebagai mekanisme audit internal. Penggunaan kedua variabel ini

sehubungan dengan Jensen & Meckling (1976) yang mengungkapkan bahwa

auditor dan mekanisme tata kelola perusahaan merupakan suatu mekanisme

yang dapat memecahkan masalah agensi atau yang dapat membatasi self

interest agen.

Teori Prospek mengungkapkan bahwa keputusan yang diambil terkait

keuntungun atau kerugian didefinisikan secara relatif pada suatu titik acuan

(reference point). Terkait tindakan manajer dalam menghindari kerugian, maka

titik acuan yang digunakan adalah titik nol, seperti pada penelitian Hayn (1995),

Burgstahler & Dichev (1997), Roychowdhury (2006), dan Subekti (2012a).

Manajer akan melakukan manajemen laba agar laba berada di atas titik acuan

(titik nol). Tindakan ini dilakukan manajer karena laba negatif mengindikasikan

kinerja yang buruk, serta memberikan sinyal negatif kepada investor. Kerugian

menyebabkan perusahaan harus menghadapi biaya transaksi yang lebih mahal

dengan stakeholders (Burgstahler & Dichev, 1997).

Jensen & Meckling (1976) menemukan bahwa auditor berperan dalam

mekanisme pengawasan untuk mengurangi biaya agensi, salah satunya yang

timbul karena insentif manajer untuk mengelola laba. Auditor melakukan

pengawasan terhadap konflik kepentingan yang muncul dalam perusahaan.

Kualitas auditor sangat mempengaruhi hasil audit. Kim, Chuang, & Firth (2003);

Memis & Jetenak (2012) menemukan bahwa auditor Big 4 dapat memonitor dan

mendeteksi tindakan oportunis manajer. Ini berarti bahwa auditor yang

berkualitas dapat memonitor dan mendeteksi perusahaan yang melakukan

manajemen laba, sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin berkualitas

auditor, maka semakin kecil kemungkinan manajemen laba dilakukan.

5

Kualitas auditor tidak hanya dapat dilihat dari brand-name, saat ini

kualitas auditor juga dapat dilihat dari spesialisasi industrinya. Auditor spesialis

industri cenderung berinvestasi lebih banyak dalam perekrutan dan pelatihan

staf, teknologi informasi, serta teknologi audit, daripada auditor non-spesialis

(Krishnan, 2003b). Auditor spesialis juga memiliki pengetahuan dan keahlian

yang lebih spesifik mengenai industri (Dunn & Mayhew, 2004). Solomon, Shields,

& Whittington (1999) menemukan bahwa pengetahuan spesifik auditor mengenai

industri akan mempengaruhi kinerja auditor. Auditor yang memiliki banyak

pengalaman dalam suatu industri tertentu memiliki kemampuan yang lebih tinggi

dalam mendeteksi kesalahan (Wright & Wright, 1997). Pengalaman yang lebih

banyak dalam suatu industri diharapkan akan meningkatkan efektivitas auditor

dalam mengembangkan pengetahuan dasar mengenai risiko dan pendekatan

audit. Auditor yang expert dalam industri tertentu akan menghasilkan audit yang

lebih berkualitas, sehingga memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam

mendeteksi manajemen laba.

Terdapat pemisahan kepemilikan dan pengelolaan dalam perusahaan.

Pemilik perlu melakukan pengawasan untuk memonitor kinerja manajer yang

mengelola perusahaan. Indonesia menganut sistem two-tier yang menyerahkan

fungsi pengawasan pada Dewan Komisaris. Dewan Komisaris membentuk

komite-komite guna meningkatkan efektivitas pengawasan. Komite Audit

merupakan mekanisme terpenting dalam tata kelola perusahaan yang dapat

menghambat manajemen laba, sebab Komite Audit merupakan bagian yang

bertanggung jawab untuk memastikan akurasi dan reliabilitas laporan keuangan

yang disediakan manajemen (Ayemere & Elijah, 2015).

FCGI (2001) menjabarkan mengenai tiga tanggung jawab Komite Audit.

Pertama, Komite Audit bertanggung jawab terhadap laporan keuangan, guna

memastikan bahwa laporan keuangan yang diterbitkan perusahaan telah

6

mencerminkan keadaan sebenarnya mengenai kondisi keuangan, hasil usaha

dan rencana jangka panjang perusahaan. Kedua, Komite Audit bertanggung

jawab terhadap tata kelola perusahaan, guna memastikan bahwa perusahaan

menjalankan usahanya sesuai dengan ketentuan hukum dan undang-undang,

menjalankan bisnisnya secara etis, serta melakukan pengawasan dengan efektif

terkait benturan kepentingan dan kecurangan yang terjadi di perusahaan. Ketiga,

komite audit bertanggung jawab dalam pengawasan perusahaan, termasuk

memahami berbagai hal dan masalah yang berpotensi mengandung risiko, serta

bertanggung jawab dalam mengawasi auditor internal. Wolnizer (1995)

menyebutkan bahwa implementasi tanggung jawab Komite Audit dapat

meningkatkan kredibilitas, reliabilitas, dan objektivitas laporan keuangan,

meningkatkan akuntabilitas manajemen, mengurangi sifat oprtunis, serta

meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengendalian internal.

Melihat masih banyaknya kasus manajemen laba, ini membuktikan

bahwa kehadiran Komite Audit tidak serta merta dapat membatasi manajemen

laba (Ayemere & Elijah, 2015). Keberadaan Komite Audit bukanlah jaminan untuk

membatasi manajemen laba, tetapi bagaimana mekanisme Komite Audit yang

berperan dalam membatasi manajemen laba dan meningkatkan kepercayaan

stakeholders terkait laporan keuangan. Hal ini dibuktikan oleh Alzoubi & Selamat

(2012) yang menemukan bahwa Komite Audit yang efektif mampu menurunkan

manajemen laba. Komite audit yang efektif mampu meningkatkan kredibilitas,

reliabilitas, dan objektivitas laporan keuangan, serta melindungi reputasi

perusahaan dan kepentingan pemilik saham (Carcello et al., 2002). Mekanisme

Komite Audit yang baik akan mampu menjamin berlangsungnya tata kelola

perusahaan yang baik, sehingga pengelolaan perusahaan menjadi lebih

transparan, adil dan bertanggung jawab, serta pada akhirnya mampu

menurunkan manajemen laba.

7

Mekanisme Komite Audit tercermin melalui ukuran Komite Audit, jumlah

rapat Komite Audit, independensi Komite Audit, serta keahlian Komite Audit

(Alzoubi & Selamat, 2012; Ayemere & Elijah, 2015). Ukuran Komite Audit yang

terlalu kecil dapat menurunkan efektivitas pemantauan dan efisiensi dalam

pemenuhan tugas mereka (Vafeas, 2005). Semakin besar ukuran Komite Audit,

diharapkan pengawasan semakin meningkat, sehingga dapat menurunkan

manajemen laba.

Conger et al. (1998) mengemukakan bahwa rapat yang lebih sering

dilakukan mampu meningkatkan efektivitas dewan. Komite audit yang bertemu

secara teratur berhubungan dengan pengawasan yang lebih efektif. Dewan yang

lebih aktif akan lebih mungkin untuk melakukan tugas mereka sesuai dengan

kepentingan pemegang saham dan lebih berupaya dalam memantau integritas

laporan keuangan (Alzoubi & Selamat, 2012). Sehubungan dengan jumlah rapat

Komite Audit, Xie et al. (2003) menemukan bahwa jumlah rapat yang lebih tinggi

berhubungan dengan manajemen laba yang lebih rendah.

Independensi merupakan kualitas penting yang dapat memberikan

kontribusi untuk efektivitas fungsi pengawasan (Alzoubi & Selamat, 2012).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa Komite Audit independen berhubungan

dengan manajemen laba yang lebih rendah (Bedard et al., 2004; Davidson et al.,

2005; Klein, 2002; Xie et al., 2003). Hal ini disebabkan karena Komite Audit

independen mampu memonitor manajemen secara efektif. Komite Audit

Independen akan memberikan penilaian secara independen tanpa dipengaruhi

oleh pihak lain (Wolnizer, 1995).

Komite Audit bertanggung jawab terhadap laporan keuangan, guna

memastikan bahwa laporan keuangan yang diterbitkan perusahaan telah

mencerminkan keadaan sebenarnya. Berdasarkan hal tersebut, maka

merupakan hal penting apabila Komite Audit memiliki keahlian dalam bidang

8

keuangan dan akuntansi. Alzoubi & Selamat (2012) menyebutkan bahwa Komite

Audit yang memiliki pengetahuan terkait keuangan dan akuntansi akan

meningkatkan kinerja Komite Audit. Peningkatan kinerja Komite Audit diharapkan

dapat berperan dalam menurunkan manajemen laba. Hal ini dibuktikan oleh

Bedard et al. (2004) yang menemukan bahwa keahlian keuangan Komite Audit

dapat mengurangi kesempatan mengelola laba secara oportunis.

Al-Thuneibat, Al-Angari, & Al-Saad (2014) melakukan penelitian untuk

menyelidiki kepatuhan perusahaan terhadap persyaratan tata kelola perusahaan

dan dampaknya terhadap manajemen laba. Penelitian tersebut menemukan

bahwa tidak ada hubungan signifikan antara mekanisme tata kelola perusahaan

yang terdiri dari audit internal, Komite Audit dan dewan direksi dengan

Discretionary Accrual. Mohamad et al. (2012) menemukan bahwa tidak ada

pengaruh antara keahlian, independensi, dan rapat Komite Audit terhadap

manajemen laba. Chandrasegaram et al. (2013) juga menemukan bahwa ukuran

dan independensi Komite Audit tidak berpengaruh terhadap manajemen laba.

Hubungan negatif mekanisme Komite Audit terhadap manajemen laba ditemukan

dalam penelitian Amar (2014) yang menemukan pengaruh negatif ukuran Komite

Audit terhadap manajemen laba, Bedard et al. (2004) yang menemukan

pengaruh negatif keahlian Komite Audit terhadap manajemen laba, serta

Ayemere & Elijah (2015) dan Alzoubi & Selamat (2012) yang menemukan

pengaruh negatif ukuran, independensi, keahlian, dan rapat Komite Audit

terhadap manajemen laba.

Inkonsistensi hasil penelitian mengenai pengaruh mekanisme Komite

Audit terhadap manajemen laba mendorong peneliti untuk memasukkan variabel

moderasi. Peneliti menduga ada variabel lain yang selama ini diabaikan oleh

penelitian-penelitian sebelumnya, dan variabel ini mampu menginteraksi

pengaruh mekanisme Komite Audit terhadap manajemen laba. Penelitian ini

9

menggunakan prudence sebagai variabel moderasi. Prudence atau kehati-hatian

merupakan prinsip akuntansi yang menggantikan konservatisme semenjak

konvergensi IFRS (Wistawan, 2015). Prudence adalah tingkat kehati-hatian

dalam melakukan penilaian untuk membuat estimasi yang diperlukan dalam

kondisi ketidakpastian, sehingga aset atau pendapatan tidak disajikan lebih tinggi

dan kewajiban atau beban tidak disajikan lebih rendah (Hoogervorst, 2012).

Teori Akuntansi Positif menggambarkan mengenai berbagai pilihan

manajemen atas kebijakan akuntansi yang dapat mempengaruhi angka-angka

akuntansi. LaFond & Roychowdhury (2008) mengungkapkan bahwa dalam

kondisi ketidakpastian manajemen akan memilih perlakuan akuntansi yang

kurang menguntungkan. Berbagai pilihan metode akuntansi memungkinkan

perusahaan untuk memilih metode yang dampaknya terhadap laba adalah

cenderung konservatif (Wistawan, 2015). Sikap kehati-hatian yang melekat pada

konservatisme menyebabkan konservatisme dapat membatasi sifat oportunis

manajer dalam laporan keuangan (Guay & Verrecchia, 2006; Chen at al., 2007).

Basu (1997) mengungkapkan bahwa konservatisme merupakan salah satu cara

dalam mewujudkan efisiensi kontrak. Konservatisme akan membatasi

pembayaran yang bersifat oportunis kepada manajer dan berbagai pihak dalam

kontrak (Watts, 2003). Kekuatan pengaruh mekanisme Komite Audit terhadap

manajemen laba akan dipengaruhi oleh sikap prudence manajer dalam

menghadapi ketidakpastian, hal tersebut tercermin dalam kebijakan akuntansi

yang dipilih manajer. Berdasarkan kemampuan prudence dalam membatasi sifat

oportunis manajer, maka manajer yang prudence diharapkan dapat memperkuat

pengaruh negatif mekanisme Komite Audit terhadap manajemen laba.

Penelitian ini menguji pengaruh auditor spesialis industri dan mekanisme

Komite Audit terhadap manajemen laba. Kebaruan penelitian ini terletak pada

alat ukur yang digunakan pada variabel yang diteliti, yaitu manajemen laba,

10

auditor spesialis industri dan mekanisme Komite Audit. Kebaruan selanjutnya

adalah penggunaan variabel prudence dalam memoderasi pengaruh mekanisme

Komite Audit terhadap manajemen laba. Penelitian ini juga menguji apakah

manajer melakukan manajemen laba untuk menghindari kerugian. Pengujian ini

dilakukan dengan mengelompokkan perusahaan menjadi dua kelompok, yaitu

kelompok yang diduga melakukan manajemen laba dan yang tidak melakukan

manajemen laba. Earning per share (EPS) digunakan sebagai alat ukur untuk

membedakan kedua kelompok tersebut, seperti pada penelitian Subekti (2012a).

EPS digunakan sehubungan dengan kondisi perusahaan di Indonesia yang

sebagian besar merupakan family firm (Claessens, Djankov, & Lang, 2000), dan

konflik agensi yang terjadi adalah antara pemegang saham pengendali dan non-

pengendali (Morck & Young, 2003). Dividen merupakan salah satu tujuan utama

pemegang saham non-pengendali, sehingga EPS merupakan hal yang sangat

penting bagi pemegang saham non-pengendali, sebab EPS akan menentukan

jumlah dividen yang akan dibagikan perusahaan (Subekti , 2012a).

Penelitian ini menggunakan lima proksi dalam mengukur manajemen

laba, seperti yang digunakan oleh Subekti (2012b), yaitu short term discretionary

accruals, long term discretionary accruals, abnormal cash flow from operation,

abnormal production cost, dan abnormal dicretionary expense. Model

pengukuran Subekti (2012b) digunakan karena model ini telah dimodifikasi untuk

disesuaikan dengan keadaan perekonomian di Indonesia, sehingga penggunaan

model ini dapat memberikan hasil yang lebih baik. Penggunaan lima proksi ini

terkait dengan pergeseran manajemen laba akrual ke manajemen laba riil,

namun manajer tetap menggunakan keduanya untuk mencapai target laba.

Penelitian ini akan menyempurnakan penelitian-penelitian sebelumnya yang lebih

berfokus pada manajemen laba akrual, sehingga penelitian ini akan memberikan

bukti empiris yang lebih lengkap mengenai manajemen laba.

11

Kebanyakan penelitian sebelumnya menggunakan brand name (Big 4

dan Non-big 4) dalam mengukur kualitas auditor, seperti penelitian Kim et al.

(2003), Memis & Jetenak (2012), dan Kouaib & Jarboui (2014). Penelitian ini

menggunakan auditor spesialis industri dalam menilai kualitas audit. Auditor

spesialis industri diukur menggunakan jumlah klien auditor dalam industri yang

sama, seperti yang digunakan dalam penelitian Balsam et al. (2003).

Penggunaan jumlah klien berdasarkan alasan bahwa auditor yang melakukan

audit secara berulang pada banyak perusahaan dalam industri yang sama

memiliki pengalaman yang lebih banyak dalam industri tersebut. Hal tersebut

akan meningkatkan kemampuan auditor dalam mendeteksi kesalahan dan

kecurangan yang dilakukan manajer, sehingga mampu meminimalisir

manajemen laba.

Penelitian ini menggunakan pengukuran yang lebih menyeluruh

mengenai mekanisme Komite Audit. Mekanisme Komite Audit dalam penelitian

ini terdiri dari ukuran, independensi, keahlian, dan jumlah rapat Komite Audit.

Mekanisme Komite Audit tersebut merupakan mekanisme yang digunakan dalam

penelitian Larcker et al. (2007), Alzoubi & Selamat (2012), serta Ayemere &

Elijah (2015). Penggunaan pengukuran ini akan memberikan bukti empiris yang

lengkap mengenai mekanisme Komite Audit.

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, maka penelitian ini

menarik untuk dilakukan. Penelitian ini dapat menutup research gap terkait

pergeseran manajemen laba, dari manajemen laba akrual ke manajemen laba

riil. Penelitian ini juga dapat menutup gap yang terjadi karena inkonsistensi hasil

penelitian sebelumnya mengenai pengaruh mekanisme Komite Audit terhadap

manajemen laba. Penelitian ini dapat memberikan bukti mengenai tindakan

manajemen laba yang dilakukan manajer untuk menghindari kerugian, serta

memberikan bukti empiris yang lebih lengkap mengenai pemecahan masalah

12

manajemen laba, dengan menguji beberapa variabel yang dapat menurunkan

manajemen laba, yaitu: (a) auditor spesialis industri, (b) mekanisme Komite Audit

yang terdiri dari ukuran, independensi, keahlian dan rapat Komite Audit, serta (c)

prudence dalam memoderasi pengaruh mekanisme Komite Audit terhadap

manajemen laba.

1.2 Motivasi Penelitian

Motivasi penelitian ini berdasarkan fenomena yang terjadi di berbagai

Negara, termasuk juga Indonesia, yaitu manajemen laba yang kerap dilakukan

oleh berbagai perusahaan. Manajemen laba merupakan fenomena yang menarik

untuk diteliti, karena hal ini dapat merugikan perusahaan dan stakeholders,

bahkan manajemen laba dapat menyebabkan kebangkrutan. Motivasi lainnya

terkait dengan isu penerapan good corporate governance yang semakin gencar

dipromosikan di berbagai Negara, dengan tujuan agar perusahaan dapat

beroperasi secara bertanggung-jawab, transparan, dan adil. Manajemen laba

merupakan tindakan yang tidak sejalan dengan tujuan yang diharapkan good

corporate governance.

Berdasarkan hal-hal tersebut, maka penelitian ini tertarik untuk dilakukan,

guna memberikan solusi yang dapat menurunkan manajemen laba. Penelitian ini

menguji beberapa variabel yang dapat menurunkan manajemen laba, yaitu: (a)

auditor spesialis industri, dan (b) mekanisme Komite Audit yang terdiri dari

ukuran, independensi, keahlian, dan rapat Komite Audit. Adanya inkonsistensi

hasil mengenai pengaruh mekanisme Komite Audit terhadap manajemen laba

mendorong peneliti untuk mengembangkan penelitian ini. Penelitian ini

selanjutnya menguji prudence dalam memoderasi pengaruh mekanisme Komite

Audit terhadap manajemen laba. Prudence diharapkan dapat memperkuat

pengaruh negatif mekanisme Komite Audit terhadap manajemen laba.

13

1.3. Rumusan Masalah

Penelitian ini berfokus pada perusahaan yang melakukan manajemen

laba untuk menghindari kerugian. Penelitian ini menguji mengenai pengaruh

auditor spesialis industri, mekanisme Komite Audit (ukuran, independensi,

keahlian, dan rapat Komite Audit), serta interaksi mekanisme Komite Audit dan

prudence terhadap manajemen laba yang diukur dengan lima proksi, yaitu short

term discretionary accruals, long term discretionary accruals, abnormal cash flow

from operation, abnormal production cost, dan abnormal dicretionary expense.

Pertama-tama penelitian ini menguji tindakan manajemen laba akrual dan

riil yang dilakukan oleh manajer untuk menghindari kerugian. Pengujian pertama

akan memberikan bukti empiris mengenai cara atau metode manajer dalam

melakukan manajemen laba untuk menghindari kerugian. Berdasarkan hasil

pengujian pertama, maka pengujian selanjutnya (pengaruh auditor spesialis

industri, mekanisme Komite Audit, serta interaksi mekanisme Komite Audit dan

prudence terhadap manajemen laba) hanya akan menggunakan proksi

manajemen laba yang signifikan atau dengan kata lain hanya proksi yang

digunakan oleh manajer untuk menghindari kerugian.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka pertanyaan penelitian yang

dapat dibuat pada penelitian ini adalah sebagai berikut;

1. Apakah manajer melakukan manajemen laba untuk menghindari

kerugian?

2. Apakah auditor spesialis industri berpengaruh terhadap manajemen

laba?

3. Apakah mekanisme Komite Audit berpengaruh terhadap manajemen

laba?

4. Apakah prudence memoderasi pengaruh mekanisme Komite Audit

terhadap manajemen laba?

14

1.4 Tujuan

Berdasarkan pertanyaan penelitian di atas, maka tujuan yang diharapkan

dari penelitian ini adalah sebagai berikut;

1. Untuk menguji apakah manajer melakukan manajemen laba untuk

menghindari kerugian.

2. Untuk menguji pengaruh auditor spesialis industri terhadap

manajemen laba.

3. Untuk menguji pengaruh mekanisme Komite Audit terhadap

manajemen laba.

4. Untuk menguji prudence dalam memoderasi pengaruh mekanisme

Komite Audit terhadap manajemen laba.

1.5 Kontribusi Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi teoritis, praktis,

dan kontribusi kebijakan.

1. Kontribusi Teoritis

Penelitian ini secara teoritis diharapkan dapat menjelaskan teori yang

sudah ada ke dalam suatu fenomena, meliputi Teori Agensi, Teori

Akuntansi Positif dan Teori Prospek. Teori Agensi menggambarkan

konflik antara prinsipal dan agen dalam perusahaan-perusahaan di

Indonesia, serta menggambarkan peran auditor spesialis industri

dalam menurunkan manajemen laba. Teori Akuntansi Positif

menggambarkan pilihan manajer atas berbagai kebijakan akuntansi

yang dapat mempengaruhi angka-angka akuntansi. Teori Prospek

menggambarkan tindakan manajer untuk menghindari laba negatif,

tindakan ini dilakukan karena laba negatif mengindikasikan kinerja

manajer yang buruk dan menyebabkan biaya transaksi dengan

15

stakeholders meningkat, selain itu tindakan ini juga dilakukan untuk

memenuhi harapan investor agar perusahaan memiliki kinerja yang

baik. Penelitian ini dapat memberikan kontribusi dalam kajian empiris,

dengan memberikan bukti empiris mengenai tindakan manajer dalam

melakukan manajemen laba untuk menghindari kerugian. Penelitian

ini juga dapat memberikan bukti empiris mengenai pengaruh auditor

spesialis industri, mekanisme Komite Audit, serta interaksi antara

prudence dan mekanisme Komite Audit terhadap manajemen laba.

Penelitian ini dapat menjadi referensi bagi penelitian selanjutnya.

2. Kontribusi Praktis

Penelitian ini dapat digunakan untuk diterapkan di praktik nyata atau

memperbaiki praktik yang ada agar menjadi lebih baik. Penelitian ini

secara praktis dapat memberikan manfaat kepada pihak-pihak

sebagai berikut;

a. Penelitian ini dapat memberikan panduan praktis kepada investor,

sehubungan dengan keputusan investasi investor. Penelitian ini

memberikan informasi mengenai praktik manajemen laba di

Indonesia, serta peran auditor spesialis industri dan mekanisme

Komite Audit dalam menurunkan manajemen laba. Investor

selanjutnya dapat lebih berhati-hati dalam menginvestasikan

dananya, sebelum investor memutuskan untuk berinvestasi,

sebaiknya investor memahami dengan baik auditor yang

digunakan oleh suatu perusahaan dan bagaimana efektivitas

mekanisme Komite Audit suatu perusahaan yang tertuang dalam

laporan tahunan. Hal ini dapat membantu investor dalam

menghindari kerugian investasi.

16

b. Penelitian ini dapat memberikan panduan praktis bagi auditor

eksternal yang mengaudit laporan keuangan. Auditor diharapkan

dapat melakukan audit dengan lebih hati-hati, serta

mempertimbangkan prosedur tambahan apabila diperlukan dalam

proses audit. Auditor juga diharapkan dapat berinvestasi lebih

banyak dalam perekrutan dan pelatihan staf, serta teknologi

informasi. Hal ini bertujuan untuk mengurangi risiko pemegang

saham dan rusaknya reputasi perusahaan.

c. Penelitian ini dapat memberikan saran kepada dewan komisaris

untuk menerapkan mekanisme Komite Audit sebagai mekanisme

pengawasan internal, dan auditor spesialis industri sebagai

mekanisme pengawasan eksternal. Keduanya digunakan untuk

meminimalisir tindakan manajemen laba.

3. Kontribusi Kebijakan

Penelitian ini dapat memberikan informasi kepada pembuat kebijakan,

mengenai peran penting Komite Audit dalam menurunkan manajemen

laba. Penelitian ini dapat memberi masukan kepada pembuat

kebijakan untuk menyempurnakan dan memperkuat regulasi

mengenai Komite Audit, misalkan dengan mempertegas sanksi bagi

yang tidak memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan. Hal ini

diperlukan agar pengawasan terhadap manajemen menjadi lebih

efektif dan tata kelola perusahaan menjadi lebih transparan, adil, dan

bertanggung jawab.

17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kajian Teori

Teori digunakan sebagai pedoman dalam memahami suatu fenomena

dalam penelitian tertentu dan memberikan batasan dalam penelitian. Teori juga

dapat digunakan untuk menjelaskan hubungan antara variabel, sehingga dari

teori ini hipotesis penelitian juga dapat dikembangkan.

2.1.1 Teori Agensi (Agency Theory)

Selama tahun 1960-an dan awal 1970, para ekonomis mengeksplor

mengenai risk sharing antar individu atau kelompok. Kemunculan Teori Agensi

dipelopori oleh Jensen & Meckling (1976), teori ini mengungkapkan adanya

pemisahan kepemilikan dan pengendalian perusahaan. Teori Agensi mengarah

pada suatu hubungan agensi, salah satu pihak yang disebut prinsipal

memberikan wewenang untuk mengelola perusahaan pada pihak lain yang

disebut agen (Eisenhardt, 1989). Teori Agensi mendeskripsikan masalah risk-

sharing sebagai salah satu masalah yang muncul ketika pihak-pihak dalam

organisasi memiliki sikap yang berbeda terhadap suatu risiko.

Teori Agensi mengungkapkan bahwa masalah agensi terjadi ketika pihak-

pihak dalam perusahaan memiliki perbedaan tujuan. Teori Agensi berfokus pada

pemecahan dua masalah yang muncul dalam suatu hubungan agensi. Masalah

pertama muncul ketika ada konflik tujuan antara prinsipal dan agen, serta muncul

kesulitan bagi prinsipal untuk memverifikasi apa yang sebenarnya dilakukan

agen. Masalah kedua adalah mengenai risk-sharing yang muncul ketika prinsipal

dan agen memiliki preferensi yang berbeda atas suatu risiko.

18

Hubungan agensi antara prinsipal dan agen memiliki tiga asumsi dasar

mengenai manusia, yaitu self-interest, rationality, dan risk aversion. Baik prinsipal

maupun agen diasumsikan berfikir secara rasional, sehingga ia hanya akan

mementingkan atau mengutamakan kepentingan dirinya sendiri (self-interest),

dan hal ini menyebabkan mereka enggan atau tidak berani untuk mengambil

risiko yang dapat mengancam kepentingannya.

Teori Agensi telah dikembangkan menjadi dua garis besar, yaitu Teori

Agensi positivis dan penelitian prinsipal-agen. Penelitian positivis berfokus pada

identifikasi situasi prinsipal dan agen yang memiliki konflik tujuan, dan kemudian

mendeskripsikan mekanisme governance yang dapat membatasi sifat self-

interest agen atau yang dapat memecahkan masalah agensi. Para peneliti

prinsipal-agen berfokus pada teori umum dari hubungan prinsipal-agen, yaitu

teori yang dapat diterapkan pada hubungan pemberi kerja dan pekerja,

pengacara dan klien, pembeli dan pemasok, dan hubungan agensi lainnya.

Ada dua kasus yang mungkin terjadi dalam hubungan agensi. Pertama,

ketika ada informasi yang lengkap dan prinsipal mengetahui apa yang telah

dilakukan oleh agen. Kedua, ketika prinsipal tidak mengetahui secara tepat apa

yang telah dilakukan agen. Kasus kedua dapat muncul ketika agen memiliki self-

interest, sehingga ia bisa berperilaku tidak sesuai dengan kontrak. Masalah

agensi ini dapat muncul karena dua hal, yaitu prinsipal dan agen memiliki tujuan

yang berbeda, serta prinsipal tidak dapat memastikan jika agen bertindak secara

tepat. Kasus kedua akan memunculkan adanya asimetri informasi, yaitu

kesenjangan informasi yang diperoleh antara prinsipal dan agen, dalam hal ini

agen memiliki informasi yang lebih banyak daripada prinsipal.

Asimetri informasi akan menimbulkan dua masalah dalam perusahaan,

yaitu adverse selection dan moral hazard (Scott, 2009). Adverse selection

menunjukkan bahwa agen memiliki informasi mengenai perusahaan yang lebih

19

banyak daripada prinsipal dan ada beberapa informasi penting yang bisa saja

tidak disampaikan oleh agen, sehingga akan mempengaruhi pengambilan

keputusan prinsipal. Moral hazard merupakan kegiatan atau tindakan yang

dilakukan oleh agen dan tidak dapat dimonitor oleh prinsipal, sehingga hal ini

memungkinkan agen untuk melakukan tindakan yang melanggar kontrak.

Teori Agensi dalam penelitian ini merupakan teori yang mampu

menjelaskan mengenai self interest agen dan adanya asimetri informasi antara

prinsipal dan agen, hal tersebut kemudian mendorong agen untuk melakukan

manajemen laba. Teori Agensi merupakan teori yang menjelaskan mengenai

peran auditor dan mekanisme tata kelola perusahaan dalam memecahkan

masalah agensi yang muncul karena sifat oportunis agen. Teori Agensi juga

merupakan teori yang mampu menjelaskan bagaimana auditor spesialis industri

dan mekanisme Komite Audit berperan dalam menurunkan manajemen laba.

2.1.2 Teori Akuntansi Positif (Positive Accounting Theory)

Teori Akuntansi Positif merupakan teori yang memiliki tujuan untuk

menjelaskan dan memprediksi suatu fenomena (to explain and to predict)

(Deegan, 2004). Kemunculan Teori Akuntansi Positif dipicu oleh

ketidakmampuan Teori Normatif dalam menguji teori secara empiris. Teori

Akuntansi Positif berfokus pada penelitian empiris mengenai penerapan

kebijakan akuntansi di berbagai perusahaan. Teori ini berusaha menjelaskan dan

memprediksi berbagai perbedaan pilihan kebijakan akuntansi dalam perusahaan.

Manajer akan memilih kebijakan akuntansi yang dapat mempertahankan

kesejahteraannya (Watts & Zimmerman, 1978).

Watts & Zimmerman (1986) menyajikan suatu teori akuntansi yang

menggambarkan mengenai faktor-faktor ekonomi atau karakteristik tertentu

dalam suatu bisnis yang dapat mempengaruhi tindakan manajer dalam

20

menyiapkan laporan keuangan. Teori tersebut juga menjelaskan bagaimana

variabel-variabel ekonomi dapat memotivasi manajer dalam memilih metode

akuntansi. Manajer akan menggunakan kebijakan akuntansi yang paling optimal

menurut versinya, pilihan terhadap kebijakan akuntansi tersebut dapat

memberikan imbal balik yang terbaik dalam rangka mengurangi biaya kontrak

saat ini, dan memberikan manajer fleksibilitas untuk mengubah kebijakan

akuntansi sehubungan dengan perubahan kondisi yang terjadi (Deegan, 2004).

Teori Akuntansi Positif merupakan teori yang mampu menjelaskan

mengenai berbagai pilihan manajer terhadap kebijakan akuntansi. Manajer

melakukan manajemen laba dengan harapan untuk memperoleh manfaat atas

tindakan yang diambil Gumanti (2000). Watts & Zimmerman (1986)

mengungkapkan mengenai tiga hipotesis yang mendorong manajer untuk

bersikap oportunis dalam menentukan berbagai pilihan kebijakan akuntansi, yaitu

sebagai berikut;

1. The Bonus Plan Hypothesis. Hipotesis ini menggambarkan bahwa

ketika manajer berada dalam rencana kompensasi bonus dan

keadaan lainnya dianggap tetap, maka manajer akan berusaha

meningkatkan labanya pada suatu batas tertentu guna meningkatkan

bonus yang mereka terima. Manajer pada kondisi ini cenderung

memilih kebijakan atau prosedur akuntansi yang dapat mempercepat

pengakuan pendapatan.

2. The Debt Covenant Hypothesis. Ketika semua faktor lain dianggap

tetap dan perusahaan berada pada kondisi yang mendekati

pelanggaran utang, maka manajer berusaha untuk mengurangi

kemungkinan tersebut. Manajer akan berusaha untuk memilih

kebijakan atau prosedur akuntansi yang dapat menggeser

pendapatan dari periode mendatang ke periode saat ini.

21

3. The Political Cost Hypothesis. Ketika biaya politik yang dihadapi suatu

perusahaan adalah besar, sedangkan faktor lain dianggap tetap,

maka manajer akan berusaha untuk menurunkan labanya dengan

memilih kebijakan atau prosedur akuntansi yang dapat menggeser

pendapatan dari periode saat ini ke periode mendatang.

2.1.3 Teori Prospek (Prospect Theory)

Teori Prospek merupakan teori yang dikembangkan oleh Kahneman &

Tversky (1976) dalam bidang psikologi. Teori Prospek membahas mengenai

perilaku manusia yang irasional dalam mengambil keputusan. Teori ini

menjelaskan mengenai berbagai pilihan keputusan yang akan diambil ketika

pilihan tersebut memberikan dampak terhadap hasil-hasil yang akan

mempengaruhi kemakmurannya. Teori ini mengungkapkan bahwa manusia

cenderung bertindak menyukai risiko (risk taking) ketika dihadapkan pada suatu

keadaan kerugian atau keadaan yang mengarah pada penurunan kemakmuran.

Manusia cenderung memilih kerugian yang belum pasti, dibandingkan dengan

kerugian yang lebih kecil jumlahnya namun sudah pasti. Sebaliknya, manusia

cenderung bertindak menghindari risiko (risk averse) ketika dihadapkan pada

suatu keadaan keuntungan atau keadaan yang mengarah pada peningkatan

kemakmuran. Manusia cenderung memilih keuntungan yang sudah pasti,

dibandingkan dengan keuntungan yang lebih besar namun belum pasti.

Teori Prospek telah digunakan dalam mengembangkan penelitian

mengenai manajemen laba. Subekti (2012a) mengungkapkan bahwa dalam

suatu angka yang sama, suatu kerugian merupakan hal yang tidak

menyenangkan, apabila dibandingkan dengan suatu keuntungan. Kerugian

sekalipun dalam jumlah yang kecil merupakan sinyal yang menunjukkan bahwa

kinerja manajer buruk. Investor akan menghukum perusahaan-perusahaan yang

22

mengalami kerugian yang tercermin dalam harga saham. Kerugian juga dapat

menyebabkan perusahaan harus menghadapi biaya transaksi yang lebih mahal

dengan stakeholders. Hal ini kemudian mendorong manajer untuk menghindari

kerugian, meskipun dalam jumlah yang kecil. Teori Prospek mengungkapkan

bahwa keputusan yang diambil terkait keuntungun atau kerugian didefinisikan

secara relatif pada suatu titik acuan (reference point). Terkait tindakan manajer

dalam menghindari kerugian, maka titik acuan yang digunakan adalah titik nol,

seperti pada penelitian Hayn (1995), Burgstahler & Dichev (1997),

Roychowdhury (2006), dan Subekti (2012b). Manajer akan melakukan

manajemen laba agar laba berada di atas titik acuan (titik nol).

2.1.4 Manajemen Laba

Bagian ini akan menjelaskan mengenai hal-hal yang berhubungan

dengan manajemen laba. Bagian ini meliputi definisi manajemen laba, pola

manajemen laba, serta motivasi untuk melakukan manajemen laba.

2.1.4.1 Definisi Manajemen Laba

Manajemen laba terjadi ketika manajer menggunakan judgement dalam

pelaporan keuangan dan pengelolaan transaksi untuk mengubah laporan

keuangan, guna menyesatkan stakholders mengenai kinerja perusahaan atau

untuk mempengaruhi kontrak yang bergantung pada angka akuntansi (Healy &

Wahlen, 1999). Manajemen laba merupakan suatu pilihan yang dilakukan oleh

manajer dengan memanfaatkan kebijakan akuntansi atau tindakan nyata untuk

mempengaruhi laba agar mencapai target yang diinginkan (Scott, 2012).

Manajemen laba dapat dipandang dari dua perspektif, yaitu financial

reporting perspective dan contracting perspective (Scott, 2012). Financial

reporting perspective memandang bahwa manajer menggunakan manajemen

23

laba untuk memenuhi perkiraan analis laba, guna menghindari penurunan

reputasi dan harga saham serta untuk memenuhi harapan investor. Contracting

perspective memandang manajemen laba sebagai cara untuk melindungi

perusahaan dari konsekuensi atas kejadian tak terduga ketika terjadi kontrak

yang kaku dan tidak lengkap. Manajemen laba dapat dilakukan melalui pemilihan

kebijakan akuntansi dan tindakan nyata. Manajemen laba melalui pemilihan

kebijakan akuntansi biasanya kurang efektif, sebab kebijakan ini harus di

disclose di laporan keuangan, sehingga akan cepat terdeteksi.

2.1.4.2 Pola Manajemen Laba

Ada empat pola manajemen laba yang dapat dilakukan oleh manajer

guna mencapai target laba yang diinginkan (Scott, 2009), yaitu sebagai berikut;

1. Taking a bath

Pola ini dilakukan dengan cara menjadikan laba perusahaan pada

periode berjalan menjadi sangat ekstrim rendah (bahkan rugi) atau sangat

ekstrim tinggi dibandingkan dengan laba periode sebelumnya atau

sesudahnya. Misalnya, ketika terjadi keadaan buruk yang tidak

menguntungkan, maka manajer akan mengakui adanya biaya-biaya pada

periode masa mendatang, sehingga laba pada periode berikutnya akan

lebih tinggi dari seharusnya.

2. Income Minimization

Pola ini biasanya dilakukan pada saat perusahaan memiliki profitabilitas

tinggi, dengan maksud agar tidak mendapat perhatian secara politis. Pola

ini dilakukan dengan cara menjadikan laba pada periode berjalan lebih

rendah daripada laba sesungguhnya, misalkan dengan pembebanan

pengeluaran biaya Research and Development (R&D).

24

3. Income Maximization

Pola ini dilakukan dengan cara menjadikan laba periode berjalan lebih

tinggi, dengan tujuan untuk memperoleh bonus yang lebih besar,

meningkatkan keuntungan, dan untuk menghindari pelanggaran atas

kontrak utang jangka panjang. Pola ini dapat dilakukan dengan cara

mempercepat pencatatan pendapatan atau menunda biaya.

4. Income smoothing

Pola ini merupakan salah satu pola manajemen laba ketika manajer harus

membuat laba akuntansi yang dilaporkan menjadi relatif konsisten

(smooth) dari waktu ke waktu agar ia dapat memperoleh kompensasi

yang relatif konstan dan mencerminkan laba yang berkualitas.

2.1.4.3 Motivasi untuk Manajemen Laba

Ada berbagai motivasi yang mendorong manajer untuk melakukan

manajemen laba. Scott (2012) mengemukakan empat motivasi manajer dalam

melakukan manajemen laba, yaitu sebagai berikut;

1. Bonus purpose

Manajer memiliki informasi mengenai laba perusahaan sebelum pihak

luar. Manajer akan mengelola laba untuk memaksimalkan bonus mereka

di bawah rencana kompensasi perusahaan.

2. Motivasi Contracting Lainnya

Kontrak utang biasanya timbul dari masalah moral hazard antara manajer

dan pemberi pinjaman. Masalah ini dapat dikendalikan melalui kontrak

pinjaman jangka panjang yang berisi perjanjian untuk melindungi pemberi

pinjaman dari tindakan manajer yang bertentangan dengan kepentingan

pemberi pinjaman, seperti pemberian dividen yang berlebihan atau

melakukan tambahan pinjaman. Mengingat pelanggaran perjanjian dapat

25

menimbulkan biaya besar, maka manajer berusaha untuk menghindari

hal tersebut, sehingga manajemen laba dilakukan untuk mengurangi

kemungkinan pelanggaran perjanjian kontrak utang.

3. Memenuhi Ekspektasi Laba Investor dan Mempertahankan Reputasi

Perusahaan yang melaporkan laba yang lebih besar dari yang diharapkan

investor biasanya mengalami peningkatan pangsa pasar yang signifikan,

dan jika sebaliknya, maka perusahaan mengalami penurunan harga

saham yang signifikan. Perusahaan akan memiliki saham yang negatif

apabila gagal memenuhi ekspektasi laba, sedangkan hasil yang positif

bagi perusahaan yang melebihi harapan investor. Ini menunjukkan bahwa

pasar menghukum perusahaan-perusahaan yang jauh dari harapan

investor, akibatnya manajer memiliki insentif yang kuat untuk memastikan

bahwa ekspektasi laba dapat terpenuhi. Salah satu cara untuk melakukan

ini adalah mengelola peningkatan pendapatan.

4. Penawaran Saham

Manajer akan melakukan manajemen laba agar harga saham saat Initial

Public Offering (IPO) atau penawaran perdana menjadi lebih tinggi dan

kapitalisasi modal perusahaan menjadi lebih besar. Saat perusahaan go

public, informasi keuangan yang ada dalam prospektus merupakan

sumber informasi yang penting. Informasi ini dapat dipakai sebagai sinyal

kepada calon investor mengenai nilai perusahaan. Untuk mempengaruhi

keputusan calon investor, maka manajer berusaha menaikkan laba yang

dilaporkan.

2.1.5 Manajemen Laba Akrual

Akrual merupakan selisih antara laba dan arus kas operasi perusahaan.

Total akrual terdiri dari komponen discretionary dan non-discretionary accrual.

26

Discretionary accrual merupakan akrual yang keterjadiannya tidak dapat

dijelaskan dengan fenomena ekonomik, sedangkan non-discretionary accrual

merupakan akrual yang keterjadiannya dapat dijelaskan dengan fenomena

ekonomik. Manajemen laba akrual merupakan turut campur manajemen dalam

proses pelaporan keuangan melalui berbagai pilihan akuntansi dan estimasi yang

tersedia dalam standar akuntansi. Manajemen laba akrual dapat dilakukan

melalui dua hal, yaitu memanfaatkan kebijakan akuntansi dan discretionary

accrual (Scott, 2012). Manajemen laba dengan cara ini tidak akan mempengaruhi

arus kas yang akan diterima atau dikeluarkan perusahaan.

Pemanfaatan kebijakan akuntansi dilakukan melalui pemilihan berbagai

kebijakan yang tersedia dalam standar akuntansi, misalnya kebijakan untuk

memilih penyusutan dengan menggunakan metode garis lurus atau saldo

menurun. Discretionary accrual merupakan komponen akrual yang manajer

memiliki kewenangan untuk mengatur komponen tersebut. Discretionary accrual

sering dimanfaatkan untuk melakukan manajemen laba, contohnya dalam

menentukan estimasi kerugian piutang dan pengakuan pendapatan.

Pilihan terhadap kebijakan akuntansi dalam manajemen laba harus

memperhatikan adanya iron law yang berbentuk accruals reverse. Kenaikan laba

saat ini akan menyebabkan accruals reverse dalam periode selanjutnya yang

dapat menyebabkan penurunan laba masa depan. Pilihan terhadap kebijakan

akuntansi dalam manajemen laba juga dinilai kurang efektif, sebab pilihan

terhadap kebijakan akuntansi ini akan diungkapkan dalam laporan keuangan.

Model yang digunakan untuk mendeteksi manajemen laba akrual telah

mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Perkembangan ini muncul guna

memperbaiki kelemahan-kelemahan pada model pendeteksian manajamen laba

akrual sebelumnya. Subekti (2012b) menjabarkan mengenai perkembangan

manajemen laba akrual yang terdiri dari model Healy (1985), model DeAngelo

27

(1986), model Jones (1991), model industri oleh Dechow & Sloan (1991), model

Modified Jones oleh Dechow et al. (1995), dan model Kothari et al. (2005).

Berikut merupakan perkembangan model yang digunakan dalam

mendeteksi manajemen laba menggunakan akrual;

1. Model Healy (1985)

Model pendeteksian manajemen laba akrual pada awalnya

menggunakan total akrual. Total akrual pada Model Healy (1985)

merupakan discretionary accrual yang digunakan sebagai proksi

dalam mengukur manajemen laba. Kelemahan model ini adalah

mengabaikan non-discretionary accrual, sehingga total akrual sama

dengan discretionary accrual. Discretionary accrual pada Model Healy

(1985) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut;

TAit = (ΔCAit – ΔCLit – ΔCASHit – ΔSTDit – DEPit)/Ait-1

Keterangan: TAit = Total akrual perusahaan i pada tahun t ΔCAit = Perubahan aset lancar perusahaan i pada tahun t ΔCLit = Perubahan liabilitas lancar perusahaan i pada tahun t ΔCASHit = Perubahan kas perusahaan i pada tahun t ΔSTDit = Perubahan utang jangka panjang yang termasuk dalam kewajiban lancar perusahaan i pada tahun t DEPit = Depresiasi dan amortisasi perusahaan i pada tahun t Ait-1 = Total aset perusahaan i pada tahun t-1

2. Model DeAngelo (1986)

DeAngelo (1986) membagi akrual menjadi dua, yaitu discretionary

dan non-discretionary accrual. Non-discretionary accrual diasumsikan

memiliki sifat random walk, sehingga discretionary accrual tahun t

sama dengan discretionary accrual tahun t-1. Deviasi yang muncul

karena perbedaan discretionary accrual tahun t dan tahun t-1 disebut

sebagai discretionary accrual dan digunakan sebagai proksi dalam

mengukur manajemen laba. Discretionary accrual pada Model

DeAngelo (1986) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut;

28

DA = (TAit – TAit-1)/Ait-1

Keterangan: DA = Discretionary accrual perusahaan i pada tahun t TAit = Total akrual perusahaan i pada tahun t TAit = Total akrual perusahaan i pada tahun t-1

3. Model Jones (1991)

Model Jones (1991) dikembangkan dari model Healy (1985), guna

memperbaiki kelemahan model tersebut. Karakteristik dari model ini

adalah mengurangi asumsi bahwa non-discretionary accrual konstan

dari waktu ke waktu, serta model ini berusaha untuk mengendalikan

efek perubahan keadaan ekonomi perusahaan pada non-discretionary

accrual. Model ini mengontrol pengaruh perubahan keadaan ekonomi

perusahaan dengan menambahkan aset tetap dan perubahan

pendapatan ke dalam model estimasi. Discretionary accrual pada

Model Jones (1991) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut;

DA = TAit/Ait-1 - [α1 (1/Ai,t-1) + α 2 (ΔREVit/Ait-1) + α3 (PPEit/Ait-1)] Keterangan: DA = Discretionary accrual perusahaan i pada tahun t TAit = Total akrual perusahaan i pada tahun t ΔREV = Perubahan pendapatan perusahaan i pada tahun t PPE = Property, plant, equipment perusahaan i pada tahun t Ait-1 = Total aset perusahaan i pada tahun t-1

4. Model Industri oleh Dechow & Sloan (1991)

Model industri Dechow & Sloan (1991) mengasumsikan bahwa variasi

faktor penentu non-discretionary accrual adalah secara umum terjadi

di perusahaan-perusahaan pada industri yang sama. Model ini

menambahkan variabel kontrol pada Model Jones (1991), yaitu sektor

industri yang diterapkan secara cross-sectional.

5. Model Modified Jones oleh Dechow et al. (1995)

Model Dechow et al. (1995) merupakan modifikasi dari Model Jones

(1991). Modifikasi ini dilakukan karena model sebelumnya

29

menghasilkan analisis yang rendah mengenai manajemen laba.

Beberapa discretionary accrual dapat diukur sebagai non-

discretionary accrual saat bagian dari pendapatan juga dikelola.

Misalnya, manajer dapat menambah pendapatan yang sebenarnya

belum diperoleh dan belum diterima secara tunai, hal ini akan

mengakibatkan perubahan pendapatan dan perubahan piutang.

Berdasarkan hal tersebut, maka model ini kemudian menyesuaikan

perubahan pendapatan dengan perubahan piutang. Discretionary

accrual pada Model Modified Jones dapat dihitung dengan rumus

sebagai berikut;

DA = TAit/Ait-1 - [α1(1/Ai,t-1) + α 2(ΔREVit-ΔRECit)/Ait-1 + α3 (PPEit/Ait1)] Keterangan: DA = Discretionary accrual perusahaan i pada tahun t TAit = Total akrual perusahaan i pada tahun t ΔREV = Perubahan pendapatan perusahaan i pada tahun t ΔREC = Perubahan piutang perusahaan i pada tahun t PPE = Property, plant, equipment perusahaan i pada tahun t Ait-1 = Total aset perusahaan i pada tahun t-1

6. Model Kothari et al. (2005)

Penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa baik model

Jones dan Modified Jones memiliki tingkat kesalahan spesifikasi yang

lebih tinggi ketika perusahaan mengalami kinerja keuangan yang

ekstrim tinggi (Guay et al.,1996). Model Kothari et al. (2005)

memberikan suatu cara untuk mengatasi kelemahan pada model-

model sebelumnya. Penelitian Kothari et al. (2005) memasukkan

variabel kinerja, yaitu Return on Assets (ROA) sebagai variabel

independen tambahan dalam regresi discretionary accruals. Model

discretionary accruals yang baru ini akan memberikan kekuatan yang

lebih besar. Model terbaru ini memiliki tingkat kesalahan spesifikasi

yang lebih rendah dan dapat meningkatkan reliabilitas kesimpulan

30

mengenai manajemen laba. Discretionary accrual pada Model Kothari

dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut;

DA = TAit/Ait-1 - [α1(1/Ai,t-1) + α 2(ΔREVit-ΔRECit)/Ait-1 + α3(PPEit/Ait1) + α4(ROAit-1)]

Keterangan: DA = Discretionary accrual perusahaan i pada tahun t TAit = Total akrual perusahaan i pada tahun t ΔREV = Perubahan pendapatan perusahaan i pada tahun t ΔREC = Perubahan piutang perusahaan i pada tahun t PPE = Property, plant, equipment perusahaan i pada tahun t Ait-1 = Total aset perusahaan i pada tahun t-1 ROAit-1 = Return on assets perusahaan i pada tahun t-1

7. Subekti (2012b)

Model Subekti (2012b) merupakan model pendeteksian manajemen

laba yang dikembangkan di Indonesia. Model ini mengadopsi model

Kothari et al. (2005) dengan melakukan satu penyesuaian terhadap

nilai total aset (1/At-1), dalam setiap model estimasinya Subekti (2012)

menggunakan nilai logaritma untuk total aset (1/Log At-1).

Penyesuaian ini dilakukan dengan harapan mendapatkan hasil

analisis yang lebih baik. Apabila tidak menggunakan nilai logaritma

untuk total aset, maka koefisien persamaan adalah sebesar nol untuk

semua observasi, hal ini disebabkan karena mata uang Indonesia

berbeda dengan mata uang Amerika Serikat. Model Subekti (2012b)

membagi manajemen laba akrual menjadi dua, yaitu short term

discretionary accruals dan long term discretionary accruals.

Pembagian manajemen laba akrual ke dalam jangka waktu pendek

dan panjang adalah untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik

mengenai pola yang digunakan oleh manajer dalam mengelola laba

berdasarkan transaksi akrual.

31

2.1.6 Manajemen Laba Riil

Manajemen laba riil merupakan manajemen laba yang dihasilkan dari

kegiatan operasi normal, tindakan ini dimotivasi oleh keinginan manajer untuk

menyesatkan stakeholders agar menjadi percaya pada tujuan pelaporan

keuangan tertentu (Roychowdhury, 2006). Manajemen laba riil merupakan

manajemen laba yang dilakukan melalui kegiatan sehari-hari perusahaan

sepanjang periode berjalan dan akan mempengaruhi arus kas perusahaan.

Manajer telah bergeser dari manajemen laba akrual ke manajemen laba

riil (Gunny, 2005; Graham et al., 2005; Roychowdhury, 2006; Zang, 2012; Cohen

et al., 2008; Cohen & Zarowin, 2010). Pergeseran ini disebabkan oleh dua hal

(Graham et al., 2005), yaitu: (a) manajemen laba akrual lebih mudah dideteksi

oleh auditor dan regulator, serta (b) risiko tidak tercapainya laba yang diinginkan

akan menjadi lebih besar apabila hanya mengandalkan pada manajemen laba

akrual. Meskipun terjadi pergeseran manajemen laba dari manajemen laba

akrual ke manajemen laba riil, namun manajer tetap menggunakan keduanya

untuk mencapai target laba (Zang, 2012). Zang (2012) menemukan bahwa

keputusan perusahaan untuk melakukan manajemen laba riil mendahului

keputusan untuk melakukan manajemen laba akrual.

Manajemen laba riil dapat dilakukan melalui tiga cara (Roychowdhury,

2006), yaitu sebagai berikut;

1. Manipulasi penjualan

Manipulasi penjualan merupakan usaha manajer untuk meningkatkan

penjualan selama periode berjalan melalui pemberian diskon harga

atau memperpanjang jangka waktu kredit. Salah satu cara manajer

untuk mempercepat penjualan tahun depan ke tahun ini adalah

dengan memberikan potongan atau diskon harga, namun peningkatan

volume penjualan ini akan hilang ketika manajer menetapakan harga

32

normal kembali. Pendapatan pada periode saat ini menjadi lebih tinggi

akibat peningkatan penjualan. Kas masuk setelah dikurangi diskon

akibat penjualan tambahan akan menyebabkan penurunan margin

yang diperoleh perusahaan. Margin yang lebih rendah karena harga

diskon menyebabkan biaya produksi terhadap penjualan menjadi

tinggi secara abnormal.

2. Pengurangan biaya diskresioner

Pengeluaran diskresioner merupakan pengeluaran yang meliputi

Research and Development (R&D), iklan, dan pemeliharaan yang

dibebankan pada periode yang sama saat dikeluarkan. Pengurangan

ini dilakukan melalui pengurangan beban diskresioner yang

dikeluarkan. Beban diskresioner meliputi: beban R&D, beban iklan,

serta beban penjualan, umum dan administratif. Dechow & Sloan

(1991) menemukan bahwa CEO melakukan pengurangan atas biaya

R&D di akhir tahun fiskal. Pengurangan biaya ini dilakukan agar

manajemen dapat mencapai target laba yang diinginkan.

3. Overproduction

Manajer perusahaan manufaktur dapat memproduksi barang dalam

jumlah yang lebih besar daripada yang dibutuhkan untuk memenuhi

permintaan yang diharapkan. Produksi secara besar-besaran akan

menyebabkan biaya overhead tetap terbagi dalam jumlah produk

yang lebih besar, sehingga akan menurunkan biaya tetap per unit dan

total biaya juga akan menurun. Penurunan total biaya akan

berdampak pada penurunan cost of good sold, sehingga perusahaan

akan melaporkan margin operasi yang lebih tinggi.

Manajemen laba riil dilakukan oleh manajer untuk memenuhi target laba

periode berjalan, namun tindakan ini berpotensial untuk menurunkan nilai

33

perusahaan di masa depan. Manajemen laba riil dapat mengurangi nilai

perusahaan, karena tindakan yang diambil pada periode saat ini untuk

meningkatkan laba dapat memberikan dampak negatif pada arus kas masa

depan. Sebagai contoh, potongan harga yang agresif untuk meningkatkan

volume penjualan dan memenuhi target laba jangka pendek dapat menyebabkan

konsumen mengharapkan potongan serupa di masa depan. Hal ini dapat

menurunkan margin pada penjualan di masa depan. Overproduction juga akan

meningkatkan biaya persediaan, seperti biaya penyimpanan persediaan.

Model pendeteksian manajemen laba rii dikembangkan oleh

Roychowdhury et al. (2006). Roychowdhury et al. (2006) menggunakan tiga

proksi dalam mengukur manajemen laba, yaitu abnormal cash flow from

operation, abnormal production cost, dan abnormal discretionary expenses.

Model pendeteksian manajemen laba di Indonesia dikembangkan oleh Subekti

(2012b). Model tersebut mengadopsi model Roychowdhury et al. (2006) dengan

melakukan satu penyesuaian terhadap nilai total aset (1/At-1), dalam setiap model

estimasinya Subekti (2012b) menggunakan nilai logaritma untuk total aset

(1/Log. At-1). Sama seperti pada manajemen laba akrual, penyesuaian ini

dilakukan untuk mendapatkan hasil analisis yang lebih baik.

2.1.7 Auditor Spesialis Industri

Bartov et al. (2001) mencatat bahwa insentif manajer untuk mengelola

laba merupakan salah satu biaya agensi. Bukti empiris dari Teori Agensi juga

melaporkan bahwa manajemen memiliki preferensi untuk mengelola angka laba

dalam rangka memperoleh manfaat dari proses contracting (Holthausen et al.,

1995). Penelitian sebelumnya mendokumentasikan bahwa biaya transaksi yang

lebih tinggi merupakan hasil dari asimetri informasi yang lebih besar antara

pelaku pasar. Beberapa penelitian juga mendokumentasikan bukti bahwa

34

keberadaan asimetri informasi adalah kondisi yang diperlukan untuk melakukan

manajemen laba (Dye, 1988). Praktek manajemen laba telah mengikis

kepercayaan diri investor dalam kualitas pelaporan keuangan dan menghambat

efisiensi arus modal di pasar keuangan (Jackson & Pitman, 2001).

Tindakan oportunis manajer dalam pelaporan keuangan dapat dimonitor

oleh pihak ketiga yang disebut sebagai auditor. Hal ini didukung oleh penelitian

Jensen & Meckling (1976); Krishnan (2003a) yang menemukan bahwa auditor

berperan dalam mekanisme monitoring untuk mengurangi biaya agensi, salah

satunya yang timbul karena insentif manajer untuk mengelola laba. Keberadaan

auditor akan mengurangi asimetri informasi yang terjadi antara prinsipal dan

agen. Kualitas audior akan sangat mempengaruhi hasil audit, auditor yang

berkualitas dan memiliki reputasi baik dapat memonitor dan mendeteksi

perusahaan yang melakukan manajemen laba, sehingga semakin berkualitas

auditor maka semakin kecil kemungkinan manajemen laba akan dilakukan.

DeAngelo (1981) mengungkapkan bahwa kualitas auditor ditentukan dari

kemampuan mereka untuk menemukan kesalahan dan salah saji material dalam

laporan keuangan perusahaan serta melaporkan pelanggaran tersebut. Bartov et

al. (2001) menunjukkan bahwa auditor berkualitas tinggi akan lebih transparan

dalam melaporkan kesalahan dan penyimpangan. Auditor berkualitas tinggi

diharapkan untuk dapat mendeteksi praktik manajemen laba dengan lebih baik

(Becker et al., 1998).

Pasar audit kini telah matang, teori ekonomi menunjukkan bahwa

perusahaan audit harus membedakan diri, salah satunya melalui spesialisasi

(Watkins et al., 2004). Spesialisasi merupakan salah satu langkah auditor untuk

melakukan diferensiasi dari kompetitornya, sehubungan untuk memenuhi

berbagai kebutuhan klien melalui cara yang tidak mudah ditiru oleh kompetitor

(Dunn & Mayhew, 2004). Spesialisasi industri berhubungan dengan kualitas audit

35

yang lebih tinggi (Craswell et al., 1995; Deboskey & Jiang, 2012). Spesialisasi

memungkinkan auditor untuk memberikan pelayanan dan kredibilitas yang

superior (Beasley & Petroni, 2001). Hal ini diharapkan dapat mengembalikan

kepercayaan diri investor dalam kualitas pelaporan keuangan dan memperlancar

kembali efisiensi arus modal di pasar keuangan.

Auditor spesialis cenderung berinvestasi lebih banyak dalam perekrutan

dan pelatihan staf, informasi teknologi, serta teknologi audit, daripada auditor

non-spesialis (Krishnan, 2003b). Berdasarkan hal tersebut, maka auditor

spesialis industri diharapkan dapat menunjukkan kinerja yang lebih unggul

dibandingkan rekan-rekan mereka yang non-spesialis (Solomon et al., 1999;

Owhoso et al., 2002). Auditor spesialis juga memiliki pengetahuan dan keahlian

yang lebih spesifik mengenai industri daripada auditor non-spesialis (Dunn &

Mayhew, 2004). Krishnan (2003b) mengungkapkan bahwa pemahaman auditor

spesialis yang menyeluruh mengenai tren dan karakteristik industri akan

menjadikan auditor lebih efektif dalam melakukan audit, dibandingkan auditor

non-spesialis. Berdasarkan keunggulan-keunggulan tersebut, maka auditor

spesialis industri diharapkan dapat menurunkan manajemen laba (Balsam et al.,

2003). Hal ini sesuai dengan Deboskey & Jiang (2012) yang mengungkapkan

bahwa auditor spesialis lebih efektif dalam menurunkan manajemen laba, karena

memiliki peran efektif dalam memonitor dan membatasi pilihan diskresioner,

serta mereka juga lebih terbuka dalam hasil temuannya.

2.1.8 Tata Kelola Perusahaan

Ekonomi modern ditunjukkan dengan pengelolaan dan pengendalian

perusahaan yang semakin terpisah dari kepemilikan. Hal ini sejalan dengan Teori

Agensi yang menunjukkan pentingnya pemisahan kepemilikan dan pengelolaan

perusahaan. Tujuan pemisahan ini adalah untuk menciptakan efisiensi dan

36

efektifitas, melalui agen profesional yang dipekerjakan untuk mengelola

perusahaan. Ada masalah yang timbul dalam pemisahan ini, manajer mungkin

berusaha untuk memaksimalkan kepentingannya sendiri dengan mengorbankan

kepentingan para pemegang saham. Pemisahan ini juga telah menyebabkan

kurangnya transparansi dalam penggunaan dana di perusahaan.

Perusahaan semakin tergantung pada modal eksternal untuk pembiayaan

kegiatan, investasi dan pertumbuhan. Hal ini menyebabkan manajer perlu

meyakinkan pemodal eksternal atas penggunaan dana yang tepat dan paling

efisien, serta meyakinkan mereka bahwa manajemen bertindak untuk

kepentingan terbaik perusahaan. Jaminan tersebut dapat diwujudkan melalui

mekanisme corporate governance (CG) atau tata kelola perusahaan. Sistem CG

yang sehat harus memberikan perlindungan yang efektif bagi pemegang saham

dan kreditur, sehingga mereka dapat meyakinkan diri untuk mendapatkan

pengembalian yang tepat atas investasi mereka.

Organisation for Economic Co-operation and Development atau OECD

(2004) mengungkapkan bahwa CG berhubungan dengan menjaga

keseimbangan antara tujuan ekonomi dan sosial, serta antara tujuan individu dan

komunal. CG mendorong penggunaan sumber daya yang efisien dan

menghasilkan akuntabilitas untuk pengelolaan sumber daya, tujuannya adalah

untuk menyelaraskan kepentingan individu, perusahaan dan masyarakat.

Menggunakan defisini dari Komite Cadbury, FCGI (2001) mendefinisikan CG

sebagai seperangkat aturan yang mendefinisikan hubungan antara pemegang

saham, manajer, kreditor, pemerintah, karyawan, serta stakeholder internal dan

eksternal, yang berkaitan dengan hak-hak dan tanggung jawab mereka, atau

sistem dimana perusahaan akan diarahkan dan dikontrol. Tujuan dari CG adalah

untuk menciptakan nilai tambah bagi stakeholders. OECD (2004)

mengungkapkan enam prinsip CG, yaitu memastikan dasar untuk kerangka tata

37

kelola perusahaan yang efektif, hak pemegang saham, perlakuan yang setara

terhadap pemegang saham, peran stakeholders dalam CG, pengungkapan dan

transparansi, serta tanggung jawab dewan.

Upaya untuk meningkatkan CG telah dilakukan di Indonesia. Perbaikan

ini merupakan bagian penting dari Letter of Intent yang ditandatangani oleh

Indonesia dan IMF. Bantuan keuangan dari IMF akan bertumpu pada

peningkatan CG. Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG)

merekomendasikan dan memantau perbaikan CG di Indonesia. Sebuah inisiatif

dari sektor swasta melalui beberapa asosiasi bisnis dan profesional juga telah

membentuk Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI). Ada juga

lembaga yang mengkhususkan diri dalam CG, misalnya Indonesian Institute for

Corporate Governance (IICG) dan Indonesian Institute for Corporate Directorship

(IICD).

2.1.9 Komite Audit

Komite Audit merupakan salah satu komite yang dibentuk oleh Dewan

Komisaris untuk membantu mereka dalam melaksanakan sistem pengawasan

secara menyeluruh. FCGI (2001) menyebutkan bahwa Komite Audit berperan

penting dalam memberikan pandangan atas berbagai masalah akuntansi,

laporan keuangan dan berbagai penjelasannya, serta sistem pengawasan

internal. Ayemere & Elijah (2015) menyebutkan bahwa Komite Audit merupakan

bagian yang bertanggung jawab untuk memastikan akurasi dan reliabilitas

laporan keuangan yang disediakan manajemen.

FCGI (2001) menjabarkan mengenai tiga tanggung jawab Komite Audit,

yaitu sebagai berikut;

1. Laporan Keuangan. Komite Audit bertanggung jawab terhadap

laporan keuangan, guna memastikan bahwa laporan keuangan yang

38

diterbitkan perusahaan telah mencerminkan keadaan sebenarnya

mengenai kondisi keuangan, hasil usaha dan rencana jangka panjang

perusahaan. Ada beberapa ruang lingkup pekerjaan Komite Audit

terkait laporan keuangan, diantaranya memberikan rekomendasi dan

memeriksa hal-hal mengenai auditor eksternal, menilai kebijakan

akuntansi yang digunakan perusahaan dan keputusan-keputusan

terkait, serta menelaah laporan keuangan interim maupun tahunan.

2. Tata Kelola Perusahaan. Komite Audit bertanggung jawab terhadap

tata kelola perusahaan. Komite Audit bertanggung jawab untuk

memastikan bahwa perusahaan menjalankan usahanya sesuai

dengan ketentuan hukum dan undang-undang, menjalankan

bisnisnya secara etis, serta melakukan pengawasan dengan efektif

terkait benturan kepentingan dan kecurangan yang terjadi di

perusahaan. Ada beberapa ruang lingkup pekerjaan Komite Audit

terkait tata kelola perusahaan, diantaranya melakukan penillaian atas

kebijakan perusahaan yang memiliki hubungan dengan undang-

undang, etika, benturan kepentingan, serta melakukan penyelidikan

dan pemeriksaan atas perbuatan yang curang dan merugikan

perusahaan.

3. Pengawasan Perusahaan. Komite Audit bertanggung jawab dalam

pengawasan perusahaan, termasuk memahami berbagai hal dan

masalah yang berpotensi mengandung risiko, serta bertanggung

jawab dalam mengawasi auditor internal. Ruang lingkup pekerjaan

Komite Audit terkait pengawasan perusahaan adalah meliputi

pemeriksaaan dan penilaian atas kecukupan pengendalian internal.

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 55 tahun 2015 mewajibkan

perusahaan publik untuk memiliki Komite Audit. Komite Audit tersebut paling

39

sedikit terdiri atas tiga orang yang berasal dari pihak luar (independen) dan

diketuai oleh seorang Komisaris Independen. Komite Audit wajib memahami

laporan keuangan dan memiliki pengetahuan, kemampuan, serta pengalaman

terkait dengan pekerjaannya. Komite Audit juga diwajibkan untuk memiliki salah

satu anggota yang berlatar belakang akuntansi dan keuangan.

2.1.10 Mekanisme Komite Audit

Melihat masih banyaknya kasus manajemen laba dalam perusahaan, ini

membuktikan bahwa kehadiran Komite Audit tidak serta merta dapat membatasi

manajemen laba (Ayemere & Elijah, 2015). Formasi audit bukanlah jaminan

untuk membatasi manajemen laba, tetapi bagaimana mekanisme Komite Audit

yang berperan dalam membatasi manajemen laba dan meningkatkan

kepercayaan stakeholders terkait laporan keuangan. Alzoubi & Selamat (2012)

dan Ayemere & Elijah (2015) melakukan penelitian mengenai mekanisme Komite

Audit yang meliputi ukuran, rapat, independensi, dan keahlian Komite Audit.

Temuan penelitian tersebut menunjukkan bahwa mekanisme Komite Audit dapat

menurunkan manajemen laba. Ayemere & Elijah (2015) juga merekomendasikan

kepada perusahaan untuk fokus dalam memperkuat mekanisme Komite Audit.

Ukuran Komite Audit merupakan salah satu karakteristik signifikan yang

berkontribusi dalam efektivitas Komite Audit (Alzoubi & Selamat, 2012). Ukuran

Komite Audit mengacu kepada jumlah anggota Komite Audit, termasuk pula

didalamnya Ketua Komite Audit. Ukuran Komite Audit yang terlalu kecil dapat

menurunkan efektivitas pemantauan dan efisiensi dalam pemenuhan tugas

mereka (Vafeas, 2005). Semakin besar ukuran Komite Audit diharapkan

pengawasan semakin meningkat, sehingga dapat menurunkan manajemen laba.

Ukuran Komite Audit yang terlalu besar juga tidak baik, sebab kinerja mereka

bisa menurun karena permasalahan koordinasi, sehingga berdampak pada

40

pengawasan yang lemah (Vafeas, 2005). Ukuran Komite Audit yang sempurna

adalah antara tiga sampai empat (Vafeas, 2005).

Conger et al. (1998) mengemukakan bahwa rapat yang lebih sering

dilakukan mampu meningkatkan efektivitas dewan. Komite Audit yang bertemu

secara teratur berhubungan dengan pengawasan yang lebih efektif. Dewan yang

lebih aktif akan lebih mungkin untuk melakukan tugas mereka sesuai dengan

kepentingan pemegang saham dan lebih berupaya dalam memantau integritas

laporan keuangan (Alzoubi & Selamat, 2012). Sehubungan dengan jumlah rapat

Komite Audit, Xie et al. (2003) menemukan bahwa jumlah rapat yang lebih tinggi

berhubungan dengan manajemen laba yang lebih rendah.

Independensi merupakan kualitas penting yang dapat memberikan

kontribusi untuk efektivitas fungsi pengawasan (Alzoubi & Selamat, 2012).

Senada dengan hal tersebut, Ayemere & Elijah (2015) juga mengungkapkan

bahwa independensi merupakan karakteristik utama dalam efektivitas Komite

Audit. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa Komite Audit independen

berhubungan dengan manajemen laba yang lebih rendah (Bedard et al., 2004;

Davidson et al., 2005; Klein, 2002; Xie et al., 2003). Hal ini disebabkan karena

komite audit independen mampu memonitor manajemen secara efektif.

Komite audit bertanggung jawab terhadap laporan keuangan, guna

memastikan bahwa laporan keuangan yang diterbitkan perusahaan telah

mencerminkan keadaan sebenarnya. Ayemere & Elijah (2015) juga menyebutkan

bahwa Komite Audit bertanggung jawab atas laporan keuangan yang berkualitas

dan terpercaya. Berdasarkan hal tersebut, maka merupakan hal penting apabila

Komite Audit memiliki keahlian dalam bidang keuangan dan akuntansi. Alzoubi &

Selamat (2012) menyebutkan bahwa Komite Audit yang memiliki pengetahuan

terkait keuangan dan akuntansi akan meningkatkan kinerja Komite Audit.

Peningkatan kinerja Komite Audit diharapkan dapat berperan dalam menurunkan

41

manajemen laba. Hal ini dibuktikan oleh Bedard et al. (2004) yang menemukan

bahwa keahlian keuangan Komite Audit dapat mengurangi kesempatan

mengelola laba secara oportunis.

2.1.11 Prudence

Perusahaan memiliki kontrak dengan berbagai pihak yang

berkepentingan dengan perusahaan, misalnya investor, kreditor dan pemerintah

(Jansen & Meckling, 1976). Bentuk pertanggungjawaban perusahaan terhadap

berbagai pihak tersebut dituangkan dalam angka-angka akuntansi yang terdapat

dalam laporan keuangan. Teori Akuntansi Positif menggambarkan mengenai

berbagai pilihan manajemen atas kebijakan akuntansi yang dapat mempengaruhi

angka-angka akuntansi tersebut. Hal ini dapat terjadi karena standar akuntansi

memberikan berbagai pilihan metode akuntansi yang memungkinkan perusahaan

untuk memilih. Berbagai pilihan metode akuntansi memungkinkan perusahaan

untuk memilih metode yang dampaknya terhadap laba adalah cenderung

konservatif (Wistawan, 2015).

Prudence atau kehati-hatian merupakan prinsip akuntansi yang

menggantikan konservatisme semenjak konvergensi IFRS (Wistawan, 2015).

Prudence adalah tingkat kehati-hatian dalam melakukan penilaian untuk

membuat estimasi yang diperlukan dalam kondisi ketidakpastian, sehingga aset

atau pendapatan tidak disajikan lebih tinggi dan kewajiban atau beban tidak

disajikan lebih rendah (Hoogervorst, 2012). Prudence muncul ketika perusahaan

berada dalam kondisi yang penuh dengan ketidakpastiaan. LaFond &

Roychowdhury (2008) mengungkapkan bahwa dalam kondisi ketidakpastian

manajemen akan memilih perlakuan akuntansi yang kurang menguntungkan.

Prudence secara harfiah mirip dengan konservatisme, yakni merupakan

kehati-hatian terhadap kondisi dimasa depan yang tidak pasti, bedanya prudence

42

adalah konservatisme dalam batas wajar, atau tidak seekstrim konservatisme.

Konsep prudence memperbolehkan perusahaan mengakui pendapatan

sesegera mungkin selama telah memenuhi syarat-syarat pengakuan yang

ditetapkan dalam standar.

Konservatisme menggambarkan mengenai kecendrungan akuntan untuk

mensyaratkan derajat verifikasi yang lebih tinggi dalam pengakuan good news

dibandingkan bad news (Basu, 1997). Konservatisme menyebabkan perusahaan

akan mengakui beban atau rugi secepat mungkin, dan menunda pendapatan

atau laba untuk di masa depan (Basu, 1997). Berdasarkan hal tersebut, maka

laba dalam konservatisme merefleksikan bad news dengan lebih cepat

dibandingkan good news. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi derajat

verifikasi yang dipersyaratkan untuk mengakui laba atau pendapatan, maka

semakin konservatif suatu perusahaan.

Ada dua jenis konservatisme akuntansi, yaitu conditional conservatism

dan unconditional conservatism (Beaver & Ryan, 2005).

1. Conditional conservatism atau ex-post conservatism merupakan

konservatisme yang dipengaruhi oleh suatu berita. Jenis

konservatisme ini menggambarkan mengenai pengakuan bad news

yang lebih cepat daripada good news. Akuntan dalam jenis ini akan

menerapkan derajat verifikasi yang tinggi dalam mengakui

pendapatan atau laba. Jenis konservatisme ini akan membatasi

manajer dalam melaporkan laba yang lebih tinggi ketika berada dalam

suatu kondisi yang tidak menguntungkan.

2. Unconditional conservatism atau ex-ante conservatism merupakan

konservatisme yang tidak dipengaruhi oleh suatu berita. Jenis

konservatisme ini berhubungan dengan kebijakan yang digunakan

oleh manajemen untuk mempengaruhi laba secara independen dari

43

berita yang ada. Akuntan dalam jenis ini akan menerapkan derajat

verifikasi yang tinggi dalam melaporkan aset.

Basu (1997) dan Watts (2003) menjelaskan mengenai berbagai alasan

yang mendorong perusahaan dalam menerapkan konservatisme, yang meliputi

alasan kontrak, litigasi, perpajakan, dan regulasi.

1. Salah satu cara dalam mewujudkan efisiensi kontrak adalah melalui

konservatisme. Konservatisme yang dilakukan perusahaan akan

membatasi pandangan optimistik manajer. Manajer akan secara lebih

cepat mengakui kerugian daripada keuntungan. Implikasi dari

konservatisme adalah pembayaran dividen kepada pemegang saham

dan kompensasi kepada manajer yang lebih rendah. Konservatisme

akan membatasi pembayaran yang bersifat oportunis kepada manajer

dan berbagai pihak dalam kontrak (Watts, 2003).

2. Perusahaan yang menerapkan akuntansi secara agresif akan

mendapatkan perhatian yang lebih besar dari pemegang saham,

serikat buruh, maupun pemerintah. Perhatian dari berbagai pihak ini

akan menimbulkan biaya litigasi yang lebih besar, misalkan tuntunan

kenaikan upah buruh. Perusahaan yang menerapkan konservatisme

dapat menekan kemungkinan biaya litigasi yang besar.

3. Prinsip konservatisme yang mempercepat pengakuan biaya dan

menunda pengakuan pendapatan akan berdampak pada laba yang

lebih rendah pada periode berjalan. Sehingga, konservatisme yang

dilakukan perusahaan akan mampu mengurangi jumlah pajak yang

dibayar perusahaan, serta mampu menangguhkan hutang pajak ke

masa mendatang (Watts, 2003). Namun, Indonesia memiliki aturan

sendiri dalam menentukan pajak terutang, sehingga hal ini kurang

relevan dalam konteks Indonesia.

44

4. Regulasi memberikan insentif kepada perusahaan untuk melaporkan

laporan keuangannya secara konservatif, sehingga hal ini memicu

manajer untuk menjadi konservatif. Hal ini misalnya terlihat pada

salah standar yang terdapat dalam International Financial Reporting

Standards (IFRS). IFRS mengatur mengenai metode penilaian

persediaan yang dikenal dengan istilah “Lower of Cost or Net

Realizable Value (LCNRV)”, metode penilaian ini mengharuskan

perusahaan untuk melaporkan persediaannya sebesar nilai yang lebih

rendah antara biaya atau nilai bersih yang dapat direalisasikan.

Implikasi dari metode ini adalah nilai persediaan terlihat lebih rendah.

2.2 Kajian Empiris

Kajian empiris dilakukan dengan mengkaji penelitian-penelitian terdahulu

yang berhubungan dengan rumusan masalah penelitian. Hubungan antarvariabel

diharapkan akan semakin jelas dengan adanya kajian empiris ini.

2.2.1 Manajer Melakukan Manajemen Laba untuk Menghindari Kerugian

Penelitian-penelitian sebelumnya telah menemukan bukti mengenai

manajer yang melakukan manajemen laba untuk menghindari kerugian.

Burgstahler & Dichev (1997), Roychowdhury (2006), dan Subekti (2012b)

menemukan bahwa manajer melakukan manajemen laba untuk menghindari

perusahaan dalam melaporkan kerugian. Roychowdhury (2006) menemukan

bukti bahwa sebagian besar perusahaan di Amerika Serikat melakukan

manajemen laba dengan cara mengelola arus kas operasional, biaya produksi,

dan beban diskresioner untuk menghindari kerugian. Subekti (2012a)

menemukan bukti di Indonesia, penelitian tersebut menemukan bahwa sebagian

perusahaan di Indonesia melakukan manajemen laba dengan cara memperbesar

45

arus kas operasional, memperbesar biaya produksi, memperkecil beban

diskresioner, dan memperkecil long term discretionary accruals.

Manajer akan melakukan manajemen laba agar laba berada di atas titik

acuan (titik nol). Tindakan ini dilakukan manajer karena laba negatif

mengindikasikan kinerja yang buruk, serta memberikan sinyal negatif kepada

investor. Kerugian menyebabkan perusahaan harus menghadapi biaya transaksi

yang lebih mahal dengan stakeholders (Burgstahler & Dichev, 1997).

2.2.2 Auditor Spesialis Industri dan Manajemen Laba

Penelitian mengenai pengaruh kualitas auditor terhadap manajemen laba

telah banyak di lakukan di berbagai Negara. Kualitas audit di kebanyakan

penelitian ditentukan oleh Big 4 dan Non-big 4, seperti penelitian Kim et al.

(2003), Memis & Jetenak (2012), dan Kouaib & Jarboui (2014). Kini cukup

banyak penelitian yang menentukan kualitas auditor berdasarkan spesialisasi

industrinya. Auditor spesialis lebih efektif dalam menurunkan manajemen laba

serta lebih terbuka dalam melaporkan hasil temuannya. Penelitian mengenai

pengaruh auditor spesialis industri terhadap manajemen laba telah cukup banyak

dilakukan di luar Indonesia, namun sepengetahuan peneliti, penelitian tersebut

masih jarang dilakukan di Indonesia.

Penelitian Balsam et al. (2003) menguji hubungan antara ukuran kualitas

laba dan auditor spesialis industri. Penelitian ini membandingkan tingkat absolute

Discretionary Accrual (DAC) dan Earnings Response Coefficients (ERC) antara

perusahaan yang telah diaudit oleh auditor spesialis industri dan dengan

perusahaan yang tidak diaudit auditor spesialis industri. Penelitian ini

menemukan bahwa klien dari auditor spesialis industri memiliki DAC lebih rendah

dan ERC lebih tinggi daripada klien dari auditor non-spesialis.

46

Krishnan (2003b) melakukan penelitian mengenai peran auditor industry

expertise dalam membatasi manajemen laba. Penelitian ini menggunakan

sampel dari klien Big 6. Auditor industry expertise diukur dari segi pangsa pasar

auditor dalam suatu industri dan pangsa industri dalam portofolio auditor industri

klien, sedangkan manajemen laba diukur dengan tingkat absolut DAC. Penelitian

ini menemukan bahwa klien auditor non-spesialis melaporkan DAC yang lebih

tinggi daripada DAC yang dilaporkan oleh klien dari auditor spesialis. Hal ini

membuktikan bahwa auditor spesialis dapat menurunkan manajemen laba akrual

dengan lebih baik daripada auditor non-spesialis.

Rusmin (2010) telah melakukan penelitian mengenai kualitas auditor dan

manajemen laba di Singapura, ia menemukan bukti adanya hubungan negatif

antara kualitas auditor dan manajemen laba. Temuannya menyimpulkan bahwa

besarnya manajemen laba antara perusahaan yang diaudit oleh auditor spesialis

secara signifikan lebih rendah dibandingkan perusahaan yang diaudit dengan

auditor non-spesialis.

Penelitian terkait pengaruh auditor spesialis industri juga dilakukan oleh

Gerayli et al. (2011), DeBoskey & Jiang (2012), Inaam et al. (2012), Hegazy et al.

(2015), serta Ahmad et al. (2016). Semua penelitian tersebut menemukan

hubungan negatif antara auditor spesialis industri dan manajemen laba. Auditor

spesialis industri berhubungan dengan manajemen laba yang lebih rendah.

2.2.3 Mekanisme Komite Audit dan Manajemen Laba

Komite Audit merupakan komite yang membantu Dewan Komisaris dalam

melakukan pengawasan dan bertanggung jawab terhadap kredibilitas laporan

keuangan, tata kelola perusahaan dan pengawasan perusahaan. Alzoubi &

Selamat (2012) menemukan bahwa komite audit yang efektif mampu

menurunkan manajemen laba. Keberadaan Komite Audit tidak serta merta dapat

47

menurunkan manajemen laba, tapi mekanisme Komite Audit yang berperan

dalam menurunkan manajemen laba. Mekanisme Komite Audit diantaranya

meliputi ukuran, rapat, independensi, dan keahlian Komite Audit.

Alzoubi & Selamat (2012) dan Ayemere & Elijah (2015) melakukan

penelitian mengenai mekanisme Komite Audit yang meliputi ukuran, rapat,

independensi, dan keahlian Komite Audit. Kedua penelitian tersebut menemukan

bahwa masing-masing mekanisme Komite Audit berpengaruh secara negatif

terhadap manajemen laba. Hal ini menunjukkan bahwa mekanisme Komite Audit

yang meliputi ukuran, rapat, independensi, dan keahlian Komite Audit berperan

dalam membatasi atau menurunkan manajemen laba.

Penelitian mengenai mekanisme Komite Audit juga dilakukan oleh

beberapa peneliti lain. Xie et al. (2003) menemukan bahwa jumlah rapat yang

lebih tinggi berhubungan dengan manajemen laba yang lebih rendah. Komite

Audit yang bertemu secara teratur berhubungan dengan pengawasan yang lebih

efektif. Bedard et al. (2004), Davidson et al. (2005), Klein (2002), dan Xie et al.

(2003) menemukan bahwa Komite Audit independen berhubungan dengan

manajemen laba yang lebih rendah. Hal ini disebabkan karena Komite Audit

independen mampu memonitor manajemen secara efektif. Bedard et al. (2004)

juga menemukan bahwa keahlian keuangan Komite Audit dapat mengurangi

kesempatan mengelola laba secara oportunis.

Beberapa penelitian lain menemukan bahwa tidak ada hubungan antara

Komite Audit dan manajemen laba. Al-Thuneibat et al. (2014) melakukan

penelitian untuk menyelidiki kepatuhan Saudi shareholding companies terhadap

persyaratan tata kelola perusahaan dan dampaknya terhadap manajemen laba.

Penelitian menemukan bahwa tidak ada hubungan signifikan antara tata kelola

perusahaan yang diproksikan dengan audit internal, Komite Audit dan dewan

direksi dengan Absolute Discretionary Accrual. Hasil serupa juga ditemukan

48

Mohamad et al. (2012) yang menemukan bahwa tidak ada pengaruh antara

keahlian, independensi, dan rapat Komite Audit terhadap manajemen laba.

Chandrasegaram et al. (2013) juga menemukan bahwa ukuran dan independensi

Komite Audit tidak berpengaruh terhadap manajemen laba.

2.2.4 Mekanisme Komite Audit, Manajemen Laba, dan Prudence

Prudence atau kehati-hatian merupakan prinsip akuntansi yang

menggantikan konservatisme semenjak konvergensi IFRS (Wistawan, 2015).

Prudence adalah tingkat kehati-hatian dalam melakukan penilaian yang

diperlukan untuk membuat estimasi yang diperlukan dalam kondisi

ketidakpastian, sehingga aset atau pendapatan tidak disajikan lebih tinggi dan

kewajiban atau beban tidak disajikan lebih rendah (Hoogervorst, 2012).

Teori Akuntansi Positif menggambarkan mengenai berbagai pilihan

manajemen atas kebijakan akuntansi yang dapat mempengaruhi angka-angka

akuntansi. LaFond & Roychowdhury (2008) mengungkapkan bahwa dalam

kondisi ketidakpastian manajemen akan memilih perlakuan akuntansi yang

kurang menguntungkan. Berbagai pilihan metode akuntansi memungkinkan

perusahaan untuk memilih metode yang dampaknya terhadap laba adalah

cenderung konservatif (Wistawan, 2015). Sikap kehati-hatian yang melekat pada

konservatisme menyebabkan konservatisme dapat membatasi sifat oportunis

manajer dalam laporan keuangan (Guay & Verrecchia, 2006; Chen at al., 2007).

Kekuatan pengaruh mekanisme Komite Audit terhadap manajemen laba

akan dipengaruhi oleh sikap prudence manajer dalam menghadapi

ketidakpastian, hal tersebut tercermin dalam kebijakan akuntansi yang dipilih

manajer. Perusahaan yang memilih kebijakan secara prudence diharapkan dapat

membatasi sifat oportunis manajer, sehingga dapat memperkuat pengaruh

negatif mekanisme Komite Audit terhadap manajemen laba.

49

BAB III

KERANGKA KONSEPTUAL PENELITIAN

3.1 Kerangka Konsep Penelitian

Manajemen laba dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu melalui

manajemen laba akrual dan manajemen laba riil. Manajemen laba akrual

merupakan turut campur manajemen dalam proses pelaporan keuangan melalui

berbagai pilihan akuntansi dan estimasi yang tersedia dalam standar akuntansi.

Manajemen laba dengan cara ini tidak akan mempengaruhi arus kas

perusahaan. Manajemen laba riil dilakukan melalui pengelolaan aktivitas sehari-

hari perusahaan (Roychowdhury, 2006). Manajemen laba riil akan

mempengaruhi arus kas perusahaan. Manajemen laba riil dapat dilakukan

melalui tiga cara, yaitu peningkatan penjualan melalui pemberian potongan harga

dan perpanjangan jatuh tempo pembayaran, melalui pengurangan biaya-biaya

diskresioner, serta melalui penurunan biaya produksi dengan produksi secara

besar-besaran (overproduction).

Tindakan oportunis manajer dalam pelaporan keuangan dapat dimonitor

oleh pihak ketiga yang disebut sebagai auditor. Hal ini didukung oleh penelitian

Jensen & Meckling (1976) yang menemukan bahwa auditor berperan dalam

mekanisme monitoring untuk mengurangi biaya agensi, salah satunya yang

timbul karena insentif manajer untuk mengelola laba. Keberadaan auditor akan

mengurangi asimetri informasi yang terjadi antara prinsipal dan agen, dan

kemudian berdampak pada manajemen laba yang menurun.

Kualitas auditor akan sangat mempengaruhi hasil audit. Auditor yang

berkualitas dan memiliki reputasi dapat memonitor dan mendeteksi perusahaan

yang melakukan manajemen laba (Kouaib & Jarboui, 2014). Semakin berkualitas

auditor, maka semakin kecil kemungkinan manajemen laba akan dilakukan.

50

Kualitas auditor salah satunya dapat dilihat dari spesialisasi industrinya. Auditor

spesialis industri cenderung berinvestasi lebih banyak dalam perekrutan dan

pelatihan staf, teknologi informasi, serta teknologi audit, daripada auditor non-

spesialis (Krishnan, 2003b). Auditor spesialis juga memiliki pengetahuan dan

keahlian yang lebih spesifik mengenai industri (Dunn & Mayhew, 2004). Auditor

yang memiliki banyak pengalaman dalam suatu industri tertentu memiliki

kemampuan yang lebih tinggi dalam mendeteksi kesalahan (Wright & Wright,

1997). Hal-hal tersebut membuktikan bahwa auditor yang expert dalam industri

tertentu akan menghasilkan audit yang lebih berkualitas, serta memiliki

kemampuan yang lebih tinggi dalam memonitor dan mendeteksi manajemen

laba, sehingga hal ini akan membatasi perusahaan dalam melakukan

manajemen laba.

Penelitian positivis Teori Agensi mendeskripsikan mekanisme tata kelola

perusahaan yang dapat membatasi sifat self-interest agen atau yang dapat

memecahkan masalah agensi (Eisenhardt, 1998). Hal ini berarti bahwa

manajemen laba juga dapat diminimalisir melalui suatu mekanisme pengawasan

yang dikenal dengan istilah tata kelola perusahaan. Komite Audit merupakan

mekanisme terpenting dalam tata kelola perusahaan yang dapat menghambat

manajemen laba, sebab Komite Audit merupakan bagian yang bertanggung

jawab untuk memastikan akurasi dan reliabilitas laporan keuangan (Ayemere &

Elijah, 2015).

Keberadaan Komite Audit tidak serta merta dapat menurunkan

manajemen laba, tapi mekanisme Komite Audit yang berperan dalam

menurunkan manajemen laba. Komite Audit yang efektif mampu meningkatkan

kredibilitas, reliabilitas dan objektivitas laporan keuangan, serta melindungi

reputasi perusahaan dan kepentingan pemilik saham (Carcello et al., 2002).

Mekanisme Komite Audit diantaranya meliputi ukuran, rapat, independensi, dan

51

keahlian Komite Audit. Alzoubi & Selamat (2012) dan Ayemere & Elijah (2015)

melakukan penelitian mengenai mekanisme Komite Audit yang meliputi ukuran,

rapat, independensi, dan keahlian Komite Audit. Kedua penelitian tersebut

menemukan bahwa masing-masing mekanisme Komite Audit berpengaruh

secara negatif terhadap manajemen laba. Hal ini menunjukkan bahwa

mekanisme Komite Audit yang meliputi ukuran, rapat, independensi, dan

keahlian Komite Audit berperan dalam membatasi manajemen laba.

Prudence merupakan tingkat kehati-hatian dalam melakukan penilaian

untuk membuat estimasi yang diperlukan dalam kondisi ketidakpastian, sehingga

aset atau pendapatan tidak disajikan lebih tinggi dan kewajiban atau beban tidak

disajikan lebih rendah (Hoogervorst, 2012). Prudence muncul ketika perusahaan

berada dalam kondisi yang penuh dengan ketidakpastiaan. LaFond &

Roychowdhury (2008) mengungkapkan bahwa dalam kondisi ketidakpastian

manajemen akan memilih perlakuan akuntansi yang kurang menguntungkan.

Berbagai pilihan metode akuntansi memungkinkan perusahaan untuk memilih

metode yang dampaknya terhadap laba cenderung konservatif (Wistawan, 2015).

Sikap kehati-hatian yang melekat pada konservatisme menyebabkan

konservatisme dapat membatasi sifat oportunis manajer dalam laporan keuangan

(Guay & Verrecchia, 2006; Chen at al., 2007). Kekuatan pengaruh mekanisme

Komite Audit terhadap manajemen laba akan dipengaruhi oleh sikap prudence

manajer dalam menghadapi ketidakpastian, hal ini tercermin dalam kebijakan

akuntansi yang dipilih manajer. Perusahaan yang memilih kebijakan secara

prudence akan membatasi sifat oportunis manajer, sehingga dapat memperkuat

pengaruh negatif mekanisme Komite Audit terhadap manajemen laba.

Penelitian ini akan menguji mengenai pengaruh auditor spesialis industri

dan mekanisme Komite Audit terhadap manajemen laba akrual dan riil, serta

menguji peran prudence dalam memoderasi pengaruh mekanisme Komite Audit

52

terhadap manajemen laba akrual dan riil. Penelitian ini berfokus pada

perusahaan yang melakukan manajemen laba untuk menghindari kerugian.

Kerangka konsep penelitian ini dapat digambarkan pada gambar 3.1 berikut;

3.2 Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian merupakan dugaan sementara yang diperoleh

melalui perkiraan secara logis mengenai hubungan antarvariabel. Hipotesis

penelitian disusun berdasarkan teori dan hasil penelitian sebelumnya, kemudian

hipotesis ini akan diuji kebenarannya melalui penelitian empiris.

3.2.1 Manajer Melakukan Manajemen Laba Untuk Menghindari Kerugian

Hayn (1995), Burgstahler & Dichev (1997), Roychowdhury (2006), dan

Subekti (2012a) menemukan bahwa manajer melakukan manajemen laba untuk

menghindari kerugian. Manajer akan mengelola laba negatif yang berada

dibawah titik nol agar menjadi laba positif dan berada diatas titik acuan (titik nol)

(Hayn, 1995; Burgstahler & Dichev, 1997). Roychowdhury (2006) menemukan

Auditor Spesialis Industri (X1)

Manajemen Laba (Y) - Short term discretionary

accruals - Long term discretionary

accruals - Abnormal cash flow

from operation - Abnormal production

cost - Abnormal dicretionary

expense

Prudence (Z)

Mekanisme Komite Audit - Ukuran Komite Audit

(X2) - Independensi Komite

Audit (X3) - Keahlian Komite Audit

(X4) - Rapat Komite Audit

(X5) -

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian

53

bukti bahwa sebagian besar perusahaan di Amerika Serikat melakukan

manajemen laba dengan cara mengelola arus kas operasional, biaya produksi,

dan beban diskresioner untuk menghindari kerugian. Subekti (2012a)

menemukan bukti bahwa sebagian perusahaan di Indonesia melakukan

manajemen laba dengan cara memperbesar arus kas operasional, memperbesar

biaya produksi, memperkecil beban diskresioner, dan memperkecil long term

discretionary accruals. Perusahaan-perusahaan tersebut melakukan manajemen

laba untuk menghindari kerugian.

Berdasarkan teori dan hasil penelitian-penelitian sebelumnya, maka

hipotesis yang dapat disusun peneliti adalah sebagai berikut;

H1a: Manajer melakukan manajemen laba dengan memperkecil short term discretionary accruals untuk menghindari kerugian

H1b: Manajer melakukan manajemen laba dengan memperkecil long term discretionary accruals untuk menghindari kerugian

H1c: Manajer melakukan manajemen laba dengan memperbesar arus kas operasional untuk menghindari kerugian

H1d: Manajer melakukan manajemen laba dengan memperbesar biaya produksi untuk menghindari kerugian

H1e: Manajer melakukan manajemen laba dengan memperkecil beban diskresioner untuk menghindari kerugian

3.2.2 Pengaruh Auditor Spesialis Industri terhadap Manajemen Laba

Tindakan oportunis manajer dalam pelaporan keuangan dapat dimonitor

oleh pihak ketiga yang disebut sebagai auditor. Hal ini didukung oleh penelitian

Jensen & Meckling (1976) yang menemukan bahwa auditor berperan dalam

mekanisme monitoring untuk mengurangi biaya agensi, salah satunya yang

timbul karena insentif manajer untuk mengelola laba. Keberadaan auditor akan

mengurangi asimetri informasi yang terjadi antara prinsipal dan agen.

Kualitas auditor akan sangat mempengaruhi hasil audit. Kouaib dan

Jarboui (2014) menemukan bahwa ada hubungan negatif antara auditor

bereputasi dan manajemen laba. Hal ini berarti bahwa auditor yang berkualitas

dan memiliki reputasi baik dapat memonitor dan mendeteksi perusahaan yang

54

melakukan manajemen laba, sehingga semakin berkualitas auditor maka

semakin kecil kemungkinan manajemen laba akan dilakukan. Bartov et al. (2001)

menunjukkan bahwa auditor yang berkualitas tinggi lebih suka untuk melaporkan

kesalahan dan penyimpangan yang terjadi dalam praktik akuntansi. Auditor

berkualitas tinggi diharapkan untuk mendeteksi praktik manajemen laba dengan

lebih baik (Becker et al., 1998).

Kualitas auditor tidak hanya dapat dilihat dari brand-name, saat ini auditor

berkualitas dapat dilihat dari spesialisasi industrinya. Solomon et al. (1999)

menemukan bahwa pengetahuan spesifik auditor mengenai industri akan

mempengaruhi kinerja auditor. Auditor yang expert dalam industri tertentu akan

menghasilkan audit yang lebih berkualitas, sehingga auditor dengan spesialisasi

industri akan memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam memonitor dan

mendeteksi manajemen laba.

Auditor yang memiliki banyak pengalaman dalam suatu industri tertentu

memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam mendeteksi kesalahan (Wright &

Wright, 1997). Auditor spesialis cenderung berinvestasi lebih banyak dalam

perekrutan dan pelatihan staf, teknologi informasi, serta teknologi audit, daripada

auditor non-spesialis (Krishnan, 2003b). Auditor spesialis juga memiliki

pengetahuan dan keahlian yang lebih spesifik mengenai industri (Dunn &

Mayhew, 2004). Temuan-temuan ini menunjukkan bahwa pengetahuan auditor

spesialis berkaitan dengan efektivitas audit, sehingga berdampak pada

kemampuan dalam membatasi manajemen laba.

Balsam et al. (2003) dan Khrisnan (2003b) melakukan penelitian

mengenai peran auditor spesialis dalam membatasi manajemen laba yang diukur

dengan discretionary accrual (DA). Penelitian ini menemukan bahwa klien auditor

non-spesialis melaporkan DA yang lebih tinggi daripada DA yang dilaporkan oleh

klien dari auditor spesialis. Hal ini membuktikan bahwa auditor spesialis dapat

55

menurunkan manajemen laba secara lebih baik daripada auditor non-spesialis.

Rusmin (2010) juga melakukan penelitian mengenai kualitas auditor dan

manajemen laba di Singapura, ia menemukan bukti adanya hubungan negatif

antara kualitas auditor dan manajemen laba. Temuannya menyimpulkan bahwa

besarnya manajemen laba antara perusahaan yang diaudit oleh auditor spesialis

secara signifikan lebih rendah dibandingkan perusahaan yang diaudit dengan

auditor non-spesialis.

Hubungan negatif antara auditor spesialis industri dan manajemen laba

juga ditemukan oleh Gerayli et al. (2011), DeBoskey & Jiang (2012), Inaam et al.

(2012), Hegazy et al. (2015), serta Ahmad et al. (2016). Auditor spesialis industri

berhubungan dengan manajemen laba yang lebih rendah. Hal ini berarti bahwa

auditor spesialis industri dapat membatasi manajemen laba.

Berdasarkan teori dan hasil penelitian-penelitian sebelumnya, maka

hipotesis yang dapat disusun peneliti adalah sebagai berikut;

H2a: Auditor spesialis industri berpengaruh negatif terhadap manajemen laba akrual yang diukur dengan short term discretionary accruals

H2b: Auditor spesialis industri berpengaruh negatif terhadap manajemen

laba akrual yang diukur dengan long term discretionary accruals H2c: Auditor spesialis industri berpengaruh negatif terhadap manajemen

laba riil yang diukur dengan arus kas operasional H2d: Auditor spesialis industri berpengaruh negatif terhadap manajemen

laba riil yang diukur dengan biaya produksi H2e: Auditor spesialis industri berpengaruh negatif terhadap manajemen

laba riil yang diukur dengan beban diskresioner 3.2.3 Pengaruh Mekanisme Komite Audit terhadap Manajemen Laba

Komite Audit merupakan komite yang membantu Dewan Komisaris dalam

melakukan pengawasan dan bertanggung jawab terhadap kredibilitas laporan

keuangan, tata kelola perusahaan dan pengawasan perusahaan. Komite Audit

yang efektif mampu meningkatkan kredibilitas, reliabilitas, dan objektivitas

56

laporan keuangan, serta melindungi reputasi perusahaan dan kepentingan

pemilik saham (Carcello et al., 2002).

Keberadaan Komite Audit bukanlah jaminan untuk membatasi

manajemen laba, tetapi bagaimana mekanisme Komite Audit yang berperan

dalam membatasi manajemen laba dan meningkatkan kepercayaan stakeholders

terkait laporan keuangan. Mekanisme Komite Audit diantaranya meliputi ukuran,

rapat, independensi, dan keahlian Komite Audit. Alzoubi & Selamat (2012) dan

Ayemere & Elijah (2015) melakukan penelitian mengenai mekanisme Komite

Audit yang meliputi ukuran, rapat, independensi, dan keahlian Komite Audit.

Kedua penelitian tersebut menemukan bahwa masing-masing mekanisme

Komite Audit berpengaruh secara negatif terhadap manajemen laba. Hal ini

menunjukkan bahwa mekanisme Komite Audit yang meliputi ukuran, rapat,

independensi, dan keahlian Komite Audit berperan dalam membatasi atau

menurunkan manajemen laba.

Ukuran Komite Audit merupakan salah satu karakteristik signifikan yang

berkontribusi dalam efektivitas Komite Audit (Alzoubi & Selamat, 2012). Ukuran

Komite Audit mengacu kepada jumlah anggota Komite Audit, termasuk pula

didalamnya Ketua Komite Audit. Ukuran Komite Audit yang terlalu kecil dapat

menurunkan efektivitas pemantauan dan efisiensi dalam pemenuhan tugas

mereka (Vafeas, 2005). Alzoubi & Selamat (2012) dan Ayemere & Elijah (2015)

menemukan bahwa ukuran Komite Audit berpengaruh negatif terhadap

manajemen laba. Semakin besar ukuran Komite Audit diharapkan pengawasan

semakin meningkat, sehingga dapat menurunkan manajemen laba.

Berdasarkan teori dan hasil penelitian-penelitian sebelumnya, maka

hipotesis yang dapat disusun peneliti adalah sebagai berikut;

H3a: Ukuran Komite Audit berpengaruh negatif terhadap manajemen laba akrual yang diukur dengan short term discretionary accruals

57

H3b: Ukuran Komite Audit berpengaruh negatif terhadap manajemen laba akrual yang diukur dengan long term discretionary accruals

H3c: Ukuran Komite Audit berpengaruh negatif terhadap manajemen laba

riil yang diukur dengan arus kas operasional H3d: Ukuran Komite Audit berpengaruh negatif terhadap manajemen laba

riil yang diukur dengan biaya produksi H3e: Ukuran Komite Audit berpengaruh negatif terhadap manajemen laba

riil yang diukur dengan beban diskresioner Independensi merupakan kualitas penting yang dapat memberikan

kontribusi untuk efektivitas fungsi pengawasan (Alzoubi & Selamat, 2012).

Senada dengan hal tersebut, Ayemere & Elijah (2015) juga mengungkapkan

bahwa independensi merupakan karakteristik utama dalam efektivitas Komite

Audit. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa Komite Audit independen

berhubungan dengan manajemen laba yang lebih rendah (Klein, 2002; Xie et al.,

2003; Bedard et al., 2004;. Davidson et al., 2005; Alzoubi & Selamat, 2012;

Ayemere & Elijah, 2015). Hal ini disebabkan karena Komite Audit independen

mampu memonitor manajemen secara efektif.

Berdasarkan teori dan hasil penelitian-penelitian sebelumnya, maka

hipotesis yang dapat disusun peneliti adalah sebagai berikut;

H4a: Independensi Komite Audit berpengaruh negatif terhadap manajemen laba akrual yang diukur dengan short term discretionary accruals

H4b: Independensi Komite Audit berpengaruh negatif terhadap

manajemen laba akrual yang diukur dengan long term discretionary accruals

H4c: Independensi Komite Audit berpengaruh negatif terhadap

manajemen laba riil yang diukur dengan arus kas operasional H4d: Independensi Komite Audit berpengaruh negatif terhadap

manajemen laba riil yang diukur dengan biaya produksi H4e: Independensi Komite Audit berpengaruh negatif terhadap

manajemen laba riil yang diukur dengan beban diskresioner Ayemere & Elijah (2015) juga menyebutkan bahwa Komite Audit

bertanggung jawab atas laporan keuangan yang berkualitas dan terpercaya.

58

Berdasarkan hal tersebut, maka merupakan hal penting apabila Komite Audit

memiliki keahlian dalam bidang keuangan dan akuntansi. Alzoubi & Selamat

(2012) menyebutkan bahwa Komite Audit yang memiliki pengetahuan terkait

keuangan dan akuntansi akan meningkatkan kinerja Komite Audit. Peningkatan

kinerja Komite Audit diharapkan dapat berperan dalam menurunkan manajemen

laba. Hal ini dibuktikan oleh Bedard et al. (2004) dan Ayemere & Elijah (2015)

yang menemukan bahwa keahlian keuangan Komite Audit dapat mengurangi

kesempatan mengelola laba secara oportunis.

Berdasarkan teori dan hasil penelitian-penelitian sebelumnya, maka

hipotesis yang dapat disusun peneliti adalah sebagai berikut;

H5a: Keahlian Komite Audit berpengaruh negatif terhadap manajemen laba akrual yang diukur dengan short term discretionary accruals

H5b: Keahlian Komite Audit berpengaruh negatif terhadap manajemen

laba akrual yang diukur dengan long term discretionary accruals H5c: Keahlian Komite Audit berpengaruh negatif terhadap manajemen

laba riil yang diukur dengan arus kas operasional H5d: Keahlian Komite Audit berpengaruh negatif terhadap manajemen

laba riil yang diukur dengan biaya produksi H5e: Keahlian Komite Audit berpengaruh negatif terhadap manajemen

laba riil yang diukur dengan beban diskresioner Conger et al. (1998) mengemukakan bahwa rapat yang lebih sering

dilakukan mampu meningkatkan efektivitas dewan. Komite audit yang bertemu

secara teratur berhubungan dengan pengawasan yang lebih efektif. Dewan yang

lebih aktif akan lebih mungkin untuk melakukan tugas mereka sesuai dengan

kepentingan pemegang saham dan lebih berupaya dalam memantau integritas

laporan keuangan (Alzoubi & Selamat, 2012). Xie et al. (2003); Alzoubi &

Selamat (2012); Ayemere & Elijah (2015) menemukan bahwa jumlah rapat yang

lebih tinggi berhubungan dengan manajemen laba yang lebih rendah.

59

Berdasarkan teori dan hasil penelitian-penelitian sebelumnya, maka

hipotesis yang dapat disusun peneliti adalah sebagai berikut;

H6a: Rapat Komite Audit berpengaruh negatif terhadap manajemen laba akrual yang diukur dengan short term discretionary accruals

H6b: Rapat Komite Audit berpengaruh negatif terhadap manajemen laba

akrual yang diukur dengan long term discretionary accruals H6c: Rapat Komite Audit berpengaruh negatif terhadap manajemen laba

riil yang diukur dengan arus kas operasional H6d: Rapat Komite Audit berpengaruh negatif terhadap manajemen laba

riil yang diukur dengan biaya produksi H6e: Rapat Komite Audit berpengaruh negatif terhadap manajemen laba

riil yang diukur dengan beban diskresioner

3.2.4 Prudence dalam memoderasi Pengaruh Mekanisme Komite Audit terhadap Manajemen Laba

Prudence atau kehati-hatian merupakan prinsip akuntansi yang

menggantikan konservatisme semenjak konvergensi IFRS (Wistawan, 2015).

Prudence adalah tingkat kehati-hatian dalam melakukan penilaian yang

diperlukan untuk membuat estimasi yang diperlukan dalam kondisi

ketidakpastian, sehingga aset atau pendapatan tidak disajikan lebih tinggi dan

kewajiban atau beban tidak disajikan lebih rendah (Hoogervorst, 2012).

Teori Akuntansi Positif menggambarkan mengenai berbagai pilihan

manajemen atas kebijakan akuntansi yang dapat mempengaruhi angka-angka

akuntansi. LaFond & Roychowdhury (2008) mengungkapkan bahwa dalam

kondisi ketidakpastian manajemen akan memilih perlakuan akuntansi yang

kurang menguntungkan. Berbagai pilihan metode akuntansi memungkinkan

perusahaan untuk memilih metode yang dampaknya terhadap laba adalah

cenderung konservatif (Wistawan, 2015).

Sikap kehati-hatian yang melekat pada konservatisme menyebabkan

konservatisme dapat membatasi sifat oportunis manajer dalam laporan keuangan

60

(Guay & Verrecchia, 2006; Chen at al., 2007). Basu (1997) mengungkapkan

bahwa konservatisme merupakan salah satu cara dalam mewujudkan efisiensi

kontrak. Konservatisme yang dilakukan perusahaan akan membatasi pandangan

optimistik manajer. Manajer akan secara lebih cepat mengakui kerugian daripada

mengakui keuntungan. Implikasi dari penerapan konservatisme adalah

pembayaran dividen kepada pemegang saham dan kompensasi kepada manajer

yang lebih rendah. Konservatisme akan membatasi pembayaran yang bersifat

oportunis kepada manajer dan berbagai pihak dalam kontrak (Watts, 2003).

Perusahaan yang memilih kebijakan secara prudence diharapkan dapat

membatasi sifat oportunis manajer, sehingga dapat memperkuat pengaruh

negatif mekanisme Komite Audit terhadap manajemen laba.

Berdasarkan teori dan hasil penelitian-penelitian sebelumnya, maka

hipotesis yang dapat disusun peneliti adalah sebagai berikut;

H7a: Prudence memperkuat pengaruh negatif ukuran Komite Audit terhadap manajemen laba akrual yang diukur dengan short term discretionary accruals

H7b: Prudence memperkuat pengaruh negatif ukuran Komite Audit

terhadap manajemen laba akrual yang diukur dengan long term discretionary accruals

H7c: Prudence memperkuat pengaruh negatif ukuran Komite Audit

terhadap manajemen laba riil yang diukur dengan arus kas operasional

H7d: Prudence memperkuat pengaruh negatif ukuran Komite Audit

terhadap manajemen laba riil yang diukur dengan biaya produksi H7e: Prudence memperkuat pengaruh negatif ukuran Komite Audit

terhadap manajemen laba riil yang diukur dengan beban diskresioner

H8a: Prudence memperkuat pengaruh negatif independensi Komite Audit

terhadap manajemen laba akrual yang diukur dengan short term discretionary accruals

H8b: Prudence memperkuat pengaruh negatif independensi Komite Audit

terhadap manajemen laba akrual yang diukur dengan long term discretionary accruals

61

H8c: Prudence memperkuat pengaruh negatif independensi Komite Audit terhadap manajemen laba riil yang diukur dengan arus kas operasional

H8d: Prudence memperkuat pengaruh negatif independensi Komite Audit

terhadap manajemen laba riil yang diukur dengan biaya produksi H8e: Prudence memperkuat pengaruh negatif independensi Komite Audit

terhadap manajemen laba riil yang diukur dengan beban diskresioner

H9a: Prudence memperkuat pengaruh negatif keahlian Komite Audit

terhadap manajemen laba akrual yang diukur dengan short term discretionary accruals

H9b: Prudence memperkuat pengaruh negatif keahlian Komite Audit

terhadap manajemen laba akrual yang diukur dengan long term discretionary accruals

H9c: Prudence memperkuat pengaruh negatif keahlian Komite Audit

terhadap manajemen laba riil yang diukur dengan arus kas operasional

H9d: Prudence memperkuat pengaruh negatif keahlian Komite Audit

terhadap manajemen laba riil yang diukur dengan biaya produksi H9e: Prudence memperkuat pengaruh negatif keahlian Komite Audit

terhadap manajemen laba riil yang diukur dengan beban diskresioner

H10a: Prudence memperkuat pengaruh negatif rapat Komite Audit

terhadap manajemen laba akrual yang diukur dengan short term discretionary accruals

H10b: Prudence memperkuat pengaruh negatif rapat Komite Audit

terhadap manajemen laba akrual yang diukur dengan long term discretionary accruals

H10c: Prudence memperkuat pengaruh negatif rapat Komite Audit

terhadap manajemen laba riil yang diukur dengan arus kas operasional

H10d: Prudence memperkuat pengaruh negatif rapat Komite Audit

terhadap manajemen laba riil yang diukur dengan biaya produksi H10e: Prudence memperkuat pengaruh negatif rapat Komite Audit

terhadap manajemen laba riil yang diukur dengan beban diskresioner

62

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif yang analisisnya

menggunakan data-data berbentuk angka untuk kemudian diolah dengan

metode statistik. Jenis penelitian ini adalah hypothesis testing, penelitian ini

menguji pengaruh antar variabel melalui pengujian hipotesis. Penelitian ini

meneliti mengenai pengaruh auditor spesialis industri dan mekanisme Komite

Audit terhadap manajemen laba (short term discretionary accruals, long term

discretionary accruals, abnormal cash flow from operation, abnormal production

cost, dan abnormal dicretionary expense), serta pengaruh prudence dalam

memoderasi pengaruh mekanisme Komite Audit terhadap manajemen laba.

4.2 Populasi dan Sampel

Populasi merupakan keseluruhan orang, hewan, tumbuhan, benda,

ataupun kejadian yang memiliki karakteristik tertentu yang akan diteliti. Populasi

akan menjadi wilayah untuk menggeneralisasikan hasil penelitian. Populasi

penelitian ini adalah perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek

Indonesia (BEI) selama periode 2012-2015. Pengambilan sampel menggunakan

metode non-probability sampling, dengan teknik purposive sampling dan

menggunakan kriteria judgement sampling. Kriteria yang digunakan dalam

pengambilan sampel meliputi;

1. Perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI berturut-turut selama

periode 2012-2015. Perusahaan manufaktur dipilih karena data-data yang

dibutuhkan untuk mengukur manajemen laba riil hanya tersedia di

perusahaan manufaktur, misalnya biaya produksi.

63

2. Perusahaan memperoleh laba bersih yang positif selama periode

pengamatan.

3. Perusahaan menggunakan satuan mata uang rupiah dalam pelaporan

keuangannya, hal ini dilakukan guna menghindari bias yang muncul

akibat perbedaan kurs mata uang.

4. Perusahaan mempunyai laporan tahunan yang lengkap dan dapat

diakses.

Tabel 4.1 menyajikan mengenai prosedur pemilihan sampel. Berdasarkan

tabel 4.1, maka jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 83

sampel, dengan jumlah pengamatan sebanyak 332 selama empat tahun.

Tabel 4.1 Prosedur Pemilihan Sampel

No. Kriteria Jumlah

1. Perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI tahun 2012

130

2. Perusahaan tidak terdaftar selama 4 tahun berturut-turut (2012-2015)

(11)

3. Perusahaan yang memperoleh laba bersih negatif (20) 4. Perusahaan yang laporan keuangannya tidak

menggunakan satuan mata uang rupiah (16)

Jumlah sampel 83 Jumlah pengamatan selama 4 tahun (2012-2015) 332

4.3 Jenis dan Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan jenis data sekunder. Data sekunder

merupakan data yang diperoleh secara tidak langsung, yakni diperoleh melalui

data yang dikumpulkan atau dipublikasikan oleh orang lain. Teknik pengumpulan

data yang digunakan untuk memperoleh data sekunder adalah teknik

pengumpulan data dari basis data. Data penelitian ini bersumber dari annual

report atau laporan tahunan yang diperoleh dengan mengakses situs BEI di

64

www.idx.co.id, dan data mengenai harga saham yang diperoleh dari Yahoo

Finance.

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

studi dokumen atau dokumentasi. Studi dokumen merupakan metode

pengumpulan data dengan meneliti berbagai dokumen yang berhubungan

dengan objek yang diteliti. Pengumpulan data dilakukan secara panel atau

pooled data, peneliti mengumpulkan data dari banyak perusahaan selama

beberapa tahun.

4.4 Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel

Variabel-variabel harus didefinisikan secara naratif maupun operasional

untuk memperoleh makna dan pengukuran yang jelas. Definisi operasional

merupakan elemen penelitian yang memberikan definisi mengenai cara

mengukur suatu variabel dalam penelitian, sehingga variabel dapat dioperasikan.

Penelitian ini meneliti mengenai empat variabel, yaitu manajemen laba sebagai

variabel dependen, auditor spesialis industri dan mekanisme Komite Audit

(ukuran, independensi, keahlian, dan rapat Komite Audit) sebagai variabel

independen, serta prudence sebagai variabel moderasi. Definisi operasional

masing-masing variabel adalah sebagai berikut;

4.4.1 Variabel Dependen

Variabel dependen dalam penelitian ini adalah manajemen laba yang

diukur dengan menggunakan dua metode manajemen laba, yaitu manajemen

laba akrual dan manajemen laba riil. Manajemen laba akrual merupakan turut

campur manajemen dalam proses pelaporan keuangan melalui berbagai pilihan

akuntansi dan estimasi yang tersedia dalam standar akuntansi. Manajemen laba

akrual dapat dilakukan melalui dua hal, yaitu memanfaatkan kebijakan akuntansi

65

dan discretionary accrual (Scott, 2012). Manajemen laba akrual diukur dengan

menggunakan dua proksi, yaitu short term discretionary accruals dan long term

discretionary accruals.

Manajemen laba riil merupakan manajemen laba yang dilakukan melalui

kegiatan sehari-hari perusahaan sepanjang periode berjalan dan akan

mempengaruhi arus kas perusahaan. Manajemen laba riil diukur dengan

menggunakan tiga proksi, yaitu abnormal cash flow from operation, abnormal

production cost, dan abnormal dicretionary expense.

Lima proksi manajemen laba diukur menggunakan model estimasi dari

Subekti (2012b), yang merupakan modifikasi dari model estimasi Kothari et al.

(2005) dan Roychowdhury (2006). Satu penyesuaian dilakukan terhadap nilai

total aset (1/At-1), dalam setiap model estimasinya Subekti (2012b) menggunakan

nilai logaritma untuk total aset (1/Log. At-1). Hal ini dilakukan untuk menyesuaikan

dengan perekonomian Indonesia, sehingga bisa mendapatkan hasil analisis yang

lebih baik.

4.4.1.1 Manajemen Laba Akrual

Short term discretionary accruals (SHORTDA) dan long term discretionary

accruals (LONGDA) diperoleh melalui beberapa langkah sebagai berikut:

1. Menghitung total accrual

Total akrual diperoleh dari selisih laba sebelum pos luar biasa dan

arus kas dari kegiatan operasi.

ACCi,t = EARNi,t – CFOi,t…………………………...…..…….....…….....(1)

Keterangan: ACCi,t = Total accrual perusahaan i pada tahun t EARNi,t = Earning before extraordinary items perusahaan i pada

tahun t CFOi,t = Cash flow from operation perusahaan i pada tahun t

66

2. Menghitung short term accrual

STACCi,t = ΔARi,t + ΔINVi,t + ΔOCAi,t - ΔAPi,t - ΔTXPi,t - ΔOCLi,t..........(2)

Keterangan: STACCi,t = Short term accrual perusahaan i pada tahun t ΔARi, = Account receivable tahun t dikurangi tahun t-1

perusahaan i ΔINVi, = Inventory tahun t dikurangi tahun t-1 perusahaan i ΔOCAi,t = Other current assets tahun t dikurangi tahun t-1

perusahaan i ΔAPi, = Account payable tahun t dikurangi tahun t-1 perusahaan i ΔTXPi,t = Tax payable tahun t dikurangi tahun t-1 perusahaan i ΔOCLi,t = Other current liabilities tahun t dikurangi tahun t-1

perusahaan i

3. Menghitung long term accruals

LTACCi,t = ACCi,t – STACCi,t……………………………………………..(3)

Keterangan: ACCi,t = Total accrual perusahaan i pada tahun t LTACCi,t = Long term accrual perusahaan i pada tahun t STACCi,t = Short term accrual perusahaan i pada tahun t

4. Menghitung Short Term Non Discretionary Accrual (SHORTNDA)

SHORTNDA dapat dihitung setelah memperoleh koefisien dari

persamaan regresi berikut ini:

STACCi,t/TAi,t-1 = γ1 (1/Log TAi,t-1) + γ 2 ((ΔREV/-ΔREC)/TAi,t-1) + γ3 (INCt/TAi t-1) + εi,t….………………………….............(4)

Setelah memperoleh koefisien dari persamaan regresi diatas, maka

selanjutnya koefisien tersebut dimasukkan kembali pada persamaan

tersebut untuk memperoleh SHORTNDA.

5. Menghitung Short Term Discretionary Accruals (SHORTDA)

SHORTDA diperoleh dari selisih Short Term Accruals (STACC) dan

SHORTNDA. Rumus SHORTDA adalah sebagai berikut:

SHORTDAi,t = STACCi,t/TAi,t-1 – [η1 (1/Log TAi,t-1) + η2 ((ΔREV/-ΔREC)/TAi,t-1) + η3 (INCt/TAi t-1)] ………..…...……...(5)

Keterangan: SHORTDAi,t = Short term discretionary accruals perusahaan i pada

tahun t STACCi,t = Short term accrual perusahaan i pada tahun t

67

TAt-1 = Total aset perusahaan i pada tahun t-1 ΔREVi,t = Revenue tahun t dikurangi tahun t-1 perusahaan i ΔRECi,t = Receivable tahun t dikurangi tahun t-1 perusahaan i ΔINCi,t = Net income tahun t dikurangi tahun t-1 perusahaan i εi,t = Error term perusahaan i pada tahun t

6. Menghitung Long Term Non Discretionary Accrual (LONGNDA)

LONGNDA dapat dihitung setelah memperoleh koefisien dari

persamaan regresi berikut ini:

LTACCi,t/TAi,t-1 = μ1 (1/Log TAi,t-1) + μ2 (PPEi,t/TAi,t-1) + μ3 (INTi,t/TAi,t-1) + μ4 (INCt/TAi,t-1) + εi,t….…………………………….…..(6)

Setelah memperoleh koefisien dari persamaan regresi diatas, maka

selanjutnya koefisien tersebut dimasukkan kembali pada persamaan

tersebut untuk memperoleh LONGNDA.

7. Menghitung Long Term Discretionary Accruals (LONGDA)

LONGDA diperoleh dari selisih Long Term Accruals (LTACC) dan

LONGNDA. Rumus LONGDA adalah sebagai berikut:

LONGDAi,t = LTACCi,t/TAi,t-1 – [ω1 (1/Log TAi,t-1) + ω2 (PPEi,t/TAi,t-1) + ω3 (INTi,t/TAi,t-1) + ω4 (INCt/TAi,t1)]………….........(7)

Keterangan: LONGDAi,t = Long term discretionary accruals perusahaan i

pada tahun t LTACCi,t = Long term accrual perusahaan i pada tahun t TAt-1 = Total aset perusahaan i pada tahun t-1 PPEi,t = Plant, property, and equipment perusahaan i

pada tahun t INTi,t = Intangible assets perusahaan i pada tahun t INCi,t = Net income perusahaan i pada tahun t εi,t = Error term perusahaan i pada tahun t

4.4.1.2 Abnormal Cash Flow from Operation (ABNCFO)

Laba yang lebih tinggi dapat dicapai melalui peningkatan penjualan.

Peningkatan penjualan dapat dicapai melalui pemberian diskon harga atau

memperpanjang jangka waktu kredit. Pengurangan harga, diskon yang lebih

tinggi, dan persyaratan kredit yang lunak akan menyebabkan arus kas dari

operasi atau cash flow from operation (CFO) menurun pada periode berjalan

68

pada tingkat penjualan tertentu. Berikut adalah langkah-langkah menghitung

ABNCFO.

1. Menghitung koefisien persamaan regresi untuk estimasi normal CFO

CFOt/At-1 = α0 + α1 (1/LogAt-1) + α2 (St/At-1) + α3 (ΔSt/At-1) + εt…........(8)

2. Menghitung estimasi normal CFO dengan memasukkan koefisien

yang diperoleh ke persamaan regresi sebelumnya.

3. Menghitung ABNCFO dari perbedaan antara CFO aktual dan estimasi

normal CFO.

ABNCFO = CFOt/At-1 - [α1 (1/Log At-1) + β1 (St/At-1) + β2 (ΔSt/At1)]…………………………………………………...(9)

4.4.1.3 Abnormal Production Cost (ABNPROD)

Manajer perusahaan manufaktur dapat memproduksi barang dalam

jumlah yang lebih besar. Produksi secara besar-besaran akan menyebabkan

biaya overhead tetap terbagi dalam jumlah produk yang lebih besar, sehingga

akan menurunkan biaya tetap per unit dan total biaya juga akan menurun.

Penurunan total biaya akan berdampak pada penurunan biaya pokok penjualan,

sehingga perusahaan akan melaporkan margin operasi yang lebih tinggi.

Perusahaan diduga melakukan manajemen laba riil melalui pengelolaan biaya

produksi apabila biaya produksi aktual lebih tinggi daripada estimasi biaya

produksi normal. Biaya produksi adalah penjumlahan dari biaya pokok penjualan

dan perubahan persediaan. Berikut ini langkah-langkah menghitung ABNPROD;

1. Menghitung koefisien persamaan regresi untuk estimasi biaya

produksi normal.

PRODt/At-1 = α0 + α1 (1/Log At-1) + β1 (St/At-1) + β2 (ΔSt/At-1) + β3 (ΔSt

1/At-1) + εt……………………………………..................(10)

2. Menghitung estimasi biaya produksi normal dengan memasukkan

koefisien yang diperoleh ke persamaan regresi sebelumnya.

69

3. Menghitung ABNPROD dari perbedaan antara biaya produksi aktual

dan estimasi biaya produksi normal.

ABNPROD = PRODt/At-1 – [α1 (1/Log At-1) + β1 (St/At-1) + β2 (ΔSt/At-1) + β3 (ΔSt-1/At-1)]……………………………………..…...(11)

4.4.1.4 Abnormal Dicretionary Expense (ABNDISC)

Perusahaan memiliki kekuasaan yang lebih besar dalam mengatur biaya,

seperti biaya penelitian dan pengembangan (R&D), penjualan dan administrasi

(SG&A), biaya iklan, serta biaya pelatihan dan pemeliharaan karyawan. Manajer

dapat melakukan pengurangan biaya-biaya diskresioner tersebut untuk mencapai

target laba yang diinginkan. Perusahaan diduga melakukan manajemen laba riil

melalui pengelolaan biaya diskresioner ketika biaya diskresioner aktual lebih

rendah daripada estimasi biaya diskresioner normal. Biaya diskresioner diperoleh

dari agregat biaya iklan, biaya R&D, dan biaya SG&A. Berikut adalah langkah-

langkah menghitung ABNDISC.

1. Menghitung koefisien persamaan regresi untuk estimasi biaya

diskresioner normal

DISCRt/ At-1 = α0 + α1 (1/Log At-1) + β1 (St/At-1) + εt……………..…...(12)

2. Menghitung estimasi biaya diskresioner normal dengan memasukkan

koefisien yang diperoleh ke persamaan regresi sebelumnya.

3. Menghitung ABNDISC dari perbedaan antara biaya diskresioner

aktual dan estimasi biaya diskresioner normal.

ABNDISCR = DISCRt/ At-1 – [α1 (1/Log At-1) + β1 (St/At-1)]…………..(13)

Keterangan: CFOt = Cash flow from operation pada tahun t PRODt = Production cost pada tahun t DISCRt = Dicretionary Expense pada tahun t At-1 = Total aset perusahaan i pada tahun t-1 St = Sales perusahaan i pada tahun t ΔSt = Sales perusahaan i pada tahun t dikurangi tahun t-1 ΔSt = Sales perusahaan i pada tahun t-1 dikurangi t-2

70

α,β = Konstanta koefisien regresi εt = Error term pada tahun t

4.4.2 Variabel Independen

Penelitian ini menggunakan dua variabel independen, yaitu auditor

spesialis industri dan mekanisme Komite Audit yang terdiri dari ukuran,

independensi, keahlian, dan rapat Komite Audit.

4.4.2.1 Auditor Spesialis Industri

Auditor yang memiliki banyak pengalaman dalam suatu industri tertentu

memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam mendeteksi kesalahan. Auditor

yang expert dalam industri tertentu akan menghasilkan audit yang lebih

berkualitas, sehingga auditor dengan spesialisasi industri memiliki kemampuan

yang lebih tinggi dalam memonitor dan mendeteksi manajemen laba.

Penelitian ini menggunakan auditor spesialis industri dalam menilai

kualitas audit. Auditor spesialis industri diukur menggunakan jumlah klien auditor

dalam industri yang sama, seperti yang digunakan dalam penelitian Balsam et al.

(2003). Penggunaan jumlah klien berdasarkan alasan bahwa auditor yang

melakukan audit secara berulang pada banyak perusahaan dalam industri yang

sama memiliki pengalaman yang lebih banyak dalam industri tersebut. Hal

tersebut akan meningkatkan kemampuan auditor dalam mendeteksi kesalahan

dan kecurangan yang dilakukan manajer, sehingga mampu meminimalisir

manajemen laba.

4.4.2.2 Ukuran Komite Audit

Ukuran Komite Audit merupakan salah satu karakteristik signifikan yang

berkontribusi dalam efektivitas Komite Audit (Alzoubi & Selamat, 2012). Ukuran

Komite Audit mengacu kepada jumlah anggota Komite Audit, termasuk pula

71

didalamnya ketua Komite Audit. Ukuran Komite Audit diukur secara numeral,

yaitu berdasarkan jumlah individu yang berada dalam Komite Audit.

4.4.2.3 Independensi Komite Audit

Independensi merupakan kualitas penting yang dapat memberikan

kontribusi untuk efektivitas fungsi pengawasan (Alzoubi & Selamat, 2012).

Independensi Komite Audit merupakan karakteristik penting yang dapat

mempengaruhi efektivitas Komite Audit dalam mengawasi proses pelaporan

keuangan. Independensi Komite Audit merujuk kepada individu dalam Komite

Audit yang berasal dari pihak luar dan tidak memiliki hubungan dengan pihak

terafiliasi, seperti pemegang saham pengendali, anggota dewan komisaris dan

direksi, serta dengan perusahaan tempat ia menjabat. Independensi Komite

Audit diukur dengan menggunakan persentase, dengan rumus sebagai berikut;

Independensi Komite Audit = ....(14)

4.4.2.4 Keahlian Komite Audit

Alzoubi & Selamat (2012) menyebutkan bahwa Komite Audit yang

memiliki pengetahuan terkait keuangan dan akuntansi akan meningkatkan kinerja

Komite Audit. Peningkatan kinerja Komite Audit diharapkan dapat berperan

dalam menurunkan manajemen laba. Keahlian Komite Audit diukur dengan

menggunakan persentase, dengan rumus sebagai berikut;

Keahlian Komite Audit = ...(15)

4.4.2.5 Rapat Komite Audit

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan nomor 55 tahun 2015 menyebutkan

bahwa Komite Audit mengadakan rapat minimal sekali dalam jangka waktu tiga

72

bulan. Conger et al. (1998) mengemukakan bahwa rapat yang lebih sering

dilakukan mampu meningkatkan efektivitas dewan. Komite Audit yang lebih aktif

akan memberikan kesempatan yang lebih besar pada anggota untuk membahas

dan mengevaluasi isu-isu mengenai praktek pelaporan keuangan perusahaan.

Rapat Komite Audit diukur secara numeral, yaitu berdasarkan jumlah rapat atau

pertemuan yang dilakukan oleh Komite Audit dalam jangka waktu setahun.

4.4.3 Variabel Moderasi

Variabel moderasi dalam penelitian ini adalah prudence. Prudence adalah

tingkat kehati-hatian dalam melakukan penilaian untuk membuat estimasi yang

diperlukan dalam kondisi ketidakpastian, sehingga aset atau pendapatan tidak

disajikan lebih tinggi dan kewajiban atau beban tidak disajikan lebih rendah

(Hoogervorst, 2012). Prudence diukur dengan menggunakan rasio market-to-

book, yang merupakan salah satu proksi dalam mengukur tingkat konservatisme.

Pengukuran tersebut merupakan pengukuran yang digunakan dalam penelitian

Givoly & Hayn (2000).

Rasio yang lebih besar dari satu mengindikasikan akuntansi yang

konservatif, dan ketika keadaan lain sama maka kenaikan rasio dari waktu ke

waktu menunjukkan peningkatan tingkat konservatisme (Givoly & Hayn, 2000).

Rasio market-to-book (MB) yang lebih tinggi merupakan konsekuensi dari sikap

konservatif perusahaan yang mengakui nilai buku aset secara lebih rendah

(Wijaya, 2012). MB diukur dengan rumus sebagai berikut;

MB = ..............................................................................................(16)

Keterangan: MB = Rasio Market-to-book MVE = Market Value of Equity, yang diperoleh dari jumlah saham yang

beredar dikali closing price (tanggal 30 April) BVE = Book Value of Equity, yang diperoleh dari selisih total aset dan

total liabilitas

73

4.5 Analisis Data

Analisis data dilakukan pada model estimasi manajemen laba dan model

regresi penelitian. Analisis data meliputi analisis statistik deskriptif, uji asumsi

klasik, dan analisis regresi.

4.5.1 Analisis Statistik Deskriptif

Analisis statistik deskriptif dilakukan untuk memperoleh gambaran atau

karakteristik distribusi data yang diteliti, meliputi nilai minimun, nilai maksimun,

nilai rata-rata, dan deviasi standar. Data yang dianalisis meliputi manajemen

laba, auditor spesialis industri, mekanisme Komite Audit, dan prudence.

4.5.2 Uji Asumsi Klasik

Penelitian ini merupakan penelitian yang memiliki tujuan prediktif (to

predict), yakni untuk memprediksi suatu hubungan antar variabel. Data-data

dalam jenis penelitian ini harus memenuhi kriteria dalam asumsi-asumsi dasar

analisis regresi. Uji ini sering disebut sebagai uji asumsi klasik, uji asumsi klasik

dilakukan agar tidak terjadi bias dalam hasil penelitian serta model regresi

memiliki daya prediksi yang layak. Uji asumsi klasik meliputi uji normalitas, uji

multikoloniaritas, uji heteroskedastisitas, dan uji autokorelasi.

4.5.2.1 Uji Normalitas

Uji normalitas merupakan uji yang dilakukan untuk mengetahui apakah

residual dalam model regresi berdistribusi normal atau tidak. Model regresi

dikatakan layak apabila residualnya berdistribusi normal atau mendekati normal.

Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan kurva histogram. Residual dalam

model regresi adalah berdistribusi normal apabila lebar antara sisi kanan dan sisi

kiri kurva histogram sama.

74

4.5.2.2 Uji Multikolinearitas

Uji multikolinearitas merupakan uji yang dilakukan untuk mengetahui

adanya korelasi antar variabel independen. Model regresi yang layak adalah

yang antar variabel independennya tidak berkorelasi secara sempurna. Uji

multikolinearitas dilakukan dengan menggunakan pendekatan Variance Inflation

Factor (VIF). Nilai VIF yang lebih kecil dari 10 mengindikasikan tidak terjadinya

multikolinearitas.

4.5.2.3 Uji Heteroskedastisitas

Uji heteroskedastisitas merupakan uji yang dilakukan untuk mengetahui

adanya ketidaksamaan varians dari residual satu pengamatan ke pengamatan

yang lain. Model regresi yang layak adalah yang memiliki varians homogen atau

tidak terjadi gejala heteroskedastisitas. Uji heteroskedastisitas dilakukan dengan

menggunakan uji Glejser. Uji Glejser dilakukan dengan meregresikan variabel

independen terhadap nilai absolut residualnya. Nilai Sig. yang lebih besar dari

alpha (0,05) menunjukkan bahwa varians adalah homogen atau tidak terjadi

gejala heteroskedastisitas.

4.5.2.4 Uji Autokorelasi

Uji autokorelasi merupakan uji yang dilakukan untuk mengetahui adanya

korelasi antar kesalahan pengganggu dalam suatu data yang bersifat time series.

Model regresi yang layak merupakan model regresi yang kesalahan pengganggu

dalam datanya tidak berkorelasi. Uji autokorelasi dilakukan dengan

menggunakan uji Durbin-Watson. Autokorelasi tidak terjadi ketika du<dw<(4-du).

75

4.6 Pengujian Hipotesis

Pengujian hipotesis dilakukan secara parsial dengan menggunakan uji t.

Pengujian parsial melalui uji t dilakukan untuk menguji secara parsial pengaruh

variabel independen terhadap variabel dependen. Pengambilan kesimpulan atas

hasil pengujian menggunakan nilai probabilitas statistik dan nilai koefisien.

Apabila nilai probabilitas statistik lebih kecil dari 0,05 (one-tailed) dan koefisien

bernilai negatif, maka H0 ditolak dan Ha didukung. Hal ini membuktikan bahwa

variabel independen secara parsial berpengaruh negatif terhadap variabel

dependen.

4.7 Model Analisis Data

Penelitian ini menggunakan analisis regresi berganda hierarki

(Hierarchical Multiple Regression) untuk menguji model regresi penelitian.

Penelitian ini menggunakan analisis regresi berganda hierarki karena teknik

analisis data ini dapat memberikan penjelasan yang lebih baik mengenai

pengaruh variabel independen, variabel moderasi, serta interaksi antara variabel

independen dan moderasi terhadap variabel dependen. Pengujian dilakukan

dengan menggunakan aplikasi SPSS versi 20.

Pengujian dengan menggunakan analisis regresi berganda hierarki

dilakukan secara bertahap. Tahapan analisis regresi berganda hierarki dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut;

1. Menganalisis model regresi penelitian dengan memasukkan variabel

dependen dan variabel independen.

2. Menganalisis model regresi penelitian dengan memasukkan variabel

dependen dan variabel moderasi.

76

3. Menganalisis model regresi penelitian dengan memasukkan variabel

dependen, variabel independen, variabel moderasi, serta variabel

interaksi antara variabel independen dan moderasi.

Berdasarkan tiga tahapan dalam analisis regresi berganda hierarki, maka

tiga model regresi penelitian ini adalah sebagai berikut;

EM = α0 + β1ASI + β2UKA+ β3IKA+ β4KKA+ β5RKA + εt………….…...(17)

EM = α0 + β1P + εt…….........................................................................(18)

EM = α0 + β1ASI + β2UKA+ β3IKA+ β4KKA+ β5RKA + β6P + β7UKA*P +

β8IKA*P + β9KKA*P + β10RKA*P + εt………...............................(19)

Keterangan: EM = Earning management yang diproksikan dengan SHORTDA,

LONGDA, ABNCFO, ABNPROD, dan ABNDISCR α,β = Konstanta koefisien regresi ASI = Auditor spesialis industri UKA = Ukuran Komite Audit IKA = Independensi Komite Audit KKA = Keahlian Komite Audit RKA = Rapat Komite Audit P = Prudence ε = Error term

77

BAB V

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Analisis Model Estimasi Manajemen Laba

Bagian ini menyajikan mengenai hasil analisis model estimasi manajemen

laba yang terdiri dari uji asumsi klasik untuk model estimasi manajemen laba dan

hasil analisis regresi dari model estimasi manajemen laba.

5.1.1 Hasil Uji Asumsi Klasik Model Estimasi Manajemen Laba

Uji asumsi klasik meliputi uji normalitas, uji multikoloniaritas, uji

heteroskedastisitas, dan uji autokorelasi. Uji normalitas merupakan uji yang

dilakukan untuk mengetahui apakah residual dalam model regresi berdistribusi

normal atau tidak. Model regresi dikatakan layak apabila residualnya berdistribusi

normal atau mendekati normal. Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan

kurva histogram. Residual dalam model regresi adalah berdistribusi normal

apabila lebar antara sisi kanan dan sisi kiri kurva histogram sama. Berdasarkan

hasil pengujian normalitas dari kelima model estimasi manajemen laba, diperoleh

lebar antara sisi kanan dan sisi kiri kurva histogram dari masing-masing model

estimasi manajemen laba adalah sama. Hal ini berarti bahwa nilai residual dari

kelima model regresi telah berdistribusi normal. Hasil uji normalitas pada kelima

model estimasi manajemen laba dapat dilihat pada lampiran 3, 4, 5, 6, dan 7.

Uji multikolinearitas merupakan uji yang dilakukan untuk mengetahui

adanya korelasi antar variabel independen. Model regresi yang layak adalah

yang antar variabel independennya tidak berkorelasi secara sempurna. Uji

multikolinearitas dilakukan dengan menggunakan pendekatan Variance Inflation

Factor (VIF). Nilai VIF yang lebih kecil dari 10 mengindikasikan tidak terjadinya

multikoloniaritas. Hasil uji multikolinearitas dapat dilihat pada tabel 5.1.

78

Berdasarkan tabel 5.1, diperoleh bahwa semua variabel independen dalam

model estimasi manajemen laba memiliki nilai VIF < 10 dan nilai tolerance >

0,10. Hal ini berarti bahwa tidak terjadi multikolinearitas pada semua model

estimasi manajemen laba.

Tabel 5.1Hasil Uji Multikolinearitas Model Estimasi Manajemen Laba

Proksi Manajemen Laba Variabel VIF Tolerance

Short term nondiscretionary accrual

1/Log TAi.t-1(ΔREV/-ΔREC)/TAi.t-1

INCt/TAi t-1

0,9600,8460,816

1,0421,1811,226

Long term nondiscretionary accrual

1/Log TAi.tPPEi.t/TAi.t-1INTi.t/TAi.t-1INCt/TAi.t-1

0,9150,9320,9700,925

1,0921,0741,0311,081

Abnormal cash flow from operation

1/Log TAi.tSt/At-1

ΔSt/At-1

0,9930,7950,793

1,0071,2581,262

Abnormal Production Cost

1/Log TAi.tSt/At-1

ΔSt/At-1ΔSt-1/At-1

0,9850,7600,7780,889

1,0161,3161,2851,125

Abnormal Dicretionary Expense 1/Log TAi.tSt/At-1

0,9990,999

1,0011,001

Lihat Lampiran 3, 4, 5, 6, 7

Uji heteroskedastisitas merupakan uji yang dilakukan untuk mengetahui

adanya ketidaksamaan varians dari residual satu pengamatan ke pengamatan

yang lain. Model regresi yang layak adalah yang memiliki varians homogen atau

tidak terjadi gejala heteroskedastisitas. Uji heteroskedastisitas dilakukan dengan

menggunakan uji Glejser. Uji Glejser dilakukan dengan meregresikan variabel

independen terhadap nilai absolut residualnya. Nilai Sig. yang lebih besar dari

alpha (0.05) menunjukkan bahwa varians adalah homogen atau tidak terjadi

gejala heteroskedastisitas. Tabel 5.2 menunjukkan mengenai hasil uji

heteroskedastisitas model estimasi manajemen laba.

79

Tabel 5.2Hasil Uji Heteroskedastisitas Model Estimasi Manajemen Laba

Proksi Manajemen Laba Variabel Sig Keterangan

Short term nondiscretionary accrual

1/Log TAi.t-1(ΔREV/-

ΔREC)/TAi.t-1INCt/TAi t-1

0,9220,3450,067

NonheteroskedastisitasNonheteroskedastisitasNonheteroskedastisitasNonheteroskedastisitas

Long term nondiscretionary accrual

1/Log TAi.tPPEi.t/TAi.t-1INTi.t/TAi.t-1INCt/TAi.t-1

0,3960,1950,2830,510

NonheteroskedastisitasNonheteroskedastisitasNonheteroskedastisitasNonheteroskedastisitas

Abnormal cash flow from operation

1/Log TAi.tSt/At-1

ΔSt/At-1

0,6240,5990,717

NonheteroskedastisitasNonheteroskedastisitasNonheteroskedastisitas

Abnormal Production Cost

1/Log TAi.tSt/At-1

ΔSt/At-1ΔSt-1/At-1

0,8500,5660,1870,124

NonheteroskedastisitasNonheteroskedastisitasNonheteroskedastisitasNonheteroskedastisitas

Abnormal Dicretionary Expense

1/Log TAi.tSt/At-1

0,1120,151

NonheteroskedastisitasNonheteroskedastisitas

Lihat lampiran 3, 4, 5, 6, 7

Uji autokorelasi merupakan uji yang dilakukan untuk mengetahui adanya

korelasi antar kesalahan pengganggu dalam suatu data yang bersifat time series.

Model regresi yang layak merupakan model regresi yang kesalahan pengganggu

dalam datanya tidak berkorelasi. Uji autokorelasi dilakukan dengan

menggunakan uji Durbin-Watson. Autokorelasi tidak terjadi ketika du<dw<(4-du).

Tabel 5.3 menyajikan mengenai hasil uji autokorelasi kelima model estimasi

manajemen laba. Gejala autokorelasi yang terjadi pada model estimasi short

term discretionary accrual, abnormal production cost, dan abnormal dicretionary

expense dapat diabaikan, sebab pada penelitian cross-sectional sering ditemui

masalah gejala autokorelasi.

80

Tabel 5.3Hasil Uji Autokorelasi Model Estimasi Manajemen Laba

Proksi Manajemen Laba Du Dw 4-du Keterangan

Short term discretionary accrual 1,807 1,962 2,193 Tidak terjadi autokorelasi

Long term discretionary accrual 1,801 1,763 2,199 Terjadi autokorelasi

Abnormal cash flow from operation 1,807 1,984 2,193 Tidak terjadi

autokorelasi

Abnormal production cost 1,801 1,301 2,199 Terjadi autokorelasi

Abnormal dicretionary expense 1,814 1,627 2,186 Terjadi autokorelasi

Lihat lampiran 3, 4, 5, 6, 7

5.1.2 Hasil Analisis Regresi Model Estimasi Manajemen Laba

Analisis regresi dilakukan terhadap kelima model estimasi manajemen

laba, yang terdiri dari short term discretionary accrual (SHORTDA), long term

discretionary accrual (LONGDA), abnormal cash flow from operation (ABNCFO),

abnormal production cost (ABNPROD), dan abnormal dicretionary expense

(ABNDISCR). Pengujian ini menggunakan analisis regresi berganda, nilai

koefisien yang diperoleh dari analisis ini kemudian digunakan untuk menghitung

nilai dari masing-masing proksi manajemen laba. Hasil analisis regresi dari

kelima model estimasi manajemen laba disajikan pada tabel 5.4.

Tabel 5.4 menjelaskan mengenai nilai dari koefisien regresi yang akan

digunakan untuk menghitung manajemen laba akrual dan manajemen laba riil

(SHORTDA, LONGDA, ABNCFO, ABNPROD, dan ABNDISCR). Tabel 5.4

menunjukkan bahwa berdasarkan nilai F, semua koefisien model estimasi adalah

signifikan, hal ini menunjukkan bahwa model regresi sudah akurat. Besarnya

daya penjelas (explanatory power) dapat dilihat dari nilai Adjusted R2. Abnormal

production cost memiliki daya penjelas tertinggi sebesar 84,9 persen, sedangkan

daya penjelas terendah dimiliki oleh long term discretionary accrual sebesar 2,5

81

persen. Daya penjelas untuk model short term discretionary accrual adalah

sebesar 14,1 persen, sebesar 6,9 persen untuk model abnormal cash flow from

operation, dan 9,9 persen untuk model abnormal dicretionary expense.

Tabel 5.4Hasil Analisis Regresi Model Estimasi Manajemen Laba

STACCt/TAt-1 LTACCt/TAt-1 CFOt/At-1 PRODt/At-1 DISCRt/ At-1

Intercept 0,030(0,300)

-0,121(-1,230)

0,503(3,527)

-0,117(-0,423)

0,131(8,888)

1/Log TAi.t-1 -0,225(-0,187)

1,083(0,927)

-5,767**(-3,326)

0,709(0,210)

-0,015(-1,595)

(ΔREV/-ΔREC)/TAi.t-1

0,113**(5,557)

INCt/TAi t-1 0,107(2,493)

0,097*(2,524)

PPEi.t/TAi.t-1 -0,042*(-2,524)

INTi.t/TAi.t-1 0,106(1,098)

St/At-1 0,044**(3,765)

0,889**(38,694)

0,014(1,438)

ΔSt/At-1 -0,005(-0,155)

-0,155**(-2,672)

ΔSt-1/At-1 0,010(0,156)

F-value 19,185** 3,162* 9,199** 465,946** 19,178**

Adjusted R2 0,141 0,025 0,069 0,849 0,099

Lihat Lampiran 3, 4, 5, 6, 7* Signifikan pada alpha 5%, ** signifikan pada alpha 1%

5.2 Hasil Analisis Pengujian Hipotesis

Bagian ini menyajikan hasil analisis model penelitian untuk menguji

hipotesis yang terdiri dari hasil analisis statistik deskriptif, uji asumsi klasik, dan

hasil analisis regresi model penelitian.

82

5.2.1 Hasil Analisis Statistik Deskriptif

Analisis statistik deskriptif dilakukan untuk memperoleh gambaran atau

karakteristik distribusi dari suatu data yang diteliti, meliputi nilai minimun, nilai

maksimun, nilai rata-rata, dan deviasi standar. Data yang dianalisis meliputi short

term discretionary accrual (SHORTDA), long term discretionary accrual

(LONGDA), abnormal cash flow from operation (ABNCFO), abnormal production

cost (ABNPROD), abnormal dicretionary expense (ABNDISCR), auditor spesialis

industri, ukuran Komite Audit, independensi Komite Audit, keahlian Komite Audit,

rapat Komite Audit, dan prudence. Tabel 5.5 menyajikan hasil statistik deskriptif

masing-masing variabel.

Tabel 5.5Hasil Analisis Statistik Deskriptif

Minimum Maksimum Rata-Rata Deviasi StandarSHORTDA -0,482 0,443 0,030 0,095LONGDA -0,498 0,252 -0,121 0,090ABNCFO 0,022 1,376 0,503 0,140ABNPROD -1,823 0,954 -0,127 0,270ABNDISCR -0,981 2,591 -,0239 0,235UKA 2,000 5,000 3,140 0,424IKA 1,000 1,000 1,000 0,000KKA 0,250 1,000 0,750 0,236RKA 1,000 38,000 6,440 5,116ASI 1,000 17,000 6,790 5,651Prudence -6,981 68,479 3,175 8,135Lihat lampiran 8Keterangan: SHORTDA = Short Term Discretionary Accrual, LONGDA = Long Term Discretionary Accrual, ABNCFO = Abnormal Cash Flow from Operation, ABNPROD = Abnormal Production Cost, dan ABNDISCR = Abnormal Dicretionary Expense, ASI = Auditor Spesialis Industri, UKA = Ukuran Komite Audit, IKA = Independensi Komite Audit, KKA = Keahlian Komite Audit, RKA = Rapat Komite Audit.

Manajemen laba diukur dengan menggunakan lima proksi, yaitu

SHORTDA, LONGDA, ABNCFO, ABNPROD, dan ABNDISCR. Perusahaan-

perusahaan sampel memiliki angka SHORTDA tertinggi sebesar 0,443, angka

terendah sebesar -0,482, rata-rata sebesar 0,030, dan deviasi standar sebesar

83

0,095. LONGDA memiliki angka tertinggi sebesar 0,252, angka terendah sebesar

-0,498, rata-rata sebesar -0,121, dan deviasi standar sebesar 0,090. ABNCFO

memiliki angka tertinggi sebesar 1,376, angka terendah sebesar 0,022, rata-rata

sebesar 0,503, dan deviasi standar sebesar 0,140. ABNPROD memiliki angka

tertinggi sebesar 0,954, angka terendah sebesar -1,823, rata-rata sebesar -

0,127, dan deviasi standar sebesar 0,270. ABNDISCR memiliki angka tertinggi

sebesar 2,591, angka terendah sebesar -0,981, rata-rata sebesar -,0239, dan

deviasi standar sebesar 0,235.

Auditor spesialis industri merupakan auditor yang memiliki keahlian atau

kemampuan khusus dalam suatu industri tertentu. Auditor yang expert dalam

industri tertentu akan menghasilkan audit yang lebih berkualitas, sehingga

auditor dengan spesialisasi industri memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam

memonitor dan mendeteksi manajemen laba. Penelitian ini mengukur auditor

spesialis industri dengan menggunakan jumlah klien auditor dalam industri yang

sama. Hasil analisis statistik deskriptif menunjukkan angka rata-rata sebesar

6,790. Hal ini menunjukkan bahwa secara rata-rata perusahaan audit memiliki

klien sebanyak 6 perusahaan. Auditor spesialis industri memiliki nilai tertinggi

sebesar 17, nilai terendah sebesar 1, dan deviasi standar sebesar 5,651.

Mekanisme Komite Audit dalam penelitian ini meliputi ukuran,

independensi, keahlian, dan rapat Komite Audit. Ukuran Komite Audit mengacu

kepada jumlah anggota Komite Audit, termasuk pula didalamnya Ketua Komite

Audit. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 55 tahun 2015 mewajibkan

perusahaan publik untuk memiliki Komite Audit. Komite Audit tersebut harus

paling sedikit terdiri atas tiga orang yang berasal dari pihak luar (independen).

Ukuran Komite Audit memiliki nilai rata-rata sebesar 3,140, angka ini lebih besar

dari tiga, ini menunjukkan bahwa secara rerata perusahaan-perusahaan sampel

telah memenuhi persyaratan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 55

84

tahun 2015 untuk memiliki paling sedikit tiga orang Komite Audit. Ukuran Komite

Audit memiliki nilai tertinggi sebesar 5, nilai terendah sebesar 2, dan deviasi

standar sebesar 0,424.

Independensi Komite Audit merujuk kepada individu dalam Komite Audit

yang berasal dari pihak luar dan tidak memiliki hubungan dengan pihak terafiliasi,

seperti pemegang saham pengendali, anggota dewan komisaris dan direksi,

serta dengan perusahaan tempat ia menjabat. Peraturan Otoritas Jasa

Keuangan Nomor 55 tahun 2015 mewajibkan perusahaan publik untuk memiliki

Komite Audit paling sedikit tiga orang yang berasal dari pihak luar. Independensi

Komite Audit memiliki nilai rata-rata sebesar 1, ini menunjukkan bahwa secara

rerata perusahaan-perusahaan sampel telah memenuhi persyaratan dalam

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 55 tahun 2015 untuk memiliki Komite

Audit yang berasal dari pihak luar (independen). Independensi Komite Audit

memiliki nilai tertinggi sebesar 1, nilai terendah sebesar 1, dan deviasi standar

sebesar 0,000.

Keahlian Komite Audit merujuk kepada individu dalam Komite Audit yang

memiliki latar belakang akuntansi dan keuangan. Peraturan Otoritas Jasa

Keuangan Nomor 55 tahun 2015 mewajibkan Komite Audit wajib memahami

laporan keuangan serta memiliki pengetahuan, kemampuan, dan pengalaman

terkait dengan pekerjaannya. Komite Audit juga diharuskan untuk memiliki salah

satu anggota yang berlatar belakang akuntansi dan keuangan. Keahlian Komite

Audit memiliki nilai rata-rata sebesar 0,745, ini menunjukkan bahwa secara rerata

perusahaan-perusahaan sampel telah memenuhi persyaratan dalam Peraturan

Otoritas Jasa Keuangan Nomor 55 tahun 2015 untuk memiliki Komite Audit

paling sedikit satu orang yang berlatar belakang akuntansi dan keuangan.

Keahlian Komite Audit memiliki nilai tertinggi sebesar 1, nilai terendah sebesar

0,250, dan deviasi standar sebesar 0,236.

85

Rapat Komite Audit mengacu kepada jumlah rapat atau pertemuan yang

dilakukan oleh Komite Audit. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 55 tahun

2015 mewajibkan perusahaan publik untuk melaksanakan rapat secara berkala

paling sedikit satu kali dalam waktu tiga bulan, atau dengan kata lain paling

sedikit empat kali dalam waktu setahun. Rapat Komite Audit memiliki nilai rata-

rata sebesar 6,440, angka ini lebih besar dari empat, ini menunjukkan bahwa

secara rerata perusahaan-perusahaan sampel telah memenuhi persyaratan

dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 55 tahun 2015 untuk

mengadakan rapat paling sedikit empat kali dalam setahun. Rapat Komite Audit

memiliki nilai tertinggi sebesar 38, nilai terendah sebesar 1, dan deviasi standar

sebesar 5,116.

Prudence adalah tingkat kehati-hatian dalam melakukan penilaian untuk

membuat estimasi yang diperlukan dalam kondisi ketidakpastian, sehingga aset

atau pendapatan tidak lebih saji dan kewajiban atau beban tidak kurang saji

(Hoogervorst, 2012). Perusahaan-perusahaan sampel memiliki angka prudence

tertinggi sebesar 68,479, angka terendah sebesar -6,981, rata-rata sebesar

3,175, dan deviasi standar sebesar 8,135.

5.2.2 Hasil Analisis Regresi Linier

Analisis regresi linier sederhana digunakan untuk menguji hipotesis 1

(H1a-H1e), yaitu manajer melakukan manajemen laba untuk menghindari

kerugian. Pertama-tama dilakukan pengelompokan sampel menjadi dua

kelompok, yaitu kelompok yang diduga melakukan manajemen laba dan yang

tidak melakukan manajemen laba. Pengelompokan ini berdasarkan pada EPS.

EPS yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada nilai tukar rupiah

terhadap dolar Amerika (USD), seperti yang digunakan dalam penelitian Subekti

(2012a), hal ini disebabkan karena sebagian besar investor di Indonesia berasal

86

dari luar negeri. Batasan nilai EPS yang digunakan untuk membagi kelompok

menjadi dua adalah Rp 573, yaitu 5 persen dari kurs rata-rata 2012-2015 (Rp

11.453). Perusahaan yang diduga melakukan manajemen laba adalah

perusahaan yang memiliki EPS antara nol sampai dengan Rp 573.

Pengelompokkan sampel yang diduga melakukan manajemen laba dan yang

tidak melakukan manajemen laba dapat dilihat pada tabel 5.6 berikut ini.

Tabel 5.6Perusahaan yang Teridentifikasi Melakukan Manajemen Laba

Tahun Teridentifikasi Tidak Teridentifikasi2012 69 142013 73 102014 72 112015 72 11Total 286 46

Sampel yang teridentifikasi dan tidak teridentifikasi melakukan

manajemen laba digunakan sebagai variabel dummy dalam pengujian hipotesis

1a-1e, sampel yang teridentifikasi melakukan manajemen laba diberi nilai 1 dan 0

bagi perusahaan yang tidak teridentifikasi melakukan manajemen laba. Langkah

selanjutnya adalah melakukan pengujian hipotesis. Hasil pengujian asumsi klasik

menunjukkan bahwa model regresi penelitian telah memenuhi uji asumsi klasik.

Berdasarkan hasil pengujian normalitas, semua model penelitian yang

menggunakan lima proksi manajemen laba memiliki lebar yang sama antara sisi

kanan dan sisi kiri kurva histogram. Hal ini berarti bahwa nilai residual dari kelima

model regresi telah berdistribusi normal. Hasil pengujian normalitas dapat dilihat

pada lampiran 9, 10, 11, 12, dan 13.

Uji multikolinearitas dilakukan dengan menggunakan pendekatan

Variance Inflation Factor (VIF). Nilai VIF yang lebih kecil dari 10 mengindikasikan

tidak terjadinya multikoloniaritas. Hasil uji multikolinearitas dapat dilihat pada

tabel 5.7. Berdasarkan tabel 5.7, diperoleh bahwa variabel independen (Dummy

87

EPS) dalam model regresi memiliki nilai VIF < 10 dan nilai tolerance > 0,10. Hal

ini berarti bahwa tidak terjadi multikolinearitas pada semua model regresi.

Tabel 5.7Hasil Uji Multikolinearitas Analisis Regresi Linier

Proksi Manajemen Laba VIF ToleranceShort term nondiscretionary accrual 1,000 1,000Long term nondiscretionary accrual 1,000 1,000Abnormal cash flow from operation 1,000 1,000Abnormal Production Cost 1,000 1,000Abnormal Dicretionary Expense 1,000 1,000Lihat Lampiran 9, 10, 11, 12, dan 13

Uji heteroskedastisitas dilakukan dengan menggunakan uji Glejser. Uji

Glejser dilakukan dengan meregresikan variabel independen terhadap nilai

absolut residualnya. Nilai Sig. yang lebih besar dari alpha (0,05) menunjukkan

bahwa varians adalah homogen atau tidak terjadi gejala heteroskedastisitas.

Tabel 5.8 menunjukkan hasil uji heteroskedastisitas kelima model penelitian.

Tabel 5.8Hasil Uji Heteroskedastisitas Analisis Regresi Linier

Proksi Manajemen Laba Sig KeteranganShort term nondiscretionary accrual 0,752 NonheteroskedastisitasLong term nondiscretionary accrual 0,564 NonheteroskedastisitasAbnormal cash flow from operation 0,058 NonheteroskedastisitasAbnormal Production Cost 0,071 NonheteroskedastisitasAbnormal Dicretionary Expense 0,751 NonheteroskedastisitasLihat Lampiran 9, 10, 11, 12, dan 13

Uji autokorelasi dilakukan dengan menggunakan uji Durbin-Watson.

Autokorelasi tidak terjadi ketika du<dw<(4-du).Tabel 5.9 menyajikan mengenai

hasil uji autokorelasi model regresi penelitian dengan lima proksi manajemen

laba. Model regresi penelitian dengan variabel dependen short term discretionary

accrual dan abnormal cash flow from operation tidak menunjukkan terjadi

autokorelasi. Gejala autokorelasi yang terjadi pada model penelitian dengan

variabel dependen long term discretionary accrual, abnormal production cost,

88

dan abnormal dicretionary expense dapat diabaikan, sebab pada penelitian

cross-sectional sering ditemui masalah mengenai gejala autokorelasi.

Tabel 5.9Hasil Uji Autokorelasi Analisis Regresi Linier

Variabel Dependen Du Dw 4-du Keterangan

Short term discretionary accrual 1,825 1,961 2,175 Tidak terjadi autokorelasi

Long term discretionary accrual 1,825 1,761 2,175 Terjadi autokorelasi

Abnormal cash flow from operation 1,825 2,048 2,175 Tidak terjadi

autokorelasi

Abnormal production cost 1,825 1,338 2,175 Terjadi autokorelasi

Abnormal dicretionary expense 1,825 1,676 2,175 Terjadi autokorelasi

Lihat lampiran 9, 10, 11, 12, dan 13

Ringkasan hasil analisis pengujian hipotesis 1 dapat dilihat pada tabel

5.10. Dummy EPS signifikan untuk regresi ABNCFO dan ABNPROD, sedangkan

dummy EPS tidak signifikan untuk SHORTDA, LONGDA, dan ABNDISCR.

Koefisien dummy EPS untuk proksi ABNCFO adalah sebesar -0,132, hasil ini

membuktikan bahwa manajer melakukan manajemen laba dengan cara

memperkecil arus kas operasional untuk menghindari kerugian. Arah koefisien

dari hasil penelitian H1c tidak sesuai dengan perumusan hipotesis yang

menyebutkan bahwa manajer melakukan manajemen laba dengan cara

memperbesar arus kas operasional untuk menghindari kerugian. Koefisien

dummy EPS untuk proksi ABNPROD adalah sebesar 0,215, hasil ini mendukung

hipotesis 1d bahwa manajer melakukan manajemen laba dengan cara

memperbesar biaya produksi untuk menghindari kerugian. Dummy EPS untuk

proksi SHORTDA, LONGDA, dan ABNDISCR adalah tidak signifikan, ini berarti

terjadi penolakan hipotesis 1a, 1b, dan 1e. Manajer tidak melakukan manajemen

laba terhadap transaksi-transaksi akrual jangka pendek dan jangka panjang,

serta beban diskresioner.

89

Tabel 5.10Hasil Analisis Regresi Linier

SHORTDA LONGDA ABNCFO ABNPROD ABNDISCRKonstanta 0,016 -0,125 0,617 -0,312 -0,188Dum_EPS 0,016

(1,041)0,004

(0,313)-0,132**(-6,297)

0,215**(5,194)

-0,059(-1,579)

F-value 1,084 0,098 39,647** 26,978** 2,494Adjusted R2 0,000 0,003 0,105 0,073 0,004Lihat Lampiran 9, 10, 11, 12, 13* Signifikan pada alpha 5%, Signifikan pada alpha 1%Keterangan: SHORTDA = Short Term Discretionary Accrual, LONGDA = Long Term Discretionary Accrual, ABNCFO = Abnormal Cash Flow From Operation, ABNPROD = Abnormal Production Cost, dan ABNDISCR = Abnormal Dicretionary Expense, Dum_EPS = Dummy Earnings per Share.

5.2.3 Hasil Uji Asumsi Klasik Regresi Berganda Hierarki

Tahapan analisis selanjutnya adalah menguji pengaruh auditor spesialis

industri, mekanisme komite audit, serta interaksi antara mekanisme komite audit

dan prudence terhadap manajemen laba. Penelitian ini menggunakan analisis

regresi berganda hierarki untuk menguji model regresi penelitian. Hal ini

disebabkan karena teknik analisis data ini dapat memberikan penjelasan yang

lebih baik mengenai pengaruh variabel independen, variabel moderasi, serta

interaksi antara variabel independen dan moderasi terhadap variabel dependen.

Proksi manajemen laba yang digunakan dalam pengujian ini (H2-H10)

adalah abnormal cash flow from operation dan abnormal production cost,

penggunaan keduanya sehubungan dari hasil penelitian H1a-H1e yang

menemukan bahwa untuk menghindari kerugian, manajer hanya melakukan

manajemen laba dengan mengelola arus kas operasional dan biaya produksi.

Pegujian ini tidak menggunakan proksi short term discretionary accrual, long term

discretionary accrual dan abnormal dicretionary expense. Hal ini dikarenakan

manajer tidak terbukti melakukan manajemen laba dengan mengelola akrual

jangka pendek dan jangka panjang, serta beban diskresioner untuk menghindari

kerugian.

90

Penelitian ini merupakan penelitian yang memiliki tujuan prediktif (to

predict), yakni untuk memprediksi suatu hubungan antar variabel. Data-data

dalam jenis penelitian ini harus memenuhi kriteria dalam asumsi-asumsi dasar

analisis regresi (uji asumsi klasik) agar tidak terjadi bias dalam hasil penelitian

serta model regresi memiliki daya prediksi yang layak. Uji asumsi klasik meliputi

uji normalitas, uji multikoloniaritas, uji heteroskedastisitas, dan uji autokorelasi.

5.2.3.1 Hasil Uji Normalitas

Uji normalitas merupakan uji yang dilakukan untuk mengetahui apakah

residual dalam model regresi berdistribusi normal. Model regresi dikatakan layak

apabila residualnya berdistribusi normal atau mendekati normal. Uji normalitas

dilakukan dengan menggunakan kurva histogram. Residual dalam model regresi

adalah berdistribusi normal apabila lebar antara sisi kanan dan sisi kiri kurva

histogram sama. Berdasarkan hasil pengujian normalitas, kedua model penelitian

memiliki lebar yang sama antara sisi kanan dan sisi kiri kurva histogram. Hal ini

berarti bahwa nilai residual dari kedua model regresi telah berdistribusi normal.

Hasil pengujian normalitas dapat dilihat pada lampiran 14 dan 15.

5.2.3.2 Hasil Uji Multikolinearitas

Uji multikolinearitas merupakan uji yang dilakukan untuk mengetahui

adanya korelasi antar variabel independen. Uji multikolinearitas dilakukan

dengan menggunakan pendekatan Variance Inflation Factor (VIF). Nilai VIF yang

lebih kecil dari 10 mengindikasikan tidak terjadinya multikoloniaritas.

Berdasarkan tabel 5.11, diperoleh bahwa semua variabel independen dalam

model regresi hierarki tahap 1, tahap 2, dan tahap 3 memiliki nilai VIF < 10 dan

nilai tolerance > 0,10, kecuali untuk variabel interaksi, hal ini merupakan situasi

yang normal terjadi pada variabel interaksi.

91

Tabel 5.11Hasil Uji Multikolinearitas Model Regresi Hierarki

Lihat Lampiran 14 dan 15Keterangan: ABNCFO = Abnormal Cash Flow from Operation, ABNPROD = Abnormal Production Cost, ASI = Auditor Spesialis Industri, UKA = Ukuran Komite Audit, IKA = Independensi Komite Audit, KKA = Keahlian Komite Audit, RKA = Rapat Komite Audit, P = Prudence.

5.2.3.3 Hasil Uji Heteroskedastisitas

Uji heteroskedastisitas merupakan uji yang dilakukan untuk mengetahui

adanya ketidaksamaan varians dari residual satu pengamatan ke pengamatan

yang lain. Model regresi yang layak adalah yang memiliki varians homogen atau

tidak terjadi gejala heteroskedastisitas. Uji heteroskedastisitas dilakukan dengan

menggunakan uji Glejser. Uji Glejser dilakukan dengan meregresikan variabel

independen terhadap nilai absolut residualnya. Nilai Sig. yang lebih besar dari

alpha (0,05) menunjukkan bahwa varians adalah homogen atau tidak terjadi

gejala heteroskedastisitas. Tabel 5.12 menunjukkan mengenai hasil uji

heteroskedastisitas kedua model penelitian.

ABNCFO ABNPRODVariabel

VIF Tolerance VIF ToleranceASIUKAKKARKA

1,0341,2721,0481,233

0,9680,7860,9550,811

1,0341,2721,0481,233

0,9680,7860,9550,811

P 1,018 0,982 1,018 0,982

ASIUKAKKARKAPUKA*PIKA*PKKA*PRKA*P

1,1182,7561,5212,425

4227,527296,771

3795,06935,2607,586

0,8420,3630,6570,4120,0000,0030,0000,0280,132

1,1182,7561,5212,425

4227,527296,771

3795,06935,2607,586

0,8420,3630,6570,4120,0000,0030,0000,0280,132

92

Tabel 5.12Hasil Uji Heteroskedastisitas Model Penelitian

Sig KeteranganVariabel

ABNCFO ABNPRODASIUKAKKARKAPUKA*PIKA*PKKA*PRKA*P

0,2120,7450,5270,1490,1030,9300,2210,0900,522

0,5030,3510,7010,0780,1700,6470,5800,3520,944

NonheteroskedastisitasNonheteroskedastisitasNonheteroskedastisitasNonheteroskedastisitasNonheteroskedastisitasNonheteroskedastisitasNonheteroskedastisitasNonheteroskedastisitasNonheteroskedastisitas

Lihat Lampiran 14 dan 15Keterangan: ABNCFO = Abnormal Cash Flow from Operation, ABNPROD = Abnormal Production Cost, ASI = Auditor Spesialis Industri, UKA = Ukuran Komite Audit, IKA = Independensi Komite Audit, KKA = Keahlian Komite Audit, RKA = Rapat Komite Audit, P = Prudence.

5.2.3.4 Hasil Uji Autokorelasi

Uji autokorelasi merupakan uji yang dilakukan untuk mengetahui adanya

korelasi antar kesalahan pengganggu dalam suatu data yang bersifat time series.

Model regresi yang layak merupakan model regresi yang kesalahan pengganggu

dalam datanya tidak berkorelasi. Uji autokorelasi dilakukan dengan

menggunakan uji Durbin-Watson. Autokorelasi tidak terjadi ketika du<dw<(4-du).

Tabel 5.13 menyajikan mengenai hasil uji autokorelasi model regresi penelitian

dengan dua proksi manajemen laba. Model regresi penelitian dengan variabel

dependen abnormal cash flow from operation dan abnormal production cost tidak

menunjukkan terjadi gejala autokorelasi.

Tabel 5.13Hasil Uji Autokorelasi Model Penelitian

Variabel Dependen Du Dw 4-du KeteranganAbnormal cash flow from operation 1,869 1,969 2,131 Tidak terjadi

autokorelasiAbnormal production cost 1,869 1,199 2,131 Tidak terjadi

autokorelasi Lihat lampiran 14 dan 15

93

5.2.4 Hasil Analisis Regresi Berganda Hierarki

Tabel 5.14Hasil Analisis Regresi Berganda Hierarki

ABNCFO ABNPRODModel Regresi Tahap 1

Konstanta 0,510(7,592)

-0,130(-1,064)

ASI 0,004*(2,968)

-0,005*(-2,357)

UKA -0,011(-0,557)

0,026(0,723)

KKA -0,019(-0,609)

-0,004(0,068)

RKA 0,000(-0,158)

-0,001(-0,515)

F-value 2,267 1,542Adjusted R2 0,017 0,008

Model Regresi Tahap 2Konstanta 0,520

(8,000)-0,139

(-1,151)P 0,007**

(4,504)-0,007*(-2,276)

F-value 5,996** 2,288*Adjusted R2 0,081 0,022

Model Regresi Tahap 3Konstanta 0,415

(4,155)0,126

(0,680)ASI 0,002

(1,787)-0,003

(-1,171)UKA 0,011

(0,388)-0,027

(-0,521)KKA 0,015

(0,409)-0,105

(-1,553)RKA -0,002

(-0,936)-0,002

(-0,558)P 1,175

(1,741)-0,172

(-0,924)UKA* P

IKA*P

-0,013(-1,494)-0,115

(-1,215)

0,019(1,171)0,058

(0,328)KKA* P -0,019

(-1,939)0,055*(3,104)

RKA* P 0,001(1,573)

0,000(-0,129)

F-value 4,126** 2,394*Adjusted R2 0,090 0,042

Lihat Lampiran 14 dan 15* Signifikan pada alpha 5%, ** signifikan pada alpha 1%

Keterangan: ABNCFO = Abnormal Cash Flow from Operation, ABNPROD = Abnormal Production Cost, ASI = Auditor Spesialis Industri, UKA = Ukuran Komite Audit, IKA = Independensi Komite Audit, KKA = Keahlian Komite Audit, RKA = Rapat Komite Audit, P = Prudence.

94

Tabel 5.14 menyajikan hasil pengujian hipotesis dengan menggunakan

analisis regresi berganda hierarki. Salah satu variabel independen (independensi

Komite Audit) dikeluarkan dari model penelitian karena memiliki nilai yang

konstan selama tahun pengamatan. Penjelasan atas hasil pengujian hipotesis

dengan menggunakan analisis regresi berganda hierarki dapat dijabarkan

sebagai berikut;

1. Pengaruh Auditor Spesialis Industri terhadap Manajemen Laba

Pengujian hipotesis ini dilakukan untuk menguji pengaruh auditor

spesialis industri terhadap manajemen laba. Manajemen laba diproksikan

dengan dua proksi, yaitu ABNCFO (H2c) dan ABNPROD (H2d). Pengujian tidak

dilakukan terhadap proksi manajemen laba SHORTDA (H2a), LONGDA (H2b),

dan ABNDISCR (H2e), hal ini karena berdasarkan hasil penelitian H1a-H1e

menemukan bahwa manajer hanya melakukan manajemen laba dengan

mengelola arus kas operasional dan biaya produksi.

a. Hasil pengujian hipotesis 2c (H2c)

Tabel 5.14 pada model regresi tahap 1 menunjukkan bahwa koefisien

regresi pengaruh auditor spesialis industri terhadap ABNCFO adalah

positif sebesar 0,004 dengan nilai probabilitas sebesar 0,003. Nilai

probabilitas lebih kecil daripada alpha (0,05), namun arah yang positif

menyebabkan H2c tidak didukung. Hal ini berarti bahwa auditor

spesialis industri berpengaruh terhadap ABNCFO, tetapi memiliki arah

yang positif.

b. Hasil pengujian hipotesis 2d (H2d)

Tabel 5.14 pada model regresi tahap 1 menunjukkan bahwa koefisien

regresi pengaruh auditor spesialis industri terhadap ABNPROD

adalah negatif sebesar 0,005 dengan nilai probabilitas sebesar 0,019.

Nilai probabilitas yang lebih kecil daripada alpha (0,05) menunjukkan

95

bahwa H2d didukung. Hal ini berarti bahwa auditor spesialis industri

berpengaruh negatif terhadap ABNPROD.

2. Pengaruh Ukuran Komite Audit terhadap Manajemen Laba

Pengujian hipotesis ini dilakukan untuk menguji pengaruh ukuran Komite

Audit terhadap manajemen laba. Manajemen laba diproksikan dengan dua

proksi, yaitu ABNCFO (H3c) dan ABNPROD (H3d). Pengujian tidak dilakukan

terhadap proksi manajemen laba SHORTDA (H3a), LONGDA (H3b), dan

ABNDISCR (H3e), hal ini karena berdasarkan hasil penelitian H1a-H1e

menemukan bahwa manajer hanya melakukan manajemen laba dengan

mengelola arus kas operasional dan biaya produksi.

a. Hasil pengujian hipotesis 3c (H3c)

Tabel 5.14 pada model regresi tahap 1 menunjukkan bahwa koefisien

regresi pengaruh ukuran Komite Audit terhadap ABNCFO adalah

negatif sebesar 0,011 dengan nilai probabilitas sebesar 0,578. Nilai

probabilitas yang lebih besar daripada alpha (0,05) menunjukkan

bahwa H3c tidak didukung. Hal ini berarti bahwa ukuran Komite Audit

tidak berpengaruh negatif terhadap ABNCFO.

b. Hasil pengujian hipotesis 3d (H3d)

Tabel 5.14 pada model regresi tahap 1 menunjukkan bahwa koefisien

regresi pengaruh ukuran Komite Audit terhadap ABNPROD adalah

positif sebesar 0,026 dengan nilai probabilitas sebesar 0,470. Nilai

probabilitas yang lebih besar daripada alpha (0,05) menunjukkan

bahwa H3d tidak didukung. Hal ini berarti bahwa ukuran Komite Audit

tidak berpengaruh negatif terhadap ABNPROD.

3. Pengaruh Keahlian Komite Audit terhadap Manajemen Laba

Pengujian hipotesis ini dilakukan untuk menguji pengaruh keahlian

Komite Audit terhadap manajemen laba. Manajemen laba diproksikan dengan

96

dua proksi, yaitu ABNCFO (H5c) dan ABNPROD (H5d). Pengujian tidak

dilakukan terhadap proksi manajemen laba SHORTDA (H5a), LONGDA (H5b),

dan ABNDISCR (H5e), hal ini karena berdasarkan hasil penelitian H1a-H1e

menemukan bahwa manajer hanya melakukan manajemen laba dengan

mengelola arus kas operasional dan biaya produksi.

a. Hasil pengujian hipotesis 5c (H5c)

Tabel 5.14 pada model regresi tahap 1 menunjukkan bahwa koefisien

regresi pengaruh keahlian Komite Audit terhadap ABNCFO adalah

negatif sebesar 0,019 dengan nilai probabilitas sebesar 0,543. Nilai

probabilitas yang lebih besar daripada alpha (0,05) menunjukkan

bahwa H5c tidak didukung. Hal ini berarti bahwa keahlian Komite

Audit tidak berpengaruh negatif terhadap ABNCFO.

b. Hasil pengujian hipotesis 5d (H5d)

Tabel 5.14 pada model regresi tahap 1 menunjukkan bahwa koefisien

regresi pengaruh keahlian Komite Audit terhadap ABNPROD adalah

negatif sebesar 0,004 dengan nilai probabilitas sebesar 0,946. Nilai

probabilitas yang lebih besar daripada alpha (0,05) menunjukkan

bahwa H5d tidak didukung. Hal ini berarti bahwa keahlian Komite

Audit tidak berpengaruh negatif terhadap ABNPROD.

4. Pengaruh Rapat Komite Audit terhadap Manajemen Laba

Pengujian hipotesis ini dilakukan untuk menguji pengaruh rapat Komite

Audit terhadap manajemen laba. Manajemen laba diproksikan dengan dua

proksi, yaitu ABNCFO (H6c) dan ABNPROD (H6d). Pengujian tidak dilakukan

terhadap proksi manajemen laba SHORTDA (H6a), LONGDA (H6b), dan

ABNDISCR (H6e), hal ini karena berdasarkan hasil penelitian H1a-H1e

menemukan bahwa manajer hanya melakukan manajemen laba dengan

mengelola arus kas operasional dan biaya produksi.

97

a. Hasil pengujian hipotesis 6c (H6c)

Tabel 5.14 pada model regresi tahap 1 menunjukkan bahwa koefisien

regresi pengaruh rapat Komite Audit terhadap ABNCFO adalah

sebesar 0,000 dengan nilai probabilitas sebesar 0,875. Nilai

probabilitas yang lebih besar daripada alpha (0,05) menunjukkan

bahwa H6c tidak didukung. Hal ini berarti bahwa rapat Komite Audit

tidak berpengaruh negatif terhadap ABNCFO.

b. Hasil pengujian hipotesis 6d (H6d)

Tabel 5.14 pada model regresi tahap 1 menunjukkan bahwa koefisien

regresi pengaruh rapat Komite Audit terhadap ABNPROD adalah

negatif sebesar 0,001 dengan nilai probabilitas sebesar 0,607. Nilai

probabilitas yang lebih besar daripada alpha (0,05) menunjukkan

bahwa H6d tidak didukung. Hal ini berarti bahwa rapat Komite Audit

tidak berpengaruh negatif terhadap ABNPROD.

5. Pengaruh Prudence dalam memoderasi Pengaruh Ukuran Komite Audit terhadap Manajemen Laba

Pengujian hipotesis ini dilakukan untuk menguji pengaruh prudence

dalam memoderasi pengaruh ukuran Komite Audit terhadap manajemen laba.

Manajemen laba diproksikan dengan dua proksi, yaitu ABNCFO (H7c) dan

ABNPROD (H7d). Pengujian tidak dilakukan terhadap proksi manajemen laba

SHORTDA (H7a), LONGDA (H7b), dan ABNDISCR (H7e), hal ini karena

berdasarkan hasil penelitian H1a-H1e menemukan bahwa manajer hanya

melakukan manajemen laba dengan mengelola arus kas operasional dan biaya

produksi.

a. Hasil pengujian hipotesis 7c (H7c)

Tabel 5.14 pada model regresi tahap 3 menunjukkan koefisien dari

interaksi prudence dan ukuran Komite Audit terhadap ABNCFO

98

adalah negatif sebesar 0,013 dengan nilai probabilitas sebesar 0,136.

Nilai probabilitas yang lebih besar daripada alpha (0,05) menunjukkan

bahwa H7c tidak didukung. Hal ini berarti bahwa prudence tidak

memoderasi pengaruh ukuran Komite Audit terhadap ABNCFO.

b. Hasil pengujian hipotesis 7d (H7d)

Tabel 5.14 pada model regresi tahap 3 menunjukkan koefisien dari

interaksi prudence dan ukuran Komite Audit terhadap ABNPROD

adalah positif sebesar 0,019 dengan nilai probabilitas sebesar 0,243.

Nilai probabilitas yang lebih besar daripada alpha (0,05) menunjukkan

bahwa H7d tidak didukung. Hal ini berarti bahwa prudence tidak

memoderasi pengaruh ukuran Komite Audit terhadap ABNPROD.

6. Pengaruh Prudence dalam memoderasi Pengaruh Independensi Komite Audit terhadap Manajemen Laba

Pengujian hipotesis ini dilakukan untuk menguji pengaruh prudence

dalam memoderasi pengaruh independensi Komite Audit terhadap manajemen

laba. Manajemen laba diproksikan dengan dua proksi, yaitu ABNCFO (H8c) dan

ABNPROD (H8d). Pengujian tidak dilakukan terhadap proksi manajemen laba

SHORTDA (H8a), LONGDA (H8b), dan ABNDISCR (H8e), hal ini karena

berdasarkan hasil penelitian H1a-H1e menemukan bahwa manajer hanya

melakukan manajemen laba dengan mengelola arus kas operasional dan biaya

produksi.

a. Hasil pengujian hipotesis 8c (H8c)

Tabel 5.14 pada model regresi tahap 3 menunjukkan koefisien dari

interaksi prudence dan independensi Komite Audit terhadap ABNCFO

adalah negatif sebesar 0,115 dengan nilai probabilitas sebesar 0,226.

Nilai probabilitas yang lebih besar daripada alpha (0,05) menunjukkan

99

bahwa H8c tidak didukung. Hal ini berarti bahwa prudence tidak

memoderasi pengaruh independensi Komite Audit terhadap ABNCFO.

b. Hasil pengujian hipotesis 8d (H8d)

Tabel 5.14 pada model regresi tahap 3 menunjukkan koefisien dari

interaksi prudence dan independensi Komite Audit terhadap

ABNPROD adalah positif sebesar 0,058 dengan nilai probabilitas

sebesar 0,743. Nilai probabilitas yang lebih besar daripada alpha

menunjukkan bahwa H8d tidak didukung. Hal ini berarti bahwa

prudence tidak memoderasi pengaruh independensi Komite Audit

terhadap ABNPROD.

7. Pengaruh Prudence dalam memoderasi Pengaruh Keahlian Komite Audit terhadap Manajemen Laba

Pengujian hipotesis ini dilakukan untuk menguji pengaruh prudence

dalam memoderasi pengaruh keahlian Komite Audit terhadap manajemen laba.

Manajemen laba diproksikan dengan dua proksi, yaitu ABNCFO (H9c) dan

ABNPROD (H9d). Pengujian tidak dilakukan terhadap proksi manajemen laba

SHORTDA (H9a), LONGDA (H9b), dan ABNDISCR (H9e), hal ini karena

berdasarkan hasil penelitian H1a-H1e menemukan bahwa manajer hanya

melakukan manajemen laba dengan mengelola arus kas operasional dan biaya

produksi.

a. Hasil pengujian hipotesis 9c (H9c)

Tabel 5.14 pada model regresi tahap 3 menunjukkan koefisien dari

interaksi prudence dan keahlian Komite Audit terhadap ABNCFO

adalah negatif sebesar 0,019 dengan nilai probabilitas sebesar 0,054.

Nilai probabilitas yang lebih besar daripada alpha (0,05) menunjukkan

bahwa H9c tidak didukung. Hal ini berarti bahwa prudence tidak

memoderasi pengaruh keahlian Komite Audit terhadap ABNCFO.

100

b. Hasil pengujian hipotesis 9d (H9d)

Tabel 5.14 pada model regresi tahap 3 menunjukkan koefisien dari

interaksi prudence dan keahlian Komite Audit terhadap ABNPROD

adalah positif sebesar 0,055 dengan nilai probabilitas sebesar 0,002.

Nilai probabilitas lebih kecil daripada alpha (0,05), namun arah yang

positif menyebabkan H9d tidak didukung. Hal ini berarti bahwa

prudence tidak memperkuat pengaruh negatif keahlian Komite Audit

terhadap ABNPROD, melainkan memperlemah pengaruh negatif

keahlian Komite Audit terhadap ABNPROD.

8. Pengaruh Prudence dalam memoderasi Pengaruh Rapat Komite Audit terhadap Manajemen Laba

Pengujian hipotesis ini dilakukan untuk menguji pengaruh prudence

dalam memoderasi pengaruh rapat Komite Audit terhadap manajemen laba.

Manajemen laba diproksikan dengan dua proksi, yaitu ABNCFO (H10c) dan

ABNPROD (H10d). Pengujian tidak dilakukan terhadap proksi manajemen laba

SHORTDA (H10a), LONGDA (H10b), dan ABNDISCR (H10e), hal ini karena

berdasarkan hasil penelitian H1a-H1e menemukan bahwa manajer hanya

melakukan manajemen laba dengan mengelola arus kas operasional dan biaya

produksi.

a. Hasil pengujian hipotesis 10c (H10c)

Tabel 5.14 pada model regresi tahap 3 menunjukkan koefisien dari

interaksi prudence dan rapat Komite Audit terhadap ABNCFO adalah

positif sebesar 0,001 dengan nilai probabilitas sebesar 0,117. Nilai

probabilitas yang lebih besar daripada alpha (0,05) menunjukkan

bahwa H10c tidak didukung. Hal ini berarti bahwa prudence tidak

memoderasi pengaruh rapat Komite Audit terhadap ABNCFO.

101

b. Hasil pengujian hipotesis 10d (H10d)

Tabel 5.14 pada model regresi tahap 3 menunjukkan koefisien dari

interaksi prudence dan rapat Komite Audit terhadap ABNPROD

adalah positif sebesar 0,000 dengan nilai probabilitas sebesar 0,898.

Nilai probabilitas yang lebih besar daripada alpha (0,05) menunjukkan

bahwa H10d tidak didukung. Hal ini berarti bahwa prudence tidak

memoderasi pengaruh rapat Komite Audit terhadap ABNPROD.

Ringkasan hasil pengujian hipotesis dapat ditampilkan pada tabel 5.15

sebagai berikut;

102

Tabel 5.15Ringkasan Hasil Pengujian Hipotesis

Hipotesis Keterangan KesimpulanManajer melakukan manajemen laba untuk menghindari kerugianH1a

H1b

H1c

H1d

H1e

Manajer melakukan manajemen laba dengan memperkecil short term discretionary accruals untuk menghindari kerugianManajer melakukan manajemen laba dengan memperkecil long term discretionary accruals untuk menghindari kerugianManajer melakukan manajemen laba dengan memperbesar arus kas operasional untuk menghindari kerugianManajer melakukan manajemen laba dengan memperbesar biaya produksi untuk menghindari kerugianManajer melakukan manajemen laba dengan memperkecil beban diskresioner untuk menghindari kerugian

tidak didukung

tidak didukung

tidak didukung

didukung

tidak didukung

Pengaruh auditor spesialis industri terhadap manajemen labaH2c

H2d

Auditor spesialis industri berpengaruh negatif terhadap manajemen laba riil yang diukur dengan arus kas operasionalAuditor spesialis industri berpengaruh negatif terhadap manajemen laba riil yang diukur dengan biaya produksi

tidak didukung

didukung

Pengaruh ukuran Komite Audit terhadap manajemen labaH3c

H3d

Ukuran Komite Audit berpengaruh negatif terhadap manajemen laba riil yang diukur dengan arus kas operasionalUkuran Komite Audit berpengaruh negatif terhadap manajemen laba riil yang diukur dengan biaya produksi

tidak didukung

tidak didukung

Pengaruh keahlian Komite Audit terhadap manajemen labaH5c

H5d

Keahlian Komite Audit berpengaruh negatif terhadap manajemen laba riil yang diukur dengan arus kas operasionalKeahlian Komite Audit berpengaruh negatif terhadap manajemen laba riil yang diukur dengan biaya produksi

tidak didukung

tidak didukung

Pengaruh rapat Komite Audit terhadap manajemen labaH6c

H6d

Rapat Komite Audit berpengaruh negatif terhadap manajemen laba riil yang diukur dengan arus kas operasionalRapat Komite Audit berpengaruh negatif terhadap manajemen laba riil yang diukur dengan biaya produksi

tidak didukung

tidak didukung

Pengaruh prudence dalam memoderasi ukuran Komite Audit dan manajemen labaH7c

H7d

Prudence memperkuat pengaruh negatif ukuran Komite Audit terhadap manajemen laba riil yang diukur dengan arus kas operasionalPrudence memperkuat pengaruh negatif ukuran Komite Audit terhadap manajemen laba riil yang diukur dengan biaya produksi

tidak didukung

tidak didukung

Pengaruh prudence dalam memoderasi independensi Komite Audit dan manajemen labaH8c

H8d

Prudence memperkuat pengaruh negatif independensi Komite Audit terhadap manajemen laba riil yang diukur dengan arus kas operasionalPrudence memperkuat pengaruh negatif independensi Komite Audit terhadap manajemen laba riil yang diukur dengan biaya produksi

tidak didukung

tidak didukung

Pengaruh prudence dalam memoderasi keahlian Komite Audit dan manajemen labaH9c

H9d

Prudence memperkuat pengaruh negatif keahlian Komite Audit terhadap manajemen laba riil yang diukur dengan arus kas operasionalPrudence memperkuat pengaruh negatif keahlian Komite Audit terhadap manajemen laba riil yang diukur dengan biaya produksi

tidak didukung

tidak didukung

Pengaruh prudence dalam memoderasi rapat Komite Audit dan manajemen labaH10c

H10d

Prudence memperkuat pengaruh negatif rapat Komite Audit terhadap manajemen laba riil yang diukur dengan arus kas operasionalPrudence memperkuat pengaruh negatif rapat Komite Audit terhadap manajemen laba riil yang diukur dengan biaya produksi

tidak didukung

tidak didukung

103

5.3 Pembahasan Hasil Pengujian Hipotesis

Bagian ini membahas mengenai hasil pengujian hipotesis. Pertama akan

dibahas mengenai manajer yang melakukan manajemen laba untuk menghindari

kerugian, kemudian dibahas mengenai pengaruh auditor spesialis industri dan

mekanisme Komite Audit terhadap manajemen laba, dan terakhir mengenai

prudence dalam memoderasi pengaruh mekanisme Komite Audit terhadap

manajemen laba.

5.3.1 Manajer Melakukan Manajemen Laba Untuk Menghindari Kerugian

Salah satu tujuan manajer dalam melakukan manajemen laba adalah

untuk menghindari kerugian. Manajer menghindari kerugian karena laba negatif

mengindikasikan kinerja manajer yang buruk. Laba negatif juga dapat

meningkatkan biaya transaksi dengan pihak stakeholders. Manajer akan

mengelola laba negatif yang berada dibawah titik nol agar menjadi laba positif

dan berada diatas titik acuan (titik nol) (Hayn, 1995; Burgstahler & Dichev, 1997;

Subekti, 2012a).

Hasil pengujian H1a, H1b, H1c, H1d, dan H1e menunjukkan bahwa

dummy EPS hanya signifikan terhadap ABNCFO dan ABNPROD. Hasil ini

menunjukkan bahwa manajer melakukan manajemen laba dengan mengelola

arus kas operasional dan biaya produksi untuk menghindari kerugian. Temuan ini

sesuai dengan Teori Prospek yang mengungkapkan bahwa keputusan yang

diambil terkait keuntungun atau kerugian didefinisikan secara relatif pada suatu

titik acuan (reference point). Manajer akan mengelola laba negatif yang berada

dibawah titik nol agar menjadi laba positif dan berada diatas titik acuan (titik nol)

(Hayn, 1995; Burgstahler & Dichev, 1997; Subekti, 2012a).

Hasil pengujian menunjukkan bahwa hanya H1d yang didukung, bahwa

untuk menghindari kerugian manajer melakukan manajemen laba dengan cara

104

memperbesar biaya produksi (ABNPROD). Hasil pengujian H1c menunjukkan

bahwa dummy EPS signifikan terhadap ABNCFO, tetapi dengan arah negatif, hal

ini menunjukkan bahwa H1c tidak didukung. Manajer melakukan manajemen

laba untuk menghindari kerugian dengan cara memperkecil arus kas operasional,

bukan dengan cara memperbesar arus kas operasional (ABNCFO).

Roychowdhury (2006) mengungkapkan bahwa aktivitas pengelolaan penjualan

melalui pemberian potongan harga dan persyaratan kredit yang lunak dapat

menyebabkan arus kas operasional pada periode berjalan menjadi lebih rendah

dibandingkan tingkat penjualan pada keadaan normal. Arus kas masuk per

penjualan setelah dikurangi potongan harga adalah lebih rendah seiring dengan

penurunan margin. Pemberian potongan harga menyebabkan arus kas masuk

menjadi lebih rendah selama masa penjualan, sehingga manajemen laba yang

dilakukan dengan mengelola penjualan dapat menyebabkan arus kas

operasional menurun.

Hasil pengujian menunjukkan bahwa manajer tidak mengelola transaksi

akrual jangka pendek dan jangka panjang untuk menghindari kerugian. Hal ini

disebabkan karena keterbatasan yang dimiliki manajemen laba akrual. Graham

et al. (2005) mengungkapkan bahwa manajer kini lebih menekankan pada

manajemen laba riil, hal ini disebabkan karena keengganan mereka untuk

menggunakan manajemen laba berbasis akuntansi, sebagai akibat dari skandal

akuntansi Enron dan WorldCom. Zang (2012) juga menyebutkan bahwa

manajemen laba akrual dibatasi oleh pengawasan pihak luar dan fleksibilitas.

Manajemen laba akrual lebih mudah dideteksi oleh auditor, sedangkan

manajemen laba riil lebih sulit dideteksi, sebab manajemen laba riil mirip dengan

keputusan normal bisnis. Manajemen laba riil dapat dilakukan di sepanjang

periode berjalan, sedangkan manajemen laba akrual hanya dapat dilakukan

diakhir periode, sehingga manajemen laba riil memberikan keleluasaan yang

105

lebih besar kepada manajer untuk mencapai target laba di sepanjang periode

berjalan.

Hasil pengujian juga menunjukkan bahwa manajer tidak mengelola beban

diskresioner untuk menghindari kerugian. Hal ini disebabkan karena menurunkan

beban diskresioner dapat memberikan dampak yang besar terhadap nilai

perusahaan di masa depan (Roychowdhury, 2006). Beban diskresioner terdiri

dari beban penelitian dan pengembangan (R&D), beban penjualan dan

administrasi, serta beban iklan. Mengurangi beban diskresioner dapat

mempengaruhi nilai perusahaan, misalkan mengurangi biaya R&D pada saat ini

berisiko terhadap kemampuan bersaing perusahaan di masa depan.

Pengurangan beban diskresioner mempengaruhi kemampuan perusahaan dalam

berinovasi, hal ini dapat menyebabkan perusahaan kalah bersaing dengan

perusahaan lain dan dapat berisiko terhadap penurunan penjualan dan arus kas

di masa depan.

5.3.2 Pengaruh Auditor Spesialis Industri terhadap Manajemen Laba

Audit merupakan alat yang digunakan oleh auditor untuk melakukan

pengawasan terhadap konflik kepentingan yang muncul antara prinsipal dan

agen. Keberadaan auditor akan mengurangi asimetri informasi yang terjadi

antara prinsipal dan agen. Auditor berkualitas salah satunya dapat dilihat dari

spesialisasi industrinya. Auditor spesialis industri memiliki berbagai keunggulan-

keunggulan yang dapat meningkatkan efektivitas audit. Auditor spesialis industri

memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam mendeteksi kesalahan. Auditor

yang expert dalam industri tertentu akan menghasilkan audit yang lebih

berkualitas, sehingga memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam memonitor

dan mendeteksi manajemen laba.

106

Hasil pengujian H2c dan H2d menunjukkan bahwa auditor spesialis

industri berpengaruh signifikan positif terhadap ABNCFO dan berpengaruh

signifikan negatif terhadap ABNPROD. Hasil pengujian H2d menunjukkan bahwa

auditor spesialis industri berpengaruh negatif terhadap manajemen laba riil yang

dilakukan dengan mengelola biaya produksi (ABNPROD). Hal ini menunjukkan

bahwa semakin besar jumlah klien auditor dalam suatu industri yang sama, maka

semakin menurunkan manajemen laba yang dilakukan dengan mengelola biaya

produksi. Hasil penelitian ini mendukung penelitian Balsam et al. (2003),

Khrisnan (2003b), Rusmin (2010), Gerayli et al. (2011), DeBoskey & Jiang

(2012), Inaam et al. (2012), Hegazy et al. (2015), serta Ahmad et al. (2016).

Penelitian-penelitian tersebut menemukan hubungan negatif antara auditor

spesialis industri dan manajemen laba. Auditor spesialis industri berhubungan

dengan manajemen laba yang lebih rendah. Hal ini berarti bahwa auditor

spesialis industri dapat membatasi manajemen laba yang dilakukan perusahaan.

Ada beberapa kelebihan auditor spesialis industri yang menyebabkan

auditor spesialis memiliki kemampuan dalam menurunkan manajemen laba.

Auditor spesialis industri cenderung berinvestasi lebih banyak dalam perekrutan

dan pelatihan staf, teknologi informasi, serta teknologi audit, daripada auditor

non-spesialis (Krishnan, 2003b). Auditor spesialis juga memiliki pengetahuan dan

keahlian yang lebih spesifik mengenai industri (Dunn & Mayhew, 2004). Solomon

et al. (1999) menemukan bahwa pengetahuan spesifik auditor mengenai industri

akan mempengaruhi kinerja auditor. Auditor yang memiliki banyak pengalaman

dalam suatu industri tertentu memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam

mendeteksi kesalahan (Wright & Wright, 1997). Hasil penelitian ini mendukung

penelitian Jensen & Meckling (1976) yang menemukan bahwa auditor berperan

dalam mekanisme monitoring untuk mengurangi biaya agensi, salah satunya

yang timbul karena insentif manajer untuk mengelola laba.

107

Hasil pengujian H2c menunjukkan bahwa auditor spesialis industri

signifikan terhadap ABNCFO, tetapi dengan arah positif, hal ini menunjukkan

bahwa H1c tidak didukung. Hasil ini sesuai dengan temuan Challen & Siregar

(2011) yang menemukan bahwa keberadaan auditor spesialis industri

berhubungan dengan abnormal cash flow from operation (ABNCFO) yang lebih

tinggi. Harusetya & Pujilestari (2013) juga menemukan bahwa auditor spesialis

industri berpengaruh positif terhadap manajemen laba riil yang dilakukan dengan

mengelola penjualan. Auditor spesialis industri memiliki kemampuan yang lebih

besar dalam membatasi manajemen laba berbasis akrual dibandingkan

manajemen laba riil. Manajemen laba riil yang dilakukan dengan mengelola arus

kas operasional lebih sulit dideteksi oleh auditor (Challen & Siregar, 2011).

Auditor spesialis industri lebih mudah dan lebih berfokus dalam mendeteksi

metode manajemen laba selain arus kas operasional, sehingga keberadaan

auditor spesialis industri justru menyebabkan manajer meningkatkan manajemen

laba riil dengan mengelola arus kas operasional.

5.3.3 Pengaruh Mekanisme Komite Audit terhadap Manajemen Laba

Teori Agensi Positivis berfokus pada identifikasi situasi antara prinsipal dan

agen yang memiliki konflik tujuan, serta mendeskripsikan mekanisme tata kelola

yang dapat membatasi sifat self-interest agen atau yang dapat memecahkan

masalah agensi. Komite Audit merupakan mekanisme terpenting dalam tata

kelola perusahaan yang dapat menghambat manajemen laba, sebab Komite

Audit merupakan bagian yang bertanggung jawab untuk memastikan akurasi dan

reliabilitas laporan keuangan yang disediakan manajemen (Ayemere & Elijah,

2015). FCGI (2001) menjabarkan mengenai tiga tanggung jawab Komite Audit,

yaitu bertanggung jawab terhadap laporan keuangan, memastikan bahwa

perusahaan menjalankan usahanya sesuai dengan ketentuan hukum, undang-

108

undang dan menjalankan bisnisnya secara etis, serta bertanggung jawab

terhadap pengawasan perusahaan. Mekanisme Komite Audit tercermin dalam

ukuran Komite Audit, independensi Komite Audit, keahlian Komite Audit, dan

jumlah rapat Komite Audit.

Ukuran Komite Audit yang terlalu kecil dapat menurunkan efektivitas

pemantauan dan efisiensi dalam pemenuhan tugas Komite Audit (Vafeas, 2005).

Semakin besar ukuran Komite Audit diharapkan pengawasan semakin

meningkat, sehingga dapat mengurangi manajemen laba. Hasil pengujian

hipotesis H3c dan H3d menunjukkan bahwa kedua hipotesis tersebut tidak

didukung. Hasil pengujian H3c dan H3d menunjukkan bahwa ukuran Komite

Audit tidak berpengaruh terhadap manajemen laba yang dilakukan dengan

mengelola arus kas operasional (ABNCFO) dan biaya produksi (ABNPROD). Hal

ini menunjukkan bahwa ukuran Komite Audit tidak berperan dalam menurunkan

manajemen laba yang dilakukan dengan mengelola arus kas operasional dan

biaya produksi. Hasil penelitian ini berbeda dengan temuan Alzoubi & Selamat

(2012) dan Ayemere & Elijah (2015) yang menemukan bahwa ukuran Komite

Audit berpengaruh negatif terhadap manajemen laba. Hasil penelitian ini

mendukung temuan Chandrasegaram et al. (2013) yang menemukan bahwa

ukuran komite audit tidak berpengaruh terhadap manajemen laba.

Komite Audit bertanggung jawab terhadap laporan keuangan, guna

memastikan bahwa laporan keuangan yang diterbitkan perusahaan telah

mencerminkan keadaan sebenarnya. Berdasarkan hal tersebut, maka

merupakan hal penting apabila Komite Audit memiliki keahlian dalam bidang

keuangan dan akuntansi. Hasil pengujian hipotesis H5c dan H5d menunjukkan

bahwa kedua hipotesis tersebut tidak didukung. Hasil pengujian tersebut

menunjukkan bahwa keahlian Komite Audit tidak berpengaruh negatif terhadap

manajemen laba yang dilakukan dengan mengelola arus kas operasional

109

(ABNCFO) dan biaya produksi (ABNPROD). Hal ini menunjukkan bahwa

besarnya jumlah anggota Komite Audit yang memiliki latar belakang keuangan

dan akuntansi tidak berperan dalam menurunkan manajemen laba yang

dilakukan dengan mengelola arus kas operasional dan biaya produksi. Hasil

penelitian ini berbeda dengan temuan Alzoubi & Selamat (2012) dan Ayemere &

Elijah (2015) yang menemukan bahwa keahlian Komite Audit berpengaruh

negatif terhadap manajemen laba. Hasil penelitian ini mendukung temuan

Mohamad et al. (2012) yang menemukan bahwa keahlian Komite Audit tidak

berpengaruh terhadap manajemen laba.

Conger et al. (1998) mengemukakan bahwa rapat yang lebih sering

dilakukan mampu meningkatkan efektivitas dewan. Komite audit yang bertemu

secara teratur berhubungan dengan pengawasan yang lebih efektif. Hasil

pengujian H6c dan H6d menunjukkan bahwa kedua hipotesis tersebut tidak

didukung. Hasil pengujian tersebut menunjukkan bahwa rapat Komite Audit tidak

berpengaruh negatif terhadap manajemen laba yang dilakukan dengan

mengelola arus kas operasional (ABNCFO) dan biaya produksi (ABNPROD). Hal

ini menunjukkan bahwa jumlah rapat yang diadakan oleh Komite Audit tidak

dapat membatasi manajemen laba yang dilakukan dengan mengelola arus kas

operasional dan biaya produksi. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian

Xie et al. (2003), Alzoubi & Selamat (2012), dan Ayemere & Elijah (2015) yang

menemukan bahwa jumlah rapat yang lebih tinggi berhubungan dengan

manajemen laba yang lebih rendah. Hasil penelitian ini mendukung temuan

Mohamad et al. (2012) yang menemukan bahwa rapat komite audit tidak

berpengaruh terhadap manajemen laba.

Hasil penelitian mengenai pengaruh mekanisme Komite Audit terhadap

manajemen laba yang dilakukan dengan mengelola arus kas operasional dan

biaya produksi tidak mendukung Jensen & Meckling (1976) yang menyebutkan

110

bahwa mekanisme tata kelola perusahaan merupakan mekanisme yang

berperan dalam mekanisme monitoring untuk mengurangi biaya agensi, salah

satunya yang timbul karena insentif manajer untuk mengelola laba. Mekanisme

tata kelola perusahaan yang salah satunya tercermin dalam mekanisme Komite

Audit bukan merupakan mekanisme yang dapat menurunkan manajemen laba

yang dilakukan dengan mengelola arus kas operasional dan biaya produksi.

Faccio & Lang (2002) menemukan bahwa hampir di semua Negara terjadi

konsentrasi kepemilikan perusahaan. Indonesia merupakan salah satu Negara

yang kepemilikannya terkonsentrasi pada pemegang saham pengendali.

Pemegang saham pengendali dalam struktur kepemilikan ini biasanya

memegang posisi yang kuat untuk mempengaruhi direksi, sehingga perusahaan

ini mungkin memiliki tata kelola perusahaan yang lebih rendah karena

pemantauan yang tidak efektif oleh dewan (Wang, 2006). Hal inilah yang

menyebabkan mekanisme Komite Audit tidak berperan dalam menurunkan

manajemen laba, sebab pemegang saham pengendali dan direksi memiliki

kedudukan yang kuat dalam menjalankan perusahaan. Agustia (2013)

mengungkapkan bahwa direksi yang memiliki kedudukan yang cenderung sangat

kuat terkadang tidak bersedia untuk memberikan informasi memadai kepada

komisaris. Hal tersebut menyebabkan Komite Audit memiliki keterbatasan dalam

melakukan pengawasan, sehingga akan membatasi kemampuan Komite Audit

dalam menurunkan manajemen laba. Penelitian tersebut juga mengungkapkan

bahwa terdapat kendala yang cukup menghambat kinerja komisaris, termasuk

didalamnya Komite Audit, yaitu masih lemahnya kompetensi dan integritas

mereka. Hal ini terjadi karena pengangkatan komisaris biasanya didasarkan pada

penghargaan, hubungan keluarga, atau hubungan dekat lainnya, padahal

integritas dan independensi merupakan hal yang fundamental agar tata kelola

perusahaan dapat terwujud secara efektif.

111

5.3.4 Prudence dalam memoderasi Pengaruh Mekanisme Komite Audit terhadap Manajemen LabaPrudence merupakan istilah yang menggantikan konservatisme.

Prudence adalah tingkat kehati-hatian dalam melakukan penilaian yang

diperlukan untuk membuat estimasi yang diperlukan dalam kondisi

ketidakpastian, sehingga aset atau pendapatan tidak lebih saji dan kewajiban

atau beban tidak kurang saji (Hoogervorst, 2012). Sikap kehati-hatian yang

melekat pada konservatisme menyebabkan konservatisme dapat membatasi sifat

oportunis manajer dalam laporan keuangan (Guay & Verrecchia, 2006; Chen et

al., 2007). Manajer yang memilih kebijakan secara prudence diharapkan dapat

membatasi sifat oportunis manajer, sehingga dapat memperkuat pengaruh

negatif mekanisme Komite Audit terhadap manajemen laba yang dilakukan

dengan mengelola arus kas operasional dan biaya produksi.

Hipotesis H7c dan H7d menguji pengaruh prudence dalam memperkuat

pengaruh negatif ukuran Komite Audit terhadap manajemen laba yang dilakukan

dengan mengelola arus kas operasional dan biaya produksi. Hasil pengujian

hipotesis menemukan bahwa baik H7c dan H7d tidak didukung. Hasil ini

menunjukkan bahwa prudence tidak memoderasi pengaruh negatif ukuran

Komite Audit terhadap manajemen laba yang dilakukan dengan mengelola arus

kas operasional dan biaya produksi.

Hipotesis H8c dan H8d menguji pengaruh prudence dalam memperkuat

pengaruh negatif independensi Komite Audit terhadap manajemen laba yang

dilakukan dengan mengelola arus kas operasional dan biaya produksi. Hasil

pengujian hipotesis menemukan bahwa baik H8c dan H8d tidak didukung. Hasil

ini menunjukkan bahwa prudence tidak memoderasi pengaruh negatif

independensi Komite Audit terhadap manajemen laba yang dilakukan dengan

mengelola arus kas operasional dan biaya produksi.

112

Hipotesis H9c dan H9d menguji pengaruh prudence dalam memperkuat

pengaruh negatif keahlian Komite Audit terhadap manajemen laba yang

dilakukan dengan mengelola arus kas operasional dan biaya produksi. Hasil

penelitian menemukan bahwa H9c tidak didukung, hasil ini menunjukkan bahwa

prudence tidak memoderasi pengaruh negatif keahlian Komite Audit terhadap

manajemen laba yang dilakukan dengan mengelola arus kas operasional.

Pengujian H9d mengenai pengaruh prudence dalam memperkuat pengaruh

negatif keahlian Komite Audit terhadap manajemen laba yang dilakukan dengan

mengelola biaya produksi menemukan hasil yang signifikan dengan arah positif.

Hasil ini menunjukkan bahwa prudence memperlemah pengaruh negatif keahlian

Komite Audit terhadap manajemen laba yang dilakukan dengan mengelola biaya

produksi. Hasil ini menunjukkan bahwa H9d tidak didukung. Perusahaan-

perusahaan di Indonesia memiliki sistem pengawasan yang lemah akibat struktur

kepemilikan yang terkonsentrasi. Ahmed & Duellman (2007) mengungkapkan

bahwa insentif pengawasan yang lemah memberikan kesempatan yang lebih

besar kepada manajer untuk menggunakan prinsip akuntansi yang lebih agresif

(kurang konservatif). Hal ini menyebabkan keberadaan prudence justru

memperlemah pengaruh negatif keahlian Komite Audit terhadap manajemen laba

yang dilakukan dengan mengelola biaya produksi, sebab manajer memilih

kebijakan akuntansi secara kurang konservatif atau dengan kata lain manajer

lebih agresif dalam memilih kebijakan akuntansi. Bukti manajer yang kurang

prudence dapat dilihat pada hasil statistik deskriptif data penelitian. Prudence

memiliki nilai rata-rata 3,175 dengan nilai maksimum 68,479. Semakin besar nilai

prudence, maka semakin konservatif suatu perusahaan. Nilai rata-rata yang

sangat jauh dengan nilai maksimum membuktikan bahwa secara rata-rata

manajer kurang prudence dalam memilih kebijakan akuntansi.

113

Hipotesis H10c dan H10d menguji pengaruh prudence dalam

memperkuat pengaruh negatif rapat Komite Audit terhadap manajemen laba

yang dilakukan dengan mengelola arus kas operasional dan biaya produksi.

Hasil penelitian menemukan bahwa baik H10c dan H10d tidak didukung. Hasil ini

menunjukkan bahwa prudence tidak memoderasi pengaruh negatif rapat Komite

Audit terhadap manajemen laba yang dilakukan dengan mengelola arus kas

operasional dan biaya produksi.

Hasil pengujian yang tidak mendukung hipotesis disebabkan karena

penerapan International Financial Reporting Standards (IFRS). Indonesia telah

melakukan konvergensi IFRS semenjak tahun 2012, hal ini menunjukkan bahwa

aturan-aturan yang terdapat dalam Standar Akuntansi Keuangan (SAK) telah

berbasis IFRS. Beberapa aturan dalam IFRS memang masih

mempertimbangkan aspek prudence, misalnya aturan mengenai penilaian

persediaan yang menggunakan Lower of Cost or Net Realizable Value (LCNRV)

yang menyebabkan persediaan menjadi kurang saji. Hal ini tidak lantas

memberikan manajer keleluasaan untuk bersikap prudence dan untuk

melaporkan laba atau aset yang kurang saji, sebab IFRS memberikan

penekanan pada penggunaan nilai wajar dalam menyajikan laporan keuangan.

Sikap prudence manajer sangat dibatasi oleh penggunaan nilai wajar. IFRS

mengurangi sikap pesimisme manajer, sebaliknya IFRS mendorong manajer

untuk lebih optimis dalam menyajikan laporan keuangan yang berbasiskan nilai

wajar.

114

BAB VI

KESIMPULAN, KETERBATASAN, DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Penelitian ini berfokus pada perusahaan yang melakukan manajemen

laba untuk menghindari kerugian. Penelitian ini menemukan bahwa sebagian

perusahaan di Indonesia melakukan manajemen laba dengan cara memperkecil

arus kas operasional dan memperbesar biaya produksi untuk menghindari

kerugian, sedangkan manajer tidak mengelola aktivitas akrual jangka pendek dan

panjang, serta beban diskresioner untuk menghindari kerugian. Manajer akan

mengelola laba negatif yang berada dibawah titik acuan (titik nol) agar menjadi

laba positif dan berada diatas titik acuan. Hal ini dilakukan karena kerugian

sekalipun dalam jumlah yang kecil merupakan sinyal yang menunjukkan bahwa

kinerja manajer buruk dan hal ini dapat meningkatkan biaya transaksi dengan

stakeholders.

Penelitian ini selanjutnya menguji faktor-faktor yang dapat membatasi

manajemen laba yang dilakukan dengan mengelola arus kas operasional dan

biaya produksi. Penelitian ini memberikan bukti empris bahwa auditor spesialis

industri berpengaruh negatif terhadap manajemen laba yang dilakukan dengan

mengelola biaya produksi, sedangkan auditor spesialis industri berpengaruh

positif terhadap manajemen laba yang dilakukan dengan mengelola arus kas

operasional. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah

klien auditor dalam suatu industri yang sama, maka akan semakin menurunkan

manajemen laba yang dilakukan dengan mengelola biaya produksi. Auditor

spesialis industri memiliki pengetahuan, keahlian, dan pengalaman yang lebih

spesifik mengenai suatu industri, hal ini menyebabkan auditor spesialis industri

memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam mendeteksi kesalahan dan

115

membatasi manajemen laba. Auditor spesialis industri berpengaruh positif

terhadap manajemen laba yang dilakukan dengan mengelola arus kas

operasional, hal ini disebabkan karena manajemen laba riil yang dilakukan

dengan mengelola arus kas operasional lebih sulit dideteksi oleh auditor,

sehingga keberadaan auditor spesialis industri justru menyebabkan manajer

meningkatkan manajemen laba riil dengan mengelola arus kas operasional.

Penelitian ini memberikan bukti empiris bahwa mekanisme Komite Audit

yang terdiri dari ukuran Komite Audit, keahlian Komite Audit, dan rapat Komite

Audit tidak berpengaruh negatif terhadap manajemen laba yang dilakukan

dengan mengelola arus kas operasional dan biaya produksi. Independensi

Komite Audit dikeluarkan dari model penelitian karena memiliki nilai yang konstan

selama tahun pengamatan. Ukuran, keahlian, dan rapat Komite Audit tidak dapat

membatasi manajemen laba yang dilakukan dengan mengelola arus kas

operasional dan biaya produksi. Hal tersebut disebabkan karena sistem

kepemilikan di Indonesia yang terkonsentrasi pada pemegang saham

pengendali. Direksi biasanya memiliki kedudukan yang cenderung sangat kuat,

bahkan ada direksi yang tidak bersedia untuk memberikan informasi memadai

kepada komisaris. Hal tersebut menyebabkan Komite Audit memiliki

keterbatasan dalam melakukan pengawasan, sehingga akan membatasi

kemampuan Komite Audit dalam menurunkan manajemen laba.

Penelitian ini memberikan bukti empiris bahwa prudence tidak

memoderasi pengaruh negatif ukuran, independensi, dan rapat Komite Audit

terhadap manajemen laba yang dilakukan dengan mengelola arus kas

operasional dan biaya produksi, prudence juga tidak memoderasi pengaruh

negatif keahlian Komite Audit terhadap manajemen laba yang dilakukan dengan

mengelola arus kas operasional, tetapi prudence memperlemah pengaruh negatif

keahlian Komite Audit terhadap manajemen laba yang dilakukan dengan

116

mengelola biaya produksi. Saat ini manajer tidak memiliki keleluasaan yang

besar untuk bersikap prudence, sebab IFRS memberikan penekanan pada

penggunaan nilai wajar dalam menyajikan laporan keuangan. Sikap prudence

manajer akan dibatasi oleh penggunaan nilai wajar dalam IFRS, sehingga

prudence tidak berperan dalam memoderasi pengaruh mekanisme Komite Audit

terhadap manajemen laba yang dilakukan dengan mengelola arus kas

operasional dan biaya produksi. Alasan prudence memperlemah pengaruh

negatif keahlian Komite Audit terhadap manajemen laba yang dilakukan dengan

mengelola biaya produksi adalah karena perusahaan-perusahaan di Indonesia

memiliki sistem pengawasan yang lemah akibat struktur kepemilikan yang

terkonsentrasi. Insentif pengawasan yang lemah memberikan kesempatan yang

lebih besar kepada manajer untuk menggunakan prinsip akuntansi yang lebih

agresif (kurang konservatif).

6.2 Implikasi Penelitian

Implikasi penelitian baik secara teoritis maupun praktis yang dapat

diberikan oleh penelitian ini adalah sebagai berikut;

6.2.1 Implikasi Teoritis

Penelitian ini telah memberikan tambahan bukti empiris dalam Teori

Agensi dan Teori Prospek. Teori Prospek menjelaskan tindakan manajer dalam

melakukan manajemen laba untuk menghindari kerugian dan agar laba berada di

atas titik nol, hal ini dilakukan karena laba negatif mengindikasikan kinerja

manajer yang buruk dan dapat menyebabkan biaya transaksi dengan

stakeholders meningkat. Teori Agensi merupakan teori yang mampu

menggambarkan mengenai konflik antara prinsipal dan agen, serta

menggambarkan peran auditor spesialis industri dalam menurunkan manajemen

117

laba yang dilakukan dengan mengelola biaya produksi. Penelitian ini memberikan

bukti empiris mengenai tindakan manajemen laba riil yang dilakukan pada

perusahaan di Indonesia. Penelitian ini juga memberikan bukti empiris mengenai

peran auditor spesialis industri dalam membatasi tindakan manajemen laba yang

dilakukan dengan mengelola biaya produksi. Penelitian ini dapat menjadi

referensi bagi penelitian selanjutnya terkait manajemen laba, auditor spesialis

industri, mekanisme Komite Audit, dan prudence.

6.2.2 Implikasi Praktis

Hasil penelitian ini memberikan bukti mengenai fenomena manajemen

laba pada perusahaan di Indonesia. Hasil penelitian ini dapat membantu investor

dalam menghindari kerugian investasi yang signifikan dengan memahami

berbagai fenomena yang terjadi di Indonesia. Hasil ini juga dapat memberikan

masukan kepada auditor agar melakukan audit dengan lebih hati-hati, serta

mempertimbangkan prosedur tambahan apabila diperlukan dalam menilai dan

mengaudit laporan keuangan. Auditor juga diharapkan dapat berinvestasi lebih

banyak dalam perekrutan dan pelatihan staf, serta teknologi informasi.

6.2.3 Implikasi Kebijakan

Komite Audit merupakan bagian yang bertanggung-jawab terhadap

laporan keuangan, tata kelola perusahaan, serta pengawasan perusahaan.

Komite Audit merupakan salah satu organ perusahaan yang sangat berperan

penting dalam menurunkan manajemen laba, namun hasil penelitian

menunjukkan bahwa Komite Audit tidak berperan dalam menurunkan

manajemen laba yang dilakukan dengan mengelola arus kas operasional dan

biaya produksi. Sehubungan dengan hal tersebut, maka penelitian ini

memberikan masukan kepada pemerintah untuk memperkuat regulasi mengenai

118

Komite Audit. Hal ini perlu dilakukan agar Komite Audit dapat secara lebih efektif

mengawasi manajer, sehingga laporan keuangan menjadi reliabel dan tata kelola

perusahaan menjadi lebih efektif untuk mengurangi manajemen laba.

yang digunakan dalam penelitian ini menjadi lebih sedikit.

6.3 Keterbatasan dan Saran

Keterbatasan dalam penelitian ini sehubungan dengan hambatan tertentu

ketika melakukan penelitian. Keterbatasan penelitian ini adalah ada beberapa

perusahaan yang data mengenai mekanisme Komite Audit tidak lengkap,

sehingga peneliti harus mencari data yang diperlukan dari sumber lain selain

laporan tahunan.

Penelitian ini hanya berfokus pada perusahaan yang melakukan

manajemen laba untuk menghindari kerugian. Penelitian selanjutnya dapat

berfokus pada perusahaan yang melakukan manajemen laba untuk tujuan yang

lain, misalkan berfokus pada perusahaan yang melakukan manajemen laba

untuk menghindari penurunan laba.

Secara teori seharusnya keberadaan Komite Audit berperan penting

dalam menurunkan manajemen laba, namun penelitian ini menemukan bahwa

mekanisme Komite Audit tidak berpengaruh terhadap manajemen laba. Hal ini

mungkin disebabkan oleh indikator yang digunakan dalam mengukur mekanisme

Komite Audit. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat mengembangkan atau

menggunakan indikator-indikator yang lain untuk mengukur mekanisme Komite

Audit, misalkan masalah yang dibahas dalam setiap rapat Komite Audit.

119

DAFTAR PUSTAKA

Aditama, F. & Purwaningsih, A. 2014. Pengaruh Perencanaan Pajak terhadap Manajemen Laba pada Perusahaan Non-manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia. MODUS, Vol. 6, No. 1, pp. 33-50.

Agustia, D. 2013. Pengaruh Faktor Good Corporate Governance, Free Cash Flow, dan Leverage Terhadap Manajemen Laba. Jurnal Akuntansi dan Keuangan, Vol. 15, No. 1, pp. 27-42.

Ahmad, L., Suhara, E., & Ilyas, Y. 2016. The Effect of Audit Quality on Earning Management within Manufacturing Companies Listed on Indonesian Stock Exchange. Research Journal of Finance and Accounting, Vol. 7, No. 8, pp. 132-138.

Ahmed, A. S. & Duellman, S. 2007. Accounting Conservatism and Board of Director Characteristics: An Empirical Analysis. Journal of Accounting and Economics, Vol. 43, pp. 411-437.

Al-Thuneibat, A.A., Al-Angari, H.A., & Al-Saad, S.A. 2014. The Effect of Corporate Governance Mechanisms on Earnings Management: Evidence from Saudi Arabia. Review of International Business and Strategy, Vol. 26, No. 1, pp. 2-32.

Alzoubi, E. S. S. & Selamat, M. H. 2012. The Effectiveness of Corporate Governance Mechanisms on Constraining Earning Management: Literature Review and Proposed Framework. International Journal of Global Business, Vol. 5, No. 1, pp. 17-35.

Amar, A. B. 2014. The Effect of Independence Audit Committee on Earnings Management: The Case in French. International Journal of Academic Research in Accounting, Finance and Management Sciences, Vol. 4, No. 1, pp. 96-102.

Anonim. 2015. Saham Inovisi dibekukan Empat Bulan karena Laporan Keuangan Banyak Salah. http://finance.detik.com. Diakses 11 Mei 2017.

Armein, R. A. 2005. Analisis Kasus Laporan Keuangan PT. Indofarma Tbk. Law Review Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. 4, No. 3, pp. 239-247.

Ayemere, A. C. & Elijah, A. 2015. Audit Committee Attributes and Earnings Management: Evidence from Nigeria. International Journal of Business and Social Research, Vol. 05, No. 04, pp. 14-23.

Balsam, S., Krishnan, J., & Yang, J.S. 2003. Auditor Industry Specialization and Earnings Quality. Auditing: A Journal of Practice and Theory, Vol. 22, No. 2, pp. 71-97.

120

Bartov, E., Gul, F. A., & Tsui, J. S. L. 2001. Discretionary-accruals Models and Audit Qualifications. Journal of Accounting and Economics, Vol. 30, pp. 421-52.

Basu, S. 1997. The Conservatism Principle and the Asymmetric Timeliness of Earning. Journal of Accounting and Economics, Vol. 24, pp. 3-37.

Beasley, M. S. & Petroni, K. R. 2001. Board Independence and Audit‐Firm Type. Auditing: A Journal of Practice & Theory, Vol. 20, No. 1, pp. 97-114.

Beaver, W. H. & Ryan, S. G. 2005. The Conservatism Principle and the Asymmetric Timeliness of Earnings. Review of Accounting Studies, Vol. 10, pp. 269–309.

Becker, C.L., DeFond, M.L., Jiambalvo, J., & Subramanyam, K.R. 1998. The Effect of Audit Quality on Earnings Management. Contemporary Accounting Research, Vol. 15, No. 1, pp. 1-24.

Bedard, J., Chtourou, S. M., & Courteau, L. 2004. The Effect of Audit Committee Expertise, Independence, and Activity on Aggressive Earnings Management. Auditing: A Journal Of Practice & Theory, Vol. 23, No. 2, pp. 13-35

Burgstahler, D. & Dichev, I. 1997. Earnings Management to Avoid Earnings Decreases and Losses. Journal of Accounting and Economics, Vol. 24, pp. 99-126.

Carcello, J. V., Hermanson, D. R., Neal, T. L., & Riley JR, R. A. 2002. Board Characteristics and Audit Fees. Contemporary Accounting Research, Vol. 19, No. 3, pp. 365-384.

Challen, A. E. & Siregar, S. V. 2011. The Effect of Audit Quality on Earnings Management and Firm Value. Working Paper.

Chandrasegaram, R., Rahimansa, M. R., Rahman, K. A., Abdullah, S., & Mat, N. N. 2013. Impact of Audit Committee Characteristics on Earnings Management in Malaysian Public Listed Companies. International Journal of Finance and Accounting, Vol. 2, No. 2, pp. 114-119.

Chen, Q., Hemmer, T., & Zhang, Y. 2007. On the Relation between Conservatism in Accounting Standards and Incentives for Earnings Management. Journal of Accounting Research, Vol. 45 No. 3, pp. 541-565.

Claessens, S., Djankov, S., & Lang, L.H.P. 2000. The Separation of Ownership and Control in East Asian Corporations. Journal of Financial Economics, Vol. 58, pp. 81-112.

Cohen, D. A. & Zarowin, P. 2010. Accrual-based and Real Earnings Management Activities Around Seasoned Equity Offerings. Journal of Accounting and Economics, Vol. 50, No. 1, pp. 2–19.

121

Cohen, D.A, Dey, A., & Lys, T. Z. 2008. Real and Accrual based Earnings Management in the Pre and Post Sarbanes Oxley Periods. The Accounting Review, Vol. 83, No. 3, pp. 757-787.

Conger, J. A., Finegold, D., & Lawler, E. 1998. Peniliti boardroom performance. Harvard Business Review, Vol. 76, 136-164.

Craswell, A. T., Francis, J. R., & Taylor, S.L. 1995. Auditor Brand Name Reputations and Industry Specializations. Journal of Accounting and Economics, Vol. 20, pp. 297-322.

Davidson, R., Goodwin-Stewart, J., & Kent, P. 2005. Internal Governance Structures and Earnings Management. Accounting and Finance, Vol. 45, No. 2, pp. 241-267.

DeAngelo, L. E. 1981. Auditor Size and Audit Quality. Journal of Accounting and Economics, Vol. 3, pp. 183-199.

DeAngelo, L. E. 1986. Accounting Numbers as Market Valuation Substitutes: A Study of Management Buyouts of Public Stockholder. The Accounting Review, Vol. 61, pp. 400-420.

DeBoskey, D. G. & Jiang, W. 2012. Earning Management and Auditor Specialization in the Post-Sox Era: An Examination of the Banking Industry. Journal of Banking and Finance, Vol. 36, pp. 613-623.

Dechow, P. M. & Skinner, D. J. 2000. Earning Management: Reconciling the Views of Accounting Academics, Practitioners, and Regulators. Accounting Horizon, Vol. 14, No. 2, pp. 235-250.

Dechow, P. M. & Sloan, R. G. 1991. Executive Incentives and the Horizon Problem: An Empirical Investigation. Journal of Accounting and Economics, Vol. 14, pp. 51-89.

Dechow, P.M., Sloan, R.G., & Sweeney, A.P. 1995. Detecting Earnings Management. The Accounting Review, Vo. 70, No. 2, pp. 193-225.

Dunn, K.A. & Mayhew, B.W. 2004. Audit Firm Industry Specialization and Client Disclosure Quality. Review of Accounting Studies, Vol. 9, pp. 35-58.

Dye, R.A. 1988. Earnings Management in An Overlapping Generations Model. Journal of Accounting Research, Vol. 26, No. 2, pp. 195-235.

Eisenhardt, K. M. 1998. Agency Theory: An Assessment and Review. Academy of Management Review, Vol. 14, No. 1, pp. 57-74.

Faccio, M. & Lang, L.H.P. 2002. The Ultimate Ownership of Western European Corporations. Journal of Financial Economics. Vol. 65, pp. 365-395.

Febriyanti, A., Sawarjuwono, T., & Pratama, B. A. 2014. Manajemen Laba: Pro-Kontra Pemaknaan antara Kreditur dan Debitur dalam Proses Pembiayaan Kredit. Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan, Vol. 16, No. 1, pp. 55-68.

122

Ferdawati. 2009. Pengaruh Manajemen Laba Riil Terhadap Nilai Perusahaan. Jurnal Akuntansi dan Manajemen, Vol. 4, No. 1, pp. 59-74.

Forum for Corporate Governance in Indonesia. 2001. Peranan Dewan Komisaris dan Komite Audit dalam Pelaksanaan Corporate Governance (Tata Kelola Perusahaan). Jakarta: FCGI.

Gerayli, M. S., Yanesari, A. M., & Ma’atoofi, A. R. 2011. Impact of Audit Quality on Earnings Management: Evidence from Iran. International Research Journal of Finance and Economics, Vol. 66, pp. 77-84.

Givoly, D. & Hayn, C. 2000. The Changing Time-Series Properties of Earnings, Cash Fows and Accruals: Has Financial Reporting Become More Conservative?. The Accounting Review, Vol. 82, No. 1, pp. 65-106.

Graham, J.R., Harvey, C.R., & Rajgopal, S. 2005. The Economic Implications of Corporate Financial Reporting. Journal of Accounting and Economics, Vol. 29, pp. 287-320.

Guay, W. R & Verrecchia, R. 2006. Discussion of an Economic Framework for Conservative Accounting and Bushman and Piotroski (2006). Journal of Accounting and Economics, Vol. 42, pp. 149-165.

Guay, W. R., Kothari, S. P., & Watts, R. L. 1996, A Market-based Evaluation of Discretionary Accrual Models. Journal of Accounting Research, Vol. 34, pp. 83-105.

Gumanti, T. A. 2000. Earning Management: Suatu Telaah Pustaka. Jurnal Akuntansi & Keuangan, Vol. 2, No. 2, pp. 104-115.

Gunny, K. 2005. What Are The Consequences of Real Earning Management?.Working Paper. University of Colorado.

Gunny, K. 2010. The Relation Between Earnings Management Using Real Activities Manipulation and Future Performance: Evidence from Meeting Earnings Benchmarks. Contemporary Accounting Research, Vol. 27, No. 3, pp. 855-888.

Handayani, R. S. & Rachadi, A. D. 2009. Pengaruh Ukuran Perusahaan terhadap Manajemen Laba. Jurnal Bisnis dan Akuntansi, Vol. 11, No. 1, pp. 33-56.

Harusetya, A. & Pujilestari, R. 2013. Pengaruh Kualitas Audit terhadap Manajemen Laba Transaksi Real – Pengakuan Pendapatan Strategis. Jurnal Akuntansi dan Keuangan, Vol. 15, No. 2, pp. 75-85.

Harusetya, A. 2009. Pengaruh Ukuran Auditor dan Spesialisasi Auditor terhadap Kualitas Laba. Jurnal Akuntansi dan Keuangan, Vol. 6, No. 1, pp. 46-70.

Hayn, C. 1995. The Information Content of Losses. Journal of Accounting and Economics, Vol. 20, pp. 125-153.

123

Healy, P.M & Wahlen J.M. 1999 . A Review of The Earning Management Literature and Its Implication for Standart Setting. Accounting Horizon, Vol. 13, No. 4, pp. 365-383.

Healy, P.M. 1985. The Effect of Bonus Schemes on Accounting Decisions. Journal of Accounting and Economics, Vol. 7, pp. 85-107.

Hegazy, M., Al Sabagh, A., & Hamdy, R. 2015. The Effect of Audit Firm Specialization on Earnings Management and Quality of Audit Work. Journal of Accounting and Finance, Vol. 15, No. 4, pp.143-164.

Holthausen, R.W., Larcker, D.F., & Sloan, R.G. 1995. Annual Bonus Schemes and the Manipulation of Earnings. Journal of Accounting and Economics, Vol. 19, pp. 29-74.

Hoogervorst, H. 2012. The Concept of Prudence: Dead or Alive?. FEE Conference on Corporate Reporting of the Future, Brussels, Belgium, 18 September 2012.

Inaam, Z. 2012. Audit Quality and Earnings Management in the Tunisian Context. International Journal of Accounting and Financial Reporting, Vol. 2, No. 2.

Irianto, G. 2003. Skandal Korporasi Akuntan. Lintasan Ekonomi, Vol. 20, No. 2, pp. 104-114.

Jackson, S.B. & Pitman, M.K. 2001. Auditors and Earnings Management. The CPA Journal, Vol. 71, No. 7, pp. 38-44.

Jensen, M. C. & Meckling, W.H. 1976. Theory of The Firm: Managerial Behaviour, Agency Cost and Ownership Structure. Journal of Financial Economics, Vol. 3, pp. 305-360.

Jones, J.J. 1991. Earnings Management During Import Relief Investigations. Journal of Accounting Research, Vol. 29, No. 2, pp. 193-228.

Kahneman, D. & Tversky, A. 1997. Prospect Theory: An Analysis of Decision Under Risk. Econometrica, Vol. 47, No. 2, pp. 263-289.

Kim, J., Chung, R. & Firth, M. 2003. Auditor Conservatism Asymmetric Monitoring and Earnings Management. Contemporary Accounting Research, Vol. 20, No. 2, pp. 323-359.

Klein, A. 2002. Audit Committee, Board of Director Characteristics, and Earnings Management. Journal of Accounting and Economics, Vol. 33, No. 3, pp. 375-400.

Kothari, S. P., Leone, A. J., & Wasley, C. E. 2005. Performance Matched Discretionary Accrual Measures. Journal of Accounting and Economics, Vol. 39, pp. 163-197.

Kouaib, A., & Jarboui, A. 2014. External Audit Quality and Ownership Structure: Interaction and Impact on Earnings Management of Industrial and

124

Commercial Tunisian Sectors. Journal of Economic, Finance and Administrative Science, Vol. 19, pp. 78-89.

Krishnan, G.V. 2003a. Audit Quality and the Pricing of Discretionary Accruals. Auditing: A Journal of Practice & Theory, Vol. 22, No. 1, pp. 109-126.

Krishnan, G.V. 2003b. Does Big 6 Auditor Industry Expertise Constrain Earnings Management?. Accounting Horizons, Vol. 17, pp. 1-16.

Lafond, R. & Roychowdhury, S. 2008. Managerial Ownership and Accounting Conservatism. Journal of Accounting Research, Vol. 46, No. 1, pp. 101-135.

Larcker, D. F., Richardson, S. A., & Tuna, I. 2007. Corporate Governance, Accounting Outcomes, and Organizational Performance. The Accounting Review, Vol. 82, No. 4, pp. 963-1008.

Lestari, M. P. 2014. Pengaruh Grup Bisnis dan Praktik Ekspropriasi terhadap Manajemen Laba dengan Kepemilikan Keluarga sebagai Variabel Moderasi. Tesis. Universitas Brawijaya.

Memis, M. U., & Jetenak, E. H. 2012. Earnings Management, Audit Quality and Legal Environment: An International Comparison. International Journal of Economics and Financial Issues, Vol. 2, No. 4, pp. 460-469.

Mohamad, M. H. S., Rashid, H. M. A., & Shawtari, F. A. M. 2012. Corporate Governance and Earnings Management in Malaysian Government Linked Companies. Asian Review of Accounting, Vol. 20, No. 3, pp. 241-258.

Morck, R. & Yeung, B. 2003. Agency Problems in Large Family Business Groups. Entrepreneurship: Theory and Practice, Vol. 27, pp. 367-382.

Organisation for Economic Co-Operation and Development (OECD). 2004. OECD Principles of Corporate Governance.

Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia. 2015. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 55 tahun 2015 Tentang Pembentukan dan Pedoman Pelaksanaan Kerja Komite Audit.

Owhoso, V.E., Messier, W.F., & Lynch, J.G. 2002. Error Detection by Industry-specialized Teams During Sequential Audit Review. Journal of Accounting Research, Vol. 40, No. 3, pp. 883-900.

Riduwan, A. 2010. Etika Perilaku Koruptif dalam Praktik Manajemen Laba: Studi Hermeneutika. Working Paper. STESIA Surabaya.

Roychowdhury, S. 2006. Earning Management Through Real Activities Manipulation. Journal of Accounting and Economics, Vol. 42, pp. 335-370.

Rusmin, R. 2010. Auditor Quality and Earnings Management: Singaporean Evidence. Managerial Auditing Journal, Vol. 25, No. 7, pp. 618-638.

Scott, W.R. 2009. Financial Accounting Theory. Prentice-Hall: Toronto, Canada.

125

Scott, W.R. 2012. Financial Accounting Theory. Pearson: Toronto, Canada.

Solomon, I., Shields, M.D., & Whittington, O.R. 1999. What Do Industry-specialist Auditors Know?. Journal of Accounting Research, Vol. 37, No. 1, pp. 191-208.

Subekti, I. 2012a. Accrual and Real Earning Management: One of the Perspective of Prospect Theory. Journal of Economics, Business, and Accountancy Ventura. Vol. 15, No. 3, pp. 443-456.

Subekti, I. 2012b. Real and Accruals Earning Management and Value Relevance of Accounting Information Among Indonesian Listed Companies. Disertasi. Universiti Sains Malaysia.

Surgery, A. 2012. Pelanggaran Penggunaan Dana Initial Public Offering (IPO) oleh Emiten (Analisis Kasus PT. Katarina Utama Tbk). Skripsi. Universitas Indonesia.

Vafeas, N. 2005. Audit Committees, Boards, and the Quality of Reported Earnings. Contemporary Accounting Research, Vol. 22, No. 4, pp. 1093-1122.

Vajriyanti, E., Widanaputra, P., & Putri, A. D. 2015. Pengaruh Manajemen Laba Riil pada Nilai Perusahaan dengan Good Corporate Governance sebagai Variabel Pemoderasi. Prosiding Simposium Nasional Akuntansi XVIII.

Wang, D. 2006. Founding Family Ownership and Earnings Quality. Journal of Accounting Research, Vol. 44, pp. 619-656.

Watkins, A.L., Hillison, W., & Morecroft, S.E. 2004. Audit Quality: A Synthesis of Theory and Empirical Evidence. Journal of Accounting Literature, Vol. 23, pp. 153-93.

Watts, R. L. & Zimmerman, J. L. 1978. Towards a Positive Theory of the Determination of Accounting Standards. The Accounting Review, Vol. 53, No. 1, pp. 112-134.

Watts, R. L. & Zimmerman, J. L. 1986. Positive Accounting Theory. Prentice-Hall: New Jersey.

Watts, R. L. 2003. Conservatism in Accounting Part I: Explanations and Implications. Accounting Horizons, Vol. 17, No. 3, pp. 207-221.

Wijaya, A. L. 2012. Pengukuran Konservatisme Akuntansi: Sebuah Literatur Review. Jurnal Akuntansi dan Pendidikan, Vol. 1, No. 1, pp. 100-105.

Wistawan, I. M. A. P. 2015. Pengaruh Dewan Komisaris terhadap Konservatisme dengan Kepemilikan Keluarga sebagai Variabel Moderasi. Tesis. Universitas Brawijaya.

Wolnizer, P. W. 1995. Are Audit Committees Red Herrings?. ABACUS, Vol. 31, No. 1, pp. 45-66.

126

Wright, A. & Wright, S. 1997. The Effect of Industry Experience on Hypothesis Generation and Audit Planning Decisions. Behavioral Research In Accounting, Vol 9, pp. 273-294.

Xie, B., Davidson III, W. N., & DaDalt, P. J. 2003. Earnings Management and Corporate Governance: The Role of the Board and the Audit Committee. Journal of Corporate Finance, Vol. 9, pp. 295-316.

Zang, A.Y. 2012. Evidence on the Trade-Off between Real Activities Manipulation and Accrual-Based Earnings Management. The Accounting Review, Vol. 87, No. 2, pp. 657-703.

Zhu, T., Lu, N., Shan, Y., & Zhang, Y. 2015. Accrual Based and Real Activity Earning Management at the Back Door: Evidence from Chinese Reverse Mergers. Pacific-Basin Finance Journal, Vol. 35, pp. 317-339.