New Microsoft Word Document (2)

29
ab I Pendahuluan (CONTOH KASUS AMDAL KAWASAN LINGKUNGAN INDUSTRI KECIL DI SEMARANG. KOMPAS, 2 AGUSTUS 2002) Pelaku usaha dan pemerintah daerah dinilai masih mengabaikan masalah lingkungan. Hal ini terlihat dari masih adanya kawasan industri di Semarang yang beroperasi tanpa terlebih dahulu memenuhi kewajiban stu di Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). Selain itu, sejumlah industri di Semarang juga masih banyak yang belum secara rutin, yaitu enam bulan sekali, menyampaikan laporan kepada Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Semarang. “Kalau sebuah kawasan industri sudah beroperasi sebelum melakukan studi Amdal, Bapedalda tidak bisa berbuat apa-apa. Kami paling hanya bisa mengimbau, tapi tidak ada tindakan apa pun yang bisa kami lakukan. Terus terang, Bapedalda adalah instansi yang mandul,” kata Mohammad Wahyudin, Kepala Sub-Bidang Amdal, Bapedalda Semarang, Kamis (1/8), di Semarang. Wahyudin menceritakan, kawasan industri di Jalan Gatot Subroto, Kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang, misalnya, sejak beroperasi dua tahun lalu hingga saat ini belum mempunyai Amdal. Padahal, menurut Wahyudin, salah satu syarat agar sebuah kawasan industri bisa beroperasi ialah dipenuhinya kewajiban melaksanakan studi Amdal. “Bapedalda berkali-kali menelpon pengelola kawasan industri tersebut, menanyakan kelengkapan dokumen Amdal mereka. Namun, sampai sekarang, jangankan memperoleh jawaban berupa kesiapan membuat studi Amdal, bertemu pemilik kawasan itu saja belum pernah,” ujarnya. Wahyudin menyayangkan sikap pihak berwenang yang tetap memberikan izin kepada suatu usaha industri atau kawasan industri untuk beroperasi walau belum menjalankan studi Amdal.

Transcript of New Microsoft Word Document (2)

Page 1: New Microsoft Word Document (2)

ab I

Pendahuluan

(CONTOH KASUS AMDAL KAWASAN LINGKUNGAN INDUSTRI KECIL DI SEMARANG.  KOMPAS, 2 AGUSTUS 2002)

Pelaku usaha dan pemerintah daerah dinilai masih mengabaikan masalah lingkungan. Hal ini terlihat dari masih adanya kawasan industri di Semarang yang beroperasi tanpa terlebih dahulu memenuhi kewajiban stu di Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). Selain itu, sejumlah industri di Semarang juga masih banyak yang belum secara rutin, yaitu enam bulan sekali, menyampaikan laporan kepada Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Semarang. “Kalau sebuah kawasan industri sudah beroperasi sebelum melakukan studi Amdal, Bapedalda tidak bisa berbuat apa-apa.

Kami paling hanya bisa mengimbau, tapi tidak ada tindakan apa pun yang bisa kami lakukan. Terus terang, Bapedalda adalah instansi yang mandul,” kata Mohammad Wahyudin, Kepala Sub-Bidang Amdal, Bapedalda Semarang, Kamis (1/8), di Semarang. Wahyudin menceritakan, kawasan industri di Jalan Gatot Subroto, Kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang, misalnya, sejak beroperasi dua tahun lalu hingga saat ini belum mempunyai Amdal.

Padahal, menurut Wahyudin, salah satu syarat agar sebuah kawasan industri bisa beroperasi ialah dipenuhinya kewajiban melaksanakan studi Amdal. “Bapedalda berkali-kali menelpon pengelola kawasan industri tersebut, menanyakan kelengkapan dokumen Amdal mereka. Namun, sampai sekarang, jangankan memperoleh jawaban berupa kesiapan membuat studi Amdal, bertemu pemilik kawasan itu saja belum pernah,” ujarnya. Wahyudin menyayangkan sikap pihak berwenang yang tetap memberikan izin kepada suatu usaha industri atau kawasan industri untuk beroperasi walau belum menjalankan studi Amdal.

Menurut dia, hal ini merupakan bukti bahwa bukan saja pengusaha yang tidak peduli terhadap masalah lingkungan, melainkan juga pemerintah daerah. Sikap tidak peduli terhadap masalah lingkungan juga ditunjukkan sejumlah pemilik usaha industri ataupun kawasan industri dengan tidak menyampaikan laporan rutin enam bulan sekali kepada Bapedalda. Wahyudin mengatakan, kawasan industri di Terboyo, misalnya, tidak pernah menyampa ikan laporan perkembangan usahanya, terutama yang diperkirakan berdampak pada lingkungan, kepada Bapedalda.

Hal serupa juga dilakukan pengelola lingkungan industri kecil (LIK) di Bugangan Baru. Keadaan tersebut, menurut Wahyudin, mengakibatkan Bapedalda tidak bisa mengetahui perkembangan di kedua kawasan industri tersebut. Padahal, perkembangan sebuah kawasan industry sangat perlu diketahui oleh Bapedalda agar instansi tersebut dapat memprediksi kemungkinan pencemaran yang bisa terjadi. Ia menambahkan, industri kecil, seperti industri mebel, sebenarnya berpotensi menimbulkan pencemaran

Page 2: New Microsoft Word Document (2)

lingkungan. Namun, selama ini, orang terlalu sering hanya menyoroti industry berskala besar.

(Kompas, 2 Agustus 2002)

Bab II

Analisa Kasus

Aspek Hukum Perlindungan kawasan industri di Semarang dari Pencemaran Limbah Pengelolaan lingkungan adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup (pasal 1 angka 2 UUPLH). Secara umum Pengelolaan secara terpadu menghendaki adanya keberlanjutan (sustainability) dalam pemanfaatan. Sebagai kawasan yang dimanfaatkan untuk berbagai sektor pembangunan, wilayah ini memiliki kompleksitas isu, permasalahan, peluang dan tantangan.

Terdapat beberapa dasar hukum pengelolaan kawasan industri yaitu:1) UU No. 5 tahun 1990, tentang Konservasi Sumber daya Alam dan Ekosistemnya.

2) UU No. 24 tahun 1992, tentang Penataan Ruang.

3) UU No. 23 tahun 1997, tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

4) UU No. 22 tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah.

5) PP No. 69 tahun 1996, tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, Serta Bentukdan Tata Cara Peran Serta Masyarakat Dalam Penataan Ruang.

6) Keputusan Presiden RI No. 32 tahun 1990, tentang Pengelolaan Kawasan Lindung.

7) Permendagri No. 8 tahun 1998, tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang di Daerah.

Berbagai Peraturan Daerah yang relevan.

Pencegahan pencemaran dari kawasan industri diatur dlm UU, seperti terlihat dalam Pasal 20 UUPLH disebutkan:

(1) Tanpa suatu keputusan izin, setiap orang dilarang melakukan pembuangan limbah ke media lingkungan hidup.

(2) Setiap orang dilarang membuang limbah yang berasal dari luar wilayah Indonesia ke media lingkungan hidup Indonesia.

Page 3: New Microsoft Word Document (2)

(3) Kewenangan menerbitkan atau menolak permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada pada Menteri.

(4) Pembuangan limbah ke media lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan di lokasi pembuangan yang ditetapkan oleh Menteri.

(5) Ketentuan pelaksanaan pasal ini diatur lebih lanjut dengan peraturan perundang-undangan.

Peran Pemda juga penting bertanggungjawab dalam mengatur kawasan industri.

Dalam Pasal 22 UUPLH disebutkan:

(1) Menteri melakukan pengawasan terhadap penaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup.

(2) Untuk melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat menetapkan pejabat yang berwenang melakukan pengawasan.

(3) Dalam hal wewenang pengawasan diserahkan kepada Pemerintah Daerah, Kepala Daerah menetapkan pejabat yang berwenang melakukan pengawasan.

Berkaitan dengan pengawasan dalam Pasal 24 disebutkan:

(1) Untuk melaksanakan tugasnya, pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 berwenang melakukan pemantauan, meminta keterangan, membuat salinan dari dokumen dan/atau membuat catatan yang diperlukan, memasuki tempat tertentu, mengambil contoh, memeriksa peralatan, memeriksa instalasi dan/atau alat transportasi, serta meminta keterangan dari pihak yang bertanggungjawab atas usaha dan/atau kegiatan.

(2) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dimintai keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib memenuhi permintaan petugas pengawas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(3) Setiap pengawas wajib memperlihatkan surat tugas dan/atau tanda pengenal serta wajib memperhatikan situasi dan kondisi tempat pengawasan tersebut UU 23 Tahun 1997 juga menggunakan asas kerja sama (cooperation principle) dalam upaya preventif terhadap terjadinya kerusakan lingkungan yang tercantum pada pasal 9 ayat (2) yang berbunyi: “Pengelolaan lingkungan hidup, dilaksanakan secara terpadu oleh instansi pemerintah sesuai dengan bidang tugas dan tanggung jawab masing-masing, masyarakat, serta pelaku pembangunan lain dengan memperhatikan keterpaduan perencanaan dan pelaksanaan kebijaksanaan nasional pengelolaan lingkungan hidup.” Pasal 11 ayat (1): “Pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat nasional dilaksanakan secara terpadu oleh perangkat kelembagaan yang dikoordinasi oleh Menteri”. Juga tercantum dalam Pasal 13 ayat (1): “Dalam rangka pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah dapat

Page 4: New Microsoft Word Document (2)

menyerahkan sebagian urusan kepada Pemerintah Daerah menjadi urusan rumah tangganya.”

Asas kerjasama ini penting mengingat lingkungan hidup merupakan permasalahan global dan lingkungan hidup adalah miliki kita bersama.

Upaya preventif juga dilakukan melalui jalur perijinan antara lain:Pasal 15:

(1) Setiap rencana usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup.

(2) Ketentuan tentang rencana usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), serta tata cara penyusunan dan penilaian analisis mengenai dampak lingkungan hidup ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Di Indonesia Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) diatur dalam PP No 27 tahun 1999. AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup. AMDAL sangat diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatanyang dinilai berpotensi berdampak negatif terhadap lingkungan. AMDAL sebagai salah satu instrumen proses penegakkan hukum administrasi lingkungan belum terlaksana sebagaimana mestinya. Padahal pada instrumen ini dilekatkan suatu misi mengenai kebijakan pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

Dalam hal perizinan juga mengatur tentang pengelolaan limbah sebagaimana tercantum dalam pasal 16-17:

Pasal 16

(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib melakukan pengelolaan limbah hasil usaha dan/atau kegiatan.

(2) Penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menyerahkan pengelolaan limbah tersebut kepada pihak lain.

(3) Ketentuan pelaksanaan pasal ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.Pasal 17 :

(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib melakukan pengelolaan bahan berbahaya dan beracun.

(2) Pengelolaan bahan berbahaya dan beracun meliputi: menghasilkan, mengangkut, mengedarkan, menyimpan, menggunakan dan/atau membuang.

Page 5: New Microsoft Word Document (2)

(3) Ketentuan mengenai pengelolaan bahan berbahaya dan beracun diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Upaya Hukum Kasus Pencemaran Oleh Industri Kecil Di Semarang

Dalam pasal 5 ayat (1) UUPLH mengakui hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Di samping kewajiban dalam pasal 6 UUPLH:

(1) Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan.

(2) Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai pengelolaan lingkungan hidup.

Menurut Suparto Wijoyo dengan melihat ruang lingkup pasal 5 ayat (1) UUPLH merupakan argumentasi hukum yang substantive bagi sesorang untuk melakukan gugatan lingkungan terhadap pemenuhan kedua fungsi hak perseorangan termasuk forum pengadilan.

Dalam kasus pencemaran oleh kawasan industry kecil di Semarang ini memang belum ada upaya hukum yang dilakukan. Hal ini dikarenakan kurangnya peran pemerintah salam hal pengawasan serta belum adanya keberanian masyarakat untuk mengangkat kasus ini. Walupun mereka merasakan dampak negatif dari pencemaran limbah tersebut.

Namun masyarakat ataupun LSM dapat mengajukan upaya hukum dalam menyelesaikan kasus ini. Dalam hubungan dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, penegakkan hukum dibidang lingkungan hidup dapat diklasifikasikan kedalam 3 (tiga) kategori yaitu :

1. Penegakkan hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Administrasi / Tata Usaha Negara.

2. Penegakkan Hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Perdata.

3. Penegakkan Hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Pidana

Sanksi Administrasi

Dalam UU No 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, salah satu instrumen hukum yang berperan bila kita bicara tentang penegakkan hukum lingkungan adalah hukum administrasi. Instrumen hukum administratif berbeda dengan instrumen lainnya, oleh karena penyelesaiannya adalah di luar lembaga peradilan. Dengan demikian, efektivitasnya sangat tinggi dalam pencegahan perusakan lingkungan. Sanksi administratif tercantum dalam pasal:

Pasal 25

Page 6: New Microsoft Word Document (2)

(1) Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I berwenang melakukan paksaan pemerintahan terhadap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk mencegah dan mengakhiri terjadinya pelanggaran, serta menanggulangi akibat yang ditimbulkan oleh suatu pelanggaran, melakukan tindakan penyelamatan, penanggulangan, dan/atau pemulihan atas beban biaya penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan, kecuali ditentukan lain berdasarkan Undang-undang.

(2) Wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diserahkan kepada Bupati/Walikotamadya/Kepala Daerah Tingkat II dengan Peraturan Daerah Tingkat I.(3) Pihak ketiga yang berkepentingan berhak mengajukan permohonan kepada pejabat yang berwenang untuk melakukan paksaan pemerintahan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).

(4) Paksaan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), didahului dengan surat perintah dari pejabat yang berwenang.

(5) Tindakan penyelamatan, penanggulangan dan/atau pemulihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diganti dengan pembayaran sejumlah uang tertentu.

Berdasarkan ketentuan diatas pelanggar dapat diperingati agar berbuat sesuai izin dan apabila tidak, akan dikenakan sanksi yang paling keras pencabutan izin usaha perusahaan pengalengan ikan yang terbukti membuang limbah ke pesisir Kepala Daerah dapat mengajukan usul untuk mencabut izin usaha dan/atau kegiatan kepada pejabat yang berwenang. Selain itu pihak yang berkepentingan dapat mengajukan permohonan kepada pejabat yang berwenang untuk mencabut izin usaha dan/atau kegiatan karena merugikan kepentingannya (lihat pasal 27 ayat 1,2,3 UUPLH). Upaya adminisrtatif adalah upaya tercepat karena tidak memerlukan proses peradilan. Dalam kasus pengerusakan lingkungan upaya ini terasa lebih relevan mengingat pencemaran lingkungan hidup memerlukan upaya yang cepat agar kerugian yang ditimbulkan tidak terus bertambah.

Sanksi Perdata

Ketentuan hukum penyelesaian perdata pada sengketa lingkungan dalam UUPLH terdapat dalam pasal 30-39. Pada pasal Pasal 34 ayat (1) Setiap perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup, mewajibkan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu. Pada ayat (2) Selain pembebanan untuk melakukan tindakan tertentu, hakim dapat menetapkan pembayaran uang paksa atas setiap hari keterlambatan penyelesaian tindakan tertentu tersebut. Selanjutnya pasal 34 tidak menetapkan lebih lanjut mengenai tata cara menggugat ganti kerugian. Pengaturan mengenai tanggunggugat dan ganti rugi masih berlaku pasal 1365 BW.

Syarat-syarat dalam pasal 1365 antara lain:

Kesalahan

Page 7: New Microsoft Word Document (2)

Syarat kesalahan artinya pembuat harus mempertanggungjawabkan karena telah melakuakan perbuatan melanggar hukum. Dalam UUPLH ini menganut asas tanggungjawab mutlak (strict liability). Karena terjadinya perbuatan melanggar hukum maka terjadi kesalahan dan pembuat harus mempertanggungjawabkan. Jadi misalnya kelompok masyarakat sekitar Pengambengan yang diwakili oleh LSM melakukan gugatan tentang perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran limbah, penggugat harus membuktikan adanya kesalahan dari pelanggar.

Kerugian (Schade)

Syarat lain dalam 1365 BW adalah adanya kerugian (Schade). Dlam syarat ini harus dibuktikan adanya kerugian yang ditimbulkan dari pencemaran. Pada putusan MA tanggal 2 Juni 1971 Nomor 177 K/Sip/1971 disebutkan: “Gugatan ganti rugi yang tidak dijelaskan dengan sempurna dan tidak disertai pembuktian yang meyakinkan mengenai jumlah ganti rugi yang harus diterima oleh pengadilan tidak dapat dikabulkan oleh pengadilan”

Mengenai Ganti Rugi juga diatur dalam pasal Pasal 34 UUPLH: ”Setiap perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup, mewajibkan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu.”

Dalam UUPLH ini menganut asas tanggungjawab mutlak (strict liability). Pengertian tanggungjawab mutlak adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Ketentuan ini merupkan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada umumnya.

Asas strict liability ini dituangkan dalam pasal 35:

Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang usaha dan kegiatannya menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun, dan/atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun, bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan, dengan kewajiban membayar ganti rugi secara langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

Hubungan Kausal

Harus ada kaitan antara perbuatan yang melanggar hukum dengan terjadinya kerugian dengan kata lain, pembuangan limbah tersebut harus terbukti mengakibatkan adanya kerugian pengusaha berupa kematian tambak udang.

Relativitas

Page 8: New Microsoft Word Document (2)

Tuntutan supaya suatu ketentuan larangan berdasarkan unang-undang atau suatu syarat dalam iizin dipenuhi, hanya dapat diajukan oleh seorang yang bersangkutan atau terancam suatu kepentingan yang dilindungi oleh ketentuan berdasarkan undang-undang atau ketentuan perizinan. Mengenai siapa yang berhak melakukan gugatan. Masyarakat dan Organisasi Lingkungan Hidup seperti LSM berhak untuk melakukan gugatan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 37 UUPLH:

(1) Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan dan/atau melaporkan ke penegak hukum mengenai berbagai masalah lingkungan hidup yang merugikan perikehidupan masyarakat.

(2) Jika diketahui bahwa masyarakat menderita karena akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup sedemikian rupa sehingga mempengaruhi perikehidupan pokok masyarakat, maka instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup dapat bertindak untuk kepentingan masyarakat.

(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Sanksi Pidana

Dalam pemberian sanksi pidana UUPLH 1997 menetapkan sanksi maksimum, hal terebut tercantum dalam Pasal 41:

1. Barang siapa yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

2. Dalam penerapan instrumen hukum pidana pada dasarnya bersifat sebagai upaya terakhir (ultimum remidium), namun dalam penegakkan hukum lingkungan tidak selamanya bersifat (ultimum remidium) karena tingkat kerusakan lingkungan di Indonesia sudah pada tingkat memprihatinkan.

Untuk adanya perbuatan pidana di bidang Lingkungan Hidup, menurut pasal 41 sampai Pasal 47 UUPLH ditentukan agar memenuhi syarat-syarat :

a. adanya perbuatan yang memasukkan mahluk hidup, zat, energi atau komponen lain ke dalam Lingkungan Hidup atau perbuatan yang menimulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/ atau hayati Lingkungan Hidup

b. adanya penurunan kemampuan lingkungan sampai tingkat tertentu dalam menunjang pembangunan berkelanjutan atau Lingkungan Hidup kurang/ tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya

c. adanya unsur kesalahan dari perilaku baik karena kesengaajaan atau kelalaian;

Page 9: New Microsoft Word Document (2)

d. adanya hubungan sebab akibat antara kesalahan pelaku dengan penurunan kualitas Lingkungan Hidup sampai pada tingkat kurang / tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya;

e. kesalahan pelaku bersangkutan dimaksudkan sebagai tidak pidana

Dalam kasus Pencemaran di kawasan industri, pencemaran dilakukan bukan oleh individu saja tetapi oleh beberapa orang atau perusahaan, mengenai pencemaran yang dilakukan secara kolektif merujuk pada Pasal 46 UUPLH:

(1) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ini dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana serta tindakan tata tertib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dijatuhkan baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain tersebut maupun terhadap mereka yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya.

(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini, dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, dan dilakukan oleh orang-orang, baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, yang bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana dijatuhkan terhadap mereka yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin tanpa mengingat apakah orang-orang tersebut, baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, melakukan tindak pidana secara sendiri atau bersama-sama.

(3) Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan atau organisasi lain, panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat-surat panggilan itu ditujukan kepada pengurus di tempat tinggal mereka, atau di tempat pengurus melakukan pekerjaan yang tetap.

(4) Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, yang pada saat penuntutan diwakili oleh bukan pengurus, hakim dapat memerintahkan supaya pengurus menghadap sendiri di pengadilan.

Selain ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Undang-undang ini, terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup dapat pula dikenakan tindakan tata tertib sesuai pasal 47 UUPLH, yaitu berupa:(1) perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan/atau

(2) penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan; dan/atau

(3) perbaikan akibat tindak pidana; dan/atau

(3) mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau

Page 10: New Microsoft Word Document (2)

(4) meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau

(5) menempatkan perusahaan di bawah pengampuan paling lama tiga tahun

BAB IIIPenutup

1. Kesimpulan

Dapat ditarik kesimpulan  dari pembahasan kasus diatas adalah sebagai berikut:1.Aspek Hukum mengenai pencemaran di kawasan Lingkungan Industri Kecil Semarang  diatur dalam UUPLH No 23 tahun 1997 dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang memberikan kewenangan yang luas kepada Daerah Kabupaten untuk mengatur dan mengurus,dan menegakkan hukum.

2. Upaya penegakkan hukum yang dapat dilakukan berkaitan dengan kasus pencemaran di Lingkungan Industri Kecil adalah dengan penerapan instrumen hukum secara Administratif, Hukum Perdata, dan Hukum Pidana. Jika sanksi administrasi dinilai tidak efektif, barulah dipergunakan sarana sanksi pidana sebagai senjata pamungkas.

1. Saran

1. Segala bahan buangan yang beracun perlu pengolahan (treatment) dari Lingkungan Indutri Kecil tersebut terlebih dahulu sebelum dibuang ke perairan, dan perairan tempat pembuangan harus mempunyai kondisi oseanografi yang memadai. Industri-industri yang mutlak harus didirikan di wilayah ini wajib memproses bahan-bahan buangan untuk keperluan lain, sehingga dengan demikian dampak terhadap lingkungan dapat dibatasi

2. Perlunya ketegasan pemerintah dalam menangani kasus pencemaran lingkungan hidup. Apabila upaya admisnitratif kepada perusahaan mencemari diberikan sanksi pidana agar memberikan efek jera kepada pelakunya.

3. Selain kelembagaan pemerintah, peran kelembagaan legislatif, masyarakat/LSM, serta dunia usaha adalah penting dan harus terlibat dalam pengelolaan, utamanya pada tataran perencanaan dan monitoring/evaluasi. Dengan demikian akan tercipta suatu pengelolaan terpadu yang melibatkan pemerintah, masyarakat dan dunia usaha yang menuju ke arah pembangunan berkelanjutan.

Page 11: New Microsoft Word Document (2)

HUKUM ACARA PIDANA

Ketidak pahaman masyarakat maupun aparat penegak hukum dalam melakukan proses acara pidana terkadang merugikan berbagai pihak, sebagai contoh ketidaktahuan seseorang mengenai proses penangkapan tanpa melalui prosedur yang jelas, untuk hal ini sebenarnya orang tersebut dapat melakukan proses pra peradilan untuk mempertanyakan kembali apakah sudah benar proses penangkapan tersebut, dan seterusnya bagaimanakah melakukan proses pra peradilan? Oleh karenanya perlu diberikan wahana bagi masyarakat luas untuk mengetahui mengenai hal ini.

Dalam Hukum Acara Pidana diatur tentang bagaimana mempertahankan dan menegakkan hukum pidana materil.a untuk melaksanakan hukuman.

 Hukum Acara Pidana

 (Hukum Acara Pidana Indonesia Prof. DR. Andi Hamzah, S.H.)

 

 

 

ACARA PIDANA SEBELUM ZAMAN KOLONIAL

 

Pada waktu penjajah Belanda datang pertama kali di Indonesia telah tercipta

hukum yang lahir dari masyarakat tradisional sendiri yang kemudian disebut Hukum

Adat. Pada masa primitive  pertumbuhan hukum, yang dalam dunia modern dipisahkan

dalam hukum privat dan hukum public, tidak membaadakan kedua bidang hukum itu.

Hukum Acara perdata tidak terpisah dari Hukum Acara Pidana. Tuntutan Perdata

dan tuntutan pidana merupakan suatu kesatuan, termasuk lembaga – lembaganya.

Supomo menunjukan bahwa pandangan rakyat Indonesia terhadap alam semesta

adalah suatu totalitas yaitu bahwa Manusia beserta makhluk lain dan Lingkungannya

merupakan suatu kesatuan, alam gaib dan alam nyata tidak dipisahkan. Sehingga yang

Page 12: New Microsoft Word Document (2)

paling utama adalah keseimbangan dan keharmonisan antara satu dengan yang lainnya.

Segalanya perbuatan yang menggangu keseimbangan itu merupakan pelanggaran hukum

(adat).

Hazairin dalam tulisannya berjudul “Negara tanpa penjara” dalam Tiga

Serangkai Tentang Hukum menulis bahwa dalam masyarakat tradisional Indonesia tidak

ada pidana penjara.

Hukum pembuktian pada masyarakat tradisional Indonesia searing digantungkan

pada kekuasaan Tuhan.

Bentuk – bentuk sanksi hukum adat (dahulu) dihimpun dalam Pandecten van het

Adatrecht bagian X yang disebut juga dalam buku Supomo tersebut, yaitu sebagai berikut

:

1.            Pengganti kerugian “immaterial” dalam pelbagai rupa seperti paksaan

menikahi gadis yang telah dicemarkan.

2.            Bayaran “uang adat” kepada orang yang terkena, yang berupa benda yang

sakti sebagai peganti kerugian rohani.

3.            Selamatan (korban) untuk membersihkan masyarakat dari segala kotoran gaib

4.            Penutup malu, permintaan maaf

5.            Pelbagai rupa hukuman badan, hingga hukuman mati.

6.            Pengasingan dari masyarakat serta meletakkan orang diluat Tata Hukum.

 

 

Page 13: New Microsoft Word Document (2)

PERUBAHAN PERUNDANG – UNDANGAN DI NEGERI BELANDA YANG

DENGAN ASAS KONKORDANSI DIBERLAKUKAN PULA DI INDONESIA

 

KUHAP yang dianggap sebagai produk nasional, merupakan penerusan pula asas

– asas hukum acara pidana yang ada dalam HIR ataupun Ned strafvordering 1926 yang

lebih modern. Pada Bab I dikemukakan asas – asas hukum acara pidana yang terdapat

dalam KUHAP yang seluruhnya terdapat pula pada Nev. Sv.

Kita terbawa oleh arus kepada perubahan penting perundang – undangan di negeri

Belanda pada tahun 1838, pada waktu mana mereka baru saja terlepas dari penjajahan

Prancis.

Pada waktu itu, golongan logis yaitu yang memandang bahwa semua peraturan

hukum seharusnya dalam bentuk undang – undang sangat kuat. Berlaku ketentuan pada

waktu itu bahwa kelaziman – kelaziman tidak merupakan hukum, kecuali bilamana

kelaziman tersebuit ditunjuk dalam undang – undang (aturan hukum yang tertulis dan

terbuat dengan sengaja)

Sebelum itu, VOC pada tahun 1747 telah mengatur organisasi peradilan pribumi

di pedalaman, yang langsung memikirkan tentang “Javasche wetten” (undang – undang

Jawa). Hal itu diteruskan pula oleh Daendels dan Raffles untuk menyelami hukum adapt

sepanjang pengetahuannya. Tetapi dengan kejadian di negeri Belanda itu maka usaha ini

ditangguhkan.

Mr. H.L. Wichers seorang legis yang berasal dari Groningen. Pada waktu masih

di Belanda ia mempelajari rancangan Panitia Scholten. Ia berpengalaman sebagai bekas

Page 14: New Microsoft Word Document (2)

jaksa dan anggota dewan pertimbangan agung. Ia berangkat ke Hindia Belanda pada

bulan Mei 1846

Tiga pekerjaan utama yang ;diselesaikan selama satu setengah tahun, yaitu

pertama peraturan mengenai peradilan, kedua mengwnai perbaikan kitab undang-undang

yang telah ditetapkan itu, dan ketiga pertimbangan tentang berlakunya hukum Eropa

untuk orang Timur.

Isi dari firman Raja tanggal 16 Mei 1846 Nomor 1 yang diumumkannya di

Indonesiadengan Sbld 1847 Nomor 23 yang terepenting ialah yang tersebut Pasal 1 dan

Pasal 4.

 

Peraturan – peraturan hukum yang dibuat untuk “Hindia Belanda” yaitu sebagai

berikut.

 

Ketentuan Umum tentang Perundang – Undangan; (AB).

Peraturan tentang Susunan Pengadilan dan Kebijaksanaan Pengadilan (RO).

Kitaab Undang – Undang Hukum Perdata (BW).

Kitab Undang – Undang Hukum Dagang (WvK)

Ketentuan – ketentuan tentang kejahatan yang dilakukan pada kesempatan jatuh pailit

dan terbukti tidak mampu, begitu pula kala diadakan penangguhan pembayaran utang

(Pasal 1)

Peraturan acara perdata untuk (Hooggerechtshof dan Raad van Justitie).

Peraturan tata usaha kepolisian, beserta pengadilan sipil dan penuntutan perkara criminal

mengenai golongan Bumiputra dan orang – orang yang dipersamakan (Pasal 4).

Page 15: New Microsoft Word Document (2)

Yang disebut belakangan in yang disebut reglement op de uitofening van de politie, de

burgelijke rechtspleging en de strafvordering onder de Inlanders en de Oosterlingen of

Java en Madoera.

 

INLANDS REGLEMENT KEMUDIAN HERZIENE INLANDS REGLEMENT

 

Salah satu peraturan yang mulai berlaku pada tanggal 1 Mei 1848 berdasarkan

pengumuman Gubenur Jendral tanggal 3 Desember 1847 Sbld Nomor 57 ialah Inlands

Reglement atau didingkat IR.

Reglement tersebut berisi acara perdata dan acara pidana. Mr. H.L. Wichers

tidak mengalami kesulitan dalam hal penyusunan bagian acara pidana, karena ia

mengambil sebagian besar dari reglement op de Strafvordering untuk Raad van Justitie.

Mengenai rancangan itu Procureur Generaal (Jaksa Agung Hindia Belanda) pada waktu

itu yaitu Mr. Hultman berpendapat bahwa itu terlalu sulit untuk dilaksanakan, sehingga

nanti mengakibatkan bertimbunnya pekerjaan openbaar ministerie (penuntut umum) dan

juga bagi Procureur Generaal.

Gubernur Jenderal Rochussen sendiri masih khawatir tentang diberlakukannya reglemen

tersebut bagi orang Bumiputra, jangan – jangan terlampau jauh memasuki kehidupan

mereka, sehingga reglement tersebut masih dipandang sebagai percobaan.

Menurut Supomo, Mr. Wichers ini penganjur politik pendesakan hukum adat

secara sistematis serta berangsur – angsur oleh hukum Eropa. Akan tetapi Gubenur

Genderal tidak menyetujuinya. Ia beranggapan bahwa perombakan atau pemecahan

masyarakat Jawa itu berbahaya dan tidak politis, selama belum dapat dibentuk

Page 16: New Microsoft Word Document (2)

masyarakat lain yang tetap sentosa sebagai penggantinya dan yang terakhir ini tidak dapat

dikira – kirakan selama orang Bumiputra itu tetap beragama Islam dan bukan Kristen

Mr. Wichers mengadakan beberapa perbaikan atas anjurannya Gubenur Jendral ,

dan diumumkan pada tanggal 5 April 1848, Sbld Nomor 16, dan dikuatkan dengan

firman Raja tanggal 29 September 1849 Nomor 93, diumumkannya dalam Sbld 1849

Nomor 63.

Reglement tersebut beberapa kali diubah dan diumumkankembali dengan Sbld

1926 Nomor 559 jo. 496. Sesudah tahun 1926 masih diadakan perubahan, yang

terpenting ialah yang diumumkan dengan Sbld1941 Nomor 32 jo. 98.

Dengan Sbld 1941 Nomor 44 diumumkan kembali dengan nama Herziene Inlands

Reglement atau HIR. Yang terpenting dari perubahan IR menjadi HIR ialah dengan

perubahan itu dibentuk lembaga openbaar ministerie atau penuntut umum, yang dahulu

ditempatkan di bawah pamong praja. Dengan perubahan ini maka Openbaar Ministerie

(OM) atau Perket itu secara bulatdan tidak terpisah – pisahkan (een en ondeelbaar)

berada di bawah Officiervan Justitie dan Procureur Generaal.

Dalam Praktek, IR masih berlaku di samping HIR di Jawa dan Madura. HIR

berlaku di kota – kota besar seperti Jakarta (Batavia), Semarang, Surabaya, Malang, dan

lain – lain, sedangkan dikota – kota lain berlaku IR.

Untuk golongan Bumiputra, selain yang telah disebut dimuka masih ada

pengadilan lain seperti districgerecht, regentschapsgerecht, dan luar Jawa dan Madura

terdapat magistraatsgerecht menurut ketantuan Reglement Buitengewesten yang

memutus perkara yang kecil.

Page 17: New Microsoft Word Document (2)

Sebagai pengadilan yang tertinggi meliputi seluruh “Hindia Belanda”, ialah

Hooggerechtshof yang putusan – putusan disebut arrest. Tugas diatur dalam Pasal 158

Indische Staatsregeling dan RO.

 

ACARA PIDANA PADA ZAMAN PENDUDUKAN JEPANG DAN SESUDAH

PROKLAMASI KEMERDEKAAN

 

Pada zaman pendudukan Jepang, pada umumnya tidak terjadi perubahan asasi

kecuali hapusnya Raad van Justitie sebagai pengadilan untuk golongan Eropa. Dengan

Undang undang (Osamu Serei) No 1 Tahun 1942 yang mulai berlaku pada tanggal 7

Maret 1942 dikeluarkan aturan peralihan di Jawa dan Mardura yang berbunyi  : “Semua

badan – badan pemerintahan dan kekuasaannya, hukum dan undang – undang dari

pemerintah yang dulu, tetap diakui sah buat sementara waktu asal saja tidak bertentangan

dengan peraturan pemerintah militer” (Pasal 3).

Acara pidana pada umumnya tidak berubah. HIR dan Reglement voor de

Buitengewesten serta Landgerechtsreglement berlaku untuk Pengadilan Negeri  (Tihoo

Hooin). Pengadilan Tinggi (Kootoo Hooin) dan Pengadilan Agung (Saiko Hooin).

Susunan pengadilan ini diatur dengan Osamu Serei Nomor 3 Tahun 1942 Tanggal 20

September 1942.

Pada tiap macam pengadilan itu ada kejaksaan, yaitu Saikoo Kensatsu Kyoku

pada Pengadilan Agung, Kootoo Kensatsu Kyoku pada Pengadilan Tinggi, dan Tihoo

Kensatsu Kyoku pada Pengadilan Negeri.

Page 18: New Microsoft Word Document (2)

Pada saat proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, keadaan tersebut

dipertahankan dengan Pasal II aturan Peralihan UUD 1945.

Untuk memperkuat aturan peralihan ini, maka Presiden mengeluarkan suatu

peraturan pada tanggal 10 Oktober 1945 yang disebut peraturan Nomor 2.

 

HUKUM ACARA PIDANA MENURUT UNDANG – UNDANG NOMOR 1 (DRT)

TAHUN 1951

 

Dengan undang – undang tersebut dapat dikatakan telah diadakan unifikasi hukum

acara pidanadan susunanpengadilan yang beraneka ragam sebelumnya. Menurut Pasal 1

undang – undang tersebut dihapus yaitu sebagai berikut :

1. Mahkamah Yustisi di Makasar dan alat penuntut umum padanya.2. Appelraad di Makasar.3. Apeelraad di Medan.4. Segala pengadilan Negara dan segala landgerecht (cara baru) dan alat penuntut

umum padanya.5. Segala pengadilan kepolisian dan alat penuntut umum padanya.6. Segala pengadilan magistraad (pengadilan rendah).7. Segala pengadilan kabupaten8. Segala raad distrik.9. Segala pengadilan negorij.10.Pengadilan swapraja.11.Pengadilan adat.

 

Hakim perdamaian desa yang diatur oleh Pasal 3a RO itu masih berhak hidup dengan

alasan sebagai berikut :

1. Yang dicabut oleh KUHAP ialah yang mengenai acara pidana sedangkan HIR dan Undang – undang Nomor 1 (drt) 1951 juga mengatur acara perdata dan hukum pidana materiil.

Page 19: New Microsoft Word Document (2)

2. Undang – undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman juga tidak menghapusnya.

 

LAHIRNYA KITAB UNDANG – UNDANG HUKUM ACARA PIDANA

 

Setelah lahirnya orde baru terbukalah kesempatan  untuk membangun segala segi

kehidupan. Puluhan undang – undang diciptakan, terutama merupakan pengganti

peraturan warisan colonial.

Sejak Oemar Seno Adji menjabat Menteri Kehakiman, dibentuk suatu panitia di

departemen Kehakiman yang bertugas menyusun suatu rencana undang – undang Hukum

Acara Pidana. Pada waktu Mochtar Kusumaatmadja menggantikan Oemar Seno Adji

menjadi Menteri Kehakiman, penyempurnaan rencana itu diteruskan. Pada Tahun 1974

rencana terseut dilimpahkan kepada Sekretariat Negara dan kemudian dibahas olehwmpat

instansi, yaitu Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, Hankam termasuk didalamnya Polri

dan Departemen Kehakiman.

Setelah Moedjono menjadi Menteri Kehakiman, kegiatan dalam penyusunan

rencana tersebut diitensifkan. Akhirnya, Rancangan Undang – undang Hukum Acara

Pidana itu disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk dibahas dengan amanat

Presiden pada tanggal 12 September1979 Nomor R.08/P.U./IX/1979.

Yang terakhir menjadi masalah dalam pembicaran Tim Sinkronisasi dengan wakil

pemerintah, ialah pasal peralihan yang kemudian dikenal dengan Pasal 284.

Pasal 284 ayat (2) menjajikan bahwa dalam 2 tahun akan diadakan perubahan peninjauan

kembali terhadap hukum acara pidana khusus seperti misalnya yang terdapat dalam

Undang – undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Page 20: New Microsoft Word Document (2)

Tapi kenyataannya setelah 19 tahun berlakunya KUHAP, tidak ada tanda – tanda

adanya usaha untuk meninjau kembali acara khusus tersebut, bahkan dengan PP Nomor

27 Tahun 1983 telah ditegaskan oleh Pemerintah bahwa penyidikan delik – delik dalam

perundang – undangan pidana khusus tersebut, dilakukan oleh berikut ini.

1.   a. Penyidikb. Jaksa.c. Pejabat Penyidik yang berwenang yang lain, berdasarkan peraturan

perundang – undangan (Pasal 17 PP Nomor 27 Tahun 1983).

 

Rancangan Undang – Undang Hukum Acara Pidana disahkan oleh siding

paripurna DPR pada tanggal 23 September 1981, kemudian Presiden mensahkan menjadi

undang – undang pada tanggal 31 Desember 1981 dengan nama KITAB UNDANG –

UNDANG ACARA PIDANA (Undang – undang Nomor 8 Tahun 1981, LN 1981 Nomor

76, TLN Nomor 3209.