New Microsoft Office Word Document

25
Pengantar singkat wacana post strukturalisme dalam kesusasteraanStrukturalisme dibangun atas prinsip Saussure* bahwa bahasa sebagai sebuah sistem tanda harus dilihat ke dalam tahapan tunggal sementara (single temporal plane). Aspek diakronis bahasa, yakni bagaimana bahasa berkembang dan berubah dari masa ke masa, dilihat sebagai bagian yang kurang penting. Dalam pemikiran post strukturalis, berpikir sementara menjadi hal yang utama.Tokoh utama yang paling berpengaruh pada era kritik sastra post-strukturalis adalah seorang filsuf perancis Jacques Derrida. Selain itu, buah karya pemikiran psikoanalis Jacques Lacan dan ahli teori kebudayaan Michael Foucault juga berperan penting dalam kemunculan post strukturalisme tersebut. Derrida menekankan “logosentrime” (berpusat pada logos) pemikiran barat bahwa makna dipahami sebagai independensi bahasa yang dikomunikasikan dan tidak tunduk pada permainan bahasa. Derrida sepakat dengan Saussure bahwa bahasa merupakan produk yang berbeda antar penanda, tapi dia berpikir melampaui Saussure dalam menegaskan bahwa dimensi sesaat (temporal dimension) tak dapat ditinggalkan. Derrida menilai bahwa Saussure tak dapat membebaskan dirinya dari pandangan logosentris, sejak ia mengunggulkan bahasa di atas tulisan. Derrida percaya bahwa penanda (signs) dan petanda (signified) dapat digabung ke dalam tahapan yang sama dalam praktek tindak tutur (act of speaking). Derrida menyerang pandangan logosentrisme dan menilai bahwa tulisan merupakan model yang lebih baik untuk memahami bagaimana bahasa berfungsi. Dalam tulisan, penanda selalu produktif, mengenalkan aspek sesaat ke dalam penandaan yang menentukan berbagai penggabungan antara sign dan signified.Perumusan dasar “differance” Derrida disusun dengan mempermainkan pada kata perancis ‘difference’, yang dapat berarti ‘pertentangan’ dan “penundaan”, merusak logonsentrisme dengan menyatakan bahwa makna tak pernah dapat mewakili seluruhnya karena makna tersebut selalu ditangguhkan. Praktik “dekonstruksi ”**-nya ini berdasar pada teks yang dia teliti yang berpengaruh besar pada kritik sastra, misalnya pada New Criticsm.Essainya yang berjudul “Structure, Sign, and Play in the Discourse of the Human Sciences” , pertama kali disampaikan di John Hopkins University pada tahun 1966, sangat berpengaruh dalam teori kritik sastra.Essay Roland Barthes, “The Death of the Author” pertama kali dipublikasikan pada tahun 1968, mengadopsi sebuah pandangan

Transcript of New Microsoft Office Word Document

Page 1: New Microsoft Office Word Document

Pengantar singkat wacana post strukturalisme dalam kesusasteraanStrukturalisme dibangun atas prinsip Saussure* bahwa bahasa sebagai sebuah sistem tanda harus dilihat ke dalam tahapan tunggal sementara (single temporal plane). Aspek diakronis bahasa, yakni bagaimana bahasa berkembang dan berubah dari masa ke masa, dilihat sebagai bagian yang kurang penting. Dalam pemikiran post strukturalis, berpikir sementara menjadi hal yang utama.Tokoh utama yang paling berpengaruh pada era kritik sastra post-strukturalis adalah seorang filsuf perancis Jacques Derrida. Selain itu, buah karya pemikiran psikoanalis Jacques Lacan dan ahli teori kebudayaan Michael Foucault juga berperan penting dalam kemunculan post strukturalisme tersebut. Derrida menekankan “logosentrime” (berpusat pada logos) pemikiran barat bahwa makna dipahami sebagai independensi bahasa yang dikomunikasikan dan tidak tunduk pada permainan bahasa. Derrida sepakat dengan Saussure bahwa bahasa merupakan produk yang berbeda antar penanda, tapi dia berpikir melampaui Saussure dalam menegaskan bahwa dimensi sesaat (temporal dimension) tak dapat ditinggalkan. Derrida menilai bahwa Saussure tak dapat membebaskan dirinya dari pandangan logosentris, sejak ia mengunggulkan bahasa di atas tulisan. Derrida percaya bahwa penanda (signs) dan petanda (signified) dapat digabung ke dalam tahapan yang sama dalam praktek tindak tutur (act of speaking). Derrida menyerang pandangan logosentrisme dan menilai bahwa tulisan merupakan model yang lebih baik untuk memahami bagaimana bahasa berfungsi. Dalam tulisan, penanda selalu produktif, mengenalkan aspek sesaat ke dalam penandaan yang menentukan berbagai penggabungan antara sign dan signified.Perumusan dasar “differance” Derrida disusun dengan mempermainkan pada kata perancis ‘difference’, yang dapat berarti ‘pertentangan’ dan “penundaan”, merusak logonsentrisme dengan menyatakan bahwa makna tak pernah dapat mewakili seluruhnya karena makna tersebut selalu ditangguhkan. Praktik “dekonstruksi ”**-nya ini berdasar pada teks yang dia teliti yang berpengaruh besar pada kritik sastra, misalnya pada New Criticsm.Essainya yang berjudul “Structure, Sign, and Play in the Discourse of the Human Sciences” , pertama kali disampaikan di John Hopkins University pada tahun 1966, sangat berpengaruh dalam teori kritik sastra.Essay Roland Barthes, “The Death of the Author” pertama kali dipublikasikan pada tahun 1968, mengadopsi sebuah pandangan tekstual bahasa dan makna secara radikal dan dengan jelas menunjukkan perannya dalam post strukturalis. Pemikiran post strukturalis juga berkembang di di Amerika pada tahun 1970-an, khususnya di kalangan kritikus yang tinggal di Yale, atau disebut para dekonstrusionis Yale. Teoritikus terkemuka Yale adalah Paul de Man yang berpendapat bahwa teks sastra telah tergabung dengan “pertentangan” Derrida. De Man berpendapat bahwa ada devisi radikal dalam teks sastra antara gramatikal atau struktur logika bahasa dan aspek retorisnya. Hal ini menciptakan sebuah signifikansi (penandaan) dalam teks sastra yang pada akhirnya tak dapat ditentukan. De Man berpendapat bahwa sastra digabungkan oleh permainan (play) yang tak dapat ditentukan secara gramatikal dan retoris dalam teks dan tidak dengan pertimbangan estetis. Edward W Said menerima pandangan post strukturalis tapi menolak pada apa yang dia lihatnya sebagai pendekatan tekstual sempit ala Derrida. Dia berpendapaat bahwa karya Foucault memungkinkan kritik sastra melampaui dimensi sosial dan politis teks.

Sumber: http://id.shvoong.com/social-sciences/1737743-berkenalan-dengan-post-strukturalisme/#ixzz1MhmBqp7X

Page 2: New Microsoft Office Word Document

Minggu, Juni 08, 2008

Pendekatan Struktural dalam Penelitian Sastra

PendahuluanDalam penelitian karya sastra, analisis atau pendekatan obyektif terhadap unsur-unsur intrinsik atau struktur karya sastra merupakan tahap awal untuk meneliti karya sastra sebelum memasuki penelitian lebih lanjut (Damono, 1984:2).Pendekatan struktural merupakan pendekatan intrinsik, yakni membicarakan karya tersebut pada unsur-unsur yang membangun karya sastra dari dalam. Pendekatan tersebut meneliti karya sastra sebagai karya yang otonom dan terlepas dari latar belakang sosial, sejarah, biografi pengarang dan segala hal yang ada di luar karya sastra(Satoto, 1993: 32) Pendekatan struktural mencoba menguraikan keterkaitan dan fungsi masing-masing unsur karya sastra sebagai kesatuan struktural yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh(Teeuw, 1984: 135). Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa pendekatan struktural adalah suatu pendekatan dalam ilmu sastra yang cara kerjanya menganalisis unsur-unsur struktur yang membangun karya sastra dari dalam, serta mencari relevansi atau keterkaiatan unsur-unsur tersebut dalam rangka mencapai kebulatan makna.Mengenai struktur, Wellek dan Warren (1992: 56) memberi batasan bahwa struktur pengertiannya dimasukkan kedalam isi dan bentuk, sejauh keduanya dimaksudkan untuk mencapai tujuan estetik. Jadi struktur karya sastra (fiksi) itu terdiri dari bentuk dan isi. Bentuk adalah cara pengarang menulis, sedangkan isi adalah gagasan yang diekspresiakan pengarang dalam tulisannya (Zeltom, 1984: 99). Menurut Jan Van Luxemburg (1986: 38) struktur yang dimaksudkan, mengandung pengertian relasi timbal balik antara bagian-bagiannya dan antara keseluruhannya.Struktur karya sastra (fiksi) terdiri atas unsur unsur alur, penokohan, tema, latar dan amanat sebagai unsur yang paling menunjang dan paling dominan dalam membangun karya sastra (fiksi) (Sumardjo, 1991:54).1. Alur (plot)Dalam sebuah karya sastra (fiksi) berbagai peristiwa disajikan dalam urutan tertentu (Sudjiman, 1992: 19). Peristiwa yang diurutkan dalam menbangun cerita itu disebut dengan alur (plot). Plot merupakan unsur fiksi yang paling penting karena kejelasan plot merupakan kejelasan tentang keterkaitan antara peristiwa yang dikisahkan secara linier dan kronologis akan mempermudah pemahaman kita terhadap cerita yang ditampilkan.Atar Semi(1993: 43) mengatakan bahwa alur atau plot adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai interrelasi fungsional yang sekaligus menandai urutan bagian-bagian dlam keseluruhan karya fiksi. Lebih lanjut Stanton (dalam Nurgiyantoro, 2000: 113) mengemukakan bahwa alur atau plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan peristiwa yang lain. Dalam merumuskan jalan cerita, pembaca dapat membuat atau menafsirkan alur cerita melalui rangkaiannya. Luxemburg memberikan kebebasan penuh dalam menafsirkan atau membangun pemahaman dari jalannya cerita. Alur bisa dilihat sebagai konstruksi yang dibuat oleh pembaca mengenai sebuah deretan peristiwa atau kejadian yang saling berkaitan secara logis dan kronologis, serta aderetan peristiwa itu diakibatkan dan dialami oleh para tokoh (1986: 112).

Page 3: New Microsoft Office Word Document

Karena alur berusaha menguraikan jalannya cerita mulai awal sampai akhir cerita, maka secara linier bentuk alur atau struktur cerita seperti dikemukakan Nurgiyantoro yaitu dari tahapan-tahapan sebagai berikut:a. Tahap penyuntingan, tahap ini pengarang memperkenalkan tokoh-cerita melukiskan situasi latar, sebagai tahap pembukaan cerita, pembagian informasi awal dan teruptama untuk melandasi cerita yang akan dilkisahkan pada tahap berikutnya.b. Tahap pemunculan konflik yang berkembang atau merupakan awal munculnya konflik yang berkembang atau dikembangkan menjadi komflik pada peningkatan konflik, pada tahap ini konflik berkembang atau dikembangkan tahap berikutnya.c. Tahap kadar intensitasnya. Konflik-konflik yang terjadi baik itu internal, eksternal ataupun kedua-duanya.d. Tahap klimaks, pada tahap ini pertentangan yang terjadi dialami atau ditampilkan pada tokoh mencapai titik intensitas puncak klimaks cerita akan dialami tokoh utama sebagai pelaku dan penderita terjadinya konflik, pada tahap ini merupakan tahap penentuan nasip tokoh.e. Tahap penyelesaian, pada tahap ini keteganangan dikendorkan diberi penyelesaian dan jalan keluar untuk kemudian diakhiri (2000: 150).Masih mengenai alur (plot), secara estern Mursal (1990: 26) merumuskan bahwa alur bisa bermacam-macam, seperti berikut ini:a. Alur maju (konvensional Progresif ) adalah teknik pengaluran dimana jalan peristriwanta dimulai dari melukiskan keadaan hingga penyelesaian.b. Alur mundur (Flash back, sorot balik, regresif), adalah teknik pengaluran dan menetapkan peristiwa dimulai dari penyelesaian kemudian ke titik puncak sampai melukiskan keeadaan.c. Alur tarik balik (back tracking), yaitu teknik pengaluran di mana jalan cerita peristiwanya tetap maju, hanya pada tahap-tahap tertentu peristiwa ditarik ke belakang (1990: 26)Melalui pengaluran tersebut diharapkan pembaca dapat mengetahui urutan-urutan atau kronologis suatu kejadian dalam cerita, sehingga bisa dimengerti maksud cerita secara tepat.

2. TokohDalam pembicaraan sebuah fiksi ada istilah tokoh, penokohan, dan perwatakan. Kehadiran tokoh dalam cerita fiksi merupakan unsur yang sangat penting bahkan menentukan. Hal ini karena tidak mungkin ada cerita tanpa kehadiran tokoh yang diceritakan dan tanpa adanya gerak tokoh yang akhirnya menbentuk alur cerita. Rangkaian alur cerita merupakan hubungan yang logis yang terkait oleh waktu.Pendefinisian istilah tokoh, penokohan dan perwatakan banyak diberikan oleh para ahli, berikut ini beberapa definisi tersebut:Tokoh menunjiuk pada orangnya, pelaku cerita (Nurgiyantoro, 2000: 165)Penokohan adalah bagaimana pengarang menampilkana tokoh-tokoh dalam ceritanya dan bagaimana tokoh-tokoh tersebut, ini berarti ada dua hal penting, yang pertama berhubungan dengan teknik penyampaian sedangkan yang kedua berhubungan dengan watak atau kepribadian tokot-tokoh tersebut (Suroto, 1989: 92-93).Watak, perwatakan, dan karakter menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh seperti ditafsirkan oleh pembaca, lebih menunjuk pada kualitas peribadi seorang tokoh (Nurgiyantoro, 2000: 165).Penokohan atau karakter atau disebut juga perwatakan merupakan cara penggambaran tentang tokoh melalui perilaku dan pencitraan. Panuti Sudjiman mencerikan definisi penokohan adalah penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh (1992: 23). Hal senada diungkapkan oleh

Page 4: New Microsoft Office Word Document

Hasim dalam (Fanani, 1997: 5) bahwa penokohan adalah cara pengarang untuk menampilkan watak para tokoh di dalam sebuah cerita karena tanpa adanya tokoh, sebuah cerita tidak akan terbentuk.

Untuk mengenal watak tokoh dan penciptaan citra tokoh terdapat beberapa cara , yaitu:a. Melalui apa yang diperbuat oleh tokoh dan tindakan-tindakannya, terutama sekali bagaimana ia bersikap dalam situasi kritis.b. Melalui ucapan-ucapan yang dilontarkan yokoh.c. Melalui penggambaran fisik tokoh. Penggambaran bentuk tubuh, wajah dan cara berpakaian, dari sini dapat ditarik sebuah pendiskripsian penulis tentang tokoh cerita.d. Melalui jalan pikirannya, terutama untuk mengetahui alasan-alasan tindakannya.e. Melalui penerangan langsung dari penulis tentyang watak tokoh ceritanya. Hal itu tentu berbeda dengan cara tidak langsung yang mengungkap watak tokoh lewat perbuatan, ucapan, atau menurut jalan pikirannya (Sumardja, 1997: 65-66).Dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh, tokoh cerita dibedakan menjadi dua yaitu tokoh utama (central character, main character)dan tokoh tambahan (pheripheral character) (Nurgiyantoro, 2000: 176-178).Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya. Tokoh ini tergolong penting. Karena ditampilkan terus menerus sehingga terasa mendominasi sebagian besar cerita. Karena tokoh utama paling banyak ditampilkan ada selalu berhubungan dengan tokoh-tokoh lain, ia sangat menentukan perkembangan plot secara keseluruhan.Tokoh tambahan adalah tokoh yang hanya dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita dan itu bersifat gradasi, keutamaannya bertingkat maka perbedaan antara tokoh utama dan tambahan tidak dapat dilakukan secara pasti.Karena tokoh berkepribaduian dan berwatak, maka dia memiliki sifat-sifat karakteristik yang dapat dirumuskan dalam tiga dimensi, yaitu ;a. Dimensi fisiologis, adalag ciri-ciri badan, misalnya usia (tingkat kedewasaan), jenis kelamin, keadaaan tubuh, ciri-ciri muka, dan lain sebagainya.b. Dimensi sosiologis, adalah ciri kehidupan masyarakat, misalnya status sosial, pekerjaan, peranan dalan masyarakat, tingkat pendidikan, dan sebagainya.c. Dimensi psikologis, adalah latar belakang kejiwaan, misalnya mentalitas, tingkat kecerdasan dan keahliannkhusus dalam bidang tertentu (satoto, 1993: 44-45).3. Latar (setting)Kehadiran latar dalam sebuah cerita fiksi sangat penting. Karya fiksi sebagai sebuah dunia dalam kemungkinan adalah dunia yang dilengkapi dengan tokoh penghuni dan segala permasalahannya. Kehadiran tokoh ini mutlak memerlukan ruang dan waktu.Lartar atau setting adalah sesuiatu yang menggambarkan situasi atau keadaan dalam penceriteraan. Panuti Sudjiman mengatakan bahawa latar adalah segala keterangan, petunjut, pengacuan yang berkaiatan dengan waktu, ruang dan suasana (1992:46). Sumardjo dan Saini K.M. (1997: 76) mendefinisikan latar bukan bukan hanya menunjuk tempat, atau waktu tertentu, tetapi juga hal-hal yang hakiki dari suatu wilayah, sampai pada pemikiran rakyatnya, kegiatannya dan lain sebagianya.Latar atau setting tidak hanya menyaran pada tempat, hubungan waktu maupun juga menyaran pada lingkungan sosial yang berwujud tatacara, adat istiadat dan nilai-nilai yang berlaku di tempat yang bersangkutan.

Page 5: New Microsoft Office Word Document

a. Latar tempatLatar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar tempat berupa tempat-tempat yang dapat dijumpai dalam dunia nyata ataupun tempat-tempat tertentu yang tidak disebut dengan jelas tetapi pembaca harus memperkirakan sendiri. Latar tempat tanpa nama biasanya hanya berupa penyebutan jenis dan sifat umum tempat-tempat tertentu misalnya desa, sungai, jalan dan sebagainya. Dalam karya fiksi latar tempat bisa meliputi berbagai lokasi.b. Latar waktuLatar waktu menyaran pada kapan terjadinyaperistiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan sejarah. Pengetahuan dan persepsi pembaca terhadap sejarah itu sangat diperlukan agar pembaca dapat masuk dalam suasana cerita.c. Latar sosialLatar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalan karya fiksi. Perilaku itu dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, pandangan hidup, pola pikir dan bersikap. Penandaan latar sosial dapat dilihat dari penggunaan bahasa daerah dan penamaan terhadap diri tokoh.

4. Tema dan amanatSecara etimologis kata tema berasal dari istilah meaning, yang berhubungan arti, yaitu sesuatu yang lugas, khusus, dan objektif. Sedangkan amanat berasal dari kata significance, yang berurusan dengan makna, yaitu sesuatu yang kias, umun dan subjektif, sehingga harus dilakukan penafsiran. Melalui penafsiran itulah yang memungkinkan adanya perbedaan pendapat (Juhl dalam Teeuw, 1984: 27). Baik pengertian tentang “arti” maupun “makna” keduanya memiliki fungsi yang sama sebagai penyampai gagasan atau ide kepengarangan.Lebih jauh Sudjiman memberikan pengertian bahwa tema merupakan gagasan, ide atau pikiran utama yang mendasari suatu karya sastra (1992:52). Mengenai adanya amanat dalam karya sastra bisa dilihat dari beberapa hal, seperti berikut ini:“dari sebuah karya sastra adakalanya dapat diangkat suatu ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan pengarang, itulah yang disebut amanat. Jika permasalahan yang diajukan juga diberi jalan keluarnya oleh pengarang, makan jalan keluarnya itulah yang disebut amanat. Amanat yang terdapat pada sebuah karya sastra, bisa secara inplisit ataupun secara eksplisit. Implisit jika jalan keluar atau ajaran moral diisyaratkan dalam tingkah laku tokoh menjelang cerita berakhir. Eksplisit jika pengarang pada tengah atau akhir cerita menyampaikan seruan, saran, peringatan, nasehat, dan sebagainya. (Sudjiman, 1992: 57-58).

DAFTAR PUSTAKAAndre hardjana. 1991. Kritik Sastra Indonesia. Bandung: Angkasa.Atar Semi. 1993. Anatomi Sastra. Jakarta: Angkasa rayaBurhan Nurgiyantoro. 2000. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta.: Gajah Mada University Press.Faruk. 1999. Pengantar Sosiologi sastra. Yogyakarta: UGM Press.Griffith, Jr. Kelley. 1990 Writing Essays about Literature: A Guide and Style Sheet. New York: Harcout, Brave Javonovich.Hasim amir. 1990. Pendidikan Sastra Lanjut. Malang: Penyelenggara Pendidikan Pascasarjana, Proyek peningkatan perguruan tinggi.Jakop Sumardjo. dan Saini K.M. 1997. Apresiasi Kesusasteraan. Jakarta: Gramedia.

Page 6: New Microsoft Office Word Document

Luxemburg, Jan Van, Meikel Basl, Willem G Westeijn. 1986. Pengantar Ilmu Sastra (terj. Dick Hartoko), Jakarta: Gramedia.Mursal Esten. 1990. Kesusastraan: Pengantar Teori dan Sejarah. Bandung: Angkasa.Panuti Sujiman. 1996. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.------------------- 1992. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.Sapardi Joko Damono. 1978. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: PPPB Dep. Pdan K.------------------- 1983. Kesusastraan Indonesia Modern : Beberapa Catatan. Jakarta: Gramedia.Soediro satoto. 1993. Metode Penelitian Sastra. Surakarta: UNS Press.Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia.------------ 1988. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Gramedia.Wellek, Rene dan Austin Warren. 1993. Teori Kesusastraan. (Terj. Melani Budianta) Jakarta: Gramedia. Diposkan oleh Ainul Faiz di Minggu, Juni 08, 2008

Page 7: New Microsoft Office Word Document

Teori struktural fungsional

Asumsi Dasar

Teori fungsionalisme struktural adalah suatu bangunan teori yang paling besar pengaruhnya dalam ilmu sosial di abad sekarang. Tokoh-tokoh yang pertama kali mencetuskan fungsional yaitu August Comte, Emile Durkheim dan Herbet Spencer. Pemikiran structural fungsional sangat dipengaruhi oleh pemikiran biologis yaitu menganggap masyarakat sebagai organisme biologis yaitu terdiri dari organ-organ yang saling ketergantungan, ketergantungan tersebut merupakan hasil atau konsekuensi agar organisme tersebut tetap dapat bertahan hidup. Sama halnya dengan pendekatan lainnya pendekatan structural fungsional ini juga bertujuan untuk mencapai keteraturan sosial. Teori struktural fungsional ini awalnya berangkat dari pemikiran Emile Durkheim, dimana pemikiran Durkheim ini dipengaruhi oleh Auguste Comte dan Herbert Spencer. Comte dengan pemikirannya mengenai analogi organismik kemudian dikembangkan lagi oleh Herbert Spencer dengan membandingkan dan mencari kesamaan antara masyarakat dengan organisme, hingga akhirnya berkembang menjadi apa yang disebut dengan requisite functionalism, dimana ini menjadi panduan bagi analisa substantif Spencer dan penggerak analisa fungsional. Dipengaruhi oleh kedua orang ini, studi Durkheim tertanam kuat terminology organismik tersebut. Durkheim mengungkapkan bahwa masyarakat adalah sebuah kesatuan dimana di dalamnya terdapat bagian – bagian yang dibedakan. Bagian-bagian dari sistem tersebut mempunyai fungsi masing – masing yang membuat sistem menjadi seimbang. Bagian tersebut saling interdependensi satu sama lain dan fungsional, sehingga jika ada yang tidak berfungsi maka akan merusak keseimbangan sistem. Pemikiran inilah yang menjadi sumbangsih Durkheim dalam teori Parsons dan Merton mengenai struktural fungsional. Selain itu, antropologis fungsional-Malinowski dan Radcliffe Brown juga membantu membentuk berbagai perspektif fungsional modern.

Selain dari Durkheim, teori struktural fungsional ini juga dipengaruhi oleh pemikiran Max Weber. Secara umum, dua aspek dari studi Weber yang mempunyai pengaruh kuat adalah

Visi substantif mengenai tindakan sosial dan Strateginya dalam menganalisa struktur sosial.

Pemikiran Weber mengenai tindakan sosial ini berguna dalam perkembangan pemikiran Parsons dalam menjelaskan mengenai tindakan aktor dalam menginterpretasikan keadaan.

[sunting] Perkembangan Teori Struktural Fungsional

Hingga pertengahan abad, fungsionalisme menjadi teori yang dominan dalam perspektif sosiologi. Teori fungsional menjadi karya Talcott Parsons dan Robert Merton dibawah pengaruh tokoh – tokoh yang telah dibahas diatas. Sebagai ahli teori yang paling mencolok di jamannya, Talcott Parson menimbulkan kontroversi atas pendekatan fungsionalisme yang ia gulirkan. Parson berhasil mempertahankan fungsionalisme hingga lebih dari dua setengah abad sejak ia mempublikasikan The Structure of Social Action pada tahun 1937. Dalam karyanya ini Parson

Page 8: New Microsoft Office Word Document

membangun teori sosiologinya melalui “analytical realism”, maksudnya adalah teori sosiologi harus menggunakan konsep-konsep tertentu yang memadai dalam melingkupi dunia luar. Konsep-consep ini tidak bertanggungjawab pada fenomena konkrit, tapi kepada elemen-elemen di dallamnya yang secara analitis dapat dipisahkan dari elemen-elemen lainnya. Oleh karenanya, teori harus melibatkan perkembangan dari konsep-konsep yang diringkas dari kenyataan empiric, tentunya dengan segala keanekaragaman dan kebingungan-kebingungan yang menyertainya. Dengan cara ini, konsep akan mengisolasi fenomena yang melekat erat pada hubungan kompleks yang membangun realita sosial. Keunikan realism analitik Parson ini terletak pada penekanan tentang bagaimana konsep abstrak ini dipakai dalam analisis sosiologi. Sehingga yang di dapat adalah organisasi konsep dalam bentuk sistem analisa yang mencakup persoalan dunia tanpa terganggu oleh detail empiris.

Sistem tindakan diperkenalkan parson dengan skema AGILnya yang terkenal. Parson meyakini bahwa terdapat empat karakteristik terjadinya suatu tindakan, yakni Adaptation, Goal Atainment, Integration, Latency. Sistem tindakan hanya akan bertahan jika memeninuhi empat criteria ini. Dalam karya berikutnya , The Sociasl System, Parson melihat aktor sebagai orientasi pada situasi dalam istilah motivasi dan nilai-nilai. Terdapay berberapa macam motivasi, antara lain kognitif, chatectic, dan evaluative. Terdapat juga nilai-nilai yang bertanggungjawab terhadap sistem sosoial ini, antara lain nilai kognisi, apresiasi, dan moral. Parson sendiri menyebutnya sebagai modes of orientation. Unit tindakan olehkarenaya melibatkan motivasi dan orientasi nilai dan memiliki tujuan umum sebagai konsekuensi kombinasi dari nilai dan motivasi-motivasi tersebut terhadap seorang aktor.

Karya Parson dengan alat konseptual seperti empat sistem tindakan mengarah pada tuduhan tentang teori strukturalnya yang tidak dapat menjelaskan perubahan sosial. Pada tahun 1960, studi tentang evolusi sosial menjadi jawaban atas kebuntuan Parson akan perubahan sosial dalam bangunan teori strukturalnya. Akhir dari analisis ini adalah visi metafisis yang besar oleh dunia yang telah menimpa eksistensi manusia. Analisis parson merepresentasikan suatu usaha untuk mengkategorisasikan dunia kedalam sistem, subsistem, persyaratan-persyaratan system, generalisasi media dan pertukaran menggunakan media tersebut. Analisis ini pada akhirnya lebih filosofis daripada sosiologis, yakni pada lingkup visi meta teori. Pembahasan mengenai fungsionalisme Merton diawali pemahaman bahwa pada awalnya Merton mengkritik beberapa aspek ekstrem dan keteguhan dari structural fungsionalisme, yang mengantarkan Merton sebagai pendorong fungsionalisme kearah marxisme. Hal ini berbeda dari sang guru, Talcott Parson mengemukakan bahwa teorisi structural fungsional sangatlah penting.Parson mendukung terciptanya teori yang besar dan mencakup seluruhnya sedangkan parson lebih terbatas dan menengah.

Seperti penjelasan singkat sebelumnya, Merton mengkritik apa yang dilihatnya sebagai tiga postulat dasar analisis fungsional( hal ini pula seperti yang pernah dikembangkan oleh Malinowski dan Radcliffe brown. Adapun beberapa postulat tersebut antara lain:

Kesatuan fungsi masyarakat , seluruh kepercayaan dan praktik sosial budaya standard bersifat fungsional bagi masyarakat secara keseluruhan maupun bagi individu dalam masyarakat, hal ini berarti sistem sosial yang ada pasti menunjukan tingginya level

Page 9: New Microsoft Office Word Document

integrasi. Dari sini Merton berpendapat bahwa, hal ini tidak hanya berlaku pada masyarakat kecil tetapi generalisasi pada masyarakat yang lebih besar.

Fungsionalisme universal , seluruh bentuk dan stuktur sosial memiliki fungsi positif. Hal ini di tentang oleh Merton, bahwa dalam dunia nyata tidak seluruh struktur , adat istiadat, gagasan dan keyakinan, serta sebagainya memiliki fungsi positif. Dicontohkan pula dengan stuktur sosial dengan adat istiadat yang mengatur individu bertingkah laku kadang-kadang membuat individu tersebut depresi hingga bunuh diri. Postulat structural fungsional menjadi bertentangan.

Indispensability, aspek standard masyarakat tidak hany amemiliki fungsi positif namun juga merespresentasikan bagian bagian yang tidak terpisahkan dari keseluruhan. Hal ini berarti fungsi secara fungsional diperlukan oleh masyarakat. Dalam hal ini pertentangn Merton pun sama dengan parson bahwaada berbagai alternative structural dan fungsional yang ada di dalam masyarakat yang tidak dapat dihindari.

Argumentasi Merton dijelaskan kembali bahwa seluruh postulat yang dijabarakan tersebut berstandar pada pernyataan non empiris yang didasarakan sistem teoritik. Merton mengungkap bahwa seharusnya postulat yang ada didasarkan empiric bukan teoritika. Sudut pandangan Merton bahwa analsisi structural fungsional memusatkan pada organisasi, kelompok, masyarakat dan kebudayaan, objek-objek yang dibedah dari structural fungsional harsuslah terpola dan berlang, merespresentasikan unsure standard.

Awalnya aliran fungsionalis membatasi dirinya dalam mengkaji makamirakat secara keseluruhan, namun Merton menjelaskan bahwa dapat juga diterapkan pada organisasi, institusi dan kelompok. Dalam penjelasan ini Merton memberikan pemikiran tentang the middle range theory. Merton mengemukakan bahwa para ahli sosiologi harus lebih maju lagi dalam peningkatan kedisiplinan dengan mengembangkan “teori-teori taraf menengah” daripada teori-teori besar. Teori taraf menengah itu didefinisikan oleh Merton sebagai : Teori yang terletak di antara hipotesa kerja yang kecil tetapi perlu, yang berkembang semakin besar selama penelitian dari hari ke hari, dan usaha yang mencakup semuanya mengembangkan uato teori terpadu yang akan menjelaskan semua keseragaman yang diamati dalam perilaku social. Teori taraf menengah pada prinsipnya digunakan dalam sosiologi untuk membimbing penelitian empiris. Dia merupakan jembatan penghubung teori umum mengenai istem social yang terlalu jauh dari kelompok-kelompok perilaku tertentu, organisasi, ddan perubahan untuk mempertanggungjawabkan apa yang diamati, dan gambaran terinci secara teratur mengenai hal-hal tertentu yang tidak di generaliasi sama sekali. Teori sosiologi merupakan kerangka proposisi yang saling terhubung secara logis dimana kesatuan empiris bisa diperoleh.

The middle range theory adalah teori-teori yang terletak pada minor tetapi hipotesis kerja mengembangkan penelitian sehari-hari yang menyeluruh dan keseluruhan upaya sistematis yang inklusif untuk mengembangkan teori yang utuh. The middle range theory Merton ini memiliki berbagai pemahaman bahwa secara prinsip digunakan untuk panduan temuan-temuan empiris, merupakan lanjutan dari teori system social yang terlalu jauh dari penggolongan khusus perilaku social, organisasi, dan perubahan untuk mencatat apa yang di observasi dan di deskripsikan, meliputi abstraksi, tetapi ia cukup jelas dengan data yang terobservasi untuk digabungkan dengan proposisi yang memungkinkan tes empiris dan muncul dari ide yang sangat sederhana. Dalam hal ini Merton seakan melakukan tarik dan menyambung, artinya apa yang dia kritik

Page 10: New Microsoft Office Word Document

terhadap fungsionalis merupakan jalan yang dia tempuh untuk menyambung apa yang dia pikirkan. Atau dianalogikan, Merton mengambil bangunan teori kemudian di benturkan setelah itu dia perbaiki lagi dengan konseptual yang menurut kami sangat menarik.

Para stuktural fungsional pada awalnya memustakan pada fungsi dalam struktru dan institusi dalam amsyarakat. Bagi Merton hal ini tidaklah demikian, karrena dalam menganalis hal itu , para fungsionalis awal cenderung mencampur adukna motif subjektif individu dengan fungsi stuktur atau institusi. Analisis fungsi bukan motif individu. Merton sendiri mendefinisikan fungsi sebagai konsekuensi-konsekuensi yang didasari dan yang menciptakan adaptasi atau penyesuian, karena selalu ada konsekuensi positif. Tetapi , Merton menambahkan konsekuensi dalam fakta sosial yang ada tidaklah positif tetapi ada negatifnya. Dari sini Merton mengembangkan gagasan akan disfungsi. Ketika struktur dan fungsi dpat memberikan kontribusi pada terpeliharanya sistem sosial tetapi dapat mengandung konsekuensi negative pada bagian lain.Hal ini dapat dicontohkan, struktur masyarakat patriarki c memberkan kontribusi positif bagi kaum laki-laki untuk memegang wewenang dalam keputusan kemasyarakatan, tetapi hal ini mengandung konsekuensi negative bagi kaum perempuan karena aspirasi mereka dalam keputusan terbatas. Gagasan non fungsi pun , dilontarkan oleh Merton. Merton mengemukakan nonfungsi sebagai konsekuensi tidak relevan bagi sistem tersebut. Dapatkonsekuensi positif dimasa lalu tapi tidak dimasa sekarang.Tidaklah dapat ditentukan manakah yang lebih penting fungsi-fungsi positif atau disfungsi. Untuk itu Merton menambahkan gagasan melalui keseimbangan mapan dan level analisis fungsional.

Dalam penjelasan lebih lanjut , Merton mengemukakan mengenai fungsi manifest dan fungsi laten.Fungsi manifest adalah fungsi yang dikehendaki, laten adalah yang tidak dikehendaki.Maka dalam stuktur yang ada, hal-hal yang tidak relevan juga disfungso laten dipenagruhi secara fungsional dan disfungsional. Merton menunjukan bahwa suatu struktur disfungsional akan selalu ada. Dalam teori ini Merton dikritik oleh Colim Campbell, bahwa pembedaan yang dilakukan Merton dalam fungsi manifest dan laten , menunjukan penjelasan Merton yang begitu kabur dengan berbagari cara. Hal ini Merton tidak secara tepat mengintegrasikan teori tindakan dengan fungsionalisme. Hal ini berimplikasi pada ketidakpasan antara intersionalitas dengan fungsionalisme structural. Kami rasa dalam hal ini pun Merton terlalu naïf dalam mengedepankan idealismenya tentang struktur dan dengan beraninya dia mengemukakan dia beraliran fungsionalis, tapi dia pun mengkritik akar pemikiran yang mendahuluinya. Tetapi, lebih jauh dari itu konsepnya mengenai fungsi manifest dan laten telah membuka kekauan bahwa fungsi selalu berada dalam daftar menu struktur. Merton pun mengungkap bahwa tidak semua struktur sosial tidak dapat diubah oleh sistem sosial. Tetapi beberapa sistem sosial dapat dihapuskan. Dengan mengakui bahwa struktur sosia dapat membuka jalan bagi perubahan sosial.

Analisi Merton tentang hubungan antara kebudayaan, struktur, dan anomi. Budaya didefinisikan sebagai rangkaian nilai normative teratur yang mengendalikan perilaku yang sama untuk seluruh anggota masyarakat. Stuktur sosial didefinisikans ebagai serangkaian hubungan sosial teratur dan memeprnagaruhi anggota masyarakat atau kelompok tertentu dengan cara lain. Anomi terjadi jika ketika terdapat disjungsi ketat antara norma-norma dan tujuan cultural yang terstruktur secara sosial dengan anggota kelompok untuk bertindak menurut norma dan tujuan tersebut. Posisi mereka dalam struktur makamirakat beberapa orang tidak mampu bertindakm menurut norma-norma normative . kebudayaan menghendaki adanya beberapa jenis perilaku yang

Page 11: New Microsoft Office Word Document

dicegah oleh struktur sosial. Merton menghubungkan anomi dengan penyimpangan dan dengan demikian disjungsi antara kebudayan dnegan struktur akan melahirkan konsekuensi disfungsional yakni penyimpangan dalam masyarakat. Anomi Merton memang sikap kirits tentang stratifikasi sosial, hal ini mengindikasikan bahwa teori structural fungsionalisme ini aharus lebih kritis dengan stratifikasi sosialnya. Bahwa sturktur makamirakat yangselalu berstratifikasi dan masing-masing memiliki fungsi yang selama ini diyakini para fungsionalis, menurut dapat mengindikasikan disfungsi dan anomi. Dalam hal ini kami setuju dengan Merton,dalam sensory experiences yang pernah kami dapatkan, dimana ada keteraturan maka harus siap deng ketidakteraturan, dalam struktur yang teratur, kedinamisan terus berjalan tidak pada status di dalamnya tapi kaitan dalama peran. Anomi atau disfungsi cenderung hadir dipahami ketika peran dalam struktu berdasarkan status tidak dijalankan akibat berbagai factor. Apapun alasannya anomi dalam struktur apalagi yang kaku akan cenderung lebih besar. Dari sini, Merton tidak berhenti dengan deskripsi tentang struktur , akan tetapi terus membawa kepribadian sebagai produk organisasi struktur tersebut. Pengaruh lembaga atau struktur terhadap perilaku seseorang adalah merupakan tema yang merasuk ke dalam karya Merton, lalu tema ini selalu diilustrasikan oleh Merton yaitu the Self Fullfilling Prophecy serta dalam buku Sosial structure And Anomie. Disini Merton berusaha menunjukkan bagaimana struktur sosial memberikan tekanan yang jelas pada orang-orang tertentu yang ada dalam masyarakat sehingga mereka lebih , menunjukkan kelakuan non konformis ketimbang konformis. Menurut Merton, anomie tidak akan muncul sejauh masyarakkat menyediakan sarana kelembagaan untuk mencapai tujuan-tujuan kultur tersebut.

Dari berbagai penajabaran yang ada Pemahaman Merton membawa pada tantangan untuk mengkonfirmasi segala pemikiran yang telah ada. Hal ini terbukti dengan munculnya fungsionalisme gaya baru yang lebih jauh berbeda dengan apa yang pemikiran Merton. Inilah bukti kedinamisan ilmu pengetahuan, tak pelak dalam struktural fungsionalisme

Pendahuluan 

Puisi sebagai salah satu jenis sastra merupakan  pernyataan sastra yang paling

inti. Segala unsur seni kesastraan  mengental dalam puisi.  Oleh karena itu, puisi dari

dahulu hingga sekarang  merupakan  pernyataan seni sastra  yang  paling baku. 

Membaca  puisi merupakan  sebuah kenikmatan  seni sastra yang khusus, bahkan

merupakan  puncak  kenikmatan seni sastra. Sehingga dari dahulu hingga sekarang 

puisi selalu diciptakan  orang dan selalu dibaca, dideklamasikan  untuk lebih merasakan 

kenikmatan  seninga dan nilai kejiwaanya  yang tinggi. Dari dulu hinggga sekarang karya

sastra puisi digemari oleh semua aspek masyarakat. Karena kemajuan masyarakat dari

waktu kewaktu selalu meningkat, maka corak, sifat,  dan bentuk puisi selalu berubah, 

mengikuti perkembangan selera, konsep estetika  yang selalu  berubah  dan kemajuan

intelektual  yang selalu meningkat.  Karena itu,  pada waktu sekarang  wujud puisi 

Page 12: New Microsoft Office Word Document

semakin kompleks  dan semakin terasa sehingga lebih  menyukarkan  pemahamnya.

Begitu juga halnya corak dan wujud puisi  Indonesia modern. Lebih-lebih  hal ini

disebabkan  oleh hakekat puisi  yang merupakan inti pernyataan yang padat itu. 

  

Kajian Teoritis

Aliran Ekspresionalisme

 

Dalam puisi Indonesia, Chairil Anwar merupakan salah tokoh yang karya-

karyanya  masuk dalam aliran ekspresionalisme.  Dalam aliran  tidak mengungkapakan 

kenyataan secara objektif, namun secara subjektif. Yang di ekspresikan adalah  gelora

kalbunya,  kehendak batinya. Puisinya  benar-benar ekspresi jiwa, creatio, bukan

mimiesis. Namun demikian  kadang-kadang  penyair realis juga  bersikap 

ekspresionalisme, yakni jika ekspresi jiwanya itu tidak berlebih-lebihan, tetapi apa

adanya. Ekspresi jiwa yang berlebihan cenderung bersifat emosional adalah cirri-ciri

kaum romantisme.

Sajak ekspresionalisme tidak mengambarkan  alam atau kenyataan, juga bukan

penggambarann  kesan terhadap alam atau kenyataan, tetapi cetusan langsung dari jiwa.

Cetusan itu dapat bersifat  mendarah daging, seperti sajak “aku” karya Chairil Anwar di

bawah ini.

                  Aku  Kalau sampai waktuku‘Ku mau tak seorang ’kan merayuTidak juga kau Tak perlu  sedu sedan itu Aku ini binatang jalang Dari kumpulannya terbuang Biar perlu  menembus kulitkuAku tetap meradang menerjang Luka dan bisa  kubawa berlariBerlariHingga hilang pedih peri Dan aku akan lebih tidak perduli Aku ingin hidup seribu tahun lagi 

Page 13: New Microsoft Office Word Document

 (DCD, 1959:7)

Pada puisi di atas  merupakan eskpresi jiwa penyair  yang menginginkan

kebebasan dari semua ikatan. Di sana penyair tidak mau meniru  atau menyatakan 

kenyataan alam, tetapi mengungkapkan  sikap jiwanya yang ingin berkreasi.  Sikap jiwa

“jika sampai waktunya”, ia tidak mau terikat  oleh siapa saja, apapun yang terjadi, ia

ingin bebas sebebas-bebasnya sebagai “aku”.  Bahkan jika ia terluka, akan di bawa lari 

sehingga perih lukanya itu hilang. Ia memandang bahwa  dengan luka  itu, ia  akan  lebih

jalang,  lebih dinamis, lebih vital, lebih bergairah hidup. Sebab itu ia malahan ingin hidup

seribu tahun  lagi.

Uraian di atas merupakan  yang dikemukakan  dalam puisi ini semuanya adalah

sikap chairil yang lahir dari ekspresi jiwa penyair. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada

pembahasan puisi “aku”.

 

Pembahasan

Aliran ekspresionalisme pada “aku”

karya Chairi Anwar

 

 

Aku Kalau sampai waktuku‘Ku mau tak seorang ’kan merayuTidak juga kau Tak perlu  sedu sedan itu Aku ini binatang jalang Dari kumpulannya terbuang Biar perlu  menembus kulitkuAku tetap meradang menerjang Luka dan bisa  kubawa berlariBerlariHingga hilang pedih peri Dan aku akan lebih tidak perduli Aku ingin hidup seribu tahun lagi 

 (DCD, 1959:7)

 

Page 14: New Microsoft Office Word Document

Bahasan yang akan saya uraikan tentang puisi aku ini akan lebih mengedepankan

pada ekspresionalisme jiwa Khairil Anwar yang merupakan daya ekspresinya. Kalau si

aku  meninggal, ia menginginkan jangan ada seorang pun yang bersedih “merayu”,

bahkan kekasih atau istrinya. Tidak perlu juga ada “sedu sedan” yang meratapi

kematian  si aku sebeb tidak ada gunannya. Si aku ini adalah binatang jalang  yang lepas 

bebas, yang terbuang dari kelompoknya , ia merdeka tidak mau terikat  oleh aturan-

aturan yang mengikat, bahkan meskipun ia di tembak, terhadap aturan-aturan yang

mengikat  tersebut.  Segala rasa sakit dan  penderitaan akan ditanggungkan, ditahan,

diatasinya, hingga rasa sakit dan penderitaan itu pada akhirnya akan hilang sendiri

Si aku makin akan tidak peduli pada segala aturan  dan ikatan, halangan, serta

penderitaan. Si aku “ingin hidup seribu tahun lagi”, makksudnya secara kiassan, si aku

menginginkan  semangatnya, pikirannya, karya-karyanya akan hidup selama-lamanya.

Secara struktural dengan melihat hubungan antara unsur-unsur  dan

keseluruhannya, juga berdasarkan kiasan-kiasan yang terdapat didalamnya, maka dapat

ditafsirkan  bahwa dalam  sajak ini dikemukankan  ide kepribadian  bahwa orang itu 

harus bertanggung jawab terhadap  dirinya sendiri. “Ku mau tak seorang  kan merayu”.

Orang lain hendaknya jangan campur tangan  akan nasibnya,  baik dalam suka maupun

duka, maka “tak perlu seduh sedan itu”. Semua masalah pribadi itu urusan sendiri. 

Dikemukakan secara ekstrim  bahwa si aku itu seorang yang sebebas-bebasnya (sebagai

binatang jalang), tak mau di batasi oleh aturan-aturan  yang mengikat. Dengan penuh

semangat si aku  akan mengahadapi  segala rintangan “tebusan peluru”, “bisa dan luka”

dengan kebebasnya yang makin mutlak itu.  Makin banyak rintangan  makin tak

memperdulikannya sebab hanya dengan demikian, ia akan dapat berkarya  yang bermutu

sehingga  pikirannya  dan semangatnya itu dapat  hidup selama-lamanya, jauh melebihi

umur manusia. “aku ingin hidup seribu tahun lagi”,  berdasarkan dasar konteks itu 

harus ditafsirkan sebagai  kiasan bahwa yang hidup seribu tahun adalah  semangatnya

bukan fisik.

Dalam sajak ini kemantapan pikiran dan semangat selain ditandai dengan

pemilihan kata  yang menunjukan  ketegasan seperti “ku mau, tak perlu sedu sedan itu,

aku tetap meradang,  aku akan tetap meradang, aku lebih tak peduli, dan aku mau hidup

seribu tahun lagi”. Pernyataan diri sebagai binatang  jalang adalah kejujuran yang besar,

berani  melihat diri sendiri dari segi buruknya.  Efeknya membuat orang  tidak sombong

terhadap kehebatan ini sendiri  sebab selain orang  lain  orang mempunyai kehebatan 

juga ada cacatnya, ada segi jelek dalam dirinya.

Page 15: New Microsoft Office Word Document

Si aku ini adalah manusia yang terasing, keterasingannya   ini memang disengaja

oleh dirinya sendiri sebagai pertanggung jawaban  pribadi “ku mau tak seorang ‘kan

merayu , tidak juga kau”. Hal ini karena si kau adalah  manusia bebas   yang tak mau

terikat  kepada orang lain  “aku ini binatang jalang/ Dari kumpulannya terbuang”. Dan si

aku ini menentukan  “nasibnya” sendiri, tak terikat oleh kekuasaan lain “aku mau hidup

seribu  tahun lagi”. Pengakuan dirinya sebagai binatang jalang dan penentuan nasib 

sendiri “aku mau hidup seribu tahun lagi” adalah merupakan sikap  revolusioner

terhadap paham  dan sikap pandangan  para penyair  yang mendahuluinya.

Dalam sajak ini intensitas pernyataan dinyatakan  dengan  sarana retorika yang

berupa  hiperbola, dikombinasi dengan ulangan,  serta diperkuat oleh ulangan bunyi

vokal a dan u ulangan bunyi lain serta persajakan akhir seperti telah dibicarakan  di atas.

Hiperbola tersebut :

 

Aku ini binatang jalang

Dari kumpulannya terbuang

 

Biar perlu  menembus kulitkuAku tetap meradang menerjang………Aku ingin hidup seribu tahun lagi  

Gaya tersebut disertai ulangan i-i yang lebih menambah intensitas :

 

Luka dan bisa  kubawa berlariBerlariHingga hilang pedih peri Dan aku akan lebih tidak perduli Aku ingin hidup seribu tahun lagi

 

Dengan demikian jelas hiperbola tersebut  penonjolan pribadi  tampa makin nyata disana ia mencoba untuk nyata berada di dalan dunianya.

Sajak ini menimbulkan banyak tafsir, yang bersifat ambiguitas  hal ini disebabkan

ketaklangsungan ucapan dengan  cara bermacam-macam.  Semuanya itu untuk menarik

perhatian, untuk menimbulkan  pemikiran, dan untuk memproyeksikan prinsip

ekuivalensi dari proeses pemilihan  ke poros kombinasi. “kalau samapai waktuku” dapat

Page 16: New Microsoft Office Word Document

berarti “kalau aku mati”, “tak perlu sedu sedan “ “berarti tak ada gunannya  kesedihan

itu”. Tidak juga kau” dapat berarti “tidak juga engkau anaku, istriku, atau kekasihku”. 

Semua itu menurut konteksnya. Jadi ambiguitas arti ini memperkaya  arti sajak itu.

Ambiguitas arti itu juga disebabkan  oleh  pengantian  arti, yaitu  dalam sajak ini banyak

dipergunakan  bahasa kiasan, disini banyak dipergunakan  metafora,  baik metafora

penuh mauapun implicit. Metafora penuh seperti “aku ini binatang jalang “. Maksudnya,

si aku itu sepeerti binatang jalang  yang bebas lepas tidak terikat oleh ikatan apapun.

Metafora implicit seperti “peluru, luka dan bisa, pedih peri”. “peluru” untuk

mengkiaskan  serangan, siksaan, halangan, ataupun rintangan. Meskipun si aku 

terhembus  peluru, mendapat siksaan, mendapat siksaan, rintangan, serangan, ataupun

halangan-halangan, ia tetap akan  meradang, menerjang: melawan  dengan keras,

berbuat nekat demi kebenarannya. “luka dan bisa” untuk mengkiaskan penderitaan yang

didapat  yang menimpa. “pedih peri” kengkiaskan kesakitan, kesedihan atau

penderitaan  akibat tembusan  peluru di kulit si aku (halangan, rintangan, serangan,

ataupun siksaan).

Dengan kiasan-kiasan itu  gambaran menjadi konkrit, berupa citra-citra yang dapat

diindra, gambaran menjadi nyata, seolah dapat dilihat, dirasakan  sakitnya. Di samping

itu kiasa-kiasan tersebut menyebabkan  kepadatan sajak. Untuk menyatakan semangat 

yang nyala-nyala untuk merasakan  hidup  yang sebanyak-banyaknya digunakan  kiasan

“aku mau hidup seribu tahun lagi”. Jadi, di sini kelihatan gambaran  bahwa si aku  penuh

vetalitas mau mereguk  hidup ini  selama-lamanya.

Penyimpangan arti  dan penggantian arti  itu menyebabkan  sajak “aku” ini dapat 

tafsirkan  bermacam-macam sesuai dengan saran kata-kata dan kalimatnya.  Hal ini

menyebabkan  sajak ini selalu “baru”  setiap dibaca dengan tafsiran-tafsiran  baru yang

memperkaya  arti sajak ini, yang ditimbulkan  oleh kemampuan  struktur sajak ini yang

menjadi dinamis oleh ambiguitasnya.

 

Kesimpulan

Dari ulasan tersebut  dapat ditarik kesimpulan bahwa setiap seniman atau sastrawan dalam   membuat suatu karyanya dapat menggunakan berbagai macam caranya. Salah satu caranya  dengan mengekspresikan karyanya sebagai gundahan, gejolak, pengalaman, bayang-bayang  

Page 17: New Microsoft Office Word Document

yang sebagai media penyaluran karyanya untuk dapat dinikmati oleh umum.Kiasan-kiasan yang dilontarkan oleh Chair Anwar dalam puisinya menunjukan

bahwa di dalam dirinya mencoba memetaforakan  akan bahasa yang digunakan yang

bertujuan mencetusan langsung dari jiwa. Cetusan itu dapat bersifat mendarah daging,

seperti sajak “aku”. Dengan kiasan-kiasan itu  gambaran menjadi konkrit, berupa citra-

citra yang dapat diindra, gambaran menjadi nyata, seolah dapat dilihat, dirasakan 

sakitnya. Di samping itu kiasa-kiasan tersebut menyebabkan  kepadatan sajak. Untuk

menyatakan semangat  yang nyala-nyala untuk merasakan  hidup  yang sebanyak-

banyaknya digunakan  kiasan “aku mau hidup seribu tahun lagi”. Jadi, di sini kelihatan

gambaran  bahwa si aku  penuh vetalitas mau mereguk  hidup ini  selama-lamanya. Jadi

berdasarkan dasar konteks itu  harus ditafsirkan bahwa Chairil Anwar dalam puisi “aku”

dapat didefinisaikan sebagai bentuk pemetaforaan bahasa atau kiasan bahwa yang hidup

seribu tahun adalah  semangatnya bukan fisik.

 

Daftar pustaka 

     Djoko Pradopo Rakhmat, Pengkajian Puisi, Yogyakarta, Gajah Mada University

Prees, 1987.

     Anwar Chairil, Aku Binatang Jalang,  Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002.

     J. Waluyo Herman, Teori dan Apresiasi Puisi.Erlangga Jakarta, 1991

 

                                                                                                  Yogyakarta,  Oktober

2002