New Microsoft Office Word Document

62
Senin, 08 Februari 2010 Kurikulum Berbasis Multikultural Mujtahid* A. Pendahuluan Bangsa Indonesia menganut sebuah prinsip falsafah yang majemuk, yaitu bhineka tunggal ika. Prinsip ini mengandung makna dan nilai yang sangat dalam serta luas bagi pengembangan kerukunan dan keutuhan hidup. Kalimat bhineka tunggal ika sebagai pemersatu atas keragaman budaya, bahasa, suku, etnis, dan agama. Perumusan gagasan bhineka tunggal ika oleh founding fathers kita dulu diupayakan agar perjalanan bangsa ini ke depan dapat menuai keharmonisan atas keberbedaan yang ada di tubuh bangsa ini. Prinsip ke-bhineka-an ini didasari oleh pemikiran mengenai keragaman bahasa, tradisi dan budaya serta agama Tanah Air dari Sabang sampai Merauke. Kultur ini pula yang mewarnai sikap bangsa yang toleran dan sadar akan pluralitas semenjak dahulu. Alhasil, penduduk Indonesia mudah diterima di berbagai bangsa dan kalangan di dunia. Ada tiga alasan mengapa pendidikan berfalsafah bhineka tunggal ika itu penting dipikirkan dalam sebuah negara yang sedemikian majemuk, yang akhir-akhir ini banyak pakar pendidikan menyebutnya dengan istilah multikultural. Upaya untuk membangun pemahaman ke-bhineka-an dalam ke-ika-an dibutuhkan percermatan yang utuh. Pertama, sendi equality. Secara kebahasaan equality berasal dari kata equal yang berarti sama. Term equality juga dapat difahami sebagai persamaan. Adapun yang dimaksud equality dalam pendidikan adalah kesejajaran atau perlakuan merata yang diterima setiap peserta didik dalam memperoleh pendidikan, tanpa memandang status ekonomi dan strata sosial. Dalam UUD 1945 pasal 31 diungkapkan bahwa ‘tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran’. Pasal ini merupakan implementasi dari penghargaan para perancang negeri ini dalam pembangunan bidang pendidikan yang selaras dengan kondisi

Transcript of New Microsoft Office Word Document

Page 1: New Microsoft Office Word Document

Senin, 08 Februari 2010

Kurikulum Berbasis Multikultural Mujtahid*

A. PendahuluanBangsa Indonesia menganut sebuah prinsip falsafah yang majemuk, yaitu bhineka tunggal ika. Prinsip ini mengandung makna dan nilai yang sangat dalam serta luas bagi pengembangan kerukunan dan keutuhan hidup. Kalimat bhineka tunggal ika sebagai pemersatu atas keragaman budaya, bahasa, suku, etnis, dan agama. Perumusan gagasan bhineka tunggal ika oleh founding fathers kita dulu diupayakan agar perjalanan bangsa ini ke depan dapat menuai keharmonisan atas keberbedaan yang ada di tubuh bangsa ini.Prinsip ke-bhineka-an ini didasari oleh pemikiran mengenai keragaman bahasa, tradisi dan budaya serta agama Tanah Air dari Sabang sampai Merauke. Kultur ini pula yang mewarnai sikap bangsa yang toleran dan sadar akan pluralitas semenjak dahulu. Alhasil, penduduk Indonesia mudah diterima di berbagai bangsa dan kalangan di dunia.Ada tiga alasan mengapa pendidikan berfalsafah bhineka tunggal ika itu penting dipikirkan dalam sebuah negara yang sedemikian majemuk, yang akhir-akhir ini banyak pakar pendidikan menyebutnya dengan istilah multikultural. Upaya untuk membangun pemahaman ke-bhineka-an dalam ke-ika-an dibutuhkan percermatan yang utuh.Pertama, sendi equality. Secara kebahasaan equality berasal dari kata equal yang berarti sama. Term equality juga dapat difahami sebagai persamaan. Adapun yang dimaksud equality dalam pendidikan adalah kesejajaran atau perlakuan merata yang diterima setiap peserta didik dalam memperoleh pendidikan, tanpa memandang status ekonomi dan strata sosial.Dalam UUD 1945 pasal 31 diungkapkan bahwa ‘tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran’. Pasal ini merupakan implementasi dari penghargaan para perancang negeri ini dalam pembangunan bidang pendidikan yang selaras dengan kondisi masyarakat yang plural, baik secara stratifikasi sosial, agama, dan suku.Kedua, sendi pluralitas. Kondisi masyarakat nusantara yang terdiri dari keragaman (pluralitas) agama, suku dan budaya mendorong perlunya ditanamkan pemahaman yang inklusif dalam memahami perbedaan. Dengan ditanamkannya pemahaman pluralisme diharapkan setiap anak bangsa faham bahwa perbedaan ada bukan untuk saling menghantam antara satu agama dengan agama lainnya, bukan sebagai ajang penjajahan suku mayoritas terhadap minoritas, dan bukan pula untuk merendahkan suatu kebudayaan terhadap kebudayaan lain. Dengan adanya perbedaan itu harus difahami sebagai sarana saling menghargai dan saling melengkapi (mutual respect).Pluralistas adalah nafas dari ke-bhineka-an. Dan kehidupan yang bhineka tidak dapat tercermin tanpa adanya pemahaman keberagaman. Dan dalam konteks Indonesia yang selama ini tersulut api eskalasi pertentangan etnis dan agama, tepat jika kita mulai menggelorakan semangat pendidikan multikultural. Karena lembaga pendidikan (informal,

Page 2: New Microsoft Office Word Document

formal dan nonformal) dinilai sangat efektif dalam melakukan transformasi nilai.Dalam praksis pendidikan, kurikulum hendaknya diarahkan untuk membina pemahaman yang inklusif terhadap perbedaan. Sehingga dari pemahaman siswa pada keragaman dalam lingkungan masyarakat dapat mendorong keselarasan dan tumbuh relasi sosial yang dinamis.Ketiga, menegakkan toleransi. Sebuah aktualisasi dari pluralitas yang dalam istilah lokalnya dikenal dengan tepa selira. Apabila pemahaman tentang keberagaman (pluralitas) telah terpatri pada setiap individu, maka bersemailah sikap toleran dalam kehidupan bermasyarakat. Sehingga masyarakat akan hidup harmonis dalam ke-bhineka-an dan membangun bangsa dengan ke-ika-an.Pemerintah telah memberikan prioritas yang tinggi pada perkembangan sektor pendidikan didasarkan pada asumsi bahwa pendidikan merupakan pilar utama membangun kualitas sumber daya manusia Indonesia ke depan. Untuk mengurangi ketimpangan antara kualitas out put pendidikan dan kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan dan ketimpangan kualitas pendidikan antara desa dan kota, serta antara penduduk kaya dan miskin.Disamping itu, muncul dua problem yang terkait dengan persoalan di atas, yaitu pendidikan cenderung menjadi sarana stratifikasi sosial, dan pendidikan sistem persekolahan hanya mentransfer kepada peserta didik dengan apa yang disebut “the dead knowledge”. Sebuah pengetahuan yang terlalu bersifat tex-bookish sehingga bagaikan telah tercabut dari akar sumbernya maupun aplikasinya.[1]Untuk itulah upaya pembaharuan pendidikan, khususnya kurikulum dan tenaga pengajarnya harus ditingkatkan kualitasnya agar proses pencerdesan generasi anak bangsa ini ke depan dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan fitrahnya masing-masing tanpa mengalami gangguan diskriminatif sedikitpun.

Konsep MultikulturalSecara sederhana, multikultural berarti “keberagaman budaya”.[2] Sebenarnya, ada tiga istilah yang kerap digunakan secara bergantian untuk menggambarkan masyarakat yang terdiri keberagaman tersebut –baik keberagaman agama, ras, bahasa, dan budaya yang berbeda- yaitu pluralitas (plurality), keragaman (diversity), dan multikultural (multicultural). Ketiga ekspresi itu sesungguhnya tidak merepresentasikan hal yang sama, walaupun semuanya mengacu kepada adanya ’ketidaktunggalan’. Konsep pluralitas mengandaikan adanya ’hal-hal yang lebih dari satu’ (many); keragaman menunjukkan bahwa keberadaan yang ’lebih dari satu’ itu berbeda-beda, heterogen, dan bahkan tak dapat disamakan. Dibandingkan dua konsep terdahulu, multikultural sebenarnya relatif baru. Secara konseptual terdapat perbedaan signifikan antara pluralitas, keragaman, dan multikultural. Inti dari multikulturalisme adalah kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa memperdulikan perbedaan budaya, etnik, jender, bahasa, ataupun agama.Apabila pluralitas sekadar merepresentasikan adanya kemajemukan (yang lebih dari satu), multikulturalisme memberikan penegasan bahwa dengan segala perbedaannya itu mereka adalah sama di dalam ruang publik. Multikultural menjadi semacam respons kebijakan baru

Page 3: New Microsoft Office Word Document

terhadap keragaman. Dengan kata lain, adanya komunitas-komunitas yang berbeda saja tidak cukup; sebab yang terpenting adalah bahwa komunitas-komunitas itu diperlakukan sama oleh negara. Oleh karena itu, multikulturalisme sebagai sebuah gerakan menuntut pengakuan (politics of recognition)[3] terhadap semua perbedaan sebagai entitas dalam masyarakat yang harus diterima, dihargai, dilindungi serta dijamin eksisitensinya.Diversitas dalam masyarakat modern bisa berupa banyak hal, termasuk perbedaan yang secara alamiah diterima oleh individu maupun kelompok dan yang dikonstruksikan secara bersama dan menjadi semacam common sense. Perbedaan tersebut menurut Bikhu Parekh bisa dikategorikan dalam tiga hal - salah satu atau lebih dari tiga hal-, yaitu pertama perbedaan subkultur (subculture diversity), yaitu individu atau sekelompok masyarakat yang hidup dengan cara pandang dan kebiasaan yang berbeda dengan komunitas besar dengan sistem nilai atau budaya pada umumnya yang berlaku.Kedua, perbedaan dalam perpektif (perspectival diversity), yaitu individu atau kelompok dengan perpektif kritis terhadap mainstream nilai atau budaya mapan yang dianut oleh mayoritas masyarakat di sekitarnya. Ketiga, perbedaan komunalitas (communal diversity), yakni individu atau kelompok yang hidup dengan gaya hidup yang genuine sesuai dengan identitas komunal mereka (indigeneous people way of life).[4]Sebagai sebuah gerakan, menurut Bhikhu Parekh, baru sekitar 1970-an multikulturalisme muncul pertama kali di Kanada dan Australia, kemudian di Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan lainnya. Setelah itu, diskursus multikulturalisme berkembang dengan sangat cepat. Setelah tiga dekade sejak digulirkan, multikulturalisme sudah mengalami dua gelombang penting yaitu, pertama multikulturalisme dalam konteks perjuangan pengakuan budaya yang berbeda. Prinsip kebutuhan terhadap pengakuan (needs of recognition) adalah ciri utama dari gelombang pertama ini.Gelombang kedua, adalah multikulturalisme yang melegitimasi keragaman budaya, yang mengalami beberapa tahapan, diantaranya:[5] kebutuhan atas pengakuan, melibatkan berbagai disiplin akademik lain, pembebasan melawan imperialisme dan kolonialisme, gerakan pembebasan kelompok identitas dan masyarakat asli/masyarakat adat (indigeneous people), post-kolonialisme, globalisasi, post-nasionalisme, post-modenisme dan post-strukturalisme yang mendekonstruksi stuktur kemapanan dalam masyarakat.[6]Kurikulum MultikulturalSecara generik, kurikulum multikultur memang sebuah konsep yang dibuat dengan tujuan untuk menciptakan persamaan peluang pendidikan bagi semua siswa yang berbeda-beda ras, etnis, kelas sosial dan kelompok budaya. Salah satu tujuan penting dari konsep kurikulum multikultural adalah untuk membantu semua siswa agar memperoleh pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang diperlukan dalam menjalankan peran-peran seefektif mungkin pada masyarakat demokrasi-pluralistik serta diperlukan untuk berinteraksi, negosiasi, dan komunikasi dengan warga dari kelompok beragam agar tercipta sebuah tatanan masyarakat bermoral yang berjalan untuk kebaikan bersama.Dalam implementasinya, paradigma kurikulum multikultural dituntut untuk berpegang pada prinsip-prinsip berikut ini:

Page 4: New Microsoft Office Word Document

Kurikulum multikultural harus menawarkan kontens (isi materi) yang merepresentasikan pandangan dan perspektif banyak orang.Kurikulum multikultural harus didasarkan pada asumsi bahwa tidak ada penafsiran tunggal terhadap kebenaran sejarah.Kurikulum dicapai sesuai dengan penekanan analisis komparatif dengan sudut pandang kebudayaan yang berbeda-beda.Kurikulum multikultural harus mendukung prinsip-prinisip pokok dalam memberantas pandangan klise tentang ras, budaya dan agama.[7]Kurikulum yang multi-kultur mencerminkan keseimbangan antara pemahaman persamaan dan perbedaan budaya mendorong individu untuk mempertahankan dan memperluas wawasan budaya dan kebudayaan mereka sendiri.Beberapa aspek yang menjadi kunci dalam melaksanakan kurikulum multikultur dalam struktur sekolah adalah tidak adanya kebijakan yang menghambat toleransi, termasuk tidak adanya penghinaan terhadap ras, etnis dan jenis kelamin. Juga, harus menumbuhkan kepekaan terhadap perbedaan budaya, di antaranya mencakup pakaian, musik dan makanan kesukaan. Selain itu, juga memberikan kebebasan bagi anak dalam merayakan hari-hari besar umat beragama serta memperkokoh sikap anak agar merasa butuh terlibat dalam pengambilan keputusan secara demokratis.Untuk membuat kurikulum pada jenjang SLTP yang siswanya beragam suku bangsa, maka dibutuhkan kesadaran akan kebinekaan yang dimiliki para siswa tersebut. Langkah yang dilakukan sebagai berikut:Memilih kreteria bahan yang signifikan, relevan (cocok) dengan keberadaan mereka yang berbeda suku bangsa itu.Mendorong agar tujuan dari kurikulum diarahkan untuk saling menguatkan “keberbedaan” mereka dengan cara mengenalkan corak khas masing-masing suku tersebut kepada semua siswa, misalnya tentang jenis bahasa, adat, budayanya, seni dan seterusnya.Secara teknis, kurikulum tersebut di atas dapat diintegrasikan kedalam semua mata pelajaran yang dapat dimasuki nilai-nilai pengenalan multikultur tersebut.Untuk mendukung hal di atas, Hilda Taba[8] memberikan kreteria berikut agar kurikulum yang diajarkan di sekolah tepat sasaran.Kurikulum menyajikan bahan yang sesui dengan kebutuhan dan minat murid. Kebutuhan ini dapat ditafsirkan bahwa perbedaan suku tersebut menjadi bahan yang perlu dipikirkan. Sedangkan minat murid, artinya memberikan kesenangan bahwa apa yang dipelajari berhubungan dengan kondisi yang ada disekitar dirinya.Kurikulum dikemas dengan mempertimbangkan prinsip keseimbangan antara keluasan dan kedalaman bahan. Dalam pembuatan kurikulum, meski dipusatkan pada bidang-bidang tertentu tetap harus membuka kemungkinan untuk memahami bidang-bidang yang lain.Kurikulum mempertimbangkan relevansi dengan kenyataan sosial dan kultural agar anak didik lebih mampu memahami dunia tempat ia hidup, serta perubahan-perubahan yang terus menerus terjadi.Pokok pikiran Hilda tersebut sangat menghargai bagaimana multikultur dapat

Page 5: New Microsoft Office Word Document

dikembangkan melalui pembelajaran di sekolah. Kurikulum harus didesain sesuai dengan kebutuhan masyarakat luas guna meningkatkan pemahaman tentang kemajemukan suku, ras, budaya dan agama nusantara.Dalam praktik pembelajarannya, SLTP Laboratorium dikemas dengan cara menyajikan bentuk kurikulum integratif yang sesuai dengan kemajemukan siswa yang ada. Siswa diajak saling mengenal ragam budaya, bahasa, adat-istiadat, ras, serta bila perlu agamanya sekalian.Dengan cara demikian, selain isi tujuan materi tersampaikan juga terjalin sikap saling toleransi yang tinggi antar siswa. Mereka perlu dipupuk dengan cara saling mengenalkan multi-kultur yang ada. Dengan cara itu diharapkan muncul ”kesadaran moral” untuk memahami keberadaan mereka masing-masing.

Guru Sekolah Laboratorium bersifat MultikulturUntuk mendukung pengelolaan sekolah laboratorium multikultur, peran sentral guru sangat dibutuhkan. Guru menjadi kunci utama dalam proses mendidik, membimbing dan melatih para siswa yang beragam tersebut. Karena itu, menurut hemat penulis, guru yang dibutuhkan adalah sebagai berikut:Guru yang memiliki wawasan kebangsaan yang luas serta punya ketrampilan pedagogik/mengajar yang sesuai dengan kebutuhan sekolah laboratorium SLTP.Guru yang memiliki sikap terbuka dan tidak diskriminatif terhadap salah satu suku atau komunitas yang ada. Hal ini penting karena untuk menjadi ”percontohan” seorang guru harus netral yang bisa mengayomi di atas kemajemukan siswa tersebut.Guru yang memiliki jiwa inovasi (pembaharu). Jiwa inovasi diperlukan, karena upaya sekolah Laboratorium difungsikan untuk menjadi miniatur kehidupan masyarakat siswa yang sesungguhnya. Guru mengerti akan perubahan-perubahan sosial ekonomi serta politik yang terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Seorang guru yang tidak pernah kehabisan ide/gagasan dan tidak pernah puas tentang kondisi yang ada.Guru yang memiliki jiwa kreatif. Yaitu guru yang suka membuat terobosan baru yang bermanfaat bagi pengembangan sekolah laboratorium SLTP sebagai ladang atau tempat ”penelitian” bagi akademisi yang akan disumbangkan kepada masyarakat luas. Dengan cara yang kreatif, maka dapat dihasilkan model-model baru produk SLTP Lab; seperti model kurikulum, model pembelajaran, pola manajemen, serta penciptaan lingkungan sekolah.Guru yang mampu melakukan penelitian. Untuk kepentingan guru, sekolah, dan masyakat luas, penelitian seyogyanya menjadi ”ciri khas” sekolah laboratorium SLTP guna mengembangkan model-model pembelajaran multikultur. Misalnya guru meneliti dari aspek bahasa, adat istiadat, budaya, serta perilaku mereka yang tampak sehari-hari dalam berinteraksi disekolah.

PenutupDari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kurikulum multikultur adalah keniscayaan yang harus dikembangkan dalam membangun kehidupan berbangsa dan bermasyarakat yang

Page 6: New Microsoft Office Word Document

menganut falsafat bhineka tunggal ika. Dengan munculnya konsep kurikulum multikultur diharapkan membuka cara pandang baru terhadap model pembelajaran yang relevan dengan kenyataan sosial yang ada.Kurikulum multikultural didesain dengan cara menawarkan kontens (isi materi) yang merepresentasikan pandangan dan perspektif banyak orang, didasarkan pada asumsi bahwa tidak ada penafsiran tunggal terhadap serta dicapai sesuai dengan penekanan analisis komparatif dengan sudut pandang kebudayaan yang berbeda-beda. Kurikulum multikultural harus mendukung prinsip-prinisip pokok dalam memberantas pandangan klise tentang ras, budaya dan agama

Peran sentral guru dalam sekolah laboratorium yang bersifat multikultur dapat dilihat dari beberapa kreteria, yaitu guru yang mempunyai wawasan kebangsaan yang luas, memiliki jiwa terbuka dan tidak diskriminatif, memiliki jiwa visioner, kreatif dan mampu melaksanakan penelitian.Daftar Rujukan

Banks, J. 1993, Multicultural Eeducation: Historical Development, Dimension, and Practice. Review of Research in Education.Jay. Gregory. “Critical Contexts For Multiculturalism” dalam http://www.uwm. edu/~gjay/Multicult/contextsmulticult.htm.Johar, 2003. Pendidikan Strategik Untuk Pendidikan Masa Depan, Yogyakarta: LESFILash, Scott dan Mike Featherstone (ed.), 2002. Recognition And Difference: Politics, Identity, Multiculture . London: Sage Publication.Taba, Hilda. 1962. Curriculum Development, Theory and Practice, New York:Harcourt, Brace & World, Ins.Taylor. Charles. 1994. politics of Recognation” dalam Amy Gutman. Multiculturalism, Examining the Politics of Recognation. Princenton: Princenton University Press.Tilaar, H.A.R. 2002. Multikulturalisme; Tantangan-Tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: Grasindo.

[1] Johar, 2003. Pendidikan Strategik Untuk Pendidikan Masa Depan, Yogyakarta: LESFI[2] Scott Lash dan Mike Featherstone (ed.), 2002. Recognition And Difference: Politics, Identity, Multiculture . London: Sage Publication, hlm. 2-6.[3] Politics of recognition dikemukan oleh Charles Taylor pada 1992 di depan kuliah terbuka di Princenton University. Mulanya gagasanya adalah gagasan politik yang kemudian berkembang di kajian lain, flsafat, sosiologi, budaya dan lainnya. Gagasanya dipengaruhi oleh padangan Jean-Jacques Rousseau dalam Discourse Inequality dan kesamaan martabat (equal dignity of human rights) yang dicetuskan Immanuel Kant. Gagasan Taylor bersumber pada pertama, bahwa sesungguhnya harkat dan martabat manusia adalah sama. Kedua,

Page 7: New Microsoft Office Word Document

pada dasarnya budaya dalam masyarakat adalah berbeda-beda, oleh karena itu membutuhkan hal yang ketiga, yaitu pengakuan atas bentuk perbedaan budaya oleh semua element sosial-budaya, termasuk juga negara. Charles Taylor. “The Politics of Recognation” dalam Amy Gutman. Multiculturalism, Examining the Politics of Recognation (Princenton: Princenton University Press, 1994), hlm. 18.[4] Ibid, hlm. 3-4.[5] H.A.R. Tilaar, 2002. Multikulturalisme; Tantangan-Tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: Grasindo. hlm. 83.[6] Gregory Jay. “Critical Contexts For Multiculturalism” dalam http://www.uwm. edu/~gjay/Multicult/contextsmulticult.htm.[7] Banks, J 1993, Multicultural Eeducation: Historical Development, Dimension, and Practice. Review of Research in Education.[8] Hilda Taba, 1962. Curriculum Development, Theory and Practice, New York:Harcourt, Brace & World, Ins., hlm. 267-307

Pendidikan Berbasis Multikultural Written by muhammad fajri    Sunday, 07 March 2010 05:32

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Indonesia merupakan suatu bangsa yang terdiri atas berbagai banyak kebudayaan dan adat-istiadat. Implementasi proses kehidupan bermasyarakat di tengah perbedaan dan keanekaragaman ini (suku bangsa, budaya, ras, agama, dan sejenisnya) tidaklah semudah apa yang dipikirkan. Pergeseran antar kelompok agama maupun suku budaya ataupun adat istiadat yang berbeda seolah menjadi pemicu terjadinya suatu perpecahan horizontal antar masyarakat yang berlainan tersebut. Ada kalanya dengan perbedaan itu membuat anggota masyarakat enggan untuk menyatu dan bergabung dengan anggota masyarakat yang berlainan agama, budaya, adat istiadat, ataupun suku bangsanya. Maraknya pendirian dan pembentukan wadah-wadah organisasi kelompok sosial yang berbasiskan suku bangsa, agama, ras, maupun adat istiadat menjadi semakin subur dan mencolok di tengah perbedaan hal di atas (suku, agama, ras, dan budaya) serta hal lainnya yang saling terkait membuat peran negara dalam kaitannya sebagai peredam permasalahan yang berbau SARA menjadi sebatas hiasan saja.

 

Indonesia merupakan negara yang beranekaragam budaya, adat istiadat, suku bangsa, agama, maupun tokoh dan anggota masyarakat. Masyarakat luar negeri menghargai dan menyukai Indonesia salah satunya karena hal di atas (keanekaragaman tersebut). Mereka terkagum dengan banyaknya suku bangsa, kebudayaan, agama, dan lainnya di samping keadaan wilayah negara Indonesia yang berbentuk kepulauan dengan bermacam tempat menarik dan bersejarah. Sudah sewajarnya warga masyarakat Indonesia memiliki rasa kebanggaan dengan hal ini. Namun, di lain pihak dengan munculnya rasa kebanggan yang berlebihan akan melahirkan budaya primordialisme yang hanya mengunggulkan dan membanggakan golongan dan anggota suatu

Page 8: New Microsoft Office Word Document

masyarakat tertentu yang mengimplikasikan pada konflik antar anggota masyarakat yang tidak sepaham dan sejalan (sama).

Bila ditelusuri ke belakang berbagai konflik yang terjadi di negeri ini beberapa tahun silam, maraknya konflik horizontal yang disebabkan karena perbedaan suku, ras, agama, dan budaya seakan sudah menjadi hal yang tak terelakkan. Peristiwa Ambon, tragedi Sampit, maupun munculnya persatuan-persatuan seperti Forkabi, dan lain sejenisnya semuanya berlatar belakang isu SARA. Berbagai gerakan yang berbasiskan agamapun kian banyak dan bila dibiarkan, maka dipastikan munculnya konflik horizontal, bahkan sesama pengikut satu agama saja banyak kelompok yang saling menonjolkan diri dan mengunggulkan bahwa diri/kelompoknyalah yang paling baik dan benar sehingga memicu terjadinya perpecahan antar sesama umat seagama. Bila dalam satu agama saja sudah terjadi suatu perpecahan, maka tidak heran bila terjadi konflik antar agama seperti yang kita ketahui bersama di Ambon.

Berbagai hal di atas bila dimasukkan ke dalam satu istilah yang dapat mewakili semua yaitu satu kata yang kita sebut dengan multikultural. Seakan menjadi kebiasaan negatif masyarakat di Indonesia, yang mengagungkan budaya primordialisme yaitu suatu pandangan atau anggapan yang mengunggulkan dan menonjolkan budaya atau kelompok sosial tertentu dan mengganggap golongan atau anggota masyarakat di luar kelompok tersebut adalah tidak ada apa-apanya yang pada umumnya perbedaan itu berbasis pada culture, hal ini banyak terlihat di Indonesia misalnya dengan munculnya kelompok-kelompok yang mengatasnamakan suku bangsa tertentu sepertu perkumpulan sejenis Forkabi, FKBBI, dan sejenisnya. Bila dilihat secara holistik, adanya perkumpulan sejenis itu bukanlah suatu hal yang semata-mata bersifat negatif, di suatu wilayah tertentu perkumpulan tersebut dapat menjadi tempat/wadah untuk menghimpun dana untuk membangun dan mengembangkan sarana dan sumber daya yang ada sehingga langsung ataupun tidak langsung akan berdampak positif terhadap laju perkembangan budaya dan bangsa Indonesia. Namun, adanya anggapan negatif terhadap munculnya organisasi sebagaimana tersebut di atas akan memicu disintegrasi negara Indonesia.

Pendidikan sebagai salah satu agen pembaharu dan pembawa budaya Indonesia secara holistik baik tersirat maupun tersurat pastinya akan mengintegrasikan unsur budaya baik secara nasional maupun daerah yang mana sebagaimana dipaparkan di depan bahwa tidak semua daerah di Indonesia memiliki budaya dan adat istiadat maupun agama yang sama. Hal ini perlu diantisipasi lebih dalam agar supaya misi kebudayaan yang akan dicapai tidak memicu adanya suatu gap dan perbedaan yang mengarah pada praktek dis-integrasi baik secara budaya maupun kebangsaan.

Kondisi masyarakat Indonesia yang sangat plural baik dari aspek suku, ras, agama serta status sosial memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap perkembangan dan dinamika dalam masyarakat. Kondisi yang demikian memungkinkan terjadinya benturan antar budaya, antar ras, etnik, agama dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Kasus Ambon, Sampit, konflik antara FPI dan kelompok Achmadiyah, dan sebagainya telah menyadarkan kepada kita bahwa kalau hal ini terus dibiarkan maka sangat memungkinkan untuk terciptanya disintegrasi bangsa[1]. Oleh karenanya, sangat diperlukan untuk memberi porsi terhadap pendidikan multikultural sebagai wacana baru dalam sistem pendidikan di Indonesia terutama agar peserta didik memiliki kepekaan dalam menghadapi gejala-gejala dan masalah-masalah sosial yang

Page 9: New Microsoft Office Word Document

berakar pada perbedaan kerena suku, ras, agama dan tata nilai yang terjadi pada lingkungan masyarakatnya. Hal ini dapat diimplementasi baik pada substansi maupun model pembelajaran yang mengakui dan menghormati keanekaragaman budaya.

B. PENGERTIAN JUDUL

Sebagai sebuah negara yang masyarakatnya majemuk, Indonesia terdiri dari berbagai suku, ras, adat-istiadat, golongan , kelompok dan agama, dan strata sosial. Kondisi dan situasi seperti ini merupaka suatu kewajaran sejauh perbedaan-perbedaan ini disadari keberadaannya dan dihayati[2]. Akan tetapi, manakala perbedaan tersebut menjadi sebuah ancaman untuk kerukunan hidup, maka perbedaan tersebut menjadi masalah yang perlu diselesaikan segera. Beberapa peristiwa amuk massa di beberapa daerah di Indonesia, terlihat jelas pemicunya adalah perbedaan-perbedaan tersebut, dimana salah satunya adalah perbedaan agama.

Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan, proses, cara, perbuatan mendidik[3]. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara[4]. Sedangkan multikulturalisme dapat diartikan sebagai suatu gejala pada seseorang atau suatu masyarakat yang ditandai oleh kebiasaan menggunakan lebih dari satu kebudayaan[5]. Menurut Oxford Dictionary multicultural is something for or including poeple of different races, religions, languages, etc. Multiculturalism as the practice of giving importance the all cultures in society[6].

Bila digeneralisasikan secara umum, maka pendidikan multikultural dapat diartikan sebagai suatu proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang dalam kelompok sosial tertentu untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran secara aktif agar dapat berkembang secara spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara dengan pola pembiasaan hidup dalam suatu perbedaan (agama, budaya, adat istiadat, suku bangsa, ras, dan sejenisnya) dan tidak mempermasalahkan adanya unsur perbedaan dimaksud yang bermuara pada pembiasaan hidup dengan menggunakan lebih dari satu unsur kebudayaan. Menurut James A. Banks pendidikan multikultural didefinisikan sebagai sebuah kebijakan sosial yang didasarkan pada prinsip-prinsip pemeliharaan budaya dan saling memiliki rasa hormat antara seluruh kelompok budaya di dalam masyarakat. Pembelajaran multikultural pada dasarnya merupakan program pendidikan bangsa agar komunitas multikultural dapat berpartisipasi dalam mewujudkan kehidupan demokrasi yang ideal bagi bangsanya[7].

Menurut Tilaar, pendidikan multikultural berawal dari berkembangnya gagasan dan kesadaran tentang “interkulturalisme” seusai perang dunia II. Kemunculan gagasan dan kesadaran “interkulturalisme” ini selain terkait dengan perkembangan politik internasional menyangkut HAM, kemerdekaan dari kolonialisme, dan diskriminasi rasial dan lain-lain, juga karena meningkatnya pluralitas di negara-negara Barat sendiri sebagai akibat dari peningkatan migrasi

Page 10: New Microsoft Office Word Document

dari negara-negara baru merdeka ke Amerika dan Eropa.

Mengenai fokus pendidikan multikultural, Tilaar mengungkapkan bahwa dalam program pendidikan multikultural, fokus tidak lagi diarahkan semata-mata kepada kelompok rasial, agama dan kultural domain atau mainstream[8]. Fokus seperti ini pernah menjadi tekanan pada pendidikan interkultural yang menekankan peningkatan pemahaman dan toleransi individu-individu yang berasal dari kelompok minoritas terhadap budaya mainstream yang dominan, yang pada akhirnya menyebabkan orang-orang dari kelompok minoritas terintegrasi ke dalam masyarakat mainstream.

PERMASALAHAN

Pendidikan multikultural timbul sebagaimana adanya sebuah perbedaan yang berhaluan pada unsur kebudayaan, suku bangsa, ras, agama, dan sejenisnya. Suatu bangsa dengan segala kemajemukan yang ada tidak seharusnya membuat perbedaan tersebut menjadi alasan untuk melakukan praktek dis-integrasi bangsa. Banyak hal yang melatarbelakangi pentingnya mempelajari dan mengimplementasikan pendidikan multikultural dalam proses pembelajaran pada satuan pendidikan di Indonesia.

Adapun beberapa pokok permasalahan yang melatarbelakangi disusun dan dipaparkannya makalah tentang Pendidikan Multikultural ini antara lain, sebagai berikut;

1. Apa yang dimaksud dengan pendidikan multikultural?2. Bagaimana pengembangan dan praktek pendidikan multikultural dalam tatanan

perundang-undangan di Indonesia?3. Apa saja karakteristik yang ada pada pendidikan multikultural?4. Bagaimana implikasi yang terjadi pada proses pembelajaran pada satuan pendidikan di

Indonesia dengan adanya kebijakan pendidikan berbasis multikultural?5. Mengapa pendidikan multikultural perlu diimplementasikan dalam proses pembelajaran di

satuan pendidikan?

PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI INDONESIA

A. KARAKTERISTIK PENDIDIKAN MULTIKULTURAL

Pendidikan multikultural mengandung arti bahwa proses pendidikan yang diimplementasikan pada kegiatan pembelajaran di satuan pendidikan selalu mengutamakan unsur perbedaan sebagai hal yang biasa, sebagai implikasinya pendidikan multikultural membawa peserta didik untuk terbiasa dan tidak mempermasalahkan adanya perbedaan secara prinsip untuk bergaul dan berteman dengan siapa saja tanpa membedakan latar belakang budaya, suku bangsa, agama, ras, maupun adat istiadat yang ada.

James A. Banks mengidentifikasi ada lima dimensi pendidikan multikultural yang diperkirakan dapat membantu guru dalam mengimplementasikan beberapa program yang mampu merespon

Page 11: New Microsoft Office Word Document

terhadap perbedaan pelajar (siswa), yaitu[9]:

1. Dimensi integrasi isi/materi (content integration). Dimensi ini digunakan oleh guru untuk memberikan keterangan dengan ‘poin kunci’ pembelajaran dengan merefleksi materi yang berbeda-beda. Secara khusus, para guru menggabungkan kandungan materi pembelajaran ke dalam kurikulum dengan beberapa cara pandang yang beragam. Salah satu pendekatan umum adalah mengakui kontribusinya, yaitu guru-guru bekerja ke dalam kurikulum mereka dengan membatasi fakta tentang semangat kepahlawanan dari berbagai kelompok. Di samping itu, rancangan pembelajaran dan unit pembelajarannya tidak dirubah. Dengan beberapa pendekatan, guru menambah beberapa unit atau topik secara khusus yang berkaitan dengan materi multikultural.

2. Dimensi konstruksi pengetahuan (knowledge construction). Suatu dimensi dimana para guru membantu siswa untuk memahami beberapa perspektif dan merumuskan kesimpulan yang dipengaruhi oleh disiplin pengetahuan yang mereka miliki. Dimensi ini juga berhubungan dengan pemahaman para pelajar terhadap perubahan pengetahuan yang ada pada diri mereka sendiri;

3. Dimensi pengurangan prasangka (prejudice ruduction). Guru melakukan banyak usaha untuk membantu siswa dalam mengembangkan perilaku positif tentang perbedaan kelompok. Sebagai contoh, ketika anak-anak masuk sekolah dengan perilaku negatif dan memiliki kesalahpahaman terhadap ras atau etnik yang berbeda dan kelompok etnik lainnya, pendidikan dapat membantu siswa mengembangkan perilaku intergroup yang lebih positif, penyediaan kondisi yang mapan dan pasti. Dua kondisi yang dimaksud adalah bahan pembelajaran yang memiliki citra yang positif tentang perbedaan kelompok dan menggunakan bahan pembelajaran tersebut secara konsisten dan terus-menerus. Penelitian menunjukkan bahwa para pelajar yang datang ke sekolah dengan banyak stereotipe, cenderung berperilaku negatif dan banyak melakukan kesalahpahaman terhadap kelompok etnik dan ras dari luar kelompoknya. Penelitian juga menunjukkan bahwa penggunaan teksbook multikultural atau bahan pengajaran lain dan strategi pembelajaran yang kooperatif dapat membantu para pelajar untuk mengembangkan perilaku dan persepsi terhadap ras yang lebih positif. Jenis strategi dan bahan dapat menghasilkan pilihan para pelajar untuk lebih bersahabat dengan ras luar, etnik dan kelompok budaya lain.

4. Dimensi pendidikan yang sama/adil (equitable pedagogy). Dimensi ini memperhatikan cara-cara dalam mengubah fasilitas pembelajaran sehingga mempermudah pencapaian hasil belajar pada sejumlah siswa dari berbagai kelompok. Strategi dan aktivitas belajar yang dapat digunakan sebagai upaya memperlakukan pendidikan secara adil, antara lain dengan bentuk kerjasama (cooperatve learning), dan bukan dengan cara-cara yang kompetitif (competition learning). Dimensi ini juga menyangkut pendidikan yang dirancang untuk membentuk lingkungan sekolah, menjadi banyak jenis kelompok, termasuk kelompok etnik, wanita, dan para pelajar dengan kebutuhan khusus yang akan memberikan pengalaman pendidikan persamaan hak dan persamaan memperoleh kesempatan belajar.

5. Dimensi pemberdayaan budaya sekolah dan struktur sosial (empowering school culture and social structure). Dimensi ini penting dalam memperdayakan budaya siswa yang dibawa ke sekolah yang berasal dari kelompok yang berbeda. Di samping itu, dapat

Page 12: New Microsoft Office Word Document

digunakan untuk menyusun struktur sosial (sekolah) yang memanfaatkan potensi budaya siswa yang beranekaragam sebagai karakteristik struktur sekolah setempat, misalnya berkaitan dengan praktik kelompok, iklim sosial, latihan-latihan, partisipasi ekstra kurikuler dan penghargaan staff dalam merespon berbagai perbedaan yang ada di sekolah.

B. PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI INDONESIA

Dalam konteks yang luas, pendidikan multikultural mencoba membantu menyatukan bangsa secara demokratis, dengan menekankan pada perspektif pluralitas masyarakat di berbagai bangsa, etnik, kelompok budaya yang berbeda. Dengan demikian sekolah dikondisikan untuk mencerminkan praktik dari nilai-nilai demokrasi. Kurikulum menampakkan aneka kelompok budaya yang berbeda dalam masyarakat, bahasa, dan dialek; dimana para pelajar lebih baik berbicara tentang rasa hormat di antara mereka dan menunjung tinggi nilai-nilai kerjasama, dari pada membicarakan persaingan dan prasangka di antara sejumlah pelajar yang berbeda dalam hal ras, etnik, budaya dan kelompok status sosialnya.

Pendidikan berbasis multikultural didasarkan pada gagasan filosofis tentang kebebasan, keadilan, kesederajatan dan perlindungan terhadap hak-hak manusia. Hakekat pendidikan multikultural mempersiapkan seluruh siswa untuk bekerja secara aktif menuju kesamaan struktur dalam organisasi dan lembaga sekolah. Pendidikan multikultural bukanlah kebijakan yang mengarah pada pelembagaan pendidikan dan pengajaran inklusif dan pengajaran oleh propaganda pluralisme lewat kurikulum yang berperan bagi kompetisi budaya individual.

Di Indonesia pendidikan multikultural secara tersirat telah diamanahkan pada implementasi perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa “pendidikan diselenggarakan secara demokratis dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa”, lebih lanjut dinyatakan bahwa “pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat[10].

Pendidikan multikultural sangat relevan dilaksanakan dalam mendukung proses demokratisasi, dimana pada pendidikan multikultural terdapat beberapa hal terkait mengenai; pengakuan hak asasi manusia, tidak adanya diskriminasi dan diupayakannya keadilan sosial. Selain itu, dengan pendidikan multikultural ini dimungkinkan seseorang dapat hidup dengan tenang di lingkungan kebudayaan yang berbeda dengan yang dimilikinya. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk dan bahkan paling majemuk di dunia, karena itu agar kemajemukan ini tidak berkembang menjadi ancaman disintegrasi harus diupayakan untuk dikelola. Lantas apa yang perlu dilakukan, Pendidikan merupakan salah satu jawaban utamanya. Proses pembelajaran tentang manusia Indonesia harus merupakan mata pelajaran wajib di seluruh tingkatan jenjang pendidikan, terutama pada satuan pendidikan dasar sebagai titik awal proses pendidikan setiap individu sebagai peserta didik dimulai. Guru, kurikulum, sarana-prasarana, dan berbagai hal yang diperlukan untuk suatu proses pembelajaran yang mendukung multikulturalisme harus disediakan oleh negara. Negara merupakan otoritas tertinggi dalam penyelenggaraan pendidikan. Untuk membentuk manusia Indonesia yang bercirikan ke-Indonesiaan diperlukan adanya penyeragaman dalam beberapa mata pelajaran yang bersifat umum seperti Bahasa Indonesia, Sosia-Budaya

Page 13: New Microsoft Office Word Document

Indonesia, Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Mata pelajaran ini adalah mata pelajaran yang mutlak harus diberikan untuk membentuk karakter manusia Indonesia. Selain tentunya mata pelajaran olah raga dan kesenian. Selama ini proses pembelajaran lebih cenderung mengupayakan penyeragaman, dan kurang memperhatikan keanekaragaman masyarakat bangsa Indonesia.

C. PENTINGNYA PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DIMULAI SEJAK TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN DASAR DI INDONESIA

Jika kita belajar dalam keadaan yang terlalu nyaman, kita akan berhenti, siswa tidak akan merasa tertekan dan dituntut jika mereka berada dalam keadaan nyaman[11]. Hal yang perlu disikapi di sini dari kenyamanan itu adalah adanya unsur persamaan secara holistik, tentunya ini bertolak belakang dengan keadaan masyarakat Indonesia yang beranekaragam dalam banyak hal dan hidup dalam satu lingkup tertentu tanpa adanya suatu pemisah yang mengkotak-kotakkan satu sama lainnya.

Upaya membangun Indonesia yang multikultural hanya mungkin dapat terwujud apabila; (1) konsep multikulturalisme menyebar luas dan dipahami pentingnya bagi bangsa Indonesia, serta adanya keinginan bangsa Indonesia pada tingkat nasional maupun lokal untuk mengadopsi dan menjadi pedoman hidupnya; (2) kesamaan pemahaman diantara para ahli mengenai multikulturalisme dan bangunan konsep-konsep yang mendukungnya dan (3) upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk dapat mewujudkan cita-cita ini[12]. Pendidikan multikultural adalah proses penanaman cara hidup menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat plural.

Dengan pendidikan multikultural, diharapkan adanya kekenyalan dan kelenturan mental bangsa menghadapi benturan konflik sosial, sehingga persatuan bangsa tidak mudah patah dan retak. Dalam konteks Indonesia, yang dikenal dengan muatan yang sarat kemajemukan, maka pendidikan multikultural menjadi sangat strategis untuk dapat mengelola kemajemukan secara kreatif, sehingga konflik yang muncul sebagai dampak dari transformasi dan reformasi sosial dapat dikelola secara cerdas dan menjadi bagian dari pencerahan kehidupan bangsa ke depan.

Manusia dilahirkan dengan kemampuan untuk mempelajari sebuah kebudayaan. Hanya ada sedikit orang yang mengembangkan model kebudayaan yang tidak sesuai dengan wujud kebudayaan yang telah dimiliki sebelumnya dan lingkungan baru mereka[13]. Oleh karenanya, pentingnya pembelajaran dengan memasukan unsur kebudayaan tertentu seperti keanekaragaman yang ada di Indonesia tentunya memerlukan suatu kemampuan khusus agar supaya pesan dan maksud yang hendak disampaikan nantinya dapat diterima dan dikembangkan oleh individu sebagai peserta didik di satuan pendidikan yang ada di Indonesia.

D. IMPLIKASI PADA PROSES PEMBELAJARAN PADA SATUAN PENDIDIKAN DASAR DI INDONESIA

Mempelajari lingkungan, memandangnya dari perspektif kultural, merupakan keberagaman dalam tema kebudayaan dasar kita[14]. Pendidikan multikultural dimulai dari pengenalan, penghormatan, dan penghargaan terhadap diri sendiri (termasuk institusi yang membentuk seperti

Page 14: New Microsoft Office Word Document

keluarga maupun lingkungan terdekat). Sesuai tahap perkembangan anak dan jenjang pendidikan, pengenalan dan penghormatan atas diri sendiri diperluas dan dikembangkan menjadi pengenalan dan penghargaan terhadap orang lain[15]. Sebagai contoh, pengetahuan tentang berbagai suku, etnis, adat, tradisi, agama, bahasa daerah di satu daerah, di Indonesia, dan di dunia. Keterampilan untuk hidup di masyarakat yang berbasis multikultural termasuk terampil bernegosiasi, mengemukakan dan menghadapi perbedaan, resolusi konflik, cooperative learning, dan problem solving. Keterampilan ini bisa dimasukkan pada proses pembelajaran peserta didik baik melalui kegiatan akademik maupun non-akademik.

Sebagaimana telah diungkapkan secara jelas pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional implikasi pada proses pembelajaran seiring diputuskannya sistem Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, maka guru sebagai pendidik mempunyai peranan penting dalam mengimplementasikan pembelajaran berbasis multikultural dan pembiasaan hidup harmonis dalam berbagai perbedaan, otoritas guru untuk mengelola dan mengembangkan model pembelajaran yang efektif dengan meng-include hakikat multikultural melalui materi pembelajaran seperti “keanekaragaman budaya bangsa di Indonesia” perlu disikapi secara bijaksana sehingga dengan munculnya perbedaan suku bangsa, agama, ras, maupun budaya tidak menjadikan anak untuk bersikap dan berpikiran secara primordialis.

Manakala proses pembelajaran yang berbasis multikultural dapat dilaksanakan dan diimplementasikan pada kehidupan dan suasana belajar peserta didik, maka perpecahan horizontal dapat diminimalisir tentunya dengan memahami benar hakikat perbedaan sebagai sebuah karunia dan kekayaan bukan perbedaan sebagai hal yang menjadi pemisahan. Peserta didik pastinya dapat mengerti hal ini, bila proses kehidupan yang dijalaninya tidak keluar dari konteks dan hakikat pendidikan berbasis multikultural.

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Pendidikan berbasis multikultural mengindikasikan adanya gejala yang ada pada lapisan masyarakat secara horizontal yang heterogen baik dari segi budaya, agama, maupun status sosial yang ada. Pendidikan multikultural memerlukan adanya suatu dorongan yang mengarah pada satu asumsi bahwa dengan adanya perbedaan itu tidak perlu adanya suatu pengelompokan ataupun penggolongan terhadap warga masyarakat tertentu dan saling membatasi diri diantara anggota masyarakat yang berbeda tersebut.

Di Indonesia sebagaimana diketahui bersama, bahwa Indonesia dengan semboyannya “Bhineka Tunggal Ika” setidaknya bukan hanya sebatas slogan belaka, namun masih dapat dipertahankan sampai saat ini, di mana warga keturunan suku bugis dapat hidup berdampingan dengan warga keturunan suku batak, warga keturunan suku dayak dapat saling tolong-menolong dan hidup harmonis bersama warga keturunan suku madura, dan masih banyak contoh lainnya.

Pendidikan multikultural dirasakan penting untuk menjaga integritas bangsa Indonesia dari perpecahan horizontal sebagaimana terjadi tidak hanya sekali sepanjang Indonesia merdeka.

Page 15: New Microsoft Office Word Document

Pemahaman akan pentingnya perbedaan sebagai sebuah anugrah merupakan titik tolak pendidikan berbasis multikultural.

Guru sebagai pendidik di satuan pendidikan memiliki peran strategis untuk mengembangkan dan merencanakan suatu proses pembelajaran yang berafiliasi pada pendidikan berbasis multikultural dengan meng-include materi pembelajaran yang relevan dengan unsur-unsur terkait dengan pendidikan multikultural.

B. SARAN-SARAN

Bukan hal yang tidak mungkin, anugrah luar biasa yang diberikan kepada bangsa Indonesia akan hilang dan tinggal kenangan manakala tiap-tiap warga negara Indonesia sudah tidak lagi menjunjung tinggi nilai kebangsaan dan perbedaan unsur budaya dalam kehidupan yang kompleks. Munculnya perpecahan horizontal yang terjadi di tanah air tidak sedikit yang dilatarbelakangi oleh unsur SARA dan memang sampai saat ini solusi terbaiknyapun masih belumterlihat secara nyata. Setidaknya dengan meminimalisir dan mencegah konflik horizontal yang didasari oleh SARA itu dapat dilakukan salah satunya melalui pendidikan yang dalam hal ini satuan pendidikan merupakan sentral dari proses pendidikan yang berhaluan pada proses pembelajaran terhadap para peserta didiknya.

Memahami dan mengimplementasikan suatu kehidupan yang harmonis di tengah heterogenitas unsur masyarakat di lingkungan kita tentunya dapat meminimalisir konflik yang telah banyak terjadi di Indonesia beberapa tahun silam.

Pendidikan bukan yang utama, akan tetapi dengan memanfaatkan sektor pendidikan sebagai sarana untuk menanamkan konsep pendidikan berbasis multikultural dirasakan dapat meminimalisir dan menghilangkan pemikiran maupun tindakan arogan karena perbedaan yang berhaluan SARA.

 

DAFTAR PUSTAKA

Tim Penyusun. Kamus Besar Bahasa Indonesia – edisi ketiga, cetakan ketiga. Jakarta: Balai Pustaka. 2005

Darmaningtyas, et. al. Membongkar Ideologi Pendidikan – jelajah Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Yogyakarta: Resolusi Press. 2004

Joyce, Bruce, et. al. Model of Teaching – edisi kedelapan, diterjemahkan oleh Achmad Fawaizd, dkk. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2009

Amandemen Undang-Undang Dasar 1945

Page 16: New Microsoft Office Word Document

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/04/04/wacana-pendidikan-multikultural-di-indonesia/

http://lubisgrafura.wordpress.com/2007/09/10/pembelajaran-berbasis-multikultural/

Hanafiah, Nanang dan Cucu Suhana. Konsep Strategi Pembelajaran. Bandung: Refika Aditama. 2009

http://huzaifahhamid.blogspot.com/2009/02/menghilangkan-jejak-konflik-etnik.html

http://staff.ui.ac.id/internal/132059031/publikasi/PENDIDIKANBERBASISMASYARAKAT.doc

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0609/01/opini/2921517.htm

Tim Penyusun. Oxford Dictionary – learners pockets. Oxford: Oxford University Press. 2008

Banks, J.A. 1993. “Multicultural Educatian: Historical Development, Dimentions and Practrice” In Review of Research in Education, vol. 19, edited by L. Darling- Hammond. Washington, D.C.: American Educational Research Association.

[1] http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/04/04/wacana-pendidikan-multikultural-di- indonesia/

[2] http://staff.ui.ac.id/internal/132059031/publikasi/ PENDIDIKANBERBASISMASYARAKAT.doc

[3] KBBI (2005), h. 263

[4] UURI Sisdiknas, Ps. 1 (1)

[5] Ibid, h. 762

[6] Oxford Dictionary (2008), h. 288

[7] James A. Banks (1993) dalam http://lubisgrafura.wordpress.com/2007/09/10/pembelajaran-berbasis-multikultural/

[8] Tilaar (2002), dalam http://re-searchengines.com/muhaemin6-04.html

[9] James, A. Banks (1994), dalam: lubisgafura, loc it.

Page 17: New Microsoft Office Word Document

[10] Hanafiah, Nanang, et. al. (2009), h. 208

[11] Herb Tellen dalam Joyce, Bruce, et. al (2009), h. 449

[12] Suparlan (2002) dalam http://huzaifahhamid.blogspot.com/2009/02/menghilangkan-jejak-konflik-etnik.html

[13] Joyce, Bruce, et. al. (2009), h. 456

[14] Ibid, h. 457

[15] http://www.kompas.com/kompas-cetak/0609/01/opini/2921517.htmLast Updated on Monday, 29 March 2010 15:07

ENDIDIKAN MULTIKULTRALSEBGAI SARANA MEMBENTUK KARAKTER BANGSA(DALAM PRESPEKTIF SOSIOLOGI PENDIDIKAN)Oleh: Prof. Dr. Farida Hanum. M.Si www. Ariise.word press.com.

PendahuluanKarakter banga adalah ciri khas dan sikap yang tercantum pada tingkah laku dan pribadi warga suatu Negara. Sikap tersebut dapat dipengaruhi oleh suatu yang given (sudah ada dari lahir atau kodrat) dan ada pula karena willed (yang di usahakan karena kemauan)Ada tiga tiang uatama jati diri bangsa Indonesia yang tidak boleh digerogoti dengan cara apapun. Pertama, Indonesia sebagai suatu kebangsaan. Sejak Sumpah Pemuda tahun 1928 yang mengesahkan bahwa Indonesia adalah satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa. Kedua, Indonesia adalah suatu nrgara yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945, manusia-manusia Indonesia menyatakan menyatakan dirinya hidup dalamsatu Negara yaitu Indonesia. Ketiga, Indonesia adalah suatu wilayah kesatuan. Satu kesatuan Indonesia mencakup wilayah darat, laut, udara dan kekayaan alam. Bermacam-macam suku bangsa, agama dan ras diikat dalam satu semboyan, yaitu Bhineka Tunggal Ika.

Pendidikan Multikultural dan Perilaku BangsaKarakter dan jatidiri bangsa sangat penting disosialisasikan pada peserta didik sejak dini untuk membentuk perilaku bangsa. Ada sebuah ungkapan, “jumlah anak-anak (generasi muda) hanya 25% dari jumlah penduduk suatu bangsa akan tetapi mereka telah dapat menentukan 100% masa depan bangsa. Hal ini menunjukan bahwa maju mundurnya suatu bangsa sangat bergantung pada kualitas generasi muda sebagai penerus kelangsungan bangsa. Hal yang sangatpenting dalam merintis implementasi pendidikan multikultural disekolah dalam membangun perilaku bangsa agar di masa yang akan dating generasi penerus memiliki perilaku yang mampu dan cerdas dalam menyikapi kemajemukan yang mereka dapat dalam kehidupan Negara Indonesia yang multikultural.Setiap individu dibesarkan dalam lingkungan budaya masing-masing, yang mungkin saja membuat mereka berbeda dalam cara berfikir, minat, tingkah laku, bahasa, maupun kemampuan akademik. Perbedaan ini bila tidak dikelola dengan baik menjadi hambatan psikologis maupun

Page 18: New Microsoft Office Word Document

sosiologis pada warga sekolah dan tidak jarang dapat menimbulkan konflik dan praktek diskriminasi disekolahbaik oleh pengurus sekolah, guru maupun siswa.Dalam knteks kehidupan yang multikultural, pemahaman berdmensi multikultural harus dihadirkan untuk memperluas waana manusia yang selama ini masih memperhatikan “egoisme” kebudayaan, agama maupun kelompok. Secara ideal, pluralisme atau multkulturalisme berarti penolakan terhadap kefanatikan, purbasangka, rasisme, tribalisme dan menerima secara inklusif keanekaragaman yang ada.Melalui pendidikan, sikap penghargaan terhadaerbedaan direncana dengan baik, generasi muda dilatih dan disadarkan akan pentingnya penghargaan terhadap orang lain dan budaya lain. Oleh sebab itu, sangat penting nilai-nilai dan pendidikan multikulturalisme mewarnai proses belajar dikelas. Dalam pendidikan multicultural seorang guru tidak hanya dituntut menguasai mampu secara professional mengajar mata pelajaran/kuliah yang diajarkan tetapijuga harus mampu menanamkan nilai-nilai dari pendidikan multikultural seperti demokrasi, humanism, keadilan gender, kemampuan berbeda pendapat dan pluralisme budaya.Melalui pendidikan multikultural sekak dini diharapkan anak mampu menerima dan memahami perbedaan budaya yang berdampak pada usage, folkways, mores dan customs. Dengan pendidikan multikultural mampu menerima perbedaan, kritik, dan emiliki rasa empati, toleransi pada sesame tanpa memandang golongan, status sosial, agama dan kemampuan akademik. Pendidikan miltikulturl bermakna sebagai proses pendidikan cara hidup menghormati, tulus, toleran terhadap keragaman budaya.

PENDIDIKAN MULTIKULTURALHakekat Pendidikan MultikulturalDalam kehidupan yang multikultural, pemahaan yang berdimensi multikultural harus dihadirkan untuk memperluas wacana pemikiran manusia yang selama ini masih mempertahamkan “egoisme” kebudayaan dan keagamaan. Multikultural dapat pula diartikan sebagai pluralitas kebudayaan dan agama. Pluralitas kebudayaan adalah interaksi siosialdan politik antara orang-orang yang berbeda cara hidup dan berpikirnya dalam suatu masyarakat. pluralisme atau multkulturalisme berarti penolakan terhadap kefanatikan, purbasangka, rasisme, tribalisme dan menerima secara inklusif keanekaragaman yang ada. Multikulturalisme memfokuskan pada pemahaman dan hidup bersama dalam satu konteks sosial budaya yang berbeda. Pendidikan multikulturalisme merupakan suatu rangkaian kepercayaan (set of beliefs) dan penjelasan yang mengekui dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis didalam membentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi, kesempatan pendidikan dari indivdu, kelompok maupun Negara.

Sejarah Perkembangan Multukultural di AS dan Luar ASStrategi pendidikan multikultural adalah pengembangan dari studi intelektual dan multikulturalisme. Dalam perkembangannya, studi ini menjadi studi khusus tentang pendidikan multikltural yang pada awalnya bertujuan agar populasi mayotitas dapat bersikap toleran terhadap imigran.Roh dan nafas dari pendidikan multikulturalisme ini adalah demokrasi, hiumanisme dan pluralisme yang anti terhadap adanya control, tekanan yang membatasi dan menghilangkan kebebasanmanusia. Pendidikan multikultural ini justru menjadi motor penggerak dalam penegakan demokrasi, humanisme dan pluralisme yang dilakukan melalui sekolah-sekoah, kampus, adan institusi-institusi lainnya seperti halnya di AS.

Page 19: New Microsoft Office Word Document

Pendidikan multikultural kini telah mengalami perkembangan, baik teoristis maupun prakteksejak konsep paling awal muncul tahun 1960-an yang pertamakali dikemukakan oleh Banks. Pada saat itu konsep pendidikan multikultural lebih pada supermasi kulit putih di AS dan diskriminasi yang dialami kulit hitam.Pendidikan multikultural berkembang di masyarakat AS antar budaya etnis yang besar, yaitu budaya antar bangsa. Terdapat empat jenis dan fase perkembangan pendidikan di AS (Banks, 2004), yaiti: (1). Pendidikan yang bersifat segregasi yang memberi hak berbeda antara kulit hitam dan kulit putih terutama pada kualitas pendidikan (kulit putih lebih diunggulkan). (2). Pendidikan menurut konsep Salad Bowl, masing-masing kelompol etnis berdiri sendiri, mereka hidup bersamaan selama tidak salig mengganggu. (3). Konsep eting pot, masing-masing kelompok etnis dengan budayanya sendiri menyadari danya perbedaan antara sesamanya . walaupun berbeda tetapi kepentingan Negara diatas kepentingan kelompok, ras dan budaya sehingga hal tersebut dapat menyetukan mereka. (4). Pendidikan multikultural mrlahirkan pedagogik baruserta pandangan baru engenai preksis pendidikan yang memberi kesempatan serta penghargaan yang saama terhadap semua anak tanpa membedakan asal-usul serta agamanya. Studi kultural embahas secara luas mengenai arti budatya dalam kehidupan manusia.Pendidikan multicultural di Inggris berkembang sejalannya dengan datangnya kaum imigran, yang mendapatkan perlakuan diskriminatifoleh pemimpin dan kaum mayoritas Inggris, sehingga menimbulkan gerakan yang berlatar belakang budaya. Gerakan politikyang didukung liberal, demokrasi, dan gerakan kesetaraan manusia.Pendidikan multikultural di Jerman tak jauh beda dengan yang di AS dan Inggris, bersifat antarbudaya etnis yang besar, yaitu antarbangsa. Hal yang sama juga terdapat di Kanada dan Australia.

Pendidikan Multikultural di Indonesiaa. Kondisi Sosial PolitikMultikultural di Indonesia ersifat antaretnis yang kecil yaitu budaya antarsuku bangsa. Keragaman budaya dating dari dalam bangsa Indonesia sendiri. Hal ini dapat menjadi modal yang kuat bag keberhasilan pelaksanaan pendidikan multikultural di Indonesia. Semangat Sumpah Pemuda dapat enjadi Roh yang kuat untuk memarsatukan warga egara Indonesia yang berbeda budaya. Masarakat Indonesia sangat beragam dan tinggal di pulau-pulau yang tersebar berjauhan. Halini menyebabkan interaksi dan integrasi sulit berjalan dengan lancer. Keajuan ekonomi kurang merata, sehingga terdapat ketimpangan kesejahteraan masyarakat, ini sangat rentan sebagai awal rasa ketidakpuasan yang berpotensi menjadikan konflik.Sektor pendidikan politik dan pembinaan bangsa kurang mendapat perhatian. Pada saat itu masyarakat takut berbeda pandangan, sebab kebebasan dalam mengeluarkan pendapat tidak diberi tempat, kebebasan berpikir ikut terpasung, pembinaan kehidupan dalam keragaman nyaris berada pada titik nadir.Gerakan reformasi Mei 1998 untuk mentransforasikan otoriter Orde Baru menuju transisi demokrasi sebaliknya telah menyemaikan berkembangnya kesadaran baru tentang pentingnya otonomi masyarakat sipil. Pendidikan multikultural sangat diperlukan sebagai landasan pengembangan system politik yang kuat endidikan multikultural sangat menekankan pada pentingnya akomodasi hak setiap kebudayaan dan masyarakat sub-nasional untuk memelihara dan mempertahankan identitas ebudayaan dan masyarakat nasional.b. Prespektif dan Tujuan Pendidikan MultikulturalPrespektif mltikulturalisme didalam pendidikan: (1). Prespektif “cultural assimilation”, (2)

Page 20: New Microsoft Office Word Document

Prespektif “cultural pluralism”, (3). Prespektif “cultural synthesis”.Yang pertama, suatu model transisi dalam system pendidikan yang menunjulkan proses asimilasi anak atau subjek didik dari berbagai kebudayaan ke dalam “core society”.Yang kedua, suatu system pendidikan yang menekankan pada pentingnya hak bagi semua kebudayaan dan masyarakat sub-nasional untuk memelihara danmempertahankan identitas cultural masing-masing.Yang ketiga, menekankan pada entingnya proses terjadinya elektisisme dan sintesis didalam diri anak didik atau masyarakat dan terjadinya perubahan dalam berbagaik kebudayaan dan masyarakatsub-nasional.Tiga tujuan prespektif penidikan, yaitu: tujuan “attitudinal”, tujuan “kognitif” dan tujuan “instruksional”.Attitudinal, fungsi untuk menyemai dan mengembangkan sensitivitas cultural, pengembangan budaya , penghormatan pada identitas cultural, pengembangan sikap budaya responsive dan keahlian untuk melakukan penolakan dan revolusi konflik.Kognitif, pendidikan multicultural mempunuai tujuan dalam pencapaian pengetahuan akademik, pengembangan pengetahuan tentang kemajemukan budaya, kompetensi untuk melakukan analisis dan interpretasi perilaku cultural dan mis informasi tentang kelompok-kelompok etnis dan kultural yang dimuat didalam buku dan media pembelajaran, menyediakan strategi untuk menjalani hidup didalam multikultural, mengembangkan ketrampilan kmunikasi interpersonal, menyediakan teknik-teknik untuk melakukan evaluasi dan menjelaskan tenteng dinamila perembangan kebudayaan.

Impementasi Pendidikan Multikultural1. Pendekatan Kontribusi (the contributions approach). Tingkatan ini paling sering dilakukan dan paling luas dipakai dalam fase pertama dari gerakan kebangkitan etnis. Cirinya, dengan memasukan pahlawan dari bangsa/etnis dan berbeda-beda budaya kedalam pelajaran yang sesuai.2. Pendekatan aditif (adtif approach). Penambahan materi, konsep, tema, prespektif terhadap kurikulum tanpa mengubah struktur tujuan dan karakteristik dasarnya.3. Pendekatan Transformasi (the transformation approach). Mengubah asumsidasar kurikulum dan menumbuhkan kompetensi deasar siswa dalam melihat konsep, isu, tema dan masalah dari beberapa prespektif dan sudut pandang etnis.4. Pendekatan Aksi Sosial (the social action approach). Mencakup semua elemen dari pendekatan transformasi, namun menambah komponen yang mempersyaratkan siswa membuat aksi yang berkaitan dengan konsep, isu atau masalah yang dipelajaridalam unit.

Impementasi Pendidikan Multikultural di Kelas1. Implementasi pendekatan kontribusi di kelas.Pada siswa TK dan SD kelas awal seperti kelas I, II, III. Substansi pendidikan multikultual pada tahap ini adalah menanamkan pada siswa bahwa manusia yang ada disekitarnya dan tempat lain di dunia ini sangatlah beragam.2. Implementasi pendidikan aditif di kelas.Implementasi pada siswa SD kelas atas (IV, V, VI) dan tingkat SMP. Rasa ketertarikan akan keragaman yang diperoleh didalam kelas akan memotivasi siswa untuk tahu lebih banyak dengan membaca, melihat internet, berkunjung, bertanya pada yang lebih tahu dan sebagainya.3. Implementasi pendekatan transformasi dikelas.

Page 21: New Microsoft Office Word Document

Pengalaman pembelajaran ini dapat melatih siswaq bersikap sportif terhadap kelebihan dan kekurangan baik dari diri sendiri maupun orang lain. Siswa juga dilatih menghargai , mengakui dan mau mengambil hal-hal pisitif dari pihak lain walau itui dari kelompok minoritas, baik dikelas meupun Negara.4. Implementasi pendekatan aksi di kelasTujuan dari pendekatan ini adalah menyiapkan peserta didik untuk memiliki pengetahuan, nilai, ketrampilan bertindak dan peran aktif dalam perubahan social, baik dalam skala regional, nasional dan global. Dalam pendekatan ini pendidik berperan sebagai agen perubahan social yang meningkatkan nilai-nilai demokratis, humanis, dan kekuatan siswa.

Pendidikan multicultural di Indonesia relatif masih belum dokenal sebagian besar guru-guru. Oleh sebab itu sosialisasi tentang pendidikan multicultural penting untuk terus dilakukan, baik berbentuk seminar, penataran, workshop dan dengan penyadiaan buku-buku penunjang. Masyarakat Indonesia yang sangat beragap sangat tepat dikelola melalui pendekatan nilai-nilai multicultural agar anteraksi dan integrasi dapat berjalan dengan damai, sehingga dapat menumbuhkan sikap kebersamaan, toleransi, humanis, dan demokratis.

Makalah Multikulturalisme

Thursday, 20. November 2008, 07:30

tugas, makalah, MPKT

MATA KULIAH PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN TERINTEGRASI

Akhlak, Budipekerti dan Masyarakat

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan alamUniversitas IndonesiaDepok, 2008A. Multikulturalisme1. Pengertian MultikulturalismeMultikulturalisme adalah sebuah filosofi terkadang ditafsirkan sebagai ideologi yang menghendaki adanya persatuan dari berbagai kelompok kebudayaan dengan hak dan status sosial politik yang sama dalam masyarakat modern. Istilah multikultural juga sering digunakan untuk menggambarkan kesatuan berbagai etnis masyarakat yang berbeda dalam suatu negara.Multikulturalisme berasal dari dua kata; multi (banyak/beragam) dan cultural (budaya atau kebudayaan), yang secara etimologi berarti keberagaman budaya. Budaya yang mesti dipahami, adalah bukan budaya dalam arti sempit, melainkan mesti dipahami sebagai semua dialektika manusia terhadap kehidupannya. Dialektika ini akan melahirkan banyak wajah, seperti sejarah, pemikiran, budaya verbal, bahasa dan lain-lain.

Kosep tentang mutikulturalisme, sebagaimana konsep ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan yang tidak bebas nilai (value free), tidak luput dari pengayaan maupun penyesuaian ketika dikaji untuk diterapkan.

Page 22: New Microsoft Office Word Document

Demikian pula ketika konsep ini masuk ke Indonesia, yang dikenal dengan sosok keberagamannya. Muncul konsep multikulturalisme yang dikaitkan dengan agama, yakni ”multikulturalisme religius” yang menekankan tidak terpisahnya agama dari negara, tidak mentolerir adanya paham, budaya, dan orang-orang yang atheis (Harahap, 2008). Dalam konteks ini, multukulturalisme dipandangnya sebagai pengayaan terhadap konsep kerukunan umat beragama yang dikembangkan secara nasional.

Istilah multikulturalisme sebenarnya belum lama menjadi objek pembicaraan dalam berbagai kalangan, namun dengan cepat berkembang sebagai objek perdebatan yang menarik untuk dikaji dan didiskusikan. Dikatakan menarik karena memperdebatkan keragaman etnis dan budaya, serta penerimaan kaum imigran di suatu negara, pada awalnya hanya dikenal dengan istilah puralisme yang mengacu pada keragaman etnis dan budaya dalam suatu daerah atau negara. Baru pada sekitar pertengahan abad ke-20, mulai berkembang istilah multikulturalisme. Istilah ini, setidaknya memiliki tiga unsur, yaitu: budaya, keragaman budaya dan cara khusus untuk mengantisipasi keanekaragaman budaya tersebut. Secara umum, masyarakat modern terdiri dari berbagai kelompok manusia yang memiliki status budaya dan politik yang sama. Selanjutnya, demi kesetaraan masa kini, pengakuan adanya pluralisme kultural menjadi suatu tuntutan dari konsep keadilan sosial (Okke KS Zaimar, 2007: 6).

Kesadaran akan adanya keberagaman budaya disebut sebagai kehidupan multikultural. Akan tetapi tentu, tidak cukup hanya sampai disitu. Bahwa suatu kemestian agar setiap kesadaran akan adanya keberagaman, mesti ditingkatkan lagi menjadi apresiasi dan dielaborasi secara positif. pemahaman ini yang disebut sebagai multikulturalisme.

Mengutip S. Saptaatmaja dari buku Multiculturalisme Educations: A Teacher Guide To Linking Context, Process And Content karya Hilda Hernandes, bahwa multikulturalisme adalah bertujuan untuk kerjasama, kesederajatan dan mengapresiasi dalam dunia yang kian kompleks dan tidak monokultur lagi.

Lebih jauh, Pasurdi Suparlan memberikan penekanan, bahwa multikulturalisme adalah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan, baik secara individu maupun kebudayaan. Yang menarik disini adalah penggunaan kata ideologi sebagai penggambaran bahwa betapa mendesaknya kehidupan yang menghormati perbedaan, dan memandang setiap keberagaman sebagai suatu kewajaran serta sederajat.

Multikulturalisme adalah sebuah ideologi dan sebuah alat untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiaannya. Untuk dapat memahami multikulturalisme diperlukan landasan pengetahuan yang berupa bangunan konsep-konsep yang relevan dan mendukung keberadaan serta berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan manusia. Bangunan konsep-konsep ini harus dikomunikasikan di antara para ahli yang mempunyai perhatian ilmiah yang sama tentang multikulturalisme sehingga terdapat kesamaan pemahaman dan saling mendukung dalam memperjuangkan ideologi ini. Berbagai konsep yang relevan dengan multikulturalisme antara lain adalah, demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan dalam perbedaan yang sederajat, sukubangsa, kesukubangsaan,

Page 23: New Microsoft Office Word Document

kebudayaan sukubangsa, keyakinan keagamaan, ungkapan-ungkapan budaya, domain privat dan publik, HAM, hak budaya komuniti, dan konsep-konsep lainnya yang relevan.

Selanjutnya Suparlan mengutip Fay (1996), Jary dan Jary (1991), Watson (2000) dan Reed (ed. 1997) menyebutkan bahwa multikulturalisme ini akan menjadi acuan utama bagi terwujudnya masyarakat multikultural, karena multikulturalisme sebagai sebuah ideologi akan mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan. Dalam model multikulturalisme ini, sebuah masyarakat (termasuk juga masyarakat bangsa seperti Indonesia) mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mosaik. Di dalam mosaik tercakup semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai kebudayaan seperti sebuah mosaik. Dengan demikian, multikulturalisme diperlukan dalam bentuk tata kehidupan masyarakat yang damai dan harmonis meskipun terdiri dari beraneka ragam latar belakang kebudayan.

Multikultural berarti beraneka ragam kebudayaan. Menurut Parsudi Suparlan (2002) akar kata dari multikulturalisme adalah kebudayaan, yaitu kebudayaan yang dilihat dari fungsinya sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Dalam konteks pembangunan bangsa, istilah multikultural ini telah membentuk suatu ideologi yang disebut multikulturalisme. Konsep multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara sukubangsa atau kebudayaan sukubangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Ulasan mengenai multikulturalisme mau tidak mau akan mengulas berbagai permasalahan yang mendukung ideologi ini, yaitu politik dan demokrasi, keadilan dan penegakan hukum, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komuniti dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, dan tingkat serta mutu produktivitas.

Multikulturalisme sebagaimana dijelaskan di atas mempunyai peran yang besar dalam pembangunan bangsa. Indonesia sebagai suatu negara yang berdiri di atas keanekaragaman kebudayaan meniscayakan pentingnya multikulturalisme dalam pembangunan bangsa. Dengan multikulturalisme ini maka prinsip “bhineka tunggal ika” seperti yang tercantum dalam dasar negara akan menjadi terwujud. Keanekaragaman budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia akan menjadi inspirasi dan potensi bagi pembangunan bangsa sehingga cita-cita untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera sebagaimana yang tercantum dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dapat tercapai.Multikulturalisme bertentangan dengan monokulturalisme dan asimilasi yang telah menjadi norma dalam paradigma negara-bangsa (nation-state) sejak awal abad ke-19. Monokulturalisme menghendaki adanya kesatuan budaya secara normatif (istilah 'monokultural' juga dapat digunakan untuk menggambarkan homogenitas yang belum terwujud (pre-existing homogeneity). Sementara itu, asimilasi adalah timbulnya keinginan untuk bersatu antara dua atau lebih kebudayaan yang berbeda dengan cara mengurangi perbedaan-perbedaan sehingga tercipta sebuah kebudayaan baru.Multikulturalisme mulai dijadikan kebijakan resmi di negara berbahasa-Inggris (English-speaking countries), yang dimulai di Kanada pada tahun 1971. Kebijakan ini kemudian diadopsi oleh sebagian besar anggota Uni Eropa, sebagai kebijakan resmi, dan sebagai konsensus sosial di antara elit. Namun

Page 24: New Microsoft Office Word Document

beberapa tahun belakangan, sejumlah negara Eropa, terutama Belanda dan Denmark, mulai mengubah kebijakan mereka ke arah kebijakan monokulturalisme. Pengubahan kebijakan tersebut juga mulai menjadi subyek debat di Britania Raya dam Jerman, dan beberapa negara lainnya.Adalah Samuel P. Huntuington (1993) yang “meramalkan” bahwa sebenarnya konflik antar peradaban di masa depan tidak lagi disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi, politik dan ideologi, tetapi justru dipicu oleh masalah masalah suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Konflik tersebut menjadi gejala terkuat yang menandai runtuhnya polarisasi ideologi dunia kedalam komunisme dan kapitalisme. Bersamaan dengan runtuhnya struktur politik negara-negara Eropa Timur. Ramalan ini sebenarnya telah didukung oleh peristiwa sejarah yang terjadi pada era 1980-an yaitu terjadinya perang etnik di kawasan Balkan, di Yugoslavia., pasca pemerintahan Josep Broz Tito: Keragaman, yang disatu sisi merupakan kekayaan dan kekuatan, berbalik menjadi sumber perpecahan ketika leadership yang mengikatnya lengser.

Ramalan Huntuington tersebut diperkuat dengan alasannya mengapa di masa depan mendatang akan terjadi benturan antarperadaban. Antara lain adalah:Pertama, perbedaan antara peradaban tidak hanya riil, tetapi juga mendasar. Kedua, Dunia sekarang semakin menyempiti interaksi antara orang yang berbeda peradaban semakin meningkat. Ketiga, proses modernisasi ekonomi dan sosial dunia membuat orang ataumasyarakat tercerabut dari identitas lokal mereka yang sudah berakar dalam, diasmping memperlemah negara-negara sebagi sumber identitas mereka. Keempat, timbulnya kesadaran peradaban dimungkinkan karena peran ganda Barat. Disatu sisi barat berada di punjak kekuatan. Di sisi lain mungkin ini akibat dari posisi Barat tersebut, kembalinya fenomena asal , sedang berlangsung diantara peradaban-peradaban Non-Barat. Kelima, karakteristik dan perbedaan budaya kurang bisa menyatu dan karena itu kurang bisa berkompromi dibanding karakteristik dan perbedaan politik dan ekonomi. Dan, keenam regionalisme ekonomi semakin meningkat.

Akan tetapi asumsi tersebut tidak mutlak menjadi sebab utama terjadinya sebuah perpecahan. Misalnya, setelah berakhirnya Perang Dingin, kecenderungan yang terjadi bukanlah pengelompokan masyarakat ke dalam entitas tertinggi, yaitu pengelompokan peradaban, tetapi perpecahan menuju entitas yang lebih kecil lagi, yaitu berdasarkan suku dan etnisitas. Hal ini jelas sekali terlihat pada disintegrasi Uni Soviet yang secara ironis justru disatukan oleh dasar budaya dan peradaban yang sama. Dan lain lagi, persoalan perpecahan antara Jerman Barat dan Jerman Timur yang kembali bersatu karena persamaan suku dan kebudayaan. Dan “multikulturalisme justru menjadi sebuah pemersatu yang kokoh.

2.Multikulturalisme Menurut Al Qur’anKita perlu kembali merenungkan berbagai ajaran yang telah disampaikan Allah melalui para Rasul-Nya, yang terdapat dalam kitab Suci Al Qur’an. Kita hendaknya mampu mengoptimalkan peran agama sebagai faktor integrasi dan pemersatu. Al qur’an, misalnya, memuat banyak sekali ayat yang bisa dijadikan asas untuk menghormati dan melakukan rekonsiliasi di antara sesama manusia. Dalam tulisan ini dapat dikemukkan contoh sebagai berikut;.

Page 25: New Microsoft Office Word Document

Pertama, Al Qur’an menyatakan bahwa; dulu manusia adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan ) maka Allah mengutus para Nabi, sebagi pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan. Dan Allah menurunkan bersama mereka kitab yang benar, untuk memberikan keputusan diantara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan.

“Tidak berselisih tentang kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendakNya. Dan Allah selalu memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki kepada jalan yang lurus,” (QS Al Baqarah: 213)Dengan ayat ini, AlQur’an menegaskan konsep kemanusiaaan universal Islam yang mengajarkan bahwa umat manusia pada mulamya adalah satu. Perselisihan terjadi disebabkan oleh timbulnya berbagai vested interest masing-masing kelompok manusia. Yang masing-masing mereka mengadakan penafsiran yang berbeda tentang suatu hakekat kebenaran menurut vested interest nya. Kedua, meskipun asal mereka adalah satu, pola hidupnya menganut hukum tentang kemajemukan, antara lain karena Allah menetapkan jalan dan pedoman hidup yang berbeda-beda untuk berbagai golongan manusia. Perbedaan itu seharusnya tidak menjadi sebab perselisiahan dan permusuhan, melainkan pangkal tolak bagi perlombaan untuk melakukan berbagai kebaikan. Al Qur’an menyebutkan :“….. Untuk tiap-tiap manusia diantara kamu, Kami berikan jalan dan pedoman hidup. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikannya satu umat saja. Tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberianNya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebaikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semua, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.Sehingga dari kedua ayat diatas dapat saya tarik kesimpulan bahwa; betapapun perbuatan yang terjadi pada manusia di bumi ini, namun hakekat kemanusiaan akan tetap dan tidak akan berubah. Yaitu fitrahnya yang hanif, sebagai wujud perjanjian primordial (azali) antara Tuhan dan Manusia sendiri. Responsi atau timbal balik manusia kepada ajaran tentang kemanusiaan universal adalah kelanjutan dan eksisitensialisme dari perjanjian primordial itu dalam hidup di dunia ini.

Selain itu, kita juga harus membutuhkan sebuah artikulasi atau penjabaran suatu visi dari dalam yang baru tentang manusia. Sekarang menjadi suatu keharusan bahwa semua agama harus mengambil bagian. Sekurang-kurangnya untuk sebagian dari sebuah visi dari dalam, sebuah konsep manusia mengenai dirinya sendiri, sesama, bahkan dengan orang yang menyatakan dirinya tidak beragama. Dalam pencarian itu mungkin sangat penting bagi umat beragama untuk melihat kepada pribadi-pribadi terkemuka yang dimilikinya dan peninggalan kolektifnya di massa lampau.

3. Multikulturalisme menurut Para Tokoh1.) Menurut Petter Wilson, Dia mengartikan multikulturalisme setelah melihat peristiwa di Amerika, “ Di Amerika, multikultural muncul karena kegagalan pemeimpin di dalam mempersatukan orang Negro dengan orang Kulit Putih”. Dari sini dapat diambil sebuah sintesa bahwa konsep multikultural PetterWilson semata-mata merupakan kegagalan dalam mempersatukan kelompok etnis tertentu. Kemudian problem penghambatan proses integrasi budaya ini berujung kepada gagalnya atau salahnya

Page 26: New Microsoft Office Word Document

perspektif tentang sebuah kesatuan budaya (Unikultural). Yang seharusnya tidak berarti kemajemukan harus dipaksakan unutk menjadi satu, akan tetapi perbedaan itu haruslah menjadi kekuatan yang kompleks untuk bersatu dan berjalan bersama, tanpa adanya konflik.Adanya sebuah konsesus Neo Liberal yaitu datang berdasarkan pada kepentingan ekonomi liberalisme. Juga menjadi faktor penghambat sebuah integrasi bangsa.2.) Menurut Kenan Malik (1998), multikulturalisme merupakan produk dari kegagalan politik di negara Barat pada tahun 1960-an. Kemudian gagalnya perang Dingin tahun 1989, gagalnya dunia Marxisme kemudian gagalnya gerakan LSM di asia tenggara yang menemukan konsep multikultural yang sebenarnnya.Jalan keluar dari semua itu menurutnya adalah sebuah keadilan yang masih berpegang pada keanekaragaman budaya yang sejati.

4. Perjalanan Menyambut Multikulturalisme di IndonesiaKesadaran multikultur sebenarnya sudah muncul sejak Negara Republik Indonesia terbentuk. Pada masa Orde Baru, kesadaran tersebut dipendam atas nama kesatuan dan persatuan. Paham monokulturalisme kemudian ditekankan. Akibatnya sampai saat ini, wawasan multikulturalisme bangsa Indonesia masih sangat rendah. Ada juga pemahaman yang memandang multikultur sebagai eksklusivitas. Multikultur justru disalahartikan yang mempertegas batas identitas antar individu. Bahkan ada yang juga mempersoalkan masalah asli atau tidak asli.Multikultur baru muncul pada tahun 1980-an yang awalnya mengkritik penerapan demokrasi. Pada penerapannya, demokrasi ternyata hanya berlaku pada kelompok tertentu. Wacana demokrasi itu ternyata bertentangan dengan perbedaan-perbedaan dalam masyarakat. Cita-cita reformasi untuk membangun Indonesia Baru harus dilakukan dengan cara membangun dari hasil perombakan terhadap keseluruhan tatanan kehidupan yang dibangun oleh Orde Baru.

Inti dari cita-cita tersebut adalah sebuah masyarakat sipil demokratis, adanya dan ditegakkannya hukum untuk supremasi keadilan, pemerintahan yang bersih dari KKN, terwujudnya keteraturan sosial dan rasa aman dalam masyarakat yang menjamin kelancaran produktivitas warga masyarakat, dan kehidupan ekonomi yang mensejahterakan rakyat Indonesia. Bangunan Indonesia Baru dari hasil reformasi atau perombakan tatanan kehidupan Orde Baru adalah sebuah “masyarakat multikultural Indonesia” dari puing-puing tatanan kehidupan Orde Baru yang bercorak “masyarakat” (plural society) sehingga corak masyarakat Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika bukan lagi keanekaragaman suku bangsa dan kebudayaannya tetapi keanekaragaman kebudayaan yang ada dalam masyarakat Indonesia.

Acuan utama bagi terwujudnya masyarakat Indonesia yang multikultural adalah multikulturalisme, yaitu sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan. Dalam model multikulturalisme ini, sebuah masyarakat dilihat sebagai mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mozaik. Di dalam mozaik tercakup semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai kebudayaan

Page 27: New Microsoft Office Word Document

yang seperti sebuah mozaik tersebut. Model multikulturalisme ini sebenarnya telah digunakan sebagai acuan oleh para pendiri bangsa Indonesia dalam mendesain apa yang dinamakan sebagai kebudayaan bangsa, sebagaimana yang terungkap dalam penjelasan Pasal 32 UUD 1945, yang berbunyi “Kebudayaan bangsa (Indonesia) adalah puncak-puncak kebudayaan di daerah”.

Hal yang harus kita waspadai adalah munculnya perpecahan etnis, budaya dan suku di dalam tubuh bangsa kita sendiri. Bangsa Indonesia yang kita ketahui bersama memiliki bermacam-macam kebudayaan yang dibawa oleh banyak suku, adat-istiadat yang tersebar di seluruh Nusantara. Dari Sabang sampai Merauke kita telah banyak mengenal suku-suku yang majemuk, seperti; Suku Jawa, Suku Madura, Suku Batak, Suku Dayak, Suku Asmat dan lainnya. Yang kesemuanya itu mempunyai keunggulan dan tradisi yang berbeda satu dengan yang lainnya.

Begitu kayanya bangsa kita dengan suku, adat-istiadat, budaya, bahasa, dan khasanah yang lain ini, apakah benar-benar menjadi sebuah kekuatan bangsa ataukah justru berbalik menjadi faktor pemicu timbulnya disintegrasi bangsa. Seperti apa yang telah diramalkan Huntington, keanekaragaman di Indonesia ini harus kita waspadai. Karena telah banyak kejadian-kejadian yang menyulut kepada perpecahan, yang disebabkan adanya paham sempit tentang keunggulan sebuah suku tertentu.

Paham Sukuisme sempit inilah yang akan membawa kepada perpecahan. Seperti konflik di Timur-Timur, di Aceh, di Ambon, dan yang lainya. Entah konflik itu muncul semata-mata karena perselisihan diantara masyarakat sendiri atau ada “sang dalang” dan provokator yang sengaja menjadi penyulut konflik. Mereka yang tidak menginginkan sebuah Indonesia yang utuh dan kokoh dengan keanekaragamannya. Untuk itu kita harus berusaha keras agar kebhinekaan yang kita banggakan ini tak sampai meretas simpul-simpul persatuan yang telah diikat dengan paham kebangsaan oleh Bung Karno dan para pejuang kita.

Hal ini disadari betul oleh para founding father kita, sehingga mereka merumuskan konsep multikulturalisme ini dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika”. Sebuah konsep yang mengandung makna yang luar biasa. Baik makna secara eksplisit maupun implisit. Secara eksplisit, semboyan ini mampu mengangkat dan menunjukkan akan keanekaragaman bangsa kita. Bangsa yang multikultural dan beragam, akan tetapi bersatu dalam kesatuan yang kokoh. Selain itu, secara implisit “Bhineka Tunggal Ika” juga mampu memberikan semacam dorongan moral dan spiritual kepada bangsa indonesia, khusunya pada masa-masa pasca kemerdekaan untuk senantiasa bersatu melawan ketidakadilan para penjajah. Walaupun berasal dari suku, agama dan bahasa yang berbeda.

Kemudian munculnya Sumpah Pemuda pada tahun 1928 merupakan suatu kesadaran akan perlunya mewujudkan perbedaan ini yang sekaligus dimaksudkan untuk membina persatuan dan kesatuan dalam menghadapi penjajah Belanda. Yang kemudian dikenal sebagi cikal bakal munculnya wawasan kebangsaan Indonesia. Multikulturalisme ini juga tetap dijunjung tinggi pada waktu persiapan kemerdekaan, sebagaimana dapat dilihat, antara lain dalam sidang-sidang BPUPKI. Betapa para pendiri republik ini sangat menghargai pluralisme, perbedaan (multikulturalisme). Baik dalam konteks sosial maupun politik. Bahkan pencoretan “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta, pun dapat dipahami dalam

Page 28: New Microsoft Office Word Document

konteks menghargai sebuah multikulturalisme dalam arti luas.

Kemudian sebuah ideologi yang diharapkan mampu menjadi jalan tengah sekaligus jembatan yang menjembatani terjadinya perbedaan dalam negara Indonesia. Yaitu Pancasila, yang seharusnya mampu mengakomodasi seluruh kepentingan kelompok sosial yang multikultural, multietnis, dan agama ini. Termasuk dalam hal ini Pancasila haruslah terbuka. Harus memberikan ruang terhadap berkembangannya ideologi sosial politik yang pluralistik.

Pancasila adalah ideologi terbuka dan tidak boleh mereduksi pluralitas ideologi sosial-politik, etnis dan budaya. Melalui Pancasila seharusnya bisa ditemukan sesuatu sintesis harmonis antara pluralitas agama, multikultural, kemajemukan etnis budaya, serta ideologi sosial politik, agar terhindar dari segala bentuk konflik yang hanya akan menjatuhkan martabat kemanusiaan itu.

5.Konsep Multikulturalisme di IndonesiaWalaupun multikulturalisme itu telah digunakan oleh pendiri bangsa Indonesia untuk mendesain kebudayaan bangsa Indonesia. Konsep multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara suku bangsa atau kebudayaan suku bangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Ulasan mengenai multikulturalisme mau tidak mau juga mengulas berbagai permasalahan yang mendukung ideologi ini, yaitu politik dan demokrasi, keadilan dan penegakan hukum, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komuniti dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, dan tingkat serta mutu produktivitas.

Dalam upaya membangun masa depan bangsa, paham multikulturalisme bukan hanya sebuah wacana, melainkan sebagai sebuah ideologi yang harus diperjuangkan karena dibutuhkan sebagai landasan bagi tegaknya demokrasi, HAM, dan kesejahteraan hidup masyarakatnya. Multikulturalisme bukan sebuah ideologi yang berdiri sendiri yang terpisah dari ideologi-ideologi lainnya. Multikulturalisme membutuhkan seperangkat konsep-konsep yang merupakan bangunan konsep-konsep untuk dijadikan acuan bagi memahaminya dan mengembangkannya dalam kehidupan bermasya-rakat. Untuk dapat memahami multikulturalisme diperlukan landasan pengetahuan yang berupa bangunan konsep-konsep yang relevan dengan dan mendukung keberadaan serta berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan manusia.

Sebagai sebuah ide atau ideologi multikulturalisme terserap dalam berbagai interaksi yang ada dalam berbagai struktur kegiatan kehidupan manusia yang tercakup dalam kehidupan sosial, kehidupan ekonomi dan bisnis, dan kehidupan politik, dan berbagai kegiatan lainnya di dalam masyarakat yang bersangkutan kajian-kajian mengenai corak kegiatan, yaitu hubungan antar manusia dalam berbagai manajemen pengelolaan sumber-sumber daya akan merupakan sumbangan yang penting dalam upaya mengembangkan dan memantapkan multikulturalisme dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bagi Indonesia.

Salah satu isu yang cukup penting untuk diperhatikan di dalam kajian-kajian mengenai manajemen

Page 29: New Microsoft Office Word Document

pengelolaan sumber-sumber daya adalah corak dari kebudayaan manajemen yang ada setempat, atau pada corak kebudayaan korporasi bila perhatian kajian terletak pada kegiatan pengelolaan manajemen sumber daya dalam sebuah korporasi. Perhatian pada pengelolaan manajemen ini akan dapat menyingkap dan mengungkapkan seperti apa corak nilai-nilai budaya dan operasionalisasi nilai-nilai budaya tersebut atau etos, dalam pengelolaaan manajemen yang dikaji.

Kajian seperti ini juga akan dapat menyingkap dan mengungkap seperti apa corak etika (ethics) yang ada dalam struktur-struktur kegiatan sesuatu pengelolaan manajemen yang memproses masukan (in-put) menjadi keluaran (out-put). Apakah memang ada pedoman etika dalam setiap struktur manajemen, ataukah tidak ada pedoman etikanya, ataukah pedoman etika itu ada yang ideal (yang dicita-citakan dan yang dipamerkan) dan yang aktual (yang betul-betul digunakan dalam proses-proses manajemen dan biasanya disembunyikan dari pengamatan umum)?

Permasalahan etika ini menjadi sangat penting dalam pengelolaan manajemen sumber daya yang dilakukan oleh berbagai organisasi, lembaga, atau pranata yang ada dalam masyarakat. Bangsa Indonesia kaya raya akan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang berkualitas. Akan tetapi pada masa sekarang ini, bangsa Indonesia, tergolong sebagai bangsa yang paling miskin di dunia dan tergolong ke dalam bangsa-bangsa yang tingkat korupsinya paling tinggi. Salah satu sebab utamanya adalah karena kita tidak mempunyai pedoman etika dalam mengelola sumber-sumber daya yang kita punyai. Pedoman etika yang menjamin proses-proses manajemen tersebut akan menjamin mutu yang dihasilkannya.

Cita-cita reformasi yang sekarang ini tampaknya mengalami kemacetan dalam pelaksanaannya, ada baiknya digulirkan kembali. Alat penggulir bagi proses-proses reformasi sebaiknya secara model dapat dioperasionalkan dan dimonitor, yaitu mengaktifkan model multikulturalisme untuk meninggalkan masyarakat majemuk dan secara bertahap memasuki masyarakat multikultural Indonesia. Sebagai model, maka masyarakat multikultural Indonesia adalah sebuah masyarakat yang berdasarkan pada ideologi multikulturalisme atau Bhinneka Tunggal Ika yang multikultural, yang melandasi corak struktur masyarakat Indonesia pada tingkat lokal dan nasional.

Bila pengguliran proses-proses reformasi yang terpusat pada terbentuknya masyarakat multikultural Indonesia itu berhasil, maka tahap selanjutnya adalah mengisi struktur-struktur atau pranata-pranata dan organisasi-organisasi sosial yang tercakup dalam masyarakat Indonesia. Isi dari struktur-struktur atau pranata-pranata sosial tersebut mencakup reformasi dan pembenahan dalam kebudayaan-kebudayaan yang ada, dalam nilai-nilai budaya dan etos, etika, serta pembenahan dalam hukum dan penegakan hukum bagi keadilan.

Dalam upaya ini harus dipikirkan adanya ruang-ruang fisik dan budaya bagi keanekaragaman kebudayaan yang ada setempat atau pada tingkat lokal maupun pada tingkat nasional dan berbagai corak dinamikanya. Upaya ini dapat dimulai dengan pembuatan pedoman etika dan pembakuannya sebagai acuan bertindak sesuai dengan adab dan moral dalam berbagai interaksi yang terserap dalam hak dan kewajiban dari pelakunya dalam berbagai struktur kegiatan dan manajemen pemerintahan.

Page 30: New Microsoft Office Word Document

Pedoman etika ini akan membantu upaya-upaya pemberantasan KKN secara hukum.

Bersamaan dengan upaya-upaya tersebut di atas, sebaiknya sistem pendidikan nasional juga mengadopsi pendidikan multikulturalisme untuk diberlakukan dalam pendidikan sekolah, dari tingkat SD sampai dengan tingkat SLTA. Multikulturalisme sebaiknya termasuk dalam kurikulum sekolah, dan pelaksanaannya dapat dilakukan sebagai pelajaran ekstra-kurikuler atau menjadi bagian dari kurikulum sekolah.

Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah menumbuhkan integrasi nasional melalui revitalisasi gagasan (mutualisme, musyawarah dan mufakat, kesetaraan) dan nilai-nilai agama (kasih sayang, damai, keadilan dan persatuan) dalam ruang lingkup pergaulan sesama anak bangsa. Memang tidak mudah bagi bangsa yang pluralistik dan multikultural untuk menjaga integrasi nasional, namun hal tersebut tetap dapat dilakukan.

Hal-hal yang harus kita lakukan adalah: pertama, meningkatkan pemahaman tentang multikulturalisme Indonesia. Perlu dilakukan penumbuhan rasa saling memiliki aset-aset nasional yang berasal dari nilai-nilai adiluhung bangsa Indonesia, khususnya dari suku-suku bangsa, sehingga mendorong terbentuknya shared property dan shared entitlement. Artinya upaya membuat seseorang dari kawasan Barat Indonesia dapat menghargai, menikmati dan merasakan sebagai milik sendiri berbagai unsur kebudayaan yang terdapat di kawasan Timur Indonesia, dan demikian pula sebaliknya.

Kedua, setiap program pembangunan hendaknya mengemban misi menciptakan dan menyeimbangkan mutualisme sebagai wujud doktrin kebersamaan dalam asas kekeluargaan (mutualism and brotherhood) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian strategi dan kebijakan pembangunan, khususnya strategi dan kebijakan budaya, harus bertolak dan berorientasi pada upaya memperkokoh persatuan Indonesia melalui upaya menumbuhkan mutualisme antar komponen bangsa dan di tingkat grass-roots.

Dalam asas kebersamaan berdasarkan asas kekeluargaan (mutualism and brotherhood atau ukhuwah) yang sekaligus dapat menumbuhkan modal sosial, kerjasama di bidang pembangunan ekonomi dapat melibatkan berbagai lokalitas di tingkat kabupaten/kota, kecamatan ataupun desa, dengan dirancangnya upaya membentuk dan mengembang-kan mutualisme untuk memperkokoh integrasi dan kohesi nasional. Dengan demikian akan terwujud pembangunan ekonomi dan sekaligus interdependensi sosial. Pola interdependensi, yang sekaligus merupakan ketahanan budaya, harus dirancang oleh lembaga perencanaan di tingkat nasional dan tingkat daerah sebagai bagian dari integritas bangsa. Untuk memperkokoh kohesi nasional, perencanaan akan menjadi tujuan strategis karena perencanaan mendesain masa depan.

Sebagai bangsa yang pluralistik, dalam membangun masa depan bangsa dipandang perlu untuk memberi tempat bagi berkembangnya kebudayaan suku bangsa dan kebudayaan agama yang ada di Indonesia. Dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan suku bangsa dan kebudayaan agama, bersama-sama dengan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara, mewarnai perilaku dan kegiatan

Page 31: New Microsoft Office Word Document

masyarakat. Berbagai kebudayaan itu jalan beriringan, saling melengkapi dan saling mengisi, tidak berdiri sendiri-sendiri, bahkan mampu untuk saling menyesuaikan dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam konteks itu pula maka ribuan suku bangsa sebagai masyarakat yang multikultural yang terdapat di Indonesia serta potensi-potensi budaya yang dimilikinya harus dilihat sebagai aset negara yang dapat didayagunakan bagi pembangunan bangsa ke depan. Intinya adalah menekankan pada pentingnya memberikan kesempatan bagi berkembangnya masyarakat multikultural yang masing-masing harus diakui haknya untuk mengembangkan dirinya.

Hal ini juga berarti bahwa masyarakat multikultural harus memperoleh kesempatan yang baik untuk menjaga dan mengembangkan kearifan budaya lokal mereka ke arah kualitas dan pendayagunaan yang lebih baik. Unsur-unsur budaya lokal yang bermanfaat bagi diri sendiri bahkan perlu dikembangkan lebih lanjut agar dapat menjadi bagian dari kebudayaan bangsa, memperkaya unsur-unsur kebudayaan nasional. Meskipun demikian, misi utamanya adalah mentransformasikan kenyataan multikultural sebagai aset dan sumber kekuatan bangsa serta menjadikannya suatu sinergi nasional.

Oleh karena itu, walaupun masyarakat multikultural harus dihargai potensi dan haknya untuk mengembangkan diri sebagai pendukung kebudayaannya di atas tanah kelahiran leluhurnya, namun pada saat yang sama, mereka juga harus tetap diberi ruang dan kesempatan untuk mampu melihat dirinya, serta dilihat oleh masyarakat lainnya yang sama-sama merupakan warga negara Indonesia.

Dengan demikian, membangun dirinya, membangun tanah leluhurnya, berarti juga membangun bangsa dan tanah air tanpa merasakannya sebagai beban, namun karena ikatan kebersamaan dan saling bekerjasama.

6. Ketika Multikulturalisme Menjadi Sebuah MasalahAkhir-akhir ini, intensitas dan ekstensitas konflik sosial di tengah-tengah masyarakat terasa kian meningkat. Terutama konflik sosial yang bersifat horisontal, yakni konflik yang berkembang di antara anggota masyarakat, meskipun tidak menutup kemungkinan timbulnya konflik berdimensi vertikal, yakni antara masyarakat dan negara.Konflik sosial dalam masyarakat merupakan proses interaksi yang alamiyah. Karena masyarakat tidak selamanya bebas konflik. Hanya saja, persoalannya menjadi lain jika konflik sosial yang berkembang dalam masyarakat tidak lagi menjadi sesuatu yang positif, tetapi berubah menjadi destruktif bahkan anarkis.

Perkembangan terakhir menunjukkan pada kita, sejumlah konflik sosial dalam masyarakat telah berubah menjadi destruktif bahkan cenderung anarkhis. Kasus Ambon, Poso, Maluku, GAM di Aceh, dan berbagai kasus yang menyulut kepada konflik yang lebih besar dan berbahaya. Konflik sosial berbau SARA (agama) ini tidak dianggap remeh dan harus segera diatasi secara memadai dan proporsional agar tidak menciptakan disintergrasi nasional. Banyak hal yang patut direnungkan dan dicermati dengan fenomena konflik sosial tersebut. Apakah fenomena konflik sosial ini merupakan peristiwa yang bersifat insidental dengan motif tertentu dan kepentingan sesaat, ataukah justru merpakn budaya dalam masyarakat yang

Page 32: New Microsoft Office Word Document

bersifat laten. Realitas empiris ini juga menunjukkan kepada kita bahwa masih ada problem yang mendasar yang belum terselesaikan. Menyangkut penghayatan kita terhadap agama sebagai kumpulan doktrin di satu pihak dan sikap keagamaan yang mewujud dalam prilaku kebudayaan di pihak lain. Kemajemukan masyarakat lokal seperti itu bukan saja bersifat horisontal (perbedaan etnik, agama dan sebagainya), tetapi juga sering berkecenderungan vertikal, yaitu terpolarisasinya status dan kelas sosial berdasar kekayaan dan jabatan atau pekerjaan yang diraihnya. Dalam hal yang pertama, perkembangan ekonomi pasar membuat beberapa kelompok masyarakat tertentu, khususnya dari etnik tertentu yang memiliki tradisi dagang, naik peringkatnya menjadi kelompok masyarakat yang menimbulkan kecemburuan sosial masyarakat setempat yang mandeg perkembangannya. Dalam hal kedua, kelompok masyarakat etnis dan agama tertentu, yang semula berada di luar mainstream, yaitu berada di pinggiran, mulai menembus masuk ke tengah mainstream. Hal ini dapat menimbulkan gesekan primordialistik, apalagi bila ditunggangi kepentingan politik dan ekonomi tertentu seperti terjadi di Ambon, Poso, Aceh dan lainnya .7. Upaya Bersama di Dalam Menyikapi Sebuah MultikulturalismeDengan menjalankan asas gerakkan multikulturalisme menjadi sebuah ideologi yang dianggap mampu menyelesaikan berbagai masalah yang berkaitan dengan Multikulturalisme. Yaitu dengan asas-asas sebagai berikut:a) Manusia tumbuh dan besar pada hubungan sosial di dalam sebuah tatanan tertentu, dimana sistem nilai dan makan di terapkan dalam berbagai simbol-simbol budaya dan ungkapan-ungkapan bangsa.b) Keanekaragaman Budaya menunjukkan adanya visi dan sisitem makan tang berbeda, sehingga budaya satu memrlukan budaya lain. Dengan mempelajari kebudayaanlain, maka akan memperluas cakrawala pemahaman akan makna multikulturalismec) Setiap kebudayaan secara Internal adalah majemuk, sehingga dialog berkelanjutan sangat diperlukan demi terciptanya persatuan

Dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia, paradigma hubungan dialogal atau pemahaman timbal balik sangat dibutuhkan, untuk mengatasi ekses-ekses negatif dari suatu problem disintegrasi bangsa. Paradigma hubungan timbal balik dalam masyarakat multikultural mensyaratkan tiga kompetensi normatif, yaitu kompetensi kebudayaan, kemasyarakatan dan kepribadian.

Kompetensi kebudayaan adalah kumpulan pengetahuan yang memungkinkan mereka yang terlibat dalam tindakan komunikatif membuat interpretasi-interpretasi yang dapat mengkondisikan tercapainya konsesus mengenai sesuatu. Kompetensi kemasyarakatan merupakan tatanan-tatanan syah yang memungkinkan mereka yang terlibat dalam tindakan komunikatif membentuk solidaritas sejati. Kompetensi kepribadian adalah kompetensi yang memungkinkan seorang subjek dapat berbicara dan bertindak dan karenanya mampu berpartisipasi dalam proses pemahaman timbal balik sesuai konteks tertentu dan mampu memelihara jati dirinya sendiri dalam berbagai perubahan interaksi.

Semangat kebersamaan dalam perbedaan sebagaimana terpatri dalam wacana ”Bhineka Tunggal Ika” perlu menjadi “roh” atau spirit penggerak setiap tindakan komunikatif, khususnya dalam proses pengambilan ekputusan politik, keputusan yang menyangkut persoalan kehidupan bersama sebagai bangsa dan negara.

Page 33: New Microsoft Office Word Document

Jika tindakan komunikatif terlaksana dalam sebuah komunitas masyarakat multikultural, hubungan diagonal ini akan menghasilkan beberapa hal penting, misalnya:a) Reproduksi kultural yang menjamin bahwa dalamkonsepsi politik yang baru, tetap ada kelangsungan tradisi dan koherensi pengetahuan yang memadai untuk kebutuhan konsesus praktis dalam praktek kehidupan sehari-hari.b) Integrasi sosial yang menjamin bahwa koordinasi tindakan politis tetap terpelihara melalui sarana-sarana hubungan antar pribadi dan antar komponen politik yang diatur secara resmi (legitemed) tanpa menghilangkan identitas masing-masing unsur kebudayaan.c) Sosialisasi yang menjamin bahwa konsepsi polotik yang disepakati harus mampu memberi ruang tindak bagi generasi mendatang dan penyelarasan konteks kehidupan individu dan kehidupan kolektif tetap terjagaDapat dikatakan bahwa secara konstitusional negara Indonesia dibangun untuk mewujudkan dan mengembangkan bangsa yang religius, humanis, bersatu dalam kebhinnekaan. Demokratis dan berkeadilan sosial, belum sepenuhnya tercapai. Konsekwensinya ialah keharusan melanjutkan proses membentuk kehidupan sosial budaya yang maju dan kreatif; memiliki sikap budaya kosmopolitan dan pluralistik; tatanan sosial politik yang demokratis dan struktur sosial ekonomi masyarakat yang adil dan bersifat kerakyatan. Dengan demikian kita melihat bahwa semboyan ‘Satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa dan ‘Bhinneka Tunggal Ika’ masih jauh dari kenyataan sejarah. Ia masih merupakan mitos yang perlu didekatkan dengan realitas sejarah. Bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang kokoh, beranekaragam budaya, etnik, suku, ras dan agama, yang kesemuanya itu akan menjadikan Indonesia menjadi sebuah bangsa yang mampu mengakomodasi kemajemukkan itu menjadi suatu yang tangguh. Sehingga ancaman disintegrasi dan perpecahan bangsa dapat dihindari.

B. Kebudayaan Jepang1.) Sejarah JepangPerubahan yang krusial atas Jepang dimulai pada tahun 1603. Pada saat itu, Ieyasu yang telah berhasil menyatukan seluruh Jepang, membangun kekaisarannya di Edo, sekarang dikenal dengan Tokyo. Ieyasu mencoba membangun setiap aspek di negara ini sehingga negara ini mampu berdiri sendiri tanpa bantuan dari negara lain. Hasil dari politik yang dilakukan Ieyasu ini kemudian dimanfaatkan oleh Kekaisaran Tokugawa pada tahun 1639 dengan lahirnya Politik Isolasi. Latar belakang dari lahirnya Politik Isolasi ini banyaknya misionaris Kristen yang datang menyebarkan Agama Kristen. Berkembangnya Agama Kristen akan menjadi mimpi buruk bagi kekaisaran, oleh sebab itu Kaisar mengambil langkah untuk tidak berhubungan dengan negara asing, kecuali dengan Pedagang-Pedagang Belanda yang dinilai menguntungkan. Itu pun hanya dilakukan di satu tempat, yaitu di Pulau Dejima, Nagasaki.Politik Isolasi ini bertahan lebih dari 200 tahun sampai pada tahun 1853, Komodor Perry dari angkatan laut Amerika Serikat dengan 4 buah kapalnya memaksa Jepang untuk membuka diri kembali terhadap dunia luar.

Page 34: New Microsoft Office Word Document

Kekaisaran Tokugawa berakhir pada tahun 1867, dan digantikan dengan Kekaisaran Meiji. Pada zaman ini Jepang banyak mengalami kemajuan. Dan hanya dalam beberapa decade mampu menyejajarkan diri dengan negara-negara barat. Pada zaman ini pula Edo berganti nama dengan Tokyo, dan kasta-kasta yang ada pada zaman feudal dihapuskan. Restorasi Meiji benar-benar mampu menggerakkan seluruh aset negara yang ada, sehingga pada beberapa peperangan, Jepang dapat menang. Hasil dari kemenangan itu antara lain adalah dengan direbutnya Taiwan dari Cina pada tahun 1895 dan Sakhalin selatan pada tahun 1905 dari Rusia. Setelah itu Jepang pun mulai membesarkan daerah jajahannya dengan merebut korea pada tahun 1910. Kaisar Meiji meninggal pada tahun 1912 dan mewariskan tahta pada Kaisar Taisho, dan dimulailah Kekaisaran Showa. Kekaisaran Showa ini dimulai dengan kondisi yang menjanjikan. Industri yang terus berkembang, dan kehidupan politik yang telah mengakar di parlemen-parlemen pemerintahan. Namun masalah-masalah baru terus bermunculan. Krisis ekonomi dunia menekan kehidupan rakyat. Rakyat mulai tidak percaya terhadap pemerintah karena banyaknya skandal. Hal ini dimanfaatkan oleh para ekstrimis dan berhasil menomorsatukan militer di negara ini. Jepang pun mulai terlibat pada banyak peperangan. Fungsi dari Parlemen pun semakin berkurang. Semuanya ditangani militer. Hingga pada akhirnya pecahnya Perang Pasifik pada tahun 1941. Pada tahun 1945, Jepang menyerah pada sekutu akibat semakin melemahnya kekuatannya setelah Hiroshima dan Nagasaki dilumpuhkan. Dalam masa pendudukan sekutu ini banyak hal yang diubah. diantaranya adalah diberikannya hak kepada wanita untuk memberikan suara pada pemilu, dan juga kebebasan untuk mengelurkan pendapat, memeluk agama, dan lain-lain. Pada tahun 1951, setelah ditandatanganinya Perjanjian Perdamaian San Fransisko, Jepang mendapatkan haknya kembali untuk menjalankan politiknya kembali. Satu tugas besar menunggu, yaitu mengangkat kembali negara ini dari keterpurukannya akibat perang. Dalam masa tidak lebih dari 10 tahun, dibantu dengan negara-negara luar, Jepang mampu tegak kembali dan bersaing di pasar internasional. Satu bukti dari kebangkitannya itu adalah dengan menjadi tuan rumah Olimpiade Tokyo 1964, yang juga menjadi symbol atas kebangkitan Jepang. Tidak hanya itu, pada tahun 1975 Jepang sudah diakui menjadi negara maju dan masuk dalam kelompok negara G-7.2.) Sains dan TeknologiSejak Perang Dunia II, Pembangunan teknologi dibagi atas beberapa tahap. Akhir tahun 1940-an hingga tahun 1950-an, pembangunan ditekankan pada pembangunan infrastruktur, seperti pembangunan tempat-tempat riset dan sebagainya, dan pengumpulan teknologi dari luar negeri. Pada saat inilah banyak pemuda-pemuda Jepang yang dikirim ke luar negeri untuk belajar. 10 tahun berikutnya adalah tahap mencoba untuk melakukan riset sendiri. Pada tahun 1970-an, Jepang memusatkan pada masalah teknologi yang bersifat ramah lingkungan dan juga penghematan energi. Dan mulai tahun 1980-an, penekanan pembangunan dilakukan pada kreativitas dalam sains dan teknologi itu sendiri. Jepang merupakan negara yang banyak mengeluarkan dana untuk riset dan pembangunan teknologi. Pada tahun 1993 tercatat dana yang dikeluarkan untuk riset dan teknologi mencapai 13.7 trilyun yen. Angka ini merupakan 2.9% dari total GNP negara ini pada saat itu. Dari persentase ini, 79% dikeluarkan dari sector swasta. Beberapa proyek teknologi yang berskala besar di Jepang saat ini: Pembangkit Listrik Tenaga NuklirPada tahun 1995, Jepang memiliki 45 reaktor nuklir pembangkit listrik. Reaktor-reaktor ini menyediakan sekitar 46 juta kilowatt per tahun, atau sekitar 33% dari total energi yang dibutuhkan Jepang per

Page 35: New Microsoft Office Word Document

tahunnya. Pada saat ini penelitian dan pengembangan pada bidang ini masih tetap dilakukan sehingga ditargetkan pada tahun 2010, pembangkit listrik tenaga nuklir akan mensuplai 71 juta kilowatt, atau sekitar 41% dari total listrik yang diperlukan per tahunnya. KeretaJepang merupakan negara yang maju dalam hal perkeretaan. Untuk kota-kota besar seperti Tokyo dan Osaka, hampir seluruh tempat di kota ini yang bias dicapai dengan menggunakan kereta. Untuk kereta antar kota, disamping kereta biasa tersedia pula kereta ekspress, shinkansen. Shinkansen pertama kali diluncurkan pada tahun 1964, berbarengan dengan diadakannya olimpiade di Tokyo. Hal itu merupakan bukti kesiapan Jepang dalam menjadi tuan rumah olimpiade pada saat itu. Dengan kecepatan yang mencapai 300 km/jam, dalam waktu yang singkat dapat menempuh waktu yang jauh. Tidak hanya itu, saat ini Jepang sedang melakukan riset dan tes uji coba tahap akhir kereta super cepat, Maglev. Kereta ini dapat menempuh kecepatan 500 km/jam. Teknologi AntariksaPada tahun 1995, Jepang telah meluncurkan 58 satelit ke luar angkasa untuk bermacam-macam tujuan. Observasi cuaca, komunikasi, dan lain-lain. Walaupun demikian, Jepang belum pernah menerbangkan pesawat antariksanya sendiri walau astronot-astronotnya sudah beberapa kali terbang ke luar angkasa. Karena itulah pada saat ini penelitian di bidang ini sedang digalakkan. Salah satu contohnya adalah proyek yang diberi nama ‘Hope’, tujuannya adalah pada awal abad ke 21 ini, Jepang akan menerbangkan pesawat antariksanya ke luar angkasa. 3.) Budaya JepangJEPANG merupakan contoh perpaduan harmonis antara modern dan tradisional. ‘’Negeri matahari terbit’’ ini tidak hanya memancarkan sinar kemajuan industri dan teknologi, melainkan juga memiliki keunikan budaya yang tak tenggelam di tengah arus modernisasi. Budaya Jepang —dalam banyak hal bersumber pada spirit Konfusianisme dan Shintoisme— sangat mewarnai kehidupan sosial dan etos bisnis. Jepang memiliki budaya konteks tinggi yang sangat berbeda, khususnya dengan budaya Barat, yang lebih egaliter dan terbuka. Pilar utama nilai-nilai budaya Jepang dikenal dengan wa (harmoni), kao (reputasi), dan omoiyari (loyalitas). Konsepsi wa mengandung makna mengedepankan semangat teamwork, menjaga hubungan baik, dan menghindari ego individu. Perlu diingat, pengaruh nilai wa dalam pola budaya Jepang terutama budaya bisnis— yaitu ekspresi tidak langsung dalam menyatakan penolakan.Orang Jepang tidak bisa berkata tidak. Dalam menyampaikan pendapat, mereka lebih mengutamakan konteks, tidak menyatakannya secara terbuka. Secara harfiah, kao berarti wajah. Wajah merupakan cermin harga diri, reputasi, dan status sosial. Masyarakat Jepang pada umumnya menghindari konfrontasi dan kritik terbuka secara langsung. Membuat orang lain ‘’kehilangan muka’’ merupakan tindakan tabu dan dapat menyebabkan keretakan dalam hubungan bisnis. Sedangkan omoiyari berarti sikap empati dan loyalitas. Spirit omoiyari menekankan pentingnya membangun hubungan yang kuat berdasarkan kepercayaan dan kepentingan bersama dalam jangka panjang.

3.1 Budaya Dan Iklim Bisnis

Memasuki abad ke-20, setelah kekalahannya dalam Perang Dunia II, Jepang mulai mengadopsi teknologi Barat dan menggenjot industri dalam negerinya. Sejak itu, Jepang mengalami pertumbuhan ekonomi

Page 36: New Microsoft Office Word Document

yang cepat dan menjadi salah satu negara pengekspor paling sukses. Kini Jepang merupakan negara industri terkemuka, dengan iklim bisnis dan pasar terbuka yang ramah bagi investasi dan perdagangan asing. Meskipun Jepang mengalami proses modernisasi yang cepat, pola budaya dan tradisinya masih kental mewarnai praktek dan hubungan bisnis. Berikut gambaran praktek bisnis di Jepang pada umumnya.• Struktur dan hierarki dalam bisnis dan perusahaan Jepang sangat kuat. Hierarki yang kuat juga tercermin dalam negosiasi bisnis. Proses negosiasi biasanya dimulai dari executive level, kemudian dilanjutkan pada middle level. Meskipun demikian, keputusan dibuat secara kolektif. • Proses negosiasi bisnis dengan Jepang dikenal alot dan lamban. Namun adanya persaingan bisnis yang ketat dewasa ini mendorong pengambilan keputusan dibuat lebih cepat dan efisien. • Dalam budaya bisnis Jepang, senioritas sangat dihormati. Umur dan status biasanya terkait erat. Dalampertemuan bisnis, posisi tempat duduk didasarkan pada tingkat senioritasnya. • Di Jepang, kontrak bisnis tidak otomatis diartikan sebagai kesepakatan akhir. Lebih penting dari itu adalah memelihara relasi dengan baik untuk kepentingan jangka panjang.• Pemimpin yang selalu memikirkan penampilannya tidaklah ada gunanya karena citra sama sekali tidak bermakna.• Disiplin ketat dan organisasi, jadi batu penjuru warga jepang bahwa sampai kapan pun kedisiplinan dan nilai kerja tetaplah amat berharga.

C. Kebudayaan Yogyakarta1. Grebeg Syawal 1941 JimawalKraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat menggelar tradisi Grebeg Syawal (jawa: Sawal), Kamis (02/10/2008), dalam Kalender Jawa bertepatan dengan tanggal 1 Sawal tahun 1941 Jimawal. Rangkaian upacara dimulai dari Pagelaran Kraton dan diakhiri dengan rayahan gunungan di halaman Masjid Gede Kauman. Upacara tradisional yang digelar setiap tahun ini merupakan dimaknai sebagai sedekah Sultan kepada rakyatnya.2. Nyadran Makam SewuNyadran merupakan tradisi melakukan ziarah kubur ke makam leluhur menjelang bulan Ramadhan (Jawa: Pasa). Di Makam Sewu Desa Wijirejo, Kecamatan Pandak, Bantul, setiap tahunnya digelar tradisi Nyadran yang dikemas dengan ritual budaya menarik. Dilaksanakan setelah tanggal 20 bulan Ruwah dalam kalender jawa. Ritual ini digelar untuk menghormati Panembahan Bodo, seorang tokoh penyebar.3. Tradisi Labuhan Alit di ParangkusumoKraton Yogyakarta menggelar tradisi Labuhan Alit di Pantai Parangkusumo, Minggu (03/08/2008). Tradisi ini diselenggarakan dalam rangka peringatan Jumenengan Ndalem (penobatan) Sri Sultan Hamengku Buwono X setiap tanggal 30 bulan Rejeb dalam penanggalan Jawa. Barang-barang tinggalan dalem (milik sultan), baju, kain, serta potongan rambut dan kuku sultan dilarung ke laut sebagai persembahan bagi penguasa laut selatan.4. Grebeg Selarong, Tradisi Budaya Mengenang Perjuangan DiponegoroGrebeg Selarong sebuah tradisi budaya digelar di pelataran Goa Selarong yang terletak di Desa Guwosari, Pajangan, Bantul. Minggu (27/07/2008) lalu, masyarakat sekitar selarong untuk keempat kalinya menggelar tradisi ini. Warga berpakaian tradisional Jawa memadati pelataran goa bersejarah tersebut. Grebeg Selarong kali ini diselenggarakan secara sederhana. Tanpa prosesi kirab, hanya

Page 37: New Microsoft Office Word Document

membawa sebuah gunungan berukuran kecil berhias hasil.

D. Perbandingan Kebudayaan Jepang dengan IndonesiaBudaya adalah kristalisasi nilai dan pola hidup yang dianut suatu komunitas. Budaya tiap komunitas tumbuh dan berkembang secara unik, karena perbedaan pola hidup komunitas itu. Perbandingan budaya Jepang dan Indonesia berarti mencari nilai-nilai kesamaan dan perbedaan antara bangsa Indonesia dan bangsa Jepang. Dengan mengenali persamaan dan perbedaan kedua budaya itu, kita akan semakin dapat memahami keanekaragaman pola hidup yang ada, yang akan bermanfaat saat berkomunikasi dan berinteraksi dengan pihak yang berasal dari budaya yang berbeda.Kesulitan utama dalam membuat perbandingan budaya antara Indonesia dan Jepang disebabkan perbedaan karakteristik kedua bangsa tersebut. Bangsa Jepang relatif homogen, dan hanya memiliki sekitar 15 bahasa (tidak berarti 15 suku bangsa, karena termasuk didalamnya sign language untuk tuna rungu), dan telah memiliki sejarah yang jauh lebih panjang, sehingga nilai-nilai budaya itu lebih mengkristal. Adapun bangsa Indonesia berciri heterogen, multi etnik, memiliki lebih dari 700 bahasa, sehingga tidak mudah untuk mencari serpih-serpih budaya yang mewakili Indonesia secara nasional. Perlu dipisahkan nilai-nilai mana yang diterima secara nasional di Indonesia, dan mana yang merupakan karakter unik salah satu suku yang ada.1. Tradisi penamaan di JepangNama di Jepang terdiri dari dua bagian : family name dan first name. Nama ini harus dicatatkan di kantor pemerintahan (kuyakusho), selambat-lambatnya 14 hari setelah seorang bayi dilahirkan. Semua orang di Jepang kecuali keluarga kaisar, memiliki nama keluarga. Tradisi pemakaian nama keluarga ini berlaku sejak jaman restorasi Meiji, sedangkan di era sebelumnya umumnya masyarakat biasa tidak memiliki nama keluarga. Dewasa ini ada sekitar 100 ribu nama keluarga di Jepang, dan diantaranya yang paling populer adalah Satou dan Suzuki. Jika seorang wanita menikah, maka dia akan berganti nama keluarga, mengikuti nama suaminya. Namun demikian, banyak juga wanita karir yang tetap mempertahankan nama keluarganya. Tradisi di Jepang dalam memilih first name, dengan memperhatikan makna huruf Kanji, dan jumlah stroke, diiringi dengan harapan atau doa bagi kebaikan si anak.2. Tradisi penamaan di IndonesiaAdapun masyarakat di Indonesia tidak semua suku memiliki tradisi nama keluarga. Masyarakat Jawa misalnya, tidak memiliki nama keluarga. Tetapi suku di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi memiliki nama keluarga. Dari nama seseorang, kita dapat memperkirakan dari suku mana dia berasal, agama apa yang dianut dsb. Berikut karakteristik nama tiap suku di Indonesia• Suku Jawa (sekitar 45% dari seluruh populasi) : biasanya diawali dengan Su (untuk laki-laki) atau Sri (untuk perempuan), dan memakai vokal “o”. Contoh : Sukarno, Suharto, Susilo, Joko, Anto, Sri Miranti, Sri Ningsih.• Suku Sunda(sekitar 14% dari seluruh populasi) : banyak yang memiliki perulangan suku kata. Misalnya Dadang, Titin, Iis, Cecep• Suku Batak : beberapa contoh nama marga antara lain Harahap, Nasution.• Suku Bali : Ketut, Made, Putu, Wayan dsb. Nama ini menunjukkan urutan, bukan merupakan nama keluarga.Selain nama yang berasal dari tradisi suku, banyak nama yang diambil dari pengaruh agama. Misalnya umat Islam : Abdurrahman Wahid, Abdullah, dsb. Sedangkan umat Katolik biasanya memakai nama

Page 38: New Microsoft Office Word Document

baptis : Fransiskus, Bonivasius, Agustinus, dsb.3. Perbandingan kedua tradisia.) Persamaan antara kedua tradisiBaik di Jepang maupun di Indonesia dalam memilih nama (first name) sering memilih kata yang mensimbolkan makna baik, sebagai doa agar si anak kelak baik jalan hidupnya. Khusus di Jepang, banyaknya stroke kanji yang dipakai juga merupakansalah satu pertimbangan tertentu dalam memilih huruf untuk anak.

b.) Perbedaan antara kedua tradisi sbb.1. Di Jepang, nama keluarga dimasukkan dalam catatan sipil secara resmi, tetapi di Indonesia nama keluarga ini tidak dicatatkan secara resmi di kantor pemerintahan2. Di Jepang setelah menikah seorang wanita akan berganti nama secara resmi mengikuti nama keluarga suaminya. Sedangkan di Indonesia saat menikah, seorang wanita tidak berganti nama keluarga. Di Indonesia umumnya setelah menikah nama suami dilekatkan di belakang nama istri. Tetapi penambahan ini tidak melewati proses legalisasi/pencatatan resmi di kantor pemerintahan.3. Huruf Kanji yang bisa dipakai untuk menyusun nama anak di Jepang dibatasi oleh pemerintah (sekitar 2232 huruf, yang disebut jinmeiyo kanji), sedangkan di Indonesia tidak ada pembatasan resmi untuk memilih kata yang dipakai sebagai nama anak4. Pemakaian gesture/gerak tubuh untuk memberikan penghormatan dan kasih sayangSalah satu topik menarik untuk dibahas adalah bagaimana memakai bahasa tubuh untuk mengungkapkan penghormatan. Jepang dan Indonesia memiliki cara berlainan dalam mengekspresikan terima kasih, permintaan maaf, dsb.a.) OjigiDalam budaya Jepang ojigi adalah cara menghormat dengan membungkukkan badan, misalnya saat mengucapkan terima kasih, permintaan maaf, memberikan ijazah saat wisuda, dsb. Ada dua jenis ojigi : ritsurei (立礼) dan zarei (座礼). Ritsurei adalah ojigi yang dilakukan sambil berdiri. Saat melakukan ojigi, untuk pria biasanya sambil menekan pantat untuk menjaga keseimbangan, sedangkan wanita biasanya menaruh kedua tangan di depan badan. Sedangkan zarei adalah ojigi yang dilakukan sambil duduk. Berdasarkan intensitasnya, ojigi dibagi menjadi 3 : saikeirei (最敬礼), keirei (敬礼), eshaku (会釈). Semakin lama dan semakin dalam badan dibungkukkan menunjukkan intensitas perasaan yang ingin disampaikan. Saikeirei adalah level yang paling tinggi, badan dibungkukkan sekitar 45 derajat atau lebih. Keirei sekitar 30-45 derajat, sedangkan eshaku sekitar 15-30 derajat. Saikeirei sangat jarang dilakukan dalam keseharian, karena dipakai saat mengungkapkan rasa maaf yang sangat mendalam atau untuk melakukan sembahyang. Untuk lebih menyangatkan, ojigi dilakukan berulang kali. Misalnya saat ingin menyampaikan perasaan maaf yang sangat mendalam. Adapun dalam budaya Indonesia, tidak dikenal ojigi.

b.) Jabat tanganTradisi jabat tangan dilakukan baik di Indonesia maupun di Jepang melambangkan keramahtamahan dan kehangatan. Tetapi di Indonesia kadang jabat tangan ini dilakukan dengan merangkapkan kedua tangan. Jika dilakukan oleh dua orang yang berlainan jenis kelamin, ada kalanya tangan mereka tidak

Page 39: New Microsoft Office Word Document

bersentuhan. Letak tangan setelah jabat tangan dilakukan, pun berbeda-beda. Ada sebagian orang yang kemudian meletakkan tangan di dada, ada juga yang diletakkan di dahi, sebagai ungkapan bahwa hal tersebut tidak semata lahiriah, tapi juga dari batin.

c.) Cium tanganTradisi cium tangan lazim dilakukan sebagai bentuk penghormatan dari seorang anak kepada orang tua, dari seorang awam kepada tokoh masyarakat/agama, dari seorang murid ke gurunya. Tidak jelas darimana tradisi ini berasal. Tetapi ada dugaan berasal dari pengaruh budaya Arab. Di Eropa lama, dikenal tradisi cium tangan juga, tetapi sebagai penghormatan seorang pria terhadap seorang wanita yang bermartabat sama atau lebih tinggi. Dalam agama Katolik Romawi, cium tangan merupakan tradisi juga yang dilakukan dari seorang umat kepada pimpinannya (Paus, Kardinal). Di Jepang tidak dikenal budaya cium tangan.

d.) Cium pipiCium pipi biasa dilakukan di Indonesia saat dua orang sahabat atau saudara bertemu, atau sebagai ungkapan kasih sayang seorang anak kepada orang tuanya dan sebaliknya. Tradisi ini tidak ditemukan di Jepang.

e.) SungkemTradisi sungkem lazim di kalangan masyarakat Jawa, tapi mungkin tidak lazim di suku lain. Sungkem dilakukan sebagai tanda bakti seorang anak kepada orang tuanya, seorang murid kepada gurunya. Sungkem biasa dilakukan jika seorang anak akan melangsungkan pernikahan, atau saat hari raya Idul Fitri (bagi muslim), sebagai ungkapan permohonan maaf kepada orang tua, dan meminta doa restunya.Baik budaya Jepang maupun Indonesia memiliki keunikan tersendiri dalam mengekspresikan rasa hormat, rasa maaf. Jabat tangan adalah satu-satunya tradisi yang berlaku baik di Jepang maupun Indonesia. Kesalahan yang sering terjadi jika seorang Indonesia baru mengenal budaya Jepang adalah saat melakukan ojigi, wajah tidak ikut ditundukkan melainkan memandang lawan bicara. Hal ini mungkin terjadi karena terpengaruh gaya jabat tangan yang lazim dilakukan sambil saling berpandangan mata. Kesalahan lain yang juga sering terjadi adalah mencampurkan ojigi dan jabat tangan. Hal ini juga kurang tepat dipandang dari tradisi Jepang.

E. Norma Sosial dan Norma Hukum

Secara umum pengertian norma adalah segala aturan-aturan atau pola-pola tindakan, yang normatif, yang menjadi pedoman hidup bagi orang yang bersikap tindak di dalam kehidupannya, baik dalam hidupnya sendiri maupun dalam pergaulan hidup bersama. Norma-norma tersebut diyakini oleh masyarakat yang bersangkutan sebagai milik bersama. Beraneka ragamnya norma yang hidup di masyarakat dikarenakan norma-norma tersebut sudah mengacu pada peranan-peranan manusia dalam kedudukannya di masyarakat. Selain itu apabila dilihat dari sudut daya paksa atau sanksi untuk kepatuhan terhadap suatu norma terdapat perbedaan-

Page 40: New Microsoft Office Word Document

perbedaan pula. Ada norma yang lemah atau tidak keras dengan sanksinya, atau dikatakan sebagai sanksi sosial saja. Sebaliknya ada pula yang mempunyai sanksi kuat yang dinamakan sebagai sanksi hukum, sehingga norma tersebut dinamakan sebagai norma hukum.

1. Norma Hukum dan Norma Sosial LainnyaNorma-norma yang ada dalam masyarakat bermacam-macam, atau disebut juga sebagai kaidah atau norma sosial. Macam kaidah atau norma tersebut tergantung dari dua macam aspek hidup manusia yaitu:a.) aspek hidup pribadi, meliputi: Kaidah-kaidah atau norma-norma kepercayaan, untuk mencapai kesucian hidup pribadi atau kehidupan beriman. Kaidah-kaidah kesusilaan (sittlichkeit atau moral/etika dalam arti sempit) yang tertuju pada kebaikan hidup pribadi atau kebersihan hati nurani dan akhlak (kehidupan dengan geweten).

b.) aspek hidup antar pribadi, meliputi: Kaidah-kaidah atau norma-norma sopan santun yang bertujuan agar tercapai kenyamanan hidup bersama. Kaidah-kaidah atau norma-norma hukum yang bertujuan agar tercapai kedamaian hidup bersama.

Mengingat dalam masyarakat ada beraneka norma yang dianut dan diagungkan oleh warga masyarakat yang bersangkutan sebagai pedoman berlaku, dan tatanan sosial terwujud berkat pedoman-pedoman tersebut. Selain itu hukum perundang-undangan tidak dapat mengatur semua segi kehidupan manusia. Sehingga kehidupan manusia perlu dilengkapi oleh pedoman hidup yaitu norma-norma sosial lainnya.

2. Proses Norma Sosial Menjadi Norma HukumDalam konteks diri manusia sebagai makhluk sosial, maka tujuan hidup bersama yang ingin dicapai adalah kedamaian dan keteraturan hidup antar manusia. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan suatu patokan atau pedoman yang mengatur bagaimana manusia dapat berperilaku pantas dan semestinya di dalam masyarakat. Patokan atau pedoman berperilaku pantas tersebut adalah dalam ukuran yang sesuai dengan masyarakat yang bersangkutan. Mengingat setiap manusia tentu mempunyai ukuran pantas atau semestinya berbeda-beda dengan manusian lainnya, sehingga sebagai makhluk sosial kehidupan sosialnyapun perlu diatur oleh suatu pedoman, patokan atau standar yang disepakati bersama, yang disebut dengan kaidah atau norma.

Proses bagaimana terjadinya kaidah atau norma itu dapat dijelaskan berkaitan dengan manusia sebagai makhluk budaya. Sebagai makhluk budaya, manusia diberikan kemampuan berpikir, ia diberi Tuhan akal untuk menjalani kehidupannya. Perilaku yang ia lakukan setiap hari adalah hasil dari proses belajar dari generasi sebelumnya dan juga lingkungan hidupnya. Pola hidup dengan norma-norma yang ada sebagai pedoman hidup atau patokan hidup itu muncul karena adanya suatu kebutuhan hidup manusia yang harus dipenuhi.

Page 41: New Microsoft Office Word Document

Dalam penerapan norma-norma yang telah disepakati bersama tersebut, apabila terjadi pelanggaran atas suatu norma sosial maka akan ada sanksi sosial, misalnya dikucilkan, dicemooh, dan lain-lain. Apabila suatu norma sosial diberlakukan dengan paksaan suatu sanksi maka norma sosial tersebut menjadi norma hukum. Menurut E. Adamson Hoebel, suatu norma sosial adalah hukum apabila pelanggarannya atau tindakan tidak mengindahkannya secara teratur ditindak, yaitu tindakan fisik, secara ancaman atau secara nyata, oleh seseorang atau suatu kelompok orang, yang mempunyai wewenang bertindak secara sosial diakui. (T.O. Ihromi, 1986: 5). Jadi perbedaan norma hukum dan norma sosial adalah dalam norma hukum, hukum dapat menerapkan penggunaan kekuatan yang ada pada masyarakat yang terorganisasi untuk menghindari atau menghukum pelanggaran terhadap norma sosial.

Sebagai negara hukum, maka penyelenggaraan organisasi negara yang berkaitan dengan pemerintahan maupun seluruh rakyatnya diatur oleh hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis. Hukum yang tertulis yang dibuat oleh lembaga legislatif atas usulan Pemerintah, mempunyai kedudukan yang penting dalam pengaturan penyelenggaraan negara. Di sisi lain norma-norma sosial lainnya atau norma-norma bukan hukum tidak dapat diabaikan peranannya dalam usaha mewujudkan kenyamanan, kedamaian dan ketertiban hidup manusia dalam suatu masyarakat.

3. Pengertian, Tujuan dan Fungsi HukumHukum mempunyai pengertian yang beraneka, dari segi macam, aspek dan ruang lingkup yang luas sekali cakupannya. Kebanyakan para ahli hukum mengatakan tidak mungkin membuat suatu definisi tentang apa sebenarnya hukum itu. Pendapat ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Van Apeldoorn yang mengatakan bahwa hukum itu banyak seginya dan demikian luasnya sehingga tidak mungkin menyatakannya dalam satu rumusan yang memuaskan. (apeldoorn, 1982: 13). Oleh sebab itu menurut Purnadi Purbacaraka, pengertian hukum antaralain dapat dilihat dari cara-cara merealisasikan hukum tersebut dan bagaimana pengertian masyarakat terhadap hukum, yang antara lain adala sebagai berikut:1.) Hukum sebagai ilmu pengetahuan,2.) Hukum sebagai disiplin,3.) Hukum sebagai kaidah,4.) Hukum sebagai tata hukum,5.) Hukum sebagai petugas (hukum),6.) Hukum sebagai keputusan penguasa,7.) Hukum sebagai proses pemerintahan,8.) Hukum sebagai perikelakuan yang ajeg atau sikap tindak yang teratur,9.) Hukum sebagai jalinan nilai-nilai. (Purbacaraka, 1982: 12)

Sebagai bagian dari kebudayaan, dan manusia atau masyarakat adalah pendukung dari kebudayaan tersebut, maka hukum selalu ada dimana masyarakat itu berada (ubi societas ibi ius). Keberadaan hukum tersebut, baik pada masyarakat yang modern atau masyarakat primitif atau yang masih sederhana menunjukkan bahwa hukum mempunyai kedudukan yang sangat pentin

Page 42: New Microsoft Office Word Document