NEW MEDIA · edisi keempat yang bertemakan “ Unsur Makro dan Mikro dalam ... seperti halnya...

92

Transcript of NEW MEDIA · edisi keempat yang bertemakan “ Unsur Makro dan Mikro dalam ... seperti halnya...

i

ISSN : 2355-9284

NEW MEDIA VOLUME 4 NOMOR 1 FEBRUARI 2017

PENGANTAR REDAKSI

Jurnal Desain Interior “Sekolah Tinggi Desain Bali” Volume 4 Nomor 1 Juni 2017 merupakan

edisi keempat yang bertemakan “ Unsur Makro dan Mikro dalam Perancangan Interior”. Edisi ini

diawali dengan artikel yang berjudul tentang Signifikansi Losmen Puri sebagai Bangunan Cagar

Budaya di Kota Denpasar oleh Freddy Hendrawan, S.T., M.T. Artikel kedua dengan judul

Keberadaan Wallpaper sebagai Unsur Hiasan pada Elemen Pembentuk Ruang Dalam oleh

Nyoman Ratih Prajnyani Salain, S.T., M.T. Artikel ketiga dari Tri Widianti Natalia, S.T., M.T.

dengan judul Aplikasi Geographic Information System (GIS) dalam Menentukan Lokasi

Shopping Mall. Artikel keempat yaitu, Langgam Arsitektur dan Interior Museum Agung Bung

Karno, Denpasar Bali oleh Ni Nyoman Sri Rahayu, S.T., M.T., artikel selanjutnya adalah, Re-

Konsepsi Desain Pengembangan Lansekap Alam Jatiluwih, Tabanan oleh I Dewa Gede Putra,

S.T., M.T., Pemenuhan Kebutuhan Ruangan Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT)

Kabupaten Badung Untuk Meningkatkan Efektifitas Dalam Pelayanan Perizinan Dan Non

Perizinan Dalam Satu Pintu oleh I Kadek Pranajaya, S.T., M.T., I.A.I., dan artikel terakhir

berjudul Relasi antara Elemen Dekoratif Interior Berbasis Kain Tenun Gringsing Bali dengan

Pengguna Fasilitas Relaksasi oleh Putu Surya Triana Dewi, S.T., M.Ds.

Redaksi mengucapkan terima kasih kepada Sekolah Tinggi Desain Bali atas motivasi dan

masukannya untuk kesempurnaan jurnal ini serta seluruh civitas akademika Sekolah Tinggi

Desain Bali atas kekompakan dan semangatnya. Terakhir, kritik dan saran selanjutnya sangat

kami harapkan dan kepada semua yang telah membantu penerbitan jurnal ini dan para pembaca

yang budiman, kami ucapkan terimakasih.

Redaksi :

Kampus Sekolah Tinggi Desain Bali

Jl. Tukad Batanghari No. 29 Renon – Denpasar

Telp. (0361) 259459, 7448456 Fax: (0361) 701806, 259459

Website: http://www. std-bali.ac.id

JURNAL DESAIN INTERIOR

SEKOLAH TINGGI DESAIN BALI

ii

ISSN : 2355-9284

NEW MEDIA VOLUME 4 NOMOR 1 FEBRUARI 2017

Pelindung dan Penanggung Jawab : Nyoman Suteja, Ak.

Kadek Sudrajat, S.Kom

Penasehat :

Dr. Ngakan Ketut Acwin Dwijendra, S.T., MA, Dipl.LMP

Ketua Dewan Redaksi :

Freddy Hendrawan, S.T., M.T.

Mitra Bestari :

Martin Morrell (Morrell Architects, Newcastle, NSW, Australia)

I Kadek Pranajaya, S.T., M.T., IAI

I Wayan Juliatmika, S.T., M.T.

Dewan Editor :

Freddy Hendrawan, S.T., M.T.

Ardina Susanti, S.T., M.T.

Redaktur Pelaksana :

A.A. Sg. Intan Pradnyanita, S.Sn., M.Sn.

Desain Cover :

Aditya Wahyu Ramadhan

Alamat Redaksi : Kampus Sekolah Tinggi Desain Bali

Jl. Tukad Batanghari No. 29 Renon – Denpasar

Telp. (0361) 259459, 7448456 Fax: (0361) 701806, 259459

Website: http://www. std-bali.ac.id

Jurnal ini diterbitkan sebagai media publikasi bagi karya-karya tulis dosen-dosen dan civitas akademika pada Program Studi

Desain Interior STD Bali. Selain itu juga sebagai wahana informasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidang seni,

desain interior dan arsitektur. Karya yang disajikan berupa hasil penelitian, tulisan ilimah populer, studi kepustakaan, review

buku maupun tulisan ilmiah terkait dalam lingkup desain interior. Dewan Redaksi menerima artikel terpilih untuk dimuat, dengan

frekuensi terbit secara berkala 2 (dua) kali setahun yaitu Juni dan Desember. Naskah yang dimuat merupakan pandangan dari

penulis dan Dewan Redaksi hanya menyunting naskah sesuai format dan aturan yang berlaku tanpa mengubah substansi naskah.

JURNAL DESAIN INTERIOR

SEKOLAH TINGGI DESAIN BALI

iii

ISSN : 2355-9284

NEW MEDIA VOLUME 4 NOMOR 1 FEBRUARI 2017

PETUNJUK PENGIRIMAN DAN TATA TULIS NASKAH : 1. Kategori naskah ilmiah hasil penelitian (laboratorium, lapangan, kepustakaan), ilmiah popular (aplikasi,

ulasan, opini) dan diskusi.

2. Naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris diketik pada kertas ukuran A-4, spasi

Single, dengan batas atas, bawah, kanan dan kiri masing-masing 2,5 cm dari tepi kertas.

3. Batas panjang naskah/artikel maksimum 20 halaman dan untuk naskah diskusi maksimum 5 halaman.

4. Judul harus singkat, jelas tidak lebih dari 10 kata, cetak tebal, huruf kapital, huruf Times New Roman

16 pt, ditengah-tengah kertas. Untuk diskusi, judul mengacu pada naskah yang dibahas (nama penulis

naskah yang dibahas ditulis sebagai catatan kaki).

5. Nama penulis/pembahas ditulis lengkap tanpa gelar, di bawah judul, disertai institusi asal penulis dan

alamat email dibawah nama.

6. Harus ada kata kunci (keyword) dari naskah yang bersangkutan minimal 2 kata kunci. Daftar kata kunci

(keyword) diletakkan setelah abstrak.

7. Abstrak ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Inggris maksimum 150 kata, dicetak miring, 1 spasi.

Abstrak tidak perlu untuk naskah diskusi.

8. Judul bab ditulis di tengah-tengah ketikan, cetak tebal huruf capital, huruf Times New Roman 12 pt

9. Gambar, grafik, tabel dan foto harus disajikan dengan jelas. Tulisan dalam gambar, grafik, dan tabel

tidak boleh lebih kecil dari 6 point (tinggi huruf rata-rata 1,6 mm).

10. Nomor dan judul untuk gambar, grafik, tabel dan foto ditulis di tengah-tengah kertas dengan huruf

kapital di awal kata. Untuk nomor dan judul tabel diletakkan di atas tabel, sedangkan untuk nomor dan

judul gambar, grafik dan foto diletakkan di bawah gambar, grafik dan foto yang bersangkutan.

11. Untuk segala bentuk kutipan, pada akhir kutipan diberi nomor kutipan sesuai dengan catatan kaki yang

berisi referensi kutipan (nama, judul, kota, penerbit, tahun dan halaman yang dikutip). Rumus-rumus

hendaknya ditulis sederhana mungkin untuk menghindari kesalahan pengetikan. Ukuran huruf dalam

rumus paling kecil 6 point (tinggi huruf ratarata 1,6 mm).

12. Definisi notasi dan satuan yang dipakai dalam rumus disatukan dalam daftar notasi. Daftar notasi

diletakkan sebelum daftar pustaka.

13. Kepustakaan diketik 1 spasi. Jarak antar judul 1,5 spasi dan diurutkan menurut abjad. Penulisannya

harus jelas dan lengkap dengan susunan : nama pengarang. tahun. judul. kota: penerbit. Judul dicetak

miring.

KETERANGAN UMUM :

1. Naskah yang dikirim sebanyak satu eksemplar dalam program pengolahan kata M.S. Word.dan naskah

bisa dikirimkan via email atau dalam bentuk CD ke alamat redaksi.

2. Naskah belum pernah dipublikasikan oleh media cetak lain.

3. Redaksi berhak menolak atau pengedit naskah yang diterima. Naskah yang tidak memenuhi kriteria

yang ditetapkan akan dikembalikan. Naskah diskusi yang ditolak akan diteruskan kepada penulis

naskah untuk ditanggapi.

JURNAL DESAIN INTERIOR

SEKOLAH TINGGI DESAIN BALI

iv

ISSN : 2355-9284

NEW MEDIA VOLUME 4 NOMOR 1 FEBRUARI 2017

DAFTAR ISI

COVER

PENGANTAR REDAKSI

i

TIM DEWAN REDAKSI

ii

PETUNJUK PENGIRIMAN DAN TATA TULIS NASKAH

iii

DAFTAR ISI

iv

KUMPULAN JURNAL

SIGNIFIKANSI LOSMEN PURI SEBAGAI BANGUNAN CAGAR

BUDAYADI KOTA DENPASAR

Freddy Hendrawan, S.T., M.T.

1

KEBERADAAN WALLPAPER SEBAGAI UNSUR HIASAN PADA

ELEMEN PEMBENTUK RUANG DALAM

Nyoman Ratih Prajnyani Salain, S.T., M.T.

15

APLIKASI GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM (GIS) DALAM

MENENTUKAN LOKASI SHOPPING MALL

Tri Widianti Natalia, S.T., M.T.

36

LANGGAM ARSITEKTUR DAN INTERIOR MUSEUM AGUNG BUNG

KARNO, DENPASAR BALI

Ni Nyoman Sri Rahayu, S.T., M.T.

46

RE-KONSEPSI DESAIN PENGEMBANGAN LANSEKAP ALAM

JATILUWIH, TABANAN

I Dewa Gede Putra, S.T., M.T.

54

JURNAL DESAIN INTERIOR

SEKOLAH TINGGI DESAIN BALI

v

PEMENUHAN KEBUTUHAN RUANGAN BADAN PELAYANAN

PERIZINAN TERPADU (BPPT) KABUPATEN BADUNG UNTUK

MENINGKATKAN EFEKTIFITAS DALAM PELAYANAN PERIZINAN

DAN NON PERIZINAN DALAM SATU PINTU

I Kadek Pranajaya, S.T., M.T.

65

RELASI ANTARA ELEMEN DEKORATIF INTERIOR BERBASIS KAIN

TENUN GRINGSING BALI DENGAN PENGGUNA FASILITAS

RELAKSASI

(STUDI KASUS : SPA HOUSE OF MOM N JO BALI)

Putu Surya Triana Dewi, S.T., M.Ds.

79

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

1

SIGNIFIKANSI LOSMEN PURI

SEBAGAI BANGUNAN CAGAR BUDAYA

DI KOTA DENPASAR

Freddy Hendrawan, S.T., M.T.

Dosen Program Studi Desain Interior, Sekolah Tinggi Desain Bali

Email: [email protected]

Abstrak

Adanya intervensi Belanda dalam membangun bangunan-bangunan pemerintahan dan

membuat aturan tata ruang Kota Denpasar salah satunya menciptakan permukiman untuk

para pedagang, terutama para pedagang China. Dalam perkembangannya Kota Denpasar

menjadi sebuah pusat keramaian dan pusat kemodernan dan mulai banyak didatangi oleh

wisatawan domestik dan mancanegara, sedangkan penginapan atau hotel yang ada di sekitar

wilayah pusat Kota Denpasar hanyalah Bali Hotel yang didirikan tahun 1927. Kemudian

dibangunlah penginapan yang dinamakan Losmen Puri pada tahun 1956 dan berlokasi di

Jalan Arjuna di atas tanah milik Puri Anyar Jambe. Losmen ini memiliki gaya atau langgam

arsitektur Kolonial, seperti halnya arsitektur bangunan Bali Hotel. Bangunan ini pun memuat

beberapa signifikansi yang memberikan bukti sebagai bangunan bersejarah dan telah

melewati kurun waktu cukup panjang dalam eksistensinya sebagai bangunan publik dengan

fungsinya yang sesuai hingga saat ini. Dalam penelitian ini akan dilakukan analisis mengenai

bentuk signifikansi Losmen Puri sebagai bangunan Cagar Budaya di Kota Denpasar.

Sehingga nantinya diharapkan akan diperoleh sebuah upaya yang tepat untuk melestarikan

bangunan Losmen Puri sesuai melalui langkah-langkah sesuai aturan pelestarian oleh pihak-

pihak yang berkompeten dan relevan dalam pelestarian bangunan Cagar Budaya.

Kata Kunci: cagar budaya, Kota Denpasar, Losmen Puri, sejarah

Abstract

The intervention of Netherland in build government’s buildings and creating the regulation of

Denpasar landuse has created a settlement for traders from China. The development of

Denpasar City has made this city became the centre of crowd and modernization, and also

became tourist destination locally and internationally. However, the facilities of homestay or

hotel around Denpasar City just only Bali Hotel that established in 1927. Furthermore, there

was built Losmen Puri in 1956 and located in Jalan Arjuna on Puri Anyar Jambe land. This

losmen has Colonial style architecture, similar with Bali Hotel style. The building has some

significance that has given prove as a historical building and has passed many decades in

existence as a public facility. In this research, will be analyzing the form of significant in

Losmen Puri building as Cultural Heritage in Denpasar City. Thus, it expects will be obtain

an effort in preserving Losmen Puri building based steps in preserving regulation by

competent and relevan stakeholders.

Keywords: cultural heritage, Denpasar City, Losmen Puri, history

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

2

PENDAHULUAN

Kebudayaan memiliki tiga wujud, antara lain

nilai atau norma, perilaku dan wujud fisik

seperti arsitektur. Sebagai bagian dari tradisi

yang diwariskan secara turun temurun,

kebudayaan memiliki peranan di dalam

mengidentifikasi sejarah perkembangan kota

dan arsitekturnya. Seperti halnya Kota

Denpasar memiliki bentuk kebudayaan yang

mampu menciptakan karakteristik sejarah

sebagai sebuah kota dan arsitekturnya yang

khas. Hal ini memiliki kaitan erat dengan

suatu tempat dan sejarah, karena suatu tempat

adalah sumber memori individu dan memori

kolektif. Dengan demikian suatu tempat atau

kota juga memberi kontribusi pada identitas

individu dan kolektif, karena karakter dan

kepribadian tempat atau kota itu sendiri yang

membedakannya dari tempat atau kota lain,

dan masyarakat yang tinggal di dalamnya

mempunyai rasa memiliki dan keterikatan

dengan tempat atau kota tersebut.

Latar belakang perkembangan kota Denpasar

(Bappeda, 2009) yang pada mulanya sebagai

pusat istana atau puri kemudian berkembang

sebagai pusat kota modern dapat dilihat

melalui ciri fisik, yaitu adanya bangunan-

bangunan tradisional seperti pura (bangunan

suci bagi umat Hindu di Bali), puri (tempat

kediaman bagi bangsawan Bali) dan

bangunan-bangunan lain yang berfungsi untuk

kepentingan pemerintah, umum, maupun yang

dimiliki oleh tiap-tiap kelompok masyarakat.

Adanya intervensi Belanda dalam membangun

bangunan-bangunan pemerintahan dan

membuat aturan tata ruang Kota Denpasar

salah satunya menciptakan permukiman untuk

para pedagang, terutama para pedagang China

yang secara historis telah mendapat

kepercayaan dari pemerintah Belanda. Para

pedagang China yang sebelumnya berlokasi di

sebelah selatan Jro Dauh Kalangan atau sekitar

kantor Bank Rakyat Indonesia (BRI) sampai

sebagian kantor Walikota Denpasar sekarang,

kemudian dipindahkan ke sebelah barat yang

kemudian dikenal dengan nama Kampung

China atau Jalan Gajah Mada sekarang.

Bersamaan dengan itu pasar yang ada di

sebelah timur dari komplek pertokoan China

atau di sebelah selatan dari Puri Denpasar,

kemudian dipindahkan ke pasar dekat Tukad

Badung yang kemudian dikenal dengan nama

Pasar Badung. Pengaturan tata ruang dan

permukiman seperti itu menjadikan kampung

China semakin berkembang dan sejalan

dengan itu kampung Arab juga ikut

mengalami perkembangan sehingga akhirnya

menjadi sebuah pusat keramaian dan pusat

kemodernan.

Kesempatan inilah yang digunakan oleh A.A

Ngurah Alit untuk membangun sebuah

penginapan atau losmen karena pada saat itu

Kota Denpasar mulai banyak didatangi oleh

wisatawan domestik dan mancanegara, dan

penginapan atau hotel yang ada di sekitar

wilayah pusat Kota Denpasar hanyalah Bali

Hotel yang didirikan tahun 1927. Penginapan

yang dinamakan Losmen Puri ini didirikan

pada tahun 1956 dan berlokasi di Jalan Arjuna

di atas tanah milik Puri Anyar Jambe. Losmen

ini dibangun bukan oleh seorang arsitek, tetapi

oleh seorang tukang bangunan yang berasal

dari Bali. Gaya atau langgam arsitektur

Losmen Puri pun mengikuti langgam yang

sedang tren saat itu, yaitu langgam arsitektur

Kolonial, seperti halnya arsitektur bangunan

Bali Hotel.

Dalam perkembangannya, saat ini kondisi fisik

eksterior dan interior bangunan Losmen Puri

telah berumur lebih dari 55 tahun dan masih

terlihat keasliannya seperti pada awal saat

dibangun. Bangunan ini pun memuat beberapa

signifikansi yang memberikan bukti sebagai

bangunan bersejarah dan telah melewati kurun

waktu cukup panjang dalam eksistensinya

sebagai bangunan umum dengan fungsinya

yang sesuai hingga saat ini. Berdasarkan

kriteria-kriteria tersebut, maka bangunan

Losmen Puri ini dapat dikatakan sebagai

bangunan Cagar Budaya yang patut dijaga

kelestariannya sebagai upaya memberikan

bukti perjalanan sejarah perkembangan dan

arsitektur kota Denpasar. Pelestarian bangunan

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

3

maupun arsitektur perkotaan merupakan salah

satu daya tarik bagi sebuah kawasan. Dengan

terpeliharanya bangunan kuno atau bersejarah

pada suatu kawasan akan memberikan ikatan

kesinambungan yang erat antara masa kini dan

masa lalu.

Berdasarkan UU. RI No. 11 Tahun 2010

tentang Cagar Budaya, yang dimaksud dengan

Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat

kebendaan berupa Benda Cagar Budaya,

Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar

Budaya, Situs Cagar Budaya dan Kawasan

Cagar Budaya di darat dan atau di air yang

perlu dilestarikan keberadaannya karena

memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu

pengetahuan, pendidikan, agama, dan atau

kebudayaan melalui proses penetapan. Selain

itu, yang dimaksud sebagai bangunan Cagar

Budaya adalah susunan binaan yang terbuat

dari benda alam atau benda buatan manusia

untuk memenuhi kebutuhan ruang berdinding

dan atau tidak berdinding, dan beratap.

Terkait dengan lingkup Pelestarian Cagar

Budaya dalam UU. RI No. 11 Tahun 2010

yang meliputi Pelindungan, Pengembangan

dan Pemanfaatan Cagar Budaya di darat dan di

air, keberadaan Losmen Puri hingga saat ini

memerlukan sebuah strategi yang tepat dalam

menjaga keberlanjutannya sebagai objek

bersejarah. Oleh karena itu di dalam penelitian

ini akan dilakukan analisis pula mengenai

bentuk strategi pelestarian yang tepat pada

bangunan Losmen Puri sebagai bangunan

Cagar Budaya di kota Denpasar. Sehingga

nantinya diharapkan akan diperoleh sebuah

upaya yang tepat untuk melestarikan bangunan

Losmen Puri sesuai melalui langkah-langkah

sesuai aturan pelestarian oleh pihak-pihak

yang berkompeten dan relevan dalam

pelestarian bangunan Cagar Budaya. Bahkan

dalam perkembangan berikutnya diharapkan

pula dapat menjadi sumbangan informasi

dalam mengidentifikasi bangunan atau benda-

benda Cagar Budaya di Kota Denpasar.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode penelitian

kualitatif, yaitu dengan melakukan observasi

langsung terhadap bangunan arsitektur dan

interior Losmen Puri di Kota Denpasar.

Analisa akan dilakukan secara deskriptif

dengan didasarkan pada tinjauan teori yang

relevan.

TINJAUAN TEORI

1. Definisi Pelestarian

Budiharjo dalam Prasetyowati (2008:216)

menyatakan bahwa konservasi merupakan

istilah yang menjadi payung dari semua

kegiatan pelestarian sesuai dengan

kesepakatan internasional yang telah

dirumuskan dalam Piagam Burra Tahun 1981.

Beberapa batasan pengertian tentang istilah-

istilah dasar yang disepakati dalam Piagam

Burra adalah Konservasi, Preservasi,

Restorasi, Rekonstruksi, Adaptasi, dan

Demolisi. Sedangkan istilah lain menurut

Fielden dalam Samodra (2008:1), Pelestarian

Pusaka merupakan upaya untuk mencegah

kerusakan dan mengatur dinamika

perubahannya. Hal tersebut mencakup semua

kegiatan yang memperpanjang umur kekayaan

kultural dan natural, sehingga dapat dinikmati

saat ini. Kesepakatan dunia untuk memelihara

kawasan lama salah satunya ada pada Venice

Charter tahun 1964, bagian satu Piagam

Charter yang memberikan panduan

terminologi konservasi sebagai berikut:

”Konsep bangunan bersejarah mencakup tidak

hanya dari satu bangunan tunggal akan tetapi

juga setting kota atau pedesaan dimana

ditemukan bukti bagian peradaban,

pembangunan yang signifikan dan kejadian

bersejarah”.

2. Lingkup Pelestarian

Menurut Shankland dalam Muchamad

(2004:96) kebendaan dalam kegiatan

pelestarian dapat dibedakan atas desa dan kota

kecil bersejarah, kawasan bersejarah dalam

kota besar, kota bersejarah, dan kelompok

bangunan bersejarah. Jika dilihat dari lingkup

konservasi dalam suatu kota, maka obyek dan

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

4

lingkup pelestarian dapat digolongkan dalam

beberapa luasan, antara lain:

a. Satuan Areal, yaitu berupa sub kota atau

bahkan kota itu sendiri secara keseluruhan

sebagai suatu sistem kehidupan. Keadaan

seperti ini bias terjadi pada suatu kota

yang mempunyai cirri-ciri atau nilai yang

khas.

b. Satuan Pandangan/View, yaitu suatu

satuan berupa aspek visual yang dapat

memberikan bayangan mental (image)

yang khas tentang suatyu lingkungan kota,

seperti path, edge, node, district, dan

landmark.

c. Satuan Fisik, yaitu satuan yang berwujud

bangunan, kelompok atau deretan

bangunan-bangunan, rangkaian bangunan

yang membentuk ruang umum atau

dinding jalan, dan apabila dikehendaki

lebih jauh lagi dapat diperinci pada unsur-

unsur bangunan, baik unsur fungsional,

struktur atau estetis ornamental.

Sedangkan secara umum, bentuk

konservasi meliputi kota dan desa, distrik,

lingkungan perumahan, garis cakrawala

wajah jalan dan bangunan.

3. Prinsip Konservasi

Menurut Prof. Eko Budihardjo dalam

Prasetyowati (2008:220), beberapa prinsip

konservasi yang perlu diperhatikan adalah:

a. Konservasi dilandasi atas penghargaan

terhadap keadaan semula dari suatu tempat

dan sesedikit mungkin melakukan

intervensi fisik bangunannya, supaya tidak

mengubah bukti-bukti sejarah yang

dimilikinya.

b. Maksud dari konservasi adalah untuk

menangkap kembali makna kultural dari

suatu tempat dan harus bisa menjamin

keamanan dan pemeliharaannya di masa

mendatang.

c. Konservasi suatu tempat harus

dipertimbangkan segenap aspek yang

berkaitan dengan makna kulturalnya tanpa

menekankan pada salah satu aspek saja

dan mengorbankan aspek yang lain.

d. Suatu bangunan atau suatu hasil karya

bersejarah harus tetap berada pada lokasi

historisnya. Pemindahan seluruh atau

sebagian dari suatu bangunan atau hasil

karya tidak diperkenankan kecuali bila hal

tersebut merupakan satu-satunya cara guna

menjamin kelestariannya.

e. Konservasi menjaga terpeliharanya latar

visual yang cocok seperti bentuk, skala,

warna, tekstur, dan bahan pembangunan.

Setiap perubahan baru yang akan

berakibat negatif terhadap latar visual

tersebut harus dicegah.

f. Kebijaksanaan konservasi yang sesuai

untuk suatu tempat harus didasarkan atas

pemahaman terhadap makna kultural dan

kondisi fisik bangunannya.

4. Konsep Pelestarian

Menurut Bagoes P. Wiryomartono dalam

Musadad (2005:304), beberapa butir tentang

pelestarian bangunan lama antara lain adalah

sebagai berikut:

a. Pelestarian bangunan-bangunan kuno di

Indonesia menuntut pemikiran kembali

hakikat keberadaannya di tengah

kehidupan komunitas sekarang. Dengan

demikian yang perlu dilestarikan bukan

hanya bangunannya saja tetapi keterkaitan

antara bangunan tersebut terhadap

kehidupan komunitas di sekelilingnya.

b. Sejarah bangunan hingga saat ini masih

merupakan sesuatu sumber penting bagi

pelestarian bangunan-bangunan lama.

Kelangsungan suatu bangunan mungkin

menantang sejarah apabila tidak mampu

menjawab masalah-masalah yang muncul

yang meliputi kehidupan ekonomi

komunitas, kebanggaan lokalitas dan

masalah-masalah sosial setempat.

c. Sejarah bangunan memiliki bobot

tersendiri untuk membangun struktur

makna edukatif yaitu relevansinya dengan

kehidupan sekarang dan yang akan datang.

Dikatakan pula oleh Musadad (2005:304-305),

bahwa konservasi lingkungan dan bangunan

kuno tidak hanya penting dilihat dari segi

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

5

sosial budaya saja melainkan dari segi sosial

ekonomi, khususnya yang berkaitan dengan

peningkatan pendapat dan perluasan lapangan

kerja. Misalnya pemanfaatan lingkungan

tradisional yang tertata baik sebagai objek

wisata atau revitalisasi bangunan kuno dengan

menambahkan fungsi baru yang bersifat

komersial. Nilai spesifik dari rona arsitektur

kota didasari oleh karakter perilaku perubahan

sosial budaya masyarakat kota yang dapat

dijadikan dasar dalam menentukan kriteria

spesifik untuk wilayah yang bersangkutan.

Demikian pula dengan bangunan yang

mempunyai peran terhadap kawasan dan dapat

menjadi orientasi terhadap kawasan sekitar.

5. Cagar Budaya

UU. RI No. 11 Tahun 2010 Bab I, pasal 1 juga

memaparkan bentuk pelestarian yang disebut

Cagar Budaya. Cagar Budaya adalah warisan

budaya bersifat kebendaan berupa Benda

Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya,

Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya,

dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan atau

di air yang perlu dilestarikan keberadaannya

karena memiliki nilai penting bagi sejarah,

ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan

atau kebudayaan melalui proses penetapan.

Selain itu dalam Undang-undang ini juga

memuat beberapa hal dan ketentuan mengenai

Cagar Budaya, seperti benda, bangunan, atau

struktur dapat diusulkan sebagai Benda Cagar

Budaya, Bangunan Cagar Budaya, atau

Struktur Cagar Budaya apabila memenuhi

kriteria:

a. berusia 50 (lima puluh) tahun atau lebih;

b. mewakili masa gaya paling singkat berusia

50 (lima puluh) tahun;

c. memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu

pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau

kebudayaan; dan

d. memiliki nilai budaya bagi penguatan

kepribadian bangsa.

Benda Cagar Budaya adalah benda alam dan

atau benda buatan manusia, baik bergerak

maupun tidak bergerak, berupa kesatuan atau

kelompok, atau bagian-bagiannya, atau sisa-

sisanya yang memiliki hubungan erat dengan

kebudayaan dan sejarah perkembangan

manusia. Bangunan Cagar Budaya adalah

susunan binaan yang terbuat dari benda alam

atau benda buatan manusia untuk memenuhi

kebutuhan ruang berdinding dan/atau tidak

berdinding, dan beratap. Bangunan Cagar

Budaya dapat berunsur tunggal atau banyak,

dan atau berdiri bebas atau menyatu dengan

formasi alam.

Undang-undang tersebut dipertegas lagi

dengan Piagam Pelestarian Pusaka Indonesia

2003, yang bertekad untuk bersama-sama

melaksanakan Agenda Tindakan dalam Dasa

Warsa Pelestarian Pusaka Indonesia 2004-

2013 meneguhkan upaya pelestarian sebagai

berikut:

a. Pusaka Indonesia adalah pusaka alam,

pusaka budaya, dan pusaka saujana.

Pusaka alam adalah bentukan alam yang

istimewa. Pusaka budaya adalah hasil

cipta, rasa, karsa, dan karya yang istimewa

dari lebih 500 suku bangsa di Tanah Air

Indonesia, dan dalam interaksinya dengan

budaya lain sepanjang sejarah

keberadaannya. Pusaka saujana adalah

gabungan pusaka alam dan budaya dalam

kesatuan ruang dan waktu.

b. Pusaka budaya mencakup pusaka

berwujud dan pusaka tidak berwujud.

c. Pusaka yang diterima dari generasi-

generasi sebelumnya sangat penting

sebagai landasan dan modal awal bagi

pembangunan masyarakat Indonesia di

masa depan, karena itu harus dilestarikan

untuk diteruskan kepada generasi

berikutnya dalam keadaan baik, tidak

berkurang nilainya, bahkan perlu

ditingkatkan untuk membentuk pusaka

masa mendatang.

d. Pelestarian adalah upaya pengelolaan

pusaka melalui kegiatan penelitian,

perencanaan, perlindungan, pemeliharaan,

pemanfaatan, pengawasan atau

pengembangan secara selektif untuk

menjaga kesinambungan, keserasian dan

daya dukungnya dalam menjawab

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

6

dinamika jaman untuk membangun

kehidupan bangsa yang lebih berkualitas.

Hal yang sama juga dikemukakan dalam

Guidelines for Preparing Conservation Plan

(1994) bahwa penentuan apakah suatu

bangunan atau tempat tertentu layak dilindungi

sebagai warisan sejarah ditentukan juga oleh

aspek-aspek non fisik yaitu:

a. Mempunyai nilai estetik yaitu

menunjukkan aspek desain dan arsitektur

suatu tempat.

b. Mempunyai nilai edukatif yaitu

menunjukkan gambaran kegiatan manusia

di masa lalu di tempat itu dan menyisakan

bukti-bukti yang asli. Dapat mencakup

teknologi, arkeologi, filosofi, adat istiadat,

selera dan kegunaan sebagaimana halnya

juga teknik atau bahan-bahan tertentu.

c. Nilai sosial atau spiritual yaitu keterikatan

emosional kelompok masyarakat tertentu

terhadap aspek spiritual, tradisional, politis

atau suatu peristiwa.

d. Nilai historis yaitu asosiasi suatu

bangunan bersejarah dengan pelaku

sejarah, gagasan atau peristiwa tertentu.

Mencakup analisis tentang aspek-aspek

yang tidak kasat mata (intangible aspects)

dari masa lalu bangunan tersebut.

6. Strategi Pelestarian

Pelestarian Cagar Budaya dalam UU. RI No.

11 Tahun 2010 meliputi Pelindungan,

Pengembangan, dan Pemanfaatan Cagar

Budaya di darat dan di air. Sedangkan di

dalam strategi Pelestarian Pusaka harus dapat

memelihara dan jika memungkinkan tetap

menjaga pesan dan nilai budaya objek

tersebut. Sedangkan persiapan prosedur untuk

melakukan konservasi menurut sumber yang

sama adalah melakukan inventarisasi terhadap

semua objek konservasi, melakukan tinjauan

awal terhadap kawasan dan melakukan

dokumentasi pada objek-objek tersebut

(Fielden dalam Samodra, 2008:1).

Dalam Piagam Burra strategi di dalam usaha

pelestarian dapat berupa (Prasetyowati,

2008:217) :

a. Konservasi adalah segenap proses

pengelolaan suatu tempat agar kandungan

makna kulturalnya terpelihara dengan baik

yang meliputi seluruh kegiatan

pemeliharaan sesuai dengan situasi dan

kondisi setempat dapat pula mencakup

preservasi, restorasi, rekonstruksi,

adaptasi, dan revitalisasi.

b. Preservasi adalah pelestarian suatu tempat

persis seperti keadaan semula tanpa ada

perubahan, termasuk upaya mencegah

penghancuran.

c. Restorasi/rehabilitasi adalah

mengembalikan suatu tempat ke keadaan

semula dengan menghilangkan tambahan-

tambahan dan memasang komponen

semula tanpa menggunakan bahan baru.

d. Rekonstruksi adalah mengembalikan suatu

tempat semirip mungkin dengan keadaan

semula dengan menggunakan bahan lama

maupun bahan baru.

e. Adaptasi/revitalisasi adalah merubah

tempat agar dapat digunakan untuk fungsi

yang lebih sesuai. Yang dimaksud dengan

fungsi yang lebih sesuai adalah kegunaan

yang tidak menuntut perubahan drastis

atau yang hanya memerlukan sedikit

dampak minimal.

f. Demolisi adalah penghancuran atau

perombakan suatu bangunan yang sudah

rusak atau membahayakan.

Mengenai tingkat perubahan yang diakibatkan

oleh masing-masing kategori kegiatan tersebut

dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut:

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

7

Tabel 2.1 Tingkat Perubahan Kegiatan

Konservasi Bangunan

No

. Kegiatan

Tingkat Perubahan

Tidak

Ada Sedikit Banyak Total

1. Konservasi * * * *

2. Preservasi * - - -

3. Restorasi/

rehabilitasi - * * -

4. Rekonstruksi - - * *

5. Adaptasi/

revitalisasi - * - *

6. Demolisi - - - *

Sumber : Dobby, A dalam Prasetyowati, 2008.

Eko Budiharjo dalam Prasetyowati (2008

222-224) merumuskan tahapan dalam proses

konservasi, antara lain:

a. Tahap 1. Inventarisasi/ Pengumpulan Data

Pendataan dimulai dengan survey-survey

terhadap dokumen-dokumen Sesudah itu

dilakukan observasi dan wawancara di

lapangan kepada semua pihak yang terkait.

Keadaan semula harus direkam terlebih dahulu

secara lengkap dan dianalisa agar dapat

disusun secara sistematis arti penting tempat

tersebut hingga inventarisasi kelompok-

kelompok bukti fisik dan menyusun urut-

urutan prioritas sesuai dengan artinya,

kelangkaannya, kualitas dan sebagainya.

b. Tahap 2. Penyusunan/ Pengolahan Data dan

Analisa

Dalam tahapan ini dilakukan terlebih dahulu

penyusunan/pengolahan data secara sistematis

untuk kemudian dilakukan analisa terhadap

setiap obyek konservasi. Dari seluruh data

yang diperoleh dilakukan kategorisasi atau

klasifikasi jenisjenis bangunan atau

lingkungan yang diteliti, mulai dari skala

makro sampai mikro.

c. Tahap 3. Pengkajian Makna Kultural

Dalam tahapan ini dilakukan pengkajian

makna kultural dengan tolak ukur : estetika,

kejamakan, kelangkaan, peran sejarah,

pengaruh terhadap lingkungan dan

keistimewaan. Tidak tertutup pula

kemungkinan untuk penggunaan tolak ukur

lain seperti misalnya nilai-nilai sosial (kualitas

tempat/lingkungan yang menjadi pusat

kegiatan spiritual), nilai ilmiah (manfaat

tempat/lingkungan terhadap pengembangan

ilmu dan jasa informasi), nilai komersial (arti

penting suatu tempat/ lingkungan untuk

kegiatan yang menghasilkan uang).

d. Tahap 4. Penentuan Prioritas dan Peringkat

Dari hasil pengkajian makna kultural dengan

menggunakan pembobotan akan diperoleh

prioritas dan peringkat dari setiap obyek

penelitian. Hasil inilah yang akan dapat

digunakan sebagai dasar untuk merumuskan

kebijakan konservasi dan strategi untuk

implementasinya (tahap 5 dan 6).

e. Tahap 5. Perumusan Kebijakan Konservasi

Alternatif kebijakan meliputi konservasi,

preservasi, restorasi/rehabilitasi, rekonstruksi,

adaptasi/revitalisasi dan

demolisi/penghancuran.

f. Tahap 6. Strategi Implementasi

g. Tahap 7. Program dan Perencanaan

h. Tahap 8. Pembiayaan dan Pelaksanaan di

Lapangan.

PEMBAHASAN

1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan mengambil lokasi di Kota

Denpasar dengan dasar pertimbangan bahwa

terdapat bangunan bersejarah yang berumur

lebih dari 50 tahun di pusat kota dan memiliki

signifikansi sejarah, arsitektur dan ekonomi.

Lokasi penelitian ini berada tepat di Jalan

Arjuna dengan batas-batasnya adalah sebelah

utara Banjar Lelangon, sebelah timur Bali

Hotel dan Lapangan Puputan Badung, sebelah

selatan Bank BRI, dan sebelah barat Bank

BNI.

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

8

Gambar 1. Lokasi Losmen Puri

Sumber: Google Earth, 2017

Salain (2011:74) menyatakan bahwa Kota

Denpasar kini adalah sebuah kota yang

terbentuk oleh karena waktu, pelaku dan

kekuasaan yang melapisinya. Menurutnya

sejarah, kota Denpasar dibagi menjadi tiga

babak, yaitu kerajaan (tradisi), penjajahan

(kolonial), dan kemerdekaan (kebebasan). Saat

kejayaan Puri Denpasar sirna karena konflik

dengan Pemerintah Kolonial ketika perang

Puputan Badung, mulai mengambil alih serta

menjadikan Puri Denpasar dengan fungsi baru

untuk mendukung simbol pemerintahannya

seperti kantor yang berada di sisi Selatan,

perumahan di sisi Timur dan Utara, serta sisi

Barat dibangun Bali Hotel.

Untuk mengembangkan kebijakannya pun

Pemerintah Kolonial berupaya

mengembangkan Kota Denpasar untuk

menjadi kota kolonial (colonial city). Dalam

hal ini diterapkannya sistem birokrasi Kolonial

dimana pemerintah kemudian membangun

kantor-kantor pemerintahan. Selain itu,

Pemerintah Kolonial berusaha membangun

berbagai sarana untuk kepentingan umum

seperti rumah sakit, pos polisi, sarana

pertanian, perdagangan dan sebagainya.

Keadaan yang demikian menuntut

pengembangan kota yang didasari atas

perencanaan pengembangan kota secara lebih

memadai baik dari segi sosial maupun fisik

kota. Dapat dilihat bahwa dari segi sosial

ekonomi diusahakan dengan membangun dan

memperbaiki sarana dan prasarana umum

untuk kemajuan masyarakat. Penempatan

berbagai perkantoran, rumah-rumah pejabat

pemerintah, pemukiman penduduk, kawasan

wisata merupakan bagian dari usaha

pemerintah kolonial untuk menata

perkembangan Kota Denpasar (Soenaryo

dalam Ardhana, 2004: 6).

Ardhana dalam Salain (2011:78) menyatakan

arsitektur kota menjadi simbol kekuasaan dari

Raja menuju Kolonial, umum disebut dengan

langgam Arsitektur Kolonial. Simbol-simbol

lainnya adalah penanda waktu berupa jam atau

lonceng yang dipasang di Pempatan Agung,

relokasi pasar menuju Tukad Badung,

membangun sekolah-sekolah dan tempat

budaya seperti Museum Bali pada tahun 1910

yang memadukan Arsitektur Tradisional Bali

(ATB) dengan sentuhan fungsi baru. Ardhana

(2004:7) juga menyatakan peranan puri

tampak masih dominan dalam perkembangan

kota Denpasar. Hal ini terlihat dengan

dominasi dari kalangan kaum bangsawan

terhadap penguasaan tanah maupun dalam

menerima cara produksi baru khususnya

bidang perdagangan. Masuknya cara produksi

baru menyebabkan masyarakat Denpasar

semakin terbuka pula keinginannya untuk

membuka usaha dagang yang sementara ini

hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri

(subsistence). Sebelum sektor perdagangan

masuk dapat dilihat berkembangnya industri

kerajinan tangan, menganyam, menenun,

mengukir, membuat alat rumah tangga,

memelihara ternak dan sebagainya. Salain

(2011:79) juga menyatakan bahwa pada

perkembangan selanjutnya karya arsitektur

menjadi ikon dari kota Denpasar, seperti

Museum Bali, Bali Hotel dan kawasan

pertokoan di sepanjang Jalan Gajah Mada

sebagai gambaran kampung China atau

Pecinan.

Jl.

Sumat

era

Jl.

Gajah

Mada

Losmen Puri

Jl.

Arjun

a Jl.

Vetera

n

Jl.

Kresn

a

Inna

Bali Hotel

BNI’46 BPD

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

9

Gambar 2. Bali Hotel

Sumber: Dokumen Collectie Tropen Museum, diunduh di

http://collectie.tropenmuseum.nl

Gambar 3. Jalan Gajah Mada Tahun 1949

Sumber: Dokumen Collectie Tropen Museum, diunduh di

http://collectie.tropenmuseum.nl

2. Objek Penelitian

Objek di dalam penelitian ini adalah bangunan

Losmen Puri yang telah berdiri sejak 1956 di

pusat Kota Denpasar ketika perkembangan

Jalan Gajah Mada sebagai kawasan

perdagangan. Bangunan bersejarah (Heritage

Building) yang telah berumur lebih dari 50

tahun ini dibangun oleh A.A. Ngurah Alit

sebagai upaya untuk memberikan fasilitas

umum untuk memenuhi kebutuhan akan

akomodasi penginapan bagi wisatawan yang

datang ke pusat kota Denpasar. Hingga saat ini

fungsi bangunan masih tetap sama, yaitu

sebagai bangunan penginapan.

Gambar 4. Tampak Depan Losmen Puri

Sumber : Dokumentasi 2016

Bangunan berlanggam kolonial yang

dipadukan dengan ATB ini dibangun di atas

tanah milik Puri Anyar Jambe. Walaupun

banyak intervensi dari berbagai pihak, baik

dari keluarga dalam puri maupun luar puri

untuk merenovasi dan mengembangkan

Losmen Puri, tetapi pemilik masih

berkeinginan untuk mempertahankan bentuk

dan fungsi bangunan seperti semula hingga

saat ini. Bangunan dengan luas + 2 are ini

terdiri dari dua lantai dengan menggunakan

material-material bangunan seperti batu bata,

tegel dan kayu jati.

Lingkungan sekitar Losmen Puri yang pada

saat ini dikelola oleh adik kandung A.A.

Ngurah Alit sebagian besar adalah kawasan

perdagangan, permukiman dan perkantoran.

Keberadaan bangunan di pusat Kota Denpasar

ini memberikan karakteristik visual bukti

sejarah terhadap perkembangan kawasan.

Selain itu bangunan ini juga tetap memberikan

dampak nilai komersial baik bagi bangunan itu

sendiri maupun lingkungan di sekitarnya.

3. Signifikansi Bangunan Losmen Puri

Losmen Puri sebagai salah satu Heritage

Building di tengah Kota Denpasar memiliki

kemampuan untuk bertahan dalam

perkembangan dan perubahan kebudayaan

masyarakat yang semakin mengglobal.

Bangunan penginapan yang memiliki fungsi

sama hingga saat ini turut memberikan

sumbangan terhadap karakteristik visual kota

Denpasar dengan berbagai signifikansinya.

Jl. Gajah Mada

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

10

a. Nilai Historis

Berdasarkan informasi dari A.A. Ketut Oka

selaku salah satu kerabat pemilik Losmen Puri

yang mengatakan bahwa bangunan

penginapan ini dibangun pada saat Kota

Denpasar mulai mengalami perkembangan

terutama kawasan Jalan Gajah Mada sebagai

pusat perdagangan saat itu. Sekembalinya

A.A. Ketut Ngurah sebagai pendiri bangunan

ini dari sekolahnya di Jakarta, dan melihat

perkembangan kawasan Jalan Gajah Mada

sebagai pusat perdagangan dimanfaatkan

dengan mendirikan bangunan penginapan

yang memang pada saat itu di sekitar wilayah

Kota Denpasar hanya terdapat Bali Hotel yang

berada di Jalan Veteran hingga saat ini. Ide

awal untuk membangun Losmen Puri di atas

tanah milik Puri ini sebelumnya ditentang oleh

adik A.A. Ketut Ngurah dan disarankan lebih

baik untuk mendirikan pabrik tahu. Tetapi

karena pertimbangan lokasi di tengah Kota

Denpasar dengan fasilitas pembuangan limbah

yang kurang memadai, maka ide untuk

mendirikan pabrik tahu tersebut diurungkan.

Bangunan penginapan yang didirikan tahun

1956 ini mendapat respon cukup positif oleh

wisatawan domestik khususnya yang berasal

dari Jawa ketika dibuka untuk pertama

kalinya. Selain itu Losmen Puri ini pun sering

dijadikan sebagai tempat untuk menginap bagi

para pegawai pemerintahan dan tentara dari

Jawa yang sedang berdinas ke Kota Denpasar

pada saat itu.

b. Nilai Arsitektur

Bangunan yang terletak di Jalan Arjuna ini

dibangun oleh tukang berasal dari Bali yang

memiliki kemampuan mengerjakan bangunan

dengan langgam yang sedang tren saat itu,

yaitu langgam Kolonial. Bentuk visual

arsitektur ruang luar dan ruang dalam tidak

mengalami perubahan hingga saat ini.

Perawatan dilakukan hanya dengan

membersihkan dan mengecat dinding.

Gambar 5. Ruang Dalam di Lantai Dasar

Sumber: Dokumentasi 2016

Gambar 6. Ruang Dalam di Lantai Satu

Sumber: Dokumentasi 2016

Gambar 7. Ruang Terbuka di Tengah Bangunan

Sumber: Dokumentasi 2016

Langgam arsitektur kolonial yang

dipadupadankan dengan art work berupa

patung tradisional Bali dan tugu pada

bangunan ini tidak mengalami perubahan

hingga saat ini. Tiga buah pilar yang terdapat

pada bagian depan bangunan memiliki

kemiripan dengan pilar yang terdapat pada

bangunan Bali Hotel. Demikian pula dengan

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

11

jendela dan pintu yang berjeruji dan bersekat-

sekat, serta ventilasi kecil yang dan

memanjang semakin menguatkan langgam

arsitektur kolonial pada bangunan Losmen

Puri ini.

Gambar 8. Patung (Artwork) Tradisional Bali

Sumber: Dokumentasi 2016

Gambar 9. Pilar di Bagian Luar Bangunan

Sumber: Dokumentasi 2016

Perpaduan warna merah dan krem ini masih

dipertahankan hingga saat ini. Tetapi fungsi

bagian bangunan di bagian utara yang dulunya

merupakan ruang kamar tidur Losmen Puri

telah berubah fungsi menjadi warung menjual

makanan khas Bali. Halaman di depan losmen

ini dulunya cukup luas dan dalam

perkembangannya mulai termakan oleh badan

jalan, sehingga semakin menyempit.

Gambar 10. Warung (atas) dan Halaman pada

Losmen Puri (bawah)

Sumber: Dokumentasi 2016

Denah bangunan berbentuk persegi panjang ini

memiliki fasilitas antara lain ruang kamar tidur

berjumlah 18 buah, kamar mandi dua buah,

lobby dan sebuah gudang. Struktur dan

material dinding bangunan berlantai dua ini

menggunakan bata, material lantai satu

menggunakan beberapa tegel dan lantai dua

menggunakan kombinasi papan kayu jati dan

plesteran semen, dan langit-langit

menggunakan anyaman bedek yang difinis cat.

Sebagian besar furnitur termasuk daun pintu,

engsel, stop kontak pada ruangan di dalam

bangunan ini masih digunakan dan dalam

kondisi yang baik hingga saat ini.

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

12

Gambar 11. Material Lantai, Dinding, dan Ceiling

pada Losmen Puri

Sumber: Dokumentasi 2016

Gambar 12. Stop Kontak, Gagang Pintu dan

Ventilasi pada Losmen Puri

Sumber: Dokumentasi 2016

Gambar 13. Furnitur pada Losmen Puri

Sumber: Dokumentasi 2016

c. Nilai Ekonomi

Sebelum Losmen Puri ini dibangun,

lingkungan di sekitarnya sebagian besar masih

berupa tanah kosong yang dimiliki oleh Puri.

Seiring dibangunnya bangunan penginapan ini,

fasilitas-fasilitas perdagangan mulai

berkembang berbarengan dengan kawasan

perdagangan Jalan Gajah Mada. Tanah yang

dibangun saran perdagangan ini adalah tanah

yang telah dijual oleh pihak puri, dan sebagian

ada juga tanah yang dipinjam oleh pihak

pemerintah dan digunakan sebagai pos

penjagaan. Harga sewa ketika awal dibukanya

Losmen Puri ini adalah sebesar Rp. 50,- dan

hingga saat ini berkembang menjadi Rp.

50.000,- per harinya. Penyewa losmen pada

saat ini sebagian besar adalah pedagang

berasal dari Jawa yang telah berlangganan dan

turun temurun mengetahui bangunan ini sejak

dahulu.

4. Bentuk Pelestarian Bangunan Losmen Puri

sebagai Bangunan Cagar Budaya Saat Ini

Kondisi fisik bangunan Losmen Puri saat ini

masih dapat dipertahankan oleh pemiliknya

dan tidak ada keinginan sedikit pun untuk

merubah bentuk maupun fungsinya, walaupun

intervensi untuk merubah bentuk dan fungsi

bangunan ini sering dilontarkan oleh pihak

keluarga dalam maupun luar Puri Anyar

Jambe ini.

Bentuk pelestarian yang telah dilakukan oleh

pihak internal bangunan Losmen Puri yang

telah berumur lebih dari 55 tahun ini adalah

dengan menjaga fungsi dan bentuk bangunan,

bahkan furnitur ruang dalam bangunan. Selain

itu dilakukan pula perawatan rutin setahun

sekali dengan mengecat kembali dinding dan

plafond dengan warna yang sama seperti awal

bangunan ini berdiri.

Perubahan fungsi hanya terjadi pada bagian

utara bangunan yang dijadikan sebagai warung

makanan khas Bali sebagai fasilitas tambahan

dari bangunan losmen ini. Lingkungan di

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

13

sekitar Losmen Puri ini dikatakan cukup

banyak mengalami perkembangan dan

perubahan. Mulai banyak berdiri bangunan-

bangunan tinggi dan ruang terbuka semakin

hilang.

Dari pihak eksternal, sebagian masyarakat

banjar Lelangon cukup memiliki kesadaran

untuk mendukung keberadaan Losmen Puri ini

agar dapat bertahan dengan kondisi fisik

seperti pada awal bangunan ini berdiri.

Berdasarkan informasi dikatakan pula bahwa

Losmen Puri ini telah diinventarisasi oleh

pihak Pemerintah Kota Denpasar sebagai

benda Cagar Budaya. Tetapi tahapan

bangunan ini sebagai benda cagar budaya

hanya sebatas inventarisasi dan belum ada

tahap atau tanggapan terhadap bentuk

pelestariannya.

5. Strategi Pelestarian Bangunan Losmen Puri

sebagai Bangunan Cagar Budaya

Strategi di dalam pelestarian bangunan

Losmen Puri yang telah memenuhi persyaratan

sebagain benda Cagar Budaya adalah sesuai

dengan signifikansi dan kondisi fisik bangunan

yang masih terjaga keasliannya hingga saat ini

adalah preservasi, yaitu mempertahankan

bentuk dan fungsi bangunan Losmen Puri ini

dalam keadaan aslinya tanpa ada perubahan

dan mencegah adanya kehancuran. Perubahan

fungsi yang terjadi pada bagian utara

bangunan ini dapat menjadi nilai tambah

dalam memperkaya dan melestarikan budaya

Bali dalam lingkup kuliner.

Peran pemerintah dan masyarakat dalam

menerapkan strategi ini juga sangat dituntut

untuk aktif. Karena jika hanya proses

pelestarian hanya dilakukan melalui

inventarisasi dan tidak dilakukan pengawasan

terhadap kondisi bangunan ini secara intensif

sangat memungkinkan terjadi intervensi yang

mampu menghilangkan salah benda cagar

budaya Kota Denpasar. Pengesahan Perda

tentang benda cagar budaya juga sangat

dinanti dan diperlukan sebagai upaya

mengatur secara hukum eksistensi benda cagar

budaya, khususnya keberadaan Losmen Puri

ini oleh pemilik, masyarakat dan pemerintah

Kota Denpasar.

Simpulan

Pelestarian bangunan bersejarah merupakan

suatu pendekatan yang strategis di dalam

pembangunan kota karena pelestarian

menjamin kesinambungan nilai-nilai

kehidupan dalam proses pembangunan yang

dilakukan oleh aktor pembangunan

(stakeholder). Upaya pelestarian yang telah

dilakukan dahulu dan sekarang pada dasarnya

mempunyai tujuan yang sama, yaitu

pelestarian demi kepentingan penggalian nilai-

nilai budaya dan proses-proses yang pernah

terjadi pada masa lalu. Pelestarian pun harus

dilakukan dengan melakukan identifikasi dan

analisa terhadap objek oleh pihak-pihak yang

berkompeten sebagai upaya menentukan jenis

pelestarian yang tepat untuk dilakukan

sehingga prinsip dan tujuan pelestarian dapat

tercapai.

Saran

Pentingnya peran serta semua komponen di

dalam suatu kota, khususnya Kota Denpasar

dalam melakukan pelestarian terutama

memberikan pemahaman terhadap definisi

sebuah pelestarian terhadap benda cagar

budaya. Oleh karena itu, diperlukan lebih

banyak lagi kajian mengenai pelestarian benda

cagar budaya dan realisasinya terkait

perkembangan sebuah kota.

Daftar Pustaka

Ardhana. 2004. Denpasar: Perkembangan

Dari Kota Kolonial Hingga Kota Wisata.

Dalam: Prosiding Konferensi International I

Sejarah Kota (The First International

Conference on Urban History), Universitas

Airlangga, Surabaya, 23-25 Agustus 2004.

Surabaya: Universitas Airlangga.

Bappedda. 2009. Penelusuran Sejarah Kota

Denpasar. Denpasar: Bappeda Kota Denpasar.

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

14

International Council of Monuments and Sites.

1999. Burra Charter. Australia: Autralia

ICOMOS Inc.

Jaringan Pelestarian Pusaka Indonesia. 2003.

Piagam Pelestarian Pusaka Indonesia.

Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan

Pariwisata RI.

Muchamad, Bani Noor, Ira Mentayani. 2004.

Model Pelestarian Arsitektur Berbasis

Teknologi Informasi, Studi Kasus: Arsitektur

Tradisional Suku Banjar. Dalam: Dimensi

Teknik Arsitektur, Jurusan Teknik Arsitektur,

Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan,

Volume 32 Nomor 2, Desember 2004.

Surabaya: Universitas Kristen Petra.

Musadad. 2005. pengelolaan Stasiun Jebres

dan Kwasannya dalam Upaya Pelestarian

Sumber Daya Arkeologi. Dalam: Jurnal

Humanika Program Studi Arkelologi, Sekolah

Pascasarjana Universitas Gajah Mada, Nomor

18, Volume 2, April 2005. Yogyakarta:

Universitas Gajah Mada.

Pemerintah Republik Indonesia.

2010. Undang-Undang No. 11 Tahun 2010

tentang Cagar Budaya. Jakarta.

Salain, Putu Rumawan. 2011. “Arsitektur

Tradisional Bali pada Masjid Al Hikmah di

Kota Denpasar (Perspektif Kajian Budaya)”

(tesis). Denpasar: Program Studi Kajian

Budaya. Universitas Udayana.

Samodra, F.X. Teddy Badai. 2008. Tanggap

Lingkungan Pelestarian Pusaka Tampang

Arsitektur Kolonial. Dalam: Prosiding

Seminar Nasional Peran Arsitektur Perkotaan

dalam Mewujudkan Arsitektur Kota Tropis.

Semarang : Universitas Diponegoro.

Sumber Website:

Anonim. 1971. De entree van het Balihotel.

Available from: URL:

http://collectie.tropenmuseum.nl

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

15

KEBERADAAN WALLPAPER SEBAGAI UNSUR HIASAN PADA

ELEMEN PEMBENTUK RUANG DALAM

Nyoman Ratih Prajnyani Salain, S.T., M.T.

Dosen Program Studi Desain Interior Sekolah Tinggi Desain Bali

Email : [email protected]

Abstrak

Ruangan interior terdiri atas empat elemen pembentuk ruang, yaitu: plafond, dinding, lantai,

dan bukaan ruang. Masing-masing elemen tersebut umumnya dijadikan sebagai media

kreativitas oleh sang desainer demi mendapatkan kenyamanan baik secara visual maupun

fungsional dengan selalu mengindahkan prinsip-prinsip desain interior. Dewasa ini,

penggunaan wallpaper sebagai unsur hiasan pada elemen dinding bukanlah hal yang asing,

baik bagi kalangan desainer interior maupun bagi masyarakat awam. Penggunaan wallpaper

juga tidak dibatasi oleh fungsi ruang yang akan didesain. Selain hunian rumah tinggal,

wallpaper juga banyak dijumpai pada interior-interior dengan fungsi sebagai public facilities

diantaranya ada café/ restoran, hotel, rumah sakit, perkantoran, sekolah, dll. Makalah ini

bertujuan untuk mengetahui bagaimana sesungguhnya keberadaan awal wallpaper dijadikan

sebagai unsur hiasan pada elemen pembentuk ruang, berikut pengertian, jenis-jenis, dan motif

wallpaper dalam konsep langgam interior. Metode penelitian yang digunakan adalah metode

penelitian deskriptif kualitatif karena makalah ini menggambarkan keberadaan wallpaper

dalam dunia interior dengan cara mengumpulkan data-data yang bersifat kualitatif seperti

kajian pustaka mengenai sejarah desain interior, wallpaper, desain interior, foto beserta

gambar-gambar yang terkait dengan wallpaper dan desain interior.

Kata Kunci : wallpaper, desain interior, elemen pembentuk ruang

Abstract

Room interior consist of four room forming elements, they are : ceiling, wall, floor and room

aperture. Each of them is used as media of creativity of the designer, in order to find

comfortability visually as well as functionally, by always considering the principle of interior

design.

Recently, wallpaper as decoration aspect on the wall element is commonly used, both by the

interior designers and also by the common people. Its use is not limited by the function of the

room being designed. Beside in the residential home, wallpaper can be also found in public

facilities, such as cafe/restaurants, hotels, hospitals, offices, schools, etc.

This paper is aimed to know the former existence of wallpaper which is used as decoration

aspect of room forming element, including its definition, types and motifs on the concept of

interior style.

The method used in this research is descriptive-quantitative method, because this paper

describes the existence of wallpaper in the interior world by submitting the qualitative data,

such as : literature study about interior design history, wallpaper, interior design, pictures

and photos which have relationship with wallpaper and interior design.

Key words: wallpaper, interior design, room forming element

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

16

PENDAHULUAN

Dunia desain telah banyak mengalami

perkembangan terutama pada bidang seni

arsitektural dan seni interior. Hal ini

dikarenakan, adanya keterkaitan dengan

perkembangan di bidang teknologi.

Dahulu, manusia mendirikan hunian

dengan tujuan untuk melindungi dirinya

dari alam, cuaca, hewan buas, ataupun

serangan sesama manusia. Keberadaan

fisik dari hunian hanya akan dipandang

dari faktor keamanan saja bukan dari faktor

kenyamanan dan keindahan. Namun,

seiring berjalannya waktu, manusia mulai

berpikir bahwa selain faktor keamanan,

faktor kenyamanan dan keindahan juga

dibutuhkan di dalam menjalani kehidupan.

Keberadaan fisik hunian yang sebelumnya

hanya terdiri dari atap, tiang dan lantai

panggung yang seadanya saat itu, secara

berangsur-angsur mengalami

perkembangan dengan ditambahkannya

dinding dengan tujuan memberikan

kenyamanan thermal serta memberikan

privasi bagi penghuninya. Ruang dalam

pun, mulai mendapatkan sentuhan

keindahan yang tadinya diawali dari faktor

kepercayaan manusia saat itu dengan

menghadirkan sosok patung/ arca, relief,

lukisan dinding sebagai alat pemujaan.

Hal inilah yang dijadikan landasan

berkembangnya desain interior di dalam

suatu bangunan. Perkembangan tersebut

dapat dilihat pada masing-masing elemen

dasar interior yang terdiri dari : plafond,

dinding, dan lantai (Wicaksono dan

Tisnawati, 2014: 11). Ketiga elemen

tersebut dijadikan sebagai media

kreativitas seni oleh sang desainer di dalam

mewujudkan ruang dalam sesuai dengan

konsep desainnya.

Wallpaper merupakan salah satu hiasan

dinding yang kini marak diaplikasikan

pada elemen dinding. Penggunaan

wallpaper merupakan salah satu alternatif

hiasan dinding, selain dari menggunakan

permainan warna pada cat dinding. Ada

banyak kelebihan dari menggunakan

wallpaper yang pertama adalah dari faktor

kebersihan. Bahan wallpaper mudah

dibersihkan jika dibandingkan dengan

dinding yang hanya dilapisi cat saja.

Kemunculan Wallpaper masih

diperdebatkan. Terdapat dua versi yang

akan dibahas nantinya, pertama kali

muncul di Cina pada tahun 200 SM dan

versi yang kedua pada jaman Renaisans di

Perancis (Foresta Deco; 2012; Sejarah

Wallpaper Dinding;

http://www.forestadeco.com/index.php/ne

ws/index/2650; diakses tanggal 17 Januari

2017).

Kajian Pustaka pada penelitian ini akan

diawali dengan pengertian desain interior,

prinsip dasar desain interior jenis konsep

interior, sejarah munculnya wallpaper,

definisi dan jenis wallpaper, serta cara

menghitung kebutuhan wallpaper pada

dinding. Untuk pembahasannya akan

menelaah implementasi dari wallpaper

berdasarkan konsep-konsep interior yang

ada. Hal tersebut bertujuan untuk

mewujudkan keselarasan antara motif

wallpaper yang dipilih dengan konsep

interior yang diterapkan.

TUJUAN DAN METODE

PENELITIAN

Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui implementasi yang

sesuai dan selaras antara pemilihan motif

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

17

wallpaper dengan jenis konsep interior

yang diterapkan.

Metode Penelitian

Menggunakan metode penelitian deskriptif

kualitatif karena penelitian ini

menggambarkan keberadaan wallpaper

dalam dunia interior dengan cara

mengumpulkan data-data yang bersifat

kualitatif seperti kajian pustaka mengenai

sejarah desain interior, wallpaper, desain

interior, foto beserta gambar-gambar yang

terkait dengan wallpaper dan desain

interior.

KAJIAN PUSTAKA

Kajian Pustaka pada penelitian ini akan

membahas mengenai definisi Desain

Interior, Prinsip Dasar Desain Interior,

Jenis Konsep Interior, Sejarah Desain

Interior dan Keberadaan Wallpaper,

Definisi dan Jenis Wallpaper, serta Cara

Menghitung Kebutuhan Wallpaper.

Referensi-referensi yang didapatkan dari

kajian pustaka tersebut diharapkan dapat

membantu di dalam menyelesaikan

pembahasan pada penelitian ini.

DEFINISI DESAIN INTERIOR

Saat ini, pengertian mengenai desain

interior sangatlah beragam. Hal ini

dikarenakan oleh banyaknya ahli-ahli

desain interior yang bermunculan sembari

membawa teorinya masing-masing.

Namun, dari sekian banyaknya pengertian

mengenai desain interior sesungguhnya

memiliki makna pokok yang sama hanya

dengan membahasakannya yang berbeda-

beda.

Desain interior atau perancangan interior

adalah salah satu cabang dari ilmu rancang

bangun atau arsitektur yang

perkembangannya cukup pesat

(Wicaksono, 2014: 3). Hal ini disebabkan

oleh adanya kebutuhan manusia untuk

memenuhi gaya hidup dalam

memanfaatkan fungsi ruang di dalam

melakukan aktivitas. Sedangkan menurut

D.K. Ching, “merencanakan, menata dan

merancang ruang-ruang interior dalam

bangunan; Tatanan fisik diatas dapat

memenuhi kebutuhan dasar kita akan

sarana untuk bernaung dan berlindung;

menentukan langkah sekaligus mengatur

bentuk aktivitas kita; memelihara aspirasi

kita dan mengekspresikan ide-ide yang

menyertai segala tindakan kita,

mempengaruhi penampilan, perasaan dan

kepribadian kita” (Kirarai; 2012; Desain

Interior; http://annisa-

po.blogspot.co.id/2012/07/desain-

interior.html; diakses tanggal 20 Januari

2017).

Dari kedua definisi diatas dapat ditarik

kesimpulan mengenai pengertian Desain

interior adalah, suatu ilmu pengetahuan

yang memiliki keterkaitan dengan ilmu

konstruksi dan seni merancang bangunan

(arsitektur) namun dalam konteks

perencanaan, penataan, dan perancangan

ruang dalam dengan tujuan memberikan

kenyamanan dari faktor fungsi maupun

faktor estetis bagi manusia yang

melakukan aktivitas di dalamnya.

PRINSIP DASAR DESAIN INTERIOR

Di dalam mendesain suatu ruang dalam,

seorang desainer diharapkan dapat

menerapkan prinsip-prinsip dasar

perancangan desain interior. Masing-

masing bagian dari prinsip-prinsip dasar

tersebut berguna untuk menghasilkan suatu

karya yang fungsional dan nyaman dari

segi fisik maupun psikis.

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

18

Menurut Petitevirus dalam artikelnya yang

berjudul Sejarah, Pengertian dan 7 Prinsip

Desain Interior (sumber

http://petitevirus.wordpress.com diakses

tanggal 20 Januari 2017) mengemukakan

bahwa terdapat 7 prinsip dasar interior

yaitu:

Unity and Harmony

Suatu ruangan dianggap sebagai suatu

kesatuan dengan yang mana segala elemen

pembentuk ruang saling melengkapi dan

berkesinambungan sehingga tercipta

komposisi yang harmonis dan seimbang

Keseimbangan

Yang dimaksud dengan keseimbangan

adalah tidak berat sebelah di salah satu sisi

baik itu sisi kanan, kiri, atas, ataupun

bawah. Keseimbangan terdiri atas 3 jenis

yaitu:

Keseimbangan Simetris

Keseimbangan yang terjadi apabila

‘berat’ visual dari masing-masing

elemen dasar desain sama/ rata baik

dari segi horizontal maupun segi

vertikal. Umumnya pada keseimbangan

simetris, menggunakan bentuk/ jenis

elemen yang sama sehingga terkesan

mudah ketika menciptakan suatu karya

seni. Namun, meskipun dipandang

lebih mudah ternyata keseimbangan

simetris cukup sulit untuk

membangkitkan emosi bagi penikmat

visualnya, karena berkesan jenuh dan

kaku. Keseimbangan simetris dapat

pula disebut sebagai keseimbangan

formal.

Keseimbangan Asimetris

Keseimbangan ini merupakan jenis

keseimbangan yang ‘berat’ visualnya

tidak merata pada bagian sisi-sisinya.

Meskipun tidak merata dan tidak

beraturan, namun penikmat visual

dapat tetap memandang sebagai sesuatu

yang seimbang. Hal ini dikarenakan

adanya permainan visual seperti; skala,

kontras, dan warna. Sehingga,

meskipun adanya perbedaan jenis

elemen namun keseimbangan visual

dapat tercapai. Keseimbangan asimetris

lebih dapat menggugah emosi penikmat

visualnya karena bersifat lebih dinamis.

Keseimbangan asimetris kerap disebut

sebagai keseimbangan informal.

Gambar 3.1 Ilustrasi Keseimbangan Simetris

Sumber: Nugroho, 2015:237

Gambar 3.2 Ilustrasi

Keseimbangan Asimetris

Sumber: Nugroho, 2015:237

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

19

Keseimbangan Radial (terpusat)

Keseimbangan ini terjadi apabila

elemen-elemen ditata dengan arah

terpusat atau mengarah ke satu titik

pusat.

Focal Point

Merupakan aksen atau daya tarik dalam

suatu ruangan. Penikmat visual jika

memasuki ruangan, pandangannya akan

langsung menuju sumber daya tarik

tersebut. Misalkan, penggunaan cat dinding

yang berbeda atau wallpaper hanya pada

salah satu dinding, memasang lukisan

besar dengan warna yang mencolok, dll.

Focal point dapat diwujudkan dengan

beberapa cara, yaitu: menggunakan skala

ukuran yang lebih besar dari elemen di

sekitarnya dan penggunaan warna yang

berbeda (mencolok) dari lingkungan di

sekitarnya. Selain dari faktor ukuran dan

warna, focal point juga dapat diwujudkan

dengan mengkomposisikan bentuk yang

berbeda (kontras) dengan bentuk yang ada

di sekitarnya.

Ritme

Ritme atau irama merupakan pola

pengulangan visual. Dapat juga diartikan

sebagai pengulangan garis, bentuk, wujud,

atau warna secara teratur atau harmonis.

Pengulangan berfungsi sebagai suatu alat

untuk mengorganisasi bentuk dan ruang di

dalam arsitektur.

Irama terdiri atas 3 jenis, yaitu :

Repetisi, pengulangan yang bersifat

monoton karena adanya kesamaan

segala bentuk unsur-unsur rupa.

Transisi, pengulangan dengan

perubahan-perubahan dekat atau

variasi-variasi dekat pada satu atau

beberapa unsur rupa. Sifat yang

dihasilkan harmonis

Oposisi, pengulangan dengan

perbedaan pada satu atau beberapa

unsur rupa yang digunakan. Sifat yang

dihasilkan kontras. Penerapan gradasi

merupakan kiat-kiat yang perlu

dilakukan untuk menjembatani kontras

Gambar.3 Ilustrasi

Keseimbangan Radial

Sumber: Nugroho, 2015:237

Gambar.4 Contoh Repetisi dan Transisi pada

Irama

Sumber: Nugroho, 2015:186

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

20

Detail

Detail mengandung makna yang luas

namun membutuhkan kecermatan tinggi.

Sebagai contoh menentukan sakelar, tata

cahaya, letak vegetasi di dalam ruang,

dekorasi korden, bahan kain pelapis sofa,

dll. Fungsi detail ini adalah untuk

mendukung nuansa konsep interior yang

ingin ditimbulkan

Skala dan Proporsi

Skala dan proporsi merupakan dua prinsip

yang sistem kerjanya beriringan karena

berhubungan dengan bentuk dan ukuran.

Sequence

Merupakan urutan peristiwa yang dialami.

Seorang desainer harus mampu merancang

dan menata urutan ruang dalam menjadi

suatu peristiwa/ pengalaman yang

mengesankan.

ELEMEN PEMBENTUK RUANG

Ruangan interior terbentuk atas empat

elemen dasar, yaitu : lantai, dinding,

plafond, dan bukaan ruang. Wicaksono dan

Tisnawati dalam bukunya yang berjudul

Teori Interior (2014: 11) mengungkapkan

bagian-bagian dari elemen dasar

pembentuk ruang, yaitu:

Lantai

Lantai merupakan bidang bawah/ alas dari

suatu ruang dalam bangunan dan berfungsi

untuk penggunanya di dalam beraktivitas.

Umumnya lantai terdiri dari beberapa

sublantai sebagai pendukung dan penutup

lantai yang melapisi permukaan sehingga

memmberikan kenyamanan sirkulasi

pergerakan aktivitas pengguna ruang. Pada

bangunan modern fungsi sub lantai adalah

untuk meletakkan kebel listrik, pipa, dan

berbagai utilitas yang dibangun di tempat

(built in).

Dinding

Dinding merupakan struktur vertikal yang

membatasi dan melindungi suatu area.

Umumnya dinding dirancang untuk

menggambarkan bentuk sebuah bangunan,

mendukung super struktur, memisahkan

ruang dalam bangunan, serta melindungi

ruang di udara terbuka. Tujuan utama dari

dinding bangunan adalah mendukung atap

dan plafond. Dewasa ini, dinding bangunan

biasanya akan memiliki elemen structural,

isolasi, dan elemen finishing untuk

permukaan.

Gambar.5 Contoh Oposisi

pada Irama

Sumber: Nugroho, 2015:197

Gambar.6 Contoh Penerapan Gradasi

Sumber: Nugroho, 2015:194

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

21

Plafond

Plafond merupakan bidang atas interior

yang meliputi batas atas sebuah ruangan.

Umumnya plafond bukanlah elemen

struktural melainkan hanya sebatas bidang

yang berfungsi untuk menyembunyikan

bagian bawah struktur lantai atas atau atap.

Sebuah plafond berbentuk cekung, barel

melengkung atau bulat biasanya didesain

untuk nilai visual dan akustik.

Bukaan Ruang

Bukaan ruang umumnya memmiliki

berbagai bentuk dan ukuran yang sengaja

dirancang dan diaplikaskan pada tiga

bidang dimensional di atas (lantai, dinding,

plafond). Contoh: adanya bak control yang

diaplikasikan pada bidang lantai, pintu dan

jendela yang diaplikasikan pada bidang

dinding, dan manhole juga drop ceiling

dengan berbagai tujuannya yang

diaplikasikan pada bidang plafond.

1.1 JENIS KONSEP INTERIOR

Konsep dasar interior adalah dasar

pemikiran desainer yang digunakan

untuk memecahkan permasalahan atau

problematika desain. Dapat dikatakan

bahwa konsep adalah gagasan yang

memadukan berbagai unsur dalam

suatu kesatuan (Wicaksono, 2014:44).

Sesungguhnya ada banyak jenis konsep

interior yang digunakan di dunia,

namun pada penelitian ini jenis konsep

yang dikemukakan hanyalah yang

akhir-akhir ini sangat digemari oleh

masyarakat. Konsep interior tersebut

adalah, Rustik, Klasik, Modern

Minimalis, Futuristik, dan Ekletik.

Menurut Wicaksono dan Tisnawati

(2014:44), pengertian masing-masing

konsep interior tersebut adalah:

1.1.1 Konsep Rustik

Konsep rustik berbasis pada kesadaran

terhadap lingkungan dengan

menggunakan bahan-bahan material

dari alam seperti kayu, bamboo,

ataupun bebatuan. Finishing atau

sentuhan akhir material biasanya

dibiarkan apa adanya tanpa proses

lebih jauh (tidak dicat, dibiarkan

dengan warna aslinya) seperti bata

diekspos, tempelan batu alam,dll.

Desain rustik merupakan desain yang

membawa suasana alam masuk ke

dalam ruangan. Sebagai contoh:

Penggunaan material kayu yang

permukaannya masih kasar, dipadukan

dengan penggunaan warna-warna alami

seperti cokelat dan krem, akan dapat

menghasilkan suasana hutan di dalam

ruangan.

Gambar.7 Elemen Pembentuk

Ruang Dalam

Sumber: Wicaksono, 2014:13

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

22

1.1.2 Konsep Klasik

Konsep interior klasik berasal dari

Yunani dan Romawi yang bertumpu

pada susunan, keseimbangan, dan

harmonisasi yang sempurna. Untuk

membedakan konsep klasik dengan

konsep yang lainnya, perlu dipahami

ada beberapa titik fokus (focal point)

yang dijadikan ide pokok di dalam

merancang dengan konsep klasik.

Focal point tersebut adalah: Adanya

tungku api unggun, meja besar dan

tangga yang megah. Kelebihan dari

konsep klasik ini adalah kesan elegan

dan mewah.

1.1.3 Konsep Modern Minimalis

Konsep modern minimalis lebih

mengutamakan fungsi dan

efektivitas penggunaan sehingga

mengakibatkan hampir atau bahkan

tidak ditemukannya ornamen

hiasan pada desain. Konsep ini

diawali oleh adanya keterbatasan

lahan, meningkatnya harga lahan,

serta bertambahnya jumlah

penduduk menuntut sebuah desain

yang mampu menampung segala

aktivitas dalam ruang tanpa

membutuhkan luasan ruang yang

maksimal dan furniture yang

berlebihan. Aspek fungsionalitas

dan efektivitas menjadi prioritas

dalam konsep ini.

1.1.4 Konsep Futuristik

Konsep futuristik ini berangkat dari

imajinasi dan pemahaman desainer

tentang ruangan dan obyek-obyek

masa depan (future). Material yang

digunakan berupa material logam/

kombinasi dan model yang

biasanya digunakan untuk pesawat

ulang-alik. Umumnya jenis konsep

ini diminati oleh klien dengan

kemampuan ekonomi tak terbatas

karena terkait dengan penggunaan

bahan material (logam/ kombinasi)

yang mahal sebagai finishing akhir.

Gambar 8. Ruang Tamu dengan Konsep Rustic

Sumber: https://id.pinterest.com/coachlunz/living-

room/ (Akses tanggal 22 Januari)

Gambar 9. Ruang Tamu dengan Konsep Klasik

Sumber: http://ruangtamu.net/model-lampu-

hias-ruang-tamu-yang-bagus/ (Akses tanggal 22

Januari 2017)

Gambar 10. Ruang Tamu dengan Konsep

Modern Minimalis

Sumber: http://www.rumah-

minimalis.web.id/2014/07/gambar-

interior-rumah-minimalis-modern.html

(Akses tanggal 22 Januari 2017)

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

23

1.1.5 Konsep Eklektik

Merupakan konsep yang menggabungkan

dua atau lebih konsep/ gaya penataan

interior. Konsep ini dapat digunakan jika

sang desainer tidak dapat menentukan satu

gaya yang tepat sebagai konsepnya.

Eklektisme adalah mencampurkan

beberapa gaya furniture dari berbagai

sumber gaya dan satuan waktu. Namun,

untuk mewujudkan tampilan yang

harmonis ruangan eklektik harus disusun

dengan mengelompokkan antar bagian

furniture tidak dicampurkan dalam suatu

ruangan. Konsep ini membutuhkan

kecermatan optimal dari desainernya agar

tidak terjadi tumpang tindih/

kesemrawutan, karena pekerjaan

mencampurkan dua konsep bahkan lebih

bukanlah pekerjaan yang mudah.

1.2 SEJARAH DESAIN INTERIOR

DAN KEBERADAAN

WALLPAPER

Sejarah lahirnya desain interior hingga

sekarang belum dapat diuraikan dengan

jelas terperinci tahun berapa munculnya

dan dimanakah diawali kelahirannya. Di

dalam beberapa sumber bacaan, sering

diungkapkan bahwa desain interior lahir

melalui cara yang sangat alamiah dan

natural. Bahkan, telah ada ketika

periodisasi arsitektur dan interior

prasejarah. Dikemukakan bahwa manusia

jaman itu hidupnya masih bersifat

nomaden (berpindah-pindah). Istilah

hunian yang mereka tempati ketika itu

adalah shelter semacam pondok yang

fungsinya untuk melindungi mereka dari

alam, cuaca, hewan buas, dan serangan

manusia lainnya. Selain shelter, gua juga

dijadikan hunian yang nyaman bagi

manusia ketika itu. Saat mereka merasa

hidupnya terancam, mereka akan pindah

dan segera mendirikan shelter atau mencari

gua lainnya yang lebih aman menurut

mereka. Kepercayaan yang mereka anut

ketika itu sangatlah kuat, yaitu yakin akan

adanya para dewa dan leluhur. Mereka

sungguh yakin jika hujan deras, angin

Gambar 11. Ruang Makan dengan Konsep

Futuristik

Sumber: http://blog.styleestate.com/style-

estate-blog/futuristic-interior-design.html

(Akses tanggal 22 Januari 2017)

Gambar 12. Ruang Tamu dengan Konsep Eklektik

Sumber:

http://desainrumahtips.blogspot.co.id/2013/08/rum

ah-megah-dengan-interior-eklektik.html (Akses

tanggal 22 Januari 2017

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

24

kencang, dan kemarau berkepanjangan

terjadi karena para dewa ataupun leluhur

sedang murka. Pemujaan-pemujaan yang

mereka lakukan semata-mata untuk

melindungi diri dari bahaya-bahaya

tersebut.

Selain pemujaan yang berwujud ritual,

mereka juga mengkreasikan atau

menciptakan bentuk layaknya patung-

patung yang dianggap sebagai transformasi

dari dewa yang dipuja. Sebagai wadah

pemujaan kepada dewa dan para leluhur,

mereka pun mulai menciptakan bentukan

layaknya meja sebagai sarana pelengkap

ritual pemujaan. Hal-hal tersebutlah yang

konon dijadikan titik awal lahirnya desain

interior, karena masing-masing hunian

sudah mulai menghias rumahnya dengan

keberadaan patung-patung dan furniture,

meskipun tujuan awalnya hanyalah untuk

ritual pemujaan. Salah satu wujud

penghargaan mereka terhadap alam juga

dapat dilihat dari peninggalan di dalam

gua-gua purba, yaitu adanya lukisan yang

menggambarkan hewan-hewan serta

keberadaan alam di sekitarnya. Lukisan di

dinding gua juga merupakan titik awal

lahirnya desain interior, khususnya

memberikan unsur hiasan pada elemen

dinding yang kini umumnya dilakukan

dengan memberikan lukisan, bermain

warna cat dinding, memasang wallpaper,

memberikan stiker bergambar, atau bahkan

melukis dinding langsung yang kini

disebut sebagai seni mural.

Berdasarkan atas keterangan di atas maka

dapat dipahami bahwa keberadaan

wallpaper sesungguhnya erat kaitannya

dengan proses lahirnya desain interior.

Sama halnya dengan sejarah desain

interior, sejarah keberadaan wallpaper juga

tidak dapat dijelaskan secara terperinci.

Terdapat dua versi mengenai sejarah

keberadaan wallpaper, versi yang pertama

adalah sekitar tahun 200 SM orang-orang

di Cina telah mulai menghias dindingnya

dengan kertas (hal ini terkait dengan

penemuan kertas pertama terdapat di Cina).

Mereka telah terbiasa merekatkan kertas

nasi pada dinding rumah. Akan tetapi,

keadaan tersebut tidak bisa disamakan

Gambar 13. Lukisan di dinding Gua

Lascaux, Perancis (30.000-15.000SM)

Sumber: repository.binus.ac.id/2009-

2/content/W0512/W051285383.ppt (Akses tanggal 19 Januari 2017)

Gambar 14. Lukisan di dinding Gua

Chauvet, Perancis (25.000-17.000SM)

Sumber: repository.binus.ac.id/2009-

2/content/W0512/W051285383.ppt (Akses tanggal 19 Januari 2017)

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

25

dengan keadaan wallpaper yang ada di

jaman sekarang. Setidaknya dengan

keberadaan tersebut dapat memberikan

inspirasi bagi manusia modern di dalam

menciptakan wallpaper yang ada seperti

sekarang. Versi yang kedua, tentang

sejarah keberadaan wallpaper adalah pada

jaman Renaisans di Perancis. Ketika itu

kerajaan seringkali menggunakan

permadani untuk menghias dinding

istananya. Hal ini dapat menyebabkan

kesan sejuk dan nyaman bagi ruangan.

Namun, karena harga permadani yang

relatif mahal maka hanya dapat digunakan

oleh kaum bangsawan saja. Sedangkan

bagi kalangan masyarakat biasa yang ingin

menghias dinding rumahnya namun tidak

mampu untuk membeli permadani, mereka

mengakalinya dengan merekatkan kertas

hias dengan motif yang menyerupai seperti

permadani (Foresta Deco; 2012; Sejarah

Wallpaper Dinding;

http://www.forestadeco.com/index.php/ne

ws/index/2650; diakses tanggal 17 Januari

2017).

Sejarah keberadaan wallpaper berlanjut

sekitar tahun 1785 oleh Christophe-

Philippe Oberkampf dari Perancis, yang

berhasil membuat mesin cetak untuk

wallpaper dinding. Penggunaan wallpaper

ini banyak ditemukan di Inggris.

Kemudian, diteruskan oleh Louis Robert

yang menciptakan wallpaper gulungan

tanpa putus. Selanjutnya, wallpaper

kemudian diproduksi secara massal di Kota

Philadelphia, Amerika pada abad ke-18.

Saat itu, kota Philadelphia dikenal sebagai

kota industri dan penghasil wallpaper.

Motif gaya Perancis masih digunakan dan

mendominasi kala itu permadani (Foresta

Deco; 2012; Sejarah Wallpaper Dinding;

http://www.forestadeco.com/index.php/ne

ws/index/2650; diakses tanggal 17 Januari

2017).

1.3 DEFINISI DAN JENIS

WALLPAPER

Pengertian wallpaper adalah sejenis bahan

yang berfungsi untuk menutupi dan

menghias dinding bagian dalam rumah,

kantor, bangunan lainnya yang merupakan

salah satu unsur dari dekorasi interior.

Biasanya wallpaper dijual dalam bentuk

roll (gulungan) dan direkatkan di dinding

dengan menggunakan lem khusus

wallpaper (Edwin Wallpaper & Fibre

Glass; 2013; Definisi Wallpaper Dinding;

https://fibrewall.wordpress.com/2013/09/1

1/definisi-wallpaper-dinding/; diakses

tanggal diakses tanggal 17 Januari 2017).

Masih dalam sumber yang sama

diungkapkan, teknik yang digunakan di

dalam mencetak wallpaper adalah

pencetakan permukaan, dicetak gravure,

sutra sablon, percekatan rotary, dan digital

printing. Wallpaper dicetak dalam

gulungan panjang dengan motif berulang-

ulang, sehingga ketika dipotong dari

gulungan yang sama dapat ditempel di

samping pola lainnya sehingga pola

tersebut dapat dilanjutkan kembali.

Macam dan jenis ragam wallpaper yang

dikutip dari Imelda Akmal dalam Seri

Rumah Ide pada Kompas.com dengan

judul "Wallpaper & Cutting Sticker"

(http://properti.kompas.com/read/2012/03/

28/16234723/Yuk.Mengenal.Ragam.Bahan

.Wallpaper; diakses tanggal 24 Januari

2017) adalah,

Paper

Wallpaper jenis kertas ini merupakan

jenis wallpaper yang pertama kali

ditemukan. Kelemahan dari jenis

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

26

wallpaper ini cukup banyak yaitu,

rentan sobek (terutama pada saat

pemasangan), mudah kotor, dan cepat

rusak saat dibersihkan. Kelebihannya

terletak pada kualitas detail serta

variasi motifnya. Wallpaper jenis paper

ini sesuai digunakan pada ruang

dengan aktivitas yang rendah seperti

ruang tidur.

Heavy Duty Paper

Sesuai dengan namanya, jenis

wallpaper ini tergolong cukup kuat,

dikembangkan pada abad ke-19 dengan

nama Lincrusta dan Anaglypta. Hingga

saat ini jenis Anaglypta masih

diproduksi dengan karakter tebal,

terdapat lapisan linen di bagian

belakang, serta ada yang terbuat dari

campuran bubur kayu dan katun.

Kelebihan dari jenis ini adalah dapat

diberi motif timbul (emboss) dan

merupakan jenis wallpaper pertama

yang dapat dicuci. Kemudian Heavy

duty paper juga bisa dicat sehingga tak

perlu ganti wallpaper baru.

Fiberglass Weaves

Sesuai dengan namanya, jenis

wallpaper ini terbuat dari serat

fiberglass yang ditenun atau dianyam

sehingga menjadi lembaran wallpaper

pada umumnya. Kelebihan dari jenis

adalah, tahan api, tidak membusuk atau

berjamur, serta tahan lama. Karena

keistimewaan tersebut, wallpaper ini

sesuai diaplikasikan di area lembab

seperti pada kamar mandi.

Vynil Paper

Vynil Paper merupakan jenis wallpaper

yang paling kerap digunakan karena

bahan ini tidak mudah rusak, tidak

mudah lembab atau dengan kata lain

keawetannya bisa diandalkan. Selain

dapat digunakan pada ruang duduk,

kamar tidur, ruang kerja dan ruang

makan, bahan ini juga aman untuk

kamar mandi dan dapur.

Textile Paper

Layaknya tekstil atau kain, wallpaper

jenis ini memiliki karakter warna,

motif, tekstur, dan jenis bahan yang

sangat banyak, seperti katun, linen,

tenunan bahan sintetik, sutra, bahkan

kain goni, dan serat alam. Untuk

memasang textile paper memerlukan

tenaga ahli berpengalaman karena

sebelum direkatkan perlu dialasi kertas

alas khusus.

Flock

Wallpaper jenis flock ini terdiri atas

dua pilihan yaitu flocked on paper dan

flocked on textile. Flock merupakan

bahan yang terbuat dari serat wol, yang

dapat menimbulkan efek beludru pada

permukaan wallpaper. Flock banyak

digemari karena dianggap memiliki

kombinasi gaya Victoria, retro

sekaligus kontemporer.

Efek beludru pada wallpaper ini

menyebabkan warna permukaannya

berubah-ubah, tergantung dari efek

pencahayaan dan dari sudut pandang

pengamat. Kesan yang dapat dihasilkan

elegan dan mewah.

Foils

Wallpaper jenis Foils ini merupakan

jenis wallpaper dengan efek kilap yang

didapatkan dari foil atau kertas timah

yang dipakai pada permukaannya.

Disarankan penggunaan jenis

wallpaper ini pada permukaan dinding

yang halus karena bahannya tipis dan

mudah robek.

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

27

Natural fibers

Jenis wallpaper yang terbuat dari serat

alam, seperti serat daun bamboo, dan

kelapa. Mengaplikasikan wallpaper

jenis ini merupakan alternatif yang

tepat untuk menghadirkan suasana

alam/ natural dalam ruang.

1.4 CARA MENGHITUNG

KEBUTUHAN WALLPAPER

Di dalam mengaplikasikan wallpaper

pada dinding, sebaiknya luas

permukaan dinding yang hendak

dilapisi harus dihitung dulu agar tidak

terjadi kekurangan bahkan kelebihan di

dalam membeli wallpaper. Wallpaper

dijual dalam bentuk gulungan atau roll.

Lebar roll umumnya 50 cm dan 93 cm.

Sedangkan panjangnya berkisar 5 m,

10 m, dan 17,5 m. Untuk mengetahui

perkiraan jumlah gulungan yang harus

dibeli, dapat dihitung dengan cara:

Namun, bila ingin mengaplikasikan

wallpaper pada seluruh dinding ruang,

maka cara perhitungannya adalah:

Kemudian, setelah mengetahui luas

dinding yang akan dilapisi, untuk

mengetahui jumlah gulungan

wallpaper yang diperlukan adalah

dengan cara membagi luas dinding

dengan luas lembaran wallpaper.

Sedangkan untuk mendapatkan luas

wallpaper, cukup mengalikan panjang

dan lebarnya saja.

Sebagai contoh:

Terdapat ruangan dengan luas

bidang dinding yang ingin

diaplikasikan dengan wallpaper

adalah 56 m²

Luas bidang wallpaper 1 roll

= panjang wallpaper x lebar

wallpaper

= 10m x 0,50 m

= 5 m2.

Bahan yang dibutuhkan

= Luas bidang dinding / luas bidang

1 roll

= 56 m2 / 5 m2

= 11, 20 dibulatkan menjadi 12 roll

Maka jumlah wallpaper yang

dibutuhkan sebanyak 12 roll.

Namun untuk menghindari

kekurangan bahan pada saat

pemasangan akibat pemotongan,

sebaiknya anda siapkan 10 persen

dari volume yang ada.

= 12 + (12 x 10%) = 12 + 1,2 =

13,2 dibulatkan menjadi 14 roll.

(Architectaria; 2009; Cara Menghitung

Kebutuhan Wallpaper; Sumber:

http://architectaria.com/interior-desain-

tips-dekorasi-dinding-ruangan-dengan-

wallpaper.html; diakses tanggal 19

Januari 2017)

2. MENGAPLIKASIKAN

WALLPAPER BERDASARKAN

ATAS KONSEP INTERIOR

Adanya beragam konsep desain interior

menyebabkan beragam pula warna,

gambar, dan motif dari wallpaper yang

dijual di pasaran. masing-masing motif

memiliki keterkaitan yang harmonis

Luas dinding satu sisi = (panjang x

tinggi) – (luas jendela atau pintu).

Luas dinding satu ruangan = (keliling

ruangan x tinggi ruangan) – (luas bidang

jendela atau pintu)

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

28

dengan konsep interior yang ada.

Bahasan ini akan membahas mengenai

hubungan antara konsep interior

dengan aplikasi wallpaper pada

ruangan.

2.1 APLIKASI WALLPAPER PADA

KONSEP RUSTIC

Sesuai dengan pengertian konsep

Rustic yang berbasis terhadap

lingkungan yaitu menggunakan bahan-

bahan material dari alam seperti kayu,

bambu, ataupun bebatuan maka bentuk

motif dan warna pada desain wallpaper

juga mengikuti dan menyesuaikan.

Motif wallpaper dapat berupa motif

bebatuan, dedaunan, susunan kayu, dll

dengan jenis warna mengikuti warna

aslinya. Sehingga dengan

mengaplikasikan wallpaper tersebut

dapat mendukung kesan rustic yang

ditonjolkan oleh sang desainer.

Pada gambar 15 dapat dilihat bahwa

wallpaper yang diaplikasikan

menggunakan motif pasangan bata

untuk mendukung konsep interior yang

dipilih yaitu konsep Rustic.

Perwujudan dari konsep tersebut dapat

dilihat dari jenis penggunaan warna

yang dipilih yaitu nuansa coklat selain

karena fungsi dari ruangan tersebut

yang berfungsi untuk menjual kudapan

coklat. Jenis material lantai juga

menggunakan lantai parquet (kayu)

untuk menambah kesan hangat dan

nyaman pada ruangan tersebut.

Wallpaper diaplikasikan hanya pada

salah satu dinding untuk menghindari

kesan jenuh dan monoton.

Contoh wallpaper pada konsep Rustic

yang kedua adalah sebuah foto living

room dengan background dindingnya

diaplikasikan wallpaper bermotif

bebatuan disertai dengan tanaman

merambat. Kesan yang dapat

ditimbulkan dari ruangan tersebut

adalah seakan-akan sedang berada di

alam luar (bebas). Terlebih lagi fungsi

ruangan sebagai living room yang

merupakan ruangan untuk menerima

tamu, kesan nyaman, bebas, tenang,

dan akrab sungguh terasa. Tamu yang

datang pun akan merasa betah untuk

menghabiskan waktu pada ruangan ini.

Gambar 15. Chocolate Lounge di Golden

Rabbit Jimbaran design by Novita Dewi

Sumber: Novita Dewi,2016

Gambar 16. Living Room

berkonsep Rustic

Sumber:

http://wallpaperbagus.co.id/arti

cle/view/58-interior-gaya-

rustic-desain

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

29

2.2 APLIKASI WALLPAPER PADA

KONSEP KLASIK

Wallpaper pada konsep klasik

umumnya menggunakan motif floral

dengan tipikal dedaunan dan bunga

yang khas. Warna yang digunakan

bermacam-macam, namun seringkali

bernuansa emas, krem, beige, cokelat,

dan merah. Berikut merupakan salah

satu contoh motif wallpaper yang kerap

digunakan oleh desainer-desainer

kebanyakan untuk mendukung konsep

klasik pada interior.

Gambar di atas menunjukkan warna

wallpaper bernuansa beige keemasan

dengan motif bunga dan dan sulur-

sulur yang khas gaya klasik. Pemilihan

warna wallpaper umumnya

menyesuaikan dengan cat dinding pada

sisi-sisi dinding di sekitarnya serta

furniture yang terdapat pada ruangan

tersebut. Jika ingin mewujudkan

suasana yang menyatu dan harmonis

menggunakan wallpaper dengan warna

yang selaras dengan lingkungan dan

furniture di sekitarnya. Sebaliknya jika

ingin mewujudkan suasana yang

kontras ataupun ingin menciptakan

prinsip focal point papa ruangan maka

sebaiknya menggunakan warna

wallpaper yang berlawanan atau

kontras.

Contoh interior dengan konsep klasik

di atas menggunakan wallpaper dengan

motif floral bunga dan pepohonan

bernuansa warna biru dan putih.

Menimbulkan kesan harmonis karena

motif wallpapernya sama dengan kain

penutup sofa. Perpaduan warna yang

digunakan memberikan kesan sejuk.

Terdapat sofa berwarna hijau pucat di

sisi tengah dan tirai dengan warna yang

sama sebagai aksen di dalam ruang.

Gambar 17. Motif dan Warna

Wallpaper pada Interior Berkonsep

Klasik

Sumber:

http://koleksiwallpaper.com/index.php/

wallpaper/wallpaper-glitter-motif-

polos/lp01-2056-4-33.html

Gambar 18. Living Room dengan

Wallpaper Bergaya Klasik

Sumber:

https://id.pinterest.com/elenidecor/wall

paper/

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

30

2.3 APLIKASI WALLPAPER PADA

KONSEP MODERN MINIMALIS

Wallpaper yang seringkali digunakan

pada konsep modern minimalis ini

adalah wallpaper dengan motif

geometri dengan tidak lebih dari dua

atau 3 warna. Pola geometri ini

berguna untuk mengisi ‘kekosongan’

ruang minimalis. Selain geometri pola

garis dengan perbedaan warna juga

kerap diaplikasikan pada ruangan

dengan konsep modern minimalis.

Pola geometri pada wallpaper diatas

menggunakan pola berulang dan dua

warna yaitu silver dan abu-abu. Warna

tersebut disesuaikan dengan furniture

di dalam ruang sehingga menimbulkan

kesan harmonis. Konsep modern

minimalis dapat dilihat dari pemilihan

bentuk dan warna furniture serta motif

wallpaper yang saling mendukung satu

sama lainnya. Pemasangan wallpaper

dengan motif geometri pola berulang

sebaiknya diaplikasikan pada

permukaan dinding yang halus hindari

permukaan dinding yang bergelombang

karena nantinya berpengaruh pada pola

geometri di wallpaper akan terlihat

seperti bergeser.

Contoh aplikasi wallpaper pada konsep

modern minimalis kedua terdapat di

salah satu klinik Happy Dentist di

Level 21. Motif yang digunakan pola

geometri dengan jenis warna putih

mengarah ke warna krem nampak

serasi dengan sisi dinding di

sebelahnya yang menggunakan cat

dinding warna off white. Terkait

dengan fungsinya sebagai klinik

pemeriksaan gigi, warna yang

digunakan bernuansa putih dengan

tujuan mewujudkan kesan bersih,

hygienis, dan nyaman.

2.4 APLIKASI WALLPAPER PADA

KONSEP FUTURISTIK

Pada ruangan dengan konsep futuristik,

seringkali dijumpai wallpapernya

bermotif abstrak ataupun bernuansa

masa depan, galaksi, antariksa, dll.

Selain bermotif, wallpaper polosan

dengan tampilan glossy juga kerap

diaplikasikan. Hal tersebut untuk

menunjang konsep futuristik yang

bentuk funiturenya cukup aneh dan

praktis. Warna metal sering digunakan

pada konsep ini agar kesan futuristik

lebih terlihat.

Gambar 19. Wallpaper pada Bed room

dengan Konsep Modern Minimalis

Sumber:

https://id.pinterest.com/pin/25403123520451

5774/

Gambar 20. Wallpaper pola geometri pada

Happy Dentist di Level 21 Denpasar, design

by: Sri Wijayanthi

Sumber: Sri Wijayanthi, 2017

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

31

Pada contoh gambar di atas, wallpaper

yang digunakan tanpa motif, hanyalah

permainan warna yang disesuaikan

dengan warna sisi dinding lainnya dan

lantai. Hal ini dikarenakan oleh konsep

futuristic yang menitikberatkan

gambaran masa depan, kecanggihan

teknologi yang serba praktis dan

modern, minim hiasan dan ornamen.

2.5 APLIKASI WALLPAPER PADA

KONSEP EKLEKTIK

Kombinasi dua konsep atau lebih di

dalam satu ruangan merupakan kata

kunci dari konsep eklektik ini. Seperti

yang terlihat pada gambar di atas

terdapat dua konsep yang nampak jelas

yaitu konsep retro (vintage) dan konsep

yang kedua adalah konsep modern. Hal

tersebut dikarenakan oleh adanya

penggunaan furniture yang masih

bergaya vintage namun difinishing

dengan warna-warna muda berkesan

modern. Motif dan warna wallpaper

juga merupakan faktor pendukung yang

kuat, dengan pola geometri berulang

dan jenis warna tosca, berhasil

digabungkan dengan konsep desain

furniture yang vintage.

Pada contoh yang kedua, konsep

eklektik terdiri atas Konsep Klasik dan

Konsep Modern. Konsep Klasik dapat

dilihat pada pemilihan kursi makan

dengan sedikit ornamen di bagian

sandaran dan motif floral pada

wallpaper. Sedangkan konsep modern

terletak pada desain ruangnya, desain

Gambar 21. Wallpaper pada living room

dengan Konsep Futuristik

Sumber:

https://www.imaniadesain.com/tema-atau-

konsep-desain-interior-terbaik

Gambar 22. Wallpaper pada living room

dengan Konsep Eklektik

Sumber:

http://www.jambidesign.com/2015/10/gamba

r-desain-ruang-tamu-bergaya.html

Gambar 23. Wallpaper pada

Dining Room dengan Konsep

Eklektik di Semarang, design by:

Risca.

Sumber: Risca, 2017

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

32

bukaan, desain meja makan dan

pemilihan nuansa warna pada ruangan.

3. MENGAPLIKASIKAN

WALLPAPER BERDASARKAN

TATA LETAK DALAM RUANG

Mengaplikasikan wallpaper pada

dinding adalah hal yang lumrah pada

desain interior. Kini ada beberapa

tempat alternatif untuk memasang

wallpaper selain dinding, yaitu:

Pada Pintu

memasang wallpaper di pintu dapat

dilakukan jika pemberian cat warna

cerah dipandang masih kurang. Warna

dan motif diusahakan tetap harmonis

dengan nuansa interior keseluruhan

dalam bangunan.

Pada Plafond

Sama halnya dengan pemasangan

wallpaper pada pintu, pemasangan

pada plafond bertujuan untuk

memberikan kesan kreatif yang tinggi

dalam menyamankan visual pengamat.

Gambar 24. Pintu dengan aplikasi

Wallpaper

Sumber:

http://majalahasri.com/alternatif-

tempat-memasang-wallpaper-selain-

di-dinding/

Gambar 25. Plafond dipasangkan

Wallpaper yang sama dengan

dindingnya,

Sumber:

http://majalahasri.com/alternatif-

tempat-memasang-wallpaper-selain-di-

dinding/

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

33

Pada Frame

Merupakan wallpaper yang dipasang

pada bingkai besar dengan tujuan

menciptakan aksen focal point pada

ruangan ataupun dapat dijadikan

sebagai artwork

KESIMPULAN

Pemaparan mengenai keberadaan

wallpaper sebagai unsur hiasan pada

elemen pembentuk ruang diuraikan

melalui kajian pustaka yang

menjelaskan tentang definisi Desain

Interior, Prinsip Dasar Desain Interior,

Elemen Pembentuk Ruang, Jenis

Konsep Interior, Sejarah Desain

Interior dan Keberadaan Wallpaper,

Definisi dan Jenis Wallpaper, serta

Cara Menghitung Kebutuhan

Wallpaper. Kemudian pada

pembahasan, diuraikan tentang

Mengaplikasikan Wallpaper

Berdasarkan Atas Konsep Interior dan

Mengaplikasikan Wallpaper

Berdasarkan Tata Letak Ruang Dalam.

Pada kajian pustaka disebutkan bahwa

Desain interior atau perancangan

interior adalah salah satu cabang dari

ilmu rancang bangun atau arsitektur

yang perkembangannya cukup pesat

(Wicaksono, 2014: 3). Desain Interior

memiliki prinsip-prinsip dasar yang

dijadikan acuan dasar di dalam

merancang dan menghasilkan hasil

karya seni. Prinsip-prinsip dasar

tersebut adalah, Unity dan Harmony,

Keseimbangan, Focal Point, Ritme,

Detail, Skala dan Proporsi, serta

Sequence.

Pada ruang interior terdiri dari elemen-

elemen pembentuk ruang yaitu, lantai,

dinding, plafond dan bukaan ruang.

Keempat elemen tersebut merupakan

media bagi para desainer untuk

mengeksplorasikan kemampuannya di

dalam merancang sehingga dapat

menghasilkan suatu ruang dalam yang

fungsional, estetis, nyaman dan sesuai

dengan konsep desain yang disepakati.

Menyebutkan kata konsep, desain

interior memiliki beragam jenis konsep

yang dikenal di dunia. Namun hanya

beberapa saja yang digemari oleh

masyarakat. Menurut Wicaksono dan

Tisnawati, (2014:44) konsep- konsep

tersebut adalah,Konsep Rustik, Konsep

Klasik, Konsep Modern Minimalis,

Konsep Futuristik, dan Konsep

Eklektik.

Kehadiran Wallpaper pada dunia

interior terkait dengan munculnya

sejarah desain interior. Desain interior

Gambar 26. Wallpaper dipasang pada

Frame

Sumber: http://majalahasri.com/alternatif-

tempat-memasang-wallpaper-selain-di-

dinding/

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

34

lahir secara alamiah dari pola hidup

manusia gua (purba) yang memiliki

kepercayaan terhadap roh leluhur dan

dewa serta bentuk penghargaan mereka

terhadap alam dan isinya. Manusia

purba memiliki ritual pemujaan yang

mana menggunakan patung, arca, meja

sajian sebagai sarana mereka di dalam

melakukan pemujaan. Dan mereka

mengabadikan keindahan alam beserta

isinya dalam bentuk lukisan dinding

gua ataupun lukisan dinding pada

shelter mereka masing-masing.

Begitulah perkembangan munculnya

desain interior di dunia.

Sama halnya dengan desain interior,

keberadaan wallpaper juga terjadi

secara alamiah. Hanya saja hingga

sekarang masih terjadi perdebatan

apakah di Cina atau di Perancis yang

mengawali keberadaan Wallpaper

Wallpaper merupakan sejenis bahan

yang berfungsi untuk menutupi dan

menghias dinding bagian dalam rumah,

kantor, bangunan lainnya yang

merupakan salah satu unsur dari

dekorasi interior. Biasanya wallpaper

dijual dalam bentuk roll (gulungan)

dan direkatkan di dinding dengan

menggunakan lem khusus wallpaper

(Edwin Wallpaper & Fibre Glass;

2013; Definisi Wallpaper Dinding;

https://fibrewall.wordpress.com/2013/0

9/11/definisi-wallpaper-dinding/;

diakses tanggal 17 Januari 2017).

Dengan jenis- jenis wallpaper sebagai

berikut: Paper, Heavy Duty Paper,

Fiberglass Weaves, Vynil Paper,

Textile Paper, Flock, Foils, dan

Naturalfibers.

Pemasangan wallpaper sebaiknya

menyesuaikan antar motif dan warna

dengan konsep interior yang

digunakan. Pada Konsep Rustic, motif

yang sesuai digunakan adalah

bebatuan, kayu, pepohonan dengan

warna-warna alam; Konsep Klasik

umumnya menggunakan wallpaper

bermotif floral yang tipikal dedaunan

dan bunganya khas; Konsep Modern

Minimalis kerap menggunakan motif

geometri dengan tujuan mengisi

‘kekosongan’ ruang bertema minimalis

modern; Konsep Futuristik, wallpaper

yang digunakan umumnya

menggunakan gambar-gambar bertema

masa depan, abstrak, ataupun antariksa.

Namun, tidak jarang juga hanya

menggunakan permainan warna dan

permukaan yang glossy; Untuk Konsep

Eklektik, motif wallpapernya bersifat

liberal, yang artinya tergantung pada

konsep-konsep apa saja yang

digabungkan. Motif wallpaper pun

dapat bercorak floral, alam, bebatuan,

geometri, dll.

Selain di dinding, wallpaper dapat

dipasang pada pintu, plafond, dan

dipasang pada frame sebagai artwork

pada ruang dalam.

DAFTAR PUSTAKA

Nugroho, S. (2015). Manajemen

Warna dan Desain. Yogyakarta: CV.

Andi Offset

Wicaksono, A.A. dan Tisnawati, E.

(2014). Teori Interior. Jakarta: Griya

Kreasi (Penebar Swadaya Grup)

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

35

Akmal, Imelda. (2013, 28 Maret)

Wallpaper & Cutting Sticker. Kompas

[online]. Tersedia:

http://properti.kompas.com/read/2012/0

3/28/16234723/Yuk.Mengenal.Ragam.

Bahan.Wallpaper. [24 Januari 2017]

Architectaria. (2009). Cara

Menghitung Kebutuhan Wallpaper;

Sumber. [online]. Tersedia:

http://architectaria.com/interior-desain-

tips-dekorasi-dinding-ruangan-dengan-

wallpaper.html [19 Januari 2017]

Deco, Foresta. (2012). Sejarah

Wallpaper Dinding. [online]. Tersedia:

http://www.forestadeco.com/index.php/

news/index/2650. [17 Januari 2017]

Kirarai. (2012). Desain Interior. [online].

Tersedia: http://annisa-

po.blogspot.co.id/2012/07/desain-

interior.html. [20 Januari 2017]

Wallpaper, Edwin. dan Glass, Fibre

(2013). Definisi Wallpaper Dinding

[online] Tersedia:

https://fibrewall.wordpress.com/2013/09/1

1/definisi-wallpaper-dinding/. [17 Januari

2017]

Petitevirus . Sejarah, Pengertian dan 7

Prinsip Desain Interior. [online] Tersedia:

http://petitevirus.wordpress.com [20

Januari 2017]

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

36

Aplikasi Geographic Information System (GIS) Dalam

Menentukan Lokasi Shopping Mall

Tri Widianti Natalia, S.T., M.T.

Dosen Program Studi Teknik Arsitektur, Universitas Komputer Indonesia

E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Gaya hidup modern membawa pengaruh pada fenomena pertumbuhan Shopping Mall di

perkotaan. Hal ini membuat pengembang mall berusaha untuk memastikan lokasi yang

strategis sebagai daya tarik bagi konsumen. Untuk memastikan bahwa lokasi strategis itu

merupakan lokasi yang potensial untuk mendirikan Shopping Mall, diperlukan analisis yang

tepat dan pasti. Geographic Information System (GIS) yang merupakan pemrograman

matematika, menjadi aplikasi yang tepat untuk memecahkan masalah lokasi berdasarkan data

spasial dan non-spasial dari Shopping Mall dan demografi perkotaan. Tujuan dari penelitian

ini adalah mengetahui bagaimana aplikasi GIS dalam menentukan lokasi yang optimal untuk

mendirikan Shopping Mall pada kawasan perkotaan. Metode yang digunakan adalah analisis

kualitatif dengan mengkaji beberapa jurnal sejenis. Hasil penelitian ini mengungkapkan

bahwa Aplikasi GIS bersama Analisis Spasial, dan Microsoft Excel dapat diaplikasikan untuk

menentukan lokasi potensial Shopping Mall dengan berdasarkan query yang diinginkan oleh

pengembang Mall. Data spasial dan non-spasial dari Shopping Mall dan demografi perkotaan

yang merupakan fitur atribut dalam layer, dapat bergabung untuk membentuk informasi

dalam menentukan lokasi potensial untuk mendirikan Shopping Mall.

Kata Kunci : GIS, Data spasial–non spasial, Lokasi, Shopping Mall

ABSTRACT

Modern lifestyle had an impact on growth phenomena Shopping Mall in urban areas. This

makes the mall developers are trying to Ensure a strategic location as an attraction for

consumers. To Ensure that the strategic location it is a potential location for establishing

Shopping Mall, it needs proper analysis and surely. Geographic Information System (GIS) is

a mathematical programming roomates, be the right application to solve problems based on

the location of the data is spatial and non-spatial Shopping Mall and urban demographics.

The purpose of this research is to know how the application of GIS to Determine the optimal

location for establishing Shopping Mall in urban areas. The method used is qualitative

analysis by reviewing similar journals. The results of this study revealed that the joint GIS

Spatial Analysis Applications, and Microsoft Excel can be applied to Determine potential

locations Shopping Mall with a query based on desired by the developer Mall. Data spatial

and non-spatial Shopping Mall and urban demographics is a feature in the layer attributes,

can combine to form the information in determining potential sites for establishing Shopping

Mall.

Keywords : GIS, spatial data-non-spatial, location, Shopping Mall

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

37

I. PENDAHULUAN

Gaya hidup modern merubah perilaku

berbelanja yang awalnya berbelanja di

tempat perbelanjaan sederhana yang dekat,

menjadi ke area perbelanjaan yang cukup

besar yang jauh dari tempat tinggalnya.

Hal ini karena pusat perbelanjaan besar

menyediakan berbagai barang (misalnya

supermarket dan butik) dan jasa (misalnya

salon, bank, tempat makan, bioskop),

sebagai tempat modernisasi dan memiliki

kebersihan untuk menarik pembeli. Karena

itu, keberadaan pusat perbelanjaan besar

adalah simbol kualitas hidup yang tinggi

bagi sebuah daerah. Shim dan Eastlick -

(1998) menyatakan bahwa konsumen

mengunjungi Shopping Mall sebagai

aktualisasi diri dan nilai-nilai afiliasi

sosial. Hal ini didukung oleh penelitian

Holbrook dan Hirschman (1984) yang

menyatakan bahwa sebagian konsumen

yang mengunjungi Shopping Mall adalah

untuk kegiatan hedonik.

Gaya hidup modern tersebut membuat

pertumbuhan ritel di dunia termasuk di

Indonesia menjadi semakin modern,

berkonsolidasi dan semakin kuat dalam

daya beli konsumen. Konsumen semakin

memiliki pengetahuan tentang berbelanja.

Fenomena pertumbuhan pusat perbelanjaan

modern, menuntut pengembang mall

mengembangkan strategi marketingnya

dalam memajukan bisnisnya dan harus

mampu memastikan bahwa Shopping Mall

yang didirikannya tepat sasaran atau sesuai

dengan segmentasi pasar yang dituju.

Kegagalan dan keberhasilan berdirinya

Shopping Mall dipengaruhi oleh

keberadaan atribut mall yang

mempengaruhi respon konsumen (Lazarus,

1991). Salah saatu dari keberadaan atribut

Mall tersebut adalah lokasi. Menurut

Mendes dan Themido (2004) salah satu

keputusan yang paling penting bagi

pengembang untuk mendirikan retail

adalah kemudahan aksesbilitas retail untuk

dapat dikunjungi, sebuah ritel dapat

berhasil atau gagal semata-mata

berdasarkan lokasi.

Untuk mencapai keberhasilan berdirinya

Shopping Mall dengan biaya rendah, tetapi

tetap menjaga kualitas layanan. Diperlukan

persiapan awal yang didahului oleh analisis

bisnis, potensi pasar dan lokasi outlet ritel.

Salah satunya dengan GIS yang

menggunakan pemetaan teknologi

elektronik dalam memproduksi peta multi-

layer dan interaktif sehingga query

ditetapkan sebagai solusi optimal untuk

menentukan lokasi potensial. GIS

menggabungkan data spasial dan non-

spasial untuk membangun informasi peta

tematik yang menggambarkan berbagai

informasi yang berkaitan dengan

demografis, populasi, perumahan dan

kegiatan ekonomi. Kemudian

divisualisasikan dan dengan mudah dapat

dianalisis oleh para pembuat keputusan.

Oleh karena itu, GIS diprediksi mampu

melakukan proses analisis untuk

menentukan lokasi Shopping Mall yang

potensial dan optimal. Tujuan dari makalah

ini adalah untuk memecahkan masalah

multidisiplin dalam menentukan lokasi

Shopping Mall yang memiliki potensi

bisnis yang baik di kawasan perkotaan,

dengan pendekatan algoritma dengan

dukungan dari Geographic Information

System (GIS).

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

38

Gambar 1. Integrasi data dalam layer fitur

dan atribut

Sumber : Hefriansyarizki (2013)

II. METODE

Penelitian ini menggunakan jenis metode

kualitatif (Creswell, 2008) dengan kategori

sifat penelitian explanatory (Groat &

Wang, 2002). Metode pengumpulan data

melalui pencarian beberapa penelitian

sejenis yang mengkaji mengenai aplikasi

GIS dalam menentukan lokasi Shopping

Mall. Penelitian ini menggunakan analisis

data kualitatif melalui kajian pustaka

secara mendalam terhadap beberapa

penelitian sejenis. Kajian pustaka tersebut

dianalisis berdasarkan kemampuan dan

langkah-langkah aplikasi GIS dalam

memecahkan masalah lokasi yang

potensial untuk mendirikan Shopping Mall.

III. KAJIAN PUSTAKA

3.1 Aplikasi Geographic Information

System (GIS)

Sejak 1970-an Sistem Informasi Geografis

(GIS) telah berkembang dalam beberapa

bidang penelitian seperti bidang Geografi,

Teknik Sipil, Ilmu Komputer, Perencanaan

Landscape, Arsitektur dan Ilmu

Lingkungan. GIS dapat mendukung

berbagai query spasial yang dapat

digunakan untuk mendukung studi lokasi.

GIS akan memainkan peran penting dalam

model dan aplikasi lokasi pembangunan di

masa depan (Church. RL. 2002).

Geographic InformationSystem (GIS)

merupakan sistem perpetaan yang dinamis

dengan kemampuan proses data spasial dan

penyortiran dengan berbasis komputer.

Sistem perpetaan pada GIS dapat dikontrol

oleh penggunanya dengan memberikan

keluluasaan untuk menyusun dan

menampilkan peta sesuai keinginannya.

GIS dapat memberikan informasi yang

diharapkan melalui peta dengan

pemrosesan data spasial non-spasial dan

kemampuan menyortir (query).

GIS dapat melakukan beberapa fungsi,

diantaranya dapat memetakan objek pada

permukaan bumi (misalnya pola aktivitas

seismik untuk melihat gempa bumi),

memetakan kuantitas (misalnya untuk

menemukan tempat yang paling dan yang

tidak memenuhi kriteria untuk mengambil

keputusan), memetakan kepadatan

(misalnya melihat kepadatan penduduk

pada suatu wilayah), mengetahui isi

(misalnya melihat layanan apa saja yang

terdapat dalam radius 2 kilometer dari

pusat kota) dan untuk perubahan peta

(misalnya melihat perubahan dan

pertumbuhan suatu daerah dengan

mengagunakan data time-series).

Presentasi data pada MapInfo

menggunakan tiga tipe simbol data,

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

39

diantaranya: poligon, garis dan titik.

Benda-benda ini dapat digunakan untuk

menyajikan nilai-nilai data spasial.

Aplikasi GIS bersama Analisis Spasial,

dan Microsoft Excel dapat diaplikasikan

untuk menentukan lokasi potensial

Shopping Mall. Karena Sistem Informasi

Geografis (GIS) merupakan perangkat

lunak yang mampu menyimpan,

mengambil, menganalisis, memvisualisasi

dan memetakan data spasial dan non-

spasial. GIS menggunakan pemetaan

teknologi elektronik dalam memproduksi

peta multi-layer dan interaktif, sehingga

query ditetapkan sebagai solusi optimal

untuk menentukan lokasi potensial. GIS

menggabungkan data spasial dan non-

spasial untuk membangun informasi peta

tematik dengan menggambarkan berbagai

informasi yang berkaitan dengan

demografis, populasi, perumahan dan

kegiatan ekonomi, yang kemudian

divisualisasikan dan dengan mudah dapat

dianalisis oleh para pembuat keputusan.

3.2 Pemilihan Lokasi Shopping Mall

Fenomena pertumbuhan pusat perbelanjaan

modern di perkotaan, membuat

pengembang mall memastikan lokasi yang

strategis untuk berdirinya Shopping Mall

agar berhasil dan menarik banyak

pengunjung. Menurut Mendes dan

Themido (2004) salah satu keputusan yang

paling penting bagi pengembang untuk

mendirikan retail adalah kemudahan

aksesbilitas retail untuk dapat dikunjungi.

Sebuah ritel dapat berhasil atau gagal

semata-mata berdasarkan lokasi. Borger,

aloy dan Voster, Cindy (2011) menyatakan

bahwa aksesbilitas menggunakan mobil

dan transportasi umum, jarak jalan utama

terhadap Shopping Mall dan jenis lalu

lintas yang diperbolehkan beroperasi akan

mempengaruhi preferensi konsumen dalam

mengunjungi Shopping Mall. Atribut

tersebut merupakan faktor yang sangat

berkaitan erat dengan perilaku konsumen.

Sehingga dalam menentukan lokasi

Shopping Mall perlu mempertimbangkan

beberapa faktor.

Tabel 1. Faktor yang perlu dipertimbangkan dalam memilih lokasi Shopping Mall.

Kepadatan

penduduk

Kepadatan penduduk menjadi salah satu indikator besarnya potensi pasar, apakah

Shopping Mall dapat dikunjungi oleh semua lapusan masyarakat.

Penghasilan Jika kepadatan penduduk tidak linear dengan daya beli masyarakatnya, berarti

lokasi itu tidak tepat sebagai tempat/pusat perbelanjaan. Karena itu, perlu

mencermati bagaimana penghasilan penduduk di area Shopping Mall berdiri.

Jumlah usaha Lokasi yang dipilih merupakan pusat shopping (pusat shopping) atau sentra

perdagangan. kemungkinan ada kecenderungan masyarakat mengunjungi area

pusat perbelanjaan yang menawarkan semua kebutuhan yang dapat mewadahi

aktivitas berbelanjanya.

Zona Ada beberapa tipe tempat yang bisa dipilih, seperti pada area sentra bisnis, industri,

perumahan, pinggir jalan dan sebagainya.

Jumlah Traffic Berapa banyak kendaraan yang lalu lalang di lokasi yang akan dipilih setiap

harinya, sejauh mana lokasi mudah diakses.

Pusat keramaian Sejauh mana konsumen yang lalu lalang dapat melihat bangunan Shopping Mall.

Kompetisi Sejauh mana jarak antara Shopping Mall yang akan didirikan dengan dengan

Shopping Mall lainnya yang nantinya akan berkompetisi dalam menarik konsumen.

Appearance Menampilkan image yang terbaik di lingkungan lokasi. seperti memilih lokasi

yang bersih, harga sewa dan berada pada zona pangsa pasar yang akan tuju.

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

40

Selain faktor diatas, ada beberapa kategori

dan kriteria yang akan sangat

mempengaruhi pemilihan lokasi Shopping

Mall. Yu, Ling (2006) membuat kategori

dan kriteria untuk pemilihan lokasi

Shopping Mall yang dapat diaplikasikan

pada fitur dan atribut GIS.

Tabel 2. Kategori dan kriteria untuk pemilihan lokasi Shopping Mall.

Transportasi

untuk pembeli Akses oleh semua transportasi lokal

Kedekatan dengan kereta api

Kedekatan dengan jalan raya utama

Kedekatan dengan dermaga

Total biaya

awal Biaya lahan dan investasi bangunan

Biaya Konstruksi

Biaya persiapan lokasi

Biaya berulang dan non - berulang lainnya ( misalnya , pajak , utilitas , asuransi)

Pertimbngan

lingkungan Polusi suara di sekitar lokasi

Polusi udara di sekitar lokasi

Kedekatan dengan layanan pendukung ( misalnya , kebakaran, polisi , layanan

medis .

Potensi

pembangunan

berkelanjutan

Dukungan terus menerus dari warga setempat

Kemampuan untuk memperluas atau memodifikasi fasilitas

Potensial pesaing di masa depan

Transportasi

untuk pemasok Akses oleh semua transportasi lokal

Kedekatan dengan kereta api

Kedekatan dengan jalan raya utama

Kedekatan dengan dermaga

Kemampuan

investor Pengalaman bisnis dalam investasi pusat perbelanjaan

Sumber daya keuangan

Kompetensi Manajemen

Manfaat

investasi Return on investment

Keunggulan kompetitif

Dari beberapa kajian pustaka, dapat

disimpulkan bahwa masalah lokasi

merupakan cara bagaimana menentukan

jumlah dan alokasi obyek dalam jaringan

jalan yang strategis. Untuk membuat

keputusan mengenai di mana Shopping

Mall akan diletakkan untuk tujuan tertentu,

diperlukan proses yang sangat kompleks

dan memiliki tanggung jawab yang tinggi.

Karena keputusan untuk menentukan

lokasi tersebut merujuk pada pemanfaatan

bangunan selama periode yang cukup lama

dan tentunya akan berkaiatan dengan

sumber dana keuangan. Masalah lokasi

ritel di daerah perkotaan telah menjadi

topik yang menarik dalam dekade terakhir.

Pada abad kedua puluh, melalui

perkembangan teknologi komputer telah

berkembang beberapa algoritma untuk

memecahkan masalah lokasi berdasarkan

pemrograman matematika.

IV. PEMBAHASAN DAN ANALISIS

Aplikasi GIS dalam menentukan lokasi

potensial untuk Shopping Mall

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

41

Gambar 2. Contoh iIntegrasi data

Sumber : Yu, Ling (2006)

Gambar 3. Data Spasial dan non-spasial

Sumber : Agustawan (2011)

Gambar 4. Perbedaan simbol dan warna

Sumber : UNDP-Tim Teknis Nasional (2007)

Pemilihan lokasi Shopping Mall dengan

pendekatan GIS terdiri dari beberapa

langkah, dengan memanfaatkan peta dan

data primer untuk menghasilkan peta

digital pada layer yang berbeda (interaksi

antar distribusi layer untuk membuat

keputusan). Berikut beberapa langkah

aplikasi GIS dalam menentukan lokasi

potensial Shopping Mall.

Pertama, menentukan tujuan dari

penggunaan GIS, yakni untuk memilih

lokasi terbaik dan potensial untuk

dibangunnya Shopping Mall. Oleh karena

itu, diperlukan referensi berupa informasi

geografis eksplisit dan implisit (fisik dan

non-fisik). Secara khusus, peta digital

diperlukan untuk menguraikan potensi

setiap daerah pada sebuah kota untuk

mencari lokasi Mall.

Kedua, menentukan fitur geografis apa

yang diperlukan. Seperti data spasial (fisik)

misalnya jalan, batas kabupaten, danau,

jalan raya, lokasi pusat perbelanjaan,

bangunan fasilitas, aksesbilitas,

transportasi dan permukiman. Setelah itu

menentukan data tabular (non-fisik) seperti

profil demografi, ekonomi, sosial, data

pemukiman. Data spasial dan data non-

spasial kemudian diubah menjadi data

geodemographic melalui operasi join. Data

primer mengenai perilaku pembeli dan

profil demografis yang diperoleh dengan

cara survei dimasukkan sebagai layer fitur.

Sehubungan dengan model data, analisis

ini menggunakan model data vektor untuk

membangun peta rute, menemukan

konsumen mal dan merangkum profil

demografis dari setiap daerah dalam

sebuah kota.

Ketiga, menentukan atribut apa yang

diperlukan dari sebuah fitur. Misalnya,

atribut yang terhubung dengan rute seperti

nama, nomor rute, ketinggian, volume lalu

lintas, kebutuhan belanja dan pendapatan

rumah tangga yang diperlukan untuk

menentukan layer atribut. Dalam hal ini,

jarak diukur dalam kilometer untuk setiap

rute. Selain itu, untuk semua data dapat

diintegrasikan dan dimanipulasi untuk

menentukan lokasi yang potensial.

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

42

Gambar 5. Thiessen (Voronoi)

Sumber : Pearson, Jesse (2007)

Keempat, untuk menghindari kekacauan,

peta pada setiap layer dibuat berbeda dan

dapat dibedakan satu sama lain. Hal ini

dapat dicapai dengan simbolisasi melalui

warna yang berbeda, sehingga fitur

dikelompokkan sesuai dengan nilai atribut.

Misalnya, layer menggunakan warna yang

berbeda untuk mewakili wilayah

kecamatan. Layer jalan, jalan raya dan rel

kereta api menggunakan ketebalan, warna

dan jenis garis yang berbeda. Layer seperti

lokasi fasilitas umum, lokasi Shopping

Mall yang ada disajikan dengan

menggunakan point dan label.

Kelima, sebuah Thiessen (Voronoi)

poligon diciptakan untuk mendefinisikan

masing-masing bidang pengaruh pada

setiap lokasi Shopping Mall. Proses

membuat Thiessen (Voronoi) diantaranya

dengan mengubah layer titik lokasi

Shopping Mall yang ada di kota menjadi

jaringan tidak teratur Triangulasi (TIN),

yang kemudian dituangkan ke dalam

bisectors tegak lurus untuk setiap tepi

segitiga. Lokasi-lokasi di mana bisectors

yang berpotongan menentukan lokasi

poligon simpul Thiessen.

Selanjutnya, analisis spasial digunakan

untuk membuat serangkaian data set

jaringan. Dari layer data demografi,

menciptakan beberapa poligon yang

kemudian diubah menjadi grid mewakili

usia rata-rata, rata-rata pendapatan

keluarga, rata-rata pendapatan rumah

tangga, persen populasi dengan gelar

sarjana atau lebih tinggi, keadaan sosial

dan lain-lain. Grid ini diciptakan untuk

tujuan input data yang akan digunakan

dalam perhitungan raster untuk

menentukan demografi dari target pasar

untuk mencari lokasi Shopping Mall yang

potensial.

Sel grid (squares) meliputi beberapa

daerah pada peta. Setiap sel memiliki node

yang terletak di pusatnya. Sebuah sel dapat

diberi nilai dan warna yang mewakili

nilainya. Jika ada beberapa sel di antara

dua lokasi yang dikenal (antara titik atau

kontur), maka dibuat perubahan warna

yang mengindikasikan adanya perubahan

nilai parameter. Untuk menyajikan

perubahan dalam beberapa kuantitas antara

lokasi yang dikenal, maka perlu

menerapkan beberapa teknik untuk

memperkirakan nilai-nilai. Diantaranya

melalui interpolasi dengan metode Inverse

Distance Weighted (IDW).

Gambar 6. Formasi Grid

Sumber : Trubint, Nikola dkk (2006)

Gambar 8. Interpolasi data titik dengan metode IDW

Sumber : Wijayanto, Andri dkk (2009)

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

43

Gambar 9. Layer data spasial dan non-

spasial

Sumber : Agustawan (2011)

Agregasi poin dalam peta dibutuhkan

dalam penerapan metode IDW. Agregasi

adalah proses matematis untuk mengurangi

jumlah titik pada peta dan dilakukan dalam

kasus-kasus ketika sebagian besar poin

dikelompokkan pada beberapa lokasi.

Untuk mempersingkat waktu perhitungan

,nilai-nilai semua titik dari suatu daerah

dalam radius tertentu dijumlahkan, dan

satu titik diatur untuk mewakili daerah

tersebut (Gambar 6 ). Misalnya, radius 50

m telah digunakan untuk daerah pusat dan

150 m untuk bagian-bagian yang tersisa.

Setelah menyelesaikan prosedur agregasi,

dilakukan proses interpolasi dengan

metode Inverse Distance Weighted (IDW).

Metode ini memperkirakan nilai setiap sel

sebagai jumlah rata-rata koefisien titik

berat dalam cakupan radius tertentu.

Misalnya Sebuah radius 300 m telah

digunakan untuk zona pusat Kota dan

radius 500 m untuk bagian-bagian yang

tersisa. Dalam menjumlahkan nilai

koefisien bobot digunakan fungsi

eksponensial dengan eksponen.

Setelah data disimpan di lokasi yang

relevan, analisis dapat dilakukan untuk

menentukan lokasi potensial untuk

Shopping Mall. Analisis dapat dilakukan

berdasarkan penekanan terhadap query

yang berbeda, dengan cara

menghubungkan semua data layer secara

bersama-sama dalam sebuah sistem, atau

hanya menghubungkan beberapa atribut

yang dianggap lebih penting. Misalnya

overlap dari beberapa layer yang mewakili

atribut pendapatan rata-rata rumah tangga

pada daerah yang memiliki jarak 500 -

1500 m dari lokasi Shopping Mall.

Melalui database geografis, pengguna

dapat memperoleh informasi yang

diperlukan untuk membuat keputusan

mengenai lokasi yang potensial. Atribut

dalam layer dapat bergabung untuk

membentuk informasi yang diperlukan

dalam menentukan lokasi potensial untuk

mendirikan Shopping Mall.

Aplikasi GIS dalam menentukan lokasi

potensial untuk Shopping mall menurut

Trubint, Nikola dkk (2006) menunjukan

bahwa nilai-nilai bobot dari setiap zona

lokasi potensial akan menurun seiring

dengan peningkatan jarak (semakin jauh)

dari pusat Kota. Hal ini karena lokasi yang

nyaman dan aksesbilitas yang dekat

menjadi salah satu atribut penting yang

akan memepengaruhi preferensi konsumen

dalam mengunjungi Shopping Mall. Hasil

ini sejalan dengan penelitian Jackson,

Vanessa dkk (2011) yang menyatakan

bahwa generasi Builder sangat

memperhatikan lokasi yang nyaman saat

akan mengunjungi Shopping Mall.

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

44

V. KESIMPULAN

Keputusan terpenting dalam

mengembangkan Shopping Mall adalah

pemilihan lokasi. Karena lokasi sebagai

salah satu daya tarik bagi konsumen untuk

mengunjungi Mall yang dipilihnya.

Keputusan untuk menentukan lokasi

potensial untuk Shopping Mall merupakan

proses yang sangat komplek dan

memerlukan tanggung jawab yang tinggi.

Karena berkaiatan dengan pemanfaatan

bangunan selama periode yang cukup lama

dan tentunya akan berkaiatan dengan

sumber dana keuangan.

Aplikasi GIS bersama Analisis Spatial, dan

Microsoft Excel dapat diaplikasikan untuk

menentukan lokasi potensial Shopping

Mall. Karena Sistem Informasi Geografis

(GIS) yang merupakan perangkat lunak

yang mampu menyimpan, mengambil,

menganalisis, memvisualisasi dan

memetakan data spasial dan non-spasial

dari lingkungan Shopping Mall. GIS

mampu memproduksi peta multi-layer dan

interaktif dari fitur atribut Shopping Mall

dan demografi perkotaan, sehingga query

dapat ditetapkan sebagai solusi optimal

untuk menentukan lokasi potensial untuk

Shopping Mall. Lokasi potensial hasil dari

analisis GIS dapat diprediksi secara tepat

dan pasti dengan perhitungan algoritma

berdasarkan pemrograman matematika.

VI. DAFTAR PUSTAKA

1. Agustawan. (2011). Sistem Informasi

Geografis sebagai Mengintegrasikan

Teknologi: Konteks,

Konsep,dan Definisi. Diakses pada 2

Oktober, 2013 dari World Wide

Web:http://agustawan.wordpress.com/2

011/09/20/sistem-informasi-geografis-

sebagai-mengintegrasikan-teknologi-

konteks-konsep-dan-definisi/.

2. Ardiyanti, Rizki. (2010). Cara memilih

lokasi usaha yang tepat. Diakses pada 2

Oktober, 2013 dari World Wide Web:

http://rizkiardiyanti.blogspot.com/2010/

10/cara-memilih-lokasi-usaha-yang-

tepat.html.

3. Azenismail. (2013). Tugas Sistem

Informasi Geografis Web GIS dan

Mobile GIS. Diakses pada 2 Oktober,

2013 dari World Wide Web:

http://azenismail.wordpress.com/2013/0

4/28/tugas-sistem-informasi-geografis-

web-gis-dan-mobile-gis/.

4. Bennison, D. and T. Hernandez. 2000.

The art and science or retail location

decisions. International Journal of

Retail & Distribution Management,

Vol. 28, No. 8, pp. 357-367.

5. Borgers, Aloys dan Vosters, Cindy.

(2011). Assessing preferencer for mega

shopping centres : a conjoint

measurement approach. Journal of

Retailing and Consumer Service Vol

18, pp 322-332.

6. Church, R.L (2002). Geographical

information system and location

science. Computer and Operation

Research Vol 29, pp 541-562.

7. Hefriansyarizky. 2013. Tugas SISDL

Minggu 1. Diakses pada 2 Oktober,

2013 dari World Wide Web:

http://hefriansyarizky.wordpress.com/2

013/03/16/tugas-sisdl-minggu-1/.

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

45

8. Hidayat, Andi. (2010). Komponen/

unsurkelengkapan peta. Diakses pada 2

Oktober, 2013 dari World Wide Web:

http://andimanwno.wordpress.com/201

0/07/02/komponenunsur-kelengkapan-

peta/.

9. Holbrook, M.B., Chestnut, R.W., Oliva,

T.A., Greenleaf, E.A., 1984. Play as a

consumption experience: the roles of

emotion, performance, and personality

in the enjoyment of games. Journal of

Consumer Research Vol 11, pp 728–

739.

10. Jackson, Vanessa; Stoel, Leslie dan

Brantley, Aquia. 2011. Mall attributes

and shopping value: Differences by

gender and generational cohort.

Journal of Retailing and Consumer

Services Vol 18, pp 1–9.

11. Lazarus, R.S., 1991. Progress on a

cognitive-motivational-relational

theory of emotion. American

Psychologist Vol 46, pp 819–834.

12. Mendes, A. B. and I.H. Themido. 2004.

Multi-outlet retail site location

assessment. International Transactions

in Operational Research. Vol 11, pp. 1-

18.

13. Pearson, Jesse. 2007. A Comparative

Business Site-Location Feasibility

Analysis using Geographic Information

Systems and the Gravity Model.

Resource Analysis Vol 9, pp 10 .

14. Shim, S and Eastlick, M.A. 1998. The

hierarchical influence of personal

values on mall shopping attitude and

behavior. Journal of Retailing. Vol 74,

No 91, 139-60.

15. Trubint, Nikola ; Ostojić, Ljubomir ;

Bojović, Nebojša. 2006. Determining

An Optmal Retail Location By Using

GIS. Yugoslav Journal of Operations

Research. Vol 16, Number 2, pp 253-

264.

16. UNDP - Tim Teknis Nasional. 2007.

Modul Pelatihan ArcGIS Dasar.

17. Wijayanto, Andri., Lukman, azhari.,

Kristiono. 2009. GIS Engineering

Aplication Series. Modul Pegangan

Pelatihan Comlabs USDI-ITB.

18. Yu, Ling. 2006. A systematic Approach

to Location Selection For Shoppng

Mall Projects. The thesis submitted in

partial fulfillment of the Requirements

for the Degree of Doctor of Philosophy.

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

46

LANGGAM ARSITEKTUR DAN INTERIOR

MUSEUM AGUNG BUNG KARNO, DENPASAR BALI

Ni Nyoman Sri Rahayu, S.T., M.T.

Dosen Program Studi Desain Interior, Sekolah Tinggi Desain Bali

E-mail : [email protected]

ABSTRAK

Benturan antara tradisi dan modernisme dalam perkembangan jaman secara tidak langsung

mempengaruhi bentukan arsitektur dan interior bangunan, tidak terkecuali bangunan publik.

Bagaimana kehadiran langgam arsitektur tradisional Bali diterapkan pada interior ruang

publik. Hal inilah yang menjadi permasalahan yang akan penulis bahas pada tulisan ilmiah

ini.

Langgam Arsitektur tradisonal Bali terwujud pada ornamentasi, konsepsi yang

melatarbelakangi, dan dominasi penggunaan material alami. Penggunaan langgam interior

tradisional Bali sudah selayaknya menjadi ciri khas bangunan atau ruang publik yang ada di

Kota Denpasar sebagai ibukota Propinsi Bali. Penerapan nilai-nilai kearifan lokal Bali yang

terdapat pada bentukan desain interior, merupakan salah satu upaya pelestarian budaya lokal

Bali.

Langgam Arsitektur dan Interior Museum Bung Karno, sebagai salah satu ruang publik di

Kota Denpasar secara umum sudah berupaya menunjukkan langgam Arsitektur tradisional

Bali, namun belum sepenuhnya terwujud secara optimal. Dominasi material bata dan material

batu hitam, serta permainan pola susun batu bata memberi nilai estetika pada museum ini.

Kata Kunci: langgam, tradisi, modern, ruang publik.

ABSTRACT

Conflicts between tradition and modernism in changing times indirectly affect the formation

of architecture and interior of the building, one of which is public buildings. How the

presence of traditional Balinese architectural style applied to the interior public spaces. This

is the problem that the author will discuss in this journal.

Balinese traditional architecture styles manifested in ornamentation, the conception, and the

dominance of the use of natural materials. The use of traditional Balinese style interiors are

appropriately characterizes the building or public space in the city of Denpasar, the capital

of Bali province. The application of the local genius of Bali contained in interior design, is

one of the efforts to preserve the culture of Bali.

Architecture and Interior style of Museum Bung Karno, as one of the public space in the city

of Denpasar in general has attempted to show the style of traditional Balinese architecture,

but has not been fully realized optimally. The dominance of brick material and black stone

material, as well as brick stacking patterns give an aesthetic value in this museum.

Keywords: style, tradition, modern, public space.

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

47

PENDAHULUAN

Peranan ruang publik adalah sebagai

sebuah wadah untuk aktifitas dan kegiatan

sosial masyarakat dalam berinteraksi baik

untuk tujuan individu maupun tujuan

kelompok. Terdapat sejumlah ruang publik

di Kota Denpasar, yang dibangun sesuai

dengan fungsinya dalam mengakomodasi

kegiatan dan kepentingan masyarakat

umum. Bagi yang berkepentingan dengan

urusan pemerintahan, ruang publik cukup

ramai dikunjungi, namun adakalanya

ruang publik seperti museum dan

perpustakaan masih kurang menarik

dikunjungi bagi sebagian masyarakat.

Dalam kaitannya dengan Kota Denpasar

sebagai daerah tujuan wisata, ruang publik

juga berperan cukup penting bagi

kehadiran wisatawan baik wisatawan

domestic maupun wisatawan mancanegara.

Wisatawan tentu ingin tahu lebih banyak

tentang Bali, salah satunya dengan

mengunjungi museum atau monumen.

Yang menjadi pokok bahasan dalam

tulisan ilmiah ini adalah langgam

arsitektur dan interior Museum Bung

Karno, sebagai salah satu ruang publik di

Kota Denpasar. Benturan antara tradisi dan

modernism dalam perkembangan jaman

secara tidak langsung mempengaruhi

bentukan arsitektur dan interior bangunan,

tidak terkecuali bangunan publik.

Bagaimana kehadiran langgam arsitektur

tradisional Bali diterapkan pada arsitektur

dan interior Museum Bung Karno. Hal

inilah yang menjadi permasalahan yang

akan penulis bahas pada tulisan ilmiah ini.

Penelitian ini dilakukan dalam rangka

menambah wawasan tentang penggunaan

langgam arsitektur tradisional Bali, pada

Museum Bung Karno sebagai salah satu

ruang publik di Kota Denpasar. Secara

tidak langsung, penelitian ini dilakukan

dalam mendukung Denpasar sebagai kota

kreatif yang berwawasan budaya.

METODE PENELITIAN

Metode pengumpulan data yang digunakan

adalah observasi, wawancara tidak

terstruktur, dan dokumentasi. Metode

analisis data yang digunakan pada

penelitian ini adalah deskriptif kualitatif.

Studi kasus pada penelitian ini Museum

Bung Karno. Pemilihan bangunan ini

adalah dengan pertimbangan sebagai salah

satu publik facilities yang memiliki fungsi

penting bagi masyarakat sekaligus sebagai

objek tujuan wisata di Bali. Museum ini

berlokasi di seputar kawasan civic center,

tepatnya di Jl Raya Puputan, Renon.

PEMBAHASAN (Langgam Arsitektur

dan Interior Museum Bung Karno)

Langgam menurut Priyotomo, (t.t:16)

adalah rupa atau wujud, aturan dan

perlengkapan yang khas dari suatu

masa/zaman pada tempat tertentu.

Langgam interior terlihat pada rupa dan

wujud interior sebuah bangunan. Langgam

ditentukan

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

48

Gbr. 1 & 2 Eksterior Museum

Bung Karno

Sumber: Dokumentasi Penulis

Dilihat dari tampak depan bangunan ini,

terdapat sebuah patung bung karno sedang

membacakan teks proklamasi. Terdapat

juga patung berbentuk candi. Dinding

ditutupi dengan batu putih palimanan, batu

andesit dan bata merah. Bangunan ini

merupakan bangunan berlantai 5 sesuai

dengan dasar Negara yakni Pancasila.

Landscape pada ruang terbuka yang berada

di bagian depan bangunan ditata dengan

dua buah patung hewan yakni harimau dan

beruang madu yang menggunakan kulit

asli dari hewan tersebut. Terdapat pula

mobil berplat RI 1, yang mana merupakan

kendaraan milik Bung Karno saat menjadi

Presiden pertama RI.

Saat memasuki lantai 1 museum ini,

penulis merasakan kejutan dengan melihat

foto-foto koleksi Bung Karno yang

banyak, serta pajangan sebuah sepeda

jengki. Ada juga patung harimau yang

rupanya terbuat dari kulit harimau asli

yang diawetkan. Selanjutnya memasuki

ruang di dalamnya, pandangan penulis

tertuju pada pajangan foto dan lukisan

tokoh Bung Karno yang sangat banyak,

menutupi hampir seluruh bidang dinding

ruangan. Lukisan-lukisan tersebut

menggambarkan perjalanan Bung Karno

semasa hidupnya semenjak berada di

kandungan Ibu, semasa kecil, dewasa,

begitupula semasa perjuangan RI. Di

tengah ruangan terdapat beberapa meja

yang digunakan oleh pemilik yayasan

pengelola museum ini, untuk berdiskusi

dengan kawan-kawan.

Gbr. 3 & 4 Interior Lantai 1 Museum Bung

Karno

Sumber: Dokumentasi Penulis

Memasuki ruangan di paling tengah,

terdapat perpustakaan yang terdiri dari

dokumen, buku, dan naskah-naskah

koleksi Bung Karno. Area ini merupakan

area paling privat karena terdapat ruang

suci, terdapat dua area persembahan, yakni

bagi Guru Bung Karno dan bagi Nyi Roro

Kidul.

Menuju ke lantai 2 bangunan ini, penulis

menaiki tangga yang berada di luar

bangunan (di bagian depan bangunan).

Memasuki ruangan ini, kembali penulis

terpesona dengan suasana museum yang

sangat terasa, dengan kehadiran vespa

kuno, jas hitam yang digantung, wastafel

tahun 1930. Pada interiornya, detail-detail

dinding ruangan yang diolah sedemikian

rupa, dengan pola susun maju mundur batu

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

49

bata merah, diatur agar pas dan tepat

dengan penempatan benda-benda yang

dipajang. Perancang seolah-olah sudah

merencanakan penempatan benda-benda

pajangan dengan tepat saat bangunan ini

dikerjakan.

Gbr. 6, 7 & 8 Interior Lantai 2

Museum Bung Karno

Sumber: Dokumentasi Penulis

Di area tengah ruangan, diletakkan benda-

benda yang berukuran cukup besar, seperti

peti kuno dari kayu besi, dan kursi tamu

kuno. Di dinding sisi selatan, dinding

didesain dengan pola maju mundur batu

bata, sehingga pas untuk menempatkan

pajangan beberapa jenis wayang. Pola

maju mundur batu bata ini juga sekaligus

memberikan nilai estetika tersendiri,

sehingga menambah keindahan ruangan.

Point of interest pada ruangan ini adalah

dinding belakang ruangan yang full

didesain menjadi sebuah benda layaknya

sebuah kertas, lengkap dengan tulisan

tangan asli. Benda ini rupanya replika dari

naskah Bung Karno. Adapun tulisan

tangan ini diukir oleh seniman yang

membuatnya.

Gbr. 9 Replika naskah koleksi Bung Karno

Sumber: Dokumentasi Penulis

Di ruang yang berada paling dalam,

terdapat kamar suci dan beberapa pusaka

milik Bung Karno, seperti keris dan benda-

benda sakral lainnya. Terdapat pula mesin

jahit Ibu Fatmawati saat menjahit bendera

merah putih yang pertama kali digunakan

saat proklamasi kemerdekaan RI tahun

1945.

Di ruangan belakang terdapat ruang

service yakni sebuah toilet, lift, dan juga

tangga menuju lantai 3. Void ruangan ini

dibuat sangat tinggi, menghubungkan

lantai 2 dengan lantai 3 dan lantai 4 .

Gbr. 10 Lift

Sumber: Dokumentasi Penulis

Ruangan lantai 3 adalah ruang pertemuan

formal yang umumnya dihadiri oleh para

tokoh pejabat dan orang besar. Di ruangan

lantai 4 terdapat beberapa kamar tidur

yang diperuntukkan bagi keluarga (anak-

anak) Bung Karno jika sedang berada di

Bali. Terdapat pula ruang kerja, ruang

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

50

tamu, dan kamar tidur Bung Karno.

Furniture seperti meja kerja, dipan dan

lemari adalah asli milik beliau. Begitupula

meja kerja dilengkapi mesin ketik saat

membuat teks proklamasi RI. Terdapat

pula meja rias milik Ibu Fatmawati.

Gbr. 11, 12, & 13 Koleksi Bung Karno di

ruangan lantai 4

Sumber: Dokumentasi Penulis

Pada ruang yang paling dalam, terdapat

miniature permandian di Tirta Empul.

Tirta Empul merupakan permandian

umum, berada di Pura Tirta Empul,

tepatnya di bawah istana Presiden di

Tampak Siring, Gianyar.

Dinding-dinding di lorong sebagian besar

terdapat repro naskah-naskah milik Bung

Karno yang ditulis di atas batu dan

kemudian dipajang di dinding. Desain ini

cukup inspiratif dan menjadi elemen

dekorasi yang menarik.

Gbr. 14 Replika naskah koleksi Bung Karno

pada batu

Sumber: Dokumentasi Penulis

Sungguh terkagum-kagum penulis saat

menikmati benda-benda yang dipajang di

museum ini. Pola penataan sudah cukup

baik, hanya saja terlalu banyak benda yang

dipajang, membuat seolah-olah ruangan ini

penuh sesak. Walaupun sirkulasi

pengunjung sudah cukup baik, namun

akan terasa cukup sesak, jika pengunjung

yang datang dalam jumlah banyak.

Gbr. 15 Ornamen pilar pada

Museum Bung Karno

Sumber: Dokumentasi Penulis

Beberapa ornamen menghiasi ruang

interior museum ini, salah satunya adalah

ornamen pada pilar. Minimnya ornamen

dan dekorasi yang menunjukkan langgam

tradisional Bali pada bangunan ini,

rupanya tidak serta merta menghilangkan

ciri khas bangunan Bali. Dinding

bangunan baik pada eksterior maupun

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

51

interior, yang secara keseluruhan tertutupi

oleh batu bata merah, telah memberi kesan

sebuah bangunan berlanggam tradisional

Bali. Kehadiran pola maju mundur dan

pola tidur berdiri pada batu bata merah ini,

telah memberi aksen sekaligus menambah

nilai estetika pada ruangan. Warna merah

alami dari penggunaan batu bata,

memberikan kesan natural, kokoh, dan

abadi (tidak kehilangan jaman dan tidak

kuno). Pola lantai didesain dengan motif

kotak-kotak, permainan material antara

batu bata, batu andesit, batu putih

palimanan dan marmer.

Peran Museum Bung Karno ini sangatlah

penting bagi masyarakat. Dapat dijadikan

referensi untuk mengenal lebih dalam

tentang tokoh nasionalis Indonesia yang

dikagumi oleh dunia.

Bagaimana langgam arsitektur dan

interior Museum Bung Karno

Langgam tradisonal Bali terwujud pada

ornamentasi, konsepsi yang

melatarbelakangi, dominasi penggunaan

material alami. Penggunaan langgam

arsitektur dan interior tradisional Bali

sudah selayaknya menjadi ciri khas

bangunan umum atau ruang publik yang

ada di Kota Denpasar sebagai ibukota

Propinsi Bali. Hal ini menunjukkan nilai-

nilai kearifan lokal Bali yang terdapat pada

bentukan desain interior, dalam upaya

pelestarian budaya local Bali.

Langgam ditentukan berdasarkan beberapa

kriteria pembanding, diantaranya: wujud

dan rupa, ornamen dan dekorasi, material,

dan masa/tahun.

Tabel 1. Langgam arsitektur dan interior Museum Bung Karno

NO ITEM

PEMBANDING

MUSEUM BUNG KARNO

1 Wujud Rectangular

2 Ornamen dan

dekorasi `

Pepalihan dan ornamen dibuat

dengan cara menyusun kreatif batu

bata.

Kesan geometric dan kaku namun

gagah dan gendut.

Pola susun dan maju mundur

peletakan batu bata pada dinding

menjadi elemen estetika.

Terdapat ornamen pada pilar.

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

52

3 Material Lantai : granit, batu bata, batu

andesit, batu putih palimanan.

Dinding : batu bata merah

expose.

Plafond: bata merah expose.

4 Masa/tahun 2010 keatas

5 Langgam Langgam tradisional Bali yang simple minim ornamen. Merupakan

inkulturasi dengan kebudayaan Majapahit, cirinya: penggunaan bata

merah expose pada seluruh dinding, permainan pola susun bata merah.

6 Penggunaan

langgam

Arsitektur dan

interior tradisional

Bali

Cukup baik

Sumber: Analisa Penulis, 2016.

Berdasarkan uraian pada tabel di atas,

dapat penulis kemukakan bahwa langgam

arsitektur dan interior Museum Bung

Karno, secara umum sudah berupaya

menunjukkan langgam tradisional Bali,

namun belum sepenuhnya terwujud secara

optimal dan maksimal. Terlihat dari

wujud, warna, ornamen dan dekorasi, serta

material yang digunakan. Pengaruh

kebudayaan Majapahit sangat kuat, dengan

cirinya yang nampak, yakni: penggunaan

bata merah expose pada sebagian besar

elemen ruangan terutama pada dinding,

kemudian permainan pola susun bata

merah sehingga menjadi motif tertentu.

Beberapa contoh bangunan lain yang

menggunakan langgam seperti ini dapat

dilihat pada beberapa bangunan kuno yang

masih ajeg hingga kini, beberapa

diantaranya adalah Puri Denpasar, Puri

Kesiman, Bale Banjar Gerenceng, dan

Pura Maospahit.

Penerapan langgam Arsitektur tradisional

Bali juga berperan dalam upaya pelestarian

arsitektur tradisional Bali yang berkarakter

dan beridentitas. Interior yang terwujud

disesuaikan dengan idealisme perancang,

konsep yang ingin diusung, serta

disesuaikan dengan trend yang

berlangsung pada masa/waktu

dirancangnya bangunan tersebut. Sesuai

dengan periodisasi bangunan-bangunan itu

dibangun, bentukan yang terwujud pada

interiornya adalah menyesuaikan dengan

trend yang berlangsung saat itu. Hal ini

tentunya sebanding dengan teori

kebudayaan yang senantiasa akan berubah

sesuai dengan perkembangan jaman.

Sesuai juga dengan salah satu jargon yang

ada di teori perubahan yakni “perubahan

itu abadi”. Perubahan tetap saja dapat

terjadi, namun alangkah baiknya tetap

memperhatikan prinsip-prinsip dan nilai-

nilai kearifan lokal dan tradisional yang

menjadi identitas lokal setempat.

Kesimpulan

Langgam arsitektur dan interior Museum

Bung Karno secara umum sudah berupaya

menunjukkan langgam Arsitektur

tradisional Bali, namun belum sepenuhnya

terwujud secara optimal dan maksimal.

Hal ini dapat dilihat dari wujud, warna,

ornamen dan dekorasi, serta material yang

digunakan. Terlihat dari wujud, warna,

ornamen dan dekorasi, serta material yang

digunakan. Pengaruh kebudayaan

Majapahit sangat kuat, dengan cirinya

yang nampak, yakni: penggunaan bata

merah expose pada sebagian besar elemen

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

53

ruangan terutama pada dinding, kemudian

permainan pola susun bata merah sehingga

menjadi motif tertentu.

DAFTAR PUSTAKA

Agus Sachari. 2007. Budaya Visual

Indonesia. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Budiharjo, Eko. 1989. Jati Diri Arsitektur

Indonesia. Bandung: Alumni.

Maryono, Irawan, dkk. 1985. Pencerminan

Nilai Budaya dalam Arsitektur di

Indonesia. Jakarta: Penerbit Djambatan.

Prijotomo, Josef. tt. Apa dan Bagaimana

Tipologi. Jurusan Arsitektur FTSP: ITS

Surabaya.

Sari, Nurul wulan. 2010. Ragam gaya

Interior sesuai kepribadian. Jakarta: Griya

Kreasi.

Winarta, I Gusti Nyoman. 1986. Beberapa

Contoh Pola Seni Hias Bali.

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

54

Re-Konsepsi Desain Pengembangan Lansekap Alam

Jatiluwih, Tabanan

Oleh:

I Dewa Gede Putra, ST.,MT

Dosen Program Studi Desain Interior, Sekolah Tinggi Desain Bali

Email : [email protected]

ABSTRAK

Lansekap alam Jatiluwih merupakan warisan lansekap atau bentang alam terbaik yang

Kabupaten Tabanan Bali. Keunikan permukiman dan subak pada daerah ini menjadi

penggerak tumbuhnya aktifitas yang berimplikasi terhadap pendapatan dari sektor

pariwisata. Bentang alam yang dimiliki sekaligus merupakan representasi dari budaya

yang berkembang dan dijaga hingga kini oleh masyarakat setempat dalam wujud

pemanfaatan lahan untuk pertanian dan perkebunan. Permasalahan kesediaan sarana

akomodasi pariwisata, parkir dan akssesibilatas merupakan permasalahan klasik yang

belum terlihat ada pemecahan. Dalam konteks pembangunan berkelanjutan,

Lansekap alam Jatiluwih sangat potensial untuk dikembangakan dan merupakan

referensi bagi pengembangan pariwisata yang berbasis pertanian dan budaya.

Pelestarian dan pengembangan yang berkelanjutan pada kawasan ini harus ditangani

secara serius, baik dari masyarakat setempat ataupun pemerintah untuk memberikan

kontribusi positif bagi masyarakat sekitar.

Kata Kunci : Jatiluwih, rekonsepsi, desain pengembangan, pembangunan

berkelanjutan

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

55

1. PENDAHULUAN

Lansekap alam Jatiluwih merupakan

warisan lansekap atau bentang alam

terbaik yang dimiliki Bali, khususnya

Tabanan. Eksistensi permukiman dan

subak pada daerah ini menjadi penggerak

tumbuhnya aktifitas yang berimplikasi

terhadap pendapat dari sektor pariwisata.

Peranan dalam eksistensi lingkungan

kawasan ini yang berada pada daerah hulu

merupakan peran lain dari kawasan

Lansekap Alam Jatiluwih ini dari isu

lingkungan. Keberadaan subak dan segala

aktifitas pertanian dan perkebunanyang

terdapat di dalamnya merupakan

representasi nilai lokal masyarakat yang

tidak hanya diterima oleh masyarakat lokal

tapi juga diakui oleh masyarakat dunia.

Melalui Unesco bukti itu bisa dilihat jelas,

sehingga ditetapkan sebagai Warisan

Budaya Dunia 2012, dengan konsepsi

subaknya yang eksis, terus ada upaya

pembenahan dan pengembangan oleh

masyarakat dan pemerintah. Masyarakat

Desa Jatiluwih masih sangat kuat di dalam

mempertahankan tradisi-tradisi yang

diwariskan oleh leluhur mereka. Pertanian

dengan sistem terasering dan subak masih

menjadi amanah leluhur yang tetap eksis

sampai sekarang. Budaya pertanian

menjadikan masyarakat Desa Jatiluwih

tetap menghormati alam lingkungannya

dan tetap menghormati budayanya,

sehingga secara implisit dapat dilihat

bahwa konsep Tri Hita Karana menjiwai

setiap gerak langkah masyarakat Desa

Jatiluwih untuk tetap menjaga

kelestariannya dan keberlanjutannya.

(Agus, MP, 2012)

Konservasi lahan pada area sekitar

lansekap alam Jatiluwih menjadi

tantangan. Permasalahan kesediaan sarana

akomodasi pariwisata, parkir dan

akssesibilatas juga merupakan

permasalahan klasik yang belum terlihat

ada pemecahan. Ini tentu menyebabkan

pengembangan kawasan yang lebih

bersifat alamiah dan sporasis oleh

masyarakat lokal. Sehingga diperlukan

perhatian pemerintah dalam menetapkan

pola dan tata ruang yang menguatkan

Jatiluwih sebagai sebuah lansekap alam

dan budaya. Dalam konteks pembangunan

pembangunan berkelanjutan, Lansekap

alam Jatiluwih sangat potensial untuk

dikembangakan dan merupakan referensi

bagi pengembangan pariwisata yang

berbasis pertanian dan budaya. Untuk itu

upaya pelestarian dan pengembangan yang

berkelanjutan pada kawasan ini harus

ditangani secara serius, baik dari

masyarakat setempat ataupun pemerintah.

Re-konsepsi pengembangan lansekap alam

Jatiluwih, Tabanan diperlukan sebagai

usulan pengembangan dan usaha dalam

melestarikan lingkungan lansekap alam

Jatiluwih dari segi lingkungan, budaya,

dan ekonomi. Metode penelitian

menggunakan metode kualitatif dengan

melakukan survey ke lapangan dan

melakukan dokumentasi di spot-spot

tertentu. Analisa dilakukan dengan

identifikasi potensi dan permasalahan dan

dilanjutkan tahapan usulan desain sesuai

dengan karakterisitik lokasi.

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

56

2. TINJAUAN TEORI

Pemahaman Mengenai Lansekap

Lansekap merupakan suatu bentang alam

dengan berbagai karakteristik yang

terdefinisi secara harmoni menurut seluruh

indra manusia (Simonds,2006 ). Definisi

umum ini membuat pengertian lanskap

dapat terdiferensiasi menurut skala

tertentu, mulai dari skala mikro sebatas

taman kantong sampai skala makro dalam

tataran regional dan universal. Lansekap

dalam arti lain juga merupakan wajah atau

karakter lahan dari permukaan bumi baik

itu alami maupun buatan, yang merupakan

total dari lingkungan hidup manusia

beserta makhluk hidup lainnya. Lanskap

memiliki beberapa sub antara lain: kota

(town-scape), jalan (street-scape),

lapangan golf dan sejenisnya (lawn-scape),

sungai (river-scape), atap bangunan (roof-

scape), pantai dan pemandangan laut

lainnya (sea-scape), area industri

(industrial-scape), pemukiman (residential-

scape), pedesaan (rural-scape), daerah

(regional-scape), dan lainnya. ( Fauza,

2010)

Lansekap dalam konteks lingkungan

Jatiluwih dapat digolongkan ke dalam

lansekap alam dan budaya karena, peranan

kondisi alam yang dominan dan aspek

manusia pada lingkungan ini juga berperan

penting dalam penciptaan lingkungan

pertanian yang unik.

Kebijakan Terkait Kawasan Jatiluwih

(RDTR Kawasan Pelestarian Budaya

Jatiluwih)

Berdasarkan kriteria Keppres No.32 tahun

1990, kawasan lindung di Desa Jatiluwih

terdiri dari kawasan yang memberikan

perlindungan di bawahnya (seperti hutan

lindung dan daerah resapan air) dan

kawasan perlindungan setempat (seperti

kawasan sempadan sungai, kawasan

sempadan jurang, kawasan sekitar mata air

dan kawasan radius kesucian pura).

Kawasan budidaya merupakan kawasan

yang ditetapkan dengan fungsi utama

untuk dibudidayakan berdasarkan kendala

dan potensi yang ada di kawasan

perencanaan baik dari sumber daya alam,

sumber daya manusia maupun sumber

daya buatan. Kawasan budidaya di Desa

Jatiluwih meliputi kawasan budidaya

pertanian, kawasan budidaya permukiman

dan kawasan budidaya pariwisata.

Kawasan pertanian terdiri dari pertanian

lahan basah, pertanian lahan kering,

perkebunan dan peternakan. Sedangkan

kawasan permukiman terdiri dari fungsi-

fungsi untuk kegiatan perumahan dan

fasilitas penunjangnya seperti fasilitas

pendidikan, fasilitas kesehatan, fasilitas

peribadatan, fasilitas olah raga, fasilitas

ekonomi (perdagangan/jasa, industri kecil),

fasilitas pemerintahan dan transportasi

(jaringan jalan dan moda angkutan-

umum). Sedangkan kawasan budidaya

pariwisata meliputi kawasan yang

dibudidayakan sebagai fasilitas utama dan

penunjang pariwisata.

Pengelolaan Tata Lingkungan dan Tata

Bangunan

Tata lingkungan bertujuan untuk mengatur

peruntukan elemen – elemen ruang agar

dapat tercipta suasana lingkungan yang

mendukung fungsi kawasan. Rencana tata

lingkungan di Desa Jatiluwih diarahkan

sebagai berikut:1)Kawasan hutan sebagai

daerah yang memberikan perlindungan di

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

57

bawahnya harus tetap dipertahankan dan

meiarang adanya kegiatan budidaya di

kawasan ini, sehingga kelestarian

lingkungan dapat terjaga. 2) Kawasan

pertanian lahan basah dengan irigasi teknis

harus tetap dipertahankan dan

mengarahkan pengembangan kegiatan

budidaya pada lahan-lahan diluarnya atau

lahan kering tidak produktif. Hal ini

mengingat lahan sawah terasering dan

sistem subak merupakan warisan budaya

yang harus tetap dijaga kelestarianr ya dan

juga menjaga image Tabanan sebagai

lumbung beras. 3) Menjaga keilestarian

lingkungan alam dan budaya setempat.4)

Garis sempadan sungai dan daerah sekitar

mata air serta sempadan jurang harus tetap

dipertahankan sebagai daerah perlindungan

setempat dengan tidak memperkenankan

adanya bangunan. 5)Jalur hijau yang telah

ditetapkan dengan perda di sepanjang jalan

Gunungsaridesa - Jatiluwih dan radius

kesucian Pura Petali tetap dipertahankan.

3. ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Letak Geografis dan Administratif

Kawasan Desa Tradisional Jatiluwih

terletak di Kecamatan Penebel, Kabupaten

Tabanan. Secara administratif, kawasan

permukiman tradisional Jatiluwih ini

mencakup 4 (empat) buah desa yaitu Desa

Jatiluwih, Desa Wongaya Gede, Desa

Tengkudak dan Desa Mengesta. Lokasi

empat desa ini merupakan satu kesatuaan

kawasan yang terletak di kaki Gunung

Batukaru dan secara adat merupakan

wilayah pengempon Pura Luhur Batukaru

dan pura-pura lain di kawasan G.

Batukaru. Jatiluwih adalah sebuah desa

pegunungan yang terletak di lembah kaki

Gunung Batukaru dengan ketinggian 850

meter di atas permukaan laut. Desa

Jatiluwih berada di daerah kecamatan

Penebel, kabupaten Tabanan berjarak

sekitar 20 km di sebelah utara kota

Tabanan atau berjarak sekitar 38 km dari

kota Denpasar. Untuk mencapai kawasan

ini harus melalui jalan yang cukup sempit

dan menanjak. Desa Jatiluwih menjadi

daerah kawasan wisata yang dimiliki

kabupaten Tabanan karena memiliki tanah

perkebunan dan persawahan yang berteras-

teras sehingga akan terlihat pemandangan

sawah yang indah.

Kondisi Existing dan Fungsi Jatiluwih

sebagai Lansekap Alam

Sosial Budaya

Desa Pekraman Jatiluwih merupakan suatu

wilayah yang pernah ditetapkan sebagai

tempat untuk menanamkan nilai-nilai

ajaran agama dan budaya oleh para Rsi dan

para Raja jaman dahulu seperti yang

tertuang dalam Bhuwana Tattwa Maharsi

Markandya, terbukti dengan berdirinya

Pura Khayangan Jagat Petali dan Pura Rsi

Bhujangga, maka kedua desa ini

merupakan desa sebagai benteng

pertahanan di bidang spritual khususnya

agama dan budaya Hindu. Disamping hal

tersebut, bahwa kedua desa pekraman yang

terletak di kaki gunung Batukaru, sebagai

desa berpola agraris masih

mempertahankan tradisi-tradisi yang ada,

seperti lembaga-lembaga Subak dan

sekeha-sekeha yang menopang kelestarian

budaya Bali dan budaya Indonesia pada

umumnya.

Keadaan yang demikian perlu

dipertahankan dan segera mendapatkan

penanganan karena dengan perkembangan

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

58

sepuluh tahun belakangan ini, desa

pekraman Jatiluwih menjadi masyarakat

desa transisi diantara masyarakat agraris

tradisional dan masyarakat modern. Ini

terbukti dengan pertumbuhan sistem

informasi, teknologi, pengetahuan, desakan

industri pariwisata dan tuntutan ekonomi

masyarakat yang cenderung berpikir ke

arah ekonomi komersial, maka tidak

mungkin membendung arus perubahan-

perubahan terhadap tradisi budaya yang

telah ada. Sehingga hal ini menyebabkan

terjadinya perubahan terhadap tata cara

berbahasa, pergeseran mata pencaharian,

penggunaan teknologi modern, perubahan

struktur organisasi sosial, penyerapan

sistem pengetahuan yang baru, pergeseran

sistem religi dan kesenian, yang akhirnya

bisa bermuara pada perubahan sikap

mental dan kultural. Hal ini pula akan

mengakibatkan terjadinya pergeseran,

persengketaan atau perbenturan terhadap

nilai-nilai dan norma-norma yang telah

ada.

Potensi Lansekap Alam Jatiluwih

Sawah Berterasering

Areal persawahan di Desa Jatiluwih seluas

303,40 hektar dengan tekstur tanah berasal

dari pelapukan Gunung Batukaru yang

sangat subur dan sangat sesuai untuk

daerah pertanian. Daerahnya berbukit-

bukit, sehingga persawahan berbentuk

terasering. Dengan latar belakang

pegunungan, hamparan pemandangan

sawah yang luas dan terasering yang

berliku-liku menjadi daya tarik yang

sangat mempesona, sehingga Jatiluwih

terkenal sebagai salah satu daya tarik

wisata alam. Keindahan akan lebih

menarik sewaktu sawah sudah siap akan

ditanami (nyarang), sekitar bulan Januari-

Pebruari dan Juli-Agustus (dua musim

tanam). Dalam kondisi ini, pematang

sawah yang dirapikan dan petak sawah

yang saling susun sangat mempesona.

Satwa bangau dan itik dengan beberapa

pohon nyiur, pondok petani, bedugul,

sanggah cucuk, serta ulun carik berdiri di

tengah-tengah sawah menambah keasrian.

Keindahan alam, kesejukan, dan kealamian

Jatiluwih menjadikan daerah ini sangat

baik untuk kegiatan tracking. Wisatawan

yang melaksanakan kegiatan tracking ini

sangat menikmati suasana alamiah Desa

Jatiluwih. Di samping itu, kegiatan

tracking ini digunakan wisatawan untuk

mengenal tumbuh-tumbuhan khas daerah

pegunungan yang langsung diabadikan

dengan kamera dan ada yang direkam serta

untuk mengenal binatang-binatang yang

hidup di sekitar

Salah Satu Titik Pengamatan Keindahan

Persawahan Jatiluwih

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

59

Salah Satu Titik Pengamatan Keindahan

Persawahan Jatiluwih

areal persawahan yang memberikan

ketenangan, kenikmatan tersendiri, dan

rasa untuk lebih mencintai alam. Setiap

harinya, ada saja wisatawan yang

mengadakan kegiatan tracking. Mereka

langsung diantar oleh guide masing-

masing dan ditemani salah satu penduduk

lokal sebagai penunjuk jalan. Jalur-jalur

trekking yang ada di Desa Jatiluwih ada

beberapa jalur, akan tetapi yang paling

sering digunakan adalah dua jalur tracking,

yaitu: Jatiluwih - Besikalung dan Umakayu

(Gunung Sari) - Tamblingan.

Selain kegiatan trekking, terdapat pula

kegiatan bersepeda (cycling). Wisatawan

akan menikmati pemandangan alami,

suasana pedesaan yang kental, serta

kesegaran udara pedesaan. Di samping

tujuan berwisata, kegiatan cycling ini baik

untuk terapi jantung dan paru-paru. Untuk

di daerah Jatiluwih, jalur cycling yang

biasa digunakan adalah mulai dari Bedugul

kemudian menuju Besikalung dan akhirnya

finish di Jatiluwih

Permasalahan Lansekap di Jatiluwih

Keindahan bentang alam persawahan di

tempat ini bukan hanya diminati oleh

wisatawan domestik dan manca negara,

tetapi juga bagi para anggota tim panitia

pemilihan warisan alam dan budaya

international. Fakta yang terjadi di

lapangan, warga desa setempat dan pemilik

sawah tersebut belum mendapatkan hasil

dan keuntungan dari kegiatan wisata yang

dilakukan di daerahnya. Operator-operator

tour yang menjual paket wisata seperti

sightseeing, cycling dan trekking di Desa

Wisata Jatiluwih secara langsung

membawa pemandu wisata (tour guide),

keperluan makanan dan minuman dan

peralatan kegiatan wisata tersebut dari

kantornya masing-masing sehingga

masyarakat lokal sama sekali tidak

mendapatkan keuntungan dan sebaliknya

masyarakat lokal hanya menerima sisa-sisa

sampah dan jejak kaki para wisatawan

saja. (Astika, 2010)

Permasalahan sosial tersebut

tmempengaruhi pengembangan Lansekap

Alam Jatiluwih dalam konteks ekonomi

dan dan pariwisata.

Aksesibilitas

Permasalahan lain yang dapat dilihat di

kawasan wisata Jatiluwih adalah dari segi

akses. Mengingat akses sangat penting dan

merupakan sarana utama untuk mencapai

lokasi maka aksesibilitas menuju kawasan

seharusnya dijaga dengan baik. Kawasan

wisata Jatiluwih adalah kawasan yang

terletak di daerah pegunungan yang

berbukit-bukit. Kondisi jalan yang tidak

memadai, merupakan permasalahan yang

patut disorot dan segera ditindaklanjuti.

Untuk memperlancar akses wisatawan

dibutuhkan kondisi jalan yang baik dan

nyaman untuk dilalui. Sebagian besar

kondisi jalan di kawasan desa tradisional

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

60

Jatiluwih tergolong tidak memadai karena

kondisi perkerasan aspal pada jalan sudah

tidak layak lagi. Hal ini akan sangat

menyulitkan pengguna jalan baik itu

penduduk sekitar maupun wisatawan yang

datang. Jalan yang rusak dapat

menghambat mobilisasi pengguna jalan

sehingga menyebabkan terjadi

keterlambatan dan ketidaknyamanan. Hal

ini tidak hanya merugikan pariwisata

Jatiluwih, tetapi akan merugikan

perekonomian masyarakat sekitar karena

mobilitas merupakan faktor penting dalam

penunjang perekonomian.

Parkir

Faktor penunjang aksesibilitas adalah

sarana parkir. Keberadaan sarana parkir

sangatlah penting untuk menampung

kendaraan-kendaraan yang singgah dan

berhenti di kawasan Jatiluwih. Namun

kondisi di lapangan menunjukkan tidak

tersedianya sarana parkir di kawasan

Jatiluwih sehingga kendaraan-kendaraan

yang singgah dan berhenti menggunakan

bahu jalan sebagai parkir. Hal ini tentu

sangat mengganggu mobilisasi pengguna

jalan yang kehilangan kelancaran dalam

berkendara. Disamping memakan bahu

jalan dan sebagian badan jalan, parkir tepi

jalan di kawasan Jatiluwih ini juga sangat

mengganggu dari segi estetika. Image

kawasan wisata Jatiluwih yang sudah

terkenal di pelosok luar negeri akan

kehilangan citranya.

Re-konsepsi Lansekap Alam Jatiluwih

Penataan Sirkulasi Parkir

Penataan kawasan sirkulasi parkir menjadi

salah satu elemen penting dalam

menunjang kegiatan pariwisata di kawasan

Jatiluwih. Hal ini penting melihat bahwa

saat ini kesan yang tersampaikan kepada

pengunjung adalah kurang terurusnya

kawasan parkir. Para pengguna kendaraan

seakan dibiarkan untuk memanfaatkan

badan jalan untuk dijadikan lahan parkir.

Hal ini selain mengakibatkan jalur

sirkulasi menjadi terganggu, juga

mengakibatkan kesan yang tidak teratur.

Karena pada saat jumlah pengunjung dan

kendaraan meningkat, terkadang sampai

mengakibatkan kemacetan yang cukup

panjang. Image kawasan wisata Jatiluwih

yang sudah terkenal di pelosok luar negeri

akan kehilangan citranya karena

pemandangan parkir tepi jalan yang

semrawut sehingga kawasan menjadi tidak

indah lagi.

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

61

Solusi yang dapat dilakukan antara lain

adalah menyediakan lahan parkir yang

memadai untuk menunjang kegiatan

pariwisata. Jika melihat eksisting kawasan

sekitar pusat dimana kegiatan pariwisata

yang paling tinggi, ada beberapa titik yang

dapat dimanfaatkan sebagai lahan parkir.

Namun karena kurangnya perhatian

penaatan yang baik yang pihak terkait,

lahan tersebut seakan tidak dapat

dimaksimalkan sebagai lahan parkir.

Untuk itulah penataan lahan parkir perlu

dilakukan untuk mengurangi dampak

negatif yang ditimbulkan akibat

keterbatasan lahan parkir. Jika melihat

lahan parkir yang ada, mengatasi

keseluruhan masalah mungkin sulit untuk

dilakukan. Namun untuk meminimalisir

dampak yang ditimbulkan, hal ini dapat

dijadikan sebagai sebuah solusi.

Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa

penataan kawasan parkir dilakukan dengan

memaksimalkan lahan yang ada.

Penambahan planter box dilakukan untuk

mengurangi kesan kaku pada kawasan

parkir. Selain tentunya berfungsi sebagai

peneduh. Sedangkan disisi lainnya

ditambahkan bale bengong sebagai tempat

untuk beristirahat dan menikmati

pemandangan yang mengarah ke

persawahan.

Eksisting Lahan Parkir

Konsep Penataan Lahan Parkir

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

62

Re-konsepsi dalam Kerangka

Pembangunan Berkelanjutan

Penjagaan lingkungan Kawasan

Lingkungan Lansekap Alam Jatiluwih

dengan peningkatan sarana sanitasi dan

persamapahan lingkungan. Mengingat

peranan wilayah hulu ini sebagai pemasok

kebutuhan aor untuk daerah setempat dan

daerah hilirnya terutama di Kecamatan

Penebel Kabupaten Tabanan. Pengeloaan

kualitas lingkungan selain peningkatan

infrastruktur juga pelestarian lingkungan

pertanian dengan mengurangi penggunaan

bahan-bahan kimia pada kawasan

pertanian dan perkebunan.

Pelibatan masyarakat dalam pengelolaan

kawasan Lansekap Alam Jatiluwih dalan

sektor pariwisata. Kontribusi agen-agen

perjalanan wisata terhadap desa Jatiluwih

dengan peningkatan tiket masuk namun

disertai juga dengan peningkatan kualitas

layanan. Dengan mengoptimalkan potensi

masyarakat setempat.

Penguatan eksistensi subak dengan

memberikan dukungan penuh terhadap

masyarakat pelaku. Pemerintah dalam hal

ini mempunyai peranan penting dalam

penyediaaan anggaran untuk kegiatan

sosial budaya masyarakat. Misal,

pemberian insentif bagi subak dengan

kondisi terbaik, sehingga menjadi pemacu

utntuk dilestarikan.

Selain kerangka aspek dalam

pembangunan berkelanjutan tersebut,

pelebitan masyarakat dalam segala

keputusan yang diambil oleh pemerintah

atau pemerhati terkait adalah keterlibatan

masyarakat setempat sebagai pelaku,

penggerak segala aktifitas mencakup

lingkungan, ekonomi dan sosial budaya.

Pentingnya pelibatan masyarakat karena

beberapa alasan berikut, (Wingert dalam

Mashud: 2006):1) Masyarakat yang

potensial dikorbankan atau terkorbankan

oleh suatu proyek pembangunan memiliki

Konsep Penataan Sirkulasi, Parkir, dan

Area untuk Menikmati Pemandangan

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

63

hak untuk dikonsultasikan (right to be

consulted). 2) Merupakan strategi untuk

mendapatkan dukungan masyarakt (public

support). bila masyarakat merasa memiliki

akses terhadap pengambilan keputusan dan

kepedulian masyarakat kepada pada tiap

tingkatan pengambilan keputusan

didokumentasikan dengan baik, maka

keputusan tersebut akan memiliki

kredibilitas. 3) Sebagai alat untuk

mendapatkan masukan berupa informasi

dalam proses pengambilan keputusan;

sebab pemerintah dirancang untuk

melayani masyarakat, sehingga pandangan

dan preferensi dari masyarakat tersebut

adalah masukan yang bernilai guna

mewujudkan keputusan yang responsif.

4)Sebagai suatu cara untuk mengurangi

atau meredakan konflik melalui usaha

pencapaian konsensus dari pendapat-

pendapat yang ada. Sebab, bertukar pikiran

dengan masyarakat dapat menigkatkan

pengertian dan toleransi serta mengurangi

rasa ketidakpercayaan (misstrust) dan

kerancuan (biasess). 5) Sebagai upaya

untuk "mengobati" masalah-masalah

psikologis masyarakat seperti halnya

perasaan ketidak berdayaan (sense of

powerlessness), tidak percaya diri dan

perasaan bahwa diri mereka bukan

komponen penting dalam masyarakat.

4. PENUTUP

Keberlanjutan dan penataan pada kawasan

lansekap alam Jatiluwih mutlak diperlukan

sebagai upaya perbaikan kondisi yang

belum optimal dan juga penjagaan

terhadap kulitas ruang dan lansekap yang

sudah terjaga. Dengan penekanan

pengembangan pada aspek lingkungan,

ekonomi serta sosial budaya di harapkan

ada pula sinergi antara pemerintah dan

masyarakat sehingga kelestarian dapat

terjaga dan pengembangan yang

mengabaikan aspek-aspek pembangunan

berkelanjutan diminimalisisr bahkan

ditiadakan. Kawasan lansekap Jatiluwih

wajib dijaga kualitas lingkunganya oleh

segenap masyarakat, utamanya pemerintah

dan masyarakat setempat. Terlebih dunia

telah mengakui bahwa sistem subak yang

ada disana merupakan warisan bagi dunia.

Sehingga pengembangan Jatiluwih ke

depan diharapkan mencerminkan kearifan

masyarakat Bali secara umum dalam

mengelola alam dan budaya yang lebih

baik.

DAFTAR PUSTAKA

Karyono, Tri Harso, Arsitektur Kota

Tropis Dunia Ketiga, 2005, Tehaka

Arkita, Jakarta

Raka Dalem, AA Gde, Filosofi Tri Hita

Karana dalam Industri Pariwisata, dalam

Kearifan Lokal dalam Pengelolaan

Lingkungan Hidup, 2007, UPT Penerbit

Unud bekerja sama dengan PPLH

Universitas Udayana, Denpasar

Rumawan Salain, I Putu, Peran Kearifan

Lokal dalam Penataan Ruang di Bali,

dalam Kearifan Lokal dalam Pengelolaan

Lingkungan Hidup, 2007, UPT Penerbit

Unud bekerja sama dengan PPLH

Universitas Udayana, Denpasar

Wiana, I Ketut, Konsep Hindu tentang

Pelestarian Lingkungan Hidup, dalam

Kearifan Lokal dalam Pengelolaan

Lingkungan Hidup, 2007, UPT Penerbit

Unud bekerja sama dengan PPLH

Universitas Udayana, Denpasar

Materi Mata Kuliah Teori & Praktek

Perencanaan, 2011, PMA Unud, Syamsul

Alam P

Tugas Mata Kuliah Lansekap Arsitektur, I

Dewa Gede.Putra & Komang Aditya

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

64

Abryawan , Program Pascasarjana,

Universitas Udayana. 2013

Perpustakaan Kementrian Pekerjaan

Umum,

http://pustaka.pu.go.id/new/resensi-buku-

detail.asp?id=300 diakses 20 Desember

2011

Garis Besar Pedoman Ekowisata

Indonesia, www.ekowisata.info, diakses 25

Desember 2013.

Agus Muriawan Putra, 2012, Peningkatan

Pendapatan Masyarakat Jatiluwih Melalui

Pengembangan Cinderamata Lokal

Fakultas Pariwisata, Universitas Udayana

Mashud, Mustain, Makalah Pendidikan

dan Pelatihan (Diklat) Penataan Ruang

Kota yang diselenggarakan oleh Fakultas

Teknis Sipil dan Perencanaan ITS tanggal

24 Agustus 2006 di FTSP-ITS Surabaya.

Buletin Konservasi, (http://dhony-

syach.blogspot.com/2011/08/tinjauan-

black-box-pengelolaan.html), diakses 25

Desember 2011

(http://they-

astika.blogspot.com/2011/10/dampak-

positif-negatif-pariwisata.html)

(http://fauzajaib.wordpress.com/2010/08/1

1/apa-yang-saya-ketahui-tentang-

arsitektur-lanskap/)

(http://www.scribd.com/doc/8623922/33/F

-Jenis-Jenis-Landscape-H-R-Bintarto )

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

65

PEMENUHAN KEBUTUHAN RUANGAN BADAN PELAYANAN

PERIZINAN TERPADU (BPPT) KABUPATEN BADUNG UNTUK

MENINGKATKAN EFEKTIFITAS DALAM PELAYANAN

PERIZINAN DAN NON PERIZINAN DALAM SATU PINTU

I Kadek Pranajaya

Staf Pengajar Program Studi Desain Interior, Sekolah Tinggi Desain Bali

Email: [email protected]

Abstrak

Pelayanan Terpadu Satu Pintu adalah pelayanan secara terintegrasi dalam satu kesatuan

proses dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap penyelesaian produk

pelayanan melalui satu pintu. Gedung Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten

Badung berfungsi untuk mengantisipasi penyelenggaraan pelayanan publik oleh aparatur

pemerintah khususnya pelayanan di bidang perizinan dan non perizinan masih dirasakan

belum sesuai dengan yang diharapkan oleh masyarakat. Gedung ini juga memberikan

pelayanan kepada masyarakat dalam penyelenggaraan perizinan dan non perizinan yang

dilaksanakan pada 1 (satu) pintu, dengan mekanisme, persyaratan, biaya, dan waktu yang

transparan untuk kesempurnaan pelayanan kepada masyarakat sehingga tercapai tujuan

pelayanan publik yang cepat, tepat, murah, mudah, transparan, pasti dan terjangkau serta

mampu meningkatkan hak- hak masyarakat dalam pelayanan publikserta terwujudnya

penerapan good governance. Ruangan yang tersedia saat ini dalam penyelenggaraan

pelayanan terpadu satu pintu sudah sesuai dengan ketentuan yang dipersyaratkan oleh

pemerintah dan sesuai dengan harapan masyarakat. Ruangan yang tersedia difungsikan

untuk meningkatkan kinerja pemerintah Kabupaten Badung di dalam memberikan

pelayanan publik yang baik kepada masyarakat secara terpadu dalam satu pintu

Kata Kunci: Pemenuhan Kebutuhan Ruangan, Badan Pelayanan Perizinan Terpadu dan

Efektifitas Pelayanan Perizinan

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

66

1.1. PENDAHULUAN

1.1.1. Latar Belakang

Pelayanan publik adalah segala bentuk

jasa pelayanan, baik dalam bentuk barang

publik maupun jasa publik yang pada

prinsipnya menjadi tanggung jawab dan

dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah di

Pusat, di Daerah, dan di lingkungan

Badan Usaha Milik Negara atau Badan

Usaha Milik Daerah, dalam rangka upaya

pemenuhan kebutuhan masyarakat

maupun dalam rangka pelaksanaan

ketentuan peraturan perundang-

undangan. Pada era globalisasi saat ini

pemerintahan berkewajiban melakukan

peningkatan kinerja birokrasi dalam

memberikan pelayanan publik yang baik

kepada masyarakat dengan metode dan

prosedur yang tepat, transparansi dan

akuntabilitas dalam memberikan

pelayanan kepada masyarakat.

Dalam rangka meningkatkan pelayanan

terhadap masyarakat tersebut, Pemerintah

Kabupaten Badung melalui Perda Nomor

4 Tahun 2013 membentuk Badan

Pelayanan Perizinan Terpadu yang

memberikan informasi dan pelayanan

perizinan untuk memberikan kepuasan

dan kemudahan bagi masyarakat. Gedung

Badan Pelayanan Perizinan Terpadu

berada di Kawasan Puspem Badung

sebagai wujud penerapan good

governance dan memberikan pelayanan

yang cepat, mudah, murah, transparan,

pasti, dan terjangkau yang dilaksanakan

secara terpadu dalam satu pintu.

Pembangunan gedung ini berfungsi juga

untuk mengantisipasi

penyelenggaraan pelayanan publik oleh

aparatur pemerintah khususnya pelayanan

di bidang perizinan dan non perizinan

masih dirasakan belum sesuai dengan

yang diharapkan oleh masyarakat.

Tulisan ini adalah untuk mengetahui

apakah ruangan-ruangan tersedia saat ini

di Badan Pelayanan Perizinan Terpadu

Kabupaten Badung telah sesuai dengan

standart dan persyaratan yang ditetapkan

oleh pemerintah dalam memberikan

pelayanan perizinan dan non perizinan 1

(satu) pintu, dengan mekanisme,

persyaratan, biaya, dan waktu yang

transparan sehingga tercapai tujuan

pelayanan publik yang cepat, tepat,

murah, mudah, transparan, pasti dan

terjangkau, serta mampu meningkatkan

hak- hak masyarakat dalam pelayanan

publik.

1.1.2. Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang dapat diambil

dari tulisan ini adalah

1. Apakah persyaratan dan standar

ruangan yang dibutuhkan dalam

penyelenggaraan pelayanan Perizinan

satu pintu?

2. Apakah ruangan yang tersedia di

Badan Pelayanan Perizinan Terpadu

Kabupaten Badung telah sesuai

dengan ketentuan yang

dipersyaratkan oleh pemerintah?

1.1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penulisan ini adalah:

1. Untuk mengetahui persyaratan dan

standar ruangan yang dibutuhkan

dalam penyelenggaraan pelayanan

Perizinan satu pintu

2. Untuk mengetahui ruangan yang

telah tersedia di Badan Pelayanan

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

67

Perizinan Terpadu Kabupaten

Badung

Manfaat Penelitian

1. Secara akademik, agar dapat

memperkaya dan menambah

wawasan mengenai persyaratan dan

standar ruangan yang dibutuhkan

dalam pedoman penyelenggaraan

pelayanan Perizinan satu pintu

2. Secara aplikasi studi, agar dapat

memberikan masukan bagi

pemerintah, masyarakat dan

perencana dalam membuat sebuah

perencanaan Gedung Pelayanan

Terpadu Satu Pintu di

Kabupaten/Kota

1.1.4. Metode Penelitian

Pengumpulan data primer dilakukan

melalui keterlibatan penulis dalam

membuat perencanaan Gedung Badan

Pelayanan Perizinan Satu Pintu

Kabupaten Badung sehingga sangat

memudahkan penulis dalam mengkaji

realita yang ada. Pengumpulan data

sekunder dilakukan melalui studi

literatur dan peraturan yang terkait.

1.2. Tinjauan Literatur

Menurut Undang-Undang Nomor 25

tahun 2009 tentang Pelayanan Publik,

pelayanan publik adalah kegiatan atau

rangkaian kegiatan dalam rangka

pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai

dengan peraturan perundang-undangan

bagi setiap warga negara dan penduduk

atas barang, jasa dan/atau pelayanan

administratif yang diselenggarakan oleh

penyelenggara pelayanan publik.

Segala bentuk jasa pelayanan, baik dalam

bentuk barang publik maupun jasa publik

yang pada prinsipnya menjadi

tanggungjawab dan dilaksanakan oleh

instansi pemerintah di pusat, di daerah,

dan di lingkungan Badan Usaha Milik

Negara atau Badan Usaha Milik Daerah,

dalam upaya pemenuhan kebutuhan

masyarakat maupun dalam rangka pelak-

sanaan ketentuan peraturan perundang-

undangan (Ratminto & Winarsih, 2005).

Pelayanan publik bertujuan untuk

kesejahteraan masyarakat yang

diselengggarakan berdasarkan peraturan

perundang-undangan.

Menurut wikipedia pelayanan

publik adalah istilah untuk layanan yang

disediakan oleh pemerintah kepada warga

negaranya, baik secara langsung (melalui

sektor publik) atau dengan membiayai

pemberian layanan swasta.

Penyelenggaraan pelayanan harus

memenuhi beberapa prinsip antara lain:

a. Kesederhanaan, yakni prosedur

pelayanan publik tidak berbelit-belit,

mudah dipahami dan mudah

dilaksanakan.

b. Kejelasan, mencakup hal-hal sebagai

berikut:

- Persyaratan teknis dan administratif

pelayanan publik.

- Unit kerja/pejabat yang berwenang

dan bertanggung jawab dalam

memberikan pelayanan dan

penyelesaian

keluhan/persoalan/sengketa dalam

pelaksanaan pelayanan publik.

- Rincian biaya pelayanan publik dan

tata cara pembayaran.

c. Kepastian waktu. Pelaksanaan

pelayanan publik dapat diselesaikan

dalam kurun waktu yang telah

ditentukan.

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

68

d. Akurasi, maksudnya adalah produk

pelayanan publik diterima dengan

benar, tepat dan sah.

e. Keamanan, proses dan produk

pelayanan publik memberikan rasa

aman dan kepastian hukum.

f. Tanggung jawab, pimpinan

penyelenggara pelayanan publik atau

pejabat yang ditunjuk bertanggung

jawab atas penyelenggaraan pelayanan

dan penyelesaian keluhan/persoalan

dalam pelaksanaan pelayanan publik.

g. Kelengkapan sarana dan prasarana,

tersedianya sarana dan prasarana kerja,

peralatan kerja dan pendukung lainnya

yang memadai termasuk penyediaan

sarana teknologi telekomunikasi dan

informatika (telematika).

h. Kemudahan akses, yakni tempat dan

lokasi serta sarana pelayanan yang

memadai, mudah dijangkau oleh

masyarakat dan dapat memanfaatkan

teknologi telekomunikasi dan

informatika.

i. Kedisiplinan, kesopanan dan

keramahan, yakni pemberi pelayanan

harus bersikap disiplin, sopan dan

santun, ramah, serta memberikan

pelayanan dengan ikhlas.

j. Kenyamanan, lingkungan pelayanan

harus tertib, teratur, disediakan ruang

tunggu yang nyaman, bersih, rapi,

lingkungan yang indah dan sehat serta

dilengkapi dengan fasilitas pendukung

pelayanan, seperti parkir, toilet, tempat

ibadah dan lain- lain.

Pelayanan Terpadu Satu Pintu, yang

selanjutnya disingkat PTSP adalah

pelayanan secara terintegrasi dalam satu

kesatuan proses dimulai dari tahap

permohonan sampai dengan tahap

penyelesaian produk pelayanan melalui

satu pintu.

Menurut Peraturan Menteri dalam Negeri

Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pedoman

penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu

Pintu adalah meningkatkan kualitas

layanan publik dan memberikan akses

yang lebih luas kepada masyarakat untuk

memperoleh pelayanan publik. Sasaran

Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu

Pintu adalah terwujudnya pelayanan

publik yang cepat, murah, mudah,

transparan, pasti dan terjangkau dan

meningkatnya hak-hak masyarakat

terhadap pelayanan publik.

Penyederhanaan penyelenggaraan

pelayanan mencakup :

a. Pelayanan atas permohonan perizinan

dan non perizinan dilakukan oleh

PPTSP;

b. percepatan waktu proses penyelesaian

pelayanan tidak melebihi standar

waktu yang telahditetapkan dalam

peraturan daerah;

c. kepastian biaya pelayanan tidak

melebi hi dari ketentuan yang telah

ditetapkan dalam peraturandaerah;

d. kejelasan prosedur pelayanan dapat

ditelusuri dan diketahui setiap tahapan

proses pemberian perizinan dan non

perizinan sesuai dengan urutan

prosedurnya;

e. mengurangi berkas kelengkapan

permohonan perizinan yang sama

untuk dua atau Lebih permohonan

perizinan;

f. pembebasan biaya perizinan bagi

Usaha Mikro Kecil Menengah

(UMKM)yang ingin memulai usaha

baru sesuai dengan peraturan yang

berlaku; dan pemberian hak kepada

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

69

masyarakat untuk memperoleh

informasi dalam kaitannya dengan

penyelenggaraan pelayanan

Perizinan adalah segala bentuk

persetujuan yang dikeluarkan oleh

Pemerintah dan pemerintah daerah yang

memiliki kewenangan sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan

sedangkan non perizinan adalah segala

bentuk kemudahan pelayanan, fasilitas

fiskal, dan informasi sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-

undangan. Pembentukan perangkat

daerah yang menyelenggarakan

pelayanan terpadu satu pintu wajib

berpedoman pada peraturan

perundangundangan yang mengatur

mengenai pembentukan organisasi

perangkat daerah dan harus memiliki

sarana dan prasarana yang berkaitan

dengan mekanisme pelayanan seperti

loket/ruang pengajuan permohonan dan

informasi, tempat/ruang pemrosesan

berkas, tempat/ruang

pembayaran,tempat/ruang penyerahan

dokumen dan tempat/ruang penanganan

pengaduan.

Lingkup tugas PPTSP meliputi

pemberian pelayanan atas semua bentuk

pelayanan perizinan dan non perizinan

yang menjadi kewenangan Kabupaten /

Kota. Pelayanan Perizinan Terpadu Satu

Pintu mengelola administrasi perizinan

dan non perizinan dengan mengacu pada

prinsip koordinasi, integrasi, sinkronisasi,

dan keamanan berkas. Perangkat Daerah

yang secara teknis terkait dengan PPTSP

berkewajiban dan bertanggungjawab

untuk melakukan pembinaan teknis dan

pengawasan atas pengelolaan perizinan

dan non perizinan sesuai dengan bidang

tugasnya.

Pengolahan dokumen persyaratan

perizinan dan non perizinan mulai dari

tahap permohonan sampai dengan

terbitnya dokumen dilakukan secara

terpadu satu pintu. Proses

penyelenggaraan pelayanan perizinan

dilakukan untuk satu jenis perizinan

tertentu atau perizinan parallel. PPTSP

wajib menyediakan dan menyebarkan

informasi berkaitan dengan jenis

pelayanan dan persyaratan teknis,

mekanisne, penelusuran posisi dokumen

pada setiap proses, biaya dan waktu

perizinan dan non perizinan, serta tata

Cara pengaduan, yang dilakukan secara

jelas melalui berbagai media yang mudah

diakses dan diketahui oleh masyarakat.

Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu

wajib menyediakan sarana pengaduan

dengan menggunakan media yang

disesuaikan dengan kondisi daerahnya

yang memilik tujuan memberikan

perlindungan dan kepastian hukum

kepada masyarakat, memperpendek

proses pelayanan, mewujudkan proses

pelayanan yang cepat, mudah, murah,

transparan, pasti dan terjangkau.

Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu

dilaksanakan dengan prinsip keterpaduan,

ekonomis, koordinasi; pendelegasian atau

pelimpahan wewenang, akuntabilitas; dan

aksesibilitas.

Peraturan Daerah Kabupaten Badung

Nomor 4 Tahun 2013 tentang Organisasi

dan Tata Kerja Badan Pelayanan

Perizinan Terpadu Kabupaten Badung

memuat susunan organisasi Badan

Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten

Badung terdiri dari Kepala Badan, Bagian

Tata Usaha (Sub Bagian Umum, Sub

Bagian Kepegawaian,Sub Bagian

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

70

Keuangan), Bidang Bina Program dan

Informasi, Bidang Pelayanan Perizinan

Pemerintahan dan Pembangunan, Bidang

Pelayanan Perizinan Ekonomi,

kesejahteraan Rakyat dan Non Perizinan,

Bidang Pengaduan Monitoring dan

Evaluasi, Tim Teknis dan Kelompok

Jabatan Fungsional.

1.3. Pembahasan

1.3.1. Tinjauan Umum Badan Pelayanan

Perizinan Terpadu Kabupaten

Badung

Gedung Badan Pelayanan Perizinan

Terpadu Kabupaten Badung berada di

lokasi kawasan Pusat Pemerintahan

Kabupaten Badung, dibangun di atas

lahan seluas 16.935,523 m2

. Adapun

batas-batas site yang telah ditentukan

yaitu sebelah utara: tempat parkir Gedung

DPRD, sebelah timur: Gedung Kantor

Pendidikan, Sosial dan Budaya sebelah

Selatan: Persawahan dan sebelah Barat:

lahan losong (Rencana Pembangunan

Rumah Dinas)

LOKASI

Gedung

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

71

Badan Pelayanan Perizinan Terpadu

Kabupaten Badung menyelenggarakan

pelayanan perizinan dan non perizinan

yang proses pengelolaannya mulai dari

tahap permohonan sampai ke tahap

terbitnya dokumen dilakukan secara

terpadu dalam satu pintu dan satu tempat.

Dalam rangka meningkatkan proses

pelayanan perizinan dan non perizinan

serta mendorong pertumbuhan ekonomi

melalui peningkatan investasi telah

didukung oleh sistem birokrasi dalam

pelayanan perizinan dan non perizinan

yang efektif dan efisien dan telah

ditetapkannya Peraturan Daerah

Kabupaten Badung Nomor 4 Tahun 2013

tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan

Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten

Badung.

Badan Pelayanan Perizinan Terpadu

Kabupaten Badung memiliki Visi

terwujudnya pelayanan prima

berdasarkan Tri Hita Karana dan

memiliki Misi, meningkatkan sumber

daya manusia yang berkualitas, jujur, dan

bertanggung jawab, meningkatkan mutu

pelayanan melalui administrasi yang

lancar, cepat, tepat dan transparan,

memberikan kepastian hukum perizinan

dan non perizinan di Kabupaten Badung

serta mengembangkan sistem informasi

pelayanan berbasis teknologi informasi

dan komunikasi (e-government).

Perizinan adalah pemberian legalitas

kepada orang atau pelaku usaha/kegiatan

tertentu, baik dalam bentuk izin maupun

tanda daftar usaha sedangkan Non

Perizinan adalah pemberian legalitas

kepada orang atau pelaku usaha /

kegiatan tertentu, selain dalam bentuk

izin maupun tanda daftar usaha, antara

lain sertifikat, rekomendasi, surat

persetujuan, dan sejenisnya.

Tugas Pokok adalah melaksanakan

koordinasi dan menyelenggarakan

pelayanan, administrasi, integrasi,

singkronisasi, simplikasi, keamanan dan

kepastian. Badan Pelayanan Perizinan

Terpadu Kabupaten Badung memiliki

fungsi melaksanakan penyusunan

program, penyelenggaraan pelayanan

administrasi perizinan dan non perizinan,

pelaksanaan koordinasi proses pelayanan

perizinan, menerima pengaduan,

monitoring dan evaluasi terhadap

pelayanan perizinan dan non perizinan,

melaksanakan pelayanan teknis

administrasi badan dan pelaksanaan tugas

lain yang diberikan oleh Bupati sesuai

tugas pokok dan fungsinya

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

72

Pendelegasian wewenang pelayanan

perizinan dan non perizinan oleh Bupati

Badung meliputi :

a) menetapkan mekanisme perizinan

mulai dari permohonan sampai dengan

penyerahan izin / non izin kepada

pemohon sesuai dengan ketentuan

yang berlaku;

b) menetapkan kelengkapan persyaratan

berkaitan dengan kegiatan administrasi

perizinan dan non perizinan;

c) menandatangani perizinan dan non

perizinan atas nama Bupati;

d) memberikan kelancaran pelayanan

perizinan dan non perizinan dalam

rangka pelayanan kepada masyarakat;

dan

e) melakukan pemungutan retribusi

terkait pelayanan perizinan dan non

perizinan yang diberikan sesuai

dengan peraturan perundang-

undangan.

Kepala Badan menandatangani perizinan

dan non perizinan dapat melakukan

koordinasi dan konsultasi dengan instansi

terkait.

I. Lantai Basement

1. Parkir Sepeda Motor

2. Parkir Mobil

3. Ruang Genzet

4. Ruang LVMDP

5. Ground Tank

6. Ruang Pompa

7. Ruang Teknisi

8. Toilet

Area basement merupakan area Parkir

mobil dan sepeda serta dilengkapi

fasilitas ruang MEP dan publik area

Sumber: http://bppt.badungkab.go.id/hal-struktur-organisasi.html

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

73

1.3.2. Tinjauan Kebutuhan Ruangan

Badan Pelayanan Perizinan

Terpadu Kabupaten Badung

Lantai 2 1. Ruang Kepala Badan :

- Ruang Tamu

- Ruang Sekpri - Ruang Rapat Kecil - Toilet

2. Bagian Tata Usaha a. Ruang Kabag Tata Usaha :

- Ruang Tamu - Ruang Rapat Kecil - Ruang Sekretaris - Ruang Kerja

b. Sub Bagian Umum : - Ruang Tamu - Ruang Kasubag. Umum - Ruang Staff

c. Sub Bagian Kepegawaian: - Ruang Tamu - Ruang Kasubag. Kepegawaian - Ruang Staff

d. Sub Bagian Keuangan - Ruang Tamu - Ruang Kasubag. Keuangan

Orientasi bangunan adalah ke dalam dengan

membuat inner plaza sebagai penerjemahan

konsep natah pada Arsitektur Tradisional Bali

yang umum dipakai untuk menyatakan suatu

halaman di tengah-tengah suatu rumah yang

dikelilingi oleh masa-masa bangunan. Konsep

Natah ini dibuat merupakan keselarasan dengan

bangunan yang telah terbangun di Kawasan

Puspem Badung.

Secara filosofis, natah merupakan media

pertemuan antar unsur akasa (langit) yang bersifat

purusa (jantan) dan unsur pretiwi (bumi) yang

bersifat pradana (betina). Setiap pertemuan kedua

unsur ini menghasilkan cakal bikal suatu bibit

kehidupan yang baik.

Lantai 1

1. Kanopi

2. Ruang Tunggu/Lobby

3. Ruang Informasi

4. Loket Penerimaan Berkas Perijinan

5. Loket Penerimaan berkas Non

Perijinan

6. Customer Service dan Helping

Desk

7. Loket Pembayaran/ Bank

8. Loket Pengambilan Berkas

9. Ruang Informasi dan data

10. Ruang Advice Planning dan ITR

11. Ruang Pengaduan

12. Ruang Tunggu

13. Ruang Bermain anak

14. Komputer Data dan Brosur

15. Meja Tulis dan Form Perijinan

16. Toilet

17. Pantry

Sumber Gambar: PT. Narada Karya

Sumber Gambar: PT. Narada Karya

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

74

Beberapa ruangan yang tersedia di

Gedung Badan Pelayanan Perizinan

Terpadu Kabupaten Badung telah

memenuhi ketentuan yang dipersyaratkan

oleh pemerintah.

Di lantai 1 sudah tersedia beberapa sarana

prasarana yang berkaitan dengan

mekanisme pelayanan perizinan seperti

loket informasi, loket penerimaan berkas

Perizinan dan non Perizinan,

tempat/ruang pemrosesan berkas,

tempat/ruang pembayaran/bank,

tempat/ruang penyerahan dokumen,

customer service dan helping desk dan

tempat/ruang penanganan pengaduan.

Lantai 3

1. Ruang Kepala Bidang

Pelayanan Program dan

dan Informasi

- R. Staff

2. Ruang Kepala Bidang

Pelayanan Pengaduan dan

Evaluasi

- R. Staff

3. Klinik Gambar

4. Ruang Tim Teknis

5. Ruang Arsip Besar

6. Ruang Rapat Bersama

7. Ruang tunggu

8. Toilet & Janitor

9. R. Control

10. Pantry

Sumber Gambar: PT. Narada Karya

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

75

Loket Perizinan Loket Non Perizinan

Meja tulis dan Formulir Persyaratn Ijin Ruang Informasi

Customer Service dan Helping Desk

Loket Pembayaran/ Bank

Ruang Pengaduan

Sumber Foto: Dokumentasi Pribadi

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

76

Proses pelayanan perizinan terpadu di

Kabupaten Badung telah mengacu pada

prinsip koordinasi, integrasi, sinkronisasi,

dan keamanan berkas dengan penyediaan

beberapa ruangan yang telah

direncanakan sebelumnya dengan proses

pelayanan terpadu satu pintu dari proses

informasi, tahap permohonan sampai

dengan tahap penyelesaian produk sesuai

dengan waktu yang telah ditentukan

dengan mekanisme proses perizinan

dengan pemohon memperoleh informasi

pada petugas informasi, pemohon

mengajukan dokumen permohonan

selanjutnya melakukan vertifikasi sesuai

ketentuan yang berlaku. Setelah dokumen

permohonan dinyatakan lengkap dan

benar, kemudian mengajukan kepada

Kepala Bidang serta memberikan resi

tanda terima berkas kepada pemohon.

Langkah selanjutnya Kepala Bidang

menugaskan Tim Teknis melakukan

peninjauan lapangan dan Tim teknis

membuat kajian-kajian/analisis hasil

peninjauan lapangan dilaporkan kepada

Kepala Bidang. Kepala Bidang

menindaklanjuti hasil kajian/analisis

kepada Kepala Badan dan selajutnya

Kepala Badan menugaskan untuk

membuat surat izin/surat penolakan izin.

Kepala Bidang menugaskan tim teknis

untuk menyampaikan kepada pemohon

pembayaran penerbitan surat izin sesuai

ketentuan berlaku. Kepala Badan

menandatangani surat izin/surat

penolakan izin serta memerintahkan

distribusi surat kepada pemohon. Kepala

Bidang memerintahkan petugas khusus

untuk meregister surat izin/surat

penolakan Izin dan menyerahkan kepada

pemohon (khusus untuk Surat Izin harus

melampirkan bukti pembayaran).

Badan Pelayanan Perizinan Terpadu

Kabupaten Badung telah menyediakan

dan menyebarkan informasi berkaitan

dengan jenis pelayanan dan persyaratan

teknis, mekanisne, penelusuran posisi

Ruang Informasi

Ruang Pengaduan

Toilet yang bersih

Alur Pengurusan Izin dan Non Perizinan

Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Badung

Sumber: http://bppt.badungkab.go.id/hal-mekanisme-izin.html

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

77

dokumen pada setiap proses, biaya dan

waktu perizinan dan non perizinan, serta

tata cara pengaduan, yang dilakukan

secara jelas melalui berbagai media yang

mudah diakses dan diketahui oleh

masyarakat baik melalui web maupun

yang telah terpampang di Gedung.

Saat ini proses perizinan dan non

perizinan di Kabupaten Badung sangat

sederhana, mudah dipahami dan mudah

dilaksanakan oleh masyarakat dengan

mekanisme satu pintu dengan kejelasan

persyaratan teknis dan administratif dan

pejabat terkait telah memberikan

pelayanan dan penyelesaian

keluhan/persoalan/sengketa dengan

menyediakan ruang pengaduan.

Pelaksanaan pelayanan publik dapat

diselesaikan dalam kurun waktu yang

telah ditentukan dengan produk

pelayanan publik diterima dengan benar,

tepat dan sah.

Kelengkapan sarana dan prasarana telah

tersedia dengan peralatan kerja dan

pendukung lainnya yang memadai

termasuk penyediaan sarana teknologi

telekomunikasi dan informatika

(telematika). Kemudahan akses dengan

keberadaan gedung dengan lokasi yang

memadai, mudah dijangkau oleh

masyarakat dan dapat memanfaatkan

teknologi telekomunikasi dan

informatika. Pelayanan pegawai juga

sangat sopan dan santun, ramah, serta

memberikan pelayanan dengan ikhlas.

Selain itu kenyamanan juga terasa di

Web BPPT Kabupaten Badung

Informasi Perizinan yang terpampang di dinding

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

78

gedung tersebut dengan lingkungan

pelayanan harus tertib, teratur, disediakan

ruang tunggu yang nyaman, bersih, rapi,

lingkungan yang indah dan sehat serta

dilengkapi dengan fasilitas pendukung

pelayanan lainnya yang cukup seperti

parkir, toilet, tempat bermain anak dan

lain-lain. Inner Plaza yang berada di

tengah-tengah bagunan lantai 1 (satu)

sebagai sirkulasi udara sehingga

bangunan area loket pelayanan perizinan

dan non perizinan serta loket

pengambilan berkas di lantai 1 tanpa

menggunakan AC.

1.4. Simpulan

1. Badan Pelayanan Perizinan Terpadu

Kabupaten Badung telah memenuhi

persyaratan dan standar ruangan yang

dibutuhkan dalam pedoman

penyelenggaraan pelayanan perizinan

satu pintu yang dikeluarkan oleh

pemerintah

2. Ruangan-ruangan yang disediakan di

Badan Pelayanan Perizinan Terpadu

Kabupaten Badung saat ini telah

meningkatkan kualitas layanan publik

dan memberikan akses yang lebih

luas kepada masyarakat

1.5. Daftar Pustaka

Keputusan Menteri Pendayagunaan

Aparatur Negara Nomor 63 Tahun

2003 tentang Pedoman Umum

Penyelenggaraan Pelayanan Publik

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah

(LKjIP) Badan Pelayanan Perizinan

Terpadu kabupaten Badung, 2015

Isnalita & Wiwik Supratiwi, Model

Pelayanan Investasi Terpadu Satu

Pintu, Jurnal Akuntansi Keperilakuan

Indonesia, Program Studi Magister

Akuntansi Pasca Sarjana UPN

Veteran, 2011

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 24

Tahun 2006 tentang Pedoman

Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu

Satu Pintu

Ratminto & Winarsih. 2005. Manajemen

Pelayanan, Jogjakarta: Pustaka

Belajar.

Peraturan Presiden Republik Indonesia

Nomor 97 Tahun 2014 Tentang

Penyelenggraan Pelayanan terpadu

Satu pintu

Peraturan Bupati Badung Nomor 32

Tahun 2013, tentang Pendelegasian

Wewenang Pelayanan Perizinan dan

Non Perizinan Kepada Kepala Badan

Pelayanan Perizinan terpadu,

Kabupaten Badung

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009

tentang Pelayanan Publik

Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah

Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007

tentang Penanaman Modal

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

79

Relasi antara Elemen Dekoratif Interior Berbasis Kain Tenun

Gringsing Bali dengan Pengguna Fasilitas Relaksasi

(Studi Kasus : Spa House of Mom n Jo Bali)

Putu Surya Triana Dewi

1, Pribadi Widodo

2, & Achmad Haldani

3

1Dosen Program Studi Desain Interior Sekolah Tinggi Desain Bali, Jalan Tukad Batanghari No. 29,

Denpasar, Bali, Indonesia 2KK Manusia dan Ruang Interior, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung, Jalan

Ganesa No. 10, Bandung 40132, Indonesia. 3KK Kriya dan Tradisi, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung, Jalan Ganesa

No. 10, Bandung 40132, Indonesia.

Email: [email protected]

Abstrak. Bali tersohor akan destinasi wisata spa-nya, namun sayangnya peranan unsur-unsur visual

pembentuk atmosfer ruang spa di Bali belum optimal meningkatkan kondisi relaks pengguna.

Upaya pencapaian relaksasi pada fasilitas spa lebih dititikberatkan pada ‘servis’ dibanding

aspek lainnya. Penelitian ini berupaya mengkolaborasikan unsur tradisi Bali ke dalam interior

spa modern untuk menghasilkan respon positif terhadap pencapaian relaksasi pengguna spa.

Unsur tradisi Bali yang digunakan adalah kain tenun Gringsing Bali yang memiliki motif

dasar tapak dara, simbol keseimbangan alam semesta. Secara mitologi Bali khususnya

Tenganan Pegringsingan, kain Gringsing tersebut dijadikan sebuah reminder bahwa hidup itu

harus seimbang; seperti halnya pesan yang tersirat pada selembar kain Gringsing. Perasaan

relaks tidak akan tercapai apabila tidak terjadi keseimbangan antara kebugaran sukma dan

raga. Hasil eksperimen menunjukkan bahwa ruang treatment spa yang menggunakan elemen

dekoratif Gringsing lebih berhasil meningkatkan perasaan rileks pengguna secara signifikan

dibandingkan ruang treatment spa tanpa elemen dekoratif Gringsing. Sehingga dapat

disimpulkan bahwa elemen interior berbasis kain Gringsing relevan jika diaplikasikan pada

fasilitas relaksasi spa.

Kata kunci: Kain Gringsing, Interior Spa, Relaksasi, Sugestif.

Abstract

Bali was famous for its spa destination, but unfortunately the visual elements of many spa in

Bali has not been optimally improve the user relaxed state. Efforts to achieve relaxation in

the spa facilities more focused on 'services' than other aspects. This research tried to

collaborate on elements of Balinese tradition into a modern spa interior to produce a positive

response of relaxation achievement as well as efforts to prove that traditional artifacts

capable of generating relax feels when applied into spa room. Elements of tradition that is

used is Gringsing textile

which has a basic motif of tapak dara, a symbol of the balance of the universe. In the

mythology of Bali especially Tenganan Pegringsingan, Gringsing textile was used as a

reminder that life must be balanced; as well as between the lines on a piece of Gringsing. A

relaxed state can’t be achieved if there is no balance between body and spirit.The experiment

results showed that the spa room which uses Gringsing as decorative elements more

successful in increasing feelings of relaxation significantly compared to the spa room without

Gringsing elements. It concluded that the interior elements based Gringsing textile relevant

when applied to relaxation facilities.

Keywords: Gringsing Textile, Spa Interior, Relaxation, Suggestive.

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

80

1. PENDAHULUAN

Saat ini spa sudah menjadi gaya hidup

masyarakat kota, salah satu alternatif

untuk kebutuhan relaksasi masa kini. Spa

di Bali telah tumbuh menjadi fasilitas

publik yang banyak diminati masyarakat

konsumen. Di Indonesia, keminatan ini

mayoritas disebabkan oleh ‘servis’ yang

diberikan spa kepada pengguna, bukan

oleh lingkungan fisik ruang interior.

Padahal fasilitas relaksasi haruslah

didukung oleh desain yang bersifat

membantu pemulihan penggunanya;

banyak unsur desain pada interior yang

bisa dimanfaatkan dalam proses

penciptaan ketenangan dan relaksasi [1].

Beranjak dari latar belakang tersebut,

penulis berinisiatif untuk mencoba

memasukkan unsur tradisi ke dalam desain

interior spa modern. Terlebih merujuk

pada penelitian yang telah dilakukan

sebelumnya, Zein [2] mengungkapkan

bahwa karakter ruang spa yang

menggunakan artefak tradisional sebagai

elemen pembentuk ruang lebih berhasil

meningkatkan daya relaksasi.

Kain Gringsing Bali, sebagai salah satu

artefak tradisional, menurut keyakinan

mitologis masyarakat Bali, khususnya Bali

Tenganan, diyakini memiliki spirit

keseimbangan. Gringsing merupakan kain

tenun ikat tradisional dari Desa Tenganan

Pegringsingan, Karangasem, Bali. Kata

Gringsing berasal dari gering yang berarti

'sakit' dan sing yang berarti 'tidak',

sehingga bila digabungkan menjadi 'tidak

sakit', atau singkatnya sebagai penolak

bala. Kain Gringsing dibuat melalui teknik

dobel ikat dan menggunakan bahan-bahan

serta pewarna dari alam. Menelusuri lebih

jauh bagaimana persepsi masyarakat

Tenganan Pegringsingan terhadap kain

Gringsing, ternyata kain tradisional ini

tidak hanya dimaknai sebagai penolak bala

secara dangkal, tidak serta merta dipakai

layaknya obat yang efeknya diharapkan

instan. Kain Gringsing memiliki motif

dasar tanda tambah (tapak dara) yang

memiliki makna keseimbangan alam

semesta. Masyarakat Tenganan

Pegringsingan lebih memandang kain

Gringsing ini sebagai reminder yang

mengingatkan masyarakat Tenganan

Pegringsingan untuk menjaga

keseimbangan dalam kehidupannya sehari-

hari agar terhindar dari marabahaya. Hal

ini menguatkan asumsi mengapa kain

Gringsing mampu menciptakan perasaan

relaks yang diharapkan dari sebuah

fasilitas spa dengan filosofi keseimbangan

yang dimilikinya. Perasaan relaks tidak

akan tercapai apabila tidak terjadi

keseimbangan antara kebugaran sukma

dan raga [3].

House of Mom n Jo sebagai studi kasus

merupakan salah satu spa modern di kota

Denpasar. Mom n Jo dipilih dengan

pertimbangan bahwa spa ini merupakan

salah satu private spa modern yang cukup

ramai dikunjungi sehingga efektif untuk

penelitian ini. Jika spa ini baru bisa

menjawab kebutuhan relaksasi secara

lahiriah, maka jalinan filosofi yang

dimiliki motif Gringsing inilah nantinya

diasumsikan menjadi sugestif untuk

menjawab kebutuhan batiniah pengguna.

Penelitian ini bertujuan untuk menerapkan

elemen dekoratif berbasis kain Gringsing

Bali pada interior ruang treatment spa,

sehingga dapat diketahui relasi antara

elemen tersebut dengan pencapaian

relaksasi pengguna. Penelitian ini

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

81

diharapkan memberikan gambaran yang

jelas bagi para praktisi desain dan

masyarakat luas dalam penerapan artefak

tradisi pada interior agar tidak menurunkan

makna filosofis dan prestise yang

terkandung di dalamnya.

2. METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan

kualitatif - kuantitatif dengan metode

eksploratori deskriptif dan eksperimen.

Eksploratori deskriptif dilakukan sebagai

langkah awal untuk menginterpretasi data

dalam rangka menggali lebih dalam makna

filosofis dari motif Gringsing. Langkah

lanjutan berupa tahap eksperimen untuk

menguji apakah hasil generalisasi dan

temuan tahap eksploratori deskriptif

dinyatakan valid dapat mempengaruhi

pengunjung dalam mengambil keputusan.

Tahapan ini dilakukan dengan

mengaplikasikan filosofi dari kain

Gringsing Bali beserta teori-teori

pendukung ke dalam perancangan interior

yang berbasis pada ruang treatment spa

yang dijadikan studi kasus. Hasil

perancangan berupa gambar 2D dan 3D.

Simulasi visual berupa format 3D

digunakan sebagai bahan kuisioner kepada

responden. Lalu kemudian dilanjutkan

pada tahapan membandingkan antara

interior ruang treatment yang dimodifikasi

menggunakan dekoratif Gringsing dengan

interior ruang treatment tanpa dekoratif

Gringsing melalui media kuisioner. Pada

penelitian ini, objek pengukurannya adalah

perasaan rileks yang dialami pengguna

pada masing-masing ruang treatment spa,

sedangkan parameter pengukurannya

adalah indikator perasaan rileks yang

diwakili oleh beberapa kata sifat seperti

nyaman, hangat, betah, sejuk, teduh,

harmonis, tentram, dan menyenangkan.

Pengolahan data menggunakan SPSS jenis

Paired Sample t Test untuk menguji dua

buah sampel berpasangan; sampel dengan

subjek yang sama namun mengalami dua

perlakuan yang berbeda. Tahap analisis

akhir dari penelitian ini untuk mengetahui

relasi antara elemen dekoratif interior

berbasis Gringsing dengan pengguna

ruangan fasilitas relaksasi spa sehingga

diketahui apakah spirit di dalamnya bisa

memberikan respon positif dalam rangka

memenuhi fungsi relaksasi yang

diharapkan.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Bell [4] menyebutkan ada empat macam

stimulus yang memegang peranan penting

dalam mempengaruhi psikologis manusia

akan ruang, yaitu visual, akustik, olfaktori,

dan termal. Beberapa teori membuktikan

bahwa dari berbagai macam stimulus yang

ada, stimulus visual mempunyai

kemampuan paling dominan dalam

menciptakan persepsi seseorang, sehingga

dalam penelitian ini dibatasi pada

eksperimen yang sifatnya visual, meskipun

banyak aspek yang dimiliki sebuah

ruangan spa untuk menciptakan perasaan

rileks selain secara visual.

Gringsing memiliki konsepsi bentuk dasar

Tapak Dara dan menggunakan warna Tri

Dhatu. Tapak Dara merupakan simbol

keseimbangan alam semesta beserta

isinya; simbol penyatuan dwalitas

kehidupan (Rwabhineda – siang malam,

laki-laki perempuan, baik buruk) untuk

mencapai harmonisasi. Keseimbangan

yang dimaksud adalah keseimbangan

secara vertikal (ke atas sebagai lambang

untuk berbakti kepada Tuhan, ke bawah

sebagai wujud kasih sayang pada semua

makhluk) dan horizontal (wujud

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

82

pengabdian yang bersifat timbal balik

kepada sesama umat manusia). Sedangkan

Tri Dhatu adalah sebutan untuk tiga

elemen warna yang dipakai dalam kain

Gringsing, yaitu putih/kuning, merah, dan

hitam yang dibuat melalui pewarnaan

alam. Menurut salah seorang sesepuh

masyarakat Tenganan, Nyoman Sadra [3],

secara makrokosmos putih/kuning

melambangkan oksigen atau udara yang

ada di alam, merah melambangkan panas

atau energi, dan hitam melambangkan air.

Hal yang sama secara mikrokosmos juga

ada dalam tubuh manusia. Jika ketiganya

tidak seimbang, maka alam atau tubuh kita

akan menjadi sakit. Motif Gringsing

terpilih lalu di-tracing ke dalam bentuk 2D

dan 3D dengan mempertahankan warna

dan bentuk aslinya. Selanjutnya diterapkan

sebagai elemen dekoratif dinding pada

ruang treatment spa eksisting yang telah

dievaluasi dalam bentuk wall hanging dan

laser cut wall art panel. Ruang spa

treatment yang dimodifikasi inilah

kemudian diujicobakan pada tahap

eksperimen.

Ada dua stimulus utama pada penelitian

ini, dimana keduanya merupakan stimulus

visual, diantaranya interior ruang spa

treatment single Mom n Jo yang

dimodifikasi dengan elemen interior

berbasis Gringsing (A) dan interior ruang

spa treatment single Mom n Jo yang

dimodifikasi tanpa menggunakan elemen

interior barbasis Gringsing (B). Variasi

pada stimulus ini diharapkan dapat

menghasilkan perbedaan persepsi yang

signifikan pada responden sehingga bisa

dinilai apakah penambahan elemen interior

berbasis Gringsing ini bisa menimbulkan

respon positif atau tidak.

Stimulus (A) Interior ruang spa treatment

single Mom n Jo yang dimodifikasi dengan

elemen dekoratif interior berbasis Gringsing

(data penulis, 2016)

Stimulus (B) Interior ruang spa treatment

single Mom n Jo tanpa elemen dekoratif

interior berbasis Gringsing (data penulis,

2016)

Eksperimen dilakukan dengan

menyebarkan kuisioner online, lalu data

responden diolah menggunakan program

SPSS jenis Paired Sample t Test. Pada

penelitian ini, Paired Sample t Test

mengacu pada hipotesis berikut,

Ho : tidak ada perbedaan persepsi

yang dirasakan pada ruang spa

dengan elemen dekoratif Gringsing

dan ruang spa tanpa elemen

dekoratif Gringsing.

H1 : ada perbedaan persepsi yang

dirasakan pada ruang spa dengan

elemen dekoratif Gringsing dan

ruang spa tanpa elemen dekoratif

Gringsing.

H1 merupakan hipotesis alternatif

yang menunjukkan adanya

perubahan yang signifikan.

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

83

Kriteria Pengambilan Keputusan:

Jika nilai signifikan/ P-Value > 0.05; maka

Ho diterima.

Jika nilai signifikan/ P-Value < 0.05; maka

Ho ditolak, H1 diterima.

Maka dalam penelitian ini, Paired Sample

t-Test ini diujikan pada delapan variabel

indikator rileksasi diantaranya nyaman,

hangat, betah, sejuk, teduh, harmonis,

tentram, dan menyenangkan.

Variabel

Mean

Signifikansi dg Gringsing tanpa Gringsing

Nyaman 3.40 2.60 0.000

Hangat 3.60 2.60 0.000

Betah 3.32 2.36 0.000

Sejuk 3.08 2.24 0.000

Teduh 3.20 2.20 0.000

Harmonis 3.44 2.40 0.000

Tentram 3.36 2.44 0.000

Menyenangkan 3.52 2.32 0.000

Tabulasi Hasil Pengolahan Data SPSS Paired Sample t-Test

(data penulis, 2016)

Berdasarkan hasil analisis uji Paired

Sample t-Test, kedelapan variabel

indikator rileks memiliki nilai signifikansi

0.000 (<0.05) sehingga hipotesis

alternatiflah yang terbukti, bahwa ada

perubahan signifikan yang dirasakan

pengguna.

Jika dilihat dari perbandingan nilai mean

pada tabel di atas, bisa dilihat bahwa ruang

spa dengan dekoratif Gringsing memiliki

skor keseluruhan lebih tinggi daripada

ruang spa tanpa elemen dekoratif

Gringsing. Ruang treatment spa dengan

elemen interior berbasis Gringsing lebih

membuat pengguna merasa nyaman,

hangat, betah, sejuk, teduh, harmonis,

tentram, dan senang. Kelima variabel ini

tentunya berhubungan erat dengan fungsi

relaksasi yang ingin dihadirkan pada

ruangan spa tersebut. Sehingga dengan

demikian, dapat disimpulkan bahwa

ornamen Gringsing menghasilkan dampak

positif terhadap respon rileks pengguna.

Diamati lebih lanjut skor mean variabel

hangat pada ruang spa dengan dekoratif

Gringsing ataupun ruang spa tanpa

dekoratif Gringsing sama-sama menempati

ranking teratas dari kolom skor variabel.

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

84

Hal ini seakan menegaskan bahwa desain

ruang spa modifikasi ini kuat akan kesan

hangat yang ditimbulkan dari penggunaan

warna-warna hangat di dalamnya. Terbukti

bahwa warna menjadi komponen yang

penting dalam menciptakan ambience

ruang.

4. KESIMPULAN

Penelitian ini menghasilkan kesimpulan

sebagai berikut.

1. Penelitian ini membuktikan bahwa

ada perubahan signifikan yang

dirasakan pengguna ketika berada

di dalam ruang treatment spa

dengan elemen dekoratif

Gringsing. Jika dibandingkan

dengan ruang treatment spa tanpa

elemen interior berbasis Gringsing,

ruang treatment spa dengan elemen

interior berbasis Gringsing lebih

membuat pengguna merasa

nyaman, hangat, betah, sejuk,

teduh, harmonis, tentram, dan

senang. Kelima variabel ini

tentunya berhubungan erat dengan

fungsi relaksasi yang ingin

dihadirkan pada ruangan spa

tersebut. Sehingga dengan

demikian, asumsi bahwa ornamen

Gringsing menghasilkan dampak

positif terhadap respon rileks

pengguna terbukti, dan ornamen

Gringsing ini relevan untuk

diaplikasikan pada interior ruang

treatment spa.

2. Kain Gringsing ini berhasil

diimplementasikan pada interior

modern melalui pendekatan desain

yang universal (estetika, bentuk,

warna) dengan mempertahankan

karakteristik asli dan nilai filosofis

yang dimilikinya. Teori-teori

desain tersebut membantu untuk

menyatukan persepsi masyarakat

umum terhadap image ruangan

tersebut. Sedangkan pemahaman

mendalam akan nilai filosofis yang

terkandung di dalamnya menjaga

pemakaian aksen tradisi ini tidak

sebatas elemen estetis yang bersifat

asal tempel dan menghindari

pengaplikasian yang menurunkan

nilai rasa dari Gringsing tersebut.

Sehingga kolaborasi tersebut

memberikan kontribusi yang

signifikan dalam membangun

ambience relaks pada ruang spa.

3. Warna menjadi komponen yang

penting dalam menciptakan

ambience ruang. Desain ruang spa

modifikasi ini kuat akan kesan

hangat yang ditimbulkan dari

penggunaan warna-warna hangat di

dalamnya seperti warna merah,

coklat, dan hitam. Kesan hangat ini

akan mengimbangi efek dingin

yang muncul dari penyatuan zona

basah dan kering dalam satu

ruangan.

Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284

85

DAFTAR PUSTAKA

[1] Azis, Azhar Ridwan. Handoko,

Bagus. (2013): Desain Pencahayaan

Buatan pada Proses Relaksasi

Pengguna Pusat Kebugaran,

Bandung, Jurnal Sarjana FSRD ITB

Vol 2 No 1.

[2] Zein, Anastasha O. Tamara,

Khaerunnisa. (2013): Hubungan

Warna dengan Tingkat Stres

Pengunjung, Bandung, Jurnal

Rekajiva Itenas no. 01 vol 01,

Januari 2013.

[3] Sadra, Nyoman. (2015). Wawancara.

Bali

[4] Bell, Paul A. (1980): Environmental

Psychology, Philadelphia,

WB Saunder Company.