NEW Laporan Suppo Kel 6
-
Upload
gledys-tham-puti -
Category
Documents
-
view
356 -
download
24
Transcript of NEW Laporan Suppo Kel 6
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Di era globalisasi saat ini tentunya perkembangan ilmu semakin
berkembang bahkan sudah mulai ke arah yang lebih maju, baik dari segi
ilmu pendidikan maupun teknologinya. Salah satunya adalah perkembangan
ilmu dan teknologi farmasi yang dapat dikatakan sudah maju. Dimana, para
farmasis saat ini sedang berlomba-lomba dalam menciptakan dan
menerapkan ilmu yang telah diperoleh untuk membuat formula-formula
sediaan farmasi yang baru seperti sediaan obat dan kosmetik dalam bentuk
yang bervariasi sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang berbeda-beda
untuk memberikan rasa kepuasan kepada masyarakat.
Tidak hanya seorang apoteker saja tetapi seorang mahasiswa farmasi
juga turut ikut andil dalam merancang dan menciptakan formula. Dalam hal
ini, mahasiswa farmasi diharuskan belajar mengenai “Teknologi Sediaan
Padat” untuk merancang dan menciptakan formula dari berbagai bentuk
sediaan sesuai dengan ketentuan yang ada.
Teknologi sediaan farmasi ini merupakan suatu sarana yang diberikan
kepada mahasiswa farmasi untuk dapat mempelajari cara merancang dan
menciptakan formula-formula baru dari sediaan obat. Sediaan obat
tersebut diformulasikan dengan baik dan menarik yang efektif dalam
pemakaian dan mengandung zat obat dengan dosis tertentu yang mampu
memberikan efek terapeutik untuk menyembuhkan dengan tokisistas
yang relatif kecil dan juga memiliki keuntungan bagi konsumen dalam hal
1
ini adalah pasien. Salah satu contoh formulasi sediaan yang beredar
dipasaran saat ini adalah sediaan Suppositoria.
Suppositoria merupakan suatu bentuk sediaan padat yang
pemakaiannya dengan cara memasukkan melalui lubang, atau celah pada
tubuh, dimana sediaan ini akan melebur, melunak atau melarut dan
memberikan efek lokal atau sistemik. Formulasi sediaan suppositoria yang
akan dibuat dalam percobaan ini adalah suppositoria rektal yang umumnya
berbentuk seperti torpedo dengan bobot dan ukuran tertentu yang telah
ditetapkan (Ansel, 676).
Khususnya dalam percobaan suppositoria ini zat aktif yang digunakan
adalah “Asam Asetil Salisilat” yang merupakan obat anti-nyeri tertua yang
sampai kini paling banyak digunakan di seluruh dunia. Asam Asetil Salisilat
yang dirancang dalam bentuk suppositoria ini sedikitnya dapat mengurangi
efek samping yang paling sering berupa iritasi mukosa lambung dengan
resiko tukak lambung dan perdarahan samar (occult) dibandingkan dengan
pemberian Asam Asetil Salisilat dalam bentuk oral (Tjay, H.T., 316)
I.2 Maksud dan Tujuan Percobaan
I.2.1 Maksud Percobaan
Adapun maksud dalam percobaan ini adalah agar mahasiswa dapat
mengetahui dan memahami cara memformulasi dan pembuatan Suppositoria
Aspirin (Asam Asetil Salisilat) disertai dengan evaluasinya.
2
I.2.2 Tujuan Percobaan
Adapun tujuan dalam percobaan ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk menentukan metode pembuatan yang cocok untuk supositoria
Aspirin (Asam Asetil Salisilat).
2. Untuk mengamati uji supositoria Aspirin (Asam Asetil Salisilat) melalui
uji homogenitas atau penampilan, uji kisaran leleh, uji waktu lunak dan
uji kehancuran.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Teori Umum
II.1.1 Pengertian Suppositoria
Suppositoria adalah sediaan padat dalam berbagai bobot dan
bentuk, yang diberikan melalui rektal, vagina atau uretra. Umumnya
meleleh, melunak atau melarut pada suhu tubuh. Suppositoria dapat
bertindak sebagai pelindung jaringan setempat, sebagai pembawa zat
terapetik yang bersifat lokal atau sistematik. Bahan dasar suppositoria
yang umum digunakan adalah lemak coklat, gelatin tergliserinasi, minyak
nabati terhidrogenasi, campuran polietilen glikol berbagai bobot molekul
dan ester asam lemak polietilen glikol (FI IV, 6).
Umumnya, supositoria rectum panjangnya ± 32 mm (1,5 inci),
berbentuk silinder dan kedua ujungnya tajam. Beberapa supositoria untuk
rectum diantaranya ada yang berbentuk seperti peluru, torpedo atau jari-
jari kecil tergantung kepada bobot jenis bahan obat dan habis yang
digunakan, beratnya pun berbeda-beda. USP menetapkan berat supositoria
2 gram untuk orang dewasa apabila oleum cacao yang digunakan sebagai
basis. Sedangkan supositoria untuk bayi dan anak-anak, ukuran dan
beratnya ½ dari ukuran dan berat untuk orang dewasa, bentuknya kira-kira
seperti pensil. Keuntungan bentuk torpedo adalah bila bagian yang besar
masuk melalui otot penutup dubur, maka suppositoria akan tertarik masuk
dengan sendiri. Supositoria untuk vagina yang juga
disebut pessarium biasanya berbentuk bola lonjong atau seperti kerucut,
4
sesuai dengan kompendik resmi beratnya 5 gram, apabila basisnya oleum
cacao. Supositoria untuk saluran urin yang juga disebut bougie bentuknya
ramping seperti pensil, gunanya untuk dimasukkan ke dalam saluran urin
pria atau wanita. Supositoria saluran urin pria bergaris tengah 3-6 mm
dengan panjang ± 140 mm, walaupun ukuran ini masih bervariasi satu
dengan lainnya. Apabila basisnya dari oleum cacao maka beratnya ± 4
gram. Supositoria untuk saluran urin wanita panjang dan beratnya ½ dari
ukuran untuk pria, panjang ± 70 mm dan beratnya 2 gram dan basisnya
oleum cacao (Ansel, 576-577 ).
Gambar 1. Bentuk suppositoria
II.1.2 Keuntungan Dan Kerugian
Keuntungan Suppositoria
(Fastrack, 157-158) :
1. Bentuk sediaan rektal mungkin bertujuan untuk memberikan
efek lokal dalam pengobatan injeksi dan peradangan, misalnya
wasir.
5
2. Bentuk sediaan rektal untuk digunakan pada sembelit dan luka
pada usus sebelum operasi.
3. Bentuk sediaan rektal digunakan untuk memberikan efek
sistemik, dimana penyerapan obatnya untuk oral dapat
mengiritasi lambung, sehingga dibuat dalam bentuk sediaan
rektal.
4. Dapat digunakan oleh pasien yang tidak sadar dan mudah
muntah.
5. Dibuat bentuk sediaan rektal karena ada obat yang rentan
terhadap degradasi di perut, obat yang tidak terlarut diserap
dalam saluran pencernaan.
6. Obat (agen terapeutik) tidak langsung masuk ke dalam hati.
(Ansel, 578) :
1. Obat yang masuk dibuat tidak aktif oleh PH aktivitas enzim
dalam lambung atau perlu dibawa untuk masuk ke dalam
lingkungan merusak ini.
2. Obat yang merangsang lambung langsung dapat dibiarkan
tanpa menimbulkan perangsangan.
3. Obat yang rusak dalam portal dapat melewati hati setelah
diabsorbsi pada rektum.
4. Cara ini lebih sesuai digunakan oleh pasien dewasa dan anak-
anak yang tidak dapat atau tidak mau menelan obat.
5. Merupakan cara yang efektif dalam perawatan pasien yang
sukar muntah.
6
Kerugian Suppositoria
(Fastrack, 158) :
1. Dinegara-negara tertentu, terutama Amerika Serikat dan Inggris
bentuk sediaan rektal umumnya tidak populer.
2. Terdapatnya feses dalam rektum sangat mempengaruhi tingkat
penyerapan obat.
3. Diindustri pembuatan suppositoria lebih sulit dibandingkan
bentuk sediaan umum lainnya.
(Ansel, 578) :
Dosis obat yang digunakan melalui rektum mungkin lebih
besar atau lebih kecil daripada yang dipakai secara oral tergantung
pada faktor-faktor ke dalam tubuh pasien. Sifat fisika-kimia obat dari
kemampuan obat dalam melewati penghalang fisiologis, untuk
diabsorbsi dan sifat basis suppositoria yang dimaksudkan untuk
obat-obat sistemik dan lokal umumnya terjadi dengan bentuk/waktu
setengah jam sampai sedikit 4 jam.
II.1.3 Tujuan Penggunaan Suppositoria
Obat-obat dapat diberikan dalam bentuk suppositoria, baik untuk efek
lokal maupun untuk efek sistemik. Aksi tersebut tergantung pada sifat
obat, konsentrasinya, dan laju absorpsi. Emolien, astringen, zat antibakteri,
hormon, steroid, dan anestetik lokal diberikan dalam bentuk suppositoria
untuk mengobati keadaan lokal vagina, rektum, atau uretra. Maksud dari
pemberian suppositoria rektal adalah untuk pengobatan konstipasi dan
wasir. Selain itu suppositoria rektal juga diberikan untuk efek sistemik.
7
Berbagai macam obat digunakan, misalnya analgesik, antispasmodik,
sedatif, obat penenang, dan zat antibakteri (Lachman III, 1148).
Suppositoria rektal juga digunakan untuk efek sistemik dalam kondisi
dimana pemberian obat secara oral tidak akan ditahan atau diabsorbsi
secara tepat ; seperti pada keadaan mual yang hebat dan muntah atau pada
Paralitis ileus (Lachman III, 1148).
II.1.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi absorpsi obat suppositoria
(Ansel, 579) :
Faktor Fisiologi
Rectum manusia panjangnya ± 15 – 30 cm. Pada waktu kosong, rectum
hanya berisi 2 – 3 ml cairan mukosa yang inert. Dalam keaadan
istirahat, rectum tidak ada gerakan vili dan microvili pada mukosa
rectum. Akan tetapi terdapat vaskularisasi adsorbsi obat dan rectum
adalah kandungan kolon, jalur sirkulasi dan pH serta tidak adanya
kemampuan mendapat cairan rectum.
a. Kandungan Kolon
Apabila diinginkan efek sistemik dari suppositoria yang
mengandung obat absorbsi yang lebih besar, lebih banyak terjadi
pada rectum yang kosong dan rectum yang dikembungkan oleh
fases ternyata obat lebih mengabsorbsi dimana tidak ada fases.
b. Jalur Sirkulasi
Obat yang diabsorbsi melalui rectum tidak seperti obat yang
diabsorbsi setelah pemberian secara oral. Tidak melalui sirkulasi
8
porta, sewaktu didalam perjalanan sirkulasi yang lazim. Dalam hal
ini obat dimungkinkan dihancurkan didalam hati.
c. pH
Tidak adanya kemampuan mendapat dari cairan rektum karena
cairan rectum pada dasarnya pada pH 7 – 8 dan kemampuan
mendapat tidak ada, maka bentuk obat yang digunakan lazimnya
secara kimia tidak berubah oleh lingkungan rectum.
Faktor Fisika – Kimia
a. Kelarutan lemak – air
Suatu obat lifofil yang terdapat dalam suatu basis. Suppositoria
berlemak dengan konsistensi rendah memiliki kecenderungan yang
kurang untuk melepaskan diri dari kedalam cairan sekelilingnya.
Dibandingkan jika tidak ada bahan hidrofilik pada bahan/basis
berlemak dalam batas-batas untuk mendekati jenuhnya.
b. Ukuran Partikel
Semakin kecil ukuran partikel, semakin mudah larut dan lebih besar
kemungkinan untuk lebih cepat diabsorbsi.
c. Sifat basis
Basis harus mampu mencair, melunak atau melarut supaya
pelepasan kandungan obatnya untuk diabsorbsi. Apabila terjadi
interaksi antara basis dengan lelehan lepas, maka adsorbsi akan
terganggu atau malah dicegah.
9
II.1.5 Efek Terapeutis
Efek sistemik
Untuk efek sistemik, membran mukosa rektum dan vagina
memungkinkan absorbsi dan kebanyakan obat yang dapat larut
walaupun rektum sering digunakan sebagai tempat absorbsi secara
sistemik, vagina tidak sering digunakan untuk tujuan ini. Untuk
mendapatkan efek sistemik, atau pemakaian melalui rektum mempunyai
beberapa kelebihan dari pada pemakian secara oral, yaitu(Ansel, 576) :
1. Obat yang rusak atau tidak dibuat tidak aktif oleh pH atau aktifitas
enzim dan lambung.
2. Obat yang merangsang lambung dapat diberikan tanpa
menimbulkan rangsangan.
3. Merupakan cara yang efektif dalam perawatan pasien yang suka
muntah, dan lain sebagainya.
Efek Lokal
Begitu dimasukkan, basis suppositoria meleleh, melunak atau
melarut menyebarkan bahan obat yang dibawahnya kejaringan-jaringan
didaerah tersebut obat ini bisa dimaksudkan untuk ditahan dalam ruang
tersebut untuk efek kerja lokal atau bisa juga dimaksudkan agar
diabsorbsi untuk mendapatkan efek sistemik. Suppositoria rektal
dimaksudkan untuk kerja lokal dan paling sering digunakaan untuk
menghilangkan konstipasi dan rasa sakit, iritasi rasa gatal dan radang
sehubungan dengan wasir atau kondisi anarektal lainnya. Suppositoria
vagina yang dimaksudkan untuk efek lokal, digunakan terutama sebagai
10
antiseptik pada higiene wanita dan sebagai zat khusus untuk memerangi
dan menyerang penyebab penyakit (Ansel, 576).
II.1.6 Syarat-Syarat Basis Yang Ideal
Basis suppositoria yang ideal di uraikan sebagai berikut (Lachman III,
1168) :
1. Telah mencapai kesetimbangan kristalivitas dimana komponen
mencair dalam temperatur rectum (36°C),tetapi basis dengan
kisaran leleh lebih tinggi dapat digunakan untuk campuran
eutektikum, penambahan minyak-minyak, balsam-balsam, serta
suppositoria yang digunakan pada iklim tropis.
2. Tidak toksik dan tidak mengiritasi jaringan yang peka dan
meradang.
3. Dapat bercampur dengan berbagai jenis obat.
4. Basis suppositoria tersebut tidak mempunyai bentuk meta stabil
(tidak berubah bentuk dalam keadaan semula pada saat pelelehan).
5. Basis suppositoria tersebut menyusut secukupnya pada
pendinginan, sehingga dapat dilepaskan dari cetakan tanpa
menggunakan pelumas cetakan.
6. Basis suppositoria mempunyai sifat membasahi dan mengemulsi.
7. Basis suppositoria tidak merangsang.
8. Angka air tinggi maksudnya persentase air yang tinggi dapat
dimaksudkan kedalamnya.
9. Stabil pada penyimpanan maksudnya warna, bau dan pola
pelepasan obat tidak berubah.
11
10. Dapat dibuat suppositoria dengan tangan, mesin, kompresi, atau
ekstrusi.
11. Angka asam dibawah 0,2.
12. Angka penyabunan berkisar dari 200 sampai 245.
13. Angka iod kurang dari 7.
14. Interval antara titik leleh dan titik memadat kecil atau kurva SFI-
nya tajam.
Basis suppositoria yang ideal menurut (Scoville’S, 370-371) :
Dari segi pandang pada formulasi basis suppositoria ideal
seharusnya : stabil, mudah dalam penuangan, menjadi keras pada
pendinginan dengan cepat, tidak membutuhkan lubrikan pencetakan,
mempunyai penampilan yang baik, cocok dengan semua obat. Dari
sudut pandang dari absorbsi obat pada basis seharusnya netral dalam
reaksi, tidak mengiritasi, kehadiran dari obat dalam mengabsorbsi
bentuk sangat mudah, melunak sempurna atau larut pada suhu tubuh di
dalam rektum.
II.1.7 Macam-macam Basis Suppositoria
(Ansel, 582 – 589) :
1. Basis berminyak atau berlemak
Basis berlemak merupakan basis yang paling banyak dipakai, karena
pada dasarnya oleum cacao termasuk kelompok ini, utama dan
kelompok ketiga merupakan golongan basis-basis lainnya. Diantara
bahan berminyak atau berlemak lainnya yang biasa digunakan sebagai
basis Suppositoria. Macam-macam asam lemak yang dihidrogenesis
12
dari minyak nabati seperti minyak palem dan minyak biji kapas, juga
kumpulan basis lemak yang mengandung gabungan minyak gliserin dan
asam lemak dengan berat molekul tinggi, seperti asam palmitat dan
asam stearat, mungkin ditemukan dalam basis Suppositoria berlemak.
Campuran yang dimikian seperti gliserol dan monostearat merupakan
contoh dari kelompok ini.
2. Basis yang larut dalam air dan basis yang bercampur dengan air.
Merupakan kumpulan yang penting dari kelompok ini adalah gelatin
dan gliserin dan basis polietilen glikol. Basis gelatin gliserin paling
sering digunakan dalam pembuatan Suppositoria vagina dimana
memang diharapkan efek setempat yang cukup lama dari unsur
obatnya.
3. Basis lainnya dalam kelompok basis ini termasuk campuran bahan
bersifat seperti lemak yang larut dalam air atau bercampur dengan air,
bahan-bahan ini mungkin membentuk zat kimia atau campuraan fisika.
Beberapa diantaranya berbentuk emulsi, umumnya dan tipe air dalam
minyak atau mungkin dapat menyebar dalam cairan berair. Salah satu
dari bahan ini adalah polioksil 40 stearat adalah suatu zat aktif pada
permukaan digunakan dalam sejumlah basis Suppositoria dalam
perdagangan.
II.1.8 Metode Pembuatan Suppositoria
13
Empat metode digunakan dalam membuat suppositoria, yakni mencetak
dengan tangan, kompresi, mencetak tuang, dan mesin pencetak otomatis
(Lachman III, 1179-1180) :
1. Metode dengan Tangan
Metode pembuatan suppositoria yang paling sederhana dan yang paling
tua adalah dengan tangan. Yakni dengan menggulung basis suppositoria
yang telah dicampur homogen dan mengandung zat aktif menjadi bentuk
yang dikehendaki. Mula-mula basis diiris, kemudian diaduk dengan
bahan aktif dengan menggunakan atau dilarutkan dengan air, atau
kadang-kadang dicampur atau dengan sedikit lemak bulu domba untuk
mempermudah penyatuan basis suppositoria. Kemudian massa digulung
menjadi satu barang silinder dengan garis tengah dan panjang yang
dikehendaki atau menjadi bola-bola vaginal sesuai dengan berat yang
diinginkan. Batang silinder dipotong menjadi beberapa bagian kemudian
salah satu ujungnya diruncingkan.
2. Mencetak kompressi
Suppositoria yang lebih seragam dengan cara farmasetik dapat dibuat
dengan mengkompressi larutan massa dingin menjadi suatu bentuk yang
dikehendaki, suatu roda tangan berputar menekan suatu bistor pada
massa suppositoria yang diisikan dalam silinder sehingga massa
terdorong masuk ke dalam cetakan.
3. Metode cetak tuang
14
Metode yang paling umum digunakan pada suppositoria skala kecil dan
skala besar adalah pencetakan. Pertama-tama bahan basis diletakkan
sebaiknya di atas penangas air atau penangas uap untuk menghindari
pemanasan setempat yang berlebihan. Kemudian bahan-bahan aktif
diemulsikan atau disuspensikan ke dalamnya.
4. Metode Pencetak Otomatis
Pelaksanaan pencetakan (penanganan, pendinginan) dan pemindahan
dapat dilakukan dengan mesin. Seluruh pengisian, pengeluaran dan
pembersihan cetak semua dijalankan secara otomatis. Pertama-tama
massa yang telah disiapkan diisikan ke dalam suatu corong pengisi
dimana massa tersebut secara kontinyu dicampur dan dijaga pada
temperatur konstan.
II.1.9 Masalah-Masalah Pembuatan Suppositoria
(Lachman III, 1186-1191) :
1. Air dalam suppositoria
Penggunaan air sebagai pelarut untuk mencampurkan zat-zat dalam
basis suppositoria harus dihindari untuk alasan berikut :
a. Air mempercepat oksidasi lemak.
b. Jika air menguap, zat-zat yang terlarut akan membentuk kristal-
kristal.
c. Kecuali kalau air berada dalam jumlah lebih tinggi dari yang
dibutuhkan untuk melarutkan obat, air mempunyai nilai kecil
dalam membantu absorpsi obat.
15
d. Reaksi antara bahan-bahan yang terdapat dalam suppositoria
tampaknya lebih sering terjadi dengan air.
e. Pemasukan air atau zat-zat lain yang dapat dikontaminasi oleh
pertumbuhan bakteri dan fungi memerlukan tambahan bahan-bahan
bakteriostatik seperti paraben.
2. Higroskopis
Suppositoria gelatin yang mengandung gliserin kehilangan lembab oleh
penguapan dalam iklim kering dan mengabsorbsi lembab dalam kondisi
kelembapan yang tinggi.
3. Ketidaktercampurkan
Basis-basis polietilen glikol ternyata tidak dapat bercampur dengan
garam-garam perak, asam tanat, aminopirin, kinin, ichtammol, aspirin,
benzokain, iodoklorhidroksikin, dan sulfonamida. Sebagian besar bahan
kimia mempunyai kecenderungan mengkristal dari polietilen glikol,
misalnya barbital natrium, asam salisilat,dan camphore.
4. Viskositas
Viskositas massa suppositoria yang mencair adalah penting dalam
pembuatan suppositoria dan perilakunya dalam rektum setelah mencair.
Minyak cokelat cair dan beberapa penggantinya mempunyai viskositas
rendah, sedangkan basis tipe gelatin yang mengandung gliserin dan tipe
polietilen glikol mempunyai viskositas yang jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan viskositas minyak cokelat.
5. Kerapuhan
16
Suppositoria yang dibuat dari minyak cokelat sangat elastik dan tidak
mudah pecah. Basa-basa lemak sintetis dengan derajat hidrogenasi
yang tinggi pada temperatur kamar, biasanya lebih rapuh.
6. Kerapatan
Untuk menghitung jumlah obat tiap suppositoria, kerapatan basis
tersebut harus diketahui. Volume ruang cetakan ditetapkan, sehingga
berat masing-masing suppositoria tergantung pada kerapatan massa.
7. Penyusutan volume
Fenomena ini terjadi dalam sebagian besar basis suppositoria cair
setelah didinginkan dalam cetakan.
8. Pelumas atau zat penglepas dari cetakan
Minyak cokelat melengket pada cetakan suppositoria karena volume
penyusutannya rendah. Suppositoria ini sukar dilepaskan dari cetakan,
sehingga berbagai pelumas cetakan atau zat-zat penglepas dari cetakan
harus digunakan untuk menanggulangi kesulitan ini.
9. Faktor penggantian dosis
Jumlah basis yang diganti oleh bahan-bahan aktif dalam formulasi
suppositoria dapat dihitung. Faktor pengganti, f, diturunkan dari
persamaan berikut :
f =100(E−G)
(G )(X )+1
Dimana : E = bobot basis suppositoria
G = bobot suppositoria dengan bahan aktif X%
17
10. Pengawasan bobot dan volume
Farmakope jerman dan rusia menyatakan variasi bobot masing-masing
suppositoria rektal adalah ±5% dari bobot rata-ratanya.
11. Ketengikan dan antioksidan
Ketengikan disebabkan oleh autooksidasi dan penguraian berturut-turut
dari lemak tidak jenuh menjadi aldehid jenuh dan tidak jenuh dengan
bobot molekul kecil sampai pertengahan (C3-C11), berbagai keton dan
asam, yang mempunyai bau kuat dan tidak menyenangkan.
II.1.10 Evaluasi Suppositoria
(Lachman III, 1191-1194) :
1. Uji Kisaran Leleh
Uji ini disebut juga uji kisaran meleleh makro dan uji merupakan salah
satu ukuran waktu yang diperlukan suppositoria untuk meleleh
sempurna bila dicelupkan dalam penangas air dengan temperatur tetap
(37°C). Sebaliknya uji kisaran meleleh mikro adalah kisaran leleh yang
diukur dalam pipa kapiler hanya untuk basis lemak. Alat yang biasa
digunakan untuk mengukur kisaran leleh sempurna dari suppositoria
adalah alat disentegrasi tablet USP. Suppositoria dicelupkan seluruhnya
dalam penangas air yang konstan, dan waktu yang diperlukan
suppositoria untuk meleleh sempurna atau menyebar dalam air
sekitarnya diukur.
2. Uji Pencairan atau uji waktu melunak dari suppositoria rektal
suatu modifikasi yang dikembangkan oleh Krowezyasku adalah uji
suppositoria akhir lain yang berguna. Uji tersebut terdiri dari pipa U
18
yang sebagian dicelupkan kedalam penangas air yang bertemperatur
konstan. Penyempitan pada satu menahan suppositoria tersebut pada
tempatnya dalam pipa. Sebuah batangan dari kaca ditempatkan di
bagian atas suppositoria, dan waktu yang diperlukan batangan untuk
melewati suppositoria sampai penyempitan tersebut dicatat sebagai
waktu melunak.
3. Uji Kehancuran
Berbagai larutan sudah diuraikan untuk memecahkan masalah
kerapuhan suppositoria. Uji kehancuran dirancang sebagai metode
untuk mengukur keregasan atau kerapuhan suppositoria. Alat yang
digunakan untuk uji tersebut terdiri dari suatu ruang berbanding
rangkap dimana suppositoria yang diuji ditempatkan. Air pada suhu
37°C dipompa melalui dinding rangkap ruang tersebut. Dan
suppositoria diisikan ke dalam dinding dalam yang kering, menopang
lempeng dimana suatu batang diletakkan.
4. Uji Disolusi
Pengujian laju pelepasan zat obat dari suppositoria secara invitro selalu
mengalami kesulitan karena adanya pelelehan. Perubahan bentuk dan
depresi dari medium disolusi. Pengujian awal dilakukan dengan
penetapan biasa dalam gelas piala yang mengandung suatu medium.
II.2 Formula
I. FORMULASI
ASAM ASETIL SALISILAT SUPOSITORIA REKTAL
19
II. RANCANGAN FORMULA
Tiap 3 gr suppositoria mengandung :
Asam Asetil Salisilat 450 mg
Alfa Tokoferol 0,05 %
Cera Alba 4 %
Oleum Cacao q.s
III. MASTER FORMULA
Nama Produk : Cetariarin®
Jumlah Produk : 10 Supositoria
Tanggal formula : 18 – 4 - 2013
Tanggal Produksi : 2 – 5 - 2013
Expired Date : 2 – 5 – 2014
NO. Registrasi : DKL 13 077 030 25 A1
NO. Batch : D3 25 030
No.Reg : DKL 13 077 030 25 A1
No.Batch : D3 25 047
PT. CLASSEDUO FARMA
Tanggal Formula
18 – 4 – 2013
Tanggal Produksi
2 – 5 – 2013
Jumlah Produksi
10 Suppositoria
No Kode BahanNama
Bahan
Fungsi
Bahan
Tiap
Suppositoria
Tiap
Batch
1 ASPAsam asetil
salililatZat Aktif 4,5 gr 3,15 g
2 ATF Alfa Antioksidan 0,0002 g 0,00165
20
Tokoferol g
3 CA Cera albaStiffening
Agent0,04 g 1,32 g
4 OLCOleum
CacaoBasis 0,04 g 0,8 g
II.3 Alasan penambahan
II.3.1 Asam asetil salisilat
Asam asetil salisilat merupakan golongan obat antiinflamasi nonsteroid
yang berkhasiat sebagai analgesik dan antipiretik. Dimana senyawa ini
memiliki efek samping terhadap saluran cerna antara lain iritasi
lambung, mual, dan muntah, untuk menghindari efek samping tersebut
dapat diatasi dengan memformulasikan asam asetil salisilat dalam
bentuk sediaan suppositoria. Penggunaan suppositoria mempunyai
keuntungan dibandingkan dengan sediaan oral, salah satunya yakni
tidak mengiritasi lambung, tidak menyebabkan rasa tidak enak (mual)
(Tjay, 607 ; Ansel, 578).
Aspirin dan beberapa obat antiinflamasi lainnya banyak digunakan
dalam bentuk suppositoria untuk meningkatkan bioavaibilitas. (Ravi,
2013).
Sebagian besar obat dalam sediaan oral akan diubah oleh hati secara
kimi sehingga keefektifan sistemiknya seringkali berkurang. Sebaliknya
sebagian besar obat yang sama dapat diabsorpsi dari daerah anorektal
dan nilai terapetiknya masih dipertahankan (Lachman III, 1149)
21
Dosis aspirin dalam bentuk suppositoria yaitu 450-900 mg setiap 4 jam
(Martindale36th, 23).
II.3.2 Oleum cacao
Minyak cokelat merupakan basis suppositoria yang paling banyak
digunakan. Sebagian besar sifat minyak cokelat memenuhi persyaratan
basis ideal karena tidak berbahaya (Lachman III, 1168).
Oleum cacao merupakan basis yang paling baik, disebabkan oleh aksi
emolien, penyejuk, dan penyebarannya (Ansel, 581).
Minyak cokelat tidak diresorpsi dalm rektum. Minyak cokelat akan
membentuk perusakan lemak dalam usus tidak terjadi (Voight, 285).
Lemak cokelat bersifat netral secara kimia dan fisiologi serta banyak
digunakan. Titik lebur dari minyak cokelat yaitu 31o-34oC (Voight,
281).
II.3.3 Cera alba
Cera alba digunakan sebagai bahan pengeras yang dapat dilebur dengan
oleum cacao untuk mengimbangi pengaruh peleburannya dari bahan
yang ditambahkan (Ansel, 583).
Bahan-bahan seperti fenol (termasuk asam asetil salisilat) cenderung
menurunkan titik lebur dari oleum cacao sewaktu bercampur dengan
bahan tersebut. Jika titik lebur menurun sedemikian rupa sehingga tidak
mungkin lagi dijadikan suppositoria yang padat dengan menggunakan
oleum cacao sebagai basis tunggal, maka bahan pengeras (stiffening
agent) seperti malam tawon (cera alba) ± 4% dapat dilebur dengan
oleum cacao untuk mengimbangi pengaruh pelunakkan (Ansel, 583).
22
Obat- obat seperti minyak menguap, kresol, fenol, dan klorol hidrat
sangat menurunkan titik leleh minyak coklat. Untuk memperbaiki
kondisi ini biasanya digunakan malam atau spermaseti (Lachman,
1170).
Konsentrasi cera alba yang digunakan adalah 4%, karena apabila
konsentrasinya kurang dari 4% dapat menurunkan titik leleh oleum
cacao dan apabila konsentrasinya lebih 4% dapat menaikkan titik leleh
diatas suhu tubuh (Widayanti, 3).
II.3.4 Alfa tokoferol
Oleum cacao mempunyai beberapa kelemahan, yaitu dapat menjadi
tengik. Oleh karena itu, dibutuhkan antioksidan yang berfungsi untuk
menghambat autooksidasi dari oleum cacao yang dapat menyebabkan
ketengikan. Contoh oksidasi efektif (antioksidan) salah satunya adalah
alfa tokoferol (Ansel, 119 ; Pharmaceutical excipient booklet, 15).
Alfa tokoferol atau vitamin E merupakan antioksidan larut lemak, yang
cara kerjanya dengan mendonorkan atom hidrogennya untuk berikatan
dengan radikal bebas (Efflonora, 279).
Alfa tokoferol merupakan pelarut yang baik untuk obat yang
kelarutannya rendah, dimana alfa tokoferol dalam formulasi ini untuk
memperbaiki kelautan dari asam asetil salisilat yang sukar larut dalam
air (Excipient6th, 31).
Alfa tokoferol dalam basis lemak biasanya digunakan konsentrasi
0,001-0,05% (Excipient6th, 31).
Konsentrasi alfa tokoferol sebagai anti oksidan yaitu 0,05-0,75%
(Voight, 640).
23
II.4 Uraian Bahan
1. Aspirin (FI IV, 31)
Nama Resmi : Acidum acetylosalicylum
Sinonim : Asam asetil salisilat, asetosal, aspirin, aspilet
RM/BM : C6H804/180,16
Pemerian : Hablur putih, umumnya seperti jarum atau
lempengan tersusun atau serbuk hablur putih,
tidak berbau atau berbau lemah. Stabil diudara
kering, di dalam udara lembab serta bertahap
terhidrolisa menjadi asam salisilat dan asam
asetat.
Kelarutan : Sukar larut dalam air, mudah larut dalam etanol,
larut dalam kloroform dan dalam eter, agak sukar
larut dalam eter mutlak.
Konsentrasi : 450-500 mg
Khasiat : Anti inflamasi non steroid
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat.
2. Alfa tokoferol (FI IV, 796 ; Excipient 6th, 31)
Nama resmi : Tocopherolum
Sinonim : Alfa tokoferol; vitamin E; copherol F1 300 – 3,4
– dihydro-2,5,7, 8– tetramethy l – 2 – (4,8,12-
trimethyltridecyl) –2 H-1- benzopyrun-6-01;
E307; RRR – a – tocopherolum, synthetic alpha
24
tocopherol; an – rac – a – tocopherol; dl – a –
tocopherol; 5,7,8 – trimethyltocol.
Pemerian : Praktis tidak berbau dan tidak berasa. Bentuk alfa
tokoferol dan alfa tokoferol asetat berupa minyak
kental jernih, warna kuning atau kuning
kehijauan. d-alfa tokoferol asetat dapat berbentuk
padat pada suhu dingin. Alfa tokoferol asam
suksinat berupa serbuk warna putih; berbentuk d-
isomer melebur pada suhu lebih kurang 75o dan
bentuk dl- melebur pada suhu lebih kurang 70 o.
Golongan alfa tokoferol tidak stabil terhadap
udara dan cahaya terutama dalam suasana alkalis.
Bentuk ester stabil terhadap udara dan cahaya,
tetapi tidak stabil dalam suasana alkalis. Senyawa
dengan asam suksinat juga tidak stabil bila dalam
bentuk leburan.
Kelarutan : Alfa tokoferol asam suksinat tidak larut dalam
air, sukar larut dalam larutan alkali; larut dalam
etanol, dalam eter, dalam aseton, dan dalam
minyak nabati; sangat mudah larut dalam
kloroform. Bentuk vitamin E lain tidak larut
dalam air; larut dalam etanol; dapat bercampur
dengan eter, dengan aseton, dengan minyak
nabati dan dengan kloroform.
25
Khasiat : Antioksidan
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat, terlindung dari
cahaya. Bentuk d-atau dl- alfa tokoferol
dilindungi dengan gas inert.
Kestabilan : Tokoferol teroksidasi perlahan oleh oksigen dan
cepat teroksidasi oleh garam besi dan perak.
Tokoferol ester lebih stabil untuk oksidasi.
Tokoferol harus disimpan dalam wadah yang
kedap udara, ditempat sejuk dan terlindung dari
cahaya.
Incompatibilities : Tokoferol tidak compatible dengan peroksida dan
ion logam terutama besi, tembaga, dan perak.
Konsentrasi : 0,001-0,05 %
3. Cera alba ( FI IV, 186; Excipient 6th,779)
Nama resmi : Cera alba
Sinonim : Malam putih, wax white, bleached wax, E901,
lilin putih.
Pemerian : Padatan putih kekuningan, sedikit tembus cahaya
dalam keadaan lapisan tipis, bau khas lemah dan
bebeas bau tengik.
Kelarutan : Tidak larut dalam air, agak sukar larut dalam
etanol dingin. Etanol mendidih melarutkan asam
sitrat dan bagian dari merisin yang merupakan
kandungan malam putih. Larut sempurna dan
26
kloroform, dalam eter, dalam minyak lemak dan
minyak atsiri. Sebagian larut dalam benzene
dingin dan dalam karbon disulfide dingin. Pada
suhu lebih kurang 30o larut sempurna dalam
benzene, dan dalam karbon disulfide.
Kegunaan : Sebagai pengeras ( stivening agent )
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik.
Kestabilan : Ketika lilin dipanaskan diatas 1508 o C,
esterivikasi terjadi dengan penurunan akibat nilai
asam elevasi titik leleh. Lilin putih stabil bila
disimpan dalam wadah tertutup baik, terlindung
dari cahaya.
Incompatibilities : Tidak kompatibel dengan oksidator.
Konsentrasi : 4% sebagai bahan pengeras (Steveni agent)
4. Oleum Cacao (FI III, 453; Excipient 6th, 725)
Nama resmi : Oleum cacao
Sinonim : Lemak coklat, cocoa butter, oleum theobronatis
Pemerian : Lemak padat, putih kekuningan, bau khas
aromatic, rasa khas lemak, agak rapuh.
Kelarutan : Sukar larut dalam etanol (95%) p, mudah larut
dalam kloroform p, dalam eter p, dan dalam eter
minyak tanah p.
Kegunaan : Sebagai basis lemak suppositoria
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik.
27
Incompatibilities : Incompatibilitas basis suppositoria tidak
ditemukan dalam setiap literature. Terjadinya
reaksi kimia antara basis lemak dan zat aktifnya
jarang terjadi.
Kestabilan : Pemanasan oleum cacao lebih dari 36o C selama
pembuatan suppositoria dapat mengakibatkan
penurunan kepadatan. Hal ini dapat menyebabkan
kesulitan dalam pembuatan suppositoria.
Konsentrasi : -
BAB III
METODE KERJA
III.1. Alat dan Bahan
III.1.1 Alat
1. Alu (1 buah)
28
2. Alat desintegrasi tablet USP (1 buah)
3. Batang pengaduk (1 buah)
4. Cawan porselin (2 buah)
5. Cutter (1 buah)
6. Lap kasar (1 buah)
7. Lap halus (1 buah)
8. Lemari pendingin (1 buah)
9. Lumpang (1 buah)
10. Neraca analitik (1 buah)
11. Pencetak suppositoria (1 buah)
12. Pipet tetes (1 buah)
13. Pipa U (1 buah)
14. Sendok tanduk (1 buah)
15. Sudip (1 buah)
16. Waterbath(Penangas air) (1 buah)
III.1.2 Bahan yang digunakan
- Bahan formula
1. Asam asetil Salisilat
2. Alfa Tokoferol
3. Cera Alba
4. Oleum Cacao
- Bahan Tambahan
1. Alkohol 70%
2. Aluminium Foil
29
3. Kapas
4. Minyak Jarak
5. Paraffin Cair
III.2 Perhitungan Bahan
Asam asetil salisilat 0,45 g
Alfa Tokoferol 0,05%
Cera Alba 4%
Oleum Cacao q.s
Dibuat sebanyak 10 supositoria
Nilai tukar Aspirin 0,7
- Aspirin 0,45 g = 0,45 X 10 = 4,5 g
Nilai tukar Aspirin = 0,7 X 4,5 = 3,15 g
Bobot supositoria 3 gr= 3 X 10 = 30 g
Ditambahkan 10% = 10
100 x 30 g = 3 g
Jadi bobot supositoria = 30 + 3 g = 33 g
- Cera Alba 4% = 4
100 x 33 g = 1,32 g
- Alfa Tokoferol 0,055 = 0,051000
x 33 g = 0,0165 = 16,5 mg
30
1 mg = 1,49 iu
Alfa tokoferol = 16,5 mg
= 16,5 x 1,499 = 24, 585 iu
24, 585 iu = 16,5 mg
1 Kapsul = 100 iu
1 mg = 1,49 iu
1 kapsul = 1001,49
x 1 mg = 67,11
- Oleum Cacao = 33 – (3,15 + 1,32 + 0,0165)
= 33 – 4,4865
= 28,5135 g
III.3 Cara Kerja
III.3.1 Pembuatan supositoria
1. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan
2. Dibersihkan alat dengan menggunakan alkohol 70%
3. Dikalibrasi cetakan
4. Dilubrikasi cetakan dengan menggunkan paraffin cair secukupnya
5. Digerus Aspirin hingga halus
6. Ditimbang Aspirin yang telah dihaluskan sebanyak 3,15 g, Cera alba
1,32 g, dan Oleum cacao sebanyak 28,5135 g
7. Dikeluarkan Alfa tokoferol dari cangkang kapsul kemudian
dimasukkan ke dalam cawan porselin
31
1 mg = 1,49 iu
Alfa tokoferol = 16,5 mg
= 16,5 x 1,499 = 24, 585 iu
24, 585 iu = 16,5 mg
1 Kapsul = 100 iu
1 mg = 1,49 iu
1 kapsul = 1001,49
x 1 mg = 67,11
x = 16,567,11
x 4 mL = 0,983 mL
1 mL = 20 tetes
= 1mL
20 tetes =
0,983x
x = 0,983 X 20 tetes
= 19,66 = 20 tetes
8. Diencerkan Alfa tokoferol dengan 4 mL minyak jarak
9. Dileburkan terlebih dahulu cera alba dengan menggunakan penangas
air (waterbath) pada suhu 61-65oC
10. Ditambahkan aspirin kemudian diaduk hingga homogen
11. Ditambahkan oleum cacao kemudian diaduk hingga melebur
12. Ditambahkan alfa tokoferol sebanyak 20 tetes kemudian diaduk
hingga homogen
13. Dituang hasil leburan kedalam cetakan yang telah dilubrikasi dengan
paraffin cair
14. Dimasukkan kedalam lemari pendingin dengan suhu 2-8oC selama
kurang lebih 15 menit
15. Dikeluarkan supositoria yang telah terbentuk dari cetakan dengan
menggunakan sudip
16. Dimasukkan ke dalam aluminium foil
17. Dimasukkan ke dalam kemasan supositoria
18. Dimasukkan ke dalam dus yang telah berisi brosur
III.3.2 Uji Supositoria
a. Uji Homogenitas/Penampilan
1. Supositoria yang telah jadi dipotong memanjang dengan menggunakan
cutter
2. Diamati secara visual bagian/sisi dalam dan luar dari masing-masing
supositoria
b. Uji Kisaran Leleh
32
1. Supositoria yang telah jadi dicelupkan kedalam penangas air dengan
suhu 36oC
2. Dicatat waktu yang diperlukan supositoria untuk meleleh dengan
sempurna
c. Uji Waktu Lunak
1. Supositoria yang telah jadi dimasukkan kedalam pipa U yang sebagian
dicelupkan dalam penangas air dengan suhu 37oC
2. Dicatat waktu yang diperlukan supositoria saat batangan melewati
supositoria
d. Uji Kehancuran
1. Supositoria yang telah jadi dimasukkan di bagian bawah ‘perforated
disc’ pada alat desintegrasi
2. Diamati kehancuran supositoria selama 30 menit
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
33
IV.1 Hasil pengamatan
Tabel IV.1 Hasil evaluasi suppositoria rektal asam asetilsalisilat (aspirin).
No Jenis evaluasi Hasil evaluasi
1
2
3
4
Uji Kisaran leleh
Uji Waktu lunak
Uji Penghancuran
Uji Homogenitas penampilan
Tidak meleleh
Tidak melunak
Tidak hancur
Tidak homogen
IV. 2 Pembahasan
Pada praktikum kali ini kami akan melakukan percobaan sediaan
Suppositoria dengan bahan zat aktif Asam asetil salisilat (Aspirin) dan basis yang
akan digunakan, yaitu Minyak Coklat (Oleum cacao). Suppositora ini akan dibuat
dalam bentuk torpedo dengan pemberian melalui rektal yang diharapkan dapat
memberikan efek sistemik. Aspirin termasuk obat golongan analgetik-antipiretik,
aspirin termasuk obat AINS golongan non-selektif. Obat-obat yang dapat
mengiritasi lambung seperti aspirin, lebih baik dibuat dalam bentuk suppositoria
karena sediaan suppositoria ini dapat digunakan dengan tujuan efek sistemiknya.
Dimana jika diberikan dalam bentuk oral penyerapan obatnya dapat menyebabkan
degadrasi lambung (Obat-obat penting, 316) ; (Farmakologi dan terapi, 231).
Oleum cacao digunakan sebagai basis suppositoria, karena oleum cacao
sebagian besar memenuhi basis ideal, disamping itu minyak coklat ini tidak
berbahaya, lunak, dan tidak reaktif, serta meleleh pada temperatur tubuh 36-37˚ C.
(Lachman 3, 1168).
34
Dosis aspirin yang digunakan yaitu dosis 450 mg. Aspirin dalam bentuk
suppositoria yakni 450-900 mg, setiap 4 jam dosis maksimum 3,6 g/sehari
(Martindale, 23).
Dalam pembuataan suppositoria rektal terdiri dari beberapa langkah,
Langkah pertama yaitu menyediakan alat dan bahan. Alat yang digunakan berupa
lumpang, alu, pencetak suppositoria torpedo, cawan porselin, dan waterbath,
sedangkan bahan yang digunakan yaitu Alkohol 70%, Aspirin, α-tokoferol, cera
alba, oleum cacao, minyak jarak dan paraffin cair. Kemudian langkah berikutnya
dibersihkan alat dengan menggunakan alkohol 70%, karena alkohol 70% bersifat
antiseptik. Langkah selanjutnya dikalibrasi dan diolesi cetakan dengan
menggunakan paraffin cair. Tujuan dikalibrasi untuk mengetahui volume dari
pencetak suppositoria sedangkan tujuan pengolesan dengan paraffin untuk
menjaga agar suppositoria tidak melengket pada cetakan. Langkah berikutnya
digerus asam asetil salisilat (Aspirin) dengan menggunakan lumpang dan alu
hingga halus. Penggerusan dengan arah konstan atau arah jarum jam. Kemudian
ditimbang aspirin yang telah dihaluskan sebanyak 0,9 gram, cera alba 0,264 gram,
α-tokoferol 0,0333 gram, dan oleum cacao 5,71 gram.
Langkah selanjutnya, dileburkan cera alba dengan menggunakan penangas
air (Waterbath) dengan suhu 31-34°C. Tujuan digunakan cera alba dikarenakan
jika basis oleum cacao digunakan dalam bentuk tunggal, maka suppositoria lebih
cepat melunak sebelum digunakan, cera alba berfungsi sebagai bahan pengeras
yang dapat dilebur dengan oleum cacao untuk mengimbangi pengaruh pelunakan
dari bahan yang ditambahkan (Ansel,583). Langkah berikutnya ditambahkan
aspirin kemudian diaduk hingga homogen, selanjutnya ditambahkan oleum cacao
35
dan berikutnya lagi ditambahkan α-tokoferol kedalam hasil leburan tersebut.
Penggunaan α-tokoferol ini disebabkan oleh karena salah satu kelemahan dari
basis oleum cacao yang digunakan yaitu cepat teroksidasi sehingga lebih cepat
berbau tengik, dan untuk mengatasinya diberikan anti-oksidan berupa α-tokoferol.
Dimana mekanisme kerja dari α-tokoferol sebagai anti-oksidan yaitu anti-oksidan
bereaksi dengan memberikan salah satu elektron dan dengan mudah atom-atom
hydrogen yang tersedia diterima oleh mudah oleh radikal-radikal bebas dari pada
obat yang dijaga (Ansel, 158).
Selanjutnya dituang hasil leburan kedalam cetakan yang telah diolesi
dengan paraffin cair dan dimasukkan kedalam lemari pendingin dengan suhu
dibawah 30°C. Hal ini berdasarkan teori dalam buku Farmakope Indonesia edisi
IV, bahwa suppositoria dengan bahan dasar lemak coklat harus disimpan dalam
wadah tertutup baik, sebaiknya pada suhu dibawah 30° (suhu kamar terkendali).
Metode pembuatan suppsitoria yang digunakan pada percobaan ini yaitu metode
cetak tuang. Metode cetak tuang digunakan untuk menjamin pembekuan yang
cepat, sehingga lebih mengurangi proses infeksi dari bahan obat (Voight, 285).
Selanjutnya dikeluarkan suppositoria yang telah terbentuk dalam cetakan
dengan menggunakan sudip agar mempermudah dalam pengeluaran suppositoria.
Setelah suppositoria dikeluarkan dari cetakannya maka harus dibungkus atau
dilapisi dengan menggunakan aluminium foil untuk menjaga suhu konstan dari
suppositoria tersebut, dan langkah terakhir dimasukan kedalam kemasan
suppositoria kemudian dimasukan kedalam dus yang telah berisi dengan brosur.
Kemudian suppositoria yang telah jadi dievaluasi yaitu evaluasi uji kisaran
leleh, uji waktu lunak, uji penghancuran dan uji homogenitas penampilan. Uji
36
kisaran leleh, yaitu dimana suppositoria dicelupkan kedalam penangas air dengan
suhu 37°C selama 30 menit dan didapatkan lelehan suppositoria. Kemudian untuk
uji waktu lunak dimana suppositoria dimasukan ke dalam pipa berbentuk U yang
sebagian tercelupkan kedalam pipa U, dan pada waktu 33 menit suppositoria
melunak. Selanjutnya untuk uji penghancuran, suppositoria dimasukan kedalam
alat uji waktu hancur, dan pada menit ke 30 supositoria tidak terlihat hancur dan
memenuhi tidak memenuhi syarat, dan untuk uji homogenitas penampilan dimana
suppositoria dipotong dengan munggunakan cutter (Gillete) secara melintang.
Kemudian diamati, dan terlihat suppositoria tersebut tidak begitu padat, karena
pada bagian tengah suppositoria masih terdapat bagian yang kosong. Hal ini
disebakan karena pada penuangan pada alat cetak terjadi kesalahan.
Berdasarkan hasil evaluasi suppositoria pada percobaan ini ternyata
suppositoria yang telah dibuat masih belum memenuhi syarat. Hal ini dapat dilihat
dari hasil evaluasi uji penghancuran pada yang waktu yang ditentukan yaitu dalam
30 menit suppositoria tidak hancur dan dari uji homogenitas penampilan
suppositoria tidak terlalu padat dimana bagian tengah terdapat bagian yang
kosong. Adapun faktor kesalahan lain yaitu ketidaksengajaan yang dilakukan oleh
praktikkan, antara lain dalam penuangan ke dalam cetakan dan pemilihan basis
serta bahan tambahan lainnya.
BAB V
PENUTUP
37
V.1 Kesimpulan
1. Metode yang cocok digunakan dalam pembuatan supositoria asam
asetil salisilat adalah metode cetak tuang karena bentuk suppositoria
yang akan dibuat yaitu bentuk torpedo, sehingga harus dileburkan dan
dituang kedalam cetakkan.
2. Sesuai hasil pengamatan dari uji supositoria asam asetil salisilat :
- Uji Homogenitas/Penampilan
Bagian luar supositoria asam asetil salisilat menghasilkan
penampilan yang bagus dan bagian dalam suposittoria tidak
memiliki lubang atau celah.
- Uji Kisaran Leleh
Tidak meleleh atau menyebar dalam air sekitanya setalah
dicelupkan seluruhnya dalam penangas air dengan suhu yang
konstan selama 30 menit.
- Uji Waktu Lunak
Tidak dapat melunak selama 30 menit dengan temperatur 37oC.
- Uji kehancuran
Tidak hancur atau tidak larut seluruhnya tetapi hanya sebagian saja
yang hancur atau larut selama 30 menit.
V.2 Saran
Untuk alat-alat laboratorium teknologi sediaan padat lebih
dilengkapi.
38