NEW FARMAKOTERAPI TERAPAN.docx

29
FARMAKOTERAPI TERAPAN Analisis Mekanisme Kerja Kombinasi Obat Tuberkulosis (TBC) Oleh : Kelas A Abdul Rachman Cholik, S.Farm (2013001165) Ade Wijayanti, S.Farm (2013001167) Achmad Rifai, S.Farm (2013001234) Citra Hapi Andriyani, S.Farm (2013001174) Eva Dovita, S.Farm (2013001242) Hardian Sugandi, S.Farm (2013001183) Harisa Nida Khofia, S.Farm (2013001247) Muharindi Nurlia, S.Farm (2013001257)

Transcript of NEW FARMAKOTERAPI TERAPAN.docx

FARMAKOTERAPI TERAPANAnalisis Mekanisme Kerja Kombinasi Obat Tuberkulosis (TBC)

Oleh :Kelas A

Abdul Rachman Cholik, S.Farm(2013001165)Ade Wijayanti, S.Farm(2013001167)Achmad Rifai, S.Farm(2013001234)Citra Hapi Andriyani, S.Farm(2013001174)Eva Dovita, S.Farm(2013001242)Hardian Sugandi, S.Farm(2013001183)Harisa Nida Khofia, S.Farm(2013001247)Muharindi Nurlia, S.Farm(2013001257)

UNIVERSITAS PANCASILAFAKULTAS FARMASIPROGRAM APOTEKERJAKARTA2014BAB IPENDAHULUAN

A. Latar BelakangPada tahun 2009 sekitar 1,7 juta orang penderita TBC meninggal, diantaranya 600.000 wanita dan 380.000 penderita HIV sehingga setara dengan 4700 kematian per hari. Di tahun 2010 WHO melaporkan prevalensi terjadinya TBC di wilayah asia tenggara sebesar lima juta dan kasus TBC sebanyak 3,5 juta. Indonesia yang berpenduduk sekitar 240 juta memiliki jumlah penderita TBC yang tinggi dan masuk ke dalam urutan empat tertinggi secara global. Diperkirakan prevalensi dan kejadian TBC pada tahu 2010 adalah 189 untuk setiap 100.000 populasi. (Syamsudin, 2009)Penyebab utama meningkatnya beban masalah TB yaitu kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat, kegagalan program TB oleh karena tidak memadainya komitmen politis dan pendanaan, pelayanan TB yang kurang maximal (kurang terakses oleh masyarakat, diagnosis dan panduan obat yang tidak standar, obat tidak terjamin persediaanya, monitoring dan evaluasi yang kurang baik) dan juga perubahan demografi penduduk. Munculnya pandemi HIV/AIDS di dunia menambah permasalahan TB. Koinfeksi dengan HIV akan meningkatkan resiko TB secara signifikan. Pada saat yang sama kekebalan ganda kuman TB terhadap obat anti TB (multidrug resistance = MDR) semakin menjadi masalah akibat kasus yang tidak berhasil disembuhkan. Keadaan ini pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya epidemi TB yang sulit ditangani.Strategi yang telah dikembangkan oleh WHO dalam penanggulangan TB adalah DOTS (Directly Observed Treatment Short-course) yang sampai saat ini secara ekonomi paling efektif. Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan penderita dengan prioritas pada penderita TB yang menular. Strategi ini akan memutuskan penularan TB dan dengan demikian akan menurunkan insiden TB di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan penderita merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB.Sampai saat ini yang harus tetap dilakukan adalah tetap mengoptimalkan dan mempertahankan mutu DOTS, merespon masalah TB HIV dan MDR TB, memperkuat sistem kesehatan, melibatkan pemberi pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta, pemberdayaan masyarakat dan terus menerus melaksanakan dan mengembangkan riset. Diharapkan ditemukannya suatu inovasi atau strategi baru yang lebih baik dalam hal teknik diagnosis yang lebih cepat dan tepat, obat anti TB yang baru dengan masa pengobatan yang lebih pendek serta murah dan kemudahan dalam monitor dan evaluasi.B. Tujuan Penulisan1. Dapat mengetahui perkembangan terkini terhadap penyakit TBC2. Dapat memahami mekanisme kombinasi obat yang baik untuk penanganan obat TBC

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

A. DefinisiTuberkulosis merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh Myobacterium tuberculosis dan dapat hadir dalam bentuk laten maupun aktif. Penyakit ini menular melalui udara dan terutama mempengaruhi orang dewasa muda yang produktif (Syamsudin, 2009)Tuberkulosis disebabkan oleh basili tuberkel yang berasal dari genus Mycobacterium. Terdapat tiga jenis parasit obligat yang dapat menyebabkan penyakit tuberkulosis yaitu Mycobacterium tuberculosis, M. Bovis, M. Africanum. Morfologi M. tuberculosis berbentuk batang lurus dan ada juga yang agak bengkok, mempunyai panjang sekitar 1 sampai 4 dan lebar 0,2 sampai 0,8 . Mycobacterium tidak selalu ditemukan dalam bentuk berkelompok tetapi juga dapat ditemukan dalam bentuk sendiri.Sifat-sifat biakan dari Mycobacterium Tuberculosis terdiri dari :1. M. tuberculosis termasuk bakteri yang bersifat aerob, dimana dalam proses metabolismenya membutuhkan ketersediaan oksigen.2. Pertumbuhan dari M. tuberculosis relatif lambat, yaitu waktu generasinya sekitar 2 sampai 6 minggu, sedangkan kemunculan dalam bentuk koloni pada pembiakannya sekitar 2 sampai 6 minggu.3. Pertumbuhan dari M. tuberculosis terjadi pada suhu optimal yaitu pada suhu 37C dan Ph optimum sekitar 6,4 sampai 7.4. M. tuberculosis mampu tumbuh subur dalam biakan atau eugonik. Perbenihannya dapat dilengkapi dengan penambahan telur, gliserol, kentang, daging atau asparagin.5. Berkembang biak dengan cara membelah diri setiap 16 sampai 20 jam.6. M. tuberculosis bersifat parasit terhadap inangnya. Walaupun demikian, 98% penyakit TBC disebabkan oleh M. Tuberculosis. Infeksi bakteri ini terutama terjadi pada saluran pernapasan yang sering dikenal dengan Tuberkulosis Paru-Paru. Infeksi TBC dapat pula terjadi diluar paru-paru.Tuberkulosis ditandai dengan berbagai gejala seperti batuk keras selama 3 minggu atau lebih, nyeri dada, batuk dengan darah/sputum, badan lema dan mudah kelelahan, berat badan menurun, nafsu makan menurun, menggigil, demam dan berkeringat pada malam hari. Tidak semua orang yang terinfeksi bakteri TBC akan menjadi sakit. Tuberkulosis dapat diklasifikasikan menjadi TB laten dan TB aktif. TB laten, bakteri TBC hidup dai dalam tubuh penderita namun tidak menyebabkan sakit ataupun muncul suatu gejala. Pada kondisi ini tubuh dapat melawan bakteri sehingga bakteri untuk tumbuh.Pada TB aktif, bakteri yang semula tidak aktif di dalam tubuh akhirnya menjadi aktif dikarenakan sistem imun yang tidak dapat mencegah bakteri untuk tumbuh. Akibatnya orang yang menderita penyakit ini akan mudah untuk menyebarkan bakteri TBC kepada orang lain.

B. PatogenesisInfeksi TBC teradi ketika seseorang menghirup droplet nuklei yang mengandung M. tuberculosis Bakteri ini akan dimakan oleh makrofag alveolus sehingga sebagian besar dari bakteri ini akan rusak atau terhambat. Sejumlah kecil dari bakteri ini dapat memperbnyak diri secara intraseluler dan akan terlepas bebas ketika makrofag mati. Jika bertahan hidup, maka bakteri ini akan tersebar melalui kanal limfatik atau aliran darah menuju jaringan dan organ yang letaknya lebih jauh (temasuk area nodus limfatik, bagian apeks paru-paru, ginjal, hati, otak dan tulang. Proses diseminasi ini akan menyebabkan sistem imun untuk memberikan respons. Sekitar 5% dari orang yang telah terinfeksi M. tuberculosis akan berkembang menjadi bentuk yang aktif dalam waktu 2 tahun setelah terinfeksi (Syamsudin, 2009)

C. Data yang diperlukan untuk diagnosis 1. Amnanesis dan pemeriksaa fisik2. Pemeriksaan darah, pada awal penyakit didapatkan jumlah leukosit sedikit meninggi tetapi jumlah limfosit masih dibawah normal dan laju endap darah mulai meningkat.3. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit mulai kembali normal dan jumlah limfosit masih tinggi. Laju endap darah mulai turun ke arah normal.4. Bakteri tahan asam (BTA) sputum positif, biakkan kultur dengan mikroskop biasa. Pemeriksaan sputum dianjurkan 3 hari berturut-turut untuk mencari bukti adanya infeksi. Pemeriksaan ini tidak sensitif karena hanya 30-70% penderita TBC yang dapat dideteksi dengan cara ini.5. Tes tuberkulin atau mantoux yankni dengan menyuntikkan intradermal PPD (purrifed protein derivate) dengan kekuatan 5 TU sebanyak 0,1 ml. Tes dibaca 48-72 jam setelah injeksi, positif atau negatif ditunjukkan dengan mengukur zona indurasi.6. Pemeriksaan radiology untuk mencari adanya sel lesi tuberkulosis.7. Deteksi growth index berdasarkan CO2 yang dihasilkan dari metabolisme asam lemak oleh M.tuberkulosis (Priyanto. 2009).

D. Pelaksanaan Diagnosis 1. Diagnosis TBC Parua. Semua suspek TBC diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu pagi sewaktu (SPS)b. Diagnosis TB paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB (BTA). Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekatan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosissepanjang sesuai dengan indikasinya.c. Tidak dibenarkan mendignosis TBC hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TBC paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis.d. Gambaran kelainan radiologik paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit.2. Diagnosis TBC Ekstra Parua. Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk pada Meningitis TBC, nyeri dada pada TBC pleura (pleuritis), pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TBC dan deformitas tulang belakang pada spondilitis TBC.b. Diagnosis pasti sering sulit ditegakkan sedangkan diagnosis kerja dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis TBC yang kuat dengan menyingkirkan kemungkinan penyakit lain. Ketepatan diagnosis tergantung pada metode pengambilan bahan pemeriksaan dan ketersediaan alat-alat diagnostik, misalnya uji mikrobiologi, patologi anatomi, serologi, foto toraks (Priyanto. 2009).

BAB IIIPEMBAHASANTerapi atau pengobatan penderita TB dimaksudkan untuk; 1) Menyembuhkan penderita sampai sembuh, 2) Mencegah kematian, 3) Mencegah kekambuhan, dan 4) Menurunkan tingkat penularan. Sesuai dengan sifat kuman TB, untuk memperoleh efektifitas pengobatan, maka prinsip-prinsip yang dipakai adalah : Menghindari penggunaan monoterapi. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Hal ini untuk mencegah timbulnya kekebalan terhadap OAT. Untuk menjamin kepatuhan penderita dalam menelan obat, pengobatan dilakukan dengan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).

Tujuan dan Program Terapi:1) Deteksi adanya kasus TBC baru secara cepat2) Isolasi pasien yang positif TBC supaya tidak menyebar3) Mengumpulkan sampel untuk pemeriksaan smear dan kultur4) Menghilangkan gejala secara cepat setelah pengobatan awal5) Patuh pada regimen terapi dan tidak timbul resistensi obatan6) Menyembuhkan secepat mungkin (umumnya dengan minimal 6 bulan pengobatan) (Priyanto. 2009).

Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan:1. Tahap IntensifPada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.2. Tahap LanjutanPada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister (dormant) sehingga mencegah terjadinya kekambuhan. Penggunaan Obat Anti TB yang dipakai dalam pengobatan TB adalah antibotik dan anti infeksi sintetis untuk membunuh kuman Mycobacterium tuberculosus. Aktifitas obat TB didasarkan atas tiga mekanisme, yaitu aktifitas membunuh bakteri, aktifitas sterilisasi, dan mencegah resistensi. Obat yang umum dipakai adalah Isoniazid, Etambutol, Rifampisin, Pirazinamid, dan Streptomisin. Kelompok obat ini disebut sebagai obat primer. Isoniazid adalah obat TB yang paling poten dalam hal membunuh bakteri dibandingkan dengan rifampisin dan streptomisin. Rifampisin dan pirazinamid paling poten dalam mekanisme sterilisasi. Sedangkan obat lain yang juga pernah dipakai adalah Natrium Para Amino Salisilat, Kapreomisin, Sikloserin, Etionamid, Kanamisin, Rifapentin dan Rifabutin. Natrium Para Amino Salisilat, Kapreomisin, Sikloserin, Etionamid, dan Kanamisin umumnya mempunyai efek yang lebih toksik, kurang efektif, dan dipakai jika obat primer sudah resisten. Sedangkan Rifapentin dan Rifabutin digunakan sebagai alternatif untuk Rifamisin dalam pengobatan kombinasi anti TB.Isoniazida (H) Bersifat bakterisid, dapat membunuh 90% populasi kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan. Efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif, yaitu kuman yang sedang berkembang. Mekanisme kerja berdasarkan terganggunya sintesa mycolic acid, yang diperlukan untuk membangun dinding bakteri.Rifampisin bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman semi-dormant yang tidak dapat dibunuh oleh isoniazid. Mekanisme kerja, Berdasarkan perintangan spesifik dari suatu enzim bakteri Ribose Nukleotida Acid (RNA)-polimerase sehingga sintesis RNA terganggu.Pirazinamida bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman yang berada dalam sel dengan suasana asam. Mekanisme kerja, berdasarkan pengubahannya menjadi asam pyrazinamidase yang berasal dari basil tuberkulosa.Etambutol bersifat bakteriostatik, dengan menekan pertumbuhan kuman TB yang telah resisten terhadap Isoniazid dan streptomisin. Mekanisme kerja, berdasarkan penghambatan sintesa RNA pada kuman yang sedang membelah, juga menghindarkan terbentuknya mycolic acid pada dinding sel.Streptomisin bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman yang sedang membelah. Mekanisme kerja berdasarkan penghambatan sintesa protein kuman dengan jalan pengikatan pada RNA ribosomal.

Paduan pengobatan yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan TB oleh Pemerintah Indonesia : Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3. Kategori 2 : 2HRZES/HRZE/5H3R3E3. Kategori 3 : 2 HRZ/4H3R3. Disamping ketiga kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE)Kode huruf diatas adalah akronim dari nama obat yang dipakai, yakni :H = IsoniazidR = RifampisinZ = PirazinamidE = EtambutolS = StreptomisinPaduan OAT ini disediakan dalam bentuk paket kombipak, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. 1 paket untuk 1 penderita dalam 1 masa pengobatan.

KATEGORI-1 (2HRZE/4H3R3)Tahap intensif terdiri dari HRZE diberikan setiap hari selama 2 bulan. Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari HR diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan. Obat ini diberikan untuk: Penderita baru TB Paru BTA Positif. Penderita baru TB Paru BTA negatif Rntgen Positif yang sakit berat Penderita TB Ekstra Paru berat

KATEGORI -2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3)Tahap intensif diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2 bulan dengan HRZES setiap hari. Dilanjutkan 1 bulan dengan HRZE setiap hari. Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan tiga kali dalam seminggu. Obat ini diberikan untuk penderita TB paru BTA(+) yang sebelumnya pernah diobati, yaitu: Penderita kambuh (relaps) Penderita gagal (failure) Penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default).

KATEGORI-3 (2HRZ/4H3R3)Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZ), diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan diberikan 3 kali seminggu. Obat ini diberikan untuk: Penderita baru BTA negatif dan rntgen positif sakit ringan, Penderita TB ekstra paru ringan.

OAT SISIPAN (HRZE)Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2, hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat sisipan (HRZE) setiap hari selama 1 bulan. Paduan OAT Sisipan untuk penderita dengan berat badan antara 33 50 kg adalah1 tablet Isoniazid 300 mg, 1 kaplet Rifampisin 450 mg, 3 tablet Pirazinamid 500 mg, 3 tablet Etambutol 250 mg. Satu paket obat sisipan berisi 30 blister HRZE yang dikemas dalam 1 dos kecil.

Pengobatan TB Pada AnakPrinsip dasar pengobatan TB pada anak tidak berbeda dengan pada orang dewasa, tetapi ada beberapa hal yang memerlukan perhatian: Pemberian obat baik pada tahap intensif maupun tahap lanjutan diberikansetiap hari. Dosis obat harus disesuaikan dengan berat badan anakSusunan paduan obat TB anak adalah 2HRZ/4HR: Tahap intensif terdiri dari Isoniazid (H), Rifampisin (R) dan Pirazinamid (Z) selama 2 bulan diberikan setiap hari (2HRZ). Tahap lanjutan terdiri dari Isoniazid(H) dan Rifampisin (R) selama 4 bulan diberikan setiap hari (4HR).

Regimen terapi dengan OAT FDCKeuntungan penggunaan OAT FDC: Mengurangi kesalahan peresepan karena jenis OAT sudah dalam satu kombinasi tetap dan dosis OAT mudah disesuaikan dengan berat badan penderita. Dengan jumlah tablet yang lebih sedikit maka akan lebih mudah pemberiannya dan meningkatkan penerimaan penderita sehingga dapat meningkatkan kepatuhan penderita. Dengan kombinasi yang tetap, walaupun tanpa diawasi, maka penderita tidak bisa memilih jenis obat tertentu yang akan ditelan. Dari aspek manajemen logistik, OAT-FDC akan lebih mudah pengelolaannya dan lebih murah pembiayaannya Kerugian penggunaan OAT FDC: Salah persepsi, petugas akan menganggap dengan OAT-FDC, kepatuhan penderita dalam menelan obat akan terjadi secara otomatis, karenanya pengawasan minum obat tidak diperlukan lagi. Tanpa jaminan mutu obat, maka bio-availability obat, khususnya Rifampisin akan berkurang. Jika kesalahan peresepan benar terjadi dalam OAT-FDC, maka akan terjadi kelebihan dosis pada semua jenis OAT dengan Risiko toksisitas atau kekurangan dosis (sub-inhibitory concentration) yang memudahkan berkembangnya resistensi obat. Bila terjadi efek samping sulit menentukan OAT mana yang merupakan penyebabnya.

Jenis OAT-FDC yang tersedia di program penanggulangan TB

Dosis Pengobatan Kategori -1 dan Kategori -3 : {2(HRZE)/4(HR)3}

Jumlah Blister OAT-FDC untuk Kategori-1 dan kategori-3

Dosis Pengobatan Kategori 2

Jumlah Blister OAT-FDC untuk Kategori-2

Pencegahan penyakit TBCPenularan perlu diwaspadai dengan mengambil tindakan-tindakan pencegahan selayaknya untuk menghindarkan infeksi teles dari penderita ke orang lain. Salah satu cara adalah batuk dan bersin sambil menutup mulut/hidung dengan sapu tangan atau kertas tissue untuk kemudian didesinfeksi dengan lysol atau dibakar. Bila penderita berbicara, jangan terlampau dekat dengan lawan bicaranya. Ventilasi yang baik dari ruangan juga memperkecil bahaya penularan. Anak-anak dibawah usia satu tahun dari keluarga yang menderita TBC perlu divaksinasi BCG sebagai pencegahan, bersamaan dengan pemberian isoniazid 5-10 mg/kg selama 6 bulan. (Tjay,2002)

MONITORING1. Pemeriksaan dan monitoring sputum BTA 2. Monitoring efek samping obat dan dan interaksi obat3. Monitoring kepatuhan minum obat secara teratur4. Monitoring gejala akibat TB paru yaitu batuk produktif yang berkepanjangan, nyeri dada, dan hemoptisis. Serta gejala sistemik termasuk demam, mengigil, kelemahan, hilangnya nafsu makan dan penurunan berat badan. 5. Ro. Thorax6. Pemeriksaan laboratorium. (BUN, protein serum, dan albumin).

KIE1. Memberikan informasi kepada pasien tentang diperlukannya Pengawas Minum Obat (PMO)2. Memberikan informasi tentang jumlah obat yang harus ditelan setiap dosis perharinya, Cara minum obat, jadwal minum obat dan kemungkinan reaksi yang akan dirasakan pada masing-masing obat.3. Memberikan informasi kepada pasien dan keluarganya tentang efek terapi dan efek samping yang mungkin timbul selama pengobatan dan tindakan yang harus dilakukan bila terjadi efek samping tersebut.4. Memberikan pengetahuan tentang cara penularan dan mencegah penularan serta resiko kekambuhan.5. Memberikan penjelasan bahwa pengobatan TB membutuhkan waktu lama dan kebahayaan apabila tidak patuh yaitu terjadi resistensi.6. Anjurkan bedrest.7. Jelaskan pentingnya kepatuhan pasien dalam pemeriksaan mikroskopis ulang, cara mengeluarkan dahak, juga termasuk etika batuk

DAFTAR PUSTAKA1. Departemen Kesehatan. 2006. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis edisi 2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta

2. Crick DC, Brennan PJ, McNeil MR. 2004. The Cell Wall of Mycobacterium Tuberculosis. InRom W, Garay SM. Tuberculosis 2nd edition. Philadelphia p 115-134.

3. Griffiths, M. J. D. 2004. Respiratory Management in Critical Care. London: BMJ Publishing

4. Hoan Tjay, Rahardja, K. 2002. Obat-Obat Penting. Elex media Komputindo. Jakarta.

5. Kumar V, Cotran R, Robbins S. 2000. Buku Ajar Patologi. 7thed. EGC. Jakarta.

6. Lacy, C.F., Amstrong, L.L., Goldman, M.P., Lance, L.L. 2006. Drug Information Handbook, 14th Edition. AphA, Lexi-Comp Inc, Hudson, Ohio.

7. Priyanto. 2009. Farmakoterapi Dan Terminologi Medis. Leskonfi:Jakarta.

8. Syamsudin, dkk. 2009.Buku Ajar Farmakoterapi Gangguan Saluran Pernapasan. Salemba Medika. hal 153-154.

9. Tatro, S. David, 2003, A to Z drug Facts, Facts and Comparisons, San Fransisco

10. Ward, Jeremy , 2005, Erlangga, Ed.2, P.T DKK. SISTEM RESPIRASI. Jakarta