neuromyelitis optica

22
DEVIC’S DISEASE I. DEFINISI Devic’s disease atau dikenal dengan nama Neuromyelitisoptica(NMO) merupakan penyakit idiopatik immunomediated demyelinating dan necrotizing yang dominan mengenai saraf optik dan medula spinalis. Devic’s disease adalah penyakit neurologis yang jarang terjadi, ditandai dengan terjadinya neuritis optik dan myelitis. Devic’s disease juga dikenal sebagai sindrom Devic dan NMO. Nama-nama sindrom Devic, penyakit Devic, dan NMO sering digunakan secara bergantian, meskipun nama pertama mencakup semua pasien yang sesuai dengan definisi sebelumnya dan yang kedua dan ketiga seharusnya hanya digunakan untuk merujuk pasien diduga memiliki gangguan yang berbeda. Hal ini masih kontroversial apakah Devic’s disease adalah varian dari multiple sclerosis atau penyakit yang disebabkan oleh paparan virus varicella zoster yang menyebabkan acute disseminated Encephalomyelitis ( ADEM). NMO mungkin menjadi penyakit monofasik, atau mungkin penyakit yang hilang-timbul yang merupakan penyakit radang demielinasi yang pertama diketahui dengan penanda serum, yaitu antibodi IgG-NMO. (1,2,3) II. ETIOLOGI Devic’s disease adalah suatu penyakit inflamasi dari sistem saraf pusat dimana terdapat episode inflamasi 1

description

word

Transcript of neuromyelitis optica

Page 1: neuromyelitis optica

DEVIC’S DISEASE

I. DEFINISI

Devic’s disease atau dikenal dengan nama Neuromyelitisoptica(NMO)

merupakan penyakit idiopatik immunomediated demyelinating dan necrotizing

yang dominan mengenai saraf optik dan medula spinalis. Devic’s disease adalah

penyakit neurologis yang jarang terjadi, ditandai dengan terjadinya neuritis optik

dan myelitis. Devic’s disease juga dikenal sebagai sindrom Devic dan NMO.

Nama-nama sindrom Devic, penyakit Devic, dan NMO sering digunakan secara

bergantian, meskipun nama pertama mencakup semua pasien yang sesuai dengan

definisi sebelumnya dan yang kedua dan ketiga seharusnya hanya digunakan

untuk merujuk pasien diduga memiliki gangguan yang berbeda. Hal ini masih

kontroversial apakah Devic’s disease adalah varian dari multiple sclerosis atau

penyakit yang disebabkan oleh paparan virus varicella zoster yang menyebabkan

acute disseminated Encephalomyelitis (ADEM). NMO mungkin menjadi penyakit

monofasik, atau mungkin penyakit yang hilang-timbul yang merupakan penyakit

radang demielinasi yang pertama diketahui dengan penanda serum, yaitu antibodi

IgG-NMO.(1,2,3)

II. ETIOLOGI

Devic’s disease adalah suatu penyakit inflamasi dari sistem saraf pusat dimana

terdapat episode inflamasi dan kerusakan pada myelin dimana secara khusus

menyerang N.II dan saraf tulang belakang atau dengan kata lain terjadi

demielinasi pada serabut saraf optik. Demielinasi adalah gejala robeknya

(rusaknya) selubung mielin pada neuron. Pada beberapa referensi juga

menyatakan bahwa sebagian besar kasus penyakit devic adalah idiopatik dengan

proses autoimun. Predisposisi yang utama termasuk penyakit pulmonar TB, SLE,

infeksi virus varicella, HIV.(4)

III.EPIDEMIOLOGI

1

Page 2: neuromyelitis optica

Prevalensi devic’s disease (neuromielitis optika) adalah wanita sembilan kali

lebih banyak daripada pria. Median onsetnya berkisar umur 39 tahun dan dapat

juga terjadi pada anak-anak dan orang tua. Dalam literatur lain tertulis bahwa

serial onset untuk penyakit ini dari umur 1 tahun hingga 72 tahun. Penyakit ini

lebih sering pada orang Asia timur dan non kulit putih lainnya di seluruh dunia.

Jika penyakit ini dihubungkan dengan multiple sclerosis, maka kebanyakan pasien

dengan neuromielitisoptika dinegara maju adalah orang berkulit putih.(5,6)

Selanjutnya, optikneuritis pada pasien Afrika-Amerika bisa mendasari

terjadinya neuromyelitis optica dimana lebih sering terjadi pada pasien non kulit

putih. Berbeda dengan multiple sclerosis, neuromielitis optika lebih banyak pada

orang non-kulit putih dan sebagian kecil populasi di Eropa dengan komponen

genetik mereka yang mendukung, seperti AfroBrazilians (15% kasus penyakit

demielinasi), India Barat (27%), Jepang (20-30%), dan Asia timur, termasuk Cina

Hongkong (36%), Singapura (48%), dan India (10-23%). Ada beberapa data

yangdari negara-negara Amerika Latin selain Brazil.(5)

Ada laporan kasus familial neuromielitisoptika tapi tidak menurun dalam

silsilah kelurganya, hal ini mungkin disebabkan karena pola pewarisan kompleks

atau alel memiliki kerentanan penetrasi yang rendah. MHC II alel kelas

DPB*0501 dikaitkan dengan optik-spinal multipel sklerosis di Asia timur, tetapi

alel ini ada dalam 60% dari Penduduk Jepang. MHC II alel kelas DRB1*1501

yang paling kuat terkait dengan beberapa sklerosis di negara maju dan pada pasien

etnis Jepang dengan western multiple sclerosis. Namun, alel ini tidak terkait

dengan optik-spinal multipel sklerosis di Asia timur.(5)

IV. ANATOMI

Visual jalur terdiri dari empat neuron yang terhubung bersama-sama:(7)

1. Neuron pertama, fotoreseptor

2. Neuron kedua, neuron bipolar retina, yang mengirimkan impuls dari sel

batang dansel kerucut ke ganglion besar sel-sel retina

2

Page 3: neuromyelitis optica

3. Neuron ketiga, sel-sel ganglion besar, akson yang bergabung untuk

membentuk optiksaraf dan meluas ke pusat visual primer (nucleus

geniculatum lateralis)

4. Neuron keempat, sel-sel geniculate, akson yang memproyeksikan sebagai

radiasi optik untuk korteks visual (daerah striate)

Gambar 1.Visual pathway(8)

Jalur penglihatan dimulai pada retina dan terus melalui saraf optik ke chiasma

optik, kemudian berlanjut sebagai saluran optik ke corpus geniculatum laterale.

Radiasi optik muncul di corpus geniculatum laterale dan berakhir di daerah visual

primer (area 17) dan dearah visual sekunder (daerah 18, 19) dari lobus oksipital.

Serabut saraf dari jaringan retina bertemu pada diskus optik sebelum melanjutkan

melalui saraf optik ke chiasma optik, serabut yang berasal dari medial (hidung)

menyeberang ke sisi yang berlawanan. Serabut optic dari lateral langsung menuju

ke corpus geniculatum laterale sehingga pada setiap bola mata mengandung serat

3

Page 4: neuromyelitis optica

saraf dari setengah retina temporal dan setengah retina nasal. Corpus geniculatum

laterale adalah tempat bermuara dari keempat serabut optik. Serat eferen yang

membentuk radiasi optik, yang berakhir di korteks visual (korteks striate) dari

lobus oksipital. Fovea centralis merupakan daerah yang memiliki representasi

kortikal terbesar. Jalur visual terhubung dengan inti otak tengah (bagian medial,

lateral, dan dorsal dari inti terminal wilayah pretectal, colliculussuperior), daerah

kortikal nonvisual (somatosensori, premotor, dan pendengaran), otak kecil, dan

pulvinar (bagian posterior thalamus).(9)

V. PATOGENESIS

Neuromyelitisoptica (NMO) adalah penyakit inflamasi dari sistem saraf pusat

(SSP) ditandai dengan serangan parah neuritis optik dan myelitis. Awalnya NMO

dianggap sebagai bentuk khusus dari multiple sclerosis (MS). Penelitian selama

10 tahun terakhir , dua penyakit ini telah terbukti jelas berbeda. NMO adalah

penyakitsel B-dimediasi terkait dengan anti aquaporin-4 antibodi dalam banyak

kasus. Baru-baru ini, bukti pengikatan antibodi, aktivasi komplement, dan

infiltrasi eosinofilik dapat disimpulkan bahwa penyakit Devic adalah penyakit

humoral, sedangkan MS merupakan proses mekanisme seluler. Hal ini diperkuat

oleh dengan ditemukannya antibodi IgG serum pada kapiler dalam batang otak

dan otak kecil. Telah dilaporkan bahwa penanda antibodi ini ditemukan dalam

setengah dari kasus neuromyelitis optica dan tidak ada dalam kasus MS. Penilaian

prevalensi menunjukkan bahwa NMO adalah jauh lebih jarang dibanding MS,

yang menjelaskan tidak adanya uji klinis acak dan strategi pengobatan NMO

divalidasi oleh evidance based medicine.(10)

Dasar fitur patologis struktural NMO telah lama diketahui. Pada fase akut dari

penyakit ini sumsum tulang belakang mengalami pembengkakan secara difus dan

perlunakan pada multipel segmen dan kadang-kadang mengenai seluruh

perpanjangan neuronnya. Pemeriksaan histopatologi menunjukkan nekrosis dari

kedua subtansia alba dan grisea dengan infiltrasi makrofag terkait dengan

kehilangan akson dan myelin serta inflamasi perivaskular. Pada kasus kronik

terjadi atrofi dan kavitasi dari segmen sumsum tulang belakang dan saraf optik

yang terlibat dengan ditandai gliosis dan degenerasi kistik. Pada area yang

4

Page 5: neuromyelitis optica

mengalami nekrosis, dinding kapiler menebal dan mengalami hyalinisasi. Dalam

lesi aktif akut terdapat infiltrasi makrofag yang luas, banyak limfosit B dan

beberapa CD3 + dan CD8 + T-limfosit, biasanya berhubungan dengan

eosinophilik dan infiltrat perivaskular granulosit.(5)

Gambar 2.PatogenesisNMO(5)

Gambar 3.Mekanisme kerusakan parenkim akibat NMO(6)

Hal yang mengejutkan komunitas riset MS, bukanlah antigen dari myelin atau

neuron terkait yang ditemukan, melainkan antibodi aquaporin-4 water channel,

komponen dari kompleks protein distroglikan terletak di astrosit pada sawar darah

otak.(1)

VI. GEJALA KLINIK

5

Page 6: neuromyelitis optica

Penyakit Devic’s atau yang sering disebut sebagai neuromyelitis optica

mengacu pada kondisi dimana terjadi mielopati dan unilateral atau bilateral

neuritis optik tanpa melibatkan adanya kerusakan di otak. Oleh karena itu, gejala

dan tanda yang ditimbulkan akan sangat bervariasi tergantung lokasi yang terkena

kelainan. Maka, seperti yang disebutkan sebelumnya bahwa gejalanya mengenai

nervus II dan saraf tulang belakang akan memunculkan gejala-gejala seperti: (4)

1. Kehilangan penglihatan

2. Sentral skotoma

3. Umumnya terjadi nyeri mata

4. Kehilangan penglihatan warna (akromathopsia)

5. Diskus optikus bisa didapatkan membengkak dan kemerahan pada

funduskopi jika area diemilinisasi inflamasi terletak langsung dibelakang

papil nervus optikus

6. Gejala-gejala myelopati paraparese

Dapat juga kita menggunakan kriteria Wingrchuck:(4)

1. Kriteria absolut

Neuritis optik

Myelitis akut

Tidak ditemukan penyakit diluar nervus optik dan tulang belakang

2. Kriteria tambahan (mayor)

Tidak ada kelainan otak pada MRI

Abnormalitas tulang belakang lebih 2 segmen

CSF lebih 50 dan WBC lebih 5 PMN

3. Kriteria suportif

Optik neuritis bilateral

Ketajaman lebih buruk dari 20/200

Kekuatan 3/5 paling sedikit pada 1 limb

VII. PEMERIKSAAN KLINIK

6

Page 7: neuromyelitis optica

Diagnosis neuromyelitis optica dibuat berdasarkan anamnesis yang lengkap

khususnya tentang riwayat penyakit, evaluasi klinis menyeluruh, dan berbagai

pemeriksaan khusus. Tes tersebut meliputi tes darah, pemeriksaan cairan

serebrospinal (CSF), sinar-x seperti MagneticResonance Imaging (MRI) atau

Computed tomography (CT atau CAT) scan. Sebuah tes darah, NMO-IgG, baru-

baru ini ditemukan yang sangat spesifik dan cukup sensitif untuk neuromyelitis

optica. Telah terbukti bahwa mendeteksi antibodi yang spesifik untuk protein

astrosit, aquaporin-4. Hal ini sangat membantu pada kecurigaan neuromyelitis

optica. Salah satu keberhasilan diagnosis neuromielitis optika tergantung pada

membedakannya dari MS.(11)

VIII. DIAGNOSA BANDING

1. Multiple sklerosis

MS adalah suatu penyakit autoimmun yang menyerang myelin danmyelin

forming sel pada otak dan medula spinalis, akan tetapi pada MS sebenarnya bukan

suatu autoimmun murni oleh karena tidak adanya antigen respon immun yang

abnormal. Kausa MS terdiri dari:(12)

a. Virus : infeksi retrovirus akan menyebabkan kerusakan oligodendroglia

b. Bakteri : reaksi silang sebagai respon perangsangan heat shock protein

sehingga menyebabkan pelepasan sitokin

c. Defek pada oligodendroglia

d. Diet : berhubungan dengan komposisi membran, fungsi makrofag, sintesa

prostaglandin

e. Genetika : penurunan kontrol respon imun

f. Mekanisme lain : toksin, endokrin, stres

MS merupakan penyakit demielinisasi yang mengenai serebelum, saraf

optikus dan medula spinalis (terutama mengenai traktus kortikospinalis dan

kolumna posterior), secara patologi memberi gambaran plak multipel di susunan

saraf pusat khususnya periventrikuler subtansia alba.(12)

Gejala Klinis MS: (12)

7

Page 8: neuromyelitis optica

Kelemahan umum yang biasanya muncul setelah aktivitas minimal,

kelemahan bertambah berat dengan adanya peningkatan suhu tubuh dan.

Kelemahan seperti ini dapat dosertai kekakuan pada ekstermitas sampai

drop foot

Gangguan sensoris, baal, kesemutan, perasaan seperti diikat, ditusuk

jarum

Gangguan serebelum : 50% kasus memberi gejala intension tremor,

ataksia, titubasi kepala, disestesia, dan dikenal sebagai trias dari Charcott:

nistagmus, gangguan bicara, intension tremor

Gangguan batang otak

Gangguan N. Optikus (Neuritis optika)

Gangguan fungsi luhur. fungsi luhur umunya masih dalam batas normal,

akan tetapi pada pemeriksaan neuropsikologi didapatkan perlambatan

fungsi kognisi sampai sedang atau kesulitan menemukan kata.

Karena tidak ada yang spesifik untuk MS, maka diagnosa terutama

berdasarkan adanya remisi dan relaps pada orang muda, dengan lesi multifocal

dan asimetrik pada traktus subtansia alba: (12)

Clinically definite MS.

Terbukti dari riwayat penyakit dan pemeriksaan neurologi terdapat lebih

dari satu lesi atau dua episode gejala dari satu lesi dan bukti lesi pada MRI

atau evoked

Laboratory supported definite MSI.

Terbuktinya ada dua lesi dari riwayat penyakit dan pemeriksaan jika hanya

saru lesi yang terbukti maka lesi lain terbukti dari MRI atau evoked

potensial dan kadar Ig G abnormal

Clinically probable MS

Jika hanya dari pemeriksaan atau anamnesa dan bukan dari keduanya,

terbukti ada lebih dari satu lesi. Jika hanya satu lesi terbukti dari anamnesa

dan hanya satu dari pemeriksaan neurologik, evoked potensial atau adanya

bukti pada MRI lebih lesi dan pemeriksaan IgG CSF normal.

Penatalaksanaan: (12)

8

Page 9: neuromyelitis optica

1. Relaps akut:

Metilprednisolon per infus 1 gram/hari selama 7-10 hari, kemudian po(per

oral) prednison 80 mg selama 4 hari kemudian tapering off 40,20,10 mg

masing-masing 4 hari

2. Pencegahan relaps dengan interferon B: efektif untuk mencegah relaps

pada MS, cara pemberian injeksi subkutan, obat ini untuk penderita 2 atau

lebih serangan pada 2 tahun pertama. Sekarang digunakan intarvenous IgG

dengan dosis 0,4 gr/koagulan.hari selama 5 hari, kemudian dibooster 0,4

gr/koagulan/hari setiap 2 bulan dalam 2 tahun.

3. Kronik progresif Dapat diberikan immunosupresan misalnya azahioprin,

methotrexate, cyclophosphamide tetapi sayang hasilnya tidak memuaskan

4. Terapi simtomatis: Bangkitan dapat diberi carbamazepin Nyeri karena

neuralgia trigeminal diberikan carbamazepin, fenitoin, gabapentin,

baclofen + amitriptilin spastisitas diber baclofen

5. Kelemahan umum dapat diberikan anti kolinergik misal ditropan,

propantelin 2-3 x/hari

2. Schilder disease

Schilder myelinoclastic diffuse sclerosis merupakan penyakit demielinasi

sporadis langka yang biasanya menyerang anak-anak antara 5 dan 14 tahun.

Penyakit ini pertama kali dijelaskan oleh Paul Schilder pada tahun 1912 sebagai

sindrom penyakit demielinasi akut yang parah dan fulminan. Terdapat lesi

demielinasi yang luas dari kedua belahan otak dengan berbagai tingkat

cedera aksonal.(13)

Kriteria diagnostik ditetapkan oleh Poser tahun 1985: (13)

Satu atau dua plak yang lebih dari 2 cm diameter dan simetris.

Tidak ada lesi lain yang timbul dan tidak ada kelainan sistem saraf

perifer.

Hasil fungsi ginjal dan serum asam lemak rantai panjang normal.

Hasil pemeriksaan patologi myelinoclastic sclerosis diffuse yakni

subakut atau kronis.

9

Page 10: neuromyelitis optica

Gejala klinis yang dapat timbul dari penyakit ini adalah: (13)

Onset penyakit biasanya subakut, tetapi mungkin lebih mendadak.

Sering timbul mendadak setelah suatu penyakit infeksi. Gejala dapat

dimulai dengan sakit kepala, malaise dan demam.

Berbagai kelainan neurologis dapat terjadi, termasuk aphasia, gangguan

memori, mudah marah, kebingungan, disorientasi, dan gangguan perilaku.

Pasien mungkin tampak psikotik.

Ketulian biasa terjadi, defisit batang otak atau cerebellar termasuk

vertigo, kelumpuhan pergerakan mata, nistagmus, kelumpuhan otot wajah,

dysarthria atau disfagia. Kelainan saraf kranial perifer dapat terjadi,

termasuk optik neuritis dan atrofi optik.

Kebutaan kortikal biasa terjadi. Hemiparesis atau defisit sensorik kortikal

mungkin terjadi.

Malnutrisi dan cachexia umumnya dilaporkan pada tahap kronis penyakit.

Pada pemeriksaan tambahan akan ditemukan hal-hal seperti: (13)

Pemeriksaan serum asam lemak rantai panjang dan fungsi ginjal harus

normal, jika tidak diagnosis adrenoleukodystrophy mungkin terjadi.

EEG: kelainan seperti lateralisasi periodik epileptiform discharge

menyarankan diagnosis alternatif SSPE atau rubella progresif

panencephalitis.

Punksi lumbal :

CSF mungkin normal atau mungkin berisi limfosit dan monosit.

Ringan sampai moderat elevasi protein CSF sering ditemukan.

Peningkatan IgG CSF ditemukan dalam 50-60% kasus. Kelainan CSF

pada status imun CSF, seperti oligoclonal band atau elevasi dari CSF

serum indeks IgG atau sintesis rata-rata IgG CSF, lebih mengarah pada

SSPE atau progresif rubella panencephalitis.

Mengesampingkan etiologi infeksi sangat penting: termasuk kultur

virus pada CSF, secret hidung atau orofaringeal, dan swab dubur.

Titer akut yang akan diuji harus mencakup Brucella spp; Bartonella

10

Page 11: neuromyelitis optica

spp, Ebstein-Barr virus, cytomegalovirus, Mycoplasma spp. dan virus

herpes.

MRI: menunjukkan satu atau dua lesi besar terimpit di dalam substantia

alba, biasanya pada centrum semiovale. Lesi tambahan di otak atau

sumsum tulang belakang dapat diartikan multiple sclerosis, acute

disseminated encephalomyelitis atau diagnosis alternatif lainnya.

EEG lanjutan: menunjukkan penurunan progresif di latar belakang

organisasi, dengan didominasi tegangan tinggi perlambatan yang tidak

teratur. Kelainan lateralisasi berkala atau gangguan tegangan tinggi

lainnya pseudo-berirama mengarah pada diagnosis SSPE.

Spesimen biopsi otak mungkin diperlukan untuk menyingkirkan infeksi,

tumor, dan vaskulitis atau proses inflamasi.

Penanganan: (13)

Kortikosteroid mungkin efektif pada beberapa pasien.

Tidak ada informasi mengenai khasiat terapi imunomodulator pada

penyakit Schilder seperti yang ditetapkan oleh Poser.

Manajemen penanganan yang paling utama mendukung, termasuk

fisioterapi, terapi okupasi dan dukungan nutrisi pada tahap selanjutnya.

IX. PENATALAKSANAAN

Terapi kortikosteroid intravena (metilprednisolon) 1 gram/hari untuk 3 sampai

5 hari, dengan atau tanpa penurunan dosis berkala prednison oral, dari 1

mg/kg/hari untuk 11 hari umumnya merupakan pengobatan awal untuk serangan

akut neuritisoptik atau myelitis. Pada pasien yang tidak segera tanggap terhadap

pengobatan kortikosteroid, dapat dilakukan terapi plasmapheresis sebanyak 7 kali

(1,0-1,5 volume plasma setiap pertukaran) selama 2 minggu. Dalam serangkaian

observasi dari 6 pasien dengan neuromyelitis optica, 50% tingkat respon klinis

yang baik dilaporkan ketika plasmapheresis digunakan untuk mengobati pasien

dengan serangan yang refrakter terhadap terapi kortikosteroid.(5,6,10,14,15)

Inisiasi dini plasmapheresis dianjurkan, terutama untuk pasien dengan

neuromielitisoptika dengan mielitis serviks parah, yang beresiko tinggi untuk

11

Page 12: neuromyelitis optica

gagal napas neurogenik. Plasmapheresis juga baik untuk pasien dengan

kehilangan penglihatan akut yang memiliki neuritis optik dan refrakter terhadap

terapi kortikosteroid. Tidak ada percobaan terapeutik terkontrol yang memiliki

spesifitas pada kasus yang dicuriga neuromielitisoptika. Sampai saat ini, sebagian

besar pasien dengan neuromielitisoptika didiagnosis dengan progresif multipel

sklerosis parah dan diobati dengan terapi imunomodulator yang dipercaya dapat

mengurangi frekuensi kambuh pada multipel sklerosis (misalnya, interferon beta

dan glatiramer asetat). Namun pengamatan klinis tidak mendukung keampuhan

obat ini untuk pengobatan neuromielitisoptika.(3,5,6,15)

Terapi maintenance imunosupresif digunakan untuk mengurangi kekambuhan

dari neuromielitisoptika. Temuan studi observasional kecil menunjukkan bahwa

azathioprine (biasanya 2,5-3mg/kg/hari) dalam kombinasi dengan prednison oral

(1,0 mg/kg/hari) mengurangi frekuensi serangan. Hasil laporan pengamatan 1-8

pasien menunjukkan bahwa mitoxantrone, imunoglobulin intravena, dan

rituximab dapat menginduksi remisiklinis neuromielitisoptika pada pasien yang

naif pengobatan atau yang terus kambuh meskipun upaya lain pada imunosupresi.(5,6)

Gambar 4. Penggunaan immunosupresan pada NMO(6)

X. PROGNOSISPasien-pasien ini rentan terhadap banyak komplikasi dan memerlukan

langkah-langkah untuk mencegah trombosis vena dan emboli paru, infeksi saluran

kemih, dekubitus, dan kontraktur. Pasien dengan sindrom monofasik devic

12

Page 13: neuromyelitis optica

umumnya memiliki onset simultan atau cepat dari neuritis optik dan mielitis

(interval biasanya kurang dari 1 bulan). Meskipun beberapa memiliki cacat yang

signifikan, banyak yang sembuh dan memiliki sedikit atau tidak ada defisit

neurologi yang bersifat permanen. Pasien diprediksikan untuk myelitis berulang

dan neuritis optik. Sebagian besar pasien dengan kekambuhan NMO memiliki

penyakit yang sangat agresif dengan eksaserbasi sering dan parah dan prognosis

buruk. Kecacatan yang diderita tergantung dari kerusakan dari mielin. Beberapa

individu bisa kehilangan penglihatan di kedua mata dan kelemahan lengan dan

kaki. Kelemahan otot dapat menyebabkan kesulitan bernapas dan mungkin

memerlukan penggunaan ventilasi buatan. Kematian seorang individu dengan

neuromyelitisoptica paling sering disebabkan oleh komplikasi pernapasan dari

serangan myelitis.(1)

13

Page 14: neuromyelitis optica

DAFTAR PUSTAKA

1. Aminoff MJ, Greenbarg DA, Simon RP. Neuromyelitis Optic. In: Goetz CG, editor. Textbook of Clinical Neurology.3rd edition. San Francisco: McGraw-Hills; 2005. p. 1-4.

2. Chamberlin SL, Narins B. Devic’s disease. In: Chamberlin SL, Narins B, editors. The Gale Encyclopedia of Neurological Disorders.1st volume. USA: Gale Group; p.273-274.

3. J. Sellner,M. Boggild, M. Clanet, et al. EFNS guidelines on diagnosis and management of neuromyelitisoptica. In: European Journal of Neurology. 17thedition. 2010. p.1019–1032.

4. Eggenbegger ER. Devic's Disease (NeuromyelitisOptica). Michigan: East Lansing.

5. Wingerchuck DM. Lennon VA, Lucchinetti CF, Pittock SJ, Weinshenker BG. The spectrum of neuromyelitisoptica. Lancet neurology. 2005.(6) p.805-15.

6. Marco AL, Peixoto. Devic’s Neuromyelitis Optica. Arq Neuropsiquiatr. 2008. p.120-138.

7. Kahle W, Frotscher M. Visual Pathway and Ocular Reflex. In: Kahle W, Frotscher M, editors. Color Atlas of Human Anatomy.3rd edition. New York: Thieme. 2003. p. 354.

8. Baehr M, Frotscher M. Brainstem. In: Baehr M, Frotscher M, editors. Duus’ Topical Diagnosis in Neurology.4th edition. New York. Thieme. 2005. p. 131.

9. Rohkamm, R. Normal and Abnormal Function of the nervous System. In: Rohkamm, R . Color Atlas of Neurology . Thieme: NewYork. 2004. p. 80.

10. Brust JC. Neuromyelitis Optica. In: Brust JC. Current Diagnosis & Treatment Neurology.2nd edition. New York: McGraw-Hill. 2012. p. 266.

11. Nord. 2012. Neuromyelitisoptica (Online), (http://www.rarediseases.org/rare-disease-information/rare-diseases/byID/479/viewFullReport, diakses 15 Juli 2013).

14

Page 15: neuromyelitis optica

12. Japardi, I. Multiple sklerosis. Bagian Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara : Medan. 2002. p. 1-7

13. William M. Schilder’s Disease. Emis. 2012. (22). 1-4.

14. Ilyas S. Penglihatan Menurun Tanpa Mata Merah. In: Ilyas S, editor. Ilmu Penyakit Mata.3rd edition. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2005.p.181-182.

15. Collongues N, De Seze J. Current and future treatment approaches for neuromyelitis optica. Ther Adv Neurol Disord. (2011). 4(2). 111-121.

15