Neonatal Infeksi

34
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan neonatus merupakan agenda utama di negara-negara sedang berkembang. Secara global 5 juta neonatus meninggal setiap tahunnya, 98% di antaranya terjadi di negara-negara sedang berkembang. Angka kematian bayi 50% terjadi pada periode neonatus dan 50% di antaranya terjadi pada minggu 1 kehidupan. Penyebab langsung mortalitas pada neonatus adalah sepsis, asfiksia neonatorum, trauma lahir, prematuritas dan malformasi kongenital. Mayoritas kematian neonatus terjadi di antara bayi-bayi dengan berat lahir rendah. Lebih dari sepertiga dari empat juta bayi meninggal di dunia setiap tahunnya yang disebabkan oleh infeksi berat dan dan 25% dari 1000 bayi yang meninggal dikarenakan sepsis neonatorum. Sepsis neonatorum adalah infeksi berat yang diderita neonatus dengan gejala sistemik dan terdapat bakteri dalam darah. Perjalanan penyakit sepsis dapat berlangsung cepat sehingga

description

Neonatal Infeksi

Transcript of Neonatal Infeksi

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kesehatan neonatus merupakan agenda utama di negara-negara sedang berkembang.

Secara global 5 juta neonatus meninggal setiap tahunnya, 98% di antaranya terjadi di negara-

negara sedang berkembang. Angka kematian bayi 50% terjadi pada periode neonatus dan 50% di

antaranya terjadi pada minggu 1 kehidupan. Penyebab langsung mortalitas pada neonatus adalah

sepsis, asfiksia neonatorum, trauma lahir, prematuritas dan malformasi kongenital. Mayoritas

kematian neonatus terjadi di antara bayi-bayi dengan berat lahir rendah. Lebih dari sepertiga dari

empat juta bayi meninggal di dunia setiap tahunnya yang disebabkan oleh infeksi berat dan dan

25% dari 1000 bayi yang meninggal dikarenakan sepsis neonatorum.

Sepsis neonatorum adalah infeksi berat yang diderita neonatus dengan gejala sistemik dan

terdapat bakteri dalam darah. Perjalanan penyakit sepsis dapat berlangsung cepat sehingga sering

kali tidak terpantau tanpa pengobatan yang memadai sehingga neonatus dapat meninggal dalam

waktu 24 sampai 48 hari. Sepsis neonatorum dibedakan menjadi sepsis neonatorum awitan dini

(early onset) dan sepsis neonatorum awitan lambat (late onset). Keduanya berbeda dalam hal

patogenesis, mikroorganisme penyebab, tata laksana, maupun prognosis.

Sepsis pada bayi baru lahir (sepsis neonatal) masih merupakan masalah yang belum dapat

terpecahkan dalam pelayanan dan perawatan bayi baru lahir. Di Negara berkembang, hampir

sebagian besar bayi baru lahir yang dirawat mempunyai kaitan dengan masalah sepsis. Hal yang

sama ditemukan di Negara maju pada bayi yang dirawat di unit perawatan intensif bayi baru

lahir.

Di samping morbiditas, mortilitas yang tinggi ditemukan pula pada penderita sepsis bayi

baru lahir. Dalam laporan WHO yang dikutip Child Health Research Project Spesial Report :

reducing perinatal and neonatal mortality (1999) dikemukan bahwa 42% kematian bayi baru lahir

terjadi karena berbagai bentuk infeksi seperti infeksi saluran pernapasan, tetanus neonatorum,

sepsis dan infeksi gastrointestinal.

Ada banyak faktor-faktor yang dapat mempengaruhi sepsis pada bayi baru lahir, antara

lain faktor maternal, pengaruh lingkungan, dan faktor penjamu yang meliputi jenis kelamin

lakilaki, bayi premature, berat badan lahir rendah, dan kerusakan mekanisme pertahanan dari

penjamu.

Tanda klinis sepsis neonatorum tidak spesifik, hal ini berhubungan dengan karakteristik

kuman penyebab dan respon tubuh terhadap masuknya kuman, seperti: hipertermia, hipotermia,

distress pernafasan, apnue, sianosis, kuning, hepatomegali, letargi, anoreksia, kesulitan minum,

munah, distensi abdomen, dan diare.

Angka kejadian di Asia Tenggara berkisar 2,4-16 per 1.000 kelahiran hidup, di Amerika

Serikat 1-8 per 1.000 kelahiran hidup, sedangkan di Divisi Perinatologi Departemen Ilmu

Kesehatan Anak FKUI/RSCM (tahun 2004) sebesar 56,1 per 1.000 kelahiran hidup. Angka

kejadian sepsis neonatorum di RSCM tinggi karena RSCM merupakan rumah sakit rujukan.3

Angka kematian dapat mencapai 50% pada bayi yang tidak diobati secara adekuat. Angka

kejadian meningitis neonatorum yang merupakan komplikasi serius dari sepsis neonatorum,

berkisar 1 di antara 4 kasus sepsis neonatorum.

Bakteri penyebab SNAD (sepsis neonatorum awitan dini) umumnya berasal dari traktus

genitalia maternal yang tidak menyebabkan penyakit pada ibu. Sementara SNAL (sepsis

neonatroum awitan lambat) umumnya disebabkan oleh infeksi nosokomial seperti

Staphylococcus coagulase-negatif, Enterococcus, dan Staphylococcus aureus. Perjalanan

penyakit SNAD biasanya lebih berat dan cenderung menjadi fulminan, yang dapat berakhir

dengan kematian

1.2 Tujuan

Mahasiswa mengetahui dan memahami faktor-faktor resiko serta etiologi yang diduga

dapat menyebabkan sepsis neonatorum, sehingga dapat dilakukan intervensi yang sesuai.

Mahasiswa mengerti mekanisme dan patofisiologi terjadinya sepsis neonatorum, sehingga

pendekatan diagnostik yang tepat dapat dicapai.

Mahasiswa mengetahui pemeriksaan penunjang mana yang diperlukan untuk menunjang

diagnostic pada sepsis neonatorum.

Mahasiswa mengetahui penatalaksanaan dari sepsis neonatroum, baik awitan lambat,

maupun awitan cepat, mengingat tingginya angka kematian yang disebabkannya.

Mahasiswa mengetahui teknik pemilihan antibiotik yang tepat pada sepsis neonatorum.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Sepsis neonatal adalah merupakan sindroma klinis dari penyakit sistemik akibat infeksi

selama satu bulan pertama kehidupan. Bakteri, virus, jamur, dan protozoa dapat menyebabkan

sepsis bayi baru lahir. Sepsis neonatal awitan dini adalah kejadian sepsis pada neonates yang

terjadi pada 72 jam setelah persalinan atau 5 – 7 hari pertama kehidupan. Infeksi dapat

disebabkan oleh bakteri, virus, jamur dan jarang karena protozoa. Sepsis awitan dini lebih sering

didapatkan pada bayi kurang bulan. Sepsis berat ialah sepsis yang disertai disfungsi organ

kardiovaskuler atau disertai gangguan napas akut atau adanya gangguan dua organ lain (seperti

gangguan neurologis, hematologi, urogenital, dan hepatologi )

2.2 Klasifikasi

a. Sindrom Awitan Dini (Early Onset)

Sindrom awitan dini biasanya disebabkan oleh streptokokus B dan L.monocytogenes.

Sindrom awitan dini biasanya terjadi dalam 96 jam kelahiran, biasanya dalam beberapa

jam pertama kehidupan. Bayi premature merupakan sekitar 30-50% jumlah pasien yang

dilaporkan. Awitan biasanya mendadak dan diikuti oleh perjalanan fulminan, dengan

focus primer peradangan pada paru, walaupun kadang-kadang ada meningitis. Apnea,

hipotensi, dan koagulasi intravascular diseminata menyebabkan perburukan cepat dan

sering menimbulkan kematian dalam 24 jam.

Pada pasien dengan gawat nafas, 60% menunjukkan roentgen dada dengan pola

retikuloglandular, dengan bronkogram udara yang tidak dapat dibedakan dengan penyakit

membrane hialin.

b. Sindrom Awitan Lanjut (Late Onset)

Biasanya terjadi dalan 2-4 minggu setelah kelahiran. Awitan berlangsung tersembunyi.

Kesulitan minum dan demam merupakan gejala yang paling sering. Bayi dengan

meningitis streptokokus B awitan lanjut jarang muncul dengan hidrosefalus tanpa danya

bukti akibat infeksi bakteri lain. Di antara beonatus yang bertahan hidup melewati

meningitis streptokokus grup B, 50% akan menderita sejumlah kelainan neurologi, seperti

keterbelakangan mental yang berat, buta kortikalis, gangguan kejang, hidrosefalus,

mikrosefalus, dan kuadriparesis. Dapat pula timbul gejala sisa yang ringan, seperti tuli

sensorineural, hidrosefalus yang terhenti, kelambatan bahasa, dan monoparesis.

c. Sindrom Lain

Kebanyakan infeksi neonatus tidak dapat dikategorikan dalam awitan lanjut atau dini,

tetapi meluas menjadi spectrum klinis yang lebar dan melibatkan sejumlah organ.

Berbagai manifestasi berikut telah dijumpai: selulitis, adenitis, abses kulit kepala,

impetigo, abses payudara, konjungtivitis, dan sebagainya. Pada bakteremia transien

asimtomatik, bayi secara klinis terlihat sehat, tetapi biakan darah biasanya dilakukan

karena ada riwayat komplikasi obstetrik pada ibu. Biakan ulang sebelum terapi

antimikroba diberikan biasanya steril.

2.3 Epidemiologi

Angka kejadian/insiden sepsis di negara yang sedang berkembang masih cukup tinggi (18

pasien/1000 kelahiran) dibanding dengan negara maju (1-5 paien /1000 kelahiran). Kejadian

sepsis juga meningkat pada bayi kurang bulan (BKB) dan berat badan lahir rendah (BBLR). Pada

bayi berat lahir amat rendah (<1000 g) kejadian sepsis terjadi pada 26 perseribu kelahiran dan

keadaan ini berbeda bermakna dengan bayi berat lahir antara 1000 – 2000 g yang angka

kejadiannya antara 8-9 perseribu kelahiran. Demikian pula resiko kematian BBLR penderita

sepsis lebih tinggi bila dibandingkan dengan bayi cukup bulan.3 Secara Nasional

kejadian/insiden sepsis neonatorum belum ada.

Walaupun infeksi bakterial berperan penting dalam sepsis neonatal, tetapi infeksi virus

perlu dipertimbangkan. Dari pengumpulan data selama 5 tahun terakhir, Shattuck (1992)

melaporkan bahwa selain infeksi bakteri, infeksi virus khususnya enterovirus berperan pula

sebagai penyebab sepsis/meningitis neonatal. Dari tahun ke tahun insiden sepsis tidak banyak

mengalami perbaikan, sebaliknya angka kematian memperlihatkan perbaikan yang bermakna. Di

Inggris, angka kematian sepsis neonatal pada tahun 1985 – 1987 (25 – 30%) menunjukkan

penurunan yang bermakna dibandingkan dengan tahun 1996 – 1997 (menjadi 10%).

2.4 Etiologi

Bakteri penyebab SNAD (sepsis neonatorum awitan dini) umumnya berasal dari traktus

genitalia maternal yang tidak menyebabkan penyakit pada ibu. Sementara SNAL (sepsis

neonatroum awitan lambat) umumnya disebabkan oleh infeksi nosokomial seperti

Staphylococcus coagulase-negatif, Enterococcus, dan Staphylococcus aureus. Perjalanan

penyakit SNAD biasanya lebih berat dan cenderung menjadi fulminan, yang dapat berakhir

dengan kematian.

Meningoensefalitis dan sepsis neonatorum diketahu dapat juga disebabkan oleh infeksi

dari adenovirus, enterovirus, atau coxsakievirus. Sebagai tambahan, penyakit menular seksual

(seperti gonorrhea, sifilis, virus herpes, sitomegalovirus, hepatitis, HIV, rubella, toxoplasmosis,

Trichomonas vaginalis, dan spesies Candida) ditemukan juga dapat mengakibatkan sepsis

neonatorum.

2.5 Patofisiologi

Mikroorganisme atau kuman penyebab infeksi dapat mencapai neonatus melalui beberapa

cara yaitu:

a. Pada masa antenatal atau sebelum lahir

Pada masa antenatal kuman dari ibu setelah melewati plasenta dan umbilikus masuk ke

dalam tubuh bayi melalui sirkulasi darah janin. Penyebab infeksi adalah virus yang dapat

menembus plasenta antara lain:virus rubella, herpes, sitomegalo, koksaki, influenza,

parotitis. Bakteri yang melalui jalur ini antara lain: malaria, sipilis, dan toksoplasma.

b. Pada masa intranatal atau saat persalinan Infeksi saat persalinan terjadi karena kuman

yang ada pada vagina dan serviks naik mencapai korion dan amnion. Akibatnya terjadi

amnionitis dan korionitis, selanjutnya kuman melalui umbilikus masuk ketubuh bayi. Cara

lain yaitu pada saat persalinan, kemudian menyebabkan infeksi pada janin dapat terjadi

melalui kulit bayi atau port de entre, saat bayi melewati jalan lahir yang terkontaminasi

oleh kuman ( misalnya: herpes genetalia, candida albicans, gonorrhea).

c. Infeksi pascanatal atau sesudah melahirkan Infeksi yang terjadi sesudah kelahiran

umumnya terjadi sesudah kelahiran, terjadi akibat infeksi nasokomial dari lingkungan di

luar rahim (misalnya melalui alat-alat penghisap lendir, selang endotrakea, infus, selang

nasogastrik, botol minuman atau dot). Perawat atau profesi lain yang ikut menangani bayi,

dapat menyebabkan terjadinya infeksi nasokomial. Infeksi juga dapat melalui luka

umbilikus.

Sepsis biasanya akan dimulai dengan adanya respon sistemik tubuh dengan gambaran

proses inflamasi, koagulopati, gangguan fibrinolisis yang selanjutnya menimbulkan gangguan

sirkulasi dan perfusi yang berakhir dengan gangguan fungsi organ.

Berlainan dengan pasien dewasa, pada bayi baru lahir terdapat berbagai tingkat defisiensi

sistem pertahanan tubuh, sehingga respons sistemik pada janin dan bayi baru lahir akan berlainan

dengan pasien dewasa. Sebagai contoh, pada infeksi awitan dini respon sistemik pada bayi baru

lahir mungkin terjadi saat bayi masih dalam kandungan. Keadaan ini dikenal dengan fetal

inflammatory response syndrome (FIRS), yaitu infeksi janin atau bayi baru lahir terjadi karena

perjalanan infeksi kuman vagina (ascanding infaction) atau infeksi yang menjalar secara

hematogen dari ibu yang menderita infeksi.

Dengan demikian konsep infeksi pada bayi baru lahir, khususnya pada infeksi awitan dini,

perjalanan penyakit bermula dengan FIRS kemudian sepsis, sepsis berat, syok septik/renjatan

septik, disfungsi multi organ dan akhirnya kematian.

Pada infeksi awitan lambat perjalanan penyakit infeksi tidak berbeda dengan definisi pada

anak. Dengan demikian, definisi sepsis neonatal ditegakkan apabila terdapat keadaan SIRS/FIRS

yang dipicu infeksi baik berbentuk tersangka (suspected) infeksi ataupun terbukti (proven)

infeksi. Selanjutnya dikemukakan, sepsis bayi baru lahir ditegakkan bila ditemukan satu atau

lebih kriteria FIRS/SIRS yang disertai gambaran klinis sepsis.

Gambaran klinis sepsis bayi baru lahir tersebut bervariasi, karena itu kriteria diagnostik

harus pula mencakup pemeriksaan penunjuang baik pemeriksaan laboratorium ataupun

pemeriksaan khusus lainnya. Kriteria tersebut terkait dengan perubahan yang terjadi dalam

perjalanan penyakit infeksi. Perubahan tersebut dapat dikelompokkan dalam berbagai variabel,

antara lain variabel klinik, variabel hemodinamik, variabel perfusi jaringan, dan variable

inflamasi. Berbagai variable inflamasi tersebut di atas merupakan respons sistemik yang

ditemukan pada keadaan FIRS/SIRS.

Sistem Imun Janin dan Bayi Baru Lahir Imunitas seluler (sel T) berawal di dalam rahim.

Respons imun primer (IgM) terhadap berbagai mikroorganisme dapat dirangsang di dalam janin

pada trimester ketiga kehamilan. Respons-respons imun lain terhadap suatu antigen (IgG dan

IgA), fagositosis neutrofil dan makrofag, dan pembentukan zat-zat antara peradangan belum

terdapat secara signifikan sampai 6-8 bulan setelah lahir. Hal ini membuat janin dan bayi baru

lahir rentan terhadap infeksi dan penyakit. Dalam uterus, antibody IgG ibu secara aktif

dipindahkan melintasi sel-sel plasenta dan dapat dideteksi di dalam tubuh bayi selama paling

sedikit 6 bulan setelah lahir. Antibodi-antibodi ini menghasilkan imunitas pasif terhadap berbagai

mikroorganisme bagi janin dan bayi. IgA dan immunoglobulin lain dapat sampai ke bayi melalui

air susu.

Dalam sistem imun, salah satu respon sistemik yang penting pada pasien FIRS/SIRS

adalah pembentukan sitokin. Sitokin yang terbentuk dalam proses infeksi berfungsi sebagai

regulator reaksi tubuh terhadap infeksi, inflamasi atau trauma. Jumlah sitokin yang terkait dengan

SIRS terus bertambah dan mencakup faktor nekrosis tumor (TNF), interleukin (IL)-1,-6, dan -8,

factor pengaktif trombosit (platelet activating factor [PAF]) dan interferon. Sebagian sitokin (pro-

inflammatory cytokine seperti IL-1, IL-2 dan TNF-α) dapat memperburuk keadaan penyakit

tetapi sebagian lainnya (anti-inflammatory cytokine seperti IL-4 dan IL-10) bertindak meredam

infeksi dan mempertahankan homeostasis organ vital tubuh.

Baik sendirian ataupun kombinasi, produk-produk bakteri dan sitokin proradang memicu

respons fisiologis untuk menghentikan penyerbu (invader) mikroba. Respons ini adalah:

(1) Aktivasi sistem komplemen

(2) Aktivasi faktor Hagenam (faktor XII), yang kemudian mencetuskan tingkatan-tingkatan

koagulasi

(3) Pelepasan hormon adrenokortikotropin dan beta-endorfin

(4) Rangsangan neutrofil polimorfonuklear

(5) Rangsangan sistem kalikrein kinin.TNF dan mediator radang lain meningkatkan

permeabilitas vascular, menimbulkan kebocoran kapiler difus, mengurangi tonus vaskuler,

dan terjadi ketidakseimbangan antara perfusi dan kenaikan kebutuhan metabolik jaringan.

Pembentukan Tissue Factor (TF) yang bersamaan dengan faktor VII darah akan berperan

pada proses koagulasi. Kedua faktor tersebut menimbulkan aktivasi faktor IX dan X sehingga

terjadi proses hiperkoagulasi yang menyebabkan pembentukan trombin yang berlebihan dan

selanjutnya meningkatkan produksi fibrin dari fibrinogen. Pada pasien sepsis, respon fibrinolisis

yang biasa terlihat pada bayi normal juga terganggu. Supresi fibrinolisis terjadi karena

pembentukan plasminogen-activator inhibitor-1 (PAI-1) yang dirangsang oleh mediator

proinflamasi (TNF-α).2 Demikian pula pembentukan trombin yang berlebihan berperan dalam

aktivasi thrombin-activatable fibrinolysis inhibitor (TAFI) yaitu faktor yang menimbulkan sepresi

fibrinolisis.

Kedua faktor yang berperan dalam supresi ini mengakibatkan akumulasi fibrin darah yang

dapat menimbulkan mikrotrombin pada pembuluh darah kecil sehingga terjadi gangguan

sirkulasi. Gangguan tersebut mangakibatkan hipoksemia jaringan dan hipo tensi sehingga terjadi

disfungsi berbagai organ tubuh. Manifestasi disfungsi multiorgan ini secara klinis dapat

memperlihatkan gejala-gejala sindrom distres pernapasan, hipotensi, gagal ginjal dan bila tidak

teratasi akan diakhiri dengan kematian pasien.

2.6 Faktor Resiko

Factor resiko terjadinya sepsis neonatorum dibagi atas faktor ibu, neonates dan faktor

lain-lain.

a. Faktor maternal terdiri dari:

1. Ruptur selaput ketuban yang lama

2. Persalinan prematur

3. Amnionitis klinis

4. Demam maternal

5. Manipulasi berlebihan selama proses persalinan

6. Persalinan yang lama

b. Pengaruh lingkungan yang dapat menjadi predisposisi bayi yang terkena sepsis, tetapi tidak

terbatas pada buruknya praktek cuci tangan dan teknik perawatan, kateter umbilikus arteri

dan vena, selang sentral, berbagai pemasangan kateter selang trakeaeknologi invasive, dan

pemberian susu formula.

c. Faktor penjamu meliputi jenis kelamin laki-laki, bayi prematur, berat badan lahir rendah, dan

kerusakan mekanisme pertahanan dari penjamu.

d. Faktor Predisposisi

Terdapat berbagai faktor predisposisi terjadinya sepsis, baik dari ibu maupun bayi sehingga

dapat dilakukan tindakan antisipasi terhadap kemungkinan terjadinya sepsis. Faktor

predisposisi itu adalah: Penyakit yang di derita ibu selama kehamilan, perawatan antenatal

yang tidak memadai; Ibu menderita eklamsia, diabetes mellitus; Pertolongan persalinan yang

tidak higiene, partus lama, partus dengan tindakan; Kelahiran kurang bulan, BBLR, cacat

bawaan. Adanya trauma lahir, asfiksia neonatus, tindakan invasif pada neonatus; Tidak

menerapkan rawat gabung. Sarana perawatan yang tidak baik, bangsal yang penuh sesak.

Ketuban pecah dini, amnion kental dan berbau; Pemberian minum melalui botol, dan

pemberian minum buatan.

1. Faktor resiko mayor

a. Ketuban pecah > 2 jam

b. Ibu demam saat intrapartum, suhu > 380C

c. Korioamnionitis

d. Denyut jantung janin menetap > 160 x/menit

e. Ketuban berbau

2. Faktor resiko minor

a. Ketuban pecah > 12 jam

b. Ibu demam saat intrapartum, suhu > 37,50C

c. Nilai Apgar rendah (menit ke-1 < 5 , menit ke-5 < 7).

d. Bayi berat lahir sangat rendah < 1.500 gram.

e. Usia gestasi < 37 minggu.

f. Kehamilan ganda

g. Keputihan yang tidak diobati

h. Infeksi saluran kemih (ISK)/ tersangka ISK yang tidak diobati

Umumnya, metode persalinan dilakukan dengan persalinan normal dan bedah caesar.

Metode yang dipilih akan terkait dengan angka kematian dan kesakitan, baik bagi ibu maupun

bayinya. Persalinan lewat bedah caesar terkait dengan kematian ibu 3 kali lebih besar

dibandingkan persalinan normal. Angka kematian langsung akibat persalinan caesar adalah

sekitar 5.8 per 100.000 persalinan.

Di Amerika Serikat angka kelahiran caesar meningkat lebih dari 40 %, di Eropa 30 %,

Amerika Latin dan sebagian negara Asia mencapai 50% sejak 1996.

Penelitian juga menunjukkan, bayi yang dilahirkan dengan metoda caesar, membutuhkan

waktu kira-kira enam bulan untuk mencapai mikrobiota usus yang serupa dengan bayi lahir

normal, sehingga bayi Caesar memiliki resiko lebih tinggi terhadap berbagai jenis penyakit.

Saluran cerna penting artinya bagi kesehatan tubuh manusia. Fungsi utama saluran cerna adalah

mencerna dan menyerap zat gizi agar kebutuhan tubuh dapat terpenuhi. Pada saluran cerna yang

sehat mukosa usus mampu menyerap mikronutrien penting dan menolak toksin serta patogen, dan

dua pertiga sistem kekebalan tubuh berada dalam saluran cerna.

Saluran cerna memiliki populasi mikroba yang beragam dan kompleks. Mikrobiota

saluran cerna ini mempengaruhi kesehatan dengan cara melindungi tubuh dari serangan

mikroorganisma patogen, merangsang sistem daya tahan tubuh, membantu kinerja saluran cerna

serta memproduksi vitamin-vitamin esensial.

Mikrobiota tersebut diperoleh sejak lahir dari mikrobiota ibu dan lingkungan. Pada

persalinan normal, bakteri dari ibu dan lingkungan sekitar membentuk kolonisasi pada saluran

cerna. Saat itu, bayi berpindah dari rahim ke lingkungan luar melalui proses yang melibatkan

kontraksi berjam-jam. Efeknya, bayi kontak secara alami dengan mikrobiota ibu dan berkoloni

diususnya. Mikrobiota, seperti Bifidobacteria dan Lactobacilli, memegang peran utama

mengaktifkan sistem kekebalan.

Namun, bayi yang lahir secara caesar kurang terpapar mikroba pada saat dilahirkan.

Apalagi bayi yang dilahirkan caesar juga sering kali terpapar antibiotika di masa awal

kehidupannya. Akibatnya kolonisasi bakteri menguntungkan (probiotik) di saluran cerna

terhambat. Padahal inisiasi koloni bakteri yang diperoleh bayi saat persalinan normal

berpengaruh kuat pada perkembangan dan pematangan sistem kekebalannya, yang pada akhirnya

mempengaruhi kesehatan bayi.

Pada saat lahir, sistem daya tahan tubuh masih belum dapat berfungsi dengan baik atau

belum sempurna. Mikrobiota memiliki peranan yang penting dalam pematangan sistem daya

tahan tubuh, khususnya dalam membentuk toleransi oral (mulut) dan mengurangi resiko alergi.

Terdapat dua cara yang bisa dilakukan untuk meningkatkan dominasi bakteri baik di

saluran cerna bayi. Pertama, memberikan suplemen bakteri baik secara langsung. Kedua dengan

mendukung pertumbuhan bakteri baik yang sudah ada diusus dengan pemberian makanan yang

tepat.

Diketahui, air susu ibu (ASI) mengandung gizi terbaik untuk bayi. ASI mengandung

bakteri-bakteri yang menguntungkan (probiotik), disamping karbohidrat tertentu yang

mendukung pertumbuhan Bifidobacteria. Bayi yang lahir mengonsumsi probiotik akan memiliki

mikrobiota menguntungkan dalam jumlah banyak disaluran cernanya. Banyak bukti yang tersedia

untuk mendukung penggunaan probiotik bagi bayi dengan tujuan untuk membentuk kolonisasi

mikrobiota saluran cerna yang sehat dan menyeimbangkan sistem daya tahan tubuh, yang pada

akhirnya akan meningkatkan kesehatan dan mengurangi resiko alergi.

2.7 Diagnosis

Diagnosis sepsis neonatal sulit karena gambaran klinis pasien tidak spesifik. Gejala sepsis

klasik yang ditemukan pada anak lebih besar jarang ditemukan pada bayi baru lahir. Tanda dan

gejala sepsis neonatal tidak berbeda dengan gejala penyakit non infeksi berat lain pada bayi baru

lahir. Diagnosa

Gejala klinik neonates sehat adalah tampak bugar, menangis keras, minum kuat, napas

spontan dan teratur, aktif dan gerakan simetris, dengan umur kehamilan 37 – 42 minggu, berat

lahir 2500 – 4000 gram dan tidak terdapat kelainan bawaan/ mayor.

Menegakkan diagnosa sepsis pada neonates tidak mudah karena gejala kelainannya tidak

spesifik, dapat menyerupai keadaan lain yang disebabkan oleh non infeksi. Diagnosis sepsis pada

neonates ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan laboratorium darah, pemeriksaan

penunjang dan kultur darah sebagai gold standard.

Manifestasi klinis sepsis neonatorum

Susunan syaraf pusat Letargi atau lunglai, mengantuk, aktivitas

berkurang Iritabel atau rewel

Kardiovaskuler Pucat, sianosis, dingin, chummy skin

Respiratorik Takipnu, apneu, merintih, retraksi

Saluran Pencernaan Muntah, diare, distensi abdomen

Hematologik Perdarahan, jaundice

Kulit Ruam, purpura, pustula

Gupte (2003) membuat skor neonatal sepsis berdasarkan factor resiko. Skor ini menilai

apakah bayi memerlukan skrining sepsis atau pemberuian terapi medikamentosa. Aplikasi : bila

skor 3 – 5 lakukan skrining sepsis; skor > 5 pertimbangkan terapi.

Faktor Skor

Prematuritas

Cairan amnion yang berbau busuk

Ibu demam

Asfiksia (nilai apgar menit 1 < 6)

Partus lama

Pemeriksaan vagina yang tidak bersih

Ketuban pecah dini

3

2

2

2

1

2

1

Sumber : Suraj Gupte, Neonatal Septicemia, 2003

Laboratorium

Pemeriksaan penunjang yang dianjurkan (Septic Marker)

1. Hitung leukosit (N 5.000/ul-30.000/ul)

2. Hitung trombosit (N> 15.000/ul)

3. IT tasio (rasio neutrofil imatur dengan neutrofil total): (N < 0,2) Usia 1 hari 3 hari 7 hari 14

hari 1 bulan IT rasio 0,16 0,12 0,12 0,12 0,12 4. CRP (N 1,0 mg/dl atau 10 mg/l) Beberapa

uji laboratorium dapat membuktikan secara tidak langsung adanya infeksi bakteri. Selain

itu dapat pula dipertimbangkan pemeriksaan kultur darah, cairan spinal, dan pemeriksaan

urin. Jika terdapat focus infeksi yang lain, dapat juga diperiksa pada lokasi tersebut.

4. Rontgen dada harus dilakukan sebagai bagian dari evaluasi diagnostik bayi yang diduga

sepsis. Pemeriksaan radiologi lain dapat diindikasikan bergantung dari kondisi klinis

tertentu. Ultrasonografi (USG), CT-Scan, dan MRI merupakan teknik pencitraan paling

berguna bila keadaan pasien mengizinkan.

FIRS/SIRS (Fetal inflammatory response syndrome) ditegakkan bila ditemukan dua atau lebih

keadaan : laju napas > 60 x/menit atau < 30 x/menit atau apnea dengan atau tanpa retraksi dan

desaturasi oksigen, suhu tubuh tidak stabil (< 360C atau > 37,50C), waktu pengisian kapiler > 3

detik, hitung leukosit < 4.000 x 109/L atau > 34.000 x 109/L.

Dalam kurun waktu kurang lebih 2 dasawarsa terakhir beberapa pakar telah menyusun

kriteria diagnosis infeksi dan sepsis pada neonates berdasarkan sistim scoring.

Sales Santos M, Bunye MO (1995) mengemukakan system scoring hematologis untuk

predoksi sepsis neonatorum, sebagai berikut :

Kriteria Skor

Peningkatan I/T rasio 1

Penurunan / peningkatan jumlah PMN total 1

I: M ≥ 0,3 1

Peningkatan jumlah PMN imatur 1

Peningkatan/penurunan jumlah lekosit total

sesuai umur

Bayi baru lahir ≥ 25.000/ mm3 atau ≤ 5000 /

mm3

Umur 12-24 jam ≥ 30.000/ mm3

Umur > 2 hr ≥ 21.000/ mm3

1

Perubahan PMN

≥ 3 vakuolisasi, toksik granular, Dohle bodies

1

Trombosit < 150.000/mm3 1

Sumber : the complete blood count and hematologic finding as screending criteria for neonatal

sepsis, 1995

Bila jumlah skor lebih atau sama dengan 3 maka kemungkinan besar sepsis. Penggunaan skor ini

harus disesuaikan dengan klinis.

2.8 Pencegahan

a. Pada masa antenatal

Perawatan antenatal meliputi pemeriksaan kesehatan ibu secara berkala, imunisasi,

pengobatan terhadap penyakit infeksi yang di derita ibu, asupan gizi yang memadai,

penanganan segera terhadap keadaan yang dapat menurunkan kesehatan ibu dan janin,

rujukan segera ketempat pelayanan yang memadai bila diperlukan.

b. Pada saat persalinan

Perawatan ibu selama persalinan dilakukan secara aseptik, yang artinya dalam melakukan

pertolongan persalinan harus dilakukan tindakan aseptik. Tindakan intervensi pada ibu

dan bayi seminimal mungkin dilakukan (bila benar-benar diperlukan). Mengawasi

keadaan ibu dan janin yang baik selama proses persalinan, melakukan rujukan secepatnya

bila diperlukan dan menghindari perlukaan kulit dan selaput lendir.

c. Sesudah persalinan

Perawatan sesudah lahir meliputi menerapkan rawat gabung bila bayi normal, pemberian

ASI secepatnya, mengupayakan lingkungan dan peralatan tetap bersih, setiap bayi

menggunakan peralatan tersendiri, perawatan luka umbilikus secara steril. Tindakan

invasif harus dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip aseptik. Menghindari

perlukaan selaput lendir dan kulit, mencuci tangan dengan menggunakan larutan

desinfektan sebelum dan sesudah memegang setiap bayi. Pemantauan bayi secara teliti

disertai pendokumentasian data-data yang benar dan baik. Semua personel yang

menangani atau bertugas di kamar bayi harus sehat. Bayi yang berpenyakit menular di

isolasi, pemberian antibiotik secara rasional, sedapat mungkin melalui pemantauan

mikrobiologi dan tes resistensi.

2.9 Penatalaksanaan

Prinsip pengobatan sepsis neonatorum adalah mempertahankan metabolisme tubuh dan

memperbaiki keadaan umum dengan pemberian cairan intravena termasuk kebutuhan nutrisi.

Menurut Yu Victor Y.H dan Hans E. Monintja pemberian antibiotik hendaknya memenuhi

kriteria efektif berdasarkan hasil pemantauan mikrobiologi, murah, dan mudah diperoleh, tidak

toksik, dapat menembus sawar darah otak atau dinding kapiler dalam otak yang memisahkan

darah dari jaringan otak dan dapat diberi secara parenteral. Pilihan obat yang diberikan ialah

ampisilin dan gentamisin atau ampisilin dan kloramfenikol, eritromisin atau sefalasporin atau

obat lain sesuai hasil tes resistensi.

Pemilihan antibiotik untuk terapi inisial mengacu pada jenis kuman penyebab tersering

dan pola resistensi kuman di masing-masing pusat kesehatan. Segera stelah didapatkan hasil

kultur darah, pemberian antibiotik disesuaikan dengan kuman penyebab dan pola resistensinya.

Walaupun pemberian antibiotik masih merupakan tatalaksana utama pengobatan sepsis

neonatal, berbagai upaya pengobatan tambahan (adjunctive, adjuvant therapy) bayak dilaporkan

dalam upaya memperbaiki mortilitas bayi.pengobatan tambahan atau terapi inkonvensional

semacam ini selain mengatasi berbagai defisiensi dan belum matangnya fungsi pertumbuhan

tubuh bayi baru lahir,juga dalam rangka mengatasi perubahan yang terjadi dalam perjalanan

penyakit dan cascade inflamasi pasien sepsis neonatal.

Pemilihan Antibiotik

Antibiotik Dosis Interval Keterangan

Amoxicillin 15 mg/kg 8 jam -

Azithromycin 5–10 mg/kg 24 jam Terapi dan

profilaksis pada

Pertussis

Clindamycin 5 mg/kg 6-8 jam -

Erythromycin 10 mg/kg 6-12 jam Infeksi Klamidial

pada neonates usia

lebih dari 1 bulan

Fluconazole 3-6 mg/kg 24-72 jam Infeksi candida

Flucytosine 12,5-37,5 mg/kg 8 jam -

Neomycin sulfate 33 mg/kg 8 jam Etiologi

gastroenteritis

Rifampisin 10 mg/kg

5 mg/kg

24 jam

12 jam

Untuk TB

Untuk profilaksis meningokokus

Terapi Tambahan

1. Pemberian immunoglobulin

Pemberian immunoglobulin secara intravena (Intravenous Immunoglobulin IVIG).

Pemberian immunoglobulin dilakukan dengan harapan dapatmeningkatkan antibodi tubuh

serta memperbaiki fagositosis dan kemotaksis sel darah putih.

2. Pemberian Fresh Frozen Plasma (FFP)/ Tindakan transfusi tukar

Pemberian FFP diharapkan dapat mengatasi gangguan koagulasi yang diderita pasien.

Tindakan ini bertujuan untuk:

Mengeluarkan/mengurangi toksin atau produk bakteri serta mediator-mediator

penyebab sepsis

Memperbaiki perfusi perifer dan pulmonal dengan meningkatkan kapasitas oksigen

dalam darah

Memperbaiki sistem imun dengan adanya tambahan neutrofil dan berbagai antibodi

yang mungkin terkandung dalam darah donor.

3. Pemberian transfusi granulosit dikemukakan dapat memperbaiki pengobatan pada

penderita sepsis neonatorum. Hal ini terlihat dengan membaiknya sistem imun yang

menurun pada keadaan sepsis neonatal. Demikian pula pemberian transfusi packed red

blood cells bertujuan mengatasi keadaan anemia dan menjamin oksigenisasi jaringan yang

optimal pada pasien sepsis.

DAFTAR PUSTAKA

Barbara J. Stoll. Infections of the Neonatal Infant. In Nelson Textbook of Pediatrics 17th ed.

USA: WB Saunders. 2004. p: 623-639..

L. S. Prod'hom, J.-M. Choffat, N. Frenck, M. Mazoumi, J.-P. Relier and A. Torrado. Care of the

Seriously Ill Neonate With Hyaline Membrane Disease and With Sepsis (Sclerema

Neonatorum). Pediatrics 1974;53;170-181.

Ann L Anderson-Berry, Ted Rosenkrantz. Neonatal Sepsis. 2011. Available at

http://emedicine.medscape.com/article/964312 accessed at Oktober 10th, 2011.

Agus Harianto. Sepsis Neonatorum. 2010. Tersedia di: http://www.pediatrik.com/isi03 Diakses

tgl 10 Oktober 2011.

Ian R Friedland and George H McCracken. Sepsis dan Meningitis pada Neonatus. Dalam: Buku

Ajar Pediatri Rudolph. Vol. 1. Edisi 20. Jakart: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2006. Hlm

601-610.

M. William, Louis, M. Bell, Peter M. Bingham. (2003). The 5-Minute Pediatric Consult.

Lippincott Williams and Witkins.

Merck Online Manual. Introduction to Neonatal Infection. Available at

http://www.merckmanuals.com/professional/sec19 Accessed at Oktober 10th, 2011.

Aminullah A. Masalah Terkini sepsis neonatorum. Dalam : Update in neonatal infection.

Pendidikan berkelanjutan IKA XL VIII. Jakarta 2005 : 1-13

Gerdes JS. Diagnosis and Management of Bacterial Infection in the Neonate. Pediat Clin N Am

2004 : 939-59

Depkes RI. 2007. Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum. Jakarta : Depkes

World Health Organization. 2005. Report Perinatal Mortality.

Sepsis Neonatorum. Dalam Standard Pelayanan Medik RSUP DR. SARDJITO. Edisi 2.

Jogjakarta: Medika FK UGM; 2000; h. 35-6