NEAR-DEATH EXPERIENCE, IMPLIKASINYA PADA ...e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/9052/4/4....
Transcript of NEAR-DEATH EXPERIENCE, IMPLIKASINYA PADA ...e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/9052/4/4....
Penelitian Dasar
Pengembangan Program Studi
(PDPS)
NEAR-DEATH EXPERIENCE, IMPLIKASINYA PADA
MAKNA EKSISTENSIAL DIRI DAN ORIENTASI
KEAGAMAAN SESEORANG
Disusun Oleh:
Dra. Djami’atul Islamiyah, M.Ag.
NIP. 19570812 198802 2 001
LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA
MASAYARAKAT (LP2M)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
TAHUN 2018
i
NEAR-DEATH EXPERIENCE, IMPLIKASINYA PADA
MAKNA EKSISTENSIAL DIRI DAN ORIENTASI
KEAGAMAAN SESEORANG
Disusun Oleh:
Dra. Djami’atul Islamiyah, M.Ag.
NIP. 19570812 198802 2 001
LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA
MASAYARAKAT (LP2M)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
TAHUN 2018
Penelitian Dasar
Pengembangan Program Studi
(PDPS)
ii
PENELITIAN
NEAR-DEATH EXPERIENCE, IMPLIKASINYA PADA
MAKNA EKSISTENSIAL DIRI DAN ORIENTASI
KEAGAMAAN SESEORANG
Oleh:
Dra. Djami’atul Islamiyah, M.Ag.
NIP. 19570812 198802 2 001
Telah dikoreksi dan disetujui oleh konsultan
Salatiga, 25 September 2018
Konsultan;
Dr. Benny Ridwan, M.Hum.
NIP. 19730520 199903 1 006
Mengetahui;
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LP2M)
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga
Dr. Adang Kuswaya, M. Ag.
NIP. 19720531 199803 1 002
iii
KATA PENGANTAR
Near-Death Experience sering dibahas dalam kajian psikologi. Namun
dalam realitasnya, NDE ternyata bukan semata-mata peristiwa
psikologis atau medis belaka, tetapi lebih dari itu, Near-Death
Experience adalah juga berkaitan dengan pengalaman keagamaan.
Apapun itu, penelitian ini mencoba mendeskripsikan peristiwa
NDE dengan latar kondisi yang merupakan pemicunya yang beragama
dan juga berbagai implikasinya dalam konteks makna eksistensial diri
maupun orientasi mendalam bukan hanya bagi subjek NDE namun
juga memiliki pengaruh bagi orang di luar subjek tersebut.
Semoga penelitian ini bermanfaat bagi siapapun yang concern
terhadap studi religious experience termasuk di dalamnya tentang
kasus NDE.
Salatiga, 25 September 2018
Penulis
Djami‟atul Islamiyah
iv
ABSTRAK
Fokus penelitian ini adalah 1) Bagaimana deskripsi dan polarisasi
Near-death Experience dari masing-masing subjek? 2) Apa implikasi
NDE bagi subjek terkait makna eksistensial diri dan orientasi
keagamaan mereka. Penelitian ini termasuk jenis penelitian kualitatif
yang ditandai keterlibatan peneliti di lapangan dalam upaya
memahami dan mengidentifikasi pengalaman NDE masing-masing
responden dan implikasinya. Penelitian ini menggunakan pendekatan
sosiologis dan psikologi terutama psikologi agama. Temuan yang
dihasilkan dari penelitian ini adalah meskipun responden (subjek
NDE) dalam penelitian ini beragam dari aspek kondisi-kondisi yang
menjadi pemicu NDE, aspek usia saat terjadinya NDE, maupun
religious literacy mereka, namun penelitian ini menyimpulkan rata-
rata responden menarasikan pengalaman NDE yang mereka alami
dengan narasi yang sama, yaitu narasi agama atau sebagai religious
experience. Implikasi NDE bagi subjek, oleh karenanya bersifat
sangat kuat dan mendalam dalam bentuk kesadaran agama baik secara
vertikal maupun horisontal, misalnya dalam hal kesadaran tentang
eksistensi Tuhan, makna eksistensi manusia dengan segala cobaan
yang ada, pentingnya doa dan ibadah, perasaan lebih dekat dengan
Tuhan, kesiapan menghadapi kematian, kebaikan terhadap sesamaa,
dan sikap toleran.
Keywords: Near-Death Experience, Makna Eksistensial Diri,
Orientasi Keagamaan
v
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN ......................................................... ii
KATA PENGANTAR ................................................................. iii
ABSTRAK .................................................................................... iv
DAFTAR ISI ................................................................................ v
BAB I PENDAHULUAN ............................................................ 1
A. Latar Belakang ........................................................................ 1
B. Rumusan Masalah .................................................................. 5
C. Tujuan Penelitian .................................................................... 5
D. Signifikansi Penelitian ............................................................ 5
E. Prior Research ........................................................................ 5
BAB II KERANGKA TEORI .................................................... 8
A. Perspektif Tentang NDE ......................................................... 9
B. Psikologi Logoterapi .............................................................. 12
C. Orientasi Keagamaan Ekstrinsik-Intrinsik G.W. Allport ...... 14
BAB III METODE PENELITIAN ............................................. 16
A. Lokasi dan Subjek Penelitian ................................................. 16
B. Jenis dan Pendekatan Penelitian ............................................. 16
C. Teknik Pengumpulan Data ..................................................... 19
D. Uji Keabsahan Data ................................................................ 21
E. Teknik Analisis Data .............................................................. 23
BAB IV HASIL PENELITIAN .................................................. 25
A. Gambaran Umum Subjek Penelitian ...................................... 25
B. Deskripsi Peritsiwa NDE ........................................................ 30
C. Implikasi NDE pada Makna Eksistensial Diri dan Orientasi
Keagamaan .............................................................................
40
BAB V PEMBAHASAN DAN ANALISIS ................................ 48
A. Polarisasi dan Sekuensi NDE ................................................. 48
B. Implikasi NDE Bagi Subjek ................................................... 50
C. Near-Death Experience dan Konteks Religious Experience .. 55
BAB VI KESIMPULAN DAN PENUTUP ................................ 58
A. Kesimpulan ............................................................................. 58
B. Penutup ................................................................................... 59
vi
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Near-death experience sesungguhnya merupakan salah satu
bidang kajian dalam studi psikologi. Namun dalam perkembangan
selanjutnya, beberapa hasil penelitian tentang NDE ini
menyimpulkan adanya implikasi bagi subjek yang tidak semata-
mata psikologis namun juga bersifat teologis. Kesimpulan
tersebut dapat dikatakan bersifat universal dengan beragam tradisi
agama dan kepercayaan.
Sebagaimana kita ketahui bahwa eksistensi manusia
merupakan sesuatu yang nyata dan pasti, namun kematian adalah
juga nyata dan tak terelakkan. Sebagaimana firman Allah dalam
surat al Anbiya‟ ayat 35
كل ن فس ذائقة الموت Artinya: “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati”.
Dari sudut pandang sains, kematian adalah persoalan
kausalitas, sementara dalam perspektif teologis, kematian adalah
takdir yang sudah ditentukan Allah (kitaaban muajjalan: Ali
Imron 145). Meski sesungguhnya keduanya saling berkaitan.
Alquran surat Ali Imron: 145 menyebutkan
لا وما كان لن فس أن توت إلا بذن الله كتابا مؤجه
Artinya: “Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan
dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan
waktunya”.
Sekalipun kematian (di dunia ini) dialami seseorang sekali
sebagaimana juga kehidupan, namun pada kasus-kasus tertentu
orang bisa saja mengalami berada pada kondisi yang melibatkan
batasan antara kehidupan dan kematian atau Near-death
Experience (NDE).
Near-death Experience sebagaimana ditulis Braghetta “sebagai
kejadian psikologis yang sangat dalam, menunjukkan pola
persepsi yang sama dan terjadi pada saat seseorang dekat dengan
2
kematian atau dalam situasi phisik yang ekstrim atau disstress
emosional (2013: 83). Intensitas pengalaman ini sangatlah dalam,
bukan hanya pada sequence kejadiannya namun juga pada
dampak psikologis yang ditimbulkannya.
Terkait dengan hal ini, CG Yung sebagaimana dikutip oleh
Jalaluddin Rahmat (2003: 224) menulis “seseorang dikatakan
betul-betul hidup hanya jika dia memasukkan kematian ke dalam
kehidupannya”. Hanya jika dia bersedia “die with life”, dalam
konteks ini, para subjek NDE secara tidak langsung telah
mengalami apa yang disebut Yung sebagai die with life tersebut.
Tulisan Yung tersebut tentu memiliki makna tersendiri. Yung
yang terkenal religius, gagasannya tentang fungsi agama bagi
hidup manusia, mengingatkan akan pentingnya orang yang masih
hidup untuk mengingat akan kematian agar berdampak positif
bagi perjalanan panjang kehidupan seseorang. Kita bisa
membayangkan bagaimana jika seseorang hidup namun
orientasinya hanya kehidupan dunia saja tentu akan berbeda
perilakunya dengan orang-orang yang dimaksud oleh Yung
tersebut. Dalam sebuah hadis Nabi bersabda,
كفى بلموت واعظااArtinya: “cukuplah melalui kematian (seseorang) itu ada
pelajaran/nasihat”.
Dengan kata lain, melalui pengalaman menyaksikan kematian
orang lain, seseorang dapat menginternalisasikan ajaran-ajaran
agama yang dimiliki dalam kehidupan yang lebih bermakna.
Demikian juga dengan para subjek NDE yang sempat merasakan
dekatnya dengan kematian, tidak heran jika dikatakan bahwa
pengalaman NDE ini memiliki implikasi psikologis tersendiri
baik berkaitan dengan makna eksistensialnya maupun orientasi
keagamaannya “that NDEs lead to fundamental change in life. On
the one hand, they may affect only the subject’s image of and
attitude to death; on the other hand, they may lead to serious
change and after effects on the subjects life style, ranging from
changes in social behavior to increased religiousness”
3
(Knoblauch, 2001: 18). Artinya bahwa NDEs memberi perubahan
yang fundamental dalam hidup. Pada satu sisi NDEs dapat
mempengaruhi image subjek dan sikap mereka pada kematian.
Namun pada sisi yang lain NDEs dapat juga membawa perubahan
yang serius dan efek sesudahnya pada gaya hidup subjek meliputi
perubahan-perubahan perilaku sosial hingga keberagamaan yang
semakin mendalam.
Namun kenyataan itu tidak harus dimaknai bahwa hanya
melalui NDE lah penghayatan seseorang terhadap agamanya
dapat menjadi semakin “acute” (meminjam terma William
James). Tetapi yang perlu digaris bawahi adalah bahwa persepsi
orang akan adanya kematian inilah sesungguhnya yang
menginspirasi dan memotivasi bagi tumbuh kembang keagamaan
seseorang secara umum. Persepsi tersebut tentu dipengaruhi oleh
keimanan atau „belief‟ yang akan mempengaruhi perilakunya
(Fadden, 2004: 159).
Hubungan antara persepsi tentang kematian dan perilaku
religius telah banyak dikaji, misalnya RH Thouless “The idea that
the adjusment to death is one of the essential factors in the
religious attidude ...” (1971: 63). Artinya, menurut R.H.
Thouless, ide penyesuaian terhadap kematian adalah merupakan
satu di antara faktor-faktor penting dalam perilaku keagamaan.
Demikian juga Spilka “The form of personal faith adopted is,
however, an important variable influencing the manner with
which one conceptualize and probably handles death and dying”
(1996: 151). Artinya, bagaimanapun bentuk keyakinan yang
diadopsi secara personal merupakan satu variabel penting yang
mempengaruhi cara seseorang mengkonsepsikan dan
kemungkinan menghandel mati dan kematian.
Kutipan tersebut di atas memberi pemahaman kepada kita
tentang bagaimana hubungan antara agama dengan persepsi dan
kemampuan seseorang menghadapi kematian.
Menyimak beberapa hal tersebut di atas penulis tertarik dengan
studi kualitatif tentang Near-death experience. Terlebih
pengalaman pernah menyimak cerita panjang dari SS (nama
4
seorang ibu yang kemudian menjadi salah satu responden) yang
menuturkan kondisi tubuhnya yang nyaris tidak bisa apa-apa
(kepleh-kepleh bahasa dia) dalam waktu yang lama. Menurut SS,
penyakit yang dideritanya adalah akibat guna-guna mantan
kekasihnya (ST) yang telah menghamilinya. Hal itu dia alami
setelah dia menuntut tanggung jawab pengakuan atau pernikahan
atas kehamilannya. Namun semua itu tidak dia dapatkan, justru
penyakit yang dia terima. Dia menyebut kondisi dia saat itu
seperti mayat hidup di atas amben. Keluarga ST tidak percaya
bahwa yang menghamili SS adalah ST. Di samping itu, ST oleh
keluarganya sudah dijodohkan dan sudah mau menikah (saat itu)
dengan pilihan keluarganya. Sakit hati SS menerima kenyataan
hidupnya ditambah lagi penyakit yang dideritanya membuat dia
semakin terpuruk jasmani maupun rohaninya hingga dia
menyadari saat itu kematian telah mendekatinya.
Perpaduan antara bacaan literatur dengan pengalaman secara
empirik yang ada di masyarakat, menjadi inspirasi tersendiri bagi
penulis untuk berusaha menggali lebih dalam seputar Near-death
experience dengan implikasinya, melalui studi kualitatif yang
tidak semata-mata deskiptif namun juga menampilkan analisis
preskriptif agar dapat memberi pencerahan komunitas Near-death
experience ini.
Tulisan Greyson dalam jurnal Humanities tentang Near-death
Experience menjelaskan “Most Near-death Experiences interpret
their NDE as spiritual experience, and frame their understanding
of it in spiritual or religious term. Religious scholars have
examine NDE in the context of various spiritual faiths. Exploring
their concordance with particular tradition, teaching, regarding
death and dying (2015, 4, page 777).
Berdasarkan pokok-pokok pikiran di atas penulis ingin
melakukan penelitian dengan judul “NEAR-DEATH
EXPERIENCE, IMPLIKASINYA PADA MAKNA
EKSISTENSIAL DIRI DAN ORIENTASI KEAGAMAAN
SESEORANG ”.
5
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana deskripsi dan polarisasi Near-death experience dari
masing-masing subjek?
2. Apa implikasi NDE bagi subjek terkait makna eksistensial diri
dan orientasi keagamaan mereka?
C. Tujuan Penelitian
1. Mendeskripsikan dan mempolakan Near-death experience dari
masing-masing subjek.
2. Memberikan paparan dan analisis implikasi NDE bagi subjek
tentang makna eksistensial diri dan orientasi keagamaan
mereka.
D. Signifikansi Penelitian
1. Pada aspek teoritik, penelitian ini dimaksudkan untuk memberi
kontribusi akademik tentang diskursus NDE dan implikasinya
dalam arti yang luas.
2. Secara praktis, studi ini diharapkan dapat memperkaya
pemahaman aspek-aspek psikologis dan normatif bagi subjek
yang mengalami NDE, hingga dapat memperbaiki kualitas
kehidupan dari komunitas ini.
E. Prior Research
Penelitian dengan tema Near-death experience belum terlalu
banyak dilakukan. Hal itu disebabkan bukan karena tema ini
kurang menarik untuk diteliti tetapi lebih karena terbatasnya
subjek yang diteliti. Namun beberapa penelitian tentang NDE ini
yang telah dipublikasikan antara lain.
Studi tentang “Dinamika Psikologis Pengalaman Dekat dengan
Kematian (Near-death Experience) tulisan Imamul Muttaqin
(skripsi 2017). Sebagaimana judulnya penelitian ini bertujuan
untuk memahami dan mendesSipsikan dinamika psikologis pada
orang yang pernah mengalami Near-death Experience. Penelitian
6
ini menyimpulkan bahwa pengalaman NDE diawali dengan
elemen kognisi sebagai kejadian sesaat sebelum NDE, seperti
sering melamun, teringat pada orang tua, kemudian terdapat
elemen transendental yaitu kejadian seperti bertemu dengan sosok
berjubah putih, melihat cahaya, bertemu dengan kerabat yang
sudah meninggal, dan lain-lain, yang kemudian memiliki efek
sesudahnya, misalnya ikhlas menjalani kehidupan, mampu
menerima, dan berkurangnya rasa takut menghadapi kematian.
Tulisan Sarah Aisyah Azzah Ra “Peak Experience pada
Individu yang mengalami Near-death Experience (sSipsi 2017).
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui gambaran peak-
experience pada individu yang mengalami Near-death Experience
juga untuk mengetahui pengaruh peak-experience terhadap
kehidupan subjek setelah mengalaminya. Penelitian ini
menyimpulkan bahwa pada dua subjek yang diteliti untuk subjek
pertama setelah mengalami NDE, peak experience yang dialami
berupa rekonstruksi pandangan hidup serta memiliki tujuan hidup
dan tanggung jawab daripada sebelumnya. Sementara pada subjek
kedua disimpulkan lebih meningkatnya semangat hidup. Namun
secara umum keduanya memiliki kesadaran spiritual tidak adanya
rasa takut menghadapi kematian dan semakin giat dalam
keagamaan.
Western Scientific Approach to Near-death Experiences,
tulisan ini berbentuk review yang ditulis oleh Bruce Greyson,
yang dipublish dalam jurnal Humanities, 2015, 4, 775-796, doi:
10.3390/h 4040775. Secara ringkas review ini menyimpulkan
bahwa NDE adalah pengalaman yang sangat mendalam yang
sering terjadi dalam kondisi yang sangat genting, biasanya
ditandai oleh situasi transenden dan persepsi yang jelas tentang
hilangnya tubuh dan berada dalam dimensi waktu dan tempat
yang berbeda. Studi ini juga menyimpulkan (halaman 787)
betapapun tanpa memandang sebab-sebab atau interpretasi-
interpretasi NDEs, interpretasi-interpretasi tersebut secara
konsisten berhubungan dengan efek yang mendalam dan lama
7
bagi subjek yang mengalaminya dan memiliki implikasi penting
baik bagi subjek maupun orang-orang yang tidak mengalaminya.
Tulisan Wahyu Wicaksono dan Sito Meiyanto dalam Jurnal
Psikologi No. 1, 57-65, 2003, ketakutan terhadap kematian
ditinjau dari kebijaksanaan dan orientasi religius pada periode
remaja akhir yang berstatus mahasiswa. Tulisan ini dimaksudkan
untuk mengetahui korelasi antara variabel-variabel di atas.
Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah terdapat
hubungan negatif antara kebijaksanaan dengan ketakutan terhadap
kematian. Hipotesis kedua yang menyatakan terhadap hubungan
negatif antara orientasi religius intrinsik dengan ketakutan
terhadap kematian diterima. Hipotesis ketiga yang menyatakan
terdapat hubungan yang positif antara orientasi religius ekstrinsik
dengan ketakutan terhadap kematian diterima.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penelitian dengan
judul Near-Death Experience, Implikasinya pada Makna
Eksistensial Diri dan Orientasi Keagamaan Seseorang belum
pernah dilakukan orang.
8
BAB II
KERANGKA TEORI
Menarik untuk disimak tulisan Spilka tentang hubungan antara agama
dan kematian “that religion is a way of coping with the unpredictable.
It offers both explanation and means of potentially controlling the
unknown, unexpected, and especially the undesired. Since death meet
all of these criteria in an extreme way, it is not surprising that the
great religions of the world make it a control of part of their belief
system and theology” (1996: 126). Artinya, agama adalah satu cara
untuk melingkupi hal-hal yang tidak bisa diprediksi. Agama
menawarkan baik penjelasan maupun cara-cara yang dapat
mengontrol secara potensial sesuatu yang tidak diketahui, tidak
diharapkan, dan terutama sesuatu yang tidak diinginkan. Karena
kematian memiliki semua kriteria ini dalam satu cara yang ekstrim,
adalah tidak mengherankan bahwa agama besar dunia menjadikan
kematian sebagai bagian kontrol dan bagian sistem keimanan dari
teologi mereka.
Lalu bagaimana dalam Islam? Alquran menyebut kematian sebagai
hal yang unpredictable/unknown, misalnya dalam surat an Nahl ayat
61
فإذا جاء أجلهم لا يستأخرون ساعةا ولا يست قدمون Artinya: “Maka apabila telah tiba waktu (yang ditentukan) bagi
mereka, tidaklah mereka dapat mengundurkannya barang sesaat pun
dan tidak (pula) mendahulukannya”.
Demikian juga dalam surat Ali Imron: 145
لا وما كان لن فس أن توت إلا بذن الله كتابا مؤجهArtinya: “Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan
izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya”.
Dua ayat tersebut menjelaskan bahwa kematian memang sudah
ditentukan Allah dengan izinnya, tetapi manusia tidak tahu kapan
terjadinya.
9
Kematian sebagai hal yang tidak diharapkan (unexpected) dan tidak
diinginkan (undesired) sebagaimana tersebut dalam surat an Nisa‟
ayat 78
تم ف ب روج مشيهدة أي نما تكونوا يدرككم الموت ولو كن Artinya: “Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan
kamu, kendati pun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh”.
Atau dalam surat al Jumuah ayat 8
لموت الهذي تفرون منو فإنهو ملاقيكم قل إنه ا
Artinya: “Katakanlah: "Sesungguhnya kematian yang kamu lari
daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu”.
Dari paparan ayat-ayat tersebut di atas, bahwa dalam Islam pun
kematian adalah bagian penting dalam sistem keimanan.
Meskipun dalam desain penelitian kualitatif tidak dimaksudkan
untuk menguji teori sebagaimana yang lazim dalam penelitian
kuantitatif, namun teori dalam konteks ini memiliki fungsi tersendiri,
terutama dalam hal pemaknaan realitas dan data (Suryanto, 2007: 192-
193). Dalam rangka itulah penulis menggunakan beberapa teori yang
diharapkan mampu menjadi frame of analyse dari data yang
dihasilkan dalam penelitian ini.
A. Perspektif tentang NDE
Near-death Experience sebagaimana didefinisikan oleh
International Association of Near-death Studies (IANDS) adalah
is a profound psychological event that may occur to a person
close to death or, if not near death, in a situation of physical or
emotional crisis, because it includes trancendental and mystical;
it is not mental illness (http://iands, org).
Artinya, NDE adalah kejadian psikologis yang mendalam yang
dapat terjadi pada seseorang seseorang mendekati kematian, jika
tidak dekat dengan kematian, berada dalam situasi Sisis fisik atau
Sisis emosional, karena NDE meliputi pengalaman transendental
atau mistikal. NDE bukanlah sakit mental.
10
Dalam tulisan Greyson disebutkan bahwa “Near-death
experiences (NDEs) are vivid realistic, subjective experiences
that often occur in life-threatening conditions, such as in cardiac
or respiratory arrest, head injury, or states of shock. They are
usually characterized by a trancendent tone and clear perceptions
of having left the phisical body and being in a different
spatiotemporal dimension of being (Humanities, 2005: 775).
Artinya, NDEs adalah pengalaman subjektif, realistis, dan jelas
yang sering terjadi dalam kondisi-kondisi yang mengancam
kehidupan, seperti berhentinya denyut jantung, luka di kepala,
atau kondisi-kondisi shok. Pengalaman itu biasanya ditandai oleh
persepsi yang jelas dan transenden yang berupa hilangnya tubuh
secara fisik dan berada dalam dimensi ruang dan waktu yang
berbeda.
Salah satu asumsi tentang NDE adalah that NDEs are linked to
religious interpretation in two different ways. On the one hand,
the assumption of a universal structure of the NDE led some
investigators to speculate about religious explanation for these
experiences, by postulating either the objective existence of a
religious faculty of human experience, which supposedly forms
the basic of the universal structure. Secondly, and a more
empirical basic, some investigators found that these experiences
are regarded as religious by the experiencers (Knoublauch, 2001:
19).
Bahwa NDEs berhubungan dengan interpretasi-interprestasi
agama dalam 2 cara yang berbeda. Satu sisi, asumsi suatu struktur
universal dari NDE membawa beberapa peneliti berspekulasi
tentang eksplanasi religius terhadap pengalaman ini. melalui
postulat, baik eksistensi dari pembawaan religius pengalaman
manusia yang didukung oleh bentuk-bentuk dasar dari struktur
universal.
Sisi yang lain, dan lebih empiris, beberapa peneliti mendapati
bahwa pengalaman-pengalaman ini dipandang sebagai
pengalaman keagamaan oleh subjek-subjek yang mengalaminya.
11
Memang harus diakui bahwa NDE berada dalam dua
perspektif yaitu pengalaman psikologis tentang dekatnya dengan
kematian dan perspektif lain yaitu implikasi dari NDE yang oleh
banyak peneliti dikategorikan sebagai pengalaman agama.
Masalahnya adalah mengapa pengalaman NDE ini dipandang
sebagai pengalaman agama. Beberapa hasil penelitian
menunjukkan bahwa NDE seringkali menumbuhkan kesadaran
baru yang bersifat spiritual dan religius.
Masalah selanjutnya adalah kondisi psikologis apa lagi yang
merupakan efek dari NDE dalam kehidupan subjek yang
mengalaminya? Menurut Greyson, beberapa aspek dari NDE
adalah “more spiritual orientation toward life, more positive
attitudes toward death, decreased concern about dying, and
increased sense of purpose in life (Humanities, 2015, 4, 786).
Artinya beberapa aspek NDE adalah orientasinya lebih spiritual
terhadap kehidupan, sikap-sikapnya lebih positif terhadap
kematian, semakin berkurang (ketakutan) terhadap kematian dan
semakin bertambah dalam tujuan kehidupan.
Dari kutipan tersebut, dapat dijelaskan bahwa salah satu aspek
penting dari peristiwa NDE yang dialami seseorang adalah
berkaitan dengan persoalan eksistensial dan kematian seseorang.
Sementara referensi paling sempurna yang dapat menjawab kedua
masalah tersebut adalah agama. Oleh karena itu, logis jika
sebagian peneliti memandang NDE bukan semata-mata peristiwa
pengalaman psikologis belaka namun juga sebagai pengalaman
agama (religius experience).
Lalu bagaimana membedakan pengalaman agama dengan
pengalaman-pengalaman lainnya? Donovan (1979: 3)
menjelaskan: bahwa suatu pengalaman menjadi pengalaman
agama, apabila pengalaman itu adalah satu jenis pengalaman di
mana agama interest di dalamnya.
Demikian juga Ismail al Faruqi (1981: 16) dalam bukunya
religius experience in Islam menjelaskan bahwa hakikat
pengalaman agama dalam Islam terletak pada tuhan yang unik
dan yang keinginan, kehendak, serta kemauannya adalah
12
merupakan kewajiban dan yang senantiasa membimbing manusia.
Oleh karena itu, kesadaran akan Tuhan harus dipandang sebagai
sentral dan tak bisa disisihkan dalam setiap pengalaman yang
dinamai pengalaman agama. Hal itu sering menjadi ending dari
setiap orang yang mengalami NDE.
B. Psikologi Logoterapi
Logooterapi merupakan aliran psikologi yang banyak
mempelajari fenomena makna hidup (the meaning of life).
Kehendak untuk hidup bermakna (the will to meaning) dan
bagaimana mengembangkan hidup bermakna (the meaning life).
Logoterapi diprakarsai oleh Victor E Frankl, seorang psikiater
berkebangsaan Austria. Menurut teori ini ada tiga nilai yang
merupakan sumber makna hidup, yaitu creative values,
experiental values, dan attitudinal values (Bastaman, 2005: 195-
196).
1. Creative values (nilai-nilai Seatif): bekerja dan berkarya atau
melaksanakan tugas dengan keterlibatan dan tanggung jawab
penuh pada pekerjaan. Sesungguhnya pekerjaan hanyalah
merupakan sarana yang dapat memberikan kesempatan untuk
menemukan dan mengembangkan makna hidup. Makna hidup
bukan terletak pada pekerjaan melainkan pada sikap dan cara
kerja yang mencerminkan keterlibatan pribadi pada
pekerjaannya. Berbuat kebajikan dan melakukan hal-hal yang
bermanfaat bagi lingkungan termasuk usaha merealisasi nilai-
nilai Seatif.
2. Experiental values (nilai-nilai penghayatan): meyakini dan
menghayati kebenaran, kebajikan, keindahan, keadilan,
keimanan, dan nilai-nilai lain yang dianggap berharga, dalam
hal ini cinta kasih merupakan nilai yang sangat penting dalam
mengembangkan hidup bermakna. Mencintai seseorang berarti
menerima sepenuhnya keadaan orang yang dicintai seperti apa
adanya serta benar-benar memahami kepribadiannya dengan
penuh pengertian. Dengan jalan mengasihi dan dikasihi,
13
seseorang akan merasakan hidupnya syarat dengan
pengalaman-pengalaman penuh makna dan membahagiakan.
3. Attitudinal values (nilai-nilai bersikap): menerima dengan
tabah dan mengambil sikap yang tepat terhadap penderitaan
yang tak dapat dihindari lagi setelah berbagai upaya dilakukan
secara optimal tetapi tidak berhasil mengatasinya. Mengingat
peristiwa tragis ini tak dapat dielakkan lagi, maka sikap
menghadapinyalah yang perlu diubah. Dengan mengubah
sikap, diharapkan beban mental akibat musibah dapat
berkurang, bahkan mungkin saja dapat memberikan
pengalaman berharga bagi penderita yang dalam bahasa sehari-
hari disebut hikmah. Penderitaan memang dapat memberikan
makna apabila penderita mampu mengatasinya dengan baik,
sekurang-kurangnya dapat menerima keadaannya setelah
upaya maksimal dilakukan tetapi tetap tidak berhasil
mengatasinya. Optimisme dalam mengatasi musibah ini
tersirat dalam ungkapan-ungkapan seperti “makna dalam
derita” (meaning of suffering) dan “hikmah dalam musibah”
(blessing in disquise) (Bastaman, 2005: 195-196).
Menurut teori ini, makna hidup memiliki karakteristik
personal, temporer, dan unik. Artinya, apa yang dianggap
penting dapat berubah dari waktu ke waktu. Demikian juga
sesuatu yang bermakna bagi seseorang belum tentu berarti bagi
orang lain. Selain karakteristik tersebut di atas, sifat lain dari
makna hidup adalah konSit dan spesifik, yakni makna hidup
benar-benar dapat ditemukan dalam pengalaman nyata
(misalnya dalam NDE) dan tidak harus selalu berkaitan dengan
hal-hal yang serba abstrak, filosofis, dan idealis (Bastaman,
2005: 194-195).
Pilihan pada teori logoterapi tersebut menurut penulis
sangat relevan jika dikaitkan dengan salah satu stressing point
penelitian ini yakni ingin memperoleh data tentang implikasi
NDE bagi makna eksistensial diri subjek, menyangkut
kebutuhan akan orientasi dalam kehidupan dan keinginan
untuk menempatkn diri secara berarti dan bermakna dalam
14
hidup di dunia ini. Makna eksistensial diri tersebut diperoleh
melalui jawaban dari pertanyaan-pertanyaan misalnya,"dari
mana aku ini?, mengapa aku ada?, kemana hidup ini setelah
hidup ini berakhir?, dan apa yang harus aku lakukan?
C. Orientasi Keagamaan Ekstrinsik-Intrinsik G.W. Allport
Menurut Allport, sentimen keagamaan berbeda dari satu orang ke
orang lain. Perbedaan ini mencerminkan individualitas pribadi
dalam segi pemikiran dan emosi, dalam menghayati makna dan
tujuan hidup. Sentimen keagamaan subjektif dari setiap orang
adalah khas dan berbeda dari sentimen keagamaan orang lain. Hal
ini menurut Allport karena “The roots of religion are so
numerous, the weight of their influence in individual lives so
various and the forms of rational interpretation so endless, that
uniformity of product is impossible” (Allport, 1971: 29).
Akar agama begitu banyak, pengaruh atas kehidupan individu
pun begitu beragam dan bentuk-bentuk interpretasi rasionalnua
tak terbatas, sehingga keseragaman produknya tidak mungkin.
Dalam teori Allport, orientasi intrinsik lebih positif ketimbang
orientasi ekstrinsik dengan karakteristiknya masing-masing.
Dalam hal ini, Allport menggambarkan “who are high in
prejudice, their religious motivation is of the extrinsic order and
who are low in prejudice, their motivation is of the intrinsic”
(Malony, 1977: 123). Menurut Allport, orang-orang yang tidak
toleran lebih bersifat intrinsik. Allport menambahkan bahwa
orang-orang yang ekstrinsik motivasi agamanya bersifat
instrumental dan utilitarian (Malony, 1977: 121), sementara bagi
orang-orang yang intrinsik agama merupakan “the master motive”
(muhlisina lahuddin). Ciri lain adalah bahwa “The extrinsically
motivated person uses his religion, whereas the instrinsically
motivated lives his religion (Malony, 1977: 141). Orang-orang
dengan motivasi ekstrinsik cenderung menggunakan agama untuk
kepentingan pribadinya, sementara orang-orang dengan motivasi
intrinsik lebih cenderung menghidupkan syiar agama.
15
Terkait dengan penelitian ini, penulis lebih sederhana dalam
mengaplikasikan teori Allport tersebut, dengan membatasi pada
kriteria tertentu. Misalnya, dalam hal toleransi beragama,
keterlibatan dalam syiar-syiar agama, ketulusan dalam
menjalankan kewajiban agama yang semua itu pada dasarnya
merupakan rangkuman dari teori tersebut.
16
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Lokasi dan Subjek Penelitian
Secara khusus, subjek dalam penelitian ini pribadi yang pernah
mengalami near-death experience, yaitu suatu pengalaman yang
membuat subjek mengalami rekonstruksi ulang terhadap makna
keberadaannya di dunia ini dan juga kesadaran keberagamaannya.
Pengalaman tersebut antara lain dapat berupa penyakit yang
sangat kronis yang beresiko kematian, namun subjek mampu
tetap bertahan dan menimbulkan kesadaran baru. Dengan kata
lain, subjek merasakan bahwa dirinya sudah mendekati kematian
akibat penyakit kronis yang dideritanya, namun akhirnya dia
mampu pulih kembali.
Berbeda dari penelitian-penelitian yang lain, lokasi penelitian
ini tidak bisa disebut dalam satu area atau wilayah tertentu, hal itu
dikarenakan sangat tergantung pada subjek penelitian yang
penulis dapatkan. Dalam penelitian ini terdapat 4 subjek NDE
dengan latar belakang yang beragam, 3 orang perempuan dan 1
orang subjek berjenis kelamin laki-laki.
B. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Menurut Bagong
Suyanto (2007: 174) jenis penelitian ini bertujuan untuk
memahami makna yang mendasari tingkah laku manusia. Hal
senada juga dikemukakan oleh Ambert sebagaimana dikutip oleh
Solichin Abdul Wahab “The aim of qualitative research is to
learn how and why people behave, think, and make meaning as
they do, rather than focusing on what people do or believe on
large scale” (1997: 7). Dengan kata lain, tujuan penelitian
kualitatif ini adalah untuk mempelajari mengapa dan bagaimana
seseorang berperilaku, berpikir, dan memberi arti apa yang
mereka kerjakan, daripada fokus pada apa yang seseorang
kerjakan atau yang dipelajari pada skala yang besar. Dalam
konteks penelitian ini, adalah untuk mengetahui perilaku,
persepsi, pikiran-pikiran dan bagaimana subjek NDE memberi
17
arti apa yang mereka kerjakan setelah pengalaman tersebut
terjadi.
Sementara itu Tylor dan Bodgan mengemukakan beberapa
karakteristik dari penelitian kualitatif sebagaimana berikut.
1. Bersifat induktif, yaitu mendasarkan pada prosedur logik yang
berawal dari preposisi khusus sebagai hasil pengamatan dan
berpikir pada satu kesimpulan/hipotesis yang bersifat umum.
Dalam hal ini konsep-konsep, pengertian dan pemahaman
didasarkan pada pola-pola yang ditemui dalam data.
2. Melihat pada setting dan manusia sebagai satu kesatuan, yaitu
mempelajari manusia dalam konteks dan situasi di mana
mereka berada. Oleh karenanya, manusia dan setting tidak
disederhanakan ke dalam variabel, tetapi dilihat sebagai satu
kesatuan yang saling berhubungan.
3. Memahami perilaku manusia dari sudut pandang mereka
sendiri. Hal itu dilakukan dengan cara memberikan empati
pada orang-orang yang diteliti dalam upaya memahami
bagaimana mereka melihat berbagai hal dalam kehidupannya.
4. Lebih mementingkan proses penelitian daripada hasil
penelitian. Oleh karena itu, bukan pemahaman mutlak yang
dicari, tetapi pemahaman yang mendalam tentang kehidupan
sosial.
5. Menekankan pada validitas data sehingga ditekankan pada
dunia empiris. Penelitian dirancang sedemikian rupa agar data
yang diperoleh benar-benar mencerminkan apa yang dilakukan
dan dikatakan yang diteliti.
6. Bersifat humanistis, yaitu memahami secara pribadi orang
yang diteliti dan ikut mengalami apa yang dialami orang yang
diteliti dalam kehidupan sehari-hari.
7. Semua aspek kehidupan sosial dan manusia dianggap berharga
dan penting untuk dipahami karena dianggap sebagai spesifik
dan unik (Suyanto, 2007: 169-170).
Selanjutnya tentang pendekatan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah pendekatan psikologi, terutama psikologi
agama, juga pendekatan sosiologis. Pendekatan psikologi
18
terhadap perilaku agama meneliti pengaruh agama terhadap sikap
dan tingkah laku seseorang, atau mekanisme yang bekerja pada
diri seseorang karena keyakinan itu masuk dalam konstruksi
kepribadiannya (Daradjat, 1976: 12).
Mengapa penulis memilih pendekatan psikologi agama?
Dalam salah satu Journal of Near-death Studies, disebutkan
bahwa “The other line of research assumes that NDEs may be
described in terms of forms of experiences, by which we mean the
ways in which the experience is constructed, or its noetic quality.
In this vein, Sabom (1982) tended to use more abstract categories
related to the study of religious experience” (Knoblauch, 2001:
18). Dengan kata lain, studi tentang NDE dapat dikategorikan
sebagai studi tentang pengalaman agama padahal topik tersebut
(pengalaman agama) adalah salah satu bidang kajian psikologi
agama.
Sementara itu, tentang pendekatan yang kedua yaitu
pendekatan sosiologi (sosiologi agama), secara khusus meneliti
tentang hubungan timbal balik antara agama dan masyarakat atau
komunitas tertentu (Jongenel, 1978: 68). Pendekatan ini dipilih
mengingat konstruk pengalaman keagamaan seseorang tentu akan
dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat di mana seseorang
tinggal, seperti tradisi-tradisi keagamaan, rumah-rumah ibadah
yang ada, dan lain-lain.
Oleh karena itu responden dalam penelitian ini dipilih melalui
purposive sampling, yaitu pemilihan subjek berdasarkan ciri-ciri
yang sesuai dengan penelitian. Adapun kriterianya adalah:
1. Orang-orang yang pernah tetap survive dalam menghadapi
Near-death Experience seperti melawan penyakit yang
beresiko kematian, pernah mengalami kecelakaan parah yang
bisa berakibat kematian atau orang-orang yang pernah secara
klinis mati namun ternyata masih hidup.
2. Subjek masih mampu dan bersedia diwawancarai.
Dalam kaitannya dengan penelitian ini responden terdiri dari 4
orang dengan pengalaman NDE yang beragam.
19
C. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan tahapan penting dalam penelitian.
Teknik pengumpulan data yang tepat sesuai dengan karakter
penelitian akan menghasilkan data yang kredibel dan tidak bias.
Sebagaimana lazimnya dalam penelitian kualitatif, penelitian
ini memiliki dua kategori data, yaitu data primer dan data
sekunder. Sumber data primer yaitu semua data yang diperoleh
melalui wawancara dengan para subjek penelitian. Dalam hal ini
adalah subjek yang mengalami NDE. Termasuk data primer juga
adalah orang-orang yang sangat dekat dengan subjek NDE yang
memiliki kontribusi penting dalam perjalanan panjang subjek
NDE, seperti suami, anak, istri, atau orang terdekat lainnya
misalnya ibu atau saudara-saudaranya. Sementara data sekunder
mencakup data tertulis, atau data yang diamati di lokasi penelitian
seperti foto-foto dokumentasi.
Bagong Suyanto (2007: 172) membagi informan dalam
penelitian kualitatif seperti 1) informan kunci (key informan)
yaitu mereka yang memiliki berbagai informasi yang
diperlakukan dalam penelitian. Dalam konteks penelitian ini
adalah subjek NDE; 2) informan utama, yaitu mereka yang
terlibat langsung dalam interaksi sosial yang diteliti, dalam
penelitian ini adalah keluarga dekat dari subjek NDE, misalnya
istri, suami, ayah/ibu; 3) informan tambahan, yaitu mereka yang
dapat memberikan informasi walaupun tidak langsung terlibat
dalam interaksi sosial yang diteliti, misalnya dalam penelitian ini
adalah tetangga, teman-teman, dan lain-lain dari subjek NDE.
Ada tiga macam teknik pengumpulan data dalam penelitian ini
sebagaimana ditulis oleh Suyanto (2007: 186). Pertama, adalah
wawancara mendalam dan terbuka. Data yang diperoleh terdiri
dari kutipan langsung dari subjek penelitian, tentang pengalaman
pendapat, perasaan, dan pengetahuannya. Terkait dengan
penelitian ini adalah pengalaman subjek NDE, menyangkut
Sonologis pengalaman, jenis penyakit, perasaan, dan persepsi
20
subjek tentang pengalaman NDE yang dialaminya, juga implikasi
psikologis maupun teologis dalam kehidupannya.
Kedua, adalah observasi langsung. Data yang didapat
observasi terdiri dari pemetaan rinci tentang kegiatan, perilaku,
tindakan orang-orang (informan) serta keseluruhan kemungkinan
interaksi interpersonal.
Menurut Nasution (2003: 55), dua hal penting yang harus
dikaitkan dalam proses observasi adalah informasi dan konteks.
Informasi adalah apa yang terjadi, sementara konteks adalah yang
berkaitan dengan sekitarnya. Segala sesuatu terjadi dalam dimensi
ruang dan waktu tertentu, di mana informasi yang ada tak bisa
dilepaskan dan konteksnya untuk menangkap makna yang tepat.
Tahap awal dalam rangka melengkapi observasi, penulis
menggunakan wawancara tanpa struktur dalam hal ini responden
diberi kebebasan dan kesempatan untuk menyampaikan pikiran
pandangan dan perasaan tanpa terikat oleh peneliti. Misalnya
tentang Sonologis peristiwa NDE, jenis penyakit yang diderita,
ungkapan perasaan tentang peristiwa itu dan juga persepsi-
persepsi mereka. Setelah penulis mendapatkan keterangan yang
dipandang cukup, penulis menggunakan wawancara yang
terstruktur yang disusun berdasarkan hasil observasi dan apa yang
telah disampaikan oleh responden dengan mempertimbangkan
kesesuaian stressing point penelitian ini dan beberapa referensi
yang ada.
Ketiga, penelaahan terhadap dokumen-dokumen tertulis yang
berhubungan dengan objek dan subjek penelitian. Misalnya foto-
foto subjek NDE sewaktu mengalami pengalaman tersebut.
Berikut ini adalah daftar wawancara, baik tanpa struktur
maupun yang terstruktur:
1. Kronologis dari kejadian NDE pada waktu itu. Responden
bebas menguraikan sequen kejadian dan perasaan-perasaan
yang ada saat itu.
2. Setelah NDE berlalu, apa yang dirasakan? misalnya dalam hal;
a. Memaknai tentang keberadaan kita di dunia ini
b. Memaknai penderitaan sebagai apa?
21
c. Adakah kesadaran baru tentang apa yang harus dilakukn
dalam hidup ini?
d. Persepsi tentang kematian? Apakah sesuatu yang
menakutkan?
e. Apakah muncul kesadaran tentang pentingnya persiapan
menghadapi kematian?
f. Apa harapan ibu/bapak ke depannya setelah peristiwa NDE
ini?
g. Dalam hal keimanan, adakah hal baru yang dirasakan?
h. Apakah adanya NDE ini, bapak /ibu merasa lebih dekat
dengan Tuhan? atau biasa-biasa saja?
i. Apakah dengan NDE ini bapak/ibu lebih menyadari tentang
pentingnya menjalankan syariat agama?
j. Apakah dalam menjalankan syariat agama ini tujuan
terpenting adalah agar diterima oleh masyarakat atau
semata-mata karena lillahi ta’ala?
k. Bagaimana bapak/ibu memaknai agama, apakah semata-
mata sebagai ibadah saja ataukah juga muamalah?
l. Bagaimana persepsi bapak/ibu tentang kepedulian sosial?,
contoh konSit apa yang telah bapak/ibu lakukan terkait hal
ini?
m. Jika bapak ibu sedang beramal seperti memberi infaq,
shodaqoh atau zakat, apakah bapak ibu memilih-milih
berdasarkan kelompok-kelompok Islam tertentu, atau bebas
tanpa mempertimbangkan perbedaan?
n. Dalam Islam sekalipun kitab sucinya sama, namun terdapat
banyak golongan yang berbeda, bagaimana sikap bapak /ibu
dalam hal ini?
D. Uji Keabsahan Data
Menurut Moleong, ada beberapa Siteria dari keabsahan data (trust
worthinness), yaitu derajat kepercayaan (credibility), keteralihan
(transferability), kebergantungan (deoendability), dan kepastian
(confirmability) (Moleong, 2011: 324).
22
Sementara itu, untuk menguji keabsahan data, sebagaimana
ditulis oleh Nasution (2003: 114-118), dapat dengan 1)
memperpanjang masa observasi; 2) pengamatan yang terus
menerus; 3) trianggulasi; 4) membicarakan dengan orang lain; 5)
menganalisis kasus negatif; 6) menggunakan bahan referensi; 7)
menggunakan member check. Terkait penelitian ini digunakan
jenis uji keabsahan data dengan member check, yakni membuat
laporan tertulis mengenai wawancara secara garis besar yang
telah dilakukan untuk dibaca oleh responden atau ditambah yang
kurang. Di samping itu, penulis juga akan menggunakan teknik
trianggulasi. Trianggulasi adalah teknik pemeriksaan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain. Dalam hal ini Lexy G. Moleong
membedakan empat macam trianggulasi sebagai teknik
pemeriksaan yang memanfaatkan sumber metode, penyidik, dan
teori Moleong (2011: 330-331).
Trianggulasi dengan sumber berarti membandingkan dan
mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang
diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian
kualitatif. Hal ini dapat dicapai dengan jalan (1) membandingkan
data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara; (2)
membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum
dengan apa yang dikatakannya secara pribadi; (3)
membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi
penelitian dengan apa yang dikatakan sepanjang waktu; (4)
membandingkan keadaan dan perspektitf seseorang dengan
berbagai pendapat dan pandangan orang seperti rakyat biasa,
orang pemerintahan; (5) membandingkan hasil wawancara
dengan isi suatu dokumen yang berkaitan.
Sementara untuk trianggulasi dengan metode, terdapat dua
strategi, yaitu: (1) pengecekan derajat kepercayaan penemuan
hasil penelitian beberapa teknik pengumpulan data dan (2)
pengecekan derajat kepercayaan beberapa sumber data dengan
metode yang sama.
23
Teknik trianggulasi ketiga yaitu dengan memanfaatkan
penyidik (peneliti) atau pengamat lainnya untuk keperluan
pengecekan kembali derajat kepercayaan data.
Trianggulasi dengan teori, hal itu dapat dilaksanakan sebagai
penjelasan banding (rival explanation).
Oleh karena itu, disamping uji keabsahan data dengan member
check, penulis juga menggunakan teknik trianggulasi dengan
pemanfaatan sumber.Yakni dengan membandingkan data hasil
pengamatan dengan data hasil wawancara, dan sebaliknya
menggunakan data hasil wawancara dengan pengamatan kembali.
E. Teknik Analisis Data
Analisis data adalah proses menyusun data agar mudah
ditafsirkan yang bertujuan agar data yang telah ditemukan dalam
penelitian bisa ditangkap maknanya, tidak sekedar desSipsi
semata, ada langkah analisis data yaitu reduksi data, display data,
dan mengambil kesimpulan dan verifikasi (Nasution, 2003: 129).
Reduksi data, seluruh data yang diperoleh dari lapangan ditulis
dalam bentuk laporan. Dalam hal ini adalah data persepsi tentang
Near-death Experience yang dialami oleh masing-masing subjek,
yang mencakup desSipsi pengalaman, implikasinya terhadap
makna eksistensial mereka, juga implikasi pada psikologi
keberagamaan mereka.
Display data. Kegiatan display data dilakukan misalnya
dengan membuat matrik atau grafik dan tabel agar memudahkan
dalam melihat gambaran keseluruhan atau bagian tertentu dalam
penelitian. Misalnya membuat tabel atau matrik tentang data
secara spesifik sesuai dengan tujuan penelitian, misalnya pola-
pola dalam Near-death Experience, bentuk-bentuk baru kesadaran
eksistensial, maupun intensitas psikologi keberagamaan mereka.
Mengambil kesimpulan dan verifikasi. Dalam penelitian
kualitatif peneliti sejak awal dapat merumuskan kesimpulan
tentang makna dari data yang terkumpul melalui observasi dan
wawancara. Tetapi karena sifatnya yang masih tentatif maka agar
kesimpulan dapat menjadi lebih grounded diperlukan data yang
24
lebih banyak dan bertambah. Sementara verifikasi tetap dilakukan
secara singkat dengan mencari data baru (Nasution, 2002: 130).
Kesimpulan memang dibuat dalam setiap observasi maupun
wawancra oleh penulis.Namun kesimpulan itu tentu masih
sementara sifatnya. Oleh karena itu, kesimpulan yang final baru
diambil melalui proses evaluasi kembali dan kesimpulan yang
sementara, pada saat penelitian telah selesai. Dengan kata lain,
kesimpulan yang bersifat final adalah output penelitian itu sendiri,
melalui proses panjang dan dan data mentah kemudian data
tersebut di reduksi (dipilih-pilih) yang sesuai dengan data yang
diinginkan (tematik) penelitian ini. Selanjutnya data tersebut
dideskripsikan melalui display data dengan kemungkinan pola-
polanya diproses analisis menggunakan konstruksi teori yang ada
sehingga dengan cara itu diharapkan data tidak semata-mata tidak
bersifat desSiptif belaka, namun juga bersifat akademis.
Selanjutnya tentang kata makna eksistensial diri dan orientasi
keagamaan yang menjadi pilihan penulis dalam konteks implikasi
NDE bagi subjek, sesungguhnya dua kata tersebut saling
berkaitan. Makna eksistensial diri dan orientasi keagamaan adalah
seperti dua sisi mata uang yang saling berhubungan.
Makna eksistensial diri berkaitan dengan makna keberadaan
diri sendiri, dengan orang lain dan juga dengan Tuhan. Sementara
orientasi keagamaan adalah pemahaman akan tujuan dan makna
yang sesungguhnya dalam beragama yang semata-mata karena
agama itu sendiri dan bukan karena kepentingan emosional.
25
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum Subjek Penelitian
Tidak seperti dalam penelitian sebelumnya, penelitian dengan
subjek-subjek yang pernah mengalami NDE ini awalnya agak
berat bagi penulis untuk memulai percakapan. Bukan responden
menolak untuk diwawancarai, tapi lebih terkait dengan
pertimbangan adanya beban mental saat responden harus
menceritakan kembali pengalaman-pengalaman pahit dan
menyakitkan, baik secara fisik maupun psikis. Oleh karena itu
dibutuhkan kiat-kiat tersendiri dengan menunda percakapan atau
mengalihkan topik. Problem lain adalah tidak mudahnya
menemukan subjke NDE yang representatif, kalaupun ada,
kendalanya adalah letak tempat tinggal mereka yang jauh. Tetapi
dengan berbagai informasi dari beberapa orang, semua proses itu
telah terlewati.
Berdasarkan berbagai pertimbangan dan observasi, penulis
akhirnya menentukan empat responden yang terdiri dari satu
responden laki-laki dan tiga responden perempuan.
Responden 1 (SS)
Perempuan kelahiran 23 Oktober 1970 ini penulis pilih menjadi
salah satu responden berdasarkan cerita panjang responden, ibu
responden, dan beberapa pengakuan orang di sekitarnya tentang
derita yang pernah menimpanya. Saat ini SS yang kini sudah
berusia 48 tahun ini menempati rumah di Dusun Sindon,
Kelurahan Tukang, Kabupaten Semarang. Dia tinggal bersama
suaminya (SR) yang dinikahinya pada tahun 2010. Pada waktu
perkawinannya itu SS sudah memiliki 2 orang anak (laki-laki dan
perempuan). Sementara suaminya yang saat itu berstatus duda
(perceraian) juga memiliki dua orang anak laki-laki yang saat ini
kedua anak suaminya ikut SS. Sementara anak kandung SS ikut
neneknya (ibu SS) yang rumahnya tidak jauh dari rumah SS.
Di mata responden (SS) perkawinannya dengan SR adalah
anugerah terindah dari Yang Maha Kuasa, dan memiliki makna
yang sangat penting dalam hidupnya. Betapa tidak? Penderitaan
26
yang dialami sebelum dia menikah dengan SR sangatlah berat
dirasakan. Hal itu dikarenakan pada saat kelahiran anak yang
pertama (tahun 1992), dia harus melahirkan anak tanpa ayah,
karena pacarnya dan keluarganya tidak mengakuinya. Ekses dari
peristiwa ini amatlah panjang meninggalkan penderitaan lahir
batin, hingga nyaris merenggut nyawanya. Sementara pada
kelahiran anaknya yang kedua tahun 1997, setelah mampu survive
dari penderitaan sebelumnya, untuk yang pertama kali sempat
menikah (1997) dengan seorang laki-laki tetangga desa yang
bernama KR. Namun pernikahan itu pun hanya seumur jagung,
karena KR menceraikannya saat anaknya masih bayi. Akhirnya
dia berusaha tegar dan sabar “sing penting kulo sehat pun
alhamdulillah” ucapnya saat dia menceritakan riwayat hidupnya.
Dia pun melupakan semua penderitaannya dan bekerja demi
menghidupi kedua anaknya yang ditinggalkan oleh ayahnya
masing-masing. SS sempat merantau ke Jakarta sementara kedua
anaknya dititipkan pada kakek dan nenek anak-anak (ibu bapak
SS). Di Jakarta dia bekerja sebagai pembantu rumah tangga
hingga dia mampu mengirimi uang untuk biaya hidup dua
anaknya. Dari Jakarta SS pindah ke Salatiga juga bekerja sebagai
pembantu rumah tangga. Dia menyadari ibunya sudah mulai tua
hingga perlu lebih dekat dengan keluarganya.
Tetapi cerita tentang NDE ini tidak berkaitan dengan kelahiran
anaknya yang kedua, melainkan pada kelahiran anak yang
pertama tahun 1992 saat itu usianya baru 22 tahun.
Pada saat wawancara tentang NDE ini berlangsung responden
sempat menarik nafas panjang. Mengingat kembali masa-masa
penderitaannya sehingga dia sempat mengubur semua mimpi dan
harapannya bahkan hidupnya sendiri. Terkadang dia berhenti
sejenak dan berat untuk meneruskan ceritanya kembali, “sampun
nggeh budhe” ucapnya terkesan ingin segera mengakhiri
pembicaraan tentang NDE itu sendiri. Dalam kondisi seperti itu
penulis membuat selingan dengan cerita yang lain untuk
mengalihkan pikiran dan perasaannya.
27
Ungkapan sedih dari responden SS tersebut bisa dimaklumi
karena peristiwa NDE yang dialami tidak hanya berkaitan dengan
penderitaan fisik yang berupa penyakit saja (dipersepsi oleh SS
penyakitnya akibat disantet oleh keluarga SR, “ngerah patiku
budhe” ungkap SS). Namun juga beban psikologis akibat
melahirkan bayi tanpa suami, bahkan kekasihnya telah menikah
dengan orang lain sebelum dia melahirkan (Wawancara 29 Juni
2018).
Responden 2 (KS)
Responden 2 ini adalah seorang laki-laki yang kini usianya telah
mencapai 78 tahun. Dia dilahirkan di Purwodadi tahun 1940.
Kehidupan remajanya yang jauh dari kecukupan membuat
responden KS ini bekerja sejak muda “aku wis tau kerjo ning
Solotigo, Ambarowo, lan Semarang” ungkapnya meski tidak
begitu jelas kata-katanya. Dari satu kota pindah ke kota yang lain
hingga akhirnya dia sampai di Rembang, Mbulu, dan akhirnya
sampai di wilayah Lamongan, tepatnya di Desa Brondong,
Kecamatan Brondong, tempat dia tinggal sekarang. Di desa ini,
dia kos di rumah penduduk dan bekerja sebagai nelayan, hingga
akhirnya bertemu orang yang dicintainya bernama PKM.
Keduanya pun menikah pada tahun 1967. “Aku nikah sakwuse
gestapu” katanya.
Meski tidak dianugerahi anak dalam perkawinannya, namun
keduanya hidup rukun dalam sebuah rumah sebagai hasil dari
jerih payahnya. Bekerja sebagai nelayan terkadang membuat dia
lama meninggalkan rumahnya. Namun hasilnya juga lumayan.
Maka KS pun mulai menabung. “Aku diajari MD (pegawai BRI
yang kebetulan rumahnya bersebelahan) supoyo nabung”
kenangnya. Dari tabungan itulah dia bisa membeli becak. Maka
dia pun merangkap pekerjaan. Saat dia tidak melaut, KS menarik
becaknya untuk mencari uang tambahan. Karena dia rajin
menabung hingga akhirnya becaknya menjadi banyak dan
disewakan pada orang lain dengan sistem setoran. Setelah dia
merasa cukup dengan setoran-setoran becaknya, dia pun mulai
28
meninggalkan pekerjaannya sebagai nelayan. Hal itu juga
disebabkan semakin bertambahnya usia, semakin berat untuk
melaut “miyang iku mlarat” katanya (menjadi nelayan itu capek
betul). Dengan menjadi juragan becak, KS tidak perlu lagi
meninggalkan istrinya dalam waktu yang lama.
Kehidupan berjalan terus, keduanya hidup rukun meski
sederhana. Dia mengakui bahwa kehidupannya saat itu belum
terlalu rajin beribadah, “jaman semono aku durung ajek
sembahyang” katanya. Hingga akhirnya kejadian dan musibah
pun menimpanya yang nyaris merenggut nyawanya. Saat itu
usianya sudah 62 tahun, usia yang tidak muda lagi tentunya.
Bagaimana cerita selengkapnya? Akan penulis desSipsikan pada
bagian berikutnya (Wawancara 17 dan 18 Juni 2018).
Responden 3 (NJ)
Responden ini seorang ibu yang kini usianya 58 tahun. Dia lahir
tahun 1960 menjadi anak tunggal dari keluarganya. Pendidikan
terakhirnya adalah Madrasah Aliyah Ngerso Sari-Suruh
Kabupaten Semarang. Ketika usianya 22 tahun (tahun 1982),
responden ini menikah dengan seorang PNS guru agama yang
bernama PN (lulusan S1 dari sebuah Perguruan Tinggi swasta di
Ungaran, Jawa Tengah), lelaki yang 2 tahun lebih tua dari
usianya. Pada tahun 1984, dari hasil pernikahannya membuahkan
lahirnya seorang bayi perempuan yang diberi nama NN. Kini NN
pun menjadi anak semata wayang dari keluarga ini.
Dalam kehidupan sehari-harinya, NJ adalah ibu rumah tangga
biasa sambil terkadang membantu suaminya di sawah pada saat-
saat libur. Maklum suaminya setiap hari tugas mengajar di
sekolah SDN di desa setempat, meski pernah juga pindah di
beberapa tempat terutama waktu menjabat sebagai kepala
sekolah. Sementara anak perempuannya mengikuti jejak ayahnya
menjadi seorang guru juga di SD Muhammadiyah Salatiga.
Kini saat usia suami responden genap 60 tahun, belum lama ini
tepatnya bulan Juli 2018 sudah pensiun. Keduanya tinggal di
sebuah rumah besar yang asri berdua dengan suaminya saja,
29
sementara anaknya tinggal di kota Salatiga (wawancara 6 Juni
2018).
Saat penulis silaturahmi ke rumahnya (9 Agustus 2018)
responden sedang merawat suaminya yang baru saja pulang dari
rumah sakit akibat gangguan struk ringan. Namun alhamdulillah
saat ini kondisi suaminya sudah semakin membaik dan bisa
berjalan kembali, sehingga penulis dapat berulang kali silaturahmi
terkait upaya mendapatkan data penelitian ini.
Selama resopnden menderita sakit dari tahun 2000 sampai
tahun 2007, suaminya-lah yang giat merawatnya. Itulah sebabnya
saat dia menghadapi suaminya yang terkena gejala struk awal,
responden ini begitu gelisah, meski responden sadar betul bahwa
kini dia telah terbebas dari penyakitnya yang pernah
membelenggu hidupnya bertahun-tahun.
Responden 4 (FD)
Responden FD adalah seorang ibu yang kini berusia 52 tahun.
Tinggal di Desa Sruwen Kab. Semarang. Kini FD tinggal bersama
putri bungsunya AZ yang kebetulan kuliah semester 5 di IAIN
Salatiga. Sebetulnya dari perkawinannya dengan HM pada tahun
1987 FD dikaruniai dua orang putri. Hanya saja karena anak yang
pertama sudah menikah maka dia tinggal jaug dari rumahnya.
Pada awal-awal perkawinannya FD lebih sering tinggal
sendirian dengan anak-anaknya. Karena suaminya bekerja di Arab
Saudi. “27 tahun pernikahanku, 17 tahun aku tinggal di Saudi”
cerita FD. Ketika anak-anak mulai remaja, FD meminta suaminya
untuk tidak lagi bekerja di Arab Saudi, FD ingin berdua
menghabiskan waktu membesarkan anak-anak. Maka sejak tahun
2005 suami FD pulang ke Sruwen dan tidak lagi kembali ke Arab
Saudi. Keduanya membuka toko kelontong di samping rumahnya
hingga sekarang. Hari-hari pun dilalui dengan indah dalam satu
keluarga dalam beberapa tahun. Namun mulai tahun 2015 FD dan
suami (HM)nya merasakan adanya penyakit yang menggerogoti
kesehatannya. Suaminya ternyata menderita darah tinggi.
Responden FD sendiri tidak bisa terlalu sempurna merawat HM
30
karena FD mulai terkena kanker payudara dan yang ternyata
sudah stadium 4. Hal ini disebabkan FD tidak pernah merasakan
sakit apa-apa sebelumnya, meskipun FD sadar adanya benjolan di
payudaranya.
FD sendiri sudah sering menyarankan pada suaminya untuk
mencari istri lagi, namun suaminya selalu menolak dengan
menjawab “cukup siji wae” cerita FD. Pada tahun 2018 di bulan
Rajab, suami FD terjatuh di kamar mandi (struk) oleh karenanya
suami dibawa ke RSUD Boyolali. Sementara FD sendiri tetap di
rumah karena kondisi tubuhnya yang sedang sakit juga. Pada
suatu hari perasaan FD tidak enak selalu kepikiran tentang
suaminya, maka dia memutuskan untuk menengok suaminya di
Boyolali. Di tengah perjalanan dia mendapat telepon bahwa
suaminya sudah meninggal dunia. Sebelumnya pada waktu itu
yang lebih parah sakitnya adalah FD, oleh karena itu pada waktu
ada pengumuman tentang kematian suaminya, masyarakat tidak
mengira yang meninggal adalah suaminya. Sepeninggal suaminya
FD semakin sering keluar masuk rumah sakit maupun
pengobatan-pengobatan alternatif, karena infeksi dari kanker
payudaranya telah menyebar kemana-mana. Kondisi inilah yang
menyebabkan FD pernah mengalami mati suri sebagaimana yang
akan diceritakan pada bagian berikutnya.
B. Deskripsi Peristiwa NDE
Responden I (SS)
Saat itu usianya masih tergolong remaja karena usianya baru 20
tahun saat pertama kali kenal dan pacarnya dengan S, pemuda
dari Desa Sumber, Kecamatan Pabelan Kabupaten Semarang.
Perkenalannya dimulai karena S memiliki keluarga (bulek-bulek)
dari desa yang sama dengan responden. Hari demi hari, dua
remaja ini terus memadu cinta, hingga akhirnya responden hamil.
Semula kehamilannya dia tutup-tutupi terus hingga keluarganya
tidak ada yang tahu. Namun saat kehamilannya sudah mulai
membesar SS mulai bingung dan mencoba memberanikan diri
mengadu kepada keluarganya, “kok bisa nggak ketahuan
31
hamilmu” dia menjawab “dibentingi” dikasih stagen agar terkesan
tidak besar perutnya.
Sebetulnya responden sudah pernah bilang ke S pacar yang
menghamilinya, namun sejak kehamilannya, pacarnya itu jarang
ke desa di mana responden SS tinggal. Ketika keluarga besar S
mendengar kabar tentang kehamilan SS, keluarga ini tidak
memiliki iktikad positif untuk menyuruh anaknya bertanggung
jawab, tetapi malah menganjurkan S untuk segera menikah
dengan gadis pilihannya. Alasannya sederhana, menurut keluarga
S tidak mungkin kehamilan SS akibat ulah S.
Hancur lebur hati SS saat mendengar pernyataan keluarga S
tesebut, sementara kehamilannya semakin membesar. Maka
diadakan rapat keluarga saat itu kehamilannya sudah mencapai 9
bulan. Rapat keluarga itu memutuskan untuk silaturahmi ke bulek
S, yang tidak jauh rumahnya dari rumah SS. Saat itu hari Jumat
malam, tanggal 18 Januari tahun 1992, keluarga SS membawa SS
ke rumah YT (bulek S), dan sudah ada kesepakatan bahwa pada
hari Senin tanggal 21 Januari 1992, S akan mengawini SS. Lega
sudah hati SS dan keluarganya.
Namun belum sempat pamit pulang, tiba-tiba responden SS
merasakan perutnya sangat mules seperti orang yang mau
melahirkan. Maka SS pun dipersilahkan tiduran di rumah YT
sambil dipanggilkan dukun bayi yang kebetulan rumahnya ada di
sebelah rumah YT.
Berbagai rasa muncul saat itu menghinggapi pikiran SS, rasa
sakit yang luar biasa akibat kontraksi, ditambah dengan perasaan
sakit hati karena S pacarnya sudah lama tidak pernah lagi
menengoknya (sejak tahu SS hamil), itu pun masih lagi ditambah
ucapan-ucapan kasar YT (bulek S). Pada saat SS lagi berusaha
mengeluarkan seluruh tenaganya untuk melahirkan bayinya, YT
bilang “ni kowe tak kemuli kemule S, nek temen-temen bayimu
anak e S yo metuo, yen ora sumempelo...” “niku ucapane budhe
njajal pripun?” kata SS. Dengan sekuat tenaga SS pun akhirnya
melahirkan seorang bayi laki-laki yang kemudian diberi nama
RFK.
32
Setelah bayi berumur 1 bulan, S tidak mau menikahi SS
dengan alasan mau menikah dengan pilihan keluarganya.
Tinggallah SS sendiri bersama bayinya yang dilahirkan tanpa
pengakuan S sebagai ayahnya.
Namun penderitaan SS belum berhenti sampai di situ, karena
setelah bayinya berumur 1 bulan, tubuh SS mendadak
membengkak semua dan tidak bisa beraktivitas, “kulo kepleh-
kepleh di atas amben budhe” cerita dia. Bukan hanya itu saja,
“dodone kulo mbabak, sesak, watuk, lemes hanya bisa berbaring
seperti mayat hidup”. “Kulo kados niku ngantos karuh tengah
tahun”.
Ketika pada suatu malam (di awal sakitnya) keluarga
menemukan dua glundung lemah abang (kepelan) dan sebaran
lemah teles di sekitar kamar tidur SS, keluarga menyimpulkan
bahwa sakitnya SS adalah akibat disantet oleh keluarga S. “Sing
dirah patiku budhe” (yang dituju kematianku budhe) ungkap SS.
Saat penulis tanya apa kepentingan keluarga S menginginkan
kematianmmu?, SS menjawab agar tidak ada gangguan waktu
pernikahan S dengan calon istrinya.
Keluarga SS pun sudah harap-harap cemas tentang kesehatan
SS bahkan saat penulis konfirmasi ke ibu SS, ibu SS ini
menjawab “badane kantun lunglit bu, kulo wastani mboten dangu
umure” (badannya tinggal tulang dan kulit, saya pikir tidak
panjang umurnya) (Wawancara 17 Juni 20188).
Awalnya SS dibawa ke dokter di Desa Suruh yang agak
lumayan jauh untuk sampai ke dokter tersebut. Orang tua SS
terpaksa harus ngojek “seminggu tiga kali budhe” kata SS,
sementara dokternya saat itu sekali datang 15 ribu. Usaha ke
dokter tersebut membawa hasil, bengkak-bengkak di tubuhnya
mulai berkurang, namun tubuh SS menjadi sangat kurus (lunglit).
Oleh karena itu, keluarga SS memutuskan untuk mencari wong
pinter (dukun) karena menurut keluarganya dan juga nasihat
banyak orang tua sakitnya SS itu bukan sakit biasa (sakbaene)
“kulo diobati njobo njero budhe” ucap SS. Maksudnya? Ya ke
33
dokter tapi juga ke orang pinter (dukun), “lha piye kene golek
benere malah dipenggawe”, SS berusaha meyakinkan penulis.
Pada mulanya keluarganya mendatangkang orang pinter
setempat, namun karena tidak ada hasilnya dan menghabiskan
uang yang banyak, maka keluarganya pun mencari orang pinter
lain yang diyakini lebih mampu di desa yang lain. “Sirah kulo
ditusuk jarum budhe” kenangnya.
Kondisi keuangan orang tua pun semakin sulit “njagakke
panen, nanging pas ora wektu grobok”, artinya harapannya hanya
hasil sawah, namun saat musim panen, gabahnya tidak sempat
disimpan karena harus langsung dijual untuk berobat. Kondisi
seperti ini terjadi selama tiga kali panen.
Kulo nek kemutan SS niku sedih awale badane aboh kabeh,
gur ngamben, mripate melek-merem, bar diobatke awake dadi sak
biting koyo mayit urip, niku dangu bu... mulo kulo nggeh nyeluk e
bocah niku sakniki ngangge jeneng “met” artinya slamet,
padahal namanya hanya Sumarni saja pada waktu sebelumnya
kanti pangajab iso cepet slamet, cerita ibu SS (Wawancara 1 Juli
2018).
Setelah berobat secara medis maupun non medis SS pun
berangsur-angsur pulih kembali. Saat anaknya sudah mulai
sekolah TK, SS pun mulai bekerja sebagai pembantu rumah
tangga pada sebuah keluarga di desanya. Dia sempat juga bekerja
di Solo dan Jakarta. Namun akhirnya dia kembali ke desanya dan
menikah lagi dengan seorang laki-laki KR, pada tahun 1996.
Sayangnya pernikahan itu tidak berlangsung lama, karena pada
waktu anak keduanya dilahirkan tahun 1997, suaminya justru
menceraikannya. Namun SS tegar, berbekal pengalaman
sebelumnya yang nyaris merenggut nyawanya. Perceraian dengan
suaminya ini tidak begitu membuat sedih hatinya. Saat anaknya
yang pertama berusia 13 tahun (SS), SS mendengar kabar bahwa
S meninggal dunia. SS pun melarang keras anaknya untuk ikut
melayatnya.
Kini peristiwa itu meninggalkan kenangan pahit sekaligus
manis dalam hidupnya. Anaknya yang pertama sudah bekerja di
34
Batam dan sudah berusia 26 tahun, sementara anak yang kedua
(PR) sudah berusia 21 tahun bekerja di pabrik konveksi Salatiga
(Wawancara 29 Juni 2018).
Responden 2 (KS)
Pengalaman NDE dari responden KS ini terjadi pada tahun 2002.
Saat itu dia dan banyak tetangga yang lain diajak sambatan
(membantu tanpa dibayar) oleh salah seorang tetangga yang
bernama LN. Entah apa sebabnya pada waktu itu, saat semua
teman-temannya sudah pada turun untuk sarapan, responden KS
masih tetap duduk di atas blandar yang relatif agak tinggi. Tak
lama kemudian brek.... KS jatuh tertimpa blandar dan material
tembok yang roboh menimpa kepala dan tubuhnya. Saat itu KS
pingsan dan tangannya menjadi jempe (tangannya tidak bisa
digerakkan). Orang-orang di sekitarnya pun panik. Seketika itu
juga KS dibawa ke RSUD Tuban, namun karena peralatan yang
tebatas pada waktu itu, akhirnya KS dirujuk ke rumah sakit
Karang Menjangan Surabaya.
Dalam proses wawancara ini, responden berbicara banyak
namun tersendat-sendat dan tidak begitu jelas, sehingga istrinya
(PK) sering membantu menjelaskan (laki-laki)nya.
“Sakjane naliko pas tibo, sirahe ora langsung penyok, gur
awake akeh sing gosong”, tutur istrinya. Saat perjalanan dari
RSUD Tuban ke rumah sakit Karang Menjangan tubuh KS amat
mencemaskan, dari mulut dan hidungnya keluar darah, padahal
KS dalam posisi tidak sadar, “aku ngasi kawetu “urip mati urip
mati”, kenangnya.
Tanggal berapa dan bulan apa istri KS (nama inisialnya PK)
sudah lupa, yang dia ingat hari itu Sabtu Pon tahun 2002 KS
mulai masuk RS Karang Menjangan, “aku iseh kelingan pas
mlebu Karang Menjangan Suroboyo iku dino Sabtu Pon, ora
langsung dioperasi”, cerita PK. Ketika penulis tanya mengapa
tidak langsung dioperasi? PK menjawab “aku wis lali, mbuh
saking akehe wong sing do antri arep dioperasi opo piye jaman
semono”. Pada hari Senin Kliwon, responden menjalani
35
operasinya. PK menceritakan “aku nunggu operasine lambeku
komat-kamit, moco sak isane, atiku deg-degan terus, mati urip,
mati urip nganti kepuyuh-puyuh” kenang PK (Wawancara 19 Juni
2018). Apa yang masih diingat saat suaminya selesai dioperasi
adalah kepala suaminya diperban cokelat dan tidak sadar hingga
beberapa hari.
Dalam konteks penelitian ini, bisa dimaklumi karena sejak
peristiwa jatuhnya hingga dioperasi, responden tidak sadarkan
diri. Maka yang banyak bercerita tentang peristiwa itu adalah
orang terdekatnya yaitu istrinya meskipun dalam hal ini
responden terkadang masih bisa bicara meski agak tersendat.
Beberapa tetangga dekat dari responden yang masih mengingat
peristiwa itu seperti bu RHM yang sempat penulis wawancarai
juga mengatakan “kabeh wong gak ngiro nek kang Si iseh iso
urip, soale awake remek lan ora sadar-sadar” (Wawancara 18
Juni 2018).
Yang menarik adalah sesudah operasi. Berdasarkan diagnosis
dokter, ternyata ada bagian batok kepala yang rusak akibat
benturan benda keras. Pada waktu tim dokter memberitahu bahwa
batok kepalanya harus dipasang lagi (responden lupa pada kontrol
keberapa pasca operasi), responden yang mulai sadar dari
pingsannya, ditawari untuk dipasangkan kembali tempurung
kepalanya melalui operasi lagi, namun responden menolaknya. Di
samping karena keterbatasan dana, juga merasa usianya sudah tua
(62 tahun waktu itu) “dipasang ora dipasang yo podo wae bakale
mati wong wis tuwo” ucapnya sangat tersendat-sendat. Maka
pasca operasi jadilah kepalanya sebelah kanan (di atas telinga)
penyok ke dalam (karena tanpa penyangga tempurung kepala
lagi). Meski tim dokter saat itu sudah mengingat resikonya jika
tempurung tidak dipasang lagi. Namun dia tetap tidak ingin
dioperasi lagi. Dia hanya ingin melindungi kepalanya (saat itu
pakai perban terus), maka jadilah kepalanya penyok sebelah
seperti pada gambar (lihat lampiran).
Gambaran tersebut diperkuat oleh kesaksian tetangganya
wkatu sebelum penulis terjun ke lapangan (wawancara langsung
36
dengan KS). Penulis pernah telepon ke tetangga tersebut (RHM),
tentang apakah kondisi KS sampai sekarang masih tetap penyok
kepalanya, tetangga ini menjawab “yo tetep penyok (khas Jawa
Timur) wong batok e ora gelem dipasang maneh, amergo kudu
operasi maneh” (Wawancara 30 Mei 2018). KS sendiri tidak
punya telepon, sehingga penulis mencoba menghubungi tetangga
KS tersebut.
Responden 3 (NJ)
Responden ini menceritakan tentang awal penyakitnya yang dia
rasakan sejak tahun 2000. Pada saat itu “wetenge kulo sakit terus
menerus, kulo obatke teng rumah sakit Ananda Blotongan
Salatiga”. Hasil diagnosis menyimpulkan bahwa responden
positif menderita tumor myoma di rahimnya. Maka operasi pun
dilakukan pada tahun itu juga di rumah sakit tersebut. Selang dua
tahun, perutnya terasa sakit kembali, tepatnya tahun 2002. Merasa
sudah menjalani operasi, responden terus menerus menempuh
pengobatan alternatif atas semua saran dari orang-orang di
sekitarnya. Namun ternyata pengobatan alternatif ini hanya
menghilangkan rasa sakit untuk sementara saja. Setiap sakitnya
terasa kembali, responden kembali minum obat, tanpa pernah lagi
konsultasi ke dokter lagi. Pada tahun 2004 responden
menceritakan “weteng kulo kroso wonten benjolan keras”,
rupanya benjolan tersebut adalah kanker myoma yang mulai
membesar dan menjalar. Namun lagi-lagi untuk mengatasinya
responden memilih pengobatan alternatif sekedar untuk
mengurangi rasa sakitnya. Pengalaman itu dia jalani hingga
pertengahan tahun 2007. Setelah badannya terasa tidak kuat lagi
maka responden dibawa ke RS Karyadi Semarang. Maka pada
tahun 2007 tersebut operasi pertama pun dilakukan. Kanker
myoma yang mulai membesar dikeluarkan. Sempat dirawat di
rumah sakit tersebut beberapa hari. Namun ternyata belum
sembuh juga, maka seminggu kemudian responden menjalani
operasi yang kedua. Setelah ditunggu beberapa hari, hasilnya
gagal juga “sudah ditambal tapi ijeh metu, bocor”, ucap
37
responden yang dikuatkan suaminya. Ketika penulis ingin
mendapatkan keterangan yang lebih jelas dari pernyataan itu “apa
maksudnya bocor?” responden menjawab “kotoran kulo
menyebar kemana-mana akibat salah satu bagian usus kulo
lengket dengan dinding rahim hingga akhirnya usus itu bocor
(menurut responden, lengketnya usus tersebut akibat seringnya
melakukan pijat sebagai rangkaian pengobatan alternatif dari
tahun 2004-2007).
Dalam dua minggu, responden mau tidak mau menjalani
operasi yang ketiga, pada saat inilah sebetulnya responden
mengalami apa yang disebut Near-death Experience itu.
Mengapa? Karena dalam operasi yang ketiga ini (di tengah
kondisi fisik yang menjadi lemah akibat operasi dua kali
sebelumnya). Responden mengalami komplikasi. “usus kulo sing
bocor dipotong, tapi diluar perkiraan kotoran kulo (tinja)
ternyata pun nyebar kemana-mana, sampai ke jantung juga”.
Akhirnya pasca operasi responden dalam kondisi kritis dan
ditempatkan di ruang ICU. Menurut suaminya, karena panik, dia
konsultasi tentang kemungkinan bisa bertahannya istrinya “dokter
ketika itu bilang 50 % - 50 %. Berat badan istri saya saat itu
tinggal 30 kg, hanya tinggal tulang dan kulit, di dadanya banyak
kabel menempel, hingga saya selalu bilang ke pembesuk “kulo
pun pasrah”, cerita suaminya. Hal itu disebabkan pasca operasi
istrinya tidak sadarkan diri hingga satu minggu lebih. Pada saat
mulai sadar, responden selalu minta dimandikan, namun oleh
suaminya tidak dikabulkan permintaannya karena kondisinya
yang masih dalam perawatan serius pasca operasi. Operasi yang
ketiga itu membuat pasien menjadi lebih baik, karena ususnya
yang bocor dan busuk sudah dipotong dan disambung kembali
jika sudah sembuh. Kemudian dibuatkan lubang perut di bagian
samping, hingga BAB responden selama 5 bulan melalui perut
yang sudah dilubangi tersebut. “Tempat kotorannya, cholostomi
namanya, itu mahal bu, 30 ribu, saya belinya di apotek. Padahal
harus ganti baru setiap buang kotoran” kenang suaminya.
Setelah beberapa bulan dan diperbolehkan pulang, responden pun
38
mulai sembuh dan mulai berjalan-jalan, sambil nggembol tempat
pembuangan kotoran di samping perutnya. Sekitar lima bulan
lamanya, responden menjalani pengalaman itu, kemudian
responden masih dalam tahun yang sama tahun 2007, menjalani
operasi yang keempat kali yaitu memasukkan usus dan
menyambungnya kembali dengan menutup bagian samping perut
yang dilubangi. Alhamdulillah sekarang sudah pulih kembali dan
bisa beraktivitas seperti semula (Wawancara 18 Agustus 2018).
Responden 4 (FD)
Penyakit yang diderita FD adalah kanker payudara. FD mulai
merasakan sakitnya pada tahun 2015. Meski sebetulnya jauh
sebelumnya ke arah itu sudah ada namun tidak dihiraukan. Saat
kanker tersebut mulai mengeluarkan nanah (stadium 4) FD mulai
tidak bisa tidur karena sakit yang luar biasa pada bagian payudara
kirinya. Awalnya dia mencari pengobatan alternatif kemana-
mana. Pada suatu saat dia pernah berobat ke Magelang, namun
dia tidak kuat dengan metode pengobatan itu karena dia harus
mengonsumsi morphine. Kemudian dilanjutkan berobat ke
Njuwangi. Bagian yang sakit ditancepi sodho (lidi) dan kemudian
ditarik pelan-pelan... mengalir deras cairan itu. Penulis sempat
bertanya netes begitu? FD menjawab tidak sekedar netes tapi
mengalir, ucap FD. Padahal pada pengobatan yang kedua ini (di
Njuwangi) FD sebelummya sudah pernah keluar masuk rumah
sakit Kensaras di Ungaran, tetapi tidak sembuh-sembuh. “Rasane
meh putus asa kuwit ngrasakke lorone” kata FD.
Dalam proses pengobatan penyakitnya itu sebanyak 22 kali di
sinar di rumah sakit namun penyakitnya tidak sembuh-sembuh,
juga hingga pada pertengahan tahun 2018 mengalami sakit yang
luar biasa saat infeksi di payudaranya mengalami pecah untuk
yang kelima kalinya (mecah ping gangsal). FD dilarikan ke
rumah sakit Kensaras kembali. Namun kali inisakitnya semakin
parah karena cairan dari infeksinya sudah masuk ke paru-parunya
hingga dia mengalami susah nafas di samping sakit nyeri yang
dideritanya. Akibat pernafasannya yang terganggu ditambah di
39
UGD, rumah sakit Kensaras. Selama mengalami mati (suri). Oleh
karena keluarga yang kebetulan ada di rumah sakit sudah
memberikan kabar kepada keluarga di Sruwen untuk siap-siap
kedatangan jenazah. Kabar tentang mati surinya FD sempat
direspon oleh keluarga dengan hendak mengumumkan pada
warga melalui pengeras suara masjid. Dan selama menunggu
kedatangan jenazah itulah kemudian ada kabar bahwa FD
mengalami sadar kembali dari tidur panjangnya selama dua hari
dan mati (suri) justru menjelang sadarnya.
Lalu apa yang dialami selama mati suri tersebut? Saya seperti
berada di padang yang sangat luas tak bertepi baik panjangnya
maupun luasnya. Saya berdiri tegak sambil kebingungan-
kebingungan saya sempat berdoa “Gusti wangsulke kulo teng
alam kulo maleh Gusti” pintanya. Pada saat yang lain, saya juga
pernah merasa ada dalam rumah sakit tapi kecil (tidak seperti di
Kensaras). Di lorong rumah sakit itu, saya bertemu dengan
dokter kemudian saya (FD) minta agar saya diobati karena selak
tidak kuat, namun anehnya dokter tersebut menjawab “kalau mau
berobat silakan ke ruang sana”. Dokter tersebut berkata sambil
menunjuk ke arah kuburan, kisah FD. Kalau ingat itu saya masih
ngeri mengingatnya.
Sewaktu FD sadar, FD hanya merasa seperti pulang dari
galengan kecil di dekat rumah sakitnya. Hari-hari berikutnya
infeksi di payudara FD semakin mengering hingga salah satu
dokter yang memeriksa heran dengan kondisi FD. Dokter tersebut
berkata “ibu ini minum apa kok bisa kering?”. FD pun menjawab
“saya tidak minum apa-apa selain berdoa terus dokter” kata FD
sambil ingat masa-masa kritis itu dan menitikkan air mata. “Ini
betul-betul mukjizat bu” katanya. Andai ada orang yang mau
mengganti sehat saya ini dengan gunung emas, saya lebih
memilih nikmat sehat ini ketimbang harta” ucap FD.
Kembalinya FD ke rumah tentu disambut oleh keluarga
terutama oleh kedua anaknya dengan suka cita. Betapa tidak,
kepergian ayahnya yang belum begitu lama sudah membuat
mereka sedih, ditambah lagi sempat mati (suri) ibunya. Putrinya
40
yang masih kuliah, AZ sempat menangis saat menceritakan
kembali kondisi ibunya yang dikiranya sudah mati saat itu.
Kini, penyakitnya FD sudah kering sama sekali, namun begitu
FD setiap hari masih minum obat dan vitamin untuk menjaga
kebugaran tubuhnya yang sempat kurus kering dan menghitam
akibat seringnya disinar di Kensaras. Ketika penulis tanya tentang
anaknya yang sulung kepada FD, FD pun menjawab “dia sedang
mengambil obat di Kensaras Ungaran bu. Saya ikut BPJS tapi
yang membayar bulanan itu bu”, FD mengakhiri ceritanya sambil
menyeka air mata.
C. Implikasi NDE pada Makna Eksistensial Diri dan Orientasi
Keagamaan
SS (Responden 1)
Setelah peristiwa sakitnya tersebut bisa teratasi dengan berobat
luar dalam seperti yang sudah tertulis sebelumnya, SS mulai
memulihkan kesehatannya hingga akhirnya dia mulai bekerja
meski sebagai pembantu rumah tangga di desanya itu terjadi pada
1996. Dia sempat menikah dan memiliki anak satu lagi dengan
suaminya yang dinikahinya pada tahun 1997. Namun kemudian
bercerai saat anaknya masih bayi. Setelah anaknya berusia 3
tahun responden ini mulai bekerja di Jakarta juga sebagai
pembantu rumah tangga. Setiap bulan dia mengirimkan uang
kepada ibunya untuk biaya hidup kedua anaknya yang tidak
memiliki ayah. Hari-hari berikutnya responden SS semakin kuat
dalam menjalani hidupnya, hingga akhirnya dia memutuskan
kembali lagi ke desa, hidup bersama ibu bapak dan kedua
anaknya. Hingga pada tahun 2010 dia memutuskan menikah lagi
dengan seorang duda beranak dua dan hidup bersama hingga
sekarang. Berikut adalah hasil wawancara seputar implikasi NDE
dalam kehidupan SS berikutnya.
“Setelah peristiwa yang kamu alami itu, kamu memaknai
penderitaan itu sebagai apa? Pripun nggeh ... lakone urip mawon
memang harus begitu”. Responden SS ini latar belakang
pendidikannya sampai SD kelas 6, sehingga terkadang
41
menggunakan bahasa Indonesia. Lalu bagaimana memaknai
keberadaan hidup yang sekarang ini, responden ini menjawab
“nggeh kangge neruske laku urip sing luweh apik meneh
ketimbang sing wis-wis”. “Lalu bagaimana tentang adanya
kematian?” Responden ini menjawab “kulo pun nate badhe pejah,
jadi tentang kematian nggeh tetep takut, ning pripun, semua
orang bakal mati, bapak e kulo sakniki nggeh pun pejah”,
ucapnya. Ke depan, responden hanya ingin sehat dan hidup tidak
serba kekurangan. “Dalam hal keimanan, apakah ada tambah
imannya?” Responden ini menjawab “nggeh budhe ... sakite kulo
nyadarke kulo lan mbok e kullo, tentang pentingnya dongo, salat,
lan berbuat baik. Riyen kulo taseh bolong-bolong salate, posone,
alhamdulillah sakniki pun mboten bolong-bolong maleh. Bab
ngibadah kalo bisa ya jamaah menawi mboten nggeh teng griyo
lillahi taala. Bab zakat kulo dereng nate zakat, kecuali zakat
fitrah. Kalo shadaqah sedikit-sedikit ya usahakan jika pas ada
rizki”, ucapnya.
Di antara itu semua dia menyimpulkan bahwa penderitaan
yang dia alami sebelumnya telah menyadarkan dia tentang
pentingnya hidup yang lebih baik lagi, “cedak karo sing kuoso,
membantu sesama, jujur, lan rukun karo sopo wae ... jujur kulo
akoni kulo riyen kathah dosane budhe ... lorone kulo jalaran
dipenggawe S dadi pengeleng-eleng kangge uripe kulo, kangge
langkung sae maleh, amargi kulo sakniki sampun gadah
tanggungan anak loro (2). Pun cukup kulo mawon ingkang
ngraoske nasib meniko, ampun ngantos anak putu kulo
nglampahi nopo ingkang kulo lampahi riyen”.
Responden 2 (KS)
Dalam kondisi kepala yang diperban setiap hari, responden ini
menjalani kehidupannya kembali di rumahnya. Setelah berkali-
kali menjalani pengobatan di rumah sakit Karang Menjangan
Surabaya, uang tabungan pun sudah habis, sementara kehidupan
masih harus terus berlangsung. Menjadi nelayan? tentu tidak
mungkin, menarik becak? juga tidak mungkin. Satu-satunya
42
benda yang masih tersisa saat itu adalah dua becaknya. Maka
dijuallah becak itu dan uangnya digunakan untuk mesin parut,
juga mesin penggiling beras jadi tepung, itu terjadi sekitar tahun
2004. Sebuah usaha yang bisa dikerjakan tanpa harus
meninggalkan rumah dan bisa dibantu istrinya. “Aku waktu itu
gur dadi kasir, sing abot-abot dikerjani pakiyan” cerita dia saat
itu sambil menunjuk istrinya.
Ketika penulis bagaimana perasaan responden setelah bisa
sehat dan bekerja lagi, responden ini menjawab dengan terbata-
bata sambil menitikkan air matanya “yo seneng, syukur, ora
nyongko nek bakal urip maneh, ndeleng remuke awakku wektu
kui”. Kalimat ini pun disempurnakan oleh istrinya, karena banyak
kata yang kurang jelas di pendengaran.
Rasa syukur itu responden wujudkan dalam kegiatan sehari-
hari, bekerja keras, dan lebih tertib dalam beribadah. Yang
responden harapkan hanyalah bisa sujud di depan ka‟bah bersama
istrinya yang telah memberinya kehidupan yaitu dengan
berangkat haji. Sedikit demi sedikit uang dikumpulkan, namun di
tengah perjalanan keinginannya itu, usaha penggilingan beras dan
parutan kelapa yang dimiliki mengalami surut pendapatan. Hal itu
disebabkan tepat di sebelah rumahnya tetangganya juga buka
usaha yang sama dengan responden. Istri responden sempat
menangis saat ingat sedihnya saat itu.
Secara bergantian, responden dan istrinya bercerita bahwa
usahanya yang pada awalnya begitu rame dan hasilnya
direncanakan untuk daftar haji (saat itu biaya haji tahun 2006
sekitar 7 juta). Sedikit demi sedikit mulai menurun dan sempat
pailit, karena hampir seluruh langganannya pindah ke usaha
tetangganya. “Bab iki aku kudu sabar, wong biyen wae naliko
loro iso sabar ngadepi lan puleh” ucap KS tersendat-sendat.
Artinya penderitaan yang dihadapi setelah NDE dipandang lebih
ringan dalam menghadapinya. Istri KS sempat berucap “saking
sepine aku sering keturon ning nggone selepan. Dadi ono wong
sing arep nyelepke yo podo pindah sebelah wong aku turu”.
Keduanya pun bersabar hingga akhirnya para langganannya satu
43
persatu kembali lagi padanya dan kembali mampu menabung
kembali. Maka pada tahun 2006 keduanya berangkat ke tanah
suci.
Saat penulis tanya tentang pengalamannya waktu di tanah suci,
responden menjawab “koyo wong ngimpi, ora iso moco tulis kok
iso munggah kaji ...” (Wawancara 19 Juni 2018).
Berikut adalah hasil wawancara dengan responden yang
didampingi istrinya seputar apa yang dirasakan setelah NDE
berlalu.
Saat penulis tanyakan bagaimana responden memaknai
penderitaan yang dialaminya tersebut, responden menjawab “iku
ujian soko sing kuoso, aku iso sabar opo ora, nyatane aku
diparingi iseh iso sabar”. Lalu bagaimana memaknai tentang
keberadaan kita di dunia ini setelah peristiwa itu berlalu, “urip
kudune luwih manfaat kanggo dewe lan liyan”. Bagaimana
pendapat responden tentang kematian, “mbiyen aku kurang mikir
bab mati, nanging saiki aku wis ngroso cedhak mati, ngadep sing
kuoso, kanti ikhlas”. Saat penulis ajukan pertanyaan berikutnya,
responden agak sulit bicaranya maka istrinya yang menjawab,
“dewekne sadar nek bakal mati, mulo sregep ngibadah, ora tau
ngondo wong”.
Ke depannya responden ingin hidup tetap sehat, tetap iman
islamnya. Pengalaman yang nyaris membuat meninggal telah
banyak mengajarkan beberapa hal, misalnya “luwih sregep
ngibadah, keikhlasan, mbayar zakat, lan shadaqah, ora usah
mikir NU, Muhammadiyah sing penting niate Allah dibagi neng
tonggo”. Begitu jawaban responden yang banyak dibantu oleh
istrinya akibat ucapannya yang banyak terputus-putus.
Pada terakhir kali wawancara, saat itu istri responden
menambahkan “kupinge wis ora sepiro krungu, tapi nek krungu
adzan, jumratalah ngadek lan wudhu” (Wawancara 20 Juni
2018).
44
NJ (Responden 3)
Sebagaimana pada dua responden sebelumnya, pengalaman Near-
death Experience yang dialami NJ juga membawa banyak pada
perubahan baik secara fisik, psikis, maupun teologis. Sebagai
contoh jika pada waktu responden ini sakit berat badannya tinggal
30 kg, maka saat ini berat badannya sudah 54 kg. Sementara
implikasi-implikasi yang lain akan diuraikan sebagaimana hasil
wawancara penulis dengan responden berikut ini.
Setelah sembuh dari sakit, bagaimana ibu memahami tentang
sakit yang pernah ibu derita? Responden ini menjawab “semua itu
merupakan ujian dari yang maha kuasa”. Menurut responden
semua hamba Allah akan diberi ujian oleh yang maha kuasa
sesuai titahe masing-masing. Saya tidak mengira bahwa saya
masih bisa sembuh setelah sakit 2007 itu. Karena pada waktu
saya kambuh yang kedua (tahun 2004) dengan tumbuhnya
benjolan keras di perut saya, saat itu saya merasa bahwa saya
tidak akan berumur panjang lagi. Oleh karena itu, saya langsung
mendaftar haji meski saat itu saya hanya sendirian. “Selak mati”
kata responden. Maka tahun 2004 dia menjalankan ibadah haji
dengan biaya 24 juta pada waktu itu, tanpa suaminya. Di samping
adanya rasa takut “selak mati” ibadah haji itu yang meski harus
menjual sebagian sawah tinggalan orang tuanya, juga dilandasi
keinginan untuk berdoa memohon kesembuhan pada penyakitnya.
Meski pada tahun 2007 dia mengalami lagi keadaan yang
kritis, namun saat ini responden pahami kondisi itu sebagai proses
kesembuhan yang saat ini responden rasakan. Dengan kata lain,
doanya selama menunaikan ibadah haji tetap dikabulkan oleh
Allah. Oleh karena itu, dalam sisa waktu hidupnya setelah masa
krisis itu berlalu, dia merasakan betapa Allah telah menolongnya,
maka saya juga harus banyak menolong orang yang sedang
“nyandang loro” , ucapnya. Demikian juga pada orang yang
kesripahan, saya selalu berusaha membantu sebisanya. Ikut
terlibat dalam proses mengurus jenazah, terutama jenazah
perempuan. “Rasane gelo banget menowo ora iso nginguk wong
loro, utowo ora iso ngewangi jenazah”. Pernyataan responden itu
45
dibenarkan oleh beberapa tetangganya, salah satunya PJ. “Bu NJ
tersebut sudah lama sejak sembuh dari sakitnya dulu hingga
sekarang sangat sregep besuk orang sakit baik di rumah maupun
di rumah sakit sekalipun rumah sakitnya lumayan jauh. Demikian
juga terhadap warga desa yang meninggal, beliau selalu aktif
ikut memandikan dan mengkafani”. Memang sikap sosial dari
responden ini sudah menjadi kesaksian umum dari warga sekitar,
“selalu saja ada bu NJ dalam setiap ada kesripahan”, ucap MD
salah satu satu tetangga jauh lain dari responden. “Saya semakin
tidak takut menghadapi kematian karena saya pernah mau mati
(saat di ICU), makanya saya banyak melibatkan diri ngurusi
jenazah tetangga dekat maupun jauh. Toh ora urung aku yo bakal
mati”.
Di samping itu, responden ini juga dikenal sangat sosial
terhadap orang lain. Pada salah satu kesempatan wawancara
penulis dengan responden, kebetulan di depan rumahnya sedang
ada proyek desa memperbaiki selokan air. Dia setiap hari
menyediakan minuman dan kue untuk para tukang, meski hanya
secara sukarela.
Dalam hal orientasi keagamaan, kini responden sudah sangat
berubah. Sebagaimana diceritakan oleh responden bahwa
responden ini dibesarkan dalam kultur keberagamaan Nahdliyyin
yang sangat kuat. Kemudian dia menikah dengan PN (suaminya)
yang notabenya pengikut Muhammadiyah yang sangat kuat juga,
bahkan pernah menjadi ketua ranting di desanya, dan sekarang
sudah menjadi pengurus cabang. Pada awalnya meski keduanya
satu rumah, namun dalam beribadah masih mengikuti kultur yang
berbeda. Sebagai contoh, responden salat tarawih di masjid dekat
dengan rumahnya sesuai dengan tradisi Nahdliyyin, sedangkan
suaminya justru melakukan salat tarawih di masjid lain yang agak
jauh sesuai dengan kultur Muhammadiyah.
Namun setelah dia sembuh dari operasi yang terakhir itu
responden ini selalu mendampingi suaminya mengikuti salat
tarawih di masjid yang agak jauh itu, terutama saat suaminya
sedang mendapat jadwal sebagai imam tarawih di masjid tersebut.
46
Ketika hal itu penulis tanyakan, mengapa sekarang sudah biasa
tarawih bersama suaminya, responden ini menjawab “sakniki kulo
mboten fanatik, semua baik, semua benar, maka terkadang saya
masih tarawih di masjid dekat rumah saya ini juga. “Saya juga
selalu berusaha sak iso-isone nderek kurban mben tahun sebagai
rasa syukur pada Allah yang sudah menolong saya” ucap
responden.
FD (Responden 4)
Menghadapi sakit yang luar biasa dari kanker payudara dan
sekitarnya yang sudah lama membengkak penuh nanah dan
akhirnya mecah bukanlah sakit yang biasa. FD sempat mengeluh
akibat penderitaan yang bertubi-tubi dan hampir hampir
bersamaan waktunya. Dia bercerita bahwa dia sempat mengeluh
pada Tuhan “Nopo Allah kirang kathah maringi cobaan kaleh
kulo, bojo sakit, kulo piyambak nandang sakit”, itu diucapkan
sewaktu suaminya masuk dirawat di RSUD Boyolali, sementara
dia menderita sakit sebelum dibawa ke RS Kensaras.
Sewaktu penulis tanyakan jika sekarang sudah diberi
kesembuhan bagaimana pandangan FD tentang sakit yang
kemarin? Dalam hal ini FD menjawab “sakit yang kemarin
sebagai pelajaran yang sangat berharga buat saya, buat hidup
saya, bahwa hidup ini hanya sebentar “wong urip gor mampir
ngombe”. Setelah saya diparingi sembuh oleh Allah, saya merasa
eman-eman jika hidup ini tidak untuk ibadah. Dari sakit saya
yang kemarin saya menjadi sadar untuk mengurangi nafsu donyo
(nafsu dunia) dan bahwa untuk kembali padaNya harus
beribadah. Dalam setiap selesai salat, saya selalu berdoa untuk
tetap nyuwun kesana (kembali kepada Allah, dan tidak mati
sebagai arwah yang nyasar). Melalui ibadah saya ingin dekat
denganNya, ucap FD.
Bagaimana menghadapi kematian? FD menjawab “jujur kulo
taseh wedi bab kematian, bukan takut mati itu sendiri, tapi saya
takut mati nyasar, sangune mati dereng gadah bu...”. saat ini FD
berusaha mengisi hari-harinya untuk beribadah sambil bekerja
47
buka toko sembakonya. Ikut pengajian, demikian juga rajin
bersosial. Bahkan pada saat penulis sedang wawancara di
rumahnya (tanggal 25 Agustus 2018) sempat ada seorang tamu.
Setelah dipersilakan masuk ternyata tamu itu hanya mengabarkan
bahwa sore itu ada pengajian toriqot Qadiriyah di Desa Doglo
Boyolali. Apakah ibu sudah lama mengikuti toriqot ini? FD
menjawab “ya, sejak saya sakit”. Apa yang paling penting dari
kegiatan toriqot tersebut? FD menjelaskan bahwa menurut Pak
Kyai.. dengan bertoriqot hidup dan mati kita ada yang menuntun,
yaitu para mursyid, sehingga selalu terjamin ke jalan yang benar.
Misalnya dengan laku dzikir dan wirid setiap selesai salat harus
rutin. “Kulo rutin menjalankan amalan, dzikir, dan lain-lain. Pak
Kyai itu pirso menawi ada salah satu jamaah yang tidak
melakukan amalan, padahal jamaahnya banyak sekali”.
Bagaimana ibu memaknai makna hidup ini setelah ibu sembuh
dari sakit? “seperti wau kulo pun matur, urip iki ora suwe gur
koyo mampir ngombe, milo kulo kedah terus golek sangu kangge
sewaktu-waktu ngadep sing kuoso”.
Saat penulis menanyakan tentang harapan ke depannya?
Responden menjawab dengan singkat, pengen sehat, menawi
pejah nggeh mbalik wonten ngersane Allah, mboten nyasar.
Responden merasa dengan penyakitnya tersebut perasaan dekat
dengan Tuhan semakin dirasakan terlebih setelah mengikuti
toriqot. “Seperti ada yang terus menuntun dalam beribadah dan
berdzikir saya”, ucapnya. Dalam seminggu sekali responden FD
juga katif dalam pengajian yang diadakan oleh masyarakat di
sekitarnya, seperti pengajian yasinan, manaqiban, atau tahlil.
Dalam pengajian tersebut sekaligus terselip kegiatan “sosial
kemasyarakatan sebagaimana pernyataan IS (keluarga FD) “FD
aktif nderek pengaosan seminggu sepindah, meski mboten dados
pengurus, soale riyen kulo nate pas mriko piyambak pas tindak
ngaos bu” ucap IS (Wawancara 8 September 2018).
48
BAB V
PEMBAHASAN DAN ANALISIS
A. Polarisasi dan Sekuensi NDE
Data penelitian tentang NDE berasal dari orang-orang yang dalam
hidupnya pernah mengalami situasi di mana di dalamnya mereka
pernah merasa dekat dengan kematian, pernah merasa sedang
dalam kematian, atau bahkan pernah merasa mati, “NDE are
reprorted by people who lived through a situation in which they
were felt to be near death, dying, or even dead” (Knoublauch,
2001: 16).
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa responden
dalam penelitian ini terdiri dari 4 orang yaitu NJ, FD, KS, dan SS.
Satu di antara responden tersebut berjenis kelamin laki-laki.
Keempat responden tersebut pernah survive dalam melawan
penyakit yang beresiko kematian atau pernah mengalami
kecelakaan berat yang mengancam jiwanya.
Dilihat dari pemicu terjadinya NDE, NJ dan FD pemicunya
adalah kanker myom dan kanker payudara. Sementara KS
pemicunya karena kecelakaan berat yang berakibat pada rusaknya
batok kepala. SS awal mulanya adalah depresi yang kemudian
merambat menjadi sakit secara fisik. Seluruh tubuhnya bengkak-
bengkak dan lemes sehingga dalam waktu yang lama SS hanya
bisa terbaring di amben.
Responden NJ dan FD juga KS semuanya pernah diopnam di
rumah sakit dan ketiganya pernah mengalami koma selama 2 hari
bahkan FD sempat mengalami OB (out of body) atau mati suri.
Sementara untuk SS, responden ini tidak pernah diopnam, di
samping karena persoalan minimnya dana dan keyakinan
keluarganya terhadap sakit yang diderita adalah lebih dikarenakan
“dipanggawe orang” (disantet orang), bukan sakit “sak baene”
(bukan sewajarnya). Maka di samping terkesan berusaha berobat
ke dokter, responden SS lebih banyak mengandalkan pengobatan
alternatif, dengan mendatangkan orang-orang pinter (dukun) ke
rumahnya.
49
Paparan tersebut di atas menyimpulkan bahwa setiap peristiwa
NDE selalu memiliki kondisi-kondisi yang menjadi pemicunya.
Brogetha menyebut kondisi-kondisi tersebut adalah situasi fisik
yang ekstrem atau juga berupa distress emosional (2013: 82). Hal
yang sama juga disebutkan dalam “International Association of
Near-Death Studies (IANDS) bahwa kriteria NDE bisa berupa
kondisi kritis fisik maupun emosional yang mendekati kematian
ataupun tidak (http//lands.org).
Owens dkk (1990: 1175) menulis bahwa NDE terjadi pada
individu yang mendekati kematian baik dinyatakan meninggal
secara medis atau tidak, dan dapat mengingat peristiwa sewaktu
mengalaminya, serta pada individu yang tidak mendekati
kematian, namun meyakini bahwa ia mengalaminya.
Komaruddin Hidayat dalam bukunya Psikologi Kematian
menyebut bahwa “sakit dan celaka adalah jembatan ke arah
kematian” (2013: XXI). Namun harus dipahami bahwa tidak
semua sakit parah atau kecelakaan pasti berakhir dengan
kematian. Karena banyak juga yang tidak sakit atau mengalami
kecelakaan, mereka juga meninggal dunia. Yang pasti adalah
bahwa kematian itu akan terjadi pada setiap jiwa yang hidup dan
jika saatnya tiba kematian itu tidak pernah ditunda ataupun
dimajukan waktunya. Sebagaimana tersebut dalam Q.S. Anbiya:
35 dan An-Nahl: 61.
نا ت رجعون نةا وإلي ر والي فت لوكم بلشه كل ن فس ذائقة الموت ون ب Artinya: “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami
akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai
cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami lah
kamu dikembalikan”. (Q.S. Anbiya: 35)
فإذا جاء أجلهم لا يستأخرون ساعةا ولا يست قدمون Artinya: “Maka apabila telah tiba waktu (yang ditentukan)
bagi mereka, tidaklah mereka dapat mengundurkannya barang
sesaat pun dan tidak (pula) mendahulukannya”. (Q.S. An-Nahl:
61)
50
Itulah sebabnya dalam konteks penelitian ini didapatkan
beberapa responden yang meskipun mereka pernah mendekati
kematian, akibat sakit parah, kecelakaan, dan kondisi psikofisik
yang rumit dan dalam waktu yang lama, bahkan di antara mereka
responden itu ada yang sudah mengalami mati suri. Namun jika
kematian itu belum waktunya, mereka tetap bisa survive melalui
ikhtiar yang ada.
Menarik disimak analisis Komaruddin Hidayat bahwasanya
“pengalaman NDE, pengalaman mati suri dapat memperkuat
ajaran Alquran bahwa kematian itu adalah berpisahnya ruh
dengan jasad. Namun ruh itu tidak mati, melainkan memasuki
dunia (alam) baru. Dalam mati suri ruh keluar dari badan
kemudian masuk lagi ke tubuh semula (2013: 156-157).
B. Implikasi NDE Bagi Subjek
Berbicara tentang implikasi NDE, sesungguhnya tidak terbatas
pada implikasi yang bersifat subjektif saja, namun juga memiliki
implikasi yang bersifat objektif juga. Artinya pengalaman NDE
tidak hanya memberi kesadaran baru bagi subjek NDE semata,
namun dapat juga menjadi pelajaran bagi orang lain. “Regardless
of the causes or interpretations of NDE, however, they are
consistently assosiated with profound and long-lasting after
effects on experiences, and may have important implication for
non-experiencers as well” (Greyson, 2015: 787).
Bukankah dalam sebuah hadis diajarkan
وت كفى
واعظا بلم
Artinya: “Siapapun orangnya bisa belajar banyak dari kasus
kematian seseorang”.
Secara empirik ternyata hal itu tidak saja terjadi di mana
seseorang belajar dari kematian orang lain, namun bisa juga
terjadi seseorang belajar banyak dari kematian diri sendiri (kasus
mati suri), atau seseorang belajar banyak hal dari pengalamannya
yang pernah merasa sedang dalam proses kematian, atau
mendekati kematian (NDE).
51
Secara keseluruhan implementasi NDE pada kesadaran
eksistensial dan orientasi keagamaan dapat disarikan sebagai
berikut.
Responden NJ dan KS, melihat dan memaknai penderitaan
yang dialaminya sebagai ujian dari Yang Maha Kuasa. NJ
menambahkan bahwa ujian tersebut adalah dalam konteks
keimanannya, sementara KS berkaitan dengan kesabarannya.
Responden FD memaknai yang berbeda, bahwa sakit yang
dialaminya sebagai pelajaran agar dirinya tidak terlalu larut dalam
nafsu keduniaan. Sementara SS melihat bahwa derita panjang
yang dialaminya merupakan takdir yang harus dijalani (lakoni
urip). Masing-masing jawaban initentu berkaitan dengan
pengalaman subjektif masing-masing responden, termasuk di
dalamnya tentang intensitas penghayatan agamanya.
Selanjutnya tentang memaknai hidup yang sekarang ini, bagi
NJ “hidup harus bermanfaat, bagi diri sendiri dan orang banyak,
diberi kehidupan kembali (setelah sakitnya) adalah sangat penting
dan berharga sehingga dia berjanji pada diri sendiri akan selalu
hadir membantu pada orang yang sedang sakit keluarganya atau
sedang menghadapi kematian “rasane arep nulung menowo
weroh loro, wong mati, nek ora rasane gelo”. Berbeda dari NJ,
responden FD melihat hidup saat itu (setelah sembuh) sebagai
sesuatu yang hanya sebentar saja “gur koyo mampir ngombe”.
Artinya hidup ini tidaklah abadi, semua akan kembali kepada
keabadian dan Yang Maha Abadi. KS menggambarkan makna
hidupnya sekarang ini yang terpenting adalah untuk mendekatkan
diri pada Tuhan (nyedhak karo Sing Kuoso). KS sadar bahwa
sebelum mengalami NDE, KS merasa jauh dari kehidupan agama.
Sehingga saat dia diberi kehidupan kembali maka tidak ada
pilihan lain kecuali mendekatkan diri padaNya, terlebih sekarang
usianya sangatlah tua. Demikian juga dengan responden SS
memaknai hidup yang sekarang ini sederhana saja,”saya harus
lebih baik dari yang kemarin”. SS sadar bahwa waktu dia
mengalami cobaan hidup itu, usianya baru 20 tahun. Pergaulan
52
bebas, kewajiban salat yang sering dia lalaikan menyadarkan dia
tentang pentingnya hidup yang lebih baik lagi dalam segalanya.
Selanjutnya aspek penting dari hasil wawancara dengan para
responden adalah bagaimana harapan ke depannya setelah
peristiwa NDE ini berlalu? Jika ditilik dari usianya, para
responden dalam penelitian ini, yang termuda 46 tahun (SS), 52
tahun (FD), 58 tahun (NJ) dan 78 tahun (KS). Sehingga bisa
dikatakan, rata-rata sudah memasuki usia lanjut usis. Oleh karena
itu, rata-rata responden menginginkan ke depan kehidupan yang
lebih sehat, meskipun dengan tekanan kalimat di belakangnya
yang berbeda-beda. FD misalnya “ingin hidup tetap sehat,
meskipun dengan pas-pasan agar bisa tenang dalam ibadah. SS
berharap ke depan dapat hidup sehat terus, dan tidak lagi
kekurangan, NJ berharap diberi kesehatan terus agar bisa
membantu sesama, sementara KS juga berharap sehat terus seperti
saat ini untuk beribadah.
Perbedaan pada tekanan setelah kata “sehat” juga sangat
berhubungan dengan kondisi subjektif masing-masing responden.
Misalnya FD merasa bahwa banyak harta pada kehidupan
sebelumnya tidak mampu membuat dia rajin ibadah dan sehat.
Maka apa yang diharapkan dalam kehidupannya yang sekarang
adalah hidup yang sehat meski pas-pasan. Sementara SS, masa
kecil dan remaja yang serba kekurangan menjadikan dia berharap
di samping sehat juga tercukupi kebuutuhannya. Bagi NJ selalu
menguatkan keinginannya untuk mengabdikan diri pada orang
yang sedang kesusahan maka dia harus sehat. NJ sadar kebaikan
Tuhan harus dibalas dengan kebaikan terhadap sesama.
Responden KS berharap sehat agar mampu melanjutkan
ibadahnya di hari-hari tuanya.
Menghadapi kematian adalah bagian penting dari kesadaran
yang ditimbulkan sesudah seseorang mengalami NDE, karena
NDE itu sendiri sangat berkait dengan dekatnya kematian. Lalu
bagaimana kesimpulan dalam masalah menghadapi kematian ini?
Apakah para responden masih merasa takut dalam
menghadapinya?
53
KS, usianya saat ini sudah 78 tahun, meski sebelumnya jarang
berpikir tentang kematian, namun saat ini dia merasa sudah dekat
dengan kematian, “wis ikhlas kapan-kapan wae ngadep Sing
Kuoso”. FD, pengalaman pernah mati suri, yang kemudian
dimaknainya sebagai mati nyasar, membuatnya masih takut
menghadapi kematian. Alasannya takut mengalami lagi mati yang
nyasar (tidak kembali pada Allah) dan juga karena merasa belum
banyak bekalnya (FD mengalami NDE sesudah lebaran 2018).
Bagi SS penderitaan panjang yang dialaminya dimaknai sebagai
pengalaman dekat dengan kematian. Meski begitu baginya
kematian masih tetap menakutkan, namun SS sadar bahwa setiap
orang toh bakal mati. Berbeda dari semuanya, NJ yang
menyatakan tidak takut mati dan kapan saja dipanggil sudah
merasa siap. NJ sadar sudah berkali-kali merasa mau mati
sehingga saat ini mati itu tidak menakutkan lagi.
Implikasi lain dari pengalaman NDE bagi para responden
adalah kemungkinan adanya peningkatan kesadaran dalam
beribadah. SS menggambarkan deritanya yang panjang membuat
saya dan juga ibu saya sadar akan pentingnya salat dan berdoa.
“Dulu salat saya masih bolong-bolong, sakniki sak saget-sagete
salat jamaah, nek mboten nggeh salat wonten omah”. Sementara
KS, menurut penuturan istrinya, meski pendengarannya sudah
mulai berkurang, tapi setiap mendengar suara adzan, KS
jemarantah ngadhek untuk wudhu dan salat. Bagi FD kegiatan
ibadah saat ini menjadi kegiatan paling penting, juga baca
Alquran dan dzikir seperti yang diajarkan dalam toriqot yang
diikutinya. Responden NJ merasa setelah NDE, salatnya lebih
baik (tertib dan awal waktu). Juga sering berjamaah di masjid,
karena salat adalah cara mendekatkan diri kepada Allah.
Oleh karena itu, para responden memberi jawaban yang
seragam tentang adanya perasaan yang lebih dekat kepada Tuhan,
yaitu melalui NDE menjadikan mereka merasa dekat dengan
Tuhan jika dibanding dengan sebelumnya.
Persoalan yang terakhir adalah berkaitan dengan implikasi
NDE pada munculnya kesalehan sosial atau orientasi keagamaan
54
yang lebih luas dan intrinsik. Pada bagian ini indikator yang
dipakai antara lain berkurangnya kecenderungan materialistik
semata, lebih peduli dengan sesama, dan beribadah semata-mata
karena agama bukan karena emosional.
Bagi KS, minimnya pengetahuan agama, membuat dia belum
merasakan pentingnya untuk bersadaqah. Namun setelah
peristiwa kecelakaan itu, melalui pengajian-pengajian yang ada,
KS akhirnya mulai menyadari pentingnya berbagi. Setiap bulan
puasa KS menyuruh istrinya untuk mengeluarkan zakat fitrah dan
zakat mal yang langsung dibagi ke tetangga sekitar. Di samping
itu KS juga bertambah rajin ikut apa yang dia sebut sebagai “opo
kewajibane tonggo”. Sementara FD, merasa setelah dia sembuh
dari sakitnya FD mulai merasa tidak perlu terlalu ngoyo terhadap
keduniaan, kerja seadanya di rumah, juga aktif ikut pengajian
fatayatan. Di samping itu FD juga mengikuti toriqot, hal yang
belum pernah dilakukan sebelumnya. Di samping untuk
memperkuat amalan-amalan ibadah juga memperoleh pergaulan
yang lebih lua. NJ merasa pemahaman agamanya kian positif, jika
sebelumnya dia hanya mau berjamaah di masjid yang sesuai
dengan kultur organisasi keagamaannya, kini NJ memandang
semua masjid baik. Oleh karena itu dia sudah terbiasa salat
berjamaah di masjid yang lain. NJ juga dikenal sangat „entengan‟
(suka menolong) pada orang lain. Demikian juga dengan SS
terlahir dari keluarga dengan kultur keislaman tertentu, namun
pasca sakitnya sembuh, SS aktif dalam setiap pengajian, baik
yang sesuai dengan kultur keislaman keluarganya maupun yang
tidak, yang penting „ngaji‟ katanya. Tentang zakat fitrah, SS
sudah biasa melakukannya, tetapi kalau zakat mal dia merasa
belum mampu. Hanya shadaqah terkadang dia lakukan pada anak-
anak kecil jika lagi ada rezeki, katanya.
Paparan tersebut di atas mengisyaratkan bahwa ada beberapa
elemen penting yang merupakan implikasi dari peristiwa NDE
bagi masing-masing subjek, yaitu aspek kognitif, aspek afeksi
yang semuanya berhubungan dengan kesadaran yang lebih tinggi
berupa transenden diri pada kemanusiaan dan ketuhanan.
55
Persoalan terpenting selanjutnya adalah bagaimana menjaga
kontinuitas dari kesadaran baru yang sudah diperoleh oleh para
responden tersebut, agar terus berkembang dan sebaliknya tidak
kian menyusut, sebagaimana sering diperingatkan dalam Alquran
salah satunya adalah dalam Q.S. Yunus: 12.
ا كشفنا عنو ا ف لمه ا أو قائما وإذا مسه الإنسان الضر دعان لنبو أو قاعداو كذلك زين للمسرفين ما كانوا ضرهه مره كأن ل يدعنا إل ضر مسه
ي عملون Artinya: “Dan apabila manusia ditimpa bahaya dia berdoa
kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk atau berdiri,
tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu daripadanya, dia
(kembali) melalui (jalannya yang sesat), seolah-olah dia tidak
pernah berdoa kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang
telah menimpanya. Begitulah orang-orang yang melampaui batas
itu memandang baik apa yang selalu mereka kerjakan”.
Sesungguhnya semua pengalaman yang digambarkan oleh
responden merupakan teks kehidupan yang penting dibaca oleh
siapa saja. Karena kita tidak pernah tau apa yang akan terjadi esok
pagi, di bumi mana kita akan mati.
ا وما تدري ن فس بي أرض توت وما تدري ن فس ماذا تكسب غداArtinya: “Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui
(dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada
seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan
mati”. (Luqman: 34)
C. Near-Death Experience dan Konteks Religious Experience
Jika kita mencermati kembali jawaban para responden saat
wawancara, tentang bagaimana respon dan persepsi mereka
tentang cobaan yang pernah diterimanya hingga mengalami NDE,
maka kita akan dapat menyimpulkan narasi mereka selalu
56
menyertakan Tuhan di dalamnya. Misalnya cobaan yang saya
alami sebagai pelajaran, sebagai ujian, sebagai peringatan dari
Tuhan. Dengan kata lain, para responden melihat pengalaman
NDE dari sudut agama, atau secara tidak sengaja mempersepsi
pengalaman mereka itu sebagai pengalaman agama.
Itulah sebabnya Greyson menulis bahwa mayoritas subjek
NDE berpendapat bahwa pengalaman NDE sebagai a spiritual
experience and frame, their understanding of it in spiritual
religious terms (Humanities, 2015.4: 777). Konsekuensi lebih
lanjut dari adanya persepsi seperti itu munculnya kecenderungan
para subjek NDE menjadi lebih religius, “morever the NDE is
increase individual religiousity” (Jurnal NDE Studies, 2001: 20).
Lalu di mana konteks religious experience-nya? Strickland
dalam bukunya The Psychology of Religious Experience
menyebutkan “Tuhan harus dipandang sebagai satu bagian yang
tak terpisahkan dari setiap pengalaman yang disebut pengalaman
agama (Islamiyah, 2013: 103). Demikian juga Ismail Alfaruq
(1981: 16) dalam bukunya Religious Experience in Islam
mengatakan bahwa “pada intinya pengalaman agama dalam Islam
adalah Tuhan”.
Dengan demikian jelaslah keterkaitan antara NDE dan
Religious Experience. Dalam NDE subjek merasa lebih mengenal
Tuhan, dan dan output dari NDE sendiri adalah kehidupan yang
lebih religius. Hal ini bisa kita lihat melalui hasil penelitian ini.
Sabon dalam hal ini cenderung menggunakan kategori yang
lebih abstrak dan cenderung menghubungkan NDE ini dengan
studi Religious Experience. Bagi Sabon NDE ditandai sebagai
pengalaman tak terperikan (ineffability), perasaan berada dalam
proses kematian, adanya keterpisahan tubuh (bodily separation),
dan lain-lain (Knoublauch, 2001: 18).
Betapapun NDE sering dipandang sebagai studi psikologi,
namun karena muatan dalam peristiwa NDE melibatkan banyak
jenis pengalaman (fisik, psikis, dan agama), menjadikan setiap
kajian tentang NDE terbuka berbagai interpretasi dan analisis,
57
termasuk analisis normatif teologis, psikologis, psikologi agama,
maupun medis.
RH. Thouless dalam bukunya An Introduction to The
Psychology of Religion menyebut pengalaman agama sebagai
pengalaman afektif yaitu pengalaman emosional secara batin yang
erat hubungannya dengan Tuhan (1971: 39). Menurut Thouless
(1971: 15-16), faktor pengalaman termasuk di dalamnya
pengalaman agama (pengalaman afeksi) menjadi salah satu faktor
yang dapat menghasilkan perilaku agama di samping tiga faktor
lainnya (faktor sosial, faktor kebutuhan, faktor proses berpikir).
Dalam kaitan ini, pengalaman agama diperoleh oleh para
responden melalui peristiwa NDE tersebut.
58
BAB VI
KESIMPULAN DAN PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dari bab-bab sebelumnya, maka hasil
penelitian ini menyimpulkan:
Near-death experience merupakan pengalaman seseorang yang
pernah merasakan dekat dengan kematian, pernah merasa sedang
dalam kematian, atau bahkan pernah merasa mati. Kondisi-
kondisi yang menjadi pemicu NDE bisa berupa penyakit yang
sangat accute (misalnya yang terjadi pada responden NJ dan FD),
kecelakaan yang hebat (seperti responden KS) atau kondisi
psikosomatik (responden SS).
Meskipun para responden cukup beragam dilihat dari usia
waktu mengalami NDE (22 sampai 62) tahun, aspek penyebab
NDE maupun tingkat pengetahuan mereka, baik pengetahuan
umum maupun agama, (religious literacy), namun mereka
memiliki kesamaan perspektif terhadap peristiwa yang pernah
dialami, yaitu menggunakan narasi agama (ketuhanan). Misalnya
NDE sebagai ujian kesabaran, ujian keimanan, sebagai pelajaran,
dan peringatan dari Tuhan. Dengan kata lain, NDE dimaknai
bukan semata-mata peristiwa medis atau fisik belaka, bukan
semata-mata peristiwa psikis, namun mereka mempersepsi
sebagai pengalaman keagamaan.
Oleh karena itu, NDE dalam penelitian ini memiliki implikasi
yang sangat kuat dan mendalam dalam hal kesadaran beragama
baik secara vertikal maupun horisontal. Misalnya dalam hal
kesadaran tentang eksistensi Tuhan, makna eksistensi manusia
dengan segala ujian yang ada, pentingnya doa dan ibadah,
perasaan lebih dekat dengan Tuhan, kesadaran tentang pentingnya
mempersiapkan kematian, pentingnya kebaikan bagi kehidupan
bersama, dan sikap toleran.
Implikasi tersebut tidak hanya bersifat personal individual bagi
subjek NDE, namun juga berpengaruh bagi orang-orang di luar
subjek NDE.
59
Hal lain yang bisa disimpulkan dari penelitian ini adalah
meskipun sudah pernah mengalami dekat dengan kematian, dua
responden masih merasakan takutnya menghadapi kematian,
sementara dua yang lain merasa pasrah menghadapinya.
B. Penutup
Rasanya tidak ada perasaan yang bisa diungkapkan dengan
selesainya penelitian ini, kecuali ucapan syukur kepada Allah
Swt, atas segala ridho, inayah, dan petunjukNya, sehingga
penelitian ini dapat penulis selesaikan.
Terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu proses
penelitian ini dari awal hingga selesai. Terima kasih kepada mbak
Titik dengan segala jerih payahnya dalam pengetikan dan
pengeditan penelitian ini juga masukan referensi yang sangat
berharga. Secara khusus penulis ucapkan juga kepada para
responden yang telah meluangkan waktunya mau berbagi kisah
dan cerita yang sangat mengharukan dan menginspirasi tentang
pentingnya semangat survive dalam penderitaan yang ada,
jazakumullah khairan katsiran.
Penulis menyadari, penelitian ini belm merupakan penelitian
yang sempurna dan komprehensif. Namun begitu penulis
berharap hasil penelitian ini ada manfaatnya bagi studi dan kajian-
kajian berikutnya.
Yang terakhir, ucapan terima kasih kepada IAIN Salatiga
melalui unit LP2M yang telah memfasilitasi penelitian ini dari
awal hingga akhir.
Salatiga, 25 September 2018
Djami‟atul Islamiyah
DAFTAR PUSTAKA
Al Faruqi, Ismail. 1981. Religious Experience in Islam. Penerj.
Aleftheria Wasim. Yogyakarta: Ushuluddin IAIN Suka Press.
Bastaman, Hanna Djumhana. 2005. Integritas Psikologi dalam Islam.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Braghetta, Camila C. 2013. “Impact of a Near-death Experience and
Religion Convertion on The mental Health”. Journal of Trendy
Psychiatry Psychiater, Vol. 35, No. 1, hlm: 81-84.
Daradjat, Zakiyah. 1976. Psikologi Agama. Jakarta: Bulan Bintang.
Donovan, Peter. 1979. Interpreting Religious Experience. London:
Sheldon Press.
Greyson, Bruce. 2015. Western Scientific Approach to Near-death
Experiences. Humanities, 2015, 4, 775-796.
http://iands,org/ndes/aboutndes/key-nde-facts21.html, diakses 29 Mei
2016 jam 11.15 WIB.
Islamiyah, Djami‟atul. 2013. Psikologi Agama. Salatiga: STAIN
Salatiga Press.
Jongenel, J.A.B. Introduction to The Scientific Study of Religion...,
Vol. I, 1978, Naipos (penerjemah), Jakarta: Gunung Agung.
Knoblauch, Hubbert, dkk. Different Kinds of Near-death Experience:
A Report on A Survey of Near-death Experiences in Germany,
Journal of Near-death Studies, September, 2001, Human Sciences
Press, INC.
Malony, Newton (ed). 1977. Current Perspective in The Psychology
of Religion. USA: William Terdmans Publishing Company.
MC Fadden, Susan (ed). 2004. Aging and The Meaning of Time. New
York: Springer Publishing Company.
Moleong, Lexy. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Nasution, S. 2003. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif.
Bandung: Tarsito.
Owens, dkk. 1990. Features of NDE in Relation to Wether or Not
Patients were Near-Death, Lancet, Vol. 336, 1990: 1775.
Rahmat, Jalaluddin. 2003. Psikologi Agama. Bandung: Transito.
Spilka, Bernard, dkk. 1996. The Psychology of Religion (An Empirical
Approach). New Jersey: Prentice Hall INC.
Suryanto, Bagong (ed). 2007. Metode Penelitian Sosial. Jakarta:
Kencana.
Thouless, R.H. 1971. An Introduction to The Phychology of Religion.
London: Cambridge University Press.
INDEKS
A
Accute 58
C
Cholostomi 37
D
Die with life 2
E
Ekstrinsik 7, 14
Entengan 54
G
Grounded 23
H
Hikmah 13
I
Interest 11
Intrinsik 7, 14, 54
Instrumental 14
J
Jempe 34
K
Key informan 19
Kronologis 20
L
Lunglit 32
M
Member check 22, 23
Morphine 38
Mati suri 30, 39, 48, 50,
53
N
Nggembol 38
Near death experience 1, 3, 4,
5, 6, 7, 9, 10, 16, 18, 23, 37,
44, 48, 49, 55, 58
O
Orientasi keagamaan 2, 4, 5,
7, 14, 24, 40, 45, 51, 54
Output 24, 56,
Out of body 48
P
Penyok 34, 35, 36
Peak experience 6
R
Religious literacy 58,
S
Sambatan 34
Sekuensi 48
T
Tahlil 47
The meaning of life 12
U
Utilitarian 14
LAMPIRAN FOTO KEGIATAN WAWANCARA DENGAN
RESPONDEN
Wawancara dengan responden SS
Wawancara dengan responden NJ
Wawancara dengan responden KS
Responden KS dengan kondisi
kepala tanpa batok sebelah
Wawancara dengan responden FD
Diskusi Penyempurnaan Proposal
Penelitian
Diskusi Penyempurnaan Proposal
Penelitian
Focus Group Discussion (FGD)
Penelitian
Focus Group Discussion (FGD)
Penelitian
Seminar Hasil Penelitian
Seminar Hasil Penelitian