NDC Thervina Yenni Tri Kusuma 12.70.0121 A2

22
FERMENTASI SUBSTRAT CAIR FERMENTASI NATA DE COCO LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI FERMENTASI Disusun Oleh : Nama: Thervina Yenni Tri Kusuma NIM: 12.70.0121 Kelompok A2 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN Acara II

description

nata de coco merupakan fermentasi dari air kelapa, yang memiliki kandungan serat yang tinggi

Transcript of NDC Thervina Yenni Tri Kusuma 12.70.0121 A2

7

FERMENTASI SUBSTRAT CAIR FERMENTASI NATA DE COCO

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM

TEKNOLOGI FERMENTASIDisusun Oleh :

Nama: Thervina Yenni Tri KusumaNIM: 12.70.0121Kelompok A2

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA

SEMARANG

2015

1. HASIL PENGAMATANHasil pengamatan terhadap pengujian Ketebalan dan % Lapisan Nata de Coco dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil Pengamatan Lapisan Nata de cocoKelTinggi Awal Media (cm)Tinggi Ketebalan Nata (cm)% Lapisan Nata

07140714

A11,400,30,3021,4321,43

A21,200,40,4033,3333,33

A31,400,50,5035,7135,71

A42,000,20,601030

A51,200,20,3016,625

Pada Tabel 1. Dapat dilihat bahwa tinggi media awal Nata milik masing-masing kelompok berbeda, dimana media awal dengan ukuran tertinggi adalah pada sampel milik kelompok A4. Pada pengukuran ketebalan tinggi nata pada hari ke-0 milik semua kelompok belum terbentuk. Pada seminggu pertama sampel milik semua kelompok mulai menunjukkan peningkatan, dengan ukuran nata tertinggi ada pada sampel milik kelompok A3. Seiring dengan semakin tinggi media awal milik sampel masing-masing kelompok maka semakin tinggi nilai ketebalan nata yang terukur. Nilai tinggi ketebalan nata pada minggu kedua (hari ke-14) nampak sama dan ada yang mengalami peningkatan dari minggu pertama, yang dapat dilihat dari hasil pengukuran semua sampel pada masing-masing kelompok, kecuali pada sampel milik kelompok A4. Berdasarkan pengukuran di atas, nata dengan ketebalan yang paling tinggi terdapat pada sampel milik kelompok A4. Sedangkan apabila diamati dari nilai % Lapisan Nata, pada hari ke-0, semua sampel masing-masing kelompok belum ada yang menunjukkan terbentuknya lapisan nata. Pada minggu pertama, lapisan nata sudah mulai terbentuk dan berdasarkan hasil perhitungan nampak bahwa sampel dengan % lapisan nata paling besar terdapat pada sampel milik kelompok A2 dan A3. Namun, hasil perhitungan % lapisan nata yang paling kecil ditunjukkan oleh sampel milik kelompok A4. Nilai % lapisan nata sampel berbeda lagi ketika masuk minggu kedua inkubasi, dimana sampel dengan % lapisan nata tertinggi terdapat pada sampel milik kelompok A3 dan sampel dengan lapisan nata terkecil adalah pada sampel milik kelompok A1.2. PEMBAHASANTanaman kelapa merupakan jenis pohon yang tersebar luas di Indonesia, khususnya daerah dekat pesisir pantai. Menurut Wowor et al. (2007) mengatakan bahwa buah kelapa (Cocos nucifera L.) tersusun atas 4 komponen utama yaitu sabut, daging, air kelapa, dan tempurung kelapa. Air kelapa yang juga tergolong limbah kelapa sesungguhnya memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi nata, atau juga disebut dengan nata de coco. Nata de coco menurut Halib et al. (2012), merupakan jenis makanan pencuci mulut dari Filipin dan umumnya disediakan dengan ukuran (1x1x1) cm3. Wowor et al. (2007) menjelaskan bahwa nata de coco adalah satu produk fermentasi oleh jenis bakteri yang mampu menimbulkan lapisan gelatin sehingga diperoleh hasil produk yang kenyal. Berdasarkan namanya nata de coco, disini media yang digunakan untuk pertumbuhan bakteri adalah air kelapa.Dalam aplikasinya, menurut Wijayanti et al. (2012), pembuatan nata hanya dapat terjadi ketika di dalamnya terdapat aktivitas dari bakteri Acetobacter xylinum. Pada air kelapa terkandung karbohidrat, lemak, kalsium, fosfor, besi, dan garam-garam mineral lainnya masing-masing secara berurutan sebesar 4%; 0,1%; 0,02%; 0,01%. Keberadaan zat ini yang memungkinkan kinerja bakteri Acetobacter xylinum dapat terjadi dengan kualitas di atas rata-rata. Halib et al. (2012) menambahkan bahwa bakteri yang diperlukan dalam pembentukan nata ini tergolong bakteri asam yang memiliki kemampuan untuk mengoksidasi tipe alkohol dan gula tertentu menjadi asam asetat. Selama proses produksi unsur karbon yang ada di dalam air kelapa akan dikonversi oleh Acetobacter xylinum menjadi selulosa extraselular sebagai metabolit.Pambayun (2002) menjelaskan bahwa nata bukan hanya dapat dibuat dari air kelapa saja, tetapi juga dapat dibuat dari bahan lain seperti : sari kedelai (nata de soya), sari buah mangga (nata de mango), sari buah nanas (nata de pina), dan lain sebagainya. Penamaan nata ini didasarkan pada media yang akan digunakan bagi pertumbuhan bakteri. Ia juga menambahkan bahwa nata sesungguhnya dapat dibuat dari berbagai bahan asalkan bahan tersebut mengandung gula, protein, dan mineral.Dalam pembuatan nata de coco, terdapat 2 tahapan yang dilakukan yaitu pembuatan media dan fermentasi oleh bakteri. Berikut langkah kerja spesifik yang dilakukan dalam pembuatan nata de coco, antara lain: air kelapa yang sudah disediakan sebanyak 1 L terlebih dahulu dan disaring dengan kain saring. Menurut Pratiwi et al. (2012), tahap penyaringan ini perlu dilakukan untuk memastikan air kelapa yang akan difermentasi bebas dari pengotor dengan ukuran partikel tertentu. Selanjutnya, air kelapa diberi tambahan gula pasir sebanyak 10% dan diaduk hingga larut. Wijayanti et al. (2012) menjelaskan bahwa penambahan gula pasir dilakukan dengan tujuan untuk memberikan tambahan sumber karbon bagi bakteri sehingga konversi karbon menjadi produk selulosa dapat berjalan, selain itu, alasan lain aplikasi gula pasir dalam pembuatan nata dikarenakan gula pasir merupakan sumber gula yang tergolong lebih murah dan mudah didapatkan. Tahap lain yang dilakukan yaitu penambahan amonium sulfat sebanyak 0,5%. Menurut Pambayun (2002), penambahan ammomium sulfat yaitu berfungsi sebagai supply sumber nitrogen yang diperlukan, khususnya untuk mendukung aktivitas bakteri nata. Rahayu et al. (1993) menambahkan dengan keberadaan komponen sumber C dan N maka pembentukan asam nukleat dan protein dapat berjalan maksimal karena sumber C dan N digunakan sebagai sumber energi bagi bakteri, yang ketika kedua senyawa terdapat dalam bentuk molekul ammonia akan segera diserap langsung oleh sel bersama dengan beberapa sumber lainnya.Dalam langkah selanjutnya penambahan asam cuka glasial dilakukan hingga pH yang tercapai adalah sebesar 4-5. Berdasarkan teori oleh Pambayun (2002), penambahan asam cuka glasial ini bertujuan untuk memastikan kondisi pH optimal bagi aktivitas bakteri Acetobacter xylinum. Menurut Wijayanti et al. (2012) dan Rahman (1992), aktivitas optimal yang memungkinkan metabolisme sempurna oleh Acetobacter xylinum dapat terjadi adalah pada kisaran pH 3,5 hingga 4, sehingga dengan tercapainya kondisi optimal bagi aktivitas Acetobacter xylinum diharapkan pembentukan substansi gel pada permukaan media dapat terbentuk. Pernyataan di atas diperkuat oleh teori yang diungkapkan oleh Jagannath et al. (2008), yang menjelaskan bahwa dalam produk asam asetat akan mengalami pemecahan menjadi CO2 dan H2O sehingga menjadi sumber ATP tambahan bagi bakteri Acetobacter xylinum dan memungkinkan pembentukan selusosa berlangsung lebih cepat.

Selanjutnya, sampel dipanaskan hingga komponen di dalamnya larut, kemudian disaring kembali. Menurut teori oleh Astawan & Astawan (1991), proses pemanasan ini perlu dilakukan dengan tujuan untuk memastikan substrat bebas mikroba pengotor yang dapat menimbulkan persaingan pertumbuhan bagi kultur murni nantinya. Mikroorganisme pengotor yang ada akan menghambat pembentukan selulosa dari pemecahan glukosa yang ada. Disamping itu, dengan adanya proses pemanasan maka pelarutan komponen tambahan seperti gula, asam, dan lain sebagainya akan dipercepat dan larutan dapat menjadi lebih homogen. Tujuan tahapan penyaringan dalam proses ini adalah untuk memisahkan pengotor maupun bahan-bahan terendap lainnya dari larutan yang mungkin ada dan tertinggal di dalam sampel.Pada tahapan fermentasi, sampel yang sudah dipanaskan dan disaring sebelumnya dimasukkan ke dalam wadah plastik bersih sebanyak 200 ml. Wadah plastik yang digunakan harus dipastikan bebas pengotor, karena wadah inilah yang akan digunakan sebagai tempat inkubasi nata de coco. Selanjutnya, ke dalam sampel ditambahkan biang nata atau yang disebut starter sebanyak 10%, lalu dilakukan penggojogan untuk memastikan semua starter yang sudah ditambahkan dapat bercampur homogen lalu kemasan ditutup dengan menggunakan kertas coklat. Semua tahapan ini dilakukan secara aspetis yaitu dekat api. Sesuai dengan teori oleh Hadioetomo (1993) yang menyatakan bahwa penambahan kultur harus dilakukan seaseptis mungkin untuk meminimalkan terjadinya pencemaran mikroorganisme ke dalam sampel. Ketika pemindahan kultur dilakukan secara aseptik maka organisme yang tumbuh dalam biakan hasil pemindahan hanya biakan murni yang terdiri dari saru spesies tunggal.

Dalam aplikasinya, tujuan penutupan wadah sampel menggunakan kertas coklat yaitu untuk menjaga sampel dari kontaminasi oleh mikroba pengotor lainnya yang mungkin mencemari selama waktu inkubasi. Penambahan starter nata sebanyak 10% merupakan salah satu titik kritis dalam tahap pembuatan nata de coco, karena apabila penambahan yang dilakukan tidak benar maka pertumbuhan bakteri yang diinginkan tidak akan terjadi. Hal ini disetujui oleh teori yang diungkapkan Rahayu et al. (1993) bahwa dalam penambahan ini yang dapat memungkinkan kultur A. xylinum tumbuh dan mengubah komponen gula dalam sampel menjadi selulosa yang selanjutnya akan diubah secara ekstraseluler menjadi bentuk folikel yang liat selama tahap inkubasi. Jumlah penambahan starter yang dilakukan sebesar 10% sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Pato & Dwiloka (1994), yaitu jumlah starter yang ditambahkan dalam pembuatan nata adalah antara 4-10%. Menurut mereka, penambahan starter diatas atau dibawah nilai tersebut akan menurunkan efisiensi pembentukan nata dengan karakter yang baik atau bahkan dapat menghambat terbentuknya lapisan nata. Salah satu faktor kritis yang perlu diperhatikan dalam penambahan starter ke dalam substrat menurut Pambayun (2002), yaitu kondisi suhu substrat ketika akan ditambahkan starter. Dimana penambahan yang tepat tidak boleh melebihi 40oC karena dapat mematikan bakteri/starter yang ditambahkan. Setelah melalui tahapan di atas, sampel diinkubasi pada suhu ruang selama 2 minggu, dan dipastikan sampel tidak boleh digoyang selama waktu inkubasi, dengan tujuan untuk memastikan lapisan yang terbentuk oleh bakteri tidak terpisah-pisah. Hal ini sesuai dengan teori oleh Pratiwi et al. (2012), yang menyatakan bahwa waktu minimal fermentasi adalah 14 hari hingga nata dapat terbentuk sempurna. Penerapan suhu penginkubasian yang diaplikasikan didasarkan pada teori yang juga dikemukakan oleh Wijayanti et al. (2012), bahwa suhu inkubasi harus disesuaikan dengan suhu optimal pertumbuhan bakteri A. xylinum, karena pembentukan nata didukung oleh adanya aktivitas bakteri ini. Menurut Wijayanti et al. (2012) dan Rahayu et al. (1993), pertumbuhan bakteri A. xylinum optimal pada suhu sekitar (28-30)oC sehingga nata yang dihasilkan memiliki ketebalan optimum. Didukung pula oleh teori dari Pambayun (2002), yang menjelaskan bahwa di Indonesia, suhu ruang berkisar pada 28 oC, oleh sebab itu pengujian yang dilakukan dianggap sudah sesuai dengan teori yang ada. Disamping itu, menurut Rahayu et al. (1993) suhu penginkubasian yang terlalu tinggi dapat berdampak kematian bakteri dan penghambatan proses fermentasi, dan sebaliknya, aplikasi suhu yang terlalu rendah juga akan menyebabkan produk nata yang dihasilkan menjadi terlalu lunak atau bahkan tidak memungkinkan terbentuknya lapisan nata sama sekali.

Pada tahap selanjutnya, dilakukan pengamatan sampel yang sudah terbentuk pada hari ke-3, ke-7, ke-10, dan ke-14 untuk mengamati perubahan yang terjadi pada sampel bertahap. Parameter pengamatan yang dilakukan mulai dari terbentuknya permukaan cairan dan ketebalan lapisan nata yang terbentuk, selanjutnya, perhitungan persentase kenaikan ketebalan nata dilakukan. Lapisan nata dapat terbentuk sebagai hasil modifikasi gula oleh bakteri A. xylinum menurut Pambayun (2002) dan Palungkun (1996) karena adanya enzim ekstraseluler hasil metabolisme bakteri A. xylinum, dimana enzim tersebut berperan dalam mempolimerisasi komponen gula menjadi bentuk ribuan rantai (homopolimer) atau disebut selulosa yang akan membentuk jaringan mikrofibril panjang dalam produk yang awalnya berupa substrat. Puspitasari & Cynthia (2012) menambahkan bahwa selulosa merupakan salah satu komponen makro dari biomassa tanaman, salah satu selulosa yang paling efisien, diproduksi oleh bakterium berupa Acetobacter xylinum yang mampu memproduksi nata de coco. Mereka juga menjelaskan bahwa keunggulan selulosa hasil produksi mikrobia adalah kemurnian kandungan kimianya yang berhubungan dengan hemiselulosa dan lignin. Salah satu hasil proses fermentasi lainnya diluar selulosa menurut Pambayun (2002) dan Palungkun (1996) adalah gelembung-gelembung gas CO2 yang mampu melekat pada jaringan selulosa, sehingga jaringan selulosa menjadi terangkat ke permukaan cairan. Berdasarkan teori ini maka hasil pengamatan yang dilakukan selama praktikum dibenarkan karena akan tampak terbentuknya lapisan di atas permukaan larutan. Apabila diamati dari sampel pada hari-hari berikutnya akan nampak pula suatu produk kenyal berwarna putih. Menurut Palungkun (1996), tampilan tersebut merupakan hasil fermentasi yang telah berlangsung selama beberapa lama, dimana jutaan jasad renik yang sudah tumbuh dalam bahan memproduksi jutaan lembaran benang selulosa yang memadat sehingga memberikan tampilan produk memadat dan berwarna transparan hingga putih. Menurutnya, produk yang semacam itu lah yang disebut dengan nata. Selama tahapan pembentukan benang selulosa ini harus dipastikan tidak ada goncangan pada wadah karena dapat mengakibatkan padatan nata yang belum sempurna turun dan tenggelam ke dasar cairan.

Gambar 1. Hasil dari Fermentasi Nata De Coco

Selanjutnya, ketika produk nata sudah jadi, dilakukan pencucian nata dengan air mengalir dan direndam dalam air selama beberapa hari. Menurut Rahman (1992), tujuan dari tahap perendaman ini yaitu untuk membuang asam yang terdapat pada nata. Setelah beberapa hari, nata yang sudah melalui tahap perendaman dimasak dengan menggunakan air gula. Dapat diketahui bahwa nata yang diperoleh memiliki warna putih transparan, dan membentuk lapisan yang kenyal. Nata yang sudah dipotong lalu akan direbus bersamaan dengan penambahan gula pasir.Dalam prosesnya, menurut Puspitasari & Cynthia (2012), pencucian nata de coco dilakukan dengan tujuan menyingkirkan komponen residu pengotor dari sampel yang ada. Selain itu, dalam tahap pembuatan nata juga harus dilakukan perebusan nata dengan menggunakan air dengan tujuan untuk memberi efek pemasakan dan mematikan mikroba yang sudah ada di dalamnya, sehingga nata aman untuk dikonsumsi. Khususnya perebusan bersamaan dengan penambahan gula bertujuan untuk memberikan rasa manis pada nata yang dihasilkan. Sebagai langkah terakhir nata yang sudah dimasak dapat dikonsumsi.Berdasarkan pengujian yang dilakukan, maka diperoleh hasil uji tinggi ketebalan nata, % lapisan data, dan hasil pengujian sensoris. Pada data hasil pengujian tinggi ketebalan nata, dapat dilihat bahwa pada hari ke-0 sampel milik semua kelompok belum menunjukkan terbentuknya lapisan nata. Hal ini dinyatakan benar oleh Jagannath et al. (2008), karena dalam jurnalnya, mereka menjelaskan bahwa lapisan nata akan mulai terbentuk pada hari ke 15 sampai 20 setelah diinkubasi, dan tinggi awal nata yang baru terbentuk adalah sekitar 0,8-1,0 cm. Apabila diamati dari hasil pengujian, tinggi ketebalan nata minggu pertama berkisar antara 0,8-1,3, sehingga pengujian kurang lebih dianggap sesuai dengan teori yang ada. Namun, memang tinggi ketebalan nata dari masing-masing sampel setiap kelompok berbeda-beda, meskipun awalnya diberi perlakuan yang sama. Tinggi yang berbeda ini mungkin saja terjadi karena dari awal bentuk maupun ukuran wadah yang digunakan berbeda, ada yang melebar, dan ada pula yang tinggi tetapi sempit luasnya, sehingga dari pengukuran diperoleh hasil pengukuran tinggi yang berbeda-beda. Di samping itu, perbedaan ketebalan lapisan nata pada masing-masing sampel tiap kelompok dikarenakan adanya goncangan yang terjadi selama proses inkubasi. Sesuai dengan toeri yang dikemukakan oleh Rahayu (1993), bahwa adanya guncangan wadah selama proses inkubasi dapat menyebabkan lapisan nata yang belum sempurna akan tenggelam sehingga hal ini akan mempengaruhi ketebalan akhir nata. Kemudian salah satu faktor yang memicu lainnya adalah human error yaitu ketika memasukkan starter ke dalam sampel, pengukuran yang dilakukan berbeda-beda sehingga kesempurnaan proses metabolisme oleh bakteri juga tidak maksimal. Selain itu, menurut Tranggono & Sutardi (1990), keaseptisan pemasukan kultur starter juga mempengaruhi, ketika tidak aseptis maka akan memicu kotaminasi oleh mikroba pengotor lainnya yang efeknya menimbulkan persaingan pertumbuhan dalam substrat dan metabolisme bakteri Acetobacter xylinum menjadi tidak sempurna.Apabila diamati dari tabel hasil pengamatan maka diperoleh data bahwa tinggi ketebalan nata atau diamati dari % lapisan nata pada minggu ke-2 semua mengalami peningkatan, kecuali pada sampel milik kelompok A1, A2, dan A3. Menurut Wijayanti et al. (2012), berikut terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas ketebalan nata de coco yang terbentuk, antara lain: pengaruh penambahan sukrosa dan asam asetat glasial. Apabila penambahan sukrosa cukup maka pertumbuhan bakteri yang mendukung terjadinya proses metabolisme pasti baik, begitu pula dengan penambahan asam asetat, ketika penambahan sesuai dengan kebutuhan kondisi keasaman bakteri maka proses metabolisme akan berlangsung baik. Berdasarkan analisis, penyebab penurunan ketebalan nata mungkin saja terjadi karena kebutuhan nutrisi bakteri yang berperan kurang memadai, akibatnya ikatan antar selulosa yang terbentuk tidak kuat yang menyebabkan kemampuan pengikatan air oleh nata tidak kuat, sehingga dari minggu ke 1 menuju minggu ke 2 terjadi penurunan ketebalan.

3. KESIMPULAN

Buah kelapa (Cocos nucifera L.) tersusun atas 4 komponen utama yaitu sabut, daging, air kelapa, dan tempurung kelapa. Air kelapa yang juga tergolong limbah kelapa sesungguhnya memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi nata, atau juga disebut dengan nata de coco. Nata de coco merupakan produk fermentasi oleh jenis bakteri yang mampu menimbulkan lapisan gelatin sehingga diperoleh hasil produk yang kenyal. Acetobacter xylinum adalah bakteri asam asetat yang mampu mengoksidasi berbagai tipe alkohol dan gula menjadi asam asetat.

Penyaringan bertujuan untuk memisahkan partikel pengotor yang mungkin terdapat pada air kelapa.

Penambahan gula pasir bertujuan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi bakteri akan sumber karbon, yang memungkinkan terbentuknya jaringan selulosa (nata). Penambahan ammonium sulfat bertujuan untuk memenuhi kebutuhan bakteri akan sumber nitrogen yang akan mendukung metabolisme bakteri dalam membentuk nata. Pemanasan air kelapa bertujuan untuk membunuh mikroorganisme kontaminan lain selain kultur murni.

Acetobacter xylinum dapat tumbuh optimal pada pH 3,5-4 dan pada suhu (28-30)oC Ketebalan nata dipengaruhi oleh diameter wadah yang digunakan. Kamis, 2 Juli 2015Praktikan,

Asisten Dosen,

Wulan Apriliana Nies MayangsariThervina Yenni Tri Kusuma

12.70.0121

4. DAFTAR PUSTAKA

Astawan, M. & M. W. Astawan. 1991. Teknologi Pengolahan Nabati Tepat Guna Edisi Pertama. Akademika Pressindo. Bogor.Hadioetomo, R.S. 1993. Mikrobiologi Dasar dalam Praktek : Teknik dan Prosedur Dasar Laboratorium. PT Gramedia. Jakarta.Halib, Nadia; Mohid Cairul; & Iqbal Mohid Amin. 2012. Jurnal 5 : PHYSICOCHEMICAL PROPERTIES AND CHARACTERIZATION of Nata de Coco LOCAL FOOD INDUSTRIES AS A SOURCE of CELLULOSE. Dikutip dari Jurnal Sains Malaysiana Hal. 205-211.

Jagannath, A.; A. Kalaiselvan; S. S. Manjunatha; P. S. Raju; & A. S. Bawa. 2008. Jurnal 6 : The Effect of pH, Sucrose, and Ammonium Sulphate Concentrations on The Production of Bacterial Cellulose (Nata de Coco) by Acetobacter xylinum. Palungkun, R. 1996. Aneka Produk Olahan Kelapa. Penebar Swadaya. Jakarta.Pambayun, R. 2002. Teknologi Pengolahan Nata de coco. Kanisius. Yogyakarta.Pato, U. & Dwiloka, B. 1994. Proses & Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Nata de Coco. Sains Teks I (4) : 70-77.

Pratiwi, Hanik; Papib Handoko; & Agus Muji Santoso. 2012. Jurnal 1 : OPTIMASI VOLUME Acetobacter xylinum TERHADAP PRODUKTIFITAS NATA DE COCO PADA MEDIA MINIMUM.

Puspitasari, Tita & Cynthia Linaya Radiman. 2012. Jurnal 3 : STUDY OF GRAFT COPOLYMERIZATION OF ACRYLIC ACID ONTO NATA DE COCO AND ITS APPLICATION AS MICROFILTRATION MEMBRANE.

Rahayu, E. S.; R. Indriati; T. Utami; E. Harmayanti & M. N. Cahyanto. 1993. Bahan Pangan Hasil Fermentasi. UGM. Yogyakarta.Rahman, A. 1992. Teknologi Fermentasi. ARCAN Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB. Bandung.Tranggono & Sutardi. (1990). Biokimia & Teknologi Pasca Panen. PAU Pangan & Gizi UGM. Yogyakarta.

Wijayanti, Fivien; Sri Kumalaningsih; & Masud Effendi. 2012. Jurnal 2 : PENGARUH PENAMBAHAN SUKROSA DAN ASAM ASETAT GLACIAL TERHADAP KUALITAS NATA DARI WHEY TAHU DAN SUBSTRAT AIR KELAPA. Dikutip dari Jurnal Industria Vol. 1 No. 2 Hal 86-93.

Wowor, Liana Y.; Mufidah Muis; & Abd. Rahman Arinong. 2007. Jurnal 4 : ANALISIS USAHA PEMBUATAN NATA DE COCO DENGAN MENGGUNAKAN SUMBER DAN KANDUNGAN YANG BERBEDA. Dikutip dari Jurnal Agrisistem Vol. 3 No. 2.

5. LAMPIRAN

5.1. Perhitungan

Rumus :

A1 ( H0 = x 100% = 0%

H7 = x 100% = 21,43%

H14 = x 100% = 21,43%

A2 ( H0 = x 100% = 0%

H7 = x 100% = 33,33%

H14 = x 100% = 33,33%

A3 ( H0 = x 100% = 0%

H7 = x 100% = 35,71%

H14 = x 100% = 35,71%

A4 ( H0 = x 100% = 0%

H7 = x 100% = 10%

H14 = x 100% = 30%

A5 ( H0 = x 100% = 0%

H7 = x 100% = 16,6 %

H14 = x 100% = 25%5.2. Laporan Sementara

5.3. Jurnal

5.4. Persentase Viper

Acara II

10