Nata de Coco_Ellen Anggarini H_12.70.0028

18
FERMENTASI SUBSTRAT CAIR FERMENTASI NATA DE COCO LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI FERMENTASI Disusun oleh: Nama : Ellen Anggarini H. NIM : 12.70.0028 Kelompok F4 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA Acara

description

Laporan mengenai fermentasi nata de coco 26 Juni 2015

Transcript of Nata de Coco_Ellen Anggarini H_12.70.0028

7

FERMENTASI SUBSTRAT CAIR FERMENTASI NATA DE COCOlaporan resmi praktikum

teknologi fermentasiDisusun oleh:

Nama : Ellen Anggarini H.NIM : 12.70.0028Kelompok F4

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA

SEMARANG

2015

1. HASIL PENGAMATAN1.1. Fermentasi Substrat Cair Fermentasi Nata de cocoHasil pengamatan fermentasi substrat cair fermentasi nata de coco dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Fermentasi Substrat Cair Fermentasi Nata de cocoKelTinggi media awal (cm(Tinggi ketebalan nata (cm(( Lapisan nata

0(140(14

10,500,40,408080

2200,20,201010

31,500,50,207513,33

41,500,30,302020

(1,500,30,10206,67

Pada tabel di atas, dapat diketahui bahwa ketebalan nata tertinggi saat usia 7 hari yaitu kelompok 3, sedangkan yang terendah yaitu kelompok 2. Pada usia 14 hari, ketebalan nata tertinggi adalah kelompok 1 sedangkan yang terendah yaitu kelompok 5. Perkembangan lapisan nata terbesar pada usia 7 hari adalah kelompok 1, sedangkan yang terkecil pada kelompok 2. Pada usia 14 hari, nata tidak berkembang dan kelompok 3 serta 5 justru menurun.1.2. Uji Sensori Nata de cocoHasil pengamatan uji sensori nata de coco dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Uji Sensori Nata de cocoKelompokAromaWarnaTeksturRasa

1++++--

2++++--

3++++--

4++++--

(++++--

Keterangan :

Aroma

Warna

Tekstur

Rasa

++++: Tidak asamPutih

Sangat kenyal

Sangat manis

+++: Agak asam

Putih bening

Kenyal

Manis

++ : Asam

Putih agak beningAgak kenyal

Agak manis

+ : Sangat asam Kuning

Tidak kenyal

Tidak manisBerdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa seluruh nata memiliki aroma dan rasa yang sama sedangkan tekstur dan rasanya tidak diketahui.2. PEMBAHASAN

Sebagai salah satu produk hasil fermentasi, nata dikonsumsi masyarakat sebagai makanan ringan. Produk ini berbentuk padat, kenyal dan kandungan airnya 98%. Selulosa ini memiliki warna putih agak transparan (Rahman, 1992). Palungkun (1996) menyatakan bahwa nata memiliki arti krim dalam bahasa Spanyol. Krim ini mengalami fermentasi oleh Acetobacter xylinum. Ditambahkan oleh Pambayun (2002), untuk membuat nata, diperlukan bahan yang kaya akan kandungan gula, protein, dan mineral. Hasil yang diperoleh akan bervariasi, tergantung pada bahan baku yang digunakan. Bahan yang dapat digunakan dalam pembuatan nata yaitu air kelapa (nata de coco), sari kedelai (nata de soya), sari buah nanas (nata de pina), dan sebagainya. Nata de coco merupakan makanan dengan jumlah kalori rendah namun memiliki nutrisi yang cukup tinggi sehingga sering dikonsumsi saat diet. Selain itu, nata de coco juga memiliki kandungan serat yang tinggi sehingga dapat dikonsumsi untuk menjaga kelancaran pencernaan. Meski begitu, produk ini memiliki kelemahan yaitu tidak memiliki umur simpan yang lama karena kandungan airnya yang sangat tinggi. Untuk mengatasi hal itu, sekarang sudah ada produk nata de coco yang dikeringkan menjadi minuman instan dan ditambahkan penstabil berupa dekstrin serta carboxy methyl cellulose (CMC) (Santosa, 2012). Dalam praktikum ini, nata yang dibuat adalah nata de coco. Hal ini karena menggunakan bahan baku air kelapa. Air kelapa yang diambil langsung dari bagian dalam buah kelapa ini memiliki rasa manis dan menyegarkan. Selain itu, air kelapa juga mengandung sejumlah mineral berupa potasium, klorida, zat besi, dan sulfur dengan total volume 0,4-1% dari total volume cairan sehingga cocok digunakan sebagai minuman isotonik (Prades et al, 2011). Rasa manis air kelapa dikarenakan adanya kandungan gula berupa sukrosa, sorbitol, glukosa, fruktosa, galaktosa, xylosa, dan mannosa. Telah disebutkan di atas bahwa air kelapa memiliki kandungan nutrisi yang tinggi, salah satunya asam amino. Air kelapa yang mengandung alanin, arginin, sistein, dan serin ini memiliki kadar yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan susu sapi. Air kelapa dipilih karena kemampuannya untuk menstimulasi strain bakteri yang berbeda dan kultur in vitro sehingga baik untuk menjadi media pertumbuhan Acetobacter xylinum. Setelah air kelapa mengalami fermentasi oleh Acetobacter xylinum, muncul komponen selulosa yang kita kenal sebagai nata de coco. Czaja et al (2004) menyatakan bahwa Acetobacter yang merupakan organisme non-fotosintetik dan prokariotik dapat menghasilkan biopolimer berupa selulosa. Selulosa yang dihasilkan memiliki kemampuan menahan air dan kekuatan mekanik yang baik serta kristalinitas tinggi. Dalam sintesis selulosa bakteri, terdapat dua metode yang bisa digunakan, yaitu kultur stasioner dan kultur teragitasi. Perbedaan keduanya terletak pada hasilnya. Jika menggunakan kultur stasioner, membran selulosa akan terakumulasi di permukaan medium. Sedangkan jika menggunakan kultur teragitasi, selulosa yang tersintesa memiliki bentuk suspensi berserat, pelet, atau massa yang tidak teratur. Jagannath et al (2008) menyatakan bahwa Acetobacter xylinum tumbuh di bawah kondisi statik dengan lambat, sedangkan pada kultur teragitasi, Acetobacter xylinum tumbuh lebih cepat, yaitu selama 4-6 jam. Berdasarkan teori Halib et al (2012), nata de coco memiliki bentuk kubus dengan ukuran 1 cm x 1 cm. Setelah proses fermentasi air kelapa, akan muncul lapisan gelatin pada permukaannya. Lapisan itulah nata de coco. Setelah ketebalannya mencapai 1 cm, lapisan tersebut diambil dan dipotong-potong. Umumnya, nata de coco digunakan dalam penyajian sirup, jelly, atau koktail buah. Selama proses fermentasi, Acetobacter xylinum mengalami metabolisme menggunakan glukosa pada air kelapa sebagai sumber karbon. Glukosa kemudian diubah menjadi selulosa ekstraseluler. Acetobacter xylinum yang merupakan bakteri asam asetat memiliki kemampuan mengoksidasi berbagai tipe alkohol dan gula menjadi asam asetat. Bakteri gram negatif ini juga mengoksidasi asam asetat menjadi karbon dioksida dan air pada siklus Krebs. Proses pembuatan nata de coco pada praktikum kali ini dimulai dengan penyaringan air kelapa untuk memisahkan kotoran. Setelah ditambah dengan gula pasir sebanyak 10%, diaduk sampai larut sambil dipanaskan. Gula pasir dalam hal ini berfungsi sebagai sumber karbon (Pambayun, 2002). Selain itu, menurut Hayati (2003), gula juga berfungsi sebagai pengawet, pemberi tekstur, penampakan dan flavor yang baik. Ditambahkan oleh Rahayu et al (1993), jumlah gula yang ditambahkan harus disesuaikan dengan jumlah inokulum agar dapat digunakan dengan maksimal dalam pertumbuhannya. Saat fermentasi berlangsung, gula akan diubah menjadi selulosa dan diakumulasikan secara ekstraseluler dalam bentuk polikel yang liat. Penambahan gula tidak boleh terlalu banyak. Hal ini, menurut Sunarso (1982), adalah hal yang percuma karena sisanya akan terbuang. Konsentrasi gula yang paling optimal adalah 10%. Oleh karena itu, penambahan gula sudah sesuai dengan teori. Berikut merupakan foto proses pemanasan air kelapa setelah ditambah dengan gula :

Kemudian dilanjutkan dengan penambahan ammonium sulfat sebanyak 0,5%. Ammonium sulfat dalam hal ini berfungsi sebagai sumber nitrogen sehingga dapat mendukung aktivitas bakteri (Pambayun, 2002). Rahayu et al (1993) menambahkan bahwa pembentukan asam nukleat dan protein akan berjalan optimal dengan adanya C dan N. Asam nukleat dan protein selanjutnya akan menjadi sumber energi untuk pertumbuhan bakteri. Kemudian, ditambahkan dengan asam cuka hingga pH 4-5. Hal ini untuk mendukung pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum yang membutuhkan kondisi asam (Rahman, 1992). Ditambahkan Jagannath et al (2008), asam asetat yang rusak menjadi CO2 dan air yang menghasilkan ATP sehingga sintesa selulosa dapat berlangsung lebih efisien.

Setelah dipanaskan kembali, air kelapa disaring. Astawan & Astawan (1991) menyatakan bahwa proses pemanasan berfungsi membunuh mikroorganisme sehingga dapat mengurangi resiko pencemaran oleh kontaminan. Pencemaran akan mengganggu proses fermentasi sehingga tidak menghasilkan nata yang sempurna. Sedangkan penyaringan berfungsi untuk memisahkan kotoran di air kelapa. Setelah media selesai dibuat, dilakukan fermentasi dengan memasukkan biang nata pada 100 ml media steril yang telah disiapkan dalam wadah plastik. Biang nata (starter) yang digunakan yaitu sebanyak 10%. Kemudian, digojog perlahan agar homogen. Seluruh proses ini harus dilakukan secara aseptis agar terhindar dari pencemaran. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Hadioetomo (1993) yang menyatakan bahwa perlakuan aseptis akan menumbuhkan hanya bakteri yang diinginkan. Berikut merupakan foto-foto prosesnya :

Wadah kemudian ditutup rapat dengan kertas coklat dan diberi karet. Setelah itu, dilakukan inkubasi pada suhu ruang selama 2 minggu dan dijaga agar tidak bergoyang. Hal ini untuk menghindari lapisan terpisah-pisah. Penggunaan suhu ruang dilakukan untuk menjaga agar Acetobacter xylinum dapat tumbuh dengan baik. Hal ini sesuai dengan teori dari Rahayu et al (1993) yang menyatakan bahwa untuk menghasilkan nata dengan ketebalan optimal, fermentasi sebaiknya dilakukan pada suhu 28-32oC atau suhu ruang selama 10-14 hari. Suhu yang terlalu tinggi akan mengakibatkan bakteri mati, namun jika terlalu rendah akan menyebabkan lapisan nata terlalu lunak atau malah tidak terbentuk sama sekali. Berikut merupakan foto-foto proses :

Berdasarkan teori Pambayun (2002) dan didukung oleh Palungkun (1996), enzim ekstraseluler yang dihasilkan oleh Acetobacter xylinum akan membentuk nata selama fermentasi. Setelah gula terpolimerisasi menjadi ribuan rantai (homopolimer) selulosa, akan terbentuk jaringan mikrofibril panjang dalam cairan fermentasi. Selain selulosa, juga dihasilkan gelembung-gelembung gas CO2. Gas ini akan mengangkat jaringan selulosa ke permukaan cairan. Jutaan jasad renik dalam media akan menghasilkan jutaan lembar benang-benang selulosa yang akhirnya memadat. Padatan inilah yang disebut dengan nata. Namun jika ada gangguan selama proses fermentasi, nata akan turun. Ketebalan nata de coco pada hari ke- 7 dan ke- 14 kemudian dihitung presentasenya. Nata yang telah jadi dicuci dengan air mengalir dan direndam. Hal ini dilakukan berulang kali selama 3 hari. Hal ini, menurut Rahman (1992), bertujuan untuk membuang asam pada nata. Setelah itu, nata dipotong-potong dan dimasak dengan air gula. Hal ini bertujuan untuk memberikan rasa manis dan mengawetkan (Palungkun, 1996). Setelah selesai, dilakukan uji sensori terhadap rasa, aroma, tekstur, serta warna. Berikut merupakan foto setelah 14 hari :

Berdasarkan percobaan, tinggi media awal yang digunakan oleh tiap kelompok berbeda-beda. Hal ini karena digunakan wadah yang berbeda-beda tiap kelompok. Pada hari ke-0, nata belum terbentuk. Setelah hari ke-7, nata mulai terbentuk. Tetapi pada hari ke-14 terjadi penurunan ketebalan nata pada kelompok 3 dan 5, sedangkan nata kelompok lain tidak berkembang lagi. Hal ini mungkin disebabkan oleh kurang sempurnanya proses fermentasi. Didukung oleh teori Rahayu et al (1993), penurunan dapat terjadi akibat adanya goncangan saat fermentasi berlangsung. Selain itu, mungkin karena praktikan kurang aseptis saat memasukkan kultur (Tranggono & Sutardi, 1990). Seumahu et al (2007) menyatakan bahwa nata seharusnya memiliki ketebalan 1,5 2 cm dengan transparansi tinggi. Selain itu, populasi bakteri selama fermentasi cenderung stabil. Berdasarkan teori tersebut, maka hasil praktikum merupakan nata yang buruk. Ketebalan nata, menurut Jagannath et al (2008), mempengaruhi water holding capacity. Nata yang baik mampu menahan air sebanyak 100 kali beratnya. Hasil akhir nata sangat dipengaruhi oleh kondisi fermentasi yang meliputi pH, sukrosa, dan konsentrasi amonium sulfat. Jagannath et al (2008) menyatakan bahwa konsentrasi sukrosa 10% dan ammonium sulfat 0,5% dengan pH 4,0 menghasilkan ketebalan nata maksimal.

Seluruh aroma nata de coco yang dihasilkan agak asam. Aroma asam pada nata de coco yang dihasilkan dalam praktikum ini disebabkan oleh asam cuka glasial yang ditambahkan saat pembuatan media. Selain itu, Acetobacter xylinum juga menghasilkan asam asetat selama proses fermentasi (Fardiaz, 1992). Warna nata de coco seluruh kelompok adalah kuning. Hal ini tidak sesuai dengan teori Pambayun (2002), yang menyatakan bahwa bakteri Acetobacter xylinum menghasilkan jutaan lembar benang-benang selulosa yang berwarna putih hingga transparan.

3. KESIMPULAN Nata adalah selulosa yang berbentuk padat, memiliki tekstur yang kenyal, berwarna putih transparan, dan memiliki kandungan air sekitar 98%.

Nata de coco merupakan komponen selulosa yang diproduksi selama proses fermentasi air kelapa menggunakan mikroba Acetobacter xylinum.

Pada hari ke-0, umumnya nata masih belum terbentuk. Setelah hari ke-7, nata mulai terbentuk tetapi pada hari ke- 14 terjadi penurunan tinggi ketebalan nata.

Nata yang dihasilkan dalam praktikum ini termasuk nata yang kurang baik, karena memiliki ketebalan yang kurang dari 1,5 2 cm. Aroma nata de coco seluruh kelompok agak asam.

Warna nata de coco seluruh kelompok adalah kuning.

Semarang, 26 Juni 2015

Praktikan,

Asisten Dosen

Wulan Apriliana Nies Mayangsari

Ellen Anggarini H.12.70.00284. DAFTAR PUSTAKAAstawan, M. & M.W. Astawan. (1991). Teknologi Pengolahan Pangan Nabati Tepat Guna. Akademika Pressindo. Bogor.Czaja, W., D. Romanovicz, and R. M. Brown, Jr. (2004). Structural investigations of microbial cellulose produced in stationary and agitated culture. Cellulose 11: 403-411.Fardiaz, S. (1992). Mikrobiologi Pangan 1. PT Gramedia. Jakarta.Hadioetomo, R.S. (1993). Mikrobiologi Dasar dalam Praktek : Teknik dan Prosedur Dasar Laboratorium. PT Gramedia. Jakarta.Halib, N; M. Cairul & I. Ahmad. (2012). Physicochemical Properties and Characterization of Nata de Coco from Local Food Industries as a Source of Cellulose. Malaysiana Journal. Malaysia.Hayati, M. (2003). Membuat Nata de Coco. Adi Cita Karya Nusa. Yogyakarta.Jagannath, Kalaiselvan S. S, Manjunatha P. S, Raju A. S. Bawa. (2008). The effect of pH, sucrose and ammonium sulphate concentrations on the production of bacterial cellulose (Nata-de-coco) by Acetobacter xylinum. World J Microbiol Biotechnol (2008) 24:25932599.Palungkun, R. (1996). Aneka Produk Olahan Kelapa. Penebar Swadaya. Jakarta.Pambayun, R. (2002). Teknologi Pengolahan Nata de coco. Kanisius. Yogyakarta.Prades, A., M. Dornier, N. Diop, and J. P. Pain. (2011). Coconut Water Uses, Composition and Properties: a Review. Fruits Journal vol. 67, p. 87-107.Rahayu, E. S.; R. Indriati; T. Utami; E. Harmayanti & M. N. Cahyanto. (1993). Bahan Pangan Hasil Fermentasi. UGM. Yogyakarta.Rahman, A. (1992). Teknologi Fermentasi. ARCAN Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB. Bandung.Santosa, B; Ahmadi, K & D. Taeque. (2012). Dextrin Concentration and Carboxy Methyl Cellulosa (CMC) in Making of Fiber-Rich Instant Baverage from Nata de Coco. International Journal of Science and Technology. Indonesia.Seumahu, Cecilia Anna, Antonius Suwanto, Debora Hadisusanto, dan Maggy Thenawijaya Suhartono. (2007). The Dynamics of Bacterial Communities During Traditional Nata de Coco Fermentation. Microbiology Indonesia, August 2007, p 65-68.Sunarso. (1982). Pengaruh Keasaman Media Fermentasi Terhadap Ketebalan Pelikel pada Pembuatan Nata de coco. Skripsi. UGM. Yogyakarta.Tranggono & Sutardi. (1990). Biokimia & Teknologi Pasca Panen. PAU Pangan & Gizi UGM. Yogyakarta.5. LAMPIRAN5.1. Perhitungan

Kelompok 1Hari ke-0

Hari ke-(

Hari ke-14

Kelompok 2

Hari ke-0

Hari ke-(

Hari ke-14

Kelompok 3

Hari ke-0

Hari ke-(

Hari ke-14

Kelompok 4

Hari ke-0

Hari ke-(

Hari ke-14

Kelompok (Hari ke-0

Hari ke-(

Hari ke-14

5.2. Laporan Sementara

5.3. Jurnal (Abstrak)Acara II

A4

A3

A2

A1

8