Naskah buku meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah melalui pembangunan bumd tik
-
Upload
dimebag-darrell -
Category
Economy & Finance
-
view
121 -
download
9
Transcript of Naskah buku meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah melalui pembangunan bumd tik
Meningkatkan Pertumbuhan
Ekonomi Daerah Melalui
Pembangunan BUMD TIK Researcher: Bagus Setiawan
LKKPH Neraca
Disponsori dan diterbitkan oleh:
Diskominfo Kota Bandung
2
Bab I
Pembangunan Ekonomi Indonesia
Salah satu tujuan utama dibentuknya sebuah negara
adalah untuk menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran bagi
segenap warganya. Setiap negara sudah pasti memiliki standar
yang berbeda untuk kesejahteraan dan kemakmuran warganya,
akan tetapi satu hal yang pasti, suatu negara dapat dikatakan
sejahtera dan makmur masyarakatnya, ketika tiap-tiap
warganya telah mampu memenuhi apa yang menjadi kebutuhan
pokoknya. Untuk mencapai tujuan tersebut, negara melakukan
pembangunan, biasanya dilakukan secara gradual, dalam bidang
ekonomi.
Pembangunan ekonomi secara umum dapat diartikan
sebagai proses berkelanjutan peningkatan efektivitas
penggunaan dan pengelolaan sumber-sumber daya ekonomi,
peningkatan produktivitas unit-unit usaha/produksi, dan
distribusi modal-kekayaan. Sumber-sumber daya ekonomi yang
utama adalah sumber daya manusia dan sumber daya alam.
Kondisi sumber-sumber daya ekonomi tersebut di tiap-tiap
negara pasti berbeda, yang akan berpengaruh kepada pola-pola
pemanfaatan dan pengelolaan sumber-sumber daya ekonomi
tersebut. Sebuah negara yang memiliki potensi sumber daya
alam yang besar, cenderung akan mengedepankan pemanfaatan
sumber-sumber daya alamnya dibandingkan pemanfaatan
potensi sumber daya manusianya. Hal tersebut biasanya
berdampak kepada eksploitasi sumber daya alam yang tidak
terkendali. Jika hal tersebut terjadi pada negara berkembang
atau negara miskin, maka seringkali penguasaan dan
3
pengelolaan sumber daya alam di negara tersebut dilakukan
oleh pihak swasta asing, dengan sistem bagi hasil dengan
negara. Masuknya pihak swasta asing ini disebabkan oleh
banyak faktor, selain faktor politik, yang terutama adalah negara
tidak memiliki ketersediaan modal, teknologi, dan sumber daya
manusia untuk mengolah dan memanfaatkan sumber daya alam
yang ada secara efektif. Pola pemanfaatan sumber daya alam
yang demikian biasanya akan menyebabkan negara tersebut
mengalami ketergantungan jangka panjang dengan negara lain,
biasanya tidak hanya tergantung secara ekonomi, tetapi juga
tergantung secara politik. Ketergantungan secara ekonomi
tercipta karena sharing profit pemanfaatan dan pengelolaan
sumber daya alam yang tidak berimbang antara negara dan
pihak swasta asing. Kondisi tersebut salah satunya dapat
tercipta karena bargaining politik negara yang kurang, tidak
hanya kepada pihak swasta asing yang masuk, tetapi juga
terhadap negara asal pihak swasta asing.
Dalam konteks hubungan internasional, swasta asing,
disebut dengan Trans-National Corporation (TNC) dan/atau
Multi-National Corporation (MNC), dianggap sebagai salah satu
aktor hubungan internasional selain negara. Rendahnya
bargaining position (daya tawar) suatu negara terhadap
TNC/MNC ini akan menciptakan pola hubungan dan interaksi
yang bersifat dependencies, karena kekuatan TNC/MNC ini tidak
hanya terletak pada modal dan teknologi yang dimiliki saja, akan
tetapi kekuatan dan dukungan politik dari negara-negara besar
yang memiliki saham pada TNC/MNC tersebut. Di Indonesia
sendiri, sejarah telah memperlihatkan bagaimana sebuah
TNC/MNC, yaitu VOC, yang awalnya hanya melakukan
perdagangan dengan kerajaan-kerajaan dan entitas-entitas
4
masyarakat lokal di Indonesia, akhirnya berubah menjadi
kolonialisme dan imperialisme yang dilakukan oleh Belanda.
Pada abad ke 21 ini, hubungan ketergantungan suatu negara
atas negara lain atau atas swasta asing tidak tampak jelas di
permukaan, hubungan ketergantungan akan terlihat jelas pada
kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, serta pada
mindset masyarakat dalam melihat realitas. Hubungan
ketergantungan ini biasanya bersifat jangka panjang, hingga
potensi sumber daya alam yang ada mencapai titik krisis, atau
hingga terjadi perubahan mendasar yang datang dari dalam
negara itu sendiri.
Berbeda dengan negara-negara yang memiliki
keterbatasan dalam hal sumber daya alam, negara tersebut
akan mengarahkan pembangunan ekonominya kepada
peningkatan potensi sumber daya manusianya terlebih dahulu,
yang secara bersamaan melakukan pengembangan dalam hal
teknologi dan ilmu pengetahuan. Dalam sejarah, seperti yang
terjadi di Eropa pada masa pencerahan di abad pertengahan,
pengembangan potensi sumber daya manusia terbukti mampu
membawa sebuah negara-bangsa mencapai kemajuan dalam
berbagai bidang. Di belahan dunia timur, kejayaan Islam yang
dilandasi atas pengembangan potensi sumber daya manusia
pun, mampu membawa khalifah Islam berkuasa hingga Eropa,
dan yang paling penting, mampu membawa masyarakat yang
ada dalam kekuasaannya mencapai kesejahteraan dan
kemakmuran.
Setelah pemanfaatan dan pengelolaan sumber-sumber
daya ekonomi, maka hal berikutnya yang ada dalam proses
pembangunan ekonomi adalah peningkatan produktivitas unit-
unit ekonomi. Produktivitas menentukan kemakmuran dan daya
5
saing. Pemikiran bahwa upah yang rendah akan membuat suatu
negara lebih kompetitif adalah tidak benar. Upah rendah
berarti bahwa suatu perusahaan tidak kompetitif dan tidak
dapat mendukung standar hidup yang tinggi. Demikian pula
dengan nilai tukar. Negara tidak akan menjadi lebih kompetitif
jika mata uang negara turun nilainya. Mata uang negara yang
turun nilainya, berarti negara itu tidak kompetitif dan bahwa
kualitas barang dan jasanya tidak dapat mendukung nilai mata
uangnya. Satu-satunya definisi daya saing dalam suatu
ekonomi, adalah meningkatkan produktivitas. Dalam ekonomi
global yang modern, produktivitas lebih dari fungsi efisiensi
dalam memproduksi barang-barang yang sama. Ia juga
bertalian dengan nilai produk yang dihasilkan negara. Ketika
suatu ekonomi menjadi lebih maju, ia harus menemukan jalan
untuk menaikkan nilai produknya, dengan nilai yang bersedia
dibayar pembeli. Para pembeli akan membayar lebih hanya jika
suatu produk lebih berkualitas, mempunyai ciri yang lebih baik,
ditawarkan bersama dengan jasa penunjang yang lebih lengkap,
membawa merek yang dikenal handal. Pertumbuhan
produktivitas ditentukan oleh fungsi peningkatan nilai dan
efisiensi produksi yang terjadi. Itulah yang harus dikejar oleh
setiap negara untuk memajukan ekonominya.
Menurut Porter ada dua lingkungan strategi: lingkungan
makro dan lingkungan mikro1. Strategi yang pertama adalah
dengan mewujudkan suatu lingkungan ekonomi makro dan
politik stabil, serta hukum yang mantap dan adil. Kebijakan
ekonomi makro tidak menciptakan kekayaan, kebijakan
ekonomi makro membuat lebih mudah atau lebih mungkin bagi
1 Michael E.Porter; Keunggulan Bersaing, Menciptakan dan Mempertahankan
Kinerja Unggul, 1993/1994.
6
perusahaan untuk mewujudkan kekayaan, tetapi kemakmuran
tidak akan meningkat kecuali jika dasar ekonomi mikronya
mantap dan semakin mantap. Strategi utama yang kedua adalah
menciptakan fondasi ekonomi mikro.
Proses terakhir yang penting dalam pembangunan
ekonomi, setelah produktivitas ekonomi berjalan, adalah
pendistribusian kekayaan-modal secara merata. Hal ini akan
berkaitan erat dengan bagaimana membangun fondasi ekonomi
mikro yang kuat. Dengan terdistribusinya modal-kekayaan
secara merata, maka setiap warga negara memiliki akses dan
kapabilitas untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya
secara mandiri dengan menggunakan modal-kekayaan. Seperti
sebuah mata rantai yang terkait, kemampuan tiap-tiap warga
negara untuk memenuhi kebutuhan hidupnya ini, secara
otomatis akan meningkatkan potensi-potensi ekonomi yang ada
pada tiap-tiap warga negara.
1.1 Landasan Dasar Pembangunan Ekonomi Indonesia
Setiap negara memiliki dasar dalam menjalankan
kehidupan bernegara. Indonesia memiliki dua dasar negara,
yaitu Pancasila sebagai landasan idiil atau ideologi dan UUD
1945 sebagai dasar hukum atau konstitusi. Pancasila dan UUD
1945 dijadikan landasan dasar dalam melaksanakan
pembangunan ekonomi di Indonesia. Pembangunan ekonomi
tersebut dijalankan dalam sebuah sistem ekonomi yang dibuat
dan dijalankan berdasarkan kepada Pancasila dan UUD 1945.
Sistem perekonomian adalah sistem yang digunakan oleh
suatu negara untuk mengalokasikan sumber daya yang
dimilikinya baik kepada individu maupun organisasi di negara
7
tersebut. Perbedaan mendasar antara sebuah sistem ekonomi
dengan sistem ekonomi lainnya adalah bagaimana cara sistem
itu mengatur faktor produksinya. Dalam beberapa sistem,
seorang individu boleh memiliki semua faktor produksi.
Sementara dalam sistem lainnya, semua faktor tersebut di
pegang oleh pemerintah. Kebanyakan sistem ekonomi di dunia
berada di antara dua sistem ekstrim tersebut.
Selain faktor produksi, sistem ekonomi juga dapat
dibedakan dari cara sistem tersebut mengatur produksi dan
alokasi. Sebuah perekonomian terencana (planned economies)
memberikan hak kepada pemerintah untuk mengatur faktor-
faktor produksi dan alokasi hasil produksi. Sementara pada
perekonomian pasar (market economic), pasar yang mengatur
faktor-faktor produksi dan alokasi barang dan jasa melalui
penawaran dan permintaan.
Sistem perekonomian nasional yang berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945 disusun untuk mewujudkan demokrasi
ekonomi dan dijadikan dasar pelaksanaan pembangunan
ekonomi. Sistem perekonomian Indonesia yang berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945 disebut sistem ekonomi demokrasi.
Dengan demikian sistem ekonomi demokrasi dapat didefinisikan
sebagai suatu sistem perekonomian nasional yang merupakan
perwujudan dari falsafah Pancasila dan UUD 1945 yang
berasaskan kekeluargaan dan kegotongroyongan dari, oleh, dan
untuk rakyat di bawah pimpinan dan pengawasan pemerintah.
Dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat 1 dinyatakan bahwa
Pereko omian disusun atas usaha bersama berdasarkan atas
asas kekeluargaa . Merujuk kepada u yi pasal terse ut, sistem perekonomian yang dibangun dan dijalankan di
Indonesia adalah sistem perekonomian yang terbangun atas
8
usaha bersama, dalam hal ini adalah pemerintah dan swasta.
Hal ini menunjukan bahwa Indonesia tidak boleh secara murni
menerapkan kapitalisme maupun sistem perekonomian yang
bertumpu kepada pasar, karena hal ini meminimalisirkan peran
dan intervensi pemerintah atas sistem perekonomian itu sendiri
dan menyerahkan sistem perekonomian tersebut sepenuhnya
kepada mekanisme pasar. Dalam hal ini, berjalannya sistem
perekonomian akan sangat tergantung kepada pihak swasta,
karena aktor utama dalam sistem perekonomian
kapitalisme/pasar adalah swasta. Sistem perekonomian yang
demikian, khususnya jika diterapkan di Indonesia, dimana
potensi sumber daya manusianya belum dioptimalkan dan
dimaksimalkan, hanya akan menciptakan penumpukan modal
dan kekayaan pada kelas pengusaha. Selanjutnya akan
menciptakan kelas buruh dan konsumen pasif dalam skala
besar, menempatkan masyarakat dalam kondisi apatis dan
pragmatis, serta menyebabkan aset-aset dan sumber-sumber
daya ekonomi penting yang berpengaruh terhadap hajat hidup
orang banyak, dikuasai oleh swasta, biasanya oleh pihak swasta
asing.
Sebaliknya, Pasal tersebut juga tidak memperbolehkan
sistem perekonomian Indonesia dibangun dan dijalankan
sepenuhnya oleh pemerintah dengan menegasikan peran
swasta. Sistem perekonomian yang seperti ini, disebut juga
dengan sistem perekonomian sosialisme, dalam jangka panjang,
akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi berjalan dengan
lambat, terlebih lagi jika dijalankan oleh pemerintahan yang
korup dan tidak profesional. Daya saing ekonomi negara pun
akan rendah, karena pusat inovasi dan kreasi biasanya berada di
sektor swasta, sehingga nilai produksinya tidak akan mampu
9
bersaing dengan negara-negara lain dimana sektor swastanya
hidup dan berkembang. Sistem perekonomian sosialisme juga
tidak akan mampu diterapkan dalam suatu negara yang
menganut paham demokrasi.
Sistem perekonomian Indonesia, mengacu kepada pasal
di atas, harus melibatkan pemerintah dan swasta secara
berimbang dan proporsional. Berimbang berarti baik swasta
maupun pemerintah tidak saling mendominasi. Proporsional
berarti, ada bagian-bagian dan ruang-ruang yang tidak tumpang
tindih antara pemerintah dan swasta dalam membangun dan
menjalankan sistem perekonomian nasional. Selain itu,
pemerintah dan swasta harus bisa saling menunjang dan
mendukung satu sama lain.
Sistem perekonomian Indonesia adalah sistem
pereko o ia ya g di a gu da dijala ka erdasarka asas kekeluargaa . Ba yak i terpretasi te ta g asas kekeluargaa yang dinyatakan dalam pasal tersebut di atas, dalam hal ini
penulis mencoba mengajukan interpretasi tersendiri yang lebih
merujuk kepada makna harfiah (makna paling sederhana) dari
kata kekeluargaa , di a a i terpretasi i i aka terkait de ga pembahasan pada bab-bab selanjutnya dalam buku ini. Ketika
pemerintah dan swasta secara bersama-sama membangun dan
menjalankan sistem perekonomian nasional secara bersama-
sama, hal ini menuntut konsekuensi bahwa baik pemerintah
maupun swasta harus mendapatkan manfaat atau nilai dari
usaha bersama tersebut. Pihak swasta harus mendapatkan
keuntungan dalam bentuk modal dan profit demi kelanjutan
dan pengembangan usahanya, sedangkan pemerintah harus
mendapatkan pendapatan nasional/daerah yang digunakan
untuk kepentingan masyarakat. Karena kedua belah pihak harus
10
mendapatkan manfaat/nilai dari usaha bersama tersebut, dan
agar tidak ada pihak-pihak yang dirugikan, maka hubungan
usaha dan kemitraan antara pemerintah dah swasta tersebut
harus dilandasi kekeluargaan. Ada rasa saling memiliki, saling
menghargai, saling mendukung, dan yang terpenting, saling
menguntungkan satu sama lain. Hal ini yang menurut penulis
menjadi inti dari asas kekeluargaan tersebut. Baik pemerintah
dan swasta, dalam menjalankan usaha bersama (sistem
perekonomian nasional), harus berada dalam sebuah ikatan
kekeluargaan, dalam hal ini, menurut penulis yang menjadi
pengikat adalah nasionalisme dalam bentuk kepentingan
membangun dan menumbuhkan perekonomian nasional demi
terciptanya masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan
makmur.
Selanjutnya pada Pasal 33 ayat 2 UUD 1945 dinyatakan
ah a Ca a g-cabang produksi yang menguasai hajat hidup
ora g a yak dikuasai oleh egara . Pasal terse ut e u juka ruang dimana pemerintah dapat berperan secara penuh, baik
dalam hal kebijakan, pengelolaan, dan pemanfaatan. Cabang-
cabang produksi yang harus dikuasai oleh negara tersebut,
harus sepenuhnya dikelola oleh pemerintah dan dipergunakan
sepenuhnya untuk kemakmuran masyarakat.
Landasan dasar berikutnya atas peran pemerintah dalam
sistem perekonomian nasional adalah pada Pasal 33 ayat 3 yang
e yataka ah a Bumi, air, dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar- esar ya ke ak ura rakyat . Dalam pasal
tersebut, selain menunjukan pada ruang manakah pemerintah
harus berperan dominan, juga menetapkan tujuan dari
pembangunan ekonomi itu sendiri, yaitu menciptakan
11
kemakmuran masyarakat. Hal ini juga sejalan dengan yang
di yataka pada sila ke 5 Pa asila yaitu Keadila sosial agi seluruh rakyat I do esia . Di dala keadila sosial terdapat juga keadilan dalam hal ekonomi, dimana seluruh rakyat
Indonesia memiliki hak-hak ekonomi sebagai berikut:
1. Hak untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan
yang layak (dinyatakan juga di dalam UUD 1945);
2. Hak untuk mendapatkan peluang dalam membangun
usaha dan menjalankan usaha dalam lingkungan yang
kondusif;
3. Hak untuk mengakses sumber-sumber daya ekonomi
yang dimungkinkan dan diperbolehkan secara hukum
untuk dimanfaatkan dan dikelola oleh perseorangan,
kelompok, dan/atau badan usaha;
4. Hak untuk mendapatkan bantuan dan dukungan
pemerintah dalam berbagai bentuk secara
proporsional dalam rangka membangun dan/atau
menjalankan kegiatan usaha.
Hal-hal yang dinyatakan dalam UUD 1945 dan Pancasila
tersebut harus menjadi landasan dasar bagi pemerintah dalam
menjalankan sistem perekonomian nasional, bersama-sama
dengan pihak swasta, dalam rangka membangun perekonomian
Indonesia. Perekonomian Indonesia harus dibangun atas dasar
usaha bersama dengan menggunakan asas kekeluargaan demi
terciptanya masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan
makmur.
12
1.2 Kondisi Kekinian Pembangunan Ekonomi Indonesia
Kondisi pembangunan ekonomi Indonesia saat ini tidak
terlepas dari krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997-1998.
Pada tahun 2013 ini, Indonesia memasuki akhir pembangunan
jangka menengah yang dimulai dari tahun 2003. Hal penting
yang perlu diperhatikan sebagai dampak krisis ekonomi
terhadap pembangunan ekonomi Indonesia adalah kondisi
infrastruktur, sarana, dan prasarana jalan yang sangat
berpengaruh terhadap distribusi sumber-sumber daya ekonomi.
Krisis ekonomi berdampak pada menurunnya kualitas
infrastruktur terutama prasarana jalan dan perkeretaapian yang
kondisinya sangat memprihatinkan. Sekitar 39 persen total
panjang jalan diantaranya mengalami kerusakan ringan dan
berat serta hanya sekitar 62 persen jalan kereta api yang masih
dioperasikan. Peran armada nasional menurun baik untuk
angkutan domestik maupun internasional sehingga pada tahun
2003 masing-masing hanya mampu memenuhi 53 persen dan 3
persen, walaupun sesuai konvensi internasional yang berlaku
pangsa pasar armada nasional 40 persen untuk muatan ekspor-
impor dan 100 persen untuk angkutan domestik. Sedangkan
untuk angkutan udara, perusahaan penerbangan relatif mampu
menyediakan pelayanan yang terjangkau. Disamping masalah
yang disebabkan oleh krisis ekonomi, pembangunan prasarana
jalan dan perkeretaapian mengalami kendala sejak pelaksanaan
desentralisasi yang berpengaruh pada pembiayaan
pembangunan, operasi dan pemeliharaan prasarana dan sarana
transportasi. Hal ini karena terbatasnya dana pemerintah dan
peraturan perundang-undangan yang masih tumpang tindih.2
2 Bappe as, ‘a a ga Pe a gu a Ja gka Pa ja g Nasional Tahun 2005- 5 ,
2005, Bappenas, Jakarta.
13
Kondisi umum tersebut menuntut adanya segera
percepatan pembangunan konektivitas nasional, salah satu di
dalamnya adalah pembangunan sarana dan prasarana angkutan
dan jalan dalam menunjang pendistribusian sumber-sumber
daya ekonomi. Selain itu, pembangunan konektivitas nasional
juga akan memberikan dampak terhadap percepatan
pembangunan dan pengembangan kawasan-kawasan ekonomi
baru, khususnya di luar pulau Jawa.
Selain masalah sarana dan prasarana jalan dan angktan,
masalah berikutnya yang penting untuk dipaparkan disini adalah
masalah sumber daya alam. Sumber daya alam memiliki peran
ganda, yaitu sebagai modal pembangunan dan sekaligus sebagai
penopang sistem kehidupan. Peranan sumber daya alam dapat
dilihat dari sumbangannya terhadap PDB yang pada tahun 2002
mencapai 24,8 persen dan penyerapan tenaga kerja mencapai
48 persen.3 Namun, di lain pihak keberlanjutan atas
ketersediaannya sering diabaikan sehingga daya dukung
lingkungan menurun dan ketersediaan sumber daya alam
menipis. Dalam 10 tahun mendatang diperkirakan Indonesia
akan mengalami krisis air, krisis pangan, dan krisis energi.
Ketiga ancaman krisis ini menjadi tantangan nasional jangka
panjang yang harus diantisipasi secara dini agar tidak
menimbulkan dampak buruk bagi kehidupan masyarakat dan
bangsa.
Ancaman krisis air disebabkan oleh memburuknya
kondisi hutan akibat deforestasi yang meningkat pesat, yaitu
dari 1,6 juta hektar pada periode 1985-1997 menjadi 2,1 juta
hektar pada periode 1997–2001. Deforestasi ini disebabkan oleh
peralihan fungsi kawasan hutan menjadi pemukiman,
3 Ibid.
14
perkebunan, perindustrian, dan pertambangan; terjadinya
kebakaran hutan; serta makin meningkatnya illegal logging.4
Berkurangnya kawasan hutan selanjutnya menyebabkan
terganggunya kondisi tata air. Gejala ini terlihat dari
berkurangnya ketersediaan air tanah terutama di daerah
perkotaan, turunnya debit air waduk dan sungai pada musim
kemarau yang mengancam pasokan air untuk pertanian dan
pengoperasian pembangkit listrik tenaga air (PLTA),
membesarnya aliran permukaan yang mengakibatkan
meningkatnya ancaman bencana banjir pada musim penghujan.
Sementara itu, laju kebutuhan air terus bertambah diperkirakan
rata-rata sebesar 10 persen per tahun. Berkurangnya luas hutan
juga berdampak pada berkurangnya keanekaragaman hayati
yang ada di dalamnya, yang mempunyai potensi untuk
pengembangan jasa-jasa lingkungan dan diversifikasi pangan.
Peralihan penggunaan lahan tidak hanya berpengaruh
terhadap ketersediaan air, tetapi juga terhadap postur
ketahanan pangan. Ketersediaan pangan semakin terbatas yang
disebabkan oleh semakin meningkatnya konversi lahan sawah
dan lahan pertanian produktif lainnya, rendahnya peningkatan
produktivitas hasil pertanian, buruknya kondisi jaringan irigasi
dan prasarana irigasi di lahan produksi. Peningkatan produksi
pangan hanya terjadi di pulau Jawa, dan dalam kurun waktu
1995-2002 rata-rata produktivitas nasional hanya meningkat 80
kg per hektar. Dari luas lahan baku sawah sekitar 8,4 juta hektar,
pada kurun waktu 1992-2000 luas tersebut turun sekitar 500
ribu hektar, yaitu dari 8,3 juta hektar menjadi 7,8 juta hektar.5
Kondisi pasokan air bagi lahan beririgasi semakin terbatas
4 Ibid.
5 Ibid.
15
karena menurunnya kemampuan penyediaan air di waduk-
waduk yang menjadi andalan pasokan air. Sementara itu, daya
saing produk pertanian dalam negeri masih rendah
dibandingkan dengan produk luar negeri sehingga pasar produk
pertanian dalam negeri dibanjiri dengan produk impor. Dilihat
dari aspek konsumsi pangan, ketergantungan pada konsumsi
beras masih tinggi sehingga tekanan terhadap produksi padi
semakin tinggi pula. Ke depan perlu didorong diversifikasi
konsumsi pangan dengan mutu gizi yang semakin meningkat
berbasiskan konsumsi pangan hewani, buah, dan sayuran.
Ketahanan pangan di tingkat rumah tangga masih rentan yang
disebabkan sistem distribusi yang kurang efisien untuk
menjamin ketersediaan pangan antar waktu dan antar wilayah.
Selain hal-hal konvensional di atas, kondisi
perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya di bidang
teknologi informasi dan komunikasi, juga menjadi masalah
penting yang perlu untuk ditindaklanjuti. Dalam era globalisasi,
informasi mempunyai nilai ekonomi untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi serta mewujudkan daya saing suatu
bangsa sehingga mutlak diperlukan suatu kemampuan untuk
mengakses informasi. Beberapa masalah yang dihadapi antara
lain: terbatasnya ketersediaan infrastruktur telematika yang
sampai saat ini penyediaan infrastruktur telematika belum
dapat memenuhi kebutuhan masyarakat; tidak meratanya
penyebaran infrastruktur telematika dengan konsentrasi yang
lebih besar di wilayah barat Indonesia, yaitu sekitar 86 persen di
Pulau Jawa dan Sumatera, dan daerah perkotaan;6 terbatasnya
kemampuan pembiayaan penyedia infrastruktur telematika
dengan belum berkembangnya sumber pembiayaan lain untuk
6 Ibid.
16
mendanai pembangunan infrastruktur telematika seperti
kerjasama pemerintah-swasta, pemerintah-masyarakat, serta
swasta-masyarakat; dan kurang optimalnya pemanfataan
infrastruktur alternatif lainnya yang dapat dimanfaatkan dalam
mendorong tingkat penetrasi layanan telematika. Rendahnya
kemampuan masyarakat Indonesia untuk mengakses informasi
pada akhirnya menimbulkan kesenjangan digital dengan negara
lain. Dalam kaitan itu, perlu segera dilakukan berbagai
perbaikan dan perubahan untuk meningkatkan kesiapan dan
kemampuan bangsa dalam menghadapi persaingan global yang
makin ketat.
Pelaksanaan pembangunan ekonomi Indonesia juga
tidak terlepas dari kebijakan makro ekonomi yang dijalankan
oleh pemerintah. Pada tahun 2010, pertumbuhan ekonomi
Indonesia mampu meningkat sebesar 6,2% dan meningkat lagi
sebesar 6,5% ada tahun 2011.7 Hal ini merupakan dukungan
dari ekspor Indonesia. Pada tahun 2012 ini ekonomi Indonesia
tumbuh sebesar 6,2% persen, terbesar kedua di dunia setelah
China.8 Walaupun masih berada di bawah tahun sebelumnya,
tetapi pertumbuhan ini cukup tinggi mengingat masih lesunya
pertumbuhan ekonomi dunia akibat krisis yang melanda. Akan
tetapi pada kurun waktu 2009-2012, perekonomian Indonesia
termasuk menunjukkan kecenderungan positif. Faisal Basri
mengatakan I do esia adalah satu-satunya negara yang
selama 2009-2012 menunjukkan kecenderungan pertumbuhan
7 Firmanzah, Eko o i I do esia da Outlook , Staf Khusus Presiden Bidang
Ekonomi dan Pembangunan, Desember 2012. 8 Ibid.
17
ekonomi yang tidak menurun di tengah terpaan krisis ekonomi
glo al ya g elu erkesudaha sejak . 9
Data akan kemiskinan di Indonesiapun semakin hari
semakin berkurang, meski tidak dapat dipungkiri masih
banyaknya penduduk Indonesia yang masih kurang dari kata
mampu. Kemiskinan yang pada awalnya 13,33%, pada tahun
2012 berkurang hingga tinggal 11,45%.10
Sejalan dengan
kemiskinan, pengangguranpun berangsur menurun. Pada tahun
2010 tercatat pengangguran yang ada di Indonesia sebanyak
7,1% kemudian di tahun berikutnya menurun hingga 6,6%. Pada
tahun 2012. Pengangguran mengalami penurunan kembali
dengan prosentase 6,14% dan diperkirakan pada tahun 2013 ini,
laju pengangguran di Indonesia berkurang menjadi 5,8-6,1%
saja.11
Pada tahun 2012 terlihat tren positif atas Produk
Domestik Bruto (PDB) Indonesia. PDB Indonesia mengalami
kenaikan, tercatat oleh Direktorat Jenderal Anggaran pada
tahun 2009, laju PDB hanya mencapai 4,5 sedangkan pada
tahun 2010 berhasil naik ke 6,1%. Pada 2011 laju PDB berhasil di
kisaran 6,2% dan terus meningkat hingga 6,7% di tahun 2012.
Diperkirakan untuk tahun selanjutnya PDB Indonesia akan terus
meningkat. Stabilitas perekonomian nasional sepanjang tahun
2012 juga dilihat dari tingkat inflasi yang mencapai 4,3%, atau
sedikit di atas tingkat inflasi 2011 (3,8%). Bank Indonesia
meyakini inflasi di tahun 2013 dan tahun 2014 masih dalam
kisaran sasaran 4,5% ± 1%.
9 Faisal Basri, BBM Biang Keladi Defisit Perdagangan , Harian Kompas, 7 Januari
2013. 10
Badan Pusat Statistik, Berita Resmi Statistik, November 2012. 11
Badan Pusat Statistik, Berita Resmi Statistik, Januari 2013.
18
Dalam mendukung keberlangsungan ekonomi makro,
maka diperlukan kebijakan-kebijakan yang tepat pula baik dalam
fiskal maupun moneter. Kebijakan fiskal secara garis besar
membuat perubahan-perubahan dalam sistem pajak atau dalam
perbelanjaannya dengan maksud untuk mengatasi masalah-
masalah ekonomi yang dihadapi dan kebijakan moneter yang
menitikberatkan pada proses mengatur persediaan uang sebuah
negara untuk mencapai tujuan tertentu; seperti menahan
inflasi, dan mendorong usaha pembangunan nasional.12
Dua
kebijakan tersebut harus berjalan beriringan.
Melihat perkembangan perekonomian Indonesia saat ini,
kebijakan fiskal maupun moneter sudah cukup berimbang.
Selama ini pemerintah sudah cukup giat dalam kebijakan
moneternya. Pascakrisis moneter, Indonesia sedang
memperbaiki kebijakan-kebijakan moneternya, salah satu cara
adalah dengan independensi Bank Indonesia dalam mengatur
moneter. Dalam perjalanannya, Bank Indonesia (BI) menerapkan
sistem Inflation Targeting Framework (ITF) yang sukses
diterapkan di berbagai Negara seperti Inggris, Kanada, Sweedia,
Australia, bahkan di Negara berkembang seperti Chili, Brazil,
Korea, dan negara-negara lainnya.13
ITF sendiri ditetapkan sejak bulan Juli 2005 lalu dan
menuai hasil yang menggembirakan bagi perekonomian makro.
Lewat adanya ITF Bank Indonesia menerapkan kerangka
kebijakan moneter dengan inflasi yg rendah dan stabil sebagai
sasaran utama karena inflasi merupakan satu-satunya variabel
makroekonomi yang dapat dipengaruhi kebijakan moneter.
Dengan tetap menjaga inflasi yang rendah dan stabil,
12
Boediono, 2013, Ekonomi Makro (edisi keempat), Yogyakarta,BPFE-Yogyakarta 13
Ibid.
19
pemerintah percaya hal inidapat menyebabkan terlaksananya
kebijakan makro ekonomi yang lain. Terbukti sampai sekarang
tingkat inflasi masih berada di kisaran 4,5%.14
Kebijakan moneter lain yang menunjang perkembangan
makro ekonomi Indonesia antara lain yaitu kebijakan suku
bunga yang diaragkan agar pergerakan inflasi tetap berada pada
sasaran yang ditetapkan. Diantaranya BI menurunkan BI Rate 25
bps pada tahun 2012 sebagai stimulan ekonomi Indonesia
ditengah lemahnya ekonomi global serta mempertahamkam BI
Rate pada tingkat 5,75% dan menguatkan operasi moneter
untuk mengendalikan akses likuiditas jangka pendek untuk
mengantisipasi dampak peningkatan inflasi jangka pendek.15
Selain suku bunga, kebijakan moneter yang dilakukan
adalah kebijakan nilai tukar agar stabilitas nilai tukar tetap
terjaga. Bank Indonesia terus memantau perkembangan nilai
tukar rupiah yang ada dan melakukan interensi di pasar valas. Di
sisi penguatan pasokan valuta asing, BI mengeluarkan
ketentuan terkait penerimaan Devisa Hasil Ekspor ((DHE)
dimana eksportir waji menerima seluruh DHE melalui bank
devisa di dalam negeri. Selain itu, BI juga mengadakan
lelang Term Deposit (TD) Valas untuk memperkaya instrument
valas domestik dan menjadi outlet penempatan devisa.
Sementara untuk stabilitas keuangan dan pendukung
keseimbangan eksternal, BI menerapkan kebijakan
makroprudensial melalu pengaturan besaran rasio loan-to-
value (LTV) dan down payment (DP) mengingat peningkatan
tajam di kredit pebankan khususnya perumahan dan otomotif.
Kebijakan moneter terus ditata dan diperketat lagi, disisi
14
Ibid. 15
Op.Cit., Firmanzah, 2012.
20
makroprudensial sudah ada BI yang mengatasi dan baru-baru ini
pemisahan untuk urusan mikroprudensial dan lembaga
keuangan dipegang oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).16
Peranan atau fungsi pemerintah di bidang fiskal adalah
untuk menciptakan stabilisasi ekonomi, pemerataan
pendapatan, dan mengalokasikan sumber daya manusia. Khusus
untuk fungsi stabilisasi dan pemerataan, akan lebih efektif
apabila dilakukan pemerintah pusat, sedangkan fungsi alokasi
akan lebih efektif dilakukan pemerintah daerah.17
Oleh karena
itu, kebijakan fiskal ini dilakukan sinergis baik pemerintah pusat
maupun daerah.
Pemerintah melakukan upaya desentralisasi fiskal
dalam rangka mensinergiskan kebijakan fiskal pusat dengan
daerah sehingga daerah juga bisa mengelola keuangannya. Hal
ini didukung dengan peran pemerintah dalam melakukan
perimbangan keuangan dengan cara transfer/hibah ke daerah
dan didukung dengan penyerahansebagian kewenangan
perpajakan kepada daerah.Untuk saat ini transfer pendanaan
daerah lebih mendominasi karena perpajakan daerah sendiri
masih sangat terbatas. Sampai saat ini pemerintah masih
berusaha mengefektifkan desentralisasi fiskal.
Sementara bila kita berbicara fiskal, maka tidak bisa
lepas dari Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(RAPBN). Dalam RAPBN 2013, pemerintah Indonesia
mentargetkan pendapatan negara akan mencapai Rp1.507,07
triliun atau meningkat 12,6% dari APBN-P 2012. Sementara itu,
belanja 2013 juga diperkirakan akan meningkat 8,7% menjadi
16
Ibid. 17
Kuncoro, M., 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah (Reformasi, Perencanaan,
Strategi, dan Peluang) , hlm. 187, Erlangga, Jakarta.
21
Rp1.657,09 triliun. Peningkatan sumber pendapatan dan
pengeluaran negara tersebut menyebabkan defisit anggaran
sebesar Rp153,34 triliun atau -1,65% dari PDB dibandingkan
dengan -2,23% dari PDB pada APBN-P 2012.18
Dari data yang
ada, anggaran belanja terbesar terletak pada anggaran belanja
pusat di pusat dan setelah itu disusul transfer ke daerah.
Untuk itu, pemerintah berupaya meningkatkan kualitas
pengeluaran Negara agar berimbang. Hal pertama yang akan
dilakukan adalah meningkatkan belanja modal untuk
terealisasinya pembangunan infrastruktur nasional dan
konektivitas antardaerah serta peningkatan ketahanan energi
dan pangan. Akhir-akhir ini di tingkat mahasiswa sendiri sudah
sering membahas tentang rencana pemerintah dalam
ketahanan energi dan pangan yang sementara ini masih digodok
dan belum tahu kapan ketahanan tersebut benar-benar matang.
Pemerintah menilai, selama ini kinerjanya dalam kebijakan fiskal
terkait pembangunan infrastruktur sudah cukup maksimal,
sebagian besar belanja modal digunakan untuk membiayai
pembangunan infrastruktur yaitu sebesar Rp 216,1 triliun pada
tahun 2013. Anggaran ini meningkat 28,1% dari tahun 2012.
Peningkatan anggaran infrastruktur ini untuk pembangunan
sektor riil seperti listrik, jalan raya, tol, dermaga dan lain-lain.19
Kedua, penurunan anggaran subsidi khususnya subsidi
listrik untuk mengurangi beban subsidi listrik. Rencananya
pemerintah akan meningkatkan tarif listrik secara bertahap
setiap kuartal dan akan memprioritaskan perhatian pada
masyarakat kalangan menengah ke bawah. Subsidi juga akan
dikurangi karena pemerintah berargumen distribusi subsidi
18
Op.Cit., Firmanzah, 2012. 19
Ibid.
22
selama ini tidak merata dan salah sasaran. Penurunan subsidi
yang akan dipotong yaitu subsidi energi. Subsidi energi nantinya
akan dialokasikan untuk bidang lain seperti pendidikan dan
kesehatan. Memang anggaran yang paling mendapat sorotan
publik adalah anggaran untuk subsidi energi.
Dalam RAPBN 2013, anggaran subsidi energi masih
menjadi pengeluaran terbesar, mencapai porsi 27,8 % dari total
anggaran. Porsi terbesar kedua dalam komposisi belanja
pemerintah pusat adalah belanja pegawai (sebesar 21,2%).
Kemudian disusul oleh belanja modal (17%), belanja barang
(14%), pembayaran bunga utang (9,9%), belanja sosial (5,2%)
dan belanja lain-lain (4,2%).20
Dari segi pajak, pemerintah Indonesia mentargetkan
pendapatan pajak sebesar Rp1.193 triliun pada 2013 atau
kenaikan sebesar 17,4% dibandingkan tahun sebelumnya.
Tujuan dari pemilihan instrumen fiskal pajak adalah untuk
meningkatkan pendapatan yang cukup sekaligus meminimalisasi
distorsi dan menjaga sistem pajak yang mudah untuk
dilaksanakan.
Selain itu, jika berbicara lebih panjang tentang kebijakan
fiskal, prestasi fiskal Indonesia cukup baik mengingat
pertumbuhan ekonomi cnderung positif. Indonesia mendapat
predikat sebagai Negara layak investasi (investment grade) dan
membuktikan pemerintah Indonesia cukup berhasil dalam
menerapkan kebijakan fiskalnya. Rasio utang terhadap PDB
Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini terus menurun,
dari 57% pada 2004 menjadi 24% pada akhir 2011 didukung oleh
pertumbuhan ekonomi yang semakin kuat dan pengelolaan
fiskal yang baik.Posisi fiskal Indonesia secara umum dinilai masih
20
Ibid.
23
sehat. Dimana, angka realisasi sementara defisit Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2012 adalah Rp146
triliun. Artinya angka ini masih 1,8% dari PDB.21
1.3 Rencana Pembangunan Ekonomi Indonesia
Secara umum, pembangunan ekonomi Indonesia
direncanakan dan dijalankan dengan melihat kepada 2 aspek:
1. Aspek nasional;
2. Aspek regional-global.
Aspek nasional adalah segala aspek dalam negeri yang
berpengaruh terhadap pembangunan dan pertumbuhan
ekonomi Indonesia. Secara umum aspek nasional ini terdiri dari
potensi dan hambatan pembangunan ekonomi Indonesia.
Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk
terbesar ke 4 di dunia. Penduduk yang banyak dengan sumber
daya manusia yang terus membaik akan menjadi potensi
ekonomi yang besar. Meskipun dalam mengoptimalkan sumber
daya manusia ini Indonesia masih harus bekerja lebih keras,
khususnya dalam bidang pendidikan, akan tetapi, terkait dengan
jumlah penduduk yang besar dan hubungannya dengan kondisi
kekinian demografi Indonesia, maka faktor penduduk ini tetap
menjadi potensi ekonomi yang dapat dimanfaatkan dengan
segera seiiring dengan proses peningkatan sumber daya
manusia melalui pendidikan.
Indonesia tengah berada dalam periode transisi struktur
penduduk usia produktif. Pada kurun waktu 2020 – 2030,
penurunan indeks (ratio) ketergantungan Indonesia (yang sudah
21
Mustopadidjaja A.R.,dkk, 2012, BAPPENAS : Dalam Sejarah Perencanaan
Pembangunan Indonesia 1945-2025,Jakarta: LP3ES.
24
berlangsung sejak tahun 1970) akan mencapai angka terendah.
Implikasi penting dari kondisi ini adalah semakin pentingnya
penyediaan lapangan kerja agar perekonomian dapat
memanfaatkan secara maksimal besarnya porsi penduduk usia
produktif. Lebih penting lagi, bila tingkat pendidikan secara
umum diasumsikan terus membaik, produktivitas perekonomian
negara ini sesungguhnya dalam kondisi premium, dimana hal
tersebut akan sangat bermanfaat untuk tujuan percepatan
maupun perluasan pembangunan ekonomi.
Periode dimana angka dependency ratio ≤ 1
Gambar 1.1 Keadaan demografi umur penduduk
Indonesia.22
22
Ke e tria Koordi ator Bida g Pereko o ia , Masterpla Per epata da Perluasa Pe a gu a Eko o i I do esia , hl . , Cetaka Perta a, Jakarta, 2011, Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian.
25
Gambar di atas menunjukan bahwa dalam 10 tahun
mendatang, ketersediaan angkatan kerja di Indonesia dalam
kondisi maksimal. Hal ini berarti bahwa produktivitas ekonomi
pun bisa dipicu ke titik tertinggi dalam 10 mendatang dengan
mengoptimalkan kondisi angkatan kerja tersebut.
Sampai tahun 2010, Indonesia masih menjadi salah satu
produsen besar di dunia untuk berbagai komoditas, antara lain
kelapa sawit (penghasil dan eksportir terbesar di dunia), kakao
(produsen terbesar kedua di dunia), timah (produsen terbesar
kedua di dunia), nikel (cadangan terbesar ke empat di dunia)
dan bauksit (cadangan terbesar ke tujuh di dunia) serta
komoditas unggulan lainnya seperti besi baja, tembaga, karet
dan perikanan. Indonesia juga memiliki cadangan energi yang
sangat besar seperti misalnya batubara, panas bumi, gas alam,
dan air yang sebagian besar dimanfaatkan untuk mendukung
industri andalan seperti tekstil, perkapalan, peralatan
transportasi dan makanan-minuman.
26
Gambar 1.2 Potensi sumber daya alam Indonesia23
Potensi sumber daya alam tersebut, menjadi potensi
besar pembangunan ekonomi Indonesia. Hanya saja potensi
tersebut belum bisa dimanfaatkan secara optimal, dikarenakan
belum berkembangnya industri hilir di Indonesia.
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia
memiliki wilayah dengan panjang mencapai 5.200 km dan lebar
mencapai 1.870 km. Lokasi geografisnya juga sangat strategis
(memiliki akses langsung ke pasar terbesar di dunia) karena
Indonesia dilewati oleh satu Sea Lane of Communication (SLoC),
yaitu Selat Malaka, di mana jalur ini menempati peringkat
pertama dalam jalur pelayaran kontainer global.
Berdasarkan data United Nations Environmental
Programme (UNEP, 2009) terdapat 64 wilayah perairan Large
23
Ibid, hlm. 18
27
Marine Ecosystem (LME) di seluruh dunia yang disusun
berdasarkan tingkat kesuburan, produktivitas, dan pengaruh
perubahan iklim terhadap masing-masing LME. Indonesia
memiliki akses langsung kepada 6 (enam) wilayah LME yang
mempunyai potensi kelautan dan perikanan yang cukup besar,
yaitu: LME 34 – Teluk Bengala; LME 36 – Laut Cina Selatan; LME
37 – Sulu Celebes; LME 38 – Laut-laut Indonesia; LME 39 –
Arafura – Gulf Carpentaria; LME 45 – Laut Australia Utara.24
Sehingga, peluang Indonesia untuk mengembangkan industri
perikanan tangkap sangat besar.
Walaupun potensi-potensi di atas merupakan
keunggulan Indonesia, namun keunggulan tersebut tidak akan
terwujud dengan sendirinya. Sejumlah tantangan harus dihadapi
untuk merealisasikan keunggulan tersebut, sebagaimana
diuraikan berikut ini.
Struktur ekonomi Indonesia saat ini masih terfokus pada
pertanian dan industri yang mengekstraksi dan mengumpulkan
hasil alam. Industri yang berorientasi pada peningkatan nilai
tambah produk, proses produksi dan distribusi di dalam negeri
masih terbatas. Selain itu, saat ini terjadi kesenjangan
pembangunan antara Kawasan Barat dan Kawasan Timur
Indonesia. Hal ini tidak bisa dibiarkan berlanjut ke generasi yang
akan datang. Harus pula dipahami bahwa upaya pemerataan
pembangunan tidak akan terwujud dalam jangka waktu singkat.
Namun begitu, upaya tersebut harus dimulai melalui upaya
percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia
sebagai titik awal menuju Indonesia yang lebih merata.
Tantangan atau hambatan tersebut menunjukan bahwa
secara umum bahwa proses transformasi mode produksi dari
24
Ibid.
28
masyarakat agraris menuju masyarakat industri belum tuntas
atau bisa dikatakan gagal. Banyak faktor yang menyebabkan hal
tersebut bisa terjadi, salah satunya dan yang paling penting
adalah tidak meratanya pembangunan nasional dan kegiatan
ekonomi yang sentralistik. Hal tersebut telah berlangsung
selama puluhan tahun dan untuk merubah dan memperbaikinya
perlu proses waktu yang tidak sebentar. Selain itu, diperlukan
skala prioritas transformasi yang jelas.
Tantangan lain dari suatu negara besar seperti Indonesia
adalah penyediaan infrastruktur untuk mendukung aktivitas
ekonomi. Infrastruktur itu sendiri memiliki spektrum yang
sangat luas. Satu hal yang harus mendapatkan perhatian utama
adalah infrastruktur yang mendorong konektivitas antar wilayah
sehingga dapat mempercepat dan memperluas pembangunan
ekonomi Indonesia. Penyediaan infrastruktur yang mendorong
konektivitas akan menurunkan biaya transportasi dan biaya
logistik sehingga dapat meningkatkan daya saing produk, dan
mempercepat gerak ekonomi. Termasuk dalam infrastruktur
konektivitas ini adalah pembangunan jalur transportasi dan
teknologi informasi dan komunikasi (TIK), serta seluruh regulasi
dan aturan yang terkait dengannya.
Kualitas sumber daya manusia juga masih menjadi
tantangan Indonesia. Saat ini sekitar 50 persen tenaga kerja di
Indonesia masih berpendidikan sekolah dasar dan hanya sekitar
8 persen yang berpendidikan diploma/sarjana. Kualitas sumber
daya manusia ini sangat terkait dengan kualitas sarana
pendidikan, kesehatan, dan akses ke infrastruktur dasar.
Indonesia sedang menghadapi urbanisasi yang sangat
cepat. Jika pada tahun 2010 sebanyak 53 persen penduduk
Indonesia tinggal di kawasan perkotaan, maka BPS memprediksi
29
bahwa pada tahun 2025 penduduk di kawasan perkotaan akan
mencapai 65 persen. Implikasi langsung yang harus diantisipasi
akibat urbanisasi adalah terjadinya peningkatan pada pola
pergerakan, berubahnya pola konsumsi dan struktur produksi
yang berdampak pada struktur ketenagakerjaan, meningkatnya
konflik penggunaan lahan, dan meningkatnya kebutuhan
dukungan infrastruktur yang handal untuk mendukung distribusi
barang dan jasa.
Sebagai negara kepulauan, Indonesia juga menghadapi
tantangan akibat perubahan iklim global. Beberapa indikator
perubahan iklim yang berdampak signifikan terhadap
berlangsungnya kehidupan manusia adalah: kenaikan
permukaan air laut, kenaikan temperatur udara, perubahan
curah hujan, dan frekuensi perubahan iklim yang ekstrem.
Demikian pula, pengaruh kombinasi peningkatan suhu rata-rata
wilayah, tingkat presipitasi wilayah, intensitas kemarau/banjir,
dan akses ke air bersih, menjadi tantangan bagi percepatan dan
perluasan pembangunan ekonomi Indonesia.
Aspek berikutnya yang berpengaruh terhadap
pembangunan ekonomi Indonesia adalah aspek regional-global.
Pembangunan ekonomi Indonesia tidak lepas dari posisi
Indonesia dalam dinamika regional dan global. Secara geografis
Indonesia terletak di jantung pertumbuhan ekonomi dunia.
Kawasan Timur Asia memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi
yang jauh di atas rata-rata kawasan lain di dunia. Ketika tren
jangka panjang (1970 – 2000) pertumbuhan ekonomi dunia
mengalami penurunan, tren pertumbuhan ekonomi kawasan
Timur Asia menunjukkan peningkatan.
30
Gambar 1.3 Pertumbuhan ekonomi global untuk tiap
dekade (dalam persen per tahun secara rata-rata)25
Sebagai pusat gravitasi perekonomian global, Kawasan
Timur Asia (termasuk Asia Tenggara) memiliki jumlah penduduk
sekitar 50 persen dari penduduk dunia. Cina memiliki sekitar 1,3
miliar penduduk, sementara India menyumbang sekitar 1,2
miliar orang, dan ASEAN dihuni oleh sekitar 600 juta jiwa. Secara
geografis, kedudukan Indonesia berada di tengah-tengah
Kawasan Timur Asia yang mempunyai potensi ekonomi sangat
besar.
25
Ibid., hlm. 16.
31
Dalam aspek perdagangan global, dewasa ini
perdagangan South to South, termasuk transaksi antara India –
Cina – Indonesia, menunjukkan peningkatan yang cepat. Sejak
2008, pertumbuhan ekspor negara berkembang yang didorong
oleh permintaan negara berkembang lainnya meningkat sangat
signifikan (kontribusinya mencapai 54 persen). Hal ini berbeda
jauh dengan kondisi tahun 1998 yang kontribusinya hanya 12
persen. Pertumbuhan yang kuat dari Cina, baik ekspor maupun
impor memberikan dampak yang sangat penting bagi
perkembangan perdagangan regional dan global. Impor Cina
meningkat tajam selama dan setelah krisis ekonomi global 2008.
Di samping itu, konsumsi Cina yang besar dapat menyerap
ekspor yang besar dari negara-negara di sekitarnya termasuk
Indonesia.
Di Asia Tenggara, Indonesia adalah negara dengan luas
kawasan terbesar, penduduk terbanyak dan sumber daya alam
terkaya. Hal tersebut menempatkan Indonesia sebagai kekuatan
utama negara-negara di Asia Tenggara. Di sisi lain, konsekuensi
dari akan diimplementasikannya komunitas ekonomi ASEAN dan
terdapatnya Asean – China Free Trade Area (ACFTA)
mengharuskan Indonesia meningkatkan daya saingnya guna
mendapatkan manfaat nyata dari adanya integrasi ekonomi
tersebut. Oleh karena itu, percepatan transformasi ekonomi
menjadi sangat penting dalam rangka memberikan daya dorong
dan daya angkat bagi daya saing Indonesia.
Dengan melihat dinamika global yang terjadi serta
memperhatikan potensi dan peluang keunggulan geografi dan
sumber daya yang ada di Indonesia, serta mempertimbangkan
prinsip pembangunan yang berkelanjutan, Indonesia perlu
memposisikan dirinya sebagai basis ketahanan pangan dunia,
32
pusat pengolahan produk pertanian, perkebunan, perikanan,
dan sumber daya mineral serta pusat mobilitas logistik global.
Berdasarkan kedua aspek di atas, dapat disimpulkan
beberapa hal berikut:
1. Usaha pembangunan ekonomi Indonesia harus
diarahkan kepada perluasan dan pembangunan
ruang-ruang dan pusat-pusat kegiatan ekonomi baru,
serta pembangunan dan pengembangan industri
hilir;
2. Dalam rangka menunjang usaha di atas, maka
sumber-sumber daya ekonomi harus didistribusikan
secara merata;
3. Perlu segera dibangun dan diperkuat konektivitas
nasional untuk menunjang proses distribusi sumber-
sumber daya ekonomi.
Berangkat dari kesimpulan tersebut, maka usaha
pembangunan ekonomi dilakukan pemerintah dilakukan dengan
membuat dan menjalankan Masterplan Percepatan dan
Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). MP3EI ini
sendiri merupakan bagian tidak terpisahkan dari rencana
pembangunan nasional. Dalam MP3EI, dinyatakan 3 usaha yang
dilakukan pemerintah dalam rangka pembangunan ekonomi
Indonesia, yaitu sebagai berikut:
1. Peningkatan potensi wilayah melalui koridor
ekonomi;
2. Penguatan konktivitas nasional;
3. Penguatan kemampuan SDM dan Iptek nasional.
33
Peningkatan potensi wilayah melalui koridor ekonomi
Pendekatan dan usaha ini pada intinya merupakan
integrasi dari pendekatan sektoral dan regional. Setiap wilayah
mengembangkan produk yang menjadi keunggulannya. Tujuan
pengembangan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi tersebut
adalah untuk memaksimalkan keuntungan aglomerasi, menggali
potensi dan keunggulan daerah serta memperbaiki ketimpangan
spasial pembangunan ekonomi Indonesia.
Pengembangan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi
dilakukan dengan mengembangkan klaster industri dan
Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Pengembangan pusat-pusat
pertumbuhan tersebut disertai dengan penguatan konektivitas
antar pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dan antara pusat
pertumbuhan ekonomi dengan lokasi kegiatan ekonomi serta
infrastruktur pendukungnya. Secara keseluruhan, pusat-pusat
pertumbuhan ekonomi dan konektivitas tersebut menciptakan
Koridor Ekonomi Indonesia. Peningkatan potensi ekonomi
wilayah melalui koridor ekonomi ini menjadi salah satu dari tiga
strategi utama (pilar utama).
34
Gambar 1.4 Ilustrasi koridor ekonomi
26
Dalam rangka Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi dibutuhkan penciptaan kawasan-kawasan ekonomi
baru, diluar pusat-pusat pertumbuhan ekonomi yang telah ada.
Pemerintah dapat memberikan perlakuan khusus untuk
mendukung pembangunan pusat-pusat tersebut, khususnya
yang berlokasi di luar Jawa, terutama kepada dunia usaha yang
bersedia membiayai pembangunan sarana pendukung dan
infrastruktur. Tujuan pemberian perlakuan khusus tersebut
adalah agar dunia usaha memiliki perspektif jangka panjang
dalam pembangunan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru.
26
Ibid, hlm. 32.
35
Perlakuan khusus tersebut antara lain meliputi: kebijakan
perpajakan dan kepabeanan peraturan ketenagakerjaan, dan
perijinan sesuai kesepakatan dengan dunia usaha. Untuk
menghindari terjadinya enclave dari pusat-pusat pertumbuhan
tersebut, Pemerintah Pusat dan Daerah mendorong dan
mengupayakan terjadinya keterkaitan (linkage) semaksimal
mungkin dengan pembangunan ekonomi di sekitar pusat-pusat
pertumbuhan ekonomi. Pusat-pusat pertumbuhan ekonomi
baru tersebut dapat berupa KEK dalam skala besar yang
diharapkan dapat dikembangkan disetiap koridor ekonomi
disesuaikan dengan potensi wilayah yang bersangkutan.
Penguatan konektivitas nasional
Konektivitas Nasional merupakan pengintegrasian 4
(empat) elemen kebijakan nasional yang terdiri dari Sistem
Logistik Nasional (Sislognas), Sistem Transportasi Nasional
(Sistranas), Pengembangan wilayah (RPJMN/RTRWN), Teknologi
Informasi dan Komunikasi (TIK/ICT). Upaya ini perlu dilakukan
agar dapat diwujudkan konektivitas nasional yang efektif,
efisien, dan terpadu.
Sebagaimana diketahui, konektivitas nasional Indonesia
merupakan bagian dari konektivitas global. Oleh karena itu,
perwujudan penguatan konektivitas nasional perlu
mempertimbangkan keterhubungan Indonesia dengan dengan
pusat-pusat perekonomian regional dan dunia (global) dalam
rangka meningkatkan daya saing nasional. Hal ini sangat penting
dilakukan guna memaksimalkan keuntungan dari
keterhubungan regional dan global/internasional.
36
Konektivitas Nasional menyangkut kapasitas dan
kapabilitas suatu bangsa dalam mengelola mobilitas yang
mencakup 5 (lima) unsur sebagai berikut:
1. Personel/penumpang, yang menyangkut
pengelolaan lalu lintas manusia di, dari dan ke
wilayah.
2. Material/barang abiotik (physical and chemical
materials) yang menyangkut mobilitas komoditi
industri dan hasil industri.
3. Material/unsur biotik/species, yang mencakup lalu
lintas unsur mahluk hidup di luar manusia seperti
ternak, Bio Toxins, Veral, Serum, Verum, Seeds, Bio-
Plasma, BioGen, Bioweapon1.
4. Jasa dan Keuangan, yang menyangkut mobilitas
teknologi, sumber daya manusia dan modal
pembangunan bagi wilayah.
5. Informasi, yang menyangkut mobilitas informasi
untuk kepentingan pembangunan wilayah yang saat
ini sangat terkait dengan penguasaan teknologi
informasi dan komunikasi.
Peningkatan pengelolaan mobilitas terhadap lima unsur
tersebut diatas akan meningkatkan kemampuan nasional dalam
mempercepat dan memperluas pembangunan dan mewujudkan
pertumbuhan yang berkualitas sesuai amanat UU No. 17 Tahun
2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
2005 – 2025.
37
Gambar 1.5 Komponen konektivitas
27
Penguatan konektivitas nasional dilakukan dengan
mengintegrasikan beberapa komponen konektivitas yang saling
berhubungan kedalam satu perencanaan terpadu. Beberapa
komponen dimaksud merupakan pembentuk postur
konektivitas secara nasional (Gambar 2.3), yang meliputi: (a)
Sistem Logistik Nasional (SISLOGNAS); (b) Sistem Transportasi
Nasional (SISTRANAS); (c) Pengembangan Wilayah (RPJMN dan
27
Ibid, hlm. 35.
38
RTRWN); (d) Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK/ICT).
Rencana dari masing-masing komponen tersebut telah selesai
disusun, namun dilakukan secara terpisah. Oleh karena itu,
Penguatan Konektivitas Nasional berupaya untuk
mengintegrasikan keempat komponen tersebut.
Penguatan kemampuan SDM dan Iptek nasional
Peningkatan kemampuan SDM dan IPTEK Nasional
menjadi salah satu dari 3 (tiga) strategi utama pelaksanaan
MP3EI. Hal ini dikarenakan pada era ekonomi berbasis
pengetahuan, mesin pertumbuhan ekonomi sangat bergantung
pada kapitalisasi hasil penemuan menjadi produk inovasi. Dalam
konteks ini, peran sumber daya manusia yang berpendidikan
menjadi kunci utama dalam mendukung pertumbuhan ekonomi
yang berkesinambungan. Oleh karena itu, tujuan utama di
dalam sistem pendidikan dan pelatihan untuk mendukung hal
tersebut diatas haruslah bisa menciptakan sumber daya
manusia yang mampu beradaptasi dengan cepat terhadap
perkembangan sains dan teknologi.
Sumber daya manusia yang produktif merupakan
penggerak pertumbuhan ekonomi. Untuk menghasilkan tenaga
kerja yang produktif, maka diperlukan pendidikan yang bermutu
dan relevan dengan kebutuhan pembangunan. Dalam ekonomi
yang semakin bergeser ke arah ekonomi berbasis pengetahuan,
peran pendidikan tinggi sangat penting, antara lain untuk
menghasilkan tenaga kerja yang unggul dan produktif, yang
semakin mampu menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang dibutuhkan, untuk meningkatkan nilai tambah kegiatan
ekonomi yang berkelanjutan. Pendidikan tinggi di sini terdiri dari
39
program pendidikan akademik, program pendidikan vokasi,
serta program pendidikan profesi.
Peningkatan produktivitas menuju keunggulan
kompetitif akan dicapai seiring dengan upaya memperkuat
kemampuan sumber daya manusia berbasis inovasi. Warisan
ekonomi berbasis sumber daya alam yang bertumpu pada labor
intensive perlu ditingkatkan secara bertahap menuju skilled
labor intensive dan kemudian menjadi human capital intensive.
Peningkatan kemampuan modal manusia yang menguasai Iptek
sangat diperlukan ketika Indonesia memasuki tahap innovation-
driven economies.
Untuk mewujudkan peningkatan produktivitas, maka
direkomendasikan usulan Inisiatif Inovasi 1-747 sebagai
pendorong utama terjadinya proses transformasi sistem
ekonomi berbasis inovasi melalui penguatan sistem pendidikan
(human capital) dan kesiapan teknologi (technological
readiness).
Proses transformasi tersebut memerlukan input
pendanaan Penelitian dan Pengembangan (R & D) sebesar 1
persen dari GDP yang perlu terus ditingkatkan secara bertahap
sampai dengan 3 persen GDP menuju 2025. Porsi pendanaan
penelitan dan pengembangan tersebut diatas, berasal dari
Pemerintah maupun dunia usaha. Pelaksanaannya dilakukan
melalui 7 langkah perbaikan ekosistem inovasi, sedangkan
prosesnya dilakukan dengan menggunakan 4 wahana
percepatan pertumbuhan ekonomi sebagai model penguatan
aktor-aktor inovasi yang dikawal dengan ketat. Dengan
demikian diharapkan 7 sasaran visi inovasi 2025 di bidang SDM
dan IPTEK akan dapat tercapai sehingga menjamin percepatan
dan perluasan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.
40
Bab II
Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam
Pembangunan Ekonomi Nasional
2.1 Penerapan Teknologi Informasi dan Komunikasi Dalam
Pembangunan Ekonomi
Dalam era globalisasi saat ini, dimana batas-batas ruang
dan waktu telah mampu ditembus dengan menggunakan
kemajuan teknologi informasi dan komunikasi (TIK),
pembangunan ekonomi seharusnya lebih mudah dijalankan.
Asumsi tersebut muncul karena dua hal, pertama, TIK sebagai
alat, akan menghilangkan hambatan-hambatan konvensional
dalam proses pembangunan ekonomi, seperti hambatan dalam
aksesibilitas data dan informasi, serta hambatan jarak dan
waktu dalam melakukan komunikasi. Kedua, perkembangan dan
kemajuan TIK akan membuka ruang dan wilayah inovasi
kegiatan ekonomi baru, seperti e-commerce.
Pembangunan ekonomi berarti membangun dan
mengembangkan kegiatan-kegiatan ekonomi. Kegiatan ekonomi
yang utama terdiri dari 3 kegiatan, yaitu produksi, distribusi, dan
konsumsi. Teknologi informasi dan komunikasi yang ada saat ini,
telah mampu diterapkan ke dalam ketiga kegiatan ekonomi
tersebut serta mampu menunjang ketiga kegiatan ekonomi
tersebut agar berjalan lebih efektif dan efisien.
Dalam kegiatan produksi, teknologi informasi dan
komunikasi secara optimal mampu diterapkan dalam kegiatan
produksi berbasis industri. Pada bidang industri sekarang ini, TIK
sangatlah vital keberadaannya. Dengan implementasi TIK, para
stakeholders atau pemegang kepentingan suatu perusahaan
41
industri, dapat dengan mudah mengakses pabrik atau
manufakturer industri, sehingga produktivitas dalam dunia
industri dapat meningkat drastis dibandingkan dengan sistem
tradisional atau tanpa implementasi TIK.
Di bidang industri, komputer telah digunakan untuk
mengendalikan mesin-mesin produksi dengan ketepatan tinggi,
misalnya Computer Numerical Control (CNC) atau pengawasan
numerik atau perhitungan, Computer Aided Manufacture (CAM),
Computer Aided Design (CAD), yaitu industri untuk merancang
bentuk sebuah produk yang akan dikeluarkan pada sebuah
industri atau pabrik.
Penggunaan TIK di bidang industri terbukti dapat
meningkatkan produktivitas dan kinerja perusahaan. Sebagai
contoh, dalam industri otomotif, seperti Honda, telah
mengimplementasikan teknologi komputer dalam proses
produksinya. Honda menggunakan teknologi komputerisasi dan
robot untuk merakit komponen mobil dalam prosesnya. Dengan
tidak adanya campur tangan manusia secara langsung,
membuat proses produksi menjadi lebih aman, efektif dan
efisien. Kelebihan dari penggunaan teknologi itu ialah
komponen mobil yang dirakit menjadi presisi dan terukur
dengan tepat.
Selain berperan dalam proses produksi, TIK juga memiliki
peranan dalam mengelola sumber-sumber daya produksi,
seperti sumber daya manusia dan bahan baku. Sebuah kegiatan
produksi yang baik menuntut ketersediaan sumber daya
manusia yang baik, baik untuk mengelola manajemen produksi,
maupun melakukan produksi secara langsung. Dalam hal ini TIK
memiliki peranan sebagai berikut:
42
1. Proses rekruitmen tenaga kerja;
Secara umum, proses rekruitmen tenaga kerja bisa
dilakukan dalam dua bentuk, yaitu rekruitmen
terbuka dan tertutup. Dalam sebuah rekruitmen
tertutup, peran TIK kurang diperlukan, dikarenakan
proses rekruitmen tidak dipublikasikan ke luar
wilayah perusahaan. TIK lebih berperan dalam proses
rekruitmen terbuka. Dalam rekruitmen terbuka, TIK
akan digunakan untuk memudahkan proses
pendaftaran dan administrasi, serta digunakan untuk
memperluas wilayah rekruitmen, sehingga peluang
untuk mendapatkan tenaga kerja yang berkualitas
dan sesuai dengan spesifikasi yang dibutuhkan lebih
besar. Contoh penerapan TIK dalam rekruitmen
tenaga kerja ini adalah lowongan kerja online,
pendaftaran dan pengiriman lamaran kerja secara
online, dan tes/seleksi online.
2. Pelatihan dan pendidikan tenaga kerja;
Untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja,
maka keahlian dan keterampilan tenaga kerja perlu
terus ditingkatkan. Hal ini biasanya dilakukan dengan
menyelenggarakan pelatihan dan pendidikan tenaga
kerja secara berkala dan berkelanjutan. Dalam
melaksanakan kegiatan tersebut, TIK memiliki
peranan dalam hal akses terhadap berbagai data dan
informasi penunjang penyusunan modul
pelatihan/pendidikan, metode pelatihan/pendidikan
dengan menggunakan media online/internet,
pendidikan dengan sistem belajar-mengajar jarak
jauh (kelas jauh), dan hal-hal lainnya.
43
3. Pengarsipan data dan informasi ketenagakerjaan.
Kegiatan produksi berskala besar, membutuhkan
tenaga kerja dalam jumlah yang banyak. Untuk
menunjang manajemen tenaga kerja dalamskala
besar tersebut, maka TIK berperan dalam hal
pengarsipan data dan informasi tenaga kerja. Seperti
sistem absensi, sistem cuti dan libur tenaga kerja,
dan lain-lain, yang saat ini hampir diseluruh
perusahaan/industri besar telah dikelola dengan
secara komputerisasi yang menjadi bagian dari
teknologi informasi.
Dalam hal memenuhi ketersediaan bahan baku produksi,
pada kegiatan produksi berskala besar, TIK juga memiliki
peranan yang cukup penting. Kegiatan produksi yang dilakukan
secara terus menerus, menuntut ketersediaan bahan baku
produksi yang cukup. Bahan baku produksi untuk kegiatan
produksi yang demikian biasanya tidak diambil dari satu tempat
atau wilayah saja, akan tetapi diambil dari tempat/wilayah yang
berbeda. Dalam industri pengolahan hasil-hasil bumi, seperti
minyak bumi, dimana hasil olahannya, seperti bahan bakar,
terus dibutuhkan sebagai sumber energi, menuntut
ketersediaan minyak bumi secara terus menerus. Untuk
memenuhi kebutuhan tersebut, perusahaan harus selalu
mencari sumber-sumber minyak bumi baru.
Dalam proses pencarian tersebut, TIK berperan dalam
hal menghimpun data dan informasi terkait, menjangkau
wilayah-wilayah yang berpotensi menjadi sumber-sumber
bahan baku di seluruh penjuru dunia, melakukan kegiatan
transaksi online, dan lain-lain. Kegiatan-kegiatan tersebut
dilakukan dengan berbagai alat/tool yang tersedia dalam TIK,
44
seperti media-media di internet (web, blog, dll), alat komunikasi
online (email, chat, dll), serta alat komunikasi/pencitraan satelit
dan alat komunikasi radio.
Gambar 2.1 Tahapan pencarian dan penyediaan bahan baku
produksi dalam konteks TIK
Melalui media internet seperti web dan blog,
perusahaan dapat mengumumkan penawaran pembelian bahan
baku produksi secara luas. Penawaran tersebut bisa diakses oleh
seluruh pihak di seluruh dunia, karena sifat global jaringan
internet. Selain itu, melalui web dan blog, perusahaan juga bisa
melakukan pencarian (searching, browsing) perusahaan-
perusahaan penyedia bahan baku produksi.
Setelah ditemukannya sumber-sumber bahan baku
produksi baru di suatu wilayah, maka berikutnya dilakukan
komunikasi. Komunikasi bisa dilakukan terhadap perusahaan
penyedia bahan baku, maupun kepada pemerintah yang
berwenang di wilayah dimana sumber-sumber bahan baku
tersebut berada. Bentuk-bentuk komunikasi yang dilakukan
diantaranya adalah penawaran, tawar-menawar (termasuk
lobbying), penjajagan, dan verifikasi. Tujuan dilakukannya
komunikasi ini adalah untuk mencapai kesepakatan diantara
perusahaan dengan penyedia bahan baku, bentuk kesepakatan
bisa berupa transaksi jual-beli, atau ijin eksplorasi. Untuk ijin
Searching:
Websites,
blog, etc.
Communication:
Email, chat,
Phone, radio, etc.
Transaction
-exploration
45
eksplorasi biasanya diberikan kepada perusahaan yang memiliki
kapabilitas modal dan teknologi untuk melakukan eksplorasi.
Hasil-hasil produksi, baik barang maupun jasa, agar bisa
menjangkau konsumen harus didistribusikan. Dalam proses
distribusi ini, ketersediaan infrastruktur jalan dan angkutan
adalah hal yang utama dalam menunjang efektivitas distribusi.
Meskipun demikian, di era informasi digital saat ini, TIK juga
memiliki peranan cukup penting dalam menunjang kegiatan
distribusi barang dan jasa. Untuk menentukan jenis produk
barang-jasa mana yang cocok dan tepat bagi konsumen di suatu
wilayah, maka sebuah perusahaan harus mengetahui terlebih
dahulu sifat dan karakteristik konsumen di wilayah tersebut.
Sifat dan karakteristik ini adalah salah satu jenis informasi.
Proses penghimpunan dan pengolahan informasi tersebut
membutuhkan teknologi, dalam hal inilah TIK memiliki peranan
penting.
Sifat dan karakteristik konsumen bisa dihasilkan dari dua
sumber, yang pertama adalah budaya masyarakat. Sebuah
entitas masyarakat lokal yang secara umum masih terisolir
(secara internal maupun eksternal), memiliki kecenderungan
memegang kuat budaya dan tradisi lokalnya, sehingga perilaku
konsumsinya pun akan sangat tergantung kepada nilai-nilai
budaya dan tradisi yang berlaku. Untuk sifat dan karakteristik
konsumen yang bersumber dari budaya lokal ini, pihak produsen
perlu melakukan riset untuk menemukan bagaimana pola-pola
perilaku konsumsi masyarakatnya.
Informasi yang didapat dari riset tersebut akan menjadi
bahan untuk kemudian diolah menjadi simbol-simbol tertentu
yang mewakili eksistensi produk agar dapat diterima oleh
konsumen. Dalam hal ini, TIK tidak berperan terlalu dominan,
46
TIK hanya berperan pada ruang sosialisasi untuk menyampaikan
eksistensi dan tampilan produk kepada konsumen. Untuk
tahapan yang lebih maju (advance), TIK akan berperan untuk
mengintegrasikan eksistensi produk ke dalam kesadaran lokal
masyarakat, sehingga produk dapat diterima dengan baik oleh
masyarakat. Pada tahapan tersebut, teknologi mengkonversi
informasi awal menjadi simbol-simbol tertentu sangat
dibutuhkan.
Sumber sifat dan karakteristik konsumen yang kedua
adalah media. Sebuah masyarakat yang terbuka, dengan
kemampuan akses yang tinggi terhadap informasi melalui
berbagai media, cenderung memiliki perilaku konsumen yang
konsumtif. Perilaku konsumtif ini berarti bahwa konsumen akan
cenderung membeli barang dan jasa yang mampu muncul
sebagai sebuah tren di media, ruang-ruang publik, dan
masyarakat itu sendiri. Konsumen tidak melihat utilitas barang
dan jasa sebagai hal yang utama, tetapi bagaimana barang dan
jasa tersebut dikemas dan dampak dari penggunaan barang dan
jasa tersebut terhadap eksistensinya dalam masyarakat atau
ruang publik.
Segmentasi konsumen yang demikian memberikan
pilihan yang lebih banyak kepada produsen untuk
memperkenalkan dan menyampaikan produknya. Dalam
menentukan citra dan simbol apa yang digunakan untuk
mengemas dan mewakili produknya, pihak produsen hanya
perlu mengolah tren yang sudah ada, atau menciptakan tren
baru. Sebuah tren biasanya tidak berlaku lama, selalu muncul
tren-tren baru dalam periode waktu tertentu. Untuk menjaga
agar citra dan kemasan produk tidak tertinggal atau terjebak
47
dalam tren yang sudah usang, perlu dilakukan riset market
secara berkala.
TIK sangat berperan dalam memperkenalkan dan
memasarkan produk kepada kelompok konsumen yang kedua.
Dengan menggunakan TIK, kreatifitas dan daya inovasi dalam
memperkenalkan dan memasarkan produk dapat dioptimalkan,
baik untuk mengikuti tren yang sudah ada, maupun untuk
menciptakan tren yang baru. Dengan menggunakan TIK,
produsen dapat memanfaatkan ruang-ruang advertising secara
leluasa. Selain itu, cakupan media informasi, seperti televisi dan
internet yang cukup luas, membuat proses pengenalan dan
pemasaran produk lebih mudah.
Proses distribusi dalam kegiatan ekonomi tidak hanya
selalu tentang bagaimana produsen memperkenalkan dan
memasarkan produknya, tapi juga tentang bagaimana sumber-
sumber daya ekonomi didistribusikan secara merata. Salah satu
sumber daya ekonomi penting adalah uang. Uang sebagai alat
tukar, sebagai modal, dan sebagai aset, telah menjadi unsur
penting dalam ekonomi. Peredaran uang berpengaruh tidak
hanya terhadap kondisi ekonomi makro saja, tetapi juga
tehadap kondisi ekonomi mikro.
Lembaga keuangan yang memiliki pengaruh besar
terhadap peredaran dan perputaran uang adalah bank. Sebagai
sebuah lembaga keuangan, bank tidak hanya berfungsi sebagai
tempat penyimpanan dana masyarakat saja, tetapi juga memiliki
fungsi untuk menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat.
Dalam hal ini, TIK memiliki peranan cukup penting dalam
menunjang fungsi-fungsi bank. Dengan menggunakan TIK, bank
dapat mengelola dan mengamankan data nasabah dengan baik.
Melalui TIK, bank juga mampu menawarkan berbagai produk
48
perbankan yang memberikan berbagai tawaran kemudahan
bertransaksi, seperti penggunaan mesin ATM (Anjungan Tunai
Mandiri) untuk melakukan penarikan, pengiriman uang, dan
penyetoran tunai28
. Selain itu, dengan adanya TIK, saat ini telah
berkembang e-banking, yaitu pelayanan berbagai transaksi
perbankan secara online dengan menggunakan akses internet.
Selain itu, mengacu kepada penggunaan ponsel yang merata
saat ini, dimana hampir semua ponsel saat ini telah memiliki
fasilitas akses terhadap internet, maka dunia perbankan saat ini
juga mengembangkan m-banking, yaitu fasilitas yang
memungkinkan para nasabah melakukan transaksi-transaksi
utama perbankan, seperti transfer uang, pembayaran tagihan,
dan pembelian baarang/jasa tertentu, melalui ponsel.
Berbagai pengembangan yang dilakukan dunia
perbankan dengan memanfaatkan TIK tersebut, telah
membantu meningkatkan nilai perputaran dan peredaran uang
di masyarakat. Hal ini juga berarti bahwa roda perekonomian
berjalan ke arah yang positif. Secara umum, seringkali
diasumsikan bahwa meningkatnya jumlah perputaran uang di
masyarakat berarti tingkat pendapatan masyarakat pun
meningkat. Salah satu indikator asumsi tersebut adalah
peningkatan transaksi dan perdagangan.29
Meningkatnya
volume perdagangan dalam suatu masyarakat, secara
berkelanjutan akan meningkatkan perekonomian masyarakat
tersebut. Pembangunan ekonomi sangat bergantung pada
28
Fasilitas setoran tunai dengan menggunakan mesin ATM hanya berlaku di bank-
bank tertentu. 29
Dalam kenyataannya, pada tataran ekonomi mikro, asumsi tersebut seringkali tidak
tepat, dalam arti, sebaran indikator-indikatornya tidak selalu merata. Dalam struktur
masyarakat modern post-industrial, seringkali peningkatan volome transaksi dan
perdagangan hanya terjadi di kelas menengah dan kelas menengah atas saja.
49
kegiatan perdagangan ini, yang jika merujuk kepada 3 kegiatan
ekonomi utama yang telah disampaikan sebelumnya, maka
kegiatan perdagangan menjadi inti dari ketiga kegiatan ekonomi
tersebut. Melalui perdaganganlah nilai-nilai ekonomi riil yang
menjadi tolak ukur kemajuan perekonomian suatu masyarakat-
bangsa tersebut didapat.
Melalui kemajuan TIK serta sistem perbankan yang ada,
perdagangan pun menemukan bentuknya yang baru, yaitu e-
Commerce. Secara sederhana, e-Commerce adalah kegiatan jual-
beli produk secara online dengan menggunakan internet. Dalam
e-Commerce ini dapat terlihat jelas bagaimana penerapan TIK
berperan dalam mendorong pembangunan ekonomi secara riil.
Definisi dari e-Commerce menurut Kalakota dan
Whinston (1997) dapat ditinjau dalam 3 perspektif berikut:30
1. Dari perspektif komunikasi, e-Commerce adalah
pengiriman barang, layanan, informasi, atau
pembayaran melalui jaringan komputer atau
melalui peralatan elektronik lainnya;
2. Dari perspektif proses bisnis, e-Commerce adalah
aplikasi dari teknologi yang menuju otomatisasi
dari transaksi bisnis dan aliran kerja;
3. Dari perspektif layanan, e-Commerce merupakan
suatu alat yang memenuhi keinginan perusahaan,
konsumen, dan manajemen untuk memangkas
biaya layanan (service cost) ketika meningkatkan
kualitas barang dan meningkatkan kecepatan
layanan pengiriman;
30
Kalakota, Ravi dan Whinston, Andrew B. 1996. Electro ic Co erce : A Ma ager’s
Guide. Boston: Addison – Wasley Professional, 1st Edition.
50
4. Dari perspektif online, e-Commerce menyediakan
kemampuan untuk membeli dan menjual barang
ataupun informasi melalui internet dan sarana
online lainnya.
Kegiatan e-Commerce mencakup banyak hal, untuk
membedakannya e-Commerce dibedakan menjadi 2
berdasarkan karakteristiknya:31
1. Business to Business, karakteristiknya:
a) Trading partners yang sudah saling
mengetahui dan antara mereka sudah terjalin
hubungan yang berlangsung cukup lama;
b) Pertukaran data dilakukan secara berulang-
ulang dan berkala dengan format data yang
telah disepakati bersama;
c) Salah satu pelaku tidak harus menunggu rekan
mereka lainnya untuk mengirimkan data;
d) Model yang umum digunakan adalah peer to
peer, di mana processing intelligence dapat
didistribusikan di kedua pelaku bisnis.
2. Business to Consumer, karakteristiknya:
a) Terbuka untuk umum, di mana informasi
disebarkan secara umum pula. Servis yang
digunakan juga bersifat umum, sehingga dapat
digunakan oleh orang banyak;
b) Servis yang digunakan berdasarkan
permintaan;
31
Purbo, Onno W dan Wahyudi, Aang Arif. 2001. Mengenal E-Commerce. Jakarta :
Elex Media.
51
c) Sering dilakukan sistim pendekatan client-
server. (Onno W. Purbo & Aang Arif. W;
Mengenal e-Commerce, hal 4-5).
Dengan menggunakan e-Commerce maka perusahaan
dapat lebih efisien dan efektif dalam meningkatkan
keuntungannya. Manfaat dalam menggunakan e-Commerce
dalam suatu perusahaan sebagai sistem transaksi adalah:
1. Dapat meningkatkan market exposure (pangsa
pasar). Transaksi online yang membuat semua
orang di seluruh dunia dapat memesan dan
membeli produk yang dijual hanya dengan
melalui media komputer dan tidak terbatas jarak
dan waktu.
2. Menurunkan biaya operasional (operating cost).
Transaksi e-Commerce adalah transaksi yang
sebagian besar operasionalnya diprogram di
dalam komputer sehingga biaya-biaya seperti
showroom, beban gaji yang berlebihan, dan lain-
lain tidak perlu terjadi.
3. Melebarkan jangkauan (global reach). Transaksi
on-line yang dapat diakses oleh semua orang di
dunia tidak terbatas tempat dan waktu karena
semua orang dapat mengaksesnya hanya dengan
menggunakan media perantara komputer.
4. Meningkatkan customer loyalty. Ini disebabkan
karena sistem transaksi e-Commerce
menyediakan informasi secara lengkap dan
informasi tersebut dapat diakses setiap waktu
selain itu dalam hal pembelian juga dapat
52
dilakukan setiap waktu bahkan konsumen dapat
memilih sendiri produk yang dia inginkan.
5. Meningkatkan supply management. Transaksi e-
Commerce menciptakan efesiensi biaya
operasional pada perusahaan terutama pada
jumlah karyawan dan jumlah stok barang yang
tersedia.
6. Memperpendek waktu produksi. Pada suatu
perusahaan yang terdiri dari berbagai divisi atau
sebuah distributor di mana dalam pemesanan
bahan baku atau produk yang akan dijual apabila
kehabisan barang dapat memesannya setiap
waktu karena online serta akan lebih cepat dan
teratur karena semuanya secara langsung
terprogram dalam komputer.
Dengan manfaat yang ada dalam e-Commerce,
memungkinkan setiap anggota atau kelompok masyarakat
untuk melakukan kegiatan perdagangan dengan modal utama
perangkat komputer/laptop, akses internet, dan rekening bank.
Para pelaku bisnis tidak perlu memikirkan untuk memproduksi
produk, karena pelaku bisnis dengan keterbatasan modal bisa
menjual produk-produk dari produsen, grosir, maupun retailer,
dengan kesepakatan tertentu. Para pelaku bisnis bisa
memanfaatkan keterputusan antara konsumen dan produsen,
serta kesenjangan harga antar wilayah. e-Commerce juga
memiliki potensi yang besar dalam mendukung kegiatan bisnis
perusahaan-perusahaan besar. Melalui e-Commerce,
perusahaan-perusahaan besar dapat menjangkau market
terjauh sekalipun.
53
Dengan meningkatnya kegiatan perekonomian,
khususnya perdagangan, melalui penerapan/penggunaan TIK,
maka pembangunan ekonomi dapat lebih mudah dan cepat
untuk dilaksanakan. TIK yang juga menjadi salah satu unsur
konektivitas nasional, akan mampu mendorong upaya
percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia.
2.2 Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi di
Indonesia
Dalam pembahasan sebelumnya dapat kita ketahui
bagaimana TIK memiliki peranan yang cukup penting dalam
mendukung pembangunan ekonomi.
Pada tahun 2009 Bank Dunia menyatakan bahwa
pe a aha % pe etrasi broadband memicu pertumbuhan
ekonomi 1,38% di negara berkembang dan 1,12% di negara
aju . Per yataa ya g erupaka suatu kesi pula dari hasil riset yang dilakukan oleh Bank Dunia tersebut adalah sebuah
fakta ilmiah yang menunjukan korelasi positif antara
perkembangan TIK dan pertumbuhan ekonomi. Pertanyaan yang
muncul berikutnya adalah apakah kondisi TIK di Indonesia saat
ini telah cukup mampu memberikan dukungan terhadap
pembangunan ekonomi Indonesia?
Berdasarkan data dari World Economic Forum: The
Global Competitiveness Report 2012-2013, dinyatakan beberapa
poin berikut ini:32
1. Infrastruktur TIK belum berkontribusi secara optimal
terhadap peningkatan daya saing nasional. Walaupun
Indonesia berada pada posisi ke-50 dan termasuk
32
Klaus “ h a , The Glo al Co petiti e ess ‘eport - , World E o o i Forum, Geneva, 2012.
54
dalam kelompok efficiency-driven dengan
kompetensi kompetisi yang lebih maju, sub-indeks
TIK justru tergolong rendah.
2. Dengan densitas fixed line dan seluler masing-masing
mencapai 15,9% dan 97,7%, serta densitas fixed line
dan mobile broadband masing-masing mencapai
1,1% dan 22,2%, di tingkat ASEAN fixed line dan
mobile broadband Indonesia termasuk tiga teratas,
sedangkan fixed broadband dan seluler berada pada
tiga terbawah.
3. Di tingkat global, TIK Indonesia berada pada
peringkat 78-99 dari 144 negara, kecuali mobile
broadband yang berada pada tingkat ke 43.
Belum optimalnya kontribusi TIK terhadap daya saing
nasional merupakan sebuah fakta yang menunjukan bahwa
kondisi perkembangan TIK di Indonesia masih belum baik.
Berdasarkan kepada pemetaan kondisi dan kesiapan TIK
(selanjutnya disebut dengan istilah ICT Pura) di 165 Kab/Kota di
Indonesia yang dilakukan oleh Kementrian Kominfo dan Dewan
TIK Nasional pada tahun 2011, dengan 4 dimensi yang
dipetakan, didapat kesimpulan sebagai berikut (skala penilaian
dari 0-5):
1. Dimensi Use, yang menggambarkan peranan
pemerintah dalam mengelola TIK di daerahnya,
menjadi dimensi dengan indeks nilai terendah (1,89).
2. Dimensi Readiness, yang terkait dengan kesediaan
infrastruktur, merupakan dimensi dengan indeks nilai
terendah kedua (2,26).
55
3. Dimensi Capability, yang terkait dengan kemampuan
komunitas dalam menggunakan TIK, merupakan
dimensi dengan indeks nilai tertinggi kedua (2,56).
4. Dimensi Impact, yang terkait dengan manfaat TIK
yang dirasakan oleh masyarakat, merupakan dimensi
dengan indeks nilai tertinggi (2,69).
Berdasarkan pemetaan tersebut, terlihat bahwa selama
ini TIK masih belum menjadi perhatian pemerintah, khususnya
pemerintah daerah. TIK masih dipandang sebagai wilayah yang
harus dikelola dan dikembangkan sepenuhnya oleh pihak swasta
dan pemerintah dalam hal ini hanya berperan dalam hal regulasi
dan perijinan. Pandangan yang demikian membuat
perkembangan TIK di Indonesia menjadi lambat. Kurangnya
perhatian pemerintah tersebut juga mengakibatkan kurangnya
ketersediaan infrastruktur yang dapat menunjang
pengembangan TIK.
Selanjutnya, dikaitkan dengan usaha percepatan dan
perluasan pembangunan ekonomi, perkembangan keempat
dimensi TIK tersebut juga tidak merata. Terdapat gap diantara
koridor-koridor ekonomi (KE)33
dalam hal indeks nilai tiap
dimensi.
Tabel 2.1 Komponen Indeks Komposit ICT Pura34
Sumate
ra
Jaw
a
Bali-
Nusa
Tengga
Kalimant
an
Sulawe
si
Papua
-
Maluk
33
Koridor ekonomi merupakan istilah yang muncul dalam Masterplan Percepatan dan
Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Koridor ekonomi menunjukan
wilayah-wilayah pembangunan ekonomi secara geografis, terbagi menjadi 6 Koridor
yaitu: Sumatera, Jawa, Bali-Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua-Maluku. 34
ICT Pura, Kemkominfo, dan Detiknas, 2012.
56
ra u
Impact 2.67 3.1
6
2.43 2.74 2.56 2.38
Usabilit
y
1.82 2.5
6
1.85 1.88 1.64 1.52
Capabili
ty
2.45 3.1
6
2.48 2.58 2.40 2.25
Readine
ss
2.20 2.9
9
2.21 2.28 1.98 1.81
Dari tabel di atas diketahui bahwa Jawa dan Kalimantan
masing-masing merupakan koridor ekonomi dengan indeks nilai
dimensi-dimensi TIKnya tertinggi pertama dan kedua.
Sedangkan Papua-Maluku menjadi koridor ekonomi dengan
indeks nilai dimensi-dimensi terendah, sehingga perlu
mendapatkan dukungan dan perhatian yang lebih besar agar
dapat meningkatkan kesiapan dan kemampuan TIK.
Dari sisi infrastruktur, kondisi TIK nasional masih memiliki
masalah dalam hal ketersediaan backbone serat optik masih
belum merata. Dari total 497 Kab/Kota di Indonesia, baru 69,6%
yang sudah terjangkau jaringan backbone serat optik, dan satu
koridor ekonomi, yaitu Papua-Maluku, sama sekali belum
terjangkau jaringan backbone serat optik.
Tabel 2.2 Jaringan Backbone Serat Optik
Koridor
Ekonomi
Jumlah
Provins
i
Jumlah
Kabupaten/Kot
a
Jumlah
Kabupaten/Kot
a Dijangkau
Serat Optik
(2012)
%
57
Sumatera 10 151 109 72,
2
Jawa 6 118 117 99,
2
Kalimanta
n
4 55 39 70,
9
Sulawesi 7 82 53 64,
6
Bali-Nusa
Tenggara
3 40 28 70,
0
Maluku-
Papua
3 51 0 0,0
Total 33 497 346 69,
6
Sumber: Kementrian Kominfo, PT. Telkom, 2013.
Dari tabel di atas terlihat bahwa hanya koridor ekonomi
Jawa saja yang hampir seluruh Kab/Kotanya telah terjangkau
jaringan backbone serat optik. Kondisi ini menuntut pemerintah
dengan salah satu kegiatan utamanya, yaitu memperkuat
konektivitas nasional, harus mengambil peranan yang lebih
besar. Infrastruktur yang belum merata ini kemudian
berdampak juga kepada kualitas akses pengguna terhadap
layanan informasi dan komunikasi. Saat ini, kualitas broadband
Indonesia yang berdasar kepada kecepatan download, berada
pada peringkat yang rendah jika dibandingkan dengan negara-
negara Asia lainnya seperti India, Malaysia, Vietnam. Kualitas
broadband Indonesia hanya lebih tinggi dari Laos dan Filipina.
Berbeda dengan kondisi infrastruktur yang
membutuhkan perhatian segera dari pemerintah dan para
58
stakeholder terkait, kondisi utilisasi TIK menunjukan kondisi
yang positif. Pada tahun 2012, pemerintah mewajibkan
Kementrian/Lembaga pemerintah untuk mengadakan
pengadaan barang/jasa secara elektronik sebesar 75%
(pemerintah pusat) dan 40 % (pemerintah daerah), lalu
meningkat menjadi 100% pada tahun 2013. Sepanjang tahun
2012 tersebut, sebanyak 90.420 paket proyek pemerintah
dilelang secara elektronik dengan nilai sekitar Rp. 148 triliun
yang menciptakan penghematan anggaran sebesar Rp. 13
triliun. Saat ini telah tersedia 534 layanan pengadaan secara
elektronik yang melayani 731 instansi pemerintah di seluruh
Indonesia.
59
Bab III
Peran Pemerintah Daerah Dalam
Pengembangan Teknologi Informasi dan
Komunikasi
3.1 Kepentingan Pemerintah Daerah Dalam Pengembangan
TIK
Mengacu kepada pembahasan pada bab-bab
sebelumnya, dalam kaitannya dengan pembangunan ekonomi,
pemerintah secara nasional sedang berusaha untuk
melaksanakan percepatan dan perluasan pembangunan
ekonomi. Usaha percepatan dan perluasan ekonomi tersebut
menuntut adanya peran yang besar dari pemerintah daerah, hal
ini terkait dengan strategi yang diterapkan dalam rangka
percepatan dan perluasan ekonomi tersebut.
Sejak berlakunya otonomi daerah, pemerintah daerah
memiliki kewenangan yang luas dalam hal mengatur
pengembangan dan pembangunan daerahnya masing-masing,
termasuk pembangunan ekonomi. Secara kumulatif,
perkembangan pembangunan di daerah akan berdampak
kepada pembangunan nasional secara keseluruhan. Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) yang merupakan gambaran
perkembangan perekonomian di daerah menunjukan
pertumbuhan yang positif dari tahun 2004-2008. Namun
demikian, pertumbuhan PDRB tersebut belum dapat
menurunkan kesenjangan antara kawasan barat dan kawasan
timur Indonesia. Rasio PDRB kawasan barat terhadap kawasan
timur memperlihatkan angka yang semakin meningkat, yang
60
berarti bahwa kawasan timur belum bisa mengejar
perekonomian di kawasan barat.
Tabel 3.1 PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000, Tahun 2004-
2008 (dalam triliun rupiah)
Kawasan 2004 2005 2006 2007 2008
Kawasan
Barat
1.334,4 1.403,4 1.482,4 1.569,2 1.657,6
Kawasan
Timur
269,6 287,0 295,6 309,5 326,2
Rasio
Barat/Timur
4,9 4,9 5,0 5,1 5,1
Sumber: BPS, berbagai tahun.
Daerah dengan tingkat pembangunan yang tinggi
merupakan daerah dengan pergerakan perekonomian yang
sangat cepat, sehingga pada akhirnya menuntut pembangunan
lebih lanjut di wilayah tersebut. Kesenjangan pembangunan di
tiap-tiap daerah juga tidak bisa dilepaskan dari kondisi di tiap-
tiap daerah. Indonesia memiliki bentang alam beragam yang
menyebabkan masalah dalam pemerataan pembangunan,
terutama dalam pengembangan prasarana perhubungan yang
berkaitan dengan arus barang-jasa serta manusia, dimana
kelancarannya sangat dibutuhkan dalam upaya pemerataan
pembangunan. Kekayaan sumber daya alam yang berbeda-beda
juga menjadi salah satu kendala pemerataan pembangunan,
dimana daerah yang memiliki sumber daya alam tinggi
cenderung memiliki penerimaan daerah yang tinggi
dibandingkan daerah yang tidak memiliki sumber daya alam.
Disinilah peran pemerintah sangat dibutuhkan untuk
61
mewujudkan pemerataan pembangunan dan hasil-hasil
pembangunan. Dana transfer ke daerah, baik berupa DAU, DAK,
dan DBH merupakan salah satu cara pemerintah melakukan
pemerataan pembangunan di seluruh kawasan untuk
mengurangi kesenjangan baik vertikal maupun horisontal.
Dari 199 daerah yang masuk ke dalam kategori daerah
tertinggal atau daerah kabupaten yang masyarakat serta
wilayahnya relatif kurang berkembang dibandingkan daerah lain
dalam skala nasional, sebagian besarnya adalah Kab/Kota yang
berada di kawasan timur Indonesia. Persentase sebarannya
adalah 123 kabupaten (63%) berada di kawasan timur, 58
kabupaten (28%) berada di pulau Sumatera, dan 18 kabupaten
(8%) berada di pulau Jawa dan Bali. Sampai dengan tahun 2011,
jumlah kabupaten tertinggal menjadi 183 kabupaten dengan
rata-rata pendapatan asli daerah (PAD) kurang dari 15 miliar per
tahun, dimana 8 diantaranya hanya bisa mengantongi PAD
sebesar 1,1 miliar per tahun. Pengembangan ekonomi lokal
untuk mendorong optimalisasi PAD perlu dilakukan, misalnya
melalui pengembangan rumput laut di beberapa daerah
tertinggal dimana setidaknya terdapat 33 kabupaten tertinggal
yang menjadi sentra rumput laut dan potensi rumput laut di
daerah tersebut masih dapat dioptimalkan.35
Masalah lain yang terkait dengan pembangunan daerah
adalah masalah kemiskinan. Jika dilihat dari sebarannya, maka
kemiskinan di pedesaan lebih dominan daripada di wilayah
perkotaan. Dalam data tingkat kemiskinan nasional tahun 2010,
diketahui bahwa dari tingkat kemiskinan nasional sebesar
13,33%, tingkat kemiskinan di wilayah pedesaan masih lebih
35
Bappe as, Per epata Pertu uha Eko o i Ya g Berkadilan Dan Penguatan
Pera Gu er ur , Bappe as, Jakarta, .
62
tinggi, yaitu 16,56%, dibandingkan wilayah perkotaan, yaitu
sebesar 10,72%.36
Dari berbagai program pengentasan
kemiskinan yang sudah dijalankan hingga saat ini, dapat
diidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut:
1. Banyak program multisektor dan regional yang
ditujukan untuk mengurangi kemiskinan, namun
masih kuat nuansa sektoralnya dan kurang
terintegrasi, sehingga mengakibatkan rendahnya
efektivitas dan efesiensi program-program tersebut;
2. Pemahaman pemerintah daerah untuk melakukan
sinergi terhadap program-program penanggulangan
kemiskinan masih beragam dan belum optimal;
3. Terbatasnya akses sumber daya pendanaan bagi
masyarakat miskin, dan masih rendahnya kapasitas
serta produktivitas usaha untuk memperluas
kesempatan kerja dan terciptanya kegiatan ekonomi
bagi masyarakat atau keluarga miskin.
Sedangkan berbagai tantangan, khususnya bagi daerah,
yang muncul terhadap usaha-usaha penanggulangan kemiskinan
adalah sebagai berikut:
1. Tuntutan pemenuhan kebutuhan yang semakin
berkembang kualitasnya, seiiring dengan semakin
membaiknya standar kehidupan masyarakat;
2. Desentralisasi dan demokratisasi yang telah
melahirkan otonomi daerah dan peta politik baru;
3. Dampak perubahan iklim terhadap masyarakat
miskin;
36
Ibid.
63
4. Dampak lanjut dari proses globalisasi yang membuka
hubungan antar pasar yang lebih besar dari negara
dengan segala akibatnya.
Dalam keterbukaan ekonomi, keadaan perekonomian
global akan mempengaruhi perekonomian daerah baik secara
langsung maupun tidak langsung. Dalam hubungan tersebut,
pemerintah daerah perlu mengikuti perkembangan
perekonomian global, terutama untuk daerah-daerah yang
merupakan sentra produk ekspor. Selain kondisi perekonomian
global tersebut, dmasalah yang harus diidentifikasi adalah
masalah yang muncul dari daerah itu sendiri. Secara umum ada
beberapa kendala yang secara merata dialami oleh seluruh
daerah di Indonesia, yaitu kendala infrastruktur dan regulasi
yang menyebabkan biaya ekonomi menjadi tinggi.
Selain itu, masalah-masalah lainnya yang menjadi
kendala pembangunan ekonomi di daerah adalah sumber kredit
dan modal, ketersediaan bahan baku usaha, regulasi, kualitas
SDM, dan iklim usaha. Semua masalah tersebut setiap tahunnya
masih dihadapi oleh daerah-daerah di Indonesia karena
masalah-masalah tersebut, seperti infrastruktur dan kualitas
SDM, memerlukan proses penyelesaian jangka panjang.
Masalah pendanaan dan modal juga merupakan kendala
yang berarti dalam menghambat perkembangan ekonomi
daerah. Kendala ini terutama dirasakan oleh Usaha Mikro Kecil
dan Menengah (UMKM), dimana skema pendanaan kredit di
perbankan sulit diakses oleh para pelaku usaha UMKM. Disisi
lain, UMKM merupakan bentuk usaha yang mendukung
peningkatan perekonomian di daerah dan menjadi salah satu
solusi dalam usaha pengentasan kemiskinan. Data BPS
menunjukan bahwa UMKM menyumbang pembentukan PDB
64
sebesar 53,3% dari total PDB nasional serta menyerap 96,2 juta
tenaga kerja di Indonesia.
Di luar hambatan fisik, hambatan non-fisik seperti
regulasi dan iklim usaha di daerah juga menjadi kendala yang
berpengaruh signifikan terhadap perkembangan perekonomian
daerah. Indonesia dalam Ease of Doing Bussiness pada tahun
2010 yang dinilai oleh Bank Dunia menduduki peringkat ke 122,
jauh di bawah Malaysia yang menduduki peringkat ke 23 dan
Thailand di urutan 12. Pengusaha di Indonesia rata-rata
membutuhan waktu 160 hari untuk mendapatkan izin
konstruksi dan 60 hari untuk mendapatkan izin usaha.37
Beranjak dari fakta tersebut, pemerintah daerah perlu
mempertimbangkan sebuah regulasi yang tepat untuk
mempersingkat waktu dan mempermudah proses pembukaan
dan izin usaha demi meningkatkan kondisi perekonomian
daerah, tanpa mengesampingkan penilaian pengaruh negatif
terhadap lingkungan fisik-sosial dan komunitas masyarakat
sekitar yang mungkin muncul dari usaha tersebut.
Untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut,
pemerintah, dalam hal ini adalah pemerintah daerah, tidak
boleh hanya memusatkan perhatian pada usaha-usaha
penanganan yang bersifat konvensional, tapi harus mulai
menemukan formulasi penyelesaian masalah baru yang lebih
melihat kepada potensi-potensi lain yang belum digunakan.
Pembangunan ekonomi secara nasional merupakan sebuah
usaha yang tidak terpisahkan dari pembangunan ekonomi lokal
di daerah. Mengacu kepada hal tersebut, pemerintah pusat
secara nasional menetapkan 5 prioritas usaha pembangunan
ekonomi lokal, yaitu sebagai berikut:
37
Ibid.
65
1. Meningkatkan tata-kelola ekonomi daerah dengan
melaksanakan: (i) menyusun rencana tata ruang dan
masterplan kegiatan kawasan yang berpotensi
menjadi pusat pertumbuhan ekonomi yang baru; (ii)
meningkatkan peran dan fungsi kelembagaan usaha
ekonomi daerah dalam perizinan usaha.
2. Meningkatkan kapasitas SDM pengelola ekonomi
daerah dengan melaksanakan: (i) meningkatkan
kapasitas SDM aparatur di bidang kewirausahaan
(enterpreneurship); (ii) meningkatkan kompetensi
SDM stakeholder lokal/daerah dalam
mengembangkan usaha ekonomi daerah.
3. Meningkatkan fasilitasi/pendampingan dalam
pengembangan ekonomi lokal dan daerah, dengan
melakukan: mengembangkan lembaga fasilitasi
pengembangan ekonomi lokal/daerah yang
terintegrasi secara lintas stakeholder (pemerintah,
dunia usaha, dan akademisi) di pusat dan di daerah.
4. Meningkatkan kerjasama dalam pengembangan
ekonomi lokal/daerah, dengan melakukan: (i)
meningkatkan kerjasama ekonomi antar-daerah yang
memiliki pusat-pusat pertumbuhan ekonomi daerah
engan daerah belakangnya, antara daerah tersebut
dengan daerah lainnya; (ii) meningkatkan kemitraan
pemerintah-swasta dalam pengembangan ekonomi
lokal/daerah.
5. Meningkatkan akses terhadap sarana dan prasarana
fisik pendukung kegiatan ekonomi lokal/daerah,
dilakukan dengan: mengembangkan sarana dan
66
prasarana kawasan yang berpotensi menjadi pusat-
pusat pertumbuhan ekonomi daerah.
Kelima prioritas usaha pembangunan ekonomi lokal yang
dilakukan pemerintah tersebut seluruhnya dapat dioptimalkan
melalui pengembangan dan penerapan TIK. Dalam menyusun
dan mengembangkan kawasan-kawasan pertumbuhan ekonomi
baru di daerah dibutuhkan informasi yang akurat. Pengumpulan
informasi tersebut bisa dilakukan secara efektif dan efisien
dengan menggunakan teknologi informasi, misalnya seperti
penggunaan aplikasi geographic information system (GIS).
Dengan menggunakan GIS, segala informasi yang berkaitan
dengan kondisi geografis daerah bisa dihimpun secara lebih
mudah dengan biaya operasional yang lebih murah. Penggunaan
GIS tidak hanya memotong biaya operasional saja, tetapi juga
mampu memotong penggunaan waktu.
TIK juga berperan besar dalam mengembangkan e-
Government, yaitu tata kelola pemerintahan dengan
menggunakan basis layanan internet. Sistem perijinan terpadu
dalam satu atap dengan menggunakan basis layanan internet
juga menjadi bagian dari pengembangan e-Government. Dengan
sistem perijinan terpadu tersebut, waktu dan biaya yang
dibutuhkan untuk mengurus perijinan dapat dipangkas.
Melalui penerapan TIK, maka akses terhadap informasi
secara global menjadi terbuka. Informasi ini termasuk juga di
dalamnya berbagai ilmu pengetahuan yang dibutuhkan para
aparatur pemerintah dalam mengembangkan SDM di
lingkungan pemerintahan. Dengan terkoneksinya seluruh unit
kerja pemerintah dengan internet, maka setiap pegawai
memiliki kemampuan akses terhadap berbagai informasi dan
pengetahuan yang mereka butuhkan unutk menunjang
67
pekerjaannya masing-masing. Di samping itu, informasi dan
pengetahuan tersebut juga dapat menjadi bahan untuk
mengembangkan kapasitas SDM masing-masing penggunanya.
Penerapan e-Government menjadi bagian dari usaha
peningkatan kapasitas SDM aparatur pemerintah secara
terorganisir, terpadu, dan berkelanjutan.
Usaha-usaha untuk mengintegrasikan fasilitasi
pengembangan ekonomi daerah diantara para stakeholder juga
bisa dipenuhi dengan penerapan e-Government yang terkoneksi
dengan para stakeholder non-pemerintah. Dengan tersedianya
infrastruktur TIK di daerah, maka seluruh stakeholder memiliki
kemampuan mengakses informasi secara lebih mudah, serta
dapat melakukan komunikasi dengan lebih mudah. Lembaga
fasilitasi pengembangan ekonomi yang dimaksud pun, dapat
melakukan share informasi secara optimal tanpa batasan ruang
dan waktu. Sebaliknya, unit-unit usaha lokal yang dikembangkan
pun, dapat mengakses dan menerima informasi secara optimal
tanpa batas ruang dan waktu. Kerjasama ekonomi antar-daerah
juga dapat dilaksanakan dengan dukungan TIK. Hal ini sejalan
dengan usaha pemerintah dalam membangun konektivitas
nasional, yang salah satu unsurnya adalah konektivitas berbasis
TIK.
Selain untuk menunjang pembangunan ekonomi daerah,
TIK juga bisa dikembangkan dan digunakan pemerintah daerah
sebagai sumber PAD baru. Sejauh ini nilai ekonomi dari
pengembangan dan pengelolaan TIK hanya diperoleh oleh pihak
swasta. Dalam rangka pembangunan konektivitas nasional, hal
yang menjadi prioritas daerah dalam hal pengembangan dan
pemanfaatan TIK adalah mendorong pembangunan dan
penggunaan bersama infrastruktur pasif seperti dark fiber, duct,
68
tiang, menara, right of way, fasilitas pusat data (data center)
dan pemulihan data (data recovery center). Setelah infrastruktur
pasif tersebut, pemerintah daerah sebagai pihak yang
mengeluarkan kebijakan, sekaligus pelaksana kebijakan dan
pembangunan, juga ikut mengelola melalui badan usaha milik
daerah (BUMD), sehingga pemerintah daerah juga mendapat
pemasukan dari usaha-usaha pengembangan TIK di daerah.
Dalam pengembangan berikutnya, terdapat ruang-ruang usaha
yang bisa dilakukan pemerintah daerah melalui pengembangan
dan pemanfaatan TIK tersebut, lebih lanjut hal ini akan dibahas
pada bab selanjutnya.
3.2 Kebijakan dan Strategi Pemerintah Daerah Dalam
Mengembangkan TIK
Usaha pengembangan TIK di daerah tidak bisa dilepaskan
dari strategi dan kerangka kerja nasional pengembangan TIK.
Secara nasional, pengembangan TIK merupakan bagian dari
usaha pemerintah untuk membangun dan memperkuat
konektivitas nasional dalam rangka menunjang percepatan dan
perluasan pembangunan nasional. Tujuan penguatan
konektivitas nasional adalah sebagai berikut:
1. Menghubungkan pusat-pusat pertumbuhan
ekonomi utama untuk memaksimalkan
pertumbuhan berdasarkan prinsip keterpaduan,
bukan keseragaman, melalui inter-modal supply
chains systems.
2. Memperluas pertumbuhan ekonomi melalui
peningkatan aksesibilitas dari pusat-pusat
pertumbuhan ekonomi ke wilayah belakangnya
(hinterland).
69
3. Menyebarkan manfaat pembangunan secara luas
(pertumbuhan yang inklusif dan berkeadilan)
melalui peningkatan konektivitas dan pelayanan
dasar ke daerah tertinggal, terpencil dan
perbatasan dalam rangka pemerataan
pembangunan.
Gambar 3.1 Komponen konektivitas
38
38
Op.Cit., Ke e tria Koordi ator Bida g Pereko o ia , Masterpla Per epata da Perluasa Pe a gu a Eko o i I do esia , hl . 5
70
Penguatan konektivitas nasional melalui pembangunan
dan pengembangan TIK, dilakukan dengan membangun dan
mengembangkan komponen-komponen pembentuk TIK secara
nasional. Dalam rangka menunjang percepatan dan perluasan
ekonomi Indonesia, maka pembangunan dan penguatan TIK
nasional hingga tahun 2015, diprioritaskan kepada
pembangunan jaringan broadband nasional atau National
Broadband Network (NBN).
Gambar 3.2 Target transformasi akses wireline 2010-2015
39
39
Ibid, hlm. 85.
71
Sasaran yang hendak dicapai dalam pengembangan
infrastruktur telematika adalah mewujudkan NBN yang
berangkat dari pengembangan jaringan Telkom Super Highway
dan jaringan operator lainnya yang sudah ada saat ini. Dengan
pengembangan telematika ini ditargetkan pada tahun 2014, 8
persen dari seluruh rumah tangga atau 30 persen dari seluruh
penduduk sudah memiliki akses broadband.
Namun demikian pembangunan NBN ke depan untuk
memacu pertumbuhan ekonomi juga harus disinkronkan
dengan upaya merevitalisasi industri telematika dalam negeri,
mengingat selama ini kemajuan sektor telematika sebagian
besar masih bergantung kepada barang impor. Data
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo)
menunjukkan bahwa perkembangan infrastruktur telematika
mengalami pertumbuhan yang sangat pesat dengan belanja
modal (CAPEX) perangkat telematika sekitar IDR 40 Triliun pada
kurun waktu 2004-2005 dan jumlah ini semakin meningkat dari
tahun ke tahun, terlebih dengan tumbuhnya kebutuhan atas
kapasitas broadband nasional.
72
Gambar 3.3 Struktur lapisan industri telematika
40
Struktur industri telematika dapat digambarkan dalam
bentuk layers, dimana industri yang berada di lapisan atas
bertumpu pada keberadaan industri di lapisan bawahnya,
(Struktur Lapisan Industri Telematika) seperti gambar di atas.
40
Ibid., hlm. 86.
73
Berdasarkan pertimbangan posisi strategis, kesiapan
stakeholder dalam negeri, nilai, serta jadwal pelaksanaan, maka
sangat diharapkan keberpihakan Pemerintah untuk mendukung
sepenuhnya industri dalam negeri yaitu:
1. Industri Manufaktur Perangkat, pabrikasi
perangkat terminal di semua Kawasan Ekonomi
(KE) dan industri chipset dipusatkan di KE Jawa.
2. Industri Jasa Berbasiskan Pengembangan
Ekosistem, yaitu jasa profesional dan konsultasi,
market research.
3. Industri Konten dan Aplikasi, yang menunjang
aplikasi pada sektor-sektor produktif seperti agro
industri, pariwisata, perikanan, pertambangan,
dan industri kreatif (iklan, animasi, games, cloud
application).
4. Ekosistem Riset dan Inovasi yang mendukung
perkembangan industri dan disinkronkan dengan
prioritas serta kebutuhan pengguna di setiap KE.
Strategi yang diterapkan pemerintah dalam membangun
telematika nasional, termasuk dalam bidang industrinya adalah
sebagai berikut:
1. Harmonisasi kebijakan dan program pemerintah
untuk menciptakan suasana yang kondusif guna
mendorong perkembangan telematika di
Indonesia;
2. Mempercepat pemerataan penyediaan
infrastruktur dan layanan telematika;
3. Memperluas pemanfaatan aplikasi telematika
dalam berbagai kegiatan ekonomi utama;
74
4. Memperkuat daya saing industri telematika
nasional
Sedangkan untuk regulasi dan kebijakannya adalah
sebagai berikut:
1. Evaluasi perhitungan TKDN (Tingkat Kandungan
Dalam Negeri) dan pembinaan Industri Dalam
Negeri termasuk UKM;
2. Pemberian insentif pajak untuk komponen
telematika yang tidak dapat diproduksi di
Indonesia;
3. Penyusunan mekanisme kerjasama antar instansi
pemerintah, swasta, dan lembaga penelitian;
4. Penyediaan backbone dan last mile dengan
kapasitas broadband yang diperlukan untuk
mendukung pelaku bisnis;
5. Pengembangan sistem komunikasi dan informasi
pemerintah yang aman (secure) dan terintegrasi;
6. Membangun data center dan data recovery
center berbasis potensi dan SDM dalam negeri;
7. Mendorong capacity building sektor Telematika
di setiap komponen masyarakat, baik pada
masyarakat umum, instansi pemerintahan dan
pembuat keputusan (decision maker);
8. Membangun industri aplikasi dan konten digital
dalam negeri;
9. Memperluas scope kemampuan laboratorium uji
sehingga dapat menguji sesuai spesifikasi teknis
negara lain;
10. Membangun dan mengembangkan Smart and
Techno Park.
75
Saat ini, proses penguatan konektivitas nasional melalui
pembangunan TIK memasuki tahap pembangunan jaringan
broadband nasional. Pelajaran dari 2 tahun pembangunan
jaringan broadband nasional menghasilkan rencana
pe a gu a Pita Le ar I do esia atau Indonesia Broadband
Plan (IBP). IBP bertujuan untuk memberikan arah dan panduan
bagi percepatan perluasan pembangunan broadband nasional
yang komprehensif dan terintegrasi dengan menggunakan
sumber daya secara efisien. Kebijakan dan strategi utama yang
diterapkan pemerintah dalam membangun broadband nasional
adalah sebagai berikut:
1. Aspek supply/infrastruktur; availability, accessibility,
affordability. Merupakan kebijakan untuk percepatan
pembangunan dan pemerataan infrastruktur
broadband untuk memastikan ketersediaan,
aksesibilitas, dan keterjangkauan layanan dengan
berorientasi locally integrated, globally
connected.Strategi yang dijalankan adalah sebagai
berikut:
a. Kompetisi dalam penyelenggaraan wireline
broadband;
b. Optimalisasi pemanfaatan spektrum;
c. Optimalisasi pemanfaatan right of ways;
d. Infrastructure sharing;
e. Teknologi netral;
f. Open access;
g. Keamanan jaringan dan sistem.
2. Aspek demand/utilisasi dan adopsi; awareness dan
ability. Merupakan kebijakan perluasan adopsi dan
peningkatan kualitas utilisasi broadband baik di
76
sektor pemerintahan, ekonomi, pertahanan dan
keamanan. Strategi yang dijalankan adalah sebagai
berikut:
a. Literasi digital (e-literacy);
b. Aggregating demand, antara lain: e-government,
e-education, e-health, e-procurement, dan e-
logistic;
c. Green ICT dan Green with ICT.
3. Aspek pendanaan. Pendanaan pemerintah digunakan
untuk akselerasi, fungsi fill in the gap, dan
debottlenecking pembangunan broadband tanpa
mengambil alih peran atau berkompetisi dengan
penyelenggara. Strategi yang dijalankan adalah
sebagai berikut:
a. Optimalisasi penggunaan dana USO dan PNBP
sektor ICT;
b. Kerjasama pemerintah dan swasta (public private
partnership)
c. Perencanaan dan pendanaan ICT dalam APBN
yang lebih efektif dan efisien.
4. Aspek kerangka regulasi dan kelembagaan. Kebijakan
untuk menyusun regulasi (sektor dan lintas sektor)
yang memfasilitasi pengembangan pasar dan
menekan regulatory cost sehingga memungkinkan
dunia usaha untuk menjadi aktor utama dalam
pengembangan broadband nasional. Strategi yang
dijalankan adalah sebagai berikut:
a. Kebijakan dan kerangka regulasi untuk
menciptakan iklim investasi dan berusaha yang
kondusif;
77
b. Kelembagaan pengawas dan pelaksana
implementasi Indonesia Broadband Plan.
Berdasarkan kepada kebijakan dan strategi secara
nasional di atas, maka dapat diturunkan kebijakan dan strategi
yang bisa dilakukan oleh pemerintah daerah dengan terlebih
dahulu melihat kepada isu-isu yang menjadi kewenangan
pemerintah daerah yaitu sebagai berikut:
1. Aspek infrastruktur: (i) pembangunan (penentuan
lokasi) menara dilakukan tanpa berkoordinasi dengan
Kominfo dan pihak operator; (ii) perijinan
(galian/right of way, IMB menara) memerlukan
waktu yang cukup lama; (iii) perijinan yang
sebetulnya tidak diperlukan tetapi dipersyaratkan
oleh pemda (amdal, operasional).
2. Aspek utilisasi dan adopsi: pemanfaatan
TIK/broadband belum menjadi prioritas dalam
pembangunan Koridor Ekonomi.
3. Aspek pendanaan: retribusi setiap daerah yang
berbeda (tidak standar) dan memberatkan dengan
sikap pe da take it or leave it . 4. Aspek kerangka regulasi dan kelembagaan: perda
yang bertentangan dengan peraturan pemerintah
pusat.
Isu-isu yang berkaitan dengan kewenangan pemerintah
daerah tersebut menjadi bahan pertimbangan dalam menyusun
dan mengembangkan kebijakan dan strategi pengembangan TIK.
Kebijakan yang mungkin dapat dilakukan pemerintah daerah
dalam mengembangkan TIK adalah sebagai berikut:
1. Aspek infrastruktur. Kebijakan yang mendorong
percepatan pembangunan infrastruktur broadband di
78
daerah yang sesuai dengan kebijakan tata ruang dan
pengembangan daerah/kawasan ekonomi baru dan
pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru. Strategi
yang dilakukan adalah:
a. Melakukan koordinasi dengan Kominfo dan pihak
operator sebagai pelaksana komunikasi dalam
rangka merencanakan dan menetapkan jalur dan
lokasi pembangunan infrastruktur jaringan
broadband;
b. Mempersingkat waktu dan proses perijinan serta
menghilangkan perijinan yang sekiranya tidak
perlu dalam rangka mempersingkat dan
mempercepat proses pembangunan;
c. Menciptakan iklim usaha yang kondusif di daerah
dalam rangka mendorong dunia usaha untuk
terlibat secara aktif dalam pembangunan
broadband di daerah;
d. Membangun skema kerjasama pemerintah dan
swasta dalam melaksanakan pembangunan
infrastruktur broadband;
e. Memberikan insentif untuk mendorong
pembangunan infrastruktur broadband ke daerah
marjinal;
f. Memastikan pemenuhan komitmen
pembangunan dengan pihak penyelenggara;
g. Memastikan terlindunginya aset-aset strategis
seperti infrastruktur serat optik dari berbagai
macam gangguan, serta terlindunginya data
pengguna dari penyalahgunaan.
79
2. Aspek utilisasi dan adopsi. Kebijakan pemerintah
daerah untuk memperluas dan meningkatkan
kualitas pemanfaatan broadband dalam berbagai
bidang. Strategi yang dilaksanakan adalah:
a. Mendorong pengembangan e-government yang
berbasis kemitraan, baik antar instansi
pemerintah maupun dengan badan usaha;
b. Memastikan keamanan, kerahasiaan, keterkinian,
akurasi, serta keutuhan data dan informasi dalam
penyelenggaraan e-government;
c. Memastikan adanya unit kerja di setiap instansi
pemerintah yang bertanggung jawab dalam
penyelenggaraan e-government;
d. Mengkoordinasikan potensi demand penggunaan
TIK di sektor pemerintah;
e. Memastikan terselenggaranya layanan publik
berbasis elektronik (e-government) di seluruh
instansi pemerintah;
f. Memastikan penggunaan pengadaan berbasis
elektronik (e-procurement) di seluruh instansi
pemerintah;
g. Memfasilitasi tersedianya dukungan TIK untuk
mendukung pengembangan sektor prioritas
seperti pendidikan dan kesehatan;
h. Memfasilitasi penyediaan akses TIK sebagai
fasilitas publik.
3. Aspek pendanaan. Merupakan kebijakan pemerintah
daerah untuk mengoptimalkan dan
mengefesiensikan pemanfaatan anggaran (APBD-
APBN) dan melakukan mobilisasi dana di luar
80
anggaran pemerintah. Strategi yang dapat
dilaksanakan adalah:
a. Transformasi pengelolaan dan penggunaan dana
USO menjadi broadband-ready yang berorientasi
pengembangan ekosistem termasuk aplikasi dan
capacity building;
b. Optimalisasi penggunaan BHP frekuensi terutama
untuk pengembangan mobile broadband;
c. Model bisnis yang lebih efektif dan efisien (tidak
terpaku kepada belanja modal) dengan
memperhatikan mitigasi risiko dan keberlanjutan;
d. Mendorong pergeseran pola belanja (capex)
menjadi belanja operasional (opex);
e. Implementasi co-financing dan infrastructure
sharing, misalnya seperti pembangunan pusat
data e-government secara terpadu,
pembangunan duct umum yang dapat digunakan
untuk berbagai infrastruktur lainnya (kabel,
listrik, telepon, dan lain-lain), dan penggunaan
right of way lain seperti tiang listrik dan jalan tol;
f. Sinkronisasi anggaran antar lembaga pemerintah
untuk menghindari duplikasi anggaran belanja;
g. Implementasi proyek Kerjasama Pemerintah
Swasta (KPS), dalam hal ini, APBD digunakan
untuk sebagai dukungan pemerintah daerah
untuk meningkatkan kelayakan proyek.
4. Aspek kerangka regulasi dan kelembagaan.
Merupakan sinkronisasi peraturan daerah dengan
peraturan pusat dalam rangka percepatan
81
pembangunan jaringan broadband di daerah. Strategi
yang dijalankan adalah:
a. Menyusun, menetapkan, dan menjalankan
peraturan daerah yang mendorong percepatan
pembangunan jaringan broadband di daerah,
serta mendukung pemanfaatan TIK secara
optimal dan merata;
b. Membangun BUMD bidang teknologi informasi
dan komunikasi, sebagai alat untuk mempercepat
pembangunan jaringan broadband, sekaligus
menjadi sumber pendapatan daerah yang berasal
dari sektor teknologi informasi dan komunikasi.
82
Bab IV
Pembentukan BUMD Bidang TIK Untuk
Mendorong Pembangunan Ekonomi Indonesia
Pada bab sebelumnya telah dipaparkan bagaimana
kepentingan dan kebutuhan pemerintah daerah dalam ikut
mengembangkan TIK. Peran pemerintah daerah dalam ikut
mengembangkan TIK tentu saja melalui kebijakan dan peraturan
daerah yang menunjang pengembangan TIK di daerah. Dalam
hal ini, seringkali pemerintah daerah hanya berpikir bagaimana
membuat sebuah kebijakan dan peraturan daerah yang sekedar
menunjang pengembangan TIK, misalnya memberikan ijin galian
Right of Way (RoW), memberikan ijin dan menentukan lokasi
pembangunan menara telekomunikasi, dan kebijakan serta
peraturan lain yang sejenis. Akan tetapi yang menjadi pelaksana
pengembangan TIK tetap dari pihak operator telekomunikasi,
swasta.
Sejauh ini, TIK masih dipandang sebagai bidang yang
didominasi oleh pihak swasta dalam hal pengembangan dan
pengelolaannya, dan pemerintah daerah, dalam hal ini masih
belum melihat adanya peluang untuk mendapatkan returning
point dalam bentuk pendapatan daerah dari bidang TIK. Padahal
seperti telah dipaparkan sebelumnya, dalam era globalisasi saat
ini, TIK telah demikian berperan dalam menentukan laju
pertumbuhan ekonomi di suatu negara, termasuk Indonesia.
Oleh karena itu, pemerintah daerah, selain untuk menunjang
kebijakan pemerintah pusat dalam penguatan konektivitas
nasional, harus mulai melihat TIK sebagai bidang yang layak
83
untuk dikembangkan lebih lanjut dan memiliki potensi menjadi
sumber PAD baru bagi pemerintah daerah.
Dalam kaitannya dengan mengolah TIK menjadi sumber
PAD bagi pemerintah daerah, ada sebuah kebutuhan untuk
melakukannya melalui BUMD bidang telekomunikasi. Hal ini
dalam rangka menjamin profesionalisme usaha dan
keberlanjutan pengembangan TIK di daerah. Permasalahan yang
muncul kemudian adalah bagaimana membangun sebuah
BUMD TIK yang profesional dan memiliki daya saing ditengah
kondisi perkembangan BUMD di Indonesia yang lambat?
Ditengah fakta etos kerja serta performa kinerja BUMD yang
buruk secara umum? Pemaparan berikutnya akan menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut dalam deskripsi dan
rasionalisasi yang paling sederhana.
4.1 Dekonstruksi BUMD Menuju Unit Usaha Profesional
Berdaya Saing Global
Saat ini kesan umum tentang keberadaan Badan Usaha
Milik Daerah (BUMD) adalah tidak efisien, selalu merugi, dan
membebani anggaran pemerintah. Lemahnya kinerja BUMD
tersebut seringkali berkaitan dengan pembinaan tenaga
profesio al ya g pe uh de ga aro a kepe ti ga golo ga (Kamaluddin 2011), sehingga tidak jarang yang menduduki
jabatan sebagai direksi atau komisarisnya adalah birokrat
se ior ya g tidak lagi e iliki posisi strategis dala pemerintahan. Kondisi umum tersebut seringkali digunakan
sebagai justifikasi tentang buruknya kinerja BUMD.
Sebagian besar ahli berpendapat bahwa gambaran jamak
tentang buruknya manajemen dan kinerja BUMD seperti yang
telah disampaikan, disebabkan oleh masih diberlakukannya UU
84
No. 5 Tahun 1962 Tentang Perusahaan Daerah sebagai landasan
hukum pengelolaan BUMD. UU tersebut dipandang telah
memberikan peran yang terpusat kepada kepala daerahsebagai
pihak yang mewakili daerah dan sekaligus juga pemilik BUMD,
dalam mempengaruhi kebijakan pengembangan BUMD. Dengan
kata lain, UU BUMD tersebut yang menjadikan direksi dan
mayoritas pegawai BUMD tidak terpisahkan dari manajemen
birokrasi pemerintah daerah. Sebagai akibatnya, tata kelola
BUMD mirip dengan manajemen pemerintahan yang birokratis,
kaku, dan kurang fleksibel dalam melakukan inovasi usaha. Oleh
karena itu juga, Badan Kerja Sama (BKS) BUMD seluruh
Indonesia sempat mengusulkan adanya revisi terhadap UU No. 5
Tahun 1962 tersebut dengan UU BUMD yang baru sebagai
payung hukum tata kelola BUMD. Selain masalah tata kelola
yang terlalu birokratis, UU No. 5 Tahun 1962 juga dianggap
sudah tidak relevan dengan otonomi daerah yang sekarang
diterapkan di Indonesia.
Sebaliknya, banyak juga para ahli yang mengkhawatirkan
semangat liberalisasi dan privatisasi lebih menjiwai UU BUMD
yang baru nanti. Hal ini telah terjadi dengan hasil revisi
beberapa UU yang lain seperti UU Sumber Daya Air, UU BUMN,
UU Penanaman Modal, dan UU Perkereta apian. Dimana
perluasan peran korporasi swasta menjadi tema utama bagi
solusi revitalisasi peran Negara dalam mendorong pertumbuhan
ekonomi. Hal ini bisa dilihat pada kasus privatisasi PDAM DKI
Jaya, dimana saham mayoritasnya yang dikuasai oleh korporasi
swasta asing memunculkan dilema antara orientasi keuntungan
dengan tujuan pemenuhan kebutuhan dasar. Dalam kasus ini,
pihak swasta selaku pengelola air miinum di DKI, mengklaim
bahwa biaya penyediaan air minum, selalu lebih tinggi dari tarif
85
air yang dibayar warga. Selisih tersebut cenderung meningkat
dan dihitung sebagai utang yang menyebabkan Pemda DKI
menaikan tarif air minum. Ironisnya, ketika Pemda DKI
memutuskan untuk mengakhiri kontrak, pihak korporasi swasta
menuntut Pemda DKI agar membayar seluruh investasi yang
telah ditanamkan dan juga membayar keuntungan dari separuh
sisa masa kontrak yang nilainya diperkirakan sebesar Rp. 450
miliar (kamaluddin, 2011).
Lebih lanjut, revisi terhadap UU No. 5 Tahun 1962 juga
dikhawatirkan akan bertentangan dengan amanat pasal 33 UUD
1945, dimana pada pasal tersebut dinyatakan bahwa faktor
produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai
negara dan digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran
rakyat. Makna dukuasai pada pasal tersebut bisa diperluas
menjadi kewenangan negara untuk mengatur, mengurus,
mengelola, dan mengawasi faktor produksi tersebut.
Peningkatan peran korporasi swasta dalam revitalisasi BUMD
dikhawatirkan akan menggerus tingkat kesejahteraan
masyarakat. Sebuah korporasi swasta, dalam bidang usaha
apapun, akan selalu berusaha untuk mendapatkan keuntungan
yang sebesar-besarnya dan mengakumulasikan modal demi
keuntungan pemilik modal (perseorangan atau kelompok),
sehingga dalam hal ini, tanggung jawab sosial dan publiknya
tidak menjadi prioritas. Namun demikian, keberadaan korporasi
swasta dan perilaku berusahanya tidak dapat dinegasikan begitu
saja. Dibalik sisi negatifnya, sikap mengejar keuntungan, juga
memiliki sisi positif yaitu efisien dan inovatif, dua buah aspek
penting yang berpengaruh kepada pertumbuhan ekonomi.
Berdasarkan Pasal 33 UUD 1945, diketahui bahwa
perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas dasar asas
86
kekeluargaan. Sejalan dengan itu, maka perbaikan kinerja dan
pengembangan BUMD dapat dilakukan melalui perluasan
kepemilikan saham, sehingga kontrol dan pengambilan
keputusan BUMD dapat dilakukan oleh masyarakat. Pasal 6 UU
No. 5 Tahun 1962 menyatakan bahwa BUMD diperkenankan
untuk menjalin kerjasama dengan BUMN, swasta, dan koperasi,
dalam hal ini, koperasi mendapatkan prioritas menjadi mitra
kerja BUMD, seperti yang dinyatakan pada Pasal 2 UU No. 5
Tahun 1962. Jika melihat kepada hubungan tersebut, maka UU
No. 5 Tahun 1962 sudah sejiwa dengan amanat Pasal 33 UUD
1945. Selain itu, UU BUMD tersebut juga menegaskan bahwa
BUMD bukan hanya pelaku ekonomi yang berwatak sebagai
pemburu keuntungan semata (profit oriented) tetapi juga
sebagai pelaku ekonomi yang berwatak sosial (non-profit
oriented).
Pada dasarnya, perdebatan tentang perlu tidaknya
dilakukan revisi terhadap UU No. 5 Tahun 1962, belum
menunjukan indikasi yang kuat bahwa buruknya kinerja BUMD
saat ini adalah semata-mata karena lemahnya UU No. 5 Tahun
1962 sebagai payung hukum tata kelola BUMD. Permasalahan
paling mendasar saat ini dari keberadaan BUMD adalah
bagaimana mengoptimalkan kinerja BUMD dalam mendorong
perekonomian daerah.
BUMD sebagai salah satu pelaku ekonomi, tentu saja
berperan dalam naik-turunnya perekonomian daerah. Secara
umum kita dapat mengklasifikasikan aktivitas BUMD ke dalam
tiga peran, yaitu sebagai berikut:
1. Memposisikan BUMD sebagai sektor strategis: terjadi
ketika aktivitas BUMD terkait langsung dengan
kebutuhan pokok masyarakat dan/atau sebagian
87
besar bahan baku yang digunakan dalam aktivitas
usaha BUMD sangat berpotensi merusak sumber
daya alam;
2. Memposisikan BUMD sebagai sektor non-strategis
utama: terjadi ketika aktivitas BUMD tidak terkait
langsung dengan kebutuhan pokok masyarakat dan
juga tidak berpotensi merusak sumber daya alam,
namun aktivitasnya sangat berperan sebagai perintis
usaha, penyeimbang kekuatan pasar, dan penunjang
pelaksanaan kebijakan negara;
3. Memposisikan BUMD sebagai sektor non-strategis:
terjadi ketika aktivitas BUMD tidak berbeda dengan
aktivitas pelaku ekonomi swasta, sehingga target
utama dari UMD non-strategis ini seharusnya
berorientasi kepada keuntungan usaha dan juga
sebagai sumber pendapatan daerah.
BUMD sebagai salah satu pelaku ekonomi yang dimiliki
oleh negara seharusnya berperilaku sebagaimana yang
diamanatkan UUD 1945, khususnya pada Pasal 33 ayat 2 dan 3
UUD 1945, dimana BUMD memiliki kewajiban untuk
mewujudkan kemakmuran rakyat. Dalam rangka memenuhi
kewajiban tersebut, BUMD diberikan amanah untuk menguasai
cabang-cabang produksi penting yang menyangkut hajat hidup
orang banyak, sehingga karakteristik BUMD adalah pelaku
ekonomi yang beraktivitas di sektor strategis atau paling tidak di
sektor non-strategis utama.
Pada dasarnya, aktivitas di sektor strategis yang
berkaitan dengan hajat hidup orang banyak, bersifat monopoli
atau oligopoli, sehingga nilai/harga produk yang terbentuk di
sektor ini, seringkali tidak merefleksikan efisiensi usaha. Dengan
88
demikian, penentuan tarif atau harga produk dan jasa di sektor
strategis harus mendapatkan persetujuan pemerintah. Selain
itu, produk dari sektor strategis pada umumnya tidak memiliki
pasar, khususnya untuk barang publik, sehingga penetapan
harga atau tarif seharusnya tidak didasarkan pada harga
internasional, tetapi didasarkan kepada daya beli masyarakat.
Dalam hal ini, jika daya beli masyarakat lebih rendah dari harga
produksi, maka pemerintah harus memberikan subsidi.
Sedangkan perhitungan besarnya subsidi tidak didasarkan
kepada selisih harga internasional dengan harga domestik,
tetapi berdasarkan selisih antara biaya transformasi produk
pada tingkat efisiensi yang ideal-rasional dengan daya beli
masyarakat. Sebagai contoh adalah subsidi BBM, seharusnya
tidak didasarkan kepada perkembangan harga minyak mentah
dunia, tetapi kepada biaya eksplorasi, produksi, dan distribusi
yang paling efisien.
Selanjutnya, berkaitan dengan sektor strategis yang
menjadi kebutuhan pokok masyarakat, negara wajib menjamin
adanya pasokan yang dapat memenuhi seluruh kebutuhan
masyarakatnya baik dari segi kuantitas maupun kualitas,
sehingga setiap transaksi internasional (ekspor-impor) harus
mendapat persetujuan dari pemerintah. Kontrol terhadap
kualitas produk juga menjadi tanggung jawab pemerintah,
sehingga pemerintah harus membuat standar kualitas produk
yang baku sebagai bentuk perlindungan pemerintah terhadap
masyarakat.
Secara singkat, tata kelola kegiatan BUMD di sektor
strategis yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak
harus diatur dengan menggunakan prinsip kemakmuran
bersama. Tata kelola BUMD sektor strategis harus
89
mengimplementasikan kaedah good corporate governance.
Pemerintah harus mewajibkan pengelola sektor strategis
mengumumkan kepada publik tentang dasar-dasar penetapan
taruf atau harga dan kondisi-kondisi umum kinerjanya.
Prioritas aktivitas usaha BUMD pada sektor strategis dan
sektor non-strategis utama ini tidak berarti bahwa sebuah
BUMD dibentuk semata-mata hanya untuk mengamankan
sektor-sektor strategis yang menguasai hajat hidup orang
banyak saja. Pada kenyataannya, masih banyak sektor-sektor
strategis yang tidak dikuasai oleh BUMD, hal ini terutama
terlihat pada kegiatan produksi bahan-bahan kebutuhan pokok,
misalnya pangan. Meskipun pengaturan terkait distribusi
pangan ditangani oleh Badan Urusan Logistik (Bulog), akan
tetapi kegiatan produksi masih dikuasai oleh swasta baik
berskala kecil, menengah, maupun besar. Dengan masih
dikuasainya kegiatan produksi oleh swasta, maka penentuan
harga pangan yang bersifat pokok, seperti beras, masih tarik
menarik dengan kepentingan swasta untuk menutupi biaya
produksi ditambah pemberian nilai lebih kepada tiap satuan
produk yang dihasilkan. Agar harga yang sampai kepada
konsumen/masyarakat dapat tetap terjangkau41
, maka
pemerintah secara nasional bermain pada wilayah distribusi dan
pemberian subsidi untuk produk yang dibeli dan didistribusikan
oleh Bulog. Dalam hal ini, seringkali kualitas produk yang
didistribusikan oleh Bulog lebih rendah daripada kualitas produk
yang didistribusikan langsung oleh swasta. Alangkah lebih
41
Penentuan harga dapat dilakukan dengan melihat kepada pendapatan perkapita
masyarakat untuk kemudian ditetapkan menjadi batas maksimal harga yang beredar
di masyarakat.
90
baiknya jika kegiatan produksi di sektor pangan tersebut
dikuasai oleh BUMD di masing-masing daerah.
Melihat kenyataan tersebut, dapat dikatakan bahwa
BUMD sendiri dibentuk tidak didasarkan atas keinginan
pemerintah untuk menguasai sektor-sektor strategis yang
menguasai hajat hidup orang banyak, akan tetapi lebih
didasarkan kepada kepentingan dan prioritas daerah dimana
BUMD tersebut didirikan. Seperti yang telah diuraikan
sebelumnya, penguasaan BUMD terhadap sektor-sektor
strategis yang pada dasarnya memungkinkan sebuah BUMD
untuk bertindak monopoli dan oligopoli, ternyata tidak
membuat kinerja maupun performa BUMD menjadi membaik.
Sebuah BUMD yang diharapkan juga mampu menjadi
penyumbang bagi pendapatan daerah justru tidak bisa lepas
dari ketergantungannya terhadap anggaran daerah dalam
menjaga keberlangsungan usahanya.
Untuk lebih memperjelas posisi BUMD, dimana BUMD
merupakan bagian dari unit usaha/ekonomi di daerah yang
berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi di daerah, maka
BUMD secara agregat juga berpengaruh terhadap pertumbuhan
ekonomi secara nasional. Berangkat dari konsep berpikir
tersebut maka BUMD didirikan sebagai kelengkapan Pemerintah
dalam membangun perekonomian masyarakat di wilayahnya.
Beberapa maksud pendirian BUMD dapat dibagi dalam 5
kategori.
1. Komersil/Profit (APBD). Pendirian BUMD didirikan
dengan maksud murni profit motif dengan maksud
meningkatkan Pendapatan Asli Daerah dari dividen
yang disetorkan ke Kas Daerah. Dividen yang
diperoleh dari BUMD tersebut kemudian akan
91
menjadi pendapatan Pemda yang akan
meningkatkan kemampuan APBD dalam membiayai
pembangun daerah. Keberhasilan kinerja BUMD
didasarkan kepada seberapa besar kemampuannya
menyumbangkan dividen kepada APBD.
2. Peningkatan pelayanan public. Pendirian BUMD
dapat juga dimaksudkan untuk meningkatkan
pelayanan kepada publik. Jika tujuannya adalah
peningkatan pelayanan, maka profit bukan menjadi
motif operasi perusahaan. Pendekatan penilaian
kinerja keuangannya dilakukan dengan melihat
kemampuannya dalam melakukan cost recovery
dengan tingkat efisiensinya serta kualitas
pelayanannya.
3. Pioneering. Pemerintah Daerah kadang-kadang
harus mengambil inisiatif untuk masuk ke suatu
bisnis yang memiliki risiko tinggi yang mungkin
tidak berani dimasuki oleh swasta. Risiko ini harus
diambil alih oleh pemerintah Daerah karena bisnis
atau industry tersebut sebenarnya sangat strategis.
Dengan demikian BUMD yang maksud
pendiriannya sebagai pioneering kemungkinan bisa
mengalami kerugian akibat risiko bisnis sehingga
Pemda harus menyediakan dana penambahan
modal untuk menutupi kerugian yang terjadi.
4. Prime mover ekonomi daerah. Perusahaan yang
diposisikan sebagai prime mover ekonomi daerah
biasanya bergerak di industri hulu, dimana hasil
produksinya digunakan oleh industri hilir. Dengan
berdirinya industri hulu maka diharapkan akan
92
menjadi lokomotif tumbuhnya industry hilir
sehingga akselerasi pertumbuhan ekonomi daerah
semakin cepat. Industri hulu biasanya
membutuhkan modal yang besar, Mesin yang
canggih dan sumber daya manusia yang memiliki
kompetensi tinggi.
5. Penghela ekonomi lemah. BUMD juga bisa
ditugaskan untuk membina pengusaha lemah
dengan maksud untuk pemerataan, edukasi dan
pengembangan usaha kecil dan menengah untuk
bisa naik kelas yang lebih tinggi.
Apapun tujuan pendirian BUMD tetap saja melekat
tugasnya sebagai agent of Development suatu posisi unik yang
tidak dimiliki oleh perusahaan Swasta. Terkait dengan
peranannnya sebagai agent of development, tentunya
dibutuhkan suatu kententuan yang mengatur BUMD sehingga
dapat berjalan secara professional.
Menurut UU No. 5 Tahun 1962, pembagian laba bersih
BUMD setelah terlebih dahulu dikurangi penyusutan adalah
sebagai berikut (Kunarjo, 1993):42
1. Perusahaan daerah dengan modal yang seluruhnya
berasal dari kekayaan daerah, pembagian laba
bersihnya adalah:
a. Untuk dana pembangunan daerah 30%;
b. Untuk anggaran belanja daerah 25%;
c. Untuk cadangan umum, sosial dan pendidikan,
jasa produksi, sumbangan dana pensiun dan
sokongan sejumlah 45%.
42
Kunarjo, Perencanaan dan Pembiayaan Pembangunan, Penerbit Universitas
Indonesia, Jakarta, 1993.
93
2. Perusahaan daerah yang sebagian modalnya terdiri
dari kekayaan daerah, pembagian laba bersihnya
setelah dikeluarkan zakat yang dipandang perlu
adalah:
a. Untuk dana pembangunan daerah 8%;
b. Untuk anggaran belanja daerah 7%; dan
c. Selebihnya (85%) untuk pemegang saham dan
untuk cadangan umum.
Pembagian laba bersih BUMD tersebut, khususnya untuk
BUMD yang seluruh modalnya berasal dari APBD, membuat
BUMD sulit dalam mengakumulasikan modalnya. Akan tetapi,
hal tersebut tidak menjadi penghalang utama sebuah BUMD
untuk maju dan berkembang menjadi sebuah unit usaha yang
profesional.
Kepemilikan modal pemerintah daerah di BUMD
menjadikan satu kaki BUMD berada di ranah Publik. Lantas
bagaimanakah pengaturan BUMD ini agar bisa menjalankan
fungsinya sebagai entitas bisnis?
Kalau kita telisik lebih jauh perbedaan antara BUMD
dengan perusahaan swasta dalam berbisnis maka perbedaan
terjadi hanya pada pemilikan modal. Oleh karena itu seharusnya
perlakuan BUMD sebagai instansi publik hanyalah terkait dua
hal yaitu :
1. Permodalan (pendirian baru, penambahan,
pengurangan/penjualan/privatisasi).
2. Eksistensi (merger, konsolidasi, privatisasi,
holdingisasi, likuidasi).
Selebihnya eksistensi BUMD harus diatur oleh hukum
privat. Jika perlakuan BUMD sebagai instansi publik tidak
dibatasi kepada 2 hal tersebut maka BUMD akan sulit maju
94
karena setiap akan mengambil keputusan harus meminta
persetujuan kepala daerah dan DPRD. Ini cukup memakan
waktu karena harus melewati proses birokrasi yang berbelit.
Kondisi ini membuat BUMD sulit untuk bersaing dengan
perusahaan swasta karena adanya diskriminasi dalam bisnis
proses. Belum lagi keberadaan BUMD yang masih dianggap
sebagai kekayaan negara menyebabkan begitu banyak
peraturan publik yang mengikat sehingga sulit dan lambat dalam
bergerak serta seringkali diintervensi oleh penguasa. Padahal
ruang oprasionalnya adalah bisnis yang menuntut kecepatan,
fleksibelitas, kemandirian dan profesionalisme.
Dari laporan hasil studi Biro Analisa Keungan Daerah
Depkeu tentang Analisis Kinerja BUMD Non PDAM dikemukakan
bahwa berbagai permasalahan yang dihadapi BUMD dalam
perjalanan hidupnya dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. lemahnya kemampuan manajemen perusahaan;
2. lemahnya kemampuan modal usaha;
3. kondisi mesin dan peralatan yang sudah tua atau
ketinggalan dibandingkan usaha lain yang sejenis;
4. lemahnya kemampuan pelayanan dan pemasaran
sehingga sulit bersaing;
5. kurang adanya koordinasi antar BUMD khususnya
dalam kaitannya dengan industri hulu maupun hilir;
6. kurangnya perhatian dan kemampuan atas
pemeliharaan aset yang dimiliki, sehingga
rendahnya produktivitas, serta mutu dan ketepatan
hasil produksi;
7. besarnya beban administrasi, akibat relatif
besarnya jumlah pegawai dengan kualitas yang
rendah; dan
95
8. masih dipertahankannya BUMD yang merugi,
dengan alasan menghindarkan PHK dan
ke aji a pe eria pelaya a u u agi masyarakat.
Selain itu, dari berbagai pengamatan dan keluhan yang
seringkali disampaikan oleh pihak internal maupun eksternal
dari perusahaan daerah sendiri, terdapat berbagai kendala lain
dalam pembinaan dan pengembangan usaha BUMD tersebut.
Diantaranya adanya campur tangan pemerintah daerah yang
cukup besar atas jalannya organisasi BUMD serta adanya
keterbatasan kewenangan tertentu dalam operasionalisasi
perusahaan.
Selanjutnya, seringkali dalam penempatan direksi
tidak terlepas dari unsur KKN atau kedekatan para calonnya
dengan pimpinan daerah. Dalam hubungan ini banyak pula
penempatan direksi dan bahkan tenaga kerja yang kurang
didasarkan pada pertimbangan profesionalisme, keahlian dan
keterampilaan, bahkan adakalanya penempatan di perusahaan
daerah itu se agai te pat ua ga agi pejabat tertentu
yang tergeser kedudukannya.
Dari berbagai permasalahan yang ada tersebut, diketahui
bahwa apa yang selama ini menyebabkan BUMD sulit untuk
berkembang terdiri dari 3 faktor utama:
1. Tidak dijalankannya BUMD secara professional;
2. Besarnya pengaruh Pemda dalam penentuan
jalannya organisasi dan manajemen BUMD;
3. Aspek penghimpunan dan pengelolaan modal yang
buruk.
Sampai pada tahap ini penulis mencoba mengajak para
pembaca sekalian untuk kembali melihat kepada hal yang paling
96
mendasar dari praktik sebuah kegiatan usaha. Sebuah kegiatan
usaha, apapun bentuknya, didirikan untuk memenuhi
kebutuhan konsumen akan suatu produk. Untuk melakukan
kegiatan produksi, sebuah unit usaha membutuhkan modal baik
berupa barang (alat-alat produksi, bahan baku produksi),
sumber daya manusia, dan yang terpenting adalah uang sebagai
alat tukar. Modal tersebut harus dijaga keberlanjutannya dan
demi memperluas kegiatan usaha, modal tersebut harus
ditingkatkan, hal ini yang kemudian dikenal dengan istilah
akumulasi modal dalam kapitalisme. Akumulasi modal berarti
adalah peningkatan nilai modal secara berkelanjutan yang
diperoleh dari nilai lebih pertransaksi item produk. Nilai lebih
didapat dari selisih jumlah biaya produksi dengan harga jual.
Kemampuan sebuah unit usaha dalam mengelola modal
yang ada inilah yang menjadi dasar penilaian sebuah unit usaha
tersebut berhasil atau gagal. Jika dalam periode tertentu
ternyata akumulasi modal tidak terjadi dan pertumbuhan modal
cenderung negatif, maka unit usaha tersebut dapat dikatakan
gagal dan masuk kategori usaha yang tidak sehat. Kondisi ini
juga berlaku bagi sebuah BUMD. Sebuah BUMD yang tidak
mampu menciptakan akumulasi modal bahkan untuk sekedar
mempertahankan keberlanjutan modalnya, maka BUMD
tersebut dinilai gagal. Hal inilah yang terjadi pada sebagian
besar BUMD yang ada saat ini. Hampir sebagian besar BUMD
tidak mampu mempertahankan keberlanjutan modal yang
ditanamkan di awal, sehingga pada periode tertentu, untuk
menjaga berlangsungnya kegiatan usaha, BUMD tersebut diberi
su tika odal dari pe eri tah daerah ya g da a ya bersumber dari APBD. Dengan tanpa menafikan faktor payung
hukum BUMD, kondisi tersebut sudah dapat dipastikan karena
97
BUMD tidak dijalankan selayaknya sebuah unit usaha. BUMD
hanya dipandang sebagai kepanjangan tangan pemerintah
untuk menjalankan fungsi pelayanan publiknya. Orientasi bisnis
dan orientasi pelayanan publik yang selalu dipertentangkan di
dalam BUMD juga menjadi sebab mendasar mengapa BUMD
sulit untuk berkembang.
Fakta-fakta inilah yang membawa kita kepada sebuah
usaha untuk meruntuhkan paradigma lama dalam memandang
BUMD selama ini. Saat ini BUMD harus benar-benar dipandang
sebagai sebuah unit usaha yang profesional. Profesional disini
berarti BUMD menjalankan kegiatan usahanya selayaknya
sebuah unit usaha, menjalankan kaidah-kaidah ekonomi secara
konsekuen dan konsisten, serta tetap memiliki orientasi bisnis
(profit oriented). Profesional juga berarti bahwa BUMD harus
diposisikan sebagai sebuah unit usaha yang terpisah dari
pemerintah daerah. Hubungan antara BUMD dan pemerintah
daerah harus dilihat sebagai hubungan antara manajemen
perusahaan dengan pemilik modal. Dalam hal ini, meskipun
pemilik modal memiliki kewenangan untuk merubah kebijakan
perusahaan, pemilik modal tetap memiliki batas-batas tertentu
dalam melakukan intervensi, khususnya jika berkaitan dengan
kondisi keuangan perusahaan.
Dengan memandang BUMD sebagai sebuah unit usaha
yang profesional, maka dikotomi antara BUMD yang
menjalankan aktivitas usaha di bidang pelayanan publik dan
aktivitas usaha non-pelayanan publik harus dihilangkan. Apapun
kegiatan usaha yang dijalankan oleh BUMD, maka kegiatan
usaha tersebut haruslah memiliki orientasi bisnis, bahkan dalam
bidang pelayanan umum sekalipun. Sehingga alasan tidak
tertutupnya biaya produksi karena penetapan harga produk
98
yang dibawah biaya produksi demi melindungi kepentingan
publik, sudah tidak relevan lagi.
Pemerintah daerah sendiri, dalam hal ini harus mampu
memberdayakan BUMD seoptimal mungkin, sehingga bias
menunjang pembangunan ekonomi di daerah. Pemberdayaan
masyarakat (beserta kelembagaannya, termasuk BUMD)
menurut Ginandjar Kartasasmita adalah upaya untuk
meningkatkan harkat dan derajat lapisan masyarakat yang
dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari
perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Ini berarti bahwa
memberdayakan itu adalah memampukan dan memandirikan
masyarakat beserta kelembagaannya, termasuk BUMD.
Khusus dalam hal BUMD, upaya memberdayakan itu
haruslah pertama-tama dimulai dengan menciptakan suasana
atau iklim yang memungkinkan potensinya untuk berkembang.
Ini dengan landasan pertimbangan bahwa setiap masyarakat
dan kelembagaannya, memiliki potensi yang dapat
dikembangkan. Pemberdayaan tersebut dilakukan melalui
upaya-upaya sebagai berikut:
1. Membangun daya dengan mendorong,
memotivasi, dan membangkitkan kesadaran akan
potensi (dan daya) yang dimiliki serta berupaya
untuk mengembangkannya.
2. Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki
tersebut, dimana untuk ini diperlukan langkah-
langkah yang lebih positif dan nyata, seperti
penyediaan berbagai input yang diperlukan, serta
pembukaan akses kepada berbagai peluang
sehingga semakin berdaya dalam memanfaatkan
peluang yang ada.
99
3. Memberdayakan berarti pula melindungi, sehingga
dalam proses pemberdayaan haruslah dicegah agar
jangan sampai pihak yang lemah menjadi
bertambah lemah, tapi dapat hidup dengan daya
saing yang memadai.
Upaya-upaya tersebut menjadi kewenangan dan
tanggung jawab pemerintah daerah. Sehingga posisi pemerintah
daerah menjadi jelas, yaitu sebagai inisiator, fasilitator dan
pendorong awal pembangunan dan pengembangan BUMD.
Ketika sebuah BUMD sudah terbangun dan mulai berjalan,
selanjutnya pemerintah daerah hanya berperan mendukung
berjalan lancarnya BUMD tersebut, misalnya melalui pembuatan
regulasi yang mampu mempermudah pengembangan usaha
BUMD. Selain itu, pemerintah daerah kemudian berperan
sebagai pengawas kinerja BUMD dengan tetap memperhatikan
aspek kemandirian dan independesitas manajemen BUMD itu
sendiri.
Dalam kaitan dengan perbaikan kinerja BUMD
berdasarkan Laporan Hasil Studi Analisa Kinerja BUMD Non
PDAM, Biro Analisa Keuangan dan Moneter, Depkeu,
dikemukakan berbagai langkah dan tindakan yang dapat
dilakukan dalam memperbaiki kinerja usaha BUMD, dengan
tindakan-tindakan yang sifatnya strategis yang dapat
dikelompokkan dalam tiga bagian strategi, yaitu strategi
pengusahaan, strategi penumbuhan dan strategi penyehatan
perusahaan yang dapat diringkaskan sebagai berikut:
1. Strategi Pengusahaan Perusahaan, yang dapat
dilakukan dengan langkah atau tindakan
memperbaiki kinerja perusahaan, diantaranya
dengan:
100
a. Mengatasi kelemahan internal yang
diantaranya melalui penetapan kembali core
business, likuidasi unit bisnis yang selalu rugi,
dan memperbaiki system manajemen
organisasi;
b. Memaksimumkan kekuatan internal, yang
antara lain dengan cara mengkonsentrasikan
bisnis pada usaha yang berprospek tinggi,
memperluas pasar dengan mempertahankan
dan mencari pelanggan baru, serta mencari
teknik produksi baru yang dapat meningkatkan
efisiensi usaha;
c. Mengatasi ancaman eksternal, yang
diantaranya dengan cara memperbaiki mutu
produk dan jasa, meningkatkan kualitas SDM
serta meningkatkan kreativitas dan keaktifan
tenaga pemasaran dalam mencari terobosan
baru;
d. Memaksimumkan peluang eksternal, yang
antara lain melalui upaya kerjasama yang saling
menguntungkan dengan perusahaan sejenis
atau yang dalam keterkaitan. Dan kerjasama ini
dapat dilakukan dalam bentuk joint venture,
BOT, BOO atau bentuk kerjasama lainnya.
2. Strategi Penumbuhan Perusahaan, adalah
bertujuan untuk menumbuhkan dan
mengembangkan perusahaan sesuai dengan
ukuran besaran yang disepakati untuk mencapai
tujuan jangka panjang perusahaan. BUMD
dikatakan tumbuh jika perusahaan daerah itu
101
berhasil meningkatkan antara lain, volume
penjualan, pangsa pasar, besarnya laba dan aset
perusahaan. Beberapa tindakan yang dapat
dilakukan agar perusahaan terus tumbuh
berkembang diantaranya adalah
mengkonsentrasikan bisnis pada produk yang
representatif, melakukan perluasan pasar,
pengembangan produk baru, dan integrasi
horizontal dan/atau vertikal.
3. Strategi Penyehatan Perusahaan, yaitu yang
dilakukan melalui pendekatan strategik dan
pendekatan operasional. Dalam pendekatan
strategik, misalnya, jika terjadi kesalahan strategis
seperti ketidakmampuan perusahaan dalam
memenuhi kebutuhan konsumen sesuai dengan
misinya, maka perlu dilakukan penilaian
menyeluruh terhadap bisnis yang dilakukan untuk
perubahan dan penyempurnaannya. Sedangkan
dengan pendekatan operasional ditujukan untuk
melakukan perubahan operasi perusahaan tanpa
merubah strategi bisnis. Dalam hubungan ini
langkah-langakah yang biasa diambil perusahaan
dalam rangka penyehatan operasi diantaranya
adalah:
a. Meningkatkan penghasilan yang diperoleh
dengan berbagai teknik bisnis, misalnya
pemotongan harga, peningkatan promosi,
penambahan dan perbaikan pelayanan
konsumen, memperbaiki saluran distribusi dan
memperbaiki kualitas produk;
102
b. Melaksanakan pemotongan biaya
(penghematan). Biaya-biaya yang tidak memiliki
keterkaitan langsung dengan kegiatan
operasional pokok perusahaan yang segera
membentuk penghasilan, biasanya menjadi
pilihan pertama untuk diturunkan, seperti
misalnya biaya-biaya administrasi, penelitian
dan pengembangan, dan pemasaran.
Pada dasarnya penulis sepakat dengan berbagai upaya
dan langkah dalam rangka pemberdayaan yang dikemukakan
tersebut di atas. Namun demikian, disamping untuk usaha-
usaha BUMD yang telah berjalan dengan kinerja yang masih
rendah dan terbatas di masa lalu tersebut, juga perlu pemikiran
lebih lanjut terhadap usaha-usaha BUMD yang akan didirikan
dan dibangun pada masa mendatang dalam rangka lebih
memberdayakan BUMD itu sendiri, serta untuk menunjang
keuangan Daerah dan perekonomian Daerah pada umumnya.
Dalam hubungan ini untuk pendirian BUMD baru dan
pengembangan lebih lanjut BUMD yang telah berjalan perlu
dilakukan beberapa upaya sebagai berikut:
1. Studi kelayakan usaha yang dilakukan secara teliti,
sehingga BUMD yang dihasilkan nanti mampu
menghasilkan produk barang dan jasa yang feasible
dan berprospek (sangat) menguntungkan;
2. Peningkatan kerjasama dengan usaha yang sejenis
atau yang bersifat keterkaiatan dalam rangka
peningkatan daya saing bersama di pasar domestik
dan internasional;
103
3. Penerapan kelembagaan dan organisasi usaha
dengan tenaga terdidik dan terlatih yang dijiwai
semangat kewirausahaan;
4. Pengembangan dan penerapan fungsi-fungsi
manajemen dalam organisasi perusahaan daerah
seperti yang dalam usaha korperasi swasta yang
dalam operasionalnya dilakukan dengan tertib,
terbuka dan terpadu;
5. Pemberian kewenangan yang lebih luas kepada
BUMD dari pimpinan daerah sehingga direksinya
dapat le ih leluasa dala elaksa aka kepemimpinan dan operasionalisasi
perusahaannya.
Pada tahap ini bisa disimpulkan bahwa sebuah BUMD
haruslah dipandang sebagai sebuah unit usaha yang
professional dan independen. Dalam pelaksanaan kegiatan
usahanya, sebuah BUMD haruslah diberi keleluasaan dalam
melakukan pengembangan usaha dan inovasi-inovasi dengan
tetap memperhatikan kepada usaha pencapaian tujuan yang
menjadi dasar pendirian BUMD tersebut. Intervensi dan campur
tangan pemerintah dalam hal ini haruslah proporsional dan
tetap melihat kepada usaha mengembangkan BUMD sebagai
sebuah unit usaha yang professional dan memiliki daya saing.
Dengan mengubah sudut pandang tersebut serta diiringi dengan
komitmen yang sungguh-sungguh dari pemerintah daerah untuk
membangun sebuah BUMD yang mampu menunjang
pertumbuhan ekonomi di daerah, maka secara perlahan BUMD
yang professional dan memiliki daya saing pun bisa terwujud.
Tentu saja dalam pelaksanaannya masih membutuhkan kerja
keras dan komitmen dari semua pihak yang terkait, tetapi paling
104
tidak hal paling mendasar yang membuat perkembangan BUMD
saat ini tidak berjalan optimal, telah dirubah.
4.2 Model Bisnis dan Manajemen BUMD TIK
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, sebuah BUMD
jika dijalankan secara professional, maka akan berpengaruh
besar terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi di daerah.
Selain itu, sebuah BUMD juga dapat memberikan sumbangan
terhadap PAD. Dengan demikian pembangunan dan
pengembangan sebuah BUMD yang professional dan memiliki
daya saing, bisa menjadi alternative usaha peningkatan
pertumbuhan ekonomi daerah, yang kemudian secara agregat
dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara nasional.
Terkait dengan usaha pemerintah untuk mempercepat
dan memperluas pembangunan ekonomi, dengan salah satu
kegiatan utamanya adalah penguatan konektivitas nasional,
maka pembangunan sebuah BUMD yang bergerak di bidang
teknologi informasi dan komunikasi (TIK), dapat menjadi sebuah
solusi untuk mendukung usaha pemerintah tersebut, disamping
juga mampu member manfaat bagi daerah.
Pada bab-bab sebelumnya telah disampaikan, bahwa
salah satu usaha pemerintah untuk memperkuat konektivitas
nasional adalah dengan membangun dan memperkuat jaringan
broadband nasional. Dalam hal ini pemerintah, khususnya
pemerintah daerah memiliki kewajiban untuk ikut berperan
aktif dalam usaha pembangunan jaringan broadband nasional
tersebut.
Kondisi tersebut menjadi ide dasar bagi pengembangan
dan pembangunan sebuah BUMD yang bergerak di bidang TIK.
Peran aktif pemerintah daerah dalam mendukung penguatan
105
konektivitas nasional tersebut, secara jangka pendek juga harus
bisa memberikan kontribusi yang riil bagi daerah, misalnya
dalam hal peningkatan PAD. Hal tersebut mungkin dilaksanakan
secara bersamaan melalui pembangunan dan pengembangan
BUMD yang bergerak di bidang TIK.
Dalam membangun BUMD TIK tersebut, yang terutama
harus diperhatikan, sebagai sebuah rasionalisasi mengapa
BUMD TIK ini layak untuk dibangun dan dikembangkan, adalah
bagaimana model bisnis yang dikembangkan dalam BUMD TIK
ini. Model bisnis ini akan mengacu kepada ruang atau wilayah
pembangunan TIK mana yang bisa diusahakan dan
dikembangkan oleh BUMD sebagai representasi unit usaha
pemerintah. Dalam hal ini, ada 2 ruang pembangunan dan
pengembangan TIK yang bisa diusahakan dan dikembangkan
oleh BUMD, yaitu sebagai berikut:
1. Infrastruktur: pembangunan infrastruktur pasif
seperti dark fiber, duct, tiang, menara, right of way,
fasilitas pusat data (data center) dan pemulihan data
(data recovery).
2. Utilisasi/adopsi: pengelolaan secara terpadu e-
government, e-procurement, dan pengembangan TIK
pada sektor-sektor prioritas seperti pendidikan dan
kesehatan.
Dua ruang usaha dan pengembangan yang dapat
dilakukan oleh BUMD tersebut dijalankan secara bertahap dan
berdasarkan skala prioritas pengembangan daerah terkait.
Untuk menunjang dan mendorong usaha pemerintah
dalam pembangunan dan penguatan jaringan broadband
nasional, maka prioritas usaha yang dijalankan BUMD TIK adalah
pembangunan infrastruktur pasif. Dalam perjalanannya sejauh
106
ini, pembangunan infrastruktur pasif sebagian besar masih
dilakukan oleh pihak swasta, dalam hal ini adalah para operator
telekomunikasi, sehingga pembangunan infrastruktur pasif
penunjang jaringan broadband nasional pun berjalan dengan
lambat. Dalam hal ini, pemerintah melalui BUMD TIK, dapat ikut
melakukan pembangunan infrastruktur pasif, dengan tetap
mendapatkan nilai lebih dari pengelolaan infrastruktur pasif itu
sendiri. Sebaliknya, pihak operator pun mendapat keuntungan
dengan tersedianya infrastruktur pasif tersebut, dimana belanja
modal/capital expenditure (Capex) akan beralih menjadi belanja
operasional/operational expenditure (Opex).
Secara sederhana, infrastruktur pasif yang dibangun dan
dikelola oleh BUMD TIK tersebut, selanjutnya akan disewakan
penggunaannya kepada pihak swasta, dalam hal ini adalah
operator telekomunikasi. Hasil dari sewa-pakai tersebut akan
menjadi sumber pendapatan awal BUMD TIK, yang setelah
dibagi kepada pemerintah daerah, digunakan untuk
pengembangan kegiatan usaha BUMD TIK.
107
Gambar 4.1 Model bisnis BUMD TIK Tahap I
Dengan menjalankan model bisnis tahap pertama
tersebut, BUMD TIK hanya memerlukan biaya yang besar pada
biaya modal pembangunan infrastruktur pasif saja. Selanjutnya,
biaya operasional, seperti pengelolaan dan perawatan fasilitas,
terhitung cukup kecil, sehingga bisa diambil dari hasil sewa
dengan pihak operator. Model bisnis tahap pertama ini,
memungkinkan BUMD TIK untuk meningkatkan akumulasi
modalnya secara signifikan.
Model bisnis yang kedua adalah pengembangan dari
model bisnis yang pertama. Dalam model bisnis tahap kedua,
dibutuhkan inovasi dan profesionalisme dari BUMD TIK itu
sendiri. Hal ini dikarenakan dalam model bisnis tahap kedua,
BUMD TIK akan masuk ke dalam ruang utilisasi atau
pemanfaatan TIK. Pada tahap yang kedua, BUMD TIK sudah
BUMD TIK Infrastruktur
Pasif:
ROW
Ducting
Tiang-Menara
Hand Hole dan
Main Hole
Data Center
Recovery
Center
Operator
Telekomunikasi Pemanfaatan
fasilitas:
Izin gelar
Kabel
Sewa Ducting dan
fasilitas
pendukungnya
POP
108
akan menjalankan fungsi pelayanan publiknya dengan tetap
mengedepankan profesionalismenya dan tetap memiliki
orientasi bisnis yang jelas dan terukur.
Dengan menggunakan jaringan broadband yang sudah
tergelar secara merata di daerah, BUMD TIK, untuk menjalankan
fungsi pelayanan publiknya dapat mengembangkan berbagai
utilisasi TIK, seperti e-government, e-procurement, e-health, e-
education dengan menggunakan konsep pelayanan terpadu.
Client atau konsumen utama pada tahap ini adalah pemerintah
daerah itu sendiri.
Melalui sumber daya yang ada dan dengan tetap
mengedepankan profesionalismenya, BUMD TIK dituntut untuk
mampu mengembangkan dan mengelola sistem pelayanan
terpadu berbasis telematika, dimana jasa layanan ini akan
digunakan oleh pemerintah daerah setempat dalam rangka
meningkatkan performa pelayanan publiknya. Dengan
memanfaatkan jasa layanan yang dikembangkan dan dikelola
BUMD TIK tersebut, pemerintah daerah akan diuntungkan sama
seperti keuntungan yang didapatkan oleh pihak swasta, yaitu
beralihnya belanja modal (Opex) menjadi belanja operasional
(Capex), sehingga APBD untuk bidang-bidang terkait bisa
diefisienkan dan bisa dialihkan untuk bidang-bidang lainnya.
109
Gambar 4.2 Model bisnis BUMD TIK Tahap II
Agar pembangunan dan pengembangan BUMD TIK
tersebut bisa berjalan dengan baik, maka BUMD TIK harus
dikelola secara profesional. Terlebih lagi, bidang teknologi
informasi dan komunikasi yang berkembang dengan cepat,
menuntut BUMD TIK dikelola oleh mereka yang menguasai
bidang ini dengan baik, mampu melakukan adaptasi teknologi
dengan cepat, dapat melakukan inovasi dan pengembangan
teknologi serta usaha dengan baik. Dalam hal ini, tata kelola
BUMD TIK pada dasarnya tidak jauh dari apa yang telah
disampaikan sebelumnya, bahwa sebuah BUMD haruslah
dikelola secara profesional dengan menempatkan
intervensi/campur tangan pemerintah daerah secara
proporsional.
Ketika batasan intervensi/campur tangan pemerintah
daerah dalam BUMD TIK tersebut sudah jelas, maka usaha
untuk mendorong pengelolaan BUMD TIK secara profesional
BUMD TIK Jasa Layanan
Terpadu:
E-government
E-procurement
E-health
E-education
Pemerintah
Daerah Pembelian/Pemanfaa
tan jasa layanan:
E-government
E-procurement
E-health
E-education
110
pun lebih mudah untuk dilaksanakan. Dalam hal ini, komitmen
pemerintah daerah yang menjadi inisiator pembangunan BUMD
TIK, penting untuk dibangun dan dijalankan secara konsisten.
111
Bab V
Case Study: Pilot Project Pengembangan TIK
dan BUMD TIK di Kota Bandung
Sebagai bahan rujukan dan untuk memperjelas
bagaimana pemerintah daerah ikut berperan aktif mendorong
pembangunan jaringan broadband nasional di daerahnya
masing-masing, sebagai satu kesatuan dengan usaha
pemerintah pusat melaksanakan percepatan dan perluasan
pembangunan ekonomi, maka pada bagian akhir buku ini, saya
sampaikan resume pilot project pengembangan TIK dan BUMD
TIK di Kota Ba du g, ya g ke udia dise ut de ga Ke ijaka Penyelenggaraan Saluran Serat Optik Bersama Bawah Tanah Di
Wilayah Kota Ba du g . Ide dasar dari proyek i i adalah bagaimana pemerintah daerah, selain mampu berperan aktif
mendukung kebijakan nasional, juga mampu memperoleh nilai
lebih secara langsung dari usaha tersebut.
Latar belakang proyek ini adalah kebijakan pemerintah
pusat untuk melaksanakan percepatan dan perluasan
pembangunan ekonomi. Salah satu kegiatan utamanya adalah
penguatan konektivitas nasional melalui pembangunan jaringan
broadband nasional. Dalam hal ini pemerintah daerah memiliki
kewajiban untuk menjamin terselenggaranya kebijakan nasional
tersebut di daerah. Terkait dengan Kota Bandung, kebutuhan
untuk memperkuat jaringan broadband di wilayah Kota
Bandung sudah menjadi kebutuhan mengingat pertumbuhan
dan perkembangan pengguna layanan telekomunikasi yang
sangat cepat di Kota Bandung.
112
Kebijakan penyelenggaraan serat optik bawah tanah ini
sejalan dengan kepentingan Pemkot Bandung untuk menata
kembali jalur broadband di wilayah Kota Bandung. Penataan
tersebut dilakukan demi kepentingan pengembangan dan
penataan wilayah kota serta sebagai bagian dari menjaga
estetika kota. Dalam hal ini, Pemkot Bandung menggunakan
Perda No. 18 Tahun 2011 Tentang RTRW Kota Bandung Tahun
2011-2031. Beberapa pasal penting yang dijadikan dasar hukum
kebijakan penyelenggaraan serat optik bawah tanah adalah
sebagai berikut:
1. Pasal ayat : ‘e a a siste prasara a lai ya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri
atas: . ‘e a a siste jari ga teleko u ikasi . 2. Pasal : per ujuda siste jari ga
telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
28 ayat (3) huruf b, terdiri atas:
a. Meningkatkan kualitas pelayanan jaringan
telekomunikasi di Wilayah Bandung Barat;
b. Mengembangkan jaringan telekomunikasi ke
Wilayah Bandung Timur dengan sistem bawah
tanah;
c. Membangun instalasi baru dan pengoperasian
instalasi penyaluran jaringan telekomunikasi; dan
d. Mengembangkan fasilitas telekomunikasi
u u .
Mengacu kepada kepentingan Pemkot Bandung
tersebut, serta dalam rangka menunjang kebijakan
pembangunan jaringan broadband nasional, maka diajukan
beberapa usulan solusi yang menjadi dasar kebijakan
113
penyelenggaraan jaringan serat optik bawah tanah, yaitu
sebagai berikut:
1. Pengendalian dan pengawasan keindahan tata kota
dari infrastruktur jaringang fiber optic (FO) di udara;
2. Peningkatan peranan Pemda pada penataan
infratsruktur telekomunikasi perkotaan (tidak hanya
sekedar ijin galian/ROW saja);
3. Mengupayakan PAD dari sektor layanan infrastruktur
telekomunikasi perkotaan;
4. Percepatan persebaran penyediaan infrastruktur
ducting fiber optic melalui kepastian rencana jalur
ducting perkotaan.
Pemkot Bandung melalui kebijakan ini, akan membangun
jalur FO bawah tanah (ducting) dan menata atau memindahkan
jalur FO udara ke bawah tanah. Pembangunan ducting tersebut
dilaksanakan oleh unit kerja Dinas Bina Marga Kota Bandung,
dengan asumsi tidak terjadi galian dengan rencana 15-20 tahun.
Selanjutnya, pengelolaan dan layanan penggunaan ducting FO
bersama tersebut akan ditangani oleh BUMD TIK Kota Bandung.
Pola investasi dana pembangunan ducting FO bersama
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Dana APBD;
2. Dana bridging: pembangunan dibiayai oleh BUMD
Provinsi. Dana yang dikeluarkan bersifat pinjaman,
dimana pengembaliannya akan diambil dari hasil
sewa ducting FO bersama;
3. Usulan bantuan dari pemerintah pusat pengadaan
ducting FO bersama, terkait dengan pembangunan
jaringan antara Pemerintah Pusat, Provinsi, dan
Kota/Kabupaten.
114
Dengan melihat kepada latar belakang proyek dan pola
investasi yang dijalankan, maka proyek ini melingkupi koordinasi
dengan Pemerintah Pusat dan Provinsi. Penyusunan
kebijakannya pun harus melalui proses koordinasi dari pusat
hingga daerah serta melibatkan pihak operator sebagai
pelaksana telekomunikasi.
Gambar 5.1 Alur penyusunan kebijakan FO bersama
KOTA
Estetika Kota
PUSAT
Permasalahan
pengembangan
broadband
Penggelaran
FO
Tim Ducting
Bersama
Konsep
Ducting
bersama
Rapat
Koordinasi
SKPD Kota
Rapat
Koordinasi
antar
Kementrian
Rapat
Koordinasi
Operator
Rujukan dan
dasar hukum
terkait
Raperwal
/SK
Walikota
Rancangan
Kebijakan
Nasional
Kepres/Kep
men
Juklak
Tarif
Standarisasi
BUMD TIK
Pemindahan
FO
Jangka waktu
Teknis
Operator
ducting
Sanksi
115
Dalam pembangunan jalur FO bawah tanah ini,
Pemerintah Kota Bandung memberikan dukungannya dalam
bentuk:
1. Penerbitan Peraturan Walikota/ SK Walikota tentang
penyelenggaraan saluran serat optik bawah bersama
bawah tanah;
2. Penerbitan Peraturan Walikota/SK Walikota tentang
penyelenggaraan Macro Cell dan Micro Cell (Tower);
3. Perjanjian kerja sama antara Pemerintah Kota
Bandung dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat cq
JATEL yang merupakan BUMD bidang telekomunikasi
milik Provinsi Jawa Barat;
4. Dukungan teknis kebinamargaan;
5. Pembentukan BUMD Kota Bandung bidang
telekomunikasi.
Pembangunan jalur FO bawah tanah ini direncanakan
sepanjang 111,5 Km dengan menghabiskan 28 jalur selongsong
ducting. Dalam hal ini, Pemkot Bandung menjalankan skema
pengusahaan BTO bersama dengan BUMD Provinsi Jawa Barat,
yaitu JATEL. Skema pengusahaan berarti bahwa pihak JATEL
akan menginvenstasikan dananya untuk pembangunan jalur FO
bersama bawah tanah, dimana selama periode konsesi 10-20
tahun, hasil sewa jalur FO bersama bawah tanah tersebut akan
dibagi antara Pemkot Bandung dan JATEL. Setelah periode
konsesi, maka jalur FO bersama bawah tanah tersebut akan
menjadi aset daerah yang pengelolaannya dijalankan oleh
BUMD Kota Bandung bidang TIK.
Dalam proyek pembangunan jalur FO bawah tanah
(ducting) ini, penekanan terhadap aspek bisnis penting untuk
dilakukan mengingat proyek ini, selain untuk mendukung proses
116
pembangunan konektivitas nasional, juga diharapkan mampu
menjadi sebuah model pengembangan BUMD bidang TIK yang
professional. Aspek bisnis yang dimaksud adalah kegiatan sewa-
menyewa fasilitas-fasilitas yang menjadi bagian dari
infrastruktur jalur FO bawah tanah antara pihak operator
telekomunikasi dengan pemerintah daerah melalui BUMD.
Beberapa objek atau fasilitas utama yang dibangun dan
disewakan pada jalur FO bawah tanah ini adalah sebagai
berikut:
1. Ducting: merupakan wadah peletakan kabel FO yang
ditanam didalam tanah dengan ukuran yang
disesuaikan kepada kebutuhan, yaitu berapa banyak
operator telekomunikasi yang akan menggunakan
saluran dan wadah tersebut;
2. Tiang PJU: merupakan sarana penerangan jalan yang
dibangun berdampingan dengan street cabinet.
Dipasang di tiap sisi jalan dengan proyeksi interval
jarak pemasangan sejauh 1 Km. Tiang ini berfungsi
sebagai wadah untuk memasang repeater.
Dengan menyewakan fasilitas-fasilitas yang menjadi
bagian dari infrastruktur jaringan FO bawah tanah tersebut,
maka pemerintah daerah melalui BUMD akan mendapatkan
tambahan pendapatan daerah. Dalam menyewa 1 buah tiang
PJU untuk memasang repeater, operator telekomunikasi harus
mengeluarkan biaya sebesar Rp. 15.000.000,- per bulan,
sehingga untuk tiap 1 Km jaringan FO bawah tanah yang disewa,
khusus untuk memasang repeater, sebuah operator
telekomunikasi harus mengeluarkan biaya sebesar Rp.
30.000.000,-. Sedangkan untuk menyewa jalur ducting per 1 Km,
117
operator telekomunikasi harus mengeluarkan biaya sebesar Rp.
1.500.000,- per bulan.43
Dari kedua fasilitas tersebut, per 1 Km per bulan,
pemerintah daerah mendapatkan pemasukan sebesar Rp.
31.500.000,-. Sedangkan jalur FO bawah tanah yang dibangun
oleh Pemerintah Kota Bandung sepanjang 111,5 Km. Dengan
panjang jalur FO tersebut, dengan asumsi seluruh jalur terisi,
maka dari 1 operator telekomunikasi, tiap bulannya Pemerintah
Kota Bandung akan menerima uang sewa sebesar Rp.
3.512.250.000,-. Sedangkan seperti kita ketahui bersama, bahwa
kebutuhan masyarakat akan informasi dan telekomunikasi saat
ini sangatlah besar. Akses terhadap informasi dan
telekomunikasi sudah menjadi kebutuha pokok masyarakat,
khususnya masyarakat perkotaan, sehingga dapat dikatakan
bahwa bisnis di bidang informasi dan telekomunikasi adalah
is is de ga prospek ya g sa gat aik. Bis is i i adalah is is seu ur hidup , u gki itulah u gkapa sederha a u tuk menggambarkan bagaimana prospek bisnis di bidang informasi
dan telekomunikasi, khususnya pada aspek kegiatan sewa-
menyewa infrastruktur pasif telekomunikasi.
Dalam bisnis ini tentu saja bukan hanya pemerintah
daerah sebagai penyelenggara dan pengelola infrastruktur pasif
saja yang diuntungkan, akan tetapi pihak operator
telekomunikasi sebagai pihak konsumen juga diuntungkan
dengan keberadaan jalur FO bawah tanah tersebut. Untuk
membangun jalur FO bawah tanah sendiri sepanjang 5 Km,
sebuah operator telekomunikasi harus mengeluarkan modal
43
Besarnya biaya sewa mengacu kepada harga sewa yang berlaku umum, sehingga
jika diselenggarakan oleh pemerintah melalui BUMD, kemungkinan harga sewa akan
lebih murah dibandingkan harga sewa yang berlaku umum.
118
untuk biaya pembangunan sekitar Rp. 1.500.000.000,-. Dengan
disediakannya jalur FO bawah tanah oleh pemerintah daerah,
maka pihak oerator telekomunikasi tidak perlu lagi
mengeluarkan modal untuk biaya pembangunan, hanya cukup
mengeluarkan biaya sewa yang menjadi bagian dari biaya
operasional perusahaan. Dalam kerangka ini, pihak operator
telekomunikasi diuntungkan dengan beralihnya orientasi biaya
dari Capital expenditure (Capex) menjadi Operational
expenditure (Opex).
Dengan adanya aspek bisnis dalam proyek ini, maka
proyek pembangunan jalur FO bawah tanah menjadi sebuah
total solusi bagi kebutuhan seluruh pihak, baik pemerintah,
swasta, maupun masyarakat, terhadap tersedianya infrastruktur
pasif telekomunikasi.
Secara keseluruhan, output yang diharapkan dari
pelaksanaan proyek ini adalah sebagai berikut:
1. Bersihnya Kota Bandung dari kabel-kabel FO udara;
2. Perolehan PAD dari hasil sewa jalur FO bawah tanah;
3. Dalam proses pembangunannya Pemkot Bandung
tidak mengeluarkan biaya pembangunan, karena
biaya pembangunan diambil dari dana investasi
JATEL;
4. Dimungkinkannya percepatan pengembangan daerah
baru, khususnya pusat-pusat pertumbuhan ekonomi
baru di Kota Bandung;
5. Pembentukan BUMD Kota Bandung bidang TIK yang
dalam perjalanannya ke depan dapat menjadi
sumber PAD bagi Kota Bandung sekaligus menjadi
sarana pendorong pertumbuhan dan perluasan
pembangunan ekonomi di Kota Bandung.
119
Ringkasan pilot project ini sekiranya mampu
memperjelas bagaimana sebuah BUMD TIK berperan dalam
menyokong pembangunan ekonomi di daerah. Selain itu,
ringkasan ini diharapkan mampu menjadi inspirasi bagi daerah-
daerah lain untuk mendorong pembangunan dan
pengembangan BUMD TIK dalam rangka mendukung
pertumbuhan ekonomi daerah serta mendukung usaha
pemerintah pusat untuk mempercepat dan memperluas
pembangunan ekonomi Indonesia.
120
BAB VI
KESIMPULAN
BUMD yang selama ini dipandang sebagai sebuah unit
usaha milik pemerintah yang tidak berjalan efektif dan tidak
memiliki kontribusi riil dalam membantu peningkatan dan
perluasan pertumbuhan ekonomi di daerah, sudah seharusnya
mengalami perubahan yang mendasar dari sisi praksis dan
manajemen usaha menuju ke arah profesionalisme usaha.
Bersikap professional tidak berarti bahwa sebuah BUMD harus
menjalankan aktivitas usahanya dengan melalaikan fungsi
sosialnya. Menjalankan aktivitas BUMD secara professional
berarti memenuhi tujuan-tujuan yang telah ditetapkan pada
awal pendirian BUMD melalui proses atau kegiatan usaha yang
efektif dan efisien.
Tujuan-tujuan yang dimaksud adalah tujuan profit dan
tujuan pelayanan public jika BUMD tersebut bergerak pada
ranah pelayanan public. Kedua tujuan tersebut tidak perlu
dipertentangkan karena pada dasarnya orientasi terhadap profit
merupakan tujuan utama dari sebuah kegiatan usaha/ekonomi,
sedangkan tujuan pemenuhan fungsi pelayanan public bisa
tercapai secara optimal jika BUMD tersebut mencapai profit
yang ditargetkan sehingga memiliki kapabilitas untuk
menjalankan kegiatannya secara berkelanjutan, serta mampu
melakukan perluasan dan peningkatan kualitas maupun
kuantitas kegiatan usahanya.
“e uah BUMD ya g sehat adalah se uah BUMD ya g secara berkelanjutan mampu meningkatkan kualitas dan
kuantitas usahanya. Peningkatan tersebut dapat dicapai melalui
akumulasi modal, dimana akumulasi tersebut hanya bisa terjadi
121
jika kegiatan usaha berjalan baik dan profit yang ditargetkan
dapat tercapai.
Akumulasi modal menunjukan terjadinya peningkatan
pencapaian profit secara berkelanjutan. Profit yang meningkat
berarti juga peningkatan pemasukan pendapatan daerah,
karena sebagai sebuah perusahaan milik daerah, BUMD
memiliki kewajiban untuk membagi profit yang didapatnya
kepada daerah. Semakin besar profit yang diperoleh oleh BUMD
maka semakin besar pula pendapatan daerah yang diterima dari
sector ini. Pendapatan daerah tersebut kemudian dapat
digunakan untuk berbagai keperluan daerah, salah satunya
adalah peningkatan perekonomian masyarakat.
Dengan semakin berkembangnya sebuah BUMD, maka
peranan BUMD tersebut bagi usaha peningkatan perekonomian
daerah juga akan semakin besar. Peranan tersebut tidak hanya
muncul dari sisi profit yang diperoleh, akan tetapi juga dari
kegiatan usaha yang dilakukan oleh BUMD tersebut.
Berkembangnya kegiatan usaha yang dijalankan oleh BUMD,
secara perlahan akan memunculkan usaha-usaha baru yang
berkaitan dengan usaha yang dijalankan oleh BUMD tersebut.
Berkembangnya kegiatan usaha sebuah BUMD, akan
membuat berkembangnya kebutuhan terhadap pasokan
sumber-sumber daya produksi dan akses terhadap distribusi.
Kebutuhan inilah yang kemudian akan memicu tumbuhnya
jenis-jenis usaha baru. Kondisi tersebut merupakan sebuah
kondisi yang lazim dalam sebuah kegiatan perekonomian,
sehingga secara sederhana pun kita mampu mendapatkan
gambaran bagaimana sebuah BUMD yang sehat akan mampu
berperan efektif dalam meningkatkan pendapatan daerah dan
kegiatan perekonomian di daerah.
122
Pembangunan dan pengembangan BUMD yang sehat
dan professional merupakan sebuah proses yang memerlukan
komitmen semua pihak, khususnya dalam hal ini adalah
pemerintah daerah. Sudah saatnya pemerintah daerah sebagai
pihak yang membentuk, membangun, dan memiliki BUMD,
memiliki visi yang lebih jauh ke depan, yaitu menciptakan BUMD
sebagai salah satu sentra kegiatan ekonomi di daerah, dimana
selain menjadi sumber pendapatan daerah, BUMD tersebut juga
harus mampu menjadi trigger bagi pertumbuhan dan
perkembangan perekonomian di daerah. Oleh karena itu,
kegiatan usaha yang dijalankan oleh sebuah BUMD pun menjadi
penting. BUMD yang dibentuk dan dibangun harus menjalankan
kegiatan usaha yang memenuhi aspek-aspek berikut:
1. Prospek bisnis yang baik: proyeksi kegiatan usaha
yang baik akan sangat berkaitan dengan target
pencapaian profit dan peningkatannya, serta akan
berdampak kepada kontinuitas kegiatan usaha.
2. Ruang usaha yang luas: kegiatan usaha yang
dijalankan harus memiliki arsiran yang luas terhadap
kegiatan usaha yang lain. Hal ini dibutuhkan untuk
memicu muncul dan berkembangnya kegiatan-
kegiatan usaha baru yang mampu meningkatkan
perekonomian daerah.
Kegiatan usaha yang tepat akan memudahkan proses
pengembangan BUMD menjadi salah satu pusat kegiatan
ekonomi di daerah. Salah satu kegiatan usaha yang selama ini
belum dilihat sebagai kegiatan usaha yang layak dikelola oleh
BUMD adalah kegiatan usaha pada bidang Teknologi Informasi
dan Komunikasi (TIK).
123
Dunia TIK yang terus berkembang secara pesat saat ini,
menjadi salah satu indicator yang memperlihatkan bahwa
prospek bisnis pada bidang ini sangat baik. TIK juga saat ini telah
digunakan pada berbagai lapisan masyarakat, digunakan pada
berbagai kegiatan, baik kegiatan pemerintah, social, usaha, dan
lain-lain. Hal tersebut menunjukan bahwa TIK memiliki arsiran
yang sangat luas terhadap kegiatan usaha lainnya.
Dengan demikian, pembangunan dan pengembangan
BUMD bidang TIK merupakan sebuah terobosan yang mampu
merubah mind set seluruh pihak terkait terhadap BUMD selama
ini, serta mampu membuat BUMD menjadi salah satu pusat
kegiatan perekonomian di daerah. Pada akhirnya, keberadaan
BUMD TIK yang sehat dan professional, akan mampu
meningkatkan pendapatan daerah, meningkatkan
perekonomian daerah, dan mampu menjadi pemicu
berkembangannya kegiatan perekonomian di daerah.
Berdasarkan kepada pembahasan pada bab-bab
sebelumnya, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai
berikut:
1. Pemerintah Daerah, dalam rangka menunjang
program nasional Pemerintah Pusat yaitu percepatan
dan perluasan pembangunan ekonomi melalui
penguatan konektivitas nasional, dimana salah satu
indikatornya adalah terselenggaranya jaringan
broadband nasional, serta untuk memenuhu
kebutuhan pihak swasta dan masyarakat, secara
bertahap harus sudah mulai membangun
infrastruktur pasif telekomunikasi yang menjadi
sebuah total solusi bagi kebutuhan semua pihak di
daerahnya masing-masing;
124
2. Dengan dibangunnya infrastruktur pasif
telekomunikasi, yaitu jalur FO bawah tanah (ducting
bersama), yang dilengkapi dengan street cabinet,
Man/Hand Hole, dan PJU untuk memasang repeater
(BTS), dan lain-lain, maka aspek estetika kota menjadi
terpenuhi, dimana kota/daerah akan menjadi bersih
dari kabel-kabel telekomunikasi yang berseliweran di
wilayah udara;
3. Infrastruktur pasif telekomunikasi yang dibangun
oleh pemerintah daerah dan atau BUMD dapat
dimanfaatkan dengan menyewakan pasif
infrastruktur tersebut kepada para perusahaan ISP,
Jartup, TV Kabel, dan lain-lain. Melalui kegiatan
tersebut maka pemerintah daerah akan menerima
PAD non-pajak dan retribusi;
4. Untuk menjamin terselenggaranya kegiatan bisnis
tersebut di atas, maka operasionalisasi kegiatan
bisnis infrastruktur pasif telekomunikasi harus
dilakukan oleh BUMD bidang TIK;
5. Agar berjalannya poin 4 di atas, maka pemerintah
daerah harus membentuk BUMD bidang TIK;
6. Setelah terbentuknya BUMD bidang TIK, maka agar
kegiatan bisnis dan penyelenggaraan program
nasional dapat berjalan secara sinergis, serta untuk
memenuhi output-output yang diharapkan dari
proyek pembangunan infrastruktur pasif
telekomunikasi, pemerintah daerah dan BUMD
bidang TIK membuat sebuah perjanjian kerja sama;
125
7. Infrastruktur pasif telekomunikasi yang telah
dibangun akan menjadi asset milik daerah yang
pengelolaannya dijalankan oleh BUMD bidang TIK.
Berdasarkan kepada kesimpulan tersebut, dalam rangka
menunjang tercapainya program nasional pemerintah pusat
yang masuk dalam MP3EI bidang ICT, maka disarankan kepada
pemerintah pusat untuk mengeluarkan kebijakan, baik dalam
bentuk Perpres/Kepres, maupun Permen/Kepmen, tentang hal-
hal berikut ini:
1. Kebijakan yang meminta agar pemerintah daerah
membangun infrastruktur pasif telekomunikasi di
daerahnya masing-masing;
2. Kebijakan yang mengatur tentang
pengelolaan/operasionalisasi infrastruktur pasif
telekomunikasi harus dilakukan oleh BUMD bidang
TIK;
3. Kebijakan yang meminta kepada pemerintah daerah
untuk membangun BUMD bidang TIK untuk
mengoperasikan infrastruktur pasif telekomunikasi
yang dibangun oleh pemerintah daerah dan atau
BUMD masing-masing daerah.
126
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik, Berita Resmi Statistik , November 2012.
Badan Pusat Statistik, Berita Resmi Statistik , Januari 2013.
Bappe as, ‘a a ga Pe a gu a Ja gka Pa ja g Nasio al Tahun 2005- 5 , 5, Bappe as, Jakarta.
Bappe as, Per epata Pertu uha Eko o i Ya g Berkadila Da Pe guata Pera Gu er ur , Bappe as, Jakarta,
2012.
Boediono, Ekonomi Makro (edisi keempat) , Yogyakarta, BPFE-
Yogyakarta, 2013.
Faisal Basri, BBM Biang Keladi Defisit Perdagangan , Harian
Kompas, 7 Januari 2013.
Firmanzah, Eko o i I do esia da Outlook , Staf Khusus
Presiden Bidang Ekonomi dan Pembangunan, Desember
2012.
Kalakota, Ravi dan Whinston, Andrew B. 1996. Electronic
Co erce : A Ma ager’s Guide”. Boston: Addison –
Wasley Professional, 1st Edition.
Ke e tria Koordi ator Bida g Pereko o ia , Masterpla Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi
127
I do esia , Cetaka Perta a, Jakarta, , Ke e tria Koordinator Bidang Perekonomian.
Klaus “ h a , The Global Competitiveness Report 2012- ”,
World Economic Forum, Geneva, 2012.
Kunarjo, Perencanaan dan Pembiayaan Pembangunan ,
Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 1993.
Kuncoro, M., 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah
(Reformasi, Perencanaan, Strategi, dan Peluang) ,
Erlangga, Jakarta.
Michael E.Porter, Keunggulan Bersaing, Menciptakan dan
Mempertahankan Kinerja Unggul , 1993/1994.
Mustopadidjaja A.R.,dkk, BAPPENAS : Dalam Sejarah
Perencanaan Pembangunan Indonesia 1945-2025 ,
Jakarta: LP3ES, 2012.
Purbo, Onno W dan Wahyudi, Aang Arif, Mengenal E-
Commerce . Jakarta: Elex Media, 2001.