NASKAH AKADEMIK RANCANGAN...
Transcript of NASKAH AKADEMIK RANCANGAN...
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN UNDANG-UNDANG
NOMOR … TAHUN …
TENTANG
TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN
PUSAT PERANCANGAN UNDANG-UNDANG
BADAN KEAHLIAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA
2016
NA RUU TJSP 22 Juli 2016
2
SUSUNAN TIM
Pengarah : K. Johnson Rajagukguk, S.H., M.Hum.
Penanggung Jawab : Dr. Inosentius Samsul, S.H., M.Hum.
Ketua : M. Najib Ibrahim, S.Ag., M.H.
Wakil Ketua : Atisa Praharini, S.H., M.H.
Sekretaris : Sindy Amelia, S.H.
Anggota : 1. Dr. Ujianto Singgih P., M.Si.
2. Nita Ariyulinda, S.H., M.H.
3. Chaerul Umam, S.H., M.H.
4. Ricko Wahyudi, S.H., M.H.
5. Arrista Trimaya, S.H., M.H.
6. Bagus Prasetyo, S.H., M.H.
7. Aan Andrianih, S.H., M.H.
8. Woro Wulaningrum, S.H., M.H.
9. Dinar Wahyuni, S.Sos., M.Si.
10. Kuntari, S.H.
11. Rachmat Wahyudi Hidayat, S.H., M.H.
12. Nova Manda Sari, S.H., M.H.
13. Yanuar Putra Erwin, S.H.
14. Ihsan Badruni Nasution, S.Sy., S.H.
15. Yuwinda Sari Pujianti, S.H.
NA RUU TJSP 22 Juli 2016
3
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
hanya atas karunia dan rahmat-Nya, penyusunan Naskah Akademik
Rancangan Undang-Undang tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
dapat diselesaikan dengan baik dan lancar. Naskah Akademik ini disusun
sebagai dasar pertanggungjawaban ilmiah terhadap penyusunan Rancangan
Undang-Undang tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan sekaligus guna
memenuhi pensyaratan pengajuan Rancangan Undang-Undang sebagaimana
ditentukan dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.
Seperti diketahui, Dewan Perwakilan Rakyat bersama-sama Pemerintah
telah menetapkan RUU tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan masuk di
dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2015-2019 pada urutan
ke 103 untuk segera dibahas. Penetapan RUU tentang Tanggung Jawab Sosial
Perusahaan dalam Prolegnas 2015-2019 tersebut tidak lepas dari fakta empiris
bahwa kebijakan pembangunan ekonomi harus didukung oleh komitmen
perusahaan melalui penyelenggaraan tanggung jawab sosial perusahaan.
Tanggung jawab sosial perusahaan telah menjadi suatu kebutuhan yang
dirasakan bersama antara pemerintah, masyarakat, dan perusahaan
berdasarkan prinsip saling menguntungkan (kemitraan). Tanggung jawab
sosial perusahaan memberikan implikasi positif bagi peningkatan
kesejahteraan masyarakat, meringankan beban pembiayaan, pembangunan
pemerintah, memperkuat investasi perusahaan, serta memperkuat jaringan
kemitraan antara masyarakat, pemerintah, dengan perusahaan.
Akhirnya kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada seluruh
anggota Tim Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang
tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, yang telah bekerja keras
menyelesaikan tugasnya dengan baik. Terima kasih juga kami sampaikan
kepada semua pihak yang telah memberikan sumbangan saran dan pemikiran
NA RUU TJSP 22 Juli 2016
4
hingga tersusunnya Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan ini. Harapan kami, Naskah Akademik
Rancangan Undang-Undang tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan ini
bermanfaat bagi bangsa dan masyarakat Indonesia.
Jakarta, Juli 2016
Tim Penyusun
NA RUU TJSP 22 Juli 2016
5
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 7
A. Latar Belakang ........................................................................ 7
B. Identifikasi Masalah .................................................................. 9
C. Tujuan dan Kegunaan .............................................................. 11
D. Metode Penelitian ..................................................................... 11
E. Sistematika Penulisan .............................................................. 12
BAB II KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS ............................ 13
A. Kajian Teoretis ......................................................................... 13
B. Praktik Empiris ........................................................................ 42
BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT .................................................. 51
BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS ............. 62
A. Landasan Filosofis.................................................................... 62
B. Landasan Sosiologis ................................................................. 64
C. Landasan Yuridis ..................................................................... 67
BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP
MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG ................................................ 69
A. Jangkauan dan Arah Pengaturan .................................... ………….69
B. Ruang Lingkup Materi Muatan Undang-Undang ........................... 70
1. Ketentuan Umum ..................................................................... 71
2. Penyelenggaraan TJSP .............................................................. 72
3. Pendanaan .............................................................................. 74
4. Tugas Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah ……………….. 75
NA RUU TJSP 22 Juli 2016
6
5. Forum TJSP………………………………………………………………... 75
6. Penghargaan............................................................................. 76
7. Sanksi Administratif ………………………………………………........ 77
8. Ketentuan Peralihan ................................................................ 77
9. Ketentuan Penutup ................................................................ 78
BAB V PENUTUP ................................................................................ 80
A. Simpulan ....................................................................................... 80
B. Saran ............................................................................................ 82
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 83
NA RUU TJSP 22 Juli 2016
7
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Cita-cita bangsa Indonesia yang sekaligus merupakan tujuan
nasional bangsa Indonesia adalah untuk melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan
keadilan sosial. Untuk melaksanakan dan mencapai cita-cita dan tujuan
nasional tersebut diperlukan upaya pembangunan yang berkelanjutan yang
merupakan suatu rangkaian pembangunan yang menyeluruh, terarah, dan
terpadu. Upaya pembangunan tersebut adalah melalui pembangunan
perekonomian nasional dan pembangunan sosial.
Pembangunan sosial sebagai strategi kolektif dan terencana guna
meningkatkan kualitas hidup manusia melalui seperangkat kebijakan
sosial yang mencakup sektor pendidikan, kesehatan, perumahan,
ketenagakerjaan, jaminan sosial dan penanggulangan kemiskinan.1 Definisi
pembangunan sosial menurut Midgley adalah suatu proses perubahan
sosial yang terencana dan didesain untuk mengangkat kesejahteraan
penduduk secara menyeluruh dengan menggabungkannya dengan proses
pembangunan ekonomi yang dinamis. Dari kedua definisi tersebut dapat
diketahui bahwa pada intinya tujuan pembangunan sosial adalah untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Perusahaan mempunyai peran penting dalam pembangunan
ekonomi, terutama dalam peningkatan investasi untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Oleh karena itu,
kebijakan pembangunan ekonomi harus didukung oleh komitmen
perusahaan maupun Pemerintah. Sebenarnya tanggung jawab perusahaan
1Didiet Widiowati, Tantangan Pembangunan Sosial di Indonesia, Jakarta: Pusat Sekretariat
Jenderal DPR RI, 2009.
NA RUU TJSP 22 Juli 2016
8
tidak hanya berupa tanggung jawab ekonomi saja, akan tetapi juga
mempunyai tanggung jawab sosial atau tanggung jawab sosial perusahaan
atau Corporate Social Responsibility yang selanjutnya disingkat CSR yang
berkaitan dengan segala aspek yang menunjang berhasilnya perusahaan
tersebut. CSR telah menjadi suatu kebutuhan yang dirasakan bersama
antara pemerintah, masyarakat dan perusahaan berdasarkan prinsip
saling menguntungkan (kemitraan). CSR memberikan implikasi positif bagi
peningkatan kesejahteraan masyarakat, meringankan beban pembiayaan,
pembangunan pemerintah, memperkuat investasi perusahaan, serta
memperkuat jaringan kemitraan antara masyarakat, pemerintah, dengan
perusahaan.2
Berkembangnya konsep awal CSR tidak terlepas dari pemikiran para
pemimpin perusahaan yang pada zaman itu menjalankan usahanya
dengan mengindahkan pada konsep derma (charity) dan prinsip perwalian
(stewardship principle). Kemudian periode awal tahun 1970-an mencatat
babak penting perkembangan konsep CSR ketika para pimpinan
perusahaan terkemuka di Amerika Serikat membentuk Committee for
Economic Development (CED). Dalam salah satu pernyataan CED
disebutkan bahwa kontrak sosial antara masyarakat dan pelaku usaha
telah mengalami perubahan substansial dan penting. Pelaku usaha
dituntut untuk memikul tanggung jawab yang lebih luas kepada
masyarakat serta mengindahkan nilai-nilai kemanusiaan. Perusahaan
diminta untuk memberikan kontribusi lebih besar bagi kehidupan bangsa
Amerika dan bukan sekedar memasok sejumlah barang dan jasa.3
Sejumlah perusahaan nasional dan multinasional di Indonesia telah
melaksanakan CSR, namun masih banyak perusahaan yang belum
melaksanakannya karena dianggap sebagai pengeluaran atau beban biaya.
2Isa Wahyudi dan Busyra Azheri, Corporate Social Responsibility, In-Trans Publishing, 2008,
hal. 15. 3Ismail Solihin, Corporate Social Responsibility, from Charity to Sustainability, Bandung:
Salemba Empat, 2008, hal. 21.
NA RUU TJSP 22 Juli 2016
9
Pada tataran pelaksanaannya, CSR atau Tanggung Jawab Sosial
Perusahaan (TJSP) memiliki makna yang berbeda atau tidak ada
kesesuaian pemahaman antara perusahaan dan masyarakat dalam
memaknai TJSP sehingga seringkali menjadikan tujuan kegiatan TJSP
menjadi tidak tepat sasaran. Tidak adanya based line data masyarakat dan
kurangnya perusahaan melakukan need assesstment, walaupun
perusahaan telah melaksanakan kegiatan/program TJSP tetapi
masyarakat tetap merasa dirugikan. Dengan kata lain, tidak ada
kesepahaman dan kesesuaian antara kegiatan/program TJSP yang
dilakukan oleh perusahaan dengan yang diinginkan oleh masyarakat.
Secara yuridis CSR telah diatur dalam beberapa peraturan seperti
yang diatur dalam ketentuan Pasal 15 UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal, disebutkan bahwa setiap Penanam Modal berkewajiban
untuk menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik dan
melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan. Demikian juga dalam
ketentuan Pasal 74 UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
yang mewajibkan Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di
bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam untuk
melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. Tanggung Jawab
Sosial dan Lingkungan tersebut merupakan kewajiban Perseroan yang
dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang
pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan
kewajaran. Bahkan di dalam Peraturan Menteri BUMN Nomor 7 Tahun
2015 sebagai tururan dari Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2007 tentang
BUMN disebutkan bahwa Perum dan Persero wajib melaksanakan Program
Kemitraan dan Program Bina Lingkungan yang dapat berasal dari
penyisihan sebagian laba setelah pajak.
Dari ketiga peraturan di atas, terlihat adanya ketentuan bagi
perusahaan, termasuk BUMN/BUMD untuk melaksanakan kegiatan TJSP
dalam berbagai bentuk yang ada, sehingga menimbulkan multitafsir dalam
memaknai TJSP. Selain itu, perbedaan pemahaman dalam memaknai TJSP
NA RUU TJSP 22 Juli 2016
10
juga menyebabkan perbedaan pelaksanaan TJSP dan kegiatan TJSP tidak
secara eksplisit dilakukan oleh semua bidang usaha. Untuk itu diperlukan
instrumen hukum yang kuat dalam bentuk undang-undang, yang
mengatur mengenai TJSP sebagai sebuah acuan untuk menjawab semua
permasalahan, perkembangan, dan kebutuhan hukum terkait pelaksanaan
TJSP.
Oleh karena itu, Dewan Perwakilan Rakyat bersama-sama
Pemerintah telah menetapkan RUU tentang Tanggung Jawab Sosial
Perusahaan masuk di dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun
2015-2019 pada urutan ke-103 untuk segera dibahas. Sebagai tindak
lanjutnya, Komisi VIII DPR RI yang salah satu lingkup tugasnya
membidangi urusan sosial melakukan penyusunan Naskah Akademik
sebagai acuan dalam pembentukan Rancangan Undang-Undang tentang
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, terdapat
permasalahan yang dapat diidentifikasi untuk kebutuhan penyusunan Naskah
Akademik ini, yaitu sebagai berikut:
1. Bagaimana teori dan pemikiran yang berkembang saat ini terkait dengan
penyelenggaraan TJSP dan bagaimana praktik empirik yang
menggambarkan permasalahan yang dihadapi dan terjadi dalam
penyelenggaraan TJSP selama ini?
2. Bagaimana ketentuan yang ada saat ini terkait dengan penyelenggaraan
TJSP?
3. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan filosofis, sosiologis, dan yuridis
pembentukan RUU tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan?
4. Apakah sasaran yang ingin diwujudkan, ruang lingkup pengaturan,
jangkauan, dan arah pengaturan dalam RUU tentang Tanggung Jawab
Sosial Perusahaan?
NA RUU TJSP 22 Juli 2016
11
C. Tujuan dan Kegunaan
Sesuai dengan identifikasi masalah yang dikemukakan di atas, tujuan
penyusunan Naskah Akademik adalah sebagai berikut:
1. Mendapatkan gambaran mengenai teori dan pemikiran yang berkembang
saat ini terkait dengan penyelenggaraan TJSP dan praktik empiris yang
menggambarkan permasalahan yang dihadapi dan terjadi dalam
penyelenggaraan TJSP.
2. Mengetahui ketentuan yang ada saat ini terkait dengan penyelenggaraan
TJSP.
3. Merumuskan dasar pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, dan
yuridis pembentukan RUU tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan.
4. Merumuskan sasaran yang ingin diwujudkan, ruang lingkup pengaturan,
jangkauan, dan arah pengaturan dalam RUU tentang Tanggung Jawab
Sosial Perusahaan.
D. Metode Penelitian
Penyusunan Naskah Akademik RUU tentang Tanggung Jawab
Sosial Perusahaan dilakukan melalui studi kepustakaan/literatur dengan
menelaah berbagai data sekunder seperti peraturan perundang-undangan
terkait baik di tingkat undang-undang, peraturan pemerintah maupun
peraturan menteri atau dokumen hukum lainnya, serta hasil penelitian,
hasil pengkajian, dan referensi lainnya.
Guna melengkapi studi kepustakaan dan literatur dilakukan pula
diskusi (focus group discussion) dan wawancara dengan berbagai pihak
berkepentingan atau stakeholders terkait penyelenggaraan TJSP dan para
pakar atau akademisi baik yang berada di Jakarta maupun di beberapa
daerah antara lain dari Universitas Pelita Harapan, Universitas
Internasional Batam, dan Universitas Katolik Soegijapranata Semarang.
Selain itu, dalam penyusunan naskah akademik juga dilakukan pencarian
dan pengumpulan data lapangan ke Kepulauan Riau dan Jawa Tengah
untuk menggali masukan dan saran dari beberapa instansi terkait dan
NA RUU TJSP 22 Juli 2016
12
sumber-sumber lain yang dirasa relevan, termasuk pelaksana dan
pemerhati TJSP.
E. Sistematika Penulisan
Sistematika Naskah Akademik RUU tentang Tanggung Jawab Sosial
Perusahaan yakni sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN, memuat latar belakang, identifikasi masalah,
tujuan dan kegunaan, serta metode penelitian.
BAB II KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS, memuat uraian
mengenai materi yang bersifat teoretis, pelaksanan TJSP di Indonesia, dan
perbandingan TJSP di negara lain.
BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
TERKAIT, memuat kajian terhadap peraturan perundang-undangan terkait
yang memuat kondisi hukum yang ada, keterkaitan undang-undang baru
dengan peraturan perundang-undangan lain.
BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSILOGIS, DAN YURIDIS, memuat
pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang
dibentuk mempertimbangkan landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis.
BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI
UNDANG-UNDANG, memuat jangkauan, arah pengaturan, dan ruang
lingkup dari undang-undang yang dibentuk.
BAB VI PENUTUP, memuat simpulan dan saran.
NA RUU TJSP 22 Juli 2016
13
BAB II
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
A. Kajian Teoretis
1. Pengertian dan Istilah CSR
Konsep Corporate Social Responsibility (CSR) mulai diperkenalkan
pada awal tahun 1970 ketika banyak bermunculan perusahaan swasta
besar yang terus meluaskan pengaruh dan kegiatan usahanya ke
banyak negara di dunia, sehingga dikenal sebagai multi-national
corporations (MNC’s).4 Dalam masa itu berkembang penggunaan istilah
stakeholder (pemangku kepentingan) untuk melengkapi istilah
shareholder (pemegang atau pemilik saham) yang telah ada sebelumnya.
Menurut stakeholder theory, perusahaan tidak hanya sekedar
bertanggungjawab terhadap para shareholder perusahaan bersangkutan,
namun bergeser menjadi lebih luas yaitu pada stakeholder di ranah
sosial kemasyarakatan.5 Berdasarkan teori tersebut, tanggung jawab
perusahaan yang semula hanya diukur sebatas pada indikator ekonomi
(economic focused) dalam laporan keuangan, kini harus bergeser dengan
memperhitungkan faktor sosial (social dimentions) terhadap stakeholder.
Apabila dikaitkan dengan konsep waves of chages (gelombang
perubahan) di perusahaan yang terdiri atas The First Wave, The Second
Wave, The Third Wave, dan The Fourth Wave,6 CSR sesuai dengan
konsep The Fourth Wave yang memiliki ciri, perusahaan tidak hanya
berorientasi pada produksi tetapi ke arah mengabdi dan berperan dalam
4Jimly Asshiddiqie, “Konstitusi Sosial dan Ekonomi serta Perspektif mengenai Tanggung
Jawab Sosial Perusahaan”, Makalah pada Seminar Nasional Integrasi Program CSR dan
Pengembangan Masyarakat, 14 Desember 2010, hal. 3 5http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/2067/BAB%20II.pdf 6Herlien Budiono, Mengapa Perusahaan Wajib Melaksanakan Tanggung Jawab Sosial
terhadap Lingkungan (Dilema Perusahaan di antara Negara, Masyarakat, dan Pasar), Jurnal Legislasi Vol.6No.2 Juni 2009, hal.214-215.
NA RUU TJSP 22 Juli 2016
14
mengatasi isu global seperti global warming, pengentasan kemiskinan,
pengundulan hutan demi kebaikan untuk umat manusia.7
Pada awalnya, istilah yang dikenal adalah Social Responsibility of
Businessmen (SRB). Howard Bowen yang memperkenalkan istilah SRB
menegaskan bahwa yang harus bertanggungjawab dalam pelaksanaan
program tanggung jawab sosial adalah individu pelaku bisnis (sosial
responsibility of businessmen), bukan perusahaan secara kelembagaan.8
Hal ini, kemungkinan besar, didasari pemahaman bahwa individu
pelaku bisnis lah yang menjadi penentu kebijakan perusahaan secara
kelembagaan, termasuk pelaksanaan program tanggung jawab sosial.
Istilah SRB yang diperkenalkan oleh Bowen berimplikasi terhadap
rentannya program tanggung jawab sosial karena tergantung kepada
orientasi pelaku bisnis, tidak melembaga.
Agar program tanggung jawab sosial melembaga dan tidak
tergantung kepada orientasi pelaku bisnis, pada tahun 1970-an9 istilah
CSR menggantikan istilah SRB.Program tanggung jawab sosial didorong
agar menjadi sistem di perusahaan, sehingga siapapun yang menjadi
penentu kebijakan di perusahaan tetap terikat untuk melaksanakan
program tanggung jawab sosial.
Pada awalnya, pendekatan yang dikembangkan dalam praktik
CSR terfokus kepada kegiatan filantropi dan charity10 seperti
memberikan bantuan barang dan dana kepada masyarakat yang
menjadi target sasaran.11 Farmer dan Hogue menyatakan bahwa “Social
responsibility action by a corporation are action that, when judged by
society in the future, are seen to have been maximum help in providing
7Ibid 8Elisabet Garriga dan Domenec Mele, “Corporate Social Responsibility”,hal. 1 mengutip
Howard Bowen Sosial Responsibility of Businessmen 9International Standard ISO 26000: Guideline on Social Responsibility, (Jeneva: ISO, 2010),
h. 5. 10Filantropi berarti kedermawanan kepada sesama. Pusat bahasa, Kamus Bsar bahasa
Indonesia. 11International Standard ISO 26000, page 5.
NA RUU TJSP 22 Juli 2016
15
necessary amounts of desired goods and service at minimum financial and
social cost, distributed as equitably as possible.12 Dalam hal ini Farmer
dan Hogue lebih menekankan bahwa CSR adalah komitmen perusahaan
untuk mampu memberikan apa yang masyarakat inginkan. Jadi
perusahaan tidak hanya dapat menyediakan barang dan memberikan
pelayanan terhadap pembeli barang saja, tetapi juga ikut membantu
memecahkan masalah-masalah seputar masyarakat
Namun pendekatan seperti itu dipandang tidak lagi mencukupi.
Pendekatan yang dikembangkan kemudian mengarah kepada community
development. Menurut Edi Suharto, CSR adalah kepedulian perusahaan
yang menyisihkan sebagian keuntungannya (profit) bagi kepentingan
pembangunan manusia (people) dan lingkungan (planet) secara
berkelanjutan berdasarkan prosedur (procedure) yang tepat dan
profesional.
Perkembangan pendekatan CSR tidak berhenti pada community
development. Perkembangan pendekatan CSR selanjutnya menjadi lebih
luas, yakni mencakup seluruh kegiatan perusahaan.Dengan demikian,
pemahaman tentang kegiatan CSR, mengalami perluasan, tidak hanya
terfokus pada kegiatan filantropi atau terfokus pada masyarakat sekitar,
namun terintegrsi dalam perusahaan, melingkupi seluruh kegiatan
perusahaan.
Menurut World Business Council for Sustainable Development
(WBCSD) yang dipublikasikan dalam Meeting Changing Expectation
(2002):
“Tanggung jawab sosial perusahaan adalah komitmen berkelanjutan dari perusahaan untuk berperilaku etis dan
berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi sekaligus meningkatkan kualitas hidup tenaga kerja dan keluarga
12Richard N.Farmer & Dickerson W.Hogue, Corporate Social Responsibility, DC Healt and
Company, Toronto, 1988, hal. 87.
NA RUU TJSP 22 Juli 2016
16
mereka serta komunitas sekitar dan masyarakat pada umumnya.”13
Harvard Kennedy School mengeluarkan definisi yang melihat corporate
social responsibility (CSR) sebagai suatu strategi dan meliputi seluruh
kegiatan perusahaan:
“CSR, tidak hanya meliputi apa yang dilakukan perusahaan dengan keuntungan mereka, tetapi juga bagaimana keuntungan tersebut dihasilkan. CSR mencakup lebih dari
sekadar kedermawanan dan kepatuhan. CSR dipandang sebagai suatu cara untuk membantu perusahaan mengelola dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan, beserta hubungan
perusahaan dengan lingkungan kerja, pasar, supply chain, komunitas, dan domain kebijakan publik. CSR meliputi
seluruh pengelolaan perusahaan, seperti pengadaan bahan baku, mekanisme produksi, perlakuan terhadap buruh, pengelolaan limbah perusahaan, mekanisme pemasaran hasil
produksi, relasi antara perusahaan dan para pemangku kepentingan (stakeholders) dan perlakuan perusahan
terhadap lingkungan. CSR terintegrasi ke dalam seluruh kebijakan dan aktifitas bisnis perusahaan, mulai dari hulur
hingga hilir.”14
CSR dalam pemahaman seperti itu juga ditegaskan dalam ISO
26000 yang merupakan panduan pelaksanaan program tanggung jawab
sosial (guidance of social responsibility). ISO 26000 menjelaskan:
“Cakupan program tanggung jawab sosial meliputi
pengelolaan organisasi perusahaan (organization governance), penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia (human
rights), peralakuan terhadap buruh sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (labor practices),
penjagaan terhadap kelestarian lingkungan (environment), pengoperasian perusahaan secara fair (fair operating practices), perlindungan terhadap konsumen (consumer
13Katamsi Ginano, Bingung Ihwal Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, Koran Tempo 17
April 2013. 14 Fathony Rahman, Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di Indonesia: Salah Paham? Dalam
Tempo, tanggal 16 Mei 2013 di akses dari http://www.tempo.co/read/kolom/2013/05/16/720/Tanggung-Jawab-Sosial-Perusahaan-di-
Indonesia-Salah-Paham, pada tanggal 22 Juni 2013.
NA RUU TJSP 22 Juli 2016
17
issues), dan terlibat dalam pengembangan masyarakat (community involvement and development)”15.
Pelaksanaan program-program CSR dalam seluruh siklusnya16
dilakukan secara partisipatif. Seluruh pemangku kepentingan
(stakeholders) dilibatkan dan diposisikan sebagai aktor aktif yang dapat
berkontribusi secara setara terhadap pelaksanaan program CSR.
ISO26000 bukan sekadar panduan untuk CSR, tapi juga tanggung
jawab sosial dalam pengertian luas dan dapat digunakan oleh kelompok,
lembaga, institusi, termasuk pemerintah, yang menyadari pentingnya
mengikhtiarkan kehidupan yang berkelanjutan.Mengikuti panduan
ISO26000 berarti memahami dan menerapkan seluruh aspek yang
berkaitan dengan tanggung jawab sosial (ketatalaksanaan, lingkungan,
hak asasi manusia, ketenagakerjaan, praktek operasi yang adil,
konsumen, pelibatan masyarakat, hingga komunikasi).
Menurut Maria Nindita Radyati, pengertian CSR terdiri atas ranah
filosofis dan pragmatis:
a. Secara filosofis, CSR berasal dari teori etika yang terdapat dalam
tiga ranah:
1) Teleologi, berkaitan dengan konsekuensi (utilitarianisme)
Melakukan CSR berarti cara perusahaan menciptakan
bisnis yang yang dapat memberikan kebaikan untuk banyak
orang;
2) Deontology, berhubungan dengan tugas (duty-based)
Perusahaan harus memenuhi tugas dan kewajibannya
sebagai pelaku bisnis (compliance with laws and regulations);
dan
3) Virtue, berkaitan dengan menjaga keseimbangan (virtue-
based)
15International Standard ISO 26000: page 19. 16Secara umum siklus program pembangunan, termasuk CSR meliputi; perencanaan,
pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi.
NA RUU TJSP 22 Juli 2016
18
Perusahaan harus memelihara keseimbangan antara
kerugian dan manfaat yang dihasilkan dari bisnisnya serta
melakukan bisnis yang menjunjung tinggi moral dan
keadilan.
b. Dalam ranah pragmatis, CSR merupakan aktivitas holistik
terintegrasi yang dapat dipakai sebagai bagian dari sistem
manajemen.17
Selanjutnya, Maria mengurutkan jenis kegiatan CSR berdasarkan ruang
lingkup dan kompleksitasnya:
a. Level 1, kepatuhan kepada hukum.
b. Level 2, donasi dan filantropi.
c. Level 3, pengembangan komunitas (community development).
d. Level 4, kegiatan perusahaan menanggung dampak negatif yang
ditimbulkan bisnis pada aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan
(internalizing externalities). Contoh dalam aspek lingkungan,
melakukan pengelolaan limbah melalui manajemen limbah.
e. Level 5, mengintegrasikan CSR dalam sistem manajemen
perusahaan. Contoh rangkaian kegiatan berikut: perusahaan harus
memilih bahan baku yang ramah lingkungan dan aman bagi
kesehatan manusia; para pemasok diajarkan cara menjalankan
bisnis yang bertanggung jawab sosial; proses produksi dilakukan
dengan cara yang bertanggung jawab sosial, misalnya pabrik yang
bersih dengan pencahayaan yang baik dan hemat energi; kemasan
produk menggunakan bahan yang dapat didaur ulang; program
pemasaran perusahaan tidak mengeksploitasi anak.
Menurut Katamsi Ginano, CSR sebagai sistem yang terintegrasi
dalam suatu perusahaan merupakan CSR yang substansial. Demo
buruh merupakan salah satu contoh faktual bahwa CSR substansial
17Maria Nindita Radyati, Salah Kaprah CSR, Sinar Harapan, 13 April 2011,
NA RUU TJSP 22 Juli 2016
19
belumlah menjadi arus utama anutan semua pihak yang
terlibat.Bagaimana mungkin institusi bisnis bangga mengklaim
berkomitmen terhadap CSR, sementara di saat yang bersamaan,
karyawan sebagai pemangku kepentingan utamanya masih berkutat
memperjuangkan hak-hak paling normatif.
Dari berbagai pemahaman tersebut, Amy S.Rahayu mengklasifikan
CSR menjadi CSR eksplisit dan CSR implisit:18
a. CSR eksplisit mengacu kepada kepada kebijakan resmi perusahaan
yang mengarah pada bentuk tanggung jawab terhadap beberapa
kebutuhan masyarakat di sekitar perusahaan. Termasuk dalam
CSR ekplisit adalah keterlibatan secara sukarela, kebijakan yang
mengarah pada pemenuhan self-interest masyarakat, dan program
atau strategi yang mengacu pada tanggung jawab sosial.
b. CSR implisit mengacu pada kelembagaan informal dan formal yang
dibentuk oleh perusahaan dan sudah inherent dalam perusahaan
tersebut. Pada umumnya CSR implisit terlihat pada norma, nilai,
dan aturan yang secara implisit mencerminkan arah dan perhatian
perusahaan/korporasi terhadap lingkungan social, ekonomi, dan
politik di sekitar mereka.
Secara terminologi CSR sesungguhnya merupakan bagian dari
aktivitas sosial perusahaan yang merangkum tiga pengertian, yaitu
pertama philantrophy yang berarti kedermawanan, yang aktivitas
dilaksanakan bersifat insidental, seperti ketika ada bencana atau
peristiwa tertentu. Melibatkan karyawan secara insidental. Kedua, CSR
yang dalam aktivitas sosialnya pelaksanaannya berkesinambungan,
terencana secara berkala, dan penghitungan resiko terukur secara
matang. Umumnya bertujuan untuk meningkatkan reputasi
perusahaan dan kepercayaan publik terhadap produk. Pelaksanaannya
cukup panjang (perencanaan, pelaksanaan, monitoring). Ketiga, CSV
18Jurnal Legislasi hal 325.
NA RUU TJSP 22 Juli 2016
20
(Creating Shared Value), yang dipopulerkan oleh Michael E Porter,
Harvard Business School sejak tahun 2012. CSV tidak hanya
melakukan aktivitas sosial yang satu arah, tapi lebih menekankan pada
bagaimana aktivitas sosial pada masyarakat juga mampu memberikan
nilai bisnis bagi perusahaan.
Aktivitas sosial perusahaan itu merupakan suatu aktivitas
korporasi yang berdasarkan nilai-nilai etik (moralitas), berkaitan dengan
peningkatan ekonomi/kualitas hidup baik pihak internal perusahaan,
ataupun masyarakat dan lingkungan, serta memberi manfaat bagi
masyarakat dan perusahaan. Aktivitas sosial perusahaan ini setidaknya
memiliki prinsip:
a. Kontribusi untuk kemajuan ekonomi;
b. Menghormati hak asasi manusia;
c. Meciptakan kerjasama dengan masyarakat lokal (local economic
development);
d. Pembentukan human capital (membuka lap kerja dan pelatihan );
e. Menahan diri untuk tidak menyiasati hukum;
f. Memagang teguh prinsip good corporate governance;
g. Manajemen yang membangun kepercayaan publik;
h. Tidak memberlakukan diskriminasi; dan
i. Bersikap imparsial terhadap persoalan politik.
Di Indonesia, terdapat beragam padanan istilah CSR, seperti
Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL), Tanggung Jawab Sosial
Perusahaan (TJSP), Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL),
dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (TJSP). Istilah TJSL dipakai
dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT).
Berdasarkan UU PT, TJSL adalah “komitmen Perseroan untuk berperan
serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan
NA RUU TJSP 22 Juli 2016
21
kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan
sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya”19.
TJSP digunakan, misalnya, dalam Peraturan Daerah (Perda)
Provinsi Jawa Timur No. 4 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Sosial
Perusahaan. TJSP dimaknai sebagai “tanggung jawab yang melekat pada
setiap perusahaan untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi,
seimbang dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma dan budaya
masyarakat setempat”20. PKBL digunakan, misalnya, dalam Peraturan
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Nomor: PER-20/MBU/2012
tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik
Negara Nomor PER-05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan Badan
Usaha Milik Negara Dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan.
PK, maksudnya, adalah “program untuk meningkatkan kemampuan
usaha kecil agar menjadi tangguh dan mandiri melalui pemanfaatan dana
dari bagian laba BUMN”. BL dimaksudkan sebagai “program
pemberdayaan kondisi sosial masyarakat oleh BUMN melalui
pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN”21.
Pengertian istilah TJSP tidak banyak berbeda dengan TJSP.
Perbedaannya, hanya pada kata “perusahaan” dan “perusahaan”. Kata
perusahaan sering digunakan dengan merujuk kepada perusahaan yang
berskala besar, sebaliknya kata perusahaan dapat digunakan dengan
merujuk kepada perusahaan besar dan kecil, termasuk Usaha Kecil dan
Menengah (UKM).
Bertitik tolak dari penjelasan konseptual CSR ini, maka padanan
istilah CSR sebagaimana diuraikan di atas ada yang selaras dan ada
yang kurang selaras. Padanan istilah yang selaras adalah TJSL, TJSP
dan TJSP. Sedangkan PKBL kurang selaras karena PK berangkat dari
19UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Pasal 1, ayat 3. 20Perda Provinsi Jawa Timur No. 4 Tahun 2011, Pasal 1, ayat 5. 21Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Nomor: PER-20/MBU/2012 tentang
Perubahan Atas Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor PER-05/MBU/2007 Tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara Dengan Usaha Kecil
dan Program Bina Lingkungan, pasal 1, ayat 6 dan 7.
NA RUU TJSP 22 Juli 2016
22
asumsi bahwa pemberdayaan UKM dilakukan dengan pemberian kredit
dan bimbingan managemen dan pemasaran, namun UKM mempunyai
kewajiban untuk mengembalikan kredit tersebut.Dengan demikian, UKM
yang menerima PK adalah nasabah bukan penerima manfaat
(beneficiaries).
Program CSR adalah program hibah, karena itu kelompok
masyarakat yang menjadi penerimanya tidak memiliki kewajiban untuk
mengembalikan dana yang mereka terima. Mereka hanya memiliki
kewajiban untuk memanfaatkan program CSR untuk keberdayaan
dirinya. Walau TJSL, TJSP dan TJSP adalah padanan istilah yang
selaras dengan CSR, tapi dalam praktiknya juga dituntut meliputi
seluruh siklus pengelolaan bisnis perusahaan dari hulu hingga hilir
dengan berperilaku etis. Untuk dapat melingkupi seluruh pemangku
kepentingan dalam penyelenggaraan program CSR maka digunakan
istilah TJSP dalam undang-undang ini.
Berkaitan dengan keterlibatan negara (pemerintah) dalam
pelaksanaan CSR, walau pergulatan CSR telah dimulai sejak tahun
1953, namun baru pada tahun 1980-an negara-negara di Eropa dan
Amerika Utara menyepakati pelaksanaan CSR dan kemudian disusul
negara-negara lainnya. Keterlibatan pemerintah di Eropa dan Amerika
Utara dalam pelaksanaan CSR berbeda karena perbedaan sistem politik.
Eropa mempraktikkan sistem politik sosial demokratis, karena itu
memungkinkan pemerintah terlibat dalam pelaksanaan kegiatan-
kegiatan ekonomi dan sosial, termasuk program CSR. Bahkan sebagian
negara di Eropa menasionalisasi perusahaan-perusahaan yang dapat
berkontribusi langsung terhadap pembangunan sosial seperti
perusahaan asuransi kesehatan, pensiun, dan komoditas sosial
lainnya.Amerika Utara mempraktikkan sistem politik liberal demokratis,
karena itu keterlibatan pemerintah dalam kegiatan ekonomi dan sosial,
termasuk CSR sangat minim.Mekanisme pengelolaan kegiatan ekonomi
dan sosial dipercayakan kepada pasar, tetapi pemerintah memberikan
NA RUU TJSP 22 Juli 2016
23
insentif terhadap organisasi sosial dan profit yang melaksanakan
kegiatan-kegiatan sosial seperti pengurangan pajak22.Jadi, sistem politik
yang dipraktikkan di suatu negara berimplikasi terhadap keterlibatan
pemerintah dalam pelaksanaan CSR.
Adapun sistem politik yang dipraktikkan di Indonesia berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun
1945 (UUD 45). Sila ke lima Pancasila adalah tentang “Keadilan Sosial
Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Sila ini memberi kewajiban kepada
pemerintah untuk melaksanakan program-program yang bertujuan
untuk mewujudkan keadilan sosial, salah satu bentuk kewajiban
pemerintah tersebut adalah keterlibatan pemerintah dalam
penyelenggaraan program CSR.Sesuai dengan kewenangan yang
dimiliki, maka pemerintah dapat terlibat dalam pelaksanaan program
CSR sebagai regulator, pengendali dan pengawas yang diwujudkan
dalam bentuk peraturan perundang-undangan.
Terkait dengan sifat pengaturan pelaksanaan program CSR
terdapat dua pandangan, wajib atau sukarela. Bagi mereka yang
menghendaki agar pelaksanaan CSR diwajibkan, karena kalau tidak
diwajibkan, maka perusahaan tidak akan melaksanakan program
CSR.23Sebaliknya, bagi yang mendukung bahwa pelaksanaan program
CSR adalah sukarela, karena program CSR seharusnya melampaui
kewajiban.Kalau sekedar kewajiban, maka spirit pelaksanaan program
CSR hanya memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan,
padahal tanggung jawab sosial semestinya teintegrasi ke dalam seluruh
kebijakan dan kegiatan yang dirumuskan dan dilaksanakan oleh
perusahaan24. Ada pula yang mengusulkan agar pengaturan tentang
22Dirk Matten dan Jeremy Moon, “Implicit and Explicit CSR: A Conceptual Framework for A
Comparative Understanding of Corporate Social Responsibility”, dalam Academy of Management Review2008, Vol. 33, No. 2, 404–424, h. 407.
23Wawancara dengan Ibu Ida Matiningsih (Hub. Kelembagaan dan Komunitas Bank Jatim) pada tanggal 29 Mei 2013 di Kantor Pusat Bank Jatim di Surabaya, Jawa Timur.
24Wawancara dengan Bapak Anggar (Manager Corporate Social Responsibility [CSR] PT. HM.
Sampoerna Tbk.) pada hari Kamis, tanggal 30 Mei 2013, di Surabaya.
NA RUU TJSP 22 Juli 2016
24
pelaksanaan program CSR harus bersifat lex imperfecta, artinya
ketentuan wajib tentang pelaksanaan CSR tidak berakibat adanya
sanksi bagi mereka yang tidak melaksanakannya.25
Oleh karena itu dalam rancangan undang-undang ini CSR dapat
diartikan sebagai tanggung jawab sosial perusahaan dengan
menggunakan istilah TJSP yang merupakan kegiatan sukarela yang
dilakukan oleh perusahaan terutama terhadap masyarakat di sekitar
lingkungan produksinya yang terkena dampak langsung dari
aktifitasnya, dan/atau masyarakat yang tidak berada di lingkungan
produksi dan tidak terkena dampak langsung akibat aktifitas
perusahaan. Tindakan sukarela ini merupakan tanggung jawab sosial
sekaligus kebutuhan perusahaan untuk berinteraksi baik langsung
maupun tidak langsung dengan masyarakat dan lingkungan.
2. Prinsip Corporate Social Responsibility (CSR)
TJSP atau CSR merupakan salah satu bentuk implementasi dari
konsep good corporate governance (GCG), dimana perusahaan sebagai
suatu entitas bisnis turut bertanggung jawab terhadap masyarakat dan
lingkungannya, dan perusahaan memang harus bertindak sebagai good
citizen yang merupakan tuntutan dari good bussiness ethics. Terdapat
lima prinsip GCG yang dijadikan pedoman bagi para pelaku bisnis, yaitu
transparency (keterbukaan informasi), accountability (akuntabilitas),
responsibility (pertanggungjawaban), indepandency (kemandirian) dan
fairness (kesetaraan dan kewajaran). Dari kelima prinsip diatas, prinsip
responsibility merupakan prinsip yang mempunyai kekerabatan paling
dekat dengan TJSP. Dalam prinsip responsibility, penekanan yang
signifikan diberikan kepada stakeholders perusahaan. Melalui
penerapan prinsip ini diharapkan perusahaan dapat menyadari bahwa
25Wawancara dengan manager CSR Bank Pembangunan Sumatera Selatan dan Bangka
Belitung, pada tanggal 27 Mei 2013 di Palembang.
NA RUU TJSP 22 Juli 2016
25
dalam kegiatan operasionalnya seringkali ia menghasilkan dampak
eksternal yang harus ditanggung oleh stakeholders26.
Secara literatur, Warhurst, sebagaimana dikutip Wibisono,
mengurai prinsip-prinsip TJSP itu sendiri adalah sebagai berikut27:
1. Prioritas korporat. Mengakui tanggung jawab sosial sebagai prioritas
tertinggi korporat dan penentu utama pembangunan berkelanjutan.
2. Manajemen terpadu. Mengintegrasikan kebijakan, program dan
praktek ke dalam setiap kegiatan bisnis sebagai satu unsur
manajemen dalam semua fungsi manajemen.
3. Proses perbaikan. Secara bersinambungan memperbaiki kebijakan,
program dan kinerja sosial korporat, berdasar temuan riset mutakhir
dan memahami kebutuhan sosial serta menerapkan kriteria sosial
tersebut secara internasional.
4. Pendidikan karyawan. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan
serta memotivasi karyawan.
5. Pengkajian. Melakukan kajian dampak sosial sebelum memulai
kegiatan atau proyek baru dan
6. Produk dan jasa. Mengembangkan produk dan jasa yang tak
berdampak negatif secara sosial.
7. Informasi publik. Memberi informasi dan (bila diperlukan) mendidik
pelanggan, distributor dan publik tentang penggunaan yang aman,
transportasi, penyimpanan dan pembuangan produk, dan begitu
pula dengan jasa.
8. Fasilitas dan operasi. Mengembangkan, merancang dan
mengoperasikan fasilitas serta menjalankan kegiatan yang
mempertimbangkan temuan kajian dampak sosial.
9. Penelitian. Melakukan atau mendukung penelitian dampak sosial
bahan baku, produk, proses, emisi dan limbah yang terkait dengan
26Yusuf Wibisono, Membedah Konsep dan Aplikasi CSR, (Gresik: Fascho Publishing,
2007), hal. 11-12. 27Yusuf Wibisono, Ibid., hal. 39.
NA RUU TJSP 22 Juli 2016
26
kegiatan usaha dan penelitian yang menjadi sarana untuk
mengurangi dampak negatif.
10. Prinsip pencegahan. Memodifikasi manufaktur, pemasaran atau
penggunaan produk atau jasa, sejalan dengan penelitian mutakhir,
untuk mencegah dampak sosial yang bersifat negatif.
11. Kontraktor dan pemasok. Mendorong penggunaan prinsip-prinsip
tanggung jawab sosial korporat yang dijalankan kalangan kontraktor
dan pemasok, disamping itu bila diperlukan mensyaratkan
perbaikan dalam praktek bisnis yang dilakukan kontraktor dan
pemasok.
12. Siaga menghadapi darurat. Menyusun dan merumuskan rencana
menghadapi keadaan darurat, dan bila terjadi keadaan berbahaya
bekerja sama dengan layanan gawat darurat, instansi berwenang dan
komunitas lokal. Sekaligus mengenali potensi bahaya yang muncul.
13. Transfer best practice. Berkontribusi pada pengembangan dan
transfer praktek bisnis yang bertanggung jawab secara sosial pada
semua industri dan sektor publik.
14. Memberi sumbangan. Sumbangan untuk usaha bersama,
pengembangan kebijakan publik dan bisnis, lembaga pemerintah
dan lintas departemen pemerintah serta lembaga pendidikan yang
akan meningkatkan kesadaran tentang tanggung jawab sosial.
15. Keterbukaan. Menumbuh kembangkan keterbukaan dan dialog
dengan pekerja dan publik, mengatisipasi dan memberi respons
terhadap potencial hazard, dan dampak operasi, produk, limbah atau
jasa.
16. Pencapaian dan pelaporan. Mengevaluasi kinerja sosial,
melaksanakan audit sosial secara berkala dan mengkaji pencapaian
berdasarkan kriteria korporat dan peraturan perundangundangan
dan menyampaikan informasi tersebut pada dewan direksi,
pemegang saham, pekerja dan publik.
NA RUU TJSP 22 Juli 2016
27
Crowther and Aras28 juga mengemukakan 3 prinsip utama dari
TJSP yaitu:
1. Sustainibility atau keberlanjutan, merupakan prinsip CSR yang
menekankan pada efek atau dampak masa depan akibat tindakan
perusahaan atau korporasi pada saat ini. Misalnya, penggunaan
sumber daya alam oleh suatu sekrang harus diimbangi dengan
adanya perhatian serius melalui pemikiran yang sungguh-sungguh
apa dampaknya terhadap generasi mendatang dan lingkungan masa
depan. Artinya, pengkuran “keberlanjutan”mencakup jumlah atau
kuantitas dari sumber daya alam yang dikonsumsi oleh korporasi,
dan hubungannya dengan jumlah atau kuantitas yang mampu
dipulihkan kembali untuk generasi yang akan datang.
2. Accountabilit, merupakan salah satu prinsip yang pada garis
besarnya menegaskan bahwa pada dasarnya setiap organisasi adalah
bagian dari masyarakat luas, sehingga tanggung jawab suatu
organisasi atau korporasi tidak hanya sebatas pada pemilik semata
melainkan juga kepada seluruh pemangku kepentingan bail internal
maupun eksternal. Setiap pengambilan keputusan harus
mempertimbangka manfaat dan dampaknya terhadap seluruh
pemangku kepentingan tersebut.
3. Transparency, sebagai prinsip penting dari TJSP, transparansi
bermakna bahwa apapun tindakan organisasi atau korporasi yang
berdampak dan berpengaruh terhadap lilngkungan eksternal harus
dikomunikasikan kepada masyarakat secara detail latar belakang
tindakan korporasi dan apa tujuannya, informasi tersebut penting
sebagai bentuk pertanggungjawaban pada pemangku kepentingan
eksternal secara terbuka.
Pelaksanaan TJSP saat ini menjadi kebutuhan bagi perusahaan,
karena dengan TJSP akan tercipta suasana harmonis antara
28
Guler Aras and David Crowther, Corporate Social Responsibility, US: Ventus Publishing ApS, 2008.
NA RUU TJSP 22 Juli 2016
28
perusahaan dan lingkungan sosialnya, yang pada akhirnya menjamin
kelangsungan perusahaan itu sendiri. Perlu diperbaharui semangat
untuk merealisasikan TJSP secara kongkrit bagi seluruh masyarakat.
Di era keterbukaan saat ini, peningkatan citra perusahaan
memegang peranan yang sangat penting dengan cara mempraktikkan
TJSP, karena kinerja sosial perusahaan tidak saja mempunyai kinerja
ekonomis tetapi juga kinerja sosial. Disadari betul bahwa bagi
perusahaan masih ada hal lain yang perlu di perhatikan dari pada hanya
memperoleh laba sebesar mungkin, yaitu tidak kalah pentingnya
mempunyai hubungan baik dengan masyarakat disekitar pabrik dan
dengan masyarakat umum. Untuk mencapai tujuan itu perlu kesediaan
perusahaan untuk menginvestasikan dananya terkhusus bagi kegiatan
TJSP atau CSR.29
3. Pelaku Corporate Social Responsibility (CSR)
Paham tentang CSR tidak terlepas dari konsep diakuinya
perseroan terbatas sebagai subjek hukum yang mandiri dalam lalu lintas
hukum sebagaimana layaknya manusia yang cakap dan mampu
bertindak.30 Setelah konsep tentang perseroan sebagai separate legal
entity diakui, muncul beberapa konsep baru bahwa bukan hanya
manusia yang dapat melakukan tindak pidana, namun perseroanpun
dapat melakukan tindak pidana.Jadi perseroan juga harus
memperhatikan dengan cermat tindak tanduknya dalam lalu lintas
hukum.
Perkembangan yang lebih mutakhir dari paham tentang perseroan
yang kedudukannya semakin mirip dengan manusia, adalah konsep
tentang perseroan sebagai good corporate citizen yang menegaskan
bahwa perseroan sebagaimana layaknya manusia tidak boleh hanya
29https://ferli1982.wordpress.com/2013/02/13/implementasi-prinsip-corporate-social-
responsibility-csr-dalam-kegiatan-perusahaan-di-indonesia/, diunduh Jumat, 3 Juni 2016, pukul 17.40 WIB.
30Jurnal Legislasi, hal.345
NA RUU TJSP 22 Juli 2016
29
memperhatikan kepentingan dirinya sendiri, namun harus menaruh
perhatian pula terhadap kebutuhan masyarakat sekelilingnya bahkan
pada masyarakat pada umumnya yang masih memerlukan bantuan.
Perseroan sebagai good corporate citizen sangat diharapkan kepekaannya
terhadap kebutuhan masyarakat dan perseroan tidak boleh bersikap
egois atau hanya memperhatikan tujuan perseroan yang mendasar yaitu
mengejar keuntungan atau laba bagi perseroan.
Secara teoritis CSR merupakan inti dari etika bisnis, dimana suatu
perusahaan tidak hanya mempunyai kewajiban ekonomis dan legal
kepada pemegang saham (shareholders), tetapi perusahaan juga
mempunyai kewajiban terhadap pihak lain yang berkepentingan
(stakeholders). Semua itu tidak lepas dari kenyataan bahwa suatu
perusahaan tidak bisa hidup, beroperasi, dan bertahan serta
memperoleh keuntungan tanpa bantuan dari berbagai pihak.31 Jadi CSR
lebih menunjukkan kepedulian perusahaan terhadap kepentingan
pihak-pihak lain secara lebih luas daripada hanya sekedar kepentingan
perusahaan itu sendiri. CSR itu sendiri merujuk pada semua hubungan
yang terjadi antara perusahaan dengan pelanggan (customers), karyawan
(employers), komunitas masyarakat, investor, pemerintah dan pemasok
(supplier) serta kompetitornya sendiri.
Selama ini image yang berkembang pada sebagian besar
perusahaan sehubungan keterlibatannya dalam berbagai kegiatan sosial
secara tradisional dianggap sebagai wujud paling urgen sebagai
implementasi CSR. Bahkan ada image yang menyatakan bahwa
keterlibatan perusahaan pada kegiatan sosial inilah satu-satunya
kegiatan CSR. Oleh karena itu, diharapkan perusahaan tidak hanya
melakukan kegiatan bisnis demi mencari keuntungan, melainkan juga
ikut memikirkan kebaikan, kemajuan dan kesejahteraan masyarakat
dengan keterlibatannya dalam berbagai kegiatan sosial dalam mengatasi
31Erni R. Ernawan, Business Ethics, Alfabeta, Bandung, 2007, hal. 110.
NA RUU TJSP 22 Juli 2016
30
ketimpangan sosial dan ekonomi. Kegiatan sosial ini dapat diwujudkan
dalam berbagai bentuk diantaranya pembangunan rumah ibadah,
membangun sarana dan prasarana fasilitas umum, penghijauan,
pemberian beasiswa, pelatihan secara cuma-cuma, dan lain sebagainya.
Dari sekian banyak bentuk kegiatan sosial yang dapat dilakukan
oleh perusahaan, yang paling banyak mendapatkan sorotan adalah
kegiatan sosial yang dapat memecahkan masalah ketimpangan sosial
dan ekonomi.Kegiatan ini didasarkan atas konsep keadilan distributif
atau keadilan ekonomi dari Aristoteles yang prinsipnya menyatakan
bahwa distribusi ekonomi baru dianggap adil apabila dibagi merata bagi
semua warga.32Kegiatan ini dapat dilakukan dalam bentuk membangun
pola kemitraan dan pembinaan antara pengusaha besar, kecil, dan
koperasi. Ada beberapa alasan mengapa perusahaan dilibatkan
dan/atau melibatkan diri dalam kegiatan sosial tersebut:
1) Perusahaan dan karyawan adalah bagian integral dari masyarakat
setempat;
2) Perusahaan telah diuntungkan dengan mendapatkan hak untuk
mengelola sumber daya alam atau aktivitas lainnya yang ada dalam
masyarakat dan mendatangkan keuntungan bagi perusahaan. Pada
tingkat tertentu masyarakat telah berjasa dengan menyediakan
tenaga professional bagi perusahaan;
3) Perusahaan telah memperlihatkan komitmen moralnya untuk tidak
melakukan aktifitas yang merugikan masyarakat; dan
4) Sebagai upaya menjalin interaksi dan komunikasi antara perusahaan
dengan masyarakat, supaya keberadaan perusahaan dapat diterima
di tengah-tengah masyarakat. Pada tingkatan tertentu akan
melahirkan rasa memiliki (sence of belongings) masyarakat terhadap
perusahaan.
32Sonny Keraf, Etika Bisnis, Tuntutan dan Relevansinya, Kanisius, Yogyakarta, 1998, Hal.
142.
NA RUU TJSP 22 Juli 2016
31
4. CSR sebagai Problem Solving atau Pencitraan
Berbagai aktivitas korporasi membawa dampak yang nyata terhadap
kualitas kehidupan manusia baik itu terhadap individu, masyarakat,
dan seluruh kehidupan.Aktivitas CSR dan pembentukan reputasi
organisasi bentuk-bentuk tanggungjawab sosial yang ideal tentunya
bukan hanya muncul semata-mata untuk mencari nama baik sehingga
bisa membangun reputasi, namun justru sudah muncul sejak sebuah
organisasi berdiri. Sehingga turut pula tertuang dalam visi, misi dan
tujuan organisasi.Sehingga pada akhirnya aktivitas tanggung jawab
sosial adalah bagian integral dari manajemen strategi.
Dengan turut ambil bagian dalam isu sosial, maka organisasi
menunjukkan cerminan dari realitas organisasi yang peduli terhadap
fenomena sosial. Sebuah organisasi dalam menjalankan aktivitas
tanggungjawab sosial, sudah pasti akan melibatkan publiknya. Dengan
demikian harmonisasi dari sebuah hubungan yang dibina oleh
organisasi memperoleh wujud nyata yang akan memberikan manfaat
bukan hanya bagi nama baik organiasi namun juga kepada masyarakat
secara luas. Keberhasilan organisasi dalam menjalankan tanggung
jawab sosial akan memberikan efek “domino” bagi organisasi lain,
artinya ada pengaruh yang positif yang akan dipetik oleh organisasi lain
untuk melakukan hal yang sama.
Komitmen untuk melakukan tanggung jawab sosial bukan
semata-mata untuk investasi sebuah organisasi, namun sudah merasuk
pada nafas kehidupan dan keberlanjutan organisasi.Untuk itu
setidaknya terwujud setiap keputusan penting dan operasi organisasi,
sehingga menjadi bagian dari setiap jenjang dalam organisasi. Pada
akhirnya wacana tanggung jawab sosial akan menjadi pemikat bagi
semua pihak untuk mewujudkanya secara konkrit dalam tindakan
nyata.
NA RUU TJSP 22 Juli 2016
32
Berbagai macam faktor yang menjadi penyebab mengapa tanggung
jawab sosial menjadi begitu penting dalam lingkup organisasi,
diantaranya:33
a. Adanya arus globalisasi, yang memberikan gambaran tentang
hilangnya garis pembatas diantara berbagai wilayah di dunia
sehingga menghadirkan universalitas. Dengan demikian menjadi
sangat mungkin perusahaan multinasional dapat berkembang
dimana saja sebagai mata rantai globalisasi;
b. Konsumen dan investor sebagai public primer organisasi profit
membutuhkan gambaran mengenai tanggung jawab organisasi
terhadap isu sosial dan lingkungannya;
c. Sebagai bagian dalam etika berorganisasi, maka dibutuhkan
tanggung jawab organisasi untuk dapat mengelola organisasi
dengan baik (lebih layak dikenal dengan good corporate
governance);
d. Masyarakat pada beberapa negara menganggap bahwa organisasi
sudah memenuhi standard etika berorganisasi, ketika organisasi
tersebut peduli pada lingkungan dan masalah sosial;
e. Tanggung jawab sosial setidaknya dapat mereduksi krisis yang
berpotensi terjadi pada organisasi;
f. Tanggung jawab sosial dianggap dapat meningkatkan reputasi
organisasi.
CSR bukan saja upaya menunjukkan kepedulian sebuah
organiasasi pada persoalan sosial dan lingkungan, namun juga dapat
menjadi pendukung terwujudnya pembangunan yang
berkesinambungan dengan menyeimbangan aspek ekonomi dan
pembangunan sosial yang didukung dengan perlindungan lingkungan
hidup.Dalam rangka merespon perubahan dan menciptakan hubungan
kepercayaan, maka upaya yang kini dilaksanakan oleh organisasi
33Sulistyaningtyas, I. D, Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dalam Program Kampanye
Sosial. Jurnal Ilmu Komunikasi, 2006 Vol. 3 No. 1, 63-76.
NA RUU TJSP 22 Juli 2016
33
(khususnya organisasi bisnis) adalah merancang dan mengembangkan
serangkaian program yang mengarah pada bentuk tanggung jawab
sosial.Program ini menjadi parameter kepedulian organisasi dengan
mengembangkan sayap sosial kepada publik. Kepedulian dan
pengembangan sayap ini bukan dalam kerangka membagi-bagi “harta”
sehingga dapat menyenangkan banyak pihak, tetapi lebih pada
bagaimana memberdayakan masyarakat, agar bersama-sama dengan
organisasi dapat peduli terhadap lingkungan sosial.
Dalam prakteknya, perusahaan tidak hanya memfokuskan pada
pemberian bantuan secara finansial.Sangat banyak data yang mencatat
usaha perusahaan yang berkontribusi dalam pembangunan fisik
maupun sosial melalui program CSR nya.
CSR menurut Anne34 sebagai sebuah kegiatan diperlukan untuk
hal-hal sebagai berikut:
a. Menyeimbangkan antara kekuatan korporasi dengan aspek
tanggungjawab;
b. Mengurangi adanya regulasi pemerintah (yang berlebihan);
c. Meningkatkan keuntungan jangka panjang;
d. Meningkatkan nilai dan reputasi korporasi;
e. Memperbaiki permasalahan sosial yang disebabkan oleh perusahaan.
Kemudian Kotler & Nance35 menambahkan dengan menekankan
pada aspek bisnis yaitu CSR dapat:
a. Meningkatkan penjualan dan pangsa pasar;
b. Memperkuat posisi merek dagang;
c. Meningkatkan kemampuan untuk menarik, memotivasi dan
memelihara karyawan;
d. Menurunkan biaya operasi;
34Anne, L. T. (2005). Business and Society: Stake Holders, Ethics, Public Policy (International,
11 ed.): Mc Graw Hill. 35Kotler, P., & Nance, L. (2005).Corporate Social Responsibility: Doing The Most Good for Your
Company and Your Cause: John Wiley & Sons Inc.
NA RUU TJSP 22 Juli 2016
34
e. Menarik minat investor dan para analis keuangan.
Konsep CSR tidak terlapas dari teori kontrak sosial (Social Contract
Theory. Teori ini muncul karena adanya interelasi dalam kehidupan sosial
masyarakat, agar terjadi keselarasan, keserasian, dan keseimbangan,
termasuk dalam lingkungan. Perusahaan yang merupakan kelompok
orang yang memiliki kesamaan tujuan dan berusaha mencapai tujuan
secara bersama adalah bagian dari masyarakat dalam lingkungan yang
lebih besar.Keberadaannya sangat ditentukan oleh masyarakat, di mana
antara keduanya saling pengaruh-mempengaruhi.Untuk itu, agar terjadi
keseimbangan (equality), maka perlu kontrak sosial baik secara tersusun
baik secara tersurat maupun tersirat, sehingga terjadi
kesepakatankesepakatan yang saling melindungi kepentingan masing-
masing.36
Social Contract dibangun dan dikembangkan, salah satunya untuk
menjelaskan hubungan antara perusahaan terhadap masyarakat
(society). Di sini, perusahaan atau organisasi memiliki kewajiban pada
masyarakat untuk memberi manfaat bagi masyarakat. Interaksi
perusahaan dengan masyarakat akan selalu berusaha untuk memenuhi
dan mematuhi aturan dan norma-norma yang berlaku di masyarakat,
sehingga menurut Deegan, kegiatan perusahaan dapat dipandang
legitimate.37 Dalam perspektif manajemen kontemporer, menurut Rawl,
teori kontrak social menjelaskan hak kebebasan individu dan kelompok,
termasuk masyarakat yang dibentuk berdasarkan kesepakatan-
kesepakatan yang saling menguntungkan anggotanya.38 Hal ini sejalan
dengan konsep legitimacy theory bahwa legitimasi dapat diperoleh
manakala terdapat kesesuaian antara keberadaan perusahaan yang tidak
36Nor Hadi,.“Corporate Social Responsibility (CSR)”.Edisi 1. Jakarta: Graha Ilmu, 2011, hal
96. 37Ibid 38Ibid
NA RUU TJSP 22 Juli 2016
35
menganggu atau sesuai (congruence) dengan eksitensi sistem nilai yang
ada dalam masyarakat dan lingkungan.39
Shocker dan Sethi menjelaskan konsep kontrak sosial (social
contract) bahwa untuk menjamin kelangsungan hidup dan kebutuhan
masyarakat, kontrak social didasarkan pada:40
1) Hasil akhir (output) yang secara sosial dapat diberikan kepada
msayarakat luas.
2) Distribusi manfaat ekonomis, sosial, atau pada politik kepada
kelompok sesuai dengan kekuatan yang dimiliki.
Mengingat output perusahaan bermuara pada masyarakat, serta
tidak adanya power institusi yang bersifat permanen, maka perusahaan
membutuhkan legitimasi. Di situ, perusahaan harus melebarkan
tanggungjawabnya tidak hanya sekedar economic responsibility yang lebih
diarahkan kepada shareholder (pemilik perusahaan), namun perusahaan
harus memastikan bahwa kegiatannya tidak melanggar dan
bertanggungjawab kepada pemerintah yang dicerminkan dalam peraturan
dan perundangundangan yang berlaku (legal responsibility). Di samping
itu, perusahaan juga tidak dapat mengesampingkan tanggungjawab
kepada masyarakat, yang dicerminkan lewat tanggung jawab dan
keberpihakan pada berbagai persoalan sosial dan lingkungan yang timbul
(social respobsibility).41
Teori lainnya yang terkait dengan konsep CSR yakni teori
instrumentalis, politis, integratif, dan etis.Teori instrumentalis
menekankan bahwa program CSR adalah sebagai instrumen untuk
mendorong terciptanya kesejahteraan dengan ukurannya adalah
sejahtera secara ekonomi.Jadi, teori instrumentalis hanya
memperhitungkan kontribusi program CSR dari aspek ekonomi.
39Ibid hal . 97 40Ibid hal. 98 41 Nor Hadi, Op.cit., hal. 98.
NA RUU TJSP 22 Juli 2016
36
Teori politis menegaskan bahwa program CSR seyogyanya
mengakomodasi kepentingan sosial perusahan dan para pemangku
kepentingannya (stakeholders). Proses pengakomodasian kepentingan
sosial tersebut diharapkan melalui dialog partisipatif yang saling
melengkapi dan menguatkan antara yang satu dengan lainnya.
Teori integratif menyebutkan bahwa program CSR adalah sebagai
wujud dari intensi perusahaan untuk menyeimbangkan tujuannya yang
bersifat ekonomis dan sosial. Jadi, berbagai kebijakan yang dirumuskan
dan dilaksanakan oleh perusahaan semestinya tidak hanya untuk
memburu keuntungan (profit), tapi juga mempedulikan kelestarian
lingkungan (planet), dan memperhatikan kesejahteraan masyarakat
(people)42
Teori etis memandang program CSR adalah sebagai perwujudan
dari tindakan etis perusahaan (ethical behavior).Hal ini penting, karena
program dan kegiatan yang dilaksanakan perusahaan dapat dipastikan
berdampak negatif terhadap kelestarian lingkungan dan kesejahteraan
masyarakat.Karena itu, perusahaan mestinya berperilaku etis terhadap
lingkungan dan masyarakat, sehingga dapat meminimalisir atau bahkan
meniadakan dampak negatif dari program dan kegiatan yang
dilakukannya43. Perdebatan teoritis tentang CSR ini tidak semestinya
mengkotak-kotakkan pelaksanaan program CSR. Pelaksanaan program
CSR hendaknya tidak terikat kepada suatu teori, tetapi dituntut untuk
mengkolaborasikan berbagai teori, sehingga tujuan pelaksanaan CSR
untuk menyimbangkan antara profit, planet dan people dapat dicapai
secara maksimal.
CSR itu merupakan sebuah tindakan atau konsep sosial yang
dilakukan oleh sebuah perusahaan untuk membantu kehidupan
termasuk didalamnya lingkungan, ekonomi, dan kesejahteraan
42Tim Universitas Katolik Parahiyangan, “Corporate Social Responsibility: Konsep, Regulasi,
dan Implementasi”, makalah tidak diterbitkan, tanpa tahun (tt), hal. 4. 43Elisabet Garriga dan Domenec Mele, “Corporate Social Responsibility”, hal. 52-53.
NA RUU TJSP 22 Juli 2016
37
masyarakat. Dengan adanya CSR perusahaan akan lebih mengedepankan
sustainability dari pada profitability perusahaan. Dimana melalui
tindakannya itu akan membawa perbaikan pada apa yang dia bantu dan
kelak juga akan membawa dampak fositif pada perusahaan berupa image
perusahaan yang semakin baik di mata masyarakat.
Secara garis besar CSR lebih banyak memiliki dampak fositif dari
pada dampak negatif. Karena bagaimanapun juga sesuatu hal yang akan
membawa perbaikan dalam hidup (lingkungan, sosial, ekonomi) adalah
sebuah tindakan mulia. Bentuk-bentuk tanggungjawab sosial yang ideal
tentunya bukan hanya muncul semata-mata untuk mencari nama baik
sehingga bisa membangun reputasi, namun justru sudah muncul sejak
sebuah organisasi berdiri. Sehingga turut pula tertuang dalam visi, misi
dan tujuan organisasi.
Sehingga pada akhirnya aktivitas tanggung jawab sosial adalah
bagian integral dari manajemen stratejik.Dengan turut ambil bagian
dalam isu sosial, maka organisasi menunjukkan cerminan dari realitas
organisasi yang peduli terhadap fenomena sosial. Sebuah organisasi
dalam menjalankan aktivitas tanggungjawab sosial, sudah pasti akan
melibatkan publiknya. Dengan demikian harmonisasi dari sebuah
hubungan yang dibina oleh organisasi memperoleh wujud nyata yang
akan memberikan manfaat bukan hanya bagi nama baik organiasi namun
juga kepada masyarakat secara luas.
Keberhasilan organisasi dalam menjalankan tanggung jawab sosial
akan memberikan efek “domino” bagi organisasi lain, artinya ada
pengaruh yang positif yang akan dipetik oleh organisasi lain untuk
melakukan hal yang sama. Komitmen untuk melakukan tanggung jawab
sosial bukan semata-mata untuk investasi sebuah organisasi, namun
sudah merasuk pada nafas kehidupan dan keberlanjutan
organisasi.Untuk itu setidaknya terwujud setiap keputusan penting dan
operasi organisasi, sehingga menjadi bagian dari setiap jenjang dalam
organisasi. Pada akhirnya wacana tanggung jawab sosial akan menjadi
NA RUU TJSP 22 Juli 2016
38
pemikat bagi semua pihak untuk mewujudkanya secara konkrit dalam
tindakan nyata.
5. Kewajiban CSR bagi Perusahaan
Konsep TJSP atau CSR di berbagai negara, utamanya negara-
negara industri maju, dianggap sebagai sebuah konsep yang berdimensi
etis dan moral sehingga pelaksanaannya pun oleh perusahaan pada
prinsipnya bersifat sukarela bukan sebagai suatu kewajiban hukum. Di
negara-negara Anglo Saxon, CSR memang tidak lazim diatur. Hal ini
disebabkan oleh kesadaran sosial dan lingkungan pengusaha di negara-
negara tersebut lebih baik daripada pelaku usaha di Indonesia.44 Regulasi
yang mengatur aspek sosial dan lingkungan dari kegiatan bisnis juga
lebih baik.
Banyak perusahaan menganggap bahwa realisasi CSR yang selama
ini diwujudkan dalam program community development dilakukan karena
kepedulian mereka sebagai makhluk sosial (corporate citizenship). Karena
CSR merupakan kepedulian, maka keberadaan peraturan yang
mewajibkannya menjadi tidak relevan. Di sisi lain, harus diakui bahwa
proses produksi perusahaan menciptakan externality.45 Kehadiran
externality melegitimasi negara untuk mewajibkan perusahaan
menginternalisasinya guna meminimalisasi dampak externality pada
masyarakat. Dalam hal ini, CSR merupakan salah satu media
internalisasi externality. Dengan demikian, CSR bisa ditafsirkan sebagai
kewajiban.
Dengan berubahnya kewajiban CSR dari kewajiban moral menjadi
kewajiban hukum bagi perusahaan untuk melaksanakan CSR sebagai
44 Irawan Malebra, Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Dalam Prespektif Peraturan
Perundangan Indonesia, Skripsi Fakultas Hukum Unja, 2012.
45 http://mulyadism.staff.ugm.ac.id/reviews/corporate-social-responsibility/
NA RUU TJSP 22 Juli 2016
39
pemenuhan rasa keadilan untuk menjamin kesejahteraan. Prioritas
politik prekonomian yang demokratis adalah diletakkannya kemakmuran
masyarakat di atas kemakmuran orang seorang. Pengusaha (perseroan)
harus merubah paradigma berpikir, bahwa pelaksanaan CSR tidaklah
merugikan perseroan, malah sebaliknya. Antara perseroan dengan
masyarakat terdapat hubungan timbal balik yang saling menguntungkan
dalam berbagi aspek kehidupan.
Nilai moral adalah landasan bagi masyarakat untuk menuntut agar
hukum secara substantif mengatur kewajiban CSR. Tanpa ada aturan
hukum, maka tidak ada sanksi bagi perusahaan yang mengabaikan
tanggung jawab sosialnya. 46 Di Indonesia, konsep CSR justru dijadikan
sebagai sebuah kewajiban hukum yang harus dipatuhi oleh perusahaan,
sebagaimana tertuang dalam ketentuan Pasal 15 huruf b Undang-Undang
Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan Pasal 74 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Tanggung jawab sosial ini bersifat melekat pada setiap perusahaan
penanam modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi,
seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya
masyarakat. Apabila perusahaan tidak melaksanakan kewajiban tersebut
akan dikenakan sanksi administratif berupa:47
1. peringatan tertulis;
2. pembatasan kegiatan usaha;
3. pembekuan kegiatan usaha/penghentian sementara izin usaha; atau
4. pencabutan kegiatan usaha/pencabutan izin usaha.
46
Firdaus, Corporate Social Responsbility, Jurnal Ilmiah Hukum, Fakultas Hukum
Universitas Riau, Edisi 1, No.1, 2010.
47Pengenaan sanksi administratif juga sudah diberlakukan dalam Undang-Undang Nomor
4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Barubara dan peraturan pelaksanaannya dalam PP No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan
Batubara, serta Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi.
NA RUU TJSP 22 Juli 2016
40
Sanksi administratif tersebut diberikan oleh instansi atau lembaga
yang berwenang dan tidak menutup kemungkinan perusahaan diberikan
sanksi lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Pengaturan mengenai sanksi lain selain administratif
menjadi sangat penting ketika sanksi administratif tidak mampu
mempertahankan agar ketentuan tanggung jawab lingkungan dan sosial
yang ada dilaksanakan. Sanksi alternatif selain administratif seyogyanya
menjadi isu penting pula yang perlu dipertimbangkan dalam kebijakan.
Pengenaan sanksi sebagai konsekuensi bagi perusahaan yang tidak
menjalankan kewajiban CSR-nya. Norma yang mewajibkan telah
diperkuat dengan keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi atas
permohonan yang mengatakan bahwa ketentuan yang mewajibkan
tanggung jawab sosial bagi perseroan telah bertentangan dengan prinsip
dasar CSR, yaitu kesuka-relaan. Kewajiban tersebut akan membebani
perseroan secara ganda yaitu kewajiban membayar pajak dan
menanggung biaya CSR. Mahkamah Konstitusi (MK) berpendapat bahwa,
pertama, menjadikan TJSL sebagai suatu kewajiban hukum dan
menerapkan suatu sanksi dapat dibenarkan secara konstitusional,
karena:
1. Secara faktual, kondisi sosial dan lingkungan telah rusak di masa lalu
ketika perusahaan mengabaikan aspek sosial dan lingkungan
sehingga merugikan masyarakat sekitar dan lingkungan pada
umumnya.
2. Budaya hukum di Indonesia tidak sama dengan budaya hukum
negara lain, utamanya negara industri maju tempat konsep CSR
pertama kali diperkenalkan di mana CSR bukan hanya merupakan
tuntutan bagi perusahaan kepada masyarakat dan lingkungannya
tetapi juga telah dijadikan sebagai salah satu indikator kinerja
perusahaan dan syarat bagi perusahaan yang akan go public. Dengan
kata lain, MK tampaknya berpendapat bahwa sesuai kultur hukum
Indonesia, penormaan TJSL sebagai norma hukum yang diancam
NA RUU TJSP 22 Juli 2016
41
dengan sanksi hukum merupakan suatu keharusan demi tegaknya
CSR.
3. Menjadikan CSR sebagai kewajiban hukum dinilai oleh MK justru
untuk memberikan kepastian hukum sebab dapat menghindari
terjadinya penafsiran yang berbeda-beda tentang CSR oleh perseroan
sebagaimana dapat terjadi bila CSR dibiarkan bersifat sukarela.
Hanya dengan cara memaksa tersebut akan dapat diharapkan adanya
kontribusi perusahaan untuk ikut meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.
Kedua, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Pasal 74 tidak
menjatuhkan pungutan ganda kepada perseroan sebab biaya perseroan
untuk melaksanakan TJSL berbeda dengan pajak. Lebih jauh,
disebutkan oleh MK bahwa pelaksanaan TJSL didasari oleh kemampuan
perusahaan, dengan memerhatikan kepatutan dan kewajaran. Ketiga,
Mahkamah Konstitusi menilai bahwa norma hukum yang mewajibkan
pelaksanaan CSR oleh perusahaan tidak berarti meniadakan konsep
demokrasi ekonomi yang berintikan pada efisiensi berkeadilan seperti
diatur dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 dan tidak akan membuat TJSL
sekedar formalitas perusahaan saja.48
48 Mahkamah Konstitusi, Putusan Nomor: 53/PUU-VI/2008, Perkara Permohonan
Pengujian UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, terhadap UUD 1945,
Tanggal 15 April 2009.
NA RUU TJSP 22 Juli 2016
42
B. Praktik Empiris
1. Pelaksanaan TJSP di Indonesia49
TJSP mempunyai peran penting dalam menunjang pembangunan
dalam bidang pendidikan, lingkungan, sosial dan budaya, serta
khususnya dalam pengembangan masyarakat. TJSP merupakan
kewajiban bagi setiap perusahaan untuk turut serta berkontribusi dalam
upaya melaksanakan kegiatan sosial dalam masyarakat, bukan kegiatan
sosial yang bersifat charity atau sumbangan sukarela namun kegiatan
yang bersifat sustainable atau berkelanjutan. Bagian berikut akan
menyajikan peta persoalan mengenai pelaksanaan tanggung jawab sosial
perusahaan secara empiris.
a. Bentuk TJSP
TJSP menjadi suatu kebutuhan yang dirasakan bersama
antara pemerintah, masyarakat dan perusahaan berdasarkan prinsip
saling menguntungkan (kemitraan). Tidak semata-mata hanya
berdasarkan pada charity saja namun lebih kepada pengembangan
terhadap masyarakat secara berkelanjutan. Tanggung Jawab Sosial
Perusahaan memberikan implikasi positif bagi peningkatan
kesejahteraan masyarakat, meringankan beban pembiayaan dan
pembangunan pemerintah, memperkuat investasi perusahaan, serta
memperkuat jaringan kemitraan antara masyarakat, pemerintah,
dan perusahaan.
Pelaku usaha dituntut untuk memikul tanggung jawab yang
lebih luas kepada masyarakat serta mengindahkan nilai-nilai
kemanusiaan, bermanfaat atau bertujuan memberikan dampak atau
perubahan positif kepada kehidupan masyarakat yang lebih baik
dan bersifat sustainable.
49Hasil pengumpulan data yang dilaksanakan di Kepulauan Riau (Batam) dan Jawa Tengah
(Semarang), pada tanggal 16 Mei 2016 sampai dengan 20 Mei 2016.
NA RUU TJSP 22 Juli 2016
43
b. Kategorisasi bidang atau sektor yang diberikan TJSP
Tidak ada pedoman baku mengenai kategori bidang apa saja
yang dapat diberikan CSR, namun perusahaan pada umumnya
menyelenggarakan kategorisasi TJSP sesuai dengan bidang dan
sektor yang benar benar dibutuhkan masyarakat sekitar. Pada
umumnya, bidang yang menjadi objek TJSP perusahaan diantaranya
adalah: 1)Lingkungan (penghijauan, penanaman mangrove,
penyediaan pabrik kompos, dll) ; 2)Kesehatan (misalnya bekerja
sama dengan dinas kesehatan dalam memberikan imunisasi rutin
bagi balita); 3)Pendidikan (beasiswa, magang, program kemitraan
dengan sekolah, dukungan terhadap sekolah internasioal, program
pelatihan kerja bagi pelajar, pembangunan perpustakaan, dll);
4)Pemberdayaan Ekonomi (kreatif), Pariwisata dan Budaya; 5)Sosial.
c. Besaran dan Sumber Dana TJSP
Beberapa perusahaan mengalokasikan sumber dana TJSP
diambil atau dianggarkan dari dan diperhitungkan sebagai biaya
operasional perusahaan sehingga kegiatan TJSP akan terus berjalan
tanpa kendala, karena kalau berdasarkan dari laba perusahaan
ketika perusahaan mengalami kerugian maka tidak ada anggaran
untuk kegiatan CSR sementara kegiatan tersebut memiliki dampak
pada internal lingkungan sosial, ekonomi dan stakeholder. Namun
ada juga beberapa perusahaan mengalokasikan dana CSR
berdasarkan dari rata-rata profit tahunan dalam periode 3-6 tahun
terakhir untuk pelaksanaan CSR.
Penganggaran dan perhitungan dana TJSP tersebut
dilaksanakan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran yang
ditentukan melalui mekanisme pengambilan keputusan tertinggi di
dalam badan usaha/perusahaan yang bersangkutan, selain itu
besaran dana yang dimaksud ditetapkan adanya batas minimal bagi
badan usaha sesuai dengan kategori/kriteria hasil profit.
NA RUU TJSP 22 Juli 2016
44
d. Kategori perusahaan
Menurut PT. Sucofindo-Semarang, program CSR merupakan
bagian dari kewajiban dan kepedulian sosial bagi setiap perusahaan
berskala besar maupun kecil sehingga sangat tepat untuk dibuatkan
aturan pengkategorian perusahaan yang mewajibkan CSR, hal ini
juga untuk menghindari adanya salah persepsi terhadap perusahaan
yang wajib melaksanakan CSR. Kategori bisa ditetapkan
berdasarkan besarnya investasi atau bentuk perusahaan. Serta
diharapkan dapat mengatur mengenai kategori perusahaan yang
melakukan CSR/TJSP karena apabila diperhatikan dari Undang-
Undang PT No 40 Tahun 2007 sebenarnya hampir semua bentuk
usaha wajib melaksanakan TJSP mulai dari sektor jasa sampai
dengan manufaktur, sekaligus perlu dibuat skala (range) berdasarkan
kemampuan perusahaan dalam melaksanakan CSR.
e. Kelembagaan
Menurut PT. PLN, di kota Batam ada Forum CSR yang
dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Gubernur yang bertugas
untuk mengkoordinir pelaksanaan CSR perusahaan di Kota Batam.
Selain itu ada pula Corporate Forum for Community Development
(CFCD), yang keberadaannya lebih berkesinambungan (sustainable)
dibandingkan Forum CSR karena CFCD lebih melibatkan komunitas
dalam pelaksanaan CSR. Sedangkan Di Provinsi Kepri, telah
dibentuk Forum CSR berdasarkan Perda Provinsi Riau No.6/2012
tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di Provinsi Riau, namun
forum tersebut belum bisa mendata dan menggerakan kegiatan CSR
yang tersistematis dan terstruktur bagi perusahaan, sehingga dinilai
belum melaksanakan tugasnya secara efektif.
NA RUU TJSP 22 Juli 2016
45
Perda Kota Batam No. 2 Tahun 2012 tentang Tanggung
Jawab Sosial Perusahaan, menyebutkan bahwa akan dibentuk forum
TSP yang mempunyai tugas-tugas yang meliputi perencanaan,
pelaksanaan, pemantauan, evaluasi dan pelaporan TSP. Forum
tersebut belum terbentuk, sehingga perusahaan hanya
melaksanakan kegiatan CSR secara sporadis dan tidak
berkesinambungan. Oleh karenanya menurut Rina Shahriyani
Shahrullah, S.H.,MCL,P.hD (Pemerhati CSR), sangat penting adanya
forum karena dengan keberadaan forum, CSR dapat dilakukan
dengan tepat dan berdampak jangka panjang bagi masyarakat.
Namun kurang tepat jika forum tersebut mengelola dana CSR.
Forum CSR perlu dibentuk karena forum ini dapat berfungsi untuk
menjembatani pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat sehingga
program CSR selaras dengan program pembangunan pemerintah.
f. Peran Pemerintah
Peran pemerintah sudah pasti diperlukan dalam pelaksanaan TJSP.
Menurut PT Sarana Patra Hulu Cepu – Semarang (BUMD),
pelaksanaan CSR tentunya melibatkan pemerintah, masyarakat dan
perusahaan itu sendiri, oleh karena itu dibutuhkan koordinasi yang
baik. Hal ini akan membantu tercapainya target instansi terkait
kesejahteraan rakyat. Pemerintah perlu memberikan dorongan
bagaimana membuat perusahaan sadar untuk melakukan CSR.
Selain itu Pemerintah dapat mengkoordinir pelaksanaan CSR untuk
menghindari tumpang tindih dengan program pemerintah maupun
CSR dari perusahaan lain. Peran pemerintah yang lainnya
diantaranya, yaitu:
1) membuat kampanye agar masyarakat (termasuk perusahaan)
berpartisipasi sesuai dengan nature of business perusahaannya.
2) Pemerintah dapat menjadi fasilitator antara perusahaan,
masyarakat, dan pihak lain dalam melakukan CSR seperti
NA RUU TJSP 22 Juli 2016
46
menyediakan data tentang persoalan masyarakat, kebutuhan
masyarakat, dan potensi masyarakat di daerah mereka kepada
perusahaan yang membutuhkan untuk keperluan merencanakan
program CSR perusahaannya.
3) Pemerintah juga dapat bekerja sama dengan universitas untuk
melakukan needs assesment tersebut.
4) melakukan sosialisasi perlunya CSR oleh perusahaan;
5) memberikan data masyarakat atau wilayah yang perlu diberikan
bantuan CSR;
6) mengawasi (memonitoring), mengevaluasi, atau mengkoordinasikan
penyelenggaraan CSR (output, outcome dan impact) oleh
Perusahaan; dan
7) memberikan insentif kepada perusahaan yang telah berhasil
menyelenggarakan program CSR.
g. Sanksi
Pengaturan mengenai sanksi terhadap pelaksanaan TJSP diperlukan
agar program TJSP berjalan sistematis dan berkelanjutan, namun
sanksi yang diperlukan sebaiknya tidak dalam bentuk sanksi pidana
karena dikhawatirkan akan terjadi kontraproduktif dengan. Sanksi
administratif dan sanksi lainnya seperti sebagaimana tercantum
dalam Pasal 34 UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal, dapat menjadi contoh untuk menetapkan bentuk-bentuk
sanksi bagi pelaksanaan TJSP, yaitu sanksi berupa:
1) peringatan tertulis;
2) pembatasan kegiatan usaha;
3) pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal;
atau
4) pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal.
NA RUU TJSP 22 Juli 2016
47
2. Perbandingan TJSP di Beberapa Negara
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan atau yang lazim dalam
masyarakat internasional disebut Corporate Social Responsibility (CSR)
pertama kali mengemuka dan diwacanakan secara resmi dalam KTT Bumi
di Rio De Jeneiro, Brazil pada tahun 1992. Konsep CSR ini muncul sebagai
bentuk pertanggungjawaban atas kegiatan ekonomi yang merusak
lingkungan dan masyarakat. Meskipun tidak ada sumber atau referensi
yang pasti mengenai kapan dan dimana CSR pertama kali diperkenalkan,
namun harus diakui bahwa bibit CSR berawal dari semangat filantropis
perusahaan sebagai akibat tekanan dari masyarat Eropa yang keras dan
kritis yang menjadikan CSR sebagai social license to operation50.
Konsep CSR bukan merupakan issue yang baru bagi masyarakat
ekonomi dunia seperti di negara Eropa maupun Amerika Serikat. Di negara
Eropa, konsep CSR dikenal dengan business social responsibilty yang
secara tradisional merefleksikan tradisi partisipasi, self-help, dan sedikit
dihubungkan dengan pemerintah. Masyarakat Eropa berpendapat bahwa
business social responsibilty adalah mengarah pada masyarakat dan secara
implisit sudah melekat pada norma, nilai-nilai, standar, dan kerangka
kerja legal dari umumnya perusahaan-perusahaan di Eropa. Hal ini tentu
saja tidak terlepas dari peran dan sejarah CSR di Eropa, pendekatan-
pendekatan yang dipakai oleh bangsa Eropa, dan kontekstualisasi CSR
mencakup budaya nasional, dan sejarah sistem kapitalis disana.51
Di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat telah mewajibkan
perusahaannya untuk melaksanakan CSR. Konsep CSRatau
pertanggungjawaban sosial diberlakukan dan bersifat sukarela
50Hasan Asy’ari, Impelemntasi Corporate Social Responsibility (CSR) Sebagai Modal Sosial
Pada PT. Newmont, http://dokumen.tips/documents/implementasi-corporate-social-
responsibility-csr.html, diakses pada tanggal 22 Januari 2016. 51Amy S. Rahayu, Corporate Social Responsibility (CSR) Antara Ethics-Perilaku Organisasi-
Responsibility dan Penerapannya di Organisasi Pemerintah, Jurnal Legislasi Indonesia,
Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi
Manusia RI, Vol. 6 No. 2 – Juni 2009, hal 319.
NA RUU TJSP 22 Juli 2016
48
(voluntary)dan digunakan sebagai salah satu indikator penilaian kinerja
sebuah perusahaan dengan dicantumkannya informasi CSRdi catatan
laporan keuangan perusahaan yang bersangkutan.Beberapa negara di
Eropa dalam peraturan perundang-undangannya bahkan telah
mewajibkan pencantuman laporan tentang pelaksanaan CSR di dalam
laporan tahunan dari perseroan masing-masing negara52.
Sejalan dengan kebijakan negaranya, masyarakat korporasi
(perusahaan) di Eropa khususnya, memandang serius CSR sebagai suatu
kebijakan sukarela tanpa ikatan hukum yang pasti.Masyarakat korporasi
di Eropa beranggapan bahwa semua korporasi diwajibkan dan harus
berpartisipasi aktif di dalam kebijakan dan aktivitas yang mengarah pada
tanggung jawab sosial.Tanggung jawab semacam ini bahkan dikukuhkan
secara eksplisit dalam kebijakan legal formal dalam legislatif.Di Eropa dan
Amerika Serikat misalnya, banyak perusahaan yang telah menjadikan CSR
sebagai komitmen manajemen, strategi perusahaan, serta budaya
perusahaan.Perusahaan tersebut menyadari bahwa tujuan utama
perusahaan tidak hanya menciptakan keuntungan saja, tetapi juga
memberikan nilai tambah secara sosial bagi masyarakat dan
lingkungan.Perusahaan telah mengambil peran sosial untuk
mempertahankan keberlanjutan perusahaan.Selain bagi masyarakat dan
lingkungan, program CSR perusahaan juga dapat membantu dalam
pengumpulan data yang berguna bagi organisasi publik lainnya53. Di sisi
lain bagi sebagian kalangan perusahaan yang menolak konsep CSR,
kesadaran dan komitmen melaksanakan CSR terlebih kewajiban
keterbukaan dalam bentuk laporan pelaksanaan CSR bagi perusahaan di
negara-negara Eropa, tidak serta merta mewajibkan pelaksanaan CSR,
apalagi bila disertai dengan ancaman sanksi.
52Amrul Partomuan Pohan, Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas,
Jurnal Legislasi Indonesia, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Departemen
Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Vol. 6 No. 2 – Juni 2009, hal 345. 53http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/46542/4/Chapter%20II.pdf, diakses
pada tanggal 22 Januari 2016.
NA RUU TJSP 22 Juli 2016
49
Issue Praktik CSR di Amerika Serikat dan Eropa54
Konteks Amerika Serikat Konteks Eropa
Economic
Responsibility
Kebijakan-kebijakan
perusahaan yang mengacu
pada “good corporate
governance”, remunerasi,
atau perlindungan
konsumen
Lebih mengacu pada
kerangka kerja hukum,
dan kodifikasi hukum-
hukum perdata
Legal
Responsibility
Secara relatif kurang
menekankan pada
tanggung jawab hukum
atas bisnis
Sangat menekankan
pada tanggung jawab
hukum atas bisnis
Ethical
Responsibility
Kebijakan perusahaan
yang terkait dengan
masyarakat local
Kebijakan-kebijakan
level tinggi yang
menghubungkan pajak
bisnis dengan aspek
kesejahteraan
masyarakat dan
penyediaan public
services
Philantropic
Responsibility
Inisiatif perusahaan untuk
mensponsori seni, budaya,
dan pendanaan dari
kegiatan pendidikan
Kebijakan level tinggi
yang mengkaitkan pajak
bisnis dengan
penyediaan pendidikan,
budaya, kesehatan oleh
pemerintah
Dari tabel diatas dapat kita simpulkan bahwa praktik CSR di
Amerika Serikat dan Eropa sangat berbeda.Negara-negara di Eropa
mempraktikkan CSR lebih dari sekedar “voluntary” serta memperkuat
54Amy S. RahayuCorporate Social Responsibility (CSR) Antara Ethics-Perilaku Organisasi-
Responsibility dan Penerapannya di Organisasi Pemerintah, hal 321 (sumber: Zimmerly, et al,
2007, hal 183).
NA RUU TJSP 22 Juli 2016
50
penekanan pada aspek legal bila dibandingkan dengan Amerika Serikat
yang terlihat lebih lunak pada aspek legalnya.
Di Australia adanya kebijakan Perdana Menteri mengenai insiatif
CSR di Australia, yaitu tentang Kerjasama Bisnis Dengan Masyarakat.
Kebijakan ini dimulai pada tahun 1988 yang dikenal dengan (Meja Bundar
Perusahaan), kerjasama ini merupakan bentuk suatu kelompok
masyarakat Australia yang terkemuka atau pengusaha-pengusaha yang
berasal dari sektor masyarakat dan bisnis. Kemudian mereka diberi tugas
untuk mengembangkan kerjasama bisnis dengan masyarakat, hal ini
dimaksudkan untuk menangkis isu yang berkaitan bahwa perusahaan
hanya bersifat filantropis.55 Sebagai panduan pelaksanaan Corporate Social
Responsibility terdapat dalam peraturan mengenai perusahaan di Australia
(Corporation Act 2001) khusus section 1013 DA bahwa Undang-undang
memaksakan perusahaan untuk memenuhi kewajiban pemberian pensiun,
asuransi jiwa serta pengaturan dana untuk memperlihatkan tingkat
seberapa mereka memperhatikan lingkungan, sosial dan tenaga kerja dan
standar etika didalam memutuskan investasi. Dalam implementasinya,
pemerintah Australia mewajibkan perusahaan membuat laporan tahunan
CSR dan mengatur standardisasi lingkungan hidup, hubungan industrial,
dan HAM.
55Sheila Mirah Tiara, Studi Perbandingan CSR di Indonesia dengan Australia dan Inggris,
FH-UI, 2013.
NA RUU TJSP 22 Juli 2016
51
BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT
TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN
Bab ini memuat hasil kajian terhadap Peraturan Perundang-undangan
terkait yang memuat kondisi hukum yang ada dimana dalam hal ini yaitu
keterkaitan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tanggung Jawab Sosial
Perusahaan dengan Peraturan Perundang-undangan lain. Hal ini dilakukan
untuk menghindari terjadinya tumpang tindih pengaturan. Beberapa
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tanggung jawab sosial
perusahaan sebagai berikut:
A. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang
Hak Asasi Manusia56
Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada
hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhlukTuhan Yang Maha Esa
dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan
dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.Dalam
Pasal 9 disebutkan bahwa:
(1) Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan
meningkatkan taraf kehidupannya.
(2) Setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera
lahir dan batin.
(3) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Kemudian dalam Pasal 11 mengatur bahwa setiap orang berhak atas
pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang
secara layak.
56Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165; Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3886
NA RUU TJSP 22 Juli 2016
52
Dari dua pasal tersebut apabila dikaitkan dengan tanggung jawab
sosial perusahaan maka perusahaan dalam menjalankan usahanya harus
pemenuhan hak masyarakat khususnya disekitar wilayah kerja
perusahan/industrinya atau yang terkena dampak langsung maupun
tidak langsung atas kegiatan perusahaan, seperti hak atas lingkungan
hidup yang baik dan sehat. Dengan terpenuhinya hak tersebut akan
mewujudkan kesejahteraan lahir dan batin bagi masyarakat khususnya
yang berada di wilayah perusahaan.
B. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2003 Tentang
Badan Usaha Milik Negara57
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) adalah badan usaha yang
seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui
penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang
dipisahkan. Keterkaitan tanggung jawab sosial perusahaan dengan
substansiUndang-Undang BUMN dapat dilihat dalam Pasal 88 dan Pasal
90. Dalam Pasal 88 disebutkan bahwa:
(1) BUMN dapat menyisihkan sebagian laba bersihnya untuk keperluan pembinaan usaha kecil/koperasi serta pembinaan masyarakat sekitar BUMN.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyisihan dan penggunaan laba sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.
Selanjutnya dalam Pasal 90 disebutkan bahwa “BUMN dalam batas
kepatutan hanya dapat memberikan donasi untuk amal atau tujuan
sosial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Sebagai tindak lanjut dari undang-undang tersebut, ditetapkan
Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor PER-
09/NIBU/07/2015 Tentang Program Kemitraan dan Program Bina
57Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 70;Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4297
NA RUU TJSP 22 Juli 2016
53
Lingkungan Badan Usaha Milik Negara. Program Kemitraan adalah
program untuk meningkatkan kemampuan usaha kecil agar menjadi
tangguh dan mandiri, sedangkan Program Bina Limgkungan adalah
program pemberdayaan kondisi sosial masyarakat oleh BUMN.Peraturan
Menteri tersebut mengatur mengenai penyaluran dana Program
Kemitraan dan Program BL di seluruh wilayah Republik Indonesia dan
mengutamakan wilayah disekitar BUMN, termasuk kantor
cabang/perwakilannya.
Dasar pertimbangan peraturan ini ditetapkan untuk mendorong
kegiatan dan pertumbuhan ekonomi kerakyatan serta terciptanya
pemerataan pembangunan melalui perluasan lapangan kerja, kesempatan
berusaha dan pemberdayaan masyarakat. Oleh karena itu perlu
ditingkatkan partisipasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk
memberdayakan dan mengembangkan kondisi ekonomi, kondisi social
masyarakat dan lingkungan sekitarnya, melalui program kemitraan
BUMN dengan usaha kecil dan program bina lingkungan.
C. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 tahun 2007 Tentang
Perseroan Terbatas58
Istilah yang digunakan dalam Undang-Undang ini terkait dengan
tanggung jawab sosial perusahaan , yaitu Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan. Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang
Perseroan Terbatas (UU PT), memberikan pengertian Tanggung Jawab
Sosial dan Lingkungan adalah komitmen Perseroan untuk berperan serta
dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas
kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri,
komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.59
58Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106;TambahanLembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4756. 59Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 tahun 2007 Tentang
Perseroan Terbatas.
NA RUU TJSP 22 Juli 2016
54
Ketentuan lainnya yang terkait dengan tanggung jawab sosial
perusahaan, antara lain diatur dalam:
a) Pasal 74
Rumusan norma dalam Pasal 74 ini yaitu:
(1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.60
(2) Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkandan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
(3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan peraturan pemerintah.
Ketentuan Pasal 74 tersebut bertujuan untuk tetap
menciptakan hubungan Perseroan yang serasi, seimbang, dan sesuai
dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat.
Adapun Peraturan Pemerintah yang mengatur lebih lanjut mengenai
tanggung jawab sosial dan lingkungan yaitu Peraturan Pemerintah
Nomor 47 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial Dan
Lingkungan Perseroan Terbatas. Peraturan Pemerintah ini terdiri
dari 9 (sembilan)pasal yang diantaranya mengatur bahwa setiap
Perseroan selaku subjek hukum mempunyai tanggung jawab sosial
dan lingkungan.
Hal ini menjadi kewajiban bagi Perseroan yang menjalankan
kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber
60Yang dimaksud dengan “Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang
sumber daya alam” adalah Perseroan yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan
sumber daya alam.perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya yang berkaitan dengan
umber daya alam adalah perseroan yang tidak mengelola dan tidak memanfaatkan
sumberdaya alam, tetapi kegiatan usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumberdaya
alam.
NA RUU TJSP 22 Juli 2016
55
daya alam. Kewajiban tersebut dilaksanakan di dalam dan di luar
lingkungan Perseroan.Tanggung jawab sosial dan lingkungan
tersebut dilaksanakan oleh Direksi berdasarkan rencana kerja
tahunan Perseroan yang memuat rencana kegiatan dan anggaran
yang dibutuhkan untuk pelaksanaan tanggung jawab sosial dan
lingkungan tersebut. Selanjutnya, Perseroan yang telah berperan
serta melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan dapat
diberikan penghargaan oleh instansi yang berwenang.
b) Pasal 66
Dalam Pasal 66 antara lain mengatur bahwa Direksi
menyampaikan laporan tahunan kepada RUPS setelah ditelaah oleh
Dewan Komisaris dalam jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan
setelah tahun buku Perseroan berakhir. Laporan tahunan tersebut
harus memuat sekurang-kurangnya laporan pelaksanaan Tanggung
Jawab Sosial dan Lingkungan
Selanjutnya dalam penjelasan umum Undang-Undang ini
menyebutkan bahwa Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan
bertujuan mewujudkan pembangunan ekonomi berkelanjutan guna
meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat
bagi Perseroan itu sendiri, komunitas setempat, dan masyarakat pada
umumnya. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mendukung terjalinnya
hubungan Perseroan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan
lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat, maka
ditentukan bahwa Perseroan yang kegiatan usahanya di bidang
dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan
Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.
D. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 tahun 2007 Tentang
Penanaman Modal
Istilah yang digunakan dalam Undang-Undang ini terkait dengan
tanggung jawab sosial perusahaan, yaitu tanggung jawab sosial
NA RUU TJSP 22 Juli 2016
56
perusahaan.Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007
TentangPenanaman Modal (UU PM), istilah tanggung jawab sosial
perusahaan terdapat dalam Pasal 15 huruf b. Adapun rumusan Pasal 15,
yaitu:
Setiap penanam modal berkewajiban:
a. menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik;
b. melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan;
c. menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar lokasi kegiatan usaha
penanaman modal.
Dalam penjelasan Pasal 15 huruf b menyebutkan bahwa yang
dimaksud dengan “tanggung jawab sosial perusahaan” adalah tanggung
jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk
tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan
lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat.
Selanjutnya dalam Pasal 34 UU PM juga mengatur terhadap Badan
usaha atau usaha perseorangan yang tidak memenuhi kewajiban tersebut
dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pembatasan kegiatan usaha;
c. pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal;
atau
d. pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal.
Sanksi administratif tersebut diberikan oleh instansi atau lembaga
yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Selain dikenai sanksi administratif, badan usaha atau usaha
perseorangan dapat dikenai sanksi lainnya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.61
Berdasarkan putusan MK Nomor 53/PUU-VI/2008 mengenai
Pengujian Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
61Pasal 34Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 tahun 2007 Tentang Penanaman
Modal
NA RUU TJSP 22 Juli 2016
57
Terbatas terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dalam pertimbangannya menyebutkan bahwa terhadap
badan usaha lain selain perseroan terbatas, seperti Koperasi, CV, Firma,
dan Usaha Dagang, dikenai juga kewajiban tanggung jawab sosial
perusahaan sebagaimana diatur dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor
25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
E. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2009 tentang
Kesejahteraan Sosial
Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009
TentangKesejahteraan Sosial (UU KS), keterkaitannya dengan tanggung
jawab sosial perusahaan dapat dilihat dari definisi Kesejahteraan Sosial
dan Pelaku Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial yang dijabarkan dalam
tujuan penyelenggaraan kesejahteraan social serta tanggung jawab dan
Wewenang Pemerintah dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial.
UU KS ini mendefinisikan Kesejahteraan Sosial adalah kondisi
terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar
dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat
melaksanakan fungsi sosialnya.62 Selanjutnya definisi dari Pelaku
Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial adalah individu, kelompok,
lembaga kesejahteraan sosial, dan masyarakat yang terlibat dalam
penyelenggaraan kesejahteraan sosial63. Keterlibatan masyarakat disini
termasuk perusahaan. Hal ini tercermin dari tujuan penyelenggaraan
kesejahteraan sosial yang diantaranya antara lain meningkatkan
kemampuan, kepedulian dan tanggungjawab sosial perusahaan dalam
penyelenggaraan kesejahteraan sosial secara melembaga dan
berkelanjutan sebagaimana termaktub dalam Pasal 3 huruf d.
63 Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial diprioritaskan kepada mereka yang memiliki
kehidupan yang tidak layak secara kemanusiaan dan memiliki criteria masalah: kemiskinan, keterlantaran, kecactan, keterpencilan, ketunaan social dan penyimpangan perilaku, korban
bencana alam dan/atau korban tindak kekekrasan, eksploitasi, diskriminasi.
NA RUU TJSP 22 Juli 2016
58
Selain itu, dalam Pasal 12 huruf b disebutkan bahwa pemberdayaan
sosial dimaksudkan untuk meningkatkan peran serta lembaga dan/atau
perseorangan sebagai potensi dan sumber daya dalam penyelenggaraan
kesejahteraan sosial. Adapun terkait dengan peran perusahaan dalam
penyelenggaraan kesejahteraan sosial maka dalam penjelasan Pasal 12
huruf b dijelaskan bahwa Salah satu potensi dan sumber daya dalam
penyelenggaraan kesejahteraan social adalah tanggung jawab sosial
perusahaan. Dalam Pasal 12 ayat (2) diatur mengatur juga mengenai
pemberdayaan sosial64yang dilaksanakan antara lain melalui:
a. peningkatan kemauan dan kemampuan;
b. penggalian potensi dan sumber daya;
c. penggalian nilai-nilai dasar;
d. pemberian akses; dan/atau
e. pemberian bantuan usaha.
Selanjutnya, dalam Pasal 25 huruf e disebutkan juga bahwa
tanggung jawab Pemerintah dalam menyelenggarakan kesejahteraan
social diantaranya mendorong dan memfasilitasi masyarakat serta
perusahaan dalam melaksanakan tanggung jawab sosialnya. Begitupula
dalam Pasal 26 huruf f yang mengatur bahwa wewenang Pemerintah
dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial diantaranya dengan
melakukan pendayagunaan dana yang berasal dari perusahaan dan
masyarakat.
F. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup65
Keterkaitan tanggung jawab sosial perusahaan dengan
perlindungan pengelolaan lingkungan hidup dapat dilihat dari dampak
64Pemberdayaan Sosial adalah semua upaya yang diarahkan untuk menjadikan warga
negara yang mengalami masalah sosial mempunyai daya, sehingga mampu memenuhi
kebutuhan dasarnya. 65Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5059.
NA RUU TJSP 22 Juli 2016
59
yang secara umum dapat ditimbulkan oleh industrialisasi, antara lain,
dihasilkannya limbah bahan berbahaya dan beracun, yang apabila
dibuang ke dalam media lingkungan hidup dapat mengancam lingkungan
hidup, kesehatan, dan kelangsungan hidup manusia serta makhluk
hidup lain.
Menyadari potensi dampak negatif yang ditimbulkan sebagai
konsekuensi dari pembangunan, terus dikembangkan upaya
pengendalian dampak secara dini.Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(AMDAL) adalah salah satu perangkat preemtif pengelolaan lingkungan
hidup yang terus diperkuat melalui peningkatkan akuntabilitas dalam
pelaksanaan penyusunan amdal dengan mempersyaratkan lisensi bagi
penilai amdal dan diterapkannya sertifikasi bagi penyusun dokumen
amdal, serta dengan memperjelas sanksi hukum bagi pelanggar di bidang
amdal.Amdal juga menjadi salah satu persyaratan utama dalam
memperoleh izin lingkungan yang mutlak dimiliki sebelum diperoleh izin
usaha.
Dalam Pasal 1 angka 11 disebutkan bahwa pengertian dari AMDAL
adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan
yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses
pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau
kegiatan. Sedangkan dalam Pasal 1 angka 12 juga disebutkan bahwa
Upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan
hidup (UKL-UPL) adalah pengelolaan dan pemantauan terhadap usaha
dan/atau kegiatan yang tidak berdampak penting terhadap lingkungan
hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang
penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.
Terkait dengan korelasi perlindungan pengelolaan lingkungan
hidup dengan tanggung jawab sosial perusahaan maka dalam Pasal 35
ayat (1) dan ayat (2) yang mengatur bahwa:
(1) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang usaha dan kegiatannya menimbulkan dampak besar dan penting terhadap
NA RUU TJSP 22 Juli 2016
60
lingkungan hidup, yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun, dan/atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun, bertanggung jawabsecara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan, dengan kewajiban membayar ganti rugi secara langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup;
(2) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dapat dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup disebabkan salah satu alasan di bawah ini: a. adanya bencana alam atau peperangan; b. adanya keadaan terpaksa di luar kemampuan manusia; atau c. adanya tindakan pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
Berdasarkan pengaturan tersebut maka setiap perusahaan dalam
perusahaan wajib bertanggung jawab secara mutlak untuk membayar
gantu rugi saat terjadinya pencemaran dan/atau lingkungan hidup
karena pada dasarnya setiap perusahaan akan menghasilkan limbah
meskipun ada yang sudah mengontrolnya atau tidak. Namun hal ini
dapat dibebaskan dari sanksi hukum apabila dapat membuktikan bahwa
pencemaran tersebut disebabkan oleh beberapa alasan dalam Pasal 35
ayat (2).
G. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2014 tentang
Konservasi Tanah Dan Air
Dalam UU No. 37 Tahun 2014 Tentang Konservasi Tanah dan Air
Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) memberikan kewajiban dan tanggung jawab
kepada Pemerintah, Pemerintah Daerah dan semua masyarakat untuk
menyelenggarakan konservasi tanah dan air. Dalam Pasal 7 ayat (1) dan
ayat (2), bahwa:
(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, pemegang hak atas tanah, pemegang kusa atas tanah, pemegang izin,dan/atau pengguna Lahan bertanggung jawab dalam penyelenggaraan Konservasi Tanah dan Air.
NA RUU TJSP 22 Juli 2016
61
(2) Dalam penyelenggaraan Konservasi Tanah dan Air sebagaimana dimaksucl pada ayat (1), pemerintah,Pemerintah Daerah, pemegang hak atas tanah, pemegang kuasa atas tanah, pemegang izin, dan/atau pengguna Lahan wajib mengikuti prinsip konservasi dan menghormati hak yang dimiliki Setiap Orang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Untuk melestarikan lingkungan air, pelaku industri harus
memelihara lingkungan dengan sebaik mungkin. Jika pelaku industri
atau usaha akan membuka sebuah kawasan industri, harus menjauhi
daerah serapan air sehingga ekosistem air tidak terganggu dan
melakukan penanaman kembali pohon-pohon pada kawasan yang telah
gundul. Kegiatan ini dilakukan untuk mengatasi bahaya erosi.
Untuk konservasi tanah, Pelaku Usaha atau Industri harus
melakukan pencegahan kerusakan tanah oleh erosi dan aliran
permukaan, memperbaiki tanah yang rusak atau kritis,
mengamankan dan memelihara produktivitas tanah agar tercapainya
produksi setinggi-tingginya dalam waktu yang tidak terbatas.
NA RUU TJSP 22 Juli 2016
62
BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, LANDASAN SOSIOLOGIS, DAN
LANDASAN YURIDIS
A. Landasan Filosofis
Undang-Undang selalu mengandung norma hukum yang diidealkan
(ideal norms) oleh suatu masyarakat ke arah mana cita-cita luhur
kehidupan bermasyarakat dan bernegara hendak diarahkan.66Cita-cita
luhur yang terkandung dalam landasan filosofis hendaklah mencerminkan
cita-cita filosofis yang dianut oleh bangsa Indonesia sendiri.Landasan
filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan
bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup,
kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah
bangsa Indonesia yang bersumber dari pancasila dan pembukaan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.67
Sila kelima Pancasila, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
memberi kewajiban kepada pemerintah untuk melaksanakan program-
program yang bertujuan untuk mewujudkan keadilan sosial.Dalam
pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
tercantum dengan jelas cita-cita bangsa Indonesia yang sekaligus
merupakan tujuan nasional bangsa Indonesia. Cita-cita dan tujuan bangsa
Indonesia tersebut adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
66Jimly Asshidqie, Perihal Undang-Undang, Jakarta, Sekretariat Jenderal MK, 2006, hal.
170. 67Lampiran I Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan, Lembaran Negara Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 5234.
NA RUU TJSP 22 Juli 2016
63
Untuk melaksanakan dan mencapai cita-cita dan tujuan nasional
tersebut diperlukan upaya pembangunan yang berkesinambungan dan
berkelanjutan yang merupakan suatu rangkaian pembangunan yang
menyeluruh, terarah, dan terpadu. Salah satu upaya pembangunan
tersebut adalah melalui pembangunan perekonomian nasional.
Pembangunan perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan
demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi yang
berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta
menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional yang
bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Selain itu, Dalam Pembukaan UUD 1945 disebutkan tujuan negara
Republik Indonesia antara lain membentuk suatu Pemerintahan Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum. Hal ini
diperjelas dalam ketentuan Pasal 28H ayat (1) menyebutkan setiap orang
berhak hidup sejahtera lahir batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan
kesehatan. Berdasarkan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 mengenai konsep pemanfaatan sumber
daya alam, dinyatakan bahwa “bumi, air, dan, kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat”.Tujuan penguasaan negara atas
sumber daya alam adalah mewujudkan keadilan sosial dan sebesar-
besarnya untuk kemakmuran rakyat.Hal ini semakin dipertegas dengan
Pasal 34 ayat (2)UUD 45 yang menyebutkan “Negara mengembangkan
sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat
yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”
Selanjutnya dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 menyebutkan bahwa
perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi
dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan
NA RUU TJSP 22 Juli 2016
64
kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Dalam melaksanakan tujuan
tersebut harus melibatkan semua lapisan masyarakat termasuk pelaku
usaha. Oleh sebab itu pelaku usaha dalam menjalankan usahanya harus
memperhatikan dan menjaga alam, lingkungan dan masyarakat sekitarnya
agar alam dan lingkungan tetap terjaga dengan baik sehingga masyarakat
tetap mendapatkan kehidupan yang layak sebagaimana yang telah dijamin
dalam UUD 1945.
Upaya meningkatkan pembangunan perekonomian nasional selain
menjadi tanggung jawab pemerintah, tidak luput juga dari keterlibatan
perusahaan, baik Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik
Daerah (BUMD), maupun pihak swasta. Perusahaan dalam menjalankan
usahanya tidak hanya bertanggung jawab terhadap kemajuan ekonomi
untuk menciptakan profit (keuntungan) dalam menjaga kelangsungan
usahanya saja, namun juga memiliki tanggung jawab sosial (corporate
social responsibility) terhadap masyarakat dan lingkungan sekitarnya.
TJSP merupakan satu bentuk kepedulian dan kebutuhan interaksi
perusahaan dengan para pemangku kepentingan (stakeholders). Dalam
konsep yang luas TJSP mencakup kepatuhan perusahaan kepada hak asasi
manusia, perburuhan, perlindungan konsumen dan lingkungan
hidup.Sedangkan dalam arti yang sempit, TJSP dimaksudkan untuk
pembangunan kesejahteraan masyarakat di sekitar perusahaan berada.
Dengan demikian, TJSP merupakan wujud nyata dari keterlibatan seluruh
komponen bangsa untuk berpartisipasi mewujudkan kesejahteraan umum
sesuai dengan tujuan nasional Republik Indonesia.
B. Landasan Sosiologis
Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek.Landasan sosioogis
NA RUU TJSP 22 Juli 2016
65
sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah
dan kebutuhan masyarakat dan negara.68
Penyelenggaraan TJSP yang umumnya dikenal dengan istilah
“Corporate Social Responsibility (CSR) dapat dipahami sebagai wujud
kepedulian serta tanggung jawab perusahaan dalam bentuk kegiatan sosial
yang dilakukan sebagai implikasi atas segala kegiatan operasional
perusahaan dalam mengekspansi dan/atau mengeksplorasi sumber daya
alam atau sumber daya ekonomi masyarakat yang berada di sekitar
lingkungan/wilayah kerja perusahaan.69 Kegiatan TJSP secara nyata harus
berkontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan (sustainable
development)70 yang salah satunya dilakukan melalui peningkatan
kesejahteraan masyarakat sesuai dengan ISO 26000 dalam butir 3.3
mengenai Karakteristik Tanggung Jawab Sosial (Characteristic of Social
Responsibility) sub butir 3.3.2 mengenai Harapan Masyarakat (The
Expectations of Society).
Pada praktik pelaksanaan TJSP memiliki makna yang berbeda dengan
tujuan dari diadakannya program TJSP tersebut.Tidak adanya kesesuaian
pemahaman antara perusahaan dan masyarakat dalam memaknai TJSP
seringkali menjadikan tujuan kegiatan TJSP menjadi tidak tepat sasaran.
Dalam contoh kasus tidak adanya based line data masyarakat dan
kurangnya perusahaan melakukan need assesstment, salah satu
perusahaan pertambangan di kota Balikpapan melaksanakan
kegiatan/program TJSP dengan membuat jalan atau memperbaiki jalan
68Lampiran I Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan, Lembaran Negara Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 5234. 69 Forum CSR Kesos Kaltim, Hasil Pengumpulan Data (fact finding) ke Provinsi
Kalimantan Timur, tanggal 27 – 31 Mei 2013. 70 Berdasarkan ISO 26000 catatan butir 2.23 mengenai sustainable development dapat
diambil kesimpulan bahwa pembangunan berkelanjutan dilakukan dengan
caramengintegrasikantujuandarikualitas hidup yang tinggi, kesehatandan
kesejahteraandengan keadilan sosialserta mempertahankankapasitasbumiuntuk mendukung
kehidupandalam segala keragamannya. Tujuan sosial, ekonomi dan
lingkungan ini saling tergantung dansaling memperkuat satu sama lain. Pembangunan berkelanjutandapat diartikansebagai cara untuk mengekspresikanharapanlebih
luasmasyarakat secara keseluruhan.
NA RUU TJSP 22 Juli 2016
66
yang rusak di suatu kawasan pedesaan yang berada di sekitar wilayah
kerja perusahaan. Namun perusahaan sama sekali tidak memikirkan
dampak dari kegiatan operasionalnya dengan tidak memperbaiki atau
mengganti kerugian masyarakat akibat pembuangan limbah dari aktivitas
pertambangan perusahaan. Sehingga masyarakat tetap merasa dirugikan,
sedangkan dilain pihak perusahaan merasa telah melakukan kontribusinya
dalam program TJSP. Dengan kata lain, tidak ada kesepahaman dan
kesesuaian antara kegiatan/program TJSP yang dilakukan oleh
perusahaan dengan yang diinginkan oleh masyarakat.71Pada contoh kasus
tersebut juga menunjukkan bahwa perusahaan selama ini masih
mengutamakan pembangunan infrastruktur dari pada pengembangan
sosial ekonomi masyarakat yang mengarah kepada membangun
kemandirian masyarakat.
Hal lain yang juga menjadi faktor penghambat hubungan antara
perusahaan dan masyarakat adalah tidak adanya
transparansi/keterbukaan dari perusahaan dan kurangnya partisipasi
masyarakat mengenai pembuatan perencanaan kegiatan/program TJSP
yang dilakukan oleh perusahaan. Sehingga masyarakat tidak mengetahui
manfaat yang berkepanjangan dari kegiatan/program TJSP tersebut bagi
masyarakat dan lingkungan.Sedangkan di negara-negara Eropa dan
Amerika Serikat yang telah mewajibkan perusahaannya melaksanakan
CSR, CSR digunakan sebagai salah satu indikator penilaian kinerja sebuah
perusahaan dengan dicantumkannya laporan tentang pelaksanaan CSR di
dalam laporan tahunan dari perseroan masing-masing negara.
Selain itu sistem evaluasi penyelenggaraan kegiatan CSR dari Dinas
Sosial atau Pemerintah Daerah dan pengawasan terhadap pelaksanaan
CSR yang telah dilakukan oleh BUMN, BUMD, dan perusahaan belum
71 Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) STABIL, Hasil Pengumpulan Data (fact finding) ke
Provinsi Kalimantan Timur, tanggal 27 – 31 Mei 2013.
NA RUU TJSP 22 Juli 2016
67
berjalan.72Disisi lain setiap kegiatan TJSP yang diselenggarakan antar
perusahaan tidak berjalan saling berkesinambungan, sehingga kegiatan
yang dilakukan menjadi tumpang tindih dan bersifat insidentil, belum
menjadi program yang berkelanjutan serta belum dapat menyelesaikan
persoalan sosial yang ada.
Terlepas dari berbagai hambatan yang mungkin timbul dari hubungan
antara perusahaan dan masyarakat, hal penting yang harus diingat bahwa
dibutuhkannya suatu formulasi sistem peraturan agar tujuan yang hendak
dicapai perusahaan melalui TJSP tidak salah sasaran atau tidak sesuai
dengan kebutuhan masyarakat.Tujuan utama dari TJSP haruslah tetap
diupayakan agar mampu menggerakkan perekonomian melalui
peningkatan potensi usaha pada perusahaan dan pemberdayaan
masyarakat.
C. Landasan Yuridis
Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi
permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan
mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang
akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan
masyarakat. Landasan yuridis menyangkut persoalan hukum yang
berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur sehingga perlu
dibentuk Peraturan Perundang-Undangan yang baru. Beberapa persoalan
hukum itu, antara lain peraturan yang sudah ketinggalan, peraturan yang
tidak harmonis atau tumpang tindih, jenis peraturan yang lebih rendah
dari Undang-Undang sehingga daya berlakunya lemah, peraturannya
72Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Balikpapan, Hasil Pengumpulan Data (fact finding) ke
Provinsi Kalimantan Timur, tanggal 27 – 31 Mei 2013.
NA RUU TJSP 22 Juli 2016
68
sudah ada tetapi tidak memadai, atau peraturannya memang sama sekali
belum ada.73
Landasan yuridis juga merupakan suatu tinjauan substansi terhadap
suatu Undang-Undang yang ada kaitannya dengan Naskah Akademik
dengan memperhatikan hierarki peraturan perundang-undangan dengan
puncaknya pada UUD 1945.74 Landasan yuridis akan digunakan sebagai
dasar hukum dalam peraturan perundang-undangan yang akan disusun,
yang dalam hal ini adalah Rancangan Undang-Undang tentang Tanggung
Jawab Sosial Perusahaan.
Berdasarkan evaluasi dan analisis peraturan perundang-undangan
yang telah diuraikan pada BAB III, terdapat beberapa Peraturan
Perundang-Undangan yang mengatur mengenai TJSP. Namun, dalam
pengaturannya masih menimbulkan multitafsir dalam memaknai TJSP,
misalnya dalam penggunaan istilah yang digunakan masih terdapat
beragam istilah yuridis seperti tanggung jawab sosial dan lingkungan,
tanggung jawab sosial perusahaan, pembinaan usaha kecil/koperasi dan
pembinaan masyarakat, pengembangan masyarakat sekitarnya dan
jaminan hak-hak masyarakat adat, atau program pengembangan dan
pemberdayaan masyarakat.Selain itu, perbedaan pemahaman dalam
memaknai TJSP juga menyebabkan perbedaan pelaksanaanTJSP.Oleh
karena itu dibutuhkan pengaturan secara khusus dalam Undang-Undang
tersendiri secara komprehensif yang akan mengatur semua kegiatan TJSP
(BUMN, BUMD, swasta (nasional atau asing) di Indonesia sebagai landasan
hukum yang dijadikan pedoman dalam pelaksanaan TJSP.
73Lampiran I Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan, Lembaran Negara Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5234.
74Akhmad Aulawi, Arrista Trimaya, Atisa Praharini, et.al., Modul Perancangan Undang-Undang, (Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR RI, 2008), hal. 19.
NA RUU TJSP 22 Juli 2016
69
BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP PENGATURAN
UNDANG-UNDANG
A. Jangkauan dan Arah Pengaturan
Untuk memenuhi fungsi dari Naskah Akademik yaitu mengarahkan
ruang lingkup materi muatan rancangan undang-undang maka pengaturan
dalam Rancangan Undang-Undang tentang Tanggung Jawab Sosial
Perusahaan ini disusun secara sistematis dalam beberapa bab yang
diarahkan untuk mewujudkan suatu pengaturan mengenai tanggung jawab
social perusahaan yang komprehensif sebagai hasil dari kajian beberapa
peraturan perundangan yang telah ada dan praktik empiris pelaksanaan
tanggung jawab sosial perusahaan di lapangan yang dilaksanakan oleh para
stakeholder terkait.
Dalam Rancangan Undang-Undang tentang Tanggung Jawab Sosial
Perusahaan ini diatur bahwa tanggung jawab sosial perusahaan sebagai
sistem di perusahaan merupakan kegiatan yang wajib dilakukan oleh
perusahaan, terutama terhadap masyarakat di sekitar lingkungan
produksi/operasionalnya yang terkena dampak langsung dari aktifitasnya,
dan/atau masyarakat yang tidak berada di lingkungan produksi dan tidak
terkena dampak langsung akibat aktifitas perusahaan. Tindakan ini sebagai
bentuk tanggung jawab sosial sekaligus kebutuhan perusahaan untuk
berinteraksi, baik langsung maupun tidak langsung dengan masyarakat dan
lingkungan setempat. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mendukung
terjalinnya hubungan pelaku usaha yang serasi dan seimbang dengan
lingkungan setempat, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan
budaya masyarakat setempat.
Sasaran yang ingin diwujudkan dengan pengaturan tanggung jawab
sosial perusahaan dalam Dalam Rancangan Undang-Undang tentang
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan ini adalah terselenggaranya
NA RUU TJSP 22 Juli 2016
70
pelaksanaan kewajiban CSR atau tanggung jawab sosial perusahaan secara
lebih terukur, tersistematisasi secara baik, dan melalui program yang
berkesinambungan sehingga memberikan dampak positif yang dirasakan
oleh masyarakat baik di lingkungan maupun di luar lingkungan
perusahaan, dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dengan
pengaturan ini kewajiban CSR tidak hanya menjangkau para pelaku usaha
yang kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya
alam tetapi juga bidang lainnya dituntut untuk memikul kewajiban dalam
bentuk tanggung jawab sosial perusahaan. Pelaksanaan tanggung jawab
sosial perusahaan didorong agar menjadi sistem di perusahaan, antara lain
dengan perbaikan manajemen CSR dan pembentukan forum TJSP sehingga
diharapkan siapapun yang menjadi penentu kebijakan di perusahaan tetap
terikat untuk melaksanakan program tanggung jawab sosial serta ikut
membantu memecahkan masalah-masalah sosial dan lingkungan di
masyarakat.
B. Ruang Lingkup Materi Muatan Undang-Undang
Rancangan Undang-Undang ini akan mengatur adanya kewajiban bagi
perusahaan untuk melaksanakan TJSP. Kewajiban tersebut berlaku bagi
setiap bentuk usaha baik yang berbadan hukum maupun tidak berbadan
hukum yang berkedudukan dan menjalankan usaha di wilayah Negara
Republik Indonesia dalam bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya
alam atau penanaman modal.
Kewajiban perusahaan tersebut diharapkan akan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat terutama masyarakat di lingkungan wilayah
operasional Perusahaan dan menjaga keseimbangan lingkungan hidup
sehingga diharapkan akan meningkatkan eksistensi Perusahaan dan
mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
Selain itu Rancangan Undang-Undang ini juga mengatur antara lain
mengenai, penyelenggaraan TJSP yang di mulai dari tahapan perencanaan,
pelaksanaan, serta pelaporan. Selain itu akan diatur mengenai mekanisme
NA RUU TJSP 22 Juli 2016
71
pendanaan serta pemberian penghargaan bagi perusahaan yang melakukan
TJSP dengan baik dan berdampak positif bagi masyarakat. Adapun uraian
mengenai materi muatan tersebut diantaranya:
1. Ketentuan Umum
Dalam ketentuan umum memuat batasan pengertian atau definisi,
singkatan/akronim yang dituangkan dalam batasan pengertian atau
definisi, dan atau hal-hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi
pasal atau beberapa pasal berikutnya antara lain ketentuan yang
mencerminkan asas, maksud, dan tujuan tanpa dirumuskan tersendiri
dalam pasal atau bab. Pemberian batasan pengertian atau pendefinisian
dari suatu istilah dalam suatu undang-undang dimaksudkan untuk
membatasi pengertian atau untuk memberikan suatu makna bagi istilah
yang digunakan dalam undang-undang.
Istilah dan batasan pengertian atau definisi yang perlu diakomodasi
dalam undang-undang tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan,
yaitu:
1. Tanggung Jawab Sosial Perusahaan yang selanjutnya disingkat TJSP
adalah kewajiban perusahaan untuk ikut bertangungjawab
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menjaga
keseimbangan lingkungan hidup secara berkesinambungan.
2. Perusahaan adalah setiap bentuk usaha baik yang berbadan hukum
maupun tidak berbadan hukum yang berkedudukan dan
menjalankan usaha di wilayah Negara Republik Indonesia dalam
bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam atau
penanaman modal.
3. Penerima Manfaat adalah setiap orang atau kelompok orang yang
menerima manfaat dari penyelenggaraan TJSP.
4. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang
memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang
dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud
NA RUU TJSP 22 Juli 2016
72
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
5. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
Selain batasan pengertian, dalam penyelenggaraan tanggung jawab
sosial perusahaan perlu dicantumkan asas-asas sebagai landasan yang
menjiwai isi dari pengaturan tanggung jawab sosial perusahaan, yaitu:
a. kemanusiaan;
b. manfaat;
c. akuntabilitas;
d. transparan;
e. keselarasan;
f. berkelanjutan;
g. keterpaduan; dan
h. gotong royong.
Selain pencantuman asas yang melandasi penyelenggaraan
tanggung jawab social perusahaan yang tercermin di dalam norma
batang tubuh, juga ditegaskan tujuan dari adanya pengaturan RUU
tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan yaitu:
a. meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama masyarakat di
lingkungan wilayah operasional Perusahaan;
b. menjaga keseimbangan lingkungan hidup;
c. meningkatkan eksistensi Perusahaan; dan
d. mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
2. Penyelenggaraan TJSP
Dalam melakukan kegiatan usaha, perusahaan wajib
menyelenggarakan TJSP. Penyelenggaraan TJSP meliputi:
a. perencanaan;
NA RUU TJSP 22 Juli 2016
73
b. pelaksanaan; dan
c. pelaporan.
a. Perencanaan
Perencanaan penyelenggaraan TJSP bertujuan untuk
menentukan alokasi anggaran serta mengetahui permasalahan dan
kebutuhan penerima manfaat. Perencanaan merupakan satu
kesatuan bagian dengan rencana kerja dan anggaran perusahaan.
Untuk mengetahui permasalahan dan kebutuhan penerima manfaat,
perusahaan melakukan kegiatan:
1) identifikasi permasalahan penerima manfaat;
2) pemetaan penerima manfaat; dan
3) penyusunan program.
Selanjutnya dalam melakukan identifikasi permasalahan
penerima manfaat, perusahaan dapat berkoordinasi dengan forum
TJSP atau melibatkan masyarakat. Tujuannya adalah agar
penyelenggaraan TJSP tepat sasaran dan dapat dirasakan langsung
manfaatnya oleh penerima manfaat. Kemudian dokumen perencanaan
disampaikan ke forum TJSP di provinsi atau kabupaten/kota untuk
disinergikan dengan perencanaan TJSP dari perusahaan lain
dan/atau program pembangunan Pemerintah Daerah. Dokumen
perencanaan yang telah disinergikan dalam forum TJSP disampaikan
kepada Perusahaan untuk segera dilaksanakan.
b. Pelaksanaan
TJSP dilaksanakan oleh perusahaan atau bekerja sama dengan
pihak lain. TJSP dilaksanakan berdasarkan dokumen perencanaan
yang telah disinergikan, yang meliputi:
1) pengembangan masyarakat;
2) pelestarian lingkungan hidup; dan/atau
3) pembinaan kewirausahaan.
NA RUU TJSP 22 Juli 2016
74
Selain melaksanakan TJSP, perusahaan dalam batas kepatutan
dapat melakukan kegiatan donasi untuk amal atau tujuan sosial.
Namun, kegiatan donasi yang dilakukan perusahaan tidak
menghilangkan kewajiban perusahaan untuk tetap melakukan TJSP.
Perusahaan dapat memberikan TJSP kepada penerima manfaat
yang berasal dari internal perusahaan (anak atau keluarga karyawan).
Namun, pelaksanaan TJSP kepada penerima manfaat yang berasal
dari internal perusahaan tidak boleh melebihi 1/3 (satu per tiga)
bagian dari jumlah keseluruhan anggaran dana/alokasi anggaran
TJSP. Selanjutnya, hasil dari pelaksanaan TJSP yang telah dilakukan
oleh perusahaan wajib dipublikasikan kepada masyarakat. Publikasi
pelaksanaan TJSP harus mudah diakses oleh masyarakat dan dapat
dijadikan kegiatan promosi perusahaan dan kemitraan untuk
kepentingan laba perusahaan.
c. Pelaporan
Perusahaan menyampaikan laporan hasil pelaksanaan TJSP secara
tertulis kepada forum TJSP di provinsi atau kabupaten/kota.
Penyampaian laporan hasil pelaksanaan TJSP paling sedikit memuat:
1) sasaran yang dicapai dalam pelaksanaan TJSP;
2) jumlah penerima manfaat TJSP; dan
3) realisasi anggaran pelaksanaan TJSP.
3. Pendanaan
Untuk mendukung kegiatan TJSP diperlukan pengaturan
mengenai pendanaan. Adapun dalam RUU ini diarahkan agar dana TJSP
diperhitungkan sebagai biaya dan dianggarkan dalam rencana kerja dan
anggaran Perusahaan. Penganggaran dan perhitungan dana TJSP
tersebut dilaksanakan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran
yang ditentukan melalui mekanisme pengambilan keputusan
perusahaan yang bersangkutan. Sedangkan pertanggungjawaban
NA RUU TJSP 22 Juli 2016
75
penggunaan dana TJSP dilakukan melalui mekanisme pengambilan
keputusan perusahaan.
4. Tugas Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
Dalam Penyelenggaraan TJSP, Pemerintah Pusat bertugas
menyusun kebijakan, standar, dan pedoman dalam penyelenggaraan
TJSP. Tugas tersebut dilaksanakan oleh Menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang sosial. Sedangkan Pemerintah Daerah
bertugas:
a. menyusun peta dampak sosial dan lingkungan hidup kegiatan usaha
Perusahaan di daerah;
b. menyiapkan data mengenai kondisi sosial dan lingkungan
masyarakat;
c. memberikan informasi mengenai program TJSP yang dibutuhkan
Penerima Manfaat;
d. melakukan pengawasan dan evaluasi;
e. melakukan sosialisasi kebijakan, standar, dan pedoman dalam
penyelenggaraan TJSP;
f. melakukan koordinasi dengan forum TJSP; dan
g. memberikan penghargaan kepada Perusahaan atas usulan forum
TJSP.
5. Forum TJSP
Agar penyelenggaraan kegiatan TJSP berjalan efektif, efisien, dan
tepat sasaran maka dalam RUU ini diarahkan untuk dibentuk Forum
TJSP yang difasilitasi oleh pemerintah daerah sesuai dengan
kewenangannya. Forum TJSP merupakan wadah yang bersifat
koordinatif untuk efektivitas, efisiensi, dan ketepatan sasaran
pelaksanaan TJSP. Forum TJSP beranggotakan wakil dari Perusahaan
atau asosiasi Perusahaan. Sedangkan biaya operasional forum TJSP
bersumber dari iuran Perusahaan.
NA RUU TJSP 22 Juli 2016
76
Forum TJSP dibentuk di provinsi dan kabupaten/kota. Terkait
dengan Forum TJSP di kabupaten/kota, hanya akan dibentuk untuk
Perusahaan yang lokasi wilayah operasionalnya dalam daerah
kabupaten/kota. Sedangkan Forum TJSP di provinsi, akan dibentuk jika
terdapat Perusahaan yang lokasi wilayah operasionalnya lintas
kabupaten/kota. Forum TJSP dapat melakukan pertemuan berkala
untuk:
a. menyinergikan program TJSP antar Perusahaan;
b. melakukan pengembangan program TJSP;
c. melaporkan pelaksanaan TJSP Perusahaan kepada Pemerintah
Daerah;
d. memberikan usulan kepada Pemerintah Daerah untuk pemberian
penghargaan; dan
e. melaporkan pelaksanaan kegiatan kepada Pemerintah Daerah.
Selanjutnya, dalam melaksanakan tugas menyinergikan program
TJSP setiap perusahaan, forum TJSP berwenang menetapkan rencana
pelaksanaan TJSP.
6. Penghargaan
Bagi perusahaan yang telah melaksanakan TJSP dengan baik
akan diberikan penghargaan oleh Pemerintah Daerah dalam bentuk
piagam penghargaan. Penghargaan berbentuk piagam tersebut di
berikan berdasarkan usulan dari Forum TJSP.
Penghargaan kepada perusahaan yang telah melaksanakan TJSP
diberikan dengan kriteria:
a. melakukan kegiatan yang hasilnya berdampak terhadap upaya
peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar Perusahaan;
b. menyerap tenaga kerja yang berasal dari masyarakat sekitar
Perusahaan; dan/atau
c. menciptakan kelestarian lingkungan di sekitar Perusahaan.
NA RUU TJSP 22 Juli 2016
77
Selanjutnya mengenai pemberian penghargaan tersebut diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
7. Sanksi Administratif
Ketentuan sanksi administratif bagi Perusahaan yang tidak
menyelenggarakan TJSP dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pembatasan kegiatan usaha;
c. pembekuan kegiatan usaha/penghentian sementara izin usaha; atau
d. pencabutan izin usaha.
Sanksi administratif tersebut diberikan oleh instansi/lembaga yang
berwenang sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
8. Ketentuan Peralihan
Ketentuan peralihan memuat penyesuaian pengaturan tindakan
hukum atau hubungan hukum berkaitan dengan tanggung jawab sosial
perusahaan yang sudah ada pada saat Undang-Undang ini mulai
berlaku. Ketentuan peralihan bertujuan untuk:
a. menghindari terjadinya kekosongan hukum;
b. menjamin kepastian hukum;
c. memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak
perubahan ketentuan Peraturan Perundang-undangan; dan
d. mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara.75
Ketentuan Peralihan dalam rancangan undang-undang ini
memuat penyesuaian terhadap perusahaan yang menyelenggarakan
pembinaan usaha kecil/koperasi serta pembinaan masyarakat sekitar
Badan Usaha Milik Negara dalam bentuk program kemitraan dan bina
lingkungan berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang
75 Lampiran Nomor 127 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5234.
NA RUU TJSP 22 Juli 2016
78
Badan Usaha Milik Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2003 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4297), tanggung
jawab sosial dan lingkungan berdasarkan Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Nomor
4756), dan tanggung jawab sosial perusahaan berdasarkan Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4724) tetap melaksanakan kegiatannya sampai selesai
dan dinyatakan sebagai TJSP berdasarkan ketentuan Undang-Undang
ini.
9. Ketentuan Penutup
Ketentuan penutup ditempatkan dalam bab terakhir. Jika tidak
diadakan pengelompokan bab, ketentuan penutup ditempatkan dalam
pasal-pasal terakhir. Pada umumnya ketentuan penutup memuat
ketentuan mengenai:
a. Penunjukan organ atau alat kelengkapan yang melaksanakan
Peraturan Perundang-undangan;
b. Nama singkat Peraturan Perunang-undangan;
c. Status Peraturan Perundang-undangan yang sudah ada; dan
d. Saat mulai berlaku Peraturan Perunang-undangan.76
Berkaitan dengan status peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan TJSP dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang
pengaturannya tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-
Undang ini. Selain itu, dalam ketentuan penutup ini juga mengatur
mengenai jangka waktu dibentuknya Forum TJSP yaitu paling lama 1
(satu) tahun sejak UU ini mulai berlaku.
76Lampiran Nomor 136 dan 137 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5234.
NA RUU TJSP 22 Juli 2016
79
Selanjutnya, dalam ketentuan penutup ini mengatur bahwa
peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling
lama1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Sedangkan untuk pemberlakuan RUU ini sejak saat diundangkannya
RUU ini menjadi Undang-Undang dan agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
NA RUU TJSP 22 Juli 2016
80
BAB VI
PENUTUP
A. Simpulan
Perusahaan dalam melaksanakan dan mengembangkan usahanya
memiliki tanggung jawab sosial. Secara konseptual tanggung jawab sosial
perusahaan adalah pendekatan dimana perusahaan mengintegrasikan
kepedulian sosial dalam operasi bisnis dan interaksi mereka dengan para
pemangku kepentingan (stakeholders). Secara yuridis ketentuan yang
mengatur mengenai tanggung jawab sosial perusahaan masih tersebar
dalam beberapa Undang-Undang, yaitu Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2007 tentang Penanaman Modal, dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas. Namun, Undang-Undang tersebut belum
mengatur tanggung jawab sosial perusahaan secara komprehensif. Di
samping itu, dari Undang-Undang yang ada, juga belum mengatur secara
tegas mengenai keharusan bagi perusahaan untuk membuat tanggung
jawab sosial, melainkan hanya berupa himbauan. Hal ini membuat
Pemerintah tidak bisa memberikan sanksi yang tegas terhadap perusahaan
yang tidak melaksanakan tanggung jawab sosial.
Dalam prakteknya, pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan
menimbulkan penafsiran sendiri. Hal ini dapat dilihat dari masing-masing
perusahaan yang memiliki program tanggung jawab sosial, ada yang
memberikan program berkelanjutan, namun banyak juga perusahaan yang
melaksanakan tanggung jawab sosial hanya bersifat charity atau filantrophy
semata. Selain itu, banyak terjadi tumpang tindih yang melibatkan program
tanggung jawab sosial perusahaan dan program pembangunan daerah.
Akibatnya Pemerintah Daerah banyak membuat Peraturan Daerah
mengenai tanggung jawab sosial perusahaan yang justru memberatkan
perusahaan. Pelaksanaan tanggungjawab sosial perusahaan pada dasarnya
tidak terlepas dari kewajiban perusahaan untuk ikut berperan aktif dalam
NA RUU TJSP 22 Juli 2016
81
pembangunan kesejahteraan masyarakat, khususnya masyarakat yang
berada di sekitar wilayah operasionalnya dan pelestarian lingkungan hidup.
Agar tepat sasaran dan bermanfaat secara optimal, pelaksanaan tanggung
jawab sosial perusahaan harus dilakukan secara terencana melalui
penetapan dalam rencana kerja dan anggaran perusahaan. Hasil
perencanaan tersebut perlu disenergikan dengan rencana program tanggung
jawab sosial perusahaan lain dan program pembangunan daerah.
Pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan juga diharapkan dilakukan
secara berkelanjutan dan akuntabel.
Mengingat pentingnya tanggung jawab sosial perusahaan bagi
kesejahteraan masyarakat dan pelestarian lingkungan hidup, maka
diperlukan suatu Undang-Undang yang mengatur secara komprehensif
mengenai tanggung jawab sosial perusahaan. Pengaturan tanggung jawab
sosial perusahaan dalam sebuah Undang-Undang akan memberikan
kepastian hukum kepada semua pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan
tanggung jawab sosial perusahaan. Adapun ketentuan-ketentuan yang
dimuat dalam Rancangan Undang-Undang yang mengatur tanggung jawab
sosial perusahaan, yaitu:
a. Ketentuan Umum, yang berisi isitilah, definisi dan batasan yang jelas
mengenai pemaknaan tanggung jawab sosial perusahaan, asas, dan
tujuan dari pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan;
b. penyelenggaraan tanggung jawab sosial perusahaan, yang dimulai dari
tahap perencanaan, pelaksanaan, serta evaluasi dan pelaporan;
c. sumber pendanaan perusahaan dalam menyelenggarakan tanggung jawab
sosial perusahaan;
d. peran Pemerintah dan Pemerintah Daerah, termasuk pembinaan yang
dilakukan dalam penyelenggaraan tanggung jawab sosial perusahaan;
e. forum tanggung jawab sosial perusahaan sebagai forum koordinasi antara
Pemerintah, Pemerintah daerah, perusahaan, serta masyarakat dalam
mengkoordinasikan, memfasilitasi, serta mensinergikan penyelenggaraan;
dan
NA RUU TJSP 22 Juli 2016
82
f. penghargaan bagi perusahaan yang telah berhasil menjalankan tanggung
jawab sosial perusahaan.
B. Saran
Rancangan Undang-Undang tentang Tanggung Jawab Sosial
Perusahaan sebagai salah satu prioritas dalam Prolegnas DPR tahun 2016
menjadi salah satu instrumen hukum yang strategis untuk mewujudkan
kesejahteraan masyarakat sekaligus menciptakan kelestarian lingkungan
hidup melalui penyelenggaraan tanggung jawab sosial perusahaan.
Rancangan Undang-Undang tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
disusun dalam usaha menjamin pelaksanaan kewajiban tanggung jawab
sosial oleh perusahaan melalui peningkatkan kesadaran dan komitmen
perusahaan dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan menjaga
kelestarian lingkungan hidup. Untuk mencapai tujuan itu, dalam
pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan diperlukan koordinasi
yang sinergis antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, perusahaan, dan
masyarakat. Sinergitas yang kuat antara Pemerintah, Pemerintah Daerah,
perusahaan, dan masyarakat, khususnya melalui Forum TJSP diharapkan
mampu mengoordinasikan dan menyelaraskan penyelenggaraan tanggung
jawab sosial yang dilakukan oleh perusahaan agar bermanfaat bagi
masyarakat secara optimal serta memberikan dampak terhadap kelestarian
lingkungan hidup yang pada akhirnya dapat memberikan kontribusi
secara signifikan terhadap pembangunan nasional.
Naskah Akademik RUU Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
berasal dari kajian dan pengumpulan data yang dilakukan oleh perancang
Undang-Undang, peneliti, dan tenaga ahli yang ada di tim kerja Badan
Keahlian DPR. Sebagai sebuah karya ilmiah, Naskah Akademik ini
membutuhkan penyempurnaan melalui forum uji publik yang resmi dan
melibatkan para praktisi CSR, akademisi di Perguruan Tinggi, serta para
stakeholder yang mempunyai kepedulian terhadap penyelenggaraan
tanggung jawab sosial perusahaan.
NA RUU TJSP 22 Juli 2016
83
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Ashford, Graham dan Saleela Patkar, The Positive Path: Using Appreciative
Inquiry in Rural Indian Communities, (Karnataka, India: Myrada dan
International Institute for Sustainable Development, 2001).
Busyairi, Mufid A. Panduan Memfasilitasi Perencanaan Partisipatoris Penyusunan Program Desa, (Jakarta: PP Lakpesdam NU, 2000).
Hartono, Sunaryati. Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad ke XX
(Bandung: Alumni, 1994).
Keraf, Sonny A. Etika Bisnis: Tuntutan dan Relevansinya, (Yogyakarta:
Kanisius, 1998). Kettner, Peter M. et al., Designing and Managing Programs: An Effectiveness-
Based Approach, (Los Angeles: Sage Publication, 2008).
Soejono dan Abdurrahman, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Rineka Cipta, 2003).
Solihin, Ismail. Corporate Social Responsibility, from Gharity to Sustainability,
(Bandung: Salemba Empat, 2008).
Wahyudi, Isa dan Busyra Azheri, Corporate Social Responsibility, (Jakarta: In-
Trans Publishing, 2008). Wibisono, Yusuf. Membedah Konsep dan Aplikasi CSR, (Gresik : 2007).
Modul dan Makalah
Aulawi, Akhmad. Arrista Trimaya, Atisa Praharini, et.al., Modul Perancangan Undang-Undang, (Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR RI, 2008).
Rudito, Bambang. Adi Prasetijo, dan Rizki Ali Akbar. Sesat Pikir CSR dan Usulan Solusi Untuk Perundangan CSR, makalah tidak diterbitkan.
(Jakarta: ICSD, 2013).
Tim Universitas Katolik Parahiyangan. Corporate Social Responsibility: Konsep, Regulasi, dan Implementasi, makalah tidak diterbitkan, tanpa
tahun (tt).
NA RUU TJSP 22 Juli 2016
84
Jurnal
Matten, Dirk dan Jeremy Moon, Implicit and Explicit CSR: A Conceptual
Framework for A Comparative Understanding of Corporate Social
Responsibility, dalam Academy of Management Review 2008, Vol. 33, No.
2, 404–424.
Widiowati, Didiet. Tantangan Pembangunan Sosial di Indonesia, dalam Jurnal
Kajian. (Jakarta: Pusat Sekretariat Jenderal DPR RI, 2009).
Peraturan Perundang-undangan: Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang
Perkebunan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4411.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4297.
Republik Indonesia, Undang-Undang nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 125 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 67; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4274
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor
106;Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756. Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang
Kesejahteraan Sosial. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5059.
NA RUU TJSP 22 Juli 2016
85
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4967.
Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Nomor: PER-20/MBU/2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Negara
Badan Usaha Milik Negara Nomor PER-05/MBU/2007 Tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara Dengan Usaha
Kecil dan Program Bina Lingkungan.
Perda Provinsi Jawa Timur No. 4 Tahun 2011, pasal 1, ayat 5.
Internet:
Garriga, Elisabet dan Domenec Mele, Corporate Social Responsibility: Mapping
the Territory, diakses dari http-
//www.cs.unitn.it/~andreaus/bs1213/garriga_mel%C3%A9.pdf, pada
tanggal 20 Juni 2013.
International Standard ISO 26000, First Edition 2010-11-01: Guideline on Social Responsibility, (Jeneva: ISO, 2010), diakses dari ... pada tanggal 12 Juni
2013.
Rahman, Fathony. Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di Indonesia: Salah
Paham? Dalam Tempo, tanggal 16 Mei 2013 di akses dari
http://www.tempo.co/read/kolom/2013/05/16/720/Tanggung-Jawab-
Sosial-Perusahaan-di-Indonesia-Salah-Paham, pada tanggal 22 Juni
2013.