Nasionalisme Dan Konflik Etnik

29
NASIONALISME DAN KONFLIK ETNIK Disusun oleh : Kelompok 5 HI-A 1. Muh Rosyihan Jauhari – 20140510039 2. Febby Siskawati – 20140510296 3. Rizky Sastya Maharani – 20140510410 FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

description

-

Transcript of Nasionalisme Dan Konflik Etnik

NASIONALISME DAN KONFLIK ETNIK

Disusun oleh :

Kelompok 5 HI-A

1. Muh Rosyihan Jauhari 20140510039

2. Febby Siskawati 20140510296

3. Rizky Sastya Maharani 20140510410

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONAL

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

2014/2015

NASIONALISME DAN KONFLIK ETNIK

1.1 LATAR BELAKANG

Nasionalisme dan konflik etnik bukanlah suatu hal yang hanya terjadi di lingkup nasional namun juga Internasional. Pertama bahwa dalam mempelajari Ilmu Hubungan Internasional kita akan dikenalkan pada konsep sebuah Negara sebagai aktor dalam Hubungan Internasional. Sedangkan dalam suatu Negara adalah kuat kaitannya dengan isu nasionalisme dan juga etnik.

Isu-isu yang terkait dengan kebangkitan etno-nasionalisme, sejatinya adalah isu klasik yang sudah dikaji sejak era politik internasional. Isu tersebut, pada akhirnya juga menjadi isu yang berkembang di era globalisasi, bersama-sama dengan isu lainnya, ekonomi global, kerusakan lingkungan, terorisme internasional serta masalah dan solusi transnasional.

Negara bangsa dalam wajah globalisasi, menurut pandangan kaum neo-liberal, sesungguhnya bukanlah aktor yang paling efektif dalam pendistribusian kekayaan dan sumber-sumber ekonomi langka (Winarno, 2008 : xiv). Terkait dengan hal itu, dalam pandangan Peter Chalk, wajah keamanan negara bangsa di masa depan, tidak akan terlepas dari konsep the origin of threats. Bila pada masa lalu, ancaman-ancaman yang dihadapi selalu dianggap datang dari pihak eksternal sebuah negara, maka pada masa kini berbagai ancaman dapat berasal, baik dari lingkungan domestik maupun global. Biasanya, ancaman yang berasal dari dalam negeri terkait dengan isu-isu primordial seperti perbedaan suku, agama, ras, adat dan etnisitas (SARA). Sementara itu, delapan dari 13 operasi pasukan perdamaian yang dijalankan PBB ditujukan untuk mengupayakan terciptanya perdamaian di berbagai konflik antar-etnis di dunia (Chalk, 2005 : 32).

Kelompok etnik ditetapkan atas dasar kebudayaan, namun mereka mengidentifikasi siapakah yang merupakan anggota dari komunitas mereka dengan melihat tradisi dan sejarah yang sama. Tentu saja batasan-batasan ini tidak memberikan sebuah bentuk definisi yang jelas karena hal tersebut bisa dilihat dari sudut pandang tertentu dan bukan suatu hal yang bisa benar-benar diwujudkan dalam bentuk kuantitas. Diperkirakan bahwa ada sekitar 16.000 sampai 27.000 jumlah kelompok etnis di dunia. Dan kemungkinan perkiraan tersebut adalah angka minimal yang bisa didapatkan karena ada sekitar 6.000 bahasa di dunia dan setiap bahasa itu pun adalah satu kelompok etnik tersendiri.

Berbagai tindakan kekerasan (berbasis separatisme) yang dipicu oleh sentimen etno-nasionalisme yang terjadi di berbagai penjuru dunia, telah menyedot perhatian publik internasional. Tatkala geliat-geliat separatisme semakin mengemuka dan menggelisahkan, kita dihadapkan pada keraguan yang amat besar terhadap masa depan dunia. Fenomena hubungan internasional kontemporer diwarnai oleh fenomena abu-abu (Chalk, 2005). Fenomena ini secara longgar dapat didefinisikan sebagai ancaman terhadap keamanan, stabilitas nasional dan internasional yang diakibatkan dari proses-proses interaksi aktor negara dan non-negara. Akibatnya, isu-isu yang mengemuka semakin beragam.

Isu etno-nasionalisme, tumbuh berkembang secara pesat di sebuah negara yang faktanya teramat plural dan majemuk, baik dari adat budaya, etnik, suku bangsa, agama, maupun kategori sosial masyarakatnya. Sebenarnya keragaman ini akan sangat mempersulit mewujudkan ikatan rasa kesatuan ketika dihadapkan pada konsep kebangsaan nasional, karena begitu beranekaragamnya nilai dan norma yang berlaku di masyarakat.

Padahal etno-nasionalisme dan primordialisme merupakan ikatan yang begitu kuat dan akan sulit untuk dilepaskan oleh sebuah masyarakat yang hidup pada esensi bangsa yang pluralistik. Sebab secara alamiah, proses kelahiran dan evolusi di negara-negara baru akan menimbulkan ketegangan-ketegangan dalam bentuk yang keras dan kronis bertalian erat dengan masalah hubungan darah, ras, bahasa, kedaerahan, agama atau tradisi. Masyarakat primordial seperti ini menganggap kesatuan berbasis ikatan ini adalah hal yang alamiah. Malah ikatannya lebih kuat ketimbang ikatan lain yang lebih luas, misalkan ikatan akan negara bangsa yang modern. Kenyataan inilah yang sesungguhnya menjadi persoalan utama bagi negara-negara baru (Geertz, 1981 : 2-3). Ini tentunya tidak akan sejalan dengan konsepsi ikatan kebangsaan nasional, yang menghendaki adanya kesatuan loyalitas terhadap negara bangsa.

Ikatan kebangsaan nasional, sesungguhnya adalah perwujudan dari konsepsi nasionalisme yang mengemuka di awal abad keduapuluh. Jelas, konsepsi ini bermakna sebagai ikatan modern terhadap keanekaragaman budaya dan jiwa primordial yang berkembang di masyarakat. Pada tataran tertentu, budaya memiliki arti yang luas, bervariasi dan menyangkut peristiwa sehari-hari sehingga bersifat inklusif (Davidson,2010). Istilah ini digunakan untuk banyak hal, antara lain untuk memberi kerangka penilaian kekhasan lokal dan menamai aturan, ritual, ekspresi budaya atau sistem hukum yang tidak tertulis dan berlaku pada kelompok masyarakat tertentu (Badjuri, 2002).

Sejatinya, kebangkitan etno-nasionalisme dan ikatan primordial bisa menjadi persoalan prinsip dalam implementasi relasi negara bangsa dalam kancah internasional. Oleh karena itulah untuk mewujudkan tata pergaulan internasional yang memadai, nilai-nilai primordialisme harus dikurangi pengaruhnya (Sjamsuddin, 1989 : 8). Sebab, ikatan ini dapat saja mengganggu komitmen terhadap integrasi politik. Apabila ikatan kebangsaan nasional tidak terpelihara dengan baik, ia akan menjadi pudar dan perlahan akan beralih pada sentimen etno-nasionalisme.

Namun yang perlu diperhatikan adalah adanya pusaran balik terhadap arus desentralisasi, sebagaimana yang dikemukakan Agustino dan Yussof (2010) yang menjelaskan adanya titik balik dari desentralisasi. Titik balik itu akan menuju ke arah sentralisasi baru. Ini untuk menunjukkan apabila perubahan politik ke arah desentralisasi yang demokratis tidak selamanya berakhir baik. Bahkan adakalanya proses itu justru memancing pembalikan demokratisasi seperti yang pernah terjadi di Nigeria (1981), Peru (1992) dan Sierra-Leone (1997). Di ketiga negara tersebut, fenomena desentralisasi malah menimbulkan ancaman serius terhadap integrasi politik bangsa sehingga terjadi kesepakatan nasional untuk kembali mengubah bentuk hubungan pusat dan daerahnya, kembali menuju arah sentralisasi.

1.2 DEFINISI, BATASAN DAN RUANG LINGKUP

Dalam kedudukan sebagai suatu Negara yang merdeka, gagasan atas nasionalisme secara luas adalah sebagai sebuah gagasan politik. Menurut Ernest Geller, nasionalisme bisa diartikan sebagai prinsip politik utama yang mempertahankan sebuah gagasan bahwa politik dan kesatuan nasional haruslah kongruen.

Sedangkan [footnoteRef:1]Michael Ignatieff mendefinisikan nasionalisme atas tiga hal; yang pertama sebagai doktrin politik, nasionalisme adalah suatu kepercayaan bahwa semua orang di sunia dibagi atas Negara-Negara, dan setiap Negara tersebut memiliki hak untuk menentukan nasib mereka sendiri. Yang kedua sebagai cita-cita kebudayaan, nasionalisme adalah penegasan bahwa ketika semua orang memiliki banyak identitas, adalah Negara yang memberikan ruang kepada mereka termasuk dari bagian manakah diri mereka. Yang ketiga adalah sebagai cita-cita moral, bahwa nasionalisme adalah pengorbanan dalam suatu kesusilaan, membnarkan penggunaan kekerasan atas pertahanan oleh suatu Negara melawan musuh baik dari dalam maupun luar. [1: Trevor C. Salmon, Issues In International Relations, II (Cet. II;Routledge, Canada, 2008), h. 48.]

Ada beberapa tokoh lain yang mengemukakan tentang [footnoteRef:2]pengertian Nasionalisme. [2: Hana Lee, Pengertian Nasionalisme Menurut Para Ahli, diakses dari http://www.academia.edu/9009190/PENGERTIAN_NASIONALISME_MENURUT_PARA_AHLI_1 pada tanggal 22 Maret 2015 pukul 15.20]

1. Menurut Ernest Renan: Nasionalisme adalah kehendak untuk bersatu dan bernegara.

2. Menurut Otto Bauar: Nasionalisme adalah suatu persatuan perangai atau karakter yang timbul karena perasaan senasib.

3. Menurut Hans Kohn, Nasionalisme secara fundamental timbul dari adanya National Counciousness. Dengan perkataan lain nasionalisme adalah formalisasi (bentuk) dan rasionalisasi dari kesadaran nasional berbangsa dan bernegara sendiri. Dan kesadaran nasional inilah yang membentuk nation dalam arti politik, yaitu negara nasional.

4. Menurut L. Stoddard: Nasionalisme adalah suatu kepercayaan yang dimiliki oleh sebagian terbesar individu di mana mereka menyatakan rasa kebangsaan sebagai perasaan memiliki secara bersama di dalam suatu bangsa.

5. Menurut Dr. Hertz dalam bukunya yang berjudul Nationality in History and Politics mengemukakan empat unsur nasionalisme, yaitu:

a. Hasrat untuk mencapai kesatuan.

b. Hasrat untuk mencapai kemerdekaan.

c. Hasrat untuk mencapai keaslian.

d. Hasrat untuk mencapai kehormatan bangsa.

Dari definisi itu nampak bahwa negara dan bangsa adalah sekelompok manusia yang:

a) memiliki cta-cita bersama yang mengikat warga negara menjadi satu kesatuan

b) memiliki sejarah hidup bersama sehingga tercipta rasa senasib sepenanggungan

c) memiliki adat, budaya, dan kebiasaan yang sama sebagai akibat pengalaman hidup bersama

d) menempati suatu wilayah tertentu yang merupakan kesatuan wilayah

e) teroganisir dalam suatu pemerintahan yang berdaulat sehingga mereka terikat dalam suatu masyarakat hukum.

6. Menurut Louis Sneyder. Nasionalisme adalah hasil dari perpaduan faktor-faktor politik, ekonomi, sosial, dan intelektual.

Suatu negara kebangsaan akan menjadi kuat bila timbul nafsu untuk mengembangkan negaranya. Nafsu untuk berkuasa itu mendorong negara tersebut memperkuat angkatan perang. Bila telah merasa diri mereka kuat, maka berbagai alasan dicari-cari sehingga bisa timbul penjajahan yang sesungguhnya. Semangat dan nafsu untuk berkuasa atas bangsa lain ini merupakan salah satu sebab adanya kolonialisme dan imperialisme.

Kelompok etnik atau suku bangsa adalah suatu golongan manusia yang anggotanya mengidentifikaskan dirinya dengan sesamanya. Biasanya berdasarkan garis keturunan yang dianggap sama. Identitas suku ditanda oleh pengakuan dari orang lain akan ciri khas kelompok tersebut seperti kesamaan budaya, bahasa, agama, perilaku, ataupun ciri-ciri biologis.

Menurut pertemuan internasional tentang tantangan dalam mengukur dunia etnik pada tahun 1992, Etnisitas adalah sebuah faktor fundamental dalam kehidupan manusia. Ini adalah sebuah gejala yang terkandung dalam pengalaman manusia. Meskipun definisi ini seringkali mudah diubah-ubah. Fredrik Barth dan Eric Wolf menganggap etnisitas sebagai hasil dari interaksi dan bukan sifat hakiki sebuah kelompok. Dan proses yang melahirkan identifikasi seperti itu disebut etnogenesis. Secara keseluruhan, anggota dari sebuah kelompok suku bangsa mengklaim kesinambungan budaya melintasi waktu, meskipun para sejarawan dan antropolog telah mendokumentasikan bahwa banyak dari nilai-nilai, praktik-praktik, dan norma-norma yang dianggap menunjukkan kesinambungan dengan masa lalu itu pada dasarnya adalah temuan yang relatif baru.

Dalam hal ini yang akan menjadi pembahasan utama adalah nasionalisme dan konflik etnik dalam lingkup nasional dan hubungannya dengan hubungan internasional.

1.3 NASIONALISME DAN KONFLIK ETNIK DALAM LINGKUP NASIONAL

Masih menjadi isu hingga saat ini bahwa gagasan atas konsep nasionalisme adalah sebuah bentuk imajiner yang muncul dalam tiap-tiap diri manusia. Sedangkan bentuk gagasan yang merupakan perasaan adalah suatu hal abstrak yang tidak bisa dijelaskan secara nyata. Maka dari itu muncullah gagasan tentang makna nasionalisme.

Makna Nasionalisme secara politis merupakan manifestasi kesadaran nasional yang mengandung cita-cita dan pendorong bagi suatu bangsa, baik untuk merebut kemerdekaan atau mengenyahkan penjajahan maupun sebagai pendorong untuk membangun dirinya maupun lingkungan masyarakat, bangsa dan negaranya.

Sebagai warga negara Indonesia, sudah tentu merasa bangga dan mencintai bangsa dan negara Indonesia. Kebanggaan dan kecintaan kita terhadap bangsa dan negara tidak berarti kita merasa lebih hebat dan lebih unggul daripada bangsa dan negara lain. Kita tidak boleh memiliki semangat nasionalisme yang berlebihan (chauvinisme) tetapi kita harus mengembangkan sikap saling menghormati, menghargai dan bekerja sama dengan bangsa-bangsa lain.

Di sini, Nasionalisme dalam arti sempit adalah suatu sikap yang meninggikan bangsanya sendiri, sekaligus tidak menghargai bangsa lain sebagaimana mestinya. Sikap seperti ini jelas mencerai-beraikan bangsa yang satu dengan bangsa yang lain. Keadaan seperti ini sering disebut chauvinisme. Sedang dalam arti luas, nasionalisme merupakan pandangan tentang rasa cinta yang wajar terhadap bangsa dan negara, dan sekaligus menghormati bangsa lain.

Dengan begitu tentunya bisa dilihat bahwa masih banyak celah dalam Nasionalisme yang ada pada bangsa Indonesia. Dengan Pancasila sebagai dasar dari ideologi yang dianut oleh warga Negara Indonesia maka yang kemudian muncul adalah Nasionalisme Pancasila.

[footnoteRef:3]Pada prinsipnya nasionalisme Pancasila adalah pandangan atau paham kecintaan warga Negara Indonesia terhadap bangsa dan tanah airnya yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila. Prinsip nasionalisme bangsa Indonesia dilandasi nilai-nilai Pancasila yang diarahkan agar bangsa Indonesia senantiasa menempatkan persatuan kesatuan, kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau kepentingan golongan. Menunjukkan sikap rela berkorban demi kepentingan bangsa dan Negara. Bangga sebagai bangsa Indonesia dan bertanah air Indonesia serta tidak merasa rendah diri. Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban antara sesama manusia dan sesama bangsa. Menumbuhkan sikap saling mencintai sesama manusia. Mengembangkan sikap tenggang rasa dan tidak semena-mena terhadap orang lain. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan. Senantiasa menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Berani membela kebenaran dan keadilan. Merasa bahwa bangsa Indonesia merupakan bagian dari seluruh umat manusia. Dan menganggap pentingnya sikap saling menghormati dan bekerja sama dengan bangsa lain. [3: Indra M, Pengertian Nasionalisme, diakses dari http://bangsaku-indonesiaku.blogspot.com/2008/10/pengertian-nasionalisme.html, pada tanggal 22 Maret 2015 pukul 15.27]

[footnoteRef:4]Pada tahun 2012 di kawasan Tanjungpura, Pontianak terjadi kasus yang merupakan kekerasan komunal etnis. Jika melihat ke belakang kasus-kasus konflik etnik di Kalimantan barat maka akan disadari bahwa pola kasus tersebut serupa dan berulang. Pada masa Hindia-Belanda ada beberapa kasus yang melibatkan etnik Tionghoa, Dayak, dan Melayu. Pada tahun 1950 terjadi konflik melibatkan etnik Tionghoa dan Melayu. Kemudian puncaknya pada tahun 1997-1999 yang melibatkan etnik Madura, Melayu dan Dayak. Setelah menelan ribuan nyawa, pada tahun 2012 kejadian tersebut terulang lagi. [4: Alvina Yolanda, Konflik Etnik di Kalimantan Barat, diakses dari http://vinavan.blogspot.com/2013/02/konflik-etnik-di-kalimantan-barat.html, pada tanggal 22 Maret 2015 pukul 15.40]

Permasalahan ini bukannya tidak dianggap penting namun, pemerintah menganggap konflik telah selesai ketika para pengungsi akibat konflik telah dipindahkan ke lokasi pemukiman baru Tebang kacang. Tidak dilihat bahwa perasaan curiga dan prasangka antara etnik satu dan lainnya masih berkembang ditingkat masyarakat Kalimantan Barat. Masih ada penolakan oleh kelompok etnik tertentu pada kelompok etnik lain. Permasalahan-permasalahan kejelasan hak para pengungsi dan korban konflik etnikterutama bagi etnik yang kalahhingga kini masih buram. Tindakan yang dilakukan masyarakat adalah mempersempit dan membatasi ruang dialog antar etnik pada isu tertentu karena alasan sensitivitas ditakutkan akan mengganggu stabilitas keamanan. Misalnya penolakan masyarakat Melayu di Sambas yang hingga kini menolak masyarakat Madura ke wilayah Sambas. Pemerintah memindahkan para pengungsi ke pemukiman baru dan menyatakan kasus itu telah selesai.

Contoh lain adanya konflik etnik di Indonesia adalah etnik Aceh dan Jawa. [footnoteRef:5]Suku bangsa Aceh adalah yang dominan mendiami propinsi Aceh. Terdiri dari 17 kabupaten dan 4 kotamadya (1999). Wilayah asli yang dominan diduduki oleh suku bangsa Aceh adalah Kotamadya Banda Aceh, Sabang, Kabupaten Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara, sebagaian kabupaten Aceh Barat, Aceh Selatan dan sebagaian kabupaten Aceh Timur. Suku bangsa Aceh memiliki bahasa sendiri, yaitu Bahasa Aceh yang terdiri dari bebrapa Dialek, dianataranya dialek peusangan, Banda, Bueng, Daya, Pase. Tunong, Matang, Seunagan dan Meulaboh. Dari keseluruhan pada umumnya masyarakat Aceh dapat memahami kata-kata dari kalimat yang diucapkan dari perbedaan dialek tersebut. [5: M. Umar, Peradaban Aceh Tamaddun, I (Cet II; Aceh: YayasanBusafat dan Komunitas Masyarakat Adat, 2006), hal.69]

Disamping itu pula, Aceh terdapat beberapa suku bangsa yang berdomisi dan tersebar dibeberapa wilayah. Suku tersebut adalah suku Aneuk Jamee, suku Gayo, Suku Alas, Suku Kluet,suku singkil, suku Taming, dan Suku Simeulue. Yang memiliki corak bahasa yang berbeda satu sama lain.

Konflik anatar etnik selalu saja mencari akarnya pada persoalan sosial ekonomi dan budaya seperti halnya konflik Aceh. Studi yang dliakukan oleh peneliti menunjukkan bahwa akar dari semua konflik yang terjadi di Aceh merupakan persoalan ketidakadilan sosial ekonomi dalam proses pembangunan serta serangkaian tuntutan janji atas hak-hak istimewa yang tidak teralisasi.

Beberapa unsur besar diatas merupakan alasan yang paling logis dibalik catatan perjalanan konflik di Aceh, Namun disamping hal itu pula, terdapat salah satu bagaian terpenting yang menggoreskan fakta sejarah dibalik konflik serta pergolakan yang terjadi dikemudian hari di Aceh. Yakni kebencian suku bangsa Aceh terhadap suatu etnik tertentu, yakni suku Jawa. Memang hal ini sangat jarang dikaitkan sebagai faktor pemicu munculnya konflik Aceh, dan orang cenderung mengabaikan fakta ini. akan tetapi sejarah telah membuktikannya.

[footnoteRef:6]Ketika kerjaan Samudera Pasai diserang oleh kerjaan Majapahit yang merupakan kerjaan terbesar dipulau Jawa sekitar tahun 750-796 H yang dipimpin oleh panglima Patih Nala Ketika Sultan Zainul Abidin Malik Al Zhahir memimpin. Sejak saat itu genderang perang dinyatakan oleh rakyat Aceh terhadap kerjaan Jawa tersebut. Hal diatas merupakan bagian kecil dari catatan sejarah menegenai hubungan awal antara Aceh dengan Jawa yang ditandai dengan konflik. Meskipun pada periode tahun-tahun berikutnya kedua etnis ini nyaris tidak pernah melakukan kontak fisik berupa perang dan mulai membangun hubungan melalui bidang penyebaran agama dan perdagangan. [6: H. Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, (Cet I; Medan: Penerbit dan Percetakan Waspada, 1981), h. 38-44]

Ketika Belanda melakukan penjajahan di Nusantara, kurang lebih 350 tahun lamanya, Aceh juga berjuang melakukan perlawanan terhadap penjajah belanda. Bahkan Aceh memiliki andil besar terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia di Kemudian Hari. Aceh pula lah yang banyak membantu Indonesia dalam upaya mempertahankan kemerdekaan dari datangnya kembali gangguan Belanda yang ingin menjajah Indonesia. Pada Tahun 1945 setelah Proklamasi Kemeerdekaan Indoensia dikumandangkan Soekarno dan Hatta di Jakarta, tak lama setelah itu pada 15 Oktober 1945 atas nama seluruh masyarakat, Aceh menyatakan diri dengan patuh berdiri dibawah payaung NKRI. Meskipun sebenarnya Aceh dapat berdiri sebagai sebuah negara merdeka dan berdaulat, tetapi, karena rakyat Aceh pada saat itu diliputi oleh semangat Nasionalisme yang tinggi maka Aceh menyatakan diri menjadi bagaian dari Indonesia. Kemudian pemerintah Darurat Indonesia langsung mengeluarkan ketetapan mengenai posisi Aceh didalam Republik. Ketetapan itu diberlakukan pada 17 Desember No. 8 / Des/ W.K.P.H yang menetapkan Aceh sebagai sebuah propinsi.

[footnoteRef:7]Namun pada 8 Agustus 1950 Dewan menteri Republik indonesia Serikat (RIS) menetapakan Kalau wilayah RIS dibagi kedalam 10 propinsi dan Aceh tidak lagi termasuk ke dalam salah satu propinsi. Keputusan itu menggugurkan janji Sjarifuddin Prawiranegara tentang pembentukan Propinsi Aceh. Keputusan pembubaran propinsi Aceh kemudian di umumkan oleh Perdana Menteri M Natsir yang disiarkan oleh RRI di Koetaradja, Aceh pada 23 Januari 1951. Keputusan tersebut telah melukai perasaan seluruh masyarak Aceh dan menumbuhkan dendam serta frustasi para pimpinan Ulama yang tergabung didalam PUSA. Setelah pengkhianatan yang dilakukan oleh jawa (demikian orang Aceh menyatakan identitas pemerintah Indonesia) tersebut, maka terbesitlah dibenak Daud Beuereueh untuk melakukan perlawanan dengan membentuk sebuah gerakan yang bernama DI/TI (sebelumnya NII). [7: Akbar, Muhammad Madya, Aceh: Meretas Jalan Damai Menuju Masa Depan, (Cet I; Jakarta: Jyesta Publishing dan Lentera Demokrasi, 2009), h. 40-49]

Pada bulan April 1957, tunutuan masyarakat Aceh tentang hak menerapkan syariat Islam serta daerah otonomi khusus ditidaklanjuti oleh pemerintah Soekarno. Kemudian ditanda tangani perjanjian atau ikrar Lam Teh. Sehingga mengakhiri pemberontakan Muhammad Daud Beureueh.

Pada tanggal 30 September tahun 1965, tak lama setelah Aceh kembali bergabung kedalam NKRI dengan pemeberian status Daerah Istimewa, terjadi kudeta politik yang dilakukan oleh Soeharto terhadap Soekarno dengan tuduhan ia terlibat dalam PKI dan memanfaatkan momentum krisis ekonomi dan politik. Setelah Soeharto berkuasa ternyata ia membuat kebijakan yang sangat sentralistik. Daerah istimewa yang dijnjikan dulu tidak pernah ditepati dan bahakan dilupakan. Kekecewaan rakyat Aceh terhadap orang jawa diperkuat oleh penemuan sumber cadanagan minyak dan gas alam terbesar pada tahun 1971 di Lhokseumawe. Empat tahun kemudian Mobil Oil Indonesia perusahaan raksasa yang bermarkas di Amerika serikat diberikan hak untuk mengeksploitasinya. Sehingga kemudian disusul oleh beridirinya perusahaan-perusahaan industri besar seperti PT. PIM, PT AAF, PT KKA dan sejumlah industri hilir lainnya. Meskipun Aceh telah ditetapkan sebagai kawasan ZIL (zona industri Lhoseumawe) namun keuntungan tidak pernah dirasakan oleh rakyat Aceh. Aceh tetap miskin dan masyarakatya tetap hidup dalam kemelaratan. Seluruh keuntungan mengalir ke pusat. Ekspansi besar-besaran tenaga kerja asing terjadi. Sebagian besar birokrat serta posisi-posisi penting didalam pemerintahan di Aceh dikuasai dan didominasi oleh orang Jawa maka semakin menumbuhkan kebencian orang-orang Aceh terhadap orang jawa.

Kekecewaan demi kekecewaan dirasakan oleh orang Aceh akibat pengkhianatan dan kezaliman yang dilakukan oleh Jakarta (Jawa-red) membuat orang Aceh menyimpan dendam teramat dalam terhadap orang-orang jawa. Puncaknya adalah, lahirnya kembali sebuah gerakan perlawanan yang diberi nama ASLNF (Aceh Sumatera Liberation Front) atau yang sering disebut Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yanh diproklamirkan oleh Hasan Tiro pada tanggal 4 Desember 1976. sebuah gerakan perlawanan terhadap pemerintah Indonesia yang oleh orang Aceh menyebutnya pemerintahan Jawa. Gerakan ini dibentuk atas inisiatif Hasan Tiro yang juga merupakan cicit dari pahlawan Aceh yakni tengku Chik Di Tiro. Secara diam-diam ia mencoba kembali membuka ruang perlawanan terhadap pemerintah yang didominasi oleh orang-orang yang berasal dari etnis jawa. Doktrin perlawanan yang disuarakan adalah tentang ketidakadilan, pengkhianatan, kekecewaan yang diselimuti dengan kebangkitan Nasionalisme orang Aceh.

Meskipun perlawanan ini dilatarbelakangi oleh aspek politik, Agama dan ekonomi, yaitu penentuan hak otonomi serta eksploitasi hasil Alam yang timpang sehingga membuat orang-orang Aceh tetap berada dibawah garis kemiskinan meskipun kaya akan sumberdaya Alam, serta janji pemerintah atas penerapan syariat Islam di Aceh yang urung terealisasi. namun disamping itu pula, perjuangan ini didasarkan atas kebencian terhadap etnis jawa. Bagi orang Aceh, NKRI adalah milik bangsa Jawa. Karena fakta politik dimasa orde baru etnis jawa mendominasi struktur pemerintahan. GAM membangun rasa benci dengan memanfaatkan sentimen entis tersebut.Orang jawa merupakan musuh Historis bagi rakyat Aceh. Dalam hal ini, Hasan Tiro membangkitkan kembali sejarah penajajahan Majapahit terhadap Kerajaan Samudera Pasai sehingga permusuhan dengan pihak jawa merupakan garis merah atas apa yang terjadi pada masa lalu pada bangsa Aceh. Seiring perjalanan waktu, intensitas perang semakin meningkat.

Namun disisi lain, pemerintah penguasa Orde baru sedang giat-giatnya merealisasikan program pembangunan serta penyebaran Transmigrasi terutama yang berasal dari pulau jawa yang kemudian ditempatkan didaerah-daerah. Tak sedikit Transmigaran yang berasal dari pulau jawa membangun pemukiman-pemukiman baru di Aceh. Hal ini semakin menambah kemarahan orang Aceh terhadap Jawa dan tak jarang selama kurun waktu tahun 80-90-an para Transmigran menjadi sasaran amarah masyarakat Aceh terutama sekali GAM. Para transmigran banyak yang mendapat perlakuan tidak manusiawai mulai dari penganiayaan, penculikan terhadap etnis Jawa pembakaran rumah hingga kehilangan nyawa. Hal ini yang kemudian membuat orang-orang Jawa transmigran merasa terancam hidupnya dan bahkan kebanyakan dari mereka memilih keluar dari Aceh.

Setelah melakukan perlawanan selama kurang lebih 30 tahun lamanya yang mengorbankan ribuan nyawa baik dikedua belah pihak dan terutama sekali rakyat sipil akhirnya pihak-pihka berkonflik yakni GAM dan RI bersepakat melakukan genjatan senjata dan menempuh jalur damai untuk menyelesaikan konflik. Untuk menghindari jatuhnya kembali korban dari rakyat sipil. Terlebih ketika itu tanggal 26 Desember tahun 2004 Aceh dilanda musibah Gempa dan Tsunami sehingga pihak-pihak berkonflik didesak untuk mengakhiri perang.

[footnoteRef:8]Pada Agustus 2005 pihak pemerintah Indonesia dan GAM bersepakat menandatangani perjanjian damai di Helsinki Finlandia, yang kemudian melahirkan nota kesepahaman bersama atau yang biasa dikenal MoU Helsinki. Bahkan setelah damai pun, sikap sentimen terhadap etnis Jawa pun tetap ditunujukan oleh orang Aceh. Bukti nyatanya adalah, masih terjadinya tindak kekerasan dan pembunuhan terhadap etnis Jawa yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu meskipun bukan dilatarbelakangi oleh faktor etnisitas, namun tetap orang Jawa yang menjadi sasarannya. Meskipun kini, eskalasi kebencian telah menurun drastis, namun tak menuntut kemungkinan, apabila Jakarta (Jawa) kembali mengkhianati orang Aceh, akan timbul kembali konflik-konflik baru antar kedua etnis tersebut atau lebih. [8: Novri Susan, Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik Kontemporer, (Cet I; Jakarta : Penerbit Kencana, 2010), h. 155]

1.4 NASIONALISME DAN KONFLIK ETNIK DAN HUBUNGAN INTERNASIONAL

Yang pertama menjadi pokok pembahasan dalam lingkup internasional adalah isu atas pentingnya nasionalisme dan pembagian manusia atas etnik itu sendiri. Nasionalisme adalah ideologi yang menyertakan identifikasi yang kuat atas sebuah kelompok yang terdiri atas individu dengan entitas politik yang telah ditetapkan lingkup nasional. Nasionalisme dalam perkembangannya adalah relatif masih baru dalam sejarah manusia, sebelumnya sampai sekitar pertengahan abad ke-18 orang-orang biasanya menentukan loyalitas mereka pada wilayah tertentu atau sebagai subyek atas kepemimpinan tertentu.

Dalam isu ini ada pihak pro dan kontra yang masing-masing memiliki alasan tersendiri untuk mendukung adanya nasionalisme dan menolak adanya nasionalisme.

Pro

Kontra

Nasionalisme membentuk suatu keikatan yang membuat seseorang membawa kesadaran untuk melakukan kerjasama dan kohesi karena mereka memiliki identitas yang sama. Bahwa orang-orang yang berbeda bisa melakukan suatu hal karena adanya kerjasama sosial. Pengertian kerjasama sosial tersebut membuat suatu bentuk kesejahteraan, rasa aman dan hal-hal yang lain menjadi terikat lebih kuat. Adanya nasionalitas membuat seseorang lebih lebih mementingkan kepentingan bersama negaranya melebihi kepentingannya sendiri.

Sangat sedikit batasan yang diberikan Negara yang cocok dengan batasan atas etnik itu sendiri. Itu artinya bahwa sisi lain dari nasionalisme akan lebih memberikan dampak nyata. Bahwa pada satu sisi nasionalisme menyebabkan konflik etnik secara internal. Justru pada titik tertentu konsep dari nasionalisme dan etnik akan menyebabkan suatu kekerasan. Kembali pada gagasan atas nasionalisme sebagai cita-cita moral yang membenarkan penggunaan kekerasan atas bentuk pembelaan jati diri suatu entitas tertentu. Pada akhirnya, akan muncul minoritas dan akan menyebabkan sebuah diskriminasi yang pada akhirnya dengan dalih sebagai bentuk pembelaan akan digunakan kekerasan yang merupakan awal dari sebuah konflik etnik.

Nasionalisme menjadi sebuah bentuk kekuatan yang kuat untuk mencapai self-determination dalam wilayah jajahan. Pada sekitar tahun 1940 sampe 1950, gerakan-gerakan untuk memperjuangkan kemerdekaan dilakukan oleh orang-orang Afrika. Mereka bekerja sangat keras untuk menaikkan gagasan kedudukan sebagai Negara yang merdeka untuk mengerahkan orang-orang mereka melawan kekuasaan orang luar yang melakukan eksploitasi. Negara lain seperti Indonesia, India, Guinea, dan Guyana juga melakukan hal serupa.

Nasionalisme sebagai pendorong untuk tercapainya self-determination bukanlah suatu hal yang selalu baik.

Kegunaan nasionalisme tergantung atas tingkatan seperti apa nasionalisme tersebut dibentuk.

Nasionalisme tersebut tidak bisa disebut sebagai suatu hal yang mutlak karena pada permasalahan ini, nasionalisme di India bisa disebut sebagai pemersatu India. Namun, nasionalisme di Tamil adalah sebuah identitas nasional yang levelnya ada di bawah, yang pada akhirnya menjadi sebuah pemecah kesatuan atas sebuah Negara yang sudah memiliki self-determination.

Menurut Isaiah Berlin, physiognomies dari sebuah budaya itu adalah suatu hal yang unik. Setiap bagiannya memberikan exfoliation atau mengkuliti identitas manusia dengan cara yang indah dalam waktu, tempat dan lingkungan masing-masing. Dalam hal ini kita tidak diperbolehkan menghakimi nilai-nilai yang sebanding karena nilai-nilai tersebut tidak dapat dibandingkan.

Pluralitas masyarakat khususnya dalam era modern, dapat memperbolehkan pengembangan dan saling tukar budaya yang bisa memberikan manfaat bagi semua pelakunya. Keanekaragaman disebut menjadi warna baru melalui perbedaan yang ditawarkan oleh kebudayaan yang dipelihara dan dijaga oleh nasionalisme.

Nasionalisme adalah gerakan di masa lalu atas banyak hal yang terjadi pada abad ke-19 dan abad ke-20. Faktanya, nasionalisme melawan atas tersebar luasnya penegakan hak-hak asasi manusia. Yaitu bahwa kedaulatan suatu Negara adalah hal yang mutlak, kedaulatan tersebut seperti apa yang telah disebutkan dalam konsep dasar sebuah Negara adalah untuk membuat self-determination dan menjamin identitas warga negaranya. Sebagai contoh yaitu China. Bahwa China menolak campur tangan orang atau institusi lain di luar negaranya untuk ikut andil dalam urusan rumah tangganya.

Contoh konflik yang pernah terjadi adalah Ethnic Cleansing di Kosovo :

Pasca runtuhnya Yugolavia, terjadi perebutan wilayah yang kemudian menimbulkan konflik-konflik baru yang berkepanjangan. Konflik Kosovo kemudian berkembang menjadi isu pelanggaran HAM karena terjadi peristiwa ethnic cleansing atau pembersihan etnis yang melibatkan kaum Serbia sebagaioffenderterhadap etnis Albania, etnis muslim Kosovo. Peristiwaethnic cleansingini menjadi sebuah tindak kejahatan akan HAM karena serupa dengan genosida seperti yang dilakukan Adolf Hitler melalui NAZI terhadap kaum Yahudi.

Ethnic cleansing sendiri dipahami sebagai sebuah tindak kejahatan kemanusiaan dimana terjadi tindakan untuk menghilangkan etnis tertentu. Dengan menggunakan taktik-taktik meneror seperti penculikan, pemerkosaan, dan pembunuhan, para penjahat etnis ini berusaha untuk memaksa etnis tersebut untuk meninggalkan tempat tinggal mereka atau membunuh massal masyarakat etnis tersebut. Sehingga daerah tersebut bersih dari etnis yang mengalamiethnic cleansingtersebut.[footnoteRef:9] Peristiwa inilah yang menimpa etnis Albania di Kosovo. [9: Kenneth J. Neubeck, Mary Alice Neubeck, Davita Silfen Glasberg,Social Problem: a Critical Approach(New York,2007), hal. 82.]

Kosovo merupakan sebuah propinsi yang dibentuk pada tahun 1945 sebagai daerah otonom dalam wilayah selatan Republik Serbia yang juga bagian dari Republik Federal Yugoslavia. Kosovo mengalami sejarah konflik yang sangat panjang dan kasusethnic cleansingAlbania merupakan salah satunya.

Pada masa pemerintahan Slobodan Milosevic erjadi pembantaian massal etnis muslim Kosovo, Albania oleh etnis Serbia pimpinan Milosevic. Awal konflik ini dimulai ketika terjadi referendum oleh etnis Albania pada tahun 1991 yang menyatakan pemisahan diri dari Federasi Yugoslavia dan Republik Serbia. Referendum ini sendiri juga merupakan akumulasi kekecewaan kaum Albania yang merasa didiskriminasi oleh pemerintah Serbia. Walaupun etnis Albania mendominasi proporsi 2 juta warga Kosovo (90 %), akan tetapi pemerintah Serbia justru tidak pernah mendengarkan aspirasi kaum Albania. Kaum Albania justru menjadi sasaran kekerasan dan tindakan represif sehingga mereka memutuskan untuk membentukKosovo Liberation Army(KLA) yang memperjuangkan kemerdekaan etnis Albania. Hal ini kemudian dianggap ilegal dan menyulut konflik dengan pemerintah Serbia. Selain itu terjadinya gelombang demonstrasi akan kegagalan ekonomi pemerintah akan kegagalan meningkatkan kesejahteraan mereka yang diwarnai sentimen terhadap kaum Serbia juga memperpanas kondisi ini. Pemerintah Serbia yang berusaha mempertahankan kekuasaannya terhadap Kosovo secara frontal melakukan perlawanan terhadap rakyatnya sendiri.

PBB sebagai organisasi internasional yang bertugas untuk menjaga perdamaian dan keamanan dunia pun bertindak dalam menangani krisis ini. Setelah NATO melakukan serangan udara terhadap pasukan Serbia, Milosevic akhirnya lengser. Pasca kejadian itu, PBB mulai masuk ke Kosovo melalui UNMIK dan KFOR. PBB juga berperan melalui ICTY yang mengadili Milosevic dan penjahat perang Kosovo lainnya. Tidak hanya itu, PBB juga memediasi pihak yang berkonflik dan akhirnya tercapailah kemerdekaan Kosovo pada 17 Februari 2008.

Tapi tampaknya Kosovo belum sepenuhnya merdeka lantaran masih ada negara yang bersikukuh menolak status Kosovo sebagai satu entitas yang merdeka. Isu kepentingan yang meliputi status kemerdekaan Kosovo juga menjadi sebuah persoalan tersendiri. PBB yang seharusnya menjadi sebuah organisasi yang netral harus mengevaluasi diri agar terbebas dari infiltrasi kepentingan anggotanya yang berpotensi mendominasi hak anggota yang lain.

Kasus ethnic cleansing Kosovo merupakan kasus pelanggaran HAM besar yang menjadi sebuah peringatan bagi kita agar berhati-hati. Kedamaian dunia dan HAM adalah aset berharga bagi eksistensi dunia internasional sehingga penegakan hukum internasional haruslah dijalankan seoptimal mungkin untuk dunia yang lebih humanis dan netral.

DAFTAR PUSTAKA

Akbar, Muhammad Madya, Aceh: Meretas Jalan Damai Menuju Masa Depan, (Cet I; Jakarta: Jyesta Publishing dan Lentera Demokrasi, 2009), h. 40-49

H. Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, (Cet I; Medan: Penerbit dan Percetakan Waspada, 1981), h. 38-44

Kenneth J. Neubeck, Mary Alice Neubeck, Davita Silfen Glasberg,Social Problem: a Critical Approach(New York,2007), hal. 82.

M. Umar, Peradaban Aceh Tamaddun, I (Cet II; Aceh: YayasanBusafat dan Komunitas Masyarakat Adat, 2006), hal.69

Novri Susan, Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik Kontemporer, (Cet I; Jakarta : Penerbit Kencana, 2010), h. 155

Perserikatan Bangsa-Bangsa.Pengetahuan Dasar tentang Perserikatan Bangsa-Bangsa.2001.

Prof. Miriam Budiarjo,Dasar-dasar Ilmu Politik(Jakarta, 2008), hal 51.

Sastra, R.B. Suryama M.Bahan Kajian Awal: Menimbang Solusi Permasalahan Kosovo. 2007.

US State Department Report,Ethnic Cleansing in Kosovo: an Accounting.1999.

Trevor C. Salmon, Issues In International Relations, II (Cet. II;Routledge, Canada, 2008), h. 48.

http://www.academia.edu/9009190/PENGERTIAN_NASIONALISME_MENURUT_PARA_AHLI_1 ,diakses pada tanggal 22 Maret 2015 pukul 15.20

http://bangsaku-indonesiaku.blogspot.com/2008/10/pengertian-nasionalisme.html, diakses pada tanggal 22 Maret 2015 pukul 15.27

http://vinavan.blogspot.com/2013/02/konflik-etnik-di-kalimantan-barat.html, diakses pada tanggal 22 Maret 2015 pukul 15.40

http://en.wikipedia.org/wiki/Kosovo, diakses pada 22 Maret 2015 pukul 20.14

http://www.un.org/peace/kosovo/pages/unmik12.html, diakses pada 22 Maret 2015 pukul 20.20

http://www.gcsp.ch/Leadership-Crisis-Conflict-Management/Courses/The-Role-of-Nationalism-in-Contemporary-International-Politics, diakses pada 23 Maret 2015 pukul 08.11

http://www.londoninternational.ac.uk/sites/default/files/programme_resources/lse/lse_pdf/subject_guides/ir2084_ch1-3.pdf, diakses pada 23 Maret 2015 pukul 08.20

http://plato.stanford.edu/entries/nationalism/, diakses pada 23 Maret 2015 pukul 09.03

http://debatewise.org/debates/2774-nationalism/, diakses pada 23 Maret 2015 pukul 09.18

http://id.wikipedia.org/wiki/Kelompok_etnik, diakses pada 23 Maret 2015 pukul 09.35

http://europe.idebate.org/debatabase/debates/culture/house-believes-nationalism-can-be-force-good, diakses pada 23 Maret 2015 pukul 09.44