NA Sumber Pendapatan Desa
Transcript of NA Sumber Pendapatan Desa
BAB I
PENDAHULUAN
A. Judul : Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah (Raperda)
Kabupaten Purworejo tentang Sumber Pendapatan Desa
B. Latar Belakang
Pemberlakuan otonomi daerah telah mengantarkan Indonesia menuju
pada era keterbukaa, yang ditandai dengan terbukanya akses partisipasi
masyarakat yang lebih luas. Otonomi daerah mengurangi beban Pemerintah
pusat maupun propinsi, dengan memberikan kesempatan kepada daerah untuk
mengembangkan sasaran-sasaran kebijakan yang lebih strategis, dan
berdampak lebih luas terhadap pencapaian tujuan pembangunan.
Desentralisasi dan otonomi daerah dapat mendorong terwujudnya proses
pemberdayaan masyarakat dalam bentuk kesadaran dan kedewasaan ekonomi,
serta politik masyarakat sebagai warga negara. Hal tersebut akan percepatan
perwujudan pencapaian sasaran-sasaran pembangunan nasional maupun
regional, yang menjadi arahan kebijakan pemerintah pusat maupun propinsi.
Pelaksanaan kebijakan otonomi daerah diharapkan dapat merubah
pola kerja yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah agar dapat berjalan
lebih efektif. Daerah diberikan kewenangan lebih banyak untuk mengelola dan
mengurus wilayahnya. Dengan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah
serta peran pro-aktif dari masyarakat dalam program peningkatan
kesejahteraan, maka pengurangan tingkat kemiskinan lebih mudah untuk
diwujudkan. Terbukanya akses terhadap kebijakan dan program yang menjadi
kewenangan administrasi daerah, juga merupakan point penting untuk
mengatasi masalah yang ada di Daerah.
Desentralisasi dan kewenangan otonomi yang diberikan ke daerah,
memberikan kesempatan yang lebih luas kepada masyarakat untuk
merencanakan, melaksanakan dan mengendalikan pembangunan daerahnya.
Masyarakat akan terdorong untuk berkomitmen terhadap perubahan sikap dan
P a g e 1
perilaku sosial ekonomi dan politik ke arah yang diharapkan. Untuk
mewujudkan Pemerintahan Daerah yang seperti dikatakan pada uraian diatas
maka daerah harus benar-benar mampu mengoptimalkan sumber daya
manusia dan sumber daya alam yang dimiliki.
Desa sebagai pemerintahan tingkat terendah yang merupakan bagian
dari subsistem pemerintahan di daerah diharapkan dapat menyentuh langsung
dengan masyarakat sehingga mempunyai peranan penting dalam
merealisasikan tujuan otonomi daerah. Desa diharapkan lebih berperan dalam
meningkatkan Pendapatan Asli Desa agar dapat memberikan kontribusi bagi
terlaksananya pembangunan secara nasional.
Berkaitan dengan pemerintahan Desa, pemerintahan juga memberikan
otonomi kepada desa melalui Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 yang
telah diubah melalui Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008. Dalam peraturan
tersebut diatur bahwa Desa tidak lagi merupakan level administrasi saja,
melainkan menjadi independent community. Masyarakat desa berhak berbicara
atas kepentingan sendiri dan bukan ditentukan dari atas ke bawah. Menurut
paradigm tersebut, desa pada hakikatnya merupakan kesatuan hukum yang
otonom dan memiliki hak dan wewenang untuk mengatur rumah tangga
sendiri. Pemerintahan desa yang merupakan subsistem dari sistem
penyelenggaraan pemerintah daerah, memiliki kewenangan yang luas untuk
mengatur dan mengurus kepentingan daerah dan kepentingan masyarakatnya
sendiri. Sehingga desa yang selama ini diperankan sebagai figuran dan objek,
berubah peran sebagai aktor.
Dalam mengembangkan peran desa, pemerintah mengembangkan
potensi-potensi yang ada pada masyarakat desa. Sehingga dalam menjalankan
pemerintahan, desa memiliki kewenangan yang luas. Desa dapat melakukan
perbuatan hukum, baik hukum publik maupun hukum perdata, memiliki
kekayaan, harta benda dan bangunan, serta dituntut dan menuntut dalam
pengadilan. Oleh karena luasnya wewenang tersebut, maka Kepala Desa dapat
mengadakan perjanjian yang saling menguntungkan dengan pihak ketiga
melalui persetujuan Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
P a g e 2
Pada sisi pengelolaan anggaran, dengan adanya dana perimbangan
maka pemerintah desa memiliki keleluasaan untuk mengalokasikan anggaran
penyelenggaraan pemerintahan desa dan pembangunan desa sesuai dengan
kebutuhan. Terlebih lagi saat ini banyak proyek / program pembangunan yang
berasal baik dari pemerintah pusat, provinsi, kabupaten maupun lembaga
donor menjadi energi pendorong tersendiri untuk mengoptinalkan pemenuhan
kebutuhan desa.
Selain itu dalam mencari sumber pembiayaan pemangunannya, desa
memiliki wewenang mengupayakan dan mengelola pendapatan asli desa.
Terbatasnya subsidi dari pemerintah menuntut pemerintah desa untuk
berinovasi menggali pendapatan asli desanya. Untuk itu diperlukan pula
pengelolaan keuangan yang baik serta kemampuan untuk mencari sumber
pendapatan desa secara mandiri.
Sumber pendapatan dijadikan sebagai tumpuan perekonomian Desa,
sebagai Pendapatan Asli Desa yang digunakan untuk pelaksanaan
pembangunan. Tanpa sumber pendapatan yang pasti, pemerintahan desa hanya
akam berfungsi tidak lebih sebagai lembaga administratif. Akibatnya desa
tidak mampu berkembang dan tidak mampu untuk hidup secara mandiri,
sehingga kegiatan pembangunan pun akan berjalan lambat.
Dalam hal hubungannya dengan kegiatan perekonomian, peran yang
sangat penting. Desa menjadi hinterland bagi kota sebagai penyuplai bahan
pokok, bahan mentah dan tenaga kerja yang produktif. Selain itu desa juga
mempunyai potensi fisik dan non fisik, potensi fisik meliputi tanah, air, iklim,
ternak dan manusia. Potensi non fisik meliputi : prinsip hidup gotong-royong
yang menjadi suatu kekuatan berproduksi dan kekuatan membangun atas dasar
kerjasama dan saling pengertian, adanya lembaga-lembaga sosial, serta
aparatur dan pamong desa yang kreatif dan disiplin.
Purworejo sebagai salah satu wilayah kabupaten di Jawa Tengah,
memiliki potensi luas wilayah desa yang sangat luas seperti yang dapat kita
lihat pada data berikut :
P a g e 3
Tabel 1.1
Jumlah Desa dan Luas Wilayah Desa per Kecamatan di Kabupaten Purworejo
No Kecamatan Jumlah Luas Wilayah (ha)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
Grabag
Ngrombol
Purwodadi
Bagelen
Kaligesing
Purworejo
Banyuurip
Nayan
Kutoarjo
Butuh
Pituruh
Kemiri
Bruno
Gebang
Loano
Bener
32
57
40
17
21
25
27
26
27
41
49
40
18
25
21
28
6.493,05
5.526,93
5.395,93
6.376,28
7.472,90
5.272,08
4.508,50
4.321,15
3.759,44
4.607,69
7.742,00
9.204,54
10.843,02
7.186,08
5.365,00
9.408,16
TOTAL 494 103.481,75
Mengingat pentingnya posisi desa dan adanya potensi wilayah desa
yang luas menjadi tantangan bagi pemerintah daerah untuk mewujudkan desa
menjadi lebih berdaya. Pemerintah daerah perlu membuat kebijakan daerah
yang berupa Peraturan Daerah khususnya yang mengatur mengenai sumber
pendapatan desa agar sumber pendapatan desa menjadi semakin jelas dan
terah, untuk membiayai segala keperluan penyelenggaraan pemerintahan di
desa.
Kabupaten Purworejo memiliki visi “Menuju masyarakat Purworejo
yang lebih sejahtera dengan meningkatkan kemandirian serta daya saing,
melalui penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan daerah, dan
kemasyarakatan yang aspiratif bertumpu pada agribisnis, yang didukung
P a g e 4
birokrasi professional dan bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme serta
peran serta aktif sektor swasta dan masyarakat pada umumnya”.
Visi tersebut kemudian dijabarkan kedalam Misi Kabupaten Purworejo
Sebagai berikut:
1) Meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengambilan keputusan
politik melalui pemberdayaan m a s y a r a k a t s e r t a penjaringan aspirasi
masyarakat dengan memanfaatkan mekanisme politik yang sehat dan
dinamis.
2) Meningkatkan produktivitas dan kualitas hasil pertanian dalam arti luas.
3) Mewujudkan iklim yang kondusif serta ketersediaan infrastruktur untuk
menarik investasi dalam mewujudkan industri jasa dan perdagangan guna
mendorong kemajuan daerah berbasis agribisnis.
4) Meningkatkan pendapatan daerah untuk mendukung pembangunan
daerah yang semakin luas dan berkualitas.
5) Mewujudkan profesionalisme aparatur dan pemerintahan yang amanah,
bersih, bebas dari KKN dan demokratis, dengan mengutamakan
penegakan hokum jaminan keselamatan dan ketertiban umum didukung
oleh partisipasi masyarakat yang tinggi.
Untuk mengoptimalkan potensi desa dalam rangka merealisasikan visi
dan misi maka Kabupaten Purworejo agar bisa tercapai sesuai dengan
harapan, diperlukan adanya peraturan perundangan yang mendukung. Dalam
proses pembangunan nasional ini, posisi hukum pada lataran ideal normatif
yang wujudnya berupa peraturan perundang-undangan diletakkan sebagai
pendorong pembangunan, baik di bidang politik, ekonomi sosial, budaya,
maupun pertahanan keamanan, serta bidang-bidang lainnya (Ali
Budihardjono,dkk, 2000 : 1). Dengan demikian, maka fungsi pembentukan
peraturan perundang-undangan menjadi semakin penting, baik di tingkat
pusat maupun di tingkat daerah.
Berkaitan dengan kondisi dan permasalahan tersebut Badan Legislasi
Daerah (Balegda) DPRD Kabupaten Purworejo akan melakukan suatu kajian
terkait sumber pendapatan desa dalam bentuk naskah akademik sebagai dasar
P a g e 5
dalam menyusun suatu kebijakan daerah yang berupa peraturan daerah yang
mengatur mengenai sumber pendapatan desa.
C. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut dirumuskan permasalahan sebagai
berikut:
1. Permasalahan apa yang dihadapi dalam kehidupan bermasyarakat, yang
berkaitan dengan Sumber Pendapatan Desa serta bagaimana permasalahan
tersebut dapat diatasi?
2. Apa yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis
pembentukan Rancangan Peraturan Daerah tentang Sumber Pendapatan
Desa?
3. Apa sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan,
dan arah pengaturan tentang Sumber Pendapatan Desa?
4. Bagaimana merumuskan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah
(Raperda) tentang Sumber Pendapatan Desa yang komprehensif, dengan
memperhatikan permasalahan-permasalahan yang dihadapi beserta
solusinya?
5. Bagaimana merumuskan draf Rancangan Peraturan Daerah (Raperda)
tentang Sumber Pendapatan Desa yang dapat diterima semua pihak,
Pemerintahan kabupaten, unsure Pemerintahan desa serta bermanfaat bagi
peningkatan perekonomian masyarakat di Kabupaten Purworejo Provinsi
Jawa Tengah?
D. Tujuan dan Kegunaan Kegiatan Penyusunan Naskah Akademik
1. Tujuan Kegiatan
Tujuan Kegiatan Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan
Daerah (Raperda) Sumber Pendapatan Desa sebagai berikut:
a. Untuk merumuskan permasalahan-permasalahan yang berkaitan
dengan sumber pendapatan desa yang dihadapi dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta cara-cara yang
diterapkan untuk mengatasi permasalahan tersebut.
P a g e 6
b. Untuk menyiapkan rumusan konsep Rancangan Peraturan Daerah
(Raperda) tentang sumber pendapatan desa yang komprehensif dan
dapat dipertanggungjawabkan secara filosofis, yuridis dan sosiologis
sehingga peraturan daerah yang akan diberlakukan dapat efektif dan
efisien serta diterima masyarakat.
c. Untuk meningkatkan kualitas perencanaan, serta implementasi dalam
pengelolaan sumber pendapatan desa di Kabupaten Purworejo Provinsi
Jawa Tengah.
d. Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup
pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan dalam Rancangan
Peraturan Daerah (Raperda) tentang Sumber Pendapatan Desa di
Kabupaten Purworejo Provinsi Jawa Tengah.
e. Menghasilkan dokumen Rancangan Peraturan Daerah (Raperda)
tentang Sumber Pendapatan Desa yang aspiratif dan partisipatif serta
sesuai dengan kaidah-kaidah pembentukan peraturan daerah.
f. Menyiapkan naskah akademik tentang sumber pendapatan desa yang
diharapkan sesuai dengan asas-asas pembentukan peraturan daerah.
g. Menyiapkan draft Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang
Sumber Pendapatan Desa.
2. Kegunaan Kegiatan
Adapun kegunaan penyusunan naskah akademik Rancangan
Peraturan Daerah (Raperda) tentang Sumber Pendapatan Desa adalah:
a. Diharapkan adanya suatu peraturan daerah yang dapat menjamin rasa
keadilan dan kepastian hukum dalam hal pengaturan Sumber
Pendapatan Desa di Kabupaten Purworejo Provinsi Jawa Tengah.
b. Diharapkan dapat memberikan arah bagi terselenggaranya pngelolaan
Sumber Pendapatan Desa yang baik dengan prinsip demokratis,
transparan, akuntabel, efektif dan efisien di Kabupaten Purworejo
Provinsi Jawa Tengah.
P a g e 7
c. Diharapkan dapat memberikan kerangka pemikiran dalam
menuangkan materi-materi muatan dalam penyusunan Rancangan
Peraturan Daerah tentang Sumber Pendapatan Desa.
E. Manfaat Kegiatan
Manfaat kegiatan penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan
Daerah (Raperda) tentang Sumber Pendapatan Desa adalah:
1. Diharapkan adanya suatu peraturan daerah yang dapat menjamin rasa
keadilan dan kepastian hukum dalam hal pengaturan Sumber Pendapatan
Desa di Kabupaten Purworejo Provinsi Jawa Tengah.
2. Diharapkan dapat memberikan arah bagi terselenggaranya pengelolaan
Sumber Pendapatan Desa di Kabupaten Purworejo Provinsi Jawa Tengah
yang mampu meningkatkan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan
Pemerintahan desa.
3. Diharapkan dapat memberikan kerangka pemikiran dalam menuangkan
materi-materi muatan Rancangan Peraturan Daerah tentang Sumber
Pendapatan Desa..
F. Metode Penyusunan Naskah Akademik
1. Lokasi Kajian
Kegiatan penyusunan naskah akademik rancangan peraturan daerah
tentang Sumber Pendapatan Desa dilakukan di Kabupaten Purworejo
Provinsi Jawa Tengah. Data diperoleh dengan melakukan kajian secara
normatif dan didukung Focus Group Discussion (FGD) dengan
Pemerintahan daerah maupun anggota legislatif, khususnya yang berkaitan
langsung dengan Pemerintahanan desa.
2. Ruang Lingkup
Naskah akademik ini digunakan sebagai dasar untuk menyusun
Rancangan Peraturan Daerah tentang Sumber Pendapatan Desa. Adapun
ruang lingkup yang dijadikan sebagai obyek studi meliputi semua
P a g e 8
unsur/elemen yang berkepentingan di Kabupaten Purworejo Provinsi Jawa
Tengah.
Adapun metode yang dilakukan dalam penyusunan naskah
akademik terdiri dari metode pendekatan yuridis normatif maupun yuridis
empiris dengan menggunkan data sekunder maupun data primer.
Metode pendekatan yuridis normatif dilakukan melalui studi
pustaka, yaitu pengumpulan data-data sekunder dari berbagai dokumen
yang berkaitan dengan pengelolaan sumber pendapatan desa. Data yang
dipergunakan dalam kajian ini menggunakan data sekunder. Data sekunder
diperoleh melalui studi kepustakaan. Dalam melengkapi data sekunder ini
dari sisi hukum, sosiologis, filsafat, ekonomi dan sosial budaya, maka akan
diambil dasar hukum maupun peraturan-peraturan di Kabupaten Purworejo
Provinsi Jawa Tengah yang mempunyai keterkaitan dengan sumber
pendapatan desa.
Untuk memperoleh data dilakukan dengan usaha studi dokumen
atau studi pustaka yang meliputi usaha-usaha pengumpulan data dengan
cara mengunjungi perpustakan-perpustakaan, membaca, mengkaji dan
mempelajari bahan pustaka yang mempunyai kaitan erat dengan pokok
permasalahan. Selanjutnya data yang diperoleh, diedit, diidentifikasi
secara khusus objektif dan sistematis diklarifikasikan, disajikan dan
selanjutnya dianalisis lebih lanjut sesuai dengan tujuan dan permasalahan
kajian.
Metode pendekatan yuridis empiris dilakukan dengan menelaah
data primer sebagai penunjang dan untuk mengkonfirmasi data sekunder
yang diperoleh dengan mengadakan focus group discussion bersama para
pemangku kepentingan dalam penyelenggaraan Pemerintahanan Desa.
G. Sistematika Penulisan Naskah Akademik
P a g e 9
Penyusunan naskah akademik Rancangan Peraturan Daerah
(Raperda) tentang Sumber Pendapatan Desa disusun dengan sistematika
sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Pendahuluan memuat latar belakang masalah, identifikasi
masalah, tujuan dan kegunaan kegiatan penyusunan naskah
akademik, metode penyusunan naskah akademik.
BAB II : KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS
Bab ini memuat uraian mengenai materi yang bersifat
teoretis, asas, praktik, perkembangan pemikiran, serta
implikasi sosial, politik, dan ekonomi dari pengaturan
dalam suatu Peraturan Daerah. Dalam bab ini dapat
diuraikan dalam beberapa sub bab yang berkaitan dengan
Sumber Pendapatan Desa.
BAB III : EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN BIDANG SUMBER
PENDAPATAN DESA
Bab ini memuat hasil kajian terhadap Peraturan
Perundang-undangan terkait yang memuat kondisi hukum
yang ada, keterkaitan undang-undang dan peraturan daerah
baru dengan peraturan perundang-undangan lain,
harmonisasi secara vertikal dan horizontal, serta status dari
peraturan perundang-undangan yang ada, termasuk
peraturan perundang-undangan yang dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku serta peraturan perundang-
undangan yang masih tetap berlaku karena tidak
bertentangan dengan peraturan daerah yang baru
khususnya berkaitan dengan pengaturan sumber
pendapatan desa.
BAB IV : LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN
P a g e 10
YURIDIS
Landasan filosofis merupakan pertimbangan atau
alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang
dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran,
dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta
falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila
dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang dikaitkan dengan sumber
pendapatan desa.
Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau
alasan yang meng-gambarkan bahwa peraturan yang
dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam
berbagai aspek kehidupan masyarakat. Landasan sosiologis
sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai
perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat dan
negara yang berkaitan dengan tata cara pelaporan dan
pertanggungjawaban penyelenggaraan pemerintahan desa.
Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan
yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk
untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi
kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan
yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut
guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan
masyarakat. Landasan yuridis menyangkut persoalan
hukum yang berkaitan dengan substansi pengaturan tata
cara pelaporan dan pertanggungjawaban penyelenggaraan
Pemerintahanan desa atau materi yang diatur sehingga
perlu dibentuk peraturan daerah yang baru.
BAB V : JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG
LINGKUP MATERI MUATAN RANCANGAN
P a g e 11
PERATURAN DAERAH TENTANG SUMBER
PENDAPATAN DESA
Naskah akademik pada akhirnya berfungsi mengarahkan
ruang lingkup materi muatan rancangan peraturan daerah
yang akan dibentuk. Dalam bab ini, sebelum menguraikan
ruang lingkup materi muatan, dirumuskan sasaran yang
akan diwujudkan, arah dan jangkauan pengaturan yang
dituangkan dalam rancangan peraturan daerah tentang
sumber pendapatan desa. Materi didasarkan pada ulasan
yang telah dikemukakan dalam bab sebelumnya.
BAB VI : PENUTUP
Bab penutup terdiri atas subbab simpulan dan saran.
A. Simpulan
Simpulan memuat rangkuman pokok pikiran yang
berkaitan dengan praktik penyelenggaraan, pokok
elaborasi teori, dan asas yang telah diuraikan dalam bab
sebelumnya.
B. Saran
Saran memuat antara lain:
1. Perlunya pemilahan substansi naskah akademik
dalam suatu peraturan perundang-undangan atau
peraturan perundang-undangan di bawahnya yang
berkaitan dengan perencanaan pembangunan
daerah.
2. Kegiatan lain yang diperlukan untuk mendukung
penyempurnaan penyusunan naskah akademik
rancangan peraturan daerah lebih lanjut.
BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS
P a g e 12
YANG BERKAITAN DENGAN SUMBER PENDAPATAN DESA
A. KAJIAN TEORITIS
1. Desa
1.1. Pengertian Desa
Pengertian desa akan tergantung pada sudut pandang yang digunakan,
antara lain dari segi pengertian umum, pengertian sosiologis, pengertian
ekonomi, dan pengertian hukum dan politik.
Pengertian lain, dapat dijumpai dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(1993: 200) yang menyebutkan bahwa “Desa adalah (1) sekelompok rumah
di luar kota yang merupakan kesatuan; kampung; dusun; (2) adik atau dusun
(dalam arti daerah pedalaman sebagai lawan kota); (3) tempat; tanah; darah”.
Sedangkan Pengertian sosiologis, menurut Maschab (1992) Desa
digambarkan sebagai suatu bentuk kesatuan masyarakat atau komunitas
penduduk yang bertempat tinggal dalam suatu lingkungan dimana mereka
saling mengenal dan corak kehidupan mereka relatif homogen serta banyak
bergantung kepada alam (dalam Suhartono, 2001: 10)
Berdasarkan beberapa definisi di atas, desa digambarkan dengan
memuat segi-segi dan sifat-sifat yang positif, seperti kebersamaan dan
kejujuran, namun dipandang pula mengandung ciri negatif, seperti
kebodohan dan keterbelakangan, seperti sebagian buta huruf, masyarakatnya
bertani, masih belum mengenal teknologi tinggi dan masih menggunakan
bahasa pengantar bukan Bahasa Indonesia, menjadi ciri dari desa.
Homogenitas merupakan salah satu ciri desa tradisional kehidupan
desa. Ciri yang lainnya seperti pertanian dan ekonomi subsistem (Horton dan
Chester L. Hunt, 1999b: 130).
Dari segi pengertian ekonomi, pandangan (sosial) ekonomi yang
lebih menekankan sisi produksi, melihat desa sebagai suatu komunitas
masyarakat yang memiliki model produksi yang khas (Wiradi, 1988). Desa
mengandung arti sebagai tempat orang hidup dalam ikatan keluarga dalam
suatu kelompok perumahan dengan saling ketergantungan yang besar di
P a g e 13
bidang sosial dan ekonomi. Desa biasanya terdiri dari rumah tangga petani
dengan kegiatan produksi, konsumsi dan investasi hasil keputusan keluarga
secara bersama (Hayami-Kikuchi, 1987: 11).
Sedangkan jika dilihat dari pengertian hukum dan politik, desa
diartikan sebagai suatu daerah kesatuan hukum dimana bertempat tinggal
suatu masyarakat, yang berkuasa (memiliki wewenang) mengadakan
pemerintahan sendiri (Kartohadi koesoemo, 1984: 16; Wiradi, 1988).
Menurut Prof. Drs. HAW dalam bukunya yang berjudul “Otonomi
Desa”, desa didefinisikan sebagai:
“Desa adalah sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal usul yang bersifat istimewa. Landasan pemikiran dalam mengenai Pemerintahan Desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat”. (Widjaja, 2003: 3).
Sedangkan yang dimaksud dengan desa menurut Sutardjo
Kartohadi Kusumah mengemukakan bahwa desa adalah suatu kesatuan
huum dimana bertempat tinggal masyarakat pemerintahan sendiri. Menurut
Bintaro, desa merupakan perwujudan atau kesatuan geografi, sosial,
ekonomi, politik dan kultural yang terdapat di situ (suatu daerah) dalam
hubungannya dan pengaruhnya secara timbal balik dengan daerah lain.
Pendapat lainnya yaitu menurut Paul H. Landis, desa adalah masyarakat
yang penduduknya kurang dari 2.500 jiwa dengan karakteristiknya sebagai
berikut:
1) Mempunyai pergaulan hidup yang saling kenal mengenal antara ribuan
jiwa.
2) Ada pertalianperasaan yang sama tentang kesukaan terhadap kebiasaan.
3) Cara berusaha (perekonomian) adalah agraris yang paling umum yang
sangat dipengaruhi alam seperti; iklim, keadaan alam, kekayaan alam,
sedangkan pekerjaan yang bukan agraris adalah bersifat sambilan.
Pengertian ini sangat menekankan adanya otonomi untuk membangun
tata kehidupan desa bagi kepentingan penduduk. Dalam pengertian ini
terdapat kesan yang kuat, bahwa kepentingan dan kebutuhan masyarakat desa
P a g e 14
hanya bisa diketahui dan disediakan oleh masyarakat desa, dan bukan pihak
lain.
Dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, desa diberi pengertian
baru sebagai :
“Desa atau yang disebut nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia”
Apa yang dikembangkan dalam kebijakan pemerintahan desa, yang
kendati memuat konsep hak untuk menyelenggarakan rumah tangganya
sendiri, namun bersamaan dengan itu pula dinyatakan bahwa desa merupakan
organisasi pemerintahan terendah di bawah camat. Dengan sendirinya desa
merupakan representasi (kepanjangan) pemerintah pusat. Artinya bahwa apa
yang dianggap baik oleh pemerintah pusat (organisasi kekuasaan di atasnya)
dipandang baik pula untuk desa. Asumsi ini bukan saja manipulatif, namun
juga mempunyai tendensi yang sangat kuat untuk mengalahkan atau
merendahkan keperluan, kebutuhan dan kepentingan masyarakat desa.
Jadi, pada hakekatnya pengertian desa itu dapat dilihat dari berbagai
sudut pandang, diantaranya dari segi pengertian umum, dari sudut pandang
sosiologis, dari perspektif ekonomi dan dari sudut pandang hukum dan politik.
1.2. Ciri-ciri Desa
Dari berbagai pengertian diatas, dapat ditarik beberapa ciri umum dari
desa, antara lain :
1) Desa umumnya terletak di, atau sangat dekat dengan, pusat wilayah usaha
tani (sudut pandang ekonomi)
2) Dalam wilayah itu, pertanian merupakan kegiatan ekonomi dominan
3) Faktor penguasaan tanah menentukan corak kehidupan masyarakatnya
P a g e 15
4) Tidak seperti di kota ataupun kota besar yang penduduknya sebagian besar
merupakan pendatang, populasi penduduk desa lebih bersifat “terganti dari
dirinya sendiri”
5) Kontrol sosial lebih bersifat informal, dan interaksi antar warga desa lebih
bersifat personal dalam bentuk tatap muka
6) Mempunyai tingkat homogenitas yang relatif tinggi dan ikatan sosial yang
relatif lebih ketat daripada kota (Wiradi, 1988)
Roucek dan Warren (1962), sebagaimana dikutip Raharjo (1999),
menyebutkan karakteristik desa sebagai berikut :
1) Besarnya peranan kelompok primer
2) Faktor geografik yang menentukan dasar pembentukan kelompok/asosiasi
3) Hubungan lebih bersifat intim dan awet
4) Homogen
5) Mobilitas sosial rendah
6) Keluarga lebih ditekankan fungsinya sebagai unit ekonomi
7) Populasi anak dalam proporsi yang lebih besar
Karakteristik yang disebutkan di atas, pada dasarnya merupakan
karakteristik, yang sebagian menjadi ciri dari desa tradisional. Desa masa kini,
pada dasarnya telah mengalami sejumlah perubahan, sejalan dengan
bekerjanya kekuatan eksternal yang mendorong perubahan sosial di desa.
Ikatan sosial yang ketat, sebagai contoh, telah mulai dilihat memudar seiring
dengan munculnya ekonomi uang dan industrialisasi yang memasuki desa.
Hubungan dalam masyarakat desa dapat dikelompokkan ke dalam dua
tipe yaitu gemeinscaft yakni suatu bentuk kehidupan bersama dimana anggota-
anggotanya diikat oleh hubungan batin murni dan bersifat alamiah dan
geisselscaft yakni suatu ikatan lahir yang struktur dan bersifat mekanik
(Soekanto, 1987: 119). Dari dua tipe tersebut ciri masyarakat pedesaan adalah
gemeinscaft yaitu masyarakat paguyuban, persekutuan dan kerukunan
(Suryaningrat, 1980: 19)
P a g e 16
1.3. Kehidupan Sosial Masyarakat Desa
Corak kehidupan masyarakat di desa dapat dikatakan masih homogen
dan pola interaksinya horizontal, banyak dipengaruhi oleh sistem
kekeluargaan. Semua pasangan berinteraksi dianggap sebagai anggota
keluarga. Serta hal yang sangat berperan dalam interaksi dan hubungan
sosialnya adalah motif-motif sosial. Interaksi sosial selalu djusahakan
supaya kesatuan sosial (social unity) tidak terganggu, konflik atau
perte~ntangan sosial sedapat mungkin dihindarkan jangan sampai terajadi.
Prinsip kerukunan inilah yang menjiwai hubungan sosial pada masyarakat
pedesaan. Kekuatan yang mempersatukan masyarakat pedesaan itu timbul
karena adanya kesamaaan-kesamaan kemasyarakatan,-seperti kesamaan adat
kebiasaan, kesamaan tujuan dan kesamaan pengalaman.
Sosial kemasyarakatan desa ditandai dengan pemilikan ikatan batin
yang kuat sesama warga desa, yaitu perasaan setiap warga / anggota
masyarakat yang amat kuat yang hakikatnya bahwa seseorang merasa
merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat dimana
ia hidup dan dicintainya serta mempunyai perasaan bersedia untuk
berkorban setiap waktu demi masyarakat atau anggota-anggota masyarakat.
Karena beranggapan sama-sama sebagai anggota masyarakat yang saling
mencintai, menghormati, mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama
terhadap keselamatan dan kebahagian bersama di dalam masyarakat.
Oleh karena masyarakat pedesaan mempunyai kepentingan pokok
yang hampir sama, maka mereka selalu bekerjasama untuk mencapai
kepentingan- kepentingan mereka. Seperti pada waktu mendirikan rumah,
upacara pesta perkawinan, memperbaiki jalan desa, membuat saluran air dan
sebagainya.. Adapun bentuk-bentuk kerja sama dalam masyarakat sering
diistilahkan dengan gotong-royong dan tolong-menolong. Pekerjaan gotong-
royong sekarang lebih popular dengan istilah kerja bakti. Sedangkan
mengenai macamnya pekerjaan gotong-royong atau kerja bakti itu ada dua
macam, yaitu:
1) Kerja sama untuk pekerjaan-pekerjaan yang timbulnya dari inisiatif
P a g e 17
warga masyarakat itu sendiri,
2) Kerja sama untuk pekerjaan-pekerjaan yang inisiatifnya tidak
timbul dari masyarakat itu sendiri, berasal dari luar.
Kerja sama jenis pertama biasanyabsungguh-sungguh dirasakan
manfaatnya bagi mereka, sedangkan jenis yang kedua biasanya kurang
difahami kegunaannya. Hal ini memberikan gambaran bahwa masyarakat
pedesaan yang agraris dinilai oleh or'ang-orang kota sebagai masyarakat
yang tentram, damai dan harmonis sehingga dijadikan tempat untuk
meiepaskan lelah dari segafa kesibukan, keramain dan keruwetan pikiran.
Tetapi sebenarnya di dalam masyarakat pedesaan terdapat bermacam-macam
gejala sosial yang sering timbul. Gejala-gejala sosial itu sering diistilahkan
sebagai berikut:
1) Konflik
Karena hampir setiap hari dari mereka yang selalu berdekatan
dengan tetangganya secara terus-menerus dan hal ini menyebabkan
kesempatan untuk bertengkar sangat banyak. Pertengkaran-pertengkaran
yang terjadi biasanya berkisar pada masalah sehari-hari rumah tangga dan
sering menjalar ke luar rumah tangga, sedangkan sumber banyak
pertengkaran itu rupa-rupanya berkisar pada masalah kedudukan dan
gengsi, perkawinan dan sebagainya.
2) Kontroversi (pertentangan)
Pertentangan ini biasanya disebabkan oleh perubahan konsep-
konsep kebudayaan (adat -istiadat), psikologis atau dalam
hubungannya dengan guna- guna (black magic), para ahli hukum adat
biasanya meninjau masalah kontroversi (pertentangan) ini dari sudut
kebiasaan masyarakat.
3) Kompetisi (persaingan)
Wujud persaingan bisa positif dan juga bisa negatif. Positif bila
persaingan wujudnya saling meningkatkan, usaha untuk meningkatkan
prestasi dan produksi atau out put (hasil). Sebaliknya yang negatif, bila
persaingan ini hanya berhenti pada sifat iri, yang tidak mau berusaha
P a g e 18
sehingga kadang-kadang hanya melancarkan fitnah-fitnah saja.
Sistem lapisan masyarakat dapat terjadi dengan sendirinya dalam
proses pertumbuhan masyarakat itu. Tetapi ada pula yang sengaja
disusun untuk mengejar suatu tujuan bersama. Yang biasa menjadi
alasan terbentuknya lapisan masyarakat yang terjadi dengan sendirinya
adalah kepandaian, tingkat umur (yang senior), sifat keaslian
keanggotaan kerabat seorang kepala desa dan mungkin juga harta dalam
batas-batas tertentu.
Alasan-alasan yang dipakai berlainan bagi tiap-tiap masyarakat.
Pada masyarakat yang hidupnya dari berburu hewan alasan utama adalah
kepandaian berburu. Sedangkan pada masyarakat yang telah menetap dan
bercocok tanam, maka kerabat pembuka tanah (yang dianggap asli)
dianggap sebagai orang-orang yang menduduki lapisan tinggi. Hal ini
dapat dilihat misalnya pada masyarakat Batak, dimana marga tanah,
yaitu marga yang pertama-tama membuka tanah, dianggap mempunyai
kedudukan yang tinggi karena mereka dianggap sebagai pembuka tanah
dan pendiri desa yang bersangkutan. Lain halnya dehgan masyarakat
yang menganggap bahwa kerabat kepala masyarakatlah yang mempunyai
kedudukan yang tinggi dalam masyarakat.
1.4. Kehidupan Ekonomi Masyarakat Desa
Pada masyarakat pedesaan mata pencaharian bersifat homogen
yang berada di sektor ekonomi primer, yaitu bertumpu pada bidang
pertanian. Kehidupan ekonomi terutama tergantung pada usaha
pengelolaan tanah untuk keperluan pertanian, petrnakan dan termasuk juga
perikanan darat. Jadi kegiatan di desa adalah mengolah alam untuk
memperoleh bahan-bahan mentah. Baik bahan kebutuhan pangan, sandang
maupun lain-lainnya untuk memenuhi kebutuhan pokok manusia.
Pada umumnya masyarakat pedesaan menganut sistem ekonomi
tradisional atau" sistem ekonomi tertutup, cukup memenuhi kebutuhan-
kebutuhan ekonomi masyarakat terbatas untuk bertahan hidup dan memenuhi
P a g e 19
kebutuhan - kebutuhan bersama. Pola produksi dalam masyarakat tradisional
terutama mendasarkan pada tenaga keluarga dan tenaga ternak pun
dimanfaatkan. Dalam proses produksi tradisional tadi, umumnya laki-laki
mengerjakan pekerjaan pengolahan tanah yang paling berat baik di
sawah ataupun di ladang. Untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang
lebih ringan seperti menyiang terutama pada sawah anak-anak di atas sepuluh
tahun dan istri juga turut membantu. Selanjutnya pada waktu panen dan
setelah panen banyak tenaga wanita dimanfaatkan.
1.5. Kehidupan Budaya Masyarakat Desa
Kebudayaan adalah cara hidup yang dibina oleh suatu masyarakat
guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok seperti untuk bertahan hidup,
kelangsungan jenis manusia dan penerbitan pengalaman sosial.
Kebudayaan adalah penjumlahan atau akumulasi semua obyek materil, pola
organisasi kemasyarakatan, cara tingkah.taku, pengetahuan, kepercayaan dan
lain-lain yang dikembangkan dalam pergaulan hidup manusia.
Kebudayaan tidaklah diwariskan secara biologis. Setiap angkatan
mempelajari sendiri dan meneruskan pada generasi yang berikutnya dan
ditambah dengan apa yang dirubah atau dikembangkan selama masa
hidupnya dengan transmisi ini maka dimungkinkan adanya kelangsungan
kebudayaan selama beberapa generasi. Kebudayaan yang diturunkan kepada
generasi berikutnya itu dapat dilakukan dengan cara memperkenalkan
1) Kebiasaan, yaitu cara yang sudah menetap dan umum untuk
melakukan sesuatu, dan sudah diakui oleh masyarakat.
2) Adat, yaitu cara tingkah laku dalam masyarakat yang diberi sanksi
dan dianggap sebagai cara yang tetap dan baik.
3) Upacara peribadatan, yaitu suatu rangkaian gerak dan perkataan
yang dilakukan oleh orang-orang tertentu dengan paravar simbolik
perkataan tertentu cara-cara yang mempunyai arti.
P a g e 20
2. Pemerintahan Desa
Menurut Heywood (2002:26), dalam bahasa Inggris, istilah
‘memerintah’ berasal dari kata ‘govern’ yang berarti ‘mengatur atau
mengendalikan orang lain.’ Karena itu, kata ‘pemerintahan’ (government)
dapat diartikan sebagai mekanisme yang digunakan untuk mempertahankan
kekuasaan yang tertib, dengan ciri utama memiliki kemampuan untuk
membuat keputusan kolektif dan kemampuan untuk menjalankannya. Walau
bentuk pemerintahan dapat ditemukan di dalam berbagai bentuk, seperti dalam
keluarga, sekolah, bisnis, serikat kerja, dan lain sebagainya, istilah
‘pemerintahan’ dalam pengertian politis dipahami lebih mengacu pada apa
yang dimaksud sebagai proses-proses formal kelembagaan yang berlangsung
pada tingkat nasional untuk mempertahankan ketertiban umum dan
memfasilitasi aksi kolektif. Dengan demikian, fungsi inti pemerintahan itu
adalah membuat undang-undang, melaksanakan undang-undang, dan
menginterpretasikan undang-undang. Namun demikian, khususnya di dalam
sistem presidensiil, pemerintahan mengacu pada apa yang disebut sebagai
Pemerintahan (Government), dengan makna yang serupa dengan pengertian
Administrasi di ranah eksekutif. Pengertian ini senada dengan pengertian yang
dinyatakan Austin (1996:27) bahwa pemerintahan adalah sekelompok orang
dan lembaga yang membuat dan menjalankan undang-undang.
Berdasarkan pengertian tersebut, sehubungan dengan desa, dapat
diketahui bahwa pemerintahan desa adalah sekelompok orang dan lembaga
yang membuat dan menjalankan undang-undang pada tingkat desa, dengan
tujuan mendekatkan pelayanan publik kepada penerimanya di kalangan
masyarakat lokal. Dalam hal ini, penyelenggaraan pemerintahan desa
merupakan subsistem dari sistem penye-lenggaraan pemerintahan, sehingga
desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakatnya (Widjaja, 2003:3). Oleh karena itu, kepala desa bertanggung
jawab kepada lembaga pemerintahan desa dan menyampaikan laporan
pelaksanaan pada lembaga pemerintahan tingkat di atasnya. Selaku wakil
masyarakat desa, maka dapat dikatakan bahwa kepala desa merupakan wakil
P a g e 21
dari suatu kesatuan masyarakat hukum yang memiliki susunan asli
berdasarkan asal-usul yang bersifat istimewa, sehingga landasan utama
pemerintahan desa adalah partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan
pemberdayaan masyarakat.
Dengan demikian, pemerintahan desa pada dasarnya dibentuk untuk
menyelenggarakan pemerintahan demokratis, yaitu pemerintahan yang
menjunjung tinggi hak-hak rakyat, pemerintah yang mengedepankan
kepentingan rakyat, pemerintah yang didukung oleh rakyat. Dengan ungkapan
lain, pemerintahan demokratis, dalam hal ini tingkat desa, adalah pemerintah
dari, oleh, dan untuk rakyat (Udak, 2003:92). Selain itu, pemerintahan yang
demokratis adalah pemerintahan yang dapat dikontrol oleh masyarakat (Ali,
2007:103 )
3. Sumber Pendapatan Desa
Pendapatan merupakan pos yang penting dari laporan keuangan
dan mempunyai penggunaan yang bermacam-macam untuk berbagai
tujuan. Penggunaan informasi pendapatan yang paling utama adalah untuk
tujuan pengambilan keputusan, dan biasanya sebagai tolok ukur
berhasilnya suatu organisasi atau instansi dalam mengelola sumber daya
yang dimilikinya. Gade (2000:100) mengartikan pendapatan yang berkaitan
dengan bidang pemerintahan sebagai berikut :
“Pendapatan merupakan penambahan kas pemerintah pusat yang berasal dari berbagai sumber antara lain mencakup penerimaan pajak, cukai, penerimaan minyak, pendapatan yang berasal dari investasi, penerimaaan bantuan luar negeri dan pinjaman dalam negeri serta hibah”.
Maka dalam hal ini pendapatan desa yang berasal dari semua
penerimaan kas desa dalam periode anggaran menjadi hak desa. Didalam
hal ini kita dapat melihat bahwa pendapatan desa diakui dan dicatat
berdasarkan asas kas yaitu diakui dan dicatat berdasarkan jumlah uang
yang diterima dan merupakan hak desa.
Sedangkan pendapatan asli desa adalah pendapatan yang
P a g e 22
diperoleh dari sumber sumber pendapatan desa dan dikelola sendiri oleh
pemerintahan desa. Dengan kata lain pendapatan asli desa merupakan
pendapatan yang diterima oleh pemerintah desa atas segala sumber-
sumber atau potensi yang ada pada desa yang harus diolah oleh
pemerintah desa dalam memperoleh pendapatan desa.
B. KAJIAN TERHADAP ASAS-ASAS PEMBENTUKAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN YANG TERKAIT DENGAN
PENYUSUNAN NORMA
Di bidang hukum (terutama hukum Perdata atau hukum privat)
sebagaimana dikemukakan Paul Scholten dalam Algemeen Deel-nya,
mengatakan, melalui konstruksi dengan cara membatasi beberapa aturan
tertentu menjadi aturan yang lebih mempunyai ruang lingkup atau tujuan
yang umum, maka dapat dicari apa yang menjadi tujuan umum aturan-aturan
tersebut.
Asas hukum memang bukan merupakan aturan hukum, karena asas
hukum tidak dapat dilaksanakan/ dioperasikan langsung terhadap suatu
peristiwa dengan menganggapnya sebagai bagian dari aturan umum, tetapi
harus dengan penyesuaian substansi, untuk itu diperlukan isi yang lebih
konkrit.
Asas-asas hukum umum bagi penyelenggaran Pemerintahanan yang
patut (algemene beginselen van behoorlijk best Undang-undangr) dimana
asas ini tumbuh dalam rangka mencari cara-cara untuk melakukan
pengawasan atau kontrol yang sesuai hukum (rechtmatigheidscontrole)
terhadap tindakan-tindakan Pemerintahanan, terutama yang dapat dilakukan
oleh hakim yang bebas. Asas-asas tersebut dirasakan akan bertambah penting
apabila dalam memenuhi tuntutan terselenggaranya kesejahteraan rakyat
diperlukan banyak peraturan perundang-undangan yang memberikan
keleluasaan yang besar kepada aparatur Pemerintahanan.
Dengan demikian maka terhadap aspek-aspek kebijakan dari
keputusan-keputusan Pemerintahan yang tidak dibatasi oleh peraturan
P a g e 23
perundang-undangan dapat dilakukan pengujian oleh hakim (rechterlijke
toetsing), tanpa perlu hakim tersebut menguji kebijakan Pemerintahanan yang
diberikan oleh peraturan perundang-undangan itu sendiri.
Dapatlah dimengerti apabila dalam mencari asas-asas yang dapat
digunakan untuk memberikan bimbingan dan pedoman dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan yang patut, perlu ditelusuri asas-asas umum
bagi penyelenggaraan Pemerintahanan yang patut, mengingat pembentukan
peraturan perundang-undangan adalah bagian dari penyelenggaraan
Pemerintahanan. Dalam bidang hukum yang menyangkut pembentukan
peraturan perundang-undangan negara (Burkhardt Krems menyebutkannya
dengan staatsliche Rechtssetzung), maka pembentukan peraturan itu
menyangkut :
1. Isi peraturan (Inhaltder Regelung).
2. Bentuk dan susunan peraturan (Form der Regelung).
3. Metode pembentukan peraturan (Methode der Ausarbeitung der
Regelung).
4. Prosedur dan proses pembentukan peraturan (Verfahren der Ausarbeitung
der Regelung).
Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan Indonesia,
sebagaimana halnya di negara lain, terdapat dua asas hukum yang perlu
diperhatikan, yaitu asas hukum umum yang khusus memberikan pedoman
dan bimbingan bagi pembentukan isi peraturan, dan asas hukum lainnya yang
memberikan pedoman dan bimbingan bagi penuangan peraturan ke dalam
bentuk dan susunannya, bagi metode pembentukannya, dan bagi proses serta
prosedur pembentukannya.
Asas hukum yang terakhir ini dapat disebut asas peraturan perundang-
undanngan yang patut. Kedua asas hukum tersebut berjalan seiring
berdampingan memberikan pedoman dan bimbingan serentak dalam setiap
kali ada kegiatan pembentukan peraturan perundang-undangan masing-
masing sesuai dengan bidangnya.
P a g e 24
Ketika Negara Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945, rakyat
Indonesia telah mencapai kesepakatan yang bulat, bahwa dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Pancasila telah ditetapkan sebagai
cita, asas, dan norma tertinggi negara. Hal itu dapat terlihat dalam Undang-
undang 1945 beserta penjelasannya. Kesepakatan Rakyat Indonesia untuk
menjadikan Pancasila sebagai pandangan hidup terdapat dalam pokok-pokok
pikiran yang terkandung dalam Pembukaan Undang-undang 1945.
Pendapat para ahli tentang pembentukan Peraturan Perundang-
undangan adalah asas-ass hukum dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan yaitu asas-asas yang mengandung nilai-nilai hukum, di Negeri
Belanda berkembang melalui lima sumber.
Sumber itu ialah saran-saran dari Raad Var Staate (semacam Dewan
Pertimbangan Agung di Indonesia), bahan-bahan tertulis tentang pembahasan
rancangan Peraturan Perundang-undangan dalam sidang-sidang parlemen
terbuka, putusan-putusan hakim, petunjuk-petunjuk teknik perundang-
undangan, dan hasil-hasil akhir komisi pengurangan dan penyederhanaan
peraturan perundang-undangan.
Sebagai bahan hukum sekunder lainnya berupa kepustakaan di bidang
tersebut adalah sangat penting. Dengan meneliti pendapat para pendahulunya
mengenai asas-asas dibidang pembentukan peraturan perundang-undangan,
para ahli memandang asas-asas tersebut dapat dibagi menjadi asas-asas yang
bersifat formal dan asas-asas yang bersifat material. Asas-asas formal ialah
yang menyangkut tata cara pembentukan dan bentuknya, sedangkan asas-asas
material ialah yang menyangkut isi atau materi.
Montesquieu dalam L'Esprit des Lois mengemukakan hal-hal yang
dapat dijadikan asas-asas, yaitu:
1. Gaya harus padat (concise) dan mudah (simple); kalimat-kalimat bersifat
kebesaran dan retorikal hanya merupakan tambahan yang
membingungkan.
P a g e 25
2. Istilah yang dipilih hendaklah sedapat-dapatnya bersifat mutlak dan tidak
relatif, dengan maksud menghilangkan kesempatan yang minim untuk
perbedaan pendapat yang individual.
3. Hukum hendaknya membatasi diri pada hal-hal yang riil dan aktual,
menghindarkan sesuatu yang metaforik hipotetik;
4. Hukum hendaknya tidak halus (not be subtle), karena hukum dibentuk
untuk rakyat dengan pengertian yang sedang; bahasa hukum bukan
latihan logika, metainkan untuk pemahaman yang sederhana dari orang
rata-rata;
5. Hukum hendaknya tidak merancukan pokok masalah dengan
pengecualian, pembatasan, atau pengubahan; gunakan semua itu hanya
apabila benar-benar diperlukan;
6. Hukum hendaknya bersifat argumentatis/dapat diperdebatkan; adalah
berbahaya merinci alasan-alasan hukum, karena hal itu akan lebih
menumbuhkan pertentangan-pertentangan;
7. Lebih daripada itu semua, pembentukan hukum hendaknya
dipertimbangkan masak-masak dan mempunyai manfaat praktis, dan
hendaknya tidak menggoyahkan sendi-sendi pertimbangan dasar,
keadilan, dan hakekat permasalahan. Sebab hukum yang lemah, tidak
perlu, dan tidak adil akan membawa seluruh sistem perundang-undangan
kepada nama jelek dan menggoyahkan kewibawaan negara.
Dalam memandang hukum dari sudut pembentuk peraturan
perundang-undangan, Lon Fuller melihat hukum sebagai alat untuk mengatur
masyarakat, berpendapat bahwa tugas pembentuk peraturan perundang-
undangan akan berhasil apabila sampai kepada tingkat tertentu
memperhatikan persyaratan sebagai berikut :
1. Hukum harus dituangkan kedalam aturan-aturan yang berlaku umum dan
tidak dalam penetapan-penetapan yang berbeda satu sama lainnya;
2. Hukum harus diumumkan dan mereka yang berkepentingan dengan
aturan-aturan hukum harus dapat mengetahui isi dari aturan-aturan
tersebut;
P a g e 26
3. Aturan-aturan hukum harus diperuntukan bagi peristiwa-peristiwa yang
akan datang dan bukan untuk kejadian-kejadian yang sudah lalu, karena
perundang-undangan mengenai yang lalu selain tidak dapat mengatur
perilaku, juga dapat merusak kewibawaan hukum yang mengatur masa
depan;
4. Aturan hukum harus dapat dimengerti, sebab jika tidak demikian orang
tidak tahu apa yang harus diperbuatnya;
5. Aturan hukum tidak boleh saling bertentangan, sebab apabila itu terjadi
orang tidak tahu lagi akan berpegang pada aturan yang mana;
6. Aturan hukum tidak boleh meletakkan beban/persyaratan yang tidak
dapat dipenuhi oleh mereka yang bersangkutan;
7. Aturan hukum tidak boleh sering berubah, sebab apabila demikian orang
tidak dapat mengikui aturan mana yang masih berlaku;
8. Penguasa/Pemerintahan sendiri harus juga mentaati aturan-aturan hukum
yang dibentuknya, sebab apabila tidak demikianhukum tidak dapat
dipaksakan berlakunya.
Ahli hukum tata negara Koopmans, mengemukakan perlunya asas-
asas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, seperti halnya perlu
adanya asas-asas dalam penyelenggaraan Pemerintahanan yang patut serta
asas-asas dalam penyelenggaraan peradilan yang patut, asas-asas tersebut
sehubungan dengan:
1. Prosedur;
2. Bentuk dan kewenangan;
3. Masalah kelembagaan;
4. Masalah isi peraturan.
Van Angeren membagi asas-asas dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan menjadi dua, yang pertama adalah yang pokok, yaitu
yang disebutnya her vartrouwens beginsel yang dapatditerjemahkan dengan
asas kepercayaan rakyat terhadap Pemerintahan.
P a g e 27
Van der Vlies membagi asas-asas dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan yang patut (beginselen van beboorlijke regelgeving) ke
dalam asas-asas yang formal dan yang material.
Asas-asas yang formal meliputi:
1. Asas tujuan yang jelas (beginsel van duidelijke doelstelling)
2. Asas organ/lembaga yang tepat (beginsel van het juiste orgaan)
3. Asas pelunya pengaturan (het noodzakelijkheids beginsel)
4. Asas dapat dilaksanakan (het beginsei van uitvoerbaarheid)
5. Asas konsensus (het beginsel van de consensus)
Asas-asas yang material meliputi:
1. Asas tentang terminologi dan sistematika yang benar (het beginsel van
duidelijke terminologie en duidelijke systematiek);
2. Asas tentang dapat dikenali (hef beginsel van de kenbaarheid);
3. Asas perlakuan yang sama dalam hukum (het rechtsgelijkheidsbeginsel);
4. Asas kepastian hukum (het rechtszekerheidsbeginsel);
5. Asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individual (het beginsel
vande individuele rechtsbedeling)
Adapun masing-masing asas formal diuraikan sebagai berikut:
1. Asas tujuan yang jelas
Asas tujuan yang jelas mencakup tiga hal, yaitu mengenai
ketepatan letak peraturan perundang-undangan dalam kerangka kebijakan
umum Pemerintahanan, tujuan khusus peraturan perundang-undangan
yang akan dibentuk, dan tujuan dari bagian-bagian peraturan perundang-
undangan yang akan dibentuk tersebut.
Mengenai asas ini, penulis berpendapat dapat diterima oleh
semua sistem Pemerintahanan, termasuk oleh Sistem Pemerintahanan
Negara republik Indonesia berdasar Undang-Undang Dasar 1945,
mengingat asas ini akan mengukur sampai berapajauh suatu peraturan
perundang-undangan diperlukan untuk dibentuk.
P a g e 28
2. Asas organ/lembaga yang tepat
Latar belakang asas ini ialah memberikan penegasan tentang
perlunya kejelasan kewenangan organ-organ/lembaga-lembaga yang
menetapkan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Berbeda
dengan di negeri Belanda, di Negara Republik Indonesia mengenai
organ/lembaga yang tepat itu perlu dikaitkan dengan mated muatan dari
jenis-jenis peraturan perundang-undangan.
Menurut hemat penulis, materi muatan peraturan perundang-
undangan itulah yang menyatu dengan kewenangan masing-masing
organ/lembaga yang membentukjenis peraturan perundang-undangan
bersangkutan. Atau dapat juga sebaliknya, kewenangan masing-masing
organ/lembaga tersebut menentukan materi muatan peraturan perundang-
undangan yang dibentuknya.
3. Asas perlunya pengaturan
Asas ini tumbuh karena selalu terdapat alternatif atau alternatif-
altematif lain yang menyelesaikan suatu masalah Pemerintahanan selain
dengan membentuk peraturan perundang-undangan. Prinsipderegulasi
yang tengah dikembangkan di Negeri Belanda dan prinsip
penyederhanaan serta kehematan (soberheid) dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan, menunjukkan kemungkinan adanya
alternatif lain dalam bidang pengaturan.
4. Asas dapat dilaksanakan
Mengenai asas ini masyarakat melihatnya sebagai usaha untuk
dapat ditegakkannya peraturan perundang-undangan bersangkutan. Sebab
tidaklah ada gunanya suatu peraturan perundang-undangan yang tidak
dapat ditegakkan. Selain pihak Pemerintahan, juga pihak rakyat yang
mengharapkan jaminan (garantie) tercapainya hasil atau akibat yang
ditimbulkan oleh suatu peraturan perundang-undangan, ternyata akan
kecewa karena peraturan tersebut tidak dapat ditegakkan.
P a g e 29
5. Asas konsensus
Adapun yang dimaksud dengan konsensus ialah adanya
kesepakatan rakyat untuk melaksanakan kewajiban dan menanggung
akibat yang ditimbulkan oleh peraturan perundang-undangan
bersangkutan. Hal itu mengingat pembentukan peraturan perundang-
undangan haruslah dianggap sebagai langkah awal untuk mencapai
tujuan-tujuan yang disepakati bersama oleh Pemerintahan dan rakyat.
Hal itu dapat juga dilakukan dengan penyebarluasan rancangan
peraturan perundang-undangan tersebut kepada masyarakat sebelum
pembentukannya. Tentu saja selain itu, apabila peraturan perundang-
undangan dimaksud merupakan Undang-undang, pembahasannya di DPR
dapat dilakukan dengan mengikutsertakan masyarakat sebanyak mungkin
melalui lembaga dengar pendapat yang sudah lama dimiliki.
Adapun masing-masing asas material diuraikan sebagai berikut:
1. Asas tentang terminologi dan sistematika yang benar
Pertimbangan yang dikemukakan oleh Van der Vlies tentang asas
ini ialah agar peraturan perundang-undangan dapat dimengerti oleh
masyarakat dan rakyat, baik mengenai kata-katanya maupun mengenai
struktur atau susunannya.
2. Asas tentang dapat dikenali
Mengenai alasan pentingnya asas ini yang dapat dikemukakan
ialah, apabila suatu peraturan perundang-undangan tidak dikenali dan
diketahui oleh setiap orang, lebih-lebih oleh yang berkepentingan, maka
ia akan kehiiangan tujuan sebagai peraturan. la tidak mengembangkan
asas persamaan dan tidak pula asas kepastian hukum, dan selain itu tidak
menghasilkan pengaturan yang direncanakan.
3. Asas perlakuan yang sama dalam hukum
Dalam mengemukakan asas ini para ahli menunjuk kepada tidak
boleh adanya peraturan perundang-undangan yang ditujukan hanya
kepada sekelompok orang tertentu, karena hal ini akan mengakibatkan
P a g e 30
adanya ketidaksamaan dan kesewenang-wenangan di depan hukum
terhadap anggota-anggota masyarakat.
4. Asas kepastian hukum
Asas ini mula-mula diberi nama lain, yaitu asas harapan yang ada
dasamya haruslah dipenuhi (Het beginsel dat gerechtvaardigde
verwachtingen gehonoreerd moeten worden), yang merupakan
pengkhususan dari asas umum tentang kepastian hukum.
Asas ini merupakan salah satu sendi asas umum Negara Berdasar
Atas Hukum yang dianut oleh Negara republik Indonesia, oleh karena itu
asas ini perlu diterima.
5. Asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individual.
Asas ini bermaksud memberikan penyelesaian yang khusus bagi
hai-hal atau keadaan-keadaan tertentu, sehingga dengan demikian
peraturan perundang-undangan dapat juga memberikan jalan keluar
selain bagi masalah-masalah umum, juga bagi masalah-masalah khusus.
Sedangkan asas-asas pembentukan hukum menurut Undang-undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang -
undangan yang tertuang dalam Pasal 5 beserta penjelasannya menyatakan
bahwa dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus
berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang
baik meliputi:
1. Kejelasan tujuan
Kejelasan tujuan Adalah bahwa setiap pembentukan peraturan
perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak
dicapai.
2. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat
Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat adalah bahwa setiap
jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat
Pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang. Peraturan
perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum.
apabila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang.
P a g e 31
3. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan
Kesesuaian antara jenis dan materi muatan adalah bahwa dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-benar memper-
hatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan perundang-
undangannya.
4. Dapat dilaksanakan
Dapat dilaksanakan adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan harus memperhitungkan efektifitas Peraturan
Perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat baik secara fisiologis,
yuridis, maupun sosiologis.
5. Kedayagunaan dan kehasilgunaan
Kedayagunaan dan kehasilgunaan Adalah bahwa setiap Peraturan
Perundang-undangan dibuat karena memang dibutuhkan dan bermanfaat
dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
6. Kejelasan rumusan
Kejelasan rumusan adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan
harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-
undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa
hukumnya jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan
berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
7. Keterbukaan
Keterbukaan adalah bahwa dalam proses Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan dan
pembahasan bersifat transparan dan terbuka.
Dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, digunakan asas-asas
yang dipakai sebagai materi muatan Peraturan Perundang-undangan yaitu:
1. Pengayoman
Pengayoman adalah bahwa setiap materi muatan Peraturan Perundang-
undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka
menciptakan ketentraman masyarakat.
P a g e 32
2. Kemanusiaan
Kemanusiaan adalah bahwa setiap materi muatan Peraturan Perundang-
undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak
asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan
penduduk Indonesia secara proporsional.
3. Kebangsaan
Kebangsaan adalah bahwa setiap materi muatan Peraturan Perundang-
undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang
pluralistik (kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
4. Kekeluargaan
Kekeluargaan adalah bahwa setiap materi muatan Peraturan Perundang-
Undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat
dalam setiap pengambilan keputusan.
5. Kenusantaraan
Kenusantaraan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-
undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seiuruh wilayah
Indonesia dan materi muatan peraturan perundang-undangan yang dibuat
di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang
berdasarkan Pancasila.
6. Bhineka Tunggal Ika
Bhineka Tunggal Ika adalah bahwa materi muatan Peraturan Perundang-
undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan
golongan, Kondisi khusus daerah dan budaya khususnya yang
menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bemegara.
7. Keadilan
Keadilan adalah bahwa materi muatan Peraturan Perundang-undangan
harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga
negara tanpa kecuali.
P a g e 33
8. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan Pemerintahanan.
Kesamaan kedudukan dalam hukum dan Pemerintahanan adalah bahwa
materi muatan Peraturan Pemndang-undangan tidak boleh berisi hal-hal
yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang antara lain agama,
suku, ras, golongan,. gender, atau status sosial.
9. Ketertiban dan kepastian hukum
Ketertiban dan kepastian hukum adalah bahwa materi muatan Peraturan
Perundang-undangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam
masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.
10. Keseimbangan, keserasian dan keselarasan
Keseimbangan, keserasian dan keselarasan adalah bahwa setiap materi
muatan Peraturan Perundang-Undangan harus mencerminkan
keseimbangan, keserasian, antara kepentingan individu dan masyarakat
dengan kepentingan bangsa dan negara.
Selain asas yang tersebut di atas peraturan perundang-undangan tertentu
dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum peraturan perundang-
undangan yang bersangkutan, antara lain:
1. Dalam Hukum Pidana, misalnya: asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa
kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah.
2. Dalam Hukum Perdata, misalnya: dalam hukum perjanjian, antara lain
asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan itikad baik.
C. KAJIAN TERHADAP PRAKTEK PENYELENGGARAAN, KONDISI
YANG ADA SERTA PERMASALAHAN YANG DIHADAPI
1. Kondisi Kabupaten Purworejo
Purworejo adalah sebuah kabupaten di Jawa Tengah yang terletak
pada posisi antara 109 o 47’ 28” - 110 o 8’ 20” Bujur Timur dan 7o 32’ –
7o 54” Lintang Selatan yang memiliki luas wilayah 1 034, 81752 Km2.
Sebelah Utara berbatasan langsung dengan Kabupaten Wonosobo dan
Magelang, sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Kebumen, sebelah
P a g e 34
Selatan berbatasan dengan Samudra Indonesia, sedangkan sebelah timur
berbatasan dengan kabupaten Kulonprogo DIY.
Jumlah penduduk Kabupaten Purworejo pada tahun 2009 sebesar
782.662 jiwa, terdiri dari 384.953 jiwa penduduk laki-laki dan 397.953
jiwa penduduk perempuan. Jumlah tersebut lebih besar dibandingkan
dengan jumlah penduduk pada tahun 2005 yaitu sebesar 774.285 jiwa
yang terdiri dari 381.217 jiwa penduduk laki-laki dan 392.068 jiwa
penduduk perempuan. Pertumbuhan penduduk di Kabupaten Purworejo
tahun 2005-2009 fluktuatif dengan rata- rata pertumbuhan per tahun
sebesar 0,19%, tingkat pertumbuhan ini termasuk kategori rendah.
Jumlah p e n d u d u k t a h u n 2 0 1 5 d i p r e d i k s i sebanyak 791.627
jiwa.
Pengunanan lahan Kabupaten Purworejo dibagi menjadi dua kategori
yaitu lahan kering seluas 72,854.80 Ha atau 70,40 % dan tanah sawah seluas
30,626.97 Ha atau 29,60%. Lahan kering terdiri dari 10,116.50 Ha berupa
tanah bangunan dan halaman sekitarnya, 51,598.14 Ha berupa tegal/kebun
/ladang/huma, 6,857.88 Ha berupa hutan negara, dan sisanya berupa padang
rumput, tambak, tanah lainnya. Luas sawah beririgasi adalah 27,677.14
Ha, sedangkan sawah tadah hujan seluas 2949.83 Ha.
Visi Bupati Purworejo periode tahun 2011 – 2015 adalah: “Menuju
masyarakat Purworejo yang lebih sejahtera dengan meningkatkan
kemandirian serta daya saing, melalui penyelenggaraan pemerintahan,
pembangunan daerah, dan kemasyarakatan yang aspiratif bertumpu pada
agribisnis, yang didukung birokrasi professional dan bersih dari korupsi,
kolusi dan nepotisme serta peran serta aktif sektor swasta dan masyarakat
pada umumnya”.
Visi tersebut dijabarkan dalam Misi Kabupaten Purworejo yaitu :
1) Meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengambilan keputusan
politik melalui pemberdayaan masyarakat serta penjaringan
aspirasi masyarakat dengan memanfaatkan mekanisme politik yang
sehat dan dinamis.
P a g e 35
2) Meningkatkan produktivitas dan kualitas hasil pertanian dalam arti luas.
3) Mewujudkan iklim yang kondusif serta ketersediaan infrastruktur untuk
menarik investasi dalam mewujudkan industri jasa dan perdagangan
guna mendorong kemajuan daerah berbasis agribisnis.
4) Meningkatkan pendapatan daerah untuk mendukung pembangunan
daerah yang semakin luas dan berkualitas.
5) Mewujudkan profesionalisme aparatur dan pemerintahan yang amanah,
bersih, bebas dari KKN dan demokratis, dengan mengutamakan
penegakan hukum, jaminan keselamatan dan ketertiban umum
didukung oleh partisipasi masyarakat yang tinggi.
2. Arah Kebijakan Sumber Pendapatan Desa
Pengelolaan sumber pendapatan desa dalam hal ini masuk di dalam
misi Kabupaten Purworejo poin ke empat. Untuk mencapai misi tersebut,
maka Pemerintah Kabupaten Purworejo menetapkan arah kebijakan
pembangunan 2011–2015 yang berkaitan dengan upaya meningkatkan
pemdapatan daerah sebagai berikut :
1) Mengoptimalkan Upaya-Upaya Peningkatan Pendapatan Asli
Daerah, dengan arah kebijakan melalui:
a. Peningkatan efektivitas dan efisiensi pengelolaan pungutan
sumber-sumber pendapatan daerah yang telah ada serta penggalian
sumber-sumber pendapatan baru dengan tetap memperhatikan
produktivitas masyarakat.
b. Peningkatan kinerja dan pengembangan BUMD secara berkelanjutan.
c. Pengembangan koperasi dan usaha mikro, kecil dan menengah
secara berkelanjutan
2) Mengintegrasikan pengelolaan sumberdaya lokal dan lingkungan hidup
guna mendukung pembangunan berkelanjutan serta optimalisasi
pengembangan pariwisata, dengan arah kebijakan melalui:
a. Peningkatan perdagangan produk unggulan daerah melalui
peningkatan prasarana dan sarana perdagangan.
P a g e 36
b. Peningkatan investasi secara optimal terutama dalam rangka
pengembangan industry dan UMKM bagi peningkatan kesejahteraan
masyarakat.
c. Pelestarian peninggalan budaya, tradisi, kesenian serta peningkatan
jumlah kunjungan wisata baik asing maupun domestik serta lama
tinggalnya.
d. Terwujudnya pelestarian nilai-nilai budaya tradisional yang mantap
yang mampu menjadi filter bagi masuknya budaya asing dan
modern.
e. Terwujudnya ketertiban administrasi pertanahan daerah.
P a g e 37
BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN BERKAITAN DENGAN
SUMBER PENDAPATAN DESA
Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Sumber Pendapatan Desa
memiliki keterkaitan dengan berbagai peraturan perundang-undangan. Materi
muatan yang akan dituangkan dalam batang tubuh rancangan peraturan daerah
mempunyai landasan terhadap beberapa peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi. Penyusunan rancangan peraturan daerah sudah menggambarkan
adanya sinkronisasi dan harmonisasi dari beberapa peraturan yang relevan
sehingga tidak terjadi tumpang tindih pengaturannya. Hal ini dapat digunakan
sebagai bahan pertimbangan dalam penyusunan aspek filosofis, sosiologis dan
yuridis.
Adapun beberapa peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar/acuan
dalam penyusunan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Sumber
Pendapatan Desa di Kabupaten Purworejo antara lain :
1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan penyempurnaan dari Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004.
Menurut ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, peraturan daerah
itu jelas merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang
kedudukannya berada di bawah undang-undang. Jenis dan hieararki peraturan
perundang-undangan itu ditentukan sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-Undang/ Peraturan Pemerintahan Pengganti Undang-Undang;
c. Peraturan Pemerintahan;
d. Peraturan Presiden;
P a g e 38
e. Peraturan Daerah.
Bahkan dalam Pasal 7 ayat (2) ditentukan pula bahwa Peraturan Daerah
sebagaimana dimaksud diatas meliputi :
a. Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Provinsi bersama dengan gubernur;
b. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten/Kota bersama bupati/walikota.
c. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan
desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan Peraturan
Desa/peraturan yang setingkat diatur dengan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
Sedangkan keberadaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
merupakan penyempurnaan terhadap kelemahan-kelemahan dalam Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2004, yaitu antara lain:
a. materi dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 banyak yang
menimbulkan kerancuan atau multitafsir sehingga tidak memberikan
suatu kepastian hukum;
b. teknik penulisan rumusan banyak yang tidak konsisten;
c. terdapat materi baru yang perlu diatur sesuai dengan perkembangan
atau kebutuhan hukum dalam Pembentukan Peraturan
Perundangundangan; dan
d. penguraian materi sesuai dengan yang diatur dalam tiap bab sesuai
dengan sistematika.
Sebagai penyempurnaan terhadap Undang-Undang sebelumnya,
terdapat materi muatan baru yang ditambahkan dalam Undang-Undang ini,
yaitu antara lain:
a. Penambahan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai salah
satu jenis Peraturan Perundang-undangan dan hierarkinya ditempatkan
setelah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
P a g e 39
b. Perluasan cakupan perencanaan Peraturan Perundang-undangan yang tidak
hanya untuk Prolegnas dan Prolegda melainkan juga perencanaan
Peraturan Pemerintahan, Peraturan Presiden, dan Peraturan Perundang-
undangan lainnya;
c. Pengaturan mekanisme pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang
Pencabutan Peraturan Pemerintahan Pengganti Undang-Undang;
d. Pengaturan Naskah Akademik sebagai suatu persyaratan dalam
penyusunan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan
Daerah Provinsi dan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota;
e. Pengaturan mengenai keikutsertaan Perancang Peraturan
Perundangundangan, peneliti, dan tenaga ahli dalam tahapan Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan; dan
f. Penambahan teknik penyusunan Naskah Akademik dalam Lampiran I
Undang-Undang ini.
Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 terdapat perubahan tata
urutan Peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 7 adalah
sebagai berikut:
(1) Undang-undang Dasar 1945
(2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
(3) Undang-undang / Peraturan Pemerintahan Pengganti Undang-undang
(4) Peraturan Pemerintahan
(5) Peraturan Presiden
(6) Peraturan Daerah Provinsi
(7) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Selain adanya penambahan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
sebagai salah satu jenis Peraturan Perundang-undangan, yaitu adanya
penegasan peraturan daerah provinsi dan peraturan daerah kabupaten/kota
sebagai suatu hierarki tata turutan Peraturan perundang-undangan.
P a g e 40
2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahanan Daerah
sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahanan Daerah;
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahanan Daerah Pasal 10 ayat (1), pada dasarnya Pemerintahanan
daerah berwenang menyelenggarakan urusan Pemerintahanan yang menjadi
kewenangannya, pada ayat (2) menjelaskan Pemerintahan daerah berhak
menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan Pemerintahanan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.
Berdasarkan Pasal 2 Peraturan Pemerintahan Nomor 38 Tahun 2007
tentang Pembagian Urusan Pemerintahanan Antara Pemerintahan,
Pemerintahanan Daerah Provinsi dan Pemerintahanan Daerah
Kabupaten/Kota. Urusan Pemerintahanan terdiri atas urusan Pemerintahanan
yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintahan dan urusan
Pemerintahanan yang dibagi bersama antar tingkatan dan/atau susunan
Pemerintahanan. Urusan Pemerintahanan yang dibagi bersama antar tingkatan
dan/atau susunan Pemerintahanan terdiri atas 31 (tiga puluh satu) bidang
urusan Pemerintahanan meliputi:
a. pendidikan;
b. kesehatan;
c. pekerjaan umum;
d. perumahan;
e. penataan ruang;
f. perencanaan pembangunan;
g. perhubungan;
h. lingkungan hidup;
i. pertanahan;
j. kependudukan dan catatan sipil;
k. pemberdayaan perempuan dan perlindungan ana
l. keluarga berencana dan keluarga sejahtera;
P a g e 41
m. sosial;
n. sistem perencanaan pembangunan daerah dan ketransmigrasian;
o. koperasi dan usaha kecil dan menengah;
p. penanaman modal;
q. kebudayaan dan pariwisata;
r. kepemudaan dan olah raga;
s. kesatuan bangsa dan politik dalam negeri;
t. otonomi daerah, Pemerintahanan umum, administrasi keuangan
daerah, perangkat daerah, kepegawaian, dan persandian;
u. pemberdayaan masyarakat dan desa;
v. statistik;
w. kearsipan;
x. perpustakaan;
y. komunikasi dan informatika;
z. pertanian dan ketahanan pangan;
aa. kehutanan;
bb. energi dan sumber daya mineral;
cc. kelautan dan perikanan;
dd. perdagangan; dan
ee. perindustrian.
Selain Pasal tersebut diatas ketentuan Desa diatur dalam BAB XI secara
khusus mengatur mengenai ketentuan Desa dengan uraian sebagai berikut :
Pasal 200
a. Dalam Pemerintahanan daerah kabupaten/kota dibentuk Pemerintahanan
desa yang terdiri dari Pemerintahan desa dan badan permusyawaratan
desa.
b. Pembentukan, penghapusan, dan/atau penggabungan Desa dengan
memperhatikan asal usulnya atas prakarsa masyarakat.
c. Desa di kabupaten/kota secara bertahap dapat diubah atau disesuaikan
statusnya menjadi kelurahan sesuai usul dan prakarsa Pemerintahan desa
bersama badan permusyawaratan desa yang ditetapkan dengan Perda.
P a g e 42
3. Peraturan Pemerintahan Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa
Berkaitan dengan sumber pendapatan desa diatur dengan ketentuan Pasal
68 yang berbunyi:
(1) Sumber pendapatan desa terdiri atas :
a. pendapatan asli desa, terdiri dari hasil usaha desa, hasil kekayaan
desa, hasil swadaya dan partisipasi, hasil gotong royong, dan lain-
lain pendapatan asli desa yang sah;
b. bagi hasil pajak daerah Kabupaten/Kota paling sedikit 10%
(sepuluh per seratus) untuk desa dan dari retribusi Kabupaten/Kota
sebagian diperuntukkan bagi desa;
c. bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang
diterima oleh Kabupaten/Kota untuk Desa paling sedikit 10%
(sepuluh per seratus), yang pembagiannya untuk setiap Desa
secara proporsional yang merupakan alokasi dana desa;
d. bantuan keuangan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan
Pemerintah Kabupaten/Kota dalam rangka pelaksanaan urusan
pemerintahan;
e. hibah dan sumbangan dari pihak ketiga yang tidak mengikat.
(2) Bantuan keuangan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan
Pemerintah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf d
disalurkan melalui kas desa.
(3) Sumber pendapatan desa yang telah dimiliki dan dikelola oleh desa
tidak dibenarkan diambil alih oleh pemerintah atau pemerintah
daerah.
Beberapa poin yang terdapat dalam pasal 68 yang memuat tentang
sumber pendapatan desa tersebut diberikan penjelasan oleh pasal-pasal
berikutnya, diantaranya yaitu pasal 69 yang berbunyi sebagai berikut:
Kekayaan Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1)
P a g e 43
huruf a terdiri atas :
a. tanah kas desa;
b. pasar desa;
c. pasar hewan;
d. tambatan perahu;
e. bangunan desa;
f. pelelangan ikan yang dikelola oleh desa; dan
g. lain-lain kekayaan milik desa.
P a g e 44
BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS
RANCANGAN PERATURAN DAERAH (RAPERDA)
TENTANG SUMBER PENDAPATAN DESA
A. Landasan Filosofis
Landasan filosofis menguraikan mengenai landasan filsafat atau
pandangan yang menjadi dasar cita-cita sewaktu menuangkan suatu masalah
ke dalam peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan
harus mendapatkan pembenaran yang dapat diterima secara filosofis yaitu
cita-cita kebenaran, keadilan dan kesusilaan. Filsafat atau pandangan hidup
suatu bangsa berisi nilai moral dan etika dari bangsa tersebut. Moral dan etika
pada dasarnya berisi nilai-nilai yang baik dan yang tidak baik. Nilai yang baik
adalah nilai yang wajib dijunjung tinggi didalamnya ada nilai kebenaran,
keadilan dan kesusilaan dari berbagai nilai lainnya yang dianggap baik.
Pengertian baik, benar, adil dan susila tersebut menurut takaran yang
dimiliki bangsa yang bersangkutan, Peraturan perundang-undangan yang
dibentuk tanpa memperhatikan moral bangsa akan sia-sia diterapkan tidak
akan dipatuhi. Semua nilai yang ada dibumi Indonesia hendaknya
tercermin/bersumber dari Pancasila, karena merupakan pandangan hidup,
cita-cita bangsa, falsafah, atau jalan kehidupan bangsa (way of life).
Adapun falsafah hidup berbangsa dan bernegara merupakan suatu
landasan penyusunan peraturan perundang-undangan dengan demikian
perundang-undangan yang dibentuk harus mencerminkan falsafah suatu
bangsa. Tujuan utama pendirian negara Indonesia adalah terwujudnya
kesejahteraan umum bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang didalamnya dinyatakan bahwa tujuan bernegara adalah
“melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
P a g e 45
perdamaian abadi, dan keadilan sosial”. Oleh karena itu, perlindungan
segenap bangsa dan peningkatan kesejahteraan umum menjadi tanggung
jawab negara,yang mencakup baik untuk Pemerintahan, Pemerintahan
Provinsi dan Pemerintahan Kabupaten/Kota.
Dalam hal ini yang menjadi dasar cita-cita dari Rencana Peraturan
Daerah tentang Sumber Pendapatan Desa adalah adanya keinginan untuk
menyelenggarakan tata kelola Pemerintahan yang baik dengan prinsip
demokratis, transparan, akuntabel, efektif dan efisien. Dalam rangka
mengembangkan sistem perencanaan pembangunan di daerah perlu
memperhatikan nilai-nilai dan pandangan hidup yang tumbuh, hidup dan
berkembang dalam kehidupan masyarakat serta berdasarkan nilai-nilai
kearifan lokal yang ada sehingga masyarakat benar-benar dapat memiliki rasa
tanggungjawab bersama-sama dengan Pemerintahan dalam melakukan
pembangunan di bidang perencanaan pembangunan, maka Pemerintahan
Daerah Kabupaten Purworejo perlu untuk menyusun Peraturan Daerah yang
berkenaan dengan Sumber Pendapatan Desa.
B. Landasan Sosiologis
Landasan sosiologis menjelaskan peraturan dianggap sebagai suatu
peraturan yang efektif apabila tidak melupakan bagaimana kebutuhan
masyarakat, keinginan masyarakat, interaksi masyarakat terhadap peraturan
tersebut. Sehingga dalam kajian ini realitas masyarakat yang meliputi
kebutuhan hukum masyarakat, kondisi masyarakat dan nilai-nilai yang hidup
dan berkembang (rasa keadilan masyarakat).
Seiring dengan prinsip otonomi daerah yang seluas-luasnya
Pemerintahan daerah diberikan kewenangan untuk mengurus dan mengatur
urusan Pemerintahanan diluar yang menjadi urusan Pemerintahan Pusat
Pemerintahan daerah baik Pemerintahan Kabupaten/Kota memiliki
kewenangan membuat suatu kebijakan daerah untuk memberikan pelayanan
kepada masyarakat.
P a g e 46
Salah satu wujud kewenangan kabupaten/kota yang harus dilakukan
diantaranya dengan membuat suatu kebijakan daerah yang berupa peraturan
daerah khususnya yang mengatur sumber pendapatan desa.
C. Landasan Yuridis
Landasan yuridis merupakan kajian yang memberikan dasar hukum bagi
dibuatnya suatu peraturan perundang-undangan, baik secara yuridis formal
maupun yuridis materiil, mengingat dalam bagian ini dikaji mengenai
landasan hukum yang berasal dari peraturan perundang-undangan lain untuk
memberi kewenangan bagi suatu instansi membuat aturan tertentu dan dasar
hukum untuk mengatur permasalahan (objek) yang akan diatur.
Peraturan perundang-undangan di level Pemerintahan kabupaten/kota
harus mempunyai landasan hukum atau dasar hukum yang terdapat dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Landasan yuridis
merupakan landasan hukum yang meliputi pertama mengenai kewenangan
membuat peraturan perundang-undangan, yang kedua mengenai materi
peraturan perundang-undangan yang harus dibuat.
Selain mengenai kewenangan dan materi muatan dalam menyusun
peraturan daerah harus memperhatikan asas-asas sebagaimana di atur dalam
Pasal 5 Undang-Undang No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Undang-
Undang Beserta Penjelasannya. Dalam membentuk Peraturan Perundang-
undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan yang baik, yang meliputi:
a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
d. dapat dilaksanakan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. kejelasan rumusan; dan
g. keterbukaan.
Adapun penjelasannya dapat diuraikan sebagai berikut :
P a g e 47
Huruf a
Yang dimaksud dengan “asas kejelasan tujuan” adalah bahwa setiap
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang
jelas yang hendak dicapai.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang
tepat” adalah bahwa setiap jenis Peraturan Perundang-undangan harus dibuat
oleh lembaga negara atau pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan
yang
berwenang. Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau
batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang tidak
berwenang.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi
muatan” adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
harus benarbenar memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan
jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “asas dapat dilaksanakan” adalah bahwa setiap
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus memperhitungkan
efektivitas Peraturan Perundangundangan tersebut di dalam masyarakat, baik
secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “asas kedayagunaan dan kehasilgunaan” adalah
bahwa setiap Peraturan Perundangundangan dibuat karena memang benar-
benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “asas kejelasan rumusan” adalah bahwa setiap
Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis
penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau
P a g e 48
istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak
menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “asas keterbukaan” adalah bahwa dalam Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan,
pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat
transparan dan terbuka.
Dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan khususnya
di daerah baik yang melibatkan legislatif maupun pihak eksekutif ada juga hak
yang dimiliki para akademisi untuk membuat sebuah naskah akademik.
Menurut Alexander, yang dimaksud naskah akademik adalah naskah awal
yang memuat gagasan-gagasan pengaturan dan materi muatan perundang-
undangan bidang tertentu.
Bentuk dan isi naskah akademik memuat gagasan pengaturan suatu
materi hukum bidang tertentu yang telah ditinjau secara holistis-futuristik dan
dari berbagai aspek ilmu hukum, dilengkapi dengan referensi yang memuat
urgensi, konsepsi, landasan, alas hukum, prinsip-prinsip yang digunakan ke
dalam pemikiran tentang norma-norma yang telah dituangkan ke dalam
bentuk pasal-pasal dengan mengajukan beberapa alternative, yang disajikan
dalam bentuk uraian yang sistematis dan dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmu hukum dan sesuai dengan politik hukum yang telah digariskan.
Naskah Akademik merupakan bentuk konkrit dan partisipasi
masyarakat dalam rangka pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
termasuk dalam Peraturan Daerah (Perda), yang telah mempunyai ligitimasi
dan dasar hukum yang jelas dan konkrit.
Urgensi keberadaan naskah akademik dalam proses Perancangan
Pembentukan Perundang-Undangan mempunyai peran yang penting dan
strategis. Hal ini dikarenakan Naskah Akademik (NA) merupakan media
konkrit untuk melibatkan peran serta masyarakat dalam setiap proses
pembentukan peraturan Perundang-Undangan, dengan keterlibatan peran serta
P a g e 49
masyarakat maka aspirasi-aspirasinya akan dapat diakomodir dalan Peraturan
Perundang-Undangan yang dibentuk.
Menurut Mahendra P.K., menyatakan bahwa argumentasi yang
menunjukkan bahwa Naskah Akademik (NA) merupakan media konkrit bagi
peran serta masyarakat secara aktif dalam proses pembentukan Peraturan
Daerah adalah :
a. Naskah Akademik memaparkan alasan-alasan, fakta-fakta atau latar
belakang tentang hal-hal yang mendorong disusunnya suatu masalah /
urusan yang sangat penting dan mendesak diatur dalam Peraturan
Daerah (Perda).
b. Naskah Akademik (NA) menjelaskan tinjauan terhadap sebuah
Peraturan Daerah dari aspek filosofis, aspek sosiologis, aspek yuridis
dan aspek politis.
c. Naskah Akademik (NA) merupakan gambaran mengenai subtansi,
materi dan ruang lingkup, dan Peraturan Daerah yang akan dibuat.
d. Naskah Akademik (NA) memberikan pertimbangan dalam rangka
pengambilan keputusan bagi pihak eksekutif dan legislatif mengenai
pembentukan Peraturan Daerah (Perda) tentang permasalahan yang
dibahas. Sebuah Naskah Akademik (NA) juga memberikan saran-saran
apakah semua materi yang dibahas dalam Naskah Akademik (NA)
sebaiknya diatur dalam satu bentuk Peraturan Daerah (Perda) atau ada
sebagian yang sebaiknya dituangkan dalam peraturan pelaksana atau
peraturan lainnya (Mahendra P.K., 2007)
Kewenangan menyusun peraturan daerah di kabupaten terletak pada
Bupati bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Sedangkan
materi muatan peraturan daerah adalah seluruh materi muatan dalam
penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta memuat kondisi
khusus daerah dan penjabaran peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi.
Dasar utama penyusunan Rencana Peraturan Daerah (Raperda) tentang
Sumber Pendapatan Desa, sebagai berikut :
P a g e 50
1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
2. Undangan-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahanan Daerah (Lembaran Negara RepublikIndonesia Tahun
2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran NegaraRepublik Indonesia Nomor
4437) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2008(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor
59,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintahanan Pusat danDaerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor126, Tambahan
Lembaran Negara Republik IndonesiaNomor 4438);
4. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5049).
5. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5234);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia 2005 Nomor 137, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4575);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan
Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005
Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4578);
8. Peraturan Pemerintahan Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2005
tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005Nomor
158, Tambahan Lembaran Negara Republik IndonesiaNomor 4587);
P a g e 51
9. Peraturan Pemerintahan Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007
tentang Pembagian Urusan Pemerintahanan, antara
Pemerintahan,Pemerintahanan Daerah Propinsi dan Pemerintahanan
DaerahKabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun2007
Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik IndonesiaNomor 4737);
P a g e 52
BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN DAN RUANG LINGKUP MATERI
MUATAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH (RAPERDA)
TENTANG SUMBER PENDAPATAN DESA
A. Umum
Pengaturan Sumber Pendapatan Desa yang akan disusun di
Kabupaten Purworejo perlu dituangkan dalam ketentuan perundang-undangan
khususnya di dalam produk hukum daerah yang berupa peraturan daerah, hal
ini dilakukan dalam rangka untuk memberikan kepastian hukum, mengatur
urusan Sumber Pendapatan Desa dan untuk mengantisipasi mengatasi
berbagai permasalahan-permasalahan di bidang perencanaan pembangunan
daerah sehingga dapat menghindari kemungkinan adanya multitafsir dan
pertentangan antara para pihak-pihak yang langsung atau tidak langsung
mendapatkan manfaat atau dampak dari perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan daerah khususnya di desa.
B. Lingkup Materi
Berdasarkan pertimbangan sebagaimana disebutkan dalam landasan
pemikiran maka materi yang perlu dituangkan dalam Rancangan Peraturan
Daerah (Raperda) tentang Sumber Pendapatan Desa meliputi:
1. Judul
2. Konsideran
a. Menimbang
b. Mengingat
3. Batang Tubuh yang direncanakan meliputi sebagai berikut:
BAB I : Ketentuan umum
BAB II : Sumber Pendapatan Desa
BAB III : Jenis-Jenis Pendapatan Desa
BAB IV : Kekayaan Desa
BAB V : Pengembangan Sumber Pendapatan Desa
P a g e 53
BAB VI : Pengawasan Pengelolaan Sumber Pendapatan Desa
BAB VII : Ketentuan Lain-Lain
BAB VIII : Ketentuan Peralihan
BAB IX : Ketentuan Penutup
Adapun penjelasan mengenai materi yang akan dituangkan dalam
Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Sumber Pendapatan Desa
antara lain:
1. Judul
“Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Purworejo tentang Sumber
Pendapatan Desa.”
2. Konsideran Rancangan Peraturan Daerah (Raperda)Kabupaten
Purworejotentang Sumber Pendapatan Desa.
Dalam konsideran menimbang Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten
Purworejo tentang Sumber Pendapatan Desa yaitu :
a. bahwa dalam rangka mendukung penyelenggaraan pemerintahan
Desa perlu adanya sumber-sumber pendapatan Desa;;
b. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 72 ayat (1) Peraturan Pemerintah
Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, Daerah perlu mengatur sumber
pendapatan desa yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah;
c. bahwa Peraturan Daerah Kabupaten Purworejo Nomor 5 Tahun 2010
tentang Sumber Pendapatandan Kekayaan Desa Pengurusan dan
Pengawasannya, sudah tidak sesuai lagi dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, sehingga perlu ditinjau kembali
dan disesuaikan;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf
a, huruf b dan huruf c, perlu membentuk Peraturan Daerah
Kabupaten Purworejo tentang Sumber Pendapatan Desa.
Dalam konsideran mengingat Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten
Purworejo Tentang Sumber Pendapatan Desa yaitu :
P a g e 54
1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara
RepublikIndonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1950 tentang Pembentukan
Daerah-daerah Kabupaten Dalam Lingkungan Propinsi Jawa
Tengah;
3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4389);
4. Undang-Undang Nomor 32 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437),
sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan
Undang Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4844);
5. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438);
6. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5049).
7. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana
Perimbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia 2005 Nomor
137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4575);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan
P a g e 55
Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2005 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4578);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 158,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4587);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman
Pembinaan dan Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor
165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4593);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah
Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/ Kota (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
12. Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2007 tentang Pengesahan,
Pengundangan, dan Penyebarluasan Peraturan Perundang-
undangan;
13. Peraturan Daerah Kabupaten Purworejo Nomor 2 Tahun 2006
tentang Pedoman Penyusunan Organisasi dan Tata Kerja
Pemerintahan Desa (Lembaran Daerah Kabupaten Purworejo
Tahun 2006 Nomor 2);
14. Peraturan Daerah Kabupaten Purworejo Nomor 3 Tahun 2006
tentang Badan Permusyawaratan Desa (Lembaran Daerah
Kabupaten Purworejo Tahun 2006 Nomor 3);
15. Peraturan Daerah Kabupaten Purworejo Nomor 4 Tahun 2008
tentang Urusan Pemerintahan Daerah Kabupaten Purworejo
(Lembaran Daerah Kabupaten Purworejo Tahun 2008 Nomor 4);
16. Peraturan Daerah Kabupaten Purworejo Nomor 8 Tahun 2008
tentang Pedoman Pembentukan dan Mekanisme Penyusunan
P a g e 56
Peraturan Desa (Lembaran Daerah Kabupaten Purworejo Tahun
2008 Nomor 8).
3) Diktum
Dalam diktum memuat pernyataan Penetapan Peraturan Daerah tentang
Sumber Pendapatan Desa yang dibuat dan ditetapkan pejabat yang
berwenang.
C. Rancangan Peraturan Daerah
Dalam kerangka penyusunan Peraturan Daerah selain mencakup judul,
pembukaan, juga harus menguraikan mengenai ketentuan batang tubuh.
Adapun ketentuan batang tubuh secara umum memuat substansi yang
dituangkan dan dirumuskan dalam bab-bab, sub bab dan pasal-pasal, sub
bagian dan paragraf. Secara umum di dalam batang tubuh memuat mengenai
ketentuan umum, asas, fungsi, tujuan, materi pokok, ketentuan penyidikan,
ketentuan pidana, ketentuan penutup. Secara umum di dalam rancangan
Peraturan Daerah ini harus menguraikan hal-hal sebagai berikut :
1. KETENTUAN UMUM
Materi muatan yang dituangkan dalam ketentuan umum meliputi :
a. Daerah adalah Kabupaten Purworejo.
b. Pemerintah Daerah adalah Bupati dan Perangkat Daerah sebagai
unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
c. Bupati adalah Bupati Purworejo.
d. Kecamatan adalah wilayah kerja camat sebagai perangkat daerah
kabupaten.
e. Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut
Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-
batas wilayah yang berwenanguntuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat
istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Negara
Kesatuan Republik indonesia.
P a g e 57
f. Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan
oleh Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa dalam
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dan
dihormati dalam Sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan berada di Kabupaten Purworejo.
g. Pemerintah Desa adalah Kepala Desa dan Perangkat Desa sebagai
unsur penyelenggara Pemerintahan Desa .
h. Badan Permusyawaratan Desa yang selanjutnya disingkat BPD,
adalah lembaga yangmerupakan perwujudan demokrasi dalam
penyelenggaraan Pemerintahanan Desa sebagai unsur
penyelenggara Pemerintahanan desa.
i. Kepala Desa adalah pejabat yang memimpin penyelenggaraan
Pemerintahan Desa yang dipilih secara langsung oleh masyarakat
melalui pemilihan Kepala Desa.
j. Peraturan Desa adalah peraturan perundang-undangan yang dibuat
oleh BPD bersama Kepala Desa.]
k. Keputusan Kepala Desa adalah keputusan yang ditetapkan oleh
Kepala Desa yang bersifat menetapkan dalam rangka
melaksanakan Peraturan Desa maupun Peraturan Kepala Desa.
l. Sumber Pendapatan Desa adalah semua sumber penerimaan Desa
yang berupa Pendapatan Asli Desa, bagi hasil pajak daerah, bagian
dari perimbangan keuangan Pusat dan Daerah yang diterima
Daerah, bantuan Keuangan dari Pemerintah Pusat, Pemerintah
Provinsi, Pemerintah Daerah, hibah dan sumbangan dari pihak
ketiga yang tidak mengikat.
m. Pendapatan Asli Desa adalah pendapatan desa yang terdiri dari
hasil usaha Desa, hasil kekayaan Desa, hasil swadaya dan
partisipasi, hasil gotong royong dan lain-lain pendapatan asli Desa
yang sah.
P a g e 58
n. Bantuan Keuangan adalah bantuan dalam bentuk uang dari
Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan/ atau Pemerintah
Daerah kepada Pemerintah Desa dalam rangka pelaksanaan urusan
pemerintahan.
o. Hibah adalah pemberian dalam bentuk uang/ barang atau jas dari
Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan/Pemerintah Daerah
atau pihak ketiga kepada Pemerintah Desa yang secara spesifik
telah ditentukan peruntukannya, bersifat tidak wajib dan tidak
mengikat serta tidak secara terus-menerus.
p. Sumbangan pihak Ketiga adalah pemberian dalam bentuk uang
dan/ atau barang dari perseorangan atau instansi lain diluar
Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Daerah dan
Pemerintah Desa yang dapat berupa donasi, hadiah, wakaf atau
lain-lain sumbangan.
q. Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa yang selanjutnya
disingkat APBDesa adalah rencana keuangan tahunan
Pemerintahan Desa yang dibahas dan disetujui bersama oleh
Pemerintah Desa dan BPD, yang ditetapkan dengan Peraturan
Desa.
r. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya
disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan
Pemerintahan Daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh
Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan
ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
s. Kekayaan Desa adalah barang milik Desa yang berasal dari
kekayaan asli Desa, dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran
Pendapatan dan Belanja Desa atau perolehan hak lainnya yang sah.
t. Tanah Desa adalah tanah milik Desa yang dikelola oleh
Pemerintah Desa berupa Tanah Kas Desa, Tanah Bengkok, dan
Tanah Lain yang dikuasai oleh Desa.
P a g e 59
u. Tanah Kas Desa adalah tanah Desa yang hasilnya menjadi
sumber pendapatan Desa dan digunakan untuk pembiayaan
kegiatan Pemerintahan dan Pembangunan Desa.
v. Pungutan Desa adalah segala pungutan baik berupa uang maupun
benda dan/ atau barang yang dilakukan oleh Pemerintah Desa
terhadap masyarakat Desa, berdasarkan pertimbangan kemampuan
sosial ekonomi masyarakat di Desa yang ditetapkan dalam melalui
Peraturan Desa dalam rangka peningkatan penyelenggaraan
pemerintahan, dan pembangunan Desa.
w. Sewa adalah pemanfaatan Kekayaan Desa oleh pihak lain dalam
jangka waktu tertentu untuk menerima imbalan uang tunai.
x. Pinjam pakai adalah penyerahan penggunaan Kekayaan Desa
antar Pemerintah Desa dalam jangka waktu tertentu tanpa
menerima imbalan dan setelah jangka waktu tersebut berakhir
harus diserahkan kembali kepada Pemerintah Desa yang
bersangkutan.
y. Kerjasama pemanfaatan adalah pendayagunaan Kekayaan Desa
oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu dalam rangka
peningkatan penerimaan Desa bukan pajak dan sumber
pembiayaan lainnya.
z. Bangun guna serah adalah pemanfaatan Kekayaan Desa berupa
tanah oleh pihak lain dengan cara mendirikan bangunan dan/
atau sarana berikut fasilitasnya, kemudian didayagunakan oleh
pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu yang telah
disepakati untuk selanjutnya diserahkan kembali tanah beserta
bangunan dan/ atau sarana berikut fasilitasnya setelah berakhirnya
jangka waktu.
aa. Bangun serah guna adalah pemanfaatan Kekayaan Desa berupa
tanah oleh pihak lain dengan cara mendirikan bangunan dan/
atau sarana berikut fasilitasnya, dan setelah selesai
P a g e 60
pembangunannya diserahkan untuk didayagunakan oleh pihak
lain tersebut dalam jangka waktu tertentu yang disepakati.
bb. Pertimbangan tertulis dari BPD adalah saran atau masukan tertulis
dari BPD yang merupakan bahan bagi pemerintah desa dalam
mengambil keputusan, dan harus diterbitkan BPD dalam waktu
paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya surat permohonan dari
Kepala Desa.
2. SUMBER PENDAPATAN DESA
Dalam Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Sumber
Pendapatan Desa memuat sumber pendapatan desa yang terdiri dari :
(1) Pendapatan Asli Desa;
(2) Bagi Hasil Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
(3) Bagian dari Dana Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan
Daerah yang diterima Daerah untuk Desa;
(4) Bantuan Keuangan dariPemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi
dan Pemerintah Daerah;
(5) Hibah dan sumbangan dari pihak ketiga yang tidak mengikat.
3. JENIS PENDAPATAN DESA
1) Dalam Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Sumber
Pendapatan Desa memuat jenis-jenis pendapatan desa meliputi:
a. hasil usaha Desa;
b. hasil kekayaan Desa;
c. hasil swadaya dan partisipasi;
d. hasil gotong royong;
e. lain-lain Pendapatan Asli Desa yang sah.
Hasil Usaha Desa
Hasil Usaha Desa adalah hasil usaha untuk meningkatkan pendapatan
Desa dalam batas yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan,
P a g e 61
antara lain dari hasil bagian laba Badan Usaha Milik Desa, hasil
lumbung desa, hasil usaha ekonomi Desa, hasil usaha dari kerjasama
Desa.
Hasil Kekayaan Desa
Hasil Kekayaan Desa adalah hasil dari pengelolaan:
a. t anah Desa;
b. pasar Desa;
c. pasar hewan;
d. tambatan perahu;
e. bangunan Desa;
f. jalan desa;
g. kuburan desa;
h. lapangan desa;
i. saluran air milik desa;
j. pelelangan ikan yang dikelola Desa;
k. objek rekreasi yang di kelola desa;
l. lain-lain kekayaan milik Desa.
Hasil Swadaya dan Partisipasi
Hasil swadaya dan partisipasi adalah pendapatan Desa berupa uang dan/
atau barang atas kesadaran dan inisiatif sendiri untuk memenuhi
kebutuhan Desa yang bersifat insidentil maupun yang
berkelangsungan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan bersama.
Hasil Gotong royong
Hasil Gotong royong adalah pendapatan Desa berupa sumbangan tenaga
warga Desa dalam bentuk kerjasama timbal balik yang bersifat sukarela
dengan Pemerintah Desa untuk memenuhi kebutuhan Desa yang bersifat
insidentil maupun yang berkelangsungan dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan bersama.
Lain-lain Pendapatan Asli Daerah
Lain-lain Pendapatan Asli Desa yang sah, terdiri dari :
a. jasa giro;
P a g e 62
b. pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan;
c. penggunaan fasilitas umum aset desa (bukan fasilitas sosial) yang
dimanfaatkan untuk kepentingan komersial secara insidental dan tidak
mengganggu pelayanan umum (public service);
d. hasil kerjasama desa;
e. hasil penyertaan modal desa; dan
f. pungutan desa.
Sedangkan Pungutan Desa baik yang berupa uang dan/ atau barang,
harus diatur dengan Peraturan Desa.
2) Bagi Hasil Pajak Daerah dan Retribusi Daerah :
Dalam Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Sumber
Pendapatan Desa memuat tentang bagi hasil pajak daerah dan retribusi
daerah sebagai berikut :
3) Bagi Hasil Pajak Daerah :
Bagi hasil pajak daerah yang dimuat dalam Rancangan Peraturan
Daerah (Raperda) tentang Sumber Pendapatan Desa adalah sebagai
berikut :
(1) Desa menerima Bagi Hasil Pajak Daerah paling sedikit 10%
(sepuluh perseratus) dari penerimaan pajak daerah.
(2) Besarnya Prosentase Bagi Hasil Pajak Daerah yang
diperuntukkan bagi Desa, dan alokasi besaran penerimaan
masing-masing desa diatur oleh Bupati.
4) Bagi Hasil Retribusi Daerah
Ketentuan mengenaibagi hasil retribusi daerah diatur sebagai berikut :
(1) Desa menerima Bagi Hasil Retribusi Daerah paling sedikit 10%
(sepuluh perseratus) dari penerimaan Retribusi Daerah yang
dialokasikan secara secara proporsional.
P a g e 63
(2) Ketentuan mengenai jenis, besarnya prosentase dan alokasi
besaran penerimaan bagi hasil atas sebagian retribusi daerah yang
diterima masing-masing Desa
(3) Pungutan Retribusi dan Pajak lainnya yang telah dipungut oleh
Desa tidak dibenarkan dipungut atau diambil alih oleh Pemerintah
Provinsi atau Pemerintah Daerah.
Bagian dari Dana Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah yang Diterima Daerah Untuk Desa
Dalam Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Sumber
Pendapatan Desa memuat tentang bagian dari dana perimbangan keuangan
pemerintah pusat dan daerah yang diterima daerah untuk desa.
(1) Bagian Desa dari Dana Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat
danDaerah yang diterima Daerah, paling sedikit 10 % (sepuluh
perseratus);
(2) Dana Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah yang diterima Daerah untuk Desa, terdiri dari
Dana Bagi Hasil Pajak dan Sumber Daya Alam ditambah Dana
Alokasi Umum setelah dikurangi belanja pegawai.
(3) Dana Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah yang diterima Daerah untuk Desa, dibagikan
kepada Desa secara proporsional, yang merupakan Alokasi Dana
Desa.
Bantuan Keuangan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan
Pemerintah Daerah.
Dalam Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Sumber Pendapatan
Desa memuat tentang bantuan keuangan dari pemerintah, pemerintah
provinsi dan pemerintah daerah untuk desa.
(1) Bantuan Keuangan dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi
dan Pemerintah Daerah diberikan dalam rangka pelaksanaan urusan
pemerintahan.
P a g e 64
(2) Bantuan dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), diutamakan untuk tunjangan penghasilan Kepala Desa dan
Perangkat Desa.
(3) Bantuan dari Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Daerah, digunakan
untuk percepatan atau akselerasi pembangunan Desa.
Untuk penyaluran bantuan keuangan tersebut diatur dengan ketentuan
sebagai berikut :
(1) Bantuan Keuangan dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi
dan Pemerintah Daerah disalurkan melalui Kas Desa.
(2) Bantuan keuangan, ditampung dalam APBDesa.
Hibah dan Sumbangan dari Pihak Ketiga yang Tidak Mengikat
Dalam Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Sumber Pendapatan
Desa memuat ketentuan mengenai hibah dan sumbangan pihak ketiga yang
tidak mengikat, sebagai berikut :
Hibah
(1) Hibah yang berbentuk uang merupakan sumber pendapatan desa
dan ditampung dalam APBDesa.
(2) Hibah yang berbentuk barang, baik barang bergerak maupun barang
tidak bergerak, dicatat sebagai barang inventaris kekayaan milik Desa
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Pemberian hibah, tidak mengurangi kewajiban-kewajiban pihak
penyumbang kepada Desa.
Sumbangan dari Pihak Ketiga yang Tidak Mengikat
(1) Sumbangan dari Pihak Ketiga yang tidak mengikat yang berbentuk
uang, merupakan sumber pendapatan desa dan ditampung dalam
APBDesa.
(2) Sumbangan Pihak Ketiga yang berbentuk barang, baik barang
bergerak maupun barang tidak bergerak dicatat sebagai barang
inventaris kekayaan milik Desa sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku.
(3) Pemberian Sumbangan dari Pihak Ketiga, tidak mengurangi
P a g e 65
kewajiban-kewajiban pihak penyumbang kepada Desa.
4. KEKAYAAN DESA
Kekayaan desa dimuat dalam Rancangan Peraturan Daerah (Raperda)
tentang Sumber Pendapatan Desa dengan ketentuan sebagai berikut :
Jenis Kekayaan Desa
(1) Jenis-jenis kekayaan desa sebagaimana dimaksud di atas meliputi :
a. t anah Desa;
b. pasar Desa;
c. pasar hewan;
d. tambatan perahu;
e. bangunan Desa;
f. pelelangan ikan yang dikelola Desa;
g. lain-lain kekayaan milik Desa.
(2) Kekayaan Desa, merupakan aset milik Desa yang dibuktikan dengan
dokumen kepemilikan yang sah atas nama Desa
Pengelolaan Kekayaan Desa
Ketentuan mengenai pengolahan kekayaan desa adalah :
(1) Pengelolaan terhadap kekayaan desa dilaksanakan berdasarkanasas
fungsional, kepastian hukum, keterbukaan, efisiensi, akuntabilitas
dan kepastian nilai.
(2) Pengelolaan kekayaan desa harus berdayaguna dan berhasilguna
untuk meningkatkan pendapatan desa.
(3) Pengelolaan kekayaan desa, harus mendapatkan pertimbangan
tertulis BPD.
Perolehan Kekayaan Desa
Kekayaan desa diperoleh melalui :
a. pembelian;
b. sumbangan;
c. bantuan dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah maupun pihak lain;
d. bantuan dari pihak ketiga yang sah dan tidak mengikat
P a g e 66
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pemanfaatan Kekayaan Desa
Pemanfaatan Kekayaan Desa dapat berupa :
a. sewa;
b. pinjam pakai;
c. kerjasama pemanfaatan;
d. bangun serah guna dan bangun guna serah.
5. PENGEMBANGAN SUMBER PENDAPATAN DESA
Dalam Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Sumber Pendapatan
Desa memuat mengenai pengembangan sumber pendapatan desa sebagai
berikut: Dalam upaya pengembangan sumber pendapatan desa, Pemerintah
Desa dapat melakukan pemberdayaan potensi Desa dengan cara:
a. mendirikan Badan Usaha Milik Desa;
b. mengadakan kerjasama antar Desa;
c. mengadakan kerjasama dengan Pihak Ketiga;
d. melakukan pinjaman Desa.
6. PENGAWASAN PENGELOLAAN SUMBER PENDAPATAN DESA
Dalam Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Sumber Pendapatan
Desa memuat mengenai pengawasan pengelolaan sumber pendapatan desa
sebagai berikut:
(1) Pengawasan terhadap pengelolaan sumber pendapatan desa dilakukan
oleh Bupati.
(2) Pengawasan terhadap pengelolaan sumber pendapatan desa di masing-
masing Desa dilakukan oleh BPD sesuai kewenangannya.
(3) Hasil pengawasan, disampaikan kepada Pemerintah Desa untuk ditindak
lanjuti sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
P a g e 67
7.KETENTUAN LAIN-LAIN
Ketentuan lain-lain yang dituangkan Dalam Rancangan Peraturan Daerah
(Raperda) tentang Sumber Pendapatan Desa adalah :
Pelepasan hak kepemilikan tanah dilaksanakan dengan ketentuan :
(1) Kekayaan Desa yang berupa tanah desa tidak boleh dilepaskan
hak kepemilikannya kepada pihak lain, kecuali diperlukan untuk
kepentingan umum.
(2) Pelepasan hak kepemilikan tanah desa untuk kepentingan umum, dapat
dilaksanakan setelah mendapat ganti rugi sesuai harga yang
menguntungkan desa dengan memperhatikan harga pasar dan/ atau
Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).
Ketentuan mengenai uang ganti rugi pelepasan hak kepemilikan tanah desa
dimuat sebagai berikut :
(1) Uang ganti rugi harus digunakan untuk membeli tanah pengganti yang
berlokasi di Desa setempat.
(2) Untuk melaksanakan pembelian tanah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dibentuk Tim Pembelian Tanah yang ditetapkan oleh Kepala Desa
berdasarkan pertimbangan tertulis dari BPD.
(3) Apabila sampai dengan 2 (dua) tahun sejak pembayaran ganti rugi,
tanah pengganti belum diperoleh, maka uang ganti rugi dapat digunakan
untuk membeli tanah di luar wilayah desa yang bersangkutan yang
diutamakan berlokasi di desa terdekat atau desa tetangga setelah
mendapat pertimbangan tertulis dari BPD dan persetujuan tertulis dari
Bupati.
(4) Pembelian tanah pengganti, harus senilai dengan uang ganti rugi.
(5) Uang ganti rugi untuk pembelian tanah pengganti wajib disimpan dalam
bentuk tabungan di bank Pemerintah atas nama Pemerintah Desa sebelum
digunakan untuk pembelian tanah pengganti dan ditampung
dalam APBDes.
P a g e 68
8.KETENTUAN PERALIHAN
Ketentuan Peralihan yang dituangkan dalam Rancangan Peraturan Daerah
(Raperda) tentang Sumber Pendapatan Desa adalah sebagai berikut:
(1) Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, Pemerintah Desa wajib
melakukan pendataan ulang terhadap kekayaan desa yang dimilikinya
dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak Peraturan Daerah
ini diundangkan.
(2) Apabila dari hasil pendataan ulang, terdapat pengelolaan kekayaan desa
yang belum sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Daerah ini,
maka harus dilakukan penyesuaian dalam jangka waktu paling lama
1 (satu) tahun sejak pelaksanaan pendataan ulang.
8.KETENTUAN PENUTUP
Bahwa pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, maka Peraturan
Daerah Kabupaten Purworejo Nomor 5 Tahun 2010 tentang Sumber
Pendapatan Desa dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Hal-hal yang belum
diatur dalam Peraturan Daerah ini sepanjang mengenai pelaksanaannya akan
diatur lebih lanjut oleh Bupati. Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Daerah Kabupaten Purworejo.
P a g e 69
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten
Purworejo tentang Sumber Pendapatan Desa dapat dirumuskan kesimpulan
sebagai berikut, bahwa Peraturan Daerah Kabupaten Purworejo tentang
Sumber Pendapatan Desa perlu segera disusun sebagai dasar dan landasan
dan acuan dalam penyusunan program-program pengelolaan sumber
pendapatan bagi pemerintah desa, serta adanya kepastian hukum bagi
pemerintah desa dan masyarakat sehingga penyelenggaraan kegiatan
pemerintahan desa dapat berjalan optimal, efektif, efisien, terprogram secara
terpadu dan berkelanjutan.
B. Saran
Agar penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten Purworejo tentang
Sumber Pendapatan Desa dapat diimplementasikan dengan baik maka dalam
penyusunan perlu memperhatikan pertama, berdasarkan peraturan perundang-
undang yang lebih tinggi, kedua, berdasarkan kewenangan pemerintah
daerah, ketiga, berdasarkan aspirasi dan kepentingan masyarakat Kabupaten
Purworejo.
P a g e 70