n i f e sto...kuliner, musik, penerbitan, periklanan, seni pertunjukan, seni rupa, televisi, radio,...

4
Pekerja media dan industri kreatif Indonesia harus bersatu. Kita harus secepatnya mengorganisir diri, dan membangun kekuatan dan solidaritas di tengah akselerasi modal nasional-transnasional ke dalam industri media-kreatif di Indonesia. Kami adalah pekerja kognitif. Kami bagian dari kelas pekerja. Kami bekerja dalam kondisi kerja spesifik yang mengerahkan segenap kapasitas mental untuk mencipta, meneliti, menata, dan membangun nilai-makna. Kantor dan pabrik kami ada di dalam kepala, di mana saja, kapan saja. Bagi kami, kerja adalah proses tanpa henti, dan waktu luang adalah fiksi. Kami adalah produsen kebudayaan, buruh informasi, pekerja pengetahuan, penata estetika, juru penelitian, mandor digital, pemahat kode, dan prekariat di dalam lilitan kondisi kerja yang rentan. Kami terengah-engah terpaksa menerima dan mewajarkan eksploitasi tanpa kemungkinan akan hari esok yang lebih baik. Di saat industri ekstraktif bertumpu pada sumber daya alam kerap digerus dan dieksploitasi, kekuatan industri kreatif dan ekonomi digital menjadikan sumber daya manusia sebagai penopang utamanya. Di dekade kedua abad 21 ini, kita berada di teritori eksploitasi termutakhir. m a n i f e s t o . SERIKAT PEKERJA MEDIA DAN INDUSTRI KREATIF UNTUK DEMOKRASI

Transcript of n i f e sto...kuliner, musik, penerbitan, periklanan, seni pertunjukan, seni rupa, televisi, radio,...

Pekerja media dan industri kreatif Indonesia harus bersatu. Kita harus secepatnya mengorganisir diri, dan membangun kekuatan dan solidaritas di tengah akselerasi modal nasional-transnasional ke dalam industri media-kreatif di Indonesia.

Kami adalah pekerja kognitif. Kami bagian dari kelas pekerja. Kami bekerja dalam kondisi kerja spesifik yang mengerahkan segenap kapasitas mental untuk mencipta, meneliti, menata, dan membangun nilai-makna. Kantor dan pabrik kami ada di dalam kepala, di mana saja, kapan saja. Bagi kami, kerja adalah proses tanpa henti, dan waktu luang adalah fiksi.

Kami adalah produsen kebudayaan, buruh informasi, pekerja pengetahuan, penata estetika, juru penelitian, mandor digital, pemahat kode, dan prekariat di dalam lilitan kondisi kerja yang rentan. Kami terengah-engah terpaksa menerima dan mewajarkan eksploitasi tanpa kemungkinan akan hari esok yang lebih baik.

Di saat industri ekstraktif bertumpu pada sumber daya alam kerap digerus dan dieksploitasi, kekuatan industri kreatif dan ekonomi digital menjadikan sumber daya manusia sebagai penopang utamanya. Di dekade kedua abad 21 ini, kita berada di teritori eksploitasi termutakhir.

man

ifesto.SE

RIKA

T PE

KERJ

A M

EDIA

DAN

IND

UST

RI K

REAT

IF U

NTU

K D

EMO

KRAS

I

Industri ekstraktif masih mengeruk sumber daya alam di tengah kerusakan ekologi serta pemanasan global yang mencapai puncak. Di saat bersamaan, ekstraksi kognitif dan kekuatan kreatif menyasar pekerja di sektor media dan kreatif. Di tengah kondisi alam yang mengancam keberlangsungan hidup manusia, kami menjadi produsen nilai dalam jaringan ekonomi padat makna.

Walau eksploitasi kami terselubung dalam ilusi dan narasi kebebasan, posisi kami sama dengan para kerabat pekerja lain di industri berat, ekstraktif, dan manufaktur. Kami berada dalam tumpukan jejaring penghisapan yang meretas peraturan dan batas negara. Kerentanan kami adalah akibat dari tiadanya pemisahan antara waktu kerja dan waktu luang. Upah dari nilai dan makna yang kita produksi ditentukan dari hasil penerawangan spekulatif pemodal serta pemberi kerja.

Akselerasi ekspansi modal nasional dan transnasional puluhan triliun rupiah di industri kreatif justru memungkinkan pemodal dan pemberi kerja untuk memerlakukan kita sebagai situs penghisapan terbaru yang bisa dibuang kapan saja .

Ada banyak profesi yang membentang di sekujur sektor ini: jurnalis di industri media, pekerja dibidang pengembangan aplikasi, arsitektur, desain komunikasi visual, desain produk, industri tata busana, film, animasi, juga video. Mereka yang berada pada lini riset sosial, fotografi, kriya, kuliner, musik, penerbitan, periklanan, seni pertunjukan, seni rupa, televisi, radio, serta desain interior juga menjadi bagian dari pekerja yang berada dalam arus utama industri ini.

Mitra, konsultan, pemagang dan pekerja lepas adalah beberapa julukan kita di hadapan hukum, pemodal serta pemberi kerja. Solidnya hubungan kerja yang dijalani pekerja terdahulu kini memuai ke udara. Kami tidak memiliki bantalan hukum dan

perlindungan dari negara, yang kini direduksi menjadi badan administratif.

Negara memersilahkan “eksploitasi ramah” ini terjadi sembari kerap mendengungkan ekonomi kreatif sebagai sektor tumpuan ekonomi termutakhir, sekaligus alpa membangun jaring pengaman bagi pekerjanya. Ketidakadilan hubungan kerja dan nihilnya keadilan-kesejahteraan sosial merayap dari celah ini.

Para pekerja di sektor ini tak boleh terlena di kala negara menggaungkan ambisi besar menjadikanIndonesia sebagai kekuatan ekonomi terbesar di kawasan Asia Tenggara melalui ekonomi kreatif dan digital sebagai tulang punggung utama. Target pemerintah pun tak main-main: 130 miliar dollar Amerika Serikat pada tahun 2020.

Dalam euforia ini, kita harus mewaspadai kemunculan berbagai masalah ketenagakerjaan serta nihilnya perhatian atas kesejahteraan jutaan pekerja dalam pusaran industri ini. Masalah kerja berlebih, jam kerja yang menggilas batas wajar, ketiadaan standar dalam hubungan kerja yang lentur, ketidakpastian kontrak kerja, pemagangan tanpa upah, outsourcing tanpa jaminan hukum, pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak, serta ketiadaan perlindungan jaminan sosial, adalah beberapa masalah yang harus menjadi fokus perjuangan para pekerja media dan industri kreatif.

Menguapnya batas waktu kerja-waktu luang dan longgarnya peraturan ketenagakerjaan tidak membuat hidup kita lebih baik. Sebaliknya, kerentanan kondisi kerja menghasilkan berbagai ketidakstabilan dalam skala besar. Menumpuknya beban psikis, gangguan kesehatan mental, menipisnya waktu belajar, sempitnya ruang spiritual, serta menghilangnya waktu sosial bersama keluarga, sahabat, dan lingkungan masyarakat adalah resep ketidakberdayaan.

Mobilitas sosial di masa depan yang lebih baik kini terdengar seperti mitos belaka.

Inovasi teknologi yang tidak pernah berada di bawah kontrol pekerja, melaju cepat tanpa kesadaran sosial. Padahal, kita adalah subjek utama di balik akselerasi ini; baik sebagai arsitek, pengonsep, perancang, pembangun, pengisi, atau pengguna. Kondisi ini konsisten menggerus solidaritas pekerja, perlahan mengubah ionisasi individu menjadi kompetisi. Kita tak mampu memantik perubahan menuju penghidupan layak, dan merasa terputus dari tubuh sosial. Imajinasi kolektif kita akan masa depan yang lebih baik dikandangi oleh kerentanan kondisi kerja, dan fragmentasi antar-pekerja.

Dalam kondisi inilah SINDIKASI diinisiasi; melalui kepercayaan pada keberadaan ruang dan kemungkinan baru yang bisa kita bangun. Melalui serikat, kita mampu memperjuangkan hak dan kesejahteraan, sekaligus menguatkan posisi tawar pekerja di era digital yang kian fleksibel. Melalui serikat pula, kita bisa memperkuat kecakapan dan mutu karya demi penghidupan layak, sekaligus meningkatkan kualitas hidup orang banyak.

Potensi solidaritas pekerja kognitif perlu diuraidan didefragmentasi. Dengan segala kontribusi sekaligus keterbatasannya pada masyarakat, bentuk organisasi serikat masih menyimpan potensi sebagai rumah bersama untuk kembali merumuskan langkah, serta kepentingan yang perlu kita perjuangkan bersama. Jalan menuju penghidupan dan masa depan yang lebih baik dimulai saat kita menyatukan suara dalam satu melodi. Kita berserikat untuk melawan sekat.

Program mendesak pertama adalah memaksa negara untuk menjamin hak-hak normatif pekerja media dan kreatif, serta menutup celah eksploitasi dalam kerentanan ini. Tujuan ini dicapai melalui

solidaritas dan kekuatan kolektif pekerja kognitif yang berada dalam lingkup gerakan buruh nasional.

Berikutnya adalah memanfaatkan akselerasi teknologi untuk kepentingan pekerja dengan memasang kesadaran sosial di dalamnya demi memudahkan hidup orang banyak. Langkah ini akan membuka kemungkinan corak ekonomi baru, alternatif untuk kembali membangun masa depan. Peningkatan kecakapan-pengetahuan kita dalam mengarungi ombak teknologi harus selalu bertujuan untuk membuat hidup kita lebih sejahtera, mandiri, bermanfaat, dan bermakna.

Kita harus memiliki dan menghidupi dunia baru yang akan kita bangun. Kita pertajam pandangan terhadap tumpukan jejaring eksploitasi ekonomi kreatif. Pandangan ini dimulai dengan melihat corak produksi ekonomi kreatif sebagai situs eksploitasi termutakhir di mana kita bisa mengembangkan potensi perubahan terbaru. Potensi yang mampu meretas kesejahteraan dan keadilan sosial di hari depan.

SINDIKASI selalu siap membangun aliansi serta berjuang bersama serikat pekerja, organisasi rakyat, sel dan simpul prodemokrasi lain dengan cita-cita perjuangan yang sama. Berangkat dari titik ini, kita bangun solidaritas antar pekerja media dan kreatif bersama dengan gerakan buruh-pekerja nasional dan internasional. Manifesto ini adalah dokumen hidup yang akan terus berkembang bersama gerak segenap kelas pekerja, termasuk kami, pekerja kognitif, media, dan kreatif. Kita harus mulai membangun masa depan baru, sebuah dunia tanpa ekslpoitasi manusia atas manusia.

28 Januari 2018Serikat Pekerja Media danIndustri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI)

Pekerja media dan industri kreatif Indonesia harus bersatu. Kita harus secepatnya mengorganisir diri, dan membangun kekuatan dan solidaritas di tengah akselerasi modal nasional-transnasional ke dalam industri media-kreatif di Indonesia.

Kami adalah pekerja kognitif. Kami bagian dari kelas pekerja. Kami bekerja dalam kondisi kerja spesifik yang mengerahkan segenap kapasitas mental untuk mencipta, meneliti, menata, dan membangun nilai-makna. Kantor dan pabrik kami ada di dalam kepala, di mana saja, kapan saja. Bagi kami, kerja adalah proses tanpa henti, dan waktu luang adalah fiksi.

Kami adalah produsen kebudayaan, buruh informasi, pekerja pengetahuan, penata estetika, juru penelitian, mandor digital, pemahat kode, dan prekariat di dalam lilitan kondisi kerja yang rentan. Kami terengah-engah terpaksa menerima dan mewajarkan eksploitasi tanpa kemungkinan akan hari esok yang lebih baik.

Di saat industri ekstraktif bertumpu pada sumber daya alam kerap digerus dan dieksploitasi, kekuatan industri kreatif dan ekonomi digital menjadikan sumber daya manusia sebagai penopang utamanya. Di dekade kedua abad 21 ini, kita berada di teritori eksploitasi termutakhir.

Industri ekstraktif masih mengeruk sumber daya alam di tengah kerusakan ekologi serta pemanasan global yang mencapai puncak. Di saat bersamaan, ekstraksi kognitif dan kekuatan kreatif menyasar pekerja di sektor media dan kreatif. Di tengah kondisi alam yang mengancam keberlangsungan hidup manusia, kami menjadi produsen nilai dalam jaringan ekonomi padat makna.

Walau eksploitasi kami terselubung dalam ilusi dan narasi kebebasan, posisi kami sama dengan para kerabat pekerja lain di industri berat, ekstraktif, dan manufaktur. Kami berada dalam tumpukan jejaring penghisapan yang meretas peraturan dan batas negara. Kerentanan kami adalah akibat dari tiadanya pemisahan antara waktu kerja dan waktu luang. Upah dari nilai dan makna yang kita produksi ditentukan dari hasil penerawangan spekulatif pemodal serta pemberi kerja.

Akselerasi ekspansi modal nasional dan transnasional puluhan triliun rupiah di industri kreatif justru memungkinkan pemodal dan pemberi kerja untuk memerlakukan kita sebagai situs penghisapan terbaru yang bisa dibuang kapan saja .

Ada banyak profesi yang membentang di sekujur sektor ini: jurnalis di industri media, pekerja dibidang pengembangan aplikasi, arsitektur, desain komunikasi visual, desain produk, industri tata busana, film, animasi, juga video. Mereka yang berada pada lini riset sosial, fotografi, kriya, kuliner, musik, penerbitan, periklanan, seni pertunjukan, seni rupa, televisi, radio, serta desain interior juga menjadi bagian dari pekerja yang berada dalam arus utama industri ini.

Mitra, konsultan, pemagang dan pekerja lepas adalah beberapa julukan kita di hadapan hukum, pemodal serta pemberi kerja. Solidnya hubungan kerja yang dijalani pekerja terdahulu kini memuai ke udara. Kami tidak memiliki bantalan hukum dan

perlindungan dari negara, yang kini direduksi menjadi badan administratif.

Negara memersilahkan “eksploitasi ramah” ini terjadi sembari kerap mendengungkan ekonomi kreatif sebagai sektor tumpuan ekonomi termutakhir, sekaligus alpa membangun jaring pengaman bagi pekerjanya. Ketidakadilan hubungan kerja dan nihilnya keadilan-kesejahteraan sosial merayap dari celah ini.

Para pekerja di sektor ini tak boleh terlena di kala negara menggaungkan ambisi besar menjadikanIndonesia sebagai kekuatan ekonomi terbesar di kawasan Asia Tenggara melalui ekonomi kreatif dan digital sebagai tulang punggung utama. Target pemerintah pun tak main-main: 130 miliar dollar Amerika Serikat pada tahun 2020.

Dalam euforia ini, kita harus mewaspadai kemunculan berbagai masalah ketenagakerjaan serta nihilnya perhatian atas kesejahteraan jutaan pekerja dalam pusaran industri ini. Masalah kerja berlebih, jam kerja yang menggilas batas wajar, ketiadaan standar dalam hubungan kerja yang lentur, ketidakpastian kontrak kerja, pemagangan tanpa upah, outsourcing tanpa jaminan hukum, pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak, serta ketiadaan perlindungan jaminan sosial, adalah beberapa masalah yang harus menjadi fokus perjuangan para pekerja media dan industri kreatif.

Menguapnya batas waktu kerja-waktu luang dan longgarnya peraturan ketenagakerjaan tidak membuat hidup kita lebih baik. Sebaliknya, kerentanan kondisi kerja menghasilkan berbagai ketidakstabilan dalam skala besar. Menumpuknya beban psikis, gangguan kesehatan mental, menipisnya waktu belajar, sempitnya ruang spiritual, serta menghilangnya waktu sosial bersama keluarga, sahabat, dan lingkungan masyarakat adalah resep ketidakberdayaan.

Mobilitas sosial di masa depan yang lebih baik kini terdengar seperti mitos belaka.

Inovasi teknologi yang tidak pernah berada di bawah kontrol pekerja, melaju cepat tanpa kesadaran sosial. Padahal, kita adalah subjek utama di balik akselerasi ini; baik sebagai arsitek, pengonsep, perancang, pembangun, pengisi, atau pengguna. Kondisi ini konsisten menggerus solidaritas pekerja, perlahan mengubah ionisasi individu menjadi kompetisi. Kita tak mampu memantik perubahan menuju penghidupan layak, dan merasa terputus dari tubuh sosial. Imajinasi kolektif kita akan masa depan yang lebih baik dikandangi oleh kerentanan kondisi kerja, dan fragmentasi antar-pekerja.

Dalam kondisi inilah SINDIKASI diinisiasi; melalui kepercayaan pada keberadaan ruang dan kemungkinan baru yang bisa kita bangun. Melalui serikat, kita mampu memperjuangkan hak dan kesejahteraan, sekaligus menguatkan posisi tawar pekerja di era digital yang kian fleksibel. Melalui serikat pula, kita bisa memperkuat kecakapan dan mutu karya demi penghidupan layak, sekaligus meningkatkan kualitas hidup orang banyak.

Potensi solidaritas pekerja kognitif perlu diuraidan didefragmentasi. Dengan segala kontribusi sekaligus keterbatasannya pada masyarakat, bentuk organisasi serikat masih menyimpan potensi sebagai rumah bersama untuk kembali merumuskan langkah, serta kepentingan yang perlu kita perjuangkan bersama. Jalan menuju penghidupan dan masa depan yang lebih baik dimulai saat kita menyatukan suara dalam satu melodi. Kita berserikat untuk melawan sekat.

Program mendesak pertama adalah memaksa negara untuk menjamin hak-hak normatif pekerja media dan kreatif, serta menutup celah eksploitasi dalam kerentanan ini. Tujuan ini dicapai melalui

solidaritas dan kekuatan kolektif pekerja kognitif yang berada dalam lingkup gerakan buruh nasional.

Berikutnya adalah memanfaatkan akselerasi teknologi untuk kepentingan pekerja dengan memasang kesadaran sosial di dalamnya demi memudahkan hidup orang banyak. Langkah ini akan membuka kemungkinan corak ekonomi baru, alternatif untuk kembali membangun masa depan. Peningkatan kecakapan-pengetahuan kita dalam mengarungi ombak teknologi harus selalu bertujuan untuk membuat hidup kita lebih sejahtera, mandiri, bermanfaat, dan bermakna.

Kita harus memiliki dan menghidupi dunia baru yang akan kita bangun. Kita pertajam pandangan terhadap tumpukan jejaring eksploitasi ekonomi kreatif. Pandangan ini dimulai dengan melihat corak produksi ekonomi kreatif sebagai situs eksploitasi termutakhir di mana kita bisa mengembangkan potensi perubahan terbaru. Potensi yang mampu meretas kesejahteraan dan keadilan sosial di hari depan.

SINDIKASI selalu siap membangun aliansi serta berjuang bersama serikat pekerja, organisasi rakyat, sel dan simpul prodemokrasi lain dengan cita-cita perjuangan yang sama. Berangkat dari titik ini, kita bangun solidaritas antar pekerja media dan kreatif bersama dengan gerakan buruh-pekerja nasional dan internasional. Manifesto ini adalah dokumen hidup yang akan terus berkembang bersama gerak segenap kelas pekerja, termasuk kami, pekerja kognitif, media, dan kreatif. Kita harus mulai membangun masa depan baru, sebuah dunia tanpa ekslpoitasi manusia atas manusia.

28 Januari 2018Serikat Pekerja Media danIndustri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI)

— 2

Pekerja media dan industri kreatif Indonesia harus bersatu. Kita harus secepatnya mengorganisir diri, dan membangun kekuatan dan solidaritas di tengah akselerasi modal nasional-transnasional ke dalam industri media-kreatif di Indonesia.

Kami adalah pekerja kognitif. Kami bagian dari kelas pekerja. Kami bekerja dalam kondisi kerja spesifik yang mengerahkan segenap kapasitas mental untuk mencipta, meneliti, menata, dan membangun nilai-makna. Kantor dan pabrik kami ada di dalam kepala, di mana saja, kapan saja. Bagi kami, kerja adalah proses tanpa henti, dan waktu luang adalah fiksi.

Kami adalah produsen kebudayaan, buruh informasi, pekerja pengetahuan, penata estetika, juru penelitian, mandor digital, pemahat kode, dan prekariat di dalam lilitan kondisi kerja yang rentan. Kami terengah-engah terpaksa menerima dan mewajarkan eksploitasi tanpa kemungkinan akan hari esok yang lebih baik.

Di saat industri ekstraktif bertumpu pada sumber daya alam kerap digerus dan dieksploitasi, kekuatan industri kreatif dan ekonomi digital menjadikan sumber daya manusia sebagai penopang utamanya. Di dekade kedua abad 21 ini, kita berada di teritori eksploitasi termutakhir.

Industri ekstraktif masih mengeruk sumber daya alam di tengah kerusakan ekologi serta pemanasan global yang mencapai puncak. Di saat bersamaan, ekstraksi kognitif dan kekuatan kreatif menyasar pekerja di sektor media dan kreatif. Di tengah kondisi alam yang mengancam keberlangsungan hidup manusia, kami menjadi produsen nilai dalam jaringan ekonomi padat makna.

Walau eksploitasi kami terselubung dalam ilusi dan narasi kebebasan, posisi kami sama dengan para kerabat pekerja lain di industri berat, ekstraktif, dan manufaktur. Kami berada dalam tumpukan jejaring penghisapan yang meretas peraturan dan batas negara. Kerentanan kami adalah akibat dari tiadanya pemisahan antara waktu kerja dan waktu luang. Upah dari nilai dan makna yang kita produksi ditentukan dari hasil penerawangan spekulatif pemodal serta pemberi kerja.

Akselerasi ekspansi modal nasional dan transnasional puluhan triliun rupiah di industri kreatif justru memungkinkan pemodal dan pemberi kerja untuk memerlakukan kita sebagai situs penghisapan terbaru yang bisa dibuang kapan saja .

Ada banyak profesi yang membentang di sekujur sektor ini: jurnalis di industri media, pekerja dibidang pengembangan aplikasi, arsitektur, desain komunikasi visual, desain produk, industri tata busana, film, animasi, juga video. Mereka yang berada pada lini riset sosial, fotografi, kriya, kuliner, musik, penerbitan, periklanan, seni pertunjukan, seni rupa, televisi, radio, serta desain interior juga menjadi bagian dari pekerja yang berada dalam arus utama industri ini.

Mitra, konsultan, pemagang dan pekerja lepas adalah beberapa julukan kita di hadapan hukum, pemodal serta pemberi kerja. Solidnya hubungan kerja yang dijalani pekerja terdahulu kini memuai ke udara. Kami tidak memiliki bantalan hukum dan

perlindungan dari negara, yang kini direduksi menjadi badan administratif.

Negara memersilahkan “eksploitasi ramah” ini terjadi sembari kerap mendengungkan ekonomi kreatif sebagai sektor tumpuan ekonomi termutakhir, sekaligus alpa membangun jaring pengaman bagi pekerjanya. Ketidakadilan hubungan kerja dan nihilnya keadilan-kesejahteraan sosial merayap dari celah ini.

Para pekerja di sektor ini tak boleh terlena di kala negara menggaungkan ambisi besar menjadikanIndonesia sebagai kekuatan ekonomi terbesar di kawasan Asia Tenggara melalui ekonomi kreatif dan digital sebagai tulang punggung utama. Target pemerintah pun tak main-main: 130 miliar dollar Amerika Serikat pada tahun 2020.

Dalam euforia ini, kita harus mewaspadai kemunculan berbagai masalah ketenagakerjaan serta nihilnya perhatian atas kesejahteraan jutaan pekerja dalam pusaran industri ini. Masalah kerja berlebih, jam kerja yang menggilas batas wajar, ketiadaan standar dalam hubungan kerja yang lentur, ketidakpastian kontrak kerja, pemagangan tanpa upah, outsourcing tanpa jaminan hukum, pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak, serta ketiadaan perlindungan jaminan sosial, adalah beberapa masalah yang harus menjadi fokus perjuangan para pekerja media dan industri kreatif.

Menguapnya batas waktu kerja-waktu luang dan longgarnya peraturan ketenagakerjaan tidak membuat hidup kita lebih baik. Sebaliknya, kerentanan kondisi kerja menghasilkan berbagai ketidakstabilan dalam skala besar. Menumpuknya beban psikis, gangguan kesehatan mental, menipisnya waktu belajar, sempitnya ruang spiritual, serta menghilangnya waktu sosial bersama keluarga, sahabat, dan lingkungan masyarakat adalah resep ketidakberdayaan.

Mobilitas sosial di masa depan yang lebih baik kini terdengar seperti mitos belaka.

Inovasi teknologi yang tidak pernah berada di bawah kontrol pekerja, melaju cepat tanpa kesadaran sosial. Padahal, kita adalah subjek utama di balik akselerasi ini; baik sebagai arsitek, pengonsep, perancang, pembangun, pengisi, atau pengguna. Kondisi ini konsisten menggerus solidaritas pekerja, perlahan mengubah ionisasi individu menjadi kompetisi. Kita tak mampu memantik perubahan menuju penghidupan layak, dan merasa terputus dari tubuh sosial. Imajinasi kolektif kita akan masa depan yang lebih baik dikandangi oleh kerentanan kondisi kerja, dan fragmentasi antar-pekerja.

Dalam kondisi inilah SINDIKASI diinisiasi; melalui kepercayaan pada keberadaan ruang dan kemungkinan baru yang bisa kita bangun. Melalui serikat, kita mampu memperjuangkan hak dan kesejahteraan, sekaligus menguatkan posisi tawar pekerja di era digital yang kian fleksibel. Melalui serikat pula, kita bisa memperkuat kecakapan dan mutu karya demi penghidupan layak, sekaligus meningkatkan kualitas hidup orang banyak.

Potensi solidaritas pekerja kognitif perlu diuraidan didefragmentasi. Dengan segala kontribusi sekaligus keterbatasannya pada masyarakat, bentuk organisasi serikat masih menyimpan potensi sebagai rumah bersama untuk kembali merumuskan langkah, serta kepentingan yang perlu kita perjuangkan bersama. Jalan menuju penghidupan dan masa depan yang lebih baik dimulai saat kita menyatukan suara dalam satu melodi. Kita berserikat untuk melawan sekat.

Program mendesak pertama adalah memaksa negara untuk menjamin hak-hak normatif pekerja media dan kreatif, serta menutup celah eksploitasi dalam kerentanan ini. Tujuan ini dicapai melalui

solidaritas dan kekuatan kolektif pekerja kognitif yang berada dalam lingkup gerakan buruh nasional.

Berikutnya adalah memanfaatkan akselerasi teknologi untuk kepentingan pekerja dengan memasang kesadaran sosial di dalamnya demi memudahkan hidup orang banyak. Langkah ini akan membuka kemungkinan corak ekonomi baru, alternatif untuk kembali membangun masa depan. Peningkatan kecakapan-pengetahuan kita dalam mengarungi ombak teknologi harus selalu bertujuan untuk membuat hidup kita lebih sejahtera, mandiri, bermanfaat, dan bermakna.

Kita harus memiliki dan menghidupi dunia baru yang akan kita bangun. Kita pertajam pandangan terhadap tumpukan jejaring eksploitasi ekonomi kreatif. Pandangan ini dimulai dengan melihat corak produksi ekonomi kreatif sebagai situs eksploitasi termutakhir di mana kita bisa mengembangkan potensi perubahan terbaru. Potensi yang mampu meretas kesejahteraan dan keadilan sosial di hari depan.

SINDIKASI selalu siap membangun aliansi serta berjuang bersama serikat pekerja, organisasi rakyat, sel dan simpul prodemokrasi lain dengan cita-cita perjuangan yang sama. Berangkat dari titik ini, kita bangun solidaritas antar pekerja media dan kreatif bersama dengan gerakan buruh-pekerja nasional dan internasional. Manifesto ini adalah dokumen hidup yang akan terus berkembang bersama gerak segenap kelas pekerja, termasuk kami, pekerja kognitif, media, dan kreatif. Kita harus mulai membangun masa depan baru, sebuah dunia tanpa ekslpoitasi manusia atas manusia.

28 Januari 2018Serikat Pekerja Media danIndustri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI)

3 —

Pekerja media dan industri kreatif Indonesia harus bersatu. Kita harus secepatnya mengorganisir diri, dan membangun kekuatan dan solidaritas di tengah akselerasi modal nasional-transnasional ke dalam industri media-kreatif di Indonesia.

Kami adalah pekerja kognitif. Kami bagian dari kelas pekerja. Kami bekerja dalam kondisi kerja spesifik yang mengerahkan segenap kapasitas mental untuk mencipta, meneliti, menata, dan membangun nilai-makna. Kantor dan pabrik kami ada di dalam kepala, di mana saja, kapan saja. Bagi kami, kerja adalah proses tanpa henti, dan waktu luang adalah fiksi.

Kami adalah produsen kebudayaan, buruh informasi, pekerja pengetahuan, penata estetika, juru penelitian, mandor digital, pemahat kode, dan prekariat di dalam lilitan kondisi kerja yang rentan. Kami terengah-engah terpaksa menerima dan mewajarkan eksploitasi tanpa kemungkinan akan hari esok yang lebih baik.

Di saat industri ekstraktif bertumpu pada sumber daya alam kerap digerus dan dieksploitasi, kekuatan industri kreatif dan ekonomi digital menjadikan sumber daya manusia sebagai penopang utamanya. Di dekade kedua abad 21 ini, kita berada di teritori eksploitasi termutakhir.

Industri ekstraktif masih mengeruk sumber daya alam di tengah kerusakan ekologi serta pemanasan global yang mencapai puncak. Di saat bersamaan, ekstraksi kognitif dan kekuatan kreatif menyasar pekerja di sektor media dan kreatif. Di tengah kondisi alam yang mengancam keberlangsungan hidup manusia, kami menjadi produsen nilai dalam jaringan ekonomi padat makna.

Walau eksploitasi kami terselubung dalam ilusi dan narasi kebebasan, posisi kami sama dengan para kerabat pekerja lain di industri berat, ekstraktif, dan manufaktur. Kami berada dalam tumpukan jejaring penghisapan yang meretas peraturan dan batas negara. Kerentanan kami adalah akibat dari tiadanya pemisahan antara waktu kerja dan waktu luang. Upah dari nilai dan makna yang kita produksi ditentukan dari hasil penerawangan spekulatif pemodal serta pemberi kerja.

Akselerasi ekspansi modal nasional dan transnasional puluhan triliun rupiah di industri kreatif justru memungkinkan pemodal dan pemberi kerja untuk memerlakukan kita sebagai situs penghisapan terbaru yang bisa dibuang kapan saja .

Ada banyak profesi yang membentang di sekujur sektor ini: jurnalis di industri media, pekerja dibidang pengembangan aplikasi, arsitektur, desain komunikasi visual, desain produk, industri tata busana, film, animasi, juga video. Mereka yang berada pada lini riset sosial, fotografi, kriya, kuliner, musik, penerbitan, periklanan, seni pertunjukan, seni rupa, televisi, radio, serta desain interior juga menjadi bagian dari pekerja yang berada dalam arus utama industri ini.

Mitra, konsultan, pemagang dan pekerja lepas adalah beberapa julukan kita di hadapan hukum, pemodal serta pemberi kerja. Solidnya hubungan kerja yang dijalani pekerja terdahulu kini memuai ke udara. Kami tidak memiliki bantalan hukum dan

perlindungan dari negara, yang kini direduksi menjadi badan administratif.

Negara memersilahkan “eksploitasi ramah” ini terjadi sembari kerap mendengungkan ekonomi kreatif sebagai sektor tumpuan ekonomi termutakhir, sekaligus alpa membangun jaring pengaman bagi pekerjanya. Ketidakadilan hubungan kerja dan nihilnya keadilan-kesejahteraan sosial merayap dari celah ini.

Para pekerja di sektor ini tak boleh terlena di kala negara menggaungkan ambisi besar menjadikanIndonesia sebagai kekuatan ekonomi terbesar di kawasan Asia Tenggara melalui ekonomi kreatif dan digital sebagai tulang punggung utama. Target pemerintah pun tak main-main: 130 miliar dollar Amerika Serikat pada tahun 2020.

Dalam euforia ini, kita harus mewaspadai kemunculan berbagai masalah ketenagakerjaan serta nihilnya perhatian atas kesejahteraan jutaan pekerja dalam pusaran industri ini. Masalah kerja berlebih, jam kerja yang menggilas batas wajar, ketiadaan standar dalam hubungan kerja yang lentur, ketidakpastian kontrak kerja, pemagangan tanpa upah, outsourcing tanpa jaminan hukum, pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak, serta ketiadaan perlindungan jaminan sosial, adalah beberapa masalah yang harus menjadi fokus perjuangan para pekerja media dan industri kreatif.

Menguapnya batas waktu kerja-waktu luang dan longgarnya peraturan ketenagakerjaan tidak membuat hidup kita lebih baik. Sebaliknya, kerentanan kondisi kerja menghasilkan berbagai ketidakstabilan dalam skala besar. Menumpuknya beban psikis, gangguan kesehatan mental, menipisnya waktu belajar, sempitnya ruang spiritual, serta menghilangnya waktu sosial bersama keluarga, sahabat, dan lingkungan masyarakat adalah resep ketidakberdayaan.

Mobilitas sosial di masa depan yang lebih baik kini terdengar seperti mitos belaka.

Inovasi teknologi yang tidak pernah berada di bawah kontrol pekerja, melaju cepat tanpa kesadaran sosial. Padahal, kita adalah subjek utama di balik akselerasi ini; baik sebagai arsitek, pengonsep, perancang, pembangun, pengisi, atau pengguna. Kondisi ini konsisten menggerus solidaritas pekerja, perlahan mengubah ionisasi individu menjadi kompetisi. Kita tak mampu memantik perubahan menuju penghidupan layak, dan merasa terputus dari tubuh sosial. Imajinasi kolektif kita akan masa depan yang lebih baik dikandangi oleh kerentanan kondisi kerja, dan fragmentasi antar-pekerja.

Dalam kondisi inilah SINDIKASI diinisiasi; melalui kepercayaan pada keberadaan ruang dan kemungkinan baru yang bisa kita bangun. Melalui serikat, kita mampu memperjuangkan hak dan kesejahteraan, sekaligus menguatkan posisi tawar pekerja di era digital yang kian fleksibel. Melalui serikat pula, kita bisa memperkuat kecakapan dan mutu karya demi penghidupan layak, sekaligus meningkatkan kualitas hidup orang banyak.

Potensi solidaritas pekerja kognitif perlu diuraidan didefragmentasi. Dengan segala kontribusi sekaligus keterbatasannya pada masyarakat, bentuk organisasi serikat masih menyimpan potensi sebagai rumah bersama untuk kembali merumuskan langkah, serta kepentingan yang perlu kita perjuangkan bersama. Jalan menuju penghidupan dan masa depan yang lebih baik dimulai saat kita menyatukan suara dalam satu melodi. Kita berserikat untuk melawan sekat.

Program mendesak pertama adalah memaksa negara untuk menjamin hak-hak normatif pekerja media dan kreatif, serta menutup celah eksploitasi dalam kerentanan ini. Tujuan ini dicapai melalui

solidaritas dan kekuatan kolektif pekerja kognitif yang berada dalam lingkup gerakan buruh nasional.

Berikutnya adalah memanfaatkan akselerasi teknologi untuk kepentingan pekerja dengan memasang kesadaran sosial di dalamnya demi memudahkan hidup orang banyak. Langkah ini akan membuka kemungkinan corak ekonomi baru, alternatif untuk kembali membangun masa depan. Peningkatan kecakapan-pengetahuan kita dalam mengarungi ombak teknologi harus selalu bertujuan untuk membuat hidup kita lebih sejahtera, mandiri, bermanfaat, dan bermakna.

Kita harus memiliki dan menghidupi dunia baru yang akan kita bangun. Kita pertajam pandangan terhadap tumpukan jejaring eksploitasi ekonomi kreatif. Pandangan ini dimulai dengan melihat corak produksi ekonomi kreatif sebagai situs eksploitasi termutakhir di mana kita bisa mengembangkan potensi perubahan terbaru. Potensi yang mampu meretas kesejahteraan dan keadilan sosial di hari depan.

SINDIKASI selalu siap membangun aliansi serta berjuang bersama serikat pekerja, organisasi rakyat, sel dan simpul prodemokrasi lain dengan cita-cita perjuangan yang sama. Berangkat dari titik ini, kita bangun solidaritas antar pekerja media dan kreatif bersama dengan gerakan buruh-pekerja nasional dan internasional. Manifesto ini adalah dokumen hidup yang akan terus berkembang bersama gerak segenap kelas pekerja, termasuk kami, pekerja kognitif, media, dan kreatif. Kita harus mulai membangun masa depan baru, sebuah dunia tanpa ekslpoitasi manusia atas manusia.

28 Januari 2018Serikat Pekerja Media danIndustri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI)

Pekerja di sektor media dan kreatif membutuhkan wadah kolektif untuk bisa melindungi mereka dari hubungan kerja eksploitatif sekaligus untuk menjadi suara bersama dalam menciptakan ekosistem kerja yang manusiawi dan berkeadilan. Atas dasar itulah, para pekerja membentuk Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi pada Kongres Pembentukan SINDIKASI, 27-28 Agustus 2017.

SINDIKASI juga telah tercatat sebagai serikat buruh/pekerja di luar perusahaan pada Dinas Tenaga Kerja Jakarta Utara dengan nomor pencatatan 2279/III/SP/XII/2017.

Para pekerja yang terhimpun dalam SINDIKASI memegang kuat nilai-nilai keorganisasian yang disepakati bersama yaitu Prinsip Lima Progresif:1. Solidaritas kelas pekerja2. Komitmen sosial3. Demokratis4. Kritis dan ilmiah5. Kolektivitas

Berdasarkan Anggaran Dasar dan Rumah Tangga, SINDIKASI menerima keanggotaan bagi pekerja yang berkegiatan pada ekosistem:1. Aplikasi digital dan teknologi

2. Desain komunikasi visual3. Desain produk4. Desain interior5. Arsitektur6. Film, video, dan audio visual7. Animasi8. Fotografi9. Seni vokal dan musik10. Literasi11. Periklanan12. Seni rupa13. Seni pertunjukan14. Media dan pers15. Penelitian16. Pendidikan media dan industri kreatif

Selain itu, SINDIKASI juga membuka kesempatan bagi mahasiswa dan pelajar untuk bisa bergabung menjadi Anggota Muda SINDIKASI dengan harapan dapat memiliki pemahaman yang baik mengenai isu perburuhan sebelum nantinya mereka masuk ke dalam industri media maupun kreatif.

↕*

http://bit.ly/formSINDIKASI

@serikatsindikasi

Serikat SINDIKASI

@SINDIKASI_

[email protected]