Mutiara Ismet_Logam Transisi Dan Senyawa Koordinasi
-
Upload
taa-mutiara-ismet -
Category
Documents
-
view
74 -
download
12
Embed Size (px)
description
Transcript of Mutiara Ismet_Logam Transisi Dan Senyawa Koordinasi

Resume
Logam Transisi dan Senyawa KoordinasiDiajukan untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Kimia Anorganik
Oleh
Mutiara Ismet
BP 1520413001
Dosen Pengajar
Prof. Dr. Syukri Arief, M.Eng.
PROGRAM PASCA SARJANA KIMIA (STRATA DUA)
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2015

A. Unsur Transisi
Unsur-unsur transisi adalah unsur logam yang memiliki kulit elektron d atau
f yang tidak penuh dalam keadaan netral atau kation. Unsur transisi terdiri atas 56
dari 103 unsur. Logam-logam transisi diklasifikasikan dalam blok d, yang terdiri
dari unsur-unsur 3d dari Sc sampai Zn, 4d dari Y ke Ag, dan 5d dari Hf sampai
Au, dan blok f, yang terdiri dari unsur lantanoid dari La sampai Lu dan aktinoid
dari Ac sampai Lr. Kimia unsur blok d dan blok f sangat berbeda.
Sifat logam transisi blok d sangat berbeda antara logam deret pertama (3d)
dan deret kedua (4d), walaupun perbedaan deret kedua dan ketiga (5d) tidak
terlalu besar. Jari-jari logam dari skandium sampai tembaga (166 sampai 128 pm)
lebih kecil daripada jari-jari itrium, Y, sampai perak, Ag, (178 sampai 144 pm)
atau jari-jari, lantanum, sampai emas (188 sampau 146 pm). Lebih lanjut,
senyawa logam transisi deret pertama jarang yang berkoordinasi 7, sementara
logam transisi deret kedua dan ketiga dapat berkoordiasi 7-9. Cerium, Ce,
(dengan radius 182 pm) ~ lutetium, Lu, (dengan radius 175 pm) terletak antara La
dan Hf dan karena kontraksi lantanoid, jari-jari logam transisi deret kedua dan
ketiga menunjukkan sedikit variasi.
Logam transisi deret kedua dan ketiga berbilangan oksida lebih tinggi lebih
stabil dari pada keadaan oksidasi tinggi logam transisi deret pertama. Contohnya
meliputi tungsten heksakhlorida, WCl6, osmium tetroksida, OsO4, dan platinum
heksafluorida, PtF6. Senyawa logam transisi deret pertama dalam bilangan
oksidasi tinggi adalah oksidator kuat dan oleh karena itu mudah direduksi. Di
pihak lain, sementara senyawa M(II) dan M(III) umum dijumpai pada logam
transisi deret pertama, bilangan oksidasi ini jarang dijumpai pada unsur-unsur di
deret kedua dan ketiga. Misalnya, hanya dikenal sedikit senyawa Mo(III) atau
W(III) dibandingkan dengan senyawa Cr (III).
Pada tulisan ini, difokuskan pada unsur transisi periode 4 atau logam deret
pertama. Unsur-unsur tersebut terdiri dari unsur skandium (Sc), titanium (Ti),
vanadium (V), kromium (Cr), mangan (Mn), besi (Fe), kobalt (Co), nikel (Ni),
tembaga (Cu), dan sengan (Zn). Sifat-sifat umum dari unsur periode 4:
Semua unsur merupakan logam
Memiliki beberapa bilangan oksidasi
Penghantar listrik dan panas yang baik
Banyak dipergunakan sebagai katalis.

Bersifat reduktor
Memiliki titik leleh dan titik didih relatif tinggi, kecuali Zn
Bersifat paramagnetik, karena elektron-elektron tidak berpasangan
Dapat mengeluarkan elektron-elektronnya dari kulit yang lebih dalam
Dapat membentuk senyawa kompleks
Mempunyai ion/senyawa berwarna, kecuali dalam senyawa dengan biloks
Zn=+2, Sc= +3, Cu= +1
Ditemukan di alam dalam bentuk mineral bijih (dalam senyawa sulfida,
oksida, dan karbonat)
Memiliki penampilan identik
Tabel 1.Kelektronegatifan unsur transis deret pertama
Tabel 2. Sifat fisika logam unsur transisi

Gambar 1. Bilangan oksidasi unsur transisi periode 4 (Bilangan oksidasi yang paling
stabel berwarna merah)
Gambar 2. Energi ionisasi unsur transisi periode 4
B. Senyawa Koordinasi
Senyawa kompleks merupakan senyawa yang tersusun dari suatu ion logam
pusat dengan satu atau lebih ligan yang menyumbangkan pasangan elektron
bebasnya kepada ion logam pusat. Donasi pasangan elektron ligan kepada ion
logam pusat menghasilkan
ikatan kovalen koordinasi sehingga senyawa kompleks juga disebut senyawa
koordinasi. Jadi semua senyawa kompleks atau senyawa koordinasi adalah

senyawa yang terjadi karena adanya ikatan kovalen koordinasi antara logam
transisi dengan satu atau lebih ligan. Senyawa kompleks sangat berhubungan
dengan asam dan basa lewis dimana asam lewis adalah senyawa yang dapat
bertindak sebagai penerima pasangan bebas sedangkan basa lewis adalah
senyawa yang bertindak sebagai penyumbang pasangan elektron.
Senyawa kompleks dapat diuraikan menjadi ion kompleks. Ion kompleks
adalah kompleks yang bermuatan positif atau bermuatan negative yang terdiri
atas sebuah logam atom pusat dan jumlah ligan yang mengelilingi logam atom
pusat. Logam atom pusat memiliki bilangan oksida nol, positif sedangkan ligan
bisa bermuatan netral atau anion pada umumnya. Suatu ligan setidaknya memiliki
satu pasang elektron valensi yang tak terikat. Ligan bertindak sebagi basa lewis.
Sedangkan logam (atom pusat) sebagai asam lewis.
Gambar 3. Co merupakan logam atom pusat; NH3 dan Cl merupakan ligan
Beberapa contoh senyawa kompleks yaitu :
- [Co3+,(NH3)6]3+ - [Ni0(CN)4]4-
- [Fe2+,(CN)6]4- - [Co+,(CO)4]3
1. Ligan
Ligan adalah suatu ion atau molekul yang memiliki sepasang elektron
atau lebih yang dapat disumbangkan. Ligan merupakan basa lewis yang
dapat terkoordinasi pada ion logam atau sebagai asam lewis membentuk
senyawa kompleks. Ligan dapat berupa anion atau molekul netral ( Cotton
dan Wilkinson, 1984 ). Jika suatu logam transisi berikatan secara kovalen
koordinasi dengan satu atau lebih ligan maka akan membentuk suatu
senyawa kompleks, dimana logam transisi tersebut berfungsi sebagai atom

pusat. Logam transisi memiliki orbital d yang belum terisi penuh yang
bersifat asam lewis yang dapat menerima pasangan elektron bebas yang
bersifat basa lewis. Ligan pada senyawa kompleks dikelompokkan
berdasarkan jumlah elektron yang dapat disumbangkan pada atom logam.
a. Ligan Monodentat
Ligan yang terkoordinasi ke atom logam melalui satu atom saja
disebut ligan monodentat, misalnya F-, Cl-, H2O dan CO.
Kebanyakan ligan adalah anion atau molekul netral yang merupakan
donor elektron. Beberapa ligan monodentat yang umum adalah F-,
Cl-, Br-, CN-, NH3, H2O, CH3OH, dan OH-.
b. Ligan Bidentat
Jika ligan tersebut terkoordinasi pada logam melalui dua atom
disebut ligan bidentat. Ligan ini terkenal diantara ligan polidentat.
Ligan bidentat yang netral termasuk diantaranya anion diamin,
difosfin, dieter.
Gambar 4. Ligan bidentat
c. Ligan Polidentat
Ligan yang mengandung dua atau lebih atom, yang masing
masing serempak membentuk ikatan dua donor elektron kepada
ion logam yang sama. Ligan ini sering disebut ligan kelat karena
ligan ini tampak nya mencengkeram kation di antara dua atau lebih
atom donor. Contohnya adalah bis-difenilfosfina-etana(I).

Gambar 5. Ligan polidentat
Tabel 3. Beberapa contoh ligan

2. Tata Nama Senyawa Koordinasi
Tata cara penamaan senyawa kompleks antara lain dipublikasikan oleh
IUPAC dalam Nomenclature of Inorganic Chemistry. Beberapa aturan dasar
dalam penamaan senyawa kompleks dijelaskan berikut ini.
a. Penulisan nama senyawa kompleks
Dalam menuliskan nama dari suatu senyawa kompleks,
beberapa aturan dasar adalah sebagai berikut :
1. Nama ion positif dalam senyawa kompleks dituliskan di awal,
diikuti nama ion negatif
2. Untuk menuliskan nama ion kompleks, nama ligan dituliskan
pertama dan diurutkan secara alfabetis (tanpa memandang jenis
muatannya), diikuti oleh nama logam
Contoh :
[CoSO4(NH3)4]NO3
tetraamminsulfatkobalt (III) nitrat
K4[Fe(CN)6]
kalium heksasianoferat (II)
3. Jika dalam senyawa kompleks ada sejumlah ligan yang sama,
biasanya digunakan awalan di, tri, tetra, penta, heksa, dan
seterusnya untuk menunjukkan jumlah ligan dari jenis itu. Suatu
pengecualian terjadi jika nama dari suatu ligan mengandung
suatu angka, misalnya dipiridil atau etilendiamin. Untuk
menghindari kerancuan dalam kasus semacam itu, digunakan
awalan bis, tris, dan tetrakis sebgai ganti di, tri, dan tetra, dan
nama dari ligan ditempatkan dalam tanda kurung.
Contoh :
[Co(en)3]2(SO4)3
Tris(etilendiammin)kobalt(III) sulfat
[Co(en)2(ONO)Cl]Cl
Bis(etilendiammin)nitritokobalt(III) klorida
Contoh lain :
Senyawa [Cu(py)2Cl2], (py adalah ligan piridin), tidak
dinamakan sebagai diklorodipiridintembaga (II). Kompleks

tersebut dinamakan sebagai kompleks
diklorobis(piridin)tembaga(II). Penamaan tersebut dikarenakan
kompleks mengandung 2 ligan piridin, bukan 1 ligan dipiridin.
(a) (b)
Gambar 6. a.ligan piridin b. ligan dipiridin
Aturan Penulisan Nama Ligan
(a) Nama dari ligan yang bermuatan negatif beri akhiran –o, contohnya:
(b) Ligan
yang
tidak
bermuatan atau netral tidak diberi akhiran khusus. Contohnya
meliputi NH3 (amina), H2O (akua), CO (karbonil) dan NO (nitrosil).
Ligan N2 dan O2 disebut dinitrogen dan dioksigen. Ligan organik
biasanya disebut dengan nama lazimnya, contohnya fenil, metil,
etilendiamin, piridin, trifenilfosfin
(c) Walaupun jarang ada, ligan yang bermuatan positif diberi akhiran –
ium, misalnya NH2NH3+ (hidrazinium)
Beberapa ligan yang cukup rumit strukturnya atau memiliki nama yang
cukup panjang dapat dituliskan dengan menggunakan singkatan tertentu.
Beberapa nama ligan yang umumnya disingkat dapat dilihat dalam tabel
berikut.
F- fluoro
Cl- kloro
Br- bromo
I- iodo
H- hidrida
OH- hidrokso
O2- okso
O2-2 perokso
HS- merkapto
S2- thio
CN- siano
NO2- nitro

Nama ligan Simbol/singkatan
Etilendiamin
Piridin
Propilendiammin
Dietilendiammin
Trietilendiammin
Bipiridin
Etilendiamintetraasetat
Dimetilglioksimat
Fenantrolin
en
py
pn
dien
trien
bipy
EDTA
DMG
Phen
Aturan Penulisan Nama Logam
a. Nama logam pusat dalam ion kompleks dituliskan paling akhir
b. Logam pada kompleks negatif (anion) diberi akhiran –at
Contoh : Na[Co(CO)4] = natrium tetrakarbonilkobaltat (I)
c. Logam pada kompleks netral atau kompleks positif (kation) tidak
diberi akhiran khusus
Contoh :
[Co(NO2)3(NH3)3] = Triammindinitrokobalt(III)
[CoSO4(NH3)4]NO3 = Tetraamminsulfatokobalt(III)
d. Muatan dari logam pusat ditunjukkan dengan angka Romawi yang
langsung dituliskan di belakang nama logam tersebut
b. Penulisan rumus molekul senyawa kompleks
Dalam menuliskan rumus molekul senyawa kompleks, ada
beberapa aturan yang harus iikuti, yaitu sebagai berikut :
1. Ion kompleks dituliskan dalam tanda kurung persegi “ […..]”
2. Logam dituliskan pertama, diikuti ligan
3. Ligan dituliskan setelah logam dengan urutan :
ligan negatif – ligan netral – ligan positif
4. Urutan penulisan ligan dengan muatan yang sama disesuaikan
dengan urutan abjad

Contoh :
triammintrinitrokobalt (III) = [Co(NO2)3(NH3)3]
kalium nitrosilpentasianoferat(II) = K[Fe(CN)5NO]
c. Ligan ambidentat
Beberapa jenis ligan memiliki lebih dari satu pasang elektron
bebas yang bisa digunakan dalam pembentukan ikatan, sehingga
dapat terikat pada logam melalui atom yang berbeda. Ligan semacam
ini disebut sebagai ligan ambidentat.
Contoh :
NO2- : nitro ONO- : nitrito
Ligan nitro berikatan dengan logam melalui pasangan elektron
bebas pada atom N. Adapun ligan nitrito berikatan dengan logam
melalui psangan elektron bebas yang dimiliki oleh atom O
SCN- : tiosianato NCS- : isotiosiano
Tiosianat terikat pada logam melalui atom S. Sedangkan
isotiosianta membentuk ikatan dengan logam melalui pasangan
elektron bebas yang dimiliki oleh atom N.
Atom pada ligan yang berikatan dengan logam dapat pula
ditunjukkan dengan menuliskannya dalam huruf kapital
Contoh :
[Co(NH3)5(NO2)]Cl2 (kuning-kecoklatan)
Pentaamminnitrokobalt(III) klorida
pentaamminnitrito-N-kobalt(III) klorida
[Co(NH3)5(ONO)]Cl2 (merah)
Pentaamminnitritokobalt(III) klorida
Pentaamminnitrito-O-kobalt(III) klorida

d. Ligan jembatan
Pada sejumlah kompleks, terdapat lebih dari satu atom logam
sebagai atom pusat dari kompleks tersebut. Kedua atom logam
dihubungkan oleh ligan yang berfungsi sebagai jembatan dengan
menghubungkan 2 atom logam tersebut. Ligan semacam ini disebut
sebagai ligan jembatan
Ligan yang berfungsi sebagai ligan jembatan pada penulisannya
diberi awalan μ. Jika ada dua atau lebih ligan jembatan, dinyatakan
sebagai di-μ atau μ-di,tri-μ atau μ-tri, dan seterusnya
Urutan ligan jembatan dalam penulisan nama kompleks
disesuaikan secara alfabetis dengan ligan-ligan lainnya dalam
kompleks tersebut
Contoh :
Oktaammine μ-dihidroksodikobalt(III) sulfat
3. Bilang Oksidasi dan Struktur Senyawa Koordinasi
Senyawa molekular yang mengandung logam transisi blok d dan ligan
disebut senyawa koordinasi. Bilangan koordinasi ditentukan oleh ukuran
atom logam pusat, jumlah elektron d, efek sterik ligan. Dikenal kompleks
dengan bilangan koordinasi antara 2 dan 9. Khususnya kompleks bilangan
koordinasi 4 sampai 6 adalah yang paling stabil secara elektronik dan secara
geometri dan kompleks dengan bilangan koordinasi 4-6 yang paling banyak
dijumpai (Gambar 7). Kompleks dengan berbagai bilangan koordinasi
dideskripsikan di bawah ini.
Bilangan Koordinasi Struktur
2 Linear
4 Tetrahedral atau square planar

6 Oktahedral
Tabel 4. Bilangan koordinasi dan struktur
Gambar 7. Bilangan koordinasi 4-6
Isomer adalah senyawa yang memiliki rumus kimia yang sama, akan
tetapi memiliki penataan struktur yang berbeda. Tidak hanya dalam senyawa-
senyawa organik, senyawa kompleks juga mengalami isomerisasi. Banyak
senyawa koordinasi dengan struktur/rumus kimia yang cukup rumit. Selain
itu bervariasinya jenis ikatan dan struktur geometris yang mungkin terbentuk
memungkinkan banyaknya jenis isomer yang berbeda dalam senyawaan
kompleks. Alfred Werner telah berusaha mengklasifikasikan jenis-jenis
isomeri yang terjadi dalam senyawa kompleks. Werner menggolongkan

isomeri senyawa kompleks menjadi beberapa macam, yaitu isomer
polimerisasi, ionisasi; ikatan terhidrat; koordinasi, posisi koordinasi, isomer
geometris dan isomer optis. Sampai saat ini, penggolongan isomer yang telah
dilakukan oleh Werner tersebut masih dipakai secara luas di bidang kimia.
Jenis isomeri yang paling penting dan paling sering teramati dalam
senyawa kompleks adalah isomer geometris dan isomer optis.
a. Isomer geometris
Isomer geometris, yang kadang-kadang juga disebut sebagai isomer cis-
trans, disebabkan oleh perbedaan letak atom atau gugus atom dalam ruang.
Pada senyawa kompleks, isomeri semacam ini terjadi pada kompleks dengan
struktur dua substituen atau dua macam ligan. Substituen dapat berada pada
posisi yang bersebelahan atau berseberangan satu sama lain. Jika gugus
substituen letaknya bersebelahan, maka isomer tersebut merupakan isomer
cis. Sebaliknya jika substituen berseberangan satu sama lain, isomer yang
terjadi merupakan isomer trans.
Contoh isomeri geometris pada segiempat planar seperti yang terjadi
pada kompleks [Pt(NH3)2Cl2]. Isomer cis dan trans dari kompleks ini masing-
masing ditunjukkan dalam Gambar (1) dan (2)
Isomer cis dari kompleks [Pt(NH3)2Cl2] diperoleh dengan menambahkan
NH4OH kedalam suatu larutan ion [PtCl4]2-. Sedangkan isomer trans dari
kompleks yang sama dapat disintesis dengan mereaksikan [Pt(NH3)4]2+ dan
HCl,
Gambar 8. Isomer cis kompleks [Pt(NH3)2Cl2]
Gambar 9. Isomer trans kompleks [Pt(NH3)2Cl2]

Gambar 12. Isomer cis kompleks diglisinaplation(II)
Gambar 13. Isomer trans kompleks diglisinaplation(II)
Selain pada kompleks segi empat planar, isomer geometris juga dapat
terjadi pada suatu kompleks oktahedral disubstitusi, seperti pada kompleks
[Cr(NH3)4Cl2]+ . Isomer cis dari kompleks ini berwarna violet, sehingga
dapat dibedakan dari isomer trans-nya yang berwarna hijau.
Isomer cis dan trans dari kompleks ini ditunjukkan dalam Gambar (3)
dan (4).
Suatu kompleks dengan ligan bidentat yang asimetris (misalnya
glisinato) juga dapat menghasilkan isomer geometris.
Contoh isomer semacam ini ditunjukkan pada gambar 5 dan 6, yang
masing-masing menunjukkan isomer cis dan trans dari kompleks
diglisinaplation(II)
Gambar 10. Isomer cis kompleks [Cr(NH3)4Cl2]+
Gambar 11. Isomer trans kompleks [Cr(NH3)4Cl2]+

b. Isomer optis
Isomer optis adalah isomer yang dicirikan dari perbedaan arah
pemutaran bidang polarisasi cahaya. Senyawa yang dapat memutar bidang
polarisasi cahaya dikatakan sebagai senyawa optis aktif. Isomer yang dapat
memutar bidang polarisasi cahaya ke arah kanan (searah jarum jam) disebut
dextro (d atau +). Sebaliknya isomer dari senyawa yang sama dan memutar
bidang polarisasi ke arah kiri (berlawanan arah jarum jam) disebut levo (l
atau -).
Pada senyawa-senyawa organik, isomeri optis terjadi pada senyawa yang
memiliki atom C asimetris. Meskipun demikian, tidak berarti senyawa-
senyawa kompleks yang merupakan senyawaan anorganik tidak memiliki
isomer optis. Hasil pengamatan terhadap berbagai senyawa kompleks
menunjukkan bahwa pada senyawa kompleks juga dapat terjadi isomeri
optis. Suatu molekul senyawa komplek yang asimetris (tidak memiliki
bidang simetri) sehingga tidak dapat diimpitkan dengan bayangan
cerminnya, akan bersifat optis aktif dan memiliki isomer optis.
Pada senyawa kompleks, isomer optik umum dijumpai dalam kompleks
oktahedral yang melibatkan gugus bidentat dan memiliki isomer cis dan
trans. Isomer cis dari kompleks semacam ini tidak memiliki bidang simetri,
sehingga akan memiliki isomer optis. Misalnya pada kompleks [Co(en)2Cl2]+,
yang memiliki bentuk isomer geometris cis dan trans. Bentuk isomer cis
sendiri dari kompleks tersebut aktif secara optis, dan memiliki isomer d dan
l. Dengan demikian, jumlah total dari seluruh isomer yang dimiliki oleh
kompleks [Co(en)2Cl2]+ adalah tiga isomer. Salah satu isomer yang tidak
aktif secara optis (dalam hal ini isomer trans dari kompleks [Co(en)2Cl2]+
disebut sebagai bentuk meso dari kompleks tersebut. Isomer-isomer dari
kompleks ini ditunjukkan pada Gambar berikut.

Gambar 12. Isomer cis –d kompleks [Co(en)2Cl2]+
Gambar 13. Isomer cis –l kompleks [Co(en)2Cl2]+
c. Isomer Ionisasi
Isomerisasi jenis ini menunjukkan isomer-isomer dari suatu kompleks
yang jika dilarutkan dalam air akan menghasilkan ion yang berbeda.
Misalnya kompleks [Co(NH3)5Br]SO4 yang berwarna merah-violet. Suatu
larutan berair dari kompleks ini akan menghasilkan endapan putih BaSO4
dengan larutan BaCl2, yang memastikan adanya ion SO42- bebas. Sebaliknya
[Co(NH3)5SO4]Br berwarna merah. Larutan dari kompleks ini tidak
memberikan hasil positif terhadap uji sulfat dengan BaCl2. Larutan akan
memberikan endapan AgBr berwarna krem dengan AgNO3, yang
memastikan adanya ion Br- bebas. Berarti pada kompleks [Co(NH3)5Br]SO4
dilepaskan ion SO42-, sedangkan kompleks [Co(NH3)5SO4]Br melepaskan Br-.
Karena memiliki rumus komposisi kimia yang sama tetapi jika dilarutkan
dalam air akan menghasilkan ion yang berbeda, kedua kompleks tersebut
dikatakan merupakan isomer ionisasi.
Contoh lain dari isomer ionisasi adalah [Pt(NH3)4Cl2]Br2 dan
[Pt(NH3)4Br2]Cl2 dan [Co(en)2NO2.Cl]SCN, [Co(en)2NO2.SCN]Cl; dan
[Co(en)2Cl.SCN]NO2.
Salah satu bentuk isomer lain, yaitu isomer hidrasi, seringkali
digolongkan sebagai bagian dari isomer ionisasi. Pada isomer hidrasi, salah
satu atau lebih ligan digantikan oleh air kristal. Adanya isomer hidrasi dapat
dicirikan antara lain dari perubahan warna, pengukuran konduktivitas,
ataupun pengukuran kuantitas ion yang terendapkan. Contoh dari isomer
hidrasi misalnya :
[Cr(H2O)6]Cl3 (ungu, tiga mol ion Cl terendapkan)
[Cr(H2O)5Cl]Cl2.H2O (hijau, dua mol ion Cl terendapkan)
[Cr(H2O)4Cl2]Cl.2H2O (hijau tua, satu mol ion Cl terendapkan)
en en

d. Isomer Koordinasi
Suatu senyawa kompleks dapat memiliki isomer koordinasi jika senyawa
kompleks tersebut terbentuk dari ion positif dan negatif yang keduanya
merupakan ion kompleks. Dengan kata lain senyawa kompleks yang
terbentuk dari kation dan anion yang merupakan ion kompleks dapat
membentuk isomer koordinasi. Isomerisasi dapat terjadi melalui pertukaran
sebagian atau seluruh ligannya.
Beberapa contoh senyawa kompleks yang memiliki isomer koordinasi
adalah sebagai berikut :
- [Co(NH3)6]3+[Cr(CN)6]3-, membentuk isomer [Cr(NH3)6]3+
[Co(CN)6]3-
- [Co(NH3)6]3+[Cr(C2O4)3]3-,membentuk isomer [Co(C2O4)3]3+
[Cr(NH3)6]3-
- [Pt(NH3)4]2+[PdCI4]2- , membentuk isomer [Pt(NH3)3I]+
[Pd(NH3)CI3]- ; dan isomer [Pd(NH3)3I]+[Pt(NH3)CI3]- ; dan isomer
[Pd(NH3)4]2+[PtCI4]2-
Jika diperhatikan, contoh-contoh tadi menunjukkan bahwa pembentukan
isomer koordinasi mengikuti suatu pola yang dapat dituliskan sebagai berikut
:
[M(A)x]+a[M’(B)y]-b membentuk isomer [M(B)y]+b[M’(A)x]-a
e. Isomer Ikatan
Sejumlah senyawa kompleks memiliki ligan yang merupakan ligan
ambidentat. Karena ligan semacam ini memiliki lebih dari satu atom yang
dapat menyumbangkan pasangan elektron bebas dalam pembentukan ikatan,
maka logam pusat dapat terikat dengan atom yang berbeda pada ligan
tersebut. Dengan demikian terbentuklah isomer ikatan.
Beberapa contoh ligan ambidentat yang dapat membentuk isomer ikatan
adalah sebagai berikut :
Ligan Contoh isomer dalam senyawa
NO2 (nitro) dan nitrito (ONO) [(NH3)5Co-NO2]Cl2 dan [(NH3)5Co-

ONO]Cl2
[(NH3)5Ir-NO2]Cl2 dan [(NH3)5Ir-ONO]Cl2
-SCN (tiosianato) dan –NCS
(isotiosianato)
[{(C6H5)P}2Pd(-SCN)2] dan
[{(C6H5)3P}2Pd(-NCS)2}]
[(OC)5Mn-SCN] dan [(OC)5Mn-NCS]
4. Ikatan pada Senyawa Koordinasi
Teori mengenai ikatan dalam senyawa kompleks mulai berkembang sekitar
tahun 1930. Sampai dengan saat ini ada 3 teori yang cukup menonjol :
Teori Ikatan Valensi (TIV)
Teori ini menyatakan bahwa dalam senyawa terbentuk ikatan kovalen
koordinasi antara ligan dengan atom, dimana pasangan elektron bebas
disumbangkan oleh ligan dan logam menyediakan orbital kosong untuk ditempati
oleh PEB yang disumbangkan oleh ligan
Teori Medan Kristal
Menurut teori ini, ikatan antara logam dan ligan dalam senyawa kompleks
murni merupakan interaksi elektrostatik.
Teori Orbital Molekul
Dalam teori orbital molekul, interaksi antara ligan dengan logam pusat dapat
berupa interaksi ionik maupun pembentukan ikatan kovalen, dengan
menggunakan pendekatan mekanika gelombang
a. Teori Ikatan Valensi (Valence Bond Theory)
Teori ini dikemukakan oleh Linus Pauling sekitar tahun 1931. Teori ini
menyatakan bahwa ikatan antara ligan dengan logam merupakan ikatan kovalen
koordinasi, dengan pasangan elektron bebas yang disumbangkan oleh ligan.
Logam pusat menyediakan orbital-orbital kosong yang telah mengalami
hibridisasi untuk ditempati oleh PEB dari ligan. Jenis hibridisasi orbital
menentukan bentuk geometris senyawa kompleks yang terbentuk. Pembentukan
ikatan dalam senyawa kompleks juga dapat ditinjau sebagai reaksi Asam-Basa
Lewis, dimana ligan merupakan Basa Lewis yang memberikan PEB.

Hibridisasi Geometris Contoh
sp2 Trigonal planar [HgI3]-
sp3 Tetrahedral [Zn(NH3)4]2+
d2sp3 Oktahedral [Fe(CN)6]3-
dsp2 Bujur sangkar/ segi empat planar [Ni(CN)4]2-
dsp3 Bipiramida trigonal [Fe(CO)5]2+
sp3d2 Oktahedral [FeF6]3-
Pembentukan ikatan melibatkan beberapa tahapan, meliputi promosi
elektron; pembentukan orbital hibrida; dan pembentukan ikatan antara logam
dengan ligan melalui overlap antara orbital hibrida logam yang kosong dengan
orbital ligan yang berisi pasangan elektron bebas.
Pada hibridisasi yang melibatkan orbital d, ada dua macam kemungkinan
hibridisasi. Jika dalam hibridisasi orbital d yang dilibatkan adalah orbital d yang
berada di luar kulit dari orbital s dan p yang berhibridisasi, maka kompleks yang
terbentuk disebut sebagai kompleks orbital luar, atau outer orbital complex.
Sebaliknya, jika dalam hibridisasi yang dilibatkan adalah orbital d di dalam kulit
orbital s dan p yang berhibridisasi, maka kompleks tersebut dinamakan kompleks
orbital dalam atau inner orbital complex. Umumnya kompleks orbital dalam lebih
stabil dibandingkan kompleks orbital luar, karena energi yang dilibatkan dalam
pembentukan kompleks orbital dalam lebih kecil dibandingkan energi yang
terlibat dalam pembentukan kompleks orbital luar. Untuk menghibridisasi orbital
d yang berada di dalam orbital s dan p diperlukan energi yang lebih kecil, karena
tingkat energinya tidak terlalu jauh.
Contoh :
[Ni(CO)4]; memiliki struktur geometris tetrahedral
Ni28 : [Ar] 3d8 4s2

hibridisasi d2sp3
: [Ar]
3d8 4s2 4p0
Elektron pada orbital 4s mengalami promosi ke orbital 3d, sehingga orbital
4s kosong dan dapat mengalami hibridisasi dengan orbital 4p membentuk orbital
hibrida sp3.
Ni28 : [Ar]
3d8 4s 4p
Orbital hibrida sp3 yang telah terbentuk kemudian digunakan untuk
berikatan dengan 4 ligan CO yang masing-masing menyumbangkan pasangan
elektron bebas
[Ni(CO)4] : [Ar]
3d10 sp3
Karena semua elektron berpasangan, maka senyawa bersifat diamagnetik
[Fe(CN)6]3-; memiliki bentuk geometris oktahedral
Fe26 : [Ar] 3d6 4s2
Fe3+ : [Ar] 3d5 4s0
: [ Ar]
3d5 4s1 4p0
Dua buah elektron pada orbital d yang semula tidak berpasangan
dipasangkan dengan elektron lain yang ada pada orbital d tersebut, sehingga 2
orbital d yang semula ditempati oleh kedua elektron tersebut kosong dan dapat
digunakan untuk membentuk orbital hibridal d2sp3
Fe3+ : [Ar]
hibridisasi sp3

Karena orbital d yang digunakan dalam hibridisasi ini berasal dari orbital d
yang berada disebelah dalam orbital s dan p, maka kompleks dengan orbital
hibrida semacam ini disebut sebagai kompleks orbital dalam (inner orbital
complex)
[Fe(CN)6]3- : [Ar]
3d6 d2sp3
Orbital hibrida d2sp3 yang terbentuk diisi oleh pasangan elektron bebas
dari ligan CN-
Dalam kompleks terdapat satu elektron yang tidak berpasangan, sehingga
kompleks bersifat paramagnetik.
[Ni(CN)4]2-, memiliki bentuk geometris segiempat planar
Ni28 : [Ar] 3d8 4s2
: [Ar]
3d8 4s2 4p0
Ni2+ : [Ar]
Salah satu elektron pada orbital d yang tidak berpasangan dipasangkan
dengan elektron lain, sehingga salah satu orbital d kosong dan dapat digunakan
untuk membentuk orbital hibrida dsp3
[Ni(CN4)]2- : [Ar]
3d8 dsp3
Semua elektron dalam kompleks ini berpasangan sehingga kompleks
bersifat diamagnetik
membentuk orbital hibrida dsp3

Sebagian besar kompleks lebih memilih konfigurasi kompleks orbital dalam,
karena energi yang diperlukan saat hibridisasi untuk melibatkan orbital d sebelah
dalam lebih kecil dibandingkan energi yang diperlukan untuk melibatkan orbital
d sebelah luar. Meskipun demikian, jika dilihat dari pengukuran momen
magnetnya, beberapa kompleks ternyata berada dalam bentuk kompleks orbital
luar.
Contoh :
Ion [FeF6]3-, memiliki bentuk geometris oktahedral. Jika diasumsikan
kompleks ini merupakan kompleks orbital dalam dengan hanya satu elektron
yang tidak berpasangan, maka seharusnya momen magnet senyawa adalah
sebesar 1,73 BM. Menurut hasil pengukuran, momen magnet ion [FeF6]3- adalah
sebesar 6,0 BM, yang akan sesuai jika terdapat lima elektron tidak berpasangan.
Berarti ion Fe3+ dalam kompleks mengalami hibridisasi sp3d2 dengan melibatkan
orbital d sebelah luar, dan disebut sebagai kompleks orbital luar (outer orbital
complex).
Fe26: [Ar] 3d6 4s2
Fe3+: [Ar] 3d5 4s0
: [Ar]
3d5 4s1 4p0 4d0
Elektronetralitas dan Backbonding
Dalam TIV, reaksi pembentukan kompleks merupakan reaksi Asam Basa
Lewis. Atom logam sebagai asam Lewis mendapatkan elektron dari ligan yang
bertindak sebagai basa Lewis, sehingga mendapatkan tambahan muatan negatif.
Dengan demikian densitas elektron pada atom logam akan menjadi semakin besar
sehingga kompleks menjadi semakin tidak stabil. Pada kenyataannya senyawa
kompleks merupakan senyawa yang stabil, sehingga diasumsikan walaupun
mendapatkan tambahan muatan negatif dari PEB yang didonorkan oleh ligan,
atom pusat memiliki muatan yang mendekati nol atau hampir netral. Ada dua
pendekatan yang dapat digunakan untuk menerangkan hal ini :
membentuk orbital hibrida sp3d2

(1) Elektronetralitas
Ligan donor umumnya merupakan atom dengan elektronegativitas yang
tinggi, sehingga atom ligan tidak memberikan keseluruhan muatan negatifnya,
sehingga elektron ikatan tidak terdistribusi secara merata antara logam dengan
ligan
(2) Backbonding
Pada atom logam dengan tingkat oksidasi yang rendah, kerapatan elektron
diturunkan melalui pembentukan ikatan balik (backbonding) atau resonansi
ikatan partial. Ionpusat memberikan kembali pasangan elektron kepada ligan
melalui pembentukan ikatan phi (π).
Teori Ikatan Valensi cukup mudah untuk dipahami, dapat meramalkan
bentuk geometris dari sebagian besar kompleks, dan berkesesuaian dengan sifat
kemagnetan dari sebagian besar kompleks.
Meskipun demikian, ada beberapa kelemahan dari Teori Ikatan Valensi ini.
Sebagian besar senyawa kompleks merupakan senyawa berwarna, TIV tidak
dapat menjelaskan warna dan spektra elektronik dari senyawa kompleks. Selain
itu, meskipun berkesesuaian dengan sifat kemagnetan senyawa, TIV tidak dapat
menjelaskan mengapa kemagnetan senyawa dapat berubah dengan kenaikan
suhu. Teori Ikatan Valensi tidak dapat memberikan penjelasan yang memuaskan
mengapa sejumlah kompleks berada dalam bentuk kompleks orbital luar.
Kelemahan-kelemahan dari TIV ini dapat dijelaskan dengan lebih baik oleh Teori
Medan Kristal (Crystal Field Theory).
b. Teori Medan Kristal (Crystal Field Theory)
Teori ini mula-mula diajukan oleh Bethe (1929) dan Vleck (1931 – 1935),
dan mulai berkembang sekitar tahun 1951. Teori ini merupakan usaha untuk
menjelaskan hal-hal yang menjadi kelemahan dari Teori Ikatan Valensi.
Dalam Teori Medan Kristal (TMK), interaksi yang terjadi antara logam
dengan ligan adalah murni interaksi elektrostatik. Logam yang menjadi pusat dari
kompleks dianggap sebagai suatu ion positif yang muatannya sama dengan
tingkat oksidasi dari logam tersebut. Logam pusat ini dikelilingi oleh ligan-ligan
bermuatan negatif atau ligan netral yang memiliki pasangan elektron bebas

(PEB). Jika ligan merupakan suatau spesi netral/tidak bermuatan, maka sisi dipol
negatif dari ligan terarah pada logam pusat. Medan listrik pada logam akan saling
mempengaruhi dengan medan listrik ligan.
Dalam Teori Medan Kristal, berlaku beberapa anggapan berikut :
a. ligan dianggap sebagai suatu titik muatan
b. tidak ada interaksi antara orbital logam dengan orbital ligan
c. orbital d dari logam kesemuanya terdegenerasi dan memiliki energi
yang sama, akan tetapi, jika terbentuk kompleks, maka akan terjadi pemecahan
tingkat energi orbital d tersebut akibat adanya tolakan dari elektron pada ligan,
pemecahan tingkat energi orbital d ini tergantung orientasi arah orbital logam
dengan arah datangnya liga
Bentuk Orbital-d
Karena orbital d seringkali digunakan pada pembentukan ikatan dalam
kompleks, terutama dalam teori TMK, maka adalah penting untuk mempelajari
bentuk dan orientasi ruang orbital d. Kelima orbital d tidak identik, dan dapat
dibagi menjadi dua kelompok; orbital t2g dan eg. Orbital-orbital t2g –dxy; dxz; dan
dyz– memiliki bentuk yang sama dan memiliki orientasi arah di antara sumbu x, y,
dan z. Orbital-orbital eg –dx2-y2 dan dz2– memiliki bentuk yang berbeda dan
terletak di sepanjang sumbu.
x x y
z
dxy
zy
dyzdxz
y
x
dx2-y2 dz2
y
x

Kompleks Oktahedral
Pada kompleks oktahedral, logam berada di pusat oktahedron dengan ligan di
setiap sudutnya. Arah mendekatnya ligan adalah sepanjang sumbu x, y dan z.
Karena orientasi arah orbital dx2-y2 dan dz2 adalah sepanjang sumbu x; y; z, dan
menghadap langsung ke arah mendekatnya ligan, maka kedua orbital tersebut
mengami tolakan yang lebih besar dari ligan dibandingkan orbital dxy; dxz dan dyz
yang berada di antara sumbu-sumbu x; y; dan z. Dengan demikian orbital d pada
kompleks oktahedral mengalami pemecahan (splitting) tingkat energi dimana
orbital-orbital eg memiliki tingkat energi yang lebih besar dibandingkan orbital
t2g.
(a) (b)
Gambar a. kompleks oktahedral
Gambar b. pemecahan energi yang terjadi pada orbital d menjadi orbital eg
dan t2g
Jarak antara kedua tingkat energi ini diberi simbol 0 atau 10Dq. Setiap
orbital pada orbital t2g menurunkan energi kompleks sebesar 0,40, dan
sebaliknya setiap orbital pada orbital eg menaikkan energi kompleks sebesar
0,60. Tingkat energi rata-rata dari kedua tingkat energi orbital t2g dan eg
merupakan energi hipotetik dari orbital d yang terdegenerasi.
Besarnya harga o terutama ditentukan oleh kuat atau lemahnya suatu
ligan. Semakin kuat medan suatu ligan, makin besar pula pemecahan tingkat
energi yang disebabkan, sehingga harga 0 juga semakin besar. Harga 0 dalam
dxy∆o
0,6∆o
0,4∆o

suatu kompleks dapat ditentukan melalui pengukuran spektra UV-Vis dari
kompleks. Kompleks akan menyerap energi pada panjang gelombang yang sesuai
untuk mempromosikan elektron dari tingkat energi t2g ke tingkat eg. Panjang
gelombang yang diserap dapat ditentukan berdasarkan puncak serapan dari
spektrum serapan UV-Vis.
Karena setiap orbital t2g menurunkan energi sebesar 0,40 dari tingkat
energi hipotetis, setiap elektron yang menempati orbital t2g akan meningkatkan
kestabilan kompleks dengan menurunkan energi kompleks sebesar 0,40.
Besarnya penurunan energi ini disebut sebagai Energi Stabilisasi Medan Kristal
(CFSE, Crystal Field Stabilization Energy). Sebaliknya, setiap elektron di orbital
eg akan menurunkan kestabilan kompleks dengan menaikkan energi kompleks
sebesar 0,60.
Tabel berikut menunjukkan besarnya CFSE untuk kompleks dengan
konfigurasi d0 – d10.
Jumlah elektron dKonfigurasi
CFSEt2g eg
1 -0,40
2 -0,80
3 -1,20
4 (kompleks high
spin)-0,60
4 (kompleks low
spin)-1,6∆0
5 (kompleks high
spin)0
5 (kompleks low
spin)-2,0∆0
6 (kompleks high
spin)-0,4∆0
6 (kompleks low
spin)-2,4∆0
7 (kompleks high -0,8∆0

spin)
7 (kompleks low
spin)-1,8∆0
8 -1,2∆0
9 -0,6∆0
10 0
Besarnya harga ∆0 ditentukan oleh jenis ligan yang terikat dengan logam
pusat. Untuk ligan medan lemah (weak field ligand), perbedaan selisih energi
antara orbital t2g dan eg yang terjadi dalam splitting sangat kecil, dengan demikian
elektron-elektron akan mengisi kelima orbital tanpa berpasangan terlebih dahulu.
Kompleks dengan ligan medan lemah semacam ini disebut sebagai kompleks spin
tinggi (high spin complex).
Ligan medan kuat (strong field ligand) menyebabkan perbedaan energi yang
besar antara orbital t2g dengan orbital eg. Karena energi yang diperlukan untuk
menempatkan elektron ke orbital eg yang tingkat energinya lebih tinggi lebih
besar dibandingkan energi yang diperlukan untuk memasangkan elektron,
elektron akan mengisi orbital t2g terlebih dahulu hingga penuh sebelum mengisi
orbital eg.
Besrnya harga ∆o dapat ditentukan secara Spektrofotometri UV-Vis.
Kompleks akan menyerap cahaya dengan frekuensi yang berkesesuaian dengan
energi yang diperlukan untuk mengeksitasikan elektron dari orbital t2g ke orbital
eg (v = ∆0/h, h= konstanta Planck). Dari pita serapan ini dapat dilihat intensitas
maksimum dari serapan oleh kompleks terletak pada frekuensi berapa.
Menurut hasil studi eksperimen dari spektra sejumlah kompleks dengan
berbagai macam jenis logam pusat dan ligan, ternyata ligan-ligan dapat diurutkan
sesuai kemampuannya untuk menyebabkan pemecahan tingkat energi pada
orbital d. Deretan ligan ini disebut Deret Spektrokimia.
I-< Br- < Cl- < F- < OH- < C2O42- < H2O < NCS- < py < NH3 < en < bipy
< o-phen < NO2- < CN-
Distorsi Tetragonal dalam Kompleks Oktahedral (Distorsi Jahn Taller)

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, tolakan oleh elektron dari keenam
ligan dalam suatu kompleks oktahedral memecah orbital d menjadi orbital t2g dan
eg. Jika elektron-elektron d dari logam tersusun/terdistribusi secara sistematis,
maka elektron-elektron tersebut akan memberikan tolakan yang setara pada
keenam ligan, sehingga kompleks merupakan suatu oktahedral sempurna. Akan
tetapi jika elektron d terdistribusi secara tidak merata dalam orbital (memiliki
penataan yang asimetris), maka ada ligan yang mengalami gaya tolak yang lebih
besar dibandingkan ligan yang lainnya. Dengan demikian struktur kompleks
menjadi terdistorsi.
Orbital-orbital eg berhadapan langsung dengan ligan, sehingga penataan
elektron yang asimetris dalam orbital eg akan menyebabkan ligan mengalami
tolakan yang lebih besar dibandingkan ligan lainnya dan menghasilkan distorsi
yang signifikan. Sebaliknya orbital-orbital t2g tidak berhadapan langsung dengan
ligan, sehingga penataan elektron yang asimetris dalam orbital t2g tidak
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap struktur kompleks, distorsi yang
terjadi biasanya sangat lemah sehingga tidak terukur.
Penataan simetrisJumlah elektron
dt2g eg Medan
ligan Contoh
d0 kuat atau
lemah
TiIVO2; [TiIVF6]2-; [TiIVCl6]2-
d3 kuat atau
lemah
[CrIII(oksalat)3]3-; CrIII(H2O)6]3+
d5 lemah [MnIIF6]4-; [FeIIIF6]3-
d6 kuat [FeII(CN)6]4-; [CoIII(NH3)6]3+
d8 lemah [NiIIF6]4-; [Ni(H2O)6]2+
d10 kuat atau
lemah
[ZnII(NH3)6]2+; [ZnII(H2O)6]2+
Penataan asimetrisJumlah t2g eg Medan Contoh

elektron d ligan
d4 lemah Cr(+II); Mn(III+)
d7 kuat Co(+II); Ni(+III)
d9 kuat dan lemah Cu(+II)
Jika orbital dz2 berisi lebih banyak elektron dibandingkan orbital dx2-y2,
maka ligan yang berada pada sumbu z akan mengalami gaya tolak yang lebih
besar dibandingkan keempat ligan lainnya (yang berada pada sumbu x dan y).
Gaya tolak yang tidak seimbang tersebut akan menghasilkan distorsi berupa
perpanjangan oktahedron di sepanjang sumbu z, dan disebut sebagai distorsi
tetragonal. Lebih tegasnya, distorsi berupa pemanjangan sumbu x semacam ini
disebut sebagai elongasi (perpanjangan) tetragonal.
Sebaliknya, jika orbital yang berisi lebih banyak elektron adalah orbital dx2-
y2, elongasi akan terjadi sepanjang sumbu x dan sumbu y, sehingga ligan dapat
lebih mendekat ke arah logam pusat melalui sumbu z. Berarti akan ada empat
ikatan yang panjang dan dua ikatan yang lebih pendek, dan struktur yang
terbentuk mirip dengan oktahedron yang ditekan sepanjang sumbu z. Distorsi
semacam ini disebut kompresi tetragonal.
Distorsi berupa elongasi tetragonal lebih sering terjadi dibandingkan
kompresi tetragonal.
Gambar (c) dan (d)

Gambar (c) Elongasi tetragonal yang terjadi pada suatu kompleks
oktahedral. Elektron-elektron pada orbital dz2 menimbulkan gaya tolak yang
meneybabkan ligan pada sumbu z menjauh dari logam pusat
Gambar (d) Kompresi tetragonal. Elektron-elektron pada orbital dx2-y2
menimbulkan gaya tolak yang cukup kuat sehingga ligan-ligan yang terikat pada
sumbu x dan y menjauh dari logam pusat.
Dapat disimpulkan bahwa jika pengisian orbital dx2-y
2 dan dz2 tidak sama,
maka akan terjadi distorsi. Hal ini disebut sebagai Distorsi Jahn Taller.
Teorema Jahn-Taller menyatakan bahwa : “sistem molekuler yang tidak
linear dalam suatu keadaan elektron yang terdegenerasi tidaklah stabil; dan akan
mengalami distorsi untuk menurunkan simetrinya dan menghilangkan degenerasi
yang terjadi”.
Kompleks Segi Empat Planar
Jika logam pusat dalam kompleks memiliki konfigurasi d8, maka enam
elektron akan mengisi orbital t2g dan dua elektron akan mengisi orbital eg.
Penataan elektronnya ditunjukkan dalam Gambar (a). Orbital-orbital terisi oleh
eletron secara simetris, dan suatu kompleks oktahedral terbentuk.
∆E
Gambar (e) Gambar (f)
eg
t2g

Gambar (e) Penataan elektron yang simetris di orbital t2g dan eg pada logam
dengan konfigurasi elektron d8
Gambar (f) Pemecahan tingkat energi orbital eg, untuk mencapai
kestabilan, kedua elektron mengisi orbital dz2 yang tingkat energinya lebih rendah
Elektron yang berada pada orbital dx2-y
2 mengalami tolakan dari empat ligan
yang berada pada sumbu x dan y; sementara elektron yang ada pada orbital dz2
hanya mengalami tolakan dari dua ligan yang berada pada sumbu z. Jika medan
ligan cukup kuat, maka perbedaan energi di antara dua orbital ini (orbital dx2-y
2
dan dz2) menjadi lebih besar dibandingkan energi yang diperlukan untuk
memasangkan elektron. Pemecahan orbital eg ini ditunjukkan pada Gambar(f).
Dalam kondisi demikian, kompleks akan menjadi lebih stabil jika orbital dx2-
y2 kosong dan kedua elektron yang seharusnya menempati orbital eg ditata secara
berpasangan pada orbital dz2 . Dengan demikian, empat buah ligan dapat terikat
dalam kompleks pada sumbu x dan y dengan lebih mudah karena tidak
mengalami tolakan dari orbital dx2-y
2 yang telah kosong. Sebaliknya ligan tidak
dapat mendekati logam pusat melalui sumbu z, karena mengalami tolakan yang
sangat kuat dari orbital dz2 yang terisi dua elektron. Oleh karena itu hanya
terbentuk empat ikatan antara logam pusat dengan ligan, dan struktur geometris
kompleks menjadi segiempat planar.
Kompleks segiempat planar terbentuk pada ion logam dengan
konfigurasi elektron d8 dan ligan yang memiliki medan yang sangat kuat,
misalnya [NiII(CN)4]2-. Semua kompleks Pt(II) dan Au(II) merupakan kompleks
segi empat planar, meskipun dengan ligan medan lemah.
Besarnya pemecahan energi orbital eg tergantung pada jenis ligan dan logam
yang menjadi ion pusat. Pada kompleks segiempat planar dari CoII; NiII dan CuII,
orbital dz2 memiliki tingkat energi yang hampir sama dengan orbital dxz dan dyz.
Sedangkan dalam kompleks [PtCl4]2-, orbital dz2 memiliki tingkat energi yang
lebih rendah dibandingkan orbital dxz dan dyz.
Kompleks Tetrahedral
Orientasi ruang dari suatu kompleks dengan geometris tetrahedral
dapat dihubungkan sebagai suatu kubus, seperti yang ditunjukkan dalam Gambar
(g).

(g)
Gambar g. Struktur kompleks tetrahedral sebagai suatu kubus
Berdasarkan gambar tersebut, ligan berada di antara sumbu-sumbu x, y dan
z. Sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya, orbital-orbital t2g (dxy, dxz, dan
dyz) berada di antara sumbu x, y dan z, sementara orbital-orbital eg (dx2-y
2 dan dz2)
berada dalam posisi yang berimpit dengan sumbu x, y dan z. Oleh karena itu,
pada kompleks tetrahedron, ligan berada lebih dekat dengan orbital-orbital t2g,
meskipun posisi ligan tidak tepat berimpit dengan orbital-orbital tersebut. Oleh
karena itu, pada kompleks tetrahedron terjadi pemecahan energi yang
berkebalikan dengan pemecahan energi pada kompleks oktahedron.
Pada kompleks tetrahedron, terjadi pemecahan tingkat energi dimana orbital
t2g mengalami kenaikan tingkat energi (karena berada dalam posisi yang lebih
berdekatan dengan ligan) sementara orbital eg mengalami penurunan tingkat
energi. Pemecahan tingkat energi dalam kompleks tetrahedron ditunjukkan dalam
Gambar (h).
Ligan
Logam pusat

Gambar (h) Pemecahan tingkat energi yang terjadi dalam kompleks
tetrahedron
Untuk membedakannya dengan kompleks oktahedron, selisih energi antara
orbital eg dan t2g dalam kompleks tetrahedron diberi notasi ∆t
Setiap elektron yang menempati orbital eg maupun t2g dalam kompleks
tetrahedron memberikan kontribusi terhadap harga CFSE dari kompleks
tetrahedron. Setiap elektron pada orbital eg akan menurunkan energi sebesar
0,6∆t, sementara setiap elektron yang menempati orbital t2g akan menaikkan
energi sebesar 0,4 ∆t. Secara sederhana, harga CFSE dari suatu kompleks
tetrahedral dapat dirumuskan sebagai berikut :
CFSE tetrahedron = -0,6∆t + 0,4∆t
Besarnya CFSE dari suatu kompleks tetrahedron diramalkan lebih kecil
dibandingkan CFSE kompleks oktahedron. Hal ini dikarenakan jumlah ligan yang
terikat dalam kompleks tetrahedron juga lebih sedikit, hanya ada empat ligan,
sementara pada kompleks oktahedron ada 6 ligan yang terikat pada logam pusat.
Selain itu, berbeda dengan kompleks oktahedron dimana arah orbital tepat
berimpit dengan arah datangnya ligan, ligan yang terikat pada kompleks
tetrahedron tidak tepat berimpit dengan orbital.
c. Teori Orbital Molekul (Molecular Orbital Theory)
Teori Medan Kristal didasarkan atas asumsi bahwa interaksi yang terjadi
antara ligan dan logam pusat murni merupakan interaksi elektrostatik. Teori ini
dapat menjelsakan bentuk geometris; spektra; dan kemagnetan dari senyawa
kompleks dengan memuaskan. Meskipun demikian, teori ini mengabaikan
kemungkinan terbentuknya ikatan kovalen dalam kompleks, hal ini ternyat
bertentangan dengan fakta yang diperoleh sdari sejumlah eksperimen. Beberapa
kelemahan dari Teori Medan Kristal adalah sebagai berikut :
∆E (∆t)

1. Sejumlah senyawa dengan tingkat oksidasi nol (misalnya pada kompleks
[Ni(CO)4] tidak mengalami gaya tarik-menarik elektrostatik antara logam dengan
ligan, sehingga dapat dipastikan bahwa ikatan yang terbentuk dalam kompleks
merupakan suatu ikatan kovalen
2. Urutan ligan dalam spektrokimia tidak dapat dijelaskan hanya dengan
berdasarkan pada keadaan elektrostatik
3. Bukti dari spektrum resonansi magnetik inti dan resonansi spin elektron
menunjukkan keberadaan densitas elektron tidak berpasangan pada ligan, hal ini
mengindikasikan adanya pembagian elektron bersama, sehingga dapat
diasumsikan terjadi kovalensi dalam kompleks
Teori Orbital Molekul (Molecular Orbital Theory) melibatkan pembentukan
ikatan kovalen. Dalam Teori Orbital Molekul (TOM), ikatan dalam kompleks
terjadi melalui pembentukan orbital molekul. Orbital molekul merupakan orbital
yang terbentuk sebagai kombinasi antara orbital atom yang dimiliki logam
dengan orbital atom yang dimiliki oleh ligan. Oleh karena itu orbital molekul
dapat dipelajari dengan menggunakan pendekatan Linear Combination Atomic
Orbital (LCAO).
Setiap penggabungan orbital atom menjadi orbital molekul akan
menghasilkan orbital bonding (orbital ikatan) dan orbital antibonding (orbital anti
ikatan). Bagaimana orbital molekul ini terbentuk akan dibahas lebih terperinci
dalam Ikatan Kimia.
Pembentukan orbital σ
Pembentukan ikatan melalui orbital σ yang paling sederhana dapat
dicontohkan dalam pembentukan ikatan antar atom hidrogen dalam molekul H2.
orbital σ* (orbital molekul antibonding)
HH

Dari diagram di atas dapat dilihat bahwa tiap atom H memiliki masing-
masing satu buah elektron pada orbital 1s. kedua orbital atom H tersebut
kemudian bergabung membentuk orbital molekul σ, sehingga terbentuk dua
macam orbital, orbital σ yang merupakan orbital bonding, dan orbital σ* yang
merupakan orbital antibonding. Sesuai dengan aturan Hund, maka mula-mula
elektron dari salah satu atom H mengisi orbital molekul σ yang terbentuk,
kemudian elektron dari atom H yang lain juga mengisi orbital σ tersebut. Dengan
terbentuknya orbital molekul yang diisi oleh elektron dari kedua atom H, maka
terbentuklah ikatan antar atom H tersebut menjadi molekul H2. Molekul H2 ini
merupakan molekul yang stabil, karena elektron-elektronnya berada pada orbital
molekul σ yang tingkat energinya lebih rendah dibandingkan tingkat energi
orbital atom pembentuknya.
Pembentukan orbital molekul ini dapat digunakan untuk menjelaskan
ketidakstabilan dari molekul He2. Perhatikan diagram berikut :
Setiap atom Helium memiliki dua elektron pada setiap orbital 1s. saat
orbital-orbital atom 1s dari kedua atom Helium tersebut membentuk orbital
molekul, terbentuk 2 macam orbital molekul pula, orbital σ dan σ*. Elektron-
elektron mula-mula mengisi orbital bonding σ yang tingkat energinya lebih
rendah, kemudian mengisi orbital antibonding σ*. Karena baik orbital bonding
orbital σ (orbital molekul bonding)
H2
orbital σ* (orbital molekul antibonding)
orbital σ (orbital molekul bonding)
He He
He2

maupun orbital antibonding sama-sama terisi elektron, maka keduanya akan
saling meniadakan, sehingga molekul He2 menjadi sangat tidak stabil.
Kedua contoh diatas menunjukkan pembentukan orbital molekul untuk
molekul diatomik yang heterogen, sehingga orbital atom yang digunakan dalam
pembentukan orbital molekul memiliki tingkat energi yang sama. Pada molekul
diatomik yang heterogen, atom yang lebih elektronegatif orbital atomnya
memiliki tingkat energi yang lebih rendah. Perbedaan tingkat energi antar orbital
atom dari dua atom berbeda yang saling berikatan merupakan ukuran dari sifat
ionik ikatan yang terbentuk antara kedua atom tersebut. Sedangkan perbedaan
tingkat energi antara orbital bonding molekul yang terbentuk dengan orbital atom
(dari atom yang tingkat energinya lebih rendah) merupakan ukuran sifat kovalen
ikatan yang terbentuk. Untuk lebih jelasnya, perhatikan ilustrasi yang diberikan
dalam diagram berikut :
Pada diagram tersebut, atom B memiliki tingkat energi yang lebih rendah
dibandingkan orbital atom A. Oleh karena itu, orbital molekul (OM) σ yang
terbentuk memiliki karakteristik yang lebih mirip dengan orbital atom B. Selisih
energi antara orbital atom A dan orbital atom B, dinotasikan dengan a,
menunjukkan ukuran sifat ionik ikatan yang terbentuk antara A dan B. Sedangkan
selisih energi antara OM σ dengan orbital atom B, dinotasikan dengan b,
menunjukkan sifat kovalen ikatan AB.
1s
1sA
B
AB
orbital σ
orbital σ*
a
b

Pembentukan orbital molekul σ dalam senyawa kompleks
Pada senyawa kompleks, orbital molekul terbentuk sebagai
gabungan/kombinasi dari orbital atom logam dengan orbital atom dari ligan.
Orbital atom logam dapat bergabung dengan orbital atom ligan jika orbital-orbital
atom tersebut memiliki simetri yang sama.
Untuk logam transisi pertama, orbital yang dapat membentuk orbital molekul
adalah orbital-orbital eg (dx2-y
2 dan dz2), 4s, 4p, 4px, 4py dan 4pz. Orbital-orbital t2g
(dxy, dxz dan dyz) dari logam tidak dapat membentuk orbital σ karena orientasi
arahnya yang berada di antara sumbu x, y dan z. Oleh karena itu ketiga orbital
tersebut disebut sebagai orbital nonbonding. Meskipun tidak dapat membentuk
oribtal σ, orbital-orbital t2g tersebut dapat membentuk orbital molekul π dengan
orbital atom dari ligan yang tidak searah dengan orbital atom logam.
Ligan dapat membentuk orbital molekul dengan orbital logam jika posisinya
segaris dengan logam, atau berada tepat pada sumbu/garis penghubung ion pusat
dan ligan. Adapun orbital atom dari ligan yang dapat bergabung dengan orbital
atom dari logam adalah orbital s atau orbital hasil hibridisasi antara orbital s dan
p.
Karena jauh lebih banyak orbital dan elektron yang terlibat, maka diagram
pembentukan orbital molekul dalam senyawa kompleks lebih rumit dibandingkan
diagram pembentukan orbital molekul untuk molekul diatomik sederhana.
Umumnya orbital atom dari ligan tingkat energinya lebih rendah dibandingkan
orbital atom dari logam pusat, sehingga karakteristik dari orbital molekul yang
terbentuk lebih mirip dengan karakteristik orbital atom ligan dibandingkan orbital
atom logam. Berikut ini contoh diagram pembentukan orbital molekul untuk
kompleks [Co(NH3)6]3+

Pada kompleks [Co(NH3)6], orbital-orbital 4s, 4px, 4py, 4pz, 3dx2-y
2, dan 3dz2
dari logam Co bergabung dengan keenam orbital px dari atom ligan NH3
membentuk orbital molekul. Orbital molekul σ yang terbentuk masing-masing
diisi dengan sepasang elektron dari ligan NH3. Orbital 3dxy, 3dxz, dan 3dyz dari
Co3+ tidak bergabung membentuk orbital molekul, ketiga orbital tersebut
merupakan orbital nonbonding (non ikatan) dalam kompleks ini. Selisih antara
3d
x2-y2 z2 xy xz yz
4s
4p
orbital non bonding
σs
σp
σd
σ*s
σ*p
σ*d
6 orbital px dari 6 ligan NH3,masing-masing berisi 2 elektron
∆0

tingkat energi nonbonding dengan orbital σ* (orbital antibonding) merupakan
harga Δ0 dari kompleks tersebut. Dalam TOM, splitting/pemecahan tingkat energi
yang terjadi merupakan akibat dari kovalensi. Makin besar kovalensi,makin
besarpula harga Δ0. Dalam kompleks [Co(NH3)6]3+ tersebut, harga Δ0 cukup besar,
sehingga semua elektron lebih memilih untuk mengisi orbital nonbonding,
kompleks merupakan kompleks low spin. Karena semua elektron dalam
kompleks berpasangan, maka dapat diramalkan bahwa kompleks tersebut bersifat
diamagnetik.
Pada kompleks [CoF6]3-, selisih tingkat energi antara orbital nonbonding
dengan orbital antibonding /orbital σ* yang terbentuk relatif cukup kecil,
sehingga elektron dapat mengisi orbital σ* terlebih dahulu. Kompleks ini
merupakan kompleks high spin. Diagram pembentukan orbital molekul pada
kompleks [CoF6]3- dapat dilihat berikut ini :
Orbital-orbital 3dx2-y
2; 3dz2; 4s; 4px; 4py; dan 4pz dari logam bergabung
dengan 6 buah orbital px dari keenam ligan F- yang mengelilingi logam pusat
tersebut. Orbital-orbital t2g dari logam membentuk orbital nonbonding atau non-
3d
x2-y2 z2 xy xz yz
4s
4p
orbital non bonding
σs
σp
σd
σ*s
σ*p
σ*d
6 orbital px dari 6 ligan F-, masing-masing berisi 2 elektron
∆0

ikatan. Selisih tingkat energi antara orbital nonbonding ini dengan orbital
antibonding σ* yang terbentuk dinotasikan dengan Δ0. Pada kompleks [CoF6]3-,
karena harga Δ0 relatif cukup kecil, maka sebelum mengisi orbital nonbonding
secara berpasangan, elektron dari ligan mengisi orbital σ* terlebih dahulu.
Akibatnya setiap orbital σ* yang merupakan orbital antibonding masing-masing
terisi satu buah elektron. Terisinya orbital antibonding ini mengakibatkan ikatan
antara logam Co dengan ligan NH3 tersebut menjadi lebih lemah. Karena dalam
kompleks terdapat sejumlah elektron yang tidak berpasangan, maka dapat
diramalkan bahwa kompleks [CoF6]3- merupakan kompleks yang bersifat
paramagnetik.
Pembentukan orbital π
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, orbital σ dapat terbentuk antar
orbital atom dengan simetri yang sama. Adapun orbital π dapat terbentuk antara
orbital px, py, pz, dxy, dxz, dan dyz dari logam dengan orbital atom dari ligan yang
tidak searah dengan orbital logam. Salah satu contoh bagaimana orbital π dapat
terbentuk antara orbital atom dari logam dengan orbital atom yang dimiliki ligan
ditunjukkan dalam gambar berikut :
Gambar (i)

Gambar (i) Kombinasi orbital dxz dari logam dengan orbital py dan pz dari
ligan
Dari Gambar (i) di atas dapat dilihat bahwa orbital dxz berada sejajar
dengan orbital py dan pz dari ligan, sehingga kombinasi dari orbital atom logam
dan orbital atom ligan tersebut dapat menghasilkan orbital molekul π.
Selain dari penggabungan orbital dxz dari logam dengan orbital py dan pz,
orbital molekul π juga dapat terbentuk dari penggabungan antara orbital pz dari
logam dengan orbital pz dari ligan. Ilustrasi kedua orbital atom tersebut dapat
dilihat pada gambar di bawah ini.
(j)
Gambar (j) Posisi orbital atom pz dari logam dan orbital pz ligan
berada dalam posisi yang sejajar, sehingga juga dapat bergabung dan
menghasilkan orbital molekul π.
Jika pada pembentukan ikatan σ ligan berperan sebagai Basa Lewis yang
menyumbangkan pasangan elektron, maka dalam pembentukan ikatan π ini, ligan
dapat bertindak sebagai asam Lewis yang menerima pasangan elektron yang
didonorkan oleh logam.
Adanya ikatan π akan memperkuat ikatan antara logam dengan ligan,
sehingga meningkatkan kestabilan kompleks. Selain itu, konsep mengenai
pembentukan ikatan π juga dapat menjelaskan urutan kekuatan ligan dalam Deret
Spektrokimia.

Ligan dapat berperan sebagai akseptor π atau donor π, tergantung keterisian
orbital π yang dimiliki oleh ligan tersebut.
(a) Ligan akseptor π
Sejumlah ligan seperti CO, CN- dan NO+ memiliki orbital π kosong yang
dapat bertumpang tindih dengan orbital t2g dari logam, membentuk ikatan π.
Interaksi semacam ini seringkali disebut sebagai pembentukan ikatan balik
(backbonding). Tingkat energi dari orbital π yang dimiliki ligan ini seringkali
lebih tinggi dibandingkan tingkat energi dari logam, sehingga dapat menaikkan
harga ∆0. Ligan-ligan semacam ini merupakan ligan medan kuat dan pada Deret
Spektrokimia berada di sebelah kanan.
(b) Ligan Donor π
Sejumlah ligan tertentu memiliki orbital π yang telah terisi elektron dan
mengalami overlap dengan orbital t2g dari logam, menghasilkan ikatan π. Rapatan
elektron akan ditransfer dari ligan menuju logam melalui ikatan π ini. Selain dari
ikatan π yang terbentuk tadi, transfer elektron dari ligan ke logam juga terjadi
melalui ikatan σ. Interaksi semacam ini lebih sering terjadi pada kompleks dari
logam dengan bilangan oksidasi yang tinggi, sehingga logam tersebut
”kekurangan elektron”. Orbital π dari ligan biasanya memiliki tingkat energi yang
lebih rendah dibandingkan orbital t2g logam, sehingga delokalisasi elektron π dari
ligan melalui cara ini akan memperkecil harga ∆0. Ligan yang merupakan donor π
terletak di sebelah kiri dari Deret Spektrokimia

5. Pemanfaatan Senyawa Koordinasi
Aplikasi senyawa kompleks sangat beragam dan banyak sekali karena
penelitian tentang senyawa kompleks terus berkembang dan perkembangannya
sangat pesat sekali sejalan dengan perkembangan IPTEK. Dalam makalah ini
diuraikanhanya sebagian kecil saja aplikasi senyawa kompleks tersebut.
Kobalt merupakan salah satu logam unsur transisi dengan konfigurasi
elektron 3d7 yang dapat membentuk kompleks. Kobalt yang relatif stabil berada
sebagai Co(II) ataupun Co(III). Namun dalam senyawa sederhana Co, Co(II)
lebih stabil dari Co(III). Ion – ion Co2+ dan ion terhidrasi [Co(H2O)6]2+ stabil di
air. Kompleks kobalt dimungkinkan dapat terbentuk dengan berbagai macam
ligan, diantaranya sulfadiazin dan sulfamerazin. Sulfadiazin dan sulfamerazin
merupakan ligan yang sering digunakan untuk obat antibakteri. Keduanya
merupakan turunan dari sulfonamid yang penggunaannya secara luas untuk
pengobatan infeksi yang disebabkan oleh bakteri Gram-positif dan Gram negatif
tertentu, beberapa jamur, dan protozoa.
Salah satu keistimewaan dari reaksi kompleks adalah reaksi pergantian ligan
melalui efek trans. Reaksi pergantian ligan ini terjadi dalam kompleks oktahedral
dan segi empat. Ligan –ligan yang menyebabkan gugus yang letaknya trans
terhadapnya bersifat labil, dikatakan mempunyai efek trans yang kuat.
Untuk mengetahui kemampuan senyawa kompleks dengan ligan- ligan feroin
berinteraksi dengan gas NO2, maka perlu dilakukan penelitian meliputi sintesis
dan karakterisasi senyawa kompleks Co(II) menggunakan ligan bipiridin dan
sianida serta mempelajari interaksinya dengan gas NO2. Hasil penelitian ini
diharapkan dapat meningkatkan pemahaman reaksi subtitusi kompleks melalui
efek trans dan hasilnya digunakan sebagai acuan dalam pemanfaatan senyawa
kompleks sebagai absorben gas NOx, sehingga dapat mengurangi dampak negatif
pencemaran lingkungan seperti polusi udara.
Berbagai senyawa kompleks yang mempunyai struktur planar N4, telah
terbukti mempunyai kemampuan untuk mereduksi oksigen dengan 4-elektron
transfer proses. Proses logam yang berkarat karena oksidasi pada permukaan
logam adalah proses yang sangat familier.
Proses respirasi biologis pada makhluk hidup dimana terjadi perubahan
oksigen menjadi air pada hemoglobin adalah proses yang penting. Proses reduksi

oksigen yang langsung menjadi air tanpa hasil samping adalah proses sempurna
4-elektron transfer (O2 + H+ + 4e- → H2O) pada hemoglobin.
Proses reduksi oksigen melalui senyawa kompleks Cytochrome-c Oxidase
(Cyt-c) merupakan contoh proses seperti pada elektroda positif fuel cell (katoda).
Pada proses biologis, transfer 4-elektron berjalan tanpa hasil sampingan
peroksida (H2O2). Sedangkan pada katoda fuel cell, dimana saat ini state-of-the-
art katalis adalah platina (Pt) yang mereduksi oksigen dengan 2-elektron transfer
(O2 + 2H+ + 2e- → H2O2) menghasilkan peroksida dan selanjutnya tereduksi lagi
menjadi air (H2O2 + 2H+ + 2e- → 2H2O). Sehingga terdapat 2 tahapan reaksi yang
berlangsung pada katoda. Untuk itu dengan senyawa kompleks yang menyerupai
struktur Cyt-c, dimana model planar katalis lebih memungkinkan untuk
mereduksi oksigen dengan mudah, maka pada makalah akan dikenalkan katalis
yang mampu mereduksi oksigen dengan bentuk planar berlogam center Fe, Co,
dan Cu dengan ligan yang berbeda. Dengan adanya aplikasi senyawa kompleks
ini, diharapkan problem drop potensial yang disebabkan oleh peroksida pada
katoda dimana menjadi penyebab utama turunnya potensial fuel cell, menjadi
berkurang atau tidak ada, karena reaksi yang terjadi adalah 4-elektron transfer
proses.
Senyawa kompleks renium-186 fosfonat, 186Re-HEDP
(HEDP=hydroxyethyli dienediphosphonate) dan 186Re-EDTMP
(EDTMP=ethylenediaminetetra methylphosphonate), dewasa ini telah luas
digunakan sebagai penghilang rasa nyeri tulang yang disebabkan oleh metastasis
kanker prostat, payudara, paru-paru dan ginjal ke tulang.
Penggunaan radiofarmaka tersebut merupakan pengganti penggunaan
analgesik, hormon, kemoterapi, dan narkotik yang diketahui memberikanefek
samping yang tidak diinginkan. Metode preparasi dan uji kualitas senyawa
kompleks 186Re-HEDP dan 186Re-EDTMP telah dikembangkan untuk tujuan
produksi komersial.Penentuan kemurnian radiokimia dengan kromatografi kertas
dalam berbagai kepolaran pelarut menunjukkan kemurnian radiokimia diatas 90%
sampai hari ketiga setelah proses penandaan dilakukan.
Disamping itu hasil pengujian menunjukkan pula bahwa larutan senyawa
kompleks bebas pirogen dan steril. Hasil uji pada binatang percobaan tikus putih
menunjukkan kandungan senyawa kompleks di dalam darah mencapai puncaknya
pada 5 menit setelah penyuntikan. Sedangkan ekskresi radiofarmaka kedua

kompleks di dalam urin menunjukkan adanya keradioaktifan sekitar 41% dan
38,5 % dalam bentuk perenat, 186ReO4 -, setelah 20 jam penyuntikan. Hasil
biodistribusi dan pencitraan (imaging) menggunakan kamera gamma terhadap
mencit dan tukus putih normal menunjukkan bahwa senyawa kompleks 186Re-
HEDP dan 186Re-EDTMP terakumulasi cukup nyata di tulang.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi IPTEK dalam bidang
kedokteran nuklir sangat didukung oleh perkembangan iptek di bidang
radiofarmaka. Dengan perkembangan iptek radio farmaka telah berhasil
dilakukan diagnosa dini dan terapi terhadap penyakit kangker menggunakan radio
nuklida yang sesuai. Penyakit kanker telah menghantui masyarakat dunia karena
banyak menyebabkan kematian. Kedokteran nukilr telah menerapkan deteksi ini,
berbagai macam kanker dan cara terapi yang efektif dengan memanfaatkan
radiasi dari radio isotop yang diberikan kadalam tubuh atau sel kanker tang
bersangkutan. Radio isatop yang dapat digunakan untuk terapi kanker diantaranya
adalah Ytrium-90 (90Y) yang merupakan radio isotop pemancar sinar b dengan
energi 2,28 Mev dan waktu paro (T1/2) 64,1 jam. Itrium-90 yang digunakan
untuk terapi dapat diperoleh dari hasil peluruhan stronsium-90 (90Sr) dapat
dipisahkan dari induknya 90Sr (campuran 90Sr - 90Y ) yang merupakan radio
nuklir dan hasil belah 235U. Metode emisahan yang telah dikembangkan saat ini
adalah metode ekstraksi pelarut dan kromatografi kolm dengan menggunakan
penukar ion.
Pemupukan dalam kegiatan budidaya tebu memegang peranan yang teramat
penting, selain dapat meningkatkan produksi biomassanya, pupuk juga dapat
meningkatkan keragaman dan kualitas hasil yang diperoleh. Masalah utama
penggunaan pupuk N pada lahan pertanian adalah efisiensinya yang rendah
karena kelarutannya yang tinggi dan kemungkinan kehilangannya melalui
penguapan, pelindian dan immobilisasi. Untuk itu telah dilakukan penelitian
peningkatan efisiensi pemupukan N dengan rekayasa kelat urea-humat pada jenis
tanah yang mempunyai tekstur kasar (Entisol) dengan menggunakan tanaman
tebu varietas PS 851 sebagai tanaman indikator.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelapisan urea dengan asam humat
yang berasal dari Gambut Kalimantan sebesar 1% menghasilkan pupuk urea yang
lebih tidak mudah larut daripada yang dilapisi asam humat dari Rawa Pening.
Dengan pelepasan N yang lebih lambat diharapkan keberadaan N di dalam tanah

lebih awet dan pemupukan menjadi lebih efisien. Pupuk urea-humat telah
diaplikasikan ke tanah
Psamment (Entisol) yang kandungan pasirnya tinggi (tekstur kasar) untuk
mewakili jenis-jenis tanah yang biasa ditanami tebu dengan tekstur yang paling
kasar. Respons tanaman tebu varietas PS 851 menunjukkan kinerja pertumbuhan
yang lebih baik di tanah Vertisol.
Rekayasa kelat urea-humat secara fisik dan kimia terbukti meningkatkan
efisiensi pemupukan N pada tanaman tebu. Penelitian ini memperlihatkan bahwa
memang efisiensi pemupukan N pada tanah Entisol dan Vertisol rendah, bahkan
di Entisol lebih rendah (hanya sekitar 25 %). Aplikasi pupuk urea-humat pada
tanah Vertisol dan Entisol terbukti meningkatkan efisiensi pemupukan N hingga
50 %. Di tanah Entisol bahkan efisiensi pemupukan yang lebih tinggi dicapai
pada dosis pupuk yang lebih rendah.
Rhodamin B Nama Kimia : N-[9-(2-Carboxyphenyl)-6-(diethylamino)-
3Hxanthen- 3-ethyethanaminium chlorida. Sinonim: tetra ethylrhodamine; D &
C Red No. 19; Rhodamine B Chloride; C. l. Basic Violet 10; C. l. 45170. dan
metanil yellow Nama kimia : 3-[[4-(phenylamino) phenyl] azo]; C.I. Acid yellow
36; merupakan zat warna sintetik yang umum digunakan sebagai pewarna tekstil.
Walaupun memiliki toksisitas yang rendah, namun pengkonsumsian rhodamin B
dalam jumlah yang besar maupun berulang-ulang menyebabkan sifat kumulatif
yaitu iritasi saluran pernafasan, iritasi kulit, iritasi pada mata, iritasi pada saluran
pencernaan, keracunan, dan gangguan hati/liver (Trestiati, 2003). Rhodamin B
memiliki LD50 sebesar 89,5 mg/kg jika diinjeksikan pada tikus secara intravena.
Sedangkan untuk metanil yellow dapat menyebabkan iritasi pada mata jika
dikonsumsi dalam jangka panjang . Kuning metanil juga dapat bertindak sebagai
tumor promoting agent dan menyebabkan kerusakan hati. Metanil yellow
memiliki acute oral toxicity (LD50) sebesar 5000mg/kg pada tikus percobaan.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Eddy Setyo Mudjajanto dari Institut
Pertanian Bogor (IPB), menemukan banyak penggunaan zat pewarna rhodamin B
dan metanil yellow pada produk makanan industri rumah tangga. Rhodamin B
dan metanil yellow sering dipakai untuk mewarnai kerupuk, makanan ringan,
terasi, kembang gula, sirup, biskuit, sosis, makaroni goreng, minuman ringan,
cendol,manisan, gipang, dan ikan asap. Makanan yang diberi zat pewarna ini
biasanya berwarna lebih terang.
