MUSLIM KAUM LEMAH: STUDI KASUS KOMUNITAS MUSLIM...
Transcript of MUSLIM KAUM LEMAH: STUDI KASUS KOMUNITAS MUSLIM...
MUSLIM KAUM LEMAH:
STUDI KASUS KOMUNITAS MUSLIM ROHINGYA
1942-2012
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana (S.Hum)
Oleh:
SAYFURRAHMAN
1112022000042
PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H / 2019 M
v
ABSTRAKSI
Rohingya adalah etnis minoritas di Myanmar. Tragedi paling
mengenaskan yang diderita kelompok kaum lemah ini adalah penolakan negara
terhadap status kewarganegaraan mereka. Dengan kata lain, etnis Rohingya
adalah musuh negara. Satu-satunya cara untuk bertahan adalah melarikan diri dari
negara sendiri, dan menjadi pengungsi ke negara lain. Status sebagai pengungsi
adalah produk dari ketidakamanan dan ketidaknyamanan hidup di negeri sendiri
sebagai musuh negara.
Penolakan negara terhadap etnik Rohingya dapat ditelusuri sejak abadi 18
Masehi. Rohingya adalah komunitas yang berasal dari Bangladesh dan
bermusuhan dengan etnik asli Burma, yaitu Tibeto-Burma. Dominasi etnik Tibeto
ini semakin kentara setelah mereka menguasai rezim militer. Perlawanan-
perlawanan Rohingya terus dibentuk, sekalipun tidak membuah hasil maksimal.
Penelitian ini fokus pada historiografi Islam dan Islamisasi di Rohingya
sebagai represetasi dari Muslim Kaum Lemah sejak abad 8 Masehi hingga
sekarang. Dengan pendekatan sosiologis, penelitian historis ini melihat bagaimana
umat muslim di Rohingya terus mendapatkan tekanan sepanjang sejarah. Konflik-
konflik politik, etnik, agama dan problem-problem seperti kesehatan, imigrasi,
yang mewarnai perjalanan hidup muslim Rohingya dipahami sebagai konteks-
konteks sosial historis muslim Rohingya.
Keywords: Islam, historiografi, konflik, diskriminasi, mustadh’afin, Rohingya.
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulilah tiada kata yang paling indah yang dapat penulis ungkapkan
selain rasa syukur kehadirat Allah SWT yang telah Melimpahkan rahmat dan
karunia Nya serta kekuatan dan kesehatan, sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini. Sholawat dan salam penulis haturkan kepada baginda Nabi
Muhammad SAW berserta keluarga, sahabat, dan para pengikutnya. Rasa syukur
serta tekad yang kuat akhirnya penulis berhasil menyelesaikan skripsi yang
berjudul Muslim Kaum Lemah: Studi Kasus Muslim Rohingya. Semoga karya ini
dapat menjadi sumbangsih bagi siapa saja yang ingin bergelut pada dunia
penelitian, khususnya bagi yang memfokuskan kajian pada Perjuangan
Kemerdekaan.
Dalam penyelesaian skripsi ini penulis menyadari bahwa semua ini
tidaklah semata berhasil dengan tenaga dan upaya sendiri, namun banyak pihak
yang telah berpartisipasi dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, baik yang
bersifat moril maupun materil, maka dengan ini sepatutnya penulis
menyampaikan banyak terima kasih atas kerjasama dan dorongannya. Untuk itu
penulis mengucapkan terima kasih yang terdalam kepada:
1. Ibu Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Lubis, M.A., selaku Rektor UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Drs. Saiful Umam, M.A., Ph.D. Dekan Fakultas Adab dan
Humaniora UIN Jakarta, berikut pula semua wakil Dekan, I, II, dan III
seluruh staf dan pegawai Fakultas Adab dan Humaniora.
3. Ibu Dr. Awalia Rahma, M.A. selaku Ketua Jurusan Sejarah dan Peradaban
Islam yang telah membantu administrasi prosedural akademik mulai dari
perkuliahan hingga selesainya jejang S-1 penulis.
4. Ibu Dr. Hj. Tati Hartimah, M.A. selaku pembimbing skripsi yang dengan
ikhlas memberikan ilmu dan waktunya untuk penulis hingga selesainya
penulisan skripsi ini.
vii
5. Ibu Amelia Fauzia, S.Ag., M.A., Ph.D selaku pembimbing akademik yang
telah membimbing penulis dalam menghadapi masa-masa perkuliahan dari
awal masuk sampai akhir perkuliahan.
6. Seluruh dosen Progam Studi Sejarah dan Peradaban Islam yang telah
banyak berjasa terhadap penulis dalam memberikan motivasi dan
bimbingan keilmuannya.
7. Kedua orang tua tercinta ibunda Mutmainnah dan Dumyati Yang telah
mendidik, mengasuh, membimbing dengan kasih sayang yang tulus
sehingga anakmu ini bisa menyelesaikan studinya sampai perguruan
tinggi.
8. Kepada Teman-teman SKI angkatan 2012, dan teman-teman lainnya yang
ikut memberikan partisipasinya khususnya kepada, Ajis, Lukman “yang
berjuang hingga titk darah penghabisan” dan semua orang yang telah
membantu penulis hingga selesainya skripsi ini.
9. Kawan-kawan Kajian Indonesian Culture Academi (INCA), dari forum ini
dan kalian saya mendapatkan ghirah untuk melawan kebodohan dan
banyak menimba ilmu pengetahuan.
10. Kawan-kawan kost JB terkhusus Ali Topa (papi), Kholil phei, Laili,
Saniman, Karim, Amin Hatori, Kholil Genandi dan banyak lagi yang tidak
bisa saya sebutkan satu persatu.
11. Dan semua orang yang mendo’akan dan memudahkan segala bentuk
ikhtiyar saya. Saya ucapkan beribu-ribu banyak terima kasih yang tiada
batasnya.
Demikian ucapan terimakasih penulis, semoga amal baik semua pihak
yang telah berkenan memberikan informasi yang penulis butuhkan untuk
penulisan skripsi ini, mendapatkan imbalan dan pahala sebesar-besarnya dari
Allah SWT. Jika ada kesalahan dan kekurangan, penulis mohon masukan yang
kontruktif, sehingga skripsi ini bermanfaat bagi pembacanya.
viii
Wallahul muwaffiq ila aqwamit tharieq
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatu
Jakarta, 13 Mei 2019
Sayfurrahman
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................... ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN ........................................................ iii
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ........................................... iv
ABSTRAKSI ........................................................................................... v
KATA PENGANTAR ............................................................................. vi
DAFTAR ISI ............................................................................................ ix
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah.......................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ................................................................ 6
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ..................................... 7
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................... 7
E. Tinjauan Pustaka ..................................................................... 8
F. Kerangka Teori ....................................................................... 11
G. Metode Penelitian ................................................................... 12
H. Sistematika Penulisan ............................................................. 13
BAB II ASAL-USUL ETNIS ROHINGYA DAN SEJARAH ISLAM
DI MYANMAR ....................................................................................... 15
A. Asal Mula Etnis Rohingya..................................................... 15
B. Dinamika Islam ..................................................................... 18
BAB III SOSIO HISTORIS KONFLIK MUSLIM ROHINGYA ...... 29
A. Ketegangan Hubungan Etno-Religius ................................... 29
B. Ketegangan Politik Kewarganegaraan .................................. 35
x
BAB IV ETNIS MUSLIM ROHINGYA YANG LEMAH .................. 43
A. Etnis Muslim Rohingya Mengalami Diskriminasi ................ 43
B. Keberadaan Etnis Rohingya Pasca Konflik ........................... 51
BAB V PENUTUP ................................................................................... 54
A. Kesimpulan ............................................................................ 54
B. Saran ...................................................................................... 56
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 57
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Konflik etnis dan agama menjadi isu-isu yang sensitif dan kerap kali
terjadi di dunia, baik dalam skala lokal, nasional dan internasional.1 Konflik
yang terjadi dikarenakan tingkat perlindungan negara kurang begitu massif,
juga adanya keikutsertaan negara dalam konflik tersebut sehingga konflik
sulit diselesaikan. Keterlibatan negara pada konflik tersebut menambah
penyelesaian semakin pelik dan runyam. Sebagaimana yang dikatakan oleh
Mering Ngo: bahwa penyebab konflik yang cukup dominan adalah
menjamurnya identitas (revolution of identity), yakni mengerasnya batas-batas
identitas etnik dan kelompok dalam masyarakat transisi ekonomi dan politik.2
Lanjutnya, ia mengatakan, dari revolusi identitas inilah akan melahirkan
kubu-kubu yang terkotak-kotak oleh kesamaan etnis dan agama sehingga
yang muncul adalah pertaruhan politik identitas dalam dinamika kehidupan
masyarakat yang majemuk.
Aspek kesamaan etnis dan agama menjadi suatu hal yang sangat
risakan dalam kehidupan manusia. Sebab itu pula, kehidupan manusia berada
pada batas-batas tertentu, tidak menjadi manusia secara majemuk dengan satu
proses kesamaan dalam kehidupan. Kehidupan manusia yang terkotak inilah
yang kemudian menjadikan konflik karena ada perbedaan yang mendasar,
kelompok satu dari yang lainnya mengaku paling benar dengan melihat dasar
etnik dan agama. Hal lainnya, pengaruh eksternal politis memang tidak bisa
dinafikan dalam kehidupan. Persoalan kepentingan-kepentingan politik
menjadikan manusia yang damai, sejahtera, kemudian terpecah-belah.
1Alo Liliweri. Prasangka, Konflik, dan Komunikasi Antar Budaya (Jakarta:
Kencana, 2018), h. 624. 2Muhammad Ramadhan. Kontestasi Agama dan Politik: Menyemai Benih
Kerukunan Antarumat Beragama Pascakonflik (Yogyakarta: LKiS, 2017), hal. 4.
2
Batas kemanusiaan yang sebelumnya menyatu pada kehidupan,
dengan benih konflik akan menjadi terbatas. Ada penempatan posisi
keunggulan dan kelemahan yang menjadikan manusia dengan yang lainnya
semakin terkotak. Sehingga terjadilah penindasan bagi kelompok-kelompok
yang lemah. Dalam hal ini, ialah kelompok minoritas yang dianggap tidak
bisa melakukan apapun kecuali mendapat diskriminasi dan penindasan.
Sebagaimana yang dialami oleh etnis Rohingya yang berlangsung sejak lama.
Orang Rohingya atau digelar „orang tanpa negara‟ ini merupakan satu
kumpulan etnik minorti yang beragama Islam di utara wilayah Rakhine yang
terletak di Myanmar barat.3 Penduduk Myanmar yang mayoritas Budha yang
cenderung tertutup, dan tidak sekuler. Ketertutupan ini dapat dilihat dari
bagaimana mereka tidak menerima kelompok yang berbeda. Hal ini dapat
dilihat berdasarkan pencacahan penduduk terdaftar (enumerated), umat
Buddha Theravada dan Kristen merupakan dua komunitas religius terbesar di
Myanmar, sementara umat Islam terbesar ketiga. Umat Buddha mencakup
89,9 persen populasi; Kristiani 6,3 persen; dan Muslim 2,3 persen.4
Banyak hal yang dialami oleh etnis Rohingya, seperti pembunuhan,
pemerkosaan, pengusiran atau tindakan-tindakan diskriminasi lainnya.
Konflik tersebut bukan murni persoalan etnis, melainkan juga persoalan
politik dan agama.5 Etnis rohingya merupakan kaum minoritas di Myanmar
dan Bangladesh, jumlah populasinya menurut taksiran PBB mencapai sekitar
1,3 juta orang, sebagai minoritas Rohingnya beragama Islam, sementara
3Abdullah Idi. Konflik Etno-Religius di Asia Tenggara (Yogyakarta: LKiS, 2018),
hal. 45. 4Imtiyaz Yusuf “Islam di Myanmar: Bacaan Pengantar” Diakses pada 27 April 2019
dari https://crcs.ugm.ac.id/id/berita-utama/11398/islam-di-myanmar-bacaan-pengantar.html 5British Broadcasting Corporation “Rohingya adalah kita‟: Solidaritas agama atau
kemanusiaan?” Diakses pada 27 April 2019 dari https://www.bbc.com/indonesia/trensosial-
41141169
3
warga Myanmar beragama Budha.6 Sebagai kelompok minoritas, muslim
Rohingya tidak dapat melakukan sesuatu untuk melawan tindakan-tindakan
diskiriminatif tersebut.
Konflik yang tidak kunjung berkesudahan tersebut menyita perhatian
dunia internasional. Meskipun sudah ada instrumen HAM internasional yang
melindungi hak-hak minoritas yang tertuang dalam pasal 27 Kovenan
Internasional Hak Sipil dan Politik,7 kelompok minoritas masih mengalami
berbagai macam kekerasan yang mengancam hak dasar dan fundamental
mereka.8 Diskriminasi yang diterapkan Pemerintah Myanmar terhadap warga
Rohingya dinilai masyarakat internasional jauh lebih buruk daripada segregasi
rasial ala Apartheid di Afrika Selatan yang melakukan pemisahan atau
pengelompokan atas etnis tertentu.9 Lebih lanjut Abdullah mengatakan,
bahwa: kebijakan diskriminatif, termasuk tidak diakuinya warga Rohingya
sebagai warga negera dalam konstitusi Myanmar.
Percobaan perlawanan yang dilakukan oleh muslim Rohingya semakin
memperburuk suasana tambah genting. Hal ini dipicu tidak diakuinya mereka
sebagai warga negara Myanmar yang mayoritas Budha. Pengakuan sebagai
salah satu etnis di Myanmar menjadi penting ketika dikaitkan pada sejarah
masa lalu. Terlepas dari berbagai sejarah yang melatarbelakanginya, ialah
pengakuan pemerintah terhadap etnis Rohingya sangat tidak respon dengan
6DW “Inilah Profil Manusia Perahu Rohingya” Diakses pada 26 April 2019 dari
https://www.dw.com/id/inilah-profil-manusia-perahu-rohingya/a-18467515 7Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, ditetapkan oleh Resolusi Majelis
Umum 2200 A (XXI), tertanggal 16 Desember 1966, Terbuka untuk penandatanganan,
Ratifikasi dan Aksesi. Adapun isi pasal 27, ialah : Di negara-negara yang memiliki kelompok
minoritas berdasarkan suku bangsa, agama atau bahasa, orang-orang yang tergolong dalam
kelompok minoritas tersebut tidak boleh diingkari haknya dalam masyarakat,bersama-sama
anggota kelompoknya yang lain, untuk menikmati budaya mereka sendiri, untuk
menjalankandan mengamalkan agamanya sendiri, atau menggunakan bahasa mereka sendiri.
Diakses pada tanggal 27 April 2019, dari http://lab-hukum.umm.ac.id /files/file /UU_NO_12
_2005_ICCPR.PDF 8Al-Khanif, dkk. Hak Asasi Manusia: Dialektika Universalisme vs Relativisme di
Indonesia (Yogyakarta: LKiS, 2017), hal. 314. 9Abdullah Idi. Konflik Etno-Religius di Asia Tenggara... hal. 116.
4
kehadiran kelompok ini. Aspek ini dipandang sebagai politisasi penguasa
yang tidak ingin etnis Rohingya berada di parlementer dan mendapat
kedudukan yang tinggi. Alasan lain dari pemerintah Myanmar, bahwa etnis
Rohingya yang menjabat dapat mengancam keberadaan Budha yang
memimpin.
Persoalan yang demikian kemudian menjadikan etnis Rohingya harus
mempertahankan haknya sebagai warga negara Myanmar. Namun, perjuangan
mereka hanya sia-sia belaka mengingat pemerintah sudah mengklaim bahwa
mereka etnis yang ilegal. Bagi pemerintah Myanmar tetap tidak mengakui
mereka karena dianggap sebagai pendatang baru dari subkontinen India.
Dengan demikian, konstitusi negara Mnyanmar tidak memasukkan mereka
dalam kelompok masyarakat adat yang berhak mendapat kewarganegaraan.10
Persoalan yang rumit kemudian menambah suasana sengit di negara
Myanmar, karena selain persoalan itu akar sejarah menyatakan bahwa
kebencian warga Rakhine ini disebabkan etnis Rohingya mayoritas agama
Islam.
Berbagai macam hal yang dapat ditemukan dalam sebuah kasus yang
berbeda ini kemudian membuat muslim Rohingya lemah. Dalam artian,
bahwa muslim di Myanmar terlihat lemah, sebagai mayoritas yang kuat
mereka tidak dapat melakukan apapun terkait hak-hak mereka. Adanya
perlawanan semakin membuat mereka terpuruk dan mendapatkan
diskriminasi yang berkepanjangan. Tampaknya isu agama di Myanmar
membuat berbagai tokoh agamawan di dunia mengutuk perilaku tersebut. Sisi
lain yang dapat dikaji, bahwa Islam yang pernah kuat dalam catatan sejarah,
akhirnya harus menerima kepahitan yang berkepanjangan.
10
British Broadcasting Corporation “Siapa sebenarnya etnis Rohingya dan enam hal
lain yang harus Anda ketahui” Diakses pada 27 April 2019 dari
https://www.bbc.com/indonesia/trensosial-41141169
5
Muslim minoritas yang lemah ini mengindikasikan bahwa tidak
adanya negosiasi yang jelas sehingga berdampak pada etnis Rohingya.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Ghiyatudeen Maulana Abdul Salam,
sebagai salah satu dosen terbang di Universitas Malaysia, mengungkapkan:
“Bahwa Etnis Rohingya sebenarnya dinaungi berbagai organisasi di dunia.
Hanya saja, para pemimpin mereka tidak memiliki kepercayaan yang tinggi
satu sama lainnya. Dengan demikian, membuat konflik semakin buruk dan
diskiriminasi yang semakin marak. Hal yang sebenarnya terjadi di sini, ialah
para pemimpin mereka lebih banyak mengusung kepentingan pribadi daripada
menyelesaikan sengketa yang terjadi pada etnis Rohingya.”11
Absennya pemimpin mereka yang muslim adalah salah satu faktor
yang menjadi penghambat jalannya perdamaian dan pengakuan identitas
mereka di ranah publik. Padahal tujuan adanya negosiasi publik untuk
membuka peluang terbukanya perdamaian dan pengakuan mereka pada
pemerintah Myanmar. Kepentingan pribadi pemimpin muslim Rohingya
semakin memperburuk suasana dan sangat jauh dari proses keterbukaan di
kancah dunia nasional dan internasional. Padahal negosiasi publik bisa
memberikan alternatif lain untuk keberlangsungan etnis Rohingnya di
Myanmar. Dengan demikian, negosiasi para pemimpin bisa memberikan jalan
terbuka perdamaian dan membuat etnis Rohingya merasa aman dan damai.
Akibat kurangnya pola komunikasi yang jelas dalam terbukanya
negosiasi ini semakin membuat etnis Rohingya semakin lemah. Bukan
persoalan bagaimana mereka harus mengaklamasi diri sebagai suatu kesatuan
etnis muslim yang banyak, namun arah pemimpin inilah yang menjadikannya
lemah. Aspek ini menjadi suatu soal baru bagi para pengamat muslim di
Myanmar. Kepentingan pribadi yang bobrok dengan identitas kenyamanan di
11
British Broadcasting Corporation “Perjuangan pengakuan identitas Rohingya
'terhambat' pemimpin” Diakses pada 27 April 2019 dari
https://www.bbc.com/indonesia/trensosial-41141169
6
parlementer menjadikan etnis muslim di Myanmar terkena imbas dari adanya
diskriminasi yang menimpa mereka. Tidak adanya upaya ini pula, menambah
diskriminasi terus berlanjut, banyak korban yang semakin menanjak naik, dan
membuat etnis Rohingya terisolasi dari tempat mereka.
Dari itulah, kelemahan negosiasi pemimpin mereka membuat muslim
di Myanmar semakin tampak terlihat bahwa mereka lemah dalam segala
sektor. Sehingga tingkat kesatuan dan persatuan untuk jalan perdamaian
semakin tidak menentu. Sebab negosiasi atas koflik tersebut merupakan
alternatif atau satu-satunya jalan untuk menjaga kedamaian etnis Rohingya.
Hanya saja, hal ini tidak dilakukan dan seolah para pemimpin abai dengan
proses negosiasi dan membuat etnis Rohingya berada dalam kegelapan
berkepanjangan dan hidup mereka berada dalam teror menakutkan setiap
waktu. Alternatif yang mereka lakukan ialah meninggalkan kampung halaman
mereka dan memilih negara-negara lain sebagai jalan keluar dari teror
tersebut. Maka, keadaan menandakan bahwa etnis Rohingya menerima
kepahitan karena lemah dalam berbagai sisi.
B. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang di atas, penulis menemukan bahwa muslim
Rohingya (minoritas) mendapatkan perlakuan yang tidak wajar atau
diskriminasi dari kelompok penguasa yang mayoritas Budha. Diskriminasi
dari kelompok mayoritas menjadi isu yang menarik dikaji karena menurut
hemat penulis keterlibatan negara yang mendukung. Selain sisi itu, menarik
pula dikaji unsur sejarah yang melatarbelakangi adanya diskriminasi tersebut,
faktor-faktor diskriminasi dan lain-lain sebagainya. Adanya identifikasi dalam
penelitian ini merupakan proses pengklasifikasian suatu masalah agar tidak
terlalu meluas dan melebar.
7
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Dari identifikasi masalah di atas, agar terfokus dan tidak terlalu
melebar dalam pembahasan penelitian ini, maka peneliti membatasi
permasalahan dalam penulisan ini mengenai faktor-faktor sejarah konflik dan
persoalan yang berkenaan dengannya.
Dari pemaparan singkat tersebut, maka rumusan pertanyaan dalam
penelitian ini, antara lain:
1. Apa faktor yang melatarbelakangi terjadinya konflik di Rohingya?
2. Bagaimana dampak pola perlawanan etnis muslim Rohingya dan
situasi yang dialami pasca konflik?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Analisa terhadap awal mula sejarah konflik yang terjadi pada
muslim Rohingya.
2. Mengetahui dampak sosio-historis pada muslim Rohingya setelah
terjadi konflik.
Manfaat dari penelitian ini:
1. Memberikan gambaran yang komprehensif tentang awal konflik
yang terjadi, secara sosio-historis.
2. Memberikan gambaran yang komprehensif tentang muslim
Rohingya dalam mempertahankan diri dan melawan tindakan-
tindakan diskriminasi yang dilakukan oleh kelompok mayoritas.
3. Memberi peluang bagi peneliti-peneliti selanjutnya, agar meneliti
lebih mendalam akar pemasalahan terjadinya konflik. Meskipun
penelitian yang dilakukan tidak serupa, paling tidak adanya konflik
di Rohingnya merupakan salah satu hal tindakan diskriminasi yang
terjadi pada kelompok muslim minoritas yang terjadi di Rohingya.
8
Aspek inilah kemudian dapat menjadikan pandangan bahwa
tindakan-tindakan diskriminasi masih menjadi problem yang akut
pada kehidupan muslim di dunia.
4. Menambah wawasan tentang bentuk diskriminasi yang terjadi pada
muslim di Indonesia, atau pun di negara-negara di dunia. Sehingga
melahirkan penelitian yang spesifik dan memberikan alternatif
atau solusi agar tidak terjadi diskriminasi dalam bentuk yang lain.
E. Tinjauan Pustaka
Hal yang terlebih dahulu penulis lakukan ialah mencari berbagai
literatur yang berkenaan dengan penelitian. Berbagai macam literatur
mengenai muslim Rohingya dengan studi dan pendekatan yang beragam. Pada
kasus yang demikian, peneliti memilih beberapa literatur yang berkenaan
dengan sejarah karena studi dalam penelitian ini lebih cenderung pendekatan
sejarah. Kajian mengenai sejarah Rohingya pun begitu banyak, dengannya
peneliti memilih dan memilah serte menyesuaikan dengan objek varian dalam
studi ini. Literatur yang dipilih oleh peneliti merupakan kesesuian dari unsur-
unsur varian dalam penelitian ini.
Adapun literatur yang peneliti dapatkan begitu beragam, mulai skripsi,
tesis, buku, jurnal dan literatur laporan berita online yang dapat dipercaya
keotentikannya. Adapun berbagai literatur yang dijadikan tinjauan pustaka
sebagai berikut:
1. Sebuah skripsi yang ditulis Muhammad Adi Saputro yang berjudul
“Respon Gerakan Mujahidin Rohingya Terhadap Kebijakan
Politik Pemerintah Myanmar Tahun 1948-1962.” Skripsi ini terbit
tahun 2015 oleh Fakultas Adab dan Ilmu Budaya, Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dalam skripsi tersebut,
penulis menganalisis tentang persoalan perlawanan yang melawan
9
penguasa atau pemerintah Myanmar untuk mendapatkan
pengakuan identitas. Perlawanan ini sebenarnya sebagai reaksi dari
kelompok mujahidin Rohingya kepada penguasa untuk menuntut
hak-hak dan pengakuan. Dalam aspek metodologis, penelitian
tersebut dengan menggunakan studi stratifikasi sosial Max Weber.
Adapun kesamaan dalam penelitian skripsi yang ditulis oleh
peneliti dalam bidang persoalan sejarah mengenai akan persoalan
yang terjadi, dan perbedaannya ialah terletak pada unsur
kesejarahan mengenai histografi, dan aspek yang terkait dengan
sejarah.
2. Skripsi yang ditulis oleh Indah Angraini Sawal yang berjudul
“Implikasi Krisis Kemanusiaan Rohingya di Myanmar Terhadap
Negara-Negara Asean.” Skripsi ini terbit tahun 2017, oleh
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Univesitas Hasanuddin
Makasar. Dalam skripsi tersebut, peneliti melihat adanya isu
kemanusiaan yang terjadi di Myanmar, utamanya pada kelompok
etni Rohingnya yang mendapatkan perlakuan diskriminatif. Pada
kasus ini menganalisis tentang tanggapan negara-negara ASEAN,
dan kepeduliaan mereka dengan persoalan pengungsi Rohingya.
Dalam hal ini, penelitian yang dilakukan oleh peneliti lebih kepada
respon positif negara ASEAN. Mengenai kesamaan dalam
penelitian ini, ialah pada krisis kemanusiaan yang dianggap lemah
sebagai muslim dan tidak ada upaya negosiasi dari pemimpin
muslim.
3. Tesis yang oleh Gulia Ichikaya Mitzy yang berjudul “Perlawanan
Etnis Muslim Rohingya terhadap Kebijakan Diskriminatif
Pemerintah Burma-Myanmar.” Tesis ini terbit tahun 2013, oleh
Fakultas Ilmu Politik/Hubungan Internasional, Univerisitas Gajah
10
Mada. Dalam tesis tersebut, peneliti membicarakan pokok
persoalan mengenai perlawanan yang dilakukan oleh muslim
Rohingya terhadap pemerintah Burma-Myanmar, yang dinilai
telah melakukan bentuk diskriminasi terhadap kelompok mereka.
Adapun bentuk perlawanan mereka, ditemukan beberapa pokok
persoalan, yaitu perlawanan periode pertama yaitu jaman Junta
Militer lebih kepada perlawanan terhadap pemerintah secara
langsung seperti timbulnya pemberontakan ataupun melakukan
migrasi akibat kebijakan Burma Citizenship Law tahun 1982.
Perlawanan periode kedua yaitu transisi demokrasi, pola
perlawanan yang dilakukan cenderung akibat konflik etnis yang
berkepanjangan yang akhirnya menimbulkan pola perlawanan
yaitu migrasi dan penolakan penggunaan identitas Bengali demi
mendapatkan hak kewarganegaraan yang ditawarkan pemerintah
Burma-Myanmar.
4. Tulisan Ismail Suardi, dkk, yang berjudul “Muslim Minority in
Myanmar: A Case Study of Myanmar Govermen and Rohingya
Muslims”. Tulisan ini terbit tahun 2017 dalam Walisongo: Jurnal
Penelitian Sosial Keagamaan. Dalam tulisan tersebut, peneliti
menemukan beberapa hal mengenai bentuk diskriminasi yang
dilakukan oleh pemerintah Myanmar merupakan suatu bentuk
kekerasan yang dilakukan oleh negara kepada warganya. Bentuk
diskriminasi yang dilakukan oleh pemerintah merupakan bentuk
yang sangat keras dan membuat perhatian dunia internasional.
11
F. Kerangka Teori
Dalam sebuah penelitian sejarah, hal yang penting dilakukan
bagaimana melihat suatu peristiwa dan peristiwa lainnya. Pada penelitian
sejarah ini, ada peristiwa yang menjadi sebab dan berakibat pada peristiwa
lainnya. Penulisan sejarah tersebut kemudian dinamakan teori kausalitas.
Teori ini menekankan pentingnya melacak akar persoalan dan melihat
bagaimana proses sebab dari suatu peristiwa yang kemudian menjadikan
sebab yang lainnya.
Dalam artian, suatu fakta yang satu memiliki kesinambungan secara
historis dengan peristiwa sebelumnya. Menariknya, dalam penelitian yang
dilakukan oleh peneliti ialah untuk melihat sejauhmana konflik sosio-historis
akar yang terjadi di Myanmar. Persoalan ini sangat layak untuk dilacak
bagaimana sejarah Islam sampai dan berkembang di Myanmar. Islam bukan
hanya agama satu-satunya yang berada di negara Myanmar, mengingat
sebelumnya sudah ada agama Budha dan Hindu yang sudah banyak dianut di
negara tersebut. Pada proses inilah, ada semacam gesekan antarbudaya,
pemahaman, pun keterkaitan dengan aspek model lainnya.
Setelah itu, bagaiman Islam menjadi agama minoritas di antara agama
lainnya. Seperti yang terjadi pada etnis Rohingnya yang banyak beragama
Islam. Aspek yang lainnya dalam hal demikian bagaimana muslim Rohingya
berkonflik dan berpuncak pada adanya diskriminasi yang dilakukan oleh
pemerintah Myanmar kepeda etnis Rohingya. Proses-proses yang lainnya
seperti bentuk-bentuk kekerasan ataupun aspek yang berkenaan dengan
kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah. Dengan begitu, untuk
melacak akar sejarah Islam yang lemah terlebih dahulu melihat akar persoalan
yang terjadi sebelumnya.
12
G. Metode Penelitian
Metode penelitian yang dilakukan oleh peneliti ialah dengan
menggunakan analisis sejarah yang menekankan pada heuristik, pengumpulan
data, kritik sumber baik yang bersifat intern dan ekstern, interpretasi
(penafsiran) dan pada tahapan selanjutnya ialah tahap historiografi yang
disebut dengan tahap penulisan sejarah.12
Pada tahapan pertama, peneliti terlebih dahulu dengan heuristik ialah
dengan studi pustaka (library research). Sebagai studi pustaka keterlibatan
sumber menjadi suatu hal yang perlu dilakukan baik yang berkenaan dengan
sumber primer dan sekunder. Pada tahapan yang pertama ialah sumber primer
dengan menggunakan beberapa buku sejarah yang berkenanan dengan sejarah
Islam di Myanmar, bagaimana Islam sampai dan menjadi anutan oleh etnis
Rohingya. Tahapan kedua ialah sumber sekunder yang berkenaan dengan
tulisan baik skripsi, tesis, jurnal dan beberapa WEB yang sudah teruji secara
validitas dan diakui kredibilitasnya baik dalam skala nasional dan
internasional.
Pada tahapan kedua ialah dengan kritik sumber baik yang bersifat
intern dan ekstern.13
Proses intern dan ekstern ini dilakukan penulis untuk
melihat beberapa hal yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan.
Unsur-unsur yang berkenaan dalam hal ini tentu dengan menelusuri tema-
tema yang berkaitan serta bagaimana demikian menjadi aspek penting yang
kemudian perlu ditelaah lebih mendasar sesuai dengan penelitian yang
dilakukan. Proses yang berkenaan dengan aspek ini bertujuan untuk melihat
lebih jauh dengan suatu studi kritik pada sumber yang bersifat intern dan
ektern mengenai studi teks.
12
M. Dien Madji dan Johan Wahyudi, Ilmu Sejarah Sebuah Pengantar (Jakarta:
Kencana, 2014), hal. 218-231. 13
Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1999), cet. 2, hal. 27.
13
Pada tahapan ketiga ialah interpretasi (penafsiran) ini berkenaan
dengan aspek-aspek lebih mendalam suatu teks itu hadir sebagai telaah
dengan proses yang berkenaan dengan kategori tertentu dalam melihat fakta-
fakta yang ditampilkan oleh peneliti-peneliti lainnya yang berkenaan dengan
kesamaan dan perbedaan penelitian yang dilakukan. Hal yang dilakukan oleh
penulis ialah dengan metode analisis dan sintesis, sebagai bentuk penyelidikan
dan menemukan sumber data yang sesuai sebagai tahapan kelanjutan dan
sumber primer dan sekunder.
Pada tahapan keempat ialah tahap historiografi yang disebut dengan
tahap penulisan sejarah. Penulisan sejarah ini merupakan tahap terakhir
setelah peneliti lakukan dengan tahapan-tahapan selanjutnya untuk
menggiring wacana yang menjadi pokok persoalan dalam penelitian ini.
Dalam artian, tahapan ini sebagai suatu proses penulisan yang berskala
linearitas akhir dari pembentukan pengembangan dari data yang didapat,
menggunakan pendekatan sosial.
H. Sistematika Penulisan
Secara keseluruhan skripsi ini terbagi dalam lima bab, yang tersusun
sebagai berikut:
Bab I Berisi Pendahuluan yang meliputi latar belakang
yang berkenaan dengan persoalan yang menjadi
kegelisahan peneliti, identifikasi masalah, batasan
dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori,
metodologi penelitian terakhir sistematika
penulisan.
14
Bab II Membahas tentang Sejarah Islam di Myanmar, juga
dengan asal-usul etnis Rohingya, dan Dinamika
Islam.
Bab III Membahas tentang sosio-historis konflik Muslim
Rohingya, ketegangan hubungan etno-religius
terakhir ketegangan politik kewarganegaraan.
Bab IV Etnis Muslim Rohingya yang lemah Membahas
tentang etnis muslim Rohingya yang mengalami
diskriminasi dan keberadaan etnis Rohingya pasca
konflik.
Bab V Berisi penutup yang terdiri atas kesimpulan yang
merupakan jawaban dari permasalahan yang
menjadi tujuan awal pengkajian penelitian ini, dan
saran-saran yang menjadi masukan-masukan untuk
perbaikan penelitian berikutnya.
15
BAB II
ASAL-USUL ETNIS ROHINGYA DAN SEJARAH ISLAM DI MYANMAR
A. Asal-Mula Etnis Rohingya
Membicarakan sejarah Islam di Myanmar, terlebih dahulu mengetahui
asal-usul etnis Rohingya karena dari sinilah akar persoalan Islam menjadi
bagian terpenting dalam sejarah Myanmar. Dari asal-usul inilah kemudian
dapat melacak bagaimana Islam pernah berperan menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dalam sejarah. Dalam pada itu, peran serta aktivitas yang
dilakukan oleh muslim menjadi hal yang tidak bisa dinafikan begitu saja.
Sebagaimana konflik yang terjadi saat ini dan menjadi bentuk diskriminasi
yang paling mengerikan sepanjang sejarah.
Asal-mula sejarah etnis Rohingya berawal saat masyarakat kuno yang
memiliki keturunan Indo-Arya menetap di Rakhine. Kemudian mereka
memutuskan memeluk Islam pada abad ke-8. Dalam pada itu, generasi yang
mereka mewarisi darah campuran Arab (sekitar tahun 788-801 M), Persia
(sekitar tahun 700- 1500 M), Bengali (sekitar tahun 1400-1736 M), dan
ditambah Mughal (sekitar tahun pada abad ke-16 M).14
Campuran darah inilah
yang kemudian membentuk kebudayan yang khas bagi kelompok etnis
Rohingya. Utamanya dalam dialek bahasanya yang nampak berbeda dari
beberapa etnis yang lainnya, sehingga identitas mereka dapat diketahui dari
cara dialek sehari-hari yang berbeda dari kebanyak etnis lainnya.
Sejumlah besar mereka berasal dari daerah Bangladesh, tetapi bukan
itu yang “dikelompokkan” dengan satu sebutan etnis Rohingya; mereka
adalah satu keturuan ras dari Arakan India dengan pengaruh warna kulit dan
14
Republika “Melacak Asal Usul Etnis Rohingya” diakses pada 27 April 2019 dari
https://www.republika.co.id/berita/koran/islam-digest-koran/15/05/31/np7roj-melacak-asal-
usul-etnis-rohingya.
15
16
tradisi dari Arab dan Mughals.15
Secara fisik etnis Rohingya memiliki
kesamaan fisik dengan orang Bangladesh, merupakan keturuan dari campuran
Bengali, Persia, Mongol, Turki Melayu, dan Arab yang menyebabkan
kebudayaan Rohingya sedikit berbeda dari kebanyakan orang Myanmar. Juga
persoalan bahasa yang dipengaruhi oleh bahasa Arab, Parsi, Urdu dan
Bengali. Dari mereka kebanyakan muslim dan sebagian lainnya menganut
agama Budha.16
Penyebutan Rohingya, para sejarawan memiliki perbedaan pendapat.
Beberapa sejarawan mengatakan bahwa kata „Rohingya‟ berawal dari bahasa
Arab, yaitu “Rahma” yang memiliki makna “pengasih”. Hanya saja,
penduduk Arakan tampak kesulitan dalam mengucapkan kata “Rahma”. Dari
kata “Rahma” menjadi “Raham”. Lambat laun kata itu berubah menjadi
“Rohang,” hingga akhirnya berubah menjadi “Rohingya”17
. Kesulitan
penyebutan ini menambah kuat bahwa mereka etnis Rohingya memiliki dialek
yang berbeda dan bahasa yang mereka gunakan cenderung khas, dialek
merupakan tanda yang pasti untuk mengidentifikasikan keberadaan mereka
selain warna kulit.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Abdullah Idi:
“Dari sudut kebahasaan, bahasa yang diklaim sebagai bahasa
Rohingya sebenarnya termasuk ke dalam rumpun bahasa Indo-
Eropa, khususnya kerabat bahasa Indo-Arya. Lebih detail lagi,
bahasa Rohingya dikategorikan bahasa-bahasa Chittagonia yang
dituturkan oleh masyarakat di bagian tenggara Bangladesh.
15
Poltak Partogi Nainggolan. Aktor Non-Negara: Kajian Implikasi Kejahatan
Transnasional di Asia Tenggara (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 2017), hal. 6-7. 16
Iin Karita Sakharina dan Kadaruddin. Pengantar Hukum Pengungsi Internasional
(Perbedaan Istilah Pencari Suaka Pengungsi Internasional, dan Pengungsi Luar Negeri)
(Yogyakarta: Deepublish, 2017) hal. 268. 17
Zinda Rahma Ilfana “Ambiguitas Sikap Politik Aung San Suu Kyi Terhadap
Masalah Segregasi Etnis Rohingya,” Skripsi, Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas
Ilmu Sosial Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Malang, 2017, hal. 34
17
Sementara itu, kebanyakan bahasa di Myanmar tergolong rumpun
Tai Kadal, Austroasitaik, atau Sino-Tibetan. Jadi, jelas bahwa
kelompok etnis Rohingya merupakan keturunan Bengali,
khususnya sub-etnis Chittagonia yang tinggal di Bangladesh
Tenggara.”18
Terlepas dari berbagai persoalan mengenai darimana etnis Muslim
Rohingya berasal, hal yang menarik ialah adanya Islam di tengah-tengah
agama yang sudah melakukan pengaruh di Myanmar, Hindu dan Budha.
Adanya Islam di tengah-tengah kedua agama tersebut merupakan bukti bahwa
pengaruhnya di seluruh penjuru dunia begitu kuat. Setelah Nabi Muhammad
Saw. Wafat, beberapa tahun kemudian Islam telah menancapkan
kekuasaannya di berbagai wilayah, baik di Arab, Eropa dan Asia. Di tangan
para raja-raja yang tangguh itulah, Islam menjadi momok yang menakutkan
bagi kerajaan-kerajaan yang tersebar di seluruh dunia.
Alternatif lain ialah yang digunakan oleh para saudagar dengan
memantik pengikut dengan pendekatan-pendekatan sosial-budaya, sosio-
politik, dengan adanya diskusi-diskusi kecil yang kemudian merambah pada
arus ajaran Islam. Pedagang-pedagang Arab memperkenalkan Islam kepada
mereka saat mendarat di delta Sungai Ayeyarwady, Semenanjung Tanintharyi,
dan Arakan yang terletak di sisi barat Myanmar pada tahun 1055M.19
Jelasnya, mereka juga mendapatkan tantangan yang cukup berat pula, tindak
kekerasan dan diskriminasi tidak jarang mereka temui pada kehidupan
keseharian mereka. Kaitan dengan Islam di Rohingya juga karena peran
perdagangan yang sedikit demi sedikit mempengaruhi pola pikir dan keadaan
yang sebelumnya sudah ada agama.
18
Abdullah Idi. Konflik Etno-Religius di Asia Tenggara (Yogyakarta: LKiS, 2018),
hal. 125. 19
Tirto.id “Rohingya dan Sejarah Masuknya Islam di Myanmar” diakses pada 21
Juli 2019 dari http:/tirto.id/rohingya-dan-sejarah-masuknya-islam-di-myanmar-b5AX
18
B. Dinamika Islam
Dinamika merupakan sebuah nilai perubahan yang memiliki sifat
dasariah yaitu kecil-besar, lambat-cepat, yang berkenaan dengan kenyataan
serta berhubungan suatu kondisi atau keadaan tertentu. Pada aspek ini,
dinamika memiliki pengertian yang khas pada suatu kondisi atau keadaan
masyarakat di mana perubahan merupakan suatu perkembangan atau laju dari
proses kebudayaan, agama, dan aspek lainnya. Hubungan ini menjadi aspek
penentu dari suatu keadaan yang mempunyai poros tersendiri dalam bidang
agama. Poros agama ini, ketika dikaitkan dengan sejarah utamanya agama
Islam sebagai agama terakhir yang turun di Jazirah Arab yang kemudian
menyebar ke seluruh dunia dengan berbagai macam ekspansi.
Ekspansi agama Islam ke seluruh penjuru dunia dengan berbagai
macam penyebarannya. Hal ini merupakan bentuk bahwa Islam di awal yang
lemah kemudian menjadi agama yang kuat karena Islam diterima oleh
berbagai kalangan. Namun yang menjadi catatan di sini ialah, penyebaran
Islam ke seluruh dunia begitu beragam. Ada yang dilakukan dengan mengirim
surat sebagai bentuk negosiasi kepada kepada negara untuk memeluk Islam.
Berbagai tanggapan beragam terjadi, mulai penentangan sikap dan
menyatakan sikap untuk bergabung. Demikian itu dilakukan Nabi Muhammad
Saw., dan setelah Nabi wafat penyebaran Islam ke seluruh dunia dilakukan
dengan berbagai macam, mulai ekspansi wilayah melalui perang,
perdagangan, pengajaran dan aspek-aspek yang berkenaan lainnya.
Hal ini menunjukkan bahwa eksistensi Islam di dunia merupakan
bentuk kedewasaan dengan jalur apapun Islam bisa diterima oleh kalangan
masyarakat yang notabene sudah memiliki agama warisan dari nenek
moyangnya. Dinamika-dinamika penyebaran dari waktu ke waktu berubah
seiring dengan kekuatan Islam yang besar. Agar Islam diterima hal yang
dilakukan dengan cara jalan negosiasi perdamaian, jika hal demikian
19
mendapatkan pertentang maka perang menjadi alternatif lainnya. Seiring
bergulirnya waktu, ekspansi Islam menyebar ke berbagai pelosok desa di
dunia. Dengan jalur perdagangan menjadi alternatif dari ulama‟-ulama‟ Islam
sebagai bentuk bahwa Islam sebagai agama damai dan sangat toleransi kepada
umat manusia. Kerajaan Islam menyebar di mana-mana, pun kekuatan-
kekuatan mereka begitu luar biasa. Sehingga tidak bisa dinafikan pula bahwa
ilmu pengetahuan menjadi peran dengan berdirinya pusat studi keilmuan.
Terlepas dari berbagai fenomena yang menjadi latar belakang Islam
dengan berbagai bentuk ekspansinya yang meluas dan menjadi kekuatan yang
besar. Persoalan yang muncul dari bentuk ekspansi-ekspansi itulah, pertemuan
Islam dengan kebudayaan-kebudayaan, tradisi, agama dan penyesuaian yang
lainnya. Jelasnya, beberapa ulama‟ yang terlibat dalam penyebaran Islam
harus berpikir bagaimana Islam dapat diterima oleh kalangan-kalangan yang
sebelumnya sudah memiliki agama warisan. Penyesuaian ini jelas dilakukan
oleh ulama‟ Islam yang secara konteks politik tidak ikut serta penyebaran
dengan ekspansi-ekspansi peperangan yang banyak dilakukan sebelumnya.
Namun, tidak bisa dipungkiri pula bahwa keberadaan Islam sebagai ajaran
baru juga perlu menyesuaikan dengan konteks sosio-historis-politis.
Tidak jarang pula, pertentangan antara umat manusia yang
sebelumnya menerima warisan nenek moyang dengan umat manusia yang
dengan kokoh memegang otoritas agama nenek moyangnya. Pertentangan
demi pertentangan tidak dapat dielakkan, ada yang berakhir dengan
pertumpahan darah dan ada juga yang dapat dilakukan dengan negosiasi agar
satu sama lainnya tidak mengganggu hakikat kehidupan mereka masing-
masing. Jalan negosiasi ini menjadikan Islam sebagai agama minoritas di
kalangan mayoritas menjadi solusi yang sangat positif untuk mencegah
konflik yang merugikan seperti pertumpahan darah. Dengan jalan inilah, tidak
20
sedikit Islam bisa berdampingan dengan kehidupan manusia lainnya baik
yang berbeda secara agama, budaya, dan tradisi yang mengakar sebelumnya.
Hidup perdampingan ini merupakan praktik yang pernah dilakukan
oleh Nabi Muhammad Saw., di kota Madinah. Dengan begitu, lahir piagam
Madinah yang menjadi aspek utama dalam kehidupan Nabi Muhammad di
Madinah adalah soal perpaduan baru antara emigran dari Makkah (Muhajirin)
dan penduduk asli Madinah (Ansar).20
Hal yang dicontohkan oleh Nabi
merupakan kasus pertama pada Islam sebagai agama minoritas di Makkah
yang kemudian pada generasi selanjutnya juga dilakukan oleh sebagian
ulama‟ yang ikut serta menyebarkan agama Islam. Tindakan-tindakan yang
dilakukan Nabi tersebut merupakan dinamika sejarah Islam pertama.
Dalam arus seterusnya, Islam menyebar ke Asia seperti Indonesia,
Cina, Myanmar dan negara-negara Asia lainnya. Pada aspek ini, yang ingin
diperlihatkan dalam hal ini yaitu Islam pertama kali ada di Myanmar. Dalam
hal ini, para sejarawan berbeda pendapat mengenai Islam sampai di Myanmar.
Perbedaan pendapat ini bukan berarti mengurangi kadar keotentikan nilai
sejarah itu sendiri, melainkan perbedaan pendapat merupakan salah satu aspek
yang biasa terjadi di kalangan sejarah mengingat pendekatan-pendekatan
dalam bidang sosial yang digunakannya. Terlepas dari berbagai alasan
bagaiamana sejarawan menulis dengan pendekatan-pendekatan tertentu, Islam
di Myanmar menjadi menarik dikaji.
Pendapat pertama, mengatakan bahwa Islam masuk ke Myanmar
sekitar 1055 Masehi. Hal yang dilakukan oleh ulama‟ dalam memperkenalkan
Islam yaitu pedagang-pedagan Arab memberikan perkenalan kepada mereka
saat mendarat di delta Sungai Ayeyarwady, Semenanjung Tanintharyi, dan
daerah Arakan yang terletak di barat Myanmar. Gunung Arakan memisahkan
20
Tirto.id “Piagam Madinah dan Upaya Menyelesaikan Sengketa dengan Orang
Yahudi” diakses pada 28 April 2019 dari https://tirto.id/piagam-madinah-dan-upaya-
menyelesaikan-sengketa-dengan-orang-yahudi-cLfo
21
wilayah daerah Arakan dengan mayoritas beragama Budha. Sebagai agama
minoritas mereka memiliki keturunan dari saudagar Arab, India, Persia, Turki,
Pakistan, Bangladesh, dan Melayu.21
Pendapat kedua, mengatakan bahwa keberadaan Islam di wilayah
Arakan sudah ada sejak pada abad ke-8 Masehi. Adapun yang melakukan juru
dakwah, salah satunya Mohammed Hanifa. Dengan adanya Mohammed
Hanifa ini, merupakan cikal bakal Rohingya baru terlacak sejak berdirinya
Kerajaan Islam Din Nya Waddy yang menguasai Arakan pada tahun 1430.
Adapun titik keberadaan kerajaan Islam, ada di Teluk Benggala yang
dipisahkan oleh pegunungan Arakan Yoma ini memiliki keterkaitan erat
dengan etnis India dari pada etnis-etnis di Myanmar.
1. Sejarah Awal Islam Masuk
Islam masuk di Myanmar tidak terlepas dari ilmu pengetahuan
yang menjadi proses tersebarnya agama Islam ke berbagai penjuru
dunia. Pengetahuan orang Islam dalam bidang astronomi, navigasi,
dan geografi merupakan senjata mereka dalam melakukan
perjalanan. Ditambah dengan pengetahuan yang memadai dalam
bidang tersebut, orang Islam juga memiliki kemampuan
berdagang. Perdagangan yang mereka lakukan seperti rempah-
rempah, katun, batu mulia, dan komoditas lainnya yang memang
menjadi ketertarikan para pedagang dari seluruh penjuru dunia.
Dalam kaitannya dengan penyebaran agama Islam, atau terjadinya
proses Islamisasi pada dua daerah, seperti Pagan (Bagan) dan
Arakan pada tahun 1055 Masehi.22
21
Heri Sugiarto. Overland dari Negeri Singa ke Daratan Cina-Jilid 3: Memoar
Perjalanan Misi Menuntaskan Menjelajah Negeri-Negeri Asean (Yogyakarta: PT. Leutika
Nouvalitera, 2018), hal. 66. 22
Marsha E. Ackermann, dkk. Encycplopedia of World History (New York: Golson
Books, 2007), hal. 56.
22
Mengenai Islam di Arakan, proses Islamisasi terjadi pada abad
ke-7. Proses Islamisasi di Arakan ini melalui jalur perdagangan
yang dilakukan oleh pelaut yang berasal dari Arab, Moor, Turki,
Moghuls, Asia Tengah dan Bengal. Namun kebanyakan dari
mereka ialah bangsa Arab yang banyak menguasai perdagangan
sehingga banyak melahirkan para pedagang yang tidak dapat
tertandingi. Proses perdagangan ini kemudian berubah menjadi
proses Islamisasi, dimana mereka memanfaatkan waktu luang
mereka untuk melakukan pendekatan-pendekatan secara kultural.
Arakan salah satu wilayah yang terdapat kerajaan yang
dipimpin secara bergantian di antara tiga agama yang ada di sana,
yaitu Islam, Budha dan Hindu. Ketiga agama tersebut, bukan
berarti tidak ada peperangan. Mereka melakukan perang sebagai
bentuk untuk menjaga daerah-daerah, yaitu Arakan. Dalam pada
itu, mengenai raja dan kerajaan yang pernah berdiri di Arakan
sebagai berikut:23
a. Dhannyawadi yang memimpin tahun 146-746 Masehi,
yang terdiri dari 25 raja.
b. Vaisali yang memimpin tahun 788-994 Masehi, yang
terdiri dari 12 raja.
c. Pyin Tsa (pertama) atau juga disebut dengan Sanbaut yang
memimpin tahun 1018-1103 Masehi, yang terdiri dari 15
raja.
d. Pae-rein yang memimpin pada tahun 1103-1167 Masehi,
yang terdiri dari 8 raja.
e. Kharit yang memipin pada tahun 1167-1180 Masehi, yang
terdiri dari 4 raja.
23
Azizah. Pemberontakan Sporadis Muslim Rohingya Pascakemerdekaan Burma
1948-1988 (Jakarta: FIB UI, 2006)
23
f. Pyin Tsa (kedua) yang memimpin pada tahun 1180-1237
Masehi, yang terdiri dari 16 raja.
g. Mrauk-U yang memimpin pada tahun 1430-1784 Masehi,
yang terdiri dari 48 raja.
Di masa dulu, ekspansi-ekspansi merupakan bentuk yang tidak
dapat dihindari mengingat raja-raja dulu ingin memberikan
pengaruh yang besar pada berbagai kerajaan. Dalam arti, bahwa
setiap raja memiliki agama dan persoalan lainnya, yang kemudian
menjadikan raja tersebut untuk menguasai setiap wilayah yang
dianggap penting. Meluasnya kerajaan tersebut membuktikan
bahwa raja tersebut dianggap orang yang memiliki pengaruh dalam
segi ekonomi, politik, sosial atau agama yang dianutnya. Maka
tidak salah jika seorang raja memimpin dengan ambisi melebarkan
kekuasaannya untuk memberikan pengaruh.
Dalam pada itu, adanya Islam di Arakan dan menjadi besar
bukan berarti tidak adanya faktor yang melatar belakanginya.
Ekspansi yang dilakukan oleh kerajaan Islam sebagaimana
kerajaan-kerajaan Islam yang lainnya untuk melakukan pengaruh
dalam bidang agama. Kenyataan ini memang dibuktikan oleh
kerajaan Islam di seluruh dunia bahwa mereka sebenarnya mampu
menaklukkan kerajaan-kerajaan yang sebelumnya ada proses
negosiasi. Keterlibatan ini memberikan dampak yang luar biasa
dalam pengaruhnya sehingga Islam mampu dikenal di seluruh
penjuru dunia.
Mengenai Islam di Arakan ini, tidak terlepas dari peran dinasti
Mrauk-U yang memiliki banyak pengaruh dibanding raja-raja
24
sebelumnya 1430-1784 Masehi.24
Pengaruh dinasti Mrauk-U
dalam bidang kemajuan terlihat dari ilmu pengetahuan yang
meliputi sastra dan budaya Arakan dalam sendi-sendi kehidupan.
Pengaruh dinasti tersebut tidak hanya dalam bidang ilmu
pengetahuan saja, melaikan pada dimensi ekonomi yang
menggunakan mata uang dengan bertuliskan Arab sebagai mata
uang resmi negara. Pada sisi lainnya pula, gelar yang mereka
gunakan pula disebut „Sultan‟ sebagaimana yang dilakukan oleh
raja-raja Islam di dunia.
Dalam pada itu, dinasti Mrauk-U mengokohkan Islam sebagai
suatu nilai yang mereka usung. Keadaan ini membuktikan bahwa
pengaruh dinasti ini sangat sentral dalam bidang agama dibanding
dari agama-agama sebelumnya, yaitu Hindu dan Budha. Di mana
kedua agama tersebut merupakan agama yang sudah menanamkan
nilai-nilainya baik dalam moral, ajaran, serta aspek yang lainnya
sudah tumbuh kembang di masyarakat Arakan. Pengaruh yang luar
biasa ini suatu hal yang sangat memberikan arah positif bagi
perkembangan Islam di Arakan.
Hal inilah yang kemudian terjadi di tahun 1784 Masehi, Raja
Burma mengirimkan 30.000 pasukan untuk menaklukkan Arakan,
tentara tersebut diturunkan atas perintah dari bangsawan
Nagasandi.25
jatuh kepada orang-orang Myanmar. Kebijakan-
kebijakan yang sebelumnya dipegang oleh Islam lambat-laun
berubah menjadi kekuasaan orang-orang Budha yang menjadikan
Arakan sebagai bagian jajahan dari Burma. Dengan pengaruh
agama Budha lambat laun ada kecemburuan-kecemburuan yang
24
Azizah. Pemberontakan Sporadis Muslim Rohingya Pascakemerdekaan Burma
1948-1988 (Jakarta: FIB UI, 2006) 25
Mohammed Ashraf Alam, “A Short Historical Backround” diakses pada 24 Juli
2019 dari situs http://www.rohingyatimes.i-p.com/history/history mma.html
25
sengaja dipantik oleh raja-raja karena tidak suka kalau Islam ada
yang saat kapanpun dapat melakukan perebutan kekuasaan.
2. Penjajahan Inggris dan Jepang
Inggris (1824-1942) dan Jepang (1942-1945) memiliki
pengaruh yang signifikan dan berdampak luar biasa pada etnis
Muslim Rohingya yang berada di Arakan. Peristiwa ini lebih
tepatnya dikatakan, bahwa kedua negara tersebut memanfaatkan
kelompok agamawan demi berlangsungnya kepentingan mereka.
Kepentingan kedua negara tersebut, merupakan kolonialisasi dan
imperialisasi untuk sebuah tujuan menguasai dan mendapatkan apa
yang mereka inginkan dari negara yang dijajahnya. Singkatnya,
peran Inggris dan Jepang di Myanmar adalah untuk memecah
belah kesatuan yang sudah ditata sebelumnya.
Sebagai negara yang menjajah, kedua tersebut memiliki
kepentingan dan ingin meraih kekuasaan yang besar sehingga bisa
diakui sebagai bangsa yang kuat dan maju. Kaitan ini diperjelas
dengan pengaruh mereka terhadap negara jajahan. Sebagaimana
Inggris yang waktu menjajah India, yang kemudian memperluas
daerah kekuasaan pada Myanmar, pada tahun 1886. Pada tahun
tersebut Inggris merebut kembali wilayah Arakan, mengembalikan
serta memberi perlindungan terhadap muslim Arakan. Inggris
memanfaatkan situasi ini demi keberlanjutannya sebagai kolonial
untuk mendapatkan dukungan dari Muslim Arakan. Dengan
diberlakukannya kebijakan-kebijakan yang saling menguntungkan
ini, kemudian Inggris melakukan kerjasama yang membuat etnis
Muslim Rohingya mendukung kebijakan tersebut.
Berbanding arah dengan Jepang melalui BIA dan Japanese
Imperial Army (JIA), yang melakukan sebuah pengusiran pada
26
orang-orang India. Jepang dengan melakukan kerjasama dengan
orang-orang Budha melakukan serangkaian serangan kepada
Muslim Arakan yang mendapatkan dukungan dari pemerintahan
Jepang. Menjadi lengkap kemudian, ketika kedua agama tersebut
diberlakukan oleh Jepang dan Inggris. Langkah-langkah yang
strategis merupakan faktor yang mengguntungkan bagi kelompok
kolonial. Keuntungan dari konflik kedua agama tersebut memang
sengaja dibenturkan karena usaha kedua negara untuk menguasai
wilayah Arakan.
Loyalitas kedua agama tersebut saling memberikan pengaruh
yang besar bagi keberadaan agama Islam dan Budha. Kedua agama
ini tentunya memiliki bentuk kerjasama yang diberlakukan secara
politis dengan berbagai serangkaian agresi politik. Jelasnya,
faktor-faktor yang mempengaruhi kedua agama bekerjasama
dalam bidang politik dengan melakukan dukungan tidak lain
karena faktor tertentu. Adapun dapat terlacak sebagai berikut:26
1. Tahun 1942, ketika Jepang melakukan bentuk invasi pada
Burma. Pada waktu itu, penduduk Burma cerdas dalam
mengambil suatu kesempatan untuk memprovokasi orang-
orang Budha di Arakan. Dalam kejadian tersebut, terjadi
bentrokan yang menewaskan orang-orang sekitar 100.000.
Sebagian yang lain ada yang melarikan diri ke Bengali.
Pada masa pendudukan Jepang, umat Budha menjadi
kelompok mayoritas. Pada bentrokan itu, kemudian
menjadikan Arakan pada dua wilayah, yaitu: Bagian
Selatan dihuni oleh orang-orang Budha, sedangkan di
Bagian Utara dihuni orang-orang Muslim Rohingnya.
26
Historia “Penghunan Tanah Arakan,” diakses pada 30 April 2019 dari https:
//historia.id/agama/articles/penghuni-tanah-arakan-DrB5m
27
2. Pada tahun 1943, tepat pada bulan April melakukan jalinan
yang dengan etnis Muslim Rohingya sekaligus
merencanakan serangan pada wilayah yang dikuasai oleh
Jepang. Dalam rencana itu, kemudian dinamakan “V-
Force”. Maksud dari rencana itu, bahwa Inggris ingin
merebut kekuasaan Jepang di wilayah Selatan, dimana
Inggris menggunakan etnis Muslim Rohingya di wilayah
Utara. Pada tahun 1945, Inggris kemudian menguasai
wilayah Selatan yang sebelumnya dikuasai Jepang.
Pada tahun 1948, Myanmar merdeka dari dua Inggris dan
Jepang. Kemerdekaan ini jelas memberikan kebahagiaan tersendiri
bagi orang-orang Myanmar. Kemerdekaan ini memberikan
legitimasi penuh bagi warga negara Myanmar yang sudah
memiliki status bahwa mereka bebas dari kebijakan-kebijakan
yang merugikan. Namun, pada saat ini pula yang getir-pilu bagi
etnis Muslim Rohingya penderitaan dimulai. Mereka tidak
mendapatkan pengakuan yang secara sah dari pemerintah. Dalam
arti, bahwa kemerdekaan Myanmar merupakan awal dari
penjajahan bagi etnis Muslim Rohingya.
3. Masa Kemerdekaan
Myanmar merdeka pada tahun 1948. Kemerdekaan Myanmar
merupakan tragedi memilukan bagi etnis Muslim Rohingya.
Keberadaan etnis Muslim Rohingya pasca kemerkaan Myanmar
begitu tragis karena mereka tidak dianggap sebagai warga negara.
Hal ini dipicu karena etnis Muslim Rohingya dianggap imigran
28
gelap dan pelintas batas dari Bangladesh dan selama penjajahan
Inggris.27
Persoalan ini kemudian tambah runyam dengan berbagai
serangkaian tragedi yang terjadi kepada etnis Muslim Rohingya.
Mereka mendapatkan diskriminasi, mulai pembunuhan,
pemerkosaan, dan tindakan-tindakan yang kurang wajar lainnya.
Hal ini menunjukkan bahwa apa yang dilakukan oleh
pemerintahan Myanmar sangat berdampak pada kehidupan etnis
Muslim Rohingya. Artinya, kemerdekaan hanya dimiliki penganut
Budha yang menjadi basis mayoritas di negara tersebut. Konflik
ini berpuncak pada proses keberadaan etnis Muslim Rohingya
yang dalam hal ini mendapatkan diskriminasi yang sangat
memungkinkan membunuh karakter mereka baik dalam bidang
sosial, politik dan aspek-aspek lainnya.
Keberadaan ini bertambah kacau ketika etnis Muslim
Rohingya menuntut hak-hak mereka sebagai bagian dari warga
negara Myanmar. Kelompok yang memperjuangkan hak-hak
mereka dilakukan dalam bentuk perlawanan-perlawanan yang
secara tidak langsung menambah pilu keberadaan mereka. Namun,
alasan mereka sangat masuk akal ketika mereka ingin diakui
keberadaannya mengingat mereka bermukim sudah berlangsung
lama.
27
Riza Sihbudi, dkk. Problematika Minoritas Muslim di Asia Tenggar: Kasus, Moro,
Pattani dan Rohingya (Jakarta: PPW-LIPI, 2000), hal. 175.
29
BAB III
SOSIO HISTORIS KONFLIK MUSLIM ROHINGYA
A. Ketegangan Hubungan Etno-Religius
Etnis Rohingya sebagai kelompok yang rata-rata Islam, sejatinya
memiliki akar konflik jauh sebelum diekspos di dunia. Sebagaimana yang
telah diungkapkan di bab sebelumnya, bahwa gesekan konflik agama sudah
mulai muncul sejak Myanmar masih dalam bentuk kerajaan, masa penjajahan
Inggris-Jepang dan masa kemerdekaan. Konflik yang berkepanjangan ini
tidak ada bentuk penyelesaiannya yang pasti sehingga mengakibatkan konflik
yang semakin runyam. Akibat dari konflik tersebut, membuat etnis Rohingya
mendapatkan bentuk diskriminasi yang beragam. Diskriminasi tersebut dapat
berbentuk kekerasan, pengusiran dan pembunuhan masal. Aspek ini yang
jelas sebuah gambaran bahwa tidak adanya perlindungan serta proses
penyelesaian yang bisa membuat kedua kelompok yang berkonflik.
Melacak persoalan konflik yang terjadi di Myanmar tidak lain adalah
konflik antara etnis, politik dan agama. Dalam pada itu, kelompok minoritas
menjadi sasaran empuk bagi kelompok mayoritas sehingga dengan mudah
gesekan adanya konflik yang tidak berimbang tersebut terjadi. Pola-pola ini
sudah menjadi hal yang lumrah terjadi
Dalam pada itu, faktor konflik antar agama ditengarai oleh tiga hal,
antara lain:28
Pertama, dalam pandangan sosio-psikologis, identitas keagamaan
yang beragam membentuk identitas kelompok dan dapat menghasilkan
eskalasi dinamika antarkelompok. Pada aspek ini, kelompok yang sama dalam
agama menjadi prioritas utama dibanding dengan kelompok yang berbeda
agama. Kesamaan dalam beragama merupakan suatu hal yang sangat jelas,
28
Sandy Nur Ikfal Raharjo “Peran Identitas Agama dalam Konflik di Rakhine
Myanmar Tahun 2012-2013”. Dalam Jurnal Kajian Wilayah, Vol. 6, No. 1, 2015, hal. 37.
29
30
kaitana ini dengan pola hubungan dalam bentuk komunikasi pada intern.
Ketika hubungan pola komunikasi ini terjalin dengan jelas dan pasti, maka
untuk merefleksikan apapun dapat diterima. Namun, ketika pola kesamaan
yang berbeda seolah ada yang kurang nyaman atau ada sesuatu hal yang tidak
bisa menyenangkan. Dari pola interaksi yang kurang baik inilah kemudian
terjadi sekat, kurang nyaman, dan akhirnya konflik yang tidak dilerai.
Kedua, identitas keagamaan bersifat khusus karena terhubung dengan
ide, norma, dan nilai bersama yang dilegitimasi oleh sumber transendental.
Pada aspek ini, penganut agama tertentu sudah mulai memasuki fase-fase
tertentu atau berhubungan dengan sikap transendental. Fase transendental ini
memiliki unsur yang mengandung nilai terkait ajaran yang bersumber pada
aspek terdalam suatu agama. Aspek terdalam ini kemudian membentuk pola
perilaku yang didalamnya mengandung unsur denga hakikat agamanya dan
hal ini cenderung tertutup. Keadaan tertutup inilah kemudian membuat
mereka cenderung berada pada alergi dengan ajaran agama lain. Pembatasan
ini tidka bisa dihindari begitu saja, sehingga membela agama tersebut sebagai
suatu jihad dan bagaimana meraih menang sebagai satu-satunya jalan meski
banyak korban harus berjatuhan.
Ketiga, faktor agama sering dipahami sebagai sumber mobilisasi yang
memungkinkan dalam konflik. Pada aspek ini, konflik mulai dengan proses
dan kondisi yang semakin membuat agama bukan suatu nilai kandungan
dalam menentramkan umatnya. Melainkan konflik agama di sini mulai
ditengarai oleh persoalan yang terkait dengan politisasi. Politisasi agama ini
karena dipicu oleh sosio-ekonomi-politik. Kondisi ini banyak yang
memainkan peran atau aktor di balik terjadinya konflik yang semakin runyam.
Konflik ini bisa ditengarai oleh pemimpin agama itu sendiri, bisa penguasa,
agen-agen tertentu yang memiliki kepentingan tertentu untuk mendapatkan
sesuatu juga. Dengan begitu, mereka memanfaatkan massa atau umat dalam
31
mendapatkan kekuasaan dan kepentingan tertentu. Aspek ini sangat sulit
dihindari mengingat sebelum kepentingan itu didapatkan tidak akan bentuk
penyelesaian yang pasti dan satu sama lain berargumentasi sesuai dengan
aspek keagamaan yang mereka gunakan.
Dalam ketiga aspek itulah dapat terlacak bahwa akar konflik agama
jelas bertendensi sangat serius. Dapat dipastikan bahwa agama menjadi
sumber yang paling riskan keberadaannya karena dengan mudah menjadi
lautan api yang besar. Hal ini dapat berisiko besar kepada keberadaan mereka
sebagai yang berkonflik karena korban yang besar tak dapat dihindari.
Kerugian di berbagai sektor menjadi sasarannya, seperti keamanan,
perekonomian dan aspek lainnya. Keadaan yang tidak menentu ini menjadi
problem yang sangat serius dan perlu penanganan dari pihak-pihak tertentu.
Apalagi poin ketiga dari aspek yang sangat tidak bisa dielakkan lagi.
Termasuk kaitannya dengan enis muslim Rohingya yang mendapatkan
bentuk diskriminasi bertahun-tahun. Kebijakan-kebijakan pemerintah yang
seharusnya melindungi rakyatnya semakin membuat etnis Muslim Rohingya
berada pada tempat kubangan lautan api. Pemerintah yang menjamin
keamanan menambah pilu mereka dengan tidak diakuinya mereka menjadi
warga negara.
1. Kebijakan Burmanisasi
Kebijakan Burmanisasi merupakan kebijakan yang
digencarkan pada kudeta 1962. Adapun terkait kebijakan ini tidak
terlepas dari peran militer yang melakukan perebutan kekuasaan
dengan kudeta itu sehingga terjadilah diskriminasi yang
menyebabkan kelompok minoritas Rohingya terpinggirkan
sekaligus tersisih. Peranan militer yang memiliki massa banyak
mampu membuat diskriminasi semakin masif dan berujung pada
tersingkirnya kelompok etnis Rohingya di Myanmar. Hal ini pula
32
yang menjadikan kelompok etnis Rohingya mengalami tekanan-
tekanan, baik sosial, psikologi dan politik. Sebab, kebijakan
Burmanisasi ini merupakan isu etnis sekaligus isu agama, yang
mengandung unsur politis masa lalu yang dihadirkan untuk
menjungkal etnis Muslim Rohingya di berbagai sektor.
Kebijakan Burmanisasi sebaga bentuk marginalisasi pada
orang-orang muslim di Rohingya. Dari bentuk inilah, kemudian
lahirlah kebijakan yang mendiskriminasi kelompok muslim-
muslim. Akses-akses mereka seperti hak pindah, urusan nikah,
serta termasuk pada ranah pekerjaan mereka. Untuk mendapatkan
akses-akses demikian itulah, pemerintah memperlakukan pungli
dengan bentuknya uang sogokan. Uang yang mereka serahkan
harus sesuai dengan yang diinginkan pemerintah, begitu juga
sebaliknya yang terjadi. Kebijakan yang merugikan ini membuat
etnis Muslim Rohingya berada pada jurang kenistaan.
Pada aspek lainnya, setiap keluarga hanya boleh memiliki dua
orang anak. Kebijakan ini tidak diimbangi oleh peran pemerintah
dalam kesehatan. Dalam artian, kebijakan setiap keluarga dua anak
tersebut tidak dibarengi dengan adanya keluarga berencana yang
seharusnya menangani persoalan ini. Rasionalnya, tidak adanya
kebijakan keluarga berencan tersebut secara tidak langsung
mengindikasikan bahwa anak keluarga yang melahirkan anak
ketiga perlu menggugurkan kandungan (aborsi), membunuh anak
yang masih bayi, atau hal-hal yang berkenaan dengan aspek
diskriminasi lainnya. Namun, yang muncul dari kebijakan ini,
pemerintah tidak memberikan sertifikat-sertifikat pengakuan
terhadap anak-anak yang lahir.
33
Dampak dari kebijakan tentang sertifikasi pada anak tersebut,
pada masa depan anak yang akan terabaikan hak-haknya, baik
dalam pendidikan dan kesehatan. Cara-cara yang demikian ini,
suatu kebijakan yang dapat berakibat fatal pada generasi etnis
Muslim Rohingya. Keadaan ini semakin membuat etnis Rohingya
berada dalam bentuk diskriminasi yang tidak berujung. Padahal,
anak mereka merupakan generasi yang bisa menciptakan
kegemilangan di masa depan dengan berbagai kreasi mereka. Akan
tetapi, pemerintah mengetahui hal ini dapat membahayakan
kelompok Budha yang memegang peranan penting di
pemerintahan.
Aspek ini kemudian berlanjut dari masa ke masa yang
menyebabkan korban bertambah banyak. Perlawanan yang
dilakukan kelompok “jihad” etnis Muslim Rohingya, menambah
suasana tambah kelam. Isu yang memungkinkan pemerintah untuk
terus melakukan diskriminasi ialah dengan adanya kebijakan
bahwa kelompok tersebut merupakan cikal-bakal munculnya
teroris di Myanmar. Dengan demikian, secara tidak langsung
membuat etnis Muslim Rohingya semakin terancam di berbagai
sektor. Sebagaimana yang banyak terjadi di dunia internasional,
bahwa teroris merupakan orang-orang Islam garis keras. Dalam
kenyataan ini, diskriminasi terus berlanjut dengan pembunuhan
massal terhadap beberapa rakyat sipil yang tidak terlibat dalam
aksi tersebut.
Adanya kebijakan Burmanisasi merupakan kebijakan rasis
yang sengaja dilakukan oleh kelompok militer dengan tujuan untuk
mengusir etnis Muslim Rohingya. Dengan berbagai macam alasan
dikemukakan, seperti etnis yang ilegal, dan berbagai alasan-alasan
34
lainnya yang sebenarnya dilatarbelakangi oleh motif-motif lama
yang menjadi dasar diskriminasi tersebut.
2. Intoleransi Etnis Rohingya
Persoalan intoleransi sebenarnya berkenaan dengan adanya
suatu tindakan yang tidak mencerminkan sikap kedewasaan dalam
beragama. Dapat dikatakan demikian karena intoleransi
merupakan sikap yang sama sekali kurang mencerminkan pola
perilaku umat beragama. Intoleransi ini sangat merugikan
kehidupan bersama sebab menyangkut sikap kita kepada orang lain
yang berbeda, baik dalam bersikap, bertindak dan aspek-aspek
yang berhubungan dengannya. Munculnya intoleransi ini
sebenarnya unsur terbalik dari adanya toleransi yang
membolehkan segala sesuatu yang berbeda menyangkut iman dan
gaya hidup demi hidup bersama tanpa merugikan warga sipil atau
keadaan ekonomi.29
Dalam pada itu, juga dapat dimaknai sebagai upaya memahami
agama-agama lain karena tidak bisa dipungkiri bahwa agama-
agam tersebut juga mempunya ajaran yang sama tentang toleransi,
cinta kasih dan kedamaian.30
Perbandingan balik dari pandangan
ini, adalah menyangkut tentang intoleransi yang memiliki makna
tentang sumbu lahirnya ledakan konflik kemanusiaan dan bentuk
kekerasan itu sendiri.31
Pada pengertian ini kemudian, intoleransi
yang terjadi pada etnis Muslim Rohingya merupakan suatu tindak
kekerasan yang dilakukan oleh penguasa atau pemerintah terhadap
29
Eddi Kristiyanto, OFM. Reformas dari Dalam Sejarah Gereja Zaman Modern
(Yogyakarta: Kanisius, 2004), hal. 116. 30
Zuhairi Misrawi. Al-Qur‟an Kitab Toleransi: Tafsir Tematik Islam Rahmatan Lil
„Alamin (Jakarta: Pustaka Oasis, 2010), hal. 159. 31
Alamsyah M. Dja‟far. (In) Toleransi! Memahami Kebencian & Kekerasan Atas
Nama Agama (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2018), hal. 154.
35
rakyatnya. Kekerasan yang dilakukan merupakan ketetapan yang
mengatakan bahwa mereka warga yang ilegal sehingga
keberadaannya sangat memberikan dampak yang buruk kepada
negara.
Intoleransi etnis yang terjadi sebagai bentuk kekerasan karena
perbedaan yang mendasar mengenai ras, suku dan lain-lainnya.
Aspek ini menjadi dasar kenapa kemudian terjadi konflik di antara
etnis Muslim Rohingya dengan kelompok milter yang melabeli
dirinya sebagai kelompok mayoritas Budha. Kelompok yang
terakhir ini mengangkat dirinya sebagai etnis yang paling benar
sehingga etnis Muslim Rohingya perlu didiskriminasi dengan
tujuan untuk tidak mengganggu berbagai aspek nilai spirit agama
Budha. Dalam percaturan ini yang terjadi, aspek etnis menjadi
modal utama untuk menyingkirkan mereka sebagai warga negara.
Pandangan-pandangan yang beda ini kemudian menunjukkan
bahwa persoalan etnis lebih dipandang sebagai suatu kenyataan
daripada konflik beragama. Aspek ini juga berkenaan dengan
sosio-histori-politis yang pernah terjadi pada abad-abad
sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa etnis Muslim Rohingya
diwaspadai sebagai gerakan yang dapat membuat umat Budha
tersingkirkan secara sosio-ekonomi politik. Maka jalan yang bisa
ditempuh ialah dengan memarginalkan etnis Muslim Rohingya.
B. Ketegangan Politik Kewarganegaraan di Myanmar
Kehidupan untuk bersanding bersama meski berbeda (agama, budaya,
etnis, dan agama) ialah tujuan dari adanya negara. Kehidupan bersama yang
dilandasi nasionalisme tinggi dengan menjunjung asas-asas kemanusiaan yang
beragam. Dari keragaman tersebut jelas ada perbedaan yang mendasar dan
36
menjadi soal bersama untuk menuju hakikat hidup yang semestinya. Sebagai
warga negara yang baik tentu menjalankan proses-proses kemerdekaan
individu dengan mengedepankan aspek kebermasamaan secara komunal
meski dibatasi oleh perbedaan-perbedaan. Selanjutnya, pemerintah yang
memegang hak otoritatif dengan berdasarkan pada asas-asas kemanusiaan
melalui jalur perdamaian, keamanan dan aspek-aspek lainnya.
Peran pemerintah dalam menjaga hubungan antara perbedaan yang
syarat dengan lintas menjadi tanggung jawabnya sebagai pemegang otoritas.
Disinyalir dengan adanya berbagai persoalan yang terjadi sebenarnya karena
peran pemerintah yang kurang jelas dan kurang memperhantikan kehidupan
warga negaranya. Pemerintah yang baik dapat memberikan dampak yang baik
pula pada kehidupan rakyatnya, begitu pula sebaliknya yang terjadi. Hal yang
terjadi di suatu negara baik yang berhubungan dengan kenyamanan,
kesejahteraan, tindakan-tindakan yang kurang baik tidak lain adalah peran
pemerintah. Dapat dikatakan pula, bahwa peran pemerintah sangat signifikan
bagi keberlangsungan kehidupan di suatu negara. Selayaknya pemerintah
bersikap secara adil dalam menentukan kebijakan-kebijakannya dengan
pertimbangan yang matang. Dapat dikatakan demikian agar tidak terjadi
tindak perlawanan yang menentang adanya kebijakan tersebut, juga agar
kerukunan menjadi syarat yang mutlak.
Kebijakan yang baik bisa menghasilkan keadaan yang menjembatani
adanya kehidupan yang layak. Pada persoalan ini yang menjadi tolak ukurnya
ialah keberadaan rakyat yang berbeda, kemudian pemerintah membuat
kebijakan yang tidak berat sebelah dan merugikan pihak-pihak yang lain.
Termasuk pada kasus yang sedang etnis Muslim Rohingya yang berada dalam
tekanan-tekanan pemerintah yang sedang memimpin. Kebijakan-kebijakan
yang dilakukan oleh pemerintah banyak merupakan etnis Muslim Rohingya.
Berbagai macam persoalan terjadi dan kemudian meledak menjadi suatu hal
37
yang sangat mengerikan ketika ditinjau dalam proses keberadaan negara yang
seharusnya melindungi warga negaranya.
Kenyataan ini merupakan bukti bahwa praktik diskriminatif yang
dilakukan oleh pemerintah Myanmar suatu tindakan yang kurang memberikan
kenyamanan bagi warga negaranya. Keberadaan etnis Muslim Rohingya
sebagai minoritas menjadi bukti bahwa negara tidak bisa menyelesaikan
konflik yang sudah terjadi beberapa dekade. Dan yang paling tidak masuk
akal dalam keberlangsungan negara Myanmar ialah ikut terlibat dalam konflik
yang syarat dengan kebijakan-kebijakan yang merugikan. Keterlibatan negara
dalam hal ini bentuk atau wujud bahwa Myanmar bukan lagi dipimpin oleh
pemimpin yang memiliki watak pemimpin melainkan memiliki sikap yang
anti terhadap perbedaan.
Sebagaimana yang sudah banyak disinggung di muka, keberadaan
etnis Muslim Rohingya ini menjadi sasaran tindak kekerasan atau
diskriminasi yang dilakukan oleh kelompok militer. Padahal, keberadaan
militer di sini seharusnya melindungi keberadaan etnis Muslim Rohingya
yang itu bersifat mutlak. Keberadaan militer sebagai pelindung menjadi
momok yang sangat menakutkan bagi etnis Muslim Rohingya. Alasan yang
sangat mendasar pada aspek ini, etnis Muslim Rohingya dikatakan kelompok
radikal yang sangat membahayakan keberlanjutan negara. Padahal, alasan ini
sebagai bentuk alibi yang digelontorkan oleh kelompok yang tidak
bertanggung jawab atas bentuk kekerasan yang terjadi.
Dalih yang menjadi dasar tindakan kekerasan tersebut, bahwa etnis
Muslim Rohingya sebagai warga negara yang ilegal. Tidak diakuinya mereka
sebagai gerombolan atau pelarian dari negara Bangladesh karena berbagai
kasus yang terjadi pada kelompok tersebut. Padahal, tanpa status sebagai
warga negara meskipun faktanya mereka telah hidup secara turun temurun di
Myanmar. Dari itu, pula etnis Muslim Rohingya berjuang untuk mendapatkan
38
pengakuan. Tanpa status pula, mereka tak punya hak sebagaimana warga lain
di negara itu. Inilah yang ingin diperjuangkan oleh etnis Muslim Rohingya.32
1. Konflik Agama Merupakan Kamuflase
Ketegangan yang terjadi pada etnis Muslim Rohingya di
Myanmar salah satunya merupakan konflik politik. Pada
pengertian ini, aspek politik menjadi hal yang berperan signifikan
bagi adanya konflik tersebut. Akan persoalan ini dapat dilacak
pada peristiwa yang terjadi sebelumnya saat persoalan wilayah
yang dijadikan pusat kolonialisme, antara Inggris dan Jepang.
Konteks teritorial ini memang menjadi alasan yang sangat
mendasar atau juga bisa dilacak melalui geopolitik yang
berdasarkan pada hal demikian. Artinya, loyalitas yang kedua
kolonialise tersebut menjadi bukti bahwa keberadaan mereka
menjadi aspek terpenting peranan konflik di kemudian hari.
Pada hal yang pertama, bahwa Inggris yang memiliki peranan
dalam aspek politik di mana ia begitu loyal terhadap Arakan yang
banyak dihuni oleh etnis Muslim Rohingya. Sebagai kelompok
yang banyak beragama Islam. Kenyataan ini bahwa Inggris
memberikan wilayah Arakan Utara, sebagai daerah otonomi
pemerintahan lokal pada mereka. Peranan ini begitu kuat, dalam
sektor wilayah jajahan pada waktu. Dengan demikian, sebagai
wilayah otonomi Inggris, Arakan Utara yang dihuni oleh etnis
Muslim Rohingya melakukan kebijakan yang berproses pada
aspek penentuan kebijakan-kebijakan yang memberikan banyak
pengaruh pada orang-orang Islam itu sendiri. Sedangkan Jepang
32
British Broadcasting Corporation “Siapa sebenarnya etnis Rohingya dan enam hal
lain yang harus Anda ketahui” Diakses pada 30 April 2019 dari https: //www.bbc.com
/indonesia/dunia-41149698
39
yang memiliki pusat di wilayah Selatan juga memiliki kebijakan
tersendiri dalam berbagai aspek sektor ini.
Dengan mengacu pada persoalan demikian, konflik yang
terjadi saat ini, bahwa pemberlakuan atau bentuk diskriminasi
yang dilakukan pada etnis Muslim Rohingya lebih kepada konflik
politik daripada konflik agama.33
Konflik ini jelas memberikan
dampak yang sangat signifikan bagi keberadaan etnis Muslim
Rohingya. Mereka mengalami penderitaan yang sangat
berkepanjangan. Dampak-dampak yang mendasar dari konflik
geopolitik ini ialah bentuk pengusiran mereka dari tempat
tinggalnya. Pemerintah yang seharusnya melindungi mereka dari
berbagai hal mulai tidak menemukan jalan keluarnya, sebab
mereka ikut terlibat dalam proses tragedi ini.
Sebagaimana yang sudah dijelaskan pada bab sebelumnya,
bahwa keberadaan mereka sebagai warga negara tidak diakui. Hal
ini diproklamirkan ketika Myanmar merdeka dari jajahan Inggris
dengan memberikan hak legitimasi kepada mereka secara de jure
dan de facto. Singkatnya, Myanmar sebagai negara yang berdaulat
dan merdeka dalam menjalankan seluruh kebijakan di bidang
lokal, nasional, dan internasional. Hanya saja, mereka tidak
mengakui keberadaan dan memberikan hak-hak kemerdekaan
kepada etnis Muslim Rohingya. Keberadaan mereka secara hak
politik dicabut dengan satu klaim sebagai warga negara ilegal.
2. Problem Identitas dan Sejarah
Problem lain yang menjadi persoalan konflik etnis Muslim
Rohingya adalam persoalan identitas dan sejarah yang terjadi di
33
Kompas.com “GP Ansor: Konflik Geopolitik adalah Akar Tragedi Rohingya”
diakses pada 1 Mei 2019 dari https://nasional.kompas.com/read/2017/09/01/18104011/gp-
ansor-konflik-geopolitik-adalah-akar-tragedi-rohingya?
40
masa lalu. Melacak hal ini berarti perlu membongkar bagaimana
mereka berada di Myanmar. Persoalan yang satu dengan yang
lainnya menjadi satu pertalian yang begitu khas ketika membahas
persoalan konflik etnis Muslim Rohingya.
Identitas yang melekat pada etnis Muslim Rohingya
merupakan suatu identitas yang sulit dilacak begitu saja.
Mengingat mereka memiliki keturunan yang berbeda, karena
beberapa yang silam mereka melakukan pernikahan silang guna
menyebarkan agama Islam. Dapat dikatakan demikian, sejarawan
yang menyinggung identitas mereka satu sama lain masih
bertentangan. Problem identitas ini yang jelas didukung oleh hal
yang menyangkut kebudayaan, kulit dan bahasa sebagai bias
keberadaan mereka.
Identitas ini mengacu kepada konflik etnis itu sendiri.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Smith, ialah sebagai
berikut:34
Pertama, bahwa kelompok harus mempunyai nama sendiri.
Dalam pengertian ini lebih kepada kelompok atau komunitas etnis.
Kedua, adanya ikatan biologis bahwa keberadaan mereka
berasal dari nenek moyang yang sama. Sehingga mereka memiliki
keyakinan bahwa keberadaan mereka di suatu tempat tertentu tidak
lain karena berasal dari suatu komunitas yang sama baik pada
kulit, bahasa, budaya dan sangkut-puat yang lainnya yang
menyertai proses terbentuknya komunitas mereka.
Ketiga, aspek ini mengacu pada suatu kisah dimana kelompok
tersebut punya kepercayaan bahwa adanya mitos merupakan cara
mereka melihat suatu adanya kesamaan. Sehingga ketika mereka
34
A.D. Smith. The Ethnic Origins of Nations (Oxford, Basil Blackwell, 1986), hal.
51-52.
41
berjumpa pada saat-saat tertentu mereka bisa melakukan cerita
yang sama dengan mengingat berbagai persoalan yang sama.
Keempat, dalam pada ini, aspek bahasa, agama, norma-norma
adat, pakaian, musik, karya seni, arsitektur, dan bahkan makanan.
Kelima, ialah mengacu kepada tempat tinggal yang sama,
bahwa mereka menetap sejak lama. Keadaan ini lebih kepada
teritori dimana mereka menjadikan tempat tinggalnya sebagai
basis yang kuat.
Keenam, cara berpikir menjadi persoalan yang seriuss karena
bagaimana pun mereka yang tinggal terikat oleh formula norma,
nilai yang berangkat dari suatu tindakan dan hasil pemikiran yang
sama. Kemudian hal demikian menjai suatu aspek yang
mendukung keberadaan mereka.
Dari keenam aspek itulah dapat dilihat bahwa etnis menjadi
hubungan sosial yang sangat memberikan nilai atau dampak yang
baik dalam hal hubungan terlepas dengan adanya konflik yang bisa
terjadi. Kategori demikian merupakan aspek yang paling
fundamental ketika menganalisa konflik yang terjadi pada etnis
Muslim Rohingya. Mereka memiliki cara pandang, bahasa,
budaya, serta warna kulit yang berbeda pada kebanyakan orang
Myanmar lainnya. Pemicu konflik etnis ini menjadi persoalan yang
semakin runyam ketika tidak ditengahi atau keterlibatan beberapa
elemen dalam menghentikannya. Ketika hal demikian terus
berlanjut, maka dampak yang paling parah bahwa konflik tersebut
tidak bisa dihentikan mengingat banyak korban yang jatuh.
Maka konflik etnis Muslim Rohingya bisa dilacaka melalui akar sosio-
historis dengan aspek seperti ketegangan hubungan etno-religius melalui
kebijakan burmanisasi dan intoleransi etnis rohingya. Hal lainnya yang tidak
42
bisa dinafikan ialah ketegangan politik kewarganegaraan sehingga dapat
berakibat pada konflik geopolitik dan juga problem identitas dan sejarah.
Menelusuri hal ini kondisi memilukan dengan aspek yang merugikan etnis
Muslim Rohingya sebagai warga negara yang tidak diakui dan sebagai
muslim.
43
BAB IV
ETNIS MUSLIM ROHINGYA YANG LEMAH
A. Etnis Muslim Rohingya Mengalami Diskriminasi
Ketika Islam masuk ke wilayah Asia, peran ulama‟ dalam
menyebarkan Islam begitu cepat dan mampu mengimbangi agama-agama
yang memiliki pengaruh sebelumnya.35
Seperti agama Kristen, Yahudi, Hindu
dan Budha, yang sebelumnya sudah tersebar luas. Namun, keadaan tersebut
harus mengakui keberadaan Islam sebagai agama baru yang lahir di
semenanjung Arab. Tentu saja, peran muslim menjadi titik sentral dalam
memajukan Islam dalam segala lini. Termasuk kaitannya dengan keberadaan
Islam di Myanmar. Myanmar sendiri sudah tersebar agama Hindu Budha
karena secara geografis mereka berdempetan dengan wilayah India yang
memiliki basis agama Hindu dan Budha di Nepal memiliki pengaruh yang
begitu besar di wilayah-wilayah Asia.
Kaitannya dengan agama Islam di Myanmar pernah berjaya sehingga
mereka juga menjadi kekuatan besar di masa itu. Namun seiring berjalannya
waktu, Islam kemudian menjadi agama yang tersisih akibat mendapatkan
diskriminasi dari berbagai pihak. Kegemilangan di masa lalu tidak
menjadikan generasi selanjutnya dapat menikmati kejayaan tersebut. Ada
proses tranformasi nilai yang menghubungkan masa lalu sebagai sejarah di
masa kini, yaitu generasi penerus. Adalah benar Islam pernah berjaya dengan
kerajaan-kerajaan yang pernah meletakkan pengaruh di masa lalu. Hanya saja,
hal demikian berbanding balik ketika Eropa banyak membaca dan
menerjemahkan karya-karya dari orang Islam sendiri menjadi kerja yang
menggilas muslim dunia. Termasuk yang terjadi di Myanmar setelah
35
Jasson F. Isaacson dan Collin Rubenstein. Islam in Asia: Changing Political
Realities (U.S.A: Transaction Publishers, 2009), hal. 91.
43
44
masuknya Inggris dan Jepang sebagai penjajah. Ditambah peran orang-orang
Islam yang banyak membantu pemerintahan Inggris.
Dari sinilah akar persoalan itu terjadi dan menambah suasana muslim
di Myanmar mulai melemah dan mendapatkan banyak diskriminasi yang
berlanjut sampai saat ini. Ada banyak hal yang perlu dijadikan pelajaran
dalam kisah pilu yang dialami oleh muslim di Myanmar, utamanya etnis
Muslim Rohingya yang mengalami banyak diskriminasi dari pemerintah
Myanmar.36
Sebagaimana yang sudah diungkap pada bab-bab sebelumnya,
bahwasanya penganut agama Budha yang merasa dirinya tersingkir di masa
lalu. Penganut Budha yang merasa cemburu pada etnis Muslim Rohingya
kemudian melakukan banyak diskriminasi dengan menekan muslim di
berbagai sektor. Seperti di parlemen bagaimana etnis Muslim Rohingya tidak
bisa menjabat, termasuk di bidang kesehatan, akses pendidikan, dan bentuk
diskriminasi seperti pembunuhan, pemerkosaan, ataupun pengusiran karena
mereka tidak diakui secara aklamasi oleh pemerintah Myanmar.37
Diskriminasi yang dialami oleh etnis Muslim Rohingya semakin
bertahun meningkat. Sejak eksodus pertama yang terjadi pada tahun 1978,
etnis Muslim Rohingya telah membajiri negara seperti Thailand, Malaysia,
dan Bangladesh, yang diperkirakan ada 200.000 orang. Jumlah yang sangat
besar ini meningkat pada tahun 1991-1992 menjadi 280.000 orang. Negara
Bangladesh yang menerima begitu banyak eksodus dari etnis Muslim
Rohingya mengalami kesulitan dengan menampung mereka yang banyak.
Akhirnya Bangladesh melakukan repatriasi dengan pemerintah Myanmar
36
Sindonews.com “Rohingya & Tragedi Kemanusiaan” diakses pada 1 Mei 2019 dari
https://nasional.sindonews.com/read/1238378/18/rohingya-tragedi-kemanusiaan-1505084441. 37
Direktorat Jenderal Kerja Sama ASEAN Kementrian Luar Negeri “Diplomasi,
Bukan Intervensi, Wujudkan Perdamaian di Rakhine” dalam Majalah Masyarakat ASEAN:
Ketahanan dan Inovasi ASEAN 2018, edisi 18, April 2018, hal. 43.
45
yang terjadi pada tahun 1992.38
Hanya yang terjadi, pada tahun 2005 ketika
negara Myanmar menolak untuk menerima kembali mereka.
Pengalaman pahit ini, terus berlanjut dengan berbagai macam
diskriminasi lainnya. Persoalan semakin runyam dan tidak menemukan ujung
keluarnya secara pasti. Perlakuan semena-mena ini sebenarnya tidak lain
karena benturan perbedaan dalam berbagai sektor sehingga melahirkan
kebijakan yang berat sebelah. Gelombang diskriminasi yang terus berlanjut ini
banyak menelan korban jiwa yang tidak sedikit. Kecaman berbagai negara-
negara baik Eropa dan Asia pada pemerintahan Myanmar begitu serentak.
Namun seolah pemerintahan Myanmar tidak memperhatikan kecaman-
kecaman yang dialamatkan kepada mereka.
Pemerintah Myanmar tidak memperhatikan lagi berbagai kecaman-
kecaman tersebut, seakan mereka ingin mengatakan bahwa kebijakan ini kami
yang mengatur. Selain itu, diskriminasi yang dilakukan oleh penganut agama
Budha pun serentak mengutuk kekerasan terhadap etnis Muslim Rohingya.39
Bagi mereka yang tidak setuju dengan tindakan-tindakan kekerasan, bahwa
agama Budha sebagai penyeru perdamaian, memberikan kenyamanan, kasih-
sayang kepada sesama. Namun, pada kenyataannya mereka tidak
mengindahkan hal demikian yang sebenarnya menjadi nilai utama bagi umat
Budha. Adapun ketegangan juga hampir terlihat di beberapa negara muslim
dengan umat Budha yang tidak terima saudara seimannya mendapatkan
perlakuan demikian.
38
Fasha Nabila Yasyid “Dampak Pengusiran Etnis Rohingya Oleh Myanmar
Terhadapa Keamanan Bangladesh,” dalam Jurnal Ilmu Hubungan Internasional, No. 5, Tahun
2007, hal. 1289. 39
RRI.co.id “Umat Budha di Aceh Kutuk Myanmar Atas Pembantaian Muslim di
Rohingya” diakses pada 2 April 2019 dari http://rri.co.id/banda-aceh/post/berita /430710/
ragam/umat_budha_di_aceh_kutuk_myanmar_atas_pembantaian_muslim_rohingya.html
46
1. Kebijakan Jenderal Ne Win
Keikutsertaan militer dalam bidang politik didasadari oleh
berbagai persoalan yang kemudian hal ini ditandai dengan adanya
penggulingan kekuasaan pada tahun 1962, yang dipelopori oleh
Jenderal Ne Win. Alasan yang menggemuka bahwa pemerintah U
Nu dinilai lamban dalam mengurusi urusan politik, ekonomi dan
kurang tegas dalam melakukan kebijakan. Keadaan ini menjadi
akar persoalan yang menyebabkan U Nu lengser dari kursi
pemerintahan yang kemudian digantikan oleh Jenderal Ne Win.
Sebagai anggota militer yang pernah terlibat langsung pada
perjuangan kemerdekaan melawan Inggris. Ia bergabung dengan
Dobama Asiayone atau juga dikenal dengan Asosiasi Birma
Kami/Our Burma Assocition. Kemudian ia diberi pangkat jenderal
oleh Aung San dan pada tahun 1943 ia menjadi kepada staf
Angkatan Bersenjata Nasional Birma untuk Jepang (Japanese
Burmesse National Army (BMA).40
Dengan begitu, ia jelas
memiliki peran yang sangat signifikan di bidang militer, pun juga
memiliki pengaruh yang besar pada bawahan sekaligus atasannya.
Kudeta yang dilakukannya berdasarkan beberapa hal sebagai
berikut:41
a. Menganggap bahwa para politisi sipil kurang mampu
menciptakan politik yang sehat dan stabil.
b. Menganggap bahwa pemerintahan sipil kurang mampu
menciptakan suasana yang damai. Seperti munculnya
pemberontakan yang dilakukan oleh etnis Karen, Etnis
Shan, dan tentara Guo Min Dang.
40
Tim Narasi. The Mass Killers of the Twintieth Century: Pembunuh-pembunuh
Massal Abad 20 (Yogyakarta: Nasari, 2006), hal. 251. 41
Alfian. Militer dan Politik: Pengalaman Beberapa Negara (Jakarta: LIPI, 1970),
hal. 6-7.
47
c. Menganggap bahwa kebijakan U Nu sebagai pemimpin
sekaligus politisi, kurang tegas dalam mengambil
kebijakan-kebikan yang cepat dalam kondisi yang
mendesak.
Beberapa hal tersebut menjadi alasan adanya kudeta Jenderal
Ne Win. Kemudian ia melakukan pemerintahan dengan sistem
militeristik. Dalam prakteknya, tindakan dan kebijakan yang
dilakukan oleh Jenderal Ne Win banyak merugikan rakyat sipil
dan menguntungkan pihak militer. Sebagai seorang militer yang
keras, kebijakan-kebijakan yang dilakukan olehnya mendapat
pertentangan oleh kelompok mahasiswa yang merasa dirugikan
oleh pemerintah. Kejadian yang terjadi pada pertengahan tahun
1970 dan 1980, menjadi aksi massif mahasiswa. Dalam serangan
tersebut, diperkirakan menelan korban 60-100 orang meninggal
dunia.42
Berbagai aksi kekerasan telah dilakkan oleh Jenderal Ne Win,
pun kebijakan-kebijakannya membuat banyak rakyat dirugikan.
Termasuk kebijakannya tersebut merugikan etnis Muslim
Rohingya yang terkena dampaknya. Sebagaimana yang dikutip
Gulia Ichikaya Mitzy, tentang laporan Amnesti mencatat beberapa
hal sebagai berikut:43
a. Penolakan pemberian kewarnegaraan.
b. Pembatasan untuk berpindah.
c. Pembatasan dalam kegiatan ekonomi.
42
Mohammad Maiwan. “Gerakan Mahasiswa dalam Kemelut Politik di Myanmar:
Pergulatan Mewujudkan Kebebasan” dalam Jurnal Ilmiah Mimbar Demokrasi, Vol. 13, No. 2,
April 2014, hal. 50. 43
Gulia Ichikaya Mitzy “Perlawanan Etnis Muslim Rohingya terhadap Kebijakan
Diskriminatif Pemerintah Burma-Myanmar” dalam Jurnal Indonesian Journa of International
Studies, Vol. 1, No. 2, Desember 2014. Hal. 155.
48
d. Pembunuhan, penahanan dan penyiksaan.
e. Pelecehan terhadap kaum wanita dan pembatasan
pernikahan.
f. Kerusuhan anti Muslim Rohingya.
Tindakan-tindakan Jenderal Ne Win terhadap etnis Muslim
Rohingya merupakan rasisme. Meskipun ia bukan orang pertama
yang melakukan tindakan tersebut, akan tetapi tindakan tersebut
telah membuat etnis Muslim Rohingya menderita sampai saat ini.
Keberadaan mereka dianggap sesuatu yang menganggu proses
berjalannya tatanan sistem pemerintahan. Maka salah satunya ialah
dengan mengusir mereka dan tindak kekerasan lainnya.
Keadaan semakin memperparah kondisi etnis Muslim
Rohingya yang lemah. Perlawanan yang mereka lakukan semakin
menambah suasana semakin tidak kondusif. Oleh karenanya,
pemerintah menganggap mereka teroris yang menjadi musuh
negara. Padahal, mereka sebenarnya merasa tidak kuat dengan
perlakuan dan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah. Sebagai
akibatnya, banyak warga sipil harus kehilangan nyawa, terusir dan
mendapatkan diskriminasi yang tambah hari runyam.
2. Pelarangan Praktik Keagamaan
Ekspresi keagamaan dari setiap pemeluk agama menjadi salah
satu hal praktik agama yang wajib dan penting mereka lakukan.
Bentuk ekspresi keagamaan dari pemeluk agama begitu beragam
dalam praktiknya.44
Kebebasan beragama menjadi penting
kemudian ketika mereka ingin melakukan praktik keagamaan yang
memang menjadi kewajiban mereka. Sebagaimana umat Islam
44
M. Zidni Nafi. Menjadi Islam, Menjadi Indonesia (Jakarta: Elex Media
Komputindo, 2018), hal. 182.
49
seperti melaksanakan shalat, puasa, dan ekspresi lainnya seperti
perayaan Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha. Adanya
demikian merupakan bentuk rasa patuh terhadap Tuhannya.
Dengan bentuk ekspresi itu kemudian, setiap pemeluk agama
ingin merayakannya dengan bebas. Tanpa ada pihak yang
mengintimidasinya. Sebagai yang substansial inilah kemudian,
setiap pemeluk agama merasa perlu mendapatkan pengakuan
dimana mereka berada. Kebebasan ini sebenarnya untuk rasa
nyaman bersanding dengan kelompok yang berbeda.45
Titik
penekanannya pada praktik keagamaan tersebut dapat mereka
lakukan di masjid, rumah, atau pun tempat-tempat yang sudah
menjadi kesepakatan bersama dalam melakukannya.
Selain itu, rasa nyaman dan aman menjadi pokok utama dalam
melakukan ibadah yang sakral tersebut. Rasa nyaman dan aman ini
dapat berimplikasi pada proses kehidupan mereka sehari-hari. Bisa
memberikan rasa nyaman bagi aspek batin mereka dengan adanya
nilai rasa yang tinggi. Sehubungan dengan langkah-langkah
demikian, usaha untuk menciptakan damai pada diri merupakan
suatu nilai yang diharapkan dari pemeluk agama.46
Namun, kenyataan tersebut berbanding balik pada etnis
Muslim Rohingya. Pada aspek ini, mereka merasa berada dalam
tekanan yang sangat berdampak pada psikologisnya, sosiologis
yang berdasar pada rasa aman dan nyaman. Mereka mengalami
beragam tekanan yang membuat mereka merasa ketakutan setiap
waktu. Ketidaknyamanan ini karena ada tekanan dari pemerintah
yang melarang praktik keagamaan diselenggarakan. Akses-akses
45
M. Dawam Rahadjo. Menjamin Kemajemukan Kebebasan dan Kebangsaan
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hal. 366. 46
Ahmad Nurkholis. Merajut Damai dalam Kebinekaan (Jakarta: Elex Media
Komuputindo, 2017) hal. 4.
50
mengenai praktik keagamaan bagi etnis Muslim Rohingya dibatasi,
juga pemerintah tidak mengingingkan hal demikian ada.
Diskriminasi ini jelas suatu bentuk batasan yang memperlemah
etnis Muslim Rohingya berada dalam tekanan yang masif. Dapat
dikatakan demikian, mereka tidak menemukan kenyamanan yang
berarti dalam mengekspresikan tindak perilaku agama.
Dalam pada itu, etnis Muslim Rohingya yang minoritas
muslim mempunyai keinginan eksistensial agar keislamannya
diakui yang kemudian disesejarkan dengan agama mayoritas.
Hanya saja, mereka mengalami tahapan represi, penderitaan
diskriminasi dan ketidakadilan secara sosial-budaya. Adanya
demikian dapat mengakibatkan timbulnya reaksi balik dari mereka
dengan cara memperkuat resistensi dan semangat perjuangannya.47
Tampaknya perlawanan yang mereka lakukan hanyalah sia-sia
mengingat pemerintah yang sedang memimpin begitu kuat.
Ditambah persoalan kelompok mayoritas Budha Ashin Wiratu,
seorang biksu Budha yang mendukung adanya diskriminasi
terhadap etnis Muslim Rohingya. Dalam pidatonya, Ashin banyak
menyinggung persoalan jihad melawan Muslim, pun berisi tentang
aspek yang menyudutkan kelompok Muslim.48
Kenyataan ini,
keterlibatan umat Budha dalam konflik ini semakin menjadi bahwa
praktik keagamaan Muslim terbatas. Ketika hal demikian
dibiarkan, berarti sama membuat Islam bangkit dan berkembang.
47
Hendra Maujana Saragih “Indonesia dan Responbility To Protect Etnis Muslim
Rohingya Myanmar” dalam Jurnal Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan, Vol. 2, No. 2,
2017, hal. 119 48
Tempo.co “Benci Rohingya: Ashin Wirathu Punya 3 Pidato Radikal” diakses pada
1 Mei 2019 dari https://dunia.tempo.co/read/668990/benci-rohingya-ashin-wirathu-punya-3-
pidato-radikal/full&view=ok
51
Diskriminasi yang dilakukan oleh pemerintah dari sejak dulu sampai
saat ini merupakan bukti bahwa keadaan etnis Muslim Rohingya lemah.
Mereka lemah dalam banyak hal politik, sosial, dan ekonomi. Aspek ini jelas
melengkapi penderitaan mereka di bawah tindakan diskriminasi yang
dilakukan oleh pemerintah. Ketika demikian terjadi terus berlanjut, maka
keberadaan mereka semakin terancam dan mereka tidak mendapatkan tempat
yang nyaman kecuali harus pergi meninggalkan kampung halaman mereka
dengan berbagai macam kenangan yang terjadi.
B. Keberadaan Etnis Muslim Rohingya Pasca Konflik
Konflik yang berkepanjangan membuat etnis Muslim Rohingya terusir
dari kampong halaman mereka sendiri. Mereka yang terusir dari kampung
halamannya, harus mencari perlindungan ke negara-negara lain. Pelarian
mereka sebenarnya, tidak lain untuk mendapatkan keamanan dari pemerintah
mereka yang sudah melakukan tindak kekerasan pada mereka. Mereka
menuju tempat-tempat yang dianggap memberikan kenyamana mereka
meskipun secara legalitas keadaan mereka menjadi masalah tersendiri. Hanya
saja, mereka lari dari sebuah kenyataan pahit yang sangat membahayakan
pada diri mereka sendiri sehingga dengan melakukan pelarian cara paling
ampuh demi menyelamatkan nyawa.
Konflik yang dari tahun 2005 sampai 2015. Kenyataan ini banyak
dilaporkan oleh media massa. Seperti yang dilaporkan oleh BBC pada tahun
2011, kelompok etnis Muslim Rohingya yang lari ke Bangladesh ada sekitar
sekitar 200.000 etnis Muslim Rohingya yang berada dalam tenda
pengungsian.49
Pelarian ini tidak hanya kali pertama yang pernah dilakukan
49
British Broadcasting Corporation “Pengungsi Rohingya terdampar di India”
diakses pada 01 Mei 2019 dari https://www.bbc.com/indonesia/dunia /2011/02/ 110214
_rohingya.
52
oleh etnis Muslim Rohingya, tetapi ini adalah pelarian berkali yang pernah
terjadi sebelumnya. Eksodus ini kerapkali terjadi, Bangladesh seolah menjadi
negara tumpuan mereka ketika berada dalam tekanan yang hebat. Termasuk
Aceh menjadi pelarian mereka di tahun yang sama, ada sekitar 129 orang
yang sedang ditangani oleh aparat kepolisian yang ditemukan di perairan
dekat pelabuhan Krueng Raya.50
Pengungsi etnis Muslim Rohingya yang begitu banyak mendapatkan
tempat di banyak negara dunia yang merasa peduli dengan keberadaan
mereka. Sebagai manusia yang perlu mendapatkan perlindungan, setiap
negara memiliki kebijakan-kebijakan dalam memperlakukan etnis Muslim
Rohingya. Adanya mereka di berbagai negara semakin tampak bahwa tidak
ada penyelesaian yang baik oleh pemerintah Myanmar. Persoalan rumit
demikian kian menambah perilaku yang kurang mencerminkan sikap
pemerintah terhadap keadaan etnis Muslim Rohingya.
Indonesia dan Negara lainterutama di kawasan Asia Tenggara untuk
ikut serta menyelesaikan konflik Rohingya selalu saja terkendala prinsip non-
interference (prinsip tak boleh ikut campur urusan domestic Negara lain)
Negara-negara ASEAN memegang teguh sakralitas prinsip ini. Dilema ini
disadari betul oleh pemerintah. Karena itu, kita mengerti bahwa untuk
membantu menyelesaikan konflik di Negara tetangga pemerintah lebih
banyak menempuh jalur diplomasi dibalik layar. Jangan sampai usaha
membantu dibaca oleh pemerintah Myanmar sebagai bentuk intervensi
kedaulatan.
Pemerintah bersama Aliansi LSM untuk Myanmar (AKIM)
memprakarsai program Humanitarian Assistance Sustanable Community
(HASCO) untuk Myanmar. Berkat diplomasi pemerintah, sejumlah LSM
50
British Broadcasting Corporation “Puluhan orang Rohingya terdampar di Aceh”
diakses pada 01 Mei 2019 dari https://www.bbc.com/indonesia/ berita_indonesia/
2011/02/110216_rohingyamen
53
Indonesia juga mendapatkan izin untuk beroprasi di Arakan. Bahkan
Indonesia mengantongi izin untuk membangun rumah sakit di Mrauk U,
Provinsi Arakan.51
Hal tercermin dari banyaknya pengungsi etnis Muslim Rohingya yang
kian meningkat dan banyak tersebar di berbagai negara. Etnis Muslim
Rohingya tersebar di berbagai negara. Saat ini ada sekitar 500 ribu pengungsi
Rohingya di Bangladesh, 400 ribu di Arab Saudi, 200 ribu di Pakistan, 100
ribu di Thailand, dan 11.941 di Indonesia.52
51
Zezen Zaenal Muttaqin “Konflik Rohingya dan Peran Indonesia” diakses 26 Juli
2019 dari http://ang-zen.com/konflik-rohingya-dan-peran-indonesia/ 52
Jawapos.com “Negara-negara Tujuan Pelarian Muslim Rohingya untuk
Mengungsikan Diri” diakses pada 02 Mei 2019 dari https://www.jawapos.com/internasional
/03/09/2017/negara-negara-tujuan-pelarian-muslim-rohingya-untuk-mengungsikan-diri/
54
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penelitian yang dilakukan ini menghasilkan sebuah tahapan terakhir,
dengan sebuah kesimpulan bahwa etnis Muslim Rohingya lemah karena
sistem yang dilakukan oleh pemerintah. Sebab itu, mereka menjadi etnis yang
asing negara yang sudah lama mereka tempati. Berbagai macam hal yang
dapatkan sebagai diskriminasi yang membuat mereka terus menderita.
Diskiriminasi yang mereka dapatkan sangat membuat mereka terpukul dan
generasi selanjutnya akan menerima kepahitan yang dibuat oleh pemerintah.
Dalam hal ini, peneliti menemukan inti penelitian yang dilakukan, antara lain:
1. Bahwasanya Islam pernah berjaya di antara agama lainnya yang
sebelumnya sudah bertumbuh kembang di negara Myanmar.
Agama Hindu dan Budha sudah lama menjadi agama mayoritas
penduduk Myanmar, baik di Rakhine dan Arakan. Namun, ketika
Islam datang maka terjadilah kawin silang yang memang sengaja
dilakukan untuk kemajuan Islam di negara Myanmar. Di masa
awal, hidup merek berdampingan satu sama lain. Hal ini ditandai
karena tidak adanya konflik yang riskan seperti saat ini. Kehidupan
mereka yang berdampingan tersebut terlacak dari pemimpin di
Myanmar saling bergantian, baik agama Hindu dan Budha. Hanya
saja keberadaan mereka mulai terganggu ketika kolonialisme
Inggris dan Jepang yang ingin menguasai Myanmar. Loyalitas
kolonial Inggris kepada penduduk Arakan menjadi pokok
persoalannya, ketika kolonial Jepang juga menggunakan praktik
kebijakan yang sama dengan bekerjasama dengan penganut Budha.
44
55
2. Bahwasanya etnis Muslim Rohingya memiliki akar konflik secara
sosio-historis yang bekepanjangan. Ketegangan yang terjadi dalam
konteks Rohingya bukan hanya persoalan agama saja, melainkan
begitu kompleks. Artinya, konflik yang ditengarai oleh persoalan
politik, etnik, menyebabkan etnis Muslim Rohingya begitu
runyam. Keadaan ini diperparah dengan adanya status mereka
yang dipermasalahkan sebagai imigran gelap. Status
kewarnegaraan mereka tidak diakui semenjak Myanmar merdeka
dari penjajahan Inggris. Serta berbebagai kebijakan yang membuat
mereka terpuruk dan menjadikan mereka lemah. Berbagai tuduhan
diselancarkan penganut Budha seperti jihad melawan kelompok
etnis Muslim Rohingnya merupakan nasionalisme dan membela
negara dari mereka yang berbeda. Akses-akses mereka seperti
pendidikan, kesehatan dan keamanan dicegal oleh pemerintah
Myanmar. Dengan keadaan yang demikian, konflik yang paling
kentara karena asal-usul mereka yang tidak jelas dan beberapa
alasan lain yang dikemukakan.
3. Bahwasanya etnis Muslim Rohingya lemah dikarenakan mereka
mendapatkan bentuk diskriminasi yang beragam mulai
pemerkosaan, pembunuhan, dan pengusiran. Dalam hal praktik
agama pun mereka tidak diperkenankan melakukannya. Rumah-
rumah mereka dibakar, sehingga banyak dari mereka mengungsi
ke berbagai negara yang bersedia menampung mereka seperti
Arab, Malaysia, Bangladesh dan negara-negara dunia lainnya. Di
negara-negara di dunia yang menampung mereka semakin hari
bertambah banyak dan membuat PBB dan ASEAN ikut andil agar
mereka diterima. Repatriasi yang mandek kemudian menjadikan
56
mereka tidak bisa kembali ke Myanmar, pun karena mereka tidak
diterima lagi sebagai bagian dari negara tersebut.
Etnis Muslim Rohingya muslim yang lemah, tidak lain karena
kurangnya perhatian pemerintah yang sebenarnya terlibat di balik tragedi
memilukan tersebut. Pemerintah yang seharusnya melindungi, menjadi
boomerang sendiri kepada etnis Muslim Rohingya yang lemah. Oleh sebab
itu, hidup mereka dan generasi mereka selanjutnya terancam dan mereka tidak
bisa hidup di negara Myanmar selayaknya kehidupan yang pernah nenek
moyang mereka rasakan.
B. Saran
Dalam hal ini, penulis mengakui sebuah keterbatasannya ketika
menganalisis kasus yang terjadi di Myanmar, khususnya etnis Muslim
Rohingya. Adapun mengenai hasil yang dicapai dalam penelitian ini belum
maksimal. Dengan begitu, peneliti berpendapat bahwa tidak ada penelitian
yang sifatnya final. Oleh karena itu, peneliti menginginkan adanya penelitian
selanjutnya guna menambah khasanah perpustakaan dan memperkaya bacaan,
utamanya dalam bidang sejarah.
57
DAFTAR PUSTAKA
Rujukan Buku:
Abdurrahman, Dudung. Metode Penelitian Sejarah. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1999).
Al-Khanif, dkk. Hak Asasi Manusia: Dialektika Universalisme vs Relativisme di
Indonesia. (Yogyakarta: LKiS, 2017).
Alfian. Militer dan Politik: Pengalaman Beberapa Negara (Jakarta: LIPI, 1970).
Azizah. Pemberontakan Sporadis Muslim Rohingya Pascakemerdekaan Burma 1948-
1988. (Jakarta: FIB UI, 2006).
Black, Antony. Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Nabi hingga Masa Kini. Terj.
Abdullah Ali dan Mariana Ariestyawati (Jakarta: Serambi, 2001).
Burhanuddin, Jajat. Ulama dan Kekuasaan: Pergumulan Elite Politik Muslim dalam
Sejarah Indonesia. (Jakarta: Mizan, 2012).
Dahendorf, R. Toward a Theory of Social Conflict, Social Change: Soyrces, Patterns
and Consuequnces. New York: Basic Book, 1972.
E. Ackermann, Marsha. dkk. Encycplopedia of World History. New York: Golson
Books, 2007.
F. Isaacson, Jasson dan Collin Rubenstein. Islam in Asia: Changing Political
Realities. U.S.A: Transaction Publishers, 2009.
Hasbullah, Moeflich. Islam dan Transformasi Masyarakat Nusantara: Kajian
Sosiologis Sejarah Indonesia (Depok: Kencana, 2017).
Hillenbrand, Carole. Perang Salib: Sudut Pandang Islam. Terj. Heryadi (Jakarta:
Serambi, 2007).
Humaidi. Paradigma Sains Integratif al-Farabi. (Jakarta: Sadra Press, 2015).
Idi, Abdullah. Konflik Etno-Religius di Asia Tenggara. (Yogyakarta: LKiS, 2018).
Karita Sakharina, Iin dan Kadaruddin. Pengantar Hukum Pengungsi Internasional
(Perbedaan Istilah Pencari Suaka Pengungsi Internasional, dan Pengungsi
Luar Negeri). Yogyakarta: Depublish, 2017.
57
58
Kristiyanto, OFM, Eddi. Reformasi dari Dalam Sejarah Gereja Zaman Modern.
Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Liliweri, Alo. Prasangka, Konflik, dan Komunikasi Antar Budaya. Jakarta: Kencana,
2018.
Madjied, M. Dien dan Johan Wahyudi. Ilmu Sejarah Sebuah Pengantar. (Jakarta:
Kencana, 2014).
Muthahhari, Murtadha dan S.H.M. Thabathabai. Menapak Jalan Spiritual. (Jakarta:
Lentera, 2000).
Misrawi, Zuhairi. Al-Qur‟an Kitab Toleransi: Tafsir Tematik Islam Rahmatan Lil
„Alamin. (Jakarta: Pustaka Oasis, 2010).
M. Dja‟far, Alamsyah. (In) Toleransi! Memahami Kebencian & Kekerasan Atas
Nama Agama. (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2018).
Nafi, M. Zidni. Menjadi Islam, Menjadi Indonesia. (Jakarta: Elex Media
Komputindo, 2018).
Nurkholis, Ahmad. Merajut Damai dalam Kebinekaan. (Jakarta: Elex Media
Komuputindo, 2017).
Partogi Nainggolan, Poltak. Aktor Non-Negara: Kajian Implikasi Kejahatan
Transnasional di Asia Tenggara. (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 2017).
Rahardjo, M. Dawam. Menjamin Kemajemukan Kebebasan dan Kebangsaan.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010).
Ramadhan, Muhammad. Kontestasi Agama dan Politik: Menyemai Benih Kerukunan
Antarumat Beragama Pascakonflik. (Yogyakarta: LKiS, 2017).
Rufaedah, Dedah. Pembangunan Museum Nasional. (Jakarta: Museum Nasional,
2006).
Sihbudi, Riza. dkk. Problematika Minoritas Muslim di Asia Tenggara: Kasus, Moro,
Pattani dan Rohingya. (Jakarta: PPW-LIPI, 2000).
Smith, A.D. 1986. The Ethnic Origins of Nations. Oxford, Basil Blackwell.
Sugiarto, Heri. Overland dari Negeri Singa ke Daratan Cina-Jilid 3: Memoar
Perjalanan Misi Menuntaskan Menjelajah Negeri-Negeri Asean.
(Yogyakarta: PT. Leutika Nouvalitera, 2018).
Tim Narasi. The Mass Killers of the Twintieth Century: Pembunuh-pembunuh Massal
Abad 20. (Yogyakarta: Nasari, 2006).
59
Rujukan Jurnal:
Direktorat Jenderal Kerja Sama ASEAN Kementrian Luar Negeri “Diplomasi, Bukan
Intervensi, Wujudkan Perdamaian di Rakhine” dalam Majalah Masyarakat
ASEAN: Ketahanan dan Inovasi ASEAN 2018, edisi 18, April 2018, hal. 43.
Fasha Nabila Yasyid “Dampak Pengusiran Etnis Rohingya Oleh Myanmar Terhadapa
Keamanan Bangladesh,” dalam Jurnal Ilmu Hubungan Internasional, No. 5,
Tahun 2007.
Gulia Ichikaya Mitzy “Perlawanan Etnis Muslim Rohingya terhadap Kebijakan
Diskriminatif Pemerintah Burma-Myanmar” dalam Jurnal Indonesian Journal
of International Studies, Vol. 1, No. 2, Desember 2014.
Hartimah, T. (2010). Rekam Jejak Muslim Rohingya di Myanmar. Buletin al-Turas,
16 (1).
Hendra Maujana Saragih “Indonesia dan Responbility To Protect Etnis Muslim
Rohingya Myanmar” dalam Jurnal Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan,
Vol. 2, No. 2, 2017.
Mohammad Maiwan. “Gerakan Mahasiswa dalam Kemelut Politik di Myanmar:
Pergulatan Mewujudkan Kebebasan” dalam Jurnal Ilmiah Mimbar
Demokrasi, Vol. 13, No. 2, April 2014.
Qadri, F., Azad, A. K., Flora, M. S., Kha, A. I., & Islam, M. T. (2018). Emergency
Deployment of Oral Cholera Vaccine for the Rohingya in Bangladesh. The
Lancet, 391 (10133).
Rahman, U. (2010). The Rohingya Refugee : A Security Dilemma for Bangladesh.
Journal of Immigrant & Refugee Studies, 8 (2).
Sandy Nur Ikfal Raharjo “Peran Identitas Agama dalam Konflik di Rakhine
Myanmar Tahun 2012-2013”. Dalam Jurnal Kajian Wilayah, Vol. 6, No. 1,
2015.
Thontowi, J. Perlakuan Pemerintah Myanmar terhadap Minoritas Muslim Rohingya :
Perspektif Sejarah dan Hukum Internasional. Pandecta : Research Law
Journal, 8 (1), (2013).
Ullah, A. Rohingya Refugees to Bangladesh: Historical Exclusions and
Contemporary Marginalization. Journal of Immigrant & Refugee Studies, 9
(2), (2011).
60
Wijnroks, M., Bloem, M. W., Islam, N., Rahman, H., Das, S. K., & Hye, A. (1993).
Surveillance of the Health and Nutritional Status of Rohingya Refugees in
Bangladesh. Disaster, 17 (4).
Zinda Rahma Ilfana “Ambiguitas Sikap Politik Aung San Suu Kyi Terhadap Masalah
Segregasi Etnis Rohingya,” Skripsi, Jurusan Ilmu Hubungan Internasional,
Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Malang,
2017.
Rujukan WEB:
DW “Inilah Profil Manusia Perahu Rohingya” Diakses pada 26 April 2019 dari
https://www.dw.com/id/inilah-profil-manusia-perahu-rohingya/a-18467515
British Broadcasting Corporation “Siapa sebenarnya etnis Rohingya dan enam hal
lain yang harus Anda ketahui” Diakses pada 27 April 2019 dari
https://www.bbc.com/indonesia/trensosial-41141169
British Broadcasting Corporation “Rohingya adalah kita‟: Solidaritas agama atau
kemanusiaan?” Diakses pada 27 April 2019 dari
https://www.bbc.com/indonesia/trensosial-41141169
British Broadcasting Corporation “Perjuangan pengakuan identitas Rohingya
'terhambat' pemimpin” Diakses pada 27 April 2019 dari
https://www.bbc.com/indonesia/trensosial-41141169
British Broadcasting Corporation “Pengungsi Rohingya terdampar di India” diakses
pada 01 Mei 2019 dari
https://www.bbc.com/indonesia/dunia/2011/02/110214_rohingya.
British Broadcasting Corporation “Puluhan orang Rohingya terdampar di Aceh”
diakses pada 01 Mei 2019 dari
https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2011/02/110216_rohingya
men
Historia “Penghuni Tanah Arakan,” diakses pada 30 April 2019 dari
https://historia.id/agama/articles/penghuni-tanah-arakan-DrB5m
Imtiyaz Yusuf “Islam di Myanmar: Bacaan Pengantar” Diakses pada 27 April 2019
dari https://crcs.ugm.ac.id/id/berita-utama/11398/islam-di-myanmar-bacaan-
pengantar.html
61
Jawapos.com “Negara-negara Tujuan Pelarian Muslim Rohingya untuk
Mengungsikan Diri” diakses pada 02 Mei 2019 dari
https://www.jawapos.com/internasional/03/09/2017/negara-negara-tujuan-
pelarian-muslim-rohingya-untuk-mengungsikan-diri/
Kompas.com “GP Ansor: Konflik Geopolitik adalah Akar Tragedi Rohingya” diakses
pada 1 Mei 2019 dari
https://nasional.kompas.com/read/2017/09/01/18104011/gp-ansor-konflik-
geopolitik-adalah-akar-tragedi-rohingya?
Republika “Melacak Asal Usul Etnis Rohingya” diakses pada 27 April 2019 dari
https://www.republika.co.id/berita/koran/islam-digest-koran/15/05/31/np7roj-
melacak-asal-usul-etnis-rohingya.
RRI.co.id “Umat Budha di Aceh Kutuk Myanmar Atas Pembantaian Muslim di
Rohingya” diakses pada 2 April 2019 dari http://rri.co.id /banda-
aceh/post/berita /430710/ragam-umat-budha-di-aceh-kutuk-myanmar-atas-
pembantaian-muslim-rohingya.html
Sindonews.com “Rohingya & Tragedi Kemanusiaan” diakses pada 1 Mei 2019 dari
https://nasional.sindonews.com/read/1238378/18/rohingya-tragedi-
kemanusiaan-1505084441.
Tirto.id “Piagam Madinah dan Upaya Menyelesaikan Sengketa dengan Orang
Yahudi” diakses pada 28 April 2019 dari https://tirto.id/piagam-madinah-
dan-upaya-menyelesaikan-sengketa-dengan-orang-yahudi-cLfo
Tempo.co “Benci Rohingya: Ashin Wirathu Punya 3 Pidato Radikal” diakses pada 1
Mei 2019 dari https://dunia.tempo.co /read/668990/benci-rohingya-ashin-
wirathu-punya-3-pidato-radikal/full&view=ok
Zezen Zaenal Muttaqin “Konflik Rohingya dan Peran Indonesia” diakses 26 Juli
2019 dari http://ang-zen.com/konflik-rohingya-dan-peran-indonesia/