Musa balbisiana BBB)repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28190...4. Seluruh dosen yang...
Transcript of Musa balbisiana BBB)repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28190...4. Seluruh dosen yang...
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
PENGARUH VARIASI PERLAKUAN BAHAN BAKU
DAN KONSENTRASI ASAM TERHADAP
EKSTRAKSI DAN KARAKTERISTIK PEKTIN DARI
LIMBAH KULIT PISANG KEPOK KUNING
(Musa balbisiana BBB)
SKRIPSI
QADRINA SUFY
1111102000030
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
JUNI 2015
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
PENGARUH VARIASI PERLAKUAN BAHAN BAKU
DAN KONSENTRASI ASAM TERHADAP
EKSTRAKSI DAN KARAKTERISTIK PEKTIN DARI
LIMBAH KULIT PISANG KEPOK KUNING
(Musa balbisiana BBB)
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi
QADRINA SUFY
1111102000030
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
JUNI 2015
vi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ABSTRAK
Nama : Qadrina Sufy
Program Studi : Farmasi
Judul : Pengaruh Variasi Perlakuan Bahan Baku dan Konsentrasi
Asam Terhadap Ekstraksi dan Karakteristik Pektin dari
Limbah Kulit Pisang Kepok Kuning (Musa balbisiana BBB)
Pektin merupakan polimer alam dari kelompok polisakarida yang terdapat dalam
jaringan tanaman, tersusun atas unit asam D-galakturonat yang dihubungkan oleh
ikatan glikosidik α(1-4). Pektin telah digunakan selama bertahun-tahun dalam
industri farmasi, makanan, dan minuman. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh variasi perlakuan bahan baku dan konsentrasi asam terhadap
karakteristik pektin hasil ekstraksi dari limbah kulit pisang kepok kuning
(Musa balbisiana BBB). Penelitian dilakukan dengan metode ekstraksi
menggunakan pelarut HCl, lalu dilakukan pengendapan pektin dengan
menambahkan aseton ke dalam filtrat hasil ekstraksi, kemudian endapan dicuci
dengan etanol 96%, dan dikeringkan dalam oven suhu 400C untuk mendapatkan
pektin kering. Variabel tetap dalam penelitian ini adalah suhu ekstraksi 900C
selama 80 menit. Sedangkan variabel berubahnya adalah perlakuan bahan baku,
yaitu bahan segar dan kering serta konsentrasi HCl 0,025 N; 0,05 N; dan 0,075 N.
Karakteristik yang dianalisa adalah jumlah pektin yang dihasilkan, kadar air,
kadar abu, berat ekivalen, kadar metoksil, kadar galakturonat, derajat esterifikasi,
dan viskositas larutan pektin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi
optimum untuk menghasilkan pektin terbanyak dari masing-masing perlakuan
bahan baku yaitu 10,3610 gram untuk bahan segar dan 8,0290 gram untuk bahan
kering, diperoleh dengan ekstraksi menggunakan pelarut HCl 0,075 N, dengan
karakteristik berturut-turut : kadar air 9,3165% dan 10,3501%; kadar abu 1,3592%
dan 2,4770%; berat ekivalen 4752,7974 dan 4874,1837; kadar metoksil 3,8166%
dan 3,7524%; kadar galakturonat 101,1200% dan 99,6591%; derajat esterifikasi
21,4284% dan 21,3770%; dan viskositas larutan pektin 1% 15,00 cPs dan
15,50 cPs.
Kata Kunci : Kulit pisang kepok, pektin, ekstraksi, karakteristik
vii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ABSTRACT
Name : Qadrina Sufy
Program Study : Pharmacy
Title : Effect of Variations in The Raw Materials Treatment and
Acid Concentration to The Extraction and Characteristics of
Pectin from Yellow Banana Peel Waste (Musa balbisiana
BBB)
Pectin is a natural polymer of polysaccharides present in plant tissue, composed of
D-galacturonic acid units linked by glycosidic bond α(1-4). It has been used
successfully for many years in the food and beverage industry. This research was
aimed to investigate the effect of variations in the raw materials treatment and
acid concentration on the characteristics of pectin extracted from yellow banana
peel waste (Musa balbisiana BBB). The research used an extraction method by
using HCl solvent, pectin was precipitated by adding acetone into the filtrate
extracted, then the precipitate was washed with ethanol 96%, and dried in oven at
400C to obtain a dry pectin. The fix variables which were used in this research
were extraction temperature of 900C during 80 minute. Extraction process by
carried out by the raw materials treatment which were fresh and dried, and the
HCl solvent concentration of 0,025 N; 0,05 N; and 0,075 N. Characteristics
analyzed were yield of pectin, moisture content, ash content, equivalent weight,
methoxyl content, galacturonic content, degree of esterification, and viscosity of
pectin solution. The results showed that the optimum conditions to produce most
of pectin from each raw material treatment i.e. 10,3610 gram of fresh material and
8,0290 gram of dry material, obtained by HCl 0,075 N with the characteristics
respectively : 9,3165% and 10,3501% of moisture content, 1,3592% and 2,4770%
of ash content, 4752,7974 and 4874,1837 of equivalent weight, 3,8166% and
3,7524% of methoxyl content; 101,1200% and 99,6591% of galacturonic content,
21,4284% and 21,3770% of degree of esterification, and 15,00 cPs and 15,50 cPs
of viscosity of 1% pectin solution.
Keywords : Banana peel, pectin, extraction, characteristics
viii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’aalamiin, segala puji dan syukur selalu terpanjatkan
atas kehadirat Allah SWT atas segala nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini. Shalawat serta salam
senantiasa tercurahkan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW yang telah
membawa cahaya petunjuk dan menjadi suri tauladan bagi umat manusia, semoga
kelak kita semua mendapat syafaat beliau. Aamiin yaa rabbal’aalamiin.
Skripsi dengan judul, “Pengaruh Variasi Perlakuan Bahan Baku dan
Konsentrasi Asam Terhadap Ekstraksi dan Karakteristik Pektin dari Limbah Kulit
Pisang Kepok Kuning (Musa balbisiana BBB)” ini disusun dalam rangka
memenuhi salah satu syarat menempuh ujian akhir untuk memperoleh gelar
Sarjana Farmasi pada Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari begitu banyak bantuan dari berbagai pihak yang telah
meluangkan waktunya, mendidik, dan membimbing dari masa perkuliahan sampai
pada proses penelitian dan penyusunan skripsi ini. Pada kesempatan ini, penulis
ingin menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya dan rasa terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Dr. Arif Sumantri, S. KM., M. Kes., selaku Dekan Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Bapak Yardi, M. Si., Ph. D., Apt., selaku Ketua Program Studi Farmasi
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Eka Putri, M. Si., Apt. dan Bapak Supandi, M. Si., Apt., sebagai
Pembimbing I dan Pembimbing II yang dengan sabar senantiasa meluangkan
waktu dan pikirannya untuk membimbing, mendidik, memberikan saran, dan
dukungan kepada penulis hingga skripsi ini selesai.
4. Seluruh dosen yang telah memberikan ilmunya kepada penulis selama
menempuh pendidikan di Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
ix UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
5. Ayahanda Husni El Fuad dan Ibunda Nurhidayati, kedua orang tercinta yang
senantiasa mendoakan tiada pernah terputus, selalu memberikan cinta dan
kasih sayang, semangat, dan dukungan baik moril maupun materiil yang tak
akan pernah mampu penulis membalas itu semua. Semoga Allah selalu
memberikan limpahan rezeki, keberkahan, dan keselamatan bagi Ayahanda
dan Ibunda tercinta baik di dunia maupun di akhirat. Aamiin.
6. Adikku tersayang Muhammad Maksum yang selalu memberikan dukungan,
semangat, dan keceriaan dalam hidup penulis, serta untuk keluarga besar
yang senantiasa memberikan doa dan semangat kepada penulis.
7. Teman-teman seperjuangan Farmasi angkatan 2011 yang telah menjadi
keluarga kedua bagi penulis, yang selalu memberikan warna baru dalam
hidup penulis. Terima kasih atas kebersamaan kita selama ini yang begitu
indah, semoga silaturrahim kita dapat tetap selalu terjaga.
8. Kak Lisna, Kak Tiwi, Kak Eris, Kak Liken, Mba Rani, dan Kak Rahmadi
yang telah banyak membantu penulis selama penelitian di laboratorium.
9. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang turut
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat banyak
kelemahan dan kekurangan serta jauh dari kesempurnaan, namun penulis berharap
semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu
pengetahuan pada umumnya dan ilmu farmasi pada khususnya. Dengan segala
kerendahan hati, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik membangun agar
skripsi ini lebih sempurna.
Akhir kata, penulis berharap semoga Allah SWT mencatat dan memberikan
balasan yang berlipat ganda atas segala kebaikan semua pihak yang telah
membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.
Jakarta, 12 Juni 2015
Penulis
xi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ........................................ iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ......................................... iv
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... v
ABSTRAK ..................................................................................................... vi
ABSTRACT ................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ................................................................................... viii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS
AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIK ..................................... x
DAFTAR ISI .................................................................................................. xi
DAFTAR TABEL ......................................................................................... xiii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xv
BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................... 2
1.3 Tujuan Penelitian ..................................................................... 2
1.4 Manfaat Penelitian ................................................................... 3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. 4
2.1 Tanaman Pisang ....................................................................... 4
2.1.1 Uraian Umum Pisang .................................................... 4
2.1.2 Kandungan Kimia Kulit Pisang .................................... 5
2.1.3 Pisang Kepok (Musa balbisiana) ................................. 6
2.2 Pektin ....................................................................................... 7
2.2.1 Pengertian dan Sumber Pektin ...................................... 7
2.2.2 Struktur, Komposisi Kimia, dan Jenis Pektin ............... 8
2.2.3 Sifat-sifat Pektin ........................................................... 12
2.2.4 Produksi Pektin ............................................................. 14
2.2.5 Karakterisasi Pektin ...................................................... 18
2.2.6 Aplikasi Pektin ............................................................. 21
2.3 Asam Klorida ........................................................................... 23
2.4 Spektroskopi FTIR (Fourier Transform Infra Red) ................. 23
BAB 3 METODE PENELITIAN .............................................................. 25
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian .................................................. 25
3.2 Alat dan Bahan ......................................................................... 25
xii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.2.1 Alat ............................................................................... 25
3.2.2 Bahan ............................................................................ 25
3.3 Prosedur Penelitian ................................................................... 26
3.3.1 Persiapan Bahan Baku .................................................. 26
3.3.2 Produksi Pektin ............................................................. 27
3.4 Identifikasi Kualitatif Pektin .................................................... 28
3.5 Karakteristik Pektin .................................................................. 28
3.6 Perbandingan Spektrum FTIR ................................................. 31
3.7 Perbandingan Pektin Hasil Penelitian terhadap
Pektin Komersial ...................................................................... 31
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................... 32
4.1 Penentuan Bahan Baku ............................................................ 32
4.2 Determinasi Tanaman Bahan Baku .......................................... 32
4.3 Persiapan Bahan Baku .............................................................. 33
4.4 Produksi Pektin ........................................................................ 34
4.5 Identifikasi Kualitatif Pektin .................................................... 37
4.6 Karakteristik Pektin Hasil Ekstraksi ........................................ 40
4.7 Perbandingan Spektrum FTIR ................................................. 51
4.8 Perbandingan Pektin Hasil Penelitian terhadap
Pektin Komersial ...................................................................... 54
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................... 57
5.1 Kesimpulan .............................................................................. 57
5.2 Saran ......................................................................................... 57
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 58
LAMPIRAN ................................................................................................... 66
xiii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Komposisi Pektin pada berbagai Sayuran dan Buah-buahan ... 12
Tabel 2.2 Spesifikasi Standar Mutu Pektin ............................................... 19
Tabel 2.3 Spesifikasi Pektin Berdasarkan Farmakope ............................. 19
Tabel 4.1 Bahan Baku ............................................................................... 34
Tabel 4.2 Pemerian Pektin Hasil Ekstraksi ............................................... 37
Tabel 4.3 Identifikasi Pektin Hasil Ekstraksi ........................................... 38
Tabel 4.4 Karakteristik Pektin Hasil Ekstraksi ......................................... 40
Tabel 4.5 Data Spektrum FTIR Pektin Komersial dan Hasil Ekstraksi ... 52
Tabel 4.6 Perbandingan sifat fisikokimia pektin hasil penelitian
terhadap pektin komersial ......................................................... 56
xiv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Pisang Kepok ............................................................................ 6
Gambar 2.2 Struktur Dinding Sel Tanaman ................................................. 8
Gambar 2.3 Rumus Molekul Pektin .............................................................. 9
Gambar 2.4 Struktur Kimia α-Galakturonat ................................................. 9
Gambar 2.5 Struktur Kimia Asam Poligalakturonat .................................... 10
Gambar 2.6 Molekul Pektin Bermetoksil Tinggi ......................................... 11
Gambar 2.7 Molekul Pektin Bermetoksil Rendah ........................................ 11
Gambar 2.8 Molekul Pektin yang Teramidasi .............................................. 11
Gambar 2.9 Skema Perubahan Protopektin menjadi Pektin dan
Asam Pektat ............................................................................... 16
Gambar 4.1 Jumlah pektin kulit pisang kepok hasil ekstraksi ..................... 41
Gambar 4.2 Kadar air pektin kulit pisang kepok hasil ekstraksi .................. 43
Gambar 4.3 Kadar abu pektin kulit pisang kepok hasil ekstraksi ................ 44
Gambar 4.4 Berat ekivalen pektin kulit pisang kepok hasil ekstraksi .......... 45
Gambar 4.5 Kadar metoksil pektin kulit pisang kepok hasil ekstraksi ........ 47
Gambar 4.6 Kadar galakturonat pektin kulit pisang kepok hasil ekstraksi .. 48
Gambar 4.7 Derajat esterifikasi pektin kulit pisang kepok hasil ekstraksi ... 49
Gambar 4.8 Reaksi Deesterifikasi Pektin ..................................................... 50
Gambar 4.9 Viskositas larutan pektin kulit pisang kepok hasil ekstraksi .... 51
Gambar 4.10 Struktur Pektin .......................................................................... 53
Gambar 4.11 Perbandingan warna pektin hasil penelitian dan
pektin komersial ....................................................................... 54
xv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Hasil Determinasi Tanaman ..................................................... 66
Lampiran 2. Hasil Pemeriksaan Kadar Air Serbuk Kulit Pisang Kepok
(Musa balbisiana BBB) ............................................................ 67
Lampiran 3. Alur Kerja Penelitian ................................................................ 68
Lampiran 4. Diagram Alir Persiapan Bahan Baku Segar ............................. 69
Lampiran 5. Diagram Alir Persiapan Bahan Baku Kering ........................... 70
Lampiran 6. Jumlah Pektin Hasil Ekstraksi .................................................. 71
Lampiran 7. Kadar Air Pektin ....................................................................... 71
Lampiran 8. Kadar Abu Pektin ..................................................................... 72
Lampiran 9. Pembakuan Larutan Titran NaOH 0,1027 N ............................ 73
Lampiran 10. Berat Ekivalen Pektin ............................................................... 74
Lampiran 11. Kadar Metoksil Pektin .............................................................. 75
Lampiran 12. Kadar Galakturonat Pektin ....................................................... 76
Lampiran 13. Derajat Esterifikasi Pektin ........................................................ 77
Lampiran 14. Viskositas Larutan Pektin ......................................................... 77
Lampiran 15. Contoh Perhitungan Kadar Air Pektin Hasil Ekstraksi ............ 78
Lampiran 16. Contoh Perhitungan Kadar Abu Pektin Hasil Ekstraksi ........... 78
Lampiran 17. Contoh Perhitungan Berat Ekivalen Pektin Hasil Ekstraksi ..... 78
Lampiran 18. Contoh Perhitungan Kadar Metoksil Pektin Hasil Ekstraksi .... 79
Lampiran 19. Contoh Perhitungan mEk .......................................................... 79
Lampiran 20. Contoh Perhitungan Kadar Galakturonat Pektin
Hasil Ekstraksi .......................................................................... 81
Lampiran 21. Contoh Perhitungan Derajat Esterifikasi Pektin
Hasil Ekstraksi .......................................................................... 82
Lampiran 22. Hasil Spektrum FTIR Pektin Komersial dan Hasil Ekstraksi ... 83
Lampiran 23. Sertifikat Analisis Pektin Carigill® ........................................... 87
Lampiran 24. Sertifikat Analisis Pektin Danisco® .......................................... 88
Lampiran 25. Dokumentasi Proses Ekstraksi Pektin ...................................... 89
Lampiran 26. Gambar alat-alat yang digunakan dalam penelitian ................. 90
1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Polimer alam merupakan polisakarida yang penting secara farmasetik
dengan berbagai aplikasi seperti agen pengental, pengikat, penghancur,
pensuspensi, pengemulsi, penstabil, dan pembentuk gel. Polimer alam lebih
disukai daripada sintetik karena tidak toksik, biaya rendah, bersifat emolien,
dan tidak mengiritasi (Malviya, et. al., 2011).
Pektin termasuk kelompok polisakarida yang terdapat di antara
dinding sel sekunder tanaman termasuk xilem dan serat sel yang merupakan
konstituen penting dalam pertumbuhan awal dan proses pematangan buah,
di mana komponen utamanya terdiri dari unit asam D-galakturonat yang
terikat dengan ikatan glikosidik α(1-4) (Bansal, et. al., 2014).
Di berbagai negara, pektin telah dikenal dan diizinkan penggunaannya
sebagai bahan dasar dalam berbagai industri, baik pangan maupun non
pangan, seperti industri farmasi dan kosmetik, karena kemampuannya dalam
mengubah sifat fungsional produk seperti kekentalan, emulsi, dan gel
(Nurviani, 2014).
Hingga tahun 2012, seluruh pektin yang digunakan di industri-industri
Indonesia merupakan barang impor dengan data terakhir pada Januari
sampai November 2012 mencapai 2.276.742 kg yang bernilai sebesar
US $ 2.132.966. Biaya impor pektin yang sangat mahal akan berdampak
terhadap penggunaan devisa Negara (Badan Pusat Statistik, 2012).
Indonesia merupakan salah satu negara penghasil pisang terbesar
di Asia. Pisang (Musaceae sp.) adalah tanaman buah-buahan tropis berupa
hortikultura yang banyak dihasilkan dan dimanfaatkan oleh masyarakat
Indonesia serta berbuah sepanjang tahun tanpa mengenal musim, di mana
produksi buahnya menduduki peringkat pertama hasil pertanian hortikultura
yaitu mencapai 6.279.290 ton pada tahun 2013 (Satria dan Ahda, 2009;
Sofia, 2008; Badan Pusat Statistik, 2014).
2
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pemanfaatan buah pisang untuk berbagai jenis makanan akan
menghasilkan limbah kulit pisang yang merupakan limbah organik yang
masih mengandung karbohidrat dan nutrisi lain. Volume limbah yang besar
dan terbuang merupakan pemborosan sumber daya karena limbah ini dapat
dimanfaatkan sebagai sumber pektin yang dapat diproduksi dengan teknik
ekstraksi menggunakan asam mineral panas atau asam organik (May, 1990;
Baker, 1994; Sofia, 2008).
Hasil penelitian Hanum, et. al. (2012), pektin dengan karakteristik
terbaik hasil ekstraksi dari kulit pisang kepok kering menggunakan pelarut
air yang diasamkan dengan HCl diperoleh pada pH 1,5 dan suhu 900C
selama 80 menit dengan perolehan rendemen tertinggi sebesar 5,21 gram,
kadar air 11,88%, kadar abu 0,98%, dan kadar metoksil 3,72%.
Berdasarkan uraian di atas, kulit pisang diketahui berpotensi sebagai
sumber pektin, maka dalam penelitian ini dilakukan pengembangan
ekstraksi pektin dengan memanfaatkan limbah kulit pisang kepok kuning
(Musa balbisiana BBB), dengan melihat pengaruh dari variasi perlakuan
bahan baku segar dan kering yang diekstraksi menggunakan pelarut HCl
dengan berbagai konsentrasi terhadap karakteristik pektin yang dihasilkan.
Pelarut HCl dipilih karena tergolong asam mineral yang cenderung murah
dan mudah didapatkan serta pada pH rendah dapat menghasilkan rendemen
pektin yang lebih tinggi dibandingkan asam organik (Kertesz, 1951; Rouse
dan Crandal, 1978).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan pustaka, ekstraksi pektin dari kulit pisang kepok
menggunakan pelarut HCl sudah diteliti. Akan tetapi, belum diketahuinya
karakteristik pektin hasil ekstraksi dengan memanfaatkan limbah kulit
pisang kepok kuning (Musa balbisiana BBB) yang dipengaruhi variasi
perlakuan bahan baku dan konsentrasi pelarut HCl.
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan sumber pektin baru
dengan memanfaatkan limbah kulit pisang kepok kuning (Musa balbisiana
3
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BBB) dan mengetahui pengaruh variasi perlakuan bahan baku dan
konsentrasi pelarut HCl terhadap karakteristik pektin yang dihasilkan.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi dan
dapat dijadikan sebagai landasan ilmiah pemanfaatan limbah kulit pisang
kepok kuning (Musa balbisiana BBB) untuk pengembangan sumber
produksi pektin dalam upaya untuk peningkatan kesehatan dan
pemanfaatannya di bidang industri farmasi.
4 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Pisang
2.1.1 Uraian Umum Pisang
Pisang adalah tanaman herba yang berasal dari kawasan Asia
Tenggara (termasuk Indonesia). Tanaman buah ini kemudian menyebar luas
ke kawasan Afrika (Madagaskar), Amerika Selatan, dan Amerika Tengah.
Penyebaran tanaman ini selanjutnya hampir merata ke seluruh dunia, yakni
meliputi daerah tropik dan subtropik, dimulai dari Asia Tenggara ke timur
melalui Lautan Teduh sampai ke Hawai. Selain itu tanaman pisang
menyebar ke barat melalui Samudera Atlantik, Kepulauan Kenari sampai
Benua Amerika (Suyanti dan Supriyadi, 2008).
Pisang adalah buah terbesar kedua setelah jeruk yang tumbuh
di daerah tropis yang paling banyak ditanam dan dihasilkan, serta telah
dibudidayakan di lebih dari 130 negara, kontribusinya mencapai 16% dari
produksi buah total dunia (Mohapatra, et. al., 2010). Indonesia, Filipina, dan
Thailand merupakan negara penghasil pisang nomor satu di kawasan Asia
Tenggara (Verheij dan Coronel, 1992).
Pisang merupakan tumbuhan basah yang besar, biasanya mempunyai
batang semu yang tersusun dari pelepah-pelepah daun, tangkai daun jelas
beralur pada sisi atasnya, helaian daun lebar, bangun jorong memanjang,
dengan ibu tulang yang nyata dan tulang-tulang cabang yang menyirip dan
kecil-kecil. Bunga dalam suatu bunga majemuk dengan daun-daun
pelindung yang besar dan berwarna merah, di mana masing-masing
mempunyai tenda bunga yang menyerupai mahkota atau kelopak dan
mahkota yang biasanya berlekatan, zigomorf, terdapat 6 benang sari
di mana yang 5 fertil dan satu staminoidal. Bakal buah tenggelam, beruang
3 dengan 1 bakal biji dalam tiap ruang, tangkai putik berbelah 3-6, buahnya
buah buni atau buah kendaga dengan biji bersalut, endosperm, dan juga
perisperm (Tjitrosoepomo, 1994).
5
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pemanfaatan pisang telah meluas di kalangan masyarakat, baik dari
mulai daun, batang, bunga, buah hingga kulitnya. Pisang sangat bergizi dan
mudah dicerna daripada buah-buahan lainnya, waktu penghancuran atau
digesti dari buah pisang kurang dari 105 menit dibandingkan apel,
yaitu 210 menit. Pisang memiliki karakteristik yang khas pada aroma,
bentuk, dan mudah dikupas serta dimakan. Selain itu, buah pisang juga
rendah sodium dan kaya akan kalsium dan kalium, sehingga dapat
membantu mengatasi stress yang memacu gangguan sulit tidur dengan cara
menurunkan tekanan darah dan melancarkan aliran darah yang tersumbat
dalam pembuluh darah (Apriadji, 2007; Mohapatra, et. al., 2010).
Berdasarkan penelitian dari Taiwan diketahui bahwa kulit pisang
mengandung vitamin B6 dan serotonin yang dapat diekstrak dan
dimanfaatkan untuk kesehatan mata (Suyanti dan Supriyadi, 2008).
Kulit pisang juga dapat digunakan untuk membuat minuman anggur,
produksi etanol, sebagai substrat untuk produksi biogas, sebagai bahan dasar
untuk produksi pektin, dan pengolahan air limbah di pabrik. Abu kulit
pisang dapat digunakan sebagai pupuk untuk tanaman pisang dan sebagai
sumber alkali untuk produksi sabun, ekstrak etanol kulit pisang
(Musa sapientum) dapat digunakan penghambat korosi untuk baja ringan.
(Mohapatra, et. al., 2010).
2.1.2 Kandungan Kimia Kulit Pisang
Kulit pisang merupakan sumber yang kaya pati (3%), protein kasar
(6-9%), lemak kasar (3,8-11%), serat makanan total (43,2-49,7%), dan
asam lemak ganda tak jenuh (Poly Unsaturated Fatty Acid/PUFA), terutama
asam linoleat dan α-linolenat, asam amino esensial (leusin, valin,
fenilalanin, dan treonin), dan mikronutrien (K, P, Ca, Mg), selain itu juga
merupakan sumber yang baik dari lignin (6-12%), pektin (10-21%), selulosa
(7,6-9,6%), hemiselulosa (6,4-9,4%), dan asam galakturonat. Pektin yang
diekstrak dari kulit pisang juga mengandung glukosa, galaktosa, arabinosa,
rhamnosa, dan xilosa. Mikronutrien (Fe dan Zn) ditemukan dalam
konsentrasi tinggi pada kulit dibandingkan pada pulp (daging buah),
6
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
sehingga kulitnya bisa menjadi bahan pakan yang baik untuk ternak dan
unggas (Mohapatra, et al., 2010).
Menurut hasil penelitian dari Balai Penelitian dan Pengembangan
Industri, tanaman pisang mengandung berbagai macam senyawa seperti air,
gula pereduksi, sukrosa, pati, protein kasar, pektin, protopektin,
lemak kasar, serat kasar, dan abu. Sedangkan di dalam kulitnya
mengandung senyawa pektin yang cukup besar, dapat diekstraksi dengan
cara sederhana, biaya yang tidak mahal, dan dapat diterapkan dalam skala
kecil (Satria dan Ahda, 2009).
2.1.3 Pisang Kepok (Musa balbisiana)
Berdasarkan Herbarium Bandungense Sekolah Ilmu dan Teknologi
Hayati Institut Teknologi Bandung (2015), klasifikasi dari pisang kepok
(Musa balbisiana) sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida
Ordo : Zingiberales
Famili : Musaceae
Genus : Musa
Spesies : Musa balbisiana
Gambar 2.1. Pisang Kepok
[Sumber : Koleksi Pribadi]
7
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Berikut ini merupakan klasifikasi dari pisang kepok berdasarkan
Herbarium Bogoriense (2014) :
Jenis : Musa balbisiana BBB
Famili : Musaceae
Pisang kepok (Musa balbisiana) tersebar dari India termasuk
Kepulauan Andam hingga Myanmar utara (Burma), Thailand, dan Indocina
ke China Selatan dan Filipina. Musa balbisiana merupakan salah satu
spesies yang berasal dari Indocina (OECD, 2010).
Di Indonesia, pisang kepok memiliki banyak jenis, namun yang
terkenal adalah pisang kepok kuning dengan daging buahnya berwarna
kuning dan pisang kepok putih dengan daging buahnya berwarna putih.
Pisang kepok kuning memiliki rasa yang lebih manis dan enak
dibandingkan kepok putih. Pisang kepok memiliki daging buah yang
bertekstur agak keras dengan buahnya tidak beraroma harum, kulit buahnya
sangat tebal, dan pada buah yang sudah masak berwarna hijau kekuningan.
Dalam satu tandan bisa terdapat hingga 16 sisir dan pada setiap sisirnya
terdapat hingga 20 pisang, berat setiap tandannya sekitar 14-22 kg. Buah
pisang kepok cocok untuk disantap dalam bentuk olahan (Cahyono, 2009).
2.2 Pektin
2.2.1 Pengertian dan Sumber Pektin
Pektin merupakan kompleks polisakarida yang bersifat asam dengan
bobot molekul tinggi sebesar 30.000-100.000, konstituen dalam tanaman
menyerupai karbohidrat yang terdistribusi luas dalam jaringan, terdiri dari
unit rantai asam D-galakturonat yang terikat dengan ikatan glikosidik α(1,4)
(Rowe, et. al., 2009). Gugus asam sepanjang rantai sebagian besar
teresterifikasi membentuk kelompok metoksil dengan kadar yang bervariasi
tergantung pada derajat metilasi (Madhav dan Pushpalatha, 2002), selain itu
juga bisa dalam bentuk asam bebas, metil ester, garam sodium, kalium,
kalsium atau ammonium, dan dalam beberapa kelompok pektin amida
(IPPA, 2003).
8
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Umumnya pektin terdapat di dalam dinding sel primer, khususnya di
sela-sela antara selulosa dan hemiselulosa, yang berfungsi sebagai bahan
perekat antara dinding sel yang satu dengan yang lainnya (Hasbullah, 2001).
Pektin yang dimanfaatkan untuk makanan merupakan suatu polimer dengan
sedikitnya mengandung 65% unit asam galakturonat (IPPA, 2003).
Gambar 2.2. Struktur Dinding Sel Tanaman
[Sumber : IPPA, 2003]
Komposisi kandungan protopektin, pektin, dan asam pektat di dalam
buah sangat bervariasi tergantung pada derajat kematangan buah, di mana
umumnya protopektin yang tidak larut lebih banyak terdapat pada
buah-buahan yang belum matang (Winarno dan Aman, 2002). Pada
buah-buahan yang masih muda, sel-sel yang satu dengan yang lainnya
masih dipersatukan dengan kuat oleh protopektin, tetapi jika buah semakin
tua, maka sebagian dari protopektin mengalami penguraian menjadi pektin
karena adanya enzim protopektinase sehingga mengakibatkan terlepasnya
sel-sel satu dari yang lain, sehingga buah menjadi lunak. Selanjutnya enzim
pektinase meneruskan pengubahan pektin menjadi asam pektat, di mana
menyebabkan buah menjadi matang (Dwidjoseputro, 1983). Beberapa gula
juga ikut dalam pembentukan pektin, di antaranya adalah rhamnosa,
galaktosa, dan xilosa (Winarno dan Aman, 2002).
2.2.2 Struktur, Komposisi Kimia, dan Jenis Pektin
Pada tahun 1924, Smolenski adalah yang pertama kali berasumsi
bahwa pektin merupakan polimer asam galakturonat. Pada tahun 1930,
Meyer dan Mark menemukan formasi rantai dari molekul pektin, dan
9
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Schneider dan Bock pada tahun 1937 membentuk formula tersebut
(Herbstreith dan Fox, 2005).
Gambar 2.3. Rumus Molekul Pektin
[Sumber : Koleksi Pribadi]
Senyawa pektin adalah asam pektat, asam pektinat, dan protopektin
yaitu sebagai berikut :
1. Asam Pektat
Asam pektat adalah senyawa asam galakturonat yang bersifat
koloid dan pada dasarnya bebas dari kandungan metil ester (Winarno dan
Aman, 2002).
2. Asam Pektinat
Asam pektinat adalah asam poligalakturonat yang bersifat koloid
dan mengandung sejumlah metil ester. Pektin merupakan asam pektinat
dengan kandungan metil ester dan derajat netralisasi yang berbeda-beda
(Winarno dan Aman, 2002).
3. Protopektin
Protopektin adalah substansi pektat yang tidak larut dalam air,
terdapat dalam tanaman, jika dipisahkan secara hidrolisis akan
menghasilkan asam pektinat (Klavons, et. al., 1995).
Gambar 2.4. Struktur Kimia Asam α-Galakturonat
[Sumber : Koleksi Pribadi]
10
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pektin terdiri dari monomer asam galakturonat yang berbentuk suatu
rantai molekul panjang, di mana setiap rantai utamanya diselingi oleh
kelompok rhamnosa dengan rantai cabang menyusun gula netral (arabinosa,
galaktosa). Dalam suatu molekul pektin terdapat 300-1000 cincin yang
merupakan suatu molekul dari asam galakturonat yang dihubungkan dengan
suatu rantai linier (Hoejgaard, 2004 dalam Hanum, et. al., 2012). Kelompok
karboksil (kelompok asam) dari asam galakturonat dapat diesterifikasi atau
diamidasi (IPPA, 2003).
Selain asam D-galakturonat sebagai komponen utama, pektin juga
memiliki D-galaktosa, L-arabinosa, dan L-rhamnosa dalam jumlah yang
bervariasi. Komposisi kimia pektin sangat bervariasi tergantung pada
sumber dan kondisi yang dipakai dalam isolasinya (Willats, et. al., 2006).
Gambar 2.5. Struktur Kimia Asam Poligalakturonat
[Sumber : Koleksi Pribadi]
Berdasarkan kandungan metoksil dan derajat esterifikasi (DE), pektin
dibedakan menjadi dua golongan, yaitu pektin bermetoksil tinggi
(High Methoxyl Pectin) dengan kandungan metoksil minimal 7% dan
derajat esterifikasi lebih dari 50%, dan pektin bermetoksil rendah
(Low Methoxyl Pectin) dengan kandungan metoksil maksimal 7% dan
derajat esterifikasi berkisar kurang dari 50% (Guichard, et. al., 1991;
Hui, 2006). Pektin bermetoksil tinggi memerlukan sejumlah minimum
padatan terlarut (biasanya gula, minimal 55%) dan pH dalam kisaran yang
sempit sekitar 3,0 untuk membentuk gel, bersifat termal reversibel, dan
secara umum larut terhadap air panas serta seringkali mengandung zat
terdispersi seperti dekstrosa untuk mencegah penggumpalan. Pektin
bermetoksil rendah menghasilkan pembentukan gel yang tidak tergantung
dengan kadar gula dan tidak sensitif terhadap pH serta memerlukan adanya
sejumlah kalsium atau kation divalen lainnya untuk pembentukan gel
11
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(Sriamornsak, 2003; Hui, 2006). Pengaruh terbesar pada sifat pektin adalah
derajat esterifikasi yang akan menentukan tingkat reaktivitas dengan
kalsium dan kation lainnya (IPPA, 2003).
Pektin yang diekstraksi biasanya memiliki lebih dari 50% unit asam
yang teresterifikasi sehingga disebut pektin bermetoksil tinggi. Sedangkan
modifikasi proses ekstraksi atau dengan perlakuan lebih lanjut akan
menghasilkan pektin bermetoksil rendah dengan kurang dari 50% grup metil
ester (IPPA, 2003).
Gambar 2.6. Molekul Pektin Bermetoksil Tinggi
[Sumber : Koleksi Pribadi]
Gambar 2.7. Molekul Pektin Bermetoksil Rendah
[Sumber : Koleksi Pribadi]
Beberapa pektin dalam proses produksinya dapat diekstraksi dengan
menggunakan ammonia untuk menghasilkan pektin yang teramidasi dan
memiliki beberapa keunggulan tertentu dalam beberapa aplikasinya
(IPPA, 2003).
Gambar 2.8. Molekul Pektin yang Teramidasi
[Sumber : Koleksi Pribadi]
12
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.2.3 Sifat-sifat Pektin
Pektin banyak dijumpai pada buah-buahan dan sayur-sayuran serta
dalam jumlah kecil ditemukan pada serealia (Kertesz, 1951). Kandungan
pektin dari beberapa sayuran dan buah-buahan dapat dilihat pada tabel
berikut :
Tabel 2.1. Komposisi Pektin pada berbagai Sayuran dan Buah-buahan
Jenis Bahan Kandungan Pektin (% berat)
Apel :
Kulit
Daging buah
17,44
17,63
Jeruk (Grape Fruit)
Albedo
Flavedo
16,4
14,2
Jambu biji 3,4
Terong 11
Bawang bombay 4,8
Tomat
Hijau
Kuning
Merah
3,43
4,65
4,63
Kubis 4,57
Wortel 7,14
Bayam 11,58
Pisang 22,4
[Sumber : Kertesz, 1951]
Pektin berupa serbuk kasar atau halus, berwarna putih kekuningan,
hampir tidak berbau, dan mempunyai rasa musilago, hampir larut sempurna
dalam 20 bagian air, membentuk cairan kental, opalesen, larutan koloidal
yang mudah dituang dan bersifat asam, praktis tidak larut dalam etanol atau
pelarut organik lainnya, larut dalam air lebih cepat jika permukaannya
dibasahi dengan etanol, dengan gliserin, atau dengan sirup simpleks, atau
jika permukaannya dicampur dengan tiga bagian atau lebih sukrosa
(Farmakope Indonesia Edisi V, 2014).
Pektin merupakan zat berbentuk serbuk kasar hingga halus, berwarna
putih, kekuningan, kelabu, atau kecokelatan dan banyak terdapat pada
13
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
buah-buahan dan sayuran matang (Food Chemicals Codex, 2004) dengan
sifat-sfat fisikanya seperti kelarutan, viskositas, dan kemampuan
membentuk gel tergantung dari karakteristik kimia pektin itu sendiri, seperti
kadar metoksil, derajat esterifikasi, dan berat molekul (Prasetyowati, 2009).
Pektin merupakan asam poligalakturonat yang bermuatan negatif,
bereaksi dengan makromolekul bermuatan positif, di mana pembentukan gel
dapat terjadi dengan cepat pada pH rendah, tetapi reaksi ini dapat dihambat
dengan penambahan garam (May, 1990). Faktor-faktor yang mempengaruhi
pembentukan gel dengan tingkat kekenyalan dan kekuatan tertentu meliputi
suhu, pH, konsentrasi pektin, gula, dan keberadaan ion seperti Ca2+.
Kekentalan larutan pektin mempunyai kisaran yang cukup lebar tergantung
pada konsentrasi pektin, garam, dan ukuran rantai asam poligalakturonat
(Chang dan Miyamoto, 1992; Rolin, 1993).
Pembentukan gel pektin bermetoksil tinggi terjadi melalui ikatan
hidrogen di antara gugus karboksil bebas dan gugus hidroksil, yang
dipengaruhi oleh konsentrasi pektin, persentase gula, dan pH, di mana
semakin besar konsentrasi pektin, semakin keras gel yang terbentuk.
Konsentrasi pektin kurang dari 1% telah menghasilkan kekerasan yang
cukup baik. Gula yang ditambahkan tidak boleh lebih dari 65% agar dapat
mencegah terbentuknya kristal-kristal di permukaan gel (Rolin, 1993;
Sundar Raj, et. al., 2012). Berbeda halnya dengan pektin bermetoksil rendah
yang mana kemampuan membentuk gelnya akan hilang dengan adanya gula
dan asam, tetapi mampu membentuk gel dengan adanya sejumlah ion
kalsium atau kation divalen lainnya yang dapat bereaksi dengan gugus-
gugus karboksil dari dua molekul asam pektat dan membetuk suatu
jembatan, sehingga tidak diperlukan gula dan viskositas gel yang terbentuk
kurang kental (Rolin, 1993; Guichard, et. al., 1991).
Meskipun pektin umumnya terkandung di sebagian besar jaringan
tanaman, namun sumber yang dapat digunakan untuk pembuatan pektin
komersial sangat terbatas. Hal demikian dikarenakan kemampuan pektin
untuk membentuk gel tergantung pada ukuran molekul dan derajat
esterifikasi. Pektin dari sumber yang berbeda memiliki kemampuan
14
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
membentuk gel yang tidak sama karena adanya variasi dalam
karakteristiknya (Sriamornsak, 2003). Rouse (1977) di dalam Hariyati
(2006) mengungkapkan bahwa degradasi dan dekomposisi pektin dapat
disebabkan oleh adanya reaksi oksidasi yang dipengaruhi suhu, pH, dan
konsentrasi agen pengoksidasi.
2.2.4 Produksi Pektin
a. Ekstraksi Pektin
Ekstraksi pektin dari buah-buahan didasarkan pada sifat pektin
yang dapat larut dalam air, sedangkan sebagian besar polisakarida lain,
seperti selulosa dan hemiselulosa yang bersama-sama pektin menyusun
dinding sel tanaman, bersifat tidak larut air (Prasetyowati, 2009).
Faktor-faktor yang berpengaruh dalam ekstraksi pektin antara lain
sebagai berikut :
1) Derajat keasaman larutan ekstraksi (pH)
Kandungan ion hidrogen berpengaruh karena dapat
mensubstitusi kalsium dan magnesium dari molekul protopektin
sehingga menyebabkan protopektin terhidrolisis menghasilkan
pektin yang larut dalam air (Prasetyowati, 2009).
2) Waktu kontak antara bahan baku dengan pelarut
Waktu kontak atau lama ekstraksi berpengaruh terhadap
banyaknya ion hidrogen yang berhasil mensubstitusi kalsium dan
magnesium dari protopektin sehingga akan menentukan jumlah
pektin yang dapat terlarut dalam air (Prasetyowati, 2009).
3) Ukuran partikel yang diekstraksi
Ukuran partikel akan berpengaruh terhadap luas permukaan
sentuhan antara solvent dan solute sehingga akan mempengaruhi
jumlah pektin yang terlarut dalam air (Prasetyowati, 2009).
4) Suhu ekstraksi
Suhu ekstraksi akan mempengaruhi ikatan antar molekul
protopektin, di mana suhu yang tinggi menyebabkan ikatan antara
molekul-molekul protopektin tersebut mudah terlepas dan larut
dalam air (Prasetyowati, 2009).
15
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
5) Rasio pelarut dan bahan ekstraksi
Rasio antara pelarut dan bahan ekstraksi berpengaruh terhadap
jumlah pektin karena umumnya pelarut memiliki keterbatasan untuk
mengikat molekul-molekul pektin (Prasetyowati, 2009).
6) Jenis pelarut
Keberhasilan proses ekstraksi juga dipengaruhi oleh pemilihan
pelarut yang tepat dengan kriteria seperti selektivitas, kelarutan,
kemampuan tidak saling bercampur, reaktivitas, titik didih, dan
kriteria-kriteria pendukung lainnya, seperti murah, tersedia dalam
jumlah besar, tidak beracun, tidak dapat terbakar, tidak eksplosif bila
bercampur dengan udara, tidak korosif, memiliki viskositas yang
rendah, serta stabil secara kimia dan termis (Prasetyowati, 2009).
7) Jenis bahan yang diekstraksi
Jika bahan yang diekstraksi memiliki struktur yang lunak maka
ekstraksi dapat berlangsung lebih cepat dan banyak molekul yang
akan terlarut, tetapi jika bahan yang diekstraksi memiliki struktur
yang keras maka diperlukan perlakuan khusus agar bahan tersebut
mudah diekstraksi (Prasetyowati, 2009).
Pemisahan pektin dari jaringan tanaman dapat dilakukan dengan
cara ekstraksi menggunakan beberapa macam pelarut seperti air,
beberapa senyawa organik, senyawa alkalis, dan asam. Dalam ekstraksi
pektin terjadi perubahan senyawa pektin yang disebabkan oleh proses
hidrolisis sehingga menyebabkan protopektin berubah menjadi pektinat
(pektin) dengan adanya pemanasan dalam asam pada suhu dan lama
ekstraksi tertentu. Apabila proses hidrolisis dilanjutkan senyawa pektin
akan berubah menjadi asam pektat (Muhidin, 2001 dalam Satria dan
Ahda, 2009).
16
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gambar 2.9. Skema Perubahan Protopektin menjadi Pektin dan Asam Pektat
[Sumber : Koleksi pribadi]
Pada umumnya ekstraksi pektin dilakukan dengan ekstraksi asam
yang menggunakan beberapa jenis asam seperti asam tartrat, asam
malat, asam sitrat, asam laktat, asam asetat, asam fosfat tetapi terdapat
kecenderungan untuk menggunakan asam mineral yang murah seperti
asam sulfat, asam klorida, dan asam nitrat (Kertesz, 1951). Beberapa
artikel saat ini, menyarankan untuk menggunakan asam klorida
(Kalapathy dan Proctor, 2001; Hwang, et. al., 1998; Dinu, 2001) dan
asam nitrat (Pagán, et. al., 2001).
Ekstraksi menggunakan asam mineral menghasilkan rendemen
yang lebih tinggi dibandingkan dengan asam organik. Asam mineral
pada pH rendah lebih baik daripada pH tinggi untuk menghasilkan
pektin (Rouse dan Crandal, 1978). Peranan asam dalam ekstraksi pektin
adalah untuk memisahkan ion polivalen, memutus ikatan antara asam
pektinat dengan selulosa, menghidrolisa protopektin menjadi molekul
yang lebih kecil, dan menghidrolisa gugus metil ester pektin
(Kertesz, 1951).
Suhu ekstraksi yang tinggi dapat meningkatkan rendemen pektin,
di mana akan membantu difusi pelarut ke dalam jaringan tanaman dan
dapat meningkatkan aktivitas pelarut dalam menghidrolisis pektin yang
umumnya terdapat di dalam sel primer tanaman, khususnya pada
lamella tengah (Towle dan Christensen, 1973). Suhu ekstraksi yang
terlalu tinggi akan menghasilkan pektin yang tidak jernih sehingga gel
yang diperoleh akan keruh dan kekuatan gel berkurang (Kertesz, 1951).
Pektin dalam jaringan tumbuhan banyak dalam bentuk
protopektin yang tidak larut dalam air, dengan adanya asam, kondisi
larutan pada pH rendah akan menghidrolisis protopektin menjadi pektin
17
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang lebih mudah larut. Ekstraksi pektin dari sayur-sayuran dan
buah-buahan dilakukan pada kisaran pH 1,5-3,0 dengan suhu
pemanasan 60-1000C selama 30-90 menit (Towle dan Christensen,
1973). Waktu ekstraksi yang terlalu lama akan mengakibatkan
terjadinya hidrolisis pektin menjadi asam galakturonat. Pada kondisi
asam, ikatan glikosidik gugus metil ester dari pektin cenderung
terhidrolisis menghasilkan asam galakturonat (Smit dan Bryant, 1986).
b. Pengendapan Pektin
Proses pengendapan pektin merupakan suatu proses pemisahan
pektin dari larutannya. Pektin adalah koloid hidrofilik yang bermuatan
negatif (dari gugus karboksil bebas yang terionisasi) dan tidak
mempunyai titik isoelektrik seperti kebanyakan kolod hidrofilik, lebih
utama distabilkan oleh hidrasi partikelnya daripada oleh muatannya,
sehingga dengan penambahan alkohol dapat mendehidrasi pektin
sehingga mengganggu stabilitas larutan koloidalnya sehingga pektin
akan terkoagulasi (Rouse, 1977 dalam Hariyati, 2006). Menurut
Prasetyowati (2009), pengendapan pektin dilakukan dengan
penambahan alkohol yang bersifat sebagai pendehidroksi dengan bobot
molekul yang rendah, sehingga akan bercampur sempurna dengan air
melalui ikatan hidrogen dan akan mengurangi jumlah ion atau molekul
air yang mengelilingi pektin, sehingga keseimbangan antara pektin
dengan air akan terganggu dan pektin akan mengendap.
Pengendapan pektin dapat dilakukan dengan alkohol 95% yang
mengandung 2 mL asam klorida setiap satu liter. Pengendapan secara
komersial biasa digunakan alkohol dan garam metal seperti alumunium
hidroksida, kalium sulfat, atau alumunium sulfat (Ranganna, 1977
dalam Hariyati, 2006). Pengendapan dengan aseton lebih disukai karena
dapat membentuk endapan yang tegar sehingga mudah dipisahkan dari
asetonnya, sedangkan pengendapan dengan etanol menghasilkan pektin
yang kurang murni karena tidak hanya mengendapkan pektin tetapi juga
senyawa lain seperti dekstrin dan hemiselulosa (Akhmalludin dan
Kurniawan, 2009).
18
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
c. Pencucian Pektin
Koh, et. al. (2014) melakukan pencucian pektin dengan etanol
70% sebanyak dua kali dilanjutkan dengan etanol 95% hingga filtrat
bekas pencucian tidak berwarna. Maulidiyah, et. al. (2014) melakukan
pencucian pektin dengan menambahkan etanol 96% sambil diaduk yang
dilakukan beberapa kali hingga pektin tidak bereaksi dengan asam.
Susilowati, et. al. (2013) juga melakukan pencucian pektin
menggunakan alkohol hingga pH netral dan menghasilkan pektin
dengan warna yang lebih bersih dan putih.
d. Pengeringan Pektin
Tahap akhir dari produksi pektin adalah pengeringan endapan
pektin, di mana dianjurkan dilakukan pada tekanan yang rendah agar
pektin tidak terdegradasi. Hanum, et. al. (2012) melakukan pengeringan
pektin dalam oven pada suhu 400C selama 8 jam. Azad, et. al. (2014)
menggunakan cabinet drier untuk mengeringkan pektin dengan suhu
400C selama 24 jam. Koubala, et. al. (2008) mengeringkan pektin
dengan vacuum-drying pada suhu 500C selama satu malam.
2.2.5 Karakterisasi Pektin
Pektin komersial harus memenuhi syarat mutu International Pectin
Producers Association (IPPA) dan Food Chemicals Codex serta spesifikasi
seperti dalam farmakope. Karakteristik pektin tergantung dari kondisi
ekstraksi pektin, di mana hasil ekstraksi terbaik biasanya diperbandingkan
dengan pektin komersial. Hal ini dilakukan karena jika diaplikasikan pada
industri, kebutuhan energi untuk peningkatan suhu dan lama ekstraksi akan
meningkatkan biaya produksi. Apabila perlakuan suhu terendah dan waktu
paling cepat dapat memberikan hasil yang masih dapat diperbolehkan oleh
IPPA, Food Chemicals Codex, dan Farmakope, maka hal ini akan sangat
menguntungkan jika diaplikasikan (Fitriani, 2003).
Berikut adalah standar mutu dan spesifikasi pektin berdasarkan IPPA
(2003), Food Chemicals Codex (2004), dan Handbook of Pharmaceutical
Excipients, 6th Edition (2009) :
19
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel 2.2. Spesifikasi Standar Mutu Pektin
Karakteristik Nilai
Kadar air (maksimum) 12%
Kadar abu (maksimum) 10%
Berat ekivalen 600 – 800
Kandungan metoksil :
Pektin bermetoksil tinggi
Pektin bermetoksil rendah
> 7,12%
2,5 – 7,12%
Kandungan asam galakturonat (minimum) 65%
Derajat esterifikasi untuk
Pektin ester tinggi (minimum)
Pektin ester rendah (maksimal)
50%
50%
Tabel 2.3. Spesifikasi Pektin Berdasarkan Farmakope
Tes USP 28
Identifikasi +
Susut pengeringan < 10,0%
Arsenik < 3 ppm
Timah < 5 µg/g
Gula dan asam organik +
Batas mikroba +
Uji kadar :
Grup metoksil
Asam galakturonat
< 6,7%
< 74,0%
a. Kadar Air
Kadar air merupakan salah satu parameter penting yang
menentukan daya tahan suatu produk, terkait dengan aktivitas
mikroorganisme selama penyimpanan dan berpengaruh terhadap masa
simpan. Produk dengan kadar air rendah relatif lebih stabil dalam
penyimpanan jangka panjang daripada produk dengan kadar air tinggi
yang rentan terhadap aktivitas mikroba (Pardede, et. al., 2013). Kadar air
ditentukan dengan pengukuran kandungan air yang berada di dalam
produk (Departemen Kesehatan, 2000).
b. Kadar Abu
Abu merupakan bahan anorganik yang diperoleh dari residu atau
sisa pembakaran bahan organik yang akan berpengaruh pada tingkat
20
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
kemurnian pektin. Semakin tinggi tingkat kemurnian pektin, maka kadar
abu akan semakin rendah (Budiyanto dan Yulianingsih, 2008).
Prinsip penetapan kadar abu adalah bahan dipanaskan pada
temperatur di mana senyawa organik dan turunannya terdestruksi dan
menguap, sehingga yang tertinggal hanya unsur mineral dan anorganik
(Departemen Kesehatan, 2000).
c. Berat Ekivalen
Ranganna (1977) di dalam Hariyati (2006) menjelaskan bahwa
berat ekivalen adalah kandungan gugus asam galakturonat bebas yang
tidak teresterifikasi dalam rantai molekul pektin. Asam pektat murni
merupakan zat pektat yang seluruhnya tersusun dari asam
poligalakturonat yang bebas dari gugus metil ester atau tidak mengalami
esterifikasi. Semakin rendah kadar pektin akan menyebabkan berat
ekivalen semakin rendah.
d. Kadar Metoksil
Kadar metoksil merupakan jumlah mol etanol yang terdapat di
dalam 100 mol asam galakturonat yang memiliki peranan penting dalam
menentukan sifat fungsional larutan pektin dan dapat mempengaruhi
struktur dan tekstur dari gel pektin (Constenla dan Lozano, 2003).
e. Kadar Galakturonat
Perhitungan kandungan galakturonat sangat penting untuk
mengetahui kemurnian pektin. Kadar galakturonat dan muatan molekul
pektin memiliki peranan penting dalam menentukan sifat fungsional
larutan pektin dan dapat mempengaruhi struktur serta tekstur dari gel
pektin (Sofiana, et. al., 2012).
f. Derajat Esterifikasi (DE)
Derajat esterifikasi merupakan persentase jumlah residu asam
D-galakturonat yang gugus karboksilnya teresterifikasi dengan etanol.
Semakin tinggi suhu dan lama proses ekstraksi dapat menyebabkan
degradasi gugus metil ester pada pektin menjadi asam karboksilat oleh
adanya asam. Ikatan glikosidik gugus metil ester dari pektin cenderung
terhidrolisis menghasilkan asam galakturonat, jika ekstraksi dilakukan
21
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
terlalu lama, pektin akan berubah menjadi asam pektat yang asam
galakturonatnya bebas dari gugus metil ester. Jumlah gugus metil ester
menunjukkan jumlah gugus karboksil yang tidak teresterifikasi atau
derajat esterifikasi (Budiyanto dan Yulianingsih, 2008).
g. Kekuatan Gel
Konsentrasi pektin berpengaruh terhadap pembentukan gel dengan
tingkat kekenyalan dan kekuatan tertentu (Budiyanto dan Yulianingsih,
2008). Grade pektin didefinisikan sebagai jumlah gula yang dibutuhkan
oleh satu bagian pektin untuk membentuk gel yang diinginkan pada
kondisi yang sesuai, di mana menjadi indikasi penting yang
menggambarkan mutu pektin. Pektin yang mempunyai grade 100 dapat
membentuk gel yang baik dengan 100 gram gula. Penentuan grade pektin
biasanya menggunakan metode International Food Technologist (IFT),
yaitu dengan membuat gel dengan konsentrasi gula 65% pada
pH 2,2 - 2,4 yang disimpan selama 18-24 jam dan kemudian diuji dengan
alat Ridgelimeter (Meilina dan Silah, 2013).
2.2.6 Aplikasi Pektin
Pektin adalah produk alami yang dapat ditemukan dalam dinding sel
dari semua tanaman tingkat tinggi, umumnya digunakan sebagai agen
pembentuk gel, pengental, dan penstabil. Saat ini pektin merupakan
komponen yang tidak terpisahkan dari berbagai macam produk baik dalam
industri makanan, seperti untuk produksi selai, gula-gula, pasta, dan produk
susu. Pektin juga dapat dimanfaatkan dalam industri non-pangan, seperti
dalam farmasi dan kosmetik. Beberapa tahun terakhir manfaat pektin
semakin penting dan dibutuhkan oleh konsumen (IPPA, 2003).
Pektin digunakan secara luas sebagai komponen fungsional pada
industri makanan karena kemampuannya membentuk gel encer dan
menstabilkan protein (May, 1990). Penambahan pektin pada makanan akan
mempengaruhi proses metabolisme dan pencernaan khususnya pada
adsorpsi glukosa dan kolesterol (Baker, 1994). Dalam industri makanan dan
minuman, pektin dapat digunakan sebagai bahan pemberi tekstur yang baik
pada roti dan keju, bahan pengental, dan stabilizer pada minuman sari buah.
22
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Selain itu, pektin juga berperan sebagai bahan pokok pembuatan jelly, jam,
dan marmalades (Herbstreith dan Fox, 2005).
Pektin dengan sendirinya atau dengan sifat pembentuk gelnya
memiliki potensi yang baik dalam bidang farmasi. Pektin digunakan untuk
mengatasi konstipasi, sebagai salah satu bahan utama yang digunakan dalam
kaopektat bersama dengan kaolinit, pelega tenggorokan (demulcent),
sumber serat, dan komponen propilaktit alami untuk melawan keracunan
kation toksik (Malviya, 2011). Pektin melalui pembuluh darah dapat
memperpendek waktu koagulasi darah yang berguna untuk mengendalikan
pendarahan. Pada industri farmasi, pektin digunakan sebagai polimer
mukoadhesif, gelling agent, pengental, pengikat air, stabilator, emulsifier
bagi preparat cair dan sirup, obat diare pada bayi dan anak-anak, obat
penawar racun logam, dan bahan penyusut kecepatan absorpsi berbagai
macam obat. Selain itu, pektin juga berfungsi sebagai bahan kombinasi
untuk memperpanjang kerja hormon dan antibiotik, bahan pelapis perban
(pembalut luka) untuk menyerap kotoran dan jaringan rusak, serta bahan
injeksi untuk mencegah pendarahan (Towle dan Christensen, 1973, 2006;
Malviya, 2011).
Pektin merupakan salah satu tipe serat pangan yang bersifat larut
dalam air karena merupakan serat yang berbentuk gel, dapat memperbaiki
otot pencernaan, dan mendorong sisa makanan pada saluran pembuangan.
Dalam usus besar, mikroorganisme mendegradasi pektin dan membebaskan
rantai pendek asam lemak yang memiliki pengaruh positif pada kesehatan
atau dikenal sebagai efek prebiotik. Pektin juga dikenal sebagai
antikolesterol karena dapat mengikat asam empedu yang merupakan hasil
akhir metabolisme kolesterol. Semakin banyak asam empedu yang berikatan
dengan pektin dan terbuang ke luar tubuh, semakin banyak kolesterol yang
dimetabolisme sehingga menurunkan jumlah kolesterol tubuh.
Selain itu, pektin juga dapat menyerap kelebihan air dalam usus,
memperlunak feses, serta mengikat dan menghilangkan racun dari usus
(Ide, 2009; Malviya, 2011).
23
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pektin merupakan senyawa yang menarik dalam bidang farmasi
karena berpotensi sebagai carrier atau pembawa obat dalam formulasi
pelepasan terkontrol dan dalam penargetan situs spesifik misalnya untuk
penghantaran obat ke saluran pencernaan seperti matriks tablet, gel beads,
dan film coated. Banyak teknik yang telah digunakan untuk memproduksi
pektin berbasis sistem penghantaran, terutama ionotropik gelasi atau gel
coating. Dengan teknik sederhana dan dengan profil toksisitas yang sangat
aman, membuat pektin sebagai eksipien menarik dan menjanjikan dalam
industri farmasi untuk aplikasi masa kini dan masa mendatang
(Sriamornsak, 2003; Malviya, 2011).
2.3 Asam Klorida
Asam Klorida (HCl) memiliki sinonim acidum hydrochloridum
concentratum; chlorohydric acid; concentrated hydrochloric acid; E507.
Asam klorida berfungsi sebagai acidifying agent atau agen pengasam berupa
larutan jernih, tidak berwarna, yang berasap dengan bau yang menyengat,
memiliki titik didih sebesar 1100C pada pemanasan konstan dari 20,24% b/b
HCl, dapat bercampur dengan air, larut dalam dietil eter, etanol 95%, dan
metanol (Rowe, et. al., 2009).
Asam klorida sebaiknya disimpan dalam wadah yang tertutup dengan
baik, dalam wadah gelas atau wadah inert lainnya pada temperatur di bawah
300C dan harus terhindar dari senyawa alkali, logam, dan sianida karena
dapat bereaksi dengan senyawa tersebut dengan menimbulkan sejumlah
panas (Rowe, et. al., 2009).
2.4 Spektroskopi FTIR (Fourier Transform Infra Red)
Analisa spektroskopi inframerah mencakup beberapa metode yang
berdasarkan atas absorbsi atau refleksi dari radiasi elektromagnetik
(Rousessac dan Rousessac, 2000). Spektrum inframerah berada di antara
daerah sinar tampak dan daerah microwave. Daerah spektrum yang paling
baik digunakan untuk berbagai keperluan praktis dalam kimia organik
adalah antara 4000-400 cm-1. Rentang bilangan gelombang inframerah
24
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dibagi dalam tiga daerah, inframerah jauh (200-10 cm-1), inframerah tengah
(4000-200 cm-1) dan inframerah dekat (12500-4000 cm-1) (Watson, 2009).
Dua jenis instrumen yang biasa digunakan untuk memperoleh
spektrum inframerah yaitu instrumen dispersi dengan menggunakan suatu
monokromator untuk memilih masing-masing bilangan gelombang secara
berurutan untuk memantau intensitasnya setelah radiasi telah melewati
sampel, dan instrumen transformasi Fourier dengan menggunakan suatu
interferometer yang menghasilkan sumber radiasi dengan masing-masing
bilangan gelombang dapat dipantau dalam + 1 detik pulsa radiasi tanpa
memerlukan dispersi. Dalam suatu instrumen inframerah transformasi
Fourier (Fourier Transform Infrared, FTIR), prinsipnya adalah
monokromator digantikan oleh suatu interferometer yang menggunakan
cermin bergerak untuk memindahkan bagian radiasi yang dihasilkan oleh
satu sumber, sehingga menghasilkan suatu interferogram yang dapat diubah
dengan menggunakan suatu persamaan yang disebut “Transformasi
Fourier‟ untuk mengekstraksi spektrum dari suatu seri frekuensi yang
bertumpang tindih (Watson, 2009).
Spektroskopi FTIR memiliki banyak keunggulan dibanding
spektroskopi inframerah diantaranya yaitu lebih cepat karena pengukuran
dilakukan secara serentak (simultan), serta mekanik optik lebih sederhana
dengan sedikit komponen yang bergerak (Suseno dan Firdausi, 2008).
Jika sinar inframerah dilewatkan melalui sampel senyawa organik,
maka terdapat sejumlah frekuensi yang diserap dan ada yang diteruskan atau
ditransmisikan tanpa diserap. Serapan cahaya oleh molekul tergantung pada
struktur pada struktur elektronik dari molekul tersebut. Molekul yang
menyerap energi tersebut terjadi perubahan energi vibrasi dan perubahan
tingkat energi rotasi. Pada suhu kamar, molekul senyawa organik dalam
keadaan diam, setiap ikatan mempunyai frekuensi yang karakteristik untuk
terjadinya vibrasi ulur (stretching vibrations) dan vibrasi tekuk (bending
vibrations) di mana sinar inframerah dapat diserap pada frekuensi tersebut
(Suseno dan Firdausi, 2008).
25 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di laboratorium Penelitian 1, laboratorium
Penelitian 2, dan laboratorium Kimia Obat, Program Studi Farmasi,
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta. Waktu penelitian dimulai pada bulan
November 2014 hingga April 2015.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat-alat
gelas seperti erlenmeyer (Schott Duran), gelas beaker (Schott Duran),
gelas ukur (Schott Duran), labu ukur, tabung reaksi, pipet tetes, pipet
volumetrik, batang pengaduk, kaca arloji, labu Buchner, corong, botol
timbang, dan buret. Adapun alat-alat lain di antaranya timbangan analitik,
mikropipet, spatula, corong Buchner, hot plate stirrer, magnetic stirrer,
grinder, oven, tanur, krustang, krus porselen dan tutup, bulp, cawan
porselen, desikator, statif dan klem, termometer, pH meter (HORBA), pH
indikator universal, Spektroskopi IRPrestige-21 Shimadzu, dan viskotester
HAAKE 6R.
3.2.2 Bahan
Bahan baku tumbuhan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
kulit pisang kepok kuning (Musa balbisiana BBB) dari buah yang masih
mentah, diperoleh dari limbah pengolahan kripik pisang kepok yang ada di
daerah Ciputat di mana pisangnya disuplai dari Cilawu, Garut, yang terlebih
dahulu dideterminasi di Laboratorium Herbarium Bogoriense, Pusat
Penelitian Biologi LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), Bogor,
Jawa Barat.
Bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini antara lain aquadest,
HCl 0,025 N, HCl 0,05 N, HCl 0,075 N, HCl 3 N, NaOH 0,1 N, NaOH 2 N,
26
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
NaCl, aseton teknis, etanol 96%, etanol absolut, asam oksalat 0,1027 N,
pektin Cargill®, pektin Danisco®, indikator phenolptalein (PP), indikator
metil merah, dan serbuk KBr.
3.3 Prosedur Penelitian
3.3.1 Persiapan Bahan Baku
Bahan baku limbah kulit pisang kepok kuning (Musa balbisiana BBB)
disortasi basah terlebih dahulu (dipisahkan antara kulit pisang yang bagus
dengan yang busuk), dipilih kulitnya yang berwarna hijau atau kekuningan,
bagian pucuk dan tangkai kulit pisang tidak diambil. Kemudian dicuci
dengan menggunakan air mengalir untuk membersihkan kulit pisang
dari kotoran-kotoran yang menempel. Setelah bersih, dilakukan perajangan
kecil-kecil dan selanjutnya bahan baku disiapkan dengan perlakuan yang
berbeda, yaitu bahan segar dan kering.
a. Pembuatan bubur kulit pisang (bahan segar)
Bahan baku kulit pisang kepok segar yang telah dirajang,
diambil sebanyak 300 gram, lalu dihancurkan menggunakan blender
dengan penambahan aquadest sebanyak 150 mL (perbandingan 2 : 1)
sampai kulit pisang tersebut dapat diblender hingga menjadi bubur kulit
pisang (Ekasari, 2013; Utami, 2014; dengan modifikasi).
b. Pembuatan serbuk kulit pisang (bahan kering)
Bahan baku kulit pisang kepok segar yang telah dirajang
diambil sebanyak 5 kg dan dikeringkan dengan cara dikering anginkan
di bawah sinar matahari, kemudian dikeringkan menggunakan blower
pada suhu 500C selama 5 hari. Kulit pisang yang telah kering
dihaluskan menggunakan grinder untuk memperkecil ukuran partikel
dan diayak dengan ayakan mesh 100 (ukuran partikel 105 µm) sehingga
didapatkan serbuk kering kulit pisang kepok yang kemudian diukur
kadar airnya. Kadar air yang diperbolehkan tidak lebih dari 10%
(Hanum, et. al., 2012; Fitria, 2013; Rofikah, 2014).
27
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.3.2 Produksi Pektin
1. Ekstraksi Pektin
Bahan segar ditimbang sebanyak 300 gram dan bahan kering
42 gram, masing-masing dimasukkan ke dalam erlenmeyer 2000 mL
dan ditambahkan pelarut HCl sejumlah volume tertentu, bahan segar
dengan perbandingan (b/v) 1 : 2 (300 gram dalam 600 mL) dan bahan
kering 1 : 20 (42 gram dalam 840 mL) dengan variasi konsentrasi
pelarut HCl yaitu 0,025 N; 0,05 N; dan 0,075 N. Masing-masing
campuran tersebut dipanaskan di atas hot plate stirrer dengan
pengaturan suhu 900C disertai pengadukan konstan menggunakan
magnetic stirrer selama 80 menit. Penghitungan waktu ekstraksi
dimulai saat tercapainya kondisi operasi percobaan. Setelah dipanaskan,
selanjutnya dilakukan penyaringan filtrat hasil ekstraksi menggunakan
kertas saring dengan bantuan vacuum Buchner untuk memisahkan
filtrat dari residunya, dan filtrat didinginkan pada suhu ruang. Filtrat
yang didapatkan disebut dengan filtrat pektin (Hanum et. al., 2012;
Utami, 2014 dengan modifikasi).
2. Pengendapan Pektin
Filtrat hasil ekstraksi yang telah dingin diendapkan menggunakan
aseton dengan perbandingan tiap 1 liter filtrat ditambahkan dengan
1,5 liter aseton, kemudian didiamkan selama satu malam (18 jam).
Endapan pektin yang terbentuk dipisahkan dari filtratnya menggunakan
kertas saring dengan bantuan vacuum Buchner (Fitria, 2013).
3. Pencucian Pektin
Endapan pektin yang terbentuk dicuci dengan etanol 96% sambil
dilakukan pengadukan. Pemisahan endapan pektin dengan etanol 96%
bekas pencucian dilakukan menggunakan kertas saring dengan bantuan
vacuum Buchner. Hal ini dilakukan beberapa kali hingga pektin bebas
aseton, asam, dan klorida. Pektin yang telah bebas asam adalah pektin
yang berwarna kuning saat ditetesi dengan indikator metil merah,
adapun pektin yang telah bebas klorida yaitu apabila tidak terbentuk
endapan putih (AgCl) pada larutan bekas pencucian pektin dengan
28
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
etanol 96% yang ditambahkan dengan beberapa tetes larutan perak
nitrat (AgNO3) (Hariyati, 2006; Fitria, 2013).
4. Pengeringan pektin
Pektin basah hasil pengendapan yang telah dicuci dan bebas
aseton, asam, dan klorida selanjutnya dikeringkan dalam oven pada
suhu 400C selama kurang lebih 8 jam. Hasil yang diperoleh disebut
dengan pektin kering (Hanum, et. al., 2012).
3.4 Identifikasi Kualitatif Pektin
a. Larutan pektin 1% (1 gram dalam 100 mL), diambil 5 mL, lalu
ditambahkan etanol P dengan volume yang sama, akan terbentuk
endapan bening seperti gelatin (perbedaan dari kebanyakan gom).
b. 5 mL larutan pektin 1% ditambahkan 1 mL NaOH 2 N, dibiarkan pada
suhu ruang selama 15 menit, akan terbentuk gel atau semigel
(perbedaan dari tragakan).
c. Gel yang diperoleh dari pengujian B diasamkan dengan HCl 3 N, lalu
dikocok, akan terbentuk endapan seperti gelatin, tidak berwarna, yang
menjadi putih dan bergumpal bila dididihkan (asam pektat).
(Farmakope Indonesia Edisi V, 2014 dengan modifikasi)
3.5 Karakteristik Pektin
a. Jumlah Pektin
Jumlah pektin adalah banyaknya pektin dalam gram yang
dihasilkan dari ekstraksi kulit pisang kepok kuning (Musa balbisiana
BBB) pada masing-masing perlakuan, yaitu menggunakan bahan segar
dan kering yang diekstraksi dengan pelarut HCl pada berbagai
konsentrasi (0,025 N; 0,05 N; dan 0,075 N).
b. Penentuan Kadar Air
Botol timbang dipanaskan dalam oven pada suhu 1050C selama
1 jam, selanjutnya didinginkan dalam desikator selama 30 menit, lalu
ditimbang dan dicatat bobotnya. Kemudian sebanyak 0,300 gram serbuk
pektin ditimbang dan dimasukkan ke dalam botol timbang yang telah
diketahui bobot konstannya, lalu dipanaskan dalam oven pada suhu
29
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
1050C selama 3 jam. Setelah itu didinginkan dalam desikator selama 30
menit, lalu ditimbang dan dicatat bobotnya. Pemanasan diulangi kembali
dan ditimbang hingga diperoleh bobot yang konstan. Perhitungan kadar
air dilakukan dengan menggunakan rumus :
Keterangan :
Wa = Bobot sebelum dikeringkan (gram)
Wb = Bobot akhir setelah dikeringkan (gram)
(SNI 01-2891-1992)
c. Penentuan Kadar Abu
Krus porselen dikeringkan di dalam tanur pada suhu 5500C
kemudian didinginkan di dalam desikator dan ditimbang sebagai bobot
wadah. Selanjutnya sebanyak 0,300 gram sampel pektin ditimbang dan
dimasukkan dalam krus porselen yang telah diketahui bobotnya, lalu
dimasukkan dalam tanur pada suhu 5500C sampai pengabuan sempurna.
Residu didinginkan dalam desikator dan ditimbang sampai diperoleh
bobot tetap. Perhitungan kadar abu dilakukan dengan menggunakan
rumus :
Keterangan :
W = Bobot sampel awal (gram)
W1 = Bobot wadah + sampel setelah pemanasan (gram)
W2 = Bobot wadah kosong (gram)
(SNI 01-2891-1992)
d. Penentuan Berat Ekivalen
Nilai berat ekivalen digunakan untuk perhitungan kadar
galakturonat dan derajat esterifikasi. Berat ekivalen ditentukan dengan
menimbang sampel pektin sebanyak 0,500 gram dimasukkan dalam
erlenmeyer 250 mL, lalu dilembabkan dengan 2 mL etanol absolut dan
dilarutkan dalam 100,0 mL air suling bebas CO2 yang berisi 1,0 gram
30
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
NaCl serta ditambahkan 6 tetes indikator phenoftalein sebagai indikator.
Campuran tersebut kemudian diaduk dengan cepat untuk memastikan
bahwa semua substansi pektin telah terlarut dan tidak ada gumpalan yang
menempel pada sisi erlenmeyer. Titrasi dilakukan perlahan-lahan dengan
titran standar NaOH 0,1027 N sampai warna campuran berubah menjadi
merah muda dan tetap bertahan selama setidaknya 30 detik.
(Owen, et. al., 1952 dalam Nazaruddin, et. al., 2013)
e. Kadar Metoksil
Penentuan kadar metoksil dilakukan dengan menambahkan
25,0 mL NaOH 0,25 N ke dalam larutan netral dari penentuan BE
kemudian dikocok dengan benar dan didiamkan selama 30 menit pada
suhu kamar dalam erlenmeyer tertutup. Selanjutnya ditambahkan
25,0 mL HCl 0,25 N dan 6 tetes indikator phenoftalein kemudian dititrasi
dengan titran NaOH 0,1027 N hingga larutan berubah menjadi merah
muda.
Keterangan :
Nilai 31 didapatkan dari bobot molekul metoksil yang berupa CH3O.
(Owen, et. al., 1952 dalam Nazaruddin, et. al., 2013)
f. Kadar Galakturonat
Kadar galakturonat dihitung dari mEk (miliekivalen) NaOH yang
diperoleh dari penentuan BE dan kandungan metoksil.
Keterangan :
* = Diperoleh dari mEk NaOH untuk asam bebas pada penentuan BE
** = Diperoleh dari mEk NaOH pada penentuan metoksil
Nilai 176 diperoleh dari berat ekivalen terendah asam pektat.
(Owen, et. al., 1952 dalam Nazaruddin, et. al., 2013)
31
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
g. Derajat Esterifikasi
Derajat esterifikasi dihitung dari kadar metoksil dan kadar
galakturonat yang telah diperoleh.
(Owen, et. al., 1952 dalam Nazaruddin, et. al., 2013)
h. Viskositas Larutan Pektin
Pengujian viskositas dilakukan menggunakan viskotester HAAKE
6R terhadap setiap larutan pektin 1% dari masing-masing kondisi
ekstraksi menggunakan spindel R2 dengan kecepatan putar 60 rpm pada
suhu ruang. Nilai viskositas dalam satuan centipoises (cPs) (Goycoolea
dan Adriana, 2003).
3.6 Perbandingan Spektrum FTIR
Perbandingan spektrum FTIR pektin hasil ekstraksi dengan pektin
standar dilakukan dengan menggunakan Spektroskopi IRPrestige-21
Shimadzu pada daerah 400-4000 cm-1 dengan resolusi 2 cm-1 dan 16 scan.
Sampel uji dibuat dengan mencampurkan 20 mg serbuk pektin dengan
100 mg KBr untuk membuat pellet. Setelah didapatkan spektrum
masing-masing, selanjutnya dibandingkan tiap serapan gugus fungsionalnya
antara pektin hasil ekstraksi dengan pektin komersial yang dibeli dari
Cargill® dan Danisco® yang digunakan sebagai standar (Gopi, et. al., 2014
dengan modifikasi).
3.7 Perbandingan Pektin Hasil Penelitian terhadap Pektin Komersial
Karakterstik pektin hasil penelitian selanjutnya dibandingkan dengan
pektin komersial (pektin Cargill® dan Danisco®) yang digunakan sebagai
standar. Hal ini dilakukan untuk mengetahui kualitas pektin hasil penelitian
dengan merujuk pada standar mutu yang telah ditetapkan dalam Farmakope
Indonesia Edisi V (2014), Food Chemical Codex (2004), dan IPPA (2003).
32 UN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Penentuan Bahan Baku
Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini berupa limbah kulit
pisang kepok kuning yang diperoleh dari pengolahan kripik pisang di daerah
Ciputat di mana buah pisangnya disuplai dari Cilawu, Garut. Buah pisang
kepok sering dimanfaatkan untuk diolah menjadi berbagai jenis makanan
seperti kripik pisang, sehingga akan menyisakan kulit pisang yang kurang
pemanfaatannya dan umumnya dibuang sebagai limbah. Pemilihan limbah
kulit pisang kepok ini adalah untuk memanfaatkan limbah terbuang yang
sudah tidak digunakan menjadi suatu bahan baku produksi pektin yang
bernilai ekonomis.
Cahyono (2009) mengungkapkan bahwa pektin terdistribusi secara
luas dalam jaringan tanaman dan umumnya terdapat pada dinding sel.
Pisang kepok memiliki kulit buah yang cukup tebal dengan kandungan
pektin di dalamnya berkisar 10-21% (Mohapatra, et. al., 2010). Pemilihan
bahan baku kulit pisang kepok memiliki kelebihan yaitu diperoleh dengan
tidak mengeluarkan biaya karena berupa limbah organik yang dibuang
begitu saja, sehingga dapat menekan biaya produksi pektin, dan diharapkan
dapat menghasilkan pektin dalam jumlah besar dan ekonomis tanpa
mengurangi kualitas pektin yang dihasilkan.
4.2 Determinasi Tanaman Bahan Baku
Determinasi tanaman bahan baku terlebih dahulu dilakukan untuk
mengetahui identitas tanaman yang digunakan dan untuk menghindari
terjadinya kesalahan dalam pemilihannya. Determinasi tanaman dilakukan
di Herbarium Bogoriense, Pusat Penelitian Biologi LIPI (Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia), Cibinong, Bogor. Hasil determinasi menunjukkan
bahwa bahan baku yang digunakan adalah benar tanaman pisang kepok
(Musa balbisiana BBB) dari famili Musaceae. Sertifikat hasil determinasi
dapat dilihat pada Lampiran 1.
33
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.3 Persiapan Bahan Baku
Bahan baku yang digunakan berupa limbah kulit pisang kepok kuning
yang masih mentah yang mana kulitnya keras, bergetah, dan berwarna hijau
atau kekuningan. Bahan baku diambil dari pengolahan kripik pisang yang
umumnya menggunakan buah pisang yang masih mentah. Pemilihan kulit
pisang dari buah yang masih mentah berdasarkan pendapat Sambeganarko
(2008), di mana protopektin banyak terdapat pada buah mentah dengan sifat
tidak larut air yang dapat dihidrolisis menggunakan asam atau secara
enzimatis untuk menghasilkan pektin yang mudah larut dalam air
(Hanum, et. al., 2012). Dalam penelitian ini bahan baku disiapkan dalam
dua perlakuan yang berbeda yaitu bahan segar dan bahan kering. Hal
pertama yang dilakukan adalah melakukan sortasi basah terhadap limbah
kulit pisang kepok yang diperoleh dengan dipisahkan dari tangkai dan
ujungnya kemudian dibersihkan dengan dicuci menggunakan air mengalir
hingga terbebas dari kotoran yang menempel dan dirajang kecil-kecil.
Bahan segar disiapkan dengan cara menghancurkan kulit pisang kepok
segar menggunakan blender dengan penambahan aquadest (2 : 1 b/v)
sehingga terbentuk bubur kulit pisang. Sedangkan bahan kering disiapkan
dari 5 kg kulit pisang kepok segar yang telah disortasi basah, dicuci,
dirajang, lalu dikering-anginkan selama satu malam yang selanjutnya
dikeringkan menggunakan blower pada suhu 500C selama 5 hari yang
dilakukan di BALITTRO (Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik),
Cimanggu, Bogor. Kulit pisang kepok yang telah kering selanjutnya
dihaluskan menjadi serbuk menggunakan grinder dan diayak dengan ayakan
mesh 100 (ukuran partikel 105 μm). Fellow (2002) di dalam Perina, et. al.
(2007) mengungkapkan bahwa pemotongan dan pembelahan bahan-bahan
yang akan diekstraksi membantu pengontakan antara padatan dengan
pelarut karena pecahnya sel-sel yang mengandung solut. Semakin kecil
ukuran partikel maka semakin luas permukaan yang kontak antara padatan
dan pelarut serta semakin pendek jarak difusi solut sehingga kecepatan
ekstraksi menjadi lebih besar.
34
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Setelah pengeringan dan penghalusan, dari 5 kg kulit pisang kepok
segar menghasilkan 691 gram serbuk kulit pisang kepok kering. Serbuk
kulit pisang kepok yang dihasilkan tergolong sedikit dikarenakan
kandungan air yang cukup tinggi dalam limbah kulit pisang segar, sehingga
untuk menghasilkan serbuk kulit pisang kepok yang banyak diperlukan
bahan baku limbah kulit pisang yang banyak pula.
Tabel 4.1. Bahan Baku
No. Bahan Baku Hasil
1 Bobot kulit pisang kepok awal untuk dikeringkan 5 kg
2 Bobot serbuk kulit pisang kepok setelah pengeringan 691 gram
3 Kadar air serbuk kulit pisang kepok 8,90%
4 Kadar air kulit pisang kepok segar 85,3868%
Selanjutnya dilakukan penentuan kadar air terhadap kedua bahan baku
(bahan segar dan kering) tersebut guna mengetahui kadar air awal dari
bahan baku yang digunakan sebelum dilakukan ekstraksi pektin, karena
kandungan air yang terkandung dapat mempengaruhi proses ekstraksi.
Penentuan kadar air awal bahan baku dilakukan dengan menggunakan
prinsip gravimetri. Hasil yang diperoleh menunjukkan kadar air awal bahan
segar (kulit pisang kepok segar) sebesar 85,3868% dan bahan kering (serbuk
kulit pisang kepok) sebesar 8,90%. Kadar air untuk bahan kering adalah
8,90% di mana kadar air ini tidak lebih dari yang diperbolehkan untuk
bahan kering yaitu kurang dari 10% (Hanum et. al., 2012). Pemeriksaan
kadar air untuk bahan segar dilakukan di laboratorium Kimia Obat, Program
Studi Farmasi, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta sedangkan untuk bahan kering dilakukan
di BALITTRO (Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik), Cimanggu,
Bogor.
4.4 Produksi Pektin
Produksi pektin dilakukan melalui proses ekstraksi menggunakan
limbah kulit pisang kepok kuning (Musa balbisiana BBB) dengan variasi
perlakuan bahan baku (bahan segar dan kering) menggunakan pelarut HCl
dengan variasi konsentrasi (0,025 N; 0,05 N; dan 0,075 N) pada suhu 900C
35
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
selama 80 menit. Waktu dan suhu ekstraksi dalam penelitian ini ditetapkan
berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hanum et. al. (2012) yang
menyatakan bahwa rendemen tertinggi yang diperoleh dari hasil ekstraksi
kulit pisang kepok menggunakan pelarut asam klorida adalah pada suhu
900C selama 80 menit. Ekstraksi pektin dilakukan menggunakan metode
konvensional yakni secara pemanasan langsung. Srivastava dan Malviya
(2011) menyatakan bahwa ada dua metode ekstraksi pektin yang biasa
dilakukan, yaitu pemanasan langsung dan pemanasan menggunakan
microwave.
Hanum, et. al. (2012) mengungkapkan bahwa ekstraksi pektin dapat
dilakukan dengan hidrolisis asam atau secara enzimatis. Pada penelitian ini,
ekstraksi pektin dilakukan dengan hidrolisis asam yaitu menggunakan
pelarut HCl dengan variasi konsentrasi yang digunakan untuk merombak
protopektin yang tidak larut menjadi pektin yang mudah larut. Penggunaan
pelarut HCl di dasarkan pada pernyataan Kertesz (1951) bahwa selain asam
organik, ekstraksi pektin memiliki kecenderungan untuk menggunakan
asam mineral yang murah seperti asam klorida, asam sulfat, dan asam nitrat.
Beberapa artikel saat ini menyarankan untuk ekstraksi menggunakan asam
klorida (Kalapathy dan Proctor, 2001; Dinu, 2001; Hwang, et. al., 1998)
Dalam proses ekstraksi pektin digunakan bahan baku dengan dua
perlakuan yang berbeda yaitu bahan segar dan kering. Sebanyak 300 gram
bahan segar dan 42 gram bahan kering masing-masing dimasukkan ke
dalam erlenmeyer 2000 mL, lalu ditambahkan larutan HCl 600 mL (1 : 2 )
untuk bahan segar dan 840 mL (1 : 20) untuk bahan kering. Selanjutnya ke
dalam erlenmeyer tersebut dimasukkan magnetic stirrer dan pada leher
erlenmeyer ditutup dengan sumbat kapas. Proses ekstraksi dilakukan dengan
pemanasan di atas hot plate pada suhu 900C selama 80 menit yang selalu
dikontrol menggunakan termometer agar suhunya tetap. Pengadukan
otomatis dilakukan menggunakan magnetic stirrer dengan kecepatan 10
(+ 600 rpm). Menurut Perina, et. al. (2007), pengadukan dalam ekstraksi
penting dilakukan karena dapat meningkatkan perpindahan solut dari
permukaan partikel ke cairan pelarut dan mencegah pengendapan padatan
36
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dan memperluas kontak partikel dengan pelarutnya. Setelah proses ekstraksi
selesai, campuran didinginkan terlebih dahulu yang selanjutnya dilakukan
proses penyaringan untuk memisahkan antara filtrat dengan residunya
menggunakan kertas saring dengan bantuan vacuum Buchner sehingga
proses penyaringan dapat berjalan lebih cepat.
Setelah disaring, filtrat yang diperoleh dipindahkan ke dalam wadah
kaca lain, lalu dilakukan pengendapan pektin dengan penambahan aseton.
Aseton dipilih sebagai agen pengendap dikarenakan aseton lebih disukai
karena kemampuannya membentuk endapan yang tegar sehingga mudah
dipisahkan dari asetonnya dibandingkan dengan etanol yang menghasilkan
pektin yang kurang murni karena tidak hanya mengendapkan pektin tetapi
juga senyawa lain seperti dekstrin dan hemiselulosa (Akhmalludin dan
Kurniawan, 2009). Penambahan aseton ke dalam filtrat hasil ekstraksi
dilakukan secara perlahan sambil diaduk sehingga terbentuk endapan, yang
kemudian didiamkan selama satu malam (18 jam) agar proses pengendapan
berlangsung sempurna. Setelah 18 jam, endapan tersebut disaring untuk
memisahkan endapan dari filtratnya, kemudian endapan dicuci beberapa kali
menggunakan etanol 96% hingga bebas dari residu aseton, asam, dan
klorida. Pencucian dengan etanol 96% dipilih karena dapat menghasilkan
warna pektin yang jauh lebih bersih dan putih dibandingkan dengan
pencucian tanpa alkohol (Susilowati, 2013). Pektin yang telah bebas asam
adalah pektin yang berwarna kuning saat ditetesi dengan indikator metil
merah dan memberikan warna netral pada pH indikator universal ketika
dicelupkan ke dalam larutan bekas pencucian, adapun pektin yang telah
bebas klorida yaitu apabila tidak terbentuk endapan putih (AgCl) pada
larutan bekas pencucian pektin yang ditambahkan dengan beberapa tetes
larutan perak nitrat (AgNO3) (Hariyati, 2006; Fitria, 2013)
Setelah pencucian pektin, selanjutnya dilakukan penekanan terhadap
endapan pektin dalam kertas saring sehingga endapan tidak terlalu basah
dengan etanol 96%, lalu pektin dikeringkan dalam oven selama kurang lebih
8 jam dengan suhu pengeringan rendah, yaitu 400C untuk memperkecil
kemungkinan terjadinya degradasi pektin. Pektin yang telah kering
37
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dihaluskan menjadi serbuk dengan digerus menggunakan lumpang dan alu,
lalu dihitung bobotnya dan dilakukan karakterisasi untuk menentukan
kualitas dari pektin yang dihasilkan, meliputi penentuan kadar air, kadar
abu, berat ekivalen, kadar metoksil, kadar galakturonat, dan derajat
esterifikasi. Hasil karakterisasi tersebut dibandingkan dengan standar yang
telah ditetapkan dalam literatur seperti Farmakope Indonesia Edisi V
(2014), Food Chemicals Codec (2004), dan IPPA (2003).
4.5 Identifikasi Kualitatif Pektin
Pemerian pektin hasil ekstraksi pada penelitian ini cenderung sama
pada tiap kondisi ekstraksi yang dipengaruhi perlakuan bahan baku dan
konsentrasi HCl. Seluruh pektin hasil ekstraksi memberikan warna putih
kecuali pada kondisi ekstraksi dari bahan kering dengan konsentrasi HCl
0,025 N yang menghasilkan pemerian yang berwarna putih kekuningan.
Tabel 4.2. Pemerian Pektin Hasil Ekstraksi
No. Kondisi ekstraksi Pemerian
1 Bahan segar;
HCl 0,025 N
Serbuk halus, putih,
tidak berbau
2 Bahan segar;
HCl 0,05 N
Serbuk halus, putih,
tidak berbau
3 Bahan segar;
HCl 0,075 N
Serbuk halus, putih,
tidak berbau
4 Bahan kering;
HCl 0,025 N
Serbuk halus, putih
kekuningan, tidak
berbau
38
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Berdasarkan Farmakope Indonesia Edisi V (2014), pemerian pektin
berupa serbuk kasar atau halus, berwarna putih kekuningan, hampir tidak
berbau, dan mempunyai rasa musilago. Menurut Food Chemicals Codex
(2004) pemerian pektin berupa serbuk kasar hingga halus, berwarna putih,
kekuningan, kelabu, atau kecokelatan. Pektin hasil ekstraksi pada penelitian
ini memberikan pemerian yang sesuai dengan literatur yang telah disebutkan
di atas.
Tabel 4.3. Identifikasi Pektin Hasil Ekstraksi
No. Kondisi
ekstraksi
Identifikasi Pektin
A B C
1 Bahan segar;
HCl 0,025 N
Terbentuk
endapan bening,
seperti gelatin
Terbentuk
semigel
Terbentuk endapan seperti gelatin,
tidak berwarna, menjadi putih dan
bergumpal bila didihkan
2 Bahan segar;
HCl 0,05 N
Terbentuk
endapan bening,
seperti gelatin
Terbentuk gel
Terbentuk endapan seperti gelatin,
tidak berwarna, menjadi putih dan
bergumpal bila didihkan
5 Bahan kering;
HCl 0,05 N
Serbuk halus, putih,
tidak berbau
6 Bahan kering;
HCl 0,075 N
Serbuk halus, tidak
berbau
39
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3 Bahan segar;
HCl 0,075 N
Terbentuk
endapan bening,
seperti gelatin
Terbentuk gel
Terbentuk endapan seperti gelatin,
tidak berwarna, menjadi putih dan
bergumpal bila didihkan
4 Bahan kering;
HCl 0,025 N
Terbentuk
endapan bening,
seperti gelatin
Terbentuk
semigel
Terbentuk endapan seperti gelatin,
tidak berwarna, menjadi putih dan
bergumpal bila didihkan
5 Bahan kering;
HCl 0,05 N
Terbentuk
endapan bening,
seperti gelatin
Terbentuk
semigel
Terbentuk endapan seperti gelatin,
tidak berwarna, menjadi putih dan
bergumpal bila didihkan
6 Bahan kering;
HCl 0,075 N
Terbentuk
endapan bening,
seperti gelatin
Terbentuk gel
Terbentuk endapan seperti gelatin,
tidak berwarna, menjadi putih dan
bergumpal bila didihkan
Identifikasi pektin dilakukan untuk memastikan secara kualitatif
bahwa serbuk yang diperoleh dari hasil ekstraksi adalah benar pektin.
Identifikasi pektin dilakukan sesuai dengan prosedur yang tertera dalam
Farmakope Indonesia Edisi V tahun 2014 dengan sedikit modifikasi.
Identifikasi pektin pertama (A), yaitu membuat larutan pektin 1%
dalam aquadest sebanyak 100 mL, lalu diambil 5 mL, kemudian
40
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ditambahkan etanol P dengan volume yang sama. Jika hasil ekstraksi adalah
benar pektin maka akan terbentuk endapan bening, seperti gelatin yang
membedakan pektin dari kebanyakan gom.
Identifikasi pektin kedua (B), yaitu dengan mengambil sebanyak 5 mL
dari larutan pektin 1% yang telah dibuat sebelumnya, lalu ditambahkan 1
mL NaOH 2 N, kemudian didiamkan pada suhu ruang selama 15 menit. Jika
hasil ekstraksi adalah benar pektin, maka akan terbentuk gel atau semi gel
yang membedakannya dari tragakan.
Identifikasi pektin ketiga (C), yaitu dengan mengasamkan gel atau
semi gel yang terbentuk pada identifikasi B dengan HCl 3 N, kemudian
dikocok. Jika hasil ekstraksi adalah benar pektin, maka akan terbentuk
endapan seperti gelatin yang tidak berwarna, yang menjadi putih dan
bergumpal bila dididihkan (asam pektat).
Hasil identifikasi pektin secara kualitatif menunjukkan bahwa serbuk
yang diperoleh dari hasil ekstraksi pada penelitian ini adalah benar pektin.
4.6 Karakteristik Pektin Hasil Ekstraksi
Tabel 4.4. Karakteristik Pektin Hasil Ekstraksi
No. Karakteristik
Kondisi ekstraksi
(perlakuan bahan baku, konsentrasi pelarut HCl)
Segar;
0,025 N
Segar;
0,05 N
Segar;
0,075 N
Kering;
0,025 N
Kering;
0,05 N
Kering;
0,075 N
1 Jumlah pektin
(gram) 8,7640 9,4380 10,3610 6,5170 7,6530 8,0290
2 Kadar air
(%) 8,2390 9,1605 9,3165 10,0342 10,1947 10,3501
3 Kadar abu
(%) 0,4654 0,7069 1,3592 0,7708 1,2252 2,4770
4 Berat ekivalen 8119,1172 6100,6978 4725,7974 6974,0808 5414,1873 4874,1837
5 Kadar metoksil
(%) 2,7363 3,3241 3,8166 2,6459 3,0537 3,7524
6
Kadar
galakturonat
(%)
70,8116 87,0271 101,1200 70,1839 82,3494 99,6591
7
Derajat
esterifikasi
(%)
21,9387 21,6849 21,4284 21,4030 21,0531 21,3770
8 Viskositas 20,00 18,50 15,00 19,50 16,00 15,50
41
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
a. Jumlah Pektin
Jumlah pektin adalah banyaknya pektin dalam gram yang
dihasilkan dari ekstraksi kulit pisang kepok pada masing-masing
perlakuan, yaitu menggunakan bahan segar dan kering dengan berbagai
konsentrasi pelarut HCl. Bobot pektin hasil ekstraksi berkisar 6,5170-
10,3610 gram, bobot tertinggi diperoleh dari ekstraksi bahan segar
dengan konsentrasi HCl 0,075 N dan bobot terendah diperoleh dari
ekstraksi bahan kering dengan konsentrasi HCl 0,025 N.
Gambar 4.1. Jumlah pektin kulit pisang kepok hasil ekstraksi
Gambar 4.1 menunjukkan bahwa jumlah pektin dalam gram yang
dihasilkan mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya
konsentrasi HCl, baik dengan bahan segar maupun kering. Bahan segar
menghasilkan bobot pektin, yaitu 8,7640 gram untuk HCl 0,025 N;
9,4380 gram untuk HCl 0,05 N; dan 10,3610 gram untuk HCl 0,075 N,
dengan rata-rata sebanyak 9,5210 gram. Bahan kering menghasilkan
pektin dengan bobot, yaitu 6,5170 gram untuk HCl 0,025 N; 7,6530 gram
untuk HCl 0,05 N; dan 8,0290 gram untuk HCl 0,075 N, dengan rata-rata
sebanyak 7,3997 gram.
Menurut Nainggolan (1994) di dalam Hanum (2012), prinsip
ekstraksi pektin adalah perombakan protopektin yang tidak larut menjadi
pektin yang mudah larut yang dapat dilakukan dengan hidrolisis asam
atau enzimatis. Pelarut HCl merupakan asam yang berperan sebagai
katalis untuk mempercepat reaksi hidrolisis protopektin menjadi pektin.
Semakin tinggi konsentrasi HCl menyebabkan semakin banyak ion
hidrogen yang mensubstitusi kalsium dan magnesium dari protopektin,
42
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
proses hidrolisis protopektin menjadi pektin lebih cepat, sehingga dapat
menghasilkan pektin yang lebih banyak. Jadi dengan konsentrasi HCl
yang tinggi, rendemen pektin akan terus meningkat hingga mencapai
keadaan maksimum di mana protopektin telah habis terhidrolisis
(Fitria, 2013).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi
asam maka semakin banyak pektin yang dihasilkan, dibuktikan dengan
bobot pektin tertinggi diperoleh pada konsentrasi HCl 0,075 N dan bobot
terendah diperoleh pada konsentrasi HCl 0,025 N, baik untuk bahan baku
kulit pisang kepok segar maupun kering.
Ekstraksi pektin dengan bahan segar maupun kering, memiliki
kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Bahan segar memiliki
kelebihan yaitu tidak memerlukan proses pengeringan, dapat langsung
dilakukan proses ekstraksi, dan bobot pektin yang dihasilkan lebih
banyak, sedangkan kekurangannya yaitu bahan tidak dapat disimpan
untuk waktu lama dan harus segera dilakukan proses ekstraksi karena
kulit pisang kepok mengandung antioksidan yang tinggi sehingga proses
pembusukan menjadi lebih cepat serta memerlukan pelarut pengendap
pektin yang lebih banyak karena bahan segar memiliki kandungan air
yang cukup besar. Bahan kering memiliki kelebihan yaitu dapat disimpan
untuk waktu yang lebih lama sehingga proses ekstraksi dapat dilakukan
kapan saja sesuai dengan kebutuhan, sedangkan kekurangannya adalah
memerlukan waktu cukup lama untuk proses pengeringan bahan baku
awal karena kandungan air awal bahan yang cukup besar.
Penggunaan bahan segar ataupun kering dari kulit pisang kepok
untuk ekstraksi pektin dapat disesuaikan dengan kebutuhan suatu industri
dengan mempertimbangkan kelebihan dan kekurangannya masing-
masing.
b. Kadar Air
Kadar air merupakan salah satu parameter penting yang
menentukan daya tahan produk pangan dan terkait dengan aktivitas
mikroorganisme selama penyimpanan. Produk yang mempunyai kadar
43
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
air tinggi lebih mudah rusak karena dapat menjadi media yang kondusif
bagi pertumbuhan mikroorganisme. Dalam upaya memperpanjang masa
simpan produk, dilakukan pengeringan sampai dengan batas kadar air
tertentu, karena produk dengan kadar air rendah relatif lebih stabil dalam
penyimpanan jangka panjang daripada produk dengan kadar air yang
tinggi (Pardede, et. al., 2013). Kadar air awal limbah kulit pisang segar
yang telah dianalisis adalah 85,3868% dan kadar air awal limbah kulit
pisang kering adalah 8,90%.
Gambar 4.2. Kadar air pektin kulit pisang kepok hasil ekstraksi
Pada penelitan ini, pengeringan pektin dilakukan dalam oven suhu
400C selama 8 jam (Hanum, et. al., 2012). Gambar 4.2 menunjukkan
bahwa kadar air pektin kulit pisang kepok berkisar 8,2390-10,3501%,
dengan rata-rata 9,5492%. Kadar air pektin tertinggi diperoleh dari hasil
ekstraksi bahan kering pada konsentrasi HCl 0,075 N, sedangkan kadar
air terendah diperoleh dari hasil ekstraksi bahan segar pada konsentrasi
HCl 0,025 N. Syarat kadar air maksimum untuk pektin kering menurut
IPPA (International Pectin Producers Association) (2003) adalah tidak
lebih dari 12%, dengan demikian kadar air pektin hasil penelitian ini
masih di bawah syarat maksimum yang telah ditetapkan.
Menurut Utami (2014), tingginya kadar air pektin yang dihasilkan
dapat dipengaruhi oleh derajat pengeringan pektin yang tidak maksimal
sehingga air yang dikandung bahan tidak teruapkan secara sempurna.
Fitria (2013) menjelaskan bahwa kondisi penyimpanan pektin sebelum
dilakukan uji kadar air juga akan mempengaruhi hasil pengujian.
Penyimpanan pada tempat lembab dan wadah yang tidak kedap udara
44
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
akan menyebabkan kerentanan pektin terpapar oleh udara luar, sehingga
pektin menjadi lembab kembali.
c. Kadar Abu
Abu merupakan bahan anorganik yang diperoleh dari residu atau
sisa pembakaran bahan organik. Kandungan mineral suatu bahan dapat
diketahui dari kadar abu yang dimiliki oleh suatu bahan yang juga
berpengaruh pada tingkat kemurnian pektin (Budiyanto dan
Yulianingsih, 2008). Semakin tinggi tingkat kemurnian pektin, maka
kadar abu dalam pektin akan semakin rendah dan sebaliknya. Kadar abu
dalam pektin dipengaruhi oleh adanya residu bahan anorganik yang
terkandung dalam bahan baku, metode ekstraksi, dan isolasi (Kalapathy
dan Proctor, 2001).
Gambar 4.3. Kadar abu pektin kulit pisang kepok hasil ekstraksi
Hasil analisis kadar abu menunjukkan bahwa kadar abu pektin kulit
pisang kepok berkisar 0,4654-2,4770%, dengan rata-rata 1,1674%. Kadar
abu pektin tertinggi diperoleh dari hasil ekstraksi bahan kering pada
konsentrasi HCl 0,075 N, sedangkan kadar abu terendah diperoleh dari
hasil ekstraksi bahan segar pada konsentrasi HCl 0,025N. Batas
maksimum kadar abu pektin dalam IPPA (2003) adalah tidak lebih dari
10%, dengan demikian kadar abu hasil penelitian ini masih di bawah
syarat maksimum yang telah ditetapkan.
Gambar 4.3 menunjukkan bahwa kadar abu pektin yang dihasilkan
semakin meningkat dengan meningkatnya konsentrasi pelarut HCl.
Menurut Meyer (1985) dalam Hanum, et. al. (2012), dalam buah-buahan
45
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dan sayuran, protopektin terdapat dalam bentuk kalsium-magnesium
pektat, perlakuan dengan asam mengakibatkan terhidrolisisnya pektin
dari ikatan kalsium dan magnesiumnya. Peningkatan reaksi hidrolisis
protopektin mengakibatkan bertambahnya komponen Ca2+ dan Mg2+
yang terlarut dalam larutan ekstrak dan ikut mengendap pada saat
pengendapan pektin, sehingga semakin banyak mineral berupa kalsium
dan magnesium, maka akan semakin banyak kadar abu pektin tersebut.
Kadar abu dalam pektin semakin meningkat dengan meningkatnya
konsentrasi asam, suhu, dan waktu ekstraksi. Hal ini disebabkan oleh
kemampuan asam untuk melarutkan mineral alami dari bahan yang
diekstrak yang semakin meningkat dengan meningkatnya konsentrasi
asam, suhu, dan waktu ekstraksi. Mineral yang terlarut akan ikut
mengendap bercampur dengan pektin pada saat pengendapan dengan
alkohol (Kalapathy dan Proctor, 2001). Hasil pengukuran kadar abu pada
penelitian ini sesuai dengan pernyataan di atas, di mana pada konsentrasi
pelarut HCl tertinggi menghasilkan kadar abu tertinggi dan sebaliknya.
d. Berat Ekivalen
Berat ekivalen merupakan kandungan gugus asam galakturonat
bebas yang tidak terseterifikasi dalam rantai molekul pektin. Asam pektat
murni merupakan zat pektat yang seluruhnya tersusun dari asam
poligalakturonat yang bebas dari gugus metil ester atau tidak mengalami
esterifikasi. Semakin rendah kadar pektin menyebabkan berat ekivalen
semakin rendah (Ranganna, 1977 dalam Hanum, 2012).
Gambar 4.4. Berat ekivalen pektin kulit pisang kepok hasil ekstraksi
46
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Berat ekivalen pektin yang dihasilkan dari penelitian ini berkisar
4725,7974 – 8119,1172 dengan rata-rata 6034,6774. Berat ekivalen
tertinggi sebesar 8119,1172 diperoleh dari ekstraksi bahan segar pada
konsentrasi HCl 0,025 N, sedangkan berat ekivalen terendah sebesar
4725,7974 diperoleh dari ekstraksi bahan segar dengan konsentrasi HCl
0,075 N. Gambar 4.4 menunjukkan bahwa berat ekivalen pektin pada
perlakuan bahan segar dan kering akan semakin menurun dengan
peningkatan konsentrasi pelarut HCl. Hal ini sesuai dengan penelitian
Utami (2014), di mana semakin tinggi konsentrasi pelarut asam yang
digunakan, semakin rendah pH medium ekstraksi, maka semakin rendah
berat ekivalen pektin yang dihasilkan. Hal ini diduga karena semakin
tinggi konsentrasi HCl akan memperbesar kemungkinan terjadinya
depolimerisasi pektin sehingga memiliki berat ekivalen yang semakin
rendah. Selain itu, konsentrasi asam yang tinggi dapat menyebabkan
terjadinya deesterifikasi pektin menjadi asam pektat, di mana jumlah
gugus asam bebas semakin banyak sehingga berat ekivalen semakin
rendah.
Berat ekivalen pektin berdasarkan standar IPPA (2003) yakni
berkisar antara 600-800. Pada penelitian ini pektin yang dihasilkan
memiliki berat ekivalen yang tidak memenuhi standar IPPA (2003). Hasil
penelitian ini serupa dengan yang diperoleh oleh Fitria (2013), di mana
menghasilkan pektin hasil ekstraksi dari kulit pisang kepok dengan berat
ekivalen lebih tinggi dari standar IPPA (2003), yaitu berkisar antara
4094,47 - 9534,71. Bobot molekul pektin tergantung pada jenis tanaman,
kualitas bahan baku, metode ekstraksi, dan perlakuan pada proses
ekstraksi. Kemungkinan besar hal yang mempengaruhi nilai berat
ekivalen adalah sifat pektin hasil ekstraksi itu sendiri, serta proses titrasi
yang dilakukan (Fitria, 2013). Hasil titrasi untuk perhitungan berat
ekivalen akan mempengaruhi perhitungan selanjutnya seperti kadar
metoksil, kadar galaktronat, dan derajat esterifikasi.
47
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
e. Kadar Metoksil
Kadar metoksil didefinisikan sebagai jumlah metanol yang terdapat
di dalam pektin yang dapat menentukan sifat fungsional larutan pektin
dan mempengaruhi struktur dan tekstur dari gel pektin yang terbentuk.
Pektin disebut bermetoksil tinggi jika kadar metoksil sama dengan atau
lebih dari 7%, dan disebut bermetoksil rendah jika kadar metoksil kurang
dari 7% (Goycoolea dan Adriana, 2003).
Gambar 4.5. Kadar metoksil pektin kulit pisang kepok hasil ekstraksi
Penelitian ini menghasilkan pektin dengan kadar metoksil berkisar
2,6459-3,8166% dengan rata-rata 3,2215%. Kadar metoksil tertinggi
diperoleh dari ekstraksi bahan segar pada konsentrasi pelarut HCl
0,075 N sebesar 3,8166%, sedangkan kadar metoksil terendah diperoleh
dari ekstraksi bahan kering pada konsentrasi pelarut HCl 0,025 N sebesar
2,6459%. Dalam Food Chemicals Codex (2004), pektin bermetoksil
rendah berkisar antara 2,5–7,2%, sehingga pektin yang dihasilkan pada
penelitian ini termasuk dalam kategori pektin bermetoksil rendah.
Pada gambar 4.5 menunjukkan bahwa kadar metoksil pektin pada
perlakuan bahan segar dan kering akan semakin tinggi dengan
meningkatnya konsentrasi asam. Hal ini kemungkinan dapat disebabkan
oleh gugus karboksil bebas yang teresterifikasi semakin meningkat.
Penelitian ini menghasilkan pektin bermetoksil rendah yang mampu
membentuk gel dengan adanya kation polivalen seperti kalsium, di mana
lebih menguntungkan karena dapat langsung diproduksi tanpa melalui
proses demetilasi pektin bermetoksil tinggi menjadi bermetoksil rendah
(Fitria, 2013).
48
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
f. Kadar Galakturonat
Kadar galakturonat serta muatan molekul pektin berperan penting
dalam penentuan sifat fungsional larutan pektin dan mempengaruhi
struktur dan tekstur dari gel pektin yang terbentuk (Constenla dan
Lozano, 2006).
Gambar 4.6. Kadar galakturonat pektin kulit pisang kepok hasil
ekstraksi
Kadar galakturonat pektin pada penelitian ini berkisar 70,1839-
101,1200% dengan rata-rata 85,1919%. Berdasarkan IPPA (2003), kadar
galakturonat minimum yang diizinkan adalah 65%. Dengan demikian
kadar galakturonat pektin hasil penelitian ini memenuhi persyaratan mutu
pektin yang telah ditetapkan. Kadar galakturonat tertinggi sebesar
101,1200% diperoleh dari ekstraksi bahan segar pada konsentrasi HCl
0,075 N, dan kadar terendah 10,1839% diperoleh dari ekstraksi bahan
kering pada konsentrasi HCl 0,025 N.
Dari gambar 4.6 menunjukkan bahwa, semakin tinggi konsentrasi
pelarut HCl, maka semakin tinggi kadar galakturonat, baik pada bahan
segar maupun kering. Hal ini dapat disebabkan semakin tinggi
konsentrasi asam yang digunakan, maka kinetika reaksi hidrolisis pektin
semakin meningkat, sehingga kadar galakturonat pektin yang dihasilkan
juga akan semakin meningkat. Selain itu, peningkatan kadar galakturonat
juga dapat terjadi karena putusnya ikatan komponen galakturonat pektin
dengan senyawa-senyawa lain seperti hemiselulosa (Rasyid, 1986).
Dengan putusnya ikatan tersebut maka senyawa-senyawa lain tidak ikut
terendapkan pada proses pengendapan pektin oleh aseton. Semakin tinggi
49
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
konsentrasi asam, maka semakin besar ikatan yang dapat diputuskan. Hal
ini dapat meningkatkan persentase galakturonat, sehingga kemurnian
pektin yang diperoleh semakin besar dan akan mempengaruhi mutu
pektin yang dihasilkan.
Kadar galakturonat pektin dapat dipengaruhi oleh sumber bahan
baku, pelarut, dan metode ekstraksi yang digunakan (Fitria, 2013).
Menurut Nelson, et. al., (1977) dan Towle (1973) di dalam Fitriani
(2003), selain asam galakturonat, pektin juga mengandung senyawa-
senyawa lain yaitu gula netral seperti D-galaktosa, L-arabinosa, dan
L-ramnosa, dan jenis gula lainnya. Senyawa-senyawa non uronat tersebut
dapat terbawa pada saat proses penggumpalan pektin, yang dapat
mempengaruhi komposisi senyawa pektin. Metode ekstraksi yang
digunakan juga dapat mempengaruhi komposisi senyawa pektin yang
berpengaruh terhadap kadar galakturonat. Beberapa senyawa non uronat
dapat dihilangkan melalui pelarutan kembali pektin dalam air dan
penggumpalan, tetapi tidak dapat menghilangkan semua senyawa uronat
(Fitria, 2013).
g. Derajat Esterifikasi
Derajat esterifikasi merupakan persentase gugus karboksil yang
teresterifikasi, di mana pektin dengan derajat esterifikasi di atas 50%
dinamakan pektin bermetokil tinggi dan derajat esterifikasi di bawah
50% dinamakan pektin bermetoksil rendah (Siamornsak, 2003). Derajat
esterifikasi pektin diperoleh dari perbandingan antara kadar metoksil dan
kadar galakturonat (Fennema, 1996).
Gambar 4.7. Derajat esterifikasi pektin kulit pisang kepok hasil
ekstraksi
50
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Nilai derajat esterifikasi pektin hasil penelitian ini berkisar
21,0531-21,9387% dengan rata-rata 21,4809%. Dari gambar 4.7
menunjukkan bahwa pada perlakuan bahan segar dan kering, derajat
esterifikasi pektin semakin menurun dengan peningkatan konsentrasi
HCl. Namun terdapat pengecualian pada perlakuan bahan kering yang
derajat esterifikasinya meningkat pada konsentrasi HCl 0,075 N.
Menurut standar mutu pektin dalam IPPA (2003), pektin yang dihasilkan
dalam penelitian ini termasuk pektin berester rendah karena memiliki
derajat esterifikasi di bawah 50%, sehingga dapat dikelompokkan ke
dalam pektin bermetoksil rendah.
Asam dalam ekstraksi pektin akan menghidrolisis ikatan hidrogen.
Ikatan glikosidik metil ester dari pektin cenderung terhidrolisis
menghasilkan asam galakturonat (Kertesz, 1951). Apabila konsentrasi
asam yang digunakan tinggi maka pektin akan berubah menjadi asam
pektat yang asam galakturonatnya bebas dari gugus metil ester. Jumlah
gugus metil ester menunjukkan jumlah gugus karboksil yang tidak
teresterifikasi atau derajat esterifikasi (Budiyanto dan Yulianingsih,
2008).
+ H2O
+ CH3OH
Gambar 4.8. Reaksi Deesterifikasi Pektin
h. Viskositas Larutan Pektin
Uji viskositas dilakukan menggunakan alat viskotester HAAKE 6R
spindel R2 dengan kecepatan 60 rpm terhadap larutan pektin 1% hasil
penelitian pada masing-masing kondisi ekstraksi. Uji viskositas
dilakukan untuk mengetahui kekentalan dari larutan pektin yang
dihasilkan pada penelitian ini. Dalam industri makanan atau farmasi,
pektin digunakan secara luas sebagai agen pengental. Oleh karena itu,
perlu dilakukan uji viskositas untuk mengetahui kekentalan pektin yang
51
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dihasilkan guna mengetahui kemampuan pektin tersebut sebagai agen
pengental sehingga dapat diaplikasikan secara luas dalam bidang industri.
Gambar 4.9. Viskositas larutan pektin kulit pisang kepok hasil ekstraksi
Larutan pektin yang terbentuk memiliki perbedaan viskositas.
Berdasarkan hasil pengukuran pada gambar 4.9 diketahui bahwa
viskositas larutan pektin hasil ekstraksi berkisar antara 15,00-20,00 cPs
dengan rata-rata sebesar 17,42 cPs, di mana semakin tinggi konsentrasi
HCl maka semakin menurun viskositasnya, baik pada perlakuan bahan
segar maupun kering. Hal ini diduga dengan semakin tinggi konsentrasi
HCl akan memperbesar kemungkinan terjadinya reaksi depolimerisasi
yang akan memperkecil nilai viskositas larutan pektin yang dihasilkan.
Nilai viskositas tertinggi diperoleh dari larutan pektin hasil
ekstraksi bahan segar pada konsentrasi HCl 0,025 N yaitu sebesar
20,00 cPs, sedangkan nilai viskositas terendah diperoleh dari larutan
pektin hasil ekstraksi bahan segar pada konsentrasi HCl 0,075 N.
Constenla dan Lozano (2006) menjelaskan bahwa viskositas pektin juga
dipengaruhi oleh faktor ekstrinsik seperti suhu, konsentrasi larutan, pH,
dan keberadaan garam.
4.7 Perbandingan Spektrum FTIR
Hasil pengukuran spektrum FTIR menunjukkan kelompok gugus
fungsi dan memberikan informasi struktural pektin hasil ekstraksi dari
bahan baku limbah kulit pisang kepok kuning (Musa balbisiana BBB) dan
larutan pengekstraksi berupa pelarut HCl dengan variasi perlakuan bahan
baku dan konsentrasi HCl. Penentuan spektrum FTIR dilakukan
52
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
menggunakan alat spektroskopi IRPrestige-21 Shimadzu. Spektrum FTIR
pektin hasil ekstraksi dibandingkan terhadap spektrum pektin komersial
Cargill® dan Danisco® yang digunakan sebagai standar. Rentang panjang
gelombang yang digunakan adalah 4000-400 cm-1.
Gugus fungsional utama pada pektin terletak pada area panjang
gelombang 1000-2000 cm-1 (Kalapathy dan Proctor, 2001). Ikatan karboksil
berada pada 1630-1650 cm-1 untuk kelompok karboksil bebas dan 1740-
1760 cm-1 untuk kelompok karboksil teresterifikasi (Gnanasambandam,
1999). Peningkatan derajat esterifikasi juga akan meningkatkan intensitas
dan luas area dari kelompok karboksil teresterifikasi. Kemungkinan dapat
digunakan untuk membandingkan jenis pektin dari sumber yang berbeda.
Pada panjang gelombang antara 1100 cm-1 dan 1200 cm-1 menunjukkan
ikatan eter (R-O-R) dan ikatan C-C siklik dalam struktur cincin dari molekul
pektin. Spektrum melebar pada 2400-3600 cm-1 merupakan lembab dalam
pektin yang terserap.
Tabel 4.5. Data Spektrum FTIR Pektin Komersial dan Hasil Ekstraksi
Pektin
Keterangan
Area (bilangan gelombang) (cm-1)
–OH Ulur –CH3 –C=O Tekuk
–C–H
Ulur
–C–H
–O–
(eter)
Danisco® 3366,89 2939,64 1665,60 1441,85 1371,45 1010,74
Cargill® 3340,85 2936,75 1616,42 1433,17 1365,66 1143,84
Bahan Segar;
HCl 0,025 N 3454,66 2942,53 1625,10 1434,14 1331,90 1152,52
Bahan Segar;
HCl 0,05 N 3470,09 2894,31 1658,85 1437,03 1369,52 1152,52
Bahan Segar;
HCl 0,075 N 3423,80 2936,75 1630,88 1437,99 1369,52 1151,55
Bahan Kering;
HCl 0,025 N 3412,22 2936,75 1641,49 1427,39 1338,66 1147,69
Bahan Kering;
HCl 0,05 N 3426,69 2935,78 1639,56 1421,60 1351,19 1146,73
Bahan Kering;
HCl 0,075 N 3319,63 2904,92 1647,28 1414,85 1340,58 1151,55
Pada tabel 4.5 terlihat adanya perbedaan data spektrum FTIR dari
serapan masing-masing gugus fungsional dari pektin komersial dan pektin
hasil ekstraksi. Spektrum menunjukkan puncak serapan lebar yang khas
pada panjang gelombang 3366,89 cm-1 untuk pektin komersial Danisco®;
3340,85 cm-1 untuk pektin komersial Cargill®; dan berkisar antara 3319,63 –
53
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3470,09 cm-1 untuk pektin hasil ekstraksi, mengindikasikan adanya serapan
dari gugus hidroksil.
Pada daerah panjang gelombang 2939,64 cm-1 menunjukkan adanya
serapan dari ulur –CH3 untuk pektin Danisco®; 2936,75 cm-1 untuk pektin
Cargill®; dan berkisar 2894,31–2942,53 cm-1 untuk pektin hasil ekstraksi.
Pada daerah panjang gelombang 1665,60 cm-1 menunjukkan adanya
serapan dari gugus karboksil (–C=O) untuk pektin Danisco®; 1616,42 cm-1
untuk pektin Cargill®; dan berkisar antara 1625,10–1658,85 cm-1 untuk
pektin hasil ekstraksi.
Vibrasi dari tekuk –C–H dapat ditemukan pada daerah panjang
gelombang 1441,85 cm-1 untuk pektin Danisco®; 1433,17 cm-1 untuk pektin
Cargill®; dan berkisar 1414,85–1437,99 cm-1 untuk pektin hasil ekstraksi.
Vibrasi dari ulur –C–H dapat terlihat pada daerah panjang gelombang
1371,45 cm-1 untuk pektin Danisco®; 1365,66 cm-1 untuk pektin Cargill®;
dan berkisar 1331,90–1369,52 cm-1 untuk pektin hasil ekstraksi.
Terdapat serapan dari eter (–O–) pada daerah panjang gelombang
1010,74 cm-1 untuk pektin Danisco®; 1143,84 cm-1 untuk pektin Cargill®;
dan berkisar antara 1146,73–1152,55 cm-1 untuk pektin hasil ekstraksi.
Gambar 4.10. Struktur Pektin
[Sumber : Koleksi Pribadi]
Pada struktur pektin di atas memperlihatkan bahwa gugus fungsional
yang terukur oleh spektroskopi FTIR dengan masing-masing serapan pada
daerah panjang gelombang tertentu menunjukkan kesesuaian dengan
struktur pektin. Hal tersebut ditandai dengan terdapatnya vibrasi OH, ikatan
–CH3 pada cabang metoksil (COOCH3), ikatan –C–H, gugus karbonil
(–C=O), dan gugus eter (–O–).
54
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.8 Perbandingan Pektin Hasil Penelitian terhadap Pektin Komersial
Perbandingan antara pektin hasil penelitian dengan pektin komersial
bertujuan untuk membandingkan kualitas dari pektin hasil ekstraksi dengan
pektin yang telah dijual luas di pasaran. Pektin komersial yang digunakan
sebagai pembanding yaitu pektin Cargill® yang diimpor dari Jerman dan
pektin Danisco® yang diimpor dari Amerika. Umumnya pektin komersial
diperoleh dengan cara ekstraksi asam-panas menggunakan bahan baku kulit
jeruk atau apple pomace serta metode pengendapan dan pemurnian yang
sangat bervariasi.
Parameter pektin hasil penelitian yang dibandingkan dengan pektin
komersial adalah merujuk pada standar mutu pektin yang ditetapkan dalam
IPPA (2003), meliputi pemerian, kadar air, kadar abu, berat ekivalen, derajat
esterifikasi, kadar galakturonat, dan kadar metoksil. Pemerian pektin hasil
penelitian secara umum berupa serbuk halus berwarna putih (gambar 4.11)
yang mana warnanya sama dengan pektin komersial Cargill®, sedangkan
pektin komersial Danisco® berwarna putih kekuningan.
Pektin hasil penelitian (bahan segar)
Pektin hasil penelitian (bahan kering)
Pektin komersial Cargill®
Pektin komersial Danisco®
Gambar 4.11. Perbandingan warna pektin hasil penelitian dan pektin
komersial
Pektin hasil ekstraksi baik dari bahan segar maupun kering memiliki
rata-rata kadar air yang lebih tinggi dari kedua pektin komersial tersebut.
Namun, kadar air pektin hasil penelitian dan pektin komersial memiliki nilai
55
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang memenuhi standar yang telah ditetapkan oleh IPPA (2003) yaitu
kurang dari 12% (tabel 4.6).
Pektin hasil ekstraksi baik dari bahan segar maupun kering memiliki
rata-rata kadar abu yang lebih tinggi dari kedua pektin komersial tersebut.
Akan tetapi, kadar abu pektin hasil penelitian dan pektin komersial masih
memenuhi standar yang telah ditetapkan oleh IPPA (2003) yaitu kurang dari
10% (tabel 4.6).
Rata-rata Berat ekivalen pektin hasil penelitian baik dari bahan segar
maupun kering lebih tinggi dari petin komersial. Berat ekivalen pektin
Cargill® memiliki nilai yang memenuhi standar IPPA (2003). Sedangkan
pektin Danisco® dan pektin hasil penelitian memiliki nilai berat ekivalen
yang lebih tinggi dari standar IPPA (2003) (tabel 4.6). Nilai berat ekivalen
yang tinggi diduga dipengaruhi oleh jenis tanaman, kualitas bahan baku,
metode ekstraksi, dan perlakuan pada proses ekstraksi.
Berdasarkan IPPA (2003), rata-rata pektin hasil penelitian baik dari
bahan segar maupun kering dan pektin Danisco® termasuk pektin
bermetoksil rendah karena kadar metoksilnya berada di antara 2,5-7,12%.
Sedangkan pektin Cargill® termasuk pektin bermetoksil tinggi karena kadar
metoksilnya lebih tinggi dari 7,12% (tabel 4.6).
Pektin hasil penelitian memiliki rata-rata kadar galakturonat yang
lebih tinggi dari pektin Cargill®, namun lebih rendah dari pektin Danisco®.
Kadar galakturonat pektin hasil penelitian dan pektin komersial memenuhi
standar yang ditetapkan oleh IPPA (2003), yaitu minimal 65% (tabel 4.6).
Derajat esterifikasi rata-rata yang dihasilkan dari pektin hasil
penelitian memiliki nilai yang lebih rendah dari kedua pektin komersial.
Menurut standar mutu pektin yang ditetapkan IPPA (2003), pektin hasil
penelitian dan pektin Danisco® termasuk pektin ester rendah karena derajat
esterifikasinya kurang dari 50%. Sedangkan pektin Cargill® termasuk pektin
ester tinggi karena memiliki derajat esterifikasi di atas 50% (tabel 4.6).
Rata-rata viskositas larutan pektin hasil penelitian lebih rendah dari
pektin komersial. Berdasarkan parameter-parameter tersebut di atas, secara
umum, baik pektin Cargill®, pektin Danisco®, maupun pektin hasil
56
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
penelitian memliki mutu yang baik karena memenuhi nilai standar mutu
yang dipersyaratkan dalam IPPA (2003).
Tabel 4.6. Perbandingan sifat fisikokimia pektin hasil penelitian terhadap pektin komersial
Parameter
Nilai
Standar
IPPA
(2003)
Pektin
Hasil
Penelitian
Bahan
Segar*
Pektin
Hasil
Penelitian
Bahan
Kering*
Pektin
Komersial
Cargill®**
Pektin
Komersial
Danisco®**
Kadar Air (%) < 12% 8,9053 10,1930 8,5719 8,1517
Kadar Abu (%) < 10% 0,8438 1,4910 0,7483 0,5324
Berat Ekivalen 600-800 6315,2041 5754,1506 749,9064 1624,6890
Kadar Metoksil (%)
- Pektin metoksil tinggi
- Pektin metoksil rendah
> 7,12 %
2,5 -7,12 %
3,2923 3,1507 9,5397 3,4981
Kadar
Galakturonat (%) > 65% 86,3196 84,0641 75,5893 122,7722
Derajat Esterifikasi (%)
- DE rendah
- DE tinggi
< 50%
> 50%
21,6840 21,2777 71,6512 16,1766
Viskositas larutan pektin
(cPs) - 17,83 17,00 18,50 23,50
* : Rata-rata hasil yang diperoleh dari tiap perlakuan bahan baku dari ketiga konsentrasi HCl (0,025 N; 0,05 N;
dan 0,075 N)
** : Diperoleh dari analisis pektin komersial pada laboratorium Farmasi, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan,
Universitas Islam Negeri Jakarta
57 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Limbah kulit pisang kepok dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku
dalam pembuatan pektin. Pektin hasil ekstraksi dengan variasi perlakuan
bahan baku dan konsentrasi HCl menunjukkan pemerian yang sesuai dalam
Farmakope Indonesia Edisi V (2014), yaitu serbuk berwarna putih,
kekuningan, atau kecokelatan, dan tidak berbau. Kondisi optimum hasil
ekstraksi pektin dari bahan segar dan kering dilihat dari banyaknya jumlah
pektin yang dihasilkan dan karakteristik yang sesuai dengan standar mutu
IPPA (2003), diperoleh pada konsentrasi HCl 0,075 N sebanyak
10,3610 gram dan 8,0290 gram dengan karakteristik berturut-turut yaitu
kadar air 9,3165% dan 10,3501%, kadar abu 1,3592% dan 2,4770%, berat
ekivalen 4725,7974 dan 4874,1837, kadar metoksil 3,8166% dan 3,7524%,
kadar galakturonat 101,1200% dan 99,6591%, derajat esterifikasi 21,4284%
dan 21,3770%, serta nilai viskositas 15,00 cPs dan 15,50 cPs. Bahan segar
dan kering dari kulit pisang kepok, keduanya dapat dijadikan sebagai
sumber bahan baku untuk mengekstraksi pektin di mana penggunaannya
disesuaikan dengan kebutuhan, tentunya dengan mempertimbangkan
kelebihan dan kekurangannya masing-masing.
5.2 Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang aplikasi pektin yang
dihasilkan, baik dari segi teknologi sediaan farmasi maupun farmakologinya
secara in vitro dan in vivo.
58
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR PUSTAKA
Akhmalludin dan Arie Kurniawan. 2009. Pembuatan Pektin dari Kulit Cokelat
dengan Cara Ekstraksi. Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro,
Semarang.
Apriadji, W. Harry. 2007. Good Mood Food. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Azad, A. K. M., M. A. Ali, Mst. Sorifa Akter, Md. Jiaur Rahman, dan Maruf
Ahmed. 2014. Isolation and Characterization of Pectin Extracted from
Lemon Pomace During Ripening. Journal of Food and Nutrition Sciences,
2 (2) : 30 - 35.
Badan Pusat statistik. 2012. Data Ekspor-Impor. Jakarta. http://bps.go.id/exim-
frame.php?kat=2 (diakses tanggal 2 Desember 2014 pukul 22.34 WIB).
Badan Pusat statistik. 2014. Produksi Tanaman Pisang Seluruh Provinsi
Indonesia. Jakarta. http://www.bps.go.id/menutab.php?kat=3&tabel=1&id_
subyek=55 (diakses tanggal 6 Februari 2015 pukul 02.55 WIB).
Baker, Robert A. 1997. Reassessment of Some Fruit and Vegetable Pectin Levels.
Journal of Food Science, Vol. 62, No. 2 : 225 – 229.
Bansal, Jharna, Rishabha Malviya, Tanya Malaviya, Vinit Bhardwaj, dan
Pramod Kumar Sharma. 2014. Evaluation of Banana Peel Pectin as
Excipient in Solid Oral Dosage Form. Global Journal of Pharmacology,
8 (2) : 275 - 278. ISSN 1992-0075.
Budiyanto, Agus dan Yulianingsih. 2008. Pengaruh Suhu dan Waktu Ekstraksi
terhadap Karakter Pektin dari Ampas Jeruk Siam (Citrus nobilis L.).
Jurnal Pascapanen, 5 (2) : 37 - 44.
Cahyono, Bambang. 2009. Pisang Usaha Tani dan Penanganan Pascapanen
Revisi Kedua. Yogyakarta : Kanisius. ISBN : 978-979-21-2037-0.
Chang, K. C. dan Miyamoto A. 1992. Gelling Characteristics of Pectin from
Sunflower Head Residues. Journal of Food Science, Vol. 57, No. 6.
Committee on Food Chemicals Codex. 2004. Food Chemicals Codex : Food and
Nutrition Board, 5th Edition. Washington, D. C. : The National Academies
Press.
Constenla, D. dan J. E. Lozano. 2003. Kinetic Model of Pectin Demethylation.
Latin American Applied Research, 33 : 91 - 96.
59
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Departemen Kesehatan RI. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan
Obat. Jakarta : Departemen Kesehatan. Hal 14 - 17.
Dinu, D. 2001. Extraction and Characterization of Pectins from Wheat Bran.
Roumanian Biotechnology Letter, 6 : 37-43.
Dwidjoseputro. 1983. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. Jakarta : Gramedia.
Ekasari, Kartika. 2013. Desorpsi Logam Pb dari Kerang Darah (Anadara
granosa) menggunakan Ekstrak Air dan Pektin Kulit Pisang Kepok (Musa
paradisiaca). Skripsi. Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Fennema, Owen R.1996. Food Chemistry, 3th Edition. New York : Marcel
Dekker, Inc.
Fitria, Vita. 2013. Karakterisasi Pektin Hasil Ekstraksi dari Limbah Kulit Pisang
Kepok (Musa balbisiana ABB). Skripsi. Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Fitriani, Vina. 2003. Ekstraksi dan Karakterisasi Pektin dari Kulit Jeruk Lemon
(Citrus medica var Lemon). Skripsi. Departemen Teknologi Industri
Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Glicksman. 1969. Gum Technology in The Food Industry : Food Science and
Technological Monograph. New York : Academic Press.
Gnanasambandam, R., dan A. Proctor. 1999. Determination of Pectin Degree of
Esterification by Diffuse Reflectance Fourier Transform Infrared
Spectroscopy. Journal Food Chemistry, 68 : 327 - 332. ISSN 0308-8146.
Gopi, D., K. Kanimozhi, N. Bhuvaneshwari, J. Indira, dan L. Kavitha. 2014.
Novel Banana Peel Pectin Mediated Green Route for The Synthesis of
Hydroxyapatite Nanoparticles and Their Spectral Characterization.
Spectrochimica Acta Part A : Molecular and Biomolecular Spectroscopy,
118 (2014) 589 - 597. ISSN 1386-1425.
Goycoolea, F. M. dan Adriana Cardenas. 2003. Pectin from Opuntia Spp. :
A Short Review. J. PACD, pp. 17 - 29.
Guichard, E., S. Issanchou, A. Descourvieres, dan P. Etievant. 1991. Pectin
Concentration, Molecular Weight, and Degree of Esterification : Influence
on Volatile Composition and Sensory Characteristics of Strawberry Jam.
Journal of Food Science, Vol. 56, No. 6 : 1621 - 1627.
60
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Hanum, Farida, Martha Angelina Tarigan, dan Irza Menka Deviliany Kaban.
2012. Ekstraksi Pektin dari Kulit Buah Pisang Raja (Musa sapientum).
Jurnal Teknik Kimia, Universitas Sumatera Utara, Vol. 1, No. 2 : 21 - 26.
Hanum, Farida, Martha Angelina Tarigan, dan Irza Menka Deviliany Kaban.
2012. Ekstraksi Pektin dari Kulit Buah Pisang Kepok (Musa paradisiaca).
Jurnal Teknik Kimia, Universitas Sumatera Utara, Vol. 1, No. 2 : 49 - 53.
Hariyati, Mauliyah Nur. 2006. Ekstraksi dan Karakterisasi Pektin dari Limbah
Proses Pengolahan Jeruk Pontianak (Citrus nobilis var microcarpa).
Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Hasbullah. 2001. Teknologi Tepat Guna Agroindustri Kecil Sumatera Barat -
Pektin Jeruk. Jakarta : Dewan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Industri
Sumatera Barat.
Herbarium Bandungense Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati. 2015. Klasifikasi
Tumbuhan Musa balbisiana. Bandung : Institut Teknologi Bandung.
http://www.sith.itb.ac.id/herbarium/index.php?c=herbs&view=detail&spid=
198162 (diakses tanggal 9 Juni 2015 pukul 02.13 WIB).
Herbstreith, K., dan G. Fox. 2005. Pectin. http://www.herbstreithfox.de/pektin/
forschung und entwicklung/forschung_entwicklung04a.htm (diakses tanggal
6 Desember 2014 pukul 21.30 WIB).
Hoejgaard, S. 2004. Pectin Chemistry, Functionality, and Applications.
Hui, Y. H. 2006. Handbook of Food Science, Technology, and Engineering.
New York : CRC Press. ISBN 978-1-57444-551-0. Vol. 1 : 1 - 20.
Hwang, Jae-Kwan, Kim Chul-Jin, dan Kim Chong-Tai. 1998. Extrusion of Apple
Pomace Facilitates Pectin Extraction. Journal of Food Science, Vol. 63,
No. 5 : 841-844.
Ide, Pangkalan. 2009. Health Secret of Dragon Fruit : Menguak Keajaiban si
Kaktus Eksotis dalam Penyembuhan Penyakit. Jakarta : Anggota IKAPI
PT. Elex Media Komputindo. Hal. 59.
IPPA (International Pectins Producers Association). 2003. What is Pectin.
http://www.ippa.info/history_of_pectin.htm (diakses tanggal 6 Desember
2014 pukul 19.27 WIB).
Ismail, Norazelina Sah Mohd., Nazaruddin Ramli, Norziah Mohd. Hani, dan
Zainudin Meon. 2012. Extraction and Characterization of Pectin from
Dragon Fruit (Hylocereus polyrhizus) using Various Extraction Condition.
Sains Malaysiana, 41 (1) (2012) : 41 - 45.
61
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Kalapathy, U. dan A. Proctor. 2001. Effect of Acid Extraction and Alcohol
Precipitation Conditions on The Yield and Purity of Soy Hull Pectin.
Journal Food Chemistry, 73 : 393 – 396.
Kementerian Kesehatan RI. 2014. Farmakope Indonesia Edisi V. Jakarta :
Kementerian Kesehatan RI. ISBN 978-602-235-463-5. Hal 990 - 991.
Kertesz, Z. I. 1951. The Pectin Substances. New York : Interscience
Pub. Inc. Journal of Food Science, Vol. 62 No. 2.
Klavons, Jerome A., Raymond D. Bennett, dan Sadie H. Vannier. 1994.
Physical/Chemical Nature of Pectin Associated with Commercial Orange
Juice Cloud. Journal of Food Science, Vol. 59, No. 2 : 399 - 401.
Koh, P. C., C. M. Leong, dan M. A. Noranizan. 2014. Microwave-Assisted
Extraction of Pectin from Jackfruit Rinds Using Different Power Levels.
International Food Research Journal, 21 (5) : 2091-2097. ISSN 2091-2097.
Koubala, B. B., L. I. Mbome, G. Kansci, F. Tchouanguep Mbiapo, M. J. Crepeau,
J. F. Thibault, dan M. C. Ralet. Physicochemical Properties of Pectins from
Ambarella Peels (Spondias cytherea) Obtained Using Different Extraction
Conditions. Journal Food Chemistry, 106 : 1202 -1207. ISSN 0308-8146.
Madhav, Apsara dan P. B. Pushpalatha. 2002. Characterization of Pectin
Extracted from Different Fruit Wastes. Journal of Tropical Agriculture,
40 (2002) : 53 - 55.
Malviya, R., Pranati Srivastava, dan G.T. Kulkarni, 2011. Application of
Mucilages in Drug Delivery – A Review. Advances in Biological Research,
5 (1) : 01 - 07. ISSN 1992-0067.
Maulidiyah, Halimatussadiyah, Fitri Susanti, Muhammad Nurdin, dan
Ansharullah. 2014. Isolasi Pektin dari Kulit Buah Kakao (Theobroma
cacao L.) dan Uji Daya Serapnya terhadap Logam Tembaga (Cu) dan
Logam Seng (Zn). Jurnal Agroteknos, Vol. 4, No. 2 : 112 - 118.
ISSN 2087-7706.
May, Colin D. 1990. Industrial Pectins : Sources, Production, and Applications.
Carbohydrate Polymer, 12 : 79-84. ISSN 0144-8617.
Meilina, Hesti dan Illah Sailah. 2003. Produksi Pektin dari Kulit Jeruk Lemon
(Citrus medica). Prosiding Simposium Nasional Polimer V : 117 - 126.
ISSN 1410-8720.
Meyer, L. H. 1978. Food Chemistry. The AVI Publishing Company Inc,
Westport, Connecticut.
62
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Mohapatra, D., Mishra, S., Sutar, N. 2010. Banana and Its By-Product Utilisation:
An Overview. Journal of Scientific and Industrial Research, Vol. 69, pp.
323-329.
Muhidin, Dudung. 2001. Papain dan Pektin. Jakarta : Penerbit Swadaya.
Nainggolan, Rona Joharni. 1994. Pengaruh pH dan Lama Ekstraksi terhadap
Rendemen dan Mutu Pektin dari Kulit Pisang. Universitas Sumatera Utara,
Medan.
Nazaruddin, R., A. A. Noor Baiti, S. C. Foo, Y. N. Tan, dan M. K. Ayob. 2013.
Comparative Chemical Characteristics of Hydrochloric Acid and
Ammonium Oxalate Extracted Pectin from Roselle (Hibiscus sabdariffa L.)
Calyces. International Food Research Journal, 20 (1) : 281 - 284.
Nelson, D. B., dan R. L. Wiles. 1977. Commercially Important Pectic Substances.
Di dalam H. D. Graham (ed.) Food Colloids. The AVI Publishing Company
Inc, Westport, Connecticut.
Nurviani, Syaiful Bahri, dan Ni Ketut Sumarni. 2014. Ekstraksi dan Karakterisasi
Pektin Kulit Buah Pepaya (Carica papaya L.) Varietas Cibinong, Jinggo,
dan Semangka. Online Journal of Natural Science, Vol. 3 (3) : 322-330.
ISSN 2338-0950.
OECD. 2010. Safety Assessment of Transgenic Organisms. OECD Consensus
Documents, Vol. 4. Spanyol : OECD Publishing.
Owens, H. S., R. M. McCready, A. D. Shepard, T. H. Schultz, E. L. Pippen, H. A.
Swenson, J. C. Miers, R. F. Erlandsen, dan W. D. Maclay. 1952. Methods
Used at Western Regional Research Laboratory for Extraction of Pectic
Materials. Washington DC : USDA Bureau of Agricultural and Industrial
Chemistry. pp 9.
Pagán, J., A. Ibarz, M. Llorca, A. Págan, G. V. Barbosa-Cánovas.
Extraction and Characterization of Pectin from Stored Peach Pomace.
Food Research International, 34 : 605-612. ISSN 0963-9969.
Pardede, A., Devi R., Agus MHP. 2013. Ekstraksi dan Karakterisasi Pektin dari
Kulit Kemiri (Alleurites mollucana Willd). Media Sains, Vol. 5, No. 1 :
66 – 71. ISSN 2085-3548.
Perina, I., Satiruiani, Felycia Adi Soetaredjo, Herman Hindarso. 2007. Ekstraksi
Pektin dari Berbagai Macam Kulit Jeruk. Widya Teknik, Vol. 6, No. 1 :
1 - 10.
63
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Prasetyowati, Karina Permata Sari, dan Healty Pesantri. 2009. Ekstraksi Pektin
dari Kulit Mangga. Jurnal Teknik Kimia, No. 4, Vol. 16 : 42 - 49.
Universitas Sriwijaya, Sumatera Selatan.
Ranganna, S. 1977. Manual of Analysis of Fruit and Vegetable Product.
New Delhi : McGraw Hill.
Rasyid, H. A. 1986. Ekstraksi Pektin dari Pulp Kopi. Skripsi. Fakultas Teknologi
Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Rofikah, Winarni Pratjojo, dan Woro Sumarni. 2014. Pemanfaatan Pektin Kulit
Pisang Kepok (Musa paradisiaca Linn.) untuk Pembuatan Edible Film.
Indonesian Journal of Chemical Science, 3 (1) : 17 - 21. ISSSN 2252-6951.
Rolin, Claus. 1993. Pectin. in Industrial Gums : Polysaccharides and Their
Derivatives, 3th Edition (Roy L. Whistler and James N. BeMiller).
New York : Academic Press.
Rouse, A. H. 1977. Pectin : Distribution, Significance. Di dalam Nagy, S., P. E.
Shaw dan M.K. Veldhuis (eds). Citrus Science and Technology Volume 1.
The AVI Publishing Company Inc, Westport, Connecticut.
Rouse, A. H. dan P. G. Crandal. 1978. Pectin Content of Lime and Lemon Peel as
Extracted by Nitric Acid. Journal of Food Science, Vol. 43 : 72 - 73.
Rowe, Raymond C., Paul J. Sheskey, dan Marian E. Quinn. 2009. Handbook of
Pharmaceutical Excipients, 6th Edition. London : Pharmaceutical Press.
Sambeganarko, Anggun. 2008. Pengaruh Aplikasi KMnO4, Ethylene Block,
Larutan CaCl2, dan CaO terhadap Kualitas dan Umur Simpan Pisang
(Musa paradisiaca L.) Varietas Raja Bulu. Skripsi. Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Satria H., Berry dan Yusuf Ahda. 2009. Pengolahan Limbah Kulit Pisang menjadi
Pektin dengan Metode Ekstraksi. Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro,
Semarang.
Smit, Christian J. B. dan Edwin F. Bryant. 1967. Properties of Pectin Fractions
Separated on Diethylaminoethyl-cellulose Columns. Journal of Food
Science, Vol. 32 : 197 - 199.
Sofia, Irwan. 2008. Produksi Pektinase dari Kulit Pisang dengan Jamur
Aspergillus niger. Tesis. Jurusan Teknik Kimia, Institut Teknologi
Bandung, Bandung.
64
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Sofiana, H., Khrista Triaswuri, dan Setia Budi Sasongko. 2012. Pengambilan
Pektin dari Kulit Pepaya dengan Cara Ekstraksi. Jurnal Teknologi Kimia
dan Industri, Vol. 1, No. 1 : 482 - 486.
Sriamornsak, Pornsark. 2003. Chemistry of Pectin and Its Pharmaceutical Uses :
A Review. International Journal, Vol. 3, 206 - 228. Silpakorn University.
Srivastava, Pranati dan Malviya, Rishabha. 2011. Sources of Pectin, Extraction,
and Its Applications in Pharmaceutical Industry - An Overview. Indian
Journal of Natural Products and Resources, Vol. 2 (1) : 10 - 18.
Standar Nasional Indonesia (SNI). 01-2891-1992. Cara Uji Makanan dan
Minuman. Badan Standarisasi Nasional.
Sundar Raj, A. A., S. Rubila, R. Jayabalan, dan T. V. Ranganathan. 2012. A
Review on Pectin : Chemistry due to General Properties of Pectin and Its
Pharmaceutical Uses. Department of Food Processing and Engineering,
Karunya University, India. Vol. 1, Issue 12 : 1 - 4.
Suseno, Jatmiko E. dan K. Sofjan Firdausi. 2008. Rancang Bangun Spektroskopi
FTIR (Fourier Transform Infrared) untuk Penentuan Kualitas Susu Sapi.
Berkala Fisika, Vol. 11, No. 1 : 23 - 28. ISSN : 1410-9662.
Susilowati, Siswanto Munandar, Luluk Edahwati, dan Tutuk Harsini. 2013.
Ekstraksi Pektin dari Kulit Buah Coklat dengan Pelarut Asam Sitrat.
Fakultas Teknologi Industri, UPN, Jawa Timur. Vol 11, No. 1 : 27 - 30.
Suyanti dan Ahmad Supriyadi. 2008. Pisang, Budidaya, Pengolahan, dan
Prospek Pasar. Jakarta : Penebar Swadaya.
Tjitrosoepomo, G. 1994. Taksonomi Tumbuhan Obat-obatan. Yogyakarta :
Universitas Gadjah Mada.
Towle, Gordon A. dan O. Christensen. 1973. Pectin. Industrial Gums :
Polysaccharides and Their Derivatives, 2th Edition (Roy L. Whistler and
James N. BeMiller, eds.). New York : Academic Press.
Utami, Rizki. 2014. Ekstraksi Pektin dari Kulit Kakao dengan Pelarut Ammonium
Oksalat. Skripsi. Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.
Verheij, E. W. M. dan R. E. Coronel. 1991. Plant Resources of South-East Asia
No. 2. Edible Fruits and Nuts. Pudoc Wageningen. ISBN 90-220-0986-6.
Watson, David G. 2009. Analisis Farmasi : Buku Ajar untuk Mahasiswa Farmasi
dan Praktisi Kimia Farmasi, Edisi 2. Jakarta : EGC Penerbit Buku
Kedokteran.
65
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Whistler, R. L., dan J. R. Daniel.1985. Industrial Gums : Polysaccharides and
Their Derivatives, 2th Edition. New York : Academic Press.
Willats, W. G. T., Paul Knox, dan Jorn D. M. 2006. Pectin : New Insights Into An
Old Polymer Are Starting To Gel. Trends in Food Science and Technology,
17 : 97 - 104.
Winarno, F.G. dan M. Aman. 2002. Fisiologi Lepas Panen Produk Hortikultura.
Jakarta : Sastra Hudaya.
66
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 1. Hasil Determinasi Tanaman
67
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 2. Hasil Pemeriksaan Kadar Air Serbuk Kulit Pisang Kepok
(Musa balbisiana BBB)
68
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 3. Alur Kerja Penelitian
Penyaringan filtrat
Pengendapan pektin
Penyaringan endapan pektin
Pencucian endapan pektin
Pengeringan pektin
Penghalusan pektin
Serbuk pektin
Perbandingan
Spektrum FTIR
Identifikasi Karakterisasi
Limbah kulit pisang kepok kuning
(Musa balbisiana BBB)
Kulit pisang kepok kuning
(Musa balbisiana BBB)
Persiapan bahan baku
Ekstraksi pektin
pada suhu 900C selama 80 menit
Determinasi Tanaman
Penentuan bahan baku
Bahan segar dan kering
Variasi perlakuan bahan baku dan
konsentrasi pelarut HCl
Residu
Penambahan aseton
1,5 kali volume filrat
Menggunakan etanol 96% secara
berulang kali hingga bebas residu
aseton, asam, dan klorida
Dalam oven, suhu
400C selama + 8 jam
69
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 4. Diagram Alir Persiapan Bahan Baku Segar
Limbah kulit pisang kepok kuning
(Musa balbisiana BBB)
Kulit pisang kepok kuning
(Musa balbisiana BBB)
Sortasi basah
Pencucian
Perajangan
Penghancuran
(menggunakan blender) dengan
aquadest (2 : 1)
Bahan baku segar
70
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 5. Diagram Alir Persiapan Bahan Baku Kering
Limbah kulit pisang kepok kuning
(Musa balbisiana BBB)
Kulit pisang kepok kuning
(Musa balbisiana BBB)
Sortasi basah
Pencucian
Perajangan
Bahan baku kering
Dikering-anginkan selama
satu malam
Dikeringkan menggunakan
blower pada suhu 500C selama
5 hari
Penghancuran
(menggunakan grinder)
Pengayakan
(menggunakan mesh 100)
71
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 6. Jumlah Pektin Hasil Ekstraksi
Kondisi ekstraksi Bobot bahan baku
(gram)
Bobot pektin hasil ekstraksi
(gram)
Bahan segar; HCl 0,025 N 300,2450 8,7640
Bahan segar; HCl 0,05 N 300,1570 9,4380
Bahan segar; HCl 0,075 N 300,1690 10,3610
Bahan kering; HCl 0,025 N 42,2390 6,5170
Bahan kering; HCl 0,05 N 42,1360 7,6530
Bahan kering; HCl 0,075 N 42,1430 8,0290
Lampiran 7. Kadar Air Pektin
Kondisi
ekstraksi Ket.
Ulangan Kadar air (%)
I II I II Rerata SD
Pektin Cargill®
W 0,3003 0,3005
8,5581 8,5857 8,5719 0,0195 Wa 19,3981 19,3983
Wb 19,3724 19,3725
Pektin Danisco®
W 0,3004 0,3004
8,1477 8,1558 8,1517 0,0058 Wa 22,4558 22,4555
Wb 22,4313 22,4310
Bahan segar;
HCl 0,025 N
W 0,3002 0,3006
8,1612 8,3167 8,2390 0,1099 Wa 29,9132 29,9136
Wb 29,8887 29,8886
Bahan segar;
HCl 0,05 N
W 0,3013 0,3035
9,2931 9,0280 9,1605 0,1874 Wa 24,4579 24,4601
Wb 24,4299 24,4327
Bahan segar;
HCl 0,075 N
W 0,3016 0,3038
9,4164 9,2166 9,3165 0,1413 Wa 22,7199 22,7221
Wb 22,6915 22,6941
Bahan kering;
HCl 0,025 N
W 0,3023 0,3036
9,8247 10,2437 10,0342 0,2963 Wa 22,4574 22,4587
Wb 22,4277 22,4276
72
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Bahan kering;
HCl 0,05 N
W 0,3042 0,3090
10,4865 9,9029 10,1947 0,4127 Wa 19,4020 19,4068
Wb 19,3701 19,3762
Bahan kering;
HCl 0,075 N
W 0,3060 0,3036
10,5882 10,1120 10,3501 0,3368 Wa 23,4553 23,4529
Wb 23,4229 23,4222
*Syarat kadar air pektin berdasarkan IPPA (2003), yaitu < 12%
Keterangan :
W = Bobot pektin awal (gram)
Wa = Bobot wadah + pektin sebelum pemanasan (gram)
Wb = Bobot wadah + pektin setelah pemanasan (gram)
Lampiran 8. Kadar Abu Pektin
Kondisi
ekstraksi Ket.
Ulangan Kadar abu (%)
I II I II Rerata SD
Pektin Cargill®
W 0,3009 0,3005
0,7311 0,7654 0,7483 0,0242 W1 24,7945 25,6532
W2 24,7923 25,6509
Pektin Danisco®
W 0,30032 0,3008
0,5328 0,5319 0,5324 0,0006 W1 53,1278 49,5814
W2 53,1262 49,5798
Bahan segar;
HCl 0,025 N
W 0,3006 0,3010
0,4325 0,4983 0,4654 0,0466 W1 53,0672 49,9306
W2 53,0659 49,9291
Bahan segar;
HCl 0,05 N
W 0,3025 0,3057
0,6942 0,7197 0,7069 0,0180 W1 24,7681 25,2235
W2 24,7660 25,2213
Bahan segar;
HCl 0,075 N
W 0,3063 0,3046
1,1753 1,5430 1,3592 0,2600 W1 24,7695 25,2256
W2 24,7659 25,2209
Bahan kering;
HCl 0,025 N
W 0,3074 0,3021
0,8133 0,7282 0,7708 0,0601 W1 24,7687 25,2249
W2
24,7662
25,2227
73
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Bahan kering;
HCl 0,05 N
W 0,3018 0,3022
1,2591 1,1913 1,2252 0,0480 W1 53,0695 49,9329
W2 53,0657 49,9293
Bahan kering;
HCl 0,075 N
W 0,3008 0,3044
2,2274 2,7267 2,4770 0,3530 W1 53,0712 49,9368
W2 53,0645 49,9285
*Syarat kadar abu pektin berdasarkan IPPA (2003), yaitu < 10%
Keterangan :
W = Bobot pektin awal (gram)
W1 = Bobot wadah + sampel setelah pemanasan (gram)
W2 = Bobot wadah kosong (gram)
Lampiran 9. Pembakuan Larutan Titran NaOH 0,1027 N
Perhitungan pembakuan larutan titran NaOH 0,1027 N menggunakan larutan baku
standar asam oksalat 0,1 N
Normalitas larutan asam oksalat (C2H2O4.2H2O) = 0,1 N
Volume larutan asam oksalat = 25 mL
Volume larutan NaOH yang terpakai :
V1 : 24 mL
V2 : 23 mL Rerata : 24,3333 mL
V3 : 25 mL
Sehingga,
74
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 10. Berat Ekivalen Pektin
Kondisi
ekstraksi
Bobot Pektin (mg) Volume NaOH (mL) Berat Ekivalen
I II III Rerata I II III Rerata I II III Rerata
Pektin Cargill® 500,6 500,5 500,7 500,6 6,5 6,5 6,5 6,5 749,9064 749,7566 750,0562 749,9064
Pektin Danisco® 500,4 500,7 500,6 500,6 3,0 3,0 3,0 4,0 1624,1480 1625,1217 1624,7971 1624,6890
Bahan segar;
HCl 0,025 N 500,1 500,5 500,3 500,3 0,6 0,6 0,6 0,6 8115,8715 8122,3629 8119,1172 8119,1172
Bahan segar;
HCl 0,05 N 501,2 501,5 501,0 501,2 0,8 0,8 0,8 0,8 6100,2921 6103,9435 6097,8578 6100,6978
Bahan segar;
HCl 0,075 N 500,7 500,5 500,3 500,5 1,0 1,0 1,1 1,0333 4875,3651 4873,4177 4428,6094 4725,7974
Bahan kering;
HCl 0,025 N 501,7 501,1 501,3 501,4 0,7 0,7 0,7 0,3333 6978,7175 6970,3714 6973,1534 6974,0808
Bahan kering;
HCl 0,05 N 500,6 500,2 500,5 500,4 0,9 0,9 0,9 0,7 5415,9905 5411,6629 5414,9086 5414,1873
Bahan kering;
HCl 0,075 N 500,4 500,7 500,6 500,6 1,0 1,0 1,0 1,0 4872,7945 4875,3651 4874,3914 4874,1837
Keterangan :
75
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 11. Kadar Metoksil Pektin
Kondisi
ekstraksi
Bobot Pektin (mg) Volume NaOH (mL) Kadar Metoksil (%)
I II III Rerata I II III Rerata I II III Rerata SD
Pektin Cargill® 500,6 500,5 500,7 500,6 15,0 15,0 15,0 15,0 9,5397 9,5416 9,5377 9,5397 0,0019
Pektin Danisco® 500,4 500,7 500,6 500,6 5,5 5,5 5,5 5,5 3,4993 3,4972 3,4979 3,4981 0,0011
Bahan segar;
HCl 0,025 N 500,1 500,5 500,3 500,3 4,3 4,3 4,3 4,3 2,7374 2,7352 2,7363 2,7363 0,0011
Bahan segar;
HCl 0,05 N 501,2 501,5 501,0 501,2 5,2 5,3 5,2 5,2333 3,3031 3,3646 3,3044 3,3241 0,0351
Bahan segar;
HCl 0,075 N 500,7 500,5 500,3 500,5 6,0 6,0 6,0 6,0 3,8151 3,8166 3,8181 3,8166 0,0015
Bahan kering;
HCl 0,025 N 501,7 501,1 501,3 501,4 4,1 4,2 4,2 4,1667 2,6018 2,6684 2,6674 2,6459 0,0382
Bahan kering;
HCl 0,05 N 500,6 500,2 500,5 500,4 4,8 4,8 4,8 4,8 3,0527 3,0551 3,0533 3,0537 0,0013
Bahan kering;
HCl 0,075 N 500,4 500,7 500,6 500,6 5,9 5,9 5,9 5,9 3,7535 3,7515 3,7523 3,7524 0,0010
*Syarat kadar metoksil pektin berdasarkan IPPA (2003), yaitu : 2,5 – 7,12% untuk pektin bermetoksil rendah
> 7,12% untuk pektin bermetoksil tinggi
Keterangan :
76
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 12. Kadar Galakturonat Pektin
Kondisi
ekstraksi
mEk NaOH untuk asam bebas
pada penentuan Berat Ekivalen
mEk NaOH
pada penentuan kadar metoksil Kadar Asam Galakturonat (%)
I II III Rerata I II III Rerata I II III Rerata SD
Pektin Cargill® 0,6676 0,6676 0,6676 0,6676 1,5405 1,5405 1,5405 1,5405 75,5893 75,6044 75,5742 75,5893 0,0151
Pektin Danisco® 1,2324 1,2324 1,2324 1,2324 2,2594 2,2594 2,2594 2,2594 122,8131 122,7395 122,7640 122,7722 0,0375
Bahan segar;
HCl 0,025 N 0,2465 0,2465 0,2645 0,2645 1,7664 1,7664 1,7664 1,7664 70,8399 70,7833 70,8116 70,8116 0,0283
Bahan segar;
HCl 0,05 N 0,3286 0,3286 0,3286 0,3286 2,1362 2,1772 2,1362 2,1499 86,5532 87,9403 86,5878 87,0271 0,7911
Bahan segar;
HCl 0,075 N 0,4108 0,4108 0,4519 0,4245 2,4648 2,4648 2,4648 2,4648 101,0796 101,1200 101,1604 101,1200 0,0404
Bahan kering;
HCl 0,025 N 0,2876 0,2876 0,2876 0,2876 1,6843 1,7254 1,7254 1,7117 69,1757 70,7021 70,6738 70,1839 0,8732
Bahan kering;
HCl 0,05 N 0,3697 0,3697 0,3697 0,3697 1,9718 1,9718 1,9718 1,9718 82,3220 82,3878 82,3385 82,3494 0,0343
Bahan kering;
HCl 0,075 N 0,4108 0,4108 0,4108 0,4108 2,4237 2,4237 2,4237 2,4237 99,6875 99,6349 99,6548 99,6591 0,0265
*Syarat kadar galakturonat pektin berdasarkan IPPA (2003), yaitu > 65%
Keterangan :
* = Diperoleh dari mEk NaOH untuk asam bebas pada penentuan BE
** = Diperoleh dari mEk NaOH pada penentuan metoksil
Nilai 176 diperoleh dari berat ekivalen terendah asam pektat.
77
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 13. Derajat Esterifikasi Pektin
Kondisi ekstraksi Derajat Esterifikasi (%)
I II III Rerata SD
Pektin Cargill® 71,6512 71,6512 71,6512 71,6512 0,0000
Pektin Danisco® 16,1766 16,1766 16,1766 16,1766 0,0000
Bahan segar; HCl 0,025 N 21,9387 21,9386 21,9387 21,9387 0,0001
Bahan segar; HCl 0,05 N 21,6665 21,7218 21,6664 21,6849 0,0320
Bahan segar; HCl 0,075 N 21,4286 21,4284 21,4283 21,4284 0,0001
Bahan kering; HCl 0,025 N 21,3536 21,4274 21,4280 21,4030 0,0428
Bahan kering; HCl 0,05 N 21,0533 21,0530 21,0532 21,0531 0,0001
Bahan kering; HCl 0,075 N 21,3770 21,3769 21,3772 21,3770 0,0001
*Syarat derajat esterifikasi pektin berdasarkan IPPA (2003), yaitu :
< 50% untuk pektin berester rendah
> 50% untuk pektin berester tinggi
Keterangan :
Lampiran 14. Viskositas Larutan Pektin
Kondisi ekstraksi Viskositas (cPs)
I II Rerata
Pektin Cargill® 18,00 19,00 18,50
Pektin Danisco® 24,00 23,00 23,50
Bahan segar; HCl 0,025 N 20,00 20,00 20,00
Bahan segar; HCl 0,05 N 18,00 19,00 18,50
Bahan segar; HCl 0,075 N 15,00 15,00 15,00
Bahan kering; HCl 0,025 N 20,00 19,00 19,50
Bahan kering; HCl 0,05 N 16,00 16,00 16,00
Bahan kering; HCl 0,075 N 15,00 16,00 15,50
78
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 15. Contoh Perhitungan Kadar Air Pektin Hasil Ekstraksi
Pektin hasil ekstraksi bahan segar pada konsentrasi HCl 0,025 N
Diketahui : W = 0,3002 gram
Wa = 29,9132 gram
Wb = 29,8887 gram
Ditanya : Kadar air pektin = ?
Jawab :
Lampiran 16. Contoh Perhitungan Kadar Abu Pektin Hasil Ekstraksi
Pektin hasil ekstraksi bahan segar pada konsentrasi HCl 0,025 N
Diketahui : W = 0,3002 gram
Wa = 29,9132 gram
Wb = 29,8887 gram
Ditanya : Kadar abu pektin = ?
Jawab :
Lampiran 17. Contoh Perhitungan Berat Ekivalen Pektin Hasil Ekstraksi
Pektin hasil ekstraksi bahan segar pada konsentrasi HCl 0,025 N
Diketahui : Bobot pektin = 500,1 mg
V NaOH = 0,6 mL
N NaOH = 0,1027 N
Ditanya : Berat ekivalen pektin = ?
79
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Jawab :
Lampiran 18. Contoh Perhitungan Kadar Metoksil Pektin Hasil Ekstraksi
Pektin hasil ekstraksi bahan segar pada konsentrasi HCl 0,025 N
Diketahui : Bobot pektin = 500,1 mg
V NaOH = 4,3 mL
N NaOH = 0,1027 N
Ditanya : Kadar metoksil pektin = ?
Jawab :
Lampiran 19. Contoh Perhitungan mEk
Pektin hasil ekstraksi bahan segar pada konsentrasi HCl 0,025 N
1. Perhitungan mEk NaOH untuk asam bebas pada penentuan berat ekivalen
V NaOH yang terpakai pada titrasi = 0,6 mL
N NaOH = 0,1027 N
a. Bobot NaOH (mg) yang terpakai
gram = 2,4648 mg
b. Perhitungan berat ion
Na+ =
80
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
= 1,4173
O2- =
= 0,9860
H+ =
= 0,0616
c. Perhitungan mEk
Na+ =
= 0,0616
O2- =
= 0,1233
H+ =
= 0,0616
mEk NaOH = mEk Na+ + mEk O2- + mEk H+
= 0,0616 + 0,1233 + 0,0616
= 0,2465
2. Perhitungan mEk NaOH pada penentuan kadar metoksil
V NaOH yang terpakai pada titrasi = 4,3 mL
N NaOH = 0,1027 N
a. Bobot NaOH (mg) yang terpakai
gram = 17,6644 mg
b. Perhitungan berat ion
Na+ =
= 10,1570
O2- =
= 7,0658
81
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 20. Contoh Perhitungan Kadar Galakturonat Pektin Hasil Ekstraksi
Pektin hasil ekstraksi bahan segar pada konsentrasi HCl 0,025 N
Diketahui : Bobot pektin = 500,1 mg
mEk NaOH dari BE = 0,2465 mEk
mEk NaOH dari metoksil = 1,7664 mEk
Ditanya : Kadar metoksil pektin = ?
Jawab :
H+ =
= 0,4416
c. Perhitungan mEk
Na+ =
= 0,4416
O2- =
= 0,8832
H+ =
= 0,4416
mEk NaOH = mEk Na+ + mEk O2- + mEk H+
= 0,4416 + 0,8832 + 0,4416
= 1,7664
82
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 21. Contoh Perhitungan Derajat Esterifikasi Pektin Hasil Ekstraksi
Pektin hasil ekstraksi bahan segar pada konsentrasi HCl 0,025 N
Diketahui : % metoksil = 2,7374%
% galakturonat = 70,8399%
Ditanya : Derajat esterifikasi pektin = ?
Jawab :
83
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 22. Hasil Spektrum FTIR Pektin Komersial dan Hasil Ekstraksi
1. Spektrum FTIR Pektin Komersial (Cargill®)
500750100012501500175020002500300035004000
1/cm
37.5
45
52.5
60
67.5
75
82.5
%T
33
40
.85
29
36
.75
17
39
.87 16
16
.42
14
33
.17
13
65
.66
13
29
.01
12
32
.57
11
43
.84
11
01
.40
10
16
.53
pektin (kom)
2. Spektrum FTIR Pektin Komersial (Danisco®)
500750100012501500175020002500300035004000
1/cm
60
67.5
75
82.5
90
97.5
105
%T
33
66
.89
29
39
.64
17
41
.80
16
65
.60
15
82
.66
14
41
.85
13
71
.45 1
23
6.4
2
10
10
.74
pektin-standard
84
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Spektrum FTIR Pektin Hasil Ekstraksi Bahan Segar; HCl 0,025 N
500750100012501500175020002500300035004000
1/cm
70
75
80
85
90
95
100
%T
34
50
.80
28
95
.28
17
12
.86
16
38
.60
13
59
.87
11
51
.55
10
05
.92
pektin-isolatsegarHCL0,025N(new)
4. Spektrum FTIR Pektin Hasil Ekstraksi Bahan Segar; HCl 0,05 N
500750100012501500175020002500300035004000
1/cm
60
67.5
75
82.5
90
97.5
105
%T
34
70
.09
28
94
.31
16
58
.85
14
37
.03
13
69
.52
13
29
.01
11
52
.52
10
05
.92
pektin-isolatsegarHCL0,05N
85
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
5. Spektrum FTIR Pektin Hasil Ekstraksi Bahan Segar; HCl 0,075 N
500750100012501500175020002500300035004000
1/cm
50
60
70
80
90
100
%T
34
23
.80
29
36
.75
17
40
.83
16
30
.88 1
43
7.9
9
13
69
.52
13
29
.01
12
42
.21
11
51
.55
10
09
.78
pektin-isolatsegarHCL0,075N
6. Spektrum FTIR Pektin Hasil Ekstraksi Bahan Kering; HCl 0,025 N
500750100012501500175020002500300035004000
1/cm
52.5
60
67.5
75
82.5
90
97.5
%T
34
12
.22
29
36
.75 1
74
1.8
0
16
41
.49
14
27
.39
13
38
.66
12
42
.21
11
47
.69
10
04
.96
pektin-isolatkeringHCL0,025N(new)
86
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
7. Spektrum FTIR Pektin Hasil Ekstraksi Bahan Kering; HCl 0,05 N
500750100012501500175020002500300035004000
1/cm
67.5
75
82.5
90
97.5
105
%T
34
26
.69
29
35
.78
17
36
.97
16
39
.56
14
21
.60
13
51
.19
11
46
.73
10
03
.99
pektin-isolatkeringHCl0,05N
8. Spektrum FTIR Pektin Hasil Ekstraksi Bahan Kering; HCl 0,075 N
500750100012501500175020002500300035004000
1/cm
60
67.5
75
82.5
90
97.5
105
%T
33
19
.63
29
04
.92
17
35
.04
16
47
.28
14
14
.85
13
40
.58
11
51
.55
10
04
.96
pektin-isolatkeringHCl0,075N-2
87
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 23. Sertifikat Analisis Pektin Cargill®
88
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 24. Sertifikat Analisis Pektin Danisco®
89
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 25. Dokumentasi Proses Ekstraksi Pektin
Bahan baku limbah kulit
pisang kepok
Serbuk kering kulit pisang
kepok
Ekstraksi pektin
Pengendapan pektin
Pencucian endapan pektin
Penyaringan endapan
pektin
Endapan pektin basah
Penghalusan pektin
Serbuk pektin
90
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 26. Gambar alat-alat yang digunakan dalam penelitian
Grinder
Timbangan analitik
Hot plate stirrer
Corong + labu Buchner
dan vakum
Desikator
Oven
Krus porselen
Tanur
pH meter
Buret, statif, dan klem
IRPrestige-21 Shimadzu
Viskotester HAAKE 6R