Muhammad Ais Luthfi Fisip

download Muhammad Ais Luthfi Fisip

of 72

description

Skripsi

Transcript of Muhammad Ais Luthfi Fisip

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Manusia adalah makhluk yang tidak bisa dilepaskan dari konteks politik,

    karena manusia - sebagaimana yang diungkapkan oleh Aristoteles - adalah zoon

    politicon, yakni makhluk yang berpolitik, ini terlihat ketika manusia menjalani

    kehidupannya selalu membutuhkan orang lain, dan dalam interaksi dengan orang

    lain tersebut terjadi sebuah proses atau perilaku politik dalam skala pengertian

    perilaku politik yang bersifat makro.

    Sementara perilaku politik dalam skala mikro, dalam hal ini dilihat dari

    sudut pandang ilmu politik, menurut Ramlan Surbakti pada dasarnya merupakan

    interaksi antara pemerintah dan masyarakat baik individu maupun kelompok

    dalam rangka proses pembuatan, pelaksanaan, dan penegakan keputusan politik,1

    dengan demikian, perilaku politik erat kaitannya dengan interaksi individu-

    individu maupun kelompok atau organisasi dengan pemerintah.

    Salah satu kelompok atau organisasi di Indonesia yang sejak kelahirannya

    selalu berinteraksi dengan pemerintah adalah kumpulan para ulama yang

    tergabung dalam wadah Nahdlatul Ulama (NU), organisasi ini didirikan di Jawa

    Timur pada tanggal 31 Januari 1926 M yang bertepatan dengan tanggal 16 Rajab

    1344 H.

    1 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Grasindo: 1999), cet. IV, h. 15

  • 2

    Dalam perjalanannya yang sangat panjang, NU memiliki dinamika

    multidimensi, terutama jika dikaitkan dengan negara yang terpersonifikasi

    dalam pemerintah, sehingga NU membutuhkan sebuah improvisasi dalam

    menjalani perilaku politiknya.

    Salah satu improvisasi perilaku politik NU yang sangat terkenal terjadi

    pada tahun 1980-an, pada saat itu dalam tubuh NU terjadi dinamika politik

    sebagai ekses dari perilaku politik J. Naro2 yang menekan dan meminimalisir

    peranan NU dalam tubuh PPP (Partai Persatuan Pembangunan), Andree Feillard

    menyebut keadaan ini dengan istilah de-NU-isasi,3 para tokoh NU kemudian

    mengambil sikap tegas dalam muktamar ke 27 di Situbondo dengan menyatakan

    bahwa NU kembali ke Khittah 1926,4 keluar dari Partai Persatuan Pembangunan

    2 Pada saat itu J. Naro adalah ketua umum PPP yang mempunyai kedekatan khusus

    dengan Presiden Soeharto, dan Soeharto melakukan resistensi terhadap kelompok-kelompok Islam termasuk NU. Menurut A. M Fatwa, pada tahun 1986-1985 merupakan fase marjinalisasi Islam, dalam fase ini keberadaan umat Islam sungguh sengsara. Islam dianggap sebagai kelompok pembangkang dan segala aspirasi politiknya selalu dicurigai. Bahasa yang sering digunakan oleh rezim orde baru saat itu adalah Koji (komando Jihad), golongan anti pancasila dan kelompok ekstrem kanan yang mempunyai cita-cita ingin mendirikan Negara Islam Indonesia (NII) dan semua istilah tersebut dimaksudkan untuk mendeskriditkan Islam dan dengan demikian Islam berada di tempat yang marjinal. semua terjadi dikarenakan pertama, pemerintah orde baru yang bersifat militeristik masih dibayangi oleh trauma sejarah terhadap pemberontakan yang dilakukan oleh kelompok Islam dan masih dianggap sebagai kelompok pengganggu stabilitas dan kesatuan bangsa. Kedua rezim orde baru didominasi oleh kelompok figur atau kelompok yang anti-Islam dan Islam fobia. Lihat A. M. Fatwa Satu Islam Multipartai, (Bandung: Mizan), 2000, cet. I, h. 37-38

    3 Andree Feillard, NU vis a vis Negara, penj. Lesmana, (Jogjakarta: LKiS, 1999), cet. I, h.223-224

    4 Keputusan Kembali Khittah 1926 berarti NU menyatakan kembali kepada jati dirinya sebagai organisasi sosial-keagamaan yang lebih beorientasi dan berkonsentrasi pada pembinaan ummat dari pada berkicimpung dalam dunia politik praktis. Walaupun secara kelembagaan NU tidak berpolitik praktis, namun secara individual membolehkan para kadernya untuk terlibat dalam politik praktis. Dalam proses perumusan kembali ke khittah 1926 Menurut Mitsuo Nakamura, ada dua dokumen penting yang harus dikaji secara teliti, kedua dokumen tersebut ditulis oleh KH Ahmad Siddik, yakni Khittah Nahdliyin yang diterbitkan beberapa bulan sebelum Mutamar Semarang dan kertas kerja yang berjudul pemulihan Khittah NU 1926 yang

  • 3

    (PPP) serta menerima Pancasila sebagai asas Organisasi.5 Bukan hanya itu saja,

    dalam muktamar tersebut Abdurrahman Wahid atau yang biasa dipanggil Gus

    Dur terpilih menjadi ketua umum tanfidziyah PBNU.

    Mengenai konteks naiknya Gus Dur sebagai ketua umum PBNU

    nampaknya bisa dilihat melalui pendekatan teori kepemimpinan klasik, yakni

    teori sifat (trait theori) atau disebut juga dengan teori the great man, menurut

    teori ini seseorang yang dilahirkan sebagai pemimpin akan menjadi pemimpin

    tanpa memperhatikan apakah ia mempunyai sifat atau tidak mempunyai sifat

    sebagai pemimpin, atau dengan kata lain pemimpin itu bukan dibuat, melainkan

    diciptakan.6

    Begitu pun dengan Gus Dur, seolah ia dilahirkan untuk memimpin NU,

    karena dalam diri Gus Dur mengalir darah kepemimpinan dua founding father

    NU, yakni KH. Hasyim Asy`ari dan KH. Bisri Syansuri, dan ditambah lagi

    dikemukakannya dalam Munas Alim Ulama NU di Situbondo bulan Desember 1983, setahun sebelum Muktamar diadakan. Pemahaman terhadap arah dan tujuan kedua dokumen tersebut sangatlah penting jika ingin menyibak apa yang terjadi sepanjang periode ini. Semua terfokus pada ide-ide prospektif dari gerakan reformasi yang dimotori oleh Ahmad Siddik dan Abdurrahman Wahid. Sumber-sumber penting yang dicatat Nakamura adalah artikel Abdurrahman Wahid yang diangkat dari wawancara panjang dengannya berjudul Menerapkan pangkalan-pangkalan pendaratan menuju Indonesia yang kita cita-citakan. Dalam artikel tersebut Abdurrahman Wahid menyiratkan adanya keinginan yang lebih kuat untuk lebih intensif mengurusi persoalan-persoalan sosial, dan bukan persoalan-persoalan politik. Lihat Greg Barton & Greg Fealy, Tradisionalisme Radikal: Persinggungan Nahdlatul Ulama - Negara, Penj. Ahmad Suaedy, dkk, (Yogyakarta: LKiS; 2010), cet. III, h. 122-123

    5 Dalam proses penerimaan Pancasila sebagai asas organisasi, internal NU mengalami kontroversi, dan persoalan utama yang ditimbulkan pancasila adalah bukanlah masalah tidak dicantumkannya syariat, tapi soal penganut kepercayaan dan animisme yang dituduh syirik oleh Islam. Namun kemudian KH Ahmad Shidik yang ditunjuk oleh para ulama besar untuk mengemukakan argumen-argumen fikih menyatakan bahwa Islam dan pancasila memang berbeda, namun memiliki persamaan. Lihat Andree Feillard, NU vis a vis Negara, h 219-222

    6 Miftah Thoha, Kepemimpinan dalam Manajemen, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada; 2006), cet. I, h. 32

  • 4

    melihat potensi yang dimilikinya serta dengan dukungan beberapa tokoh senior

    NU pada saat itu sehingga Gus Dur pun menjadi seorang pemimpin Tanfidziyah

    PBNU.

    Pada saat Gus Dur menjabat sebagai ketua umum, perilaku politik Gus

    Dur di satu sisi bersikap akomodatif dengan pemerintah, sehingga hubungan NU

    dengan pemerintah yang sebelumnya saling berhadapan menjadi membaik,

    namun di sisi lain perilaku politik Gus Dur cenderung menjadi oposan

    pemerintah karena Gus Dur sering mengkritisi pemerintah dengan lantang dan

    alasan inilah yang membuat pemerintah sering melakukan intervensi terhadap

    NU.

    Pada tahun 1998 rezim Soeharto tumbang oleh gerakan mahasiswa dan

    Gerakan Rakyat yang menuntut agar Soeharto melepaskan jabatan Presiden dan

    diadakannya reformasi di Indonesia, setelah Soeharto turun dari jabatan Presiden

    Republik Indonesia ia mengangkat Wakil Presiden B.J Habibie sebagai

    penggantinya.

    Dengan runtuhnya rezim Soeharto membawa implikasi euforia politik

    pada rakyat Indonesia, dengan ditandai munculnya puluhan bahkan ratusan partai

    politik termasuk partai politik milik warga NU, pada waktu itu sebagian besar

    warga NU menginginkan agar NU memiliki partai politik, dikarenakan desakan

    dari warga NU semakin meningkat pada akhirnya usulan ini diterima oleh

    PBNU dan kemudian dideklarasikanlah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) oleh

  • 5

    Gus Dur, partai tersebut dideklarasikan di kediamannya Gus Dur yang ada di

    daerah Ciganjur Jakarta Selatan.

    Namun setelah dilakukannya verifikasi terhadap partai politik hanya 42

    partai politik yang diperbolehkan menjadi peserta pemilu, dan PKB termasuk

    salah satu dari 42 partai politik tersebut. Setelah diadakannya pemilihan umum,

    perolehan kursi di DPR dari PKB adalah sebanyak 41 kursi.

    Pada saat pemilihan legislatif telah selesai, kemudian dilanjutkan dengan

    Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, dalam proses pemilihan Presiden ini,

    partai-partai Islam yang mendapatkan kursi di parlemen membentuk kaukus

    Islam dengan nama poros tengah yang menjadikan Gus Dur sebagai Calon

    Presidennya,7 melalui Poros Tengah inilah kemudian Gus Dur menjadi Presiden

    keempat Republik Indonesia, dan pada saat yang bersamaan Gus Dur masih

    menjabat sebagai ketua umum PBNU. Gus Dur menjabat ketua Umum PBNU

    selama tiga periode, yakni dari tahun 1984 sampai 1999.

    Setelah Gus Dur tidak lagi memimpin NU, dalam muktamar ke-30 NU

    pada tahun 1999 yang bertempat di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, Hasyim

    Muzadi terpilih menjadi ketua umum PBNU, dan jika memakai pendekatan teori

    the great man, naiknya Hasyim menjadi ketua umum lebih karena faktor

    7 Koalisi Islam ini dipelopori oleh Amien Rais, lihat Bahtiar Effendy, ISLAM DAN

    NEGARA: Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, LSI dan Prenida Media Group), 2009, Cet. II, h. 389

  • 6

    pendidikan dan pengalaman,8 karena sebelumnya Hasyim pernah menjadi ketua

    umum NU pada tingkat ranting, cabang dan wilayah.

    Ketika Hasyim memimpin NU Gus Dur adalah Presiden keempat RI,

    kedekatan secara kultural dan emosional antara pemerintah dan NU ini kemudian

    membuat perilaku politik Hasyim Muzadi dan NU menjadi cenderung

    menenggelamkan daya kritisisme terhadap pemerintah.

    Misalnya Hasyim sering memberikan pernyataan-pernyataan yang seolah

    memberikan legitimasi pada pernyataan dan kebijakan Gus Dur yang

    kontroversial, seperti pada kontroversi pencabutan Tap MPRS No. 25 tahun 1966

    tentang PKI dan kehalalan Ajinomoto, dalam setiap kesempatan Hasyim selalu

    menyatakan hal yang sama dengan apa yang dinyatakan oleh Gus Dur.9

    Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada tahun 2004 perilaku politik

    Hasyim bisa dikatakan sama dengan perilaku politik Gus Dur persamaan perilaku

    politik ini dapat dilihat ketika menjabat ketua umum PBNU (terlepas dari

    menang atau kalah) Hasyim mencalonkan diri menjadi wakil Presiden Republik

    Indonesia yang bergandengan dengan Megawati dan kemudian dalam pemilihan

    Presiden putaran kedua, pasangan Mega Hasyim ini kalah suara oleh pasangan

    8 Setelah mendapat pengaruh dari aliran perilaku dan pemikir psikologi, teori the great

    man mendapat pengembangan dengan menyatakan bahwa sifat-sifat kepemimpinan tidak seluruhnya dilahirkan, tapi dapat dicapai melalui pendidikan dan pengalaman, lihat Miftah Thoha, Kepemimpinan dalam Manajemen, h. 32-34

    9 Bahrul Ulum, BODOHNYA NU APA NU DIBODOHI?: Jejak langkah NU Era reformasi: Menguji Khittah Meneropong Paradigma Politik, (Yogyakarta; Arruzz Press; 2002), cet. I, h. 49

  • 7

    SBY-JK. Hasyim Muzadi menjabat ketua umum PBNU selama dua Periode

    yakni dari tahun 1999 sampai 2010.

    Berangkat dari uraian di atas, antara Gus Dur dan Hasyim memiliki

    persamaan berikut perbedaan perilaku politik ketika keduanya memimpin

    organisasi besar yang bernama NU, Persamaan berikut perbedaan ini kemudian

    sedikit banyaknya turut mempengaruhi pula perilaku politik NU sehingga perlu

    adanya kajian mendalam untuk bisa dijadikan sebagai indikator dalam menilai

    perilaku politik kedua tokoh tersebut ketika memimpin NU yang dirumuskan

    dalam format judul skripsi Perilaku politik Nahdlatul Ulama (Studi Komparatif

    perilaku politik Abdurrahman Wahid Dan Hasyim Muzadi)

    B. Perumusan dan Pembatasan Masalah

    Berdasarkan latar belakang masalah di atas, terlihat sebuah perbedaan

    berikut persamaan antara perilaku politik Abdurrahman Wahid dan Hasyim

    Muzadi, maka pembahasan skripsi ini akan dirumuskan pada beberapa persoalan

    yang mencakup:

    1. Bagaimana perilaku politik Abdurrahman Wahid dan Hasyim Muzadi ketika

    memimpin NU.

    2. Apa saja persamaan dan perbedaan perilaku politik dari dua tokoh tersebut.

    3. Apa implikasi perilaku politik kedua tokoh tersebut terhadap politik NU.

    Kemudian, agar penelitian ini dapat lebih fokus, maka penulis membatasi

    permasalahan-permasalahan di atas pada persoalan perilaku politik Abdurrahman

    Wahid dan Hasyim Muzadi.

  • 8

    C. Tujuan Penelitian

    Dalam penulisan skripsi ini penulis memiliki tujuan di antaranya:

    1. Mengetahui perilaku politik Abdurrahman Wahid dan Hasyim Muzadi saat

    memimpin NU

    2. Membandingkan perilaku politik Abdurrahman Wahid dan Hasyim Muzadi,

    3. Mengetahui pengaruh kedua tokoh tersebut dalam NU

    D. Metodologi Penelitian

    Dalam pembahasan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian

    pustaka dan dibarengi dengan penelitian lapangan. Dalam penelitian ini, penulis

    lakukan dengan cara mempelajari dan mengkaji buku-buku, majalah, media

    massa dan internet yang erat kaitanya dengan masalah yang akan dikaji serta

    melakukan wawancara untuk pendalaman.

    Adapun teknik penulisan skripsi ini berpedoman pada buku Pedoman

    Karya Tulis Ilmiah; Skripsi, Tesis dan Disertasi yang diterbitkan oleh CeQDA

    (Center for Quality Development and Assurance) UIN Syarif Hidayatullah

    Jakarta tahun 2006.

    E. Sistematika Penulisan

    Sistematika penulisan yang digunakan dalam skripsi ini akan dibagi

    dalam 5 bab yang terinci sebagai berikut:

    BAB I: Latar Belakang Masalah, Perumusan dan Pembatasan Masalah, Tujuan

    Penulisan, Metodologi Penelitian dan Sistematika Penulisan,

  • 9

    BAB II : Kerangka teori tentang perilaku politik, model perilaku politik dan

    faktor yang mempengaruhi perilaku politik,

    BAB III : Abdurrahman Wahid dan Hasyim Muzadi dalam Nahdlatul Ulama,

    yang mencakup Kondisi Sosio-Politik dan Menjadi Kader dan Ketua Umum.

    BAB IV : Perilaku Politik Abdurrahman Wahid dan Hasyim Muzadi yang

    menyangkut Gaya Kepemimpinan, Pengaruh dan Wibawa, Faktor yang

    mempengaruhi Perilaku politik, serta Gerakan Politik

    BAB V : Penutup, berisi kesimpulan dan saran.

  • 10

    BAB II

    PANDANGAN UMUM TENTANG PERILAKU POLITIK

    A. Kerangka Teori Tentang Perilaku Politik

    Secara etimologis perilaku politik merupakan terjemahan dari bahasa asing,

    yakni political behaviour, kata tersebut terdiri dari suku kata political dan

    behaviour, di dalam kamus Oxford, arti kata political kurang lebih adalah hal-hal

    yang menyangkut negara, warga negara, pemerintahan dan kebijakan.8 Adapun

    arti dari kata behaviour adalah cara seseorang dalam melakukan hubungan

    dengan pihak luar.9

    Jika ditelusuri dari pengertian bahasa Indonesia, di dalam Kamus Besar

    Bahasa Indonesia, perilaku adalah adalah tanggapan atau reaksi individu yang

    terwujud dalam gerakan atau sikap tidak saja badan dan ucapan,10 dan politik

    adalah segala urusan dan tindakan - seperti kebijakan, siasat, dan sebagainya -

    mengenai pemerintahan negara atau negara lain.11

    Dengan demikian dapat dikatakan bahwa secara etimologis perilaku politik

    adalah tindakan, gerakan atau sikap seseorang terhadap pemerintahan atau

    negara, maupun sebaliknya, yakni tindakan, gerakan atau sikap pemerintahan

    atau negara terhadap individu.

    8 The Oxford English Dictionary, (London: Oxford University Press; 1993), Volume I,

    cet. I, h. 772 9 The Oxford English Dictionary, Volume VII, h. 1074 10 Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka; 1988), cet. I, h. 671 11 Kamus Besar Bahasa Indonesia..., h. 694

  • 11

    Pada tataran terminologis, perilaku politik adalah kegiatan antara

    pemerintah dengan masyarakat atau pun sebaliknya yang memiliki unsur

    pembuatan, pelaksanaan dan penegakan keputusan politik.

    Pengertian secara terminologis ini sesuai dengan pengertian yang

    dikemukakan oleh Ramlan Surbakti yang mengatakan bahwa interaksi antara

    pemerintah dan masyarakat, di antara lembaga-lembaga pemerintah, dan di

    antara kelompok individu dalam masyarakat dalam rangka proses pembuatan,

    pelaksanaan dan penegakkan keputusan politik pada dasarnya merupakan

    perilaku politik.12

    Perilaku politik merupakan pendekatan dalam ilmu politik yang

    dikembangkan oleh kaum behavioralis dengan melihat dan menekankan pada

    aspek individual sebagai insan politik daripada melihat sistem-sistem ataupun

    lembaga politik, pendekatan ini digunakan untuk mengamati perilaku-

    perilaku individual dengan melihat pada hubungan antara pengetahuan politik

    dan tindakannya, termasuk di dalamnya adalah proses pembentukan pendapat

    politik dan memperoleh kecakapan politik serta menyadari peristiwa-peristiwa

    politik yang berlangsung.13

    Secara historis, perilaku politik merupakan gerakan protes kaum

    behavioralis terhadap aliran tradisional dalam ilmu politik, dan secara garis

    besar protes mereka adalah pertama kelompok tradisional telah mengembangkan

    12 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, h. 15 13 David E. Apter, Pengantar Analisa Politik, penj. Setiawan Abadi, (Jakarta: LP3ES;

    1987), cet. II, h. 209

  • 12

    ilmu politik yang tidak memiliki sifat-sifat sebagai penghasil pengetahuan politik

    yang reliabel, dan kedua, banyak pengetahuan politik yang reliabel dapat

    diterima dengan menggunakan pendekatan-pendekatan dan metode-metode

    alternatif, namun demikian kaum behavioralis tidak sepenuhnya membuang

    pendekatan yang digunakan oleh kaum tradisionalis, seperti sistem politik dan

    lembaga-lembaga yang ada dalam sistem politik tersebut.14

    Menurut Trubus Rahardiansyah, mengenai perilaku itu sendiri, baik

    individu maupun kelompok pada dasarnya semuanya adalah aksi dan reaksi,

    dan dalam hal ini ada ada dua cara pandang mengenai signifikansi tingkatan

    perilaku.

    Pertama, individualisme, yakni pandangan bahwa kelompok tidak lain

    hanya terdiri atas anggota-anggota kelompoknya, misalnya perilaku lembaga

    peradilan merupakan perilaku sejumlah individu yang kebetulan menjadi anggota

    lembaga tersebut. Tidak ada sifat-sifat kelompok yang diturunkan dari sifat-sifat

    individu, dan begitu pun sebaliknya, tidak ada sifat-sifat individu yang

    diturunkan dari sifat-sifat kelompok, dan cara pandang ini digunakan oleh kaum

    behavioralis.

    Kedua, holisme, yakni pandangan tentang timbulnya sifat kelompok yang

    diturunkan, dalam hubungan ini diakui bahwa kelompok pada dasarnya

    merupakan serangkaian bagian-bagiannya, dan cara pandang ini digunakan oleh

    14 Trubus Rahardiansah, Pengantar Ilmu Politik: Konsep Dasar, Paradigma dan

    Pendekatannya. (Jakarta: Universitas Trisakti: 2006), cet. I, h. 39-40

  • 13

    kaum tradisional.15

    Pendekatan perilaku politik dipakai untuk melihat kegiatan dan dinamika

    yang terjadi dalam lingkup kelembagaan negara. Selain itu, perilaku politik juga

    dirancang sebagai suatu pendekatan ilmu politik yang menekankan pada perilaku

    individual sebagai objek utama analisis, dan juga lebih memusatkan perhatian

    pada perilaku kelompok, tetapi dengan asumsi bahwa kelompok tersebut adalah

    interaksi kolektif yang terjadi antar individu. Dan yang termasuk ke dalam

    kategori perilaku politik adalah respon-respon internal seperti pikiran, persepsi,

    sikap dan keyakinan dan juga respon-respon eksternal seperti pemungutan suara,

    gerak protes, lobbying, kaukus dan kampanye.16

    Menurut Prof. Miriam Budiardjo, salah satu pemikiran pokok dari

    pendekatan perilaku adalah tidak memberikan apresiasi terhadap pembahasan

    lembaga-lembaga formal, karena pembahasan seperti itu tidak banyak memberi

    informasi mengenai proses politik yang sebenarnya. Sebaliknya, pendekatan ini

    lebih berkonsentrasi untuk mempelajari perilaku individu yang ada dalam

    lembaga tersebut karena dengan melihat perilaku individu merupakan sebuah

    gejala yang benar-benar dapat diamati.

    Pendekatan ini pun menganggap bahwa lembaga-lembaga formal bukan

    sebagai titik sentral atau sebagai aktor yang independen, tetapi hanya

    merupakan akumulasi dari kegiatan manusia. Misalnya, jika pendekatan ini

    15 Ibid, h. 41 16 Jack C. Plano, dkk, Kamus Analisis Politik, penj. Drs. Edi S. Siregar, (Jakarta: CV.

    Rajawali; 1985), cet. I, h. 161

  • 14

    digunakan untuk mempelajari parlemen, maka yang akan dibahas adalah

    perilaku anggota yang ada dalam parlemen tersebut seperti pola pemberian

    suaranya (voting behavior) terhadap sebuah rancangan undang-undang tertentu,

    pidato-pidatonya, cara berinteraksi dengan kerabatnya, kegiatan lobbying dan

    latar belakang sosialnya.17

    Pemerintah dan masyarakat, baik individu maupun kelompok merupakan

    objek yang dijadikan pusat perhatian dari pendekatan perilaku politik, dalam hal

    ini pemerintah dan masyarakat yang dilihat sebagai subjek maupun

    karakteristiknya, bukan dilihat dari fungsi-fungsi pemerintahan maupun fungsi-

    fungsi politik, karena jika fungsi-fungsi tersebut dijadikan sebagai pusat

    perhatian maka pendekatannya adalah bukan pendekatan perilaku politik

    melainkan pendekatan perilaku lembaga.18

    Menurut Gabriel Almond, seorang ilmuwan politik struktural-fungsional,

    fungsi-fungsi tersebut dibagi menjadi dua bagian, yakni fungsi infrastruktur

    politik, fungsi ini dipegang oleh masyarakat, baik oleh individu maupun

    kelompok dan fungsi suprastruktur politik, fungsi ini dipegang oleh lembaga-

    lembaga pemerintahan.

    Fungsi infrastruktur politik terdiri dari sosialisasi dan rekrutmen politik,

    agregasi kepentingan, artikulasi kepentingan dan komunikasi politik, dan fungsi

    17 Prof. Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi (Jakarta: PT. Gramedia

    Pustaka Utama;2008), Cet. I h. 74-75 18 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, h. 15

  • 15

    suprastruktur adalah pembuatan peraturan (Rule making), pelaksanaan peraturan

    (rule application), dan peradilan peraturan (rule adjudication).19

    Dalam suatu sistem politik, selalu ada aliran terus menerus mengalir dari

    input yang muncul dari infrastruktur politik kemudian terjadi proses dan

    dinamika tertentu dan akhirnya menjadi output yang dilakukan oleh kelompok

    suprastruktural politik dan setelah itu akan terbentuk kembali menjadi sebuah

    input,20 dan begitu seterusnya, sehingga terbentuk sebuah siklus dalam kehidupan

    bernegara.

    Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perilaku politik merupakan

    sebuah kaca mata politik yang digunakan untuk melihat (dengan lebih

    mengkonsentrasikan pada) perilaku seseorang dari pada perilaku lembaga politik.

    B. Model Perilaku Politik

    Unit analisis dalam melakukan kajian politik dengan menggunakan

    pendekatan perilaku politik, menurut Ramlan Surbakti dapat ditinjau dari

    tiga kemungkinan, yakni ;

    Pertama individu sebagai aktor politik, dan yang masuk dalam kategori ini adalah aktor politik yakni pemimpin, aktivis politik dan individu warga negara biasa, kedua, Agregasi Politik yakni individu aktor politik secara kolektif, seperti kelompok kepentingan, birokrasi, partai politik, dan lembaga-lembaga pemerintahan atau bangsa, ketiga, adalah tipologi kepribadian politik yakni tipe - tipe kepribadian pemimpin otoriter, machiavelist dan demokrat.21

    19 Lihat Ng. Philipus & Nurul Aini, Sosiologi dan Politik, (Jakarta: PT. Raja Grafindo

    Persada; 2006), h. 106 20 Prof. Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, h. 78 21 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, h. 132

  • 16

    Pemimpin dalam model pertama adalah lebih cenderung kepada sosok

    subjeknya dan pemimpin dalam model yang ketiga lebih menekankan pada

    tipologi atau sifat seorang pemimpin.

    Seperti yang telah dikemukakan, salah satu aktor politik adalah pemimpin,

    dan salah satu tipe aktor politik yang mempunyai pengaruh dalam proses politik

    adalah pemimpin politik dan pemerintahan. Mengenai konsep memiliki

    kekuasaan politik berbeda dengan memiliki kepemimpinan politik, perbedaan ini

    terletak pada sumber pengaruh dan tujuan penggunaan pengaruh.

    Sebutan politik pada kepemimpinan politik menunjukkan kepemimpinan

    tersebut berlangsung dalam suprastruktur politik, yakni lembaga-lembaga

    pemerintahan (eksekutif, legislatif dan yudikatif), dan yang berlangsung dalam

    infrastruktur politik yakni masyarakat, individu maupun kelompok, seperti partai

    politik dan organisasi kemasyarakatan.

    Pemimpin politik pun di satu sisi dapat berbeda dengan pemimpin dalam

    suatu instansi pemerintahan, perbedaan ini terlihat dalam cara, proses serta

    komunikasi yang dibangun dengan jajaran dan pengikutnya, dalam mencapai

    tujuan tertentu pemimpin politik lebih menggunakan hubungan-hubungan

    informal dan personal untuk menggerakkan pengikutnya.

    Pemimpin suatu instansi cenderung menggunakan kewenangannya dengan

    cara melakukan hubungan-hubungan formal dan impersonal dalam

    menggerakkan pengikutnya. Akan tetapi orang yang secara formal menjadi elit

    politik atau pemimpin suatu instansi dapat memainkan peranan sebagai

  • 17

    pemimpin politik dengan catatan dapat memenuhi karakteristik kepemimpinan

    politik.22

    Dengan demikian, kepemimpinan dapat dikategorikan sebagai bagian dari

    perilaku politik, dan secara definitif kepemimpinan kurang lebih adalah

    sebuah aktifitas mempengaruhi orang lain untuk berusaha mencapai tujuan

    bersama,23 sehingga ketika terjadi sebuah aktifitas yang memiliki motivasi untuk

    mempengaruhi orang lain, pada saat yang sama terjadi sebuah kepemimpinan.

    Kepemimpinan merupakan bentuk mashdar, sementara pemimpin adalah bentuk

    fa`il (subjek).

    Dalam perjalanannya, teori kepemimpinan mengalami perkembangan dari

    waktu ke waktu, dan teori kepemimpinan yang paling awal muncul adalah teori

    sifat atau the great man yang menganggap bahwa kepemimpinan merupakan

    sifat bawaan yang ada sejak lahir. Pada perkembangan selanjutnya teori ini

    kemudian mendapat masukan dari kalangan psikologi yang menilai bahwa tidak

    semuanya kepemimpinan dibawa sejak lahir, kepemimpinan pun bisa lahir dari

    sebuah pengalaman dan pendidikan.24

    22 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, h. 133-134 23 Paul Harsey dan Kenneth H. Blanchard, Manajemen Perilaku Organisasi:

    Pendayagunaan sumber Daya Manusia, Edisi keempat, penj. Agus Dharma (Jakarta: Erlangga; 1982), h. 98

    24 Miftah Thoha, Kepemimpinan dalam manajemen, h. 32

  • 18

    Mengenai kategorisasi kepemimpinan, Ramlan Surbakti membaginya

    menjadi tiga kriteria, yakni proses kepemimpinan berikut karakter pemimpin,

    hasil kepemimpinan dan sumber kekuasaan.25

    Kategori proses kepemimpinan di antaranya autokratis dan demokratis.

    Autokratis adalah sebuah tipologi pemimpin yang identik dengan pemusatan

    otoritas pada pemimpin dan dalam pengambilan keputusan lembaga sangat

    bergantung padanya. Demokratis adalah tipologi pemimpin yang berdasarkan

    pada desentralisasi kekuasaan dan dalam pengambilan keputusan sering

    melibatkan anggota yang lain,26

    Selanjutnya masih berkaitan dengan proses kepemimpinan yakni karakter

    pemimpin. Karakter yang dimaksud berupa keaktifan pemimpin dalam

    melakukan tugasnya serta penilaiannya terhadap tugas tersebut, dan berdasarkan

    karakter pemimpin ini terbagi menjadi empat.

    Pertama adalah pemimpin pasif-positif yang berarti pemimpin yang tidak

    aktif dalam melaksanakan pekerjaan tetapi ia sangat menilai tinggi terhadap

    pekerjaannya. Kedua, aktif-negatif yakni pemimpin yang aktif melaksanakan

    pekerjaan tetapi kurang begitu tinggi dalam menilai pekerjaannya. Ketiga, pasif-

    negatif yaitu pemimpin yang tidak aktif dalam melaksanakan pekerjaan dan juga

    kurang menilai tinggi pekerjaannya. Dan terakhir adalah aktif-positif yaitu

    25 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, h. 138 26 S.G. Hunneryager & I. L. Heckman, ed. Kepemimpinan, (Semarang: Dahara Prize:

    1992), cet. I, h. 10

  • 19

    pemimpin yang aktif dalam melaksanakan pekerjaan dan juga menilai tinggi

    pekerjaannya.

    Mengenai kepemimpinan yang dilihat dari hasil proses kepemimpinan

    biasanya muncul ketika rezim lama telah berakhir dan digantikan oleh rezim

    baru. Dalam konteks kepemimpinan ini dibagi menjadi dua, yaitu ekstrimis

    dan moderat. Kepemimpinan model ini muncul ketika rezim lama berakhir.

    Pemimpin moderat adalah seorang pemimpin yang lebih banyak

    menggunakan dialog daripada tindakan kekerasan untuk mencapai tujuannya,

    sedangkan pemimpin yang ekstrim adalah pemimpin yang berusaha

    menghancurkan seluruh sistem rezim lama dan menggantinya dengan sistem

    yang benar-benar baru serta lebih banyak menggunakan kekerasan dalam

    mencapai tujuannya.

    Tipe kepemimpinan selanjutnya adalah dilihat dari hubungan antara

    pemimpin dan yang dipimpin, pemimpin model ini dibagi menjadi dua, yakni

    pemimpin transformatif dan pemimpin transaksional, pemimpin transformatif

    adalah pemimpin yang melakukan sesuatu untuk meningkatkan moral, motivasi

    dan kegiatan yang lebih tinggi, sementara pemimpin transaksional adalah

    pemimpin yang melakukan sesuatu dengan tujuan pertukaran nilai yang dianggap

    penting.

    Kategorisasi kepemimpinan yang terakhir adalah ketegorisasi yang

    berdasarkan sumber kekuasaan, dan kepemimpinan model ini dibagi menjadi

  • 20

    tiga, yakni kepemimpinan rasional, kepemimpinan tradisional dan kepemimpinan

    kharismatik.

    Kepemimpinan rasional memiliki kekuasaan yang bersumber pada legalitas

    kewenangan yang berasal dari pola-pola peraturan normatif, kepemimpinan

    tradisional memiliki kekuasaan yang bersumber dari kewenangan tradisional

    yang lahir dari kepercayaan mapan terhadap tradisi dan legitimasi orang yang

    memiliki kewenangan berdasarkan tradisi yang dianggap keramat tersebut. Dan

    terakhir adalah sumber kekuasaan yang dimiliki oleh kepemimpinan kharismatik,

    sumber kepemimpinan karismatik adalah berpegang pada kekaguman

    masyarakat terhadap seorang pemimpin yang memiliki kelebihan luar biasa. 27

    Menurut penulis konsep kepemimpinan tersebut tidak selamanya melekat

    pada seseorang, hal ini disebabkan oleh faktor pengaruh dari situasi dan kondisi

    di sekelilingnya, misalnya ketika seorang pemimpin berada dalam kondisi yang

    sangat mendesak, kemungkinan besar ia akan menjadi seorang yang autokratis,

    sebaliknya jika seorang pemimpin tersebut mengalami persoalan yang sangat

    pelik, kemungkinan besar ia akan menjadi seorang yang demokratis.

    Hal yang tidak dapat dipisahkan dalam sebuah kepemimpinan adalah

    pengaruh dan wibawa dari seorang pemimpin, karena (seperti yang telah

    dikemukakan dalam definisi kepemimpinan) pengaruh merupakan bagian dari

    proses sebuah kepemimpinan.

    27 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, h. 138-139

  • 21

    Di sisi lain, wibawa pun merupakan bagian dari kepemimpinan karena

    peran wibawa dapat dikatakan lebih luas dari pada pengaruh, peran pengaruh ada

    dalam otoritas formal, sementara wibawa dapat berperan di luar otoritas formal.28

    Misalnya ketika seseorang memiliki kepemimpinan kharismatik, di dalam

    maupun di luar lembaga ia akan memiliki sebuah pengaruh yang cukup dominan,

    sementara kepemimpinan rasional belum tentu mendapatkan hal itu, karena ia

    dibatasi oleh ruang dan waktu.

    Kepemimpinan memang bagian dari perilaku politik, namun jika melihat

    definisi perilaku politik yang telah dikemukakan pada bagian awal bab ini,

    kepemimpinan yang dimaksud adalah kepemimpinan yang memiliki korelasi dan

    interaksi antara dua subjek, baik di dalam masyarakat maupun pemerintahan dan

    interaksi tersebut memiliki muatan-muatan atau unsur-unsur dalam bentuk proses

    pembuatan, pelaksanaan dan penegakan keputusan politik.

    C. Faktor yang mempengaruhi perilaku politik

    Dalam melakukan perilaku politik, seseorang atau kelompok tidak bisa

    dilepaskan dari konteks maupun variabel-variabel lain yang ada di sekitarnya,

    karena konteks dan variabel-variabel tersebut mempunyai peran dan fungsi

    yang saling berkaitan satu sama lain.

    Hal ini senada dengan pandangan kelompok struktural-fungsional, yang

    menganggap bahwa kehidupan manusia dapat diibaratkan seperti halnya tubuh

    28 DR. Thariq Muhammad as-Suwaidan & Faish. Umar Basyarahil, Penj. Samson Rahman,

    Sukses Menjadi Pemimpin Islami, (Jakarta: Maghfirah Pustaka; 2005), cet. I, h. 188

  • 22

    beserta organ-organnya, masing-masing organ dalam tubuh tersebut mempunyai

    fungsi dan peran yang berbeda-beda namun memiliki saling keberkaitan satu

    sama lain.29

    Begitu pun dalam kehidupan ini, masing-masing orang, lembaga dan lain

    sebagainya mempunyai peran dan fungsi yang berbeda serta saling memiliki

    keberkaitan satu sama lain dan tetap dalam sebuah sirkulasi kehidupan. Dengan

    demikian faktor eksternal sedikit banyaknya berperan serta dalam

    mempengaruhi seseorang untuk melakukan perilaku politiknya, dan mengenai

    faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku politik tersebut adalah:

    Pertama, lingkungan sosial politik tidak langsung, yang termasuk dalam

    kategori ini adalah sistem politik, sistem ekonomi, sistem budaya dan media

    massa. Dan lingkungan tak langsung ini, selain mempengaruhi aktor politik juga

    dapat mempengaruhi faktor-faktor selanjutnya, yakni;

    Kedua, lingkungan sosial politik langsung, berupa keluarga, agama,

    sekolah dan lembaga-lembaga lain yang yang menjadi media dalam pergaulan.

    Dari lingkungan sosial politik langsung ini seseorang mengalami sosialisasi,

    transformasi dan internalisasi nilai, termasuk di dalamnya adalah nilai-nilai

    kehidupan bernegara dan pengalaman-pengalaman hidup pada umumnya.

    Ketiga, struktur kepribadian yang tercermin dalam sikap individu, untuk

    memahami struktur kepribadian ini, terdapat tiga basis fungsional sikap, yaitu

    29 Peter Westey, Pengantar Sosiologi; Sebuah Pembanding Jilid 2, Penj. Hartono

    Hadikusumo, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya; 1992), cet. I, h. 244-245

  • 23

    kepentingan, penyesuaian dan eksternalisasi dan pertahanan diri. Struktur

    kepribadian dalam konteks kepentingan melihat bahwa penilaian seseorang

    terhadap sebuah objek ditentukan oleh minat dan kebutuhan terhadap objek

    tersebut. Adapun struktur kepribadian dalam konteks penyesuaian diri, melihat

    bahwa penilaian seseorang terhadap suatu objek dipengaruhi oleh sebuah

    keinginan untuk sesuai atau selaras dengan objek tersebut, dan mengenai struktur

    kepribadian eksternalisasi dan pertahanan diri melihat bahwa penilaian

    seseorang terhadap suatu objek dipengaruhi oleh keinginannya untuk mengatasi

    atau paling tidak meminimalisir konflik batin atau tekanan psikis yang terjadi di

    dalam dirinya.

    Keempat lingkungan sosial politik langsung berupa situasi, yaitu keadaan

    yang mempengaruhi seseorang dengan langsung ketika seseorang tersebut

    hendak melakukan sebuah kegiatan, seperti cuaca, keadaan keluarga, keadaan

    ruang, kehadiran orang lain, suasana kelompok dan lain sebagainya.30

    Faktor-faktor tersebut akan mempengaruhi seseorang dalam melakukan

    perilaku politiknya, sehingga ketika ada beberapa orang dengan perbedaan

    faktor-faktor yang telah disebutkan diatas maka perilaku politik dari masing-

    masing orang tersebut akan berbeda pula. Begitu pun dengan perubahan faktor-

    faktor yang mempengaruhi perilaku politik tersebut, dengan berubahnya faktor-

    faktor tersebut, maka akan terjadi pula perubahan pada perilaku politik

    seseorang.

    30 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, h. 132-133

  • 24

    BAB III

    ABDURRAHMAN WAHID DAN HASYIM MUZADI

    DALAM NAHDLATUL ULAMA

    A. ABDURRAHMAN WAHID

    Abdurrahman Wahid atau yang biasa dipangil Gus Dur dilahirkan di

    Jombang, Jawa Timur pada tahun 1940,31 nama Abdurahman Wahid kecil

    adalah Abdurrahman al-dakhil, nama tersebut merupakan bentuk tafaul 32

    sang ayah kepada sosok Abdurrahman al-dakhil,33 seorang pendiri Daulah

    Umayyah di Spanyol.34

    Gus Dur sempat mengenyam pendidikan formal di Perguruan Tinggi

    Timur Tengah, yakni di Universitas Al-Azhar Mesir dan karena sistem

    pendidikan di Al-Azhar dinilai tidak cocok karena mengandalkan sistem

    hafalan kemudian Gus Dur memutuskan untuk pindah ke Universitas Bahdad

    31 Mengenai tanggal kelahirannya adalah tanggal empat bulan kedelapan tahun 1940, yang berarti tanggal 4 bulan Agustus 1940, namun menurut Greg Barton tanggal dan bulan tersebut dihitung menurut kalender Hijriyyah, yang berarti tanggal 4 bulan Sya`ban, dan tanggal 4 Sya`ban pada tahun 1940 bertepatan dengan tanggal 7 September, dengan demikian menurut Greg Barton, Gus Dur lahir pada tanggal 7 September 1940. Lihat Greg Barton, Biografi Gus Dur: The Authorized Biography Of Abdurrahman Wahid, Penj. Lie Hua, (Yogyakarta: LKiS: 2010), cet. II, h. 25

    32 Secara bahasa, tafaul ( ) adalah pengharapan nasib baik, lihat Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-munawwir, (Surabaya: Pustaka Progressif; 1997), cet. XXV, hal 1029, begitupun dengan Wahid Hasyim yang mengharapkan anaknya kelak mempunyai sifat-sifat yang dimiliki oleh Abdurrahman al-Dakhil.

    33Abdurrahman al-dakhil adalah negarawan Muslim yang berhasil mendirikan kekhalifahan Bani Umayah di Andalusia (Spanyol). Ketika gerakan oposisi Abbasiyah pada tahun 750 M berhasil menggulingkan dan melakukan pembunuhan terhadap seluruh Bani Umayah di Damaskus, Abdurrahman yang pada waktu itu masih berusia 22 tahun berhasil lolos untuk menyelamatkan diri dan pada tahun 756 M, Dinasti Umayyah berdiri di Cordova, Abdurrahman kemudian digelari al-dakhil, yang berarti orang yang memasuki Andalusia. Abdurrahman al-dakhil memerintah dari tahun 756-788. Ia berhasil membangun peradaban di Andalusia, sehingga dibawah pemerintahannya Andalusia mengalami dan menikmati masa-masa kemajuan. Lihat Faisal Ismail, Dilema NU di Tengah Pragmatisme Politik, (Jakarta: DEPAG: 2004), Cet. I, h. 140-141

    34 Greg Barton, Biografi Gus Dur, h. 35

  • 25

    di Irak, namun intelektualitas yang dimiliki Gus Dur lebih banyak didapat

    dari belajar secara otodidak, melalui membaca dan diskusi bersama kawan-

    kawannya.

    Setelah Pulang dari Baghdad, Gus Dur mengabdi di Pondok

    Pesantren Tebu Ireng Jombang, dan kemudian menjadi dosen sekaligus

    Dekan pada Fakultas Ushuluddin Universitas Hasyim Asy`ari (Unhasy),

    sekitar tahun 1970-an, Dawam Rahardjo mengajak Gus Dur bergabung di

    Lembaga Penelitian Pengabdian dan Pengembangan Ekonomi Sosial (LP3ES)

    Jakarta, sejak saat itu ia rajin menulis dan namanya mulai muncul pada

    kolom-kolom media cetak seperti Tempo dan Kompas serta majalah Prisma.35

    1. Kondisi Sosio-Politik

    Menjelang Gus Dur terpilih sebagai ketua umum PBNU, ada

    beberapa kondisi sosio-politik yang sedikit banyaknya turut

    mempengaruhi karir Gus Dur dalam kepemimpinan nasional NU. Kondisi

    sosio-politik tersebut di antaranya adalah de-NU-isasi dalam tubuh PPP,

    Istilah de-NU-isasi ini mengacu pada pendapat Andree Feillard yang

    memandang bahwa sejak J. Naro terpilih sebagai ketua umum PPP pada

    tahun 1978, terjadi minimalisasi dan marjinalisasi peran dan porsi warga

    NU dalam tubuh PPP, hal ini tidak lepas dari campur tangan pemerintah

    yang ingin mengondisikan NU, karena pada waktu itu NU bisa dikatakan

    cukup vokal dalam mengkritisi pemerintah.36

    35 Elyasa KH. Darwis, ed., Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil, (Yogyakarta: LKiS,

    2010), cet. III, h. 69 36 Andree Feillard, NU vis a vis Negara ,h.223-224

  • 26

    Adapun bentuk marjinalisasinya adalah pertama berkurangnya

    jumlah warga NU dalam kepengurusan PPP, hal ini disebabkan oleh

    adanya dominasi dari kelompok modernis, yakni Muslimin Indonesia (MI)

    yang mempunyai pemikiran dan gerakan berseberangan dengan NU yang

    tradisionalis, kedua berkurangnya jumlah calon anggota legislatif (caleg)

    NU yang diajukan oleh PPP kepada pemerintah, sebab J. Naro

    menginginkan agar pembagian kursi di DPR pada pemilu 1982 dihitung

    menurut hasil pemilu 1955, ini berarti merugikan pihak NU dan

    sebaliknya menguntungkan pihak MI, karena MI adalah pewaris sah

    Masyumi, dan yang ketiga adalah berkurangnya peran majelis syura dalam

    kepengurusan PPP yang didominasi oleh NU, ini terlihat ketika kebijakan-

    kebijakan syura dalam PPP sering diabaikan oleh kalangan politisi dari

    PPP.37

    Kondisi sosio-politik lain yang mempengaruhi terpilihnya Gus Dur

    sebagai ketua umum PBNU adalah konflik dalam tubuh NU yang terjadi

    pada tahun 1982, konflik ini terjadi antara KH. As`ad Syamsul Arifin dan

    tiga kiai senior NU lainnya dengan Idham Chalid, ketua umum

    tanfidziyah PBNU yang memimpin sejak tahun 1956.

    Konflik bermula ketika Kiai As`ad Syamsul Arifin dari Situbondo,

    KH. Ali Ma`sum dari Krapyak, KH. Mahrus Aly dari Lirboyo dan KH.

    Masykur dari Jakarta mendatangi kediaman Idham Chalid di Jakarta dan

    meminta agar Idham Chalid mengundurkan diri dari jabatan ketua umum

    37 Andree Feillard, NU vis a vis Negar, , h. 201-203

  • 27

    PBNU karena ia dinilai lebih fokus pada PPP dari pada NU, ditambah lagi

    pada saat itu Idham Chalid sering sakit-sakitan, sehingga tugasnya di NU

    ikut terganggu.

    Idham Chalid bersedia mengundurkan diri dengan menandatangani

    surat pengunduran diri yang telah disiapkan oleh Kiai As`ad, dan

    pengunduran diri ini kemudian mencuat di berbagai media massa sehingga

    mengundang kontroversi dan polemik dalam tubuh NU, sebagian

    menganggap pengunduran diri Idham Chalid adalah inkonstitusional

    karena media untuk naik dan turunnya seorang ketua umum tanfidziyah

    adalah muktamar, sebagian lagi menganggap bahwa hal itu sesuai dengan

    konstitusi, karena dalam AD/ART NU pasal 11 ayat 3 disebutkan bahwa

    syuriah mempunyai wewenang untuk menegur, menyarankan dan

    membimbing perangkat organisasi termasuk ketua umum tanfidziyah.38

    Akibat konflik tersebut muncul dua kelompok yang saling

    bertentangan, yakni kelompok Situbondo yang didominasi oleh kelompok

    ulama, dan kelompok Cipete yang didominasi oleh kelompok politisi,39

    dalam keadaan seperti ini Gus Dur menjadi aktif menjadi mediator di

    antara kedua kubu tersebut.40

    Pada tahun 1983, Gus Dur pun sering melakukan perjalanan untuk

    38 Untuk mengetahui lebih detail mengenai kronologisnya lihat Slamet Effendy Yusuf,

    dkk, DIMANIKA KAUM SANTRI; Menelusuri Jejak dan Pergolakan Kaum Santri, (Jakarta: CV. Rajawali; 1983), cet. I, h. 86-117

    39 Nama Situbondo diambil dari tempat Pondok Pesantren yang dipimpin oleh KH. As`ad Syamsul Arifin, dan Cipete mengacu pada tempat kediaman Idham Chalid di Jakarta. Lihat Greg Fealy & Greg Barton, TRADISIONALISME RADIKAL: Persinggungan Nahdlatul Ulama Negara, Penj. Ahmad Suaedy, dkk (Yogyakarta: LKiS; 2010), cet. III, h. 125-126

    40 Greg Fealy & Greg Barton, TRADISIONALISME RADIKAL, h. 132

  • 28

    mengunjungi satu Pesantren ke Pesantren lainnnya dan menemui

    pemimpin-pemimpin Cabang NU yang ada di beberapa kota basis massa

    NU seperti di Jawa, Sumatra dan Kalimantan untuk memberikan pejelasan

    mengenai perlunya mengadakan pembaruan dan mendesak mereka untuk

    mengakui adanya keperluan tersebut,41 keadaan ini dengan sendirinya

    membuat Gus Dur cukup dikenal oleh para kyai dan pengurus-pengurus

    NU di daerah.

    Kondisi sosio-politik selanjutnya yang turut mempengaruhi

    terpilihnya Gus Dur menjadi ketua umum PBNU adalah menguatnya

    wacana kembali ke Khittah NU 1926. Secara etimologis khittah adalah

    garis lurus, sementara jika dilihat dari terminologis dalam wacana ke-NU-

    an khittah adalah garis pendirian, perjuangan dan kepribadian NU yang

    harus dicerminkan dalam perorangan maupun organisasi, serta dalam

    setiap proses pengambilan keputusan.42

    KH. Ahmad Shiddiq adalah penggagas ide khittah, dalam

    mengartikan khittah KH. Ahmad Shiddiq mengungkapkannya dengan

    istilah sederhana, NU tidak kemana-mana, tapi ada di mana-mana,

    kalimat tersebut mengindikasikan bahwa warga NU memiliki kebebasan

    dalam menyalurkan hak politiknya dalam partai politik mana pun yang

    sesuai dengan pilihannya.43 tidak seperti sebelumnya yang menjadikan

    PPP sebagai satu-satunya wadah politik bagi warga NU.

    41 Greg Barton, Biografi Gus Dur, h. 159 42 Bahrul Ulum, BODOHNYA NU APA NU DIBODOHI" ?..., h. 86 43 H. Sulaiman Fadeli & Muhammad Subhan, ANTOLOGI NU: Sejarah-Istilah-

    Amaliah-Uswah, (Surabaya : Khalista : 2007), cet. I, h. 60-61

  • 29

    Inti dari rumusan Kembali ke Khittah 1926 adalah sikap NU yang

    tidak lagi memiliki afiliasi pada salah satu partai politik. Wacana kembali

    ke khittah 1926 sebenarnya sudah muncul dalam Muktamar ke-22 NU di

    Jakarta pada tahun 1959 yang diungkapkan oleh KH Achyat Chalimi dari

    pengurus cabang NU Mojokerto, ia mengatakan: Peranan politik partai

    NU telah hilang dan peranannya dipegang oleh perorangan. Sehingga

    partai sebagai alat sudah hilang, karena itu diusulkan agar NU kembali

    pada tahun 1926

    Dalam menanggapi pernyataan tersebut, KH Idham Chalid

    sebagai ketua umum PBNU memberikan pandangan umum dengan

    mengatakan: Kita kembali kepada semangat dan jiwa ta`abudiyyah tahun

    1926, tapi dalam perjuangan, kita berjuang di tahun 1952

    Gagasan kembali ke khittah 1926 kemudian muncul kembali dalam

    Muktamar ke-25 NU tahun 1974 di Surabaya, gagasan ini diungkapkan

    oleh KH. Dahlan, salah seorang Presidium kabinet dan Menteri Agama

    dari unsur NU, gagasan serupa juga disampaikan oleh rais amm PBNU,

    KH. Wahab Hasbullah yang menekankan pentingnya kembali ke khittah

    1926. Namun

    gagasan tersebut belum mendapatkan respon secara serius.

    Pada Muktamar ke-26 NU tahun 1979 di Semarang kembali muncul

    ke permukaan, yang menginginkan agar NU sebagai organisasi yang

    berorientasi pada bidang sosial keagamaan bukan pada bidang politik. Hal

    ini didasarkan pada perkembangan politik yang tidak menguntungkan bagi

  • 30

    NU dan sekaligus peranan NU dalam urusan sosial keagamaan mulai

    terbengkalai.

    Pada tahun 1983 dewan syuriah PBNU membentuk sebuah komite

    yang diketuai oleh KH. Ahmad Shiddiq dan sekretarisnya adalah Gus Dur,

    salah satu pembahasan dalam komite tersebut adalah mengenai keharusan

    NU untuk kembali ke khittah 1926 dengan menjadikan NU sebagai

    organisasi sosial keagamaan.44

    Dalam tataran konsepsional, menjadikan NU sebagai organisasi

    sosial keagamaan telah berhasil namun dalam tataran operasional belum

    bisa dikatakan berhasil karena masih terikat dengan PPP, memulihkan

    khittah 1926 berhasil secara konsepsional dan operasional terjadi pada

    muktamar ke-27 tahun 1984 di Situbondo yang sebelumnya dibahas dalam

    Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama yang dilaksanakan pada tahun

    1983,45 sebuah momentum yang cukup mempopulerkan Gus Dur karena

    dalam Munas Alim Ulama tersebut Gus Dur ditunjuk sebagai ketua

    panitianya.

    Dilaksanakannya Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama NU

    tahun 1983 bermula ketika persoalan pelik mulai menimpa NU, yakni

    mengenai rencana pemerintah yang akan menyeragamkan ideologi

    Pancasila terhadap semua ormas yang ada di Indonesia. Jika ada ormas

    yang menolak terhadap penyeragaman ideologi ini ormas tersebut akan

    langsung dibubarkan oleh pemerintah. Persoalan ini kemudian dibawa ke

    44 Greg Barton, Biografi Gus Dur, h. 161 45 Bahrul Ulum, BODOHNYA NU APA NU DIBODOHI" ?..., h. 87-89

  • 31

    Musyawarah Nasional Alim Ulama NU 46 yang dilaksanakan pada tahun

    1983 di Situbondo.

    Sebelum Munas Alim Ulama pada tahun 1983 dilaksanakan para

    tokoh senior menunjuk Gus Dur menjadi ketua panitianya, dan munas

    tersebut merupakan sebuah momentum yang cukup mempopulerkan Gus

    Dur, karena Gus Dur banyak berinteraksi dengan banyak pihak baik

    dengan internal maupun ekternal NU.

    Dalam Munas (Musyawarah Nasional) Alim Ulama tersebut, Gus

    Dur mengemukakan pandangannya tentang Pancasila dengan

    argumentatif, dan tidak sedikit peserta Munas yang menentang pandangan-

    pandangannya tersebut, namun setelah debat berjalan secara serius, pada

    akhirnya peserta munas dapat menerima pandangan Gus Dur tentang

    Pancasila.

    Setelah debat selesai para tokoh senior NU memberikan apresiasi

    kepada Gus Dur, karena Gus Dur berhasil meyakinkan peserta Munas

    dalam menerima Pancasila sebagai asas organisasi, bahkan ada sebagian

    yang menginginkan agar Gus Dur menjadi ketua umum PBNU berikutnya

    menggantikan Idham Chalid.47

    2. Menjadi Kader dan Ketua Umum PBNU

    Pada tahun 1970-an Gus Dur berpartisipasi aktif dalam sejumlah

    seminar, simposium dan konferensi tentang pembangunan nasional dan

    46 Musyawarah Nasional (Munas) adalah forum tertinggi dalam NU di bawah Muktamar, kegiatan ini dilaksanakan setidaknya setiap lima tahun sekali di antara dua muktamar. Kegiatan Musyawarah Nasional berisi pembahasan masalah-masalah keagamaan yang menjadi porsi syuriah. H. Sulaiman Fadeli & Muhammad Subhan, ANTOLOGI NU...h. 82

    47 Greg Barton, Biografi Gus Dur, h. 163-166

  • 32

    melalui kesempatan inilah ia menarik perhatian publik pada peran

    pesantren sebagai agen pembangunan komunitas pedesaan dan

    pengembangan masyarakat demokratis di tingkat pedesaan.48

    Melihat potensi yang dimiliki oleh Gus Dur kemudian Kakeknya

    dari pihak ibu, KH. Bisri Syansuri - yang pada saat itu menjabat sebagai

    Rais `am PBNU - mengajak Gus Dur untuk terlibat dalam kepengurusan

    Syuriah PBNU, Gus Dur baru menerima ajakan kakeknya tersebut pada

    tawaran yang ketiga, itu pun atas nasehat ibunya, dan Gus Dur pun masuk

    dalam jajaran kepengurusan PBNU, ia duduk sebagai sekretaris muda

    syuriah.49

    Gus Dur mulai populer baik di lingkungan NU maupun Pemerintah

    setelah dilaksanakannya Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama NU

    di Situbondo, kepopuleran ini kemudian menjadikan Gus Dur terpilih

    menjadi Ketua Umum PBNU dalam Muktamar ke-27 NU di Situbondo.

    Proses pemilihan kepemimpinan pada Muktamar ke-27 NU di

    Situbondo adalah dengan membentuk komisi khusus yang akan

    memutuskan

    komposisi pemimpin baru, dalam tradisi sunni disebut dengan ahl al-halli

    wa al-`aqdi, komisi ini dibentuk oleh KH. As`ad Syamsul Arifin dan

    terdiri dari enam orang lainnya. Komisi tersebut kemudian mengangkat

    Gus Dur dan KH. Achmad Siddiq masing-masing menjadi ketua umum

    48 ENSIKLOPEDI OXFORD DUNIA ISLAM MODERN, Penj. Eva Y. N, dkk,

    (Bandung: Mizan; 2001), Jilid I, cet. I, h. 16 49 Greg Barton, Biografi Gus Dur, h. 120-121

  • 33

    dan Rais `Amm PBNU Periode 1984-1989.50

    Gus Dur menjabat Ketua umum PBNU selama tiga periode berturut-

    turut, periode pertama dari tahun 1984-1989, periode kedua dari tahun

    1989-1994 dan periode ketiga dari tahun 1984 sampai 1999, pada

    Muktamar ke-30 NU tahun 1999 di Lirboyo Gus Dur adalah Presiden RI,

    dengan demikian Gus Dur mesti turun dari jabatan ketua umum PBNU,

    hal ini bisa dikatakan ironis karena pada saat Gus Dur menjadi Presiden

    Gus Dur masih menjabat sebagai ketua umum PBNU.51

    B. HASYIM MUZADI

    Nama lengkap Hasyim Muzadi adalah Ahmad Hasyim Muzadi, ia

    dilahirkan di Bangilan, Tuban, Jawa Timur pada tanggal 8 Agustus 1944.

    Ayahnya adalah seorang pengusaha yang terhitung sukses, walau pun secara

    genealogis-biologis ayahnya bukan seorang Kiai yang memiiki pondok

    pesantren, namun ayahnya Hasyim adalah seseorang yang memiliki kecintaan

    dan ke-takdzim-an kepada ulama,52 anak yatim dan anak-anak yang tidak

    mampu.53

    Kecukupan secara materi dari keluarga menjadikan Hasyim mudah

    dalam mengenyam pendidikan formal, hingga Hasyim dapat mengikuti

    50 Greg Barton, Biografi Gus Dur, h. 167-169 51 Disebut ironis karena hal ini jelas mencederai hasil Muktamar NU di Situbondo tahun

    1984. 52 Sifat dan sikap sang ayah ini bisa dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk

    menilai pengaruhnya terhadap sosok Hasyim Muzadi, karena dalam kitab talim al-muta`allim dijelaskan bahwa barang siapa yang menginginkan anaknya menjadi orang alim, maka seyogyanya ia menjaga, memuliakan, menghormati dan memberi segala sesuatu kepada alim ulama (fuqaaha). Syekh Azzarnuji, Ta`lim al-Muta`llim; thariqat al-ta`allum, (Semarang: Karya Thaha Putra; tt), h.17

    53 Drs. Ibnu Asrori, Sh., MA., KH. Hasyim Muzadi; Religiusitas & Cita-cita Good Governance, ( Sidoarjo: Citra Media; 2004), cet. I, h. 15-16

  • 34

    pendidikan di Kuliyyatul Mu`allimin Islamiyyah (KMI) Pondok Modern

    Gontor Ponorogo, sebuah lembaga pendidikan Islam yang mengembangkan

    khazanah pemahaman Islam yang berbasis pada modernisasi ajaran, dan

    lembaga ini pun dikenal sebagai lembaga pendidikan yang menjunjung tinggi

    kedisplinan dan profesionalitas.

    Setelah menamatkan pendidikan dan mengabdi di Gontor, pada tahun

    1964 Hasyim melanjutkan pendidikan tinggi di IAIN Sunan Ampel Malang

    dan tinggal bersama kakaknya KH. Muchid Muzadi, dari sinilah ia

    mendapatkan bimbingan dan arahan dari kakaknya yang pada saat itu telah

    menjadi seorang tokoh NU yang disegani oleh warga nahdliyyin karena

    kedalaman ilmu yang dimilikinya.54

    Jiwa kepemimpinan Hasyim tumbuh ketika ia mulai aktif di organisasi

    yang berbasiskan NU, karena ia selalu terpilih menjadi ketua di beberapa

    organisasi tersebut, yakni Gerakan Pemuda Ansor, Pergerakan Mahasiswa

    Islam Indonesia (PMII), Kesatuan Aksi Mahasiswa Islam Indonesia (KAMI),

    Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan tentunya Nahdlatul Ulama.55

    1. Kondisi Sosio-politik

    Menjelang Hasyim Muzadi terpilih sebagai ketua umum PBNU, ada

    beberapa kondisi yang sedikit banyaknya turut mempengaruhi karirnya

    dalam kepemimpinan nasional NU, di antaranya adalah momentum

    gerakan reformasi pada tahun 1998.

    54 Drs. Ibnu Asrori, Sh., MA., KH. Hasyim Muzadi;.., h. 19-21 55 Drs. Ibnu Asrori, Sh., MA., KH. Hasyim Muzadi;.., h. 21- 23

  • 35

    Setelah sekian lama berkuasa, akhirnya pada tahun 1998 Soeharto

    dijatuhkan oleh people power yang tergabung dalam gerakan reformasi

    karena salah satu agenda utama reformasi adalah menurunkan Soeharto

    dari tampuk kekuasaan.

    Tokoh reformasi yang dikenal mendukung terhadap gerakan ini

    salah satunya adalah Gus Dur yang pada saat itu menjabat sebagai ketua

    umum PBNU, Gus Dur beserta tokoh-tokoh nasional lainnya membentuk

    kelompok yang dikenal dengan kelompok Ciganjur, tokoh-tokoh tersebut

    adalah Megawati Soekarno Putri, Amin Rais dan Sri Sultan

    Hamengkubuwono.

    Pada perkembangan selanjutnya PBNU menghimbau kepada seluruh

    jamiyah dan jama`ah NU agar dapat mengikuti agenda reformasi secara

    aktif, yang kemudian ditunjukkan dengan digelarnya istighosah56 oleh

    warga NU di

    berbagai daerah di Indonesia, istighosah ini dalam rangka memohon

    kepada

    Allah Swt. agar menyelamatkan bangsa Indonesia dari krisis dan musibah

    yang sedang terjadi,57 yakni krisis moneter dan instabilitas politik yang

    berdampak pada kerusuhan dan penjarahan di berbagai tempat.

    Kejadian yang tidak kalah fenomenal pada saat itu adalah kasus

    ninja dan dukun santet di Banyuwangi Jawa Timur, Hasyim yang ketika

    56 Istighosah artinya memohon pertolongan kepada Allah Swt. Istighosah dianjurkan

    oleh agama terutama ketika sedang menghadapi permasalahan yang rumit. H. Sulaiman Fadeli & Muhammad Subhan, ANTOLOGI NU: Sejarah-Istilah-Amaliah-Uswah.., h. 122

    57 Bahrul Ulum, BODOHNYA NU APA NU DIBODOHI" ?..., h. 132

  • 36

    itu menjabat Ketua Umum Pengurus Wilayah NU Jawa Timur berhasil

    meredam gejolak ini terutama kepada warga NU yang ada di daerah-

    daerah,58 dan nama Hasyim Muzadi mulai banyak dikenal ketika berhasil

    menyelesaikan kasus tersebut.59

    Setelah Rezim Orde baru tumbang dari kekuasaan di Indonesia,

    partai-partai politik mulai bermunculan, termasuk partai politik yang

    mengidentifikasikan dirinya sebagai partai politik NU dan partai

    politik yang pembentukannya difasilitasi oleh PBNU.

    Hal ini bermula ketika usulan yang masuk ke PBNU tentang partai

    politik sangat beragam, ada yang mengusulkan agar PBNU membentuk

    partai politik (parpol), ada juga yang mengusulkan agar PBNU menjadi

    partai politik, dan dari berbagai usulan yang masuk ke PBNU tersebut

    tercatat ada 39 nama parpol yang diusulkan dan nama parpol yang paling

    banyak muncul adalah Nahdlatul Ummah, Kebangkitan Ummat dan

    Kebangkitan Bangsa.60

    Setelah melalui berbagai rapat internal yang panjang, PBNU pada

    akhirnya mendeklarasikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Gus

    Dur yang pada saat itu masih menjabat sebagai ketua umum beberapa kali

    memberikan statement bahwa PKB adalah satu-satunya partai politik yang

    mendapat legitimasi dari NU.

    58 Drs. Ibnu Asrori, Sh., MA., KH. Hasyim Muzadi..., h. 24 59 Risalah Nahdlatul Ulama, Edisi 14/Tahun III/1431 H, h. 11 60 Musa Khazim dan Alfian H.amzah., 5 Partai Dalam Timbangan, (Bandung: Pustaka

    H.idayah.; 1999), Cet. I, h. 237-238

  • 37

    Setelah PKB berdiri, kontroversi mulai mencuat, karena

    menganggap PBNU telah mencederai hasil muktamar ke-27 NU ditambah

    lagi dengan haluan partai yang menginginkan Negara sekuler, dari pro-

    kontra terhadap pembentukan PKB tersebut Hasyim Muzadi yang pada

    saat itu menjabat sebagai ketua Umum PWNU Jawa Timur berada pada

    posisi yang pro, karena menurutnya di era multi partai ini NU harus

    memiliki kendaraan politik yang under control NU karena kepentingan

    NU tidak mungkin tumbuh dalam sebuah aliran politik yang

    kepentingannya berbeda secara diametral.61

    Pasca Soeharto turun dari kursi kepresidenan, ia melantik wakilnya

    B. J. Habibie menjadi Presiden Republik Indonesia yang ketiga, namun

    beberapa kalangan merasa bahwa Habibie merupakan pendukung rezim

    orde baru yang akan menjadi penghambat dalam proses reformasi di

    Indonesia, oleh sebab itu mesti dilakukan Pemilihan umum.

    Untuk menyelenggarakan Pemilihan Umum pemerintah membentuk

    KPU yang kemudian ditetapkan melalui Keputusan Presiden (Keppres)

    No. 77/M/1999,62 setelah pemilihan umum dilaksanakan, PKB berada di

    posisi ketiga dengan persentasi suara 10, 2 % setelah PDIP yang

    memperoleh 30, 8 %, Partai Golkar 24 % dan PPP 11, 8 %.63

    Koalisi partai dalam parlemen untuk memilih Presiden diprediksikan

    akan terbagi menjadi dua kubu, yakni kubu PDIP yang menjagokan

    Megawati sebagai calon Presidennya dan kubu Golkar yang menjadikan

    61 Bahrul Ulum, BODOH.NYA NU APA NU DIBODOH.I..., h. 136-141 62 Bahrul Ulum, BODOH.NYA NU APA NU DIBODOH.I..., h. 154 63 Bahrul Ulum, BODOH.NYA NU APA NU DIBODOH.I..., h. 155

  • 38

    Habibie sebagai calon Presidennya, namun beberapa waktu kemudian

    untuk mengimbangi kedua kekuatan tersebut Amien Rais membentuk

    kekuatan ketiga yang disebut dengan poros tengah, poros tengah ini

    merupakan koalisi partai-partai politik Islam yang ada di parlemen dan

    Gus Dur adalah calon presiden dari poros tengah.64

    Pada perkembangan selanjutnya Habibie mengundurkan diri sebagai

    calon Presiden, dengan demikian yang menjadi kontestan dalam pemilihan

    Presiden adalah Gus Dur dan Megawati. Pemilihan Presiden dilaksanakan

    pada pada tanggal 20 Oktober 1999 dan menjelang detik-detik akhir

    pemungutan suara gemuruh lantunan shalawat mulai menggema di dalam

    gedung DPR/MPR hal ini merupakan simbol bahwa Gus Dur sudah bisa

    dipastikan akan menjadi Presiden Republik Indonesia,65 pada saat Gus Dur

    terpilih menjadi Presiden Gus Dur masih menjabat ketua umum PBNU.

    Tahun 1999 adalah masa berakhirnya kepemimpinan Gus Dur di

    PBNU, Gus Dur tidak mungkin maju lagi menjadi ketua umum atau rais

    `amm PBNU karena posisinya adalah Presiden Republik Indonesia.

    Jabatan ketua umum tersebut akan dilepaskan oleh Gus Dur pada

    Muktamar ke-30 NU, tempat yang dipilih dalam muktamar tersebut adalah

    Pondok Pesantren Lirboyo Kediri Jawa Timur.

    Tempat dilaksanakannya muktamar ke-30 NU adalah di Jawa Timur,

    dan pada saat itu Hasyim Muzadi adalah ketua umum PWNU Jawa Timur,

    dan tentu Hasyim memiliki keterlibatan dalam menyiapkan agenda lima

    64 Greg Barton, Biografi Gus Dur, h. 360-363 65 Greg Barton, Biografi Gus Dur, h. 166

  • 39

    tahunan tersebut, termasuk di dalamnya adalah pemilihan ketua umum

    PBNU.

    2. Menjadi Kader dan Ketua Umum PBNU

    Hasyim Muzadi adalah kader NU yang merintis karir dan

    kepemimpinannya dari bawah, sejak tahun 1966 ia telah menjadi kader

    sekaligus ketua NU, pengalamannya dalam berorganisasi yang cukup

    panjang lambat laun mengantarkan karirnya terus menanjak.

    Berikut ini adalah profil singkat karir Hasyim dalam NU yang terus

    menanjak dari waktu ke waktu; Ketua Ranting NU Bululawang-Malang,

    (1964), Ketua Anak Cabang Gerakan Pemuda Ansor Bululawang-Malang

    (1965), Ketua Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII)

    Malang (1966), Ketua kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI)

    Malang (1966), Ketua Cabang GP Ansor Malang (1967-1971), Wakil

    Ketua Pengurus Cabang NU Malang (1971-1973), Ketua Pengurus

    Cabang PPP Malang (1973-1977), Ketua Pengurus Cabang NU Malang

    (1973-1977), Ketua Pengurus Wilayah GP Ansor Jawa Timur (1983-

    1987), Ketua Pengurus Pusat GP Ansor (1987-1991), Sekretaris Pengurus

    Wilayah NU Jawa Timur (1987-1988), Wakil Ketua Pengurus Wilayah

    NU Jawa Timur (1988-1992), Ketua Pengurus Wilayah NU Jawa Timur

    (1992-1999).66

    Pada tahun 1999, NU mengadakan muktamar ke-30 yang

    bertempat di Lirboyo Jawa Timur, dalam muktamar tersebut Hasyim maju

    66 Drs. Ibnu Asrori, SH., MA., KH. Hasyim Muzadi, h. 21-23

  • 40

    sebagai calon ketua umum PBNU periode 1999-2004, bersaing dengan

    beberapa kandidat lain, namun saingan yang paling berat untuk Hasyim

    adalah Said Aqil Siradj, yang pada saat itu menjabat sebagai katib `amm

    Syuriah PBNU dan sekaligus sebagai ketua panitia pusat muktamar ke-30

    NU, hasil perolehan suara dari pemilihan tersebut Hasyim memperoleh

    205 suara dan disusul oleh Said Aqil Siradj yang mengantongi 105 suara,67

    dengan demikian Hasyim resmi terpilih menjadi ketua umum PBNU untuk

    periode 1999-2004.

    Hasyim menjabat sebagai ketua umum PBNU selama dua periode,

    periode pertama dari tahun 1999 sampai 2004, pada periode ini Hasyim

    masuk dalam bursa calon wakil Presiden RI bergandengan dengan

    Megawati Soekarno Putri, ironisnya pada saat yang sama Hasyim masih

    menjabat ketua umum PBNU walau pun dengan status non-aktif,68 periode

    kedua kepemimpinan Hasyim di PBNU adalah dari tahun 2004 sampai

    tahun 2009 dan pada Muktamar ke-32 NU tahun 2009 di Makassar

    Hasyim turun dari jabatan ketua umum PBNU dan memilih untuk tidak

    maju lagi dalam bursa calon ketua umum PBNU periode 2009-2014.

    67 Muhammad Shodiq, Dinamika Kepemimpinan NU; Refleksi Perjalanan KH. Hasyim

    Muzadi, (Surabaya: LTN NU Jawa Timur; 2004), cet. I, h. 181 68 Disebut ironis karena hal ini jelas mencederai hasil Muktamar NU di Situbondo tahun

    1984.

  • 41

    BAB IV

    PERILAKU POLITIK ABDURRAHMAN WAHID

    DAN HASYIM MUZADI

    A. Perilaku Politik Abdurrahman Wahid

    Gus Dur menjabat ketua umum PBNU sejak terpilih dalam muktamar

    Situbondo tahun 1984, ia terpilih menjadi pemimpin NU karena sebelumnya

    ia sering berinteraksi dengan beberapa kalangan, baik dengan kalangan

    internal NU maupun eksternal NU, sehingga baik langsung maupun tidak

    langsung Gus Dur mendapatkan dukungan untuk menjadi pemimpin NU

    periode berikutnya.

    Selain itu, menjelang muktamar NU di Situbondo dilaksanakan Gus

    Dur ditunjuk sebagai ketua panitia musyawarah nasional alim ulama NU,

    dalam musyawarah nasional alim ulama tersebut seakan turut

    mempromosikan pemikiran dan intelektualitas Gus Dur yang dinamis dan

    progresif, sehingga mengundang decak kagum baik dari kyai sepuh maupun

    para peserta Munas.

    Gus Dur menjabat ketua umum PBNU selama tiga periode (dari tahun

    1984 sampai 1999; masing-masing periode selama lima tahun), dan perilaku

    politik Gus Dur selama memimpin NU yang akan dijadikan objek penelitian

    adalah menyangkut gaya kepemimpinan, faktor yang mempengaruhi gaya

    kepemimpinan, gerakan politik serta pengaruh dan wibawanya.

  • 42

    1. Gaya Kepemimpinan

    Sejak Gus Dur terpilih sebagai ketua umum PBNU, ia dikenal

    sebagai sosok yang kontroversial, kontroversi ini adalah sebagai ekses

    dari sikap Gus Dur yang mengambil kebijakan dan keputusan

    cenderung tidak melibatkan anggota yang lain.

    Menurut tipologi kepemimpinan yang dilihat dari proses

    kepemimpinan, hal ini tidak bisa lepas dari seorang Gus Dur yang

    memiliki tipologi pemimpin yang autokratis, yakni sebuah tipologi

    pemimpin yang identik dengan pemusatan otoritas pada pemimpin

    dan dalam pengambilan keputusan lembaga sangat bergantung

    padanya.1 Menurut Greg Barton, Gus Dur memang memiliki gaya

    kepemimpinan seperti ini apalagi setelah KH. Ahmad Siddiq

    meninggal dunia.2

    KH. Ahmad Siddiq sendiri merupakan sosok yang dikagumi dan

    disegani oleh Gus Dur, selain karena secara struktural KH. Ahmad

    Siddiq adalah atasannya di PBNU yang menjabat sebagai Rais `amm,

    KH. Ahmad Siddiq juga memiliki karisma dan wibawa tersendiri bagi

    Gus Dur, sebagaimana yang ia ungkapkan dalam sebuah tulisannya di

    Kompas.3

    Masih menurut Greg Barton, selama Gus Dur menjabat ketua

    1 S.G. Hunneryager & I. L. Heckman, ed. Kepemimpinan (Semarang: Dahara Prize:

    1992), cet. I, h. 10 2 Greg Barton, Biografi Gus Dur, h. 227 3 Abdurrahman Wahid, In Memoriam: Kiai Achmad Shiddiq, dalam Frans M. Parera&T.

    Jakob Koekerits (Peny.), Gus Dur Menjawab Perubahan: Kumpulan Pemikiran KH. Abdurrahman Wahid, (Jakarta: Kompas: 2000), cet. II, h. 95-101

  • 43

    umum PBNU ia selalu bertindak sendiri, hal ini bukan dikarenakan

    Gus Dur tidak dapat bergaul dengan orang lain atau tidak mampu

    membuat aliansi, melainkan hal ini dikarenakan beberapa alasan, salah

    satunya adalah kurangnya Sumber Daya Manusia.4 Gus Dur sering

    melakukan tindakan yang menurutnya dianggap benar.

    Tipologi kepemimpinan Gus Dur ini misalnya adalah Gus Dur

    mendirikan sejumlah Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Nusumma,5

    padahal sebagian besar ulama NU mempersoalkan BPR Nusumma

    karena selain program tersebut bekerjasama dengan konglomerat Cina,

    yakni Edward Suryadjaja, BPR tersebut juga menganut sistem bunga

    bank dan menurut para ulama NU bunga tersebut adalah haram, namun

    Gus Dur tidak mempedulikan kritikan tersebut dan tetap melangkah

    sehingga BPR Nusumma tumbuh di berbagai daerah.6

    Gus Dur mengakui bahwa dalam tradisi NU, kaidah fiqh

    merupakan hal utama dalam mengambil kebijakan dan menurut Gus

    Dur fiqh sendiri dalam memandang sesuatu terdapat aneka ragam

    pilihan hukum yang bisa disesuaikan dengan berbagai kondisi.7

    Contoh lainnya adalah dalam melakukan rapat akbar untuk

    merayakan ulang tahun yang ke-66 berdirinya NU, Gus Dur hampir

    tidak melakukan konsultasi dengan rekan-rekannya, menurut Greg

    4 Greg Barton, Biografi Gus Dur, hal. 346-347 5 BPR ini merupakan hasil kerjasama antara NU dan Bank Summa, sehingga dinamai

    BPR Nusumma. 6 Drs. H. A. Nasir Yusuf, ed. NU dan Gus Dur, h. 36-37. 7 Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan: Nilai-Nilai Indonesia&Transformasi

    Kebudayaan, (Jakarta: The Wahid Institute; 2007), cet. I, h. 219

  • 44

    Barton hal ini merupakan gaya khasnya Gus Dur.8

    Selain itu, jika dilihat dari hasil proses kepemimpinan, Gus Dur

    masuk dalam kategori pemimpin moderat, karena ketika memimpin

    NU, dalam mencapai tujuannya Gus Dur lebih memilih menggunakan

    dialog dari pada dengan tindakan-tindakan kekerasan serta masih

    menggunakan unsur-unsur dan sistem-sistem rezim lama dalam

    kepengurusan NU.

    Hal ini merupakan sesuatu yang sudah menjadi prinsip dalam

    lingkungan NU, prinsip tersebut adalah al-muhafadzah ala qodim al-

    shalih wa akhdzu bil jadid al-aslah (mempertahankan tradisi lama

    yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik), prinsip ini bisa

    diibaratkan seperti sebuah rel kereta api, NU adalah keretanya dan

    masinisnya adalah ketua umum, jadi siapa pun ketua umumnya akan

    selalu berada pada jalur rel tersebut.

    Indikatornya adalah ketika menjadi ketua umum PBNU Gus Dur

    tidak tercatat melakukan sebuah tindakan yang menjadi ciri khas dari

    pemimpin ekstrem, yaitu tindakan-tindakan kekerasan untuk mencapai

    tujuannya.

    Jika dilihat dari hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin,

    Gus Dur masuk dalam kategori pemimpin transformatif, karena Gus

    Dur mencoba melakukan peningkatan gairah berpikir dalam tubuh NU

    dengan cara memberikan restu serta mendukung gerakan halaqah dan

    8 Greg Barton, Biografi Gus Dur, h. 227

  • 45

    forum-forum kajian untuk mengeksplorasi berbagai pemikiran, hal ini

    dilakukan agar pemikiran-pemikiran NU bisa dinamis dan fleksibel

    sesuai dengan konteks kekinian. Dengan demikian Gus Dur bisa

    dikatakan sebagai pemimpin transformatif.

    Seperti yang telah disinggung sebelumnya, tipologi

    kepemimpinan Gus Dur yang dilihat dari proses kepemimpinan, Gus

    Dur masuk dalam kategori autokratis, namun jika dilihat dari karakter

    kepemimpinan, Gus Dur masuk dalam kategori pemimpin yang aktif-

    positif, karena ia sering terlibat dalam beberapa keputusan yang dibuat

    sendiri dan kemudian Gus Dur melaksanakan keputusan tersebut serta

    menganggap bahwa apa yang ia lakukan bernilai positif.

    Karakter kepemimpinan ini mulai terlihat ketika Gus Dur

    menjabat ketua umum pada akhir periode pertama, sikap Gus Dur yang

    seolah melangkah sendiri dan tanpa menghiraukan kritik apalagi

    masukan dari orang lain menunjukkan bahwa ia merupakan pemimpin

    yang aktif-positif.

    Misalnya ketika menjabat sebagai ketua umum PBNU Gus Dur

    memberikan apresiasasi dan menyokong terhadap rasionalitas yang

    diperkenalkan oleh Mu`tazilah dan usahanya dalam pribumisasi Islam

    di Indonesia, hal ini membuat resah kiai konservatif yang telah lanjut

    usia, namun Gus Dur memberikan dalih bahwa Jika NU ingin

    mendapatkan tempat di dunia modern maka NU harus melakukan hal

  • 46

    tersebut.9

    Adapun Sumber kekuasaan yang dimiliki oleh Gus Dur adalah

    lebih bersumber dari kepemimpinan karismatik, karena walaupun

    secara legal-formal Gus Dur adalah ketua umum PBNU yang mendapat

    legitimasi secara konstitusi, namun sumber kekuasaan yang dimilikinya

    lebih pada asumsi bahwa Gus Dur adalah seorang yang mempunyai

    sebuah karisma tersendiri. Kekarismatikannya Gus Dur ini lahir

    sebagaimana yang disebutkan oleh Greg Barton mengatakan bahwa:

    Walaupun Gus Dur, dalam banyak hal, adalah seorang manajer yang buruk dan hampir tidak melakukan reformasi apa pun dalam bidang administrasi organisasi, ia telah memberikan kontribusi besar dalam mengubah kultur kaum cendekiawan. Barangkali kontribusi Gus Dur yang terbesar kepada warga NU, dan khususnya yang muda-muda, adalah bahwa ia memberikan kepercayaan kepada mereka untuk menjelajahi ide-ide baru dan juga melakukan usaha-usaha baru. Walaupun popularitas Gus Dur di antara orang-orang muda NU sangat besar, ia tidak mau membina hubungan mentor-protege antara dirinya dan pemimpin-pemimpin muda. Tampaknya ia sengaja menciptakan suatu kondisi agar orang-orang muda ini dapat berkiprah dalam diskusi-diskusi kritis, tanpa dirinya harus secara langsung memberikan bimbingan. Lantas generasi muda NU menganggapnya sebagai tokoh karismatik dan bisa memberikan inspirasi. Gus Dur menurut mereka memberikan semacam izin untuk mencoba hal-hal baru dan menjelalahi ide-ide baru. 10

    Bukan hanya itu saja, kekarismatikannya Gus Dur pun lahir dari

    sisi genealogis, karena secara genealogis Gus Dur merupakan cucu dari

    pendiri NU, baik dari pihak ibu maupun ayah, dalam tradisi NU para

    santri dan mantan santri harus menghormati kyai berikut keluarganya

    kyai, ini dilakukan agar bisa mendapatkan barokah dari kyai tersebut.

    9 Greg Barton, Biografi Gus Dur, h. 211-212 10 Greg Barton, Biografi Gus Dur, h. 190-191

  • 47

    2. Pengaruh dan Wibawa

    Gus Dur adalah seorang intelektual yang memiliki pengetahuan

    dari dua dunia, yakni timur dan barat, ketika memimpin NU Gus Dur

    mencoba menularkan intelektualitasnya ini kepada warga NU khususnya

    anak-anak muda NU yang memiliki gairah untuk menjelajahi aneka

    ragam pemikiran, dengan sendirinya intelektualitas yang dimiliki oleh

    Gus Dur ini kemudian menjadi sebuah media untuk mendapatkan sumber

    kekuasaan karismatik, ke-karismatik-annya ini dengan sendirinya

    menjadikan Gus Dur cukup berpengaruh dalam lingkungan warga NU.

    Pada perkembangan selanjutnya, saking kuatnya pengaruh Gus Dur

    dalam NU, ada sebuah anekdot yang mengatakan bahwa Gus Dur + NU

    = Gus Dur dan NU + Gus Dur = Gus Dur,11 anekdot tersebut dapat

    menunjukkan bahwa pengaruh Gus Dur dalam NU begitu dominan,

    karena antara NU dan Gus Dur seolah bisa dikatakan seperti dua sisi

    mata uang.

    Pengaruh Gus Dur dalam NU kemudian sekaligus menjadikannya

    berwibawa,12 wibawa ini bukan hanya karena keintelektualan yang

    dimilikinya, melainkan juga karena Gus Dur adalah cucu dari pendiri NU

    baik dari pihak ibu maupun ayah, bahkan KH. As`ad Syamsul Arifin,

    seorang tokoh senior NU yang cukup berkarisma mengakui bahwa ia

    tidak dapat memarahi Gus Dur dengan alasan bahwa ia adalah cucu dari

    11 Musa Khazim&Alfian Hamzah, ed. Lima Partai dalam timbangan , h. 234 12 Namun rupanya wibawa Gus Dur lebih kuat pada kelompok kultural NU (terutama

    dalam kalangan muda NU yang mendapat pencerahan pemikiran dari Gus Dur) dari pada kelompok yang ada dalam struktural NU. Mungkin hal ini sebagai ekses dari gaya kepemimpinan Gus Dur yang autokratis.

  • 48

    gurunya, yakni KH. Hasyim Asy`ari, karena dalam tradisi pesantren

    dituntut untuk menghormati kyai dan keluarganya kyai.

    3. Faktor yang mempengaruhi perilaku politik

    Gus Dur adalah seorang intelektual yang memiliki dunia dimensi

    keilmuan, yakni Islam dan Barat, kapasitas keintelektualannya ini

    kemudian dijadikan sebagai landasan Gus Dur dalam mengelola NU,

    Kacung Marijan mengatakan bahwa selama memimpin NU, Gus Dur lebih

    menggunakan kapasitas keintelektualannya ketimbang sebagai

    administrator.13

    Sebagaimana ciri intelektual, yang selalu memproduksi gagasan,

    Gus Dur pun memimpin NU dengan berbagai gagasan, mulai dari

    masalah-masalah politik, sosial dan keagamaan, gagasan tersebut

    kemudian diaktualisasikan dalam sebuah tindakan atau perilaku, termasuk

    di dalamnya adalah perilaku politik.

    Perilaku politik tersebut di antaranya adalah konsistensi Gus Dur

    dengan Pancasila yang dipahami oleh Gus Dur, konsistensi Gus Dur ini

    terlihat ketika Gus Dur dalam memandang pancasila di satu sisi terkadang

    pro status quo dengan pemerintah, namun di sisi lain menjadi oposan

    pemerintah, atau dengan kata lain terkadang Gus Dur menjadikan

    Pancasila sebagai tameng ketika berhadapan dengan pemerintah, dan

    terkadang pula Gus Dur menjadikan pancasila sebagai senjata untuk

    melawan Pemerintah.

    13 Drs. A. A. Nasir Yusuf, ed. NU dan Suksesi, (Bandung: Humaniora Utama Press;

    1994), cet. I, h. 94

  • 49

    Pancasila dijadikan sebagai tameng oleh Gus Dur ketika ia - pasca

    Muktamar ke-27 NU di Situbondo - menunjukkan komitmennya dengan

    ideologi pancasila, sehingga ia diangkat oleh Soeharto menjadi

    indoktrinator resmi pancasila yang dikenal dengan nama Manggala

    Nasional.14

    Menurut Gus Dur bangsa Indonesia adalah bangsa yang plural,

    sehingga sulit untuk menerima negara agama (teokrasi), tapi bangsa

    Indonesia juga adalah bangsa yang relijius, sehingga sulit untuk menerima

    sekularisme, maka alternatif yang tepat adalah Pancasila, karena ia berada

    di antara keduanya.15

    Sementara pancasila dijadikan senjata oleh Gus Dur ketika ia hendak

    menolak pencalonan Soeharto menjadi Presiden berikutnya pada tahun

    1991, bentuk penolakan ini dengan melakukan Rapat Akbar NU yang

    bertempat di Senayan dengan tema yang diusung adalah tentang

    komitmen NU dalam mendukung Pancasila, hal ini dilakukan untuk

    mencegah Soeharto dalam memonopoli makna pancasila, karena Soeharto

    sering memberikan legitimasi terhadap tindakan-tindakan intimidasinya

    dengan menggunakan dalih pancasila.16

    Menurut Gus Dur, harus ada alternatif lain atas penafsiran pancasila

    selain untuk mencegah monopoli atas pemaknaan pancasila oleh

    pemerintah, juga untuk meminimalisir munculnya ideologi lain yang akan

    14 Greg Barton, Biografi Gus Dur, h.182 15 Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama Masyarakat Negara

    Demokrasi, (Jakarta: The Wahid Institute: 2006), cet I, h. 116-118 16 Darwis, Elyasa KH, ed., Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil, (Yogyakarta: LKiS,

    2010), cet. III, h. 108

  • 50

    menggantikan pancasila yang telah dikebiri oleh pemerintah, yakni dengan

    ideologi Islam.17

    4. Gerakan Politik

    Sejak terpilih sebagai ketua umum PBNU Gus Dur memilih untuk

    membina hubungan baik dengan Soeharto, pada periode

    kepemimpinannya ini (1984-1989) NU mendapatkan perlakuan istimewa

    dari pemerintah, menurut Greg Barton, setelah hubungan NU dan

    pemerintah membaik sejumlah keuntungan besar masuk kepada NU,

    misalnya kerja sama yang erat dengan departemen Agama,18 diangkatnya

    Gus Dur menjadi anggota MPR mewakili Golkar,19 diangkatnya orang-

    orang NU masuk dalam birokrasi dan Golkar serta madrasah-madrasah

    dan guru-gurunya yang merupakan basis NU mendapatkan perhatian

    khusus dari pemerintah,20 namun hubungan baik tersebut tidak

    menjadikan Gus Dur lemah dalam mengkritisi Soeharto, sebaliknya

    Gus Dur tetap mempertahankan sikap kritisnya terhadap

    Soeharto.21

    Sikap Gus Dur tersebut dapat menunjukkan bahwa Gus Dur adalah

    seorang yang masuk dalam Presurre Group/Interest Group (kelompok

    penekan/kelompok kepentingan), yang mempunyai kepentingan untuk

    mempengaruhi terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah.

    17 Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita, h. 89-90 18 Greg Barton, Biografi Gus Dur, h.180 19 Pengangkatannya ini hanya sekedar simbolik saja untuk melegitimasi pengangkatan

    Soeharto menjadi Presiden, namun menurut Greg Barton simbolisme inilah yang justru dianggap penting. Greg Barton, Biografi Gus Dur, h.183

    20 Bahrul Ulum, BODOHNYA NU APA NU DIBODOHI" ?..., h. 102 21 Greg Barton, Biografi Gus Dur, h.183

  • 51

    Misalnya dalam kontroversi pembuatan waduk kedung ombo di

    Jawa tengah, Gus Dur mengkritisi pemerintah dengan lantang, karena ada

    beberapa kerugian yang harus ditanggung dalam proyek tersebut, di

    antaranya adalah proyek tersebut akan merusak lingkungan, selain itu

    pemerintah tidak adil dalam mengganti tanah para petani di daerah

    tersebut, alasan lainnya adalah sisa lahan dari proyek tersebut dijadikan

    lapangan golf yang mewah, hal tersebut menunjukkan sikap Soeharto

    yang mementingkan diri sendiri.22

    Perilaku politik Gus Dur yang lantang dalam mengkritisi

    pemerintah merupakan hasil dari pertimbangan dan perhitungan Gus Dur

    yang mempunyai paling tidak dua modal, pertama kedekatan Gus Dur

    dengan Benny Moerdani yang pada saat itu menjabat sebagai kepala

    badan intelejen, selain untuk mempengaruhi pikiran dalam tubuh militer,

    kedekatan ini dapat memberikan masukan yang berguna kepada Gus Dur

    sehingga Gus Dur dapat mengukur sejauh mana ia dapat mengkritik

    pemerintah tanpa menimbulkan reaksi amarah,23 kedua, menurut

    perhitungan Gus Dur, Soeharto enggan menentangnya untuk

    menghindari kemarahan warga NU yang jumlahnya mencapai puluhan

    juta jiwa.24

    B. Perilaku Politik Hasyim Muzadi

    22 Greg Barton, Biografi Gus Dur, h. 188 23 Greg Barton, Biografi Gus Dur, h. 182-183 24 Greg Barton, Biografi Gus Dur, h. 187

  • 52

    Hasyim Muzadi menjabat ketua umum PBNU sejak ia terpilih dalam

    muktamar di Lirboyo tahun 1999, Hasyim terpilih menjadi pemimpin NU

    karena ia dikenal sebagai seorang yang setia dan teguh membela Gus Dur25

    terutama dalam muktamar NU di Tasikmalaya pada tahun 1994, sebuah

    Muktamar NU yang benar-benar mendapatkan intervensi dari pemerintah26

    untuk menjegal Gus Dur agar Gus Dur tidak terpilih kembali menjadi ketua

    umum PBNU.27

    Hal lain yang memberikan pengaruh dalam terpilihnya Hasyim

    adalah ketika menjelang muktamar NU di Lirboyo dilaksanakan, Hasyim

    memberikan kontribusi yang besar dalam mendulang suara PKB di Jawa

    Timur,28 sebagaimana diketahui, PKB adalah anak emas partai politik NU,

    karena PKB merupakan sebuah partai politik yang dibentuk dan

    25 Hasyim adalah pendamping Gus Dur di NU, karena selama kurang lebih 20 tahun

    (yakni sejak Gus Dur masuk dalam jajaran PBNU pada tahun 1979 sampai Gus Dur turun dari jabatan ketua umum PBNU pada tahun 1999) Hasyim selalu mengikuti dan sharing dengan Gus Dur mengenai langkah dan pemikiran Gus Dur di NU, dan ketika Gus Dur menjabat ketua umum PBNU Hasyim adalah justifikator Gus Dur yang selalu memberikan penjelasan kepada grass root NU atas pernyataan-pernyataan Gus Dur yang dianggap kontroversial, seperti mengenai kontroversi pandangan Gus Dur tentang ucapan assalamu`alaikum yang boleh diganti dengan selamat pagi dan kontroversi atas masuknya Gus Dur dalam yayasan Simon Perez di Israel. Wawancara dengan Hasyim Muzadi, Depok, 27 Oktober 2010

    26 Menurut Hasyim Muzadi, dari dahulu sampai saat ini tidak akan pernah ada kekuasaan di Indonesia yang menginginkan NU bersatu menjadi kekuatan politik di Indonesia, karena jika itu terjadi akan menganggu dan menghambat kekuasaan yang dimilikinya, dan ketika perpecahan itu terjadi pemerintah akan selalu membela dan mendukung pihak yang lebih kecil, dan dalam muktamar NU di Tasikmalaya pemerintah mendukung Abu Hasan menjadi ketua umum PBNU. Wawancara dengan Hasyim Muzadi, Depok, 27 Oktober 2010.

    27 Menurut Andree Feillard (seorang peneliti NU asal Perancis), Hasyim Muzadi adalah salah seorang yang akti