Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

174
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user UPAYA PENANGGULANGAN PERAMBAHAN PADA KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Magister Program Studi Ilmu Hukum Minat Utama : Hukum Pidana Ekonomi Oleh : Mufrizal NIM : S330908008 PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010

Transcript of Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

Page 1: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

UPAYA PENANGGULANGAN PERAMBAHAN PADA KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI DALAM PERSPEKTIF

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

Tesis

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Magister Program Studi Ilmu Hukum

Minat Utama : Hukum Pidana Ekonomi

Oleh :

Mufrizal NIM : S330908008

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2010

Page 2: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

iv

PERNYATAAN

Nama : Mufrizal

NIM : S.330908008

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul : “Upaya

Penanggulangan Perambahan Pada Kawasan Taman Nasional Gunung

Ciremai Dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang

Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemya”, adalah benar-benar

karya saya sendiri. Hal yang bukan karya saya, dalam tesis tersebut diberi tanda

citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.

Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tersebut di atas tidak

benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik, yang berupa pencabutan

tesis dan gelar yang saya peroleh dari tesis tersebut.

Surakarta, April 2010

Yang membuat pernyataan,

Mufrizal

Page 3: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

vii

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT, atas ridho-Nya

akhirnya penulis dapat menyelesaikan Tesis yang berjudul “Upaya

Penanggulangan Perambahan Pada Kawasan Taman Nasional Gunung

Ciremai Dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang

Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemya”. Terselesaiakannya

tesis ini merupakan bagian rangkaian perjalanan panjang selama menimba Ilmu di

Universitas Sebelas Maret yang semata-mata sebagai rasa bhakti demi

mengemban tugas sebagai abdi Negara dan abdi sang khalik.

Ungkapan terima kasih yang utama penulis haturkan kepada kedua orang tua

Almarhum dan almarhumah tercinta, ibunda Nurlis dan ayahanda Muchtar yang

telah mengasuh, membesarkan dan mendidik sampai mencapai cita-cita yg

diinginkan semoga Allah SWT menerima segala amal bakti dan ditempatkan

disisi-Nya. Amien.

Terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada yang sangat saya

hormati Prof. Dr. H. Setiono, SH., MS., selaku pempimbing sekaligus Ketua

Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas

Maret Surakarta dan Ismunarno, S.H., M.Hum atas bimbingannya yang telah

mengarahkan, memotivasi serta memberikan ide-ide kreatif sejak penyusunan

proposal, seminar hasil penelitian sampai penulisan akhir tesis.

Ucapan terima kasih yang tulus dan mendalam penulis sampaikan kepada

yang terhormat :

1. Prof. Dr. dr. Samsul Hadi, Sp.KJ (K), selaku Rektor Universitas Sebelas

Maret Surakarta.

2. Menteri Kehutanan Republik Indonesia, Kepala Pusat Diklat Kehutanan,

Dirjen PHKA), Sekretaris Ditjen PHKA, Kepala Bagian Kepegawaian dan

Perlengkapan Ditjen PHKA, Kepala Bidang Penyelenggaraan Diklat

Pusdiklat Kehutanan, yang telah menfasilitasi penulis sehingga

berkesempatan menimba ilmu pada Program Studi Magister Ilmu Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Page 4: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

vii

3. Prof. Drs. Suranto, M.Sc,.Ph.D selaku direktur Program Pasca Sarjana

Universitas Sebelas Maret Surakarta.

4. Moh.Jamin, SH.,M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas

Maret Surakarta.

5. Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H,.M.Hum, selaku sekretaris Program Studi Ilmu

Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

6. Seluruh dosen pada program studi Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret

Surakarta yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

7. Ir.Kurung, MM selaku Kepala Balai Taman Nasional Gunung Ciremai dan

sekaligus atasan penulis yang memberikan izin lokasi penelitian, yang telah

meluangkan waktunya untuk berdiskusi dan memberikan masukan dalam

penulisan tesis ini, serta seluruh rekan-rekan sejawat di Kantor Balai Taman

Nasional Gunung Ciremai dan semua pihak yang telah banyak memberikan

bantuan kepada penulis selama menyusun tesis ini yang tidak dapat penulis

sebutkan satu persatu. Terimakasih atas segala bantuan dan dukungannya

semoga Allah SWT berkenan memberikan ganjaran atas kebaikannya.

8. Rekan-rekan rimbawan senasib sepenanggungan Nouvi Lihu, Sadatin Misry,

Azmardi, Herbert BP. Aritonang selama menimba ilmu di Universitas Sebelas

Maret. Terima kasih atas segala kerjasama kita selama ini. Selamat bertugas

kembali, semoga ilmu yang kita dapat bisa bermanfaat.

Untuk isteriku terkasih, Hajerawati, S.Pd yang tiada henti-hentinya

memberikan dorongan moril dan siraman cinta kasih yang demikian besar agar

penulis dapat segera meyelesaikan penulisan tesis ini. Untuk anak-anakku tercinta

Muhammad Gibran Hariza dan Sabita Mifzalia Hariza merekalah yang

menyemangatkan penulis untuk terpacu menyelesaikan penulisan tesis ini. Karena

tanpa bantuan dan pengorbanan kalian akan sulit dapat menyelesaikan studi ini

pada waktunya. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rakhmat dan

karuniaNya, dan memberikan bimbingan terbaik dikemudian harinya Amien.

Page 5: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

vii

Semoga tesis ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri, dan

instansi Kementrian Kehutanan, praktisi serta seluruh masyarakat yang berminat

untuk memperluas wawasannya di bidang ilmu hukum pada umumnya.

Surakarta, April 2010

Penulis,

Page 6: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

viii

MOTTO

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu

(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari

(kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah

telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.

Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.

(QS. Al-Qasas Ayat 77)

Page 7: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

iii

UPAYA PENANGGULANGAN PERAMBAHAN PADA KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI DALAM PERSPEKTIF

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

DISUSUN OLEH :

Mufrizal NIM : S330908008

Telah Disetujui Oleh Tim Penguji :

Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal

Ketua

Prof. Dr. Jamal Wiwoho, S.H., M.Hum NIP. 19611108 198702 1 001

………………

…………

Sekretaris Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum NIP. 19570203 198503 2 001

………………. ………….

Anggota Anggota

Prof. Dr. H.Setiono, S.H.,M.S NIP. 19440505 196902 1 001 Ismunarno, S.H.,M.,Hum NIP. 19660428 199003 1 001

……………….

……………….

………….

………….

Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum

Mengetahui :

Prof. Dr. H.Setiono, S.H.,M.S NIP. 19440505 196902 1 001

……………

…………

Direktur Program Prof. Drs. H.Suranto, M.Sc., Ph.D NIP. 19570820 198503 1 004

………….. ………….

Page 8: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ii

UPAYA PENANGGULANGAN PERAMBAHAN PADA KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI DALAM PERSPEKTIF

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

DISUSUN OLEH :

Mufrizal NIM : S330908008

Telah Disetujui Oleh Tim Pembimbing

Dewan Pembimbing

Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal

1. Pembimbing I Prof. Dr. H.Setiono, S.H.,MS NIP. 19440505 196902 1 001

……………….

2. Pembimbing II Ismunarno, S.H.,M.,Hum NIP. 19660428 199003 1 001

………………..

Mengetahui : Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum

Prof.Dr.H.Setiono, S.H.,MS NIP. 19440505 196902 1 001

Page 9: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xvi

ABSTRAK

MUFRIZAL, 2010. UPAYA PENANGGULANGAN PERAMBAHAN PADA KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA. Hukum Pidana Ekonomi. Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penelitian ini bertujuan untuk mengatahui hambatan penanggulangan perambahan di kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai dan memberikan solusi bagaimana upaya penanggulangannya melalui sarana hukum penal dan hukum non penal.

Jenis penelitian tesis ini merupakan penelitian hukum non doktrinal/sosiologis yang bersifat deskriptif kualitatif dengan bentuk penelitian yang digunakan adalah diagnostik dan mengambil lokasi penelitian di Taman Nasional Gunung Ciremai wilayah Kabupaten Kuningan. Data penelitian ini terdiri dari data primer melalui wawancara dan data sekunder melalui studi kepustakaan meliputi : buku, laporan penelitian, data elektronik dan lain sebagainya yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Sedangkan bahan hukum tersier dalam penulisan ini adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia dan kamus hukum.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa hambatan penanggulangan perambahan di kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai dikarenakan faktor-faktor sebagai berikut: 1) Struktur; rendahnya sumber daya manusia Penyidik PNS dan aparat TNGC, terbatasnya sarana prasarana pendukung pengamanan hutan, 2) Substansi; Tidak dirumuskanya formulasi perambahan secara materil dan tidak diaturnya pidana minimum dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1990, proses awal penunjukan kawasan belum sepenuhnya sesuai dengan aturan penetapan kawasan hutan, perubahan status dan fungsi kawasan hutan, adanya surat Dirjen PHKA Nomor : S. 56/IV-KK/2005 tanggal 26 Januari 2005 perihal Tindak Lanjut Taman Nasional Gunung Ciremai, menimbulkan multitafsir terhadap pelaksanaan PHBM dalam Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai, 3) Kultur; Adanya pandangan yang berbeda dari aparat penegak hukum mengenai penanggulangan perambahan di Taman Nasional Gunung Ciremai, tidak berdayanya aparat penegakan hukum terhadap pelaku masyarakat yang merambah, pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga dalam kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai yang telah dilakukan dalam waktu yang lama serta budaya masyarakat sekitar kawasan yang paternalistik. Sedangkan upaya penanggulangan perambahan di kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai dilakukan dengan mengintegralkan kebijakan penal berupa penekanan terhadap aspek formulasi perbuatan yang dapat dipidana dalam hal perambahan hutan berdasarkan tinjauan secara filosofis, yuridis dan sosiologis. Serta kebijakan non penal melalui peniadaan faktor kondusif terjadinya perambahan dengan memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu, namun secara tidak langsung mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan. Kata kunci : Penanggulangan Kejahatan, Perambahan, Taman Nasional Gunung Ciremai.

Page 10: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL…………………………………………………………...

HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING……………………………….

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI………………………………………

HALAMAN PERNYATAAN………………………………………………….

KATA PENGANTAR………………………………………………………….

MOTTO ………………………………………………………………………..

DAFTAR ISI…………………………………………………………………...

DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………...

DAFTAR TABEL……………………………………………………………...

DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………………..

ABSTRAK……………………………………………………………………..

ABSTRACT……………………………………………………………………

i

ii

iii

iv

v

viii

ix

xii

xiii

xiv

xv

xvi

BAB. I PENDAHULUAN

A.

B.

C.

D.

Latar Belakang………………………………………………………

Perumusan Masalah……….…………………………………………

Tujuan Penelitian………...…………………………………………..

Manfaat Penelitian………..…………………………………………

1

10

11

11

BAB II. LANDASAN TEORI

A.

B.

C.

Kajian Teori………………………………………………………..…

1. Teori Bekerjanya Hukum…………………………………….……

3. Teori Bekerjanya Hukum Lawrence M.Friedman…………………

2. Teori Penanggulangan Kejahatan……..…………………………..

3. Tinjauan Umum Tentang Perambahan Dalam Kawasan Konservasi

4. Pengertian Taman Nasional………..……..……………………….

Penelitian yang Relevan…………..…………….…………………....

Kerangka Berfikir…...………………………………………………..

12

12

20

22

34

41

44

45

Page 11: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ix

BAB III. METODE PENELITIAN

A.

B.

C.

D.

E.

Jenis Penelitian……………………………………………………….

Lokasi Penelitian……………………………………………………..

Sumber Data…………………………………………………………

Teknik Pengumpulan Data…………………………………………...

Teknik Analisa Data………………………………………………….

47

51

52

53

54

BAB IV. HASIL ANALISA DAN PEMBAHASAN

A.

Hasil Penelitian……………………………………………………...

1. Gambaran Umum Taman Nasional Gunung

Ciremai…………………………………………………………….

2. Sejarah Penunjukan Sebagai Taman Nasional Gunung Ciremai.....

3. Landasan Hukum Pengelolaan Taman Nasional Gunung

Ciremai…………………………………………………………….

4. Hasil Penelitian Dokumen…...…………………………..………..

5. Karakteristik Perambahan di Taman Nasional Gunung Ciremai..

6. Hasil Wawancara……………………………………………........

a. Hambatan Dalam Penanggulangan Perambahan di Kawasan

Taman Nasional Gunung Ciremai……………………………

1) Struktur…………………………………………………….

2) Substansi…………………………………………….........

3) Kultur……………………………………………………..

b. Upaya Penanggulangan Perambahan di Kawasan Taman

Nasional Gunung Ciremai……………………………………..

1) Upaya Penanggulangan Perambahan di Kawasan Taman

Nasional Gunung Ciremai dengan Sarana Pidana (Penal

Policy)……………………………………………………….

2) Upaya Penanggulangan Perambahan di Kawasan Taman

Nasional Gunung Ciremai dengan Non Sarana Pidana (Non

Pena Policyl)…………………..……………………………

57

57

66

70

71

78

87

87

87

94

94

101

101

103

Page 12: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ix

B.

Pembahasan………………………………………………………….

1. Hambatan Dalam Penanggulangan Perambahan di Kawasan

Taman Nasional Gunung Ciremai………………………………..

a. Struktur…………………..…………………………………….

b. Substansi…………………………………………………….....

c. Kultur………….……………………………………………….

2. Upaya Penanggulangan Perambahan di Kawasan Taman Nasional

Gunung Ciremai…………………………………………………...

a. Upaya Penanggulangan Perambahan di Kawasan Taman

Nasional Gunung Ciremai dengan Sarana Pidana (Penal

Policy)…………………………………..…..…………………

b. Upaya Penanggulangan Perambahan di Kawasan Taman

Nasional Gunung Ciremai dengan Non Sarana Pidana (Non

Penal Policy)………………………………………………….

112

112

113

116

132

135

137

141

BAB V. PENUTUP

A.

B.

C.

Kesimpulan………………………………………………………….

Implikasi…………………………………………………………….

Saran………………………………………………………………...

153

157

158

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

Page 13: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Lokasi dan Luas Lahan Garapan dalam Kawasan TNGC……………………………………………………………

72

Tabel 2. Jenis Tanaman dan Pendapatan Rata-rata Permusim Penggarap dalam kawasan TNGC………………………………………......

73

Tabel 3. Data Penempatan Petugas Balai TNGC di Seksi PengelolaanTaman Nasional Wilayah I Kuningan……………..

74

Tabel 4. Daftar Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Balai Taman Nasional Gunung Ciremai………………………………………

76

Tabel 5. Penerapan Kebijakan Kriminal Dalam Pola Kebijakan Taman Nasional…………………………………………………………

77

Tabel 6. Usia Responden Perambah……………………………………... 79 Tabel 7. Pekerjaan Responden…………………………………………… 80 Tabel 8. Lamanya Mengolah Lahan Dalam Kawasan…………………… 80 Tabel 9. Luasa Tanah yang Diolah Responden………………………….. 81 Tabel 10. Peruntukan Lahan yang Diolah………………………………… 82 Tabel 11. Perhasilan Rata-rata Permusim Responden…………………….. 83 Tabel 12. Luas Lahan Responden di Luar Kawasan TNGC……………… 83 Tabel 13. Asal-usul Lahan yang di Tempati Responden………………….. 84 Tabel 14. Pengetahuan Responden Terhadap Larangan Pengolahan Lahan Dalam Kawasan TNGC…………………………………………

85

Tabel 15. Faktor Penyebab Mengolah Lahan Dalam Kawasan TNGC……………………………………………………………

86

Tabel 16. Distribusi Dana Pengamanan TNGC Tahun 2010……………… 149

Page 14: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Bagan Chambliss dan Seidman…………………………………. 16 Gambar 2. Skema G.Peter Hoefnagels……………………………………… 26 Gambar 3. Ruang Lingkup Pemberlakukan Sanksi Pidana Konservasi

Keanekaragaman Hayati………………………………………….

35 Gambar 4. Kerangka Berfikir………………………………………………... 46 Gambar 5. Proses Analisa Data (Interactive Model

Analysis)………………………………………………………….

55 Gambar 6. Struktur Organisasi Departemen Kehutanan (Dari Menteri

Sampai UPT Dirjen PHKA)………………………………………

58 Gambar 7. Struktur Organisasi Balai Taman Nasional Gunung

Ciremai……………………………………………………………

59 Gambar 8. Ruang Lingkup “Criminal Policy” G.Peter

Hoefnagels………………………………………………………..

136

Page 15: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

1. Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam

Hayati dan Ekosistemnya.

2. Surat Keterangan Telah Melaksanakan Penelitian.

Page 16: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

1

BAB. I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang

dianugerahkan kepada bangsa Indonesia merupakan sumberdaya alam yang

dikuasai oleh Negara, memberikan manfaat serbaguna bagi umat manusia,

karenanya wajib di jaga, diurus secara optimal untuk digunakan sebesar-

besarnya bagi kemakmuran rakyat, dengan memperhatikan aspek

kelestariannya sehingga dapat dirasakan manfaatnya baik bagi generasi

sekarang maupun generasi yang akan datang. Sebagaimana yang diamanatkan

dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi : “ Bumi dan air dan

kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan

dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat’.

Dalam rangka memperoleh manfaat yang optimal dari hutan dan kawasan

hutan bagi kesejahteraan masyarakat yang sejalan dengan bunyi Pasal 33 ayat

(3) UUD 1945 tersebut, maka penyelenggaran kehutanan senantiasa

mengandung jiwa dan semangat kerakyatan berkeadilan dan berkelanjutan.

Oleh karena itu penyelenggaraan kehutanan harus dilakukan dengan asas

manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan

keterpaduan dengan dilandasi akhlak mulia serta bertanggung gugat.

Penguasaan hutan oleh Negara bukan merupakan pemilikan, tetapi Negara

memberikan wewenang kepada Pemerintah untuk mengatur dan mengurus

segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan,

menetapkan kawasan hutan dan atau mengubah status kawasan hutan,

mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan

hutan atau kawasan hutan dan hasil hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan

hukum megenai kehutanan.1 Pemerintah mempunyai wewenang memberikan

izin dan hak kepada pihak lain untuk melakukan kegiatan di bidang kehutanan,

namun untuk hal-hal tertentu yang sangat penting, berskala dan berdampak

1 Pasal 4 ayat (2) Undang-undang nomor. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

Page 17: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

2

luas serta bernilai strategis Pemerintah harus memperhatikan aspirasi rakyat

melalui persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.2

Pada dasarnya semua hutan dan kawasan hutan dapat dimanfaatkan

dengan memperhatikan karakteristik dan kerentanannya, serta tidak dibenarkan

merubah fungsi pokoknya sebagai fungsi konservasi, lindung dan produksi.

Pemerintah melalui Departemen Kehutanan telah menetapkan wilayah-wilayah

tertentu sebagai kawasan hutan untuk dipertahankan sebagai hutan tetap.

Berdasarkan statusnya hutan terdiri dari hutan negara dan hutan hak, hutan

negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah

sedangkan hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak

atas tanah.3

Menurut Undang-Undang nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan

dibagi menjadi 3 kategori berdasarkan fungsi pokoknya yaitu: 1), hutan

konservasi, 2), hutan lindung dan 3), hutan produksi.4 Masih menurut Undang-

Undang yang sama hutan konservasi didefinisikan sebagai kawasan hutan

dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan

keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Hutan lindung

adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan

sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir,

mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan

tanah, dan hutan produksi adalah merupakan kawasan hutan yang mempunyai

fungsi pokok memproduksi hasil hutan.

Dalam Pustaka Latin, kawasan konservasi diklasifikasikan sebagai :

1. Kawasan hutan suaka alam, adalah hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan. Kawasan suaka alam ini mencakup : a. Kawasan cagar alam, adalah kawasan suaka alam yang karena keadaan

alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa dan ekosistemnya atau 2 Penjelasan atas Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan paragraf ke- 4 3 Pasal 1 ayat (4), (5) Peraturan Pemerintah Nomor 44 tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan.

4 Pasal 6 Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan

Page 18: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

3

ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami.

b. Kawasan suaka marga satwa adalah kawasan suaka alam yang mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dan keunikan jenis satwa yang untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya.

2. Kawasan Pelestarian Alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara letari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, mencakup : a. Kawasan Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang

mepunyai ekosistem asli dikelola dengan sistem zonasi dan dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi.

b. Kawasan Taman Wisata Alam adalah kawasan pelestarian alam dengan tujuan utama untuk dimanfaatkan bagi kepentingan pariwisata dan rekreasi.

c. Kawasan Taman Hutan Raya adalah kawasan pelestarian alam dengan tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau bukan alami, jenis asli dan bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi.

3. Taman buru, adalah kawasan hutan yang ditetapkan sebagai tempat berburu.5

Tujuan pemerintah menetapkan fungsi hutan tersebut untuk

mengoptimalkan manfaat lingkungan, sosial, budaya dan ekonomi yang

seimbang dan lestari, guna meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan

kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan dan

berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan

ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal dan menjamin

distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan.

Pada dasarnya sumberdaya hutan memiliki 3 aspek penting yaitu: aspek

sosial budaya, aspek ekonomi, dan aspek lingkungan. Oleh karena hutan

memiliki aspek-aspek tersebut, maka dalam kontek pembangunan nasional di

banyak negara-negara berkembang, sumberdaya alam hutan telah amat sangat

berat diposisikan sebagai sumber ekonomi nasional, atau dengan bahasa yang

sangat ekstrim hutan diposisikan sebagai mesin pembuatan uang untuk sumber 5 Pustaka Latin, Pemanfaatan Ruang dan Lahan di Taman Nasional Gunung Ciremai Suatu Rancangan Model, ctk. Pertama, Pustaka Latin, Bogor, 2005, hlm.10-11

Page 19: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

4

pembangunan nasional. Sementara aspek sosial budaya dan aspek lingkungan

menjadi sangat tidak prioritas. Lebih dari 35 tahun sudah instrumen kebijakan

yang eksploitatif sangat mewarnai pembangunan sektor kehutanan, model

otoritas HPH adalah bukti dari realitas kebijakan eksploitatif tersebut.6

Kebijakan tersebut memunculkan konflik kepemilikan lahan antara masyarakat

dengan pemerintah, Perhutani, HPH, serta semakin meningkatnya jumlah

penduduk di desa-desa sekitar hutan dan semakin meningkat pula gangguan

perlindungan dan keamanan hutan. Kondisi ini mendorong pemerintah untuk

melakukan demokrasi ekonomi dengan mendorong upaya pelibatan peran serta

masyarakat dalam pengelolaan hutan.

Untuk menjawab berbagai masalah sosial disekitar kawasan hutan negara

tersebut, maka sejak tahun 1974 pihak Perum Perhutani (sekarang PT.

Perhutani) telah melaksanakan kegiatan peningkatan kesejahteraan petani

hutan. Pada tahun 1986 kegiatan ini ditingkatkan menjadi program Perhutanan

Sosial/Social Forestry (PS/SF) sebagai wujud nyata dari pendekatan Social

Forestry di Jawa. Program ini dianggap kurang berhasil karena masih sangat

kuat peran Pemerintah dalam penentuan berbagai kegiatan Perhutanan

sosial/Social Forestry. Sejak tahun 2000 (setelah reformasi), perhutani

merubah program PS/SF menjadi program PHBM (Pengelolaan Hutan

Bersama Masyarakat). Program PHBM ini maksudkan untuk merefleksikan

dan mewujudkan konsep community forestry (kehutanan masyarakat) di dalam

program-program pengelolaan hutan yang baru di PT. Perhutani.7 Selanjutnya

pada tahun 2001 terbit Surat Keputusan Dewan Pengawas PT.Perhutani Nomor

193/KPTS/Dir/2001 tentang Pengelolaan Sumber Daya Hutan, yang

memungkinkan melakukan pembagian peran dan ruang dengan masyarakat

desa sekitar hutan.

6 San Afri Awang, Pembentukan Unit Manajemen Kawasan Kelola Rehabilitasi Hutan Dan Sistem Pendukungnya, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Arahan Pembentukan Unit manajemen Gerhan di Hotel Garuda Yogyakarta, tanggal 29-30 Agustus 2006, hlm.1 7 San Afri Awang. Politik Kehutanan Masyarakat, ctk. Kedua, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2007, hlm.18

Page 20: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

5

Sebagai upaya mensinergikan pelaksanaan Social Forestry baik di dalam

maupun di luar pulau Jawa dengan program pengelolaan sumber daya hutan

bersama masyarakat, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Kehutanan

Nomor P.01/Menhut-II/2004 tentang Pemberdayaan Masyarakat Setempat di

Dalam dan Atau Disekitar Hutan Dalam Rangka Social Forestry.. Hal ini

memperkuat landasan pelaksanaan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat

(PHBM) diberbagai wilayah termasuk dalam kawasan hutan Gunung Ciremai

yang pada waktu itu dibawah amanat pengelolaan PT. Perhutani dengan status

sebagai kawasan hutan produksi, hingga sampai berubah fungsinya menjadi

hutan lindung melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 195/Kpts-

II/2003, program PHBM ini masih tetap berlanjut.

Program PHBM ini merupakan upaya meningkatkan kesejahteraan dan

pelibatan peran serta masyarakat dalam pengelolaan dan pelestarian hutan,

masyarakat diberikan akses pemanfaatan lahan dan hutan melalui sistem

tumpang sari dan tanggungjawab untuk memelihara tanaman pokok yang ada

di lahan garapan mereka dengan sistem sharing antara masyarakat dengan

pihak pengelola PT.Perhutani.

Pada awalnya program PHBM merupakan bagian dari upaya mengatasi

permasalahan menurunnya fungsi hutan di kawasan Gunung Ciremai, namun

dalam penerapannya tidak serta merta dapat mengatasi masalah kerusakan

hutan, tanaman hutan dicabut dan penggarapan meluas, konversi lahan telah

mencapai ± 2.500 ha untuk tanaman pertanian dan perkebunan, adanya

penebangan liar hingga ketinggian 1625-2100 mdpl.8 sehingga kondisi fungsi

kawasan dirasakan mulai menurun ditambah dengan adanya kegiatan

pertambangan galian C dan praktek-praktek yang mengancam kelestarian hutan

lainnya. Sementara untuk keseluruhan luasan lahan kritis termasuk didalamnya

konversi lahan saat ini di kabupaten Kuningan telah mencapai ± 4.752,45.

Berdasarkan kekhawatiran semakin menurunya fungsi hutan yang lebih

besar dan memperhatikan keberlanjutan aspek ekologi, ekonomi dan sosial

kawasan hutan Gunung Ciremai sebagai kawasan penyangga kehidupan,

8 Sumber Data LSM AKAR tahun .2004

Page 21: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

6

mendorong Pemerintah mengambil kebijakan baru dengan mengubah status

dan fungsi hutan pada kawasan gunung ciremai yang semula berfungsi sebagai

hutan Produksi dan Lindung menjadi Kawasan Konservasi dengan menerbitkan

Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 424/Menhut-II/2004 tentang

Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Lindung pada Kelompok Hutan Gunung

Ciremai Seluas ± 15.500 (Lima Belas Ribu Lima Ratus) terletak di Kabupaten

Kuningan dan Majalengka, Propinsi Jawa Barat menjadi Taman Nasional

Gunung Ciremai.

Tidak dapat dipungkiri bahwa sejarah penetapan suatu kawasan menjadi

kawasan konservasi berdampak bagi masyarakat yang yang beraktivitas di

dalamnya baik itu in-situ maupun ex-situ. Perubahan fungsi kawasan dari hutan

lindung menjadi fungsi konservasi dengan nama taman nasional gunung

ciremai menimbulkan berbagai permasalahan sosial, ekonomi terkait dengan

pola PHBM di dalam taman nasional dan membawa konsekwensi yuridis

dalam hal pengelolaanya, hal ini disebabkan :

1. Bahwa pola PHBM berupa penggarapan lahan dengan tanaman tumpang sari dibawah tegakan sedangkan pola pengelolaan Taman Nasional Gunung Ciremai dilakukan berdasarkan Undang-undang Nomor 5 tahun 1990,9 yang selanjutnya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 68 tahun 1998.10

2. Kegiatan pemanfaatan kawasan di Taman Nasional sesuai dengan sistem zonasi hanya berlaku di zona pemanfaatan yang meliputi kegiatan pariwisata dan rekreasi, penelitian dan pengembangan dalam menunjang budidaya11, sementara PHBM di Taman Nasional dilakukan dengan pengarapan lahan hingga pada daerah kemiringan yang cukup tinggi.

9 Pasal 32 UU Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya menyebutkan Kawasan taman nasional dikelola dengan sistem zonasi yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan, dan zona lain sesuai dengan keperluan. 10 Pasal 30 ayat (2) PP Nomor 68 tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam , Berdasarkan sistem zonasi pengelolaannya Kawasan Taman Nasional dapat dibagi atas : a.zona inti; b. zona pemanfaatan; c.zona rimba; dan atau zona lain yang ditetapkan Menteri berdasarkan kebutuhan pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. 11 PP Nomor 68 tahun 1998 Pasal 50 (1) Zona pemanfaatan dapat dimanfaatkan untuk keperluan :

a. pariwisata alan dan rekreasi; b. penelitian dan pengembangan yang menunjang pemanfaatan; c. pendidikan; dan atau d. kegiatan penunjang budidaya.

Page 22: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

7

3. Adanya Peraturan Menteri Kehutana Nomor P.19/Menhut-II/2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Berkaitan dengan pemanfaatan lahan yang bisa dilakukan hanya Pariwisata alam dan jasa lingkungan, pendidikan bina cinta alam dan interpretasi, sementara tidak mengakomodasi kegiatan pengelolaan lahan dalam bentuk PHBM.

Dari kasus posisi yang ada hampir tidak ditemukan landasan pijak bagi

masyarakat bertahan mengelola hutan dalam Kawasan Taman Nasional

Gunung Ciremai setelah ditetapkannya menjadi kawasan konservasi, status

hukum dari kegiatan masyarakat dalam kawasan mengolah hutan telah

berubah menjadi perbuatan melanggar hukum dibidang kehutanan atau dengan

kata lain telah menjadi kegiatan perambahan hutan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 50 ayat (3) Undang-undang nomor 41 tahun 1999 tentang

Kehutanan dengan sanksi pidana berupa ancaman penjara maupun denda.12

Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya

Alam Hayati dan Ekosistemnya pada pasal 33 ayat (1), (2) dan (3) juga

menyebutkan :

1. Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional.

2. Perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas zona inti taman nasional, serta menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli.

3. Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam. Dengan ancaman pidana dan denda sebagaimana dalam Pasal 40 ayat (1) dan (2) Undang-undang nomor 5 tahun 1990.13

Permasalahan perambahan dalam kawasan Taman Nasional Gunung

Ciremai sebenarnya bukanlah hal yang luar biasa bila ditinjau dari sisi

kepastian hukum, karena hukum pidana kehutanan yang ada dapat digunakan

untuk menanggulangi dan membawa pelaku perambahan ke muka pengadilan,

12 Lihat Pasal 78 ayat (2) UU no.41 tahun 1999 tentang Kehutanan. 13 Pasal 40 ayat 1 terhadap pelanggaran Pasal 33 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Dan Pasal 40 ayat 2 terhadap pelanggaran Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Page 23: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

8

namun masalahnya akan menjadi luar biasa bila harus membawa ± 2.949 (dua

ribu sembilan ratus empat puluh sembilan) 14 kepala keluarga (KK) penggarap

lahan yang telah lama menggantungkan kebutuhan hidupnya dari dalam

kawasan ke pengadilan, karena akan berimplikasi munculnya gejolak sosial

yang lebih besar.

Keberadaan kelompok penggarap tersebut tidak saja membahayakan bagi

kelestarian fungsi Taman Nasional Gunung Ciremai, tetapi juga dapat

menimbulkan konflik yang semakin meluas, yaitu semula hanya berupa konflik

vertikal saja, yaitu konflik antara pengelola kawasan dengan para penggarap

lahan. Lambat laun dapat berkembang menjadi konflik horizontal juga, yaitu

konflik antara para penggarap lahan dengan masyarakat terkena dampak

negatif akibat kerusakan kawasan Taman Nasional Gunung Giremai.

Menyadari kondisi kawasan Taman Nasional Gunung Giremai yang

semakin memprihatinkan tersebut, maka pihak pengelola Taman Nasional

Gunung Giremai sejak tahun 2005 telah melakukan upaya rehabilitasi terhadap

kawasan yang telah mengalami kerusakan parah, yaitu melalui pelaksanaan

program Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN). Sayangnya,

pelaksanaan program ini belum berpengaruh banyak dalam upaya mencegah

kerusakan yang lebih parah. Kenyataan ini dapat dimengerti, karena selain

pelaksanaan program ini baru dimulai pada tahun 2005 dan dilakukan pada

areal lahan yang kritis serta bekas kebakaran, bukan pada areal perambahan.

Sampai saat ini baru menjangkau (merehabilitasi) sebagian kecil (1300 Ha)

saja dari luas kawasan Taman Nasional Gunung Giremai, sementara luas

kawasan yang rusak makin bertambah karena jumlah pembukaan kawasan

terus bertambah.

Melihat kegiatan para penggarap lahan di dalam Kawasan Taman Nasional

Gunung Giremai yang semakin tidak terkendali, maka pengelola TNGC

menganggap bahwa upaya penanggulangan kerusakan TNGC tidak mungkin

lagi dapat ditanggulangi secara partial oleh TNGC sendiri, melainkan harus

14 Rekapitulasi data dari Dokumen Penyerahan Berkas Progres PHBM Bagian Hutan Gunung Ciremai, BKPH Linggarjati, KPH Kuningan Jawa Barat tahun 2005.

Page 24: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

9

melibatkan seluruh unsur yang terkait; yaitu seluruh jajaran pemerintah daerah

(mulai dari Pemda Kab. Kuningan, Majalengka sampai jajaran yang terendah

yaitu perangkat desa), penegak hukum, akademisi, LSM, dan sebagainya. Hal

ini dilakukan dengan harapan agar semua unsur yang terkait benar-benar

berperan dalam upaya penanggulangan kerusakan TNGC, sehingga upaya

penanggulangan tersebut benar-benar dilakukan secara integral.

Hal tersebut nampaknya terlihat dari tekad pengelola TNGC untuk

melibatkan semua unsur yang terkait ke dalam upaya penanggulangan

perambahan tidak diragukan lagi. Terbukti dalam tahun 2005, pihak pengelola

demikian aktif menggelar pertemuan-pertemuan dengan semua unsur terkait,

yaitu dalam rangka membangun visi, misi, dan konsep yang akan dijalankan

secara bersama (terpadu) dalam membangun sektor kehutanan dengan segenap

permasalahannya.

Penanggulangan terhadap perambahan dalam kontek PHBM seharusnya

ada paradigma baru dalam penegakan hukum, mengingat keberadaannya telah

ada sebelum ditetapkannya Taman Nasional Gunung Ciremai sebagai kawasan

konservasi. Hal ini berarti akan ada konstruksi baru dalam penegakan hukum

yang ideal. Adapun ide dasar yang melandasi konstruksi baru penegakan

hukum yang ideal menyangkut humanisme, demokrasi dan keadilan sosial,

konstruksi baru tersebut jelas berbeda dengan paradigma penegakan hukum

yang lama yaitu dilandasi dengan kepastian hukum semata, memang kepastian

hukum itu penting dalam penegakan hukum (law enforcement) tetapi tidak

bermakna jika penegakan hukum demi kepastian tanpa diikuti humanisme,

demokrasi, keadilan sosial sebagai landasan dalam penegakan hukum.

Menurut Gustaf Radbruch dalam Sudikno Mertokusumo15 hukum harus

mempunyai 3 (tiga) nilai dasar yang merupakan konsekwensi hukum yang baik

yaitu :

1. Keadilan (gerechttigheit)

2. Kemanfaatan (weckmassigheit)

15 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1999,

hlm.145

Page 25: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

10

3. Kepastian Hukum (rechtsicherheit)

Walaupun ketiganya merupakan nilai dasar dari hukum, namun diantara

ketiganya terdapat satu spanungsverhaltnis yaitu ketegangan antara satu

dengan lainnya, keadaan yang demikian itu dapat dimengerti karena ketiga-

tiganya berisi tuntutan yang lain-lain dan antara satu dengan yang lain

mengandung potensi untuk bertentangan. Apa yang sudah dinilai sah atas

dasar persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu peraturan bisa dinilai tidak

sah dari segi kegunaanya bagi masyarakat.16

Hal tersebut penting dan menarik untuk dikaji karena Indonesia

merupakan masyarakat yang pluralistik serta menghendaki masyarakat yang

seimbang, maka tiap masalah dan kebijaksanaan hukum perlu diteliti kasus

demi kasus, sehingga penyamarataan bagi semua kasus hukum apalagi bagi

semua daerah hukum dan bidang hukum akan mengakibatkan ketidak adilan.17

Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka penulis tertarik

untuk melakukan penelitian dalam rangka menyusun tesis dengan judul :

UPAYA PENANGGULANGAN PERAMBAHAN PADA KAWASAN

TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI DALAM PERSPEKTIF

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI

SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka

rumusan masalah yang akan diangkat penulis adalah :

1. Mengapa penanggulangan perambahan di kawasan Taman Nasional

Gunung Ciremai mengalami hambatan ?

2. Bagaimanakah upaya penanggulangan perambahan di kawasan Taman

Nasional Gunung Ciremai ?

16 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, Alumni , Bandung, 1979, hlm.19 17 Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1991, hlm .22

Page 26: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

11

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah penulis kemukakan di atas, maka

tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mengetahui hambatan penanggulangan perambahan di kawasan Taman

Nasional Gunung Ciremai.

2. Mengetahui bagaimana penanggulangan perambahan di kawasan Taman

Nasional Gunung Ciremai.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dapat diambil dari hasil penelitian ini adalah :

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi

pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu hukum bidang hukum

pidana ekonomi dalam hal Upaya Penanggulangan Perambahan Pada

Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai Dalam Perspektif Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam

Hayati dan Ekosistemnya.

2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi instansi

pemerintah pada umumnya dan secara khusus bagi Departemen Kehutanan

c.q. Ditjen PHKA dalam memecahkan persoalan hukum khususnya dalam

pengelolaan kawasan konservasi.

Page 27: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

12

BAB. II

LANDASAN TEORI

Sesuai dengan judul dan perumusan masalah, dalam landasan teori akan

dibahas tentang teori bekerjanya hukum, teori bekerjanya hukum menurut

Lawrence M.Friedman, teori penanggulangan kejahatan, tinjauan umum tentang

perambahan dalam kawasan konservasi dan pengertian taman nasional.

A. Kajian Teori

1. Teori Bekerjanya Hukum

Masyarakat dan ketertibannya merupakan dua hal yang berhubungan

sangat erat, susah untuk mengatakan adanya masyarakat tanpa ada suatu

ketertiban, bagaimanapun kualitasnya. Ketertiban di dalam masyarakat

diciptakan bersama-sama oleh berbagai lembaga secara bersama-sama

seperti hukum dan tradisi. Oleh karena itu di dalam masyarakat juga

dijumpai bermacam norma yang masing-masing memberikan sahamnya

dalam menciptakan ketertiban itu. Kehidupan dalam masyarakat yang

sedikit banyak berjalan tertib dan teratur didukung oleh adanya suatu

tatanan. Karena adanya tatanan inilah kehidupan menjadi tertib.1

Suatu tatanan yang ada dalam masyarakat sesungguhnya terdiri dari

suatu kompleks tatanan yang berupa kebiasaan, hukum dan kesusilaan,

dengan demikian ketertiban yang terdapat dalam masyarakat itu senantiasa

terdiri dari ketiga tatanan tersebut. Keadaan yang demikian ini memberikan

pengaruh tersendiri terhadap upaya penegakan hukum dalam masyarakat.

Berbicara masalah hukum pada dasarnya membicarakan fungsi hukum

di dalam masyarakat. Karena kebijakan dalam bidang hukum akan

berimplikasi kepada masalah politik yang sarat dengan diskriminasi

terhadap kelompok lain. Dalam rangka menegakkan supremasi hukum,

hukum yang telah dilanggar harus ditegakkan. Melalui penegakkan hukum

inilah membuat hukum menjadi kenyataan. Dalam menegakkan hukum ada

1 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm.13

Page 28: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

13

tiga unsur yang selalu harus diperhatikan, yaitu kepastian hukum

(rechtssicherheit), kemanfaatan (zwecknassigkeit) dan keadilan

(gerechtigheit), ketiga unsur tersebut oleh Gustaf Radbruch disebut sebagai

nilai-nilai dasar hukum yang diantara ketiganya terdapat suatu

spanungsverhaltnis, suatu ketegangan satu sama lain karena masing-masing

berisi tuntutan yang berlainan dan bertentangan. Jika dalam penegakkan

hukum berorientasi pada unsur kepastian hukum, maka sebagai nilai ia akan

menggeser nilai keadilan dan kemanfaatan.2

Berbicara masalah hukum Jonas Ebbesson dalam journalnya

menyebutkan :3

“Despite the general acclaim for legal certainty and predictability, the popular view of law exaggerates the static and fixed nature of law. First, there is always room for interpretations, although within more or less fixed limits, when statutes or precedents are considered. The scope of discretion depends on what has been referred to as the ‘‘open texture’’ of the standards of behaviour. Second, to identify what the law is requires more than interpreting a statute or precedence only. It involves considering several arguments – whether found in statutes, preparatory works, established legal principles, guidelines, international agreements, court cases, or literature – and weighing them against each other in support of or against a particular interpretation. The material relevant for legal reasoning is often of a broader scope in environmental law than in private or criminal law. Third, and most importantly, it is impossible to predict in advance all the aspects to take into account in the application of law. Thus, it is not even desirable – indeed it would be vain – to consistently claim ‘‘certain rules’’, e.g. by means of detailed provisions. To be sure, in some situations other values and ethical concerns override the value of legal certainty, since legal certainty may simply amount to maintaining unfair, discriminatory or obsolete laws. In such cases the arguments in favour of deviating from previous precedence are thus stronger than those of insisting on predictability”.

(“Meskipun pengakuan umum untuk kepastian hukum dan prediktabilitas, pandangan populer hukum melebih-lebihkan sifat statis dan tetap hukum.

2 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1999, hlm.145

3 Jonas Ebbesson, The Rule Of Law In Governance Of Complex Socio-Ecological Change

Global Environmental Change, In Press, Corrected Proof, Available online 8 January 2010. Page.2

Page 29: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

14

Pertama, selalu ada ruang untuk interpretasi, meskipun dalam batas-batas kurang lebih tetap, ketika hukum atau preseden yang dipertimbangkan. Ruang lingkup kebijakan tergantung pada apa yang telah disebut sebagai tekstur''terbuka''standar perilaku. Kedua, untuk mengidentifikasi apa hukum itu memerlukan lebih dari menafsirkan undang-undang atau hanya diutamakan. Ini melibatkan beberapa mempertimbangkan argumen - apakah ditemukan dalam anggaran, pekerjaan persiapan, didirikan hukum prinsip, pedoman, perjanjian internasional, kasus pengadilan, atau sastra - dan berat mereka terhadap satu sama lain dalam mendukung atau melawan interpretasi tertentu. Bahan relevan untuk pertimbangan hukum sering dari lingkup yang lebih luas di lingkungan hukum daripada di swasta atau hukum kriminal. Ketiga, dan yang paling penting, adalah mustahil untuk memprediksi di muka semua aspek memperhitungkan dalam penerapan hukum. Dengan demikian, tidak bahkan diinginkan memang itu akan sia-sia - untuk mengklaim secara konsisten ''Aturan tertentu”, misalnya dengan ketentuan rinci.

Yang pasti, dalam beberapa situasi nilai-nilai lain dan keprihatinan etis menimpa nilai kepastian hukum, karena kepastian hukum dapat jumlah cukup untuk mempertahankan ketidak adilan, diskriminatif atau undang-undang yang usang. Dalam kasus seperti ini, argumen yang mendukung menyimpang dari preseden sebelumnya karena itu lebih kuat daripada memaksakan prediktabilitas”).

Untuk memahami bagaimana fungsi hukum itu ada baiknya dipahami

terlebih dahulu bidang pekerjaan hukum. Hoebel dalam Esmi Warassih4

menyimpulkan adanya empat fungsi dasar hukum, yaitu :

1. Menetapkan hubungan-hubungan antara para anggota masyarakat, dengan menunjukkan jenis-jenis tingkah-tingkah laku apa yang diperkenankan dan apa pula yang dilarang.

2. Menentukan pembagian kekuasaan dan merinci siapa saja yang boleh melakukan paksaan serta siapakah yang harus mentaatinya dan sekaligus memilih sanksi-sanksinya yang tepat dan efektif.

3. Menyelesaikan sengketa. 4. Memelihara kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan

kondisi-kondisi kehidupan yang berubah, yaitu dengan cara merumuskan kembali hubungan esensial antara anggota-anggota masyarakat.

Dari empat pekerjaan hukum tersebut, menurut Satjipto Rahardjo5

secara sosiologis dapat dilihat dari adanya 2 (dua) fungsi utama hukum yaitu

4 Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, PT.Suryandaru Utama, Semarang, 2005, hlm. 26-26

5 Satjipto Rahardjo, Hukum, Masyarakat dan Pembangunan, Alumni, Bandung, 1980, hlm.

119-120

Page 30: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

15

a. Social Control (kontrol sosial)

Social control merupakan fungsi hukum yangm mempengaruhi warga

masyarakat agar bertingkah laku sejalan dengan apa yang telah digariskan

sebagai aturan hukum, termasuk nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat.

Termasuk lingkup kontrol sosial ini adalah :

1. Perbuatan norma-norma hukum baik yang memberikan peruntukan

maupun yang menentukan hubungan antara orang dengan orang.

2. Penyelesaian sengketa di dalam masyarakat.

3. Menjamin kelangsungan kehidupan masyarakat, yaitu dalam hal

terjadinya perubahan-perubahan sosial.

b. Social Engineering (rekayasa sosial)

Penggunaan hukum secara sadar untuk mencapai suatu tertib atau keadaan

masyarakat sebagaimana diinginkan oleh pembuat undang-undang. Berbeda

dengan fungsi kontrol sosial yang lebih praktis, yaitu untuk kepentingan

waktu sekarang maka fungsi rekayasa sosial dari hukum lebih mengarah

pada pembahasan sikap dan perilaku masyarakat dimasa mendatang sesuai

dengan keinginan pembuat undang-undang. Perubahan-perubahan yang

dikehendaki itu apabila berhasil pada akhirnya akan melembaga sebagai

pola-pola tingkah laku yang baru di masyarakat.

Selanjutnya menurut Satjipto Rahardjo6 faktor-faktor yang

mempengaruhi pelaksanaan hukum :

a. Mudah tidaknya ketidaktaatan/pelanggaran hukum itu dilihat/disidik.

b. Siapakah yang bertanggungjawab menegakkan hukum yang

bersangkutan.

Menurut Robert B. Seidman, bekerjanya hukum sangat dipengaruhi

kekuatan atau faktor-faktor sosial dan personal. Faktor sosial dan personal

tidak hanya berpengaruh terhadap rakyat sebagai sasaran yang diatur oleh

hukum, melainkan juga terhadap lembaga-lembaga hukum. Dari arah panah-

panah sebagaimana terlihat pada bagan di bawah, dapat diketahui bahwa

hasil akhir dari pekerjaan tatanan dalam masyarakat tidak bisa hanya

6 Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum, Sinar Baru. Bandung, 1997, hlm. 219

Page 31: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

16

dimonopoli oleh hukum. Tingkah laku masyarakat tidak hanya ditentukan

oleh hukum, melainkan juga oleh kekuatan sosial dan personal lainnya

Gambar 1.

(Bagan Chambliss dan Seidman dalam Satjipto Rahardjo)7

Dari bagan tersebut diatas tampak peran dari kekuatan sosial, yang tidak

hanya berpengaruh terhadap rakyat sebagai sasaran yang diatur oleh hukum,

melainkan juga terhadap lembaga-lembaga dari hukum. Dari arah panah

tersebut dapat diketahui, bahwa hasil akhir dari tatanan masyarakat tidak

hanya bisa dimonopoli oleh hukum. Kita lihat bahwa tingkah laku rakyat

tidak hanya ditentukan oleh hukum, melainkan juga oleh kekuatan sosial

lainnya, melihat permasalahan dalam gambar sebagaimana diberikan oleh

Bagan Chambliss dan Seidman tersebut, memberikan perspektif yang lebih

baik dalam memahami bekerjanya hukum dalam masyarakat.8

a. Pembuatan Hukum

7 Satjipto Rahardjo, Ilmu….op cit., hlm.20

8 Ibid; hlm .21

Semua Kekuatan Sosial dan Pribadi

Lembaga-lembaga pembuat hukum

Umpan Balik

norma Umpan Balik

Norma

Lembaga-lembaga penerap hukum

Kegiatan Penerapan sanksi

Rakyat

Semua Kekuatan Sosial dan Pribadi

Semua Kekuatan Sosial dan Pribadi

Page 32: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

17

Dalam menjalankan fungsinya sebagai pengatur kehidupan bersama

manusia, hukum harus menjalani suatu proses yang panjang dan

melibatkan berbagai aktivitas dengan kualitas yang berbeda-beda. Jika

masalah pembuatan hukum itu hendak dilihat dalam hubungan dengan

bekerjanya hukum sebagai suatu lembaga sosial, maka pembuatan hukum

itu dilihat sebagai fungsi masyarakat.

Didalam hubungan dengan masyarakat, pembuatan hukum

merupakan pencerminan dari model masyarakatnya. Menurut Chamblis

dan Seidman, terdapat dua model masyarakat, yaitu :9

1. Model masyarakat yang berdasarkan pada basis kesepakatan akan nilai-nilai (value consensus). Masyarakat yang demikian ini akan sedikit sekali mengenal adanya konflik nilai-nilai yang menjadi landasan kehidupannya, dengan demikian masalah yang dihadapi oleh pembuatan hukum hanyalah menetapkan nilai-nilai apakah yang berlaku di dalam masyarakat.

2. Masyarakat dengan model konflik. Dalam hal ini masyarakat dilihat sebagai perhubungan yang sebagian warganya mengalami tekanan-tekanan oleh sementara warga lainnya. Perubahan dan konflik-konflik merupakan kejadian yang umum. Nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat berada dalam situasi konflik satu sama lain, sehingga ini juga akan tercermin dalam pembuatan hukumnya.

b. Pelaksanaan Hukum (Hukum Sebagai Suatu Proses)

Hukum tidak dapat bekerja atas kekuatannya sendiri, melainkan

hukum hanya akan dapat berjalan melalui manusia. Manusialah yang

menciptakan hukum, tetapi juga untuk pelaksanaan hukum yang telah

dibuat itu masih diperlukan campur tangan manusia pula. Oleh karena itu

masih diperlukan langkah yang memungkinkan ketentuan hukum dapar

dijalankan.

1. Harus ada pengangkatan pejabat sebagaimana ditentukan dalam peraturan hukum.

2. Harus ada orang-orang yang melakukan perbuatan hukum. 3. Orang-orang tersebut mengetahui adanya peraturan tentang

keharusan bagi mereka untuk menghadapi pegawai yang telah ditentukan untuk mencatat peristiwa hukum tersebut.10

9 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, 1980, hlm.49

10 Ibid; hlm.49

Page 33: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

18

Scholten mengemukakan bahwa hukum bukan merupakan karya

seni yang adanya hanya untuk dinikmati oleh orang-orang yang

mengamatinya. Hukum diciptakan untuk dijalankan, hukum yang tidak

pernah dijalankan pada hakekatnya telah berhenti menjadi hukum.11

c. Hukum dan Nilai-nilai dalam Masyarakat

Hukum tumbuh hidup dan berkembang di dalam masyarakat

karena hukum merupakan sarana menciptakan ketertiban dan

ketentraman bagi kedominannan dalam hidup semua warga masyarakat.

Sedangkan tujuan dari hukum itu sendiri adalah untuk mencapai suatu

kedamaian dalam masyarakat. Hukum melindungi kepentingan manusia

seperti masalah kemerdekaan, transaksi manusia dengan yang lain di

dalam masyarakat, juga hukum untuk mencegah pertentangan yang

dapat menumbuhkan perbedaan antara manusia dengan manusia, antara

manusia dengan lembaga.

Rober B. Seidman dalam Esmi Warassih12 menyatakan tindakan

apapun yang diambil baik oleh pemegang peran, lembaga-lembaga

pelaksana maupun pembuat undang-undang selalu berada dalam lingkup

kompleksitas kekuatan-kekuatan sosial, budaya, ekonomi dan politik dan

lain-lain sebagainya. Seluruh kekuatan-kekuatan sosial itu bekerja dalam

setiap upaya untuk memfungsikan peraturan-peraturan yang berlaku

menerapkan sanksi-sanksinya dan dalam seluruh aktivitas lembaga-

lembaga pelaksananya.

Selanjutnya dikatakan bahwa pelaksanaan penegakan hukum atau

keefektifitasan hukum (yang tentunya juga pelaksanaan suatu

kebijaksanaan atau komitmen) bersangkutan dengan 5 (lima) faktor

pokok yaitu :

a. Faktor hukumnya sendiri. b. Faktor penegak hukum.

11 Ibid; hlm. 69 12 Ibid;hlm.11-12

Page 34: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

19

c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. d. Faktor masyarakat yakni lingkungan dimana hukum berlaku atau

diterapkan. e. Faktor budaya, yakni sebagai hasil karya cipta dan rasa yang didasarkan

pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Kelima faktor tersebut saling berkaitan erat, karena merupakan esensi

dari penegakan hukum dan merupakan tolok ukur dari efektivitas penegakan

hukum.13

Selain itu menurut pendapat Lon. L Fuller dalam Esmi

Warassih14dikatakan bahwa untuk mengenal hukum sebagai suatu sistem

maka harus dicermati apakah sudah memenuhi 8 (delapan) azas atau

principles of legality berikut ini :

1. Sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan artinya ia tidak boleh mengandung sekedar keputusan-keputusan yang bersifat ad hoc.

2. Peraturan-peraturan yang telah dibuat harus diumumkan. 3. Peraturan tidak boleh berlaku surut. 4. Peraturan-peraturan disusun dalam rumusan yang bisa dimengerti. 5. Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang

bertentangan satu sama lain. 6. Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi

apa yang dapat dilakukan. 7. Peraturan tidak boleh sering diubah-ubah. 8. Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan

pelaksanaannya sehari-hari.

Adapun syarat yang harus dipenuhi untuk mengefektifkan sistem hukum

ada 5 (lima)15 yaitu :

a. Mudah tidaknya makna aturan-aturan hukum itu untuk ditangkap dan dipahami.

b. Luas tidaknya kalangan di dalam masyarakat yang mengetahui isi aturan-aturan yang bersangkutan.

c. Efisiensi dan efektif tidaknya mobilisasi aturan-aturan hukum.

13Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT. Raja Grafindo Perkasa, Jakarta.1993, hlm 5

14 Ibid;hlm.31

15Ibid;hlm.105-106

Page 35: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

20

d. Adanya mekanisme penyelesaian sengketa yang tidak hanya mudah dijangkau dan dimasuki oleh setiap warga masyarakat, melainkan juga harus cukup efektif dalam menyelesaikan sengketa-sengketa.

e. Adanya anggapan dan pengakuan yang merata di kalangan warga masyarakat bahwa atura-aturan dan pranata-pranata hukum itu memang sesungguhnya berdaya kemampuan yang efektif.

2. Teori Bekerjanya Hukum Lawrence Meir Friedman

Lawrence Meir Friedman16 dalam Achmad Ali mengemukakan tentang

tiga unsur sistem hukum (Three Elements of legal System), ketiga unsur

sistem hukum yang mempengaruhi bekerjanya hukum tersebut yaitu; (1)

Struktur Hukum (Legal Structure), (2) Substansi Hukum (Legal Substance),

(3) Kultur Hukum (Legal Culture).

Menurut Friedman ”the structure of a system its skeletal framework; its

is the permanent shape, the institutional body of the system, the tought, rigid

bones that keep process flowing with in bound....17.”jadi, struktur adalah

kerangka atau rangkanya, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberi

semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan. Jelasnya struktur

bagaikan foto diam yang menghentikan gerak (a kind of still photograph,

which freees the action).

Komponen struktur yaitu kelembagaan yang diciptakan oleh sistem

hukum itu dengan macam fungsi dalam rangka mendukung bekerjanya

sistem tersebut. Komponen ini dimungkinkan untuk melihat bagaimana

sistem hukum itu memberikan pelayanan terhadap penggarapan bahan-

bahan hukum secara teratur.18

Selanjutnya Friedman mengatakan, ”the substance is composed of

substantive rules and about how institutions should be have”. Jadi yang

dimaksud substansi adalah aturan, norma dan pola perilaku nyata manusia

yang berada dalam sistem itu. Substansi juga berarti produk yang dihasilkan

16 Achmad Ali, Menjelajah Kajian Empiris Terhadap Hukum, PT.Yarsif Watampone, Jakarta, 2001, hlm.7-9

17 Friedman, Lawrence, Law and Development, A.General Model, dalam Law and Society

Review, No.VI/1975, hlm. 14

18 Esmi Warassih, Pranata Hukum …..op cit., hlm. 30

Page 36: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

21

oleh orang yang berada di dalam sistem hukum itu, mencakup keputusan

yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun. Substansi juga

mencakup living law (hukum yang hidup), dan bukan hanya aturan yang ada

dalam kitab Undang-undang atau law in the books.19

Komponen substantif yaitu sebagai output dari sistem hukum yang

berupa peraturan-peraturan, keputusan-keputusan yang digunakan baik oleh

pihak yang mengatur maupun yang diatur.20

Akhirnya pemahaman tentang the legal culture, system their beliefs,

values, ideas and expectiations. Jadi kultur hukum adalah sikap manusia

terhadap hukum dan sistem hukum kepercayaan, nilai, pemikiran serta

harapannya. ”legal culture refers, then to those parts of general culture

customs, opinions, ways of doing and thingking that bend social forces to

ward or away from the law and in practicular ways”.21 Pemikiran dan

pendapat ini sedikit banyak menjadi penentu jalannya proses hukum. Jadi

dengan kata lain kultur hukum adalah suatu pikiran sosial dan kekuatan

sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau

disalahgunakan. Tanpa kultur hukum maka sistem hukum itu sendiri tidak

berdaya.

Komponen kultural yaitu terdiri dari nilai-nilai dan sikap-sikap yang

mempengaruhi bekerjanya hukum, atau yang menurut Lawrence M.

Friedman disebut sebagai kultur hukum. Kultur hukum inilah yang

berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara peraturan hukum

dengan tingkah laku hukum seluruh warga masyarakat.22

Secara singkat, menurut Lawrence M. Friedman cara lain untuk

menggambarkan ketiga unsur sistem hukum itu adalah sebagai berikut ;

a. Struktur diibaratkan sebagai mesin. b. Substansi hukum adalah apa yang dikerjakan dan dihasilkan oleh mesin

itu. 19 Friedman, op.cit., hlm 7.

20 Esmi Warassih op.cit.,hlm. 30

21 Friedman, op.cit., hlm. 8

22 Esmi Warassih, op.cit., hlm.30

Page 37: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

22

c. Kultur hukum adalah apa saja atau siapa saja yang memutuskan untuk menghidupakan dan mematikan mesin itu, serta memutuskan bagaimana mesin itu digunakan.

3. Teori Penanggulangan Kejahatan

a. Kejahatan

Pertumbuhan dan kemajuan perkembangan bidang ekonomi, sosial

budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi serta makin meningkatnya arus

informasi menurut Soedjono sangat banyak mempengaruhi peningkatan

dan bentuk kejahatan yang terjadi, yang perlu upaya penanggulangan

secara tuntas dan berlanjut.23

Kejahatan adalah bagian dari kehidupan manusia itu sendiri.

Sepanjang masih ada kehidupan yang terjadinya interaksi antar manusia,

keadaan ini member peluang timbulnya kejahatan, dimana kepentingan-

kepentingan manusia sebagai mahluk sosial akan bertemu dan kemudian

mendorong terjadinya tindak kejahatan. Oleh sebab itu, pemaknaan

tentang kejahatan demikian komplek, tidak cukup dilihat dari sudut

formil yang berdasarkan undang-undang yang berlaku. Dengan demikian

menurut Sahetapy dalam Soedjono Dirdjosisworo,24 pemaknaan tentang

profil penjahat hendaknya jangan dicari secara legalistik dalam KUHP

dan undang-undang pidana lainnya.

Selanjutnya Sahetapy mengatakan “kejahatan mengandung konotasi

tertentu merupakan suatu pengertian dan pemaknaan relatif, mengandung

variabilitas dan dinamik serta bertalian dengan perbuatan atau tingkah

laku (baik aktif maupun pasif) yang dinilai oleh sebagian mayoritas atau

minoritas masyarakat sebagai perbuatan anti sosial, suatu perkosaan

terhadap skala nilai sosial dan atau perasaan hukum yang hidup dalam

masyarakat sesuai dengan ruang dan waktu”.25

23 Soedjono Dirdjosisworo, Ruang Lingkup Kriminologi, Remaja Karya, Bandung, 1986, hlm. 63 24 Ibid ;hlm.13 25 Ibid;hlm.14

Page 38: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

23

Simanjuntak mendefinisikan kejahatan dari sudut patologi sosial,

menurutnya kejahatan adalah suatu peristiwa penyakit masyarakat yang

diderita oleh seluruh persekutuan (tinjauan kejahatan terhadap kehidupan

sosial).26 Sedangkan Momon Martosaputro menguraikan secara terperinci

:27

1. Suatu kejahatan haruslah mempunyai akibat atau kerugian tertentu yang nyata.

2. Kerugian itu haruslah dilarang dalam undang-undang. 3. Harus ada perbuatan atau sikap membiarkan atau sembrono yang

menimbulkan akibat-akibat yang merugikan. 4. Dalam melakukan perbuatan itu harus ada maksud jahat. 5. Harus ada hubungan kesatuan atau kesesuaian, persamaan atau

hubungan kejadian antara maksud dan perilaku. 6. Harus ada hubungan sebab akibat antara perbuatan itu sendiri dengan

kerugian yang dilarang undang-undang. 7. Harus ada hukum yang ditetapkan oleh undang-undang.

Nicolas Carrier said :28 “If the idea that crime is a social construct is commonsensical in various sociologically informed criminologies, sociological apprehensions of criminal law are still quite reluctant towards its implied epistemological stance. This may be so because of the deep impact of the sociological habit to think of crime in a mandatory relationship with something akin to Ideology, the conscience collective, or the Foucaultian a-juridical pouvoir de la norme, and because constructivism is often taken as contrary to a truly scientific endeavor, or even as leading social sciences to ‘‘self-destruction’’ (Gauchet, 2005, p. 182). By focusing on the idea that crime is a social construct, the main objective of this contribution is to examine some of the main contours of what a radically constructivistconception of (criminal) law could be.” (Jika gagasan bahwa kejahatan merupakan konstruksi sosial dalam berbagai commonsensical sosiologis criminologi informasi, kekhawatiran sosiologis hukum pidana masih cukup enggan terhadap sikap epistemologis yang tersirat. Ini mungkin karena dampak mendalam kebiasaan berpikir sosiologis kejahatan dalam hubungan wajib dengan sesuatu yang mirip dengan Ideologi, kesadaran kolektif, atau sebuah Foucaultian-yuridis pouvoir de la norme, dan karena konstruktivisme sering diambil karena bertentangan dengan suatu

26 Simanjuntak, Pengantar Kriminologi dan Patologi Sosial, Tarsito, Bandung, 1980, hlm.348

27 Momon Martosaputro, Asas-asas Kriminologi, Alumni, Bandung, 1973, hlm.20-23

28 Nicolas Carrier, International Journal of Law, Crime and Justice, Volume 36, Issue 3, September 2008, Pages. 169

Page 39: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

24

usaha yang benar-benar ilmiah, atau bahkan sebagai terkemuka ilmu-ilmu sosial untuk''''penghancuran diri (Gauchet, 2005, hal 182). Dengan berfokus pada gagasan bahwa kejahatan merupakan konstruksi sosial, yang tujuan utama dari kontribusi ini adalah untuk memeriksa beberapa kontur utama dari apa yang secara radikal konsepsi konstruktivis dapat menjadi pidana). “Constructivist perspectives on crime posit themselves against ‘traditional’ (sociological, psychological, cultural, political, etc.), viewpoints on crime”.29 (Perspektif konstruktivis pada kejahatan menempatkan diri terhadap 'tradisional' (sosiologis, psikologis, budaya, politik, dll), sudut pandang pada kejahatan).

Perbuatan pidana dalam KUHP saat ini dibagi atas kejahatan (

misdruijven) dan pelanggaran, meskipun dalam KUHP sendiri tidak ada

satu pasalpun yang memberikan pengertian dan definisi tentang

kejahatan, namun dapat ditemukan dalam Memorie van Toelichting

(MvT) yang menyatakan bahwa kejahatan adalah rechtsdelicten yaitu

perbuatan-perbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam undang-

undang sebagai perbuatan pidana, terlah dirasakan sebagai onrech,

sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata hukum. Sedangkan

pelanggaran adalah wetsdelicten, yaitu perbuatan-perbuatan yang sifat

melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah ada wet yang

menentukan demikian.30

b. Kebijakan Penanggulangan Kejahatan

Kebijakan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia31berasal dari kata bijak

yang berarti : 1). Selalu menggunakan akal budinya; pandai; mahir. 2).

Pandai bercakap cakap, petah lidah. Sedangkan kebijakan dalam Kamus

Besar Bahasa Indonesia berarti : 1). Kepandaian; kemahiran;

kebijaksanaan. 2). Rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar

dan dasar rencana di pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan 29 Ibid 30 Moeljatno, Azas-azas Hukum Pidana, Rieneke Cipta, Jakarta, 1993, hlm. 71

31 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke III, Balai Pustaka, Jakarta, 2002, hlm.149

Page 40: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

25

cara bertindak. Sedangkan penanggulangan berarti proses, cara,

perbuatan menanggulangi.32 Dalam rangka penanggulangan kejahatan

pada umumnya dan kejahatan di bidang kehutanan khususnya

perambahan hutan, terdapat berbagai cara sebagai reaksi yang dapat

diberikan kepada pelaku kejahatan, yaitu berupa sarana hukum pidana

(penal) dan sarana non hukum pidana (non penal). Jika dipilih sarana

penanggulangan kejahatan melalui sarana hukum pidana, berarti akan

melaksanakan politik hukum pidana. Melaksanakan politik hukum

pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-

undangan pidana yang paling baik, dalam artian memenuhi syarat

keadilan dan daya guna. Melaksanakan politik hukum pidana berarti

“usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai

dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang

akan datang.33

Upaya atau kebijakan untuk melakukan pencegahan dan

penanggulangan kejahatan termasuk bidang “kebijakan criminal”

(criminal policy). Kebijakan kriminal ini pun tidak terlepas dari

kebijakan yang lebih luas, yaitu kebijakan sosial (social policy) yang

terdiri dari “kebijakan/upaya-upaya untuk kesejahteraan sosial” dan

“kebijakan/upaya-upaya untuk perlindungan masyarakat” (social defence

policy).34 Dengan demikian, sekiranya kebijakan penanggulangan

kejahatan (politik criminal) dilakukan dengan menggunakan sarana

“penal” (hukum pidana), maka kebijakan hukum pidana (penal policy),

khususnya pada tahapan kebijakan yudikatif/aplikatif (penegakan hukum

pidana in concreto) harus memperhatikan dan mengarah pada

32 Ibid;hlm.138

33 Sudarto. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, Bandung dikutip dari Nyoman Sarikat Putra Jaya, Beberapa Pemikiran Kearah Pengembangan Hukum Pidana, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008, hlm.189 34 Barda Nawawi Arief. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penaggulangan Kejahatan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. 2007. hlm. 77

Page 41: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

26

tercapainya tujuan dari kebijakan sosial itu, berupa “social welfare” dan

“sosial defence” 35 seperti skema berikut :

Gambar 2.

(Skema G.Peter Hoefnagels dalam Barda Nawawi Arief)36

Bertolak dari skema tersebut, dapat diidentifikasikan hal-hal pokok

sebagai berikut :

a. Pencegahan dan penaggulangan kejahatan harus mencapai tujuan

(goal), “kesejahteraan masyarakat/social welfare” (SW) dan

“perlindungan masyarakat/social defence” (SD). Aspek SW dan SD

yang sangat penting adalah aspek kesejahteraan/perlindungan

masyarakat yang bersifat IMMATERIIL, terutama nilai kepercayaan,

kebenaran/kejujuran/keadilan.

b. Pencegahan dan penanggulangan kejahatan harus dilakukan dengan

“pendekatan integral” ada keseimbangan sarana “penal” dan “non

penal”. Dilihat dari sudut politik criminal kebijakan paling strategis

melalui sarana “non penal” karena lebih bersifat preventif dan arena

kebijakan “penal” mempunyai keterbatasan/kelemahan (yaitu bersifat 35 Ibid; hlm.77 36 Ibid; hlm.78

Social welfare policy

GOAL SW/SD

Social policy

Social defence policy

- formulasi - aplikasi - eksekusi

PENAL

Criminal policy

NON PENAL

Page 42: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

27

fragmentaris/simplistis/tidak struktural fungsional; simptomatik/tidak

kausatif/tidak eliminatif; individualistik atau “offender oriented/tidak

victim-oriented”; lebih bersifat represif/tidak prepentif; harus

didukung oleh infrastruktur dengan biaya tinggi).

c. Pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan sarana “penal”

merupakan “penal policy” atau “penal law enforcement policy” yang

fungsionalisasi/operasionalisasinya melalui beberapa tahap :

1. Tahap formulasi (kebijakan legislatif).

2. Tahap aplikasi (kebijakan yudikatif/yudisial).

3. Tahap eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif).

Dengan adanya tahap “formulasi” maka upaya pencegahan dan

penanggulangan kejahatan bukan hanya tugas aparat penegak/penerap

hukum, tetapi juga tugas aparat pembuat hukum (aparat legislatif),

bahkan kebijakan legislatif merupakan tahap paling strategis dari “penal

policy”. Karena itu kesalahan/kelemahan kebijakan legislatif merupakan

kesalahan strategis yang dapat menghambat upaya pencegahan dan

penaggulangan kejahatan pada tahap aplikasi dan eksekusi.

Pendekatan penal dalam penanggulangan kejahatan bukanlah tanpa

kelemahan. Sebab dengan undang-undang semata tanpa dipola perilaku

masyarakat menuju kepada pola masyarakat yang baik, sulit rasanya

terwujud satu masyarakat sebagaimana dimaksud dengan dibentuknya

undang-undang itu. Dalam hal ini Satjipto Rahardjo dalam Ahmad

Gunaryo mengatakan,37” Kepastian hukum juga mencakup wilayah

perilaku, artinya perilaku yang terpola karena adanya peraturan atau

hukum yang mengaturnya, akan menggambarkan pengertian kepastian

hukum yang sebenarnya. Untuk itu maka harus ditata terlebih dahulu

perilaku masyarakat kita, sehingga perilaku yang mencerminkan

penghormatan atas hukum yang bersifat otentik membudaya dalam

masyarakat, sekalipun proses ini harus melalui jalan yang panjang”.

37 Ahmad Gunaryo. Hukum Birokrasi dan Kekuasaan di Indonesia, Walisongo Research Institut, Semarang, 2001, hlm. 2

Page 43: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

28

Menurut Muladi38, bahwa usaha menanggulangi kejahatan

mengejawantah dalam berbagai bentuk yaitu :

Bentuk yang pertama adalah bersifat represif yang menggunakan sarana penal yang sering disebut sistem peradilan pidana (criminal justice system). Yang kedua usaha-usaha tanpa menggunakan penal (prevention without punishment) dan yang ketiga adalah mendayagunakan usaha-usaha pembentuk opini masyarakat tentang kejahatan dan sosialisasi hukum melalui mass media secara luas.

Mardjono Reksodiputro menyebutkan39 :

Umumnya dikatakan bahwa kejadian penanggulangan masalah kejahatan di dalam masyarakat dibagi dalam usaha besar : yang informal (informal social controls) adalah melalui lingkungan keluarga, lingkungan kepemukiman (RT dan RW), sekolah, lembaga keagamaan dan sebagainya dan yang formal (formal social controls) adalah melalui sistem peradilan pidana (criminal justice system).

Efektifitas hukum dalam masyarakat, termasuk hukum pidana bisa

melemah, menurut O.Notohamijoyo dalam Soerjono Soekanto40

disebabkan antara lain :

1. Hukum tidak memperoleh dukungan yang semestinya dari norma-norma sosial bukan hukum.

2. Norma-norma hukum tidak atau belum sesuai dengan norma-norma sosial yang bukan hukum.

3. Tidak ada kesadaran hukum dan kesadaran norma yang semestinya. 4. Pejabat-pejabat hukum tidak sadar akan kewajibanya yang mulia

untuk memelihara hukum. 5. Pemerintah pusat dan daerah berusaha membongkar hukum yang

berlaku untuk maksud-maksud tertentu.

Oleh karena itu jika hukum pidana ditetapkan sebagai sarana untuk

menanggulangi kejahatan maka harus benar-benar memperhitungkan

semua faktor yang dapat mendukung berfungsinya atau bekerjanya

38 Muladi, HAM, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, BP UNDIP, Semarang, 1997, hlm.100-

101 39 Mardjono Reksodiputro. Penanggulangan Masalah Preman Dari Penegakan Kriminologi (suatu tanggapan) jurnal hukum pidana dan kriminologi, Vol,.I, No.1/1998, hlm.92 40 Soerjono Soekanto.. Efektifitas Hukum dan Peranan Sanksi, Remaja Karya. Bandung, 1985, hlm.231

Page 44: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

29

hukum pidana dalam kenyataannya.41 Faktor-faktor yang dapat

mendukung berfungsinya atau bekerjanya hukum pidana tersebut antara

lain dikemukakan oleh Sudarto :42

1. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur merata materiil spiritual berdasarkan Pancasila; sehubungan dengan ini maka (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.

2. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (material dan atau spiritual) atas warga masyarakat.

3. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost benefit principle)

4. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting)

dan yang lebih penting agar sanksi pidana dapat lebih didaya gunakan, maka perlu dilakukan suatu pendekatan. Pendekatan yang bagaimanakah yang sebaiknya ditempuh dalam menggunakan hukum pidana? Menurut Barda Nawawi Arief,43 pendekatan tersebut meliputi : 1. Pendekatan rasional 2. Pendekatan fungsional 3. Pendekatan pragmatis 4. Pendekatan nilai Pendekatan yang rasional memang merupakan pendekatan yang seharusnya melekat pada setiap langkah kebijakan. Hal ini berarti bahwa suatu politik kriminal dengan menggunakan kebijakan hukum pidana harus merupakan suatu usaha atau langkah-langkah yang dibuat dengan sengaja dan sadar. Sedangkan pendekatan yang fungsional merupakan suatu pendekatan yang melekat (inherent) pada setiap kebijakan yang rasional. Artinya dalam memilih dan menetapkan (hukum) pidana sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan harus benar-benar telah memperhitungkan semua faktor yang dapat mendukung berfungsinya

41 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal. 29-30 42 Sudarto, Hukum Dan Hukum Pidana, Alumni Bandung, 1983, hal.44-48 43 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana . Dikutip dalam Hartiwiningsih. Hukum Lingkungan Dalam Perspektif Kebijakan Hukum Lingkungan, Sebelas Maret University Press, Surakarta,2008, hlm.168

Page 45: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

30

atau bekerjanya (hukum) pidana itu dalam kenyataannya.44 Selanjutnya dalam melakukan kebijakan hukum pidana diperlukan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy-oriented approach) yang lebih bersifat pragmatis dan juga pendekatan yang berorientasi pada nilai (value-judgment approach).45

Menurut Barda Nawawi Arief, kebijakan kriminal tidak dapat

dilepaskan sama sekali dari masalah nilai, terlebih lagi Indonesia yang

berdasarkan Pancasila dan garis kebijakan pembangunan nasionalnya

bertujuan membentuk “manusia Indonesia Seutuhnya” 46 karenanya

seperti dikatakan oleh Christiansen dalam Arief,47 “the conception of

problem crime and punishment is an essential part of the culture of any

society.

Apabila pidana akan digunakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan tersebut, maka pendekatan humanistis harus pula diperhatikan. Hal ini penting tidak hanya karena kejahatan itu pada hakekatnya merupakan masalah kemanusiaan (human problem), tetapi juga karena pada hakekatnya pidana itu sendiri mengandung unsur penderitaan yang dapat menyerang kepentingan atau nilai yang paling berharga bagi kehidupan manusia.48

Barda Nawawi Arief mengatakan bahwa pendekatan humanistis

dalam penggunaan sanksi pidana tidak hanya berarti bahwa pidana yang

dikenakan kepada si pelanggar harus sesuai dengan nilai-nilai

kemanusiaan yang beradab, tapi juga harus dapat membangkitkan

kesadaran si pelanggar akan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai

pergaulan hidup bermasyarakat.49

Dalam konteks membicarakan penanggulangan kejahatan dengan

sanksi pidana ini tidak dapat dilepaskan pembicaraan di seputar masalah

pemidanaan. Hakekat tujuan pemidanaan telah diformulasikan oleh Tim

Perumus KUHP Baru seperti yang tercantum alam Bab III Pasal 51 ayat

44 Op.cit.,hlm.164 45 Loc.cit 46 Loc.cit 47 Loc.cit 48 Loc.cit 49 Loc.cit.

Page 46: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

31

(1) dan (2) Buku I dari Naskah Rancangan KUHP baru sebagai berikut :

Pasal 51 ayat (1) pemidanaan bertujuan untuk :

1. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat.

2. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadikannya orang yang baik dan berguna.

3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.

4. Pemidanaan rasa bersalah pada terpidana. Pasal 51 ayat (2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merenahkan martabat manusia.

c. Kongres PBB tentang Penanggulangan Kejahatan

Berikut dijelaskan beberapa kongres PBB mengenai The Prevention of

Crime and the Treatment of Offenders :50

1. Kongres PBB ke-6 tahun 1980 di Caracas, Veneuela, antara lain

dinyatakan di dalam pertimbangan resolusi mengenai “crime tends

and crime prevention strategies”.

1) Bahwa masalah kejahatan merintangi kemajuan untuk mencapai kualitas lingkungan hidup yang layak/pantas bagi semua orang. (the crime problem impedes progress towards the attainment of an acceptable quality of life for all people).

2) Bahwa strategi pencegahan kejahatan harus didasarkan pada penghapusan sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan kejahatan (crime prevention strategies should be based upon the elimination of causes and conditions giving rise to crime).

3) Bahwa penyebab utama dari kejahatan di banyak Negara ialah ketimpangan sosial, diskriminasi rasial dan diskriminasi nasional, standar hidup yang rendah, pengangguran dan kebutahurufan (kebodohan) diantara golongan besar penduduk (the main causes of crime in many countries are social ineguality, racial and national discrimination, low standar of living, unemployment and illiteracy among broad sections of the population)

50 Barda Nawawi Arief. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), Prenada Media Group. Jakarta, 2008, hlm.41

Page 47: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

32

2. Kongres PBB ke-7 tahun 1985 di Milan Italia, antara lain ditegaskan

di dalam dokumen A/CONF.121/L/9 (mengenai “Crime prevention in

the context of development”), bahwa upaya penghapusan sebab-sebab

dan kondisi yang menimbulkan kejahatan harus merupakan “strategi

pencegahan kejahatan yang mendasar” (the basic crime prevention

strategies).

Demikian pula didalam “Guiding Principles” ditegaskan antara lain,

bahwa :

“Kebijakan-kebijakan mengenai pencegahan kejahatan dan peradilan pidana harus mempertimbangkan sebab-sebab struktural, termasuk sebab-sebab ketidakadilan yang bersifar sosioekonomi, dimana kejahatan sering hanya merupakan gejala/symptom.” (policies for crime prevention and criminal justice should take into account the structural causes, including socio-economic causes of injustice, of which criminality is often but a symptom).

3. Kongres PBB ke-8 tahun 1990 di Havana, Cuba, antara lain

ditegaskan dalam dokumen A/CONF.144/L.17 (mengenai “social

aspects of crime prevention and criminal justice in the context of

development”.)

Beberapa aspek sosial yang oleh kongres PBB ke-8 diidentifikasikan

sebagai faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan (khususnya

dalam masalah “urban crime”) antara lain disebutkan di dalam

dokumen A/CONF.144/L.3 sebagai berikut :

1) Kemiskinan, pengangguran, kebutahurufan (kebodohan), ketiadaan/kekurangan perumahan yang layak dan sistem pendidikan serta latihan yang tidak cocok/serasi.

2) Meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai prospek (harapan) karena proses integrasi sosial, juga karena memburuknya ketimpangan-ketimpangan sosial.

3) Mengendurnya ikatan sosial dan keluarga. 4) Keadaan/keadaan kondisi yang menyulitkan bagi orang-orang

yang berimigrasi kekota-kota atau ke Negara-negara lain. 5) Rusaknya atau hancurnya identitas budaya asli, yang bersamaan

dengan adanya rasisme dan diskriminasi menyebabkan kerugian/kelemahan di bidang sosial, kesejahteraan dan lingkungan pekerjaan.

Page 48: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

33

6) Menurunya atau mundurnya (kualitas) lingkungan perkotaan yang mendorong peningkatan kejahatan dan berkurangnya (tidak cukupnya) pelayanan bagi tempat-tempat fasilitas lingkungan/bertetangga.

7) Kesulitan-kesulitan bagi orang-orang dalam masyarakat modern untuk berintegrasi sebagaimana mestinya di dalam lingkungan masyarakatnya, lingkungan keluarga/familinya, tempat pekerjaanya atau lingkungan sekolahnya.

8) Penyalahgunaan alcohol, obat bius dan lain-lain yang pemakaiannya juga diperluas karena faktor-faktor yang disebut diatas.

9) Meluasnya aktivitas kejahatan yang terorganisasi, khususnya perdagangan obat bius dan penadahan barang-barang curian.

10) Dorongan-dorongan (khususnya oleh media massa) mengenai ide-ide dan sikap-sikap yang mengarah pada tindakan kekerasan, ketidak samaan (hak) atau sikap-sikap tidak toleran (intoleransi).

4. Kongres PBB ke-9 tahun 1995 di Kairo, Mesir tentang The Prevention

of Crime and the Treatment of Offenders, terdapat resolusi tentang

Criminal justice management in the context of accountability of public

administration and sustainable development”. Resolusi itu antara lain

menghimbau Negara anggota, organisasi antar pemerintah, dan

organisasi profesional non pemerintah agar dalam program-program

pengembangan yang berkaitan dengan manajemen peradilan pidana,

mempertimbangkan masalah “accountability and sustainability”.

Resolusi itu antara lain didasarkan pada pemikiran/pertimbangan

bahwa :

1) Penyelenggaraan/administrator peradilan (pidana) bertanggungjawab bagi terselenggaranya peradilan (pidana) yang efesien dan manusiawi.

2) Manajemen peradilan (pidana) merupakan bagian dari administrasi public yang bertanggungjawab pada masyarakat luas.

3) Penyelenggaraan peradilan (pidana) harus merupakan bagian dari kebijakan pembangunan sumber daya yang berkelanjutan (a policy of sustainable development of resources), termasuk “ensuring justice” dan “the savety of citizens”.51

51 Saefullah, Hukum Lingkungan Paradigma Kebijakan Kriminal di Bidang Konservasi

Keanekaragaman Hayati. UIN Malang Press, Malang, 1997, hlm.15

Page 49: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

34

5. Kongres PBB ke-10 tahun 2000 di Vienna, dalam deklerasinya

mengatakan : "Komprehensif strategi pencegahan kejahatan pada

tingkat internasional, nasional, regional dan lokal secara

komprehensif harus mengatasi akar penyebab dan faktor resiko yang

berhubungan dengan kejahatan dan korban melalui sosial, ekonomis,

kesehatan, kebijakan pendidikan dan keadilan". (“Comprehensive

crime prevention strategies at the international, national, regional

and local levels must address the root causes and risk factors related

to crime and victimization through social, economis, health,

educational and justice policies”).

3.Tinjauan Umum tentang Perambahan Dalam Kawasan Konservasi

a. Pengertian Perambahan

Perambahan adalah kejahatan bidang konservasi sumber daya

alam hayati, secara umum ada 3 (tiga) Undang-undang yang mengatur

mengenai ketentuan sanksi pidana kejahatan di bidang konservasi

sumber daya alam hayati yaitu : Undang-undang Nomor 32 tahun

2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,

Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan

Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber

Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Sanksi pidana terhadap kedua

undang-undang pertama diatas terhadap sanksi pidana pada Undang-

undang Nomor 5 tahun 1990 berlaku adagium lex specialis derogate

legi generalis (undang-undang yang bersifat khusus

mengenyampingkan undang-undang yang bersifat umum) atau lex

posterior derogate legi perior (undang-undang yang baru meniadakan

undang-undang yang lama).

Menurut Saefullah52 pemberlakukan sanksi pidana tersebut

secara yuridis formal tergambar dalam ragaan sebagai berikut :

52 Ibid; hlm.139

Page 50: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

35

Gambar. 3

(Ruang Lingkup Pemberlakukan Sanksi Pidana Konservasi

Keanekaragaman Hayati)

Oleh karena terdapat peraturan perundang-undangan yang bersifat

khusus tersebut maka kejahatan atau pelangggaran yang terjadi di

dalam kawasan konservasi diberlakukan Undang-undang Nomor 5

tahun 1990 secara de facto maupun de jure.53

Perambahan adalah melakukan pembukaan kawasan hutan tanpa

mendapat izin dari pejabat yang berwenang.54 Pembukaan kawasan

hutan tersebut dilakukan dengan mengolah tanah untuk perladangan,

pertanian atau usaha lainnya. Menurut W.J.S Poerwadarminta,

merambah adalah membabat; menebangi (memangkas dan

sebagainya) tumbuh-tumbuhan, pohon-pohon dan

sebagainya.55Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia istilah

perambahan adalah proses, cara, perbuatan merambah.56Sehingga

dapat ditarik pengertian bahwa perambahan adalah suatu proses, cara,

perbuatan membabat, menebangi tumbuh-tumbuhan, pohon-pohon

53 Ibid; hlm.140

54 Penjelasan Pasal 50 ayat (2) huruf b UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.

55 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Diolah kembali oleh Pusat Departemen Pendidikan Nasional, Balai Pustaka, Jakarta, 2003, hlm.924. 56 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Balai Pustaka Jakarta, 2005, hlm.929

Sanksi pidana dalam UU No.23/97 (sekarang UU No.32/2009) bersifat umum untuk semua kasus lingkungan hidup dapat dijerat

Sanksi pidana dalam UU No.41/99 bersifat khusus untuk kejahatan di luar dan didalam kawasan hutan lindung dan hutan produksi

Sanksi pidana dalam UU No.5/90 bersifat khusus untuk kejahatan konservasi keanekaragaman hayati

Page 51: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

36

dan sebagainya dalam suatu kawasan hutan tanpa seijin pejabat yang

berwenang.

b. Ketentuan Pasal yang Mengatur Perambahan dalam Kawasan Taman

Nasional

Dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi

Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya tidak merumuskan

secara tegas pengertian perambahan hutan dalam kawasan taman

nasional, namun secara ekplisit tercantum dalam pasal 33 ayat (1), (2)

dan (3). Undang-undang ini juga mengenal adanya tindak pidana

formil dan tindak pidana materil, menurut Wirjono Prodjodikoro:57

“penggolongan ini berdasar cara perumusan ketentuan hukum pidana oleh pembentuk undang-undang. Apabila tindak pidana yang dimaksudkan dalam suatu ketentuan hukum pidana (strafbepaling) disitu dirumuskan sebagai perbuatan yang menyebabkan akibat tertentu, tanpa merumuskan ujud dari perbuatan itu, maka tindak pidana ini dikalangan ilmu pengetahuan hukum dinamakan “tindak pidana materiel” (materiel delict). Apabila tindak pidana yang dimaksudkan dirumuskan sebagai ujud perbuatan tanpa menyebutkan akibat yang disebabkan oleh perbuatan itu, maka ini adalah “tindak pidana formal” (formeel delict)”.

Berikut disebutkan rumusan formil Undang-undang Nomor 5 tahun

1990 yang termaktub Pasal 33 ayat (1), (2) dan (3):

1. Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional.

2. Perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas zona inti taman nasional, serta menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli.

3. Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam.

Dalam penjelasan Pasal 32 Undang-undang ini disebutkan :

57 Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, ctk.Ketujuh, Edisi Kedua, PT.Refika Aditama, Bandung, 2002, hlm.34

Page 52: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

37

a. Yang dimaksud dengan zona inti adalah bagian kawasan taman nasional yang mutlak dilindungi dan tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktivitas manusia.

b. Yang dimaksud dengan zona pemanfaatan adalah bagian dari kawasan taman nasional yang dijadikan pusat rekreasi dan kunjungan wisata.

c. Yang dimaksud dengan zona lain adalah zona di luar kedua zona tersebut karena fungsi dan kondisinya ditetapkan sebagai zona tertentu seperti zona rimba, zona pemanfaatan tradisional, zona rehabilitasi dan sebagainya.

Sedangkan perumusan tindak pidana materil dapat ditemukan

pada Pasal 40 ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 5 tahun

1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati sebagai berikut :

a. Tindak pidana dengan kategori sengaja :

Pasal 40 ayat (1) :

Secara melawan hukum dengan sengaja melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Pasal 40 ayat (2) :

Secara melawan hukum dengan sengaja melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

b. Tindak pidana dengan kategori kelalaian :

Pasal 40 ayat (3):

Karena kelalaiannya melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional, diancam dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Pasal 40 ayat (4) : Karena kelalaiannya melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam, Diancam dengan pidana

Page 53: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

38

kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

Sanksi pidana yang berat tersebut dimaksudkan agar dapat

menimbulkan efek jera bagi pelanggar hukum di bidang kehutanan58

Efek jera dibutuhkan untuk menghalangi niat jahat manusia untuk

melakukan kejahatan kehutanan.

Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan

Ekosistemnya ini dibuat untuk melindungi kepentingan hukum yang

lebih besar yang hendak dilindungi oleh pembuat undang-undang melalui

ketentuan tersebut. Kepentingan hukum tersebut adalah kepentingan

seluruh masyarakat dan seluruh umat manusia melalui manfaat yang

diperoleh dari kelestarian hutan. Hal ini sesuai dengan bunyi pasal Pasal

33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa “Bumi

dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh

negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Dengan demikian bumi dan air (termasuk hutan dan sumber daya

alam) digunakan untuk kepentingan sebesar-besarnya masyarakat

Indonesia dan bukan kepentingan segelintir orang yang ingin mengambil

keuntungan ekonomis semata dari hutan dan alam.

Ditinjau dari ketentuan Undang-undang tersebut terhadap

perambahan mesti memuat ketentuan pidana, hukum pidana hampir

selalu digunakan atau dimanfaatkan untuk menakut-nakuti atau

mencegah berbagai macam bidang kehidupan masyarakat. Padahal

hukum pidana seperti dikatakan oleh Barda Nawawi Arif,59 dalam

menanggulangi kejahatan kemampuannya terbatas, yang diidentifikasi

sebagai berikut :

1. Sebab-sebab kejahatan yang demikian kompleks berada diluar jangkauan hukum pidana.

58 Penjelasan umum paragraph ke-18 UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. 59 Nyoman Sarikat Putra Jaya, Beberapa Pemikiran Kearah Pengembangan Hukum Pidana, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008 hlm. 198

Page 54: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

39

2. Hukum pidana hanya merupakan sebagian kecil (sub sistem) dan sarana control sosial yang tidak mungkin mengatasi masalah kejahatan sebagai masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan yang sangat kompleks (sebagai masalah sosiopsikologis, sosiopolitik, sosioekonomi, sosiokultural dan sebagainya).

3. Penggunaan hukum pidana dalam menaggulangi kejahatan hanya merupakan kurieren am sympton. Oleh karena itu hukum pidana hanya merupakan “pengobatan symptomatik” dan bukan pengobatan kausatif.

4. Sanksi hukum pidana merupakan remedium yang mengandung sifat kontradiktif/paradoksal dan mengandung unsure-unsur serta efek sampingan yang negatif.

5. Sistem pemidanaan bersifat fragmenteir an individu/personal, tidak bersifat structural/fungsional.

6. Keterbatasan jenis sanksi pidana dan sistem perumusan sanksi pidana yang bersifat kaku dan imperatif.

7. Bekerjanya/berfungsinya hukum pidana memerlukan sarana pendukung yang lebih bervariasi dan lebih menuntut “biaya tinggi”.

Nigel Walker, sebagaimana dikutip oleh Barda Nawawi

Arif.60mengingatkan adanya “prinsip-prinsip pembatas” (the limiting

principles) yang sepatutnya mendapat perhatian, antara lain :

1. Jangan menggunakan hukum pidana semata-mata untuk balas dendam.

2. Jangan menggunakan hukum pidana untuk memidana perbuatan yang tidak merugikan/membahayakan.

3. Jangan menggunakan hukum pidana untuk mencapai suatu tujuan yang dapat dicapai secara lebih efektif dengan sarana-sarana lain yang lebih ringan.

4. Jangan menggunakan hukum pidana apabila kerugian/bahaya yang ditimbulkan dan pidana lebih besar daripada kerugian/bahaya dan pembuatan/ tindak pidana itu sendiri.

5. Larangan-larangan hukum pidana jangan mengandung sifat lebih berbahaya daripada perbuatan yang akan dicegah.

6. Hukum pidana jangan memuat larangan-larangan yang tidak mendapat dukungan kuat dari publik.

7. Dengan demikian mengingat bahaya tanah longsor dan erosi yang pada kenyataanya memakan banyak korban, baik jiwa manusia maupun harta benda, sudah selayaknya hukum (sanksi) pidana dipanggil untuk menanggulangi/memerangi kejahatan yang berkaitan dengan hutan dan kebun. Namun seperti yang sering dikemukakan dalam Kongres PBB mengenai the prevention of crime and the

60 Ibid;hlm.199

Page 55: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

40

treatment of offenders, upaya yang ditempuh dalam penanggulangan kejahatan adalah : a. Crime prevention strategies should be based upon the in of causes

and conditions giving rise to crime. b. The basic crime prevention strategy must consist in eliminating the

causes and conditions that breed crime. c. The main causes of crime in many countries are social in-equality,

racial and national discrimination, low standard of living, unemployment and illiteracy among broad section of the population.

d. Crime prevention and criminal justice should be considered in the context of economic, development political systems social and cultural values and social change as well as in the context of the new international economic order.

Dalam rangka penanggulangan perambahan melalui hukum pidana

adalah bagaimana ke tiga persoalan pokok dalam hukum pidana itu

dituangkan dalam perundang-undangan pidana yang sedikit banyak

mempunyai fungsi untuk rekayasa sosial (social engineering), yaitu

meliputi:

1. Perumusan tindak pidana (criminal act).

2. Pertanggungjawaban Pidana (criminal responsibility).

3. Sanksi (sanction), baik yang berupa pidana (punishment) maupun

tindakan tata tertib (maatregel atau treatment).

Dari paparan tersebut diatas, usaha yang strategis dalam

menanggulangi kejahatan pada umumnya dan khususnya kejahatan yang

berkaitan dengan hutan dan kebun adalah dengan menggunakan

pendekatan penal dan non penal berupa perawatan pelaku tindak pidana

ataupun melakukan perawatan/pembinaan terhadap masyarakat

(treatment of offenders or treatment of society). treatment of society

disini dalam arti upaya pembinaan/penyembuhan masyarakat dari

kondisi-kondisi yang menyebabkan timbulnya kejahatan (antara lain

faktor kesenjangan sosial ekonomi, penggangguran, kebodohan,

rendahnya standar hidup yang layak, kemiskinan, serta diskriminasi

rasial dan sosial). Jadi usaha yang paling strategis dalam menanggulangi

kejahatan yang berkaitan dengan masalah hutan dan kebun adalah dengan

Page 56: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

41

menggarap masalah-masalah kesenjangan sosial ekonomi, pengangguran,

kebodohan, rendahnya standar hidup yang layak, kemiskinan, serta

diskriminasi rasial dan sosial.61

4. Pengertian Taman Nasional

a. Pengertian

Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mepunyai

ekosistem asli dikelola dengan sistem zonasi dan dimanfaatkan untuk

tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang

budidaya, pariwisata dan rekreasi62

Kawasan pelestarian alam adalah kawasan dengan ciri khas

tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi

perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan

keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara

lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. 63 Sebagai salah

satu Kawasan Pelestarian Alam di Indonesia, Taman Nasional

Gunung Ciremai (TNGC) telah ditunjuk melalui Surat Keputusan

Menteri Kehutanan Nomor.424/Menhut-II/2004 tanggal 19 Oktober

2004 tentang Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Lindung pada

Kelompok Hutan Gunung Ciremai Seluas ± 15.500 (Lima Belas Ribu

Lima Ratus) terletak di Kabupaten Kuningan dan Majalengka,

Propinsi Jawa Barat menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai.

b. Manfaat

Secara filosofis suatu kawasan ditetapkan sebagai taman nasional

untuk dapat memberikan 3 dimensi manfaat :

1. Manfaat ekologis, yang berarti mampu melestarikan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya.

61 Ibid; hlm. 200 62 Pasal 1 ayat 14 Undang-undang No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

63 Pasal 1 ayat 13 Undang-undang No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Page 57: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

42

2. Manfaat ekonomi, yang berarti mampu memenuhi berbagai kebutuhan hidup manusia, baik kebutuhan primer, sekunder maupun tersier.

3. Manfaat sosial yang berarti mampu menciptakan kesempatan kerja dan berusaha serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

c. Fungsi dan Peranan

Secara umum taman nasional memiliki fungsi dan peranan antara

lain :64

1. Sebagai wahana pengembangan ilmu pengetahuan, yaitu wahana kegiatan penelitian biologi dan konservasi secara in-situ.

2. Sebagai wahana pendidikan lingkungan, yaitu wahana untuk meningkatkan pemahaman dan kepedulian masyarakat sekitar kawasan taman nasional dan pengunjung atau masyarakat luas tentang upaya konservasi.

3. Mendukung pengembangan budidaya tumbuhan dan penangkaran satwa dalam rangka mendukung pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sekaligus mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan.

4. Sebagai wahana kegiatan wisata alam (ekoturism) dalam rangka mendukung pertumbuhan industri pariwisata alam dan kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan.

5. Sumber plasma nutfah dan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa sekaligus untuk mendukung upaya pelestarian kekayaan keanekaragaman hayati asli.

6. Untuk melestarikan ekosistem hutan sebagai pengatur tata air dan iklim mikro serta sumber mata air bagi masyarakat di sekitar kawasan konservasi.

Dalam Pasal 5 Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 taman

nasional berfungsi sebagai : 1. Perlindungan sistem penyangga kehidupan. 2. Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta

ekosistemnya. 3. Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan

ekosistemnya.

d. Kriteria Penetapan

Kriteria yang digunakan dalam penetapan suatu kawasan menjadi

taman nasional adalah sebagai berikut :65

64 Widada, Mendukung Pengelolaan Taman Nasional yang Eektif Melalui Pengembangan Masyarakat Sadar Konservasi Yang Sejahtera, Ditjen PHKA-JICA, 2008, hlm. 20-21

Page 58: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

43

1. Kawasan yang akan ditetapkan mempunyai luas yang cukup untuk menjamin keberlangsungan proses ekologi secara alami.

2. Memiliki sumber daya alam yang khas dan unik baik berupa jenis tumbuhan maupun satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang masih utuh dan alami.

3. Memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh, yaitu ekosistem yang keadaannya relatif masih asli dan memiliki unsure-unsur biotik, fisik dan interaksinya masih mampu memberikan fungsi ekologis.

4. Memiliki keadaan alam yang asli dan alami untuk dikembangkan sebagai pariwisata alam.

5. Merupakan kawasan yang dapat dibagi ke dalam zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba dan/atau zona lain yang karena pertimbangan kepentingan rehabilitasi kawasan, ketergantungan penduduk sekitar kawasan, dan dalam rangka mendukung upaya pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dapat ditetapkan sebagai zona tersendiri.

Menurut Tim WWF Indonesia66 penunjukan suatu kawasan hutan

sebagai kawasan konservasi harus memiliki satu atau lebih ciri-ciri

sebagai kawasan dengan nilai konservasi tinggi (high value

conservation forest) dengan kriteria :

1. Kawasan hutan yang mempunyai konsentrasi nilai-nilai keanekaragaman hayati yang penting secara global, regional dan lokal (misalnya spesies endemi, spesies hampir punah, tempat menyelamatkan diri (refugia).

2. Kawasan hutan yang mempunyai tingkat lanskap yang luas yang penting secara global, regional dan lokal, yang berada di dalam atau mempunyai unit pengelolaan, dimana sebagian besar populasi species, atau seluruh species yang secara alami ada di kawasan tersebut berada dalam pola-pola distribusi dan kelimpahan alami.

3. Kawasan hutan yang berada di dalam atau mempunyai ekosistem yang langka, terancam atau hampir punah.

4. Kawasan hutan yang berfungsi sebagai pengatur alam dalam situasi yang kritis (e.g. perlindungan daerah aliran sungai, pengendalian erosi).

65 Ibid; hlm. 21

66Tim WWF Indonesia; Mengidentifikasi, mengelola dan Memantau Hutan dengan Nilai Konservasi Tinggi;Sebuah Tolkit Untuk Pengelola Hutan dan Pihak-pihak Terkait. .http://www.ra.org/programs/forestry/smartwood/pdfs/indotoolkit_indo.pdf /, 13 Maret 2009, 09.30

Page 59: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

44

5. Kawasan hutan yang sangat penting untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat lokal (misalnya, pemenuhan kebutuhan pokok, kesehatan).

6. Kawasan hutan yang sangat penting untuk identitas budaya tradisional masyarakat lokal (kawasan-kawasan budaya, ekologi, ekonomi, agama yang penting yang diidentifikasi bersama dengan masyarakat lokal yang bersangkutan).

Dari pengertian-pengertian tersebut, penggunaan teori-teori di

atas dalam studi ini ditempatkan dalam posisi integral yang saling

mendukung bagi terciptanya kerangka paradigmatik yang kokoh dan

tepat untuk keperluan pembahasan materi penelitian.

Dalam penelitian ini, untuk mengetahui penghambat upaya

penanggulangan perambahan di kawasan Taman Nasional Gunung

Ciremai dan bagaimana upaya penaggulangan perambahan di

kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai, peneliti akan lebih

menitik beratkan penggunaan teori peranan struktur hukum dari

Lawrence M. Friedman yang mengatakan bahwa setiap sistem hukum

mengandung tiga unsur yang mempengaruhi yaitu structure of the law

(struktur hukum), substance of the law (substansi hukum) dan legal

culture (budaya hukum) dalam sebuah masyarakat.Rober B. Seidman

yang pada pokoknya bekerjanya hukum dalam suatu sistem

dipengaruhi oleh komponen aturan, penegak hukum dan pemegang

peran dan teori kebijakan criminal (criminal policy) yang

dikemukakan oleh G. Peter Hoefnagels mengenai pencegahan dan

penanggulangan kejahatan harus mencapai tujuan kesejahteraan

masyarakat (social welfare) dan perlindungan masyarakat (social

defence)”.

B. Penelitian yang Relevan

Setelah melakukan penelusuran pada berbagai referensi dan hasil penelitian,

penulisan yang memfokuskan pada upaya penanggulangan perambahan pada

kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai dalam perspektif Undang-undang

Page 60: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

45

Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan

Ekosistemnya belum pernah dilakukan.

C.Kerangka Berfikir

Secara ringkas kerangka berfikir penulis dalam mengadakan penelitian ini,

berangkat dari pemahaman bahwa Negara menjamin setiap warganegaranya

untuk dapat memanfaatkan sumber daya alam sepanjang pemafatannya

memperhatikan kelestarian demi keberlangsungan generasi kini dan akan

datang, hal ini sesuai amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi : “

Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh

Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat’.

Penguasaan Negara terhadap hutan dilakukan dengan memberikan

kewenangan kepada Pemerintah untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu

yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, menetapkan

kawasan hutan dan atau mengubah status kawasan hutan, mengatur dan

menetapkan hubungan hukum antara orang dengan hutan atau kawasan hutan

dan hasil hutan, serta mengatur perbuatan hukum mengenai kehutanan.

Perubahan kebijakan Pemerintah dalam menetapkan kawasan hutan gunung

ciremai dari semula fungsinya sebagai hutan produksi dan lindung menjadi

hutan konservasi melalui SK.Menteri Kehutanan Nomor 424/Menhut-II/2004

berdampak bagi masyarakat yang telah lama mengolah lahan dalam kawasan

yang semula diakomodir, sementara itu berdasarkan sistem pengelolaan taman

nasional kegiatan tersebut telah menjadi perbuatan melanggar hukum berupa

merambah hutan.

Upaya penanggulangan terhadap perambahan dalam kontek seperti ini tidak

bisa hanya dengan paradigma penegakan hukum semata (law enforcement),

namun perlu dilakukan secara arif dan bijaksana dengan memperhatikan faktor

humanisme, demokrasi dan keadilan sosial. Karena aktifitas perambahan yang

telah dilakukan juga saling dipengaruhi oleh faktor-faktor struktur, substansi

dan kultur.

Page 61: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

46

Dalam rangka penanggulangan perambahan hutan, terdapat berbagai cara

sebagai reaksi yang dapat diberikan kepada pelakunya, yakni berupa sarana

hukum pidana (penal) dan sarana non hukum pidana (non penal) yang

dilakukan secara integral dan seimbang dan pada akhirnya mencapai tujuan

(goal), kesejahteraan masyarakat/social welfare dan perlindungan

masyarakat/social defence.

Untuk memudahkan uraian tersebut berikut disajikan alur kerangka berfikir

tentang upaya penanggulangan perambahan pada Kawasan Taman Nasional

Gunung Ciremai :

KERANGKA BERFIKIR

Gambar 4.

(Kerangka Berfikir)

UU Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam

Hayati dan Ekosistemnya

Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai

SK. 424/Menhut-II/2004

Perambahan Kawasan

Upaya Penanggulangan Kejahatan

Faktor yang Mempengaruhi

Non Penal Penal

GOAL Social Welfare/ Social Defence

Struktur Substansi Kultur

Page 62: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

47

BAB. III

METODE PENELITIAN

Untuk memperoleh suatu kebenaran yang dipercaya keabsahanya suatu

penelitian haru menggunakan metode yang tepat dengan tujuan yang henak

dicapainya. Penentuan metode harus cermat agat metode yang digunakan tepat

dan jelas sehingga mendapat kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan.

Menurut Setiono, metodologi dalam arti umum berarti suatu studi yang logis

dan sistematis tentang prinsip-prinsip yang mengarahkan suatu penelitian.

Metodologi juga berarti cara ilmiah untuk mencari kebenaran. Metode adalah

salah satu langkah dari metodologi atau dengan kata lain cara penelitian itulah

yang dimaksudkan dengan metode.1

Penelitian adalah suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan

konstruksi yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten.

Metodologi suatu sistem dan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang

bertentangan dengan kerangka tertentu.2

A.Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum sosiologis atau empiris (sosio

legal research). Dalam penelitian sosiologis atau empiris maka yang diteliti

pada awalnya adalah data sekunder, untuk kemudian dilanjutkan dengan

penelitian pada data primer lapangan, atau terhadap masyarakat.3

Berdasarkan sifatnya, penelitian ini merupakan penelitian deskriptif,

dimaksudkan memberikan data yang diteliti seteliti mungkin tentang manusia

dan gejala-gejala lainnya.4Dengan metode penelitian kualitatif yang merupakan

tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analitis, yaitu apa yang

1 Setiono, Pemahaman Terhadap Metodologi Penelitian Hukum, UNS Press Surakarta.2005, hlm. 3-4

2 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press. 2006, hlm. 42

3 Ibid., hlm.52

4 Setiono Op cit., hlm.5

Page 63: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

48

dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan dan juga perilakunya yang

nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh.5

Didalam penelitian hukum, maka metode yang digunakan tergantung pada

konsep apa yang dimaksud mengenai hukum, ada 5 (lima) konsep hukum yang

dikemukakan oleh Soetandyo Wignyosoebroto, 6sebagai berikut :

1. Hukum adalah asas kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati dan berlaku universal.

2. Hukum adalah norma-norma positif di dalam sistem perundang-undangan hukum nasional.

3. Hukum adalah apa yang diputuskan oleh hakim inconcreto dan tersistematisasi sebagai judge made law.

4. Hukum adalah pola-pola perilaku sosial yang terlembagakan, eksis sebagai variable sosial empirik.

5. Hukum adalah manifestasi makna-makna simbolik para perilaku sosial sebagai tampak dalam interaksi antar mereka.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan konsep hukum ke lima, yaitu

hukum adalah manifestasi makna-makna simbolik para perilaku sosial sebagai

tampak dalam interaksi antar mereka (hukum yang ada pada benak manusia),7

hukum disini bukan dikonsepkan sebagai rules tetapi sebagai regularities yang

terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Disini hukum adalah tingkah laku atau

aksi-aksi dan interaksi manusia yang secara aktual dan potensial akan terpola.

Karena setiap perilaku atau aksi itu merupakan suatu realita sosial yang terjadi

dalam alam pengalaman indrawi dan empiris, maka setiap penelitian yang

mendasarkan atau mengkonsepkan hukum sebagai tingkah laku atau perilaku

dan aksi ini dapat disebut sebagai penelitian sosial (hukum), penelitian empiris

atau penelitian non doktrinal. Tipe kajian ini adalah kajian keilmuan dengan

maksud hanya hendak mempelajari saja bukan hendak mengajarkan suatu

doktrin. Maka metodenya disebut sebagai metode non doktrinal.8

Berdasarkan konsep hukum yang kelima ini, maka pendekatan yang

dilakukan adalah dengan pendekatan interaksional (mikro) dengan analisis

5 Soerjono Soekanto, op cit.,hlm. 250

6Setiono, op cit., hlm. 20-21

7 Ibid; hlm.21

8 Burhan Ashofa, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2001, hlm 33-34

Page 64: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

49

kualitatif serta metode kualitatif. Dimana didalam pendekatan tersebut hukum

dikonsepkan secara sosiologis sebagai suatu gejala empiris yang dapat diamati

di dalam kehidupan. Hukum tidak lagi dikonsepkan secara filosofi moral

sebagai norma ius constituendum atau law as what ought to be, dan tidak pula

secara positifitas sebagai norma ius constitutum atau law as what it is in the

books, melainkan secara empiris yang teramati di alam pengalaman.9

Dikonsepkan sebagai gejala empiris yang teramati di dalam pengalaman,

hukum jelas tidak lagi dimaknakan norma-norma yang eksis secara eklusif di

dalam suatu sistem legitimasi yang formal, dari segi substansinya, kini hukum

terlihat sebagai suatu kekuatan sosial yang nyata di dalam masyarakat dan

empiris wujudnya, yang bekerja dengan hasil yang mungkin saja efektif akan

tetapi mungkin pula tidak untuk memola perilaku-perilaku aktual warga

masyarakat. Karena dikonsepkan sebagai gejala yang berada, bergerak atau

beroperasi di dunia empiris, hukum baik sebagai kekuatan substansi sosial

maupun sebagai struktur institusi pembuat keputusan in cconcreto yang

berkekuasaan. Dari perspektif ini kini hukum akan menampakan diri sebagai

realitas sosial yang kasat mata, yang tentunya akan bisa dikategorikan

berdasarkan keajegan-keajegan (regulaties nomos) atau keseragaman-

keseragaman (uniformilities) peristiwanya. Dengan demikian menurut

konsepnya hukum akan dapat diamati, maka hukum yang dikonsepkan secara

sosiologis akan dapat dijadikan objek penelitian yang dikerjakan secara

positifis, non doktrinal, dan tidak akan lagi dijadikan sekedar objek

penggarapan-penggarapan untuk menyusun sistem normatif yang koheren

belaka (atas dasar prosedur logika deduktif semata-mata).10

Menurut Jane Donoghue dalam International Journal of Law :11

9 Ibid; hlm.34 10 Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum, Metode dan Dinamika Masalahnya, Elsam dan Huma cetakan pertama, 2002, hlm.193-194

11 Jane Donoghue, Reflection on the Sociology of Law : A Rejection of Law as “ Socially

Marginal”International Journal of Law, Crime and Justice, Volume 37, Issues 1-2, March-June 2009, Pages 60

Page 65: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

50

Hence, the existence of empirical socio-legal research on legal procedure and judicial discretion highlighted above elucidates several rudimentary (but non-exhaustive) areas ofinterest to this discussion of the social character of law. Socio-legal research demonstrates thatlaw is inextricably linked to socially constructed notions of justice, fairness and truth which are all underpinned by the exertion of (forms of) power in society. In this regard, law can and should be utilised as a means to better understand the social world, and in particular, the regulation of specific ‘social fields’. As Van Krieken (2006: p. 587) observes: ‘law might be best understood as a kind of meta-knowledge given its role in resolving/managing social and interpersonal conflict but.it will be increasingly important. to see law as part of a ‘‘knowledge production/governance complex’’ rather than simply as gloriously distinct and autonomous’. (Oleh karena itu, adanya penelitian sosial-hukum empiris pada prosedur hukum dan peradilan kebijaksanaan ditandai elucidates beberapa daerah (belum sempurna) dari bunga diskusi ini karakter sosial hukum. Penelitian sosial hukum menunjukkan bahwa hukum adalah terkait erat dengan gagasan keadilan sosial dibangun, keadilan dan kebenaran yang semua didukung oleh tenaga dari (bentuk) kekuasaan dalam masyarakat. Dalam hal ini, hukum bisa dan harus digunakan sebagai sarana untuk lebih memahami dunia sosial, dan khususnya, regulasi spesifik '' bidang sosial. Sebagai Van Krieken (2006: p. 587)12 diamati: 'hukum mungkin terbaik dipahami sebagai semacam meta-pengetahuan yang diberikan perannya dalam menyelesaikan / mengelola sosial dan but.it konflik interpersonal akan semakin penting, untuk melihat hukum sebagai bagian dari “pengetahuan produksi/tata kompleks'' bukan sekadar sebagai luhur berbeda dan otonom'). Dilihat dari bentuknya tersebut diatas, penelitian ini termasuk bentuk

penelitian diagnostik, yang mana penulis ingin mengetahui dan mencari apa

sebab-sebab, ingin menggali pendapat-pendapat, ide-ide, pikiran-pikiran dari

pelaku peristiwa secara langsung dan mendalam mengenai mengapa masih

terdapat perambahan di Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai dan

bagaimana upaya penanggulangan perambahan tersebut dalam perspektif

Undang-undang nomor 5 tentang 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam

Hayati Dan Ekosistemnya.

12 Van Krieken, R., 2006. Law’s autonomy in action: anthropology and history in court. Social & Legal Studies, dikutip dalam Jane Donoghue, Reflection on the Sociology of Law : A Rejection of Law as “ Socially Marginal”International Journal of Law, Crime and Justice, Volume 37, Issues 1-2, March-June 2009, Pages 60

Page 66: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

51

B. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada Taman Nasional Gunung Ciremai di Kabupaten

Kuningan Propinsi Jawa Barat, dalam hal ini di Kantor Taman Nasional

Gunung Ciremai, Kantor Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab.Kuningan,

Lembaga Swadaya Masyarakat setempat, Kepolisian Resort Kuningan,

kelompok-kelompok masyarakat yang tergabung dalam kelompok tani hutan.

C.Sumber Data

a. Data Primer

Sumber data primer dalam penelitian ini adalah data-data yang diperoleh

dari penelitian lapangan dengan berbagai nara sumber :

1. Kepala Balai Taman Nasional Gunung Ciremai.

2. Dinas Kehutanan Kab. Kuningan.

3. PPNS Taman Nasional Gunung Ciremai

4. Ketua/kelompok PHBM

5. Lembaga Swadaya Masyarakat.

6. Kepolisian Resort Kuningan.

b. Data Sekunder

Sedangkan data sekunder dalam penelitian ini adalah data pendukung data

primer yang diperoleh dari bahan kepustakaan terdiri dari bahan hukum

primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier :

1. Bahan Hukum Primer

a. Undang-undang Dasar 1945 amandemen ke IV

b. Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber

Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

c. Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.

d. Peraturan Pemerintah RI Nomor : 68 tahun 1998 tentang Kawasan

Suaka Alam dan kawasan Pelestarian Alam.

e. Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 2004 tentang Perlindungan

Hutan.

f. Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan

Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan.

Page 67: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

52

Sebagaimana telah diubah beberapa kali dan terakhir dengan

Pemerintah Peraturan Nomor 3 tahun 2008.

g. Keputusan Menteri Kehutanan No.195/Kpts-II/2003 tentang

Penunjukan Areal Hutan di Provinsi Jawa Barat Seluas 816.603 ha

Sebagai Kawasan Hutan di Antaranya Kawasan Hutan Lindung di

Kelompok Hutan Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan dan

Majalengka.

h. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 424/Kpts-II/2004 tanggal 19

Oktober 2004 tentang Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Lindung

pada Kelompok Hutan Gunung Ciremai Seluas ± 15.500 (Lima Belas

Ribu Lima Ratus) terletak di Kabupaten Kuningan dan Majalengka,

Propinsi Jawa barat Menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai.

i. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor P.13/Menhut-II/2005 tentang

Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kehutanan, sebagaimana telah

diubah beberapa kali dan terakhir dengan Keputusan Menteri

Kehutanan Nomor P.64/Menhut-II/2008.

j. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.01/Menhut-II/2004 tentang

Pemberdayaan Masyarakat Setempat di Dalam dan atau Sekitar Hutan

Dalam Rangka Social Forestry.

k. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.19/Menhut-II/2004 tentang

kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan

pelestarian Alam.

l. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.03/Menhut-II/2007 tentang

Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional.

Sebagaimana perubahan pertama Peraturan Menteri Kehutanan

Nomor P.52/Menhut-II/2009.

m. Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan konservasi

Alam Nomor : SK.74/IV/Set-1/2005 Tentang Rencana Stratejik

Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan konservasi Alam Tahun

2005-2009.

Page 68: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

53

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang member penjelasan

mengenai bahan hukum primer yang terdiri dari :

a. Buku-buku kepustakaan/literatur-literatur, artikel-artikel yang

berkaitan dengan materi penelitian.

b. Artikel/tulisan yang berkaitan dengan permasalahan baik yang ditulis

di majalah maupun surat kabar.

c. Hasil-hasil penelitian/seminar.

3. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk ataupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yaitu :

a. Kamus hukum.

b. Kamus umum Bahasa Indonesia.

c. Kamus Inggris Indonesia.

d. Majalah dan Surat kabar.

e. Internet.

D. Teknik Pengumpulan Data.

a. Wawancara

Teknik pengumpulan data primer yang dipergunakan dalam penelitian ini

dengan teknik wawancara mendalam (indepth interviewing) sebagai proses

memperoleh keterangan atau informasi untuk tujuan penelitian dengan tanya

jawab secara langsung dengan sumber data, wawancara yang mendalam

dilakukan dengan :

1. Kepala Balai Taman Nasional gunung Ciremai.

2. Dinas Kehutanan Kab. Kuningan.

3. PPNS Taman Nasional gunung Ciremai

4. Ketua/kelompok PHBM

5. Lembaga Swadaya Masyarakat.

6. Kepolisian Resort Kuningan.

Page 69: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

54

b. Observasi

Metode observasi ini dilakukan selama melangsungkan pengamatan

lapangan termasuk kesempatan selama pengumpulan bukti yang lain.

Observasi bermanfaat untuk memberikan informasi tambahan tentang

pemahaman suatu konteks dan fenomena yang akan diteliti. Dalam hal ini

peneliti melakukan observasi langsung terhadap obyek yang akan diteliti.

c. Studi Dokumen

Pengumpulan data sekunder dengan studi dokumentasi sebagai pelengkap

data, dan dokumen-dokumen tersebut diharapkan menjadi sumber untuk

menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak dimungkinkan diperoleh

melalui wawancara.

E.Teknik Analisa Data

Analisa data merupakan bagian yang amat penting dalam metoda ilmiah

karena dengan analisis data tersebut dapat diberi arti dan makna yang berguna

dalam memecahkan masalah penelitian. Teknik analisisnya adalah studi kasus

tunggal, artinya meneliti satu daerah saja yang merupakan unit pengamatan,

dalam model analisis ini ada tiga komponen yaitu reduksi data, penyajian data

dan Penarikan kesimpulan dan Verifikasinya.

Menurut Lexy J.Moloeng data adalah proses mengorganisasikan dan

mengurutkan data kedalam pola, kategori, dan satuajn uaraian dasar sehingga

dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang

disarankan data.13

Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik

analisis model interaktif. Menurut HB.Soetopo teknik analisis kualitatif dengan

metode interaktif terdiri dari tiga komponen yaitu :14

a) Reduksi Data

13 Lexy J.Moloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2001, Hal.103

14 H.B. Soetopo, Metodologi Penelitian Kualitatif, UNS Pres, Surakarta, 2006, hal. 120

Page 70: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

55

Reduksi data merupakan proses penyelesaian, pemfokusan,

penyederhanaan, dan abstraksi data yang diperoleh dari data yang kasar

yang dmuat dicatatan tertulis.

b) Penyajian Data

Penyajian data berupa rangkaian informasi yang tersusun dalam kesatuan

bentuk narasi yang memungkinkan untuk dapat ditarik suatu kesimpulan

dari penelitian yang dilakukan. Selain dalam bentuk narasi kalimat, sajian

data dapat pula ditampilkan dengan berbagai jenis matrik, gambar/skema,

jaringan kerja kaitan kegiatan dan juga tabel, sebagai pendukung

narasinya.

c) Penarikan kesimpulan dan Verifikasinya

Penarikan kesimpulan adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh peneliti

yang perlu untuk diverifikasi, berupa suatu pengulangan dari tahap

pengumpulan data yang terdahulu dan dilakukan secara lebih teliti setelah

data tersaji. Penarikan kesimpulan dan Verifikasi merupakan tahap akhir

dari suatu penelitian yang dlakukan dengan didasarkan pada semua hal

yang ada dalam reduksi maupun penyajian data. Teknik analisis kualitatif

interaktif dapat digambarkan dalam bentuk rangkaian yang utuh antara

ketiga komponen diatas (reduksi data, penyajian data serta penarikan

kesimpulan dan verifikasinya) yaitu sebagi berikut :

Gambar 5. Proses Analisa Data

(Interactive Model of Analysis)

Pengumpulan Data

Sajian Data Reduksi Data

Penarikan

Page 71: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

56

Keterangan :

Data yang terkumpul direduksi berupa seleksi dan penyederhanaan data

dan kemudian diambil kesimpulan. Tahapa-tahap ini tidak harus urut, yang

memungkinkan adanya penilaian data kembali setelah adanya gambaran

kesimpulan.

Data-data yang diperoleh dari wawancara terhadap responden di Balai

Taman Nasional Gunung Ciremai, Dinas Kehutanan Kab. Kuningan dan

Instansi terkait, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan masyarakat lainnya

mengenai mengapa kgiatan perambahan di kawasan Taman Nasional Gunung

Ciremai masih terjadi dan upaya penanggulangan perambahan dalam Kawasan

Taman Nasional Gunung Ciremai dalam perspektif Undang-Undang Nomor 5

tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya.

Page 72: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

57

BAB. IV

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Gambaran Umum Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC)

Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor P.13/Menhut-II/2005

tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kehutanan, sebagaimana

telah diubah beberapa kali dan terakhir dengan Keputusan Menteri

Kehutanan Nomor P.64/Menhut-II/2008. Susunan Organisasi Departemen

Kehutanan terdiri dari: Sekretariat Jenderal, Direktorat Jenderal

Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Ditjen PHKA), Direktorat

Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (Ditjen RLPS),

Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan (Ditjen BPK), Inspektorat

Jenderal, Badan Planologi Kehutanan (Baplan), Badan Penelitian dan

Pengembangan Kehutanan (Balitbang) serta 5 (lima) Staf Ahli Menteri

(Bidang Kelembagaan, Ekonomi, Lingkungan, Kemitraan, dan Penanganan

Perkara Kehutanan).

Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA)

terdiri dari: Sekretariat Direktorat Jenderal (Setditjen), Direktorat

Penyidikan dan Perlindungan Hutan (PPH), Direktorat Pengendalian

Kebakaran Hutan (PKH), Direktorat Konservasi Kawasan (KK), Direktorat

Konservasi Keanekaragaman Hayati (KKH), dan Direktorat Pemanfaatan

Jasa Lingkungan dan Wisata Alam (PJLWA) serta Unit Pelaksana Teknis

(UPT) Direktorat Jenderal PHKA yang terdiri 27 (duapuluh tujuh) Balai

Besar/ Balai Konsevasi Sumber Daya Alam (KSDA) dan 50 (limapuluh)

Balai Besar/ Balai Taman Nasional (TN).

Struktur organisasi Departemen Kehutanan mulai dari Menteri Kehutanan

sampai ke Unit Pelaksana Teknis dapat dijelaskan dalam skema berikut:

Page 73: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

58

Gambar 6. Struktur Organisasi Departemen Kehutanan (Dari

Menteri Kehutanan sampai UPT Ditjen PHKA)

Dari struktur organisasi tersebut dapat dilihat, Balai Besar/ Balai

KSDA dan Balai Besar/ Balai TN adalah Unit Pelaksana Teknis Direktorat

Jenderal PHKA yang menjalankan tugas pokok dan fungsi Direktorat

Jenderal PHKA di daerah.

Balai Taman Nasional Gunung Ciremai (BTNGC) adalah salah satu

Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal PHKA yang melaksanakan

penyelenggaraan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dan

pengelolaan kawasan taman nasional.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.52/Menhut-

II/2009. tentang Perubahan Kesatu Atas Peraturan Menteri Kehutanan

Nomor P.03/Menhut-II/2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit

Pelaksana Teknis Taman Nasional. Kepala Balai Taman Nasional Gunung

SEKRETARIAT JENDERAL

MENTERI KEHUTANAN

INSPEKTORAT JENDERAL

STAF AHLI MENTERI

DITJEN PHKA DITJEN RLPS DITJEN BPK BAPLAN BALITBANG

SETDITJEN

DIT PPH DIT PKH DIT KK DIT KKH DIT PJLWA

UPT KSDA/TN

Page 74: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

59

Ciremai menerbitkan Surat Keputusan Nomor: SK.14/BTNGC/2010

Tentang Struktur Organisasi dan Penetapan Pegawai Lingkup Balai Taman

Nasional Gunung Ciremai :

Gambar 7. Struktur Organisasi Balai Taman Nasional Gunung Ciremai

Sesuai klasifikasi pengelolaanya Taman Nasional Gunung Ciremai

digolongkan kedalam Unit Pengelolaan Taman Nasional Kelas II dengan

nama Balai Taman Nasional, sedangkan tipologi organisasi pengelolaannya

termasuk kedalam tipe B dengan struktur pengelolaan terdiri dari :

a. Sub Bagian Tata Usaha.

b. Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah I di Kabupaten Kuningan.

c. Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah II di Kabupaten Majalengka

d. Kelompok Jabatan Fungsional.

BALAI TAMAN NASIONAL

SUB BAGIAN TATA USAHA

SEKSI PTN WIL.IMAJALENGKA

SEKSI PTN WIL. I KUNINGAN

KELOMPOK JABATAN FUNGSIONAL RESORT PTNGC WIL.

SANGIANG RESORT PTNGC WIL.

PASAWAHAN

POLHUT

PEH RESORT PTNGC WIL.

GUNUNG WANGI RESORT PTNGC WIL.

MANDIRANCAN

PENYULUH KEHUTANAN

RESORT PTNGC WIL. ARGAMUKTI

RESORT PTNGC WIL. CILIMUS

RESORT PTNGC WIL. ARGALINGGA

RESORT PTNGC WIL. JALAKSANSA

RESORT PTNGC WIL. BANTARAGUNG RESORT PTNGC WIL.

CIGUGUR

RESORT PTNGC WIL. DARMA

Page 75: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

60

Untuk memudahkan pengawasan di lapangan, pada masing-masing

Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah di bentuk resort-resort

pengelolaan Taman Nasional Gunung Ciremai.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.03/Menhut-II/2007

tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional,

sebagaimana perubahan pertama Peraturan Menteri Kehutanan Nomor

P.52/Menhut-II/2009. BTNGC menyelenggarakan fungsi: a) penataan

zonasi, penyusunan rencana kegiatan, pemantauan dan evaluasi pengelolaan

kawasan taman nasional; b) pengelolaan kawasan taman

nasional; c) penyidikan, perlindungan, dan pengamanan kawasan taman

nasional; d) pengendalian kebakaran hutan; e) promosi, informasi

konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya; f)

pengembangan bina cinta alam serta penyuluhan konservasi sumber daya

alam hayati dan ekosistemnya; g) kerja sama pengembangan konservasi

sumber daya alam hayati dan ekosistemnya serta pengembangan kemitraan;

h) pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan taman nasional; i)

pengembangan dan pemanfaatan jasa lingkungan dan pariwisata alam; j)

pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga.

Fungsi penyidikan, perlindungan, dan pengamanan kawasan taman

nasional dilaksanakan antara lain melalui kegiatan penaggulangan

perambahan kawasan. Fungsi ini selaras dengan Keputusan Direktorat

Jenderal PHKA Nomor SK.74/IV/Set-1/2005 tentang Rencana Stratejik

Direktorat Jenderal PHKA Tahun 2005-2009, Dengan mempertimbangkan

visi yang harus dicapai dan dipahami oleh jajaran Direktorat Jenderal

Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam baik di pusat maupun di daerah

adalah :

“Mewujudkan Kawasan Hutan Konservasi dan Konservasi Sumberdaya

Alam Hayati dan Ekosistemnya yang Aman dan Mantap secara Legal

Formal, Didukung Kelembagaan yang Kuat dalam Pengelolaannya serta

Mampu Memberikan Manfaat Optimal Kepada Masyarakat”.

Page 76: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

61

Dengan misi pada poin ke dua yaitu : “Memantapkan perlindungan

hutan dan penegakan hukum”

Dengan berpegang pada UU No. 5 Tahun 1990 dan UU No. 41 Tahun

1999, dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi, dan dijiwai dari Visi

Direktorat Jenderal PHKA, Taman Nasional Gunung Ciremai memiliki visi,

sebagai berikut :

“Pengelolaan Taman Nasional Gunung Ciremai yang optimal

memegang prinsip kelestarian dan kolaboratif berbasis masyarakat “

Untuk Mencapai Visi tersebut, maka Balai Taman Nasional Gunung

Ciremai menetapkan misi sebagai berikut :

1. Memantapkan pengelolaan TNGC sebagai model pengelolaan taman

nasional kolaboratif.

2. Memantapkan pengelolaan konservasi sumberdaya alam hayati dan

ekosistemnya (SDAHE) sebagai kawasan konservasi, perlindungan dan

jasa lingkungan.

3. Memantapkan perlindungan kawasan dan penegakan hukum (Law

enforcement).

4. Mengembangkan secara optimal pemanfaatan SDAHE berdasarkan

prinsip kelestarian dan memberikan manfaat optimal bagai masyarakat.

5. Mengembangkan kelembagaan dan kemitraan dalam rangka

perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan SDAHE.

Taman Nasional Gunung Ciremai adalah Kawasan Hutan seluas 15.500

Ha yang berada di lintas Kabupaten/Kota yaitu Kabupaten Kuningan

8.699,87 ha dan Majalengka 6.800,13 Ha. Sesuai yang diamanatkan dalam

UU No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan

Ekosistemnya, TNGC termasuk Kawasan Pelestarian Alam (bukan budi

daya) yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang

dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,

menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Dan berfungsi sebagai

perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman

Page 77: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

62

jenis tumbuhan dan satwa, pemanfaatan secara lestari sumber daya alam

hayati dan ekosistemnya.

Hutan di kawasan TNGC sebagian besar merupakan hutan alam primer

(virgin forest) yang dikelompokkan ke dalam empat jenis yaitu:

a. Hutan hujan dataran rendah (200 - 600 m dpl).

b. Hutan hujan pegunungan/sub montana (600 – 1500 m dpl).

c. Hutan hujan pegunungan/montana (1500 – 2500 m dpl).

d. Hutan pegunungan sub alpin (2500 – 3078 m dpl).

Ditinjau dari posisinya yang amat strategis, Kawasan TNGC memiliki

fungsi sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan dan fungsi

hidrologis yang sangat penting sebagai daerah resapan air dan sumber mata

air bagi masyarakat Kabupaten Kuningan, Kabupaten Majalengka dan

Kabupaten Cirebon dan sekitarnya. Di Kawasan Timur Ciremai (Kuningan)

terdapat 156 sumber mata air yang potensial, sebanyak 147 titik sumber

mata air mengalir terus menerus sepanjang tahun dengan rata-rata debit air

yang cukup besar 50 – 2000 liter/detik. Hasil inventarisasi sumber mata air

di Kawasan Barat Ciremai (Majalengka) oleh Tim BKSDA Jabar II (2006)

menemukan 36 sumber mata air dan 7 sungai. Debit sumber mata air

berkisar antara 0,5-40 liter/detik dan 50-200 liter/detik untuk debit sungai.

Potensi wisata yang terdapat di kawasan TNGC cukup unik, variatif

dan memiliki nilai jual yang tinggi berupa ekowisata seperti panorama alam

yang indah, keindahan air terjun, bumi perkemahan, wisata pendakian, situs

budaya, situ/telaga, wisata air dan air panas, serta wisata pendidikan.

Kawasan TNGC juga memiliki potensi hasil hutan non kayu berupa madu,

buah-buahan, rotan, tanaman obat, tanaman hias dan getah.

Kawasan TNGC merupakan laboratorium alam yang dapat digunakan

sebagai tempat untuk kegiatan pendidikan lingkungan dan kegiatan di alam

terbuka, khususnya oleh kelompok pecinta alam, pendaki gunung, dan kader

konservasi, serta kegiatan penelitian di bidang geologi, hidrologi,

agroforestri, flora, fauna, dan sosekbud masyarakat oleh perguruan tinggi,

Page 78: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

63

lembaga penelitian, instansi pemerintah, dan Lembaga Swadaya Masyarakat

(LSM).

Letak TNGC di sebelah barat merupakan Kabupaten Majalengka dan di

sebelah timur adalah Kabupaten Kuningan yang dikelilingi oleh 14

Kecamatan dan 45 desa yaitu :

a. Kabupaten Kuningan, yaitu Kecamatan Darma dengan desa yang

mengelilinginya Gunungsirah, Karangsari dan Sagarahiang. Kecamatan

Cigugur dengan desa Puncak dan Cisantana. Kecamatan Kramat Mulya

dengan desa Pajambon. Kecamatan Jalaksana dengan desa Sukamukti,

Babakanmulya, Sngkanerang, Sayana. Kecamatan Cilimus dengan desa

Bndorasa Kulon, Linggasana, Linggarjati, Setianegara, Cibereum.

Kecamatan Mandirancan dengan desa, Randobawagirang, Trijaya, Seda.

Kecamatan Pasawahan dengan desa Cibuntu dan Paniis.

b. Kabupaten Majalengka, meliputi Kecamatan Cikijing dengan desa

Cipulus. Kecamatan Talaga dengan desa Gunung Manik, Sunia Lama,

Sunia Baru. Kecamatan Banjaran dengan desa Sangiang. Kecamatan

Argapura dengan desa Cibunut, Tejamulya, Argamukti, Argalingga,

Cikaracak, Gunungwangi, Mekarwangi. Kecamatan Sukahaji dengan

desa Indrakila. Kecamatan Rajagaluh dengan desa Teja dan Payung.

Wilyah Kabupaten Kuningan berada di sebelah timur kawasan,

dikelilingi 25 desa dan 7 kecamatan. Luas keseluruhan desa tersebut adalah

sebesar 105,5 Km2. Jumlah penduduk dari desa-desa tersebut adalah 64.666

jiwa dengan kepadatan penduduk 612,96/km2. Secara umum luas

penggunaan lahan di Kabupaten Kuningan adalah seluas 5644,48 Ha yang

terbagi menjadi lahan sawah 1.502,6 Ha (berdasarkan sistem pengairan

irigasi teknis, setengah teknis, irigasi sederhana, irigasi desa, maupun tadah

hujan) dan bukan sawah 4.141,88 Ha yang terdiri dari kebun, hutan rakyat,

hutan negara, perkebunan, dan lain-lain.

Mata pencaharian penduduk Kabupaten Kuningan yang berada di

sekitar kawasan TNGC terdiri dari petani sebanyak 65.476 orang (68,79%),

industri sebanyak 2.323 orang (2,46%), dan sektor jasa sebanyak 27.097

Page 79: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

64

orang (28,55%). Besarnya jumlah petani menunjukkan besarnya jumlah

masyarakat yang bergantung pada lahan pertanian dengan luas kepemilikan

lahan pertanian oleh petani hanya mencapai 0,2119 Ha.1

Sebagai Kawasan Pelestarian Alam TNGC tidak diperkenankan bagi

kegiatan budidaya. Namun kenyataannya areal yang tidak berhutan di

kawasan TNGC sebagian besar merupakan areal perladangan (perkebunan

yang didominasi tanaman kopi Melinjo, alpukat, nangka, petai, kemiri,

nilam, nenas, rotan, pisang dan sayur-sayuran dan sudah berlangsung jauh

sebelum ditunjuknya kawasan TNGC sebagai kawasan Pelestarian Alam).

Kawasan TNGC sebelumnya merupakan kawasan hutan produksi yang

dikelola oleh PT. Perhutani Unit III Jawa Barat. Untuk mengelola hutan

tersebut, Perhutani telah menyelenggarakan berbagai program kegiatan

pengelolaan hutan yang produktif dan lestari, diantaranya melalui Program

“Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM)”. Program ini

merupakan produk hasil perubahan paradigma pengelolaan hutan dari

“Timber Management” menjadi “Forest Resourches Management” dan

“State Based Forest Management” menjadi “Community Based

Management”.

Pada dasarnya PHBM telah dilaksanakan dan telah berjalan sejak

berdirinya Perum Perhutani tahun 1972. Bahkan sebelum itu dengan

melibatkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya hutan,

antara lain melalui Program Perhutanan Sosial, Agroforestry, Sylofishery,

Pembangunan Masyarakat Desa Hutan (PMDH), Pembangunan Masyarakat

Desa Terpadu (PMDH-T) yang implementasinya dilaksanakan pada

kegiatan tumpangsari, insus tumpangsari, penanaman dibawah tegakan,

Perhutanan Sosial, tebangan, pemasaran, pembangunan sarana prasarana

dan lain sebagainya. Kegiatan tersebut terus berkelanjutan, menjadi budaya,

ladang kesempatan bekerja serta berusaha bagi masyarakat, dan

kemandirian melalui peningkatan pendapatan dan produksi pangan.

1 Sumber Data Rencana Pengelolaan TNGC

Page 80: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

65

Di Kabupaten Kuningan khususnya Kawasan Hutan Gunung Ciremai,

pada tanggal 2 Februari 2001 di telah dikembangkan sistem PHBM (sistem

kolaborasi berbagai tanggung jawab dan tugas) antar berbagai pihak. Sistem

PHBM tersebut diakui memiliki nilai-nilai kebersamaan, trust, berbagi,

kesepahaman, transparansi, kesetaraan dan keadilan. Pada masa itu terdapat

ruang partisipasi masyarakat yang cukup besar dalam kegiatan pengelolaan

hutan. Masyarakat setempat dapat melakukan usaha budidaya perkebunan,

buah-buahan dan sayuran sebelum kawasan hutan ditetapkan sebagai Taman

Nasional.

Dengan perubahan otoritas pengelola hutan dari Perhutani menjadi

Balai Taman Nasional Gunung Ciremai (BTNGC), dengan sendirinya

muncul tata aturan baru. Aturan-aturan lama kemudian diganti dengan

aturan berasaskan konservasi. Masyarakat beranggapan bahwa aturan

konservasi semakin membatasi ruang gerak mereka di kawasan hutan.

Tanaman masyarakat dibawah tegakan diharapkan sebagian besar

merupakan tanaman endemik. Hal ini tentu berbeda dengan aturan lama

ketika otoritas pengelolaan hutan masih dimiliki Perhutani.

Penyesuaian kegiatan masyarakat terhadap tata aturan taman nasional

yang baru bukanlah hal yang mudah. Apalagi masyarakat cenderung menilai

taman nasional menjauhkan masyarakat dari hutannya. Masyarakat semakin

mengkhawatirkan akses mereka dibatasi dan menimbulkan sikap resistensi

masyarakat terhadap kegiatan-kegiatan taman nasional.

Dengan kondisi masyarakat tersebut, maka proses penyesuaian aturan

baru di masyarakat menuntut pihak taman nasional memberikan toleransi

yang tinggi terhadap sistem PHBM yang telah lama berjalan. Padahal

dengan berubahnya status kawasan hutan Gunung Ciremai menjadi Taman

Nasional berdasarkan SK. Menteri Kehutanan Nomor : 424/Menhut-II/2004,

secara otomatis kegiatan PHBM sama sekali diluar pemanfaatan kawasan

Taman Nasional, yaitu untuk pendidikan, ilmu pengetahuan, dan menunjang

budidaya sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang No. 5 Tahun

1990.

Page 81: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

66

Dalam pelaksanaannya, walaupun secara konseptual PHBM telah

berubah, masih tetap meninggalkan permasalahan-permasalahan klasik yang

pada intinya membenturkan aturan-aturan yang ada dengan kebutuhan

ekonomi masyarakat disekitar hutan. Hal ini dikarenakan pendekatan

penegakan hukum untuk melindungi kawasan konservasi dari masyarakat

desa hutan tidak akan mampu membendung akses masyarakat ke dalam

hutan. Sedangkan kebebasan yang terlalu luas kepada masyarakat untuk

menggarap hutan dengan tidak terkendali secara langsung akan berakibat

buruk bagi kelestarian kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai.

Berdasarkan data terakhir terdapat ± 2.949 (dua ribu sembilan ratus empat

puluh sembilan) KK yang memanfaatkan Taman Nasional Gunung Ciremai

untuk kegiatan pertanian/perkebunan2

2. Sejarah Penunjukan Sebagai Taman Nasional

Taman Nasional Gunung Ciremai merupakan taman nasional ke-50 di

Indonesia dan saat ini merupakan taman nasional termuda. Penunjukan

kawasan Gunung Ciremai menjadi taman nasional melalui berbagai

peristiwa dengan rangkaian kejadian sebagai berikut:

a. Kelompok Tutupan Hutan Gunung Ciremai pertama kali ditetapkan

sebagai kawasan hutan oleh Pemerintah Hindia Belanda.

b. Tanggal 10 Maret 1978, berdasarkan Surat Keputusan Menteri

Pertanian No. 143/Kpts/Um/3/1978 telah ditunjuk wilayah kerja Unit

Produksi (Unit III) Perum Perhutani Jawa Barat yang meliputi seluruh

areal hutan yang berada di di Daerah TK. I. Jawa Barat ( termasuk

Kelompok Hutan Gunung Ciremai yang termasuk dalam wilayah kerja

KPH Kuningan dan KPH Majalengka) , kecuali areal Suaka Alam dan

Hutan Wisata.

c. Tahun 2003, sebagian Kelompok Hutan Produksi Gunung Ciremai di

Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka yang pengelolaannya

2 Rekapitulasi data dari Dokumen Penyerahan Berkas Progres PHBM Bagian Hutan Gunung

Ciremai, BKPH Linggarjati, KPH Kuningan Jawa Barat Tahun 2005.

Page 82: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

67

pada waktu itu oleh Perum Perhutani melalui KPH Kuningan dan KPH

Majalengka ditunjuk sebagai Kawasan Hutan Lindung berdasarkan

Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 195/Kpts-II/ 2003 tanggal 4 Juli

2003 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Wilayah Propinsi Jawa

Barat seluas ± 816. 603 ha.

d. Tanggal 26 Juli 2004, Bupati Kuningan melalui Surat Nomor

522/1480/Dishutbun Perihal: Proposal Kawasan Hutan Gunung Ciremai

sebagai kawasan Pelestarian Alam, telah mengusulkan kepada Menteri

Kehutanan untuk mengajukan perubahan fungsi kawasan hutan lindung

pada kelompok hutan Gunung Ciremai menjadi TNGC.

e. Tanggal 13 Agustus 2004, Bupati Majalengka melalui Surat Nomor

522/2394/Hutbun perihal : Usulan Gunung Ciremai sebagai kawasan

Pelestarian Alam, telah Mengusulkan Kepada Menteri Kehutanan untuk

mengajukan perubahan fungsi kawasan hutan lindung pada kelompok

hutan Gunung Ciremai menjadi TNGC.

f. Tanggal 13 Agustus 2004, Bupati Kuningan menyampaikan surat

kepada Ketua DPRD Kabupaten Kuningan melalui suratnya Nomor

522.6/1653/ Dishutbun Perihal Pengelolaan Kawasan Hutan Gunung

Ciremai sebagai Kawasan Pelestarian Alam (KPA).

g. Tanggal 1 September 2004, Pimpinan DPRD Kabupaten Kuningan

menyampaikan sura No. 661/266/DPRD kepada Menteri Kehutanan

Perihal Dukungan Atas Usulan Pengelolaan Kawasan Hutan Gunung

Ciremai Sebagai Kawasan Pelestarian Alam (KPA).

h. Tanggal 19 Oktober Tahun 2004, Kawasan Hutan Lindung pada

Kelompok Hutan Gunung Ciremai ditunjuk sebagai Kawasan Taman

Nasional Gunung Ciremai berdasarkan Surat Keputusan Menteri

Kehutanan Nomor: 424/Menhut-II/2004 2004 Tentang Perubahan

Fungsi Kawasan Hutan Lindung pada Kelompok Hutan Gunung Ciremai

Seluas ± 15.500 (Lima Belas Ribu Lima Ratus) Hektar terletak di

Kabupaten Kuningan dan Majalengka, Propinsi Jawa Barat menjadi

Taman Nasional Gunung Ciremai.

Page 83: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

68

i. Tanggal 22 Oktober 2004, Gubernur Jawa Barat menyampaikan surat

Nomor: 522/3325/ Binprod Kepada Bapak Menteri Kehutanan Republik

Indonesia perihal Pengkajian Usulan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan

Gunung Ciremai menjadi Kawasan Pelestarian Alam.

j. Kelembagaan dan Organisasi :

1) Tanggal 30 Desember 2004 , BKSDA Jabar II ditunjuk sebagai

pengelola TN Gunung Ciremai sampai terbentuknya organisasi TNGC

yang definitif berdasarkan Surat Keputusan Dirjen PHKA No:

SK.140/IV/Set-3/2004 Tentang Penunjukan Pengelola Taman

Nasional Kayan Mentarang, Lorentz, Manupeu Tanah Daru,

Laiwangi-Wanggameti, Danau Sentarum, Bukit Dua Belas,

Sembilang, Batang gadis, Gunung Merapi, Gunung Merbabu, Tesso

Nilo, Aketajawe-Lolobata, Bantimurung-Bulusaraung, Kepulauan

Togean, Sebangau dan Gunung Ciremai.

2) Surat Direktur Konservasi Kawasan kepada Kepala BKSDA Jabar II

No. S.41/IV/KK-1/2005 tanggal 31 Januari 2005 perihal Tindak lanjut

Penunjukan TNGC dimana salah satu poinnya adalah untuk

menempatkan beberapa orang staf BKSDA Jabar II di TNGC untuk

melakukan koordinasi, sosialisasi dan pengamanan kawasan.

3) Tanggal 1 Maret 2005, Staf BKSDA Jabar II berdasarkan Surat

Perintah Tugas Kepala BKSDA Jabar II No: PT 322/IV-K 12/Peg

2005 ditunjuk untuk membantu Kepala Balai KSDA Jabar II

melaksanakan pengelolaan TNGC diantaranya dengan tugasnya, yaitu

melaksanakan :

a) Identifikasi potensi masalah kawasan dan Sosek masyarakat

disekitarnya.

b) Pemetaan potensi masalah kawasan.

c) Pembinaan masyarakat dengan PHBM.

d) Melakukan perlindungan, pengamanan keanekaragaman hayati.

e) Melakukan sosialisasi kawasan diantaranya batas zonasi.

Page 84: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

69

f) Mengkoordinasikan pengelolaan dengan instansi pemerintah dan

lembaga swadaya masyarakat.

4) Tanggal 28 Maret 2005 Penunjukan Kasi Konservasi Wilayah I selaku

Koodinator Pengelolaan TNGC untuk membantu Kepala Balai KSDA

Jabar II dalam pelaksanaan Pengelolaan TNGC berdasarkan SURAT

PERINTAH TUGAS Kepala BKSDA Jabar II No: PT 434/IV-K

12/Peg 2005.

5) Berdasarkan Surat Keputusan Kepala Balai Konservasi Sumber Daya

Alam Jawa Barat II nomor SK.193/IV-K.12/2005 tanggal 1 Juni 2005

tentang Susunan Organisasi Balai Konservasi Sumber Daya Alam

Jawa Barat, pengelolaan Taman Nasional Gunung Ciremai berada di

wilayah kerja Seksi Konservasi Wilayah I dengan di bantu oleh 2

Satuan kerja dan 10 Resort TNGC dengan jumlah personil sebanyak

31 Orang.

6) Tanggal 14 Juli 2005, dideklarasikannya TNGC oleh Bapak Menteri

Kehutanan di Pendopo Bupati Kuningan.

7) Tanggal 3 Mei 2006, pada pengarahan rapat kerja pemantapan

program pembangunan kehutanan bidang PHKA, Menteri Kehutanan

telah mencanangkan Organisasi Pengelola 16 Taman Nasional Baru di

Indonesia termasuk diantaranya Balai Taman Nasional Gunung

Ciremai.

8) Tanggal 2 Juni 2006, diterbitkan Peraturan Menteri Kehutanan

Nomor. P.29/ Menhut-II/ 2006 tentang Perubahan Pertama atas

Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 6186/Kpts-II/2002 tentang

Organisasi Tata Kerja Balai Taman Nasional termasuk organisasi

Balai TNGC.

9) Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.03/Menhut-

II/2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis

Taman Nasional, Sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri

Kehutanan Nomor P.52/Menhut-II/2009.

Page 85: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

70

3. Landasan Hukum Pengelolaan Taman Nasional Gunung Ciremai

Landasan hukum yang berkaitan dengan penunjukan dan pengeloaan

kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai adalah sebagai berikut :

a. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

b. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang. c. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan

Lingkungan Hidup. d. Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. e. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. f. Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1994 tentang Perburuan Satwa. g. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1994 tentang Pengusahaan

Parawisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam.

h. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar.

i. Peraturan Pemerintah Nomor 59 tahun 1998 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak.

j. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.

k. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

l. Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom.

m. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan.

n. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Hutan. o. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan

Hutan. p. Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan

Lindung. q. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 390/Kpts-II/2003 tentang

Tatacara Kerjasama di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

r. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : SK. 424/Menhut-II/2004 tanggal 19 Oktober 2004 tentang Perubahan Fungsi Kawasan Lindung pada Kelompok Hutan Gunung Ciremai Seluas ± 15.500 (Lima Belas Ribu Lima Ratus) Hektar terletak di Kabupaten Kuningan dan Majalengka, Propinsi Jawa Barat menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai.

s. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.01/Menhut-II/2004 tentang Pemberdayaan Masyarakat Setempat di Dalam dan atau Sekitar Hutan Dalam Rangka Social Forestry.

Page 86: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

71

t. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P. 19/Menhut – II/2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam Dan Kawasan Pelestarian Alam.

u. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : 02 Tahun 2006 tentang Petunjuk Teknis Penatausahaan Iuran di Bidang Kehutanan.

v. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.29/Menhut-II/2006 tentang Perubahan Pertama atas Keputusan Menteri Kehutanan No ; 6186/KPTS-II/2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Taman Nasional.

w. Surat Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Nomor : 59/Kpts/DJ-VI/1993 Tanggal 24 Mei 1993 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan Taman Nasional.

x. Surat Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor SK.140/IV/Set-3/2004 Tanggal 30 Desember 2004 tentang Penunjukan Pengelola Taman Nasional Kayan Mentarang, Lorentz, Manupeu-Tanah Daru, Laiwangi-Wanggameti, Danau Sentarum, Bukit Dua Belas, Sembilang, Batang Gadis, Gunung Merapi, Gunung Merbabu, Tesso Nilo, Aketajawe-Lolobata, Bantimurung-Bulusaraung, Kepulauan Togean, Sebangau dan Gunung Ciremai.

y. Surat Keputusan Bupati Kuningan Nomor 522.81/Kpts.251-Dishutbun/ 2005 Tanggal 11 Juli 2005 Tentang Pembentukan Tim Pengkaji Pengelolaan Taman Nasional Kolaboratif pada Kelompok Hutan Gunung Ciremai Kabupaten Kuningan.

4. Hasil Penelitian Dokumen

Dari hasil penelitian penulis terhadap dokumen berkas penyerahan

Progres PHBM Bagian Hutan Gunung Ciremai, BKPH Linggarjati, KPH

Kuningan meliputi lokasi garapan, luas lahan yang digarap, jumlah KTH

dan jumlah penggarap kepada TNGC dapat dilihat pada tabel sebagai

berikut :

Page 87: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

72

Tabel 1.

Lokasi dan Luas Lahan Garapan Dalam Kawasan TNGC

No Desa/Kecamatan Luas Garapan

(ha)

Luas yang digarap

(ha)

Nama Forum PHBM

Jumlah KTH Penggar

ap (KK)

I KEC. DARMA 1. Sagarahiang 76.05 50 Wana Asri 5 400 2. Karangsari 71.93 40 Forum PHBM 5 400 3. Gunung sirah 324.10 240 Wana Guna 6 200 II. KEC.CIGUGUR 4. Cisantana 708.35 800 Forum PHBM 3 240 5. Puncak 211.700 17 Mulya Asih 1 70

III. KEC.KRAMAT MULYA 6 Pajambon 35 30 POKTAP EPAR 1 25

1V. KEC.MANDIRANCAN 7. Seda 77 70 Forum PHBM 2 155 8. Trijaya 405.14 150 Forum PHBM 7 168 9. Randobawagirang 12.5 - Forum PHBM 2 - V. KEC.PASAWAHAN 10. Pasawahan 789.80 67.4 Forum PHBM 8 160 11. Singkup 25 12 Forum PHBM 1 35 12. Paniis 12.47 7 Forum PHBM 1 25 13. Kaduela 91.40 - Forum PHBM 3 65 14. Padamatang 2 2 - - 15. Cibuntu - - - - 16. Padabeunghar 1.200.46 460.86 Forum PHBM 6 - VI. KEC.JALAKSANA 17. Linggasana 2.657.89 44.60 Forum PHBM 2 102 18. Bandorasa Kulon - 8 Forum PHBM 2 - 19. Sangkanherang 83.44 83.44 Forum PHBM 3 156 20. Sayana 367.54 50.66 Forum PHBM 1 65 21. Babakan Mulya 74.37 - Forum PHBM 1 66 22. Sukamukti - 34.66 Forum PHBM 1 42 VII. KEC.CILIMUS 23. Linggarjati 60 20 Forum PHBM 15 200 24. Setianegara 50 40 Forum PHBM 15 300 25. Cibeureum - 19 Karang Taruna 1 75

Jumlah 6.647.53 2.246.62 92 2.949

Sumber : Rekapitulasi data dari Dokumen Penyerahan Berkas Progres PHBM Bagian Hutan Gunung Ciremai, BKPH Linggarjati, KPH Kuningan Jawa Barat tahun 2005.

Dari tabel 1 diatas tergambar bahwa jumlah penggarap lahan dalam

kawasan TNGC pada tahun 2005 telah mencapai 2.949 KK yang tergabung

dalam forum PHBM, diperkirakan data terakhir bisa berkurang atau

bertambah sejak dirubahnya status kawasan dari hutan produksi dan lindung

menjadi hutan konservasi dengan nama TNGC.

Page 88: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

73

Tabel.2

Jenis Tanaman dan Pendapatan Rata-rata Permusim Penggarap dalam Kawasan

Taman Nasional Gunung Ciremai

No Desa/Kecamatan Jenis Tanaman

Nota Kesepahaman

Pendapatan rata-rata KTH permusim

(Rp) Pokok Tumpangsari NKB NPK

I. KEC.DARMA 1. Sagarahiang Pinus Bawang daun 2003 2003 250.000-500.000 2. Karangsari Pinus Sayuran, kopi 2003 250.000-500.000 3. Gunung sirah Pinus Sayuran, MPTS 2003 500.000-1.000.000

II. KEC.CIGUGUR 4. Cisantana Pinus Sayuran, Mpts - 500.000-1.000.000 5. Puncak Pinus Bawang daun 2003 300.000-500.000

III. KEC.KRAMAT MULYA 6 Pajambon Pinus Mpts, Kopi, Palawija 2000 2000 200.000-

600.000/bln IV. KEC.MANDIRANCAN

7. Seda Pinus Mpts 2002 300.000-500.000 8. Trijaya Pinus Mpts 2002 300.000-500.000 9. Randobawagirang Pinus Mpts 2003

V. KEC.PASAWAHAN 10. Pasawahan Pinus Mpts 2002 300.000-500.000 11. Singkup Pinus Mpts - 300.000-500.000 12. Paniis Pinus Mpts - 200.000-300.000 13. Kaduela Pinus Mpts 2002 14. Padamatang Pinus Mpts - 15. Cibuntu Pinus Mpts - 16. Padabeunghar Pinus Mpts 2002 2003 500.000-700.000

VI. KEC.JALAKSANA 17. Linggasana Pinus,

Mahoni, Suren.

Melinjo, alpukat, nangka, petai, kemiri, nilam, nenas,rotan, pisang

2002 2002 500.000-1.000.000

18. Bandorasa Kulon Pinus, Mahoni

Melinjo, alpukat, nangka, petai, kemiri, nilam, nenas,rotan, pisang

2003 100.000-300.000

19. Sangkanherang Pinus Alpukat, kemiri, sukun, pisang,kopi, petai, durian

2003 2003 500.000-700.000

20. Sayana Pinus Melinjo, alpukat, nangka, petai, kemiri, nilam, nenas,rotan, pisang

2003 250.000-500.000

21. Babakan Mulya Pinus - 2003 500.000-750.000 22. Sukamukti Pinus Melinjo, alpukat,

nangka, petai, kemiri, nilam, nenas,rotan, pisang, kopi

2003 150.000-300.000

VIII KEC.CILIMUS 23. Linggarjati Pinus Kopi, nilam, mpts 2002 2003 15.000.000 24. Setianegara Pinus Kopi, nilam, mpts - 25. Cibeureum Pinus/Rimb

a Kopi -

Page 89: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

74

Sumber : Rekapitulasi data dari Dokumen Penyerahan Berkas Progres PHBM Bagian Hutan Gunung Ciremai, BKPH Linggarjati, KPH Kuningan Jawa Barat tahun 2005.

Tabel 2 diatas menggambarkan jenis tanaman yang dilakukan oleh

penggarap berupa tanaman palawija, buah-buahan dan tanaman keras, dari

hasil usahanya tersebut penghasilan rata-rata yang di dapatkan berpariasi

dimulai dari Rp. 200.000,- sampai dengan Rp.1.000.000,- permusim

tanamnya.

Tabel.3

Data Penempatan Petugas Balai TNGC di Seksi Pengelolaan Taman

Nasional Wilayah I Kuningan

No. NAMA JABATAN PENDIDIKAN FORMAL

SEKSI PENGELOLAAN TN. WILAYAH I KUNINGAN

1. Ngusman NIP.19540512 198203 1 006 Penata (III/c)

Kepala SPTN I Wilayah Kuningan

STM/1973

2. Ahmad Hidayat, S.Hut. T NIP.19680706 198903 1 004 Penata Muda Tk. I (III/b)

Penata Usaha Bahan Pemanfaatan dan Pelayanan TN/Penata Usaha Umum

S1 IPB Fak. Kehutanan 17 April 2003

3. Taufik Syamsudin NIP.19770123200212 1003 Pengatur (II/c)

PEH Pelaksana/Penata Usaha Bahan Pengawetan/Penata Usaha Bahan Perlindungan TN

SLTA/ tahun 1994

I. Resort Pengelolan Taman Nasional Wilayah Mandirancan 4. Roby Gumilang, S.Hut

NIP.19790706 200801 1 001 Penata Muda (III/a)

Calon PEH/ Kepala Resort/ Penata Usaha Bahan Pemanfaatan dan Pelayanan TN

S1 IPB/ tahun 2002 Fak. Kehutanan

5. Ahmad Fuad NIP.19710422 200003 1 003 Pengatur (II/c)

PEH Pelaksana/Penata Usaha Bahan Pengawetan

SKMA/ tahun 1990

6. Dasdji NIP.19540511 198603 1 003 Pegatur Muda Tk. I (II/b)

Penata Usaha Bahan Perlindungan TN

SMU/tahun 2000

7. Awan Suwandy NIP.19720202 200710 1 001 Pengatur Muda (II/a)

Polhut Pelaksana Lanjutan/Penata Usaha Bahan Perlindungan TN

SKMA tahun 1991

II. Resort Pengelolan Taman Nasional Wilayah Pasawahan 8. Syarifudin

NIP.19640207 199302 1 001 Penata Muda (III/a)

Polhut Pelaksana Lanjutan/ Kepala Resort/ Penata Usaha Bahan Pemanfaatan dan Pelayanan TN

SMA/ 1984

9. Isis Siswanto NIP.19821007 200710 1 002 Pengatur Muda (II/a)

Polhut Pelaksana Pemula/Penata Usaha Bahan Pengawetan TN

SKMA/tahun 2002

10. Hamdan NIP.19830803 200710 1 001 Pengatur Muda (II/a)

Polhut Pelaksana Pemula/Penata Usaha Bahan PerlindunganTN

SKMA/tahun 2002

Page 90: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

75

III. Resort Pengelolan Taman Nasional Wilayah Cilimus 11. Aja Sutanto

NIP.19650908 199703 1 001 Penata Muda (III/a)

Polhut Pelaksana Lanjutan/ Kepala Resort/ Penata Usaha Bahan perlindungan TN

SMT Pertanian/ tahun 1986 Jurusan TPI

12. Iwan Sunandi, A.Md NIP.19730209 199903 1 001 Pengatur Tk.I (II/d)

PEH Pelaksana/Penata Usaha Bahan Pengawetan

AIK/ 1993

13. Apo NIP.19720320 200710 1 002 Pengatur Muda (II/a)

Polhut Pelaksana Pemula/Penata Usaha Bahan Pemanfaatan dan Pelayanan TN

SKMA/ tahun 1991

IV. Resort Pengelolan Taman Nasional Wilayah Jalaksana 14. Makhmud

NIP.19620731 198903 1 002 Penata (III/c)

Polhut Penyelia/ Kepala Resort/ Penata Usaha Bahan perlindungan TN

SMEA/1983 Jurusan Tata Niaga

15. Azis Abdul Kholik NIP.19810505 200112 1 002 Pengatur (II/c)

PEH Pelaksana/Penata Usaha Bahan Pengawetan TN

SKMA/2001

16. Egi Noor Arif Rachman NIP.19841019 200710 1 001 Penata Muda (II/a)

Calon PEH /Penata Usaha Bahan Pemanfaatan dan Pelayanan TN

SKMA/2003

V. Resort Pengelolan Taman Nasional Wilayah Darma 17. Rahmat Hidayat S.Hut

NIP.19780511 200312 1 001 Penata Muda Tk. I (III/b)

PEH Pertama/ Kepala Resort/ Penata Usaha Bahan pengawetan TN

S1 IPB / tahun 2003 Fak.Kehutana

18. Suhi Sediana NIP.19610425 199703 1 001 Pengatur (II/c)

Polhut Pelaksana/Penata Usaha Bahan Perlindungan TN

SMA Persamaan/1992

19. Sahudin NIP.19630312 1986 1 014 Pengatur (II/c)

Penata Usaha Bahan Pemanfatan dan Pelayanan TN

SMP / 1981

20. Oman Dede Permana NIP.19830612 200710 1 001 Pengatur Muda (II/a)

Polhut Pemula/Penata Usaha Bahan Pemanfatan dan Pelayanan TN

SKMA/tahun 2002

VI. Resort Pengelolan Taman Nasional Wilayah Cigugur 21. Rodi

NIP.19591229 1991031 001 Penata Muda(III/a)

Polhut Pelaksana Lanjutan/ Kepala Resort/ Penata Usaha Bahan perlindungan TN

STM/1979

22. Koko NIP.19760210 199703 1 001 Pengatur Tk. I (II/d)

Polhut Pelaksana/Penata Usaha Bahan Perlindungan TN

SMA/1996 Jurusan IPS

23. Sarno NIP.19670927 198603 1 001 Penata (II/c)

Penata Usaha Bahan Pemanfaatan dan Pelayanan TN

SMP/1985

24. Jojo Suparjo NIP.19701206 200801 1 001 Pengatur Mua(II/a)

Calon Polhut /Penata Usaha Bahan Pengawetan TN

SKMA/ 1990

Sumber : Surat Keputusan Nomor: SK.14/BTNGC/2010 Tentang Struktur Organisasi dan Penetapan Pegawai Lingkup Balai Taman Nasional Gunung Ciremai

Dari tabel 14 diatas penempatan petugas/karyawan untuk SPTN I

Kuningan berjumlah 24 (dua puluh empat) orang dengan spesifikasi :

1. Tenaga struktural kepala seksi 1 orang

Page 91: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

76

2. Non struktural 4 orang

3. Fungsional POLHUT 12 orang

4. Fungsional PEH 7 orang

Dilihat dari spesifikasi tersebut perbandingan jumlah tenaga pengamanan

hutan (Polhut) berjumlah 12 orang dengan beban tugas pengawasan

wilayah kerjanya seluas 8.699,87 ha di kabupaten Kuningan. Apabila di

bagi maka 1 orang Polhut harus mengawasi kawasan seluas ±724.989 ha

dengan berbagai permasalahan diantaranya pencurian hasil hutan,

perburuan liar, perambahan dan galian C.

Tabel 4

Daftar Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Balai Taman Nasional

Gunung Ciremai

No Nama Jabatan Pendidikan PPNS Pendidikan

Formal Tahun Tempat

1. Tri Widodo, S.Si 19750623 200003 001 Penata (III/c)

Polhut Penyelia 2006 Pusdik Reskrim Megamendung

S1 IPB/tahun 1998 Fak. Biologi

2. Makhmud 19620731 198903 1 002 Penata (III/c)

Polhut Penyelia 1997 BLK Kadipaten SMEA/1983 Jurusan Tata Niaga

3. Endang Kosasih, SP 1960506 198903 1 007

Penata Bina Konservasi dan Perlindungan

1995 BLK Kadipaten S1 Univ.Galuh Fak. Pertanian/ tahun 2003

4. Cepi Arifiana, A.Md 19760106 199903 1 001 Penata Muda (III/a)

Polhut Pelaksana Lanjutan

2009 Pusdik Reskrim Megamendung

D III/ tahun 1997 UNWIM

5. Rodi 19591229 199103 1 001 Pengatur Tk.I (II/d)

Polhut Pelaksana 1997 BLK Kadipaten STM/1979

Sumber : Data Statistik Balai Taman Nasional Gunung Ciremai tahun 2009

Page 92: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

77

Tabel 5

Penerapan Kebijakan Kriminal Dalam Pola Kebijakan Taman Nasional

No Kebijakan Kriminal Pola Kebijakan Taman Nasional

Gunung Ciremai Tahun 2009 Tahun 2010

1. Kebijakan Penal Pengamanan Kawasan Hutan Pengamanan Kawasan Hutan

2. Kebijakan Non Penal

1. Pengamanan Kawasan Hutan 2. Penguatan Kapasitas

Kelembagaan Perlindungan Hutan

3. Penyelesaian Kasus Hukum Pelanggaran/Kejahatan Kehutanan

4. Pengendalian Kebakaran Hutan 5. Pengelolaan Kawasan

Konservasi 6. Pengelolaan Keanekaragaman

Hayati dan Produk Tumbuhan dan Satwa Liar

7. Pengembangan dan Pemanfaatan Jasa Lingkungan

8. Pengembangan dan Pemanfaatan Wisata Alam

9. Pemberdayaan Masyarakat 10. Pengembangan Bina Cinta

Alam 11. Rehabilitasi Kawasan

1. Pengamanan Kawasan Hutan 2. Penguatan Kapasitas

Kelembagaan Perlindungan Hutan

3. Penyelesaian Kasus Hukum Pelanggaran/Kejahatan Kehutanan

4. Pengendalian Kebakaran Hutan 5. Penguatan Kapasitas

Kelembagaan Pengendalian Kebakaran Hutan

6. Pengelolaan Taman Nasional 7. Pengelolaan Jenis dan Genetik 8. Inventarisasi Flora dan Fauna

(inventarisasi areal eks PHBM) 9. Pemberdayaan Masyarakat

Sekitar Kawasan 10. Pengembangan dan Pemanfaatan

Wisata Alam 11. Pengembangan Bina Cinta Alam 12. Pengembangan dan Pemanfaatan

Jasa Lingkungan 13. Rehabilitasi Kawasan

Sumber :DIPA BTNGC tahun 2009 dan 2010

Pola kebijakan yang dilakukan oleh Balai TNGC didasarkan pada

skala prioritas dalam setiap kegiatan pokok yang didasarkan pada

kegiatan-kegiatan yang mempunyai nilai pengembangan, pemanfaatan dan

pelestarian alam disesuaikan pula dengan daya dukung dan sarana

prasarana penunjang dan daya dukung kawasan TNGC. Dari pola kegiatan

tersebut dalam tabel 16 pada umumnya terlihat 5 aspek utama yaitu :

a. Aspek peningkatan kemandirian kelembagaan diwujudkan dalam

bentuk kegiatan pengelolaan taman nasional yaitu pembangunan kantor,

pengurusan legalitas rencana pengelolaan,penyusunan RPJM,

penyusunan renstra, pembuatan website, pengumpulan dan analisa data

zonasi, pencetakan karcis, pengadaan peralatan sistim informasi

dalkarhut, pembentukan MPA dan pembentukan posko dalkarhut.

Page 93: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

78

b. Aspek pembinaan daya dukung kawasan

Kegiatan yang dilakukan berupa pencegahan dan penanggulangan

kejahatan yang dilakukan oleh manusia, rehabilitasi kawasan dilakukan

pada areal kritis dalam kawasan akibat kebakaran dan perladangan,

inventarisasi areal eks PHBM.

c. Aspek pemanfaatan dan pelestarian kawasan

TNGC memiliki banyak objek wisata yang bisa dinikmati oleh

pengunjung baik yang melakukan penelitian, berkemah maupun wisata

rekreasi pada umumnya. Selain itu dilakukan visit to school,

pembentukan dan pembinaan kader konservasi dalam rangka

pendidikan bina cinta alam, monitoring/survey surili dan elang jawa

sebagai satwa endemik yang hampir punah, identifikasi anggrek,

inventarisasi tumbuhan tahan api, pemetaan sarang elang.

d. Aspek pemberdayaaan kesejahteraan ekonomi masyarakat

Dilakukan dengan penyusunan masterplan MDK, pemberian bantuan

sosial di lima desa sekitar kawasan berupa ternak (kambing),

monitoring kegiatan pemberdayaan masyarakat.

e. Aspek perlindungan dan pengamanan kawasan.

Bentuk gangguan yang sering terjadi adalah kebakaran hutan dan

tingkat ketergantungan masyarakat akan lahan dalam kawasan TNGC,

kegiatan dilakukan berupa monitoring lahan eks PHBM, Operasi

pengamana fungsional/gabungan, pengamanan jalur pendakian,

pembentukan tenaga pengaman hutan swakarsa masyarakat, patroli

bersama pamswakarsa, penyelesaian kasus kejahatan kehutanan,

sosialisasi perundangan.

5. Karakteristik Perambahan di Taman Nasional Gunung Ciremai

Untuk megetahui karakteristik perambahan di kawasan TNGC saat ini

diambil beberapa sampel sebagai data pendukung dalam menganalisa dan

membahas permasalahan yang penulis lakukan. Responden dalam penelitian

ini berstatus sebagai kelompok tani hutan yang tergabung dalam ex PHBM

Page 94: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

79

yang melakukan pengolahan lahan dalam kawasan Taman Nasional Gunung

Ciremai. Jumlah responden diambil masing-masing 10 orang dari 6 wilayah

Resort Pengelolan Taman Nasional Gunung Ciremai yang ada di Seksi

Pengelolaan Taman Nasional Wilayah Kuningan. Identitas dan aktivitas

masing-masing responden meliputi : umur, pekerjaan, lamanya mengolah

lahan dalam kawasan TNGC, luas tanah yang dikuasai, peruntukan tanah

yang dikuasai oleh perambah, penghasilan rata-rata permusim, luas garapan

diluar kawasan TNGC, asal-usul perolehan lahan garapan, status kawasan

TNGC disajikan dalam tabel sebagai berikut:

Tabel. 6

Usia Responden Perambah

No. Kisaran Usia responden Jumlah

n = 60 Prosentase

1. 0 – 40 Tahun 3 5 % 2. 41 Tahun – 50 tahun 39 65 % 3. > 50 Tahun 18 30% Total 60 100 %

Sumber : data Primer

Tabel 6 di atas, menunjukan bahwa sebagian besar kepala keluarga

(65%) yang menempati kawasan TNGC adalah mereka yang berada dalam

usia produktif, yaitu antara usia 41 tahun hingga 50 tahun. Dalam usianya

yang demikian, dapat diperkirakan bahwa kepala keluarga tersebut

merupakan penunjang ekonomi keluarga yang utama, mengingat anggota

keluarga yang lain belum dapat diharapkan secara penuh membantu

ekonomi keluarga. Akan tetapi ada kecenderungan terhadap kepala keluarga

yang berusia 0 – 40 tahun untuk memenuhi kebutuhan keluarganya mereka

kurang tertarik mengolah lahan dalam kawasan TNGC karena jumlahnya

hanya (5%) dari keseluruhan reponden. Sedangkan, kepala keluarga lainnya

(30%) adalah mereka yang telah berusia di atas 50 tahun. Dalam usianya

yang demikian, dapat diperkirakan bahwa usaha untuk memenuhi kebutuhan

ekonomi keluarga sudah bisa didukung oleh anggota keluarga lainnya

(anak-anak).

Page 95: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

80

Tabel. 7

Pekerjaan Responden

No. Pekerjaan N Prosentase

1. Bertani 54 90 % 2. Bertani dan menjadi buruh 6 10 % Total 60 100%

Sumber : data primer

Penulis mengambil jumlah pekerjaan terbanyak yang dilakukan para

responden. Tabel 7 di atas, dapat diketahui bahwa mata pencaharian paling

utama yang ditekuni oleh para kepala keluarga tersebut adalah bertani saja

(90%), meskipun diantara kepala keluarga yang bersangkutan terkadang

menjalani pekerjaan tambahan sebagai buruh dan meskipun ada namun kecil

sekali jumlahnya (10%). Mengingat, bahwa mata pencaharian pokok para

kepala keluarga ini adalah bertani, maka dapat diperkirakan betapa besar

beban bagi TNGC untuk menyediakan kebutuhan para perambah akan lahan

untuk perkebunan.

Tabel. 8

Lamanya mengolah lahan dalam kawasan

No. Lamanya mengolah lahan N Prosentase

1. < dari 2 tahun 6 10%

2. Antara 2 tahun hingga 5 tahun 9 15 %

3. > dari 5 tahun 45 75 %

J u m l a h 60 100 %

Sumber : Data Primer

Tabel 8 di atas menunjukkan bahwa keberadaan para perambah

menggolah lahan sebenarnya sudah cukup lama yaitu dalam waktu lebih

dari 5 tahun (75%) Dari data ini pula dapat diketahui, bahwa dengan

berubahnya status kawasan dari hutan lindung menjadi kawasan hutan

konservasi TNGC tidak menyebabkan masyarakat keluar dari dalam

kawasan dan mengabaikan larangan pemerintah untuk tidak merambah

kawasan TNGC. Hal ini dapat dilihat sejak dikukuhkannya kawasan TNGC

menjadi kawasan konservasi pada tahun 2004 masih ditemukan (15%) yang

Page 96: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

81

merambah dalam waktu antara 2 hingga 5 tahun dan (10%) dalam kurun <

dari 2 tahun terakhir.

Berdasarkan hal tersebut dapat diperkirakan, bahwa jumlah perambah

di kawasan TNGC belum menurun, hal ini mungkin disebabkan oleh sikap

pemerintah dan penegak hukum yang tidak tegas. Walaupun demikian

pembukaan lahan untuk perambahan baru tidak menunjukkan peningkatan

yang begitu cepat. Sikap kurang tegas baik dari pemerintah maupun

penegak hukum, justru dapat membentuk opini di kalangan para perambah

bahwa keberadaan mereka tidak melanggar hukum, dan mereka dapat

dengan leluasa mengelola kawasan. Opini yang berkembang demikian akan

mempersulit upaya pemerintah untuk merehabilitasi kawasan TNGC yang

telah rusak, karena para perambah akan menolak meninggalkan kawasan

dengan meninggalkan usaha mereka begitu saja. Selain itu, semakin lama

para perambah berada dalam kawasan TNGC, maka semakin mantap pula

keyakinan mereka terhadap penguasaan lahan mereka. Akibatnya, para

perambah merasa tidak perlu lagi memikirkan mencari usaha lain dalam

memenuhi kebutuhan keluarga di luar kawasan.

Tabel. 9

Luas tanah yang diolah responden

No. Luas tanah yang dikuasai n Prosentase

1. < 1 Ha 48 80%

2. Antara 1 Ha hingga 2 Ha 9 15%

3. > 2 Ha 3 5 %

J u m l a h 60 100 %

Sumber: Data Primer

Berdasarkan data dalam Tabel 9 di atas dapat diketahui, bahwa luas

lahan yang dikuasai oleh para perambah dengan jumlah terbanyak kurang

dari 1 Ha atau (80%), sedangkan pengolahan lahan antara 1 Ha hingga 2 Ha

sebanyak (15%) dan lebih dari 2 Ha (5%), yang keseluruhannya digunakan

untuk pertanian dan perkebunan. Hal ini merupakan beban sangat berat bagi

TNGC dalam upaya penanggulangan perambahan yang telah ada. Dengan

Page 97: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

82

beban berat tersebut, dapatlah diperkirakan bahwa dalam jangka pendek

TNGC tidak lagi dapat difungsikan untuk menunjang ekosistem Kabupaten

Kuningan dan Kabupaten Majalengka serta Cirebon. Sebaliknya, usaha

rehabilitasi juga akan semakin sulit dilakukan, karena nantinya pemerintah

tidak saja akan dihadapkan pada permasalahan dana rehabilitasi yang

sangat besar, tetapi juga dihadapkan pada masalah-masalah sosial yang akan

muncul sehubungan dengan tindakan pengusiran para perambah dari dalam

kawasan TNGC. Dengan demikian, upaya pemecahan masalah tersebut

sejak dini lebih menguntungkan, dibandingkan dengan menunda-nunda

pemecahannya tetapi harus berhadapan dengan masalah yang semakin

bertambah rumit.

Tabel. 10

Peruntukan lahan yang dikuasai oleh Responden

No. Pemanfaatan lahan n Prosentase

1. Bertani Palawija 36 60 %

2. MPTS 9 15 %

3. MPTS dan berkebun tanaman keras

15 25 %

J u m l a h 60 100 %

Sumber : Data Primer

Berdasarkan data dalam Tabel 10 di atas dapat diketahui, bahwa dilihat

dari cara penggunaan tanah yang dilakukan oleh para perambah sama sekali

tidak mendukung upaya pemeliharaan fungsi TNGC. Tampak jelas, bahwa

para perambah sama sekali tidak menghiraukan akibat yang akan timbul dari

cara-cara penggunaan tanah tersebut, karena para perambah hanya

mengedepankan kepentingan mereka masing-masing. Penggunaan lahan

oleh semua perambah, tentunya merupakan tindakan yang tidak mungkin

dapat ditolerir dan sampai kapanpun tidak akan selaras dengan program

perlindungan kelestarian fungsi kawasan TNGC. Oleh sebab itu, pemerintah

dan penegak hukum dituntut untuk dapat bertindak tegas menghadapi para

perambah tersebut. Jika saja pemerintah dan penegak hukum dapat

Page 98: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

83

melakukan tindakan tegas terhadap para perambah, maka proses selanjutnya

untuk merehabilitasi lahan yang rusak karena kegiatan pertanian dan

perkebunan yang dilakukan oleh para perambah akan semakin mudah

dilakukan.

Tabel. 11

Penghasilan rata-rata permusim responden

No. Penghasilan rata-rata responden N Prosentase

1. < 1 juta 54 90%

2. Antara 1 juta hingga 3 juta 6 10%

J u m l a h 60 100%

Sumber : data primer

Berdasarkan data dalam Tabel 11 di atas dapat diketahui, bahwa

sebagian besar pendapatan rata-rata permusim perambah tidak sepenuhnya

dapat mencukupi kebutuhan keluarganya hal ini dapat dilihat bahwa (90%)

berpenghasilan kurang dari Rp. 1 juta per musimnya, hanya sebagian kecil

saja (10%) yang berpenghasilan antara Rp.1 juta hingga 3 juta. Melihat

kondisi tersebut perlu alternatif lapangan pekerjaan yang lebih menjanjikan

untuk para perambah tersebut sehingga kegiatan pengolahan lahan yang

telah dilakukan bisa perlahan-lahan ditinggalkan, hal ini menjadi pemikiran

bersama pihak pengelola dan pemerintah daerah dengan intansi terkaitnya.

Tabel. 12

Luas lahan responden diluar kawasan TNGC

No. Luas lahan diluar kawasan TNGC n Prosentase

1. < 1 Ha 21 35%

2. Tidak punya 39 65%

J u m l a h 60 100 %

Sumber: Data Primer

Berdasarkan data dalam Tabel 12 di atas dapat diketahui, sebagian

besar perambah (65%) tidak mempunyai lahan perkebunan dan pertanian

diluar kawasan TNGC, namun (35%) perambah mempunyai lahan diluar

kawasan dengan rata-rata < 1Ha. Dengan kondisi dan komposisi tersebut

Page 99: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

84

ternyata cukup banyak perambah yang mempunyai lahan diluar kawasan,

hal ini menjadi pekerjaan pemerintah kabupaten Kuningan dan instansi

terkait untuk lebih mengintensifkan lahan masyarakat diluar kawasan dan

tugas TNGC dan penegak hukum untuk mengeluarkan perambahan.

Disamping itu adanya sebagian besar responden yang tidak memiliki lahan

diluar kawasan menunjukkan fenomena sebagai salah satu faktor

penghambat dalam upaya penanggulangan perambahan di kawasan TNGC.

Pada tabel berikut akan dikemukakan asal muasal tanah yang ditempati

oleh reponden sebagaimanan dikemukakan pada tabel berikut:

Tabel.13

Asal-usul lahan yang ditempati para responden

No Asal-usul memperoleh tanah n Prosentase

1. Ikut program PHBM 51 85%

2. Membuka lahan bersama dengan teman, tetangga/keluarga, tanpa membeli

9 15 %

J u m l a h 60 100 %

Sumber : Data Primer

Berdasarkan data dalam Tabel 13 di atas dapat diketahui, bahwa

kebanyakan para perambah mengolah lahan dengan cara turut serta dalam

kelompok PHBM (85%), hal ini telah berlangsung lama sebelum

ditetapkannya kawasan TNGC sebagai kawasan konservasi dan sebagian

lagi diperoleh dengan membuka lahan tanpa harus membeli (15%).

Masuknya perambah ke dalam kawasan dengan cara membuka lahan tanpa

membeli tersebut menunjukkan, adanya indikasi kurangnya sikap antisipatif

para petugas TNGC dalam mencegah masuknya para perambah ke dalam

kawasan, sehingga para perambah dengan leluasa membuka lahan di dalam

kawasan TNGC.

Page 100: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

85

Tabel.14

Pengetahuan responden terhadap larangan pengolahan lahan

dalam kawasan TNGC

No larangan pengolahan lahan dalam kawasan TNGC

n Prosentase

1. Mengetahui 54 90%

2. Tidak Mengetahui 6 10 %

J u m l a h 60 100 %

Sumber : Data Primer

Berdasarkan data dalam Tabel 14 di atas dapat diketahui, bahwa

sebagian besar para perambah (90%) mengetahui kegiatan pengolahan lahan

perkebunan dan pertanian yang mereka lakukan dalam kawasan TNGC

dilarang. Namun pada kenyataannya dilapangan, tidak sedikit masyarakat

yang cenderung masih bingung membedakan antara Perhutani dengan

Taman Nasional. Hal ini terjadi karena perbedaan kemampuan masyarakat

dalam menerima dan mengakses informasi dari luar, khususnya yang terkait

dengan status pengelolaan kawasan hutan Gunung Ciremai, jumlah mereka

hanya (10%) saja. Hal seperti ini dimungkinkan disebabkan kurangnya

sosialisasi dari pihak TNGC tentang perubahan sistim pengelolaan kawasan

saat ini, walau tidak dipungkiri pula ada perambah yang telah mengetahui

larangan pengolahan lahan dalam kawasan TNGC namun masih tetap

bertahan mengolah. Terhadap hal tersebut kegiatan sosialisasi dan

penyuluhan harus terus dilakukan disamping upaya penengakan hukum.

Pada uraian di atas, setelah diketahui secara mendalam mengenai

identitas dan aktivitas para perambah di dalam kawasan TNGC, maka

dibawah ini akan dijelaskan mengenai faktor-faktor atau latar belakang

perambah menempati TNGC. Pengetahuan mengenai hal ini memang

diperlukan, yaitu untuk memperkirakan seberapa besar keterikatan para

perambah kepada TNGC tersebut. Data mengenai faktor-faktor pendorong

dimaksud disajikan dalam tabel-tabel berikut ini.

Page 101: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

86

Tabel.15

Faktor Penyebab mengolah lahan dalam kawasan TNGC

No. Faktor Penyebab mengolah lahan kawasan TNGC

N Prosentase

1. Tertarik dengan kesuburan tanah dan keberhasilan orang lain

15 25%

2. Tidak punya keahlian lain selain bertani

27 45%

3. Tidak punya lahan diluar kawasan 18 30%

Jumlah 60 100 %

Sumber: Data primer

Tabel 15 di atas, menunjukkan terdapat tiga variasi jawaban responden

mengenai hal-hal yang menarik minat responden untuk menempati dan

menguasai tanah di dalam Kawasan TNGC. Dari tiga jawaban yang

bervariasi tersebut, ternyata tidak satupun mencerminkan adanya tujuan

positif dari para responden yang bersifat mendukung upaya pelestarian

fungsi kawasan TNGC. Dari variasi jawaban tersebut, terdapat indikasi

bahwa para perambah masih sulit diharapkan untuk dapat dijadikan mitra

dalam program rehabilatasi kawasan TNGC. Jika pun akan dilibatkan ke

dalam program rehabilitasi, maka perlu pembinaan yang intensif agar para

perambah benar-benar memiliki kesadaran akan pentingnya upaya

rehabilitasi. Apabila dikaitkan dengan data dalam Tabel 13 di atas yang

menunjukkan bahwa masuknya para perambah ke dalam kawasan TNGC

meningkat tajam sebelum ditetapkannya kawasan TNGC sebagai kawasan

konservasi, adalah program Perhutani dalam rangka menyelenggarakan

kegiatan pengelolaan hutan yang produktif dan lestari, diantaranya melalui

Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM), tentunya terkait

dengan munculnya krisis ekonomi yang berkepanjangan hingga saat ini.

Berhadapan dengan kondisi yang demikian, maka para perambah

menemukan jawabannya adalah dengan cara melakukan perambahan ke

dalam kawasan TNGC.

Page 102: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

87

Keputusan yang ditempuh oleh para perambah sebetulnya juga bukan

keputusan yang diambil tanpa memperhitungkan risiko lain yang akan

merugikan si perambah itu sendiri. Meskipun demikian, pertimbangan dari

segi risiko tersebut dikesampingkan oleh karena adanya pertimbangan dari

faktor ekonomi, karena desakan hidup dalam menunjang kebutuhan rumah

tangga, disamping sulitnya mencari pekerjaan, sehingga sebagai alternatif

melakukan perambahan hutan.

6. Hasil Wawancara

Untuk mencari objektifitas dan sebagai bahan pembanding di lokasi

penelitian penulis selain menyebarkan quisioner juga melakukan

wawancara dengan pihak pengelola TNGC, Penegak Hukum, Instansi

terkait, LSM dan masyarakat mengenai hambatan dalam penanggulangan

perambahan di kawasan TNGC dan bagaimana upaya penanggulangan

perambahan di TNGC yang telah penulis kelompokkan ke dalam

komponen struktur, substansi dan kultur sebagai berikut :

a. Hambatan Dalam Penanggulangan Perambahan di Kawasan

Taman Nasional Gunung Ciremai

1. Struktur

Komponen struktur menurut Lawrence M.Friedman adalah

kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum itu dengan berbagai

fungsi dalam rangka mendukung bekerjanya sistem tersebut.

Untuk mengetahui bagaimana bekerjanya struktur penulis

melakukan wawancara dengan Ir. Kurung MM , Kepala Balai Taman

Nasional Gunung Ciremai sebagai berikut :

“Taman Nasional Gunung Ciremai adalah Kawasan Hutan seluas 15.500 Ha yang berada di lintas Kabupaten/Kota yaitu Kabupaten Kuningan 8.699,87 ha dan Majalengka 6.800,13 Ha. Untuk wilayah Kuningan penempatan petugas/karyawan berjumlah 24 (dua puluh empat) orang dengan spesifikasi : Tenaga struktural kepala seksi 1 orang, non struktural 4 orang, Fungsional POLHUT 12 orang. Fungsional PEH 7 orang. Sesuai yang diamanatkan dalam UU No.5

Page 103: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

88

Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, TNGC termasuk Kawasan Pelestarian Alam (bukan budi daya) yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Selain merupakan kemajuan dalam upaya konservasi kawasan TNGC, ada arti yang negatif terhadap momentum perubahan status pengelolaan dari Perhutani menjadi taman nasional hal ini terlihat kepada rendahnya wibawa lembaga pemerintahan dan wibawa penegakan hukum dalam menangani perambahan. sehingga dapat dikatakan perambahan yang terjadi di TNGC pada waktu telah terstruktur dengan baik ditandai dengan adanya sharing-sharing pembagian hasil dengan pihak Perhutani dan pemerintah daerah sebelumnya, hal ini disebabkan perbedaan misi yang diemban jika taman nasional lebih kepada conservation center sedangkan Perhutani pada profit oriented. Dari segi pengelolaan permasalahan umum yang dihadapi TNGC dalam hal perambahan ini adalah a) belum dikukuhkan dan ditetapkan tata batas serta pembagian zonasi taman nasional. b) terbatasnya personil pengamanan (Polhut), c) rendahnya SDM petugas pengamanan, d) rendahnya kesadaran masyarakat tentang arti penting kawasan TNGC, e) tingginya tingkat ketergantungan masyarakat terhadap pemanfaatan lahan dalam pemenuhan kebutuhan hidup, f) belum termanfaatkannya objek wisata dalam kawasan TNGC yang melibatkan masyarakat, g) legalitas penetapan perubahan kawasan dari status kawasan lindung menjadi kawasan konservasi membawa konsekwensi bagi pengelolaan TNGC.

Munculnya sikap dan tindakan masyarakat semakin berani untuk memaksakan kehendak, sekalipun dengan cara-cara yang melanggar hukum, karena disebabkan sikap penegak hukum ragu-ragu bertindak terhadap penanggulangan perambahan. Keragu-raguan ini terkait langsung dengan ketidakmampuan pemerintah untuk mengedepankan hukum sebagai satu-satu alat untuk menyelesaikan konflik yang tinggalkan oleh orde baru”.3

Kendala penegak hukum dalam hal ini penyidik tidak semua

memiliki kecakapan dan kemampuan dalam menangani kejahatan

Kehutanan, disamping kendala profesionalisme tersebut jumlah

penyidik yang kurang, tingkat koordinasi yang lemah, sarana

prasarana yang tidak memadai, rendahnya kesejahteraan penegak

hukum menjadi penyumbang terhambatnya penanggulangan

3 Wawancara dengan Ir. Kurung MM, Jabatan Kepala Balai TNGC, tanggal 7 Desember 2009

Page 104: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

89

perambahan di kawasan hutan. Dari wawancara yang dilakukan

dengan AKP Sukirman, SH. Kasat Reskrim Polres Kuningan,

mengatakan :

“Polisi adalah penegak hukum di segala lini kejahatan namun pada beberapa instansi pemerintah terdapat penyidik sendiri, disamping itu juga kami melihat beban tugas mana yang harus dikerjakan lebih dahulu dan mana yang akan dikerjakan kemudian, hal ini dipengaruhi juga oleh keterbatasan jumlah personil, dana operasional yang dimiliki serta prioritas penanganan yang urgen. Hal kedua bilamana menemukan langsung adanya pelanggaran kehutanan itu adalah kewajiban bagi polisi untuk menangani, hal seperti ini pun tidak terlepas dari prinsif kehati-hatian mengingat dampak yang lebih luas dari ditanganinya suatu kasus. Peningkatan upaya yang lebih prepentif bersama lebih diutamakan melalui operasi-operasi dan patroli bersama dan penyidikan bersama, hal ini disebabkan polisi tidak punya cukup dana menangani kegiatan perambahan di kawasan TNGC maupun permasalahan pada instansi terkait lainnya”. 4

Hal senada diungkapkan juga oleh Ipda Rinaldy Nurwan

Satreskrim Polres Kuningan memberikan jawaban sebagai berikut :

“Terhadap masalah-masalah yang berhubungan dengan masyarakat banyak polisi selain mengutamakan penindakan hukum juga memperhatikan faktor sosial, sebagai pelayan masyarakat banyak kendala-kendala yang dihadapi untuk mengungkap suatu perkaran. Terhadap masalah tindak pidana kehutanan perlu pengetahuan dan kemampuan khusus untuk penyidikannya, ini dikarenakan beberapa sebab antara lain; penyidik kurang memahami peraturan kehutanan yang ada walaupun undang-udangnya sudah ada, penyidik belum mempunyai pengalaman dalam mengusut kasus-kasus kehutanan. Selain itu ada kendala lain sehubungan dengan biaya penyelesaian kasus, pihak Polres di Kuningan selama ini tidak menggangarkan khusus untuk kasus tertentu, ini kemungkinan adanya anggaran khusus dari masing-masing instansi untuk permasalahannya sendiri.

Sehubungan masalah tindak pidana kehutanan, penyidik terbantu dengan adanya PPNS yang ada di TNGC, namun kasus-kasus yang dikoordinasikan ke Polres sangat jarang, kalaupun ada hanya terbatas pada pencurian hasil hutan kayu dengan skala kecil, untuk kasus perambahan hutan sendiri sampai saat ini menurut hasil pemantauan kami belum teridentifikasi, apakah kasus perambahan hutan sudah ditangani oleh PPNS di TNGC ataukah belum kami tidak mengetahui, atau mungkin PPNS mengalami kesulitan dalam

4 wawancara dengan AKP Sukirman, SH. Kasat Reskrim Polres Kuningan pada tanggal 10 Januari 2010

Page 105: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

90

penanganannya itu juga bisa terjadi. Untuk masalah ini bisa ditangani bila saja sering terjadi koordinasi dengan pihak Polisi, ini dimungkinkan karena fungsi Polri adalah sebagai Korwas bagi PPNS yang ada di lembaga-lembaga yang ada”.5

Wawancara dengan Aipda Asep Saeful, Kanit Tipiter Polres

Kuningan, terhadap perambahan hutan dalam kawasan TNGC

memberikan jawaban sebagai berikut :

“Keberadaan polisi sebagai penegak hukum yang bisa menangani setiap bentuk kejahatan tidaklah seperti itu pada kenyataanya, kemampuan polisi dalam menyidik perkara-perkara yang umum sesuai dengan KUHP itu adalah hal yang biasa namun terhadap masalah kehutanan dalam hal ini TNGC perlu pengalaman dan keahlian khusus karena sifatnya yang khusus juga peraturan perundang-undangannya juga khusus yakni UU No. 41 tahun 1999 dan UU Nomor 5 tahun 1990. Tidak semua penyidik kami memahami aturan tersebut, hal ini berdampak pada cepatnya penyelesaian kasus kehutanan.

Unit Tipiter sebagai satuan unit reskrim di Polres Kuningan diserahi tugas untuk mengatasi masalah-masalah tindak pidana tertentu yang salah satunya pidana bidang Kehutanan, banyaknya permasalahan tertentu lainnya yang ditangani berpengaruh kepada jumlah personil tipiter sendiri yang berjumlah hanya 4 orang penyidik saja, hal ini lah yang menyebabkan pergerakan personil kami menjadi terbatas, sehingga lebih banyak menunggu laporan dari kehutanan terhadap adanya suatu kasus. Tidak dapat dipungkiri pula permasalahan biaya untuk operasional juga terbatas sehingga terhadap penanganan perkara diutamakan kepada hal-hal yang prioritas, mudah ditangani dan didukung oleh dana yang cukup”.6

Wawancara dengan Cepi Arifiana, S.Hut Polhut TNGC selaku

Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) pada Balai TNGC memberikan

jawaban sebagai berikut :

“Aktifitas kejahatan di kawasan TNGC semakin meningkat, sementara upaya penegakan hukumnya berjalan ditempat, adapun yang melatarbelakangi mengapa hal tersebut terjadi : 1. Polhut yang berstatus penyidik di TNGC berjumlah 4 orang dengan

permasalahan yang komplek, sementara kemampuan untuk

5 Wawancara dengan Ipda Rinaldy Nurwan Satreskrim Polres Kuningan yang juga merangkap sebagai Kepala Urusan Satreskrim, tanggal 10 Januari 2010 6 Wawancara dengan Aipda Asep Saeful, Kanit Tipiter Polres Kuningan tanggal 10 Januari 2010

Page 106: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

91

menyidik sangat kurang, hal ini disebabkan keterbatasan pengetahuan dan pengalaman dalam penyidikan sehingga banyak permasalahan yang seharusnya bisa dilakukan penyidikan diterlantarkan begitu saja, disamping itu pula faktor lain kurangnya pembinaan bagi PPNS.

2. Belum adanya dukungan yang memadai dalam hal penanganan kasus baik dari Balai TNGC sendiri maupun dari pusat, sebagaimana contoh untuk kasus-kasus pelanggaran berat bantuan dukungan dari pusat hanya menyediakan dana Rp. 5.000.000,- sampai selesainya perkara, sementara di BTNGC untuk tahun ini menyediakan dana Rp. 17.100.000,- untuk keseluruhan kasus yang meliputi dua wilayah kabupaten Kuningan dan Majalengka.

3. Sarana prasarana untuk mendukung kegiatan pengamanan masih kurang, meliputi mobilitas kendaraan, alat komunikasi, senjata api, dan pondok-pondok penjagaan di lapangan.

4. Sarana prasarana jalan menuju kawasan sangat mudah dijangkau dari semua tempat merupakan ancaman bagi kelestarian kawasan.

5. Persepsi antar instansi terkait mengenai masalah penanggulangan kejahatan di TNGC berbeda-beda.

6. Kebutuhan ekonomi petugas Polhut sendiri masih kurang memadai/mencukupi”.7

Responden Makhmud Polhut TNGC selaku Penyidik Pegawai

Negeri Sipil (PPNS) TNGC, merangkap kepala Resort Wilayah

Jalaksana Kab. kuningan, wawancara tanggal 8 Desember 2009

mengatakan :

“Sebagai PNS yang diberi kewenangan khusus oleh undang-undang dalam hal penyidikan, saya juga bertugas sebagai polisi hutan dengan beban tugas yang cukup berat. Kendala dilapangan yang dihadapi berupa Tenaga penyidik di TNGC berjumlah 6 orang, dengan jam terbang yang kurang atau sangat jarang melakukan penyidikan berpengaruh kepada penegakan hukum dilapangan, Pendidikan dan pembinaan PPNS jarang dilakukan baik berupa penyegaran oleh Departemen maupun oleh Korwas PPNS dalam hal ini Polri. Tidak bisa dipungkiri tidak adanya insentif bagi PPNS yang mempunyai tugas khusus dari Polhut pada umumnya, baik dari instansi pengelola sendiri BTNGC maupun pihak Departemen membuat kinerja PPNS untuk lebih giat melakukan penyidikan dilapangan terabaikan. Sarana prasarana pendukung pengamanan berupa kendaraan roda dua, HT, pos jaga, pos pengawasan lapangan sangat minim, sehingga pengawasan dan pengendalian dilapangan tidak seluruhnya dapat

7 Wawancara dengan Cepi Arifiana, S.Hut Polhut TNGC selaku Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) pada Balai TNGC tanggal 8 Desember 2009

Page 107: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

92

dipantau. Jumlah personil di Resort saya berjumlah hanya 2 orang yang kesemuanya bukan tenaga pengamanan Polhut tetapi tenaga fungsional PEH. Dengan luas wilayah Resort ± 1.713,20 ha”.8

Senada dengan Rodi Polhut TNGC selaku Penyidik Pegawai

Negeri Sipil (PPNS) BTNGC, merangkap Kepala Resort Wilayah

Cigugur, memberikan jawaban sebagai berikut;

“Tenaga polhut dilapangan dirasa jumlahnya kurang sebanding dengan wilayah kerja, diwilayah kerja saya anggota pengamanan berjumlah 4 orang termasuk saya dengan luas wilayah yang diamankan ± 1.571,81 ha, Sarana prasarana pendukung pengamana sangat minim dilapangan hanya ada pondok kerja itupun sifatnya di kontrak menempati rumah penduduk yang berbatasan dengan kawasan, kendaraan patroli untuk pengamanan belum ada, sementara kami menggunakan kendaraan pribadi sebagai sarana untuk patroli, disamping itu sosialisasi tentang fungsi dan manfaat kawasan TNGC masih kurang, keahlian dan kemampuan petugas Polhut rendah dalam melakukan sosialisasi dan pembinaan kepada masyarakat serta lemahnya dalam melakukan upaya represif”. 9

Selanjutnya Responden Endang Kosasih Penyidik Pegawai

Negeri Sipil (PPNS) pada Balai TNGC, mengatakan :

“Selama menjadi PPNS belum pernah melakukan penyidikan kasus baik perambahan maupun kejahatan lainnya, biasanya setiap permaslahan yang ada langsung dilimpahkan kepada Penyidik Polres ataupun resort setempat, hal ini disebabkan keterbatasan pengalaman yang dimiliki, jarangya pembinaan bagi PPNS serta dukungan biaya yang minim bagi penyidik”.10

Responden Syarifudin Polhut TNGC, merangkap sebagai Kepala

Resort Wilayah Pasawahan Kab. Kuningan, memberikan jawaban

sebagai berikut :

“Penanganan perambahan dan kejahatan lainnya di kawasan TNGC dipengaruhi oleh berbagai sebab antara lain; Jumlah tenaga Polhut

8Wawancara dengan Makhmud Polhut TNGC selaku Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) TNGC, merangkap kepala Resort Wilayah Jalaksana Kab. kuningan, tanggal 8 Desember 2009 9Wawancara dengan Rodi Polhut TNGC selaku Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) BTNGC, merangkap Kepala Resort Wilayah Palutungan Kab. Kuningan, tanggal 10 Desember 2009 10Wawancara dengan Endang Kosasih Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) pada Balai TNGC, tanggal 14 Desember 2009

Page 108: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

93

dilapangan masih kurang dibandingkan dengan tugas pengawasan wilayah luas, personil di Resort yang saya tempati hanya berjumlah 2 orang dengan luas wilayah ± 1.616,62 ha. Kesejahteraan Polhut dilapangan masih perlu ditingkatkan, peralatan pendukung Polhut belum maksimal baik kendaraan sarana pos jaga, sampai saat ini kami belum memiliki pos sendiri tetapi menyewa rumah penduduk terdekat dengan kawasan, sehingga hasil pengamanan pun belum maksimal”.11

Responden Cita Asmara Polhut TNGC, Satgas Polhut BTNGC,

memberikan jawaban sebagai berikut :

“Beberapa permasalahan yang dirasakan dalam melakukan tugas sebagai Polhut dilapangan adalah; Lemahnya sumber daya Polhut dalam bertindak dilapangan, meliputi keahlian dalam menjalankan tugas, pengetahuan aturan-aturan perundang-undangan, kemampuan bersosialisasi. Kurangnya dukungan sarana prasarana dalam rangka perlindungan dan pengamanan hutan, seperti kendaraan operasional dan sarana penunjang lainnya. Pembinaan dan pengawasan dari unsur pimpinan juga dirasakan kurang, hubungan dengan penegak hukum Polri dan koordinasi yang kurang. Tunjangan opersional pergerakan yang minim mengakibatkan menurunya kinerja di lapangan. Banyaknya jalan menuju kawasan memudahkan pelaku yang berniat untuk melakukan pelanggaran, dari sisi petugas sangat menyulitkan dalam pengawasan dan patroli”.12

Responden Oman Dede Permana Polhut TNGC wilayah Resort

Darma Kab. Kuningan, memberikan jawaban sebagai berikut :

“Berkaitan dengan penanganan perambahan dan kejahatan lainnya di kawasan TNGC dipengaruhi oleh berbagai sebab antara lain; Untuk satu wilayah resort petugas Polhut terdiri hanya 1 sampai 3 orang sementara wilayah dan beban tugas cukup berat, sarana Prasarana pengamanan juga tidak mendukung atau dirasa masih kurang. Biaya operasional petugas dilapangan sangat minim, terkadang harus mengeluarkan biaya pribadi untuk tugas yang dilaksanakan”.13

11 Wawancara dengan Syarifudin Polhut TNGC, merangkap sebagai Kepala Resort Wilayah Pasawahan Kab. Kuningan, tanggal 14 Desember 2009 12 Wawancara dengan Cita Asmara Polhut TNGC, Satgas Polhut BTNGC, tanggal 15 Desember 2009 13 Wawancara dengan Oman Dede Permana Polhut TNGC anggota Resort wilayah Darma Kab. Kuningan, tanggal 15 Desember 2009

Page 109: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

94

2. Substansi

Komponen substansi merupakan output dari sistem hukum berupa

peraturan-peraturan, keputusan-keputusan yang digunakan baik oleh

pihak pengatur maupun yang diatur. Mengenai substansi penulis

melakukan analisa dan wawancara terhadap Undang-undang nomor 5

tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan

Ekosistemnya, Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor:

424/Menhut-II/2004 Tentang Perubahan Fungsi Kawasan Hutan

Lindung pada Kelompok Hutan Gunung Ciremai Seluas ± 15.500

(Lima Belas Ribu Lima Ratus) Hektar terletak di Kabupaten

Kuningan dan Majalengka, Propinsi Jawa Barat menjadi Taman

Nasional Gunung Ciremai dan Surat Dirjen PHKA Nomor : S.

56/IV-KK/2005 tanggal 26 Januari 2005 perihal Tindak Lanjut

Taman Nasional Gunung Ciremai

3. Budaya Hukum

Budaya hukum merupakan sikap manusia (termasuk budaya

hukum aparat penegak hukum) terhadap hukum dan sistem hukum.

Lawrence M. Friedman membedakan budaya hukum internal dan

budaya hukum eksternal. Budaya hukum internal merupakan buaya

hukum dari warga masyarakat yang melaksanakan tugas-tugas hukum

secara khusus, seangkan budaya hukum eksternal merupakan budaya

hukum masyarakat pada umumnya terhadap ketentuan yang ada.

Untuk mengetahui penghambat penanggulangan perambahan di

TNGC dilakukan wawancara sebagai berikut :

Wawancara dengan Ir.Hawal Widodo. Penata Bina Cinta Alam pada

TNGC, wawancara tanggal 7 Desember 2009, memberikan

keterangan sebagai berikut :

“Motivasi perambah memasuki kawasan tidak lain adalah karena kebutuhan ekonomi, karena sulitnya mendapatkan pekerjaan yang layak untuk menunjang kebutuhan rumah tangganya, sehingga alternatif yang dilakukan dengan melakukan perambahan kawasan

Page 110: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

95

hutan negara. Disamping itu penyebab lainnya adalah kurangnya sosialisasi hukum kepada masyarakat menyebabkan minimnya kesadaran hukum masyarakat sehingga mereka kurang mengetahui hak dan kewajibannya terhadap perlindungan hutan”. 14

Hasil wawancara dengan Drs. Toto Rudito Sekretaris Dishutbun

Kab. Kuningan sebagai berikut :

“Tekanan terhadap pengelolaan TNGC sudah bukan merupakan hal yang baru lagi, terutama masalah pengolahan lahan yang dilakukan oleh masyarakat di dalam kawasan. Kegiatan pengolahan tersebut telah berlangsung lama sebelum adanya taman nasional, bedanya dulu mereka dinaungi dalam suatu wadah PHBM namun sekarang termasuk perbuatan yang dilarang oleh pengelola TNGC. Penanganan terhadap pengolah lahan tersebut perlu dilakukan dengan kehati-hatian mengingat apakah mereka bisa dipersalahkan sepenuhnya terhadap kasus seperti ini ? dapat dipertimbangkan kiranya bahwa beberapa penyebab dari kasus seperti ini : a) kegiatan mereka telah berlangsung lama sebelum adanya larangan oleh pihak TN. b) Kegiatan mereka semata karena pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarganya, walau tidak dipungkiri ada beberapa masyarakat yang mencari keuntungan sebesar-besarnya dalam kawasan tapi jumlahnya sangat kecil. c) Kurangnya pemahaman masyarakat akan aturan perundag-undangan TN. d) Tidak tersedianya lahan garapan diluar kawasan. Sebelum upaya hukum diterapkan hal tersebut harus menjadi perhatian pengelola TNGC, disamping meningkatkan sosisalisasi yang berkelanjutan dengan melibatkan Pemerintah Kabupaten, Kepolisian, Kodim dan pihak terkait seperti Dinas Kehutanan, Kecamatan, Desa di sekitar kawasan serta berbagai lembaga swada masyarakat yang ada di Kab. Kuningan”.15

Responden Avo Juhanto, Lembaga Swadaya Masyarakat

AKAR. memberikan jawaban sebagai berikut :

“Masyarakat selalu berada pada posisi yang sulit bilamana pemerintah membuat kebijakan yang sepihak, hal ini terjadi dengan perubahan status Perhutani menjadi kawasan Konservasi TNGC. Munculnya SK. 424/Kpts-II/2004 terkesan dipaksakan karena prosesnya yang begitu cepat, sementara faktor sosialisasi dan persepsi belum terbangun sepenuhnya terhadap keberadaan masyarakat yang tergabung dalam

14 Wawancara dengan Ir. Hawal Widodo, Penata Bina Cinta Alam pada Balai TNGC, tanggal 7 Desember 2009. 15 Wawancara dengan Drs. Toto Rudito Sekretaris Dishutbun Kab. Kuningan, tanggal 14 januari 2010

Page 111: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

96

program PHBM di dalam kawasan, belum lagi menilik prosedur dan tahapan-tahapan pengusulan sebuah kawasan menjadi kawasan konservasi. Munculnya surat Dirjen PHKA nomor :S.56/IV-KK/2005 tanggal 26 januari 2005 perihal Tindak Lanjut Taman Nasional Gunung Ciremai, yang pada poin 2 huruf e mrngatakan program PHBM masih teta berlanjut dengan syarat-syarat tertentu bisa dikatakan untuk meredam gejolak yang muncul ditingkat lapangan pada waktu itu. Penyelesaian masalah untuk kasus ciremai sebaiknya hanya dilakukan dengan cara-cara yang prepentif dengan mempertimbangkan faktor sosial, ekonomi dan budaya masyarakat dengan mengindahkan politik pemerintah yang menjadikan kawasan ini menjadi kawasan konservasi. Faktor ekonomi adalah masalah utama mengapa masyarakat megolah dalam kawasan, selain itu tingginya hegemoni pada waktu itu untuk status pengelolaan hutan dari yang berbasis negara menjadi lebih berbasis masyarakat menyebabkan berbondongnya masyarakat untuk dapat memanfaatkan lahan bagi kebutuhan hidupnya. Menghadapi masalah seperti ini perlu dilakukan upaya rembuk dan duduk bersama dengan memperhatikan masukan yang sifatnya menampung aspirasi dari bawah antara pihak pengelola TNGC dengan Pembda Kabupaten Kuningan, dan dinas instansi terkait lainnya”.16

Disamping faktor ekonomi, kurangnya sosialisasi hukum, tidak

tahunya masyarakat akan kewajiban dan haknya dalam perlindungan

hutan, faktor penghambat penanggulangan perambahan di TNGC

ditinjau dari sisi budaya hukum masyarakat pada prinsifnya

masyarakat mengolah lahan dalam kawasan dengan alasan yang

bervariasi antara lain, tertarik akan keberhasilan petani lainnya,

keberadaan mereka telah lama sebelum ditunjuknya kawasan TNGC,

tertarik akan kesuburan tanah, tidak adanya alternatif pekerjaan lain

diluar kawasan, tidak mempunyai lahan garapan diluar kawasan, hal

tersebut menjadi faktor penghambat penanggulangan perambahan di

kawasan TNGC.

Responden Ruhiyat, umur 51 tahun desa Padabeunghar

Kecamatan Pasawan Kabupaten Kuningan memberikan jawaban

sebagai berikut :

16 Wawancara dengan Avo Juhanto, Lembaga Swadaya Masyarakat AKAR. tanggal 16 Desember 2009

Page 112: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

97

“Responden mengolah lahan dalam kawasan telah berlangsung lebih dari 7 tahun dengan luas 0.5 ha dengan tanaman hutan keras buah-buahan dan palawija, sebagai anggota kelompok tani hutan responden ikut program PHBM pada waktu itu, lahan tersebut diolah karena tidak mempunyai lahan garapan lain diluar kawasan, walaupun mengetahui kegiatan pengolahan lahan dalam kawasan TNGC saat ini dilarang namun usaha ini dapat menopang kebutuhan keluarga sehari-hari. Bilamana pihak TNGC mengeluarkan responden dan tidak mengolah lahan lagi dalam kawasan responden bersedia dengan permintaan diberikan bantuan program pemberdayaan masyarakat”17

Responden Sartum, 45 tahun, alamat rt/rw 06/02 desa

Sankanerang Kecamatan Jalaksana Kabupaten Kuningan, memberikan

jawaban sebagai berikut :

“Kami mengolah lahan dalam kawasan TNGC pada awalnya disebabkan selain tertarik melihat keberhasilan rekan-rekan sesama petani mengolah lahan juga ikut sebagai anggota PHBM, pada waktu kawasan ini menjadi hutan lindung yang dikelola Perhutani dulu kegiatan tersebut diperbolehkan, selain sebagai petani responden tidak memiliki usaha dan keahlian lain diluar kawasan alam memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, bilamana harus keluar dari kawasan sesuai dengan aturan pengelola sekarang respoden keberatan karena ingin menuntut keadilan atas permasalahan ini”.18

Asep, umur 53 tahun alamat desa Sagarahiyang Kecamatan

Darma Kabupaten Kuningan, memberikan jawaban sebagai berikut :

“Selama ini dalam memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya tidak punya keahlian lain selain bertani hal ini sudah dilakukan turun menurun, dan pada waktu kawasan masih dikelola oleh Perhutani responden ikut tergabung dalam PHBM di desa sagarahiyang, setelah menjadi TNGC responden mengetahui kegiatan perkebunan yang diolahnya adalah dilarang walaupun hanya memiliki lahan kurang dari 0.5 ha namun tanah yang diolah cukup subur untuk ditanami dengan sayur-sayuran. Jika saja pemerintah bisa mencarikan jalan bagi responen untuk berusaha dalam bentuk lain selain mengolah lahan perkebunan di kawasan, responden siap meninggalkan lokasi yang diolahnya”.19

17Wawancara dengan Ruhiyat, umur 51 tahun , anggota PHBM desa Padabeunghar Kecamatan Pasawan Kabupaten Kuningan tanggal 10 Desember 2009 18Wawancara dengan Sartum, 45 tahun, anggota PHBM, alamat rt/rw 06/02 desa Sankanerang Kecamatan Jalaksana Kabupaten Kuningan, tanggal 10 Desember 2009 19Wawancara dengan Asep, umur 53 tahun alamat desa Sagarahiyang Kecamatan Darma Kabupaten Kuningan,19 Desember 2009

Page 113: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

98

Rohman, umur 49 tahun, alamat desa Puncak Kecamatan Cigugur

Kabupaten Kuningan, memberikan jawaban sebagai berikut :

“ Keberadaan kami mengolah lahan perkebunan sudah lama sebelum ditetapkannya TNGC, yakni sejak masih adannya Perhutani pada waktu hutan produksi, usahanya sebagai tulang pungung keluarga dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi hanya tergantung dari lahan yang diolah dengan luas kurang dari seperempat hektar saja, walaupun tahu kegiatan ini sudah dilarang undang-undang namun responden tidak ada alternatif lain yang bisa dikerjakan sebagai kepala keluarga. Responden berharap agar pemerintah dapat memberikan usaha lain kalau memang harus meninggalkan lokasi garapannya”.20

Hanafi, 60 tahun, alamat desa Trijaya Kecamatan Mandirancan

Kabupaten Kuningan, memberikan jawaban sebagai berikut :

“Awal mulanya mengolah lahan di kawasan karena tertarik melihat keberhasilan orang lain dengan tanaman perkebunan, kegiatan responden telah berlangsung lebih dari 6 tahun sejak adanya Perhutani dengan ikut pola PHBM, setelah adanya TNGC responden kurang mengetahui kalau ternyata kegiatannya sekarang sudah dilarang. Adapun luas garapan responden tidak banyak hanya 0,2 ha saja, kalaupun akhirnya harus dikeluarkan oleh TNGC responden tidak keberatan karena masih mempunyai lahan pribadi seluas 0,2 ha. Namun responden berharap agar diberikan usaha lain sebagai pengganti kegiatan mereka di dalam kawasan berupa bantuan pemberdayaan masyarakat dalam bentuk bantuan ternak dan lainnya yang bermafaat baginya”.21

Muhamad, 41 tahun, alamat desa Setianegara Kecamatan Cilimus

Kabupaten Kuningan, memberikan jawaban sebagai berikut :

“Saya tidak menanam sayur-sayuran dalam kawasan seperti di daerah puncak dan dan daerah lainya karena lahan yang responden olah kurang mendukung untuk tanaman tersebut, sehingga yang ditanam adalah tanaman buah-buahan dan tanaman keras lainnya dengan luas 0,4 ha. Responden mengetahui sejak terbentuknya TNGC kegiatan pengolahan lahan sudah dilarang, namun tetap memberanikan diri menggolah karena melihat banyak pengolah lahan lainnya di kawasan TNGC. Walaupun begitu responden bersedia keluar dan tidak mengolah lahan lagi seandainya yang lain juga dikeluarkan tentunya

20 Wawancara dengan Rohman, umur 49 tahun, anggota PHBM, alamat desa Puncak Kecamatan Cigugur Kabupaten Kuningan, tanggal 19 Desember 2009 21 Wawancara dengan Hanafi, 60 tahun,anggota PHBM, alamat desa Trijaya Kecamatan Mandirancan Kabupaten Kuningan, tanggal 20 Desember 2009

Page 114: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

99

dengan harapan mendapat bantuan, pembinaan dan usaha lain dari pemerintah”. 22

Dikalangan budaya internal penegak hukum beberapa faktor

penyebab terhambatnya penanggulangan perambahan di TNGC adalah

sebagai berikut :

Berdasarkan hasil wawancara dengan AKP Sukirman, SH. Kasat

Reskrim Polres Kuningan mengatakan :

“Terjadinya perambahan di kawasan TNGC terkait dengan keberanian mengungkap kasus bagi pengelolanya dalam hal ini pihak Kehutanan punya penyidik sendiri yaitu Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), terkait dengan hal tersebut Polri sebagai penyidik Negara selalu siap menangani dan membantu apabila adanya laporan dari TNGC. Tidak terlibatnya polisi secara langsung mengatasi masalah konservasi disebabkan beberapa hal, pertama polisi sifatnya menunggu laporan dari pihak pengelola kawasan tentang terjadinya kejahatan; kedua polisi baru bertindak apabila menemukan langsung terjadinya suatu kejahatan.23

Wawancara dengan Briptu Dedi Wahyudin, Anggota unit Tipiter

Polres Kuningan ,memberikan jawaban sebagai berikut :

“Kebiasaan dari kami untuk melakukan penyidikan terhadap suatu perkara khususnya kehutanan selalu berpatokan kepada apa yang tertera dalam KUHP dalam dakwaan primernya, sementara UU Kehutanan pada dakwaan sekundernya. Kalaupun dilakukan penuntutan melalui pasal-pasal kehutanan kami selalu meminta pendapat dari PPNS terkait mengenai penerapan aturan yang tepat. Hal ini dilakukan kesulitan dalam memahami UU kehutanan yang ada. Dalam kenyataan belum ada program khusus penanganan kasus-kasus kehutananan selain menunggu limpahan kasus dari PPNSnya sendiri.”24

22 Wawancara dengan Muhamad, 41 tahun, anggota PHBM, alamat desa Setianegara Kecamatan Cilimus Kabupaten Kuningan, tanggal 20 Desember 2009, 23 Wawancara dengan AKP Sukirman, SH. Kasat Reskrim Polres Kuningan pada tanggal 10 Januari 2010 24 Wawancara dengan Briptu Dedi Wahyudin, Anggota unit Tipiter Polres Kuningan tanggal 10 Januari 2010

Page 115: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

100

Wawancara dengan Rodi Polhut TNGC selaku Penyidik Pegawai

Negeri Sipil (PPNS) BTNGC, merangkap Kepala Resort Palutungan

Kab. Kuningan, memberikan jawaban sebagai berikut :

“Untuk penegakan hukum terhadap perambahan di TNGC sedikit agak rumit, mengingat beberapa hal; Sejarah masyarakat mendiami kawasan sudah ada sebelum dibentuknya kawasan TNGC, PPNS tidak mempunyai keberanian khusus menangani perambahan hal ini disebabkan tidak biasanya PPNS menangani kasus yang ada di TNGC, minimnya pengetahuan akan penyidikan itu sendiri, kurangnya pembinaan dari instansi departemen Kehutanan maupun korwas Polri. Antara petugas sendiri telah membaur dan bersosialisasi dalam waktu yang lama dengan masyarakat perambah sehingga berpengaruh terhadap penanganan kejahatan di lapangan”.25

Responden Syarifudin Polhut TNGC, merangkap sebagai Kepala

Resort Wilayah Pasawahan Kab. Kuningan, memberikan jawaban

sebagai berikut :

“Keberadaan Polhut dilapangan telah lama berinteraksi dengan masyarakat menyulitkan bila terjadi kejahatan yang dilakukan oleh masyarakat tersebut. Pada hari-hari libur banyak petugas yang tidak berada di lokasi tugas karena pulang ke tempat keluarganya masing-masing yang berada jauh dari tempat tugas”.26

Responden Oman Dede Permana Polhut TNGC wilayah Resort

Darma Kab. Kuningan, memberikan jawaban sebagai berikut :

“ Hubungan baik antara petugas dan masyarakat menjadi penghambat

di saat masyarakat tersebut melakukan kejahatan di dalam kawasan”.27

25 Wawancara dengan Rodi Polhut TNGC selaku Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) BTNGC, merangkap Kepala Resort Palutungan Kab. Kuningan, tanggal 10 Desember 2009 26 Wawancara dengan Syarifudin Polhut TNGC, merangkap sebagai Kepala Resort Wilayah Pasawahan Kab. Kuningan tanggal 14 Desember 2009 27 Wawancara dengan Oman Dede Permana Polhut TNGC wilayah Resort Darma Kab. Kuningan, tanggal 15 Desember 2009

Page 116: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

101

b. Upaya Penanggulangan Perambahan di Kawasan Taman Nasional

Gunung Ciremai

Untuk menjawab rumusan permasalahan kedua, penulis melakukan

wawancara mendalam mengenai bagaimana upaya penanggulangan

perambahan di kawasan TNGC. Berdasarkan pengelompokan hasil

wawancara dapat dilihat dua upaya penanggulangan yakni

penanggulangan secara hukum pidana (penal) maupun penanggulangan

non hukum pidana (non penal)

1. Upaya Penanggulangan Perambahan di Kawasan TNGC Dengan

Sarana Pidana (Penal Policy)

Hasil wawancara terhadap upaya penanggulangan perambahan

menggunakan cara-cara yang represif sebagai berikut :

wawancara dengan Ir.Kurung MM, Kepala Balai TNGC, untuk

menanggulangi perambahan di kawasan TNGC mengatakan :

“Perbuatan perambah melakukan perambahan hutan melanggar beberapa peraturan perundang-undangan yaitu: 1. Undang-Undang No 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya

Alam Hayati dan Ekosistemnya. a) Pasal 33 ayat (1) menentukan:

Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional.

b) Pasal 33 ayat (2) menentukan: Perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas zona inti taman nasional, serta menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli.

c) Pasal 33 ayat (3) menentukan: Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam.

2. Undang-Undang No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan : a. Pasal 50 ayat (3) huruf a menentukan: Setiap orang dilarang mengerjakan dan atau menggunakan, dan

atau menduduki Kawasan Hutan secara tidak sah. b. Pasal 50 ayat (3) huruf b menentukan :

Page 117: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

102

Setiap orang dilarang merambah kawasan hutan”.28

Berdasarkan hasil wawancara dengan AKP Sukirman, SH. Kasat

Reskrim Polres Kuningan, mengatakan :

“Upaya penanggulangan perambahan hutan dilakukan penegakan hukum pidana secara konsisten, dalam hal ini hukum (pidana) apabila diterapkan diharapkan orang menjadi jera. Dengan demikian hukum harus ditegakkan tidak mengenal kompromi. Dalam menerapkan aturan pidana terhadap perambahan Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dapat dilakukan dan merupakan aturan yang tepat dikarenakan posisinya sebagai lex spesialis undang-undang Kehutanan”.29

Responden Ipda Rinaldy Nurwan Kaur Satreskrim Polres

Kuningan, mengatakan :

“Polri pada dasarnya dapat melakukan penegakan hukum pidana kepada pelaku perambahan hutan dan perusakan hutan yang telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana dan cukup bukti apalagi didukung dengan perundang-undangan yang cukup yakni adanya Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan”. 30

Responden Makhmud Polhut TNGC selaku Penyidik Pegawai

Negeri Sipil (PPNS) pada Balai TNGC, mengatakan :

“Sarana pidana mengunakan aturan pidana yang terdapat dalam Undang-undang nomor 5 tahun 1990 dan undang-undang nomor 41 tahun 1999 dapat dilakukan terhadap perambahan yang terjadi dalam kawasan TNGC, apabila kita melihat sanksi yang termuat di dalam kedua Undang-undang tersebut cukup membuat pelaku jera bila proses hukum bisa dilakukan, ketentuan pelanggaran yang diatur dalam Pasal 33 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Dan pelanggaran Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling

28 Wawancara dengan Ir.Kurung MM, Kepala Balai TNGC, tanggal 7 Desember 2009 29 Wawancara dengan AKP Sukirman, SH. Kasat Reskrim Polres Kuningan pada tanggal 10 Januari 2010 30 Wawancaran dengan Ipda Rinaldy Nurwan Kaur Satreskrim Polres Kuningan, tanggal 10 Januari 2010

Page 118: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

103

lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Sedangkan sanksi pidana bila melanggar Pasal 50 ayat (3) huruf a dan b Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). Akan tetapi penanganan perambahan di TNGC mengalami kendala-kendala sosial dan persoalan-persoalan diluar hukum lainnya sehingga proses hukumnya dipengaruhi oleh berbagai faktor tersebut, prinsip kehati-hatian harus tetap dilakukan walaupun terhadap pelaku bisa saja dilakukan penyidikan kapan saja”.31

Wawancara dengan Cepi Arifiana Penyidik Pegawai Negeri Sipil

(PPNS) pada Balai TNGC, memberikan jawaban sebagai berikut :

“Proses hukum terhadap perambahan sangat bisa dilakukan karena Undang-undang yang mengatur pidananya jelas dan perbuatan perambahan jelas terjadi dilapangan. Terhadap Perambahan dapat dikenakan Pasal 33 ayat (1) dan (2) Undang-udang Nomor 5 tahun 1990 dan Pasal 50 ayat (3) huruf a dan b Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan”.32

2. Upaya Penanggulangan Perambahan di Kawasan TNGC Dengan

Non Sarana Pidana (Non Penal Policy)

Berikut hasil wawancara terhadap upaya penanggulangan

perambahan menggunakan cara-cara non penal sebagai berikut :

Wawancara dengan Aipda Asep Saeful, Kanit Tipiter Polres

Kuningan, bahwa terhadap penanganan perambahan hutan dalam

kawasan TNGC memberikan jawaban sebagai berikut :

“Upaya yang dilakukan pada saat ini sebaiknya diutamakan dulu menitikberatkan pada mengidentifikasi para pelaku dan mencari faktor penyebab dan aktor yang memprovokasi agar perambah tidak bersedia meninggalkan lokasi kawasan TNGC. Dalam hal ini Polri sangat berhati-hati, apabila salah mengambil tindakan hasilnya kurang efektif karena pelaku perambahan hutan bagaimanapun adalah rakyat yang juga memerlukan perlindungan hukum, apalagi jumlah personil

31 Wawancara dengan Makhmud Polhut TNGC selaku Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) pada Balai TNGC, tanggal 8 Desember 2009 32 Wawancara dengan Cepi Arifiana Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) pada Balai TNGC tanggal 8 Desember 2009

Page 119: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

104

kepolisian terbatas, untuk unit tipiter saja kami hanya mempunyai anggota 4 orang penyidik hal ini tidak sebanding dengan jumlah perambah yang banyak serta wilayah TNGC yang akan dijangkau cukup luas. Sementara tugas dan fungsi unit tipiter sendiri tidak hanya melakukan penyidikan di bidang kehutanan saja. Walaupun begitu bukan berarti aturan hukum tidak bisa diterapkan kepada pelaku perambahan tersebut, kembali lagi melihat kondisi seperti tadi kita harus melihat faktor-faktor lain sebelum penegakkan hukum dilakukan”. 33

Berdasarkan hasil wawancara dengan AKP Sukirman, SH. Kasat

Reskrim Polres Kuningan, mengatakan :

“Untuk menangani perambahan di kawasan TNGC dengan jumlah masyarakat yang banyak harus ditangani secara fleksibel. tidak mungkin menerapkan aturan hukum apa adanya sesuai aturan yang ada, dalam hal ini penerapan Undang-undang Kehutanan tetapi juga harus memikirkan rasa keadilan masyarakat. Membawa masyarakat perambah yang ada di TNGC ke ranah hukum aturan hukum tidak bisa diterapkan secara saklek karena pada kenyataanya vonis yang diterapkan tidaklah membuat masyarakat menjadi puas. Berdasarkan pengamatan di lapangan, apabila Polri melakukan penegakan hukum secara konsisten, maka perbuatan perambahan hutan akan berkurang, karena hukum pidana selain mempunyai fungsi represif juga mempunyai peran ganda yaitu fungsi preventif, karena pengarauhnya pada orang lain untuk tidak melakukan perambahan hutan”.34

Responden Ipda Rinaldy Nurwan Kaur Satreskrim Polres

Kuningan, mengatakan :

“Upaya penegakan hukum pidana perambahan hutan dalam kasus yang terjadi di kawasan TNGC dapat dilakukan dengan melakukan penyidikan dan membuat berita acara pemeriksaan kepada pelaku yang melakukan perambahan, dan menyerahkan berkas tersebut pada penuntut umum. Strategi yang digunakan terhadap perambah yang jumlahnya banyak dilakukan pemanggilan kepada beberapa orang (tokoh) kelompok yang tergabung dalam PHBM yang mempunyai pengaruh besar pada para anggota perambah, sehingga mereka mempunyai keberanian dan tetap bertahan di kawasan hutan Konservasi. Kepada mereka diminta keterangannya dan diberikan penjelasan bahwa perbuatannya melawan hukum. Apabila perbuatan

33 Wawancara dengan Aipda Asep Saeful, Kanit Tipiter Polres Kuningan tanggal 10 Januari 2010 34 wawancara dengan AKP Sukirman, SH. Kasat Reskrim Polres Kuningan pada tanggal 10 Januari 2010

Page 120: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

105

perambahan hutan tetap dilakukan maka kepada pelaku akan ditingkatkan statusnya sebagai tersangka dan akan diproses lebih lanjut dalam sistem peradilan pidana. Penggunaan cara yang bersifat tindakan hukum, (melalui penegakan hukum pidana), harus mempertimbangkan lebih dahulu dampak negatif dari pelaksanaan tindakan tersebut. Jika terpaksa menggunakan tindakan represif, maka Polri harus terlebih dahulu merumuskan tentang strategi dan prosedur tindakan di lapangan, termasuk strategi menghadapi berbagai reaksi yang mungkin akan dilakukan oleh masyarakat yang menjadi sasaran tindakan hukum tersebut”. 35

Hasil wawancara dengan Ir.Kurung MM, Kepala Balai TNGC,

untuk menanggulangi perambahan di kawasan TNGC mengatakan :

“Tidak ada cara yang lebih baik untuk menanggulangi perambahan hutan kecuali menggunakan sarana pidana, namun upaya pidana tersebut setelah dilakukan tahapan-tahapan berupa pembinaan dan penertiban melalui kegiatan : 1. Pendataan jumlah perambahan lama dan luas garapan 2. Pendataan perambahan baru diluar perambahan lama 3. Sosialisasi dan penyuluhan yang intensif 4. Membangun konsep hulu hilir dengan stake holder dan pemanfaat

Gunung Ciremai. Terhadap sulitnya menjerat pelaku perambahan selama ini pada

dasarnya dipengaruhi banyak faktor yang diluar masalah hukum itu sendiri seperti para perambah telah lama berkebun didalam hutan sebelum ditetapkannya kawasan TNGC, keragu-raguan petugas sendiri dalam melakukan proses hukum terhadap perambah dan berbagai faktor sosial lainnya. Namun upaya hukum pidana tetap bisa dilakukan”. 36

Wawancara dengan Cepi Arifiana Penyidik Pegawai Negeri Sipil

(PPNS) pada Balai TNGC, memberikan jawaban sebagai berikut :

“Selama ini penanganan hukum terhadap kejahatan kehutanan yang terjadi di kawasan TNGC baru terhadap pencurian hasil hutan kayu, penggalian pasir, pencurian satwa, terhadap perambahan hutan perlu penanganan yang berbeda mengingat proses awal mereka memasuki kawasan untuk mengolah lahan diawali sebelum adanya TNGC, yang tergabung dalam kelompok PHBM, disamping itu bila dilakukan

35Wawancara dengan Ipda Rinaldy Nurwan Kaur Satreskrim Polres Kuningan, tanggal 10 Januari 2010 36Wawancara dengan Ir.Kurung MM, Kepala Balai TNGC, tanggal 7 Desember 2009

Page 121: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

106

penanganan yang sama dengan kasus lainnya terhadap perambahan hutan ini dikhawatirkan muncul dampak tertentu mengingat jumlah perambah tersebut tidaklah sedikit”.37

Wawancara dengan Aja Sutanto, Polhut TNGC merangkap

Kepala Resort Wilayah Cilimus, bahwa terhadap penanganan

perambahan hutan dalam kawasan TNGC diperoleh informasi bahwa :

“Selain saya sendiri petugas yang ada di resort berjumlah 2 orang dengan klasifikasi 1 orang Polhut dan 1 orang PEH, wilayah yang kami pangku ± 1.279,69 ha. Selain petugas yang sedikit sarana prasarana juga kurang, pondok kerja harus mencari dulu dengan mengontrak rumah penduduk terdekat dengan kawasan, kendaraan roda dua untuk patroli tidak ada. Selama ini kegiatan patroli dilakukan dengan berjalan kaki, sekali-kali kalau ada kegiatan operasi pengamanan dilakukan bersama-sama dengan resort wilayah lainnya dengan dukungan dana dari Balai TNGC yang dikoordinir oleh Seksi Pengelolaan TN Wilayah Kuningan, kegiatan ini walau dalam setahunnya sangat minim, paling-paling hanya 5 kali yang harus dibagi untuk 6 Resort Wilayah di Kuningan dengan sasaran pelaku pencurian hasil hutan, perburuan sementara untuk penanganan perambahan hanya bisa dilakukan pendataan jumlah perambah yang ditemukan dilapangan, penyuluhan keberadaan TNGC, dan himbauan untuk tidak memperluas dan melanjutkan pengolahan lahan. Upaya penindakan perambahan melalui jalur hukum menurut saya sangat sulit mengingat jumlahnya tidak sedikit dan terapat di Resort Wilayah lain dan kegiatan tersebut telah berjalan dalam waktu yang lama sebelum terbentuknya kawasan TNGC”.38

Wawancara dengan Rodi Polhut TNGC merangkap Kepala Resort

Wilayah Cigugur, bahwa terhadap penanganan perambahan hutan

dalam kawasan TNGC diperoleh informasi bahwa :

“Wilayah kerja Resort saya terletak di desa Cisantana dan desa Puncak, wilayah ini cukup subur sehingga banyak masyarakat yang berladang di dalam Kawasan dengan tanaman perkebunan berupa kok, wortel, sawi dll, ini telah terjadi sewaktu kawasan ini dipangku oleh Perhutani dengan program PHBM nya, untuk pengamananya saat ini dirasa sulit apalagi melakukan tindakan sesuai dengan aturan undang-undang, hal ini pernah kami coba, sehingga yang dapat kami lakukan

37 Wawancara dengan Cepi Arifiana Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) pada Balai TNGC tanggal 8 Desember 2009 38 Wawancara dengan Aja Sutanto, Polhut TNGC merangkap Kepala Resort Wilayah Cilimus, tanggal 6 Januari 2010

Page 122: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

107

adalah melakukan himbauan dan pendataan jumlah serta aktivitas perambah. Menurut hemat kami permasalahan ini tidak akan selesai secara hukum mengingat titik masalahnya adalah faktor ekonomi masyarakat, perlu dilakukan upaya peningkatan hubungan kerjasama dengan unsur pemerintah Kabupaten dan instasni terkait memecahkan masalah masyarakat dalam kawasan tersebut”. 39

Perambahan di dalam kawasan TNGC akan menimbulkan

masalah yang sangat besar bagi penyelamatan tujuan dan fungsi taman

nasional dan pembangunan dimasa yang akan datang. Hasil

wawancara terhadap upaya penanggulangan perambahan

menggunakan cara-cara yang prepentif sebagai berikut :

Menurut Ir.Kurung MM Kepala Balai TNGC, mengatakan :

“Upaya TNGC dalam penanggulangan perambahan menggunakan sarana non penal tidak diragukan lagi, dimulai sejak ditetapkannya kawasan TNGC menjadi kawasan konservasi oleh pemerintah pada tahun 2004, pengelola TNGC demikian aktif menggelar pertemuan-pertemuan dengan semua unsur terkait, yaitu dalam rangka membangun visi, misi, dan konsep yang akan dijalankan secara bersama (terpadu) dalam membangun kawasan konservasi dengan segenap permasalahannya. Upaya penanggulangan perambahan hutan Di TNGC telah diadakan berbagai upaya yang bersifat persuasif agar pelaku perambahan meninggalkan hutan secara swadaya, meskipun sifatnya baru sebatas sosialisasi yang dilakukan secara intensif namun perambah dilapangan telah memahami bahwa kegiatan mereka mengolah hutan dalam kawasan adalah salah, selain itu beberapa usaha yang telah diambil olehnya selaku pengelola Balai TNGC : a. Meminta dukungan kepada Bupati Kuningan melalui surat

dukungan penertiban penggunaan kawasan TNGC oleh masyarakat surat Nomor ; : S.543 /BTNGC/2009 tgl 29 Oktober 2009, Perihal Permohonan bantuan dan dukungan penerbitan penggunaan kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) sebagai lahan pertanian oleh masyarakat.

b. Menerbitkan Instruksi kepada seluruh jajaran unit kerja TNGC untuk melakukan sosialisasi pengelolaan kawasan TNGC kepada masyarakat instruksi Nomor : INS.02/BTNGC/2009 tgl 30 oktober 2009.

Sedangkan tema pokok bahan sosialisasi yang telah dan masih dilakukan berupa :

39 Wawancara dengan Rodi Polhut TNGC merangkap Kepala Resort Wilayah Cigugur, tanggal 4 Januari 2010

Page 123: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

108

1) Sosialisasi tentang fungsi, manfaat dan peraturan perundang-undangan yang berlaku terkait dengan kegiatan yang diperbolehkan dan dilarang dalam kawasan TNGC.

2) Penegasan kepada perambah bahwa penggunaan lahan dalam kawasan TNGC dilarang berdasarkan perundang-undangan dan dapat diancam dengan pidana dan denda.

3) Pembinaan dan penertiban dilapangan dengan tujuan akhir para perambah tidak melakukan kegiatan lagi dalam kawasan TNGC.

Upaya penanggulangan perambahan hutan secara nonpenal (upaya preventif) selain melalui sosialisasi dan penyuluhan dapat pula dilakukan dengan: 1. Forum Pembinaan Kelompok Tani Hutan (KTH) yaitu dengan

upaya meningkatkan kesadaran warga masyarakat akan pentingnya fungsi hutan untuk kepentingan manusia.

2. Pemberdayaan masyarakat atau peningkatan pengetahuan dan keterampilan petani dalam mengoptimalkan fungsi dan manfaat Taman Nasional Gunung Ciremai melalui pemantapan kelembagaan kelompok-kelompok masyarakat.

3. Peningkatan usaha-usaha ekonomi masyarakat sekitar kawasan. Adapun jenis-jenis aktivitas ekonomi yang dapat dikembangkan diantaranya adalah sebagai berikut: a. Pengembangan Usaha Jasa Lingkungan dan Pariwisata Masyarakat turut terlibat dalam mengembangkan sektor wisata

sebagai pemilik wirausaha wisata (penginapan), home stay, rumah makan, pemandu wisata dan lain-lain.

b. Budidaya Tanaman Obat dan Hias (Anggrek) TNGC sebagai sumber plasma nutfah menyediakan berbagai

jenis tumbuhan obat dan anggrek untuk dikembangkan di luar kawasan konservasi TNGC untuk dibudidayakan oleh masyarakat dan setelah pembudidayaannya selesai, tanaman induk akan dikembalikan lagi ke dalam Taman Nasional.

c. Budidaya Lebah Madu Masyarakat dapat melaksanakan peternakan lebah madu dan

menggembalakan atau meliarkan lebahnya di kawasan TNGC sedangkan untuk budidaya berada di lahan masyarakat sendiri

d. Program Pembibitan, Penggemukan dan Pengembangan Ternak

Masyarakat dapat mengembangkan peternakan domba dan sapi dengan bantuan dari instansi-instansi terkait. Pengembangan ternak di sekitar kawasan TNGC merupakan alternatif yang cukup baik untuk mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap lahan di dalam kawasan”.40

40 Wawancara dengan Ir.Kurung MM Kepala Balai TNGC, tanggal 9 Desember 2009

Page 124: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

109

Hasil wawancara dengan Drs. Toto Rudito Sekretaris Dishutbun

Kab. Kuningan, sebagai berikut :

“Sosialisasi merupakan suatu hal yang wajib dilakukan mengingat pola PHBM pada awalnya merupakan program untuk penyelamatan sumber daya alam sebagai penyangga kehidupan dari adanya penjarahan. namun dalam perkembangannya kawasan ini dijadikan kawasan konservasi sehingga PHBM yang ada menjadi perbuatan penjarahan hutan oleh masyarakat. Bagi masyarakat proses perubahan kawasan hutan gunung ciremai dari semula berstatus hutan lindung berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 195/Kpts-II/ 2003 tanggal 4 Juli 2003 menjadi Taman Nasional pada tahun 2004 berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 424/Kpts-II/2004, dengan jarak waktu perubahan suatu kawasan yang hanya satu tahun terasa begitu cepat karena membawa konsekwensi yuridis terhadap keberadaan mereka dalam kawasan hutan gunung ciremai yakni harus keluar sesuai aturan hukum sebagaimana aturan TNGC. Melihat kondisi tersebut TNGC jangan melakukan upaya represif, namun perlu dilakukan manajemen pemberdayaan masyarakat dengan alih komoditi dan alih profesi diluar kawasan. Mendukung upaya tersebut Bupati Kabupaten Kuningan telah melakukan upaya berupa : a. menerbitkan Instruksi Penertiban Penggunaan Kawasan TNGC

Sebagai Lahan Pertanian dan Perkebunan dengan Instruksi Nomor : 3 Tahun 2009, yang ditujukan kepada seluruh Camat dan Kepala Desa yang berbatasan langsung dengan kawasan TNGC dengan pokok arahan berupa : 1) Menginventarisir masyarakat yang menggarap lahan di

kawasan TNGC. 2) Mengadakan sosialisasi terhadap masyarakat penggarap di

kawasan TNGC. 3) Melarang kegiatan masyarakat melakukan usaha pertanian

atau perkebunan dalam lahan kawasan TNGC. b. Mengeluarkan petunjuk teknis melalui surat Nomor.

522/299/Dishutbun dalam rangka instruksi Bupati Nomor 3 tahun 2009 tentang Penertiban Penggunaan Kawasan TNGC Sebagai Lahan Pertanian dan Perkebunan sebagai pedoman dalam pelaksanaan dilapangan kepada seluruh Camat dan Kepala Desa yang berbatasan langsung dengan kawasan TNGC”.41

41 Wawancara dengan Drs. Toto Rudito Sekretaris Dishutbun Kab. Kuningan, tanggal 14 januari 2010

Page 125: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

110

Responden Ir. Maryoto, Kepala Kebun Raya Kuningan

(KRK), memberikan jawaban sebagai berikut :

“Penanggulangan perambahan yang terjadi di kawasan TNGC yang terbaik dilakukan dengan penguatan lembaga-lembaga masyarakat sekitar kawasan yang telah ada berupa Kelompok Tani Hutan (KTH) yang tergabung dalam PHBM untuk dialihkan konsentrasi usahanya keluar dari kawasan melalui pelibatan mereka dalam kegiatan wisata alam mengingat banyaknya potensi wisata yang terdapat dalam kawasan TNGC, pengembangan produk-produk makanan kuliner mengingat tersediannya bahan dan sarana sekitar kawasan”.42

Responden Avo Juhanto, Lembaga Swadaya Masyarakat

AKAR, memberikan jawaban sebagai berikut :

“Terhadap kawasan yang telah terbuka oleh pembukaan lahan oleh masyarakat upaya terbaik yang dilakukan adalah pemberdayaan terhadap masyarakat tersebut. Penanganan terhadap perambah ini harus dilakukan secara arif dan bijaksana dengan memperhatikan kultur budaya setempat. Potensi dan kemampuan masyarakat harus digali untuk mensinergikan penanganan terbaik yang akan diterapkan terhadap mereka, masyarakat diberikan pemahaman dengan rasa memiliki kawasan, upaya yang dapat dilakukan adalah peningkatan ekonomi masyarakat dengan kegiatan budidaya lebah madu,tanaman buah-buahan dengan konsekwensi turut serta mengamankan kawasan di lokasinya masing-masing. Namun ada konsep pemberdayaan yang cukup menarik diterapkan yakni dengan membuat Green Desain TNGC dengan waktu efektif selama 5 tahun dalam tahapan konsep sebagai berikut : a. Tahun pertama membangun pemahaman masyarakat terhadap

TNGC dan membangun kesepakatan pengolahan lahan untuk perkebunan dan lain yang sejenis oleh masyarakat.

b. Tahun ke 2 kesepakatan mulai dijalankan dengan terus melakukan evaluasi hingga tahun kelima.

c. Setelah tahun kelima ketergantungan masyarakat bisa dilepaskan dengan asumsi usaha yang telah dilaksanakan selama 5 tahun tersebut telah berjalan dan dapat menopang kebutuhan ekonomi keluarga. dan pengolahan lahan dalam kawasan dapat dihentikan

Mengingat untuk kasus TNGC masyarakat mustahil dikeluarkan begitu saja, tapi masyarakat diposisikan sebagai pelaku utama

42 Wawancara dengan Ir. Maryoto, Kepala Kebun Raya Kuningan (KRK) , tanggal 14 Januari 2010

Page 126: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

111

dalam upaya pengelolaan TNGC, jadi penyelesaian terbaik tetap melakukan Pemberdayaan Masyarakat”.43

Perlunya alternatif lahan garapan lain diluar kawasan, pemberian

bantuan melalui program pemberdayaan masyarakat, dan upaya-upaya

peningkanta ekonomi masyarakat lainnya terhadap perambah yang

mengolah lahan dalam kawasan sangat efektif dalam mengatasi

perambahan dalam kawasan TNGC, hal ini dapat dilihat dari

wawancara langsung kepada masyarakat perambah sebagai berikut :

Responden Ruhiyat, umur 51 tahun desa Padabeunghar

Kecamatan Pasawan Kabupaten Kuninganmemberikan jawaban

sebagai berikut :

“Walaupun mengetahui kegiatan pengolahan lahan dalam kawasan TNGC saat ini dilarang namun usaha ini dapat menopang kebutuhan keluarga sehari-hari. Bilamana pihak TNGC mengeluarkan responden dan tidak mengolah lahan lagi dalam kawasan responden bersedia dengan permintaan diberikan bantuan program pemberdayaan masyarakat”44

Responden Sartum, 45 tahun, alamat rt/rw 06/02 desa

Sankanerang Kecamatan Jalaksana Kabupaten Kuningan, memberikan

jawaban sebagai berikut :

“Selain sebagai petani responden tidak memiliki usaha dan keahlian lain diluar kawasan alam memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, bilamana harus keluar dari kawasan sesuai dengan aturan pengelola sekarang respoden keberatan karena ingin menuntut keadilan atas permasalahan ini”.45

Asep, umur 53 tahun alamat desa Sagarahiyang Kecamatan

Darma Kabupaten Kuningan, memberikan jawaban sebagai berikut :

43 Wawancara dengan Avo Juhanto, Lembaga Swadaya Masyarakat AKAR. tanggal 16 Desember 2009 44Wawancara dengan Ruhiyat, umur 51 tahun , anggota PHBM desa Padabeunghar Kecamatan Pasawan Kabupaten Kuningan tanggal 10 Desember 2009 45 Wawancara dengan Sartum, 45 tahun, anggota PHBM, alamat rt/rw 06/02 desa Sankanerang Kecamatan Jalaksana Kabupaten Kuningan, tanggal 10 Desember 2009

Page 127: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

112

“Jika saja pemerintah bisa mencarikan jalan bagi responden untuk berusaha dalam bentuk lain selain mengolah lahan perkebunan di kawasan, responden siap meninggalkan lokasi yang diolahnya”.46

Rohman, umur 49 tahun, alamat desa Puncak Kecamatan Cigugur

Kabupaten Kuningan, memberikan jawaban sebagai berikut :

“ Walaupun tahu kegiatan ini sudah dilarang undang-undang namun responden tidak ada alternatif lain yang bisa dikerjakan sebagai kepala keluarga. Responden berharap agar pemerintah dapat memberikan usaha lain kalau memang harus meninggalkan lokasi garapannya”.47

B. Pembahasan

Dari paparan di atas maka permasalahan penelitian ini dapat dianalisa

sebagai berikut :

1. Hambatan Dalam Penanggulangan Perambahan di Kawasan Taman

Nasional Gunung Ciremai

Hukum adalah rangkaian peraturan-peraturan mengenai tingkah laku

orang-orang sebagai anggota masyarakat, dan tujuan hukum itu adalah

mengadakan keselamatan, kebahagiaan dan ketertiban di dalam masyarakat,

karena masing-masing masyarakat mempunyai berbagai kepentingan,

sehingga untuk mengatur berbagai kepentingan masyarakat agar tercapai

keseimbangan dala kehidupan masyarakat, maka dalam hukum diadakan

sanksi untuk dikenakan kepada anggota masyarakat yang melakukan

pelanggaran hukum.

Untuk mencapai tujuan hukum maka penerapannya ke dalam bentuk

peraturan haruslah memenuhi persyaratan tertentu karena kegagalan

mewujudkan salah satu nilai-nilai dalam masyarakat dapat menimbulkan

hasil yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Gustaf Radbruch dalam

Esmi Warassih mengemukakan adanya tiga nilai dasar yang ingin dikejar

dan perlu mendapat perhatian serius dari pelaksana hukum yakni nilai

46 Wawancara dengan Asep, umur 53 tahun alamat desa Sagarahiyang Kecamatan Darma Kabupaten Kuningan,tanggal 19 Desember 2009 47 Wawancara dengan Rohman, umur 49 tahun, anggota PHBM, alamat desa Puncak Kecamatan Cigugur Kabupaten Kuningan, tanggal 19 Desember 2009

Page 128: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

113

keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Terutama nilai dasar

kemanfaatan ini akan mengarahkan hukum pada pertimbangan kebutuhan

masyarakat pada suatu saat tertentu, sehingga hukum itu benar-benar

mempunyai peranan yang nyata bagi masyarakatnya. Dengan bantuan ilmu-

ilmu sosial pelaksana hukum dimungkinkan untuk meneliti masalah-

masalah hukum yang dihadapkan kepadanya. Sehingga kasus yang diajukan

baginya bukan semata-mata kasus normatif, tetapi lebih dari itu merupakan

kasus manusia.48

Dalam kaitannya antara penelitian yang penulis lakukan dengan teori

yang dikembangkan Lawrence M.Friedman mengenai teori peranan struktur

yang bersumber dari , unsur struktur, unsur substansi dan unsur budaya

hukum sebagai berikut :

a. Struktur

Menurut Lawrence M.Friedman, struktur dijelaskan sebagai :

To begin with, the legal system has the structure of legal system consist of elements of the kind the number and size of court; their jurisdiction....structure. Also means how the legislative is organized. What procedures he police departement follow, and go on. Structure in a way is a kind of cross section of the legal system. A kind of photograph, with free the action.49

Struktur hukum terdiri dari lembaga hukum untuk menjalankan

perangkat hukum, hukum tidak dapat bekerja atas kekuatannya sendiri

melainkan hukum hanya akan dapat berfungsi/dioperasionalkan melalui

manusia. Inti dari penegakan hukum adalah kesiapan dan kemampuan

lembaga penegak hukum untuk mengoperasionalkan hukum melalui

aparatnya. Aparat penengak hukum adalah yang tergabung dalam

integrated criminal justice system meliputi Kepolisian, Kejaksaan,

48 Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, PT.Suryandaru Utama,

Semarang, 2005, hlm.13 49 Lawwrence M.Friedman, American Law, W.W. Norton and Company, 1984, hlm.7

Page 129: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

114

Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan, termasuk didalamnya

Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).

Hambatan penanggulangan perambahan di TNGC dalam perspektif

Undang-undang nomor 5 tahun 1990, selain kesulitan dalam penerapan

aturan menyangkut delik materil yang memerlukan keahlian khusus bagi

penyidiknya, juga sulit mengaplikasikan karena kualitas dan kapasitas

penegak hukum belum memadai untuk membuktikan terjadinya kejahatan

perambahan. Selama ini untuk melakukan penyidikan perkara kehutanan

selalu berpatokan pada apa yang tertera dalam KUHP dalam dakwaan

primernya, sementara Undang-undang Kehutanan sebagai dakwaan

sekundernya, itupun kami selalu meminta pendapat dari penyidik PPNS,

hal ini dilakukan karena kesulitan memahami undang-undang

kehutanan.50Permasalahan yang terjadi PPNS TNGC sendiri belum

pernah melakukan penyidikan terhadap kasus perambahan hutan

diwilayahnya, hal ini disebabkan kemampuan untuk melakukan

penyidikan yang lemah, kurangnya pengalaman dalam menyidik dan

kurangnya pembinaan bagi PPNS itu sendiri. Seharusnya baik penyidik

Polri maupun PPNS memperoleh kesempatan yang sama dalam

meningkatkan kemampuannya untuk menyidik melalui peningkatan

kualitas sumber daya manusianya. Selain itu sarana prasarana penunjang

pengamanan hutan dilapangan dirasakan masih sangat terbatas.

Ditinjau dari segi kuantitas aparat pengelola Taman Nasional Gunung

Ciremai sekarang ini telah memiliki sumber daya manusia pengelolaan

dengan latar belakang pendidikan beragam, namun dari segi kualitas

masih belum optimal dilihat dari tingkat pengetahun, kemampuan dan

pengalaman dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya secara

efektif dan efisien, utamanya dalam upaya penanggulangan perambahan

dalam kawasan. Aparat yang berpendidikan strata S2 berjumlah lima

orang (tiga orang masih menempuh studi), strata S1 sebanyak 17 orang,

50 Wawancara dengan Briptu Dedi Wahyudin, Unit Tipiter Polres Kuningan, tanggal 10 Januari 2010.

Page 130: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

115

sarjana muda D3 lima orang dan strata SLTA berjumlah 42 orang,

sedangkan SLTP empat orang.51Kondisi demikian belum menjamin

terhadap kualitas sumber daya manusia, ditambah belum semua aparat

pernah mengikuti program pendidikan dan pelatihan baik teknis maupun

manajerial dibidang pengelolaan kawasan konservasi.

Berkaitan dengan penegak hukum di TNGC, sampai saat ini

berdasarkan data statistik kepegawain yang ada jumlah penegak hukum

(Polhut) secara keseluruhan adalah 37 (tiga puluh tujuh) orang dengan

kualifikasi penyidik sebanyak 5 (enam) orang, pembagian tenaga Polhut

untuk wilayah Kabupaten Kuningan sendiri berjumlah 12 (dua belas)

orang sebagaimana dapat dilihat pada tabel 3 diatas dengan kualifikasi

pendidikan maksimal tingkat SLTA, terhadap PPNS yang ada belum

mempunyai pengalaman melakukan penyidikan kasus perambahan di

TNGC, kalaupun ada permasalahan terbatas pada kasus pencurian hasil

hutan yang perkaranya dilimpahkan ke penyidik Polres Kuningan.

Khusus pelaksanaan penyidikan di Polres dilakukan oleh unit Tipiter

(tindak pidana tertentu) dibawah Satreskrim dengan jumlah personil

sangat terbatas 4 (empat) orang yang menangani tidak hanya perkara-

perkara dari TNGC saja.

Tenaga PPNS yang dimiliki Taman Nasional Gunung Ciremai saat ini

berjumlah 5 orang, dengan segala keterbatasannya belum maksimal

dalam melakukan penyidikan kejahatan-kejahatan kehutanan yang terjadi

di Taman Nasional Gunung Ciremai khususnya perambahan dalam

kawasan. Hasil penelusuran penulis melalui wawancara terdapat kendala

yang dihadapi oleh PPNS sebagai berikut :

1. Minimnya pengalaman dalam melakukan penyidikan yang berakibat

tidak berani melaksanakan penyidikan secara tuntas.

51 Sumber Statistik Balai Taman Nasional Gunung Ciremai Jalan Raya Kuningan-Cirebon KM.9 No.1 Telp/Fax (0232) 613152 Kuningan 45554 tahun 2009

Page 131: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

116

2. Lemahnya pengetahuan penyidik PPNS mengenai ilmu penyidikan

yang berakibat keragu-raguan melaksanakan penyidikan.

3. Rendahnya koordinasi yang dilakukan dengan penyidik Polri.

4. Kurangnya pembinaan dari instansi Departermen Kehutanan dan

Korwas Polri.

Untuk memecahkan kebuntuan tersebut dapat dilakukan dengan

proses magang secara simultan di tingkat Polsek maupun Polres terdekat,

membenahi koordinasi dengan penyidik Polri, penguatan kelembagaan

penyidik di tingkat Balai sebagai alternatif pemberdayaan PPNS dalam

unit kerja sendiri yang mandiri, tentunya dengan menguasai

permasalahan yang terjadi di kawasan dengan dukungan sarana prasarana

yang memadai.

Terhadap pengelola TNGC dan penegak hukum lebih memposisikan

aturan undang-undang sebagai sarana mencari keadilan dan kemanfaatan

bagi masyarakat, dengan adanya upaya-upaya pendekatan melalui

kebijakan pidana dan non pidana. Perwujudan dari upaya tersebut dapat

dilihat pola penerapan kebijakan pengelolaan TNGC yang menekankan

pada aspek peningkatan kemandirian kelembagaan, aspek pembinaan

daya dukung kawasan, aspek pemanfaatan dan pelestarian kawasan,

aspek pemberdayaaan kesejahteraan ekonomi masyarakat dan aspek

perlindungan dan pengamanan kawasan sebagaimana tabel 15 diatas.

b. Substansi

Soetandyo Wignyosoebroto mengemukakan bahwa :

”Formalisasi hukum itu sesungguhnya hanya akan banyak berdaya guna untuk melegitimasi dominasi para elit yang tengah berkuasa. Batas pemisah hukum dan politik sebenarnya tak pernah ada. Hukum bekerja sebagai agenda politik atau setidak-tidaknya bekerja dengan menyembunyikan banyak agenda politik. Adalah kenyataan bahwasanya hukum dalam praktek itu, baik tatkala masih dalam tahap penerapannya sebagai hukum in concreto, selalu saja merupakan hasil proses yang amat sarat dengan muatan motif-motif politik yang tersembunyi”.52

52 Soetandyo Wignyosoberoto dikutip dalam Hartiwiningsih, Faktor-faktor yang

Mempengaruhi Penegakan Hukum Pidana Lingkungan. Sebelas Maret University Press. Surakarta. 2006. hlm.3

Page 132: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

117

Oleh karenanya hukum dalam bentuk peraturan adalah perwujudan

dari kebijakan publik penguasa dan kebijakan itu tidak dapat dilepaskan

dari isu-isu dan lingkungan politik. Dalam pengertian pembuat undang-

undang yang pada dasarnya akan menghasilkan norma yang berisikan

petunjuk-petunjuk tingkah laku yang merupakan pencerminan dari

kehendak manusia tentang bagaimana masyarakat itu dibina dan kearah

mana masyarakat itu diarahkan. Sehingga hukum itu harus mengandung

ide-ide yang dipilih oleh masyarakat tempat hukum itu diciptakan yang

muaranya adalah merupakan ide tentang keadilan. Dengan demikian

supaya peraturan itu bisa berlaku maka dalam pembuatan undang-undang

dituntut untuk dapat meramu dunia yang ideal dengan dunia kenyataan,

supaya peraturan yang dibuatnya tersebut selain memberikan kepastian

hukum juga memberikan keadilan dengan memperhatikan kebutuhan dan

kepentingan-kepentingan anggota masyarakat serta memberikan

pelayanan kepadanya.

Jonas Ebbesson mengatakan :53 “The notion of the rule of law implies constraints on the power of government (Raz, 1977; Dworkin, 1986) and is conventionally understood as ensuring legal certainty and predictability, so as to make it possible for members of the public to know and predict what is permitted, ordered and prohibited. To simplify, sanctions and restrictions should not be imposed on members of the public without due political procedures and publicity to reveal what is permitted and what is not. In constitutional terms, the rule of law means that the governing power is also subject to law, i.e. to legal constraints, requirements and sanctions. Ideally, one may argue, legal certainty is one important factor of many to provide for trust in government and also for the possibility for individuals to plan their lives without unexpected interference from public authorities or other members of the public.

Yet, government through the rule of law says very little, if anything, about the content of the law (Raz, 1977); whether it promotes or blocks sustainable utilisation of resources, whether it is discriminatory, or whether it provides adequate flexibility and participatory structures for decision-making or limits the means for effective management of common-pool resources”.

53 Jonas Ebbesson, The Rule Of Law In Governance Of Complex Socio-Ecological Change

Global Environmental Change, In Press, Corrected Proof, Available online 8 January 2010. Page.2

Page 133: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

118

(Pengertian tentang aturan hukum menyiratkan kendala pada kekuatan pemerintah (Raz, 1977; Dworkin, 1986) dan konvensional dipahami sebagai menjamin kepastian hukum dan prediktabilitas, sehingga memungkinkan anggota masyarakat untuk mengetahui dan memprediksi apa yang diperkenankan, memerintahkan dan dilarang. Untuk menyederhanakan, sanksi dan pembatasan tidak boleh dikenakan pada anggota masyarakat tanpa prosedur politik jatuh tempo dan publisitas untuk mengungkapkan apa yang diperkenankan dan apa yang tidak. Secara konstitusional, aturan hukum berarti bahwa kekuasaan pemerintahan juga tunduk pada hukum, yaitu hukum kendala, persyaratan dan sanksi. Idealnya, orang dapat berdebat, kepastian hukum adalah salah satu faktor penting dari sekian banyak untuk menyediakan atas kepercayaan dalam pemerintahan dan juga untuk kemungkinan bagi individu untuk merencanakan mereka hidup tanpa gangguan yang tak terduga dari otoritas publik atau anggota masyarakat.

Namun, pemerintah melalui aturan hukum mengatakan sangat sedikit, tentang isi hukum (Raz, 1977); apakah mempromosikan atau blok pemanfaatan berkelanjutan sumber daya, diskriminatif, atau apakah ia menyediakan fleksibilitas yang memadai dan partisipatif struktur untuk pembuatan keputusan atau batas berarti untuk pengelolaan sumber daya bersama secara efektif).

Menurut Arief Budiman dalam Pramudya54 Pada zaman orde baru

hukum diharuskan mengabdi kepada kepentingan pembangunan,

sedangkan dimasa reformasi sekarang ini dimana sistim politik lebih

demokratis, paradigma hukum didasarkan pada hukum untuk

kepentingan masyarakat, tapi dalam kenyataannya hukum dimanfaatkan

untuk kepentingan kelompok-kelompok yang punya akses pada

kekuasaan, baik kelompok politik maupun kelompok-kelompok bisnis.

1) Substansi Perambahan di Taman Nasional Dalam Perspektif Undang-

undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya

Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Berbicara konfigurasi politik hukum mengenai Undang-undang

Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati

dan Ekosistemnya tidak bisa dilepaskan dari sejarah pembetukannya

yang menganut paradigma pembangunan berbasis negara (state

based development) hal ini diperparah dengan kebijakan hukumnya

54 Pramudya, Hukum Itu Kepentingan. Sanggar Mitra Sabda, Salatiga. 2007. Hlm. xiv

Page 134: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

119

yang represif. Corak kebijakan hukum yang sentralistik seperti ini

tidak memberikan ruang secara proposional bagi masyarakat untuk

berpartisipasi dalam pengelolaan hutan. Konfigurasi politik melalui

parlemen telah menjadi kendaraan yang kuat bagi pemerintah pada

waktu itu untuk menggolkan rancangan undang-undang yang

dikendaki oleh pemerintah untuk diberlakukan di masyarakat.

Berkaitan dengan hal tersebut beberapa pakar hukum

lingkungan mengusulkan ke DPR untuk mengkaji ulang atau

merevisi Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 karena mempunyai

kelemahan-kelemahan yang substansial terutama dalam pengaturan

hal-hal sebagai berikut55 :

1. Peran pemerintah yang masih mendominasi penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam (state based resource management).

2. Keterpaduan dan koordinasi antar sektor dalam pengelolaan sumber daya alam (integrated resource management) yang masih lemah.

3. Hak-hak masyarakat adat atas penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam (indingenous property rights) yang belum diakui secara utuh.

4. Partisipasi masyarakat (public participation) dalam pengelolaan sumber daya alam yang masih terbatas.

5. Transparasnsi dan demokratisasi dalam proses pengambilan keputusan (transparancy and democratization in the process of decesion making) yang belum diatur secara utuh.

6. Akuntabilitas pemerintah kepada publik dalam pengelolaan sumber daya alam (public accountability) yang belum diatur secara tegas.

Berpijak pada pemahaman tersebut diatas terlihat pada upaya

penerapan Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi

Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya terhadap masyarakat

yang melakukan perambahan hutan di kawasan Taman Nasional

Gunung Ciremai dihadapkan kepada posisi yang sulit walaupun di

55 Sudarto.P.Hadi, Dimensi Hukum Pembangunan Berkelanjutan: Kumpulan Fakta dan

Pemikiran, BP UNDIP, Semarang, 2002.hlm.3-4

Page 135: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

120

dalam Pasal-pasalnya formulasi perambahan disebutkan

sebagaimana berikut :

Pasal 33 ayat (1) :

Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional. Pasal 33 ayat (2) : Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam.

Dalam penjelasan Pasal 32 Undang-undang ini disebutkan :

a) Yang dimaksud dengan zona inti adalah bagian kawasan taman nasional yang mutlak dilindungi dan tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktivitas manusia.

b) Yang dimaksud dengan zona pemanfaatan adalah bagian dari kawasan taman nasional yang dijadikan pusat rekreasi dan kunjungan wisata.

c) Yang dimaksud dengan zona lain adalah zona di luar kedua zona tersebut karena fungsi dan kondisinya ditetapkan sebagai zona tertentu seperti zona rimba, zona pemanfaatan tradisional, zona rehabilitasi dan sebagainya.

Pelanggaran terhadap Pasal 33 ayat (1) : - Untuk delik dolus terhadap pelanggaran Pasal 33 ayat (1) diancam

dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

- Untuk delik culpa terhadap pelanggaran Pasal 33 ayat (1) diancam dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pelanggaran terhadap Pasal 33 ayat (3) : - Untuk delik dolus terhadap pelanggaran Pasal 33 ayat (3) diancam

dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

- Untuk delik culpa terhadap pelanggaran Pasal 33 ayat (3) diancam dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

Dari perumusan pidananya Undang-undang Nomor 5 tahun

1990 menganut sistem perumusan kumulatif, sedangkan tindak

pidana yang dikategorikan sebagai dolus adalah kejahatan dan tindak

Page 136: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

121

pidana yang dalam kategori culpa adalah pelanggaran. Ada beberapa

hal penting yang perlu mendapat perhatian sebagai berikut :

1. Perumusan perbuatan pidana seperti yang tercantum di dalam

Pasal 33 Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 menunjukkan

subyek pelaku perbuatan pidana adalah orang, sedangkan

pertanggungjawaban pidana bertolak dari asas kesalahan

(culpabilitas) yang dinyatakan dalam unsur subjektif berupa

kesengajaan dan kelalaian serta kualifikasi delik berupa kejahatan

dan pelanggaran. Jeni sanksi pidana berupa sanksi pidana pokok

yaitu pidana penjara, kurungan dan denda dengan sistem

kumulatif.

2. Tidak diatur formulasi perbuatan pidana pertanggungjawaban dan

sanksi pidana secara khusus tentang “perambahan hutan”. Dalam

Pasal 33 ayat (1) disebutkan setiap orang dilarang melakukan

kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan

zona inti taman nasional. Pada ayat (2) disebutkan Setiap orang

dilarang melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi

zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan

raya, dan taman wisata alam. Terhadap perambahan yang

dilakukan dalam kawasan taman nasional yang belum mempunyai

zonasi perlu perlindungan hukum berupa peraturan perundang-

undangan. Formulasi ini direkomendasikan banyaknya penujukan

kawasan konservasi berupa taman nasional baru namun belum

diikuti dengan pembentukan zonasi pengelolaannya.

3. Untuk menerapkan ketentuan pasal 33 Undang-undang nomor 5

tahun 1990 tersebut membutuhkan keahlian dan pengetahuan

penyidik tidak hanya terbatas pada bidang hukum pidana, akan

tetapi memerlukan juga ilmu biologi, geologi, klimatologi, dan

fisika yang dapat menjelaskan hilangnya fungsi kawasan taman

nasional berdasarkan indikator-indikator tertentu.

Page 137: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

122

Berikut dibahas lebih lanjut mengenai Undang-undang

Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam

Hayati dan Ekosistemnya berkaitan dengan keberadaan

perambahan di kawasan TNGC. Undang-undang ini merupakan

turunan dari Undang-Undang Nomor 4 tahun 1982 tentang

Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup yang

telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997

tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan terakhir telah diganti

dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Menurut pasal

4: Konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya

merupakan tanggung jawab dan kewajiban pemerintah serta

masyarakat. Hal ini dilaksanakan seperti pada pasal 5:

Konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan

melalui kegiatan:

a. perlindungan sistem penyangga kehidupan;

b. pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa

beserta ekosistemnya;

c. pemanfaatan secara lestari sumberdaya alami hayati dan

ekosistemnya

Perlindungan sistem penyangga kehidupan bertujuan agar

terpeliharanya proses ekologi yang menunjang kelangsungan

kehidupan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan

mutu kehidupan manusia. Oleh karena itu, disebutkan pada pasal

9 ayat (1): Setiap pemegang hak atas tanah dan hak pengusahaan

di perairan dalam wilayah sistem penyangga kehidupan wajib

menjaga kelangsungan fungsi perlindungan wilayah tersebut.

Pasal 12 menyebutkan: Pengawetan keanekaragaman

tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya dilaksanakan dengan

menjaga keutuhan kawasan suaka alam agar tetap dalam keadaan

asli. Hal ini dilaksanakan seperti pada pasal 13 ayat (1):

Page 138: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

123

Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa dilaksanakan di dalam dan

di luar kawasan suaka alam.

Sedangkan pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam

hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan seperti pada

pasal 26:

a. pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam.

b. pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar.

Hal ini dilakukan seperti pada pasal 27: Pemanfaatan kondisi

lingkungan kawasan pelestarian alam dilakukan dengan tetap

menjaga kelestarian fungsi kawasan dan pasal 28: Pemanfaatan

jenis tumbuhan dan satwa liar dilakukan dengan memperhatikan

kelangsungan potensi, daya dukung dan keanekaragaman jenis

tumbuhan dan satwa liar.

Kawasan konservasi yang memiliki fungsi strategis harus

dilindungi, terdiri atas kawasan suaka alam (cagar alam dan suaka

margasatwa) dan kawasan pelestarian alam yang menurut pasal

29:

(1) Kawasan pelestarian alam sebagaimana dimaksud dalam

pasal 1 angka 13 terdiri dari:

a. taman nasional;

b.taman hutan raya;

c. taman wisata alam;

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan suatu wilayah

sebagai kawasan pelestarian alam dan penetapan wilayah

yang berbatasan dengannya sebagai daerah penyangga diatur

dengan Peraturan Pemerintah

Pasal 31 menyebutkan:

(1) Di dalam taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata

alam dapat dilakukan kegiatan kepentingan penelitian, ilmu

pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya dan

wisata alam

Page 139: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

124

(2) Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus

dilakukan tanpa mengurangi fungsi pokok masing-masing

kawasan

Pasal di atas terlihat, bahwa pemanfaatan kawasan konservasi

untuk hal lain sangat terbatas karena pemanfaatan yang

dibolehkan hanya pemanfaatan kondisi lingkungan, seperti

kegiatan wisata alam dan sebagainya serta tidak boleh

mengurangi fungsi pokok masing-masing kawasan. Padahal

pemanfaatan yang ada saat ini di Taman Nasional Gunung

Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat lebih banyak

berbasis lahan dan penentuan zona-zona belum ditetapkan. Oleh

karena itu, perlu pengaturan pemanfaatan berbasis lahan yang

sudah ada saat ini dan secara bertahap mengarahkan pada

pemanfaatan berbasis non lahan dan pemanfaatan jasa

lingkungan. Di samping itu, juga perlu dibangun mekanisme

untuk menentukan zona-zona dalam kawasan konservasi secara

partisipatif agar meminimalkan resiko konflik kepentingan dan

menjamin kelestarian pengelolaan kawasan konservasi.

Zonasi pada taman nasional disebutkan pada pasal 32:

Kawasan taman nasional dikelola dengan sistem zonasi yang

terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan dan zona lain sesuai

dengan keperluan. Zona inti ialah kawasan taman nasional yang

mutlak dilindungi dan tidak diperbolehkan adanya perubahan

apapun oleh aktivitas manusia. Zona pemanfaatan ialah bagian

dari kawasan taman nasional yang dijadikan pusat rekreasi dan

kunjungan wisata. Sedangkan zona lain ialah zona di luar kedua

zona di atas karena fungsi dan kondisinya ditetapkan sebagai zona

tertentu, seperti zona rimba, zona pemanfaatan tradisional, zona

rehabilitasi dan sebagainya.

Pasal 33 Undang-Undang ini menyatakan:

Page 140: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

125

(1) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat

mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman

nasional.

(2) Perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional,

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi mengurangi,

menghilangkan fungsi dan luas zona inti taman nasional serta

menambahkan jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli

(3) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang tidak sesuai

dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman

nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam.

Hal ini berarti, bahwa pemanfaatan kawasan konservasi

sangat terbatas dan zona inti taman nasional tidak mungkin

dimanfaatkan selain untuk kepentingan konservasi. Namun, pada

kenyataannya sudah ada pemanfaatan dalam Taman Nasional

Gunung Ciremai yang mungkin saja pada zona inti karena zonasi

belum ada serta peraturan yang mengatur pengelolaan kawasan

konservasi saat ini belum mampu mengakomodasi berbagai

kepentingan yang berkembang di berbagai bidang. Oleh karena

itu, perlu dilakukan zonasi dalam Taman Nasional Gunung

Ciremai berdasarkan kondisi aktual dan potensi masyarakat agar

tidak mengancam kelestarian taman nasional. Selain itu

diperlukan juga kebijakan baru yang mengatur pengelolaan

kawasan konservasi, sehingga dapat mengakomodasi

kepentingan-kepentingan yang ada dan adaptif terhadap

perubahan yang terjadi di dalam maupun di luar kawasan yang

efeknya mempengaruhi pengelolaan kawasan konservasi.

Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi

Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya pada pasal 34 ayat

(1): Pengelolaan taman nasional, taman hutan raya dan taman

wisata alam dilaksanakan oleh pemerintah. Pemerintah di sini

diartikan menteri yang berwenang dalam bidang kehutanan

Page 141: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

126

(Departemen Kehutanan). Namun, karena kompleksitas

permasalahan dan konflik yang ada serta keterbatasan

sumberdaya (manusia, biaya dan sebagainya), sistem single

player rasanya tidak memadai lagi. Oleh karena itu, perlu ada

ruang untuk kolaborasi antar pihak dalam pengelolaan kawasan

konservasi, seperti Peraturan Menteri Kehutanan Nomor

P.19/Menhut-II/2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan

Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Namun, perlu

operasionalisasi dan perbaikan dari Peraturan Menteri Kehutanan

ini.

Pada pasal 34 ayat (2): Di dalam zona pemanfaatan taman

nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam dapat dibangun

sarana kepariwisataan berdasarkan rencana pengelolaan.

Pembangunan sarana pariwisata ini dapat melibatkan masyarakat,

namun pada Taman Nasional Gunung Ciremai belum mempunyai

rencana pengelolaan, sehingga arah pengembangannya belum

jelas. Oleh karena itu, perlu segera disusun Rencana Pengelolaan

Taman Nasional Gunung Ciremai yang berisi visi dan misi serta

arahan pengembangannya, dimana penyusunan rencana ini

dilakukan secara partisipatif.

Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Konservasi ini

menyatakan: Untuk kegiatan kepariwisataan dan rekreasi,

pemerintah dapat memberikan hak pengusahaan atas zona

pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata

alam dengan mengikutsertakan rakyat. Meskipun sudah terdapat

beberapa peraturan yang mengatur pemanfaatan kawasan

konservasi untuk pengusahaan pariwisata alam, namun zona-zona

di TNGC belum dibentuk sehingga keikutsertaan masyarakat

belum bisa di akomodir.

Page 142: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

127

Undang-Undang ini secara substansial hanya memberi ruang

yang sempit bagi peran serta masyarakat seperti disebutkan pada

pasal 37:

(1) Peran serta rakyat dalam konservasi sumberdaya alam hayati

dan ekosistemnya diarahkan dan digerakkan oleh pemerintah

melalui berbagai kegiatan yang berdaya guna dan berhasil

guna

(2) Dalam mengembangkan peran serta rakyat sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1), pemerintah menumbuhkan dan

meningkatkan sadar konservasi sumberdaya alam hayati dan

ekosistemnya di kalangan rakyat melalui pendidikan dan

penyuluhan

(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah

Rakyat yang dimaksud di atas ialah perorangan dan

kelompok masyarakat, baik yang terorganisasi, seperti LSM dan

sebagainya maupun tidak.

Penegakan hukum terhadap tindak pidana perambahan hutan

di kawasan TNGC menggunakan pasal-pasal dalam Undang-

undang Nomor 5 tahun 1990 tersebut oleh penegak hukum sendiri

dipertanyakan eksistensinya karena dinilai mepunyai kelemahan

sehingga sulit diimplementasikan secara maksimal untuk

memanggulangi pelaku pemanfaat lahan di TNGC. Undang-

undang tersebut mengandung kekurangan dari segi substansial

karena pelaku pemanfaat lahan yang sudah lama sebelum adannya

TNGC perlu mendapatkan perlindungan khusus, dengan melihat

pelanggaran yang dilakukan tidak dapat dipandang sebagai

permasalahan individu belaka, tetapi merupakan masalah

ekonomi berupa hausnya masyarakat akan lahan garapan.

Sikap keberatan terhadap pemberlakuan undang-undang

Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya

Page 143: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

128

tergambar dalam jawaban responden dari kalangan masyarakat

biasa untuk lebih mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat

dan bukan kepastian hukum semata. Dengan melihat kenyataan

bahwa proses perambahan yang dilakukan dalam kawasan saat ini

tidak hanya masalah hukum belaka, tetapi merupakan terkait

sebagai problem sosial ekonomi masyarakat.

2) Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 424/Menhut-II/2004 tentang Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Lindung pada Kelompok Hutan Gunung Ciremai Seluas ± 15.500 (Lima Belas Ribu Lima Ratus) terletak di Kabupaten Kuningan dan Majalengka, Propinsi Jawa Barat menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai.

Proses penunjukan kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai

diantaranya didasarkan kepada Undang-undang nomor 41 tahun

1999 tentang Kehutanan pada Pasal 19 yang mengatakan :

(1) Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh Pemerintah dengan didasarkan pada hasil penelitian terpadu.

(2) Perubahan peruntukan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis, ditetapkan oleh Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

Sedangkan dalam Keputusan Menteri Kehutanan nomor: 70/Kpts-

II/2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan, Perubahan Status dan

Fungsi Kawasan Hutan Pasal 9 menyebutkan :

(1) Perubahan status kawasan hutan ditetapkan dengan Keputusan Menteri dilampiri peta dengan skala minimal 1 : 100.000.

(2) Perubahan status kawasan hutan dilakukan dengan cara : a. Pelepasan kawasan Hutan Produksi yang dapat dikonversi

(HPK) b. Tukar menukar kawasan hutan. Dalam Pasal 16 Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor :

SK.48/Menhut-II/2004 tentang Perubahan Keputuan Menteri

Kehutanan nomor: 70/Kpts-II/2001 tentang Penetapan Kawasan

Hutan, Perubahan Status dan Fungsi Kawasan Hutan dinyatakan :

Tukar menukar kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) butir b dilakukan melalui proses: 1. Permohonan tukar menukar kawasan hutan yang diajukan kepada

Menteri dilampiri: a. Peta dengan skala minimal 1 : 100.000.

Page 144: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

129

b. Rekomendasi Gubernur atau Bupati/Walikota dilampiri peta dengan skala minimal 1 : 100.000.

c. Peta usulan tanah pengganti dengan skala minimal 1 : 100.000. 2. Atas permohonan tukar menukar kawasan hutan, Eselon I terkait

lingkup Departemen Kehutanan menyampaikan saran/pertimbangan teknis kepada Menteri dengan dilampiri peta skala minimal 1 : 100.000.

3. Penelitian Tim Terpadu terhadap kawasan hutan yang dimohon dan usulan tanah pengganti.

4. Atas dasar saran/pertimbangan teknis butir 2 atau hasil penelitian terpadu butir 3, Menteri memberikan penolakan atau persetujuan permohonan tukar menukar kawasan hutan dan usulan tanah pengganti.

5. Apabila permohonan disetujui, dilakukan penyelesaian "clear and clean" tanah pengganti yang diusulkan.

6. Pembuatan berita acara tukar menukar kawasan hutan. 7. Penunjukan tanah pengganti sebagai kawasan hutan dengan

keputusan Menteri Kehutanan. 8. Pelaksanaan tata batas oleh Panitia Tata Batas (PTB) terhadap

kawasan hutan yang akan dilepas maupun tanah pengganti dan dibuat serta ditandatangani Berita Acara Tata Batas (BATB) dan Peta Tata Batas.

9. Berdasarkan BATB dan Peta Tata Batas kawasan hutan yang telah dilakukan penelahaan hukum dan teknis oleh Eselon I terkait lingkup Departemen Kehutanan, Badan Planologi menyiapkan konsep Keputusan Menteri beserta peta lampiran skala minimal 1 : 100.000 tentang:

a. Pelepasan kawasan hutan, b. Penetapan batas kawasan hutan yang baru yang berbatasan

dengan kawasan hutan yang dilepas, dan c. Penetapan tanah pengganti sebagai kawasan hutan.

Dari hasil penelusuran dokumen dan wawancara terhadap

penunjukan kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai terlepas dari

kepentingan lainnya ada beberapa tahapan yang dilalui belum sesuai

prosedur sebagaimana mestinya, diantaranya menurut Pasal 18 huruf

(b) SK. Menteri Kehutanan Nomor : SK.48/Menhut-II/2004

Permohonan perubahan fungsi kawasan hutan diajukan kepada

Menteri dilampiri rekomendasi Bupati/Walikota atau Gubernur

untuk yang lintas Kabupaten/Kota. Pada kenyataanya SK.

Penunjukan kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai diterbitkan

tanggal 19 Oktober 2004, lebih dahulu terbit dari Rekomendasi

Page 145: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

130

Gubernur yang baru dikeluarkan tanggal 22 Oktober 2004 melalui

surat nomor : 522/3325/Binprod perihal pengkajian Usulan

Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Gunung Ciremai Menjadi

Kawasan Pelestarian Alam. Beberapa proses identifikasi dan kajian

permasalahan belum diselesaikan secara tuntas, komunikasi dan

sosialisasi untuk membangun persepsi, pengertian, kesepakatan dan

dukungan belum dijalankan secara maksimal.

Dalam perkembangannya dikemudian hari meninggalkan

permasalahan bagi pengelolaan kawasan terhadap banyaknya lahan

perkebunan masyarakat di dalam kawasan, tercatat terdapat

penggarapan lahan seluas 2.246.62 ha dengan jumlah penggarap

2.949 KK di Kabupaten Kuningan.56 Seharusnya pembuat keputusan

dengan melihat situasi dan kondisi yang ada mempertimbangkan

perbuatan yang dulunya bukan kejahatan akan menjadi perbuatan

kriminal sebagaimana delik formil yang termuat dalam Pasal 33 ayat

(1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990.

3) Surat Dirjen PHKA Nomor : S. 56/IV-KK/2005 tanggal 26 Januari 2005 perihal Tindak Lanjut Taman Nasional Gunung Ciremai.

Pada point (e) surat ini dikatakan program PHBM yang

mempertimbangkan aspek ekologis, aspek konservasi, sosial ekonomi

dan perlindungan terhadap kawasan dari perusakan, yang selama ini

telah dilaksanakan dan relevan dengan fungsi kawasan gunung

ciremai sebagai taman nasional tetap dapat dilanjutkan. Implementasi

dilapangan terjadi perusakan ekologi yang cukup besar, kegiatan

pembukaan lahan dilakukan pada kemiringan yang mengkhawatirkan.

Menurut Ir. Kurung MM (Kepala Balai Taman Nasional gunung

Ciremia); kondisi kelestarian kawasan TNGC sudah sangat

56 Sumber : Rekapitulasi data dari Dokumen Penyerahan Berkas Progres PHBM Bagian

Hutan Gunung Ciremai, BKPH Linggarjati, KPH Kuningan Jawa Barat tahun 2005.

Page 146: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

131

mengkhawatirkan akibat penggunaan kawasan TNGC oleh

masyarakat sekitar untuk pertanian tanaman sayuran seperti kubis,

wortel, kentang dan lain-lain. Serta tanaman perkebunan seperti

pisang dan kopi. Berdasarkan data dan informasi yang diperoleh dari

berbagai hasil investigasi diperkirakan bahwa luas kawasan yang

digunakan untuk lahan pertanian tersebut seluas ± 6.500 ha (43% dari

luas kawasan TNGC). Kegiatan pertanian ini bahkan dilakukan pada

lereng-lereng bukit di kemiringan lebih dari 45º sampai pada

ketinggian ± 2000 Mdpl. Kondisi kelestarian kawasan TNGC yang

sudah sangat mengkhawatirkan tersebut akan sangat mengganggu dan

bahkan dapat menghilangkan fungsi dan manfaat TNGC sebagai :

a. Kawasan penyangga sistem kehidupan khususnya sebagai sumber

air minum dan pertanian bagi masyarakat di daerah

CIAYUMAJAKUNING, pencegah erosi, lonsor dan banjir.

b. Kawasan untuk pengawetan flora, fauna dan ekosistemnya.

c. Kawasan yang dapat dimanfaatkan secara lestari untuk ekowisata

dan jasa lingkungan.

d. Kawasan penyerap karbon yang dapat mengurangi efek pemanasan

global serta fungsi lainnya.57

Dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi

Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya Pasal 1 ayat 14

disebutkan :

Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mepunyai

ekosistem asli dikelola dengan sistem zonasi dan dimanfaatkan untuk

tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang

budidaya, pariwisata dan rekreasi.

Dari definisi pasal tersebut yang boleh dilakukan di dalam

kawasan TNGC adalah kegiatan berupa penelitian, ilmu pengetahuan,

pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi diluar dari 57 Arsip Surat Balai TNGC Nomor : S.543/BTNGC/2009 tanggal 29 Oktober 2009 perihal Pemohonan Bantuan dan Dukungan Penertiban Penggunaan Kawasan TNGC sebagai Pertanian Oleh Masyarakat.

Page 147: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

132

kegiatan perkebunan dan pertanian. Sedangkan Pasal 1 ayat 13

Undang-undang tersebut menyatakan “Kawasan pelestarian alam

adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di

perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga

kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa,

serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan

ekosistemnya”. Diluar dari fungsi tersebut undang-undang ini tidak

mengatur.

c. Budaya Hukum

Budaya hukum merupakan salah satu yang mempengaruhi kekuatan-

kekuatan sosial bekerjanya hukum dalam masyarakat yang dapat

dibedakan menjadi budaya hukum internal, yaitu budaya hukum orang-

orang yang bertugas untuk menegakkan hukum.

Dalam rangka mewujudkan penegak hukum yang profesional yang

bisa mewujudkan rasa keadilan sesuai undang-undang dan keadilan

masyarakat dalam kaitannya penyidikan yang dilakukan oleh Polri dan

PPNS maka seorang penyidik harus mempunyai intelektualitas dan

pengetahuan hukum yang tinggi, punya hati nurani yang bisa menilai

suatu permasalahan seobyek mungkin dan punya sikap profesionalisme

dalam menangani suatu perkara. Hal tersebut dipengaruhi juga oleh latar

belakang, pendidikan, latihan jabatan, kondisi lingkungan, dan

organisasinya.

Dari hasil wawancara penulis terhadap responden penegak hukum

terapat dua pandangan yang berbeda, bagi penegak hukum yang idealis

mengatakan bahwa penegakan hukum yang baik adalah diterapkannya

aturan sebagaimana dalam hukum positif berarti penerapan Undang-

undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam

Hayati dan Ekosistemnya secara umum untuk menanggulangi

perambahan dalam kawasan TNGC sudah tepat dan bisa dilaksanakan.

Sedangkan bagi yang berfikir realis adalah bagaimana mewujudkan

Page 148: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

133

kesejahteraan bagi masyarakat tanpa adanya benturan-benturan dengan

aturan yang berlaku. Namun hal tersebut sulit untuk diwujudkan

mengingat keterbatasan pengetahuan aparat penegak hukum dalam

memahami sisi formil dan materil suatu perkara.

Ketidak fahaman aparat penegak hukum memahami sisi materil dan

formil suatu aturan menjadikan salah satu faktor kelemahan penegakan

hukum. Sistim pendidikan Polisi maupun PPNS tidak memberikan

pengajaran yang bersifat aplikatif, seorang penegak hukum yang baru

diangkat mendapat kesulitan dalam membuat BAP karena kurangnya

pengetahuan di pendidikannya, apalagi terhadap penegak hukum yang

belum pernah melakukan penyidikan sama sekali. Bagi PPNS pembinaan

dan pelatihan yang minim berdampak pada keenganan memproses suatu

perkara karena kurangnya pengetahuan yang dimilikinya.

Kemudian moralitas penegak hukum berkaitan dengan faktor mental

pribadi, prilaku dan sikap hidup yang tergambar dari tindakan yang

diambil terhadap permasalahan yang terjadi, penyidik yang mempunyai

latar belakang keluarga mampu berbeda sikapnya dengan penyidik yang

berasal dari keluarga sederhana. Sedangkan faktor diluar internal diatas

yang paling berpengaruh adalah kesejahteraan yang diterima oleh

masing-masing penyidik dirasa belum mencukupi. Kesejahteran bagi

PPNS yang hanya mengandalkan gaji menjadi kendala manakala disatu

sisi Negara dan masyarakat menghendaki performa penyidik yang

sempurna meliputi tempat dimana tinggal, berpenampilan yang layak dan

akomodasi yang dimiliki dan kebutuhan yang memiliki biaya tinggi,

sehingga berpengaruh terhadap pribadinya dalam penanganan suatu

perkara.

Selain itu faktor kedekatan (lingkungan) antara penegak hukum

dengan pelaku perambahan dan perilaku tidak baik yang ditunjukkan

petugas selama ini turut serta pula mengakibatkan lemahnya upaya

penegakan hukum.

Page 149: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

134

Budaya hukum eksternal adalah budaya hukum masyarakat pada

umumnya. Hukum sebagai ”a tool of social engginering” baru berhasil

apabila dipatuhi oleh masyarakat. Dengan kata lain keberhasilan suatu

aturan bergantung kepada kepatuhan masyarakat. Jadi dalam konteks ini

kepatuhan si adressat memegang peranan penentu. Untuk itu berlakunya

suatu norma harus selalu didukung oleh mekanisme yang baik yang

dimotori oleh aparat-aparat penegak hukumnya. Begitupun dalam ”law

enforcement” hukum akan lumpuh sebelum berjalan apabila tak

diimbangi oleh mekanisme yang memadai, ia hanya akan merupakan

lambang-lambang mati belaka apabila tidak dikaitkan dengan manusia-

manusia pelaksananya.58

Berkaitan dengan penegakan hukum ada adagium ”fiat jutitia et

pareat mundus” (meskipun dunia runtuh hukum harus ditegakkan).

Adagium tersebut memberikan gambaran bahwa selain hukum harus

ditegakkan juga akan memberikan kepastian hukum, kemanfaatan dan

keadilan bagi pencari keadilan. Karena kepastian hukum, keadilan dan

kemanfaatan tidak hanya akan memberikan perlindungan bagi pencari

keadilan tetapi juga akan dapat menciptakan ketertiban dalam

masyarakat. Ketiga nilai dasar tersebut perlu mendapat perhatian serius

dari pelaksana hukum.

Masyarakat berkeinginan sepanjang Undang-undang Nomor 5 tahun

1990 memberikan keuntungan dan keberpihakan baginya tentunya hal

itulah yang diinginkannya, namun bagi pihak TNGC tentunya undang-

undang tersebut berlaku dan dapat ditegakkan sesuai aturan yang terdapat

didalamnya. Hal yang menarik dari hasil wawancara dengan masyarakat

mereka bersedia meninggalkan perambahan yang telah dilakukannya

mereka.

Sehubungan dengan ditunjuknya kawasan hutan Gunung Ciremai

menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai melalui SK.Menhut nomor :

58Satjipto Rahardjo, Hukum, Masyarakat dan Pembangunan, Alumni, Bandung, 1980, hlm.

hlm.117

Page 150: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

135

424/Kpts-II/2004 tanggal 19 Oktober 2004, masyarakat sekitar kawasan

khususnya pelaku perambahan di Kabupaten Kuningan telah

mengetahuinya, hal ini dapat dilihat pada tabel 14 di atas dapat diketahui,

bahwa sebagian besar para perambah (90%) mengetahui kegiatan

pengolahan lahan perkebunan dan pertanian yang mereka lakukan dalam

kawasan TNGC dilarang, namun demikian mereka masih tetap bertahan

mengolah dalam kawasan. Dari wawancara yang dilakukan dengan

masyarakat yang mengolah lahan dalam kawasan didapat keterangan

bahwa; walaupun sudah tahu kegiatan yang dilakukan dalam kawasan

taman nasional dilarang menurut undang-undang namun mereka tidak

mempunyai alternatif lain dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi

keluarga dan bersedia meninggalkan lahan garapannya asalkan

pemerintah dapat memikirkan solusi pekerjaan untuk memenuhi

kebutuhan keluarga sehari-hari, dengan harapan mendapatkan bantuan

usaha dan program pemberdayaan bagi masyarakat. Sehingga dapat di

tarik suatu benang merah faktor eksternal budaya hukum masyarakat

dipengaruhi oleh :

1) Tidak berdayanya upaya penegakan hukum terhadap pelaku

masyarakat yang merambah.

2) Pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga dalam kawasan TNGC yang

telah dilakukan dalam waktu yang lama.

3) Budaya masyarakat sekitar kawasan yang paternalistik.

2. Upaya Penanggulangan Perambahan di Kawasan Taman Nasional

Gunung Ciremai

Setiono sebagaimana dikutip di atas mengemukakan bahwa tujuan

hukum adalah untuk mencapai kedamaian, sedangkan tugas hukum adalah

ketertiban dan kedamaian. Ketiganya pada akhirnya menuju pada satu arah

hukum yang berdaya guna dan berhasil guna demi terciptanya kesejahteraan

masyarakat. Upaya mewujudkan hukum seperti itu bukanlah suatu hal yang

mudah, karena sudah disuarakan sejak lama bahwa hukum tidak berdiri di

Page 151: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

136

ruang hampa yang dapat dengan mudahnya mengenyampingkan faktor-

faktor lain seperti sosial, ekonomi, budaya, politik, bahkan penegak hukum

sendiri sebagai pelaksana dan masyarakat sebagai pemegang peran.

Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya

merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social

defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare).

Dalam kaitannya ini penulis melakukan penelitian sesuai dengan skema

yang dikembangkan oleh G. Peter Hoefnagels sebagai berikut :

Gambar 8.

(Ruang Lingkup “Criminal Policy” G.Peter Hoefnagels)

Dari uraian dan skema diatas terlihat bahwa upaya penanggulangan

kejahatan ditempuh dengan pendekatan kebijakan dalam arti :

1) Penerapan hukum pidana (criminal law policy).

2) Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment).

3) Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan

pemidanaan lewait mass media (influencing view of society on crime

and punishment (mass media).59

Upaya penanggulangan perambahan yang terjadi di TNGC khususnya

di Kabupaten Kuningan penulis menelaah berdasarkan pemikiran yang

dikemukakan oleh G. Peter Hoefnagel, bahwa upaya penanggulangan

59 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Penerbit Citra Aditya Bakti,

Bandung, 1996, hlm.39-40

Social Policy Criminal Policy

Law Enforcement Policy

influencing view of society on crime and punishment

(mass media)

Prevetion without punishment)

Crime law application (practical criminology)

Page 152: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

137

kejahatan harus dilakukan melalui pendekatan integral antara upaya penal

dan non penal.

a. Upaya Penanggulangan Perambahan di Kawasan TNGC Dengan

Sarana Pidana (Penal Policy)

Upaya penangulangan perambahan di kawasan TNGC setidaknya

ada dua masalah sentral yang ditentukan dalam menggunakan sarana

penal (hukum pidana) :

a) Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan

b) Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si

pelanggar.

Penganalisaan terhadap dua masalah sentral ini menurut Muladi dan

Barda Nawawi Arief, tidak dapat dilepaskan dari konsepsi bahwa

kebijakan kriminal merupakan bagian integral dari kebijakan sosial. Ini

berarti pemecahan masalah-masalah tersebut diatas harus pula diarahkan

untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dari kebijakan sosial yang telah

ditetapkan. Dengan demikian kebijakan hukum pidana termasuk pula

kebijakan dalam menangani dua masalah sentral diatas harus pula

dilakukan dengan pendekatan yang beroreintasi pada kebijakan (policy

oriented approach).60

Kebijakan penal yang penulis kaji disini apa bila disinergikan

dengan kajian peranan struktur dari Lawrence M.Friedman hanya terbatas

kedalam kelompok komponen substansi hukum (legal substance).

Dari hasil penelitian dan wawancara yang dilakukan penulis dengan

responden dari kalangan penegak hukum kebijakan penal yang dilakukan

oleh pengelola kawasan konservasi bersandar pada criminal justice

system seperti yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1990.

Perbuatan yang dijadikan sebagai tindak pidana dalam perambahan di

kawasan TNGC adalah perbuatan sebagaimana diatur dalam Pasal 33

60 Ibid; hlm.27

Page 153: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

138

ayat (1) dan (2) Undang -undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi

Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya :

Pasal 33 ayat (1) :

Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional. Pasal 33 ayat (2) : Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam.

Dalam penjelasan Pasal 32 Undang-undang ini disebutkan :

d) Yang dimaksud dengan zona inti adalah bagian kawasan taman nasional yang mutlak dilindungi dan tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktivitas manusia.

e) Yang dimaksud dengan zona pemanfaatan adalah bagian dari kawasan taman nasional yang dijadikan pusat rekreasi dan kunjungan wisata.

f) Yang dimaksud dengan zona lain adalah zona di luar kedua zona tersebut karena fungsi dan kondisinya ditetapkan sebagai zona tertentu seperti zona rimba, zona pemanfaatan tradisional, zona rehabilitasi dan sebagainya.

Sanksi yang dikenakan kepada pelaku perambahan hanya dapat

digunakan pidana pokok berupa penjara dan denda karena dalam undang-

unang ini tidak mengenal tindak pidana yang diancam dengan pidana

kurungan. Perumusan tindak pidananya diatur dalam Pasal 40 pada Bab

XII Ketentuan Pidana sebagai berikut :

Pelanggaran terhadap Pasal 33 ayat (1) : - Untuk delik dolus terhadap pelanggaran Pasal 33 ayat (1) diancam

dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

- Untuk delik culpa terhadap pelanggaran Pasal 33 ayat (1) diancam dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pelanggaran terhadap Pasal 33 ayat (3) : - Untuk delik dolus terhadap pelanggaran Pasal 33 ayat (3) diancam

dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

- Untuk delik culpa terhadap pelanggaran Pasal 33 ayat (3) diancam dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

Page 154: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

139

Responden juga memberikan keterangan terhadap jumlah perambah

hutan dalam kawaan hutan yang begitu mencapai 2.949 KK, perlu

strategi khusus dalam penyidikannya. Strategi yang dapat digunakan

terhadap perambah yang jumlahnya banyak dilakukan pemanggilan

kepada beberapa orang (tokoh) kelompok yang tergabung dalam ex

PHBM yang mempunyai pengaruh besar pada para anggota perambah,

sehingga mereka mempunyai keberanian dan tetap bertahan di kawasan

hutan Konservasi. Kepada mereka diminta keterangannya dan diberikan

penjelasan bahwa perbuatannya melawan hukum. Apabila perbuatan

perambahan hutan tetap dilakukan maka kepada pelaku akan

ditingkatkan statusnya sebagai tersangka dan akan diproses lebih lanjut

dalam sistem peradilan pidana.

Responden juga memberikan jawaban sulitnya menjerat pelaku

perambahan selama ini pada dasarnya dipengaruhi banyak faktor yang

diluar masalah hukum itu sendiri seperti para perambah telah lama

berkebun didalam hutan sebelum ditetapkannya kawasan TNGC, keragu-

raguan petugas sendiri dalam melakukan proses hukum terhadap

perambah dan berbagai faktor sosial lainnya. Namun upaya hukum

pidana tetap bisa dilakukan.

Menurut M. Cherif Bassioni dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief

mengatakan:

Kelambanan yang demikian ditambah proses kriminalisasi yang berlangsung terus tanpa didasarkan pada penilaian-penilaian yang teruji dan tanpa suatu evaluasi mengenai pengaruhnya terhadap keseluruhan sistem, mengakibatkan timbulnya : a) Krisis kelebihan kriminalisasi (the crisis of overcriminaliation), dan b) Krisis pelampauan batas dari hukum pidana (the crisis of overreach

of the criminal law). yang pertama banyaknya atau melimpahnya jumlah kejahatan dan perbuatan-perbuatan yang dikriminalisasikan, dan yang kedua mengenai usaha pengendalian perbuatan dengan tidak menggunakan sanksi pidana efektif.61

61 Muladi dan Barda Nawawi Arief. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni.Bandung.

1992. Hlm. 163

Page 155: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

140

Berpijak dari dua pendekatan kebijakan diatas, Sudarto berpendapat

bahwa dalam menghadapi masalah sentral yang pertama diatas yang

sering disebut masalah kriminalisasi, harus diperhatikan hal-hal yang

pada intinya sebagai berikut :62

1) Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional yaitu mewujudkan masyarakat adil makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila; sehubungan dengan ini maka (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.

2) Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan “perbuatan yang tidak dikehendaki”, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil dan atau spiritual) atas warga masyarakat.

3) Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsif “ biaya dan hasil” (cost benefit principle).

4) Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting).

Dikaji dari aspek kebijakan formulasi terhadap perambahan yang

dilakukan di kawasan TNGC sebagaimana dalam Undang-undang nomor

5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan

Ekosistemnya, dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Agar perbuatan perambahan dapat dijatuhkan sanksi pidana maka

perbuatan tersebut harus dirumuskan dalam aturan hukum yang

positif. Hal ini memberi jaminan bagi penegak hukum untuk bekerja

berdasarkan Undang-undang. Tidak diatur formulasi perbuatan pidana

pertanggungjawaban dan sanksi pidana secara khusus tentang

“perambahan hutan”. Selama ini yang dijadikan acuan adalah Pasal

33 ayat (1) disebutkan setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang

dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman

nasional. Pada ayat (2) disebutkan Setiap orang dilarang melakukan

62 Barda Nawawi Arief. Bunga Rampai ………hlm.28

Page 156: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

141

kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona

lain dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam.

2. Formulasi ancaman pidana dan denda yang diatur dalam Undang-

undang nomor 5 tahun 1990 berupa ancaman maksimum, sehingga

tidak menutup kemungkinan penuntutan pidananya oleh Penuntut

umum yang rendah.

3. Dimungkinkan adanya subjek pertanggungjawaban pidana tidak hanya

terbatas pada orang tetapi juga pada badan hukum, perseroan,

perserikatan, yayasan atau organisasi lainnya, sehingga perlu

diantisipasi dalam peraturan perundang-undangan konservasi.

b. Upaya Penanggulangan Perambahan di Kawasan TNGC Dengan

Non Sarana Pidana (Non Penal Policy)

Upaya penanggulangan perambahan menggunakan sarana non penal

dapat meliputi bidang yang sangat luas sekali diseluruh sektor kebijakan

sosial. Tujuan utama dari usaha-usaha non penal itu adalah memperbaiki

kondisi-kondisi sosial tertentu, namun secara tidak langsung mempunyai

pengaruh preventif terhadap kejahatan. Dengan demikian dilihat dari

sudut politik kriminal, keseluruhan kegiatan preventif yang non penal itu

sebenarnya mempunyai kedudukan yang sangat strategis, memegang

posisi kunci yang harus diintensifkan dan diefektifkan. Kegagalan dalam

menggarap posisi strategis ini justru akan berakibat sangat fatal bagi

usaha penanggulangan kejahatan. Menurut Muladi dan Barda Nawawi

Arief :

“Usaha-usaha non penal ini misalnya penyantunan dan pendidikan sosial dalam rangka pengembangan tanggungjawab sosial warga masyarakat, penggarapan kesehatan jiwa masyarakat melalui pendidikan moral, agama dan sebagainya, peningkatan usaha-usaha kesejahteraan anak dan remaja, kegiatan patrol dan pengawasan lainnya secara kontinyu oleh polisi ddan aparat keamanan lainnya dan sebagainya”.63

63 Muladi dan Barda Nawawi Arief. Teori-Teori…op cit. Hlm. 159

Page 157: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

142

Sifat dari penangulangan kejahatan menggunakan sarana non penal

merupakan pencegahan terjadinya kejahatan, sehubungan dengan hal

tersebut Barda Nawawi Arief mengatakan :

“Mengingat upaya penanggulangan kejahatan melalui jalur non penal lebih bersifat tindakan pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya adalah menangani fator-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor kondusif itu antara lain, berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuh suburkan kejahatan”.64

Beberapa Kongres PBB mengenai The Prevention of Crime and the

Treatment of Offenders, dijelaskan :

1. Kongres PBB ke-6 tahun 1980 di Caracas, Veneuela, antara lain

dinyatakan di dalam pertimbangan resolusi mengenai “crime tends

and crime prevention strategies”.

1) Bahwa masalah kejahatan merintangi kemajuan untuk mencapai kualitas lingkungan hidup yang layak/pantas bagi semua orang. (the crime problem impedes progress towards the attainment of an acceptable quality of life for all people).

2) Bahwa strategi pencegahan kejahatan harus didasarkan pada penghapusan sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan kejahatan (crime prevention strategies should be based upon the elimination of causes and conditions giving rise to crime).

3) Bahwa penyebab utama dari kejahatan di banyak Negara ialah ketimpangan sosial, diskriminasi rasial dan diskriminasi nasional, standar hidup yang rendah, pengangguran dan kebutahurufan (kebodohan) diantara golongan besar penduduk (the main causes of crime in many countries are social ineguality, racial and national discrimination, low standar of living, unemployment and illiteracy among broad sections of the population)

2. Kongres PBB ke-7 tahun 1985 di Milan Italia, antara lain ditegaskan

di dalam dokumen A/CONF.121/L/9 (mengenai “Crime prevention in

the context of development”), bahwa upaya penghapusan sebab-sebab

dan kondisi yang menimbulkan kejahatan harus merupakan “strategi

pencegahan kejahatan yang mendasar” (the basic crime prevention

strategies).

64 Barda Nawawi Arief Op cit.,hlm. 40

Page 158: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

143

Demikian pula didalam “Guiding Principles” ditegaskan antara lain,

bahwa :

“Kebijakan-kebijakan mengenai pencegahan kejahatan dan peradilan pidana harus mempertimbangkan sebab-sebab struktural, termasuk sebab-sebab ketidakadilan yang bersifar sosio ekonomi, dimana kejahatan sering hanya merupakan gejala/symptom.” (policies for crime prevention and criminal justice should take into account the structural causes, including socio-economic causes of injustice, of which criminality is often but a symptom).

3. Kongres PBB ke-8 tahun 1990 di Havana, Cuba, antara lain

ditegaskan dalam dokumen A/CONF.144/L.17 (mengenai “social

aspects of crime prevention and criminal justice in the context of

development”.)

Beberapa aspek sosial yang oleh kongres PBB ke-8 diidentifikasikan

sebagai faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan (khususnya

dalam masalah “urban crime”) antara lain disebutkan di dalam

dokumen A/CONF.144/L.3 sebagai berikut :

1) Kemiskinan, pengangguran, kebutahurufan (kebodohan), ketiadaan/kekurangan perumahan yang layak dan sistem pendidikan serta latihan yang tidak cocok/serasi.

2) Meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai prospek (harapan) karena proses integrasi sosial, juga karena memburuknya ketimpangan-ketimpangan sosial.

3) Mengendurnya ikatan sosial dan keluarga. 4) Keadaan/keadaan kondisi yang menyulitkan bagi orang-orang

yang berimigrasi kekota-kota atau ke Negara-negara lain. 5) Rusaknya atau hancurnya identitas budaya asli, yang bersamaan

dengan adanya rasisme dan diskriminasi menyebabkan kerugian/kelemahan di bidang sosial, kesejahteraan dan lingkungan pekerjaan.

6) Menurunya atau mundurnya (kualitas) lingkungan perkotaan yang mendorong peningkatan kejahatan dan berkurangnya (tidak cukupnya) pelayanan bagi tempat-tempat fasilitas lingkungan/bertetangga.

7) Kesulitan-kesulitan bagi orang-orang dalam masyarakat modern untuk berintegrasi sebagaimana mestinya di dalam lingkungan masyarakatnya, lingkungan keluarga/familinya, tempat pekerjaanya atau lingkungan sekolahnya.

Page 159: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

144

8) Penyalahgunaan alcohol, obat bius dan lain-lain yang pemakaiannya juga diperluas karena faktor-faktor yang disebut diatas.

9) Meluasnya aktivitas kejahatan yang terorganisasi, khususnya perdagangan obat bius dan penadahan barang-barang curian.

10) Dorongan-dorongan (khususnya oleh media massa) mengenai ide-ide dan sikap-sikap yang mengarah pada tindakan kekerasan, ketidak samaan (hak) atau sikap-sikap tidak toleran (intoleransi).

4. Kongres PBB ke-9 tahun 1995 di Kairo, Mesir tentang The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, terdapat resolusi tentang Criminal justice management in the context of accountability of public administration and sustainable development”. Resolusi itu antara lain menghimbau Negara anggota, organisasi antar pemerintah, dan organisasi profesional non pemerintah agar dalam program-program pengembangan yang berkaitan dengan manajemen peradilan pidana, mempertimbangkan masalah “accountability and sustainability”.

5. Kongres PBB ke-10 tahun 2000 di Vienna, dalam deklerasinya

mengatakan : "Strategi pencegahan kejahatan pada tingkat

internasional, nasional, regional dan lokal secara komprehensif harus

mengatasi akar penyebab dan faktor resiko yang berhubungan dengan

kejahatan dan korban melalui sosial, ekonomis, kesehatan, kebijakan

pendidikan dan keadilan".

(“Comprehensive crime prevention strategies at the international, national, regional and local levels must address the root causes and risk factors related to crime and victimization through social, economis, health, educational and justice policies”).

Dari hasil penelitian dan wawancara faktor kondusif penyebab

timbulnya kejahatan perambahan di Taman Nasional Gunung Ciremai

sebagai berikut :

1. Faktor Internalitas

a. Kurang intensifnya patroli dan pengawasan oleh petugas

dilapangan.

Kegiatan patroli pengamanan kawasan merupakan salah satu

tugas pokok dari tenaga Polisi kehutanan dalam rangka

pengamanan kawasan dari gangguan dan kerusakan hutan, upaya

ini terkendala manakala dikaitkan dengan jumlah personil

Page 160: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

145

pengamanan yang terbatas, sarana prasarana pendukung patroli

yang belum memadai, ketersediaan pondok kerja yang layak, dan

profesionalisme petugas polisi kehutanan yang rendah.

Menurut hasil analisa penulis upaya patroli yang dilakukan

secara kontinyu kepada masyarakat perambah melalui kegiatan

pendekatan kekeluargaan yang berada di sekitar kawasan maupun

secara langsung terhadap perambah di lapangan baik yang tertuang

dalam pola kebijakan TNGC setiap tahunnya maupun insidentil

dari petugas Polhut dilapangan sangat efektif. Patroli dimaksudkan

sebagai sarana kontrol sosial, pencegahan dan pengendalian

masyarakat lainya untuk melakukan perambahan di dalam kawasan

sehingga patroli juga berguna sebagai premium remedium bagi

perambah di TNGC, selain sebagai upaya untuk mengetahui tingkat

kepedulian masyarakat setelah dibentuknya taman nasional.

Upaya yang dilakukan adalah peningkatan jumlah personil di

lapangan, penyediaan sarana prasarana pengamanan,

mengefektifkan kegiatan patroli baik rutin maupun mendadak, serta

meningkatkan mutu dan profesionalisme polhut melalui pelatihan-

pelatihan pengamanan hutan.

b. Kurang profesionalnya petugas pengamanan dilapangan

Ketidak profesionalan petugas dilapangan menyebabkan,

menurunya kewibawaan petugas sehingga berdampak kepada tidak

dapat diselesaikannya permasalahan dalam kawasan sesuai dengan

aturan yang berlaku. Persoalan ini dimungkinkan terjadi karena

kurangnya pemahaman dan pengetahuan Polisi Kehutanan dalam

penguasaan Undang-undang bidang Kehutanan dan Konservasi,

dukungan dari pimpinan baik Kepala Seksi di tingkat Seksi

Pengelolaan Taman Nasional maupun Kepala Balai di tingkat

Balai TNGC.

Untuk itu diperlukan penguasaan peraturan dibidang

kehutanan dan konservasi oleh polisi kehutanan yang diperoleh

Page 161: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

146

dari pelatihan, pembinaan-pembinaan, dan pembelajaran mandiri.

Dukungan dari pimpinan sangat diperlukan baik moril maupun

pendanaan melalui program anggaran Balai TNGC, selain itu perlu

diterapkan mekanime reward bagi Polisi Kehutanan yang

berprestasi dan punishment bagi Polisi Kehutanan yang melakukan

pelanggaran-pelanggaran.

Dalam rangka pencegahan dan melindungi kawasan dari

kegiatan perambahan hutan upaya yang dapat dilakukan adalah :

a) Pembinaan terhadap anggota Polisi Hutan (Polhut) sebagai

ujung tombak dilapangan, dapat dilakukan melalui :

- Pendidikan dan penyegaran Polhut melalui pelatihan bidang

perlindungan dan pengamanan hutan.

- Pembinaan administrasi.

- Memupuk kekompakan, kebersamaan, dan keterampilan

individu.

- Mengadakan pertemuan dengan seluruh anggota melalui

rapat bulanan setiap 1 (satu) bulan sekali untuk mengetahui

hambatan atau kesulitan dalam melaksanakan tugas serta

memberikan petunjuk atau arahan menyangkut Sumber Daya

Manusia (SDM) serta mempertahankan paradigma Institusi

Satuan Polhut tetap solid.

b) Melakukan Patroli, yang dilakukan rutin 3 (tiga) sekali

seminggu ataupun patroli mendadak guna meminimalkan

jumlah perambah dan memantau adanya perambahan yang

baru.

c) Melakukan operasi bersama dengan aparat terkait, diharapkan

adanya efek jera bagi perambah maupun masyarakat yang

berniat untuk merambah.

c. Belum terbentuknya zonasi pengelolaan taman nasional

Page 162: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

147

Belum ditetapkannya zonasi pengelolaan taman nasional

menjadi bagian faktor kondusif terjadinya perambahan dalam

kawasan taman nasional. Langkah maju upaya penyusunan zonasi

telah dimulai pada tanggal 4 November 2009 dengan mengadakan

workshop Persiapan Zonasi TNGC yang menghasilkan 6 poin

kesepakatan, dalam poin ke 5 hasil kesepakatan dinyatakan:65

“ Mengingat harapan yang tinggi dari semua pihak yang berada di wilayah Ciayumajakuning terhadap TNGC, maka percepatan penataan zonasi dan legalitas kawasan (pengesahan Rencana Pengelolaan TNGC, tata batas dan fungsi kawasan) serta penyelesaian isyu-isyu strategis (penggarapan lahan oleh masyarakat, kebakaran hutan, jasa lingkungan) sangat dibutuhkan. Maka dukungan tingkat pemerintahan Kabupaten, Propinsi dan Pusat sangat dibutuhkan untuk mewujudkan pengelolaan kawasaan Taman Nasional Gunung Ciremai yang optimal, lestari dan berkelanjutan”.

Tahapan penataan zonasi di TNGC berdasarkan Peraturan

Menteri Kehutanan Nomor : P.56/Menhut-II/2006 tentang

Penataan Zonasi Taman Nasional, dilakukan melalui tahapan; 1)

Persiapan, 2) Pengumpulan dan Analisis Data, 3) Penyusunan Draf

Rancangan Zonasi, 4) Konsultas Publik, 5) Pengiriman Dokumen,

6) Tata Batas dan 7) Penetapan. Sampai saat ini upaya yang telah

dilakukan oleh Pengelola TNGC baru pada tahapan pengumpulan

dan analisa data zonasi TNGC melalui program anggaran kegiatan

tahun 2010.

Berdasarkan hal tersebut perlu percepatan tahapan penyusunan

sampai kepada ditetapkannya zonasi pengelolaan TNGC.

d. Surat Dirjen PHKA Nomor : S. 56/IV-KK/2005 tanggal 26

Januari 2005 perihal Tindak Lanjut Taman Nasional Gunung

Ciremai.

65 Rumusan Hasil Workshop Persiapan Zonasi, tanggal 4 Nopember 2009, Hotel Ayong, Kuningan

Page 163: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

148

Terbitnya surat ini bila diartikan secara harfiah dapat menjadi

salah satu faktor kondusif bertahannya perambahan di dalam

kawasan TNGC, sebagaimana pada poin (e) disebutkan :66

“Program PHBM yang mempertimbangkan aspek ekologis, aspek konservasi, sosial ekonomi dan perlindungan terhadap kawasan dari perusakan, yang selama ini telah dilaksanakan dan relevan dengan fungsi kawasan gunung ciremai sebagai taman nasional tetap dapat dilanjutkan”. Pernyataan ini menimbulkan multitafsir dilapangan, dengan

diterjemahkannya menjadi pembolehan kegiatan perambahan di

dalam kawasan TNGC oleh pihak-pihak yang berkepentingan.

Upaya mengatasi hal tersebut bersama-sama dengan

Pemerintah daerah dan propinsi melakukan pengkajian-pengkajian

mengenai alternatif terbaik menyelesaikan masalah perambahan

dalam kawasan TNGC.

e. Dukungan dana pengamanan kurang

Faktor pendanaan dan ketercukupan anggaran pengamanan

yang tersedia merupakan persoalan-persoalan klasik dan selalu

menjadi kendala. Dukungan ini tidak bisa dinafikan untuk

mengatasi perambahan yang terjadi di TNGC. Sebagai gambaran

ketersediaan dana pengamanan untuk tahun anggaran 2010 di

TNGC berjumlah Rp. 420,350,000 yang terbagi kedalam kegiatan

sebagai berikut :

66 Arsip surat Dirjen Perlindungan Hutan dan Konesrvasi Alam Nomor : S.56/IV-KK/2005 tanggal 26 Januari 2005,Perihal Tindak Lanjut Taman Nasional Gunung Ciremai.

Page 164: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

149

Tabel 16.

Distribusi Dana Pengamanan Kawasan TNGC tahun 2010.67

JENIS KEGIATAN Voume Satuan

I. OPERASI PENGAMANAN HUTAN 7 KEG

1.Operasi Pengamanan Hutan Fungsional 6 Keg

2. Operasi Pengamanan Gabungan 2 Kali

3. Patroli bersama PAM SWAKARSA 4 Kali

4. Pengamanan Jalur Pendakian 9 Kali

5. Penanganan Kasus Pendakian 9 Kali

6. Patroli tata batas kawasan

7. Perjalanan konsultasi/koordinasi

II. PENGUATAN KAPASITAS KELEMBAGAAN PERLINDUNGAN HUTAN

5 KEG

8. Penyegaran PAM Swakarsa 2 Kali

9. Sosialisasi Perundang Undangan Kehutanan 6 Kali

10. Pengurusan Legalitas SENPI

11. Pengadaan Peralatan Pendukung Patroli Perlindungan Hutan 1 Paket

12. Perjalanan Konsultasi/ Koordinasi Pengamanan Kawasan

III. PENYELESAIAN KASUS HUKUM PELANGGARAN/KEJAHATAN KEHUTANAN

3 Kasus

Dilihat dari tabel 16 diatas yang disesuaikan dengan rincian

dalam RKAKL Balai TNGC, yang berkaitan dengan upaya

penanggulangan perambahan adalah pada poin operasi pengamanan

fungsional sebanyak 6 kali Rp.38.400.000,- dan gabungan

sebanyak 2 kali Rp.16.160.000,- dan pada bagian penyelesaian

kasus hukum pelanggaran/kejahatan kehutanan sebanyak 3 kali

Rp.17.100.000,-.

Melihat kondisi pendanaan tersebut kecukupan dana pengaman

hanya bisa digunakan untuk pelanggaran/kejahatan insidentil

berupa pencurian hasil hutan, perburuan, dan lainnya.

2. Faktor Eksternalitas

a. Keterbatasan lahan pertanian (lapar lahan) dan kemiskinan.

Maraknya masyarakat mengolah ke dalam kawasan Taman

Nasional Gunung Ciremai merupakan dampak tidak tersedianya

alternatif kesempatan berusaha disekitar kawasan (terbatas). Mata

67 Sumber RKAKL Balai Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai tahun 2010.

Page 165: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

150

pencaharian penduduk Kabupaten Kuningan yang berada di sekitar

kawasan TNGC terdiri dari petani sebanyak 65.476 orang

(68,79%), industri sebanyak 2.323 orang (2,46%), dan sektor jasa

sebanyak 27.097 orang (28,55%). Besarnya jumlah petani

menunjukkan besarnya jumlah masyarakat yang bergantung pada

lahan pertanian dengan luas kepemilikan lahan pertanian oleh

petani hanya mencapai 0,2119 Ha.68 Disisi lain model pengelolaan

kawasan belum sepenuhnya dapat disinergikan dengan aktivitas

ekonomi yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di

sekitar kawasan, kegiatan yang dilakukan selama ini berupa

program pemberdayaan masyarakat disekitar kawasan dengan

intensitas dan kapasitas berdasarkan anggaran yang tersedia sangat

minim yang diyakini sulit mengatasi ketergantungan masyarakat

akan lahan, hal ini diperparah bila program yang dilakukan tidak

tepat sasaran dan berhasil guna bagi masyarakat.

Alternatif pemecahan masalah dapat dilakukan melalui

pelibatan pemerintah daerah Kab. Kuningan dan dinas instansi

terkait serta penggiat masyarakat lainnya guna mengurangi tingkat

ketergantungan masyarakat akan lahan dengan menggali kebutuhan

kegiatan usaha yang disepakati oleh masyarakat untuk

meningkatkan produksi dan pendapatan keluarganya berbasis non

lahan dan peningkatan pengetahuan dan keterampilan masyarakat.

Beberapa kebijakan bukan hukum pidana yang dapat

diterapkan mengatasi kehausan mayarakat akan lahan dan

kemiskinan melalui Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat

dengan kegiatan berupa :

a) Pengembangan Usaha Jasa Lingkungan dan Pariwisata

Masyarakat turut terlibat dalam mengembangkan sektor wisata

sebagai pemilik wira usaha wisata (penginapan), home stay,

rumah makan, pemandu wisata dan lain-lain.

68 Sumber Rencana Pengelolaan Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai.

Page 166: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

151

b) Budidaya Tanaman Obat dan Hias (Anggrek)

TNGC sebagai sumber plasma nutfah menyediakan berbagai

jenis tumbuhan obat dan anggrek untuk dikembangkan di luar

kawasan konservasi TNGC untuk dibudidayakan oleh

masyarakat dan setelah pembudidayaannya selesai, tanaman

induk akan dikembalikan lagi ke dalam Taman Nasional.

c) Budidaya Lebah Madu

Masyarakat dapat melaksanakan peternakan lebah madu dan

menggembalakan atau meliarkan lebahnya di kawasan TNGC

sedangkan untuk budidaya berada di lahan masyarakat sendiri.

d) Program Pembibitan, Penggemukan dan Pengembangan Ternak

Masyarakat dapat mengembangkan peternakan domba dan sapi

dengan bantuan dari instansi-instansi terkait. Pengembangan

ternak di sekitar kawasan TNGC merupakan alternatif yang

cukup baik untuk mengurangi ketergantungan masyarakat

terhadap lahan di dalam kawasan.

b. Tingkat pengetahuan masyarakat terhadap arti pentingnya kawasan

Taman Nasional Gunung Ciremai masih rendah.

Dalam rangka peningkatan pengetahuan dan kesadaran

masyarakat dalam memahami pentingnya kawasan Taman

Nasional Gunung Ciremai secara simultan dilakukan program

peningkatan kesadaran melalui sosialisasi pengelolaan taman

nasional, sosialisasi perundang-undangan, sosialisasi pemanfaatan

jasa lingkungan dan wisata alam, talk show melalui radio serta

sosialisasi non formal lainnya. Namun dengan meningkatnya

pengetahuan masyarakat tentang fungsi dan manfaat taman

nasional tidak menjamin berpartisipasinya masyarakat dalam

menjaga keutuhan taman nasional, hal ini disebabkan

ketergantungan masyarakat akan sumber daya kawasan.

Peningkatan ekonomi masyarakat menjadi hal utama yang harus

Page 167: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

152

dilakukan dengan tetap merubah persepsi masyarakat tentang arti

penting kawasan TNGC.

c. Dukungan pemerintah dan para pihak belum maksimal

Perambahan yang terjadi di TNGC dapat dijadikan objek

perhatian bersama dalam upaya penanggulangannya, diperlukan

keterlibatan pihak pemerintah daerah, LSM, Perguruan tinggi,

swasta, masyarakat sekitar hutan dan partsipasi para pihak lainya

untuk mengubah image masyarakat untuk tidak merambah hutan

dan proses pengalihan perubahan pikiran serta prilaku masyarakat

sesuai dengan kaidah konservasi di TNGC. Sehingga akan tercipta

pemikiran berbuat bersama untuk kepentingan bersama.

Proses membangun paradigma bersama dengan unsur

pemerintah dan non pemerintah ini perlu ditingkatkan kepada

tataran aplikasi dilapangan.

Page 168: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

153

BAB.V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan melalui pengumpulan dan

pengolahan data serta analisis dan pembahasan terhadap dua permasalahan

pokok meliputi hambatan dalam penanggulangan perambahan dan bagaimanan

upaya penanggulangan perambahan di kawasan Taman Nasional Gunung

Ciremai diperoleh kesimpulan :

1. Terhambatnya penanggulangan perambahan di kawasan Taman Nasional

Gunung Ciremai dipengaruhi oleh :

a. Struktur

1) Sarana-prasarana mendukung pengamanan hutan di lapangan masih

sangat terbatas.

2) Penguasaan materi peraturan perundang-undangan bidang Kehutanan

oleh Penyidik PNS dan aparat TNGC di lapangan masih rendah.

3) Penguatan kelembagaan penyidik di tingkat Balai sebagai alternatif

pemberdayaan PPNS dalam unit kerja sendiri yang mandiri, tentunya

dengan menguasai permasalahan yang terjadi di kawasan.

b. Substansi

1) Undang-undang nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber

Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya belum merumuskan formulasi

perbuatan pidana pertanggungjawaban dan sanksi pidana secara

khusus tentang “perambahan hutan” dalam kawasan Pelestarian Alam

(taman nasional). Perumusan formulasi delik materil dalam Pasal 33

ayat (1) Undang-undang nomor 5 tahun 1990 hanya menyebutkan

setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan

perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional. Pada ayat (2)

disebutkan Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang tidak

Page 169: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

154

sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman

nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam.

2) Perumusan ketentuan pidana Undang-undang nomor 5 tahun 1990

pada Pasal 40 ayat (1), (2), (3) dan (4) menyatakan sanksi hukuman

maksimum sedangkan sanksi minimumnya tidak diatur.

3) Proses perubahan status kawasan dari hutan lindung menjadi taman

nasional melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor

424/Menhut-II/2004 tentang Perubahan Fungsi Kawasan Hutan

Lindung pada Kelompok Hutan Gunung Ciremai Seluas ± 15.500

(Lima Belas Ribu Lima Ratus) terletak di Kabupaten Kuningan dan

Majalengka, Propinsi Jawa Barat menjadi Taman Nasional Gunung

Ciremai, belum dilakukan sepenuhnya sesuai dengan aturan penetapan

kawasan hutan, perubahan status dan fungsi kawasan hutan.

4) Terbitnya surat Dirjen PHKA Nomor : S. 56/IV-KK/2005 tanggal

26 Januari 2005 perihal Tindak Lanjut Taman Nasional Gunung

Ciremai, menimbulkan multitafsir terhadap pelaksanaan PHBM dalam

Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai.

c. Kultur

1) Adanya pandangan yang berbeda dari aparat penegak hukum

mengenai penanggulangan perambahan, bagi penegak hukum yang

idealis mengatakan bahwa penegakan hukum yang baik adalah

diterapkannya Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang

Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya sudah tepat.

Sedangkan bagi yang berfikir realis adalah bagaimana mewujudkan

kesejahteraan bagi masyarakat tanpa adanya benturan-benturan

dengan aturan yang berlaku.

2) Adanya pengaruh-pengaruh dari luar yang mempengaruhi kinerja

penegak hukum diantaranya faktor mental, kesejahteraan dan

moralitas penegak hukum.

3) Tidak berdayanya upaya penegakan hukum terhadap pelaku

masyarakat yang merambah.

Page 170: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

155

4) Pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga dalam kawasan TNGC yang

telah dilakukan dalam waktu yang lama.

5) Budaya masyarakat sekitar kawasan yang paternalistik.

2. Upaya Penanggulangan Perambahan di Kawasan TNGC dilakukan melalui

kebijakan kriminal (criminal policy) yang bertujuan untuk mencapai

ketertiban dalam masyarakat, kebijakan tersebut dilakukan melalui sarana

penal dan non penal.

a. Upaya penanggulangan perambahan di kawasan TNGC melalui

sarana pidana ( Penal Policy) dilakukan melalui :

1) Perlunya formulasi perbuatan pidana pertanggungjawaban dan sanksi

pidana secara khusus tentang “perambahan hutan” dalam Undang-

undang nomor 5 tahun 1990 Selama ini yang dijadikan acuan adalah

Pasal 33 ayat (1) disebutkan setiap orang dilarang melakukan kegiatan

yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti

taman nasional. Pada ayat (2) disebutkan setiap orang dilarang

melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona

pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya, dan

taman wisata alam.

2) Ketentuan yang mengatur ancaman pidana dan denda yang diatur

dalam delik formil Undang-undang nomor 5 tahun 1990 tidak

mengatur ancaman pidana minimum.

3) Dimungkinkan adanya subjek pertanggungjawaban pidana tidak hanya

terbatas pada orang tetapi juga pada badan hukum, perseroan,

perserikatan, yayasan atau organisasi lainnya, sehingga perlu

diantisipasi dalam peraturan perundang-undangan konservasi.

b.Upaya penanggulangan perambahan di kawasan TNGC melalui

non sarana pidana (non penal policy)

Tujuan utama dari usaha-usaha non penal itu adalah memperbaiki

kondisi-kondisi sosial tertentu, namun secara tidak langsung mempunyai

Page 171: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

156

pengaruh preventif terhadap kejahatan. Ditinjau dari faktor internalitas

dan eksternalis dilakukan melalui :

1) Faktor internalitas

a) Mengintensifkan patroli dan pengawasan oleh petugas dilapangan

didukung dengan jumlah personil yang memadai, kelengkapan

sarana prasarana penunjang dan peningkatan

b) Meningkatkan profesionalisme petugas di lapangan dilakukan

dengan pendidikan dan pelatihan tenaga Polisi Kehutanan melalui

penguasaan perundang-undangan Kehutanan dan perlindungan

pengamanan hutan, penguasaan administrasi, memupuk

kekompakan serta pemberian reward dan punishman oleh

pimpinan.

c) Percepatan penetapan zonasi pengelolaan taman nasional, sebagai

bagian kondusif untuk penanggulangan perambahan di kawasan

TNGC.

d) Melakukan kajian bersama pemerintah daerah dan propinsi

mengenai alternatif penyelesaian perambahan dalam kawasan

sesuai Surat Dirjen PHKA Nomor : S. 56/IV-KK/2005 tanggal

26 Januari 2005 perihal Tindak Lanjut Taman Nasional Gunung

Ciremai.

e) Mengusulkan anggaran dana yang cukup untuk mengatasi

persoalan perambahan di TNGC.

2) Faktor Eksternalitas

a) Penyediaan lapangan pekerjaan alternatif non lahan dan

pengentasan kemiskinan, dilakukan dengan pelibatan pemerintah

daerah beserta instansi dan dinasi terkait serta para penggiat

masyarakat lainnya, bentuk kegiatan yang dapat dilakukan adalah

program pemberdayaan ekonomi masyarakat dengan kegiatan

berupa ; Pengembangan Usaha Jasa Lingkungan dan Pariwisata,

Budidaya Tanaman Obat dan Hias (Anggrek), Budidaya Lebah

Madu, Program Pembibitan, Penggemukan dan Pengembangan

Page 172: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

157

Ternak dan alternatif lainnya yang sesuai dengan kaidah-kaidah

konservasi.

b) Meningkatkan pengetahuan masyarakat terhadap arti pentingnya

kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai, dilakukan secara terus

menerus program peningkatan kesadaran melalui sosialisasi

pengelolaan taman nasional, sosialisasi perundang-undangan,

sosialisasi pemanfaatan jasa lingkungan dan wisata alam, talk show

melalui radio serta sosialisasi non formal lainnya. Dengan kegiatan

tersebut diharapkan dapat meningkatkan persepsi masyarakat

tentang arti penting kawasan TNGC.

c) Menjalin dukungan dengan pemerintah dan para pihak secara

maksimal, upaya yang dapat dilakukan dengan pelibatan pihak

pemerintah daerah, LSM, Perguruan tinggi, swasta, masyarakat

sekitar hutan dan partsipasi para pihak lainya, untuk membangun

paradigma bersama yang ditingkatkan kepada tataran aplikasi

dilapangan.

B. Implikasi

Implikasi yang dapat ditarik dari kesimpulan diatas adalah sebagai berikut :

1. Rendahnya penguasaan peraturan perundang-undangan, kurangnya sarana

prasarana pendukung pengaman hutan dilapangan, belum dirumuskannya

formulasi perambahan dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1990,

berubahnya status kawasan dari hutan lindung menjadi taman nasional

serta adanya surat Dirjen PHKA mengenai tindak lanjut Taman Nasional

Gunung Ciremai, menjadi faktor terhambatnya penanggulangan

perambahan di kawasan TNGC, disamping pengaruh dari luar yang

mempengaruhi penegakan hukum (mental, moralitas dan kesejahteraan)

serta tingginya tingkat ketergantungan masyarakat akan lahan dalam

kawasan.

2. Tidak terintegrasikannya secara baik upaya penaggulangan perambahan

secara penal melalui criminal justice system maupun kegiatan non penal

Page 173: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

158

berupa peningkatan intensitas patroli dan pengawasan oleh petugas

dilapangan, peningkatkan profesionalisme petugas, percepatan penetapan

zonasi pengelolaan taman nasional, mencari solusi alternatif penyelesaian

perambahan bersama para pihak, ketersediaan dana pengamana yang

cukup, adanya lapangan pekerjaan alternatif yang berbasis non lahan

diluar kawasan, peningkatkan pengetahuan masyarakat terhadap manfaat

kawasan TNGC, terjalinnya dukungan dengan pemerintah daerah dan para

pihak secara maksimal, sulit untuk mengatasi perambahan yang terjadi di

TNGC.

C. Saran

Adapun saran-saran yang dapat penulis sampaikan berdasarkan kesimpulan dan

implikasi tersebut diatas sebagai berikut :

1. Untuk mengatasi hambatan penanggulangan perambahan di TNGC dapat

ditinjau dari tiga unsur komponen sebagai berikut:

a) Komponen Struktur; melalui peningkatan sarana-prasarana mendukung

pengamanan hutan di lapangan. Peningkatan SDM Penyidik PNS dan

aparat TNGC, Penguatan kelembagaan Penyidik PNS dalam unit kerja

sendiri yang mandiri.

b) Komponen Substansi : 1) Perlunya formulasi perbuatan pidana

pertanggungjawaban dan sanksi pidana secara khusus tentang

“perambahan hutan” dalam Undang-undang nomor 5 tahun 1990. 2)

Perlunya pengaturan delik formil berupa ancaman pidana minimum

bagi kejahatan dibidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan

Ekosistemnya dalam Undang-undang nomor 5 tahun 1990. 3)

Penetapan status kawasan hutan, perubahan status dan fungsi kawasan

harus sesuai dengan ketentuan yang ada, diharapkan dapat

meminimalisir terjadinya konflik dalam penunjukan dan penetapan

suatu kawasan. 4) Melakukan pengkajian-pengkajian mengenai

alternatif terbaik menyelesaikan masalah perambahan dalam kawasan

TNGC sesuai Surat Dirjen PHKA Nomor : S. 56/IV-KK/2005 tanggal

Page 174: Mufrizal PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

159

26 Januari 2005 perihal Tindak Lanjut Taman Nasional Gunung

Ciremai.

c) Komponen Kultur : meliputi budaya masyarakat yang paternalistik,

ketergantungan yang tinggi akan lahan dalam kawasan menjadi

penyebab terhambatnya penanggulangan perambahan di kawasan

TNGC.

2. Upaya penanggulangan perambahan di kawasan TNGC dilakukan dengan

mengintegralkan kebijakan penal berupa penekanan terhadap aspek

formulasi perbuatan yang dapat dipidana dalam hal perambahan hutan

berdasarkan tinjauan secara filosofis, yuridis dan sosiologis. Serta

kebijakan non penal melalui peniadaan faktor kondusif terjadinya

perambahan dengan memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu, namun

secara tidak langsung mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan.

Upaya ini dilakukan melalui peningkatan intensitas patroli dan

pengawasan oleh petugas dilapangan, peningkatkan profesionalisme

petugas di lapangan, percepatan penetapan zonasi pengelolaan taman

nasional, kajian bersama pemerintah daerah dan propinsi mengenai

alternatif penyelesaian perambahan, penyediaan dana yang cukup,

penyediaan lapangan pekerjaan alternatif berbasis non lahan, peningkatkan

pengetahuan masyarakat terhadap arti pentingnya kawasan Taman

Nasional Gunung Ciremai dan menjalin dukungan dengan pemerintah dan

para pihak secara maksimal.