Morbus Hansen
-
Upload
hans-peter-herewila -
Category
Documents
-
view
1.455 -
download
8
Transcript of Morbus Hansen
BAB I
PENDAHULUAN
Morbus hansen merupakan penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh
kuman Mycobacterium Leprae dan menyerang syaraf tepi, kulit dan jaringan tubuh
lainnya. Penyakit ini terutama menjangkit kulit dan saraf jika tidak diterapi, dan dapat
mengakibatkan kerusakan yang permanen dan progresif pada kulit, saraf, tungkai,
dan mata. Terdapat dampak baik secara psikologis, sosial, dan ekonomi penyakit ini
bagi penderitanya yang diakibatkan oleh deformitas yang diakibatkan morbus
hansen. Kuman Mycobacterium Leprae berbentuk batang, bersifat tahan asam, dan
ditemukan oleh Gerald Armauer Hansen dari Norwegia pada tahun 1873. Kuman ini
berkembang biak dengan sangat lambat dan masa inkubasinya tidak diketahui
dengan pasti. Dua hingga lima tahun merupakan masa inkubasi pada umumnya, tapi
ada pula yang melaporkan masa inkubasi dari 3 bulan hingga 40 tahun. Kuman
masuk ke dalam tubuh melalui saluran pernafasan dan kulit yang tidak utuh. Sumber
penularan adalah penderita kusta yang banyak mengandung kuman yang belum
diobati. Setelah kuman masuk ke dalam tubuh, kuman menuju tempat predileksinya
yaitu saraf tepi.
Morbus hansen atau kusta atau lepra bukan merupakan penyakit yang tidak
dapat dikendalikan. Morbus hansen menyerang semua umur dan menyebar luas ke
seluruh dunia, terutama di Asia, Afrika, Amerika latin, daerah tropis dan sub tropis,
serta masyarakat yang sosial ekonomi nya rendah. Makin rendah sosial ekonomi
makin berat penyakitnya, sebaliknya faktor sosial ekonomi tinggi sangat membantu
penyembuhan. Jumlah kasus di seluruh dunia selama 12 tahun terakhir ini telah
menurun 85%. Kasus kusta yang terdaftar pada permulaan tahun 1997 kurang lebih
890.000 penderita. Di Indonesia jumlah kasus yang tercatat pada akhir Maret 1997
adalah 31.699 orang, distribusi juga tidak merata, yang tertinggi antara lain di Jawa
Timur, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan. Penderita anak-anak dibawah umur 14
tahun lebih kurang sebesar 13%, sedangkan untuk anak umur kurang dari 1 tahun
jarang sekali. Frekuensi tertinggi terdapat pada kelompok umur antara 25-35 tahun.5
Penyakit kusta berhubungan dengan respon imunologi. 95% populasi
manusia mempunyai kekebalan alamiah terhadap Mycobacterium leprae.
Mycobacterium leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah,
1
sehingga penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu
memeberikan gejala yang lebih berat, dan sebaliknya. Ketidakseimbangan antara
derajat infeksi dengan derajat penyakit disebabkan oleh perbedaan respon imunologi
pada masing-masing individu dan gejala klinis nya sebanding dengan tingkat reaksi
selular. Kuman masuk ke dalam tubuh melalui saluran pernafasan dan kulit yang
tidak intak atau utuh. Sumber penularan adalah penderita kusta yang banyak
mengandung kuman yang belum diobati. Setelah kuman masuk ke dalam tubuh,
kuman menuju tempat predileksinya yaitu syaraf tepi.4,5
Menurut WHO tahun 1997, diagnosis kusta berdasarkan adanya tanda utama
atau Cardinal signs berupa: (1) Terdapat kelainan kulit yang hipopigmentasi atau
eritematosa dengan anastesi, (2) Kelainan syaraf tepi berupa penebalan syaraf
dengan anastesi, (3) Hapusan kulit positif untuk kuman tahan asam. Jika terdapat
satu dari ketiga cardinal signs tersebut ditemukan, dapat menjadi dasar didiagnosa
kusta.2 Selain dari Cardinal signs dapat ditemukan gejala lain kusta yaitu madarosis,
penebalan cuping telinga, facies leonina, dan anestesi simetris pada kedua tangan
dan kaki (gloves & stocking anastesia).4 Untuk memastikan diagnosis kusta, perlu
dilakukan pemeriksaan penunjang. Yang sering dilakukan adalah pemeriksaan
bakteriologis dengan cara mengambil sediaan dari kedua cuping telinga atau
kerokan jaringan kulit yang kemudian digoreskan pada obyek glass dan diwarnai
dengan pewarnaan tahan asam, yaitu Zielhl Nielsen. WHO mengklasifikasikan kusta
menjadi 2 tipe yaitu PB (Pausibasiler) dan MB (Multibasiler). Pada kusta tipe PB
ditemukan lesi kulit hipopigmentasi yang asimetris berjumlah 1-5, berbatas tegas,
kering, kasar, anastesi jelas, penebalan syaraf tepi terjadi secara dini, dan BTA
negatif. Sedangkan pada tipe MB lesi eritematus, simetris, jumlah lebih dari 5, batas
tidak tegas, permukaan halus mengkilat, anastesi tidak jelas, penebalan syaraf tepi
terjadi kronis, dan BTA positif.4,5 Menurut rekomendasi WHO, pengobatan yang
dipakai untuk penyakit kusta adalah MDT (Multi Drug Therapy). Regimen ini terdiri
dari kombinasi dapson, rifampisin, dan lamprene. Untuk kusta tipe PB diberikan
rifampisin 600 mg/bulan dan dapson 100 mg/hari. Pengobatan diberikan secara
teratur selama 6 bulan dan diselesaikan dalam waktu maksimal 19 bulan.
Sedangkan yang tipe MB hari pertama diberikan rifampisin 600 mg/bulan, lampren
300 mg/bulan, dapson 100mg/bulan kemudian pada dilanjutkan lampren 50 mg/hari
dan dapson 100 mg/hari pada hari ke-2 sampai 28. Pengobatan dilakukan secara
teratur sebanyak 12 bulan dan diselesaikan maksimal 18 bulan.
2
BAB II
LAPORAN KASUS
II.1. IDENTITAS
Nama : Tn. R
Umur : 42 tahun
Jenis Kelamin : Laki laki
Alamat : Kalipare, Malang Selatan
Pekerjaan : Buruh Tani Kelapa Sawit
Agama : Islam
Status Perkawinan : Kawin
Pendidikan : SMP
Suku bangsa : Jawa
No. Reg : 108763xx
Tanggal Pemeriksaan : 16 Februari 2010
II.2. ANAMNESIS (Autoanamnesis)
Keluhan utama: bercak merah pada wajah, tubuh, dan tangan.
Pasien datang dengan keluhan ada bercak-bercak merah pada wajah, tubuh,
dan tangan yang timbul sejak 2 tahun yang lalu. Bermula dari bercak merah yang
berukuran +/- 2 cm, dan kemudian lama-lama meluas memenuhi wajah, serta
sebagian tubuh dan tangan. Terasa tebal pada bercak-bercak tersebut.
Geringgingen sejak 6 bulan terakhir pada tangan dan kaki, tangan dan kaki masih
dapat digunakan untuk beraktivitas walaupun kadang terasa lemas dan kaku saat
bangun tidur. Ditemukan juga benjolan merah pada daerah dahi, di dekat alis mata.
Benjolan berwarna merah kenyal dan sudah timbul +/- 6 bulan yang lalu.
3
Pasien juga merasa nyeri-nyeri pada persendian tangan dan kaki 6 bulan
terakhir, demam sumer-sumer sejak 4 hari yang lalu, serta keluhan suara sengau
yang hilang timbul. Pasien tidak mengalami mimisan, kerontokan alis, maupung
pembengkakan pelir.
Pasien mempunyai riwayat penyakit kencing manis, dimana pengobatan dan
kontrol dilakukan secara rutin, dengan hasil gula darah yang normal. Pasien pernah
masuk rumah sakit akibat penyakit kencing manis ini +/- 6 bulan yang lalu. Pasien
sudah mengeluh terasa tebal pada kulit, tapi tetap terdiagnosa kencing manis saja
oleh dokter sebelumnya.
Riwayat kontak dengan penderita penyakit sama: (-)
Riwayat keluarga dengan penyakit sama : (-)
Riwayat demografi : Sejak kecil pasien tinggal di Malang, lalu pindah kerja ke
Medan, Sumatera Utara sejak umur 30.
II.3. STATUS PRAESENS (16 Februari 2010)
Kesadaran : compos mentis
Keadaan umum : baik
Higiene : kesan baik
Tanda-tanda vital : Tensi : tidak diperiksa
Nadi : 82 kali / menit
RR : 16 kali / menit
tax : 36,8 oC
Kepala & Leher : plaque eritematous di wajah (+)
madarosis (-), saddle nose (-), penebalan cuping
telinga kanan kiri (+), pembesaran n. Auricularis magnus
(+)
Thoraks : makula eritematous pada dada bagian depan
4
Abdomen : tidak didapatkan lesi.
Ekstremitas : Ditemukan makula eritematous pada lengan atas dan lengan
bawah, pembesaran n. Ulnaris ki & ka (+), pembesaran n.
Peroneus lateralis (-).
Tes sensasi dingin, panas, raba: anestesi dan hipoestesi pada lesi.
II.4. STATUS DERMATOLOGIS
Lokasi : wajah
Distribusi : tersebar simetris
Ruam : plaq eritematous, batas tegas, tepi tidak teratur, permukaan halus, tidak
tertutup skuama, ukuran lebar memenuhi wajah, anestesi (+)
5
Gambar 1. Ruam di wajah
Lokasi: thorax bagian depan
Distribusi: tersebar simetris
Ruam: makula eritematous, batas tidak jelas, tepi tidak teratur, permukaan rata, tidak
tertutup skuama, ukuran lebar memenuhi dada, hipoestesi pada beberapa titik.
.
Gambar 2. Ruam di thorax
6
Lokasi: lengan atas dan lengan bawah
Distribusi: tersebar simetris
Ruam: makula eritema keunguan, tepi datar, batas tidak jelas, permukaan rata, kasar
(kusam), terdapat skuama, ukuran lebar memenuhi lengan, hipoestesi pada
beberapa titik.
7
Gambar 3. Ruam di lengan atas dan lengan bawah
8
Gambar 4. Penebalan cuping telinga dan Pembesaran N. Aurikularis Magnus
Gambar 5. Sketsa ruam MH Tn. R
9
II.5. DIAGNOSIS BANDING
1. Morbus Hansen tipe MB
2. Morbus Hansen tipe PB
II.6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
BTA : ditemukan bakteri tahan asam hasil +3 (1-10 BTA dalam 1 LP)
Tes sensibilitas
Tes Wajah kanan Wajah kiri
Panas anestesi anestesi
Dingin anestesi anestesi
Nyeri anestesi anestesi
Raba anestesi anestesi
Tes DadaLengan Atas dan Lengan
Bawah
Panas normal normal
Dingin normal normal
Nyeri hipoestesi beberapa titik hipoestesi beberapa titik
Raba hipoestesi beberapa titik hipoestesi beberapa titik
10
II.7. DIAGNOSIS
Morbus Hansen tipe MB
II.8. TERAPI
MDT MB 12 bulan
Hari pertama:
Rifampisin 600 mg
Clofazimin 300 mg
Dapson 100 mg
Hari kedua sampai dua puluh delapan:
Clofazimin 1 x 50 mg/hari
Dapson 1 x 100 mg/hari
II.9. KIE
Selalu memakai alas kaki/perlindungan
Memakai sarung tangan saat bekerja
Minum obat secara teratur.
Kontrol tiap bulan atau bila ada keluhan lain.
Hindari kontak dengan orang lain (stop pekerjaan sebagai pengasuh anak)
Keluarga harus menjaga kekebalan tubuh mereka
BAB III
11
PEMBAHASAN
Pasien Ny. I 38 tahun datang ke poliklinik ilmu kesehatan kulit dan kelamin
RSSA pada tanggal 25 November 2009 dengan keluhan utama rasa tebal pada
kedua telapak kaki. Dari anamnesa didapatkan keluhan kaki terasa tebal sejak 6
bulan terakhir. Pasien mengeluh ada bercak merah di telapak kaki sejak 1 bulan
yang mula-mula kecil kemudian melebar. Bercak tidak terasa gatal. Pasien juga
mengeluh geringgingan sejak 2 tahun yang lalu pada tangan dan kaki, tangan terasa
lemas dan setiap bangun tidur kaki terasa kaku dan sulit untuk berjalan. Selain itu
pasien merasa nyeri pada persendian tangan dan kaki 2 tahun yang lalu, nggreges 1
minggu yang lalu. Pasien juga mengeluh alis sering rontok dan mimisan. Terdapat
riwayat penurunan berat badan 5 kg dalam 1 bulan terakhir, keringat malam positif,
riwayat kontak dengan penderita penyakit sama yaitu tetangga pasien punya bintik
putih yang terasa tebal di tangan.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan status praesens dalam batas normal.
Didapatkan madarosis, penebalan cupung hidung, dan tidak didapatkan pembesaran
nervus arikularis magnus, nervus ulnaris, nervus peroneus lateralis humoris, dan
nervus tibialis posterior. Pada pemeriksaan sensibilitas terhadap suhu, nyeri, dan
rasa raba pada lesi di wajah kurang jelas, sedangkan pada lesi yang di telapak kaki
menunjukkan hipoestesi.
Pemeriksaan dermatologi menunjukkan 2 lesi dengan lokasi di wajah dan
telapak kaki kanan dan kiri. Pada lesi yang di wajah, dengan distribusi terlokalisir,
sifat ruam berupa plaq eritematous, berbatas tidak jelas, tepi datar, permukaan
meninggi, kasar, tidak tertutup skuama, ukuran Ø 2 cm. Sedangkan lesi pada telapak
kaki distribusinya terlokalisir, dengan ruam berupa makula anestesi eritema
keunguan, bentuk oval, tepi datar, batas tidak jelas, permukaan rata, kasar (kusam),
tidak tertutup skuama, ukuran Ø 1 cm. Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan
bakteriologis, yaitu dengan pewarnaan tahan asam (Ziehl-Nelsen )dan ditemukan
kuman Mycobacterium Leprae sebanyak 1-10 dalam 10 LP.
Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
pada pasien ini dapat ditegakkan diagnosa Morbus Hansen tipe MB karena telah
memenuhi Cardinal signs yaitu (1) Terdapat kelainan kulit yang hipopigmentasi atau
eritematosa dengan anastesi, (2) Hapusan kulit positif untuk kuman tahan asam.
12
Pasien ini dapat didiagnosis banding dengan Morbus Hansen tipe PB. Hal
ini dikarenakan morbus Hansen tipe PB hanya didapatkan lesi hipopigmentasi yang
asimetris, jumlah kurang dari 5, anastesi jelas, terdapat penebalan syaraf tepi, dan
BTA negatif.
Pada pasien ini diberikan terapi MDT MB selama 12 bulan. Pada hari
pertama diberikan rifampisin 600 mg, clofazimin 300 mg, dapson 100 mg. Hari
kedua sampai dua puluh delapan diteruskan clofazimin 1 x 50 mg/hari dan dapson 1
x 100 mg/hari. Setelah di berikan terapi, perlu dilakukan KIE pada pasien agar
pasien minum obat secara teratur, menghindari kontak dengan orang lain karena
penyakit nya menular, jangan bekerja sebagai pengasuh anak karena dapat menular
dan kontrol tiap bulan atau bila ada keluhan lain. Selain itu kita juga perlu
menginformasikan mengenai efek samping yang mungkin timbul akibat pemberian
terapi dan komplikasi jika penyakit ini tidak tertangani dengan baik. Komplikasi nya
berupa infeksi sekunder, reaksi kusta, dan kecacatan.
BAB IV
KESIMPULAN
13
Telah dilaporkan kasus Morbus Hansen tipe MB pada Ny. I 38 tahun.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang yang khas pada kasus ini yaitu ditemukan Cardinal signs yaitu (1)
Terdapat kelainan kulit yang hipopigmentasi atau eritematosa dengan anastesi, (2)
Hapusan kulit positif untuk kuman tahan asam. Terapi yang diberikan sesuai dengan
WHO yaitu MDT MB selama 12 bulan. Selain itu dilakukan KIE pada pasien
mengenai perjalanan penyakit, pengobatan, efek samping obat, dan komplikasi
penyakit.
14
DAFTAR PUSTAKA
1. Gandhi, G and Singh, B. 2004. DNA damage studies in untreated and treated
leprosy patients. Mutagenesis vol.19.No.6.p. 483-488.
2. Barakbah, Jusuf, dkk. 2008. Atlas Penyakit Kulit & Kelamin. Airlangga University
Press. Surabaya. Hal. 41-54.
3. Graham Brown, Robin. 2005. Lecture notes Dermatology. Erlangga. Jakarta. Hal.
23-25.
4. Djuanda, Adhi, Mochtar Hamzah, dan Siti Aisah. 2006. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi Keempat. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
Hal: 73-88.
5. Barakbah, Jusuf, dkk. 2005. Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/ SMF Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ketiga. Airlangga University Press. Surabaya.
Hal: 41-45.
15