Monthly Report on Religious Issues Edisi 43 versi Indonesia, The Wahid Institute

12
43 Edisi Juli 2012 Monthly Report on Religious Issues WAHID Institute The D alam MRoRI edisi kali ini kita dapat menyimak beberapa “perluasan” dalam ranah keberagamaan kita. Perluasan yang dimaksud menyangkut ranah penodaan agama dan sweeping yang setia ada setiap bulan puasa. dalam ranah pendoaan agama, isu yang disoroti bukan melulu penyimpangan yang menyimpang dari pokok ajaran suatu agama, aliran sesat, dan alasan lain yang sejenis tetapi meluas pada wilayah atheisme. Meskipun atheis menyatakan diri sebagai kelompok yang menolak dan atau menyangsikan keberadaan Tuhan, Aan dari Minang memilih tafsir kedua, ia disangkutkan sebagai menodai agama. Menyeret atheisme ke dalam definisi penodaan agama seperti hendak memusatkan wacana pada soal ke-Tuhan-an belaka. Wacana Tuhan merupakan pusat, sementara yang lain merupakan pinggiran dan karenanya yang berada di pinggiran harus bersedia tunduk kepada yang berada di pusat. Jika yang pusat merasa terganggu, maka yang di pinggiran dapat ditertibkan dengan cara apapun, termasuk dengan kriminalisasi keyakinan, dan kepada siapapun, termasuk kepada abdi negara. Menyinggung abdi negara, ia juga mengalami perluasan kepatuhan. Selain patuh secara administratif dan etis, para abdi negara yang bergelar CPNS (Calon Pegawai Negeri Sipil) dan PNS (Pegawai Negeri Sipil) dan PNS (Pengawai Negeri Sipil) jika mesti patuh pada pokok-pokok ajaran agama. Para abdi negara ini terancam dipecat bukan hanya karena mereka korup tetapi juga ketika tersangkut dengan perkara penodaan agama seperti mengaku sebagai atehis atau mengikuti ajaran sesat. Aan yang merupakan CPN Bappeda Kab. Dharmsraya dan PNS di lingkungan Pemkab menerima ancaman semacam ini. Perkara lainnya yang meluas adalah sweeping yang tidak lagi melibatkan orang-orang dewasa dengan berbagai atribut dan bahkan pentungan di dalamnya, kini melibatkan anak-anak ABG seperti terjadi di Bintaro. Keterlibatan ini bukan hanya membuat mereka biasa melihat kekerasan setiap hari tetapi juga melibatkannya sehingga kekerasan menjadi perkara yang wajar, bahkan terkesan benar. Kita layak harap-harap cemas dengan pikiran dan perilaku mereka ketika sudah menginjak dewasa. Di atas segala berita yang memprihatinkan ini, kita layak berharap bahwa ketegasan aparat terhadap ormas anarkhis seperti terjadi di Pontianak akan terus meluas hingga ke seluruh pelosok negeri ini. Semoga. Akhirnya, selamat membaca.

description

Report on Religious Issues in Indonesia, indonesia Version

Transcript of Monthly Report on Religious Issues Edisi 43 versi Indonesia, The Wahid Institute

Page 1: Monthly Report on Religious Issues Edisi 43 versi Indonesia, The Wahid Institute

43EdisiJuli 2012

Monthly Report on Religious Issues

WAHID InstituteThe

Dalam MRoRI edisi kali ini kita dapat menyimak beberapa “perluasan” dalam ranah keberagamaan kita. Perluasan yang dimaksud menyangkut ranah penodaan agama dan sweeping yang setia ada setiap bulan puasa. dalam ranah pendoaan agama, isu yang disoroti bukan melulu

penyimpangan yang menyimpang dari pokok ajaran suatu agama, aliran sesat, dan alasan lain yang sejenis tetapi meluas pada wilayah atheisme. Meskipun atheis menyatakan diri sebagai kelompok yang menolak dan atau menyangsikan keberadaan Tuhan, Aan dari Minang memilih tafsir kedua, ia disangkutkan sebagai menodai agama. Menyeret atheisme ke dalam definisi penodaan agama seperti hendak memusatkan wacana pada soal ke-Tuhan-an belaka. Wacana Tuhan merupakan pusat, sementara yang lain merupakan pinggiran dan karenanya yang berada di pinggiran harus bersedia tunduk kepada yang berada di pusat. Jika yang pusat merasa terganggu, maka yang di pinggiran dapat ditertibkan dengan cara apapun, termasuk dengan kriminalisasi keyakinan, dan kepada siapapun, termasuk kepada abdi negara.

Menyinggung abdi negara, ia juga mengalami perluasan kepatuhan. Selain patuh secara administratif dan etis, para abdi negara yang bergelar CPNS (Calon Pegawai Negeri Sipil) dan PNS (Pegawai Negeri Sipil) dan PNS (Pengawai Negeri Sipil) jika mesti patuh pada pokok-pokok ajaran agama. Para abdi negara ini terancam dipecat bukan hanya karena mereka korup tetapi juga ketika tersangkut dengan perkara penodaan agama seperti mengaku sebagai atehis atau mengikuti ajaran sesat. Aan yang merupakan CPN Bappeda Kab. Dharmsraya dan PNS di lingkungan Pemkab menerima ancaman semacam ini.

Perkara lainnya yang meluas adalah sweeping yang tidak lagi melibatkan orang-orang dewasa dengan berbagai atribut dan bahkan pentungan di dalamnya, kini melibatkan anak-anak ABG seperti terjadi di Bintaro. Keterlibatan ini bukan hanya membuat mereka biasa melihat kekerasan setiap hari tetapi juga melibatkannya sehingga kekerasan menjadi perkara yang wajar, bahkan terkesan benar. Kita layak harap-harap cemas dengan pikiran dan perilaku mereka ketika sudah menginjak dewasa.

Di atas segala berita yang memprihatinkan ini, kita layak berharap bahwa ketegasan aparat terhadap ormas anarkhis seperti terjadi di Pontianak akan terus meluas hingga ke seluruh pelosok negeri ini. Semoga.

Akhirnya, selamat membaca.

Page 2: Monthly Report on Religious Issues Edisi 43 versi Indonesia, The Wahid Institute

Monthly Report on Religious Issues, Edisi XLIII Juli 2012 2

Sweeping FPI Di Bandung, Polisi Tidak Mau Dianggap Kecolongan Oleh: Nurun Nisa’

Seperti bulan Ramadhan tahun lalu, FPI meneruskan tradisinya untuk melakukan sweeping atau

razia terhadap tempat yang disangka sebagai gudang maksiat. Tempat yang dimaksud meliputi hotel (kelas melati), penginapan, dan toko yang menjual miras serta individu yang tertangkap tangan melakukan maksiat di bulan puasa ini. Sebagian besar di antaranya disertai dengan pukulan dan adu jotos. Sweeping ini dimulai pada Sabtu malam (28/07) hingga Minggu dinihari (29/07) yang dimulai dari kawasan Babakan Ciparay. Adapun area sweeping meliputi Pasir Koja, Moch. Toha, Laswi, Stasiun Bandung, Pasirkaliki, Sudirman, Saritem, dan Jamika.

Pihak FPI menyatakan bahwa sweeping ini digelar karena keprihatinan terhadap masih beroperasinya tempat maksiat pada bulan Ramadhan. “Bulan Ramadan ini bulan yang mulia dan diridhoi Allah, tapi masih banyak tempat maksiat yang beroperasi,” terang Ketua Dewan Syuro dan Keamanan Ketertiban FPI Bandung Raya, Soirin Ahmad Abdullah sebagaimana ditulis Detik.com (29/07).

Pada Minggu dinihari (29/07), misalnya, FPI Bandung melakukan sweeping kepada beberapa hotel dan penginapan. Mereka menemukan dua warga yang sedang melakukan pesta minuman keras di pinggir jalan. Anggota FPI ini naik pitam dan segera menghajar kedua orang ini. Suasana semakin ini panas karena balik membalas pukulan anggota FPI. Petugas kemudian mengamankan mereka sementara FPI terus melenggang melanjutkan sweeping di tempat lain.

Sasaran sweeping selanjutnya adalah hotel (kelas melati) dan penginapan di sekitar Jalan Otista, Bandung. Mereka menggeledah tempat-tempat ini dan menemukan sejumalah pasangan bukan suami istri yang sedang berkencan.

Sebelumnya, ketika hari belum menginjak pagi, FPI sudah menemukan lima pasangan di Hotel Arimbi dan sebuah hotel di Jl. Bungsu. Mereka didata dan kemudian digiring polisi. Di tempat yang lain, sejumlah perempuan yang berpenampilan—menurut FPI—seksi diminta pulang oleh FPI. Di antara mereka adalah dua orang yang sedang di sebuah kios di Jl. Jamika.

Beberapa pedagang kaget melihat kedatangan rombongan FPI. Mereka tak bisa menolak ulah FPI yang begitu saja memeriksa barang dagangan mereka. “Mangga (Silahkan, Red.) diperiksa,” ucap salah seorang pedagang di Kebon Kawung.

Seminggu sebelumnya, FPI

beraksi di Jl. Gabus No. 9 RT 2/RW 5 Kelurahan Ciroyom Kecamatan Andir Kota Bandung. Ribuan botol miras ditemukan di toko Edy Rusdi. Mereka menyita barang-barang ini dan untuk kemudian diserahkan kepada Polrestabes Bandung. Ditampung di Markas Satuan Reserse Narkoba Polrestabes Bandung, miras yang berhasil disita sebanyak 156 kardus dan 156 botol berbagai merek. Penyitaan ini tidak berjalan mulus karena seseorang yang diduga oknum polisi membela di pemilik toko. Pria ini kemudian diamankan aparat kepolisian yang turut datang ke lokasi. Alasannya, demi menghormati umat Islam yang akan menjalankan ibadah puasa. Kepala

Kepolisian Sektor Andir Komisaris Fillol Praja mengakui adanya insiden ini. Ia bahkan menyebutkan bahwa massa yang datang berjumlah sekitar 50 orang.

Sikap Kapolsek Andir ini sejatinya mengherankan—tidak melakukan penindakan atas sweeping FPI—mengingat pernyataan aparat Polretabes Bandung pada awal bulan puasa. Polrestabes menyatakan akan menindak tegas tindakan setiap ormas pelaku sweeping yang menjurus pada tindakan anarkis dan criminal. Kepada ormas yang menyita barang hasil sweeping, maka mereka dapat dikenai pasal pencurian. “Biasanya, ormas atau kelompok tertentu yang sweeping itu langsung mengambil barang sitaannya, seperti miras. Mereka bisa dijerat dengan pasal 363 KUH Pidana tentang pencurian,” ujar Kasatreskrim Polrestabes Bandung AKBP Wijonarko sebagaimana ditulis Tribunnews.com (23/07).

Bahkan, selain bisa dikenai pasal pencurian, tambah Wijonarko, ormas atau kelompok tertentu yang anarkis juga bisa dijerat dengan pasal 170 KUH Pidana mengenai kekerasan terhadap barang atau orang. Selain itu, para ormas ini dapat diadukan dengan dalil pasal 404 KUHP karena dianggap merugikan orang dengan ancaman lebih dari tujuh tahun penjara. Meski terdapat aturan tegas semacam ini, polisi berharap agar ormas tidak main hakim sendiri bila berhadapan dengan kenyataan yang bertentangan dengan pemahaman mereka.

Namun, kenyataannya, FPI masih beraksi beberapa kali. Terhadap hal ini, polisi tidak bersedia disebut sebagai kecolongan. Ormas yang melakukan sweeping bukan berasal dari Bandung, kata Wakapolda Jabar Brigjen Pol Hengkie Kaluara. “Ormas itu bukan berasal dari Bandung. Mereka datang tiba-tiba ke Bandung. Sudah kami evaluasi. Ini bukan masalah kecolongan,” jelasnya seperti ditulis Detik.com (01/08). “Kecolongan”

“Bulan Ramadan ini bulan yang mulia dan

diridhoi Allah, tapi masih banyak tempat maksiat

yang beroperasi,” terang Ketua Dewan Syuro dan

Keamanan Ketertiban FPI Bandung Raya, Soirin

Ahmad Abdullah

Page 3: Monthly Report on Religious Issues Edisi 43 versi Indonesia, The Wahid Institute

The WAHID Institute 3

tetap saja dapat dialamatkan kepada institusi ini mengingat penindakan dapat dilakukan di lapangan ketika sweeping sedang berjalan. FPI Bandung sendiri dalam sebuah demo pada Rabu (18/07), puasa berlangsung tiga hari

kemudian, telah menegaskan akan tetap melaksanakan sweeping meskipun dilarang pihak kepolisian.

Sikap semacam ini juga ternyata diambil Walikota Bandung, Dada Rosyada. Dada tidak konsisten dengan ucapannya

sendiri: Dada Rosyada memperbolehkan masyarakat turut terlibat dalam sweeping karena terbatasnya personil pemerintah tetapi melarangnya di kemudian hari.

[M]

Dua Tahun Penjara Untuk Pemimpin Syiah Sampang Oleh: Nurun Nisa’

Tajul Muluk alias Ali Murtadho, pemimpin Syiah di Dusun Nang-Kernang Desa Karang Gayam

Kecamatan Omben, Madura akhirnya divonis dua tahun penjara karena secara terbukti dan meyakinkan telah melakukan penodaan agama sebagaimana tercantum dalam pasal 156a KUHP pada Kamis (12/07). “Tajul Muluk alias Haji Ali Murtadho terbukti melecehkan agama Islam dengan menyatakan Al-Quran yang beredar tidak asli lagi,” kata Ketua Majelis Hakim Purnomo Amin Cahyo di Pengadilan Negeri (PN) Sampang seperti ditulis Tempo.co (12/07). Vonis yang dibacakan oleh Ketua Majelis Hukum Purnomo Amin Cahyo ini lebih ringan dari tuntutan JPU yang mencapai 4,5 tahun.

Pasal penodaan agama antara lain disangkutpautkan dengan pendirian Tajul, misalnya al-Qur’an yang tidak otentik. Ajaran lainnya adalah sholat Jumat yang tidak wajib, ziarah tidak wajib ke Mekkah melainkan cukup ke Karbala Iran, dan sholat lima waktu digabung menjadi tiga waktu. Tiga waktu berarti sholat Dhuhur digabung dengan Ashar, sholat Maghrib digabung dengan sholat Isya, dan sholat Subuh tanpa digabung dengan sholat lainnya. Selain itu, kata Majelis Hakim berdasarkan keterangan saksi-saksi, sholat tarawih dan sholat Dhuha diharamkan. Kalimat syahadat ditambah dengan kalimat lain, sebagaimana adzan.

Beberapa hal dianggap meringankan karena Tajul beritikad baik dan berlaku santun selama persidangan. “Terdakwa sepakat untuk keluar dari Sampang ketika konflik sedang

berlangsung. Itu merupakan bukti bahwa terdakwa punya itikad baik. Hal yang meringankan terdakwa, selama proses persidangan terdakwa cukup santun,” terang Purnomo. Selain itu, Tajul dianggap masih memiliki tanggungan keluarga yang wajib dinafkahi, di samping menanggung kerugian materi setelah rumahnya dibakar pada Desember 2011.

Tajul menyatakan vonis ini tidak adil dan langsung menyatakan banding. “Saya putuskan hari ini juga untuk naik banding,” ujar Tajul sebagaimana ditulis Kompas.com (12/07). Pengacara Tajul, M. Faiq Assiddiqi, memiliki pendapat senada—ia menyayangkan putusan hakim soal tuduhan penistaan kitab suci al-Qur’an yang tidak terbukti. Faiq sudah menyampaikan kepada Majelis Hakim, sebelum pembacaan vonis dilangsungkan, bahwa al-Qur’an yang dipakai kliennya sama dengan al-Qur’an yang dipakai umat Islam lainnya.

Kelompok Kerja Advokasi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (Pokja AKBB) Jawa Timur mengkritik keras vonis ini. Menurut aliansi yang terdiri atas LBH Surabaya, CMARs Surabaya, GKI Sinode Jatim, Pusham Unair, JIAD Jatim, Gus Durian Jatim, KPI Jatim, Yayasan Maryam, Sapulidi Surabaya, PMII Jawa Timur, KSGK, dan KPPD Surabaya, vonis ini merupakan putusan yang berani. Sebab, semua bukti yang ada dan saksi-saksi justru memberatkan hal ini: semua layak diabaikan karena saksi-saksi tidak pernah melihat dan mendengar sendiri tuduhan-tuduhan ini. Hakim lebih memilih keterangan 4 (empat) orang saksi, yang sebagiannya tidak disumpah, mengalahkan 7 (tujuh) orang saksi

dari pihak Tajul dengan alasan mereka memiliki keyakinan taqiyah.

Taqiyah oleh JPU diartikan sebagai “mewajibkan berbohong” sementara hakim menyatakan bahwa istilah ini diartikan sebagai kebolehan untuk tidak menyatakan yang sebenarnya dalam keadaan terancam jiwanya, terpaksa, dan untuk kemaslahatan umum. Mendasarkan putusan pengadilan pada istilah ini, menurut Pokja AKBB Jawa Timur, berarti pengadilan atas sanubari saksi karena tidak ditemukan indikasi kebohongan pada saksi-saksi tersebut. “Secara faktual, putusan majelis hakim ini juga mengukuhkan logika mayoritas yang dipaksakan harus menjadi nilai yang diikuti minoritas,” tandas Ketua Pokja KBB Jatim, Akhol Firdaus dalam siaran persnya tertanggal 13 Juli 2012.

Pendapat ini merujuk pada pertimbangan hukum yang menyatakan bahwa terdakwa mengajarkan ajaran

yang tidak umum sehingga menimbulkan keresahan masyarakat. Dengan kalimat semacam ini, tindakan Tajul kemudian hanya diukur dari pendapat mayoritas di sekelilingnya dan karena mayoritas tidak senang atas dakwah serta ajaran yang

“Secara faktual, putusan majelis hakim ini juga mengukuhkan logika

mayoritas yang dipaksakan harus menjadi nilai yang

diikuti minoritas,” tandas Ketua Pokja KBB Jatim, Akhol

Firdaus

Page 4: Monthly Report on Religious Issues Edisi 43 versi Indonesia, The Wahid Institute

Monthly Report on Religious Issues, Edisi XLIII Juli 2012 4

disampaikan dianggap mengganggu otoritas keagamaan.

CMARs, salah satu komponen dari Pokja AKBB, sudah mengajukan kritisisme bahwa penetapan Tajul sebagai tersangka sejak 12 April 2012 merupakan sesuatu yang bias mayoritas karena beberapa hal. Pertama, proses penyelidikan dan penyidikan kasus ini sepenuhnya didasarkan pada fatwa MUI Sampang yang dikeluarkan pada Minggu 1 Januari 2012 dan laporan Roisul Hukama, adik Tajul Muluk. Proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh pihak kepolisian terkesan dipaksakan karena sejak awal tidak ditemukan bukti materiil yang cukup untuk membuktikan tuduhan ini. Polres Sampang kemudian melimpahkan kasus ini ke Polda Jatim karena alasan ini.

Kedua, proses untuk menyeret Tajul ke pengadilan seperti kejar tayang. Pada Kamis, 05 April 2012, berkas perkara

Tajul Muluk dilimpahkan oleh Penyidik (Polda Jatim) kepada Kejaksaan Tinggi Jatim untuk dikonsultasikan maka hanya berselang lima hari, Selasa, 10 April 2012, berkas perkara ini dinyatakan telah memenuhi syarat (P-21) oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Timur. Meskipun berjarak lima hari, proses ini sejatinya hanya berlangsung dua hari karena Jumat-Minggu adalah hari libur. Proses P-21 memerlukan waktu berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan pada kasus yang umum.

Ketiga, terdapat upaya politis untuk menyeret proses pengadilan Tajul Muluk dari Surabaya ke Sampang. Hal ini terbukti pada Kamis, 12 April 2012, berkas perkara Tajul Muluk dilimpahkan oleh Kejaksaan Tinggi Jatim kepada Kejaksaan Negeri Sampang. Bersamaan dengan pelimpahan berkas perkara ini, Kejaksaan Negeri Sampang mengeluarkan Surat Perintah Penahanan terhadap Ust. Tajul

Muluk dan selanjutnya Tajul dititipkan di Lembaga Pemasyarakatan Sampang. Kejaksaan Negeri Sampang berdalih penahanan tersebut juga terpaksa dilakukan karena terdapat ancaman pembakaran kantor Kejaksaan Negeri Sampang oleh massa. Berdasarkan keterangan Otman Ralibi, kuasa hukum Ust. Tajul Muluk, diduga Bupati dan Polres Sampang menekan Kejaksaan Tinggi Jatim untuk memidahkan proses pengadilan Tajul ke Sampang.

Sesi pembacaan vonis di Pengadilan Negeri (PN) Sampang, pengamatan Surya Online (12/07), ini dijaga dengan ketat oleh 150 aparat kepolisian dan Brimob. Dimulai pada pukul 10.30 WIB, pengadilan ini dihadiri Raisul Hukam—adik kandung yang kini menjadi seteru—serta sekitar seratus orang dari Desa Nang Krenang Omben, Sampang yang merupakan tetangga Tajul. [M]

Anak-Anakpun Dilibatkan SweepingOleh: Nurun Nisa’

Sweeping pun semakin canggih hari ini. Selain memakai atribut ke-Islam-an, kini sweeping

melibatkan anak-anak belasan tahun. Sweeping yang dimaksud terjadi pada sweeping Kafe De Most di Jl. RC Veteran, Bintaro pada Sabtu malam (28/07).

Di bawah ajakan Habib Bahar, anak-anak yang bergabung dengan Majelis Rasulullah melakukan sweeping. Bersama-sama dengan puluhan orang dewasa lainnya, mereka mendatangi kafe ini dengan membawa beragam senjata tajam semacam celurit, parang, samurai hingga stik golf. Mereka mengecam sembari merusak isi kafe. Selain itu, dua karyawan kafe ini dipukuli.

Selesai melakukan sweeping di tempat ini, mereka bergerak menuju wilayah Pondok Aren, Tangerang Selatan. Polisi gabungan Polsek Pondok Aren dan Polresta Tangerang yang bersiaga mencegat mereka di tengah jalan. Massa yang berkonvoi menggunakan motor

ini kemudian ditangkap di Jl. Pondok Kacang Kec. Pondok Aren sekitar pukul 00.30 WIB.

Aksi ini, menurut polisi, direncanakan di rumah Habib Bahar yang terletak di bilangan Pondok Aren. Habib juga yang memesan empat samurai dengan dalih melindungi diri dari preman penjaga kafe dan klub malam yang akan disambangi.

Pasca kejadian ini, puluhan orang ditahan, termasuk 41 anak di dalamnya. Polisi juga menyita sejumlah barang bukti berupa 1 (satu) golok, 1 (satu) celurit, 4 (empat) samurai, 4 (empat) stik besi, 1 (satu) kayu, 1 (satu) bendera

Majelis Rasulullah, dan satu set alat musik kafe. ”Mereka berinisiatif menutup tanpa koordinasi dengan polisi,” kata Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Polisi Imam Rikhwanto sebagaimana ditulis Indopos (30/07). Habib Bahar sendiri, menurut polisi, pernah terlibat dalam penyerangan jemaat Ahmadiyah di Kebayoran dan aksi kekerasan di Jawa Timur.

Anak-anak belasan tahun ini akhirnya dilepaskan setelah orang tua masing-masing dipanggil pihak kepolisian, kecuali dua orang anak yang kedapatan membawa senjata tajam. “Mereka berinisial RD dan IND, keduanya

“Kita minta polisi menerapkan UU Perlindungan Anak terkait dengan pelibatan anak dalam kerusuhan dan kekerasan, oleh

pihak majelis baik anak-anak ikut secara sukarela atau dipaksa tetap bisa dituntut secara pidana, untuk pembelajaran bagi

masyarakat yang melibatkan anak-anak dalam aksi massa,” tandas Sekretaris KPAI M Ihsan

Page 5: Monthly Report on Religious Issues Edisi 43 versi Indonesia, The Wahid Institute

The WAHID Institute 5

membawa golok dan celurit,” terang Rikhwanto. Sementara itu, 23 tersangka lainnya dijerat dengan pasal 170 KUHP subsider pasal 2 ayat (1) UU No. 12 Th. 1951.

Penahanan kedua anak ini mendapat perhatian KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia). KPAI

meminta agar mereka dilepaskan dengan pendampingan orang tua. Dalam proses ini, proses pengadilan masih dapat berlangsung. “Kita minta polisi menerapkan UU Perlindungan Anak terkait dengan pelibatan anak dalam kerusuhan dan kekerasan, oleh pihak majelis baik anak-anak ikut secara

sukarela atau dipaksa tetap bisa dituntut secara pidana, untuk pembelajaran bagi masyarakat yang melibatkan anak-anak dalam aksi massa,” tandas Sekretaris KPAI M Ihsan sebagaimana ditulis detik.com (29/07). Pihak kepolisian menyatakan anak-anak ini diajak setelah sebelumnya nongkrong di rumah Habib. [M]

Bandungan Target Razia FPI, Warga SiagaOleh: Nurun Nisa’

Belasan anggota FPI Jateng (Jawa Tengah) melakukan sweeping di kawasan Bandungan Kabupaten

Semarang pada Selasa siang (24/07). Menggunakan dua mobi jenis Xenia dan Carry, mereka membawa pentungan dari kayu dan bambu.

Dipimpin oleh KH Ahmad Rofii, rombongan ini menyasar warung-warung di sekitar yang dikenal sebagai lokalisasi terselubung. Warung-warung makan masuk kategori terlarang untuk buka di siang hari pada bulan Ramadhan demi menghormati bulan suci ini. Sementara itu, warung sabun dan semacamnya diperkenankan buka oleh FPI.

Pentungan yang dibawa FPI sendiri digunakan untuk menakut-nakuti. Terhadap penggunaan tujuan pentungan yang dapat saja dipakai untuk kepentingan anarkis, pihak FPI menjawab diplomatis. “Hal itu sudah menjadi tanggung jawab kami selama bulan Ramadan, kalau urusan nggebuk-menggebuk ya tergantung nanti,” terang Kyai Rofi’i yang mengakui mendapatkan amanat dari FPI Pusat untuk melakukan aksi ini.

H. Muhdori yang memangku Pesantren Darussalam di Desa Gebungan Kec. Bergas Kab. Semarang ini tidak sepakat dengan cara-cara model FPI.

Baginya, menegur warung tidak boleh dengan cara menakuti-nakuti. “Kami tidak senang dengan upaya kekerasan yang dilakukan sejumlah orang atau kelompok yang mengatasnamakan Islam. Kalaupun akan menutup warung, hendaknya tidak dengan kekerasan. Jika mau menertibkan ya yang arif dan sopan, jangan lantas membawa pentungan dan menakut-nakuti pemilik warung,” tandasnya sebagaimana ditulis Merdeka (24/07).

Seorang pemilik warung menyesalkan arogansi semacam ini. Hastri, pemilik warung di lingkungan Karanglo Desa Kenteng Bandungan mengharapkan agar aparat bisa meredamnya dan mengayomi warga. Tujuh pentungan itu sendiri sudah disita seperti dituturkan Kabag Ops Polres Semarang, Kompol Sugandi kepada media. Pihaknya bersama dengan jajaran Polsek setempat memantau dan mengamankan sekitar lokasi. Setiap tindakan pengrusakan dan pemukulan, kata Kompol Sugandi, akan diproses sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Sebelumnya, ia menyatakan akan menindak ormas yang melakukan sweeping karena polisi sudah memiliki agenda sendiri terkait soal-soal yang dianggap bagi dari maksiat ini. “Jadi tak ada alasan ormas-ormas

lakukan sweeping  karena kita sudah punya agenda operasi pekat (penyakit masyarakat, Red.) selama 18 hari sejak tanggal 20 (20 Juli 2012, Red.) kemarin. Kita akan tindak tegas ormas yang tetap sweeping,” tandasnya. Selain peringatan tegas semacam ini, polisi sesungguhnya sudah melakukan inisiasi pertemuan para pengusaha di sekitar Bandungan dan beberapa ormas semacam FPI yang dijadwalkan pada 27 Juli 2012 tetapi gagal. FPI menyatakan bahwa pertemuan ini kurang dikonsep dengan matang sementara pihak kepolisian mengungkapkan absennya para undangan dari kalangan pengambil keputusan. Yang paling jelas di depan mata, FPI sudah melakukan razia tiga hari sebelum pertemuan berlangsung.

Rupanya razia ini belum menemui akhir kisahnya. Pada awal Agustus, para pengelola usaha di sekitar Bandungan ini menutup usahanya sejak pukul 21.00 WIB, lebih awal tiga jam dari yang tertera dalam Surat Edaran Bupati Semarang. “Sengaja kami tutup karena ada informasi FPI sedang rapat di Ungaran dan akan melakukan sweeping tempat hiburan. Informasi dari kepolisian FPI sedang ada kegiatan, dari pada ada gesekan lebih baik ditutup saja. Akhirnya kita tutup. Kita melakukan ini semua untuk menjaga aset kami, tempat kami mencari nafkah agar

“Kami tidak senang dengan upaya kekerasan yang dilakukan sejumlah orang atau kelompok yang mengatasnamakan Islam. Kalaupun akan menutup warung, hendaknya tidak dengan

kekerasan. Jika mau menertibkan ya yang arif dan sopan, jangan lantas membawa pentungan dan menakut-nakuti pemilik warung,” terang Pengasuh Pesantren, KH Muhdori

Page 6: Monthly Report on Religious Issues Edisi 43 versi Indonesia, The Wahid Institute

Monthly Report on Religious Issues, Edisi XLIII Juli 2012 6

tidak menjadi sasaran perusakan,” terang pemilik karaoke Paradise Bandungan, Jalidin melalui humas, Budi Nugroho sebagaimana ditulis JPNN (03/08). FPI

membantah rapat ini sebagai koordinasi sweeping melainkan rapat untuk pelengkapan pengurus ormas ini. Polisi sendiri mengamankan jalan sepanjang

Bandungan dan Mapagan yang merupakan tempat rapat FPI serta jalur lain yang kemungkinan akan dilintasi rombongan FPI ini. [M]

Polisi Berani Halau FPI DI PontianakOleh: Nurun Nisa’

Akhirnya, polisi berani tegas mengatasi sweeping FPI di Pontianak. Kapolda Kalimantan Barat (Kalbar) Brigadir Jenderal Untung Cahyono dan Kapolresta Pontianak Mukarrom Riyadi turun langsung mengatasi FPI yang berada di Jl. Tanjungpura, Pontianak Selatan pada Sabtu malam (27/07). Aparat kepolisian terus berjaga di jalan-jalan protokol Pontianak hingga dinihari ketika memasuki sahur pada esok harinya.

Aparat kepolisian turun ke lapangan menghadang mereka ketika para anggota FPI di Jl. Tanjungpura ini berkumpul sebelum melakukan sweeping. Berbusana putih-putih, beberapa di antara mereka menenteng kayu balok.

Kapolresta Pontianak seusai melakukan tarawih langsung ‘mengultimatum’ ormas yang gemar melakukan sweeping. Kepada mereka,

Kapolresta menyatakan pentingnya mematuhi peraturan. “Polisi tidak melindungi pengusaha, namun pengusaha juga berhak menjalankan usahanya selama mengikuti peraturan yang dikeluarkan pemerintah,” terangnya di hadapan massa.

Selain itu, ia menyatakan akan menindak tegas setiap tindakan yang di luar wewenang, apalagi menimbulkan anarkhi. “Jika ormas yang bersangkutan melakukan aksi diluar wewenangnya, apalagi hingga menimbulkan anarki, kami siap bertindak tegas. Kita disini hanya memantau saja. Kita akan siap, jika mereka melakukan di luar wewenang mereka,” tegas Kapolresta. Kapolda yang turut berada di lokasi juga menyatakan pernyataan yang hampir senada.

Sebelumnya, massa sempat tegang karena FPI dan LPI sempat membangkang perintah aparat. Sweeping baru dibatalkan setelah

adanya negoisasi antara Kapolres dan pemimpin FPI. Mereka kemudian pulang dikawal polisi.

Massa FPI ini ini semula akan mendatangi sejumlah hotel untuk memaksa mereka menutup usahanya sebab tempat-tempat ini terindikasi sebagai tempat maksiat. Mereka menerima laporan bahwa masih banyak tempat hiburan yang beroperasi menjelang sahur. “Kami minta mereka semua tidak buka selama Ramadan. Tidak ada salahnya jika kawan-kawan dari Laskar turun tangan,” kata Ketua DPD FPI Kalbar, Afli Herlambang.

Terhadap ormas FPI, Pontianak memang memiliki sikap yang tegas dan berani. Awal Februari lalu, masyarakat sudah menolak kehadiran para petinggi pusat FPI ketika akan melantik pengurus FPI Kalbar. Penolakan ini dimulai sejak di bandara.

[M]

Alih Fungsi, Warga Kelapa Gading Tolak Gereja TiberiasOleh: Nurun Nisa’

Gedung Gereja Tiberias di Jl. Nias Kelapa Gading Jakarta Utara diresmikan akhir Juni lalu.

Dengan arsitek yang megah dan cantik, gedung yang selesai dalam jangka waktu setengah tahun itu dihadiri oleh Gubernur DKI, Fauzi Bowo

Dalam peresmian gereja ini, Fauzi Bowo menyatakan bahwa pemerintah pusat memiliki komitmen untuk memberikan kesempatan kepada warga Jakarta guna melakukan ibadah sesuai

agama dan kepercayaannya masing-masing tanpa mendsikriminasikannya satu sama lain.

Pihaknya sendiri terus berusaha melakukan pembinaan kerukunan antar-umat beragama demi menciptakan suasana kehidupan yang rukun, damai, harmoni, dan saling menghormati satu sama lain. “Jakarta merupakan kota yang sangat beragam dan setiap aspirasi umat beragama harus saya apresiasikan secara proposional,” terang Foke, panggilan

akrabnya, seperti ditulis Reformata.com (19/06).

Pihak gereja mengucap syukur atas peresmian gereja ini. “Kami mengucap syukur karena kasih karunia-Nya meresmikan dan mentahbiskan atas gereja ini. Terima kasih atas Pak Gubenur dengan memilih tanggal 19 (Juni) sebagai tanggal peresmian,” jelas Gembala Sidang Gereja Tiberias Indonesia, Yesaya Pariadji.

Kehadiran gereja ini ternyata

Page 7: Monthly Report on Religious Issues Edisi 43 versi Indonesia, The Wahid Institute

The WAHID Institute 7

menimbulkan sikap kontra setelahnya. Warga RW 06 dari yang dari beragam agama memprotes keberadaan gereja ini terkait alih fungsi lahan. Mereka tidak meributkan persoalan IMB, tetapi lahan fasos (fasilitas sosial) dan fasum (fasilitas umum). Lahan peruntukan ini kemudian

menjadi lahan yang disewakan yang diduga mengalir kepada Pemda DKI.

Warga sekitar Gereja Tiberias ini mengeluhkan hal ini dan beberapa dampak ikutannya. Mereka menyatakan bahwa karena keberadaan gereja ini warga tidak lagi merasa memiliki

lahan umum untuk berkumpul dan beraktivitas. Termasuk di dalam kategori ini adalah lapangan bola dan taman hijau yang terbuka. Dampak negatif yang tidak kalah penting adalah berkurangnya daerah resapan air yang makin berkurang sehingga hujan yang turun sebentar sudah cukup membuat jalan tergenang.

“Dampak lainnya yaitu kemacetan. Karena kan tidak ada lahan parkir di sekitar sana, padahal para jemaah banyak yang membawa kendaraan pribadi,” jelas Wakil Ketua RW 06 Kelapa Gading Barat, Priyo Budi Santoso sebagaimana dikutip Inilah.com (09/07).

Terhadap alih lahan semacam ini, warga menuntut Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo agar mencabut keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 488/2011 tentang Perubahan Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 685/200 tentang Persetujuan Pemanfaatan Tanah Milik Pemprov DKI Jakarta seluas 4.629 m2. Lahan yang dimaksud terletak di Blok HT-60 Jl. Kelapa Nias Kelurahan Kelapa Gading Barat Jakarta Utara kepada Gereja Tiberias.

Warga 06 ini juga berharap agar

Pemprov DKI bersedia berdialog dengan warga untuk mengakhiri persoalan alih fungsi lahan sosial. Mereka juga berharap pemimpin Jakarta yang terpilih dalam Pilkada mendatang akan memberikan perhatian lebih serius terkait penyalahgunaan kewenangan yang telah terjadi di Kelapa Gading Barat.

Protes semacam ini bukan pertama kalinya di lahan sekitar RW 06. Sebuah lahan di Jl. Pelepah Elok pada mulanya menjadi gereja lalu diprotes warga dan digantikan dengan rumah dinas Walikota Jakarta Utara.

Persoalan politik menjadi sesuatu yang bisa menjadi pertanyaan lanjutan kasus ini. Pada peresmian gereja ini Foke mengajak para jemaat Gereja Tiberias untuk mensukseskan pemilukada DKI Jakarta. Pada saat yang bersamaan, pihak gereja menyatakan “Kami berdoa dan berkumpul untuk memilih Foke agar terpilih ke dua kali menjadi gubenur DKI Jakarta. Serta sesuatu hari nanti menjadi menteri yang hebat”. Entah hal ini berhubungan atau tidak dengan perkara alih lahan yang menimbulkan kritik berkepanjangan. [M]

“Dampak lainnya yaitu kemacetan. Karena kan tidak

ada lahan parkir di sekitar sana, padahal para jemaah

banyak yang membawa kendaraan pribadi,” jelas

Wakil Ketua RW 06 Kelapa Gading Barat, Priyo Budi

Santoso

GKPPD Gunung Meriah Singkil DirusakOleh: Alamsyah M. Dja’far

Sepagi itu seorang petugas gereja Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi (GKPPD) Kampong

Sukamakmur, Kecamatan Gunung Meriah, Aceh Singkil, dikagetkan dengan keadaan di dalam ruangan, Selasa (17/07). Dua kursi, sebuah pengeras suara, dan kaki keyboard ditemukan rusak. Di dekat podium sebuah jeriken seukuran 30 liter juga ditemukan. Kejadian itu lalu dilaporkan kepada pengurus gereja. “Di dalam jerikan, masih tersisi sekitar 10 liter bensin,” terang Tigor Padang Ketua Forum Umat Kristen Aceh Singkil (FKUKAS) kepada MRoRI, Kamis (19/07). Satu jeriken lagi ditemukan gosong di lantai. Namun api sempat membakar sebagian langit-langit gereja

yang terlihat menghitam, termasuk sebuah pengeras suara.

Hingga berita ini diturunkan, Tigor mengaku belum mengetahui pelaku pengrusakan gereja. “Kami menyerahkan kepada aparat,” terangnya. Kepada MRoRI ia juga mengabarkan jika Rabu kemarin (18/07) rombongan Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida) Aceh Singkil mendatangi lokasi. Rombongan terdiri dari Bupati dan Wakil Bupati Aceh Singkil Safriadi dan Dulmusrid, Sekretaris Daerah, perwakilan Kodim dan Kapolres setempat.

Kepada pendeta dan jemaat, masih menurut penuturan Tigor, Muspida meminta mereka untuk memercayakan masalah kepada aparat.

“Kami diminta tenang. Apalagi ini kan menjelang Ramadhan,” terangnya.

Di Aceh Singkil, konflik pendirian rumah ibadah kembali mengemuka setahun belakangan ini. Puncaknya, seperti dilaporkan Aliansi Sumut Bersatu (ASB), Medan, penyelegelan 15 gereja dan 1 (satu) rumah ibadah agama lokal oleh pemerintah Kabupaten Aceh Singkil. Sebelumnya sejumlah kelompok menggelar aksi di depan kantor Kabupaten dan mendesak pemerintah mematuhi perjanjian yang diteken pada 1979 berisi aturan yang hanya membolehkan berdirinya sebuah gereja dan empat undung-undung di Aceh Singkil.

Penyegelan itu sendiri sudah

Page 8: Monthly Report on Religious Issues Edisi 43 versi Indonesia, The Wahid Institute

Monthly Report on Religious Issues, Edisi XLIII Juli 2012 8

dilaporkan pihak gereja yang menjadi korban dan Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) ke Komisi Nasional untuk Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada 16 Mei 2012. Mereka meminta Komnas HAM menyelesaikan masalah tersebut dan menuntut pemerintah menjamin hak beribadah mereka. Namun penyegelan dan penutupan rumah ibadah itu dibantah Herman, Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Singkil.

Menurut Herman, pihaknya hanya mengeluarkan instruksi menghentikan kelanjutan pembangunan sejumlah

undung-undung, sejenis rumah kecil yang dipakai beribadah bagi umat Kristiani. Pembangunannya dinyatakan melanggar izin mendirikan bangunan. “Tidak benar kalau disegel dan melarang umat Kristiani beribadah. Tapi, mereka tetap bisa beribadah di tempat ibadah yang sudah memenuhi syarat, seperti gereja utama di Singkil, dan empat bangunan undung-undung yang memenuhi izin,” kilahnya pertengahan Mei seperti dikutip sejumlah media. Razali, Pejabat Bupati Aceh Singkil ketika itu juga berdalih jika penyegelan dilakukan demi menyelamatkan agar tak

terjadi bentrok berdarah.Terkait pendirian rumah Ibadah,

Aceh memiliki Peraturan Gubernur Aceh Nomor 25 Tahun 2007 berisi aturan jika rumah ibadah harus mendapat pesetujuan 150 jemaat dan 90 orang warga. Ada pula kesepakatan masyarakat Aceh Singkil tahun 2001 disebutkan bahwa Kabupaten Aceh Singkil diizinkan untuk membangun satu gereja dan empat undung-undung. Karena dianggap diteken di bawah tekanan FKUKAS menyatakan penolakan dan pencabutan terhadap perjanjian tersebut. [M]

Bupati Cianjur Pasang Baliho Di Mesjid AhmadiyahOleh: Nurun Nisa’

Tujuh belas masjid Ahmadiyah yang tersebar di Cianjur dipasangi baliho oleh Bakorpakem sesuai

instruksi Bupati Cianjur Tjetjep Muhtar Soleh. Baliho ini berisi peringatan dan pelarangan aktivitas jemaat Ahmadiyah. Baliho juga merupakan bentuk pembinaan kepada jemaat Ahmadiyah sekaligus upaya untuk menyatukan pandangan dari sejumlah komponen masyarakat.

Selain itu, baliho dimaksudkan sebagai sosialisasi berbagai peraturan terkait pembatasan terhadap Ahmadiyah. Peraturan yang dimaksud misalnya SKB Mentari Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Tahun 2008 dan Pergub Jabar Nomor 12 Tahun 2011 tentang larangan kegiatan jemaat Ahmadiyah di Jawa Barat. “Ini juga untuk menyosialisasikan Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Tahun 2008 tentang peringatan dan perintah

kepada penganut atau anggota jemaah Ahmadiyah,” terang Bupati Cianjur Tjetjep Muhtar Soleh seperti dikutip Kompas.com (20/06).

Bakorpakem berharap baliho ini membuat kerukunan agama di Cianjur lebih tertata dengan baik. Ahmadiyah dianggap sebagai “ada yang tidak” pas sehingga perlu dipasang baliho ini. “Kami mengharapkan agar kerukunan agama di Kabupaten Cianjur lebih tertata dengan baik. Hanya saja, aliran Ahmadiyah memang ada yang tidak pas. Makanya, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, kami mengantisipasi dengan memasang papan peringatan dan pelarangan ini serentak di 17 bangunan masjid milik Ahmadiyah,” terang Ketua Bakor Pakem Kabupaten Cianjur Solichin sebagaimana ditulis Inilah.com (20/06)

Ketua Bakor Pakem Kabupaten Cianjur Solichin mengatakan, kegiatan pemasangan papan peringatan dan pelarangan sesuai SKB Tiga Menteri ini

merupakan bentuk sosialisasi mengenai peringatan jemaah Ahmadiyah tidak melakukan aktivitasnya. Adanya papan peringatan ini, kata Solichin, diharapkan bisa akan lebih menjalin kerukunan antarumat beragama di Kabupaten Cianjur. Selain itu, Solichin yang juga Ketua Kajari Cianjur, menyatakan bahwa baliho ini juga berisi perintah Bupati kepada aparat pemerintah dan pemerintah daerah untuk melakukan langkah-langkah pembinaan dalam rangka pengamanan dan pengawasan pelaksanaan Keputusan Bersama.

Kerukunan agama di Cianjur memang sedang terancam. Pada Februari lalu, Masjid Nurul Hidayah di Kecamatan Haurwangi Kab. Cianjur dirusak massa. Pada aras ini, menyandarkan Ahmadiyah sebagai ujung tombak kerukunan tentu saja tidak tepat sasaran. Ormas garis keras dan mereka yang mengintimidasi Ahmadiyah juga perlu ditertibkan.

[M]

“Kami mengharapkan agar kerukunan agama di Kabupaten Cianjur lebih tertata dengan baik. Hanya saja, aliran Ahmadiyah memang ada yang tidak pas. Makanya, untuk menghindari

hal-hal yang tidak diinginkan, kami mengantisipasi dengan memasang papan peringatan dan pelarangan ini serentak di 17 bangunan masjid milik Ahmadiyah,” terang Ketua Bakor Pakem

Kabupaten Cianjur Solichin

Page 9: Monthly Report on Religious Issues Edisi 43 versi Indonesia, The Wahid Institute

The WAHID Institute 9

Setelah diserang pada Oktober 2010, kini jemaat Ahmadiyah di Ciampea Udik, Cisalada, Bogor

harus mengalami nasib tragis yang sama. Rumah mereka diserang usai sholat Jumat (13/07). Akibatnya, enam rumah rusak dan dua korban terluka dari pihak jemaat Ahmadiyah.

Polisi menyatakan bahwa penyebab insiden ini adalah kedatangan wartawan asing yang tidak mendapat izin dari warga. “Pemicunya wartawan asing yang datang tanpa seiizin warga,” terang Kapolres Bogor AKBP Herry Santoso sebagaimana ditulis ROL (13/07). Wartawan yang dimaksud adalah empat orang wartawan yang berasal dari Inggris dan Belanda. Seorang warga menolak karena tidak ada izin dari kepala desa. Wartawan asing ini, kata Kapolres, kemudian digelandang ke Mapolres Bogor untuk dimintai keterangan pihak imigrasi setempat.

Michael Maas, salah satu wartawan asing yang datang ke Cisalada, menyatakan bahwa dirinya diperiksa Polres Bogor selama delapan jam. Koresponden Radio Netherland World Wide ini menyatakan bahwa dirinya dan kawan-kawannya adalah saksi penyerangan sementara ia merasakan bahwa polisi justru menuduhnya sebagai pemicu serangan.

Persoalan izin yang diributkan telah diselesaikan Maas. Mereka bahkan mendapat izin dari lima pihak

mulai dari pemerintah hingga aparat daerah setempat. “Kami mendapat izin dari lima pihak yaitu lurah, camat, pemda, Polsek Ciampea dan Koramil Ciampea,” tandas Maas seperti ditulis BBC (16/07). Perihal ke-imigrasi-an, Maas menyebutkan bahwa semua dokumen lengkap, termasuk KITAS (Kartu Izin Tinggal Terbatas) yang baru diperbaharui seminggu sebelumnya. Maas memutuskan menghentikan proyek pembuatan film tentang agama dan kebudayaan di Cisalada menyusul terjadinya insiden ini, selain mereka dinyatakan tidak boleh memasuki kampung itu lagi oleh yang berwenang.

Polisi baru datang ke lokasi setelah insiden ini berakhir. Sebanyak 200 personel diturunkan di dusun ini pada Jumat malam guna mengantisipasi kemungkinan adanya insiden susulan. Petugas kepolisian dan TNI menjaga beberapa lokasi masuk menuju Kampung Cisalada. Situasi wilayah ini perlahan normal.

Terkait penangkapan pelaku, pihak Ahmadiyah merasa pesimis kasus ini diungkap. “Mimpi kalau sampai ada penyerang yang ditahan,” terang Juru bicara Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI), Firdaus Mubarik. Polisi sendiri, kata Firdaus, memutuskan untuk menghentikan kasus ini menyusul ini menyusul adanya surat pernyataan dari jemaat Ahmadiyah. Dalam surat pernyaataan ini dituliskan permintaan

maaf dari jemaat Ahmadiyah karena sudah mengundang Waas ke Cisalada. Selain itu dinyatakan bahwa tamu dan wartawan yang masuk ke Cisalada harus mendapat persetujuan dari kepala desa Ciampea Udik.

Firdaus khawatir mekanisme penyelesaian semacam ini akan mengakibatkan adanya pewajaran sebuah penyerangan di masa mendatang. “Ke depannya maka setiap liputan soal Cisalada bisa dianggap sebagai provokasi karena tidak izin pemerintah setempat sehingga serangan akan dianggap sebagai akibat yang wajar,” tambahnya.

Kekhawatiran juga datang dari Rumadi, peneliti the WAHID Institute. Insiden semacam ini, menurut Rumadi, hanya akan membenarkan sorotan dunia internasional mengenai menurunnya tingkat tolernasi di Indonesia yang mengemuka pada sidang UPR (Universal Periodic Review) pada akhir Mei. Dalam UPR Indonesia mendapat banyak perhatian terutama soal kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) di mana terdapat 180 rekomendasi dengan 17 butir rekomendasi untuk soal KBB. Pada siding ini juga, beberapa negara terhenyak dengan adanya kasus seperti GKI Taman Yasmin dapat terjadi negara yang menjunjung tinggi hukum dan HAM.

[M]

Cisalada Diserang LagiOleh: Nurun Nisa’

PNS Bisa Dipecat Jika Ikut Aliran SesatOleh: Nurun Nisa’

Pemkab Purbalingga akan menindak PNS di lingkungan kerjanya jika terbukti terlibat

dalam aliran sesat dan tidak mau bertobat.

Dengan instruksi semacam ini, maka keterlibatan dalam aliran sesat adalah sesuatu yang terlarang. Larangan

yang dimaksud, menurut pihak Pemkab, sudah ditegaskan dalam UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan atau Penodaan Agama. Pasal 1, misalnya, menyebutkan larangan untuk sengaja menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan

penafisran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia di muka umum.

“Termasuk melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan agama itu namun sebenarnya menyimpang dari pokok-pokok ajaran dari agama itu,” terang Staf Ahli Bupati Bidang Sumber Daya

Page 10: Monthly Report on Religious Issues Edisi 43 versi Indonesia, The Wahid Institute

Monthly Report on Religious Issues, Edisi XLIII Juli 2012 10

Kongres Khonghucu DibatalkanOleh: Nurus Nisa’

Kongres Konghucu yang rencananya digelar di Medan pada 22-26 Juni 2012 akhirnya dibatalkan oleh panitia. Alasan pembatalan kongres yang rencananya dihadiri oleh 20 negara ini adalah karena banyaknya elemen masyarakat di Medan yang tidak menyetujui pelaksaannya.

“Selanjutnya, persoalan kongres kami serahkan kepada Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin) untuk menyelenggarakannya,” Ketua Panitia Kongres Andy Wiranta SE sebagaimana ditulis Harian Andalas (20/06).

Sebelum adanya keputusan pembatalan ini, 40 elemen yang tergabung dalam Forum Aliansi Umat Islam menggelar demonstrasi menolak pelaksanaan kongres ini di Medan. Alasannya, Hotel Emerald yang menjadi tempat kongres berlokasi di depan masjid yang baru saha dirobohkan. Jika hal ini tetap dipaksakan, maka sesungguhnya ia menghina dan memancing umat Islam . Mereka meminta agar Pemkot Medan memindahkan lokasi. “Sebab, kalau tetap digelar disitu, berarti pemerintah sudah tidak peduli dengan rumah ibadah yang telah dirobohkan yang berada di sekitar itu,” ucap seorang pengunjuk rasa, Rafdinal seperti ditulis JPNN (02/06).

Rumah ibadah yang dimaksud adalah Masjid Raudhatul Islam dan Masjid al-Chairiyah. Seharusnya persoalan masjid ini diselesaikan terlebih dahulu kemudian kongres diselenggarakan.

Selain itu, ia menyayangkan barongsai yang akan turut ditampilkan padahal barongsai bukan merupakan tradisi Medan.

Para pendemo juga menyinggung soal Kongres Khonghucu yang digunakan oleh Pemkot Medan untuk mendukung Visit Medan 2012. «Kongres Khonghucu di Medan untuk mendukung Visit Medan Years adalah alasan yg dibuat-buat. Kalau Pemko(t) mau membenahi kota ini jelas investasi pasti akan masuk. Ini tidak, Khonghucu seperti dianakemaskan sementara permasalahan umat Islam tak diselesaikan,» jelas koordinator aksi, Anggi Ramadhan. Pemkot seharusnya membereskan masalah ini: masjid berhadapan dengan kepentingan pemodal.

Elemen masyarakat, misalnya, ASB (Aliansi Sumut Bersatu) kecewa mendengar pembatalan yang mendadak ini. Menurut ASB, aparat sudah tunduk pada elemen masyarakat tertentu. Umat Khonghucu seharusnya tidak mengalami hal ini mengingat setiap warga negara, termasuk umat Khonghucu berhak untuk bebas berserikat dan beragama sebagaimana tercantum dalam pasal 28 dan 29 UUD 1945. Selain itu, Khonghucu merupakan salah satu dari enam agama yang diakui pemerintah melalui Keppres No. 6 Th. 2000. “Jadi ketika salah satu agama sudah dilarang melakukan kegiatan menyangkut agama oleh elemen tertentu, berarti negara gagal dalam menjalankan tugasnya.

Seharusnya, pemerintah daerah khususnya Pemko(t) Medan memberikan perlindungan penuh kepada warga dalam menjalankan aktivitas beragama,” terang Direktur ASB, Veryanto Sitohang

seperti ditulis Jia Xiang (27/06).Di samping acara Kongres,

akan diselenggarakan juga Festival Bakcang dan Barongsai yang digelar dalam satu rangkaian. Acara ini tetap diselenggarakan mengingat kegiatan ini merupakan agenda Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pemerintah Kota Medan guna pencanangan kunjungan wisata Kota Medan atau Visit Medan 2012. Adapun Mesjid Raudhatul Islam merupakan masjid yang digusur dengan model alih tukar lahan dengan persetujuan MUI setempat. Pemodal dari Hotel Emerald juga terlibat. dalam proses ini. [M]

Manusia, Pratikno Widiarso sebagaimana ditulis Suara Merdeka (18/06).

Aliran sesat ini, menurut pihak Pemkab, muncul dikarenakan adanya kesalahan dalam penafsiran ajaran-ajaran agama. ketika hasilanya disebarluaskan dan kemudian terbentuk semacam organisasi-organisasi yang pergerakannya meresahkan masyarakat.

PNS di lingkungan Pemkab Purbalingga sendiri diharapkan bisa mempelajari agamanya dengan benar sehingga tidak mudah terpengaruh sekte-sekte sesat yang menyimpang dari ajaran agama yang ada.

Kepala Kesbangpolinmas, Nur Hamam menyatakan pihaknya sudah mengantongi nama-nama PNS yang

terindikasi mengikuti kegiatan sekte-sekte menyimpang. Mereka dibina dari hati ke hati, tetapi belum seluruhnya mereka mendapatkan pembinaan ini. “Yang belum kita bina itu karena masih dalam pengamatan. Kalau sudah ada bukti-bukti dan saksi yang menguatkan, ya akan dibina,” tandasnya.

[M]

“Jadi ketika salah satu agama sudah dilarang melakukan

kegiatan menyangkut agama oleh elemen tertentu,

berarti negara gagal dalam menjalankan tugasnya.

Seharusnya, pemerintah daerah khususnya Pemko(t)

Medan memberikan perlindungan penuh kepada

warga dalam menjalankan aktivitas beragama,” terang

Direktur ASB, Veryanto Sitohang

Page 11: Monthly Report on Religious Issues Edisi 43 versi Indonesia, The Wahid Institute

The WAHID Institute 11

Vonis Dua Tahun Penjara Untuk AanOleh: Nurun Nisa’

Setelah Alexander atau Aan ditahan sejak Februari, akhirnya keluar amar putusan hakimdi Pengadilan

Sijunjung Sumatera Barat. Penganut atheisme itu divonis dua tahun enam bulan pnejara dan denda Rp 100 juta. Jika denda ini tidak bisa dibayar, maka akan diakumulasikan dalam kurungan tiga bulan penjara. Selain itu, ia terancam diberhentikan dari statusnya sebagai CPNS Kabupaten Dharmasraya. Aan dinyatakan bersalah karena telah menyebarkan faham atheis dan melakukan penodaan agama melalui konten akun Atheis Minang kepada public di internet. Polisi menjeratnya dengan Pasal 27 Ayat 3 UU ITE, pasal 156a tentang penodaan agama, dan pasal 263 KUHP tentang pemalsuan surat keterangan.

JPU sendiri menuntut hukuman 3,5 tahun. Karenanya, JPU langsung menyatakan banding setelah pembacaan vonis ini dirasa terlalu ringan. Deddy Alfarisi, pengacara Aan,

sendiri menyatakan meminta waktu sepekan untuk memikirkan vonis ini. Ia sendiri mengamini pendapat saksi ahli Prof Sukron Kamil dari UIN Jakarta yang menyatakan bahwa Aan sedang galau sehingga tidak layak dihukum. “Sebenarnya kami tetap pada pendapat Pak Syukron kemarin, saksi ahli dari kita. Aan itu dalam masa kegalauan teologis, mencari kepastian dan kebenaran suatu ilmu. Jadi seharusnya Aan ini dibina dan bukan dipidanakan,” terang Deddy sebagaimana ditulis Inilah.com (15/06).

Ia sendiri menyatakan siap menerima hukuman. ”Saya siap menjalani hukuman yang akan saya terima. Bukti yang dinyatakan hakim saya akui benar tapi dari motif yang disampaikan hakim saya tidak setuju,” kata Aan. Baginya, wacana yang dilontrakan di grup diskusi bernama Atheis Minang bukanlah untuk menyebarkan paham atheis kepadaorang lain melalui dunia maya, melainkan hanya ingin mendiskusikan secara ilmiah tentang keberadaan Tuhan

kepada para anggota yang tergabung dalam grup ini.

Aan ditahan setelah mengaku dirinya penganut atheis sekaligus menjadi administrator dalam sebuah grup diskusi bernama Atheis Minang di jejaring social Facebook. Aan, misalnya, mempertanyakan keberadaan Tuhan di tengah dunia yang penuh kesengsaraan dan penderitaan manusia.

Selama proses pengadilan, sebuah grup bernama I am Indonesian and I am Atheist Indonesia is Not an Islamic Country Free Alex Aan dibentuk untuk penggalangan opini public demi pembebasan Aan dari tuntutan hukum. Dengan administrator yang anonim, sebanyak 971 menyukai grup ini. Aan sendiri menyatakan bertobat ketika proses penyidikan berlangsung. Pihak kepolisian berkilah bahwa mereka memeriksa penodaan agama yang telah dilakukan Aan, bukan atheisme yang dianutnya.

[M]

Dianggap Sesat, Pengikut Le Baloq Diamankan PolisiOleh: Yusuf Tantowi/LENSA Mataram

Sebanyak sebelas orang yag diduga penganut aliran sesat diamankan oleh Polres Lombok

Timur. Warga setempat menyatakan bahwa mereka ini merupakan penganut aliran yang diajarkan H. Lopan atau Pe Baloq dari Pringgasela. Sang guru diduga memberikan cermahnya setelah para pengikutnya dianjurkan minum tuak. Mereka pun harus mabuk terlebih dahulu agar bisa menerima ajarannya.

Para penganut ini menggunakan ikat kepala (sapuk) dan sarung sementara baju yang melekat ditanggalkan. Bahkan, menurut warga, mereka harus meminum air kencing Pe Baloq selaku sang guru demi mendapatkan berkah.

Penganut aliran sesat ini, seperti

dituturkan pihak kepolisian, memiliki tafsir sendiri. Bayangan diri di depan cermin dianggap sebagai bayangan Tuhan dan membungkukkan badan

ketika sedang bekerja dianggap sama dengan ruku’ dalam shalat.

Pihak kepolisian menyatakan

bahwa tindakan ini merupakan bentuk turun tangan karena aliran ini membandel. Pada awal Mei, para penganut sudah diberikan pengarahan di depan tuan guru Fathurrahman Dasan Lekong Kecamatan Sukamulia. Saat itu mereka mengaku khilaf dan berjanji untuk bertobat tetapi kemudian tersiar kabar bahwa mereka kembali menjalankan ritual alirannya.

Mereka semuanya telah diinterogasi. “Sebelas orang itu sudah diinterogasi,” terang Kapolres Lotim AKBP Agus Nugroho melalui Kasubaghumas Polres Lotim, Iptu Komang Samia sebagaimana ditulis Suara NTB (01/06). Mereka akan diupayakan untuk dibina secara intensif. [M]

Polres Lombok Timur menyatakan bahwa tindakan pengamanan pengikut aliran

Pe Baloq ini merupakan bentuk turun tangan karena

aliran ini membandel.

Page 12: Monthly Report on Religious Issues Edisi 43 versi Indonesia, The Wahid Institute

Analisa 1. Sweeping menjelang atau selama bulan Ramadhan hampir pasti menjadi menu tiap tahun. Sikap ini selain didasari ngototnya

kelompok yang gemar melakukan sweeping, juga ketidaktegasan aparat yang berulang-ulang menyatakan akan menindak tegas mereka, tidak kunjung terbukti di lapangan seperti terjadi di Bandung. Ketegasan Kapolresta Pontianak dan Kapolda Kalbar merupakan sesuatu yang jarang terjadi. Alternatif lainnya, warga secara swadaya mengamankan diri seperti terjadi di kawasan Bandungan Semarang karena aparat yang kecolongan aksi FPI

2. Seperti belum puas, penutupan besar-besaran gereja di Singkil ternyata masih diikuti dengan pembakaran. Aparat sepertinya tidak cukup serius menindaklanjuti kasus ini karena alih-alih mengusut tindakan pembakaran, korban justru diminta bersikap tenang mengingat Ramadhan segera datang. Pembakaran dengan alasan dan motif apapun merupakan tindakan kriminal, dilakukan oleh kelompok manapun, wajib ditindak. Pada aras ini, komitmen aparat atas perlindungan terhadap warga negara khususnya dari kalangan minoritas menjadi tanda tanya besar

3. Pengamanan terhadap para pengikut Pe Baloq di Lombok Timur menjadi penanda kesekian kali bahwa penafsiran merupakan perkara terlarang, bahkan terancam kriminal. Mula-mula mereka dibina oleh otoritas keagamaan yang dianggap otoritatif, diminta bertobat setelah biasanya mendapat fatwa sesat terlebih dahulu, dan aparat turut tangan setelah mereka dianggap membandel atau mengingkari ikrar tobat yang terlanjur diucapkan. Seringkali kasus ini melebar menjadi urusan penodaan agama yang berakibat pada hukuman penjara seperti dialami Tajul Muluk, pemimpin Syiah Sampang. Fatwa atau pendapat otoritas kelompok Islam arus utama menjadi segalanya, bahkan mengalahkan norma-norma yang berasal dari otoritas hukum yang ada

4. Ancaman dipecat dari status sebagai CPNS Bappeda Kabupaten Dharmasraya untuk Aan yang divonis melakukan penodaan agama menandakan intervensi yang lebih mendalam negara terhadap kehidupan keberagamaan warga negaranya, sebagaimana ancaman untuk PNS di lingkungan Pemkab Purbalingga. Pelayan negara bukan hanya tertib secara administratif dan etis, artinya ia tidak korup dan bekerja dengan baik karena digaji rakyat, tetapi ia pun tertib berkeyakinan sehingga tidak tersangkut perkara penodaan agama sebagaimana termaktub dalam UU PnPs No. 1 Th. 1965. Dengan demikian, penodaan agama bukan lagi mengancam masyarakat sipil tetapi juga abdi negara sehingga dapat dikatakan mengalami perluasan objek hukum. Perluasan ini (baca: perluasan praktek) ini juga terjadi dalam definisi penodaan agama yang turut merangkul atheisme. Jika demikian, inti wacana penodaan agama sesungguhnya adalah soal ke-Tuhan-an belaka: mereka yang menafsirkan ke-Tuhan-an dengan gaya bermacam-macam dan yang menyangsingkan ke-Tuhan-an. Kedua belah pihak ini dapat dikriminalisasi, apapun latar belakang dan motifnya, apabila menentang wacana ini

5. Sikap penolakan atas Kongres Konghucu di Medan oleh sekelompok umat Islam di dekat masjid yang baru saja dirubuhkan, menjadi pertanyaan besar menyangkut kedewasaan dalam beragama. Sebab masjid ini bedekatan dengan lokasi kongres dan karenanya akan menyakiti (sekelompok) umat Islam maka mereka kemudian meminta pembatalan dapat dikategorikan sebagai bentuk, mengutip Scott Appleby, illiteracy religious (keberagamaan yang membabibuta). Sikap ini merujuk pada emosi, reaksi, dan ekspresi yang berlebihan dan atau tidak masuk akal. Dalam hal ini, meminta pembatalan kongres sekaligus menganggap pemerintah menomorduakan Islam gara-gara kongres ini sesungguhnya berlebihan dan tidak masuk akal mengingat panitia dan peserta tidak memiliki sangkut paut secara langsung dengan insiden yang melibatkan pihak pengembang dan pemerintah. Sikap yang berkebalikan ditunjukkan oleh warga Kepala Gading yang berasal dari berbagai macam agama ketika mereka menolak keberadaan Gereja Tiberias

Rekomendasi1. Instruksi tegas aparat untuk menindak ormas yang melakukan sweeping selayaknya dibarengi dengan ketegasan dalam

implementasi di lapangan. Jika tidak, ormas akan semakin agresif melaksanakan sweeping dan masyarakat menjadi bulan-bulanan mereka

2. Orang tua patut mengawasi anak-anaknya agar mereka tidak terlibat dalam aksi kekerasan dalam bentuk apapun termasuk sweeping di bulan Ramadhan. Pengawasan ini penting mengingat lingkungan dan pergaulan tidak selalu ramah terhadap perkembangan fisik dan psikis anak-anak, meskipun lingkungan ini dijiwai dengan nilai-nilai luhur

3. Sikap dewasa perlu terus-menerus ditumbuhkan dalam masyarakat agar selalu tenang dan tidak terbawa emosi yang membabi buta dalam menghadapi keragaman dan keberagamaan. Sikap dewasa semacam ini juga dapat menjaga anasir-anasir fundamentalis yang semakin hari menunjukkan kecenderungan menjadi anarkhis

4. Ormas moderat, khususnya ormas moderat Islam, hendaknya senantiasa konsisten menjaga kemajemukan Indonesia. Komitmen ini, misalnya, bisa ditunjukkan dengan tidak menghakimi mereka yang berbeda dengan beragam label, bahkan mempidanakannya tetapi membiarkannya hidup berdampingan dengan kelompok lainnya

Penerbit: The Wahid Institute | Penanggung Jawab: Yenny Zannuba Wahid, Anita Wahid | Pemimpin Redaksi: Rumadi | Redaktur Pelaksana: Nurun Nisa’ Sidang Redaksi: Gamal Ferdhi, M. Subhi Azhari | Staf Redaksi: Alamsyah M. Dja’far, Badrus Samsul Fata | Desain & Lay out: Neng Erlina Alamat Redaksi: The Wahid Institute , Jln Taman Amir Hamzah 8, Jakarta - 10320 | Telp +62 21 3928 233, 3145 671 I Faks. +62 21 3928 250 Email: [email protected] | Website: www.wahidinstitute.org | Facebook: facebook.com/Wahid.Institute.GusDur | Twitter: @WAHIDinst

Penerbitan ini hasil kerjasama the Wahid Institute dan TIFA Foundation