MONITORING DAN EVALUASI PELAKSANAAN SURVEILANS … 2019...MONITORING DAN EVALUASI PELAKSANAAN...
Transcript of MONITORING DAN EVALUASI PELAKSANAAN SURVEILANS … 2019...MONITORING DAN EVALUASI PELAKSANAAN...
1
MONITORING DAN EVALUASI
PELAKSANAAN SURVEILANS MINGGUAN DALAM
BENTUK SISTIM KEWASPADAAN DINI DAN RESPON
(SKDR) DI PROVINSI BALI TAHUN 2018
Oleh :
Cokorde Istri Sri Dharma Astiti, SKM, M.Kes.
Epidemiolog Kesehatan Madya
Dinas Kesehatan Provinsi Bali
2
A. LATAR BELAKANG
Surveilans mingguan dipantau lewat Sistem Kewaspadaan Dini dan Respon
(SKDR) yang merupakan sebuah sistem untuk memantau penyakit yang akan
menimbulkan KLB (Kejadian Luar Biasa). Pada SDKR hanya memantau 23 jenis
suspek penyakit (tersangka) yang dapat menimbulkan wabah penyakit. Tujuan dari
SKDR adalah untuk memberikan peringatan dini dalam bentuk alert untuk
mengantisipasi penyakit yang dapat menimbulkan KLB. SKDR dilaporkan oleh
petugas puskesmas setiap minggu melalui SMS ke server pusat, kemudian Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota akan memverifikasi data yang masuk sekaligus bisa
diberikan umpan balik. Kemudian Dinas Kesehatan Provinsi akan terus memantau
dan melakukan perbaikan jika terdapat kesalahan. Dalam pelaksanaanya terdapat
banyak kelebihan dan kekurangannya. Dengan dilakukannya pencatatan dan
pemantauan suspek penyakit secara rutin setiap minggunya maka dapat
mengantisipasi penyakit yang akan menimbulkan KLB. Namun dalam
pelaksanaanya masih banyak terdapat kendala seperti output yang merupakan
indikator seperti ketepatan dan kelengkapan tidak semua mencapai 80% serta alert
yang direspon tidak semua mencapai 75%, padahal hal tersebut merupakan
indikator dari pelaksanaan SKDR di Provinsi Bali.
B. TUJUAN
Tujuan Umum
Memantau situasi dan pelaksanaan Sistem Kewaspadaan Dini dan Respon
(SKDR) di Provinsi Bali Tahun 2018.
Tujuan Khusus
1. Menggambarkan kesiapan sumber daya dalam pelaksanaan SKDR di
semua tingkatan
2. Menggambarkan proses pelaksanaan surveilans mingguan melalui
SKDR pada semua tingkatan.
3. Memantau hasil capaian kinerja SKDR melalui indikator yang telah
ditetapkan secara nasional.
3
4. Untuk mengidentifikasi permasalahan dan penyelesaian masalah dalam
pelaksanaan SKDR.
C. PEMBAHASAN
Surveilans mingguan berbasis SKDR (Sistem Kewaspadaan Dini dan
Respon) merupakan sebuah sistem untuk memantau penyakit yang akan
menimbulkan KLB (Kejadian Luar Biasa). SKDR adalah salah satu implementasi
dalam penerapan EWARS di Indonesia sebagai Sistem Informasi Kesehatan
Nasional (SIKNAS) yang telah dikembangkan oleh Kementerian Kesehatan (Astiti,
Dharma. 2018).
Tujuan dari SKDR adalah untuk memberikan peringatan dini dalam bentuk
alert untuk mengantisipasi penyakit yang dapat menimbulkan KLB. Pada SDKR
hanya memantau 23 jenis penyakit suspek (tersangka) yang dapat menimbulkan
wabah penyakit. SKDR dicatat dan dlaporkan oleh petugas surveilans puskesmas
melalui SMS sesuai dengan format yang telah ditentukan ke server pusat setiap hari
Senin, kemudian dari SMS yang masuk petugas surveilans kabupaten/kota akan
memverifikasinya dan memberikan umpan balik berupa analisis data sederhana.
Namun dalam pelaksanaanya masih banyak terdapat kendala seperti
ketepatan dan kelengkapan tidak semua mencapai 80% serta alert yang direspon
tidak semua mencapai 75%, padahal hal tersebut merupakan target indicator dari
pelaksanaan SKDR di Provinsi Bali. Kabupaten Klungkung memiliki ketepatan
waktu yang sangat rendah dalam pengiriman laporan mingguan puskesmas sebesar
71,79% sehingga belum mampu mencapai target ketepatan SKDR tahun 2017.
Kemudian untuk kelengkapan semua kabupaten/kota sudah mencapai target, namun
Kabupaten Klungkung menjadi yang terendah diantara kebupaten lainnya sebesar
90,60%, tetapi sudah mencapai target kelengkapan SKDR tahun 2017. Terdapat 3
kabupaten yang belum mencapai target alert yang direspon yaitu, Kabupaten
Gianyar (73%), Kabupaten Jembrana (48,82%) dan Kabupaten Klungkung
(44,48%). Padahal target alert yang direspon SKDR tahun 2017 adalah 75%.
4
1. Sumber Daya Untuk Mendukung Pelaksanaan SKDR
Penerapan SKDR telah dilakukan sejak tahun 2013 yang dilakukan
secara bertahap pada beberapa provinsi di Indonesia termasuk salah satunya
Provinsi Bali. Pengembangan sistem terus dilakukan sehingga semua
puskesmas di Provinsi Bali telah mulai terlibat dalam pengiriman data lewat
sms. Sebelum dilakukan uji coba telah dilakukan pelatihan petugas
puskesmas, kabupaten/kota dan provinsi. Sistem terus dikembangkan
terutama untuk server penerima di nasional.
Sejalan dengan perkembangan tersebut di masing-masing
kabupaten/kota juga melakukan beberapa inovasi untuk melengkapi dan
menyempurnakan sistem seperti di Kabupaten Badung pemantauan
surveilans mingguan tidak hanya dilakukan oleh puskesmas tetapi sudah
mulai melibatkan rumah sakit. Beberapa kabupaten juga mulai membuat
format pencatatan manual untuk ditingkat puskesmas, sehingga memudahkan
petugas surveilans melakukan rekapitulasi. Hal yang sama juga terjadi di
tingkat kabupaten/kota. Hasil pemantauan juga menunjukkan tidak semua
kabupaten/kota dan puskesmas memiliki format pencatatan yang standar.
Demikian juga pencatatan yang ada ditingkat puskesmas dalam bentuk data
agregate (rekapitulasi).
Pemantauan dari tingkat kabupaten/kota ke puskesmas dalam bentuk
bimbingan teknis dan umpan balik belum dilaksanakan secara rutin, karena
terkendala biaya dan mutasi tenaga. Semua puskesmas belum melakukan
analisa data sederhana, sehingga kurang dapat memanfaatkan SKDR sebagai
kewaspadaan dini. Situasi ini didorong oleh kemampuan petugas puskesmas
untuk melakukan analisa data, data yang tersedia sangat terbatas dan
lemahnya jejaring internal dalam penjaringan suspek.
Jejaring internal sangat terkait dengan keterlibatan semua fasilitas
kesehatan dalam penjaringan suspek penyakit potensi KLB. Jejaring dapat
berasal dari Puskesmas Pembantu, Polindes, Poskesdes, rumah sakit, klinik
atau praktek swasta. Belum semua petugas terkait jejaring mendapatkan
informasi tentang SKDR. Keterlibatan mereka sangat tergantung pada
pendekatan yang dilakukan oleh masing-masing puskesmas atau Dinas
5
Kesehatan Kabupaten/Kota. Keterlibatan Pustu, Poskesdes, Poyandu atau
jejaring internal dapat dilakukan pada beberapa puskesmas. Sosialisasi
dilakukan bersamaan dengan kegiatan lainnya di puskesmas.
2. Proses Pelaksanaan SKDR
Pelaksanaan SKDR mengikuti alur yang telah ditetapkan secara nasional.
Hasil pemantauan di Provinsi Bali alur SKDR seperti gambar diagram
dibawah ini :
Gambar - 1
Alur SKDR di Provinsi Bali Tahun 2018
Belum adaya
Hasil pemantauan belum semua fasilitas kesehatan yang merupakan
jejaring internal puskesmas melaporkan secara rutin. Hanya beberapa
puskesmas yang melaporkan melalui sms dengan melibatkan jejaring ekternal
terutama rumah sakit. Ketidakterlibatan faskes jejaring sebagian besar karena
sosialisasi belum dilakukan dan pemantauan rutin melalui bimbingan teknis
belum berjalan dengan baik.
Para petugas pada faskes jejaring belum memahami dengan baik
definisi suspek penyakit potensi KLB yang dipantau dalam SKDR. Demikian
. juga dengan jejating internal puskesmas. Petugas yang melakukan diagnosa
6
di poliklinik belum memahami dengan baik definisi kasus. Hal ini Nampak
nyata pada Grafik-1 dan Grafik 2 dibawah ini.
Grafik-1
Grafik-2
Dari Grafik-1 dan Grafik-2 diatas, nampak pelaporan Influenza Like
Illnes (ILI) sangat rendah pada setiap minggu. Dilaporkan ILI tertinggi pada
minggu ke-7 tahun 2018 diseluruh Bali sebesar 600 kasus. Berdasarkan
7
algoritme SKDR, definisi kasus ILI bila panas ≥ 38oC disertai batuk atau sakit
tenggorokan. Bila definisi kasus diimplementasikan dengan benar, maka
kasus ini akan mendekati kejadian influenza di puskesmas. Kejadian ILI per
kabupaten/kota dalam setahun juga menunjukkan proporsi kasus yang tidak
rasional. Proporsi tertinggi di Kabupaten Buleleng (46 %), di Kota Denpasar
sagat rendah (5%) bahkan di Kabupaten Klungkung tidak dilaporkan adanya
ILI selama setahun. Hal tersebut menunjukkan pelaporan melalui SKDR
untuk beberapa penyakit salah satunya ILI masih under reporting.
Hasil pemantauan dan evaluasi menunjukkan belum semua tenaga yang
bertugas di poliklinik atau faskes jejaring memahami dengan baik definisi
suspek atau kasus yang dipantau melalui SKDR. Adanya penulisan diagnosa
penyakit di poliklinik mengikuti ICD-10 atau sesuai dengan BPJS juga
mendorong diagnosa dari poliklinik dalam bentuk diagnosa kasus, walaupuan
masih secara klinis karena belum ditegakkan secara laboratorium. Seperti
pasien didiagnosa campak bukan suspek campak atau hanya ditulis febris
hari 1. Diagnosa ILI ditulis ISPA atau paringitis atau kode lainnya. Hasil
wawancara juga menunjukkan penulisan diagnosa sesuai dengan ICD-10 dan
belum memahami alogoritme penyakit potensi KLB yang terlaporkan melaui
SKDR.
3. Indikator Capaian Kinerja SKDR
Dalam pelaksanaannya terdepat tiga indikator dalam SKDR yaitu
ketepatan, kelengkapan dan alert yang direspon. Kementrian Kesehatan RI
menetapkan indikator tahun 2018 untuk kelengkapan dan ketepatan laporan
puskesmas minimal 80%, kemudian indikator target alert yang direspon
minimal 75%. Dalam pelaksanaan SKDR dari tahun 2013 – 2018 di Provinsi
Bali menunjukkan ketepatan pelaporan SKDR menunjukkan capaian diatas
80% sejak tahun 2014. Pada tahun 2017 mencapai 91,7% menurun menjadi
89,2% pada tahun 2018, seperti Grafik-3 dibawah ini. Sedangkan ketepatan
lapoaran dari minggu 1-52 selama tahun 2018 menunjukkan peningkatan
mendekati 100% dimulai pada minggu ke 40 sampai dengan minggu terakhir
tahun 2018 sesuai Grafik-4. Ketepatan laporan SKDR per kabupaten/kota
8
menunjukkan Kabupaten Klungkung dan Jembrana masih dibawah 80% pada
tahun 2018, sedangkan Kabupaten Gianyar, Badung dan Buleleng berada
pada kisaran 80-90%. Gambaran lengkap seperti Grafik-5.
Grafik – 3
Prosentase Ketepatan Laporan SKDR di Provinsi Bali
Tahun 2013 s/d 2018
Grafik – 4
Prosentase Ketepatan Laporan SKDR Per Minggu
di Provinsi Bali Tahun 2018
9
Grafik - 5
Prosentase Ketepatan Laporan SKDR Per Kabupaten/Kota
di Provinsi Bali Tahun 2018
Capaian indikator kedua, adalah kelengkapan laporan yang dikirimkan
setiap minggunya. Dari 120 puskesmas yang ada di Provinsi Bali,
menunjukkan sejak tahun 2013 telah mencapai tingkat kelengkapan laporan
diatas 90% seperti Grafik – 6 dibawah ini.
Grafik - 6
Prosentase Kelengkapan Laporan SKDR di Provinsi Bali
Tahun 2013-2018
Kelengkapan laporan mingguan selama tahun 2018 menunjukkan
capaian rata-rata diatas 95%. Meningkat setelah minggu ke 40 pada tahun
97,5
93,5
97,5 96,2 97,4 97,1
0
20
40
60
80
100
120
2013 2014 2015 2016 2017 2018
10
2018. Peningkatan ini dapat ditingkatkan setelah adanya umpan balik dari
provinsi/kabupaten/kota yang mendorong puskesmas untuk melengkapi
kelengkapan laporan. Pada akhir 2018 kelengkapan laporan minguan seperti
Grafik-7 dibawah ini.
Grafik – 7
Prosentase Kelengkapan Laporan SKDR Per Minggu
di Provinsi Bali Tahun 2018
Grafik - 8
Prosentase Kelengkapan Laporan SKDR Per Kabupaten/Kota
di Provinsi Bali Tahun 2018
11
Kelengkapan laporan SKDR per kabupaten/kota di Provinsi Bali
menunjukkan semua kabupaten/kota telah mencapai minimal 80%.
Kabupaten Jembrana dengan capaian terendah dibawah 90%. Gambaran
lengkap seperti Grafik – 8 diatas.
Indikator yang baru dikembangkan adalah respon yang diberikan oleh
kabupaten/kota bila muncul alert atau sinyal dari setiap laporan mingguan.
Alert yang direspon diharapkan dapat diberikan segera setelah muncul, dalam
bentuk gambaran epidemiologi sederhana sebagai dasar untuk melakukan
tindak lanjut bila diperlukan. Pada tahun 2018, respon terhadap alert yang
muncul masih rendah prosentasenya rata-rata 72,1%. Peningkatan terjadi
mulai minggu ke 40 tahun 2018 diatas 90%. Gambaran seperti Grafik-9
dibawah ini.
Grafik – 9
Prosentase Alert Yang Direspon Pada SKDR Per Minggu
di Provinsi Bali Tahun 2018
Kabupaten Klungkung, Jembrana, Buleleng dan Bangli adalah kabupaten
yang memberikan respon terhadap alert yang muncul kurang dari 70%. Salah
satu penyebab rendahnya respon adalah sulitnya mendapatkan informasi
segera dari puskesmas karena tidak didukung data yang akurat dan
pemahaman tentang deskripsi pemberian respon. Gambaran pemberian
12
respon oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota seperti Gambar-10 dibawah
ini.
Grafik – 10
Prosentase Alert Yang Direspon Pada SKDR Per Kabupaten/Kota
di Provinsi Bali Tahun 2018
Tabel-1
Kinerja SKDR di Provinsi Bai Tahun 2018
13
Kinerja SKDR di Provinsi Bali dari grafik diatas yang masih bermasalah
adalah alert yang direspon. Jumlah alert yang direspon 72,2% sedangkan
respon yang diberikan < 24 jam sebesar 70,3%. Hal ini nampak juga Tabel-1
diatas.
4. Identifikasi Masalah dan Rencana Tindak Lanjut
Dalam implementasi SKDR di Provinsi Bali ditemukan beberapa
masalah yang perlu segera diidentifikasi penyebabnya:
a. Belum Semua Puskesmas Mengirimkan Laporan Mingguan Lewat SMS
Dalam pengiriman laporan, belum semua puskesmas mengirimkan
laporan mingguan lewat SMS ke server pusat sehingga kelengkapan
laporan belum mencapai 100%. Hal tersebut terutama disebabkan karena
gangguan sinyal atau server, didukung pemantauan dan umpan balik dari
tingkat Kabupaten/Kota belum berjalan optimal. Situasi ini akan
menyebabkan validitas alert yang muncul tidak mencakup situasi yang
sebenarnya. Situasi ini juga menyebabkan alert yang dapat direspon tepat
waktu menurun dan maksimal sehingga terjadinya KLB tidak akan
terdeteksi dengan cepat.
b. Pengiriman Data Yang Terlambat
Masih ada puskesmas yang terlambat mengirimkan data sesuai dengan
mingguan epidemiologi karena terkendala sinyal dan server. Penyebab
lainnya petugas kabupaten/kota walaupun secara rutin melakukan
pemantauan belum berjalan optimal. Seharusnya data yang dikirim paling
lambat pada hari Selasa jam 24.00 Wita, akan tetapi masih ada puskesmas
yang terlambat mengirimkan data. Petugas puskesmas mengatakan dalam
proses pengiriman terkendala pada signal, teutama pada daerah dengan
geografis yang sulit.
c. Alert Yang Direspon Rendah
Tugas Petugas Surveilans Dinas Kabupaten/Kota adalah memberikan
respon cepat bila muncul alert/sinyal penyakit potensi KLB. Respon yang
diberikan mengharuskan Petugas Surveilans Dinas Kabupaten/Kota
menghubungi petugas puskesmas untuk mengetahui lebih lanjut
14
gambaran epidemiologi kejadiannya. Masih rendahnya respon terhadap
alert yang muncul dipengaruhi oleh sebagian besar tidak adanya catatan
suspek/kasus yang terlaporkan dalam by name di puskesmas bila
laporannya berasal dari jejaring seperti pustu/rumah sakit. Pelaporan dari
jejriang dalam bentuk data aggregate/kumulatif. Bila mampu dilaporkan
oleh puskesmas dalam bentuk foto ataupun tulis tangan sehingga
menyulitkan Petugas Surveilans Kabupaten/Kota dalam melakukan
mengisi form verifikasi karena menyulitkan dalam membaca dan
menganalisanya ataupun menimbulkan kesalahan.
d. Definisi suspek/kasus yang tidak reliabel
Adanya perbedaan persepsi definisi kasus dalam mendiagnosis suatu
penyakit antara dokter atau petugas yang bertugas di poliklinik puskesmas
dengan petugas surveilans puskesmas yang memetik atau melakukan
rekapitulasi data. Demikian juga dengan persepsi petugas (dokter/
perawat/bidan) yang bertugas pada poliklinik jejaring. Hal tersebut
disebabkan karena sosialisasi atau pertemuan rutin atau media cetak untuk
mendukung informasi tersebut belum dilaksanakan. Situasi tersebut
berpotensi data dicatat yang selanjutnya sebagai sumber data yang
dilaporkan tidak reliabel. Di beberapa puskesmas tidak ada pedoman
definisi kasus di poli, jika ada dalam bentuk buku pedoman atau softcopy
yang terdapat di meja petugas surveilans sehingga pemanfaatannya sangat
rendah.
e. Pencatatan tidak menggunakan format seragam dan manual
Format yang tidak seragam akan menyulitkan dalam melakukan
penulusuran suspek/kasus penyakit porensi KLB pada saat timbul alert.
Demikian juga bila format dalam bentuk manual dalam bukau register
yang ditulis tangan. Format yang dibuat tergantung dari masing-masing
petugas survilans kabupaten/kota. Tidak adanya format dan pencatatan
secara digital juga akan menyulitkan petugas surveilans
puskesmas/kabupaten/kota dalam melakukan analisa data.
15
f. Analisa data belum dilakukan
Kemampuan analisa data sederhana sangat dibutuhkan petugas surveilans
puskesmas, sehingga bila terjadi peningkatan suspek/kasus penyakit yang
berpotensi KLB dapat segera diketahui dan ditindaklanjuti. SKDR
sebagai sistim juga memiliki kelemahan terutama terkait nilai ambang
munculnya alert untuk penyakit endemis seperti ILI, diare. Untuk
penyakit tertentu dengan perbedaan tingkat endemisitas, sistim belum
mampu untuk memberikan nilai ambang tertentu. Berdasarkan situasi
tersebut sangat diperlukan kemampuan analisa data sederhana untuk
petugas surveilans puskesmas sehingga dapat segera mengetahui dan
waspada kemungkinan akan terjadi KLB. Hasil Rata – rata petugas
surveilans puskesmas belum mampu membuat analisa data sederhana.
Analisa data sangat penting dilakukan untuk dapat dilaporkan kepada
kepala puskesmas atau pemegang program di tingkat Kabupaten/Kota
tren jenis suspek/kasus penyakit mingguan agar dapat ditindaklanjuti jika
ada peningkatan suspek kasus yang akan menimbulkan KLB.
g. Umpan balik tidak rutin dilakukan
Alur dalam SKDR, umpan balik dari kabupaten/kota ke puskesmas dan
dari provinsi ke kabupaten/kota merupakan hal penting yang wajib
dilakukan, karena petugas puskesmas tidak dapat mengakses SKDR
sehingga data yang dilaporkan bila tidak dibantu dengan umpan balik,
pencatatan dan analisa data, maka petugas psukesmas tidak akan
memahami peningkatan suspek/kasus penyakit potensi KLB
diwilayahnya. Umpan balik yang dapat diberikan oleh Kabupaten/Kota
adalah analisa data sederhana berupa grafik mengenai tren suspek
penyakit yang akan berpotensi KLB. Pada umumnya umpan balik harus
rutin dilakukan setiap minggu.
Menurut Permenkes RI No. 45 Tahun 2014 penyelenggaraan kegiatan
surveilans kesehatan merupakan persyaratan program kesehatan yang
bertujuan untuk menyediakan informasi tentang situasi, kecenderungan
penyakit dan faKtor risikonya. Kemudian untuk terselenggaranya
16
kewaspadaan dini, investigasi serta penanggulangan terhadap kemungkinan
terjadinya KLB dan dampaknya. Selanjutnya dasar penyampaian informasi
kesehatan kepada para pihak yang berkepentingan sesuai dengan
pertimbangan kesehatan. Namun kenyataan di lapangan terdapat
permasalahan yang terjadi khususnya untuk surveilans SKDR Beberapa
alternatif pemecahan masalah :
a. Perlunya penggunaan register SKDR berbasis digital, disemua puskesmas
dilengkapi analisa data sederhana
b. Sosialisasi atau bimbingan teknis tentang definisi suspek/kasus sesuai
algoritme SKDR kepada petugas di poliklinik (dokter/perawat/bidan).
c. Tingkatkan kapasitas petugas kabupaten/kota dan puskesmas dalam
analisa data sederhana terkait penyakit potensi KLB dan cara merespon
alert yang tepat dan lengkap.
d. Optimalkan alur SKDR terutama terkait dengan umpan balik dari provinsi
ke kabupaten/kota dan kabupaten/kota ke puskesmas.
e. Optimalkan kegiatan bimbingan teknis dan konsultasi dari provinsi ke
kabpaten/kota dan kabupaten/kota ke puskesmas.
f. Koordinasi lintas sektor untuk tingkat provinsi da kabupaten/kota dalam
penggunaan IC10 sehingga diagnosis yang tercatat dapat dipakai semua
unit yang memerlukan.