MODUL PENUNTUTANbadiklat.kejaksaan.go.id/e-akademik/uploads/modul/...pendidikan dan pelatihan...

116
PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PEMBENTUKAN JAKSA 2019 MODUL PENUNTUTAN DISUSUN OLEH : TIM PENYUSUN MODUL BADAN DIKLAT KEJAKSAAN R.I. BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA JAKARTA 2019

Transcript of MODUL PENUNTUTANbadiklat.kejaksaan.go.id/e-akademik/uploads/modul/...pendidikan dan pelatihan...

  • PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PEMBENTUKAN JAKSA

    2019

    MODUL

    PENUNTUTAN

    DISUSUN OLEH :

    TIM PENYUSUN MODUL

    BADAN DIKLAT KEJAKSAAN R.I.

    BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN

    KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

    JAKARTA

    2019

  • i

    DAFTAR ISI

    Halaman

    KATA PENGANTAR .................................................................... i

    DAFTAR ISI .................................................................................. ii

    BAB I PENDAHULUAN ................................................................. 1

    A. Latar Belakang ......................................................... 1

    B. Deskripsi Singkat ...................................................... 1

    C. Tujuan Pembelajaran ................................................ 1

    D. Indikator Keberhasilan .............................................. 2

    E. Pokok / Sub Pembahasan ....................................... 3

    BAB II PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP DAN DASAR

    HUKUM PENUNTUTAN ...................................................... 6

    A. Dasar Hukum Penuntutan ........................................ 6

    B. Pengertian Penuntutan ............................................ 6

    C. Ruang Lingkup Penuntutan ...................................... 7

    D. Instruksional ............................................................ 8

    E. Latihan ...................................................................... 8

    BAB III PEMERIKSAAN TAMBAHAN ........................................ 9

    A. Dasar Hukum ........................................................... 9

    B. Hal Penting Yang Harus Diperhatikan Dalam

    Pemeriksaan Tambahan ........................................... 11

    C. Letak Pemeriksaan Tambahan ................................. 11

    D. Syarat Atau Kondisi Kapan Pemeriksaan

  • ii

    Tambahan Dilakukan ................................................ 11

    E. Prosedur Pemeriksaan Tambahan ........................... 12

    F. Latihan …………………………………………………… 15

    BAB IV PRAPERADILAN ............................................................ 16

    A. Dasar Hukum…………………………………………16

    B. Hal Penting Yang Harus Diperhatikan Dalam Pra Peradila………………………………………………..17

    C. Fungsi dan Letak PraPeradilan Secara Administratif

    dan Yuridis…………………………………………….18

    D. Prosedur dan Hukum Acara Pemeriksaan Praperadilan…………………………………………...18

    E. Pelaksanaan Putusan PraPeradilan………………...21

    F. Permintaan Ganti Kerugian atau Rehabilitasi Akibat

    Tidak sahnya Penahanan, Penghentian Penuntutan Yang Berdasarkan Undang-Undang Atau Karena Kekeliruan Mengenai Orangnya atau Hukum Atau Akibat Sahnya Penghentian Penyidikan Atau Penuntutan…………………………………………….22

    G. Pelaksanaan Putusan Permintaan Ganti Kerugian

    atau Rehabilitasi Akibat Tidak sahnya Penahanan, Penghentian PenuntutanYang Berdasarkan Undang-Undang Atau Karena Kekeliruan Mengenai Orangnya atau Hukum Atau Akibat Sahnya Penghentian Penyidikan Atau Penuntutan ………………………..24

    H. Latihan…………………………………………………25

    BAB V PENERIMAAN DAN PENELITIAN TERSANGKA ............ 26

    A. Dasar Hukum …………………………………………26

    B. Prosedur Penerimaan dan Penelitian Tersangka…26

    C. Latihan…………………………………………………27

  • iii

    BAB VI PENERIMAAN DAN PENELITIAN BARANG BUKTI ...... 28

    A. Dasar Hukum………………………………………….28

    B. Prosedur Penerimaan dan Penelitian Barang Bukti .28

    C. Latihan …………………………………………………29 BAB VII PENANGGUHAN PENAHANAN ................................... 31

    A. Dasar Hukum …………………………………………31

    B. Prosedur Penangguhan Penahanan………………..32

    C. Latihan…………………………………………………33

    BAB VIII PEMBANTARAN PENAHANAN .................................... 35

    A. Dasar Hukum …………………………………………35

    B. Prosedur Pembantaran Penahanan………………..36

    C. Latihan…………………………………………………37

    BAB IX PELIMPAHAN PERKARA KE PENGADILAN ................. 38

    A. Kompetensi Pengadilan………………………………38

    B. Komponen Pelimpahan………………………………40

    C. Acara Pemeriksaan…………………………………...40

    D. Prosedur Pelimpahan Perkara Ke Pengadilan…….42

    E. Dalam Hal Perkara Tidak Termasuk Wewenang Pengadilan Negeri Dimana BP Di Limpahkan, Sehingga Ditolak Oleh Pengadilan Karena Bukan Kompetensinya………………………………………. 42

    F. Latihan…………………………………………………43

  • iv

    BAB X EKSEPSI / KEBERATAN ................................................ 44

    A. Pengertian Dan Ruang Lingkup Eksepsi ………….44

    B. Tanggapan JPU Terhadap Eksepsi ………………..44

    C. Putusan Sela dan Upaya JPU……………………….45

    D. Latihan…………………………………………………45

    BAB XI TEKNIK PEMERIKSAAN DAN PEMBUKTIAN

    DI PENGADILAN .......................................................... 46

    I. Teknik Pemeriksaan…………………………………46 1.1. Prinsip Pemeriksaan Sidang Di Pengadilan.47 1.2. Acara Pemeriksaan Biasa…………………...49 1.3. Acara Pemeriksaan Singkat………………….57 1.4. Acara Pemeriksaan Cepat…………………...58 1.5. Latihan…………………………………………59

    II. Pembuktian……………………………………………..59

    II.1 Pengertian………………………………………59 II.2 Sistem Teori Pembuktian dan Kekuatan

    Pembuktian masing-masing alat bukti ………60 II.3 Prinsip Pembuktian…………………………….63 II.4. Alat Bukti ……………………………………….64 II.5. Beban Pembuktian Terbalik Dan Terbalik

    Terbatas ………………………………………..75 II.6 Latihan………………………………………….77

    BAB XII SURAT TUNTUTAN PIDANA ........................................ 78

    A. Pengertian dan Ruang Lingkup Penuntutan………78

    B. Sistematika Surat Tuntutan…………………………80

    C. Replik / Jawaban Atas Pembelaan Pledoi…………85

    D. Rangkuman……………………………………………86

    E. Diskusi dan Praktek Membuat Tuntutan Pidana dan Replik…………………………………………………..86

  • v

    F. Latihan………………………………………………..86

    G. Balikan dan Tindak Lanjut………………………….87 BAB XIII MENGHENTIKAN PENUNTUTAN ............................... 88

    A. Alasan Penghentian Penuntutan…………………..88

    B. Mengesampingkan Perkara Untuk Kepentingn Umum…………………………………………………89

    C. Perbedaan Penghentian Penuntutan dengan

    Penyampingan Perkara Untuk Kepentingan Umum 90

    D. Latihan…………………………………………………90 BAB XIV PUTUSAN PENGADILAN ............................................ 91

    A. Proses Pengambilan Putusan……………………….91

    B. Jenis Putusan………………………………………….92

    C. Jenis Pidana…………………………………………...92

    D. Latihan…………………………………………………94 BAB XV PENUTUP……………………………………………..... 95

    A. Kesimpulan …………………………………………...95

    B. Implikasi.................................................................... 95

    C. Tindak Lanjut……………………………………………. 96

    DAFTAR PUSTAKA ....................................................................... 97

  • Modul Penuntutan 1

    BAB I PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang

    Kejaksaan Republik Indonesia merupakan lembaga pemerintahan yang

    melaksanakan kekuasaan Negara di bidang penuntutan yang dilakukan untuk

    keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum dengan tetap menghargai nilai dan

    prinsip hukum dalam peraturan perundang-undangan. Sebagai lembaga pemerintahan

    yang melaksanakan tugas penuntutan, maka penuntutan yang dilaksanakan

    Kejaksaan perlu diarahkan dalam rangka mengikuti re-orientasi pembaruan hukum

    pidana, mempertimbangkan tingkat ketercelaan, sikap batin pelaku, kepentingan

    hukum yang dilindungi, kerugian atau akibat yang ditimbulkan, serta memperhatikan

    rasa keadilan masyarakat termasuk kearifan lokal.

    Sebagai implementasi dari pelaksanaan kewenangan Kejaksaan di bidang

    penuntutan maka Diklat pembentukan Jaksa diharapkan dapat membentuk Jaksa

    yang mampu melaksanakan penuntutan yang mengakomodasi tujuan hukum dan

    pertimbangan dimaksud dengan tetap menyesuaikan dengan perkembangan hukum

    dan masyarakat.

    B. Deskripsi Singkat

    Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke

    pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam

    undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di

    sidang pengadilan. Ruang lingkup materi penuntutan dalam modul ini akan memberikan

    pengetahuan dan keterampilan teknis terkait pekerjaan Penuntut Umum di tahap

    penuntutan yang dimulai dari pemeriksaan tambahan, praperadilan, penerimaan dan

    penelitian Tersangka (tahap II), penerimaan dan penelitian barang bukti (tahap II),

    penangguhan penahanan, pembantaran penahanan, pelimpahan perkara ke

    pengadilan, pemanggilan saksi, ahli, terdakwa, terpidana tanggung jawab atas

    tersangka dan barang bukti, penyusunan tuntutan pidana, pengesampingan perkara

    demi kepentingan umum sampai dengan penerbitan surat ketetapan penghentian

    penuntutan (SKPP).

    C. Tujuan Pembelajaran

    1. Tujuan Instruksional Umum / Kompetensi Dasar.

  • Modul Penuntutan 2

    Setelah mengikuti pembelajaran dan pelatihan peserta Diklat mampu membuat surat

    ketetapan penghentian penuntutan, pemeriksaan tambahan, praperadilan, membuat

    surat pelimpahan perkara ke pengadilan, menyusunperlawanan dan pendapat

    penuntut umum terhadap keberatan penasihathukum, menyusun surat tuntutan

    pidana dan replik atas pembelaan terdakwa atau penasihat hukum.

    2. Tujuan Instruksional Khusus

    a. Peserta mampu memahami pengertian, ruang Iingkup, dan dasar hukum

    penuntutan.

    b. Peserta Peserta mampu memahami pemeriksaan tambahan,

    c. Peserta mampu memahami praperadilan,

    d. Peserta mampu memahami penerimaan dan penelitian Tersangka (tahap II),

    e. Peserta mampu memahami penerimaan dan penelitian barang bukti (tahap II),

    f. Peserta mampu memahami penangguhan penahanan, pembantaran penahanan,

    g. Peserta mampu memahami pelimpahan perkara ke pengadilan,

    h. Peserta mampu memahami penghentian penuntutan,

    i. Peserta mampu memahami pemanggilan saksi, ahli, terdakwa, terpidana

    tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti,

    j. Peserta mampu memahami penyusunan tuntutan pidana,

    k. Peserta mampu memahami pengesampingan perkara demi kepentingan umum

    l. Peserta mampu memahami penerbitan surat ketetapan penghentian penuntutan

    (SKPP).

    D. Indikator Keberhasilan

    Setelah mengikuti pembelajaran ini peserta diharapkan mampu :

    a. Memahami pengertian, ruang lingkup dasar hukum penuntutan.

    b. Memahami, menjelaskan dan mempraktekan prosedur pemeriksaan tambahan,

    c. Memahami, menjelaskan dan mempraktekan prosedur praperadilan,

    d. Memahami, menjelaskan dan mempraktekan prosedur penerimaan dan penelitian

    Tersangka (tahap II),

    e. Memahami, menjelaskan dan mempraktekan prosedur penerimaan dan penelitian

    barang bukti (tahap II),

    f. Memahami, menjelaskan dan mempraktekan prosedur penangguhan penahanan,

    g. Memahami, menjelaskan dan mempraktekan prosedur pembantaran penahanan,

    h. Memahami, menjelaskan dan mempraktekan prosedur pelimpahan perkara ke

    pengadilan

    i. Memahami, menjelaskan dan mempraktekan prosedur penghentian penuntutan

  • Modul Penuntutan 3

    j. Memahami, menjelaskan dan mempraktekan prosedur pemanggilan saksi, ahli,

    terdakwa, terpidana tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti,

    k. Memahami, menjelaskan dan mempraktekan prosedur penyusunan tuntutan

    pidana,

    l. Memahami, menjelaskan dan mempraktekan prosedur pengesampingan perkara

    demi kepentingan umum

    m. Memahami, menjelaskan dan mempraktekan prosedur penerbitan surat

    ketetapan penghentian penuntutan (SKPP).

    E. Pokok / Sub Pokok Bahasan

    a. Pengertian, ruang lingkup dan dasar hukum penuntutan.

    1. Dasar Hukum Penuntutan

    2. Pengertian Penuntutan.

    3. Ruang Lingkup Penuntutan.

    b. Pemeriksaan Tambahan

    1. Dasar Hukum;

    2. Hal Penting Yang Harus Diperhatikan tentang Pemeriksaan Tambahan;

    3. Letak Pemeriksaan Tambahan;

    4. Syarat Pemeriksaan Tambahan.

    c. Praperadilan

    1. Dasar Hukum;

    2. Hal Penting yang Harus Diperhatikan Dalam Praperadilan;

    3. Fungsi dan Letak Praperadilan Secara Adminitratif dan Yuridis ;

    4. Prosedur Dan Hukum Acara Pemeriksaan Praperadilan;

    5. Pelaksanaan Putusan Praperadilan;

    6. Permintaan Ganti Kerugian Dan Atau Rehabilitasi Akibat Tidak Sahnya

    Penahanan, Penghentian Penuntutan Atau Dikenakan Tindakan Lain1 Tanpa

    Alasan Yang Berdasarkan Undang-Undang Atau Karena Kekeliruan Mengenai

    Orangnya Atau Hukum Atau Akibat Sahnya Penghentian Penyidikan Atau

    Penuntutan;

    7. Pelaksanaan Putusan Permintaan Ganti Kerugian Dan Atau Rehabilitasi Akibat

    Tidak Sahnya Penahanan, Penghentian Penuntutan Atau Dikenakan Tindakan

    1 Tindakan-tindakan lain yang dimaksudkan pada Pasal 95 ayat (1) KUHAP ini ialah tindakan-tindakan paksa hukum lainnya seperti pemasukan rumah, penggeledahan, penyitaan barang, bukti surat-surat yang dilakukan secara melawan hukum dan menimbullkan kerugian materil. Hal ini dikarenakan adanya pandangan bahwa hak-hak terhadap benda dan hak-hak privacy tersebut perlu dilindungi terhadap tindakan – tindakan yang melawan hukum.

  • Modul Penuntutan 4

    Lain2 Tanpa Alasan Yang Berdasarkan Undang-Undang Atau Karena Kekeliruan

    Mengenai Orangnya Atau Hukum Atau Akibat Sahnya Penghentian Penyidikan

    Atau Penuntutan

    d. Penerimaan dan Penelitian Tersangka (Tahap II)

    Prosedur Penerimaan dan Penelitian Tersangka (Tahap II)

    e. Penerimaan dan Penelitian Barang Bukti (Tahap II)

    Prosedur Penerimaan dan Penelitian Barang Bukti (Tahap II)

    f. Penangguhan Penahanan

    1. Dasar Hukum;

    2. Prosedur Penangguhan Penahanan.

    g. Pembantaran

    1. Dasar Hukum;

    2. Prosedur Pembantaran Penahanan.

    h. Pelimpahan perkara

    1. Kompetensi pengadilan

    2. Komponen pelimpahan

    3. Acara pemeriksaan

    i. Eksepsi/Keberatan

    1. Pengertian dan ruang lingkup eksepsi

    2. Pendapat JPU terhadap eksepsi

    3. Putusan sela dan upaya JPU

    j. Teknik pemeriksaan dan pembuktian di Pengadilan

    1. Pemeriksaan saksi

    2. Pemeriksaan ahli

    3. Pemeriksaan barang bukti

    4. Pemeriksaan harta kekayaan (asset)

    5. Petunjuk

    6. Pemeriksaan terdakwa

    7. Alat bukti di luar KUHAP

    8. Pembuktian terbalik

    k. Surat tuntutan pidana

    1. Pengertian dan ruang lingkup surat tuntutan

    2 Tindakan-tindakan lain yang dimaksudkan pada Pasal 95 ayat (1) KUHAP: Yang dimaksud dengan “kerugian karena dikenakan tindakan lain” ialah kerugian yang ditimbulkan oleh pemasukan rumah, penggeledahan dan penyitaan yang tidak sah. Termasuk penahanan tanpa alasan yaitu penahanan yang lebih lama dari pada pidana yang dijatuhkan.

  • Modul Penuntutan 5

    2. Substansi surat tuntutan

    3. Tekhnik penyusunan surat tuntutan

    4. Pembuatan replik

    g.Penghentian Penuntutan

    1. Alasan penghentian penuntutan

    2. Pengenyampingan perkara (deponering)

    F. Petunjuk Belajar dan Latihan

    a. Baca dan kuasai setiap bab

    b. Lanjutkan bab berikut dengan cara yang sama

    c. Lakukan diskusi kelompok

    d. Presentasi hasil diskusi keiornpok

    e. Tanya jawab dan curah pendapat

    f. Latihan dengan menggunakan format formulir perkara

    G. Metoda Pembelajaran dan Pelatihan

    a. Ceramah

    b. Diskusi / tugas kelompok

    c. Presentasi hasil tugas kelompok

    d. Tanya jawab / diskusi kelas

    e. Tugas baca dan latihan

    H. Media

    a. White board

    b. OHP

    C. Power poin / laptop / proyektor

    d. Alat tulis

    e. Berkas perkara

  • Modul Penuntutan 6

    BAB II PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP DAN DASAR HUKUM

    PENUNTUTAN

    Indikator Keberhasilan :

    Setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta diharapkan mampu:

    1. Memahami pengertian penuntutan

    2. Memahami ruang lingkup penuntutan

    A. DASAR HUKUM PENUNTUTAN

    1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara

    Pidana (KUHAP):

    a. Pasal 137, mnegatur:

    Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang

    didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan

    melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili.

    b. Pasal 140 ayat (1), mengatur:

    Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat

    dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan.

    c. Pasal 143 ayat (1), mengatur:

    Penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan

    permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai dengan surat

    dakwaan.

    2. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004, tentang Kejaksaan RI :

    a. Pasal 30, ayat (1) huruf a mengatur:

    Di bidang pidana, kejaksaan membunyai tugas dan wewenang melakukan

    penuntutan.

    b. Pasal 35 huruf a, mengatur:

    Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang menetapkan serta mengendalikan

    kebijakan penegakan hukum dan keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang

    Kejaksaan

    B. PENGERTIAN PENUNTUTAN

    1. Secara Yuridis

    Penuntutan secara yuridis adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan

    perkarapidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menuntut

  • Modul Penuntutan 7

    carayang di atur dalam undang-undang ini, dengan permintaan supaya diperiksadan

    diputus oleh Hakim di sidang pengadilan (Pasal 1 butir 7 KUHAP).

    Berdasarkan definisi tersebut di atas, maka secara teknis yuridis, penuntutandimulai

    dengan melimpahkan perkara ke pengadilan oleh penuntut umum.

    2. Secara Administratif, Penuntutan sudah dimulai sejak diterimanya penyerahan

    tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti (penyerahan tahap II) dimana

    berkas perkara, tersangka dan barang bukti telah dimasukkan dalam buku register

    perkara (RP.9). Sejak saat itulah perkara sudah berada dalam tahap penuntutan,

    meskipun penuntut umum belum melimpahkan perkara tersebut ke pengadilan.

    Dengan mengacu kepada pengertian penuntutan secara administratif di atas, maka

    pengertian penuntutan termasuk penghentian penuntutan, karena suatu perkara

    pidana baru dapat dihentikan penuntutannya, setelah perkara tersebut beralih

    tanggung jawab dari penyidik kepada penuntut umum, dan dari situlah penuntut

    umum segera menentukan sikap apakah berkas perkara tersebut memenuhi syarat

    untuk dapat atau tidak dapat dilimpahkan ke pengadilan sebagaimana ditentukankan

    dalam Pasal 139 KUHAP.

    C. RUANG LINGKUP PENUNTUTAN

    Sesuai dengan pengertian Penuntutan yang dianut secara administrative

    berdasarkan Keputusan Jaksa Agung RI Nomor : KEP-518/A/J.A/11/2001 tanggal 1

    November 2001, maka Penuntutan terhitung sejak penerimaan tanggung jawab atas

    tersangka dan barang bukti (Penyerahan Tahap II) dan setelah dicatat dalam Register

    Perkara (RP-9), Register Barang Bukti (RB-1) dan Register Tahanan (RT 17)

    Oleh karena itu ruang lingkup penuntutan yang dianut dalam pembelajaran ini,

    meliputi:

    a. Pemeriksaan Tambahan

    b. Praperadilan

    c. Penerimaan dan Penelitian Tersangka (tahap II), pasal 8 ayat (3) KUHAP

    d. Penerimaan dan Penelitian Barang Bukti (tahap II)

    e. Penangguhan Penahanan

    f. Pembantaran Penahanan

    g. Pelimpahan perkara ke Pengadilan

    h. Penghentian Penuntutan

    i. Pemanggilan saksi, ahli, terdakwa, terpidana tanggung jawab atas tersangka dan

    barang bukti

    j. Penyusunan tuntutan pidana, Pasal 182 KUHAP

  • Modul Penuntutan 8

    k. Pengesampingan Perkara Demi Kepentingan Umum

    D. INSTRUKSIONAL

    1. Widyaiswara / Peserta mampu menjelaskan pengertian dan ruang lingkup penuntutan

    2. Widyaiswara / Peserta menjelaskan pokok dan sub pokok bahasan serta memotivasi

    peserta mencapai indikator keberhasilan.

    E. LATIHAN

    1) Jelaskan ruang lingkup penuntutan menurut teknis yuridis maupun secara

    administratif?

    2) Jelaskan ruang lingkup Penuntutan?

    3) Jelaskan dasar hukum Penuntutan?

  • Modul Penuntutan 9

    BAB III PEMERIKSAAN TAMBAHAN

    Indikator Keberhasilan :

    Setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta diharapkan mampu :

    1. Memahami dasar hukum pemeriksaan tambahan;

    2. Memahami hal-hal penting yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan tambahan;

    3. Memahami pada tahapan apa pemeriksaan tambahan dilaksanakan;

    4. Memahami dalam hal apa, syarat atau kondisi apa pemeriksaan tambahan dapat

    dilaksanakan; serta

    5. Mempraktekkan pemeriksaan tambahan dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya

    A. Dasar Hukum

    KUHAP tidak mengatur secara eksplisit ketentuan terkait pemeriksaan

    tambahan, meskipun dengan membaca ketentuan terkait penelitian berkas perkara

    hingga dinyatakan lengkap, dalam pasal 138 KUHAP yang menyatakan,

    “(1) Penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik segera

    mempelajari dan menelitinya dan dalam waktu tujuh hari wajib

    memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap

    atau belum; (2) Dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap, penuntut

    umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk

    tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi dan dalam waktu empat

    belas hari sejak tanggal penerimaan berkas, penyidik harus sudah

    menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada penuntut umum.”

    Maka apabila ketentuan itu dibaca dalam landasan filosofi hak asasi manusia

    untuk mempercepat akses seorang tersangka segera mendapat kepastian akan

    nasibnya, ruang untuk bolak-baliknya berkas perkara itu seharusnya ada

    batasannya. Pengaturan terkait batas waktu 7 (tujuh) hari untuk menentukan sikap

    dan 14 (empat belas hari) untuk melengkapi kekurangan berkas perkara sesuai

    petunjuk Penuntut Umum yang tidak diikuti dengan ketentutan yang bersifat lebih

    tegas mengenai berapa kali hal itu dapat dilakukan menyebabkan aparat penegak

    hukum kemudian mengartikan bahwa proses penelitian dan pengembalian berkas

    perkara untuk dilengkapi itu dapat berlangsung berkali-kali. Padahal apabila

    dihubungkan dengan tugas dan kewenangan Kejaksaan di bidang hukum pidana

    untuk melakukan pemeriksaan tambahan, maka dalam hal setelah 14 (empat belas)

  • Modul Penuntutan 10

    hari Penyidik tidak juga dapat melengkapi berkas perkara, Penuntut Umum dapat

    melanjutkan penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik dengan melakukan

    pemeriksaan tambahan.

    Pemeriksaan tambahan diatur dalam:

    a. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia

    (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67, Tambahan

    Lembaran Negara Nomor 4401);

    b. Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum kepada Kepala Kejaksaan

    Tinggi Seluruh Indonesia Nomor: B-536/E/11/1993 tanggal 1 Nopember 1993

    perihal Melengkapi Berkas Perkara Dengan Melakukan Pemeriksaan

    Tambahan.

    c. Keputusan Jaksa Agung RI Nomor KEP-518/A/J.A/11/2001 tentang Perubahan

    Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor KEP-132/J.A/11/1994

    tentang Administrasi Perkara Tindak Pidana.

    Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan

    Republik Indonesia, mengatur3:

    “Dibidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang: a. Melakukan

    penuntutan; b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang

    telah memperoleh kekuatan hukum tetap; c. Melakukan pengawasan terhadap

    pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan

    keputusan lepas bersyarat; d. Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana

    tertentu berdasarkan undang-undang; e. Melengkapi berkas perkara tertentu

    dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan

    ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan

    penyidik”.

    Kemudian ditambahkan dalam penjelasan pasal, yang mengatur syarat atau

    dalam hal apa pemeriksaan tambahan dilakukan, sebagai berikut:

    “Untuk melengkapi berkas perkara, pemeriksaan tambahan dilakukan dengan

    memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

    1) Tidak dilakukan terhadap tersangka;

    3 Penjelasan pasal 30 ayat (1) huruf e UU Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan

  • Modul Penuntutan 11

    2) Hanya terhadap perkara-perkara yang sulit pembuktiannya, dan/atau dapat

    meresahkan masyarakat, dan/atau yang dapat membahayakan keselamatan

    negara;

    3) Harus dapat diselesaikan dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah

    diselesaikan ketentuan pasal 110 dan 138 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8

    Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;

    4) Prinsip koordinasi dan kerjasama dengan penyidik”.

    B. Hal Penting yang Harus Diperhatikan Dalam Pemeriksaan Tambahan

    a. Apabila pemerksaan tambahan tidak dilaksanakan, maka alat bukti tidak dapat

    dikumpulkan secara optimal;

    b. Pemeriksaan tambahan dilaksanakan atas usul JPU P-16, apabila syarat-

    syaratnya terpenuhi dan setelah mendapat persetujuan Kepala Kejaksaan

    Negeri;

    c. Pemeriksaan tambahan dilakukan untuk mencari dan mengumpulkan alat bukti

    sehingga ada penilaian bahwa sudah terdapat fakta yang dapat meyakinkan

    Hakim.

    C. Letak Pemeriksaan Tambahan

    Pemeriksaan tambahan berada dalam tahap penuntutan yang didahului dengan

    pengambilan keputusan oleh Kepala Kejaksaan Negeri atas usul Penuntut Umum

    (dalam hal ini JPU P-16) pada Berita Acara Pendapat Hasil Penelitian Berkas

    Perkara (P-24) dan check list terhadap berkas perkara hasil penyidikan, yang setelah

    dikembalikan dengan petunjuk sebanyak 2 (dua) kali ternyata setelah ke-2 (dua)

    kalinya Penyidk mengembalikan berkas perkara, belum juga dapat melengkapi

    petunjuk Penuntut Umum

    D. Syarat atau Kondisi Kapan Pemeriksaan Tambahan Dilakukan

    Pemeriksaan tambahan dilaksanakan apabila masih dalam batas waktu 14

    hari penyidikan tambahan sejak diterimanya pengembalian berkas perkara (BP)

    dengan petunjuk (P-19) kedua, Penyidik mengembalikan BP, namun pada P-19

    kedua itu pun Penyidik belum dapat memenuhi baik sebagian atau seluruh petunjuk

    JPU P-16.

    Apabila perkara yang sampai dengan petunjuk yang ke-2 itu ternyata

    merupakan perkara yang sulit pembuktiannya, dan/atau dapat meresahkan

    masyarakat, dan/atau yang dapat membahayakan keselamatan negara, JPU P-16

  • Modul Penuntutan 12

    kemudian meneliti kembali berkas perkara yang belum lengkap tersebut. Dalam hal

    JPU P-16 menemukan syarat atau kondisi sebagai berikut:

    a. Ada dugaan tindak pidana;

    b. Ada minimal 1 (satu) alat bukti baik terhadap perbuatan pidana maupun terhadap

    pertanggungjawaban pidana;

    c. Ada Berita Acara Pemeriksaan Tersangka,

    maka JPU P-16 dapat mengusulkan kepada Kajari untuk melakukan

    pemeriksaan tambahan

    Usul JPU P-16 untuk melakukan pemeriksaan tambahan dituangkan dalam

    Berita Acara Pendapat Hasil Penelitian BP (P-24) dan check list kemudian

    diserahkan kepada Kepala seksi bidang tindak pidana terkait/Asisten pada bidang

    terkait/Direktur pada direktorat terkait. Kepala seksi bidang tindak pidana

    terkait/Asisten pada bidang terkait/Direktur pada direktorat terkait akan memberikan

    saran/pendapat dalam P-24 dan check list atas usul JPU P-16 melakukan

    pemeriksaan tambahan kemudian meneruskan kepada Kepala Kejaksaan

    Negeri/Kepala Kejaksaan Tinggi/Jaksa Agung Muda untuk mendapatkan petunjuk.

    Atas usul JPU P-16 dan saran/pendapat Kepala seksi bidang tindak pidana

    terkait/Asisten pada bidang terkait/Direktur pada direktorat terkait, sebelum

    mengambil keputusan Kepala Kejaksaan Negeri/Kepala Kejaksaan Tinggi/Jaksa

    Agung Muda dapat melakukan 3 (tiga) opsi yang dicantumkan sebagai petunjuk

    dalam P-24 dan check list, sebagai berikut:

    a. setuju dilakukan pemeriksaan tambahan dan memerintahkan Kepala seksi

    bidang tindak pidana terkait/Asisten pada bidang terkait/Direktur pada direktorat

    terkait untuk membuat Surat Penyerahan tersangka dan barang bukti (untuk

    dilakukan pemeriksaan tambahan P-22)

    b. Dilakukan ekspos terlebih dahulu dengan atau tanpa Penyidik; atau

    c. Dalam hal Kajari tidak setuju, agar JPU P-16 mengembalikan BP dengan

    format surat biasa disertai petunjuk agar Penyidik menentukan sikap

    sebagaimana pasal 109 ayat (2) KUHAP.

    E. Prosedur Pemeriksaan Tambahan

    Prosedur pemeriksaan tambahan dijabarkan dalam Surat Jaksa Agung Muda

    Tindak Pidana Umum kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Seluruh Indonesia Nomor: B-

    536/E/11/1993 tanggal 1 Nopember 1993 perihal Melengkapi Berkas Perkara

    Dengan Melakukan Pemeriksaan Tambahan dan saat ini sedang disusun dalam

    bentuk Standar Operasional Prosedur Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum

  • Modul Penuntutan 13

    oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum agar dapat menjadi suatu rangkaian

    aksi yang spesifik, tindakan atau operasi yang harus dijalankan atau dieksekusi

    dengan cara yang baku (sama) agar selalu memperoleh hasil yang sama dari

    keadaan yang sama.

    Pemeriksaan tambahan dilaksanakan dalam hal Kepala Kejaksaan

    Negeri/Kepala Kejaksaan Tinggi/Jaksa Agung Muda setuju melakukan pemeriksaan

    tambahan dan memerintahkan Kepala seksi bidang tindak pidana terkait/Asisten

    pada bidang terkait/Direktur pada direktorat terkait untuk membuat Surat Penyerahan

    tersangka dan barang bukti (untuk dilakukan pemeriksaan tambahan P-22),

    kemudian dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:

    1. Setelah menerima surat pengantar surat pengantar penyerahan tersangka dan

    barang bukti untuk dilakukan pemeriksaan tambahan dari Penyidik berdasarkan P-

    22, Kepala Kejaksaan Negeri menerbitkan Surat Perintah Melengkapi Berkas

    Perkara (P-25)

    2. Penuntut Umum yang mendapatkan surat perintah untuk melakukan pemeriksaan

    tambahan (JPU P-25) adalah penuntut umum yang ditunjuk untuk melakukan

    pemeriksaan tambahan, dimana penunjukannya diprioritaskan kepada penuntut

    umum yang melakukan pemantauan perkembangan penyidikan (JPU P-16)

    dimana JPU P-16 dimaksud telah melakukan penelitian BP dan menemukan

    syarat atau kondisi agar perkara dapat dilakukan pemeriksaan tambahan

    3. Setelah mendapatkan P-25, JPU P-25 melakukan pemeriksaan tambahan

    4. Pemeriksaan tambahan dilakukan menurut tata cara penyidikan sesuai hukum

    acara pidana yang berlaku kecuali melakukan pemeriksaan Tersangka4.

    5. Dalam hal dilakukan penahanan terhadap Tersangka, maka jangka waktu

    penahanan yang digunakan adalah jangka waktu penahanan penuntutan5

    4 Penjelasan pasal 30 ayat (1) huruf e UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan: ““Untuk melengkapi berkas perkara, pemeriksaan tambahan dilakukan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut : 1) Tidak dilakukan terhadap tersangka; 2) Hanya terhadap perkara-perkara yang sulit pembuktiannya, dan/atau dapat meresahkan masyarakat,

    dan/atau yang dapat membahayakan keselamatan negara; 3) Harus dapat diselesaikan dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah diselesaikan ketentuan pasal 110 dan

    138 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana; 4) Prinsip koordinasi dan kerjasama dengan penyidik”. 5 Pasal 25 (1) KUHAP: Perintah penahanan yang diberikan oleh penuntut umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, hanya berlaku paling lama dua puluh hari; (2) Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan negeri yang berwenang untuk paling lama tiga puluh hari;

  • Modul Penuntutan 14

    6. Setelah dilakukan pemeriksaan tambahan, menuangkan hasil pemeriksaan

    tambahan dalam Berita Acara pendapat (hasil pemeriksaan tambahan) dan

    menyerahkan kepada Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari)

    7. Atas Berita Acara pendapat (hasil pemeriksaan tambahan) Kajari dapat

    memberikan disposisi dilaksanakan atau tidak dilaksanakan gelar perkara dalam

    kartu penerus disposisi

    8. Dalam hal dilaksanakan gelar perkara, Kajari memerintahkan Kasi Pidum untuk

    menyiapkan gelar perkara dengan/tanpa mengundang peserta gelar perkara dari

    luar (penyidik/ahli)

    9. JPU P-25 melaksanakan gelar perkara dengan dihadiri oleh peserta ekspose

    seperti Kajari, Kasi Pidum, Kasubsi Pratut, Kasubsi Tut dan peserta ekspose

    undangan lainnya

    10. Pelaksanaan gelar perkara menghasilkan 2 (dua) alternatif kondisi yaitu:

    a. Pemeriksaan tambahan lengkap;

    b. Pemeriksaan tambahan tidak lengkap

    11. Dalam hal hasil ekspose menyatakan pemeriksaan tambahan lengkap, maka

    JPU P-25:

    a. membuat berita acara hasil ekspose

    b. menyusun hasil pemeriksaan tambahan dalam bentuk BP yang terpisah

    dari BP Penyidik dibuat 2 (dua) rangkap

    c. membuat nota dinas hasil pemeriksaan tambahan lengkap

    d. membuat Berita acara pendapat (Resume) (BA-14)

    e. menyerahkan kelengkapan berkas pemeriksaan tambahan kepada Kajari

    f. melimpahkan perkara ke pengadilan setelah menerima perintah Kasi Pidum

    atas disposisi Kajari.

    12. Dalam hal hasil ekspose menyatakan pemeriksaan tambahan tidak lengkap,

    maka JPU P-25:

    a. membuat berita acara hasil ekspose sebanyak 3 (tiga) rangkap. 3 (tiga)

    rangkap BA hasil ekspose untuk: Kajati (sebagai lampiran pemberitahuan

    penghentian penuntutan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati); JPU P-25

    (yang ada disposisi Kajari pada KPD) dan Kajari (sebagai arsip)

    b. membuat konsep pemberitahuan penghentian penuntutan kepada Kajati

    yang ditandatangani oleh Kajari

    c. menyusun hasil pemeriksaan tambahan dalam bentuk BP yang terpisah dari

    BP Penyidik dibuat 1 (satu) rangkap

    d. membuat Berita acara pendapat (Resume) (BA-14)

  • Modul Penuntutan 15

    e. membuat konsep Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan untuk

    ditandatangani oleh Kajari atas perintah Kasi Pidum setelah menerima

    disposisi dari Kajari

    F. LATIHAN

    1. Tindakan penyidikan apa saja yang dapat dilakukan Penuntut Umum dalam

    pemeriksaan tambahan?

    2. Pada tahap apa pemeriksaan tambahan dilakukan?

    3. Dalam hal/kondisi apa pemeriksaan tambahan dilakukan?

    4. Apa yang terjadi jika pemeriksaan tambahan tidak dilakukan?

    5. Apakah pemeriksaan tambahan dilakukan setelah berkas perkara dinyatakan

    lengkap? Apa alasan Saudara?

  • Modul Penuntutan 16

    BAB IV PRAPERADILAN

    Indikator Keberhasilan :

    Setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta diharapkan mampu :

    1. Memahami dasar hukum Praperadilan;

    2. Memahami hal-hal penting yang harus diperhatikan dalam Praperadilan;

    3. Memahami fungsi praperadilan, pada tahap apa praperadilan dilaksanakan serta pada

    siapa yang bertanggungjawab secara administratif; serta

    4. Mempraktekkan Praperadilan dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya

    A. Dasar Hukum

    1. Pasal 77 sampai dengan 83 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum

    Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76,

    Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 3209);

    2. Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 65/PUU-IX/2011 tanggal

    19 April 2012;

    3. Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 21/PUU-XII/2012 tanggal

    28 Oktober 2014;

    4. Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 102/PUU-XIII/2015 tanggal

    9 November 2016;

    5. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan

    KUHAP, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 92

    Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27

    Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;

    6. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2016 tentang

    Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan;

    7. Surat Edaran Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Larangan Pengajuan Praperadilan Bagi

    Tersangka Yang Melarikan Diri Atau Sedang Dalam Status Daftar Pencarian Orang

    (DPO);

    8. Keputusan Jaksa Agung RI Nomor KEP-518/A/J.A/11/2001 tentang Perubahan

    Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor KEP-132/J.A/11/1994 tentang

    Administrasi Perkara Tindak Pidana.

  • Modul Penuntutan 17

    B. Hal Penting yang Harus Diperhatikan Dalam Praperadilan

    1. Apabila prosedur Praperadilan tidak dilaksanakan, maka Kejaksaan sebagai Turut

    Termohon atau Termohon II tidak dapat membuktikan prosedur penanganan perkara

    terkait penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan telah sah

    sesuai ketentuan undang-undang;

    2. Praperadilan diajukan dan diproses sebelum perkara pokok disidangkan di

    pengadilan Negeri, jika perkara pokok sudah mulai diperiksa maka Praperadilan

    gugur6;

    3. Putusan praperadilan tidak bisa diajukan banding7;

    4. Putusan praperadilan tidak bisa diajukan kasasi8;

    5. Putusan praperadilan tidak dapat diajukan Peninjauan Kembali9;

    6. Dengan berlakunya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 tentang

    larangan Peninjauan Kembali putusan praperadilan, maka dalam hal putusan

    praperadilan ditemukan indikasi penyeludupan hukum tidak dapat diajukan

    Peninjauan Kembali sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung

    Nomor 4 Tahun 2014, khusus hal dimaksud dicabut dan dinyatakan tidak berlaku10;

    7. Dengan berlakunya Surat Edaran Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Larangan

    Pengajuan Praperadilan Bagi Tersangka Yang Melarikan Diri Atau Sedang Dalam

    Status Daftar Pencarian Orang (DPO), maka dalam hal tersangka melarikan diri atau

    dalam status Daftar Pencarian Orang (DPO), tidak dapat diajukan permintaan

    praperadilan, baik dimohonkan oleh tersangka, penasehat hukum atau keluarganya,

    6 Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP yang menentukan bahwa apabila suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri, sedangkan permintaan mengenai praperadilan belum selesai, maka praperadilan tersebut gugur. 7 Vide Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 65/PUU-IX/2011 tanggal 19 April 2012: Pasal 83 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena Menurut Mahkamah, filosofi diadakannya lembaga praperadilan sebagai peradilan yang cepat, untuk memberikan perlakuan yang sama terhadap tersangka/terdakwa dan penyidik serta penuntut umum maka yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 adalah pemberian hak banding kepada penyidik dan penuntut umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (2) KUHAP. 8 Pasal 45A Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 3 tahun 2009 tentang Mahkamah Agung menentukan larangan diajukan kasasi terhadap putusan Praperadilan 9 Pasal 3 Perma Nomor 4 Tahun 2016: (1) Putusan Praperadilan tidak dapat diajukan peninjauan kembali (2) Permohonan peninjauan kembali terhadap praperadilan dinyatakan tidak dapat diterima dengan penetapan Ketua Pengadilan negeri dan berkas perkara tidak dikirim ke Mahkamah Agung (3) Penetapan Ketua Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diajukan upaya hukum. 10 Pasal 6 Perma juga mencabut SEMA Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pemberlakuan Hasil Pleno Kamar Mahkamah Agung sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan, khususnya mengenai peninjauan kembali terhadap putusan Praperadilan dalam hal ditemukan indikasi penyeleundupan hukum, dicabut dan dinatakan tidak berlaku.

  • Modul Penuntutan 18

    dan terhadap putusan yang menyatakan permohonan praperadilan tersebut tidak

    dapat diterima, tidak dapat diajukan upaya hukum.

    C. Fungsi dan Letak Praperadilan Secara Adminitratif dan Yuridis

    Pemeriksaan praperadilan dilakukan untuk memeriksa dan memutus sah atau

    tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian

    penuntutan sebagaimana dalam pasal 77 huruf a KUHAP termasuk penetapan

    Tersangka, penggeledahan dan penyitaan (vide Putusan MK No. 21/PUU-XII/2012

    tanggal 28 Oktober 2014), ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang

    perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

    Mekanisme praperadilan yang melibatkan Kejaksaan sebagai turut Termohon

    atau Termohon II dapat terjadi pada tahap prapenuntutan dan tahap penuntutan.

    Apabila Kejaksaan menjadi turut Termohon atau Termohon II karena penangkapan,

    penahanan atau penghentian penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik, maka

    sehingga secara administrasi praperadilan menjadi tanggung jawab Kasubdit

    Pratut/Kasi /Kasubsi Pratut/Kasubsi Pidum dan Pidsus, sedangkan dalam hal

    Kejaksaan menjadi Termohon karena penghentian penuntutan dalam tahap

    penuntutan, maka secara administrasi menjadi tanggung jawab Kasubsi Penuntutan.

    Registrasi praperadilan menjadi kebutuhan di Kejaksaan meskipun tidak diatur

    dalam Keputusan Jaksa Agung RI Nomor KEP-518/A/J.A/11/2001 tentang

    Perubahan Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor KEP-132/J.A/11/1994

    tentang Administrasi Perkara Tindak Pidana. Regster praperadilan harus

    mengakomodir prapreadilan pada tahap penyidikan, penuntutan dan pelaksanakan

    putusan praperadilan sehingga dibutuhkan 3 (tiga) register yaitu:

    1. Register praperadilan tahap penyidikan secara administratif menjadi tanggung

    jawab Kasubdit Pratut/Kasi /Kasubsi Pratut/Kasubsi Pidum dan Pidsus.

    2. Register praperadilan tahap penuntutan secara administratif menjadi tanggung

    jawab Kasubsi Penuntutan.

    3. Register praperadilan dengan objek praperadilan permintaan ganti rugi dan/atau

    rehabilitasi secara administratif menjadi tanggung jawab Kasubsi Eksekusi dan

    Eksaminasi.

    D. Prosedur Dan Hukum Acara Pemeriksaan Praperadilan

    1. setelah menerima surat panggilan sidang praperadilan dari Pengadilan dengan

    permohonan praperadilan dari Pemohon sebagai lampiran, Kepala Kejaksaan

    Negeri menerbitkan Surat Perintah Penunjukan Penuntut Umum Untuk Sidang

  • Modul Penuntutan 19

    Praperadilan11, namun dalam Penunjukan JPU-Prapid, sedapat mungkin bukan

    JPU P-16A, karena JPU P-16A dalam sidang praperadilan dapat memberikan

    keterangan sebagai pejabat yang berwenang untuk menjelaskan prosedur yang

    menjadi materi praperadilan sebagaimana dalam pasal 82 ayat (1) huruf b

    KUHAP12. Hal ini berbeda dengan petunjuk Surat JAM Pidum Nomor:

    B-249/E/5/1996 tanggal 15 Mei 1996 perihal Penugasan Jaksa dalam

    Praperadilan yang pada angka 3 ketentuannya lebih mengutamakan Jaksa yang

    ditugasi melakukan penelitian terhadap berkas perkara dalam tahap

    Prapenuntutan sehingga diharapkan penguasaan atas perkaranya akan lebih

    baik dan pada Jaksa lainnya. Jaksa P-16 justru tidak ditunjuk sebagai Jaksa

    Prapid karena Jaksa P-16 lebih dibutuhkan untuk memberikan keterangan di

    depan persidangan sebagai pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud

    pasal 82 ayat (1) huruf b KUHAP untuk menjelaskan tentang sah atau tidaknya

    penangkapan atau penahanan, sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau

    penuntutan atau benda yang disita termasuk atau tidak alat pembuktian

    2. Kasubdit Pratut/Kasi /Kasubsi Pratut/Kasubsi Pidum dan Pidsus mencatat surat

    panggilan sidang praperadilan pada register praperadilan tahap penyidikan,

    sedangkan Kasubsi Penuntutan mencatatnya pada register praperadilan tahap

    penuntutan, kemudian menyerahkan Surat Perintah Penunjukan Penuntut Umum

    Untuk Sidang Praperadilan yang telah ditandatangi Kajari kepada JPU

    Praperadilan (JPU Prapid);

    3. Setelah menerima Surat Perintah Penunjukan Penuntut Umum Untuk Sidang

    Praperadilan, JPU Prapid menyiapkan tanggapan atas permohonan

    praperadilan;

    4. Dalam hal surat panggilan sidang praperadilan diterima tanpa lampiran

    permohonan praperadilan, maka pada saat sidang hari pertama praperadilan,

    11 Surat JAM Pidum Nomor: B-249/E/5/1996 tanggal 15 Mei 1996 perihal Penugasan Jaksa dalam Praperadilan angka 2: Tidaklah tepat kalau penugasan Jaksa yang menangani masalah Praperadilan dituangkan dalam bentuk ”Surat Kuasa Khusus” yang dipakai dalam proses perkara perdata dan tata usaha negara. Akan lebih tepat apabila penugasan tersebut dituangkan dalam bentuk ”Surat Perintah" sebagaimana terlampir (template Surat Perintah terlampir); 3: Dalam menghadapi pemeriksaan sidang Praperadilan hendaknya lebih diutamakan untuk Jaksa yang ditugasi melakukan penelitian terhadap berkas perkara dalam tahap Prapenuntutan sehingga diharapkan penguasaan atas perkaranya akan lebih baik dan pada Jaksa lainnya. 12 Pasal 82 ayat (1) huruf b: dalam memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan, sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan, permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan, akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan dan ada benda yang disita yang tidak termasuk alat pembuktian, hakim mendengar keterangan baik dari tersangka atau pemohon maupun dari pejabat yang berwenang

  • Modul Penuntutan 20

    JPU Prapid mengajukan penundaan sidang dengan alasan belum menerima

    permohonan praperadilan;

    5. JPU Prapid menghadiri sidang praperadilan sesuai jadwal sidang;

    6. JPU Prapid membacakan tanggapan atas permohonan praperadilan;

    7. JPU Prapid menghadirkan pejabat yang berwenang memberikan keterangan di

    hadapan sidang praperadilan, termasuk alat bukti lain yang relevan;

    8. JPU Prapid membacakan kesimpulan Termohon

    9. Persidangan perkara praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal karena sifat

    pemeriksaannya tergolong singkat dan pembuktiannya hanya memeriksa aspek

    formil

    10. Pemeriksaan praperadilan paling lama 7 (tujuh) hari sebagaimana dalam pasal

    82 ayat (1) huruf c KUHAP

    11. Frasa “suatu perkara sudah mulai diperiksa” dimaknai permintaan praperadilan

    gugur ketika pokok perkara telah dilimpahkan dan telah dimulai sidang pertama

    terhadap pokok perkara (vide Putusan MK No. 102/PUU-XIII/2015 tanggal 9

    November 2016);

    12. Dalam hal hakim menghendaki dipanggilnya pejabat yang berwenang untuk

    memberi keterangan di hadapan sidang pengadilan, JPU-Prapid menghadirkan

    pejabat yang relevan dengan permohonan materi praperadilan (seperti: JPU P-

    16A / atasan JPU P-16A, Penyidik/ atasan penyidik, atau pejabat terkait lainnya)

    13. JPU-Prapid membuktikan telah ada 2 (dua) alat bukti terhadap13:

    perbuatan pidana dan/atau

    pertanggunggjawaban pidana14

    Hanya untuk membuktikan aspek formil yaitu apakah ada paling sedikit 2 (dua)

    alat bukti yang sah dan tidak memasuki materi perkara

    13 Sehubungan dalam menetapkan, menangkap dan menahan tersangka hanya dapat dilakukan berdasarkan minimal 2 (dua) alat bukti (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 21/PUU-XII/2012 Tanggal 28 Oktober 2014 Tentang frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” pada pasal 1 angka 14, pasal 17, dan pasal 21 ayat (1) KUHAP) maka sebelum melakukan penahanan, Penyidik harus melampirkan surat Penetapan Tersangka, sebagai hasil penyidikan dalam surat permintaan perpanjangan penahanannya untuk membuktikan bahwa ketika menahan Tersangka, Penyidik sudah memiliki 2 (dua) alat bukti yang cukup (vide Putusan Praperadilan Nomor: 04/Pid. Prad/2015/PN.Jkt.Sel tanggal 16 Februari 2015), dimana sebelumnya ketika menyampaikan dimulainya Penyidikan, Penyidik belum dapat menetapkan siapa tersangkanya 14 pandangan dualistis melihat keseluruhan syarat adanya pidana telah melekat pada perbuatan pidana, di mana pandangan dualistis memisahkan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana, yakni dalam tindak pidana hanya dicakup criminal act dan criminal responbility tidak menjadi unsur tindak pidana.

  • Modul Penuntutan 21

    14. Penilaian aspek formil terhadap alat bukti adalah apakah alat bukti tersebut telah

    dilakukan berdasarkan cara yang sah (lawful legal evidence) dan terpenuhi

    syarat administratifnya

    15. JPU Prapid membuat laporan hasil persidangan praperadilan dan laporan

    Penuntut Umum setelah putusan praperadilan atau laporan Penuntut Umum

    setelah penetapan praperadilan (ganti kerugian & rehabilitasi);

    16. Petikan putusan praperadilan diterbitkan segera setelah putusan diucapkan dan

    salinan putusan diberikan 14 hari sejak putusan diucapkan (vide SEMA No. 1

    Tahun 2011 tentang Perubahan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 2 Tahun

    2010 tentang Penyampaian Salinan dan Petikan Putusan)

    17. Setelah 14 hari, pengadilan belum menyampaikan putusan, JPU-Prapid

    mengambil sikap untuk proaktif menghubungi panitera pengadilan atau

    berkoordinasi dengan hakim/Ketua Pengadilan Negeri dan apabila dipandang

    perlu membuat surat permintaan salinan putusan karena pengadilan belum

    menyampaikan salinan putusan setelah lewat 14 hari yang ditandatangani oleh

    Kajari dengan tembusan kepada Ketua Pengadilan Tinggi

    18. JPU Prapid melaksanakan putusan praperadilan

    19. Putusan praperadilan yang mengabulkan permohonan tentang tidak sahnya

    penetapan Tersangka tidak menggugurkan kewenangan Penyidik untuk

    menetapkan yang bersangkutan sebagai Tersangka lagi setelah memenuhi

    paling sedikit dua alat bukti baru yang sah, berbeda dengan alat bukti

    sebelumnya yang berkaitan dengan materi perkara (vide pasal 2 ayat (3)

    Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2016 tentang

    Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan)

    E. Pelaksanaan Putusan Praperadilan

    1. Dalam hal penahanan ditetapkan tidak sah, JPU Prapid segera membebaskan

    tersangka sesudah putusan praperadilan diucapkan dengan membuat Berita

    Acara pelaksanaan perintah pengeluaran dari tahanan (BA-10) dan Berita Acara

    pelaksanaan putusan pengadilan (BA-17)15;

    15 Pasal 82 dan 83 ayat (1) huruf a KUHAP: Dalam hal putusan hakim dalam acara pemeriksaan praperadilan menetapkan bahwa sesuatu penangkapan atau penahanan tidak sah, maka penyidik atau jaksa penuntut umum pada tingkat pemeriksaan masing-masing harus segera membebaskan tersangka

  • Modul Penuntutan 22

    2. Dalam hal penghentian penyidikan ditetapkan tidak sah, kemudian Penyidik

    menindaklanjuti dengan melimpahkan berkas perkara ke Kejaksaan, maka JPU

    P-16 menerima berkas perkara (Tahap I) dan meneliti berkas perkara;

    3. Dalam hal penghentian penuntutan ditetapkan tidak sah, maka Kajari

    memberikan pendapat pada Laporan Penuntut Umum setelah putusan

    praperadilan dan mendisposisi pada Kasi Pidum untuk membuat konsep

    permintaan persetujuan JA RI atas putusan praperadilan;

    4. Berdasarkan jawaban JA RI atas surat permintaan persetujuan JA RI,

    sebagaimana huruf c, JPU Prapid menindaklanjuti tindakan hukum sebagai

    berikut :

    a. Dalam hal JA RI setuju, Penuntut Umum melanjutkan penuntutan dengan

    melimpahkan berkas perkara ke Pengadilan;

    b. Dalam hal JA RI tidak setuju, Penuntut Umum melanjutkan penuntutan

    dengan melimpahkan berkas perkara ke Pengadilan, kemudian menarik

    surat dakwaan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum sidang dimulai,

    untuk mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan menetapkan hari

    sidang, dengan tujuan untuk tidak melanjutkan penuntutannya (vide pasal

    144 ayat (2) dan ayat (3) KUHAP);

    5. Dalam hal penetapan Tersangka ditetapkan tidak sah, maka JPU Prapid segera

    membebaskan Tersangka sesudah putusan praperadilan diucapkan dengan

    membuat Berita Acara pelaksanaan perintah pengeluaran dari tahanan (BA-10)

    dan Berita Acara pelaksanaan putusan pengadilan (BA-17)16.

    F. Permintaan Ganti Kerugian Dan Atau Rehabilitasi Akibat Tidak Sahnya

    Penahanan, Penghentian Penuntutan Atau Dikenakan Tindakan Lain17 Tanpa

    Alasan Yang Berdasarkan Undang-Undang Atau Karena Kekeliruan Mengenai

    Orangnya Atau Hukum Atau Akibat Sahnya Penghentian Penyidikan Atau

    Penuntutan

    1. Permintaan Ganti Kerugian

    16 Ibid 17 Tindakan-tindakan lain yang dimaksudkan pada Pasal 95 ayat (1) KUHAP ini ialah tindakan-tindakan paksa hukum lainnya seperti pemasukan rumah, penggeledahan, penyitaan barang, bukti surat-surat yang dilakukan secara melawan hukum dan menimbullkan kerugian materil. Hal ini dikarenakan adanya pandangan bahwa hak-hak terhadap benda dan hak-hak privacy tersebut perlu dilindungi terhadap tindakan – tindakan yang melawan hukum.

  • Modul Penuntutan 23

    6. Jangka waktu pengajuan tuntutan ganti kerugian oleh Tersangka, Terdakwa,

    Terpidana atau ahli warisnya dilakukan18:

    A. Dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal sejak

    tanggal petikan atau salinan putusan pengadilan telah memperoleh

    kekuatan hukum yang tetap diterima;

    B. Dalam hal tuntutan ganti kerugian tersebut diajukan terhadap perkara

    yang dihentikan pada tingkat penyidikan atau tingkat penuntutan, maka

    dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan dihitung dari saat tanggal

    pemberitahuan penetapan praperadilan.

    7. JPU Prapid mengikuti persidangan tuntutan ganti rugi sebagaimana acara

    praperadilan.

    8. Besarnya ganti kerugian untuk perkara yang dihentikan pada tingkat

    penyidikan atau tingkat penuntutan, ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili

    atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-

    undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang

    diterapkan paling sedikit Rp 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) dan paling

    banyak Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah). (vide pasal 9 Peraturan

    Pemerintah Republik Indonesia Nomor 92 Tahun 2015 tentang Perubahan

    Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang

    Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

    9. Besarnya ganti kerugian yang mengakibatkan luka berat dan cacat sehingga

    tidak bisa melakukan pekerjaan paling sedikit Rp 25.000.000,- (dua puluh

    lima juta rupiah) dan paling banyak Rp 300.000.000,- (tiga ratus juta

    rupiah). (vide pasal 9 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 92

    Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor

    27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara

    Pidana).

    10. Besarnya ganti kerugian yang mengakibatkan mati paling sedikit Rp

    50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,-

    (enam ratus juta rupiah) (vide pasal 9 Peraturan Pemerintah Republik

    Indonesia Nomor 92 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan

    Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-

    Undang Hukum Acara Pidana).

    18 Pasal 77 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 92 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana mengatur perubahan tentang ganti kerugian dalam pelaksanaan KUHAP

  • Modul Penuntutan 24

    11. Petikan putusan atau penetapan mengenai ganti kerugian diberikan kepada

    pemohon dalam waktu 3 (tiga) hari setelah putusan diucapkan (vide pasal 10

    Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 92 Tahun 2015 tentang

    Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983

    Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

    12. Petikan putusan atau penetapan ganti kerugian sebagaimana dimaksud

    pada ayat (1) diberikan kepada penuntut umum, penyidik, dan menteri yang

    menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan (vide pasal 10

    Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 92 Tahun 2015 tentang

    Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983

    Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

    13. Pembayaran ganti kerugian dilakukan dalam jangka waktu paling lama 14

    (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal permohonan ganti kerugian

    diterima oleh Menteri Keuangan RI. (vide pasal 11 Peraturan Pemerintah

    Republik Indonesia Nomor 92 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas

    Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab

    Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

    2. Permintaan Rehabilitasi

    a. Jangka waktu pengajuan permintaan rehabilitasi selambat-lambatnya 14

    (empat belas) hari setelah putusan mengenai sah tidaknya penangkapan

    atau penahanan diberitahukan kepada Pemohon.

    b. JPU Prapid mengikuti persidangan permintaan rehabilitasi sebagaimana

    acara praperadilan.

    G. Pelaksanaan Putusan Permintaan Ganti Kerugian Dan Atau Rehabilitasi Akibat

    Tidak Sahnya Penahanan, Penghentian Penuntutan Atau Dikenakan Tindakan

    Lain19 Tanpa Alasan Yang Berdasarkan Undang-Undang Atau Karena Kekeliruan

    Mengenai Orangnya Atau Hukum Atau Akibat Sahnya Penghentian Penyidikan

    Atau Penuntutan

    a. Dalam hal tuntutan ganti kerugian dikabulkan dalam penetapan Pengadilan

    Negeri, maka :

    19 Tindakan-tindakan lain yang dimaksudkan pada Pasal 95 ayat (1) KUHAP: Yang dimaksud dengan “kerugian karena dikenakan tindakan lain” ialah kerugian yang ditimbulkan oleh pemasukan rumah, penggeledahan dan penyitaan yang tidak sah. Termasuk penahanan tanpa alasan yaitu penahanan yang lebih lama dari pada pidana yang dijatuhkan.

  • Modul Penuntutan 25

    i. JPU Prapid menerima salinan penetapan mengenai ganti kerugian dalam

    waktu 3 (tiga) hari setelah putusan diucapkan dari Pengadilan bersama

    dengan penyidik, dan Menteri yang menyelenggarakan urusan

    pemerintahan di bidang keuangan.

    ii. Setelah menerima salinan penetapan, JPU Prapid membuat Laporan

    Penuntut Umum setelah penetapan praperadilan (ganti kerugian &

    rehabilitasi) secara berjenjang;

    iii. Kajari membuat surat permohonan pembayaran ganti kerugian akibat

    tidak sahnya penahanan secara berjenjang kepada JA RI melalui Jaksa

    Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM Pidum) dengan melampirkan

    penetapan mengenai ganti kerugian.

    iv. JA RI meneruskan kepada Jaksa Agung Muda Pembinaan untuk

    membuat surat permintaan pembayaran ganti kerugian berdasarkan

    putusan praperadilan kepada Menteri Keuangan RI.

    v. Setelah ganti kerugian disetujui dan dikirimkan kepada Kejaksaan Negeri

    yang bersangkutan, JPU Prapid melaksanakan penetapan hakim

    menyerahkan uang ganti kerugian kepada Pemohon dengan membuat

    Berita Acara pelaksanaan putusan pengadilan (BA-17)

    b. Dalam hal permintaan rehabilitasi akibat putusan praperadilan menetapkan tidak

    sahnya penahanan atau kekeliruan orang, maka :

    i. Setelah menerima salinan putusan praperadilan JPU Prapid “Memulihkan

    hak Pemohon dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta

    martabatnya”, JPU Prapid membuat Berita Acara pelaksanaan putusan

    pengadilan (BA-17).

    ii. Penetapan rehabilitasi diumumkan pada papan pengumuman pengadilan

    oleh Panitera.

    H. LATIHAN

    1. Bagaimana cara melaksanakan putusan praperadilan atas rehabilitasi ?

    2. Bagaimana hukum acara/prosedur permintaan rehablitasi?

    3. Bagaimana hukum acara/prosedur permintaan ganti rugi?

    4. Bagaimana Prosedur Dan Hukum Acara Pemeriksaan Praperadilan?

    5. Bagaimana melaksanakan tuntutan ganti rugi yang dikabulkan oleh Pengadilan?

  • Modul Penuntutan 26

    BAB V PENERIMAAN DAN PENELITIAN TERSANGKA (TAHAP II)

    Indikator Keberhasilan :

    Setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta diklat diharapkan dapat:

    1. Menjelaskan prosedur penerimaan dan penelitian tersangka (Tahap II);

    2. Membuat Nota Pendapat Penahanan.

    A. Dasar Hukum

    Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

    (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran

    Negara Republik Indonesia 3209):

    Penyerahan berkas perkara dilakukan:

    b. Dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggung

    jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum

    B. Prosedur Penerimaan dan Penelitian Tersangka

    1. JPU P-16A meneliti tersangka yang dituangkan dalam Berita Acara Penerimaan Dan

    Penelitian Tersangka (Tahap II) (BA-4);

    2. JPU P-16A membuat nota pendapat mengenai penahanan status penahanan. Nota

    pendapat berisi pendapat JPU P-16A untuk melanjutkan penahanan atau tidak

    dilakukan penahanan;

    3. JPU P-16A kemudian menyerahkan nota pendapat kepada Kasubsi Penuntutan

    untuk diberikan saran/pendapat dan Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) untuk

    memberikan pendapat;

    4. Kasubsi Penuntutan mencatat nota pendapat JPU P-16A dalam Register Perkara

    Tahap Penuntutan (RP-9);

    5. Kajari apabila menyetujui penahanan terhadap tersangka, kemudian mendisposisi

    Kasi Pidum untuk membuat konsep Surat Perintah Penahanan/Pengalihan Jenis

    Penahanan (T-7) dan kepada JPU P-16A untuk membuat Berita Acara perintah

    penahanan/penahanan lanjutan (BA-7) atau Berita Acara pelaksanaan pengalihan

    jenis penahanan (BA-8);

    6. T-7 dengan tembusan Ketua PN akan didistribusikan bersamaan dengan pelimpahan

    BP;

  • Modul Penuntutan 27

    7. Kasubsi Penuntutan kemudian mencatat T-7 pada Register tahanan tahap

    penuntutan serta mengkompilir T-7 beserta BA-4 dan Nota Pendapat Penahanan

    yang telah disetujui Kajari untuk diserahkan kepada JPU P-16A sebagai bagian dari

    bendel berkas perkara;

    8. JPU P-16 menggandakan BA-7 atau BA-8 serta Surat Dakwaan (P-29) masing-

    masing sebanyak 1 (satu) rangkap untuk persiapan pelimpahan perkara.

    C. LATIHAN

    1. Bagaimana prosedur penerimaan dan penelitian Tersangka (Tahap II)?Jelaskan !

    2. Apa saja kelengkapan dokumen formil/administrasi yang harus dikompilir dalam

    berkas perkara pada saat tahap penerimaan dan penelitian Tersangka (Tahap II )?

    3. Apa alternatif tindak lanjut dari pendapat Kajari terkait nota pendapat penahanan

    yang dibuat oleh JPU P-16?

  • Modul Penuntutan 28

    BAB VI PENERIMAAN DAN PENELITIAN BARANG BUKTI (TAHAP II)

    Indikator Keberhasilan :

    Setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta diklat diharapkan dapat:

    9. Menjelaskan prosedur penerimaan dan penelitian barang bukti (Tahap II);

    10. Membuat Nota Pendapat Barang Bukti

    A. Dasar Hukum

    Pasal 8 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

    Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan

    Lembaran Negara Republik Indonesia 3209):

    1. Penyerahan berkas perkara dilakukan:

    Dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggung

    jawab atas tersangka dan barang bukti kepada Penuntut Umum

    B. Prosedur Penerimaan dan Penelitian Barang Bukti

    1. JPU P-16A meneliti benda sitaan/barang bukti yang dituangkan dalam Berita Acara

    Penerimaan Dan Penelitian Benda Sitaan/Barang Bukti (BA-5). Setelah itu

    diserahkan kepada Kasubsi Barang Bukti (Kasubsi BB). Dalam hal penelitian barang

    bukti, JPU P-16A dapat dibantu oleh Kasubsi Tut:

    2. Kasubsi Barang Bukti (Kasubsi BB) kemudian mencatat BA-5 dalam register barang

    bukti serta menyerahkannya kepada Kasi Barang Bukti dan Barang Rampasan (Kasi

    BB BR);

    3. Kasi BB BR kemudian membuat konsep analisis rantai pengelolaan dan penyelesain

    (chain of custody) benda sitaan/barang bukti/ temuan/rampasan yang kemudian

    diserahkan kepada JPU P-16A untuk diberi pendapat, serta Kasi Pidum untuk

    memperoleh saran, selanjutnya Kajari untuk memberikan petunjuk;

    4. Kasubsi BB kemudian menyerahkan BA-5 kepada JPU P-16A untuk dikompilir

    dengan Berkas Perkara (BP);

    5. JPU P-16 A menggandakan BA-5 untuk persiapan pelimpahan perkara

  • Modul Penuntutan 29

    C. LATIHAN

    1. Bagaimana prosedur penerimaan dan penelitian barang bukti (Tahap II)? Jelaskan!

    2. Apa saja kelengkapan dokumen formil/administrasi yang harus dikompilir dalam

    berkas perkara pada saat tahap penerimaan dan penelitian barang bukti (Tahap II )?

  • Modul Penuntutan 30

    BAB VII PENANGGUHAN PENAHANAN

    Indikator Keberhasilan :

    Setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta diklat diharapkan dapat: 1. Menjelaskan jaminan apa saja yang dapat diterapkan dalam pelaksanaan penangguhan

    penahanan 2. Menjelaskan prosedur jaminan penangguhan penahanan 3. Menjelaskan prosedur pelaksanaan penangguhan penahanan

    A. Dasar Hukum

    1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran

    Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara

    Republik Indonesia 3209);

    Pasal 31 ayat (1)

    (1) Atas permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik atau penuntut umum atau

    hakim, sesuai dengan kewenangan masing-masing, dapat mengadakan

    penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang,

    berdasarkan syarat yang ditentukan;

    (2) Karena jabatannya penyidik atau penuntut umum atau hakim sewaktu-waktu dapat

    mencabut penangguhan penahanan dalam hal tersangka atau terdakwa

    melanggar syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

    2. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP,

    sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor

    92 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27

    Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

    Pasal 35 (Jaminan Uang)

    (1) Uang jaminan penangguhan penahanan yang ditetapkan oleh pejabat yang

    berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan, disimpan di kepaniteraan

    pengadilan negeri.

    Penjelasan

    i. Penyerahan uang jaminan kepada kepaniteraan pengadilan negeri dilakukan

    sendiri oleh pemberi jaminan dan untuk itu panitera memberikan tanda terima.

    Tembusan tanda penyetoran tersebut oleh panitera disampaikan kepada

    pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan.

    ii. Penyetoran ini dilakukan berdasar “formulir penyetoran” yang dikeluarkan

    instansi yang bersangkutan.

  • Modul Penuntutan 31

    iii. Bukti setoran ini dibuat dalam rangkap tiga sesuai ketentuan angka 8 huruf f

    Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman No. M. 14-PW.07.03/1983.

    Tembusan tanda penyetoran tersebut oleh panitera disampaikan kepada

    pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan untuk menjadi

    dasar bagi pejabat yang menahan mengeluarkan surat perintah atau surat

    penetapan penangguhan penahanan.

    (2) Apabila tersangka atau terdakwa melarikan diri dan setelah lewat waktu 3 (tiga)

    bulan tidak diketemukan, uang jaminan tersebut menjadi milik negara dan disetor

    ke Kas Negara.

    3. Pasal 36 (Jaminan Orang)

    (1) Dalam hal jaminan itu adalah orang, dan tersangka atau terdakwa melarikan diri

    maka setelah lewat waktu 3 (tiga) bulan tidak diketemukan, penjamin diwajibkan

    membayar uang yang jumlahnya telah ditetapkan oleh pejabat yang berwenang

    sesuai dengan tingkat pemeriksaan.

    Penjelasan

    Jumlah uang sebagaimana dimaksud dalam ayat ini ditetapkan oleh pejabat

    yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan, pada waktu menerima

    permohonan penangguhan penahanan dengan jaminan orang.

    (2) Uang yang dimaksud dalam ayat (1) harus disetor ke Kas Negara melalui

    panitera pengadilan negeri.

    (3) Apabila penjamin tidak dapat membayar sejumlah uang yang dimaksud ayat (1)

    jurusita menyita barang miliknya untuk dijual lelang dan hasilnya disetor ke Kas

    Negara melalui panitera pengadilan negeri. Menurut Pasal 15 dan Pasal 137

    KUHAP, penuntut umum melakukan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana

    yang terjadi di dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkaranya ke

    pengadilan yang berwenang mengadili.

    Catatan

    i. Jaminan orang dapat merupakan penasehat hukum tersangka/terdakwa,

    keluarga tersangka atau orang lain yang tidak mempunyai hubungan apa pun

    dengan tersangka/terdakwa.

    ii. Harus ada “pernyataan” Penjamin bahwa Ia “bersedia” dan bertanggung jawab

    memikul segala risiko dan akibat yang timbul apabila tahanan melarikan diri.

    iii. Penjamin harus disebutkan lengkap Identitasnya

  • Modul Penuntutan 32

    iv. Lembaga/Instansi yang memiliki kewenangan menahan, menetapkan besarnya

    uang yang harus ditanggung penjamin, sebagai “uang tanggungan” (apabila

    tersangka/terdakwa melarikan diri).

    v. Timbulnya kewajiban orang yang menjamin menyetor uang tanggungan yang

    ditetapkan dalam perjanjian penangguhan penahanan:

    1. Apabila tersangka/terdakwa melarikan diri; dan

    2. setelah lewat 3 bulan tidak ditemukan;

    vi. Penyetoran uang tanggungan ke kas Negara dilakukan oleh orang yang menjamin

    melalui panitera Pengadilan Negeri;

    vii. Apabila penjamin tidak dapat membayar sejumlah uang yang ditentukan tersebut,

    jurusita menyita barang miliknya untuk dijual lelang dan hasilnya disetor ke Kas

    Negara melalui panitera pengadilan negeri.

    4. Surat JAM Pidum kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Seluruh Indonesia Nomor:

    B-675/E/EPO/1994 Perihal Permohonan Penangguhan Penahanan/Tahanan Luar dan

    Wajib lapor

    5. Pada intinya mengatur bahwa permohonan penangguhan penahan/tahanan luar

    dilakukan denan memperhatikan hal-hal berikut :

    (1) Permohonan Penangguhan penahanannya hanya dilakukan terhadap tersangka

    yang dalam status tahanan. Dengan demikian tidak dibenarkan adanya surat

    permohonan penangguhan penahanan atau permohonan untuk ditahan luar/

    tidak ditahan dalam hal tersangka tidak dalam status tahanan tidak dilahan;

    (2) Perubahan status tersangka yang diserahkan Penyidik kepada Kejaksaan hanya

    dapat dilakukan apabila benar-benar beralasan. Dengan demikian akan dapat

    dicegah terjadinya rekayasa penahanan dimana disangkakan/didakwakan pasal-

    pasal yang memungkinkan tersangka/terdakwa dapat ditahan padahal

    sebenarnya perbuatan yang disangkakan tidak dapat dilakukan penahanan.

    (3) Kewajiban melapor hanya dapat dibebankan kepada tersangka yang dalam

    status tahanan rumah, tahanan kota dan yang ditangguhkan penahanannya;

    B. Prosedur Penangguhan Penahanan

    1. Setelah menerima surat permohonan penangguhan penahanan, Kepala

    Kejaksaan Negeri (Kajari) mendisposisi JPU P-16A untuk membuat nota pendapat

    mengenai penangguhan penahanan

    2. JPU P-16A membuat nota pendapat mengenai penangguhan penahanan

    3. Nota pendapat JPU P-16A mengenai penangguhan penahanan dilakukan dengan:

  • Modul Penuntutan 33

    (1) Melampirkan surat permohonan penangguhan penahanan dari Tersangka

    (2) Permohonan penangguhan penahanan disetujui JPU P16A dengan atau

    tanpa jaminan (pasal 31 ayat (1) KUHAP)

    (3) Ada persetujuan dari Tersangka yang ditahan untuk mematuhi syarat dan

    jaminan yang ditetapkan d. Tersangka wajib lapor, tidak keluar rumah atau

    kota (penjelasan pasal 31 ayat (1) KUHAP)

    4. JPU P-16A kemudian menyerahkan nota pendapat mengenai penangguhan

    penahanan kepada Kepala Seksi Tindak Pidana Umum (Kasi Pidum) untuk

    meminta saran/pendapat, lalu meneruskannya kepada Kajari

    5. Kajari memberikan pendapat setuju atau tidak setuju.

    6. Apabila Kajari memberikan pendapat setuju, sekaligus mendisposisi Kasi Pidum

    untuk membuat Surat perintah penangguhan penahanan/pengeluaran dari

    tahanan/pencabutan penangguhan penahanan (T-8)

    7. Setelah Surat perintah penangguhan penahanan/pengeluaran dari

    tahanan/pencabutan penangguhan penahanan (T-8) ditandatangani oleh Kajari,

    Kepala Sub Seksi Penuntututan (Kasubsi Tut) mencatat nomor dan tanggal T-8

    pada Register tahanan tahap penuntutan (RT-3)

    8. Setelah T-8 beserta nota pendapat mengenai penangguhan penahanan dan surat

    permohonan penangguhan penahanan diserahkan oleh Kasubsi Tut kepada JPU

    P-16A, maka JPU P-16A membuat dan menandatangani Berita acara

    pelaksanaan perintah penangguhan penahanan (BA-9) dan Berita acara

    pelaksanaan perintah pengeluaran dari tahanan (BA-10)

    9. JPU P16A kemudian dibantu oleh Pengawal Tahanan mengeluarkan Tersangka

    dari tahanan serta menyerahkan BA-9 dan BA-10 kepada Kepala Rutan dan

    Tersangka untuk ditandatangani

    10. Menyertakan Berkas Perkara (BP) dengan T-8, BA-9, BA-10, surat permohonan

    penangguhan penahanan dan nota pendapat mengenai penangguhan penahanan

    (menjadi satu kelengkapan dengan seluruh administrasi penanganan perkara

    dalam kompilir berkas perkara)

    C. Latihan

    1. Jelaskan jaminan apa saja yang dapat dilakukan dalam penangguhan

    penahanan?

    2. Apa yang dilakukan JPU P-16A apabila menerima surat permohonan

    penangguhan penahanan?

  • Modul Penuntutan 34

    3. Bagaimana cara membuat Berita acara pelaksanaan perintah penangguhan

    penahanan (BA-9) dan Berita acara pelaksanaan perintah pengeluaran dari

    tahanan (BA-10)?

  • Modul Penuntutan 35

    BAB VIII PEMBANTARAN PENAHANAN

    Indikator Keberhasilan :

    Setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta diklat diharapkan dapat: 1. Menjelaskan dalam keadaan apa pembantaran penahanan dapat dilakukan 2. Menjelaskan prosedur pembantaran penahanan 3. Mengetahui keadaan-keadaan yang dipertimbangkan dalam membuat nota pendapat

    pembantaran penahanan

    A.Dasar Hukum

    1. Pasal 36 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik

    Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67,

    Tambahan Lembaran Negara Nomor 4401);

    Pembantaran dapat dilakukan atas izin Jaksa Agung kepada Terdakwa untuk

    berobat atau menjalani perawatan di rumah sakit dalam negeri atau dalam keadaan

    tertentu dapat dilakukan perawatan di luar negeri vide

    2. Surat Edaran Nomor: SE- 001/A/J.A/03/2004 Tentang Pemberian Ijin Berobat Ke Luar

    Negeri Bagi Tersangka/Terdakwa Perkara Pidana

    a. Dalam hal Terdakwa berobat atau menjalani perawatan di rumah sakit dalam

    negeri dapat berdasarkan izin tertulis Kejaksaan Negeri setempat atas nama

    Jaksa Agung.

    b. Ijin berobat ke luar negeri diajukan kepada Jaksa Agung melalui jalur

    berjenjang ( Kejaksaan Negeri, Kejaksaan Tinggi dan Jaksa Agung Muda

    Pidana Umum).

    c. Dalam hal Terdakwa berobat atau menjalani perawatan di rumah sakit luar

    negeri, syarat untuk dilakukan perawatan di rumah sakit luar negeri :

    i. Surat permohonan diajukan oleh Terdakwa atau keluarganya dengan

    pernyataan Jaminan dari Keluarga terdakwa.

    ii. Surat rekomendasi Dokter spesialis penyakit Terdakwa

    iii. Surat keterangan resmi dari rumah sakit Pemerintah yang ditunjuk untuk

    dapat memberikan rujukan berobat ke luar negeri dengan penjelasan

    bahwa rumah sakit di Indonesia belum dapat memberikan pelayanan

    medis/pengobatan terhadap penyakit yang diderita oleh Terdakwa.

    iv. Informasi rumah sakit luar negeri yang ditunjuk, Nama, Alamat Lengkap

    Rumah Sakit dan kontak yang dapat dihubungi.

  • Modul Penuntutan 36

    v. Surat keterangan resmi dari rumah sakit luar negeri yang ditunjuk bahwa

    Tersangka/Terdakwa dapat dirawat kembali di Indonesia setelah proses

    pelayanan medis/pengobatan.

    vi. Jaksa P-16A wajib melakukan pemantauan dan meminta pekembangan

    hasil pengobatan terdakwa dari rumah sakit luar negeri yang ditunjuk

    sekurang-kurangnya 1 (satu) bulan sekali dan meminta penjelasan masih

    perlu atau tidak Terdakwa dirawat di rumah sakit luar negeri.

    vii. Laporan hasil pemantauan dikirim setiap bulan kepada Jaksa Agung

    tembusan kepada Jaksa Agung Muda Intelijen dan Jaksa Agung Muda

    Pidana Umum.

    3.Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor: 1 Tahun 1989 Tentang Pembantaran

    (Stuiting) Tenggang Waktu Penahanan Bagi Terdakwa yang Dirawat Nginap di

    Rumah Sakit di Luar Rumah Tahanan Negara Atas Izin Instansi yang Berwenang

    Menahan.

    d. Proses pembantaran dihitung semenjak secara nyata Terdakwa dirawat inap

    pada rumah sakit yang dibuktikan dengan surat keterangan dari Kepala

    Rumah Sakit di tempat Terdakwa ditahan vide Surat Edaran Mahkamah

    Agung Nomor 1 Tahun 1989 tentang pembantaran (Stuiting) tenggang waktu

    penahanan bagi Terdakwa.

    e. Pembantaran dilakukan tidak hanya untuk dirawat inap pada rumah sakit

    namun juga untuk dirawat inap pada rumah sakit jiwa.

    B. Prosedur Pembantaran Penahanan

    1. Setelah menerima surat permohonan pembantaran penahanan dan surat

    keterangan sakit dokter pemerintah dari Tersangka/keluarga Tersangka, Kepala

    Kejaksaan Negeri (Kajari) mendisposisi JPU P-16A untuk membuat nota pendapat

    mengenai pembantaran penahanan

    2. JPU P-16A membuat nota pendapat mengenai pembantaran penahanan

    3. JPU P-16A sebelum menuangkan pendapatnya dalam nota pendapat mengenai

    pembantaran penahanan dapat mencari dan/atau mendatangkan dokter yang lain

    terkait kesehatan Tersangka untuk memberikan pendapatnya (sebagai second

    opinion )

    4. JPU P-16A kemudian menyerahkan nota pendapat mengenai pembantaran

    penahanan kepada Kepala Seksi Tindak Pidana Umum (Kasi Pidum) untuk

    meminta saran/pendapat, lalu meneruskannya kepada Kajari

    5. Kajari memberikan pendapat setuju atau tidak setuju

  • Modul Penuntutan 37

    6. Apabila Kajari memberikan pendapat setuju, sekaligus mendisposisi Kasi Pidum

    untuk membuat Surat Perintah Pembantaran Penahanan/Pengeluaran Dari

    Pencabutan Pembantaran Penahanan

    7. Setelah Surat Perintah Pembantaran Penahanan/Pengeluaran Dari Pencabutan

    Pembantaran Penahanan ditandatangani oleh Kajari, Kepala Sub Seksi

    Penuntututan (Kasubsi Tut) mencatat nomor dan tanggal Surat Perintah

    Pembantaran Penahanan/Pengeluaran Dari Pencabutan Pembantaran

    Penahanan pada Register tahanan tahap penuntutan (RT-3);

    8. Setelah Surat Perintah Pembantaran Penahanan/Pengeluaran Dari Pencabutan

    Pembantaran Penahanan beserta nota pendapat mengenai pembantaran

    penahanan dan surat permohonan pembantaran penahanan diserahkan oleh

    Kasubsi Tut kepada JPU P-16A, maka JPU P-16A membuat dan menandatangani

    Berita Acara pelaksanaan perintah pembantaran/pencabutan pembantaran

    penahanan;

    9. JPU P16A kemudian dibantu oleh Pengawal Tahanan mengeluarkan Tersangka

    dari tahanan serta menyerahkan Berita Acara pelaksanaan perintah

    pembantaran/pencabutan pembantaran penahanan kepada Kepala Rutan dan

    Tersangka untuk ditandatangani

    10. Menyertakan Berkas Perkara (BP) dengan Surat Perintah Pembantaran

    Penahanan/Pengeluaran Dari Pencabutan Pembantaran Penahanan, Berita Acara

    pelaksanaan perintah pembantaran/pencabutan pembantaran penahanan surat

    permohonan penangguhan penahanan dan nota pendapat mengenai

    pembantaran penahanan (menjadi satu kelengkapan dengan seluruh administrasi

    penanganan perkara dalam kompilir berkas perkara)

    C. Latihan

    1. Jelaskan bagaimana pembantaran penahanan diperhitungkan dengan masa

    penahanan?

    2. Bagaimana prosedur pengajuan permohonan tersangka yang hendak berobat ke

    luar negeri?

    3. Bagaimana prosedur pembantaran penahanan?

    4. Bagaimana cara membuat nota pendapat mengenai pembantaran penahanan?

  • Modul Penuntutan 38

    BAB IX PELIMPAHAN PERKARA KE PENGADILAN

    Indikator Keberhasilan :

    Setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta diklat diharapkan dapat:

    1. Menjelaskan pengertian pelimpahan perkara acara pemeriksaan biasa dan acara

    pemeriksaan singkat

    2. Memahami komponen pelimpahan perkara

    3. Memahami pelimpahan perkara ke pengadilan negeri yang berwenang mengadili

    (kewenangan mengadili)

    4. Memahami perlawanan terhadap penetapan pengadilan tidak berwenang mengadili

    5. Membuat surat pelimpahan perkara ke pengadilan

    Menurut Pasal 15 dan Pasal 137 KUHAP, penuntut umum melakukan penuntutan

    terhadap pelaku tindak pidana yang terjadi di dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan

    perkaranya ke pengadilan yang berwenang mengadili.

    Menurut Pasal 4 ayat (3) UU No. 16 tahun 2004, daerah hukum Kejaksaan Negeri

    meliputi wilayah hukum kabupaten dan / atau kota.

    Jadi penuntut umum menuntut tindak pidana yang terjadi di dalam daerah hukum

    Kejaksaan Negeri dimana ia bertugas.

    Menurut Pasal 143 ayat (1) KUHAP, penuntut umum melimpahkan perkara ke

    pengadilan negeri dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai

    dengan surat dakwaan. (dalam hal acara pemeriksaan biasa).

    A. Kompetansi Pengadilan

    1. Kompetensi Relatif

    Sama halnya dengan kewenangan penuntut umum, menuntut pelaku tindak

    pidana yang terjadi di dalam daerah hukum Kejaksaan Negeri, maka Pengadilan

    Negeri juga berwenang mengadili segala perkara mengenai tindak pidana yang

    dilakukan didalam daerah hukumnya (Pasal 84 ayat (1) KUHAP) kecuali dalam hal,

    yaitu :

    1. Pengadilan negeri yang didalam daerah hukumnya terdakwa bertempat tinggal,

    berdiam terakhir, ditempat ia diketemukan atau ditahan, berwenang mengadili

    perkara tersebut dengan ketentuan apabila tempat kediaman sebagian besar saksi

    yang dipanggil lebih dekat pada tempat pengadilan negeri dimana terdakwa

  • Modul Penuntutan 39

    berada daripada tempat kedudukan pengadilan negeri yang didalam daerah

    hukumnya tindak pidana dilakukan (Pasal 84 ayat (2) KUHAP).

    Contoh : tindak pidana terjadi di Universitas Indonesia di Depok, maka menurut

    Pasal 84 ayat (1) KUHAP, Pengadilan Negeri Depok yang berwenang mengadili,

    akan tetapi karena terdakwa bertempat tinggal di Pasar Minggu dan saksi-saksi

    yang ada dalam berkas perkara lebih banyak bertempat tinggal lebih dekat ke

    Pengadilan Negeri Jakarta Selatan daripada ke PN Depok maka Pengadilan

    Negeri Jakarta Selatan berwenang mengadili perkara terdakwa tersebut.

    2. Dalam hal seorang melakukan beberapa tindak pidana yang satu sama lain ada

    sangkut pautnya yang dilakukan dalam daerah hukum pengadilan negeri yang

    berbeda-beda, maka dibuka kemungkinan semua perkara tersebut digabung

    dalam satu surat dakwaan (dakwaan kumulasi) kemudian perkaranya dilimpahkan

    dan diadili oleh salah satu pengadilan negeri saja (azas cepat sederhana dan

    biaya murah) (lihat Pasal 84 ayat (4) KUHAP).

    3. Dalam hal keadaan daerah tidak mengizinkan suatu pengadilan negeri mengadili

    Suatu perkara, maka atas usul Ketua Pengadilan Negeri atau Kepala Kejaksaan

    Negeri setempat, Mahkamah Agung menetapkan dengan menunjuk pengadilan

    negeri lain untuk mengadili perkara tersebut (Pasal 85 KUHAP, Pasal 1 (2) UU No.

    48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

    4. Dalam hal seorang melakukan tindak pidana di luar negeri yang dapat diadili

    menurut hukum Rl, maka Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang berwenang

    menjadi (Pasal 86 KUHAP, jo Pasal 5 KUHP)

    2. Kompetensi Absolut.

    Dalam hal kompetensi absolut, hanya mungkin terjadi dalam hal tindak pidana

    dilakukan oleh orang yang termasuk lingkungan peradilan umum atau lingkungan

    peradilan militer. Apabila yang melakukan tindak pidana adalah seorang militer maka

    ia dituntut dan diadili oleh Pengadilan Militer yang termasuk dalam lingkungan

    Peradilan Militer (UU No. 31 tahun 1997), sedangkan apabila tindak pidana dilakukan

    oleh orang selain dari mili