MODUL PENANGANAN PATAH TULANG DAN CEDERA SENDI...kecelakaan pun menjadi semakin parah dan bahkan...

13
1 MODUL PENANGANAN PATAH TULANG DAN CEDERA SENDI TIM BANTUAN MEDIS BEM IKM FKUI

Transcript of MODUL PENANGANAN PATAH TULANG DAN CEDERA SENDI...kecelakaan pun menjadi semakin parah dan bahkan...

1

MODUL PENANGANAN PATAH

TULANG DAN CEDERA SENDI

TIM BANTUAN MEDIS

BEM IKM FKUI

2

PENDAHULUAN

Patah tulang merupakan cedera yang sering terjadi pada kecelakaan baik itu

kecelakaan kerja, rumah tangga, maupun lalu lintas. Angka kecelakaan di Indonesia

bisa dikatakan cukup tinggi.1,2

Pada sebuah studi di Indonesia, proporsi cedera patah

tulang atau amputasi paling tinggi terjadi karena kecelakaan lalu lintas.3 Ditambah

lagi, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang dikutip oleh Badan Intelijen

Negara (BIN), kecelakaan lalu lintas menjadi pembunuh terbesar ketiga di Indonesia

setelah penyakit jantung koroner dan penyakit tuberculosis/TBC.4 Namun, seringkali

kejadian patah tulang tidak ditangani secara cepat dan tepat sehingga kondisi korban

kecelakaan pun menjadi semakin parah dan bahkan fatal. Kondisi fatal yang

dimaksud adalah meninggalnya korban kecelakaan di lokasi kejadian atau meninggal

setelah 24 jam dari terjadinya kecelakaan.

Di kota-kota besar di Indonesia, ambulans mungkin tidak bisa tepat waktu

karena kondisi jalanan yang tidak memungkinkan. Namun di kota kota kecil di

Indonesia fasilitas ambulans malah tidak ada, atau medan transportasinya yang tidak

mendukung. Tetapi, komplikasi dari kejadian ini bisa dikurangi dengan penanganan

awal yang tepat oleh awam.

Pada modul ini, akan dijelaskan bagaimana cara membidai tulang yang patah

untuk diimobilisasi agar cedera tidak bertambah parah. Pembidaian merupakan salah

satu proses penting dalam penatalaksanaan awal korban patah tulang. Oleh karena itu,

penting bagi awam menguasai teknik pembidaian yang benar.

Sumber

1. Survei kecelakaan lalu lintas di seluruh dunia; orang-orang yang mati dalam

diam [Internet]. 2014 Nov 7 [cited 2015 May 5]. Available at:

http://www.republika.co.id/berita/koran/halaman-1/14/11/07/nenhso57-survei-

kecelakaan-lalu-lintas-di-seluruh-dunia-orangorang-yang-mati-dalam-diam

2. Sriwijaya post. Tingkat kecelakaan kerja di perusahaan indonesia tinggi

[Internet]. 2014 Aug 30 [cited 2015 May 5]. Available at:

http://palembang.tribunnews.com/2014/08/30/tingkat-kecelakaan-kerja-di-

perusahaan-indonesia-tinggi

3

3. Riyadina W. Profil cedera akibat jatuh, kecelakaan lalu lintas dan terluka

benda tajam/ tumpul pada masyarakat Indonesia. Jur Peny Tdk MIr Indo.

2009;1:1–11.

4. BIN. Kecelakaan lalu lintas menjadi pembunuh terbesar ketiga. [internet].

[cited: 2015 Mar 2]. Available from:

http://www.bin.go.id/awas/detil/197/4/21/03/2013/kecelakaan-lalu-lintas-

menjadi-pembunuh-terbesar-ketiga

4

TUJUAN PEMBELAJARAN

Tujuan Umum

Membentuk Safe Community dengan melatih siswa SMA agar dapat mengidentifikasi

patah tulang dan melakukan pembidaian dengan teknik yang benar

Tujuan Khusus

Siswa mampu mengidentifikasi dan mengenali tanda-tanda patah tulang

Siswa mampu melakukan pembidaian dengan teknik dan prinsip pembidaian

yang benar

Siswa mampu melakukan penanganan awal terhadap cedera sendi

5

LAMPIRAN

Materi: Patah tulang dan Cedera Sendi

Tulang merupakan suatu organ yang tersusun dari jaringan ikat padat. Tulang

memiliki banyak fungsi, yaitu menyangga tubuh, mendukung pergerakan, melindungi

organ-organ, tempat dibentuknya sel darah merah, dan tempat penyimpanan mineral

serta lemak.1 Dalam fungsinya mendukung pergerakan, tulang membentuk persendian

dengan tulang yang lainnya. Cedera pada tulang atau sendi dapat menyebabkan gagal

fungsi tulang baik sebagai pendukung pergerakan maupun dalam fungsinya sebagai

organ. Cedera tulang akan menurunkan kualitas hidup penderitanya dan berpengaruh

banyak terhadap pekerjaan.

Fraktur (Patah Tulang)

Diskontinuitas atau hilangnya integritas tulang dinamakan fraktur atau biasa

disebut dengan patah tulang. Patah tulang terjadi karena ketidakseimbangan antara

gaya mekanik yang bekerja pada tulang. Gaya mekanik yang lebih besar diterima oleh

tulang melebihi kemampuan tulang untuk menahan gaya tersebut akan menyebabkan

patah tulang. Kondisi ini terjadi karena tulang menerima gaya berulang, atau

tulangnya sendiri yang memang sudah rapuh.2

Lebih dari 75% kasus patah tulang dapat dikenali berdasarkan riwayat, gejala,

dan tanda yang ada pada korban.3 Tanda dan gejala yang biasanya diakui korban

patah tulang yaitu rasa nyeri, penurunan fungsi, perubahan bentuk (deformitas), serta

riwayat trauma. Selanjutnya, pemeriksaan fisik untuk mendeteksi patah tulang

dilakukan dengan cara melihat (look), meraba/merasakan (feel), dan menggerakkan

(move). Pemeriksaan fisik juga harus dilakukan dengan membandingkan bagian tubuh

yang dicurigai patah tulang dengan sisi lainnya (kanan/kiri). Dengan melihat secara

cermat (look) dapat ditemukan bengkak, perubahan bentuk, gerakan tidak normal,

atau perubahan warna. Dengan melakukan perabaan, memegang, mengenali dengan

kedua tangan (feel) dapat ditemukan rasa hangat dan lunak, nyeri ketika ditekan, atau

spasme (kram) otot. Dengan menggerakkan sendi yang berdekatan dengan daerah

patah baik bagian ujung maupun pangkal (move) akan didapatkan gerakan sendi yang

terbatas, tertahan, rasa nyeri dsb.

6

Tulang yang mengalami patah tulang akan menyambung dengan sendirinya

meski dibiarkan. Penyambungan tulang terjadi pada posisi terakhir ujung tulang yang

patah. Apabila posisi kedua ujung tulang yang patah mengalami penyambungan pada

posisi bengkok maka tulang akan bengkok. Sebaliknya apabila ujung tulang yang

patah mengalami penyambungan sesuai posisinya sebelum patah maka tulang akan

menyatu persis pada kondisi tulang sebelum patah. Penatalaksanaan patah tulang

kuncinya ada pada bagaimana kita dapat mengembalikan kedua ujung yang patah

pada posisi awalnya lalu kemudian mempertahankan posisi itu sampai proses

penyembuhan lengkap.

Subluksasi dan Dislokasi (Cedera Sendi)

Sendi merupakan tempat bertemunya dua atau lebih tulang. Tersusun oleh dua

atau lebih tulang yang bertemu, sendi juga dapat dilengkapi oleh tendon (pelekatan

otot ke tulang) dan ligamen (jaringan ikat antar tulang).1 Pada kondisi normal, sendi

harus bersifat stabil supaya posisi tulang tidak melewati batas normal meski tulang

bergerak-gerak. Gangguan pada daerah persendian, misalnya tarikan bahkan robekan

pada ligamen (Robeknya ligamen: sprain) atau tendon (robeknya tendon: strain) atau

patah tulang di dekat persendian dapat menyebabkan gangguan stabilitas sendi dan

pergeseran sendi.

Gambar 1. Persendian di daerah lengan atas1

Pergeseran sendi dapat berupa subluksasi atau dislokasi. Subluksasi sendi

adalah kondisi di mana masih terdapat kontak antara permukaan tulang-tulang

penyusun sendi. Ketika kontak tersebut sudah tidak ada, sendi tersebut dikatakan

7

mengalami dislokasi.2 Sama seperti patah tulang, subluksasi dan dislokasi sendi juga

terjadi karena ketidakseimbangan antara gaya yang didapat oleh sendi dengan gaya

yang dapat ditahan oleh sendi.

Gambar 2. Berbagai cedera sendi. A) ruptur ligamen. B) dan C) patah tulang karena tarikan ligamen.

D) subluksasi. E) dislokasi2

Subluksasi dan dislokasi sendi dapat diketahui dari tanda dan gejala yang ada.

Pada keterangan yang diberikan korban, dapat ditemukan riwayat trauma, rasa nyeri

dan gangguan pergerakan sendi. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan bengkak,

perubahan bentuk, gangguan pergerakan, serta nyeri tekan pada sendi yang cedera.

Tanda dan gejala pergeseran sendi memang mirip dengan patah tulang, yang

membedakannya adalah lokasi dan jenis trauma. Lokasi ditemukannya tanda-tanda

tersebut memang bisa mirip antara pergeseran sendi atau patah tulang di dekat

persendian. Mengenai riwayat trauma, pergeseran sendi biasanya didahului oleh

pergerakan sendi, sementara patah tulang biasanya didahului oleh gaya dari luar

seperti pukulan benda keras atau terjatuh.

Pertolongan Pertama pada Patah tulang dan Cedera Sendi

Selama korban masih di tempat kejadian cedera, ada pertolongan pertama

yang dapat dilakukan oleh masyarakat awam. Tatalaksana tersebut adalah

pemasangan bidai sederhana. Pemasangan bidai dilakukan setelah dipastikan tidak

ada gangguan pada pernapasan dan sirkulasi korban dan luka sudah ditangani. Bidai

bertujuan untuk mencegah pergerakan (imobilisasi) pada tulang dan sendi yang

mengalami cedera. Imobilisasi ini menghindari pergerakan yang tidak perlu, sehingga

mencegah perburukan patah tulang dan cedera sendi serta menghindari rasa nyeri.3,4,5

Pemasangan bidai juga akan memberikan gaya tarik dengan perlahan namun

konsisten sehingga membantu mereposisi bagian yang cedera mendekati posisi

normalnya.3

8

Bidai sederhana dapat dibuat dari bahan apapun yang kaku, seperti kayu, penggaris,

atau tongkat. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemasangan bidai,

yaitu:4,5

Bidai harus cukup panjang. Pada kasus patah tulang: Melewati sendi yang ada

di pangkal dan ujung tulang yang patah. Pada kasus cedera sendi: Mencapai

dua tulang yang mengapit sendi yang cedera.

Bidai harus cukup kuat untuk menghindari gerakan pada bagian yang patah

tulang atau sendi yang cedera, namun tidak mengganggu sirkulasi.

Bila tidak ada alat yang kaku untuk dijadikan bidai, bagian tubuh yang cedera

bisa diikatkan dengan bagian tubuh yang sehat, misalnya dengan membalut

lengan ke tubuh, atau membalut kaki ke kaki yang sehat.

Jangan meluruskan (reposisi) tangan atau kaki yang mengalami deformitas,

pasang bidai apa adanya.

Berikut adalah langkah-langkah pemasangan bidai: 4,5

1. Pastikan lokasi luka, patah tulang atau cedera sendi dengan memeriksa

keseluruhan tubuh korban (expose) dan membuka segala jenis aksesoris yang

menghalangi (apabila tidak melukai korban lebih jauh)

2. Perhatikan kondisi tubuh korban, tangani perdarahan jika perlu. Bila terdapat

tulang yang mencuat, buatlah donat dengan menggunakan kain dan letakkan

pada tulang untuk mencegah pergerakan tulang.

3. Memeriksa PMS korban, apakah pada ujung tubuh korban yang cedera masih

teraba nadi (P, Pulsasi), masih dapat digerakkan (M, Motorik), dan masih

dapat merasakan sentuhan (S, Sensorik) atau tidak.

4. Tempatkan bidai di minimal dua sisi anggota badan yang cedera (misal sisi

samping kanan, kiri, atau bagian bawah). Letakkan bidai sesuai dengan lokasi

cedera.

5. Hindari mengangkat tubuh pasien untuk memindahkan pengikat bidai melalui

bawah bagian tubuh tersebut. Pindahkan pengikat bidai melalui celah antara

lekukan tubuh dan lantai. Hindari membuat simpul di permukaan patah tulang.

6. Buatlah simpul di daerah pangkal dan ujung area yang patah berada pada satu

sisi yang sama. Lalu, pastikan bidai dapat mencegah pergerakan sisi anggota

9

badan yang patah. Beri bantalan/padding pada daerah tonjolan tulang yang

bersentuhan dengan papan bidai dengan menggunakan kain.

7. Memeriksa kembali PMS korban, apakah pada ujung tubuh korban yang

cedera masih teraba nadi (P, Pulsasi), masih dapat digerakkan (M, Motorik),

dan masih dapat merasakan sentuhan (S, Sensorik) atau tidak. Bandingkan

dengan keadaan saat sebelum pemasangan bidai. Apabila terjadi perubahan

kondisi yang memburuk (seperti: nadi tidak teraba dan / atau tidak dapat

merasakan sentuhan dan / atau tidak dapat digerakkan) maka pemasangan

bidai perlu dilonggarkan.

8. Tanyakan kepada korban apakah bidai dipasang terlalu ketat atau tidak.

Longgarkan balutan bidai jika kulit disekitarnya menjadi:

Pucat atau kebiruan

Sakit bertambah

Kulit di ujung tubuh yang cedera menjadi dingin

Ada kesemutan atau mati rasa

Berikut contoh mengenai pemasangan bidai sederhana sebagai pertolongan pertama:

Gambar 3. Pemasangan bidai untuk patah tulang lengan atas atau pergeseran sendi bahu3

10

Gambar 4. Pemasangan bidai untuk patah tulang lengan bawah atau pergeseran sendi siku4

Gambar 5. Pemasangan bidai untuk patah tulang tungkai atas5

Gambar 6. Pemasangan bidai untuk patah tulang tungkai bawah6

11

Referensi

1. Tortora GJ, Derrickson B. Principles of Anatomy and Physiology, Twelfth Edition.

Hoboken: Wiley; 2009.

2. Solomon L, Warwick D, Nayagam S. Apley’s System of Orthopaedics and

Fractures, Ninth Edition. London: Hodder-Arnold; 2010.

3. Salter RB. Textbook of Disorders and Injuries of The Musculoskeletal System,

Third Edition. Baltimore: Williams & Wilkins; 1999.

4. American Academy of Orthopaedic Surgeons. First Aid, AED, and AED Standard,

Sixth Edition. Sudbury: Jones & Bartlett Learning; 2012.

5. Ramaiah S. Health Solutions: First Aid. New Delhi: Sterling; 2008.

Referensi Gambar

1. Tortora GJ, Derrickson B. Principles of Anatomy and Physiology, Twelfth Edition.

Hoboken: Wiley; 2009. Figure 9.12.c. Right shoulder (humeroscapular or

glenohumeral) joint, frontal view. p. 285.

2. Solomon L, Warwick D, Nayagam S. Apley’s System of Orthopaedics and

Fractures, Ninth Edition. London: Hodder-Arnold; 2010. Figure 23.54. Joint

injuries. p. 731.

3. Emergency Informations System, Inc. Fractures. 2011 [updated 2011, cited April

2014]. [Figure] Fracture of the upper arm. Available from:

http://911emg.com/first-aid-upper-arm.html

4. Emergency Informations System, Inc. Fractures. 2011 [updated 2011, cited April

2014]. [Figure] Fracture of the forearm. Available from: http://911emg.com/first-

aid-forearm.html

5. Emergency Informations System, Inc. Fractures. 2011 [updated 2011, cited April

2014]. [Figure] Fracture of the thigh. Available from: http://911emg.com/first-aid-

thigh.html

6. Raaymakers E, Schipper I, Simmermacher R, Van der Werken C, Baumgaertner

M. Reduction & Fixation of Fractures. 2010 [updated November 14, 2010, cited

April 2014]. [Figure] First aid. Available from:

https://www2.aofoundation.org/wps/portal/!ut/p/c0/04_SB8K8xLLM9MSSzPy8x

Bz9CP0os3hng7BARydDRwN3QwMDA08zTzdvvxBjIwN_I_2CbEdFADiM_Q

M!/?basicTechnique=Proximal%20femur%20fracture%20management%20with%

20minimal%20resources&segment=Proximal&bone=Femur&showPage=redfix#

12

Daftar Tilik Pembidaian

No. Proses yang Dilakukan (√)

1. Amankan diri, lokasi, dan korban, serta perkenalkan diri

2. Menilai apakah korban dalam keadaan kondisi umum baik; tidak ada

gangguan pada pernapasan dan sirkulasi korban.

3. Aktifkan SPGDT

4. Pastikan lokasi luka, patah tulang atau cedera sendi dengan memeriksa

keseluruhan tubuh korban (expose) dan membuka segala jenis aksesoris yang

menghalangi (apabila tidak melukai korban lebih jauh)

5. Bila ada bagian tubuh yang terluka, tutup luka dengan penutup yang bersih

(kain/ kassa)

6. Memeriksa PMS korban, apakah pada ujung tubuh korban yang cedera masih

teraba nadi (P, Pulsasi), masih dapat digerakkan (M, Motorik), dan masih

dapat merasakan sentuhan (S, Sensorik) atau tidak.

7. Jika terdapat tulang yang mencuat, buatlah donat untuk memastikan tulang

tidak bergerak

8. Lakukan pembidaian (prinsip pembidaian)

Cukup panjang (melewati 2 sendi atau 2 tulang)

Pemasangan alat yang kaku (papan dsb), minimal pada 2 sisi. Pada

bagian yang berlekuk, lakukan penyanggahan dengan sesuatu yang lunak

(bantal kecil, gulungan kassa, dsb).

Bila tidak ada alat yang kaku, bagian tubuh yang cedera bisa diikatkan

dengan bagian tubuh yang sehat, misalnya dengan membalut lengan ke

tubuh, atau membalut kaki ke kaki yang sehat.

Bila ada tulang yang menonjol jangan dipaksa untuk dimasukkan

kembali.

9. Akhiri balutan dengan membuat simpul pada satu sisi

10. Memeriksa kembali PMS korban, apakah pada ujung tubuh korban yang

cedera masih teraba nadi (P, Pulsasi), masih dapat digerakkan (M, Motorik),

dan masih dapat merasakan sentuhan (S, Sensorik) atau tidak. Bandingkan

dengan pemeriksaan sebelum pembidaian.

11. Tanyakan kepada korban apakah bidai dipasang terlalu ketat atau tidak.

Longgarkan ikatan bidai jika kulit disekitarnya menjadi:

13

Pucat atau kebiruan

Sakit bertambah

Kulit di ujung tubuh yang cedera menjadi dingin

Ada kesemutan atau mati rasa

12. Transportasikan korban ke rumah sakit setelah keadaan stabil