Modul Non Formal Ok

208

description

modul

Transcript of Modul Non Formal Ok

Page 1: Modul Non Formal Ok
Page 2: Modul Non Formal Ok
Page 3: Modul Non Formal Ok

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional 2013

Modul Peningkatan Kapasitas Penggunaan Materi Kerjasama Pendidikan Kependudukan Jalur Non Formal bagi Tenaga Pengelola dan Tenaga Pendidik

Page 4: Modul Non Formal Ok

Judul : Modul Peningkatan Kapasistas Penggunaan Materi Kerjasama

Pendidikan Kependudukan Jalur Non Formal bagi Tenaga Pengelola dan Tenaga Pendidik

Diterbitkan oleh : Direktorat Kerjasama Pendidikan Kependudukan Penanggung Jawab : Eddy Hasmi Penulis Materi : Ir. Atie Tri Juniati, MT dan Dr. Budi Susetyo Editor : Eddy Hasmi Design & Grafis : Edy Supriyono Cetakan pertama tahun 2013 Materi dapat diperbanyak oleh pihak lain dengan seizin penerbit, Direktorat Kerjasama Pendidikan dan Kependudukan – BKKBN No Telp: 021 – 800 4929, email: [email protected]

Page 5: Modul Non Formal Ok

i

Kata Pengantar

Buku modul ini merupakan materi pelengkap upaya meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia di lingkungan BKKBN dan pemangku kepentingan di tingkat propinsi. Buku modul ini merupakan salah satu upaya Direkrorat Kerjasama Pendidikan Kependudukan, BKKBN Pusat untuk merevitalisasi peran serta staff BKKBN dan pemangku kepentingan di level Propinsi dalam menyikapi pertumbuhan jumah penduduk dan berbagai tantangannya dewasa ini. Didalam buku modul ini disajikan makalah dan bahan presentasi yang disusun dengan pendekatan semi ilmiah guna mempermudah pemahaman materi yang akan disampaikan. Semoga buku modul ini memberikan manfaat sebanyak-banyaknya.

Judul : Modul Peningkatan Kapasistas Penggunaan Materi Kerjasama

Pendidikan Kependudukan Jalur Non Formal bagi Tenaga Pengelola dan Tenaga Pendidik

Diterbitkan oleh : Direktorat Kerjasama Pendidikan Kependudukan Penanggung Jawab : Eddy Hasmi Penulis Materi : Ir. Atie Tri Juniati, MT dan Dr. Budi Susetyo Editor : Eddy Hasmi Design & Grafis : Edy Supriyono Cetakan pertama tahun 2013 Materi dapat diperbanyak oleh pihak lain dengan seizin penerbit, Direktorat Kerjasama Pendidikan dan Kependudukan – BKKBN No Telp: 021 – 800 4929, email: [email protected]

Page 6: Modul Non Formal Ok

ii

Daftar isi

1. Kata Pengantar ....................................................................................................................... i

2. Daftar isi ................................................................................................................................... ii

3. Gambaran Umum Materi-Materi Kependudukan .................................................................. iii

4. Jadwal Kegiatan ...................................................................................................................... iv

5. Lima Tema Materi Advokasi Pendidikan Kependudukan ...................................................... 1-67

6. Blanko Pre Test dan Post test ................................................................................................. 54

7. Blanko Evaluasi ........................................................................................................................ 61

Lampiran

Paper dan materi presentasi 5 tema:

Dinamika Penduduk dan Pembangunan Berkelanjutan

Advokasi Isu Kaum Muda di Indonesia

Penduduk Usia Produktif dan Ketenagakerjaan

Penduduk Usia Lanjut di Indonesia Tahun 1950 – 2050

Urbanisasi dan Perkembangan Perkotaan

Page 7: Modul Non Formal Ok

iii

Gambaran umum Materi Advokasi Capacity Building Jumlah penduduk dunia yang semakin banyak bagaikan tidak terkendali membawa dampak negatif di berbagai dimensi kehidupan. Hal tersebut juga terjadi di Indonesia. Yang paling utama adalah meningkatnya kebutuhan mereka dengan pola konsumsi yang tidak selalu biasa didukung oleh dunia ini. Nampaknya, pendekatan pembangunan yang memasok barang dan jasa yang dibutuhkan manusia tidak mengkaitkan hal ikhwal kependudukan dengan upaya pembangunan. Oleh karena itu, pendekatan pembangunan semakin diarahkan untuk berorientasi kepada aspek dinamika kependukan masa kini sekaligus untuk masa depan.

Ada 4 (empat) dimensi kependudukan yang dijadikan fokus bahasan, yaitu, aspek penduduk kelompok umur muda, kelompok usia produktif, usia tua dan mobilitas mereka.

Penduduk usia muda adalah harapan pemimpin bangsa di masa mendatang. Aspek pokok yang diperhatikan dalam hal penduduk usia muda terdiri dari jumlah dan sebaran mereka. Hak dasar penduduk usia muda merupakan aspek penting yang menjamin mereka dapat melanjutkan belajar dan hidup yang berkualitas. Untuk itu, sorotan diarahkan kepada pendidikan dan status sosial-ekonomi mereka. Dimensi negatif berupa pekerja (terlalu) muda dan kenakalan remaja akibat pengaruh lingkungan sosial menjadi perhatian utama.

Penduduk usia produktif adalah soko-guru bangsa dalam pembangunan. Menghadapi jendela kesempatan yang akan dialami bangsa Indonesia dalam waktu dekat ini memperlihatkan kesiapan mereka menghadapinya. Maskipun demikian, aspek negatif dan beberapa kekurangan ternyata masih menghinggapi penduduk usia produktif Indonesia.

Penduduk usia lanjut adalah konsekwensi logis dari pertumbuhan penduduk yang tinggi selama 50 tahun terakhir ini. Adalah tantangan menarik untuk memfasilitasi dam mengadvokasi mereka untuk tetap menjadi aset bangsa yang berdayaguna dalam banyak hal dan kesempatan.

Mobilitas penduduk berupa urbanisasi merupakan fenomena umum di pelosok dunia. Hal ini menjadi petunjuk adanya keberhasilan pembangunan ekonomi sekaligus dampak negatif ikutannya. Tantangan yang sementara ini nampak adalah meminimalkan berbagai ketimpangan sebagai akibat buruk urbanisasi.

Isu sentral dari upaya penyadaran persoalan kependudukan adalah mempertinggi manfaat pembangunan ekonomi, meminimalkan potensi buruk pengangguran dan kemiskinan, dan mempererat rasa nasionalisme seluruh anak bangsa.

ii

Daftar isi

1. Kata Pengantar ....................................................................................................................... i

2. Daftar isi ................................................................................................................................... ii

3. Gambaran Umum Materi-Materi Kependudukan .................................................................. iii

4. Jadwal Kegiatan ...................................................................................................................... iv

5. Lima Tema Materi Advokasi Pendidikan Kependudukan ...................................................... 1-67

6. Blanko Pre Test dan Post test ................................................................................................. 54

7. Blanko Evaluasi ........................................................................................................................ 61

Lampiran

Paper dan materi presentasi 5 tema:

Dinamika Penduduk dan Pembangunan Berkelanjutan

Advokasi Isu Kaum Muda di Indonesia

Penduduk Usia Produktif dan Ketenagakerjaan

Penduduk Usia Lanjut di Indonesia Tahun 1950 – 2050

Urbanisasi dan Perkembangan Perkotaan

Page 8: Modul Non Formal Ok

iv

Jadwal kegiatan pelatihan capacity building

Hari Pertama

Jam Kegiatan

08.00 - 08.30 Pembukaan

08.30 – 10.00 Overview Kegiatan

10.00 – 10.30 Coffee break

10.30 – 12.00 Motivasi

12.00 - 13.00 ISOMA

13.00 - 14.30

Management program

A. Kebijakan kerjasama pendidikan kependudukan

B. Implementasi Pendidikan Kependudukan ditingkat daerah

14.30 – 16.00 Materi-1 (Jumlah dan pertumbuhan penduduk)

16.00 – 16.15 Coffee break

16.15 – 17.45 Role play Materi-1

Hari Kedua

Jam Kegiatan

08.00 – 09.30 Materi-2 (Remaja dan Orang Muda)

09.30 – 11.00 Role play Materi-2

11.00 – 11.30 Coffee break

11.30 – 13.00 Materi-3 (Penduduk Usia Produktif)

13.00 – 14.00 ISHOMA

14.00 – 15.30 Role play Materi-3

Page 9: Modul Non Formal Ok

v

Hari Ketiga

Jam Kegiatan

08.00 – 09.30 Materi-4 (Lansia)

09.30 – 11.00 Role play Materi-4

11.00 – 11.30 Coffee break

11.30 – 13.00 Materi-5 (Urbanisasi dan Perkotaan)

13.00 – 14.00 ISHOMA

14.00 – 15.30 Role play Materi-5

Post Test

Tugas Masing-Masing Provinsi:

Pembuatan RENCANA TINDAK LANJUT

Hari Keempat

Jam Kegiatan

08.00 – 09.30 Presentai RTL masing-masing provinsi

09.30 – 10.30 Commitment

10.30 – 12.00 Summing up

Metode role play:

1. Dibuatkan agar seluruh peserta tertantang;

2. Tidak membosankan peserta;

3. Meningkatkan kreativitas/minat agent diadaerah;

4. Melakukan evaluasi terhadap kemampuan setiap agent;

iv

Jadwal kegiatan pelatihan capacity building

Hari Pertama

Jam Kegiatan

08.00 - 08.30 Pembukaan

08.30 – 10.00 Overview Kegiatan

10.00 – 10.30 Coffee break

10.30 – 12.00 Motivasi

12.00 - 13.00 ISOMA

13.00 - 14.30

Management program

A. Kebijakan kerjasama pendidikan kependudukan

B. Implementasi Pendidikan Kependudukan ditingkat daerah

14.30 – 16.00 Materi-1 (Jumlah dan pertumbuhan penduduk)

16.00 – 16.15 Coffee break

16.15 – 17.45 Role play Materi-1

Hari Kedua

Jam Kegiatan

08.00 – 09.30 Materi-2 (Remaja dan Orang Muda)

09.30 – 11.00 Role play Materi-2

11.00 – 11.30 Coffee break

11.30 – 13.00 Materi-3 (Penduduk Usia Produktif)

13.00 – 14.00 ISHOMA

14.00 – 15.30 Role play Materi-3

Page 10: Modul Non Formal Ok

I-1

Materi Advokasi Isu Penduduk dan Pembangunan Berkelanjutan

Pengantar

Sejak dekade tahun 90-an PBB banyak melakukan pertemuan internasional untuk merumuskan strategi pembangunan global dalam rangka meningkatkan kesejahteraan umat manusia secara berkelanjutan. Hal ini karena pembangunan justru makin memperlebar jurang perbedaan kesejahteraan serta kurang memperhatikan azas keberlangsungan manusia dimasa mendatang. Dimulai dengan konferensi tentang lingkungan hidup untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan tahun 1992 di Brazil (Rio Conference), selanjunya diadakan konferensi tentang Kependudukan dan Pembangunan (International Conference on Population and Development) di Cairo pada tahun 1994, Gender dan Pemberdayaan Perempuan di China pada tahun 1995, Pembangunan Sosial di Kopenhagen tahun 1995, serta beberapa konferensi lainnya. Hasil dari berbagai konferensi tersebut kemudian disarikan untuk menjadi acuan arah dan strategi pembangungan global abad-21 dalam pertemuan yang dinamakan Millennium Development Summit (MDS) di New York pada bulan September tahun 2000. MDS menghasilkan deklarasi yang dikenal sebagai Millennium Development Goals (MDGs). Kesepakatan MDGs akan berakhir di tahun 2015. Karenanya PBB mulai melakukan pembahasan untuk merancang arah pembangunan paska 2015 yang kemudian dikenal sebagai Development Strategy Post 2015. Walaupun belum disepakati namun setidaknya arah yang ingin dikembangkan sudah jelas. yaitu Sustainable Development Goals (SDGs). Pembahasan awal kerangka SDGs sudah dimulai di pertemuan Rio+20 yang berlangsung di Brazil tahun 2012. Dalam kerangka SDGs tersebut tergambar dengan jelas bahwa pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang berpusat pada manusia, dikenal sebagai people centered development. Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang menyertakan situasi penduduk. Pembangunan yang dapat dinikmati oleh seluruh segment penduduk. Pembangunan yang melibatkan seluruh penduduk dalam prosesnya. Kesepakatan Rio-1994 yang masih dianut sampai sekarang mengemukakan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah upaya terencana untuk menjamin kesejahteraan manusia secara adil dan merata antara generasi sekarang dan generasi yang akan datang. Konsep pembangunan berkelanjutan dalam pengertian pengembangan program diajukan pertama kali oleh World Commision on Environment and Development (WCED). Mengacu kepada WCED maka krisis lingkungan dan pembangunan tidak dapat dipisahkan dan harus terkait. Memilah krisis lingkungan hanya akan memperparah krisis pembangunan yang pada gilirannya akan makin menimbulkan masalah lingkungan hidup yang lebih besar lagi. Karena itu pembangunan harus memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kehidupannya. Ini berarti, bahwa pengembangunan harus disertai upaya untuk melestarikan kemampuan lingkungan untuk menjalankan fungsinya secara berkelanjutan. Untuk mencapai hal itu, strategi WCED memuat beberapa sasaran yang harus dicapai dalam dasawarsa pembangunan sampai dengan tahun 2012, yaitu, pertama, menghidupkan pertumbuhan

Page 11: Modul Non Formal Ok

I-2

ekonomi secara merata diseluruh dunia. Dinegara berkembang untuk menghapuskan kemiskinan, yang merupakan salah satu sumber perusakan sumber alam dan lingkungan hidup. Di negara maju pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi diperlukan untuk mendorong pengembangan perekonomian dunia. Kedua, mengubah kualitas pertumbuhan: tidak lagi intensif bahan dan intensif energi, dampak yang leih merata dan lebih adil. Pembangunan harus disertai langkah untuk menjaga cadangan modal lingkungan, menyempurnakan pemerataan pendapatan, dan mengurangi kerentanan terhadap krisis ekonomi. ketiga, pemenuhan kebutuhan pokok manusia dalam hal lapangan kerja, pangan, energi, air dan sanitasi. Keempat, tingkat pertumbuhan penduduk yang terlanjutkan yang jumlahnya sesuai dengan kemampuan produktif ekonosistem. Kelima, konservasi dan peningkatan kualitas pengkalan sumber daya seperti sumber pertanian (lahan, sungai, hutan), sumber energi, kapasitas biosfir untuk menyerap produk sampingan penggunaan energy. Keenam, reorientasi teknologi dan pengelolaan risiko agar mengarah pada teknologi hemat dan bersih lingkungan serta penanggulangan resiko lingkungan. Terakhir, keterpaduan lingkungan hidup dengan ekonomi dalam pengambilan keputusan. Dari 7 (tujuh) aspek diatas terdapat 3 (tiga) aspek penting yang harus benar-benar diperhatikan yaitu (1) aspek pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan (2) aspek pembangunan sosial yang berkelanjutan untuk mencapai kalitas hidup yang tinggi dan (3) aspek pengelolaan kualitas lingkungan hidup yang berkelanjutan. Ketiganya harus dilihat dalam konteks perkembangan kependudukan. Pertumbuhan ekonomi berkelanjutan menempatkan penduduk sebagai pelaku utama kegiatan ekonomi. Jadi penduduk sebagai subyek pembangunan. Aspek pembangunan sosial merupakan penjabaran penempatan peran penduduk sebagai obyek pembangunan. Penduduk sebagai penikmat pembangunan. Pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan menempatkan penduduk sebagai pemelihara lingkungan hidup demi kehidupan generasi mendatang.

GAMBAR-1: KERANGKA KONSEPTUAL PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN Konsep ini mengacu pada kenyataan bahwa pertumbuhan ada batasnya. Jika batas ini terlampaui maka yang terjadi adalah ‘pemusnahan’ hasil pembangunan tersebut. Nampaknya ini yang sedang berlangsung di Indonesia dengan terjadinya krisis ekonomi sekarang ini. Beberapa tahun belakangan ini selalu ada peringatan bahwa perekonomian kita terlalu memanas. Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi sudah sampai batasnya. Pertumbuhan ekonomi tidak dapat dipacu lebih tinggi lagi. Ada 7 (tujuh) kritik terhadap konsep pembangunan yang berfokus pertumbuhan, yaitu (1) prakasa biasanya dimulai dari pusat dalam bentuk rencana formal, (2) proses penyusunan program bersifat statis dan didominasi oleh pendapat pakar dan teknokrat, (3) teknologi yang digunakan bersumber dari luar, (4) mekanisme kelembagaan bersifat top-down, (5) pertumbuhannya cepat namun mekanistik, (6) organisatornya para pakar spesialis, dan (7) oreintasinya menyelesaikan program

PEMBANGUNAN EKONOMI YANG BERKELANJUTAN

Penduduk

PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKELANJUTAN

PEMBANGUNAN SOSIAL YANG BERKELANJUTAN

I-1

Materi Advokasi Isu Penduduk dan Pembangunan Berkelanjutan

Pengantar

Sejak dekade tahun 90-an PBB banyak melakukan pertemuan internasional untuk merumuskan strategi pembangunan global dalam rangka meningkatkan kesejahteraan umat manusia secara berkelanjutan. Hal ini karena pembangunan justru makin memperlebar jurang perbedaan kesejahteraan serta kurang memperhatikan azas keberlangsungan manusia dimasa mendatang. Dimulai dengan konferensi tentang lingkungan hidup untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan tahun 1992 di Brazil (Rio Conference), selanjunya diadakan konferensi tentang Kependudukan dan Pembangunan (International Conference on Population and Development) di Cairo pada tahun 1994, Gender dan Pemberdayaan Perempuan di China pada tahun 1995, Pembangunan Sosial di Kopenhagen tahun 1995, serta beberapa konferensi lainnya. Hasil dari berbagai konferensi tersebut kemudian disarikan untuk menjadi acuan arah dan strategi pembangungan global abad-21 dalam pertemuan yang dinamakan Millennium Development Summit (MDS) di New York pada bulan September tahun 2000. MDS menghasilkan deklarasi yang dikenal sebagai Millennium Development Goals (MDGs). Kesepakatan MDGs akan berakhir di tahun 2015. Karenanya PBB mulai melakukan pembahasan untuk merancang arah pembangunan paska 2015 yang kemudian dikenal sebagai Development Strategy Post 2015. Walaupun belum disepakati namun setidaknya arah yang ingin dikembangkan sudah jelas. yaitu Sustainable Development Goals (SDGs). Pembahasan awal kerangka SDGs sudah dimulai di pertemuan Rio+20 yang berlangsung di Brazil tahun 2012. Dalam kerangka SDGs tersebut tergambar dengan jelas bahwa pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang berpusat pada manusia, dikenal sebagai people centered development. Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang menyertakan situasi penduduk. Pembangunan yang dapat dinikmati oleh seluruh segment penduduk. Pembangunan yang melibatkan seluruh penduduk dalam prosesnya. Kesepakatan Rio-1994 yang masih dianut sampai sekarang mengemukakan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah upaya terencana untuk menjamin kesejahteraan manusia secara adil dan merata antara generasi sekarang dan generasi yang akan datang. Konsep pembangunan berkelanjutan dalam pengertian pengembangan program diajukan pertama kali oleh World Commision on Environment and Development (WCED). Mengacu kepada WCED maka krisis lingkungan dan pembangunan tidak dapat dipisahkan dan harus terkait. Memilah krisis lingkungan hanya akan memperparah krisis pembangunan yang pada gilirannya akan makin menimbulkan masalah lingkungan hidup yang lebih besar lagi. Karena itu pembangunan harus memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kehidupannya. Ini berarti, bahwa pengembangunan harus disertai upaya untuk melestarikan kemampuan lingkungan untuk menjalankan fungsinya secara berkelanjutan. Untuk mencapai hal itu, strategi WCED memuat beberapa sasaran yang harus dicapai dalam dasawarsa pembangunan sampai dengan tahun 2012, yaitu, pertama, menghidupkan pertumbuhan

Page 12: Modul Non Formal Ok

I-3

secara cepat sehingga menghasilkan pertumbuhan. Dengan melihat pada kriteria diatas nampak keteribatan peranan penduduk lokal dalam proses pembangunan sangat sedikit. Kritik para ahli terhadap orientasi pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan telah berlangsung sejak tahun 60-an. Para cendekiawan dari Massachuset Institute of Technology dan Club of Rome secara gencar mengkritik orientasi tersebut. Kemudian melahirkan pemikiran pembangunan berkelanjutan dan pembangunan yang berpusat pada manusia. Untuk mencapai pembangunan berkelanjutan perlu pertimbangan dan pengelolaan agar keterkaitan antara penduduk, sumberdaya, lingkungan dan sosial dan ekonomi pembangunan tercipta dalam keseimbangan yang dinamis. Untuk itu perlu digariskan kebijaksanaan pembangunan yang tegas untuk menghindari pola konsumsi dan produksi yang tidak berkelanjutan. Disamping itu, dikembangkan kebijakan kependudukan yang menciptakan penduduk yang memenuhi kebutuhannya sekarang tanpa mengurangi kesempatan generasi mendatang memenuhi kebutuhannya. Aspek pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan dibahas dalam pertemuan Bumi di Rio, Brazil, tahun 1992. Kemudian diikuti Rio+5 dan Rio+10 yang dikenal sebagai World Summit on Sustainable Development (WSSD), di Johannesburg, Afrika Selatan, tahun 2002. Pembangunan sosial juga banyak dibahas, seperti di Kopenhagen dan di China. Sedangkan kependudukan dibahas di Cairo, Mesir pada tahun 1994. Perhatian tentang kependudukan dan pembangunan telah berlangsung lama. Sebagaimana terlihat dari deklarasi yang dihasilkan sejak konferensi kependudukan sedunia tahun 1974 di Bucharest, dilanjutkan di Mexico City tahun 1984 sampai di Cairo pada tahun 1994. Semuanya secara konsisten menekankan pentingnya integrasi kebijaksanaan kependudukan dan pembangunan. Perbedaannya dalam pergeseran isu sentral dan cara pendekatan pada setiap konferensi sesuai dengan situasi dan kondisi yang berkembang. Pada konferensi kependudukan di Bucharest tahun 1974 disepakati pengendalian penduduk. Paradigm pembangunan kependudukan berubah dari bersifat pro-natalis menuju anti-natalis. Argumentasi dasar pendapat Malthus yang menyatakan bahwa pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali akan berdampak buruk bagi peningkatan kesejahteraan manusia. Dalam hal ini, penanganan masalah pengaturan kelahiran dilakukan dengan alat kontrasepsi. Pada konferensi kependudukan sedunia di Mexico tahun 1984 isu pengelolaan penduduk beralih dari penggunaan alat kontrasepsi menuju pembangunan dalam arti luas. Di konferensi Mexico ini dikeluarkan slogan development is the best contraceptive; pembangunan akan membentuk norma mengenai anak. Ini sesuai dengan hasil berbagai studi yang menunjukkan bahwa makin tinggi status sosial ekonomi keluarga akan makin sedikit jumlah anak dimiliki. Oleh karena itu yang dibutuhkan bukan pelaksanaan program keluarga secara pelayanan kontrasepsi namun pembangunan sosial ekonomi. Kenyataannya, kerangka pikir tersebut tidak berjalan di banyak negara. Pertama, pembangunan ekonomi dan sosial membutuhkan waktu lama. Bahkan, banyak negara yang terjebak dalam kemiskinan yang parah sehingga kesulitan untuk membangun ekonominya. Kedua, apabila

Page 13: Modul Non Formal Ok

I-4

tujuannya untuk mengendalikan penduduk maka program keluarga berencana justru terbukti sebagai program yang efektif. Selain itu, sebelum ICPD-1994 Cairo, perhatian terhadap isu kependudukan berfokus pada upaya pengendalian kuantitas penduduk. Akibatnya, negara sangat berperan dalam menentukan arah kebijakan dibandingkan peran individu penduduk. Pendekatan demografi berupa pengaturan kelahiran, penurunan kematian serta pengarahan mobilitas penduduk nampak sangat dominan. Pendekatan tersebut mendapat kecaman dari pememperhati hak asasi manusia, kesejahteraan, maupun pemberdayaan perempuan (Jones, Gavin, 1998). Karena pelaksanaan program pengendalian kuantitas penduduk lebih menekankan interes negara dibandingkan interes penduduk. ICPD-1994 Cairo dipandang sebagai momentum perubahan mendasar pendekatan kependudukan dalam pembangunan yang melalui proses panjang sejak tahun 1985. Perubahan pemikiran tersebut antara lain dikembangkan oleh Rosenfield dan Maine (1985) dengan fokus kesehatan masyarakat, Germain (1987) yang menekanan pada pemberdayaan perempuan, Dixon-Muller, 1993 serta Sen, Germain & Chen (1994) yang fojus kepada pemberdayaan perempuan dan hak individu. Kebijakan kependudukan perlu mempertimbangkan keseimbangan tiga level kepentingan, yaitu individu, masyarakat dan negara atau wilayah. Karena tujuan kebijaksanaan kependudukan mendukung perbaikan kondisi sosial ekonomi individu, negara dan masyarakat. Bahkan, kesejahteraan individu merupakan tujuan yang harus dikedepankan, sebab dengan tercapainya kesejahteraan individu otomatis kesejahteraan masyarakat juga akan tercapai. Sebaliknya, tercapainya kesejahteraan negara atau masyarakat secara agregat belum tentu menjamin tercapainya kesejahteraan individu anggota agregasi tersebut. Masalah yang seringkali muncul adalah bahwa ketiga kepentingan tersebut tidak selalu cocok atau parallel. Umumnya yang dominan adalah kepentingan Negara yang diterjemahkan kedalam level masyarakat dan individu. Pada gilirannya, fokus program kependudukan lebih ke aspek makro daripada mikro. Sehingga hak individu dan masyarakat terabaikan, pelanggaran hak individu dan mencuatnya persoalan hak asasi manusia (HAM). Arus pemikiran hak asasi manusia makin berkembang pada akhir tahun 80-an. Untuk kependudukan, pembahasan secara eksplisit berkembang di ICPD-1994 Cairo yang dikenal sebagai “right based approach”. Secara umum ICPD-1994 Cairo bertujuan menjadikan penduduk sebagai subyek dan obyek pembangunan. Sebagai subyek pembangunan maka penduduk harus menjadi SDM yang berkualitas. Sedangkan sebagai obyek pembangunan, penduduk harus mampu menikmati hasil pembangunan. ICPD-1994 Cairo ini menekankan kepada 3 (tiga) isu pokok yaitu, dignity of individual, human rights, dan social values. Ketiga aspek tersebut meletakkan hak individu sebagai perhatian pokok pembangunan kependudukan. Konferensi ini juga menegaskan bahwa manusia merupakan pusat perhatian pembangunan berkelanjutan karena manusia aspek terpenting dan paling bernilai. Untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut ICPD-1994 Cairo menyusun rencana aksi yang dilakukan oleh setiap negara. Orietasi waktunya 20 tahun disesuaikan dengan banyak sasaran yang ingin dicapai, yaitu tahun 2015. Renaca aksi ini akan dievaluasi pencapainya setiap 5 tahun. Pada tahun 1999 telah dilakukan pertemuan ICPD+5 dan kemudian pada tahun 2004 dilakukan pertemuan ICPD+10 di New York. Pertemuan ICPD+10 ini difokuskan pada peningkatan komitmen tentang pentingnya aspek kependudukan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Kegiatan yang

I-3

secara cepat sehingga menghasilkan pertumbuhan. Dengan melihat pada kriteria diatas nampak keteribatan peranan penduduk lokal dalam proses pembangunan sangat sedikit. Kritik para ahli terhadap orientasi pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan telah berlangsung sejak tahun 60-an. Para cendekiawan dari Massachuset Institute of Technology dan Club of Rome secara gencar mengkritik orientasi tersebut. Kemudian melahirkan pemikiran pembangunan berkelanjutan dan pembangunan yang berpusat pada manusia. Untuk mencapai pembangunan berkelanjutan perlu pertimbangan dan pengelolaan agar keterkaitan antara penduduk, sumberdaya, lingkungan dan sosial dan ekonomi pembangunan tercipta dalam keseimbangan yang dinamis. Untuk itu perlu digariskan kebijaksanaan pembangunan yang tegas untuk menghindari pola konsumsi dan produksi yang tidak berkelanjutan. Disamping itu, dikembangkan kebijakan kependudukan yang menciptakan penduduk yang memenuhi kebutuhannya sekarang tanpa mengurangi kesempatan generasi mendatang memenuhi kebutuhannya. Aspek pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan dibahas dalam pertemuan Bumi di Rio, Brazil, tahun 1992. Kemudian diikuti Rio+5 dan Rio+10 yang dikenal sebagai World Summit on Sustainable Development (WSSD), di Johannesburg, Afrika Selatan, tahun 2002. Pembangunan sosial juga banyak dibahas, seperti di Kopenhagen dan di China. Sedangkan kependudukan dibahas di Cairo, Mesir pada tahun 1994. Perhatian tentang kependudukan dan pembangunan telah berlangsung lama. Sebagaimana terlihat dari deklarasi yang dihasilkan sejak konferensi kependudukan sedunia tahun 1974 di Bucharest, dilanjutkan di Mexico City tahun 1984 sampai di Cairo pada tahun 1994. Semuanya secara konsisten menekankan pentingnya integrasi kebijaksanaan kependudukan dan pembangunan. Perbedaannya dalam pergeseran isu sentral dan cara pendekatan pada setiap konferensi sesuai dengan situasi dan kondisi yang berkembang. Pada konferensi kependudukan di Bucharest tahun 1974 disepakati pengendalian penduduk. Paradigm pembangunan kependudukan berubah dari bersifat pro-natalis menuju anti-natalis. Argumentasi dasar pendapat Malthus yang menyatakan bahwa pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali akan berdampak buruk bagi peningkatan kesejahteraan manusia. Dalam hal ini, penanganan masalah pengaturan kelahiran dilakukan dengan alat kontrasepsi. Pada konferensi kependudukan sedunia di Mexico tahun 1984 isu pengelolaan penduduk beralih dari penggunaan alat kontrasepsi menuju pembangunan dalam arti luas. Di konferensi Mexico ini dikeluarkan slogan development is the best contraceptive; pembangunan akan membentuk norma mengenai anak. Ini sesuai dengan hasil berbagai studi yang menunjukkan bahwa makin tinggi status sosial ekonomi keluarga akan makin sedikit jumlah anak dimiliki. Oleh karena itu yang dibutuhkan bukan pelaksanaan program keluarga secara pelayanan kontrasepsi namun pembangunan sosial ekonomi. Kenyataannya, kerangka pikir tersebut tidak berjalan di banyak negara. Pertama, pembangunan ekonomi dan sosial membutuhkan waktu lama. Bahkan, banyak negara yang terjebak dalam kemiskinan yang parah sehingga kesulitan untuk membangun ekonominya. Kedua, apabila

Page 14: Modul Non Formal Ok

I-5

penting adalah penyampaian statement dari setiap negara dalam Sidang Umum PBB tentang pencapaian selama 10 tahun dan pandangan mereka terhadap komitmen pencapaian sasaran ICPD tahun 2015. Setiap negara tetap mendukung komitmen ICPD dan mendesak PBB agar memasukkan unsur pertumbuhan penduduk yaitu reproductive health and reproductive rights including family planning kedalam sasaran MDG yang selama ini memang belum ada. Millennium Development Summit yang diselenggarakan di New York, Amerika Serikat pada bulan September 2000 merupakan pertemuan global untuk mengembangkan strategi pembangunan abad 21. MDS merupakan penyatuan konsep PBB tahun 90-an. Deklarasi yang dihasilkan pertemuan tersebut merupakan intisari dari berbagai kesepakatan sebelumnya. Pada tanggal 13 Oktober 2004 disampaikan Deklarasi Komitmen untuk menudukung ICPD dari berbagai tokoh dunia yang terdiri dari Kepala Negara, Kepala Pemerintahan, pemenang nobel, pelaku bisnis, tokoh agama yang turut menandatangani deklarasi ini. Dua tokoh Indonesia yang dimasukkan PBB sebagai pendukung deklarasi tersebut adalah KH Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri. Dengan demikian MDS tidak dapat dipisahkan dari kesepakatan pertemuan sebelumnya. MDGs memuat sasaran target yang harus dicapai tahun 2015. Sedangkan deklarasi pada konferensi sebelumnya lebih memuat upaya mencapai target tersebut. Dengan demikian, MDGs dapat dicapai jika sasaran deklarasi konferensi-konferensi sebelumnya tercapai. Tujuan dan sasaran MDGs sangat komprehensif meliputi aspek sosial, kesehatan, pendidikan, dan pemberdayaan perempuan. Pembangunan ekonomi dikaitkan dengan pengentasan kemiskinan, pengelolaan lingkungan hidup dan kemitraan. Namun demikian beberapa ahli kependudukan yang banyak terlibat dlam ICPD-94 masih melihat bahwa MDGs belum sekomprehensif yang diinginkan. Aspek yang terlewatkan adalah pencantuman secara jelas dan tegas persoalan pertumbuhan penduduk yang terkait dengan reproductive health and reproductive rights. Oleh karena itu revisi MDGs berhasil dengan dimasukkannya isu kesehatan reproduksi sebagai indikator MDGs. Kerangka pembangunan MDGs akan segera berakhir. Saat ini tengah dilakukan berbagai pembahasan kerangka pembangunan paska 2015. Indonesia berperan besar dengan ditunjuknya Presiden SBY sebagai salah satu dari tiga High Level Panel (HLP). Sejak pertemuan pertama HLP di New York sampai keempat di Bali, tema pembangunan yang berpusat pada memang semakin mengemukakan. Tema ini mulai dibangun sejak pertemuan Rio+20 tahun lalu yang membahas pembangunan berkelanjutan. Di Indonesia, konsep berkembang sejak awal tahun 90an dirintis oleh para pakar kependudukan dan pembangunan bersama Kantor Menteri Negara Kependudukanan/ BKKBN. Selanjutnya, konsep ini dibawa oleh Indonesia kedalam ICPD, Cairo 1994 yang diterima sebagai strategi program kependudukan dan pembangunan global. Dalam pelaksanaan memang tidak berjalan sebagaimana diharapkan karena berbagai persoalan seperti pemerintah dan pengaturan kelembagaan. Dinamika lain penduduk juga menjadi fokus perhatian HLP, misalnya tentang migrasi, urbanisasi, perempuan, orang muda, penduduk rentan, serta pentingnya data untuk perencanaan pembangunan. Dalam komunike maupun statement anggota HLP dikemukakan pentingnya pembangunan untuk semua, dinikmati oleh seluruh golongan penduduk dan melibatkan semua kelompok penduduk. Karenanya pengentasan kemiskinan menjadi isu pokok pembangunan paska 2015. Pembangunan harus berkeadilan dan transparan. Pembangunan harus melibatkan dan

Page 15: Modul Non Formal Ok

I-6

memberadayakan berbagai kelompok penduduk utamanya kaum muda dan perempuan. Pembangunan harus dilakukan dalam pemenuhan hak azasi manusia. Disamping itu agar tidak terjadi kerusakan besar-besaran terhadap lingkungan dan peradaban maka perlu dikelola pola produksi dan konsumsi penduduk. Kecenderungan perubahan dinamika penduduk menjadi perhatian anggota HLP. Pentingnya data untuk perencanaan pembangunan juga diberi bobot perhatian tinggi. Hal ini sangat tepat karena ‘people centered development’ memerlukan keakuratan data agar pembangunan tepat sasaran. Berbagai dimensi kehidupan manusia yang begitu kompleks dibahas dan dirangkum dalam kerangka pembangunan paska 2015. Namun pengelolaan kuantitas penduduk kurang mendapat perhatian HLP. Besarnya kuantitas penduduk dunia saat ini dan kedepan lebih dilihat dalam pendekatan adaptif. Berapa penduduk bumi pada tahun 2050? Apakah 9 miliar atau 10 miliar?. Apa yang harus dilakukan dengan penduduk sebesar itu? Pendekatan tersebut tergambar dalam komunike Bali dan pertemuan sebelumnya. Jika pada pertemuan sebelumnya jumlah 9 miliar yang dipakai sebagai acuan maka dalam pertemuan Bali acuannya adalah 9-10 miliar penduduk. Padahal apakah bumi akan dihuni 9 miliar atau 10 miliar tergantung pada kebijakan kita mulai saat ini; biasa disebut sebagai pendekatan mitigasi. Bumi yang pada tahun 2050 dihuni oleh 9 miliar akan sangat berbeda dengan dihuni 10 miliar. Pada gilirannya, perbedaan 1 miliar manusia penghuni bumi pada tahun 2050 akan memberikan perbedaan lebih dari 5 miliar manusia pada tahun 2100. Maka dari itu, pemimpin dunia harus memberi arah strategi pembangunan paska 2015, apakah bumi akan dihuni oleh 9 miliar atau 10 miliar? Apa yang harus dilakukan untuk mencapai sasaran tersebut?. Apa yang diputuskan pemimpin dunia saat ini akan sangat berpengaruh pada umat manusia 1 atau 2 generasi mendatang. Lebih lanjut, pembahasan dinamika kependudukan dalam kerangka pembangunan paska 2015 yang lebih menekankan pada pendekatan adaptif akan mengaburkan perhatian setiap pemerintah terhadap persoalan dinamika kependudukan itu sendiri. Walaupun HLP sepakat bahwa penduduk merupakan pusat dari pembangunan. Jeffrey Sachs mengemukakan perlunya dilakukan pembahasan mendalam agar ditemukan formulasi yang utuh dan tegas terkait dinamika kependudukan dalam kerangka pembangunan 2015. Formulasi dinamika kependudukan tersebut harus terlepas dari persoalan kesehatan reproduksi dan hak reproduksi, persoalan peningkatan sarana dan prasarana perkotaan, persoalan perlindungan hak migran dan lain sebagainya, yang dilakukan selama ini. Walaupun bukan berarti hal tersebut tidak perlu dilakukan. Dari diskusi tersebut para pakar kependudukan memberikan apresiasi atas visi pemimpin dunia yang lebih mengkedepankan pembangunan berkelanjutan daripada pertumbuhan. Yang mengkedepankan pembangunan yang berpusat pada manusia. Para pakar juga berkesimpulan bahwa pertumbuhan penduduk global masih perlu dikendalikan. Ini terkait dengan carrying capacity dan carrying capability bumi menyangga kehidupan manusia. Footprint skenario yang ada memperlihatkan bahwa kemampuan bumi menyangga kebutuhan manusia saat ini sudah melebihi kapasitasnya. Pengaturan pola konsumsi dan produksi yang ramah

I-5

penting adalah penyampaian statement dari setiap negara dalam Sidang Umum PBB tentang pencapaian selama 10 tahun dan pandangan mereka terhadap komitmen pencapaian sasaran ICPD tahun 2015. Setiap negara tetap mendukung komitmen ICPD dan mendesak PBB agar memasukkan unsur pertumbuhan penduduk yaitu reproductive health and reproductive rights including family planning kedalam sasaran MDG yang selama ini memang belum ada. Millennium Development Summit yang diselenggarakan di New York, Amerika Serikat pada bulan September 2000 merupakan pertemuan global untuk mengembangkan strategi pembangunan abad 21. MDS merupakan penyatuan konsep PBB tahun 90-an. Deklarasi yang dihasilkan pertemuan tersebut merupakan intisari dari berbagai kesepakatan sebelumnya. Pada tanggal 13 Oktober 2004 disampaikan Deklarasi Komitmen untuk menudukung ICPD dari berbagai tokoh dunia yang terdiri dari Kepala Negara, Kepala Pemerintahan, pemenang nobel, pelaku bisnis, tokoh agama yang turut menandatangani deklarasi ini. Dua tokoh Indonesia yang dimasukkan PBB sebagai pendukung deklarasi tersebut adalah KH Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri. Dengan demikian MDS tidak dapat dipisahkan dari kesepakatan pertemuan sebelumnya. MDGs memuat sasaran target yang harus dicapai tahun 2015. Sedangkan deklarasi pada konferensi sebelumnya lebih memuat upaya mencapai target tersebut. Dengan demikian, MDGs dapat dicapai jika sasaran deklarasi konferensi-konferensi sebelumnya tercapai. Tujuan dan sasaran MDGs sangat komprehensif meliputi aspek sosial, kesehatan, pendidikan, dan pemberdayaan perempuan. Pembangunan ekonomi dikaitkan dengan pengentasan kemiskinan, pengelolaan lingkungan hidup dan kemitraan. Namun demikian beberapa ahli kependudukan yang banyak terlibat dlam ICPD-94 masih melihat bahwa MDGs belum sekomprehensif yang diinginkan. Aspek yang terlewatkan adalah pencantuman secara jelas dan tegas persoalan pertumbuhan penduduk yang terkait dengan reproductive health and reproductive rights. Oleh karena itu revisi MDGs berhasil dengan dimasukkannya isu kesehatan reproduksi sebagai indikator MDGs. Kerangka pembangunan MDGs akan segera berakhir. Saat ini tengah dilakukan berbagai pembahasan kerangka pembangunan paska 2015. Indonesia berperan besar dengan ditunjuknya Presiden SBY sebagai salah satu dari tiga High Level Panel (HLP). Sejak pertemuan pertama HLP di New York sampai keempat di Bali, tema pembangunan yang berpusat pada memang semakin mengemukakan. Tema ini mulai dibangun sejak pertemuan Rio+20 tahun lalu yang membahas pembangunan berkelanjutan. Di Indonesia, konsep berkembang sejak awal tahun 90an dirintis oleh para pakar kependudukan dan pembangunan bersama Kantor Menteri Negara Kependudukanan/ BKKBN. Selanjutnya, konsep ini dibawa oleh Indonesia kedalam ICPD, Cairo 1994 yang diterima sebagai strategi program kependudukan dan pembangunan global. Dalam pelaksanaan memang tidak berjalan sebagaimana diharapkan karena berbagai persoalan seperti pemerintah dan pengaturan kelembagaan. Dinamika lain penduduk juga menjadi fokus perhatian HLP, misalnya tentang migrasi, urbanisasi, perempuan, orang muda, penduduk rentan, serta pentingnya data untuk perencanaan pembangunan. Dalam komunike maupun statement anggota HLP dikemukakan pentingnya pembangunan untuk semua, dinikmati oleh seluruh golongan penduduk dan melibatkan semua kelompok penduduk. Karenanya pengentasan kemiskinan menjadi isu pokok pembangunan paska 2015. Pembangunan harus berkeadilan dan transparan. Pembangunan harus melibatkan dan

Page 16: Modul Non Formal Ok

I-7

lingkungan mutlak diperlukan. Namun stabilisasi pertumbuhan penduduk juga faktor yang tidak kalah penting. Menurut ahli kependudukan, skenario medium dari 3 skenario proyeksi penduduk versi United Nations Population Division (UNPD) merupakan kondisi ideal yang perlu dicapai. Penurunan pertumbuhan penduduk yang terlalu cepat (skenario cepat) atau terlalu lambat (skenario lambat) akan berdampak buruk bagi kelangsungan hidup umat manusia dan planet bumi dimasa mendatang. Untuk mencapai skenario medium maka tingkat kelahiran global harus berada pada kisaran 1.8-2.1. Angka di saat ini adalah 2.3– 2.4. Jika tingkat kelahiran global masih pada angka saat ini atau jika bahkan meningkat maka yang akan terjadi adalah skenario cepat. Ini harus dihindari. Oleh karena itu, arahan pemimpin dunia dalam kerangka pembangunan paska 2015 harus menekankan issue ini secara eksplisit. Para ahli kependudukan juga sepakat bahwa persoalan dinamika kependudukan berbeda antar negara dan antar kawasan walaupun tetap ada persoalan yang dikelola secara global. Persoalan pertumbuhan penduduk yang masih menjadi issue di suatu negara boleh jadi bukan masalah di negara lain. Demikian pula persoalan penduduk lanjut usia. Karena itu kebijakan kependudukan tidak bisa “one fit for all”. Pemimpin setiap negara harus mampu melihat persoalan dinamika kependudukan secara utuh dan melihatnya dalam kerangka mitigasi bukan adaptasi seperti selama ini. Karena itu issue dinamika kependudukan dalam kerangka pembangunan paska 2015 perlu dikedepankan secara utuh dan dalam kerangka pendekatan mitigasi. Ada tiga persoalan dinamika kependudukan global pada tahun 2050 yang perlu mendapat perhatian dari pemimpin dunia yaitu (1) jumlah dan laju pertumbuhan penduduk (2) mobilitas penduduk yang semakin meningkat dan cenderung menuju ke perkotaan sehingga urbanisasi akan terus meningkat, (3) makin meningkatnya jumlah penduduk usia lanjut. Persoalan kaum muda adalah persoalan kependudukan saat ini sampai dengan 2030, namun setelah itu dunia akan lebih besar menghadapi persoalan penduduk lanjut usia. Ketiga persoalan tersebut harus dilihat dengan pendekatan mitigasi bukan adaptasi. Bagaimana mengelola pertumbuhan penduduk sehingga mendukung pembangunan berkelanjutan. Bagaimana mengarahkan mobilitas penduduk sehingga tidak terjadi “penumpukan atau konsentrasi” disuatu wilayah ataupun bagaimana memberdayakan penduduk lanjut usia sehingga mereka tidak menjadi ‘beban’ pembangunan. Pentingnya data untuk perencanaan pembangunan juga dibahas oleh para pakar. Disamping itu perlu dikembangkan indikator ‘people centered development’ yang sederhana dan mudah dipahami oleh perencana pembangunan di tingkat lokal untuk mengevaluasi pembangunan. Indikator ini harus merubah indikator pembangunan yang ada sekarang ini, yang terlalu menekankan pada pertumbuhan ekonomi. Beberapa tujuan dan sasaran konferensi Cairo yang relevan dengan kondisi pembangunan nasional Indonesia, yaitu, (1) meningkatkan kualitas hidup penduduk dan pembangunan untuk menghapus kemiskinan, pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan dalam konteks pembangunan berkelanjutan. (2) Upaya menjamin akses penuh pendidikan dasar bagi laki-laki dan perempuan

Page 17: Modul Non Formal Ok

I-8

secepatnya. (3) Memajukan keadilan dan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, dan menghapus seluruh bentuk kekerasan terhadap perempuan, dan menjamin kemampuan perempuan untuk mengkontrol kehidupan fertilitas mereka sendiri, adalah dasar pengkaitan program kependudukan dan pembangunan. (4) Menurunkan tingkat kematian bayi dibawah 35 per 1,000 kelahiran hidup dan tingkat kematian Balita di bawah 45 per 1,000. (5) Menurunkan tingkat kematian ibu hamil dan melahirkan sampai dibawah 125 per 100,000 kelahiran hidup. (6) Pada tahun 2005 menjamin paling tidak 90 persen dan pada tahun 2010 paling tidak 95 persen dari penduduk usia 15-24 tahun memiliki akses pada KIE dan pelayanan untuk mengembangkan life skills yang dibutuhkan untuk mengurangi kerentanan mereka terhadap infeksi HIV, dimana pada tahun 2005 diupayakan terjadi penurunan prevalensi secara global dan pada tahun 2010 terjadi penurunan prevalensi sebesar 25 persen di negara-negara yang prevalensinya tinggi. (7) Isu kependudukan harus diintegrasikan dalam formulasi, pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi dari kebijakan dan program yang terkait dengan pembangunan berkelanjutan. (8) Memperkuat kerjasama antara pemerintah, organisasi internasional, dan dunia usaha dalam mengidentifikasi lingkup kerjasama yang baru. Sementara itu, penempatan penduduk sebagai titik sentral pembangunan menjadi komitmen dunia. Walaupun komitmen tersebut menurun terutama yang terkait pengendalian kelahiran. Komitmen pendanaan sebesar 0,7 persen dari PDB masyarakat internasional untuk program kependudukan seperti tertuang dalam ICPD-94 tidak pernah terwujud. Sehingga banyak pihak meragukan apakah sasaran ICPD-94 akan dapat dicapai. Pada gilirannya, sasaran MDGs pun akan menjadi sulit dicapai. Indonesia sebagai negara dengan penduduk terbesar ke empat dunia sangat mendukung upaya melihat pembangunan secara komprehensif yang menempatkan penduduk sebagai sentral perhatian. Oleh karena itu, Indonesia sangat mendukung ICPD-94 dan berperan aktif dalam menentukan arah kebijakan kependudukan global. Dukungan Indonesia terhadap kebijakan global kependudukan tidak saja demi kepentingan nasional untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk dan masyarakat Indonesia namun juga demi kepentingan umat manusia untuk menyelamatkan bumi sebagai satu-satunya tempat tinggal ini. Perbedaan yang sangat mendasar dari kebijakan dan program kependudukan Indonesia sebelum dan sesudah ICPD-94 adalah dalam sudut pandang pendekatan. Pasca ICPD-94 kebijakan kependudukan lebih mengkedepankan masalah hak asasi. Dalam upaya menurunkan kelahiran, program keluarga berencana saat ini tidak lagi mekankan pada pendekatan demografis namun dikaitkan dengan pemenuhan hak reproduksi individu/pasangan. Selanjutnya, peningkatan kualitas pelayanan menjadi fokus pengembangan program. Secara umum terdapat tiga area fokus kebijakan kependudukan di Indonesia. Pertama adalah pengendalian kuantitas penduduk yang menonjolkan pengelolaan kuantitas penduduk melalui pengaturan kehamilan dan kelahiran (program keluarga berencana) dan penurunan kematian (program kesehatan). Kedua adalah peningkatan kualitas penduduk melalui program kesehatan dan pendidikan. Ketiga adalah pengarahan mobilitas penduduk melalui program transmigrasi dan pembangunan wilayah. Disamping itu penyempurnaan sistem informasi kependudukan. Kebijakan kependukan Indonesia selama ini lebih menitik beratkan pada mengelola pertumbuhan penduduk melalui program keluarga berencana walaupun tidak hanya memberikan pelayanan kontrasepsi kepada pasangan yang membutuhkan. Program keluarga berencana dikaitkan dengan

I-7

lingkungan mutlak diperlukan. Namun stabilisasi pertumbuhan penduduk juga faktor yang tidak kalah penting. Menurut ahli kependudukan, skenario medium dari 3 skenario proyeksi penduduk versi United Nations Population Division (UNPD) merupakan kondisi ideal yang perlu dicapai. Penurunan pertumbuhan penduduk yang terlalu cepat (skenario cepat) atau terlalu lambat (skenario lambat) akan berdampak buruk bagi kelangsungan hidup umat manusia dan planet bumi dimasa mendatang. Untuk mencapai skenario medium maka tingkat kelahiran global harus berada pada kisaran 1.8-2.1. Angka di saat ini adalah 2.3– 2.4. Jika tingkat kelahiran global masih pada angka saat ini atau jika bahkan meningkat maka yang akan terjadi adalah skenario cepat. Ini harus dihindari. Oleh karena itu, arahan pemimpin dunia dalam kerangka pembangunan paska 2015 harus menekankan issue ini secara eksplisit. Para ahli kependudukan juga sepakat bahwa persoalan dinamika kependudukan berbeda antar negara dan antar kawasan walaupun tetap ada persoalan yang dikelola secara global. Persoalan pertumbuhan penduduk yang masih menjadi issue di suatu negara boleh jadi bukan masalah di negara lain. Demikian pula persoalan penduduk lanjut usia. Karena itu kebijakan kependudukan tidak bisa “one fit for all”. Pemimpin setiap negara harus mampu melihat persoalan dinamika kependudukan secara utuh dan melihatnya dalam kerangka mitigasi bukan adaptasi seperti selama ini. Karena itu issue dinamika kependudukan dalam kerangka pembangunan paska 2015 perlu dikedepankan secara utuh dan dalam kerangka pendekatan mitigasi. Ada tiga persoalan dinamika kependudukan global pada tahun 2050 yang perlu mendapat perhatian dari pemimpin dunia yaitu (1) jumlah dan laju pertumbuhan penduduk (2) mobilitas penduduk yang semakin meningkat dan cenderung menuju ke perkotaan sehingga urbanisasi akan terus meningkat, (3) makin meningkatnya jumlah penduduk usia lanjut. Persoalan kaum muda adalah persoalan kependudukan saat ini sampai dengan 2030, namun setelah itu dunia akan lebih besar menghadapi persoalan penduduk lanjut usia. Ketiga persoalan tersebut harus dilihat dengan pendekatan mitigasi bukan adaptasi. Bagaimana mengelola pertumbuhan penduduk sehingga mendukung pembangunan berkelanjutan. Bagaimana mengarahkan mobilitas penduduk sehingga tidak terjadi “penumpukan atau konsentrasi” disuatu wilayah ataupun bagaimana memberdayakan penduduk lanjut usia sehingga mereka tidak menjadi ‘beban’ pembangunan. Pentingnya data untuk perencanaan pembangunan juga dibahas oleh para pakar. Disamping itu perlu dikembangkan indikator ‘people centered development’ yang sederhana dan mudah dipahami oleh perencana pembangunan di tingkat lokal untuk mengevaluasi pembangunan. Indikator ini harus merubah indikator pembangunan yang ada sekarang ini, yang terlalu menekankan pada pertumbuhan ekonomi. Beberapa tujuan dan sasaran konferensi Cairo yang relevan dengan kondisi pembangunan nasional Indonesia, yaitu, (1) meningkatkan kualitas hidup penduduk dan pembangunan untuk menghapus kemiskinan, pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan dalam konteks pembangunan berkelanjutan. (2) Upaya menjamin akses penuh pendidikan dasar bagi laki-laki dan perempuan

Page 18: Modul Non Formal Ok

I-9

upaya memberdayakan keluarga agar mandiri secara ekonomi maupun non ekonomi. Pelaksanaan program keluarga berencana diarahkan membantu keluarga miskin (pra sejahtera dan sejahteran I) agar dapat meningkatkan kesejahteraan dan mampu mengatur kehidupan reproduksinya. Pembangunan kependudukan melalui pengaturan kuantitas, pengembangan kualitas dan pengarahan persebaran dan mobilitas adalah pembangunan sumberdaya manusia. Artinya, penduduk merupakan titik sentral pembangunan. Penduduk harus dibangun agar mampu menjadi pelaku pembangunan. Penduduk berhak mendapatkan pelayanan kesehatan dan pendidikan sehingga mereka memiliki kesempatan untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Penduduk memiliki persamaan hak untuk menikmati hasil pembangunan. Karena itu, strategi pembangunan harus memperhatikan kondisi kependudukan sehingga hasil pembangunan dapat dirasakan oleh sebagian besar penduduk. Dari ketiga aspek kependudukan tersbeut Indonesia telah berhasil mengendalikan pertumbuhan penduduk melalui program keluarga berencana selama 4 dekade terakhir ini. Tingkat kelahiran menurun dari 5.6 pada tahun 70-an menjadi 2.6 pada tahun 2012. Dampaknya, pertumbuhan penduduk (LPP) turun dari 2.32 pada 1971-1980 menjadi 1.49 pada waktu 2010. Walaupun LPP menurun tapi jumlah penduduk terus meningkat akibat dari demographic momentum. Hasil proyeksi penduduk yang dilakukan oleh Prof. Widjojo Nitisastro dengan skenario C menunjukkan bahwa tanpa program KB maka pada tahun 1990 jumlah penduduk Indonesia diperkirakan mencapai jumlah 330 juta. Kenyataannya, penduduk menurut SP-2010 adalah 237 juta. Berarti laju pertumbuhan penduduk dapat diperlambat hingga menghasilkan selisih jumlah penduduk sekitar 100 juta jiwa. Banyak implikasi dari saving jumlah penduduk tersebut terutama jika dikaitkan dengan kondisi sosial ekonomi Indonesia dewasa ini. Aspek sudut pandang kualitas, persebaran dan mobilitas penduduk masih menghadapi permasalahan serius dibandingkan pengendalian kuantitas dan pertumbuhan penduduk. Walaupun kebijaksanaan pemerintah telah mengembangkan konsep pembangunan berwawasan kependudukan namun belum dapat mengimplementasikan dan mengintegrasikan kebijaksanaan tersebut dalam berbagai program sektoral secara optimal. Ada beberapa alasan mengapa hal itu terjadi, pertama, dengan alasan agar perhatian kita terfokus pada satu masalah maka implementasi program membagi masalah dan pemecahannya secara sektoral. Tidak hanya masalah kependudukan yang dipisahkan dari pembangunan, tetapi juga masalah wanita cenderung disoroti terpisah. Padahal dengan luasnya masalah penduduk, lingkungan dan pembangunan maka pendekatan sektoral akan menghabiskan waktu dan energi serta suberdaya yang ada. Kedua, masih banyak negara yang percaya bahwa jikalau masalah ekonomi dapat dipecahkan maka fertilitas secara otomatis akan menurun. Mereka tidak menolak keluarga berencana, tetapi mereka tidak melihat pelayanan keluarga berencana berkaitan secara timbal balik dengan masalah lingkungan dan pembangunan. Pengendalian penduduk bukan dipandang sebagai kebijaksanaan kependudukan secara makro, tetapi pemberiaan kontrasepsi sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan individu dan keluarga saja. Ketiga, masalah kependudukan masih sensitif untuk beberapa negara termasuk Indonesia, terutama yang menyangkut masalah pemakaian kontrasepsi, khususnya bagi yang belum menikah dan aborsi. Padahal, masalah lingkungan juga sensitifnya bagi beberapa negara yang ekonominya sangat tergantung pada sumberdaya alam.

Page 19: Modul Non Formal Ok

I-10

Banyak sekali hambatan dalam mengimplementasikan pembangunan kualitas dan persebaran penduduk. Kematian ibu hamil dan melahirkan masih merupakan persoalan kesehatan utama di Indonesia saat ini. Malah diperkirakan sasaran MDGs sebesar 125 tahun 2015 sulit dicapai. Upaya menurunkan kematian bayi dipandang berhasil. Pencapaian universal education untuk sekolah dasar juga dapat dikatakan berhasil. Namun banyak kendala pada pendidikan lanjutan dilihat dari tingginya angka drop-out setelah sekolah dasar. Amandemen UUD-45 yang memberikan perhatian besar pada bidang kesehatan dan pendidikan merupakan harapan besar pada percepatan peningkatan kualitas penduduk. Demikian pula pembangunan yang masih terpusat pada wilayah tertentu menyebabkan persebaran penduduk antar daerah di Indonesia sangat tidak merata. Ini sangat tidak mendukung terwujudnya pembangunan berkelanjutan. Desentralisasi diharapkan lebih memeratakan pembangunan yang pada gilirannya akan berpengaruh pada persebaran penduduk. Namun sampai sekarang, desentralisasi masih belum menemukan format yang ideal. Salah satu penjelasan mengapa Indonesia sebelum reformasi kurang serius dalam menangani pembangunan kependudukan adalah karena lebih mengutamakan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi dijadikan ukuran keberhasilan pembangunan nasional yang utama. Walaupun Indonesia memiliki trilogi pembangunan namun kenyataannya pertumbuhan senantiasa mendominasi strategi pembangunan nasional. Strategi pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan tanpa melihat potensi penduduk yang ada tidak berlangsung secara berkesinambungan. Jika dikaitkan dengan krisis ekonomi pada akhir dekade 90-an maka krisis tersebut tidak terlepas dari kebijaksanaan ekonomi yang kurang mengindahkan dimensi kependudukan. Strategi ekonomi makro yang tidak dilandasi potensi kependudukan yang ada menyebabkan pembangunan ekonomi menjadi sangat rentan terhadap perubahan. Selama ini, belum terjadi strategi pembangunan yang serius berorientasi pada aspek kependudukan. Walaupun RPJP menyebutkan bahwa pembangunan nasional adalah pembangunan sumberdaya manusia seiring dengan pembangunan ekonomi, namun kenyataannya pembangunan nasional masih terlalu terfokus pada pembangunan ekonomi. Disamping itu, nampak jelas bahwa pemilihan sasaran pembangunan ekonomi khususnya pengembangan industri tidak memperhatikan kondisi kependudukan yang ada. Dalam hal mengintegrasikan dimensi kependudukan dalam perencanaan pembangunan daerah maka manfaat mendasar adalah besarnya harapan bahwa penduduk yang ada di daerah tersebut menjadi pelaku pembangunan dan penikmat hasil pembangunan. Itu berarti pembangunan berwawasan kependudukan lebih berdampak besar pada peningkatan kesejahteraan penduduk dibandingkan dengan orientasi pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Dalam pembangunan berwawasan kependudukan ada jaminan akan keberlangsungan proses pembangunan itu sendiri. Pembangunan berwawasan kependudukan menekankan pada pembangunan lokal, perencanaan berasal dari bawah, disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat lokal, dan yang lebih penting adalah melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan. Sebaliknya orientasi

I-9

upaya memberdayakan keluarga agar mandiri secara ekonomi maupun non ekonomi. Pelaksanaan program keluarga berencana diarahkan membantu keluarga miskin (pra sejahtera dan sejahteran I) agar dapat meningkatkan kesejahteraan dan mampu mengatur kehidupan reproduksinya. Pembangunan kependudukan melalui pengaturan kuantitas, pengembangan kualitas dan pengarahan persebaran dan mobilitas adalah pembangunan sumberdaya manusia. Artinya, penduduk merupakan titik sentral pembangunan. Penduduk harus dibangun agar mampu menjadi pelaku pembangunan. Penduduk berhak mendapatkan pelayanan kesehatan dan pendidikan sehingga mereka memiliki kesempatan untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Penduduk memiliki persamaan hak untuk menikmati hasil pembangunan. Karena itu, strategi pembangunan harus memperhatikan kondisi kependudukan sehingga hasil pembangunan dapat dirasakan oleh sebagian besar penduduk. Dari ketiga aspek kependudukan tersbeut Indonesia telah berhasil mengendalikan pertumbuhan penduduk melalui program keluarga berencana selama 4 dekade terakhir ini. Tingkat kelahiran menurun dari 5.6 pada tahun 70-an menjadi 2.6 pada tahun 2012. Dampaknya, pertumbuhan penduduk (LPP) turun dari 2.32 pada 1971-1980 menjadi 1.49 pada waktu 2010. Walaupun LPP menurun tapi jumlah penduduk terus meningkat akibat dari demographic momentum. Hasil proyeksi penduduk yang dilakukan oleh Prof. Widjojo Nitisastro dengan skenario C menunjukkan bahwa tanpa program KB maka pada tahun 1990 jumlah penduduk Indonesia diperkirakan mencapai jumlah 330 juta. Kenyataannya, penduduk menurut SP-2010 adalah 237 juta. Berarti laju pertumbuhan penduduk dapat diperlambat hingga menghasilkan selisih jumlah penduduk sekitar 100 juta jiwa. Banyak implikasi dari saving jumlah penduduk tersebut terutama jika dikaitkan dengan kondisi sosial ekonomi Indonesia dewasa ini. Aspek sudut pandang kualitas, persebaran dan mobilitas penduduk masih menghadapi permasalahan serius dibandingkan pengendalian kuantitas dan pertumbuhan penduduk. Walaupun kebijaksanaan pemerintah telah mengembangkan konsep pembangunan berwawasan kependudukan namun belum dapat mengimplementasikan dan mengintegrasikan kebijaksanaan tersebut dalam berbagai program sektoral secara optimal. Ada beberapa alasan mengapa hal itu terjadi, pertama, dengan alasan agar perhatian kita terfokus pada satu masalah maka implementasi program membagi masalah dan pemecahannya secara sektoral. Tidak hanya masalah kependudukan yang dipisahkan dari pembangunan, tetapi juga masalah wanita cenderung disoroti terpisah. Padahal dengan luasnya masalah penduduk, lingkungan dan pembangunan maka pendekatan sektoral akan menghabiskan waktu dan energi serta suberdaya yang ada. Kedua, masih banyak negara yang percaya bahwa jikalau masalah ekonomi dapat dipecahkan maka fertilitas secara otomatis akan menurun. Mereka tidak menolak keluarga berencana, tetapi mereka tidak melihat pelayanan keluarga berencana berkaitan secara timbal balik dengan masalah lingkungan dan pembangunan. Pengendalian penduduk bukan dipandang sebagai kebijaksanaan kependudukan secara makro, tetapi pemberiaan kontrasepsi sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan individu dan keluarga saja. Ketiga, masalah kependudukan masih sensitif untuk beberapa negara termasuk Indonesia, terutama yang menyangkut masalah pemakaian kontrasepsi, khususnya bagi yang belum menikah dan aborsi. Padahal, masalah lingkungan juga sensitifnya bagi beberapa negara yang ekonominya sangat tergantung pada sumberdaya alam.

Page 20: Modul Non Formal Ok

I-11

pembangunan pada pertumbuhan ekonomi akan meneningkatkan ketimpangan pendapatan. Industrialisasi dan liberalisasi yang terlalu cepat memang akan meningkatkan efisiensi dan produktivitas namun sekaligus juga meningkatkan pengangguran dan setengah menganggur. Dengan demikian sebenarnya desentralisasi yang dilaksanakan sejak tahun 2000 memiliki potensi meningkatkan pemerataan pembangunan dan penciptaan pembangunan yang berorientasi pada potensi lokal. Pelayanan akan lebih dekat dengat penduduk sehingga penduduk lebih menikmati hasil pembangunan. Namun pelaksanaan desentralisasi ini belum menemukan format yang ideal untuk terwujudnya pembangunan berwawasan kependudukan atau terwujudnya pembangunan berkelanjutan. Yang nampak justru setiap daerah berlomba memforkuskan pada pembangunan infrastruktur dan pembangunan ekonomi dan mengkesampingkan pembangunan manusia dan pengelolaan lingkungan hidup. Diperkirakan, pertumbuhan penduduk Indonesia akan terus menurun, walau jumlahnya masih akan meningkat sampai sekitar 2050 ketika penduduk Indonesia akan mengalami penduduk tumbuh seimbang. Besarnya penduduk akan meningkatkan kebutuhan akan energi, makanan dan air, yang tanpa upaya teknologi akan berarti terjadi pengurasan besar2an terhadap sumberdaya alam. Besarnya jumlah penduduk tersebut sebenarnya merupakan modal untuk melakukan pembangunan. Tantangannya adalah bagaimana meningkatkan kualitas. Seperti halnya dengan megatren dunia, penduduk Indonesia pun sedang dalam proses menua. Jumlah dan persentase penduduk lansia di Indonesia telah dan akan terus meningkat. Bedanya, para lansia di negara maju hidup dengan fasilitas dan pelayanan negara maju yang lebih baik daripada di negara berkembang dengan segala keterbatasanna. Di negara maju, proses penuaan penduduk terutama karena angka kelahiran yang rendah. Di Indonesia, proses penuaan penduduk lebih disebabkan karena migrasi keluar. Khususnya di daerah miskin yang penduduk mudanya meninggalkan daerahnya. Dengan angka kelahiran rendah, migrasi keluar penduduk muda menyebabkan ekonomi daerah tersebut makin sulit berkembang, bersamaan dengan meningkatnya biaya mengurusi penduduk lansia di daerah itu. Usaha mengurangi kemiskinan pun menjadi sulit. Tantangannya adalah bagaimana menjadikan para lansia sebagai aset, dan bukan beban perekonomian. Kemudian menciptakan prasarana yang ramah penduduk lansia, sehingga mereka tetap sehat, produktif dan dapat tetap bergerak. Prasarana yang ramah lansia tidak saja berguna untuk lansia tetapi juga penduduk muda. Prasarana yang ramah lansia biasanya juga adalah prasarana yang menciptakan kenikmatan untuk penduduk muda. Secara politik, peran penduduk lansia dalam pemilihan umum juga akan meningkat. Peran politisi dan pengusaha lansia juga akan makin menonjol. Penduduk Indonesia telah dan akan terus makin dinamis, makin sering berpindah tempat jarak jauh maupun pendek, untuk waktu yang singkat mau pun yang lebih lama. Bahkan pemeo Jawa lebih suka berkumpul daripada makan pun akan lenyap. Orang Jawa akan makin sering ditemui di mana pun di Indonesia dan di negara lain. Buat mereka kumpul atau tidak, yang penting bisa makan. Suku lain, terutama yang terkenal sebagai perantau, seperti Bugis, akan makin dinamis. Pasar kerja penduduk

Page 21: Modul Non Formal Ok

I-12

Indonesia makin luas, bukan hanya di kebupaten mereka tinggal tetapi ke seluruh Indonesia, bahkan seluruh dunia. Mobilitas yang meningkat di Indonesia juga berarti makin seringnya terjadi pertemuan latar belakang budaya yang berbeda. Migran di suatu daerah dapat menjadi “ancaman” bagi penduduk lokal. Konflik antara pendatang dan penduduk lokal perlu mendapat perhatian lebih. Penanganan yang baik terhadap potensi konflik ini akan memacu pembangunan di daerah penerima. Namun walaupun mobilitas meningkat persebaran penduduk masih terkonsentrasi di beberapa wilayah tertentu. Persebaran penduduk masih tidak merata. Daerah atau pulau yang jauh dari pusat pembangunan akan tetap tidak diminati untuk didiami. Dalam konteks ini maka konsep negara kesatuan mesti terus dibina agar mereka yang tinggal di daerah perbatasan dan pulau terpencil tetap merasa sebagai orang Indonesia. Selain itu, arus tenaga kerja ke dunia internasional akan terus meningkat. Walau begitu, tenaga kerja yang masuk ke pasar internasional juga akan berubah. Bukan lagi terdiri dari mereka yang berpendidikan rendah dan bekerja, misalnya sebagai pekerja bangunan atau pembantu rumah tangga. Pada 2020 pasar internasional akan mengalami kesulitan mencari orang Indonesia sebagai pembantu rumah tangga yang murah dan penurut. Pada saat itu, tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri akan makin terdiri dari mereka yang berpendidikan lebih tinggi. Tenaga kerja Indonesia akan mengisi posisi yang makin penting di dunia. Bersamaan dengan meningkatnya arus tenaga kerja ke pasar internasional, arus tenaga kerja asing ke Indonesia pun akan meningkat. Kalau dulu, tenaga kerja asing terpusat pada mereka yang berpendidikan tinggi dan di posisi puncak, di masa yang akan datang, tenaga kerja asing di Indonesia akan banyak terdiri dari mereka dengan pendidikan yang lebih rendah. Bukan tidak mungkin, Indonesia akan kekurangan tenaga kerja berpendidikan rendah dan kemudian mendatangkan pekerja bangunan atau pembantu rumah tangga dari negara lain. Peningkatan keberadaan tenaga kerja asing, dengan berbagai latar belakang budaya, dapat juga menimbulkan berbagai ketegangan sosial. Apalagi ketika banyak dari mereka mengisi pekerjaan yang membutuhkan pendidikan relatif rendah. Seperti di tingkat dunia, perekonomian Indonesia pun akan makin ditandai dengan perekonomian perkotaan. Jumlah dan persentase penduduk Indonesia yang tinggal di perkotaan akan terus meningkat. Karena perkotaan sering berarti tiadanya atau sedikitnya lahan pertanian, megatren urbanisasi ini juga memberikan tantangan pada penyediaan pangan di Indonesia. Mega trend lain adalah meningkatnya jumlah dan persentase penduduk usia produktif (15-64). Peningkatan ini berdampak pada menurunnya dependency ratio yang secara potensial berdampak positif pada pembangunan ekonomi dan sosial. Dalam bahasa demografi disebut sebagai masa bonus demografi. Bonus demografi terbaik akan terjadi pada sekitar tahun 2020-2030 dimana pada waktu itu Indonesia mengalami window of opportunity. Tapi potensi tersebut tidak dapat terealisir jika kualitas yang dimiliki oleh penduduk kelompok usia produktif tersebut tidak memadai. Potensi tersebut justru dapat menjadi bencana. Setelah tahun 2030 karena Indonesia kemudian akan menghadapi peningkatan pesat pada kelompok penduduk usia lanjut (65+).

I-11

pembangunan pada pertumbuhan ekonomi akan meneningkatkan ketimpangan pendapatan. Industrialisasi dan liberalisasi yang terlalu cepat memang akan meningkatkan efisiensi dan produktivitas namun sekaligus juga meningkatkan pengangguran dan setengah menganggur. Dengan demikian sebenarnya desentralisasi yang dilaksanakan sejak tahun 2000 memiliki potensi meningkatkan pemerataan pembangunan dan penciptaan pembangunan yang berorientasi pada potensi lokal. Pelayanan akan lebih dekat dengat penduduk sehingga penduduk lebih menikmati hasil pembangunan. Namun pelaksanaan desentralisasi ini belum menemukan format yang ideal untuk terwujudnya pembangunan berwawasan kependudukan atau terwujudnya pembangunan berkelanjutan. Yang nampak justru setiap daerah berlomba memforkuskan pada pembangunan infrastruktur dan pembangunan ekonomi dan mengkesampingkan pembangunan manusia dan pengelolaan lingkungan hidup. Diperkirakan, pertumbuhan penduduk Indonesia akan terus menurun, walau jumlahnya masih akan meningkat sampai sekitar 2050 ketika penduduk Indonesia akan mengalami penduduk tumbuh seimbang. Besarnya penduduk akan meningkatkan kebutuhan akan energi, makanan dan air, yang tanpa upaya teknologi akan berarti terjadi pengurasan besar2an terhadap sumberdaya alam. Besarnya jumlah penduduk tersebut sebenarnya merupakan modal untuk melakukan pembangunan. Tantangannya adalah bagaimana meningkatkan kualitas. Seperti halnya dengan megatren dunia, penduduk Indonesia pun sedang dalam proses menua. Jumlah dan persentase penduduk lansia di Indonesia telah dan akan terus meningkat. Bedanya, para lansia di negara maju hidup dengan fasilitas dan pelayanan negara maju yang lebih baik daripada di negara berkembang dengan segala keterbatasanna. Di negara maju, proses penuaan penduduk terutama karena angka kelahiran yang rendah. Di Indonesia, proses penuaan penduduk lebih disebabkan karena migrasi keluar. Khususnya di daerah miskin yang penduduk mudanya meninggalkan daerahnya. Dengan angka kelahiran rendah, migrasi keluar penduduk muda menyebabkan ekonomi daerah tersebut makin sulit berkembang, bersamaan dengan meningkatnya biaya mengurusi penduduk lansia di daerah itu. Usaha mengurangi kemiskinan pun menjadi sulit. Tantangannya adalah bagaimana menjadikan para lansia sebagai aset, dan bukan beban perekonomian. Kemudian menciptakan prasarana yang ramah penduduk lansia, sehingga mereka tetap sehat, produktif dan dapat tetap bergerak. Prasarana yang ramah lansia tidak saja berguna untuk lansia tetapi juga penduduk muda. Prasarana yang ramah lansia biasanya juga adalah prasarana yang menciptakan kenikmatan untuk penduduk muda. Secara politik, peran penduduk lansia dalam pemilihan umum juga akan meningkat. Peran politisi dan pengusaha lansia juga akan makin menonjol. Penduduk Indonesia telah dan akan terus makin dinamis, makin sering berpindah tempat jarak jauh maupun pendek, untuk waktu yang singkat mau pun yang lebih lama. Bahkan pemeo Jawa lebih suka berkumpul daripada makan pun akan lenyap. Orang Jawa akan makin sering ditemui di mana pun di Indonesia dan di negara lain. Buat mereka kumpul atau tidak, yang penting bisa makan. Suku lain, terutama yang terkenal sebagai perantau, seperti Bugis, akan makin dinamis. Pasar kerja penduduk

Page 22: Modul Non Formal Ok

I-13

Indonesia sebelum ICPD-94 sudah menjadikan kependudukan dalam arus utama pembangunan nasional. Paling tidak ini terjadi pada tataran kebijakan. Menarik untuk melihat analisis Hal Hill(1996) bahwa pada awal orde baru, pemerintah cukup hati-hati dalam mengembangkan kebijakan ekonomi. Pengembangan ekonomi makro disesuaikan dengan kondisi sosial ekonomi penduduk. Namun sejak pertengahan tahun 80-an, Indonesia menjadi sangat agresif dalam mengejar pertumbuhan ekonomi. Pembangunan ekonomi kemudian kurang disesuaikan dengan kondisi kependudukan yang ada. Pengembangan teknologi tinggi menjadi pilihan utama walaupun dinamika kependudukan belum menunjang. Alokasi dana pembangunan menjadi lebih berat untuk mendukung pertumbuhan ekonomi melalui pembangunan infrastruktur dan industri dibandingkan dengan membangun manusia. Walaupun dalam GBHN selalu dikatakan bahwa kebijakan pembangunan Indonesia adalah pembangunan ekonomi seiring dengan pembangunan sumberdaya manusia. Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 kemudian makin membuktikan bahwa pembangunan SDM, pembangunan yang berwawasan pada kependudukan, tidak dapat ditawar-tawar lagi. Upaya kearah itu mulai ditata secara sistematis dengan memberikan landasan hukum yang lebih pasti. Amandemen UUD-45, UU SJSN, kebijakan pro-poor melalui subsidi dan lain sebagainya diharapkan akan lebih berdampak positif pada pembangunan SDM. Namun perjalanan masih panjang, jumlah penduduk yang begitu besar dengan kualitas yang relatif rendah ditambah dengan besarnya warisan hutang mempersulit upaya peningkatan kesejahteraan yang berkesinambungan. Demikian pula, desentralisasi yang belum menemukan bentuk ideal serta masih kentalnya nuansa KKN memperparah keadaan. Tujuan Pembelajaran 1. Kompetensi Dasar:

Setelah mengikuti materi jumlah penduduk di Indonesia ini, peserta diharapkan mampu mempraktikkan penyampaian materi jumlah penduduk dan berbagai dimensinya.

2. Indikator Keberhasilan Setelah mempelajari materi jumlah penduduk di Indonesia ini, diharapkan peserta mampu: a. Memahami konsep dasar jumlah penduduk b. Menjelaskan status dan kondisi jumlah penduduk yang semakin meningkat jumlahnya. c. Menjelaskan konsekuensi dari kondisi meningkatnya umah penduduk d. Menjelaskan kebijakan dan program yang diperlukan untuk mempertahankan produktivitas

penduduk yang semakin banyak itu. e. Mempraktikkan penyampaian materi pertambahan jumlah penduduk di Indonesia.

Tujuan Khusus Materi dasar yang dikembangkan sedikitnya akan meliputi isu-isu sebagai berikut:

Isu Pokok Pengertian Tentang Dinamika Kependudukan

Cakupan Isu utama yang perlu disajikan disini adalah mengenai konsep dasar tentang dinamika kependudukan di lingkup global dan lingkup nasional. Apa sesungguhnya yang dimaksud sebagai “dimensi pokok topik kependudukan” oleh BKKBN.

Page 23: Modul Non Formal Ok

I-14

Kejelasan tentang konsep ini diperlukan untuk menghidari kerancuan batasan pengertian yang digunakan di “kelompok masyarakat lain” di Indonesia yang juga berkait dan bersinggungan dengan “kependudukan” tersebut

Isu Pokok Dinamika Kependudukan, Pembangunan dan Proyeksinya (2050)

Cakupan Membahas tentang dinamika kependudukan diawali dengan ilustrasi singkat kondisi global dengan dan perkembangan pembangunan yang berguna sebagai informasi dasar memahami kependudukan dan pembangunan tersebut.

Proyeksi mengenai dinamika kependudukan dan sejauh mungkin keterlibatan dalam pembangunan akan melihat keberadaannya di tahun 2050.

Isu Pokok Hubungan Disosiatif antara Kependudukan dan Pembangunan di Indonesia

Cakupan Membahas secara kritis mengenai hubungan saling mempengaruhi antara dinamika kependudukan dengan pembangunan di Indonesia.

Isu Pokok Kebijakan dan Program Untuk Memaksimalkan Hubungan antara Kependudukan dan Pembangunan

Cakupan Kebijakan yang akan merekayasa status dan kondisi dasar serta menjadikan dinamika kependudukan dan pembangunan saling berkontribusi positif.

Kebijakan tersebut perlu diuraikan dalam bentuk program aksi yang secara langsung akan diselenggarakan oleh pemerintah, bekerjasama dengan lembaga non-pemerintah maupun lembaga non pemerintah

Aktifitas Pelatihan Pelatihan untuk materi ini dipersiapkan seama 90 menit, dengan urutan kegiatan sebagai berikut.

05 Menit Pendahuluan

Berisi uraian tentang materi kependudukan dan pembangunan yang akan disampaikan dalam sesi ini.

Bahan diseminasi dalam bentuk tercetak dan file diterangkan cara menggunakan dan kegunaannya.

Informasi lain yang dianggap penting, jika ada

05 Menit Pengertian

Uraian verbal yang berkaitan tentang dinamika kependudukan, pembangunan dan keterkaitan diantaranya yang akan digunakan dalam diseminasi informasi, sejak waktu diseminasi hingga pelaksanaan di lapangan.

Persamaan dan perbedaan mengenai pengertian ini disebutkan dan

I-13

Indonesia sebelum ICPD-94 sudah menjadikan kependudukan dalam arus utama pembangunan nasional. Paling tidak ini terjadi pada tataran kebijakan. Menarik untuk melihat analisis Hal Hill(1996) bahwa pada awal orde baru, pemerintah cukup hati-hati dalam mengembangkan kebijakan ekonomi. Pengembangan ekonomi makro disesuaikan dengan kondisi sosial ekonomi penduduk. Namun sejak pertengahan tahun 80-an, Indonesia menjadi sangat agresif dalam mengejar pertumbuhan ekonomi. Pembangunan ekonomi kemudian kurang disesuaikan dengan kondisi kependudukan yang ada. Pengembangan teknologi tinggi menjadi pilihan utama walaupun dinamika kependudukan belum menunjang. Alokasi dana pembangunan menjadi lebih berat untuk mendukung pertumbuhan ekonomi melalui pembangunan infrastruktur dan industri dibandingkan dengan membangun manusia. Walaupun dalam GBHN selalu dikatakan bahwa kebijakan pembangunan Indonesia adalah pembangunan ekonomi seiring dengan pembangunan sumberdaya manusia. Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 kemudian makin membuktikan bahwa pembangunan SDM, pembangunan yang berwawasan pada kependudukan, tidak dapat ditawar-tawar lagi. Upaya kearah itu mulai ditata secara sistematis dengan memberikan landasan hukum yang lebih pasti. Amandemen UUD-45, UU SJSN, kebijakan pro-poor melalui subsidi dan lain sebagainya diharapkan akan lebih berdampak positif pada pembangunan SDM. Namun perjalanan masih panjang, jumlah penduduk yang begitu besar dengan kualitas yang relatif rendah ditambah dengan besarnya warisan hutang mempersulit upaya peningkatan kesejahteraan yang berkesinambungan. Demikian pula, desentralisasi yang belum menemukan bentuk ideal serta masih kentalnya nuansa KKN memperparah keadaan. Tujuan Pembelajaran 1. Kompetensi Dasar:

Setelah mengikuti materi jumlah penduduk di Indonesia ini, peserta diharapkan mampu mempraktikkan penyampaian materi jumlah penduduk dan berbagai dimensinya.

2. Indikator Keberhasilan Setelah mempelajari materi jumlah penduduk di Indonesia ini, diharapkan peserta mampu: a. Memahami konsep dasar jumlah penduduk b. Menjelaskan status dan kondisi jumlah penduduk yang semakin meningkat jumlahnya. c. Menjelaskan konsekuensi dari kondisi meningkatnya umah penduduk d. Menjelaskan kebijakan dan program yang diperlukan untuk mempertahankan produktivitas

penduduk yang semakin banyak itu. e. Mempraktikkan penyampaian materi pertambahan jumlah penduduk di Indonesia.

Tujuan Khusus Materi dasar yang dikembangkan sedikitnya akan meliputi isu-isu sebagai berikut:

Isu Pokok Pengertian Tentang Dinamika Kependudukan

Cakupan Isu utama yang perlu disajikan disini adalah mengenai konsep dasar tentang dinamika kependudukan di lingkup global dan lingkup nasional. Apa sesungguhnya yang dimaksud sebagai “dimensi pokok topik kependudukan” oleh BKKBN.

Page 24: Modul Non Formal Ok

I-15

diuraikan secara jelas dan tegas.

25 Menit Status

Uraian verbal mengenai dinamika kependudukan dan perkembangan pembangunan untuk disepakati dan difahami sebagai informasi dasar memahami topik mengenai kependudukan dan pembangunan. Aspek penting mengenai jumlah, persentase, sebaran, kualitas, kesejahteraan penduduk dan kaitannya dengan pembangunan, diberikan tekanan/garis bawah dan dibahas menjadi salah satu isu sentral topik kependudukan dan pembangunan. Uraian verbal mengenai pengalaman masa lalu dari dinamika kependudukan dan pembangunan dikaitkan dengan uraian verbal mengenai informasi dasar tersebut diatas. Unsur positif dan negatif dari pengalaman tersebut diberi penekanan memadai. Perkiraan dan proyeksi ke depan diuraikan dan diberi penekanan dalam segi positif dan negatifnya; terutama berkaitan dengan upaya memaksimalkan keterkaitan peranan antara kependudukan dan pembangunan nasional di masa mendatang.

25 Menit Kependudukan dan Pembangunan

Uraian verbal mengenai saling-keterkaitan antara dinamika kependudukan dan pembangunan selama ini dan potensinya di masa mendatang.

Penekanan diberikan kepada dampak negatif dari kurangnya perhatian pembangunan yang dilaksanakan selama ini terhadap kependudukan dan segala dinamikanya. Dampak terhadap kependudukan dan sekaligus terhadap lingkungan hidup.

Berbagai contoh dinamika kependudukan yang buruk (tidak mendukung secara positif terhadap pembangunan) dan dampak kerusakan alam yang hebat perlu mendapat garis bawah secara memadai. Selanjutnya, diberikan berbagai pemikiran dan aternatif pembangunan yang saling memberikan dampak positif antara kependudukan dan dinamikanya, dengan pembangunan.

10 Menit Kebijakan dan Program

Uraian verbal berbagai kebijakan yang dimaksudkan untuk mengurangi, dan menghilangkan bila mungkin, dampak negatif saling mempengaruhi antara kependudukan dan pembagunan bangsa.

Program-program turunan kebijakan tersebut diarahkan sesuai skala proritas terhadap masalah urbanisasi dan perkembangan perkotaan yang sudah diidentifikasikan pada bagian sebelumnya. Perlu mendapat perhatian disini adalah bahwa program yang diuraikan tidak semuanya harus menjadi tanggung jawab pemerintah sebagai pelaksana teknisnya. Beberapa program dapat dilakukan secara simbiosis dengan lembaga non pemerintah, atau bahkan sepenuhnya dilakukan oleh lembaga non pemerintah.

Page 25: Modul Non Formal Ok

I-16

20 Menit Tanya-Jawab

Merupakan alokasi waktu yang digunakan untuk memperjelas dan mendiskusikan materi tentang kependudukan dan pembangunan yang sedang disajikan.

Selain disiapkan di bagian akhir diseminasi, tanya-jawab serta diskusi dapat dilaksanakan di tengah-tengah acara diseminasi. Namun, perlu dicatat bahwa waktu yang direncanakan/disediakan berkisar pada jangka waktu tersebut.

Materi Pelatihan Berikut adalah beberapa materi yang perlu dipersiapkan menjelang dan ketika pelatihan dan/atau diseminasi informasi dilakukan:

Menjelang Bahan diseminasi dalam bentuk tercetak dan file yang dikemas dalam CD-ROM atau flash-disk. Materi yang dipergunakan sebagai bahan diseminasi berbentuk makalah dan bahan penyajian materi diseminasi di depan kelas. Materi pendukung lain yang diperlukan, jika ada

Saat Pelaksanaan

Bahan diseminasi dalam bentuk tercetak dan file yang dikemas dalam CD-ROM atau flash-disk. Komputer atau lap top untuk menyajikan materi diseminasi Alat Sorot Layar Penampil Sorot Papan Tulis Putih Pena Tulis Papan Tulis Putih Alat Tulis Menulis Perkakas Pelantang

I-15

diuraikan secara jelas dan tegas.

25 Menit Status

Uraian verbal mengenai dinamika kependudukan dan perkembangan pembangunan untuk disepakati dan difahami sebagai informasi dasar memahami topik mengenai kependudukan dan pembangunan. Aspek penting mengenai jumlah, persentase, sebaran, kualitas, kesejahteraan penduduk dan kaitannya dengan pembangunan, diberikan tekanan/garis bawah dan dibahas menjadi salah satu isu sentral topik kependudukan dan pembangunan. Uraian verbal mengenai pengalaman masa lalu dari dinamika kependudukan dan pembangunan dikaitkan dengan uraian verbal mengenai informasi dasar tersebut diatas. Unsur positif dan negatif dari pengalaman tersebut diberi penekanan memadai. Perkiraan dan proyeksi ke depan diuraikan dan diberi penekanan dalam segi positif dan negatifnya; terutama berkaitan dengan upaya memaksimalkan keterkaitan peranan antara kependudukan dan pembangunan nasional di masa mendatang.

25 Menit Kependudukan dan Pembangunan

Uraian verbal mengenai saling-keterkaitan antara dinamika kependudukan dan pembangunan selama ini dan potensinya di masa mendatang.

Penekanan diberikan kepada dampak negatif dari kurangnya perhatian pembangunan yang dilaksanakan selama ini terhadap kependudukan dan segala dinamikanya. Dampak terhadap kependudukan dan sekaligus terhadap lingkungan hidup.

Berbagai contoh dinamika kependudukan yang buruk (tidak mendukung secara positif terhadap pembangunan) dan dampak kerusakan alam yang hebat perlu mendapat garis bawah secara memadai. Selanjutnya, diberikan berbagai pemikiran dan aternatif pembangunan yang saling memberikan dampak positif antara kependudukan dan dinamikanya, dengan pembangunan.

10 Menit Kebijakan dan Program

Uraian verbal berbagai kebijakan yang dimaksudkan untuk mengurangi, dan menghilangkan bila mungkin, dampak negatif saling mempengaruhi antara kependudukan dan pembagunan bangsa.

Program-program turunan kebijakan tersebut diarahkan sesuai skala proritas terhadap masalah urbanisasi dan perkembangan perkotaan yang sudah diidentifikasikan pada bagian sebelumnya. Perlu mendapat perhatian disini adalah bahwa program yang diuraikan tidak semuanya harus menjadi tanggung jawab pemerintah sebagai pelaksana teknisnya. Beberapa program dapat dilakukan secara simbiosis dengan lembaga non pemerintah, atau bahkan sepenuhnya dilakukan oleh lembaga non pemerintah.

Page 26: Modul Non Formal Ok

II-17

Materi Advokasi Isu Orang Muda di Indonesia

Pengantar

Kaum Muda, diyakini sebagai kelompok masyarakat yang paling dinamis. Namun demikian, difinisi Kaum Muda bervariasi. Dengan pertimbangan ketersediaan data, untuk selanjutnya makalah ini menggunakan batasan penduduk usia 10–24 tahun untuk menyebut “Kaum Muda”. Data demografi global menunjukkan bahwa Kaum Muda merupakan populasi yang besar dari penduduk dunia. Sekitar 1,2 milliar (18 persen) penduduk dunia di saat ini adalah Kaum Muda yang berusia 15-24 tahun. Diantara mereka itu tadi 87 persen tinggal di Negara Berkembang yang terdiri dari 62 persen tinggal di Asia dan sisanya di Afrika. Kaum Muda yang tinggal di perkotaan telah meningkat hampir duakali lipat dari 27 persen menjadi 43 persen selama 1955-2005. Proporsi terbesar dari Kaum Muda nantinya tinggal di Afrika dan Asia, menggeser peranan Eropa dan Amerika secara signifikan. Kaum Muda yang pada tahun 1950 hanya 5 persen proporsinya di Benua Afrika diproyeksikan menjadi 20 persen di tahun 2050. Di Benua Asia, yang semula 31 persen diproyeksikan menjadi 54 persen. Di pihak lain, proporsi Kaum Muda di Benua Eropa yang di tahun 1950 sebesar 38 persen akan menjadi 9 persen di tahun 2050. Di Benua Amerika proporsinya menurun dari 25 persen menjadi 16 persen. Pergeseran proporsi tersebut telah menggeser tempat tinggal Kaum Muda di Dunia. Terbayang tekanan permintaan Kaum Muda yang harus disediakan oleh Benua Afrika dan Asia tersebut. Di Indonesia, SP-2010 mencatat total penduduk mencapai 237,6 juta jiwa, 53,4 juta diantaranya adalah Kaum Muda yang terdiri dari laki-laki 51 persen dan wanita 49 persen. Telah terjadi peningkatan dari 47 juta jiwa dari tahun 1990. Namun, angka relatifnya justru menurun dari 27 persen menjadi 23 persen. Proyeksinya di tahun 2025, jumlah Kaum Muda akan menjadi 59 juta jiwa. Tetapi proporsinya menurun menjadi 21 persen. Selama periode 2000-2010, Kaum Muda meningkatan pesat dari 60,7 juta jiwa menjadi 63,5 juta jiwa. Laki-laki meningkat lebih cepat dibandingkan wanita. Kelompok usia 10-14 tahun merupakan komponen yang terbesar. Kaum Muda laki-laki usia 10-14 tahun meningkat dari 10,4 juta jiwa menjadi 11,7 juta jiwa. Sementara Kaum Muda wanita kelompok usia 15-19 tahun jumlahnya menurun dari 10,5 juta jiwa menjadi 10,3 juta jiwa. Angka proyeksi kelompok usia 10-14 dan 15-19 meningkat dari 10,3 juta dan 9,9 juta di tahun 2015 menjadi 10,6 juta dan 10,2 juta di tahun 2025. Pada kelompok usia 15-19 tahun meningkat dari 10 juta dan 9,7 juta menjadi 10,5 dan 10,1 juta. Sedangkan kelompok yang lebih dewasa, usia 20-24, laki-laki dan wanita mengalami penurunan dari 11 juta dan 10,7 juta di tahun 2015 menjadi 10,2 juta dan 9,9 juta di tahun 2025. Di Indonesia, Kaum Muda yang tinggal di perkotaan juga semakin banyak. Khusus untuk kelompok umur 10-14 tahun yang tinggal di pedesaan justru meningkat.

Page 27: Modul Non Formal Ok

II-18

Tempat tinggal menurut pulau besar di Indonesia, nampak proporsi Kaum Muda cenderung menurun dari 28-34 persen di tahun 2005 menjadi 25-29 persen di tahun 2010; kecuali di Maluku. Penurunan terbesar terjadi di Jawa, Sumatra dan Kalimantan. Proyeksi proporsi Kaum Muda di Sumatra, Kalimantan dan Maluku mengalami penurunan terbesar, yang terendah terjadi di Bali-NTB-NTT dan Jawa. Dari uraian tersebut nampak bahwa terjadi penurunan proporsi di pulau-pulau dengan penduduk “besar” tetapi dalam proyeksi terjadi kebalikan. Angka proyeksi cenderung lebih rendah daripada yang riil terjadi di lapangan, dan bahkan cenderung menurun. Besarnya angka Kaum Muda Indonesia dewasa ini merupakan potensi Indonesia kedepan. Besaran angka2 tersebut berkaitan erat dengan berbagai masalah sosial, dalam arti positif maupun negatif. Kaum Muda berperan sebagai penerus pembangunan bangsa. Jumlah besar Kaum Muda yang dibarengi dengan kualitas merupakan harta (asset) bagi Indonesia. Demikian pula bila sebaliknya. Kaum Muda yang secara sembarangan dibiarkan berkembang dengan sendirinya adalah petaka (problem) bagi Indonesia. Kaum Muda merupakan kelompok penduduk yang dipersiapkan menjadi pelaksana pembangunan. Kepada mereka diperlengkapkan pengetahuan dan keterampilan untuk mampu melaksanakan fungsi dan perannya dengan baik. Disamping perlindungan dari kekerasan, diskriminasi dan eksploitasi serta jaminan kesehatan mental dan fisiknya, pendidikan dan pelatihan keterampilan menjadi aspek penting yang harus dimiliki oleh Kaum Muda. Pada akhirnya, bentuk keterlibatan mereka di dunia kerja itu nanti akan tertampak melalui seberapa banyak mereka terlibat dalam dunia kerja. Kaum Muda, mempunyai prestasi dan peluang sekaligus tantangan dan hambatan, makalah ini memfokuskan pada pendidikan, karena melalui pendidikan jaminan memperbaiki masa depan disandarkan. Di tengah situasi yang serba mencekam Kaum Muda Indonesia, ternyata mereka memiliki prestasi luar biasa dalam olimpiade dunia ilmu pengetahuan. Diantaranya, Internasional Mathematics Olympiad (IMO), Internasional Physic Olimpiad (IPhO), International Olympiad in Informatics (IOI), International Astronomy Olimpiad (IAO) dan International Exhibition for Young Inventors (IEYI). Gambaran sekilas kondisi pendidikan di Indonesia dewasa ini. Angka putus sekolah yang tinggi menyebabkan peringkat indeks pembangunan Indonesia menjadi rendah, yaitu di urutan ke 69 dari 127 negara, bandingkan dengan Malaysia (65) dan Brunei (34). Sementara, Depdikbud sendiri mengatakan bahwa setiap menit ada empat anak yang putus sekolah. Data pendidikan tahun 2010 menyebutkan 1,3 juta anak usia 7-15 tahun terancam putus sekolah yang paling umum adalah tingginya biaya pendidikan yang membuat siswa tidak dapat melanjutkan pendidikan dasar. Di sisi lain, lebih dari 54% pengajar tidak memiliki kualifikasi. Sekitar 50 persen pengajar di seluruh Indonesia mengajar mata pelajaran yang tidak sesuai dengan disiplin ilmunya. Banyak pengajar yang belum sarjana tetapi tetap mengajar di SMU/SMK. Di seluruh Indonesia terdapat 4% sekolah yang mengalami kekurangan tenaga pengajar. Di perkotaan 21 persen sekolah kekurangan pengajar dan di pedesaan 37 persen sekolah kekurangan pengajar. Sementara di daerah terpencil terdapat 66 persen sekolah yang mengalami kekurangan tenaga pengajar. Padahal pengajar merupakan ujung tombak meningkatkan kualitas pendidikan.

II-17

Materi Advokasi Isu Orang Muda di Indonesia

Pengantar

Kaum Muda, diyakini sebagai kelompok masyarakat yang paling dinamis. Namun demikian, difinisi Kaum Muda bervariasi. Dengan pertimbangan ketersediaan data, untuk selanjutnya makalah ini menggunakan batasan penduduk usia 10–24 tahun untuk menyebut “Kaum Muda”. Data demografi global menunjukkan bahwa Kaum Muda merupakan populasi yang besar dari penduduk dunia. Sekitar 1,2 milliar (18 persen) penduduk dunia di saat ini adalah Kaum Muda yang berusia 15-24 tahun. Diantara mereka itu tadi 87 persen tinggal di Negara Berkembang yang terdiri dari 62 persen tinggal di Asia dan sisanya di Afrika. Kaum Muda yang tinggal di perkotaan telah meningkat hampir duakali lipat dari 27 persen menjadi 43 persen selama 1955-2005. Proporsi terbesar dari Kaum Muda nantinya tinggal di Afrika dan Asia, menggeser peranan Eropa dan Amerika secara signifikan. Kaum Muda yang pada tahun 1950 hanya 5 persen proporsinya di Benua Afrika diproyeksikan menjadi 20 persen di tahun 2050. Di Benua Asia, yang semula 31 persen diproyeksikan menjadi 54 persen. Di pihak lain, proporsi Kaum Muda di Benua Eropa yang di tahun 1950 sebesar 38 persen akan menjadi 9 persen di tahun 2050. Di Benua Amerika proporsinya menurun dari 25 persen menjadi 16 persen. Pergeseran proporsi tersebut telah menggeser tempat tinggal Kaum Muda di Dunia. Terbayang tekanan permintaan Kaum Muda yang harus disediakan oleh Benua Afrika dan Asia tersebut. Di Indonesia, SP-2010 mencatat total penduduk mencapai 237,6 juta jiwa, 53,4 juta diantaranya adalah Kaum Muda yang terdiri dari laki-laki 51 persen dan wanita 49 persen. Telah terjadi peningkatan dari 47 juta jiwa dari tahun 1990. Namun, angka relatifnya justru menurun dari 27 persen menjadi 23 persen. Proyeksinya di tahun 2025, jumlah Kaum Muda akan menjadi 59 juta jiwa. Tetapi proporsinya menurun menjadi 21 persen. Selama periode 2000-2010, Kaum Muda meningkatan pesat dari 60,7 juta jiwa menjadi 63,5 juta jiwa. Laki-laki meningkat lebih cepat dibandingkan wanita. Kelompok usia 10-14 tahun merupakan komponen yang terbesar. Kaum Muda laki-laki usia 10-14 tahun meningkat dari 10,4 juta jiwa menjadi 11,7 juta jiwa. Sementara Kaum Muda wanita kelompok usia 15-19 tahun jumlahnya menurun dari 10,5 juta jiwa menjadi 10,3 juta jiwa. Angka proyeksi kelompok usia 10-14 dan 15-19 meningkat dari 10,3 juta dan 9,9 juta di tahun 2015 menjadi 10,6 juta dan 10,2 juta di tahun 2025. Pada kelompok usia 15-19 tahun meningkat dari 10 juta dan 9,7 juta menjadi 10,5 dan 10,1 juta. Sedangkan kelompok yang lebih dewasa, usia 20-24, laki-laki dan wanita mengalami penurunan dari 11 juta dan 10,7 juta di tahun 2015 menjadi 10,2 juta dan 9,9 juta di tahun 2025. Di Indonesia, Kaum Muda yang tinggal di perkotaan juga semakin banyak. Khusus untuk kelompok umur 10-14 tahun yang tinggal di pedesaan justru meningkat.

Page 28: Modul Non Formal Ok

II-19

Kondisi bangunan sekolah memprihatinkan dengan 13,2 persen bangunan sekolah dalam kondisi parah yang perlu perbaikan secepatnya. Dewasa ini, hampir tidak ada Kaum Muda di Indonesia yang tidak bisa membaca+menulis huruf latin (buta aksara latin). Mereka juga memiliki untuk berprestasi asalkan mendapat kesempatan. Umumnya, Kaum Muda telah meningkat pesat kelulusannya. Program “wajib belajar” pemerintah banyak berperan disini. Kaum Muda wanita mendominasi proporsi jenjang sekolah dasar. Namun, Kaum Muda yang masih bersekolah di tingkat dasar maupun menengah masih besar. Padahal usia 15-24 tahun seharusnya sudah berada di jenjang yang lebih tinggi. Ini memprihatinkan. Kaum Muda wanita yang lulus Perguruan Tinggi (PT) meningkat pesat, melebih peningkatan yang terjadi laki-laki. Secara demografi, hal ini sangat positif dampaknya bagi kelangsungan hidup anaknya Angka partisipasi pendidikan dasar Kaum Muda Indonesia melebihi angka rata-rata ASEAN dan angka Dunia. Prestasi ini erat kaitannya dengan program wajib belajar yang dicanangkan pemerintah, tahun 1984 untuk wajib belajar 6 tahun dan tahun 1994 untuk wajib belajar 9 tahun. Namun, untuk jenjang sekolah menengah pertama dan menengah atas angka partisipasi Indonesia tertingal dibandingkan ASEAN dan dunia. Meskipun demikian, angka partisipasi Indonesia untuk jenjang sekolah menengah pertama meningkat sangat cepat. Sementara untuk jenjang sekolah menengah atas kecepatan kenaikan angka Indonesia diatas angka ASEAN dan dunia. APK dan APM makin menurun sejalan dengan meningkatnya usia Kaum Muda. Karena wajib belajar mendorong Kaum Muda bersekolah dasar sehingga proporsinya melebihinya 100 persen, namun hanya sepersepuluhnya saja yang bisa melanjutkan ke Perguruan Tinggi. Selisih APK dengan APM ini merupakan in-efisiensi dalam penggunaan sumberdaya untuk pendidikan. APK dan APM Kaum Muda di pedesaan lebih rendah daripada di perkotaan. APK untuk SMP di perkotaan mengalami peningkatan yang tajam; tetapi APMnya relatif lebih konstan. APK wanita lebih tinggi daripada laki-laki, tetapi APMnya justru sebaliknya. Jadi, untuk jenjang pendidikan sekolah menengah pertama di perkotaan, laki-laki lebih efisien menempuh pendidikannya. Angka di pedesaan tersebut berbeda arah. APK laki-laki senantiasa lebih rendah daripada wanita; dan demikian pula dengan APMnya. Dengan melihat selisih APK dan APM di perkotaan yang lebih tinggi daripada di pedesaan menunjukkan pedesaan lebih efisien dalam menempuh pendidikan. APK jenjang SMA justru mengalami penurunan; dengan APM laki-laki dan wanita relatif konstan di perkotaan maupun di pedesaan. Namun demikian, penurunan APK di perkotaan labih drastis daripada di pedesaan. Hal ini bisa karena di perkotaan semakin efisien dalam belajar, atau karena di pedesaan terjadi pengurangan jumlah Kaum Muda secara bermakna di sektor pendidikan. Jika benar terjadi pengurangan siswa sekolah SMA di pedesaan, pertanyaan pentingnya lalu kemanakah mereka? Apakah langsung bekerja ataukah menganggur karena adanya berbagai hambatan untuk dapat melanjutkan sekolah mereka? Perlu diingat bahwa fasilitas pembiayaan sektor pendidikan meningkat tajam sepuluh tahun terakhir ini, dengan pertimbangan bahwa pendidikan dasar merupakan modal minimal menyiapkan Kaum Muda untuk melanjutkan pendidikannya atau melanjutkan hidupnya secara bermartabat.

Page 29: Modul Non Formal Ok

II-20

Kaum Muda yang tidak melanjutian belajar, ada yang bekerja. Ini sejalan dengan klasifikasi umur pekerja Indonesia adalah 15-64 tahun. Namun demikian, banyak yang masih dibawah usia tersebut yang sudah terlibat di dunia kerja secara penuh. Ini bukan pekerja, tapi “pekerja-anak” yang sangat tidak didukung di mana-mana. Dalam lingkup global, ILO mencatat tingkat partisipasi angkatan kerja Kaum Muda selama periode 1998-2008 cenderung menurun dari 54,7 persen menjadi 50,8 persen. Alasan utama karena belajar. Sementara itu, proses bekerja Kaum Muda diawali sebagai tenaga pembantu di usaha keluarga, sehingga akhirnya mereka berusaha sendir Lebih dari 40 persen Kaum Muda di perkotaan dan di pedesaan Indonesia sudah bekerja dan selama 40 tahun terakhir ini cenderung meningkat proporsinya. Ini merupakan kenyataan yang sangat memprihatinkan. Di pasar tenaga kerja, Kaum Muda tidak dapat bersaing dengan pekerja dewasa. Meskipun selama periode 1971-2005 terjadi peningkatan, namun kecepatan pertumbuhan pekerja muda dibawah pekerja dewasa. Dengan mudah disimpulkan bahwa pengangguran pekerja muda lebih tinggi daripada pekerja dewasa. Pola bidang pekerjaan yang ditekuni pekerja muda mirip dengan yang ditekuni pekerja dewasa; dominan di sektor pertanian. Sejalan dengan perkembangan perekonomian, sektor industri, perdagangan dan jasa menjadi alternatif bidang kerja pekerja muda. Jika argumen pengangguran dikaitkan dengan bidang kerja pekerja muda, patut diduga bahwa sebenarnya pekerja muda kebanyakan terlibat di sektor informal. Meskipun sangat sulit, namun terjadi peningkatan kesempatan pekerja muda untuk masuk sektor formal. Hambatan utama pekerja muda adalah prasyarat pendidikan, keterampilan, pelatihan dan pengalaman di sektor formal. Dalam hal ini, tentu saja pekerja muda kalah jauh dibanding pekerja dewasa. Karena berbagai persoalan, pengangguran pekerja muda selalu lebih tinggi daripada pekerja dewasa. Pengangguran Kaum Muda Indonesia hampir dua kali lipat lebih tinggi daripada ASEAN dan dunia. Angka penganguran Kaum Muda wanita selalu lebih tinggi daripada laki-laki. Pola seperti ini mirip dengan yang terjadi di ASEAN, tetapi berbeda dengan pola dunia yang menampakkan angka pengangguran laki-laki dan wanita hampir sama tinggi. Untuk lokasi tempat tinggal, sebelum tahun 1985, proporsi di pedesaan lebih rendah daripada di perkotaan. Tapi setelah tahun itu, posisinya selalu lebih tinggi pengangguran di pedesaan. Dalam hal pendidikan, tingkat pengangguran pekerja muda dengan latar belakang pendidikan tinggi tetap tinggi dan cenderung meningkat. Pengangguran pekerja muda yang terbanyak adalah yang tamat SMA dan yang tamat perguruan tinggi. Meskipun tingkat pengangguran Kaum Muda berpendidikan tinggi terlihat lebih tinggi, tetapi jumlah mereka sesungguhnya lebih sedikit dibandingkan pengangguran di kalangan yang berpendidikan lebih rendah. Menurut studi pelacakan yang dilakukan Kemenakertrans, ada 3 (tiga) kesulitan pekerja muda ketika mencari pekerjaan, pertama, persaingan di antara para pencari kerja. Kedua, ketidak sesuaian antara

II-19

Kondisi bangunan sekolah memprihatinkan dengan 13,2 persen bangunan sekolah dalam kondisi parah yang perlu perbaikan secepatnya. Dewasa ini, hampir tidak ada Kaum Muda di Indonesia yang tidak bisa membaca+menulis huruf latin (buta aksara latin). Mereka juga memiliki untuk berprestasi asalkan mendapat kesempatan. Umumnya, Kaum Muda telah meningkat pesat kelulusannya. Program “wajib belajar” pemerintah banyak berperan disini. Kaum Muda wanita mendominasi proporsi jenjang sekolah dasar. Namun, Kaum Muda yang masih bersekolah di tingkat dasar maupun menengah masih besar. Padahal usia 15-24 tahun seharusnya sudah berada di jenjang yang lebih tinggi. Ini memprihatinkan. Kaum Muda wanita yang lulus Perguruan Tinggi (PT) meningkat pesat, melebih peningkatan yang terjadi laki-laki. Secara demografi, hal ini sangat positif dampaknya bagi kelangsungan hidup anaknya Angka partisipasi pendidikan dasar Kaum Muda Indonesia melebihi angka rata-rata ASEAN dan angka Dunia. Prestasi ini erat kaitannya dengan program wajib belajar yang dicanangkan pemerintah, tahun 1984 untuk wajib belajar 6 tahun dan tahun 1994 untuk wajib belajar 9 tahun. Namun, untuk jenjang sekolah menengah pertama dan menengah atas angka partisipasi Indonesia tertingal dibandingkan ASEAN dan dunia. Meskipun demikian, angka partisipasi Indonesia untuk jenjang sekolah menengah pertama meningkat sangat cepat. Sementara untuk jenjang sekolah menengah atas kecepatan kenaikan angka Indonesia diatas angka ASEAN dan dunia. APK dan APM makin menurun sejalan dengan meningkatnya usia Kaum Muda. Karena wajib belajar mendorong Kaum Muda bersekolah dasar sehingga proporsinya melebihinya 100 persen, namun hanya sepersepuluhnya saja yang bisa melanjutkan ke Perguruan Tinggi. Selisih APK dengan APM ini merupakan in-efisiensi dalam penggunaan sumberdaya untuk pendidikan. APK dan APM Kaum Muda di pedesaan lebih rendah daripada di perkotaan. APK untuk SMP di perkotaan mengalami peningkatan yang tajam; tetapi APMnya relatif lebih konstan. APK wanita lebih tinggi daripada laki-laki, tetapi APMnya justru sebaliknya. Jadi, untuk jenjang pendidikan sekolah menengah pertama di perkotaan, laki-laki lebih efisien menempuh pendidikannya. Angka di pedesaan tersebut berbeda arah. APK laki-laki senantiasa lebih rendah daripada wanita; dan demikian pula dengan APMnya. Dengan melihat selisih APK dan APM di perkotaan yang lebih tinggi daripada di pedesaan menunjukkan pedesaan lebih efisien dalam menempuh pendidikan. APK jenjang SMA justru mengalami penurunan; dengan APM laki-laki dan wanita relatif konstan di perkotaan maupun di pedesaan. Namun demikian, penurunan APK di perkotaan labih drastis daripada di pedesaan. Hal ini bisa karena di perkotaan semakin efisien dalam belajar, atau karena di pedesaan terjadi pengurangan jumlah Kaum Muda secara bermakna di sektor pendidikan. Jika benar terjadi pengurangan siswa sekolah SMA di pedesaan, pertanyaan pentingnya lalu kemanakah mereka? Apakah langsung bekerja ataukah menganggur karena adanya berbagai hambatan untuk dapat melanjutkan sekolah mereka? Perlu diingat bahwa fasilitas pembiayaan sektor pendidikan meningkat tajam sepuluh tahun terakhir ini, dengan pertimbangan bahwa pendidikan dasar merupakan modal minimal menyiapkan Kaum Muda untuk melanjutkan pendidikannya atau melanjutkan hidupnya secara bermartabat.

Page 30: Modul Non Formal Ok

II-21

pendidikan dengan pekerjaan yang dikehendaki. Ketiga, keterbatasan keterampilan. Alasan tersebut diduga ikut mendorong pekerja muda lebih aktif di sektor informal. Tingginya rasio pengangguran kaum muda dibandingkan jumlah pengangguran secara keseluruhan mencerminkan betapa sulitnya para pencari kerja muda mendapatkan pekerjaan. Idealnya Kaum Muda itu sedang belajar atau bekerja yang baik, namun kenyataannya sering tidak sekolah dan/atau sekaligus tidak bekerja yang baik. Mereka menyebut situasi yang dihadapi itu sebagai “galau” yang memrupakan suatu kondisi psikologis yang sangat tidak nyaman. Ditambah dengan situasi lingkungan sosial seperti saat ini, jadilah Kaum Muda berada pada kondisi tertekan yang sangat berat. Yang mengkhawatirkan adalah dampak negatif ikutannya. Disini, ada 2 (dua) hal yang disoroti, yaitu masalah kesehatan reproduksi dan kepungan persoalan penyalahgunaan obat terlarang. Dalam hal kesehatan reproduksi, perkawinan usia-muda dan pengetahuan tentang reproduksi dan kesehatan reproduksi menjadi topik penting Kaum Muda. Meskipun usia perkawinan yang terlalu muda sudah semakin banyak tidak terjadi, namun pengetahuan tentang reproduksi dan kesehatan reproduksi tetap perlu senantiasa diberikan kepada Kaum Muda dengan cara yang sesuai dengan mereka. Sejak tahun 2000, kesehatan reproduksi remaja menjadi program nasional yang bertujuan untuk mempersiapkan Kaum Muda supaya bertanggungjawab terhada perilakunya dalam kesehatan reproduksi, termasuk merencanakan usia menikah. Target yang harus dikejar adalah menurunkan atau meminimalkan unmet need Kaum Muda terutama yang melakukan hubungan seksual pra-nikah dan terlanjur hamil. Adanya berbagai hambatan sosial tentang hal itu menyebabkan upaya pembekalan kepada Kaum Muda memerlukan usaha ekstra kreatif. Dalam hal penyalahgunaan obat, perilaku Kaum Muda diawali dengan semakin maraknya Kaum Muda yang terpapar dengan perilaku merokok. Ini karena merokok dianggap sebagai pintu masuk paling mudah untuk menjadi pengguna narkoba. Prevalensi perokok aktif semakin bertambah, dan usia perokok pemula juga semakin muda. Selama 1995-2007 telah terjadi kenaikan 6 kali lipat perokok berusia kurang dari 10 tahun. Karena itu, Indonesia satu-satunya negara di dunia yang disebut sebagai baby smoker karena rata-rata perokok anak di Indonesia menghabiskan 40 batang rokok perhari. Meskipun berbagai pendekatan dan aturan formal telah dibuat tetapi lingkungan sosial permisif terhadap kebiasaan Kaum Muda merokok ini. Narkoba lebih jahat dari terorisme, karena korbannya bagikan fenomena gunung es, kedalaman dan berkelanjutannya tidak terdeteksi. Orang kaya, miskin, penegak hukum seperti hakim, jaksa, polisi sampai artis bisa terkena narkoba. Akan lebih cilaka jika perilaku ini menyergap golongan miskin maka sangat mungkin perilaku kriminal pada akhirnya menjebak mereka. Satu hal yang pasti, sorga narkoba di Kampung Ambon, Jakarta Barat, yang menyediakan beragam jenis narkoba bak warung makan yang menjajakan dagangan secara terbuka selama 24 jam tidak pernah bisa dibersihkan. Padahal, masalah Narkoba telah mencapai tingkat yang memprihatinkan. Walaupun, pencatatan kasus narkoba memang tidak mudah, yang pasti dewasa ini korbannya mencapai lebih dari 5 juta jiwa yang menyeruak di seantero wilayah nusantara. Di kalangan pelajar, jumlah penggunanya mencapai 921.695 orang. Pengguna yang akhirnya meninggal di tahun 2012 mencapai rata-rata 50 orang per

Page 31: Modul Non Formal Ok

II-22

hari. Bahkan, perdagangan narkoba telah menyusup ke Kaum Muda berusia 7-8 tahun dengan ditemukannya penggunaan ganja dan ngelem. Memang terlalu banyak penyebab Kaum Muda sampai terlibat pada penyalahgunaan narkoba. Yang jelas, anak sekolah dan mahasiswa ternyata merupakan kelompok pengguna terbanyak. Semua ini karena minimnya pengawasan dan pencegahan yang dilakukan kepolisian pada lingkungan skolah dan kampus. Kondisi semakin buruk dengan banyaknya pecandu yang meninggal karena over dosis narkoba suntik dengan penggunaan jarum suntik secara bergantian, sehingga menjadi jalan untuk virus hepatitis dan HIV bersarang. Pada tahun 2015, diperkirakan pengguna narkoba di Indonesia akan mencapai 5,1 juta orang. (Pada saat yang sama, Bank Dunia memperkirakan satu miliar orang yang miskin ekstrim). Padahal, Sampai sekarang belum ada satupun terapi penanggulangan kecanduan narkoba yang terbukti afektif mengobati semua pecandu narkoba. Metode pengobatan yang ada memakan waktu lama, proses yang rumit dan membutuhkan biaya yang mahal. Kepedulian masyarakat terhadap narkoba juga belum terbentuk dengan baik sehingga upaya pencegahannya tidak sebanding dengan laju penyebaran narkoba yang melibatkan metoda dan jaringan yang makin rumit. Tak jarang diketahui penjahat narkoba divonis bebas di pengadilan. Bahkan, publik mencatat beberapa kali gembong narkoba mendapat grasi. Sungguh ironis. Apapun alasan dan latar belakang maraknya perdagangan narkoba dan obat terlarang tersebut, yang jelas Kaum Muda kita terancam olehnya. Sungguh memprihatinkan dan menyedihkan. Sesungguhnyalah, Kaum Muda merupakan modal bangsa saat ini dan harta kebanggan di masa depan. Karena itu, kepada mereka harus diberikan hak-hak dasarnya berupa pendidikan, keselamatan fisik, perlindungan sosial, bermain dan rekreasi supaya dapat melanjutkan bersekolah dan hidup dengan layak. Semua itu dilakukan dalam rangka menyiapkan mereka bertanggung jawab untuk hidup mandiri yang berkualitas, tanggap sosial dan mampu bekerja sama sekaligus berperilaku baik. Fokus kebujakan yang harus dilakukan adalah menciptakan lingkungan sosial yang mampu memaksimalkan dukungan untuk terciptanya usaha bersama dalam memberikan hak-hak dasar Kaum Muda tersebut.

Tujuan Pembelajaran

1. Kompetensi Dasar: Setelah mengikuti materi kaum muda di Indonesia ini, peserta diharapkan mampu mempraktikkan penyampaian materi Kaum Muda di Indonesia.

2. Indikator Keberhasilan Setelah mempelajari materi kaum muda di Indonesia ini, diharapkan peserta mampu:

a. Memahami konsep dasar kaum muda b. Menjelaskan status dan kondisi kaum muda yang jumlahnya semakin meningkat. c. Menjelaskan konsekuensi dari meningkatnya kaum muda

II-21

pendidikan dengan pekerjaan yang dikehendaki. Ketiga, keterbatasan keterampilan. Alasan tersebut diduga ikut mendorong pekerja muda lebih aktif di sektor informal. Tingginya rasio pengangguran kaum muda dibandingkan jumlah pengangguran secara keseluruhan mencerminkan betapa sulitnya para pencari kerja muda mendapatkan pekerjaan. Idealnya Kaum Muda itu sedang belajar atau bekerja yang baik, namun kenyataannya sering tidak sekolah dan/atau sekaligus tidak bekerja yang baik. Mereka menyebut situasi yang dihadapi itu sebagai “galau” yang memrupakan suatu kondisi psikologis yang sangat tidak nyaman. Ditambah dengan situasi lingkungan sosial seperti saat ini, jadilah Kaum Muda berada pada kondisi tertekan yang sangat berat. Yang mengkhawatirkan adalah dampak negatif ikutannya. Disini, ada 2 (dua) hal yang disoroti, yaitu masalah kesehatan reproduksi dan kepungan persoalan penyalahgunaan obat terlarang. Dalam hal kesehatan reproduksi, perkawinan usia-muda dan pengetahuan tentang reproduksi dan kesehatan reproduksi menjadi topik penting Kaum Muda. Meskipun usia perkawinan yang terlalu muda sudah semakin banyak tidak terjadi, namun pengetahuan tentang reproduksi dan kesehatan reproduksi tetap perlu senantiasa diberikan kepada Kaum Muda dengan cara yang sesuai dengan mereka. Sejak tahun 2000, kesehatan reproduksi remaja menjadi program nasional yang bertujuan untuk mempersiapkan Kaum Muda supaya bertanggungjawab terhada perilakunya dalam kesehatan reproduksi, termasuk merencanakan usia menikah. Target yang harus dikejar adalah menurunkan atau meminimalkan unmet need Kaum Muda terutama yang melakukan hubungan seksual pra-nikah dan terlanjur hamil. Adanya berbagai hambatan sosial tentang hal itu menyebabkan upaya pembekalan kepada Kaum Muda memerlukan usaha ekstra kreatif. Dalam hal penyalahgunaan obat, perilaku Kaum Muda diawali dengan semakin maraknya Kaum Muda yang terpapar dengan perilaku merokok. Ini karena merokok dianggap sebagai pintu masuk paling mudah untuk menjadi pengguna narkoba. Prevalensi perokok aktif semakin bertambah, dan usia perokok pemula juga semakin muda. Selama 1995-2007 telah terjadi kenaikan 6 kali lipat perokok berusia kurang dari 10 tahun. Karena itu, Indonesia satu-satunya negara di dunia yang disebut sebagai baby smoker karena rata-rata perokok anak di Indonesia menghabiskan 40 batang rokok perhari. Meskipun berbagai pendekatan dan aturan formal telah dibuat tetapi lingkungan sosial permisif terhadap kebiasaan Kaum Muda merokok ini. Narkoba lebih jahat dari terorisme, karena korbannya bagikan fenomena gunung es, kedalaman dan berkelanjutannya tidak terdeteksi. Orang kaya, miskin, penegak hukum seperti hakim, jaksa, polisi sampai artis bisa terkena narkoba. Akan lebih cilaka jika perilaku ini menyergap golongan miskin maka sangat mungkin perilaku kriminal pada akhirnya menjebak mereka. Satu hal yang pasti, sorga narkoba di Kampung Ambon, Jakarta Barat, yang menyediakan beragam jenis narkoba bak warung makan yang menjajakan dagangan secara terbuka selama 24 jam tidak pernah bisa dibersihkan. Padahal, masalah Narkoba telah mencapai tingkat yang memprihatinkan. Walaupun, pencatatan kasus narkoba memang tidak mudah, yang pasti dewasa ini korbannya mencapai lebih dari 5 juta jiwa yang menyeruak di seantero wilayah nusantara. Di kalangan pelajar, jumlah penggunanya mencapai 921.695 orang. Pengguna yang akhirnya meninggal di tahun 2012 mencapai rata-rata 50 orang per

Page 32: Modul Non Formal Ok

II-23

d. Menjelaskan kebijakan dan program yang diperlukan untuk memaksimalkan potensi kaum muda

e. Mempraktikkan penyampaian materi kaum muda di Indonesia.

Tujuan Khusus Materi dasar yang dikembangkan sedikitnya akan meliputi isu-isu sebagai berikut:

Isu Pokok Pengertian Tentang Orang Muda

Cakupan Isu utama yang perlu disajikan disini adalah mengenai konsep dasar tentang orang muda. Apa sesungguhnya yang dimaksud “orang muda” oleh BKKBN.

Kejelasan tentang konsep ini diperlukan untuk menghidari kerancuan batasan pengertian yang digunakan di “kelompok masyarakat lain” di Indonesia yang juga berkait dan bersinggungan dengan “orang muda” tersebut

Isu Pokok Status Orang Muda Saat Ini dan Proyeksinya

Cakupan Membahas jumlah, persentase, sebaran, kualitas, kesejahteraan per pulau, per propinsi, dsb., yang digunakan sebagai informasi dasar untuk memahami orang muda tersebut.

Orientasi historis mengenai perkembangan dan proyeksinya kedepan memperjelas pentingnya keberadaan dan peranan orang muda dari masa ke masa.

Isu Pokok Tantangan Yang Dihadapi Orang Muda

Cakupan Membahas mengenai berbagai persoalan yang dihadapi oleh orang muda untuk memahami kondisi riil orang muda.

Selain membahas tentang persoalan fasilitas dan kesejahteraan, unsur penting yang perlu secara kritis diungkapkan adalah berkaitan dengan masalah-masalah yang menghambat orang muda untuk dapat memaksimalkan potensinya

Isu Pokok Kebijakan dan Program untuk Memaksimalkan Potensi Orang Muda

Cakupan Kebijakan yang akan merekayasa status dan kondisi dasar serta memaksimalkan potensi orang muda yang disusun dengan didasari oleh respons kritis terhadap situasi logis-dinamis orang muda dan orientasi yang ingin dicapai di masa mendatang.

Kebijakan tersebut perlu diuraikan dalam bentuk program aksi yang secara langsung akan diselenggarakan oleh pemerintah, bekerjasama dengan lembaga non-pemerintah maupun lembaga non pemerintah

Page 33: Modul Non Formal Ok

II-24

Aktifitas Pelatihan

Pelatihan untuk materi ini dipersiapkan seama 90 menit, dengan urutan kegiatan sebagai berikut.

05 Menit Pendahu-luan

Berisi uraian tentang materi orang muda yang akan disampaikan dalam sesi ini.

Bahan diseminasi dalam bentuk tercetak dan file diterangkan cara menggunakan dan kegunaannya.

Informasi lain yang dianggap penting, jika ada

05 Menit Pengertian

Uraian verbal yang berkaitan tentang orang muda yang akan digunakan dalam diseminasi informasi, sejak waktu diseminasi hingga pelaksanaan di lapangan.

Persamaan dan perbedaan mengenai pengertian ini disebutkan dan diuraikan secara jelas dan tegas.

25 Menit Status

Uraian verbal mengenai: jumlah, persentase (proporsi terhadap total), sebaran, kualitas, kesejahteraan per pulau, per propinsi, untuk disepakati dan difahami sebagai informasi dasar memahami orang muda. Aspek penting mengenai jumlah, persentase, sebaran, kualitas, kesejahteraan diberikan tekanan/garis bawah dan dibahas menjadi salah satu isu sentral pembahasan topik orang muda.

Uraian verbal mengenai pengalaman masa lalu dari orang muda dikaitkan dengan uraian verbal mengenai informasi dasar tersebut diatas. Unsur positif dan negatif dari pengalaman tersebut diberi penekanan memadai. Perkiraan dan proyeksi ke depan diuraikan dan diberi penekanan dalam segi positif dan negatifnya; terutama berkaitan dengan upaya memaksimalkan peran orang muda di masa mendatang.

25 Menit Tantangan Yang Dihadapi

Uraian verbal mengenai berbagai tantangan yang dihadapi orang muda dalam mengaktualisasikan dirinya, saat kini dan potensinya di masa mendatang.

Disamping aspek positif dari segi kuantitas, aspek negatif juga perlu diberikan perhatian. Terutama yang berkaitan dengan dimensi kualitas orang muda.

Kualitas orang muda yang patut mendapat perhatian adalah yang berkaitan dengan kualitas fisik dan emosi yang akan menentukan karakter orang muda ketika mengaktualisasikan dirinya dalam

II-23

d. Menjelaskan kebijakan dan program yang diperlukan untuk memaksimalkan potensi kaum muda

e. Mempraktikkan penyampaian materi kaum muda di Indonesia.

Tujuan Khusus Materi dasar yang dikembangkan sedikitnya akan meliputi isu-isu sebagai berikut:

Isu Pokok Pengertian Tentang Orang Muda

Cakupan Isu utama yang perlu disajikan disini adalah mengenai konsep dasar tentang orang muda. Apa sesungguhnya yang dimaksud “orang muda” oleh BKKBN.

Kejelasan tentang konsep ini diperlukan untuk menghidari kerancuan batasan pengertian yang digunakan di “kelompok masyarakat lain” di Indonesia yang juga berkait dan bersinggungan dengan “orang muda” tersebut

Isu Pokok Status Orang Muda Saat Ini dan Proyeksinya

Cakupan Membahas jumlah, persentase, sebaran, kualitas, kesejahteraan per pulau, per propinsi, dsb., yang digunakan sebagai informasi dasar untuk memahami orang muda tersebut.

Orientasi historis mengenai perkembangan dan proyeksinya kedepan memperjelas pentingnya keberadaan dan peranan orang muda dari masa ke masa.

Isu Pokok Tantangan Yang Dihadapi Orang Muda

Cakupan Membahas mengenai berbagai persoalan yang dihadapi oleh orang muda untuk memahami kondisi riil orang muda.

Selain membahas tentang persoalan fasilitas dan kesejahteraan, unsur penting yang perlu secara kritis diungkapkan adalah berkaitan dengan masalah-masalah yang menghambat orang muda untuk dapat memaksimalkan potensinya

Isu Pokok Kebijakan dan Program untuk Memaksimalkan Potensi Orang Muda

Cakupan Kebijakan yang akan merekayasa status dan kondisi dasar serta memaksimalkan potensi orang muda yang disusun dengan didasari oleh respons kritis terhadap situasi logis-dinamis orang muda dan orientasi yang ingin dicapai di masa mendatang.

Kebijakan tersebut perlu diuraikan dalam bentuk program aksi yang secara langsung akan diselenggarakan oleh pemerintah, bekerjasama dengan lembaga non-pemerintah maupun lembaga non pemerintah

Page 34: Modul Non Formal Ok

II-25

pembangunan bangsanya.

10 Menit Kebijakan dan Program

Uraian verbal berbagai kebijakan yang dimaksudkan untuk mengurangi, dan menghilangkan bila mungkin, hambatan yang dihadapi orang muda untuk menjadi orang muda yang terampil sekaigus berkarakter.

Program-program turunan kebijakan tersebut diarahkan sesuai skala proritas terhadap masalah orang muda yang sudah diidentifikasikan pada bagian sebelumnya. Perlu mendapat perhatian disini adalah bahwa program yang diuraikan tidak semuanya harus menjadi tanggung jawab pemerintah sebagai pelaksana teknisnya. Beberapa program dapat dilakukan secara simbiosis dengan lembaga non pemerintah, atau bahkan sepenuhnya dilakukan oleh lembaga non pemerintah.

20 Menit Tanya-Jawab

Merupakan alokasi waktu yang digunakan untuk memperjelas dan mendiskusikan materi tentang orang muda yang sedang disajikan.

Selain disiapkan di bagian akhir diseminasi, tanya-jawab serta diskusi dapat dilaksanakan di tengah-tengah acara diseminasi. Namun, perlu dicatat bahwa waktu yang direncanakan/disediakan berkisar pada jangka waktu tersebut.

Materi Pelatihan

Berikut adalah beberapa materi yang perlu dipersiapkan menjelang dan ketika pelatihan dan/atau diseminasi informasi dilakukan:

Menjelang Bahan diseminasi dalam bentuk tercetak dan file yang dikemas dalam CD-ROM atau flash-disk. Materi yang dipergunakan sebagai bahan diseminasi berbentuk makalah dan bahan penyajian materi diseminasi di depan kelas. Materi pendukung lain yang diperlukan, jika ada

Saat Pelaksanaan

Bahan diseminasi dalam bentuk tercetak dan file yang dikemas dalam CD-ROM atau flash-disk. Komputer atau lap top untuk menyajikan materi diseminasi Alat Sorot Layar Penampil Sorot Papan Tulis Putih Pena Tulis Papan Tulis Putih Alat Tulis Menulis Perkakas Pelantang

Page 35: Modul Non Formal Ok

III-26

Penduduk Usia Produktif dan Ketenagakerjaan

Pengantar

Pada rentang daur hidup manusia terdapat penduduk usia produktif, yaitu yang berusia 15-64 tahun. Mereka menjalani pendidikan, mencari pekerjaan, bekerja, atau mengurus rumah tangga. Menurut definisi, mereka yang mencari pekerjaan dan sedang bekerja sebagai kegiatan utamanya selama seminggu yang lalu termasuk kedalam angkatan kerja. Mereka yang bekerja, setidaknya 1 jam selama seminggu yang lalu, adalah tenaga kerja. Sementara penganggur adalah mereka yang sedang mencari pekerjaan atau masa transisi pindah pekerjaan atau baru saja selesai sekolah dan sedang mencari pekerjaan. Ini termasuk yang bekerja yang di bawah jam kerja atau penghasilannya di bawah kebutuhan hidup. Seingga terdapat kelompok penganggur dan kelompok yang bekerja kurang penuh. Mereka yang berada pada usia produktif menjadi sasaran disiapkan supaya mereka mendapatkan manfaat dari proses pembangunan. Ketika tidak ada sentuhan, maka kelompok ini akan menjadi beban dalam proses pembangunan. Badan antariksa amerika serikat, NASA, yang membuat kajian dengan melihat India sebagai daerah kajian di awal tahun 1960an menemukan bahwa pertumbuhan penduduk menghalangi pembangunan. Rekomendasi hasil kajian itu menyarankan negara berkembang untuk masuk kepada rezim anti natalis. Rezim pembangunan dimana petumbuhan penduduk mesti dikendalikan melalui pengurangan kelahiran, program keluarga berencana, memajukan pendidikan wanita dan ekonomi keluarga. Indonesia sangat jelas menggunakan cara pandang itu yang dimulai ketika profesor Wojoyo Nitisastro menjadi ketua Bappenas sejak Pelita II, tahun 1974. Ketika itu persoalan kependudukan terintegrasi ke dalam perencanaan pembangunan. Pada awalnya Jawa dan Bali dijadikan sebagai prioritas program KB nasional. Kemudian dilanjutkan Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Nusatenggara. Intensifnya kebijakan keluarga berencana di Indonesia telah menyebabkan transisi demografi begitu cepat di Indonesia. Angka kelahiran Jawa dan Bali telah turun lebih cepat dari perkiraan. Sementara Sumatra dan daerah lain mengikutinya. Proses ini berlanjut dan berakhir menjelang kejatuhan Soeharto. Semenjak zaman reformasi, sepertinya aspek kependudukan kehilangan petunjuk dan arah. Nampaknya berbalik kepada rezim pro-natalis atau setidaknya berlawanan dengan anti-natalis. Hal ini tertampak dari target angka TFR pada tahun 2015 sebesar 2,1 per wanita dipastikan tidak akan tercapai. Dari hasil SDKI mutakhir menunjukkan bahwa angka kelahiran telah mengalami kenaikan dari 2,4 per wanita menjadi 2,6 per wanita. Temuan ini sejalan dengan hasil sensus penduduk 2010, dimana jumlah penduduk Indonesia melebihi dari perkiraan yang ditetapkan sebelumnya. Bonus demografi adalah masa yang ketika itu terjadi angka beban ketergantungan penduduk usia produktif dengan penduduk usia tidak produktif paling rendah. Artinya, setiap penduduk usia kerja menanggung sedikit penduduk usia tidak produktif. Konsekwensi ikutan dari kondisi ini adalah

II-25

pembangunan bangsanya.

10 Menit Kebijakan dan Program

Uraian verbal berbagai kebijakan yang dimaksudkan untuk mengurangi, dan menghilangkan bila mungkin, hambatan yang dihadapi orang muda untuk menjadi orang muda yang terampil sekaigus berkarakter.

Program-program turunan kebijakan tersebut diarahkan sesuai skala proritas terhadap masalah orang muda yang sudah diidentifikasikan pada bagian sebelumnya. Perlu mendapat perhatian disini adalah bahwa program yang diuraikan tidak semuanya harus menjadi tanggung jawab pemerintah sebagai pelaksana teknisnya. Beberapa program dapat dilakukan secara simbiosis dengan lembaga non pemerintah, atau bahkan sepenuhnya dilakukan oleh lembaga non pemerintah.

20 Menit Tanya-Jawab

Merupakan alokasi waktu yang digunakan untuk memperjelas dan mendiskusikan materi tentang orang muda yang sedang disajikan.

Selain disiapkan di bagian akhir diseminasi, tanya-jawab serta diskusi dapat dilaksanakan di tengah-tengah acara diseminasi. Namun, perlu dicatat bahwa waktu yang direncanakan/disediakan berkisar pada jangka waktu tersebut.

Materi Pelatihan

Berikut adalah beberapa materi yang perlu dipersiapkan menjelang dan ketika pelatihan dan/atau diseminasi informasi dilakukan:

Menjelang Bahan diseminasi dalam bentuk tercetak dan file yang dikemas dalam CD-ROM atau flash-disk. Materi yang dipergunakan sebagai bahan diseminasi berbentuk makalah dan bahan penyajian materi diseminasi di depan kelas. Materi pendukung lain yang diperlukan, jika ada

Saat Pelaksanaan

Bahan diseminasi dalam bentuk tercetak dan file yang dikemas dalam CD-ROM atau flash-disk. Komputer atau lap top untuk menyajikan materi diseminasi Alat Sorot Layar Penampil Sorot Papan Tulis Putih Pena Tulis Papan Tulis Putih Alat Tulis Menulis Perkakas Pelantang

Page 36: Modul Non Formal Ok

III-27

meningkatnya poyensi tabungan nasonal yang pada gilirannya meingkatkan investasi dan pertumbuhan ekonomi. Bonus demografi ini bisa menjadi “bencana” demografi ketika penduduk usia produktif tersebut tidak memiliki pendidikan yang memadai dan tidak memperoleh keterampilan yang cukup. Karena penduduk usia produktif akan menjadi penganggur, dengan segala konsekwensinya. Untuk itu diperlukan antisipasi kebutuhan mereka. Pertama, perlu disediakan pendidikan yang memadai agar mereka dapat meningkatkan ilmu an keterampilannya ketika memasuki pasar tenaga kerja. Kedua, dalam rangka memberdayakan mereka, perlu disediakan lembaga keterampilan kerja serta informasi lapangan kerja sehingga memudahkan mereka masuk ke pasar tenaga kerja. Ketiga, upaya untuk meningkatkan partisipasi dalam kegiatan ekonomi produktif, dan sosial sehingga memperbanyak kelompok produktif yang dapat menyumbangkan tenaganya dalam kegiatan produksi barang dan jasa. Persoalan tenaga kerja tercermin dalam angka pengangguran. Untuk penganguran terbuka selama periode 2009-2012 telah terjadi penurunan dari 7,9 persen menjadi 6,3 persen. Diperkiraan akan terus menurun hingga tahun 2015. Jumlah penganggur dapat dikendalikan sebanyak 7,7 juta orang di tahun 2011. Namun, jumlah penduduk yang bekerja paruh waktu meningkat dari 16,2 juta orang di tahun 2009 menjadi 21,1 juta orang pada 2011. Pada saat yang sama, mereka yang masuk ke dalam kategori setengah pengangguran masih tinggi, yaitu pada kisaran 15,4 juta orang. Penurunan pengangguran telah menambah jumlah angkatan kerja tidak penuh dari 31,6 juta orang tahun 2009 menjadi 34,6 tahun 2011. Artinya jumlah angkatan kerja yang terserap pada lapangan kerja tidak penuh bertambah sebesar 1,5 juta orang setiap tahunnya. Sehingga persoalan pasar kerja berubah dari pengangguran terbuka menjadi setengah pengangguran. Fenomena ini menyebabkan semakin banyaknya tenaga kerja yang produktivitas-kerjanya rendah, atau membengkaknya pekerja dengan waktu kerja di bawah jam kerja normal. Pada gilirannya, produktivitas sebagian dari rumah tangga menjadi rendah. Pada periode 1970-2000, kajian Bank Dunia menunjukkan laju produktifitas tenaga kerja Indonesia lebih rendah daripada Malaysia dan Thailand. Sejalan dengan persoalan pengangguran, juga terjajdi penurunan angka kemiskinan. Penduduk miskin turun dari 31,02 juta (13,33 persen) di tahun 2010 menjadi 30,02 juta (12,49 persen) di tahun 2011. Laju penurunan kemiskinan di perkotaan lebih rendah daripada di pedesaaan, 0,05 juta berbanding 0,86 juta. Meskipun angka kemiskinan menurun, tetapi menurut BPS(2012) jumlah yang di dekat garis kemiskinan masih tinggi. Hal ini karena mereka yang tidak bekerja di perkotaan sebesar 6,18 persen sementara pedesaan 3,78 persen. Lebih dari 71 persen penduduk miskin adalah rumah tangga pertanian. Artinya, kemiskinan di daerah pertanian lebih tinggi dari total kemiskinan. Di tahun 2009 pekerja di sektor pertanian sebanyak 41,4 juta kemudian menjadi 39,2 juta tahun 2012, atau 35,7 persen dari total angkatan kerja. Susenas menunjukkan bahwa dua per tiga angka kemiskinan disumbangkan oleh rumah tangga pertanian sisanya oleh kelompok buruh perkotaan dengan upahan rendah. Oleh karenanya sangat diperlukan untuk mengetahui rumah tangga mana yang mengalami persoalan produktivitas rendah, apa akar masalah dan bagaimana strategi perluasan lapangan kerjanya.

Page 37: Modul Non Formal Ok

III-28

Meskipun laju pertumbuhan ekonomi berkisar 6-6,5 persen per tahun tenaga kerja tetap menjadi masalah pembangunan. Karena pertumbuhan ekonomi setinggi itu hanya menguntungkan kelompok tertentu, yaitu tenaga kerja upahan. Padahal, tenaga kerja yang di luar sektor upahan jumlahnya 65 persen dari total angkatan kerja. Dengan demikian persoalan tenaga kerja yang menganggur, yang bekerja di bawah jam kerja normal, yang informal mesti segera dicarikan jawabannya dalam rangka meningkatkan akses dan produktivitasnya. Dari berbagai penelitian yang mengamati fenomena skala mikro ketenaga-kerjaan menunjukkan adanya empat kelompok rumah tangga yang paling marginal produktivitasnya, pertama, rumah tangga nelayan, kedua, rumah tangga petani berlahan sempit, ketiga, sektor informal perkotaan, dan, keempat, buruh kontrak. Mereka memiliki strategi bertahan yang saling berbeda. Dengan memahami strategi bertahan mereka diharapkan akan ditemukan program strategies yang dapat meningkatkan produktifitas mereka. Rumah tangga nelayan adalah yang sangat rentan akan persoalan kemiskinan dan kurangnya produktivitas kerja. Di pantai barat Sumatra, misalnya, ditemukan 82 persen yang termasuk kedalam penduduk berpenghasilan 40 persen terendah, dan hanya 6,4 persen yang berada di kelompok 20 persen berpenghasilan tertinggi. Angka ketimpangan penghasilan yang diukur menggunakan indeks Gini menunjukkan angka 0,54. Padahal angka untuk Indonesia berada pada rentang 0,3-0,4. Dengan demikian, hanya dibawah 10 persen yang tergolong mampu dan mayoritas yang lain tergolong miskin. Pertumbuhan jumlah rumah tangga kelompok nelayan diperkirakan 2,3 persen per tahun, dan angka partisipasi kerja wanita istri nelayan sekitar 14,9 persen, berbanding dengan 35-40 persen untuk angka nasional. Kehidupan sosial ekonomi rumah tangga nelayan sangat tergantung pada statusnya. Nelayan miskin umumnya adalah nelayan tradisional atau sebagai anak buah kapal, penangkap ikan. Sementara nelayan yang kaya adalah pemilik kapal motor, atau juragan. Pengembangan produktivitas rumah tangga nelayan diarahkan untuk meningkatkan total alokasi waktu kerja keluarga nelayan. Akan lebih baik lagi jika dibarengi dengan peningkatan teknologi tangkapan. Disamping itu, sejalan dengan masih rendahnya partisipasi angkatan kerja wanita nelayan maka strategi peningkatannya diarahkan kepada suami dan istri keluarga nelayan. Kelompok rumah tangga pertanian berlahan sempit mendominasi angka kemiskinan. Ada tiga persoalan utama mereka, pertama, tentang skala usaha pertanian yang tidak ekonomis sehingga hasil tidak sebanding dengan biaya. Kedua, proses pengembangan nilai tambah. Ketiga adalah persoalan pemasaran produk pertanian. Ciri-ciri pertanian skala kecil adalah bahwa alokasi tenaga kerja pria dan wanita relatif rendah untuk masa-masa tertentu. Sementara itu, modernisasi pertanian justru berdampak berlebihnya waktu kerja di sektor pertanian. Oleh karenannya orientasi perluasan lapangan kerja perlu lebih diarahkan untuk mengoptimalkan pekerjaan tambahan yang dapat meningkatkan penghasilan rumah tangga. Dalam hal ini, kelebihan jam kerja dapat digunakan untuk melengkapi usaha pertanian (on-farm), seperti berternak, atau pekerjaan lain di luar pertanian, seperti pengolahan hasil pertanian dan

III-27

meningkatnya poyensi tabungan nasonal yang pada gilirannya meingkatkan investasi dan pertumbuhan ekonomi. Bonus demografi ini bisa menjadi “bencana” demografi ketika penduduk usia produktif tersebut tidak memiliki pendidikan yang memadai dan tidak memperoleh keterampilan yang cukup. Karena penduduk usia produktif akan menjadi penganggur, dengan segala konsekwensinya. Untuk itu diperlukan antisipasi kebutuhan mereka. Pertama, perlu disediakan pendidikan yang memadai agar mereka dapat meningkatkan ilmu an keterampilannya ketika memasuki pasar tenaga kerja. Kedua, dalam rangka memberdayakan mereka, perlu disediakan lembaga keterampilan kerja serta informasi lapangan kerja sehingga memudahkan mereka masuk ke pasar tenaga kerja. Ketiga, upaya untuk meningkatkan partisipasi dalam kegiatan ekonomi produktif, dan sosial sehingga memperbanyak kelompok produktif yang dapat menyumbangkan tenaganya dalam kegiatan produksi barang dan jasa. Persoalan tenaga kerja tercermin dalam angka pengangguran. Untuk penganguran terbuka selama periode 2009-2012 telah terjadi penurunan dari 7,9 persen menjadi 6,3 persen. Diperkiraan akan terus menurun hingga tahun 2015. Jumlah penganggur dapat dikendalikan sebanyak 7,7 juta orang di tahun 2011. Namun, jumlah penduduk yang bekerja paruh waktu meningkat dari 16,2 juta orang di tahun 2009 menjadi 21,1 juta orang pada 2011. Pada saat yang sama, mereka yang masuk ke dalam kategori setengah pengangguran masih tinggi, yaitu pada kisaran 15,4 juta orang. Penurunan pengangguran telah menambah jumlah angkatan kerja tidak penuh dari 31,6 juta orang tahun 2009 menjadi 34,6 tahun 2011. Artinya jumlah angkatan kerja yang terserap pada lapangan kerja tidak penuh bertambah sebesar 1,5 juta orang setiap tahunnya. Sehingga persoalan pasar kerja berubah dari pengangguran terbuka menjadi setengah pengangguran. Fenomena ini menyebabkan semakin banyaknya tenaga kerja yang produktivitas-kerjanya rendah, atau membengkaknya pekerja dengan waktu kerja di bawah jam kerja normal. Pada gilirannya, produktivitas sebagian dari rumah tangga menjadi rendah. Pada periode 1970-2000, kajian Bank Dunia menunjukkan laju produktifitas tenaga kerja Indonesia lebih rendah daripada Malaysia dan Thailand. Sejalan dengan persoalan pengangguran, juga terjajdi penurunan angka kemiskinan. Penduduk miskin turun dari 31,02 juta (13,33 persen) di tahun 2010 menjadi 30,02 juta (12,49 persen) di tahun 2011. Laju penurunan kemiskinan di perkotaan lebih rendah daripada di pedesaaan, 0,05 juta berbanding 0,86 juta. Meskipun angka kemiskinan menurun, tetapi menurut BPS(2012) jumlah yang di dekat garis kemiskinan masih tinggi. Hal ini karena mereka yang tidak bekerja di perkotaan sebesar 6,18 persen sementara pedesaan 3,78 persen. Lebih dari 71 persen penduduk miskin adalah rumah tangga pertanian. Artinya, kemiskinan di daerah pertanian lebih tinggi dari total kemiskinan. Di tahun 2009 pekerja di sektor pertanian sebanyak 41,4 juta kemudian menjadi 39,2 juta tahun 2012, atau 35,7 persen dari total angkatan kerja. Susenas menunjukkan bahwa dua per tiga angka kemiskinan disumbangkan oleh rumah tangga pertanian sisanya oleh kelompok buruh perkotaan dengan upahan rendah. Oleh karenanya sangat diperlukan untuk mengetahui rumah tangga mana yang mengalami persoalan produktivitas rendah, apa akar masalah dan bagaimana strategi perluasan lapangan kerjanya.

Page 38: Modul Non Formal Ok

III-29

perdagangan (off-farm employment). Adopsi multiplikasi pekerjaan dapat dikembangkan untuk usaha sejenis, sehingga melahirkan spesialisasi dari produksi ikutan dan efisensi. Di Taiwan dan Jepang strategi ini ampuh mengatasi persoalan kemiskinan. Selain peningkatan keterampilan kerja wirausaha perluasan jenis pekerjaan perlu mengarah kepada 3 hal utama, yaitu, peningkatan akses modal yang murah dan diperlukan, penguatan kelembagaan keuangan mikro serta pendampingan agar paket pengembangan program untuk mereka berjalan sebagaimana mestinya. Kelompok sektor informal perkotaan yang mendominasi status pekerjaan pekerja mandiri. Keluarga sektor informal ditandai dengan skala usaha yang relatif terbatas, dengan akumulasi modal yang terbatas pula. Sekitar dua per tiga dari mereka masuk kedalam status diluar sistem upahan. Yang masuk kedalam kategori ini ialah pekerja keluarga tanpa dibayar, pekerja mandiri, pekerja dengan dibantu buruh tetap, dan pekerja bukan dibantu buruh tetap. Kelompok ini sangat tahan terhadap goncangan eksternal, namun tetap perlu memperoleh proteksi dan pengembangan dari pemerintah. Karena itu, status seperti ini banyak dipilih masyarakat daripada menjadi petani dengan pertimbangan pendapatan yang dijanjikan sektor ini lebih jelas daripada sektor pertanian. Kebutuhan keluarga sektor informal ini tergantung pada jenis pekerjaannya. Bagi yang bekerja di sektor peningkatan nilai tambah maka usaha mengembangkan keterampilan, kualitas produksi dan permodalan adalah kebutuhan penting. Bagi yang bekerja di sektor penjualan maka yang diperlukan adalah jaminan tempat berusaha, sekaligus kebutuhan permodalan dan teknologi agar mereka bisa mengembangkan diri. Untuk sektor informal perkotaan, penataan jenis usaha dan skala usaha merupakan kebutuhan untuk meningkatkan produktivitas kerjanya. Untuk buruh miskin perkotaan, perlu diperhatikan agar mereka memperoleh akses guna meningkatkan aktivitas kerjanya. Keterampilan, modal kerja serta institusi menjadi sasaran dari paket kebijakan peningkatan produktivitas kerja. Untuk buruh kontrak, yang diinginkan adalah kepastian pembayaran upah tidak tetap. Bahkan terakhir ini semakin besar keinginan untuk menjadi pekerja permanen. Tuntutan buruh perkotaan untuk tidak dilakukan outsourcing berarti secara implisit buruh meminta kepastian status. Artinya, tingkat kesejahteraan buruh saat ini memerlukan perbaikan. Pemerintah tentu saja menghadapi dilema karena outsourcing adalah bagian dari fenomena sistem pemanfaatan pekerja. Untuk itu, ada tiga sasaran program kompensasi kepada akses pekerjaan para istri buruh kontrak, yaitu, meningkatkan akses dan keterampilan, akses modal kerja, dan pengembangan institusi. Upaya untuk meningkatkan mutu tenaga kerja dilakukan kepada yang berpendidikan tinggi sekaligus bagi yang pendidikan menengah. Berdasarkan data yang ada, di tahun 2010 terdapat 7,5 persen angkatan kerja yang berpendidikan Diploma keatas. Sampai tahun 2025 angkanya diperkirakan mencapai 16 persen dari seluruh tenaga kerja. Sementara itu, tenaga kerja berpendidikan menengah mendominasi pasokan tenaga kerja terdidik. Proporsinya meningkat dari 14,7 persen menjadi 20 persen. Sementara tenaga kerja yang hanya menamatkan sekolah dasar akan turun dari 50,4 persen di tahun 2010 menjadi 30 persen. Krisis ekonomi di eropa saat ini telah membuat angka pengangguran tertinggi di abad ke 21, seperti di Italia, Spanyol dan Yunani, angka pengangguran terdidik usia muda sudah diatas 55 persen. Hingga kini belum ada tanda menurun. Penganguran di negara yang pasarkerjanya formal serta pemerintahnya menganut negara kesejahteraan, persoalannya jauh lebih berat dibandingkan dengan

Page 39: Modul Non Formal Ok

III-30

pengangguran terbuka di negara berkembang. Masyarakat disana terbiasa dimanjakan oleh sistem kompensasi pengangguran. Dan, ditambah dengan ketatnya regulasi, pekerjaan non formal sulit ditumbuhkan sehingga masyarakatnya tidak terbiasa masuk ke pasar kerja diluar sistem upahan. Sebaliknya, seperti di Indonesia dengan pertumbuhan ekonomi 6-6,5 persen, angka pengangguran terbukanya menurun dari sekitar 9 persen di tahun 2007 menjadi sekitar 6 persen di tahun 2012. Namun, walaupun angka pengangguran terbukanya rendah tapi angka pengangguran terdidik dari kalangan muda tetap menghawatirkan. Menurut Susenas, sarjana jurusan sains dasar dan ilmu pertanian, serta jurusan sosial seperti hukum, keagamaan dan sastra, angka pengaggurannya sudah diatas 30 persen. Hanya sarjana jurusan seperti IT, akuntansi dan bisnis yang angkanya dibawah 10 persen. Pengangguran lulusan SLTA juga masih tinggi, walaupun tamatan sekolah kejuruan. Pengangguran terbuka anak muda ini diperparah dengan kenyataan bahwa mereka yang bekerja pun masih rendah jam kerjanya. Jika digabung antara pengangguran dan yang bekerja di bawah jam kerja normal (dibawah 15 jam per minggu), maka pengangguran terselubung anak muda terdidik merupakan fenomena sangat serius di masa mendatang. Kebijakan Gubernur DKI Jakarta menaikkan UMP menjadi Rp2.2 juta menimbulkan pro kontra. Para pekerja dan serikat buruh merasa diuntungkan. Di sisi lain, para pengusaha menilai kebijakan ini sangat memberatkan. Para akademisi pun ikut terbelah dalam menilai kebijakan ini. Yang setuju, menganggap kebijakan ini akan meningkatkan standar hidup kelompok masyarakat miskin. Pada gilirannya, kenaikan upah diharapkan mampu meningkatkan produktivitas dan kemampuan pekerja. Yang kontra, mengatakan bahwa kebijakan ini akan merugikan usaha kecil yang tidak mampu membayar pekerjanya lebih tinggi. Kenaikan upah juga diperkirakan akan menaikkan harga sebagai imbas dari kenaikan upah. Isu upah minimum telah menjadi perdebatan global sejak pertama kali diperkenalkan tahun 1894 di Selandia Baru. Terakhir majalah The Economist (24 November 2012) memuat satu artikel mengenai kebijakan ini yang menyatakan bahwa kebijakan upah minimum secara moderat bisa memberikan manfaat. Sebagai contoh, kenaikan upah minimum di restoran cepat-saji di New Jersey dan Pennsylvania, Amerika Serikat, ternyata justru menaikkan jumlah pekerja. Ini berbeda dengan teori ekonomi yang menyatakan sebaliknya. Namun, penelitian lain menemukan bahwa kenaikan terhadap upah minimum memberikan dampak yang sangat buruk bagi tingkat pengangguran. Dari sisi ekonomi kenaikan upah minimum menjadi insentif bagi para pekerja untuk masuk ke dalam pasar tenaga kerja sehingga meningkatkan pasokan pekerja. Sementara itu, kenaikan upah meningkatkan biaya perusahaan sehingga permintaan pekerja harus mengurangi. Karena pasokan pekerja lebih besar daripada kemampuan perusahaan untuk mempekerjakannya maka timbullah kelebihan jumlah pekerja. Mereka ini disebut sebagai penganggur. Inilah yang melandasi banyak akademisi menentang kebijakan kenaikan upah. Dari sisi pekerjanya sendiri, kebijakan kenaikan upah minimum akan merugikan pekerja yang tidak terampil karena perusahaan hanya akan mempekerjakan yang terampil sesuai dengan biaya yang dikeluarkan. Realita inilah yang menjadi ketakutan banyak pihak. Imbas kenaikan upah minimum di perkotaan tidak hanya meningkatkan kemungkinan bertambahnya pengangguran, tapi sekaligus menjadi pintu

III-29

perdagangan (off-farm employment). Adopsi multiplikasi pekerjaan dapat dikembangkan untuk usaha sejenis, sehingga melahirkan spesialisasi dari produksi ikutan dan efisensi. Di Taiwan dan Jepang strategi ini ampuh mengatasi persoalan kemiskinan. Selain peningkatan keterampilan kerja wirausaha perluasan jenis pekerjaan perlu mengarah kepada 3 hal utama, yaitu, peningkatan akses modal yang murah dan diperlukan, penguatan kelembagaan keuangan mikro serta pendampingan agar paket pengembangan program untuk mereka berjalan sebagaimana mestinya. Kelompok sektor informal perkotaan yang mendominasi status pekerjaan pekerja mandiri. Keluarga sektor informal ditandai dengan skala usaha yang relatif terbatas, dengan akumulasi modal yang terbatas pula. Sekitar dua per tiga dari mereka masuk kedalam status diluar sistem upahan. Yang masuk kedalam kategori ini ialah pekerja keluarga tanpa dibayar, pekerja mandiri, pekerja dengan dibantu buruh tetap, dan pekerja bukan dibantu buruh tetap. Kelompok ini sangat tahan terhadap goncangan eksternal, namun tetap perlu memperoleh proteksi dan pengembangan dari pemerintah. Karena itu, status seperti ini banyak dipilih masyarakat daripada menjadi petani dengan pertimbangan pendapatan yang dijanjikan sektor ini lebih jelas daripada sektor pertanian. Kebutuhan keluarga sektor informal ini tergantung pada jenis pekerjaannya. Bagi yang bekerja di sektor peningkatan nilai tambah maka usaha mengembangkan keterampilan, kualitas produksi dan permodalan adalah kebutuhan penting. Bagi yang bekerja di sektor penjualan maka yang diperlukan adalah jaminan tempat berusaha, sekaligus kebutuhan permodalan dan teknologi agar mereka bisa mengembangkan diri. Untuk sektor informal perkotaan, penataan jenis usaha dan skala usaha merupakan kebutuhan untuk meningkatkan produktivitas kerjanya. Untuk buruh miskin perkotaan, perlu diperhatikan agar mereka memperoleh akses guna meningkatkan aktivitas kerjanya. Keterampilan, modal kerja serta institusi menjadi sasaran dari paket kebijakan peningkatan produktivitas kerja. Untuk buruh kontrak, yang diinginkan adalah kepastian pembayaran upah tidak tetap. Bahkan terakhir ini semakin besar keinginan untuk menjadi pekerja permanen. Tuntutan buruh perkotaan untuk tidak dilakukan outsourcing berarti secara implisit buruh meminta kepastian status. Artinya, tingkat kesejahteraan buruh saat ini memerlukan perbaikan. Pemerintah tentu saja menghadapi dilema karena outsourcing adalah bagian dari fenomena sistem pemanfaatan pekerja. Untuk itu, ada tiga sasaran program kompensasi kepada akses pekerjaan para istri buruh kontrak, yaitu, meningkatkan akses dan keterampilan, akses modal kerja, dan pengembangan institusi. Upaya untuk meningkatkan mutu tenaga kerja dilakukan kepada yang berpendidikan tinggi sekaligus bagi yang pendidikan menengah. Berdasarkan data yang ada, di tahun 2010 terdapat 7,5 persen angkatan kerja yang berpendidikan Diploma keatas. Sampai tahun 2025 angkanya diperkirakan mencapai 16 persen dari seluruh tenaga kerja. Sementara itu, tenaga kerja berpendidikan menengah mendominasi pasokan tenaga kerja terdidik. Proporsinya meningkat dari 14,7 persen menjadi 20 persen. Sementara tenaga kerja yang hanya menamatkan sekolah dasar akan turun dari 50,4 persen di tahun 2010 menjadi 30 persen. Krisis ekonomi di eropa saat ini telah membuat angka pengangguran tertinggi di abad ke 21, seperti di Italia, Spanyol dan Yunani, angka pengangguran terdidik usia muda sudah diatas 55 persen. Hingga kini belum ada tanda menurun. Penganguran di negara yang pasarkerjanya formal serta pemerintahnya menganut negara kesejahteraan, persoalannya jauh lebih berat dibandingkan dengan

Page 40: Modul Non Formal Ok

III-31

masuk masyarakat pedesaan untuk mencoba peruntungan di perkotaan sehingga tentu menambah jumlah penduduk perkotaan. Kebijakan upah minimum yang dilakukan oleh Inggris bisa menjadi contoh yang baik jika ingin tetap melakukan kebijakan upah minimum. Kebijakan yang diterapkan melakukan pendekatan yang berbeda kepada pekerja senior dan pekerja muda. Pekerja muda mendapatkan upah minimum yang lebih rendah daripada pekerja senior. Perbedaan ini disesuaikan setiap tahun sehingga akhirnya pekerja muda memiliki upah minimum yang sama dengan pekerja senior. Pada saat ini, dampak dari kebijakan upah minimum terhadap pengangguran tidak terlalu besar. Dampak paling mencolok dari kebijakan ini adalah penyebaran upah yang mampu meningkatkan pendapatan dan mengurangi kesenjangan. Kesenjangan di Inggris telah menurun drastis sejak tahun 1990an. Pihak yang paling diuntungkan adalah perempuan sehingga pendapatannya tidak terlalu jauh dibandingkan dengan pekerja laki-laki. Pihak lain yang diuntungkan adalah pekerja yang selama ini memperoleh pendapatan sangat rendah. Adalah tugas pembuat kebijakan untuk memastikan kebijakannya tidak menimbulkan efek negatif bagi pasar tenaga kerja. Ini menjadi sangat penting mengingat pasar tenaga kerja kita sangat besar dengan jumlah pekerja muda yang semakin besar dan harus bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin. Kebijakan yang mengutamakan pada kesejahteraan tenaga kerja adalah konsekwensi logis tuntutan buruh. Dari struktur pasar kerja Indonesia memperlihatkan 40 persen tenaga kerja terikat dengan upah. Sisanya pekerja di luar sektor upahan, berupa self employed dan unpaid family worker. Kelompok pekerja tersebut tentunya tidak masuk ke dalam prioritas tersebut. Secara empiris, buruh yang ikut anggota perserikatan relatif memiliki kesejahteraan lebih baik daripada yang bukan anggota. Namun yang diantisipasi adalah kualitas dari tuntutan buruh yang mengarah kepada ketidakstabilan proses kerja pada industri. Akumulasi masalah lain juga terlihat. Jika angka pengangguran terbuka menurun, angka pekerja tidak tetap menunjukan kenaikan misalnya 16,7 persen di tahun 2009 menjadi 21,1 persen di tahun 2011. Jadi secara implicit, menurunnya angka pengangguran sebenarnya menaikkan jumlah pekerja tidak tetap. Kelompok ini tidak sama dengan buruh, kelompok ini masuk ke dalam kelompok pekerja inklusif. Kenapa daya serap ekonomi menggeser pola pemanfaatan tenaga kerja? Setidaknya beberapa argumentasi dapat dijelaskan. Pertama adalah tenaga kerja yang ada sekarang masuk dalam kategori tenaga kerja tidak terampil atau separuh terampil. Komposisi tenaga kerja tidak terampil ini 49,3 persennya hanya tamat sekolah dasar. Pada pasar kerja berpendidikan rendah ditandai dengan upah yang rendah. Akan tetapi saat serikat pekerja makin meningkat intensitas perjuangannya, muncul persoalan ikutan berupa tuntutan kenaikan upah. Bahkan terakhir ini semakin intensif tuntutan untuk menjadikan buruh kontrak menjadi buruh permanen. Tarik menarik situasi pasar kerja akan semakin marak pada masa mendatang. Kedua adalah tidak meratanya daya tarik investasi antar daerah. Permintaan tenaga kerja murah sangat tinggi di daerah kawasan industry yang terkonsentrasi di sekitar Jabodetabek atau

Page 41: Modul Non Formal Ok

III-32

Gerbangkertasila Jawa Timur. Arah investasi selama ini berdampak semakin tingginya mobilitas tenaga kerja. Daerah tujuan tenaga kerja kasar ditandai dengan tingkat pengangguran ‘impor’ terbuka yang relatif tinggi. Sebenarnya Indonesia membutuhkan pemerataan investasi supaya terjadi perluasan lapangan kerja sekaligus pemerataan hasil pembangunan. Ketiga, kemajuan ekonomi umumnya didukung oleh teknologi yang semakin tinggi yang pada gilirannya membutuhkan pekerja terampil. Pasokan tenaga terampil ini seringkali tidak mampu dipenuhi dari dalam negeri sehingga diisi oleh tenaga kerja asing. Keempat dari sisi pasokan tenaga kerja, semakin tahun semakin banyak pencari kerja muda yang berpendidikan menengah dan tingg. Diperkirakan para tamatan pendidikan tinggi tidak siap memasuki dunia kerja. Susenas memperlihatkan bahwa menjelang tahun 2010 angka pengangguran pencari kerja terdidik telah mencapai 20 sampai 40 persen, tergantung bidang dan jenis keilmuan yang dimiliki. Investasi berpotensi memperluas lapangan kerja. Pemerintah perlu memperbaiki kualitas penawaran tenaga kerja. Ada tiga pendekatan yang perlu dilakukan. Pertama, mengintensifkan upaya untuk membekali tenaga kerja menjadi berketrampilan. Program pengembangan kelembagaan keterampilan menjadi sangat perlu pada masa yang akan datang. Tugas ini semestinya bisa dilakukan oleh dinas tenaga kerja daerah. Kedua, pemerintah semestinya tidak hanya fokus mengelola peningkatan upah minimum. Karena setiap kenaikan upah minimum akan berdampak pada semakin berkurang penggunaan tenaga kerja yang tidak terampil akibat pengusaha berusaha menggantikan tenaga kerja dengan teknologi. Elastisitas kenaikan upah ini besarnya sekitar -0,1 persen. Artinya, setiap kenaikan 10 persen upah minimum akan menurunkan penggunaan tenaga kerja sebesar 1 persen. Ketiga, memastikan informasi pasar kerja dapat diketahui secara luas oleh pencari kerja. Semakin banyak penawaran lapangan kerja akan menurunkan pengangguran; terutama di pasar kerja formal. Banyak hasil kajian yang konsisten dengan hal ini Dewasa ini pasar kerja formal domestik berada pada kisaran 40 persen. Sebaiknya hal ini menjadi target pemerintah untuk meningkatkan karena semakin besar proporsi angkatan kerja upahan akan makin menstabilkan pasar kerja. Keempat, pemerintah perlu lebih fokus untuk meningkatkan mutu pasokan tenaga kerja yang di luar sistem pasar kerja formal. Selama ini pekerja informal masih belum banyak mendapatkan perhatian dan sentuhan. Dalam kasus seperti ini, maka setiap daerah memerlukan peta jalan yang jelas bagaimana meningkatkan keberadaan dari pasar kerja informal. Tanpa ini dilakukan, maka pengangguran terbuka sebenarnya menunggu efek negatif ikutannya.

Tujuan Pembelajaran

1. Kompetensi Dasar: Setelah mengikuti materi penduduk usia lanjut di Indonesia ini, peserta diharapkan mampu mempraktikkan penyampaian materi penduduk usia lanjut di Indonesia.

III-31

masuk masyarakat pedesaan untuk mencoba peruntungan di perkotaan sehingga tentu menambah jumlah penduduk perkotaan. Kebijakan upah minimum yang dilakukan oleh Inggris bisa menjadi contoh yang baik jika ingin tetap melakukan kebijakan upah minimum. Kebijakan yang diterapkan melakukan pendekatan yang berbeda kepada pekerja senior dan pekerja muda. Pekerja muda mendapatkan upah minimum yang lebih rendah daripada pekerja senior. Perbedaan ini disesuaikan setiap tahun sehingga akhirnya pekerja muda memiliki upah minimum yang sama dengan pekerja senior. Pada saat ini, dampak dari kebijakan upah minimum terhadap pengangguran tidak terlalu besar. Dampak paling mencolok dari kebijakan ini adalah penyebaran upah yang mampu meningkatkan pendapatan dan mengurangi kesenjangan. Kesenjangan di Inggris telah menurun drastis sejak tahun 1990an. Pihak yang paling diuntungkan adalah perempuan sehingga pendapatannya tidak terlalu jauh dibandingkan dengan pekerja laki-laki. Pihak lain yang diuntungkan adalah pekerja yang selama ini memperoleh pendapatan sangat rendah. Adalah tugas pembuat kebijakan untuk memastikan kebijakannya tidak menimbulkan efek negatif bagi pasar tenaga kerja. Ini menjadi sangat penting mengingat pasar tenaga kerja kita sangat besar dengan jumlah pekerja muda yang semakin besar dan harus bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin. Kebijakan yang mengutamakan pada kesejahteraan tenaga kerja adalah konsekwensi logis tuntutan buruh. Dari struktur pasar kerja Indonesia memperlihatkan 40 persen tenaga kerja terikat dengan upah. Sisanya pekerja di luar sektor upahan, berupa self employed dan unpaid family worker. Kelompok pekerja tersebut tentunya tidak masuk ke dalam prioritas tersebut. Secara empiris, buruh yang ikut anggota perserikatan relatif memiliki kesejahteraan lebih baik daripada yang bukan anggota. Namun yang diantisipasi adalah kualitas dari tuntutan buruh yang mengarah kepada ketidakstabilan proses kerja pada industri. Akumulasi masalah lain juga terlihat. Jika angka pengangguran terbuka menurun, angka pekerja tidak tetap menunjukan kenaikan misalnya 16,7 persen di tahun 2009 menjadi 21,1 persen di tahun 2011. Jadi secara implicit, menurunnya angka pengangguran sebenarnya menaikkan jumlah pekerja tidak tetap. Kelompok ini tidak sama dengan buruh, kelompok ini masuk ke dalam kelompok pekerja inklusif. Kenapa daya serap ekonomi menggeser pola pemanfaatan tenaga kerja? Setidaknya beberapa argumentasi dapat dijelaskan. Pertama adalah tenaga kerja yang ada sekarang masuk dalam kategori tenaga kerja tidak terampil atau separuh terampil. Komposisi tenaga kerja tidak terampil ini 49,3 persennya hanya tamat sekolah dasar. Pada pasar kerja berpendidikan rendah ditandai dengan upah yang rendah. Akan tetapi saat serikat pekerja makin meningkat intensitas perjuangannya, muncul persoalan ikutan berupa tuntutan kenaikan upah. Bahkan terakhir ini semakin intensif tuntutan untuk menjadikan buruh kontrak menjadi buruh permanen. Tarik menarik situasi pasar kerja akan semakin marak pada masa mendatang. Kedua adalah tidak meratanya daya tarik investasi antar daerah. Permintaan tenaga kerja murah sangat tinggi di daerah kawasan industry yang terkonsentrasi di sekitar Jabodetabek atau

Page 42: Modul Non Formal Ok

III-33

2. Indikator Keberhasilan Setelah mempelajari materi penduduk usia lanjut di Indonesia ini, diharapkan peserta mampu: a. Memahami konsep dasar penduduk usia produktif b. Menjelaskan status dan kondisi penduduk usia produktif yang jumlahnya semakin

meningkat. c. Menjelaskan konsekuensi dari kondisi meningkatnya penduduk usia produktif d. Menjelaskan kebijakan dan program yang diperlukan untuk mempertahankan produktivitas

penduduk e. Menjelaskan kontribusi apa yang bisa dilakukan untuk mendukung penduduk usia produktif f. Mempraktikkan penyampaian materi penduduk usia lanjut di Indonesia.

Tujuan Khusus

Materi dasar yang dikembangkan sedikitnya akan meliputi isu-isu sebagai berikut:

Isu Pokok Pengertian Tentang Penduduk Usia Produktif dan Ketenagakerjaan Cakupan Isu utama yang perlu disajikan disini adalah mengenai konsep dasar

tentang penduduk usia produktif dan ketenagakerjaan. Apa sesungguhnya yang dimaksud sebagai “penduduk usia produktif dan ketenagakerjaan” oleh BKKBN. Kejelasan tentang konsep ini diperlukan untuk menghidari kerancuan batasan pengertian yang digunakan di “kelompok masyarakat lain” di Indonesia yang juga berkait dan bersinggungan dengan “penduduk usia produktif dan ketenagakerjaan” tersebut

Isu Pokok Status Penduduk Usia Produktif & Ketenagakerjaan dan Proyeksinya Cakupan Membahas jumlah, persentase, sebaran, kualitas, kesejahteraan per

pulau, per propinsi, dsb., yang digunakan sebagai informasi dasar untuk memahami penduduk usia produktif dan ketenagakerjaan tersebut. Proyeksi penduduk usia produktif dan ketenagakerjaan kedepan memperjelas pentingnya keberadaan dan peranan mereka masa mendatang.

Isu Pokok Sumbangan Perubahan Struktur Penduduk Terhadap Ekonomi Nasional dan Tingkat Kesejahteraan

Cakupan Membahas secara kritis mengenai kontribusi perubahan struktur penduduk terhadap perekonomian nasional dan tingkat kesejahteraan masyarakat. Besarnya proporsi penduduk usia produktif memberikan dampak positif dalam bentuk bonus demografi dan window of opportunity sekaligus negatif sebagai beban perekonomian dan sosial lainnya. Kedua dampak ini penting dibahas demi melihat peran dan pengaruhnya dalam pembangunan nasional.

Page 43: Modul Non Formal Ok

III-34

Isu Pokok Kebijakan dan Program Untuk Menjadikan Penduduk Usia Produktif Menjadi SDM yang Handal dan Berkualitas

Cakupan Kebijakan yang akan merekayasa status dan kondisi dasar serta menjadikan penduduk usia produktif menjadi SDM yang handal dan berkualitas yang disusun dengan didasari oleh respons kritis terhadap situasi logis-dinamis orang muda dan orientasi yang ingin dicapai di masa mendatang. Kebijakan tersebut perlu diuraikan dalam bentuk program aksi yang secara langsung akan diselenggarakan oleh pemerintah, bekerjasama dengan lembaga non-pemerintah maupun lembaga non pemerintah

Aktifitas Pelatihan

Pelatihan untuk materi ini dipersiapkan seama 90 menit, dengan urutan kegiatan sebagai berikut.

05 Menit Pendahu-luan

Berisi uraian tentang materi penduduk usia produktif dan ketenagakerjaan yang akan disampaikan dalam sesi ini. Bahan diseminasi dalam bentuk tercetak dan file diterangkan cara menggunakan dan kegunaannya. Informasi lain yang dianggap penting, jika ada

05 Menit Pengertian

Uraian verbal yang berkaitan tentang penduduk usia produktif dan ketenagakerjaan yang akan digunakan dalam diseminasi informasi, sejak waktu diseminasi hingga pelaksanaan di lapangan. Persamaan dan perbedaan mengenai pengertian ini disebutkan dan diuraikan secara jelas dan tegas.

25 Menit Status

Uraian verbal mengenai: jumlah, persentase (proporsi terhadap total), sebaran, kualitas, kesejahteraan per pulau, per propinsi, untuk disepakati dan difahami sebagai informasi dasar memahami topik mengenai penduduk usia produktif dan ketenagakerjaan. Aspek penting mengenai jumlah, persentase, sebaran, kualitas, kesejahteraan diberikan tekanan/garis bawah dan dibahas menjadi salah satu isu sentral pembahasan topik penduduk usia produktif dan ketenagakerjaan. Uraian verbal mengenai pengalaman masa lalu dari penduduk usia produktif dan ketenagakerjaan dikaitkan dengan uraian verbal mengenai informasi dasar tersebut diatas. Unsur positif dan negatif dari pengalaman tersebut diberi penekanan memadai. Perkiraan dan proyeksi ke depan diuraikan dan diberi penekanan dalam segi positif dan negatifnya; terutama berkaitan dengan upaya memaksimalkan peranan penduduk usia produktif dan ketenagakerjaan bagi

III-33

2. Indikator Keberhasilan Setelah mempelajari materi penduduk usia lanjut di Indonesia ini, diharapkan peserta mampu: a. Memahami konsep dasar penduduk usia produktif b. Menjelaskan status dan kondisi penduduk usia produktif yang jumlahnya semakin

meningkat. c. Menjelaskan konsekuensi dari kondisi meningkatnya penduduk usia produktif d. Menjelaskan kebijakan dan program yang diperlukan untuk mempertahankan produktivitas

penduduk e. Menjelaskan kontribusi apa yang bisa dilakukan untuk mendukung penduduk usia produktif f. Mempraktikkan penyampaian materi penduduk usia lanjut di Indonesia.

Tujuan Khusus

Materi dasar yang dikembangkan sedikitnya akan meliputi isu-isu sebagai berikut:

Isu Pokok Pengertian Tentang Penduduk Usia Produktif dan Ketenagakerjaan Cakupan Isu utama yang perlu disajikan disini adalah mengenai konsep dasar

tentang penduduk usia produktif dan ketenagakerjaan. Apa sesungguhnya yang dimaksud sebagai “penduduk usia produktif dan ketenagakerjaan” oleh BKKBN. Kejelasan tentang konsep ini diperlukan untuk menghidari kerancuan batasan pengertian yang digunakan di “kelompok masyarakat lain” di Indonesia yang juga berkait dan bersinggungan dengan “penduduk usia produktif dan ketenagakerjaan” tersebut

Isu Pokok Status Penduduk Usia Produktif & Ketenagakerjaan dan Proyeksinya Cakupan Membahas jumlah, persentase, sebaran, kualitas, kesejahteraan per

pulau, per propinsi, dsb., yang digunakan sebagai informasi dasar untuk memahami penduduk usia produktif dan ketenagakerjaan tersebut. Proyeksi penduduk usia produktif dan ketenagakerjaan kedepan memperjelas pentingnya keberadaan dan peranan mereka masa mendatang.

Isu Pokok Sumbangan Perubahan Struktur Penduduk Terhadap Ekonomi Nasional dan Tingkat Kesejahteraan

Cakupan Membahas secara kritis mengenai kontribusi perubahan struktur penduduk terhadap perekonomian nasional dan tingkat kesejahteraan masyarakat. Besarnya proporsi penduduk usia produktif memberikan dampak positif dalam bentuk bonus demografi dan window of opportunity sekaligus negatif sebagai beban perekonomian dan sosial lainnya. Kedua dampak ini penting dibahas demi melihat peran dan pengaruhnya dalam pembangunan nasional.

Page 44: Modul Non Formal Ok

III-35

pembangunan nasional di masa mendatang. 25 Menit Perubahan Struktur Penduduk

Uraian verbal mengenai perubahan penduduk usia produktif dan ketenagakerjaan dan berbagai dampaknya terhadap perekonomian dan kesejahteraan saat kini dan potensinya di masa mendatang.

10 Menit Kebijakan dan Program

Uraian verbal berbagai kebijakan yang dimaksudkan untuk mengurangi, dan menghilangkan bila mungkin, hambatan kepada penduduk usia produktif dan ketenagakerjaan untuk berkontrbusi positif kepada pembangunan bangsa. Program-program turunan kebijakan tersebut diarahkan sesuai skala proritas terhadap masalah penduduk usia produktif dan ketenagakerjaan yang sudah diidentifikasikan pada bagian sebelumnya. Perlu mendapat perhatian disini adalah bahwa program yang diuraikan tidak semuanya harus menjadi tanggung jawab pemerintah sebagai pelaksana teknisnya. Beberapa program dapat dilakukan secara simbiosis dengan lembaga non pemerintah, atau bahkan sepenuhnya dilakukan oleh lembaga non pemerintah.

20 Menit Tanya-Jawab

Merupakan alokasi waktu yang digunakan untuk memperjelas dan mendiskusikan materi tentang penduduk usia produktif dan ketenagakerjaan yang sedang disajikan. Selain disiapkan di bagian akhir diseminasi, tanya-jawab serta diskusi dapat dilaksanakan di tengah-tengah acara diseminasi. Namun, perlu dicatat bahwa waktu yang direncanakan/disediakan berkisar pada jangka waktu tersebut.

Materi Pelatihan Berikut adalah beberapa materi yang perlu dipersiapkan menjelang dan ketika pelatihan dan/atau diseminasi informasi dilakukan:

Menjelang Bahan diseminasi dalam bentuk tercetak dan file yang dikemas dalam CD-ROM atau flash-disk. Materi yang dipergunakan sebagai bahan diseminasi berbentuk makalah dan bahan penyajian materi diseminasi di depan kelas. Materi pendukung lain yang diperlukan, jika ada

Saat Pelaksanaan

Bahan diseminasi dalam bentuk tercetak dan file yang dikemas dalam CD-ROM atau flash-disk. Komputer atau lap top untuk menyajikan materi diseminasi Alat Sorot Layar Penampil Sorot Papan Tulis Putih Pena Tulis Papan Tulis Putih Alat Tulis Menulis Perkakas Pelantang

Page 45: Modul Non Formal Ok

IV-36

Penduduk Usia Lanjut di Indonesia

Pengantar

Difinisi Lansia dan hak-haknya menurut UU No.13/1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia yang dimaksud dengan lanjut usia adalah penduduk yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Lansia termasuk dalam kategori penduduk rentan dilihat dari kemunduran dari segi fisik, psikologis, sosial, eknomi dan kesehatan sehingga mereka terlindung oleh jaminan sosial. UU No.11/2009 tentang Kesejahteraan Sosial yang diberikan dalam bentuk asuransi kesejahteraan sosial dan bantuan langsung berkelanjutan. Penduduk lansia dunia meningkat 3 kali selama 1950-2000, maningkat dari 205 juta jiwa menjadi 606 juta jiwa. Proyeksi di tahun 2050 akan naik 3 kali menjadi 2 miliar jiwa. Penduduk lansia usia 60 tahun keatas Indonesia meningkat lebih cepat dari 4,95 juta jiwa di tahun 1950 menjadi 16,14 juta jiwa pada tahun 2000 kemudian menjadi 18,04 juta jiwa di tahun 2010. Proyeksi di tahun 2050 akan mencapai 69,53 juta jiwa, naik lebih dari 4 kali lipat. Pada tahun 1950 terdapat 1 dari 16 lansia, turun menjadi 1 dari 18 penduduk di tahun 1975 kemudian naik menjadi 1 dari 13 penduduk di 2000. Pada tahun 2050, diproyeksikan dari 1 dari 4 orang adalah lansia. Transisi demografi, penurunan mortalitas-fertilitas, meningkatkan jumlah lansia. Di negara maju, TFR untuk periode 1950-1955 sebesar 2,8 anak per wanita. Untuk periode 2000-2005 sebesar 1,5 anak per wanita dan saat ini dibawah 2,1 anak per wanita, di beberapa negara bahkan 1,3 anak per wanita. Di Indonesia, TFR untuk periode 1950-1955 adalah 5,5 anak per wanita, menjadi 2,3 anak per wanita untuk periode 2000-2005 dan kini sampai 2050 diproyeksikan 2,1 anak per wanita. Peningkatan angka harapan hidup (AHH) sejalan dengan penurunan angka kematian penduduk. Angka harapan hdup usia 60 tahun keatas meningkat di periode 2000-2050. Pada tahun 2050, AHH penduduk usia 60 tahun diproyeksikan meningkat 3,8 tahun. AHH penduduk usia 65 tahun meningkat 3,3 tahun. AHH penduduk usia 80 tahun meningkat 1,7 tahun. Karena alasan biologis dan sosial, terjadi gender gap, yaitu AHH wanita lebih tinggi daripada AHH laki-laki. Pada periode 1950-1955, AHH wanita lebih tinggi 1,2 tahun, pada 1975-1980 meningkat menjadi 2,5 tahun, kemudian pada 2000-2005 menjadi 4 tahun, dan untuk 2045-2050 diproyeksikan gender gap menjadi 4,7 tahun. Selama periode 1950-2000 perbandingan proporsi penduduk usia muda dan penduduk lansia menurun dari 6 kali lipat menjadi 4 kali lipat. Namun pada 2010 proporsi penduduk lansia menjadi lebih besar dari penduduk muda. Proporsi penduduk usia 0-14 tahun menurun dari 39 persen menjadi 31 persen. Penduduk usia muda juga menurun 8 persen. Sebaliknya, penduduk lansia meningkat dari 6 persen menjadi 8 persen. Perubahan distribusi umur selama 1950-2000 terjadi secara perlahan namun 50 tahun berikutnya diproyeksikan akan terjadi lebih cepat. Selama periode tersebut aging index meningkat setengah kali lipat, dari 16 per 100 penduduk menjadi 25 per 100 penduduk. Pada tahun 2050 diproyeksikan menjadi

III-35

pembangunan nasional di masa mendatang. 25 Menit Perubahan Struktur Penduduk

Uraian verbal mengenai perubahan penduduk usia produktif dan ketenagakerjaan dan berbagai dampaknya terhadap perekonomian dan kesejahteraan saat kini dan potensinya di masa mendatang.

10 Menit Kebijakan dan Program

Uraian verbal berbagai kebijakan yang dimaksudkan untuk mengurangi, dan menghilangkan bila mungkin, hambatan kepada penduduk usia produktif dan ketenagakerjaan untuk berkontrbusi positif kepada pembangunan bangsa. Program-program turunan kebijakan tersebut diarahkan sesuai skala proritas terhadap masalah penduduk usia produktif dan ketenagakerjaan yang sudah diidentifikasikan pada bagian sebelumnya. Perlu mendapat perhatian disini adalah bahwa program yang diuraikan tidak semuanya harus menjadi tanggung jawab pemerintah sebagai pelaksana teknisnya. Beberapa program dapat dilakukan secara simbiosis dengan lembaga non pemerintah, atau bahkan sepenuhnya dilakukan oleh lembaga non pemerintah.

20 Menit Tanya-Jawab

Merupakan alokasi waktu yang digunakan untuk memperjelas dan mendiskusikan materi tentang penduduk usia produktif dan ketenagakerjaan yang sedang disajikan. Selain disiapkan di bagian akhir diseminasi, tanya-jawab serta diskusi dapat dilaksanakan di tengah-tengah acara diseminasi. Namun, perlu dicatat bahwa waktu yang direncanakan/disediakan berkisar pada jangka waktu tersebut.

Materi Pelatihan Berikut adalah beberapa materi yang perlu dipersiapkan menjelang dan ketika pelatihan dan/atau diseminasi informasi dilakukan:

Menjelang Bahan diseminasi dalam bentuk tercetak dan file yang dikemas dalam CD-ROM atau flash-disk. Materi yang dipergunakan sebagai bahan diseminasi berbentuk makalah dan bahan penyajian materi diseminasi di depan kelas. Materi pendukung lain yang diperlukan, jika ada

Saat Pelaksanaan

Bahan diseminasi dalam bentuk tercetak dan file yang dikemas dalam CD-ROM atau flash-disk. Komputer atau lap top untuk menyajikan materi diseminasi Alat Sorot Layar Penampil Sorot Papan Tulis Putih Pena Tulis Papan Tulis Putih Alat Tulis Menulis Perkakas Pelantang

Page 46: Modul Non Formal Ok

IV-37

112 per 100 penduduk. Proyeksi di negara maju pada angka 215 per 100 penduduk. Di eropa angkanya 263 per 100 penduduk. Usia median penduduk Indonesia naik 4,6 tahun, dari 20 tahun menjadi 24,6 tahun. Angka ini diatas angka dunia yang naik 3 tahun, tetapi dibawah angka negara maju yang meningkat 8 tahun. Pada tahun 2050, angka media Indonesia diproyeksikan naik 13 tahun sehingga umur media Indonesia menjadi 38 tahun. Proses penuaan global karena makin cepatnya proses penuaan penduduk usia 80+ dibandingkan kelompok lansia usia 60-79 tahun. Pada tahun 2000-2005, rata-rata pertumbuhan penduduk usia 80+ adalah 1,5 kali lebih tinggi dari pertumbuhan penduduk usia 60-79 tahun. Hasil SP-2010 menunjukkan penduduk usia 80+ telah mencapai 10 persen dari jumlah penduduk usia 60-79. Pada periode 2025-2030, diproyeksikan rata-rata pertumbuhan penduduk usia 80+ menurun 1,2 persen, namun akan naik lagi menjadi 4,8 persen pada tahun 2045-2050. Rata-rata pertumbuhan penduduk usia 80+ mencapai 2, 8 kali lebih tinggi dari pertumbuhan penduduk usia 60-79, sehingga merubah komposisi penduduk menurut umur. Selama periode 1950-2010, sex ratio penduduk usia 60-79 tahun menurun dari 94 menjadi 85 tahun. Pada tahun 2050 angkanya diperkirakan akan menurun menjadi 83. Selama periode 1950-2010, sex ratio penduduk usia 80+ menurun dari 87 menjadi 70 tahun. Pada tahun 2050 angkanya diperkirakan akan menurun menjadi 56. Total dependency ratio Indonesia pada periode 1950-1975 menigkat dari 75,8 persen menjadi 80,6 persen. Untuk angka dunia adalah 65 persen menjadi 74 persen. Penyebabnya karena angka fertilitas masih tinggi tetapi angka mortalitas sudah menurun. Sejalan dengan penurunan angka fertilitas, di tahun 2000 dependency ratio menjadi 55,2 persen. Pada tahun 2025 dan 2050 diproyeksikan menjadi 45,7 persen dan 57,1 persen. Angka di tahun 2050 hampir sama dengan angka di tahun 2000. Meskipun demikian, di tahun 2000 mayoritas yang menjadi tanggungan adalah penduduk usia muda, sedangkan tahun 2050 adalah penduduk lansia. Terjadi perubahan beban tanggungan penduduk usia muda 47,7 persen dan lansia 7,5 persen menjadi 31,3 persen penduduk muda dan 25,8 persen lansia. Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) lansia selama periode 1950-2010 telah terjadi penurunan dari 58 persen menjadi 31 persen. Lansia wanita menurun dari 31 persen menjadi 23 persen dan lansia laki-laki menurun dari 88 persen menjadi 40 persen. Secara umum, TPAK laki-laki leih tinggi daripada wanita. Namun karena cepatnya penurunan TPAK laki-laki lansia menyebabkan TPAK wanita jadi meningkat. TPAK lansia di Indonesia relatif lebih tinggi daripada di negara maju karena di Indonesia jaminan hari tua belum merata sehingga lansia di Indonesia harus tetap bekerja untuk memenuhi keperluan mereka. Angka buta huruf lansia di negara maju relatif stabil di persentase rendah sedangkan di negara sedang berkembang termasuk Indonesia terus menurun angkanya. Untuk periode 1980-2010, angka buta huruf lansia Indonesia menurun dari 77 persen menjadi33 persen. Penurunan angka ini lebih besar terjadi di kelompok wanita daripada di laki-laki. Pada laki-laki menurun dari 62 persen menjadi 22 persen dan pada wanita menurun dar 90 persen menjadi 42 persen. Gender gap menurun dari 28 angka menjadi 20 angka.

Page 47: Modul Non Formal Ok

IV-38

Angka buta huruf meningkat sejalan dengan peningkatan kelompok umur; kelompok umur lebih tua lebih banyak yang buta huruf. Pada tahun 2010, angka untuk lansia 70+ adalah 41 persen angka untuk lansia 65-69 tahun adalah 32 persen dan untuk angka lansia 60-64 tahun adalah 24 persen. Dikaitkan dengan masalah perubahan sosisal, budaya dan ekonomi, ada 3 gap yang dihadapi oleh lansia, yaitu, kesenjangan geografis, kesenjangan sosial budaya dan kesenjangan pengelolaan ekonomi rumahtangga. Akibat mobilitas sosial, menyebabkan terjadi kesenjangan psikologis hubungan anak-orangtua lansia sehingga beban pelayanan psikologis anak teralih menjadi beban pelayanan ekonomis yang dilakukan oleh profesional. Kesenjangan sosial-budaya mengalienasikan orangtua lansia sehingga menghilangkan hubungan erat yang emula ada di peer-group extended family. Kesenjangan ekonomi sejalan dengan bergesernya ukuran keluarga dari keluarga besar menjadi keluarga inti menyebabkan sulitnya menyantuni orangtua lansia karena sumber dan fungsi suberdaya ekonomi menyempit sesuai ukuran skala prioritas keluarga. Kesenjangan lain sejalan dengan kemunduran kondisi fungsional organ lansia yang menyebabkan ketidakmampuan mengurus dirinya secara mandiri sehingga lansia perlu disantuni. Dalam hal ini ad 3 isu pokok yang saling terkait, siapa yang bertanggungjawab, bagaimana prosedurnya, dan dalam bentuk apa serta besaran santunan tersebut. Sedangkan bentuk santunannya terbagi menjadi santunan ekonomi, sosial dan kesehatan. Persoalan biasanya timbul pada wanita di pedesaan dan tidak bekerja yang ditinggal meninggal suami pencari nafkahnya di saat anaknya tinggal di tempat yang jauh, sehingga perlu santunan. Semua tanggung jawab itu tidak mungkin seluruhnya diserahkan kepada pemerintah. Karena itu, berbagai persiapan perlu dilakukan oleh keluarga dan masyarakat untuk mengantisipasi penduduk yang makin menua ini. Lansia yang mengalami migrasi seumur hidup di tahun 2010 sebesar 7,56 persen dengan proporsi laki-laki lebih besar daripada wanita, 53 persen berbanding 47 persen. Keadaan sebaliknya terjadi pada lansia usia 75+ tahun dimana wanita proporsinya lebih besar daripada laki-laki. Sementara karena alasan penurunan fungsi tubuh, migrasi risen lansia sebesar 2 persen. Artinya, lansia cenderung tidak mobil. Sesuai dengan karakteristik lansia, maka kebutuhannya dibagi menjadi dua, yaitu kebutuhan fisik dan non fisik. Kebutuhan fisik adalah kebutuhan yang terkait dengan kebutuhan dasar seperti makan, minum, tempat tinggal serta kesehatan. Sementara kebutuhan non fisik merupakan akumulasi dari kebutuhan sosial dan psikologis. Dengan idnetifikasi kebutuhan lansia tersebut maka semua kebijakan mengenai lansia harus ditujukan untuk memenuhi semua kebutuhan tersebut. Berdasarkan UU No.11/2009 tentang kesejahteraa sosial lansia mendapatkan santunan kesejahteraan sosial dari pemerintah daerah dalam bentuk asuransi kesejahteraan sosial dan bantuan langsung berkelanjutan. Bantuan bagi lansia yang tidak produktif nilainya Rp 300 ribu per bulan. Bagi lansia yang masih produktif, bantuan berupa kredit lunak dan pelatihan.

IV-37

112 per 100 penduduk. Proyeksi di negara maju pada angka 215 per 100 penduduk. Di eropa angkanya 263 per 100 penduduk. Usia median penduduk Indonesia naik 4,6 tahun, dari 20 tahun menjadi 24,6 tahun. Angka ini diatas angka dunia yang naik 3 tahun, tetapi dibawah angka negara maju yang meningkat 8 tahun. Pada tahun 2050, angka media Indonesia diproyeksikan naik 13 tahun sehingga umur media Indonesia menjadi 38 tahun. Proses penuaan global karena makin cepatnya proses penuaan penduduk usia 80+ dibandingkan kelompok lansia usia 60-79 tahun. Pada tahun 2000-2005, rata-rata pertumbuhan penduduk usia 80+ adalah 1,5 kali lebih tinggi dari pertumbuhan penduduk usia 60-79 tahun. Hasil SP-2010 menunjukkan penduduk usia 80+ telah mencapai 10 persen dari jumlah penduduk usia 60-79. Pada periode 2025-2030, diproyeksikan rata-rata pertumbuhan penduduk usia 80+ menurun 1,2 persen, namun akan naik lagi menjadi 4,8 persen pada tahun 2045-2050. Rata-rata pertumbuhan penduduk usia 80+ mencapai 2, 8 kali lebih tinggi dari pertumbuhan penduduk usia 60-79, sehingga merubah komposisi penduduk menurut umur. Selama periode 1950-2010, sex ratio penduduk usia 60-79 tahun menurun dari 94 menjadi 85 tahun. Pada tahun 2050 angkanya diperkirakan akan menurun menjadi 83. Selama periode 1950-2010, sex ratio penduduk usia 80+ menurun dari 87 menjadi 70 tahun. Pada tahun 2050 angkanya diperkirakan akan menurun menjadi 56. Total dependency ratio Indonesia pada periode 1950-1975 menigkat dari 75,8 persen menjadi 80,6 persen. Untuk angka dunia adalah 65 persen menjadi 74 persen. Penyebabnya karena angka fertilitas masih tinggi tetapi angka mortalitas sudah menurun. Sejalan dengan penurunan angka fertilitas, di tahun 2000 dependency ratio menjadi 55,2 persen. Pada tahun 2025 dan 2050 diproyeksikan menjadi 45,7 persen dan 57,1 persen. Angka di tahun 2050 hampir sama dengan angka di tahun 2000. Meskipun demikian, di tahun 2000 mayoritas yang menjadi tanggungan adalah penduduk usia muda, sedangkan tahun 2050 adalah penduduk lansia. Terjadi perubahan beban tanggungan penduduk usia muda 47,7 persen dan lansia 7,5 persen menjadi 31,3 persen penduduk muda dan 25,8 persen lansia. Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) lansia selama periode 1950-2010 telah terjadi penurunan dari 58 persen menjadi 31 persen. Lansia wanita menurun dari 31 persen menjadi 23 persen dan lansia laki-laki menurun dari 88 persen menjadi 40 persen. Secara umum, TPAK laki-laki leih tinggi daripada wanita. Namun karena cepatnya penurunan TPAK laki-laki lansia menyebabkan TPAK wanita jadi meningkat. TPAK lansia di Indonesia relatif lebih tinggi daripada di negara maju karena di Indonesia jaminan hari tua belum merata sehingga lansia di Indonesia harus tetap bekerja untuk memenuhi keperluan mereka. Angka buta huruf lansia di negara maju relatif stabil di persentase rendah sedangkan di negara sedang berkembang termasuk Indonesia terus menurun angkanya. Untuk periode 1980-2010, angka buta huruf lansia Indonesia menurun dari 77 persen menjadi33 persen. Penurunan angka ini lebih besar terjadi di kelompok wanita daripada di laki-laki. Pada laki-laki menurun dari 62 persen menjadi 22 persen dan pada wanita menurun dar 90 persen menjadi 42 persen. Gender gap menurun dari 28 angka menjadi 20 angka.

Page 48: Modul Non Formal Ok

IV-39

Pemerintah juga membentuk Komnas Lanjut Usia berdasarkan Kepres No.52/2004 yang bertugas untuk mengkoordunasikan segala upaya peningkatan kesejahteraan sosial para lansia. Program kesehatan untuk lansia untuk mendorong lansia tetap sehat dan berperan dalam kehidupan sehari-harinya adalah tanggungjawab pemerintah daerah dalam wujud program perawatan dan pendampingan lansia, program posyandu lansia, puskesmas lansia, dan program bina keluarga lansia. Untuk program pemberdayaan lansia, dilakukan pemerintah antara lain dalam program Program Jaminan Sosial Lanjut Usia (JSLU), Usaha Ekonomi Produktif (UEP), Program Pendampingan dan Perawatan Lansia di Rumah (Home Care) dan Posyandu Lansia.

Tujuan pembelajaran

1. Kompetensi Dasar: Setelah mengikuti materi penduduk usia lanjut di Indonesia ini, peserta diharapkan mampu mempraktikkan penyampaian materi penduduk usia lanjut di Indonesia.

2. Indikator Keberhasilan Setelah mempelajari materi penduduk usia lanjut di Indonesia ini, diharapkan peserta mampu: a. Memahami konsep dasar usia lanjut b. Menjelaskan status dan kondisi usia lanjut di Indonesia yang jumlahnya semakin meningkat. c. Menjelaskan konsekuensi dari kondisi meningkatnya usia lanjut di Indonesia d. Menjelaskan kebijakan dan program yang diperlukan untuk mempertahankan produktivitas

penduduk lanjut usia

e. Menjelaskan kontribusi apa yang bisa dilakukan dalam mempersiapkan status dan kondisi usia lanjut: Meningkatkan peran lansia dalam menjaga kesehatan dirinya, sosial dan ekonomi

sehingga menjadikan para lansia sebagai aset dan bukan beban perekonomian. Menciptakan sarana yang ramah penduduk lansia. Mempersiapkan diri dalam menghadapi usia lanjut

f. Mempraktikkan penyampaian materi penduduk usia lanjut di Indonesia.

Tujuan Khusus

Materi dasar yang dikembangkan sedikitnya akan meliputi isu-isu sebagai berikut:

Isu Pokok Pengertian Tentang Penduduk Lansia

Cakupan Isu utama yang perlu disajikan disini adalah mengenai konsep dasar tentang orang muda. Apa sesungguhnya yang dimaksud atau batasan tentang “Penduduk Lanjut Usia” oleh BKKBN.

Kejelasan tentang konsep ini diperlukan untuk menghidari kerancuan batasan pengertian yang digunakan di “kelompok masyarakat lain” di

Page 49: Modul Non Formal Ok

IV-40

Indonesia yang juga berkait dan bersinggungan dengan “penduduk lansia” tersebut

Isu Pokok Status Penduduk Lansia Saat Ini dan Proyeksinya

Cakupan Membahas jumlah, persentase, sebaran, kualitas, kesejahteraan per pulau, per propinsi, dsb., yang digunakan sebagai informasi dasar untuk memahami penduduk lansia tersebut.

Proyeksi kedepan penduduk lansia akan memperjelas aspek penting keberadaan dan peranan penduduk lansia di masa mendatang.

Isu Pokok Tantangan Yang Penduduk Lansia

Cakupan Membahas mengenai berbagai kondisi riil yang dihadapi penduduk lansia.

Selain membahas tentang persoalan fasilitas dan kesejahteraan, unsur penting yang perlu secara kritis diungkapkan adalah yang berkaitan dengan masalah-masalah yang menghambat penduduk lansia untuk dapat memperpanjang dan/atau mempertahankan potensi produktifitasnya

Isu Pokok Kebijakan dan Program untuk Memperpanjang/Mempertahankan Produktifitas Penduduk Lansia

Cakupan Kebijakan yang akan merekayasa status dan kondisi dasar serta memaksimalkan potensi penduduk lansia yang disusun berdasarkan respons kritis terhadap situasi logis-dinamis yang dihadapi penduduk lansia dan orientasi yang ingin dicapai di masa mendatang.

Kebijakan tersebut perlu diuraikan dalam bentuk program aksi yang secara langsung akan diselenggarakan oleh pemerintah, bekerjasama dengan lembaga non-pemerintah maupun lembaga non pemerintah

Aktifitas Pelatihan

Pelatihan untuk materi ini dipersiapkan seama 90 menit, dengan urutan kegiatan sebagai berikut.

05 Menit Pendahu-luan

Berisi uraian tentang materi penduduk lansia yang akan disampaikan dalam sesi ini.

Bahan diseminasi dalam bentuk tercetak dan file diterangkan cara menggunakan dan kegunaannya.

Informasi lain yang dianggap penting, jika ada

05 Menit Pengertian

Uraian verbal yang berkaitan tentang penduduk lansia yang akan digunakan dalam diseminasi informasi, sejak waktu diseminasi hingga pelaksanaan di lapangan.

IV-39

Pemerintah juga membentuk Komnas Lanjut Usia berdasarkan Kepres No.52/2004 yang bertugas untuk mengkoordunasikan segala upaya peningkatan kesejahteraan sosial para lansia. Program kesehatan untuk lansia untuk mendorong lansia tetap sehat dan berperan dalam kehidupan sehari-harinya adalah tanggungjawab pemerintah daerah dalam wujud program perawatan dan pendampingan lansia, program posyandu lansia, puskesmas lansia, dan program bina keluarga lansia. Untuk program pemberdayaan lansia, dilakukan pemerintah antara lain dalam program Program Jaminan Sosial Lanjut Usia (JSLU), Usaha Ekonomi Produktif (UEP), Program Pendampingan dan Perawatan Lansia di Rumah (Home Care) dan Posyandu Lansia.

Tujuan pembelajaran

1. Kompetensi Dasar: Setelah mengikuti materi penduduk usia lanjut di Indonesia ini, peserta diharapkan mampu mempraktikkan penyampaian materi penduduk usia lanjut di Indonesia.

2. Indikator Keberhasilan Setelah mempelajari materi penduduk usia lanjut di Indonesia ini, diharapkan peserta mampu: a. Memahami konsep dasar usia lanjut b. Menjelaskan status dan kondisi usia lanjut di Indonesia yang jumlahnya semakin meningkat. c. Menjelaskan konsekuensi dari kondisi meningkatnya usia lanjut di Indonesia d. Menjelaskan kebijakan dan program yang diperlukan untuk mempertahankan produktivitas

penduduk lanjut usia

e. Menjelaskan kontribusi apa yang bisa dilakukan dalam mempersiapkan status dan kondisi usia lanjut: Meningkatkan peran lansia dalam menjaga kesehatan dirinya, sosial dan ekonomi

sehingga menjadikan para lansia sebagai aset dan bukan beban perekonomian. Menciptakan sarana yang ramah penduduk lansia. Mempersiapkan diri dalam menghadapi usia lanjut

f. Mempraktikkan penyampaian materi penduduk usia lanjut di Indonesia.

Tujuan Khusus

Materi dasar yang dikembangkan sedikitnya akan meliputi isu-isu sebagai berikut:

Isu Pokok Pengertian Tentang Penduduk Lansia

Cakupan Isu utama yang perlu disajikan disini adalah mengenai konsep dasar tentang orang muda. Apa sesungguhnya yang dimaksud atau batasan tentang “Penduduk Lanjut Usia” oleh BKKBN.

Kejelasan tentang konsep ini diperlukan untuk menghidari kerancuan batasan pengertian yang digunakan di “kelompok masyarakat lain” di

Page 50: Modul Non Formal Ok

IV-41

Persamaan dan perbedaan mengenai pengertian ini disebutkan dan diuraikan secara jelas dan tegas.

25 Menit Status

Uraian verbal mengenai: jumlah, persentase (proporsi terhadap total), sebaran, kualitas, kesejahteraan per pulau, per propinsi, untuk disepakati dan difahami sebagai informasi dasar memahami penduduk lansia. Aspek penting mengenai jumlah, persentase, sebaran, kualitas, kesejahteraan diberikan tekanan/garis bawah dan dibahas menjadi salah satu isu sentral pembahasan topik penduduk lansia.

Uraian verbal mengenai pengalaman masa lalu dari penduduk lansia dikaitkan dengan uraian verbal mengenai informasi dasar tersebut diatas. Unsur positif dan negatif dari pengalaman tersebut diberi penekanan memadai. Perkiraan dan proyeksi ke depan diuraikan dan diberi penekanan dalam segi positif dan negatifnya; terutama berkaitan dengan upaya untuk dapat memperpanjang dan/atau mempertahankan potensi produktifitasnya.

25 Menit Tantangan

Uraian verbal mengenai berbagai tantangan yang dihadapi penduduk lansia untuk dapat memperpanjang dan/atau mempertahankan potensi produktifitas mereka di masa mendatang.

10 Menit Kebijakan dan Program

Uraian verbal berbagai kebijakan yang dimaksudkan untuk mengurangi, dan menghilangkan bila mungkin, hambatan yang dihadapi penduduk lansia dalam upayanya memperpanjang dan/atau mempertahankan potensi produktifitasnya.

Program-program turunan kebijakan tersebut diarahkan sesuai skala proritas terhadap masalah penduduk lansia yang sudah diidentifikasikan pada bagian sebelumnya. Perlu mendapat perhatian disini adalah bahwa program yang diuraikan tidak semuanya harus menjadi tanggung jawab pemerintah sebagai pelaksana teknisnya. Beberapa program dapat dilakukan secara simbiosis dengan lembaga non pemerintah, atau bahkan sepenuhnya dilakukan oleh lembaga non pemerintah.

20 Menit Tanya-Jawab

Merupakan alokasi waktu yang digunakan untuk memperjelas dan mendiskusikan materi tentang penduduk lansia yang sedang disajikan.

Selain disiapkan di bagian akhir diseminasi, tanya-jawab serta diskusi dapat dilaksanakan di tengah-tengah acara diseminasi. Namun, perlu dicatat bahwa waktu yang direncanakan/disediakan berkisar pada jangka waktu tersebut.

Page 51: Modul Non Formal Ok

IV-42

Materi Pelatihan

Berikut adalah beberapa materi yang perlu dipersiapkan menjelang dan ketika pelatihan dan/atau diseminasi informasi dilakukan:

Menjelang Bahan diseminasi dalam bentuk tercetak dan file yang dikemas dalam CD-ROM atau flash-disk. Materi yang dipergunakan sebagai bahan diseminasi berbentuk makalah dan bahan penyajian materi diseminasi di depan kelas. Materi pendukung lain yang diperlukan, jika ada

Saat Pelaksanaan

Bahan diseminasi dalam bentuk tercetak dan file yang dikemas dalam CD-ROM atau flash-disk. Komputer atau lap top untuk menyajikan materi diseminasi Alat Sorot Layar Penampil Sorot Papan Tulis Putih Pena Tulis Papan Tulis Putih Alat Tulis Menulis Perkakas Pelantang

IV-41

Persamaan dan perbedaan mengenai pengertian ini disebutkan dan diuraikan secara jelas dan tegas.

25 Menit Status

Uraian verbal mengenai: jumlah, persentase (proporsi terhadap total), sebaran, kualitas, kesejahteraan per pulau, per propinsi, untuk disepakati dan difahami sebagai informasi dasar memahami penduduk lansia. Aspek penting mengenai jumlah, persentase, sebaran, kualitas, kesejahteraan diberikan tekanan/garis bawah dan dibahas menjadi salah satu isu sentral pembahasan topik penduduk lansia.

Uraian verbal mengenai pengalaman masa lalu dari penduduk lansia dikaitkan dengan uraian verbal mengenai informasi dasar tersebut diatas. Unsur positif dan negatif dari pengalaman tersebut diberi penekanan memadai. Perkiraan dan proyeksi ke depan diuraikan dan diberi penekanan dalam segi positif dan negatifnya; terutama berkaitan dengan upaya untuk dapat memperpanjang dan/atau mempertahankan potensi produktifitasnya.

25 Menit Tantangan

Uraian verbal mengenai berbagai tantangan yang dihadapi penduduk lansia untuk dapat memperpanjang dan/atau mempertahankan potensi produktifitas mereka di masa mendatang.

10 Menit Kebijakan dan Program

Uraian verbal berbagai kebijakan yang dimaksudkan untuk mengurangi, dan menghilangkan bila mungkin, hambatan yang dihadapi penduduk lansia dalam upayanya memperpanjang dan/atau mempertahankan potensi produktifitasnya.

Program-program turunan kebijakan tersebut diarahkan sesuai skala proritas terhadap masalah penduduk lansia yang sudah diidentifikasikan pada bagian sebelumnya. Perlu mendapat perhatian disini adalah bahwa program yang diuraikan tidak semuanya harus menjadi tanggung jawab pemerintah sebagai pelaksana teknisnya. Beberapa program dapat dilakukan secara simbiosis dengan lembaga non pemerintah, atau bahkan sepenuhnya dilakukan oleh lembaga non pemerintah.

20 Menit Tanya-Jawab

Merupakan alokasi waktu yang digunakan untuk memperjelas dan mendiskusikan materi tentang penduduk lansia yang sedang disajikan.

Selain disiapkan di bagian akhir diseminasi, tanya-jawab serta diskusi dapat dilaksanakan di tengah-tengah acara diseminasi. Namun, perlu dicatat bahwa waktu yang direncanakan/disediakan berkisar pada jangka waktu tersebut.

Page 52: Modul Non Formal Ok

V-43

Urbanisasi dan Perkembangan Perkotaan di Indonesia

Pengantar

Di negara manapun, persebaran penduduknya tidak merata secara spasial-geografis. Penduduk terkonsentrasi di daerah tertentu sejalan dengan konsentrasi aktivitas ekonomi masyarakatnya. Pendududuk Indonesia terkonsentrasi di Pulau Jawa yang luas wilayah hanya 7 persen dari seluruh wilayah Indonesia. Upaya memindahkan penduduk ke pulau-pulau lain di luar Jawa hanya sedikit sekali menurunkan jumlah tersebut. Urbanisasi adalah sebuah gejala sosial penting berupa proses transformasi sosial yang bersifat ekonomi, sosial, politik maupun kebudayaan. Urbanisasi adalah sebuah proses sosial yang melibatkan aspek keruangan dan aspek sosial-demografis. Urbanisasi juga merupakan indikator pencapaian dinamika yang sedang dilalui oleh peradaban suatu bangsa. Dalam konteks dinamika kependudukan di Indonesia, urbanisasi adalah sebuah proses sosial yang penting selama 50 tahun terakhir ini. Urbanisasi secara demografis adalah semakin besarnya jumlah penduduk di perkotaan. Berdasarkan hasil SP-2010 separuh penduduk Indonesia telah tinggal di daerah perkotaan. Sejarah perkembangan banyak kota dan urbanisasi di Nusantara terkait erat dengan interaksi kekuatan negara dan kapital. Ada pendapat yang mengatakan bahwa dikuasainya Malaka oleh Portugis di tahun 1512 yelah merubah peran pedagang jawa yang semula pedagang samudra menjadi pedagang produsen pulau. Logistik perdagangan samudra dikuasai kapal asing. Pada abad ke 17, bandar-bandar besar seperti Banten, Demak dan Surabaya terjadi peralihan pekerjaan sejalan dengan dikembangkannya persawahan di daerah ini. Penurunan peran kota pesisir semakin cepat ketika politik ekonomi monopoli dan autarki dilakukan para raja dan sultan. Di Jawa, belajar dari kekalahan Majapahit, kekhawatiran Mataram terhadap pengaruh para bupati pesisir mendorong penguasaan kota-kota pesisir pantai utara Jawa. Artinya, politik mataram menjelang abad ke 18 telah meruntuhkan peran kota-kota pesisir sebagai bandar perdagangan internasional bersamaan dengan semakin menguatnya kedudukan VOC. Jalan Anyer-Panarukan memperpendek waktu tempuh dari Batavia ke Surabaya di musim kemarau dari sebulan menjadi 3-4 hari saja. Jalan aspal Batavia-Cirebon yang sejajar dengan garis pantai dibuat di tahun 1811-1816. Kehadiran jalan aspal ini telah berpengaruh terhadap perkembangan pola pemukiman penduduk yang semula tersebar menjadi mengelompok di sepanjang jalan ini. Dengan terbentuknya infrastruktur kota di pantai utara jawa ini dianggap sebagai awal pertumbuhan kota disitu. Sebagian merupakan respons penduduk terhadap terbukanya kegiatan ekonomi dan kesempatan kerja baru yang tidak lagi hanya bersifat agraris. Berdirinya beberapa pabrik gula di sepanjang kota di pantai utara Jawa juga mendorong perubahan pemukiman penduduk yang semula hanya mengelompok di sekitar muara sungai.

Page 53: Modul Non Formal Ok

V-44

Namun, ada juga pendapat yang mengatakan bahwa urbanisasi di kota pantai utara Jawa baru terlihat nyata ketika kebijakan kolonial Belanda mulai dijalankan pada abad 18. Dari perspektif kependudukan, urbanisasi adalah sebuah proses peningkatan proporsi penduduk yang hidup di perkotaan. Dengan demikian, tingkat urbanisasi adalah proporsi penduduk, dari keseluruhan jumlah penduduk di sebuah negara, yang tinggal di perkotaan. Sementara itu urbanisme adalah gaya-hidup yang biasanya ditemukan dalam di kota besar. Isu penting dalam mempelajari urbanisasi menyangkut difinisi perkotaan. Pada jaman lampau mudah untuk membedakan kota dan desa secara fisik. Di kota, penduduknya memiliki pola pemukiman yang teratur dan terintegrasi, seringkali dikelilingi oleh benteng untuk mempertahankan diri dari serangan. Situasi seperti itu sulit ditemukan sekarang karena pengaruh sarana transportasi. Penduduk tidak harus tinggal di pusat kota bahkan mereka bisa tinggal agak jauh dari tempat kerjanya. Di Indonesia, proses aglomerasi perkotaan, seperti di sekitar Jakarta, Semarang dan Surabaya; memperlihatkan semakin menyebarnya pemukiman penduduk di luar pusat kota, meskipun setiap harinya mereka harus melakukan perjalanan ke tempat kerjanya di pusat kota. Saat ini setiap negara memiliki definisinya sendiri tentang perkotaan atau pedesaan sehingga sulit melakukan perbandingan perkembangan urbanisasi secara internasional. Indikator yang digunakan adalah jumlah penduduk minimum per kilometer dan berbagai indikator sosial ekonom. Namun, kategorisasi seperti ini sering gagal menggambarkan kondisi riil sosiologis masyarakat. Fenomena peri-urban atau urban fringe yang biasanya merupakan daerah yang berada diantara kota dan desa adalah contohnya. Berbagai faktor menjadi latarbelakang proses urbanisasi dan pertumbuhan kota. Konsesnsus diantara para ahli perkotaan mengatakan perubahan struktur ekonomi sebagai pengaruh industrialisasi dan pertumbuhan sektor jasa menjadi pendorong utama urbanisasi. Pada gilirannya, pertumbuhan di sektor ini mempengaruhi sektor pertanian yang umumnya berada di pedesaan. Strategi pembangunan ekonomi Indonesia yang mengejar pertumbuhan sejak 1970an berdampak besar bagi perubahan struktur ekonomi yang kemudian mempengaruhi proses urbanisasi dan pertumbuhan perkotaan. Urbanisasi kependudukan di pengaruhi oleh tiga hal, pertama, akibat pertumbuhan fertilitas dan mortalitas dari penduduk kota itu sendiri. Kedua, migrasi neto yang umumnya bernilai positif. Ketiga, proses redifinisi dari daerah “peri-urban” menjadi “urban” (perkotaan). Proses urbanisasi dan perkembangan kependudukan di daerah perkotaan terlihat peningkatan yang relative cepat dan stabil. Secara mencolok propinsi di Pulau Jawa mendominasi perkembangan dan persebaran yang ada. Di luar Jawa, hanya Lampung, Sumatera Selatan, Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan yang menunjukkan hal serupa. Propinsi lainnya, terutama di Indonesia bagian timur, konsentrasi penduduknya rendah. Ketimpangan perkembangan dan persebaran penduduk antara Jawa-Luar Jawa, atau Indonesia Barat dan Indonesia Timur, adalah sebuah realitas sosial di Indonesia. Keadaan ini mengindikasikan kecilnya pengaruh upaya menyeimbangkan persebaran penduduk melalui program transmigrasi maupun pembangunan ekonomi. Pada Sensus Penduduk terakhir terlihat tingkat urbanisasi tertinggi terjadi di propinsi DKI Jakarta, dan terendah di propinsi Nusa Tenggara Timur.

V-43

Urbanisasi dan Perkembangan Perkotaan di Indonesia

Pengantar

Di negara manapun, persebaran penduduknya tidak merata secara spasial-geografis. Penduduk terkonsentrasi di daerah tertentu sejalan dengan konsentrasi aktivitas ekonomi masyarakatnya. Pendududuk Indonesia terkonsentrasi di Pulau Jawa yang luas wilayah hanya 7 persen dari seluruh wilayah Indonesia. Upaya memindahkan penduduk ke pulau-pulau lain di luar Jawa hanya sedikit sekali menurunkan jumlah tersebut. Urbanisasi adalah sebuah gejala sosial penting berupa proses transformasi sosial yang bersifat ekonomi, sosial, politik maupun kebudayaan. Urbanisasi adalah sebuah proses sosial yang melibatkan aspek keruangan dan aspek sosial-demografis. Urbanisasi juga merupakan indikator pencapaian dinamika yang sedang dilalui oleh peradaban suatu bangsa. Dalam konteks dinamika kependudukan di Indonesia, urbanisasi adalah sebuah proses sosial yang penting selama 50 tahun terakhir ini. Urbanisasi secara demografis adalah semakin besarnya jumlah penduduk di perkotaan. Berdasarkan hasil SP-2010 separuh penduduk Indonesia telah tinggal di daerah perkotaan. Sejarah perkembangan banyak kota dan urbanisasi di Nusantara terkait erat dengan interaksi kekuatan negara dan kapital. Ada pendapat yang mengatakan bahwa dikuasainya Malaka oleh Portugis di tahun 1512 yelah merubah peran pedagang jawa yang semula pedagang samudra menjadi pedagang produsen pulau. Logistik perdagangan samudra dikuasai kapal asing. Pada abad ke 17, bandar-bandar besar seperti Banten, Demak dan Surabaya terjadi peralihan pekerjaan sejalan dengan dikembangkannya persawahan di daerah ini. Penurunan peran kota pesisir semakin cepat ketika politik ekonomi monopoli dan autarki dilakukan para raja dan sultan. Di Jawa, belajar dari kekalahan Majapahit, kekhawatiran Mataram terhadap pengaruh para bupati pesisir mendorong penguasaan kota-kota pesisir pantai utara Jawa. Artinya, politik mataram menjelang abad ke 18 telah meruntuhkan peran kota-kota pesisir sebagai bandar perdagangan internasional bersamaan dengan semakin menguatnya kedudukan VOC. Jalan Anyer-Panarukan memperpendek waktu tempuh dari Batavia ke Surabaya di musim kemarau dari sebulan menjadi 3-4 hari saja. Jalan aspal Batavia-Cirebon yang sejajar dengan garis pantai dibuat di tahun 1811-1816. Kehadiran jalan aspal ini telah berpengaruh terhadap perkembangan pola pemukiman penduduk yang semula tersebar menjadi mengelompok di sepanjang jalan ini. Dengan terbentuknya infrastruktur kota di pantai utara jawa ini dianggap sebagai awal pertumbuhan kota disitu. Sebagian merupakan respons penduduk terhadap terbukanya kegiatan ekonomi dan kesempatan kerja baru yang tidak lagi hanya bersifat agraris. Berdirinya beberapa pabrik gula di sepanjang kota di pantai utara Jawa juga mendorong perubahan pemukiman penduduk yang semula hanya mengelompok di sekitar muara sungai.

Page 54: Modul Non Formal Ok

V-45

Indonesia meskipun dianggap telah berhasil menurunkan laju pertumbuhan penduduknya namun laju pertumbuhannya tetap signifikan. Studi urbanisasi di negara berkembang umumnya difokuskan terhadap perkembangan kota-kota besar atau mega-cities, seperti Jakarta, Surabaya, Kuala Lumpur, Bangkok dan Ho Chi Min City. Selain karena perkembangan spasialnya yang fenomenal, juga karena merupakan pusat ekonomi dan politik yang imbasnya bagi perkembangan ekonomi, sosial maupun politik negara tersebut sangat besar. Dalam konteks studi perkotaan di Indonesia, pendekatan yang dianut dibedakan menjadi kota sebagai unit pengamatan dan kota sebagai tata ruang. Dalam hal kota sebaai unit pengamatan, terdapat dua aliran, yaitu, pertama, yang memfokuskan kepada karakter khusus kota-kota di Indonesia. Yang kedua, memfokuskan kepada karakter umum kota-kota di Indonesia sebagai bagian dari kota-kota di dunia. Dari sudut tata ruan (spatial) studi ini dibedakan menjadi, pertama, yang memfokuskan pada kota di Jawa, dan, kedua, yang tertarik mempelajari kota di seantero Nusantara. Perkembangan kota-kota pascakolonial di Asia Tenggara tidak terlepas dari ambisi pemimpin nasionalis yang menginginkan terciptanya negara-bangsa yang efisien dan stabil. Ambisi semacam ini telah menguras banyak energi pemerintah dalam merealisasikan pola pembangunan sosial-ekonomi yang menjadi dasar bagi penataan dan pengembangan daerah perkotaan. Itulah sebabnya perkembangan kota di Asia Tenggara berbeda dengan perkembangan kota di barat pada umumnya. Terlalu dominannya ambisi para pemimpin negara-negara pascakolonial di Asia Tenggara dalam pembangunan ekonomi tampaknya justru yang menjadi kendala bagi terwujudnya penataan kota yang diharapkan. Terbentuknya ruang perkotaan adalah proses panjang konstruksi sosial produk interaksi terus menerus menghuni ruang itu. Kota adalah sebuah totalitas fenomena social seluruh aspek-aspek yang bersifat material maupun yang bersifat sosial, kultural, linguistik, politik, dan ekonomi. Di setiap kota terkandung dimensi fisik dan simbolik. Pemiliki kekuasaan terbesar, pemerintah kota atau kelas sosial ekonomi yang dominan, merupakan kekuatan yang biasanya paling berpengaruh terhadap perkembangan dan perubahan yang terjadi di kota tersebut. Pertumbuhan kota di Jawa mengikuti pola koridor wilayah yang perbedaan antara kota-desanya menjadi kabur dan aktivitas ekonomi pedesaan dan perkotaannya bercampur secara intensif. Desakotasasi adalah konsep yang dipakai untuk menunjukkan pertumbuhan mega-kota yang berbeda dengan yang terjadi di Barat. Sebuah fenomena yang diilhami oleh pertautan antara desa-kota serta campur aduknya pemukiman penduduk dan penggunaan lahan. Pertumbuhan kota di Jawa berpola urbanisasi berbasis wilayah, bukan berbasis kota. Pada konsep tersebut mitos-mitos tentang luas wilayah, ”unsustainability”, “paratisism”, kemiskinan yang parah dan rendahnya kualitas hidup tidak bisa digunakan dengan tepat untuk menggambarkan perkembangan kota. Di Indonesia, urbanisasi terutama disebabkan oleh perpindahan penduduk dari desa ke kota. Sejarah perpindahan ini sejak zaman kolonial sampai akhir tahun 70-an bisa dikelompokkan menjadi lima. Pertama, perpindahan penduduk ke daerah perkebunan, terutama terjadi pada masa kolonial. Kedua perpindahan penduduk yang bersifat ”internasional” yang jumlahnya relatif terbatas. Ketiga adalah

Page 55: Modul Non Formal Ok

V-46

perpindahan dari pedesaan ke pedesaan lainnya dibantu oleh pemerintah; di masa kolonial disebut kolonisasi dan setelah kemerdekaan dinamakan transmigrasi. Keempat adalah perpindahan penduduk dari pedesaan ke perkotaan, yang permanen maupun yang nonpermanen (sirkuler atau ulang-alik). Kelima adalah perpindahan penduduk secara ”tradisional”m sering disebut ”merantau” seperti yang banyak dilakukan oleh Orang Minangkabau, Orang Bugis, Orang Banjar, dan Orang Madura. Perpindahan penduduk dari desa ke kota, terutama di Jawa, berhubungan erat dengan perubahan sosial yang terjadi di pedesaan setelah diperkenalkannya teknologi baru intensifikasi pertanian di awal tahun 70-an. teknologi ini selain meningkatkan produksi pertanian ternyata juga berdampak negatif karena telah meningkatkan pengangguran. Misalnya, penggunaan ”huller” dan ”traktor” telah secara drastis menurunkan jumlah tenaga kerja yang bisa terlibat di pertanian. Terjadi proses ”penyingkiran” pekerja pertanian ke non-pertanian. Sebagian mantan pekerja pertanian pedesaan inilah yang memilih untuk mengadu nasib dan mencari pekerjaan di perkotaan. Disamping itu, pada akhir tahun 1970an ditemukan adanya perbedaan besar antara pendapatan pekerja di pedesaan dan perkotaan di Jawa. Perbedaan ini berpengaruh besar terhadap membanjirnya penduduk dari desa ke kota, karena kehidupan ekonomi mereka dibayangkan menjadi lebih baik dibandingkan kalau mereka tetap di desa. Selain melakukan modernisasi pertanian, sejak awal tahun 1980-an, pemerintah pusat di Indonesia memberikan perhatian besar pada perbaikan sarana-sarana publik, terutama jalan raya, kereta api, pelabuhan, dan lapangan terbang. Di bidang sosial, perhatian pemerintah pusat pada perbaikan sarana pendidikan, dengan program wajib belajarnya. Selain itu juga di bidang pelayanan kesehatan masyarakat dan mengkampanyekan program keluarga berencana. Masyarakat di pedesaan Jawa mengalami ”revolusi mental” karena banyaknya program ”pembangunan” baru yang merambah desa bersamaan dengan diperluasnya jaringan listrik ke pelosok Jawa. Perbaikan jalan dan saluran komunikasi dan meningkatnya aspirasi masyarakat akibat pendidikan telah mengakibatkan ”pasang naik” aspirasi masyarakat akan pekerjaan dan kesejahteraan ekonomi yang lebih memadai. Pada gillirannya, meningkatkan pergerakan masyarakat ke perkotaan. Dalam literatur tentang migrasi desa-kota di Indonesia, perkotaan sebagai tujuan migrasi mendapatkan perhatian yang lebih besar daripada pedesaan. Jakarta merupakan obyek yang paling banyak diteliti, dan diperlihatkan disana bahwa migrasi desa-kota merupakan penyumbang terbesar dari pertumbuhan kota Jakarta secara demografis maupun secara sosial dan ekonomi. Menurut sejarah, Jakarta dibangun oleh para migran. Fenomena mudik lebaran menjadi bukti nyata besarnya jumlah migran di kota-kota. Urbanisasi ternyata tidak hanya dialami oleh kota-kota besar tetapi juga oleh kota-kota menengah dan kecil di Jawa. Berdasarkan data SP 2000 dan SUPAS 2005, terlihat terjadinya proses urbanisasi yang cukup cepat di beberapa kabupaten dan kota di Jawa. Contohnya dapat dilihat Sidoarjo (> 80 persen), Kudus (> 60 persen), Jepara (> 50 persen), Tegal (50 persen), Pekalongan (90 persen), dan Cirebon (> 50 persen).

V-45

Indonesia meskipun dianggap telah berhasil menurunkan laju pertumbuhan penduduknya namun laju pertumbuhannya tetap signifikan. Studi urbanisasi di negara berkembang umumnya difokuskan terhadap perkembangan kota-kota besar atau mega-cities, seperti Jakarta, Surabaya, Kuala Lumpur, Bangkok dan Ho Chi Min City. Selain karena perkembangan spasialnya yang fenomenal, juga karena merupakan pusat ekonomi dan politik yang imbasnya bagi perkembangan ekonomi, sosial maupun politik negara tersebut sangat besar. Dalam konteks studi perkotaan di Indonesia, pendekatan yang dianut dibedakan menjadi kota sebagai unit pengamatan dan kota sebagai tata ruang. Dalam hal kota sebaai unit pengamatan, terdapat dua aliran, yaitu, pertama, yang memfokuskan kepada karakter khusus kota-kota di Indonesia. Yang kedua, memfokuskan kepada karakter umum kota-kota di Indonesia sebagai bagian dari kota-kota di dunia. Dari sudut tata ruan (spatial) studi ini dibedakan menjadi, pertama, yang memfokuskan pada kota di Jawa, dan, kedua, yang tertarik mempelajari kota di seantero Nusantara. Perkembangan kota-kota pascakolonial di Asia Tenggara tidak terlepas dari ambisi pemimpin nasionalis yang menginginkan terciptanya negara-bangsa yang efisien dan stabil. Ambisi semacam ini telah menguras banyak energi pemerintah dalam merealisasikan pola pembangunan sosial-ekonomi yang menjadi dasar bagi penataan dan pengembangan daerah perkotaan. Itulah sebabnya perkembangan kota di Asia Tenggara berbeda dengan perkembangan kota di barat pada umumnya. Terlalu dominannya ambisi para pemimpin negara-negara pascakolonial di Asia Tenggara dalam pembangunan ekonomi tampaknya justru yang menjadi kendala bagi terwujudnya penataan kota yang diharapkan. Terbentuknya ruang perkotaan adalah proses panjang konstruksi sosial produk interaksi terus menerus menghuni ruang itu. Kota adalah sebuah totalitas fenomena social seluruh aspek-aspek yang bersifat material maupun yang bersifat sosial, kultural, linguistik, politik, dan ekonomi. Di setiap kota terkandung dimensi fisik dan simbolik. Pemiliki kekuasaan terbesar, pemerintah kota atau kelas sosial ekonomi yang dominan, merupakan kekuatan yang biasanya paling berpengaruh terhadap perkembangan dan perubahan yang terjadi di kota tersebut. Pertumbuhan kota di Jawa mengikuti pola koridor wilayah yang perbedaan antara kota-desanya menjadi kabur dan aktivitas ekonomi pedesaan dan perkotaannya bercampur secara intensif. Desakotasasi adalah konsep yang dipakai untuk menunjukkan pertumbuhan mega-kota yang berbeda dengan yang terjadi di Barat. Sebuah fenomena yang diilhami oleh pertautan antara desa-kota serta campur aduknya pemukiman penduduk dan penggunaan lahan. Pertumbuhan kota di Jawa berpola urbanisasi berbasis wilayah, bukan berbasis kota. Pada konsep tersebut mitos-mitos tentang luas wilayah, ”unsustainability”, “paratisism”, kemiskinan yang parah dan rendahnya kualitas hidup tidak bisa digunakan dengan tepat untuk menggambarkan perkembangan kota. Di Indonesia, urbanisasi terutama disebabkan oleh perpindahan penduduk dari desa ke kota. Sejarah perpindahan ini sejak zaman kolonial sampai akhir tahun 70-an bisa dikelompokkan menjadi lima. Pertama, perpindahan penduduk ke daerah perkebunan, terutama terjadi pada masa kolonial. Kedua perpindahan penduduk yang bersifat ”internasional” yang jumlahnya relatif terbatas. Ketiga adalah

Page 56: Modul Non Formal Ok

V-47

Tingginya tingkat urbanisasi hampir bisa dipastikan karena tingginya migrasi masuk dari wilayah sekitarnya yang masih bersifat pedesaan. Secara sederhana hal ini bisa karena dua sebab: pertama, karena semakin sempitnya lapangan kerja di desa, dan, kedua, karena kota menjanjikan tersedianya lapangan pekerjaan. Karena itu, mengalirnya penduduk tersebut tidak secara otomatis berarti meningkatnya kesejahteraan penduduk. Bahkan bisa terjadi sebaliknya. Urbanisasi justru meningkatkan penduduk miskin di kota. Kenyataan inilah yang menimbulkan dugaan bahwa urbanisasi ternyata tidak berjalan seiring dengan peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Yang terjadi adalah urbanisasi tanpa pertumbuhan. Sudah sejak tahun 1970-an, persoalan pengangguran di daerah perkotaan, terutama di Jakarta, sesungguhnya sudah mulai mencuat terutama di kalangan penduduk usia mudanya. Para migran tetap memutuskan pindah ke kota, meskipun sebagian menyadari semakin sulitnya mendapat pekerjaan yang layak. Dampak lain adalah membengkaknya sektor informal. Para migran itu bersedia bekerja apa saja di kota untuk bertahan hidup. Pemukiman kumuh berkembang di daerah perkotaan dan menjadi pemandangan yang biasa disana. Cepat atau lambat, ketegangan sosial dan politik akibat membesarnya jumlah orang miskin kota akan terjadi. Tampaknya, hal ini merupakan fenomena kehidupan urban yang tidak terhindarkan. Urbanisasi tidak saja berjalan tanpa peningkatan kesejahteraan, namun juga membawa persoalan baru karena tidak terakomodasinya berbagai kepentingan dan aspirasi warga kota. Wargakota di tingkat sosial ekonomi bawah hampir selalu menjadi korban yang pertama. Peningkatan penduduk yang tergolong miskin di daerah perkotaan terlihat melampaui daerah pedesaan yang jika tidak diantisipasi akan menimbulkan berbagai ketegangan sosial. Pertumbuhan kota juga dipengaruhi oleh program transmigrasi pemerintah. Kota kecil-menengah tumbuh mulai dari Aceh sampai ke Manokwari. Meskipun kota-kota kecil-menengah tumbuh relative merata di luar Jawa namun pusat pertumbuhan ekonomis terbukti masih berpusat di Jawa, dan sedikit di Sumatera bagian selatan. Keadaan ini memperlihatkan ketimpangan pembangunan masih terus terjadi antara Jawa dan luar Jawa meskipun beberapa upaya menyeimbangkan telah dicoba dilakukan. Sentralitas posisi ekonomi perkotaan Jawa yang berpusat di Jakarta, Semarang, dan Surabaya, telah meningkat pesat yang imbasnya bagi perubahan ekonomi dan pertumbuhan kota lain secara keseluruhan sangat besar. Pembangunan jalan tol semakin menyatukan kota-kota di pantai utara Jawa sebagai sebuah wilayah yang terintegrasi. Selain itu, Jakarta, Semarang, dan Surabaya juga memiliki pelabuhan yang menghubungkan pulau Jawa dengan pulau-pulau lain di Nusantara. Jembatan Surabaya Madura (Suramadu) yang sejak tahun 2009 menghubungkan Surabaya dengan Bangkalan semakin meneguhkan keberadaan jaringan kota Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, dan Lamongan (Gerbangkertosusila) serta kota-kota di Pulau Jawa terkoneksi langsung dengan Pulau Madura. Kedepan, keberadaan koridor kota-kota di Jawa ini akan semakin signifikan dengan pembangunan jalan tol Trans-Jawa serta adanya pembangunan jembatan Merak-Bakuheni. Proses pengintegrasian wilayah Pantura memilili implikasi yang besar terhadap dinamika sosial kota dan warga yang menghuninya. Oleh karena itu, pemahaman yang tepat dan sistimatis tentang dinamika sosial sejalan dengan proses urbanisasi sangat penting untuk dapat mengantisipasi berbagai implikasi sosial maupun

Page 57: Modul Non Formal Ok

V-48

politik di masa mendatang. Beberapa hal yang perlu diperhatikan meliputi, pertama, secara ekonomis, semakin terkonsentrasinya penduduk di daerah perkotaan akan mendorong kebutuhan kesempatan kerja di sektor industry dan jasa. Kebutuhan ini akan semakin mendesak karena struktur umur penduduk didominasi oleh penduduk usia muda. Indonesia dikatakan memiliki bonus demografi dan window of opportunity yang perlu diperhatikan sungguh-sungguh oleh penyelenggara negara. Kegagalan menyerap tenaga kerja di perkotaan akan memiliki dampak sosial dan politik yang serius. Kedua, proses urbanisasi dan perkembangan kota yang cepat dipastikan mendorong terjadinya transformasi struktur dan sistim sosial serta nilai-nilai kebudayaan yang ada. Urbanisme yang sangat konsumerisme diduga akan menjadi gaya hidup penduduk perkotaan. Yang harus diantisipasi adalah perbedaan akses yang dimiliki oleh kelompok-kelompok masyarakat bedasarkan kemampuan ekonominya. Berbagai indikator ekonomi memperlihatkan terjadinya income gap yang semakin tinggi antara yang kaya dan yang miskin. Jika ketimpangan ini terus terjadi beresiko meningkatkan potensi timbulnya ketegangan yang serius, dan jika situasi politik memburuk, bisa mengarah pada munculnya konflik. Ketiga, daerah perkotaan terutama di Jawa, menjadi tempat pemukiman kelas menengah di Indonesia. Terkonsentrasinya mereka di daerah perkotaan akan berpengaruh terhadap arah perkembangan politik di negeri ini. Sistim politik yang semakin terbuka secara teoretis akan memberikan ruang kebebasan mengekspresikan pendapat yang semakin besar bagi warganegara. Penduduk yang sebagian tergolong kelas menengah akan menjadi agen-agen perubahan sosial dan politik menuju tercapainya konsolidasi politik di masa mendatang. Oleh karena itu, para pemimpin politik dihadapkan pada kenyataan politik untuk semakin memberikan ruang politik yang lebih demokratis di masa depan. Jika tidak, agenda politik Indonesia akan dibayangi oleh instabilitas politik yang berakibat pada gagalnya pencapaian konsolidasi demokrasi yang diharapkan. Keempat, berbagai isu global yang berkaitan dengan lingkungan hidup diduga akan semakin kuat imbasnya bagi Indonesia. Proses urbanisasi dipastikan berdampak pada berkurangnya persawahan dan wilayah hijau pada umumnya. Daya dukung lingkungan akan semakin memburuk. Tanpa perencanaan tata-ruang dan perencanaan sosial-ekonomi yang memadai maka persoalan pemukiman, persoalan transportasi dan wilayah kumuh akan semakin tidak terkendali. Dampak perubahan iklim dan pemanasan global yang semakin disadari di negara maju seringkali terlambat disadari di negara seperti Indonesia. Advokasi untuk peningkatan kesadaran penduduk, khususnya di daerah perkotaan tentang berbagai dampak negative dari menurunnya kondisi lingkungan haruslah menjadi agenda politik yang perlu ditangani secara serius oleh pemerintah, swasta maupun kalangan masyarakat sendiri. Kegagalan melakukan hal ini bisa dipastikan lingkungan hidup di perkotaan Indonesia akan menjadi unlivable dan unsustainable. Terakhir, perencanaan pembangunan jangka panjang, seperti MP3EI, sudah seharusnya meperhatikan perkembangan makro-spasial Indonesia yang terlalu menekankan pertumbuhan ekonomi di kawasan perkotaan di pantai utara Jawa, dengan spillovernya kekota-kota di Sumatra dan Bali-Lombok. Rencana pembangunan jembatan Selat Sunda dan pembangunan Tol-Trans Java menunjukkan kuatnya pembangunan ekonomi yang bersifat Jawa-sentris, dengan Jakarta, Semarang dan Surabaya sebagai the main economic growth centers. Dampak dari kecenderungan pembangunan

V-47

Tingginya tingkat urbanisasi hampir bisa dipastikan karena tingginya migrasi masuk dari wilayah sekitarnya yang masih bersifat pedesaan. Secara sederhana hal ini bisa karena dua sebab: pertama, karena semakin sempitnya lapangan kerja di desa, dan, kedua, karena kota menjanjikan tersedianya lapangan pekerjaan. Karena itu, mengalirnya penduduk tersebut tidak secara otomatis berarti meningkatnya kesejahteraan penduduk. Bahkan bisa terjadi sebaliknya. Urbanisasi justru meningkatkan penduduk miskin di kota. Kenyataan inilah yang menimbulkan dugaan bahwa urbanisasi ternyata tidak berjalan seiring dengan peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Yang terjadi adalah urbanisasi tanpa pertumbuhan. Sudah sejak tahun 1970-an, persoalan pengangguran di daerah perkotaan, terutama di Jakarta, sesungguhnya sudah mulai mencuat terutama di kalangan penduduk usia mudanya. Para migran tetap memutuskan pindah ke kota, meskipun sebagian menyadari semakin sulitnya mendapat pekerjaan yang layak. Dampak lain adalah membengkaknya sektor informal. Para migran itu bersedia bekerja apa saja di kota untuk bertahan hidup. Pemukiman kumuh berkembang di daerah perkotaan dan menjadi pemandangan yang biasa disana. Cepat atau lambat, ketegangan sosial dan politik akibat membesarnya jumlah orang miskin kota akan terjadi. Tampaknya, hal ini merupakan fenomena kehidupan urban yang tidak terhindarkan. Urbanisasi tidak saja berjalan tanpa peningkatan kesejahteraan, namun juga membawa persoalan baru karena tidak terakomodasinya berbagai kepentingan dan aspirasi warga kota. Wargakota di tingkat sosial ekonomi bawah hampir selalu menjadi korban yang pertama. Peningkatan penduduk yang tergolong miskin di daerah perkotaan terlihat melampaui daerah pedesaan yang jika tidak diantisipasi akan menimbulkan berbagai ketegangan sosial. Pertumbuhan kota juga dipengaruhi oleh program transmigrasi pemerintah. Kota kecil-menengah tumbuh mulai dari Aceh sampai ke Manokwari. Meskipun kota-kota kecil-menengah tumbuh relative merata di luar Jawa namun pusat pertumbuhan ekonomis terbukti masih berpusat di Jawa, dan sedikit di Sumatera bagian selatan. Keadaan ini memperlihatkan ketimpangan pembangunan masih terus terjadi antara Jawa dan luar Jawa meskipun beberapa upaya menyeimbangkan telah dicoba dilakukan. Sentralitas posisi ekonomi perkotaan Jawa yang berpusat di Jakarta, Semarang, dan Surabaya, telah meningkat pesat yang imbasnya bagi perubahan ekonomi dan pertumbuhan kota lain secara keseluruhan sangat besar. Pembangunan jalan tol semakin menyatukan kota-kota di pantai utara Jawa sebagai sebuah wilayah yang terintegrasi. Selain itu, Jakarta, Semarang, dan Surabaya juga memiliki pelabuhan yang menghubungkan pulau Jawa dengan pulau-pulau lain di Nusantara. Jembatan Surabaya Madura (Suramadu) yang sejak tahun 2009 menghubungkan Surabaya dengan Bangkalan semakin meneguhkan keberadaan jaringan kota Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, dan Lamongan (Gerbangkertosusila) serta kota-kota di Pulau Jawa terkoneksi langsung dengan Pulau Madura. Kedepan, keberadaan koridor kota-kota di Jawa ini akan semakin signifikan dengan pembangunan jalan tol Trans-Jawa serta adanya pembangunan jembatan Merak-Bakuheni. Proses pengintegrasian wilayah Pantura memilili implikasi yang besar terhadap dinamika sosial kota dan warga yang menghuninya. Oleh karena itu, pemahaman yang tepat dan sistimatis tentang dinamika sosial sejalan dengan proses urbanisasi sangat penting untuk dapat mengantisipasi berbagai implikasi sosial maupun

Page 58: Modul Non Formal Ok

V-49

semacam ini sudah terlihat dengan cepatnya proses aglomerasi di wilayah yang selama ini kita kenal sebagai Jabodetabek, Kedungsepur dan Gerbangkertosusila, yang menjadikan Jakarta, Semarang dan Surabaya sebagai mega-cities. Dalam jangka panjang perkembangan ini akan mengancam eksistensi Indonesia yang secara geografis negara kepulauan (archipelagic state) karena ketimpangan pembangunan Jawa-Luar Jawa. Secara geo-politik akan memperlemah Indonesia sebagai kesatuan bangsa, dan jika dibiarkan akan mengancam ke-Indonesia-an yang adil dan sejahtera seperti dicita-citakan para pendiri bangsa dan negara Indonesia. Kompleksitas permasalahan diatas akibat dari kebijakan di masa lalu yang bersifat ad hock dan mengabaikan berbagai master plan yang sesungguhnya telah dibuat. Jika mentalitas ini tidak dirubah maka proses urbanisasi dan perkembangan perkotaan di Indonesia akan menuju unsustainable development. Untuk menghindari hal itu, beberapa langkah kongkrit dan praktis harus segera dilakukan. Pertama, perlu dilakukan integrasi dan sinkronisasi antara berbagai master plan pembangunan yang berkaitan dengan tata-ruang yang telah ada, seperti MP3EI, dan rencana-rencana pembangunan yang berbasis sector serta daerah, khususnya pada tingkat provinsi dan kabupaten, agar dapat dirancang dan diestimasi scenario-skenario hubungan antara perubahan tata-ruang, khususnya di daerah perkotaan, dengan proyeksi dinamika kependudukan (population dynamics) yang dibayangkan. Idealnya pekerjaan ini dilakukan oleh sebuah lembaga nasional di tingkat pusat, seperti Bappenas. Kedua, pada level propinsi dan kabupaten, sejalan dengan perkembangan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, sudah waktunya disadari oleh para pimpinan pemerintah daerah bahwa perencanan pengembangan perkotaan tidak mungkin dilakukan secara sendiri-sendiri karena arus barang, modal dan tenaga kerja akan bersifat ‘borderless” dan tidak bisa diasumsikan bisa dikontrol secara sepihak oleh masing-masing daerah. Untuk mencapai distribusi modal, barang dan tenaga kerja yang dapat memberikan dampak positif bagi semua pihak, kerjasama antar daerah yang sejauh ini telah berkembang, perlu ditingkatkan kinerjanya, khususnya dalam bentuk kerjasama-kerjasama regional yang bersifat win-win solution. Upaya Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo untuk mengajak pimpinan daerah di wilayah Jabodetabek adalah contoh yang baik dari upaya semacam ini. Ketiga, berkembangnya ekonomi pasar dan globalisasi informasi, telah menjadikan masyarakat, terutama kelas menengah di daerah perkotaan semakin kritis terhadap berbagai isu social, politik dan lingkungan yang jika tidak diatasi akan membahayakan bagi kelangsungan hidup mereka dan generasi yang akan datang. Berbagai gerakan social masyarakat telah tumbuh menjamur di berbagai kota di Indonesia. Sekedar sebagai contoh, hampir disetiap kota besar selalu diberlakukan “car free day” yang memperlihatkan mulai tumbuhnya tentang kesadaran dan tuntutan wargakota akan lingkungan hidup perkotaan yang sehat. Komunikasi antara pemerintah kota, pihak swasta dan berbagai forum wargakota sudah saatnya dibuka dan dicari mekanisme yang paling efektif untuk mencari solusi-solusi alternatif secara bersama, dari berbagai problem perkotaan sebagai dampak kebijakan masa lalu dan antisipasi kedepan sebagai dampak dari berbagai perubahan yang akan terjadi.

Page 59: Modul Non Formal Ok

V-50

Tujuan

Tujuan pembuatan materi dasar urbanisasi dan perkembangan perkotaan adalah menyediakan informasi tentang fenomena urbanisasi dan perkembangan perkotaan di Indonesia yang akan dipergunakan oleh BKKBN untuk melakukan advokasi kepada instansi pemerintah terkait melalui presentasi maupun diskusi. Materi ini berupa paper padat (15 halaman) dan bahan presentasi power point (15-20 slides), disusun secara ilmiah terapan berdasarkan bukti empiris dengan orientasi sasaran para pengambil kebijakan.

Tujuan Pembelajaran

1. Kompetensi Dasar: Setelah mengikuti materi urbanisasi penduduk di Indonesia ini, peserta diharapkan mampu mempraktikkan penyampaian materi urbanisasi penduduk di Indonesia.

2. Indikator Keberhasilan Setelah mempelajari materi urbanisasi penduduk di Indonesia ini, diharapkan peserta mampu: a. Memahami konsep dasar urbanisasi penduduk b. Menjelaskan status dan urbanisasi penduduk yang jumlahnya semakin meningkat. c. Menjelaskan konsekuensi dari kondisi meningkatnya urbanisasi penduduk d. Menjelaskan kebijakan dan program yang diperlukan untuk mengelola produktivitas

urbanisasi penduduk e. Mempraktikkan penyampaian materi urbanisasi penduduk di Indonesia.

Tujuan Khusus

Materi dasar yang dikembangkan sedikitnya akan meliputi isu-isu sebagai berikut:

Isu Pokok Pengertian Tentang Migrasi, Urbanisasi, Urbanisme, Kota dan Desa

Cakupan Isu utama yang perlu disajikan disini adalah mengenai konsep dasar tentang migrasi, urbanisasi, urbanisme, kota dan desa. Apa sesungguhnya yang dimaksud sebagai “migrasi dan urbanisasi” oleh BKKBN.

Kejelasan tentang konsep ini diperlukan untuk menghidari kerancuan batasan pengertian yang digunakan di “kelompok masyarakat lain” di Indonesia yang juga berkait dan bersinggungan dengan “migrasi dan urbanisasi” tersebut

Isu Pokok Urbanisasi di Indonesia: Perkembangan, Persebaran, Proyeksi (2050)

Cakupan Membahas tentang perkembangan dan persebaran urbanisasi di indonesia yang berguna sebagai informasi dasar memahami urbanisasi dan perkembangan perkotaan tersebut.

V-49

semacam ini sudah terlihat dengan cepatnya proses aglomerasi di wilayah yang selama ini kita kenal sebagai Jabodetabek, Kedungsepur dan Gerbangkertosusila, yang menjadikan Jakarta, Semarang dan Surabaya sebagai mega-cities. Dalam jangka panjang perkembangan ini akan mengancam eksistensi Indonesia yang secara geografis negara kepulauan (archipelagic state) karena ketimpangan pembangunan Jawa-Luar Jawa. Secara geo-politik akan memperlemah Indonesia sebagai kesatuan bangsa, dan jika dibiarkan akan mengancam ke-Indonesia-an yang adil dan sejahtera seperti dicita-citakan para pendiri bangsa dan negara Indonesia. Kompleksitas permasalahan diatas akibat dari kebijakan di masa lalu yang bersifat ad hock dan mengabaikan berbagai master plan yang sesungguhnya telah dibuat. Jika mentalitas ini tidak dirubah maka proses urbanisasi dan perkembangan perkotaan di Indonesia akan menuju unsustainable development. Untuk menghindari hal itu, beberapa langkah kongkrit dan praktis harus segera dilakukan. Pertama, perlu dilakukan integrasi dan sinkronisasi antara berbagai master plan pembangunan yang berkaitan dengan tata-ruang yang telah ada, seperti MP3EI, dan rencana-rencana pembangunan yang berbasis sector serta daerah, khususnya pada tingkat provinsi dan kabupaten, agar dapat dirancang dan diestimasi scenario-skenario hubungan antara perubahan tata-ruang, khususnya di daerah perkotaan, dengan proyeksi dinamika kependudukan (population dynamics) yang dibayangkan. Idealnya pekerjaan ini dilakukan oleh sebuah lembaga nasional di tingkat pusat, seperti Bappenas. Kedua, pada level propinsi dan kabupaten, sejalan dengan perkembangan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, sudah waktunya disadari oleh para pimpinan pemerintah daerah bahwa perencanan pengembangan perkotaan tidak mungkin dilakukan secara sendiri-sendiri karena arus barang, modal dan tenaga kerja akan bersifat ‘borderless” dan tidak bisa diasumsikan bisa dikontrol secara sepihak oleh masing-masing daerah. Untuk mencapai distribusi modal, barang dan tenaga kerja yang dapat memberikan dampak positif bagi semua pihak, kerjasama antar daerah yang sejauh ini telah berkembang, perlu ditingkatkan kinerjanya, khususnya dalam bentuk kerjasama-kerjasama regional yang bersifat win-win solution. Upaya Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo untuk mengajak pimpinan daerah di wilayah Jabodetabek adalah contoh yang baik dari upaya semacam ini. Ketiga, berkembangnya ekonomi pasar dan globalisasi informasi, telah menjadikan masyarakat, terutama kelas menengah di daerah perkotaan semakin kritis terhadap berbagai isu social, politik dan lingkungan yang jika tidak diatasi akan membahayakan bagi kelangsungan hidup mereka dan generasi yang akan datang. Berbagai gerakan social masyarakat telah tumbuh menjamur di berbagai kota di Indonesia. Sekedar sebagai contoh, hampir disetiap kota besar selalu diberlakukan “car free day” yang memperlihatkan mulai tumbuhnya tentang kesadaran dan tuntutan wargakota akan lingkungan hidup perkotaan yang sehat. Komunikasi antara pemerintah kota, pihak swasta dan berbagai forum wargakota sudah saatnya dibuka dan dicari mekanisme yang paling efektif untuk mencari solusi-solusi alternatif secara bersama, dari berbagai problem perkotaan sebagai dampak kebijakan masa lalu dan antisipasi kedepan sebagai dampak dari berbagai perubahan yang akan terjadi.

Page 60: Modul Non Formal Ok

V-51

Proyeksi mengenai urbanisasi dan perkembangan perkotaan akan melihat keberadaan dan peranannya terhadap pembangunan Indonesia di tahun 2050.

Isu Pokok Perkembangan dan Pengelolaan Perkotaan, serta Kesejahteraan Masyarakat di Indonesia

Cakupan Membahas secara kritis mengenai perkembangan dan pengelolaan perkotaan serta kesejahteraan masyarakat di Indonesia sebagai akibat dari dan pengaruhnya terhadap urbanisasi dan perkembangan perkotaan.

Isu Pokok Kebijakan dan Program Untuk Menata Migrasi dan Urbanisasi

Cakupan Kebijakan yang akan merekayasa status dan kondisi dasar serta menjadikan migrasi dan urbanisasi serta perkembangan perkotaan sebagai pendukung pembangunan nasional.

Kebijakan tersebut perlu diuraikan dalam bentuk program aksi yang secara langsung akan diselenggarakan oleh pemerintah, bekerjasama dengan lembaga non-pemerintah maupun lembaga non pemerintah

Aktifitas Pelatihan

Pelatihan untuk materi ini dipersiapkan seama 90 menit, dengan urutan kegiatan sebagai berikut.

05 Menit Pendahu-luan

Berisi uraian tentang materi migrasi dan perkembangan perkotaan yang akan disampaikan dalam sesi ini.

Bahan diseminasi dalam bentuk tercetak dan file diterangkan cara menggunakan dan kegunaannya.

Informasi lain yang dianggap penting, jika ada

05 Menit Pengertian

Uraian verbal yang berkaitan tentang migrasi dan perkembangan dan pengelolaan perkotaan yang akan digunakan dalam diseminasi informasi, sejak waktu diseminasi hingga pelaksanaan di lapangan.

Persamaan dan perbedaan mengenai pengertian ini disebutkan dan diuraikan secara jelas dan tegas.

25 Menit Status

Uraian verbal mengenai: jumlah, persentase (proporsi terhadap total), sebaran, kualitas, kesejahteraan per pulau, per propinsi, untuk disepakati dan difahami sebagai informasi dasar memahami topik mengenai urbanisasi dan perkembangan perkotaan terutama yang berkaitan dengan pembangunan. Aspek penting mengenai jumlah,

Page 61: Modul Non Formal Ok

V-52

persentase, sebaran, kualitas, kesejahteraan diberikan tekanan/garis bawah dan dibahas menjadi salah satu isu sentral pembahasan topik urbanisasi dan perkembangan perkotaan.

Uraian verbal mengenai pengalaman masa lalu dari urbanisasi dan perkembangan perkotaan dikaitkan dengan uraian verbal mengenai informasi dasar tersebut diatas. Unsur positif dan negatif dari pengalaman tersebut diberi penekanan memadai. Perkiraan dan proyeksi ke depan diuraikan dan diberi penekanan dalam segi positif dan negatifnya; terutama berkaitan dengan upaya memaksimalkan peranan urbanisasi dan perkembangan perkotaan bagi pembangunan nasional di masa mendatang.

25 Menit Urbanisasi, Perkotaan, Kesejahteraan Masyarakat

Uraian verbal mengenai urbanisasi dan perkembangan perkotaan serta berbagai dampaknya terhadap perekonomian dan kesejahteraan saat kini dan potensinya di masa mendatang.

10 Menit Kebijakan dan Program

Uraian verbal berbagai kebijakan yang dimaksudkan untuk mengurangi, dan menghilangkan bila mungkin, hambatan dari urbanisasi dan perkembangan perkotaan terhadap pembagunan bangsa.

Program-program turunan kebijakan tersebut diarahkan sesuai skala proritas terhadap masalah urbanisasi dan perkembangan perkotaan yang sudah diidentifikasikan pada bagian sebelumnya. Perlu mendapat perhatian disini adalah bahwa program yang diuraikan tidak semuanya harus menjadi tanggung jawab pemerintah sebagai pelaksana teknisnya. Beberapa program dapat dilakukan secara simbiosis dengan lembaga non pemerintah, atau bahkan sepenuhnya dilakukan oleh lembaga non pemerintah.

20 Menit Tanya-Jawab

Merupakan alokasi waktu yang digunakan untuk memperjelas dan mendiskusikan materi tentang urbanisasi dan perkembangan perkotaan yang sedang disajikan.

Selain disiapkan di bagian akhir diseminasi, tanya-jawab serta diskusi dapat dilaksanakan di tengah-tengah acara diseminasi. Namun, perlu dicatat bahwa waktu yang direncanakan/disediakan berkisar pada jangka waktu tersebut.

V-51

Proyeksi mengenai urbanisasi dan perkembangan perkotaan akan melihat keberadaan dan peranannya terhadap pembangunan Indonesia di tahun 2050.

Isu Pokok Perkembangan dan Pengelolaan Perkotaan, serta Kesejahteraan Masyarakat di Indonesia

Cakupan Membahas secara kritis mengenai perkembangan dan pengelolaan perkotaan serta kesejahteraan masyarakat di Indonesia sebagai akibat dari dan pengaruhnya terhadap urbanisasi dan perkembangan perkotaan.

Isu Pokok Kebijakan dan Program Untuk Menata Migrasi dan Urbanisasi

Cakupan Kebijakan yang akan merekayasa status dan kondisi dasar serta menjadikan migrasi dan urbanisasi serta perkembangan perkotaan sebagai pendukung pembangunan nasional.

Kebijakan tersebut perlu diuraikan dalam bentuk program aksi yang secara langsung akan diselenggarakan oleh pemerintah, bekerjasama dengan lembaga non-pemerintah maupun lembaga non pemerintah

Aktifitas Pelatihan

Pelatihan untuk materi ini dipersiapkan seama 90 menit, dengan urutan kegiatan sebagai berikut.

05 Menit Pendahu-luan

Berisi uraian tentang materi migrasi dan perkembangan perkotaan yang akan disampaikan dalam sesi ini.

Bahan diseminasi dalam bentuk tercetak dan file diterangkan cara menggunakan dan kegunaannya.

Informasi lain yang dianggap penting, jika ada

05 Menit Pengertian

Uraian verbal yang berkaitan tentang migrasi dan perkembangan dan pengelolaan perkotaan yang akan digunakan dalam diseminasi informasi, sejak waktu diseminasi hingga pelaksanaan di lapangan.

Persamaan dan perbedaan mengenai pengertian ini disebutkan dan diuraikan secara jelas dan tegas.

25 Menit Status

Uraian verbal mengenai: jumlah, persentase (proporsi terhadap total), sebaran, kualitas, kesejahteraan per pulau, per propinsi, untuk disepakati dan difahami sebagai informasi dasar memahami topik mengenai urbanisasi dan perkembangan perkotaan terutama yang berkaitan dengan pembangunan. Aspek penting mengenai jumlah,

Page 62: Modul Non Formal Ok

V-53

Materi Pelatihan Berikut adalah beberapa materi yang perlu dipersiapkan menjelang dan ketika pelatihan dan/atau diseminasi informasi dilakukan:

Menjelang Bahan diseminasi dalam bentuk tercetak dan file yang dikemas dalam CD-ROM atau flash-disk. Materi yang dipergunakan sebagai bahan diseminasi berbentuk makalah dan bahan penyajian materi diseminasi di depan kelas. Materi pendukung lain yang diperlukan, jika ada

Saat Pelaksanaan

Bahan diseminasi dalam bentuk tercetak dan file yang dikemas dalam CD-ROM atau flash-disk. Komputer atau lap top untuk menyajikan materi diseminasi Alat Sorot Layar Penampil Sorot Papan Tulis Putih Pena Tulis Papan Tulis Putih Alat Tulis Menulis Perkakas Pelantang

Page 63: Modul Non Formal Ok

Lampiran Pre test dan Post Test

Lembar Pre-Test Nama : ___________________________________

Beri tanda silang (x) pada kotak yang terdapat pada setiap pertanyaan yang menurut anda jawabannya adalah benar

No Pertanyaan

1 Penduduk adalah mereka yang sudah menetap di suatu wilayah paling sedikit 6 bulan atau kurang dari 6 bulan tetapi bermaksud untuk menetap.

Benar Salah

2 Berapa perkiraan penduduk dunia pada tahun 2050 a) 9-10 miliar

b) 8 miliar

c) 11-12 miliar

3 Berapa persen bumi yang bisa didiami oleh manusia a) Sekitar 10 persen

b) Sekitar 17 persen

c) Sekitar 30 persen

d) Lebih dari 30 persen

4 Apakah kemampuan bumi untuk memenuhi kebutuhan manusia saat ini masih cukup? a) Sangat mampu

b) cukup mampu

c) sudah berlebihan

5 Faktor yang mempengaruhi jumlah penduduk dunia a) Fertilitas

b) Fertilitas dan mortalitas

c) Fertilitas, mortalitas dan migrasi

6 Bagaimana upaya yang harus dilakukan agar bumi dapat memenuhi kebutuhan manusia saat ini dan masa mendatang a) Meningkatkan teknologi yang ramah lingkungan

b) Mengendalikan jumlah penduduk

c) Mengatur pola konsumsi

d) Ketiga-tiganya

V-53

Materi Pelatihan Berikut adalah beberapa materi yang perlu dipersiapkan menjelang dan ketika pelatihan dan/atau diseminasi informasi dilakukan:

Menjelang Bahan diseminasi dalam bentuk tercetak dan file yang dikemas dalam CD-ROM atau flash-disk. Materi yang dipergunakan sebagai bahan diseminasi berbentuk makalah dan bahan penyajian materi diseminasi di depan kelas. Materi pendukung lain yang diperlukan, jika ada

Saat Pelaksanaan

Bahan diseminasi dalam bentuk tercetak dan file yang dikemas dalam CD-ROM atau flash-disk. Komputer atau lap top untuk menyajikan materi diseminasi Alat Sorot Layar Penampil Sorot Papan Tulis Putih Pena Tulis Papan Tulis Putih Alat Tulis Menulis Perkakas Pelantang

Page 64: Modul Non Formal Ok

Lampiran Pre test dan Post Test

7 Batasan kaum muda (young people) dalam program kependudukan/

KB/KR adalah a) 10-24 tahun

b) 15-24 tahun

c) Kurang dari 30 tahun

8 Persoalan yang banyak dihadapi oleh kaum muda adalah: a) Perilaku berisiko

b) Putus sekolah

c) Rendahnya ketrampilan

d) Semuanya benar

9 Pekerja anak adalah: a) Mereka yang berusia 10 tahun ke bawah dan telah bekerja

b) Mereka yang berusia 15 tahun ke bawah dan bekerja

c) Mereka yang berusia 18 tahun ke bawah dan bekerja

10 Berapa persentase kaum muda di Indonesia di bandingkan dengan jumlah penduduk seluruhnya: a) Sekitar 40 persen

b) Sekitar 30 persen

c) Sekitar 20 persen

11 Pemerintah perlu memperhatikan kaum muda karena: a) Jumlahnya yang banyak

b) Mereka pemimpin masa depan bangsa

c) Semuanya benar

12 Berapa batasan usia produktif a) 15-59 tahun

b) 15-64 tahun

c) Keduanya benar tergantung kesepakatan yang diambil negara

13 Batasan dari usia kerja a) 15 -59 tahun

b) 15-64 tahun

c) Di atas 15 tahun

d) Semuanya benar

Page 65: Modul Non Formal Ok

Lampiran Pre test dan Post Test

14 Yang dimaksud dengan angkatan kerja adalah: a) Mereka yang berusia 15 tahun ke atas dan bekerja b) Mereka yang berusaia 15 tahun ke atas, bekerja, tidak bekerja dan tidak

sekolah c) Mereka yang berusia 15 tahunkeatas yang bekerja, atau punya pekerjaan

namun sementara tidak bekerja, dan yang mencari pekerjaan

15 Dependency ratio adalah: a) Perbandingan antara jumlah penduduk yang berusia 15-59 tahun dengan

penduduk 0-14 tahun di tambah dengan 60 tahun ke atas b) Perbandingan antara jumlah penduduk yang berusia 0-14 tahun di

tambah dengan 60 tahun ke atas terhadap penduduk usia 15-59 tahun

16 Untuk beberapa tahun ke depan, dependency ratio penduduk Indonesia akan mengalami: a) Peningkatan

b) Penurunan

17 Siapa yang tergolong sebagai penduduk lanjut usia: a) Penduduk yang berusia 60 tahun ke atas?

b) Penduduk yang berusia 65 tahun ke atas?

c) Keduanya benar tergantung definisi yang diambil negara

18 Meningkatnya proporsi penduduk lanjut usia disebabkan: a) Menurunnya kelahiran

b) Menurunnya kematian

c) Karena kedua duanya

19 Kebutuhan utama penduduk lanjut usia adalah a) Fisik

b) Psikis

c) Sosial

d) Ketiga-tiganya

20 Siapa yang berperan dalam mendukung kehidupan penduduk lanjut usia a) Pemerintah

b) Masyarakat

c) Keluarga

d) Ketiga-tiganya

21 Urbanisasi adalah perpindahan penduduk dari desa ke kota

Benar Salah

Lampiran Pre test dan Post Test

7 Batasan kaum muda (young people) dalam program kependudukan/

KB/KR adalah a) 10-24 tahun

b) 15-24 tahun

c) Kurang dari 30 tahun

8 Persoalan yang banyak dihadapi oleh kaum muda adalah: a) Perilaku berisiko

b) Putus sekolah

c) Rendahnya ketrampilan

d) Semuanya benar

9 Pekerja anak adalah: a) Mereka yang berusia 10 tahun ke bawah dan telah bekerja

b) Mereka yang berusia 15 tahun ke bawah dan bekerja

c) Mereka yang berusia 18 tahun ke bawah dan bekerja

10 Berapa persentase kaum muda di Indonesia di bandingkan dengan jumlah penduduk seluruhnya: a) Sekitar 40 persen

b) Sekitar 30 persen

c) Sekitar 20 persen

11 Pemerintah perlu memperhatikan kaum muda karena: a) Jumlahnya yang banyak

b) Mereka pemimpin masa depan bangsa

c) Semuanya benar

12 Berapa batasan usia produktif a) 15-59 tahun

b) 15-64 tahun

c) Keduanya benar tergantung kesepakatan yang diambil negara

13 Batasan dari usia kerja a) 15 -59 tahun

b) 15-64 tahun

c) Di atas 15 tahun

d) Semuanya benar

Page 66: Modul Non Formal Ok

Lampiran Pre test dan Post Test

22 Faktor yang mempengaruhi tingkat urbanisasi adalah: a) Pertumbuhan penduduk secara alamiah di daerah perkotaan

b) Migrasi dari desa ke kota

c) Reklasifikasi wilayah

d) Ketiga-tiganya

23 Tingkat urbanisasi di Indonesia dari waktu ke waktu mengalami:

a) Peningkatan b) Penurunan

24 Hirarki perkotaan meliputi: a) Urutan kota dari kota megapolitan, metropolitan, kota besar,

menengah, kecil b) Urutan kota dari kota metropolitan, kota besar, menengah, kecil,

perdesaan c) Kedua-duanya benar

25 Cara mengatasi persoalan perkotaan yang efektif adalah a) Memindahkan penduduk dari kota ke daerah lain

b) Memeratakan pembangunan

c) Kerjasama antar kota

d) Semuanya benar

e) Semuanya salah

Page 67: Modul Non Formal Ok

Lampiran Pre test dan Post Test

Lembar Post-Test Nama : ___________________________________

Beri tanda silang (x) pada kotak yang terdapat pada setiap pertanyaan yang menurut anda jawabannya adalah benar

No Pertanyaan

1 Penduduk adalah mereka yang sudah menetap di suatu wilayah paling sedikit 6 bulan atau kurang dari 6 bulan tetapi bermaksud untuk menetap.

Benar Salah

2 Berapa perkiraan penduduk dunia pada tahun 2050 d) 9-10 miliar

e) 8 miliar

f) 11-12 miliar

3 Faktor yang mempengaruhi jumlah penduduk dunia 1) Fertilitas 2) Fertilitas dan mortalitas 3) Fertilitas, mortalitas dan migrasi

4 Batasan kaum muda (young people) dalam program kependudukan/KB/KR

adalah

1) 10-24 tahun

2) 15-24 tahun

3) Kurang dari 30 tahun

5 Persoalan yang banyak dihadapi oleh kaum muda adalah:

1) Perilaku berisiko

2) Putus sekolah

3) Rendahnya ketrampilan 4) Semuanya benar

6 Pekerja anak adalah:

1) Mereka yang berusia 10 tahun ke bawah dan telah bekerja

2) Mereka yang berusia 15 tahun ke bawah dan bekerja 3) Mereka yang berusia 18 tahun ke bawah dan bekerja

Lampiran Pre test dan Post Test

22 Faktor yang mempengaruhi tingkat urbanisasi adalah: a) Pertumbuhan penduduk secara alamiah di daerah perkotaan

b) Migrasi dari desa ke kota

c) Reklasifikasi wilayah

d) Ketiga-tiganya

23 Tingkat urbanisasi di Indonesia dari waktu ke waktu mengalami:

a) Peningkatan b) Penurunan

24 Hirarki perkotaan meliputi: a) Urutan kota dari kota megapolitan, metropolitan, kota besar,

menengah, kecil b) Urutan kota dari kota metropolitan, kota besar, menengah, kecil,

perdesaan c) Kedua-duanya benar

25 Cara mengatasi persoalan perkotaan yang efektif adalah a) Memindahkan penduduk dari kota ke daerah lain

b) Memeratakan pembangunan

c) Kerjasama antar kota

d) Semuanya benar

e) Semuanya salah

Page 68: Modul Non Formal Ok

Lampiran Pre test dan Post Test

7

Berapa persentase kaum muda di Indonesia di bandingkan dengan jumlah

penduduk seluruhnya:

1) Sekitar 40 persen

2) Sekitar 30 persen

3) Sekitar 20 persen

8 Pemerintah perlu memperhatikan kaum muda karena:

1) Jumlahnya yang banyak

2) Mereka pemimpin masa depan bangsa

3) Semuanya benar

9 Berapa batasan usia produktif

1) 15-59 tahun

2) 15-64 tahun

3) Keduanya benar tergantung kesepakatan yang diambil negara

10 Batasan dari usia kerja

1) 15 -59 tahun

2) 15-64 tahun

3) Di atas 15 tahun

4) Semuanya benar

11 Yang dimaksud dengan angkatan kerja adalah:

1) Mereka yang berusia 15 tahun ke atas dan bekerja

2) Mereka yang berusaia 15 tahun ke atas, bekerja, tidak bekerja dan tidak

sekolah

3) Mereka yang berusia 15 tahun ke atas yang bekerja, atau punya

pekerjaan namun sementara tidak bekerja, dan yang mencari pekerjaan

12 Dependency ratio adalah:

1) Perbandingan antara jumlah penduduk yang berusia 15-59 tahun

dengan penduduk 0-14 tahun di tambah dengan 60 tahun ke atas

2) Perbandingan antara jumlah penduduk yang berusia 0-14 tahun di

tambah dengan 60 tahun ke atas terhadap penduduk usia 15-59 tahun

13

Untuk beberapa tahun ke depan, dependency ratio penduduk Indonesia

akan mengalami:

1) Peningkatan

2) Penurunan

Page 69: Modul Non Formal Ok

Lampiran Pre test dan Post Test

14 Siapa yang tergolong sebagai penduduk lanjut usia:

1) Penduduk yang berusia 60 tahun ke atas?

2) Penduduk yang berusia 65 tahun ke atas?

3) Keduanya benar tergantung definisi yang diambil Negara

15 Meningkatnya proporsi penduduk lanjut usia disebabkan:

1) Menurunnya kelahiran

2) Menurunnya kematian

3) Karena kedua duanya

16 Urbanisasi adalah perpindahan penduduk dari desa ke kota Benar Salah

17 Faktor yang mempengaruhi tingkat urbanisasi adalah:

1) Pertumbuhan penduduk secara alamiah di daerah perkotaan

2) Migrasi dari desa ke kota

3) Reklasifikasi wilayah

4) Ketiga-tiganya

18 Tingkat urbanisasi di Indonesia dari waktu ke waktu mengalami:

1) Peningkatan

2) Penurunan

19 Hirarki perkotaan meliputi:

1) Urutan kota dari kota megapolitan, metropolitan, kota besar,

menengah, kecil

2) Urutan kota dari kota metropolitan, kota besar, menengah, kecil,

perdesaan

3) Kedua-duanya benar

20 Cara mengatasi persoalan perkotaan yang efektif adalah

1) Memindahkan penduduk dari kota ke daerah lain

2) Memeratakan pembangunan

3) Kerjasama antar kota

4) Semuanya benar

5) Semuanya salah

Lampiran Pre test dan Post Test

7

Berapa persentase kaum muda di Indonesia di bandingkan dengan jumlah

penduduk seluruhnya:

1) Sekitar 40 persen

2) Sekitar 30 persen

3) Sekitar 20 persen

8 Pemerintah perlu memperhatikan kaum muda karena:

1) Jumlahnya yang banyak

2) Mereka pemimpin masa depan bangsa

3) Semuanya benar

9 Berapa batasan usia produktif

1) 15-59 tahun

2) 15-64 tahun

3) Keduanya benar tergantung kesepakatan yang diambil negara

10 Batasan dari usia kerja

1) 15 -59 tahun

2) 15-64 tahun

3) Di atas 15 tahun

4) Semuanya benar

11 Yang dimaksud dengan angkatan kerja adalah:

1) Mereka yang berusia 15 tahun ke atas dan bekerja

2) Mereka yang berusaia 15 tahun ke atas, bekerja, tidak bekerja dan tidak

sekolah

3) Mereka yang berusia 15 tahun ke atas yang bekerja, atau punya

pekerjaan namun sementara tidak bekerja, dan yang mencari pekerjaan

12 Dependency ratio adalah:

1) Perbandingan antara jumlah penduduk yang berusia 15-59 tahun

dengan penduduk 0-14 tahun di tambah dengan 60 tahun ke atas

2) Perbandingan antara jumlah penduduk yang berusia 0-14 tahun di

tambah dengan 60 tahun ke atas terhadap penduduk usia 15-59 tahun

13

Untuk beberapa tahun ke depan, dependency ratio penduduk Indonesia

akan mengalami:

1) Peningkatan

2) Penurunan

Page 70: Modul Non Formal Ok

Lampiran Evaluasi

EVALUASI PER MATERI ISU PENDUDUK DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

Bagaimana penilaian anda terhadap presentasi materi ini ? Lingkari angka yang sesuai dengan penilaian anda

1= sangat buruk

2= buruk

3= baik

4= sangat baik

5= memuaskan

Materi

Aspek

Nilai

1 2 3 4 5 Dinamika Penduduk dan Pembangunan Berkelanjutan (jumlah serta Pertumbuhan Penduduk dan dampaknya terhadap kehidupan penduduk

Relevansi dengan bidang tugas

Cakupan pembahasan

Variasi presentasi

Kesiapan fasilitator

Saran untuk perbaikan capacity building dimasa mendatang

………………………………………………………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………………………………………………………

………………………………………………………

Page 71: Modul Non Formal Ok

Lampiran Evaluasi

EVALUASI PER MATERI

MATERI ADVOKASI ISU ORANG MUDA DI INDONESIA

Bagaimana penilaian anda terhadap presentasi materi ini ? Lingkari angka yang sesuai dengan penilaian anda

1= sangat buruk

2= buruk

3= baik

4= sangat baik

5= memuaskan

Materi

Aspek

Nilai

1 2 3 4 5 Kaum Muda

Relevansi dengan bidang tugas

Cakupan pembahasan

Variasi presentasi

Kesiapan fasilitator

Saran untuk perbaikan capacity building dimasa mendatang

………………………………………………………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………………………………………………………

………………………………………………………

Lampiran Evaluasi

EVALUASI PER MATERI ISU PENDUDUK DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

Bagaimana penilaian anda terhadap presentasi materi ini ? Lingkari angka yang sesuai dengan penilaian anda

1= sangat buruk

2= buruk

3= baik

4= sangat baik

5= memuaskan

Materi

Aspek

Nilai

1 2 3 4 5 Dinamika Penduduk dan Pembangunan Berkelanjutan (jumlah serta Pertumbuhan Penduduk dan dampaknya terhadap kehidupan penduduk

Relevansi dengan bidang tugas

Cakupan pembahasan

Variasi presentasi

Kesiapan fasilitator

Saran untuk perbaikan capacity building dimasa mendatang

………………………………………………………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………………………………………………………

………………………………………………………

Page 72: Modul Non Formal Ok

Lampiran Evaluasi

EVALUASI PER MATERI

ISU PENDUDUK USIA PRODUKTIF DAN KETENAGAKERJAAN DI INDONESIA

Bagaimana penilaian anda terhadap presentasi materi ini ? Lingkari angka yang sesuai dengan penilaian anda

1= sangat buruk

2= buruk

3= baik

4= sangat baik

5= memuaskan

Materi

Aspek

Nilai

1 2 3 4 5 Penduduk usia produktif dan ketenagakerjaan

Relevansi dengan bidang tugas

Cakupan pembahasan

Variasi presentasi

Kesiapan fasilitator

Saran untuk perbaikan capacity building dimasa mendatang

………………………………………………………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………………………………………………………

………………………………………………………

Page 73: Modul Non Formal Ok

Lampiran Evaluasi

EVALUASI PER MATERI ISU PENDUDUK USIA LANJUT DI INDONESIA

Bagaimana penilaian anda terhadap presentasi materi ini ? Lingkari angka yang sesuai dengan penilaian anda

1= sangat buruk

2= buruk

3= baik

4= sangat baik

5= memuaskan

Materi

Aspek

Nilai

1 2 3 4 5 Penduduk usia lanjut

Relevansi dengan bidang tugas

Cakupan pembahasan

Variasi presentasi

Kesiapan fasilitator

Saran untuk perbaikan capacity building dimasa mendatang

………………………………………………………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………………………………………………………

………………………………………………………

Lampiran Evaluasi

EVALUASI PER MATERI

ISU PENDUDUK USIA PRODUKTIF DAN KETENAGAKERJAAN DI INDONESIA

Bagaimana penilaian anda terhadap presentasi materi ini ? Lingkari angka yang sesuai dengan penilaian anda

1= sangat buruk

2= buruk

3= baik

4= sangat baik

5= memuaskan

Materi

Aspek

Nilai

1 2 3 4 5 Penduduk usia produktif dan ketenagakerjaan

Relevansi dengan bidang tugas

Cakupan pembahasan

Variasi presentasi

Kesiapan fasilitator

Saran untuk perbaikan capacity building dimasa mendatang

………………………………………………………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………………………………………………………

………………………………………………………

Page 74: Modul Non Formal Ok

Lampiran Evaluasi

EVALUASI PER MATERI

ISU URBANISASI DAN PERKEMBANGAN PERKOTAAN DI INDONESIA

Bagaimana penilaian anda terhadap presentasi materi ini ? Lingkari angka yang sesuai dengan penilaian anda

1= sangat buruk

2= buruk

3= baik

4= sangat baik

5= memuaskan

Materi

Aspek

Nilai

1 2 3 4 5 Urbanisasi Perkembangan Perkotaan

Relevansi dengan bidang tugas

Cakupan pembahasan

Variasi presentasi

Kesiapan fasilitator

Saran untuk perbaikan capacity building dimasa mendatang

………………………………………………………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………………………………………………………

………………………………………………………

Page 75: Modul Non Formal Ok

Lampiran Evaluasi

EVALUASI MENYELURUH

Peserta yang terhormat, Kami sangat berterima kasih jika anda dengan jujur dapat menjawab pertanyaan berikut ini, yang merupakan salah satu upaya kami untuk memperbaiki pelaksanaan capacity building dikemudian hari.

Terima kasih.

A. Evaluasi Kepuasan Peserta. Mohon diberikan tanda (x) pada kolom yang sesuai dengan penilaian anda.

No Pertanyaan atau Aspek Penilaian Nilai

1 2 3 4 1. Penilaian kegiatan secara keseluruhan

2. Manfaat dari kegiatan capacity building

3. Penyajian dan diskusi masing-masing materi

a. Kemampuan fasilitator

b. Materi/handout yang diberikan

c. Kesesuaian materi yang diberikan

d. Alokasi waktu masing-masing materi

4. Sesi konsolidasi

5. Logistic

a. ruang kelas

b. akomodasi hotel

c. makanan

6. Pelayanan panitia

Keterangan: 1= sangat buruk; 2 = buruk; 3 = bagus; 4 = sangat bagus

B. Rekomendasi peserta untuk perbaikan kegiatan capacity building dimasa mendatang

1. Aspek dari kegiatan yang perlu di tingkatkan.

……………………………………………………………………………………………………………………………………………

……………………………………………………………………………………………………………………………………………

……………………………………………………………………………………………………………………………………………

……………………….................………………………………………………………………

Lampiran Evaluasi

EVALUASI PER MATERI

ISU URBANISASI DAN PERKEMBANGAN PERKOTAAN DI INDONESIA

Bagaimana penilaian anda terhadap presentasi materi ini ? Lingkari angka yang sesuai dengan penilaian anda

1= sangat buruk

2= buruk

3= baik

4= sangat baik

5= memuaskan

Materi

Aspek

Nilai

1 2 3 4 5 Urbanisasi Perkembangan Perkotaan

Relevansi dengan bidang tugas

Cakupan pembahasan

Variasi presentasi

Kesiapan fasilitator

Saran untuk perbaikan capacity building dimasa mendatang

………………………………………………………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………………………………………………………

………………………………………………………

Page 76: Modul Non Formal Ok

Lampiran Evaluasi

2. Aspek dari kegiatan yang dianggap sangat baik

……………………………………………………………………………………………………………………………………………

……………………………………………………………………………………………………………………………………………

……………………………………………………………………………………………………………………………………………

……………………….................………………………………………………………………

3. Aspek dari kegiatan yang tidak disukai

……………………………………………………………………………………………………………………………………………

……………………………………………………………………………………………………………………………………………

……………………………………………………………………………………………………………………………………………

……………………….................………………………………………………………………

4. Saran perbaikan yang dapat diberikan

……………………………………………………………………………………………………………………………………………

……………………………………………………………………………………………………………………………………………

……………………………………………………………………………………………………………………………………………

……………………….................………………………………………………………………

Page 77: Modul Non Formal Ok

L-1

Dinamika Penduduk Dan Pembangunan Berkelanjutan

Eddy Hasmi

Sejak dekade tahun 90-an Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) banyak melakukan pertemuan internasional untuk merumuskan strategi pembangunan global dalam rangka meningkatkan kesejahteraan umat manusia secara berkelanjutan. Berbagai pertemuan tersebut dirasakan perlu melihat kenyataan dibanyak negara pembangunan justru makin memperlebar jurang perbedaan kesejahteraan serta kurang memperhatikan azas keberlangsungan bagi umat manusia dimasa mendatang. Dimulai dengan konferensi tentang lingkungan hidup dalam rangka mewujudkan pembangunan berkelanjutan pada tahun 1992 di Brazil (Rio Conference), berturut-turut kemudian diadakan konferensi tentang Kependudukan dan Pembangunan (International Conference on Population and Development) di Cairo pada tahun 1994, Gender dan Pemberdayaan Perempuan di China pada tahun 1995, Pembangunan Sosial di Kopenhagen tahun 1995, serta beberapa konferensi lainnya. Hasil dari berbagai konferensi tersebut kemudian disarikan dan dijadikan acuan bagi arah dan strategi pembangungan global abad-21 dalam pertemuan puncak yang dinamakan Millennium Development Summit (MDS) di New York pada bulan September tahun 2000. MDS menghasilkan deklarasi yang kemudian dikenal dengan Millennium Development Goals (MDGs). Kesepakatan MDGs akan berakhir tidak lama lagi (2015). Karenanya PBB mulai melakukan pembahasan untuk merancang arah pembangunan paska 2015. Kerangka konsep yang dibangun kemudian di kenal dengan ”development Strategy post 2015”. Kerangka pembangunan tersebut walaupun belum disepakati namun setidaknya arah yang ingin dikembangkan sudah jelas yaitu Sustainable Development Goals (SDGs). Pembahasan awal kerangka SDGs sudah dimulai di pertemuan Rio+20 yang telah berlangsung di Brazil pada tahun 2012 yang lalu. Dalam kerangka pembangunan SDGs tersebut sangat tergambar bahwa pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang berpusat pada manusia (people centered development). Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang inclusive terhadap situasi penduduk. Pembangunan yang dapat dinikmati oleh seluruh segment penduduk. Pembangunan yang melibatkan seluruh penduduk dalam prosesnya. Pembangunan Berkelanjutan Pengertian Kesepakatan Rio tahun 1994 yang masih dianut sampai saat ini mengemukakan bahwa:

“Sustainable development is development that meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs”.

Dengan demikian secara umum dapat diartikan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah upaya terencana untuk menjamin kesejahteraan umat manusia secara adil dan merata antara generasi sekarang dan generasi yang akan datang. Konsep tentang pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dalam pengertian pengembangan program, datang pertama kali oleh World Commision on Environment and Development (WCED). Mengacu pada konsep yang dikembangkan oleh WCED maka krisis lingkungan dan pembangunan tidak dapat dipecahkan secara terpisah, tetapi harus

Lampiran Evaluasi

2. Aspek dari kegiatan yang dianggap sangat baik

……………………………………………………………………………………………………………………………………………

……………………………………………………………………………………………………………………………………………

……………………………………………………………………………………………………………………………………………

……………………….................………………………………………………………………

3. Aspek dari kegiatan yang tidak disukai

……………………………………………………………………………………………………………………………………………

……………………………………………………………………………………………………………………………………………

……………………………………………………………………………………………………………………………………………

……………………….................………………………………………………………………

4. Saran perbaikan yang dapat diberikan

……………………………………………………………………………………………………………………………………………

……………………………………………………………………………………………………………………………………………

……………………………………………………………………………………………………………………………………………

……………………….................………………………………………………………………

Page 78: Modul Non Formal Ok

L-2

secara terkait. Memecahkan krisis lingkungan secara tersendiri hanya akan memperparah krisis pembangunan, yang pada gilirannya akan kembali menimbulkan masalah lingkungan hidup yang lebih besar lagi. Karena itu pembangunan harus dapat dilanjutkan untuk memenuhi kebutuhan masa kini, tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kehidupannya pula. Ini berarti, bahwa pengembangunan harus disertai upaya untuk melestarikan kemampuan lingkungan untuk menjalankan fungsinya buat seterusnya. Untuk mencapai keadaan yang memungkinkan keberlanjutan, strategi WCED memuat beberapa sasaran yang harus dicapai dalam dasawarsa pembangunan sampai dengan tahun 2012, antara lain:

1. Menghidupkan pertumbuhan ekonomi secara merata diseluruh dunia. Dinegara berkembang untuk menghapuskan kemiskinan, yang merupakan salah satu sumber perusakan sumber alam dan lingkungan hidup yang utama. Di negara maju pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi diperlukan untuk mendorong pengembangan perekonomian dunia;

2. Mengubah kualitas pertumbuhan: tidak lagi intensif bahan dan intensif energi, dampak yang leih merata dan lebih adil. Pembangunan harus disertai langkah untuk menjaga “stock” modal lingkungan, menyempurnakan pemerataan pendapatan, dan mengurangi kerentanan terhadap krisis ekonomi;

3. Pemenuhan kebutuhan esensial manusia: lapangan kerja, pangan, energi, air dan sanitasi;

4. Tingkat pertumbuhan penduduk yang terlanjutkan (sustainable), yang jumlahnya sesuai dengan kemampuan produktif ekonosistem;

5. Konservasi dan peningkatan kualitas pengkalan sumber daya (resource base), a.l. sumber pertanian (lahan, sungai, hutan), sumber energi, kapasitas biosfir untuk menyerap produk sampingan penggunaan energi, dsb

6. Reorientasi teknologi dan pengelolaan risiko; agar mengarah pada teknologi hemat dan bersih lingkungan serta penanggulangan resiko lingkungan;

7. Penggabungan/keterpaduan lingkungan hidup dengan ekonomi dalam pengambilan keputusan.

Jika dilihat pada 7 aspek di atas maka terdapat 3 aspek penting yang harus benar-benar diperhatikan yaitu (1) aspek pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan (2) aspek pembangunan sosial yang berkelanjutan untuk mencapai kalitas hidup yang tinggi dan (3) aspek pengelolaan kualitas lingkungan hidup yang berkelanjutan. Ketiga aspek di atas harus dilihat dalam konteks perkembangan kependudukan. Aspek pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan merujuk pada penempatan peran penduduk sebagai pelaku utama kegiatan ekonomi. Jadi penduduk sebagai subyek pembangunan. Aspek pembangunan sosial yang berkelanjutan merupakan penjabaran dari penempatan peran penduduk sebagai obyek pembangunan. Penduduk sebagai penikmat pembangunan. Aspek pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan menempatkan peran penduduk sebagai pemelihara lingkungan hidup demi kehidupan generasi mendatang (lihat gambar-1).

Gambar-1: Kerangka Konseptual Pembangunan Berkelanjutan

Pembangunan social yang berkelanjutan Pengelolaan Lingkungan Hidup

yang berkelanjutan

Penduduk

Pembangunan ekonomi yang berkelanjutan

Page 79: Modul Non Formal Ok

L-3

Pemikiran di atas didasari pada kenyataan bahwa pertumbuhan (growth) memiliki „limit to growth‟. Konsep ini mengacu pada kenyataan bahwa suatu pertumbuhan ada batasnya. Jika batas dari terlampaui maka yang kemudian terjadi adalah terjadinya „pemusnahan‟ atas hasil-hasil pembangunan tersebut. Nampaknya ini yang sedang berlangsung di Indonesia dengan terjadinya krisis ekonomi sekarang ini. Jika diingat beberapa tahun yang lalu selalu ada peringatan bahwa perekonomian kita terlalu memanas dan lain sebagainya. Itu tidak lain adalah kata lain bahwa pertumbuhan ekonomi kita sedang memasuki apa yang disebut dengan '„limit to growth‟. Bahwa pertumbuhan ekonomi tersebut tidak dapat dipacu lebih tinggi lagi dengan melihat pada kondisi fundamental yang ada. Ada beberapa kritik lagi yang ditujukan kepada konsep pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan yaitu (1) prakasa biasanya dimulai dari pusat dalam bentuk rencana formal, (2) proses penyusunan program bersifat statis dan didominasi oleh pendapat pakar dan teknokrat, (3) teknologi yang digunakan biasanya bersifat „scientific‟ dan bersumber dari luar, (4) mekanisme kelembagaan bersifat „top-down‟, (5) pertumbuhannya cepat namun bersifat mekanistik, (6) organisatornya adalah para pakar spesialis, dan (7) oreintasinya adalah bagaimana menyelesaikan program/proyek secara cepat sehingga mampu menghasilkan pertumbuhan. Dengan melihat pada kriteria di atas nampak bahwa peranan penduduk lokal dalam proses pembangunan sangat sedikit. Kritik para ahli terhadap orientasi pembangunan yang mengutamakan pada pertumbuhan tersebut telah berlangsung sejak tahun 60-an. Para cendekiawan dari Massachuset Institute of Technology dan Club of Rome pada kurun waktu tersebut secara gencar mengkritik orientasi pembangunan ekonomi tersebut. Itulah yang kemudian melahirkan pemikiran terhadap pembangunan berkelanjutan atau juga pembangunan yang berpusat pada manusia. Untuk mencapai pembangunan berkelanjutan perlu pertimbangan dan pengelolaan sedemikian rupa agar keterkaitan antara penduduk, sumberdaya, lingkungan dan pembangunan (sosial dan ekonomi) tercipta dalam suatu keseimbangan yang dinamis. Untuk meciptakan hal tersebut, perlu digariskan kebijaksanaan pembangunan yang tegas untuk menghindari pola konsumsi dan produksi yang tidak berkelanjutan. Disamping itu penting dikembangkan kebijakan kependudukan untuk menciptakan agar penduduk dapat terpenuhi kebutuhannya sekarang dengan tanpa melakukan kompromi, sehingga mengurangi kesempatan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Aspek pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan banyak dibahas dalam pertemuan Bumi di Rio, Brazil tahun 1992 yang kemudian diikuti dengan Rio+5 dan Rio+10, yang kemudian dikenal dengan World Summit on Sustainable Development(WSSD), di Johannesburg, Afrika Selatan pada tahun 2002 yang lalu. Sedangkan sebagaimana dikemukakan di atas maka pembangunan sosial juga banyak dibahas antara lain di Kopenhagen, China sedangkan kependudukan dibahas di Cairo, Mesir pada tahun 1994.

International Conference on Population and Development (ICPD) Perhatian dunia tentang kependudukan dan pembangunan telah berlangsung cukup lama. Hal itu dapat diamati dari deklarasi yang dihasilkan sejak dari konferensi kependudukan sedunia tahun 1974 di Bucharest, dilanjutkan di Mexico City tahun 1984 sampai dengan di Cairo pada tahun 1994 yang secara konsisten menekankan bahwa integrasi kebijaksanaan kependudukan dan pembangunan merupakan hal yang penting. Perbedaannya adalah adanya pergeseran isu sentral dan cara pendekatan pada masing-masing konferensi sesuai dengan situasi dan kondisi yang berkembang.

L-2

secara terkait. Memecahkan krisis lingkungan secara tersendiri hanya akan memperparah krisis pembangunan, yang pada gilirannya akan kembali menimbulkan masalah lingkungan hidup yang lebih besar lagi. Karena itu pembangunan harus dapat dilanjutkan untuk memenuhi kebutuhan masa kini, tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kehidupannya pula. Ini berarti, bahwa pengembangunan harus disertai upaya untuk melestarikan kemampuan lingkungan untuk menjalankan fungsinya buat seterusnya. Untuk mencapai keadaan yang memungkinkan keberlanjutan, strategi WCED memuat beberapa sasaran yang harus dicapai dalam dasawarsa pembangunan sampai dengan tahun 2012, antara lain:

1. Menghidupkan pertumbuhan ekonomi secara merata diseluruh dunia. Dinegara berkembang untuk menghapuskan kemiskinan, yang merupakan salah satu sumber perusakan sumber alam dan lingkungan hidup yang utama. Di negara maju pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi diperlukan untuk mendorong pengembangan perekonomian dunia;

2. Mengubah kualitas pertumbuhan: tidak lagi intensif bahan dan intensif energi, dampak yang leih merata dan lebih adil. Pembangunan harus disertai langkah untuk menjaga “stock” modal lingkungan, menyempurnakan pemerataan pendapatan, dan mengurangi kerentanan terhadap krisis ekonomi;

3. Pemenuhan kebutuhan esensial manusia: lapangan kerja, pangan, energi, air dan sanitasi;

4. Tingkat pertumbuhan penduduk yang terlanjutkan (sustainable), yang jumlahnya sesuai dengan kemampuan produktif ekonosistem;

5. Konservasi dan peningkatan kualitas pengkalan sumber daya (resource base), a.l. sumber pertanian (lahan, sungai, hutan), sumber energi, kapasitas biosfir untuk menyerap produk sampingan penggunaan energi, dsb

6. Reorientasi teknologi dan pengelolaan risiko; agar mengarah pada teknologi hemat dan bersih lingkungan serta penanggulangan resiko lingkungan;

7. Penggabungan/keterpaduan lingkungan hidup dengan ekonomi dalam pengambilan keputusan.

Jika dilihat pada 7 aspek di atas maka terdapat 3 aspek penting yang harus benar-benar diperhatikan yaitu (1) aspek pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan (2) aspek pembangunan sosial yang berkelanjutan untuk mencapai kalitas hidup yang tinggi dan (3) aspek pengelolaan kualitas lingkungan hidup yang berkelanjutan. Ketiga aspek di atas harus dilihat dalam konteks perkembangan kependudukan. Aspek pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan merujuk pada penempatan peran penduduk sebagai pelaku utama kegiatan ekonomi. Jadi penduduk sebagai subyek pembangunan. Aspek pembangunan sosial yang berkelanjutan merupakan penjabaran dari penempatan peran penduduk sebagai obyek pembangunan. Penduduk sebagai penikmat pembangunan. Aspek pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan menempatkan peran penduduk sebagai pemelihara lingkungan hidup demi kehidupan generasi mendatang (lihat gambar-1).

Gambar-1: Kerangka Konseptual Pembangunan Berkelanjutan

Pembangunan social yang berkelanjutan Pengelolaan Lingkungan Hidup

yang berkelanjutan

Penduduk

Pembangunan ekonomi yang berkelanjutan

Page 80: Modul Non Formal Ok

L-4

Pada konferensi kependudukan sedunia di Bucharest tahun 1974, disepakati perlunya mengendalikan pertumbuhan penduduk. Mulai saat itu mulai terjadi perubahan paradigma pembangunan kependudukan dari yang semula bersifat pro-natalis ke anti-natalis. Argumentasinya di dasarkan pada pendapat Malthus bahwa pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali akan berdampak buruk bagi peningkatan kesejahteraan umat manusia. Pada era tersebut penanganan masalah pengaturan kelahiran dilakukan dengan pemakaian alat kontrasepsi. Pada konferensi kependudukan sedunia di Mexico tahun 1984, isu pengelolaan pertumbuhan penduduk berubah dari penggunaan alat kontrasepsi kepada pembangunan dalam arti luas (beyond family planning). Oleh karena itu konferensi Mexico mengeluarkan suatu slogan yang sangat terkenal yaitu “development is the best contraceptive”. Dasar pemikirannya adalah bahwa pembangunan baik pembangunan ekonomi dan sosial akan berdampak pada pembentukan norma tertentu mengenai anak. Hal ini didasarkan pada berbagai hasil studi yang menunjukkan bahwa makin tinggi status sosial ekonomi keluarga akan berdampak pada semakin sedikitnya jumlah anak yang mereka miliki. Oleh karena itu dalam upaya pengaturan kelahiran yang dibutuhkan bukan pelaksanaan program keluarga berencana dalam arti pelayanan kontrasepsi namun yang lebih diperlukan adalah pembangunan sosial ekonomi. Namun pada kenyataannya kerangka pikir tersebut banyak tidak berjalan di berbagai negara. Pertama, di banyak negara pembangunan ekonomi dan sosial membutuhkan waktu yang lama. Bahkan dalam beberapa kasus banyak negara yang terjebak dalam kemiskinan sehingga mengalami kesulitan untuk membangun kondisi ekonominya. Kedua, apabila tujuannya adalah untuk mengendalikan penduduk maka program keluarga berencana terbukti sebagai suatu program yang efektif. Selain itu, pada periode sebelum Konferensi di Cairo, 1994 (International Conference on Population and Development), perhatian terhadap isu kependudukan lebih difokuskan pada upaya pengendalian kuantitas penduduk. Akibatnya, sebelum konferensi tersebut peran negara dalam menentukan arah kebijakan terasa lebih dominan dibandingkan dengan peran penduduk (individu). Upaya tersebut dimanifestasikan lebih kepada pendekatan demografi yaitu pengaturan kelahiran, penurunan kematian serta pengarahan mobilitas penduduk. Pendekatan yang lebih berbasiskan pada demografi tersebut mendapat banyak kecaman terutama dari mereka yang sangat memperhatikan hak asasi manusia, kesejahteraan, maupun pemberdayaan perempuan (Jones, Gavin, 1998), karena dalam praktek program pengendalian kuantitas penduduk lebih menekankan interes negara dibandingkan dengan interes penduduk.. International Conference on Population and Development (ICPD) tahun 1994 di Cairo dapat dipandang sebagai momentum perubahan mendasar dari pendekatan masalah kependudukan dalam pembangunan walaupun menurut Jones (1998) perubahan tersebut bukanlah berlangsung tiba-tiba, namun melalui proses yang cukup panjang yaitu sejak tahun 1985. Beberapa karya yang cukup mempengaruhi perubahan kerangka konsep kependudukan dalam pembangunan antara lain dikembangkan oleh Rosenfield dan Maine (1985) yang memberikan nuansa kesehatan masyarakat, Germain (1987) memberikan penekanan pada pemberdayaan perempuan, Dixon-Muller, 1993 serta Sen, Germain & Chen (1994) yang juga memberikan penekanan pada pemberdayaan perempuan & hak individu (Jones, Gavin, 1998). Secara ideal setiap kebijakan publik termasuk juga kebijakan kependudukan perlu mempertimbangkan tiga level kepentingan, yaitu individu, masyarakat dan negara atau wilayah secara seimbang. Dengan demikian sebagai bagian dari kebijakan publik, tujuan akhir dari kebijaksanaan kependudukan juga harus mendukung perbaikan kondisi sosial ekonomi individu, negara dan masyarakat (Keyfitz dalam Sukamdi, 1992). Bahkan, kesejahteraan individu merupakan tujuan yang harus dikedepankan, sebab dengan tercapainya kesejahteraan individu secara merata, secara otomatis kesejahteraan

Page 81: Modul Non Formal Ok

L-5

masyarakat pada umumnya juga akan tercapai. Sebaliknya, kesejahteraan masyarakat atau negara secara agregat tidak selalu berarti kesejahteraan individu yang ada dalam agregasi tersebut juga tercapai. Akan tetapi dalam kenyataan yang terjadi adalah sebaliknya yaitu bahwa kecenderungan yang dominan adalah munculnya kepentingan negara (national interest) yang lebih menonjol. Hal itu kemudian berdasarkan logika negara, kepentingan tersebut diterjemahkan ke dalam level masyarakat dan individu. Masalah yang seringkali muncul adalah bahwa tidak selalu ketiga kepentingan tersebut cocok atau paralel, sehingga dalam beberapa kasus hak individu dan masyarakat terabaikan ketika kepentingan negara menjadi segala-galanya. Atas nama kepentingan negara, target kuantitatif harus segera tercapai, sehingga dalam berbagai program kependudukan tekanannya lebih ke aspek makro dari pada mikro. Pada saat ketika kepentingan negara lebih terkedepankan maka akan muncul pelanggaran hak individu dan isu mengenai hak asasi manusia (HAM) akan menjadi isu penting. Arus pemikiran tentang hak asasi manusia menjadi semakin berkembang secara global (internasional) pada periode akhir tahun 80-an. Untuk kependudukan, pembahasan secara eksplisit berkembang dalam International Conference on Population and Development (ICPD) tahun 1994 di Cairo, yang kemudian dikenal dengan “right based approach”1. Di dalam konferensi ini penekanan dilakukan terhadap tiga isu pokok yaitu dignity of individual, human rights, dan social values. Secara implisit ketiga aspek tersebut meletakkan hak individu sebagai perhatian pokok dalam pembangunan kependudukan. Disamping itu konferensi ini juga menegaskan bahwa manusia merupakan pusat perhatian dalam pembangunan berkelanjutan, karena penduduk merupakan sumber daya yang paling penting dan paling bernilai. Konferensi kependudukan yang diadakan di Cairo pada tahun 1994 secara umum bertujuan untuk menjadikan penduduk sebagai subyek dan obyek pembangunan. Sebagai subyek pembangunan makap penduduk tersebut harus menjadi SDM yang berkualitas. Sedangkan sebagai obyek pembangunan maka penduduk tersebut harus mampu menikmati hasil pembangunan. Beberapa khusus tujuan dan sasaran dari konferensi Cairo yang relevan dengan kondisi pembangunan nasional Indonesia meliputi:

o Meningkatkan kualitas hidup melalui kebijakan dan program kependudukan dan pembangunan untuk mencapai penghapusan kemiskinan, pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan dalam konteks pembangunan berkelanjutan.

o Upaya menjamin akses penuh pendidikan dasar atau sederajat bagi laki-laki dan perempuan secepatnya, jika mungkin sebelum tahun 2015.

o Memajukan keadilan dan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, dan menghapus seluruh bentuk kekerasan terhadap perempuan, dan menjamin kemampuan perempuan untuk mengkontrol kehidupan fertilitas mereka sendiri, adalah dasar dari keterkaitan program kependudukan dan pembangunan.

o Menurunkan tingkat kematian bayi dibawah 35 per 1,000 kelahiran hidup dan tingkat kematian Balita di bawah 45 per 1,000.

o Menurunkan tingkat kematian ibu hamil dan melahirkan sampai di bawah 125 per 100,000 kelahiran hidup untuk Negara-negara berkembang.

o Pada tahun 2005 menjamin paling tidak 90 persen dan pada tahun 2010 paling tidak 95 persen dari penduduk usia 15-24 tahun memiliki akses pada KIE dan

1 Rights based development mengacu pada pemikiran bahwa setiap penduduk tanpa membeda-bedakan asal usul memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi dan menikmati hasil pembangunan.

L-4

Pada konferensi kependudukan sedunia di Bucharest tahun 1974, disepakati perlunya mengendalikan pertumbuhan penduduk. Mulai saat itu mulai terjadi perubahan paradigma pembangunan kependudukan dari yang semula bersifat pro-natalis ke anti-natalis. Argumentasinya di dasarkan pada pendapat Malthus bahwa pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali akan berdampak buruk bagi peningkatan kesejahteraan umat manusia. Pada era tersebut penanganan masalah pengaturan kelahiran dilakukan dengan pemakaian alat kontrasepsi. Pada konferensi kependudukan sedunia di Mexico tahun 1984, isu pengelolaan pertumbuhan penduduk berubah dari penggunaan alat kontrasepsi kepada pembangunan dalam arti luas (beyond family planning). Oleh karena itu konferensi Mexico mengeluarkan suatu slogan yang sangat terkenal yaitu “development is the best contraceptive”. Dasar pemikirannya adalah bahwa pembangunan baik pembangunan ekonomi dan sosial akan berdampak pada pembentukan norma tertentu mengenai anak. Hal ini didasarkan pada berbagai hasil studi yang menunjukkan bahwa makin tinggi status sosial ekonomi keluarga akan berdampak pada semakin sedikitnya jumlah anak yang mereka miliki. Oleh karena itu dalam upaya pengaturan kelahiran yang dibutuhkan bukan pelaksanaan program keluarga berencana dalam arti pelayanan kontrasepsi namun yang lebih diperlukan adalah pembangunan sosial ekonomi. Namun pada kenyataannya kerangka pikir tersebut banyak tidak berjalan di berbagai negara. Pertama, di banyak negara pembangunan ekonomi dan sosial membutuhkan waktu yang lama. Bahkan dalam beberapa kasus banyak negara yang terjebak dalam kemiskinan sehingga mengalami kesulitan untuk membangun kondisi ekonominya. Kedua, apabila tujuannya adalah untuk mengendalikan penduduk maka program keluarga berencana terbukti sebagai suatu program yang efektif. Selain itu, pada periode sebelum Konferensi di Cairo, 1994 (International Conference on Population and Development), perhatian terhadap isu kependudukan lebih difokuskan pada upaya pengendalian kuantitas penduduk. Akibatnya, sebelum konferensi tersebut peran negara dalam menentukan arah kebijakan terasa lebih dominan dibandingkan dengan peran penduduk (individu). Upaya tersebut dimanifestasikan lebih kepada pendekatan demografi yaitu pengaturan kelahiran, penurunan kematian serta pengarahan mobilitas penduduk. Pendekatan yang lebih berbasiskan pada demografi tersebut mendapat banyak kecaman terutama dari mereka yang sangat memperhatikan hak asasi manusia, kesejahteraan, maupun pemberdayaan perempuan (Jones, Gavin, 1998), karena dalam praktek program pengendalian kuantitas penduduk lebih menekankan interes negara dibandingkan dengan interes penduduk.. International Conference on Population and Development (ICPD) tahun 1994 di Cairo dapat dipandang sebagai momentum perubahan mendasar dari pendekatan masalah kependudukan dalam pembangunan walaupun menurut Jones (1998) perubahan tersebut bukanlah berlangsung tiba-tiba, namun melalui proses yang cukup panjang yaitu sejak tahun 1985. Beberapa karya yang cukup mempengaruhi perubahan kerangka konsep kependudukan dalam pembangunan antara lain dikembangkan oleh Rosenfield dan Maine (1985) yang memberikan nuansa kesehatan masyarakat, Germain (1987) memberikan penekanan pada pemberdayaan perempuan, Dixon-Muller, 1993 serta Sen, Germain & Chen (1994) yang juga memberikan penekanan pada pemberdayaan perempuan & hak individu (Jones, Gavin, 1998). Secara ideal setiap kebijakan publik termasuk juga kebijakan kependudukan perlu mempertimbangkan tiga level kepentingan, yaitu individu, masyarakat dan negara atau wilayah secara seimbang. Dengan demikian sebagai bagian dari kebijakan publik, tujuan akhir dari kebijaksanaan kependudukan juga harus mendukung perbaikan kondisi sosial ekonomi individu, negara dan masyarakat (Keyfitz dalam Sukamdi, 1992). Bahkan, kesejahteraan individu merupakan tujuan yang harus dikedepankan, sebab dengan tercapainya kesejahteraan individu secara merata, secara otomatis kesejahteraan

Page 82: Modul Non Formal Ok

L-6

pelayanan untuk mengembangkan life skills yang dibutuhkan untuk mengurangi kerentanan mereka terhadap infeksi HIV, dimana pada tahun 2005 diupayakan terjadi penurunan prevalensi secara global dan pada tahun 2010 terjadi penurunan prevalensi sebesar 25 persen di negara-negara yang prevalensinya tinggi.

o Isu kependudukan harus diintegrasikan dalam formulasi, pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi dari kebijakan dan program yang terkait dengan pembangunan berkelanjutan.

o Memperkuat kerjasama antara pemerintah, organisasi internasional, dan dunia usaha dalam mengidentifikasi lingkup kerjasama yang baru.

Untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut maka peserta konferensi merekomendasi rencana aksi (Programme of Action) yang perlu dilakukan oleh masing-masing negara. Program aksi tersebut dikembangkan dalam kerangka waktu 20 tahun sesuai dengan banyak sasaran yang ingin dicapai yaitu tahun 2015. PoA tersebut kemudian dikaji dalam arti dilihat tingkat pencapainya setiap 5 tahun bukan pada substansi komitmen yang telah disepakati. Pada tahun 1999 telah dilakukan pertemuan ICPD+5 dan kemudian pada tahun 2004 dilakukan pertemuan ICPD+10. Pertemuan ICPD+10 yang diselanggarakan di New York pada tanggal 11 – 14 Oktober 2004 yang lalu difokuskan pada peningkatan kembali komitmen masyarakat dunia tentang pentingnya aspek kependudukan dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Rangkaian kegiatan yang penting dalam pertemuan tersebut adalah penyampaian statement dari setiap negara dalam sidang umum (General Assembly) PBB yang berlangsung pada tanggal 14 Oktober 2004. Setiap negara menyampaikan laporan tentang pencapaian PoA ICPD selama 10 tahun dan juga bagaimana pandangan negara terhadap komitmen kedepan untuk mencapai sasaran ICPD tahun 2015. Dalam konteks ini maka setiap negara tetap pada komitmen untuk mendukung komitmen ICPD dan mendesak PBB agar memasukkan unsur pertumbuhan penduduk yaitu reproductive health and reproductive rights including family planning kedalam sasaran MDG yang memang selama ini belum ada. Disamping itu pada tanggal 13 Oktober 2004 disampaikan pula deklarasi komitmen dari berbagai tokoh dunia tentang dukung terhadap ICPD. Ratusan tokoh dunia yang terdiri dari Kepala Negara, Kepala Pemerintahan, pemenang nobel, pelaku bisnis, tokoh agama dsb yang turut menandatangani deklarasi ini. Dua tokoh Indonesia yang dimasukkan PBB sebagai pendukung deklarasi tersebut adalah KH Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri. Millennium Development Summit (MDS) Millennium Development Summit merupakan pertemuan global untuk mengembangkan strategi pembangunan abad 21 diselenggarakan di New York, Amerika Serikat pada bulan September 2000. Presiden Indonesia saat itu KH Abdurrahman Wahid merupakan salah satu dari 178 Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan yang hadir dalam pertemuan tersebut. MDS merupakan penyatuan konsep dari berbagai pertemuan yang telah dilakukan oleh PBB pada kurun waktu tahun 90-an. Deklarasi yang dihasilkan oleh pertemuan tersebut (MDGs) merupakan intisari dari berbagai kesepakatan sebelumnya. Dengan demikian MDS termasuk juga MDGs tidak dapat dipisahkan dengan kesepakatan-kesepakatan pertemuan sebelumnya termasuk ICPD. Perbedaan MDGs dengan deklarasi pertemuan sebelumnya seperti PoA ICPD adalah bahwa MDGs lebih memuat sasaran target yang harus dicapai oleh negara pada tahun 2015 sedangkan deklarasi pada konferensi sebelumnya termasuk ICPD lebih memuat bagaimana upaya untuk mencapai target-target tersebut. Tujuan dan sasaran millennium development golas dapat dilihat pada lampiran-1. MDGs hanya dapat dicapai jika sasaran deklarasi konferensi-konferensi

Page 83: Modul Non Formal Ok

L-7

sebelumnya termasuk ICPD juga tercapai. Sekjen PBB mengemukakan ”The Millennium Development Goals, particularly the eradication of extreme poverty and hunger, cannot be achieved if questions of population and reproductive health are not squarely addressed. And that means stronger efforts to promote women’s rights, and greater investment in education and health, including family planning”. Tujuan dan sasaran MDGs sangat komprehensif meliputi aspek pembangunan sosial termasuk kesehatan, pendidikan, dan pemberdayaan perempuan; pembangunan ekonomi terutama dikaitkan dengan pengentasan kemiskinan, pengelolaan lingkungan hidup lingkungan hidup dan kemitraan. Namun demikian para ahli kependudukan, pelaksana program dan mereka yang banyak terlibat dengan ICPD-94 di Cairo melihat bahwa MDGs belum komprehensif sebagaimana yang diinginkan. Aspek yang dirasakan terlewatkan dalam MDGs adalah mencantumkan secara eksplisit persoalan pertumbuhan penduduk utamanya terkait dengan reproductive health and reproductive rights. Oleh karena itu sebagaimana dikemukakan diatas maka pada dua tahun terakhir ini dan puncaknya adalah pada peringatan ICPD +10 diupayakan untuk merevisi tujuan dan sasaran MDGs agar memasukkan unsur kesehatan reproduksi termasuk keluarga berencana. Upaya tersebut berhasil dengan dimasukkannya isu kesehatan reproduksi sebagai indikator MDGs. Kerangka Pembangunan ”Post 2015” Kerangka pembangunan MDGs akan segera berakhir. Saat ini di tingkat global tengah dilakukan berbagai pembahasan bagaimana kerangka pembangunan paska 2015. Indonesia berperan besar dalam penyusunan kerangka tersebut. Presiden SBY merupakan salah satu ‟chair‟ yang ditunjuk oleh Sekjen PBB untuk memimpin pembahasan tersebut. Kelompok tersebut dikenal sebagai High Level Panel. Penduduk telah menjadi tema sentral pembahasan kerangka pembangunan post 2015. Sejak pertemuan pertama yang dilakukan oleh High Level Panel (HLP) di New York sampai dengan pertemuan keempat di Bali, tema pembangunan yang berpusat pada penduduk „people centered development‟ memang semakin mengemukakan. Thema ini mulai dibangun dalam konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) sejak pertemuan Rio+20 tahun lalu. Konsep „people centered development‟ sendiri telah berkembang di Indonesia sejak awal tahun 90an dirintis oleh pakar-pakar kependudukan dan pembangunan bersama dengan Kantor Menteri Negara Kependudukanan/BKKBN. Konsep ini dibawa oleh Indonesia kedalam Konferensi Kependudukan dan Pembangunan (ICPD), Cairo 1994 dan di adopsi oleh ICPD sebagai strategi program kependudukan dan pembangunan global. Hanya dalam pelaksanaan memang tidak berjalan sebagaimana diharapkan karena berbagai persoalan antara lain komitmen pemerintah dan pengaturan kelembagaan. Dinamika penduduk dalam berbagai aspek telah menjadi fokus perhatian HLP. Perhatian tentang migrasi, urbanisasi, perempuan, orang muda, penduduk rentan, serta pentingnya data untuk perencanaan pembangunan telah menjadi pokok bahasan dalam berbagai segment. Dalam komunike maupun berbagai statement dari anggota HLP dikemukakan pentingnya pembangunan yang inclusive, dinikmati oleh seluruh golongan penduduk dan harus melibatkan semua kelompok penduduk. Karenanya pengentasan kemiskinan menjadi isu pokok dalam pembangunan paska 2015. Pembangunan harus berkeadilan dan transparan. Pembangunan harus melibatkan dan memberadayakan berbagai kelompok penduduk utamanya kaum muda dan perempuan. Pembangunan harus dilakukan dalam pemenuhan hak azasi manusia. Disamping itu agar tidak terjadi kerusakan besar-besaran terhadap lingkungan dan peradaban maka perlu pula dikelola pola produksi dan konsumsi penduduk. Kecenderungan perubahan dinamika penduduk seperti makin banyaknya migrasi, makin

L-6

pelayanan untuk mengembangkan life skills yang dibutuhkan untuk mengurangi kerentanan mereka terhadap infeksi HIV, dimana pada tahun 2005 diupayakan terjadi penurunan prevalensi secara global dan pada tahun 2010 terjadi penurunan prevalensi sebesar 25 persen di negara-negara yang prevalensinya tinggi.

o Isu kependudukan harus diintegrasikan dalam formulasi, pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi dari kebijakan dan program yang terkait dengan pembangunan berkelanjutan.

o Memperkuat kerjasama antara pemerintah, organisasi internasional, dan dunia usaha dalam mengidentifikasi lingkup kerjasama yang baru.

Untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut maka peserta konferensi merekomendasi rencana aksi (Programme of Action) yang perlu dilakukan oleh masing-masing negara. Program aksi tersebut dikembangkan dalam kerangka waktu 20 tahun sesuai dengan banyak sasaran yang ingin dicapai yaitu tahun 2015. PoA tersebut kemudian dikaji dalam arti dilihat tingkat pencapainya setiap 5 tahun bukan pada substansi komitmen yang telah disepakati. Pada tahun 1999 telah dilakukan pertemuan ICPD+5 dan kemudian pada tahun 2004 dilakukan pertemuan ICPD+10. Pertemuan ICPD+10 yang diselanggarakan di New York pada tanggal 11 – 14 Oktober 2004 yang lalu difokuskan pada peningkatan kembali komitmen masyarakat dunia tentang pentingnya aspek kependudukan dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Rangkaian kegiatan yang penting dalam pertemuan tersebut adalah penyampaian statement dari setiap negara dalam sidang umum (General Assembly) PBB yang berlangsung pada tanggal 14 Oktober 2004. Setiap negara menyampaikan laporan tentang pencapaian PoA ICPD selama 10 tahun dan juga bagaimana pandangan negara terhadap komitmen kedepan untuk mencapai sasaran ICPD tahun 2015. Dalam konteks ini maka setiap negara tetap pada komitmen untuk mendukung komitmen ICPD dan mendesak PBB agar memasukkan unsur pertumbuhan penduduk yaitu reproductive health and reproductive rights including family planning kedalam sasaran MDG yang memang selama ini belum ada. Disamping itu pada tanggal 13 Oktober 2004 disampaikan pula deklarasi komitmen dari berbagai tokoh dunia tentang dukung terhadap ICPD. Ratusan tokoh dunia yang terdiri dari Kepala Negara, Kepala Pemerintahan, pemenang nobel, pelaku bisnis, tokoh agama dsb yang turut menandatangani deklarasi ini. Dua tokoh Indonesia yang dimasukkan PBB sebagai pendukung deklarasi tersebut adalah KH Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri. Millennium Development Summit (MDS) Millennium Development Summit merupakan pertemuan global untuk mengembangkan strategi pembangunan abad 21 diselenggarakan di New York, Amerika Serikat pada bulan September 2000. Presiden Indonesia saat itu KH Abdurrahman Wahid merupakan salah satu dari 178 Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan yang hadir dalam pertemuan tersebut. MDS merupakan penyatuan konsep dari berbagai pertemuan yang telah dilakukan oleh PBB pada kurun waktu tahun 90-an. Deklarasi yang dihasilkan oleh pertemuan tersebut (MDGs) merupakan intisari dari berbagai kesepakatan sebelumnya. Dengan demikian MDS termasuk juga MDGs tidak dapat dipisahkan dengan kesepakatan-kesepakatan pertemuan sebelumnya termasuk ICPD. Perbedaan MDGs dengan deklarasi pertemuan sebelumnya seperti PoA ICPD adalah bahwa MDGs lebih memuat sasaran target yang harus dicapai oleh negara pada tahun 2015 sedangkan deklarasi pada konferensi sebelumnya termasuk ICPD lebih memuat bagaimana upaya untuk mencapai target-target tersebut. Tujuan dan sasaran millennium development golas dapat dilihat pada lampiran-1. MDGs hanya dapat dicapai jika sasaran deklarasi konferensi-konferensi

Page 84: Modul Non Formal Ok

L-8

terkonsentrasinya penduduk di daerah perkotaan (urbanisasi) telah menjadi perhatian oleh anggota HLP. Pentingnya data untuk perencanaan pembangunan juga diberi bobot perhatian yang sangat tinggi oleh anggota HLP. Hal ini sangat tepat karena „people centered development‟ memerlukan keakuratan data agar pembangunan tepat pada sasaran. Berbagai dimensi kehidupan manusia yang begitu kompleks telah dibahas dan dirangkum untuk menghasilkan kerangka pembangunan paska 2015. Namun sejauh ini persoalan pengelolaan kuantitas penduduk kurang mendapat perhatian dari HLP. Persoalan besarnya kuantitas penduduk dunia saat ini dan kedepan lebih dilihat dalam pendekatan adaptif. Berapa penduduk bumi pada tahun 2050? 9 miliar? 10 miliar?. Apa yang harus dilakukan dengan penduduk sebesar itu. Pendekatan tersebut nampak tergambar dalam komunike Bali maupun dalam pertemuan sebelumnya. Jika pada pertemuan sebelumnya jumlah 9 miliar yang dipakai sebagai acuan maka dalam pertemuan Bali yang dipakai sebagai acuan untuk mengembangkan kerangka pembangunan adalah 9-10 miliar. Padahal apakah bumi akan dihuni 9 miliar atau 10 miliar tergantung pada kebijakan kita mulai saat ini (pendekatan mitigasi). Bumi yang pada tahun 2050 dihuni oleh 9 miliar akan sangat berbeda dengan bumi yang dihuni oleh 10 miliar jika kita melihat bumi tersebut pada tahun 2100 yaitu sekitar satu generasi setelah tahun 2050. Perbedaan jumlah umat manusia sebesar 1 miliar yang menghuni bumi pada tahun 2050 akan memberikan perbedaan lebih dari 5 miliar umat manusia di bumi ini pada tahun 2100. Pemimpin dunia harus memberi arah dalam strategi pembangunan paska 2015, apakah bumi akan dihuni oleh 9 miliar? atau 10 miliar? (pendekatan mitigasi). Apa yang harus dilakukan untuk mencapai sasaran tersebut?. Apa yang diputuskan pemimpin dunia saat ini akan sangat berpengaruh pada umat manusia 1 atau 2 generasi mendatang. Lebih lanjut, pembahasan dinamika kependudukan dalam kerangka pembangunan paska 2015 yang lebih menekankan pada pendekatan adaptif akan mengaburkan perhatian setiap pemerintah terhadap persoalan dinamika kependudukan itu sendiri. Walaupun sebagaimana dikemukakan di atas bahwa HLP sepakat bahwa penduduk merupakan pusat dari pembangunan. Jeffrey Sachs dalam pertemuan ahli kependudukan yang berlangsung tanggal 23-24 Maret di Bali (dalam rangkaian dengan pertemuan HLP) mengemukakan perlunya dilakukan pembahasan mendalam agar ditemukan formulasi yang utuh, solid dan tegas terkait dinamika kependudukan dalam kerangka pembangunan 2015 dalam kerangka pendekatan mitigasi. Formulasi dinamika kependudukan tersebut harus terlepas dari persoalan kesehatan reproduksi dan hak reproduksi, persoalan peningkatan sarana dan prasarana perkotaan, persoalan perlindungan hak migran dan lain sebagainya, yang selama ini telah dilakukan. Walaupun bukan berarti hal tersebut tidak perlu dilakukan. Dari diskusi dua hari tersebut para pakar kependudukan memberikan apresiasi atas visi pemimpin dunia saat ini yang lebih mengkedepankan pembangunan berkelanjutan bukan pada pertumbuhan. Lebih mengkedepankan pembangunan yang berpusat pada manusia. Para pakar juga berkesimpulan bahwa laju pertumbuhan penduduk global masih perlu dikendalikan. Ini terkait dengan carrying capacity dan carrying capability bumi untuk menyangga kehidupan umat manusia. Footprint skenario yang ada memperlihatkan bahwa kemampuan bumi saat ini menyangga kebutuhan umat manusia sudah melebihi kapasitasnya. Pengaturan pola konsumsi dan produksi yang ramah lingkungan mutlak diperlukan. Namun stabilisasi pertumbuhan penduduk juga faktor yang tidak kalah penting. Menurut ahli kependudukan, skenario medium dari 3 skenario proyeksi penduduk yang dilakukan oleh UNPD (United Nations Population Division) merupakan kondisi ideal yang perlu dicapai. Penurunan pertumbuhan penduduk yang terlalu cepat (skenario cepat) dan terlalu lambat (skenario lambat) akan berdampak buruk bagi kelangsungan hidup umat manusia dan planet bumi dimasa mendatang.

Page 85: Modul Non Formal Ok

L-9

Untuk mencapai skenario medium maka tingkat kelahiran secara global harus berada pada kisaran 1.8-2.1. Angka saat ini adalah 2.3– 2.4. Jika tingkat kelahiran secara global masih pada angka saat ini atau mengalami peningkatan maka skenario cepat yang akan

terjadi dan ini harus dihindari. Arahan dari pemimpin dunia yang tertuang dalam kerangka pembangunan paska 2015 harus secara eksplisit menekankan issue ini. Para ahli kependudukan juga sepakat bahwa persoalan dinamika kependudukan berbeda antar negara dan antar kawasan walaupun ada persoalan yang sama yang harus dikelola secara global. Persoalan pertumbuhan penduduk masih menjadi issue di suatu negara bukan di negara lain. Demikian pula persoalan penduduk lanjut usia. Karena itu kebijakan kependudukan tidak bisa “one fit for all”. Pemimpin masing-masing negara harus mampu melihat persoalan dinamika kependudukan secara utuh dan perlu melihat dinamika

kependudukan dalam kerangka mitigasi bukan semata adaptasi seperti yang selama ini banyak dilakukan. Karena itu issue dinamika kependudukan dalam kerangka pembangunan paska 2015 perlu dikedepankan secara utuh dan dalam kerangka pendekatan mitigasi. Ada tiga persoalan dinamika kependudukan global pada tahun 2050 yang perlu mendapat perhatian dari pemimpin dunia yaitu (1) jumlah dan laju pertumbuhan penduduk (2) mobilitas penduduk yang semakin meningkat dan cenderung menuju kota sehingga laju urbanisasi akan terus meningkat, (3) makin meningkatnya jumlah penduduk usia lanjut. Persoalan kaum muda adalah persoalan kependudukan saat ini sampai dengan 2030, namun setelah itu dunia akan lebih besar menghadapi persoalan penduduk lanjut usia. Ketiga persoalan tersebut (disamping persoalan kependudukan lainnya) harus dilihat dengan pendekatan mitigasi bukan adaptasi semata. Bagaimana mengelola pertumbuhan penduduk sehingga mendukung pembangunan berkelanjutan. Bagaimana mengarahkan mobilitas penduduk sehingga tidak terjadi “penumpukan atau konsentrasi” disuatu wilayah atau kota, ataupun bagaimana memberdayakan penduduk lanjut usia sehingga mereka tidak semata menjadi „beban‟ pembangunan. Pentingnya data untuk perencanaan pembanguna juga banyak dibahas oleh para pakar. Disamping itu perlu dikembangkan indikator „people centered development‟ yang sederhana dan mudah dipahami oleh perencana pembangunan di tingkat lokal untuk mengevaluasi keberhasilan pembangunan. Indikator ini harus merubah indikator pembangunan yang ada sekarang ini, yang terlalu menekankan pada aspek pertumbuhan ekonomi.

L-8

terkonsentrasinya penduduk di daerah perkotaan (urbanisasi) telah menjadi perhatian oleh anggota HLP. Pentingnya data untuk perencanaan pembangunan juga diberi bobot perhatian yang sangat tinggi oleh anggota HLP. Hal ini sangat tepat karena „people centered development‟ memerlukan keakuratan data agar pembangunan tepat pada sasaran. Berbagai dimensi kehidupan manusia yang begitu kompleks telah dibahas dan dirangkum untuk menghasilkan kerangka pembangunan paska 2015. Namun sejauh ini persoalan pengelolaan kuantitas penduduk kurang mendapat perhatian dari HLP. Persoalan besarnya kuantitas penduduk dunia saat ini dan kedepan lebih dilihat dalam pendekatan adaptif. Berapa penduduk bumi pada tahun 2050? 9 miliar? 10 miliar?. Apa yang harus dilakukan dengan penduduk sebesar itu. Pendekatan tersebut nampak tergambar dalam komunike Bali maupun dalam pertemuan sebelumnya. Jika pada pertemuan sebelumnya jumlah 9 miliar yang dipakai sebagai acuan maka dalam pertemuan Bali yang dipakai sebagai acuan untuk mengembangkan kerangka pembangunan adalah 9-10 miliar. Padahal apakah bumi akan dihuni 9 miliar atau 10 miliar tergantung pada kebijakan kita mulai saat ini (pendekatan mitigasi). Bumi yang pada tahun 2050 dihuni oleh 9 miliar akan sangat berbeda dengan bumi yang dihuni oleh 10 miliar jika kita melihat bumi tersebut pada tahun 2100 yaitu sekitar satu generasi setelah tahun 2050. Perbedaan jumlah umat manusia sebesar 1 miliar yang menghuni bumi pada tahun 2050 akan memberikan perbedaan lebih dari 5 miliar umat manusia di bumi ini pada tahun 2100. Pemimpin dunia harus memberi arah dalam strategi pembangunan paska 2015, apakah bumi akan dihuni oleh 9 miliar? atau 10 miliar? (pendekatan mitigasi). Apa yang harus dilakukan untuk mencapai sasaran tersebut?. Apa yang diputuskan pemimpin dunia saat ini akan sangat berpengaruh pada umat manusia 1 atau 2 generasi mendatang. Lebih lanjut, pembahasan dinamika kependudukan dalam kerangka pembangunan paska 2015 yang lebih menekankan pada pendekatan adaptif akan mengaburkan perhatian setiap pemerintah terhadap persoalan dinamika kependudukan itu sendiri. Walaupun sebagaimana dikemukakan di atas bahwa HLP sepakat bahwa penduduk merupakan pusat dari pembangunan. Jeffrey Sachs dalam pertemuan ahli kependudukan yang berlangsung tanggal 23-24 Maret di Bali (dalam rangkaian dengan pertemuan HLP) mengemukakan perlunya dilakukan pembahasan mendalam agar ditemukan formulasi yang utuh, solid dan tegas terkait dinamika kependudukan dalam kerangka pembangunan 2015 dalam kerangka pendekatan mitigasi. Formulasi dinamika kependudukan tersebut harus terlepas dari persoalan kesehatan reproduksi dan hak reproduksi, persoalan peningkatan sarana dan prasarana perkotaan, persoalan perlindungan hak migran dan lain sebagainya, yang selama ini telah dilakukan. Walaupun bukan berarti hal tersebut tidak perlu dilakukan. Dari diskusi dua hari tersebut para pakar kependudukan memberikan apresiasi atas visi pemimpin dunia saat ini yang lebih mengkedepankan pembangunan berkelanjutan bukan pada pertumbuhan. Lebih mengkedepankan pembangunan yang berpusat pada manusia. Para pakar juga berkesimpulan bahwa laju pertumbuhan penduduk global masih perlu dikendalikan. Ini terkait dengan carrying capacity dan carrying capability bumi untuk menyangga kehidupan umat manusia. Footprint skenario yang ada memperlihatkan bahwa kemampuan bumi saat ini menyangga kebutuhan umat manusia sudah melebihi kapasitasnya. Pengaturan pola konsumsi dan produksi yang ramah lingkungan mutlak diperlukan. Namun stabilisasi pertumbuhan penduduk juga faktor yang tidak kalah penting. Menurut ahli kependudukan, skenario medium dari 3 skenario proyeksi penduduk yang dilakukan oleh UNPD (United Nations Population Division) merupakan kondisi ideal yang perlu dicapai. Penurunan pertumbuhan penduduk yang terlalu cepat (skenario cepat) dan terlalu lambat (skenario lambat) akan berdampak buruk bagi kelangsungan hidup umat manusia dan planet bumi dimasa mendatang.

Page 86: Modul Non Formal Ok

L-10

Kebijakan dan Program Kependudukan di Indonesia Penempatan penduduk sebagai titik sentral pembangunan tidak saja merupakan program nasional namun juga komitmen hampir seluruh bangsa di dunia yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Walaupun diakui bahwa komitmen tersebut akhir-akhir ini mengalami penurunan terutama terkait dengan pengendalian kelahiran. Komitmen pendanaan masyarakat internasional untuk program kependudukan2 yang telah disepakati dalam ICPD-94 di Cairo tidak pernah tercapai3. Akibatnya banyak pihak meragukan apakah sasaran ICPD Cairo-94 akan dapat dicapai. Akibatnya sasaran MDGs pun akan menjadi sulit untuk dicapai. Indonesia sebagai salah satu negara dengan penduduk terbesar ke empat di dunia dengan penduduk saat ini berjumlah sekitar 246 juta jiwa saat ini, sangat mendukung pada upaya internacional untuk melihat pembangunan secara komprehensif, dengan menempatkan penduduk sebagai titik sentral perhatian. Oleh karena itu, Indonesia sangat mendukung hasil ICPD-94 dan juga berperan aktif dalam menentukan arah kebijakan kependudukan secara global. Dukungan Indonesia terhadap kebijakan global kependudukan tidak saja demi kepentingan nasional yaitu meningkatkan kesejahteraan penduduk dan masyarakat Indonesia namun juga demi kepentingan global, kepentingan umat manusia untuk menyelamatkan planet bumi, karena kita hidup dalam satu planet bumi. Perbedaan yang sangat mendasar dari kebijakan dan program kependudukan di Indonesia sebelum dan sesudah ICPD-94 adalah dalam hal pendekatan. Pasca ICPD-94 kebijakan kependudukan sebagaimana juga kebijakan pembangunan lainnya lebih mengkedepankan masalah hak asasi. Program keluarga berencana saat ini tidak lagi ditekankan pada pendekatan demografis dalam upaya penurunan kelahiran namun dikaitkan dengan pemenuhan hak reproduksi individu/pasangan. Peningkatan kualitas pelayanan kemudian menjadi fokus pengembangan program saat ini. Ini juga berlakukan untuk program lainnya seperti kesehatan maupun upaya perpindahan penduduk melalui program transmigrasi. Berbeda dengan pendekatan lama maka, program transmigrasi saat ini difokuskan pada pembangunan wilayah yang akan menjadi penarik bagi penduduk untuk datang ke wilayah tersebut. Secara umum terdapat tiga area yang menjadi fokus kebijakan kependudukan di Indonesia. Pertama adalah pengendalian kuantitas penduduk. Di dalam kebijakan ini kebijakan yang paling menonjol adalah pengelolaan kuantitas penduduk melalui pengaturan kehamilan dan kelahiran (program keluarga berencana) dan penurunan kematian (program kesehatan). Kedua adalah peningkatan kualitas penduduk melalui program kesehatan dan pendidikan. Ketiga adalah pengarahan mobilitas penduduk utamanya melalui program transmigrasi dan pembangunan wilayah. Disamping itu penyempurnaan sistem informasi kependudukan juga menjadi fokus kebijakan kependudukan di Indonesia. Namun jika diperhatikan secara lebih mendalam maka selama ini kebijakan dan program kependudukan di Indonesia sangat menitik beratkan pada upaya untuk mengelola pertumbuhan penduduk. Upaya tersebut dilakukan melalui program keluarga berencana. Tidak seperti halnya program keluarga berencana di banyak negara lainnya, maka program keluarga berencana di Indonesia tidak semata-mata berupa pelayanan

2 Dana untuk program kependudukan sangat luas sifatnya termasuk dana untuk kesehatan, pendidikan, keluarga berencana, penanggulangan HIV/AIDS dsb. Untuk klasifikasi dan kategori pendanaan kependudukan ini, UNFPA bekerjasama dengan NIDI (the Netherlands International Development Institute) melakukan analisis dan perhitungan secara periodic dengan mengambil data dari seluruh negara. 3 ICPD-94 Cairo menyepakati bahwa Negara maju menyediakan dana 0.7 % dari GNP mereka untuk program kependudukan dan pembangunan global

Page 87: Modul Non Formal Ok

L-11

kontrasepsi kepada pasangan yang membutuhkan. Program keluarga berencana dikaitkan dengan upaya untuk memberdayakan keluarga agar dapat mandiri baik secara ekonomi maupun non ekonomi. Pelaksanaan program keluarga berencana yang dilaksanakan oleh pemerintah diarahkan untuk membantu keluarga miskin (pra sejahtera dan sejahteran I) agar mereka dapat meningkatkan kesejahteraan disamping mampu mengatur kehidupan reproduksinya. Pembangunan kependudukan yang meliputi pengaturan kuantitas, pengembangan kualitas dan pengarahan persebaran dan mobilitas merupakan pembangunan sumberdaya manusia. Dengan pengertian ini maka penduduk merupakan titik sentral pembangunan. Disatu sisi penduduk harus dibangun agar mampu menjadi pelaku atau sumberdaya pembangunan. Dalam hal ini menjadi hak bagi penduduk untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan pendidikan dalam arti luas termasuk pendidikan keagamaan, moral dan etika sehingga yang bersangkutan memiliki kesempatan untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Disisi lain maka penduduk memiliki persamaan hak untuk menikmati hasil pembangunan. Untuk mencapai hal tersebut, maka strategi pembangunan harus benar-benar memperhatikan kondisi kependudukan sehingga hasil pembangunan tersebut dapat dirasakan oleh sebagian besar penduduk yang ada. Dari ketiga aspek kependudukan maka dapat dikatakan Indonesia telah cukup berhasil dalam mengendalikan pertumbuhan penduduk melalui keberhasilan program keluarga berencana selama 4 dekade terkahir ini. Tingkat kelahiran turun dari rata-rata 5.6 pada tahun 70-an menjadi 2.6 pada tahun 2012u. Dampaknya pertumbuhan penduduk (LPP) turun dari 2.32 pada kurun waktu 1971-1980 menjadi 1.49 pada kurun waktu 2010. Walaupun LPP menurun tapi sebagai dampak dari demographic momentum4, jumlah penduduk terus meningkat. Prof. Widjojo Nitisastro pada tahun 1970, melakukan proyeksi penduduk Indonesia sampai dengan tahun 1991 dengan mempergunakan data Sensus Penduduk 1961. Hasil proyeksi penduduk yang dilakukan oleh Prof. Nitisastro dengan skenario C. Skenario C didasarkan pada asumsi bahwa program KB di Indonesia tidak akan berkembang karena tidak mendapat dukungan baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat menunjukkan bahwa tanpa program KB maka pada tahun 1990 jumlah penduduk Indonesia diperkirakan mencapai jumlah sekitar 330 juta, sedangkan kenyataan yang ada berdasarkan Sensus Penduduk (SP) tahun 2010 adalah 237 juta. Berarti laju pertumbuhan penduduk dapat dihambat hingga menghasilkan selisih jumlah penduduk sekitar 100 juta juta. Banyak implikasi yang dirasakan dari dari saving jumlah penduduk tersebut terutama jika dikaitkan dengan kondisi sosial ekonomi Indonesia dewasa ini. Aspek lain dari kependudukan (kualitas dan persebaran/mobilitas penduduk) masih menghadapi permasalahan yang serius dibandingkan dengan pengendalian kuantitas dan pertumbuhan penduduk. Sampai sedemikian jauh, walaupun pada tataran kebijaksanaan telah secara sungguh-sungguh mengembangkan konsep pembangunan yang berwawasan kependudukan, pemerintah tampaknya belum

4 Demographic momentum adalah pertumbuhan yang disebabkan oleh besarnya jumlah penduduk yang berada pada usia reproduksi, sebagai akibat tingginya tingkat kelahiran pada masa lalu. Penduduk tidak mengalami lagi pertambahan (zero population growth = ZPG) setelah dalam jangka waktu yang panjang telah mencapai kondisi penduduk tumbuh seimbang (PTS). Yang dimaksud dengan penduduk tumbuh seimbang (PTS) adalah kondisi dimana angka kelahiran dan kematian rendah (untuk angka kelahiran, seorang perempuan memiliki jumlah anak rata-rata paling tinggi dua orang dalam jangka waktu lama, minimal satu generasi). Dalam jangka panjang PTS akan menuju pada penduduk tanpa pertumbuhan, yaitu suatu kondisi penduduk pada suatu wilayah atau daerah tertentu tidak mengalami pertambahan jumlah karena pertumbuhan alami (ditentukan oleh angka kelahiran dan kematian tetapi tidak termasuk oleh akibat migrasi) yang sudah mencapai nol.

L-10

Kebijakan dan Program Kependudukan di Indonesia Penempatan penduduk sebagai titik sentral pembangunan tidak saja merupakan program nasional namun juga komitmen hampir seluruh bangsa di dunia yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Walaupun diakui bahwa komitmen tersebut akhir-akhir ini mengalami penurunan terutama terkait dengan pengendalian kelahiran. Komitmen pendanaan masyarakat internasional untuk program kependudukan2 yang telah disepakati dalam ICPD-94 di Cairo tidak pernah tercapai3. Akibatnya banyak pihak meragukan apakah sasaran ICPD Cairo-94 akan dapat dicapai. Akibatnya sasaran MDGs pun akan menjadi sulit untuk dicapai. Indonesia sebagai salah satu negara dengan penduduk terbesar ke empat di dunia dengan penduduk saat ini berjumlah sekitar 246 juta jiwa saat ini, sangat mendukung pada upaya internacional untuk melihat pembangunan secara komprehensif, dengan menempatkan penduduk sebagai titik sentral perhatian. Oleh karena itu, Indonesia sangat mendukung hasil ICPD-94 dan juga berperan aktif dalam menentukan arah kebijakan kependudukan secara global. Dukungan Indonesia terhadap kebijakan global kependudukan tidak saja demi kepentingan nasional yaitu meningkatkan kesejahteraan penduduk dan masyarakat Indonesia namun juga demi kepentingan global, kepentingan umat manusia untuk menyelamatkan planet bumi, karena kita hidup dalam satu planet bumi. Perbedaan yang sangat mendasar dari kebijakan dan program kependudukan di Indonesia sebelum dan sesudah ICPD-94 adalah dalam hal pendekatan. Pasca ICPD-94 kebijakan kependudukan sebagaimana juga kebijakan pembangunan lainnya lebih mengkedepankan masalah hak asasi. Program keluarga berencana saat ini tidak lagi ditekankan pada pendekatan demografis dalam upaya penurunan kelahiran namun dikaitkan dengan pemenuhan hak reproduksi individu/pasangan. Peningkatan kualitas pelayanan kemudian menjadi fokus pengembangan program saat ini. Ini juga berlakukan untuk program lainnya seperti kesehatan maupun upaya perpindahan penduduk melalui program transmigrasi. Berbeda dengan pendekatan lama maka, program transmigrasi saat ini difokuskan pada pembangunan wilayah yang akan menjadi penarik bagi penduduk untuk datang ke wilayah tersebut. Secara umum terdapat tiga area yang menjadi fokus kebijakan kependudukan di Indonesia. Pertama adalah pengendalian kuantitas penduduk. Di dalam kebijakan ini kebijakan yang paling menonjol adalah pengelolaan kuantitas penduduk melalui pengaturan kehamilan dan kelahiran (program keluarga berencana) dan penurunan kematian (program kesehatan). Kedua adalah peningkatan kualitas penduduk melalui program kesehatan dan pendidikan. Ketiga adalah pengarahan mobilitas penduduk utamanya melalui program transmigrasi dan pembangunan wilayah. Disamping itu penyempurnaan sistem informasi kependudukan juga menjadi fokus kebijakan kependudukan di Indonesia. Namun jika diperhatikan secara lebih mendalam maka selama ini kebijakan dan program kependudukan di Indonesia sangat menitik beratkan pada upaya untuk mengelola pertumbuhan penduduk. Upaya tersebut dilakukan melalui program keluarga berencana. Tidak seperti halnya program keluarga berencana di banyak negara lainnya, maka program keluarga berencana di Indonesia tidak semata-mata berupa pelayanan

2 Dana untuk program kependudukan sangat luas sifatnya termasuk dana untuk kesehatan, pendidikan, keluarga berencana, penanggulangan HIV/AIDS dsb. Untuk klasifikasi dan kategori pendanaan kependudukan ini, UNFPA bekerjasama dengan NIDI (the Netherlands International Development Institute) melakukan analisis dan perhitungan secara periodic dengan mengambil data dari seluruh negara. 3 ICPD-94 Cairo menyepakati bahwa Negara maju menyediakan dana 0.7 % dari GNP mereka untuk program kependudukan dan pembangunan global

Page 88: Modul Non Formal Ok

L-12

dapat secara optimal mengimplementasikan dan mengintegrasikan kebijaksanaan tersebut dalam berbagai program sektoral. Ada beberapa alasan mengapa hal itu terjadi antara lain, pertama, agar perhatian kita terfokus pada suatu masalah, dalam implementasi program serikali membagi masalah dan pemecahannya secara sektoral. Tidak hanya masalah kependudukan yang dipisahkan secara sendiri dari pembangunan, tetapi juga masalah wanita cenderung disoroti terpisah. Pada hal dengan luasnya masalah penduduk, lingkungan dan pembangunan pendekatan sektoral tersebut akan menghabiskan waktu dan energi serta suberdana dan daya yang ada. Kedua, masih banyak negara yang percaya bahwa jikalau masalah ekonomi dapat dipecahkan maka fertilitas akan menurun secara otomatis. Mereka tidak menolak keluarga berencana, tetapi mereka tidak melihat bahwa pelayanan keluarga berencana adalah berkaitan dengan masalah lingkungan dan pembangunan secara timbal balik. Pengendalian penduduk bukan dipandang sebagai kebijaksanaan kependudukan secara makro, tetapi pemberiaan kontrasepsi sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan individu dan keluarga saja. Ketiga, isu masalah kependudukan masih menjadi sangat sensitif untuk beberapa negara termasuk Indonesia, terutama yang menyangkut masalah pemakaian kontrasepsi (khususnya bagi mereka yang belum menikah dan aborsi. Pada hal, masalah lingkungan juga bukan kalah sensitifnya bagi beberapa negara yang ekonominya sangat tergantung pada sumberdaya alam (Wilopo, 2004).- Banyak sekali hambatan yang masih terjadi dalam mengimplementasikan pembangunan kualitas dan persebaran penduduk. Kematian ibu hamil dan melahirkan (angka tahun 2007 adalah 228 per 100 ribu kelahiran hidup) masih merupakan persoalan kesehatan utama di Indonesia saat ini. Malah diperkirakan sasaran MDGs sebesar 125 tahun 2015 sulit dicapai. Upaya menurunkan kematian bayi (AKB) dapat dipandang berhasil. Menurut data SDKI 2012, AKB adalah sekitar 32 per 1000 kelahiran. Pencapaian universal education untuk sekolah dasar juga dapat dikatakan berhasil. Namun Indonesia mengalami banyak kendala pada tingkat pendidikan selanjutnya, dengan tingginya angka drop-out setelah sekolah dasar. Wajar 9 tahun memang merupakan kebijakan yang sangat mendukung namun kebijakan ini masih baru dilaksanakan dalam beberapa tahun terakhir ini. Amandemen UUD-45 yang memberikan perhatian lebih besar pada bidang kesehatan dan pendidikan merupakan harapan besar pada percepatan peningkatan kualitas penduduk tersebut. Demikian pula pembangunan yang masih terpusat pada wilayah tertentu menyebabkan persebaran penduduk antar daerah di Indonesia sangat tidak merata. Ini tentu saja sangat tidak mendukung terwujudnya pembangunan berkelanjutan. Desentralisasi diharapkan lebih memeratakan pembangunan tersebut yang pada gilirannya akan berpengaruh pada persebaran penduduk. Namun sampai tahap sekarang ini, desentralisasi juga masih belum menemukan format yang ideal. Salah satu penjelasan mengapa Indonesia sebelum reformasi kurang serius dalam menangani pembangunan kependudukan adalah karena perhatian yang lebih diutamakan pada pertumbuhan ekonomi. Seperti halnya di banyak negara berkembang, perhatian utama pemerintah adalah memacu pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi, kemudian, dijadikan ukuran keberhasilan pembangunan nasional yang pokok. Walaupun Indonesia memiliki wawasan trilogi pembangunan yaitu pertumbuhan, pemerataan, dan stabilitas, namun pada kenyataannya pertumbuhan senantiasa mendominasi strategi pembangunan nasional. Strategi pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan tanpa melihat potensi penduduk yang ada tidak berlangsung secara berkesinambungan (sustained). Jika dikaitkan dengan krisis ekonomi pada akhir dekade 90-an, terjadinya krisis tersebut tidak lepas dari kebijaksanaan ekonomi yang kurang mengindahkan dimensi kependudukan.

Page 89: Modul Non Formal Ok

L-13

Strategi ekonomi makro yang tidak dilandasi pada situasi/kondisi ataupun potensi kependudukan yang ada menyebabkan pembangunan ekonomi tersebut menjadi sangat rentan terhadap perubahan. Belum terjadi strategi pembangunan yang berorientasi serius pada aspek kependudukan selama ini. Sejauh ini walaupun disebutkan dalam RPJP bahwa pembangunan nasional adalah pembangunan sumberdaya manusia seiring dengan pembangunan ekonomi, namun dalam kenyataannya pembangunan nasional masih terlalu terfokus pada pembangunan ekonomi. Disamping itu, nampak jelas bahwa pemilihan sasaran pembangunan ekonomi, khususnya pengembangan industri, dalam banyak kasus tidak memperhatikan dan memperhitungkan kondisi kependudukan yang ada. Dalam hal mengintegrasikan dimensi kependudukan dalam perencanaan pembangunan terutama pembangunan daerah daerah maka manfaat paling mendasar yang diperoleh adalah besarnya harapan bahwa penduduk yang ada di daerah tersebut menjadi pelaku pembangunan dan penikmat hasil pembangunan. Itu berarti pembangunan berwawasan kependudukan lebih berdampak besar pada peningkatan kesejahteraan penduduk secara keseluruhan dibandingkan dengan orientasi pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan (growth). Dalam pembangunan berwawasan kependudukan ada suatu jaminan akan keberlangsungan proses pembangunan itu sendiri. Pembangunan berwawasan kependudukan menekankan pada pembangunan lokal, perencanaan berasal dari bawah (bottom up planning), disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat lokal, dan yang lebih penting adalah melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan. Sebaliknya orientasi pembangunan pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan membawa pada peningkatan ketimpangan pendapatan. Industrialisasi dan liberalisasi yang terlalu cepat memang akan meningkatkan efisiensi dan produktivitas namun sekaligus juga meningkatkan pengangguran dan setengah menganggur, sebagaimana yang terlihat selama ini di Indonesia. Dengan demikian sebanarnya desentralisasi yang dilaksanakan sejak tahun 2000 memiliki potensi yang sangat positif terhadap pemerataan pembangunan dan penciptaan pembangunan dengan melihat pada potensi lokal. Pelayanan akan lebih dekat dengat penduduk sehingga diharapkan penduduk dapat lebih menikmati hasil pembangunan. Namun sebagaimana dikemukakan terdahulu pelaksanaan desentralisasi ini belum menemukan format yang ideal untuk mencapai cita-cita terwujudnya pembangunan berwawasan kependudukan atau terwujudnya pembangunan berkelanjutan. Dalam banyak observasi lapangan justru terlihat bahwa masing-masing daerah berlomba-lomba memforkuskan pada pembangunan infrastruktur dan pembangunan ekonomi dan mengkesampingkan pembangunan manusia dan pengelolaan lingkungan hidup.

Kondisi Dinamika Penduduk Indonesia Saat ini dan Kedepan

Diperkirakan, pertumbuhan jumlah penduduk Indonesia akan terus menurun, walau jumlahnya masih akan terus meningkat sampai sekitar 2050 baru setelah itu Indonesia akan mengalami penduduk tumbuh seimbang. Besarnya penduduk akan meningkatkan kebutuhan akan energi, makanan dan air, yang tanpa upaya teknologi akan berarti terjadi pengurasan besar2an terhadap sumberdaya alam. Besarnya jumlah penduduk tersebut sebenarnya merupakan modal untuk melakukan pembangunan. Tantangannya adalah bagaimana meningkatkan kualitas.

Seperti halnya dengan megatren dunia, penduduk Indonesia pun sedang dalam proses menua. Jumlah dan persentase penduduk lansia di Indonesia telah dan akan terus meningkat. Bedanya, para lansia di negara maju hidup di tengah prasarana negara maju

L-12

dapat secara optimal mengimplementasikan dan mengintegrasikan kebijaksanaan tersebut dalam berbagai program sektoral. Ada beberapa alasan mengapa hal itu terjadi antara lain, pertama, agar perhatian kita terfokus pada suatu masalah, dalam implementasi program serikali membagi masalah dan pemecahannya secara sektoral. Tidak hanya masalah kependudukan yang dipisahkan secara sendiri dari pembangunan, tetapi juga masalah wanita cenderung disoroti terpisah. Pada hal dengan luasnya masalah penduduk, lingkungan dan pembangunan pendekatan sektoral tersebut akan menghabiskan waktu dan energi serta suberdana dan daya yang ada. Kedua, masih banyak negara yang percaya bahwa jikalau masalah ekonomi dapat dipecahkan maka fertilitas akan menurun secara otomatis. Mereka tidak menolak keluarga berencana, tetapi mereka tidak melihat bahwa pelayanan keluarga berencana adalah berkaitan dengan masalah lingkungan dan pembangunan secara timbal balik. Pengendalian penduduk bukan dipandang sebagai kebijaksanaan kependudukan secara makro, tetapi pemberiaan kontrasepsi sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan individu dan keluarga saja. Ketiga, isu masalah kependudukan masih menjadi sangat sensitif untuk beberapa negara termasuk Indonesia, terutama yang menyangkut masalah pemakaian kontrasepsi (khususnya bagi mereka yang belum menikah dan aborsi. Pada hal, masalah lingkungan juga bukan kalah sensitifnya bagi beberapa negara yang ekonominya sangat tergantung pada sumberdaya alam (Wilopo, 2004).- Banyak sekali hambatan yang masih terjadi dalam mengimplementasikan pembangunan kualitas dan persebaran penduduk. Kematian ibu hamil dan melahirkan (angka tahun 2007 adalah 228 per 100 ribu kelahiran hidup) masih merupakan persoalan kesehatan utama di Indonesia saat ini. Malah diperkirakan sasaran MDGs sebesar 125 tahun 2015 sulit dicapai. Upaya menurunkan kematian bayi (AKB) dapat dipandang berhasil. Menurut data SDKI 2012, AKB adalah sekitar 32 per 1000 kelahiran. Pencapaian universal education untuk sekolah dasar juga dapat dikatakan berhasil. Namun Indonesia mengalami banyak kendala pada tingkat pendidikan selanjutnya, dengan tingginya angka drop-out setelah sekolah dasar. Wajar 9 tahun memang merupakan kebijakan yang sangat mendukung namun kebijakan ini masih baru dilaksanakan dalam beberapa tahun terakhir ini. Amandemen UUD-45 yang memberikan perhatian lebih besar pada bidang kesehatan dan pendidikan merupakan harapan besar pada percepatan peningkatan kualitas penduduk tersebut. Demikian pula pembangunan yang masih terpusat pada wilayah tertentu menyebabkan persebaran penduduk antar daerah di Indonesia sangat tidak merata. Ini tentu saja sangat tidak mendukung terwujudnya pembangunan berkelanjutan. Desentralisasi diharapkan lebih memeratakan pembangunan tersebut yang pada gilirannya akan berpengaruh pada persebaran penduduk. Namun sampai tahap sekarang ini, desentralisasi juga masih belum menemukan format yang ideal. Salah satu penjelasan mengapa Indonesia sebelum reformasi kurang serius dalam menangani pembangunan kependudukan adalah karena perhatian yang lebih diutamakan pada pertumbuhan ekonomi. Seperti halnya di banyak negara berkembang, perhatian utama pemerintah adalah memacu pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi, kemudian, dijadikan ukuran keberhasilan pembangunan nasional yang pokok. Walaupun Indonesia memiliki wawasan trilogi pembangunan yaitu pertumbuhan, pemerataan, dan stabilitas, namun pada kenyataannya pertumbuhan senantiasa mendominasi strategi pembangunan nasional. Strategi pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan tanpa melihat potensi penduduk yang ada tidak berlangsung secara berkesinambungan (sustained). Jika dikaitkan dengan krisis ekonomi pada akhir dekade 90-an, terjadinya krisis tersebut tidak lepas dari kebijaksanaan ekonomi yang kurang mengindahkan dimensi kependudukan.

Page 90: Modul Non Formal Ok

L-14

dengan tunjangan pendapatan yang lebih baik daripada yang terjadi di negara berkembang, yang hidup di tengah prasarana yang tidak ramah terhadap penduduk tua.

Di negara maju, proses penuaan penduduk ini terutama karena angka kelahiran yang rendah. Di Indonesia, proses penuaan penduduk juga disebabkan karena adanya migrasi keluar. Khususnya di daerah yang relatif miskin, penduduk mudanya meninggalkan daerahnya. Dengan angka kelahiran yang rendah, migrasi keluar penduduk muda menyebabkan ekonomi daerah tersebut makin sulit berkembang, bersamaan dengan peningkatan biaya untuk mengurusi penduduk lansia di daerah itu. Usaha mengurangi kemiskinan pun menjadi sulit.

Tantangannya adalah bagaimana menjadikan para lansia sebagai aset, dan bukan beban perekonomian? Kemudian bagaimana menciptakan prasarana yang ramah penduduk lansia, sehingga mereka menjadi tetap sehat, produktif, dan dapat tetap bergerak?

Prasarana yang ramah lansia tidak saja berguna untuk para lansia, tetapi juga penduduk yang muda. Prasarana yang ramah lansia biasanya juga adalah prasarana yang menciptakan kenikmatan untuk penduduk muda. Secara politik, peran penduduk lansia dalam pemilihan umum juga akan meningkat. Peran politisi dan pengusaha lansia juga akan makin menonjol.

Penduduk Indonesia telah dan akan terus makin mobil, makin sering berpindah tempat, baik jarak jauh maupun pendek. Baik untuk waktu yang singkat mau pun waktu yang lebih lama. Bahkan penggambaran bahwa orang Jawa lebih suka mangan ora mangan, pokoke kumpul (berkumpul daripada makan) pun akan lenyap. Orang Jawa akan makin sering ditemui di mana pun di Indonesia dan di negara lain. Buat mereka kumpul ora kumpul, pokoke mangan (kumpul atau tidak, yang penting makan). Suku lain, terutama yang terkenal sebagai perantau, seperti Bugis, akan makin mobil. Pasar kerja penduduk Indonesia makin luas, bukan hanya di kebupaten mereka, tetapi ke seluruh Indonesia, bahkan seluruh dunia.

Mobilitas yang meningkat di Indonesia juga berarti makin seringnya terjadi pertemuan latar belakang budaya yang berbeda. Migran di suatu daerah dapat menjadi “ancaman” bagi penduduk lokal. Konflik antara pendatang dan penduduk lokal perlu mendapat perhatian yang meningkat. Penanganan yang baik terhadap potensi konflik ini akan memacu pembangunan di daerah penerima.

Namun walaupun mobilitas meningkat persebaran penduduk masih terkonsentrasi di wilayah2 tertentu. Persebaran penduduk masih tidak merata. Daerah atau pulau yang jauh dari pusat pembangunan akan tetap tidak diminati untuk didimai. Dalam konteks ini maka konsep negara kesatuan mesti terus dibina agar mereka yang tinggal di daerah perbatasan dan pulau terpencil masih tetap merasa sebagai orang Indonesia.

Selain itu, arus tenaga kerja ke dunia internasional akan terus meningkat. Walau begitu, tenaga kerja yang masuk ke pasar internasional juga akan berubah. Bukan lagi terdiri dari mereka yang berpendidikan rendah dan bekerja, misalnya sebagai pekerja bangunan atau pembantu rumah tangga. Pada 2020 pasar internasional akan mengalami kesulitan mencari orang Jawa sebagai pembantu rumah tangga yang murah dan penurut. Pada saat itu, tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri akan makin terdiri dari mereka yang berpendidikan lebih tinggi. Tenaga kerja Indonesia akan mengisi posisi yang makin penting di dunia.

Bersamaan dengan meningkatnya arus tenaga kerja ke pasar internasional, arus tenaga kerja asing ke Indonesia pun akan meningkat. Kalau dulu, tenaga kerja asing terpusat

Page 91: Modul Non Formal Ok

L-15

pada mereka yang berpendidikan tinggi dan di posisi puncak, di masa yang akan datang, tenaga kerja asing di Indonesia akan banyak terdiri dari mereka dengan pendidikan yang lebih rendah. Bukan tidak mungkin, Indonesia akan kekurangan tenaga kerja berpendidikan rendah dan kemudian mendatangkan pekerja bangunan atau pembantu rumah tangga dari negara lain.

Peningkatan keberadaan tenaga kerja asing, dengan berbagai latar belakang budaya, dapat juga menimbulkan berbagai ketegangan sosial. Apalagi ketika banyak dari mereka mengisi pekerjaan yang membutuhkan pendidikan relatif rendah.

Seperti di tingkat dunia, perekonomian Indonesia pun akan makin ditandai dengan perekonomian perkotaan. Jumlah dan persentase penduduk Indonesia yang tinggal di perkotaan akan terus meningkat. Karena perkotaan sering berarti tiadanya atau sedikitnya lahan pertanian, megatren urbanisasi ini juga memberikan tantangan pada penyediaan pangan di Indonesia.

Mega trend lain adalah meningkatnya jumlah dan persentase penduduk usia produktif (15-64). Peningkatan ini berdampak pada menurunnya dependency ratio yang secara potensial berdampak positif pada pembangunan ekonomi dan sosial. Dalam bahasa demografi disebut sebagai masa bonus demografi. Bonus demografi terbaik akan terjadi pada sekitar tahun 2020-2030 dimana pada waktu itu Indonesia mengalami window of opportunity. Tapi potensi tersebut tidak dapat terealisir jika kualitas yang dimiliki oleh penduduk kelompok usia produktif tersebut tidak memadai. Potensi tersebut justru dapat menjadi bencana. Setelah tahun 2030, Indonesia kemudian akan menghadapi peningkatan pesat pada kelompok penduduk usia lanjut (65+).

Penutup Indonesia sebelum ICPD-94 sudah menjadikan kependudukan dalam mainstream pembangunan nasional. Paling tidak ini terjadi pada tataran kebijakan. Menarik untuk melihat analisis Hal Hill (1996) bahwa pada awal orde baru, pemerintah cukup hati-hati dalam mengembangkan kebijakan ekonomi. Pengembangan ekonomi makro disesuaikan dengan kondisi sosial ekonomi penduduk. Namun sejak pertengahan tahun 80-an, Indonesia menjadi sangat agresif dalam mengejar pertumbuhan ekonomi. Pembangunan ekonomi kemudian kurang disesuaikan dengan kondisi kependudukan yang ada. Pengembangan high tech menjadi pilihan utama walaupun dinamika kependudukan belum menunjang. Alokasi dana pembangunan menjadi lebih berat untuk mendukung pertumbuhan ekonomi melalui pembangunan infrastruktur dan industri dibandingkan dengan membangun manusia. Walaupun dalam GBHN selalu dikatakan bahwa kebijakan pembangunan Indonesia adalah pembangunan ekonomi seiring dengan pembangunan sumberdaya manusia. Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 kemudian lebih membuktikan bahwa pembangunan SDM, pembangunan yang berwawasan pada kependudukan, tidak dapat ditawar-tawar lagi. Upaya kearah itu mulai ditata secara sistematis dengan memberikan landasan hukum yang lebih pasti. Amandemen UUD-45, UU SJSN, kebijakan pro-poor melalui subsidi dan lain sebagainya diharapkan akan lebih berdampak positif pada pembangunan SDM. Namun perjalanan masih panjang, jumlah penduduk yang begitu besar dengan kualitas yang relatif rendah ditambah dengan besarnya warisan hutang mempersulit upaya peningkatan kesejahteraan yang berkesinambungan. Demikian pula, desentralisasi yang belum menemukan bentuk ideal serta masih kentalnya nuansa KKN memperparah keadaan.

L-14

dengan tunjangan pendapatan yang lebih baik daripada yang terjadi di negara berkembang, yang hidup di tengah prasarana yang tidak ramah terhadap penduduk tua.

Di negara maju, proses penuaan penduduk ini terutama karena angka kelahiran yang rendah. Di Indonesia, proses penuaan penduduk juga disebabkan karena adanya migrasi keluar. Khususnya di daerah yang relatif miskin, penduduk mudanya meninggalkan daerahnya. Dengan angka kelahiran yang rendah, migrasi keluar penduduk muda menyebabkan ekonomi daerah tersebut makin sulit berkembang, bersamaan dengan peningkatan biaya untuk mengurusi penduduk lansia di daerah itu. Usaha mengurangi kemiskinan pun menjadi sulit.

Tantangannya adalah bagaimana menjadikan para lansia sebagai aset, dan bukan beban perekonomian? Kemudian bagaimana menciptakan prasarana yang ramah penduduk lansia, sehingga mereka menjadi tetap sehat, produktif, dan dapat tetap bergerak?

Prasarana yang ramah lansia tidak saja berguna untuk para lansia, tetapi juga penduduk yang muda. Prasarana yang ramah lansia biasanya juga adalah prasarana yang menciptakan kenikmatan untuk penduduk muda. Secara politik, peran penduduk lansia dalam pemilihan umum juga akan meningkat. Peran politisi dan pengusaha lansia juga akan makin menonjol.

Penduduk Indonesia telah dan akan terus makin mobil, makin sering berpindah tempat, baik jarak jauh maupun pendek. Baik untuk waktu yang singkat mau pun waktu yang lebih lama. Bahkan penggambaran bahwa orang Jawa lebih suka mangan ora mangan, pokoke kumpul (berkumpul daripada makan) pun akan lenyap. Orang Jawa akan makin sering ditemui di mana pun di Indonesia dan di negara lain. Buat mereka kumpul ora kumpul, pokoke mangan (kumpul atau tidak, yang penting makan). Suku lain, terutama yang terkenal sebagai perantau, seperti Bugis, akan makin mobil. Pasar kerja penduduk Indonesia makin luas, bukan hanya di kebupaten mereka, tetapi ke seluruh Indonesia, bahkan seluruh dunia.

Mobilitas yang meningkat di Indonesia juga berarti makin seringnya terjadi pertemuan latar belakang budaya yang berbeda. Migran di suatu daerah dapat menjadi “ancaman” bagi penduduk lokal. Konflik antara pendatang dan penduduk lokal perlu mendapat perhatian yang meningkat. Penanganan yang baik terhadap potensi konflik ini akan memacu pembangunan di daerah penerima.

Namun walaupun mobilitas meningkat persebaran penduduk masih terkonsentrasi di wilayah2 tertentu. Persebaran penduduk masih tidak merata. Daerah atau pulau yang jauh dari pusat pembangunan akan tetap tidak diminati untuk didimai. Dalam konteks ini maka konsep negara kesatuan mesti terus dibina agar mereka yang tinggal di daerah perbatasan dan pulau terpencil masih tetap merasa sebagai orang Indonesia.

Selain itu, arus tenaga kerja ke dunia internasional akan terus meningkat. Walau begitu, tenaga kerja yang masuk ke pasar internasional juga akan berubah. Bukan lagi terdiri dari mereka yang berpendidikan rendah dan bekerja, misalnya sebagai pekerja bangunan atau pembantu rumah tangga. Pada 2020 pasar internasional akan mengalami kesulitan mencari orang Jawa sebagai pembantu rumah tangga yang murah dan penurut. Pada saat itu, tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri akan makin terdiri dari mereka yang berpendidikan lebih tinggi. Tenaga kerja Indonesia akan mengisi posisi yang makin penting di dunia.

Bersamaan dengan meningkatnya arus tenaga kerja ke pasar internasional, arus tenaga kerja asing ke Indonesia pun akan meningkat. Kalau dulu, tenaga kerja asing terpusat

Page 92: Modul Non Formal Ok

L-16

Daftar Rujukan Bappenas, 2010, Indonesia: Progress Report on the Millennium Development Goals, Jakarta. BKKBN, 2004, Kependudukan, Keluarga Berencana dan Pembangunan Berkelanjutan, Jakarta. BPS, Bappenas, and UNDP. 2001. Indonesia Human Development Report 2001, Towards a New Consensus, Democracy and Human Development in Indonesia. Dixon-Muller, Ruth, 1993, Population Policy and Women‟s Rights: Transforming Reproductive Choice (Westport, Conn., Praeger). Germain, Adrienne (1987), Reproductive Health and Dignity: Choices by Third World Women, background paper prepared for the International Conference on Better Health for Women and Children through Family Planning, Nairobi, 5-9 October (Population Council). Hill, Hal, 1996, The Indonesian Economy Since 1966: Southeast Asia‟s Emerging Giant, Cambridge University Press, 1996. Jones, Gavin.1998, The Bali Declaration and the Programme of Action of the International Conference on Population and Development in the Context of the Population Dynamics of the Asian and Pacific Region, United Nation – UNFPA - ESCAP, Asian Population Studie Series No.153, 1998. Prijono Tjiptoheriyanto. 2001. “Kependudukan dalam era reformasi” dalam Agus Dwiyanto dan Fathurochman. Reorientasi Kebijakan Kependudukan. Yogyakarta : Pusat Penelitian Kependudukan UGM, hal 57-76. Sen, Gita, Adrienne Germain & Lincoln C. Chen, eds. (1994), Population Policies Reconsidered: Health, Empowerment, and Rights, (Harvard, Harvard University Press). Sukamdi. 1992. Kebijakan Kependudukan, Suatu Pengantar. Tidak diterbitkan. United Nations, 1994, Programme of Action of the International Conference on Population and Development (ICPD), New York. Wilopo, Siswanto.A,2004. Dimensi Kependudukan dalam Pembangunan Berkelanjutan. Makalah disampaikan pada Bahan pembelajaran pada Diklat Perencanaan Pembangunan Wilayah Berwawasan Kependudukan, diselenggarakan oleh Badan Pendidikan dan Pelatihan, Departemen Dalam Negeri R.I., Jakarta 9 Maret 2004

Page 93: Modul Non Formal Ok

Model Pembangunan Yang Menekankan Pada Pertumbuhan Ekonomi

• Memaksimalkan pemanfaatan modal keuangan dan penggunaanmodal keuangan dan penggunaanteknologi

• Membutuhkan kemajuan• Membutuhkan kemajuan(penyempurnaan) teknologi untuk menjamin kesinambunganj gpertumbuhan ekonomi namunseringkali teknologi mengabaikanlingkunganlingkungan

• Melupakan peranan sentral Sumber Daya Manusia dan LingkunganDaya Manusia dan Lingkungansebagai sumber hayati yang didayagunakan dalam proses produksi untuk memperoleh pertumbuhan ekonomi

Dampak Teknologi Tidak Ramah LingkunganLingkungan

• Pencemaran alam meningkatPencemaran alam meningkat

• Spesies hidup banyak yang punah

6• Perubahan Iklim

L-16

Daftar Rujukan Bappenas, 2010, Indonesia: Progress Report on the Millennium Development Goals, Jakarta. BKKBN, 2004, Kependudukan, Keluarga Berencana dan Pembangunan Berkelanjutan, Jakarta. BPS, Bappenas, and UNDP. 2001. Indonesia Human Development Report 2001, Towards a New Consensus, Democracy and Human Development in Indonesia. Dixon-Muller, Ruth, 1993, Population Policy and Women‟s Rights: Transforming Reproductive Choice (Westport, Conn., Praeger). Germain, Adrienne (1987), Reproductive Health and Dignity: Choices by Third World Women, background paper prepared for the International Conference on Better Health for Women and Children through Family Planning, Nairobi, 5-9 October (Population Council). Hill, Hal, 1996, The Indonesian Economy Since 1966: Southeast Asia‟s Emerging Giant, Cambridge University Press, 1996. Jones, Gavin.1998, The Bali Declaration and the Programme of Action of the International Conference on Population and Development in the Context of the Population Dynamics of the Asian and Pacific Region, United Nation – UNFPA - ESCAP, Asian Population Studie Series No.153, 1998. Prijono Tjiptoheriyanto. 2001. “Kependudukan dalam era reformasi” dalam Agus Dwiyanto dan Fathurochman. Reorientasi Kebijakan Kependudukan. Yogyakarta : Pusat Penelitian Kependudukan UGM, hal 57-76. Sen, Gita, Adrienne Germain & Lincoln C. Chen, eds. (1994), Population Policies Reconsidered: Health, Empowerment, and Rights, (Harvard, Harvard University Press). Sukamdi. 1992. Kebijakan Kependudukan, Suatu Pengantar. Tidak diterbitkan. United Nations, 1994, Programme of Action of the International Conference on Population and Development (ICPD), New York. Wilopo, Siswanto.A,2004. Dimensi Kependudukan dalam Pembangunan Berkelanjutan. Makalah disampaikan pada Bahan pembelajaran pada Diklat Perencanaan Pembangunan Wilayah Berwawasan Kependudukan, diselenggarakan oleh Badan Pendidikan dan Pelatihan, Departemen Dalam Negeri R.I., Jakarta 9 Maret 2004

Page 94: Modul Non Formal Ok

K e k u r a n g a n A i r

Menurunkan Produktifitas Tanaman Penghancuran Usaha Perikanan

imanusiayang selalu

menuntut lebih dari yang mampudari yang mampudisediakan bumi yg mampu disediakan 1 bumi

Today’s reality: Global Resource Overshoot

Tuntutan Terhadap Bio-Kapasitas Bumi Untuk Kesejahteraan Manusia: Saat Ini 2050j Saat Ini 2050

Makanan

Pakaian dan Perumahan

Energi (penyerapan karbon)

KonservasiKeanegaraman Hayatig y

Pasokan Energi Bio-Massa)

180  200 

Meadows D et.al (1972), The Limits to Growth: A Report for the Club of

Pertumbuhan akan menimbulkan keinginan dan

Report for the Club ofRome's Project on the Predicament of

Mankind"keinginan akan menimbulkan ketamakan

Pertumbuhan memiliki keterbatasan

Meadows D, et.al(2004), Limits To Growth: the 30-

Bumi cukup menyediakan segalat t k k k b t h Limits To Growth: the 30-

year updatesesuatu untuk memuaskan kebutuhansemua orang, bukan semua ketamakan(M h t G dhi)

Bardi (2011) The

(Mahatma Gandhi)

Bardi (2011), TheLimits to Growth Revisited

Page 95: Modul Non Formal Ok

1. Jumlah penduduk dunia meledak;

2. Spesies liar menghilang;3. Lingkungan Alam memburuk,

dan4. Biaya sumber daya dari minyak

sampai air pun semakin mahalsampai air pun semakin mahal

Jadi, dunia macam apa yang kita wariskan k d k ki ?kepada anak cucu kita?

• Pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan greenberkelanjutan greentechnology/green economy

• Pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan pro job/pro manpower

J R b t (2005)

• Stabilisasi pertumbuhan penduduk

Peningkatan k alitas SDM James Robertson(2005),The New Economics of

Sustainable Development: abriefing for policy akers

A Report for the European

• Peningkatan kualitas SDM

• Pengentasan kemiskinan A Report for the EuropeanCommission

g

• Kelestarian lingkungan hidup

• Pola produksi dan konsumsi

Laporan terbaru oleh Panel Tingkat Tinggi SekJen PBB tentang Keberlanjutan Global g jmenegaskan kembali bahwa:

"G hid b k l d k i d"Gaya hidup buruk, pola produksi dankonsumsi dan dampak buruk dari pertumbuhan penduduk" merupakanpertumbuhan penduduk merupakanpendorong utama tantangan terhadap pembangunan berkelanjutan di planet ini

Laporan ini menyoroti perlunya memahamiLaporan ini menyoroti perlunya memahamiperubahan demografi dan memperjelas pentingnya mengintegrasikan dinamika

16

pentingnya mengintegrasikan dinamikakependudukan ke dalam kebijakan pemerintah yang efektif

On population factor, our success in tackling poverty depends on our success in managing our population growth The global population has increased by 2managing our population growth. The global population has increased by 2billion in less than three decades, surpassing 7 billion last year. Another 2 billion is estimated to add to this mark by 2050. Such a scale of population growth will impact on our ability to provide food, energy and other basic servicesimpact on our ability to provide food, energy and other basic services

Pertumbuhan Penduduk Yang Tinggi Bisa Menjadi Masalah Besar Dunia

Page 96: Modul Non Formal Ok

Years to Add Each Billion to W ld P l ti

Tahun Yang Diperlukan Untuk Menambah Setiap Milyar Penduduk DuniaWorld Population

Fi t (1800)All f H Hi t

Setiap Milyar Penduduk Dunia

Second

First

130 years (1930)

(1800)All of Human History

Fourth

Third

14 years (1974)

30 years (1960)

Si th

Fifth 13 years (1987)

14 years (1974)

Seventh

Sixth

12 years (2011)

12 years (1999)

Eighth 13 years (2024)

Sources: UN Population Division and Population Reference Bureau.

Proyeksi Penduduk Dunia Menurut Tiga Skenario

tinggimenengah

rendah

23 Pertama: Penduduk sangat besar dan masih akan bertambah sampai dengan tahun 2050

338 5

421,7

380,6400,0

450,0Medium High

293 5

338,5

328,8

,

300,0

350,0

ons)

Low Constant

293,5

254,2252,7

200,0

250,0

pulation

 (millio

141,2

100,0

150,0

Total Pop

0,0

50,0

SM Adioetomo, calculated from UN Projection

2000 2005 2010 2015 2020 2025 2030 2035 2040 2045 2050 2055 2060 2065 2070 2075 2080 2085 2090 2095 2100

24

Page 97: Modul Non Formal Ok

POPULATION OF INDONESIA

225.00 205 8

1600 - 2000

175.00

200.00

225.00 205.8

125.00

150.00

50 00

75.00

100.00

40 2

0.00

25.00

50.0018.3

14.210.8

40.2

1600 1700 1800 1900 2000

Sumber: Hugo, et.al (1987)S 2000 (BPS)Sensus, 2000 (BPS)

Kedua: Jumlah dan proporsi penduduk usia produktif(15-60 tahun) sampai dengan tahun 2030 sangat besard k t i b jik dik l ldan merupakan potensi pembangunan jika dikeloladengan baik

Diolah oleh: SM Adioetomo, 200526

Ketiga: Meningkatnya penduduk lanjut usia (>60 tahun) setelah tahun 2030

Number of old population by age, 1950-2050,Indonesia Total 79.8

70,000

80,000

90,000

World Population Projection, 2006 11.8

50,000

60,000

,

er ('0

00) 32

20 000

30,000

40,000

Num

b

80+

70-79

60 69

21.4

4.9 35.8

0

10,000

20,000 60-69

Year

Calculated by SM Adioetomo based on UN Population Proection rev 2002.

Keempat: Penduduk yang tinggal di perkotaan akan semakin meningkat utamanya karena migrasi dari desa

Kelima: Ketidakseimbangan persebaran penduduk &ekonomi

Ilustrasi Persebaran Penduduk

Ilustrasi Persebaran Ekonomi

Keenam: Kualitas Penduduk yang masih rendah (perhatian pada aspek k h t d didik )kesehatan dan pendidikan)

• Target MDGs yang masih harus mendapat perhatian (HIV/AIDS, Kesehatan Ibu, kekurangan gizi)

• Perilaku berisiko di kalangan anak muda• Perilaku berisiko di kalangan anak mudasemakin mengkhawatirkan (rokok, junk food, perilaku sexual)p )

• Pengangguran di kalangan anak muda jauh lebih tinggi daripada penduduk usia kerjalebih tinggi daripada penduduk usia kerjasecara umum

• Tingkat drop out sekolah setelah pendidikan dasar masih menjadi tantangan besarSalvado Dali, 1928

Page 98: Modul Non Formal Ok

Ketujuh: Masalah Kemiskinan

Persentase penduduk dibawah garis kemiskinan mengalamigaris kemiskinan mengalamipenurunan namun secara jumlah masih cukup besarjumlah masih cukup besar

Mereka yang tergolong hampir miskin (near poor) masihmiskin (near poor) masihbanyak

Pola pengeluaran rumah tangga keluarga miskin sangat tidak baik ( persentasetidak baik ( persentasependapatan untuk rokok dan pulsa tinggi)p gg )

Kedelapan: Cakupan dan kualitas data kependudukan untuk perencanaan pembangunan

Ketepatan data penduduk sangat diperlukanagar kebijakan dan program pembangunanagar kebijakan dan program pembangunantepat sasaran.

Data yang ada belum dimanfaatkan secaramaksimal.

Cakupan dan kualitas data dan informasikependudukan semakin memprihatinkankependudukan semakin memprihatinkan.

Picasso, sister, 1902

Kebijakan dan perencanaan pembangunan ekonomi j p p gharus memperhatikan aspek kependudukan propeople, pro job bukan pro capital (financial)

Stabilisasi pertumbuhan penduduk melalui program KB

P t t t b d t Pemerataan pusat-pusat pembangunan agar dapatmenjadi daya tarik persebaran penduduk

Program Pendidikan, Kesehatan dan Pelatihan yang berkualitas agar penduduk menjadi sumberdayapenduduk menjadi sumberdayamanusia yang mampu bersaing

Perbaikan pola konsumsi dan Perbaikan pola konsumsi danpengeluaran rumahtangga

P b ik d f t d t Perbaikan dan pemanfaatan datakependudukan untuk perencanaan pembangunan monografid k t k b t idesa, kecamatan, kabupaten, provinsi, neraca kependudukan

Pengembangan insentif kepada daerah yang memiliki program kependudukan (kuantitas, kualitas p (dan pengelolaan data) yang baik

36

We do not inherit theWe do not inherit theearth from our ancestors

We Borrow It From Our Children

Chi f S ttl 1854Chief Seattle, 1854an ancestral leader of the Suquamish Tribe, Earth-keeper Hero

Page 99: Modul Non Formal Ok

L-24

Advokasi Isu Kaum Muda Di Indonesia

Young People Today’s Resources, Tomorrow’s Assets

“Young people are a source of creativity, energy and initiative, of dynamism and social renewal. They learn quickly and adapt readily. Given the chance to go to school and find work, they will contribute hugely to economic development and social progress. Were we to fail to give them

these opportunities, at best we would be complicit in an unforgivable waste of human potential. At worst, we would be contributing to all the evils of youth without hope: loss of morale, and

lives that are socially unproductive and potentially destructive –of the individuals themselves, their communities and even fragile democracies.”

(‘We the Peoples’: The Role of the United Nations in the 21st Century)

Page 100: Modul Non Formal Ok

L-25

1. Pendahuluan

Kaum Muda, diyakini sebagai kelompok masyarakat yang paling dinamis. Sejarah menunjukkan bahwa Kaum Muda adalah agen perubahan mengenai banyak hal positif. Di abad ke duapuluh saja, tercatat pergolakan dan perlawanan kaum muda di Eropa dan Amerika Serikat telah mendorong peningkatan kesadaran tentang hak azasi manusia dan demokrasi. Di Indonesia sendiri, Gerakan Boedi Oetomo di awal abad ke duapuluh menjadi cikal bakal kesadaran berbangsa dan bertanah air yang berujung pada lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Namun demikian, kita sering kesulitan memberi batasan (difinisi) tentang Kaum Muda. Banyak kelompok masyarakat mendifinisikan Kaum Muda sesuai dengan maksud dan tujuan masing-masing. Kejelasan difinisi diperlukan untuk memfokuskan pembahasan dan menghilangkan berbagai kerancuan yang tidak perlu. Berikut ini beberapa sumber yang membahas tentang Kaum Muda. Didalam Kamus Bahasa Indonesia1, anak muda (dengan kata dasar “anak”) adalah orang yg masih muda; pemuda. Dengan kata dasar “muda” didapat kata pemuda adalah orang yang masih muda; orang muda: harapan bangsa. Di Negara Bagian Queensland, Australia, Kaum Muda adalah penduduk dengan rentang usia 12–25 tahun2. Di Negara Persemakmuran, Kaum Muda didifinisikan sebagai penduduk yang berusia antara 15–29 tahun3. Sementara itu, UNICEF4 memberikan batasan usia penduduk “remaja” antara 10–19 tahun5. UN-DESA6 memberikan batasan usia 15–24 tahun untuk menyebutkan Kaum Muda. Terakhir, BKKBN dalam “Country Report, 20127” menggunakan batasan usia 12–24 tahun untuk menyebutkan “Adolescent and Youth” dalam laporannya. Namun, dengan pertimbangan ketersediaan data, untuk selanjutnya makalah ini menggunakan batasan penduduk usia 10–24 tahun untuk menyebut “Kaum Muda”. Makalah ini bermaksud untuk membahas hal-hal pokok yang berkaitan dengan Kaum Muda dan pengaruhnya kepada pembangunan bangsa ini. Diawali dengan memahami fakta dan karakteristik Kaum Muda, kemudian dilanjutkan dengan berbagai aspek positif dan kesulitan yang mereka hadapi. Makalah ini ditutup dengan kebijakan yang dapat diambil, atau dilakukan, oleh pemerintah dalam rangka mengarahkan potensi Kaum Muda menjadi realitas.

2. Fakta dan Karakteristik Bagian ini akan membahas besaran (magnitude) Kaum Muda, siapa saja mereka, sebaran lokasi tempat tinggal dalam arti kota-desa dan kelompok pulau besar di Indonesia serta proyeksi kedepannya. Umumnya, Kaum Muda adalah bagian masyarakat yang paling sehat dan dinamis, tetapi tantangan dan persoalan senantiasa mengancam mereka. Memahami dinamika Kaum Muda bukan hanya berorientasi ke masa kini, namun sekaligus memberikan

1 Edisi 2008 2 Young People are usually defined as being aged between 12 – 25 years of age. 3 The Commonwealth’s definition of Young People is 15 - 29 4 Badan PBB yang mengurusi hal-ikhwal anak-anak dunia 5 UNICEF segments adolescence can into three stages: early (10-13 years of age), middle (14-16), late (17-19) adolescents 6 United Nations Department of Economic and Social Affairs (UN-DESA), Consultation preceding the UN World Youth Report 2013

United Nations Department of Economic and Social Affairs (UN-DESA), World Youth Report 2011 7 Adolescent and Youth, Status, challenges and programmes, Country Report National Population and Family Planning, 2012

Tabel 1. Proporsi Anak di Perkotaan Tahun % 1955 27 1965 30 1975 33 1985 36 1995 40 2005 43

UNICEF: State of World’s Children, 2012

Page 101: Modul Non Formal Ok

L-26

pemahaman terhadap masa depan, sekitar 30-40 tahun kedepan ketika Kaum Muda menjadi tua. Data demografi global menunjukkan bahwa Kaum Muda merupakan populasi yang besar dari penduduk dunia. Menurut PBB, sekitar 1,2 milliar (18%) penduduk dunia di saat ini adalah Kaum Muda yang berusia 15-24 tahun. Diantara mereka itu tadi 87% tinggal di Negara Berkembang dengan rincian 62% tinggal di Asia dan sisanya di Afrika (UNPY, 2009)8. Menurut UNICEF9, Kaum Muda yang tinggal di perkotaan telah meningkat untuk kurun waktu 1955 hIngga 2005 (Tabel 1). Di tahun 1955, mereka yang hidup di daerah perkotaan adalah sebesar

27 persen dan di tahun 2005 menjadi 43 persen. Suatu jumlah yang hampir duakali lipat. Penduduk Dunia yang setiap tahunnya diperkirakan meningkat sekitar 60 juta jiwa itu, pada tahun 2050 diproyeksikan 70 persennya tinggal di perkotaan10.Proporsi terbesar dari Kaum Muda ini nantinya akan tinggal di Afrika dan Asia. Angka ini menggeser peranan Eropa dan Amerika (Utara dan Selatan) secara signifikan (Tabel 2). Kaum Muda yang pada tahun 1950

hanya 5 persen proporsinya di Benua Afrika diproyeksikan menjadi 20 persen di tahun 2050. Di Benua Asia, yang semula 31 persen diproyeksikan menjadi 54 persen. Di pihak lain, proporsi Kaum Muda di Benua Eropa yang di tahun 1950 sebesar 38 persen akan menjadi 9 persen di tahun 2050. Di Benua Amerika juga mengalami hal yang sama; proporsinya menurun dari 25 persen menjadi 16 persen, dengan penurunan terbesar terjadi di Amerika Utara. Bila dibaca lebih kritis, artinya, pergeseran proporsi tersebut telah secara drastis menggeser tempat tinggal Kaum Muda di Dunia, porporsi mereka yang tinggal di Benua Afrika dan Asia akan lebih dari 4 (empat) kali lipat dari yang tinggal di Eropa dan Amerika. Akan bisa dibayangkan tekanan permintaan Kaum Muda yang harus disediakan oleh Benua Afrika dan Asia tersebut di kemudian hari. Sensus Penduduk 2010 mencatat jumlah penduduk Indonesia mencapai 237,6 juta jiwa, 53,4 juta diantaranya adalah Kaum Muda yang terdiri dari laki-laki 51% dan wanita 49%. Bila dilihat dari angka absolutnya maka telah terjadi peningkatan dari 47 juta di tahun 1990 (Tabel 3). Meskipun demikian, angka relatifnya justru mengalami penurunan dari 27 persen menjadi 23 persen. Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2025 yang dasar perhitungan proyeksi menggunakan data SP2000 menghitung jumlah Kaum Muda akan meningkat menjadi 59 juta di tahun 2025. Dan, sekali lagi, proporsinya menurun menjadi 21 persen. Didalam teori dinamika kependudukan, data diatas menunjukkan gejala yang sesuai dengan teori transisi kependudukan11. Jumlah, Sebaran dan Proyeksinya Kaum Muda yang diamati dari tahun 2000 hingga 2010 di Tabel 4, menunjukkan peningkatan cukup bermakna. Berawal dari 60,7 juta jiwa di tahun 2000, di tahun 2005 meningkat menjadi 8 The United Nations Programme on Youth, 2009, A guide to International Year of Youth August 2010-2011 “Our Year Our Voice”. 9 UNICEF menggunakan kelompok usia 0 -19 tahun. 10 Perlu dicatat, separuh dari negara yang penduduknya tumbuh paling cepat berada di katagori negara miskin. 11 Umumnya, ada tiga tahap “Transisi Kependudukan”, yaitu,: pertama, terjadi peningkatan proporsi kaum muda. Tahap kedua, proporsi kaum muda

menurun karena lansia (usia 65+) meningkat disertai dengan peningkatan yang tajam penduduk usia 25-64 tahun. Tahap terakhir, proporsi orang dewasa menurun tajam sedangkan proporsi lansia naik cukup tajam.

Tabel 2. Proporsi Kaum Muda Menurut Benua, 1950 - 2050

Benua 1950 2010 2050 Afika 5 12 20 Asia 31 50 54 Eropa 38 14 9 ALatin 10 15 10 AUtara 15 8 6 Pacific 1 1 1 UNICEF: State of World’s Children 2012

Tabel 3. Pertumbuhan dan % Kaum Muda Thn Jmlh(Jt) % Total 1990 47 27 2005 51 24 2010 53 23 2012 54 22 2015 56 22 2020 59 22 2025 59 21

Sumber: Country Report, 2012

Tabel 4. Kaum Muda Menurut Jender, 2000 – 2025 (Juta Jiwa) Usia Jender 2000 2005 2010 2015 2020 2025

10-14 Laki-2 10,4 11,2 11,7 10,3 10,5 10,6 Wanita 10,0 10,6 11,0 9,9 10,1 10,2

15-19 Laki-2 10,6 10,4 10,6 10,0 10,3 10,5 Wanita 10,5 10,0 10,3 9,7 9,9 10,1

20-24 Laki-2 9,2 9,8 9,9 11,0 10,0 10,2 Wanita 10,0 10,1 10,0 10,7 9,7 9,9

Jumlah 10-24 60,7 62,7 63,5 61,6 60,5 61,5 Sumber: diolah dari Tabel I.1.1. “Proyeksi Penduduk Indonesia 2005-2025”(2008)

L-25

1. Pendahuluan

Kaum Muda, diyakini sebagai kelompok masyarakat yang paling dinamis. Sejarah menunjukkan bahwa Kaum Muda adalah agen perubahan mengenai banyak hal positif. Di abad ke duapuluh saja, tercatat pergolakan dan perlawanan kaum muda di Eropa dan Amerika Serikat telah mendorong peningkatan kesadaran tentang hak azasi manusia dan demokrasi. Di Indonesia sendiri, Gerakan Boedi Oetomo di awal abad ke duapuluh menjadi cikal bakal kesadaran berbangsa dan bertanah air yang berujung pada lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Namun demikian, kita sering kesulitan memberi batasan (difinisi) tentang Kaum Muda. Banyak kelompok masyarakat mendifinisikan Kaum Muda sesuai dengan maksud dan tujuan masing-masing. Kejelasan difinisi diperlukan untuk memfokuskan pembahasan dan menghilangkan berbagai kerancuan yang tidak perlu. Berikut ini beberapa sumber yang membahas tentang Kaum Muda. Didalam Kamus Bahasa Indonesia1, anak muda (dengan kata dasar “anak”) adalah orang yg masih muda; pemuda. Dengan kata dasar “muda” didapat kata pemuda adalah orang yang masih muda; orang muda: harapan bangsa. Di Negara Bagian Queensland, Australia, Kaum Muda adalah penduduk dengan rentang usia 12–25 tahun2. Di Negara Persemakmuran, Kaum Muda didifinisikan sebagai penduduk yang berusia antara 15–29 tahun3. Sementara itu, UNICEF4 memberikan batasan usia penduduk “remaja” antara 10–19 tahun5. UN-DESA6 memberikan batasan usia 15–24 tahun untuk menyebutkan Kaum Muda. Terakhir, BKKBN dalam “Country Report, 20127” menggunakan batasan usia 12–24 tahun untuk menyebutkan “Adolescent and Youth” dalam laporannya. Namun, dengan pertimbangan ketersediaan data, untuk selanjutnya makalah ini menggunakan batasan penduduk usia 10–24 tahun untuk menyebut “Kaum Muda”. Makalah ini bermaksud untuk membahas hal-hal pokok yang berkaitan dengan Kaum Muda dan pengaruhnya kepada pembangunan bangsa ini. Diawali dengan memahami fakta dan karakteristik Kaum Muda, kemudian dilanjutkan dengan berbagai aspek positif dan kesulitan yang mereka hadapi. Makalah ini ditutup dengan kebijakan yang dapat diambil, atau dilakukan, oleh pemerintah dalam rangka mengarahkan potensi Kaum Muda menjadi realitas.

2. Fakta dan Karakteristik Bagian ini akan membahas besaran (magnitude) Kaum Muda, siapa saja mereka, sebaran lokasi tempat tinggal dalam arti kota-desa dan kelompok pulau besar di Indonesia serta proyeksi kedepannya. Umumnya, Kaum Muda adalah bagian masyarakat yang paling sehat dan dinamis, tetapi tantangan dan persoalan senantiasa mengancam mereka. Memahami dinamika Kaum Muda bukan hanya berorientasi ke masa kini, namun sekaligus memberikan

1 Edisi 2008 2 Young People are usually defined as being aged between 12 – 25 years of age. 3 The Commonwealth’s definition of Young People is 15 - 29 4 Badan PBB yang mengurusi hal-ikhwal anak-anak dunia 5 UNICEF segments adolescence can into three stages: early (10-13 years of age), middle (14-16), late (17-19) adolescents 6 United Nations Department of Economic and Social Affairs (UN-DESA), Consultation preceding the UN World Youth Report 2013

United Nations Department of Economic and Social Affairs (UN-DESA), World Youth Report 2011 7 Adolescent and Youth, Status, challenges and programmes, Country Report National Population and Family Planning, 2012

Tabel 1. Proporsi Anak di Perkotaan Tahun % 1955 27 1965 30 1975 33 1985 36 1995 40 2005 43

UNICEF: State of World’s Children, 2012

Page 102: Modul Non Formal Ok

L-27

62,7 juta dan selanjutnya menjadi 63,5 juta jiwa. Dalam hal jenis kelamin, terlihat laki-laki meningkat lebih cepat dibandingkan wanita. Juga, kelompok usia lebih muda, 10-14 tahun, untuk periode 2000-2010 merupakan komponen Kaum Muda yang terbesar. Kaum Muda laki-laki usia 10-14 tahun meningkat dari 10,4 juta jiwa menjadi 11,7 juta jiwa. Sementara Kaum Muda wanita kelompok usia 15-19 tahun jumlahnya menurun dari 10,5 juta jiwa di tahun 2000 menjadi 10,3 juta di tahun 2010. Angka proyeksi12 Kaum Muda menunjukkan kelompok usia muda, 10-14 dan 15-19, masih terjadi peningkatan. Kelompok usia 10-14 tahun meningkat dari 10,3 juta dan 9,9 juta di tahun 2015 menjadi 10,6 juta dan 10,2 juta di tahun 2025. Pada kelompok usia 15-19 tahun

meningkat dari 10 juta dan 9,7 juta menjadi 10,5 dan 10,1 juta. Sedangkan kelompok yang lebih dewasa, usia 20-24, laki-laki dan wanita mengalami penurunan dari 11 juta dan 10,7 juta di tahun 2015 menjadi 10,2 juta dan 9,9 juta di tahun 2025. Tempat tinggal Kaum Muda seperti yang

ditampilkan di Tabel 5 menunjukkan perkotaan menjadi semakin banyak dihuni dibandingkan pedesaan. Untuk periode 2000 hingga 2010, Kaum Muda yang bertempat tinggal di perkotaan terjadi peningkatan, kecuali pada kelompok umur 15-19 tahun yang bertahan pada angka 10,6 juta jiwa. Sedangkan di pedesaan, jumlah Kaum Muda yang tinggal disitu terjadi penurunan atau konstan. Khusus untuk kelompok umur 10-14, mereka yang tinggal di pedesaan mengalami peningkatan dari 10 juta menjadi 11 juta. Ini seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa kelompok umur 10-14 tahun ini secara umum memang mengalami peningkatan jumlah. Sehingga yang tinggal di perkotaan maupun di pedesaan sama-sama meningkat dengan pengaruh terbesar diperoleh dari Kaum Muda dari pedesaan. Memperhatikan lokasi tempat tinggal menurut kelompok pulau besar di Indonesia, nampak bahwa proporsi Kaum Muda cenderung menurun (Tabel 6). Proporsi Kaum Muda yang berkisar antara 28-34 persen di tahun 2005 itu telah menurun menjadi 25-29 persen di tahun 2010. Penurunan proporsi yang terjadi di Jawa, Sumatra dan Kalimantan adalah sebesar 3 angka. Sedangkan di Sulawesi, Bali-NTB-NTT, Maluku dan Papua “hanya” 2 angka. Yang menarik di kepulauan Maluku, justru menunjukkan peningkatan dari 34 persen menjadi 35 persen. Proyeksi angka proporsi tersebut sampai dengan tahun 2025 memperlihatkan ketidakseragaman. Proporsi Kaum Muda di Sumatra, Kalimantan dan Maluku mengalami penurunan terbesar dari 32-27 persen di tahun 2015 menjadi 29-24 persen di tahun 2025; sebesar 3 angka. Penurunan proporsi terendah terjadi di Bali-NTB-NTT dan Jawa dari 26-23 persen di tahun 2015 menjadi 25-22 persen di tahun 2025; sebesar 1 angka.

12 Angka proyeksi ini mengunakan data dasar tahun 2000.

Tabel 6. Kaum Muda Menurut Pulau dan Jender, 2005 -2025 (Juta Jiwa)

Tahun Jender Jawa Sumatra

Kalimantan

Sulawesi

Bali Cs

Maluku

Papua

2005

Laki-2 18,1 7,4 1,9 2,4 1,8 0,38 0,4 Wanita 17,7 7,2 1,8 2,4 1,7 0,36 0,4

Penduduk 128,5 46,0 12,1 15,8 11,8 2,2 2,6 Persen 10-24 28 32 31 30 30 34 31

2010

Laki-2 17,3 7,4 1,9 2,4 1,8 0,4 0,44 Wanita 16,8 7,3 1,8 2,4 1,8 0,4 0,40

Penduduk 136,6 50,6 13,3 17.0 12,8 2,3 2,9 Persen 10-24 25 29 28 28 28 35 29

2015

Laki-2 16,9 7,5 1,9 2,4 1,8 0,4 0,44 Wanita 16,3 7,2 1,9 2,3 1,8 0,4 0,42

Penduduk 141,4 52,4 14,3 18,1 13,7 2,5 3,2 Persen 10-24 23 28 27 26 26 32 27

2020

Laki-2 16,7 7,6 1,9 2,4 1,9 0,4 0,44 Wanita 16,1 7,3 1,9 2,3 1,8 0,4 0,42

Penduduk 146,5 58,1 15,3 19,2 14,5 2,7 3,4 Persen 10-24 22 26 25 24 26 30 25

2025

Laki-2 16,9 7,8 2,0 2,5 1,9 0,4 0,48 Wanita 16,3 7,5 1,9 2,4 1,9 0,4 0,46

Penduduk 150,8 61,6 16,2 20,1 15,2 2,8 3,7 Persen 10-24 22 25 24 24 25 29 25

Diolah dari Lampiran 2.1. “Proyeksi Penduduk Indonesia 2005-2025”(2008)

Tabel 5. Kaum Muda Menurut Tempat Tinggal, 2000 – 2025(Juta Jiwa) Usia Tempat 2000 2005 2010 2015 2020 2025

10-14 Kota 10, 4 11,2 11,7 10,3 10,5 10,6 Desa 10,0 10,6 11,0 9,9 10,1 10,2

15-19 Kota 10,6 10,4 10,6 10,0 10,3 10,5 Desa 10,5 10,0 10,3 9,7 9,9 10,1

20-24 Kota 9,2 9,8 9,9 11,0 10,0 10,2 Desa 10,0 10,1 10,0 10,7 9,7 9,9

Jumlah 10-24 60,7 62,7 63,5 61,6 60,5 61,5 *) Sumber : Sensus Penduduk 1971, 1980, 1990, 2000, 2010 Bappenas, RPJM dan RPJP 2025

Page 103: Modul Non Formal Ok

L-28

Dari uraian diatas menunjukkan bahwa secara riil telah terjadi penurunan Kaum Muda di pulau-pulau dengan proporsi penduduk “besar” Indonesia tetapi dalam proyeksi terjadi kebalikan. Angka proyeksi lebih konservatif. Angka-angka yang disajikan cenderung lebih rendah daripada yang secara riil terjadi di lapangan, dan bahkan cenderung menurun. Besaran angka2 tersebut berkaitan erat dengan berbagai masalah sosial, dalam arti positif maupun negatif. Kaum Muda berperan sebagai penerus pembangunan bangsa. Jumlah besar Kaum Muda yang dibarengi dengan kualitas merupakan harta (asset) bagi Indonesia. Demikian pula bila sebaliknya. Kaum Muda yang secara sembarangan dibiarkan berkembang dengan sendirinya adalah petaka (problem) bagi Indonesia. Pembangunan umumnya direfleksikan kedalam partisipasi kerja. Penduduk usia 15-65 tahun diartikan sebagai penyumbang produksi bangsa. Merekalah yang menanggung beban untuk menyediakan kebutuhan seluruh penduduk dari yang termuda hingga yang tertua, termasuk dirinya sendiri. Besarnya angka Kaum Muda Indonesia dewasa ini merupakan potensi bagi Indonesia kedepan. Cohort Kaum Muda 10-19 tahun akan menjadi pelaku utama pembangunan di satu hingga dua dasawarsa ke depan. Ahli kependudukan memperhitungkan bahwa sejak tahun 2020, Indonesia akan memiliki peluang besar dari memiliki Kaum Muda yang jumlahnya besar itu. Peluang itu akan terjadi selama 10 tahunan; sekitar 2020 hingga 2030. Selama periode tersebut upaya pembangunan perlu dimaksimal karena jika terlewatkan maka peluang tersebut akan sulit didapat lagi. Penduduk usia tua (aging population) akan mengikuti periode itu. Membaiknya kualitas hidup mendorong peningkatan angka harapan hidup sehingga semakin banyak penduduk bertahan hidup dengan usia yang lebih panjang. Penting untuk dicatat, bahwa kondisi kependudukan saat ini merupakan hasil dan perkembangan kebijakan kependudukan di tahun 1970an. Struktur penduduk menurut usia yang dewasa ini ada di Indonesia merupakan perwujudan baby-boom tahun 1970an tersebut. Dengan pendekatan perhitungan rasio ketergantungan (dependency ratio) terhadap komposisi kependudukan Indonesia tersebut didapat kondisi peluang kependudukan seperti yang telah disebutkan diatas. Kondisi seperti ini sulit diulang lagi terjadinya untuk masa-masa mendatang. Menurut UNFPA, inilah waktunya bagi negara berkembang untuk menyongsong datangnya bonus demografi dengan persiapan yang matang bagi Kaum Mudanya13. Kaum Muda merupakan kelompok penduduk yang dipersiapkan menjadi pelaksana pembangunan. Kepada mereka diperlengkapkan pengetahuan dan keterampilan untuk mampu melaksanakan fungsi dan perannya dengan baik. Disamping perlindungan dari kekerasan, diskriminasi dan eksploitasi serta jaminan kesehatan mental dan fisiknya, pendidikan dan pelatihan keterampilan menjadi aspek penting yang harus dimiliki oleh Kaum Muda. Pada akhirnya, bentuk keterlibatan mereka di dunia kerja itu nanti akan tertampak melalui seberapa banyak mereka terlibat dalam dunia kerja. 3. Peluang dan Tantangan Kaum Muda, mempunyai prestasi dan peluang sekaligus tantangan dan hambatan. Ada dua hal yang sering diasosiasikan dengan Kaum Muda; olah raga dan pendidikan. Makalah ini akan

13 UNFPA Special Youth Programme Report 2007

L-27

62,7 juta dan selanjutnya menjadi 63,5 juta jiwa. Dalam hal jenis kelamin, terlihat laki-laki meningkat lebih cepat dibandingkan wanita. Juga, kelompok usia lebih muda, 10-14 tahun, untuk periode 2000-2010 merupakan komponen Kaum Muda yang terbesar. Kaum Muda laki-laki usia 10-14 tahun meningkat dari 10,4 juta jiwa menjadi 11,7 juta jiwa. Sementara Kaum Muda wanita kelompok usia 15-19 tahun jumlahnya menurun dari 10,5 juta jiwa di tahun 2000 menjadi 10,3 juta di tahun 2010. Angka proyeksi12 Kaum Muda menunjukkan kelompok usia muda, 10-14 dan 15-19, masih terjadi peningkatan. Kelompok usia 10-14 tahun meningkat dari 10,3 juta dan 9,9 juta di tahun 2015 menjadi 10,6 juta dan 10,2 juta di tahun 2025. Pada kelompok usia 15-19 tahun

meningkat dari 10 juta dan 9,7 juta menjadi 10,5 dan 10,1 juta. Sedangkan kelompok yang lebih dewasa, usia 20-24, laki-laki dan wanita mengalami penurunan dari 11 juta dan 10,7 juta di tahun 2015 menjadi 10,2 juta dan 9,9 juta di tahun 2025. Tempat tinggal Kaum Muda seperti yang

ditampilkan di Tabel 5 menunjukkan perkotaan menjadi semakin banyak dihuni dibandingkan pedesaan. Untuk periode 2000 hingga 2010, Kaum Muda yang bertempat tinggal di perkotaan terjadi peningkatan, kecuali pada kelompok umur 15-19 tahun yang bertahan pada angka 10,6 juta jiwa. Sedangkan di pedesaan, jumlah Kaum Muda yang tinggal disitu terjadi penurunan atau konstan. Khusus untuk kelompok umur 10-14, mereka yang tinggal di pedesaan mengalami peningkatan dari 10 juta menjadi 11 juta. Ini seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa kelompok umur 10-14 tahun ini secara umum memang mengalami peningkatan jumlah. Sehingga yang tinggal di perkotaan maupun di pedesaan sama-sama meningkat dengan pengaruh terbesar diperoleh dari Kaum Muda dari pedesaan. Memperhatikan lokasi tempat tinggal menurut kelompok pulau besar di Indonesia, nampak bahwa proporsi Kaum Muda cenderung menurun (Tabel 6). Proporsi Kaum Muda yang berkisar antara 28-34 persen di tahun 2005 itu telah menurun menjadi 25-29 persen di tahun 2010. Penurunan proporsi yang terjadi di Jawa, Sumatra dan Kalimantan adalah sebesar 3 angka. Sedangkan di Sulawesi, Bali-NTB-NTT, Maluku dan Papua “hanya” 2 angka. Yang menarik di kepulauan Maluku, justru menunjukkan peningkatan dari 34 persen menjadi 35 persen. Proyeksi angka proporsi tersebut sampai dengan tahun 2025 memperlihatkan ketidakseragaman. Proporsi Kaum Muda di Sumatra, Kalimantan dan Maluku mengalami penurunan terbesar dari 32-27 persen di tahun 2015 menjadi 29-24 persen di tahun 2025; sebesar 3 angka. Penurunan proporsi terendah terjadi di Bali-NTB-NTT dan Jawa dari 26-23 persen di tahun 2015 menjadi 25-22 persen di tahun 2025; sebesar 1 angka.

12 Angka proyeksi ini mengunakan data dasar tahun 2000.

Tabel 6. Kaum Muda Menurut Pulau dan Jender, 2005 -2025 (Juta Jiwa)

Tahun Jender Jawa Sumatra

Kalimantan

Sulawesi

Bali Cs

Maluku

Papua

2005

Laki-2 18,1 7,4 1,9 2,4 1,8 0,38 0,4 Wanita 17,7 7,2 1,8 2,4 1,7 0,36 0,4

Penduduk 128,5 46,0 12,1 15,8 11,8 2,2 2,6 Persen 10-24 28 32 31 30 30 34 31

2010

Laki-2 17,3 7,4 1,9 2,4 1,8 0,4 0,44 Wanita 16,8 7,3 1,8 2,4 1,8 0,4 0,40

Penduduk 136,6 50,6 13,3 17.0 12,8 2,3 2,9 Persen 10-24 25 29 28 28 28 35 29

2015

Laki-2 16,9 7,5 1,9 2,4 1,8 0,4 0,44 Wanita 16,3 7,2 1,9 2,3 1,8 0,4 0,42

Penduduk 141,4 52,4 14,3 18,1 13,7 2,5 3,2 Persen 10-24 23 28 27 26 26 32 27

2020

Laki-2 16,7 7,6 1,9 2,4 1,9 0,4 0,44 Wanita 16,1 7,3 1,9 2,3 1,8 0,4 0,42

Penduduk 146,5 58,1 15,3 19,2 14,5 2,7 3,4 Persen 10-24 22 26 25 24 26 30 25

2025

Laki-2 16,9 7,8 2,0 2,5 1,9 0,4 0,48 Wanita 16,3 7,5 1,9 2,4 1,9 0,4 0,46

Penduduk 150,8 61,6 16,2 20,1 15,2 2,8 3,7 Persen 10-24 22 25 24 24 25 29 25

Diolah dari Lampiran 2.1. “Proyeksi Penduduk Indonesia 2005-2025”(2008)

Tabel 5. Kaum Muda Menurut Tempat Tinggal, 2000 – 2025(Juta Jiwa) Usia Tempat 2000 2005 2010 2015 2020 2025

10-14 Kota 10, 4 11,2 11,7 10,3 10,5 10,6 Desa 10,0 10,6 11,0 9,9 10,1 10,2

15-19 Kota 10,6 10,4 10,6 10,0 10,3 10,5 Desa 10,5 10,0 10,3 9,7 9,9 10,1

20-24 Kota 9,2 9,8 9,9 11,0 10,0 10,2 Desa 10,0 10,1 10,0 10,7 9,7 9,9

Jumlah 10-24 60,7 62,7 63,5 61,6 60,5 61,5 *) Sumber : Sensus Penduduk 1971, 1980, 1990, 2000, 2010 Bappenas, RPJM dan RPJP 2025

Page 104: Modul Non Formal Ok

L-29

lebih fokus kepada aspek pendidikan. Ini karena melalui pendidikan diyakini sebagai jaminan untuk memperbaiki masa depan Kaum Muda. Kaum Muda Indonesia memiliki catatan luar biasa dalam olimpiade dunia ilmu pengetahuan. Beberapa hasil yang berhasil dihimpun oleh Tim Muda Kompas, antara lain, meliputi: pertama, Internasional Mathematics Olympiad (IMO). Kompetisi ini pertama kali diselenggarakan tahun 1959. Sampai tahun 2003, Indonesia telah 16 kali mengikuti IMO. Pertama kali di Australia dengan hasil yang diperoleh selama lima tahun adalah satu medali perak, lima perunggu dan lima honorable mention. Kedua, Internasional Physic Olimpiad (IPhO). Kompetisi ini pertama kali diadakan di Warsawa, Polandia tahun 1967, dan selanjutnya diselenggarakan tiap tahun di negara berbeda. Indonesia pertama kali mengikuti kompetisi ini pada tahun 1993 dengan prestasi satu medali perunggu dan satu honourable mention. Sampai tahun 2003 Indonesia sudah mengumpulkan lima medali emas, tujuh medali perak,17 medali perunggu dan 16 honourable mention. Ketiga, International Biology Olimpiad (IBO). Pada tahun 1999 Indonesia baru pertama kali mengirimkan tim observer karena persyaratan untuk menjadi anggota tim IBO harus menjadi anggota observer dulu. Baru Pada tahun 2000 Indonesia mengirimkan peserta ke Antalya,Turki, dengan memperoleh satu medali perunggu atas nama Putri Dianita dari SMU Negeri 8 Jakarta. Sampai tahun 2003, Indonesia sudah mengumpulkan satu medail perak, enam medali perunggu dan tiga honorable mention. Keempat, International Olympiad in Informatics (IOI). Kegiatan olimpiade komputer internasional ini diikuti pertama kali oleh Indonesia di Eindhoven, Belanda. Waktu itu Wirawan, dari SMU St Albertus, Malang, Jawa Timur memperoleh satu medali perak. Sampai tahun 2003 Indonesia sudah mengumpulkan satu medali emas, empat medali perak, enam medali perunggu dan empat honorable mention. Kelima, International Astronomy Olimpiad (IAO). Untuk pertama kalinya Indonesia berpartisipasi pada IAO kedelapan di Stochlom, Swedia, Oktober 2003. Prestasi yang diraih adalah Second prize, satu Third prize dan satu Special prize14. Selanjutnya, Kaum Muda Indonesia yang terdiri sembilan pelajar SD, SMP, dan SMA mengukir prestasi internasional pada International Exhibition for Young Inventors (IEYI) yang berlangsung pada 28-30 Juni 2012 di Bangkok, Thailand. Enam karya yang diikutkan semua memperoleh penghargaan berupa 2 medali emas, 2 medali perunggu, dan 2 penghargaan spesial. Pendidikan Sebelum membahas hal-ikhwal Kaum Muda dalam hal pendidikan, akan diperlihatkan gambaran sekilas kondisi pendidikan di Indonesia dewasa ini. Berdasarkan laporan Education for All (EFA) yang dirilis tahun 201115, tingginya angka putus sekolah menyebabkan peringkat indeks pembangunan Indonesia di urutan rendah diantara negara yang termasuk dalam Education Development Index. Indonesia berada pada posisi ke-69 dari 127 negara, sedangkan Malaysia (65) dan Brunei (34). Sementara, laporan Depdikbud setiap menit ada empat anak yang putus sekolah. Data pendidikan tahun 2010 menyebutkan 1,3 juta anak usia 7-15 tahun terancam putus sekolah. Banyak faktor yang mempengaruhi tingginya angka putus sekolah ini namun yang paling umum adalah tingginya biaya pendidikan yang membuat siswa tidak dapat melanjutkan pendidikan dasar. Lebih dari 54% pengajar masuk katagori tidak memiliki kualifikasi. Sementara sekitar 50% pengajar di seluruh Indonesia mengajar mata pelajaran yang tidak sesuai dengan disiplin ilmu yang mereka miliki. Banyak, namun tidak diketahui jumlahnya, pengajar yang belum sarjana tetapi tetap mengajar di SMU/SMK. Padahal pengajar merupakan ujung tombak meningkatkan

14 Mayoritas informasi diambil dari Tim Muda Kompas, Sabtu 16 Maret 2013. 15 UNESCO Education for All Global Monitoring Report 2011

Page 105: Modul Non Formal Ok

L-30

kualitas pendidikan. Proses belajar-mengajar melalui pengajar yang dilaksanakan di kelas menentukan kualitas pengajaran. Disamping itu, distribusi pengajar tidak merata. Di seluruh Indonesia terdapat 34% sekolah yang mengalami kekurangan tenaga pengajar. Di perkotaan 21% sekolah kekurangan pengajar dan di pedesaan 37% sekolah kekurangan pengajar. Sementara di daerah terpencil terdapat 66% sekolah yang mengalami kekurangan tenaga pengajar. Kondisi bangunan sekolah secara umum juga dalam kondisi memprihatinkan. Sejauh ini terdapat 13,2% bangunan sekolah dalam kondisi memerlukan perbaikan sesegera mungkin16. Demikian gambaran singkat suasana pendidikan dimana Kaum Muda Indonesia akan dipersiapkan menuju kompetisi yang akan semakin ganas sejalan dengan akan berlakunya Asin Free-Trade area di tahun 2016 ini. Dewasa ini, hampir tidak ada Kaum Muda di Indonesia yang tidak bisa membaca+menulis huruf latin (buta aksara latin). Namun demikian, di mata Prof. Yohanes Surya, Kaum Muda di manapun juga memiliki potensi yang sama untuk berprestasi, asalkan mereka memperoleh kesempatan17. Ini dibuktikan dengan berhasilnya siswa SMA di Papua untuk meraih medali emas olimpiade matematika dunia. Yang perlu mendapat perhatian adalah apa kelanjutan dari melek huruf Kaum Muda tersebut? Angka kelulusan sekolah Kaum Muda menunjukkan gambaran menarik (Tabel 7). Secara garis besar, di kalangan Kaum Muda telah terjadi peningkatan jenjang pendidikan secara bermakna. Ini terlihat dari menurunnya proporsi Kaum Muda yang berstatus “tidak sekolah”, yaitu dari 14% dan 27% di tahun 1971 menjadi “hanya” 0,9% dan 1,0% di tahun 2002. Penurunan yang sangat bermakna terjadi di wanita, dari 27 persen menjadi 1 persen. Program “wajib belajar” dari pemerintah yang diawali dari 6 tahun dan sekarang ini menjadi 12 tahun menunjukkan hasilnya. Sesuai dengan kelompok usianya, dalam hal ini 15-24 tahun, proporsi terbesar Kaum Muda berada pada jenjang sekolah dasar, menengah pertama dan menengah atas. Wanita mendominasi proporsi jenjang sekolah dasar, dibandingkan laki-laki. Jenjang sekolah menengah pertama dan menengah atas, keduanya menunjukkan peningkatan proporsi yang bermakna; dengan proporsi terbesar berada pada jenjang sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Proporsi ini agak menghawatirkan. Mengingat masih besarnya proporsi Kaum Muda yang bersekolah di tingkat dasar maupun menengah, padahal dengan rentang usia 15-24 tahun mereka seharusnya sudah berada di jenjang sekolah yang lebih tinggi. Ini nanti akan kita lihat kembali ketika membicarakan partisipasi mereka dalam hal sekolah. Di titik ekstrem yang lain, Kaum Muda “wanita” yang berpendidikan Perguruan Tinggi (PT) menunjukkan peningkatan yang sangat pesat. Bahkan melebih peningkatan yang terjadi di jender laki-laki. Bila di tahun 1971 proporsinya 0,3 persen laki-laki dan 0,1 persen wanita (wanita sepertiganya) maka di tahun 2002 proporsinya menjadi 1 persen laki-laki dan 2 persen wanita. Dari segi kependudukan, perkembangan tersebut sangat positif dampaknya. Didalam 16 World Bank(2007), Teacher Employment and Deployment in Indonesia 17 Kalimat langsung Profesor dengan segudang prestasi ini adalah “Tidak ada manusia yang bodoh di dunia ini, yang ada hanyalah tidak adanya

kesempatan untuk belajar dari guru yang baik dan metode yang tepat, sehingga membuat saya tidak putus asa dalam mengajar anak Papua ini.” Beliau pelopor TOFI (Tim Olimpiade Fisika Indonesia) juga pendiri STKIP (Sekolah Tinggi Keguruan Ilmu Pendidikan) SURYA di Tangerang. Sejak tahun 2009 Prof. Yohanes Surya bekerjasama dengan pemda daerah-2 tertinggal mengembangkan matematika GASING (Gampang Asyik dan menyenangkan), dimana anak-anak daerah tertinggal itu dapat belajar matematika dengan mudah. Siswa yang dianggap "bodoh" ternyata mampu menguasai matematika kelas 1-6 SD dalam waktu hanya 6 bulan. Program ini sekarang sedang diimplementasikan diberbagai daerah tertinggal terutama di Papua.

Tabel 7. Pendidikan Kaum Muda Menurut Jender,1971–2002(%)

Tahun Jender Tdk

Sekolah

Tdk Tmt SD SD SMP SMU PT

1971 Laki-2 14,1 32,1 35,8 12,6 5,1 0,3 Wanita 26,8 32,9 29,7 7,6 2,7 0,1

1980 Laki-2 nd 22,7 36,7 32,1 7,9 0,6 Wanita nd 30,7 38,0 25,6 5,0 0,6

1990 Laki-2 2,4 13,7 38,7 27,3 17,3 0,6 Wanita 4,7 17,0 40,3 22,9 5,0 0,6

2000 Laki-2 0,9 5,1 32,9 36,5 23,4 1,1 Wanita 1,2 5,9 34,9 34,2 22,2 1,5

2002 Laki-2 0,9 5,1 31,0 38,0 23,9 1,0 Wanita 1,0 5,5 33,0 35,8 22,8 2,0

Kaum Muda 15-24 tahun Sumber : Sensus Penduduk 1971, 1980, 1990, 200

L-29

lebih fokus kepada aspek pendidikan. Ini karena melalui pendidikan diyakini sebagai jaminan untuk memperbaiki masa depan Kaum Muda. Kaum Muda Indonesia memiliki catatan luar biasa dalam olimpiade dunia ilmu pengetahuan. Beberapa hasil yang berhasil dihimpun oleh Tim Muda Kompas, antara lain, meliputi: pertama, Internasional Mathematics Olympiad (IMO). Kompetisi ini pertama kali diselenggarakan tahun 1959. Sampai tahun 2003, Indonesia telah 16 kali mengikuti IMO. Pertama kali di Australia dengan hasil yang diperoleh selama lima tahun adalah satu medali perak, lima perunggu dan lima honorable mention. Kedua, Internasional Physic Olimpiad (IPhO). Kompetisi ini pertama kali diadakan di Warsawa, Polandia tahun 1967, dan selanjutnya diselenggarakan tiap tahun di negara berbeda. Indonesia pertama kali mengikuti kompetisi ini pada tahun 1993 dengan prestasi satu medali perunggu dan satu honourable mention. Sampai tahun 2003 Indonesia sudah mengumpulkan lima medali emas, tujuh medali perak,17 medali perunggu dan 16 honourable mention. Ketiga, International Biology Olimpiad (IBO). Pada tahun 1999 Indonesia baru pertama kali mengirimkan tim observer karena persyaratan untuk menjadi anggota tim IBO harus menjadi anggota observer dulu. Baru Pada tahun 2000 Indonesia mengirimkan peserta ke Antalya,Turki, dengan memperoleh satu medali perunggu atas nama Putri Dianita dari SMU Negeri 8 Jakarta. Sampai tahun 2003, Indonesia sudah mengumpulkan satu medail perak, enam medali perunggu dan tiga honorable mention. Keempat, International Olympiad in Informatics (IOI). Kegiatan olimpiade komputer internasional ini diikuti pertama kali oleh Indonesia di Eindhoven, Belanda. Waktu itu Wirawan, dari SMU St Albertus, Malang, Jawa Timur memperoleh satu medali perak. Sampai tahun 2003 Indonesia sudah mengumpulkan satu medali emas, empat medali perak, enam medali perunggu dan empat honorable mention. Kelima, International Astronomy Olimpiad (IAO). Untuk pertama kalinya Indonesia berpartisipasi pada IAO kedelapan di Stochlom, Swedia, Oktober 2003. Prestasi yang diraih adalah Second prize, satu Third prize dan satu Special prize14. Selanjutnya, Kaum Muda Indonesia yang terdiri sembilan pelajar SD, SMP, dan SMA mengukir prestasi internasional pada International Exhibition for Young Inventors (IEYI) yang berlangsung pada 28-30 Juni 2012 di Bangkok, Thailand. Enam karya yang diikutkan semua memperoleh penghargaan berupa 2 medali emas, 2 medali perunggu, dan 2 penghargaan spesial. Pendidikan Sebelum membahas hal-ikhwal Kaum Muda dalam hal pendidikan, akan diperlihatkan gambaran sekilas kondisi pendidikan di Indonesia dewasa ini. Berdasarkan laporan Education for All (EFA) yang dirilis tahun 201115, tingginya angka putus sekolah menyebabkan peringkat indeks pembangunan Indonesia di urutan rendah diantara negara yang termasuk dalam Education Development Index. Indonesia berada pada posisi ke-69 dari 127 negara, sedangkan Malaysia (65) dan Brunei (34). Sementara, laporan Depdikbud setiap menit ada empat anak yang putus sekolah. Data pendidikan tahun 2010 menyebutkan 1,3 juta anak usia 7-15 tahun terancam putus sekolah. Banyak faktor yang mempengaruhi tingginya angka putus sekolah ini namun yang paling umum adalah tingginya biaya pendidikan yang membuat siswa tidak dapat melanjutkan pendidikan dasar. Lebih dari 54% pengajar masuk katagori tidak memiliki kualifikasi. Sementara sekitar 50% pengajar di seluruh Indonesia mengajar mata pelajaran yang tidak sesuai dengan disiplin ilmu yang mereka miliki. Banyak, namun tidak diketahui jumlahnya, pengajar yang belum sarjana tetapi tetap mengajar di SMU/SMK. Padahal pengajar merupakan ujung tombak meningkatkan

14 Mayoritas informasi diambil dari Tim Muda Kompas, Sabtu 16 Maret 2013. 15 UNESCO Education for All Global Monitoring Report 2011

Page 106: Modul Non Formal Ok

L-31

banyak literatur kependudukan, telah lama difahami bahwa semakin meningkatnya proporsi wanita yang bersekolah berpengaruh positif pada kelangsungan hidup18 anaknya (misalnya di Cleland and van Ginneken, 198819; dan Caldwell and Caldwell 198520). Sebenarnya akan sangat menarik jika dapat dilakukan analisis terhadap dorongan di masyarakat untuk menyekolahkan anak wanitanya. Mengingat selama ini tata nilai anak yang umum dianut di banyak tempat, akan lebih mendahulukan anak laki-laki daripada anak wanita. Angka partisipasi pendidikan dasar Kaum Muda Indonesia sangat baik, melebihi angka rata-rata ASEAN dan angka Dunia. Dalam Tabel 8 terlihat dengan jelas bahwa angka partisipasi murni Indonesia berada di 94 persen atau lebih. Sedangkan angka ASEAN yang tertinggi hanya mencapai 94 persen, bahkan angka dunia yang tertinggi hanya mencapai 88 persen. Tentu prestasi ini erat kaitannya dengan program wajib belajar yang dicanangkan pemerintah, tahun 1984 untuk wajib belajar 6 tahun dan tahun 1994 untuk wajib belajar 9 tahun21. Angka partisipasi ini nampak kebalikan jika diperhatikan pada jenjang sekolah yang .ebih tinggi; yaitu jenjang menengah pertama dan menengah atas. Angka-angka Indonesia nampak tertingal dibandingkan ASEAN dan dunia. Namun demikian perlu dicatat angka partisipasi Indonesia meningkat sangat cepat. Terutama

angka untuk jenjang sekolah menengah pertama, untuk kurun waktu 8 tahun peningkatannya hampir separuhnya, yaitu dari 49,7 persen di tahun 2000 menjadi 68,4 persen di tahun 2008. Angka-angka ASEAN dan dunia tidak memiliki kecepatan seperti yang dicapai oleh Indonesia. Sementara itu untuk angka jenjang sekolah menengah atas, selama 3 tahun angka partisipasi Indonesia meningkat dari 17,5

persen di tahun 2005 menjadi 21,3 persen di tahun 2008. Sekali lagi, kecepatan kenaikan angka Indonesia masih berada diatas angka ASEAN dan dunia. Angka partisipasi kasar (APK) dan partisipasi murni (APM) 22 nampak semakin menurun sejalan dengan semakin meningkatnya usia Kaum Muda. APK yang umum dipakai sebagai indikator pertama melihat proporsi penduduk yang bersekolah di setiap jenjang sekolah, dari tahun ke tahun menunjukkan angka penurunan yang sangat drastis. Kaum Muda yang karena wajib belajar itu berbondong-bondong mengikuti sekolah dasar sehingga proporsinya melebihinya 100 persen, pada jenjang-jenjang sekolah diatasnya mengalami penurunan yang sangat bermakna hingga hanya sepersepuluhnya saja yang bisa melanjutkan ke Perguruan Tinggi. Meskipun perlu dicatat juga, bahwa proporsi angka partisipasi di masing-masing jenjang pendidikan mengalami peningkatan selama periode 1995 hingga 2010. Misalnya, APK jenjang sekolah dasar meningkat dari 107 persen di tahun 1995 menjadi 111,6 persen di tahun 2010. 18 Pada gilirannya, menurunnya mortalitas akan diikuti dengan menurunnya fertilitas; keduanya merupakan komponen utama transisi demografis. 19 Cleland, J. and J.K. van Ginneken. 1988. Maternal education and child survival in developing countries: the search for pathways of influence. Social

Science and Medicine 27,12:1357-1368. 20 Caldwell, J.C. and P. Caldwell. 1985. Education and literacy as factors in health. Pp. 181-185 in Good Health at Low Cost: Proceedings of a

Conference held at the Bellagio Conference Center, Bellagio, Italy, April 29-May 2, ed. S.B.Halstead, J.A.Walsh and K.S.Warren. New York: Rockefeller Foundation.

21 Pemerijntah mencanangkan program Wajib Belajar 6 Tahun pada tahun 1984. Kemudian pada tahun 1994 ditingkatkan menjadi Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun. Hal ini berarti bahwa setiap anak Indonesia yang berumur 7sampai 15 tahun diwajibkan untuk mengikuti Pendidikan Dasar 9 Tahun.

22 Per difinisi, APK adalah Proporsi anak sekolah pada suatu jenjang tertentu dalam kelompok usia yang sesuai dengan jenjang pendidikan tersebut. Catatan: APK SD/MI, APK SMP/MTs, APK SM/MA, atau APK PT. Sedangkan APM adalah Proporsi anak sekolah pada satu kelompok usia tertentu yang bersekolah pada jenjang yang sesuai dengan kelompok usianya. Catatan: Jenjang SD/MI usia 7-12 tahun, SMP/MTs: usia 13-15 tahun, SM/MA: usia 16 -18 tahun, dan Perguruan Tinggi: usia 19-24 tahun

Tabel 8. Angka Partisipasi Murni SD, SMP/MTs, SMA/MA, 1991-2008(%)

APM SD APM SMP/MTs APM SMA/MA 1991 2000 2005 2008 2000 2005 2007 2008 2000 2005 2007 2008

Indonesia 95.1 94.3 95.6 95.7 49.7 59.2 69.7 68.4 - 17.5 18.2 21.3 SE Asia 94.0 91.9 93.4 93.3 50.8 58.1 63.1 63.1 18.0 21.1 22.4 24.1

World 81.6 82.6 86.2 87.9 52.2 56.7 58.5 59.5 18.9 24.0 25.9 26.5 Sumber: Diolah dari Tabel I.27 UNESCO Statistical Yearbook for Asia and the Pacific 2011

Tabel 9. Partisipasi Pendidikan, 1995 - 2010 Partisipasi 1995 2000 2005 2010 APK SD/MI 107,00 107,68 106,63 111,63 APK SMP/MTs 65,65 77,62 82,09 80,35 APK SMA/MA 42,43 50,22 55,21 62,53 APK PT 9,55 10,26 11,06 16,35 APM SD/MI 91,45 92,284 93,25 94,72 APM SMP/MTs 50,96 60,27 65,37 67,62 APM SMA/MA 32,60 39,33 43,50 45,48 APM PT 7,15 7,95 8,71 11,01

Sumber: BPS Statistik Pendidikan

Page 107: Modul Non Formal Ok

L-32

Demikian pula halnya dengan APK di jenjang perguruan tinggi yang meningkat dari 9,6 persen menjadi 16,4 persen di tahun 2010. Hal lain yang patut dicermati dari Tabel 9 adalah besaran selisih antara APK dan APM di setiap jenjang pendidikan selama periode 1995-2010. Dari tabel tersebut nampak hanya selisih di jenjang sekolah menengah pertama yang selisihnya menurun. Di jenjang sekolah yang lain (SD, SMA dan PT) memperlihatkan terjadinya kenaikan selisih selama periode tersebut. Selisih APK dengan APM ini merupakan in-efisiensi dalam penggunaan sumberdaya untuk pendidikan. Hal ini karena dengan semakin lebih besarnya APK daripada APM menunjukkan banyaknya Kaum Muda yang “terpaksa” masih bersekolah di setiap kelas dan jenjang pendidikan daripada kelompok usia yang ditunjukkan oleh APMnya.

Dengan menggabungkan angka partisipasi dengan lokasi tempat tinggal dan jender Kaum Muda menunjukkan perbedaan yang mencolok. Kaum Muda laki-laki maupun wanita di pedesaan memiliki angka partisipasi (APK dan APM) yang lebih rendah daripada Kaum Muda di perkotaan. Sementara untuk Kaum Muda di perkotaan, dari 2 tahun

yang diamati menunjukkan APK jenjang sekolah menengah pertama meningkat dengan tajam; sedangkan APM relatif lebih konstan. Dalam hal jender, APK wanita lebih tinggi daripada laki-laki, tetapi APMnya justru kebalikannya. Jadi, untuk jenjang pendidikan sekolah menengah pertama di perkotaan, laki-laki lebih efisien menempuh pendidikannya. Angka tersebut berbeda arahnya untuk di pedesaan. APK laki-laki senantiasa lebih rendah daripada wanita; dan demikian pula dengan APMnya. Dalam hal selisih antara APK dengan APM, di perkotaan dan pedesaan menunjukkan kecenderungan yang sama. Pada kedua jender tersebut menunjukkan peningkatan selisih APK dengan APM. Dengan APK dan APM di perkotaan yang lebih tinggi daripada di pedesaan menunjukkan bahwa di pedesaan lebih efisien dalam menempuh pendidikan. Disamping itu, dengan angka APM yang relatif konstan untuk tahun 2009 dan 2010, peningkatan APK menunjukkan peningkatan in-efisiensi dalam belajar. Disisi lain, berbeda dengan jenjang sekolah menengah pertama, APK jenjang sekolah menengah atas justru mengalami penurunan; dengan APM laki-laki dan wanita relatif konstan di perkotaan maupun di pedesaan. Namun demikian, penurunan APK di perkotaan labih drastis daripada di pedesaan. Hal ini bisa karena di perkotaan semakin efisien dalam belajar, atau karena di pedesaan terjadi pengurangan jumlah Kaum Muda secara bermakna di sektor pendidikan. Menarik untuk diperhatikan lebih jauh mengapa APK di pedesaan jauh lebih rendah daripada di perkotaan. Seandainya kejadian itu berarti bahwa Kaum Muda di pedesaan sudah tidak bersekolah lagi, lalu kemanakah mereka? Apakah langsung bekerja ataukah menganggur karena adanya berbagai hambatan untuk dapat melanjutkan sekolah mereka? Memperhatikan hal ini mengingatkan kita pada kenyataan bahwa pembiayaan pendidikan sudah semakin baik. Proporsi alokasi biaya pendidikan secara konsisten mendekati angka 20

Tabel 10. APK dan APM menurut Kota+Desa, Jender,Jenjang Pendidikan, 2009-2010 2009 2010 Kota/ Desa

SMP/MTs SMA/MA SMP/MTs SMA/MA APK APM APK APM APK APM APK APM

Kota Laki-2 82.68 69.35 75.33 54.97 89.58 70.00 64.20 54.66 Wanita 83.86 68.70 73.51 50.60 90.90 69.40 61.57 50.28 L+W 83.26 69.03 74.43 52.81 90.23 69.70 62.89 52.47 Desa Laki-2 77.84 64.68 50.41 37.54 81.44 64.62 49.37 38.15 Wanita 81.44 67.61 51.81 37.84 84.19 67.54 47.88 38.33 L+W 79.55 66.07 51.08 37.68 82.73 66.00 48.66 38.24 Sumber: BPS (2011), Susenas 2010, (2010), Statistik Pendidikan 2009

Tabel 11. Alokasi APBN Untuk Pendidikan, 2000-2008

% terhadap PDB % terhadap APBN 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2003 2004 2005 2006 2007 2008

APBN Pendidikan 3.2 2.7 2.9 3.6 3.5 2.8 16.0 14.2 14.9 17.2 18.7 17.9 Sumber: Tabel I.27 UNESCO Statistical Yearbook for Asia and the Pacific 2011

L-31

banyak literatur kependudukan, telah lama difahami bahwa semakin meningkatnya proporsi wanita yang bersekolah berpengaruh positif pada kelangsungan hidup18 anaknya (misalnya di Cleland and van Ginneken, 198819; dan Caldwell and Caldwell 198520). Sebenarnya akan sangat menarik jika dapat dilakukan analisis terhadap dorongan di masyarakat untuk menyekolahkan anak wanitanya. Mengingat selama ini tata nilai anak yang umum dianut di banyak tempat, akan lebih mendahulukan anak laki-laki daripada anak wanita. Angka partisipasi pendidikan dasar Kaum Muda Indonesia sangat baik, melebihi angka rata-rata ASEAN dan angka Dunia. Dalam Tabel 8 terlihat dengan jelas bahwa angka partisipasi murni Indonesia berada di 94 persen atau lebih. Sedangkan angka ASEAN yang tertinggi hanya mencapai 94 persen, bahkan angka dunia yang tertinggi hanya mencapai 88 persen. Tentu prestasi ini erat kaitannya dengan program wajib belajar yang dicanangkan pemerintah, tahun 1984 untuk wajib belajar 6 tahun dan tahun 1994 untuk wajib belajar 9 tahun21. Angka partisipasi ini nampak kebalikan jika diperhatikan pada jenjang sekolah yang .ebih tinggi; yaitu jenjang menengah pertama dan menengah atas. Angka-angka Indonesia nampak tertingal dibandingkan ASEAN dan dunia. Namun demikian perlu dicatat angka partisipasi Indonesia meningkat sangat cepat. Terutama

angka untuk jenjang sekolah menengah pertama, untuk kurun waktu 8 tahun peningkatannya hampir separuhnya, yaitu dari 49,7 persen di tahun 2000 menjadi 68,4 persen di tahun 2008. Angka-angka ASEAN dan dunia tidak memiliki kecepatan seperti yang dicapai oleh Indonesia. Sementara itu untuk angka jenjang sekolah menengah atas, selama 3 tahun angka partisipasi Indonesia meningkat dari 17,5

persen di tahun 2005 menjadi 21,3 persen di tahun 2008. Sekali lagi, kecepatan kenaikan angka Indonesia masih berada diatas angka ASEAN dan dunia. Angka partisipasi kasar (APK) dan partisipasi murni (APM) 22 nampak semakin menurun sejalan dengan semakin meningkatnya usia Kaum Muda. APK yang umum dipakai sebagai indikator pertama melihat proporsi penduduk yang bersekolah di setiap jenjang sekolah, dari tahun ke tahun menunjukkan angka penurunan yang sangat drastis. Kaum Muda yang karena wajib belajar itu berbondong-bondong mengikuti sekolah dasar sehingga proporsinya melebihinya 100 persen, pada jenjang-jenjang sekolah diatasnya mengalami penurunan yang sangat bermakna hingga hanya sepersepuluhnya saja yang bisa melanjutkan ke Perguruan Tinggi. Meskipun perlu dicatat juga, bahwa proporsi angka partisipasi di masing-masing jenjang pendidikan mengalami peningkatan selama periode 1995 hingga 2010. Misalnya, APK jenjang sekolah dasar meningkat dari 107 persen di tahun 1995 menjadi 111,6 persen di tahun 2010. 18 Pada gilirannya, menurunnya mortalitas akan diikuti dengan menurunnya fertilitas; keduanya merupakan komponen utama transisi demografis. 19 Cleland, J. and J.K. van Ginneken. 1988. Maternal education and child survival in developing countries: the search for pathways of influence. Social

Science and Medicine 27,12:1357-1368. 20 Caldwell, J.C. and P. Caldwell. 1985. Education and literacy as factors in health. Pp. 181-185 in Good Health at Low Cost: Proceedings of a

Conference held at the Bellagio Conference Center, Bellagio, Italy, April 29-May 2, ed. S.B.Halstead, J.A.Walsh and K.S.Warren. New York: Rockefeller Foundation.

21 Pemerijntah mencanangkan program Wajib Belajar 6 Tahun pada tahun 1984. Kemudian pada tahun 1994 ditingkatkan menjadi Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun. Hal ini berarti bahwa setiap anak Indonesia yang berumur 7sampai 15 tahun diwajibkan untuk mengikuti Pendidikan Dasar 9 Tahun.

22 Per difinisi, APK adalah Proporsi anak sekolah pada suatu jenjang tertentu dalam kelompok usia yang sesuai dengan jenjang pendidikan tersebut. Catatan: APK SD/MI, APK SMP/MTs, APK SM/MA, atau APK PT. Sedangkan APM adalah Proporsi anak sekolah pada satu kelompok usia tertentu yang bersekolah pada jenjang yang sesuai dengan kelompok usianya. Catatan: Jenjang SD/MI usia 7-12 tahun, SMP/MTs: usia 13-15 tahun, SM/MA: usia 16 -18 tahun, dan Perguruan Tinggi: usia 19-24 tahun

Tabel 8. Angka Partisipasi Murni SD, SMP/MTs, SMA/MA, 1991-2008(%)

APM SD APM SMP/MTs APM SMA/MA 1991 2000 2005 2008 2000 2005 2007 2008 2000 2005 2007 2008

Indonesia 95.1 94.3 95.6 95.7 49.7 59.2 69.7 68.4 - 17.5 18.2 21.3 SE Asia 94.0 91.9 93.4 93.3 50.8 58.1 63.1 63.1 18.0 21.1 22.4 24.1

World 81.6 82.6 86.2 87.9 52.2 56.7 58.5 59.5 18.9 24.0 25.9 26.5 Sumber: Diolah dari Tabel I.27 UNESCO Statistical Yearbook for Asia and the Pacific 2011

Tabel 9. Partisipasi Pendidikan, 1995 - 2010 Partisipasi 1995 2000 2005 2010 APK SD/MI 107,00 107,68 106,63 111,63 APK SMP/MTs 65,65 77,62 82,09 80,35 APK SMA/MA 42,43 50,22 55,21 62,53 APK PT 9,55 10,26 11,06 16,35 APM SD/MI 91,45 92,284 93,25 94,72 APM SMP/MTs 50,96 60,27 65,37 67,62 APM SMA/MA 32,60 39,33 43,50 45,48 APM PT 7,15 7,95 8,71 11,01

Sumber: BPS Statistik Pendidikan

Page 108: Modul Non Formal Ok

L-33

persen dari APBN (Tabel 11). Meskipun demikian, masalah pengelolaan pendidikan di negara ini memang sarat dengan masalah. Mulai dari kurangnya fasilitas fisik sekolah hingga komersialisasi sekolah. Sehingga upaya wajib belajar juga belum mampu memberikan keyakinan bahwa pendidikan dasar telah memberikan kontribusinya dengan cukup dalam menyiapkan Kaum Muda untuk melanjutkan pendidikannya atau melanjutkan hidupnya secara bermartabat. Tenaga Kerja Muda Secara umum, ada dua kelompok Kaum Muda di masyarakat, kelompok pertama, mereka yang masih bersekolah. Ini sudah sesuai dengan usianya. Kelompok kedua, adalah mereka, yang dengan segala latar belakang alasan dan masalahnya, terpaksa tidak bersekolah dan telah aktif bekerja. Sesuai dengan klasifikasi yang berlaku di Indonesia, mereka yang berada pada kelompok usia 15 tahun keatas memang sudah termasuk dalam angkatan kerja. Oleh karena itu, Kaum Muda yang berusia kurang dari 15 tahun dan sudah bekerja, seharusnya menjadi keprihatinan kita bersama. Mereka ini bukan angkatan kerja. Mereka adalah “pekerja-anak”. Yang bahkan jauh lebih menyedihkan adalah mereka yang tidak bersekolah dan tidak juga bekerja. Mereka menganggur. Berbagai dampak negatif dari kondisi menganggur sangat buruk bagi mereka, masyarakat dan negara. Di bagian ini akan dibahas mengenai Kaum Muda yang bekerja. Dalam lingkup global, perhatian terhadap Kaum Muda yang bekerja senantiasa tetap penting. Pada tahun 2010, ILO23 mencatat bahwa tingkat partisipasi angkatan kerja Kaum Muda global cenderung menurun selama periode 1998-2008. Tingkat partisipasi tersebut menurun dari 54,7 persen menjadi 50,8 persen. Di tahun 2008 terdapat 540 juta Kaum Muda yang bekerja, meningkat 34 juta dari sepuluh tahun sebelumnya. Mengingat pertumbuhan jumlah Kaum Muda pada periode tersebut lebih cepat daripada pertumbuhan mereka yang bekerja, maka rasio mereka yang bekerja terhadap populasinya justru menurun dari 47,9 persen menjadi 44,7 persen. Alasan utama menurunnya rasio ini karena mereka belajar. Sementara itu, di sebagian besar negara berkembang, keterlibatan Kaum Muda dalam bekerja diawali sebagai tenaga pembantu di usaha keluarga, sebelum akhirnya mereka berusaha sendiri24. Di Indonesia, dalam 40 tahun terakhir ini partisipasi angkatan kerja muda di pedesaan maupun di perkotaan cenderung makin meningkat. Lebih dari 40 persen Kaum Muda di perkotaan dan di pedesaan ternyata sudah berpartisipasi secara aktif dalam perekonomian. Hal ini merupakan kenyataan yang sungguh memprihatinkan. Seharusnyamereka masih di bangku sekolah, bukannya sudah bekerja atau sedang mencari pekerjaan. Perbedaan tingkat partisipasi dalam angkatan kerja antara Kaum Muda perkotaan dan perdesaan seharusnya terkait dengan perbedaan rasio Kaum Muda yang terdaftar di sekolah di perkotaan dan perdesaan. Hal itu jika dikaitkan dengan APK sekolah menengah atas di perkotaan seperti yang diuraikan diatas, akan menjelaskan bahwa tingkat partisipasi Kaum Muda di perkotaan di dalam angkatan kerja lebih rendah dibandingkan pedesaan karena status mereka yang masih duduk di bangku sekolah. Dalam Table 12 ditunjukkan peningkatan pertisipasi Kaum Muda dalam bekerja selama periode 1971 hingga 2002. Disitu juga terlihat bahwa rasio pekerja muda dibawah dari rasio pekerja

23 ILO, Global Employment Trends For Youth, August 2010, special issue on the impact of the global economic crisis on youth 24 UN-DESA, World Youth Report 2011, Youth Employment: Youth Perspectives on the Pursuit of Decent Work in Changing Times

Tabel 12. Kaum Muda Dalam Pekerjaan, 1971-2002

Tahun

15-24 Tahun > 24 Tahun TPAK

(%) TPT (%)

TPAK(%)

TPT (%)

1971 46,8 11,9 63,7 7,1 1980 46,3 3,5 63,4 1,0 1990 49,9 8,6 69,0 1,2 2000 51,8 19,9 73,7 2,5 2002 53,9 27,9 72,6 4,2

Catatan: 15-24 Tahun = Angkatan Kerja Muda >24 Tahun = Angkatan Kerja Dewasa TPAK = Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja TPT = Tingkat Pengangguran Terbuka Sumber: Sensus Penduduk 1971, 1980, 1990, 2000 Data Strategis 2012

Page 109: Modul Non Formal Ok

L-34

dewasa. Meskipun rasio pekerja muda bertumbuh namun dengan pertumbuhan yang lebih rendah daripada pertumbuhan rasio pekerja dewasa. Secara umum, rasio pekerja muda meningkat dari 47 persen di tahun 1971 menjadi 54 persen di tahun 2005. Pada periode 1971-1980 terjadi sedikit penurunan rasio. Namun untuk periode 1980-1900 terjadi peningkatan rasio yang terbesar selama periode 1971-2005, dari 46 persen menjadi 50 persen. Setelah periode tersebut, tetap terjadi kenaikan, namun dengan kecepatan yang lebih rendah. Pola yang mirip ditunjukkan oleh rasio pekerja dewasa. Terjadi penurunan di periode 1971-1980, kenaikan terbaik di periode 1980-1990 dan terus menaik pada periode selanjutnya. Sebagai akibatnya, dengan mudah bisa difahami tingkat pengangguran di pekerja muda akan jauh lebih tinggi daripada di pekerja dewasa. Akan diuraikan lebih lanjut ketika membahas tentang pengangguran di bawah nanti. Dalam bidang pekerjaan yang ditekuni pekerja muda, nampak memiliki pola yang sama dengan pekerja dewasa (Tabel 13). Pada tabel tersebut nampak mayoritas pekerja muda bekerja di sektor pertanian. Selanjutnya, sejalan dengan terjadinya transformasi ekonomi, jumlah pekerja muda yang bekerja di bidang pertanian semakin berkurang, dari 52 persen pada tahun 1985 menjadi 42 persen di tahun 2000. Sebaliknya, jumlah pekerja muda yang bekerja di sektor industri, sebagai penyerap tenaga kerja muda terbesar kedua, terus meningkat selama periode 1985-2000. Bidang perdagangan, serta jasa-jasa sosial dan individual, dengan tingkat pertumbuhan yang berbeda, menjadi lahan lain bagi para pekerja muda. Dengan sebaran bidang pekerjaan seperti itu, patut diduga bahwa sebenarnya pekerja muda sangat terkait dengan sektor informal. Kaum Muda yang bekerja di sektor informal selama 40an tahun terakhir jelas lebih dominan dibandingkan mereka yang bekerja di sektor formal25. Meskipun jumlah kaum muda yang bekerja di sektor informal lebih besar ketimbang mereka yang bekerja di sektor formal, jarak di antara mereka semakin berkurang seiring dengan meningkatnya kesempatan bagi kaum muda bekerja di sektor formal. Pada tahun 1971, lebih dari 80 persen pekerja muda berada di sektor informal, sedangkan pada tahun 2002 angka tersebut tinggal 63 persen. Sementara itu, pada tahun 1971 terdapat 16 persen pekerja muda di sektor formal, dan jumlahnya semakin meningkat menjadi 38 persen di tahun 2002. Karakteristik umum lapangan pekerjaan sektor formal adalah adanya prasyarat pendidikan, keterampilan, pelatihan dan pengalaman yang jauh lebih tinggi. Semua itu merupakan hal-hal yang kurang dimiliki kaum muda dibandingkan dengan pekerja dewasa. Pola yang sama juga terlihat pada pekerja dewasa. Mereka yang bekerja di sektor informal lebih tinggi daripada yang bekerja di sektor formal. Seperti ang dicatat dalam Sakernas 2000 dan 2002, jumlah pekerja dewasa yang bekerja di sektor informal cenderung meningkat pada periode 1971-1976, namun mulai menurun pada periode selanjutnya. Selama periode 1976-1995, jarak antara pekerja formal dan informal untuk pekerja dewasa juga semakin mengecil. Pola ini kemudian berbalik setelah terjadinya krisis pada tahun 2000, di mana pekerja sektor

25 Menurut definisi BPS, tenaga kerja di sektor informal meliputi: bekerja untuk diri sendiri, bekerja untuk diri sendiri dengan dibantu anggota keluarga,

pekerja lepas (freelance) dan bekerja untuk keluarga. Sedangkan tenaga kerja di sektor formal terdiri dari pegawai dan pegawai honorer.

Tabel 13. Pekerja Muda dan Dewasa menurut Bidang Pekerjaan, 1985-2002 (%)

BP

1985 1990 1995 2000 2002 15-24

>24 thn

15-24

>24 thn

15-24

>24 thn

15-24

>24 thn

15-24

>24 thn

01 52.5 54,5 46.4 50,4 44.7 47,9 41.9 45,3 40.9 45,0 02 13.4 8.1 18.8 10,0 17.5 8.9 20.3 13.0 21.1 11.7 03 3.5 3.4 3.9 3.6 4.9 4.4 4.3 3.9 4.8 4.6 04 12.4 15.9 11.8 17,0 14.4 17.2 19.4 20.6 17.1 19.9 05 3.2 3.2 3.2 3.8 3.1 3.9 4.4 5.1 4.9 5.1 06 0.4 0.4 0.9 0.6 0.5 0.7 0.8 1.0 0.9 1.1 07 13.8 13.6 13.9 13.4 12.9 14.9 8.3 10.7 9.4 11.7 08 0.8 0.8 1.2 1.2 1.8 2,0 0.7 0.6 0.9 0.9 Catatan: 15-24 tahun = Pekerja Muda; >24 tahun = Pekerja Dewasa Bidang Pekerjaan (BP):

01. Pertanian, Perkebunan, Kehutanan, Perburuan dan Perikanan 02. Industri/KerajinanTangan 03. Konstruksi/Pembangunan 04. Perdagangan, Hotel, Restoran 05. Transportasi, Penyimpanan, dan Komunikasi 06. Keuangan, Asuransi, Penyewaan, Pelayanan 07. Jasa Masyarakat, Sosial, Individu 08. Lainnya (pertambangan, listrik, gas, dan air)

Sumber: Sensus Penduduk 1990, 2000, SUPAS 1985, 1995

L-33

persen dari APBN (Tabel 11). Meskipun demikian, masalah pengelolaan pendidikan di negara ini memang sarat dengan masalah. Mulai dari kurangnya fasilitas fisik sekolah hingga komersialisasi sekolah. Sehingga upaya wajib belajar juga belum mampu memberikan keyakinan bahwa pendidikan dasar telah memberikan kontribusinya dengan cukup dalam menyiapkan Kaum Muda untuk melanjutkan pendidikannya atau melanjutkan hidupnya secara bermartabat. Tenaga Kerja Muda Secara umum, ada dua kelompok Kaum Muda di masyarakat, kelompok pertama, mereka yang masih bersekolah. Ini sudah sesuai dengan usianya. Kelompok kedua, adalah mereka, yang dengan segala latar belakang alasan dan masalahnya, terpaksa tidak bersekolah dan telah aktif bekerja. Sesuai dengan klasifikasi yang berlaku di Indonesia, mereka yang berada pada kelompok usia 15 tahun keatas memang sudah termasuk dalam angkatan kerja. Oleh karena itu, Kaum Muda yang berusia kurang dari 15 tahun dan sudah bekerja, seharusnya menjadi keprihatinan kita bersama. Mereka ini bukan angkatan kerja. Mereka adalah “pekerja-anak”. Yang bahkan jauh lebih menyedihkan adalah mereka yang tidak bersekolah dan tidak juga bekerja. Mereka menganggur. Berbagai dampak negatif dari kondisi menganggur sangat buruk bagi mereka, masyarakat dan negara. Di bagian ini akan dibahas mengenai Kaum Muda yang bekerja. Dalam lingkup global, perhatian terhadap Kaum Muda yang bekerja senantiasa tetap penting. Pada tahun 2010, ILO23 mencatat bahwa tingkat partisipasi angkatan kerja Kaum Muda global cenderung menurun selama periode 1998-2008. Tingkat partisipasi tersebut menurun dari 54,7 persen menjadi 50,8 persen. Di tahun 2008 terdapat 540 juta Kaum Muda yang bekerja, meningkat 34 juta dari sepuluh tahun sebelumnya. Mengingat pertumbuhan jumlah Kaum Muda pada periode tersebut lebih cepat daripada pertumbuhan mereka yang bekerja, maka rasio mereka yang bekerja terhadap populasinya justru menurun dari 47,9 persen menjadi 44,7 persen. Alasan utama menurunnya rasio ini karena mereka belajar. Sementara itu, di sebagian besar negara berkembang, keterlibatan Kaum Muda dalam bekerja diawali sebagai tenaga pembantu di usaha keluarga, sebelum akhirnya mereka berusaha sendiri24. Di Indonesia, dalam 40 tahun terakhir ini partisipasi angkatan kerja muda di pedesaan maupun di perkotaan cenderung makin meningkat. Lebih dari 40 persen Kaum Muda di perkotaan dan di pedesaan ternyata sudah berpartisipasi secara aktif dalam perekonomian. Hal ini merupakan kenyataan yang sungguh memprihatinkan. Seharusnyamereka masih di bangku sekolah, bukannya sudah bekerja atau sedang mencari pekerjaan. Perbedaan tingkat partisipasi dalam angkatan kerja antara Kaum Muda perkotaan dan perdesaan seharusnya terkait dengan perbedaan rasio Kaum Muda yang terdaftar di sekolah di perkotaan dan perdesaan. Hal itu jika dikaitkan dengan APK sekolah menengah atas di perkotaan seperti yang diuraikan diatas, akan menjelaskan bahwa tingkat partisipasi Kaum Muda di perkotaan di dalam angkatan kerja lebih rendah dibandingkan pedesaan karena status mereka yang masih duduk di bangku sekolah. Dalam Table 12 ditunjukkan peningkatan pertisipasi Kaum Muda dalam bekerja selama periode 1971 hingga 2002. Disitu juga terlihat bahwa rasio pekerja muda dibawah dari rasio pekerja

23 ILO, Global Employment Trends For Youth, August 2010, special issue on the impact of the global economic crisis on youth 24 UN-DESA, World Youth Report 2011, Youth Employment: Youth Perspectives on the Pursuit of Decent Work in Changing Times

Tabel 12. Kaum Muda Dalam Pekerjaan, 1971-2002

Tahun

15-24 Tahun > 24 Tahun TPAK

(%) TPT (%)

TPAK(%)

TPT (%)

1971 46,8 11,9 63,7 7,1 1980 46,3 3,5 63,4 1,0 1990 49,9 8,6 69,0 1,2 2000 51,8 19,9 73,7 2,5 2002 53,9 27,9 72,6 4,2

Catatan: 15-24 Tahun = Angkatan Kerja Muda >24 Tahun = Angkatan Kerja Dewasa TPAK = Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja TPT = Tingkat Pengangguran Terbuka Sumber: Sensus Penduduk 1971, 1980, 1990, 2000 Data Strategis 2012

Page 110: Modul Non Formal Ok

L-35

informal kembali meningkat dan sektor formal menurun. Sementara persentase pekerja muda di tahun 2000 yang bekerja di sektor informal nampak terjadi penurunan; sebaliknya yang bekerja di sektor formal justru meningkat. Sebaliknya, di tahun 2002, terjadi peningkatan persentase pekerja muda yang bekerja di sektor informal. Pola tersebut sedikit berbeda dengan kondisi pekerja dewasa (berusia >25 tahun). Untuk periode 1995-2000, pekerja dewasa yang bekerja di sektor informal meningkat dan yang bekerja di sektor formal malah menurun. Nampaknya hal Ini bisa dianggap sebagai suatu indikasi terjadinya pergeseran status tenaga kerja dewasa dari sektor formal ke sektor informal akibat krisis ekonomi 1997-1998. Meskipun demikian, selama periode tersebut pada pekerja muda tidak terjadi pergeseran yang sama seperti yang terjadi pada pekerja dewasa. Seperti yang umum diketahui bahwa selama periode krisis tersebut, terjadi pemutusan hubungan kerja besar-besaran. Namun pekerja dewasa yang diPHK bisa dengan cepat bergeser ke sektor informal karena mereka memiliki kapasitas dan kemampuan untuk melakukan hal tersebut. Kondisi berbeda dihadapi oleh pekerja muda yang di-PHK. Mereka membutuhkan waktu lebih lama untuk bergeser ke sektor informal26. Seperti telah disebutkan diatas bahwa tingkat partisipasi kerja pekerja muda senantiasa dibawah dari tingkat partisipasi pekerja dewasa. Dengan demikian, artinya pekerja muda selalu kalah bersaing dengan pekerja dewasa sehingga pengangguran terbuka di kalangan pekerja muda akan lebih tinggi daripada pekerja dewasa. Pada tabel 12, jarak pengangguran terbuka pekerja muda dengan pekerja dewasa semakin membesar. Jika pada tahun 1971 perbedaan pengangguran di pekerja muda dengan pekerja dewasa 12 persen berbanding 7 persen, maka pada tahun-tahun selanjutnya perbandingan tersebut semakin timpang. Pada tahun 1980, perbandingan tersebut adalah 4 persen berbanding 1 persen (artinya, 4 kali lipat), menjadi 9 persen berbanding 1 persen di tahun 1990 (9 kali lipat), kemudian 20 persen berbanding 3 persen dan 28 persen berbanding 4 persen di tahun 2000 dan 2005 (8 dan 7 kali lipat).

Perbandingan antar negara dan antar jender, nampak pengangguran pekerja muda di Indonesia cenderung

lebih tinggi daripada ASEAN dan dunia, untuk periode 1995-2009 (Tabel 14). Pengangguran pekerja muda yang terendah sebesar 20 persen terjadi pada tahun 1995 dan yang tertinggi terjadi pada tahun 2008. Selanjutnya pada tahun 2009, angkanya menurun menjadi 22 persen. Sedangkan angka pengangguran di ASEAN dan dunia berada pada kisaran 10-14 persen dan 12-13 persen. Pengangguran pekerja muda di Indonesia hampir dua kali lipat daripada di tingkat ASEAN dan dunia. Dalam hal jender, terlihat kelompok wanita lebih tinggi penganggurannya daripada laki-laki. Di Indonesia, pada tahun 2000, angka pengangguran wanita relatif berdekatan dengan angka pengangguran laki-laki; sekitar 20 persen. Namun setelah tahun tersebut angka untuk wanita jauh diatas angka laki-laki; 26 persen berbanding 22 persen di tahun 2008 dan sedikit menurun menjadi 23 persen berbanding 22 persen di tahun 2009. Pekerja muda laki-laki lebih banyak yang bisa bekerja daripada yang wanita. Sementara itu, angka untuk ASEAN cenderung sama polanya. Pada kurun waktu 1995-2009, penganguran pekerja muda wanita lebih tinggi daripada laki-laki dengan nilai puncak terjadi pada tahun 2008. Angka untuk wanita sebesar 11 persen di tahun 1995 meningkat menjadi 15 persen di tahun 2008, kemudian menurun menjadi 14 persen di tahun 2009. Sementara itu, angka untuk laki-laki meningkat dari 10 persen di tahun 1995, menjadi 13,8 persen di tahun 2008 dan masih meningkat lagi menjadi 13,9 persen di tahun

26 UN-DESA, Consultation preceeding the UN World Youth Report 2013.

Tabel 14. Pengangguran Kaum Muda Menurut Jender, 1995-2009

Wilayah

Total Wanita Laki-Laki % thd Ang Kerja Usia 15-24 % thd Ang Kerja Wanita Usia 15-24 % thd Ang Kerja Laki-2 Usia 15-24

1995 2000 2008 2009 1995 2000 2008 2009 1995 2000 2008 2009 Indonesia na 19.9 23.3 22.2 na 20.1 25.5 23.0 na 19.7 21.8 21.6

SE Asia 10.4 13.0 14.3 14.0 10.8 12.6 15.0 14.2 10.1 13.2 13.8 13.9 World 12.1 12.8 11.9 12.8 12.2 12.9 12.2 12.9 12.1 12.7 11.7 12.7

Sumber: Diolah dari Tabel III.15 UNESCO Statistical Yearbook for Asia and the Pacific 2011

Page 111: Modul Non Formal Ok

L-36

2009. Untuk angka dunia, cenderung mirip antara wanita dan laki-laki pada periode tersebut, keduanya berada pada kisaran 12 persen. Pada periode tersebut, angka wanita memang sedikit lebih tinggi daripada angka untuk laki-laki. Berdasarkan tingkat pendidikan, pengangguran pekerja muda yang terbanyak adalah yang tamat SMA dan yang tamat perguruan tinggi (Tabel 15). Pada tahun 2002, tingkat pengangguran kaum muda yang sudah menamatkan SMA sebesar 41,1 persen, sedangkan tingkat pengangguran lulusan perguruan tinggi sekitar 39,4 persen. Tingkat pengangguran pekerja muda dengan latar belakang pendidikan tinggi tetap tinggi dan cenderung terus meningkat. Situasi ini menunjukkan semakin banyaknya pencari kerja yang memiliki pendidikan lebih tinggi. Pengangguran pekerja muda dengan pendidikan tinggi dapat dilihat dari jumlah lulusan baru yang mencari pekerjaan untuk pertama kali. Tingkat pengangguran pekerja muda (15-24 tahun) di antara para lulusan SMP berada pada tingkat 9,8 persen pada tahun 1985 dan meningkat menjadi 18,2 persen pada tahun 2000. Penggangguran lulusan SMA dan perguruan tinggi berfluktuasi, 31,9 sampai 33,9 persen dan 20,5 persen sampai 35,8 persen. Angka-angka ini menunjukkan adanya tingkat pengangguran yang tinggi di Kaum Muda terdidik. Meskipun terdapat tingkat pengangguran yang tinggi yang terkonsentrasi

di kalangan orang muda terdidik, ada beberapa hal yang tetap konsisten, pertama, tingkat partisipasi dalam angkatan kerja (TPAK) cenderung meningkat seiring meningkatnya pendidikan sehingga persaingan menjadi semakin ketat di antara mereka yang memiliki pendidikan lebih tinggi. Kedua, tidak dapat dipungkiri bahwa tingkat pendidikan penduduk

Indonesia di perkotaan dan pedesaan mengalami peningkatan yang pesat selama 4 dasawarsa terakhir ini. Ketiga, meskipun tingkat pengangguran terlihat lebih tinggi di antara Kaum Muda dengan pendidikan tinggi, jumlah mereka sesungguhnya lebih sedikit dibandingkan dengan pengangguran di kalangan mereka yang berpendidikan lebih rendah. Penelitian yang dilakukan Kemenakertrans27 mengumpulkan data dari lulusan sekolah menengah kejuruan dan umum. Hasilnya menunjukkan bahwa para lulusan ini menghadapi tiga macam kesulitan ketika mencari pekerjaan, yaitu pertama, persaingan di antara para pencari kerja sebesar 41,4 persen. Kedua. pendidikan yang tidak sesuai dengan pekerjaan yang dikehendaki sebesar 16,6 persen, dan, ketiga, keterampilan yang terbatas sebesar 12,8 persen. Adanya halangan-halangan seperti ini menyebabkan banyak pekerja muda yang mencari jalan pintas di luar sistem untuk mendapatkan pekerjaan. Hal itu dikuatkan dengan ditemukannya sebagian lulusan sekolah menengah mendapatkan pekerjaan tanpa melalui tes (40 persen dari jumlah pekerja). Studi pelacakan itu juga menunjukkan bahwa sumber-sumber informasi mengenai adanya suatu kesempatan kerja berasal dari anggota keluarga (47 persen), karyawan perusahaan (20 persen), dan perusahaan itu sendiri (14,9 persen). Surat lamaran kerja diperoleh langsung dari perusahaan (67,7 persen) atau melalui anggota keluarga (16,6 persen). Pola pengangguran pekerja muda ini mirip dengan yang terjadi di pekerja dewasa. Bila pada pekerja muda, proporsi tertinggi penganguran di mereka yang berpendidikan menengah atas.

27 Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Republik Indonesia. 1999, Penelitian Penelusuran Lulusan SMU dan SMK di Pasar Kerja. Jakarta

Tabel 15. Pengangguran Muda dan Dewasa menurut Tingkat Pendidikan,1985-2002(%)

Sekolah 1985 1990 1995 2000 2002

15-24 >24

15-24 >24

15-24 >24

15-24 >24

15-24 >24

Tdk sekolah 1.2 0.5 2.2 0.8 nd nd 3.9 0.4 15.1 3.8 Tdk tmt SD 1.9 0.9 2.5 0.8 7.6 2.3 7.4 1.8 18.7 4.0 SD 3.3 1.1 3.1 0.9 9.6 2.8 12.4 2.4 21.9 3.7 SMP 9.8 4.3 7.8 3.3 16.6 5.5 18.2 8.6 28.0 5.0 SMA 31.1 7,0 27.3 7.8 33.6 12.3 33.9 12.4 41.1 7.6 PT 20.5 11.3 31.4 17.2 40.8 23.1 35.8 20.9 39.4 8.0 Catatan: 15-24 tahun = Pengangguran Muda >24 tahun = Pengangguran Dewasa Sumber : Sensus Penduduk 1990, 2000, SUPAS 1985, 1995

L-35

informal kembali meningkat dan sektor formal menurun. Sementara persentase pekerja muda di tahun 2000 yang bekerja di sektor informal nampak terjadi penurunan; sebaliknya yang bekerja di sektor formal justru meningkat. Sebaliknya, di tahun 2002, terjadi peningkatan persentase pekerja muda yang bekerja di sektor informal. Pola tersebut sedikit berbeda dengan kondisi pekerja dewasa (berusia >25 tahun). Untuk periode 1995-2000, pekerja dewasa yang bekerja di sektor informal meningkat dan yang bekerja di sektor formal malah menurun. Nampaknya hal Ini bisa dianggap sebagai suatu indikasi terjadinya pergeseran status tenaga kerja dewasa dari sektor formal ke sektor informal akibat krisis ekonomi 1997-1998. Meskipun demikian, selama periode tersebut pada pekerja muda tidak terjadi pergeseran yang sama seperti yang terjadi pada pekerja dewasa. Seperti yang umum diketahui bahwa selama periode krisis tersebut, terjadi pemutusan hubungan kerja besar-besaran. Namun pekerja dewasa yang diPHK bisa dengan cepat bergeser ke sektor informal karena mereka memiliki kapasitas dan kemampuan untuk melakukan hal tersebut. Kondisi berbeda dihadapi oleh pekerja muda yang di-PHK. Mereka membutuhkan waktu lebih lama untuk bergeser ke sektor informal26. Seperti telah disebutkan diatas bahwa tingkat partisipasi kerja pekerja muda senantiasa dibawah dari tingkat partisipasi pekerja dewasa. Dengan demikian, artinya pekerja muda selalu kalah bersaing dengan pekerja dewasa sehingga pengangguran terbuka di kalangan pekerja muda akan lebih tinggi daripada pekerja dewasa. Pada tabel 12, jarak pengangguran terbuka pekerja muda dengan pekerja dewasa semakin membesar. Jika pada tahun 1971 perbedaan pengangguran di pekerja muda dengan pekerja dewasa 12 persen berbanding 7 persen, maka pada tahun-tahun selanjutnya perbandingan tersebut semakin timpang. Pada tahun 1980, perbandingan tersebut adalah 4 persen berbanding 1 persen (artinya, 4 kali lipat), menjadi 9 persen berbanding 1 persen di tahun 1990 (9 kali lipat), kemudian 20 persen berbanding 3 persen dan 28 persen berbanding 4 persen di tahun 2000 dan 2005 (8 dan 7 kali lipat).

Perbandingan antar negara dan antar jender, nampak pengangguran pekerja muda di Indonesia cenderung

lebih tinggi daripada ASEAN dan dunia, untuk periode 1995-2009 (Tabel 14). Pengangguran pekerja muda yang terendah sebesar 20 persen terjadi pada tahun 1995 dan yang tertinggi terjadi pada tahun 2008. Selanjutnya pada tahun 2009, angkanya menurun menjadi 22 persen. Sedangkan angka pengangguran di ASEAN dan dunia berada pada kisaran 10-14 persen dan 12-13 persen. Pengangguran pekerja muda di Indonesia hampir dua kali lipat daripada di tingkat ASEAN dan dunia. Dalam hal jender, terlihat kelompok wanita lebih tinggi penganggurannya daripada laki-laki. Di Indonesia, pada tahun 2000, angka pengangguran wanita relatif berdekatan dengan angka pengangguran laki-laki; sekitar 20 persen. Namun setelah tahun tersebut angka untuk wanita jauh diatas angka laki-laki; 26 persen berbanding 22 persen di tahun 2008 dan sedikit menurun menjadi 23 persen berbanding 22 persen di tahun 2009. Pekerja muda laki-laki lebih banyak yang bisa bekerja daripada yang wanita. Sementara itu, angka untuk ASEAN cenderung sama polanya. Pada kurun waktu 1995-2009, penganguran pekerja muda wanita lebih tinggi daripada laki-laki dengan nilai puncak terjadi pada tahun 2008. Angka untuk wanita sebesar 11 persen di tahun 1995 meningkat menjadi 15 persen di tahun 2008, kemudian menurun menjadi 14 persen di tahun 2009. Sementara itu, angka untuk laki-laki meningkat dari 10 persen di tahun 1995, menjadi 13,8 persen di tahun 2008 dan masih meningkat lagi menjadi 13,9 persen di tahun

26 UN-DESA, Consultation preceeding the UN World Youth Report 2013.

Tabel 14. Pengangguran Kaum Muda Menurut Jender, 1995-2009

Wilayah

Total Wanita Laki-Laki % thd Ang Kerja Usia 15-24 % thd Ang Kerja Wanita Usia 15-24 % thd Ang Kerja Laki-2 Usia 15-24

1995 2000 2008 2009 1995 2000 2008 2009 1995 2000 2008 2009 Indonesia na 19.9 23.3 22.2 na 20.1 25.5 23.0 na 19.7 21.8 21.6

SE Asia 10.4 13.0 14.3 14.0 10.8 12.6 15.0 14.2 10.1 13.2 13.8 13.9 World 12.1 12.8 11.9 12.8 12.2 12.9 12.2 12.9 12.1 12.7 11.7 12.7

Sumber: Diolah dari Tabel III.15 UNESCO Statistical Yearbook for Asia and the Pacific 2011

Page 112: Modul Non Formal Ok

L-37

Sedangkan pada pekerja dewasa yang tertinggi berpendidikan perguruan tinggi. Sementara itu pula, pengangguran pekerja dewasa berpendidikan menengah keatas dan perguruan tinggi mencapai puncaknya di tahun 1995 dan 2000 untuk kemudian menurun. Sedangkan pengangguran pekerja muda mulai tahun 1995 mencapai angka sekitar 40 persen. Untuk lokasi tempat tinggal, pengangguran pekerja muda relatif terhadap pekerja dewasa28 menunjukkan gambaran yang menarik (Gambar-1). Secara umum, proporsi pengangguran

pekerja muda mengalami peningkatan dari tahun 1971 ke tahun 2002, mulai kurang dari 40 persen sampai mencapai 60-70 persen. Pada mulanya, di daerah perkotaan lebih tinggi daripada di pedesaan. Proporsi di perkotaan ini mencapai puncaknya di tahun 1976, kemudian terus menurun meskipun tidak sampai serendah posisi di tahun 1971. Sementara itu di gambaran pedesaan, pada awalnya lebih rendah daripada di perkotaan. Kemudian mencapai titik tertinggi di tahun 1985 dan selanjutnya menurun dan juga tidak pernah mencapai titik seperti di tahun 1971 lagi. Namun

demikian, posisi pedesaan tidak pernah dibawah posisi perkotaan setelah tahun 1985. Tingginya rasio pengangguran kaum muda dibandingkan jumlah pengangguran secara keseluruhan mencerminkan betapa sulitnya para pencari kerja muda mendapatkan pekerjaan. Tenaga kerja muda lebih mudah dipengaruhi oleh benturan-benturan yang terjadi di pasar tenaga kerja dibandingkan pekerja dewasa. Orang muda dengan kualifikasi yang rendah memiliki kesulitan yang lebih besar untuk mendapatkan pekerjaan yang tetap. Selain itu, tidak ada kontak yang bagus antara sekolah dengan dunia usaha, dan akibatnya persyaratan (kualifikasi) dan keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan oleh dunia industri tidak dipelajari oleh kaum muda yang sedang duduk di bangku sekolah. Dampak Sosial Drop-Out Sekolah dan Pengangguran Muda Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, idealnya Kaum Muda berada pada situasi belajar atau bekerja yang baik (decent work)29. Namun demikian, karena berbagai sebab, Kaum Muda ternyata tidak lagi bersekolah sekaligus juga tidak bekerja. Dalam hal ini, ternyata bersekolah juga bukan pilihan yang nyaman. Buruknya lingkungan fisik sekolah menghambat Kaum Muda untuk menyalurkan energi mudanya untuk mengurangi stres psikologis mereka. Sejalan dengan hal itu, target-target nasional yang tidak sejalan dengan kondisi dan kebijakan lokal dipaksakan wajib diselesaikan oleh mereka, dengan sangat sedikit bantuan yang menyertai mereka. Ujian Nasional sebagai salah satu contoh yang masih hangat terjadi belakangan ini. Justru setiap tiga tahun sekali selama perode sekolah menengah, mereka dihantui oleh ujian nasional. Padahal perode sekolah menengah adalah periode kritis pembentukan kepribadian Kaum Muda. Bagaikan ritual momok menakutkan, ujian nasional meluluhlantakkan kegembiraan Kaum Muda dalam menikmati masa-masa bahagia di bangku sekolah. Motto “sekolah jangan menganggu main” ternyata telah gagal total diwujudkan oleh masa kependidikan mereka. Motto itu bermakna bahwa periode sekolah harus dilakukan dengan riang dan sukacita bak suasana bermain yang penuh kegembiraan. Bersekolah berarti menuju suasana riang gembira.

28 Pengangguran pekerja muda usia 15-24 terhadap total pengangguran pekerja dewasa usia >24 tahun. 29 ILO - Global Employment Trends For Youth August 2010 special issue on the impact of the global economic crisis on youth.

Gambar-1

Gambar-1

Page 113: Modul Non Formal Ok

L-38

Dalam istilah Kaum Muda jaman kini situasi yang mereka hadapi itu disebut “galau”. Kegalauan berbeda dengan rasa takut, karena takut adalah kekhawatiran diri karena sesuatu yang diketahui penyebabnya, sedangkan galau adalah depresi atau kekhawatiran diri karena sesuatu yang kadang tidak diketahui penyebabnya karena hal tersebut merupakan kondisi psikologi seseorang yang semrawut30. Bersamaan dengan buruknya situasi-diri Kaum Muda dalam bersekolah, situasi-kondisi lingkungan sosial memberikan beban ekstra kepada mereka. Itulah dunia-lain diluar dunia sekolah mereka. Juga berarti dunia kerja yang terpaksa mereka hadapi karena tidak bisa memilih untuk tetap berada di dunia sekolah. Dunia kerja di masyarakat era teknologi maju seperti saat ini membutuhkan orang yang kompeten dan trampil untuk mengelola teknologi tadi. Artinya, Kaum Muda dihadapkan pada lingkungan yang segala sesuatunya berubah secara cepat. Mereka dibanjiri oleh informasi yang begitu banyak dan terkadang terlalu cepat untuk mereka serap dan fahami sehingga menimbulkan information overload. Ketidakmampuan Kaum Muda mengikuti perkembangan teknologi yang sedemikian cepat bisa membuat mereka merasa gagal, malu, kehilangan harga diri, dan mengalami gangguan emosional. Akibat yang timbul adalah perasaan terasing, keputusasaan, absurditas, problem identitas dan masalah-masalah yang berhubungan dengan benturan budaya. Ini adalah gejala umum di akhir abad keduapuluh. Beban tersebut semakin meruncing dengan berkembangnya keinginan untuk menyamakan perlakuan dan harapan terhadap Kaum Muda dengan orang dewasa. Kaum Muda masa kini mengalami banjir stres yang datang dari perubahan sosial yang cepat dan membingungkan serta harapan masyarakat yang menginginkan mereka melakukan berbagai peran dewasa sebelum mereka masak secara psikologis untuk menghadapinya. Tekanan-tekanan tersebut menimbulkan akibat seperti kegagalan di sekolah, penyalahgunaan obat-obatan, depresi, keluhan-keluhan somatik dan kesedihan yang kronis, dan bahkan sampai bunuh diri. Faktor kondisi lingkungan sosial yang tidak sehat atau “rawan”, dapat merupakan faktor yang kondusif bagi Kaum Muda untuk berperilaku menyimpang. Ada 2 (dua) hal yang perlu diperhatikan disini, yaitu, pertama, kerawanan masyarakat, dan kedua, daerah rawan (gangguan kamtibmas). Dalam hal kerawanan masyarakat (lingkungan) yang perlu dicermati antara lain: tempat hiburan yang buka hingga larut malam bahkan sampai dini hari. Peredaran alkohol, narkotika, obat-obatan terlarang lainnya. Pengangguran. Anak putus sekolah dan/atau anak jalanan. Lokalisasi PSK. Beredarnya bacaan, tontonan, TV, Majalah, dan lain-lain yang megandung kekerasan dan pornografis. Perumahan padat dan kumuh yang rawan tindak kekerasan dan kriminalitas. Kesenjangan sosial. Daerah Rawan Gangguan Kantibmas perlu dengan teratur mencermati persoalan Penyalahgunaan alkohol, narkotika dan zat aditif lainnya. Perkelahian perorangan atau berkelompok. Balapan Liar dan Kebut-kebutan. Pencurian, perampasan, penodongan, pengompasan, perampokan. Perkosaan, pembunuhan dan tindak kekerasan lainnya. Pengrusakan, Coret-coret dan vandalisme lainnya. Kondisi psikososial tersebut merupakan faktor yang kondusif bagi terjadinya kenakalan Kaum Muda dimanapun adanya. Di bagian selanjutnya di bawah ini akan diperlihatkan dua tantangan yang dianggap paling aktual bagi Kaum Muda, yaitu masalah kesehatan reproduksi dan kepungan persoalan penyalahgunaan obat terlarang. 30 Arnet JJ(Ed), 2007, International Encyclopedia of Adolescence, London, Routledge Taylor and Francis Group.

L-37

Sedangkan pada pekerja dewasa yang tertinggi berpendidikan perguruan tinggi. Sementara itu pula, pengangguran pekerja dewasa berpendidikan menengah keatas dan perguruan tinggi mencapai puncaknya di tahun 1995 dan 2000 untuk kemudian menurun. Sedangkan pengangguran pekerja muda mulai tahun 1995 mencapai angka sekitar 40 persen. Untuk lokasi tempat tinggal, pengangguran pekerja muda relatif terhadap pekerja dewasa28 menunjukkan gambaran yang menarik (Gambar-1). Secara umum, proporsi pengangguran

pekerja muda mengalami peningkatan dari tahun 1971 ke tahun 2002, mulai kurang dari 40 persen sampai mencapai 60-70 persen. Pada mulanya, di daerah perkotaan lebih tinggi daripada di pedesaan. Proporsi di perkotaan ini mencapai puncaknya di tahun 1976, kemudian terus menurun meskipun tidak sampai serendah posisi di tahun 1971. Sementara itu di gambaran pedesaan, pada awalnya lebih rendah daripada di perkotaan. Kemudian mencapai titik tertinggi di tahun 1985 dan selanjutnya menurun dan juga tidak pernah mencapai titik seperti di tahun 1971 lagi. Namun

demikian, posisi pedesaan tidak pernah dibawah posisi perkotaan setelah tahun 1985. Tingginya rasio pengangguran kaum muda dibandingkan jumlah pengangguran secara keseluruhan mencerminkan betapa sulitnya para pencari kerja muda mendapatkan pekerjaan. Tenaga kerja muda lebih mudah dipengaruhi oleh benturan-benturan yang terjadi di pasar tenaga kerja dibandingkan pekerja dewasa. Orang muda dengan kualifikasi yang rendah memiliki kesulitan yang lebih besar untuk mendapatkan pekerjaan yang tetap. Selain itu, tidak ada kontak yang bagus antara sekolah dengan dunia usaha, dan akibatnya persyaratan (kualifikasi) dan keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan oleh dunia industri tidak dipelajari oleh kaum muda yang sedang duduk di bangku sekolah. Dampak Sosial Drop-Out Sekolah dan Pengangguran Muda Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, idealnya Kaum Muda berada pada situasi belajar atau bekerja yang baik (decent work)29. Namun demikian, karena berbagai sebab, Kaum Muda ternyata tidak lagi bersekolah sekaligus juga tidak bekerja. Dalam hal ini, ternyata bersekolah juga bukan pilihan yang nyaman. Buruknya lingkungan fisik sekolah menghambat Kaum Muda untuk menyalurkan energi mudanya untuk mengurangi stres psikologis mereka. Sejalan dengan hal itu, target-target nasional yang tidak sejalan dengan kondisi dan kebijakan lokal dipaksakan wajib diselesaikan oleh mereka, dengan sangat sedikit bantuan yang menyertai mereka. Ujian Nasional sebagai salah satu contoh yang masih hangat terjadi belakangan ini. Justru setiap tiga tahun sekali selama perode sekolah menengah, mereka dihantui oleh ujian nasional. Padahal perode sekolah menengah adalah periode kritis pembentukan kepribadian Kaum Muda. Bagaikan ritual momok menakutkan, ujian nasional meluluhlantakkan kegembiraan Kaum Muda dalam menikmati masa-masa bahagia di bangku sekolah. Motto “sekolah jangan menganggu main” ternyata telah gagal total diwujudkan oleh masa kependidikan mereka. Motto itu bermakna bahwa periode sekolah harus dilakukan dengan riang dan sukacita bak suasana bermain yang penuh kegembiraan. Bersekolah berarti menuju suasana riang gembira.

28 Pengangguran pekerja muda usia 15-24 terhadap total pengangguran pekerja dewasa usia >24 tahun. 29 ILO - Global Employment Trends For Youth August 2010 special issue on the impact of the global economic crisis on youth.

Gambar-1

Gambar-1

Page 114: Modul Non Formal Ok

L-39

Perkawinan dan Kehamilan Perkawinan adalah peristiwa penting menuju ke fase kedewasaan seseorang. Di banyak Negara, termasuk Indonesia, perkawinan adalah pintu masuk seseorang pada siklus kehidupan reproduksi. Hubungan perkawinan, kehamilan, dan mengasuh anak akan diterima masyarakat luas jika dilakukan dalam institusi perkawinan yang diakui oleh Negara. Persoalan perkawinan, mengasuh anak dan fertilitas remaja merupakan urusan penting kependudukan, kesehatan dan sosial. Remaja yang terlalu dini melahirkan beresiko buruk secara demografi dan sosial. Anak yang dilahirkan oleh ibu yang terlalu muda mempertinggi resiko sakit dan bahkan kematian. Remaja putri, terutama yang berusia kurang dari 18 tahun, lebih terpapar kepada dampak buruk kehamilan dan kematian yang terkait dibanding dengan yang lebih dewasa. Disamping itu, terlalu dini mengasuh anak akan membatasi kesempatan belajar dan memperoleh pekerjaan. Berdasarkan Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan maka batas usia menikah untuk laki-laki adalah 19 tahun dan untuk wanita adalah 16 tahun. Perbedaan penetapan usia nikah pertama kali antara laki-laki dan wanita, serta kurang perlindungan bagi wanita menghadapi tradisi pernikahan usia dini merupakan praktik yang merugikan dan membahayakan kesehatan fisik dan psikis wanita. Peraturan ini juga tidak sesuai dengan dengan ketentuan internasional, terutama ketentuan CEDAW dan Konvensi Hak-Hak Anak. Dalam konteks kesetaraan jender, CEDAW menuntut setiap pemerintah agar melakukan upaya menghapus diskriminasi terhadap wanita yang berkaitan dengan perkawinan dan perlakuan antar sesama anggota keluarga, khususnya persamaan hak dalam memutuskan waktu menikah. Konvensi Hak-Hak Anak menentukan 18 tahun sebagai usia minimum untuk menikah bagi laki-laki maupun wanita. Disamping itu, jika diperhatikan secara kritis, Undang-Undang Perkawinan juga bertentangan dengan Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA). Siapa saja, menurut UUPA, yang berusia dibawah 18 tahun masuk dalam katagori sebagai anak. UUPA pasal 26 menyebutkan bahwa para orang tua bertanggungjawab untuk mencegah pernikahan di bawah umur. Saat ini tengah dilakukan pembahasan awal tentang inisiatif untuk perubahan pasal undang undang perkawinan tentang batasan usia menikah pertama bagi wanita di Indonesia. Di Indonesia bahwa usia perkawinan pertama terus meningkat selama dua dekade terakhir. Sejak tahun 1991, rata-rata usia menikah telah meningkat dari 17 tahun ke 19 tahun. Meskipun demikian, pernikahan anak wanita yang berusia 15 tahun ke bawah, masih banyak terjadi di Indonesia, terutama di daerah pedesaan. Sedangkan jumlah kehamilan usia dini sangat bervariasi antar propinsi. Sejalan dengan kondisi tersebut, juga terjadi penurunan proporsi wanita yang melahirkan pada usia 15 tahun atau lebih muda. Perkiraan saat ini menunjukkan kurang dari 1 persen wanita melahirkan pada usia dini, dibandingkan dengan 7 persen yang terjadi 30 tahun yang lalu. Lebih jauh data tahun 2007 juga memperlihatkan adanya peningkatan proporsi usia remaja yang memiliki anak. Hanya terdapat 1 persen remaja berusia 15 tahun yang memiliki anak, semengara 20 persen wanita yang berusia 19 tahun sedang hamil atau punya anak pertama. Pada tahun 2002-2003, persentase wanita usia 18 tahun atau kurang yang mulai hamil berkisar 6,3 persen. Angka ini hampir tidak berubah pada tahun 2007, wanita yang mulai hamil sebanyak 6,2 persen. Berdasarkan tempat tinggal dan latar balakang sosial ekonomi, tingkat kesuburan antara remaja menunjukkan perbedaan yang kontras. Proporsi remaja wanita yang tinggal di pedesaan dan

Page 115: Modul Non Formal Ok

L-40

telah hamil jauh lebih tinggi daripada mereka yang tinggal di perkotaan. Juga, mereka yang berpendidikan rendah cenderung lebih dulu hamil dibandingkan dengan yang berpendidikan tinggi. Mereka yang berasal dari keluarga yang kurang mampu akan cenderung hamil lebih dini daripada mereka yang berasal dari keluarga lebih mampu. Program keluarga berencana yang dimulai sejak 1970-an mengembangkan program promosi pendewasaan usia kawin. Promosi ini pada dasarnya adalah upaya edukasi kepada orang tua dan generasi muda untuk menghindari perkawinan dini. Usia minimal perkawinan yang dianjurkan bagi wanita adalah 20 tahun. Program promosi ini dilakukan baik melalu jalur pendidikan formal, non formal, dan informal di dalam kerangka pendidikan kependudukan dan kesehatan reproduksi remaja oleh pemerintah maupun NGOs. Pada tahun 2000, pemerintah menjadikan program kesehatan reproduksi remaja sebagai program nasional. Tujuannya adalah untuk mempersiapkan remaja agar dapat mempertanggungjawabkan perilakunya dalam hal kesehatan reproduksi termasuk merencanakan usia menikah. Program ini terfokus pada pemberian informasi dan konseling bagi remaja perihal kesehatan reproduksi. Di sektor pemerintah, program kesehatan reproduksi remaja terutama dilaksanakan oleh BKKBN, Departemen Kesehatan, Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Agama dan Departemen Sosial. Sebagai contoh, Departemen Kesehatan berfokus pada penyiapan puskesmas sebagai pusat rujukan, sedangkan BKKBN berfokus pada pemberdayaan remaja melalui kelompok masyarakat. Pelayanan kesehatan reproduksi remaja dilaksanakan melalui Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja di beberapa pusat kesehatan sebagai percobaan dan Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja atau PKPR yang diperkenalkan pada masyarakat di beberapa daerah. Sudah sejak lama telah banyak NGOs baik yang berafiliasi dengan faith based organization maupun non faith based organization sangat aktif untuk memberikan informasi dan pelayanan kesehatan remaja kepada orang orang muda. Keluarga Berencana Hampir semua Kaum Muda yang menikah telah mengetahui jenis kontrasepsi yang ada. Lebih dari 97 persen dari mereka mengetahui salah satu metode kontrasepsi maupun salah satu metode kontrasepsi modern. Sumber informasi mereka yang terbanyak dari televisi yang disebutkan oleh 26 persen wanita menikah berusia 15-24 tahun. Sumber informasi dari media cetak juga dikenal luas. Mereka yang membaca poster sebanya 14 persen, yang membaca koran atau maja;ah 11 persen. Dari sumber informasi radio disebutkan oleh 10 persen wanita. Porsi sumber informasi yang berasal dari kamunikasi langsung antar manusia ternyata lebih kecil dibandingkan dari sumber informasi umum tadi. Penggunaan kontrasepsi sangat berperan untuk mengatur pola kelahiran Kaum Muda yang terlanjur menikah. Penggunaan kontrasepsi dapat menunda kelahiran anak pertama mereka. Karena itu promosi penundaan kehamilan anak pertama dan pemakaian alat kontrasepsi yang rasional, efektif dan efisien untuk Kaum Muda akan berdampak positif pada pengaturan tingkat kelahiran dan peningkatan kesehatan ibu dan kesejahteraan Kaum Muda. Pada tahun 2007, wanita menikah berusia 15-19 tahun yang telah menggunakan kontrasepsi sebanyak 46,8 persen, yang berusia 20-24 tahun adalah 61,5 persen. Angka-angka ini tidak terlalu berbeda dengan kondisi tahun 2003 dan jauh lebih tinggi daripada kondisi tahun 1991. Potensi tinggi penggunaan kontrasepsi di antara kelompok wanita usia 15-24 tahun masih mungkin ditingkatkan. Sebenarnya, masih cukup banyak wanita pada kelompok ini yang ingin

L-39

Perkawinan dan Kehamilan Perkawinan adalah peristiwa penting menuju ke fase kedewasaan seseorang. Di banyak Negara, termasuk Indonesia, perkawinan adalah pintu masuk seseorang pada siklus kehidupan reproduksi. Hubungan perkawinan, kehamilan, dan mengasuh anak akan diterima masyarakat luas jika dilakukan dalam institusi perkawinan yang diakui oleh Negara. Persoalan perkawinan, mengasuh anak dan fertilitas remaja merupakan urusan penting kependudukan, kesehatan dan sosial. Remaja yang terlalu dini melahirkan beresiko buruk secara demografi dan sosial. Anak yang dilahirkan oleh ibu yang terlalu muda mempertinggi resiko sakit dan bahkan kematian. Remaja putri, terutama yang berusia kurang dari 18 tahun, lebih terpapar kepada dampak buruk kehamilan dan kematian yang terkait dibanding dengan yang lebih dewasa. Disamping itu, terlalu dini mengasuh anak akan membatasi kesempatan belajar dan memperoleh pekerjaan. Berdasarkan Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan maka batas usia menikah untuk laki-laki adalah 19 tahun dan untuk wanita adalah 16 tahun. Perbedaan penetapan usia nikah pertama kali antara laki-laki dan wanita, serta kurang perlindungan bagi wanita menghadapi tradisi pernikahan usia dini merupakan praktik yang merugikan dan membahayakan kesehatan fisik dan psikis wanita. Peraturan ini juga tidak sesuai dengan dengan ketentuan internasional, terutama ketentuan CEDAW dan Konvensi Hak-Hak Anak. Dalam konteks kesetaraan jender, CEDAW menuntut setiap pemerintah agar melakukan upaya menghapus diskriminasi terhadap wanita yang berkaitan dengan perkawinan dan perlakuan antar sesama anggota keluarga, khususnya persamaan hak dalam memutuskan waktu menikah. Konvensi Hak-Hak Anak menentukan 18 tahun sebagai usia minimum untuk menikah bagi laki-laki maupun wanita. Disamping itu, jika diperhatikan secara kritis, Undang-Undang Perkawinan juga bertentangan dengan Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA). Siapa saja, menurut UUPA, yang berusia dibawah 18 tahun masuk dalam katagori sebagai anak. UUPA pasal 26 menyebutkan bahwa para orang tua bertanggungjawab untuk mencegah pernikahan di bawah umur. Saat ini tengah dilakukan pembahasan awal tentang inisiatif untuk perubahan pasal undang undang perkawinan tentang batasan usia menikah pertama bagi wanita di Indonesia. Di Indonesia bahwa usia perkawinan pertama terus meningkat selama dua dekade terakhir. Sejak tahun 1991, rata-rata usia menikah telah meningkat dari 17 tahun ke 19 tahun. Meskipun demikian, pernikahan anak wanita yang berusia 15 tahun ke bawah, masih banyak terjadi di Indonesia, terutama di daerah pedesaan. Sedangkan jumlah kehamilan usia dini sangat bervariasi antar propinsi. Sejalan dengan kondisi tersebut, juga terjadi penurunan proporsi wanita yang melahirkan pada usia 15 tahun atau lebih muda. Perkiraan saat ini menunjukkan kurang dari 1 persen wanita melahirkan pada usia dini, dibandingkan dengan 7 persen yang terjadi 30 tahun yang lalu. Lebih jauh data tahun 2007 juga memperlihatkan adanya peningkatan proporsi usia remaja yang memiliki anak. Hanya terdapat 1 persen remaja berusia 15 tahun yang memiliki anak, semengara 20 persen wanita yang berusia 19 tahun sedang hamil atau punya anak pertama. Pada tahun 2002-2003, persentase wanita usia 18 tahun atau kurang yang mulai hamil berkisar 6,3 persen. Angka ini hampir tidak berubah pada tahun 2007, wanita yang mulai hamil sebanyak 6,2 persen. Berdasarkan tempat tinggal dan latar balakang sosial ekonomi, tingkat kesuburan antara remaja menunjukkan perbedaan yang kontras. Proporsi remaja wanita yang tinggal di pedesaan dan

Page 116: Modul Non Formal Ok

L-41

berKB, namun, karena satu dan lain hal, saat ini belum berKB. Kondisi ini dikenal dengan istilah unmet need. Pola penggunaan kontrasepsi termasuk unmet need berkaitan erat dengan kehamilan yang tidak diinginkan. Pada tahun 2007, pada kelompok wanita usia kurang dari 20 tahun diketahui 9,7 persen kehamilan atau kelahiran yang telah terjadi pada saat itu tidak dikehendaki. Pada kelompok usia 20-24 tahun angkanya sedikit lebih tinggi yaitu 13,3 persen. Hubungan Seksual Pra-Nikah Sampai saat ini masih terjadi perdebatan besar di banyak kalangan terntang perkiraan proporsi Kaum Muda yang belum menikah tapi telah aktif secara seksual. Banyak penelitian pada skala kecil yang dilakukan pada kelompok masyarakat tertentu --misalnya siswa sekolah menengah di daerah perkotaan atau remaja yang sering berkumpul di diskotik-- mendapatkan angka yang sangat berbeda satu dengan yang lain dengan variasi antara 30-70 persen. Indonesia telah dua kali melakukan survey secara nasional terkait dengan isu ini yaitu Indonesia Young Adult Reproductive Health (IYARH) pada tahun 2003 dan 2007. Survey ini diintegrasikan dengan Indonesia Demographic Health Survey. Kedua survey tersebut mendapatkan angka hubungan seksual pra-nikah wanita usia 15-24 tahun sebesar 1,1 persen dan untuk laki-laki sebesar 8,6 persen pada tahun 2007. Untuk tahun 2003, angkanya adalah 1 persen untuk wanita dan 5 persen untuk laki-laki. Angka ini dipandang oleh banyak pihak kurang menggambarkan keadaan yang sesungguhnya. Masih tentang IYARH, survey tersebut juga mengumpulkan informasi perilaku pacaran yang sudah menjurus kepada hubungan seksual. Survey ini mendapatkan 9,1 persen wanita melakukan petting pada masa pacaran dan 26,5 persen laki-laki. Kesulitan mendapatkan data hubungan seksual pra-nikah yang akurat ini terkait erat dengan kendala sensitif secara sosial dan metodologi (sampling and non sampling error). Suatu penelitian yang pernah dilakukan di Indonesia dengan membandingkan pertanyaan tentang pengalaman melakukan hubungan sexual sebelum menikah dengan responden mereka yang sudah menikah dan mereka yang belum menikah. Penelitian tersebut menemukan hasil yang berbeda. Responden yang menikah cenderung menyatakan pernah melakukan hubungan seksual pra-nikah dibandingkan responden yang belum menikah. Data dari 4 propoinsi di Indonesia menunjukkan bahwa 12 persen laki-laki menikah dan 5 persen wanita menikah pernah melakukan hubungan pra-nikah. Sementara 3 persen laki-laki dan 1 persen wanita yang belum menikah yang menyatakan pernah melakukan hubungan seksual pra-nikah. Berapapun sebenarnya angka yang ada di masyarakat, isu hubungan seksual pra-nikah saat ini menarik perhatian banyak kalangan seperti tokoh agama, tokoh masyarakat, pendidik, politisi, maupun pengambil kebijakan. Prhatian terbesar mereka itu adalah melindungi Kaum Muda dari perilaku hubungan seksual pra-nikah melalui peningkatan berpantang hubungan seksual. Hal ini akan memperkuat pencegahan tingkah laku beresiko, terutama demi pencegahan HIV/AIDS. IYARH memperlihatkan bahwa tingkat pengetahuan Kaum Muda seputar kesehatan reproduksi masih relative rendah. Sebagai contoh hanya sekitar 25 persen Kaum Muda yang memiliki pengetahuan yang benar tentang masa subur yang dapat menyebabkan kehamilan di dalam siklus menstruasi wanita. Hanya sekitar 52 persen Kaum Muda yang memiliki pengetahuan yang benar tentang risiko kehamilan. Sejalan dengan itu, program kesehatan reproduksi remaja di Indonesia lebih banyak menggunakan pendekatan kelompok yang memberikan KIE kesehatan reproduksi kepada Kaum Muda yang tergabung sebagai anggota kelompok yang

Page 117: Modul Non Formal Ok

L-42

telah ada di dalam masyakat seperti misalnya pramuka, kelompok pengajian, karang taruna dsb. Peraturan yang ada di UU No.52 tahun 2009 tentang kependukan dan keluarga sejahtera menyebutkan bahwa Kamu Muda yang sudah aktif secara seksual sebelum menikah tidak dimungkinkan untuk mendapatkan pelayanan kontrasepsi. Dalam kaitan ini maka pemerintah juga tidak dimungkinkan untuk menyediakan akses pelayanan kontrasepsi bagi mereka. Menyikapi keterbatasan peran pemerintah dalam mengayomi Kaum Muda yang beum menikah tetapi telah aktif secara seksual itu beberapa faith based dan non faith based LSM mengembangkan program yang innovative dan selektif. Program comprehensive sexuality education pada kondisi-kondisi tertentu diikuti dengan penyediaan kontrasepsi bagi mereka yang membutuhkan. Jika Kaum Muda yang beum neikah mengalami kehamilan maka beberapa NGO memiliki program pendampingan kehamilan, kelahiran dan pasca kelahiran. Pada kondisi tertentu, setelah melalui proses konseling yang ketat beberapa LSM memiliki program pengaturan ulang menstruasi. Kedua program tersebut dikembangkan untuk menghindari para remaja tersebut dari kondisi yang lebih buruk seperti melakukan aborsi yang tidak aman. Kehamilan yang tidak diinginkan di Kaum Muda yang belum menikah merupakan masalah kesahatan masyarakat, sosial, moral, keluarga dan pendidikan saat ini. Makin berkembangnya teknologi komunikasi dan informasi serta era keterbukaan dan globalisasi menyebabkan persoalan seksualitas Kaum Muda menjadi semakin kompleks. Ketiadaan win-win solution antara dua kutub ekstreem moralis dan pragmatis dalam melihat persoalan seksualitas dikalangan Kaum Muda yang belum neikah akan menyebabkan makin buruknya kondisi kesehatan reproduksi di kalangan Kaum Muda yang pada akhirnya akan mempengaruhi kualitas sumberdaya manusia Indonesia. Rokok dan Narkoba Sebelum membahas lebih lanjut mengenai seluk-beluk narkoba di bagian ini akna didahului dengan informasi mengenai perokok di Indonesia. Melalui rokok ini dianggap pintu masuk paling mudah bagi seseorang untuk merambah menjadi pengguna narkoba. Kenaikan prevalensi merokok tahun 2007 adalah 3 kali lipat pada Kaum Muda laki-laki dan 5 kali lipat pad Kaum Muda wanita dibandingkan tahun 1995. Beberapa hasil survey di Indonesia --seperti Riskesdas, GYTS dan GATS31-- menunjukkan pengaruh konsumsi rokok bagi kesehatan masyarakat. Menurut GATS 2011, prevalensi laki-laki merokok sebesar 67 persen dan wanita 2.7 persen. Lebih lanjut data Riskesdas 2007 menunjukkan prevalensi laki-laki perokok sebesar 65.6 persen (tertinggi di Sulawesi Tenggara 74.2%) dan wanita perokok sebesar 5.2 persen (tertinggi di NTT 9.2%). Lebih lanjut, didalam Riskesdas 2010 ditemui 34,7 persen penduduk Indonesia menjadi perokok aktif yang kebanyakan berpendidikan rendah dan mayoritas tinggal di pedesaan. Dengan penduduk Indonesia 237,56 juta (SP-2010) maka proporsi tersebut setara dengan 82 juta penduduk yang menjadi perokok aktif. Usia perokok di Indonesia kini semakin muda, bahkan telah menyentuh usia anak-anak. Riskesdas 2007 menunjukkan bahwa Kaum Muda laki-laki usia 15–19 tahun yang merokok sebesar 37.3 persen dan yang wanita sebesar 1.6 persen. Temuan GATYS 2009 menemukan 30.4 persen Kaum Muda sekolah berusia 13-15 tahun menyatakan pernah merokok; yang laki-laki sebesar 57.8 persen dan wanita 6.4 persen. Dari sejumlah tersebut, 20.3 persen adalah perokok aktif dengan proporsi laki-laki sebesar 41 persen dan wanita 3.5 persen. Sementara, 31 Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar), merupakan survey nasional kesehatan berbasis populasi yang dilakukan secara rutin setiap tiga tahun di Indonesia. GYTS (Global Youth Tobacco Survey), adalah survey berbasis sekolah untuk masalah merokok pada anak sekolah usia 13–15 tahun dan masyarakat sekolah yang telah dilakukan di beberapa Negara termasuk di Indonesia. GATS (Global Adult Tobacco Survey).

L-41

berKB, namun, karena satu dan lain hal, saat ini belum berKB. Kondisi ini dikenal dengan istilah unmet need. Pola penggunaan kontrasepsi termasuk unmet need berkaitan erat dengan kehamilan yang tidak diinginkan. Pada tahun 2007, pada kelompok wanita usia kurang dari 20 tahun diketahui 9,7 persen kehamilan atau kelahiran yang telah terjadi pada saat itu tidak dikehendaki. Pada kelompok usia 20-24 tahun angkanya sedikit lebih tinggi yaitu 13,3 persen. Hubungan Seksual Pra-Nikah Sampai saat ini masih terjadi perdebatan besar di banyak kalangan terntang perkiraan proporsi Kaum Muda yang belum menikah tapi telah aktif secara seksual. Banyak penelitian pada skala kecil yang dilakukan pada kelompok masyarakat tertentu --misalnya siswa sekolah menengah di daerah perkotaan atau remaja yang sering berkumpul di diskotik-- mendapatkan angka yang sangat berbeda satu dengan yang lain dengan variasi antara 30-70 persen. Indonesia telah dua kali melakukan survey secara nasional terkait dengan isu ini yaitu Indonesia Young Adult Reproductive Health (IYARH) pada tahun 2003 dan 2007. Survey ini diintegrasikan dengan Indonesia Demographic Health Survey. Kedua survey tersebut mendapatkan angka hubungan seksual pra-nikah wanita usia 15-24 tahun sebesar 1,1 persen dan untuk laki-laki sebesar 8,6 persen pada tahun 2007. Untuk tahun 2003, angkanya adalah 1 persen untuk wanita dan 5 persen untuk laki-laki. Angka ini dipandang oleh banyak pihak kurang menggambarkan keadaan yang sesungguhnya. Masih tentang IYARH, survey tersebut juga mengumpulkan informasi perilaku pacaran yang sudah menjurus kepada hubungan seksual. Survey ini mendapatkan 9,1 persen wanita melakukan petting pada masa pacaran dan 26,5 persen laki-laki. Kesulitan mendapatkan data hubungan seksual pra-nikah yang akurat ini terkait erat dengan kendala sensitif secara sosial dan metodologi (sampling and non sampling error). Suatu penelitian yang pernah dilakukan di Indonesia dengan membandingkan pertanyaan tentang pengalaman melakukan hubungan sexual sebelum menikah dengan responden mereka yang sudah menikah dan mereka yang belum menikah. Penelitian tersebut menemukan hasil yang berbeda. Responden yang menikah cenderung menyatakan pernah melakukan hubungan seksual pra-nikah dibandingkan responden yang belum menikah. Data dari 4 propoinsi di Indonesia menunjukkan bahwa 12 persen laki-laki menikah dan 5 persen wanita menikah pernah melakukan hubungan pra-nikah. Sementara 3 persen laki-laki dan 1 persen wanita yang belum menikah yang menyatakan pernah melakukan hubungan seksual pra-nikah. Berapapun sebenarnya angka yang ada di masyarakat, isu hubungan seksual pra-nikah saat ini menarik perhatian banyak kalangan seperti tokoh agama, tokoh masyarakat, pendidik, politisi, maupun pengambil kebijakan. Prhatian terbesar mereka itu adalah melindungi Kaum Muda dari perilaku hubungan seksual pra-nikah melalui peningkatan berpantang hubungan seksual. Hal ini akan memperkuat pencegahan tingkah laku beresiko, terutama demi pencegahan HIV/AIDS. IYARH memperlihatkan bahwa tingkat pengetahuan Kaum Muda seputar kesehatan reproduksi masih relative rendah. Sebagai contoh hanya sekitar 25 persen Kaum Muda yang memiliki pengetahuan yang benar tentang masa subur yang dapat menyebabkan kehamilan di dalam siklus menstruasi wanita. Hanya sekitar 52 persen Kaum Muda yang memiliki pengetahuan yang benar tentang risiko kehamilan. Sejalan dengan itu, program kesehatan reproduksi remaja di Indonesia lebih banyak menggunakan pendekatan kelompok yang memberikan KIE kesehatan reproduksi kepada Kaum Muda yang tergabung sebagai anggota kelompok yang

Page 118: Modul Non Formal Ok

L-43

data Riskesdas 2007 menunjukkan prevalensi merokok pada Kaum Muda wanita sekolah usia 13–15 tahun lebih tinggi dibandingkan prevalensi merokok pada wanita dewasa. GATYS 2009 menunjukkan bahwa 51 persen Kaum Muda usia 13-15 tahun dapat secara bebas membeli rokok di toko/warung, dan 59 persen dari mereka menyebutkan bahwa mereka tidak mendapat penolakan atau teguran dari penjual di toko/warung ketika membeli rokok tersebut. Yang lebih mencemaskan, dalam analisis nasional Riskesdas 2007, menemukan adanya Kaum Muda laki-laki usia 10–14 tahun yang merokok sebesar 3.5 persen dan yang wanita sebesar 0.5 persen. Bila dibandingkan, data Riskesdas 1995 menunjukkan ada 71.126 perokok Kaum Muda usia 10-14 tahun di Indonesia yang naik pesat menjadi 426.214 orang di tahun 2007. Artinya, selama 12 tahun tersebut telah terjadi kenaikan 6 kali lipat perokok Kamu Muda usia kurang dari 10 tahun. Komnas Perlindungan Anak menunjukkan selama tahun 2008 hingga 2012 jumlah perokok anak dibawah umur 10 tahun di Indonesia mencapai 239.000 orang. Sedangkan jumlah perokok anak antara usia 10-14 tahun mencapai 1,2 juta orang. Menurut Arist Merdeka Sirait, kondisi ini yang menyebabkan Indonesia disebut sebagai satu-satunya negara di dunia dengan baby smoker karena rata-rata perokok anak di Indonesia menghabiskan 40 batang rokok perhari. Menurut Kemenkes, berdasarkan usia, Kaum Muda yang mulai merokok pada usia 5 tahun tertinggi di Jawa Timur disusul Jawa Tengah. Narkoba lebih jahat dari terorisme, karena korban ini berkelanjutan dan jarang diketahui. Kepedulian masyarakat terhadap narkoba sangat rendah, sehingga peran pemerintah bersama penegak hukum tidak sebanding dengan laju penyebaran narkoba yang melibatkan jaringan internasional. Orang kaya, miskin, penegak hukum seperti hakim, jaksa, polisi sampai artis bisa terkena narkoba.

Anak sekolah dan mahasiswa ternyata merupakan kelompok pengguna terbanyak. Yang paling dikhawatirkan narkoba merambah juga di kalangan masyarakat bawah seperti buruh, kuli, tukang ojek dan para pengangguran. Bisa dibayangkan, bagaimana mereka mendapatkan uang untuk memperoleh barang haram tsb. Sangat mungkin, akhirnya mereka terjebak dalam perilaku kriminal. Ancaman kematian akibat dampak kronis maupun over dosis narkoba, juga akibat HIV AIDS yang banyak diidap para pemakai narkoba sudah di depan mata kita semua, belum lagi ongkos sosial ekonomi yang teramat besar. Generasi muda kita terancam karenanya,

memprihatinkan dan menyedihkan. Pada tahun 2003 : narkoba diartikan sebagai narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya. Pada tahun 2005 narkoba diartikan lebih luas lagi, yaitu sebagai narkotika dan obat/zat berbahaya. Narkoba terdiri atas 3 kelompok obat/zat, yaitu, kelompok pertama, Golongan Narkotika yang terdiri dari (a) Opiat: opium, morfin, heroin, kodein dan petidin; (b) Cannabis (Ganja), dan (c) Kokain. Kelompok kedua, Psikotropika yang terdiri dari (a) Obat penenang/obat tidur seperti diazepam (valium), nitrazepam, bromazepam, pil BK dan lain sebagainya, (b) Obat halusigenik seperti LSD, luminal (phenobarbital), dan (c) Zat/obat psikostimulans seperti amfetamin (ekstasi), metamfetamin (sabu-sabu). Kelompok ketiga, Zat psikoaktif antara lain terdiri dari (a) Minuman keras beralkohol, (b) Solvent, seperti tiner, acetone, lem, uap bensin dan sebagainya,

Page 119: Modul Non Formal Ok

L-44

dan (c) Nikotin pada rokok dan kafein pada kopi dan teh. Pada pengertian sehari-hari, narkoba lebih ditujukan pada kelompok pertama dan kedua, yaitu narkotika dan psikotropika. Tahun 2008 berjuta-juta remaja di Asia telah menggunakan Narkoba. Di Indonesia sekitar 4,1 juta Kaum Muda yang terlibat penyalahgunaannya, mulai dari menghirup bahan kimia (ngelem), ectasy sampai pada pecandu berat heroin (putauw). Salah satu rumah sakit di kota Bandung menunjukkan bahwa hasil tes urine pengguna arkoba positif di tahun 1998 sekitar 19 orang. Angka ini meningkat mejadi 53 orang di tahun 2003. Dalam hal ini, pada laki-laki lebih banyak ditemukan daripada wanita. Dengan rentang usia terbanyak adalah kelompok 18-25 tahun dan termuda 12 tahun. Umumnya usia pertama kali menggunakan Narkoba adalah usia 12-17 tahun, sedangkan untuk tingkat pendidikan terbanyak lulusan SLTP dan SLTA. Mengapa banyak Kaum Muda sampai terlibat pada penyalahgunaan narkoba? Banyak hal yang membuat banyak Kaum Muda yang terlibat disini, antara lain32, karena untuk gembira/hura-hura, karena pengaruh teman, karena ingin tahu atau coba-coba untuk mencari sensasi pengalaman baru, karena solidaritas kelompok, karena takut “tekanan” dari kelompoknya, karena ingin menonjolkan keberaniannya, karena ingin menunjukkan sikap pemberontakan kepada keluarga dan lingkungannya, karena ingin menghilangkan stress dan rasa bosan, karena mudahnya mendapat narkoba mendorong mereka menyalahgunakan narkoba. Badan Narkotika Nasional (BNN)33 mencatat bahwa data kasus penyalahgunaan narkotika di Indonesia naik begitu tajam. Untuk periode 2006 hingga 2010, BNN berhasil mengungkap 126.841 kasus narkotika dan obat-obatan terlarang. Pada tahun 2006 secara nasional terdapat sebanyak17.355 kasus narkoba yang terdiri dari 9.422 kasus narkotika dan 5.658 prikotropika. Sementara di tahun 2007, tercatat ada sebanyak 22.630 kasus yakni 11.380 kasus narkotika dan sebanyak 9.289 kasus prikotropika. Selanjutnya, di tahun 2008 ada 29.364 kasus narkoba dimana sekitar 10.008 merupakan kasus narkotika dan sekitar 9.783 kasus psikotropika. Untuk ditahun 2009, meningkat menjadi 30.878 kasus terdiri dari 11.135 kasus narkotika dan 8.779 kasus psikotropika. Untuk tahun 2010 ada 26.614 kasus dimana 17.834 merupakan kasus narkotika dan 1.181 kasus psikotropika. Situasi produksi dan peredaran narkoba yang begitu besar, berpengaruh terhadap kondisi penyalahgunaan barang haram itu. Menurut BNN, sepanjang kurun lima tahun itu, ada sebanyak 356 kasus pemproduksian narkoba di dalam negeri. Sementara untuk para pendistribusinya yang berhasil ditangkap ada sebanyak 107.069 orang. Dewasa ini korbannya mencapai lebih dari 5 juta jiwa. Di kalangan pelajar (bagian dari Kaum Muda) jumlah penggunanya mencapai sekitar 921.695 orang. Pengguna yang akhirnya meninggal di tahun 2012 mencapai angka rata-rata 50 orang per hari. Sebenarnya data yang dicatat oleh BNN itu bukan angka kasus riil di lapangan, karena masih banyak kasus yang tidak diketahui. Pencatatan kasus narkoba memang tidak mudah. Deputi Pemberdayaan Masyarakat BNN memperkirakan pengguna narkoba di Indonesia bakal mencapai 5,1 juta orang pada 2015. (Bandingan dengan data ini Bank Dunia memperkirakan sekitar satu miliar orang tergolong miskin ekstrim tahun 2015) Pada tahun 2011, penelitian BNN dengan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia menunjukkan angka prevalensi penyalahgunaan narkoba sebesar 2,2 persen dari total

32 Arnet JJ(Ed), 2007, International Encyclopedia of Adolescence, London, Routledge Taylor and Francis Group. 33 BNN, Data kasus narkoba di indonesia tahun 1997-2008

L-43

data Riskesdas 2007 menunjukkan prevalensi merokok pada Kaum Muda wanita sekolah usia 13–15 tahun lebih tinggi dibandingkan prevalensi merokok pada wanita dewasa. GATYS 2009 menunjukkan bahwa 51 persen Kaum Muda usia 13-15 tahun dapat secara bebas membeli rokok di toko/warung, dan 59 persen dari mereka menyebutkan bahwa mereka tidak mendapat penolakan atau teguran dari penjual di toko/warung ketika membeli rokok tersebut. Yang lebih mencemaskan, dalam analisis nasional Riskesdas 2007, menemukan adanya Kaum Muda laki-laki usia 10–14 tahun yang merokok sebesar 3.5 persen dan yang wanita sebesar 0.5 persen. Bila dibandingkan, data Riskesdas 1995 menunjukkan ada 71.126 perokok Kaum Muda usia 10-14 tahun di Indonesia yang naik pesat menjadi 426.214 orang di tahun 2007. Artinya, selama 12 tahun tersebut telah terjadi kenaikan 6 kali lipat perokok Kamu Muda usia kurang dari 10 tahun. Komnas Perlindungan Anak menunjukkan selama tahun 2008 hingga 2012 jumlah perokok anak dibawah umur 10 tahun di Indonesia mencapai 239.000 orang. Sedangkan jumlah perokok anak antara usia 10-14 tahun mencapai 1,2 juta orang. Menurut Arist Merdeka Sirait, kondisi ini yang menyebabkan Indonesia disebut sebagai satu-satunya negara di dunia dengan baby smoker karena rata-rata perokok anak di Indonesia menghabiskan 40 batang rokok perhari. Menurut Kemenkes, berdasarkan usia, Kaum Muda yang mulai merokok pada usia 5 tahun tertinggi di Jawa Timur disusul Jawa Tengah. Narkoba lebih jahat dari terorisme, karena korban ini berkelanjutan dan jarang diketahui. Kepedulian masyarakat terhadap narkoba sangat rendah, sehingga peran pemerintah bersama penegak hukum tidak sebanding dengan laju penyebaran narkoba yang melibatkan jaringan internasional. Orang kaya, miskin, penegak hukum seperti hakim, jaksa, polisi sampai artis bisa terkena narkoba.

Anak sekolah dan mahasiswa ternyata merupakan kelompok pengguna terbanyak. Yang paling dikhawatirkan narkoba merambah juga di kalangan masyarakat bawah seperti buruh, kuli, tukang ojek dan para pengangguran. Bisa dibayangkan, bagaimana mereka mendapatkan uang untuk memperoleh barang haram tsb. Sangat mungkin, akhirnya mereka terjebak dalam perilaku kriminal. Ancaman kematian akibat dampak kronis maupun over dosis narkoba, juga akibat HIV AIDS yang banyak diidap para pemakai narkoba sudah di depan mata kita semua, belum lagi ongkos sosial ekonomi yang teramat besar. Generasi muda kita terancam karenanya,

memprihatinkan dan menyedihkan. Pada tahun 2003 : narkoba diartikan sebagai narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya. Pada tahun 2005 narkoba diartikan lebih luas lagi, yaitu sebagai narkotika dan obat/zat berbahaya. Narkoba terdiri atas 3 kelompok obat/zat, yaitu, kelompok pertama, Golongan Narkotika yang terdiri dari (a) Opiat: opium, morfin, heroin, kodein dan petidin; (b) Cannabis (Ganja), dan (c) Kokain. Kelompok kedua, Psikotropika yang terdiri dari (a) Obat penenang/obat tidur seperti diazepam (valium), nitrazepam, bromazepam, pil BK dan lain sebagainya, (b) Obat halusigenik seperti LSD, luminal (phenobarbital), dan (c) Zat/obat psikostimulans seperti amfetamin (ekstasi), metamfetamin (sabu-sabu). Kelompok ketiga, Zat psikoaktif antara lain terdiri dari (a) Minuman keras beralkohol, (b) Solvent, seperti tiner, acetone, lem, uap bensin dan sebagainya,

Page 120: Modul Non Formal Ok

L-45

penduduk, setara dengan 3,8-4,2 juta orang. Angka tersebut sebenarnya masih dibawah angka prevalensi internasional sebesar 2,32 persen. Prevalensi penyalahgunaan narkoba diproyeksikan meningkat tiap tahun. Di tahun 2008 sebesar 1,99 persen, tahun 2011 sebesar 2,32 persen, tahun 2013. Penelitian tersebut memproyeksikan tingkat prevalensi pada 2015 akan mencapai 2,8 persen. Itu artinya setara dengan 5,1 juta orang, bila tidak ada upaya bersungguh-sungguh untuk memerangi narkoba. Peredaran narkoba kini semakin lihai, melibatkan banyak uang, juga melibatkan jaringan lintas negara. Jaringan narkoba tersebut bahkan terus secara intensif melakukan propaganda untuk memuluskan kejahatan mereka di tengah masyarakat. Penyalahguna narkoba tidak hanya berdomisili di kota besar yang terkonsentrasi di puau jawa saja. Sebaran mereka merata di semua pelosok di tanah air. Dari data yang dimuat di berbagai media masa, menunjukkan informasi-informasi penting yang disarikan sebagai berikut. Di Balikpapan, Kanwil Ditjen Bea Cukai Kalbagtim Senin 14 Mei 2012 menangkap seorang kurir berinisial TMJ, 17 tahun, di bandara Sepinggan dan seorang wanita berinisial DN 34 tahun di Ciputat, Tangerang. Dugaan sementara TJM ini merupakan kurir DN untuk membawa heroin, Seorang juru parkir DS 29 tahun, Jumat 3 February 2012 diciduk aparat Kantor Bea dan Cukai Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Kota Tangerang, Banten, karena diduga menerima shabu dengan berat 1,006 kg yang diselundupkan melalui jasa paket pengiriman barang. DS yang sehari-hari sebagai tukang parkir di Kelapa Gading, Jakarta Utara, tertangkap menerima shabu melalui jasa pengiriman. Narkotika jenis shabu tersebut berasal dari Uni Emirat Arab yang sudah dikemas sebanyak 17 paket khusus. Paket tersebut sengaja disimpan dalam tabung filter air yang sudah dilem dengan rapi, sehingga petugas kesulitan untuk membukanya sehingga terpaksa menggergaji tutup filter air itu agar dapat dibuka dan ternyata isinya bubuk putih. Petugas pun melakukan uji laboratorium kemudian diketahui bahwa kristal dalam tabung itu positif Methampetamina (shabu). Shabu yang diselundupkan tersebut bila dijual dipasaran bebas bisa mencapai harga Rp 2,012 miliar. Menurut Ketua Badan Narkotika Kabupaten (BNK) Karawang, yang juga Wabup Karawang, dr. Cellica pada kegiatan Sosialisasi Pencegahan, Pemberantasan, Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN) di SMPN 1 Jatisari, Karawang, mengatakan bahwa peredaran narkoba di Kabupaten Karawang kian memprihatinkan. Sejak Januari s/d Agustus 2011 tercatat sebanyak 52 kasus dan 62 tersangka. Setiap bulan terdapat tujuh kasus dan delapan tersangka, yang sebagaian besar terjadi di kalangan remaja. Menurut Polda Sulselbar kasus narkotika pada Tahun 2012, sampai 23 Oktober 2012, telah mencapai 627 kasus. Sementara, di tahun 2011 terdapat 651 kasus. Narkotika yang paling banyak beredar adalah ganja, sabu-sabu dan ekstasi. Memang mayoritas (433 kasus) yang terlibat tindak pidana pengedar dan penggunanya berusia di atas 30 tahun namun kasus narkotika juga sudah masuk dunia pendidikan terutama di lingkup SMA, yang masih pelajar maupun yang sudah lulus, dengan angka sudah mencapai 340 kasus dengan 13 pelajar aktif SMA. Menurut Kanit Reskoba Polres Gresik, kasus penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang berupa pil koplo dan sabu di wilayah Kabupaten Gresik mengalami peningkatan hingga 200 persen yang terjadi antara Januari 2012 dengan Januari 2013. Dewasa ini, dunia pendidikan seperti menjadi sasaran empuk jaringan narkoba. Sejak lama kampus dan mahasiswa jadi bagian yang tak terpisahkan dari peredaran 'barang haram' tersebut. Alasan utama para bandar narkoba merekrut mahasiswa untuk mengedarkan narkoba

Page 121: Modul Non Formal Ok

L-46

adalah karena minimnya pengawasan dan pencegahan yang dilakukan kepolisian pada lingkungan kampus itu sendiri. Dan yang lainnya karena segi ekonomis, tergiur keuntungan yang besar. Di banyak kasus mahasiswa bahkan hanya bermodalkan kepercayaan dari si bandar untuk mendapatkan narkoba seperti sabu, ganja, ataupun obat terlarang dalam jumlah besar. Menurut laporan investigasi suatu media masa menunjukkan bahwa volume penjualan di kalangan mahasiswa bisa mencapai 2 kali lipat. Seperti ganja atau disebut haw, cimeng, bakung dan baks, dari rinciannya satu kilo biasanya mencapai harga Rp 2,5 juta per kilogram, dan sabu biasanya Rp 1,5 juta per gram. Kalau ganja dijual mulai dari paket terkecil Rp 25 ribu hingga paling besar Rp 200 ribu. Tapi kalau putih (sabu maksudnya) bisa paket dua orang atau paket hemat, Rp 300 ribu sebungkusnya. BNN mensinyalir bahwa dewasa ini pil ekstasi produk Tiongkok marak beredar di Jakarta. Konon, kualitasnya sama produk Belanda dengan harga yang bersaing dengan buatan lokal. Satu butir ekstasi Tiongkok untuk pasaran di Ibukota mencapai Rp250.000. Mari kita tengok bahasa yang digunakan oleh BNN: “BNN mensinyalir pil ekstasi produk Tiongkok akhir-akhir ini marak beredar di Jakarta, dan disebut-sebut kualitasnya sama produk Belanda dengan harga yang bersaing dengan buatan lokal”... Wow, kali ini ternyata produk Indonesia tidak kalah hebat dibanding produk negara maju lain di dunia. Ironisnya, narkoba. BNN menunjukkan nilai transaksi narkoba di Indonesia mencapai Rp42,8 triliun per tahun. Artinya, sekitar Rp120 milliar per hari. Menurut penelitian yang dilakukan antara BNN-UI tahun 2011 menunjukkan bahwa peredaran ekstasi di Indonesia mencapai 140 juta butir per tahun. Dari jumlah tersebut, kata dia, hanya sekitar 880.000 butir ekstasi yang berhasil disita aparat berwenang. Di sisi lain, petugas gencar menghentikan laju perdagangan dan peredaran narkoba dengan melakukan razia. Hukuman berat pun dijatuhkan kepada pelakunya. Namun, tindakan itu seolah sulit memberi efek jera. Satu lokasi yang kerap menjadi target razia polisi yaitu Kampung Ambon di Cengkareng, Jakarta Barat. Sejak 1990, wilayah itu diduga sebagai pusat peredaran narkoba di Jakarta. Bahkan, penikmat narkoba menganggap wilayah itu sebagai “surga” mereka. Beragam jenis narkoba tersedia disini selama 24 jam, mulai sabu, ekstasi, hingga putau. Perdagangannya pun ibaratnya warung makan atau kafe yang menjajakan dagangan dengan terbuka. Beberapa kali digerebek, narkoba masih menjamur di Kampung Ambon, Jakaarta Barat itu. Narkoba menjerat siapapun, termasuk artis yang memiliki banyak penggemar. Beberapa artis menjadi pemakai dan pengedar. Beberapa di antara mereka bahkan berkali-kali dibekuk meski telah menjalani proses sidang dan masa tahanan. Celakanya, narkoba juga menjadi “momok” di dalam penjara. Bisnis narkoba tetap berjalan disini. Narapidana bebas bertransaksi dan bahkan melibatkan petugas/sipir penjara. Sehungga penjara sama sekali tidak memberikan efek jera kepada para penjahat narkoba. Ditambah lagi, tak jarang penjahat narkoba divonis bebas di tingkat kasasi. Bahkan, publik mencatat beberapa kali gembong narkoba mendapat grasi. Sungguh ironis. Perkembangan terakhir masalah Narkoba telah mencapai tingkat yang memprihatinkan. Perdagangan narkoba telah menyusup ke masyarakat usia 7-8 tahun, pada mereka ditemukan telah menggunakan ganja dan ngelem. Kondisi semakin buruk dengan banyaknya pecandu yang meninggal karena over dosis narkoba suntik dengan penggunaan jarum suntik secara bergantian, sehingga menjadi jalan untuk virus hepatitis dan HIV bersarang.

L-45

penduduk, setara dengan 3,8-4,2 juta orang. Angka tersebut sebenarnya masih dibawah angka prevalensi internasional sebesar 2,32 persen. Prevalensi penyalahgunaan narkoba diproyeksikan meningkat tiap tahun. Di tahun 2008 sebesar 1,99 persen, tahun 2011 sebesar 2,32 persen, tahun 2013. Penelitian tersebut memproyeksikan tingkat prevalensi pada 2015 akan mencapai 2,8 persen. Itu artinya setara dengan 5,1 juta orang, bila tidak ada upaya bersungguh-sungguh untuk memerangi narkoba. Peredaran narkoba kini semakin lihai, melibatkan banyak uang, juga melibatkan jaringan lintas negara. Jaringan narkoba tersebut bahkan terus secara intensif melakukan propaganda untuk memuluskan kejahatan mereka di tengah masyarakat. Penyalahguna narkoba tidak hanya berdomisili di kota besar yang terkonsentrasi di puau jawa saja. Sebaran mereka merata di semua pelosok di tanah air. Dari data yang dimuat di berbagai media masa, menunjukkan informasi-informasi penting yang disarikan sebagai berikut. Di Balikpapan, Kanwil Ditjen Bea Cukai Kalbagtim Senin 14 Mei 2012 menangkap seorang kurir berinisial TMJ, 17 tahun, di bandara Sepinggan dan seorang wanita berinisial DN 34 tahun di Ciputat, Tangerang. Dugaan sementara TJM ini merupakan kurir DN untuk membawa heroin, Seorang juru parkir DS 29 tahun, Jumat 3 February 2012 diciduk aparat Kantor Bea dan Cukai Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Kota Tangerang, Banten, karena diduga menerima shabu dengan berat 1,006 kg yang diselundupkan melalui jasa paket pengiriman barang. DS yang sehari-hari sebagai tukang parkir di Kelapa Gading, Jakarta Utara, tertangkap menerima shabu melalui jasa pengiriman. Narkotika jenis shabu tersebut berasal dari Uni Emirat Arab yang sudah dikemas sebanyak 17 paket khusus. Paket tersebut sengaja disimpan dalam tabung filter air yang sudah dilem dengan rapi, sehingga petugas kesulitan untuk membukanya sehingga terpaksa menggergaji tutup filter air itu agar dapat dibuka dan ternyata isinya bubuk putih. Petugas pun melakukan uji laboratorium kemudian diketahui bahwa kristal dalam tabung itu positif Methampetamina (shabu). Shabu yang diselundupkan tersebut bila dijual dipasaran bebas bisa mencapai harga Rp 2,012 miliar. Menurut Ketua Badan Narkotika Kabupaten (BNK) Karawang, yang juga Wabup Karawang, dr. Cellica pada kegiatan Sosialisasi Pencegahan, Pemberantasan, Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN) di SMPN 1 Jatisari, Karawang, mengatakan bahwa peredaran narkoba di Kabupaten Karawang kian memprihatinkan. Sejak Januari s/d Agustus 2011 tercatat sebanyak 52 kasus dan 62 tersangka. Setiap bulan terdapat tujuh kasus dan delapan tersangka, yang sebagaian besar terjadi di kalangan remaja. Menurut Polda Sulselbar kasus narkotika pada Tahun 2012, sampai 23 Oktober 2012, telah mencapai 627 kasus. Sementara, di tahun 2011 terdapat 651 kasus. Narkotika yang paling banyak beredar adalah ganja, sabu-sabu dan ekstasi. Memang mayoritas (433 kasus) yang terlibat tindak pidana pengedar dan penggunanya berusia di atas 30 tahun namun kasus narkotika juga sudah masuk dunia pendidikan terutama di lingkup SMA, yang masih pelajar maupun yang sudah lulus, dengan angka sudah mencapai 340 kasus dengan 13 pelajar aktif SMA. Menurut Kanit Reskoba Polres Gresik, kasus penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang berupa pil koplo dan sabu di wilayah Kabupaten Gresik mengalami peningkatan hingga 200 persen yang terjadi antara Januari 2012 dengan Januari 2013. Dewasa ini, dunia pendidikan seperti menjadi sasaran empuk jaringan narkoba. Sejak lama kampus dan mahasiswa jadi bagian yang tak terpisahkan dari peredaran 'barang haram' tersebut. Alasan utama para bandar narkoba merekrut mahasiswa untuk mengedarkan narkoba

Page 122: Modul Non Formal Ok

L-47

Dari uraian diatas, ada beberapa hal yang memprihatinkan kita tentang bahaya penyalahgunaan narkoba, pertama, Indonesia belakangan bukan hanya sebagai negara konsumen atau transit narkoba saja, tapi juga sebagai negara produsen atau pabrik narkoba. Beberapa kali polisi menggrebek tempat yang menjadi pabrik narkoba seperti ekstasi atau sabu-sabu, baik di Jakarta maupun di kota-kota lain di Indonesia. Kedua, kecenderungan perkenalan dengan narkoba pada usia yang semakin muda (usia 10 tahun bahkan kurang) dengan kelompok umur terbesar pengguna narkoba adalah pada kelompok usia 15-25 tahun. Pengguna narkoba belakangan juga ditemukan pada masyarakat kelas ekonomi bawah seperti buruh pabrik, tukang ojek, remaja di daerah kumuh dan padat penduduk. Ketiga, jumlah kasus penyalahgunaan narkoba makin hari cenderung makin meningkat, kasus yang terungkap adalah bagai fenomena puncak gunung es (iceberg phenomenon). Jumlah sesungguhnya kasus penyalahgunaan narkoba jauh lebih besar dari yang terungkap. Keterbatasan personil kepolisian dan kelihaian para pengedar dan pembuat narkoba membuat kasus yang dapat diungkap hanya sedikit sekali. Keempat, penyalahgunaan narkoba dan HIV/AIDS bagaikan 2 sisi mata uang. Penggunaan narkoba dengan cara disuntik (IDU = Injection Drug User) merupakan cara penularan terbesar dari kasus HIV/AIDS belakangan ini. HIV/AIDS pada mulanya banyak mengenai kaum homo seksual, tapi sekarang para pengguna narkoba dengan jarum suntik adalah kelompok terbesar mereka yang terkena HIV AIDS. Kelima, merokok dan minuman keras diketahui sebagai pintu masuk untuk mencoba-coba narkoba. Sementara perkenalan merokok sudah dimulai pada usia yang semakin dini (usia SD). Terakhir, sampai sekarang belum ada satupun terapi penanggulangan kecanduan narkoba yang terbukti afektif mengobati semua pecandu narkoba. Sementara metode pengobatan yang ada memakan waktu lama, proses yang rumit dan membutuhkan biaya yang mahal. 4. Kebijakan Kaum Muda merupakan modal bangsa saat ini dan harta kebanggan di masa depan. Dalam kaitannya dengan pembangunan, Kaum Muda adalah pelaksana bonus demografi yang secara perhitungan ilmiah segara datang. Untuk itu, kepada Kaum Muda perlu dipersiapkan dengan bekal yang akan mereka butuhkan nanti. Mengingat pentingnya menangani Kaum Muda ini dengan baik dan benar, maka kebijakan yang disusun perlu dilakukan secara cermat, berorientasi kepada Kaum Muda dan berwawasan ke depan. Kebijakan termaksud adalah yang mampu membantu dan/atau memfasilitasi masyarakat untuk meningkatkan kontribusinya mendukung potensi Kaum Muda kedepan. Kebijakan yang disusun tersebut juga untuk memfasilitasi kekuatan kelompok disamping kemandirian. Prinsip kerjasama dan kolegial harus dapat ditingkatkan sebagai bagian integral dari kemampuan dan keterampilan individu yang mumpuni dari Kaum Muda.

Kaum Muda adalah mereka yang masih terus berkembang fisik maupun kejiwaannya. Sejalan dengan itu, maka persiapan yang perlu diberikan kepadanya harus sejalan dengan kondisi tersebut. Dalam segi fisik, berbagai kendala yang menghambat kelancaran pasokan nutrisi dan jaminan pelayanan kesehatan perlu dihindari atau sedikitnya diminimalisasikan. Namun demikian, perlu diupayakan bahwa Kaum Muda ketika mengkonsumsinya, bukan berasal dari usaha sendiri. Artinya, masyarakat luas perlu memfasilitasi dan mengadvokasi menurunnya proporsi Kaum Muda yang sangat muda usia untuk bekerja. Berbagai skema pengoptimalan pertumbuhan fisik Kaum Muda dapat disinergikan diantara institusi masyarakat dengan fokus pemenuhan kebutuhan pertumbuhan fisik Kaum Muda. Dalam hal ini kesempatan berolahraga bagi semua Kaum Muda perlu diberi prioritas. Disamping itu, berbagai kericuhan sosial dan perilaku beresiko tinggi masyarakat luas dan Kaum Muda perlu mendapatkan perhatian untuk

Page 123: Modul Non Formal Ok

L-48

dibatasi kejadiannya. Pelayanan kesehatan dengan segala kelengkapannya merupakan rujukan Kaum Muda yang mengalami kondisi ketidakoptimalan perkembangan fisikalnya. Karena itu, Kaum Muda harus mendapat akses seluas-luasnya terhadap informasi dan konseling kesehatan, termasuk kesehatan remaja, yang ramah-remaja dalam menghindarkan dirinya dari perilaku berisiko.

Dalam segi mental-psykologis, Kaum Muda perlu mendapat dukungan pengajaran dan pendidikan dasar serta pelatihan yang berkualitas yang akan menjadikan mereka berpengetahuan, terampil, mandiri, setia-kawan, visioner dan bermartabat sehingga mereka mampu untuk melanjutkan upaya menggapai pendidikan yang lebih tinggi dan/atau bekerja secara manusiawi. Sejalan dengan hal itu, karakter sistim pengajaran, pendidikan dan pelatihan perlu diberi dukungan untuk selalu menyesuaikan diri menghadapi berbagai perubahan di masyarakat sehingga mampu mewadahi kebutuhan Kaum Muda untuk meningkatkan potensi diri dan kreatifitasnya. Ruang publik Kaum Muda sebagai wadah ekspresi diri mereka perlu diperluas, mendapat dukungan dan difasilitasi serta sejauh mungkin terhindar dari pemanfaatan buruk.

L-47

Dari uraian diatas, ada beberapa hal yang memprihatinkan kita tentang bahaya penyalahgunaan narkoba, pertama, Indonesia belakangan bukan hanya sebagai negara konsumen atau transit narkoba saja, tapi juga sebagai negara produsen atau pabrik narkoba. Beberapa kali polisi menggrebek tempat yang menjadi pabrik narkoba seperti ekstasi atau sabu-sabu, baik di Jakarta maupun di kota-kota lain di Indonesia. Kedua, kecenderungan perkenalan dengan narkoba pada usia yang semakin muda (usia 10 tahun bahkan kurang) dengan kelompok umur terbesar pengguna narkoba adalah pada kelompok usia 15-25 tahun. Pengguna narkoba belakangan juga ditemukan pada masyarakat kelas ekonomi bawah seperti buruh pabrik, tukang ojek, remaja di daerah kumuh dan padat penduduk. Ketiga, jumlah kasus penyalahgunaan narkoba makin hari cenderung makin meningkat, kasus yang terungkap adalah bagai fenomena puncak gunung es (iceberg phenomenon). Jumlah sesungguhnya kasus penyalahgunaan narkoba jauh lebih besar dari yang terungkap. Keterbatasan personil kepolisian dan kelihaian para pengedar dan pembuat narkoba membuat kasus yang dapat diungkap hanya sedikit sekali. Keempat, penyalahgunaan narkoba dan HIV/AIDS bagaikan 2 sisi mata uang. Penggunaan narkoba dengan cara disuntik (IDU = Injection Drug User) merupakan cara penularan terbesar dari kasus HIV/AIDS belakangan ini. HIV/AIDS pada mulanya banyak mengenai kaum homo seksual, tapi sekarang para pengguna narkoba dengan jarum suntik adalah kelompok terbesar mereka yang terkena HIV AIDS. Kelima, merokok dan minuman keras diketahui sebagai pintu masuk untuk mencoba-coba narkoba. Sementara perkenalan merokok sudah dimulai pada usia yang semakin dini (usia SD). Terakhir, sampai sekarang belum ada satupun terapi penanggulangan kecanduan narkoba yang terbukti afektif mengobati semua pecandu narkoba. Sementara metode pengobatan yang ada memakan waktu lama, proses yang rumit dan membutuhkan biaya yang mahal. 4. Kebijakan Kaum Muda merupakan modal bangsa saat ini dan harta kebanggan di masa depan. Dalam kaitannya dengan pembangunan, Kaum Muda adalah pelaksana bonus demografi yang secara perhitungan ilmiah segara datang. Untuk itu, kepada Kaum Muda perlu dipersiapkan dengan bekal yang akan mereka butuhkan nanti. Mengingat pentingnya menangani Kaum Muda ini dengan baik dan benar, maka kebijakan yang disusun perlu dilakukan secara cermat, berorientasi kepada Kaum Muda dan berwawasan ke depan. Kebijakan termaksud adalah yang mampu membantu dan/atau memfasilitasi masyarakat untuk meningkatkan kontribusinya mendukung potensi Kaum Muda kedepan. Kebijakan yang disusun tersebut juga untuk memfasilitasi kekuatan kelompok disamping kemandirian. Prinsip kerjasama dan kolegial harus dapat ditingkatkan sebagai bagian integral dari kemampuan dan keterampilan individu yang mumpuni dari Kaum Muda.

Kaum Muda adalah mereka yang masih terus berkembang fisik maupun kejiwaannya. Sejalan dengan itu, maka persiapan yang perlu diberikan kepadanya harus sejalan dengan kondisi tersebut. Dalam segi fisik, berbagai kendala yang menghambat kelancaran pasokan nutrisi dan jaminan pelayanan kesehatan perlu dihindari atau sedikitnya diminimalisasikan. Namun demikian, perlu diupayakan bahwa Kaum Muda ketika mengkonsumsinya, bukan berasal dari usaha sendiri. Artinya, masyarakat luas perlu memfasilitasi dan mengadvokasi menurunnya proporsi Kaum Muda yang sangat muda usia untuk bekerja. Berbagai skema pengoptimalan pertumbuhan fisik Kaum Muda dapat disinergikan diantara institusi masyarakat dengan fokus pemenuhan kebutuhan pertumbuhan fisik Kaum Muda. Dalam hal ini kesempatan berolahraga bagi semua Kaum Muda perlu diberi prioritas. Disamping itu, berbagai kericuhan sosial dan perilaku beresiko tinggi masyarakat luas dan Kaum Muda perlu mendapatkan perhatian untuk

Page 124: Modul Non Formal Ok

Kaum Muda

Siapa Mereka ?Kaum Muda

KAUM MUDASiapa Mereka ?

KAUM MUDAINDONESIAINDONESIA

Modal hari iniModal hari iniHarta hari depan

Siapa Orang Muda Itu?

UNFPA 10 19 tahun RemajaUNFPA 10-19 tahun RemajaWHO 15-19 tahun DewasaWHO 15 19 tahun Dewasa

MudaKesepakatanUNFPA dan

10-24 tahun Orang MudaUNFPA dan

WHO

Mengapa Orang Muda Perlu Diperhatikan

• 1 dari 4 penduduk dunia kaum muda

• Pemilik bangsa di masa depan

• Menghadapi banyak tantangan kehidupan

Kaum Muda Disiapkan Mengantisipasi Ini

Bonus Demografi

Jendela KesempatanKaum Muda

rsen

Per

Penduduk Menua

Tahun

Kondisi Demografi Kondisi Demografi K M dKaum Muda

Page 125: Modul Non Formal Ok

Kaum Muda di Kota Duniakota

kota kota kotakota

kotakota

1955 1965 1975 1985 1995 2005desadesa desa desa desa desa

Kaum Muda merupakan 18% dari populasi dunia (hampir 1,2 miliar jiwa)

87% tinggal di Negara Berkembang62% tinggal di Asia dan 15% di Afrika

semakin banyak Kaum Muda tinggal di perkotaan dengan segala kesempatan dan tantangan yang

mereka hadapi, fisik hingga non-fisik

yang terpenting, menyiapkan kota untuk menjadi wahana penggodokan Kaum Muda dalam

menyongsong masa depanmenyongsong masa depan

Jumlah Kaum Muda di Indoesia

meskipun jumlahnya meningkat namunmeningkat, namunproporsinya menurunsampai tahun 2025sampai tahun 2025,diproyeksikan akan terus meningkat jumlahnya tetapijumlahnya, tetapimakin menurun proporsinya

Lokasi Tempat Tinggal Kaum MudaKaum Muda Usia 10-14 thn (Jt)au uda Us a 0 t (Jt)

Kaum Muda Usia 10-19 tahun lebih banyak yang tinggal di perkotaan

daripada di pedesaan11,2

11,7

1111

11,5

12

daripada di pedesaan10,4 10,3

10,5 10,6

10

10,6

9,910,1 10,2

10

10,5 KotaDesa

10,6

10,4

10,6

10,3

10,510,5

10,310,4

10,6

10,8Kaum Muda Usia 15-19 thn (Jt)

9

9,5

2000 2005 2010 2015 2020 2025

1010

9,7

9,9

10,1

9,8

10

10,2

KotaDesa

1111,5

Kaum Muda Usia 20-24 thn (Jt)

9,2

9,4

9,6

2000 2005 2010 2015 2020 20259,8 9,9

11

1010,2

10 10,1 10

10,7

9 79,910

10,5

11

2000 2005 2010 2015 2020 2025

9,2

9,8 9,7

9

9,5KotaDesa awalnya, Kaum Muda usia 20-24

tahun lebih banyak tinggal di d j k 2015 di k ik

8

8,5

2000 2005 2010 2015 2020 2025

pedesaan, sejak 2015 diproyeksikanlebih banyak di perkotaan

Kaum Muda Menurut Pulau & Jender, 2005-2025 (Jt)Kali

Tahun Jender Jawa Sumatra mantan Sulawesi Bali Cs Maluku Papua

2005

Laki-2 18,1 7,4 1,9 2,4 1,8 0,38 0,4Wanita 17,7 7,2 1,8 2,4 1,7 0,36 0,4

2005Penduduk 128,5 46,0 12,1 15,8 11,8 2,2 2,6

Persen 10-24 28 32 31 30 30 34 31Laki-2 17,3 7,4 1,9 2,4 1,8 0,4 0,44

2010Wanita 16,8 7,3 1,8 2,4 1,8 0,4 0,40

Penduduk 136,6 50,6 13,3 17.0 12,8 2,3 2,9Persen 10-24 25 29 28 28 28 35 29

2015

Laki-2 16,9 7,5 1,9 2,4 1,8 0,4 0,44Wanita 16,3 7,2 1,9 2,3 1,8 0,4 0,42

Penduduk 141,4 52,4 14,3 18,1 13,7 2,5 3,2Persen 10-24 23 28 27 26 26 32 27

2020

Laki-2 16,7 7,6 1,9 2,4 1,9 0,4 0,44Wanita 16,1 7,3 1,9 2,3 1,8 0,4 0,42

146 5 58 1 15 3 19 2 14 5 2 7 3 4Penduduk 146,5 58,1 15,3 19,2 14,5 2,7 3,4Persen 10-24 22 26 25 24 26 30 25

Laki-2 16,9 7,8 2,0 2,5 1,9 0,4 0,48W it 16 3 7 5 1 9 2 4 1 9 0 4 0 46

2025Wanita 16,3 7,5 1,9 2,4 1,9 0,4 0,46

Penduduk 150,8 61,6 16,2 20,1 15,2 2,8 3,7Persen 10-24 22 25 24 24 25 29 25

Kaum Muda Menurut Pulau, 2005-2025(Jt)P i K M d th 2005 2010 di M l k +P i k tProporsi Kaum Muda thn 2005-2010 di Maluku+Papua meningkat,Yang lain menurun

Muda(2025)1,81%

Muda(2010)6,73%

M d

Muda(2010)1,69%

Muda(2025)1,44%

Muda(2010)2,20%

Muda(2010)

Muda(2025)Muda

(2025)5,66%

, (2010)0,75%

(2025)0,64%

Muda(2025)Muda(2010)

Muda(2010)1,65%

Muda(2025)12,28%

Muda(2010)15,61% Muda

(2025)1,41%

Proyeksi Kaum Muda di tahun 2025 semuanya menurunProyeksi Kaum Muda di tahun 2025, semuanya menurun

M g b gkMengembangkandKaum Muda

Page 126: Modul Non Formal Ok

•BEKERJA SESUAI DUNIA

KERANGKA BERPIKIRKERJA

•BANTUAN MENCARIKERJA

SEKOLAHPELATIHAN DEWASA TERAMPIL-DASAR

KERJA•BANTUAN UNTUKWIRAUSAHA

UNTUKMELANJUTKAN BELAJAR

DAN HIDUP WIRAUSAHADANBEKERJA MANDIRI

DAN HIDUP

JIKA GAGAL

DAMPAK SOSIAL

J G G

DAMPAK SOSIAL

Prestasi Kaum Muda Indonesiatetap banyak prestasip y pditengah keterbatasan fasilitas dan beban-tanggungjawab

Internasional Physic Olimpiad (IPhO)medali s/d 2003 emas 5 perak 7

International Exhibition for Young Inventors (IEYI) di Bangkok, 2012medali s/d 2003, emas 5, perak 7,

perunggu 17 dan honourable mention 16

( ) g ,6 karya yang diikutkan semua dapat medali emas 2, perunggu 2, dan penghargaan spesial 2

Profil Sekolah Kaum Mudaselama 40 tahun terakhir, Kaum Muda, laki-laki dan wanita, di perkotaan dan di pedesaan meningkat pesat dalam bersekolahdan di pedesaan, meningkat pesat dalam bersekolahnamun, sesungguhnya banyak sekali kendala yang mereka hadapi

Kaum Muda dikepung tantangandikepung tantangansaat sekolah

Profil Sekolah Kaum Muda10 107 68 111 63120 62 370107 107,68 106,63 111,63

91,45 92,284 93,25 94,72

60

80

100

120

42,43

50,2255,21

62,53

32,639,33

43,5 45,48

40506070

20

40

60 3 ,6

102030

01995 2000 2005 2010

APK SD APM SD

01995 2000 2005 2010

APK SMA APM SMA

selisih APK dengan APM jenjang sekolah terus meningkat, kecuali di SMP yang menurun

selisih APK dengan APM adalah ukuran efisiensi, semakin besar selisihnya semakin tidak efisien

65,65

77,6282,09 80,35

50,9660,27

65,37 67,62

60708090

9 55 10,26 11,06

16,35

11,0112141618

50,96

1020304050 9,55 ,

7,15 7,95 8,71

2468

10

010

1995 2000 2005 2010APK SMP APM SMP

02

1995 2000 2005 2010

APK Univ APM Univ

Profil Sekolah Kaum MudaKaum Muda laki laki maupun wanita di pedesaan memiliki APKKaum Muda laki-laki maupun wanita di pedesaan memiliki APKdan APM yang lebih rendah daripada yang di perkotaan

t k SMP APK d APM di d l bihuntuk SMP, APK dan APM di pedesaan lebihrendah daripada di perkotaan, SMP di pedesaan lebih efisien daripada di perkotaanpedesaan lebih efisien daripada di perkotaan

penurunan APK SMA di perkotaan l bih d ti d i d di dlabih drastis daripada di pedesaan

mengapa APK jenjang SMA di pedesaan jauh lebih rendahdaripada di perkotaan? Apa mereka di pedesaan sudah tidakbersekolah lagi? Kemana kah mereka? Langsung bekerja ataubersekolah lagi? Kemana kah mereka? Langsung bekerja ataumenganggur karena berbagai hambatan untuk dapatmelanjutkan sekolah mereka?melanjutkan sekolah mereka?

Profil Sekolah Kaum MudaWanita

30

35

40

45

Kaum Muda yang

15

20

25

30tidak sekolah dan tidak tamat SD menurun drastis

0

5

10menurun drastis

Laki-Laki40

45

Tdk Sklh TdkTmt SD SD SMP SMU Univ

1971 1980 1990 2000 2002

20

25

30

35

Kaum Muda yang lulus SD SMP d SMA

5

10

15

20 SD, SMP dan SMAmeningkat tajam

0

5

Tdk Sklh TdkTmt SD SD SMP SMU Univ1971 1980 1990 2000 2002

Page 127: Modul Non Formal Ok

Kaum Muda Yang Bekerja73 7 72 680

ternyata, dalam 40 tahun

46,8 46,3 49,9 51,8 53,9

63,7 63,469

73,7 72,6

40

50

60

70

80

terakhir ini partisipasi angkatan kerja muda di pedesaan maupun di perkotaan

10

20

30

40 maupun di perkotaancenderung makin meningkat

t t t l bih d i 40%01971 1980 1990 2000 2002

TPAK 15-24(%) TPAK >24(%)

tercatat lebih dari 40% yang SUDAH BEKERJA

TPAK pekerja 15 24th dibawah

27,930

TPAK pekerja 15-24th dibawahTPAK pekerja >24th TPT pekerja 15-24th diatas

TPT pekerja >24th

19,9

27,9

20

25

30

pekerja 15-24th kalah b i d k j 11,9

3,5

8,67,1

1 1,2 2,54,25

10

15bersaing dengan pekerja>24th karena kalah

pengalaman kerja dan0

1971 1980 1990 2000 2002

TPT 15-24(%) TPT >24(%)

pengalaman kerja danketerampilan

Kaum Muda Yang Bekerja60

20304050

010

1985 1990 1995 2000 2002Tani Indus Konst Dagang Trans Uang Jasa Lain

Pekerja muda di sektor pertanian menurun dan berlih ke industriNamun, perdagangan dan jasa meningkat secara bermakna, p g g j gDiduga, banyak pekerja muda aktif di sektor informalJika di sektor formal, mereka kalah bersaing dengan pekerja dewasa

40

50

60

10

20

30

40

01985 1990 1995 2000 2002

Tani Indus Konstr Dagang Transp Uang Jasa Lain

Kaum Muda Yang Bekerjaban ak pekerja anak sia k rang dari 15 th2,3 Juta anak usia 7-14 tahun menjadi pekerjabanyak pekerja anak usia kurang dari 15 th

lebih dari 2/3 memasuki dunia kerja hanyalebih dari 2/3 memasuki dunia kerja hanyaberbekal pendidikan dasar atau kurang

UUD-45, Pasal 34 “Fakir miskin dan

anak terlantaranak terlantardipelihara oleh

negara”

mereka tidak dapatpmenikmati hak dasaranak atas pendidikankeselamatan fisik perlindungan, bermainperlindungan, bermaindan rekreasi

Kaum Muda Yang Bekerja4045Tingkat pengangguran pekerja muda

Pekerja Muda

2025303540Tingkat pengangguran pekerja muda

dengan latar belakang pendidikan SMA dan Perguruan Tinggi tetap tinggi dan cenderung meningkat

05

101520tinggi dan cenderung meningkat

1. Pendidikan Kaum Muda meningkat2. Kaum Muda berpendidikan yang

b dikit t i 1985 1990 1995 2000 2002

TdkSklh TdkSD SD SMP SMA Univ

menganggur sebenarnya sedikit, tapiproporsinya tinggi

20

25 Pekerja Dewasa

10

15

20

Tingginya tingkat pengangguran pekerja dewasa berpendidikan Perguruan Tinggi

5

10g gg

01985 1990 1995 2000 2002

TdkSklh TdkSD SD SMP SMA Univ

P K M d di d b l t h 1985Pengangguran Kaum Muda di pedesaan sebelum tahun 1985lebih rendah daripada di perkotaanSetelah itu, pengangguran di pedesaan selalu diatas perkotaan

sektor informal banyak membantu Kaum Muda di perkotaan

T t g   g Tantangan yang d h d ddihadapi Kaum Muda

Page 128: Modul Non Formal Ok

Paradox Kaum MudaTIDAK

SEKOLAHTIDAK

BEKERJA

DAMPAK DAMPAK DAMPAK SOSIAL

KESEHATANKESEHATANNARKOBANARKOBA

Tidak bersekolah sekaligus menganggur berdampak-sosial l bi b d lti di iyang luar biasa besar dan multi dimensi

Dinamisnya Kaum Muda justru dengan mudah menjerumuskan mereka misalnya kedalam jaring-jaringmenjerumuskan mereka, misalnya, kedalam jaring jaring

narkoba dan persoalan kesehatan

Paradox Kaum MudaKaum Muda merupakan kelompok resiko tinggi dan sangat rentan terhadap masalahsangat rentan terhadap masalahseksualitas, HIV dan AIDS serta Narkoba kehamilan yang tidak y gdikehendaki serta penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual

Paradox Kaum Mudak bi k k i tkebiasaan merokok pintu-

masuk penyalahgunaan narkoba

M d Masa depanKaum Muda

HARUSNYA HARUSNYA B E G I N I

Peraturan dan Kebijakan yang perluPeraturan dan Kebijakan yang perludikembangkang

1. Kaum muda memperoleh universal akses untuk ppendidikan dasar dan remaja

2 Peningkatan kualitas pendidikan terutama terkait2. Peningkatan kualitas pendidikan terutama terkaitdengan life skill education, education livehood dan character buildingdan character building

3. Kamu muda lebih mengakses pada pelatihan

Peraturan dan Kebijakan yang perluPeraturan dan Kebijakan yang perludikembangkang

4. Meningkatkan equity akan kesehatan dang q ypendidikan

5. Kaum muda memperoleh universal akses untuk5. Kaum muda memperoleh universal akses untukinformasi dan konseling kesehatan termasuk KR yang ramah remajaKR yang ramah remaja

6. Membatasi kaum muda dari aksesibilitas kepada perilaku berisikokepada perilaku berisiko

Page 129: Modul Non Formal Ok

TERIMA KASIH YA...

Page 130: Modul Non Formal Ok

L-55

Penduduk Usia Produktif dan Ketenagakerjaan1 1. Pendahuluan Tulisan ini bertujuan untuk menyediakan informasi tentang keterkaitan antara kependudukan, khususnya usia produktif dengan isu-isu keternagakerjaan Indonesia. Analisis dimulai dengan membahas konsepsi dasar angkatan kerja, dilanjutkan dengan diskusi singkat tentang bagaimana kalau salah dalam menentukan sikap terhadap penanganan dinamika kependudukan.Demikian juga bagaya bilamana penduduk tidak dikendalikan, dalam kaitannya dengan penawaran tenaga kerja dalam jangka panjang. Bagaimana pula bonus demografi dapat dimanfaatkan sebagai sebuah peluang, serta kebutuhan penduduk usia produktif.

Analisis juga menjelaskan bagaimana fenomena ketenagakerjaan, baik dilihat dari perspektif makro, fenomena mikro ketenagakerjaan, yang menjadi prioritas dalam penanganan ketenagakerjaan.Tidak lupa juga membahas bagaimana kontroversi upah minimum, dan implikasi analisis terhadap masadepan ketenagakerjaan,serta gagasan kebijakan.Tulisan ini diakhiri dengan kesimpulan. 2. Penduduk Usia Produktif 2.1. Pengertian: Penduduk Usia Produktif dan Tenaga Kerja Agar memudahkan, dapat dipahami bahwa rentang usia penduduk mulai lahir hingga meninggal. Pada rentang daur hidup manusia terdapat penduduk usia produktif. Dikatakan usia produktif, ketika penduduk berusia pada rentang 15-64 tahun 2 . Sebelum 15 tahun, atau setelah 64 tahun tidak lagi masuk ke dalam usia produktif3.

Sementara pada rentang usia 15-64 tahun, penduduk akan memiliki beragam aktifitas. Mulai dari menjalani pendidikan, mencari pekerjaan, bekerja, atau mengurus rumah tangga.Per definisi, mereka yang mencari pekerjaan dan sedang bekerja sebagai kegiatan utamanya selama seminggu yang lalu mereka termasuk ke dalam penduduk sebagai angkatan kerja. Penduduk yang bekerja, setidaknya 1 jam selama seminggu yang lalu, dalam terminologi adalah sebagai tenaga kerja. Sementara angkatan kerja yang sedang mencari pekerjaan adalah mereka yang

1 Materi ini dikembangkan oleh Direktorat Kerjasama Pendidikan Kependudukan, BKKBN dengan penulis utama adalah Elfindri, Dept of Economics, Universitas Andalas. Dapat dihubungi [email protected] dan Jahen .F.Rezki, Dept of Economic Development and Emerging Market, The York UK. Dapat dihubungi melalui [email protected]

2 Ada 2 pandangan dalam melihat batasan usia penduduk usia produktif. Pandangan pertama adalah 15-59 tahun dan pandangan kedua adalah 15-64 tahun. Kesepakatan secara internasional sekarang ini adalah untuk Negara berkembang dipakai 15-59 tahun dan untuk Negara maju dipakai 15-64 tahun. Untuk Indonesia pada ahli seringkali memakai keduanya ada yang memakai ukuran 15-59 tahun dan ada yang memakai 15-64 tahun 3 Jika penduduk pada usia di bawah 15 tahun kegiatan utamanya bekerja atau mencari pekerjaan, maka tidak lagi masuk ke dalam angkatan kerja. Persoalan yang dilihat dalam konteks ini adalah pekerja anak. Demikian juga pada usia dimana lewat dari 65 tahun, sekalipun mereka masih kelihatan produktif. Lihat Elfindri dan Nasri Bachtiar (2003) “Ekonomi Ketenagakerjaan”, Andalas University Press.

Page 131: Modul Non Formal Ok

L-56

belum bekerja sama sekali, atau masa transisi pindah pekerjaan, atau baru saja selesai sekolah dan sedang mencari pekerjaan merupakan penganggur.

Ketika sekalipun bekerja, maka ketika masa pekerjaannya di bawah jam

kerja, atau bekerja tetapi penghasilannya di bawah kebutuhan hidup. Maka kelompok penganggur tambah dengan kelompok yang bekerja kurang menjadi tantangan ketenagakerjaan. Mereka usia produktif mesti menjadi sasaran agar disiapkan, agar mereka mendapatkan manfaat dari proses pembangunan. Ketika tidak ada sentuhan, maka kelompok ini akan menjadi beban dalam proses pembangunan. 2.2. Rezim Pro-Natalis Ketika pertanyaan tentang dampak keabsahan dari teori Thomas Robert Malthus tentang pertumbuhan penduduk menurut deret ukur, sementara pertumbuhan bahan makanan menurut deret hitung diajukan, National Academic Sience of America (NASA) membuat kelompok kerja untuk menjawab pertanyaan itu. Kajian pertama kali dikoordinir oleh Ansley Coale dan Edgar M Hoover dan melihat India sebagai daerah kajian. Kajian pada awal tahun 1960 an membuktikan bakwa pertumbuhan penduduk menghalangi pembangunan. Berlawanan dengan itu, Julian Simon, ekonom Amerika membantah bahwa hubungan antara pertumbuhan penduduk terlihat tidak jelas negligible4.

Rekomendasi dari hasil kajian itu adalah negara berkembang disarankan untuk masuk kepada rezim anti natalis.Rezim pembangunan dimana penduduk mesti dikendalikan. Cara pengendalian adalah dengan mengurangi angka kelahiran, melalui program keluarga berencana, memajukan pendidikan wanita dan ekonomi keluarga.

Indonesia sangat jelas menggunakan cara pandang itu ketika profesor Wojoyo Nitisastro, ekonom UI, menjabat menjadi ketua Bappenas semenjak Repelita II, tahun 1974. Ketika itu persoalan kependudukan terintegrasi ke dalam perencanaan pembangunan. Pada awal periode pertama, maka Jawa dan Bali dijadikan sebagai prioritas program KB nasional, kemudian dilanjutkan Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Nusatenggara sebagai prioritas tahap berikutnya.

Intensifnya kebijakan keluarga berencana di Indonesia telah menyebabkan transisi demografi begitu cepat di Indonesia.Jawa dan Bali tercatat sebagai daerah dimana angka kelahiran telah turun lebih cepat dari perkiraan. Sementara Sumatra dan daerah lain mengikutinya. Proses ini berlanjut dan berakhir menjelang kejatuhan Soeharto. Setelah zaman reformasi, sepertinya aspek kependudukan kehilangan petunjuk dan arah.Nampaknya berbalik kepada rezim dimana tidak mendapatkan perhatian yang utama, atau setidaknya menganut berlawanan dengan anti-natalis, alias pro-natalis. 2.2. Bukti empiris:

Potensi dan Konsekwensi Dikatakan tidak terarah, jelas ketika target angka kelahiran total (TFR) pada tahun 2015 sebesar 2,1 per wanita dipastikan tidak akan tercapai. Kenapa?.Mari kita simak hasil Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) dua seri waktu terakhir.SDKI

4 Lihat Ansley Coale and Edgar M.Hoover (1960) “Population Growth and Economic Development: The Case of India”, Oxford University Press.

Page 132: Modul Non Formal Ok

L-57

2007 dan 2012 merupakan dua informasi terakhir dari data kependudukan di Indonesia5.

Dari hasil yang paling mutakhir menunjukkan bahwa angka kelahiran, yang dihitung dari rata-rata kelahiran wanita berusia 15-49 tahun telah mengalami kenaikan dari 2,4 per wanita, menjadi 2,6. Sebuah pertanda terjadi kenaikan dari angka kelahiran.Temuan demikian sejalan dengan hasil sensus penduduk 2010, dimana jumlah penduduk Indonesia melebihi dari perkiraan yang ditetapkan sebelumnya. Bagaimana menjelaskan fenomena itu?.

Sesuai dengan perkiraan jumlah penduduk, ketika tahun 2010 misalnya

akibat dari kelahiran dan kematian, maka jumlah penduduk diperkirakan sebesar 240 juta orang. Dari jumlah itu sebesar 106,8 jumlah penduduk pada usia di bawah 25 tahun, usia dimana transisi menuju produktif. Bayangkan saja, jumlah penduduk yang masuk dalam rentang usia sekolah adalah sebanyak 66 juta orang (Lihat Tabel 1)

Penduduk bisa menjadi modal pembangunan, karena dapat menjamin terciptanya permintaan agregatif.Ini terbukti dari cepatnya laju pertumbuhan ekonomi beberapa negara yang memiliki jumlah penduduk yang tinggi, misalnya China, India, dan Indonesia.Namun sebaliknya menjadi penghalang kemajuan sosial ekonomi bagi negara seperti Bangladesh, Pakistan, Burma, dan Afganistan.Bahkan untuk sebagian besar negara-negara Afrika, pertambahan penduduk menjadi sebuah ancaman.

Melihat dampak penduduk tidak bisa secara umum.Ketika Indonesia tumbuh ekonominya secara stabil telah melahirkan generasi berpenghasilan menengah.Sementara dampak dari pembangunan masih menyisakan kelompok penduduk inklusif6. Penduduk yang tinggal pada daerah yang sulit dijangkau dalam proses pembangunan. Tabel 1: Jumlah Penduduk dan Siswa: Potensi dan Tantangan

Usia (tahun)

Population (juta)

Siswa (juta)

0-6 28.85 15.49

7-12 26.59 26.16

13-15 12.94 11.26

16-18 13.09 8.57

5Lihat Publikasi BPS (2012) Survey Demografi Kesehatan Indonesia 2012, Angka Sementara. BPS Jakarta. 6 Kelompok penduduk inklusif adalah terminologi, dimana penduduk yang masuk ke dalam disadvantage karena lokasi tempat tinggi, capaian kurang pendidikan, usaha kurang, dan tertinggal dari berbagai aspek. Akhir-akhir ini muncul kesadaran akan perlunya dijangkau penduduk yang tertinggal dalam porses pembanguna, dan pelayanan publik. Lihat Mudjito, Suharizal, dan Elfindri (2012) “Pendidikan Inkulsif”, Baduose Media.

Page 133: Modul Non Formal Ok

L-58

19-24 25.37 4.54

Total 106.84 66.03

Sumber: BPS (2012) Dapat dipastikan pertambahan penduduk bagi keluarga inklusif dapat menuai

persoalan di kemudian hari. Anak-anak yang lahir pada keluarga inklusif demikian akan mengalami kesulitan hidup dalam jangka panjang, sekaligus mereka merupakan generasi yang akan lemah. Coba saja kita periksa, begitu di Korea Selatan akses terhadap pendidikan tinggi sudah mencapai 70%, Indonesia hingga saat ini baru mampu menacapai layanan pendidikan untuk jenjang pendidikan tinggi pada kisaran 18%.

Intensitas persoalan lingkungan memang semakin tinggi, setidaknya selama

lima tahun terakhir. Seperti kejadian banjir, kebakaran hutan, kualitas lingkungan seperti polusi.Dapat diyakini, memburuknya kualitas lingkungan sangat berkaitan erat dengan pertambahan penduduk. Masihkah kita membiarkan akumulasi penduduk pada kelompok rumah tangga miskin?. 2.3. Potensi Bonus Demografi Bonus demografi adalah masa dimana angka beban ketergantungan antara penduduk usia produktif dengan penduduk usia tidak produktif paling rendah. Dengan arti kata setiap penduduk usia kerja menanggung sedikit penduduk usia tidak produktif.

Gambar 1 memperlihatkan Bonus Demografi Indonesia, dimana kondisi yang

paling ideal adalah pada rentang waktu tahun 2010-2020.Konsekwensi ikutan dari kondisi ini adalah penduduk yang bekerja akan menghasilkan penghasilan, kemudian sebagian dari pengasilan mereka akan dapat ditabungkan. Angka tabungan yang semakin tinggi dapat mempermudah proses investasi, yang pada akhirnya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Gambar 1: Bonus Demografi Indonesia

Sumber: Data Penduduk berbagai tahun BPS.

Page 134: Modul Non Formal Ok

L-59

Dampak dari bonus demografi bisa menjadi “bencana” demografi, ketika penduduk usia produktif tersebut tidak memiliki pendidikan yang memadai, tidak memperoleh keterampilan yang cukup. Ketika hal ini yang terjadi maka penduduk usia produktif bisa saja akan menjadi penganggur, dan kemudian akan ada konsekwensi ikutannya. 2.4. Kebutuhan Kebutuhan

Penduduk Usia Produktif Untuk mengantisipasi bertambahnya penduduk usia produktif, maka berikut ini perlu diperhatikan apa saja yang menjadi kebutuhan mereka.

Pertama adalah perlu disediakan pendidikan yang memadai agar mereka yang masuk ke dalam usia produktif dapat meningkatkan ilmu serta keterampilan mereka di pasar kerja.

Kedua adalah perlu penyediaan lembaga keterampilan kerja, serta informasi lapangan kerja. Proses informasi lapangan kerja sehingga memudahkan mereka untuk masuk ke pasar kerja adalah sangat memungkinkan untuk memberdayakan mereka.

Ketiga adalah upaya-upaya untuk meningkatkan partisipasi dalam kegiatan ekonomi produktif, dan sosial.Sehingga semakin banyak kelompok produktif yang dapat menyumbangkan tenaganya dalam kegiatan produksi barang-barang dan jasa jasa. 3. Persoalan Ketenagakerjaan

3.1. Fenomena Makro Ketenagakerjaan

Angka pengangguran terbuka semenjak tahun 2009 sampai tahun 2012 telah menurun dari 7,9 % menjadi 6,3%. Diperkiraan akan terjadi penurunan hingga tahun 2015. Suatu pertanda adanya dampak positif dari stabilitas ekonomi makro, termasuk dengan turunnya suku bunga dari 6,5 % tahun 2009 menjadi 5,75% tahun 2012. Sehingga jumlah penganggur dapat dikendalaikan setidaknya pada tahun 2011 (Agustus) tersisa sebanyak 7,7 juta orang.

Sebaliknya, sejak tahun 2009 jumlah penduduk yang bekerja paruh waktu

(part time worker) meningkat dari 16,2 juta orang angkatan kerja menjadi 21,1 juta orang (Agustus 2011). Saat bersamaan mereka yang masuk ke dalam setengah pengangguran juga masih tinggi pada kisaran 15,4 juta orang.

Penurunan pengangguran telah menambah jumlah angkatan kerja tidak

penuh underutilized dari 31,6 juta orang tahun 2009 (Agustus) menjadi 34,6 tahun 2011 (Agustus). Artinya jumlah angkatan kerja yang terserap pada lapangan kerja tidak penuh bertambah setiap tahunnya sebesar 1,5 juta orang.Secara implisit, kondisi pasar kerja persoalannya berubah dari persoalan pengangguran terbuka menjadi persoalan setengah pengangguran.

Persoalan yang ditimbulkan oleh fenomena ini adalah semakin banyaknya

tenaga kerja yang memiliki produktivitas kerja yang rendah, atau curahan waktu

Page 135: Modul Non Formal Ok

L-60

kerja di bawah jam kerja normal membengkak. Fenomena ini menghasilkan produktivitas sebagian dari rumah tangga menjadi rendah. Kajian Bank Dunia, memperlihatkan produktivitas tenaga kerja Indonesia tumbuh dengan laju yang rendah semenjak periode 1970 an sampai tahun 2000-an, sementara laju pertumbuhan produktivitas pada negara tetangga lain, seperti Malysia dan Thailand menunjukkan pertumbuhan yang tinggi (Bank Dunia, 2009).

Sejalan dengan persoalan pengangguran, penurunan angka kemiskinan juga

terlihat. Dengan mempedomani penetapan garis kemiskinan regional, ditemukan jumlah penduduk miskin pada tahun 2010 (Maret) sebanyak 31,02 juta turun menjadi 30,02 juta tahun 2011 (maret). Angka kemiskinan dari 13,33 persen menjadi 12,49 persen. Laju penurunan kemiskinan di daerah kota relatif sulit pada rentang waktu yang sama (0,05 juta) dibandingkan dengan daerah desa (0,86 juta). Sekalipun angka kemiskinan turun, jumlah mereka yang berada pada daerah dekat dengan garis kemiskinan masih relatif tinggi (BPS, 2012).

Karakteristik ketenagakerjaan ditelusuri menjadi jelas. Dimana distribusi

kemiskinan menurut head count index disebabkan tidak bekerja ditemukan 6,18% di daerah kota sementara di daerah desa 3,78%. Sebaliknya kemiskinan pada daerah pertanian relatif tinggi dari total kemiskinan, yakni sebesar 71,26% adalah rumah tangga pertanian (BPS, 2012). Oleh karenanya sangat diperlukan untuk mengetahui rumah tangga mana yang mengalami persoalan produktivitas rendah, apa akar masalah dan bagaimana strategi perluasan lapangan kerjanya.

Mengharapkan laju pertumbuhan ekonomi pada kisaran 6-6,5 per tahun akan tetap menempatkan persoalan tenagakerja menjadi masalah penting pembangunan. Karena pertumbuhan ekonomi setinggi demikian, relatif hanya menguntungkan berbagai kelompok tertentu, setidaknya tenaga kerja upahan. Sementara jumlah tenaga kerja yang di luar sektor upahan jumlahnya masih pada kisaran 65% dari total angkatan kerja.

Dengan demikian upaya mengisolasi persoalan tenaga kerja pada mereka

yang menganggur serta mereka yang bekerja di bawah jam kerja normal yang tidak formal, peningkatan akses dan produktivitas adalah salah satu jawaban yang mesti segera dicarikan. Indonesia mesti melakukan terobosan khusus, bagaimana mengatasi peningkatan produktivitas tenaga kerja, dan apa program utama yang dapat diajukan agar semakin tertanganinya aspek ketenagakerjaan serta kesejahteranannya.

3.2. Fenomena Mikro Tenaga Kerja

Fokus pada bagian ini adalah menelusuri bagaimana strategi kehidupan dan dimana lapangan kerja yang banyak memiliki persoalan produktivitas rendah serta kemiskinan? Dari kehidupan rumah tangga keluarga miskin dalam kaitannya dengan pekerjaan, akan ditemukan strategi bertahan yang dapat dengan mudah kita menentukan rencana aksi ketenagakerjaan.

Data makro memperlihatkan tahun 2009 sebanyak 41,4 juta bekerja di

lapangan kerja pertanian kemudian menjadi 39,2 juta tahun 2012, atau 35,7% dari total angkatan kerja. Dari hasil Susenas menunjukkan dua per tiga angka kemiskinan disumbangkan oleh rumah tangga pertanian.Sisanya adalah mereka yang masuk ke dalam kelompok buruh perkotaan dengan upahan rendah.

Page 136: Modul Non Formal Ok

L-61

Dari berbagai kegiatan penelitian yang telah dilakukan beberapa kelompok rumah tangga yang paling marginal produktivitasnya adalah

(a) Rumah tangga nelayan; (b) Rumah tangga petani berlahan sempit; (c) Sektor informal perkotaan ‘urban informal sector’ (d) Buruh Kontrak, “contractual worker”

Keempat kelompok rumah tangga ini memiliki tingkah laku livelihood yang

berbeda satu dengan yang lain, dan perlu diperhatikan bagaimana strategi rumah tangga bertahan. Memahami strategi bertahan menemukan bagaimana program strategies dapat disusun untuk meningkatkan produktifitas mereka.

a. Rumah tangga Nelayan miskin. Pada rumah tangga nelayan merupakan rumah tangga yang sangat rentan akan persoalan kemiskinan dan kurangnya produktivitas kerja. Kajian Riset Unggulan Terpadu (RUT) tahun 2001 sampai 2003 yang penulis lakukan di pantai Barat Sumatra menemukan angka kemiskinan rumah tangga nelayan relatif tinggi. Ditemukan sebanyak 82% rumah tangga menguasai penghasilan 40% terendah, sementara hanya 6,4% rumah tangga yang menguasai 20% kelompok penghasilan tertinggi. Angka ketimpangan penghasilan sesama rumah tangga nelayan ditemukan dengan indeks Gini setinggi 0,54; sementara untuk kelompok rumah tangga Gini Indonesia pada rentang 0,3-0,4 (Elfindri, 2002)7.

Dari distribusi pendapatan antar rumah tangga pesisir, memberikan makna

bahwa hanya sebagian kecil (kurang dari 10%) rumah tangga yang menguasai penghasilan 20% tertinggi, sementara sisanya masuk ke dalam kelompok rumah tangga miskin.

Pertumbuhan jumlah rumah tangga kelompok nelayan diperkirakan 2,3% per

tahun, dan angka partisipasi kerja wanita istri nelayan relatif rendah, berkisar antara 14,9%, sementara angka partisipasi kerja wanita nasional berfluktuasi antara 35-40%8.

Kehidupan sosial ekonomi rumah tangga nelayan sangat tergantung kepada

status apa yang dimiliki. Nelayan yang miskin pada umumnya adalah nelayan tradisional, atau sebagai anak buah kapal, penangkap ikan.Sementara nelayan pemilik kapal motor, atau juragan adalah kelompok yang kaya.

Konsep pengembangan produktivitas rumah tangga nelayan dapat diarahkan

untuk meningkatkan total alokasi curahan waktu kerja keluarga nelayan. Pada umumnya meningkatkan jam kerja nelayan menjadi tidak relevan, kecuali meningkatkan teknologi tangkapan. Mengingat partisipasi angkatan kerja wanita nelayan masih rendah, maka strategi pengembangan alokasi tenaga kerja keluarga nelayan dapat diarahkan pada kelompok suami dan istri keluarga nelayan.

7 Lihat Elfindri (2002) “Ekonomi Patron-Client: Fenomena Mikro Rumah Tangga Nelayan dan Kebijakan Makro”, Andalas University Press, hal. 76-77). Ulasan detail tentang masyarakat pesisir disajikan dalam Elfindri (2008) “Manajemen Pesisir dan Kepulauan”, Baduose Media. 8 Lihat kalkulasi Asep Suryahadi dkk. (2003) “Minimum wage policy and its impact on employment in the urban formal sector”, Bulletin of The Indonesia Economic Studies”, Vol. 39, No.1, April, hal. 29-50.

Page 137: Modul Non Formal Ok

L-62

Apakah penanganan kelompok rumah tangga nelayan sama dengan keluarga lain? Jawabannya sangat berbeda.Strategi utama yang sering disarankan adalah melalui pendekatan peningkatan aktivitas rumah tangga, khususnya wanita pada pekerjaan yang masih berkaitan dengan kebutuhan dan keterikatannya dengan nelayan, dengan istilah off-fishing employment.Laju pertumbuhan rumah tangga nelayan relatif tinggi dengan tingkat kemiskinan yang juga tinggi.Rumah tangga nelayan ditandai dengan masa kerja yang tidak stabil, dan fenomena ini menyeluruh ditemukan pada rumah tangga nelayan.Segregasi pekerjaan menyebabkan wanita istri nelayan adalah yang paling potensial untuk ditingkatkan alokasi waktu kerja mereka (elfindri, 2002).

b. Rumah Tangga Petani Berlahan Sempit.Persoalan utama dari rumah tangga pertanian adalah pada tiga bagian utama. Pertama adalah berkaitan dengan skala usaha pertanian yang tidak ekonomis. Sebagai akibat hasil pertanian tidak sebanding dengan struktur biaya yang dikeluarkan. Kedua adalah proses pengembangan nilai tambah. Ketiga adalah persoalan pemasaran produk pertanian. Sehingga penanganan rumah tangga pertanian berlahan sempit tidak saja dapat dilakukan melalui satu cara, melainkan disesuaikan dengan akar masalah utama yang dihadapi.

Kelompok rumah tangga ini mendominasi jumlah angka

kemiskinan.Modernisasi pertanian telah menyebabkan masukan waktu kerja di sektor pertanian semakin berkurang. Kelebihan jam kerja rumah tangga pertanian dapat digunakan untuk melengkapi usaha pertanian (on-farm), misalnya berternak, atau melakukan pekerjaan lain di luar pertanian, seperti pengolahan hasil pertanian dan perdagangan (off-farm employment). Strategi ini sangat ampuh dalam mengatasi persoalan kemiskinan yang dinyatakan oleh ekonom Harry T Oshima, seperti di Taiwan dan Jepang, sebagai negara moon soon economy9.

Ciri-ciri pertanian skala kecil adalah bahwa alokasi tenaga kerja pria dan

wanita relatif rendah untuk masa-masa tertentu.Oleh karenannya orientasi perluasan lapangan kerja lebih diarahkan untuk mencapai optimalisasi, pekerjaan tambahan yang dapat meningkatkan penghasilan rumah tangga pertanian, baik oleh suami atau istri dalam rumah tangga.

On farm employment dan off-farm eployment strategies adalah salah satu

yang dapat dikembangkan untuk rumah tangga pertanian ini. Adopsi multiplikasi pekerjaan yang seiring dengan peningkatan produksi (on farm), atau nilai tambah (off-farm) dapat dikembangkan dengan pengembangan skala usaha sejenis, sehingga akan lahir spesialisasi dari produksi ikutan dan efisensi.

Persoalan kemiskinan dan produktivitas petani berlahan sempit jelas dapat

diatasi melalui apa yang menyebabkan begitu sulitnya melakukan intervensi terhadap petani; agar produktivitasnya meningkat. Jika dilakukan perluasan jenis pekerjaan, maka 3 hal utama yang perlu disentuh, selain peningkatan keterampilan kerja (wirausaha), peningkatan akses modal yang murah dan diperlukan juga penguatan kelembagaan keuangan mikro serta pendamping agar paket pengembangan program untuk kelompok ini dapat berjalan sebagaimana mestinya.

9Lihat jugaElfindri (2007)”Rahasia Sukses Membangun Daerah”, Gorga Media.

Page 138: Modul Non Formal Ok

L-63

c. Rumah Tangga Sektor Informal. Kelompok ketiga adalah rumah tangga sektor informal perkotaan. Kelompok ini mendominasi status pekerjaan self employed dari tenaga kerja, dan sekitar dua per tiga dari angkatan kerja masuk ke dalam status di luar sistem upahan. Mereka masuk ke dalam kategori pekerja keluarga tanpa dibayar, pekerja mandiri, self employed, pekerja dengan dibantu buruh tetap, dan pekerja bukan dibantu buruh tetap. Kelompok rumah tangga ini sangat tahan akan goncangan eksternal, namun masih terbatas memperoleh proteksi dan pengembangan dari pemerintah.

Keluarga sektor informal ditandai dengan skala usaha yang relatif terbatas,

dengan akumulasi modal yang terbatas pula.Walaupun demikian, rumah tangga sektor informal menjadi pilihan karena relatif lebih memperoleh penghasilan dalam skala lebih jelas dibandingkan dengan rumah tangga petani.

Beragam kebutuhan utama yang diperlukan oleh keluarga sektor

informal.Kebutuhan mereka sangat tergantung kepada bentuk dan jenis pekerjaan yang ada, bersamaan dengan potensi bagi rumah tangga untuk dapat dioptimalkan lagi alokasi tenaga kerja.Bagi yang bekerja di sektor peningkatan nilai tambah, maka usaha untuk mengembangkan keterampilan, kualitas produksi dan permodalan adalah bagian yang penting.Demikian juga bagi yang bekerja pada sektor penjualan, maka jaminan tempat berusaha, sekaligus beberapa kebutuhan permodalan dan teknologi; agar skala kerja mereka masuk ke dalam skala ekonomi, dan mereka bisa mengembangkan diri.

Kelompok yang juga perlu disentuh oleh kebijakan adalah bagaimana

menjamin iklim usaha bagi rumah tangga sektor informal perkotaan.Pada kelompok ini penataan jenis usaha dan skala usaha adalah salah satu intervensi untuk meningkatkan produktivitas kerjanya.

Sementara buruh perkotaan kelompok rumah tangga miskin menjadi

perhatian penting agar kelompok rumah tangga ini memperoleh akses meningkatkan aktivitas kerja.Oleh karena pada kelompok ini perluasan lapangan kerja disesuaikan dengan persoalan utama.Keterampilan, modal kerja serta institusi menjadi sasaran dari paket kebijakan peningkatan produktivitas kerja.

d. Rumah Tangga Buruh Kontrak “contractual worker” Sementara kelompok terakhir adalah buruh kontrak “contractual worker”. Jika kita jeli melihat tuntutan buruh akhir-akhir ini adalah bagaimana upah minimum mereka ditingkatkan, pada saat bersamaan adanya kepastian dari kelompok ini untuk bekerja. Kelompok pekerja ini menginginkan tidak saja mereka nyaman dengan cara pembayaran harian, mingguan atau bulanan, bahkan semakin besar keinginan untuk lebih stabil lagi menjadi pekerja permanen. Kenyataan demikian juga terbukti ketika dihitung dampak kenaikan upah minimum oleh Suryahadi dkk (2003:43), dimana peningkatan upah minimum mengurangi jumlah pekerja kontrak, mengurangi jumlah pemakaian wanita pada pasar kerja, dengan koefisien elastisitas 0,1. Dengan arti setiap kenaikan upah minimum 10% mengurangi jumlah pemakaian tenaga kerja sebesar 1%.

Aksi buruh perkotaan untuk meminta agar tidak dilakukan proses outsourcing

secara implisit buruh meminta kepastian dalam status.Ini berarti tingkat kesejahteraan buruh saat ini memerlukan peningkatan.Pemerintah menemui dilema menghadapi persoalan ini, karena outsourcing adalah bagian dari fenomena sistem pemanfaatan pekerja.

Page 139: Modul Non Formal Ok

L-64

Yang dapat dilakukan adalah dengan mengembangkan kompensasi kerja

bagi rumah tangga buruh kontrak “contractual rorker”.Pada kelompok ini program kompensasi dapat diarahkan terhadap akses pekerjaan pada istri mereka.Tiga sasaran kebijakan, meningkatkan akses dan keterampilan, akses modal kerja, dan pengembangan institusi.

4. Proyeksi Distribusi Mutu Tenaga Kerja

Pada masa yang akan datang akan terjadi perubahan komposisi tenaga kerja, jika dilihta dari latar belakang pendidikannya. Gambar 2 memperlihatkan kondisi tahun 2010 dan proyeksi 2025 sesuai dengan skenario yang dikembangkan oleh Mentri Pendidikan Dan Kebudayaan.

Apa yang menarik adalah bahwa pada tahun 2010 sekitar 7,5% dari angkatan kerja yang memiliki pendidikan tamat Pendidikan Diploma sampai universitas. Diperkirakan sampai tahun 2025 penduduk yang menamatkan pendidikan tinggi (baik pendidikan komunitas, kepoliteknikan dan universitas) akan mencapai 16% dari distribusi keseluruhan tenaga kerja.

Demikian juga upaya untuk meningkatkan mutu tenaga kerja selain meningkatkan proporsi mereka yang berpendidikan tinggi, juga memperkuat jumlah penduduk yang mengecap pendidikan menengah. Jelas terlihat bahwa pendidikan vokasional jenjang menengah akan mendominasi untuk menyediakan tenaga kerja terdidik. Komposisinya akan ditingkatkan dari sekitar 14,7 per sen menjadi 20%, pertambahan juga terjadi pada kelompok yang menamatkan pendidikan menengah atas umum. Tetapi yang jelas, pendidikan yang hanya menamatkan pendidikan SD diperkirakan hanya tersisa menjadi 30% dari sekitar 50,4 tahun 2010. Gambar 2: Proyeksi Komposisi Pendidikan Tenaga Kerja Indonesia 2010-2025

0

10

20

30

40

50

60

PT Diploma 1-3

SMU Vocational SMP SD<

2010

2015

2025

Page 140: Modul Non Formal Ok

L-65

5. Pengangguran Terselubung10 Pernah Dirjen Pendidikan Tinggi, Djoko Santoso, berseloroh sebelum beliau memulai presentasi. Dinyatakan bahwa sebenarnya pengangguran tamatan pendidikan tinggi itu tidak serius.Kenapa, karena para sarjana yang dianggap menganggur bukanlah menganggur.Mereka yang masih berfikir untuk mencari pekerjaan sebenarnya telah bekerja setidaknya memikirkan pekerjaan.

Pada kesempatan lain tahun 1990-an, Aris Ananta, Ekonom jebolan Duke University juga pernah menyatakan bahwa menganggur itu merupakan jasa mewah, alias masuk kategori waktu “lux”. Oleh karenanya para penganggur tidak perlu dikasihani.Karena mereka menganggur masih menerima subsidi dari keluarga. Sepanjang subsidi itu masih tersedia, maka menganggur masih akan jalan terus.

Kedua pandangan di atas tentunya hanyalah sebuah pandangan yang skeptis.Dimana persoalan pengangguran terdidik sebenarnya sebuah fenomena mirip gunung es. Di Eropa, krisis saat ini memang telah membuat angka pengangguran tertinggi dalam abad ke 21. Katakan itu terjadi di Italia, Spanyol dan Yunani. Angka pengangguran terdidik usia muda sudah di atas 55%.

Hingga kini belum ada tanda-tanda angka pengangguran di Eropa untuk menurun. Penganguran di negara dimana pasarkerjanya formal, serta pemerintahan menganut “negara kesejahteraan”, persoalan pengangguran jauh lebih berat dibandingkan dengan persoalan pengangguran terbuka di negara berkembang. Karena masyarakatnya sudah dimanjakan dengan sistem kompensasi pengangguran. Pekerjaan non formal sulit ditumbuhkan, karena masyarakatnya tidak terbiasa untuk masuk ke pasar kerja di luar sistem upahan, selain dari ketatnya regulasi.

Sebaliknya pada masa dimana Indonesia tumbuh ekonominya pada rentang

6-6,5% persen, angka pengangguran terbuka telah menurun. Angka terakhir tahun 2012 mendekati 6% telah turun sekitar 3% point dibandingkan dengan lima tahun sebelumnya 2007.

Namun, rendahnya angka pengangguran terbuka itu tidak sejalan dengan

angka pengangguran terdidik dan kalangan muda.Dimana variasinya sangat jelas, dan besaran angka pengangguran tetap membahayakan.

Data pengangguran terdidik memang baru menampilkan persentase penganggur berdasarkan jenjang pendidikan yang ditamatkan. Sehingga angka total pengangguran terdidik tidak separah yang dibayangkan. Data dasar Susenas ketika dilebih detail temuan justru mencengangkan.

Untuk jurusan-jurusan sains dasar dan ilmu pertanian, angka pengangguran

sarjananya setidaknya sudah di atas 30%.Angka pengangguran bidang sosial, seperti hukum, keagamaan, ilmu sosial lainnya dan sastra, angka pengangguran juga pada kisaran itu.Hanya untuk bidang-bidang tertentu seperti IT, akuntansi, dan bisnis, angka pengangguran di bawah 10%.Angka pengangguran tamat SLTA masih tinggi sekalipun tamat pendidikan kejuruan.

Persoalan pengangguran terbuka anak muda dan mereka terdidik lebih diperparah lagi dengan kenyataan mereka yang bekerja, namun masih rendah jam kerjanya. Jika digabung antara pengangguran dan bekerja di bawah jam kerja 10Materi ini sudah dipublikasikan pada Koran SINDO, tanggal 22 Februari 2012.

Page 141: Modul Non Formal Ok

L-66

normal (di bawah 15 jam per minggu), maka jelas fenomena pengangguran terselubung bagi anak muda dan terdidik adalah fenomena sangat serius ke depan. 6. Pro Kontra Upah Minimum Gubernur DKI Jakarta akhirnya menaikkan Upah Minimum Provinsi (UMP) menjadi Rp2.2 juta.Kebijakan ini tentunya menimbulkan pro kontra dari berbagai pihak.Pihak yang merasa diuntungkan tentunya para pekerja dan serikat buruh yang terus menuntut kenaikan upah. Di sisi yang lain, para pengusaha menilai kebijakan ini sangat memberatkan mereka. Karena biaya (cost) yang harus mereka keluarkan untuk gaji pegawai menjadi lebih besar.Para akademisi pun ikut terbelah dalam menilai kebijakan ini, ada yang setuju, namun lebih banyak yang menyuarakan kritikan terhadap kebijakan ini.

Pihak yang setuju dengan kenaikan upah minimum menganggap bahwa dengan dilakukannya kebijakan ini akan berdampak pada peningkatan standar hidup kelompok masyarakat miskin, serta meningkatkan standar hidup secara keseluruhan. Di sisi yang lain, kenaikan upah diharapkan mampu meningkatkan produktivitas pekerja dan juga menuntut mereka mengikuti pelatihan untuk meningkatkan kemampuan.

Kelompok yang kontra dengan kebijakan ini juga memiliki alasan yang logis. Dengan adanya kebijakan menaikkan upah minimum, pihak yang akan sangat dirugikan adalah usaha kecil yang tidak mampu membayar pekerjanya lebih tinggi. Kenaikan upah juga diperkirakan akan meningkatkan harga sebagai imbas dari naiknya upah dan biaya produksi produsen.

Isu upah minimum sendiri telah menjadi perdebatan secara global.Sejak diperkenalkan pertama kali pada tahun 1894 di Selandia Baru, pro-kontra tentang perlunya menaikkan upah minimum terus bergejolak.Terakhir majalah The Economist (24 November 2012) memuat satu artikel mengenai kebijakan ini.Menariknya, dalam artikel tersebut diangkat beberapa temuan yang menunjukkan bahwa ternyata pelaksanaan kebijakan upah minimum secara moderat bisa memberikan manfaat.

Salah satu penelitian yang menemukan manfaat dari kebijakan upah minimum adalah studi yang dilakukan oleh David Card dan Alan Krueger (1994).Mereka mencoba melihat dampak kenaikan upah minimum terhadap restoran fast-food di New Jersey dan Pennsylvania, Amerika Serikat.Hasilnya adalah setelah dilakukannya kebijakan kenaikan upah minimum, ternyata terjadi kenaikan jumlah pekerja, berbeda dengan teori ekonomi yang menyatakan sebaliknya.

Temuan ini dikritik oleh berbagai pihak, salah satunya oleh peraih Nobel Ekonomi tahun 1992, Gary Becker. Studi terbaru yang dilakukan oleh Newmark et al. (2012) juga senada dengan Becker .Dalam kajian ini, mereka menemukan bahwa ternyata kenaikan terhadap upah minimum memberikan dampak yang sangat buruk bagi tingkat pengangguran.Temuan ini membantah studi yang dilakukan oleh Card dan Krueger sebelumnya. Upah Minimum dalam Kerangka Ekonomi.Dari sisi ekonomi sendiri, temuan Card dan Krueger sangat berbeda dengan teori ekonomi yang selama ini terjadi.Kenaikan

Page 142: Modul Non Formal Ok

L-67

upah minimum menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah pekerja (supply of labour).Kondisi ini dikarenakan naiknya upah minimum menjadi insentif bagi para pekerja untuk masuk ke dalam pasar tenaga kerja (labour market).

Di sisi yang lain, kenaikan upah menyebabkan perusahaan mengalami kenaikan biaya yang harus mereka keluarkan. Akibatnya, perusahaan harus mengurangi jumlah pekerja (demand for labour) yang akan dipekerjakan untuk menghindari kemungkinan rugi akibat biaya yang semakin membengkak.

Karena jumlah pekerja yang tersedia lebih besar daripada kemampuan perusahaan untuk mempekerjakan pegawai, timbullah kelebihan jumlah pekerja (excess supply of labour) dan mereka ini yang masuk kedalam kelompok pengangguran (unemployment).Inilah yang melandasi kenapa banyak akademisi menentang kebijakan kenaikan upah.

Tidak hanya itu, dari sisi pekerjanya sendiri, kebijakan kenaikan upah minimum tentunya akan sangat merugikan pekerja yang memiliki kualifikasi yang sangat rendah (unskilled labour) karena perusahaan hanya akan menerima pekerja dengan kualifikasi yang tinggi (skilled labour) sesuai dengan biaya yang mereka keluarkan. Realita inilah yang menjadi ketakutan banyak pihak sebagai imbas dari kenaikan upah minimum di DKI Jakarta. Keputusan yang dibuat oleh Gubernur tidak hanya meningkatkan kemungkinan bertambahnya tingkat pengangguran, tapi disisi yang lain kebijakan ini akan menjadi pintu masuk bagi masyarakat di daerah untuk mencoba peruntungan datang ke Jakarta dan tentunya menambah jumlah penduduk ibukota yang harus diurus oleh pemerintah. Belajar dari Inggris.Kebijakan upah minimum yang dilakukan oleh Inggris bisa menjadi contoh yang baik jika ingin tetap melakukan kebijakan upah minimum. Kebijakan yang diterapkan melakukan pendekatan yang berbeda baik bagi pekerja senior maupun pekerja usia muda. Pemuda mendapatkan upah minimum yang lebih rendah dibandingkan yang diperoleh oleh pekerja senior. Perbedaan ini akan berubah tiap tahunnya sehingga pada akhirnya para pekerja usia muda memiliki upah minimum yang sama dengan pekerja senior. Pada saat ini, dampak dari kebijakan upah minimum terhadap pengangguran tidak terlalu besar atau tidak ada.

Dampak yang paling mencolok dari kebijakan ini adalah penyebaran upah.Kebijakan ini sepertinya mampu meningkatkan pendapatan secara menyeluruh dan mengurangi kesenjangan pendapatan.Kesenjangan upah di Inggris telah menurun drastis semenjak tahun 1990an. Pihak yang paling diuntungkan dari kebijakan ini adalah perempuan yang pendapatannya tidak terlalu jauh jika dibandingkan dengan pekerja laki-laki. Pihak lain yang diuntungkan melalui kebijakan ini adalah para pekerja yang selama ini memperoleh pendapatan sangat rendah.

Sekarang tugas dari pembuat kebijakan adalah memastikan kebijakan ini tidak menimbulkan efek negatif bagi pasar tenaga kerja.Ini menjadi sangat penting mengingat saat ini pasar tenaga kerja kita sangatlah besar dengan jumlah pemuda yang semakin besar dan harus bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin.

Page 143: Modul Non Formal Ok

L-68

7.Kebijakan Untuk Meningkatkan Akses dan Mutu Tenaga Kerja 7.1. Menyediakan Pasar Kerja Inklusif Wakil presiden Boediono telah memberikan penekanan kepada kesejahteraan tenaga kerja sebagai prioritas utama.Sebuah pendirian kebijakan yang disampaikan dihadapan seminar Indonesia Investment Summit (Jakarta Post, 7/11/2012).Statement itu wajar saja, mengingat para undangan adalah lebih banyak dihadiri oleh investor.Mereka pengguna pasar kerja formal.

Penekanan kebijakan ini sebagai konsekwensi logis tuntutan buruh.Secara empiris buruh yang ikut anggota perserikatan relatif memiliki kesejahteraan lebih tinggi dari yang bukan anggota. Namun yang disanksikan adalah kualitas dari tuntutan buruh, yang mengarah kepada ketidakstabilan proses kerja pada industri.

Dari struktur pasar kerja Indonesia memperlihatkan 40% tenaga kerja terikat

dengan upah. Sisanya pekerja di luar sektor upahan, berupa self employed dan unpaid family worker. Kelompok pekerja tersebut tentunya tidak masuk ke dalam prioritas seperti ungkapan wapres di atas.

Akumulasi masalah lain juga terlihat, bahwa angka pengangguran terbuka

Agustus 2012 pada kisaran 6,2%. Dengan jumlah penganggur sebanyak 7,24 juta orang. Sementara lima tahun sebelumnya angka itu masih pada kisaran 9%. Sebuah dampak dari stabilnya laju pertumbuhan ekonomi Indonesia. Diperkirakan dalam dua tahun ke depan pengangguran terbuka akan menurun.

Di balik indikator pasar kerja demikian membaik, masih banyak indikator ikutannya. Jika angka pengangguran terbuka menurun, angka pekerja tidak tetap menunjukan kenaika misalnya 16,7% tahun 2009 menjadi 21,1% tahun 2011. Jadi secara implisit menurunnya angka pengangguran sebenarnya menaikkan jumlah pekerja yang tidak tetap. Kelompok ini tidak sama dengan buruh, kelompok ini masuk ke dalam pekerja inklusif.

Kenapa daya serap ekonomi menggeser pola pemanfaatan tenaga

kerja?Setidaknya beberapa argumentasi dapat dijelaskan.Pertama adalah tenaga kerja yang ada sekarag adalah masuk dalam kategori tenaga kerja unskilled atau semi skilled labor.Komposisi tenaga kerja tidak terampil ini, yang diperlihatkan oleh struktur pendidikan angkatan kerja 49,3% hanya tamat sekolah dasar.

Sesuai dengan pandangan berbagai ahli ekonomi, karakter pasar kerja

berpendidikan rendah ditandai dengan upah yang rendah. Akan tetapi pada saat serikat pekerja semakin meningkat intensitas perjuangannya, maka muncul persoalan ikutan, dimana akan semakin banyak tuntutan akan kenaikan upah. Untuk yang terakhir ini tidak saja tuntutan akan upah yang semakin marak, namun juga semakin intensifnya tuntutan untuk menjadikan buruh kontrakan menjadi buruh permanen. Tarik menarik dari situasi pasar kerja demikian mesti akan semakin marak pada masa yang akan datang.

Kedua adalah tidak meratanya daya tarik investasi antar daerah. Diketahui

bahwa permintaan akan tenaga kerja murahan sangatlah tinggi setidaknya pada daerah-daerah kawasan industri, misalnja di sekitar Jabodetabek atau Gerbangkertasila Jawa Timur. Arah investasi selama ini masih tetap didominasi oleh industri yang berkembang pada kawasan-kawasan tersebut.Ini menghasilkan semakin tingginya mobilitas tenaga kerja.Daerah dimana tujuan tenaga kerja kasar, maka ditandai dengan tingkat pengangguran „impor‟ terbuka yang relatif tinggi.Kenyataan sebenarnya Indonesia membutuhkan pemerataan investasi supaya

Page 144: Modul Non Formal Ok

L-69

perluasan lapangan kerja meluas, dan sekaligus pemerataan hasil-hasil pembangunan terwujud.

Ketiga, kemajuan teknologi, sebagian besar pertumbuhan ekonomi didorong

oleh pertumbuhan sektor-sektor yang memiliki pekerja terampil yang relatif tinggi.Diantaranya adalah dalam memenuhi tambahan pekerjaan pada sektor jasa dan manufaktur berteknologi tinggi. Permintaan akan tenaga kerja yang berketerampilan tinggi, bahkan diisi oleh pekerja yang berasal dari tenaga kerja asing.

Keempat dari sisi penawaran, dapat dipahami, sekalipun semakin tahun

semakin banyak pencari kerja muda yang berpendidikan menengah dan tinggi, diperkirakan tamatan pendidikan tinggi juga tidak siap memasuki dunia kerja. Hasil olahan data Susenas menjelang tahun 2010 menunjukkan bahwa angka pengangguran pencari kerja terdidik bahkan telah mencapai 20 sampai 40% tergantung dengan apa bidang dan jenis keilmuan yang dimiliki. 7.2. Memperbaiki Sisi Supply Investasi sebenarnya adalah pendorong perluasan lapangan kerja.Makin tinggi investasi semakin besar perluasan lapangan kerja.Namun yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah bagaimana sisi penawaran semakin lama semakin berkualitas.Ada setidaknya tiga pendekatan yang perlu dilakukan untuk memenuhi target pekerja inklusif ini.Pertama adalah mengintensifkan upaya untuk membekali tenaga kerja menjadi berketrampilan. Program pengembangan kelembagaan keterampilan menjadi sangat perlu pada masa yang akan datang. Tugas yang semestinya semakin banyak dilakukan oleh dinas tenaga kerja di daerah.

Kedua adalah pemerintah semestinya tidak saja fokus dalam mengelola bagaimana upah minimum meningkat?. Kenapa setiap kenaikan upah minimum, akan berdampak kepada alih daya semakin berkurang penggunaan tenaga kerja yang tidak terampil, karena pengusaha berusaha untuk melakukan substitusi tenaga kerja dengan teknologi. Elastisitas kenaikan upah ini dapat diperiksa dari hasil kajian sebelumnya yang besarnya sekitar -0,1%.Setiap kenaikan 10% upah minimu dapat menurunkan penggunaan tenaga kerja sebesar 1%.Oleh karenanya mesti dipelajari bagaimana membangun sistem penggunaan tenaga kerja, diantara perumahan, transportasi, dan asuransi.Dengan penataan komponen ini dapat menekan sisi komponen pengeluaran tenaga kerja.

Ketiga adalah bagimana memastikan informasi pasar kerja dapat diketahui

secara luas oleh pencari kerja. Daron Acemoglu (Journal of Economic Literature, 2012) membuat simulasi bahwa semakin banyak peluang penawaran lapangan kerja, maka akan dapat menurunkan pengangguran. Ini terjadi di negara dimana pasar kerjanya pada umumnya formal.Hasil kajian demikian konsisten baik sebelum atau sesudah terjadinya resesi ekonomi. Dalam kaitan ini, hal yang sama juga semakin baik dikembangkan di Indonesia. Dimana pasar kerja formal, yang menghiasi pasar kerja domestik pada kisaran 40%, sebaiknya menjadi target pemerintah untuk meningkatkan. Kenapa?, karena semakin besar proporsi angkatan kerja upahan, akan semakin stabil pasar kerja.

Keempat, justru yang lebih terfokus perlu dilakukan oleh pemerintah adalah

bagaimana meningkatkan mutu penawaran dari tenaga kerja yang berada di luar sistem pasar kerja formal.Selama ini pekerja informal masih belum banyak mendapatkan perhatian dan sentuhan.Dalam kasus seperti ini, maka setiap daerah

Page 145: Modul Non Formal Ok

L-70

memerlukan peta jalan yang jelas bagaimana meningkatkan keberadaan dari pasar kerja informal.Tanpa ini dilakukan, maka pengangguran terbuka sebenarnya menunggu efek negatif ikutannya. 8. Kesimpulan Tulisan ini bertujuan untuk memberikan penjelasan tentang penduduk usia produktif, dan kaitannya dengan kebijakan kependudukan dan ketenaga kerjaan. Dimulai dengan menyajkan bagaimana pemikiran kebijakan kependudukan, dan bagaimana kecendrungan yang terjadi.Hasil kajian menujukkan bahwa selain ada kecendrungan peningkatan angka kelahiran, Indonesia juga menghadapi tahapan dimana munculnya bonus demografi. Analisis berikutnya mencoba meihat situasi ketenagakerjaan di Indonesia.Dimulai dengan melihat fenomena makro ketenagakerjaan.Kemudian dilanjutkan dengan membahas fokus pengembangan ketenagakerjaan.Dilanjutkan dengan mengupas pengangguran dan masalah upah.Pada analisis ini jelas, kesejahteraan tenaga kerja semestinya sejalan dengan peningkatan upah tenaga kerja.Tekanan tenaga kerja berada pada penduduk berpendidikan dan berusia muda.Terakhir, analisis singkat yang juga menjelaskan bagaimana potensi kebutuhan yang lahir dengan bertambahnya penduduk usia produktif.

Page 146: Modul Non Formal Ok

PENDUDUK US IA PRODUKT I FP ENDUDUK  US IA  PRODUKT I F  DAN  KET ENAGAKER JAAN

D i r e k t o r a t K e r j a s a m a P e n d i d i k a n K e p e n d u d u k a nB K K B N

Visi 2025Visi 2025 100 tahun kemerdekaan

“Mengangkat Indonesia menjadi negara2045PDB ~US$ 16.6 TrilyunPrediksi Pendapatan/kapita

maju dan merupakan kekuatan 12 besardunia di tahun 2025 dan 8 besar dunia pada tahun 2045 melalui pertumbuhan

2025PDB: 3,8 – 4,5 Trilyun US$Pendapatan/kap:

Prediksi Pendapatan/kapita ~US$ 46,900Diprediksi menjadi terbesar ke-7 atau ke-8 dunia*)

p pekonomi tinggi yang inklusif danberkelanjutan”

2010

Pendapatan/kap:13.000 – 16.100 US$Terbesar ke-12 duniaProyeksi KEN Pendapatan/kapita ~US$ 14 900 (high income country)

PDB ~ US$ 700 MilyarPendapatan/kap US$ 3,000 (2010)Terbesar ke-17 besar dunia

14,900 (high income country)SumberSumber:  :  Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011 – 2025

2

Pencapaian Visi 2025 dan 2045 memerlukan penyiapan generasi yang mampu berperan aktifdalam kegiatan pembangunan

Visi Nasional Ekonomi Indonesia direncanakan menjadi 1 diantara 7 negara terbesar tahunj g

2045 (McKenskey, 2012) Visi Kependudukan mendapatkan tantangan: Apakah Indonesia Anti Malthusian?

Persoalan dan Potensi Penduduk Usia produktif Pergeseran masa depan Usia Penduduk Bonus Demografi Potensi dan Bahaya Bonus Demografi Potensi dan Bahaya Kebutuhan Tenaga Kerja Produktif

Tenaga Kerja, Konsep, persoalan tenaga kerja, pengangguran, Pro job, Kontroversi upah minimum, dan strategi perluasan lapangan kerja

Kependudukan dan Tema Pengembangan 6 Koridor EkonomiIndonesia

"Sentra produksi dan pengolahan hasil 

bumi""Lumbung energi 

i l""Lumbung pangan 

nasional"bumi nasional" nasional

Koridor Pantai Timur K id  K liSumatra – Jawa Bag. 

BaratKoridor Kalimantan

Koridor Sulawesi

Koridor Pantai Utara Jawa

Koridor Jawa Timur Koridor PapuaKoridor Jawa Timur‐Bali‐NTB

Koridor Papua

"Pendorong industri & "Pi t   b  

"Kawasan dengan SDA manufaktur  nasional" "Pintu gerbang 

pariwisata nasional"melimpah dan SDM yang 

sejahtera"

Sumber: Menko Perekonomian, 2010

Point penting usia produktif dalamPoint penting usia produktif dalamkonteks pembangunan ke depanp g p Indonesia dihadapkan pada tantangan angka kelahiran dan babby boom kembalibabby boom kembali,

D k K d d k   h d    d   Dampak Kependudukan terhadap masa depan pembangunan

Membangun dengan menyelami kebutuhan usia produktif

5

Sebaran Kegiatan Ekonomi UtamaSebaran Kegiatan Ekonomi UtamaBerdasarkan 6 Koridor Ekonomi

S Kelapa KNS SelatKaretSumatera

Jawa

KelapaSawit

Tekstil

Batubara Perkapalan Besi Baja

Makanan &Minuman

PeralatanTransportasi Telematika Alutsista Perkapalan Jabodetabek

Area

KNS SelatSunda

Jawa

Kalimantan

p

BatubaraKelapaSawit Perkayuan Migas Besi Baja Bauksit

Sulawesi Pertanian Kakao Perikanan Nikel Migas

Bali ‐ NT

Papua – Maluku

Pariwisata Peternakan Perikanan

Papua MalukuIslands

Pertanian Perikanan Tembaga Nikel MigasSumberSumber:  :  Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011 – 2025

Page 147: Modul Non Formal Ok

Indonesia Education: Managing a Big Size and Bonus DemografiBonus Demografi

Population • complex

Age(year)

Population(million)

Student(million)

0‐6 28.85 15.49Population240 million

complex• challenging• noble

7‐12 26.59 26.16

13‐15 12.94 11.26

16‐18 13.09 8.57million noble19‐24 25.37 4.54

Total 106.84 66.03

7

Comparison of Population Pyramids by 2030USA JUSA Japan

G ld

IndonesiaMalaysiaGoldenopportunity!

8

Targeted Composition of Indonesian Workers

2015 2025Education : 2010(Targeted) (Targeted)

Diploma I/II/III:

Tertiary Education : 

4%

6%

8%

8%

2 8%

4,8%

Secondary (general):

p / /

8,2%10% 

4%

8,2%18% 

8%

8,2%

8,2% 

2,8%

24%

Secondary (voc.) : 16%

Junior Secon.: 22%

20%

19,1%

14,7%

40%≤ Elementary: 20%9

50,4%

MODEL STRUKTUR TENAGA KERJA (J h 2004)

Level Negara Industri Negara Berkembang

MODEL STRUKTUR TENAGA KERJA (Johanson , 2004)

Level

Management

Negara Industri Negara Berkembang

Professionals

Highly Skilled Semi-Professionals PENDIDIKAN KEJURUAN DAN 

g y

Highly Skilled Manpower

Skilled Manpower

KEJURUAN DAN VOKASI

Skilled Manpower

Semi-Skilled ManpowerUnskilled ManpowerUnskilled Manpower

FOKUS PEMBANGUNAN MUTU TENAGA FOKUS PEMBANGUNAN MUTU TENAGA KERJAKERJAKERJAKERJA

TahunTahun 20102010‐‐20142014Pembangunan pendidikan diarahkan untuk menghasilkan insan Indonesia cerdas dan kompetitif melalui peningkatan ketersediaan, keterjangkauan, kualitas dan relevansi, kesetaraan dan

5 PRIORITAS PROGRAM

p g j gkepastian memperoleh layanan pendidikan

PTPendidikanAKADEMIK

PENINGKATAN AKSES DAN DAYA SAING PENDIDIKAN TINGGI5

PT  

PM

PENINGKATAN AKSES DAN RELEVANSI PENDIDIKAN MENENGAH DAN PENDIDIKAN VOKASI4

PD

PENINGKATAN KUALITAS DAN KESEJAHTERAAN PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN3

PendidikanKARAKTER

PAUDPENINGKATAN AKSES & MUTU PAUD

PENUNTASAN PENDIDIKAN DASARSEMBILAN TAHUN YANG BERMUTU2

KARAKTER PENINGKATAN AKSES & MUTU PAUD1

11

PERPRES No. 102/2007

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NO. 102 TAHUN 2007 TTentang

PENGESAHAN KONVENSI MENGENAI PENDIDIKAN TEKNIK DAN KEJURUAN

(CONVENTION ON TECHNICAL AND VOCATIONAL EDUCATION)

SEBAGAI BENTUK PERHATIAN PEMERINTAH TERHADAP SEBAGAI BENTUK PERHATIAN PEMERINTAH TERHADAP PENGEMBANGAN PENDIDIKAN TEKNIK DAN KEJURUAN 

DI INDONESIA

12

Page 148: Modul Non Formal Ok

MATA ANGIN PERTUMBUHAN ILMUMATA ANGIN PERTUMBUHAN ILMU

S3S399

S3(T)EXPERTEXPERTSPESIALIST

S2S2 8899

S2(T)EXPERTEXPERT

PROFESSIONAL

S1S1 7766

D IV/ S1(T)

D III TECHNICIAN/TECHNICIAN/

4455

D III

D II

TECHNICIAN/TECHNICIAN/ANNALISTANNALIST

MiddleMiddleS h lS h l 22

3344

D I

Vocational SchoolSchool

1122Middle School

OPERATOROPERATOR

SCIENCE-BASEDCareerCareer

DevelopmentDevelopmentSKILLS-BASED PROFESSIONALISMSCIENCE BASEDEDUCATION

DevelopmentDevelopmentSKILLS-BASEDEDUCATION

PROFESSIONALISMBASED EDUCATION

Kebutuhan Usia Produktif Pendidikan yang semakin bermutu untuk seluruh kelompokkelompok,

T di  l  k j Tersedianya lapangan kerja

Pemerataan investasi agar kesempatan bekerja terbuka

Penyediaan pendukung, modal dan informasi

14

TantanganTantangan KetenagakerjaanKetenagakerjaanTantanganTantangan KetenagakerjaanKetenagakerjaan

15

Konsepsi Tenaga Kerja p g j Penduduk Penduduk usia produktif  15‐59 atau 15‐64 tahun (tergantung Penduduk usia produktif, 15 59 atau 15 64 tahun (tergantungMazhab yang dipakai)

Angkatan Kerjag j Mencari Pekerjaan (menganggur) Bekerja

K (  j / i ) Kurang (1‐15 jam/minggu) Normal (16‐48 jam/minggu)

Belajar/pendidikanj /p Kegiatan utama rumah tangga lainnya

16

Persoalan Tenaga Kerjag j Pengangguran terdidik mengalami peningkatan

U i   d Usia muda Pendidikan SMA/STM, dan Tamatan PT

Persoalan produktivitas tenaga kerja Tersembunyi Produktivitas Rendah Kurangnya tenaga kerja terampil dan kemajuan teknologi

17

4 Kelompok Fokus Permasalahan4 Kelompok Fokus PermasalahanTenaga Kerjag j Tenaga Kerja keluarga Nelayan

P l   d i d   i k tk   h   kt   it Perlu mengadopsi dan meningkatkan curahan waktu wanita Tenaga Kerja Petani Berlahan Sempit

l b d f k k d Perlu pengembangan diversifikasi pekerjaan dan training Tenaga Kerja sektor Informal

Perlu kepastian berusaha dan permodalan Tenaga Kerja Buruh Kontrak

Perlu perlindungan dan kepastian hak‐hak dasar

18

Page 149: Modul Non Formal Ok

Kontroversi Upah Minimump Upah ditingkatkan menyulitkan pengusaha

Upah diturunkan akan semakin banyak strike,

Cari yang paling ideal, dengan bertemu tiga partai, pemerintah, pengusaha dan perwakilan buruh

19

Strategy ke depangy p Menyediakan pelatihan 

Mengembangkan kerjasama

Memperkuat usaha produktif yang kreatif

Menata ketenagakerjaan daerahMenata ketenagakerjaan daerah

20

21

Page 150: Modul Non Formal Ok
Page 151: Modul Non Formal Ok

L-76

Penduduk Usia Lanjut Di Indonesia Tahun 1950-2050

A. Pendahuluan Salah satu dinamika penduduk yang menuntut perhatian sangat serius

dari negara adalah perubahan komposisi penduduk, utamanya perubahan

penduduk lanjut usia, baik dari jumlah absolut, maupun relatif. Hal tersebut terkait

dengan implikasi baik ekonomi sosial maupun kesehatan lansia.

Menurut Undang-undang Nomor 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan

Lanjut Usia, yang dimaksud dengan lanjut usia adalah penduduk yang telah

mencapai usia 60 tahun ke atas. Lansia termasuk dalam kategori penduduk

rentan dilihat dari kemunduran dari segi fisik, psikologis, sosial, eknomi dan

kesehatan sehingga mereka terlindung oleh jaminan sosial. Hal ini tertulis dalam

UU No. 11 tahun 2009 tentang kesejahteraan sosial yang diberikan dalam bentuk

asuransi kesejahteraan sosial dan bantuan langsung berkelanjutan.

Penduduk Lansia (usia 60 +) di seluruh dunia diproyeksi akan tumbuh

dengan sangat cepat bahkan tercepat dibanding kelompok usia lainnya.

Diperkirakan mulai tahun 2010 yang lalu telah terjadi ledakan jumlah penduduk

lanjut usia. Hasil prediksi menunjukkan bahwa persentase penduduk lanjut usia

akan mencapai 9,77 persen dari total penduduk pada tahun 2010 dan menjadi

11,34 persen pada tahun 2020.

Perubahan jumlah penduduk lansia perlu direspon secara tepat karena

jika tidak, maka akan menimbulkan persoalan yang sangat serius. Hal tersebut

didasarkan pada pemikiran bahwa penduduk lansia memiliki pengaruh besar

dalam permbangunan sosial ekonomi suatu Negara. Disamping itu lansia memilki

hak baik hak politik, social maupun ekonomi yang harus dipenuhi. Hal ini

nampaknya belum sepenuhnya direspon oleh pemerintah secara baik. Oleh

karenanya diperlukan suatu rumusan kebijakan mengenai lansia yang mampu

merespon kondisi yang ada. Dalam rangka itulah, pemerintah membentuk Komisi

Nasional Lanjut Usia yang disahkan berdasarkan Kepres No. 52 tahun 2004

yang memiliki tugas tuntuk mengkoordinasi segala upaya peningkatan

kesejahteraan sosial lanjut usia.

Bab I Pasal 1 UU Nomor 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut

Usia, juga menjelaskan bahwa pemberdayaan lansia perlu diupayakan lintas

sektor dan bersifat terpadu. Arah pemberdayaan tersebut diperlukan untuk

mengurangi kemiskinan, mendapatkan jaminan kesehatan yang lebih baik, dan

Page 152: Modul Non Formal Ok

L-77

mendukung kehidupan sosial masyarakat agar lebih berpartisipasi dalam

pembangunan. Selain itu, salah satu indikator keberhasilan pembangunan

adalah semakin meningkatnya usia harapan hidup penduduk. Dengan semakin

meningkatnya usia harapan hidup penduduk, menyebabkan jumlah penduduk

lanjut usia terus meningkat dari tahun ke tahun.

Dengan demikian, peningkatan jumlah penduduk lanjut usia menjadi

salah satu indikator keberhasilan pembangunan sekaligus sebagai tantangan

dalam pembangunan. Keberhasilan karena peningkatan jumlah lansia

merupakan dampak dari peningkatan usia harapan hidup, sementara sebagai

tantangan peningkatan jumlah lansia akan menimbulkan permasalahan penting.

Bila permasalahan tersebut tidak diantisipasi, maka tidak tertutup kemungkinan

bahwa proses pembangunan akan mengalami berbagai hambatan. Oleh sebab

itu, permasalahan lanjut usia harus menjadi perhatian kita semua, baik

pemerintah, lembaga masyarakat maupun masyarakat itu sendiri. Untuk menjadi

lanjut usia yang sehat, produktif dan mandiri, kita harus mulai dengan pola hidup

sehat dan mempersiapkan masa lanjut usia secara lebih baik. Dengan demikian,

sasaran dari permasalahan lansia tidak hanya lansia itu sendiri, tetapi juga

penduduk usia muda. Pola hidup sehat harus diterapkan sejak usia dini, bahkan

sejak dalam kandungan.

B. Faktor Demografi Yang Menyebabkan Penuaan Penduduk

Peningkatan jumlah penduduk usia lanjut dari tahun ke tahun hampir di

setiap negara di dunia, termasuk di Indonesia, dikarenakan terjadinya transisi

demografi. Transisi demografi ini ditandai dengan penurunan angka kematian

yang kemudian disusul dengan penurunan angka kelahiran. Penurunan angka

kelahiran yang disertai dengan peningkatan usia harapan hidup telah merubah

komposisi penduduk berdasarkan umur dari kelompok penduduk muda bergeser

menjadi kelompok penduduk tua. Peranan migrasi internasional kurang

bermakna dalam mengubah distribusi umur bila dibandingkan dengan fertilitas

dan mortalitas (Lesthaeghe, 2000).

1. Penurunan Angka Fertilitas Penurunan angka fertilitas telah menjadi faktor yang menyebabkan

meningkatnya jumlah penduduk usia lanjut. Angka fertilitas ini dilihat dari angka

fertilitas total (TFR). Rata-rata TFR negara maju sejak abad ke dua puluh telah

mengalami penurunan secara terus menerus. Pada tahun 1950-1955 angka TFR

Page 153: Modul Non Formal Ok

L-78

mereka telah mencapai angka 2,8 anak per wanita. Angka yang sudah rendah ini

terus mengalami penurunan hingga pada tahun 2000-2005 mencapai angka

yang sangat rendah yaitu 1,5 anak per wanita. Kini, semua negara maju telah

mencapai TFR di bawah 2,1 (replacement level). Bahkan di beberapa negara

mencapai angka 1,3 anak per wanita. Angka fertilitas total (TFR) Indonesia

mengalami penurunan dari angka 5,5 tahun 1950-1955 menjadi 2,3 pada tahun

2000-2005. Pada tahun-tahun berikutnya diproyeksi angka TFR ini akan

mencapai 2,1 dan stagnan hingga 2050 (lihat Gambar 1).

Gambar 1. TFR dan Angka Harapan Hidup Indonesia Tahun 1950-2050

2. Penurunan Angka Mortalitas Sebagaimana angka fertilitas yang mengalami penurunan, penurunan

angka mortalitas khususnya pada kelompok usia tua, menyebabkan terjadinyan

penuaan penduduk atau peningkatan jumlah penduduk usia lanjut. Kondisi ini

sangat nampak terutama di negara-negara maju yang telah lebih dulu berhasil

menurunkan angka fertilitas.

Angka harapan hidup saat lahir semakin mengalami peningkatan seiring

dengan menurunnya angka kematian penduduk. Angka harapan hidup penduduk

Indonesia usia 60 tahun ke atas mengalami peningkatan pada kurun waktu 2000-

2050. Pada tahun 2050, angka harapan hidup penduduk Indonesia usia 60 tahun

diproyeksi akan meningkat sebesar 3,8 tahun, sedangkan angka harapan hidup

penduduk usia 65 tahun meningkat sebesar 3,3 tahun. Dalam kurun waktu 50

Ang

ka H

arap

an H

idup

(Tah

un)

TFR

(Ana

k pe

r Wan

ita)

Tahun

TFR dan Angka Harapan HidupIndonesia Tahun 1950-2050

TFR AHH

L-77

mendukung kehidupan sosial masyarakat agar lebih berpartisipasi dalam

pembangunan. Selain itu, salah satu indikator keberhasilan pembangunan

adalah semakin meningkatnya usia harapan hidup penduduk. Dengan semakin

meningkatnya usia harapan hidup penduduk, menyebabkan jumlah penduduk

lanjut usia terus meningkat dari tahun ke tahun.

Dengan demikian, peningkatan jumlah penduduk lanjut usia menjadi

salah satu indikator keberhasilan pembangunan sekaligus sebagai tantangan

dalam pembangunan. Keberhasilan karena peningkatan jumlah lansia

merupakan dampak dari peningkatan usia harapan hidup, sementara sebagai

tantangan peningkatan jumlah lansia akan menimbulkan permasalahan penting.

Bila permasalahan tersebut tidak diantisipasi, maka tidak tertutup kemungkinan

bahwa proses pembangunan akan mengalami berbagai hambatan. Oleh sebab

itu, permasalahan lanjut usia harus menjadi perhatian kita semua, baik

pemerintah, lembaga masyarakat maupun masyarakat itu sendiri. Untuk menjadi

lanjut usia yang sehat, produktif dan mandiri, kita harus mulai dengan pola hidup

sehat dan mempersiapkan masa lanjut usia secara lebih baik. Dengan demikian,

sasaran dari permasalahan lansia tidak hanya lansia itu sendiri, tetapi juga

penduduk usia muda. Pola hidup sehat harus diterapkan sejak usia dini, bahkan

sejak dalam kandungan.

B. Faktor Demografi Yang Menyebabkan Penuaan Penduduk

Peningkatan jumlah penduduk usia lanjut dari tahun ke tahun hampir di

setiap negara di dunia, termasuk di Indonesia, dikarenakan terjadinya transisi

demografi. Transisi demografi ini ditandai dengan penurunan angka kematian

yang kemudian disusul dengan penurunan angka kelahiran. Penurunan angka

kelahiran yang disertai dengan peningkatan usia harapan hidup telah merubah

komposisi penduduk berdasarkan umur dari kelompok penduduk muda bergeser

menjadi kelompok penduduk tua. Peranan migrasi internasional kurang

bermakna dalam mengubah distribusi umur bila dibandingkan dengan fertilitas

dan mortalitas (Lesthaeghe, 2000).

1. Penurunan Angka Fertilitas Penurunan angka fertilitas telah menjadi faktor yang menyebabkan

meningkatnya jumlah penduduk usia lanjut. Angka fertilitas ini dilihat dari angka

fertilitas total (TFR). Rata-rata TFR negara maju sejak abad ke dua puluh telah

mengalami penurunan secara terus menerus. Pada tahun 1950-1955 angka TFR

Page 154: Modul Non Formal Ok

L-79

tahun mendatang angka harapan hidup penduduk usia 80 diproyeksi meningkat

1,7 tahun.

Apabila dilihat menurut jenis kelamin, angka harapan hidup penduduk

perempuan lebih tinggi dari penduduk laki-laki. Pada tahun 1950-1955, angka

harapan hidup perempuan lebih tinggi 1,2 tahun dari laki-laki, kemudian

meningkat menjadi 2,5 tahun pada tahun 1975-1980. Angka ini disebut gender

gap, kesenjangan di antara laki-laki dan perempuan. Kesenjangan angka

harapan hidup laki-laki dan perempuan ini semakin besar menjadi 4,0 tahun

pada tahun 2000-2005. Kesenjangan angka harapan hidup laki-laki dan

perempuan pada tahun berikutnya diproyeksi semakin besar. Tahun 2025-2030

gender gap angka harapan hidup diproyeksi 4,5 dan menjadi 4,7 pada tahun

2045-2050.

Menurut data yang dilaporkan WHO, usia harapan hidup wanita di seluruh

dunia secara statistik lebih tinggi dari pada usia harapan hidup pria. Prof.

Barbara R. Migeon, MD, PhD dari John Hopkins School of Medicine dalam

www.voanews.com (2010), mengungkapkan bahwa pria mempunyai resiko

mortalitas (kematian) yang lebih tinggi daripada wanita pada setiap tahap

kehidupannya. Banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut, diantaranya adalah faktor

sosial, ekonomi dan perilaku seperti aktivitas selama hidup, di mana secara

umum pria memiliki peran lebih banyak dalam tanggung jawab mencari nafkah,

sehingga rentan terhadap penyakit ataupun lebih riskan terhadap kecelakaan.

Selain itu faktor biologi dan genetika menjadi faktor dasar yang menyebabkan

rendahnya angka harapan hidup laki-laki. Secara biologis, kaum laki-laki memiliki

kromosom XY dan wanita memiliki kromosom XY. Kromosom X mengandung

1100 gen, yang selain berperan penting dalam pengaturan hormon, juga dalam

fungsi vital tubuh lainnya, mulai dari pembekuan darah, metabolisme dan

perkembangan janin. Sedangkan kromosom Y hanya mempunyai kurang dari

100 gen, yang fungsi utamanya hanyalah untuk pembentukan dan

perkembangan testes dan hormonal. Secara biologis, wanita lebih diuntungkan

dengan 2 kromosom X ini karena mereka lebih tahan terhadap gejala-gejala

penurunan fungsi tubuh. Pada laki-laki yang hanya memiliki 1 kromosom X ini

menjadikan mereka rentan terhadap penurunan fungsi tubuh.

C. Jumlah Dan Kecepatan Pertumbuhan Penduduk Usia Lanjut

Page 155: Modul Non Formal Ok

L-80

Jumlah penduduk usia lanjut di dunia meningkat tiga kali lipat selama

kurang lebih 50 tahun ini. Pada tahun 1950, jumlah penduduk usia lanjut di dunia

sebesar 205 juta jiwa meningkat menjadi 606 juta jiwa pada tahun 2000. Pada

tahun 2050 diproyeksikan jumlah penduduk usia lanjut di dunia akan meningkat

kembali lebih dari tiga kali lipat hingga mencapai 2 miliar jiwa (lihat Gambar 2).

Gambar 2. Penduduk Indonesia Usia 60 Tahun Ke Atas Tahun 1950-2050

(dalam jutaan) Berbeda dengan rata-rata dunia, penduduk usia lanjut di Indonesia meningkat

lebih dari 3 kali lipat selama 50 tahun belakangan ini. Pada tahun 1950,

penduduk usia 60 tahun ke atas berjumlah 4.952.800 jiwa meningkat menjadi

16.143.700 jiwa pada tahun 2000 meningkat lagi menjadi 18.043.712 jiwa pada

tahun 2010. Jumlah ini diproyeksikan akan meningkat lebih dari 4 kali lipat pada

tahun 2050 hingga mencapai angka 69.533.900 jiwa.

Pada tahun 1950 di Indonesia, dari 16 orang 1 diantaranya adalah

penduduk lanjut usia. Pada tahun 1975 rasio ini sempat mengalami penurunan,

dimana 1 dari 18 orang termasuk penduduk usia lanjut. Pada tahun 2000 rasio

tersebut kembali meningkat, 1 dari 13 orang termasuk penduduk usia lanjut.

Pada tahun 2050, diproyeksikan dari 4 orang 1 diantaranya adalah penduduk

usia lanjut.

D. Perubahan Keseimbangan Kelompok Umur 1. Rentang Kelompok Umur

0

10

20

30

40

50

60

70

1950 1975 2000 2010 2025 2050

4,95 7,26

16,14 18,04

34,98

69,53

L-79

tahun mendatang angka harapan hidup penduduk usia 80 diproyeksi meningkat

1,7 tahun.

Apabila dilihat menurut jenis kelamin, angka harapan hidup penduduk

perempuan lebih tinggi dari penduduk laki-laki. Pada tahun 1950-1955, angka

harapan hidup perempuan lebih tinggi 1,2 tahun dari laki-laki, kemudian

meningkat menjadi 2,5 tahun pada tahun 1975-1980. Angka ini disebut gender

gap, kesenjangan di antara laki-laki dan perempuan. Kesenjangan angka

harapan hidup laki-laki dan perempuan ini semakin besar menjadi 4,0 tahun

pada tahun 2000-2005. Kesenjangan angka harapan hidup laki-laki dan

perempuan pada tahun berikutnya diproyeksi semakin besar. Tahun 2025-2030

gender gap angka harapan hidup diproyeksi 4,5 dan menjadi 4,7 pada tahun

2045-2050.

Menurut data yang dilaporkan WHO, usia harapan hidup wanita di seluruh

dunia secara statistik lebih tinggi dari pada usia harapan hidup pria. Prof.

Barbara R. Migeon, MD, PhD dari John Hopkins School of Medicine dalam

www.voanews.com (2010), mengungkapkan bahwa pria mempunyai resiko

mortalitas (kematian) yang lebih tinggi daripada wanita pada setiap tahap

kehidupannya. Banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut, diantaranya adalah faktor

sosial, ekonomi dan perilaku seperti aktivitas selama hidup, di mana secara

umum pria memiliki peran lebih banyak dalam tanggung jawab mencari nafkah,

sehingga rentan terhadap penyakit ataupun lebih riskan terhadap kecelakaan.

Selain itu faktor biologi dan genetika menjadi faktor dasar yang menyebabkan

rendahnya angka harapan hidup laki-laki. Secara biologis, kaum laki-laki memiliki

kromosom XY dan wanita memiliki kromosom XY. Kromosom X mengandung

1100 gen, yang selain berperan penting dalam pengaturan hormon, juga dalam

fungsi vital tubuh lainnya, mulai dari pembekuan darah, metabolisme dan

perkembangan janin. Sedangkan kromosom Y hanya mempunyai kurang dari

100 gen, yang fungsi utamanya hanyalah untuk pembentukan dan

perkembangan testes dan hormonal. Secara biologis, wanita lebih diuntungkan

dengan 2 kromosom X ini karena mereka lebih tahan terhadap gejala-gejala

penurunan fungsi tubuh. Pada laki-laki yang hanya memiliki 1 kromosom X ini

menjadikan mereka rentan terhadap penurunan fungsi tubuh.

C. Jumlah Dan Kecepatan Pertumbuhan Penduduk Usia Lanjut

Page 156: Modul Non Formal Ok

L-81

Penduduk dibagi atas 3 kelompok umur yaitu kelompok penduduk usia

muda (0-14 tahun), kelompok umur 15-59 tahun, dan kelompok penduduk usia

lanjut (60 tahun ke atas). Peningkatan proporsi penduduk usia lanjut disertai

dengan penurunan proporsi penduduk usia muda. Proporsi penduduk usia 0-14

tahun di Indonesia menurun dari 39,2 persen tahun 1950 menjadi 30,8 persen

pada tahun 2000. Pada kurun waktu 50 tahun telah terjadi penurunan penduduk

usia muda sebesar 8,4 persen di Indonesia. Sebaliknya, proporsi penduduk usia

lanjut dari tahun 1950 hingga 2000 mengalami peningkatan dari 6,2 persen

menjadi 7,6 persen.

Proporsi penduduk usia muda sejak 1950 lebih besar dari proporsi

penduduk usia lanjut. Proporsi penduduk usia muda pada saat itu 6 kali lipat

proporsi penduduk usia lanjut. Proporsi penduduk muda hingga tahun 2000

masih 4 kali lipat penduduk usia lanjut. Kemudian pada 2010 diproyeksikan

proporsi penduduk usia lanjut menjadi lebih besar dari penduduk muda. Proporsi

penduduk usia lanjut meningkat 14,7 persen dari tahun 2000 menjadi 22,3

persen. Sedangkan proporsi penduduk muda diproyeksikan menurun 10,9

persen hingga mencapai 19,9 persen pada tahun 2010. Perubahan distribusi

umur ini terjadi secara perlahan hingga tahun 2000. Namun 50 tahun berikutnya

diproyeksikan akan terjadi lebih cepat.

2. Indeks Penuaan Penduduk Indeks penuaan penduduk (Ageing Index) merupakan rasio atau

perbandingan penduduk usia lanjut dengan penduduk muda (usia 0-14 tahun).

Rasio penduduk usia lanjut di Indonesia mengalami peningkatan setengah dari

jumlah sebelumnya, yaitu 16 per 100 penduduk muda pada tahun 1950 menjadi

25 per 100 penduduk muda tahun 2000. Rasio ini diproyeksikan akan meningkat

lebih dari 4 kali lipat pada tahun 2050. Indeks penuaan penduduk Indonesia

menjadi 112,1, dimana terdapat 112 lansia per 100 penduduk muda. Pada waktu

yang sama, indeks penuaan penduduk di negara maju diproyeksikan meningkat

menjadi 215 per 100 penduduk muda.

Indeks penuaan negara-negara di Eropa merupakan yang tertinggi di

seluruh dunia. Pada tahun 2050, indeks penuaan di Eropa adalah 263 per 100

penduduk muda, sedangkan di Indonesia hanya 112 per 100 penduduk muda.

Hal ini menunjukkan pada tahun 2050 nanti, di Eropa setiap 1 orang penduduk

muda akan ada 3 lansia. Sedangkan di Indonesia setiap 1 penduduk muda akan

ada 1 lansia.

Page 157: Modul Non Formal Ok

L-82

3. Umur Pertengahan Selama 50 tahun belakangan ini, usia pertengahan penduduk Indonesia

meningkat 4,6 tahun, dari 20 tahun pada 1950 menjadi 24,6 tahun pada 2000.

Peningkatan ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan peningkatan usia

pertengahan penduduk dunia yang hanya 3 tahun. Namun, peningkatan ini jauh

di bawah peningkatan usia pertengahan penduduk di negara-negara maju yang

mencapai 8 tahun. Lima puluh tahun ke depan, diproyeksikan usia pertengahan

penduduk Indonesia meningkat 13 tahun, sehingga pada 2050 setengah

penduduk Indonesia akan berusia 38 tahun.

E. Profil Demografi Penduduk Usia Lanjut Di Indonesia 1. Komposisi Umur

Hal yang utama dalam proses penuaan yang terjadi secara global ini

adalah semakin cepatnya proses penuaan pada kelompok penduduk usia lanjut

itu sendiri. Jumlah penduduk usia 80 tahun ke atas tumbuh lebih cepat

dibandingkan kelompok penduduk usia lanjut yang lebih muda (kelompok usia

60-79 tahun). Pada tahun 2000-2005, rata-rata pertumbuhan penduduk usia 80

tahun ke atas 1,5 kali lebih tinggi dari pertumbuhan penduduk usia 60 tahun ke

atas (60-79 tahun).

Hasil Sensus Penduduk tahun 2010 menunjukkan bahwa penduduk usia

80+ telah mencapai 1,856 ribu penduduk atau 10 persen dari jumlah penduduk

lansia (60+). Pada tahun 2025-2030, diproyeksikan rata-rata pertumbuhan

penduduk usia 80 tahun ke atas mengalami penurunan 1,2 persen, namun akan

meningkat kembali menjadi 4,8 persen pada tahun 2045-2050. Rata-rata

pertumbuhan penduduk usia 80 tahun ke atas pada tahun ini mencapai 2, 8 kali

lebih tinggi dari pertumbuhan penduduk usia 60 tahun ke atas. Perubahan ini

sekaligus akan mempengaruhi komposisi penduduk menurut umur, dengan

semakin membesarnya penduduk lansia (lihat Gambar 3).

L-81

Penduduk dibagi atas 3 kelompok umur yaitu kelompok penduduk usia

muda (0-14 tahun), kelompok umur 15-59 tahun, dan kelompok penduduk usia

lanjut (60 tahun ke atas). Peningkatan proporsi penduduk usia lanjut disertai

dengan penurunan proporsi penduduk usia muda. Proporsi penduduk usia 0-14

tahun di Indonesia menurun dari 39,2 persen tahun 1950 menjadi 30,8 persen

pada tahun 2000. Pada kurun waktu 50 tahun telah terjadi penurunan penduduk

usia muda sebesar 8,4 persen di Indonesia. Sebaliknya, proporsi penduduk usia

lanjut dari tahun 1950 hingga 2000 mengalami peningkatan dari 6,2 persen

menjadi 7,6 persen.

Proporsi penduduk usia muda sejak 1950 lebih besar dari proporsi

penduduk usia lanjut. Proporsi penduduk usia muda pada saat itu 6 kali lipat

proporsi penduduk usia lanjut. Proporsi penduduk muda hingga tahun 2000

masih 4 kali lipat penduduk usia lanjut. Kemudian pada 2010 diproyeksikan

proporsi penduduk usia lanjut menjadi lebih besar dari penduduk muda. Proporsi

penduduk usia lanjut meningkat 14,7 persen dari tahun 2000 menjadi 22,3

persen. Sedangkan proporsi penduduk muda diproyeksikan menurun 10,9

persen hingga mencapai 19,9 persen pada tahun 2010. Perubahan distribusi

umur ini terjadi secara perlahan hingga tahun 2000. Namun 50 tahun berikutnya

diproyeksikan akan terjadi lebih cepat.

2. Indeks Penuaan Penduduk Indeks penuaan penduduk (Ageing Index) merupakan rasio atau

perbandingan penduduk usia lanjut dengan penduduk muda (usia 0-14 tahun).

Rasio penduduk usia lanjut di Indonesia mengalami peningkatan setengah dari

jumlah sebelumnya, yaitu 16 per 100 penduduk muda pada tahun 1950 menjadi

25 per 100 penduduk muda tahun 2000. Rasio ini diproyeksikan akan meningkat

lebih dari 4 kali lipat pada tahun 2050. Indeks penuaan penduduk Indonesia

menjadi 112,1, dimana terdapat 112 lansia per 100 penduduk muda. Pada waktu

yang sama, indeks penuaan penduduk di negara maju diproyeksikan meningkat

menjadi 215 per 100 penduduk muda.

Indeks penuaan negara-negara di Eropa merupakan yang tertinggi di

seluruh dunia. Pada tahun 2050, indeks penuaan di Eropa adalah 263 per 100

penduduk muda, sedangkan di Indonesia hanya 112 per 100 penduduk muda.

Hal ini menunjukkan pada tahun 2050 nanti, di Eropa setiap 1 orang penduduk

muda akan ada 3 lansia. Sedangkan di Indonesia setiap 1 penduduk muda akan

ada 1 lansia.

Page 158: Modul Non Formal Ok

L-83

Gambar 3. Penduduk Indonesia Berdasarkan Rentang Kelompok Umur

Tahun 1950-2050 Pada 1950, jumlah penduduk usia 80 tahun ke atas adalah 0,3 persen dari

jumlah penduduk keseluruhan meningkat 0,2 persen pada 2000. Jumlah ini

diproyeksikan akan meningkat lagi pada 2050 sebesar 2,7 persen. Jumlah

penduduk Indonesia usia 80 tahun ke atas pada tahun 1950 hanya 275,5 ribu

jiwa. Jumlah ini mengalami peningkatan pada tahun 2000 sebesar 814,2 ribu dan

1,86 juta pada 2010. Pada tahun 2050 diproyeksikan jumlah penduduk usia 80

tahun ke atas akan meningkat sebesar 9,01 juta.

2. Rasio Jenis Kelamin Seperti yang telah disebutkan dalam pembahasan sebelumnya, angka

harapan hidup perempuan lebih tinggi dibanding laki-laki. Hal ini menyebabkan

jumlah penduduk perempuan usia lanjut lebih banyak dibanding laki-laki. Pada

tahun 1950 rasio jenis kelamin penduduk usia 60 tahun ke atas adalah 94,2.

Angka ini menunjukkan bahwa terdapat 94 laki-laki per 100 perempuan. Rasio

jenis kelamin cenderung menurun dan pada tahun 2000 mencapai 84,5. Sensus

Penduduk tahun 2010 hampir tidak berubah, yaitu 84,9. Akan tetapi diperkirakan

rasio jenis kelamin penduduk lansia akan menurun hingga 2050 mencapai angka

83,4. Rasio jenis kelamin penduduk berusia 80 tahun ke atas pada tahun 1950

adalah 87. Rasio ini terus menurun hingga 69,4 pada tahun 2000 dan 69,9 pada

Persen

tase

Tahun

Distribusi Penduduk Indonesia Berdasarkan Rentang Kelompok Umur Tahun 1950-2050

0-14 15-59 60+

Page 159: Modul Non Formal Ok

L-84

tahun 2010 (SP 2010). Rasio jenis kelamin penduduk usia 80 tahun ke atas ini

diproyeksikan menurun menjadi 55,9 pada tahun 2050.

3. Rasio Ketergantungan Rasio ketergantungan total umumnya digunakan untuk mengukur potensi

kebutuhan dukungan sosial. Penduduk usia 0-14 (penduduk belum produktif) dan

penduduk usia 65 tahun ke atas (penduduk usia lanjut yang sudah tidak

produktif) menjadi beban bagi penduduk usia produktif (penduduk usia kerja atau

usia 15-64 tahun). Penduduk produktif akan menanggung secara langsung

maupun tidak langsung penduduk yang belum dan sudah tidak produktif lagi

(Kinsella dan Gist, 1995). Namun, rasio ketergantungan hanya memberikan

perkiraan secara kasar mengenai beban ketergantungan suatu wilayah.

Rasio ketergantungan total di Indonesia pada tahun 1950-1975 mengalami

peningkatan dari 75,8 menjadi 80,6. Kondisi ini juga terjadi secara global, dimana

pada kurun waktu yang sama rasio ketergantungan penduduk dunia meningkat

dari 65 menjadi 74. Peningkatan ini terjadi disebabkan kombinasi masih tingginya

angka fertilitas dan angka kematian (mortalitas) bayi dan anak yang telah

menurun. Seiring dengan menurunnya angka fertilitas, pada tahun 2000 rasio

ketergantungan menurun menjadi 55,2. Ketika terjadi penurunan rasio

ketergantungan pada periode ini, terjadi peningkatan proporsi beban penduduk

usia lanjut. Kecenderungan penurunan rasio ketergantungan diproyeksikan akan

terus terjadi di Indonesia 25 tahun mendatang sebelum akhirnya mengalami

peningkatan kembali 25 tahun berikutnya. Pada 2025 rasio ketergantungan akan

menurun menjadi 45,7 dan pada tahun 2050 akan meningkat menjadi 57,1.

Rasio ketergantungan pada tahun 2050 hampir sama besarnya dengan

rasio ketergantungan pada tahun 2000. Meskipun pada tingkatan yang sama,

komposisi rasio ketergantungan keduanya akan berbeda. Pada tahun 2000,

penduduk muda lebih banyak dalam kelompok penduduk yang ditanggung oleh

kelompok usia produktif. Pada beberapa tahun ke depan, komponen penduduk

muda dan tua dalam rasio ketergantungan akan sama. Pergeseran ini

merupakan akibat dari peningkatan harapan hidup dan penurunan fertilitas. Pada

tahun 2000, komposisi penduduk muda dalam rasio ketergantungan di Indonesia

adalah 47,7 persen. Penduduk tua hanya memberikan kontribusi sebesar 7,5

persen dalam rasio ketergantungan di Indonesia. Pada tahun 2050 komposisi ini

mengalami perubahan, diproyeksikan penduduk tua akan berkontribusi 3 kali

lipat dari tahun sebelumnya dalam rasio ketergantungan. Pada tahun ini,

L-83

Gambar 3. Penduduk Indonesia Berdasarkan Rentang Kelompok Umur

Tahun 1950-2050 Pada 1950, jumlah penduduk usia 80 tahun ke atas adalah 0,3 persen dari

jumlah penduduk keseluruhan meningkat 0,2 persen pada 2000. Jumlah ini

diproyeksikan akan meningkat lagi pada 2050 sebesar 2,7 persen. Jumlah

penduduk Indonesia usia 80 tahun ke atas pada tahun 1950 hanya 275,5 ribu

jiwa. Jumlah ini mengalami peningkatan pada tahun 2000 sebesar 814,2 ribu dan

1,86 juta pada 2010. Pada tahun 2050 diproyeksikan jumlah penduduk usia 80

tahun ke atas akan meningkat sebesar 9,01 juta.

2. Rasio Jenis Kelamin Seperti yang telah disebutkan dalam pembahasan sebelumnya, angka

harapan hidup perempuan lebih tinggi dibanding laki-laki. Hal ini menyebabkan

jumlah penduduk perempuan usia lanjut lebih banyak dibanding laki-laki. Pada

tahun 1950 rasio jenis kelamin penduduk usia 60 tahun ke atas adalah 94,2.

Angka ini menunjukkan bahwa terdapat 94 laki-laki per 100 perempuan. Rasio

jenis kelamin cenderung menurun dan pada tahun 2000 mencapai 84,5. Sensus

Penduduk tahun 2010 hampir tidak berubah, yaitu 84,9. Akan tetapi diperkirakan

rasio jenis kelamin penduduk lansia akan menurun hingga 2050 mencapai angka

83,4. Rasio jenis kelamin penduduk berusia 80 tahun ke atas pada tahun 1950

adalah 87. Rasio ini terus menurun hingga 69,4 pada tahun 2000 dan 69,9 pada

Persen

tase

Tahun

Distribusi Penduduk Indonesia Berdasarkan Rentang Kelompok Umur Tahun 1950-2050

0-14 15-59 60+

Page 160: Modul Non Formal Ok

L-85

penduduk tua memberikan kontribusi sebesar 25,8 persen dalam rasio

ketergantungan di Indonesia, sedangkan penduduk muda sebesar 31,3 persen.

F. Karakteristik Sosio-Ekonomi Penduduk Usia Lanjut 1. Partisipasi Angkatan Kerja

Tingkat partisipasi angkatan kerja penduduk usia lanjut mengalami

penurunan beberapa tahun terakhir. Kondisi ini terjadi hampir di seluruh negara

di dunia. Saat ini, jumlah penduduk usia lanjut yang berpartisipasi dalam

angkatan kerja lebih sedikit dibanding dengan beberapa tahun yang lalu. TPAK

penduduk usia lanjut di Indonesia menurun sebesar 23 persen selama 50 tahun

terakhir (1950-2000). Pada tahun 1950, 1 dari 2 penduduk usia lanjut merupakan

pekerja. Pada tahun 2000 rasio ini mengalami penurunan, dimana 1 diantara 3

penduduk usia lanjut merupakan pekerja, begitu pula di tahun 2010 (lihat

Gambar 4).

Gambar 4. TPAK Lansia Tahun 1950-2010

Pada tahun 1950, TPAK penduduk laki-laki yang berusia 65 tahun ke atas

sebesar 88 persen. Penurunan TPAK terjadi pada tahun-tahun berikutnya,

dimana pada tahun 2000 TPAK penduduk laki-laki usia 65 tahun ke atas ini turun

hampir setengah dari angka sebelumnya menjadi 48,5 persen. Berbeda dengan

laki-laki, TPAK perempuan mengalami penurunan yang yang lebih kecil dari 30,9

persen tahun 1950 menjadi 24,1 persen pada tahun 2000. Pada tahun 2010,

8874,1

56,648,5

40,4

30,9

24,1

25,224,1

23,1

58,2

47

39,835,2

30,8

0

20

40

60

80

100

120

140

160

180

200

1950 1970 1990 2000 2010

Total

Perempuan

Laki-Laki

Page 161: Modul Non Formal Ok

L-86

UNDESA memproyeksikan TPAK total penduduk usia lanjut ini mengalami

penurunan menjadi 30,8 persen, TPAK laki-laki menurun hingga angka 40,

persen dan TPAK perempuan relatif stabil pada angka 23,1 persen.

Bila dibandingkan dengan TPAK penduduk usia lanjut di negara maju,

partisipasi penduduk usia lanjut dalam angkatan kerja lebih tinggi. Jaminan masa

tua seperti pensiun tidak dimiliki secara merata oleh penduduk usia lanjut di

negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Oleh karena itu para penduduk

usia lanjut bekerja sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya maupun

keluarga yang masih tersisa, misalnya istri. Tidak heran bila proporsi penduduk

usia lanjut yang berpartisipasi dalam angkatan kerja lebih banyak ditemukan di

negara berkembang dibanding di negara maju.

Secara umum, proporsi penduduk laki-laki usia lanjut yang aktif secara

ekonomi lebih tinggi dibanding perempuan. Namun, seiring dengan lebih

cepatnya penurunan TPAK laki-laki usia lanjut, kesempatan perempuan untuk

berpartisipasi dalam angkatan kerja mengalami peningkatan.

2. Angka Buta Huruf Secara umum, partisipasi dalam pendidikan dasar yang telah merata di

negara maju terjadi bertahun-tahun yang lalu. Oleh karena itu, melek huruf di

negara-negara maju sekarang hampir menyeluruh bahkan pada kelompok

penduduk usia lanjut. Berbeda negara maju yang secara umum memiliki angka

melek huruf yang telah merata di hampir setiap kelompok umur, angka melek

huruf di negara berkembang masih mengalami peningkatan. Hal ini berarti masih

banyak penduduk di negara berkembang yang buta huruf.

Angka buta huruf penduduk usia lanjut di negara berkembang termasuk

Indonesia mengalami penurunan meskipun angkanya masih tetap tinggi.

Sebesar 76,9 persen penduduk usia lanjut di Indonesia masih buta huruf pada

tahun 1980. Angka buta huruf penduduk usia lanjut ini terus menurun hingga

mencapai 48,7 persen pada tahun 2000. Pada tahun 2010 angka buta huruf

penduduk usia lanjut akan menurun sekitar 16 persen menjadi 32,58 persen.

Penurunan angka buta huruf penduduk usia lanjut laki-laki di Indonesia

lebih besar dibanding perempuaan. Hal ini menyebabkan kesenjangan gender

dalam hal melek huruf meningkat lebih dari 20 tahun terakhir. Pada tahun 1980,

angka buta huruf perempuan usia lanjut (89,8 persen) 27,7 persen lebih tinggi

dari laki-laki (62,1 persen). Pada tahun 2000, perbedaan ini meningkat menjadi

L-85

penduduk tua memberikan kontribusi sebesar 25,8 persen dalam rasio

ketergantungan di Indonesia, sedangkan penduduk muda sebesar 31,3 persen.

F. Karakteristik Sosio-Ekonomi Penduduk Usia Lanjut 1. Partisipasi Angkatan Kerja

Tingkat partisipasi angkatan kerja penduduk usia lanjut mengalami

penurunan beberapa tahun terakhir. Kondisi ini terjadi hampir di seluruh negara

di dunia. Saat ini, jumlah penduduk usia lanjut yang berpartisipasi dalam

angkatan kerja lebih sedikit dibanding dengan beberapa tahun yang lalu. TPAK

penduduk usia lanjut di Indonesia menurun sebesar 23 persen selama 50 tahun

terakhir (1950-2000). Pada tahun 1950, 1 dari 2 penduduk usia lanjut merupakan

pekerja. Pada tahun 2000 rasio ini mengalami penurunan, dimana 1 diantara 3

penduduk usia lanjut merupakan pekerja, begitu pula di tahun 2010 (lihat

Gambar 4).

Gambar 4. TPAK Lansia Tahun 1950-2010

Pada tahun 1950, TPAK penduduk laki-laki yang berusia 65 tahun ke atas

sebesar 88 persen. Penurunan TPAK terjadi pada tahun-tahun berikutnya,

dimana pada tahun 2000 TPAK penduduk laki-laki usia 65 tahun ke atas ini turun

hampir setengah dari angka sebelumnya menjadi 48,5 persen. Berbeda dengan

laki-laki, TPAK perempuan mengalami penurunan yang yang lebih kecil dari 30,9

persen tahun 1950 menjadi 24,1 persen pada tahun 2000. Pada tahun 2010,

8874,1

56,648,5

40,4

30,9

24,1

25,224,1

23,1

58,2

47

39,835,2

30,8

0

20

40

60

80

100

120

140

160

180

200

1950 1970 1990 2000 2010

Total

Perempuan

Laki-Laki

Page 162: Modul Non Formal Ok

L-87

31,8 persen dimana 63,3 persen perempuan usia lanjut masih buta huruf dan

hanya 31,5 persen laki-laki yang masih buta huruf. Gender gap dalam melek

huruf penduduk usia lanjut di Indonesia akan menurun sekitar menjadi 20 persen

pada tahun 2010, dimana angka buta huruf perempuan 41,73 persen dan

penduduk laki-laki 21,82 persen.

Secara umum, jenjang pendidikan telah mengalami peningkatan di setiap

generasi. Hal yang biasa apabila dalam kelompok penduduk usia lanjut sendiri

terdapat perbedaan tingkat partisipasi dalam pendidikan. Di Indonesia semakin

tua penduduk lanjut usia tersebut semakin rendah angka melek hurufnya.

Perbedaan tingkat buta huruf menurut kelompok umur penduduk usia lanjut di

Indonesia dapat dilihat pada gambar di bawah. Dari grafik tersebut tampak

bahwa penduduk usia 70 tahun ke atas memiliki tingkat buta huruf yang lebih

tinggi dibanding kelompok umur 60-64 dan 65-69 tahun. Demikian juga

penduduk usia 65-69 tahun memiliki tingkat buta huruf yang lebih tinggi dari

penduduk usia 60-64. Pada tahun-tahun berikutnya kondisi ini tetap sama, hanya

saja angkanya terus menurun dari tahun ke tahun. Pada 2010, masih 40,9

persen penduduk usia 70 tahun ke atas yang buta huruf di Indonesia. Sekitar

31,7 persen penduduk usia 65-69 dan 24 persen penduduk usia 60-64 masih

buta huruf pada tahun 2010 di Indonesia. Kondisi ini menjadikan penduudk usia

lanjut di Indonesia menjadi sumber daya manusia yang sudah tidak produktif dan

juga tidak berkualitas. Hal ini akan menjadikan beban bagi negara karena harus

memberikan jaminan bagi mereka yang rentan. Oleh karena itu program

kebijakan terkait pemberdayaan penduduk usia lanjut harus lebih bisa

dioptimalkan. Hal ini bertujuan untuk membantu mereka mandiiri dan mengurangi

beban negara untuk terus memberikan jaminan bagi mereka.

G. Persoalan Yang Dihadapi Penduduk Lansia

Persoalan yang dihadapi lansia sangat kompleks terutama jika dikaitkan

dengan perubahan sosial, budaya dan ekonomi. Salah satu isu pokok terkait

dengan persoalan lansia adalah munculnya 3 jenis kesenjangan (gap). Pertama

adalah kesenjangan geografis. Sejalan dengan perubahan social, budaya dan

ekonomi, penduduk Indonesia akan semakin “mobil” bukan hanya dari sisi

intensitas tetapi juga jarak. Orang akan semakin pergi dalam jarak yang semakin

Page 163: Modul Non Formal Ok

L-88

jauh, sering dan bahkan berjangka waktu lama. Hal ini akan menyebabkan anak

semakin cepat meninggalkan orang tua. Terdapat dua implikasi penting dari

fenomena tersebut. Pertama adalah orang tua cepat menjadi sendirian (lonely)

karena orang tua akan semakin cepat ditinggalkan oleh anak. Kedua, anak

mengalami kesulitan untuk menyantuni orang tua, karena berjauhan secara fisik

akibat kesenjangan geografis. Akibatnya, penyantunan terhadap orang tua yang

pada dasarnya adalah kewajiban social spikologis anak akan ditransfer menjadi

tanggung jawab ekonomi. Artinya ketidak hadiran anak secara fisik dan

psikologis, diganti dengan kehadiran orang lain yang dibayar untuk menyantuni

orang tua. Hal ini juga akan menimbukan persoalan tersendiri karena “orang lain’

bukanlah “anaknya sendiri” meskipun dapat berperilaku sebagai anak. Akibatnya,

pemenuhan kebutuhan psikologis tidak sepenuhnya dapat terpenuhi.

Kesenjangan kedua adalah kesenjangan sosial budaya. Pergeseran nilai

dan norma sosial akan menyebabkan kesenjangan cara “memahami” nilai dan

norma kehidupan antara orang tua dan anak. Hal ini akan menyebabkan

kesulitan untuk “menyatukan” orang tua dan anak dalam satu rumah,

sebagaimana pada masa lalu ketika keluarga ekstended masih menjadi pola

yang umum. Ditopang oleh kesenjangan geografis tersebut di atas, orang tua

akan memiliki kemungkinan yang besar untuk hidup “sendirian” bukan hanya

secara fisik, tetapi juga secara sosial. Kondisi ini akan diperparah dengan

semakin hilangnya “peer group”.

Kesenjangan ketiga adalah kondisi yang terkait dengan perubahan

pengelolaan ekonomi rumah tangga. Dalam masyarakat tradisional, biasanya

penduduk tinggal dalam suatu keluarga luas (extended). Dalam keluarga luas,

pengelolaan ekonomi bersifat tunggal, artinya bahwa pendapatan yang diperoleh

oleh siapapun yang tinggal di keluarga tersebut akan di bagi atau dimanfaatkan

oleh semua anggota kelauarga. Sejalan dengan modernisasi, keluarga pada

umunya adalah keluarga batih dan ekonomi keluarga terbagi-bagi berdasarkan

anggotanya. Ekonomi keluarga sudah terpolarisasi, dipisahkan antara ekonomi

ayah, ekonomi ibu dan ekonomi anak. Hal ini dalam skala tertentu akan

menyulitkan dalam penyantunan orang tua karena peruntukan ekonomi keluarga

sangat tergantung pada orang, bukan pada keluarga sebagai satu unit ekonomi.

Sementara itu menjadi lansia akan berhadapan dengan masalah yang

terkait dengan kesulitan fungsional lansia. Penuaan penduduk, sebuah proses

alamiah hilangnya fungsi tubuh secara optimal dari sebuah siklus hidup

L-87

31,8 persen dimana 63,3 persen perempuan usia lanjut masih buta huruf dan

hanya 31,5 persen laki-laki yang masih buta huruf. Gender gap dalam melek

huruf penduduk usia lanjut di Indonesia akan menurun sekitar menjadi 20 persen

pada tahun 2010, dimana angka buta huruf perempuan 41,73 persen dan

penduduk laki-laki 21,82 persen.

Secara umum, jenjang pendidikan telah mengalami peningkatan di setiap

generasi. Hal yang biasa apabila dalam kelompok penduduk usia lanjut sendiri

terdapat perbedaan tingkat partisipasi dalam pendidikan. Di Indonesia semakin

tua penduduk lanjut usia tersebut semakin rendah angka melek hurufnya.

Perbedaan tingkat buta huruf menurut kelompok umur penduduk usia lanjut di

Indonesia dapat dilihat pada gambar di bawah. Dari grafik tersebut tampak

bahwa penduduk usia 70 tahun ke atas memiliki tingkat buta huruf yang lebih

tinggi dibanding kelompok umur 60-64 dan 65-69 tahun. Demikian juga

penduduk usia 65-69 tahun memiliki tingkat buta huruf yang lebih tinggi dari

penduduk usia 60-64. Pada tahun-tahun berikutnya kondisi ini tetap sama, hanya

saja angkanya terus menurun dari tahun ke tahun. Pada 2010, masih 40,9

persen penduduk usia 70 tahun ke atas yang buta huruf di Indonesia. Sekitar

31,7 persen penduduk usia 65-69 dan 24 persen penduduk usia 60-64 masih

buta huruf pada tahun 2010 di Indonesia. Kondisi ini menjadikan penduudk usia

lanjut di Indonesia menjadi sumber daya manusia yang sudah tidak produktif dan

juga tidak berkualitas. Hal ini akan menjadikan beban bagi negara karena harus

memberikan jaminan bagi mereka yang rentan. Oleh karena itu program

kebijakan terkait pemberdayaan penduduk usia lanjut harus lebih bisa

dioptimalkan. Hal ini bertujuan untuk membantu mereka mandiiri dan mengurangi

beban negara untuk terus memberikan jaminan bagi mereka.

G. Persoalan Yang Dihadapi Penduduk Lansia

Persoalan yang dihadapi lansia sangat kompleks terutama jika dikaitkan

dengan perubahan sosial, budaya dan ekonomi. Salah satu isu pokok terkait

dengan persoalan lansia adalah munculnya 3 jenis kesenjangan (gap). Pertama

adalah kesenjangan geografis. Sejalan dengan perubahan social, budaya dan

ekonomi, penduduk Indonesia akan semakin “mobil” bukan hanya dari sisi

intensitas tetapi juga jarak. Orang akan semakin pergi dalam jarak yang semakin

Page 164: Modul Non Formal Ok

L-89

seseorang dalam hidupnya. Penuaan tersebut dapat dilihat dari kemunduran dari

segi fisik, psikologis, sosial, ekonomi dan kesehatan. Pada pembahasan ini

kesulitan yang dihadapai oleh lansia meliputi kesulitatan fungsional dalam

kehidupan sehari-hari seperti kesulitan lansia dalam melihat, mendengar,

berjalan, mengingat/berkomunikasi, dan mengurus diri sendiri. Berdasarkan

persentasenya, jenis kesulitan yang dialami oleh lansia dari yang terbesar

sampai terkecil berturut-turut meliputi melihat (17,57 %), mendengar (12,77%),

berjalan (12,51 %), mengingat/berkomunikasi (9,30 %), dan mengurus diri sendiri

(7,27 %) dari seluruh responden lansia yang diwawancarai sebanyak 18.028.271

orang pada tahun 2010. Dari seluruh kesulitan yang dihadapi, persentase

perempuan biasanya lebih besar daripada laki-laki dalam mengalami tingkat

kesulitan fungsional ini baik dalam hal melihat, mendengar, berjalan,

mengingat/berkomunikasi ataupun mengurus diri sendiri.

Beberapa persoalan tersebut pada akhirnya bermuara pada persoalan

pokok yang terkait dengan penyantunan orang tua. Secara umum, masalah

penyantunan lansia berujung pada tiga hal mendasar yakni siapa yang

bertanggung jawab, bagaimanakah prosedurnya, serta seberapa besaratau

bentuk penyantunan yang diberikan.

Secara garis besar persoalan penyantunan lansia mencakup tiga isu

pokok, yaitu penyantunan sekonomi, sosial dan kesehatan. Persoalan

penyantunan tersebut muncul khususnya pada kelompok rentan, yaitu lansia

yang tidak sehat, tidak produktif, miskin dan kehilangan peer gropu.

Penyantunan ekonomi utamanya adalah pada lansia perempuan di perdesaan

yang biasanya akan kehilangan sumber ekonomi setelah suamiu meninggal. Jika

anak tinggal berjauhan, (kemungkinan) jika anggota keluarga dalam kondisi

ekonomi yang tidak menguntungkan dan sukungan ekonomi dari tetangga

berkurang, maka pertanyaan pokok adalah siapa yang bertanggung jawab untuk

menyantuni lansia.

Demikian halnya dengan pelayanan kesehatan dan penyantunan sosial,

pertanyaan yang sama juga muncul, siapa yang bertenggung jawab menjadi

penyantun (carer) ketika anggota keluarga tidak mampu memenuhi kewajiban

untuk menyantuninya. Persoalan-persoalan tersebut bukan hal yang mudah

untuk dipecahkan, sebab jika solusinya hanya dibebankan jkepada pemerintah,

maka akan sangta sulit untuk merumuskan terobosan kebijakan untuk

mengantisipasi jumlah lansia yang semakin meningkat.

Page 165: Modul Non Formal Ok

L-90

H. Migrasi Lansia

Seperti dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa lansia juga mengalami

migrasi. Berdasarkan migrasi seumur hidup, lansia yang melakukan migrasi pada

2010 sebanyak 7,56 persen atau sekitar 2,12 juta orang. Sedangkan

berdasarkan jenis kelaminnya, migran laki-laki lebih besar persentasenya dalam

melakukan migrasi sebesar 52,72 persen dibanding perempuan yang hanya

47,28 persen. Tetapi anomali ditunjukkan pada kelompok 75+ dimana migran

perempuan lebih besar presentasenya yang dikarenakan lansia ini mengikuti

anak atau famili untuk pindah karena status cerai mati. Sedangkan berdasarkan

migrasi risen, penduduk lansia yang melakukan migrasi ini pada 2010 sebesar

109,41 orang atau sebanyak 2,09 % dari total penduduk. Hal ini menunjukkan

bahwa sejalan dengan umur, lansia cenderung tidak mobil terkait dengan

penurunan fungsi tubuh.

I. Kebutuhan Lansia

Kebutuhan lansia dapat diidentifikasi berdasarkan teori kebutuhan

manusia dari Maslow yang menyebutkan bahwa pada dasarnya kebutuhan

manusia dapat dibagi menjadi 5, yaitu kebutuhan fisik, keamanan, social,

penghragaan dan aktualisasi diri (http://en.wikipedia.org/wiki Maslow%27s_

hierarchy_of_needs). Secara lebih jelas kebutuhan tersebut dapat dilihat pada

gambar berikut.

Gambar 1. Teori Hirarki Kebutuhan Manusia Menurut Maslow

L-89

seseorang dalam hidupnya. Penuaan tersebut dapat dilihat dari kemunduran dari

segi fisik, psikologis, sosial, ekonomi dan kesehatan. Pada pembahasan ini

kesulitan yang dihadapai oleh lansia meliputi kesulitatan fungsional dalam

kehidupan sehari-hari seperti kesulitan lansia dalam melihat, mendengar,

berjalan, mengingat/berkomunikasi, dan mengurus diri sendiri. Berdasarkan

persentasenya, jenis kesulitan yang dialami oleh lansia dari yang terbesar

sampai terkecil berturut-turut meliputi melihat (17,57 %), mendengar (12,77%),

berjalan (12,51 %), mengingat/berkomunikasi (9,30 %), dan mengurus diri sendiri

(7,27 %) dari seluruh responden lansia yang diwawancarai sebanyak 18.028.271

orang pada tahun 2010. Dari seluruh kesulitan yang dihadapi, persentase

perempuan biasanya lebih besar daripada laki-laki dalam mengalami tingkat

kesulitan fungsional ini baik dalam hal melihat, mendengar, berjalan,

mengingat/berkomunikasi ataupun mengurus diri sendiri.

Beberapa persoalan tersebut pada akhirnya bermuara pada persoalan

pokok yang terkait dengan penyantunan orang tua. Secara umum, masalah

penyantunan lansia berujung pada tiga hal mendasar yakni siapa yang

bertanggung jawab, bagaimanakah prosedurnya, serta seberapa besaratau

bentuk penyantunan yang diberikan.

Secara garis besar persoalan penyantunan lansia mencakup tiga isu

pokok, yaitu penyantunan sekonomi, sosial dan kesehatan. Persoalan

penyantunan tersebut muncul khususnya pada kelompok rentan, yaitu lansia

yang tidak sehat, tidak produktif, miskin dan kehilangan peer gropu.

Penyantunan ekonomi utamanya adalah pada lansia perempuan di perdesaan

yang biasanya akan kehilangan sumber ekonomi setelah suamiu meninggal. Jika

anak tinggal berjauhan, (kemungkinan) jika anggota keluarga dalam kondisi

ekonomi yang tidak menguntungkan dan sukungan ekonomi dari tetangga

berkurang, maka pertanyaan pokok adalah siapa yang bertanggung jawab untuk

menyantuni lansia.

Demikian halnya dengan pelayanan kesehatan dan penyantunan sosial,

pertanyaan yang sama juga muncul, siapa yang bertenggung jawab menjadi

penyantun (carer) ketika anggota keluarga tidak mampu memenuhi kewajiban

untuk menyantuninya. Persoalan-persoalan tersebut bukan hal yang mudah

untuk dipecahkan, sebab jika solusinya hanya dibebankan jkepada pemerintah,

maka akan sangta sulit untuk merumuskan terobosan kebijakan untuk

mengantisipasi jumlah lansia yang semakin meningkat.

Page 166: Modul Non Formal Ok

L-91

Lansia sebagaimana manusia pada kelompok umur yang lain membutuhkan

pemenuhan kebutuhan fisik atau kebutuhan dasar (basic need) yang berupa

makan, minum dan tempat tinggal. Kebutuhan ini diperlukan untuk bertahan

hidup dan sekaligus menjaga kesehatan. Kebutuhan yang kedua adalah

keamanan dan perlindungan. Kebutuhan berikutnya adalah kebutuhan sosial

yaitu perasaan diterima sebagai anggota keolompok dan dicintai. Kebutuhan

selanjutnya adalah penghargaan yaitu pengakuan dan harga diri. Kebutuha

terakhir adalah aktualisasi diri yaitu kebutuhan untuk pemahaman dan

pengembangan diri.

Dengan segala persoalan yang dihadapi oleh lansia sesuai dengan

karakteristiknya, sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya, maka

kebutuhan lansia dapat dibagi menjadi dua, yaitu kebutuhan fisik dan non fisik.

Kebutuhan fisik adalah kebutuhan yang terkait dengankebutuhan dasar yaitu

makan, minum, tempat tinggal serta kesehatan. Sementarai kebutuhan non fisik

merupakan akumulasi dari kebutuah social dan psikologis. Dengan idnetifikasi

kebutuhan lasnia tersebut maka semua kbijakan mengenai lansia harus ditujukan

untuk memenuhi semua kebutuhan tersebut.

J. Program Pemberdayaan Lansia

Page 167: Modul Non Formal Ok

L-92

Berdasarkan UU No. 11 tahun 2009 tentang kesejahteraan sosial, diatur

mengenai masyarakat rentan termasuk di dalamnya adalah lansia. Penduduk

lansia merupakan penduduk rentan yang dijamin kesejahteraannya oleh

pemerintah melalui kebijakan pemerintah kebupaten/kota. Bentuk kesejahteraan

sosial yang diberikan ke lansia adalah berupa asuransi kesejahteraan sosial dan

bantuan langsung berkelanjutan. Jika lansia tersebut sudah tidak produktif, maka

diberikan kepadanya santunan sebesar Rp. 300.000,00 per bulan yang

dibayarkan melalui PT. Pos sebagai mitra dan biaya tersebut diambilkan dari

APBD. Sedangkan bagi lansia yang masih produktif, maka diberikan padanya

bantuan modal dan pelatihan agar mendorong lansia tetap produktif. Bantaun ini

biasanya berwujud kredit lunak dan pelatihan kepada para lansia. Selain itu,

pemerintah juga membentuk Komisi Nasional Lanjut Usia yang disahkan

berdasarkan Kepres No. 52 tahun 2004 yang memiliki tugas tuntuk

mengkoordinasi segala upaya peningkatan kesejahteraan sosial lanjut usia yang

memiliki tanggungjawab langsung kepada presiden.

Persoalan kesehatan yang dialami lansia dapat berupa bentuk

pelayanan kesehatan yang optimal untuk mendukung keberlanjutan mereka

dalam menjalankan kegiatan sehari-hari. Program kesehatan lansia menjadi

tanggung jawab pemerintah daerah dengan melaksanakan program perawatan

dan pendampingan lansia, program posyandu lansia, puskesmas lansia, dan

program bina keluarga lansia yang bertujuan untuk mendorong lansia agar tetap

sehat dan memiliki peran dalam kehidupan sehari-harinya. Kegiatan ini biasanya

diakomodir oleh masing-masing pemerintah daerah yang disesuaikan dengan

agenda masing-masing dan dijalankan oleh dokter atau pegawai lokal yang

mengurusi masalah lansia. Selain itu, para lansia juga dibekali dengan jaminan

kesehatan lansia yang meringankan mereka ketika akan mengakses layanan

kesehatan.

Pemberdayaan terhadap penduduk lansia dilaksanakan untuk

meningkatkan peran lansia utamanya untuk meningkatkan pembangunan.

Program pemberdayaan lansia dilakukan oleh program wilayah , swadaya

masyarakat, dinas atau instansi terkait untuk mengurusi masalah lansia seperti

Dinas Sosial dan Dinas Kesehatan. Beberapa program dari Dinas Sosial dan

Dinas Kesehatan yang terkait dengan program pemberdayaan lansia di

Indonesia antara lain Program Jaminan Sosial Lanjut Usia (JSLU), Usaha

Ekonomi Produktif (UEP), Program Pendampingan dan Perawatan Lansia di

L-91

Lansia sebagaimana manusia pada kelompok umur yang lain membutuhkan

pemenuhan kebutuhan fisik atau kebutuhan dasar (basic need) yang berupa

makan, minum dan tempat tinggal. Kebutuhan ini diperlukan untuk bertahan

hidup dan sekaligus menjaga kesehatan. Kebutuhan yang kedua adalah

keamanan dan perlindungan. Kebutuhan berikutnya adalah kebutuhan sosial

yaitu perasaan diterima sebagai anggota keolompok dan dicintai. Kebutuhan

selanjutnya adalah penghargaan yaitu pengakuan dan harga diri. Kebutuha

terakhir adalah aktualisasi diri yaitu kebutuhan untuk pemahaman dan

pengembangan diri.

Dengan segala persoalan yang dihadapi oleh lansia sesuai dengan

karakteristiknya, sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya, maka

kebutuhan lansia dapat dibagi menjadi dua, yaitu kebutuhan fisik dan non fisik.

Kebutuhan fisik adalah kebutuhan yang terkait dengankebutuhan dasar yaitu

makan, minum, tempat tinggal serta kesehatan. Sementarai kebutuhan non fisik

merupakan akumulasi dari kebutuah social dan psikologis. Dengan idnetifikasi

kebutuhan lasnia tersebut maka semua kbijakan mengenai lansia harus ditujukan

untuk memenuhi semua kebutuhan tersebut.

J. Program Pemberdayaan Lansia

Page 168: Modul Non Formal Ok

L-93

Rumah (Home Care) dan Posyandu Lansia. Berikut adalah gambaran program

yang terkait dengan pemberdayaan lansia.

1. Program Jaminan Sosial Lanjut Usia (JSLU) Merupakan program pemerintah yang dilakukan dengan program subsidi

langsung tunai kepada lansia tidak produktif untuk meningkatkan

kesejahteraannya atau sekedar mencukupi kebutuhan hidupnya. Program ini

memberikan bantuan dana sebesar Rp. 300.000,00 per bulan yang berasal dari

dana APBN dan disalurkan melalui PT. Pos yang sifatnya mengantar bantuan ke

tempat tinggal lansia yang membutuhkan.

Tujuan dari program ini antara lain:

a. Meringankan beban pengeluaran lansia dalam memenuhi kebutuhan

hidupnya

b. Memelihara taraf kesejahteraan lansia agar mampu hidup wajar

2. Usaha Ekonomi Produktif (UEP)

Merupakan program pemerintah yang dilakukan kepada lansia produktif yang

potensial dan mampu untuk bekerja untuk meningkatkan kesejahteraannya

hidupnya. Program ini memberikan bantuan modal usaha berupa kredit lunak

untuk membentu lansia untuk terus bekerja dan bertujuan agar lansia tidak

menggantungkan pada anak atau familinya yang masih muda.

3. Program Pendampingan dan Perawatan Lansia di Rumah (Home Care)

Merupakan program pemerintah yang dilakukan dengan basis

kekeluargaan untuk meningkatkan fungsi lansia. Program ini lebih menekankan

pada pendampingan, perawatan, dan pelayanan sosial kepada lansia di luar

panti sebagai wujud solidaritas sosial. Program pelayanan yang dilakukan

meliputi pemberian makanan tambahan, pemeriksaan kesehatan, pengobatan

ringan dan bimbingan kepada lansia.

Tujuan dari program ini antara lain:

a. Meningkatkan kemampuan lansia untuk menyesuaikan diri dengan

perubahan diri secara fisik, mental dan sosial

b. Terpenuhinya hak dan kebutuhan lansia agar tetap mampu berperan dalam

masyarakat

c. Meningkatkan kemampuan keluarga dan masyarakat dalam perawatan dan

pendampingan lansia di rumah

d. Terciptanya rasa aman dan nyaman bagi lansia di lingkungan sekitarnya

4. Posyandu Lansia

Page 169: Modul Non Formal Ok

L-94

Merupakan program pemerintah provinsi yang kegiatannya meliputi pemeriksaan

kesehatan lansia, penyuluhan lansia dan penimbangan berat badan.

Pemeriksaannya dilakukan dengan memaksimalkan peran dokter dari puskermas

setempat.

5. Puskesmas Lansia

Merupakan program pemerintah daerah yang dilakukan secara swadaya.

Program kegiatan yang dilakukan antara lain adalah senam bersama, arisan,

makan bersama, dan kegiatan lain yang menunjang perhatian terhadap lansia.

Kegiatan dilakukan oleh tenaga puskesmas, kader, atau sukarelawan yang

perduli dengan nasib lansia.

6. Bina Keluarga Lansia

Merupakan program pemerintah daerah yang dilakukan secara swadaya sebagai

wujud perhatian mereka terhadap lansia. Beberapa kegiatan yang dilakukan

melalui program ini antara lain:

a. Pemeriksaan kesehatan secara rutin

b. Pembentukan kegiatan ekonomi produktif

c. Memberikan pelatihan dengan melihat potensi wilayah

Disamping itu, perlu untuk dicatat bahwa pada dasarnya lansia akan terbagi

menjadi dua yaitu lansia yang produktif sehingga secara ekonomi masih

potensial dan lansia yang “tidak produktif” karena kondisi kesehatan dan

ekonomi yang kurang menguntungkan. Untuk kelompok pertama, penekanan

kebijakan diarahkan pada memberikan lingkungan yang kondusif untuk

memberikan kesempatan bagi lansia selalu produktif. Bentuknya dapat dilakukan

dengan memperluas kesempatan untuk kegiatan sub-contracting dalam hal-hal

yang lansia masih memiliki kompetensi. Bentuk nya adalah Usaha ekonomi

Produktif (UEP). Sementara itu untuk lansia yang “tidak produktif” focus

utamanya adalah pemberian santunan baik ekonomi maupun kesehatan,

utamanya adalah pemenuhan kebutuhan dasar dan kesehatan.

Hal penting lainnya yang perlu dicatat adalah bahwa pemerintah harus

mampu mewujudkan suatu lingkungan fisik maupun sosial yang memberikan

rasa aman dan nyaman bagi lansia, yaitu lingkungan yang ramah (layak) lansia.

Sebagai contoh semua sarana prasarana fisik untuk publik yang ada harus

mengakomodasi kebutuhan lansia, misalnya transportasi, perkantoran dan

tempat pelayanan umum lainnya. Sebagai contoh adalah penyediaan ruang

L-93

Rumah (Home Care) dan Posyandu Lansia. Berikut adalah gambaran program

yang terkait dengan pemberdayaan lansia.

1. Program Jaminan Sosial Lanjut Usia (JSLU) Merupakan program pemerintah yang dilakukan dengan program subsidi

langsung tunai kepada lansia tidak produktif untuk meningkatkan

kesejahteraannya atau sekedar mencukupi kebutuhan hidupnya. Program ini

memberikan bantuan dana sebesar Rp. 300.000,00 per bulan yang berasal dari

dana APBN dan disalurkan melalui PT. Pos yang sifatnya mengantar bantuan ke

tempat tinggal lansia yang membutuhkan.

Tujuan dari program ini antara lain:

a. Meringankan beban pengeluaran lansia dalam memenuhi kebutuhan

hidupnya

b. Memelihara taraf kesejahteraan lansia agar mampu hidup wajar

2. Usaha Ekonomi Produktif (UEP)

Merupakan program pemerintah yang dilakukan kepada lansia produktif yang

potensial dan mampu untuk bekerja untuk meningkatkan kesejahteraannya

hidupnya. Program ini memberikan bantuan modal usaha berupa kredit lunak

untuk membentu lansia untuk terus bekerja dan bertujuan agar lansia tidak

menggantungkan pada anak atau familinya yang masih muda.

3. Program Pendampingan dan Perawatan Lansia di Rumah (Home Care)

Merupakan program pemerintah yang dilakukan dengan basis

kekeluargaan untuk meningkatkan fungsi lansia. Program ini lebih menekankan

pada pendampingan, perawatan, dan pelayanan sosial kepada lansia di luar

panti sebagai wujud solidaritas sosial. Program pelayanan yang dilakukan

meliputi pemberian makanan tambahan, pemeriksaan kesehatan, pengobatan

ringan dan bimbingan kepada lansia.

Tujuan dari program ini antara lain:

a. Meningkatkan kemampuan lansia untuk menyesuaikan diri dengan

perubahan diri secara fisik, mental dan sosial

b. Terpenuhinya hak dan kebutuhan lansia agar tetap mampu berperan dalam

masyarakat

c. Meningkatkan kemampuan keluarga dan masyarakat dalam perawatan dan

pendampingan lansia di rumah

d. Terciptanya rasa aman dan nyaman bagi lansia di lingkungan sekitarnya

4. Posyandu Lansia

Page 170: Modul Non Formal Ok

L-95

publik (public space) untuk lansia dan transportasi umum yang ramah terhadap

lansia. Sementara itu perlu diciptakan lingkungan sosial yang kondusif bagi

lansia yang memungkinkan lansia dapat memenuhi kebutuhan sosial

psikologisnya. Pengembangan peer group lansia adalah salah satu contoh untuk

pengembangan lingkungan sosial yang ramah lansia.

Page 171: Modul Non Formal Ok

L-96

Daftar Pustaka

Affandi, Moch. 2009. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penduduk Lanjut Usia Memilih Pekerjaan. Journal of Indonesia Applied Economics Vol. 3 No. 2 October 2009, 99-110

Komisi Nasional Lanjut Usia. 2010. Profil Penduduk Lanjut Usia 2009. Komnas Lansia

United Nation. 2002. World Population Ageing: 1950-2050. Department Of Economic And Social Affairs Population Division: New York

Undang-Undang No. 4 Tahun 1965 Tentang Bantuan Orang Jompo

Undang-Undang No. 13 Tahun 1988 Tentang Kesejahteraan Lanjut Usia

Kepres No. 52 Tahun 2004 tentang Komisi Nasional Lanjut Usia

Peraturan Pemerintah Tahun No.43 Tahun 2004 Tentang Pelaksanaan Upaya Peningkatan Penduduk Lanjut Usia

Undang-Undang No. 11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial

L-95

publik (public space) untuk lansia dan transportasi umum yang ramah terhadap

lansia. Sementara itu perlu diciptakan lingkungan sosial yang kondusif bagi

lansia yang memungkinkan lansia dapat memenuhi kebutuhan sosial

psikologisnya. Pengembangan peer group lansia adalah salah satu contoh untuk

pengembangan lingkungan sosial yang ramah lansia.

Page 172: Modul Non Formal Ok

PendudukLansia diIndonesia

Drs Sukamdi M ScDrs. Sukamdi, M.Sc.

BATASAN PENDUDUK LANSIA DI INDONESIA

K t I i P b h M t l i it d l hKonten Isi PembahasanApa sih lansia itu??

Menurut ane lansia itu adalahorang tua yang sudah tuarenta. Sedangkan menurutUU No. 13 Tahun 1998Lansia adalah pendudukyang umurnya lebih dari 60

Ooo.. Gitu Ooo.. Gitu ya..ya..

Engkongnya Otong itu boleh juga disebut

lansia..y g ytahun lebih

Kenapa engkong gua dibawa-bawa

bo?

Ilustrasi gambar dari kartun Sukribo.

BPS

Penduduk lansia adalah pendudukyang berumur 60 tahun ke atas

g

Terdapat perbedaan antar Negara dalam mendefinisikan Lansia

Menurut UU No. 13 Tahun 1998 Tentang Kesejahteraan Lansia

Lanjut usia potensial adalah lanjut usia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan/atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang dan/ jasa.

Lanjut usia non potensial yaitu lanjut usia yang tidak berdaya untuk mencari nafkah sehingga hidupnya tergantung pada bantuan orang lain.

JUMLAH ABSOLUT PENDUDUK INDONESIA

K t I i P b hAPAKAH KALIAN JUMLAH PENDUDUK INDONESIAKonten Isi Pembahasan TAHU?

Jumlah penduduk di Indonesia seakin

tinggi dari tahun . Ini buktinya..

300

350

JUMLAH PENDUDUK INDONESIA

150

200

250

iwa

(juta

)

0

50

100

Ji

DiprediksiIndonesia menjadi Negara maju

Pertumbuhan penduduk di

1 111930 1940 1950 1960 1970 1980 1990 2000 2010 2025 2050

Diprediksiterjadi bonus demografi

SANGGUPKAH??

7 Hasil sensus 2010 menunjukkan bahwa Indonesia kini dihuni oleh 237 641 326 jiwa.

Indonesia kini mencapai 1,49 persen. Ini berarti pada 2050 jumlah penduduk jumlahnya menjadi 450 juta jiwa. Berarti satu penduduk dari 20penduduk dunia d l h

demografi

7miliar

j jJumlah penduduk laki-laki sebesar 119 juta dan perempuan sebesar 118 juta. penduduk dunia adalah

penduduk Indonesia.

JUMLAH LANSIA DI INDONESIADARI MASA KE MASADARI MASA KE MASA

PIRAMIDA PENDUDUK INDONESIA 1950-2050

1950 2000 2050

Tahukan kalian piramida yang di ujung yang berwarna merah? Itulah gambaran besar penduduk lansia.

PIRAMIDA PENDUDUK 2010

Peningkatan jumlah penduduk lanjut usia menjadi

l h t i dik t k b h il bsalah satu indikator keberhasilan pembangunan

sekaligus sebagai tantangan dalam pembangunan.Lansia dan penduduk usia produktif di Indonesia menjadi isumenarik dalam kaitannya dengan meraih the windows ofopportunities yang diprediksi akan terjadipada 2020-2030

JUMLAH LANSIA 1950-2050

K t I i P b hJumlah Penduduk Indonesia usia 60 tahun ke atasKonten Isi Pembahasan

7069,53

Jumlah Penduduk Indonesia usia 60 tahun ke atasTahun 1950-2050 Penduduk usia lanjut di Indonesia

meningkat lebih dari 3 kali lipat selama 50 tahun belakangan ini. Jumlah ini diproyeksikan akan

40

50

60

34,98

uduk

(Jut

a)

meningkat lebih dari 4 kali lipat pada tahun 2050 hingga mencapai angka 69.533.900 jiwa.

10

20

30

4,95 7,26

16,14

JUm

lah

Pend

u

01950 1975 2000 2025 2050

Tahun

7 Pada tahun 1950 di Indonesia, dari 16 orang 1 diantaranya adalah penduduk lanjut usia. Pada tahun 1975 rasio ini sempat mengalami penurunan dimana 1 dari 18 orang termasuk penduduk usia lanjut Pada7

miliar

rasio ini sempat mengalami penurunan, dimana 1 dari 18 orang termasuk penduduk usia lanjut. Padatahun 2000 rasio tersebut kembali meningkat, 1 dari 13 orang termasuk penduduk usia lanjut. Pada tahun 2050, diproyeksikan dari 4 orang 1 diantaranya adalah penduduk usia lanjut.

FAKTOR DEMOGRAFI PENENTU NAIKNYA LANSIA DI INDONESIA

K t I i P b h

NAIKNYA LANSIA DI INDONESIA

TFR dan Angka Harapan HidupKonten Isi Pembahasan

60

80

100

4

5

6

Hid

up (T

ahun

)

nita

)

Indonesia Tahun 1950-2050Menurunnya TFR dan naiknya

AHH menjadi salah satu pemicu naiknya lansia di Indonesia

0

20

40

0

1

2

3

Ang

ka H

arap

an H

TFR

(Ana

k pe

r Wan

1950-1955 1975-1980 2000-2005 2025-2030 2045-2050

T

TahunTFR AHH

90

AHH LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN INDONESIA 1950-2050

38 1

54

69,376,2 79,8

51,5

65,371,7 75,1

5060708090

idup

(Tah

un)

AHH perempuan 38,136,9

010203040

gka

Har

apan

H

Perempuan

Laki-Laki

pe e puacenderung lebih tinggi

daripada laki-laki.

01950-1955 1975-1980 2000-2005 2025-2030 2045-2050A

ng

Tahun

Page 173: Modul Non Formal Ok

PROFIL DEMOGRAFI PENDUDUK LANSIA DI INDONESIA

K t I i P b h

PENDUDUK LANSIA DI INDONESIA

Distribusi Penduduk Indonesia Berdasarkan Kelompok Rentang Usia Tahun 1950-2050Konten Isi Pembahasan

70%80%90%

100%

Tahun 1950 2050

Pada tahun 2050 diproyeksikan jumlah penduduk lansia usia 80

20%30%40%50%60%70%

Pers

enta

se tahun ke atas akan meningkat sebesar 9,01 juta.

0%10%20%

1950 1975 2000 2025 2050

Tahun0-14 15-59 60+0 14 15 59 60

Tabel Rasio Jenis Kelamin Lansia Indonesia 1950-2050

1950 1975 2000 2025 205060+ 80+ 60+ 80+ 60+ 80+ 60+ 80+ 60+ 80+

Indonesia 94,2 87 87,4 71,9 84,5 69,4 87 63,2 83,4 55,9

PROFIL DEMOGRAFI PENDUDUK LANSIA DI INDONESIA

K t I i P b h

PENDUDUK LANSIA DI INDONESIA

Rasio Ketergantungan 1950-2050: Dunia, Asia Tenggara dan IndonesiaKonten Isi Pembahasan Pada 2025 rasio ketergantungan

akan menurun menjadi 45,7 dan pada tahun 2050 akan meningkat

menjadi 57,170

80

90Tenggara, dan Indonesia

40

50

60Indonesia

Asia Tenggara

Dunia

10

20

30

120

Indeks Penduduk Lanjut Usia (60+) Indonesia 1950-2050

01950 1975 2000 2025 2050

60

80

100 Dunia

Asia TenggaraIndonesia

Indeks penuaan penduduk (Ageing Index) merupakan rasio atau perbandingan penduduk usia lanjut dengan penduduk

muda (usia 0-14 tahun) Pada 2050 Indeks penuaan 20

40

60 Indonesia

muda (usia 0-14 tahun). Pada 2050 Indeks penuaanpenduduk Indonesia menjadi 112,1, dimana terdapat 112

lansia per 100 penduduk muda. 01950 1975 2000 2025 2050

PROFIL SOSIAL-EKONOMIPENDUDUK LANSIA DI INDONESIA

K t I i P b h

PENDUDUK LANSIA DI INDONESIA

TPAK Penduduk Usia 65 ke atas Indonesia 1950-2010

Konten Isi Pembahasan TPAK Lansia semakin menurun dari tahun ke tahun .

88

74,180

90

100

58,2

4739,8

35 2

56,6

48,5

40,440

50

60

70

erse

ntas

e

Total

Laki-lakiPerempuan

L ki l ki35,230,830,9

24,1 25,2 24,1 23,1

10

20

30

40P PerempuanLaki-laki

Angka Melek Huruf Penduduk Indonesia Usia 60 Tahun Ke Atas Menurut Kelompok Umur 1980-2010

0

10

1950 1970 1990 2000 2010

5060708090

tase

p

Melek huruf laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Gender menjadi isu pembangunan bagi para lansia dari 0

1020304050

Pers

ent

Gender menjadi isu pembangunan bagi para lansia darisegi pendidikan

01950 1970 1990 2000 2010

60-64 65-69 70+

MASALAH KEPENDUDUKAN DI INDONESIADI INDONESIA

Pah, permasalahan lansia banyak sekali ya.. Kita harus mempersiapkan diri agar hal Iya, sudah tua masak masih harus y p p g

buruk tidak terjadi pada kita nantinya..y ,

bekerja dan be..rsusah-susah ma..

Beberapa persoalan yang dihadapi lansia di

Indonesia:

1 M l h f i ll

Guk..

1. Masalah penurunan fungsionall

2. Masalah enyantunan ekonomi

3. Masalah jaminan kesehatan

PERMASALAHAN PENDUDUK LANSIA 

1 Ti i k k t t d 2 M k lit hid d d k i1. Tingginya angka ketergantungan padapenduduk usia muda

2. Menurunnya kualitas hidup penduduk usialanjut

PERMASALAHAN PENDUDUK LANSIA 

MASALAH KESEHATAN PENDUDUK USIA LANJUT

Page 174: Modul Non Formal Ok

PERMASALAHAN PENDUDUK LANSIA 

ANGKA KESAKITAN LANSIA PERANGKA KESAKITAN LANSIA PERPROPINSI DI INDONESIA

(SUPAS 2005)

PERMASALAHAN PENDUDUK LANSIA 

Populasi Lansia yangPERMASALAHAN SOSIAL Populasi Lansia yangtercatat sebanyak

16.522.311 jiwa, sekitar 3.092.910 (20 persen)

PERMASALAHAN SOSIAL

( p )diantaranya adalah lansia

terlantar. Jumlah lansia terlantar yang mendapat pelayanan kesejahteraan sosial pada tahun 2005

adalah sebanyak 15.920 orang, sedangkan pada

tahun 2006 bantuan kesejahteraan sosial kepada

l i i k t j dilansia meningkat menjadi15.930 orang

(Depsos, 2006)Hanya 9,8 % Penduduk Lanjut Usia di Indonesia yang

memiliki dana Pensiun , selebihnya memiliki pendapatan dari Bekerja (38,2%) dan lainnya ( Suami, Istri, Anak dan

sanak saudara)

Masalah kesenjangan (gaps)j g (g p )

KESENJANGAN

EKONOMISOSIAL BUDAYAGEOGRAFIS

KONDISI LANSIA

PENYANTUNAN

KEBIJAKAN PENDUDUK LANSIADI INDONESIADI INDONESIA 

KEBIJAKAN LANSIA DI INDONESIA1 Undang undang No 10 Tahun 19901. Undang-undang No.10 Tahun 19902. Keputusan Presiden No. 52 tahun 2004 Tentang Komisi

Nasional Lanjut Usia3 P N 60 T h 2008 t t P b t k K i i3. Permen No.60 Tahun 2008 tentang Pembentukan Komisi

Daerah Lanjut Usia dan pemberdayaan Masyarakat dalam Penanganan Lanjut Usia di Daerah

Kebutuhan Lansia (Maslow)Kebutuhan Lansia (Maslow)

Meskipun seluruh lansia

menuntut pemenuhan

semua kebutuhan

tersebut, tetapi prioritas

kebutuhan lansia akan

menyesuaikan dengan

kondisi lansiakondisi lansia.

PROGRAM PENGEMBANGAN LANSIADI INDONESIADI INDONESIA 

PROGRAM PENGEMBANGAN LANSIA DI INDONESIAPROGRAM PENGEMBANGAN LANSIA DI INDONESIA1. Program Jaminan Sosial Lanjut Usia (JLSU)2. Program Usaha Ekonomi Produktif3. Program Pendampingan dan Perawatan Lansia di Rumah4. Posyandu Lansia5. Puskesmas Lansia6. Bina Keluarga Lansia

Page 175: Modul Non Formal Ok

Kebijakan pentingKebijakan penting

• Penciptaan lingkungan serta sarana dan• Penciptaan lingkungan serta sarana danprasarana fisik yang ramah lansia

R blik k l i– Ruang publik untuk lansia– Transportasi umum yang ramah lansia– Tempat jalan kaki ramah lansia, dlsb

• Penciptaan lingkungan serta sarana dan• Penciptaan lingkungan serta sarana danprasarana sosial yang ramah lansia– Pengembangan peer group– Pusat pengembangan diri untuk lansiap g g

SEKIAN DAN TERIMA KASIH

€€

Page 176: Modul Non Formal Ok

L-101

Urbanisasi dan Perkembangan Perkotaan di Indonesia1

Riwanto Tirtosudarmo

Pengantar Setelah Uni-Soviet mengalami dis-integrasi pada tahun 1989 Indonesia menjadi negara terbesar ke-empat dilihat dari jumlah penduduknya, setelah Cina, India dan Amerika Serikat. Berbeda dengan negara-negara besar lainnya yang berbentuk negara-daratan (continental) Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelago) (Peta 1).Di negara manapun, satu hal yang tampaknya serupa adalah hampir selalu tidak meratanya persebaran penduduk secara spasial-geografis.Konsentrasi penduduk secara bersamaan dengan perjalanan sejarahnya selalu terkonsentrasi pada daerah atau wilayah tertentu. Dalam banyak hal proses terkonsentrasinya penduduk berkaitan dengan konsentrasi aktivitas ekonomi masyarakat dari negara yang bersangkutan.

Peta 1

1Tulisan ini (draft 2, 17 April 2013) dibuat atas permintaan Kepala Bidang Pendidikan Kependudukan, BKKBN.

Page 177: Modul Non Formal Ok

L-102

Sebagai negara kepulauan yang terbesar di dunia, persebaran pendududuk Indonesia secara historis terkonsentrasi di Pulau Jawa yang luas wilayahnya hanya sekitar 7 persen dari keseluruhan wilayah Indonesia. Meskipun pemerintah-pemerintah yang pernah berkuasa di Indonesia, khususnya pemerintah kolonial Belanda dan pemerintahan Sukarno dan Suharto setelah kemerdekaan, berusaha memindahkan penduduk dari Jawa ke pulau-pulau lain di luar Jawa namun terbukti penduduk yang mendiami pulau Jawa tetap berkisar pada angka 60 persen dan hanya menurun secara insignifikan (Figure 1).

Figure 1

Salah satu perubahan dalam dimensi persebaran penduduk yang mencolok di Indonesia adalah yang berkaitan dengan apa yang disebut sebagai urbanisasi. Urbanisasi secara demografis diartikan sebagai semakin besarnya jumlah penduduk sebuah negara di wilayah yang disebut sebagai daerah perkotaan (urban areas).Berdasarkan hasil Sensus Penduduk (selanjutnya disingkat SP) 2010 separuh (50 persen) penduduk Indonesia telah tinggal di daerah perkotaan (Figure 2).

Urbanisasi adalah sebuah gejala sosial yang sangat penting dari penduduk sebuah negara. Sebagai sebuah proses, urbanisasi dapat menjadi indikator dari terjadinya transformasi sosial yang dialami oleh sebuah bangsa, Transformasi atau perubahan yang terjadi meliputi berbagai aspek, baik yang bersifat ekonomi, sosial, politik maupun kebudayaan. Dalam konteks dinamika kependudukan (population dynamics) di Indonesia barangkali urbanisasi adalah sebuah proses sosial yang penting kalau tidak yang terpenting selama 50 tahun terakhir perjalanan bangsa ini. Mengapa urbanisasi merupakan sebuah proses social yang penting? Urbanisasi adalah sebuah proses social yang melibatkan dua komponen utama yang penting, yaitu aspek spasial-keruangan, dan yang kedua aspek social-demografis. Selain dua komponen utama ini,

L-101

Urbanisasi dan Perkembangan Perkotaan di Indonesia1

Riwanto Tirtosudarmo

Pengantar Setelah Uni-Soviet mengalami dis-integrasi pada tahun 1989 Indonesia menjadi negara terbesar ke-empat dilihat dari jumlah penduduknya, setelah Cina, India dan Amerika Serikat. Berbeda dengan negara-negara besar lainnya yang berbentuk negara-daratan (continental) Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelago) (Peta 1).Di negara manapun, satu hal yang tampaknya serupa adalah hampir selalu tidak meratanya persebaran penduduk secara spasial-geografis.Konsentrasi penduduk secara bersamaan dengan perjalanan sejarahnya selalu terkonsentrasi pada daerah atau wilayah tertentu. Dalam banyak hal proses terkonsentrasinya penduduk berkaitan dengan konsentrasi aktivitas ekonomi masyarakat dari negara yang bersangkutan.

Peta 1

1Tulisan ini (draft 2, 17 April 2013) dibuat atas permintaan Kepala Bidang Pendidikan Kependudukan, BKKBN.

Page 178: Modul Non Formal Ok

L-103

urbanisasi juga merupakan indikator tingkat pencapaian sekaligus dinamika yang sedang dilalui oleh peradaban sebuah bangsa.

Figure 2

Tulisan ini adalah sebuah upaya untuk mencoba memahami bagaimana proses urbanisasi itu berlangsung dan apayang menjadi ciri-ciri, pola serta kecenderungan dari urbanisasi yang terjadi dan bagaimana implikasi ekonomi, sosial, politik maupun kebudayaan dari proses urbanisasi yang berlangsung. Tahun 1970 diambil sebagai awal dari pembahasan tentang proses urbanisasi karena pada tahun ini dimulai pembangunan ekonomi dan rekayasa social secara nasional oleh rejim Orde Baru.

Untuk mencapai tujuan yang diinginkan, tulisanini akan terbagi menjadi 5 bab. Bab pertama, setelah pengantar sedikit diuraikan tentang sejarah perkotaan di nusantara, berdasarkan tulisan-tulisan para sejarawan. Bab kedua akan berisi uraian tentang konsep dan pengertian yang berkaitan dengan urbanisasi. Bab ketiga merupakan pemaparan tentang perkembangan, persebaran dan proyeksi penduduk perkotaan sampai dengan tahun 2025. Bab keempat akan mengupas tentang beberapa problem dan prospek perkembangan perkotaan di Indonesia.Bab kelima merupakan kesimpulan dan implikasi kebijakan.

Bab 1: Sejarah Perkembangan Kota-Kota di Nusantara

Urbanisasi dan perkembangan perkotaan bukanlah sebuah gejala baru di kepulauan nusantara.Munculnya kota-kota di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari sejarah interaksi kekuatan-kekuatan negara dan kapital.Menurut Ong Hok Ham (2002) kejatuhan Malaka ke

Page 179: Modul Non Formal Ok

L-104

tangan Portugis pada 1512 mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap menurunnya peran pedagang-pedagang dari Jawa. Pedagang Jawa tidak lagi memegang peran dalam perdagangan nusantara tetapi mulai berubah menjadi pedagang produsen, sementara perdagangan samudra dikuasai oleh kapal-kapal asing. Di Banten, Demak dan Surabaya terjadi peralihan pekerjaan pada pertengahan abad ke-17 karena di daerah ini mulai dikembangkan persawahan. Penurunan peran kota-kota pesisir semakin cepat ketika politik ekonomi monopoli dan autarki dilakukan oleh para raja dan sultan di nusantara.Di Jawa sendiri kekhawatiran Mataram terhadap pengaruh para bupati pesisir – belajar dari kekalahan Majapahit sebelumnya – mendorong perlu dikuasainya kota-kota pesisir di pantai utara Jawa.Menjelang abad ke 18 selain kedudukan VOC yang semakin kuat, politik Mataram ikut serta meruntuhkan peran kota-kota pesisir sebagai Bandar perdagangan internasional.

Dalam konteks semakin menguatnya dominasi VOC di Jawa, pembangunan jalan aspal oleh Daendels yang pada awalnya dimaksudkan sebagai bagian dari strategi mempertahankan pulau Jawa terhadap serangan armada angkatan laut Inggris yang memang sangat terkenal menjadi sebuah factor structural yang penting.2Jalan ini dikenal sebagai Jalan Raya Pos (De Grote Postweg) yang secara dramatis memperpendek waktu tempuh dari Batavia ke Surabaya dari sebulan di musim kemarau menjadi hanya 3-4 hari saja.Menurut catatan Kompas (2008), antara Anyer-Batavia dibangun 14 stasiun pos (dimana kuda pos diganti); 8 pos ada di Karesidenan Banten, yaitu ―Anyer, Serang, Ondar-andir, Cikandi, Tanggerang, menyusuri Kali Mookkervaart menuju Batavia‖.Sementara dari Semarang Jalan Raya Pos terbagi dua, ke timur dan keselatan menuju Jogya dan Solo. Yang ke timur, terdiri dari: ―Karang Tengah, Demak, Kudus (ada 4 stasiun pos), Mayonglor, Jepara, Pati, Juwana, menyeberangi Sungai Juwana dengan rakit, Rembang, Lasem dan Tuban (ada 10 stasiun pos).Inilah revolusi di bidang transportasi yang menjadi awal dari perubahan-perubahan yang bersifat struktural lain di pulau Jawa. Perlu dicatat bahwa pembangunan rel kereta api yang pertama di Jawa baru dilakukan pada tahun 1867, yang menghubungkan antara Semarang dengan Surakarta (Solo) dan Yogyakarta. Jadi pembangunan perkeretaapian baru dilakukan oleh Netherlands Indies Railway Company (NIS) setengah abad setelah jalan raya aspal dibangun oleh Daendels.3 Karena jalan Daendels dari Batavia bergerak ke Selatan menuju Bogor dan selanjutnya melalui jalur pedalaman menuju Cirebon, jalan aspal antara Batavia dan Cirebon yang sejajar dengan garis pantai, baru dibuat pada masa penjajahan Inggris (1811-1816).4

Seperti dikemukakan oleh Peter J. Nas dan Welmoet Boenders (2002), seorang pengamat perkotaan, kehadiran jalan aspal ini telah berpengaruh terhadap perkembangan pola pemukiman penduduk dari yang semula tersebar menjadi mengelompok di sepanjang jalan aspal ini.Daendels juga dianggap sebagai gubernur yang telah meletakkan dasar pembangunan infrastruktur kota-kota, khususnya di pantai utara Jawa.5Inilah awal dari pertumbuhan kota-kota

2 Selain diberi mandat untuk mempertahankan pulau Jawa dari Serangan Inggris, oleh Raja Belanda (adik Napoleon Bonaparte), Daendels juga diberi tugas untuk membenahi administrasi pemerintahan di Jawa. Lihat Kompas, 2009, Ekspedisi Anjer-Panaroekan: Laporan Jurnalistik Kompas. 3 Lihat Jan de Bruin, 2003, Het Indische spoor in oorlogstijd, pp. 213. 4 Kompas (2008: 12). 5 Lihat Djoko Marihandono, “Fungsi dan Manfaat Jalan Raya Pos Jalan raya Daendels”, dalam Kompas (2008: 35).

L-103

urbanisasi juga merupakan indikator tingkat pencapaian sekaligus dinamika yang sedang dilalui oleh peradaban sebuah bangsa.

Figure 2

Tulisan ini adalah sebuah upaya untuk mencoba memahami bagaimana proses urbanisasi itu berlangsung dan apayang menjadi ciri-ciri, pola serta kecenderungan dari urbanisasi yang terjadi dan bagaimana implikasi ekonomi, sosial, politik maupun kebudayaan dari proses urbanisasi yang berlangsung. Tahun 1970 diambil sebagai awal dari pembahasan tentang proses urbanisasi karena pada tahun ini dimulai pembangunan ekonomi dan rekayasa social secara nasional oleh rejim Orde Baru.

Untuk mencapai tujuan yang diinginkan, tulisanini akan terbagi menjadi 5 bab. Bab pertama, setelah pengantar sedikit diuraikan tentang sejarah perkotaan di nusantara, berdasarkan tulisan-tulisan para sejarawan. Bab kedua akan berisi uraian tentang konsep dan pengertian yang berkaitan dengan urbanisasi. Bab ketiga merupakan pemaparan tentang perkembangan, persebaran dan proyeksi penduduk perkotaan sampai dengan tahun 2025. Bab keempat akan mengupas tentang beberapa problem dan prospek perkembangan perkotaan di Indonesia.Bab kelima merupakan kesimpulan dan implikasi kebijakan.

Bab 1: Sejarah Perkembangan Kota-Kota di Nusantara

Urbanisasi dan perkembangan perkotaan bukanlah sebuah gejala baru di kepulauan nusantara.Munculnya kota-kota di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari sejarah interaksi kekuatan-kekuatan negara dan kapital.Menurut Ong Hok Ham (2002) kejatuhan Malaka ke

Page 180: Modul Non Formal Ok

L-105

di sepanjang pantai utara, yang sebagian merupakan respons dari penduduk terhadap terbukanya kegiatan ekonomi dan kesempatan kerja baru yang tidak lagi hanya bersifat tradisional-agraris.Dalam perkembangan selanjutnya, didirikannya pabrik-pabrik gula di kota-kota di pantai utara Jawa, juga merupakan pendorong dari perubahan pemukiman penduduk yang semula hanya mengelompok di sekitar muara sungai.

Dalam sebuah tulisan tentang kota dalam sejarah Indonesia, Ong Hok Ham (2002) mengutip hasil penelitian Anthony Reid, yang memperlihatkan bahwa pada abad 16-17 kepulauan Indonesia untuk ukuran masa itu telah merupakan daerah urban, bahkan memiliki penduduk kota yang terpadat didunia. Menurut Ong Hok Ham (2002), ―berbicara mengenai manusia pada abad ke-16-17 maka yang dimaksud adalah orang kota, pedagang, pelaut, nelayan, tukang, dan lain-lain‖. Kota-kota pelabuhan terbesar di nusantara telah berpenduduk antara 50.000 sampai 100.000 jiwa, Banten misalnya berpenduduk 70.000 jiwa, padahal di Eropa hanya ada dua kota, yaitu Paris dan Napoli, yang berpenduduk lebih dari 100.000 jiwa, dan hanya beberapa kota yang berpenduduk mencapai 40.000 jiwa (Ong Hok Ham, 2002: 71).

Estimasi tentang jumlah penduduk kota-kota di pesisir utara Jawa sebagaimana dikemukakan oleh Ong Hok Ham yang didasarkan pada studi Reid sesungguhnya masih merupakan perdebatan di kalangan para ahli.Perdebatan pendapat tentang estimasi jumlah penduduk pada masa ini memang tidak mungkin dihindarkan karena sumber informasi yang akurat, seperti sensus atau registrasi penduduk belum dilakukan secara sistimatis.Wisseman (1991) yang meneliti pertumbuhan kota-kota di pantai utara Jawa pada masa itu, dengan mengutip pengamatan Tome Pires, misalnya, mempunyai pendapat yang berbeda dengan Reid.

Berikut adalah kutipan pendapat Wisseman (1992) dari berdasarkan observasi Tome Pires, A. Cortesao (ed. and trans.), The Suma Oriental of Tome Pires and the Book of Francisco Rodrigues (London: The Hakluyt Society, 1944), vol. 1, pp. 175-200.

Figures for the population of settlements presented by Tome Pires fall into two classes: those based upon hearsay (for Demak and the state in the interior) and those based upon direct Portuguese observation (most of the Pasisir states). The figures based upon hearsay tend to be large. According to the head of Tuban, the lord of the interior state had some 200,000 fighting men at his disposal, and the state was "thickly populated, with many cities, and very large ones"; Pires, however, felt that this was clearly an exaggeration (pp. 175-76). Demak, "according to what they say," was reported to be a town of some 8,000 to 10,000 dwellings and its lord had some 30,000 fighting men at his disposal from the country as a whole (p. 185); yet direct observation appears to have indicated a lower population for the town (p. 186). The figures based upon direct observation reveal that the ports of the other Pasisir states of the time were quite small. Tuban, for instance, had only some 1,000 inhabitants within its walls (p. 190), yet its lord could apparently raise 6,000 to 7,000 fighting men from the town and its limited hinterland (p. 192). The port of Gresik, "the great trading port, the best in all Java," which had a seasonally large foreign and archipelago trading population, appears to have had relatively few permanent residents. The population of the smaller states resided mainly in villages which were themselves apparently rather small.

Page 181: Modul Non Formal Ok

L-106

Wiseman seperti terbaca dalam kutipan dibawah ini, juga berpendapat bahwa urbanisasi di kota-kota pantai utara Jawa baru terlihat nyata ketika kebijakan-kebijakan kolonial Belanda mulai dijalankan pada abad 18.

Although Reid's suggestion may be a valid one in the case of coastal trading states whose port cities suffered under colonial rule, there is no evidence that Java was significantly urbanized before the arrival of the Dutch. The port towns of the north coast of Java described by Tome Pires early in the sixteenth century, based upon actual observation rather than hearsay, were surprisingly small, most having fewer than 2,000 inhabitants.3 The situation seems not to have changed significantly before the middle of the eighteenth century, the size of towns fluctuating wildly over periods of months or years depending upon the fortunes of war and the movements of rural populations, but showing no overall tendency towards long-term growth. In the period of peace following the signing of the treaty of Giyanti in 1755, the rise in population in rural districts far out-stripped that of the towns. Dutch colonial policies of the following century, far from impeding urban growth, seem actually to have encouraged it.

Strategi pertahanan Gubernur Daendels, antara lain dengan membangun Jalan Raya Pos, di sepanjang pantai utara Jawa, ternyata gagal dalam menghadapi serangan Inggris. Pada tahun 1811, Jawa jatuh ke tangan Inggris, dan mulai berada dibawah kekuasaan Gubernur Thomas Raffless, dan memerintah sampai tahun 1815. Pada tahun 1815 menjelang akhir masa pemerintahannya, Raffles melakukan sensus penduduk dan dari hasil sensusnya penduduk Jawa saat itu 4,5 juta jiwa. Raffles juga seorang menulis buku tentang sejarah Jawa yang terkenal, The History of Java.Pada tahun 1930, ketika Belanda melakukan sensus penduduk yang pertama, penduduk pulau Jawa tercatat mendekati 30 juta jiwa. Lonjakan jumlah penduduk Jawa yang sangat tinggi antara 1815 sampai 1930 menimbulkan banyak pertanyaan bagi para pengamat perkembangan penduduk di Jawa.

Bab 2: Urbanisasi dan Urbanisme dalam Perspektif Kependudukan

Menurut Encyclpedia of Population yang disunting oleh Paul Demeny dan Geoffrey McNicoll (2003)

Urbanization is the process by which an increasing proportion of the population lives in urban areas. The level of urbanization is the proportion of population living in urban areas. Urbanization must be distinguished from urbanism, a term referring to the style of life usually found in large urban centers.

Dari perspektif kependudukan, sebagaimana dikemukakan oleh dua pakar kepenndudukan diatas, adalah sebuah proses peningkatan proporsi penduduk yang hidup di perkotaan. Dengan demikian yang dimaksud sebagai tingkat urbanisasi adalah proporsi penduduk, dari keseluruhan jumlah penduduk di sebuah negara, yang tinggal di perkotaan.Sementara itu yang dimaksud dengan urbanisme (urbanism) adalah gaya-hidup (the style of life) yang biasanya ditemukan dalam di kota-kota besar.

L-105

di sepanjang pantai utara, yang sebagian merupakan respons dari penduduk terhadap terbukanya kegiatan ekonomi dan kesempatan kerja baru yang tidak lagi hanya bersifat tradisional-agraris.Dalam perkembangan selanjutnya, didirikannya pabrik-pabrik gula di kota-kota di pantai utara Jawa, juga merupakan pendorong dari perubahan pemukiman penduduk yang semula hanya mengelompok di sekitar muara sungai.

Dalam sebuah tulisan tentang kota dalam sejarah Indonesia, Ong Hok Ham (2002) mengutip hasil penelitian Anthony Reid, yang memperlihatkan bahwa pada abad 16-17 kepulauan Indonesia untuk ukuran masa itu telah merupakan daerah urban, bahkan memiliki penduduk kota yang terpadat didunia. Menurut Ong Hok Ham (2002), ―berbicara mengenai manusia pada abad ke-16-17 maka yang dimaksud adalah orang kota, pedagang, pelaut, nelayan, tukang, dan lain-lain‖. Kota-kota pelabuhan terbesar di nusantara telah berpenduduk antara 50.000 sampai 100.000 jiwa, Banten misalnya berpenduduk 70.000 jiwa, padahal di Eropa hanya ada dua kota, yaitu Paris dan Napoli, yang berpenduduk lebih dari 100.000 jiwa, dan hanya beberapa kota yang berpenduduk mencapai 40.000 jiwa (Ong Hok Ham, 2002: 71).

Estimasi tentang jumlah penduduk kota-kota di pesisir utara Jawa sebagaimana dikemukakan oleh Ong Hok Ham yang didasarkan pada studi Reid sesungguhnya masih merupakan perdebatan di kalangan para ahli.Perdebatan pendapat tentang estimasi jumlah penduduk pada masa ini memang tidak mungkin dihindarkan karena sumber informasi yang akurat, seperti sensus atau registrasi penduduk belum dilakukan secara sistimatis.Wisseman (1991) yang meneliti pertumbuhan kota-kota di pantai utara Jawa pada masa itu, dengan mengutip pengamatan Tome Pires, misalnya, mempunyai pendapat yang berbeda dengan Reid.

Berikut adalah kutipan pendapat Wisseman (1992) dari berdasarkan observasi Tome Pires, A. Cortesao (ed. and trans.), The Suma Oriental of Tome Pires and the Book of Francisco Rodrigues (London: The Hakluyt Society, 1944), vol. 1, pp. 175-200.

Figures for the population of settlements presented by Tome Pires fall into two classes: those based upon hearsay (for Demak and the state in the interior) and those based upon direct Portuguese observation (most of the Pasisir states). The figures based upon hearsay tend to be large. According to the head of Tuban, the lord of the interior state had some 200,000 fighting men at his disposal, and the state was "thickly populated, with many cities, and very large ones"; Pires, however, felt that this was clearly an exaggeration (pp. 175-76). Demak, "according to what they say," was reported to be a town of some 8,000 to 10,000 dwellings and its lord had some 30,000 fighting men at his disposal from the country as a whole (p. 185); yet direct observation appears to have indicated a lower population for the town (p. 186). The figures based upon direct observation reveal that the ports of the other Pasisir states of the time were quite small. Tuban, for instance, had only some 1,000 inhabitants within its walls (p. 190), yet its lord could apparently raise 6,000 to 7,000 fighting men from the town and its limited hinterland (p. 192). The port of Gresik, "the great trading port, the best in all Java," which had a seasonally large foreign and archipelago trading population, appears to have had relatively few permanent residents. The population of the smaller states resided mainly in villages which were themselves apparently rather small.

Page 182: Modul Non Formal Ok

L-107

Sebuah isu yang penting dalam mempelajari urbanisasi, menurut Paul Demeny dan Geoffrey McNicoll (2003) menyangkut persoalan apa saja yang bisa dianggap penenentu (indicator) sebuah kawasan bisa disebut sebagai daerah perkotaan.

In medieval Europe or China, it may have been easy to distinguish betweentowns—generally tight-knit settlements, oftenfortified by walls to enable them to be protectedfrom attack—and rural areas. This is no longer thecase, either in the developed or the developingworld, largely because transportation improvementshave made it possible for people to reside a considerabledistance from their place of work.

Menurut Demeny and McNicoll (2003) diatas, pada abad pertengahan di Eropa dan Cina relative mudah membedakab antara kota dan desa, karena di kota penduduknya memiliki pola pemuliman yang teratur dan terintegrasi, seringkali dikelilingi oleh benteng yang didirikan untuk mempertahankan diri dari serangan dari luar. Situasi seperti ditemukan di Eropa dan Cina abad pertengahan ini tidak lagi terjadi pada saat sekarang, baik di negeri yang maju maupun negeri yang masih berkembang. Perkembangan sarana transportasi adalah salah satu penyebab mengapa penduduk tidak harus selalu tinggal di pusat kota dan mereka bisa tinggal di pemukiman yang mungkin agak jauh dari tempat kerjanya. Di Indonesia, proses aglomerasi wilayah perkotaan, seperti terjadi di sekitar Jakarta, Semarang dan Surabaya; memperlihatkan semakin menyebarnya pemukiman penduduk di luar pusat kota, meskipun setiap harinya mereka harus melakukan perjalanan ke tempat kerjanya yang umumnya masih berada di pusat kota. Pada saat ini setiap negara memiliki definisinya sendiri-sendiri tentang apa yang disebut sebagai wilayah perkotaan atau perdesaan. Keadaan ini menyulitkan untuk melakukan perbandingan perkembangan urbanisasi secara internasional, karena adanya perbedeaan definisi antar negara.Selain menggunakan minimum jumlah penduduk per kilometer sebagai indicator kepadatan penduduk, berbagai indicator yang bersifat social ekonomi, seperti jumlah fasilitas umum dan sarana-sarana public lain, biasanya dipergunakan untuk membedakan antara daerah perkotaan dan perdesaan. Kategorisasi tentang desa dan kota yang bersifat arbriter ini seringkali tidak mampu memberikan gambaraan riil secara sosiologis keadaan masyarakat, Fenomena ―peri-urban‖ atau ―urban fringe‖ yang biasanya merupakan daerah yang berada diantara kota dan desa adalah contoh bagaimana definisi yang dipilih untuk membedakan desa dan kota seringkali mengabaikan ada kategori ketiga yang berada diantara desa dan kota. Berbagai factor menjadi latarbelakang berlangsungnya proses urbanisasi dan pertumbuhan kota. Ada semacam konsesnsus diantara para ahli perkotaan bahwa perubahan struktur ekonomi akibat pengaruh industrialisasi dan pertumbuhan sector jasa menjadi pendorong utama urbanisasi. Secara tidak langsung pertumbuhan sector industry dan jasa akan berpengaruh terhadap sector pertanian yang umumnya berada di daerah perdesaan. Dalam kasus Indonesia strategi pembangunan ekonomi yang mengejar pertumbuhan sejak tahun 1970 memiliki dampak yang besar terhadap perubahan struktur ekonomi dan pada gilirannya mempengaruhi proses urbanisasi dan pertumbuhan wilaha perkotaan (uraian tentang hal ini lihat babab 4). Dalam perspektif kependudukan, proses urbanisasi, secara umum dipengaruhi oleh tiga aspek. Pertama adalah akibat pertumbuhan alamiah akibat fertilitas dan mortalitas dari penduduk kota itu sendiri. Kedua adalah akibat pertambahan net-migrasi, antara migrasi masuk dan keluar; yang umumnya menunjukkan positive net-migration. Ketiga adalah akibat dari proses

Page 183: Modul Non Formal Ok

L-108

reklasifikasi dari daerah-daerah ―per-urban‖ di sekitar kota yang dianggap tidak lagi sebagai daerah perdesaan, dan secara administrative diputuskan untuk menjadi bagian dari wilayah perkotaan. Figure 3

Figure 4

L-107

Sebuah isu yang penting dalam mempelajari urbanisasi, menurut Paul Demeny dan Geoffrey McNicoll (2003) menyangkut persoalan apa saja yang bisa dianggap penenentu (indicator) sebuah kawasan bisa disebut sebagai daerah perkotaan.

In medieval Europe or China, it may have been easy to distinguish betweentowns—generally tight-knit settlements, oftenfortified by walls to enable them to be protectedfrom attack—and rural areas. This is no longer thecase, either in the developed or the developingworld, largely because transportation improvementshave made it possible for people to reside a considerabledistance from their place of work.

Menurut Demeny and McNicoll (2003) diatas, pada abad pertengahan di Eropa dan Cina relative mudah membedakab antara kota dan desa, karena di kota penduduknya memiliki pola pemuliman yang teratur dan terintegrasi, seringkali dikelilingi oleh benteng yang didirikan untuk mempertahankan diri dari serangan dari luar. Situasi seperti ditemukan di Eropa dan Cina abad pertengahan ini tidak lagi terjadi pada saat sekarang, baik di negeri yang maju maupun negeri yang masih berkembang. Perkembangan sarana transportasi adalah salah satu penyebab mengapa penduduk tidak harus selalu tinggal di pusat kota dan mereka bisa tinggal di pemukiman yang mungkin agak jauh dari tempat kerjanya. Di Indonesia, proses aglomerasi wilayah perkotaan, seperti terjadi di sekitar Jakarta, Semarang dan Surabaya; memperlihatkan semakin menyebarnya pemukiman penduduk di luar pusat kota, meskipun setiap harinya mereka harus melakukan perjalanan ke tempat kerjanya yang umumnya masih berada di pusat kota. Pada saat ini setiap negara memiliki definisinya sendiri-sendiri tentang apa yang disebut sebagai wilayah perkotaan atau perdesaan. Keadaan ini menyulitkan untuk melakukan perbandingan perkembangan urbanisasi secara internasional, karena adanya perbedeaan definisi antar negara.Selain menggunakan minimum jumlah penduduk per kilometer sebagai indicator kepadatan penduduk, berbagai indicator yang bersifat social ekonomi, seperti jumlah fasilitas umum dan sarana-sarana public lain, biasanya dipergunakan untuk membedakan antara daerah perkotaan dan perdesaan. Kategorisasi tentang desa dan kota yang bersifat arbriter ini seringkali tidak mampu memberikan gambaraan riil secara sosiologis keadaan masyarakat, Fenomena ―peri-urban‖ atau ―urban fringe‖ yang biasanya merupakan daerah yang berada diantara kota dan desa adalah contoh bagaimana definisi yang dipilih untuk membedakan desa dan kota seringkali mengabaikan ada kategori ketiga yang berada diantara desa dan kota. Berbagai factor menjadi latarbelakang berlangsungnya proses urbanisasi dan pertumbuhan kota. Ada semacam konsesnsus diantara para ahli perkotaan bahwa perubahan struktur ekonomi akibat pengaruh industrialisasi dan pertumbuhan sector jasa menjadi pendorong utama urbanisasi. Secara tidak langsung pertumbuhan sector industry dan jasa akan berpengaruh terhadap sector pertanian yang umumnya berada di daerah perdesaan. Dalam kasus Indonesia strategi pembangunan ekonomi yang mengejar pertumbuhan sejak tahun 1970 memiliki dampak yang besar terhadap perubahan struktur ekonomi dan pada gilirannya mempengaruhi proses urbanisasi dan pertumbuhan wilaha perkotaan (uraian tentang hal ini lihat babab 4). Dalam perspektif kependudukan, proses urbanisasi, secara umum dipengaruhi oleh tiga aspek. Pertama adalah akibat pertumbuhan alamiah akibat fertilitas dan mortalitas dari penduduk kota itu sendiri. Kedua adalah akibat pertambahan net-migrasi, antara migrasi masuk dan keluar; yang umumnya menunjukkan positive net-migration. Ketiga adalah akibat dari proses

Page 184: Modul Non Formal Ok

L-109

Figure 5

Bab 3: Perkembangan Penduduk Perkotaan (1971-2010) dan Proyeksi Penduduk(2025)

Proses urbanisasi dan perkembangan kependudukan di daerah perkotaan sebagaimana terekan dari Sensus Penduduk 1971, 1980, 1990, 2000 dan 2010, memperlihatkan adanya peningkatan yang relative cepat dan stabil. Figure 6 memperlihatkan bagaimana perkembangan dan persebaran penduduk Indonesia berdasarkan provinsi serta daerah perkotaan dan perdesaan. Secara mencolok terlihat bahwa provinsi-provinsi di Pulau Jawa (Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur) secara keseluruhan mendominasi perkembangan dan persebaran yang ada. Di luar Jawa, hanya Lampung, Sumatera Selatan, Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan yang memperlihatkan tingginya konsentrasi penduduk, khususnya di daerah perkotaan, sementara provinsi-provinsi lainnya, terutama di Indonesia bagian timur, memiliki konsentrasi penduduk yang rendah. Ketimpangan perkembangan dan persebaran penduduk antara Jawa-Luar Jawa, atau Indonesia Barat dan Indonesia Timur, adalah sebuah realitas social yang ada di Indonesia, dan keadaan ini juga mengindikasikan kecilnya pengaruh upaya menyeimbangkan persebaran penduduk antar daerah dan antar pulau melalui program transmigrasi maupun pembangunan ekonomi pada umumnya.

Page 185: Modul Non Formal Ok

L-110

Figure 6

Figure 7 sampai dengan figure 11 memperlihatkan perkembangan dan persebaran penduduk menurut provinsi dan wilayah perkotaan dan perdesaan sejak tahun 1971 sampai dengan 2010. Jika pada tahun 1971 penduduk yang menghuni didaerah perkotaan masih kurang dari 20 persen (Figure 7) pada tahun 2010 telah mencapai sekitar 50 persen (Figure 11). Jika dilihat perkembangannya, seperti telah dapat diduga, provinsi-provinsi di Pulau Jawa, terutama DKI Jakarta, memperlihatkan tingkat urbanisasi yang tinggi dalam setiap periode sensus (Figure 7-11).Pada Sensus Penduduk terakhir (Figure 11) terlihat tingkat urbanisasi tertinggi adalah provinsi DKI Jakarta, dan terendah adalah provinsi Nusa Tenggara Timur.

Figure 7

L-109

Figure 5

Bab 3: Perkembangan Penduduk Perkotaan (1971-2010) dan Proyeksi Penduduk(2025)

Proses urbanisasi dan perkembangan kependudukan di daerah perkotaan sebagaimana terekan dari Sensus Penduduk 1971, 1980, 1990, 2000 dan 2010, memperlihatkan adanya peningkatan yang relative cepat dan stabil. Figure 6 memperlihatkan bagaimana perkembangan dan persebaran penduduk Indonesia berdasarkan provinsi serta daerah perkotaan dan perdesaan. Secara mencolok terlihat bahwa provinsi-provinsi di Pulau Jawa (Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur) secara keseluruhan mendominasi perkembangan dan persebaran yang ada. Di luar Jawa, hanya Lampung, Sumatera Selatan, Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan yang memperlihatkan tingginya konsentrasi penduduk, khususnya di daerah perkotaan, sementara provinsi-provinsi lainnya, terutama di Indonesia bagian timur, memiliki konsentrasi penduduk yang rendah. Ketimpangan perkembangan dan persebaran penduduk antara Jawa-Luar Jawa, atau Indonesia Barat dan Indonesia Timur, adalah sebuah realitas social yang ada di Indonesia, dan keadaan ini juga mengindikasikan kecilnya pengaruh upaya menyeimbangkan persebaran penduduk antar daerah dan antar pulau melalui program transmigrasi maupun pembangunan ekonomi pada umumnya.

Page 186: Modul Non Formal Ok

L-111

Figure 8

Figure 9

Page 187: Modul Non Formal Ok

L-112

Figure 10

Figure 11

L-111

Figure 8

Figure 9

Page 188: Modul Non Formal Ok

L-113

Indonesia meskipun dianggap telah berhasil menurunkan laju pertumbuhan penduduk melalui program Keluarga Berencana nampun penduduknya akan tetap tumbuh secara signifikan, sebagaimana terlihat dari Figure 12 dan 13 dibawah ini.

Figure 12

Figure 13

Page 189: Modul Non Formal Ok

L-114

Bab 4: Problem dan ProspekPerkotaan di Indonesia Studi urbanisasi di negara berkembang umumnya difokuskan terhadap perkembangan kota-kota besar atau mega-cities, seperti Jakarta, Surabaya, Kuala Lumpur, Bangkok dan Ho Chi Min City. Selain karena kota-kota besar itu memang memperlihatkan perkembangan spasial yang sangat fenomenal, kota-kota itu juga merupakan pusat ekonomi dan politik yang imbasnya sangat besar bagi perkembangan ekonomi, sosial maupun politik dari keseluruhan negara yang bersangkutan. Dalam konteks studi perkotaan di Indonesia, menurut Nas and Boenders (2002), pendekatan yang dianut oleh para pengamat perkembangan perkotaan secara umum dapat dibedakan dalam dua kelompok besar. Pendekatan yang pertama adalah yang dianut oleh mereka yang memfokuskan ―at the specific characteristics of urban areas in Indonesia‖, sementara pendekatan yang kedua dianut oleh mereka ―who have focused on its general characteristics‖. Pada kelompok pertama, ―they focus largely on the exotic and try to locate and describe the typical Indonesian aspects of these cities‖. Pada kelompok yang kedua, ―they tend to see Indonesian cities as part of a global phenomenon and refer to the reality of rapidly growing urban concentrations and world-wide urbanization‖. Jika dilihat dari sudut spasial, menurut pengamatan Nas and Boenders (2002), studi-studi tentang perkotaan di Indonesia bisa dibedakan antara mereka yang memfokuskan pada kota-kota di Jawa, dan mereka yang tertarik untuk mempelajari kota-kota di seantero Nusantara (archipelago). Perkembangan kota-kota pascakolonial di Asia Tenggara, menurut Terry McGee (1967) tidak terlepas dari ambisi para pemimpin nasionalis yang menginginkan dapat diciptakannya sebuah negara-bangsa yang efisien dan stabil.Ambisi semacam ini telah menguras banyak energi dari pemerintah-pemerintah di Asia Tenggara pasca-kolonial dalam merealisasikan gambaran mereka tentang sebuah pola pembangunan ekonomi dan sosial tertentu yang pada gilirannya menjadi dasar bagi penataan dan pengembangan daerah perkotaan.Itulah sebabnya, menurut McGee (1967) perkembangan kota-kota di Asia Tenggara memiliki perbedaan dengan perkembangan kota-kota di barat pada umumnya. Terlalu dominannya ambisi para pemimpin negara-negara pascakolonial di Asia Tenggara dalam pembangunan ekonomi tampaknya justru yang menjadi kendala bagi terwujudnya penataan kota yang diharapkan. Menurut McGee (1967) “…to built efficient and stable nation-states has dominated the energies of the governments to such an extent that the kind of economic and social development which might have been the basis for the growth of new patterns of urban development has not gone off the ground. Consequently, the role of cities has been very different from that which they played during a comparable period of city growth in Western Europe”. Terbentuknya sebuah ruang, atau ―the production of space‖, dalam kaitan ini adalah terbentuknya sebuah ruang perkotaan (urban space), menurut Lefebvre adalah hasil dari proses sosial dan interaksi antara yang terus menerus dari pihak-pihak yang menghuni ruang itu. Pihak-pihak yang memiliki kekuasaan terbesar, bisa pemerintah kota atau kelas sosial ekonomi yang dominan, merupakan kekuatan yang biasanya paling berpengaruh terhadap perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam sebuah kota. Sebuah ruang perkotaan (urban space), mengikuti pendapat Lefebvre, pada dasarnya adalah sebuah produk sosial (social product), atau dalam arti yang lebih luas adalah sebuah kontruksi sosial yang bersifat

L-113

Indonesia meskipun dianggap telah berhasil menurunkan laju pertumbuhan penduduk melalui program Keluarga Berencana nampun penduduknya akan tetap tumbuh secara signifikan, sebagaimana terlihat dari Figure 12 dan 13 dibawah ini.

Figure 12

Figure 13

Page 190: Modul Non Formal Ok

L-115

kompleks - didasari oleh nilai-nilai dan produksi sosial makna-makna (meanings) - yang mempengaruhi praktek-praktek (practices) dan persepsi-persepsi (perceptions) yang bersifat spasial dalam kurun sejarah tertentu.6 Nas and Boenders (2002) yang banyak melakukan penelitian tentang kota di Indonesia, mendefinisikan kota sebagai sebuah totalitas fenomena sosial, meliputi keseluruhan aspek-aspek, mencakup hal-hal yang bersifat material maupun yang bersifat sosial, kultural, linguistik, politik, dan ekonomi, ―a total social phenomenon, and constitute all sorts of aspects, encompassing the material as well as the social, cultural, linguistic, political, and the economy‖. Dengan singkat bisa dikatakan bahwa setiap kota mengandung dalam dirinya dua dimensi: dimensi fisik dan dimensi simbolik. Tommy Firman (2004), seorang ahli geografi sosial, mengemukakan pengamatan yang menarik tentang pertumbuhan kota-kota di Jawa, yang menurutnya memperlihatkan pola perkembangan yang sangat tipikal. Perkembangan kota-kota di Jawa menurut Firman mengikuti sebuah pola tertentu yang mengarah pada terbentuknya koridor wilayah perkotaan yang ditandai oleh kaburnya perbedaan antara kota dan desa dan bercampurnya secara intensif aktivitas ekonomi pedesaan dan perkotaan:―shapes corridors of cities characterized by a blurring of the differences between cities and villages and the intensive mixing of economic activities in the rural and urban areas which basically indicates that economic development in the cities and rural areas are interrelated to each other‖. Apa yang diamati oleh Firman pada dekade 1990-an tentang pertumbuhan kota-kota di Jawa sesungguhnya bukanlah sesuatu yang aneh, karenapada akhir dekade 1960an, Terry McGee, telah meminjam konsep Geertz (1963) tentang ―involusi dalam praktik pertanian di Jawa‖, untuk menjelaskan apa yang disebutnya sebagai ―urban involution‖ di kota-kota di Asia Tenggara. Involusi perkotaan yang dimaksud Terry McGee (bersama W.R. Armstrong, 1986) adalah ―as an overdriving of an established form in such a way that it becomes rigid through an inward over elaboration of detail‖.Menurut McGee dan Armstrong, telah terjadi pembenaman ekonomi bazar oleh ekonomi kapitalis kolonial dan ekstraksi surplus ekonomi yang menyebabkan tidak mungkin terjadinya akumulasi dan tertutupnya investasi dalam ekonomi bazar. ‗Involution‟ was used by Armstrong and McGee (1986):

…to compare urban situations in different countries on their revolutionary potential, particularly Indonesia and Cuba. In this comparison they presumed that in Cuba, because of the far-reaching penetration of the capitalist economy, no urban involution was possible, so that revolution became inevitable. Indonesia and particularly Java, in contrast, offered involutionary opportunities to the bazaar economy, which was later labeled the urban informal sector, and no revolution evolved.

Selain meminjam konsep involusi dari Geertz untuk menjelaskan perkembangan perkotaan di Asia Tenggara, Terry McGee juga secara kreatif mengintrodusir sebuah konsep baru, yaitu desakotasasi, yang jelas diinspirasi oleh apa yang diamatinya di Indonesia.Terry McGee and I.M. Robinson (1995, cited from Nas and Boenders, 2002) berpendapat bahwa daerah mega-urban di Asia Tenggara memperlihatkan gambaran pola-pola yang berbeda dengan apa yang

6 Lihat Lefebvre (1991) The Production of Space.

Page 191: Modul Non Formal Ok

L-116

terjadi di barat. Pertumbuhan kota di Asia Tenggara ternyata mengambil pola ―region-based urbanization as opposed to city-based urbanization‖. Jadi, pola perkembangan kota di Asia Tenggara memiliki pola urbanisasi yang berbasis wilayah, yang berbeda dengan pola urbanisasi yang berbasis kota. Nas and Boenders (2002) sependapat dengan McGee bahwa mitos-mitos yang selama ini ada, misalnya tentang luasnya wilayah, ‖unsustainability‖, ―paratisism‖, kemiskinan yang parah dan rendahnya kualitas hidup, tidak memberikan perspektif yang tepat dan realistis mengenai perkembangan kota-kota besar di Jawa, Indonesia atau di Asia Tenggara, bahkan di dunia pada umumnya. Nas and Boenders (2002) bahkan berpendapat bahwa beberapa konsep yang berasal dari daerah ini, termasuk ―urban involution‖ dan ―urban subsistence production‖, harus dievaluasi kembali, terutama dalam hubungannya dengan situasi dan konteks perkembangan yang baru. Sebuah ‖mindset‖ yang baru diperlukan untuk menganalisis perkembangan daerah mega-urban di Asia Tenggara pada umumnya dan Indonesia pada khususnya. Armstrong dan McGee sendiri beranggapan bahwa beberapa konsep lama yang mereka perkenalkan sebelumnya tidak lagi dapat dipakai untuk menjelaskan kenyataan-kenyataan yang baru muncul setelah periode 1990an. ‖Mindset‖ yang baru ini juga memerlukan gagasan-gagasan yang segar tentang perencanaan kota. Gagasan yang muncul dari pengalaman riset di Indonesia tentang fenomena desakota dan diilhami oleh pertautan antara desa dan kota, serta campur aduknya pemukiman penduduk dan penggunaan lahan, perlu disegarkan kembali. Dalam kawasan semacam ini, menurut McGee dan Armstrong:

Traditional agriculture is found side by side with modern factories, commercial activities, and suburban development. These regions are part of the new mega-urbanized areas such as the „high-density extended metropolitan region‟ of Jakarta and deserve further empirical and conceptual exploration. Moreover, the cultural and even more particularly the symbolic dimension of these mega-urbanized regions should be paid more detailed attention. This is particularly pertinent in the framework of urban planning as part of a new conceptualization of these extensively regionalized city areas.

Menurut Nas and Boenders (2002) asal-muasal kota-kota di Indonesia bisa dilacak berdasarkan fase-fase sejarah pertumbuhannya:

... in indigenous centers, ancient coastal trade centres, and colonial settlements. Some of the old principles of architecture and the division of space are still visible in present-day urban society. Roughly two types of early Indonesian towns can be distinguished, namely inland or agrarian and coastal or trade cities.

Nas and Boenders (2002) juga menunjukkan bahwa:

Since Independence, the population of Indonesia has grown tremendously, and so have the cities both in number and in number of inhabitants. In the wake of economic development and increasing educational possibilities, major urban problems have appeared. Examples are the absence of laws concerning the use of the land, which had not belonged to a traditional Indonesian land-owning class, uncontrolled expansion of kampung settlements, water and air pollution, and traffic congestion. The earliest urban growth was concentrated around the open spaces in the centre of the cities, which in colonial times were built on a spacious scale. Nowadays, the city has taken the form of a mega-urban region,

L-115

kompleks - didasari oleh nilai-nilai dan produksi sosial makna-makna (meanings) - yang mempengaruhi praktek-praktek (practices) dan persepsi-persepsi (perceptions) yang bersifat spasial dalam kurun sejarah tertentu.6 Nas and Boenders (2002) yang banyak melakukan penelitian tentang kota di Indonesia, mendefinisikan kota sebagai sebuah totalitas fenomena sosial, meliputi keseluruhan aspek-aspek, mencakup hal-hal yang bersifat material maupun yang bersifat sosial, kultural, linguistik, politik, dan ekonomi, ―a total social phenomenon, and constitute all sorts of aspects, encompassing the material as well as the social, cultural, linguistic, political, and the economy‖. Dengan singkat bisa dikatakan bahwa setiap kota mengandung dalam dirinya dua dimensi: dimensi fisik dan dimensi simbolik. Tommy Firman (2004), seorang ahli geografi sosial, mengemukakan pengamatan yang menarik tentang pertumbuhan kota-kota di Jawa, yang menurutnya memperlihatkan pola perkembangan yang sangat tipikal. Perkembangan kota-kota di Jawa menurut Firman mengikuti sebuah pola tertentu yang mengarah pada terbentuknya koridor wilayah perkotaan yang ditandai oleh kaburnya perbedaan antara kota dan desa dan bercampurnya secara intensif aktivitas ekonomi pedesaan dan perkotaan:―shapes corridors of cities characterized by a blurring of the differences between cities and villages and the intensive mixing of economic activities in the rural and urban areas which basically indicates that economic development in the cities and rural areas are interrelated to each other‖. Apa yang diamati oleh Firman pada dekade 1990-an tentang pertumbuhan kota-kota di Jawa sesungguhnya bukanlah sesuatu yang aneh, karenapada akhir dekade 1960an, Terry McGee, telah meminjam konsep Geertz (1963) tentang ―involusi dalam praktik pertanian di Jawa‖, untuk menjelaskan apa yang disebutnya sebagai ―urban involution‖ di kota-kota di Asia Tenggara. Involusi perkotaan yang dimaksud Terry McGee (bersama W.R. Armstrong, 1986) adalah ―as an overdriving of an established form in such a way that it becomes rigid through an inward over elaboration of detail‖.Menurut McGee dan Armstrong, telah terjadi pembenaman ekonomi bazar oleh ekonomi kapitalis kolonial dan ekstraksi surplus ekonomi yang menyebabkan tidak mungkin terjadinya akumulasi dan tertutupnya investasi dalam ekonomi bazar. ‗Involution‟ was used by Armstrong and McGee (1986):

…to compare urban situations in different countries on their revolutionary potential, particularly Indonesia and Cuba. In this comparison they presumed that in Cuba, because of the far-reaching penetration of the capitalist economy, no urban involution was possible, so that revolution became inevitable. Indonesia and particularly Java, in contrast, offered involutionary opportunities to the bazaar economy, which was later labeled the urban informal sector, and no revolution evolved.

Selain meminjam konsep involusi dari Geertz untuk menjelaskan perkembangan perkotaan di Asia Tenggara, Terry McGee juga secara kreatif mengintrodusir sebuah konsep baru, yaitu desakotasasi, yang jelas diinspirasi oleh apa yang diamatinya di Indonesia.Terry McGee and I.M. Robinson (1995, cited from Nas and Boenders, 2002) berpendapat bahwa daerah mega-urban di Asia Tenggara memperlihatkan gambaran pola-pola yang berbeda dengan apa yang

6 Lihat Lefebvre (1991) The Production of Space.

Page 192: Modul Non Formal Ok

L-117

which is constituted of configurations of traditional centre and old suburbs, incorporated villages and rural areas, and urban sprawl development comprising completely new towns.

Di Indonesia, urbanisasi–dalam arti meningkatnya proporsi penduduk yang menghuni di daerah perkotaan–terutama disebabkan oleh perpindahan penduduk dari desa ke kota. Dari studi kepustakaan kita mengetahui bahwa sejak zaman kolonial sampai akhir tahun 70-an perpindahan penduduk di Indonesia bisa dikelompokkan menjadi limaPertama adalah perpindahan penduduk ke daerah perkebunan, ini terutama terjadi pada masa kolonial. Kedua adalah perpindahan penduduk yang bersifat ‖internasional‖, yang jumlahnya relatif terbatas. Ketiga adalah perpindahan dari daerah pedesaan ke daerah pedesaan lainnya atas bantuan pemerintah, pada masa kolonial disebut kolonisasi dan setelah kemerdekaan dinamakan transmigrasi. Keempat adalah perpindahan penduduk dari daerah pedesaan ke perkotaan, baik yang bersifat permanen maupun yang nonpermanen (sirkuler atau ulang-alik). Kelima adalah perpindahan penduduk yang bersifat ‖tradisional‖ atau sering juga disebut sebagai ‖merantau‖ yang dilakukan misalnya oleh Orang Minangkabau, Orang Bugis, Orang Banjar, dan Orang Madura. Perpindahan penduduk dari desa ke kota, terutama di Jawa, berhubungan erat dengan perubahan sosial yang terjadi di daerah pedesaan setelah diperkenalkannya berbagai bentuk teknologi baru untuk mengintensifkan pola pertanian setelah awal tahun 70-an. Dari berbagai penelitian yang dilakukan di daerah pertanian Jawa, misalnya oleh Benjamin White (1976) serta Masri Singarimbun dan David Penny (1976) modernisasi teknologi pertanian, selain secara positif telah meningkatkan produksi pertanian, ternyata juga berdampak negatif karena telah meningkatkan pengangguran. Sebagai contoh, penggunaan ‖huller‖ dan ‖traktor‖ telah secara drastis menurunkan jumlah tenaga kerja yang bisa terlibat di pertanian. Terjadi proses ‖penyingkiran‖ pekerja pertanian ke nonpertanian, seperti pekerjaan industri rumah tangga dan perdagangan kecil-kecilan. Sebagian dari mantan pekerja pertanian yang tidak tertampung di ‖off-farm employment‖ pedesaan inilah yang memilih untuk mengadu nasib dan mencari pekerjaan di daerah perkotaan. Berdasarkan penelitian Anne Booth dan Sundrum (1981) yang dilakukan pada akhir tahun 1970an, ditemukan adanya perbedaan yang besar antara pendapatan pekerja di pedesaan dan perkotaan, terutama di Jawa. Perbedaan pendapatan antara kota dan desa jelas berpengaruh besar terhadap membanjirnya penduduk dari desa ke kota, karena di kota, dalam persepsi para migran ini, kehidupan ekonomi mereka akan menjadi lebih baik jika dibandingkan kalau mereka tetap di desa. Selain melakukan modernisasi pertanian, sejak awal tahun 1980-an, pemerintah pusat di Indonesia memberikan perhatian besar pada perbaikan sarana-sarana publik, terutama jalan raya, kereta api, pelabuhan, dan lapangan terbang. Dalam bidang sosial, perhatian pemerintah pusat adalah pada perbaikan sarana pendidikan, dimana program wajib belajar merupakan prioritas penting. Selain di bidang pendidikan, pemerintah juga melakukan peningkatan di bidang pelayanan kesehatan masyarakat dan mengkampanyekan program keluarga berencana. Masyarakat di daerah pedesaan di Jawa seolah-olah mengalami ‖revolusi mental‖ karena banyaknya program-program ‖pembangunan‖ baru, yang mereka terima secara langsung maupun melalui radio dan televisi yang merambah desa-desa bersamaan dengan diperluasnya jaringan listrik ke berbagai pelosok Jawa. Perbaikan jalan dan saluran komunikasi, disatu sisi dan meningkatnya aspirasi masyarakat akibat pendidikan disisi lain; tak pelak lagi telah mengakibatkan ‖pasang naik‖ aspirasi masyarakat akan pekerjaan yang lebih baik dan kesejahteraan ekonomi yang lebih memadai.Tidak aneh jika banyak pengamat

Page 193: Modul Non Formal Ok

L-118

Indonesia saat itu berpendapat: ‖The combination of the increase in education, health services and the availability of transportation and communication facilities have caused rising hopes and aspirations of rural young people which resulted in the movement to urban centers‖. Dalam kaitan ini, Tirtosudarmo (1985) berdasarkan studinya tentang migrasi desa-kota di Jawa Timur menyimpulkan sebagai berikut:

... the various structural changes in East Java during the last 30 years, as well as creating a dichotomy between the rural 'push' and the urban 'pull' at the societal level, also affected the individual, either directly or indirectly, by changing the costs and benefits of migration. For example, the young, educated and unmarried population would be more likely to migrate than their older, less educated, and married counterparts, primarily because the former were able to adapt easily to the new situations that resulted from structural changes in the society. In addition, it is likely that the personality characteristics of the migrants, such as more adventurous behaviour, willingness to take risk, and ease of adjusment, were also important factors in migration decision making. Finally, the presence of relatives and friends in urban destinations played a critical role in the migration decision, especially in mediating information about the urban destination as well as providing assistance for migrants in the new place of destinations.

Dalam literatur tentang migrasi desa-kota di Indonesia, daerah perkotaan sebagai tujuan migrasi mendapatkan perhatian yang lebih besar daripada daerah pedesaan. Seperti juga yang terjadi dengan studi perkembangan kota atau urbanisasi, Jakarta merupakan obyek yang paling banyak diteliti, dan diperlihatkan disana bahwa migrasi desa-kota merupakan penyumbang terbesar dari pertumbuhan kota Jakarta, tidak saja secara demografis, tetapi juga secara sosial dan ekonomi. Sejarah membuktikan bahwa Jakarta telah dibangun oleh para migran. Fenomena mudik setiap lebaran yang memperlihatkan kembalinya jutaan warga kota, terutama Jakarta, ke kampung asalnya masing-masing untuk merayakan lebaran, menjadi bukti nyata dari besarnya jumlah migran di kota-kota. Seperti telah diperlihatkan oleh Tommy Firman (2004) urbanisasi ternyata tidak hanya dialami oleh kota-kota besar saja, tetapi juga oleh kota-kota menengah dan kecil di Jawa. Berdasarkan data Sensus Penduduk (SP) 2000 dan Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2005, terlihat terjadinya proses urbanisasi, dalam arti peningkatan jumlah penduduk di daerah perkotaan, yang cukup cepat di beberapa kabupaten dan kota di Jawa. Seperti terlihat dari tabel dibawah ini, beberapa wilayah, memiliiki tingkat urbanisasi yang cukup tinggi dimana lebih dari 50 persen penduduk tinggal di wilayah yang tergolong perkotaan, seperti Sidoarjo (> 80 persen), Kudus (> 60 persen), Jepara (> 50 persen), Tegal (50 persen), Pekalongan (90 persen), dan Cirebon ( > 50 persen). Tingginya tingkat urbanisasi di kota-kota ini hampir bisa dipastikan disebabkan oleh tingginya migrasi masuk dari wilayah sekitarnya yang masih bersifat pedesaan. Migrasi penduduk dari daerah pedesaan ke perkotaan secara sederhana bisa dikarenakan oleh dua sebab: pertama, karena semakin sempitnya lapangan kerja di desa, dan kedua, karena kota menjanjikan adanya lapangan pekerjaan. Mengalirnya penduduk dari desa ke kota oleh karena itu tidak secara otomatis berarti meningkatnya kesejahteraan penduduk. Bahkan sebaliknya bisa terjadi, dimana semakin banyaknya penduduk desa yang pindah ke kota berarti semakin menurunnya tingkat kesejahteraan penduduk. Urbanisasi karena itu justru berarti peningkatan penduduk miskin di kota. Kenyataan inilah yang menimbulkan dugaan bahwa urbanisasi ternyata tidak berjalan

L-117

which is constituted of configurations of traditional centre and old suburbs, incorporated villages and rural areas, and urban sprawl development comprising completely new towns.

Di Indonesia, urbanisasi–dalam arti meningkatnya proporsi penduduk yang menghuni di daerah perkotaan–terutama disebabkan oleh perpindahan penduduk dari desa ke kota. Dari studi kepustakaan kita mengetahui bahwa sejak zaman kolonial sampai akhir tahun 70-an perpindahan penduduk di Indonesia bisa dikelompokkan menjadi limaPertama adalah perpindahan penduduk ke daerah perkebunan, ini terutama terjadi pada masa kolonial. Kedua adalah perpindahan penduduk yang bersifat ‖internasional‖, yang jumlahnya relatif terbatas. Ketiga adalah perpindahan dari daerah pedesaan ke daerah pedesaan lainnya atas bantuan pemerintah, pada masa kolonial disebut kolonisasi dan setelah kemerdekaan dinamakan transmigrasi. Keempat adalah perpindahan penduduk dari daerah pedesaan ke perkotaan, baik yang bersifat permanen maupun yang nonpermanen (sirkuler atau ulang-alik). Kelima adalah perpindahan penduduk yang bersifat ‖tradisional‖ atau sering juga disebut sebagai ‖merantau‖ yang dilakukan misalnya oleh Orang Minangkabau, Orang Bugis, Orang Banjar, dan Orang Madura. Perpindahan penduduk dari desa ke kota, terutama di Jawa, berhubungan erat dengan perubahan sosial yang terjadi di daerah pedesaan setelah diperkenalkannya berbagai bentuk teknologi baru untuk mengintensifkan pola pertanian setelah awal tahun 70-an. Dari berbagai penelitian yang dilakukan di daerah pertanian Jawa, misalnya oleh Benjamin White (1976) serta Masri Singarimbun dan David Penny (1976) modernisasi teknologi pertanian, selain secara positif telah meningkatkan produksi pertanian, ternyata juga berdampak negatif karena telah meningkatkan pengangguran. Sebagai contoh, penggunaan ‖huller‖ dan ‖traktor‖ telah secara drastis menurunkan jumlah tenaga kerja yang bisa terlibat di pertanian. Terjadi proses ‖penyingkiran‖ pekerja pertanian ke nonpertanian, seperti pekerjaan industri rumah tangga dan perdagangan kecil-kecilan. Sebagian dari mantan pekerja pertanian yang tidak tertampung di ‖off-farm employment‖ pedesaan inilah yang memilih untuk mengadu nasib dan mencari pekerjaan di daerah perkotaan. Berdasarkan penelitian Anne Booth dan Sundrum (1981) yang dilakukan pada akhir tahun 1970an, ditemukan adanya perbedaan yang besar antara pendapatan pekerja di pedesaan dan perkotaan, terutama di Jawa. Perbedaan pendapatan antara kota dan desa jelas berpengaruh besar terhadap membanjirnya penduduk dari desa ke kota, karena di kota, dalam persepsi para migran ini, kehidupan ekonomi mereka akan menjadi lebih baik jika dibandingkan kalau mereka tetap di desa. Selain melakukan modernisasi pertanian, sejak awal tahun 1980-an, pemerintah pusat di Indonesia memberikan perhatian besar pada perbaikan sarana-sarana publik, terutama jalan raya, kereta api, pelabuhan, dan lapangan terbang. Dalam bidang sosial, perhatian pemerintah pusat adalah pada perbaikan sarana pendidikan, dimana program wajib belajar merupakan prioritas penting. Selain di bidang pendidikan, pemerintah juga melakukan peningkatan di bidang pelayanan kesehatan masyarakat dan mengkampanyekan program keluarga berencana. Masyarakat di daerah pedesaan di Jawa seolah-olah mengalami ‖revolusi mental‖ karena banyaknya program-program ‖pembangunan‖ baru, yang mereka terima secara langsung maupun melalui radio dan televisi yang merambah desa-desa bersamaan dengan diperluasnya jaringan listrik ke berbagai pelosok Jawa. Perbaikan jalan dan saluran komunikasi, disatu sisi dan meningkatnya aspirasi masyarakat akibat pendidikan disisi lain; tak pelak lagi telah mengakibatkan ‖pasang naik‖ aspirasi masyarakat akan pekerjaan yang lebih baik dan kesejahteraan ekonomi yang lebih memadai.Tidak aneh jika banyak pengamat

Page 194: Modul Non Formal Ok

L-119

seiring dengan peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Dengan kata lain yang terjadi adalah urbanisasi yang tanpa pertumbuhan. Figure 14 : Tingkat Urbanisasi Beberapa Kota di Pulau Jawa

Kabupaten/Kota Jumlah Penduduk Tingkat Urbanisasi

Total Kota

SP 2000 SUPAS 2005 SP 2000

SUPAS 2005

SP 2000

SUPAS 2005

Sidoarjo 1,563,015 1,697,435 1,339,311 1,453,608 0.857 0.856

Mojokerto 908,004 969,299 379,984 402,026 0.418 0.415

Ngawi 813,228 827,728 72,624 77,412 0.089 0.094

Tuban 1,051,999 1,063,375 198,377 203,610 0.189 0.191

Gresik 1,005,445 1,118,841 500,960 573,847 0.498 0.513

Blora 812,717 827,587 171,099 185,117 0.211 0.224

Rembang 557,781 563,122 145,757 143,390 0.261 0.255

Pati 1,148,543 1,160,546 348,159 354,002 0.303 0.305

Kudus 703,721 754,183 477,509 513,338 0.679 0.681

Jepara 968,963 1,041,360 491,910 535,264 0.508 0.514

Demak 973,674 1,008,822 266,976 264,142 0.274 0.262

Tegal 1,382,435 1,400,588 755,651 761,167 0.547 0.543

Pekalongan 262,272 269,177 256,579 263,921 0.978 0.980

Cirebon 1,931,066 2,044,257 1,082,736 1,135,530 0.561 0.555

Sumber: Diolah oleh Ayu Sadi, Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, 2009. Keterangan: Tingkat Urbanisasi = Persentase penduduk yang tinggal di kota/ jumlah penduduk total di wilayah tersebut

Page 195: Modul Non Formal Ok

L-120

Sudah sejak tahun 1970-an, sebagaimana telah ditunjukkan oleh Montgomery (1975) persoalan pengangguran di daerah perkotaan, terutama di Jakarta, sesungguhnya sudah mulai mencuat terutama di kalangan penduduk usia mudanya. Para migran yang berdatangan ke kota, meskipun sebagian menyadari bahwa semakin besar resiko untuk memperoleh pekerjaan yang layak, terbukti dari penelitian Montgomery (1975) tetap memutuskan untuk pindah ke kota. Dampak lain dari meningkatnya pendatang dan besarnya proporsi mereka yang tidak memperoleh pekerjaan di daerah perkotaan adalah membengkaknya apa yang kemudian dikenal sebagai sektor informal. Para migran itu bersedia bekerja apa saja di kota untuk bertahan hidup. Apa yang kemudian dikenal sebagai pemukiman kumuh berkembang di daerah perkotaan dan menjadi pemandangan yang biasa disana.

Ketegangan sosial dan politik akibat membesarnya jumlah orang miskin kota meskipun belum dirasakan pada awal tahun 1980an, telah diamati oleh Gavin Jones (1983) yang mengatakan:

...that in the case of Jakarta and Surabaya a true urban proletariat divorced from any rural roots, is likely to develop. The migrant poor will continue to compete for jobs and services with the local-born poor and also with the urban middle classes. It is possible that this situation can lead to social unrest and political conflicts.

Meningkatnya ketegangan dan konflik sosial di daerah perkotaan tampaknya merupakan fenomena kehidupan urban yang tidak terhindarkan. Urbanisasi tidak saja berjalan tanpa peningkatan kesejahteraan, namun juga membawa persoalan-persoalan baru karena tidak terakomodasinya berbagai kepentingan dan aspirasi warga kota. Dalam konflik kepentingan yang terjadi wargakota yang memiliki tingkat sosial ekonomi bawah hampir selalu menjadi korban yang pertama.

Peningkatan penduduk yang tergolong miskin di daerah perkotaan (Figure 15 dan 16) terlihat dengan jelas melampaui daerah pedesaan, yang jika tidak diantisipasi akan menjadikan perkiraan Gavin Jones diatas menjadi semakin mendekati kenyataan.

Figure 15

L-119

seiring dengan peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Dengan kata lain yang terjadi adalah urbanisasi yang tanpa pertumbuhan. Figure 14 : Tingkat Urbanisasi Beberapa Kota di Pulau Jawa

Kabupaten/Kota Jumlah Penduduk Tingkat Urbanisasi

Total Kota

SP 2000 SUPAS 2005 SP 2000

SUPAS 2005

SP 2000

SUPAS 2005

Sidoarjo 1,563,015 1,697,435 1,339,311 1,453,608 0.857 0.856

Mojokerto 908,004 969,299 379,984 402,026 0.418 0.415

Ngawi 813,228 827,728 72,624 77,412 0.089 0.094

Tuban 1,051,999 1,063,375 198,377 203,610 0.189 0.191

Gresik 1,005,445 1,118,841 500,960 573,847 0.498 0.513

Blora 812,717 827,587 171,099 185,117 0.211 0.224

Rembang 557,781 563,122 145,757 143,390 0.261 0.255

Pati 1,148,543 1,160,546 348,159 354,002 0.303 0.305

Kudus 703,721 754,183 477,509 513,338 0.679 0.681

Jepara 968,963 1,041,360 491,910 535,264 0.508 0.514

Demak 973,674 1,008,822 266,976 264,142 0.274 0.262

Tegal 1,382,435 1,400,588 755,651 761,167 0.547 0.543

Pekalongan 262,272 269,177 256,579 263,921 0.978 0.980

Cirebon 1,931,066 2,044,257 1,082,736 1,135,530 0.561 0.555

Sumber: Diolah oleh Ayu Sadi, Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, 2009. Keterangan: Tingkat Urbanisasi = Persentase penduduk yang tinggal di kota/ jumlah penduduk total di wilayah tersebut

Page 196: Modul Non Formal Ok

L-121

Figure 16

Pertumbuhan kota-kota di Indonesia, sebagaimana bisa dilihat dari Peta 3 dibawah, juga dipengaruhi oleh migrasi penduduk yang diatur oleh pemerintah melalui program transmigrasi. Tergambar dengan dengan jelas kota-kota yang tergolong sebagai kecil-menengah tumbuh mulai dari Aceh di ujung barat sampai ke Manokwari di ujung timur kepulauan nusantara.

Peta 3

Page 197: Modul Non Formal Ok

L-122

Meskipun kota-kota kecil-menengah tumbuh secara relative merata di pulau-pulau di luar Jawa (Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua) namun pusat-pusat pertumbuhan secara ekonomis terbukti masih berpusat terutama di Jawa, dan sedikit di Sumatera bagian selatan (Peta 4). Keadaan ini memperlihatkan bahwa ketimpangan pembangunan masih terus terjadi antara Jawa dan luar Jawa meskipun beberapa upaya untuk menyeimbangkan pertumbuhan telah diciba dilakukan antara lain melalui program transmigrasi.

Peta 4

Source: Rustiadi, E. et.al., 2011

Bab 5: Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan

Seperti kita ketahui bersama, dalam lebih dari tiga dekadepemerintahan Orde Baru, sentralitas posisi ekonomi daerah perkotaan, terutama di Jawa, dengan pusatnya di Jakarta, Semarang, dan Surabaya, mengalami peningkatan secara signifikan yang imbasnya bagi perubahan ekonomi dan pertumbuhan kota-kota lain di Indonesia secara keseluruhan sangat besar (Firman, 1992). Pembangunan jalan tol dalam beberapa tahun terakhir semakin menyatukan kota-kota di pantai utara Jawa sebagai sebuah wilayah yang terintegrasi (integrated space). Selain itu, Jakarta, Semarang, dan Surabaya juga memiliki pelabuhan-pelabuhan yang menghubungkan pulau Jawa dengan pulau-pulau lain di Nusantara, seperti Sumatra (Medan, Padang), Kalimantan (Pontianak, Banjarmasin, Samarinda), Sulawesi (Menado, Pare-pare, Buton, Kendari), Maluku (Halmahera, Ambon), dan Papua (Sorong, Biak, Jayapura, Manokwari).

Sejak tahun 2009, jembatan Surabaya Madura (Suramadu) yang menghubungkan Surabaya (Pulau Jawa) dengan Bangkalan (Pulau Madura) semakin meneguhkan keberadaan jaringan kota Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, dan Lamongan (Gerbangkertosusilo)

L-121

Figure 16

Pertumbuhan kota-kota di Indonesia, sebagaimana bisa dilihat dari Peta 3 dibawah, juga dipengaruhi oleh migrasi penduduk yang diatur oleh pemerintah melalui program transmigrasi. Tergambar dengan dengan jelas kota-kota yang tergolong sebagai kecil-menengah tumbuh mulai dari Aceh di ujung barat sampai ke Manokwari di ujung timur kepulauan nusantara.

Peta 3

Page 198: Modul Non Formal Ok

L-123

serta kota-kota di Pulau Jawa; yangsecara keseluruhan kini terkoneksi langsung dengan Pulau Madura. Keberadaan koridor kota-kota di Jawa ini ke depan akan semakin signifikan dengan adanya rencana pembangunan jalan tol Trans-Jawa yang diperkirakan akan siap dalam lima tahun serta adanya rencana pembangunan jembatan penghubung Merak (Banten) dengan Bakuheni (Lampung). Proses pengintegrasian wilayah Pantura bisa diduga memilili implikasi yang besar terhadap dinamika sosial kota-kota dan warga masyarakat yang menghuninya.

Oleh karena itu, pemahaman yang tepat dan sistimatis tentang dinamika sosial yang terjadi sejalan dengan proses urbanisasi dan pertumbuhan kota-kota di Indonesia merupakan sesuatu yang sangat penting untuk dapat mengantisipasi berbagai implikasi sosial maupun politik di masa yangakan datang.

Berikut ini adalah beberapa implikasi yang perlu mendapatkan perhatian yang serius dari para perencana maupun pengambil kebijakan sehubungan dengan proses urbanisasi dan perkembangan perkotaan di Indonesia:

1. Secara ekonomis semakin terkonsentrasinya penduduk di daerah perkotaan akan mendorong kebutuhan akan kesempatan kerja di sektor industry dan jasa. Kebutuhan akan kesempatan kerja di daerah perkotaan akan menjadi semakin mendesak karena struktur umur penduduk yang didominasi oleh mereka yang berusia muda. Saat ini secara demografis Indonesia dikatakan memiliki bonus demografi dan window of opportunity yang perlu mendapatkan perhatian secara sungguh-sungguh, khususnya dari para penyelenggara negara. Kegagalan dalam menyerap tenaga kerja di daerah perkotaan akan memiliki dampak sosial dan politik yang serius.

2. Proses urbanisasi dan perkembangan kota-kota yang relative cepat dapat dipastikan mendorong terjadinya perubahan dan transformasi struktur dan sistim social yang ada beserta nilai-nilai kebudayaan (cultural values) yang ada. Urbanisme atau gaya hidup urban (urban life style) yang sangat dipengaruhi oleh konsumerisme diduga akan menjadi kecenderungan hidup penduduk di perkotaan. Persoalan yang harus mendapatkan dalam kaitan ini adalah adanya perbedaan akses yang dimiliki oleh kelompok-kelompok masyarakat bedasarkan kemampuan ekonomi yang dimiliki. Berbagai indicator ekonomi memperlihatkan terjadinya income gap yang semakin tinggi antara mereka yang kaya dan yang miskin. Jika ketimpangan social dan ekonomi antara kelompok-kelompok masyarakat ini terus terjadi bisa diduga akan meningkatkan potensi timbulnya ketegangan hubungan social yang serius, dan jika situasi politik memburuk, bisa mengarah pada munculnya konflik di masa mendatang.

3. Daerah perkotaan yang semakin meningkat jumlahnya, terutama di Jawa, menjadi tempat pemukiman dari mereka yang tergolong terdidik dan secara social bisa disebut sebagai kelas menengah di Indonesia. Terkonsentrasinya penduduk yang tergolong sebagai kelas menengah di daerah perkotaan bisa diduga akan berpengaruh terhadap arah perkembangan politik dan demokrasi di negeri ini. Sistim politik yang semakin terbuka secara teoretis akan memberikan ruang kebebasan mengekspresikan pendapat

Page 199: Modul Non Formal Ok

L-124

yang semakin besar bagi warganegara. Penduduk kota-kota di Indonesia yang sebagian tergolong sebagai kelas menengah yang terdidik secara teoretis akan menjadi agen-agen perubahan social dan politik menuju tercapainya konsolidasi politik di masa yang akan datang. Para pemimpin politik di negeri ini oleh karena itu dihadapkan pada pilihan-pilihan politik untuk semakin memberikan ruang politik yang lebih demokratis di masa depan. Jika ini tidak terjadi, agenda politik masa depan Indonesia bisa diperkirakan akan dibayang-bayangi oleh instabilitas politik dan ini akan berakibat pada gagalnya pencapaian konsolidasi demokrasi yang diharapkan.

4. Berbagai isu global yang berkaitan dengan lingkungan hidup diduga akan semakin kuat imbasnya bagi Indonesia. Proses urbanisasi dan ekspansi wilayah perkotaan dipastikan akan semakin berdampak pada berkurangnya lingkungan persawahan dan wilayah hijau pada umumnya. Secara umum daya dukung lingkungan (environmental carrying capacity) akan semakin memburuk. Selain itu, tanpa adanya perencanaan tata-ruang yang baik disertai perencanaan social-ekonomi yang memadai persoalan pemukiman, persoalan transportasi dan wilayah-wilayah kumuh akan semakin tidak terkendali perkembangannya. Dampak perubahan iklim dan pemanasan global (climate change and global warming) yang semakin luas disadari di negara-negara maju seringkali terlambat disadari di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Advokasi akan perlunya peningkatan kesadaran penduduk, khususnya di daerah perkotaan tentang berbagai dampak negative dari menurunnya kondisi lingkungan haruslah menjadi agenda politik yang perlu ditangani secara serius baik oleh pemerintah, pihak swasta maupun kalangan masyarakat sendiri. Kegagalan dalam melakukan hal ini hampir bisa dipastikan akan menjadi lingkungan hidup di perkotaan Indonesia menjadi unlivable dan unsustainable di masa depan.

5. Perencanaan pembangunan jangka panjang, seperti MP3EI, sudah seharusnya meperhatikan perkembangan makro-spasial Indonesia yang terlalu menekankan pertumbuhan ekonomi di kawasan perkotaan di pantai utara Jawa, dengan spillovernya kekota-kota di Sumatra dan Bali-Lombok. Rencana pembangunan jembatan Selat Sunda dan pembangunan Tol-Trans Java menunjukkan kuatnya pembangunan ekonomi yang bersifat Jawa-sentris, dengan Jakarta, semarang dan Surabaya sebagai the main economic growth centers. Dampak dari kecenderungan pembangunan semacam ini sudah terlihat dengan cepatnya proses aglomerasi di wilayah yang selama ini kita kenal sebagai Jabodetabek, Kedungsepur dan Gerbangkertosusilo, yang menjadikan Jakarta, Semarang dan Surabaya sebagai mega-cities. Dalam jangka panjang perkembangan ini akan mengancam eksistensi Indonesia yang secara geografis sebagai negara kepulauan (archipelagic state) karena ketimpangan pembangunan Jawa-Luar Jawa secara geo-politik akan memperlemah Indonesia sebagai sebuah kesatuan bangsa, dan jika hal ini dibiarkan akan mengancam ke-Indonesiaan yang adil dan sejahtera yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa dan negara Indonesia.

Kompleksitas permasalahan yang merupakan implikasi dari proses urbanisasi dan

L-123

serta kota-kota di Pulau Jawa; yangsecara keseluruhan kini terkoneksi langsung dengan Pulau Madura. Keberadaan koridor kota-kota di Jawa ini ke depan akan semakin signifikan dengan adanya rencana pembangunan jalan tol Trans-Jawa yang diperkirakan akan siap dalam lima tahun serta adanya rencana pembangunan jembatan penghubung Merak (Banten) dengan Bakuheni (Lampung). Proses pengintegrasian wilayah Pantura bisa diduga memilili implikasi yang besar terhadap dinamika sosial kota-kota dan warga masyarakat yang menghuninya.

Oleh karena itu, pemahaman yang tepat dan sistimatis tentang dinamika sosial yang terjadi sejalan dengan proses urbanisasi dan pertumbuhan kota-kota di Indonesia merupakan sesuatu yang sangat penting untuk dapat mengantisipasi berbagai implikasi sosial maupun politik di masa yangakan datang.

Berikut ini adalah beberapa implikasi yang perlu mendapatkan perhatian yang serius dari para perencana maupun pengambil kebijakan sehubungan dengan proses urbanisasi dan perkembangan perkotaan di Indonesia:

1. Secara ekonomis semakin terkonsentrasinya penduduk di daerah perkotaan akan mendorong kebutuhan akan kesempatan kerja di sektor industry dan jasa. Kebutuhan akan kesempatan kerja di daerah perkotaan akan menjadi semakin mendesak karena struktur umur penduduk yang didominasi oleh mereka yang berusia muda. Saat ini secara demografis Indonesia dikatakan memiliki bonus demografi dan window of opportunity yang perlu mendapatkan perhatian secara sungguh-sungguh, khususnya dari para penyelenggara negara. Kegagalan dalam menyerap tenaga kerja di daerah perkotaan akan memiliki dampak sosial dan politik yang serius.

2. Proses urbanisasi dan perkembangan kota-kota yang relative cepat dapat dipastikan mendorong terjadinya perubahan dan transformasi struktur dan sistim social yang ada beserta nilai-nilai kebudayaan (cultural values) yang ada. Urbanisme atau gaya hidup urban (urban life style) yang sangat dipengaruhi oleh konsumerisme diduga akan menjadi kecenderungan hidup penduduk di perkotaan. Persoalan yang harus mendapatkan dalam kaitan ini adalah adanya perbedaan akses yang dimiliki oleh kelompok-kelompok masyarakat bedasarkan kemampuan ekonomi yang dimiliki. Berbagai indicator ekonomi memperlihatkan terjadinya income gap yang semakin tinggi antara mereka yang kaya dan yang miskin. Jika ketimpangan social dan ekonomi antara kelompok-kelompok masyarakat ini terus terjadi bisa diduga akan meningkatkan potensi timbulnya ketegangan hubungan social yang serius, dan jika situasi politik memburuk, bisa mengarah pada munculnya konflik di masa mendatang.

3. Daerah perkotaan yang semakin meningkat jumlahnya, terutama di Jawa, menjadi tempat pemukiman dari mereka yang tergolong terdidik dan secara social bisa disebut sebagai kelas menengah di Indonesia. Terkonsentrasinya penduduk yang tergolong sebagai kelas menengah di daerah perkotaan bisa diduga akan berpengaruh terhadap arah perkembangan politik dan demokrasi di negeri ini. Sistim politik yang semakin terbuka secara teoretis akan memberikan ruang kebebasan mengekspresikan pendapat

Page 200: Modul Non Formal Ok

L-125

perkembangan perkotaan di Indonesia sebagaimana diutarakan diatas kita sadari bahwa sebagian, kalau tidak dikatakan sebagian besar, merupakan akibat dari berbagai kebijakan di masa lalu yang seringkali bersifat ad hock dan mengabaikan berbagai master plan yang sesungguhnya telah dibuat. Jika mentalitas―adhocracy‖ ini tidak dirubah maka dapat dibayangkan bahwa proses urbanisasi dan perkembangan perkotaan di Indonesia akan menuju pada apa yang disebut sebagai unsustainable development. Untuk menghindari terjadinya scenario masa depan yang buruk ini, beberapa langkah kongkrit dan praktis harus segera dilakukan;

1. Perlu dilakukan integrasi dan sinkronisasi antara berbagai master plan pembangunan yang berkaitan dengan tata-ruang yang telah ada, seperti MP3EI, dan rencana-rencana pembangunan yang berbasis sector serta daerah, khususnya pada tingkat provinsi dan kabupaten, agar dapat dirancang dan diestimasi scenario-skenario hubungan antara perubahan tata-ruang, khususnya di daerah perkotaan, dengan proyeksi dinamika kependudukan (population dynamics) yang dibayangkan. Idealnya pekerjaan ini dilakukan oleh sebuah lembaga nasional di titingkat pusat, misalnya Bappenas.

2. Pada level provinsi dan kabupaten, sejalan dengan perkembangan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, sudah waktunya disadari oleh para pimpinan pemerintah daerah bahwa perencanan pengembangan perkotaan tidak mungkin dilakukan secara sendiri-sendiri karena arus barang, modal dan tenaga kerja akan bersifat ‗borderless‖ dan tidak bisa diasumsikan bisa dikontrol secara sepihak oleh masing-masing daerah. Untuk mencapai distribusi modal, barang dan tenaga kerja yang dapat memberikan dampak positif bagi semua pihak, kerjasama antar daerah yang sejauh ini telah berkembang, perlu ditingkatkan kinerjanya, khususnya dalam bentuk kerjasama-kerjasama regional yang bersifat win-win solution. Upaya Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo untuk mengajak pimpinan daerah di wilayah Jabodetabek adalah contoh yang baik dari upaya semacam ini.

3. Berkembangnya ekonomi pasar dan globalisasi informasi, telah menjadikan masyarakat, terutama kelas menengah di daerah perkotaan semakin kritis terhadap berbagai isu social, politik dan lingkungan yang jika tidak diatasi akan membahayakan bagi kelangsungan hidup mereka dan generasi yang akan datang. Berbagai gerakan social masyarakat telah tumbuh menjamur di berbagai kota di Indonesia. Sekedar sebagai contoh, hampir disetiap kota besar selalu diberlakukan ―car free day‖ yang memperlihatkan mulai tumbuhnya tentang kesadaran dan tuntutan wargakota akan lingkungan hidup perkotaan yang sehat. Komunikasi antara pemerintah kota, pihak swasta dan berbagai forum wargakota sudah saatnya dibuka dan dicari mekanisme yang paling efektif untuk mencari solusi-solusi alternatif secara bersama, dari berbagai problem perkotaan sebagai dampak kebijakan masa lalu dan antisipasi kedepan sebagai dampak dari berbagai perubahan yang akan terjadi.

Page 201: Modul Non Formal Ok

L-126

Daftar Kepustakaan:

Booth, A., & Sundrum, R. M. (1981).Income distribution. In A. Booth & P. McCawley (Eds.), The Indonesian economy during the Soeharto era (pp. 181–217). Kuala Lumpur: Oxford University Press. Demeny, Paul and Geoffrey McNicoll (2003) Encyclopedia of Population. New York: Thompson Gale. Evers, H. D. (2005, August 1–3). The end of urban involution and the cultural construction of urbanism in Indonesia. Paper presented at the Asian Horizons: Cities, States and Societies conference. Department of Sociology, National University of Singapore. Firman, T. (2003). The spatial pattern of population growth in Java, 1990–2000: Continuity and changein extended metropolitan formation. International Development Planning Review, 25(1), 53–66. Firman, T. (2004).Demographic and spatial patterns of Indonesia‘s recent urbanization.Population,Space and Place, 10(6), 421–434. Hugo, G. (1978). Population mobility in West Java. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Jones, G. (1983). Structural change and prospects for urbanization in Asian countries (East-west Population Institute Paper No. 88). Honolulu: East-west Center. Jones, G., & Douglass, M. (Eds.). (2008). Mega-urban regions in Pacific Asia: Urban dynamics ina global era. Singapore: NUS Press. Kompas. (2008). Ekspedisi Anjer-Panaroekan: Laporan jurnalistik Kompas (The Anyer- Panaroekan expedition: A Kompas journalistic report). Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Leaf, M. (2008, December 9–11). New urban frontiers: Periurbanization and (re)territorializationin Southeast Asia. Paper presented at the Trends in Urbanization and Periurbanization inSoutheast Asia regional conference, organised by Center for Urban and Development Sudies(CEFURDS) and I‘UMR 151 IRD-University of Provence, Ho Chi Minh City. Mamas, S. G. M., & Komalasari, R. (2008).Jakarta—Dynamics of change and livability. In G. Jones & M. Douglass (Eds.), Mega-urban regions in Pacific Asia: Urban dynamics in a global era (pp. 109–149). Singapore: NUS Press. Manning, C. (1998). Indonesian labor in transition: An East Asian success story? Cambridge: Cambridge University Press. McGee, T. G. (1967). The Southeast Asian city. London: G. Bell and Sons. Montgomery, R. D. (1975). Migration, employment and underemployment in Java: Changes from1961 to 1971 with particular reference to the green revolution. Asian Survey, 15(3), 222–234. Nas, P. J., & Boenders, W. (2002).The Indonesian city in urban theories. In P. J. Nas (Ed.), The

L-125

perkembangan perkotaan di Indonesia sebagaimana diutarakan diatas kita sadari bahwa sebagian, kalau tidak dikatakan sebagian besar, merupakan akibat dari berbagai kebijakan di masa lalu yang seringkali bersifat ad hock dan mengabaikan berbagai master plan yang sesungguhnya telah dibuat. Jika mentalitas―adhocracy‖ ini tidak dirubah maka dapat dibayangkan bahwa proses urbanisasi dan perkembangan perkotaan di Indonesia akan menuju pada apa yang disebut sebagai unsustainable development. Untuk menghindari terjadinya scenario masa depan yang buruk ini, beberapa langkah kongkrit dan praktis harus segera dilakukan;

1. Perlu dilakukan integrasi dan sinkronisasi antara berbagai master plan pembangunan yang berkaitan dengan tata-ruang yang telah ada, seperti MP3EI, dan rencana-rencana pembangunan yang berbasis sector serta daerah, khususnya pada tingkat provinsi dan kabupaten, agar dapat dirancang dan diestimasi scenario-skenario hubungan antara perubahan tata-ruang, khususnya di daerah perkotaan, dengan proyeksi dinamika kependudukan (population dynamics) yang dibayangkan. Idealnya pekerjaan ini dilakukan oleh sebuah lembaga nasional di titingkat pusat, misalnya Bappenas.

2. Pada level provinsi dan kabupaten, sejalan dengan perkembangan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, sudah waktunya disadari oleh para pimpinan pemerintah daerah bahwa perencanan pengembangan perkotaan tidak mungkin dilakukan secara sendiri-sendiri karena arus barang, modal dan tenaga kerja akan bersifat ‗borderless‖ dan tidak bisa diasumsikan bisa dikontrol secara sepihak oleh masing-masing daerah. Untuk mencapai distribusi modal, barang dan tenaga kerja yang dapat memberikan dampak positif bagi semua pihak, kerjasama antar daerah yang sejauh ini telah berkembang, perlu ditingkatkan kinerjanya, khususnya dalam bentuk kerjasama-kerjasama regional yang bersifat win-win solution. Upaya Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo untuk mengajak pimpinan daerah di wilayah Jabodetabek adalah contoh yang baik dari upaya semacam ini.

3. Berkembangnya ekonomi pasar dan globalisasi informasi, telah menjadikan masyarakat, terutama kelas menengah di daerah perkotaan semakin kritis terhadap berbagai isu social, politik dan lingkungan yang jika tidak diatasi akan membahayakan bagi kelangsungan hidup mereka dan generasi yang akan datang. Berbagai gerakan social masyarakat telah tumbuh menjamur di berbagai kota di Indonesia. Sekedar sebagai contoh, hampir disetiap kota besar selalu diberlakukan ―car free day‖ yang memperlihatkan mulai tumbuhnya tentang kesadaran dan tuntutan wargakota akan lingkungan hidup perkotaan yang sehat. Komunikasi antara pemerintah kota, pihak swasta dan berbagai forum wargakota sudah saatnya dibuka dan dicari mekanisme yang paling efektif untuk mencari solusi-solusi alternatif secara bersama, dari berbagai problem perkotaan sebagai dampak kebijakan masa lalu dan antisipasi kedepan sebagai dampak dari berbagai perubahan yang akan terjadi.

Page 202: Modul Non Formal Ok

L-127

Indonesian town revisited (pp. 3–16). Munster: Lit Verlag/Institute of Southeast Asian Studies. Santoso, J. (2006). Kota tanpa warga (City without citizens). Jakarta: KPG and Centropolis. Sinaga, R. (1978). Implications of agricultural mechanization for employment and income distribution.Bulletin of Indonesian Economic Studies, 14(2), 102–111. Singarimbun, M., & Penny, D. H. (1976).Penduduk dan kemiskinan: Kasus Sriharjo di pedesaan Jawa[Population and poverty: The case of Sriharjo in villages of Java]. Jakarta: Bhratara Aksara. Sulistiyono, S. T. (1998). Perkembangan Pelabuhan Cirebon dan Pengaruhnya Terhadap Kehidupan Sosial-Ekonomi Masyarakat Kota Cirebon [The development of Cirebon Port and its impact on the socio-economic livelihood of Cirebon citizens]. Master thesis, Gajah Mada University, Yogyakarta, Indonesia. Tirtosudarmo, R. (1985). Migration decision making: The case of East Java. Jakarta: Leknas LIPI. Tirtosudarmo, R. (2010). Social transformation in the Northern coastal cities of Java: A comparativestudy in Cirebon and Gresik. Journal of Indonesian Social Science and Humanities 161–170.Jakarta: Kerjasama KITLV, LIPI, and YOI. Tirtosudarmo, R., & Meyer, P. (1993).Migration. In H. Dick, J. J. Fox, & J. Mackie (Eds.), Balanceddevelopment: East Java in the New Order (pp. 101–119). Singapore: Oxford University Press. White, B. (1976). Population, involution and employment in rural Java.Development and Change,7(3), 276–290.

Page 203: Modul Non Formal Ok

Urbanisasi dan PerkembanganUrbanisasi dan PerkembanganPerkotaan di Indonesia

Riwanto Tirtosudarmo

Urbanisasi menurut Encyclpedia of PopulationUrbanisasi menurut Encyclpedia of Population(Demeny and McNicoll, 2003) 

Urbanization is the process by which anincreasing proportion of the population lives inurban areas. The level of urbanization is theurban areas. The level of urbanization is theproportion of population living in urban areas.Urbanization must be distinguished fromUrbanization must be distinguished fromurbanism, a term referring to the style of life

ll f d i l busually found in large urban centers.

Urbanisasi adalah sebuah gejala sosial yang sangat pentingdari penduduk sebuah negara.

Sebagai sebuah proses, urbanisasi dapat menjadi indikatordari terjadinya transformasi sosial, ekonomi, politik danj y , , pkebudayaan yang dialami oleh sebuah bangsa

Dalam konteks dinamika kependudukan (populationdynamics) di Indonesia urbanisasi adalah sebuah prosessosial yang penting selama 50 tahun terakhir perjalanansosial yang penting selama 50 tahun terakhir perjalananbangsa ini.

l k if k d d k b i iDalam perspektif kependudukan, proses urbanisasidipengaruhi oleh tiga aspek yaitu :

(1) pertumbuhan alamiah, di daerah perkotaan itu sendiri,(2) pertambahan net‐migrasi, antara migrasi masuk danp g g

keluar;(3) reklasifikasi dari daerah‐daerah “per‐urban” di sekitar

k di id k l i b i d h dkota yang dianggap tidak lagi sebagai daerah perdesaan,dan secara administrative diputuskan untuk menjadibagian dari wilayah perkotaanbagian dari wilayah perkotaan.

Tingkat Urbanisasi per Provinsi Gambaran Urbanisasi di Indonesia

k i l d l h 0• Angka Nasional adalah 50.4 persen• Tertinggi di Jakarta (100 persen) dan terendah deiNTT (kurang dari 20 persen)

• Tingkat urbanisasi di Jawa saat ini telahgmendekati 75 persen dan diperkirakan terusmeningkat pulau Jawa telah menjadi pulaukota

• Perkembangan urbanisasi tercepat antara 1971‐g psaat ini berada provinsi‐provinsi Jawa, Riau Kepulauan (khususnya Batam), Lampungp y p g

L-127

Indonesian town revisited (pp. 3–16). Munster: Lit Verlag/Institute of Southeast Asian Studies. Santoso, J. (2006). Kota tanpa warga (City without citizens). Jakarta: KPG and Centropolis. Sinaga, R. (1978). Implications of agricultural mechanization for employment and income distribution.Bulletin of Indonesian Economic Studies, 14(2), 102–111. Singarimbun, M., & Penny, D. H. (1976).Penduduk dan kemiskinan: Kasus Sriharjo di pedesaan Jawa[Population and poverty: The case of Sriharjo in villages of Java]. Jakarta: Bhratara Aksara. Sulistiyono, S. T. (1998). Perkembangan Pelabuhan Cirebon dan Pengaruhnya Terhadap Kehidupan Sosial-Ekonomi Masyarakat Kota Cirebon [The development of Cirebon Port and its impact on the socio-economic livelihood of Cirebon citizens]. Master thesis, Gajah Mada University, Yogyakarta, Indonesia. Tirtosudarmo, R. (1985). Migration decision making: The case of East Java. Jakarta: Leknas LIPI. Tirtosudarmo, R. (2010). Social transformation in the Northern coastal cities of Java: A comparativestudy in Cirebon and Gresik. Journal of Indonesian Social Science and Humanities 161–170.Jakarta: Kerjasama KITLV, LIPI, and YOI. Tirtosudarmo, R., & Meyer, P. (1993).Migration. In H. Dick, J. J. Fox, & J. Mackie (Eds.), Balanceddevelopment: East Java in the New Order (pp. 101–119). Singapore: Oxford University Press. White, B. (1976). Population, involution and employment in rural Java.Development and Change,7(3), 276–290.

Page 204: Modul Non Formal Ok

Gambaran Urbanisasi di Indonesia

• Pada dekade 70 an penyebab utamapeningkatan urbanisasi di Indonesia adalahp gpertambahan penduduk alamiah danreklasifikasireklasifikasi

• Pada tahun 90 an sampai saat ini penyebabb l h kutama urbanisasi adalah migrasi desa kota

Sejarah Perkembangan Perkotaan di Indonesia

• Dimulai di daerah pesisir dan aliran sungai(sarana transportasi)( p )

• Mengikuti pola pembangunan infrastrukturjalan (anyer panarukan) dan sentra sentrajalan (anyer – panarukan) dan sentra‐sentraekonomi (misal transmigrasi)

Kota‐Kota Transmigrasi Problem dan Prospek Perkotaan

S di b i i di b k b• Studi urbanisasi di negara berkembang umumnyadifokuskan terhadap perkembangan kota‐kotab t iti ti J k t S bbesar ataumega‐cities, seperti Jakarta, Surabaya, Kuala Lumpur, Bangkok dan Ho Chi Min City. 

• Kota‐kota besar itu memang memperlihatkanperkembangan spasial yang sangat fenomenal,

• Kota‐kota besar merupakan pusat ekonomi danpolitik yang imbasnya sangat besar bagiperkembangan ekonomi, sosial maupun politikdari keseluruhan negara yang bersangkutan.

• Perkembangan kota kota di Jawa (Indonesia)• Perkembangan kota‐kota di Jawa (Indonesia) mengikuti sebuah pola tertentu yang mengarah pada terbentuknya koridor wilayahperkotaan yang ditandai oleh kaburnyaperbedaan antara kota dan desa danbercampurnya secara intensif aktivitasbercampurnya secara intensif aktivitasekonomi pedesaan dan perkotaan (desakota).

Implikasi Perkembangan Urbanisasi yang adaImplikasi Perkembangan Urbanisasi yang ada

Secara ekonomis semakin terkonsentrasin a pend d k di daerahSecara ekonomis semakin terkonsentrasinya penduduk di daerahperkotaan akan mendorong kebutuhan akan kesempatan kerja disektor industry dan jasa.

Kebutuhan akan kesempatan kerja di daerah perkotaan akan menjadisemakin mendesak karena struktur umur penduduk yang didominasil h k b i doleh mereka yang berusia muda.

Saat ini secara demografis Indonesia dikatakan memiliki bonusgdemografi dan window of opportunity yang perlu mendapatkanperhatian secara sungguh‐sungguh, khususnya dari parapenyelenggara negara.

Kegagalan dalam menyerap tenaga kerja di daerah perkotaan akanmemiliki dampak sosial dan politik yang serius.memiliki dampak sosial dan politik yang serius.

Page 205: Modul Non Formal Ok

Urbanisme atau gaya hidup urban (urban life style) yang sangatdi hi l h k i did k j didipengaruhi oleh konsumerisme diduga akan menjadikecenderungan hidup penduduk di perkotaan.

Persoalan yang harus mendapatkan dalam kaitan ini adalahadanya perbedaan akses yang dimiliki oleh kelompokadanya perbedaan akses yang dimiliki oleh kelompok‐kelompok masyarakat bedasarkan kemampuan ekonomi yangdimiliki Jika ketimpangan social dan ekonomi antara kelompok‐p g pkelompok masyarakat ini terus terjadi bisa diduga akanmeningkatkan potensi timbulnya ketegangan hubungan socialyang serius, dan jika situasi politik memburuk, bisa mengarahpada munculnya konflik di masa mendatang

Terkonsentrasinya penduduk yang tergolong sebagai kelas menengahy p y g g g g gdi daerah perkotaan akan berpengaruh terhadap arah perkembanganpolitik dan demokrasi di negeri ini.

Sistim politik yang semakin terbuka secara teoretis akan memberikanruang kebebasan mengekspresikan pendapat yang semakin besarbagi warganegara.

Penduduk kota‐kota di Indonesia yang sebagian tergolong sebagaikelas menengah yang terdidik secara teoretis akan menjadi agenkelas menengah yang terdidik secara teoretis akan menjadi agen‐agen perubahan social dan politik menuju tercapainya konsolidasipolitik di masa yang akan datang.politik di masa yang akan datang.

Proses urbanisasi dan ekspansi wilayah perkotaan dipastikanakan semakin berdampak pada berkurangnya lingkunganp p g y g gpersawahan dan wilayah hijau pada umumnya.

Tanpa adanya perencanaan tata‐ruang yang baik disertaiperencanaan social‐ekonomi yang memadai persoalanpemukiman, persoalan transportasi dan wilayah‐wilayahkumuh akan semakin tidak terkendali perkembangannya.

Advokasi akan perlunya peningkatan kesadaran penduduk,kh di d h k b b i d kkhususnya di daerah perkotaan tentang berbagai dampaknegatif dari menurunnya kondisi lingkungan haruslah menjadiagenda politik yang perlu ditangani secara seriusagenda politik yang perlu ditangani secara serius.

Perencanaan pembangunan jangka panjang, seperti MP3EI, sudahseharusnya meperhatikan perkembangan makro‐spasial Indonesia yangterlalu menekankan pertumbuhan ekonomi di kawasan perkotaan dipantai utara Jawa, dengan spillovernya kekota‐kota di Sumatra dan Bali‐Lombok.

Dampak dari kecenderungan pembangunan semacam ini sudah terlihatdengan cepatnya proses aglomerasi di wilayah yang selama ini kita kenalsebagai Jabodetabek, Kedungsepur dan Gerbangkertosusilo, yang

j dik J k t S d S b b i itimenjadikan Jakarta, Semarang dan Surabaya sebagaimega‐cities.

Dalam jangka panjang perkembangan ini akan mengancam eksistensiIndonesia yang secara geografis sebagai negara kepulauan (archipelagicstate) karena ketimpangan pembangunan Jawa‐Luar Jawa secara geo‐politik akan memperlemah Indonesia sebagai sebuah kesatuan bangsa.

Implikasi KebijakanImplikasi Kebijakan

Perlu dilakukan integrasi dan sinkronisasi antaraberbagai master plan pembangunan yang berkaitand t t t l h d ti MP3EI ddengan tata‐ruang yang telah ada, seperti MP3EI, danrencana‐rencana pembangunan yang berbasis sectorserta daerah, khususnya pada tingkat provinsi danserta daerah, khususnya pada tingkat provinsi dankabupaten, agar dapat dirancang dan diestimasiscenario‐skenario hubungan antara perubahan tata‐

kh di d h k t druang, khususnya di daerah perkotaan, denganproyeksi dinamika kependudukan (populationdynamics) yang dibayangkan. Idealnya pekerjaan inidynamics) yang dibayangkan. Idealnya pekerjaan inidilakukan oleh sebuah lembaga nasional di tingkatpusat, misalnya Bappenas.

P d l l i i d k b t j l dPada level provinsi dan kabupaten, sejalan denganperkembangan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah,sudah waktunya disadari oleh para pimpinan pemerintahd h b h b k t tid kdaerah bahwa perencanan pengembangan perkotaan tidakmungkin dilakukan secara sendiri‐sendiri karena arus barang,modal dan tenaga kerja akan bersifat ‘borderless”.

Untuk mencapai distribusi modal, barang dan tenaga kerja yangdapat memberikan dampak positif bagi semua pihakdapat memberikan dampak positif bagi semua pihak,kerjasama antar daerah yang sejauh ini telah berkembang,perlu ditingkatkan kinerjanya, khususnya dalam bentukkerjasama‐kerjasama regional yang bersifat “win‐win solution”kerjasama‐kerjasama regional yang bersifat win‐win solution .

Page 206: Modul Non Formal Ok

Berkembangnya ekonomi pasar dan globalisasi informasi telahBerkembangnya ekonomi pasar dan globalisasi informasi, telahmenjadikan masyarakat, terutama kelas menengah di daerahperkotaan semakin kritis terhadap berbagai isu social, politikp p g , pdan lingkungan. Berbagai gerakan social masyarakat telahtumbuh menjamur di berbagai kota di Indonesia.

Komunikasi antara pemerintah kota, pihak swasta dan berbagaiforum wargakota sudah saatnya dibuka dan dicari mekanismeyang paling efektif untuk mencari solusi‐solusi alternatif secarabersama dari berbagai problem perkotaan sebagai dampakbersama, dari berbagai problem perkotaan sebagai dampakkebijakan masa lalu dan antisipasi kedepan sebagai dampakdari berbagai perubahan yang akan terjadi.g p y g j

Page 207: Modul Non Formal Ok
Page 208: Modul Non Formal Ok