Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

93
1 Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content Development Tema B1 Tim Penyusun Didik Pradjoko, M.Hum (Koordinator)) Kasijanto, M.Hum (Anggota) Dr. Suharto (Anggota) Yuda B. Tangkilisan, M.Hum (Anggota) Sudarini MA (Anggota) Dra. MPB. Manus (Anggota) Raisye Soleh Haghia (Pendukung) Fathul Bari (Pendukung) Program Hibah Kompetisi Berbasis Institusi (PHK-I) Universitas Indonesia Tahun 2008 DIPA Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Nasional UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK 2008

Transcript of Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

Page 1: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

1

Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content Development Tema B1

Tim Penyusun

Didik Pradjoko, M.Hum (Koordinator)) Kasijanto, M.Hum (Anggota)

Dr. Suharto (Anggota) Yuda B. Tangkilisan, M.Hum (Anggota)

Sudarini MA (Anggota) Dra. MPB. Manus (Anggota)

Raisye Soleh Haghia (Pendukung)

Fathul Bari (Pendukung)

Program Hibah Kompetisi Berbasis Institusi (PHK-I) Universitas Indonesia Tahun 2008

DIPA Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Nasional

UNIVERSITAS INDONESIA

DEPOK 2008

Page 2: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

2

Bab 1

BEBERAPA PENGERTIAN TENTANG SEJARAH

1.1. Pengertian Sejarah dan Ilmu Sejarah

Kata “sejarah” yang dikenal dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab,

syajaratun yang berarti pohon, syajarah an-nasab berarti pohon silsilah. Oleh karena itu

tidak terlalu dapat dipersalahkan jika banyak buku sejarah di masa lampau, yang lebih

banyak mengungkapkan riwayat seseorang atau satu keluarga daripada mengungkapkan

perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat dan Negara. Dalam bahasa Indonesia

terdapat juga kata-kata lain yang merupakan kata serapan dari bahasa lain yang

dipergunakan untuk mengkaji masa lampau seperti: “silsilah” yang menunjuk pada asal-

usul keluarga atau nenek moyang; “hikayat” yang banyak dipergunakan untuk

mengisahkan seseorang; ”babad” dan “carita” atau “cerita” yang dipergunakan

mengisahkan kejadian-kejadian tertentu; dan masih aada kata-kata lainnya yang menjadi

kebudayaan daerah tertentu seperti “tambo’ (Minangkabau) dan “tutur teteek” (Roti).

Apabila dilihat dari pemaknaan kata sejarah yang kita pahami baik sebagai masa

lampau maupun sebagai ilmu, kata sejarah itu lebih dekat dengan pengertian yang

terkandung pada kata historia - berasal dari ilmu kedokteran Yunani- yang berarti ilmu

(istor artinya orang pandai); dalam bahasa Inggris menjadi history yang mengandung arti

masa lampau manusia, dan dalam bahasa Jerman disebut gesischte yang artinya sudah

terjadi. Kata-kata lainnya yang juga dipergunakan untuk menunjukkan kajian masa

lampau antara lain: chronicle (kronika), geneology (keturunan), annals (tarikh), dan epic

(kepahlawanan). Jika sejarah itu adalah masa lampau, maka apa yang terjadi pada pagi

hari telah menjadi sejarah pada siang harinya. Secara logika pernyataan seperti itu dapat

dibenarkan. Namun cara berpikir seperti itu membuat masa lampau itu menjadi

bentangan yang tidak terbatasnya– mulai dari detik-detik yang baru saja kita lewati

sampai jauh ke belakang, entah kapan dan di mana sejarah dapat mengungkapkannya.

Apa saja yang harus dimasukkan ke dalam “masa lampau” yang demikian panjang itu?

Page 3: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

3

Perampokan? Gempa Bumi? Kerusuhan? Genocide? Krisis Moneter? Perang? Revolusi?

Perdamaian? Kesejahteraan? dan apa lagi?

Dari pertanyaan-pertanyaan semacam itu terlihat bahwa konsep masa lampau

dalam arti sejarah, akan mempunyai arti jika pembatasan telah dilakukan. Pembatasan

yang paling awal adalah menyangkut dimensi waktu – kapan sampai apabila. Salah satu

konsensus yang dicapai adalah bahwa sejarah satu bangsa atau etnis tertentu dimulai

manakala bukti-bukti tertulis mengenai bangsa atau etnis tersebut telah ditemukan. Atas

dasar kesepakatan itu maka zaman (periode) sejarah pun mulai bergulir. Adapun zaman

yang belum ditemukan bukti-bukti tertulis disebut zaman “prasejarah”, meskipun dari

zaman ini pun ditemukan jejak-jejak peradaban manusia, seperti seni pahat atau seni

patung.

Penulisan tentang masa lampau manusia dapat dikatakan berawal di Yunani

sekitar 500 tahun sebelum Masehi. Pada waktu itu penulisan sejarah atau historiografi

masih merupakan perpaduan antara ilmu kedokteran dan ilmu hukum. Dari ilmu

kedokteran misalnya, historiografi Yunani mendapat pengaruh untuk mencari sebab-

musabab dari suatu kondisi atau kasus. Dalam menjelaskan sebab-musabab itu dilakukan

melalui suatu argumentasi yang lazim dilakukan oleh ilmu hukum (retorika), seperti

dilakukan seorang jaksa penuntut untuk membuktikan kesalahan terdakwa dan pengacara

yang berusaha membuktikan bahwa terdakwa tidak bersalah. Ungkapan retorika seperti

itu tidak semata-mata untuk membuktikan kebenaran, tetapi juga menciptakan makna

atas kebenaran itu.

Sejarawan Yunani pertama yang melakukan pembuktian semacam itu adalah

Herodotus (ca. 484-425 SM) dalam karyanya tentang “Perang Yunani-Persia” tahun 478

SM yang dilukiskan sebagai perang peradaban antara peradaban Hellenic dan Perisa

(Timur). Dalam menyusun karyanya itu ia berusaha bertindak obyektif (dalam arti netral

sehingga dianggap kurang patriotik) dengan menggunakan sumber data dari kedua belah

pihak. Oleh karena itu dia dianggap sebagai bapak sejarah. Meskipun demikian karyanya

masih mempunyai dua kelemahan, yaitu kurang akurat dalam menyajikan data, dan

masih terbelenggu oleh kerangka pemikiran budaya itu, yaitu sebab-musabab

supernatural. Artinya perang itu terjadi karena kehendak para dewa.

Page 4: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

4

Tulisan pertama dari sejarawan Yunani yang dinilai mampu melepaskan diri dari

sebab-musabab supernatural adalah Thucydides (ca. 456-396 SM). Ia menulis tentang

perang antara Athena dan Sparta yang disebut sebagai Perang Peloponnesos (431-404).

Dalam karyanya itu, Thucydides sebagai seorang jenderal dan politisi, mampu

menghindari penjelasan supernatural. Secara akurat ia mempu merekonstruksi perang

tersebut berdasarkan data-data yang diperolehnya dari kedua belah pihak, sekaligus

mampu menunjukkan bahwa sebab-musabab perang bukan karena kehendak para dewa,

melainkan karena ulah manusia. Perang itu terjadi karena didorong oleh persaingan

antara kedua belah pihak untuk menjadi nomor satu di wilayah Yunani.

Dari uraian di atas, khususnya dua contoh karya Herodotus dan Thucydides, dapat

didefinisikan di sini bahwa sejarah adalah rekonstruksi masa lampau manusia atau masa

lalu manusia.

Meskipun Herodotus dan Thucydides sudah mengawali penulisan sejarah

berdasarkan sumber data, akan tetapi cara pembuktian para sejarawan Yunani waktu itu

pada dasarnya tidak menggunakan bukti (evidensi) seperti dokumen yang menjadi baku

dalam metode sejarah masa kini. Dokumen dalam arti naskah-naskah lebih banyak

digeluti oleh para ahli naskah atau filolog, yang membanding-bandingkan dua dokumen

atau lebih untuk mencari mana yang otentik (asli) dan mana yang tidak otentik (cara kerja

ini kemudian dikenal dengan sebutan “kritik ekstern”). Tradisi sejarawan seperti yang

dilakukan para sejarawan Yunani itu berlangsung sampai sekitar abad ke-18. Pada tahun

1776 terbit buku “The History of the Decline and Fall of the Roman Empire” karya

Edward Gibbon (1737-1794). Dalam karyanya itu Gibbon tidak lagi bersandar pada

retorika yang meyakinkan untuk membuktikan “kebenaran sejarah”, melainkan pada

dokumen-dokumen (bukti-bukti terturlis). Untuk mencari kebenaran sejarah, dia tidak

saja memanfaatkan kritik ekstern seperti yang dilakukan para filolog tetapi juga kritik

intern yang dikembangkan oleh para sejarawan. Gibbon dapat dikatakan merupakan

sejarawan pertama yang menggunakan cara kerja ilmiah.

Meskipun yang menerapkan cara kerja ilmiah dalam pembuktian sejarah adalah

Gibbon, akan tetapi yang kemudian dikenal oleh masyarakat sejarawan sebagai bapak

sejarah ilmiah (science historian) atau sejarah kritis adalah sejawan Jerman, Leopold von

Page 5: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

5

Ranke (1795-1886). Dia dinilai sebagai peletak dasar dari metode sejarah yang bersifat

ilmiah. Ia memperkenalkan cara-cara menguji isi dokumen dan menetapkan fakta sejarah

yang benar. Metode sejarahnya itu diuraikannya dalam bukunya “History of Romance

and Germanic Peoples, 1495-1535 yang terbit pada tahun 1824. Selain itu Ranke

menekankan pentingnya obyektivitas dalam penelitian sejarah. Ia menganjurkan supaya

menulis sejarah apa adanya dalam arti apa yang sebenarnya terjadi, “wie es eigentlich

gewesen”, sebab setiap periode sejarah akan dipengaruhi oleh semangat zamannya

(zeitgeist). Dalam bahasa Inggris kata “eigentlich” diartikan dalam dua kata, “really”

(atau essentially) dan “actuality”. Para sejarawan yang menerima “actuality” terjemahan

“eigentlich” berpendapat bahwa yang dimaksud oleh Ranke adalah menentukan fakta

sejarah seperti apa adanya tanpa diembel-embeli ide-ide tertentu sebagai pendorongnya.

Sementara yang menerima kata “essentially” atau “really” berpendapat bahwa Ranke

mengakui bahwa ide-ide tertentu menjadi faktor pendorong sejarah. Artinya ia mengakui

pula bahwa ilmu sejarah mempunyai keterkaitan dengan falsafah sejarah.

Langkah-langkah yang ditempuh Ranke bukan semata-mata pembuktian terhadap

kebenaran fakta sejarah, melainkan juga untuk menjadikan sejarah sebagai disiplin ilmu

atau cabang ilmu yang otonom sederajat dengan cabang-cabang ilmu lainnya.

Langkahnya itu kemudian diikuti oleh para sejarawan lainnya, sehingga akhirnya sejarah

diakui sebagai salah satu cabang ilmu yang mandiri. Sesuai dengan ketentuan sebagai

cabang ilmu (ilmiah) harus mempunyai metode serta obyek penelitiannya, maka ilmu

sejarah juga mempunyai metode penelitiannya yaitu “metode sejarah” serta obyek

penelitiannya yaitu masa lampau manusia dan struktur sosialnya. Jika sejarah adalah

rekonstruksi manusia, maka ilmu sejarah adalah ilmu yang mempelajari sejarah dalam

arti bagaimana merekonstruksi semua data-data atau unsur-unsur masa lampau terkait

dalam sesuatu deskripsi.

1.2. Pembabakan Sejarah (Indonesia)

Pada hakekatnya masalah pembabakan atau periodesasi sejarah bukanlah sekedar

menentukan batas awal dan batas akhir, atau pembagian babak satu, dua dan tiga;

melainkan juga harus menjelaskan alasan-alasan rasional, yang berkaitan erat konsep

pemenggalan waktu tersebut, termasuk konsep ruang (spatial) dan waktu (temporal).

Page 6: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

6

Artinya harus jelas tempat atau ruang di mana peristiwa itu terjadi dan kapan terjadinya.

Kalau konsep serta argumentasinya tidak jelas, maka akan terjadi kerancuan, bahkan

kekacauan.

Pada awalnya pembabakan Sejarah Indonesia disusun mengikuti pembabakan

yang telah dibuat oleh para sejarawan Kolonial Belanda, khususnya buku Geschiedenis

van Nederlandsch-Indië (terbit pertama kali tahun 1939) karya Stapel dkk. Ternyata

pembabakan “tiruan” itu selain banyak mengundang kritikan karena dinilai tidak cocok

dengan semangat “Indonesia Sentris” yang berkembang waktu itu. Masalah pembabakan

itu kemudian dibawa ke dalam Kongres Nasional Sejarah pada tahun 1957 yang

kemudian dibicarakana lagi pada Seminar Nasional Sejarah ke-2 tahun 1970. Salah satu

keputusan dari Seminar Nasional Sejarah yang kedua itu adalah penulisan Sejarah

Nasional Indonesia yang diharapkan nantinya menjadi semacam buku baboon sejarah

Indonesia.

Berdasarkan keputusan akhirnya pada pertengahan dekade 1970-an terbit buku

“Sejarah Nasional Indonesia” terdiri dari enam jilid, yang diterbitkan oleh Balai Pustaka-

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Pada cetakan pertama,

duduk sebagai editor umum adalah Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened Poesponegoro

dan Nugroho Notosusanto. Dalam “pemutakhiran yang dilakukan pada tahun 1984,

susunan editornya berubah menjadi Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho

Notosusanto. Ada pun susunan pembabakannya berdasarkan cetakan kedelapan tahun

1993 adalah sebagai berikut:

Jilid I Jaman Prasejarah di Indonesia

Jilid II Jaman Kuno (awal M – 1500 M)

Jilid III Jaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan-kerajaan Islam

di Indonesia (±1500-1800)

Jilid IV Abad Kesembilanbelas (± 1800-1900)

Jilid V Jaman Kebangkitan Nasional dan Masa Akhir Hindia Belanda

(±1900-1942)

Jilid VI Jaman Jepang dan Jaman Republik Indonesia (±1942-1984

Page 7: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

7

Ternyata terbitnya buku Sejarah Nasional Indonesia tidak menyelesaikan

permasalahan yang ada. Selain banyak yang pro dan kotra terhadap buku tersebut, juga

dalam praktiknya masaih banyak buku ajar sejarah, terutama untuk sekolah-sekolah

menengah yang terpengaruh oleh tulisan Stapel dkk, atau tidak jelas dalam

pembabakaannya. Sebagai contoh kesalahan dalam membuat pembabakan itu nampak

pada buku ajar Sejarah Indonesia untuk SMU yang diterbitkan oleh penerbit Bumi

Aksara. Penulis buku itu membagi periodisasi Sejarah Indonesia sebagai berikut:

I. Zaman Prasejarah, yaitu zaman ketika orang belum mengenal tulisan yang

diakhir pada abad ke-4 Masehi

II. Zaman Proto Sejarah yaitu zaman ambang sejarah. Pasa zaman ini sudah ada

tulisan-tulisan, tetapi sumber tulisan itu dari luar negeri dan beritanya samar-

samar.

III. Zaman Sejarah, yaitu zaman di mana orang sudah mengenal tulisan, yang

memberi keterangan tetang peristiwa-peristiwa masa lampau.

a. Indonesia abad ke-1 s/d abad ke-14 disebut Zaman Kuno yang

membicarakan masa berkembangnya kebudayaan Indonesia yang

dipengaruhi agama Hindu dan Buda

b. Indonesia abad ke-15 s/d abad ke -18 disebut Zaman Baru yang

membicarakan masa berkembangnya budaya Islam sampai jatuhnya

Mataram dan Banten ke tangan imperialis Belanda

c. Indonesia sesudah abad18 disebut Zaman Modern

Dari contoh ini terlihat penulis buku tidak konsisten dengan konsep yang

dibuatnya dalam menentukan periodisasi. Dia menyebutkan bahwa sejarah Indonesia

dimulai sejak abad ke-4 Masehi, yaitu dengan ditemukannya tulisan (hal yang sudah

menjadi kesepakatan umum). Jadi dasar pembabakannya itu jelas adalah adanya bukti

tertulis atau budaya aksara. Pada babak ke-1 “Zaman Prasejarah” konsep itu tercermin

cukup jelas. Namun pada babak ke-2 “Zaman Proto Sejarah” konsepnya itu menjadi

kabur. Babak kedua ini tidak lagi didasarkan pada keberadaan bukti tertulis itu sendiri

melainkan atas dasar asal bukti tertulis tersebut, yaitu dalam negeri (kepulauan Indonesia)

Page 8: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

8

dan luar negeri (luar kepulauan Indonesia). Ketidak jelasan itu juga terlihat pada babak

ke-3 “Zaman Sejarah”. Meskipun zaman ini disebutkan dimulai sejak abad ke-4 M,

namun dalam sub “a” yang diberi nama “Zaman Kuno”, dia menyebutkan bahwa zaman

kuno yang nota bene tercakup dalam zaman sejarah, diawali pada abad pertama Masehi

(kemungkinan besar kesalahan ini karena dia mengutip begitu saja pembabakan yang ada

dalam buku Sejarah Nasional Indonesia).

Terlepas dari masih adanya polemic sekitar buku Sejarah Nasional Indonesia

yang enam jilid, pembabakan dalam tulisan sejarah pada hakekatnya dapat disusun

berdasarkan kronologis atau tematis. Susunan secara kronologis artinya setiap babak

disusun berdasarkan penggalan-penggalan waktu kejadian sebenarnya. Pembabakan

secara kronologis ini terutama sangat membantu untuk penulisan sejarah yang mencakup

kurun waktu yang panjang seperti sejarah umum, sejarah nasional atau sejarah dunia.

Misalnya Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 karya M.C. Ricklefs yang diterbitkan

oleh Serambi tahun 2005. Struktur tulisannya adalah sebagai berikut:

I. Lahirnya Zaman Modern

II. Perjuangan Merebut Hegemoni, ± 1630-1800

III. Pembentukan Negara Jajahan, ± 1800-1910

IV. Munculnya Konsepsi Indonesia ± 1900-42

V. Runtuhnya Negara Jajahan ± 1942-50

VI. Indonesia Merdeka

Sedangkan pembabakan secara tematis akan sangat membantu jika tulisan sejarah

itu semacam studi kasus atau kajian khusus yang durasinya relative singkat namun

permasalahannya cukup rumit dan mendalam. Contoh tulisan itu antara lain

Pemberontakan Petani Banten 1888 karya Sartono Kartodirdjo yang diterbitkan oleh

penerbit Pustaka Jaya tahun 1984. Ada pun struktur penulisannya adalah sebagai berikut:

Bab I Pengantar

Bab II Latar Belakang Sosio-Ekonomis

Bab III Perkembangan Politik

Page 9: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

9

Bab IV Keresahan Sosial

Bab V Kebangunan Agama

Bab VI Gerakan Pemberontakan

Bab VII Pemberontakan Dimulai

Bab VIII Penumpasan Pemberontakan dan Kelanjutannya

Bab IX Kelanjutan Pemberontakan

Bab X Akhir Kata

1.3. Metodologi Sejarah

Pada dasarnya untuk mengetahui masa lampau manusia adalah dengan cara

mempelajari peninggalan-peninggalannya, baik berupa dokumen, artefak, maupun

keterangan lisan. Untuk mendapatkan hasil yang baik, diperlukan suatu metode yang baik

pula serta (kalau perlu) teori-teori tertentu yang tepat guna. Metode penelitian dalam ilmu

sejarah disebut metode sejarah, yang cara kerja mempunyai cirri yang berbeda dengan

metode penelitian bidang ilmu lain. Metode Sejarah merupakan suatu cara untuk

mengetahui otensitas tidaknya satu dokumen, benar atau tidaknya isi dokumen, serta

relevan tidaknya dengan permasalahan yang hendak dituliskan sebagai karya sejarah.

Dalam proses kerjanya memperlihatkan tahap-tahap mulai dari yang teoritis sampai pada

pelaksanaan teknis yang diterapkan dalam penelitian dan penulisan sejarah.

1.3.1. Metode Sejarah

Dalam proses kerjanya, metode sejarah memiliki pentahapan yang sebaiknya

diikuti dengan baik. Ada pun tahap-tahap penelitiannya itu adalah sebagai berikut:

heuristik, yaitu suatu kegiatan yang berkaitan dengan upaya mencari dan

menemukan data-data mentah (raw material) sesuai dengan tujuan dari

penelitian itu yang tertera dalam proposal atau outline penelitian yang telah

disusun sebelumnya. Bentuk sumber sejarah adalah: tekstual (dokumen,

Page 10: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

10

Koran, majalah dan bentuk teks lainnya) dan nontekstual (foto, gambar, peta,

karikatur sezaman), lisan, kebendaan, dan audiovisual.

Verifikasi, yaitu mencakup kritik ekstern dan intern sumber sejarah. Dalam

tahap ini peneliti melakukan penyeleksian data yang ditemukannya melalui

suatu proses pengujian terhadap data-data tersebut, baik dari segi materi

maupun isinya. Jika yang diuji itu arsip atau dokumen, maka yang dimaksud

materi di sini adalah jenis kertasnya dan tintanya. Apakah benar kertas atau

tintanya berasal dari zamannya. Jika sumber sejarah itu merupakan sumber

lisan, maka yang diuji adalah orangnya, apakah orang tersebut betul pelaku

atau orang yang menyaksikan langsung, serta cukup sehatkah untuk

diwawancara. Setelah data-data tersebut teruji, kemudian dinilai apakah data-

data itu relevan dengan permasalahan yang hendak ditulis, baik dari segi tema,

maupun periodenya. Data-data yang telah teruji dan terpilih inilah yang

kemudian disebut sebagai fakta sejarah.

Interpretasi atau eksplanasi yaitu proses menafsirkan atau pemberian makna

serta merangkaikan unsur-unsur yang telah diperoleh dari tahap-tahap

sebelumnya, dengan tujuan untuk memperoleh kumpulan fakta yang memiliki

arti (fact of meaning). Berkaitan dengan masalah interpretasi dan eksplanasi

ini ada berbagai metode atau pendekatan yang dapat dipergunakan, seperti

metode naratif (history of event), struktural, dan strukturistik. Keberhasilan

penggunaan ketiga metode ini pada dasarnya sangat tergantung dari sifat

obyek penelitiannya.

Historiografi yaitu proses penulisan sejarah yang bertolak dari fakta-fakta

yang telah teruji dan terangkai tadi. Dalam proses penulisan ini, penguasaan

sang sejarawan atas teori dan metodologi sedikit banyak ikut mempengaruhi

mutu karya yang dihasilkannya.

1.3.2. Teori Sejarah

Pokok masalah dalam teori sejarah adalah kebenaran dari pengetahuan yang

dihasilkan oleh para ahli sejarah yang dilandasi oleh berbagai bentuk eksplanasi. Secara

Page 11: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

11

umum teori sejarah dapat dibagi dua bagian, yaitu teori sejarah spekulatif dan kritis.

Sejarah spekulatif umumnya dianut oleh para sejarawan yang menyatukan sejarah dengan

filsafat. Dalam hal ini sejarah merupakan ungkapan dari suatu pandangan filsafah

mengenai perkembangan ummat manusia. Paling tidak ada tiga macam pertanyaan yang

umum diajukan oleh para penulis sejarah spekulatif, yaitu :

1. Pola macam apa yang perlu diamati dalam proses sejarah

2. Mana “motor” yang menggerakkan sejarah

3. Apa dan bagaimana sasaran terakhir yang dituju oleh proses sejarah.

Para sejarawan Marxis dapat dikatakan merupakan salah satu contoh model sejarah

spekulatif. Mereka melihat faktor “pertentangan kelas” menjadi “motor” dari proses

sejarah. Penganut lainnya adalah Hegel, Spengler, dan Toynbee (Ankersmit, 1987: 17).

Bertolak dari tiga pertanyaan itu mereka membahas proses sejarah tidak sekedar apa yang

telah terjadi di masa lalu, tetapi seringkali juga mengungkapkan semacam prediksi, apa

yang harus terjadi. Seperti tercermin dalam ketiga macam pertanyaan tadi, nampak

bahwa sistem sejarah spekulatif sering membicarakan masa depan.

Adapun sejarah analitis justru memisahkan antara sejarah dan falsafah. Aliran ini

terutama berkembang pada sejarawan empirik. Bagi kalangan ini, ilmu sejarah adalah

kaidah-kaidah ilmiah untuk membuktikan adanya masa lampau. Mereka menolak

anggapan bahwa tugas sejarawan adalah mengungkapkan masa lampau sesuai dengan

falsafah tertentu. Bagaimana membuktikan adanya masa lampau melalui berbagai

peninggalan masa yang bersangkutan itulah yang menjadi inti persoalan teori sejarah.

Oleh karena banyak cara yang diajukan, maka tidak mengherankan jika sampai sekarang

berkembang pula teori-teori sejarah.

Salah seorang filsuf sejarah membedakan empat teori pokok yang sampai

sekarang muncul di kalangan sejarawan, yaitu “narrativisme”, “hermeneutika”,

“kasualitas” dan “covering law model” (Ankersmith, 1987). Meskipun pada dasarnya

keempat teori tersebut bersandar pula pada suatu pandangan tertentu, namun keempatnya

dapat diterima sebagai patokan kerja. Para sejarawan menyadari pula bahwa dari keempat

teori itu telah berkembang berbagai kombinasi, terutama antara teori yang disebut

Page 12: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

12

pertama sampai ketiga. Kombinasi-kombinasi itu merupakan terobosan-terobosan yang

diupayakan untuk menembus berbagai kendala yang masih menyelimuti masa lampau

manusia yang diakibatkan oleh lemahnya atau terbatasnya data-data dari masa lampau.

1.3.3. Subyektivitas dan Obyektivitas Sejarah

Salah satu perbedaan pokok yang sering mencuat di kalangan sejarawan, terlepas

apakah ia menggunakan teori baku seperti kasualitas, narrative, atau kombinasi-

kombinasinya, adalah masalah obyektivitas dan subyektivitas. Ada yang berpendapat

bahwa pengetahuan kita tentang masa lampau adalah subyektif dan ada pula yang

menilainya obyektif. Perbedaan ini muncul terutama karena adanya pandangan yang

berbada mengenai sifat-sifat peninggalan masa lampau. Kelompok yang berpandangan

subyektif adalah yang menganggap bahwa peninggalan itu hanya sekedar lambang atau

wakil dari masa lampau, yang tidak mempunyai nilai obyektif sendiri. Artinya

peninggalan tersebut tidak dapat mengatakan kepada kita yang hidup di masa kini

mengenai apa yang terjadi pada masa lampau. Dengan kata lain fakta-fakta itu hanya

terdapat dalam alam pikiran para sejarawan yang menelitinya. Para sejarawanlah yang

membuat peninggal-peninggalan masa lampau itu “berbicara”.

Sementara itu kelompok sejarawan yang berpandangan obyektif menganggap

bahwa peninggalan-peninggalan itu sudah merupakan kenyataan dari masa lampau.

Artinya peninggalan-peninggalan itu sudah berbicara tentang masa lampau. Oleh karena

itu fakta-fakta yang ditampilkan merupakan evidensi itu sendiri, bukan hasil rekayasa

para sejarawan dan selalu mengacu ke masa silam.

Dalam praktek, pengertian subyektif dan obyektif dapat disamakan dengan

terpengaruh atau tidaknya sejarawan oleh nilai-nilai tertentu dari obyek yang ditelitinya.

Bila seorang sejarawan membiarkan keyakinan politik atau etisnya turut berperan

sehingga terlihat dalam karya sejarahnya, maka pelukisan sejarahnya disebut subyektif.

Sebaliknya bila seorang sejarawan mampu menjaga jarak dari obyek yang ditelitinya

sehingga nilai-nilai politik dan etisnya tidak larut dalam eksplanasi karyanya, maka

pelukisan sejarahnya itu disebut subyektif.

Page 13: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

13

Golongan obyektivitas menganut pandangan realis mengenai sejarah dan

mengggap peninggalan masa lampau sebagai sumber sejarah. Sedangkan golongan

subyektif menganut pandangan idealis mengenai sejarah dan menganggap peninggalan

masa lampau sebagai evidensi sejarah (barang bukti).

Dengan adanya dua sudut pandang ini, ditambah dengan adanya perkembangan

teori dan metodologi sejarah, maka penulisan sejarahpun semakin berkembang dan

bervariasi pula. Jika pada abad ke-19 dan sebelumnya jenis “sejarah politik” seakan-akan

satu-satunya karya sejarah yang absah, maka sejak awal abad ke-20 berbagai tema

sejarah sebagai alternatif dalam mengungkapkan masa lampau manusia seperti sejarah

sosial, sejarah petani, sejarah ekonomi, sejarah mentalitas dll.

1.4. Historiografi

1.4.1. Zaman Yunani-Romawi.

Dalam masalah sejarah penulisan sejarah (historiografi), para pakar sejarah

umumnya melihat kepada historiografi Eropa karena dari wilayah inilah bermula

munculnya tradisi penulisan sejarah, khususnya sejarah sebagai kajian ilmiah. Di Yunani

tradisi penulisan itu sudah dimulai yang disusun dalam bentuk puisi, misalnya karya

Homer, yaitu Illiad-Odessy yang menceritakan kehancuran kerajaan Troya tahun 1200

SM. Meskipun karya ini bertolak dari suatu kenyataan masa lampau, namun budaya

zaman yang hidup waktu itu telah membuat karya lebih menyerupai mitologi daripada

karya sejarah. Banyak aspek supernatural dipergunakan sebagai dasar penjelasannya

mengenai sebab-musabab terjadinya suatu peristiwa. Seperti telah disinggung di atas,

penulisan sejarah yang lebih rasional baru muncul sekitar abad ke-5 SM, yaitu dengan

terbitnya karya Herodotus yang disusul oleh karya Thucydides.

Tradisi Yunani itu kemudian dijadikan model oleh para sejarawan Romawi,

antara lain oleh Polybius (orang Yunani yang dibesarkan di Roma). Ia banyak menulis

tentang masa akhir Yunani sampai awal berdirinya Romawi. Penulis Romawi sendiri

antara lain: Julius Caesar (100-44 SM), Gaius Sallustius Crispus (ca. 86-34 SM), Titus

Livius (59 SM-17 M), dan Pablius Cornelius Tacitus (ca. 55-120 M).

Page 14: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

14

Julius Caesar adalah seorang jenderal yang kemudian menjadi kaisar, menulis

Commentaries on Gallic War, yang merupakan memoir tentang suku Gallia, dan civil

War yang merupakan penjelasan mengenai sebab-musabab terjadinya perang Gallia,

sekaaligus tentang adat-istiadat suku tersebut.

Sallustius terkenal dengan monografi dan biografinya. Bentuk karya yang disebut

terakhir sekaligus menjadi salah satu 14irri bagi penulisan sejarah era Romawi. Ia

menulis history of Rome, Conspiracy of Catiline, Jugurtbine War. Analisanya dinilai

cukup netral, namun saying dia ceroboh dalam masalah kronologi dan geografi sehingga

mengurangi nilai karyanya itu.

Livius merupakan salah satu contoh penulis yang hampir sepenuhnya

menggunakan model Yunani. Dalam pembuktiannya ia lebih banyak mengemukakan

retorika sehingga mengorbankan kebenaran sejarah. Karyanya tentang berdirinya kota

Roma merupakan campuran antara data factual dan fantasi.

Tacitus menulis Annals, Histories, dan Germania. Karyanya itu merupakan

paduan antara karya Livius yang cenderung pada retorika dan Polybius yang cenderung

pada sejarah. Ia tercatat sebagai orang pertama yang melukiskan sebab moral runtuhnya

kekaisaran Romawi.

1.4.2. Zaman Abad Pertengahan.

Tradisi Yunani yang dilanjutkan oleh Romawi itu kemudian terhenti oleh

kemenangan Kristen di Eropa. Kebudayaan Yunani-Romawi yang bertumpu kepada

kekuatan akal dianggap sebagai hasil setan karenanya harus ditolak dan digantikan

dengan kebudayaan Kristen yang bertumpu pada agama dan supernatural. Menurut

pandangan yang disebut terakhir, sejarah tidak bisa dipisahkan dari teologi atau agama.

Sebagai contoh dalam periodisasi atau pembabakan sejarah disesuaikan dengan ajaran

yang ada pada kitab Injil (Perjanjian Baru). Sebagai contoh adalah skema periodesasi

yang disusun Augustine:

--O------- 1 ----0------ 2 -------0------ 3------0------- 4 -----0---- 5 -------0---- 6 ------0--------

Adam----------Nuh--------Ibrahim-------- Daud ---------Babylonia ----Jesus----- kedatangan

Page 15: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

15

Jesus ke-2

The City of God adalah karya Augustine (ca. 354-430 M) yang merupakan filsafat

sejarah Kristen yang cukup berpengaruh, khususnya pada abad pertengahan yang sering

dikenal dengan sebutan “Abad Kegelapan” (The Dark Ages) yang melahirkan struktur

masyarakat feudal di Eropa. Menurut pandangan Kristen orang harus memilih antara

Tuhan dan setan. Orang yang terlibat dalam sejarah suci akan dimenangkan oleh Tuhan.

Pada masa ini pusat penulisan sejarah terdapat di gereja dan Negara dengan pendeta dan

raja sebagai pelaku utama. Tinjauan kritis dan netral yang didukung oleh data-data

faktual tidak terlihat pada zaman Kristen di Abad Pertengahan ini.

Karya-karya yang lahir pada abad-abad ini antara lain: Chronographia karya

Sextus Julius Africanus (ca. 180-250 M) yang mengungkapkan bahwa dunia diciptakan

Tuhan pada 5499 SM; Seven Books Against the Pagan karya Paulus Orosius (ca. 380-420

M) murid Augustine, yang menguangkapkan pembelaannya atas peradaban Kristen yang

dituduh sebagai penyebab runtuhnya Romawi (Barat) pada abad ke-5 M. Dalam karyanya

itu itu Orosius mengatakan bahwa keruntuhan paganisme sudah menjadi kehendak

Tuhan, karena orang-orang kafir itu akan runtuh.

1.4.3. Zaman Renaissance, Reformasi dan Kontra Reformasi.

Sejalan dengan semakin pulihnya keamanan dan perdagangan di Eropa, sekaligus

sebagai pertanda berakhirnya Abad Pertengahan pada abad ke-15, untuk memasuki era

Renaissance. Pada era ini semangat paga dan kebudayaan klasik Yunani-Romawi

menjadi model. Corak penulisan sejarah pun kembali mengalami perubahan. Pembuktian

kebenaran sejarah tidak lagi bersandar pada wahyu melainkan pada akal, teologi yang

dogmatis diganti dengan ilmu. Hal ini antara lain tercermin dari karya Lorenzo Valla

(1407-1457) yang menulis The History of Ferdinand I of Aragon, The History of

Ferdinand I of Aragon, yang berupaya membuktikan bahwa berita kaisar Konstantinus

(memerintah 305-337) telah memberikan hak politik kepada paus adalah tidak palsu.

Meskipun kebenaran yang dikemukakannya juga dapat disangkal oleh yang lain, namun

keberaniannya dalam melakukan kritik merupakan satu langkah yang maju waktu itu.

Page 16: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

16

Dekonstruksi terhadap historiografi Abad Pertengahan berlanjut pada masa

“Reformasi”. Hal ini antara lain tercermin dari karya lacich Illyricus (1520-1575),

Magdeburg Centuries yang merupakan sejarah polemik. Dalam bukunya itu ia banyak

menyerang institusi kepausan dari segi hukum dan konstitusi. Buku ini benyak dikecam

oleh gerakan “kontra Reformasi” yang berupaya menegakkan kembali kewibawaan

gereja Katholik yang dinilai telah dirusak oleh gerakan Reformasi. Cardinal Caesar

Baronius (1538-1607) misalnya menulis buku Ecclesistical Annals yang merupakan

jawaban langsung terhadap tuduhan dari buku Magdeburg Centuries. Tulisannya itu jelas

merupakan karya yang memihak dan apologetis, yang banyak mengalihkan isu yang

penting ke isu sekunder yang tidak relevan. Meskipun demikian nilai buku itu cukup

tinggi, terutama dalam penggunaan sumber datanya.

1.4.4. Dari Rasionalisme ke Liberalisme.

Seperti telah disinggung di atas, dari segi pengungkapan kebenaran sejarah, model

Yunani dengan retorikanya masih cukup Nampak pada abad ke-17 dan ke-18. Abad ini

yang sering disebut sebagai Abad Rasionalisme-Pencerahan telah melahirkan banyak

karya, misalnya: Essay on the manners and spirit of the Nation karya Voltaire (1697-

1778) yang terbir pada tahun 1756. Buku ini merupakan sejarah umum yang

membeberkan sumbangan bangsa-bangsa Timur dan Islam terhadap peradaban dunia dan

Eropa; History of England from the Invasion of Julius Caesar to the Revolution of 1698

karya David Hume (1711-1776); dan The History of the Decline and Fall of the Roman

Empire karya Edward Gibbon yang terbit pada tahun 1776. Seperti telah disinggung di

atas, Gibbon merupakan sejarawan pertama yang menggunakan eviden (dokumen) untuk

pembuktian kebenaran sejarah. Selain gayanya yng berbeda, akurasinya dalam penulisan

yang didukung dengan bukti-bukti membuat karyanya menjadi penting dan ‘abadi’ dalam

historiografi dunia. Meskipun ia tergolong sejarawaan rasionalis, namun dalam menulis

tentang kemunculan agama Kristen di dunia Barat cukup obyektif, demikian pula

mengenai sumbangan Islam pada peradaban dunia.

Historiografi pada abad ke-19 ditandai dengan beberapa cirri yang cukup

menonjol, antara lain: (1) penghargaan kembali pada Abad Pertengahan, (2) munculnya

Page 17: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

17

liberalism, (3) munculnya filsafat sejarah, dan (4) nasionalisme. Sejarah yang bersifat

nasionalistis misalnya Address to the German Nation karya Johann Gottlieb Fitchte

(1762-1814). Dalam buku ini ia mengemukakan perbedaan antara orang-orang Jerman

yang disebutnya Urvolk alias bangsa yang masih murni dan orang-orang Eropa selatan

yang disebutnya Mischvolk alias bangsa campuran yang sedang mengalami keruntuhan.

Tulisannya itu telah member dorongan timbulnya nasionalisme Jerman.

Abad 19 selain melahirkan Leopold von Ranke yang dianggap sebagai bapak

sejarah science, juga melahirkan banyak pemikir-pemikir sejarah (filsafat sejarah) yang

berpengaruh pada perkembangan teori dan metode sejarah pada tahun-tahun berikutnya.

Misalnya: Georg Wilhelm Friederich Hegel (1770-1831) yang menulis buku Philosophy

of History. Dalam bukunya itu ia berpendapat bahwa sejarah itu naju dengan cara

dialeksis. Diawali dengan tesis yang mendapat perlawanan dari satu kekuatan yang

disebut anti-tesis. Dari pertarungannya itu melahirkan sintesis sebagai tujuan akhir. Pada

gilirannya nanti sintesis ini akan berubah menjadi tesis baru, yang kemudian berproses

sampai menghasilkan sintesa baru, dst. Heinrich Karl Marx (1818-1883) memakai

dialektika Hegel, dengan proletariat sebagai sarana pembebasan manusia.

Pengaruh filsafat sejarah Hegel ini antara lain nampak pada karya Francis

Fukuyama, The End of History and The Last Man yang terbit pertama kali pada tahun

1992. Dalam karyanya itu Fukuyama menginterpretasikan perkembangan masyarakat

dunia (masa kontemporer) didorong oleh dua faktor, yaitu (1) perkembangan ekonomi

yang didorong oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan (2) keinginan untuk diakui,

dihargai, dan persamaan hak. Kedua faktor inilah yang sering digugat oleh sistem

komunis yang dapat dinilai sebagai kekuatan anti-tesis yang kemudian menghasilkan

tujuan akhir sejarah manusia, yaitu masyarakat kapitalis dengan sistem politik demokrasi

liberalnya.

Menjelang akhir abad ke-19 kebenaran yang dikemukakan oleh Ranke mulai

diragukan, sebab menulis sejarah “sebagaimana yang terjadi dinilai bertentangan dengan

psikologi. Sadar atau tidak, setiap orang yang menulis pasti mempunyai maksud dan

tujuan tertentu. Fakta sejarah bukanlah batu bata yang tinggal dipasang saja, melainkan

fakta yang dipilih dengan sengaja oleh sejarawan. Seperti dikemukakan oleh Carl L.

Page 18: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

18

Becker (1873-1945), pemujaan terhadap fakta hanyalah ilusi. Sementara itu James

Harvey Robinson (1863-1936) mengatakan bahwa sejarah kritis kita hanya dapat

menangkap “permukaan”, tidak dapat menangkap realitas di bawah dan tidak dapat

memahami perilaku manusia. Atas dasar pemikiran itu maka muncul gagasan baru

tentang perlunya “sejarah baru” atau “new perpective on historical writing”.

Berbeda dengan historiografi modern yang dipelopori Ranke yang menekankan

kritik, maka sejarah baru menekankan perlunya penggunaan ilmu-ilmu sosial, sekaligus

mendekatkan kembali ilmu sejarah dengan ilmu-ilmu sosial, sehingga seringkali sejarah

baru itu disebut sebagai “sejarah sosial”.

1.4.5. Historiografi Indonesia.

Penulisan sejarah di Indonesia sebenarnya sudah ada sejak masa kerajaan Hindu-

Buddha berkembang di kepulauan Indonesia, misalnya “Pararaton”, “Negara

Kertagama”, dan “Carita Parahiyangan”. Demikian pula era kesultanan atau kesunanan

yang bercorak Islam, terbit misalnya; “Hikayat Tanah Hitu”, “Tuhfat al Nafis”, “Babad

Tanah Jawi”, dan “Babad Kraton”. Akan tetapi karya-karya para “sejarawan” atau tepat

para pujangga dinilai kurang bernilai sejarah karena sarat dengan mitos-mitos seperti

halnya historiografi Abad Pertengahan di Eropa. Sifatnya primordial atau istana sentries,

legitimasi, anakronis, dengan sumber data yang seringkali sulit dilacak serta analisa

sebab-musabab supernaturalnya. Oleh karena itu pada awalnya tidak sedikit sejarawan

akademik yang menilai karya-karya seperti itu tidak patut dijadikan sebagai referensi

penelitian sejarah ilmiah.

Salah satu pujangga istana Surakarta, Yasadipura (1729-1805) barangkali dapat

disebut sebagai ‘sejarawan’ yang mulai mengkaji kembali karya-karya historiografi

tradisional Indonesia. Ia menulis Babad Giyanti yang merupakan penafsiran kembali

karya-karya yang lebih tua, yang disesuaikan dengan kebutuhan zamannya. Kemudian

pada abad ke-19 beberapa pelaku sejarah juga menuliskan sejarahnya, seperti Pangeran

Dipenogoro menulis Babad Dipenogoro, yang ditulisnya pada tahun 1835, semasa dia

berada di pengasingan. Mungkin saja masih banyak pujangga dan pelaku sejarah

Page 19: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

19

Indonesia yang menulis, namun sejalan dengan perkembangan dunia kolonial, penelitian,

pengumpulan data dan komunikasi pemikiran sejarah pada abad ke-19 hampir

sepenuhnya berada di tangan orang-orang Belanda/Barat. Selain itu mereka mempunyai

tradisi dalam historiografi kolonial yang cukup lama Oleh karena itu pada masa kolonial,

sejarah dianggap benar dan penting-bahkan oleh orang-orang Indonesia berpendidikan-

adalah “babad londo” dengan tokoh-tokohnya yang berkuasa seperti gubernur jenderal

dan para residennya, bukan sultan, susuhunan, kiai atau pemimpin Indonesia lainnya.

Awal abad ke-20 perkembangan historiografi Indonesia dimulai dengan

munculnya studi sejarah yang kritis. Husein Djajadiningrat dapat dikatakan sebagai orang

Indonesia pertama yang melakukan prinsip-prinsip metode kritis sejarah. Karyanya,

Critische Beschouwingen van de Sejarah Banten (1913) sebenarnya merupakan studi

filologis yang menggunakan historiografi tradisional sebagai obyeknya. Kemudian pada

tahun 1936 giliran saudaranya, Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat yang menerbitkan

karya biografinya, Kenang-kenangan Pangran Aria Achmad Djajadiningrat

(Herrineringen van Pangran Aria Achmad Djajadiningrat) dalam dua bahasa, Indonesia

dan Belanda.

Sejalan dengan berkembangnya metode kritis, perkembangan nasionalisme

Indonesia yang berkembang sejak awal tahun 1920-an, membutuhan pula sejarah yang

dapat menunjukkan identitas dan simbol keindonesiaan. Semangat inilah yang

mendorong penulisan sejarah dengan pendekatan “Indonesia sentries” menggantikan

sudut pandang “Eropa sentries” atau “Belanda sentries” yang berkembang waktu itu.

Namun seperti dikemukakan oleh Coolhaas bahwa harapan penulisan sejarah Indonesia

akan sulit berkembang mengingat orang-orang Indonesia masih sedikit yang terlibat

secara aktif dalam politik. Kenyataannya memang demikian, sampai meletusnya Perang

Dunia II karya-karya sejarah kolonial masih mendominasi, di antaranya karya FW Stapel

dkk, Geschiedenis van Nederlandsch-Indiё, yang mempunyai pengaruh besar terhadap

penulisan sejarah Indonesia kemudian, terutama buku-buku ajar sejarah pada tingkat

sekolah menengah.

Setelah proklamasi kemerdekaan literatur sejarah Indonesia mengalami

“booming”. Semangat nasionalisme yang berkobar-kobar dalam periode post kolonial

Page 20: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

20

telah mendorong diterbitkannya buku-buku sejarah yang “Indonesia Sentris”. Oleh

karena itu pada periode post revolusi ini banyak diterbitkan biografi tokoh-tokoh maupun

pahlawan nasional seperti: Teuku Umar, Imam Bonjol, Pattimura, Nuku dan Diponegoro

karena obyek-obyek penulisan seperti ini yang mampu menunjukkan identitas dan

symbol keindonesiaan. Demikian pula sejarah perlawanan terhadap penjajah, seperti

Perang Dipenogoro, Perang Aceh, Perang Padri, pergerakan nasional dan sebagainya

menempati posisi yang sama seperti biografi para tokoh tadi. Tidak sedikit politisi aktif

yang ikut menulis sejarah seperti Mr. Muhammad Yamin menghasilkan beberapa karya

sejarah, antara lain 6000 Tahun Sang Merah Putih, atau menuliskan memoarnya, seperti

TB Simatupang menulis Laporan dari Banaran (1960)

Semangat patriotisme yang berkobar-kobar namun tidak disertai dengan

penguasaan metode sejarah teknis membuat banyak karya sejarah terbit pada periode ini

sulit dipertanggungjawabkan dengan metode kritis. Dapat dikatakan sebagian besar karya

sejarah waktu itu tidak lebih dari sejarah kolonial yang diputar balik peranan pelakunya,

dari “pemberontak” menjadi “pahlawan”, dari “jahat” menjadi “baik”, dari pemberontak

Diponegoro menjadi pahlawan Diponeogoro dan seterusnya. Karena itu pula banyak

kritik terhadap karya seperti itu. Tidak sedikit pula sejarawan asing yang pesimistis

terhadap obyektivitas sejarah yang “Indonesia sentries”.

Pesimistis yang sempat berkembang itu kemudian menghilang sejalan dengan

dibukanya kembali program studi sejarah di beberapa perguruan tinggi Indonesia. Pada

tahun 1966 terbit buku The Peasants’ Revolt of Banten in 1888: Its Conditions, Course

and Sequel (terjemahannya, Pemberontakan Petani Banten 1888 terbit pada tahun 1984)

karya Sartono Kartodirdjo. Dengan karyanya ini, yang disusul oleh karyanya yang lain

seperti Protest Movement in Rural Java (1973), Sartono menawarkan alternatife dan

perspektif baru dalam penulisan sejarah Indonesia, yang kemudian dikenal sebagai

sejarah sosial.

Meskipun sudah muncul alternatif baru dengan multidimensinya, namun sampai

sampai dekade 1970-an, sejarah politik-khususnya masa pendudukan Jepang dan revolusi

kemerdekaan- masih cukup dominan. Pada tahun 1977-1979 terbit secara bertahap karya

monumental AH Nasution Sekitar Perang Kemerdekaan Kemerdekaan Indonesia yang

Page 21: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

21

terdiri dari 11 jilid. Buku ini banyak memberikan informasi tentang jalannya perang pada

periode 1945-1949, Namun buku yang cukup tebal ini mempunyai satu kelemahan yang

cukup mendasar, yaitu dalam masalah sumber data. Dalam waktu yang hampir sama

terbit kumpulan biografi singkat dari berbagai tokoh yaitu Manusia Dalam Kemelut

Sejarah (1978). Buku ini semula adalah artikel-artikel yang dimuat dalam majalah

Prisma No.8 tahun 1977. Setelah itu pada tahun 1979 terbit buku Tentara Peta pada

jaman pendudukan Jepang di Indonesia (1979) karya Nugroho Notosusanto yang

merupakan studi akademik pertama tentang masa pendudukan Jepang yang dikalakukan

oleh orang Indonesia.

Meskipun ada perkembangan dalam penulisan sejarah Indonesia, namun banyak

orang Indonesia yang menilai penulis-penulis asing masih lebih baik dalam tulisan

sejarah yang bertema “perang kemerdekaan Indonesia”, misalnya Nationalism and

Revolution in Indonesia (1970) karya George Mc T Kahin dan Java in a Time of

Revolution: Occupation and Resistance 1944-1946 (1972) karya BROG Anderson.

Demikian pula dengan sejarah sosial Indonesia, sampai akhir dekade 1970-an masih lebih

banyak ditulis oleh peneliti asing, di samping beberapa orang Indonesia dalam bentuk

disertasi, misalnya Onghokham (1975) yang menulis tentang Madiun pada abad ke-19,

yang sampai akhir hayatnya belum sempat diterbitkan.

Selain itu, dalam dekade 1970-an, tepatnya tahun 1977 terbit buku Sejarah

Nasional Indonesia (SNI) yang terdiri dari 6 jilid yang diterbitkan oleh Balai Pustaka-

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Buku ini merupakan karya bersama sejarawan

Indonesia waktu itu dalam upaya mewujudkan sejarah nasional. Duduk sebagai editor

umumnya adalah Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho

Notosusanto. Di satu pihak kehadiran buku SNI berhasil menjawab kebutuhan akan

adanya buku sejarah Indonesia yang “nasionalistis”; namun di pihak lainnya telah

mengundang polemik dan keprihatinan dari beberapa sejarawan lainnya. Buku SNI

dinilai masih mengandung banyak kelemahan, baik dari segi metode maupun data

faktualnya.. Keprihatinan inilah antara lain yang menjadi salah satu faktor untuk menulis

buku sejarah nasional sejenis yang lebih baik. Upaya itu mulai dirintis sejak penghujung

abad ke-21. Para sejarawan yang dimotori oleh Prof. Dr. Taufik Abdullah dan Prof. Dr.

Page 22: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

22

A.B. Lapian yang bertindak sebagai editor umum, merencanakan untuk menulis sejarah

Indonesia yang nantinya terdiri dari 8 jilid (plus satu jilid tambahan).

Di luar keprihatinan itu, sebenarnya perkembangan historiografi Indonesia

tidaklah sesuram itu. Justru sejak akhir abad ke-20 telah berkembang pula penulisan

sejarah dengan pendekatan baru. Namun perkembangan itu luput dari pengamatan para

pakar sejarah, karena sebagian besar lebih tertarik untuk mengamati dan mendekonstruksi

sejarah politik masa Orde Baru, khususnya yang menyangkut tema sekitar “Gerakan

September Tiga Puluh” atau “G-30-S PKI”. Metode baru itu, yaitu metode strukturistik,

dapat dikatakan semacam jembatan antara metode naratif dengan metode struktural.

Perintis pendekatan strukturistik di Indonesia adalah R.Z. Leirissa dari Universitas

Indonesia. Penggunaan metode strukturistik itu terlihat dalam beberapa karyanya seperti

Halmahera Timur dan Raja Jailolo (1996) dan Kekuatan Ketiga Dalam Perjuangan

Kemerdekaan Indonesia (2006).

Page 23: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

23

1.5. Rangkuman

Sejarah adalah rekonstruksi masa lampau manusia yang dibatasi oleh ruang dan

waktu.

Penguasaan teori dan metodologi sangat berpengaruh terhadap mutu penulisan

sejarah

Historiografi Indonesia modern mulai berkembang sejak awal abad ke-20 yang

ditandai dengan terbitnya karya Husein Djajadinigrat, Critische Beschouwingen

van de Sejarah Banten (1913) dan semakin berkembang sejalan dengan

dibukanya program-program studi sejarah pada beberapa perguruan tinggi di

Indonesia.

1.6.Latihan

1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan ilmu sejarah

2. Tunjukkan bentuk sejarah tekstual dan nontekstual

3. Buatlah laporan sebuah biografi pahlawan Indonesia

1.6.1.Tes Formatif

a. Jelaskan apa yang dimaksud dengan “zeitgeist”?

b. Jelaskan bagaimana cara pembuktian kebenaran sejarawan Yunani dibandingkan

sejarawan masa kini?

c. Mengapa Leopold von Ranke diberi gelar bapak sejarah akademik (father of

historical science)?

d. Jelaskan bagaimana cara kerja filsafat Hegel dalam membuktikan kebenaran

sejarah?

e. Jelaskan mengapa historiografi tradisional Indonesia dinilai tidak patut dijadikan

sebagai sumber data atau bahan referensi sejarah?

f. Coba sebutkan beberapa buku sejarah Indonesia yang ditulis oleh sejarawan

Indonesia, yang bertemakan perang kemerdekaan atau revolusi Indonesia?

Page 24: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

24

Daftar Sumber

Abdulah, Taufik, Aswab Mahasin, dan Daniel Dhakidae (red), Manusia Dalam Kemelut Sejarah. Jakarta: LP3ES, 1978.

Barraclough, Geoffrey, Main Trends in History. New York-London: Holmes & Meier, 1991.

Bentley, Michael, Modern Historiography An Introduction. London-New York: Routledge, 2006.

Breisach, Ernst, Historiography: Ancient, Medievel, & Modern.Chicago-London: The University of Chicago Press, 1983.

Frederick, William H., Soeri Soeroto (peny.), Pemahaman Sejarah Indonesia: Sebelum dan Sesudah Revolusi. Jakarta: LP3ES, 1982.

Fukuyama, Francis, The End of History and The Last Man: Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal. (Terjemahan oleh H.M. Amarullah) Yogyakarta: Qalam, 2004.

Gottschalk, Louis, Mengerti Sejarah. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2006. Kahin, Goerge Mc T., Nationalism and Revolution in Indonesia. Ithaca-London: Cornell

University Press, 1970. Kartodirdjo, Sartono, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia: Suatu

Alternatif. Jakarta: Gramedia, 1982. ---------------, Pemberontakan Petani Banten 1888: Kondisi, Jalan Peristiwa, dan

Kelanjutannya. (terjemahan oleh: Hasan Basari) Jakarta: Pustaka Jaya, 1984. ---------------, Protest Meovement in Rural Java. Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang, 1995. Leirissa, R.Z.,Halmahera Timur dan Raja Jailolo. Jakarta: Balai Pustaka, 1996.

---------------, Kekuatan Ketiga Dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia. Jakarta: Pustaka Sejarah, 2006.

Lloyd, Christopher, The Structures of History. Oxford-Cambridge: Blacwell, 1993. Notosusanto, Nugroho, Tentara Peta pada jaman pendudukan Jepang di Indonesia.

Jakarta: PT Gramedia, 1979. Ricklefs, M.C., Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi, 2005.

Page 25: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

25

BAB II

PEMBENTUKAN BANGSA INDONESIA

2 .1. Pendahuluan

2.1.1. Deskripsi Singkat

Pertemuan ini akan memberikan bekal kepada mahasiswa untuk dapat memahami

proses pembentukan bangsa Indonesia. Uraian dimulai sejak pra-Indonesia, sejak

adanya kerajaan-kerajaan kuna pada abad ke-5 Masehi hingga tahun 1945 ketika

bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan. Di sini juga dikemukakan nama

”Indonesia” yang diciptakan oleh J.R. Logan pada pertengahan abad ke-19 dan nama

atau “Indonesia” sebagai konsep ketatanegaraan yang dibuat Perhimpunan Indonesia.

2.1.2. Manfaat

Manfaat utama bagi mahasiswa setelah mempelajari bab ini adalah agar mereka

memahami bagaimana proses terbentuknya bangsa dan negara Indonesia yang

memakan waktu panjang.

2.1.3. Tujuan Instruksional Khusus

Pada akhir pertemuan ini mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan:

1. Tumbuh dan berkembangnya kerajaan-kerajaan di Indonesia

2. Memahami penciptaan nama “Indonesia” dan konsep ”Indonesia” sebagai

konsep ketatanegaraan.

3. Lahir dan perkembangan nasionalisme Indonesia

4. Terbentuknya bangsa dan negara Indonesia

Page 26: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

26

2.2. Pra-Indonesia

Tanggal 17 Agustus 1945 bangsa dan negara Indonesia resmi terbentuk

sebagaimana disebut dalam UUD 1945. Pembentukan bangsa dan negara Indonesia

melalui suatu proses yang panjang, mulai 1908, sejak bangkitnya nasionalisme Indonesia

yang ditandai dengan lahirnya Budi Utomo (BU), organisasi pertama bangsa Indonesia.

Sebelum 1908 merupakan masa pra-Indonesia yang sejarahnya dimulai sejak adanya

kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha pada Abad ke-5 Masehi. Adanya perang-perang antara

raja-raja dan pemimpin rakyat melawan penguasa asing yang berlangsung sejak abad ke-

17 hingga abad ke-19 menunjukkan adanya proto nasionalisme di kalangan mereka.

Walaupun perang-perang itu hanya meliputi suatu wilayah tertentu, namun karena perang

itu karena adanya keinginan untuk mengusir penguasa asing dari wilayah mereka, dapat

dikatakan bahwa mereka telah mempunyai rasa nasionalisme dalam bentuk awal (proto

nasionalisme).

Sejarah kerajaan-kerajaan Hindu, Buddha, kemudian Islam yang ada di wilayah

Indonesia, berada pada masa pra-Indonesia. Dua kerajaan yaitu Sriwijaya di Sumatra

Selatan dan Majapahit di Jawa Timur, oleh Sukarno dan Muhammad Yamin masing-

masing kerajaan tersebut merupakan negara kebangsaan (nationale staat) pertama dan

kedua. Muhammad Yamin juga menyebut Negara Republik Indonesia yang

diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945 sebagai Negara Kebangsaan ketiga.

2.2.1. Pra-Indonesia: Kerajaan-kerajaan Hindu-Budha

Masa pra-Indonesia dimulai sejak adanya kerajaan-kerajaan tertua, yaitu Kutai di

Kalimantan Timur dan Tarumanagara di Bogor, Jawa Barat, keduanya berdiri pada abad

ke-5 Masehi. Kerajaan Hindu Kutai diperintah berturut-turut oleh Kundungga,

Aswawarman, dan Mulawarman, sedangkan kerajaan Tarumanagara diperintah oleh

Purnawarman. Pada abad ke-7 Masehi, kedua kerajaan tersebut tidak terdengar lagi

beritanya.

Selanjutnya, pada abad ke-7 Masehi di pantai timur Sumatra bagian selatan

berdiri dua kerajaan Buddha yaitu Sriwijaya dan Malayu. Kerajaan Sriwijaya kemudian

dapat mengalahkan kerajaan Malayu dan penguasa-penguasa daerah lainnya, sehingga

daerah kekuasaannya meliputi seluruh pulau Sumatra dan pulau-pulau di sebelah

Page 27: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

27

timurnya, Semenanjung Malayu, dan sebagian Jawa Barat. Kerajaan Sriwijaya

menguasai jalar lalu lintas perdagangan antara India dan Cina dan menjamin

keamanannya dari ancaman bajak laut. Sriwijaya merupakan pusat pengajaran agama

Buddha yang bertaraf internasional. Seorang pendeta agama Buddha yang mau belajar ke

India dapat belajar lebih dahulu di Sriwijaya, kemudian baru belajar ke India. Mengenai

pusat pemerintahan Sriwijaya, sampai sekarang masih diperdebatkan, namun pendapat

yang kuat berada di Palembang.

Pada waktu yang relatif bersamaan, di Jawa Tengah berdiri kerajaan Holing atau

Kalingga. Salah seorang rajanya yang terkenal adalah Ratu Hsi-mo atau Sima, ratu yang

memerintah secara adil. Putra mahkota sendiri yang tidak sengaja telah menginjak

pundi-pundi berisi emas yang ditaruh di jalan, dihukum dengan memotong jari-jari

kakinya untuk pelajaran terhadap rakyatnya.

Setelah Kalingga, pada awal abad ke-8 di Jawa Tengah berdiri kerajaan Mataram

yang beribukota di Medang. Raja pertama, Sanjaya, menaklukkan raja-raja di sekitarnya.

Penggantinya, Rakai Panangkaran, menamakan dirinya sebagai ”permata wangsa

Sailendra”. Ia mendirikan candi Kalasan dan Sewu. Penggantinya lagi, Samarattungga,

mendirikan candi Borobudur, Pawon, dan Mendut.

Waktu pemerintahan Mpu Sindok, pusat pemerintahan Mataram dipindahkan ke

Jawa Timur. Ada beberapa kemungkinan alasan kepindahannya, antara lain karena

bencana alam, mungkin juga karena kerajaan tidak dapat hidup hanya dari hasil

pertanian, melainkan perlu juga dari hasil perdagangan, dan Jawa Timur memenuhi

tuntutan itu. Mpu Sindok menamakan dirinya Sri Isanawikrama mendirikan wangsa Isana

yang menurunkan raja-raja di Jawa Timur sampai tahun 1222.

Setelah pemerintahan Mpu Sindok, ada masa yang gelap, kemudian ada seorang

raja bernama Dharmawangsa. Pada tahun 1017 ketika ia merayakan pernikahan putrinya

dengan Airlangga, istana diserang, dibakar, dan ia terbunuh. Airlangga sebagai

menantunya berhak naik tahta menggantikan mertuanya. Tahun 1019 Airlangga naik

tahta, kemudian mengalahkan kerajaan-kerajaan di sekitarnya satu per satu. Wilayah

kerajaannya meliputi Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, dan beberapa pulau di Nusa

Tenggara. Pada masa pemerintahannya ditulis kekawin Arjunawiwaha oleh Mpu Kanwa.

Untuk menghindari perang saudara, sebelum ia meninggal kerajaan dibagi dua.

Page 28: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

28

Pembagian kerajaan dilakukan oleh Mpu Barada. Setelah Airlangga meninggal, kerajaan

pecah dua, sebelah timur dinamakan kerajaan Jenggala dan sebelah barat kerajaan

Panjalu yang kemudian terkenal dengan nama Daha atau Kediri.

Kerajaan Jenggala akhirnya lenyap, sedangkan kerajaan Kediri tumbuh dan

berkembang. Di antara raja-raja Kediri yang terkenal karena ramalan-ramalannya adalah

Jayabaya. Pada masa pemerintahannya ditulis kitab Bhratayuddha oleh Mpu Sedah dan

Mpu Panuluh. Raja Kediri terakhir, Kertajaya, tahun 1222 dikalahkan oleh Ken Arok,

penguasa bawahannya di Tumapel setelah membunuh Tunggul Ametung. Kediri

dikuasai, dan lahirlah kerajaan baru, Singhasari. Ken Arok naik tahta dan menamakan

dirinya Rajasa, mendirikan wangsa Rajasa yang memerintah di kerajaan Singhasari dan

Majapahit.

Setelah Ken Arok, penggantinya berturut-turut adalah Anusapati, Tohjaya,

Ranggawuni, dan raja terakhir adalah Kertanegara. Ia dikalahkan oleh Jayakatwang, raja

bawahannya, Kediri. Jayakatwang kemudian dikalahkan oleh pasukan Kubilai Khan yang

sesungguhnya datang untuk menyerang Kertanegara yang telah menyakiti utusannya.

Pasukan Kubilai Khan kemudian dapat dikalahkan oleh R. Wijaya, keturunan Singhasari.

Tahun 1293 berdiri kerajaan Majapahit, R. Wijaya menobatkan diri menjadi raja

pertama dengan gelar Kertarajasa Jayawardhana. Ia kemudian digantikan oleh putranya,

Jayanegara. Setelah Jayanegara meninggal, penggantinya adalah adiknya perempuan

yang bergelar Tribhuwanattunggadewi Jayawisnuwardhani. Puncak kebesaran atau

zaman keemasan Majapahit ada di bawah pemerintahan raja Hayam Wuruk yang

didampingi oleh patihnya, Gajah Mada. Ia mengucapkan ”sumpah palapa” di hadapan

raja dan para pembesar Majapahit dalam rangka melaksanakan politik nusantaranya.

Dalam rangka melaksanakan politik tersebut ia menundukkan daerah-daerah yang belum

bernaung di bawah Majapahit. Daerah kekuasaan Majapahit, luas, meliputi hampir seluas

wilayah Indonesia sekarang, meliputi Sumatera di bagian barat sampai daerah Maluku

dan Irian di bagian timur, bahkan pengaruhnya sampai ke beberapa negara tetangga di

Asia Tenggara. Politik untuk menguasai seluruh nusantara berakhir tahun 1357

Page 29: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

29

sehubungan dengan terjadinya peristiwa di Bubat.1 Pada masa itu ditulis kitab

Negarakertagama oleh Mpu Prapanca.

Setelah Hayam Wuruk meninggal, terjadi perang-perang saudara, tidak ada raja

yang kuat. Kerajaan Majapahit runtuh sekitar tahun 1527 dikalahkan oleh Demak.2

Bagaimana penaklukan Majapahit oleh Demak, dan bagaimana nasib para penguasa

Majapahit sesudah penaklukan, tidak diketahui secara pasti.3

Di Bali, pada abad ke-9 terdapat kerajaan Singhamandawa, diperkirakan terletak

di sekitar Tampaksiring. Nama raja yang memerintah antara lain Ratu Sri Ugrasena,

sesudah itu raja yang memerintah memakai gelar Warmadewa. Salah seorang rajanya

bernama Dharma Udayana Warmadewa yang memerintah pada akhir abad ke-10. Salah

seorang putra Udayana adalah Airlangga yang menjadi raja di Jawa Timur. Kerajaan

tersebut kemudian dikalahkan oleh Majapahit, selanjutnya kerajaan dikuasai oleh

keluarga raja Jawa. Selain itu di Bali berdiri kerajaan-kerajaan lain seperti Gianyar,

Mengwi, Tabanan, Karangasem, dan Buleleng.

Di Jawa Barat, setelah Tarumanagara runtuh menjelang akhir abad ke-7, terdapat

satu kerajaan Hindu-Buddha bernama Kerajaan Sunda. Menurut sumber asing, pusat

pemerintahannya berpindah-pindah. Menurut sumber lokal/asli, di Jawa Barat ada

beberapa kerajaan, namanya sesuai dengan pusat pemerintahannya. Kerajaan-kerajaan itu

adalah kerajaan Galuh, Prahajyan Sunda, Kawali, dan yang sangat terkenal adalah

kerajaan Pakwan Pajajaran. Selain itu di Jawa Barat ada kerajaan-kerajaan kecil, yaitu

kerajaan Kuningan dan Saunggalah. Kerajaan Sunda pada masa pemerintahan raja

terakhir, Nusiya Mulya, tahun 1579 dikalahkan oleh kerajaan Islam.4

1 Peristiwa atau perang di Bubat terjadi ketika Raja Kerajaan Sunda bersama putrinya, Dyah Pitaloka, beserta para pembesar kerajaan dan pengiringnya sampai di Majapahit. Rombongan raja Sunda itu datang untuk mengawinkan putrinya dengan Hayam Wuruk sebagai permaisuri. Perselisihan terjadi ketika Gajah Mada tidak menghendaki jika perkawinan itu dilangsungkan begitu saja. Ia menghendaki agar putri itu dipersembahkan oleh raja Sunda kepada raja Majapahit sebagai tanda tunduk terhadap kerajaan Majapahit. Para pembesar tidak setuju dengan sikap Gajah Mada, terjadilah perang di Bubat. Semua orang Sunda termasuk Dyah Pitaloka gugur.. Hayam Wuruk kemudian menikah dengan Paduka Sori, anak Bhre Wengker Wijayarajasa. 2 Ricklefs, H.C., Sejarah Indonesia Modern, (Terj. Drs. Dharmono Hardjowidjono), Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991. hlm. 26. 3 Sumber utama tentang kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha adalah karya Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (Editor Umum) berjudul Sejarah Nasional Indonesia, Jilid II, Edisi Pemutakhiran, Jakarta: Bali Pustaka, 2008. 4 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (Editor Umum), Sejarah Nasional Indonesia, Edisi Pemutakhiran, Jilid II, hlm. 400.

Page 30: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

30

Di Kalimantan ada kerajaan-kerajaan Hindu yaitu kerajaan Negara Dipa, Daha,

dan Kahuripan yang berpusat di daerah hulu Sungai Nagara di Amuntai sekarang.

Kerajaan Negara Dipa pernah mengadakan hubungan dengan kerajaan Majapahit, karena

itu pengaruh Majapahit sampai di sana.

Di Kalimantan Timur, terutama Kutai, ada kerajaan Kutai yang beragama

Hindu. Kerajaan tersebut selalu mengadakan hubungan dengan kerajaan Majapahit. Salah

seorang rajanya, Raja Mahkota, kemudian masuk Islam setelah kalah bertanding

kesaktian dengan mubaligh yang menyebarkan Islam ke sana.

2.2.2. Pra-Indonesia: Kerajaan-kerajaan Islam

Setelah agama Islam masuk ke Indonesia, muncul kerajaan-kerajaan baru yang

menganut agama Islam. Kerajaan-kerajaan itu ada di Sumatra, Jawa, Nusa Tenggara,

Kalimantan, Sulawesi Selatan, dan Maluku. Di Sumatra, banyak kerajaan, terutama ada

di sepanjang pesisir Selat Malaka dan pesisir barat.5 Di Jawa, terdapat kerajaan Demak,

Pajang, Mataram, Banten, dan Cirebon. Di Nusa Tenggara terdapat kerajaan Lombok,

Sumbawa, Bima, Tambora, Kalongkong, dan Dompu. Di Kalimantan terdapat kerajaan

Banjar, Kutai, dan Pontianak. Di Sulawesi terdapat kerajaan Gowa-Tallo, Bone, Wajo,

Soppeng, dan Luwu. Di Maluku terdapat kerajaan Ternate dan Tidore.

Kerajaan Samudra Pasai di Sumatra bagian utara tumbuh pada pertengahan abad

ke-13, raja pertama bergelar Sultan Malik As-Shaleh. Kerajaan ini sudah menggunakan

mata uang yang terbuat dari emas yang disebut dramas. Kerajaan mengadakan hubungan

pernikahan dengan kerajaan Malaka di Malaysia.

Kerajaan Aceh Darussalam tumbuh dan berkembang pada abad ke-16. Raja

pertama adalah Sultan Ali Mughayat Syah (1514-1530). Di bawah pemerintahannya

Aceh menaklukkan Samudra Pasai dan Pedir. Kemudian salah seorang raja penggantinya

mengalahkan beberapa kerajaan seperti Batak, Aru, dan Barus. Kerajaan juga pernah

mengadakan hubungan dengan kerajaan-kerajaan di Timar Tengah. Kerajaan ini

mengalami puncak kekuasaan atau zaman keemasan di bawah Sultan Iskandar Muda

5 Kerajaan-kerajaan di Sumatera banyak sekali, yaitu kerajaan Samudra Pasai, Aceh Darussalam, Aru, Pedir, Jambi, Bican, Lambri atau Lamaru atau Tamni, Pirada, Pase, Arcat, Rupat, Siak, Kampar, Tongkal, Indragiri, Jambi, Palembang, Andalas, Pariaman, Minangkabau, Tiku, Panchur, Daya, Batak, dan Barus.

Page 31: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

31

(1607-1636). Di bawah pemerintahannya Aceh menjadi negara yang paling kuat di

Nusantara bagian barat. Ia menaklukkan kerajaan-kerajaan di pesisir timur dan barat

Sumatra, Johor di Malaysia, mengalahkan armada Portugis di Bintan, merebut Pahang,

dan Nias. Setelah pemerintahannya, Aceh memasuki masa perpecahan yang panjang.

Pada tahun 1873-1904 kerajaan ini berperang melawan Belanda. Para pimpinan perang di

antaranya Panglima Polem, Teuku Cik Di Tiro, Teuku Umar dan Cut Nyak Din. Perang

diakhiri dengan kalahnya Aceh pada tahun 1904.

Di pantai timur Sumatra ada kerajaan-kerajaan Islam Siak atau Siak Sri

Indrapura, Kampar, dan Indragiri yang berdiri pada abad ke-15. Di Jambi kerajaan Islam

berdiri pada sekitar tahun 1500 di bawah pemerintahan Sultan Orang Kayo Hitam.

Sumatra bagian selatan, Palembang, pada abad ke-16 berada di bawah kekuasaan

Kerajaan Demak. Raja pertama kesultanan Palembang bergelar Abdurrakhman Khalifat

al-Mukminan Sayidil Iman atau Pangeran Kusumo Abdurrakhman. Antara tahun 1659-

1706 Kesultanan Palembang diperintah oleh sebelas orang sultan. Pada waktu

pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin II tahun 1819 kerajaan diserang Belanda.

Dalam serangan Belanda kedua, Sultan Mahmud Badaruddin ditangkap lalu dibuang ke

Ternate. Sejak 1823 Kesultanan Palembang dihapuskan, daerahnya langsung dikuasai

oleh pemerintah Hindia Belanda.

Di Sumatra Barat, agama Islam baru masuk pada akhir abad ke-14 atau awal

abad ke-15. Sedangkan agama Islam masuk ke Minangkabau sekitar akhir abad ke-15. Di

Minangkabau, raja berkedudukan di Pagaruyung, raja sebagai lambang negara,

sedangkan kekuasaan ada di tangan para penghulu yang tergabung dalam Dewan

Penghulu atau Dewan Nagari. Di Minangkabau antara tahun 1821-1838 terjadi perang

Paderi, perang antara kaum Paderi melawan kaum Adat yang dibantu oleh Belanda.

Perang berlangsung dua babak, pertama antara tahun 1821-1825 dan kedua antara tahun

1830-1938. Kaum Padri akhirnya kalah, akibatnya Belanda berhasil mengukuhkan

kekuasaan politik dan ekonominya di Minangkabau atau Sumatra Barat. Pemimpin Kaum

Padri antara lain Tuanku Imam Bonjol tertangkap, kemudian diasingkan ke Cianjur, dari

sana dipindahkan ke Ambon, lalu dipindah lagi ke Manado dan meninggal di sana tahun

1864.

Page 32: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

32

Di Jawa berdiri kerajaan-kerajaan baru yang menganut agama Islam yaitu

Demak, Pajang, kemudian Mataram di Jawa Tengah, Banten dan Cirebon di Jawa Barat,

dan Surabaya di Jawa Timur. Demak didirikan pada perempat terakhir abad ke-15 oleh

seorang asing yang beragama Islam. ”Sultan” Demak pertama, Raden Patah, adalah putra

Prabu Brawijaya Kertabhumi, raja Majapahit terakhir. Setelah Raden Patah, raja

berikutnya adalah Pati Unus (1518-1521), dan berikutnya lagi Sultan Trenggono. Di

bawah pemerintahan Sultan Trenggono Demak mengalami zaman keemasan. Wilayah

Demak meliputi daerah Jawa Timur dan Jawa Barat. Sultan Trenggono mengalahkan

penguasa-penguasa Tuban, Lamongan, Surabaya, Pasuruan, Panarukan, Madiun, dan

Blitar. Demak di bawah Sultan Trenggono merupakan zaman keemasannya. ”Sultan”

Trenggono terbunuh ketika melakukan ekspedisi melawan Panarukan tahun 1546.

Raja-raja Demak terkenal sebagai pelindung agama. Antara raja-raja dan ulama

erat berhubungan, terutama dengan Wali Sanga. Pendirian Mesjid Agung Demak oleh

para wali dengan arsiteknya Sunan Kali Jaga merupakan pusat dakwah para wali.

Termasuk Wali Sanga adalah: Sunan Ampel, Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, Sunan

Muria, Sunan Bonang, Sunan Kali Jaga, Sunan Drajat, Sunan Giri, dan Syeh Lemah

Abang atau Syeh Siti Jenar.

Setelah Sultan Trenggono meninggal tahun 1546, terjadi perebutan kekuasaan di

kalangan keluarga. Berturut-turut raja-raja yang memerintah sesudahnya adalah Sultan

Prawoto, Arya Penangsang, dan kemudian Jaka Tingkir yang menobatkan dirinya sebagai

Sultan Pajang dengan gelar Sultan Hadiwijaya.6 Kerajaan Pajang yang ada di pedalaman

Jawa Tengah, merupakan pengganti Demak. Kemudian pengganti Kerajaan Pajang

adalah kerajaan Mataram yang pusatnya di kota Surakarta dan Yogyakarta.

Daerah Mataram yang termasuk wilayah kerajaan Pajang, dihadiahkan Sultan

Pajang kepada Kyai Gede (Ageng) Pemanahan yang merupakan keturunan raja Majapahit

terakhir. Wilayah itu pertama kali diperintah olehnya pada tahun 1578. Setelah ia

meninggal, tahun 1484 pemerintahan dipegang oleh anaknya, Senopati ing Alogo Sayidin

Panotogomo (1584-1601). Ia menantu Sultan Pajang Hadiwijoyo yang meninggal tahun

1587. (Setelah Hadiwijoyo, pemerintahan Pajang di tangan Pangeran Banowo). Di bawah

pemerintahannya, kerajaan Mataram dikembangkan ke daerah pesisir utara Jawa Tengah,

6 Rikleft, hlm. 56.

Page 33: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

33

Jawa Timur, dan Jawa Barat. Setelah merasa kuat, Senopati melepaskan diri sebagai

vasal kerajaan Pajang dan kemudian mengalahkan Pajang sekitar tahun 1587-1588.

Benda-benda kerajaan yang keramat seperti pusaka yang merupakan simbul dan hiasan

supra natural, dibawa ke Mataram. Selanjutnya, Senopati meluaskan kekuasaannya,

menaklukkan Demak, Kedu, Bagelen, Madiun, Kediri, Ponorogo, Tuban, dan Pasuruhan.

Setelah Senopati meninggal, kedudukannya digantikan oleh Raden Mas Jolang (1601-

1613). Mas Jolang tahun 1613 meninggal di Krapyak, tahun 1613, kemudian namanya

sebagai Panembahan Seda ing Krapyak. Ia kemudian digantikan lagi oleh Sultan Agung,

raja terbesar Mataram (1613-1646). Sultan Agung kembali menyerang Surabaya tahun

1625, Pati, Giri, dan Blambangan. Sultan Agung mau menusir VOC dari Batavia. Tahun

1628 ia mengirim pasukannya ke Batavia tetapi tapi gagal. Pengiriman pasukan diulangi

lagi tahun 1629, juga gagal. Mataram di bawah Sultan Agung selain bersifat agraris juga

mengembangkan perdagangan ekspor dan impor melalui pelabuhan di pesisir utara Jawa

seperti Jepara, Kendal, dan Tegal. Mataram di bawah pemerintahannya mengalami

puncak kejayaannya. Tahun 1645 ia sakit dan meninggal. Setelah Sultan Agung

meninggal, digantikan oleh anaknya yang bergelar Susuhunan Amangkurat I (1647-

1677). Ia memindahkan kraton dari Kota Gede ke Plered. Ia lebih dekat dengan VOC dan

mengadakan perjanjian dengan VOC, Mataram mengakui kekuasaan VOC. Waktu mau

minta bantuan pada VOC karena pemberontakan Trunajaya, tahun 1677 ia jatuh sakit di

Wanayasa. Jenazahnya dimakamkan di Tegal Arum, Tegal. Ia digantikan oleh

Amangkurat II. Tahun 1755 melalui Perjanjian Gianti, Mataram dibagi dua yaitu

Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kasunanan Surabarta.

Di Jawa Barat berdiri kerajaan Banten. Mula-mula Banten sebelum 1525/1526

merupakan kadipaten dari Kerajaan Pajajaran yang beragama Hindu, berpusat di Banten

Girang yang diperintah oleh Pucuk Umun. Banten kemudian dikalahkan oleh Sunan

Gunungjati, suami saudara perempuan Sultan Trenggono, pusat kerajaan dipindahkan ke

Surasowan di teluk Banten. Banten kemudian diperintah oleh Gunungjati sebagai vasal

Demak. Tahun 1552 Sunan Gunungjati pindah ke Cirebon, pemerintahan diserahkan

kepada anaknya Sultan Hasanuddin (1552-1570). Sultan meluaskan wilayah

kekuasaannya ke Lampung. Kemudian Hasanuddin digantikan oleh Molama Yusuf

(1570-1580) yang berhasil menaklukkan kerajaan Pajajaran tahun 1579. Kalahnya

Page 34: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

34

Pajajaran berarti lenyaplan kerajaan besar yang menganut agama Hindu-Buddha di Jawa.

Setelah Pajajaran dikalahkan, kalangan elite Sunda memeluk agama Islam. Kesultanan

Banten mencapai puncaknya di bawah pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa. Raja ini

melakukan perlawanan dengan putranya, sultan Haji yang dibantu VOC. Sultan Ageng

Tirtayasa kalah.

Cirebon semula menjadi pelabuhan kerajaan Sunda Pajajaran. Diperkirakan

tahun 1470 agama Islam masuk Cirebon dibawa oleh Syarif Hidayatullah salah seorang

wali sanga yang kemudian terkenal dengan nama Sunan Gunung Jati. Tahun 1513

Cirebon di bawah kekuasaan Lebe Usa dikuasai Raden Patah dari Demak. Tahun 1479

Syarif Hidayatullah menggantikan mertuanya sebagai penguasa Cirebon. Ia mendirikan

keraton yang diberi nama Pakungwati, sebelah timar Keraton Kasepuhan. Syarif

Hidayatullah terkenal juga dengan gelar Sunan Gunung Jati, salah seorang Wali Sanga. Ia

menghentikan memberi upeti ke pusat kerajaan Pajajaran di Pakuan. Pada masa

pemerintahan Sunan Gunung Jati, Islam disebarkan, antara lain ke Kuningan, Talaga, dan

Galuh sekitar tahun 1528-1530 dan ke daerah Banten bersama putranya Maulana

Hasanuddin tahun 1525-1526.7 Sunan Gunung Jati meninggal tahun 1568

Surabaya merupakan pelabuhan perdagangan yang besar pada awal abad ke-16,

tetapi baru pada awal abad ke- 17 Surabaya muncul sebagai kekuatan pantai yang

terkemuka. Surabaya dikuasai Sultan Agung tahun 1625.

Di Kalimantan ada beberapa kerajaan Islam baik yang besar maupun kecil.

Kerajaan-kerajaan Islam di Kalimantan adalah kerajaan Banjar atau Banjarmasin di

Kalimantan Selatan, Kutai di Kalimantan Timur, dan Pontianak di Kalimantan Barat.

Agama Islam masuk ke kerajaan Banjar karena dibawa Demak tahun 1550. Kerajaan

Banjar dibawah Sultan Surnyanullah meluaskan kekuasaannya ke Sambas, Batanglawai,

Sukadana, Kotawaringin, Sampit, Madawi, dan Sambangan. Kerajaan Banjar

mengirimkan upeti pada keraaan Demak, kemudian Pajang. Ketika diperintah raja Sultan

Mustain Billah, awal abad ke-17 ibu kota kerajaan dipindahkan ke Amuntai. Kerajaan

dapat menguasai Kalimantan Timur Tenggara, Tengah, dan Barat. Dia juga kemudian

memindahkan lagi ibu kotanya ke Kayu Tangi. Sejak pengaruh Belanda masuk ke

7 Sumber utama tentang kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia diambil dari karangan Marwati Djoened Poesponegooro dan Nugroho Notosusanto (Editor Umum) berjudul Sejarah Nasional Indoensia, Jilid III, Edisi Pemutakhiran, Jakarta: Balai Pustaka, 2008.

Page 35: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

35

Kalimantan Selatan, perselisihan-perselisihan terjadi baik dengan Belanda maupun

lingkungan kerajaan. Setelah Sultan Adam meninggal 1857, terjadi perlawanan terhadap

Belanda antara 1859-1863. Perlawanan dari pihak kerajaan Banjar di antaranya dipimpin

oleh Pangeran Antasari.

Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur, pada masa pemerintahan Raja Mahkota

datang dua mubalig Islam, Dato`ri Bandang dan Tunggang Parangan setelah meng-

Islamkan makassar. Setelah beadu kesaktian antara mubalig dengan dengan Raja

Mahkota, raja kalah dan masuk Islam, waktunya diperkirakan tahun 1575. Selanjutnya

kerajaan Kutai menyebarkan agama Islam ke daerah sekitarnya.

Di Kalimantan Barat antara lain ada kerajaan Tanjungpura dan Lawe (daerah

Sukadana). Diperkirakan Islam masuk ke sana pada sekitar abad ke-14-15. Kedua

kerajaan itu diperintah oleh Pate atau mungkin Adipati, tunduk pada Pate Unus dari

Demak. Pada abad ke-17 kedua kerajaan itu ada di bawah epngaruh kerajaan Mataram.

Peng-Islaman di Pontianak dilakukan oleh Habib Husein Al-Gadri pendakwah dari

Hadramaut. Setelah meninggal, digantikan oleh outranya, Pangeran Sayid Abdurrahman

Nurul Alam yang mendirikan keraton dan mesjid di Pontianak. Ia memerintah tahun

1773-1808. selanjutnya sultan-sultannya diperintah oleh sultan-sultan keluarga Habib al-

Gadri.

Di Sulawesi Selatan terdapat lima kerajaan Islam, yaitu Gowa-Tallo, Bone,

Wajo, Soppeng, dan Luwu. Islamisasi di Sulawesi Selatan oleh tiga mubalig yang disebut

Dalto Tallu ketiganya bersaudara dan berasal dari Koto Tengah, Minangkabau. Para

mubalig itu yang mengislaamkan raja Luwu tahun 1605, raja Tallo tahun 1605, raja tahun

1607. Kerajaan Gowa-Tallo mengalahkan kerajaan Wajo tahun 1610 dan Bone tahun

1611. Karena adanya ancaman dari VOC, kerajaan Gowa-Tallo mengadakan hubungan

baik dengan Portugis. Sejak tahun 1616 antara kerajaan Gowa dan VOC terjadi

permusuhan. Perang besar-besaran terjadi tahun 1654-1655. Tahun 1656 ada perjanjian

perdamaian, tetapi kemudian terjadi peperangan antara kerajaan Gowa di bawah Sultan

Hasanuddin melawan VOC yang dibantu tentara Bugis di bawah Arung Palaka. Perang

berakhir melalui Perjanjian Bongaya tahun 1667, kerajaan Gowa diseahkan kepada VOC.

Tahun 1670 kerajaan Wajo diserang VOC bersama tentara Bone. Kerajaan wajo

menyerah, kerajaan diserahkan kepada VOC.

Page 36: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

36

Di Nusa Tenggara, masuknya agama Islam ke Lombok diperkirakan pada abad

ke-16 yang diperkenalkan oleh Sunan Perapen, putra Sunan Giri. Akan tetapi, Islam

masuk ke Sumbawa mungkin melalui Sulawesi, melalui para mubaligh dari Makassar

antara tahun 1540-1550. Pusat kerajaan Lombok di Selaparang di bawah pemerintahan

prabu Rangkesari mengalami zaman keemasan. Kerajaan Lombok dan kerajaan-kerajaan

di Sumbawa dikuasai kerajaan Gowa. Setelah terjadi perjanjian Bongaya, kerajaan-

kerajaan di Nusa Tenggara ditekan VOC. Kerajaan Lombok dan Sumbawa akhirnya

dikuasai VOC.

Di Nusa Tenggara ada juga kerajaan Bima dengan raja pertama Ruma Ta Ma Bata

Wada yang bergelar Sultan Bima I atau Sultan Abdul Kahir. Kerajaan Bima akhirnya

dikuasai oleh VOC.

Di Maluku, kerajaan Islam yang menonjol adalah kerajaan Ternate dan Tidore.

Islam memasuki Maluku antara tahun 1460-1465. Ternate di bawah Sultan Hairun

berhasil mempersatukan daerah-daerah di Maluku Utara di bawah Ternate.Akan tetapi

persatuan itu pecah lagi setelah kedatangan orang Portugis dan Spanyol ke Tidore.

Portugia memusatkan perhatiannya ke Ternate, Spanyol ke Tidore. Tahun 1565 Sultan

Khairun menyerang Portugis, tahun 1570 sultan ini dibunuh Portugis. Putranya, Sultan

Baabullah, meneruskan perlawanan dan dapat mengusir Portugis dari Ternate. Akan

tetapi setalah Baabullah meninggal, Ternate diserang orang Spanyol. Rajanya ditangkap

dan diasingkan ke Manila.

Dari uraian di atas tampak bahwa di Indonesia sebelum berdiri Negara Kesatuan

RI tahun 1945, terdapat banyak sekali penguasa-penguasa daerah atau wilayah yang

dinamakan kerajaan atau kesultanan atau lainnya. Setiap penguasa bebas untuk

melakukan ekspansi ke wilayah penguasa lain dalam rangka untuk memperluas wilayah

dan memperbesar kekuasaan mereka, asal mereka kuat. Siapa yang kuat, dia yang

mempunyai kekuasaan luas dan besar. Suatu kerajaan atau kesultanan setelah berdiri

kemudian tumbuh, berkembang dalam waktu lama, namun bisa juga menjadi kecil

kembali bahkan mati karena dikalahkan oleh penguasa lain. Besar kecilnya kerajaan

tergantung pada raja yang memerintah. Keadaan seperti itu terjadi terus silih berganti.

Waktu itu, di wilayah Indonesia tidak ada satu kekuatan yang tetap yang menjadi super

power. Setiap kerajaan atau kesultanan melakukan ekspansi untuk bisa menjadi maharaja

Page 37: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

37

atau super power. Ada dua kerajaan yang besar yang oleh Sukarno dan Muhammad

yamin sebagai Nationale Staat yaitu Sriwijaya dan Majapahit.

Selain banyaknya kerajaan atau kesultanan, dalam hal pergantian raja atau sultan

sering terjadi kericuhan di antara keluarga atau bahkan terjadi pembunuhan terhadap raja

yang berkuasa, meskipun telah ada semacam aturan. Pelanggaran terhadap aturan dan

adanya ambisi untuk menggantikan raja sebelumnya sering memicu adanya perang-

perang.

Setelah datang bangsa Barat khususnya Belanda dengan VOC-nya, muncul

kekuatan baru di Indonesia di samping kerajaan-kerajaan. Kekuatan baru ini pun

berusaha untuk mengembangkan usahanya. Dalam rangka itu, sering terjadi bentrokan-

bentrokan dan peperangan-peperangan dengan kerajaan-kerajaan tersebut. Politik devide

et impera dilakukan Belanda untuk memperluas wilayah dan memperbesar

kekuasaannya. Perang-perang terhadap Belanda selalu diakhiri dengan perjanjian yang

selalu merugikan pihak kerajaan. Dalam suatu perjanjian paling sedikit Belanda

mendapat hak monopoli dalam perdagangan, lebih dari itu Belanda memperoleh sebagian

bahkan bisa seluruh wilayah suatu kerajaan, dan Belanda diakui sebagai penguasa di

atasnya.

Usaha dari phak kerajaan maupun rakyat untuk mengusir Belanda dari wilayah

suatu kerajaan karena dirasa sangat menekan dan merugikan, sering terjadi yang

dilakukan oleh seorang raja dan atau keluarga raja. Perang-perang itu dilakukan sejak

abad ke-17 hingga awal abad ke-20. Perlawanan-perlawanan itu antara lain perlawanan

oleh Sultan Hasanuddin dari Sulawesi Selatan, Sultan Agung dari Mataram, Sultan

Ageng Tirtayasa dari Banten, Diponegoro dari Jawa Tengah, Pangeran Antasari dari

Banjar, Imam Bonjol dari Sumatra Barat, dan Teuku Umar dari Aceh. Perang-perang itu

yang masih bersifat kedaerahan dapat disebut sebagai rasa proto nasionlisme di kalangan

mereka. Mereka bersatu untuk bersama-sama melawan Belanda, bahkan sering terjadi di

antara kerajaan-kerajan digunakan oleh Belanda untuk bersamanya melawan suatu

kerajaan. Karena kalahnya persenjataan pihak kerajaan, dan karena taktik dan politik

devide et impera Belanda, maka kerajaan-kerajaan yang mengadakan perlawanan

mengalami kekalahan. Akhirnya semua kerajaan di Indonesia setelah kalahnya Aceh

pada tahun 1904 berada di bawah kekuasaan Belanda. Tahun 1905 Belanda

Page 38: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

38

mencanangkan Pax Neerlandica, bahwa seluruh wilayah Nusantara sebagai wilayah

Hindia Belanda menjadi satu pengawasan keamanan oleh Belanda.

2.3. Konsep Indonesia

Dalam membicarakan “Pembentukan bangsa Indonesia”, perlu dikemukakan

tentang kata atau nama ”Indonesia”. Kata atau nama tersebut diusulkan oleh J.R. Logan,

seorang etnolog Inggris di Pinang yang menjadi redaktur Journal of the Indian

Archipelago and Eastern Asia. Pada tahun 1850 ia melalui artikelnya berjudul ”The

Ethnology of the Indian Archipelago: Embracing inquires into the continental relation of

the Indo-Pacific Inlanders” mengusulkan istilah atau kata “Indonesia” untuk nama pulau-

pulau atau kepulauan Hindia dan penduduknya.

Akan tetapi sebelumnya, seorang etnolog Inggris lainnya, G. Windsor(?)

Winsdor(?) Earl dalam majalah yang sama menulis tentang ciri-ciri utama penduduk

Irian, penduduk asli Australia, dan Melayu-Polinesia. Ia mengusulkan digunakannya

istilah “Indus-nesians” dan “Melayu-nesians” bagi penduduk kepulauan Hindia. Ia

memberi pertimbangan bahwa istilah “penduduk Hindia” sebagai kelompok pulau-pulau,

tidak memberikan pengertian tepat dan jelas bagi penduduk pribumi. Earl lebih suka pada

pemakaian istilah “Melayu-nesians” karena istilah “Indu-nesians” terlalu luas karena

termasuk di dalamnya penduduk Sailon, Kepulauan Maladiva, dan Lakadiva.

Adolf Bastian, sarjana Jerman, kemudian menggunakan kata “Indonesien” sebagai judul

bukunya yaitu Indonesien onder die Insln des Malayischen Archipels yang terbit tahun

1884. Adapun yang dimaksud oleh A. Bastian dengan istilah tersebut adalah istilah di

bidang etnografi. Sejak itu istilah tersebut dipakai dalam ilmu etnologi, hukum adat, dan

ilmu bahasa. Para guru besar Universitas Leiden seperti R.A. Kern, Snouck Horgronye,

dan Prof. Van Vollenhoven menyebarluaskan pemakaian iastilah “Indonesië”,

Indonesiër”, dan ajektif ”Indonesisch” dalam karya mereka. Kemudian para mahasiswa

Indonesia di Negeri Belanda yang tergabung Perhimpunan Indonesia (PI) mengetahui

istilah-istilah tersebut.

Pada tahun 1913 Suwardi Suryaningrat alias Ki Hajar Dewantara ketika menjalani

pembuangan di Nederland memberikan nama biro pers yang didirikannya dengan

Indonesisch Persbureau. Nama organisasi mahasiswa Indonesia yang semula bernama

Page 39: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

39

Indische Vereeniging tahun 1922 diganti menjadi Indonesische Vereeniging dan tahun

1924 nama Indonesische Vereeniging diganti menjadi Perhimpunan Indonesia. Nama

majalahnya yang semula bernama Hindia Putera pada tahun 1922 diganti dengan

Indonesia Merdeka. Perhimpunan Indonesia menggunakan nama Indonesia dalam

pengertian politik ketatanegaraan yang artinya sama dengan Nederlandsch-Indië. J.Th.

Petrus Blumberger, penulis buku De Nationalistische Beweging in Nederlandsch Indië

yang terbit tahun 1931 menyatakan bahwa sekitar tahun 1925 banyak organisasi yang

berwawasan nasional memakai nama”Indonesia” sebagai pengganti Nederlandsch-Indië.8

2.4. Pembentukan Bangsa dan Negara Indonesia

Memasuki tahun 1901, Ratu Wilhelmina mengumumkan di depan Parlemen

Belanda program pemerintah. Ia mengakui bahwa pemerintah Belanda telah mengeruk

keuntungan yang besar sekali dari Hindia Belanda, sementara penduduknya semakin

miskin. Dikatakan bahwa pada masa datang, pemerintah akan memperbaiki kesejahteraan

rakyat. Diakuinya bahwa Belanda telah ”berhutang budi” kepada rakyat Indonesia,

karena itu Pemerintah Belanda akan membalasnya dengan melaksanakan politik etika.

Dalam kaitan politik itu pemerintah akan memperluas pendidikan Barat bagi anak

Indonesia khususnya anak-anak kalangan atas.

Garis politik pemerintah Hindia Belanda yang seperti itu pertama kali

dikemukakan oleh anggota Parlemen Belanda Van Dedem tahun 1891. Perjuangan

melancarkan politik kolonial yang baru itu kemudian diteruskan oleh Van Kol, C. Th.

Van Deventer, dan P. Brooschooft, pemimpin redaksi surat kabar De Locomotief. Van

Deventer, pemimpin kaum liberal, tahun 1899 menulis karangan di Jurnal De Gids

berjudul ”Een Eereschuld” (”Hutang Budi”). Dalam karangannya ia mengecam politik

pemerintah Belanda yang tidak memisahkan keuangan negera Belanda dengan daerah

jajahan, Hindia Belanda. Menurut Kielstra berdasarkan hasil surveinya bahwa sejak tahun

1816 uang yang disedot pemerintah Belanda dari Indonesia sebesar 832 juta gulden.

Tulisan Van Deventer tersebut berpengaruh terhadap perubahan politik kolonial di Hindia

Belanda.

8 Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened Poesponegoro, dan Nugroho Notosusanto, Sejarah nasional Indonesia, Jilid V, Yakarta: Departemen P dan K, 1976, 290.

Page 40: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

40

Politik etika yang dilaksanakan mulai tahun 1901 mempunyai dua tujuan yaitu

pertama, meningkatkan kesejahteraan penduduk pribumi; dan kedua, berangsur-angsur

menumbuhkan otonomi dan desentralisasi politik di Hindia Belanda. Akan tetapi, dalam

kenyataannya, peralihan kekuasaan dari Negeri Belanda ke Hindia Belanda tidak pernah

dilaksanakan, kecuali untuk beberapa tahun pada waktu pecah Perang Dunia I ketika

komunikasi antara negeri Belanda dan Hindia Belanda terputus.

Sementara itu, di luar Indonesia pada awal abad ke-20 terjadi peristiwa-peristiwa

penting yang berdampak terhadap bangsa Asia, khususnya Indonesia. Peristiwa

kemenangan Jepang terhadap Rusia tahun 1905 menunjukkan bahwa bangsa Barat dapat

dikalahkan oleh bangsa Timur. Kemenangan Jepang tersebut merupakan “Kebangkitan

Asia” menimbulkan gelombang antusiasme di Asia. Di Turki muncul gerakan Turki

Muda untuk mencapai perbaikan nasib, yang akhirnya tahun 1908 muncul revolusi anti

kaum kolot. Kejadian-kejadian tersebut secara tidak langsung berpengaruh terhadap

munculnya gerakan nasional di Indonesia.

Sejalan dengan perubahan politik pemerintah kolonial yang hendak memajukan

bidang pendidikan, dokter Wahidin Sudirohusodo yang sejak tahun 1901 menjadi

redaktur majalah Retnodhumilah, melalui majalahnya ia mempropagandakan pentingnya

pendidikan. Menurut pendapatnya bahwa pendidikan merupakan kunci kemajuan,

diperlukan pendidikan secukupnya bagi kalangan luas orang pribumi. Ia

mempropagandakan tentang pemberian beasiswa bagi pemuda-pemuda yang pandai

tetapi tidak mampu. Kemudian, karena cara tersebut dinilai kurang efektif, ia meletakkan

jabatan sebagai redaktur Retnodhumilah karena alasan kesehatan. Selanjutnya sejak bulan

November 1906, ia melakukan perjalanan keliling pulau Jawa untuk mempropagandakan

cita-citanya. Ia yang didampingi Pangeran Noto Dirojo, putra Paku Alam V, mula-mula

mendekati para priyayi yang lebih tua dan lebih tinggi, khususnya bupati yang kaya dan

berpengaruh. Pada akhir tahun 1907 dalam perjalannya yang jauh, ia berhenti dan

beristirahat di Jakarta. Ketika berada di Jakarta, ia diundang Sutomo dan Suraji ke

sekolah STOVIA (School tot Opleiding voor Inlandsche Artsen) untuk mendengarkan

gagasan-gagasannya. Maksud Wahidin untuk mendirikan ”Dana Belajar” itu dibicarakan

oleh Sutomo dengan teman-temannya di STOVIA. Tujuan untuk mendirikan suatu ”Dana

Belajar” itu diperluas jangkauannya. Demikianlah pada tanggal 20 Mei 1908 di sekolah

Page 41: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

41

STOVIA oleh pelajar-pelajar STOVIA didirikan organisasi bernama Budi Utomo dan

Sutomo ditunjuk sebagai ketua.

Budi Utomo merupakan organisasi pribumi pertama menurut model Barat, suatu

organisasi yang pengurusnya secara periodik dipilih, mempunyai Anggaran Dasar dan

Anggaran Rumah Tangga, mempunyai program, mengadakan rapat-rapat, kongres, dan

anggotanya mempunyai hak suara. Lahirnya BU oleh Akira Nagazumi sebagai

bangkitnya nasionalisme Indonesia. Setelah itu, mahasiswa Indonesia yang belajar di

Negeri Belanda pada tahun yang sama mendirikan organisasi bernama Indische

Vereeniging (IV) yang bergerak di bidang sosial dan kebudayaan.

Pada tahun-tahun belasan, karena mengikuti jejak BU di satu pihak dan karena

adanya pengaruh dari luar Indonesia, bermunculan berbagai macam organisasi.9 Secara

khronologis, tahun 1911 di Solo, Jawa Tengah berdiri organisasi Sarekat Dagang Islam

(SDI) oleh H. Samanhudi yang bergerak di bidang social ekonomi. Organisasi itu

didirikan untuk menghadapi pedagang-pedagang Cina di kota itu yang telah

mempermainkan harga bahan batik. Setahun kemudian, namanya diganti menjadi Sarekat

Islam (SI) agar lebih banyak orang-orang Islam dapat masuk menjadi anggota. Di

Yogyakarta tahun 1912 K.H. Ahmad Dahlan mendirikan organisasi sosial keagamaan

bernama Muhammadiyah. Pada tahun 1912 E.F.E. Douwes Dekker di Bandung

mendirikan organisasi politik Indische Partij, statu organisasi yang pertama kali memakai

nama partai yang mempunyai konsep nasionalisme Hindia (Indisch Nationalism).

Organisasi ini yang menerima berbagai etnik yaitu kaum Indo-Eropa dan pribumi,

radikal, menuntut kemerdekaan Hindia. H.J.F.M. Sneevliet tahun 1914 di Semarang

mendirikan Indische Social Democratische Vereeniging (ISDV), suatu organisasi yang

bersifat internasional menyebarkan ideologi sosialisme. Dalam perkembangannya, karena

pengaruh revolusi Rusia, organisasi ini tahun 1923 berganti nama menjadi Partai

Komunis Indonesia (PKI). Selain organisasi politik, berdiri juga sarekat-sarekat sekerja,

organisasi pemuda, perempuan, dan kepanduan. Organisasi-organisasi tersebut 9 Kejadian-kejadian di luar Indonesia yang menambah kemauan mendirikan organisasi di Indonesia adalah Revolusi di Tiongkok tahun 1911 yang menggulingkan pemerintahan Dinasti Manchu dan berdirinya Republik Tiongkok; pan-Islamisme, menyebarnya ajaran Marxismo (sosialisme dan sesudah revolusi di Rusia juga komunisme), azas-azas Perjanjian Versailles yang tidak dijalankan (hak bangsa untuk mengatur diri sendiri), berdirinya Volkenbond dan Labour office, gerakan di Irlandia, gerakan di India ; empat belas Pasal Presiden Woodrow Wilson dari Amerika Serikat, khususnya hak menentukan nasib sendiri bangsa-bangsa.

Page 42: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

42

merupakan organisasi gerakan nasional yang tujuan akhirnya adalah kemerdekaan

Indonesia.

Mahasiswa Indonesia di Negri Belanda yang datang ke sana setelah Perang Dunia

Kedua, lebih banyak kesadaran politiknya dari pada angkatan-angkatan sebelumnya.

Sebabnya karena mereka sebelum berangkat ke Negeri Belanda telah memasuki berbagai

gerakan kebangsaan. Mereka terus bergabung dalam organisasi mahasiswa Indonesia

Indische Vereeniging (IV) yang didirikan tahun 1908. Pada tahun 1920-an peran sosial

dan kebudayaan dari IV masih ada, tetapi yang utama adalah bidang politik. Pada tahun

1922 namanya diubah menjadi Indonesische Vereeniging10 dan nama majalahnya yang

semula bernama Hindia Poetera diganti menjadi Indonesia Merdeka.11 Pada tahun 1924

keterangan dasar IV adalah sebagai berikut: (1) Hanya Indonesia yang bersatu, dengan

menyingkirkan perbedaan-perbedaan golongan, dapat mematahkan kekuasaan

penjajahan; (2) Tujuan bersama – memerdekakan Indonesia – menghendaki adanya

suatu aksi massa nasional yang insyaf dan berdasar kepada tenaga sendiri; (3) Melihat

dua macam penjajahan, politik dan ekonomi, aksi itu adalah suatu persediaan bagi

kemerdekaan politik dan satu sikap menentang kapital asing yang menyedot kekayaan

Indonesia.

Ketua IV Nazir Pamoncak menegaskan politik nonkoperasi sebagai sendi

perjuangan rakyat Indonesia. Kerjasama dengan si penjajah untuk mencapai cita-cita

kemerdekaan Indonesia, tidak lain dari menipu diri sendiri. Kerjasama hanya mungkin

antara dua golongan yang sama hak, kewajibannya, dan kepentingannya. Apabila syarat

ini tidak dipenuhi, maka kerja sama berarti mempermainkan yang lemah oleh yang kuat,

memperlakukan yang lemah sebagai alat untuk kepentingannya sendiri. Sebab itu PI

menolak kerjasama dan tetap menuju tujuan sendiri.12 Sejak 8 Februari 1925 nama

organisasi diganti menjadi Perhimpunan Indonesia (PI),13 dan organisasai dikembangkan

10 Mohammad Hatta, Memoir, hlm. 126. 11 PI adalah organisasi pertama yang pertama kali menggunakan Istilah “Indonesia” sebagai nama organisasinya. 12 Mohammad Hatta, Memoir, hlm. 156 dan 158. 13 Mohammad Hatta, Memoir, hlm. 171.

Page 43: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

43

menjadi organisasi yang mengutakan masalah-masalah politik sebagai bagian dari

identitas nasional yang baru.14

Perkembangan PI menjadi organisasi politik terutama merupakan hasil usaha

Mohammad Hatta. Kegiatan PI diarahkan untuk mencapai tiga tujuan, pertama,

menyadarkan mahasiswa agar semakin percaya merasa diri sebagai orang Indonesia.

Kedua, PI harus berusaha menghapuskan gambaran tentang Indonesia yang diciptakan

oleh pemerintah Belanda. Ketiga, yang terpenting adalah mereka harus mengembangkan

ideologi yang kuat dan bebas dari pembatasan-pembatasan Islam dan komunisme.15

Para anggota PI dari Negeri Belanda mengamati gerakan nasional di Indonesia.

Mereka kecewa terhadap semangat partai-partai politik dan terhadap kegagalan mereka

menciptakan suatu organisasi massa yang kuat untuk melawan Belanda. Oleh karena itu

mereka membuat ideologi baru sebagai langkah pertama untuk menyusun gerakan

kebangsaan jika mereka kembali ke tanah air.

Ada empat pikiran pokok dalam ideologi PI yang dikembangkan sejak tahun

1925. Ideologi PI menempatkan kemerdekaan sebagai tujuan politik yang utama. Pokok-

pokok pikiran PI adalah sebagai berikut.

Kesatuan nasional: perlu mengesampingkan perbedaan berdasarkan daerah dan perlu

dibentuk kesatuan aksi melawan Belanda untuk menciptakan negara kebangsaan

Indonesia yang merdeka dan bersatu;

Solidaritas: tanpa melihat perbedaan antara sesama orang Indonesia, perlu disadari

adanya pertentangan kepentingan yang mendasar antara penjajah dan terjajah. Kaum

nasionalis harus mempertajam konflik antara orang kulit putih dan orang kulit sawo

matang;

Nonkoperasi: keharusan untuk menyadari bahwa kemerdekaan bukan hadiah sukarela

dari Belanda melainkan harus direbut oleh bangsa Indonesia dengan mengandalkan

kekuatan dan kemampuan sendiri, oleh karena itu tidak perlu mengindahkan dewan

perwakilan kolonial seperti Volksraad;

14 Mereka yang menjadi anggota PI hanya sekelompok kecil dari seluruh mahasiswa Indonesia di Negeri Belanda. Tahun 1926, puncak aktivitas PI, jumlah anggota PI hanya 38 orang. Akhir tahun 1927 jumlah seluruh mahasiswa Indonesia di Negeri Belanda diperkirakan 109 orang, hanya 20 orang yang menjadi anggota PI. (Ingleson, hlm. 2). 15 Ingleson, hlm. 4.

Page 44: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

44

Swadaya: dengan mengandalkan kekuatan sendiri perlu dikembangkan struktur alternatif

dalam kehidupan nasional, politik, sosial, ekonomi, dan hukum yang berakar dalam

masyarakat pribumi dan sejajar dengan administrasi kolonial.16

PI menekankan bahwa ideologi PI harus dilaksanakan benar-benar oleh suatu partai yang

merasa bertanggung jawab kepada rakyat yang berusaha mencapai kemerdekaan melalui

jalan aksi massa.

Melalui majalahnya dan anggota PI yang kembali ke tanah air, ideologi PI sampai

di Indonesia. Para anggota PI yang kembali ke tanah air mencoba memasuki organisasi-

organisasi etnis seperti BU dan Pasundan dan berusaha untuk merubah wawasannya dari

dalam. Usahanya tidak berhasil, oleh karena itu mereka tetap di luar dan mereka

mendirikan kelompok-kelompok studi. Ada kelompok yang penting yaitu Indnosesische

Studieclub di Surabaya pimpinan dr. Sutomo dan Algemene Studieclub di Bandung

pimpinan Sukarno.

Atas usaha Sukarno dan orang-orang yang tergabung dalam Algemene Studieclub

pada 4 Juli 1927 didirikan partai baru bernama Perserikatan17 Nasional Indonesia (PNI).

Partai ini melaksanakan ideologi PI, yaitu kesatuan nasional, solidaritas, nonkoperasi, dan

swadaya. Kemudian, untuk menyatukan gerakan nasional menjadi lebih besar, pada bulan

Desember 1927 didirikan badan federatif partai-partai politik dengan nama Permufakatan

Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI). Beberapa partai

politik yaitu PNI, PSI, Budi Utomo, Pasundan, Sarekat Sumatra, Kaum Betawi, dan

Kelompok Studi Indonesia bergabung dalam satu fron bersama sebagai ”fron sawo

matang” melawan ”fron kulit putih” Belanda.

Di kalangan pemuda ada hasrat untuk menyatukan organisasi-organisasi pemuda.

Untuk itu pada tahun 1926 dan kemudian tahun 1928 diselenggarakan kongres pemuda

nasional pertama dan kedua. Kongres nasional pemuda kedua bulan Oktober 1928

menghasilkan Sumpah Pemuda, satu nusa: Indonesia, satu bangsa: Indonesia, dan

menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia. Semangat persatuan itu menyatukan

berbagai organisasi pemuda yang berdasarkan etnis/daerah menjadi satu, lahirlah

Indonesia Muda pada awal tahun 1931.

16 Ingleson, hlm. 5. 17 Dalam kongresnya pertama kata ”Perserikatan” diganti menjadi ”Partai”.

Page 45: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

45

Organisasi perempuan pada bulan Desember tahun 1928 menyelenggarakan

kongres perempuan pertama, diputuskan didirikan badan persatuan organisasi perempuan

bernama Perserikatan Perhimpunan Istri Indonesia (PPII). Di kalangan organisasi

kepanduan pada tahun 1931 organisasi kepanduan berfusi lahirlah Kepanduan Bangsa

Indonesia (KBI). Tahun tiga puluhan rasa persatuan nasional telah meliputi berbagai

organisasi. Badan-badan federatif yang baru yang mencakup organisasi lebih banyak,

kemudian dibentuk.

Pembentukan bangsa dan negara Indonesia dimulai dengan pembentukan

nasionalisme Indonesia. Sejak awal abad ke-20 di Indonesia lahir gerakan emansipasi,

gerakan perlawanan terhadap Belanda yang dipelopori dengan lahirnya organisasi Budi

Utomo (BU). Tujuan perlawanan itu adalah kemerdekaan bangsa. Gerakan melawan

penjajahan bangsa Barat menggunakan senjata dari Barat, berupa organisasi.

Sesungguhnya perlawanan terhadap penguasa bangsa lain di Indonesia sudah

dimulai sejak adanya kekuasaan bangsa tersebut di Indonesia yaitu sejak awal abad ke-

17. Sejak itu ada perlawanan orang di Indonesia melawan Belanda kemudian melawan

Jepang. Perlawanan itu berupa perang-perang untuk mengusir penguasa bangsa asing itu

dari wilayang mereka. Perlawanan itu bersifat lokal, oleh Sartono Katodirdjo disebut

sebagai proto nasionlisme.

Gerakan rakyat Indonesia adalah usaha untuk perubahan dan pembaruan menuju

kemerdekaan.Gerakan itu diorganisasikan menurut model gerakan Barat. Ada keinginan

untuk memegang nasib di tangan sendiri. Rakyat terjajah menentang kekuasaan asing.

Sifat nasionalisme Indonesia ada dua, yaitu: (1) Usaha nasionalisme lebih dari

hanya ditujukan di bidang politik dan budaya, tetapi juga di bidang sosial, ekonomi, dan

keagamaan; (2) Keinginan-keinginan akan pembaruan di bidang sosial dan keagamaan.

(Pluvier, hlm. 17-18).

Menurut PNI, kemerdekaan nasional merupakan syarat utama pembangunan

masyarakat Indonesia. Sedangkan Parindra merumuskannya tidak terlalu tajam, tujuan

gerakan adalah penghapusan setiap bentuk kekuasaan kolonial. Mereka ingin mengatur

urusannya sendiri, diperintah oleh orang-orangnya sendiri, walaupun nanti keadaan pada

umumnya lebih jelek dari pada di bawah kekuasaan asing. Yang disebut belakangan ini

Page 46: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

46

disadari oleh kaum nasionlis, dan mereka berani mengambil risiko. Kata-kata klasik dari

Quezon: ”We would rather be governed like hell and do it ourselves than like heaven and

have it done for us” (”Lebih baik kita hidup seperti di neraka tetapi diperintah oleh orang-

orang kita sendiri, dari pada hidup seperti di sorga, tetapi diperintah oleh bangsa asing”.

(Pluvier, hlm. 18). Bagaimadiirna wujud dari masyarakat baru sesudah merdeka itu

merupakan pokok pembicaraan penting, namun yang lebih penting adalah tuntutan agar

supaya diutamakan lebih dahulu lenyapnya rezim kolonial.

Nasionalisme Indonesia dalam keseluruhannya merupakan gejala yang sama

seperti nasionalisme lainnya. Tujuan pertama diarahkan terhadap kekuasaan asing yang

dipandangnya sebagai bahaya yang paling besar mengancam masyarakat. Taktik untuk

mencapai tujuan ada dua cara, yaitu koperasi dan nonkoperasi. Kaum nonkoperator

menyisihkan diri dari pemerintah HB, mereka tidak duduk dalam dewan perwakilan, baik

di Dewan Rakyat maupun di dewan-dewan local yaitu Dewan Propinsi atau Dewan

Kabupaten. Mereka mempunyai keyakinan, bahwa berhubung dengan dasar perbedaan

kepentingan antara yang yang berkuasa dan yang dikuasai, tidak mungkin ada kerjasama

untuk mewujudkan aspirasi-aspirasi nasional. Kerja sama demikian dengan pemerintah

hanya berarti memperkuat kekuasaan penjajah. Orang harus melaksanakan politik yang

prinsipiil dan yakin, bahwa perubahan-perubahan itu harus dipaksakan dengan jalan self-

reliance, kepercayaan kepada kekuatan diri sendiri, tidak dengan mengemis-ngemis

(Tilak). (Pluvier, hlm. 19.) Pemerintah Hindia Belanda memandang mereka sebagai kaum

ekstremis yang destruktif, tidak loyal.

Sebaliknya, kaum koperator dinamakan sebagai kaum sederhana dan loyal.

Perbedaan di antara kedua golongan itu adalah pada taktik dan keyakinan mereka.

Menurut kaum koperator, kemerdekaan ekonomi harus lebih didahulukan dari

keperdekaan politik. Mereka kurang keras dan agresif dan rapat-rapat mereka bukan rapat

massa kaum marhaen. Walaupun demikian, mereka tetap kaum nasionalis, karena mereka

juga bercita-cita untuk meningkatkan ekonomi dan kemerdekaan.

Sikap kaum bangsawan terhadap pergerakan itu bercabang dua. Sebagian karena

takut, bahwa gerakan rakyat yang kuat tidak saja merupakan bahaya bagi rezim colonial,

tetapi dapat juga membahayakan kekuasaan mereka sendiri, sehingga orang berusaha

untuk menahan perkembangannya. Sebagian lain orang berusaha merebut kepemimpinan

Page 47: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

47

dalam pergerakan itu untuk mendapatkan sokongan dari rakyat dan dengan demikian

pengaruhnya yang lama, walau hanya sebagian, dapat dipulihkan kembali.

Kelas kedua dalam masyarakat adalah kaum ambtenaar, kaum intelek atau semi

intelek yang bekerja pada gubernemen atau perusahaan-perusahaan, merasa tertelan oleh

stelsel kolonial yang tidak memberikan kesempatan kepada mereka untuk dapat

menduduki pos-pos yang lebih tinggi dalam kehidupan politik dan ekonomi.18

Faktor penting bagi perkembangan nasionalisme ialah sifat dari agama Islam yang

mengandung unsur-unsur yang baik. Perluasan agama ini dalam abad ke-15 dan 16

adalah sejajar dengan mendesaknya pengaruh dari Barat. Di zaman VOC mereka

merupakan unsur yang paling keras. Di abad ke-19 posisi mereka bertambah kuat setelah

rakyat di sebagian besar kepulauan nusantara masuk agama Islam. Raja-raja sering

bersekutu dengan mereka melawan pembesar-pembesar Belanda. Politik orang-orang

Belanda adalah sebanyak mungkin bekerja sama dengan pembesar-pembesar feodal dan

tentang menjalankan agama Islam. Pengaruh agama Islam itu kuat sekali Ia memberikan

kepada bangsa rasa senasib sepenangungan. Ia menciptakan semacam ”pra-nasionalisme”

yang memberikan sokongan kepada nasionalisme. Reaksi agama Islam dan nasionalisme

adalah terhadap pengaruh Barat. Di satu pihak kaum nasionalis melancarkan perlawanan

yang aktif dengan cara Barat, reaksi orang-orang Islam memakai cara-cara yang

antagonistis yaitu dengan suatu gerakan yang sifatnya reformistis, menentang

tradisionalisme dan formalisme. 19

Dalam nasionalisme Indonesia hidup suatu tendensi untuk bersatu. Meski terdiri

dari berjenis-jenis rakyat, lama-lama timbul kesadaran untuk bersatu menjadi satu bangsa

Indonesia. Belanda telah menempatkan suku-suku dan bangsa-bangsa di kepulauan

Nusantara di bawah satu lingkungan kenegaraan. Persatuan yang sedikit banyak hendak

dipertahankan oleh kaum nasionalis. Perbedaan bahasa dan kebiasaan bukan penghalang

dalam perjuangan bersama mencapai kemerdekaan nasional. Pihak Belanda sering

ditunjukkan, berhubung dengan perbedaan besar di antara pelbagai penduduk itu, bahwa

tidak akan ada bangsa Indonesia dan bahwa nasionalisme Indonesia itu sama sekali tidak

mempunyai hak hidup. Perbedaan itu benar, tapi keliru untuk mengambil kesimpulan

18 J.M. Pluvier, Overzicht van de Ontwikkwling der Nationalistische Beweging in Indonesie in jaren 1930-1942, Den Haag-Bandung: W. Van Hoeve, 1953. 19 J.M. Pluvier, op. cit.

Page 48: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

48

seperti di atas. ”Untuk terbentuknya suatu nasion itu, dan ini penting, tidak cukup dengan

adanya persamaan bahasa, agama, dan kultur, adanya persamaan hal-hal sejarah dan

pemerintahan. Yang perlu adalah dalam unsur-unsur yang membentuk masyarakat itu,

sedikit banyak berkembang kesadaran untuk bersatu, untuk mempertahankan dan

mengorganisir persatuan itu. Soalnya bukan apakah ada persatuan, tapi apakah ada

sesuatu yang tumbuh; Yang terakhir ini yang terjadi. Tumbuhnya rasa senasib-

sepenanggungan, kemauan dari suatu bangsa. Cokroaminoto di tahun 1916 pada kongres

nasional menunjukkan bahwa istilah ”nasional” itu berarti bahwa pergerakan rakyat itu

bertujuan membentuk suatu persatuan yang kokoh kuat dari seluruh rakyat di kepulauan

nusantara yang dengan seia sekata berusaha menjadi satu ”nasion”. Di lain pihak sikap

Belanda lebih senang dengan nasionalisme Sunda, Jawa, atau Bali dari pada nasionalisme

yang melingkupi seluruh Nusantara.

Orang berusaha untuk menyokong nasionalisme lokal supaya lebih kuat

menghadapi nasionalisme Indonesia dan orang menunjukkan akan bahaya dari pada

”penjajahan orang-orang Jawa” atas golongan-golongan penduduk lainnya.

Mengadudomba perbedaan-perbedaan dari rakyat itu satu alat politik pemecah belah dari

golongan kecil yang memerintah massa berjuta-juta yang harus mereka anut untuk dapat

bertahan.

Kebanyakan pembesar-pembesar feodal memperlihatkan nasionalisme

kedaerahan yang didasarkan atas tradisi dan adat yang menjadikan mereka berkuasa.

Pemerintah menyokong patriotisme lokal membuat kaum nasionalis curiga. Sebelum

tahun 1927 pergerakan politik berada pada taraf kedaerahan. Satu-satunya pergerakan

yang semua nasional adalah SI. Baru sesudah PNI, ide persatuan Indonesia dengan sadar

maju kemuka. Kemudian ide ini diambil oleh partai-partai lain, juga oleh partai-partai

lokal.20

Gerakan nasional di India banyak memberi isi kepada perkembangan

nasionalisme di Indonesia. Tilak, Gokhale, Gandhi, dan Nehru mempunyai arti lebih

besar. Partai Kongres contoh yang ditiru kaum nasionalis Indonesia dalam organisasi-

organisasi mereka. Politik nonkoperasi ditiru, suatu usaha swadesi, boikot ekonomi, juga

dilancarkan. (Pluvier, hlm. 26). Kebangkitan dari negeri Cina membawa pengaruh besar.

20 J.M. Pluvier, op. cit.

Page 49: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

49

Nasionalisme merupakan hasil dari pengaruh kekuasaan Barat di negara-negara

Asia. Nasionalisme sebagai jawaban yang ditimbulkan oleh situasi kolonial. Banyak

sebab yang dapat menimbulkan nasionalisme. Nasionalisme dan kolonialisme tidak

terlepas satu sama lain, ada pengaruh satu sama lain. Kebangunan nasional di Indonesia

berhubungan erat dengan kemenangan Jepang terhadap Rusia tahun 1905. Gerakan Turki

Muda, Revolusi Cina, dan gerakan nasional di negara-negara tetangga seperti India dan

Filipina memberi pengaruh besar terhadap perkembangan nasionalisme, memperbesar

kesadaran nasional dan menyebabkan bangsa Indonesia memiliki rasa harga diri

kembali.21

Gerakan emansipasi mencapai titik-titik terang pada ongres BU pertama tahun

1908, kongres kebudayaan tahun 1916, kongres nasional pemuda kedua tahun 1928 yang

menghasilkan ”satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa” yaitu indonesia.

2.5. Daftar Pustaka Hatta, Mohammad, Memoir, Yakarta: Tintamas, 1979. Ingleson, John, Jalan Ke Pengasingan: Pergerakan Nasionalis Indonesia Tahun

1927-1934, (Terj. Zamakhsyari Dhofier), Jakarta: LP3ES, 1983. Kartodirdjo, Sartono, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan

Nasional, Jilid 2, Jakarta: Gramedia, 1990. Miert, Hans Van, Dengan Semangat Berkobat: Nasionalisme dan Gerakan Pemuda di

Indonesia, 1918-1930), (Terj. Sudewo Satiman), Jakarta: Hasta Mitra, Pustaka Utan Kayu, KITLV, 2003.

Nagazumi, Akira, Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo, 1908-1918, (Terj. Grafiti dan KITLV), Yakarta: Grafiti, 1989.

Poesponegoro, Marwati, Djoened dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional

Indonesia,Jilid II, III, IV, V, dn VI, (Edisi Pemutakhiran), Jakarta: Balai Pustaka, 2008.

Pluvier, J.M. Overzicht van de Ontwikkeling der Nationalistische beweging in

21 Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional, Jakarta: PT Gramedia, hlm. 59.

Page 50: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

50

Indonesie, in de jaren 1930 tot 1942, Den Haag – Bandung: W. van Hoeve, 1953 Pringgodigdo, A.K., Sedjarah Pergerakan Rakjat Indonesia, Djakarta: Pustaka

Rakjat, Cetakan ke-4, 1960. Ricklefs, H.C., Sejarah Indonesia Modern, (Terj. Drs. Dharmono Hardjowidjono),

Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991. Sukarno, Indonesia Menggugat: Pidato Pembelaan Sukarno di hadapan Hakim

Colonial Tahun 1930.

Page 51: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

51

Bab 3

Ekonomi dan Perdagangan di Indonesia

Perdagangan dan Pelayaran di Nusantara Masa Awal sampai Abad ke-19

Letak geografis kepulauan Indonesia yang berada dalam jalur pelayaran dan

perdagangan yang ramai antara Asia Timur dengan Asia Selatan dan Asia Barat membuat

laut, selat, dan pulau-pulau yang berada di sekitar Selat Karimata dan Selat Malaka

menjadi tempat persinggahan kapal-kapal dagang dari berbagai penjuru tempat. Selain itu

hasil produk yang terkenal sebagai mata dagangan ekspor yang sangat laris di pasaran

adalah cengkeh, pala, bunga pala, kayu cendana, lada, dan lain sebagainya merupakan

produk lokal Nusantara. Sehingga sudah sejak masa sebelum abad ke-10, banyak kapal-

kapal dagang dari Cina, India, Arab, Malaka, Jawa, Bugis, Makasar, dan berbagai suku di

Nusantara yang menjadi pedagang dengan mengunjungi wilayah-wilayah yang menjadi

penghasil produk yang diinginkan. Cengkeh dihasilkan dari Ternate, Tidore, Halmahera,

Seram, dan Ambon, sementara pala dan bunga pala banyak dihasilkan di kepulauan

Banda. Kayu cendana banyak dihasilkan di Pulau Timor dan Sumba, sedangkan lada

banyak dihasilkan dari Banten, Lampung, dan pesisir timur dan utara Pulau Sumatra.

Adanya perbedaan produk dari masing-masing daerah, kemudian memunculkan

sistem pertukaran dan jual beli di banyak pelabuhan di Nusantara, di mana kapal-kapal

asing dan lokal saling menukarkan barang-barangnya, seperti tekstil, porselain, sutera,

alat-alat logam, beras, dan lain-lain dengan produk-produk setempat. Sejak itulah wilayah

Nusantara bagian tengah dan timur kemudian menjadi jalur pelayaran dan perdagangan

yang cukup ramai.

Dalam dunia pelayaran selama abad ke-16 sampai abad ke-18, pengetahuan

tentang sistem angin dan musim menjadi pengetahuan yang penting untuk dimiliki para

pelaut. Karena bagaimanapun juga kapal layar mereka sangat membutuhkan tiupan angin

yang secara berkala berubah sesuai dengan musimnya. Dengan mengikuti sistem angin

ini maka para pedagang dapat memperkirakan keberangkatan atau kepulangan perahu-

perahu mereka. Bahkan beberapa nama angin diberi nama sesuai dengan arah angin yang

datang ketika kapal sedang berlayar, seperti angin buritan atau angin haluan, nama yang

Page 52: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

52

lain misalnya angin turutan yang mendorong keras dari arah buritan, angin sakal yang

menghambat pelayaran karena bertiup dari depan, dan angin paksa yang membuat kapal-

kapal terpaksa membuang sauh di pelabuhan atau di teluk demi keamanan dari ancaman

badai.22

Letak kepulauan Nusantara di tengah-tengah garis katulistiwa (equator)

menyebabkan di sebelah selatan katulistiwa bertiup Angin Pasat Tenggara dan di sebelah

utara katulistiwa bertiup Angin Pasat Timur Laut yang bertiup sepanjang tahun. Namun

karena letak Nusantara adalah di antara benua-benua yang berbeda tekanan udaranya dan

posisi peredaran bumi terhadap matahari, membuat angin yang bertiup berubah arah

ketika melintasi katulistiwa. Angin tenggara berubah menjadi angin barat daya sedangkan

angin timur laut berubah menjadi angin barat laut. Pada bulan-bulan Desember sampai

Pebruari bertiup angin barat dan pada bulan September sampai Nopember bertiup angin

timur. Pada saat-saat itu kapal-kapal dapat berlayar dari Aceh, Malaka, Jawa, dan

Makasar berangkat ke arah Maluku dengan angin barat, sedangkan mereka pulang

dengan dorongan angin timur kembali ke tempat asal kapal-kapal dagang tersebut.23

Dengan mengikuti pola angin yang sama kapal-kapal dari India dapat berangkat ke arah

Malaka dan sebaliknya.

Untuk perjalanan ke arah Campa, Cina, Vietnam, dan negeri-negeri di Asia

Timur, kapal-kapal dagang dapat berlayar pada bulan Juni sampai Agustus ketika angin

bertiup ke arah utara. Kemudian kapal-kapal tersebut dapat kembali ke selatan pada

bulan September sampai Desember dengan mengikuti angin yang bertiup ke selatan.24

Dalam satu contoh, adanya hubungan pelayaran dan perdagangan awal antara

India dengan Nusantara, dapat kita lihat dari ditemukannya sebuah prasasti berbahasa

Tamil (India Selatan) yang berangka tahun 1088 M. Prasasti ini menggambarkan adanya

hubungan dagang antara Sumatra dan India sejak 1088 M, karena ternyata isi dari

prasasti ditulis oleh perkumpulan pedagang asal Tamil di Barus, Sumatera Utara. Dalam

ulasan lain digambarkan bagaimana komoditi kapur Barus telah dikenal luas di kalangan

pedagang Arab dan India bahkan produk ini juga diperdagangkan sampai Eropa. Kapur

22 Marwati Djoened Poesponegoro, Sejarah Nasional Indonesia, Jilid III, Balai Pustaka,

Depdikbud, Jakarta, hal.101-102 23 Ibid., hal. 102 24 Ibid.,, hal. 103

Page 53: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

53

barus ini merupakan bahan wewangian dan obat-obatan yang dipergunakan di Arab dan

India. Selain itu ditemukannya keramik-keramik Cina di Barus menunjukkan sudah

adanya hubungan perdagangan antara Cina dengan Barus di pantai barat Sumatera

Utara.25

Dengan demikian sudah sejak lama hubungan perdagangan antara Nusantara

dengan daerah-daerah di Asia Barat, Asia Selatan, dan Cina berlangsung. Dari beberapa

keterangan pelaut Portugis, mereka mengatakan bahwa para pelaut di Asia dan juga di

Nusantara sudah menggunakan peta dan alat-alat navigasi seperti yang dimiliki oleh

Portugis. Tambahan lagi banyak kapal-kapal Portugis ataupun Belanda yang melakukan

pelayaran menuju kepulauan Nusantara menyewa tenaga navigator dari masyarakat

setempat.26

Kondisi geografis kepulauan Nusantara yang dilingkupi laut dan selat,

menjadikan wilayah pantai di Nusantara sangat panjang dan luas, sehingga mata

pencaharian penduduk juga sangat tergantung dari mengolah laut. Kegiatan ini sudah

tentu membutuhkan alat transportasi yang dapat dipakai untuk berlayar ke tengah laut

mencari ikan atau menyeberangi laut dan selat untuk berdagang dengan daerah seberang

selat atau laut.

Namun penduduk di Asia Tenggara dan Indonesia sejak abad ke-16 mampu

membuat kapal dengan konstruksi badan kapal terbuat dari papan. Dalam penelitian

Antony Reid disebutkan bahwa kapal-kapal yang berlayar di Asia Tenggara dan

Indonesia jauh lebih besar dengan dua atau tiga tiang, lambung yang berpasak, dan

kemudi kembar. Selain itu kapal-kapal dengan berat ratusan ton juga dibuat di galangan

kapal di pantai utara Jawa. 27

Dalam kebudayaan Nusantara kemampuan membuat perahu sudah mereka miliki

sejak lama. Perkembangan perahu-perahu bercadik yang dibuat secara sederhana dari

kayu yang dilubangi tengahnya seperti lesung dan diberikan kayu penyeimbang di kiri

dan kanan badan kapal. Gambar Relief kapal besar bercadik pada candi Borobudur

memperlihatkan kemampuan bahari masyarakat terutama yang dipergunakan di pantai

25 Y. Subbarayalu, “ Prasasti Perkumpulan Pedagang Tamil di Barus: Suatu Peninjauan Kembali”, dalam Claude Guillot, ed., Lobu Tua: Sejarah Awal Barus, EFEO-Pusat Penelitian Arkeologi-Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2002.

26 Marwati Djoened Poesponegoro, op. cit., hal. 104-107 27 Antony Reid, op. cit., hal. 48-55

Page 54: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

54

utara Jawa pada abad ke-9 M. Pantai utara Jawa dalam laporan Portugis merupakan pusat

penghasil kapal-kapal berbadan besar selain yang di datangkan dari Pegu, Burma. Kapal

jenis jukung, mayang janggolan, golekan, lambo, padewakang, pinisi, peledang, kora-

kora, Ternate, Tidore, dan sebagainya menunjukkan keanekaragaman jenis kapal di

Nusantara. Banyaknya jenis kapal tersebut menunjukkan pula kemampuan masyarakat

mampu membuat kapal yang baik untuk pelayaran jarak jauh maupun jarak dekat.

Barang-barang yang diperdagangkan dalam pelayaran dan perdagangan di

Nusantara itu sangat banyak dan bervariasi. Beberapa daerah menjual produk setempat

yang tidak diproduksi di tempat lain seperti cengkeh, pala, bunga pala, kayu manis, kayu

cendana, kayu sapan, sagu, beras, dan sebagianya. Mereka menjualnya kepada para

pedagang yang datang dengan menukarkannya dengan barang-barang dari Cina, Asia

Barat, dan India, seperti sutera, kain yang halus, kain yang kasar, porselain, alat-alat

logam, batu permata, senjata api, dan sebagainya. Barang-barang ini seringkali

dipertukarkan secara barter atau dengan mata uang perak atau emas.28 Ramainya

perdagangan dan pelayaran tidak terlepas dari peran bandar atau pelabuhan yang

menyediakan bermacam fasilitas bagi para pedagang yang hendak menjual atau membeli

barang dagangan. Pelabuhan-pelabuhan ini menyebar mulai dari bagian utara, timur, dan

selatan Pulau Sumatra, Semenanjung Malayu, sepanjang pantai utara Jawa, Sulawesi

Selatan, Nusa Tenggara, kepulauan Maluku, dan begitu banyak yang lainnya di pulau-

pulau besar dan kecil.

Namun perdagangan yang paling utama pada abad ke-16 sampai 18 adalah

rempah-rempah. Rempah-rempah inilah yang menarik perhatian bangsa Eropa

berdatangan ke Nusantara dengan melakukan pelayaran samudera menyusuri pantai

Afrika menuju ke India dan Selat Malaka. Sepertinya rempah-rempah yang produksinya

lebih sedikit dibandingkan produksi beras, tekstil, tuak, dan ikan asin ini telah menjadi

produk yang sangat dicari karena harganya yang mahal. Di samping itu rempah-rempah

yang terdiri dari cengkeh, pala, dan bunga pala hanya tumbuh di kepulauan Maluku.

Cengkeh hanya dihasilkan di Ternate, Tidore, Makian, dan Motir. Kemudian pada abad

ke-16 pohon cengkeh juga ditanam di Pulau Bacan, Ambon, dan Seram. Sedangkan

bunga pala hanya tumbuh di kepulauan Banda dan Seram Selatan. Sementara itu hasil

28 Marwati Djoened Poesponegoro, op. cit., hal. 144-148

Page 55: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

55

hutan berupa kayu cendana juga merupakan mata dagangan yang laku di pasaran Cina

dan India sehinga kayu cendana yang berasal dari Timor tersebut memiliki nilai jual yang

tinggi. Tome Pires dalam pelayarannya tahun 1515 di Maluku, menuliskan pendapatnya

tentang tanaman rempah-rempah dan kayu cendana, sebagai berikut:

Pedagang Melayu mengatakan bahwa Tuhan menciptakan Timor untuk kayu cendana dan Banda untuk bunga pala (fuli) dan Maluku untuk cengkeh, dan barang dagangan ini tidak dikenal di tempat lain di dunia kecuali di tempat itu.29 Laporan Tome Pires di atas menunjukkan bahwa produk rempah-rempah dan

kayu cendana merupakan mata dagangan ekspor yang menjanjikan keuntungan besar

bagi para pedagang. Para pedagang dari Jawa, Bugis, Makasar, Melayu, dan lain-lain

berbondong-bondong berdatangan ke Maluku dan Nusa Tenggara bagian timur untuk

membeli rempah-rempah dan kayu cendana. Di sana para pedagang menukarkan barang-

barang yang mereka bawa dari tempat asalnya atau dari Cina dan India, seperti beras,

tekstil, benda logam, sutera, porselain, dan lain sebagainya.

Armada Portugis pertama kali melakukan pelayaran ke Nusantara di bawah

pimpinan Affonso de Albuquerque, sekaligus menaklukkan Bandar Malaka pada tahun

1511 yang dikenal sebagai pasar rempah-rempah di Asia Tenggara. Namun kenyataannya

Malaka hanyalah gudang rempah-rempah, sedangkan penghasil rempah-rempah ada di

kepulauan Maluku. Dengan demikian maka segera dikirim armada kapal ke Maluku,

terutama ke Ternate dan Tidore. Selama hampir setengah abad kekuatan Portugis

mendominasi Maluku, sampai kemudian mengalami kemerosotan dan puncaknya adalah

ketika kekuatan Portugis berhasil diusir dari Ternate. 30

Tetapi kelemahan Portugis diakibatkan tidak mampunya armadanya

mengamankan jalur pelayaran di Selat Malaka dan juga Goa di India Selatan, sehingga

banyak kapal-kapal dagang yang membawa rempah-rempah dan produk lain dari

Indonesia bagian tengah dan timur tidak singgah ke Malaka namun melalui jalur pantai

barat Sumatra, Aceh, dan kepulauan Maladewa, menyeberangi Lautan Hindia dan

langsung menuju ke Laut Merah. Jalur baru ini membuat Portugis tidak lagi menjadi

29 Anthony Reid, Dari Ekspansi Hingga Krisis II: Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara

1450-1680, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1999, hal. 2, 4 30 Anthony Reid, op. cit., hal. 17-18, 27

Page 56: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

56

pusat bagi pasaran Eropa, karena produk rempah-rempah mengalir melalui Mesir dan

Laut Tengah.31

Pada akhir abad ke-16 orang-orang Belanda mulai berdatangan ke Nusantara

untuk mencari rempah-rempah langsung ke tempat produksinya di Maluku. Kegairahan

para pelaut dan kapal-kapal dagang Belanda mengunjungi Nusantara disebabkan antara

lain karena pecahnya perang kemerdekaan Belanda terhadap Spanyol selama 1560

sampai 1648. Sementara orang-orang Belanda adalah pedagang yang melayari rute

Lisabon, Portugal, dan Eropa Utara. Tetapi pemerintah Spanyol yang menguasai

Portugal melarang kapal-kapal dagang Belanda membeli rempah-rempah dari Lisabon.

Pelayaran pertama kapal-kapal Belanda dipimpin oleh Cornelis de Houtman, yang

berangkat tahun 1595 dan tiba di Pelabuhan Banten, Jawa Barat pada tahun 1596.32

Penyebab lain dari pelayaran orang Belanda dipengaruhi oleh penerbitan buku

Itinerario naer Oost ofte Portugaels Indien (Catatan Perjalanan ke Timor atau Hindia

Portugis) karya Jan Huygen van Linschoten. Van Linschoten adalah seorang pelaut

Belanda yang bekerja pada armada Portugis yang melakukan pelayaran perdagangan di

kepulauan Nusantara pada awal abad ke-16. Dalam bukunya tersebut dia menuliskan

dengan baik keindahan pohon penghasil rempah-rampah dan keajaiban buah itu, yang

memiliki khasiat penyembuh bermacam penyakit.

Daya tarik rempah-rempah dari kepulauan Maluku telah menarik kedatangan para

pedagang pribumi dengan membawanya ke pusat-pusat pasar perdagangan di Jawa dan di

Malaka. Dari Bandar Malaka inilah rempah-rempah menyebar ke Cina, India, Asia Barat,

dan Eropa. Laporan Van Lindsshchotten di atas membawa pengaruh bagi pelayaran

kapal-kapal Belanda ke Maluku untuk mencari rempah-rempah. Perjalanan kapal-kapal

dagang asing dan pribumi terutama dari arah barat ke Maluku menjadikan rute laut yang

menyusuri Laut Jawa, Laut Flores, dan Laut Banda menjadi sangat ramai. Sudah barang

tentu kapal-kapal tersebut akan menyinggahi daerah-daerah di Nusa Tenggara sebagai

tempat transit. Di samping itu daerah Nusa Tenggara juga menghasilkan produk-produk

31 Anthony Reid, op. cit, hal. 27 32 Ricklefs, M.C., Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta, Gadjah Mada University

Press, 1998, hal. 36-38

Page 57: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

57

yang laku di kalangan pedagang asing terutama hasil kayu cendana, madu, lilin, dan kayu

sapan.

Ramainya perdagangan rempah-rempah dan berbagai produk lainnya menjadikan

India Timur (East Indies) bukan hanya menjadi kutub yang menarik namun juga menjadi

jalur persilangan yang sibuk bagi pelayaran dan perdagangan. Posisi Selat Malaka

menjadi sangat strategis bagi lalu lintas pelayaran, terutama bagi kota Malaka yang

berdiri sejak awal abad ke-15. Adanya hubungan pelayaran antara Malaka dan Maluku,

menjadikan pelabuhan Malaka menjadi pasar rempah-rempah asal Maluku, yaitu

cengkeh dan pala. Pelabuhan Malaka terus berkembang sebagai penyedia sarana

pelabuhan, peralatan rumah tangga, membentuk lembaga perlindungan bagi keamanan

kapal-kapal asing, penyediaan komoditi dari berbagai wilayah. Di antara orang asing

yang menjadi pedagang dalam jumlah besar adalah penduduk muslim asal Gujarat dan

Calicut. Pedagang Hindu asal Coromandel yang dikenal dengan Keling juga banyak yang

menjadi pedagang yang melayari rute India-Malaka. Menurut Tome Pires, antara empat

sampai lima ribu pelaut datang dan pergi dari Pelabuhan Malaka. Para pedagang asal

Gujarat inilah yang membawa lada dan rempah-rempah sampai ke wilayah Timur

Tengah dan sekitar Laut Mediterania.33

Ramainya Bandar Malaka membuat banyak para pedagang dari Jawa, Bugis,

Makasar, dan dari daerah lain di Indonesia bagian timur, membawa komoditi asal Maluku

yang sangat laku di pasaran India dan Cina. Namun jangan lupa bahwa pelayaran ke

Maluku mau tidak mau melewati Laut Flores di mana berhimpun beberapa pulau besar

dan kecil, seperti Flores, Alor, Pantar, Timor, dan lain-lain. Dalam beberapa laporan,

produk kayu cendana asal Timor dan juga Sumba sangat laku di pasaran Cina. Dengan

demikian wilayah tersebut sudah tersentuh dinamika pelayaran dan perdagangan yang

sangat ramai.

Kejatuhan Malaka pada tahun 1511 akibat serangan Armada Portugis yang

dipimpin Afonso d’albuquerque, membawa kemunduran bagi Malaka. Banyak para

pedagang Muslim yang mencari persinggahan di tempat lain terutama di pantai timur dan

barat Sumatra dan juga di pesisir utara Jawa. Masuknya bangsa Belanda sejak akhir abad

ke-16 (1596) di Nusantara membawa perubahan yang besar. Pedagang Belanda dengan

33 Fernand Braudel, op. cit., hal. 526-528

Page 58: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

58

segera mendirikan Veerenigde Oost Indische Compagnie (VOC) pada tahun 1602 untuk

mengkonsolidasikan kekuatan menghadapi para pedagang Eropa lainnya terutama Inggris

dan Portugis.34

Untuk memantapkan kedudukannya di Hindia Timur, VOC merebut Jayakarta

dan menggantikannya dengan Batavia pada tahun 1619. Batavia kemudian dijadikan

pusat administrasi bagi jaringan pelayaran dan perdagangannya di Asia. Sejak itu, VOC

terus memperluas kekuasaan politik dan ekonominya di wilayah Hindia Timur. Beberapa

wilayah direbut dari Portugis, seperti Ambon (tahun 1605) dan Pelabuhan Malaka (tahun

1640). Selain itu beberapa kerajaan lokal seperti Kesultanan Makasar dipaksa untuk

menerima monopoli perdagangan rempah-rempah, sehingga menimbulkan perang

Makasar 1660-1667. Kesultanan Ternate dan Tidore dipaksa menerima pertuanan VOC,

hal ini berakibat VOC memonopoli perdagangan rempah-rempah di pusat produksinya

dan bahkan mengatur penanaman dan pengaturan panen untuk mengendalikan harga.

VOC memberlakukan pengawasan terhadap sentra-sentra produksi rempah-rempah

dengan pelayaran Hongi (Hongi Tochten), pelanggaran atas kuota produksi akan

menghadapi penangkapan dan penghancuran kebun rempah-rempah milik penduduk.

Banten direbut, Priangan, Cirebon, dan pantai utara Jawa diambil alih dari Mataram

sampai pertengahan abad ke-18.

Kekuatan laut VOC sejak abad ke-16 belum ada yang menandinginya di

Nusantara. Penaklukkan benteng-benteng Portugis di Ambon, Malaka, penaklukkan

Makasar, Banten, dan juga sebagian wilayah Mataram di pantai utara Jawa membuktikan

kekuatan laut yang dimiliki oleh VOC. Hal ini mengakibatkan VOC menguasai hegemoni

politik dan ekonomi di Nusantara. Perebutan hegemoni pelayaran dan perdagangan di

Nusantara yang dilakukan VOC menghadapi tantangan dari pelaut-pelaut Makasar dan

juga Sultan Makasar.

Makasar merupakan pelabuhan yang ramai sejak abad ke-16. Berbagai macam

komoditi dari berbagai daerah dapat dibeli dari Pelabuhan Makasar, seperti barang-

barang dari Maluku, Bali, Lombok, Sumbawa, Sumba, Flores, Timor, Irian, Jawa,

Kalimantan, dan Philipina Selatan. Budak, rempah-rempah, produk dari laut, dan juga

34 Untuk melihat sejarah singkat VOC lihat C.R. Boxer, Jan Kompeni: Sejarah VOC Dalam

Perang dan Damai 1602-1799, sebuah Sejarah Singkat tentang Persekutuan Dagang Hindia Belanda, Sinar Harapan, Jakarta, 1983

Page 59: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

59

kayu cendana merupakan produk utama dari daerah timur. Selain itu Makasar juga

memperdagangkan produk-produk dari India dan Cina yang didapat dari kehadiran kapal-

kapal asing di Malaka, atau para pedagang Makasar yang membelinya dari Pelabuhan

Malaka. Penguasaan VOC atas Makasar membuat perubahan yang mendasar bagi

Makasar. VOC melakukan monopoli perdagangan rempah-rempah dan yang lainnya.

Barang-barang dari India dan Cina dikenakan pajak dan barang-barang komoditi ekspor

dijual dengan harga yang tinggi.35

Kebijakan ini menjadikan VOC melakukan ekspansi perdagangan dengan kapal-

kapal sendiri, menggunakan gudang-gudang sendiri, termasuk menjualnya melalui toko-

tokonya sendiri. Kondisi ini menyebabkan terjadinya perlawanan dari kapal-kapal dagang

dari berbagai bangsa dan daerah di Nusantara yang kemudian melakukan perdagangan

ilegal atau penyelundupan. Hal ini terutama dilakukan oleh Inggris sampai abad ke-18.

Para pedagang swasta Inggris dalam melakukan perdagangan dengan Asia, juga

melakukan ekspansi dengan menjual tekstil India, opium, dan senjata untuk

dipertukarkan dengan berbagai mata dagangan dari berbagai pelabuhan di Asia, termasuk

juga di Nusantara. Di samping itu para pedagang Cina dengan kapal-kapalnya yang besar

sangat aktif berlayar dan memperdagangkan komoditi dari Cina ke Nusantara. Pelayaran

kapal-kapal Cina yang mendatangkan banyak keuntungan ini sangat menarik perhatian

VOC. Namun peristiwa pembantaian Cina di Batavia, Jawa tahun 1740, VOC mulai

membatasi kedatangan Jung Cina ke Nusantara, kapal-kapal Cina hanya diijinkan

berdagang di Banjarmasin dan Makasar. Di samping itu banyak para pelaut dan pedagang

Makasar yang juga melakukan perdagangan ilegal dengan menjual berbagai macam

komoditi dari seluruh Nusantara. Dengan mengunakan perahu-perahunya orang-orang

Makasar mengangkut berbagai komoditas dari satu pelabuhan ke pelabuhan lainnya.36

Tetapi sejak kejatuhan pelabuhan Makasar, perdagangan bebas di Nusantara

mengalami kemerosotan. VOC melakukan praktek monopoli perdagangan yang

35 Heather A. Sutherland dan David S. Bree, ”Quantitative and Qualitative Approaches

to The Sudy of Indonesia Trade: The Case of Makasar”, dalam T. Ibrahim Alfian, eds., Dari Babad dan Hikayat sampai Sejarah Kritis, Gadjah Mada University Press, 1992, hal. 372-374

36 T. Ibrahim Alfian, eds., op. cit., hal. 375-377

Page 60: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

60

kemudian menjadikan perdagangan rempah-rempah menjadi kurang menarik. Eksploitasi

Pulau Jawa yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda selama abad ke-19 juga

menelantarkan daerah luar Jawa terutama di Indonesia bagian timur. Namun munculnya

pelabuhan bebas Singapura yang dibangun oleh Inggris tahun 1819, menyadarkan

pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk melakukan usaha-usaha untuk menyaingi

ramainya perdagangan di Singapura. Tarif bea yang rendah yang diberlakukan Inggris di

Pelabuhan Singapura membuat banyak pedagang dari Cina, Arab, India, dan bahkan

kapal-kapal dari Bugis dan Makasar secara rutin berkunjung ke Singapura untuk menjual

barang-barang yang dibawanya dari kepulauan Indonesia bagian timur. Kapal-kapal

pinisi dan padewakang milik orang Bugis-Makasar membawa produk-produk seperti

lilin lebah, sarang burung, kayu cendana, beras, dan lain-lain.

Dibangunnya Singapura sebagai pelabuhan membuat pengaruh Inggris dalam

perdagangan di Asia Tenggara meningkat pesat. Antara tahun 1830 sampai akhir 1860-an

pelayaran dagang antara Singapura dan pelabuhan-pelabuhan di Nusantara juga

meningkat pesat. Mulai dari perahu-perahu kecil berbobot 20 ton sampai kapal-kapal

yang bermuatan 200 ton terutama dari Makasar, hilir mudik antara Singapura dan

pelabuhan-pelabuahn di luar Pulau Jawa. Rata-rata ada 2000 kapal yang singgah di

Singapura per tahunnya, atau 6 kapal per hari. Dalam periode tersebut jumlah barang

yang diangkut lebih dari 200.000 metrik ton. Pelayaran yang menyinggahi Singapura itu

terdiri atas tiga jenis, yaitu pelayaran jarak jauh dengan wilayah Eropa, kedua, pelayaran

regional Asia Tenggara, dan terakhir pelayaran lokal.37

Pelabuhan Singapura merupakan pelabuhan yang dipersiapkan secara matang oleh

para pembangunnya sejak 1819, ketika Inggris dan Belanda saling bertukar wilayah,

Inggris melepas Bengkulu dan Belanda memberikan semenanjung Melayu. Pelabuhan

Singapura betul-betul dipersiapkan sebagai bandar besar, atau pelabuhan laut dalam.

Kondisi alam pulau yang pantainya berlumpur menjadikan pekerjaan menggali atau

mengorek lumpur dan menghilangkan batu karang menjadi penting untuk mendapatkan

37 J. Thomas Lindblad, The Outer Islands in the Nineteenth Century: Contest for

Periphery, dalam Howard Dick, eds., The Emergence of a National Economy: An Economic History of Indonesia 1800-2000, edisi draf, Passau, 1999, hal. 97.

Page 61: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

61

pelabuhan yang dapat disinggahi kapal-kapal besar, terutama setelah banyaknya kapal-

kapal uap yang berlayar ke Singapura.38

Pelayaran perahu-perahu Cina juga makin meningkat pada awal abad ke-19,

mereka juga mengganti kapal tradisional mereka, jung, dengan kapal yang bermuatan

lebih besar. Kapal-kapal Cina berdagang di banyak wilayah di Nusantara, terlebih lagi

orang Ciuna sudah sejak berabad yang lampau menjadi pendatang di Sumatra,

Kalimantan, Sulawesi, dan di kota-kota pelabuhan di Nusantara, jumlah mereka sekitar

135.000 orang atau sepersepuluh dari jumlah orang Cina di Asia Tenggara pada tahun

1880. Selain itu perahu-perahu tradisional dari berbagai wilayah kepulauan juga ikut

meramaikan perdagangan interregional, meski muatan yang dibawanya kecil namun jika

ditotal sangat besar volume perdagangannya. Mereka melalui jalur pelayaran dari

daerah pinggirann menuju jalur utama pelayaran. Pelayaran perahu ini masih memainkan

peranan yang penting di perairan Indonesia sampai abad ke-20.39

Selain itu peran pedagang Bugis yang berdagang ke Singapura sangat besar,

bahkan mereka memiliki kampung yang bernama kallang di Singapura. Para pedagang

lokal Singapura secara berkala bertransaksi dengan para pedagang Bugis dalam jumlah

yang besar pada saat-saat tertentu yang mereka beri nama ‘Bugis Season’ , atau musim

Bugis. Kedatangan perahu-perahu Bugis ini merupakan panen besar bagi para pedagang

lokal, karena mereka membawa sejumlah besar barang yang bisa mereka beli. 40

Sementara itu sejak tahun 1824, pemerintah Belanda mendirikan Nederlansch

Handel-Maatschappij (NHM) atau Perusahaan Perdagangan Belanda. Perusahaan ini

menjadi perusahaan yang memiliki armada kapal yang mengangkut hasil-hasil dari

Hindia Belanda ke Eropa. Kapal-kapal Eropa lainnya juga melakukan hal yang sama,

terutama kapal-kapal Inggris. Perkembangan Pelabuhan Singapura membuat Pelabuhan

Makasar merosot perannya dalam perdagangan interregional dan regional. Karena

Belanda melarang perdagangan bebas di sini.

38 Hanizah Idris, Pelabuhan Singapura ‘A Port By Design’, 1819-1941, Jati, Jurnal Jabatan asia

Tenggara, Fakulti Sastera dan Sains Sosial, Universiti Malaya No.1, 1995, hal.23-25 39 Howard Dick, eds., op. cit.., hal. 98. 40 Howard Dick, eds., op.cit.,, hal. 99

Page 62: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

62

Selain itu Inggris juga mendirikan perusahaan pelayaran dengan bendera

Belanda, yaitu Nederlandsch Indie Stoomvaart-Maatschappij (NISM), dan menjadi

perusahaan pelayaran yang disewa pemerintah kolonial Hindia Belanda sejak 1865

sampai 1890. Namun pemerintah Hindia Belanda tidak ingin tergantung dengan

perusahaan tersebut, dan mendirikan perusahaan pelayaraan kerajaan, yaitu Koninlijk

Paketvaart Maatschappij (KPM). Perusahaan ini kemudian mengambil alih pengiriman

paket pelayaran dari NISM yang telah habis masa kontraknya. KPM ini kemudian

mendapat keistimewaan dari pemerintah, seperti memonopoli pengiriman barang-barang

milik pemerintah, pengiriman surat, dan perjalanan pegawai pemerintah Hindia Belanda.

Sejak itu KPM telah mendominasi pelayaran di Hindia Belanda dengan menyinggahi 225

pelabuhan di seluruh kepulauan Hindia Belanda.41

Kondisi tersebut yang membuat pemerintah Belanda berusaha menyaingi

Singapura dengan membuka pelabuhan bebas di Riau (1829), Pontianak, dan Sambas

(1834), Sukadana (1837), Makasar (1847), Manado (1848), Ambon, Banda, serta Ternate

(1852).42 Usaha ini sedikit berhasil seperti dapat kita lihat dari tulisan Sutherland tentang

kedatangan kapal-kapal Cina langsung ke Pelabuhan Makasar selama pertengahan abad

ke-19.

Kedatangan kapal-kapal Eropa membawa pengaruh yang cukup penting dalam

dunia perdagangan dan pelayaran di Nusantara. Kekuatan armada kapal yang

diperlengkapi dengan meriam yang canggih menjadikan kapal-kapal Portugis dan

terutama Belanda mempunyai kekuatan memaksakan perdagangan monopolinya. Peran

para pedagang Eropa pada bad ke-16 sampai 18, seringkali dijadikan studi sejarah oleh

sejarawan kolonial yang seringkali tidak menuliskan peran para pedagang lokal dan Asia

dalam pelayaran dan perdagangan pada masa itu.

Kajian yang menggambarkan dinamika perdagangan masyarakat lokal di

Nusantara dilakukan oleh J.C. van Leur. Dia dianggap sejarawan yang mempelopori

kajian sejarah maritim yang mengkritik cara penulisan historiografi kolonial tentang

sejarah ekonomi di Nusantara. Dalam kumpulan tulisan yang dibukukan setelah dia

41 Howard Dick, eds., op.cit.,, hal. 111-112 42 Howard W. Dick, “Perdagangan Antarpulau, Pengintegrasian Ekonomi dan Timbulnya suatu

Perekonomian Nasional”, dalam Anne Booth, et.al. eds., Sejarah Ekonomi Indonesia, LP3ES, 1988, hal. 404-407

Page 63: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

63

meninggal kita dapat membacanya dalam “Indonesian Trade and Society: Essays in

Asian and Economic History”.43 Dalam bukunya itu, dia melihat perkembangan dari

pelayaran dan perdagangan pribumi yang marak selama kekuasaan VOC berkuasa di

Nusantara.

Namun van Leur masih terpengaruh dengan cara pandang bahwa ekonomi Eropa

berkembang dengan baik karena adanya kapitalisme, sedangkan perdagangan pribumi

berekembang secara terbatas.

Kesimpulan dari penelitiannya menunjukkan bahwa kegiatan dan motivasi

ekonomi yang muncul dalam kegiatan pelayaran niaga adalah peddling trade

(perdagangan penjaja). Peddling trade adalah perdagangan dengan kapasitas dan ciri-ciri

tertentu. Pertama-tama perdagangan dilakukan dari satu tempat ke tempat lain, dari pulau

ke pulau, dan dari benua ke benua dengan membawa sejumlah barang dagangan tertentu

yang tidak besar volumenya. Pedagang tersebut mengunjungi satu pelabuhan ke

pelabuhan yang lain sampai barang dagangannya habis. Tidak terdapat sikap yang

menonjol dalam kapitalisme modern, yaitu investasi modal dari keuntungan. Perbedaan

lainnya adalah bahwa barang dagangannya tidak banyak dibandingkan dengan

kapitalisme modern yang menghasilkan komoditas dalam jumlah massal. Sebab itu tidak

mengherankan bahwa barang yang diperdagangkan hanya barang yang mahal dan

mewah. Sementara itu ada sedikit pedagang besar yang didominasi oleh kaum bangsawan

(merchant gentlement.) 44

Dalam uraian selanjutnya Van Leur menggambarkan ukuran kapal-kapal layar di

Nusantara yang paling besar berbobot 100 ton, di India sekitar 200 ton, dan di Cina

sekitar 600 ton. Namun secara keseluruhan daya muat semua kapal di Nusantara

diperkirakan 50.000 ton.45 Dengan kaca mata Asia sentris Van Leur berupaya mengkritik

para sejarawan kolonial yang tidak melihat perdagangan oleh orang Asia termasuk juga

di Nusantara sebagai sesuatu yang otonom yang ada sejak dahulu.

43 Van Leur, J.C., Indonesian Trade and Society: Essays in Asian and Economic History,

Bandung, Sumur Bandung, Bandung, 1960. 44 RZ. Leirissa, “Dr. J.C. Van Leur dan Sejarah Ekonomi: Suatu Tinjauan Historiografi”, dalam

Taufik Abdullah, eds., Sejarah Indonesia: Penilaian Kembali Karya Utama Sejarawan Asing, PPKB-LP UI, Depok, 1997, hal. 191

45 Taufik Abdullah, eds., op. cit., hal. 192

Page 64: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

64

Banyak para sejarawan yang tertarik dengan konsep Van Leur tentang pandangan

Asia sentrisnya itu, namun tidak mengulas argumennya tentang perdagangan di Asia

yang dia tuliskan. Sebuah buku yang ditulis sejarawan ekonomi Inggris yang berasal dari

India yaitu Dr. K. N. Chauduri46 mengemukakan konsep emporia trade atau perdagangan

emporium. Penelitian Chauduri ini menyanggah pendapat Van Leur yang mengemukakan

tidak adanya perubahan selama ribuan tahun dalam pelayaran niaga di Asia. Menurutnya

sejak abad ke-10 M sudah muncul apa yang dinamakan emporia trade yaitu pelayaran

niaga melalui beberapa kota pelabuhan terbesar seperti Aden, Hormus, Calicut, Malaka,

Kanton, dan sebagainya. Para pedagang Asia berlayar dari satu emporia ke emporia lain

tanpa harus mengarungi seluruh rute perdagangan itu dari Asia Barat sampai ke Cina.47

Perdagangan seperti itu melahirkan bandar-bandar besar yang memiliki fasilitas yang

memadai untuk persinggahan kapal-kapal besar.

Konsep perdagangan emporia ini menggugurkan konsep Van Leur tentang

perdagangan penjaja. Menurut Chauduri perdagangan penjaja terlalu sederhana untuk

dipakai memahami pelayaran niaga di Asia sebelum abad ke-18. Menurutnya para

pedagang besar atau yang disebut oleh Van Leur sebagai merchant gentlement

merupakan kategori pedagang yang terpenting dan menentukan dalam pelayaran emporia.

Namun demikian kita berhutang budi kepada Van Leur karena telah berjasa membuka

cakrawala baru dalam penulisan sejarah di Indonesia.

3.1. Pelayaran Perahu Bugis- Makasar di Nusantara

Peran orang-orang Bugis-Makasar dalam pelayaran di Nusantara sudah

berlangsung sejak abad ke-16. Pada waktu itu kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan,

seperti Gowa dengan pelabuhannya di Makasar, Bone, Wajo, Luwu, dan lain-lainnya

merupakan kerajaan dagang yang kuat. Kekuatan perdagangan laut ini didukung oleh

penduduk yang mayoritas hidup dari hasil laut dan perniagaan di laut. Sudah sejak

46 K. N. Chauduri, op. cit., 47 Lihat artikel RZ. Leirissa, “Dr. J.C. Van Leur dan Sejarah Ekonomi: Suatu Tinjauan

Historiografi”, dalam Taufik Abdullah, eds., op. cit., hal. 201-202

Page 65: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

65

sebelum abad ke-16, mereka memperdagangkan produk-produk rempah-rempah dari

Maluku untuk dipertukarkan dengan membawa barang-barang yang dibeli dari Jawa dan

Malaka, seperti beras, tekstil, barang-barang logam, sutera, porselain, dan lain lain.

Namun persebaran orang Makasar dan Bugis secara besar-besaran dan tidak

hanya sekedar berdagang, tetapi juga berpindah tempat, mengakibatkan orang Bugis dan

Makasar menetap di kepulauan Riau, Jawa Timur, dan kepulauan Nusa Tenggara.

Keadaan ini dipicu oleh penaklukkan kerajaan Gowa-Tallo yang bersuku Makasar

terhadap kerajaan-kerajaan Bugis, seperti Wajo, Bone, Luwu, dan lain-lainnya.

Penaklukkan oleh orang-orang Makasar ini membuat banyak orang-orang Bugis yang

pindah dan menyebar ke seluruh Nusantara, terutama di daerah sekitar Sumatera Timur

dan Semenanjung Malaya. Sementara itu pengungsian besar-besaran dilakukan oleh

orang-orang Makasar pasca penaklukkan Kerajaan Gowa-Tallo oleh kekuatan militer

VOC dalam Perang Makasar 1666-1669. Dalam catatan sumber-sumber Belanda, sejak

perjanjian Bongaya, 1667, yang menandai kekalahan Kerajaan Gowa, membuat

bangsawan Makasar dan para pengikutnya merasa terhina dan pergi meninggalkan tanah

Makasar. Pengungsian besar-besaran terjadi pada tahun 1669 ketika secara final VOC

mengalahkan pemberontakan orang Makasar, terlebih lagi ketika Arung Palakka,

penguasa Bone, menjadi pemimpin utama di wilayah Sulawesi Selatan.48

Perang Makasar (1666-1668) sebenarnya dipicu oleh perang dagang antara

Kerajaan Makasar yang menjadikan pelabuhannya bebas dikunjungi oleh kapal-kapal

dari Eropa ataupun dari Asia dan Nusantara, dengan pihak VOC yang ingin memaksakan

monopoli. Pelabuhan Makasar dianggap menyaingi perniagaan VOC. Keinginan VOC

untuk mengontrol jalur perniagaan laut, ditolak oleh Sultan Hasanuddin. Dalam

kebudayaan bahari yang dimiliki oleh orang Makasar, mereka memiliki filosofi bahwa

secara umum laut adalah milik bersama, siapapun boleh melayarinya.

Permintaan VOC agar Sultan menerima monopoli perdagangan di Makasar

ditolak oleh Sultan Hasanuddin. Bahkan Sultan mengatakan:

48 Leonard Y. Andaya,”The Bugis-Makasar Diaspora”, Journal of The Malaysian Branch of The

Royal Asiatic Society, Vol. LXVIII, part I, 1995, hal. 119-120

Page 66: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

66

“Tuhan telah menciptakan bumi dan lautan, telah membagi-bagi daratan di antara umat manusia. Tetapi mengaruniakan laut untuk semuanya. Tak pernah kedengaran larangan buat siapapun untuk mengarungi lautan.”49

Jawaban ini meneguhkan semangat orang-orang Makasar untuk melawan

tindakan yang memaksakan kehendak, padahal sudah sejak lama, perniagaan laut di Asia

Tenggara ini berjalan dengan sistem pasar bebas. Pihak penguasa hanya mengontrol

keamanan laut dan pelabuhan dengan menarik cukai atas bermacam mata dagangan.

Bahkan para penguasa juga menjadi kaya karena menjadi juragan atau pemilik kapal-

kapal dagang. Namun sejak kekalahan dalam Perang Makasar banyak bangsawan,

saudagar, dan pelaut Makasar yang meninggalkan kampung halamannya pergi merantau

ke seluruh kepulauan Nusantara.

Sementara itu sebagaian besar bangsawan Bugis di Wajo yang menjadi sekutu

Kerajaan Gowa-Tallo juga melakukan pengungsian setelah ibukota kerajaan di Tosora

dihancurkan oleh VOC. Peperangan yang terjadi kemudian pada pertengahan abad ke-18

antara Kerajaan Bone melawan Kerajaan Gowa-Tallo dan Kerajaan Wajo juga makin

menambah besar jumlah penduduk yang mengungsi. Namun para pengungsi Makasar dan

Bugis generasi awal telah beradaptasi dengan baik di lingkungan barunya. Kebanyakan

orang Bugis kemudian menetap di wilayah kepulauan Riau dan Semenanjung Malaya,

sementara orang Makasar di Jawa dan Madura. Sedangkan dalam jumlah kecil mereka

menyebar hampir di seluruh wilayah kepulauan Indonesia.50

Dalam proses awal adaptasi, Andaya melihat bahwa para pengungsi Makasar

awalnya mengalami kegagalan karena sifat mereka terus memusuhi VOC, sehingga di

Jawa Timur, Karaeng Galengsung dan pengikutnya, mendukung pemberontakan

Trunojoyo melawan Mataram dan VOC, yang pada akhirnya mengalami kekalahan pada

tahun 1679. Hal yang sama juga terjadi di Banten ketika Karaeng Bontomarannu tiba di

Banten dengan 800 orang pengikutnya dan mendapatkan tempat tinggal dari Sultan

49A.B. lapian,”Perebutan Samudera: Laut Sulawesi pada Abad XVI dan XVII”, Prisma,

No.11 tahun 1984, hal. 37 50 Leonard Y. Andaya, loc. cit., hal. 120-121

Page 67: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

67

Banten, sampai kemudiaan ditinggalkan akibat perang antara VOC dan Banten tahun

1680.51

Sebaliknya menurut Andaya, para pengungsi dari Bugis tidak memposisikan

sebagai musuh VOC dengan tidak mendukung perlawanan penguasa setempat terhadap

VOC. Sehingga orang-orang Bugis ini relatif tidak dicurigai oleh VOC. Para bangsawan

Bugis dan pengikutnya yang berada di tanah Semenanjung Malaya justru diminta bantuan

oleh Sultan Johor, Abd al-Jalil untuk melawan saingannya, Raja Kecik, yang ingin

merebut tahta dengan bantuan Orang Laut. Setelah musuhnya berhasil dikalahkan, Sultan

memberikan daerah kepulauan Riau sebagai tempat tinggal orang-orang Bugis. Pada abad

ke-18, para bangsawan Bugis ini kemudian membentuk kerajaan yang otonom di

kepulauan Riau.52

Dampak lain yang terjadi pada abad ke-18 adalah munculnya jaringan

perdagangan laut antara kepulauan Riau dan Sulawesi Selatan. Perniagaan ini menjadikan

Riau sebagai daerah yang menjanjikan keuntungan besar karena lalu-lalangnya kapal-

kapal dagang Bugis yang berdatangan dari Jawa dan Sulawesi Selatan, tanah air orang

Bugis. Selain itu pada abad ke-18, orang-orang Makasar sudah mulai beralih sikap hanya

menjadi pelaut dan pedagang, dan bersama-sama orang Bugis mengarungi lautan di

Nusantara dengan kapal-kapal padewakang dan pinisinya yang besar dan kuat.

Kegiatan dagang dan perantauan orang Bugis dan Makasar menyebar ke banyak

wilayah di kepulauan Nusantara. Kepulauan Maluku yang banyak menghasilkan rempah-

rempah merupakan tujuan utama pelayaran mereka. Kehadiran pelaut dan pedagang

Bugis-Makasar pun tidak ketinggalan. Sejak abad ke-16, di Pelabuhan Ternate terdapat

komunitas pedagang Makasar yang menetap di sana, sebuah tempat di tepi pantai dekat

Benteng Oranje milik Belanda, yang bernama kampung Makasar. Kampung ini sampai

abad ke-19 merupakan kampung yang tidak hanya didiami oleh orang Makasar tetapi

juga dari para pedagang Jawa dan Melayu. Selain di Ternate pelaut Bugis-Makasar juga

menetap di Ambon, sampai abad ke-19. Kampung-kampung muslim ini juga didiami oleh

51 Leonard Y. Andaya, loc. cit., hal. 121-125 52 Leonard Y. Andaya, loc. cit., hal. 125-128

Page 68: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

68

pelaut dari Mandar, Melayu, dan Jawa. Pelayaran kapal-kapal padewakang itu juga

menyinggahi pulau-pulau di Banda, Kei dan Aru.53

Dalam peta yang dibuat oleh orang Bugis, kita dapat melihat begitu luasnya

pelayaran yang dilakukan oleh perahu-perahu Bugis. Kajian Le Roux atas peta yang

ditemukan di perkampungan bajak laut di Santhel yang terletak di Teluk Sekana di Pulau

Singkep tahun 1854, menggambarkan peta-peta wilayah di seluruh Nusantara, sebagian

Asia Tenggara, Australia Utara, dan wilayah Cina. Nama-nama daerah seperti Kalantang

(Kelantan), Djoro’ (Johor), Atje (Aceh), Palimbang (Palembang), Sibiro’ (Siberut),

Ballitong (Belitung), Poelo Lao’ (Pulau Laut), Tjinabaloe (Kinabalu), Koetaringang

(Kotawaringin), Taranate (Ternate), Koeantong (Kanton), Saiang (Siam), Pigo (Pegu),

Maladiwa (Maladewa), Tana Palawang (Pulau Palawan), Mangindano (Mindanao),

Marege’ (Australia Utara), dan lain-lain. Dari Nama-nama tempat yang terdapat dalam

peta Bugis ini menunjukkan luasnya pengetahuan tentang daerah-daerah di Asia

Tenggara, Pilipina Selatan, Australia Utara, dan Cina. Peta itu juga menunjukkan rute dan

tujuan pelayaran kapal-kapal Bugis sebelum pertengahan abad ke-19.54

3.2. Perdagangan Penjaja (Peddler-Trade)

Pelayaran kapal-kapal Belanda pada akhir abad ke-16 dipengaruhi oleh terbitnya

buku Itinerario yang ditulis oleh Jan Huygen van Linschoten, dia adalah seorang pelaut

Belanda yang bekerja pada armada Portugis yang melakukan pelayaran perdagangan di

kepulauan Nusantara pada awal abad ke-16. Dalam bukunya tersebut dia menuliskan

dengan baik keindahan pohon penghasil rempah-rampah dan keajaiban buah itu, yang

memiliki khasiat penyembuh bermacam penyakit. Tulisannya tentang pala, bunga pala

dan cengkeh diuraikan sebagai berikut:

53 R.Z. Leirissa, “The Bugis-Makasarese in the Port Town:Ambon and Ternate Through the

Nineteenth Century”, Bijdragen Tot de Taal-land-En Volkenkunde, Deel 156, 2000, hal. 619-633 54 Le Roux, C.C.F.M., A.A. Cense, ‘Boegineesche Zeekaarten van den Indischen Archipel’,

Tijdschrift van het Koninlijk Nederlandsch Aardrijkskundig Genootschap, Tweede Serie, Deel LII, Leiden, E. Brill, 1935, hal. 706-714

Page 69: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

69

Pohon-pohon yang membuahkan pala dan bunga pala itu tidak berbeda dengan pohon buah pir, tetapi daunnya lebih pendek dan bundar, baik untuk peneyembuh sakit kepala, untuk ibu dan untuk syaraf. Pala terbalut oleh tiga jenis kulit. Yang paling utama dan paling luar seperti daging kelapa, yang membalut buahnya, adalah bunga pala, yang berguna bagi obat-obatan. Buah pala menenangkan otak, menajamkan daya ingat, menghangatkan dan menguatkan tenggorokan, mengusir angin dari tubuh, menyegarkan nafas, melancarkan kencing dan menghentikan mencret. …bunga pala terutama baik untuk selesma dan untuk pria yang lemah, menghilangkan rasa marah dan memudahkan buang angin….Pohon cengkeh banyak dahannya dan bunganya tidak sedikit, yang kemudian menjadibuah-buah yang dinamakan ‘cloves’ karena bentunya mirip cakar atau ’claws’. Cengkeh banyak digunakan untuk memasak daging maupun meramu obat. Air cengkeh hijau yang disuling harum baunya, dan menguatkan jantung, yang sakit cacar menjadi berkeringat dengan cengkih, bunga pala, dan cabe hitam….Cengkeh memperkuat hati, tenggorokan, jantung, melancarkan pencernaan, memudahkan ke luarnya kencing, dan bila ditaruh di mata dapat memelihara penglihatan.55

Daya tarik rempah-rempah dari kepulauan Maluku telah menarik kedatangan para

pedagang pribumi dengan membawanya ke pusat-pusat pasar perdagangan di Jawa yang

terutama di Malaka. Dari Bandar Malaka inilah rempah-rempah menyebar ke Cina, India,

Asia Barat, dan Eropa. Laporan Van lindsshchotten di atas membawa pengaruh bagi

pelayaran kapal-kapal Belanda ke Maluku untuk mencari rempah-rempah. Perjalanan

kapal-kapal dagang asing dan pribumi terutama dari arah barat ke Maluku menjadikan

rute laut yang menyususri Laut Jawa, Laut Flores, dan Laut Banda menjadi sangat ramai.

Sudah barang tentu kapal-kapal tersebut akan menyinggahi daerah-daerah di Nusa

Tenggara sebagai tempat transit. Di samping itu daerah Nusa tenggara juga menghasilkan

produk-produk yang laku di kalangan pedagang asing terutama hasil kayu cendana,

madu, lilin, dan kayu sapan.

3.2.1. Sejarah Ekonomi menurut J.C. Van Leur

Sumbangan van Leur dalam penulisan sejarah Indonesia cukup besar artinya,

terutama kritikannya terdapat penulisan sejarah Hindia Belanda yang lebih banyak

bercorak Eropa sentris. Dalam kajiannya tentang sejarah perekonomian di Asia dan juga

55 Laporan Van Lindschotten dalam bukunya, Titinerario, Amsterdam, 1595, kutipan di atas merupakan terjemahan langsung oleh Wilard A. Hanna dan Des Alwi, dalam Ternate dan Tidore: Masa Lalu Penuh Gejolak, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996, hal. 9-10

Page 70: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

70

di Indonesia, van Leur mengemukakan bahwa selalam ini sejarawan Belanda lebih

memfokuskan peran orang-orang Belanda sendiri. Sehingga kekuasaan dan dominasi

VOC atas berbagai wilayah di Nusantara dianggap mewakili dinamika pelayaran dan

perdagangan di wilayah tersebut. Padahal dalam kajian van Leur, dia mengungkapkan

bahwa pelayaran dan perdagangan pribumi juga berkembang dengan pesat.56

Namun van Leur masih terpengaruh dengan cara pandang bahwa ekonomi Eropa

berkembang dengan baik karena adanya kapitalisme, sedangkan perdagangan pribumi

berekembang secara terbatas.

Kesimpulan dari penelitiannya menunjukkan bahwa kegiatan dan motivasi

ekonomi yang muncul dalam kegiatan pelayaran niaga adalah peeddling trade

(perdagangan penjaja). Peeddling trade adalah perdagangan dengan kapasitas dan ciri-

ciri tertentu. Pertama-tama perdagangan dilkukan dari satu tempat ke tempat lain, dari

pulau ke pulau, dari benua ke benua, dengan membawa sejumlah barang dagangan

tertentu yang tidak besar volumenya. Pedagang tersebut mengunjungi satu pelabuhan ke

pelabuhan yang lain sampai barang dagangannya habis. Tidak terdapat sikap yang

menonjol dalam kapitalisme modern, yaitu investasi modal dari keuntungan. Perbedaan

lainnya adalah bahwa barang dagangannya tidak banyak dibandingkan dengan

kapitalisme modern yang menghasilkan komoditas dalam jumlah massal. Sebab itu tidak

mengherankan bahwa barang yang diperdagangkan hanya barang yang mahal dan

mewah. Sementara itu ada sedikit pedagang besar yang didominasi oleh kaum bangsawan

(merchant gentlement.) 57

Dalam uraian selanjutnya Van Leur menggambarkan ukuran kapal-kapal layar di

Nusantara yang paling besar berbobot 100 ton, di India sekitar 200 ton, dan di Cina

sekitar 600 ton. Namun secara keseluruhan daya muat semua kapal di Nusantara

diperkirakan 50.000 ton.58 Dengan kaca mata Asia sentris Van Leur berupaya mengkritik

56 Dalam buku yang ditulis oleh Anthony Reid, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680:

Tanah di Bawah Angin, Jilid I, Yayasan Obor Indonesia, jakarta, 1992 dan Jilid II Anthony Reid, Dari Ekspansi Hingga Krisis: Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara 1450-1680, Yayasan Obor Indoensia, Jakarta, 1999, membuktikan tentang ramainya perdagangan di Nusantara sejak abad ke-15 sampai abad ke-17

57 RZ. Leirissa, “Dr. J.C. Van Leur dan Sejarah Ekonomi: Suatu Tinjauan Historiografi”, dalam Taufik Abdullah, eds., Sejarah Indonesia: Penilaian Kembali Karya Utama Sejarawan Asing, PPKB-LP UI, Depok, 1997, hal. 191

58 Taufik Abdullah, eds., op. cit., hal. 192

Page 71: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

71

para sejarawan kolonial yang tidak melihat perdagangan oleh orang Asia termasuk juga

di Nusantara sebagai sesuatu yang otonom yang ada sejak dahulu.

Banyak para sejarawan yang tertarik dengan konsep Van Leur tentang pandangan

Asia sentrisnya, namun tidak mengulas argumennya tentang perdagangan di Asia yang

dia tuliskan. Sebuah buku yang ditulis sejarawan ekonomi Inggris yang berasal dari India

yaitu Dr. K. N. Chauduri59 mengemukakan konsep emporia trade atau perdagangan

emporium. Penelitian Chauduri ini menyanggah pendapat Van Leur yang mengemukakan

tidak adanya perubahan selama ribuan tahun dalam pelayaran niaga di Asia. Menurutnya

sejak abad ke-10 M sudah muncul apa yang dinamakan emporia trade yaitu pelayaran

niaga melalui beberapa kota pelabuhan terbesar seperti Aden, Hormus, Calicut, Malaka,

Kanton, dan sebagainya.Para pedagang Asia berlayar dari satu emporia ke emporia lain

tanpa harus mengarungi seluruh rute perdagangan itu dari Asia Barat sampai ke Cina.60

Perdagangan seperti itu melahirkan bandar-bandar besar yang memiliki fasilitas yang

memadai untuk persinggahan kapal-kapal besar.

Konsep perdagangan emporia ini menggugurkan konsep Van Leur tentang

perdagangan penjaja. Menurut Chauduri perdagangan penjaja terlalu sederhana untuk

dipakai memahami pelayaran niaga di Asia sebelum abad ke-18. Menurutnya para

pedagang besar atau yang disebut oleh Van Leur sebagai merchant gentlement

merupakan kategori pedagang yang terpenting dan menentukan dalam pelayaran emporia.

Namun demikian kita berhutang budi kepada Van Leur karena telah berjasa membuka

cakrawala baru dalam penulisan sejarah di Indonesia.

59 K. N. Chauduri, Trade and Civilisation in The Indian Ocean: An Economic History from the Rise of Islam to 1750 , Cambritge, Univercity Press, Cambritge, 1989

60 Lihat artikel RZ. Leirissa, “Dr. J.C. Van Leur dan Sejarah Ekonomi: Suatu Tinjauan Historiografi”, dalam Taufik Abdullah, eds., op. cit., hal. 201-202

Page 72: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

72

3.2.2. Ekonomi dan perdagangan Maritim Periode Hindia Belanda

Dibangunnya Singapura sebagai pelabuhan membuat pengaruh Inggris dalam

perdagangan di Asia Tenggara meningkat pesat. Antara tahun 1830 sampai akhir 1860-an

pelayaran dagang antara Singapura dan pelabuhan-pelabuhan di Nusantara meningkat

pesat. Mulai dari perahu-perahu keci berbobot 20 ton sampai kapal-kapal yang

bermuatan 200 ton terutama dari Makasar, hilir mudik antara Singapura dan pelabuhan-

pelabuahn di luar pulau Jawa. Rata-rata ada 2000 kapal yang singgah di Singapura

pertahunnya, atau 6 kapal perhari. Dalam periode tersebut jumlah barang yang diangkut

lebih dari 200.000 metrik ton. Pelayaran yang menyinggahi Singapura terdiri atas tiga

jenis, yaitu pelayaran jarak jauh dengan wilayah Eropa, kedua, pelayaran regional Asia

Tenggara dan terakhir pelayaran lokal.61

Pelabuhan Singapura merupakan yang dipersiapkan secara matang oleh para

pembangunnya sejak 1819, ketika Inggris dan Belanda saling bertukar wilayah. Inggris

melepas Bengkulu dan Belanda memberikan semenanjung Melayu. Pelabuhan Singapura

betul-betul dipersiapkan sebagai bandar besar, atau pelabuhan laut dalam. Kondisi alam

pulau yang pantainya berlumpur menjadikan pekerjaan mengali atau mengorek lumpur

dan menghilangkan batu karang menjadi penting untuk mendapatkan pelabuhan yang

dapat disinggahi kapal-kapal besar, terutama setelah banyaknya kapal-kapal uap yang

berlayar ke Singapura.62

Pelayaran perahu-perahu Cina juga makin meningkat pada awal abad ke-19,

mereka juga mengganti kapal tradisional mereka, jung, dengan kapal yang bermuatan

lebih besar. Kapal-kapal Cina berdagang dengfan bayak wilayah di Nusantara, terlebih

lagi orang Ciuna sudah sejak berabad yang lampau menjadi pendatang di Sumatra,

Kalimantan, Sulawesi dan dikota-kota pelabuhan di Nusantara, jumlah mereka sekitar

135.000 orang atau sepersepuluh dari jumlah orang Cina di Asia Tenggara pada tahun

61 J. Thomas Lindblad, The Outer Islands in the Nineteenth Century: Contest for Periphery, dalam

Howard Dick, eds., The Emergence of a National Economy: An Economic History of Indonesia 1800-2000, edisi draf, Passau, 1999, hal. 97.

62 Hanizah Idris, Pelabuhan Singapura ‘A Port By Design’, 1819-1941, Jati, Jurnal Jabatan asia Tenggara, Fakulti Sastera dan Sains Sosial, Universiti Malaya No.1, 1995, hal.23-25

Page 73: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

73

1880. Selain itu perahu-perahu tradisional dari berbagai wilayah kepulauan juga ikut

meramaikan perdagangan interregional, meski muatan yang dibawanya kecil namun jika

ditotal sangat besar volume perdagangannya. Mereka melalui jalur pelayaran dari

daerah pinggirann menuju jalur utama pelayaran. Pelayaran perahu ini masih memainkan

peranan yang penting di perairan Indonesia sampai abad ke-20.63

Selain itu peran pedagang bugis yang berdagang ke Singapura sangat besar,

bahkan mereka memiliki kampung yang bernama ‘kallang’ di Singapura. Para pedagang

lokal Singapura secara berkala bertransaksi dengan para pedagang Bugis dalam jumlah

yang besar pada saat-saat tertentu yang mereka beri nama ‘Bugis Season’ , atau musim

Bugis. Kedatangan perahu-perahu Bugis ini merupakan panen besar bagi para pedagang

lokal, karena mereka membawa sejumlah besar barang yang bisa mereka beli. 64

Sementara itu sejak tahun 1824, pemerintah Belanda mendirikan Nederlansch

Handel-Maatschappij (NHM) atau Perusahaan Perdagangan Belanda. Perusahaan ini

menjadi perusahaan yang memiliki armada kapal yang mengangkut hasil-hasil dari

Hindia Belanda ke Eropa. Kapal-kapal Eropa lainnya juga melakukan hal yang sama,

terutama kapal-kapal Inggris. Perkembngan pelabuhan Singapura membuat pelabuhan

Makasar merosot perannya dalam perdagangan interregional dan regional. Karena

Belanda melarang perdagangan bebas di sini.

Selain itu Inggris juga mendirikan perusahaan pelayaran dengan bendera

Belanda, yaitu Nederlandsch Indie Stoomvaart-Maatschappij (NISM), dan menjadi

perusahaan pelayaran yang disewa pemerintah kolonial Hindia Belanda sejak 1865

sampai 1890. Namun pemerintah Hindia Belanda tidak ingin tergantung dengan

perusahaan tersebut, dan mendirikan perusahaan pelayaraan kerajaan, yaitu, Koninlijk

Paketvaart Maatschappij (KPM). Perusahaan ini kemudian mengambil alih pengiriman

paket pelayaran dari NISM yang telah habis masa kontraknya. KPM ini kemudian

mendapat keistimewaan dari pemerintah, seperti memonopoli pengiriman barang-barang

63 J. Thomas Lindblad, The Outer Islands in the Nineteenth Century: Contest for Periphery, dalam

Howard Dick, eds., The Emergence of a National Economy: An Economic History of Indonesia 1800-2000, edisi draf, Passau, 1999, hal. 98.

64 Howard Dick, eds., op.cit.,, hal. 99

Page 74: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

74

milik pemerintah, surat dan perjalanan pegawai pemerintah Hindia Belanda. Sejak itu

KPM telah mendominasi pelayaran di Hindia Belanda dengan menyinggahi 225

pelabuhan di seluruh kepulauan Hindia Belanda.65

3.2.3. Indonesia Pokok-Pokok Kajian Sejarah dan Budaya Masyarakat Maritim di Indonesia

Kelompok masyarakat maritim ini biasanya tinggal di perkampungan di

sepanjang pantai, teluk atau muara sungai. Mereka hidup dengan cara mengolah hasil laut

dan perdagangan antar pulau atau wilayah. Beberapa hal menarik yang perlu diperhatikan

bahwa karakter budaya maritim ditentukan oleh enam unsure (Van Leur dan Verhoeven,

1974:5-8), yaitu ;

a. Kedudukan geografinya berupa wilayah daratan yang dekat dengan laut,

b. Bentuk tanah dan pantainya

c. Luas wilayah daratan yang menghasilkan produk-produk komoditi

perdagangan maritim,

d. Jumlah penduduk yang hidup dari mengolah laut

e. Karakter maritim dari penduduk yang tinggal di wilayah tersebut

f. Sifat pemerintah (untuk kasus Indonesia dapat diterapkan ditingkat suku

bangsa, pemerintahan lokal atau pada masa lalu adalah kerajaan atau

kesultanan yang pernah ada pada suatu wilayah) dan lembaga-lembaganya

yang mendukung eksplorasi kearah laut.

Dari enam unsur di atas, kita dapat memetakan suku-suku bangsa manakah di

Indonesia yang memiliki semua atau sebagian dari unsure-unsur tersebut. Kemudian

dilakukan suatu penelitian baik itu yang bersifat pustaka mapun penelitian lapangan yang

menggunakan sumber-sumber sejarah lisan melalui wawancara atau tradisi lisan. Sebagai

upaya untuk memudahkan kajian terhadap masyarakat maritim ada baiknya kita lihat

beberapa rujukan berikut.

Dalam aspek kajian sosial budaya maritim dapat meliputi sebagian suku bangsa di

Indonesia, di mana sebagian besar penduduknya menggantungkan hidupnya dari

65 Howard Dick, eds., op.cit.,, hal. 111-112

Page 75: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

75

mengolah laut maupun menggunakan teknologi perahunya untuk melakukan pelayaran

dan perdagangan maritim. Keseluruhan aspek dari kehidupan dan kegiatan ekonomi

social, budaya dan religi yang terkait dengan dunia maritim ini dapat juga disebut sebagai

‘etnografi maritim’ (Sedyawati, 2005: 3-5).

Adapun tema-tema yang dapat dijadikan pokok kajian adalah:

a. Kosmologi dan mitologi yang berkenaan dengan laut. Sebagai contoh adanya

tokoh mitos Sawerigading dalam masyarakat Bugis, yang menjelajahi perairan Nusantara

dengan armada perahunya pada masa lalu, mitos tentang pelayaran nenek moyang orang

Lamalera di Pulau Lembata asal Luwuk, Sulawesi Selatan, yang ikut dalam pelayaran

armada Majapahit ke Maluku dan Nusa Tenggara. (Barnes, 1996)

b. Membuat deskripsi geografi pantai dan laut yang menjadi tempat tinggal

masyarakat maritim, seperti membuat catatan tentang satuan-satuan perairan yang

menjadi wilayah eksplorasi masyarakat maritim, seperti; pantai-pantai, laut lepas, muara-

muara sungai, teluk dan juga sungai-sungai yang menjadi penghubung wilayah

pedalaman (hinterland) dengan daerah pantai, termasuk juga mendeskripsikan iklim

sistem angin dan demografinya.

c. Peralatan untuk membuat perahu atau kapal kayu

d. Aspek kesenian dari budaya masyarakat maritim, seperti karya-karya sastra

berupa tradisi tulis, dan tradisi lisannya, seni tarinya, musik, seni rupa, seni tenunan,

kerajinan dan busana yang terkait dengan tradisi maritim

e. Teknologi perkapalan dan pelayaran, meliputi penggunaan tiang-tiang layar dan

layarnya, bentuk perahu, tonase, persenjataan, peralatan penangkap ikan, sistem navigasi,

peta, jalur-jalur pelayaran,

f. Jenis-jenis kota pelabuhan dan pemukiman-pemukiman suku-suku maritim.

Kota yang menjadi pusat kerajaan maritim hidup dari ekonomi perdagangan dan untuk

mengamankan jalur-jalur pelayarannya, dibentuklah armada angkatan laut. Kota-kota ini

juga harus dideskripsikan segregasinya dan munculnya kampung-kampung ditepi pantai,

akibat adanya pelayaran, perdagangan dan migrasi yang dilakukan oleh suku-suku

maritim, sebagai contoh di Kota Banten lama terdapat kampung Pamarican, dari kata

merica atau lada, yaitu tempat para pedagang merica, Pecinan (tempat tinggal pedagang

Page 76: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

76

Cina), Dermayon (tempat tinggal orang Indramayu), di Jakarta terdapat kampung Pekojan

(tempat tinggal penduduk dari anak benua India)

g. Organisasi pelayaran, seperti adanya pembagian tugas kerja dan juga termasuk

pembagian hasil keuntungan yang di Bugis dan Makasar disebut Amanna Gappa. Sistem

pajak dan upeti.

h. Catatan tentang pola pemukiman dan pola migrasi yang terjadi, adanya

bencana alam, seperti tsunami (ibeuna-Aceh), cerita mitos tenggelamnya

pulau Lepan Batan yang menjadi tempat tinggal nenek moyang orang

Lamalera, cerita banjir besar atau tsunami yang menghanyutkan orang Bajo

(berasal dari kata bajo-bajo atau bayang-bayang dari orang-orang yang

terseret air bah atau banjir).

i. Deskripsi tentang pasar-pasar lokal dan Jenis-jenis komoditi yang

diperdagangkan oleh mereka, baik produk dari pedalaman atau hasil laut yang

mereka eksplorasi. (Wahyono, 2000). Sebagai contoh lada menjadi mata

dagangan ekspor kerajaan Banjar, sehingga Babad Banjar mencatat bahwa

lada adalah ‘dagangan negri’. (Boomgaard, 1997). Selain itu ada contoh upeti

(wase) atau pajak yang dikenakan terhadap jual beli di pasar (pekan) Aceh

pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, dalam Hikayat Bustanus

Salatin dikutipkan:

‘Dan ialah yang memaknakan Bail Um Mal dan uzur negeri Aceh Dar-

us-Salam dan Cukai pekan dan ialah yang sangat murah karunianya akan

segala rakyat dan mengaruniai sedekah akan segala fakir miskin, pada

tiap-tiap berangkat sembahyang Jumat.’ (Poesponegoro, 1984: 267)

j. Sistem religi masyarakat yang tinggal diwilayah tersebut

k. Sistem hak ulayat laut (sea tenure) yang ada dan mekanisme adat yang

mengaturnya terkait sistem pengelolaan sumber daya laut yang

menggambarkan rumitnya usaha adaptasi yang dilakukan manusia dengan

lingkungan laut sekitarnya. Dan juga gambaran tentang kearifan masyarakat

yang melakukan pengaturan untuk tidak merusak laut dan habitatnya.

Page 77: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

77

l. Kekuasaan politik yang muncul, baik ditingkat lokal maupun adanya

kesultanan atau kerajaan yang ada.

Sebagai tambahan untuk melakukan kajian untuk mendokumentasikan kehidupan

masyarakat yang bercorak maritime kita dapat mendata beberapa hal yang dikemukakan

oleh David A. Taylor (1992):

1. Tentang berbagai hal yang bersifat tradisi lisan yang ada dalam

masyarakat maritime tersebut, seperti; legendanya, lagu-lagu rakyat,

cerita mitos dan asal usul nama tempat (toponimi)

2. Kemudian tentang kepercayaan-kepercayaan tradisional yang terkait

dunia maritime masyarakat. Misalnya adanya kepercayaan tentang

tahyul, nasib baik dan buruk, tanda-tanda alam yang dapat dipakai

memprediksi cuaca.

3. Adat kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat tersebut, berupa

upacara-upacara tradisional memberkati kapal, memulai menangkap

ikan dan upacara ritus peralihan

4. Kebudayaan fisik yang dihasilkan dalam masyarakat tersebut (material

culture), berupa bangunan perahu atau kapal, bagian-bagian

pembentuknya, peralatan penangkap ikan atau produk laut lainnya,

senjata dan lain-lain.

5. Cara dan kebiasaan makan, dan makna makanan tertentu dalam

masyarakat

Pokok-pokok bahasan tersebut tentunya dapat dikembangkan sesuai dengan

kebutuhan dan juga tingkat keluasan area yang dikaji. Sebagai contoh kita bias melihat

suatu wilayah satuan bahari mulai dari sebuah teluk atau selat yang kecil, muara sungai

sampai satuan bahari yang lebih besar seperti kawasan Laut Jawa, Laut Flores, Selat

Malaka, Selat Makasar, Laut Banda dan lain-lain. Dengan mendata point-poin diatas

diharapkan akan membantu kita yang hendak melakukan kajian peradaban sejarah atas

masyarakat maritime yang sangat dipengaruhi oleh karakteristik geografi dan

wilayahnya.

Page 78: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

78

3.3.3.1.Pentingnya Kajian Sejarah Maritim Lokal

Dengan demikian sebetulnya sudah sejak lama sejarah dan kehidupan bahari di

Nusantara itu sudah menyatu sebagai suatu kenyataan yang ada dari abad ke abad.

Namun kenyataan yang ada kajian sejarah bahari masih jauh dari cukup, seperti yang

diungkapkan oleh sejarawan A.B. Lapian dalam pidato guru besarnya yang mengambil

tema “Sejarah Nusantara Sejarah Bahari”.66 Sehingga studi tentang sejarah bahari dan

berbagai aspeknya sangat dibutuhkan bagi sebuah rekonstruksi sejarah Indonesia yang

lebih utuh.

Dalam tulisan AB. Lapian, pendekatan sejarah maritim indonesia harus bisa

melihat seluruh wilayah perairannya, sebagai pemersatu yang mengintegrasikan ribuan

pulau yang terpisah-pisah itu. Di samping itu integrasi yang dimaksudkannya bisa

beragam sesuai dengan kondisi geografisnya atau bisa juga dilihat dari sudut politis,

ekonomis, sosial, dan kultural. AB. Lapian juga memberikan pandangan bahwa kajian

tentang sejarah maritim dapat dimulai dari sejarah teluk kecil atau selat yang sempit

sebagai tempat para nelayan mengembangkan kegiatan matapencahariannya. Di samping

itu akibat adanya pengaruh politik dan ekonomi, kajian bisa ditingkatkan lebih luas lagi

dengan melihat selat dan laut yang lebih besar dan ramai oleh perdagangan. Semisal Selat

Makasar, Selat Malaka, Selat Madura, Laut Jawa, Laut Flores, Laut Sulawesi, dan lain-

lain.67

Dengan demikian kajian sejarah bahari di Indonesia terdiri atas berbagai macam

‘satuan bahari’ atau yang dikenal dengan sea systems. Menurut pandangan AB. Lapian,

heartland atau daerah inti dari sebuah negara kepulauan bukanlah suatu pulau melainkan

suatu wilayah maritim yang sentral letaknya. Dengan pendekatan seperti itu penulisan

sejarah dapat melahirkan deskripsi dan analisa yang baru.68

Gambaran yang cukup menarik diberikan oleh A.B. Lapian tentang beragam jenis

perahu dan kapal yang bisa dipakai oleh penduduk pribumi di Nusantara. Pilihan untuk

berlayar tersedia banyak jenis sarana, dengan sampan, perahu, jukung, galai, gobang,

66 AB. Lapian, Sejarah Nusantara Sejarah bahari: Pidato Pengukuhan Guru besar Luar Biasa,

Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 4 Maret 1992 67 AB. Lapian, op. cit., hal. 5-6 68 AB. Lapian, op. cit., hal. 6-7

Page 79: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

79

lancang, lepa-lepa, londe, padewakang, pencalang, pinisi, rah, soppe, wangkang, dan

berbagai sarana angkutan air lainnya. Jenis-jenis angkutan laut tersebut ini

mencerminkan kekayaan perbendaharaan alat angkutan yang digunakan untuk

mengadakan hubungan antar pulau. Beberapa di antaranya hanya dikenal dalam

lingkungan sukubangsa tertentu, sedangkan ada jenis perahu yang tersebar di seluruh

Nusantara. Berbagai jenis perahu yang disebut dalam daftar di atas mempunyai tingkat

kelayakan laut yang berbeda-beda.69

Selain itu kajian sejarah maritim juga membuka kajian yang luas tentang

komunikasi lintas budaya (cross cultural communication) lewat media laut antara satu

komunitas dan komunitas yang lain yang dapat menjadi dasar bagi proses integrasi di

kalangan masyarakat Indonesia. Laut telah menjadi sarana bagi terwujudnya persatuan,

pengangkutan, sarana pertukaran dan hubungan. Meski laut juga merupakan kondisi alam

yang dapat memisahkan kalau masyarakat tidak mengatasinya dengan pembangunan di

bidang teknologi perkapalannya.70

3.3.3.2. Beberapa pokok Kajian tentang Masyarakat Maritim71

Kelompok masyarakat maritim ini biasanya tinggal di perkampungan di

sepanjang pantai, teluk atau muara sungai. Mereka hidup dengan cara mengolah hasil laut

dan perdagangan antar pulau atau wilayah. Beberapa hal menarik yang perlu diperhatikan

bahwa karakter budaya maritim ditentukan oleh enam unsur (Van Leur dan Verhoeven,

1974:5-8), yaitu ;

g. Kedudukan geografinya berupa wilayah daratan yang dekat dengan laut,

h. Bentuk tanah dan pantainya

i. Luas wilayah daratan yang menghasilkan produk-produk komoditi

perdagangan maritim,

j. Jumlah penduduk yang hidup dari mengolah laut

k. Karakter maritim dari penduduk yang tinggal di wilayah tersebut

69 AB. Lapian, Sejarah Nusantara Sejarah bahari: Pidato Pengukuhan Guru besar Luar Biasa, Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 4 Maret 1992, hal.4

70 Singgih Tri Sulistiono, Pengantar Sejarah Maritim Indonesia, Jakarta, DIKTI, 2004, hal. 7 71 sebagian draft tulisan dikutip dari tulisan Penulis dalam draft Kajian Peradaban Maritim dalam

Buku Pedoman Kajian Geografi Sejarah oleh Agus Aris Munandar dkk, Direktorat Geografi Sejarah, Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala, 2006

Page 80: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

80

l. Sifat pemerintah (untuk kasus Indonesia dapat diterapkan ditingkat suku

bangsa, pemerintahan lokal atau pada masa lalu adalah kerajaan atau

kesultanan yang pernah ada pada suatu wilayah) dan lembaga-lembaganya

yang mendukung eksplorasi kearah laut.

Dari enam unsur di atas, kita dapat memetakan suku-suku bangsa manakah di

Indonesia yang memiliki semua atau sebagian dari unsure-unsur tersebut. Kemudian

dilakukan suatu penelitian baik itu yang bersifat pustaka mapun penelitian lapangan yang

menggunakan sumber-sumber sejarah lisan melalui wawancara atau tradisi lisan.

Dalam aspek kajian sosial budaya maritim dapat meliputi sebagian suku bangsa di

Indonesia, di mana sebagian besar penduduknya menggantungkan hidupnya dari

mengolah laut maupun menggunakan teknologi perahunya untuk melakukan pelayaran

dan perdagangan maritim. Keseluruhan aspek dari kehidupan dan kegiatan ekonomi

social, budaya dan religi yang terkait dengan dunia maritim ini dapat juga disebut sebagai

‘etnografi maritim’72

3.3.3.3. Tema Tema Pokok Kajian

a. Kosmologi dan mitologi yang berkenaan dengan laut. Sebagai contoh cerita

mitos tentang pelayaran nenek moyang orang Lamalera di Pulau Lembata asal Luwuk,

Sulawesi Selatan, yang ikut dalam pelayaran armada Majapahit ke Maluku dan Nusa

Tenggara, yang tersurat dalam ‘Syair Asal usul’ atau ‘Lia Asa Usu’. Orang Lamalera

juga memiliki cerita mitos tentang perahu tradisional mereka pertama yang dibuat nenek

moyangnya di pulau Lepanbatan yang kemudian diceritakan tenggelam karena bencana

alam, perahu peledang inilah yang membawa nenek moyang orang Lamalera ke pulau

Lembata.73 Dalam tradisi lisan yang dikenal oleh masyarakat Roti, mereka mengenal apa

yang disebut dengan tutui teteek (kisah nyata). Dikisahkan adanya seorang nusak di Tola

Manu (Termanu) yang melawan kompeni Belanda dan juga dikisahkan adanya

keterangan tentang ramainya pelabuhan dagang di Tola Manu. Kisahnya sebagai berikut:

72 Edi Sedyawati, ed, Eksplorasi Sumber Budaya Maritime, Jakarta, Departemen Kelautan dan

Perikanan RI dan PPKB, UI, 2005, hal. 3-5 73 lihat Ambrosius Oleana dan Pieter Tedu Bataona, Masyarakat Nelayan Lamalera dan Tradisi

Penangkapan Ikan Paus, Depok, Lembaga Galekat Lefo Tanah, 2001 dan R.H. Barnes, Sea Hunters of Indonesia: Fishers and Weavers of Lamalera, Oxford, Clarendon Press, 1996

Page 81: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

81

Pulau Roti menamakan Nusak Tola Manu, ‘Nusak yang membantai

kompeni’ (Nusa Manatati Koponi). Sebelumnya nusak Tola Manu disebut Koli

Oe do Buna Oe, kemudian dipendekkan menjadi Koli do Buna…….Dikatakan

bahwa ketika Koli do Buna masih merupakan pelabuhan besar, perahu dagang

tidak pernah berhenti berdagang mengunjungi Roti dan mereka biasanya berlabuh

di kota Leleuk; orang Buton, Makssar, Solor, Sawu, dan Ndau pergi dan datang.74

Dengan demikian dari cerita tutui teteek tersebut digambarkan juga adanya

pelayaran dan perdagangan yang dilakukan oleh orang-orang Buton, Makassar, Solor,

Sawu dengan menyinggahi pelabuhan di Pulau Roti.

b. Membuat deskripsi geografi pantai dan laut yang menjadi tempat tinggal

masyarakat maritim, seperti membuat catatan tentang satuan-satuan perairan yang

menjadi wilayah eksplorasi masyarakat maritim, seperti; pantai-pantai, laut lepas, muara-

muara sungai, teluk dan juga sungai-sungai yang menjadi penghubung wilayah

pedalaman (hinterland) dengan daerah pantai, termasuk juga mendeskripsikan iklim

sistem angin dan demografinya.

c. Peralatan atau teknologi untuk membuat perahu atau kapal kayu, sebagai

contoh perahu peledang yang dipergunakan oleh para nelayan Lamalera di Pulau

Lembata untuk berburu ikan paus. Perahu peledang ini merupakan perahu besar

sepanjang 9-10 meter dengan lebar 2 meter dan tinggi dinding perahu anatara 1 sampai

1,5 meter. Perahu ini dibangun dari bahan papan kayu (ara blikeng) dengan konstruksi

kuat tanpa menggunakan paku besi tetapi dari pasak kayu dan ikatan rotan.75 Selain itu di

Selat Sape, sebagai alat transportasi menangkap ikan orang Komodo membuat perahu

atau sampan yang terbuat dari kayu rengo atau kawu puah (bombax ceiba) yang bisa

74James J. Fox, Bahasa, Sastra dan Sejarah: Kumpulan karangan Mengenai masyarakat Pulau

Roti, Jakarta, Djambatan, 1986, hal. 14, 26, 28 75 lihat R.H. Barnes, Lamalerap: A Whaling Village in Eastern Indonesia, Jurnal Indonesia

(Cornell University), No. 17, April 1974, Lihat juga Ambrosius Oleana dan Pieter Tedu Bataona, Masyarakat Nelayan Lamalera dan Tradisi Penangkapan Ikan Paus, Depok, Lembaga Galekat Lefo Tanah, 2001 dan R.H. Barnes, Sea Hunters of Indonesia: Fishers and Weavers of Lamalera, Oxford, Clarendon Press, 1996

Page 82: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

82

bertahan selama tiga tahun, sedangkan sampan yang dibuat dari kayu pohon woh

(sterculia foetida) bisa bertahan selama sepuluh tahun.76

d. Aspek kesenian dari budaya masyarakat maritim, seperti karya-karya sastra

berupa tradisi tulis, dan tradisi lisannya, seni tarinya, musik, seni rupa, seni tenunan,

kerajinan dan busana yang terkait dengan tradisi maritim.

e. Teknologi perkapalan dan pelayaran, meliputi penggunaan tiang-tiang layar dan

layarnya, bentuk perahu, tonase, persenjataan, peralatan penangkap ikan, sistem navigasi,

peta, jalur-jalur pelayaran.77 Untuk kajian tentang perahu-perahu tradisional lihat juga

karya Horst Liebner, ‘.78 Untuk jalur-jalur pelayaran yang melewati wilayah utara Nuasa

Tenggara kemudian langsung ke Maluku, kemudian jalur selatan yang menyusuri ke

selatan via selat Lombok menuju bagian selatan Sumbawa kemudian menuju Sumba atau

Ende dan terus ke Kupang.79

f. Jenis-jenis kota pelabuhan dan pemukiman-pemukiman suku-suku maritim.

Kota yang menjadi pusat kerajaan maritim hidup dari ekonomi perdagangan dan untuk

mengamankan jalur-jalur pelayarannya, dibentuklah armada angkatan laut. Kota-kota ini

juga harus dideskripsikan segregasinya dan munculnya kampung-kampung ditepi pantai,

akibat adanya pelayaran, perdagangan dan migrasi yang dilakukan oleh suku-suku

maritim. Di Lombok ada Pelabuhan Labuhan Haji (Saboaji) dan Piju (Picu) di Lombok

Timur, Pelabuhan Ampenan dan Tanjungkarang di Lombok Barat, setiap pelabuhan

dipimpin oleh Subandar (syahbandar).

g. Organisasi pelayaran, seperti adanya pembagian tugas kerja dan juga termasuk

pembagian hasil keuntungan yang di Bugis dan Makasar disebut Amanna Gappa. Di

76 J.A.J. Verheijen, Pulau Komodo: Tanah, Rakyat, dan Bahasanya, Balai Pustaka, Jakarta, 1987, hal. 7-9

77 Untuk perkembangan perahu lokal di Nusa Tenggara lihat lihat R.H. Barnes, Lamalerap: A Whaling Village in Eastern Indonesia, Jurnal Indonesia (Cornell University), No. 17, April 1974, Lihat juga Ambrosius Oleana dan Pieter Tedu Bataona, Masyarakat Nelayan Lamalera dan Tradisi Penangkapan Ikan Paus, Depok, Lembaga Galekat Lefo Tanah, 2001 dan R.H. Barnes, Sea Hunters of Indonesia: Fishers and Weavers of Lamalera, Oxford, Clarendon Press, 1996, sedangkan orang Bali, Lombok, dan Sumbawa banyak didatangi oleh para pedagang Bugis dan Makasar yang mempengaruhi penggunaan perahu mereka pada masyarakat pedagang lokal, namun para pedagang Bugis dan Makasar dengan perahu padewakang dan pinisinya yang mewarnai pelayaran di Nusa Tenggara, lihat I Putu Suwitha, ‘Perahu Pinisi di Sunda kecil: Suatu Studi tentang Pola-pola perniagaan Abad XVIII-XIX, dalam Edi Sedyawati dan Susanto Zuhdi, ed., op. cit.,

78 Lihat Edi Sedyawati, ed, Eksplorasi Sumber Budaya Maritime, Jakarta, Departemen Kelautan dan Perikanan RI dan PPKB, UI, 2005

79 lihat I Gde Parimartha, Perdagangan dan Politik di Nusa Tenggara 1815-1915, Penerbit Djambatan-KITLV, Jakarta, 2002

Page 83: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

83

pelabuhan Bima yang menjadi pusat pemerintahan Kesultanan Bima di Sumbawa Timur,

pihak kesultanan mengeluarakan Hukum Adat Undang-Undang Bandar Bima yang

memuat aturan-aturan pembayaran bea cukai di bandar Bima, mengatur tentang izin dan

pelayanan kecelakaan pelayaran, mengatur perdagangan di Manggarai, mengatur

perjanjian dengan VOC soal pelayaran dan Perdagangan. Sebagai contoh kapal-kapal

Eropa yang singgah di Bima dikenakan bea 10 real untuk barang dagangan seberat 10

koyan (20 ton), kapal-kapal dari Jawa, yang singgah di Bima akan dikenakan bea 1 real

untuk muatan dagangan senilai 20 real, namun kapal yang hanya singgah tanpa

berdagang selama seminggu tidak dikenakan bea. Undang-Undang ini juga mengatur

larangan berdagang pada siang hari di hari Jumat dan menghukum para pelaut yang

berkelahi ditempat umum. Untuk peraturan yang diterapkan di Manggarai, terutama

dikenakan pada perdagangan dan kepemilikan budak.80

m. Catatan tentang pola pemukiman dan pola migrasi yang terjadi, adanya

bencana alam, seperti tsunami (ibeuna-Aceh), cerita mitos tenggelamnya pulau Lepan

Batan yang menjadi tempat tinggal nenek moyang orang Lamalera, cerita banjir besar

atau tsunami yang menghanyutkan orang Bajo (berasal dari kata bajo-bajo atau bayang-

bayang dari orang-orang yang terseret air bah atau banjir).

n. Deskripsi tentang pasar-pasar lokal dan Jenis-jenis komoditi yang

diperdagangkan oleh mereka, baik produk dari pedalaman atau hasil laut yang mereka

eksplorasi. Pelabuhan-pelabuhan di wilayah Lombok, Sumbawa, Flores, Timor, Sumba

merupakan pasar-pasar diwilayahnya masing-masing. Perbedaan komoditi yang khas

diantara pelabuhan-pelabuhan tersebut kemudian memunculkan pertukaran baik ditingkat

lokal maupun regional, bahkan ditingkat global. Sebagai contoh Pulau Sumbawa sudah

dikenal lama sebagai penghasil kayu sapan yang banyak tumbuh baik di Sumbawa Barat

(Alas, Utan), Dompo, Sanggar, Dompo dan Bima. Kayu sapan (Caesalpinia Sappan) atau

kayu Brazil dapat tumbuh antara 5-10 meter dan tumbuh liar dihutan-hutan di Sumbawa.

Dalam bahasa Melayu kayu ini dinamakan ‘sepang’, dan perahu yang dibuat dari kayu

sapan ini disebut dengan ‘sampan’. Kayu ini sudah lama dikenal sebagai bahan pembuat

perahu karena sifat kayunya yang keras, dan memiliki daya tahan di dalam air laut. Selain

80 Siti Maryam R. Salahudin (penyunting), Hukum Adat Undang-Undang Bandar Bima,

Mataram, Lengge, 2004

Page 84: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

84

untuk pasak kayu, perabot rumah tangga, kayu ini juga dipakai untuk pewarna merah

terbaik bagi tekstil, kertas dan cat oleh orang Cina, India dan Eropa. Tidak heran kayu

sapan banyak dicari oleh para pedagang lokal maupun dari Asia dan Eropa. Daerah

penghasil kayu sapan yang lain adalah di Siam (Thailand) dan Philipina. Bahkan menurut

catatan orang Portugis, Tome Pires (1513) melaporkan bahwa,”Pulau Bima (sic)

menghasilkan kayu Brazil (sapan-penulis) yang dijual ke Malaka, karena laku dipasaran

Cina. Kayu ima Brazil tipis dan kalah bersaing dengan Siam.” Sudah sejak awal

Perhimpunan Dagang Hindia Timur (VOC) membeli kayu sapan ini untuk

diperdagangkan ke wilayah lain, bahkan sejak perjanjian Bungaya 1667, Kesultanan

Bima tidak boleh menjual kayu sapan selain ke VOC, kecuali jalur lain melalui

perdagangan gelap. Pada tahun 1627 di negeri belanda harga kayu sapan bisa mencapai f

48-58 per 49,5 kg. Sedangkan saat itu harga lada hanya f 24 per 49,5 kg. Sejak saat itu

kayu sapan banyak dibeli oleh VOC melalui para Sultan di Sumbawa Besar, Dompo dan

Bima, namun eksploitasi ini berakibat makin menyusutnya hutan sapan pada abad ke-

19.81

Perdagangan opium (candu) juga merupakan komoditi perdagangan yang cukup

ramai diperdagangkan, meski Sultan Mataram (Lombok) melarang rakyatnya memakai

candu. Candu banyak diperdagangkan di Bali, Lombok, Sumbawa sampai ke Timor.

Kebanyakan candu didatangkan oleh pedagang Eropa, Bugis, Makasar dari Singapura.

Dengan harga f 10.000 per peti atau f 100 per kati (o,6 kg). Pada abad XIX, Pelabuhan

Padangbai di Karangasem, pelabuhan Tuban di Badung, candu dijual bebas di pasar.

Sementara itu di Sumbawa Besar dan Bima ada larangan berdagang candu oleh Sultan,

namun candu beredar lewat pasar gelap bahkan laporan pejabat Belandapada abad XIX

banyak pejabat kerajaan yang ikut mencandu.82

Perdagangan budak juga merupakan komoditi perdagangan yang sudah marak sejak

abad ke-16. Sumber utama budak terutama didatangkan dari wilayah Nusa Tenggara

81 Bernice de Jong Boers, ‘Sustainability and Time perspectives in Natural Resource

Management: Exploitation of Sappan Trees in the Forest of Sumbawa, Indonesia 1500-1875’, dalam Boomgaard, Peter, et.al.eds., Paper Landscapes: Explorations In The Environmental History of Indonesia, Leiden, KITLV, 1997

82 I Gde Parimartha, ‘opium dalam Sejarah di Nusa Tenggara Barat’, dalam Edi Sedyawati dan Susanto Zuhdi, eds, Arung Samudera: Persembahan Memperingati Sembilan Windu A.B. Lapian, Depok, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, LPUI, 2001

Page 85: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

85

(Bali, Lombok, sumbawa, Manggarai, Flores, Sumba, Rote, Sawu dan timor). Banyak

kajian-kajian yang menggambarkan bahwa perdagangan budak sejak abad ke-16 sampai

awal bad ke-19 adalah lumrah, sebelum Inggris dan Belanda kemudian melarangnya pada

pertengahan abad ke-19. Sebagai contoh Pulau bali merupakan penyedia budak yang

sangat besar bagi VOC di Batavia, mereka dipekerjakan di perkebunan tebu disekitar

Batavia, sebagai tukang, dan juga direkrut sebagai serdadu. Pada tahun 1673 ada 27.068

budak dan 1681 ada 30.740 budak yang berasal dari kepulauan Indonesia Timur. Para

Raja dan Sultan menjadi pihak yang mengorganisasikan perdagangan budak. Bahkan

para pelaut Bugis dan Makasar mencari budak dengan cara menculik penduduk dengan

melakukan serangan bersenjata ke Tambora, Dompu, Manggarai, sepanjang pantai utara

Flores dan Sumba. Menurut laporan pelaut Portugis, Duarte Barbosa tahun 1516

menceritakan bahwa kapal-kapal yang datang dari arah Indonesia Timur menuju Jawa

dan Malaka tidak hanya membawa muatan cendana, kuda, madu, lilin dan lada tetapi juga

budak.83

Selain itu sejak abad XVIII diwilayah Nusa Tenggara menjadi ramai oleh kehadiran

kapal-kapal Bugis dan Makasar yang mencari tripang (Holothuria), produk laut yang

sangat mahal harganya dipasaran Cina. Selain dihasilkan di perairan Sumbawa, Flores,

Sumba, Rote dan Timor. Pelaut Bugis dan makasar juga berlayar ke perairan utara

australia untuk mencari tripang. Untuk kajian lebih jauh lihat tulisan C.C. Macknight, AA

Cense, HJ. Heeren dan Heather Sutherland.84

o. Sistem religi masyarakat yang tinggal diwilayah tersebut

p. Sistem hak ulayat laut (sea tenure) yang ada dan mekanisme adat yang

mengaturnya terkait sistem pengelolaan sumber daya laut yang menggambarkan rumitnya

usaha adaptasi yang dilakukan manusia dengan lingkungan laut sekitarnya. Dan juga

83 lihat I Gde Parimartha, Perdagangan dan Politik di Nusa Tenggara 1815-1915, Penerbit

Djambatan-KITLV, Jakarta, 2002, lihat Alfons de Kraan, ‘Bali: slavery and Slave Trade’, dan Heather Sutherland, ‘Slavery and The Slave Trde in South Sulawesi 1660s-1800s’, dalam Anthony reid, ed, Slavery, Bondage & Dependency in Southeast asia, St Lusia, University of Qoueensland Press, lihat juga Rodney Needham,’Sumba and The slave Trade’, makalah seminar Center for comparative Studies on Southeast asia, Oxford, Januari 1983, working Paper No. 31. 84 Lihat C.C. Macknight, The Voyage to Marege’: Macassar Trepangers in Northern Australia, Melbourne University Press, 1976, lihat juga Heather Sutherland, ‘Trepang and Wangkang: China Trade of Eighteenth-Century Makassar c. 1720s-1840s’, Bijdragen tot de Taal –Land En Volkenkunde (BKI), Deel 156.3, tahun 2000., lihat juga A.A. Cense dan H.J. Heeren, Pelajaran dan Pengaruh Kebudajaan Makasar-Bugis di Pantai Utara Australia, Bhratara, Jakarta, 1972

Page 86: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

86

gambaran tentang kearifan masyarakat yang melakukan pengaturan untuk tidak merusak

laut dan habitatnya.

q. Kekuasaan politik yang muncul, baik ditingkat lokal maupun adanya

kesultanan atau kerajaan yang ada. (Kerajaan-kerajaan di Bali, Kesultanan di Lombok,

Sumbawa, Kerajaan-kerajaan di Flores dan Timor) sebagai contoh Kerajaan Lombok

yang menjadi kaya karena perdagangan beras. Para penguasa di Lombok menjadi kaya

dan makmur bukan karena aktifitas ekonomi dan perdagangan yang mereka jalankan

namun hasil dari pajak yang mereka tarik dari para petani. Kekuatan politiklah yang

menjadikan mereka kaya. Selain itu kekayaan Raja Lombok juga berasal dari kontrol atas

dua pelabuhan, yaitu Ampenan di barat dan Labuhanhaji di timur. Banyaknya pedagang

Arab dan Cina yang datang membuat perdagangan menjadi ramai dan raja memungut

cukai atas perdagangan. Menurut van Der Kraan dalam bukunya, Lombok: Conquest,

Colonization and Underdevelopment 1870-1940, disebutkan bahwa penghasilan yang

diterima Raja Lombok karena mengontrol pelabuhan dan perdagangan sekitar f. 126.625

pertahun.85

Peningkatan produksi beras di Nusa Tenggara pada abad ke-19, memicu

perdagangan beras yang ramai, terutama mengeksportnya kedaerah lainnya di Nusa

Tenggra di mana tanah sawah sangat sedikit. Di Lombok pada abad ke-19, termasuk

daerah yang cukup subur dengan luas sawah irigasi lebih dari 25.000 Ha dan lebih dari

45.000 Ha sawah tadah hujan. Sehingga Lombok merupakan daerah dengan hasil beras

yang melimpah. Pada tahun 1890, Lombok mengeksport beras seharga 20.000

rijksdaalder, minyak kelapa 600 rijksdaalder, dan tembakau 13.000 rijksdaalder. Serta

mengimpor opium seharga 4200 rijsdaalde, tekstil 3200 rijksdaalder dan Arak dan Brendi

senilai 900 rijsdaalder.86 Selain itu juga kuda dan teripang merupakan mata dagangan

ekspor dari Lombok.

Barang-barang tersebut seringkali dipertukarkan dengan produk-produk tekstil,

senjata, porselaian, sutera dan juga opium. Perdagangan opium di Lombok berasal dari

para pedagang Inggris, Belanda dan Bugis sejak tahun 1840-an. Perdagangan ini

dilakukan secara sembunyi-sembunyi karena raja Lombok melarang pemakaian opium,

85 Alfons van der Kraan, Lombok: Conquest, Colonization and Underdevelopment 1870-1940,

ASAA, Singapore-Heinemann Educational Books (Asia) Ltd, 1980, hal. 11 86 Alfons van der Kraan, op.cit., hal. 11-12

Page 87: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

87

meski dia mempunyai pabrik pengolahan opium di Bali yang dikerjakan oleh orang Cina.

Bisnis opium ini memberikan keuntungan yang besar bagi raja, karena banyak orang

Cina dan Bali menghisap opium atau candu.

Penutup

Uraian yang singkat dari makalah pengantar diskusi ini dengan contoh-contoh

kasus penelitian sejarah maritim lokal tersebut tentunya sangat tidak memadai, namun

begitu beberapa contoh diatas dapat dijadikan awal dari kajian sejarah maritim lokal yang

lebih jauh dan lebih mendalam lagi seperti yang kami kutip dari sumber karya-karya

sejarawan dan antropolog yang telah menuliskannya. Semoga makalah ini dapat menjadi

pemiju penelitian lebih lanjut. Untuk itu saran dan kritik akan saya terima dengan senang

hati

3.2.4. Indonesia Pokok-Pokok Kajian Sejarah dan Budaya Masyarakat Petani-Sawah

atau Masyarakat Agraris

Peradaban masyarakat agraris dapat dijumpai diseluruh dunia, baik dalam

lingkungan tropis, sub-tropis maupun lingkungan dingin. Untuk wilayah Indonesia,

sistem bercocok tanam padi sawah atau agraris ini umumnya terdapat di Jawa dan Bali,

juga terdapat dibeberapa wilayah di Aceh, Sumatera Barat, Lampung, Sulawesi Selatan,

Lombok dan Sumbawa. Peradaban agraris telah melahirkan peradaban yang maju di Jawa

dan bali, hal ini dapat kita lihat dari peninggalan-peninggalan yang sangat maju dari sisa-

sisa kerajaan Mataram Hindu, Syailendra, Kediri, Majapahit, Pajajaran dan banyaknya

kerajaan yang muncul dan berkembang di Bali sejak abad ke-10 sampai awal abad ke-20.

kajian tentang sejarah Pertanian dan pedesaan juga bisa dilakukan sejak masuknya

bangsa Barat, terutama eksploitasi kolonial Belanda yang sejak awal abad ke-19

memberlakukan kebijakan Cultuur Stelsel atau sistem perkebunan yang dipaksakan

kepada penduduk Jawa dan Sumatera sebagai kewajiban membayar pajak. Sedangkan

sejak tahun 1870, sejak dikeluarkan UU Agraria memunculkan sistem perkebunan swasta

(ekonomi liberal) yang sangat mempengaruhi perubahan masyarakat terutama di Jawa

dan Sumatera. Kajian juga dapat dilanjutkan dari masa kemerdekaan sampai saat ini.

Page 88: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

88

Seperti halnya dengan kajian peradaban maritim, maka kajian peradaban agraris

juga dapat dilakukan dengan mendata poin-poin di bawah ini, dengan catatan bahwa

setiap wilayah dengan pengaruh lingkungan geografi tertentu dapat berbeda antara satu

tempat dengan tempat yang lain. Beberapa hal yang bisa dijadikan bahan untuk

direkonstruksi adalah;

a. Legenda tentang asal-usul masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut.

Sebagai contoh penduduk pertama pulau Jawa adalah kedatangan bangsa Rum

dan para penguasa Jawa berasal dari dewa-dewa Hindu dan nabi-nabi Islam,

atau Orang Bali yang percaya mereka keturunan masyarakat kerajaan

majapahit dari Jawa Timur.

b. Deskripsi demografi (kependudukan)

Membuat deskripsi geografi yang menjadi tempat tinggal masyarakat agraris,

seperti membuat catatan tentang satuan-satuan tanah yang dijadikan areal persawahan,

karena setiap wilayah memiliki nama-nama yang khas bagi peruntukan tanah.

c. Upacara ritus peralihan atau upacara yang dilakukan ketika kelahiran sampai

pasca kematian warga penduduk tersebut.

d. Religi masyarakat di wilayah tersebut dan upacara terkait kegiatan bercocok

tanam

e. Kosmologi dan mitologi yang berkenaan dengan masyarakat agraris. Cerita

tentang Dewi Sri yang dipuja sebagai dewi kesuburan di Jawa dan Bali, juga ditempat-

tempat lain ada juga kepercayaan tentang dewi padi.

f. Peralatan yang diperlukan untuk mengolah tanah dan bercocok tanam.

g. Aspek kesenian dari budaya masyarakat agraris, seperti karya-karya sastra

berupa tradisi tulis, dan tradisi lisannya, mantra-mantra, seni tarinya, musik, seni rupa

dan busana (kain batik dengan beragam motifnya) yang terkait dengan tradisi agraris.

h. Teknologi yang dipakai untuk mengolah tanah, pada saat panen dan pasca

panen. Termasuk juga peralatanyang dihasilkan, peralatan membuat tekstil atau tenunan

i. Perkembangan kota-kota di pedalaman yang ekonominya bertumpu pada

ekonomi pertanian atau agraris. Dijelaskan masalah demografinya (kependudukannya),

aspek pelapisan sosial penduduknya (bangsawan, priyayi, orang bebas (to maradeka

dalam masyarakat Bugis dan Makasar) aspek sosial dan militernya yang bertumpu pada

Page 89: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

89

kekuatan prajurit darat, dan juga segregasi(pembagian atau pemisahan) penduduk

berdasarkan etnis atau profesinya, misalnya di kota-kota dipedalaman Jawa Tengah

terdapat kampung pandean (tukang pande besi/kerajinan), pejagalan (tempat

pemotongan hewan, tamtaman (kampung prajurit), loji (tempat tinggal orang Eropa),

kauman (kampung santri) dan lain-lain.

j. Pertumbuhan pasar-pasar desa, di Jawa dikenal hari pasaran (buka pasar pada

hari tertentu)., seperti Pon, Wage, Kliwon, Paing dan Legi (di Sunda disebut

Manis).

k. Munculnya kekuasaan politik lokal sampai kerajaan Besar seperti Majapahit,

mataram Islam, dan banyak kerajaan di Bali.

l. Sistem pertanian dan Kehidupan petani sebelum dan sesudah kedatangan

Bangsa Barat, sampai abad ke-18.

m. Pengaruh sistem cultuur stel sel dan sistem ekonomi liberal terhadap

kehidupan masyarakat petani di Jawa dan Sumatera.

n. Jenis-jenis alat transportasi di daerah pertanian dan perkebunan, penggunaan

gerobak sapi, bahkan di Jawa Tengah sejak akhir tahun 1860-an sudah dikenal

transportasi kereta api yang menghubungkan Semarang-Solo-Yogyakarta.

o. Sistem pemerintahan di wilayah swapraja (Vorstenlanden) di Yogyakarta dan

Surakarta. Termasuk hubungan antara tuan tanah (bangsawan, priyayi) dengan

para cacahnya (petani penggarap), sistem pajak atau upeti dan sistem bagi

hasilnya.

p. Pemberontakan yang dilakukan oleh petani terhadap kekuasaan kolonial yang

yang menekan mereka dan fenomena perbanditan atau kejahatan sosial di

pedesaan (Kartodirdjo, 1983 dan Suhartono, 1991).

Sebagai tambahan untuk melakukan kajian untuk mendokumentasikan kehidupan

masyarakat yang bercorak agraris, dapat dilakukan dengan menadaptasikan kajian yang

dilakukan David A. Taylor (1992), yaitu:

1. Tentang berbagai hal yang bersifat tradisi lisan yang ada dalam masyarakat

agraris tersebut, seperti; legendanya, lagu-lagu rakyat, cerita mitos dan asal

usul nama tempat (toponimi)

Page 90: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

90

2. Kemudian tentang kepercayaan-kepercayaan tradisional yang terkait dunia

agraris. Misalnya adanya kepercayaan tentang tahyul, nasib baik dan buruk,

keberhasilan atau kegagalan panen, tanda-tanda alam yang dapat dipakai

memprediksi cuaca.

3. Adat kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat tersebut, berupa upacara-

upacara tradisional ketika memulai menanam, memelihara, pada masa panen,

oragnisasi adat yang mengurusi pertanian (contoh subak di Bali), maupun

pasca panen. dan upacara ritus peralihan

4. Kebudayaan fisik yang dihasilkan dalam masyarakat tersebut (material

culture), berupa bangunan rumah tinggal, lumbung, bekas istana-istana

kerajaan, pola perkampungan, bangunan irigasi,

5. Cara dan kebiasaan makan, dan makna makanan tertentu dalam masyarakat.

Page 91: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

91

DAFTAR SUMBER

Alimuddin, Muhammad Ridwan, Orang Mandar Orang Laut: Kebudayaan Bahari

Mandar Mengarungi Gelombang Perubahan Zaman, Jakarta, KPG-Yayasan Adikarya IKAPI, 2005

Asnan, Gusti, ‘Dari sungai ke Jalan Raya: Perubahan Sosial-Ekonomi di Daerah

Perbatasan Sumatra Barat-Riau pada awal Abad XX’ dalam Edi Sedyawati dan Susanto Zuhdi, eds, Arung Samudera: Persembahan Memperingati Sembilan Windu A.B. Lapian, Depok, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, LPUI, 2001

Barnes, R.H., Sea Hunters of Indonesia: Fishers and Weavers of Lamalera, Oxford,

Clarendon Press, 1996 Braudel, Fernand, The Mediterranean and The Mediterranean World in the Age of Phillip

II, vol. I, New York, Fontana /Collins, Harper & Row, fourth edition, 1981 Boomgaard, Peter, et.al.eds., Paper Landscapes: Explorations In The Environmental

History of Indonesia, Leiden, KITLV, 1997 Burke, Peter, The French Historical Revolution: The Annales School, 1929-1989,

Stanford: Stanford University Press. 1990 . Daldjoeni, N. Seluk beluk Masyarakat Kota, 1978 Fox, James J., Panen Lontar: Perubahan Ekologi dalam Kehidupan Masyarakat Rote

dan Sawu, Jakarta, Sinar Harapan, 1996 Geertz, Clifford, Santri Abangan, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Jakarta, Pustaka Jaya,

1983 Iskandar, Johan, Ekologi Perladangan di Indonesia: Studi Kasus dari daerah Baduy

Banten selatan, Jawa Barat, Jakarta, Djambatan, 1992 Kana, Niko L., Dunia Orang Sawu, Jakarta, Sinar Harapan, 1983 Kartodirdjo, Sartono, Pemberontakan Petani Banten 1888, Jakarta, Pustaka Jaya, 1984 Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi Jilid I dan II, Jakarta, Rineka Cipta, 1998 Lapian, A.B., ‘Orang Laut-Bajak Laut-Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Pada

Abad XIX’, Disertasi pada Universitas Gadjah Mada, 20 April 1987

Page 92: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

92

van Leur, J.C. dan F.R.J. Verhoeven, Teori Mahan dan Sejarah Kepulauan Indonesia, Bhratara, 1974

Liebner, Horst H., ‘Perahu-Perahu Tradisional Nusantara: Suatu Tinjauan Sejarah

Perkapalan dan Pelayaran dalam Edi Sedyawati,’Kajian Maritim Aspek Sosial-Budaya Ragam dan Peluangnya, dalam Edi sedyawati, ed., Eksplorasi Sumber Budaya Maritim, Jakarta, Departemen Kelautan dan Perikanan RI dan PPKB-DRPM Universitas Indonesia, 2005

Lohanda, Mona,’ Bekerja dengan Sumber Sejarah: sebuah pengalaman Intelektual.’ Lombard, Dennis, Nusa Jawa Silang Budaya, Jilid I Batas-Batas Pembaratan, Jilid II

Jaringan Asia, Jilid III Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris, Jakarta, Gramedia, 1996

Melalatoa, Junus, Sistem Budaya Indonesia, Jakarta, Pamator, 1997 Pelras, Christian, Manusia Bugis, Jakarta, Forum Jakarta-Paris, EFEO, 2006 Poesponegoro, Marwati Djoened. Eds., Sejarah Nasional Indonesia, Jilid III, Jakarta,

Balai Pustaka, 1984 Rahardjo, Supratikno, Peradaban Jawa Abad ke-8 Sampai dengan Abad ke-15: Sebuah

Kajian Tentang Dinamika Pranata-Pranata Politik, Agama dan Ekonomi, Jawa Kuno, Jakarta, Komunitas Bambu, 2002

Reid, Anthony, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680: Jilid I, Tanah di Bawah

Angin, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1992 __________, Dari Ekspansi Hingga Krisis: Jaringan Perdagangan Global Asia

Tenggara 1450-1680, Yayasan Obor Indonesia, 1999 Edi Sedyawati dan Susanto Zuhdi, eds, Arung Samudera: Persembahan Memperingati

Sembilan Windu A.B. Lapian, Depok, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, LPUI, 2001

Sedyawati, Edi ed., Eksplorasi Sumber Budaya Maritim, Jakarta, Departemen Kelautan

dan Perikanan RI dan PPKB-DRPM Universitas Indonesia, 2005, Soedjatmoko, Historiografi Indonesia: Sebuah Pengantar, Jakarta, Gramedia, 1995 Suhartono, Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta 1830-1930,

Yogyakarta, Tiara wacana, 1991

Page 93: Modul I Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran : Content ...

93

Wangania, J., Jenis-Jenis Perahu di Pantai Utara Jawa Madura, Jakarta, Ditjen Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1980/1981

Wahyono, Ary, dkk, Hak Ulayat laut di Kawasan Timur Indonesia, Yogyakarta, Media

Pressindo, 2000