Modul Evaluasi Hasil Belajar Genap 1415

32
EVALUASI HASIL BELAJAR FISIKA 1. Evaluasi, Pengukuran, dan Tes Masih sering kita jumpai bahwa para guru fisika kurang benar dalam menafsirkan istilah evaluasi, pengukuran, dan tes. Ketiganya sering digunakan secara sinonim. Pada kenyataannya, ketiganya mempunyai hubungan dekat, tetapi berbeda dalam proses. Untuk menghindari kesalahtafsiran ketiga istilah tersebut, maka masing-masing istilah perlu didefinisikan. Evaluasi atau penilaian didefinisikan sebagai suatu proses untuk mengambilt keputusan terhadap kriteria yang dipilih sebagai nilai tentang benda-benda atau ide-ide, didasarkan pada data yang relevan (Farmer dan Farrell, 1979). Zainul dan Nasoetion (1996) mendefinisikan peilaian sebagai proses untuk mengambil keputusan dengan menggunakan informasi yang diperoleh melalui pengukuran hasil belajar, baik yang menggunakan instrumen tes maupun non-tes. Pengukuran diartikan sebagai pemberian angka kepada suatu atribut atau karakteristik tertentu yang dimiliki oleh orang, hal, atau obyek tertentu menurut aturan atau formulasi yang jelas (Zainul dan Nasoetion, 1996). Ketika kita mengukur kemampuan siswa kelas I SMU dalam menggunakan jangka sorong, yang kita ukur bukan siswa tetapi atribut atau karakteristik siswa, yaitu: kemampuannya menggunakan jangka sorong. Pengukuran pendidikan adalah salah satu pekerjaan profesional guru, instruktur, dan guru. Sehingga apabila ada guru yang tidak dapat melakukan pengukuran pendikan dapat dikatakan guru yang kurang atau tidak profesional. Tes yang dimaksud di sini didefinisikan sebagai suatu pertanyaan atau tugas atau seperangkat tugas yang direncanakan untuk memperoleh Instrumen B-

description

tugas

Transcript of Modul Evaluasi Hasil Belajar Genap 1415

EVALUASI HASIL BELAJAR

EVALUASI HASIL BELAJAR FISIKA

1. Evaluasi, Pengukuran, dan Tes

Masih sering kita jumpai bahwa para guru fisika kurang benar dalam menafsirkan istilah evaluasi, pengukuran, dan tes. Ketiganya sering digunakan secara sinonim. Pada kenyataannya, ketiganya mempunyai hubungan dekat, tetapi berbeda dalam proses. Untuk menghindari kesalahtafsiran ketiga istilah tersebut, maka masing-masing istilah perlu didefinisikan.

Evaluasi atau penilaian didefinisikan sebagai suatu proses untuk mengambilt keputusan terhadap kriteria yang dipilih sebagai nilai tentang benda-benda atau ide-ide, didasarkan pada data yang relevan (Farmer dan Farrell, 1979). Zainul dan Nasoetion (1996) mendefinisikan peilaian sebagai proses untuk mengambil keputusan dengan menggunakan informasi yang diperoleh melalui pengukuran hasil belajar, baik yang menggunakan instrumen tes maupun non-tes.

Pengukuran diartikan sebagai pemberian angka kepada suatu atribut atau karakteristik tertentu yang dimiliki oleh orang, hal, atau obyek tertentu menurut aturan atau formulasi yang jelas (Zainul dan Nasoetion, 1996). Ketika kita mengukur kemampuan siswa kelas I SMU dalam menggunakan jangka sorong, yang kita ukur bukan siswa tetapi atribut atau karakteristik siswa, yaitu: kemampuannya menggunakan jangka sorong. Pengukuran pendidikan adalah salah satu pekerjaan profesional guru, instruktur, dan guru. Sehingga apabila ada guru yang tidak dapat melakukan pengukuran pendikan dapat dikatakan guru yang kurang atau tidak profesional.

Tes yang dimaksud di sini didefinisikan sebagai suatu pertanyaan atau tugas atau seperangkat tugas yang direncanakan untuk memperoleh informasi tentang trait atau atribut pendidikan atau psikologik yang setiap butir pertanyaan atau tugas mempunyai jawaban atau ketentuan yang dianggap benar (Zainul dan Nasoetion, 1996). Hasil belajar fisika merupakan salah satu contoh atribut pendidikan. Kematangan seseorang adalah salah satu contoh atribut psikologik. Pedoman wawancara dan observasi merupakan contoh-contoh dari instrumen non-tes.

Dari uraian di atas dapat kita pahami bahwa tes atau non-tes merupakan instrumen atau alat untuk mengukur atribut pendidikan. Tes Hasil Belajar (THB) Siswa Kelas I SMU tentang Besaran, Satuan, dan Angka Penting merupakan contoh alat atau instrumen untuk mengukur kemampuan konsep besaran, satuan, dan angka penting siswa. Di sini kita hanya akan belajar tentang tes, sedangkan instrumen non-tes akan kita pelajari pada bahasan berikutnya. Pembahasan tentang tes meliputi: bagaimana merencanakan tes, mengkonstruksi butir soal, mengolah hasil tes, dan menganalisis soal.

2. Merencanakan Tes

Beberapa hal yang perlu dipikirkan dalam merencanakan tes adalah pengambilan sampel dan pemilihan butir soal, tipe tes yang digunakan, aspek yang akan diuji, format butir soal, jumlah butir soal, dan distribusi tingkat kesukaran butir soal.

a. Pengambilan sampel dan pemilihan butir soal

THB terdiri atas butir-butir soal yang terpilih, yang secara akademik dapat dipertanggungjawabkan sebagai sampel yang representatif dari ilmu atau bidang studi yang diuji dengan perangkat tes tersebut. Pemilihan sampel ini didasarkan pada pertimbangan pentingnya konsep, generalisasi, dalil, atau teori yang diuji dalam hubungannya dengan peranannya terhadap bidang studi tersebut secara keseluruhan. Untuk mendapatkan sampel yang representatif, biasanya bidang studi itu dipilah-pilah menjadi beberapa pokok bahasan dan sub pokok bahasan. Jumlah pokok bahasan atau sub pokok bahasan tidak ada batasan, yang penting adalah tingkat kontribusinya terhadap keluasan pokok dan atau sub pokok bahasan itu.

b. Tipe-tipe Tes

Menurut Ebel dan Frisbie (1986), tes dibagi menjadi tiga, yakni: obyektif, esai, dan problematika. Selain itu juga dikenal tes lisan dan tes penampilan. Anggapan bahwa tipe soal satu lebih baik dari yang lain adalah tidak benar. Pemilihan tipe tes tergantung pada kemampuan dan waktu yang tersedia pada penyusunan tes, bukan aspek yang akan diukur.

c. Aspek kemampuan yang akan diukur/diuji

Aspek yang akan diuji ini merupakan kemampuan apa yang ditargetkan dalam rumusan tujuan pembelajaran. Jika menggunakan taksonomi Bloom, kemampuan ini bisapada ranah kognitif, psikomotor, atau afektif. Setiap kemampuan inipun masih dipilah dalam tingkat-tingkat. Misalnya untuk ranah kognitif pada tingkat c1, c2, c3, c4, c5, atau c6. Begitupula untuk ranah psikomotor dan afektif.

d. Format butir soal

Baik tipe soal obyektif maupun esai mengenal berbagai format biasa. Misalnya pada tes obyektif, format A untuk pilihan ganda biasa; format B untuk pilihan ganda nalisis hubungan antar hal, dan lain-lain.Perbedaan antar format tidak terletak pada efektivitasnya mengukur tingkat kemampuan, tetapi pada penerkaannya (peserta tes kurang menguasai materi yang diteskan).

e. Jumlah butir soal

Tidak ada ketentuan berapa jumlah butir soal yang harus dibuat dalam suatu perangkat tes. Jumlah butir soal berkaitan dengan reliabilitas dan representasi isi bidang studi yang diteskan. Walaupun tidak ada ketentuan tentang jumlah butir soal, tetapi jumlahnya harus direncanakan, yaitu: berapa jumlah keseluruhan, jumlah untuk setiap pokok/sub pokok bahasan, jumlah setiap format, jumlah tiap kategori tingjat kesukaran, dan jumlah untuk setiap tingkat pada setiap ranah. Selain itu juga perlu mempertimbangkan waktu, biaya yang tersedia, dan kekpmpleksitasan yang dituntut dalam tes.

f. Distribusi tingkat kesukaran

Tingkat kesukaran butir soal pertimbangannya ada pada penulis soal.Tes yang baik adalah tes yang mampu membedakan antara siswa yang belajar dan yang tidak belajar. Para ahli berpendapat bahwa tes yang baik mempunyai tingkat kesukaran di sekitar 0,5. Ada pertimbangan bahwa butir soal yang tingkat kesukaran rendah sebaiknya diletakkan pada awal tes dan yang tingkat kesukarannya tinggi pada akhir perangkat tes. Pertimbangan ini dimaksudkan agar siswa termotivasi untuk mengerjakan seluruh butir soal.

g. Kisi-kisi tes

Untuk menggambarkan proporsi banyaknya butir soal pada setiap pokok/sub pokok bahasan dan setiap kategori untuk setiap ranah (kognitif, afektif, dan/atau psikomotor) dapat dibuat dalam bentuk kisi-kisi, baik untuk tipe tes obyektif maupun esai. Kisi-kisi (tabel spesifikasi) tes memuat pokok/sub pokok bahasan/materi, kemampuan yang diuji, dan tingkat kesukaran butir soal (menurut petimbangan guru). Beikut ini diberikan contoh model membuat kisi-kisi untuk tes obyektif dan esai.

KISI-KISI TES OBYEKTIF

Mata Pelajaran:Fisika

Kelas:I SMU

Cawu/Tahun:I/2002

Waktu:

Tipe Tes:

Jumlah Butir Tes:

No.I/TB//Pokok/SubJenjang Kemampuan & Tingkat Kesukaran(%

Pokok BahasanC1C2C3C4,5,6butir soal

MdSdSkMdSdSkMdSdSkMdSdSk

( butir soal

%

Catatan: Jika perangkat tes memuat ranah afektif dan psikomotor, maka kisi-kisi ini bisa dikembangkan dengan menambah kolom atau baris untuk Jenjang Kemampuan & Tingkat Kesukaran.

KISI-KISI TES ESAI

Mata Pelajaran:Fisika

Kelas:I SMU

Cawu/Tahun:I/2002

Waktu:

Tipe Tes:

Jumlah Butir Tes:

No.Tipe soal

Jenjang Kemapuan/ Tk. Kesukaran( butir soal%

I/TP/MateriTerbatasBebas

( butir soal

%

3. Mengkonstruksi Butir Soal

Kualitas suatu butir soal tidak ditentukan oleh tipe atau bentuk tes, tetapi tergantung pada bagaimana butir soal itu dikonstruk oleh guru dengan baik. Tipe dan bentuk tes apapun dapat digunakan untuk mengukur hasil belajar bila butir soal itu dikonstruk dengan baik dan sesuai dengan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai. Tes semacam ini disebut tes hasil belajar karena berfungsi untuk mengukur keberhasilan belajar siswa atau mahasiswa.

Kemampuan guru untuk menyusun butir soal dengan baik tidak hanya dibutuhkan kemampuan yang bersifat pengetahuan dan pemahaman, tetapi perlu keterampilan dan kiat. Agar mempunyai kemampuan mengkonstruksi soal pada taraf mahir diperlukan latihan secara terus menerus. Untuk mengkonstruk THB harus memahami dasar-dasar penyusunannya, dan bagaimana cara menulis butir soal esai dan obyektif tersebut.

3.1 Dasar-dasar menyususn THB

Ada beberapa dasar yang perlu diperhatikan dalam menyususn THB, yaitu: (a) THB harus sesuai dengan indikator atau tujuan pembelajaran yang dirumuskan, (b) THB harus mewakili bahan yang dipelajari, (c) THB hendaknya sesuai dengan penggunaan tes itu sendiri (untuk pre dan post-tes, menentukan ketuntasan penguasaan materi, diagnostik, tes formatif, atau untuk tes sumatif), (d) THB disesuaikan dengan pendekatan pengukuran yang dianut, yaitu: PAP atau PAN., dan (e) THB hendaknya dapat digunakan untuk memperbaiki PBM.

3.2 Cara Penulisan Butir Soal Esai

Butir soal esai atau uraian adalah butir soal yang mengandung pertanyaan atau tugas yang jawaban atau pengerjaan soal tes tersebut harus dilakukan dengan cara mengekspresikan pikiran peserta tes, dan jawaban tidak disediakan oleh orang yang mengkonstruk butir soal. Tes tipe ini secara umum dibagi menjadi dua jenis, yaitu: tes uraian bebas (extended response) dan tes uraian terbatas (restricted response).

3.2.1 Tes Uraian Bebas

Ciri dari tes uraian bebas adalah hampir tidak ada pembatasan terhadap peserta tes dalam memberikan jawabannya. Jawaban peserta tes bersifat terbuka, luwes, dan tidak terstruktur. Contoh tes ini dapat kita pada butir soal nomor E-35, yaitu:

E-35 Jelaskan secara singkat dan jelas bagamana cara menentukan ukuran suatu kertas (misalnya A4) yang meliputi pengukuran panjang, lebar, dan tebalnya?

3.2.2 Tes Uraian Terbatas

Ciri tes uraian terbatas adalah jawaban peserta tes dibatasi dengan berbagai rambu-rambu yang ditentukan dalam butir soal. Keterbatasan itu mencakup format, isi, dan ruang lingkup jawaban. Soal tes uraian terbatas ini harus menentukan batas jawaban yang dikehendaki, meliputi konteks jawaban yang diinginkan, jumlah butir jawaban yang diharapkan, keluasan uraian jawaban, arah dan luas jawaban yang diminta. Tes uraian terbatas ada beberapa ragam, antara lain ragam tes melengkapi dan ragam tes jawaban singkat. Butir soal melengkapi adalah butir soal yang meminta atau memerintah peserta tes untuk melengkapi suatu kalimat (pernyataan) dengan satu frasa, satu angka, atau satu formula. Butir soal melengkapi dapat kita lihat pada contoh butir soal nomor E-31 dan 32, masing-masing adalah:

E-31 Dalam fisika ada besaran pokok.

E-32 Gaya termasuk besaran ..

Ada beberapa petunjuk untuk mengkonstruksi butir soal melengkapi, yaitu: (1) konstruksilah butir soal yang mengukur hasil belajar yang penting saja; (2) butir soal harus spesifik, artinya harus dapat dijamin bahwa butir soal hanya dapat dijawab oleh peserta tes yang menguasai degan baik isi pelajaran; (3) konstruksilah butir soal yang mengharuskan peserta tes memberi jawaban yang secara faktual benar; (4) gunakan bahasa yang jelas (tidak mendua arti); (5) Bila yang ditanyakan menyangkut angka atau jumlah dari satu satuan tertentu, sebaiknya nyatakan satuan tersebut dalam soal, misalnya luas bidang tanah yang panjangnya 12 m dan lebarnya 7 m adalah m2; (6) setiap butir soal sebaiknya hanya berisi satu jawaban, misalnya butir soal E-31 dan E-32.

Butir soal jawaban singkat adalah butir soal berbentuk pertanyaan yang dapat dijawab dengan satu kata, frasa, angka, atau formula. Butir soal ini dapat dicontohkan pada butir soal nomor E-33 dan 34, yaitu:

E-33 Apakah dimensi dari kecepatan?

E-32 Berapakah orde dari bilangan 2078605 J?

Ada beberapa petunjuk untuk mengkonstruk bentuk tes jawaban singkat, yaitu: (1) gunakan kalimat tanya yang menuntut jawaban satu kata, frasa, angka, atau simbol; (2) hindari kalimat yang langsung diambil dari buku atau catatan; (3) pertanyaan jangan sampai menjadi tes bahasa, maksud tes adalah untuk menguji materi pelajaran; (4) untuk menanyakan definisi atau istilah sebaiknya digunakan kalimat tanya secara lansung, misalnya soal E-33 akan tidak tepat bila ditulis: Setiap besaran fisika yang bersatuan dapat dinyatakan dengan dimensi. Dimensi besaran kecepatan itu apa? (5) untuk menanyakan masalah hitungan, harus ditentukan tingkat ketepatannya, terutama untuk agka desimal; (6) sebaiknya hanya satu jawaban untuk satu pertanyaan, misalnya: Apakah dimesi dari besaran pokok? adalah pertanyaan yang jawabannya bisa lebih dari satu simbol (bisa M, L, atau T).

3.2.3 Pedoman Penskoran Butir Soal Esai

Butir soal esai atau uraian memeriksanya tidak mudah dan lama karena jawabannya bervariasi, hasil penilainnya cenderung subyektif. Untuk mengurangi subyektivitas dan meningkatkan obyektivitas dalam penilain tes esai ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yakni: (1) apakah jawaban yang terbaik untuk satu butir pertanyaan esai; (2) butir apa saja yang harus terdapat dalam jawaban pertanyaan esai; (3) apakah ada butir yang leih penting di antara butir-butir jawaban yang diharapkan. Dalam mengkonstruk tes penyusun tes sudah harus menyediakan jawaban tiga pertanyaan tersebut. Dengan kata lain penyusun tes ketika mengembangkan butir tes sekaligus juga harus menyusun jawabannya yang berpedoman pada tiga buah pertanyaan di atas. Jawaban yang ditulis tidak perlu dinarasikan tetapi cukup dengan mencantumkan butir-butir penting yang harus termuat pada jawaban peserta tes. Penentuan skor pada setiap butir tidak tentu sama, tergantung pada bobot konsep pada butir jawaban tersebut. Konsep yang bobotnya lebih penting diberi bobot lebih besar. Jika setiap konsep memiliki bobot sama maka diberi skor yang sama. Skor maksimum tidak perlu dikonverskan pada skor 10 atau 100, biarkan sebagaimana adanya.

Contoh pembuatan pedoman penskoran butir soal esai untuk butir-butir soal nomor E-31 sampai dengan E-35 dapat dilihat sebagai berikut:

Butir soal E-31 sampai dengan E-35 (lihat Lampiran)

Pedoman Penskoran

No. SoalAspek/Kata KunciSkor

E-317 (tujuh)1

E-32Turunan1

E-33[LT-1]2

E-3410-62

E-35Panjang dan lebar diukur dengan mistar. Massa diukur dengan neraca.

Hasil pegukuran panjang (p) = .. cm

Hasil pengukuran lebar (l) = cm

Hasil pengukuran massa (m) = gr

Jadi ukuran kertas adalah .. x cm, gram6

3

Skor maksimum15

3.3 Cara Penulisan Butir Soal Obyektif

Butir soal obyektif adalah butir soal yang telah mengandung kemungkinan jawaban yang harus dipilih atau dikerjakan oleh peserta tes. Jadi jawaban telah disediakan atau dipasok oleh pembuat soal. Sehingga pemeriksaan atau penskoran jawaban peserta tes dapat dilakukan secara obyektif oleh pemeriksa. Karena sifat obyektif ini, maka pemeriksaan tidak harus dilakukan oleh manusia, tetapi bisa dengan mesin.

Secara umum tes obyektif dibedakan menjadi tiga tipe, yakni tipe: benar-salah (true-false), menjodohkan (matching), dan pilihan ganda (multiple choice). Tes pilihan ganda dapat dimodifikasi dalam lima bentuk, yaitu pilihan ganda biasa, analisis hubungan antar hal, analisis kasus, kompleks, dan pilihan ganda yang menggunakan diagram, grafik, tabel, atau gambar.

Semua bentuk tes pilihan ganda tersebut mempunyai struktur (format) yang sama, yaitu ada pokok soal (stem) dan sejumlah pilihan (options). Di antara pilihan itu ada satu pilihan yang benar disebut kunci (key) dan pilihan lainnya disebut pengecoh (distractors). Penulisan setiap tipe tes obyektif dapat diuraikan seperti berikut.

3.3.1 Penulisan Tes Benar-Salah

Jika ujian dibatasi pada pertanyaan-pertanyaan benar-salah, statistik menunjukkan bahwa 75 item atau lebih adalah perlu untuk mengatasi faktor menebak (guessing). Dalam tes 100 pertanyaan benar-salah, siswa harus dapat menjawab sekitar 50 pertanyaan tepat dengan menebak. Beberapa instruksi mengeliminasi masalah ini dengan mengurangi jumah jawaban-jawaban salah dari jumlah jawaban benar untuk menentukan skor; mereka menghukum untuk menebak. Prosedur ini tidak direkomendasi karena siswa biasanya berpikir bahwa instruktur mengunakan teknik ini secara dendam/dengki. Hal ini juga tidak dapat diinginkan karena siswa dihukum untuk menebak; dalam sains umumnya dan fisika khususnya kita ingin mempunyai siswa membuat hipotesis, yaitu, tebakan-tebakan yang baik.

Hindari ketidak-seimbangan tes dengan cukup banyak pertanyaan benar-salah. Coba membuatnya agak baik rata dalam jumlah, sehingga siswa yang mengetahui sedikit tentang bahan tidak dapat memperoleh skor tinggi dengan sederhana dengan berasumsi bahwa lebih banyak pertanyaan adalah benar (atau salah).

Hindari menggunakan pernyataan-pernyatan yang dapat menipu siswa. Jangan menggunakan bahasa yang sama seperti dalam teks atau siswa cenderung untuk mengingat. Hindari pernyataan-pernyataan yang mendua-arti. Misalnya, jangan menulis, panjang bidang diukur dengan pengukur panjang. Hindari menggunakan kalimat-kalimat kompleks dalam pernyataan-pernyataan anda. Jangan menggunakan bahasa kualitatif jika anda dapat memungkinkan menghindarinya. Jangan menulis, misalnya, logam-logam yang lebih baik menghantarkan listrik lebih cepat. Susun pernyataan-pernyataan anda dalam 10 sampai dengan 20 pertanyaan. Prosedur ini menggantikan terlalu banyak ketegangan untuk siswa. Ambil blok/tempat jawaban ada dalam satu margin sehingga mereka dapat diperiksa dengan mudah dengan menggunakan suatu kunci.

3.3.2 Konstruksi Tes Menjodohkan

Tipe soal menjodohkan ditulis dalam dua kolom. Kolom pertama untuk pokok soal (stem) atau premis dan kolom kedua untuk kolom jawaban. Tugas peserta tes adalah menjodohkan antara kolom pertama dan kolom kedua.

Untuk menulis butir soal menjodohkan ada beberapa syarat, yaitu: (1) pernyataan di bawah kolom pertama dan kolom kedua harus terdiri atas kelompok yang homogen; dan (2) jumlah pernyataan di bawah kolom kedua harus lebih banyak dari pernyataan di bawah kolom petama. Tipe tes ini dapat dicontohkan sebagai berikut:

Petunjuk: Pasangkan pernyataan pada kolom pertama dengan pilihan yang cocok pada kolom kedua dengan menulis huruf di muka nomor pernyataan kolom pertama!

.

dst.

1. Besaran yang mempunyai besar dan arah

2. Dimensi percepatan adalah

3. Perbandingan antara gaya tarik atau gaya tekan dan pemanjangan atau pemendekan pegas adalah konstan.

Dst.A. [LT-2]

B. Skalar

C. [LT2]

D. Vektor

E. Hukum II Newton

F. Hukum Hooke

Dst.

3.3.3 Konstruksi Tes Pilihan Ganda

Butir tes pilihan ganda (majemuk) adalah butir tes yang alternatif jawabannya lebih dari dua, pada umumnya berkisar antara 4 (empat) atau 5 (lima). Alternatif pilihan ini tidak boleh terlalu banyak, sebab selain menyulitkan peserta tes untuk menjawab juga kesulitan dalam mengkonstruknya.

Trowbridge dan Bybee (1990) menyebutkan ada beberapa unsur yang perlu diperhatikan dalam mengkonstruksi tes pilihan-ganda, yaitu:

(1) Inti permasalahan harus ditempatkan pada pokok soal (steam);

(2) Hindari pengulangan kata-kata yang sama dalam piliham;

(3) Hindari rumusan kata yang berlebihan;

(4) Jika pokok soal merupakan pernyataan yang belum lengkap, maka kata atau kata-kata yang melengkapi harus diletakkan pada ujung peryataan, bukan di tengah-tengah kalimat;

(5) Susunan alternatif jawaban dibuat teratur dan sederhana;

(6) Hindari penggunaan kata-kata teknis atau ilmiah atau yang aneh atau mentereng;

(7) Semua pilihan jawaban harus homogen dan dimungkinkan sebagai jawaban yang benar;

(8) Hindari keadaan dimana jawaban yang benar selalu ditulis lebih panjang dari jawaban yang salah;

(9) Hindari adanya petunjuk/indikator pada jawaban yang benar;

(10) Hindari menggunakan pilihan yang berbunyi semua yang di atas benar atau tidak satupun yang di atas benar;

(11) Gunakan tiga atau lebih alternatif pilihan;

(12) Pokok soal diusahakan tidak menggunakan ungkapan atau kata-kata yang bermakna tidak tentu, misalnya: kebanyakan, seringkali, kadang-kadang, dan yang sejenis;

(13) Pokok soal sedikit mungkin dalam pernyataan atau pertanyaan negatif. Jika terpaksa menggunakan pernyataan negatif maka kata negatif tersebut digaris-bawahi atau ditulis miring atau tebal.

Tes pilihan ganda dapat berupa tes pilihan ganda biasa, analisis hubungan antarhal, analisis kasus, kompleks, dengan menggunakan diagram, grafik, atau tabel. Pilihan ganda biasa dicontohkan pada contoh soal bagian B (lihat lampiran), yaitu tes pilihan ganda yang setiap butir soal memuat pokok soal dan alternatif jawaban lebih dari dua (3-5 pilihan). Untuk tes pilihan ganda yang lain diuraikan berikut ini.

a. Tes Pilihan Ganda Analisis Hubungan Antarhal

Tes pilihan ganda analisis hubungan antarhal terdiri atas dua pernyataan yang kedua nya dihubungkan dengan kata SEBAB. Jadi sifat hubungannya bisa berupa sebab akibat atau tidak ada hubungan sebab akibat. Agar kedua pernyataan termasuk pilihan ganda maka harus dicari variabel lain yang dapat mengukur kemampuan siswa. Variabel tersebut adalah kualitas pernyataan yaitu apakah pernyataan pertama benar atau salah dan sebaliknya. Hubungan antar duapernyataan tersebut dapat dikembangkan lagi seperti yang dicontohkan pada contoh soal bagian C (lihat lampiran), yaitu: A jika penyataan benar dan alasan benar, keduanya merupakan hubungan sebab akibat, B jika pernyataan benar dan alasan benar, keduanya tidak ada hubungan sebab akibat, dan seterusnya..

b. Tes Pilihan Ganda Analisis Kasus

Pada tes pilihan ganda analisis kasus, peserta tes disajikan kasus dalam bentuk cerita, peristiwa, dan sejenisnya dan disertai dengan beberapa pertanyaan. Setiap pertanyaan dibuat dalam bentuk melengkapi pilihan. Kasus tersebut bisa diambil dari jurnal, surat kabar, majalah, dan media yang lain.

c. Tes Pilihan Ganda Kompleks

Tes pilihan ganda kompleks biasa disebut Asosiasi pilihan ganda. Struktur pertanyaan sama dengan pilihan ganda biasa, perbedaannya adalah, kalau pada pilihan ganda biasa hanya ada satu jawaban yang benar atau paling benar, sedangkan untuk pilihan ganda kompleks jawabannya bisa lebih dari satu, mungkin bisa A jika 1 dan 2 benar , B: 1 dan 3 benar, C: 2 dan 3 benar, atau D: jika semuanya benar.

d. Tes Pilihan Ganda dengan Gambar, Diagram, Grafik, atau Tabel

Tes pilihan ganda dengan diagram, gambar, grafik, atau tabel mirip dengan analisis kasus baik struktur maupun pola pertanyaannya. Perbedaannya pada tes ini tidak disajikan kasus dalam bentuk ceritera atau peristiwa tetapi kasus tersebut berupa diagram, gambar, tabel, atau grafik.

4. Mengadministrasi Tes

Kegiatan mengadministrasi tes meliputi penyusunan perangkat tes dan pelaksanaan tes. Kedua kegiatan tersebut dapat kita lakukan seperti berikut.

4.1 Penyusunan Tes

Ada dua hal yang perlu dipertimbangkan dalam menyusun tes, yaitu proses penyuntingan naskah tes dan penggandaan tes. Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam penyuntingan tes, yaitu:

a. Tes bentuk obyektif sebaiknya tidak dilaksanakan secara lisan.

b. Butir tes disusun mulai dari pokok bahasan yag dibahas paling awal ke yang dibahas paling akhir.

c. Butir soal disusun mulai dari yang termudah ke yang paling sulit.

d. Butir tes yang setipe dijadikan dalam satu kelompok.

e. Petunjuk pengerjaan harus jelas, sehingga tidak memungkinkan untuk dipertanyaan lagi cara pengerjaannya.

f. Setiap butir tes hendaknya disusun sedemikian rupa sehingga memudahkan peserta tes untuk membacanya.

g. Stem dan options upayakan dalam satu halaman.

h. Letakkan wacana yang digunakan sebagai rujukan di atas butir tes yang bersangkutan.

i. Hindari meletakkan kunci jawaban dalam suatu pola tertentu.

Setelah naskah disunting, langkah selanjutnya adalah digandakan (termasuk pengetikan). Prosedur penggandaan harus dapat menjamin kerahasiaan naskah tes. Dalam penggandaan, sebaiknya lembaran tes dan lembaran jawaban dipisah. Sehingga mudah menempatkan jawabannya dan guru mudah dalam penskoran.

4.2 Pelaksanaan Tes

Dalam pengadministrasian tes juga harus mempertimbangkan cara-cara pelaksanaannya. Cara pelaksanaan tersebut antara lain meliputi:

a. tes catatan terbuka (open books) atau catatan tertutup (close books,

b. tes diumumkan atau tes dirahasiakan (mendadak),

c. tes lisan atau tertulis, dan

d. tes tindakan (praktek)

Setiap pelaksanaan tes tersebut ada kelebihan dan kekurangannya. Untuk itu kerjakan tugas 6 berikut ini.

5. Pengolahan dan Penilaian Hasil Tes

Setelah pelaksanaan tes kegitan berikutnya adalah mengolah hasil tes tersebut dan melakukan penilaian.

5.1 Pengolahan Hasil Tes

Pengolahan hasil tes adalah kegiatan memeriksa hasil ujian dan mencocokkan jawaban peserta tes dengan kunci jawaban. Mengolah tes bentuk tes obyektif lebih mudah dan cepat dibandingkan dengan bentuk tes esai. Setelah hasil tes diperiksa berikutnya adalah memberikan skor.

Jika peserta tes tidak diperkenankan menerka jawaban, artinya mereka yang menerka akan didenda, yaitu skor yang benar dikurangi skor yang salah, maka pada petunjuk umum mengerjakan soal harus mencantumkan: Pikirkan dengan baik-baik sebelum menjawab, karena setiap jawaban yang salah akan mengurangi nilai anda. Pengurangan nilai ini dihiting dengan rumus:

Skor = jumlah jawaban benar jumlah kawaban salah/(n-1)

(n adalah jumalternatif jawaban)

Pada contoh soal (dalam lampiran) terdapat 30 butir soal obyektif, Badu menjawab benar 25 nomor dan salah 5 nomor, maka dengan rumus tersebut

Skor Badu = 25 5/(5-1)

= 25 5/4 = 23,75

Jika tidak ada denda dalam menerka jawaban, maka skor Badu adalah 25. Angka 5/4 atau 1,25 merupakan angka denda.

Untuk soal esai baik terbatas maupun bebas pemberian skor didasarkan pada Pedoman Penskoran (Marking Scheme) yang telah dirancang. Berdasarkan pedoman penskoran yang telah dirancang untuk contoh soal pada lampiran, skor maksimum untuk tes esai adalah 15. Jika pada tes esai skor Badu 10, maka

skor total Badu = 23,75 + 10 = 33,75 (jika ada denda)

skor total Badu = 25 + 10 = 35 (jika tidak ada denda)

Dari contoh di atas, periksalah semua jawaban (soal pada lampiran) anda dan berikan skornya (anda bisa menggunakan aturan yang menggunakan denda atau yang tanpa denda). Setelah itu kerjakan tugas 7 berikut:

5.2 Pendekatan Penilaian

Ada dua pendekatan untuk melakukan penilaian hasil belajar siswa, yaitu dengan menggunakan pendekatan Penilaian Acuan Norma (PAN) dan Penilaian Acuan Patokan. Kedua pendekatan itu digunakan sebagai acuan untuk memberikan nilai siswa. Di dalam proses pendidikan biasanya setiap pendekatan itu tidak dapat dilaksanakan secara murni, namun perlu diadakan penyesuaian yang kadang-kadang merupakan kombinasi dari kedua pendekatan tersebut.

5.2.1 Pendekatan Penilaian Acuan Norma (PAN)

Yang dimaksud pendekatan PAN adalah pendekatan untuk memberikan nilai didasarkan pada perolehan kelompoknya. Misalnya sekelompok siswa ada 10 anak mendapat skor (nilai mentah): 70, 65, 60, 55, 40, 35, 35, 30, 30, dan 25. Jika jumlah kelompok tidak terlalu besar (30 orang) atau lebih dari satu kelas, maka untuk memberi nilai setiap anggota kelompok dapat digunakan statistik sederhana, yaitu dengan menentukan skor rata-rata (X) dan simpangan baku (() kelompok. Untuk anggota kelompok yang besar, distribusi kemampuan anak dapat dimulai dari paling pandai, pandai, sedang, kurang, dan sangat kurang. Distribusi (penyebaran) tersebut dapat digambarkan dengan kurve normal.

Misalnya ada sekelompok siswa memiliki skor rata-rata X, maka jumlah peserta antara:

X sampai dengan (X+1() adalah 34,13%

(X+1() sampai dengan (X+2() adalah 13,59%

(X+2() sampai dengan (X+3() adalah 2,14%

X sampai dengan (X-1() adalah 34,13%

(X+1() sampai dengan (X-2() adalah 13,59%

(X+2() sampai dengan (X-3() adalah 2,14%

Harga rata-rata skor dapat dihitung dengan rumus:

X = ( skor seluruh anggota kelompok/( seluruh anggota kelompok

Dan

Simpangan Baku dirumuskan:

( skor 1/6 dari anggota kelompok tinggi - ( skor 1/6 dari anggota kelompok rendah

( =

( seluruh anggota kelompok

Apabila terdapat data skor fisika siswa SMU dari 35 anak yang telah diurutkan dari tertinggi sampai terrendah adalah sebagai berikut:

60605555555050505050

45454540404040353535

35353030303025252525

2520201510

Dalam kurikulum 1975, penentuan nilai menggunakan konversi seperti pada tabel 5-2 berikut:

Tabel 5-2: Konversi skor mentah ke dalam nilai 1-10

Skor MentahX-2 1/4(X-1 3/4(X-1 1/4(X-1/4(X+1/4(X+3/4(X+11/4(X+3/4(X+13/4(X+21/4(

Nilai

1-1012345678910

5.2.2 Pendekatan Penilaian Acuan Patokan (PAP)

Pendekatan PAP adalah suatu pendekatan yang digunakan untuk menentukan keberhasilan atau kelulusan seseorang berdasarkan patokan atau kriteria yang telah ditentukan. Dalam Proses pembelajaran mengacu pada tujuan pembelajaran umum dan khusus. Sehinga keberhasilan siswa dalam suatu mata pelajaran ditentukan oleh kemampuan siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan. Inilah yang membedakan dengan pendekatan PAN, yaitu kelulusan atau keberhasilan siswa ditentukan oleh kelompoknya. PAP digunakan dalam sistem belajar tuntas. Misalnya dalam rumusan tujuan pembelajaran khusus dirumuskan dengan Siswa kelas 1 SMU dapat menulis dimensi besaran fisika. Untuk penguasaan yang tuntas, kriteria yang dikembangkan antara lain siswa dapat: (1) menulis dimensi besaran pokok dan (2) menulis dimensi beberapa dimensi besaran turunan. Untuk mengetahui apakan kedua tujuan tersebut telah dikuasai oleh siswa, maka untuk setiap tujuan harus ada butir soalnya. Jika siswa dapat mengerjakan dengan benar butir-butir soal tersebut maka dikatakan bahwa siswa telah menguasai tujuan tersebut dengan tuntas. Jika belum dikuasai maka perlu ada pembelajaran remedial (perbaikan).

Perencanaan dan konstruksi butir soal baik untuk PAN maupun PAP kedua mempunyai kesamaan, yaitu keduanya menentukan lebih dahulu tujuan (TPK) atau hasil apa yang akan diukur dan bagaimana cara mengukurnya yang paling tepat. Perbedaannya, pada pengembangan butir soal PAN, tingkat kesukaran soal harus diperhatikan, harus mengombinasikan butir soal yang mudah, sedang, dan sukar, sehingga tingkat keseluruhn butir soal adalah sekitar 50%. Pada pengembangan butir soal PAP tingkat kesukaran dan daya beda tidak diperhatikan karena maksud soal bukan untuk membedakan siswa yang pintar dari siswa yang kurang pintar, tetapi melihat tingkat penguasaan seseorang terhadap materi atau tujuan pembelajaran. Ynag dipentingkan dalam PAP adalah daya serap siswa. Seharusnya sumua tujuan pembelajaran dapat dikuasai siswa 100%. Penguasaan 100% ini sulit dicapai, sehingga ada beberapa sekolah yang menetapkan ketuntasan ini 80%.

Jika syarat ketuntasan adalah 80%, maka apakah semua siswa yang mendapat skor 80% ke atas akan mendapat nilai yang sama? Jawabnya tergantung pada sistem penilaian yang digunakan. Ada penilaian yang menggunakan kriteria lulus dan tidak lulus, yaitu: anak yang lulus adalah anak yang mempunyi skor ( 80% dan yang tidak lulus adalah anak yang skornya 95% nilai A, (90,5-95)% nilai B, (85,5-90)% nilai C, (80-85)% nilai D, dan < 80% nilai E (tidak lulus). Rentangan skor untuk mendapat nilai A-E tidak baku seperti dicontohkan, misalnya batas kelulusan bisa > 80% atau < 80%, dan nilai A bisa ( 90%

6. Menganalisis Soal

Kegiatan menganalisis soal merupakan kegiatan untuk menentukan mutu butir dan perangkat soal. Setiap guru harus memiliki kemampuan untuk menentukan mutu butir soal dan perangkat soal agar mereka dapat merancang soal yang baik. Penilaian mutu butir soal ditentukan oleh karakter dari butir soal itu sendiri, yang meliputi tingkat kesukaran, daya beda, dan berfungsi tidaknya pilihan untuk tipe soal pilihan ganda. Penilaian mutu perangkat soal meliputi validitas dan reliabilitasnya.

6.1 Karakteristik dan Spesifikasi Butir Soal

Yang dimaksud karakteristik butir soal adalah parameter kuantitatif dari butir soal. Sebaliknya, parameter kualitatif butir soal disebut dengan spesifikasi butir soal. Spesifikasi butir soal ditentukan atas dasar penilaian ahli (expert judgment). Kedua hal ini akan diuraikan seperti berikut.

6.1.1 Karakteristik Butir Soal

Karakteristik butir soal untuk tes hasil belajar dipertimbangkan berdasarkan tingkat kesukaran (p), daya beda (D), dan berfungsi atau tidaknya pilihan.

6.1.1.1 Tingkat Kesukaran

Tingkat kesukaran butir soal dimaknai sebagai proporsi peserta tes menjawab benar terhadap butir soal tersebut, yang dirumuskan dengan:

b = ( peserta yang menjawab benar/( peserta keseluruhan

Misalnya soal nomor 1, jumlah peserta tes yang menjawab benar 3 orang dan jumlah seluruh peserta tes 15 orang, maka tingkat kesukaran butir soal nomor satu adalah 0,2. Butir soal ini dikatakan sukar. Jika dalam suatu perangkat soal terdapat 10 butir soal, dengan tingkat kesukaran setiap butirnya berturut-turut 0,2; 0,6; 0,4; 0,5; 0,7; 0,5; 0,35; 0,45, 0,8; dan 1,0, maka tingkat kesukaran perangkat soal (p naskah ujian) tersebut adalah:

p naskah ujian = (0,2 + 0,6 + 0,4+ 0,5+ 0,7+ 0,5+ 0,35+ 0,45+ 0,8 + 1,0)/10

= 5,5/10

= 0,55

atau p naskah ujian = (b/(butir soal

Tingkat kesukaran butir soal atau perangkat soal biasanya dikategorikan mudah, sedang, dan sukar. Penentuan ketiga kategori tersebut dapat menggunakan pedoman:

Tingkat kesukaranKategori

0,00 - 0,25Sukar

0,26 - 0,75Sedang

0,76 - 1,00Mudah

Contoh perangkat soal tersebut termasuk kategori sedang. Untuk menyusun suatu naskah ujian atau tes hasil belajar sebaiknya digunakan butir soal yang tingkat kesukarannya berimbang, yaitu: sukar (25%), sedang (50%), dan mudah (25%). Komposisi ini dapat diterapkan pada PAN dan PAP. Jika komposisi butir soal tidak seimbang maka penggunaan PAN tidak tepat, sebab informasi kemampuan yang dihasilkan tidak berdistribusi normal. Jadi ukuran butir soal atau perangkat soal yang baik tidak ditentukan oleh tiinggi atau rendahnya tingkat kesukaran tetapi pada komposisi tingkat kesukarannya.

6.1.1.2 Daya Beda

Dalam suatu kelompok peserta tes, biasanya kita jumpai kelompok yang berprestasi tinggi (kelompok atas) dan kelompok yang berprestasi rendah (kelompok bawah). Indeks yang menunjukkan tingkat kemampuan butir soal yang dapat membedakan kelompok atas dan bawah disebut daya beda butir soal. Daya beda biasanya disimbolkan dengan D dan dirumuskan:

D = (Ba Bb)/1/2T

Dimana D = daya beda

Ba = ( kelompok atas yang menjawab benar

Bb = ( kelompok bawah yang menjawab benar

T = ( peserta tes (jika jumlah ganjil = T-1)

Jika jumlah peserta banyak, maka kelompok atas dan bawah masing-masing diambil 27%. Untuk memudahkan analisis, apabila jumlah peserta besar maka kelompok dibuat menjadi tiga, yakni: kelompok atas, tengah dan bawah.

Andaikan jumlah seluruh peserta tes 10 orang. Untuk soal nomor X misalnya, kelompok atas yang menjawab benar adalah 4 orang dan kelompok bawah yang menjawab benar hanya satu orang, maka proporsi kelompok atas yang menjawab benar adalah 0,8 dan proporsi kelompok bawah yang menjawab benar adalah 0,2. Jadi daya beda soal nomor X adalah:

0,8 0,2 = 0,6 atau dapat dihitung dengan rumus:

D = (4 1)/5 = 0,6

Koefisien atau indeks daya beda berkisar antara 1 sampai dengan +1. Daya beda berharga +1 berarti semua kelompok atas menjawab benar dan semua kelompok bawah menjawab salah terhadap suatu butir soal. Sebaliknya untuk daya beda yang berharga 1. Harga daya beda yang dianggap masih memadai untuk sebutir soal adalah (0,25. Kurang dari 0,25, butir soal dianggap kurang mampu membedakan peserta tes yang siap menghadapi tes dari peserta yang tidak siap. Jika daya beda negatif, maka butir soal tidak dapat digunakan untuk mengukur hasil belajar siswa. Sehingga butir soal ini harus dibuang atau tidak dihitung dalam penentuan skor mahasiswa. Jadi, makin tinggi daya beda suatu butir soal, makin baik butir soal tersebut, dan sebaliknya makin rendah daya beda makin tidak baik butir soal tersebut.

6.1.1.3 Berlaku Tidaknya Pilihan

Dalam tipe soal obyektif, khususnya untuk soal pilihan ganda, untuk menentukan berfungsi tidaknya pengecoh suatu butir soal, maka butir soal tersebut perlu dianalisis. Untuk menganalisis setiap butir soal tersebut, lembar jawaban peserta kelompok atas dan bawah dijadikan sebagai sumber informasi. Distribusi dari jawaban kedua kelompok ini untuk setiap butir soal dimasukkan dalam satu Tabel 6-1 berikut:

Andaikan butir soal nomor 12

Tabel 6-1 : Distribusi jawaban soal nomor 12

Pilihan

KelompokA*BCDE

Atas30100

Bawah11121

Jumlah41221

Jawaban yang benar adalah A (tanda *), jumlah peserta yang memilih A adalah banyak, khususnya untuk kelompok atas. Pengecoh B, C, D, dan E ada yang memilih terutama kelompok bawah. Jadi dapat disimpulkan bahwa pengecoh berfungsi sebagai jawaban yang salah. Sehingga semua pilihan pada soal nomor 12 sudah berfungsi.

Andaikan tabel di atas jumlah yang menjawab benar A lebih banyak kelompok bawah, maka pilihan ini harus diperbaiki. Apabila pada pengecoh ditemukan kelompok atas lebih banyak dibandingkan kelompok bawah, pilihan ini juga kurang baik dan perlu diperbaiki. Selain itu, bila pada pengecoh tidak ada satupun yang memilih, maka pilihan ini harus diperbaiki pula.

Dari uraian di atas, cocokkan secara bersama jawaban THB tentang besaran, satuan dan angka penting anda di kelas, kemudian kerjakan bersama tugas 9 berikut di kelas.

6.1.2 Spesifikasi Butir Soal

Untuk menganalisis suatu butir soal ada dua spesifikasi yang harus dipertimbangkan, yakni: validitas isi dan keakuratan pengukuran tujuan yang ingin dicapai.

Validitas isi (konten) pelajaran sangat diperlukan untuk menentukan apakah suatu butir soal merupakan alat ukur yang baik untuk suatu hasil belajar tertentu. Analisis validitas isi ini hanya bisa dilakukan oleh seorang yang menguasai bidang studi tersebut dengan baik. Analisis dimulai dengan mengadakan kajian terhadap kisi-kisi soal. Dalam kisi-kisi itu ditentukan bahwa butir soal tertentu dimaksudkan untuk mengukur pokok bahasan atau sub pokok bahasan tertentu. Jadi kisi-kisi soal digunakan sebagai tolok ukur untuk memvalidasi butir soal.

Selain memvalidasi, aspek yang harus dianalisis secara kualitatif oleh seorang ahli bidang studi adalah apakah butir soal yang digunakan apakah mengukur tujuan pendidikan tertentu yang ditetapkan dalam kisi-kisi. Untuk menganalisis ini perlu penguasaan tentang tujuan pendidikan. Yang perlu diperhatikan bahwa butir soal yang tidak secara akurat mengukur tujuan yang telah ditetapkan akan merupakan butir soal yang sia-sia. Berbahayanya, bila butir soal itu digunakan untuk menentukan keputusan bagi seseorang, hal ini akan berakibat jauh bagi siswa di masa yang akan datang. Di Indonesia, perumusan tujuan pendidikan masih cenderung mengacu pada tujuan pendidikan menurut Bloom dan kawan-kawan.

6.2 Karakteristik Perangkat Tes

Meskipun suatu tes terdiri atas butir-butir soal yang baik, belum tentu akan membuat perangkat tes (soal ujian) menjadi baik. Selain penilaian terhadap setiap butir soal, ada dua hal yang harus diperhatikan dalam menilai soal ujian, yakni: validitas dan reliabilitasnya. Kedua hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut.

6.2.1 Reliabilitas Tes

Ketika kita mengamati skor hasil tes siswa, muncul pertanyaan atau keraguan pada diri kita, yaitu apakah skor itu benar-benar menggambarkan tingkat kemampuan siswa kita. Keraguan atau pertanyaan ini sulit dijawab, karena dalam setiap tes selalu akan terdapat unsur kekeliruan (error). Kekeliruan ini bisa bersumber pada alat ukurnya atau mungkin faktor yang lain. Untuk melihat apakah perangkat tes itu dapat dipercaya sebagai alat ukur yang dapat menggambarkan kemampuan peserta tes, maka dapat dilihat dari aspek reliabilitasnya. Secara umum, reliabilitas dimaknai sebagai sejauh mana suatu alat ukur dapat diyakini memberikan informsi yang konsisten (ajeg) dan tidak mendua tentang karakteristik peserta tes yang diujikan.

Skor yang diperoleh peserta es pada dasarnya merupakan skor yang secara langsung berhubungan dengan alat ukur dan kondisi eksternal saat tes berlangsung. Kondisi eksternal tidak dapat didefinisikan sepenuhnya, begitupula alat ukur yang digunakan tidak dapat diketaui sepenuhnya kekuatan dan kelemahannya. Sehingga skor yang diperoleh peserta tes adalah skor yang kemungkinan besar mengandung kekeliruan yang tidak dapat diketahui. Andaikan skor peserta tes itu tidak mengandung unsur kekeliruan, maka skor itu merupakan skor yang sesungguhnya. Tetapi skor sesungguhnya itupun tidak kita ketahui. Untuk itu kita kenal adanya tiga bentuk skor dalam setiap hasil tes, yaitu: skor yang diperoleh (obtained score), skor sesungguhnya (true score), dan kekeliruan skor (score error). Hubungan ketiganya dinyatakan dengan:

Skor yang diperoleh = skor sesungguhnya kekeliruan

Secara operasional reliabilitas tes didefinisikan sebagai koefisien korelasi antara dua perangkat skor yang dihasilkan oleh perangkat tes yang sama atau paralel yang diadministrasikan kepada sekelompok peserta tes yang sama. Karena reliabilitas merupakan salah satu bentuk khusus korelasi yang menggambarkan keajegan alat ukur (tes), maka ada beberapa prosedur untuk memperoleh koefisien korelasi yang menggambarkan reliabilitasnya. Reliabilitas tes dapat ditinjau dari unsur stabilitas, ekuivalensi dari dua tes yang paralel, dan konsistensi atau homogenitas tes.

Reliabilitas ditinjau dari stabilitas dapat ditentukan dengan mengkorelasikan anatardua skor dari satu tes yang diadministrasikan dua kali kepada kelompok peserta tes yang sama. Selang waktu antara dua pengadministrasian tes harus dekat, mengapa?

Reliabilitas dalam arti ekuivaensi dari dua tes yang paralel. Dalam hal ini, kita harus mengkonstruk dua perangkat tes yang paralel. Kedua perangkat tes diadministrasikan pada kelompok peserta tes yang sama dalam waktu berurutan. Hasil tes dari dua perangkat tes tersebut dikorelasikan.

Reliabilitas dalam arti konsistensi tes merupakan koefisien korelasi yang menunjukkan seberapa jauh suatu perangkat tes homogen, dalam arti mengukur mata pelajaran atau bidang studi yang sama. Untuk menentukan koefisien korelasi ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: teknik split-half dan teknik Kuder-Richardson (KR). Teknik split-half dapat dilakukan dengan mengkorelasikan skor setengah pertama dengan skor setengah kedua dari suatu tes. Untuk memperoleh skor setengah pertama dan kedua dapat dilakukan dengan mengkorelasikan skor pada nomor ganjil dan nomor genap. Tenik Kuder-Richardson dikembangkangkan oleh Kuder dan Richardson, dengan rumus ke-20nya (KR-20):

n SB2 - (pq

KR-20 = ( [ ((((( ]

n-1 SD2dimana n = ( butir soal

SB = simpangan baku skor-skor tes

p = tingkat kesukaran tes (perangkat tes)

q = 1 - p

Setelah Anda mempelajari reliabilitas tes di atas, diskusikan dan kerjakan secara kelompok tugas 10 berikut ini.

6.2.2 Validitas Tes

Seperti halnya pada butir soal, perangkat tes yang baik juga harus memenuhi kriteria valid (tepat). Validitas tes didefinisikan sebagai seberapa jauh perangkat tes itu berguna dalam mengambil keputusan yang relevan dengan tujuan yang telah ditentukan. Untuk tes hasil belajar, aspek validitas yang paling penting adalah validitas isi (content validity), yaitu: ukuran yang menunjukkan sejauh mana skor dalam tes berasosiasi dengan penguasaan peserta dalam bidang studi yang diuji melalui perangkat tes tersebut. Validitas isi ini ditentukan oleh ahli yang menguasai bidang studi tersebut. Jadi untuk validitas ini analisisnya lebih bersifat kualitatif. Oleh karena itu, yang bisa menganalisis tes harus orang mempunyai latar belakang bidang studi yang baik.

Selain validitas isi, juga kita kenal jenis validitas tes yang lain, yaitu: validitas prediktif, validitas serempak, dan validitas konstruk. Ketiga jenis validitas tersebut tidak dibahas di sini karena ketekaitannya dengan keperluan terhadap penilaian perangkat tes hasil belajar tidak terlalu kuat. Namun demikian, kemampuan dan keterampilan Anda untuk mengukur validitas itu semua penting dan diperlukan, sebab kelak ketika Anda menjadi guru tidak hanya berfungsi sebagai pengajar (teacher), tetapi juga sebagai sebagai peneliti, inovator, dan lain.

Setelah anda mempelajari validitas tes, diskusikan secara kelompok tugas 11 berikut.

SUMBER

Bloom B. S., Madaus G. F., dan Hastings, Evaluation to Improve Learning, McGraw-Hill Book Company, New York.

Depdikbud., 1995, Kurikulum Sekolah Menengah Umum: GBPP Mata Pelajaran Fisika, Depdikbud., Jakarta.

Djamarah S. B. & Zain A., 1995, Strategi Belajar Mengajar, Rineka Cipta, Jakarta.

Farmer W. A., Farrel M. A., (1980), Systematic Instruction in Science for The Middle and High School Years, Addison-Wesley Publishing Company, Inc., Sydney.

Giancoli D., 1995, Physics, Fourth edition, Prentice-Hall International, Inc., Englewood Clifs, New Jersey.

Kertiasa N, 1993, Fisika 1 untuk Sekolah Menengah Umum Kelas 1, Depdikbud., Jakarta.

Trowbridge L. W., Bybee R. W., 1990, Becoming a Secondary School Science Teacher, Merrill Publishing Company, Columbus.

Zainul A., Nasoetion N., 1996, Program Pengembangan Keterampilan Teknik Instruksional (Pekerti): Penilaian Hasil Belajar, Depdikbud, Jakarta.

CATATAN: KERJAKAN TUGAS 1 S/D 11 DENGAN SUNGGUH-SUNGGUH DAN KUMPULKAN PADA PERTEMUAN BERIKUTNYA!!!!Materi KuliahEVALUASI HASIL BELAJAR: (Tes Hasil Belajar)Handout digunakan terbatas untuk:

Matakuliah Evaluasi Hasil belajar FisikaOleh:

Indrawati(Staf Pengajar Pendidikan Fisika FKIP Unej)

Jember, 2010

Instrumen B-4c

Tugas 1:

Dari definisi evaluasi, pengukuran, dan tes di atas jelaskan hubungan antara ketiganya dan berikan contohnya dalam pembelajaran fisika!

Tugas 2:

Buatlah kisi-kisi THB dalam bentuk obyektif dan esai suatu Pokok/Sub Pokok Bahasan IPA/Fisika SLTP atau Fisika SMU untuk waktu 10-15 menit!

Tugas 3:

Berdasarkan 10 butir soal benar-salah pada contoh THB besaran, satuan, dan angka penting, apakah semua soal telah memenuhi syarat untuk tipe soal benar-salah yang baik? Berikan penjelasan!

Tugas 4:

Tulislah 5 butir soal tipe menjodohkan untuk suatu pokok bahasan fisika SLTP atau SMU dan lengkapi pula dengan kunci jawabannya!

Tugas 5:

Tulislah masing-masing dua butir soal fisika SLTP atau SMU untuk soal pilihan ganda analisis kasus dan pilihan ganda dengan menggunakan gambar, tabel, atau grafik.

Tugas 6:

Jelaskan kelebihan dan kekurangan setiap pelaksanaan tes di atas!

Tugas 7:

Kumpulkan semua skor teman-teman anda, kemudian buatlah tabel yang memuat nomor, nama, dan skor mahasiswa (sebagai siswa), urutkan skor dari skor tertinggi ke yang oaling rendah atau sebaliknya.

Tugas 8:

Berdasarkan data skor fisika dari 35 siswa SMU di atas hitung(X dan ( kemudian tentukan skor ke-35 siswa tersebut dengan nilai 1-10.

Tugas 9:

Tentukan tingkat kesukaran setiap butir soal!

Tentukan daya beda setiap butir soal dan tentukan pula kelayakannya untuk digunakan sebagai THB!

Apakah pada butir-butir soal obyektif ada pilihan-pilihan yang perlu diperbaiki? Sebutkan!

Tugas 10:

Apakah penskoran tes yang kurang obyektif berpengaruh terhadap reliabilitas tes? Jelaskan.

Apakah peserta tes yang bervariasi berpengaruh terhadap reliabilitas tes? Jelaskan.

Apakah jumlah butir soal dalam perangkat tes berpengaruh terhadap reliabilitas tes? Jelaskan.

Tugas 11:

Apakah reliabilitas tes berpengaruh terhadap validitas tes? Jelaskan.

1