Modul-Akhlak Pribadi Islam

download Modul-Akhlak Pribadi Islam

of 13

description

test

Transcript of Modul-Akhlak Pribadi Islam

MODUL PERKULIAHAN

Akhlak Pribadi Islam

FakultasProgram StudiTatap MukaKode MKDisusun Oleh

Ilmu KomputerSistem Informasi05MK90002Addys Aldizar, LSQ, MA

AbstractKompetensi

Salah satu permasalahan kurang berkembangnya umat Islam di Indonesia, sebagian disebabkan oleh faktor perilaku atau akhlak pribadi yang lemah. Banyaknya pengangguran, korupsi, tindakan kriminal, kemiskinan dan kebodohan juga tidak terlepas dari pemahaman akhlak pribadi sebagian umat Islam yang lemah. Bahkan, belum ada konsistensi untuk melaksanakan akhlak pribadi Islam dalam kehidupan sehari-hari.

Mahasiswa diharapkan mampu: (1) menjelaskan pentingnya akhlak pribadi Islam yang kuat; (2) menyebutkan 10 akhlak pribadi Islam; (3) menjelaskan 10 akhlak pribadi Islam; (4) mengimplementasikan 10 akhlak pribadi Islam dalam kehidupan sehari-hari.

Akhlak menurut Hujjatul Islam al-Imam al-Gazali adalah "kemauan yang kuat tentang sesuatu yang dilakukan berulang-ulang sehingga menjadi adat yang membudaya yang mengarah pada kebaikan, dan sesungguhnya akhlak adalah hal ikhwal yang melekat pada jiwa dalam wujud tindakan dan perilaku".

Definisi di atas dapat ditarik beberapa pengertian bahwa sebuah perbuatan yang dilakukan semata-mata bukan berdasarkan kebiasaan yang timbul dalam dirinya, maka tidak dinamakan akhlak. Sebagai contoh seseorang yang dengan terpaksa harus bersikap ramah di hadapan orang lain karena ingin mendapatkan sesuatu dari orang tersebut, maka sikap ini belum dikatakan sebagai orang yang ramah. Namun apabila tindakan untuk berperilaku ramah terlahir dari kesadaran jiwa dan perilaku ramah tersebut tampak dalam kehidupan sehari-hari, dapat dikatakan sebagai akhlak ramah.

Beberapa Akhlak Pribadi Islami

1. Jujur (siddiq, honesty)Kecocokan atau kesesuaian antara perkataan dan perbuatan adalah indikasi dari sifat jujur. Lawan dari kejujuran adalah dusta atau berbohong. Sikap jujur adalah bagian dari akhlak karimah (perilaku mulia). Kejujuran akan mengantarkan pelakunya meraih derajat dan kehormatan yang tinggi, baik di mata Allah maupun di mata sesama manusia. Kejujuran akan mengantarkan seseorang meraih surga yang penuh kenikmatan dan senantiasa berada dalam keridaan Allah swt. Perihal bersikap jujur telah banyak diterangkan dalam Al-Quran. Di antaranya terdapat dalam ayat-ayat berikut.

Artinya, "Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar" (QS. at-Taubah [9]: 119);

"Taat dan mengucapkan perkataan yang baik (adalah lebih baik bagi mereka). Apabila telah tetap perintah perang (mereka tidak menyukainya). Tetapi jika mereka benar (imannya) terhadap Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka" (QS. Muhammad [47]: 21);

"Supaya Allah memberikan balasan kepada orang-orang yang benar itu karena kebenarannya, dan menyiksa orang munafik jika dikehendaki-Nya, atau menerima tobat mereka. Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" (QS. al-Ahzab [33]: 24);

"Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan salat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa" (QS. al-Baqarah [2]: 177).

Rasulullah saw, lewat hadis-hadisnya juga menganjurkan kepada umatnya agar senantiasa bersikap jujur. Di antara sabda Rasulullah saw yang menerangkan tentang anjuran bersikap jujur adalah sebagai berikut.

Artinya, "Dari Ibnu Mas'ud ra, dari Nabi saw bahwa beliau bersabda, 'Sesungguhnya kejujuran menunjukkan pada kebajikan dan kebajikan menunjukkan jalan ke surga. Sesungguhnya seseorang yang jujur akan selalu melakukan kejujuran sehingga dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Dan sesungguhnya dusta menunjukkan pada kedurhakaan dan kedurhakaan menunjukkan jalan ke neraka. Sesungguhnya seseorang yang berdusta akan selalu melakukan kedustaan sehingga dicatat di sisi Allah sebagai pendusta'" (HR. Bukhari Muslim).

Kejujuran senantiasa mengarahkan umat manusia pada kebajikan, dan kebajikan akan mengantarkan pelakunya meraih derajat tinggi di dalam surga. Seseorang yang berlaku jujur akan selalu mempertahankan kejujuran itu hingga akhir hayatnya, sampai dengan dia mendapatkan predikat orang yang sangat jujur, baik dalam pandangan Allah maupun dalam pandangan sesama manusia. Sedangkan kedustaan hanya akan mengantarkan seseorang pada kedurhakaan, yang pada akhirnya hanya akan mengantarkan dirinya menjadi penghuni neraka. Demikian pula halnya orang yang suka berdusta akan selalu berbuat dusta hingga dia mendapat predikat pendusta. Karena seorang muslim hendaklah menghindari perbuatan dusta, sambil berhias diri dengan sikap jujur dan dapat dipercaya sehingga dapat meraih kedudukan yang mulia.

Rasulullah saw bersabda, Artinya, "Terus meneruslah dalam melakukan kejujuran, sekalipun kamu melihat kebinasaan di dalamnya. Sebab, sesungguhnya dalam kejujuran terdapat keselamatan" (HR. Ibnu Abi Dunya).

Seorang muslim hendaknya selalu melakukan kejujuran sekalipun dirinya mengalami kehancuran, mendapatkan ancaman maupun tekanan. Sebab, pada hakikatnya di dalam kejujuran terdapat kesuksesan, keselamatan, dan kemuliaan. Hanya orang yang jujur sajalah yang akan meraih derajat tinggi, kebahagiaan lahir dan batin, serta keberhasilan yang luar biasa.

Dalam hadis yang diriwayatkan dari Hasan bin Ali bin Abi Talib, dia berkata,

Artinya, "Aku hafal sebuah hadis dari Rasulullah yang menegaskan, 'Tinggalkanlah apa yang meragukan dirimu, beralihlah pada sesuatu yang tidak meragukan dirimu. Sesungguhnya kejujuran adalah ketenangan dan kedustaan adalah keraguan'" (HR. Tirmizi).

Dalam masalah perdagangan, Nabi saw juga memerintahkan agar umatnya jujur dalam jual beli. Melalui riwayat Abi Khalid Hakim bin Hizam ra, beliau telah bersabda,

Artinya, "Jual beli adalah dengan khiar selama keduanya belum berpisah. Bila keduanya jujur dan berterus terang, keduanya mendapat berkah dalam jual beli itu. Bila keduanya menyembunyikan sesuatu dan berdusta, dihapuslah berkah jual belinya itu" (HR. Bukhari Muslim).

2. Bersikap Amanah

Bersikap amanah (bisa dipercaya) adalah bagian dari akhlak karimah. Sebab, orang yang tidak dapat dipercaya (suka berkhianat) berarti memiliki salah satu dari tanda-tanda orang munafik. Perihal bersikap amanah telah banyak diterangkan di dalam Al-Quran, di antaranya adalah sebagai berikut.

Artinya, "Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh" (QS. al-Ahzab [33]: 72);

"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat" (QS. an-Nisa' [4]: 58);"Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya" (QS. al-Mu'minun [23]: 8);

"Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi, jika sebagian kamu memercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan" (QS. al-Baqarah [2]: 283).

Rasulullah saw, melalui beberapa hadisnya juga menganjurkan kepada umatnya agar senantiasa bersikap amanah apabila dipercaya oleh orang lain.

Nabi saw bersabda,

Artinya, "Sebaik-baik golongan di antara kamu adalah yang hidup sezaman denganku, kemudian orang-orang yang hidup mengiringi mereka, kemudian orang-orang yang hidup mengiringi mereka." Imran berkata, "Aku tidak mengetahui sabda Nabi saw apakah dua atau tiga kali." Sabda Nabi selanjutnya, "Kemudian sesudah mereka akan ada suatu kaum yang menyaksikan, namun tidak dapat dijadikan saksi. Mereka berkhianat dan tidak dapat dipercaya, mereka bernazar dan mereka tidak memenuhinya, dan muncul di kalangan mereka orang-orang yang kegemukan" (HR. Bukhari Muslim).

Rasulullah saw menegaskan bahwa sebaik-baik golongan adalah golongan sahabat, kemudian golongan tabiin kemudian golongan tabiut tabiin. Setelah itu, akan muncul pengkhianatan-pengkhianatan. Sulit sekali mencari orang yang dapat dipercaya, bahkan sangat sulit lagi mencari kesaksian seseorang. Mereka melihat kejadian di depan mata, namun bila diangkat menjadi saksi pasti berkhianat. Bahkan, kesaksian mereka bisa dibeli hingga yang salah bisa menang dan yang benar bisa kalah. Artinya, sikap amanah sudah porak-poranda, yang ada tinggal para pengkhianat, bernazar tidak dipenuhi, bahkan makan barang yang haram sudah menjadi kebiasaan hingga digambarkan muncullah manusia-manusia yang kegemukan karena apa pun yang dimakan tanpa harus melihat halal dan haram.

Bahkan, termasuk kebesaran jiwa seseorang adalah tetap menegakkan sikap amanah kepada orang-orang yang telah berkhianat terhadap kita. Rasulullah bersabda,

Artinya, "Tunaikanlah amanat kepada orang yang memercayakannya kepadamu, dan janganlah berkhianat kepada orang yang mengkhianati dirimu" (HR. Ahmad dan Abu Dawud).

Dalam hadis ini dijelaskan bahwa Rasul memerintahkan kepada umatnya agar senantiasa bersikap amanah. Apabila diberi amanat oleh seseorang, hendaklah menyampaikannya kepada yang berhak menerima. Dan apabila dikhianati oleh seseorang jangan sampai membalas dengan pengkhianatan. Tetapi, hendaklah dibalas dengan tetap menegakkan sikap amanah. Dengan demikian, mereka akan menjadi umat yang paripurna, menjadi teladan dan senantiasa meraih kebahagiaan.

Sikap amanah adalah bagian dari cabang iman hingga bila ditinggalkan menjadikan iman seseorang tidak sempurna. Karena itu, setiap mukmin harus selalu menjaga sikap amanah demi meraih kesempurnaan iman. Demikian pula halnya orang yang suka mengingkari janji, dia tidak mempunyai agama yang kuat. Sebab, menepati janji adalah bagian dari perintah agama yang harus ditegakkan, kapan pun dan di mana pun.

Rasulullah saw bersabda,

Artinya, "Tidak ada iman yang sempurna bagi orang yang tidak dapat dipercaya, dan tidak ada agama yang sempurna bagi orang yang tidak menepati janji" (HR. Ahmad).

Dari Abdullah bin Mas'ud ra, ia telah berkata, "Berperang di jalan Allah adalah menghapus seluruh dosa, kecuali amanat." Abdullah bin Mas'ud selanjutnya berkata, "Pada hari Kiamat nanti ada seorang hamba yang didatangkan. Bila dia terbunuh di jalan, kepadanya dikatakan, 'Tunaikanlah amanatmu!' Lalu dia menjawab, "Ya Tuhanku, bagaimanakah aku harus mendatangkannya, sementara dunia telah musnah?" Lalu ada dikatakan, "Berangkatlah kalian dengan membawa lelaki itu ke neraka Hawiyah." Kemudian amanat diwujudkan sebagaimana keadaannya pada waktu diberikan kepadanya, lalu dia melihat serta mengetahui. Kemudian dia menjatuhkan dari mengejar amanat itu hingga menemukannya. Lalu dia membawa amanat itu di atas pundaknya sehingga ketika dia menduga telah keluar dari nereka, maka amanat itu kemudian tergelincir dari kedua pundaknya. Dia pun kemudian menjatuhkan diri mengejar amanat itu hingga menemukannya. Yang demikian dia lakukan untuk selama-lamanya. Abdullah bin Mas'ud kemudian berkata, "Salat adalah amanat, wudu adalah amanat, timbangan adalah amanat, takaran adalah amanat, dan beberapa hal yang senantiasa dihitung-hitung adalah amanat. Dan amanat yang paling berat adalah titipan-titipan."

3. Merendahkan Diri (tawadu')

Merendahkan diri adalah bagian dari akhlak karimah yang harus dimiliki oleh setiap muslim. Sikap merendahkan diri sering disebut dengan tawadu'. Hanya orang yang tawadu' sajalah yang akan meraih penghormatan dari sesama manusia, serta mendapatkan keridaan dari Tuhannya. Perihal sikap tawadu', banyak diterangkan dalam Al-Quran. Di antaranya adalah sebagai berikut.

Artinya, "Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan" (QS. al-Furqan [25]: 63);

"Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman" (QS. asy-Syu'ara [26]: 215);"Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut pada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui" (QS. al-Ma'idah [5]: 54);"Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan Dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya. Maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar" (QS. al-Fath [48]: 29).Rasulullah saw lewat hadis-hadisnya juga menganjurkan kepada umatnya agar senantiasa bersikat tawadu', baik dalam beribadah maupun dalam bertingkah laku. Di antara sabda-sabda Rasulullah saw yang menerangkan tentang anjuran bersikap tawadu' adalah sebagai berikut.

Artinya, "Sesungguhnya Allah swt telah memberikan wahyu kepadaku agar kamu sekalian saling merendahkan diri sehingga tidak ada lagi seseorang yang berlaku zalim terhadap orang lain, dan tidak ada lagi seseorang yang sombong terhadap orang lain" (HR. Muslim).

Apabila di antara umat manusia saling mengembangkan sikap merendahkan diri, tentu keadaan dunia ini akan menjadi aman, tenteram, dan penuh kebahagiaan. Sebab, tidak akan ada lagi orang yang menzalimi orang lain, dan tidak akan ada lagi orang yang sombong, membanggakan diri, dan semena-mena terhadap orang lain. Karena itu, setiap individu muslim harus berupaya untuk memiliki sifat dan sikap tawadu' sehingga kekhalifahan di bumi yang mereka emban benar-benar bisa terlaksanakan dengan baik.

Dari Abu Hurairah ra, ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda,

Artinya, "Sedekah tidak akan mengurangi harta kekayaan, dan Allah tidak akan menambah terhadap seseorang yang memberi maaf kepada orang lain kecuali kemuliaan, serta tidaklah seseorang yang senantiasa merendahkan diri karena Allah kecuali Allah akan meninggikan derajat kemuliaannya" (HR. Muslim).

Sementara orang, ada yang berpendapat bahwa sedekah akan mengurangi bahkan menguras harta kekayaan. Namun, pada hakikatnya sedekah sama sekali tidak akan mengurangi harta kekayaan, justru akan menambah berkah dan pahala di sisi Allah. Pada hakikatnya, tawadu' tidak akan mengantarkan seseorang menjadi rendah dan terhina, justru akan mengantarkan diri orang tersebut menjadi orang mulia lagi terhormat. Sebaliknya, kesombongan terhadap sesama bukan akan mengantarkan seseorang meraih keunggulan maupun kemuliaan, melainkan malah mengantarkan dirinya menjadi orang yang hina lagi terasingkan.

Demikianlah ayat-ayat Al-Quran dan hadis-hadis Rasul dalam memberikan tuntunan kepada umat manusia agar memiliki sikap tawadu' (merendahkan diri bukan rendah diri), baik dalam pergaulan keseharian maupun dalam bermasyarakat sehingga kemuliaan hakiki dan keridaan Allah dapat diraih dengan baik.

4. Bersyukur

Sikap selanjutnya yang merupakan akhlak islami adalah bersyukur. Orang yang senantiasa mensyukuri nikmat Allah, akan mendapatkan curahan nikmat yang lebih besar lagi. Tetapi sebaliknya, orang yang mengufuri (ingkar) nikmat, akan selalu mendapatkan kesengsaraan dan azab Allah. Sebagian dari cara mensyukuri nikmat Allah adalah bersyukur terhadap sesama. Sebab, orang yang tidak bisa bersyukur terhadap sesama, berarti dia tidak pernah bersyukur kepada Allah. Perihal mensyukuri nikmat banyak diterangkan dalam Al-Quran. Di antaranya adalah sebagai berikut.

Artinya, "Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku" (QS. al-Baqarah [2]: 152);"Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan, 'Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), sesungguhnya azab-Ku sangat pedih'" (QS. Ibrahim [14]: 7);"Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu: 'Bersyukurlah kepada Allah. Dan barang siapa yang bersyukur (kepada Allah), sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barang siapa yang tidak bersyukur, sesungguhnya Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji'" (QS. Luqman [31]: 12);"Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Ku-lah kembalimu" (QS. Luqman [31]: 14);"Dan Dia-lah Yang telah menciptakan bagi kamu sekalian pendengaran, penglihatan dan hati. Amat sedikitlah kamu bersyukur" (QS. al-Muminun [23]: 78).Yang dimaksud dengan bersyukur di ayat ini ialah menggunakan alat-alat tersebut untuk memerhatikan bukti-bukti kebesaran dan keesaan Tuhan, yang dapat membawa mereka beriman kepada Allah swt serta taat dan patuh kepada-Nya. Kaum musyrik memang tidak berbuat demikian.

Rasulullah saw, melalui hadis-hadisnya juga menganjurkan kepada umatnya agar senantiasa bersyukur terhadap nikmat yang telah diberikan Allah swt. Di antara sabda Rasul yang menerangkan tentang anjuran mensyukuri nikmat Allah adalah sebagai berikut.

Artinya, "Orang yang memberi makan yang senantiasa bersyukur atas nikmat Allah adalah bagaikan orang yang berpuasa dengan penuh kesabaran" (HR. Tirmizi).

Bersedekah dengan disertai rasa syukur atas nikmat yang diberikan Allah kepadanya akan mendapatkan pahala sama dengan pahala orang yang berpuasa dengan penuh kesabaran. Artinya, sedekah yang dimaksudkan untuk mensyukuri nikmat, pahalanya adalah sangat besar.

Rasulullah bersabda,

Artinya, "Orang yang paling bersyukur kepada Allah di antara kamu sekalian adalah orang yang paling bersyukur kepada sesama manusia" (HR. Tabrani dan Ahmad).

Dalam sabda beliau yang lain,

Artinya, "Sesungguhnya Allah adalah baik, cinta pada kebaikan, dan sangat senang bila melihat bekas-bekas nikmat yang telah diberikan kepada hamba-Nya. Dan Allah sangat benci terhadap kesengsaraan dan berpura-pura sengsara" (HR. Baihaqi).

Allah sangat mencintai seseorang yang selalu bersyukur dalam menerima anugerah-Nya. Sebab, Allah adalah baik, dan suka pada kebaikan. Sedang bersyukur adalah bagian dari amal kebajikan. Sebaliknya, Allah sangat membenci seseorang yang tidak pernah mau bersyukur dan berpura-pura sengsara. Artinya, Allah sangat membenci orang yang tidak pandai mensyukuri nikmat. Maka dari itu, Rasul selalu memerintahkan seorang muslim untuk menyebut-nyebut pemberian Allah kepadanya.

Artinya, "Barang siapa diberi kebaikan, hendaklah dia menyebutnya. Barang siapa menyebut kebaikan yang telah diterima, dia telah mensyukuri pemberian itu. Dan barang siapa menyembunyikan pemberian, berarti dia telah kufur terhadap nikmat" (HR. Tabrani).

Melalui beberapa hadis di atas, seseorang yang diberi nikmat oleh Allah, hendaklah menyebut-nyebut kenikmatan tersebut sebagai bentuk kesyukuran, bukan sebagai bentuk kesombongan. Sedang bagi orang yang tidak mau menyebut-nyebut kenikmatan yang telah diterima, berarti dia telah mengufuri pemberian Allah. Sebab, dia tidak merasa bahwa apa yang dimiliki adalah pemberian dan anugerah dari sisi Allah swt. Karena itu, setiap muslim harus pandai-pandai mensyukuri pemberian dan karunia Allah swt.[]

Daftar Pustaka

Al-Hufiy, Ahmad Muhammad. 2000. Keteladanan Akhlak Nabi Muhammad SAW. Bandung: Pustaka Setia.

Khaled, Dr. Amr. 2012. Buku Pintar Akhlak. Jakarta: Zaman.

Sudewo, Erie. 2011. Best Practice Character Building Menuju Indonesia Lebih Baik. Jakarta: Republika Penerbit.

1513Pendidikan Agama IslamPusat Bahan Ajar dan eLearning

Addys Aldizar, LSQ, MAhttp://www.mercubuana.ac.id