Modifikasi Pati Sukun dengan Hidrogen Peroksida
-
Upload
taufik-nuraziz -
Category
Documents
-
view
85 -
download
33
description
Transcript of Modifikasi Pati Sukun dengan Hidrogen Peroksida
LAPORAN PENELITIAN
OKSIDASI PATI SUKUN (Artocarpus communis) DENGAN HIDROGEN
PEROKSIDA TANPA KATALIS SEBAGAI UPAYA DIVERSIFIKASI PANGAN
UNTUK MENGOPTIMALKAN SUMBER DAYA PANGAN LOKAL
Disusun oleh:
TAUFIK NURAZIZ 21030112140179
VICKY KARTIKA FIRDAUS 21030112130146
PROGRAM STUDI TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2015
i
LAPORAN PENELITIAN
OKSIDASI PATI SUKUN (Artocarpus communis) DENGAN HIDROGEN
PEROKSIDA TANPA KATALIS SEBAGAI UPAYA DIVERSIFIKASI PANGAN
UNTUK MENGOPTIMALKAN SUMBER DAYA PANGAN LOKAL
Disusun oleh:
TAUFIK NURAZIZ 21030112140179
VICKY KARTIKA FIRDAUS 21030112130146
PROGRAM STUDI TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2015
ii
HALAMAN PENGESAHAN
LAPORAN PENELITIAN
iii
RINGKASAN
Kebutuhan pangan dalam negeri terutama makanan pokok seperti gandum mengalami peningkatan setiap tahunnya seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia. Hal ini menyebabkan meningkatnya jumlah impor gandum hingga mencapai 1,5 juta ton untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu diperlukan upaya peningkatan produktivitas budidaya pangan dengan memanfaatkan teknologi dan upaya diversifikasi pangan dengan memanfaatkan serta mengoptimalkan sumber daya pangan lokal untuk mengatasi permasalahan ketahanan pangan di Indonesia.
Salah satu sumber daya pangan lokal yang sampai saat ini belum dimanfaatkan secara optimal adalah sukun (Artocorpus Commonis). Buah sukun yang masak tidak bisa bertahan lama. Oleh sebab itu, lebih praktis di simpan dalam bentuk pati atau tepung dan bisa digunakan sebagai bahan baku pembuatan kue sebagai pengganti tepung gandum. Sukun memiliki kandungan gizi yang tinggi seperti karbohidrat, kalsium, fosfor, vitamin B, vitamin C, niacin, dan thiamine. Dengan kandungan karbohidrat yang cukup tinggi, buah sukun berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai pati sukun. Akan tetapi, beberapa penelitian mengatakan bahwa pati sukun kurang dapat mengembang dan sedikit mengikat air sehingga tidak bisa digunakan sebagai bahan dasar pembuatan kue. Untuk memperbaiki sifat-sifat fungsional pati sukun, maka dilakukan proses modifikasi dengan cara oksidasi menggunakan H2O2 tanpa katalis. Pati sukun yang telah termodifikasi selanjutnya di analisa sifat fungsionalnya yang meliputi analisa kelarutan dalam air, daya kembang, dan SEM.
Dari hasil penelitian dapat diambil kesimpulan bahwa proses modifikasi pati sukun dengan proses oksidasi dengan menggunakan H2O2 berpengaruh terhadap nilai swelling power dan water solubility pati hasil modifikasi. Penggunaan persentase slurry 20%, konsentrasi H2O2 2% dan temperatur 50oC pada waktu oksidasi 30 menit memberikan hasil yang paling optimum ditinjau dari daya kembang (swelling power) dengan nilai 3,67 g/g dan kelarutannya dalam air yaitu 2,69%. Nilai daya kembang (swelling power) dan kelarutan pati sukun teroksidasi lebih tinggi dibandingkan dengan pati asalnya, yaitu berturut-turut 2,3 g/g dan 0,95%. Hasil analisa SEM menunjukkan bahwa ukuran granula pati sukun termodifikasi lebih kecil dibandingkan dengan pati sukun murni dengan nilai berturut-turut sebesar 2,396 μm – 8,940 μm dan 3,957 μm – 8,170 μm. Pemanfaatan pati sukun sebagai alternatif pengganti tepung terigu belum dapat dilakukan karena berdasarkan hasil uji organoleptis pada roti berbahan baku pati sukun teroksidasi, menunjukkan bahwa dari segi warna, aroma, tekstur, dan rasa belum dapat menyerupai roti dari tepung terigu.
iv
SUMMARY
Domestic food needs especially staple food such as wheat has increased each year together with the increasing population in Indonesia. This led to an increasing number of imported wheat up to 1.5 million tons to meet the needs of the community. Therefore, it takes an effort improved productivity of food cultivation by utilizing technology and food diversification efforts by utilizing and optimizing local food resources to solve the problem of food endurance in Indonesia.
One of the local food resources that until now has not been optimally utilized is breadfruit (Artocorpus Commonis). Ripe breadfruit could not last long. Therefore, it is more practical on save in the form of starch or flour and can be used as raw material for manufacture of bread as a substitute for wheat flour. Breadfruit has high nutritional content, such as: carbohydrates, calcium, phosphorus, B vitamins, C vitamins, niacin and thiamine. With a high carbohydrate content, breadfruit potentially can be used as breadfruit flour. However, some studies say that breadfruit starch has low swelling power and water solubility so it cannot be used as the raw material manufacture of bread. To improve the functional properties of breadfruit starch, then performed the process modifications so that the starch has acquired properties close to wheat flour. One of the modification process is by oxidation using H2O2 without catalyst. The modified breadfruit starch further in the analysis of functional properties which includes water solubility analysis, swelling power analysis, and SEM analysis.
From the results of research can be drawn the conclusion that breadfruit starch modification process by oxidation using H2O2 effect on swelling power value and water solubility. The use of slurry percentage 20%, the concentration of H2O2 2% and temperature 50oC on oxidation time 30 minutes gives the most optimum results in terms of swelling power with a value of 3.67 g/g and solubility in water 2.69%. Swelling power and solubility of oxidized breadfruit starch is higher compared to starch, successively 2.3 g/g and 0.95%. SEM analysis results also showed that the modified starch granule size is smaller compared with native starch with successive values of 2.396 μm – 8.940 μm and 3.957 μm – 8.170 μm. Breadfruit starch utilization as an alternative to substitute wheat flour can not be done because based on the results of organoleptic on bread made from oxidized breadfruit starch, pointed out that in terms of color, aroma, texture, and flavor can’t resemble bread from wheat flour.
v
PRAKATA
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa berkat rahmat-Nya sehingga dapat
terselesaikan laporan penelitian ini dengan judul “Oksidasi Pati Sukun (Artocarpus
communis) dengan Hidrogen Peroksida Tanpa Katalis Sebagai Upaya Diversifikasi
Pangan untuk Mengoptimalkan Sumber Daya Pangan Lokal”.
Penelitian merupakan salah satu mata kuliah yang wajib diambil oleh semua
mahasiswa sebagai syarat memenuhi tugas akhir. Dalam penyusunan laporan penelitian ini
diharapkan mahasiswa mampu melaksanakan tahapan-tahapan penelitian ilmiah sesuai
dengan laporan yang telah dibuat dan telah disetujui.
Pada kesempatan ini diucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Ibu Ir. C. Sri Budiyati, MT. selaku dosen pembimbing, yang telah memberikan banyak
masukan bagi kami.
2. Orangtua dan keluarga kami atas segala kasih sayang dan pengertian yang telah diberikan.
3. Semua pihak yang telah membantu secara langsung maupun tidak, sehingga kami dapat
menyelesaikan laporan penelitian ini.
Disadari adanya keterbatasan di dalam penyusunan laporan penelitian ini. Untuk itu,
diharapkan saran dan kritik yang membangun demi perbaikan dalam laporan ini. Namun
demikian, diharapkan semoga laporan penelitian ini dapat bermanfaat bagi pembaca secara
umum. Terima kasih.
Semarang, 5 Desember 2015
Penulis
vi
DAFTAR ISIHALAMAN PENGESAHAN...................................................................................................iii
RINGKASAN............................................................................................................................iv
SUMMARY................................................................................................................................v
PRAKATA................................................................................................................................vi
DAFTAR ISI............................................................................................................................vii
DAFTAR TABEL.....................................................................................................................ix
DAFTAR GAMBAR..................................................................................................................x
BAB 1 PENDAHULUAN..........................................................................................................1
1.1 Latar Belakang................................................................................................................1
1.2 Perumusan Masalah........................................................................................................3
1.3 Tujuan Penelitian............................................................................................................3
1.4 Manfaat Penelitian..........................................................................................................3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................................4
2.1 Buah Sukun....................................................................................................................4
2.2 Pati ..............................................................................................................................6
2.2.1 Granula Pati...........................................................................................................7
2.2.2 Amilosa..................................................................................................................8
2.2.3 Amilopektin...........................................................................................................8
2.3 Pati Sukun.......................................................................................................................9
2.4 Modifikasi Pati..............................................................................................................10
2.4.1 Hidrolisis Asam...................................................................................................10
2.4.2 Hidrolisis Enzim..................................................................................................11
2.4.3 Modifikasi Ikatan Silang (Cross-Linking)...........................................................11
2.4.4 Modifikasi Oksidasi.............................................................................................13
2.5 Sifat-sifat psikokimia dan rheologi produk pati sukun termodifikasi...........................14
2.6 Modifikasi Oksidasi dengan Hidrogen Peroksida.........................................................15
BAB 3 METODE PENELITIAN.............................................................................................18
3.1 Bahan yang Digunakan.................................................................................................18
3.2 Alat yang Digunakan....................................................................................................18
3.3 Gambar Rangkaian Alat................................................................................................18
3.4 Prosedur Percobaan.......................................................................................................19
3.4.1 Analisa Bahan Baku.............................................................................................19
vii
3.4.2 Parameter Penelitian............................................................................................19
3.4.3 Prosedur Penelitian..............................................................................................19
3.4.3.1 Modifikasi Pati Sukun Menggunakan Teknik Oksidasi..........................19
3.4.3.2 Analisis sifat fungsional pati sukun termodifikasi...................................20
3.5 Analisa Hasil.................................................................................................................22
3.6 Pengolahan Data...........................................................................................................22
BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN............................................................23
4.1 Analisa Proksimat dan Sifat-Sifat Fungsional Pati Sukun............................................23
4.2 Pengaruh Proses Modifikasi Pati Sukun dengan Cara Oksidasi Terhadap Daya.........24
Kembang (Swelling Power) dan Kelarutan Pati dalam Air (Water Solubility).............24
4.2.1. Pengaruh Persentase Slurry Terhadap Daya Kembang (Swelling
Power) dan Kelarutan Pati dalam Air (Water Solubility).................................24
4.2.2. Pengaruh Oksidator (H2O2) Terhadap Daya Kembang (Swelling Power) dan Kelarutan Pati dalam Air (Water Solubility).....................................................27
4.2.3. Pengaruh Suhu Oksidasi Terhadap Daya Kembang (Swelling Power) dan Kelarutan Pati dalam Air (Water Solubility).....................................................28
4.3 Perbandingan Sifat-Sifat Fungsional Pati Sukun Termodifikasi dengan......................29
Tepung Gandum............................................................................................................29
4.4 Bentuk dan Ukuran Granula Pati..................................................................................30
4.5 Aplikasi Pati Sukun Teroksidasi pada Roti...................................................................32
BAB 5 PENUTUP....................................................................................................................34
5.1 Kesimpulan...................................................................................................................34
5.2 Saran ………………………...…………...……..........……………............................34
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................35
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
viii
Tabel 2.1 Perbandingan komposisi buah sukun dengan sumber karbohidrat lain......................5
Tabel 2.2 Karakteristik Granula Beberapa Jenis Pati.................................................................7
Tabel 2.3 Karakterisasi Gelatinisasi Beberapa Jenis Pati...........................................................7
Tabel 2.4 Komposisi Pati Sukun...............................................................................................10
Tabel 2.5 Sifat-sifat Psikokimia dan Rheologi Pati Sukun.......................................................15
Tabel 2.6 Kandungan karboksil dan karbonil dari oksidasi H2O2 dengan tanpa UV................15
Tabel 2.7 Kadar karboksil dan karbonil dari oksidasi dengan hipoklorit dan FeSO4 dengan
udanya UV................................................................................................................16
Tabel 2.8 Pengaruh pH pada oksidasi pati dengan H2O2 dengan adanya UV..........................16
Tabel 2.9 Pengaruh konsentrasi dan pemakaian oksigen..........................................................17
Tabel 4.1 Kandungan nutrisi Pati Sukun..................................................................................23
Tabel 4.2 Sifat Fungsional Pati Sukun tanpa Modifikasi dan Tepung Gandum.......................24
Tabel 4.3 Pengaruh Persentase Slurry terhadap Daya Kembang dan Kelarutan dalam Air
Pati Sukun Termodifikasi pada Temperatur 30oC....................................................25
Tabel 4.4 Pengaruh H2O2 terhadap Daya Kembang (swelling power) dan Kelarutan dalam
Air (water solubility) Pati Sukun Termodifikasi......................................................27
Tabel 4.5 Pengaruh Suhu Oksidasi terhadap daya kembang (swelling power) dan kelarutan
dalam air (water solubility) Pati Sukun Termodifikasi.............................................28
Tabel 4.6 Sifat Fungsional Pati Sukun Termodifikasi dan Tepung Gandum...........................29
Tabel 4.7 Tabel Ukuran Granula Pati.......................................................................................31
DAFTAR GAMBAR
ix
Gambar 2.1 Buah Sukun (a) dan pohon sukun (b)......................................................................5
Gambar 2.2 Rumus struktur amilosa..........................................................................................8
Gambar 2.3 Rumus struktur amilopektin....................................................................................9
Gambar 2.4 Reaksi hidrolisis dengan asam.............................................................................11
Gambar 2.5 Reaksi ikatan silang (cross-linking) pada pati......................................................13
Gambar 3.1 Rangkaian Alat Utama..........................................................................................18
Gambar 3.2 Diagram Alir Pembuatan Pati Sukun....................................................................20
Gambar 3.3 Diagram Alir Penelitian........................................................................................21
Gambar 4.1 Analisa SEM (5000x) untuk (a) pati sukun belum termodifikasi dan (b) pati
sukun teroksidasi...................................................................................................31
Gambar 4.2 Roti yang dihasilkan dengan bahan 100% tepung terigu (a), 100% pati sukun
asli (b), 100% pati sukun teroksidasi (c), dan 50% pati sukun termodifikasi
dengan 50% tepung terigu (d)...............................................................................32
Gambar 4.3 Hasil analisa organoleptis roti...............................................................................33
x
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kebutuhan pangan dalam negeri terutama makanan pokok seperti gandum
mengalami peningkatan setiap tahunnya seiring dengan bertambahnya jumlah
penduduk di Indonesia. Hal ini menyebabkan meningkatnya jumlah impor gandum
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Menurut APTINDO (2014), Indonesia
merupakan negara yang banyak melakukan impor gandum dari negara Australia,
United States, Kanada, dan Ukraina. Pada tahun 2014 impor gandum sebesar 1,5 juta
ton. Hal ini menunjukan bahwa Indonesia masih bergantung pada negara lain dalam
hal pemenuhan kebutuhan pangan. Oleh karena itu diperlukan upaya peningkatan
produktivitas budidaya pangan dengan memanfaatkan teknologi dan upaya
diversifikasi pangan dengan memanfaatkan serta mengoptimalkan sumber daya
pangan lokal untuk mengatasi permasalahan ketahanan pangan di Indonesia.
Salah satu sumber daya pangan lokal yang sampai saat ini belum
dimanfaatkan secara optimal adalah sukun (Artocorpus Commonis). Sukun cukup
potensial untuk dikembangkan karena karena kuantitasnya yang melimpah dan
kandungan gizi yang tinggi seperti karbohidrat (22,8% - 77,3%), kalsium (15,2% -
31,1%) serta fosfor (34,4%-79%). Menurut Badrie et al. (2010), buah sukun memiliki
kandungan vitamin B, vitamin C, niacin, dan thiamine yang cukup tinggi sehingga
bagus untuk metabolisme tubuh. Produksi sukun di Indonesia terus meningkat, dari
89.231 ton pada Tahun 2010, meningkat menjadi 102.089 ton pada Tahun 2011, dan
meningkat lagi menjadi 111.768 ton pada tahun 2012 (BPS, 2013).
Di Indonesia, sukun lebih banyak dimanfaatkan sebagai makanan selingan
dalam bentuk sukun goreng, sukun rebus, getuk, tape, kolak, keripik, dan lain
sebagainya. Di negara-negara lain seperti di kawasan Pasifik, Kepulauan Karibia,
Afrika Barat, Ameika Tengah dan Selatan, Asia Tenggara, India, dan Sri Lanka,
sukun juga dimanfaatkan sebagai sebagai makanan pokok (sumber karbohidrat). Hal
ini disebabkan karena sukun memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi.
Salah satu upaya untuk meningkatkan daya guna sukun dan nilai ekonominya
dapat dilakukan dengan menganekaragamkan jenis produk olahan sukun. Dengan
kandungan karbohidrat yang cukup tinggi (22,8% - 77,3%) buah sukun berpotensi
1
untuk dimanfaatkan sebagai tepung sukun. Tepung sukun ini dapat digunakan sebagai
bahan baku untuk pembuatan produk baru ataupun untuk mengganti tepung-tepung
konvensional. Tepung sukun mempunyai potensi yang baik untuk dikembangkan
sebagai salah satu makanan pokok pendamping tepung terigu. Kandungan kalori
tepung sukun yang lebih rendah dapat digunakan sebagai makanan diet rendah kalori
dalam menu sehari-hari. Salah satu kendala dalam pemanfaatan sukun sebagai tepung
adalah kurang dapat mengembang apabila di olah menjadi produk (Mutmainah et al.,
2013). Oleh sebab itu, sebagai upaya perbaikan kualitas tepung dapat dilakukan
dengan memodifikasi sifat-sifat fungsional. Modifikasi sebagai perubahan struktur
molekul dari pati dapat dilakukan secara kimia, fisika maupun enzimatis (Pudjihastuti,
2010).
Menurut penelitian yang pernah dilakukan (Mutmainah et al., 2013) mengenai
perendaman sukun dalam larutan asam asetat dengan konsentrasi 0,15% dapat
meningkatkan daya kembang meskipun peningkatannya tidak terlalu signifikan yaitu
dari 4,97644 gr/gr menjadi 5,21133 gr/gr. Penelitian yang dilakukan oleh Adebowale
et al. (2005), daya kembang pati sukun dapat meningkat dengan cara dioksidasi oleh
NaOCl pada suhu 80oC dan penelitian yang dilakukan oleh Sari et al. (2012) tentang
oksidasi tapioka dengan hidrogen peroksida yang cukup efektif dalam meningkatkan
daya kembang yaitu dari 8.9 gr/gr menjadi 11 gr/gr. Penelitian yang dilakukan oleh
Tolvanen et al. (2009) menunjukkan bahwa oksidasi pada pati kentang dengan
menggunakan hidrogen peroksida sebagai oksidator lebih ramah lingkungan
dibandingkan dengan NaOCl.
Tepung sukun sebelum termodifikasi masih memiliki karakteristik yang
kurang dikehendaki yakni kurang dapat mengembang dan sedikit mengikat air
(Mutmainah et al., 2013). Untuk memperbaiki sifat-sifat fungsional tepung/pati
sukun, maka dilakukan modifikasi dengan cara oksidasi menggunakan H2O2.
Pemilihan H2O2 sebagai oksidator dikarenakan penggunaanya tidak bergantung pada
kondisi iklim dan menghasilkan produk yang lebih homogen (Sari et al., 2012) serta
lebih ramah lingkungan (Tolvanen et al., 2009). Penelitian ini diharapkan dapat
menghasilkan produk pati termodifikasi dengan spesifikasi produk yang mampu
digunakan sebagai substitusi tepung terigu.
2
1.2 Perumusan Masalah
Pati sukun memiliki beberapa kelemahan, diantaranya kelarutan dalam air dan
daya kembang yang masih tergolong rendah. Oleh karena itu, pati sukun ini perlu
diolah lebih lanjut untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan tersebut.
Modifikasi pati sukun untuk memperbaiki sifat fisiko-kimianya dapat
dilakukan dengan cara kimia seperti oksidasi. Menurut penelitian yang sudah
dilakukan oleh Dias et al. (2011), oksidasi merupakan cara modifikasi yang cocok
untuk diaplikasikan pada pati karena viskositasnya rendah, stabilitasnya tinggi, serta
kemurnian dan sifat pengikatan yang bagus. Oksidasi pati sudah banyak diaplikasikan
di industri, seperti industri kertas, tekstil, dan material pengikat untuk bahan pelapis
permukaan suatu benda (Dias et al., 2011).
Dalam penelitian ini akan dilakukan modifikasi tepung sukun dengan cara
oksidasi menggunakan H2O2 tanpa penambahan katalis. Modifikasi dengan cara kimia
yaitu teknik oksidasi dengan oksidator H2O2 dan katalis CuSO4.5H2O telah terbukti
dapat meningkatkan sifat fisiko-kimia tepung umbi talas (Ariyanti dan Budiyati,
2013). Namun kelemahan dari penggunaan katalis adalah terjadinya penurunan
kualitas tepung umbi talas khususnya pada warna dan rasa (Ariyanti dan Budiyati,
2014).
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengkaji pengaruh konsentrasi H2O2, suhu operasi, waktu serta perbandingan
air dan pati sukun terhadap daya kembang dan kelarutan pati sukun
termodifikasi.
2. Mengkaji kondisi terbaik dalam modifikasi pati sukun dengan oksidasi H2O2
terhadap daya kembang dan kelarutan.
1.4 Manfaat Penelitian
Diharapkan dari penelitian ini, dapat dihasilakn produk olahan sukun berupa
pati modifikasi sukun yang mempunyai daya kembang dan kelarutan yang tinggi.
Selain itu, penelitian ini juga bermanfaat untuk memberikan informasi ilmiah
berkaitan dengan pengaruh kondisi operasi oksidasi yang optimum dalam proses
3
pembuatan pati sukun termodifikasi terhadap daya kembang dan kelarutan yang
dihasilkan.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Buah Sukun
Sukun (Artocarpus communis) merupakan tanaman pekarangan yang telah ratusan
tahun dikenal sebagai aman penghijau di Indonesia. Tanaman sukun berasal dari New
Guinea Pasific dan berkembang sampai ke Indonesia. Tanaman ini merupakan tanaman
yang dapat tumbuh subur di daerah tropis, baik pada dataran rendah maupun dataran
tinggi (sampai 1000 m di atas permukaan laut). Tanaman sukun memiliki toleransi dan daya
adaptasi yang tinggi serta tahan terhadap penyakit. Hal ini menyebabkan pohon sukun
tersebar meluas Indonesia. Taksonomi tumbuhan sukun secara lengkap adalah sebagai
berikut:
Kingdom : Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub Kelas : Dilleniidae
Ordo : Urticales
Famili : Moraceae (suku nangka-nangkaan)
Genus : Artocarpus
Spesies : Artocarpus communis Forst
Sukun merupakan tanaman tahunan yang berbuah musiman dengan panen raya di
bulan Januari-Februari dan panen susulan di bulan Juli-Agustus. Pada usia 4 tahun setelah
tanam, sukun sudah menghasilkan buah yang produksinya bertambah sejalan dengan
pertambahan umur tanaman. Produksi sukun berkisar antara 200-750 buah/pohon/tahun.
4
Sumber: USDA 2004
(a) (b)
Gambar 2.1 Buah Sukun (a) dan pohon sukun (b)
Buah sukun mempunyai potensi sebagai cadangan ketahanan pangan nasional
karena sukun mampu berproduksi sepanjang tahun selain itu buah sukun mengandung gizi
yang tidak kalah dengan jagung maupun umbi-umbian (Irwanto, 2006). Nilai gizi buah
sukun tidak kalah dengan bahan-bahan pangan lainnya yang sering digunakan sebagai
bahan pangan pokok ataupun bahan pangan pokok alternatif di Indonesia. Bahkan dalam
beberapa hal sukun tampak lebih unggul dari bahan pangan lainnya. Dengan demikian
sukun, khususnya tepung sukun mempunyai prospek yang sangat baik sebagai bahan pangan
pengganti gandum.
Tabel 2.1 Perbandingan komposisi buah sukun dengan sumber karbohidrat lain
Menurut Pitojo (2006), sukun merupakan tanaman yang kurang begitu
mendapat perhatian dikalangan masyarakat Indonesia sehingga tanaman ini hanya sekedar
ditanam sebagai tanaman peneduh atau penghijauan dihalaman rumah, areal ladang
dan kebun, sedangkan buahnya dimanfaatkan sebagai bahan makanan, diolah menjadi
5
berbagai macam makanan, misalnya getuk, klepon, stick, keripik dll. Selain itu sukun juga
telah diolah menjadi berbagai bentuk seperti pati (Akanbi et al., 2011) dan tepung (Olaoye
et al., 2008) yang dimanfaatkan dalam industri makanan. Dalam industri pati sukun telah
digunakan sebagai pengental atau pengisi dalam produk seperti puding, sup, makanan bayi,
es krim dan obat-obatan (Ihekoronye dan Ngoddy, 1985). Mereka juga telah digunakan
dalam salad dressing (Singhal dan Kulkarni,1990), persiapan cookies (Kulp et al., 1991),
pelapis dalam buah-buahan kering, penebalan di pie,sup mixer dan puding instan
(Ihekoronye dan Ngoddy, 1985).
2.2. Pati
Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik, yang banyak terdapat
pada tumbuhan terutama pada biji-bijian, umbi-umbian. Berbagai macam pati tidak sama
sifatnya, tergantung dari panjang rantai atom karbonnya, serta lurus atau bercabang (Jane,
1995; Koswara, 2009).
Dalam bentuk aslinya secara alami pati merupakan butiran-butiran kecil yang sering
disebut granula. Bentuk dan ukuran granula merupakan karakteristik setiap jenis pati, karena
itu digunakan untuk identifikasi. Pati tersusun paling sedikit oleh tiga komponen utama
yaitu amilosa, amilopektin dan material antara seperti, protein dan lemak Umumnya pati
mengandung 15–30% amilosa, 70–85% amilopektin dan 5–10% material antara. Struktur dan
jenis material antara tiap sumber pati berbeda tergantung sifat-sifat botani sumber pati
tersebut (Banks et al., 1974).
Sumber pati utama di Indonesia adalah beras. Disamping itu dijumpai beberapa
sumber pati lainnya yaitu; jagung, kentang, tapioka, sagu, gandum, dan lain-lain
(Tharanathan, 2005). Dalam keadaan murni granula pati berwarna putih, mengkilat, tidak
berbau dan tidak berasa, dimana secara mikroskopik granula pati dibentuk oleh molekul-
molekul yang membentuk lapisan tipis yang tersusun terpusat (Koswara, 2009; Niba L.L et
al., 2001). Granula pati bervariasi dalam bentuk dan ukuran, dimana ada yang berbentuk
bulat, oval, atau bentuk tak beraturan. Demikian juga ukurannya, mulai kurang dari 1 mikron
sampai 150 mikron ini tergantung sumber patinya seperti yang terlihat pada Tabel 2.2.
6
Tabel 2.2 Karakteristik Granula Beberapa Jenis Pati
(Koswara, 2009; Niba L.L et al., 2001).
Pati Tipe Diameter Bentuk
Jagung
Kentang
Biji-bijian
Umbi-umbian
15 μm
33 μm
Melingkar, poligonal
Oval, bulat Gandum
Tapioka
Biji-bijian
Umbi-umbian
15 μm
33 μm
Melingkar, lentikuler
Oval, kerucut potong
Sifat-sifat pati sangat tergantung dari sumber pati itu sendiri. Faktor yang
menentukan sifat pati antara lain yaitu gelatinisasi. Beberapa karakterisasi gelatinisasi dari
pati singkong (tapioka), jagung, kentang, dan gandum seperti yang disajikan pada Tabel
2.3.
Tabel 2.3 Karakterisasi Gelatinisasi Beberapa Jenis Pati
(Koswara, 2009)
PatiSuhu gelatinisasi
Koffer (oC)Suhu pemanasanBrabender (oC)
”Peak” viskositas
Brabender (BU)
Jagung 62-72 75-80 700
Kentang 58-68 60-65 3000
Gandum 58-64 80-85 200
Tapioka 59-69 65-70 1200
2.2.1. Granula Pati
Pati dalam jaringan tanaman mempunyai bentuk granula (butiran) yang
berbeda-beda. Penampakan mikroskopik dari granula pati seperti bentuk, ukuran,
keseragaman, bersifat khas untuk setiap jenis pati. Bentuk butiran pati secara fisik
berupa semikristalin yang terdiri dari unit kristal dan unit amorf (Banks et al., 1974).
Unit kristal lebih tahan terhadap perlakuan asam kuat dan enzim. Bagian amorf dapat
menyerap air dingin sampai 30% tanpa merusak struktur pati secara keseluruhan (Jane,
1995).
7
Pati yang berasal dari biji-bijian tertentu hanya mengandung amilopektin
saja yang dikenal dengan istilah “waxy” atau lilin. Spesies yang penting adalah
sorgum lilin, jagung lilin dan beras lilin (Jane 1995).
2.2.2. Amilosa
Pati adalah karbohidrat yang merupakan polimer glukosa yang terdiri dari
amilosa dan amilopektin. Amilosa merupakan bagian polimer dengan ikatan α- (1,4)
dari unit glukosa, yang membentuk rantai lurus, yang umumnya dikatakan sebagai
linier dari pati. Meskipun sebenarnya amilase dihidrolisa dengan β- amilase pada
beberapa jenis pati tidak diperoleh hasil hidrolisis yang sempurna, β- amilase
menghidrolisis amilosa menjadi unit-unit residu glukosa dengan memutus ikatan α-
(1,4) dari ujung non pereduksi rantai amilosa menghasilkan maltosa (Hee-Joung
An, 2005).
Suatu karakteristik dari amilosa dalam suatu larutan adalah kecenderungan
membentuk koil yang sangat panjang dan fleksibel yang selalu bergerak
melingkar. Struktur ini mendasari terjadinya interaksi iodamilosa membentuk warna
biru. Dalam masakan, amilosa memberikan efek keras bagi pati (Hee-Joung An, 2005).
Struktur rantai amilosa cenderung membentuk rantai yang linear seperti terlihat pada
Gambar1.
Gambar 2.2 Rumus struktur amilosa
2.2.3. Amilopektin
Amilopektin seperti amilosa juga mempunyai ikatan α-(1,4) pada rantai
lurusnya, serta ikatan β-(1,6) pada titik percabangannya. Struktur rantai amilopektin
cenderung membentuk rantai yang bercabang seperti terlihat pada Gambar 2.
Ikatan percabangan tersebut berjumlah sekitar 4–5 % dari seluruh lkatan yang ada
pada amilopektin (Ann-Charlotte Eliasson, 2004). Biasanya amilopektin mengandung
8
1000 atau lebih unit molekul glukosa untuk setiap rantai. Berat molekul
amilopektin glukosa untuk setiap rantai bervariasi tergantung pada sumbernya.
Amilopektin pada pati umbi-umbian mengandung sejumlah kecil ester fosfat yang
terikat pada atom karbon ke 6 dari cincin glukosa (Koswara, 2009).
Amilopektin dan amilosa mempunyai sifat fisik yang berbeda. Amilosa lebih
mudah larut dalam air dibandingkan amilopektin. Bila amilosa direaksikan dengan
larutan iod akan membentuk warna biru tua, sedangkan amilopektin akan membentuk
warna merah (Banks et al., 1974).
Dalam produk makanan, amilopektin bersifat merangsang terjadinya
proses mekar (puffing) dimana produk makan yang berasal dari pati yang kandungan
amilopektinnya tinggi akan bersifat ringan, porus, garing dan renyah. Kebalikannya
pati dengan kandungan amilosa tinggi, cenderung menghasilkan produk yang
keras, pejal, karena proses mekarnya terjadi secara terbatas (Hee-Joung An, 2005).
Gambar 2.3 Rumus struktur amilopektin
2.3. Pati Sukun
Seperti halnya pati sumber lain, pati sukun tersusun atas dua kelompok
makromolekuler, yaitu amilosa dan amilopektin. Pada pati sukun, amilosa dan amilopektin
yang terkandung cukup tinggi, yaitu amilosa 22,52 % dan amilopektin 77,48 % (Akanbi et
al., 2011). Dengan kandungan amilosa yang cukup tinggi pada makanan dapat membantu
resiko terkena diabetes dan penyakit cardiovascular (Behall dan Howe, 1995). Amilopektin
yang tinggi pada makanan juga dapat meningkatkan kadar insulin manusia (Behall et al.,
1988).
9
Pati sukun memiliki beberapa kelemahan, diantaranya kelarutan dalam air dan daya
kembang yang masih tergolong rendah dibandingkan dengan pati gandum. Oleh karena itu,
pati sukun ini perlu diolah lebih lanjut untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan tersebut.
Tabel 2.4 Komposisi Pati Sukun
(Akanbi et al., 2011)
Komponen Kadar (%) Komponen Kadar (%)
Protein Kasar 0.53 Lemak 0.39
Air 10.83 Amilosa 22.52
Abu 1.77Amilopektin 77.48
2.4 Modifikasi Pati
Modifikasi adalah suatu cara dengan mengubah sifat-sifat dari suatu produk dengan
tujuan menghasilkan sifat yang lebih baik dari sebelumnya. Pati termodifikasi adalah pati
yang gugus hidroksilnya telah diubah lewat suatu reaksi kimia atau dengan mengganggu
struktur asalnya. Pati diberi perlakuan tertentu dengan tujuan menghasilkan sifat yang lebih
baik untuk memperbaiki sifat sebelumnya atau untuk merubah beberapa sifat sebelumnya
atau sifat lainnya. Perlakuan ini dapat mencakup penggunaan panas, asam, alkali, zat
pengoksidasi atau bahan kimia lainnya yang akan menghasilkan gugus kimia baru atau
perubahan bentuk, ukuran serta struktur molekul pati. Pati dapat dimodifikasi melalui cara
hidrolisis, oksidasi, cross-linking atau cross bonding dan subtitusi (Koswara, 2009).
2.4.1. Hidrolisis Asam
Perlakuan pati di bawah titik pembentukan gel pada larutan asam akan
menghasilkan produk dengan viskositas pasta panas yang rendah dan mempunyai
rasio viskositas pasta dingin dan panas yang tinggi dan angka alkali (alkali number)
yang tinggi dari pati-pati alami. Demikian halnya dalam pemecahan granula pati oleh
air panas tidak sama dengan pati alami walaupun mempunyai bentuk granula yang
hampir sama dengan pati alami.
10
Dibandingkan dengan pati aslinya, pati termodifikasi asam menunjukkan
sifat-sifat yang berbeda, seperti (1) penurunan viskositas, sehingga memungkinkan
penggunaan pati dalam jumlah yang lebih besar (2) penurunan kemampuan
pengikatan iodine (3) pengurangan pembengkakan granula selama gelatinisasi (4)
penurunan viskositas intrinsik (5) peningkatan kelarutan dalam air panas di bawah suhu
gelatinisasi (6) suhu gelatinisasi lebih rendah (7) penurunan tekanan osmotik
(penurunan berat molekul) (8) peningkatan rasio viskositas panas terhadap viskositas
dingin dan (9) peningkatan penyerapan NaOH (bilangan alkali lebih tinggi). Akan
tetapi sama seperti pati alami, pati termodifikasi bersifat tidak larut dalam air dingin
(Koswara, 2009). Karakteristik utama dari pati termodifikasi asam ini adalah
kecendurangan untuk rhetrogradasi lebih rendah dibanding pati lainnya (Sriroth, 2002).
Gambar 2.4 Reaksi hidrolisis dengan asam
2.4.2. Hidrolisis Enzim
Hidrolisis disini adalah dengan memecah rantai pada pati baik amilosa
maupun amilopektin. Enzim yang memecah yaitu α - amilase. terdapat pada tanaman,
jaringan mamalia, jaringan mikroba. Dapat juga diisolasi dari Aspergillus
oryzae dan Bacillus subtilis (Niba L.L et al., 2001).
Cara kerja enzim α - amilase terjadi melalui dua tahap, yaitu : pertama,
degradasi amilosa menjadi maltosa dan amiltrotriosa yang terjadi secara acak.
Degradasi ini terjadi sangat cepat dan diikuti dengan menurunnya viskositas yang
cepat pula. Kedua, relatif sangat lambat yaitu pembentukan glukosa dan maltosa
sebagai hasil akhir dan caranya tidak acak. Keduanya merupakan kerja enzim α -
amilase pada molekul amilosa (Koswara, 2009). Hal-hal yang mempengaruhi hidrolisa
enzim antara lain konsentrasi asam, temperatur, dan waktu pemasakan (Azeez, 2005).
Laju hidrolisis akan meningkat bila tingkat polimerisasi menurun, dan laju hidrolisis
akan lebih cepat pada rantai lurus. Hidrolisis amilosa lebih cepat dibanding hidrolisis
terhadap amilopektin.
11
2.4.3. Modifikasi Ikatan Silang (Cross-Linking)
Seperti pada umumnya pati yang dipakai dalam industri ditentukan oleh sifat
rheologi dari pasta pati yang dihasilkan dari pati tersebut seperti viskositas, kekuatan
gel, kejernihan, dan kestabilan rheologi. Cross-linking menguatkan ikatan hidrogen
dalam granula dengan ikatan kimia yang berperan sebagai jembatan diantara molekul-
molekul. Sebagai hasilnya, ketika pati cross-linked dipanaskan dalam air, granula-
granulanya akan mengembang sehingga ikatan hidrogennya akan melemah. Tahapan
proses reaksinya seperti yang ada pada Gambar 2.5 (Miyazaki et al., 2006).
Cross-linking dipakai apabila dibutuhkan pati dengan viskositas tinggi atau
pati dengan ketahanan geser yang baik seperti dalam pembuatan pasta dengan
pemasakan kontinu dan pemasakan cepat pada injeksi uap. Pati ikatan silang dibuat
dengan menambahkan cross-linking agent dalam suspensi pati pada suhu tertentu dan
pH yang sesuai. Dengan sejumlah cross-linking agent, viskositas tertinggi dicapai pada
temperatur pembentukan yang normal dan viskositas ini relatif stabil selama konversi
pati. Peningkatan viskositas mungkin tidak mencapai maksimum tapi secara perlahan-
lahan meningkat sampai pemasakan normal, dan ini tidak untuk semua pati karena ada
bahan lain terdapat dalam pati yang dapat mempercepat dan memperluas
pengembangan misalnya gula (Koswara, 2009).
Untuk menguji sifat-sifat viskositas dari pati yang disebabkan oleh cross-
linking agent dapat dilakukan dengan mengamati pola viskometrik dan suhu. Jadi untuk
produk yang disiapkan untuk membuat makanan asam, salad drysing diperlukan
sejumlah asam organik, agar campuran akhir dapat dipergunakan untuk membentuk
bubur pati sebelum dimasak. Cara ini dapat menghasilkan pati dengan ikatan silang
yang stabil sehingga pada pemanasan pengembangan granula akan lebih lambat
sehingga viskositas akan lebih stabil (Atichokudomchai et al., 2000).
Pada setiap tingkatan konsentrasi ikatan silang dapat diamati pengembangan
granula pati hal ini dapat diamati selama pengolahan. Reaksi yang berlanjut dapat
merusak struktur granula ini sehingga pengolahan produk jadi sukar untuk ditangani.
Jadi apabila dilakukan suatu reaksi kimia maka harus dipergunakan cross-linking agar
produk derivat pati yang dihasilkan dapat diatur sesuai dengan karakteristik
viskositasnya. Berjenis cross-linking agent telah banyak digunakan seperti
hepikhlorohidrin, tri-meta phosphat dimana keduanya sering dipakai untuk pembuatan
12
makanan dan juga industri pati. Cross-linking agent lain yang banyak dipakai dalam
industri adalah: aldehid, di-aldehid, vynil sulfon, di-aldehid, vynil sulfon, di-epoksida,
bis-hidroksi metil etilen urea, dan lain lain (Koswara 2009).
Gambar 2.5 Reaksi ikatan silang (cross-linking) pada pati
2.4.4. Modifikasi Oksidasi
Pati dapat dioksidasi dengan aktivitas dari beberapa zat pengoksidasi dalam
suasana asam, netral atau larutan alkali. Menurut FDA (Food and Drugs
Administration) zat pengoksidasi diklasifikasikan sebagai pemutih dan oksidant untuk
pemutih yang diizinkan adalah oksigen aktif dari peroksida atau khlorin dari natrium
hipokhlorida, kalium permanganat, ammonium persulfate (Koswara, 2009).
Bila pati telah teroksidasi menjadi produk maka pati ini akan larut dalam air
panas membentuk bagian yang lebih kecil tanpa melalui yang mengandung pati
teroksidasi dalam jumlah besar dan produk ini memperlihatkan kekuatan pereduksi.
Lapisan tipis (film) yang diproduksi oleh larutan ini mempunyai tingkat kekuatan
regangan yang rendah dibandingkan dengan pati tak termodifikasi, hal ini memberikan
beberapa keuntungan seperti bentuk yang transparan dan kekuatan penetrasi dan sifat
ini sangat baik untuk industri kertas, lem dan tekstil (Tharanathan, 2005).
Penurunan viskositas pati karena proses oksidasi akan menyebabkan produk
lebih mudah dioksidasi lagi menjadi turunannya dan pengaruh yang sama dapat
dihasilkan dari oksidasi derivate pati atau menderivatkan pati teroksidasi, misalnya: pati
terposforilasi yang dibuat dengan mempergunakan NaOH dengan produk reaksi dari
epikhlorohidrin dan amina tertier. Produk derivat ini dioksidasi dengan NaOCI,
menghasilkan produk yang sangat baik untuk pelapis kertas (Tharanathan, 2005).
13
Modifikasi pati dengan oksidasi diperoleh sifat pati sebagai berikut, gel yang
mempunyai tingkat kejernihan yang tinggi, mempunyai tingkat regangan yang rendah,
berat molekul rendah, viskositas rendah.
2.5 Sifat-sifat psikokimia dan rheologi produk pati sukun termodifikasi
Beberapa metode yang dapat memodifikasi pati antara lain modifikasi dengan
pemulian tanaman, konversi dengan hidrolisis, cross linking, derivatisasi secara kimia,
merubah menjadi sirup dan gula serta perubahan sifat-sifat fisik. Modifikasi dengan
konversi dimaksudkan untuk mengurangi viskositas dari pati mentah hingga dapat dimasak
dan digunakan pada konsentrasi yang lebih tinggi, pati akan lebih mudah larut dalam
air dingin dan memperbaiki sifat kecenderungan pati untuk membentuk gel atau pasta
(Tharanathan, 2005).
Sifat psikokimia pati yaitu sifat yang menunjukkan morfologi, struktur, dan
kristalinitas dari pati. Sifat ini akan berpengaruh pada granula pati baik dalam bentuk gel,
larutan, maupun kristal. Kandungan amilosa dan amilopektin memilik i pengaruh yang
sangat besar pada sifat fisik pati (Ann-Charlotte Eliasson, 2004). Keduanya saling
berhubungan dalam mengubah maupun membentuk sifat yang berbeda–beda tergantung
pada perlakuannya. Dalam hal ini yang termasuk sifat– sifat psikokimia pati antara lain
kandungan amilosa dan amilopektin, viskositas, gelatinisasi, dan swelling power (Chávez-
Murillo et al., 2008).
Rheologi adalah ilmu yang mempelajari tentang perubahan bentuk dan aliran bahan
yang biasanya digunakan pada bahan makanan. Rheologi data yang biasa dibutuhkan
dalam industri makanan antara lain (Bemiller et al., 1997).
1. Quality control dari produk akhir
2. Mengevaluasi tekstur makanan
3. Secara fungsional menentukan komposisi dalam meningkatkan produk.
Sifat-sifat psikokimia dan rheologi produk pati termodifikasi seperti: swelling power,
kelarutan, gugus karbonil, dan gugus karboksil memiliki standard tertentu berdasarkan pada
penelitian yang sudah dilakukan terdahulu, seperti yang terlihat pada Tabel.2.5. Faktor-
faktor yang mempengaruhi antara lain: perbandingan amilosa-amilopektin, panjang rantai
dan distribusi berat molekul.
14
Tabel 2.5 Sifat-sifat Psikokimia dan Rheologi Pati Sukun
(Adebowale et al., 2005)
Sifat Psikokimia Value
Swelling Power (g/g) 1.33 ± 0.06
Kelarutan (g/100 g) 48,87 ± 0.02
Alkaline water retention capacity (g/100 g) 1.00 ± 0.00
Gugus Karbonil (%) 0,48
Gugus Karboksil (%) 0,10
Viskositas (cp) 641.75
2.6 Modifikasi Oksidasi dengan Hidrogen Peroksida
Pemakaian H2O2 sebagai pengoksidasi telah banyak diteliti seperti Whistler dan
Schweiger (1959) meneliti pengaruh ph terhadap H2O2 dengan amilopektin, ditemukan
bahwa pengaruh awal adalah terjadinya depolimerasi dan diikuti dengan oksidasi secara
cepat sampai unit akhir dari rantai sampai menghasilkan CO2 dan asam format.
Pengaruh H2O2 terhadap pati sangat tergantung pada proporsi pengoksidasi yang dipakai
dan suhu reaksi dimana aktivitas utamanya melalui degradasi hidroksil.
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kecepatan oksidasi dengan hidrogen
peroksida
1. Adanya cahaya ultra violet, dapat mengakibatkan peningkatan pembentukan
gugus karbonil dan karboksil dan juga dapat menurunkan viskositas pati (Harmon
et al., 1971).
Tabel 2.6 Kandungan karboksil dan karbonil dari oksidasi H2O2 dengan tanpa UV
Oksidasi Pati Gugus Karboksil
meq asam/g
Persen (%) Gugus karbonil
mmol/g
15
H2O2 (tanpa UV)
H2O2 (dengan UV)
0.0
0.11
0.0
0.50
0.02
0.22
*) Harmon et al. (1972)
2. Pengaruh adanya katalis, oksidasi yang dilakukan dengan H2O2 dan UV dengan
menambahkan katalis yang berbeda akan memberikan pembentukan karboksil
dan karbonil yang berada seperti yang terlihat pada Tabel 2.7.
Tabel 2.7 Kadar karboksil dan karbonil dari oksidasi dengan hipoklorit dan FeSO4
dengan udanya UV
Pati Oksidasi Gugus Karboksil
meq asam/g
Gugus Karbonil
mmol/gFeSO4Hipoklorit
0.11
0.06
0.13
0.24 *) Harmon et al. (1972)
Dari Tabel 2.7, terlihat bahwa dengan katalis FeSO4 menghasilkan gugus
karboksil lebih tinggi dari hipoklorit dan katalis hipoklorit menghasilkan karbonil
lebih tinggi daripada dengan FeSO4.
3. Pengaruh pH terhadap oksidasi dengan H2O2 dan adanya UV seperti terlihat
pada Tabel 2.8, disini terlihat bahwa ph rendah memberikan hasil yang lebih baik
dibandingkan bila oksidasi dilakukan pada pH tinggi.
Tabel 2.8 Pengaruh pH pada oksidasi pati dengan H2O2 dengan adanya UV
PH Karboksil
(M/100 AGU)
Karbonil
(MFG/100 AGU)
Viskositas
(Centipoises)
3
5
7
9
1.35
1.13
0.85
0.66
2.81
1.58
1.30
1.13
13.81
10.00
9.90
5.57*) Harmon et al. (1972)
Keterangan :
MFG : Mole of Functional group
AGU : Anhydro Glucose Unit of Starch
16
4. Pengaruh waktu oksidasi, bahwa peninggalkan pembentukan gugus karbonil
dan karboksil terjadi setelah 6 jam dan setelah itu kenaikanya berlansung lambat.
5. Pengaruh konsentrasi dan pemakaian oksidan, disini terlihat bahwa peningkatan
konsentrasi H2O2 berhubungan dengan peningkatan karbonil dan karboksil yang
terbentuk dan menghasilkan degradasi pati yang banyak yang terbukti dengan
menurunnya viskositas pati (Tabel 2.9).
Tabel 2.9 Pengaruh konsentrasi dan pemakaian oksigen
H2O2(mol/0.42AGU)
Karboksil
(MFG/100 AGU)
Karbonil
(MFG/100 AGU)
Viskositas
(Centipoises)
1.0
2.0
3.0
4.0
0.85
2.68
3.57
4.52
5.17
5.92
6.99
10.100
6.30
5.43
5.43
3.60*) Harmon et al. (1972)
17
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Bahan yang Digunakan
3.1.1 Bahan Baku
a. Sukun
3.1.2 Bahan Pembantu
a. Aquadest
b. Hidrogen Peroksida (H2O2) 35%
3.2 Alat yang Digunakan
a. Beaker glass
b. Gelas ukur
c. Erlenmeyer
d. Labu Takar
e. Magnetic stirrer
f. Pipet tetes
g. Filter
h. Cawan petri
i. Oven
j. Alat penggiling tepung
k. Neraca timbang
l. Kompor listrik
m. Pengaduk
3.3 Gambar Rangkaian Alat
Penelitian ini menggunakan eksperimen yang dilakukan di laboratorium dimana
secara garis besar tahapan penelitian yang dilakukan ditunjukan sebagaimana yang tertera
pada Gambar 3.1
18
Gambar 3.6 Rangkaian Alat Utama
3.4 Prosedur Percobaan
3.4.1 Analisa Bahan Baku
Analisa proksimat bahan baku terdiri dari :
Kadar Air (AOAC 1995, metode oven) terdapat dalam lampiran A
Kadar Abu (AOAC 1995, metode tanur) terdapat dalam lampiran A
Karbohidrat (by Difference) terdapat dalam lampiran A
Protein (AOAC 1995, metode kjeldahl) terdapat dalam lampiran A
Lemak (AOAC 1995, metode sokhlet) terdapat dalam lampiran A
Swelling Power (metode Leach) terdapat dalam lampiran A
Water Solubility (metode Kainuma) terdapat dalam lampiran A
3.4.2 Parameter Penelitian
1. Variabel kendali
Kecepatan pengadukan (skala 7)
2. Variabel Bebas
Variabel bebas yang digunakan dalam penelitian ini adalah
a) Persentase slurry (wpati
wpati+aquadest): 10%, 20%, 30%
b) Waktu : 30, 60, 90, 120 menit
c) Jumlah oksidator (H2O2) (% berat suspensi pati) : 1%, 2%, 3%
d) Suhu percobaan : 30oC, 40oC, 50 oC
3. Variabel Tak bebas
Variabel tak bebas atau respon dari penelitian ini antara lain:
a) Kelarutan dalam air (water solubility)
19
Ampas sukun
Sawutan sukun
Buah Sukun
b) Daya kembang (swelling power)
3.4.3 Prosedur Penelitian
3.4.3.1 Modifikasi Pati Sukun Menggunakan Teknik Oksidasi
Pati sukun didispersikan di dalam aquadest untuk memperoleh
suspensi dengan kadar pati sesuai variabel yang ditentukan.
Selanjutnya, oksidasi dilakukan pada suhu sesuai variabel dengan
pengadukan secara terus-menerus (Parovuori et al., 1995). Larutan
hidrogen peroksida 35% ditambahkan tetes demi tetes hingga
konsentrasinya dalam suspensi sesuai dengan variabel yang ditentukan.
Reaksi dibiarkan berlangsung selama waktu yang ditentukan pada
variabel. Pati teroksidasi yang diperoleh selanjutnya dicuci dengan
aquadest sebanyak 4 kali, disaring, dikeringkan pada suhu 50oC selama
24 jam.
3.4.3.2 Analisis sifat fungsional pati sukun termodifikasi
Analisis sifat fungsional yang dilakukan pada pati sukun terdiri
dari:
1. Analisa Kelarutan Dalam Air (water solubility)
Kelarutan dalam air dianalisis menurut metode (Kainuma et al,
1967) dan terdapat dalam lampiran A
2. Analisa Daya Kembang (swelling power)
Kemampuan daya kembang dianalisis menurut metode (Leach,
1959) dan terdapat dalam lampiran A
Buah Sukun
Air
Slurry sukun
20
Pembersihan dan Pengupasan
Pencucian dan penyawutan
Penggilingan
Penyaringan
Endapan sukun
Filtrat sukun
Gambar 3.7 Diagram Alir Pembuatan Pati Sukun
21
Pengendapan
H2O2
Analisa Kelarutan Dalam Air
Pati Sukun
Pati Sukun + Aquadest
Pengeringan
Sesuai variabel (20%, 30%, 40%)
Oksidasi
Pencucian
Pengeringan
Pati Termodifikasi
Analisa Daya Kembang
Analisa SEM
Gambar 3.8 Diagram Alir Penelitian
3.5 Analisa Hasil
Analisa hasil yang dilakukan pada penelitian ini adalah analisa water
solubility, analisa swelling power, serta analisa SEM. Analisa SEM dilakukan untuk
mengetahui perbandingan bentuk dan ukuran granul pati sukun pada kondisi optimum
dan mula-mula.
3.6 Pengolahan Data
Dalam penelitian ini dicari kondisi optimum dalam peningkatan daya
kembang dan kelarutan dalam air pati sukun dengan variabel persentase slurry, waktu
oksidasi, konsentrasi H2O2, dan suhu reaksi oksidasi. Data yang diperoleh ditampilkan
dalam bentuk tabel.
22
Analisa hasil dan analisa data
Produk Olahan.Contoh: roti, kue, dsb
BAB 4
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini diawali dengan melakukan analisis sifat fungsional pati sukun yang
tercermin dari sifat fisiko-kimia dari pati tersebut.
4.1 Analisa Proksimat dan Sifat-Sifat Fungsional Pati SukunHasil analisis proksimat untuk pati sukun tanpa modifikasi, pati sukun
termodifikasi, serta standar SNI tepung terigu dicantumkan dalam tabel 4.1 berikut
ini.
Tabel 4.10 Kandungan nutrisi Pati Sukun
KomponenPati Sukun Tanpa
ModifikasiaPati Sukun
Termodifikasia Tepung Terigub
Karbohidrat 80,4735% 88,3575% -
Protein 0,5667% 0,3416% Min 7,0%
Lemak 3,5085% 2,6753% -
Abu 0,5167% 0,2862% Maks. 0,70%
Air 14,9346% 8,3394% Maks. 14,5%
*) Sumber : a) Penelitian ini, b) SNI Tepung Terigu Sebagai Bahan Makanan (2009)
Dari tabel 4.1 di atas dapat diketahui bahwa pada pati sukun baik yang belum
maupun sudah dimodifikasi memiliki kandungan karbohidrat yang cukup tinggi.
Apabila ditinjau dari segi kadar air, pati sukun tanpa modifikasi belum memenuhi
standar yang ditentukan pada tepung terigu yang dikonsumsi di Indonesia, yakni harus
di bawah 14,5%. Sedangkan kadar air pati sukun termodifikasi telah memenuhi
23
standar yang telah ditentukan. Untuk kadar abu baik pati sukun tanpa modifikasi
maupun yang termodifikasi telah sesuai dengan SNI tepung terigu, yaitu maksimal
0,7%. Sedangkan kadar protein kedua pati sukun tersebut masih dibawah standar yang
ditentukan, yaitu minimal 7%.
Tabel 4.11 Sifat Fungsional Pati Sukun tanpa Modifikasi dan Tepung Gandum
Jenis Tepung Swelling Power (g/g) Water Solubility (%)
Pati Sukuna 2,3 0,95
Gandum Amerikab 6,8 – 7,9 6,3 – 7,3
Gandum Koreab 7,8 – 9,3 7,3 – 8,5
*) Sumber : a) Penelitian ini, b) Kumoro, dkk. (2012)
Daya kembang pati (swelling power) merupakan peristiwa pertambahan
volume dan berat maksimum yang dialami pati alami dalam air (Baah, 2009).
Menurut Zulaidah (2011), swelling power merupakan sifat yang mencirikan daya
kembang suatu bahan yang berkaitan dengan kekuatan tepung. Dengan tingginya
swelling power, maka pati juga akan mempunyai kelarutan dalam air (water
solubility) yang tinggi pula (Sasaki dan Matsuki, 1998). Tabel 4.2 menunjukkan
bahwa swelling power dan water solubility pati sukun lebih rendah jika dibandingkan
dengan tepung gandum.
Nilai swelling power yang tinggi diperlukan untuk produk pangan yang dibuat
melalui pembuatan adonan lebih dahulu seperti donat, bakpao, mie, dan lain-lain
karena mempengaruhi terjadinya proses mekar (puffing). Jika suatu bahan pangan
cenderung membentuk gel ketika kontak dengan air, maka bahan pangan tersebut
tidak cocok untuk membuat adonan (Udensi et al., 2008).
4.2 Pengaruh Proses Modifikasi Pati Sukun dengan Cara Oksidasi Terhadap Daya Kembang (Swelling Power) dan Kelarutan Pati dalam Air (Water Solubility)
Dalam proses modifikasi ini, persentase slurry yang digunakan adalah 10%,
20%, dan 30%; waktu operasi selama 30, 60, 90, dan 120 menit; jumlah oksidator 1%,
24
2%, dan 3% berat pati; dan suhu operasi yang digunakan 30oC, 40oC, dan 50oC.
Pengaruh variabel tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
4.2.1. Pengaruh Persentase Slurry Terhadap Daya Kembang (Swelling Power) dan Kelarutan Pati dalam Air (Water Solubility)
Dalam modifikasi pati sukun ini, dilakukan dengan mereaksikan H2O2
konsentrasi 2% dari berat pati sebagai oksidator. Waktu operasi bervariasi
antara 30-120 menit dengan persentase slurry 10%, 20%, dan 30%. Pada
pencampuran dengan persentase slurry sebesar 40% pengadukan sudah tidak
dapat dilakukan sehingga persentase slurry ini tidak dapat digunakan.
Hasil percobaan mengenai pengaruh persentase slurry terhadap daya
kembang dan kelarutan dalam air pati termodifikasi pada temperatur 30oC
dapat dilihat pada tabel 4.3.
Tabel 4.12 Pengaruh Persentase Slurry terhadap Daya Kembang dan Kelarutan dalam Air Pati Sukun Termodifikasi pada Temperatur 30oC
Persentase
Slurry
Waktu Operasi
(menit)
Swelling Power
(g/g)
Water Solubility
(%)
10%
30 2,5 1,12
60 2,48 0,97
90 2,42 1,01
120 2,37 1,43
20%
30 2,98* 1,64*
60 2,89 1,23
90 2,41 1.42
120 2,44 1,18
30%
30 2,36 1,29
60 2,51 1,23
90 2,43 1,44
120 2,35 0,97
*) Kondisi Optimum Swelling Power dan Water Solubility Pati Oksidasi
Tabel 4.3 menunjukkan bahwa nilai swelling power pada oksidasi pati
sukun secara umum cenderung meningkat pada 30 menit pertama kemudian
terus menurun hingga waktu oksidasi 120 menit. Hal ini sama seperti yang
25
terjadi pada penelitian Sangseethong (2010) dengan bahan tepung singkong
dimana oksidasi oleh H2O2 optimum dalam waktu 30 menit pertama.
Oksidasi diawali dengan terbentuknya radikal bebas –OH sebagai agen
pengoksidasi yang kemudian masuk ke dalam granul pati dan mengoksidasi
gugus hidroksil menjadi karbonil dan karboksil. Radikal bebas –OH akan
menyerang area amorf (amilosa) lebih dulu karena rantainya yang berbentuk
linear menjadikannya lebih mudah diserang dibandingkan rantai amilopektin
yang bercabang (Sandhu et al., 2008). Pada kondisi amilosa terdepolimerisasi,
dimana rantai panjang polimer pati diputus menjadi polimer dengan rantai
molekul yang lebih pendek dalam jumlah yang lebih banyak (Kuakpetoon
dkk., 2006), air akan terserap ke dalam area kristalin pati (amilopektin)
sehingga dapat meningkatkan nilai daya kembangnya (Wang and Wang,
2003).
Namun, ketika oksidasi terus berlanjut melewati waktu 30 menit, rantai
amilopektin akan terdepolimerisasi. Ketiadaan molekul amilopektin pada
struktur pati menyebabkan tidak ada lagi yang dapat menyerap dan
memerangkap molekul air sehingga nilai swelling powernya menurun (Lawal,
2004). Pada persentase slurry 20%, nilai swelling power yang diperoleh lebih
tinggi dibanding persentase slurry 10%, dikarenakan konsentrasi amilopektin
pada persentase slurry 20% lebih tinggi daripada 10%. Chan, et al. (2009)
menyebutkan bahwa konsentrasi amilopektin yang tinggi dapat meningkatkan
nilai swelling power sedangkan keberadaan amilosa dapat menurunkan nilai
swelling power.
Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa semakin lama waktu
operasi, maka water solubility yang dihasilkan cenderung stabil. Tetapi pada
persentase slurry 20% dan waktu oksidasi 30 menit, nilai kelarutan pati dalam
air dapat meningkat, kemudian mengalami penurunan pada persentase slurry
30% dan waktu oksidasi 60, 90, dan 120 menit. Peningkatan kelarutan pada
awal proses diakibatkan adanya amilosa yang terlepas dari rantai pati
(Kuakpetoon dkk., 2006).
Sedangkan penurunan kelarutan saat suspensi 30% diduga akibat
terjadinya konversi gugus karbonil menjadi gugus karboksil (oksidasi lanjut)
yang rentan terhadap pembentukan cross-linking di antara intra molekulnya.
Ikatan ini diduga menghambat keluarnya amilosa yang telah terpotong dari
26
rantai pati (terperangkap), sehingga nilai kelarutan tepung dalam air menjadi
lebih rendah (Chan et al., 2009 dan Tethool et al., 2012).
Pada penelitian ini dijumpai kondisi terbaik untuk proses oksidasi yaitu
dengan suspensi 20% dan waktu oksidasi 30 menit dengan nilai swelling
power tertinggi 2,98 g/g dan water solubility 1,64%.
4.2.2. Pengaruh Oksidator (H2O2) Terhadap Daya Kembang (Swelling Power)
dan Kelarutan Pati dalam Air (Water Solubility)
Dalam modifikasi pati sukun ini, dilakukan dengan proses oksidasi
pada kondisi optimum yaitu suspensi pati 20% dengan waktu oksidasi 30
menit. Perbandingan H2O2 yang digunakan adalah 1%, 2%, dan 3%. Hasil
percobaan mengenai pengaruh H2O2 terhadap daya kembang (swelling power)
dan kelarutan dalam air (water solubility) dapat dilihat dalam tabel 4.4.
Tabel 4.13 Pengaruh H2O2 terhadap Daya Kembang (swelling power) dan Kelarutan dalam Air (water solubility) Pati Sukun Termodifikasi
H2O2 (% berat pati) Swelling Power (g/g) Water Solubility (%)
1 2,96 1,59
2 2,98* 1,64*
3 2,97 1,61
*) Kondisi Optimum Swelling Power dan Water Solubility Pati Oksidasi
Tabel 4.4 menunjukkan bahwa daya kembang (swelling power) pati
meningkat hingga konsentrasi H2O2 2% berat pati kemudian menurun pada
konsentrasi 3% berat pati. Selama proses oksidasi, gugus hidroksil dari
molekul pati akan dioksidasi menjadi gugus karbonil dan karboksil.
Kuakpetoon dan Wang (2006) serta El-Sheikh dkk. (2010) mengemukakan
urutan reaksi dari gugus hidroksil pada molekul pati adalah pertama-tama
dioksidasi menjadi gugus karbonil dan selanjutnya gugus karboksil.
Pada waktu proses yang sama yaitu 30 menit, nilai swelling power dari
penggunaan konsentrasi oksidator 2% terlihat lebih tinggi dibandingkan
27
konsentrasi 1% maupun 3%. Hal ini diakibatkan oleh konsentrasi oksidator
yang tinggi menyebabkan terjadinya oksidasi lanjut yaitu konversi gugus
hidroksil dari molekul amilosa dan amilopektin menjadi karbonil kemudian
menjadi gugus karboksil. Ketiadaan molekul amilopektin pada struktur pati
menyebabkan tidak ada lagi molekul yang dapat menyerap dan memerangkap
molekul air sehingga menyebabkan rendahnya nilai swelling power (Lawal,
2004).
Tabel 4.4 juga menunjukkan pengaruh konsentrasi H2O2 pati
teroksidasi terhadap kelarutan pati (water solubility). Meningkatnya
konsentrasi H2O2 dapat menyebabkan meningkatnya water solubility.
Peningkatan kelarutan diakibatkan adanya amilosa yang terlepas dari rantai
pati (Kuakpetoon dkk., 2006). Namun pada saat penggunaan oksidator H2O2
sebesar 3%, nilai water solubility mengalami penurunan. Hal ini diduga akibat
terjadinya oksidasi lanjut, yaitu terjadinya konversi gugus karbonil menjadi
gugus karboksil. Penggunaan konsentrasi oksidator yang tinggi menyebabkan
proses oksidasi lanjut menjadi rentan terhadap pembentukan cross-linking di
antara intra molekulnya. Ikatan ini menyebabkan amilosa yang telah terpecah
dari rantai pati terperangkap dan menjadi terhambat untuk keluar, sehingga
nilai water solubility menjadi lebih rendah (Chan dkk., 2009 dan Tethool dkk.,
2012).
Di sisi lain, penggunaan H2O2 berkonsentrasi tinggi (3%) dalam proses
oksidasi dinilai kurang optimum. Selain menurunkan nilai water solubility,
kadar H2O2 tersebut mendekati batas maksimum yang diijinkan pada makanan
(3%) (Centre for Food Safety, 2006). Pada penggunaan H2O2 dengan
konsentrasi rendah (1%), oksidator akan kesulitan menembus struktur granul
pati (Wing and Willet, 1997) sehingga hal ini diduga menyebabkan reaksi
berlangsung secara perlahan.
4.2.3. Pengaruh Suhu Oksidasi Terhadap Daya Kembang (Swelling Power) dan
Kelarutan Pati dalam Air (Water Solubility)
Dalam modifikasi pati sukun ini, dilakukan dengan proses oksidasi
pada kondisi optimum yaitu suspensi pati 20% dengan konsentrasi H2O2 2%
dari suspensi selama 30 menit serta suhu oksidasi divariasikan 30oC, 40oC, dan
28
50oC. Pada suhu 60oC oksidasi tidak dapat dilakukan karena pati sukun
mengalami gelatinisasi pada suhu 60oC. Hasil percobaan mengenai pengaruh
suhu oksidasi terhadap daya kembang (swelling power) dan kelarutan dalam
air pati sukun termodifikasi (water solubility) dapat dilihat dalam tabel 4.5.
Tabel 4.14 Pengaruh Suhu Oksidasi terhadap daya kembang (swelling power) dan kelarutan dalam air (water solubility) Pati Sukun Termodifikasi
Suhu Oksidasi (oC) Swelling Power (g/g) Water Solubility (%)
30 2,98 1,64
40 3,17 2,17
50 3,67* 2,69*
*) Kondisi Optimum Swelling Power dan Water Solubility Pati Oksidasi
Tabel 4.5 menunjukkan bahwa nilai swelling power pada suhu oksidasi
50C lebih tinggi dibandingkan pada suhu oksidasi 40C dan 30oC. Fenomena
yang sama juga ditemukan pada oksidasi pati Peruvian Carrot oleh Matsuguma
et al. (2009). Penelitian tersebut menunjukkan bahwa aktivitas oksidator
meningkat seiring dengan kenaikan temperatur, sehingga struktur kristalin dari
amilosa dapat dipecahkan dan amilopektin dapat mengabsorpsi air dari sistem
sehingga meningkatkan daya kembang (swelling power).
Tabel 4.5 juga menunjukkan pengaruh suhu oksidasi pati sukun
teroksidasi terhadap kelarutan pati. Suhu merupakan salah satu faktor yang
turut menentukan besarnya nilai kelarutan, dimana semakin tinggi suhu maka
kelarutan akan semakin meningkat. Sifat kelarutan pati dalam air dipengaruhi
oleh fraksi amilosa yang terlepas dari rantai pati (Matsuguma et al., 2009).
Peningkatan temperatur menyebabkan energi kinetik molekul air menjadi lebih
kuat daripada daya tarik molekul sehingga air dapat masuk ke granula pati
yang mengakibatkan banyaknya fraksi amilosa yang terlepas sehingga nilai
kelarutan meningkat (Alam dan Hasnain, 2009).
29
Dari hasil penelitian dipilih kondisi terbaik untuk proses oksidasi yaitu
pada suhu 50oC dengan nilai swelling power 3,67 g/g dan water solubility
2,69% karena lebih efektif dalam pengoperasiannya.
4.3 Perbandingan Sifat-Sifat Fungsional Pati Sukun Termodifikasi dengan Tepung
30
Gandum
Hasil analisis sifat-sifat fungsional pati sukun termodifikasi dapat disajikan
dalam tabel 4.6.
Tabel 4.15 Sifat Fungsional Pati Sukun Termodifikasi dan Tepung Gandum
Jenis Tepung Swelling Power (g/g) Water Solubility (%)
Pati Sukun Termodifikasia 3,67 2,69
Gandum Amerikab 6,8 – 7,9 6,3 – 7,3
Gandum Koreab 7,8 – 9,3 7,3 – 8,5
*) Sumber : a) Penelitian ini, b) Kumoro, dkk. (2012)
Swelling power menunjukkan informasi tentang jumlah air yang dapat diserap
oleh 1 gram butir pati jika berada dalam jumlah air yang berlebihan pada suhu tinggi.
Dengan tingginya swelling power, maka pati juga akan mempunyai kelarutan dalam
air (water solubility) yang tinggi pula (Sasaki dan Matsuki, 1998).
Tabel 4.6 menunjukkan bahwa swelling power dan water solubility pati sukun
termodifikasi memiliki nilai lebih rendah jika dibandingkan dengan tepung gandum.
Nilai swelling power pati sukun termodifikasi yaitu 3,67 g/g masih terpaut cukup jauh
dengan tepung gandum korea yang memiliki nilai swelling power antara 7,8 – 9,3 g/g.
Nilai swelling power yang tinggi diperlukan untuk produk pangan yang dibuat melalui
pembuatan adonan lebih dahulu seperti donat, bakpao, mie, dan lain-lain karena
mempengaruhi terjadinya proses mekar (puffing). Jika suatu bahan pangan cenderung
membentuk gel, ketika kontak dengan air maka bahan pangan tersebut tidak cocok
untuk membuat adonan (Udensi et al.,2008). Selain itu nilai water solubility pati
sukun termodifikasi yaitu 2,69 % dimana nilai tersebut masih lebih rendah dari water
solubility tepung gandum Amerika yaitu 6,3 – 7,3 % dan tepung gandum korea yaitu
7,3 – 8,5 %. Jadi dapat disimpulkan bahwa meskipun nilai swelling power dan water
solubility pati sukun mengalami peningkatan setelah dioksidasi, namun nilainya masih
31
lebih rendah dibandingkan dengan tepung terigu, sehingga pati sukun belum mampu
menjadi makanan pokok pengganti tepung terigu.
4.4 Bentuk dan Ukuran Granula Pati
Dalam modifikasi pati sukun ini, dilakukan dengan proses oksidasi pada
kondisi optimum yaitu suspensi pati 20% dengan konsentrasi H2O2 2% dari suspensi
selama 30 menit serta pada suhu 50oC. Hasil analisa SEM pada pati sukun yang belum
termodifikasi dan pati sukun yang sudah dioksidasi dapat dilihat pada gambar 4.1 dan
tabel 4.7.
(a) (b)
Gambar 4.9 Analisa SEM (5000x) untuk (a) pati sukun belum termodifikasi dan (b) pati sukun teroksidasi
Tabel 4.16 Tabel Ukuran Granula Pati
Jenis Tepung Ukuran Granula (µm)
Pati Sukun 3,957 – 8,170
Pati Sukun Termodifikasi 2,396 – 8,940
Ukuran dan distribusi granula pati penting untuk beberapa aplikasi (Wang,
1983). Ukuran dan distribusi granula pati ini tergantung pada sumber alam dan jenis
tanamannya (Moorthy, 2002). Morfologi permukaan pati sukun diamati menggunakan
SEM (Scanning Electron Micrograph) dengan pembesaran 5000 kali. SEM sangat
32
cocok digunakan dalam situasi yang membutuhkan pengamatan permukaan kasar
dengan pembesaran 20 kali sampai 500.000 kali.
Sampel yang digunakan pada analisa SEM ini adalah pati sukun yang belum
termodifikasi dan pati sukun yang telah dimodifikasi dengan cara oksidasi. Secara
umum, bentuk granula pati adalah bulat dan oval. Granula pati selama modifikasi
akan pecah menjadi komponen-komponen yang tidak beraturan bentuknya (Swinkels,
1985). Berdasarkan hasil pengamatan tidak terdapat perbedaan yang signifikan
diantara keduanya, namun bila dicermati granula pati sukun teroksidasi memiliki
ukuran yang sedikit lebih kecil dibandingkan dengan granula pati sukun sebelum
dimodifikasi. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Tethool et al. (2012), lebih
besarnya ukuran granula pati dipengaruhi oleh kandungan amilosa dan
amilopektinnya. Fraksi amilosa membentuk bagian amorf granula dan menyebabkan
ukuran granula cenderung besar. Sementara rantai cabang amilopektin menyebabkan
granula membentuk kristalin dengan ukuran lebih kecil, sehingga ukuran granula pati
cenderung lebih kecil.
4.5 Aplikasi Pati Sukun Teroksidasi pada Roti
Untuk memperluas aplikasi pembuatan makanan berbahan dasar pati sukun,
beberapa syarat harus dipenuhi, baik dari segi teknis, sifat fungsional, maupun sifat
organoleptis. Untuk mengetahui sifat organoleptis dari pati sukun yang dihasilkan,
maka dilakukan percobaan dengan pembuatan roti. Roti diproduksi dengan
menggunakan 100% tepung terigu, 100% pati sukun asli, 100% pati sukun
teroksidasi, dan 50% pati sukun termodifikasi yang dicampur dengan 50% tepung
terigu. Hasil yang dihasilkan dalam percobaan disajikan pada gambar 4.2 berikut.
33
Gambar 4.10 Roti yang dihasilkan dengan bahan 100% tepung terigu (a), 100% pati sukun asli (b), 50% pati sukun termodifikasi dengan 50% tepung terigu (c), dan 100%
pati sukun teroksidasi (d)
Gambar 4.11 Hasil analisa organoleptis roti
Dari gambar 4.2 dapat diketahui kondisi roti yang dihasilkan secara visual.
Roti yang diproduksi dengan bahan 100% pati sukun asli tampak lebih memadat
dibandingkan roti yang lain. Untuk evaluasi dari segi warna, aroma, tekstur maupun
rasa, roti diuji oleh 20 orang panelis yang diminta memberikan skor dengan range 1
sampai 5, dan hasilnya dapat dilihat pada gambar 4.3. Roti yang dibuat dengan bahan
dasar tepung terigu dinilai yang paling baik dibandingkan roti lainnya. Namun roti
dari campuran pati sukun termodifikasi dengan tepung terigu masih dianggap lebih
baik dibanding roti yang terbuat dari pati sukun asli maupun modifikasi. Roti
berbahan dasar pati sukun asli dinilai kurang sesuai dengan keinginan konsumen baik
dari segi warna, rasa, aroma maupun teksturnya. Berdasarkan analisa statistik dengan
p<0,05, diketahui bahwa terdapat perbedaan yang signifikan dari keempat jenis roti
tersebut, baik dari segi rasa, warna, aroma, dan tekstur meskipun terdapat perbedaan
34
01234
warnaaromateksturrasa
Nila
i
skor terbilang kecil. Jadi dapat disimpulkan bahwa pati sukun baik yang sebelum
maupun setelah dimodifikasi belum mampu menggantikan tepung terigu dalam
pembuatan roti.
BAB 5
PENUTUP
5.1 KesimpulanDari hasil penelitian dapat diambil kesimpulan bahwa proses modifikasi pati
sukun dengan proses oksidasi dengan menggunakan H2O2 berpengaruh terhadap nilai
swelling power dan water solubility pati hasil modifikasi. Penggunaan persentase
slurry 20%, konsentrasi H2O2 2% dan temperatur 50oC pada waktu oksidasi 30 menit
memberikan hasil yang paling optimum ditinjau dari daya kembang (swelling power)
dengan nilai 3,67 g/g dan kelarutannya dalam air yaitu 2,69%. Nilai daya kembang
(swelling power) dan kelarutan pati sukun teroksidasi lebih tinggi dibandingkan
dengan pati asalnya, yaitu berturut-turut 2,3 g/g dan 0,95%. Hasil analisa SEM
menunjukkan bahwa ukuran granula pati sukun termodifikasi lebih kecil
dibandingkan dengan pati sukun murni dengan nilai berturut-turut sebesar 2,396 μm –
8,940 μm dan 3,957 μm – 8,170 μm. Pemanfaatan pati sukun sebagai alternatif
pengganti tepung terigu belum dapat dilakukan karena berdasarkan hasil uji
organoleptis pada roti berbahan baku pati sukun teroksidasi, menunjukkan bahwa dari
segi warna, aroma, tekstur, dan rasa belum dapat menyerupai roti dari tepung terigu.
5.2 Saran1. Menjaga suhu oksidasi konsisten supaya tidak mengakibatkan gelatinisasi pati
termodifikasi.
2. Modifikasi pati sukun sebaiknya dikembangkan dengan metode lainnya untuk
memperbaiki nilai swelling power dan water solubility nya.
35
DAFTAR PUSTAKA
Adebowale, K.O. et al., 2005. Functional properties of native, physically and chemically modified breadfruit (Artocarpus artilis) starch. Industrial Crops and Products, 21(3), pp.343–351.
Alam, F. & Hasnain, A., 2009. Studies on Swelling and Solubility of Modified Starch from Taro (Colocasia esculenta): Effect of pH and Temperature. Agriculturae conspectus scientificus, 74(1), pp.45–50.
Ann-Charlotte Eliasson, 2004. Starch in food Woodhead Publishing Limited Cambridge England,
AOAC, 1990. AOAC: Official Methods of Analysis (Volume 1).
APTINDO, 2014. Overview Indonesia Aptindo (Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia).
Ariyanti, D. & Budiyati, S., 2013. Pengaruh Konsistensi Suspensi Dan Konsentrasi Oksidator H 2 O 2 Terhadap Sifat Fungsional Tepung Umbi Talas Bogor (Colocasia esculentum (L) Schott) Teroksidasi. , (L), pp.1–5.
Atichokudomchai, N., Shobsngob, S. & Varavinit, S., 2000. Morphological Properties of Acid-modified. , 52, pp.283–289.
Azeez, O.S., 2005. Production of Dextrins from Cassava Starch. , (7), pp.9–16.
Badrie, N. & Broomes, J., 2010. Beneficial uses of Breadfruit ( Artocarpus altilis ): Nutritional , Medicinal and Other Uses First Edit., Elsevier Inc.
Banks, W., Greenwood, C.T. & Muir, D.D., 1974. ale starKe starch. , (9).
Behall, K.M. and Howe, J.C. 1995. Effect of long-term consumption of amylose vs amylopectin starch on metabolic variables in human subjects. American Journal of Clinical Nutrition 61:334–340.
Behall, K.M., Scholfield, D.J. and Canary, J. 1988. Effect of starch structure on glucose and insulin responses in adults. American Journal of Clinical Nutrition 47:428–432.
36
Bemiller, J.N., Lafayette, W. & In, U.S.A., 1997. 1 U bersichtsbeitrag / Review Starch Modification : Challenges and Prospects *. , 49(4), pp.127–131.
BPS, 2013. Badan Pusat Statistik.
Budiyati, C.S. & Ariyanti, D., 2014. Oksidasi Tepung Umbi Talas dengan Hidrogen Peroksida. Seminar Rekayasa Kimia dan Proses, pp.1–8.
Centre of Food Safety, 2006. Use of Hydrogen Peroxide in Food. , pp.11–12.
Chan, H.T., Bhat, R. & Karim, A. a., 2009. Physicochemical and functional properties of ozone-oxidized starch. Journal of Agricultural and Food Chemistry, 57(13), pp.5965–5970.
Chávez-Murillo, C.E., Wang, Y.-J. & Bello-Pérez, L. a., 2008. Morphological, Physicochemical and Structural Characteristics of Oxidized Barley and Corn Starches. Starch - Stärke, 60(11), pp.634–645.
D. B. Faustina, 2009. Characterization of water yam (Dioscorea Alata) for existing and potential food product. , pp.1–134.
Dias, A.R.G. et al., 2011. Oxidation of fermented cassava starch using hydrogen peroxide. Carbohydrate Polymers, 86(1), pp.185–191.
El-Sheikh, M. a., Ramadan, M. a. & El-Shafie, A., 2010. Photo-oxidation of rice starch. Part I: Using hydrogen peroxide. Carbohydrate Polymers, 80(1), pp.266–269.
Harmon, B.R.E. & Gupta, S.K., 1971. Oxidation of Starch by Hydrogen Peroxide in the Presence of UV Light-Part I. , pp.347–349.
Harmon, B.R.E. & Gupta, S.K., 1972. Oxidation of Starch by Hydrogen Peroxide in the Presence of UV Light-Part I I *. , 45(1), pp.1970–1973.
Hee-Joung An, 2005. Effects Of Ozonation And Addition Of Amino Acids On Properties Of Rice Starches. Dissertation Submitted to the Graduate Faculty of the Louisiana state University and Agricultural and Mechanical College.
Ihekoronye, A.I. and Ngoddy, P.O. 1985. Integrated Food Science and Technology for the Tropics. Macmillan Publishers Ltd., London and Basingstoke. pp. 15-22
Irwanto.2006. Pengembangan Tanaman Sukun.
Jane, J., 1995. Starch Properties, Modifications, and Applications. Journal of Macromolecular Science, Part A, 32(4), pp.751–757.
Kainuma K, Odat T, Cuzuki S (1967). Study of starch phosphates monoesters. J. Technol, Soc. Starch 14: 24 – 28.
Koswara, S., 2009. Teknologi Modifikasi Pati.
37
Kuakpetoon, D. & Wang, Y.J., 2006. Structural characteristics and physicochemical properties of oxidized corn starches varying in amylose content. Carbohydrate Research, 341, pp.1896–1915.
Kulp, K., Olewink, M., Manhattan, K. and Lorenz, K.1994. Starch functionality in cookie system. Starch and Starke 42 (4):53-57.
Kumoro, A.C. et al., 2012. Water solubility, swelling and gelatinization properties of raw and ginger oil modified gadung (Dioscorea hispida dennst) flour. Research Journal of Applied Sciences, Engineering and Technology, 4(17), pp.2854–2860.
Lawal, O. S., 2004, Composition, physicochemical properties and retrogradation characteristics of native, oxidized, acetylated and acid-thinned new cocoyam (Xanthosoma sagittifolium) starch. Food Chemistry, 87, 205-218.
Leach HW, Mc Cowen LD, Schoch TJ (1959). Structure of the starch granules. In: swelling and solubility patterns of various starches.Cereal Chem. 36: 534 – 544.
Matsuguma, L.S. et al., 2009. Characterization of native and oxidized starches of two varieties of Peruvian carrot (Arracacia xanthorrhiza, B.) from two production areas of Paraná state, Brazil. Brazilian Archives of Biology and Technology, 52(3), pp.701–713.
Miyazaki, M. et al., 2006. Recent advances in application of modified starches for breadmaking. Trends in Food Science & Technology, 17(11), pp.591–599.
Moorthy, S.N., 2002. Physicochemical and functional properties of tropical tuber starches: A review. Starch - Stärke, 54(12), pp.559–596.
Mutmainah, F., Rahadian, D. & Amanto, B.S., 2013. Kajian Karakteristik Fisikokimia Tepung Sukun (Artocarpus communis) Termodifikasi dengan Variasi Lama Perendaman dan Konsentrasi Asam Asetat. , 2(4).
Niba L.L., Bokanga, Jackson, S., 2001. Physicochemical Properties and Starch Granular Characteristics of Flour from Various Manihot Esculenta ( Cassava ) Genotypes. , 67(5), pp.1701–1705.
Olaoye, O.A. and Onilude, A.A. 2008. Microbiological, proximate analysis and sensory evaluation of baked products from blends of wheat-breadfruit flours. African Journal of Food, Agriculture, Nutrition and Development 8: 192-203
Parovuori, P. & Hamunen, A., 1995. Oxidation of Potato Starch by Hydrogen Peroxide. , pp.19–23.
Pitojo. 2006. Sukun. Kanisius. Yogyakarta.
Pudjihastuti, I., 2010. Pengaruh Proses Inovatif Kombinasi Reaksi Hidrolisis Asam dan Reaksi Photokimia UV untuk Produksi Pati Termodifikasi Dari Tapioka. , pp.1–39.
Sandhu, H.S. et al., 2008. The future of farming: The value of ecosystem services in conventional and organic arable land. An experimental approach. Ecological Economics,
38
64(4), pp.835–848.
Sangseethong, K., Termvejsayanon, N. & Sriroth, K., 2010. Characterization of physicochemical properties of hypochlorite- and peroxide-oxidized cassava starches. Carbohydrate Polymers, 82(2), pp.446–453.
Sari, D.P., Siregar, D.M. & Sumardiono, S., 2012. Modifikasi Tapioka Dengan Kombinasi Proses Hidrolisa Meningkatkan Daya Kembang. , 1(1), pp.86–91.
Sasaki, T. & Matsuki, J., 1998. Effect of wheat strach structure on swelling power. Cereal Chemistry, 75(4), p.75(4): 525–529.
Singh, A., Kumar, S. and Singh, I.S. 1991. Functional properties of jackfruit seed flour. Lebensmittle Wissenschaft and Technologie 24: 373–374
Sriroth, K. et al., 2000. Cassava Starch Technology : The Thai Experience. , 52, pp.439–449.
Swinkels, J.J.M., 1985. Composition and Properties of Commercial Native Starches. Starch, 37(1), pp.1–5.
Tethool, E.F., Jading, A. & Santoso, B., 2012. Characterization of Physicochemical and Baking Expansion Properties of Oxidized Sago Starch Using Hydrogen Peroxide and Sodium Hypochlorite Catalyzed By UV Irradiation. , 6088, pp.1–11.
Tharanathan, R.N., 2005. Starch--value addition by modification. Critical reviews in food science and nutrition, 45(5), pp.371–84.
Tolvanen, P. et al., 2009. Kinetics of starch oxidation using hydrogen peroxide as an environmentally friendly oxidant and an iron complex as a catalyst. Chemical Engineering Journal, 154(1-3), pp.52–59.
Udensi, E. a, Oselebe, H.O. & Iweala, O.O., 2008. The Investigation of Chemical Composition and Functional Properties of Water Yam ( Dioscorea alata ): Effect of Varietal Differences. , 7(2), pp.342–344.
USDA.2004.United States Departement of Agriculture. http://ndb.nal.usda.gov/ndb/
Wandsnider, L., 1997. The Roasted and the Boiled : Food Composition and Heat Treatment with Special Emphasis on Pit- Hearth Cooking The Roasted and the Boiled : Food Composition.
Wang, J.-K., 1983. Taro. A review of Colocasia esculenta and its potentials.
Wang, Y.J. & Wang, L., 2003. Physicochemical properties of common and waxy corn starches oxidized by different levels of sodium hypochlorite. Carbohydrate Polymers, 52, pp.207–217.
Wing, R.E. & Willett, J.L., 1997. Water soluble oxidized starches by peroxide reactive extrusion. Industrial Crops and Products, 7(1), pp.45–52.
39
Zulaidah, A., 2011. Modifikasi Ubi Kayu Secara Biologi Menggunakan Starter Bimo-CF menjadi Tepung Termodifikasi Pengganti Gandum. Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang. Universitas Stuttgart, pp.1–173.
40
LAMPIRAN
A. PROSEDUR ANALISA
1. Kadar Air (AOAC 1995, metode oven)
Penentuan kadar air dilakukan dengan metode oven (AOAC 1995). Cawan aluminium
dikeringkan dalam oven selama 15 menit dan didinginkan dalam desikator selama 10
menit, kemudian ditimbang. Sebanyak 4-5 gram contoh dimasukkan ke dalam cawan
dan dikeringkan dalam oven bersuhu 105oC selama 6 jam atau hingga mencapai berat
konstan. Cawan dikeluarkan dan didinginkan dalam desikator selama 15 menit dan
ditimbang. Cawan dimasukkan kembali dalam oven sampai diperoleh berat konstan .
Perhitungan kadar air dapat dilihat pada persamaan :
Kadar air (%bb )=(a−b)c
x 100 %
Keterangan : a = berat cawan dan sampel awal (g)
b = berat cawan dan sampel akhir (g)
c = berat sampel awal (g)
2. Kadar Abu (AOAC 1995, metode tanur)
Penentuan kadar abu dilakukan dengan metode tanur (AOAC 1995). Cawa porselen
dikeringkan dalam oven selama 15 menit dan didinginkan dalam desikator selama 10
menit, kemudian timbang 3-5 gram contoh dimasukkan dalam cawan lalu dibakar
sampai tidak berasap lagi dan diabukan dalam tanur suhu 600oC sampai berwarna
putih (semua contoh menjadi abu) dan berat konstan. Setelah itu didinginkan dalam
desikator dan ditimbang. Perhitungan kadar abu dapat dilihat pada persamaan :
Kadar abu ( %bb )=Berat abu (g)Berat sampel
x100 %
3. Karbohidrat (by Difference)
Kadar karbohidrat (%) = ( 100% - ( P + KA + A + L )
Keterangan : P = kadar protein (%)
KA = Kadar air (%)
A = Kadar abu (%)
L = Kadar lemak (%)
4. Protein (AOAC 1995, metode kjeldahl)
Sejumlah kecil sampel (1-2 g) ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl.
Kemudian ditambahkan 1,9 g K2SO4, 40 mg HgO, dan 2,0 ± 0,1 ml H2SO4. Sampel
dididihkan selama 1 – 1,5 jam sampai cairan menjadi jernih. Sampel didinginkan dan
ditambah sejumlah kecil air secara perlahan-lahan. Isi tabung dipindahkan ke dalam
alat destilasi dan labu dibilas 5-6 kali dengan 1-2 ml air. Air cucian dipindahkan ke
dalam labu destilasi dan ditambahkan 8-10 ml larutan NaOH-Na2S2O3. Di bawah
kondensor diletakkan erlenmeyer yang berisi 5 ml larutan H3BO3 dan 2 tetes indikator
(campuran 2 bagian merah metil 0,2% dalam alkohol) diletakkan di bawah kondensor.
Ujung tabung kondensor harus terendam dalam larutan H3BO3. Isi erlenmeyer
diencerkan sampai kira-kira 50 ml, kemudian dititrasi dengan HCl 0,02 N sampai
terjadi perubahan warna menjadi abu-abu. Penetapan untuk blanko juga dilakukan
dengan prosedur yang sama tetapi tanpa sampel. Kadar protein kasar dihitung dengan
rumus sebagai berikut :
%N=(ml HCl sampel−ml HCl blanko )
mg sampelx N Hcl x 14,007 x 100
Kadar protein kasar (%)=%N x6,25
5. Lemak (AOAC 1995, metode sokhlet)
Metode yang digunakan dalam penentuan kadar lemak adalah metode ekstraksi
sokhlet. Labu lemak dikeringkan dalam oven dan didinginkan dalam desikator lalu
ditimbang. Dua sampai tiga gram sampel yang telah dihancurkan dimasukkan dalam
kertas saring yang sesuai ukurannya, kemudian ditutup dengan kapas wool yang bebas
lemak. Kertas saring yang berisi larutan sampel tersebut dimasukkan dalam alat
ekstraksi sokhlet, dipasang kondensor diatasnya dan labu lemak dibawahnya.
Kemudian heksan dituangkan dalam labu lemak secukupnya, sesuai ukuran sokhlet,
lalu direfluks selama 5 jam sampai pelarut yang turun kembali ke labu lemak
berwarna jernih. Labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven
pada suhu 105oC. Setelah dikeringkan sampai beratnya konstan, didinginkan dalam
desikator, kemudian labu dengan lemak ditimbang. Perhitungan kadar lemak dapat
dilihat pada persamaan :
Kadar lemak (% bb )= Berat lemak (g)Berat sampel
x100 %
6. Swelling Power (metode Leach)
Sampel ditimbang seberat 0.1 gram lalu dimasukkan ke dalam tabung reaksi ditambah
10 ml air suling dan dipanaskan pada suhu 60oC selama 30 menit, sambil terus diaduk
selama pemanasan. Sampel kemudian dicentrifuge pada 1600 rpm selama 10 menit
untuk dipisahkan pasta dengan supernatannya. Bagian pastanya diambil lalu
ditimbang.
Swelling power = berat pasta(gram)
berat sampel(gram)
7. Water Solubility (metode Kainuma)
Analisa water solubility dilakukan dengan menimbang 0,5 gram pati lalu dimasukkan
dalam 10 ml air suling dalam tabung reaksi. Sampel kemudian dipanaskan dalam bak
air pada suhu 60oC selama 30 menit. Pada akhir pemansan, sampel disentrifugasi pada
1600 rpm selama 15 menit dan 5 ml supernatant dialirkan dan dikeringkan sampai
berat konstan.
Solubillity (%) = berat sampel yang telah dikeringkan
berat sampelawal
B. PERHITUNGAN HASIL PENELITIANPercobaan
Variabel : Persentase slurry
Basis : 25 gram pati sukun
Persentase SlurryBerat Pati Sukun
(gram)
Aquadest yang
digunakan (ml)
10% 25 225
20% 25 100
30% 25 58,33
Variabel : Jumlah H2O2 (% berat pati)
Persentase slurry 20% (25 gram pati sukun + 100 ml aquadest)
Densitas H2O2 :
Persentase slurryH2O2 yang
dibutuhkan (ml)
1% 2,7 ml
2% 5,5 ml
3% 8,3 ml
Hasil Penelitian
A. Menentukan nilai swelling power
Berat pasta termodifikasi = berat cuvet setelah proses oksidasi – berat cuvet
kosong
Swelling power=berat pasta termodifikasi(gr )berat sampelkering (gr )
Variabel : Persentase slurry
Persentase
Slurry (%)
H2O2
(%)
Suhu
(oC)
Waktu Operasi
(menit)
Swelling Power
(g/g)
10 2 30
30 2,5
60 2,48
90 2,42
120 2,37
20 2 30
30 2,98
60 2,89
90 2,41
120 2,44
30 2 30
30 2,36
60 2,51
90 2,43
120 2,35
Variabel : Jumlah H2O2 (% berat pati)
Persentase
Slurry (%)
H2O2
(%)
Suhu
(oC)
Waktu Operasi
(menit)
Swelling Power
(g/g)
20
1
30 30
2,96
2 2,98
3 2,97
Variabel : Suhu (oC)
Persentase
Slurry (%)
H2O2
(%)
Suhu
(oC)
Waktu Operasi
(menit)
Swelling Power
(g/g)
20
2
30 30 2,98
40 3,17
50 3,67
B. Menentukan nilai water solubility
Berat padatan di supernatan = berat cawan setelah proses oksidasi – berat cawan
kosong
% water solubility=berat padatandi supernatan(gr )berat sampel kering(gr )
x100 %
Variabel : Persentase slurry
Persentase
Slurry (%)
H2O2
(%)
Suhu
(oC)
Waktu Operasi
(menit)
Water Solubility
(%)
10 2 30
30 1,12
60 0,97
90 1,01
120 1,43
20 2 30
30 1,64
60 1,23
90 1.42
120 1,18
30 2 30
30 1,29
60 1,23
90 1,44
120 0,97
Variabel : Jumlah H2O2 (% berat pati)
Persentase
Slurry (%)
H2O2
(%)
Suhu
(oC)
Waktu Operasi
(menit)
Water Solubility
(%)
20
1
30 30
1,59
2 1,64
3 1,61
Variabel : Suhu (oC)
Persentase
Slurry (%)
H2O2
(%)
Suhu
(oC)
Waktu Operasi
(menit)
Water Solubility
(%)
20 2
30
30
1,64
40 2,17
50 2,69
C. DOKUMENTASI PENELITIAN
Bahan-bahan yang digunakan untuk oksidasi Proses oksidasi
Proses pencucian Proses penyaringan
Proses pengeringan dengan menggunakan oven
Proses penghalusan pati
Proses sieving Perbandingan pati sukun sebelum dan setelah di modifikasi
Proses pemanasan untuk menganalisa swelling power dan water solubility Hasil sentrifugasi