MODEL SUBSIDI PERTANIAN TERPADU: Landasan...

34
MODEL SUBSIDI PERTANIAN TERPADU: Landasan Konseptual dan Faktual serta Sistem Operasinya DEPARTEMEN PERTANIAN 3 April 2006

Transcript of MODEL SUBSIDI PERTANIAN TERPADU: Landasan...

MODEL SUBSIDI PERTANIAN TERPADU:

Landasan Konseptual dan Faktual serta

Sistem Operasinya

DEPARTEMEN PERTANIAN

3 April 2006

1

DAFTAR ISI

Hal

DAFTAR ISI........................................................................................... i

RINGKASAN EKSEKUTIF..................................................................... ii

BAB I. PENDAHULUAN ...................................................................... 1

BAB II. ARGUMENTASI PENTINGNYA SUBSIDI BAGI SEKTOR

PERTANIAN.......................................................................................... 3

BAB III. EVALUASI HISTORIS KEBIJAKAN SUBSIDI ........................... 6

3.1.Subsidi Terpadu Bimas/lnmas ............................................. 6

3.1.1. Dinamika Format Subsidi Terpadu ............................ 6

3.1.2. Kinerja dan Keberlanjutan Subsidi Terpadu................ 8

3.1.3. Pelajaran dari Subsidi Pertanian Terpadu................... 9

3.2. Kebijakan Subsidi Parsial Sektor Pertanian........................ 11

3.2.1. Kebijakan Subsidi Pupuk .......................................... 11

3.2.2. Kebijakan Subsidi Benih ........................................... 13

BAB IV. RANCANG BANGUN SUBSIDI PERTANIAN TERPADU........... 16

4.1. Rancangan Konseptual....................................................... 16

4.1.1. Keterpaduan dan Penetapan Besaran Subsidi dan

Sasaran Kebijakan ............................................................. 16

4.1.2. Kesesuaian Rancangan Individual ............................ 17

4.1.3. Kelayakan Teknis dan Ekonomis............................... 20

4.2. Rancangan Operasional............................................... 21

4.2.1. Modus Subsidi Terpadu............................................ 21

4.2.2. Sistem Pengelolaan Subsidi Terpadu........................ 24

BAB V. KELOMPOK SASARAN DAN TAHAPAN PELAKSANAAN..... 29

5.1. Kelompok Sasaran............................................................. 29

5.2. Keunggulan dan Kelemahan Model Subsidi Terpadu........... 29

5.3. Tahapan Pelaksanaan ....................................................... 30

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................. 32

2

RINGKASAN EKSEKUTIF

A. Justifikasi Pentingnya Penyaluran Subsidi Secara Terpadu

1. Pemberian subsidi kepada petani merupakan salah satu kebijakan utama

pembangunan pertanian yang telah lama dilaksanakan pemerintah dengan

cakupan dan besaran yang berubah dari waktu ke waktu. Fakta empiris

memang telah membuktikan bahwa kebijakan subsidi dan dukungan harga bagi

petani belum terlaksana dengan lancar dan efektif. Barangkali, akar

penyebabnya ialah karena masing-masing instrumen kebijakan dirancang dan

dilaksanakan terpisah-pisah, tidak koheren atau bahkan tidak konsisten satu

sama lainnya. Kesesuaian rancang-bangun dan pelaksanaan setiap jenis

subsidi dan dukungan harga serta keterpaduan relasi antar instrumen kebijakan

adalah syarat mutlak agar kebijakan tersebut efektif baik dari segi ouput

maupun dari segi biaya. Tulisan ini memuat gagasan untuk memadukan

seluruh kebijakan subsidi termasuk dukungan harga dalam satu model

terpadu.

2. Subsidi pertanian terpadu pada intinya ialah penyatuan semua instrumen

kebijakan subsidi dalam satu paket baik dalam rancang-bangun maupun dalam

pelaksanaannya. Yang dimaksud dengan subsidi dalam hal ini ialah subsidi

harga input dan modal kerja serta dukungan harga output. Dukungan

harga output, seperti kebijakan harga dasar pembelian pemerintah untuk

gabah dan harga dasar untuk gula, memang tidak termasuk kategori

subsidi dalam arti bakunya. Namun dilihat dari segi fungsi dan

pelaksanaannya, kebijakan dukungan harga output sebaiknya dipadukan

dengan kebijakan subsidi input dan modal kerja usahatani. Dukungan harga

output dan subsidi input maupun modal kerja berfungsi sebagai insentif

produksi bagi petani. Tujuannya juga sama yaitu meningkatkan produksi

dan laba usahatani. Secara konseptual, untuk mewujudkan suatu target

produksi dan laba usahatani tertentu, pemerintah dapat memilih kombinasi

harga input, bunga modal dan harga produk usahatani yang memberikan

ongkos kebijakan, meliputi beban anggaran dan inefisiensi ekonomi, minimal.

Dengan demikian, salah satu isu sentral dalam perancangan subsidi terpadu

adalah menetapkan besaran subsidi atau target harga input dan output

bersubsidi yang optimal. Artinya, setiap komponen subsidi dan dukungan

harga haruslah ditetapkan secara terpadu. Keterpaduan dalam menetapkan

3

besaran subsidi dan dukungan harga merupakan langkah pertama yang sangat

penting untuk mewujudkan sinergi guna meningkatkan efektifitas dan menekan

ongkos kebijakan.

3. Dibanding model subsidi parsial, model subsidi terpadu mempunyai keunggulan

sebagai berikut : (1) Tepat sasaran, kebocoran karena disparitas harga dapat

ditekan; (2) Menggerakkan secara sinergis kemampuan petani dengan

kemampuan pemerintah, sehingga subsidi yang diberikan bisa lebih rendah;

(3) Mampu mengatasi faktor pembatas produksi; (4) Menghindari subsidi

ganda; (5) Mencegah over intensification; (6) Mendorong profesionalisme

produsen saprodi.

B. Rancangan Operasional

4. Modus subsidi terpadu diberikan dalam bentuk subsidi input secara tidak

langsung yaitu melalui selisih harga dalam bentuk natura. Adapun komponen

subsidi terpadu meliputi : (1) Sarana produksi : Benin dan pupuk serta

pestisida; (2) Modal Kerja untuk membayar upah. Komponen subsidi terpadu

tersebut akan diberikan secara terpadu dalam satu paket sesuai dengan

kebutuhan lahan bukan kebutuhan petani dan diikuti oleh kebijakan

dukungan harga output.

5. Modus subsidi terpadu yang demikian mempunyai implikasi luas yaitu

produsen sarana produksi akan menjual sesuai dengan harga pasar,

sehingga permasalahan dualisme harga yang terjadi saat ini yang

menyebabkan inefisiensi subsidi dapat dihilangkan.

6. Lembaga pengelola subsidi terpadu adalah SASDU (Sistem Administrasi

Subsidi Terpadu) berlokasi di tingkat kecamatan, kabupaten, propinsi dan

pusat.

7. Desain pola pengelolaan subsidi terpadu bersifat aktif dan lengkap, yang

terdiri dari (1) sistem distribusi {delivery system); (2) sistem penerimaan

{receiving system); dan (3) sistem akuntabilitas {accountability system).

8. Sistem distribusi akan ditangani oleh SASDU dengan fungsi utama adalah

membeli kebutuhan sarana produksi dan mengambil kredit modal kerja ke

Bank Pelaksana. Selanjutnya SASDU mendistribusikan subsidi tersebut

kepada kelompoktani sesuai dengan kebutuhannya.

9. Sistem penerinaan akan ditangani oleh kelompok tani dibantu oleh

penyuluh dengan fungsi utama adalah menyususn RDKK (Rencana Definitif

4

Kebutuhan Kelompok) sesuai dengan penerapan inovasi teknologi yang

disepakati dengan penyuluh dan menebusnya di SASDU. Apabila petani

membeli secara tunai dapat langsung membeli di pasar, sebaliknya apabila

ingin mendapatkan subsidi melalui SASDU.

10. Fungsi utama sistem akuntabilitas adalah mengawasi penyaluran sarana

produksi dan modal kerja melalui kendali penerbitan D.O {delivery order)

untuk masing-masing kelompok tani yang mengajukan RDKK. Merekap

realisasi penyaluran subsidi terpadu sesuai dengan D.O yang telah

diterbitkan. Sistem akuntabilitas ini menjadi tanggung jawab pengawas

yang berlokasi dimana SASDU berada.

11. Kelompok sasaran pemberian subsidi terpadu adalah kelompok tani di

wilayah pengembangan suatu komoditas unggulan. Untuk memudahkan

pengelolaan administrasinya, maka wilayah pengembangan yang menjadi

wilayah sasaran pemberian subsidi terpadu hams berimpit dengan wilayah

administrasi misalnya desa atau kecamatan. Adapun skala wilayah

pengembangan tergantung pada komoditasnya, bisa satu desa, bisa satu

kecamatan ataupun beberapa kecamatan.

C. Tahapan Pelaksanaan

12. Adapun tahapan pelaksanaan subsidi terpadu adalah sebagai berikut: (1)

Tahun 2006 : perumusan model operasional Subsidi Terpadu, dilanjutkan

dengan uji coba (pilot Proyek) di beberapa lokasi. Evaluasi hasil uji coba dan

redesign model operasional Subsidi Terpadu (hanya membutuhkan satu

tahun karena kita punya pengalaman dengan KUT/KKP); (2) Tahun 2007 :

Penyiapan infrastruktur pelaksanaan subsidi terpadu termasuk sistem

managemen dan organisasinya, berikut sosialisasinya; (3) Tahun 2008:

Penerapan sistem Subsidi Terpadu secara massal.

5

I. PENDAHULUAN

Pemberian subsidi kepada petani merupakan saiah satu kebijakan utama

pembangunan pertanian yang telah lama dilaksanakan pemerintah dengan

cakupan dan besaran yang berubah dari waktu ke waktu. Di Indonesia, subsidi

pertanian praktis hanya berupa subsidi harga input usahatani, yaitu subsidi pupuk,

benih dan bunga kredit. Meski tidak berupa subsidi, dukungan harga yang

diberikan kepada produsen beberapa komoditas pertanian (padi, tebu/gula)

haruslah diperlakukan padu-padan dengan subsidi harga input sebagai satu

kesatuan dalam kategori dukungan insentif usahatani.

Pemberian insentif tidak saja didasarkan oleh pertimbangan ekonomi,

tetapi juga karena desakan dan dorongan politik dan sosial. Bisa terjadi,

pemberian subsidi dan dukungan harga bagi petani lebih didominasi oleh

pertimbangan politik dan sosial. Sebagai contoh, berbagai penelitian terdahulu

telah menunjukkan bahwa penggunaan pupuk pada usahatani sawah telah

berlebihan sehingga pemberian subsidi harga pupuk yang terus meningkat

merupakan kebijakan yang tidak tepat dipandang dari pertimbangan ekonomi.

Namun demikian, pemberian subsidi pupuk yang terus meningkat mendapatkan

dukungan politik dari parlemen maupun masyarakat luas karena dipandang

bijaksana menolong petani yang sebagian besar masih hidup dalam kemiskinan.

Pemberian subsidi input dan dukungan harga bagi petani merupakan

keputusan politik yang tidak dapat ditawar lagi. Oleh karena itu, yang diharapkan

pimpinan administratur pembangunan pertanian dari para analis bawahannya

bukanlah pertimbangan apakah kebijakan tersebut seyogyanya dilanjutkan atau

tidak. Nuansa politik yang ada saat ini, ialah memperluas dan memperdalam

pemberian subsidi dan dukungan harga bagi petani. Saran dan pertimbangan

yang mungkin diharapkan para pimpinan administratur pembangunan pertanian

ialah bagaimana merancang dan melaksanakan berbagai subsidi dan dukungan

harga tersebut sehingga terlaksana dengan efektif.

Fakta empiris memang telah membuktikan bahwa kebijakan subsidi dan

dukungan harga bagi petani beium terlaksana dengan lancar dan efektif.

Barangkali, akar penyebabnya ialah karena masing-masing instrumen kebijakan

dirancang dan dilaksanakan terpisah-pisah, tidak koheren atau bahkan tidak

konsisten satu sama lainnya. Kesesuaian rancang-bangun dan pelaksanaan

setiap jenis subsidi dan dukungan harga serta keterpaduan relasi antar instrumen

6

kebijakan adalah syarat mutlak agar kebijakan tersebut efektif baik dari segi ouput

maupun dari segi biaya.

Tulisan ini memuat gagasan untuk memadukan kebijakan subsidi dan

dukungan harga. Pada Bab-2 diuraikan esensi subsidi bagi sektor pertanian yang

pada intinya merupakan justifikasi pemberian subsidi bagi petani. Pada Bab-3

diuraikan evaluasi historis kebijakan subsidi di Indonesia. Sesungguhnya,

kebijakan subsidi terpadu telah pernah dilaksanakan di Indonesia yakni pada

akhir tahun 1960-an hingga akhir tahun 1990-an, yang dalam pelaksanaannya

lebih dikenal dengan paket BIMAS (Bimbingan Massal). Disintegrasi komponen-

komponen subsidi adalah konsekuensi dari penghentian program BIMAS yang

diikuti dengan liberalisasi pasar pertanian pada tahun 1999 sesuai dengan

kesepakatan dengan IMF. Rancang-bangun subsidi pertanian terpadu diuraikan

pada Bab-4, yang mencakup rancangan konseptual, rancangan operasional dan

kebijakan pendukung.

7

lI. ARGUMENTASI PENTINGNYA SUBSIDI BAGI SEKTOR PERTANIAN

Ada dua argumentasi yang melandasi pentingnya pemerintah memberikan

bantuan kepada petani: Pertama, suatu kewajiban pemerintah membantu petani

yang sebagian besar merupakan masyarakat miskin yang tidak mempunyai

kapasitas yang memadai untuk mengembangkan kapasitas produksi pertanian

sementara eksistensi produksi pertanian ke depan masih sangat diperlukan; dan

Kedua, melindungi petani miskin dari ancaman eksternal akibat ketidakadilan

perdagangan dalam rangka memberdayakan mereka menjadi masyarakat yang

mandiri mampu menghidupi dirinya dan juga menjaga eksistensi sektor pertanian

ke depan.

Beberapa fakta yang mendukung argumentasi ketidakmampuan petani

mengembangkan kapasitas produksi pertaniannnya antara lain : Pertama,

walaupun terjadi penurunan insiden kemiskinan dari 19,14% pada tahun 2000

menjadi 16.60% pada tahun 2004, namun jumlah penduduk miskin secara absolut

sangat besar yaitu sekitar 36 juta dan diperkirakan sekitar 20 juta diantarnya

berada di wilayah pedesaan. Dari sekitar 20 juta penduduk miskin di pedesaan

sekitar 55 persen bergantung pada sektor pertanian.

Kedua, walaupun surplus usahatani cukup prospekstif, sebagai contoh

surplus usahatani padi tanpa memperhitungkan lahan sebesar 61%, namun

pendapatan per kapita petani per tahun berkisar Rp 2.304.909 - Rp 2.684.865 (Rp

6.403 - Rp 7.458 per hari per kapita) (PATANAS, 20041 dan 20052) atau dibawah

$ 1 per hari masih jauh dibawah garis kemiskinan berdasarkan kriteria World

Bank $ 2 per hari per kapita.

Beberapa fakta yang mendukung adanya ancaman eksternal terhadap

eksistensi usahatani di Indonesia akibat ketidakadilan pasar antara lain: Pertama,

domestik support yang mendistorsi pasar (Trade Distorting Subsidy (TDS))3

negara-negara maju yang tergabung dalam OECD (Organization for Economic

Cooperation and Development) pada sektor pertanian mereka sangat besar yaitu

data tahun 2000 sekitar US $ 327 billion (setara Rp 3 270 triiyun). Total TDS

untuk Amerika Serikat sebesar Rp 480 triiyun; EU sebesar Rp 1 100 triiyun dan

Jepang Rp 300 triiyun. Negera-negara maju yang tergabung dalam OECD tetap

1 A.R. Nurmanaf et.al. 2004. Laporan PATANAS. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi

Pertanian. Bogor. 2 A.R. Nurmanaf, et al. 04. Laporan PATANAS. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.

Bogor.

8

bertahan untuk memberikan domestic support kepada petaninya dengan cara

mengalihkan bantuan tersebut dari Trade Distorting Subsidy ke Trade Non

Distorting Subsidy atau dialihkan ke green box. Sebagai contoh dari $ 221 billion

total domestic support pada periode 1986-1988, sebesar 76 % masuk dalam

kategori amber box4 dan 24 % masuk kategori green box dan pada tahun 1996

dari US $ 259 billion, sebesar 54 % masuk dalam kategori amber box dan 46 %

masuk kategori green box. Selain itu, mereka mengalihkan domestic support

dalam bentuk bantuan langsung misalnya untuk beras US$ 79.88 / ton, jagung

US$ 15.88 - 32.29 / ton; kapas US$ 250.83 / ton dan daging US$ 821.38 / ton.

Apabila dihitung dalam bentuk persen harga FOB/CIF bantuan langsung tersebut

mencapai untuk padi 63.9 %, jagung 21.7 - 48.8 %, kapas 33,3 % dan daging

45.4 %.

Sebagai pembading, total green box Indonesia pada tahun 2004 hanya

sebesar US$ 1 milyar5, sementara TDS tahun 2005 diperkirakan sebesar US$

0.9 milyar6.

Kedua, negara-negara maju yang tergabung dalam OECD mampu

memberlakukan applied tarif secara efektif karena mereka mempunyai

kemampuan untuk itu, sedangkan negera berkembang walaupun diberikan bound

tarif cukup tinggi namun tidak mampu menerapkannya secara efektif. Sebagai

contoh, Indonesia mendapatkan bound tarif untuk beras sebesar 190%, namun

kenyataannya yang diterapkan hanya sekitar 30 % . Dengan demikian negera-

negara OECD mampu melindungi petaninya secara efektif.

Ketiga, negara-negara maju yang tergolong dalam OECD juga

menerapkan subsidi ekspor. Seperti Amerika Serikat total subsidi ekspornya

tahun 2000 sebesar US$ 20 million (Rp 20 triiyun), sehingga mereka dapat

mengurangi surplus produksinya dan petaninya masih menerima harga yang

tinggi di atas harga ekspornya.

Dampak dari kondisi petani Indonesia yang sebagian masih miskin adaiah

mereka tidak mempunyai kemampuan untuk meningkatkan kapasitas produksinya

melalui pengembangan teknologi, sedangkan dampak dari pemberikan domestic

support oleh negara maju kepada petaninya yang demikian besar menyebabkan

3 Trade Distorting Subsidy (TDS): It is the total of amber box, blue box and de-minimis subsidies 4 Termasuk katagori Trade Distorting Subsidy 5 Budiman Hutabarat et.al.2005. Analisis Perubahan dan Dampak Perdagangan Bebas Regional dan

Penetapan Modalitas Perjanjian Multilateral di Sektor Pertanian. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.

6 Berdasarkan jumlah subsidi yang diberikan pemerinatah melalui APBN 2005.

9

harga komoditas pertanian di pasar dunia cenderung menurun tetapi petaninya

tetap mempunyai kemampuan untuk mengembangkan kapasitas produksinya.

Akibatnya produk pertanian yang berasal dari Indonesia kalah bersaing dengan

produk yang sama dari negara maju karena ketidakadilan pasar.

Uraian di atas memberikan gambaran yang sangat jelas bahwa untuk

mengembangkan kapasitas dan menjaga eksistensi sektor pertanian, maka

diperlukan berbagai bantuan dari pemerintah untuk mengimbangi apa yang

diiakukan oleh negara lain. Bantuan tersebut berupa subsidi input produksi,

modal kerja maupun jaminan harga (price support).

10

III. EVALUASI HISTORIS KEBIJAKAN SUBSIDI

3.1. Subsidi Terpadu Bimas/lnmas

3.1.1. Dinamika Format Subsidi Terpadu

Berdasarkan pada keberhasilan pilot proyek demonstrasi masal (Denmas)

tahun 1S65, keluarlah keputusan Menteri Pertanian tahun 1967 tentang program

Bimas dengan sasaran peningkatan kinerja pelaksanaan intensifikasi pada

beberapa sentra produksi padi. Basis Bimas adalah penterapan teknologi Panca

Usaha Tani yang meliputi: (a) Penyediaan air dalam jumlah yang cukup dan

waktu yang tepat; (b) Penggunaan benih unggul dengan potensi hasil tinggi dan

masa tumbuh yang relatif pendek; (c) Penyediaan pupuk yang cukup; (d)

Pengendalian hama terpadu; (e) Cara bercocok tanam yang baik. Penerapan

teknologi tersebut juga disertai dengan investasi prasarana irigasi dan perluasan

areal persawahan.

Keberhasilan program Bimas, direspons dengan dukungan politik

pemerintah melalui pembentukan program Bimas Nasional pada 1 Desember

1969. Pada Bimas Nasional, pemerintah menyediakan kredit dengan bunga

rendah dan sarana produksi utama (bibit unggul, pupuk, dan pestisida) dengan

tingkat harga yang disubsidi. Kebijakan subsidi harga input ini dipadukan dengan

kebijakan stabilisasi harga output melalui penetapan harga dasar gabah dan

pengamanannya oleh Bulog. Setiap tahun sebelum masa tanam musim hujan,

pemerintah menetapkan harga pupuk kimia, pestisida, bibit unggul dan harga

dasar gabah sebagai sistem insentif untuk mendorong adopsi teknologi dan

peningkatan produksi padi (Hafsah dan Sudaryanto, 2004).

Pada tahapan berikutnya dibentuklah kelompok tani sehamparan dengan

sasaran mempermudah penyaluran kredit dan sarana produksi serta

memperlancar pelaksanaan penyuluhan. Bersamaan dengan pembentukan

kelembagaan kelompok tani ini dilakukan pengembangan program Bimas menjadi

Intensifikasi Khusus (Insus). Bimas dengan pola Insus dilaksanakan petani

dengan penerapan teknologi Sapta Usahatani dengan mempertimbangkan dua

komponen tambahan yaitu penyuluhan dan penanganan pasca

panen/pemanenan dalam Panca Usaha Tani. Pelaksanaan program Insus

diperluas dengan agroekosistem sawah irigasi dan tadah hujan, yang mencakup

agroekosistem. lah.an marginal seperti lahan pasang surut, lebak, dan lahan

kering.

11

Pada perkembangan seianjutnya program Insus mengakomodasi rekayasa

teknologi sosial ekonomi dengan mempertimbangkan kerja sama antar kelompok

tani pelaksana Insus dalam Wilayah Kerja Penyuluhan Pertanian (WKPP).

Pengembangan program Insus ini disebut Supra Insus yang pada prinsipnya

adalah penyempurnaan konsep delivery system dan receiving system dalam

rangka menciptakan iklim yang semakin kondusif dalam pengembangan sistem

usahatani yang berorientasi pasar (Hafsah dan Sudaryanto, 2004). Dinamika

perkembangan program Bimas ini yang berawal dari Denmas - Supra Insus

akhirnya mengantarkan Indonesia mencapai swasembada beras pada tahun

1984. Swasembada dicapai melalui keberhasilan dalam pengembangan

infrastruktur (fisik dan kelembagaan), implementasi kebijakan subsidi input dan

kredit, serta kebijakan proteksi harga.

Swasembada beras ternyata hanya dapat dipertahankan sampai tahun

1993. Mulai tahun 1994, impor beras mengalami peningkatan dan mencapai

puncaknya pada tahun 1998 dengan volume impor sekitar 5,8 juta ton. Kondisi ini

disebabkan oleh perlambatan laju pertumbuhan produksi padi sebagai akibat

adanya pelandaian pertumbuhan produktivitas. Penurunan pemberian insentif

secara bertahap pada hakekatnya telah dimulai pada akhir tahun 1980-an, yang

diawali dengan penghapusan subsidi pestisida 1989 dan pengurangan subsidi

pupuk K, air irigasi (Simatupang dan Rusastra, 2004). Kecenderungan penurunan

insentif ini terlihat dari penurunan subsidi pupuk dalam APBN sejak tahun

1988/89. Dalam beberapa tahun terakhir ada kecenderungan kuat bahwa

pemerintah akan menghapus semua insentif produksi, sehingga usahatani padi

sepenuhnya bergantung pada kekuatan pasar bebas. Satu-satunya kebijakan

insentif bagi petani padi yang masih dipertahankan adalah kebijakan harga dasar

gabah (HDG). Namun, kebijakan inipun tidak sepenuhnya efektif, karena sejak

1999 harga gabah yang diterima petani jauh di bawah HDG.

3.1.2. Kinerja dan Keberlanjutan Subsidi Terpadu

Teriepas dari segala kekurangannya, pemerintah Orde Baru memiliki

komitmen tinggi membangun sistem agribisnis padi sehingga swasembada beras

dapat diraih pada tahun 1984. Keterkaitan tersebut dapat dipandang sebagai

prestasi luar biasa karena beranjak dari kondisi sistem agribisnis yang sangat

parah dan volume impor terbesar di dunia, serta dalam kondisi permintaan beras

domestik meningkat pesat dengan konsekuensi tingginya iaju pertumbuhan

12

penduduk dan tingkat pendapatan per kapita.

Pilar keberhasilan tersebut ialah adanya terobosan teknologi dan paket

kebijakan komprehensif (Simatupang dan Rusastra, 2004). Pilar pertama adalah

momentum perkembangan teknologi Revolusi Hijau yang berada pada fase

percepatan pada tahun 1970-an. Pilar kedua ialah paket mega-kebijakan yang

mencakup semua elemen penopang agribisnis yaitu "Lima I": sistem inovasi,

infrastruktur, investasi, insentif, dan institusi. Namun sejak akhir tahun 1980-an

kedua pilar ini mengalami pengurangan. Teknologi revolusi hijau telah

menunjukkan gejala stagnasi, sementara paket kebijakan perberasan mengalami

dekonstraksi.

Usahatani padi telah menunjukkan gejala sindrom overintensifikasi yang

menyebabkan perlambatan pertumbuhan hasil dan total faktor produksi.

Ekstensifikasi sawah makin sulit dilakukan dan bahkan di Jawa luas sawah baku

cenderung menurun. Akibatnya, Iaju produksi beras menurun dan makin tidak

stabil. Hal inilah yang menyebabkan swasembada beras tidak dapat

dipertahankan. Sejak awal tahun 1990-an Indonesia kembali menjadi importir

beras terbesar di dunia.

Revitalisasi sistem agribisnis merupakan program mendesak guna

menstabilkan pertumbuhan produksi beras yang sangat strategis dalam

pemantapan swasembada pangan, peningkatan pendapatan petani, dan

dinamisasi ekonomi desa. Untuk itu kebijakan pangan nasional perlu

direkonstruksi secara komprehensif. Pemerintah perlu memikirkan paket

kebijakan pengembangan produksi pangan utama secara komprehensif, dan tidak

hanya terbatas pada harga dasar gabah saja.

Menurut Tampubolon (2000) terdapat beberapa kelemahan mendasar

program Bimas dan konsekuensi yang ditimbulkannya, yaitu (1) Kelembagaan

Bimas ternyata tidak diwariskan kepada generasi penerus dalam jajaran birokrasi

sehingga kehilangan arah dan sensitifitas pelaksananya di lapangan. Pengalihan

kelembagaan penyuluhan kepada pemerintah daerah berakibat pada penurunan

efektivitas penyuluhan secara drastis; (2) Program Bimas memerlukan dukungan

biaya yang amat mahal dan menimbulkan beban ketergantungan dengan

konsekuensi petani tidak mampu mengembangkan KUD menjadi kelembagaan

petani yang kuat dan mandiri; (3) Penerapan rekomendasi pemupukan dan

pemberantasan hama secara kaku berdampak negatif terhadap kondisi fisik

lingkungan dan keberlanjutan usahatani; (4) Program Bimas lebih berpihak pada

13

kepentingan konsumen (pangan murah), dengan orientasi pengembangan

industrialisasi untuk pasar ekspor atau substitusi impor. Ketidakberlanjutan

program Bimas pada hakekatnya dapat dihindari, jika dilakukan perubahan

instrumen kebijakan yang disesuaikan dengan perubahan lingkungan strategis

internal dan eksternal ekonomi pangan.

3.1.3. Pelajaran dari Subsidi Pertanian Terpadu

Dalam konteks program Bimas, kinerja subsidi pertanian terpadu

direfleksikan oleh keberhasilan pelaksanaan kredit program. Kredit program pada

hakekatnya merupakan instrumen strategis dalam upaya peningkatan produksi

melalui program intensifikasi (Soentoro, et.al., 1992). Tingkat bunga yang rendah

dan prosedur yang relatif mudah mendorong petani dalam penerapan teknologi

yang dianjurkan. Kredit program berfungsi sebagai pemacu adopsi teknologi baru,

dan efektif sebagai penunjang program peningkatan produksi khususnya bagi

petani golongan ekonomi lemah.

Kredit program pertanian merupakan instrumen kebijakan yang strategis di

dalam memacu dan memantapkan pertumbuhan sektor pertanian. Hal ini

direfleksikan oleh keterkaitan penyaluran kredit program dengan perluasan areal

intensifikasi dan pertumbuhan sektor pertanian (Hermanto, 1992). Analisis empiris

juga menunjukkan bahwa kredit intensifikasi merupakan elemen penting dan

strategis sebagai suatu perangkat kebijakan swasembada pangan. Peran ini akan

semakin mantap bila dapat dilakukan koreksi terhadap struktur kredit program

yang didominasi olen kredit tanaman pangan, khususnya untuk tanaman padi.

Struktur yang ada dinilai tidak kondusif dalam mendorong implementasi program

diversifikasi pertanian. Untuk mendorong program diversifikasi pertanian, perlu

dilakukan realokasi kredit program ke usahatani non padi. Realokasi ini perlu

memperhatikan perkembangan pola permintaan petani terhadap jenis dan jumlah

kredit usahatani.

Partisipasi petani dalam pemanfaatan kredit program didominasi oleh

petani dengan kemampuan berswadana yang rendah. Kredit program dibutuhkan

sebagai pelengkap kebutuhan modal kerja dalam penterapan teknologi anjuran

(Sumaryanto, 1992). Secara lebih spesifik, faktor-faktor utama yang berpengaruh

nyata terhadap keputusan petani dalam pemanfaatan KUT adalah: (a) Luas

pemilikan sawah: semakin sempit luas sawah milik, kecenderungan untuk

meminjam KUT semakin tinggi; (b) Keikutsertaan dalam kelompok tani: semakin

14

lama waktu keikutsertaan, semakin tinggi keinginan untuk memanfaatkan KUT; (c)

Partisipasi petani dalam program intensifikasi semakin mendorong motivasi petani

untuk mengajukan KUT; (d) Resiko kegagalan usahatani dan rendahnya

kemampuan pemupukan modal mendorong petani memanfaatkan KUT dalam

rangka menjamin perolehan sarana produksi pertanian.

Kehadiran KUT dalam pembangunan subsektor tanaman pangan masih

sangat dibutuhkan, baik sebagai bantuan permodalan petani maupun sebagai

pemacu adopsi teknologi (Waluyo dan Djauhari, 1992). Di daerah dengan tingkat

persepsi terhadap teknologi sudah tinggi, KUT lebih banyak berfungsi sebagai

bantuan permodalan. Pada daerah seperti ini, peran petani dalam penyusunan

RDKK agar lebih ditonjolkan, sehingga paket KUT yang diterima sesuai dengan

kebutuhan petani. Sedangkan pada daerah rintisan, KUT lebih berfungsi sebagai

pemacu adopsi teknologi.

Dalam konteks perencanaan subsidi pertanian terpadu, perlu diketahui

kendala penyaluran dan pengembalian KUT (Waluyo dan Djauhari, 1992) sebagai

berikut: (a) Kualitas KUD peserta KUT yang masih rendah; (b) Eksistensi

kelompok tani yang lemah; (c) Pembuatan RDKK yang tidak murni dan tidak

transparan; (d) Keterlambatan pencairan KUT sehingga tidak efektif dalam

pemanfaatannya. Konsekwensinya adalah mekanisme kontrol dalam

pengambilan KUT ternyata masih membutuhkan banyak penyempumaan.

Kemungkinan penyaluran KUT langsung kepada kelompok tani dengan eksistensi

dan kinerja yang relatif kuat, dinilai layak untuk dipertimbangkan.

3.2. Kebijakan Subsidi Parsial Sektor Pertanian

Pasca deregulasi perbankan (1998) sebagai konsekwensi dari krisis

ekonomi/moneter pemerintah mengalami kesulitan keuangan untuk

mengimplementaskan kebijakan fiskal/pembangunan. Program subsidi pertanian

terpadu dalam bentuk program Bimas tidak dilaksanakan lagi, demikian juga

dengan kelembagaan implementasi program secara hirarkis dari pusat ke daerah

tidak berfungsi lagi. Pemerintah tetap memberikan subsidi secara terbatas kepada

sarana produksi utama (pupuk, benih, dan modal/kredit) tetapi tidak terintegrasi

seperti program Bimas. Subsidi diberikan kepada produsen/eksekutor seperti

produsen pupuk, benih, dan pihak perbankan. Bahasan ini akan menampilkan

kinerja dan prospek subsidi parsial pupuk dan benih, sebagai pembelajaran

(lesson learned) dalam perumusan program subsidi terpadu sektor pertanian.

15

3.2.1. Kebijakan Subsidi Pupuk

Dinamika kebijakan subsidi pupuk dapat dibedakan menjadi empat

tahapan yaitu kebijakan subsidi sebelum era pasar bebas, kebijakan

penghapusan subsidi memasuki pasar bebas, kebijakan pemberian kembali

subsidi pupuk, dan kebijakan subsidi pupuk era pasar bebas. Dinamika kebijakan

dengan tingkat intensitas yang relatif tinggi mengindikasikan ketidak puasan

berbagai pihak terkait terhadap rumusan kebijakan, implementasi, dan

dampaknya bagi petani dan pembangunan pertanian. Bahasan ini akan

membahas secara ringkas kinerja kebijakan tersebut dan mengajukan pola

introduksi distribusi pupuk ke depan (Sudaryanto, et.al., 2005).

Bahasan ini akan difokuskan pada kinerja kebijakan subsidi pupuk era

pasar bebas yang dipicu oleh adanya peningkatan harga gas sejak tahun 2000

yang akhirnya mendorong pemerintah memberikan kembali subsidi pupuk sejak

tahun 2001. Secara ringkas kinerja subsidi pupuk pada periode sebelumnya dapat

dinyatakan (Sudaryanto, et.al., 2005) sebagai berikut: (a) Kinerja subsidi sebelum

era pasar bebas: mampu mendorong tercapainya swasembada beras 1984;

pengurangan subsidi perlu dikompensasi dengan peningkatan harga produksi;

dan peningkatan harga pupuk tidak berpengaruh terhadap penggunaannya,

karena proporsinya dalam biaya usahatani masih relatif keci!; (b) Penghapusan

subsidi memasuki era pasar bebas: penghapusan monopoli telah mengefisienkan

distribusi pupuk; subsidi pupuk dinilai iebih adil dibandingkan dengan subsidi gas

untuk pabrik pupuk; (c) Kebijakan pemberian kembali subsidi pupuk: format

ROSP (Rencana Operasional Subsidi Pupuk) memungkinkan pabrik pupuk

memperoleh subsidi langsung dari pemerintah; subsidi untuk pabrik pupuk, dan

bukan untuk petani; struktur subsidi hanya menguntungkan pabrk pupuk.

Hasil kajian PSE KP terhadap kinerja subsidi puupk pada era pasar bebas

diperoleh beberapa informasi penting (Sudaryanto, et.al., 2005) sebagai berikut:

(a) Konstruksi kebijakan menimbulkan dualisme pasar dan rawan terhadap

penyimpangan; (b) Terjadinya ekspor ilegal karena harga di pasar dunia Iebih

menarik; (c) Pengalihan atau pencabutan subsidi pupuk dapat menimbulkan

lonjakan harga pupuk domestik; (d) Peluang terjadinya kelangkaan pasokan

cukup besar sebagai akibat dari kesalahan manajemen; (e) Subsidi input Iebih

mudah dibandingkan subsidi harga output pertanian; (f) Kebijakan subsidi pupuk

dinilai tidak efektif, dan disarankan agar subsidi pupuk dikembalikan lagi kepada

petani.

16

Terdapat beberapa justifikasi kenapa subsidi pupuk Iebih mudah

dibandingkan dengan subsidi harga output pertanian, yaitu: (a) Sebagian besar

petani menghadapi kendala biaya produksi dengan orientasi minimisasi biaya,

sehingga insentif input Iebih sesuai; (b) Insentif input Iebih mudah mengakselerasi

adopsi teknologi guna meningkatkan produktivitas dibanding insentif output; (c)

Apabila pengelolaan subsidi menggunakan prinsip bergaransi dan

profesionalisme, maka penjaminan harga Iebih mudah dicapai pada input

dibandingkan output. Pasokan pupuk (terutama Urea) diproduksi di dalam negeri

dan harga domestik (subsidi) lebih rendah dari harga internasional. Sementara itu

pasokan beras masih membutuhkan dukungan impor, yang harganya jauh lebih

rendah dibandingkan harga yang didukung pemerintah (HPP). Dengan

keterbatasan kemampuan menangani penyelundupan, maka membatasi

rembesan (ke luar) pupuk akan lebih mudah dibandingkan rembesan (ke dalam)

beras.

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa kebijakan subsidi pupuk pada era

pasar bebas ini dinilai tidak efektif untuk membantu petani. Hal ini dibuktikan oleh

beberapa fakta berikut ini: (a) Harga pupuk di tingkat petani jauh di atas harga

HET; dan (b) Pasokan pupuk di tingkat petani seringkali langka karena

konskuensi dari dualisme pasar, ekspor pupuk, dan keterbatasan penyaluran oleh

pabrik pupuk. Fenomena langka pasok dan lonjak harga pupuk merupakan kasus

menyimpang yang tidak semestinya terjadi. Produksi pupuk urea dalam negeri

jauh melebihi kebutuhan dan distribusinya dikendalikan pemerintah. Berdasarkan

fenomena di atas PSE-KP secara tegas menyarankan "kembalikan subsidi pupuk

kepada petani" (Simatupang, 2004).

3.2.2. Kebijakan Subsidi Benih

Dalam kondisi implementasi subsidi secara parsial nampak penyerapan

benih bermutu di tingkat petani masih rendah. Penggunaan benih bermutu dari

varietas unggul di tingkat petani untuk padi sekitar 39%, jagung 20%, dan kedelai

15% (PSE-KP, 2005). Nampak terdapat justifikasi kuat untuk memberikan subsidi

benih kepada petani dengan harapan diperoleh benih dengan harga yang relatif

murah dan terjangkau daya beli petani.

Terdapat sejumlah keuntungan dengan adanya subsidi benih diantaranya

adalah: (a) Meningkatkan produksi benih bermutu secara nasonal; (b) Antisipai

peningkatan pemanfaatan benih bermutu dari varietas unggul oleh petani; (c)

17

Harga benih relatif lebih murah dan terjangkau oleh petani; dan (d) Jangkauan

spasial dan partisipasi petani dalam pemanfaatan benih bermutu akan meningkat,

khususnya di daerah marginal yang secara komersial kurang menarik bagi

produsen benih. Khusus untuk kedeiai, jika subsidi benih ditiadakan, maka

ketergantungan industri hilir (tahu dan tempe) terhadap produk dari luar negeri

akan semakin menguat, karena harganya yang relatif murah dan kualitasnya

relatif lebih baik.

Selama ini realisasi penyaluran benih bersubsidi tidak termonitor secara

baik, karena faktor koordinasi lintas instansi terkait yang kurang berfungsi dengan

baik, dengan konskwensi sebagai berikut: (a) Tingkat penyerapan benih

bersubsidi di lapangan tidak diketahui secara pasti; (b) Penyaluran benih

bersubsidi diduga terkonsentrasi di daerah dengan infrastruktur bagus dengan

tingkat partisipasi dan persepsi petani terhadap benih berlabel yang relatif baik;

(c) Produsen/penangkar benih tidak dilibatkan dalam produksi benih bersubsidi

yang dinilai tidak fair, dan akhirnya berdampak negatif terhadap perluasan adopsi

benih bermutu.

Struktur produksi dan pasar benih masih dikuasai oleh dua produsen

utama benih, yaitu PT. Sang Hyang Sri (SHS) dan PT. Pertani. Karakteristik dan

komoditas benih yang bersifat terbuka, teknologi produksi dan pengelolaannya

yang relatif sederhana, kebutuhan investasi relatif kecil dan dapat diproduksi

dalam skala kecil memungkinkan peran swasta kelompok tani dan bahkan

individu petani untuk memproduksi (Nurmanaf, eta]., 2003). Dalam posisi PT.

SHS dan PT. Pertani pemimpin harga (benih masih disubsidi) penangkar swasta

tetap berkembang karena memiliki tingkat efisiensi yang lebih baik. Dampak

positif dari industri benih yang bersifat terbuka adalah semakin membaiknya

struktur produksi dan pasar, namun terdapat indikasi variasi dan ketidakpastian

kualitas. Perbaikan struktur industri benih melalui diversifikasi produksi dan

perbaikan efisiensi perlu terus diupayakan, tetapi perlu komplementer dengan

perbaikan pengawasan, strukturisasi dan sertifikasi benih agar diperoleh pasokan,

harga dan kualitas yang lebih baik seperti yang diharapkan oleh konsumen.

Struktur produksi dan pasar benih yang relatif kurang kondusif nampaknya

tidak berpengaruh terhadap pasokan dan harga benih di lapangan. Demikian juga

halnya dengan sistem distribusi benih. Jalur distribusi relatif tetap, yaitu PT.

SHS/PT. Pertani - kios - petani, dan resiko pemasaran yang tinggi (waktu

pemasaran dan masa hidup benih yang terbatas) sepenuhnya merupakan

18

tanggung jawab pengecer. Fakta empiris di'lapangan menunjukkan bahwa harga

benih padi relatif stabil dan tidak pernah diiaporkan terjadi kelangkaan pasokan

yang serius di lapangan. Hal ini dimungkinkan oleh potensi pasar dan permintaan

riil benih berlabel yang relatif terbatas. Dalam kondisi pasar riil yang relatif

terbatas dengan faktor penjelas persepsi petani terhadap benih berlabel yang

masih rendah, maka pasar benih bersifat pasif. Ketersediaan dan harga benih

nampak stabil, karena petani merespon kondisi pasar yang tidak kondusif dengan

mengalihkan penggunaan benih pada benih yang tidak berlabel dengan harga

yang relatif rendah, atau memanfaatkan benih dari hasil produksi sendiri.

Ketersediaan dan harga benih yang dinilai stabil, pada hakekatnya bersifat

semu. Hal ini dimungkinkan karena pasar riil dan persepsi petani yang rendah.

Terminologi "stabil" dalam konteks pemahaman petani adalah "lebih tinggi", yaitu

di luar kemampuan daya beli petani. Harga benih padi dinilai petani semakin

mahal karena terkait dengan beberapa faktor seperti harga jual gabah yang relatif

rendah, biaya usahatani semakin tinggi, dan semakin terbatasnya sumber

pertumbuhan usahatani padi (pelandaian hasil, terbatasnya pengembangan luas

panen, dan intensitas tanam).

Berdasarkan pada kinerja industri perbenihan tersebut dapat dipetik

pembelajaran dalam rangka optimalisasi pemanfaatan dan pengawasan benih

bersubsidi (PSE-KP, 2005), sebagai berikut: (a) Partisipasi pemanfaatan benih

bermutu dapat didorong melalui pensetaraan harga benih bersubsidi dengan

harga konsumsi, khususnya untuk komoditas padi, jagung komposit, dan kedelai;

(b) Distribusi benih bersubsidi diprioritaskan pada daerah-daerah marginal

dengan tingkat penggunaan benih bermutu yang relatif rendah; (c) Benih

bersubsidi dapat diproduksi di daerah dengan melibatkan produsen/penangkar

benih yang ada; (d) Benih yang disubsidi adalah benih bermutu dari varietas

unggul/kelas benih sebar bersertifikat/ berlabel biru; (e) Kewenangan penetapan

jumlah benih bersubsidi perlu dilimpahkan kepada pemerintah setempat, dan

perlu dibentuk tim pengawas benih bersubsidi yang melibatkan instansi pusat dan

daerah.

19

IV. RANCANG BANGUN SUBSIDI PERTANIAN TERPADU

4.1. Rancangan Konseptual

4.1.1. Keterpaduan dalam Penetapan Besaran Subsidi dan Sasaran Kebijakan

Subsidi pertanian terpadu pada intinya ialah penyatuan semua instrumen

kebijakan subsidi dalam satu paket baik dalam rancang-bangun maupun daiam

pelaksanaannya. Yang dimaksud dengan subsidi dalam hal ini ialah subsidi harga

input dan modal kerja serta dukungan harga output. Dukungan harga output,

seperti kebijakan harga dasar pembelian pemerintah untuk gabah dan harga

dasar untuk gula, memang tidak termasuk kategori subsidi dalam arti bakunya.

Namun dilihat dari segi fungsi dan pelaksanaannya, kebijakan dukungan harga

output sebaiknya dipadukan dengan kebijakan subsidi input dan modal kerja

usahatani. Dukungan harga output dan subsidi input maupun modal kerja

berfungsi sebagai insentif produksi bagi petani. Tujuannya juga sama yaitu

meningkatkan produksi dan laba usahatani. Secara konseptual, untuk

mewujudkan suatu target produksi dan laba usahatani tertentu, pemerintah dapat

memilih kombinasi harga input, bunga modal dan harga produk usahatani yang

memberikan ongkos kebijakan, meliputi beban anggaran dan inefisiensi ekonomi,

minimal.

Dengan demikian, salah satu isu sentral dalam perancangan subsidi

terpadu adalah menetapkan besaran subsidi atau target harga input dan output

bersubsidi yang optimal. Artinya, setiap komponen subsidi dan dukungan harga

haruslah ditetapkan secara terpadu. Keterpaduan dalam menetapkan besaran

subsidi dan dukungan harga merupakan langkah pertama yang sangat penting

untuk mewujudkan sinergi guna meningkatkan efektifitas dan menekan ongkos

kebijakan.

Untuk jelasnya, subsidi input meningkatkan produksi gabah dan gula,

sementara instrumen dan anggaran untuk mendukung kebijakan harga dasar

gabah dan gula dipengaruhi oleh peningkatan produksi. Di sisi lain, dukungan

harga gabah dan gula meningkatkan volume penggunaan input yang selanjutnya

mempengaruhi besaran subsidi input. Dengan demikian, jika tidak ditetapkan

secara terpadu, kebijakan subsidi input dan dukungan harga output akan dapat

menimbulkan inkonsistensi dalam mewujudkan target kebijakan dan pemborosan

anggaran negara.

20

Dalam prakteknya, rancang-bangun subsidi input dan dukungan harga

output usahatani selama ini masih dilakukan parsial dan terpisah-pisah.

Penetapan harga eceran tertinggi (HET) pupuk bersubsidi ditetapkan terpisah dari

dan tanpa mengacu pada penetapan harga dasar gabah maupun gula. Hal yang

sama berlaku dalam penetapan subsidi benih, suku bunga serta harga dasar

gabah dan gula. Praktek inilah pertama-tama yang harus diubah bilamana

pemerintah hendak menerapkan konsep subsidi pertanian terpadu.

Oleh karena menyangkut sistem produksi multi-input dan multi-output,

penetapan besaran subsidi secara terpadu memang cukup kompleks. Hal ini

hanya dapat diwujudkan bila telah tersedia model optimasi yang dibangun

berdasarkan suatu hasil penelitian komprehensif. Kalaupun ada, penelitian yang

banyak dilakukan bersifat parsial dan terfokus pada satu aspek seperti kajian

subsidi pupuk, harga pembelian gabah pemerintah, dan sebagainya. Model

analisis kebijakan terpadu mungkin tidak dapat diwujudkan dalam waktu singkat.

Aspek ini merupakan agenda penelitian ke depan.

4.1.2. Kesesuaian Rancangan Individual

Disamping keterpaduan relasi antar komponen subsidi, hal kedua yang

perlu diperhatikan dalam hal rancang-bangun konseptual ialah keterpaduan relasi

antar instrumen pada setiap komponen subsidi. Kesalahan atau kelemahan dalam

rancang-bangun inilah yang menjadi penyebab utama kenapa berbagai subsidi

yang dilaksanakan selama ini gagal diefektifkan. Penyempurnaan rancang-

bangun setiap komponen subsidi haruslah menjadi agenda pokok dalam

penyusunan rancang-bangun subsidi pertanian terpadu. Instrumen pokok pada

setiap komponen subsidi bersifat khas atau berbeda antar satu dengan yang

lainnya.

Elemen-elemen kritis dalam rancang-bangun subsidi input usahatani ialah:

1. Disparitas harga input bersubsidi vs. non subsidi.

Pasar input bersubsidi dan tidak bersubsidi tidak dapat disekat dengan

sempurna. Secara spasial, kedua pasar tersebut berimpit atau sinambung.

Disparitas harga yang berlebihan akan mendorong perembesan input

usahatani tersebut secara ilegal dari pasar bersubsidi ke pasar tidak

bersubsidi. Pada prinsipnya, disparitas harga input bersubsidi dan non subsidi

hams dibuat seminimal mungkin.

21

2. Disparitas harga input bersubsidi dan harga internasional.

Perpaduan harga input bersubsidi dan harga internasional yang cukup besar

akan mendorong ekspor secara ilegal yang dapat berakibat pada kelangkaan

input di dalam negeri. Ekspor input bersubsidi merupakan tindakan ilegal yang

merugikan keuangan negara. Pada prinsipnya, subsidi harga input bersubsidi

dan harga internasional tidak cukup besar untuk merangsang orang

melakukan ekspor ilegal.

3. Margin harga vertikal.

Margin harga vertikal adalah selisih harga diantara dua simpul rantai pasok

input bersubsidi, yang biasanya mencakup selisih harga HET (tingkat

pengecer) dengan harga di tingkat pedagang distributor, selisih harga di

tingkat distributor dan tingkat gudang produsen. Marjin harga harus cukup

untuk menutupi ongkos penyimpanan, transportasi dan laba normal pedagang

namun tidak terlalu besar sehingga mendorong maraknya pemburu rente.

4. Penetapan harga patokan pengadaan input bersubsidi.

Penetapan harga patokan pengadaan input bersubsidi merupakan kunci untuk

menghitung besaran subsidi (subsidy rate). Ada tiga opsi acuan yang dapat

dipilih:

a. Harga pokok produksi

b. Harga paritas internasional

c. Subsidi harga bahan baku bagi produsen

Untuk opsi (a) dan (b), kunci utama adalah adanya data akurat mengenai

struktur ongkos produksi. Kedua opsi ini dapat diterapkan jika produsennya

adalah perusahaan milik negara.

5. Penetapan volume input bersubsidi

Volume input bersubsidi hanya dapat diketahui bila sistem penyalurannya

tertutup sehingga volume penyaluran yang dilaporkan produsen (penyalur)

dapat diidentifikasi melalui laporan penggunaan oleh petani. Sistem tertutup

merupakan pola penyaluran input bersubsidi yang disarankan untuk diadopsi

pemerintah.

Elemen-elemen kritis dalam rancang-bangun kebijakan dukungan harga output

(gabah dan gula) ialah:

1. Disparitas harga domestik dan internasional.

Disparitas harga domestik dan internasional pada dasarnya ialah tingkat

22

dukungan harga. Disparitas (tingkat dukungan harga) yang terlalu tinggi akan

mendorong penyalur terpadu (impor ilegal). Pada prinsipnya tingkat dukungan

harga hams dicapai pada tingkat yang wajar, tidak cukup tinggi untuk

merangsang penyelundupan.

2. Tarif impor yang sepadan.

Tarif impor merupakan instrumen penunjang kebijakan dukungan harga. Pada

prinsipnya, tarif impor hams ditetapkan cukup tinggi sehingga harga acuan

impor lebih rendah dari harga dasar. Tarif impor yang terlalu rendah akan

menyebabkan harga dasar tidak dapat diefektifkan.

3. Kesepadanan antar harga output.

Kesepadanan antar harga output sangat perlu diatur sedemikian rupa guna

mencegah inkonsistensi kebijakan. Harga dasar gula yang terlalu tinggi dari

harga dasar gabah, misalnya, akan menurunkan efektifitas kebijakan harga

dasar gabah.

4.1.3. Kelayakan Teknis dan Ekonomis

Kelayakan kebijakan subsidi mencakup kelayakan teknis dan kelayakan

ekonomis. Kelayakan teknis berkenaan dengan masalah kelancaran pelaksanaan

kebijakan. Salah satu prasyarat teknis dari kebijakan subsidi input ialah

excludeabity, input bersubsidi harus dapat dipisahkan dari input tidak bersubsidi.

Pupuk bersubsidi harus dapat dipisahkan dari pupuk non-subsidi, antara lain

dengan membuat label pada karung penyimpanannya. Ini merupakan salah satu

cara untuk mencegah perembesan pupuk bersubsidi ke pasar pupuk non subsidi.

Permasalahan excludeabity menjadi sulit terpecahkan bila petani penerima

input bersubsidi dapat menghasilkan input serupa, seperti pada benih tanaman

pangan non-hibrida. Dalam kondisi seperti ini, subsidi tidak layak secara teknis.

Alasannya, petani penerima subsidi akan cenderung untuk menjual pupuk

bersubsidi dengan harga tinggi dan menggunakan benih hasil produksinya sendiri

(harganya lebih rendah dari benih bersubsidi). Secara umum, subsidi benih

tanaman non-hibrida tidak layak dilaksanakan. Oleh karena itu, rencana

pemerintah untuk memberikan subsidi benih perlu dipertimbangkan dengan

seksama.

Kelayakan khusus berkenaan dengan nisbah nilai manfaat dengan ongkos

ekonomi kebijakan. Pada dasarnya, subsidi adalah kebijakan distortif yang

membutuhkan dukungan anggaran pemerintah dan menimbulkan inefisiensi

23

ekonomi. Subsidi harga layak dilakukan secara ekonomis bila dilakukan untuk

mencegah distorsi pasar. Subsidi dapat dianjurkan untuk mendorong petani

mengadopsi teknologi baru atau menggunakan input secara optimal. Kredit

bersubsidi dapat dianjurkan bila petani menghadapi kendala modal sementara

pasar perkreditan di lingkungan petani belum berkembang. Dengan demikian,

dilihat dari pertimbangan ekonomi, kebijakan subsidi harus diusahakan seminimal

mungkin atau terbatas pada upaya untuk mengoreksi kegagalan pasar dan

ketidakberdayaan petani.

Kiranya jelas, ongkos yang ditimbulkan oleh kebijakan subsidi akan

semakin besar lagi bilamana kebijakan tersebut tidak dirancang dengan baik.

Ongkos kebijakan mencakup ongkos kesalahan rancang-bangun kebijakan dan

ongkos murni kebijakan. Dengan demikian, perumusan kebijakan subsidi secara

terpadu bermanfaat untuk mengurangi ongkos kebijakan. Kebijakan subsidi

pertanian terpadu merupakan kebutuhan imperatif.

4.2. Rancangan Operasional

4.2.1. Modus Subsidi Terpadu

A. Input vs Output

Modus subsidi terpadu diberikan dalam bentuk subsidi input dengan

beberapa pertimbangan, yaitu: (1) lebih mudah pengelolaannya karena volume

subsidi input relatif lebih sedikit dibanding subsidi output; (2) lebih murah karena

biaya yang dibutuhkan pada subsidi input lebih sedikit dibanding subsidi output;

(3) lebih sesuai dengan kondisi ekonomi petani yang menghadapi kendala biaya

pembelian input.

Sebagai contoh kasus pemberian subsidi pada usahatani padi di Indonesia.

Pemberian subsidi melalui input, misalnya pupuk lebih manageble dan

menguntungkan secara ekonomi dibanding pemberian subsidi melalui penjaminan

harga output; dengan alasan sebagai berikut;

(a) Untuk keberhasilan pencapaian subsidi pada sasarannya, baik subsidi input

maupun output membutuhkan isolasi pasar domestik dengan pasar

internasional. Makin besar volume yang disubsidi, makin besar pula

managemen dan biaya yang dibutuhkan untuk mengisolasi pasar tersebut.

Apabila penjaminan harga gabah menggunakan prinsip jaminan harga untuk

seluruh produksi padi, volume subsidi gabah (50 juta ton) jauh lebih besar

dibanding volume pupuk (6 juta ton), sehingga subsidi pupuk lebih

24

managebel dalam penanganan isolasi pasar dibanding subsidi penjaminan

harga gabah.

(b) Untuk perencanaan besaran subsidi output berupa penjaminan harga gabah

membutuhkan keakuratan data mengenai luas panen padi masing-masing

petani, padahal keakuratan data tersebut belum kita punyai. Apabila data

tersebut tidak kita miliki, maka peluang terjadinya over realisasi subsidi dari

angka riilnya akan sangai besar karena bisa saja petani atau pedagang

melaporkan produksinya jauh lebih tinggi dari yang sesungguhnya. Dengan

kata lain pelaksanaan subsidi penjaminan harga gabah tidak managebel

secara administrasi.

(c) Sebagian besar petani padi Indonesia adalah petani yang menghadapi

kendala biaya produksi sehingga keputusan petani dalam melaksanakan

usahataninya didasarkan pada cost minimization bukan profit

maximization (kondisi dimana tidak ada kendaia biaya produksi). Ini berarti

bahwa insentif input lebih sesuai dengan kondisi anggaran petani kita

dibanding insentif ouput;

(d) Dengan orientasi cost minimization dan instrumen teknologi untuk

meningkatkan hasil per hektar yang signifikan adalah input pupuk, maka

insentif input lebih mudah mengakselerasi adopsi teknologi guna

meningkatkan produktivitas dibanding insentif output;

(e) Apabila pengelolaan subsidi menggunakan prinsip transparansi dan

profesional, maka penjaminan harga lebih mudah dicapai pada input

dibanding output. Pasokan pupuk (terutama Urea) diproduksi di dalam negeri

dan harga domestik (subsidi) lebih rendah dari harga internasional,

sedangkan pasokan beras masih perlu didukung impor, yang harganya jauh

lebih rendah dibandingkan harga yang didukung pemerintah (HPP). Dengan

masih terbatasnya kemampuan kita membatasi penyelundupan

(ekspor/impor), maka membatasi rembesan (ke luar) pupuk akan lebih

mudah dibandingkan rembesan (ke dalam) beras.

Dengan argumentasi di atas, maka subsidi terpadu disarankan agar

diberikan dalam bentuk subsidi input.

B. Langsung (Tunai) vs Tak Langsung (Natura)

Beberapa hasil penelitian dan pengamatan media masa menunjukkan

bahwa sampai saat ini penggunaan input misalnya pupuk oleh petani di beberapa

wilayah pertanain Indonesia masih di bawah dosis yang dianjurkan, untuk benih

masih banyak petani yang menggunakan benih produksi sendiri. Salah satu

25

penyebabnya adalah kemampuan keuangan petani yang terbatas untuk membeli

input. Untuk meningkatkan jumlah petani yang menggunakan input sesuai

dengan dosis maupun kualitas anjuran, pemerintah pada tahun yang akan datang

bermaksud melanjutkan pemberian subsidi yang akan dilakukan secara terpadu.

Hal ini dimaksudkan agar petani memperoleh input sesuai dengan kebutuhan

lahan dengan harga terjangkau. Dengan demikian, sasaran utama pemberian

subsidi terpadu kepada petani adalah untuk membantu petani agar mampu

menggunakan input sesuai dosis yang dianjurkan.

Ada dua modus pemberian subsidi input kepada petani yaitu; (1) subsidi

iangsung dimana petani menerima langsung besaran subsidi dalam bentuk uang

tunai, dan biasanya diberikan dalam bentuk kupon untuk membeli input sesuai

dengan harga pasar; dan (2) subsidi tidak langsung yaitu melalui harga dimana

petani membeli pupuk dengan harga di bawah harga pasar. Perbedaan kedua

modus subsidi tersebut adalah kalau pada subsidi langsung (misalnya melalui

sistim kupon), kemampuan daya beli petani untuk seluruh barang konsumsi yang

ditingkatkan, sedangkan pada subsidi harga input adalah yang di tingkatkan

hanya kemampuan daya beli petani terhadap pupuk saja. Dengan demikian,

pemberian subsidi input secara langsung dalam bentuk uang tunai (melalui sistim

kupon kemungkinan terjadi perdagangan kupon tersebut sangat besar karena

pendapatan petani untuk membiayai hidupnya masih sangat terbatas), sangat

besar kemungkinanya tidak mencapai sasaran yaitu petani menggunakan input

sesuai dengan dosis yang dianjurkan. Ini berarti pemberian subsidi input secara

langsung melalui sistim kupon tidak mampu mengemban misi pemberian subsidi

input itu sendiri. Dengan kata lain, pemberian subsidi input secara langsung

dalam bentuk uang tunai melalui sistim kupon tidak layak disarankan sebagai

modus subsidi terpadu. Oleh karena itu, modus subsidi terpadu disarankan

melalui subsidi tidak langsung yaitu melaiui selisih harga dalam bentuk

natura.

C. Komponen Subsidi Terpadu

Input produksi yang menjadi kendala petani untuk memenuhi sesuai

dengan kebutuhan lahan adalah benih, pupuk, dan pestisida. Sebagian besar

petani juga menghadapi kendala dalam membayar upah untuk kegiatan

usahatanianya. Komponen produksi tersebut dibutuhkan petani pada waktu yang

tepat agar produktivitas usahataninya sesuai dengan yang diharapkan. Untuk

26

mengatasi kendala yang dihadapi petani tersebut, maka komponen subsidi

terpadu meliputi : (1) Sarana produksi : Benih dan pupuk serta pestisida; (2)

Modal Kerja untuk membayar upah.

Komponen subsidi terpadu tersebut akan diberikan secara terpadu dalam

satu paket sesuai dengan kebutuhan lahan bukan kebutuhan petani.

4.2.2. Sistem Pengelolaan Subsidi terpadu

Seperti dijelaskan di atas, modus subsidi terpadu akan diberikan kepada

petani secara tidak langsung dan natura. Modus subsidi secara tidak langsung

berarti subsidi diberikan berdasarkan selisih harga pasar dengan harga subsidi,

sedangkan diberikan secara natura berarti bahwa selisih harga dikali kuantitas

kebutuhan subsidi sebagai besaran subsidi diberikan dalam bentuk natura.

Modus subsidi terpadu tersebut mempunyai implikasi luas yaitu produsen

sarana produksi akan menjual sesuai dengan harga pasar, sehingga

permasalahan dualisme harga yang terjadi saat ini yang menyebabkan inefisiensi

subsidi dapat dihilangkan.

Berkaitan dengan hal tersebut, sistem penyaluran dan pengadministrasian

subsidi terpadu akan dilaksanakan oleh suatu lembaga dengan sistem

administrasi terpadu. Lembaga tersebut diberi nama SASDU (Sistem

Administrasi Subsidi Terpadu). SASDU berlokasi di tingkat kecamatan,

kabupaten, propinsi dan pusat.

A. Desain Pengelolaan Subsidi Terpadu

Desain pola pengelolaan subsidi terpadu bersifat aktif dan lengkap, yang

terdiri dari (1) sistem distribusi {delivery system); (2) sistem penerimaan

(receiving system); dan (3) sistem akuntabilitas {accountability system).

Sistem distribusi akan ditangani oleh SASDU dengan fungsi utama adalah

membeli kebutuhan sarana produksi dan mengambil kredit modal kerja ke Bank

pelaksana. Selanjutnya mendistribusikan subsidi tersebut kepada kelompok tani

sesuai dengan kebutuhannya.

Sistem penerinaan akan ditangani oleh kelompok tani dibantu oleh

penyuluh dengan fungsi utama adalah menyususn RDKK (Rencana Definitif

Kebutuhan Kelompok) sesuai dengan penerapan inovasi teknologi yang

disepakati dengan penyuluh dan menebusnya di SASDU. Apabila petani

membeli secara tunai dapat langsung membeli di pasar, sebaliknya apabila ingin

27

mendapatkan subsidi melalui SASDU.

Fungsi utama sistem akuntabilitas adalah mengawasi penyaluran sarana

produksi dan modal kerja melalui kendali penerbitan D.O (delivery order) untuk

masing-masing kelompok tani yang mengajukan RDKK. Merekap realisasi

penyaluran subsidi terpadu sesuai dengan D.O yang telah diterbitkan. Sistem

akuntabilitas ini menjadi tanggung jawab pengawas yang berlokasi di SASDU

berada.

A.1. Delivery System

1. Satu tahun (n-1) sebelum pelaksanaan subsidi, pemerintah Daerah melalui

SASDU/Dinas Teknis Pembina tingkat kabupaten/kota bersama dengan,

produsen saprodi, Bank Pelaksana Kredit Subsidi, penyuluh, kelompok tani

merencanakan usulan kebutuhan subsidi terpadu per musim tanam selama

satu tahun kepada SASDU secara berjenjang (SASDU Propinsi dan

SASDU Pusat).

2. SASDU PUSAT/ Menteri Pertanian menetapkan besaran subsidi terpadu

sesuai dengan kemampuan dana pemerintah dan ketersediaan sarana

produksi.

3. Penyaluran dan penggunaan paket subsidi terpadu ditingkat

kabupaten/kota dikukuhkan oleh Bupati/Walikota.

4. Produsen sarana produksi dan Bank Pelaksana menyiapkan stok sarana

produksi dan kredit sesuai dengan SK Bupati/Walikota.

5. SASDU tingkat kecamatan bertindak sebagai penyalur subsidi terpadu.

A.2. Receiving System

1. Penyuluh berkerjasama dengan peneliti BPTP (Balai Pengkajian Teknologi

Pertanian) dan kelompok tani menyiapkan inovasi pertanian siap terap

spesifik lokasi.

2. Inovasi pertanian siap terap spesifik lokasi tersebut dituangkan ke dalam

RDKK untuk satu musim yang berisi :

a. Kebutuhan riil sarana produksi dan modal kerjasesuai dengan harga

pasar.

b. Nilai kemampuan petani menebus kebutuhan riil

c. Nilai subsidi yang diberikan pemerintah

d. Nilai kredit yang dibutuhkan petani

28

3. RDKK disahkan oleh penyuluh setempat dan disetujui oleh Dinas Pembina

Teknis tingkat kecamatan.

4. RDKK diajukan kepada SASDU dan SASDU mengkoordinasi pengajuan

kredit untuk masing-masing petani.

5. Setelah kredit cair, SASDU membeli seluruh kebutuhan subsidi terpadu.

6. Kelompok tani dengan membawa uang sesuai dengan kemampuan petani

(dalam RDKK) menebus subsidi terpadu di SASDU.

A.3. Accontability System

1. SASDU akan diawasi oleh pengawas tingkat kabupaten.

2. Pengawas merekap seluruh realisasi penyaluran subsidu terpadu yang

telah dikeluarkan dan melaporkannya secara berjenjang ke tingkat

propinsi, dan tingkat pusat.

4.3. Kebijakan Pendukung

Program subsidi pertanian terpadu akan mengakomodasi kepentingan

petani untuk memperoleh sarana produksi utama (pupuk dan benih) dan modal

kerja dalam bentuk kredit program usahatani. Sarana produksi akan difasilitasi

secara natura, sehingga mampu mengatasi kompleksitas yang terkait dengan

permasalahan ketersediaan, distribusi dan aksesibilitas petani terhadap sarana

produksi utama tersebut. Dalam operasionalnya keberhasilan subsidi pertanian

terpadu ini akan ditentukan oleh format kebijakan makro sektor pertanian, dan

keberhasilan pengembangan agribisnis wilayah.

Dalam konteks makro pembangunan pertanian, keberhasilan subsidi

pertanian terpadu akan sangat ditentukan oleh keterkaitan/dukungan fungsional

sejumlah kebijakan seperti: (a) Kebijakan penciptaan teknoiogi dan penyuluhan

pertanian (R & D); (b) Kebijakan pengembangan pengoiahan dan agro industri;

dan (c) Kebijakan perdagangan dan stabilasi/ proteksi harga produksi. Kebijakan

subsidi pertanian terpadu pada hakekatnya baru bersifat "quasi terpadu",

sehingga tetap membutuhkan kebijakan pendukung tersebut di atas. Ketiga jenis

kebijakan tersebut secara fungsional hams diarahkan untuk mendukung

keberhasilan program subsidi pertanian terpadu tersebut.

Kebijakan R & D diharapkan mampu memperbaiki potensi/kapasitas

produksi dan kemampuan manajemen petani. Hanya dengan perbaikan kapasitas

produksi dan kemampuan manajemen petani yang lebih baik, pemanfaatan

29

sarana produksi dan permodalan akan menjadi lebih efektif, efisien, dan berdaya

guna. Kebijakan pengembangan pengoiahan dan agro industri akan memberikan

nilai tambah bagi pengembangan usahatani, yang pada akhirnya lebih

meningkatkan daya guna sarana produksi dan permodalan petani. Kebijakan

perdagangan yang kondusif dan tingkat harga yang stabil akan meningkatkan

pendapatan petani, yang pada akhirnya memantapkan adopsi teknologi,

penumpukan kapital, dan keberlanjutan produksi usaha pertanian.

Dalam kontek pembangunan pertanian daerah, subsidi pertanian terpadu

ini hams diposisikan daiam konteks pengembangan agribisnis di lapangan. Dalam

pengembangan agribisnis ini terdapat dua komponen penting yang perlu

dikembangkan yaitu inovasi teknologi dan inovasi kelembagaan. Pemanfaatan

sarana produksi utama (pupuk, benih) dan modal sebagai komponen pokok

subsidi di pertanian terpadu pada hakekatnya diarahkan untuk mendukung

inovasi teknologi. Inovasi teknologi ini harus mampu mengatasi permasalahan riil

agribisnis dalam bentuk yield gap pada tingkat on-farm maupun off-farm dalam

pengembangan agribisnis. Disamping mampu mengatasi yield gap, inovasi

teknologi juga harus mampu memperbaiki frontier teknologi, sehingga peluang

peningkatan efektivitas sarana produksi dan modal semakin terbuka.

Inovasi teknologi merupakan syarat keharusan (necessary condition)

dalam pengembangan agribisnis, tetapi belum mencukupi. Syarat kecukupannya

(sufficiency condition) adalah inovasi kelembagaan, yang dinilai mampu

menghantarkan inovasi teknologi dalam mewujudkan peningkatan produksi, nilai

tambah dan pendapatan petani. Berbagai jenis kelembagaan agribisnis

pendukung harus direvitalisasi dan dibangun dan secara fungsional harus mampu

mendorong kelembagaan produksi mencapai hasil yang maksimal. Kelembagaan

agribisnis pendukung tersebut mencakup kelembagaan pasar teknologi software,

pasar input, pengolahan/agroindustri, pasar tenaga kerja/mekanisasi, pasar

modal, dan pasar output yang harus dibangun keterkaitan fungsional, khususnya

untuk membangun dan memperkuat kelembagaan produksi. Disamping itu

keterkaitan institusional antar elemen kelembagaan agribisnis ini juga harus

dibangun fair dan adii (profit sharing) untuk menjamin keberlanjutan program

subsidi pertanian terpadu dan pengembangan agribisnis wilayah.

30

V. KELOMPOK SASARAN DAN TAHAPAN PELAKSANAAN

5.1. Kelompok Sasaran

Keberhasilan penerapan subsidi terpadu ini sangat tergantung pada

indentifikasi kelompok sasaran. Seperti diketahui pendekatan Subsidi Terpadu

adalah wilayah pengembangan suatu komoditas. Oleh karena itu, maka yang

menjadi lokasi sasaran pemberian subsidi terpadu ini adalah wilayah

pengembangan suatu komoditas yang menjadi prioritas pemerintah pusat dan

atau daerah. Untuk memudahkan pengelolaan administrasinya, maka wilayah

pengembangan yang menjadi wilayah sasaran pemberian subsidi terpadu hams

berimpit dengan wilayah administrasi misalnya desa atau kecamatan.

Adapun skala wilayah pengembangan tergantung pada komoditasnya, bisa

satu desa, bisa satu kecamatan ataupun beberapa kecamatan. Kelompok

sasaran pemberiaan subsidi terpadu ini adalah seluruh kelompok Tani di Wilayah

Pengembangan komoditas tersebut.

5.2. Keunggulan dan Kelemahan Model Subsidi Terpadu

Dibanding model subsidi parsial, model subsidi terpadu mempunyai

keunggulan sebagai berikut:

1. Tepat sasaran, kebocoran karena disparitas harga dapat ditekan.

2. Menggerakkan secara sinergis kemampuan petani dengan kemampuan

pemerintah, sehingga subsidi yang diberikan bisa lebih rendah.

3. Mampu mengatasi faktor pembatas produksi.

4. Menghindari subsidi ganda.

5. Mencegah over intensification.

6. Mendorong profesionalisme produsen saprodi.

Adapun kelemahan model subsidi terpadu utamanya dalam

pelaksanananya adalah:

1. Pengadministrasian rumit

2. Kebocoran dapat terjadi di tingkat recevieng system

5.3. Tahapan Pelaksanaan

Untuk mewujudkan penerapan model subsidi terpadu, maka diperlukan

beberapa tahapan pelaksanaan sebagai berikut:

1. 2006 : perumusan model operasional Subsidi Terpadu, dilanjutkan

31

dengan uji coba (pilot Proyek) di beberapa lokasi. Evaluasi hasil uji

coba dan redesign model operasional Subsidi Terpadu (hanya

membutuhkan satu tahun karena kita punya pengalaman dengan

KUT/KKP)

2. 2007 : Penyiapan infrastruktur pelaksanaan subsidi terpadu

termasuk sistem managemen dan organisasinya, berikut sosialisasinya.

3. 2008 : Penerapan sistem Subsidi Terpadu secara massal.

32

Mekanisme Penyaluran dan Penebusan Pupuk Bersubsidi secara Kredit. Delivery System 1. Satu tahun (n-1) sebelum pelaksanaan subsidi, pemerintah Daerah melalui SASDU/Dinas Teknis Pembina tingkat kabupaten/kota bersama dengan, produsen saprodi, Bank Pelaksana Kredit Subsidi, penyuluh, kelompok tani merencanakan us'ulan kebutuhan subsidi terpadu per musim tanam selama satu tahun kepada SASDU secara berjenjang (SASDU Propinsi dan SASDU Pusat). 2. SASDU PUSAT/ Menteri Pertanian menetapkan besaran subsidi terpadu sesuai dengan kemampuan dana pemerintah dan ketersediaan sarana produksi. 3. Penyaluran dan penggunaan paket subsidi terpadu ditingkat kabupaten/kota dikukuhkan oleh Bupati/Walikota. 4. Produsen sarana produksi dan Bank Pelaksana menyiapkan stok sarana produksi dan kredit sesuai dengan SK Bupati/Walikota. 5. SASDU tingkat kecamatan bertindak sebagai penyalur subsidi terpadu. Receiving System 6. Petani secara berkelompok difasilitasi oleh penyuluh dan petugas Dinas Teknis Pembina tingkat kecamatan menyusun RDKK untuk satu tahun dirinci per musim. RDKK benar-benar harus mencerminkan kebutuhan riil saprodi dan modal dengan luasan dan dosis

yang dianjurkan: RDKK berisi : (a) Kebutuhan riil sarana produksi dan modal kerjasesuai dengan harga pasar. (b) Nilai kemampuan petani menebus kebutuhan riil (c) Nilai subsidi yang diberikan pemerintah (d) Nilai kredit yang dibutuhkan petani Selanjutnya RDKK tersebut disahkan oleh penyuluh setempat dan disetujui oleh Dinas Pembina Teknis tingkat kecamatan. 7. Kelompok tani dengan dasar RDKK mengajukan permohonan subsidi terpadu kepada SASDU. Selanjutnya SASDU mengkoordinasi pengajuan kredit untuk masing-masing petani apabila ada kelebihan permohonan dari pagu subsdi. 8. Setelah kredit cair, SASDU membeli seluruh kebutuhan subsidi terpadu 9. Kelompok tani dengan membawa uang sesuai dengan kemampuan petani (dalam RDKK) menebus subsidi terpadu di SASDU. 10. Bank menagih kepada kredit kepada kelompok tani dibantu oleh SASDU. Accontability System 11. Mengawasi penyaluran subsidi sesuai RDKK. 12. Merekap realisasi RDKK 13. Melaporkan realisasi RDKK secara berjengjang.

Gambar 1. Penyaluran dan Penebusan Subsidi Terpadu

33

DAFTAR PUSTAKA

Hafsah, M.J. dan T. Sudaryanto. 2004. Sejarah Intensifikasi Padi dan Prospek

Pengembangannya. Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. (Ed. F. Kasryno, et.ai.,

2004). Badan Litbang Pertanian, Jakarta.

Hermanto. 1992. Keragaan Penyaluran Kredit Pertanian: Suatu Analisis Data Makro.

Perkembangan Perkreditan Pertanian di Indonesia (Ed. A.H. Taryoto, 1992).

Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Nurmanaf, A.R., I W. Rusastra, V. Darwis, Y. Marisa, dan J. Situmorang. 2003.

Evaluasi Sistem Distribusi Benih dan Pupuk dalam Mendukung

Ketersediaan dan Stabilisasi Harga di Tingkat Petani. Pusat Litbang Sosek

Pertanian, Bogor.

PSEKP. 2005. Justifikasi Subsidi Benih. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan

Kebijakan Pertanian. Badan Litbang Pertanian, Bogor.

Simatupang, P. dan I W. Rusastra. 2004. Kebijakan Ekonomi Perberasan

Nasional. Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. (Ed. F. Kasryno, et.al., 2004).

Badan Litbang Pertanian, Jakarta.

Simatupang, P. 2004. Kembalikan Subsidi Pupuk kepada Petani. Kompas, 19 Mei 2004.

Jakarta.

Soentoro, Supriyati, dan E. Jama!. 1992. Sejarah Perkreditan Subsektor Tanaman

Pangan. Perkembangan Perkreditan Pertanian di Indonesia (Ed. A.H. Taryoto,

1992). Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Sudaryanto, T., N. Syafa'at, K. Kariyasa, Syahyuti, Azhari, dan M. Maulana. 2005.

Pandangan Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Terhadap

Kinerja Kebijakan Subsidi Pupuk Selama Ini dan Perbaikannya Ke Depan.

PSEKP, Badan Litbang Pertanian, Bogor.

Sumaryanto. 1992. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keputusan Petani untuk

Meminjam Kredit Usahatani. Perkembangan Perkreditan Pertanian di Indonesia

(Ed. A.H. Taryoto, 1992). Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Tampubolon, S.M.H. 2000. Arah Kebijakan Program Diversifikasi Pangan dalam

Mengurangi Ketergantungan pada Beras: Aspek Produksi dan Penawaran.

Pertanian dan Pangan (Ed. R. Wibowo). Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Waluyo dan A. Djauhari. 1992. Kendala Penyaluran dan Pengembalian Kredit

Usahatani. Perkembangan Perkreditan Pertanian di Indonesia (Ed. A.H. Taryoto,

1992). Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.