Model Pengembangan Perangkat

45
Model Pengembangan Perangkat Pembelajaran Posted on 16 August 2008 by Andy Andi Rusdi Pengembangan perangkat pembelajaran adalah serangkaian proses atau kegiatan yang dilakukan untuk menghasilkan suatu perangkat pembelajaran berdasarkan teori pengembangan yang telah ada. Menurut van den Akker dan Plomp (Hadi, 2001: 4) mendeskripsikan penelitian pengembangan berdasarkan dua tujuan yaitu (1) pengembangan untuk mendapatkan prototipe produk, (2) perumusan saran-saran metodologis untuk pendesainan dan evaluasi prototipe tersebut. Richey and Nelson (Hadi, 2001: 4) mendefiniskan Penelitian pengembangan sebagai suatu pengkajian sistematis terhadap pendesainan, pengembangan dan evaluasi program, proses dan produk pembelajaran yang harus memenuhi kriteria validitas, praktikalitas dan efektivitas. Suatu produk atau program dikatakan valid apabila ia merefleksikan jiwa pengetahuan (state-of-the-art knowledge). Ini yang kita sebut sebagai validitas isi; sementara itu komponen-komponen produk tersebut harus konsisten satu sama lain (validitas konstruk). Selanjutnya suatu produk dikatakan praktikal apabila produk tersebut menganggap bahwa ia dapat digunakan (usable). Kemudian suatu produk dikatakan efektif apabila ia memberikan hasil sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan oleh pengembang. Berikut akan diuraikan model-model pengembangan dari berbagai ahli sebagai berikut:

Transcript of Model Pengembangan Perangkat

Page 1: Model Pengembangan Perangkat

Model Pengembangan Perangkat   Pembelajaran

Posted on 16 August 2008 by Andy

Andi Rusdi

Pengembangan perangkat pembelajaran adalah serangkaian proses atau kegiatan yang dilakukan untuk menghasilkan suatu perangkat pembelajaran berdasarkan teori pengembangan yang telah ada.

Menurut van den Akker dan Plomp (Hadi, 2001: 4) mendeskripsikan penelitian pengembangan berdasarkan dua tujuan yaitu (1) pengembangan untuk mendapatkan prototipe produk, (2) perumusan saran-saran metodologis untuk pendesainan dan evaluasi prototipe tersebut.

Richey and Nelson (Hadi, 2001: 4) mendefiniskan Penelitian pengembangan sebagai suatu pengkajian sistematis terhadap pendesainan, pengembangan dan evaluasi program, proses dan produk pembelajaran yang harus memenuhi kriteria validitas, praktikalitas dan efektivitas.

Suatu produk atau program dikatakan valid apabila ia merefleksikan jiwa pengetahuan (state-of-the-art knowledge). Ini yang kita sebut sebagai validitas isi; sementara itu komponen-komponen produk tersebut harus konsisten satu sama lain (validitas konstruk). Selanjutnya suatu produk dikatakan praktikal apabila produk tersebut menganggap bahwa ia dapat digunakan (usable). Kemudian suatu produk dikatakan efektif apabila ia memberikan hasil sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan oleh pengembang.

Berikut akan diuraikan model-model pengembangan dari berbagai ahli sebagai berikut:

a.      Model Pengembangan Perangkat menurut Kemp

Menurut Kemp (dalam, Trianto, 2007: 53) Pengembangan perangkat merupakan suatu lingkaran yang kontinum. Tiap-tiap langkah pengembangan berhubungan langsung dengan aktivitas revisi. Pengembangan perangkat ini dimulai dari titik manapun sesuai di dalam siklus tersebut.

Pengembangan perangkat model Kemp memberi kesempatan kepada para pengembang untuk dapat memulai dari komponen manapun. Namun karena kurikulum yang berlaku secara nasional di Indonesia dan berorientasi pada tujuan, maka seyogyanya proses pengembangan itu dimulai dari tujuan.

Secara umum model pengembangan model Kemp ditunjukkan pada gambar  berikut:

Page 2: Model Pengembangan Perangkat

Gambar 2.

Model pengembangan sistem pembelajaran ini memuat pengembangan perangkat pembelajaran. Terdapat sepuluh unsur rencana perancangan pembelajaran. Kesepuluh unsur tersebut adalah:

1. Identifikasi masalah pembelajaran, tujuan dari tahapan ini adalah mengidentifikasi antara tujuan menurut kurikulum yang berlaku dengan fakta yang terjadi di lapangan baik yang menyangkut model, pendekatan, metode, teknik maupun strategi yang digunakan guru.

2. Analisis Siswa, analisis ini dilakukan untuk mengetahui tingkah laku awal dan karateristik siswa yang meliputi ciri, kemampuan dan pengalaan baik individu maupun kelompok.

3. Analisis Tugas, analisis ini adalah kumpulan prosedur untuk menentukan isi suatu pengajaran, analisis konsep, analisis pemrosesan informasi, dan analisis prosedural yang digunakan untuk memudahkan pemahaman dan penguasaan tentang tugas-tugas belajar dan tujuan pembelajaran yang dituangkan dalam bentuk Rencana Program Pembelajaran (RPP) dan lembar kegiatan siswa (LKS)

4. Merumuskan Indikator,  Analisis ini berfungsi sebagai (a) alat untuk mendesain kegiatan pembelajaran, (b) kerangka kerja dalam

Page 3: Model Pengembangan Perangkat

merencanakan mengevaluasi hasil belajar siswa, dan (c) panduan siswa dalam belajar.

5. Penyusunan Instrumen Evaluasi,  Bertujuan untuk  menilai hasil belajar, kriteria  penilaian yang digunakan adalah penilaian acuan patokan, hal ini dimaksudkan untuk mengukur ketuntasan pencapaian kompetensi dasar yang telah dirumuskan.

6. Strategi Pembelajaran,  Pada tahap  ini pemilihan strategi belajar mengajar yang sesuai dengan tujuan. Kegiatan ini meliputi: pemilihan model, pendekatan, metode, pemilihan format, yang dipandang mampu memberikan  pengalaman yang berguna untuk mencapai tujuan pembelajaran.

7. Pemilihan media atau sumber belajar,  Keberhasilan pembelajaran sangat tergantung pada penggunaan sumber pembelajaran atau media yang dipilih, jika sumber-sumber pembelajaran dipilih dan disiapkan dengan hati-hati, maka dapat memenuhi tujuan pembelajaran.

8. Merinci pelayanan penunjang yang diperlukan untuk mengembangkan dan melaksanakan dan melaksanakan semua kegiatan dan untuk memperoleh atau membuat bahan.

9. Menyiapkan evaluasi hasil belajar dan hasil program.10. Melakukan kegiatan revisi perangkat pembelajaran, setiap langkah

rancangan pembelajaran selalu dihubungkan dengan revisi. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengevaluasi dan memperbaiki rancangan yang dibuat.

b.    Model Pengembangan Pembelajaran Menurut Dick & Carey

Perancangan pengajaran menurut sistem pendekatan model Dick & Cerey, yang dikembangkan oleh Walter Dick & Lou Carey (dalam, Trianto, 2007: 61). Model pengembangan ini ada kemiripan dengan model yang dikembangkan Kemp, tetapi ditambah dengan komponen melaksanakan analisis pembelajaran, terdapat beberapa komponen yang akan dilewati di dalam proses pengembangan dan perencanaan tersebut. Urutan perencanaan dan pengembangan ditunjukkan pada gambar 4 berikut:

Page 4: Model Pengembangan Perangkat

Gambar2. Model Perancangan dan Pengembangan Pengajaran Menurut Dick & Carey (dalam Trianto, 2007a: 62)

Dari model di atas dapat digambarkan sebagai berikut:

1. Identifikasi Tujuan (Identity Instruyctional Goals). Tahap awal model ini adalah menentukan apa yang diinginkan agar siswan dapat melakukannya ketika mereka telah menyelesaikan program pengajaran. Definisi tujuan pengajaran mungkin mengacu pada kurikulum tertentu atau mungkin juga berasal dari daftar tujuan sebagai hasil need assesment.,  atau dari pengalaman praktek dengan kesulitan belajar siswa di dalam kelas.

2. Melakukan Analisis Instruksional (Conducting a goal Analysis). Setelah mengidentifikasi tujuan pembelajaran, maka akan ditentukan apa tipe belajar yang dibutuhkan siswa. Tujuan yang dianalisis untuk mengidentifikasi keterampilan yang lebih khusus lagi yang harus dipelajari. Analisis ini akan menghasilkan carta atau diagram tentang keterampilan-keterampilan/ konsep dan menunjukkan keterkaitan antara keterampilan konsep tersebut.

3. Mengidentifikasi Tingkah Laku Awal/ Karakteristik Siswa (Identity Entry Behaviours, Characteristic) Ketika melakukan analisis terhadap keterampilan-keterampilan yang perlu dilatihkan dan tahapan prosedur

Page 5: Model Pengembangan Perangkat

yang perlu dilewati, juga harus dipertimbangkan keterampilan apa yang telah dimiliki siswa saat mulai mengikuti pengajaran. Yang penting juga untuk diidentifikasi adalah karakteristik khusus siswa yang mungkin ada hubungannya dengan rancangan aktivitas-aktivitas pengajaran

4. Merumuskan Tujuan Kinerja (Write Performance Objectives) Berdasarkan analisis instruksional dan pernyataan tentang tingkah laku awal siswa, selanjutnya akan dirumuskan pernyataan khusus tentang apa yang harus dilakukan siswa setelah menyelesaikan pembelajaran.

5. Pengembangan Tes Acuan Patokan (developing criterian-referenced test items). Pengembangan Tes Acuan Patokan didasarkan pada tujuan yang telah dirumuskan, pengebangan butir assesmen untuk mengukur kemampuan siswa seperti yang diperkirakan dalam tujuan

6. Pengembangan strategi Pengajaran (develop instructional strategy). Informasi dari lima tahap sebelumnya, maka selanjutnya akan mengidentifikasi yang akan digunakan untuk mencapai tujuan akhir. Strategi akan meliputi aktivitas preinstruksional, penyampaian informasi, praktek dan balikan, testing, yang dilakukan lewat aktivitas.

7. Pengembangan atau Memilih Pengajaran (develop and select instructional materials). Tahap ini akan digunakan strategi pengajaran untuk menghasilkan pengajaran yang meliputi petunjuk untuk siswa, bahan pelajaran, tes dan panduan guru.

8. Merancang dan Melaksanakan Evaluasi Formatif (design and conduct formative evaluation). Evaluasi dilakukan untuk mengumpulkan data yang akan digunakan untuk mengidentifikasi bagaimana meningkatkan pengajaran.

9. Menulis Perangkat (design and conduct summative evaluation). Hasil-hasil pada tahap di atas dijadikan dasar untuk menulis perangkat yang dibutuhkan. Hasil perangkat selanjutnya divalidasi dan diujicobakan di kelas/ diimplementasikan di kelas.

10. Revisi Pengajaran (instructional revitions). Tahap ini mengulangi siklus pengembangan perangkat pengajaran. Data dari evaluasi sumatif yang telah dilakukan pada tahap sebelumnya diringkas dan dianalisis serta diinterpretasikan untuk diidentifikasi kesulitan yang dialami oleh siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran. Begitu pula masukan dari hasil implementasi dari pakar/validator.

c.    Model Pengembangan 4-D

Model pengembangan 4-D (Four D) merupakan model pengembangan perangkat pembelajaran. Model ini dikembangkan oleh S. Thagarajan, Dorothy S. Semmel, dan Melvyn I. Semmel. Model pengembangan 4D terdiri atas 4 tahap utama yaitu: (1) Define (Pembatasan), (2) Design (Perancangan), (3) Develop (Pengembangan) dan Disseminate (Penyebaran), atau diadaptasi Model 4-P, yaitu Pendefinisian, Perancangan, Pengembangan, dan Penyebaran seperti pada gambar 5 berikut:

Page 6: Model Pengembangan Perangkat

Gambar 3. Model Pengembangan Perangkat Pembelajaran 4-D Thigarajan (Trianto, 2007a: 66)

Secara garis besar keempat tahap tersebut sebagai berikut (Trianto, 2007 : 65 – 68).

1. Tahap Pendefinisian (define). Tujuan tahap ini adalah menentapkan dan mendefinisikan syarat-syarat pembelajaran di awali dengan analisis tujuan dari batasan materi yang dikembangkan perangkatnya. Tahap ini meliputi 5 langkah pokok, yaitu: (a) Analisis ujung depan, (b) Analisis siswa, (c) Analisis tugas. (d) Analisis konsep, dan (e) Perumusan tujuan pembelajaran.

2. Tahap Perencanaan (Design ). Tujuan tahap ini adalah menyiapkan prototipe perangkat pembelajaran. Tahap ini terdiri dari empat langkah yaitu, (a) Penyusunan tes acuan patokan, merupakan langkah awal yang menghubungkan antara tahap define dan tahap design. Tes disusun

Page 7: Model Pengembangan Perangkat

berdasarkan hasil perumusan Tujuan Pembelajaran Khusus (Kompetensi Dasar dalam kurikukum KTSP). Tes ini merupakan suatu alat mengukur terjadinya perubahan tingkah laku pada diri siswa setelah kegiatan belajar mengajar, (b) Pemilihan media yang sesuai tujuan, untuk menyampaikan materi pelajaran, (c) Pemilihan format. Di dalam pemilihan format ini misalnya dapat dilakukan dengan mengkaji format-format perangkat yang sudah ada dan yang dikembangkan di negara-negara yang lebih maju.

3. Tahap Pengembangan (Develop). Tujuan tahap ini adalah untuk menghasilkan perangkat pembelajaran yang sudah direvisi berdasarkan masukan dari pakar. Tahap ini meliputi: (a) validasi perangkat oleh para pakar diikuti dengan revisi, (b) simulasi yaitu kegiatan mengoperasionalkan rencana pengajaran, dan (c) uji coba terbatas dengan siswa yang sesungguhnya. Hasil tahap (b) dan (c) digunakan sebagai dasar revisi. Langkah berikutnya adalah uji coba lebih lanjut dengan siswa yang sesuai dengan kelas sesungguhnya.

4. Tahap penyebaran (Disseminate). Pada tahap ini merupakan tahap penggunaan perangkat yang telah dikembangkan pada skala yang lebih luas misalnya di kelas lain, di sekolah lain, oleh guru yang lain. Tujuan lain adalah untuk menguji efektivitas penggunaan perangkat di dalam KBM.

d.    Model PPSI (Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional)

Model pengembangan PPSI dilakukan untuk rancangan pembelajaran sebagaimana bagan berikut:

Page 8: Model Pengembangan Perangkat

Gambar  8. Model pengembangan PPSI     (Mudhofir dalam Sasongko, 2004:57)Secara garis besar, model pengembangan PPSI mengikuti pola dan siklus pengembangan yang mencakup: (1) perumusan tujuan, (2) pengembangan alat evaluasi, (3) kegiatan belajar, (4) pengembangan program kegiatan, (5) pelaksanaan pengembangan. Sesuai bagan di atas, perumusan tujuan menjadi dasar bagi penentuan alat evaluasi pembelajaran dan rumusan kegiatan belajar. Rumusan kegiatan belajar lebih lanjut menjadi dasar pengembangan program kegiatan, yang selanjutnya adalah pelaksanaan pengembangan. Hasil pelaksanaan tentunya dievaluasi, dan selanjutnya hasil evaluasi digunakan untuk merevisi pengembangan program kegiatan, rumusan kegiatan belajar, dan alat  evaluasi.

Dari ketiga model pengembangan sistem pembelajaran dan satu model pengembangan perangkat pembelajaran yang telah dibahas, menunjukkan bahwa keempatnya memiliki beberapa perbedaan, namun juga memiliki persamaan. Justru dengan adanya perbedaan itu menyebabkan masing-masing  memiliki kelebihan dan kekurangan.

Persamaan dari keempat model tersebut antara lain bahwa pada dasarnya ketiganya terdiri atas empat tahap pengembangan, yaitu: (a) pendefinisian,  (b) perancangan, (c) pengembangan dan (d) penyebaran.Kelebihan dari model Kemp antara lain: (a) Diagram pengembangannya berbentuk bulat telur yang tidak memiliki titik awal tertentu, sehingga dapat

Page 9: Model Pengembangan Perangkat

memulai perancangan secara bebas, (b) Bentuk bulat telur itu juga menunjukkan adanya saling ketergantungan di antara unsur-unsur yang terlibat, (c) Dalam setiap unsur ada kemungkinan untuk dilakukan revisi, sehingga memungkinkan terjadinya sejumlah perubahan dari segi isi maupun perlakuan terhadap semua unsur tersebut selama pelaksanaan program.

Keunggulan model Dick dan Carey ini terletak pada analisis tugas yang tersusun secara terperinci dan tujuan pembelajaran khusus secara hirarkis. Disamping itu adanya uji coba yang berulang kali menyebabkan hasil yang diperoleh sistem dapat diandalkan.

Kelemahan model ini adalah  uji coba tidak diuraikan secara jelas kapan harus dilakukan dan kegiatan revisi baru dilaksanakan setelah diadakan tes formatif. Sedangkan pada tahap-tahap pengembangan tes hasil belajar, strategi pembelajaran maupun pada pengembangan dan penilaian bahan pembelajaran tidak nampak secara jelas ada tidaknya penilaian pakar (validasi)

Kelebihan dari model 4-D dan PPSI antara lain: (a) lebih tepat digunakan sebagai dasar untuk mengembangkan perangkat pembelajaran bukan untuk mengembangkan sistem pembelajaran, (b) uraiannya tampak lebih lengkap dan sistematis, (c) dalam pengembangannya melibatkan penilaian ahli, sehingga sebelum dilakukan uji coba di lapangan perangkat pembelajaran telah dilakukan revisi berdasarkan penilaian, saran dan masukan para ahli.

Kekurangan model Kemp bila dibandingkan dengan model 4-D antara lain: (1)  Kedua  model  itu  merupakan  pengembangan  sistem  pembelajaran, (2) kedua model itu kurang lengkap dan kurang sistematis, terutama model Kemp dan (3) kedua model itu tidak melibatkan penilaian ahli, sehingga ada kemungkinan perangkat pembelajaran yang dilaksanakan terdapat kesalahan.

Namun demikian pada model 4-D ini juga terdapat kekurangan, salah satunya adalah tidak ada kejelasan mana yang harus didahulukan antara analisis konsep dan analisis tugas.

Modifikasi dilakukan antara lain dengan cara: (a)  Memperjelas urutan kegiatan yang semula tidak jelas urutannya,  (b) Mengganti istilah yang memiliki jangkauan lebih luas dan biasa digunakan oleh guru di lapangan, (c) Menambahkan kegiatan yang dianggap perlu dalam pengembangan perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian yang akan dilakukan, (d) Mengurangi tahap atau kegiatan yang dianggap tidak perlu.

Daftar Pustaka:

Trianto. 2007. Model Pembelajaran Terpadu dalam Teori dan Praktek. Surabaya: Pustaka Ilmu

Page 10: Model Pengembangan Perangkat

Trianto. 2007. Model Pembelajaean Inovatif Berorientasi Konstrutivistik. Surabaya: Pustaka Ilmu

Sasongko. Luddy Bambang. 2004. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD Pada Materi Relasi dan Grafik di Kelas 2 SMP. Tesis tidak diterbitkan. Surabaya: PPs. Unesa

MODEL PENGEMBANGAN SISTEM   INTRUKSIONAL

A. MODEL PENGEMBANGAN SISTEM INTRUKSIONAL

Pengembangan sistem intruksional ialah proses menciptakan situasi dan kondisi

tertentu yang memungkinkan siswa berinteraksi sehingga terjadi perubahan

perilaku pengembangan sistem ini memerlukan pemantauan interaksi siswa.

Pengembangan senantiasa didasarkan pada pengalaman. Pengamatan yang

sesama dan percobaan yang terkendali.

Ada dua proses pengembangan, pertama ialah pendekatan secara empiris yang

menggunakan dasar-dasar teori, bahan pengajaran disusun berdasarkan

pengalaman pengembang. Pendekatan kedua ialah dengan pendekatan model.

Dalam penyusunan rancangan pengajaran ada langkah-langkah secara sistem :

cara mencapainya dipilihkan cara-cara tertentu, kondisi tertentu, dan perubahan

tertentu. Hasil uji coba memberi informasi tertentu yang dapat dijadikan bahan

penilaian perihal tingkat kesulitan suatu program.

Model ialah seperangkat prosedur yang berurutan untuk mewujudkan suatu

proses melaksanakan pengembangan sistem pengajaran seperti penentuan

suatu kebutuhan.

Ada beberapa model pengembangan intruksional :

1. Model Bella Banathy

Page 11: Model Pengembangan Perangkat

Model ini ada 6 langkah :

1.Merumuskan tujuan

2.Mengembangkan test

3.Menganalisis kegiatan belajar

4.Mendesain sistem intruksioanal

5.Melaksanakan kegiatan dan mengetes hasil

6.Mengadakan perbaikan

2. Model Kemp

Langkah-langkahnya :

1. Penetuan Tujuan Intruksional Umum (TIU)

2. Menganalisis Karakteristik siswa

3. Menentukan Tujuan Itruksioanal Khusus (TIK)

4. Mnenetukan materi pelajaran yang sesuai dengan TIK yang ditetapkan

5. Mengadakan penjajakan awal

6. Menentukan starategi belajar yang relevan : Efisiensi, keefektifan,

ekonomis, kepraktisan

7. Mengkoordinasikan sarana penunjang yang dibutuhkan : Biaya, fasilitas,

peralatan, waktu dan tenaga.

8. Mengadakan evaluasi

3. Model IDI (Intruksional Development Institute)

Page 12: Model Pengembangan Perangkat

Langkah-langkahnya :

1. Pembatasan : Ada 3 hal yang perlu dipertimbangkan : Karakteristik Siswa,

Kondisi, Sumber-sumber yang relevan

2. Pengembangan : Tujuan yang hendak dicapai, TIK merupakan penjabaran

yang lebih rinci dibandingkan dengan TIU. Ini karena TIK : Dapat

memehami secara jelas, Building block dari pengajaran yang diberikan,

sebagai penenda tingkah laku yang harus diperhatikan

3. Penilaian.

4. Model PPSI

Langkah-langkahnya :

1. Perumusan Tujuan, ialah tujuan yang berbentuk tingkah laku atau

kemampuan yang diharapkan dapat dimiliki siswa setelah proses belajar

mengajar. Disini ada dua tujuan TIU dan TIK.

2. Menyusun alat evaluasi

3. Menentukan kegiatan belajar dan materi

4. Menetapkan program kegiatan

5. melaksanakan program

B. PRINSIP-PRINSIP PENGAJARAN

Konsep Belajar dan Mengajar, belajar mempunyai pengertian menurut psikologis

adalah proses perubahan atau usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh

suatu perubahan tingkah laku atau penampilan yang baru secara keseluruhan.

Mengajar adalah suatu aktifitas mengorganisasi atau mengatur lingkungan

sebaik-baiknya dan menghubungkan anak.

Menurut Bloom status abilitas ada 3 :

Page 13: Model Pengembangan Perangkat

a. kognitif Domain : Knowledge, Conprehension, Analysis, Synthesis,

Evaluation, application.

b. Affektive Domain : Receiving, Responding, Valving, Organization,

Characteriszation.

c. Psychomotor Domain : Initiatori Level, Pre-routine Level, Rountizet Level.

Tujuan belajar ada 3 : Untuk mendapatkan pengetahuan, Peranan konsep dan

keterampilan, pembentukan sikap.

Jenis-jenis Proses belajar

1.Belajar bagian (part learning, fractioned learning)

2.Belajar dengan wawasan

3.Belajar diskriminatif

4.Belajar global

5.Belajar insedental

6.Belajar instrumental

7.Belajar intensional

8.Belajar laten

9.Belajar Mental

10. Belajar produktif

11. Belajar verbal

Adapun hasil pengajaran itu dikatakan baik, bila proses tersebut dapat

membangkitkan kegiatan belajar yang efektif. Dan juga punya ciri-ciri :

Page 14: Model Pengembangan Perangkat

a.Hasil itu bertahan lama dapat digunakan oleh siswa dalam kehidupannya.

b.Hasil itu merupakan pengetahuan asli/otentik.

Belajar pada hakikatnya menyangkut potensi manusia dan kelakuannya,

memerlukan proses dan pentahapan serta kematangan diri pada siswa, belajar

itu proses kontinyu, belajar akan lebih mantap dan efektif bila didorong oleh

motivasi terutama motivasi dari dalam, belajar adalah proses organisasi, adaftasi,

eksplorasi, dan discovery, belajar memerlukan sarana yang cukup, sehingga

siswa dapat belajar dengan tenang, belajar perlu interaksi siswa dengan

lingkungannya. Dalam banyak hal belajar merupakan proses percobaan dan

conditioning atau pembiasaan.

C. Satuan Pelajaran

Satuan pelajaran adalah rencana pelajaran yang meliputi periode pengajaran

yang melebihi satu pelajaran; biasanya satu minggu atau lebih. Kompetensi yang

diharus dimiliki atau dikuasai oleh siswa tersebut berupa tujuan yang termasuk

kawasan kognitif, affektif, dan psikomotor.

Hubungan Prosedur Pengembangan Sistem Intruksional) adalah suatu cara atau

langkah-langkah yang harus ditempuh didalam mengembangkan program

pengajaran. Dan Satpel adalah program pengajaran itu sendiri. Satpel terdiri dari

beberapa komponen :

Merumuskan tujuan intruksional khusus

Mengembangkan alat penilaian

Menetapkan kegiatan belajar/materi pelajaran

Merencanakan program kegiatan

Pelaksanaan program di kelas setelah terbentuk suatu satuan pelajaran.

Kerangka Satpel terdiri dari :

Page 15: Model Pengembangan Perangkat

Merupakan bagian-bagian yang menunjukkan ciri-ciri atau pengenalan

(identitas) dari Satpel, yang meliputi : nomor satuan pelajaran, bidang

studi, sub bidang studi, satuan bahasan, kelas, caturwulan, waktu,

banyaknya/jumlah pertemuan.

Komponen-komponen yang membentuk satuan pelajaran sebagai suatu

sistem : Tujuan Intruksional Khusus, kegiatan belajar mengajar, penilaian.

Tujuan Intruksional Umum diambil dari rumusan GBPP yang dipakai guru

sebagai pedoman mengajar. Sedangkan rumusan TIK merupakan

penjabaran dari TIU.

Dalam penyusunan TIK perlu diperhatikan agar terbentuk keseimbangan antara

aspek ingatan, pemahaman, dan aplikasi. Bahkan TIK dititik beratkan pada

pemahaman aplikasi/keterampilan.

Contoh satpel yang dikembangkan dari program alokasi waktu dengan pola 6

komponen

SATUAN PELAJARAN

Nomor : 1

1. Bidang studi : Pendidikan Agama Islam

2. Satuan bahasan : 1.1 Bimbingan Shalat lima waktu

(Arti dan nama-nama shalat lima waktu)

3. Kelas : III (Tiga)

4. Cawu : 1 (satu)

5. Waktu : 2 x 40 menit

6. Pertemuan : 1x pertemuan

I. TUJUAN INTRUKSIONAL UMUM (TIU)

1. Siswa mampu mempraktekkan gerakan dan bacaan shalat serta mengetahui ketentuan-ketentuannya melalui pengamatan,penerapan, klasifikasi, dan komunikasi.

II. TUJUAN INTRUKSIONAL KHUSUS (TIK)

Page 16: Model Pengembangan Perangkat

1. Setelah mendengar penjelasan dari guru murid dapat menyebutkan arti shalat fardhu.

2. Setelah mendapat informasi dan pengarahan guru, melalui kerjasama kelompok, murid dapat :

A. Menuliskan nama-nama shalat lima waktu secara berurutan.B. Melukiskan shalat lima waktu secara berurutan dengan menggunakan gambar jam.C. Menghitung banyaknya rakaat pada setiap shalat lima waktu.

III. MATERI PELAJARAN

Bimibingan shalat lima waktu:

Arti shalat lima waktu

Nama-nama shalat lima waktu

Waktu-waktu shalat lima waktu

Rakaat-rakaat shalat lima waktu

IV. KEGIATAN BELAJAR MENGAJAR

1. Pendekatan dan methode

a) Pendekatan : keterampilan proses

b) Metde : – Tanya jawab

- Penugasan

c) Strategi : CBSA

2. Pokok-pokok kegiatan (langkah-langkah pelaksanaan)

a. 15 menit :

Mengingat kembali pelajaran kelas I dan II tentang hafalan-hafalan surat al Qur’an dan wudhu dalam kaitannya dengan shalat melalui tanya jawab.

Melalui tanya jawab murid mendengarkan keterangan guru tentang arti shalat fardhu.

Murid mendengarkan informasi dan pengarahan guru mengenai pengerjaan lembar kerjaan.

b. 25 menit :

Murid mengerjakan tugas dengan acuan lembar kerja dalam kelompk-kelompok kecil

Page 17: Model Pengembangan Perangkat

Mengumpulkan hasil tugas kelompok.

c. 25 menit :

Kelompok dengan kelompok melalui juru bicara masing-masing dan saling tukar info mengenai temuannya.

Mulai tanya jawab,guru membimbing sehingga menemukan dan menyimpulkan hasil belajar yang diharapkan.

Murid mencatat,memperbaiki dan atau memantapkan hasilnya.

d. 15 menit :

Murid mencatat kesimpulan yang benar setelah menjawab tes lisan maupun tulisan Murid mencatat/menyalin lembar tugas rumah untuk umpan balik.

3. Lembar kerja dan lembar tugas rumah untuk umpan balik.

V. ALAT/SUMBER PELAJARAN

1. Alat : lima buah jam tiruan untuk menunjukkan waktu.

2. Sumber : Buku PAI SD, jilid 3a, Drs. Syarief Ali cs, Erlangga, Jakarta, 1990, hal I

Buku PAI SD, jilid 3a, Tarmizi S, dkk. La Tansa, Jakarta, 1989, hal I

VI. PENILAIAN

1. Prosedur, tes awal ,tes akhir, lembar pengamatan

2. soal dan lembar pengamatan terlampir.

A. Karakteristik PAI

Ciri-ciri umum pendidikan agama islam : tujuan Pendidikan Agama Islam yaitu menghambakan diri kepada Allah untuk keridhaan-Nya. Sumber pokok dan kandungannya adalah al Qur’an dan al Hadist. Kandungannya : mengandung hukum halal dan haram, suruhan dan perintah yang mesti atau yang dianjurkan. Bersangkutan dengan akidah atau kepercayaan, bersangkutan dengan cerita-cerita zaman dahulu. Kebudayaan islam dan ajaran islam. Sifat-sifat pengajaran agama islam yang meliputi pengetahuan agama islam dan sejarah islam.

Unsur strategi pengembangan agama islam : konsep agama islam yang luas, panggila islam sebagai tugas suci, berpusat pada tauhid, berpangkal pada pengendalian diri. Nilai-nilai pengajaran agama islam : nilai material,formal, fungsional, essensial. Ciri-ciri khusus pendidikan agama islam : landasan, arti dan tujuan pendidikan agama islam yaitu UU No 2 Tahun 1989. pendidikan agama islam di Sekolah Dasar adalah GBPP, pendidikan agama islam di madrasah Ibtidaiyah SK meneg No 99 tahun 1984. Kriiteria isi bahan pengajaran, sumber-sumber bahan pengajaran dan penerapan pendekatan keteramplan proses.

Page 18: Model Pengembangan Perangkat

Teori Belajar KonstruktivismePosted on 20 Agustus 2008 by AKHMAD SUDRAJAT

Oleh: Hamzah*)

A. Hakikat Anak Menurut Pandangan Teori Belajar Konstruktivisme

Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan

teori belajar konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget. Teori ini biasa

juga disebut teori perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif. Teori

belajar tersebut berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas dalam

tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap perkembangan

intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu dalam mengkonstruksi ilmu

pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensori motor anak berpikir melalui gerakan atau

perbuatan (Ruseffendi, 1988: 132).

Selanjutnya, Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar, 1989: 159)

menegaskan bahwa pengetahuan tersebut dibangun dalam pikiran anak melalui asimilasi

dan akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan,

akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru,

sehingga informasi tersebut mempunyai tempat (Ruseffendi 1988: 133). Pengertian

tentang akomodasi yang lain adalah proses mental yang meliputi pembentukan skema

baru yang cocok dengan ransangan baru atau memodifikasi skema yang sudah ada

sehingga cocok dengan rangsangan itu (Suparno, 1996: 7).

Lebih jauh Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh

seseorang, melainkan melalui tindakan. Bahkan, perkembangan kognitif anak bergantung

pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya.

Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses berkesinambungan

tentang keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan keseimbangan (Poedjiadi, 1999: 61).

Dari pandangan Piaget tentang tahap perkembangan kognitif anak dapat dipahami

bahwa pada tahap tertentu cara maupun kemampuan anak mengkonstruksi ilmu

berbeda-beda berdasarkan kematangan intelektual anak.

Page 19: Model Pengembangan Perangkat

Berkaitan dengan anak dan lingkungan belajarnya menurut pandangan konstruktivisme,

Driver dan Bell (dalam Susan, Marilyn dan Tony, 1995: 222) mengajukan karakteristik

sebagai berikut: (1) siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan

memiliki tujuan, (2) belajar mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan

siswa, (3) pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar melainkan dikonstruksi

secara personal, (4) pembelajaran bukanlah transmisi pengetahuan, melainkan

melibatkan pengaturan situasi kelas, (5) kurikulum bukanlah sekedar dipelajari,

melainkan seperangkat pembelajaran, materi, dan sumber.

Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang

dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan

dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai

dengan skemata yang dimilikinya. Belajar merupakan proses aktif untuk

mengembangkan skemata sehingga pengetahuan terkait bagaikan jaring laba-laba dan

bukan sekedar tersusun secara hirarkis (Hudoyo, 1998: 5).

Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang

berlangsung secara interaktif antara faktor intern pada diri pebelajar dengan faktor

ekstern atau lingkungan, sehingga melahirkan perubahan tingkah laku.

Berikut adalah tiga dalil pokok Piaget dalam kaitannya dengan tahap perkembangan

intelektual atau tahap perkembangan kognitif atau biasa juga disebut tahap perkembagan

mental. Ruseffendi (1988: 133) mengemukakan; (1) perkembangan intelektual terjadi

melalui tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi dengan urutan yang sama. Maksudnya,

setiap manusia akan mengalami urutan-urutan tersebut dan dengan urutan yang sama,

(2) tahap-tahap tersebut didefinisikan sebagai suatu cluster dari operasi mental

(pengurutan, pengekalan, pengelompokan, pembuatan hipotesis dan penarikan

kesimpulan) yang menunjukkan adanya tingkah laku intelektual dan (3) gerak melalui

tahap-tahap tersebut dilengkapi oleh keseimbangan (equilibration), proses

pengembangan yang menguraikan tentang interaksi antara pengalaman (asimilasi) dan

struktur kognitif yang timbul (akomodasi).

Berbeda dengan kontruktivisme kognitif ala Piaget, konstruktivisme sosial yang

dikembangkan oleh Vigotsky adalah bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi

dengan lingkungan sosial maupun fisik. Penemuan atau discovery dalam belajar lebih

mudah diperoleh dalam konteks sosial budaya seseorang (Poedjiadi, 1999: 62). Dalam

penjelasan lain Tanjung (1998: 7) mengatakan bahwa inti konstruktivis Vigotsky adalah

Page 20: Model Pengembangan Perangkat

interaksi antara aspek internal dan ekternal yang penekanannya pada lingkungan sosial

dalam belajar.

Adapun implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak (Poedjiadi,

1999: 63) adalah sebagai berikut: (1) tujuan pendidikan menurut teori belajar

konstruktivisme adalah menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan

berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi, (2) kurikulum dirancang

sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan

keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan memcahkan

masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah

dalam kehidupan sehari-hari dan (3) peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat

menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai

mediator, fasilitor, dan teman yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya

konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.

B. Hakikat Pembelajaran Menurut Teori Belajar Konstruktivisme

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa menurut teori belajar konstruktivisme,

pengertahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa.

Artinya, bahwa siswa harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya

berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Dengan kata lain, siswa tidak

diharapkan sebagai botol-botol kecil yang siap diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan

sesuai dengan kehendak guru.

Sehubungan dengan hal di atas, Tasker (1992: 30) mengemukakan tiga penekanan

dalam teori belajar konstruktivisme sebagai berikut. Pertama adalah peran aktif siswa

dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna. Kedua adalah pentingya

membuat kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian secara bermakna. Ketiga

adalah mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang diterima.

Wheatley (1991: 12) mendukung pendapat di atas dengan mengajukan dua prinsip

utama dalam pembelajaran dengan teori belajar konstrukltivisme. Pertama, pengetahuan

tidak dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur kognitif siswa. Kedua,

fungsi kognisi bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian melalui pengalaman

nyata yang dimiliki anak.

Kedua pengertian di atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara

aktif dalam proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu pengetahuan

Page 21: Model Pengembangan Perangkat

melalui lingkungannya. Bahkan secara spesifik Hudoyo (1990: 4) mengatakan bahwa

seseorang akan lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar itu didasari kepada apa

yang telah diketahui orang lain. Oleh karena itu, untuk mempelajari suatu materi yang

baru, pengalaman belajar yang lalu dari seseorang akan mempengaruhi terjadinya

proses belajar tersebut.

Selain penekanan dan tahap-tahap tertentu yang perlu diperhatikan dalam teori belajar

konstruktivisme, Hanbury (1996: 3) mengemukakan sejumlah aspek dalam kaitannya

dengan pembelajaran, yaitu (1) siswa mengkonstruksi pengetahuan dengan cara

mengintegrasikan ide yang mereka miliki, (2) pembelajaran menjadi lebih bermakna

karena siswa mengerti, (3) strategi siswa lebih bernilai, dan (4) siswa mempunyai

kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan ilmu pengetahuan

dengan temannya.

Dalam upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, Tytler (1996: 20)

mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran, sebagai

berikut: (1) memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya

dengan bahasa sendiri, (2) memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang

pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif, (3) memberi kesempatan

kepada siswa untuk mencoba gagasan baru, (4) memberi pengalaman yang

berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa, (5) mendorong siswa untuk

memikirkan perubahan gagasan mereka, dan (6) menciptakan lingkungan belajar yang

kondusif.

Dari beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang

mengacu kepada teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan

siswa dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam

refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain,

siswa lebih diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui

asimilasi dan akomodasi.

Teori Belajar Konstruktivisme

by Agus on October 21, 2010

A. Hakikat Anak Menurut Pandangan Teori Belajar Konstruktivisme

Page 22: Model Pengembangan Perangkat

Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget. Teori ini biasa juga disebut teori perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif. Teori belajar tersebut berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensori motor anak berpikir melalui gerakan atau perbuatan (Ruseffendi, 1988: 132).

Selanjutnya, Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar, 1989: 159) menegaskan bahwa pengetahuan tersebut dibangun dalam pikiran anak melalui asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan, akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat (Ruseffendi 1988: 133). Pengertian tentang akomodasi yang lain adalah proses mental yang meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan ransangan baru atau memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu (Suparno, 1996: 7).

Lebih jauh Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang, melainkan melalui tindakan. Bahkan, perkembangan kognitif anak bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses berkesinambungan tentang keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan keseimbangan (Poedjiadi, 1999: 61).

Dari pandangan Piaget tentang tahap perkembangan kognitif anak dapat dipahami bahwa pada tahap tertentu cara maupun kemampuan anak mengkonstruksi ilmu berbeda-beda berdasarkan kematangan intelektual anak.

Berkaitan dengan anak dan lingkungan belajarnya menurut pandangan konstruktivisme, Driver dan Bell (dalam Susan, Marilyn dan Tony, 1995: 222) mengajukan karakteristik sebagai berikut: (1) siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan memiliki tujuan, (2) belajar mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan siswa, (3) pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar melainkan dikonstruksi secara personal, (4) pembelajaran bukanlah transmisi pengetahuan, melainkan melibatkan pengaturan situasi kelas, (5) kurikulum bukanlah sekedar dipelajari, melainkan seperangkat pembelajaran, materi, dan sumber.

Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya. Belajar merupakan proses aktif untuk mengembangkan skemata sehingga pengetahuan terkait bagaikan jaring laba-laba dan bukan sekedar tersusun secara hirarkis (Hudoyo, 1998: 5).

Page 23: Model Pengembangan Perangkat

Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang berlangsung secara interaktif antara faktor intern pada diri pebelajar dengan faktor ekstern atau lingkungan, sehingga melahirkan perubahan tingkah laku.

Berikut adalah tiga dalil pokok Piaget dalam kaitannya dengan tahap perkembangan intelektual atau tahap perkembangan kognitif atau biasa juga disebut tahap perkembagan mental. Ruseffendi (1988: 133) mengemukakan; (1) perkembangan intelektual terjadi melalui tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi dengan urutan yang sama. Maksudnya, setiap manusia akan mengalami urutan-urutan tersebut dan dengan urutan yang sama, (2) tahap-tahap tersebut didefinisikan sebagai suatu cluster dari operasi mental (pengurutan, pengekalan, pengelompokan, pembuatan hipotesis dan penarikan kesimpulan) yang menunjukkan adanya tingkah laku intelektual dan (3) gerak melalui tahap-tahap tersebut dilengkapi oleh keseimbangan (equilibration), proses pengembangan yang menguraikan tentang interaksi antara pengalaman (asimilasi) dan struktur kognitif yang timbul (akomodasi).

Berbeda dengan kontruktivisme kognitif ala Piaget, konstruktivisme sosial yang dikembangkan oleh Vigotsky adalah bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi dengan lingkungan sosial maupun fisik. Penemuan atau discovery dalam belajar lebih mudah diperoleh dalam konteks sosial budaya seseorang (Poedjiadi, 1999: 62). Dalam penjelasan lain Tanjung (1998: 7) mengatakan bahwa inti konstruktivis Vigotsky adalah interaksi antara aspek internal dan ekternal yang penekanannya pada lingkungan sosial dalam belajar.

Adapun implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak (Poedjiadi, 1999: 63) adalah sebagai berikut: (1) tujuan pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme adalah menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi, (2) kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan memcahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari dan (3) peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan teman yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.

B. Hakikat Pembelajaran Menurut Teori Belajar Konstruktivisme

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa menurut teori belajar konstruktivisme, pengertahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa. Artinya, bahwa siswa harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Dengan kata lain, siswa tidak diharapkan sebagai botol-botol kecil yang siap diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak guru.

Page 24: Model Pengembangan Perangkat

Sehubungan dengan hal di atas, Tasker (1992: 30) mengemukakan tiga penekanan dalam teori belajar konstruktivisme sebagai berikut. Pertama adalah peran aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna. Kedua adalah pentingya membuat kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian secara bermakna. Ketiga adalah mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang diterima.

Wheatley (1991: 12) mendukung pendapat di atas dengan mengajukan dua prinsip utama dalam pembelajaran dengan teori belajar konstrukltivisme. Pertama, pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur kognitif siswa. Kedua, fungsi kognisi bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang dimiliki anak.

Kedua pengertian di atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara aktif dalam proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu pengetahuan melalui lingkungannya. Bahkan secara spesifik Hudoyo (1990: 4) mengatakan bahwa seseorang akan lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar itu didasari kepada apa yang telah diketahui orang lain. Oleh karena itu, untuk mempelajari suatu materi yang baru, pengalaman belajar yang lalu dari seseorang akan mempengaruhi terjadinya proses belajar tersebut.

Selain penekanan dan tahap-tahap tertentu yang perlu diperhatikan dalam teori belajar konstruktivisme, Hanbury (1996: 3) mengemukakan sejumlah aspek dalam kaitannya dengan pembelajaran, yaitu (1) siswa mengkonstruksi pengetahuan dengan cara mengintegrasikan ide yang mereka miliki, (2) pembelajaran menjadi lebih bermakna karena siswa mengerti, (3) strategi siswa lebih bernilai, dan (4) siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan ilmu pengetahuan dengan temannya.

Dalam upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, Tytler (1996: 20) mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran, sebagai berikut: (1) memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri, (2) memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif, (3) memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru, (4) memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa, (5) mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka, dan (6) menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.

Dari beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang mengacu kepada teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain, siswa lebih diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan akomodasi.akhmadsudrajat.wordpress.com

Page 25: Model Pengembangan Perangkat

*) Dr. Hamzah, M.Ed. adalah dosen pada FMIPA Universitas Negeri Makassar

Kata Kunci Untuk Artikel Ini:

teori belajar konstruktivisme,teori belajar konstruktivistik,teori Konstruktivistik,konstruktivistik,teori belajar,pengertian teori belajar konstruktivisme,TEORI BELAJAR KONTRUKTIVISME,pengertian teori belajar,pengertian konstruktivisme,teori belajar konstruktivis,teori pembelajaran konstruktivisme,teori pembelajaran konstruktivis,konstruktivisme,teori pembelajaran,teori belajar konstrultivisme,teori belajar dan pembelajaran,teori belajar dan pembelajaran konstruktivisme,ciri-ciri belajar menurut teori,teori belajar konstruktifisme,teori pembelajaran piaget

Teori Belajar Konstruktivisme

Akhmad Sudrajat: Tentang Pendidikan

Oleh: Hamzah*) A. Hakikat Anak Menurut Pandangan Teori Belajar Konstruktivisme Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget. Teori ini biasa juga disebut teori... [Read Post]

20 Aug 2008, 19:11 | More from Akhmad Sudrajat: Tentang Pendidikan :Peran Guru sebagai FasilitatorOleh: Akhmad Sudrajat Dalam konteks pendidikan, istilah fasilitator semula lebih banyak diterapkan untuk kepentingan pendidikan orang dewasa (andragogi), khususnya dalam lingkungan pendidikan non formal. Namun sejalan dengan perubahan makna pengajaran yan...

18 Aug 2008 14:35

5 Unsur Penting dalam Lingkungan Pembelajaran Konstruktivis Berdasarkan hasil analisisnya terhadap sejumlah kriteria dan pendapat sejumlah ahli, Widodo, (2004) menyimpulkan tentang lima unsur penting dalam lingkungan pembelajaran yang konstruktivis, yaitu: 1. Memperhatikan dan memanfaatkan pengetahuan awal siswa...

18 Aug 2008 14:28

Kumpulan Makalah dan Artikel tentang Pendidikan Selamat Datang di Let?s Talk About Education! Dalam situs ini disajikan berbagai tulisan tentang opini, issue, trend, dan teori seputar Bimbingan dan Konseling, Psikologi Pendidikan, Kurikulum dan Pembelajaran, Manajemen Pendidikan, dan Filsafat-Sosial Bu...

15 Aug 2008 18:38

Pembelajaran Pengayaan dalam KTSP Pengembangan Indikator dalam KTSP Penilaian Psikomotorik Peranan Kepala Sekolah, Guru dan Wali Kelas dalam Bimbingan dan Konseling Pembelajaran Remedial dalam KTSP

Page 26: Model Pengembangan Perangkat

Konsep Dasar Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal (PBKL) Konferensi Kasus untuk Membantu Mengatasi Masalah Siswa

Teori KonstruktivismeOPINI | 06 October 2010 | 11:55 1504 1 Nihil

A. Pandangan Teori Belajar Konstruktivisme

Salah satu prinsip psikologi pendidikan adalah bahwa guru tidak begitu saja memberikan pengetahuan kepada siswa, tetapi siswa yang harus aktif membangun pengetahuan dalam pikiran mereka. Tokoh yang berperan pada teori ini adalah Jean Piaget dan Vygotsky. Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Beda dengan aliran behavioristik yang memahami hakikat belajar sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus respon, kontruktivisme lebih memahami belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau menciptakan pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan pengalamanya. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis. Pendekatan konstruktivisme mempunyai beberapa konsep umum seperti:

1. Pelajar aktif membina pengetahuan berasaskan pengalaman yang sudah ada.2. Dalam konteks pembelajaran, pelajar seharusnya membina sendiri pengetahuan

mereka.3. Pentingnya membina pengetahuan secara aktif oleh pelajar sendiri melalui

proses saling mempengaruhi antara pembelajaran terdahulu dengan pembelajaran terbaru.

4. Unsur terpenting dalam teori ini ialah seseorang membina pengetahuan dirinya secara aktif dengan cara membandingkan informasi baru dengan pemahamannya yang sudah ada.

5. Ketidakseimbangan merupakan faktor motivasi pembelajaran yang utama. Faktor ini berlaku apabila seorang pelajar menyadari gagasan-gagasannya tidak konsisten atau sesuai dengan pengetahuan ilmiah.

6. Bahan pengajaran yang disediakan perlu mempunyai perkaitan dengan pengalaman pelajar untuk menarik minat pelajar.

Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget yang merupakan bagian dari

Page 27: Model Pengembangan Perangkat

teori kognitif juga. Teori ini biasa juga disebut teori perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif. Teori belajar tersebut berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensori motor anak berpikir melalui gerakan atau perbuatan (Ruseffendi, 1988: 132).

Selanjutnya, Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar, 1989: 159) menegaskan bahwa penekanan teori kontruktivisme pada proses untuk menemukan teori atau pengetahuan yang dibangun dari realitas lapangan. Peran guru dalam pembelajaran menurut teori kontruktivisme adalah sebagai fasilitator atau moderator. Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan, akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat (Ruseffendi 1988: 133). Pengertian tentang akomodasi yang lain adalah proses mental yang meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan ransangan baru atau memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu (Suparno, 1996: 7).

Lebih jauh Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang, melainkan melalui tindakan. Belajar merupakan proses untuk membangun penghayatan terhadap suatu materi yang disampaikan. Bahkan, perkembangan kognitif anak bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses berkesinambungan tentang keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan keseimbangan (Poedjiadi, 1999: 61).

Dari pandangan Piaget tentang tahap perkembangan kognitif anak dapat dipahami bahwa pada tahap tertentu cara maupun kemampuan anak mengkonstruksi ilmu berbeda-beda berdasarkan kematangan intelektual anak. Pada teori ini konsekuensinya dalah siswa harus memiliki ketrampilan unutk menyesuaikan diri atau adaptasi secara tepat. Menurut C. Asri Budiningsih menjelaskan bahwa ada dua macam proses adapatasi yaitu adaptasi bersifat autoplastis, yaitu proses penyesuaian diri dengan cara mengubah diri sesuai suasana lingkungan, lalu adaptasi yang bersifat aloplastis yaitu adaptasi dengan mengubah situasi lingkungan sesuai dengan keinginan diri sendiri.

Berkaitan dengan anak dan lingkungan belajarnya menurut pandangan konstruktivisme, Driver dan Bell (dalam Susan, Marilyn dan Tony, 1995: 222) mengajukan karakteristik sebagai berikut: (1) siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan memiliki tujuan, (2) belajar mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan

Page 28: Model Pengembangan Perangkat

siswa, (3) pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar melainkan dikonstruksi secara personal, (4) pembelajaran bukanlah transmisi pengetahuan, melainkan melibatkan pengaturan situasi kelas, (5) kurikulum bukanlah sekedar dipelajari, melainkan seperangkat pembelajaran, materi, dan sumber. Belajar merupakan proses aktif untuk mengembangkan skema sehingga pengetahuan terkait bagaikan jaring laba-laba dan bukan sekedar tersusun secara hirarkis (Hudoyo, 1998: 5).

Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang berlangsung secara interaktif antara faktor intern pada diri pebelajar dengan faktor ekstern atau lingkungan, sehingga melahirkan perubahan tingkah laku.

Berikut adalah tiga dalil pokok Piaget dalam kaitannya dengan tahap perkembangan intelektual atau tahap perkembangan kognitif atau biasa juga disebut tahap perkembagan mental. Ruseffendi (1988: 133) mengemukakan; (1) perkembangan intelektual terjadi melalui tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi dengan urutan yang sama. Maksudnya, setiap manusia akan mengalami urutan-urutan tersebut dan dengan urutan yang sama, (2) tahap-tahap tersebut didefinisikan sebagai suatu cluster dari operasi mental (pengurutan, pengekalan, pengelompokan, pembuatan hipotesis dan penarikan kesimpulan) yang menunjukkan adanya tingkah laku intelektual dan (3) gerak melalui tahap-tahap tersebut dilengkapi oleh keseimbangan (equilibration), proses pengembangan yang menguraikan tentang interaksi antara pengalaman (asimilasi) dan struktur kognitif yang timbul (akomodasi).

Berbeda dengan kontruktivisme kognitif ala Piaget, konstruktivisme sosial yang dikembangkan oleh Vigotsky adalah bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi dengan lingkungan sosial maupun fisik. Penemuan atau discovery dalam belajar lebih mudah diperoleh dalam konteks sosial budaya seseorang (Poedjiadi, 1999: 62). Dalam penjelasan lain Tanjung (1998: 7) mengatakan bahwa inti konstruktivis Vigotsky adalah interaksi antara aspek internal dan ekternal yang penekanannya pada lingkungan sosial dalam belajar.

Adapun implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak (Poedjiadi, 1999: 63) adalah sebagai berikut: (1) tujuan pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme adalah menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi, (2) kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan memcahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari dan (3) peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan teman yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.

Page 29: Model Pengembangan Perangkat

B. Pembelajaran Menurut Teori Belajar Konstruktivisme

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa menurut teori belajar konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa. Artinya, bahwa siswa harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Dengan kata lain, siswa tidak diharapkan sebagai botol-botol kecil yang siap diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak guru.

Sehubungan dengan hal di atas, Tasker (1992: 30) mengemukakan tiga penekanan dalam teori belajar konstruktivisme sebagai berikut. Pertama adalah peran aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna. Kedua adalah pentingnya membuat kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian secara bermakna. Ketiga adalah mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang diterima.

Wheatley (1991: 12) mendukung pendapat di atas dengan mengajukan dua prinsip utama dalam pembelajaran dengan teori belajar konstrukltivisme. Pertama, pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur kognitif siswa. Kedua, fungsi kognisi bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang dimiliki anak.

Kedua pengertian di atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara aktif dalam proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu pengetahuan melalui lingkungannya. Bahkan secara spesifik Hudoyo (1990: 4) mengatakan bahwa seseorang akan lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar itu didasari pada apa yang telah diketahui orang lain. Oleh karena itu, untuk mempelajari suatu materi yang baru, pengalaman belajar yang lalu dari seseorang akan mempengaruhi terjadinya proses belajar tersebut.

Selain penekanan dan tahap-tahap tertentu yang perlu diperhatikan dalam teori belajar konstruktivisme, Hanbury (1996: 3) mengemukakan sejumlah aspek dalam kaitannya dengan pembelajaran, yaitu (1) siswa mengkonstruksi pengetahuan dengan cara mengintegrasikan ide yang mereka miliki, (2) pembelajaran menjadi lebih bermakna karena siswa mengerti, (3) strategi siswa lebih bernilai, dan (4) siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan ilmu pengetahuan dengan temannya.

Dalam upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, Tytler (1996: 20) mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran, sebagai berikut: (1) memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri, (2) memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif, (3) memberi kesempatan

Page 30: Model Pengembangan Perangkat

kepada siswa untuk mencoba gagasan baru, (4) memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa, (5) mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka, dan (6) menciptakan lingkungan belajar yang kondusif. Selain itu Slavin menyebutkan strategi-strategi belajar pada teori kontruktivisme adalah top-down processing( siswa belajar dimulai dengan masalah yang kompleks untuk dipecahkan, kemudian menemukan ketrampilan yang dibutuhkan, cooperative learning(strategi yang digunakan untuk proses belajar, agar siswa lebih mudah dalam menghadapi problem yang dihadapi dan generative learning(strategi yang menekankan pada integrasi yang aktif antara materi atau pengetahuan yang baru diperoleh dengan skemata.

Dari beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang mengacu kepada teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain, siswa lebih diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan akomodasi.

Unsur Penting dalam Lingkungan Pembelajaran Konstruktivis

Berdasarkan hasil analisis Akhmad Sudrajat terhadap sejumlah kriteria dan pendapat sejumlah ahli, Widodo, (2004) menyimpulkan tentang lima unsur penting dalam lingkungan pembelajaran yang konstruktivis, yaitu:

1. Memperhatikan dan memanfaatkan pengetahuan awal siswa

Kegiatan pembelajaran ditujukan untuk membantu siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan. Siswa didorong untuk mengkonstruksi pengetahuan baru dengan memanfaatkan pengetahuan awal yang telah dimilikinya. Oleh karena itu pembelajaran harus memperhatikan pengetahuan awal siswa dan memanfaatkan teknik-teknik untuk mendorong agar terjadi perubahan konsepsi pada diri siswa.

2. Pengalaman belajar yang autentik dan bermakna

Segala kegiatan yang dilakukan di dalam pembelajaran dirancang sedemikian rupa sehingga bermakna bagi siswa. Oleh karena itu minat, sikap, dan kebutuhan belajar siswa benar-benar dijadikan bahan pertimbangan dalam merancang dan melakukan pembelajaran. Hal ini dapat terlihat dari usaha-usaha untuk mengaitkan pelajaran dengan kehidupan sehari-hari, penggunaan sumber daya dari kehidupan sehari-hari, dan juga penerapan konsep.

Page 31: Model Pengembangan Perangkat

3. Adanya lingkungan sosial yang kondusif,

Siswa diberi kesempatan untuk bisa berinteraksi secara produktif dengan sesama siswa maupun dengan guru. Selain itu juga ada kesempatan bagi siswa untuk bekerja dalam berbagai konteks sosial.

4. Adanya dorongan agar siswa bisa mandiri

Siswa didorong untuk bisa bertanggung jawab terhadap proses belajarnya. Oleh karena itu siswa dilatih dan diberi kesempatan untuk melakukan refleksi dan mengatur kegiatan belajarnya.

5. Adanya usaha untuk mengenalkan siswa tentang dunia ilmiah.

Sains bukan hanya produk (fakta, konsep, prinsip, teori), namun juga mencakup proses dan sikap. Oleh karena itu pembelajaran sains juga harus bisa melatih dan memperkenalkan siswa tentang “kehidupan” ilmuwan.

pembelajaran kontruktuvisme merupakan pembelajaran yang cukup baik dimana siswa dalam pembelajaran terjun langsung tidak hanya menerima pelajaran yang pasti seperti pembelajaran bihavioristik. Misalnya saja pada pelajaran pkn, tentang tolong menolong dan siswa di tugaskan untuk terjun langsung dan terlibat mengamati suatu lingkungan bagaimana sikap tolong menolong terbangun. Dan setelah itu guru memberi pengarahan yang lebih lanjut. Siswa lebih mamahami makna ketimbang konsep

Kesimpulan

Jadi teori kontruktivisme adalah sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget yang merupakan bagian dari teori kognitif juga. Piaget menegaskan bahwa penekanan teori kontruktivisme pada proses untuk menemukan teori atau pengetahuan yang dibangun dari realitas lapangan. Peran guru dalam pembelajaran menurut teori kontruktivisme adalah sebagai fasilitator atau moderator. Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya.

Berbeda dengan kontruktivisme kognitif ala Piaget, konstruktivisme sosial yang dikembangkan oleh Vigotsky adalah bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi dengan lingkungan sosial maupun fisik. bahwa pembelajaran yang mengacu kepada

Page 32: Model Pengembangan Perangkat

teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru.

« Teori -Teori Belajar (Piaget, Bruner,   Vygotsky) Metode Pembelajaran Discovery   (Penemuan) »

Teori Belajar Konstruktivisme

Mei 27, 2010 oleh Herdian,S.Pd., M.Pd.

Teori Belajar Konstruktivisme

Teori konstruktivisme didasari oleh ide-ide Piaget, Bruner, Vygotsky dan lain-lain. Piaget berpendapat bahwa pada dasarnya setiap individu sejak kecil sudah memiliki kemampuan untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Pengetahuan yang dikonstruksi oleh anak sebagai subjek, maka akan menjadi pengetahuan yang bermakna; sedangkan pengetahuan yang hanya diperoleh melalui proses pemberitahuan tidak akan menjadi pengetahuan yang bermakna, pengetahuan tersebut hanya untuk diingat sementara setelah itu dilupakan.

Dalam kelas kontruktivis seorang guru tidak mengajarkan kepada anak bagaimana menyelesaikan persoalan, namun mempresesentasikan masalah dan mendorong siswa untuk menemukan cara mereka sendiri dalam menyelesaikan permasalahan. Hal ini berarti siswa mengkonstruksi pengetahuannya melalui interaksi dengan objek, fenomena, pengalaman dan lingkungan mereka.

Hal yang sama juga diungkapkan Wood dan Coob, para ahli kontruksivisme mengatakan bahwa ketika siswa mencoba menyelesaikan tugas-tugas di kelas, maka pengetahuan matematika dikontruksi secara aktif, dan mereka setuju bahwa belajar matematika melibatkan manipulasi aktif dari pemaknaan bukan hanya bilangan dan rumus-rumus saja. Mereka menolak paham bahwa matematika dipelajari dalam satu koleksi yang berpola linear. Setiap tahap dari pembelajaran melibatkan suatu proses penelitian terhadap makna dan penyampaian keterampilan hafalan dengan cara yang tidak ada jaminan bahwa siswa akan menggunakan keterampilan inteligennya dalam setting matematika.

Page 33: Model Pengembangan Perangkat

Beberapa prinsip pembelajaran dengan kontruksivisme diantaranya dikemukakan oleh Steffe dan Kieren yaitu observasi dan mendengar aktifitas dan pembicaraan matematika siswa adalah sumber yang kuat dan petunjuk untuk mengajar. Lebih jauh dikatakan bahwa dalam kontruksivisme aktivitas matematika mungkin diwujudkan melalui tantangan masalah, kerja dalam kelompok kecil dan diskusi kelas. Disebutkan pula bahwa dalam kontruksivisme proses pembelajaran senantiasa “problem centered approach”, dimana guru dan siswa terikat dalam pembicaraan yang memiliki makna matematika.

Dari prinsip di atas terlihat bahwa ide pokok dari teori konstruktivisme adalah siswa aktif membangun pengetahuannya sendiri. Dalam hal ini guru berfungsi sebagai fasilitator. Belajar menurut paham konstruktivisme adalah mengkontruksi pengetahuan yang dilakukan baik secara individu maupun secara sosial. Sedangkan mengajar bukanlah memindahkan pengetahuan guru kepada siswa, melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuan, dengan menginkuiri suatu permasalahan dan kemudian memecahkan permasalahan.

Pembelajaran dengan pendekatan inkuiri merupakan salah satu pendekatan konstruktivisme dapat diterapkan antara lain dalam pembelajaran kooperatif, dimana siswa diberi kesempatan untuk berinteraksi secara sosial dan berkomunikasi dengan sesamanya untuk mencapai tujuan pembelajaran dan guru bertindak sebagai fasilitator dan motivator.