MODEL LAYANAN PEER COUNSELING BERPENDEKATAN …

17
1

Transcript of MODEL LAYANAN PEER COUNSELING BERPENDEKATAN …

Page 1: MODEL LAYANAN PEER COUNSELING BERPENDEKATAN …

1

Page 2: MODEL LAYANAN PEER COUNSELING BERPENDEKATAN …

2

MODEL LAYANAN PEER COUNSELING BERPENDEKATAN KONSELING

REALITAS PADA PESERTA DIDIK SMK

Oleh: Sitti Hartinah

Dosen Progdi BK UPS Tegal

Abstrak: Hasil riset menunjukkan masih kurangnya kuantitas dan kualitas layanan

konseling bagi peserta didik tingkat sekolah menengah kejuruan, karena kemampuan guru

BK masih rendah dalam menguasai pendekatan konseling karena bukan berlatar belakang

guru BK disamping itu peserta didikpun cenderung lebih banyak berkonsultasi dengan

teman sesama usia. Konselor sebaya tidak hanya sekedar menolong tapi konselor sebaya

merupakan tindakan mulai yang langsung menyentuh pribadi peserta didik untuk

mengembangkan sisi-sisi ketinggian martabat manusia.Terlihat dari fungsinya konseling

sebaya seolah lebih dekat dengan istilah sahabat sejati. Posisi konseling sebaya sebagai

teman yang bisa mengarahkan konseli pada sikap dan perilaku yang diharapkan. Berbagai

hasil riset membuktikan konseling sebaya efektif dalam meningkatkan perkembangan

kepribadian dan mengatasi berbagai masalah peserta didik, remaja, bahkan orang tua.

Terapi realitas yang berorientasi masa sekarang, mengajak berpikir realistis, dipandang

cocok bagi remaja sehingga dapat menjadi salah satu inovasi dalam melaksanakan layanan

konseling sebaya.

Kata Kunci: Pendekatan Konseling Realitas dan Layanan Peer Counseling,

Pendahuluan

Di tengah tantangan menghadapi globalisasi permasalahan peserta didik SMK sebagai

remaja semakin kompleks. Selain itu dilihat dari tingkat perkembangannya, peserta didik

SMK sebagai remaja sangat rentan muncul beraneka masalah sejak yang ringan sampai ke

yang berat. Setiap remaja dengan berbagai atributnya dari sikap, keyakinan, konstrak,

perilaku, dan respon uniknya masing-masing dalam menghadapi tantangan yang dihadapinya.

Kondisi ini diperparah karena didikan menjadi seorang Nakhoda Kapal harus memiliki jiwa

yang kuat dan tegar, ditunjang lingkungan nelayan yang akan menambah deretan panjang

munculnya masalah.

Terdapat sejumlah tantangan teridentifikasi yang secara umum dihadapi oleh remaja.

Sebagai contoh seorang remaja diresahkan oleh masalah seksual, yang lain mungkin

mengalami kesulitan untuk mengontrol kecenderungan untuk membakar, sementara yang lain

berjuang dengan isu-isu yang berkaitan dengan keanggotaan di geng.Tantangan semacam ini

bersama sebuah gagasan yang mempengaruhi masyarakat Barat bahwa perilaku salah bahkan

kriminalitas dikalangan remaja dapat tumbuh hingga ke tingkat mengancam jalinan sosial

masyarakat, telah membuat banyak orang di masyarakat kita untuk menjadi ketakutan,

sampai tingkat tertentu dengan remaja yang tidak memiliki gaya hidup konvensional. Sebagai

seorang konselor menemui seorang remaja yang sedang mengalami sebuah isu yang erkaitan

dengan tantangan semacam ini, maka sebagai seorang konselor akan mengakui bahwa kita

tidak memiliki informed background dalam kaitannya dengan sifat tantangan yang mereka

hadapi.

Kondisi ini menuntut semakin eksis dan profesionalnya kinerja layanan yang harus

diberikan oleh guru BK ataupun konselor sekolah. Kenyataan di sekolah menunjukkan bahwa

eksistensi dan kinerja profesional guru BK masih dihadapkan kepada berbagai kendala.

Akhmad Sudrajat (2008), mengungkapkan kendala terbesar yang dihadapi untuk

mewujudkan bimbingan dan konseling sebagai profesi yang handal dan bisa sejajar dengan

profesi-profesi lain yang sudah mapan justru terjadi dalam tataran praktis.

Page 3: MODEL LAYANAN PEER COUNSELING BERPENDEKATAN …

3

Hasil Survey mahasiswa (2011), tentang Pelayanan Konseling Sekolah, melalui

survei di SMP/SMK/SMA Kota Tegal, menemukan banyak hal-hal yang belum tercapai

dalam pelaksanaan layanan bimbingan konseling antara lain: (1) Rasio perbandingan

jumlah konselor dengan peserta didik, semua konselor di sekolah rata-rata melayani

peserta didik di atas standar, (2) Kinerjanya tidak profesional, lemah yang ditandai dengan

pemahaman konseling masih rendah dan belum mampu menerapkan pendekatan konseling

dalam praktik, b) pemahaman dalam menerapkan dalam praktek masing-masing kegiatan dan

teknik keorganisasian profesi konseling masih rendah, c) Pemahaman menjadi anggota

profesi konseling masih rendah, d) Pemahaman pemberian layanan konseling dan pemberian

layanan konseling kelompok/bimbingan kelompok belum memadahi. (3) Konselor belum

mengembangkan kemampuan profesional konseling secara berkelanjutan, yang ditandai:

a) Rendahnya tingkat pendidikan dalam bidang konseling, b) keikutsertaan dalam workshop

untuk meningkatkan wawasan pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap konselor masih

relatif minim, c) Perolehan sertifikat profesi untuk melaksanakan pelayanan konseling tidak

menjamin, (4) Di sekolah-sekolah tertentu: a) guru pembimbing tidak relevan dengan latar

belakangnya, b) Ratio guru pembimbing dengan peserta didik masih tinggi, (c) Kepala

sekolah yang mengangkat guru mata pelajaran menjadi guru pembimbing masih dijumpai

Pengangkatan guru mata pelajaran menjadi guru pembimbing di satu sisi memberi citra

positif, karena ada kepedulian kepala sekolah terhadap program Bimbingan dan Konseling.

Di sisi lain memberi citra buruk bagi profesi bimbingan dan konseling, karena dilakukan oleh

orang-orang yang tidak memiliki keahlian tentang Bimbingan dan Konseling, sangat

minimnya pengalaman praktik, pelatihan-pelatihan bagi konselor sekolah.

Hasil survei secara acak terhadap siswa tempat PPL mahasiswa (Hartinah, 2010)

tentang pihak mana yang mereka mintai bantuan jika mengalami masalah pribadi,

menunjukkan bahwa hampir separuh peserta didik menjawab minta bantuan/berkonsultasi

pada sesama teman, sebagian kecil dari peserta didik menjawab minta bantuan teman di luar

sekolah, sebagian kecil peserta didik menjawab minta bantuan orang tua, sangat sedikit yang

menjawab minta bantuan guru yang dirasa dekat, sebagian kecil menjawab minta bantuan

teman dekat dan saudara dekat, dan tidak ada juga yang menjawab minta bantuan wali kelas.

Adanya kecenderungan peserta didik bermasalah berkonsultasi pada temannya, dapat

memberikan efek positif namun bisa juga memberikan efek negatif bagi perkembangan

kepribadiannya. Efek positif diperoleh jika teman tempat dia berkonsultasi sikap dan

perilakunya berkembang positif, dan di sisi lain teman sebaya tentu lebih mudah memahami

masalah temannya, karena berada pada tahap perkembangan yang relatif sama. Sebaliknya

efek negatif bisa terjadi jika peserta didik yang bermasalah berkonsultasi pada temannya yang

juga bermasalah, sementara temannya tersebut terlanjur mencari penyelesaian masalah

dengan sikap dan perilaku negatif, maka peserta didik akan terjerat pada masalah yang lebih

berat dan dapat membahayakan bagi perkembangan kepribadiannya. Misalnya masuknya

siswa pada genk tertentu, terlibat pergaulan bebas, merokok, dan yang lebih berat ketagihan

narkoba, semuanya kemungkinan merupakan pelarian dari masalah pribadi yang diceritakan

pada teman yang juga bermasalah.

Dengan demikian ada dua persoalan pokok yang perlu dicari alternatif

penyelesaiannya dalam memberikan layanan konseling bagi peserta didik, yaitu pertama,

permasalahan keengganan peserta didik berkonsultasi kepada konselor sekolah, dan kedua

permasalahan lemahnya tingkat penguasaan konselor sekolah akan pendekatan konseling

serta aplikasinya pada praktek.

Mencermati kenyataan tersebut, perlu dikembangkan model layanan konseling yang

bisa lebih banyak melayani peserta didik, dan inovasi-inovasi dalam penggunaan pendekatan

layanan melalui pengembangan berbagai pendekatan konseling yang ada. Pengembangan

model hipotetik tentang aplikasi Peer-counseling (konseling sebaya), dengan menggunakan

Page 4: MODEL LAYANAN PEER COUNSELING BERPENDEKATAN …

4

salah satu atau lebih pendekatan konseling yang telah teruji secara empirik, diprediksi dapat

menjadi alternatif solusi fenomena layanan konseling di SMK pada umumnya.

Tulisan ini bertujuan membahas salah satu pendekatan konseling yang dikemukakan

oleh Gerald Corey (2005) yaitu pendekatan konseling realitas yang dikembangkan William

Glasser (sekarang dikenal dengan Choice Theory) untuk dirumuskan model aplikasinya

dalam layanan ”peer counseling”. Dipilihnya pendekatan realitas sebagai salah satu

pendekatan dalam melaksanakan ”peer counseling” karena pendekatan ini berorientasi ke

depan, sederhana untuk dilakukan, konsen pada masa sekarang, dan mengajak berpikir

realistis. Bagi remaja yang sedang berada pada puncak perkembangan intelektual, segala

sesuatu perlu realistis, dan mereka sedang ingin menguji segala sesuatu dengan logika, selain

itu mereka biasanya tidak begitu perhatian pada masa lalu, yang penting bagi mereka adalah

menikmati hidup sekarang.

Beberapa pertanyaan pokok yang ingin dijawab melalui tulisan ini adalah: (1)

Bagaimana pandangan ahli konseling realitas tentang manusia? Mengapa individu

bermasalah menurut pandangan ahli realitas? Apa yang harus dilakukan dalam konseling

menurut terapi realitas? Langkah apa yang akan dilakukan dalam melaksanakan peer

counseling? Seberapa efektif layanan peer counseling untuk membantu menyelesaikan

masalah? Bagaimana model layanan terapi realitas pada pelaksanaan peer counseling? Cara

pengumpulan data yang digunakan dalam menyusun model secara empiris ini adalah metoda

deskriptif dengan teknik Book Survey, dimana data yang digunakan adalah hasil kajian

konseptual dan data hasil penelitian dari berbagai pihak kemudian disusun jadi satu model.

Pandangan Terapi Realitas tentang Manusia

Terapi realitas didasarkan pada asumsi bahwa manusia berjuang untuk dapat

mengontrol kehidupan mereka untuk memenuhi kebutuhannya. Setiap tingkah laku manusia

bertujuan dan muncul karena kekuatan dari dalam diri. Semua perilaku manusia ditujukan

untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Menurut teori ini manusia lahir dengan 5 kebutuhan

pokok (a) mempertahankan hidup/survival, b) cinta dan perasaan diakui/love and belonging,

c) berkuasa, kuat, beprestasi/power or achivement, d) memiliki kebebasaan atau kemandirian/

freedom or independence, e) kesenangan, kegembiraan/fun. Setiap individu membutuhkan

kelima kebutuhan tersebut, meskipun kadar kebutuhannya berbeda-beda. Menurut Glasser

kebutuhan akan cinta dan perasaan diakui merupakan kebutuhan paling pokok Manusia pada

hakekatnya adalah makhluk yang memiliki kebutuhan dasar dan dalam kehidupannya mereka

berusaha memenuhi kebutuhan tersebut. Kebutuhan dasar manusia meliputi kebutuhan

bertahan hidup (survival), mencintai dan dicintai (love and belonging), kekuasaan atau

prestasi (power or achievement), kebebasan atau kemerdekaan (freedom or independence),

dan kesenangan (fun) (Corey, 2005). Glesser (2000) meyakini bahwa di antara kebutuhan

dasar tersebut kebutuhan mencintai dan dicintai merupakan yang utama dan paling sukar

pemenuhannya.

Keberhasilan individu dalam memenuhi kebutuhan dasarnya akan memberikan

identitas berhasil pada dirinya, sedangkan kegagalan akan pemenuhan kebutuhan dasar

menyebabkan individu mengembangkan identitas gagal (Rasjidan, 1994). Individu yang

memiliki identitas berhasil akan menjalankan kehidupannya sesuai dengan prinsip 3 R, yaitu

right, responsibility, dan reality (Ramli, 1994). Right merupakan nilai atau norma patokan

sebagai pembanding untuk menentukan apakah suatu perilaku benar atau salah.

Responsibility merupakan kemampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhannya tanpa

mengganggu hak-hak orang lain. Reality merupakan kesediaan individu untuk menerima

konsekuensi logis dan alamiah dari suatu perilaku.

Individu, dalam kehidupan sehari-hari, tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya

secara langsung. Individu berusaha melakukan sesuatu yang dapat membuat mereka merasa

nyaman. Hal ini yang disebut “kehidupan yang berkualitas” (quality world). Dunia yang

Page 5: MODEL LAYANAN PEER COUNSELING BERPENDEKATAN …

5

berkualitas merupakan “surga pribadi” yang diharapkan setiap individu. Jadi dapat dimaknai

cara pandang yang unik untuk memenuhi kebutuhan. Kehidupan yang berkualitas didasarkan

atas kebutuhan dasar, tetapi dunia yang berkualitas berbeda dengan kebutuhan. Dunia yang

berkualitas bersifat umum, sedangkan dunia yang berkualitas bersifat khusus. Agar individu

dapat memperoleh dunia yang berkualitas dengan baik maka individu harus berhubugan

dengan orang lain; yakni orang-orang yang dekat dengan kita dan nyaman bila didekatnya

Orang bertingkah laku untuk menutupi gap antara apa yang ia inginkan dengan apa yang ia

terima dan ia dapat.

Individu harus berani menghadapi realitas dan bersedia untuk tidak mengulangi masa

lalu. Hal penting yang harus dihadapi seseorang adalah mencoba menggantikan dan

melakukan intensi untuk masa depan. Seorang terapis bertugas menolong individu membuat

rencana yang spesifik bagi perilaku mereka dan membuat sebuah komitmen untuk

menjalankan rencana-rencana yang telah dibuatnya. Dalam hal ini identitas diri merupakan

satu hal penting kebutuhan sosial manusia yang harus dikembangkan melalui interaksi

dengan sesamanya, maupun dengan dirinya sendiri. Perubahan identitas biasanya diikuti

dengan perubahan perilaku di mana individu harus bersedia merubah apa yang dilakukannya

dan mengenakan perilaku yang baru. Dalam hal ini terapi realitas dipusatkan pada upaya

menolong individu agar dapat memahami dan menerima keterbatasan dan kemampuannya.

Manusia Bermasalah dalam Perspektif Terapi Realitas

Menurut William Glasser orang menjadi depresi, pusing, marah, dan cemas merupakan

bagian dari total perilaku oleh mereka sendiri. Ketika orang mengembangkan perilaku yang

menyakiti, sebenarnya karena perilaku itu yang dapat mereka pilih, dan perilaku ini membuat

mereka memperoleh apa yang mereka inginkan.

Terapi realitas percaya: dasar masalah sebagian besar konseli adalah: ketidakpuasan

dalam hubungan atau keterlibatan dengan orang lain. Banyak sekali problem konseli

disebabkan ketidakmampuan dalam menjalin hubungan dengan orang-orang terdekat secara

memuaskan dalam kehidupannya. Semakin mampu konseli berhubungan dengan orang-orang

terdekatnya semakin besar peluangnya untuk memperoleh kebahagiaan

Sedikit sekali konseli yang menyadari inti problemnya terletak pada cara dia memilih

perilaku, yang diketahuinya adalah dia disakiti, dikucilkan, dan tidak bahagia Reality therapy

pada dasarnya tidak mengatakan bahwa perilaku individu itu sebagai perilaku yang abnormal.

Konsep perilaku menurut konseling realitas lebih dihubungkan dengan berperilaku yang tepat

atau berperilaku yang tidak tepat. Menurut Glasser, bentuk dari perilaku yang tidak tepat

tersebut disebabkan karena ketidak mampuannya dalam memuaskan kebutuhannya,

akibatnya kehilangan ”sentuhan” dengan realitas objektif, dia tidak dapat melihat sesuatu

sesuai dengan realitasnya, tidak dapat melihat sesuatu sesuai dengan realitasnya, tidak dapat

melakukan atas dasar kebenaran, tangguang jawab dan realitas.

Meskipun konseling realitas tidak menghubungkan perilaku manusia dengan gejala

abnormalitas, perilaku bermasalah dapat disepadankan dengan istilah ”identitas kegagalan”.

Identitas kegagalan ditandai dengan keterasingan, penolakan diri dan irrasionalitas,

perilakunya kaku, tidak objektif, lemah, tidak bertanggung jawab, kurang percaya diri dan

menolak kenyataan.

Menurut Glasser (1965:9), basis dari terapi realitas adalah membantu para klien dalam

memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar psikologisnya, yang mencangkup “kebutuhan untuk

mencintai dan dicintai serta kebutuhan untuk merasakan bahwa kita berguna baik bagi diri

kita sendiri maupun bagi oaring lain”.

Pandangan tentang sifat manusia mencakup pernyataan bahwa suatu “kekuatan

pertumbuhan” mendorong kita untuk berusaha mencapai suatu identitas keberhasilan.

Penderitaan pribadi bisa diubah hanya dengan perubahan identitas. Pandangan terapi realitas

menyatakan bahwa, karena individu-individu bisa mengubaha cara hidup, perasaan, dan

Page 6: MODEL LAYANAN PEER COUNSELING BERPENDEKATAN …

6

tingkah lakunya, maka merekapun bisa mengubah identitasnya. Perubahan identitas

tergantung pada perubahan tingkah laku.

Maka jelaslah bahwa terapi realitas tidak berpijak pada filsafat deterministik tentang

manusia, tetapi dibangun diatas asumsi bahwa manusia adalah agen yang menentukan dirinya

sendiri. Perinsip ini menyiratkan bahwa masing-masing orang memiliki tanggung jawab

untuk menerima konsekuensi-konsekuensi dari tingkah lakunya sendiri. Tampaknya, orang

menjadi apa yang ditetapkannya.

Proses Konseling Menurut Terapi Realitas

Tujuan utama pendekatan konseling ini untuk membantu menghubungkan

(connect) atau menghubungkan ulang (reconnected) klien dengan orang lain yang mereka

pilih untuk mendasari kualitas hidupnya. Di samping itu, konseling realitas juga bertujuan

untuk membantu klien belajar memenuhi kebutuhannya dengan cara yang lebih baik, yang

meliputi kebutuhan mencintai dan dicintai, kekuasaan atau berprestasi, kebebasan atau

independensi, serta kebutuhan untuk senang. Sehingga mereka mampu mengembangkan

identitas berhasil. Tujuan konseling realitas adalah sebagai berikut; (1) Menolong individu

agar mampu mengurus diri sendiri, supaya dapat menentukan dan melaksanakan perilaku

dalam bentuk nyata.(2) Mendorong konseli agar berani bertanggung jawab serta memikul

segala resiko yang ada, sesuai dengan kemampuan dan keinginannya dalam perkembangan

dan pertumbuhannya.(3) Mengembangkan rencana-rencana nyata dan realistik dalam

mencapai tujuan yang telah ditetapkan.(4) Perilaku yang sukses dapat dihubungkan dengan

pencapaian kepribadian yang sukses, yang dicapai dengan menanamkan nilai-nilai adanya

keinginan individu untuk mengubahnya sendiri.(5) Terapi ditekankan pada disiplin dan

tanggung jawab atas kesadaran sendiri

Fungsi dan Peran Konselor dalam konseling Realitas antara lain (a) sebagai

pembimbing yang membantu konseli agar bisa menilai tingkah lakunya sendiri secara

realistis.(b) Berperan sebagai moralis.(c) Menyampaikan dan meyakinkan kepada klien

bahwa seburuk apapun suatu kondisi masih ada harapan. (d) Mengajarkan klien untuk

mengevaluasi perilakunya, misalnya dengan bertanya, “Apakah perilaku Anda (atau nama)

saat ini membantu Anda untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan Anda?); (e) Memberikan

kontrak.(f) Mengembangkan kondisi fasilitatif dalam konseling dan hubungan baik dengan

klien. Pengalaman Konseli dalam Konseling : (a) konseli tidak diharapkan untuk mengkaji

jejak masa lalu atau jalan yang menggelincirkan dari gejala-gejala masalah, (b) konseli akan

menemukan konselornya sebagai seorang yang lemah lembut, tetapi sungguh-sungguh

mengkonfrontasi. Konselor realitas akan sering bertanya pada konseli dengan pertanyaan:

”Apakah apa yang kamu pilih untuk dilakukan membawamu lebih dekat kepada orang yang

kamu ingin lebih dekat dengannya sekarang ? ”Apakah apa yang kamu lakukan sekarang

membuat kamu lebih dekat dengan orang-orang yang kamu ingin dekat dengannya?”

Pertanyaan-pertanyaan ini diajukan sebagai proses evaluasi diri. Konseli akan dapat berfikir :

”Saya dapat memulai menggunakan apa yang kita bicarakan hari ini dalam hidupku...”

Beberapa Karakteristik Terapi Realitas yang Perlu Diperhatikan Konselor: (a)

memfokuskan perhatian pada hubungan dengan orang lain yang tidak memuaskan, yang

seringkali menjadi penyebab masalah konseli, (b) fokus pada apa yang bisa dikontrol konseli

dalam hubungan dengan orang lain, (c) konselor tidak perlu terlalu banyak mendengarkan

penolakan konseli, kesalahan, kritikannya, karena ini merupakan perilaku-perilaku yang tidak

efektif, (d) menekankan pada pilihan perilaku dan tanggung jawab, (e) menolak transference,

(f) Fokus pada saat sekarang, bukan kepada masa lampau, (g) menghindari Fokus pada

gejala-gejala masalah, (h) menolak pandangan tradisional tentang sakit mental.

Hubungan antara konselor dan Konseli: (a) didasari pemahaman dan hubungan

penuh dorongan semangat, (b) didasari kerelaan konselor untuk mengembangkan gaya

terapeutik individualnya sendiri, (c) pelibatan diri antara konselor dengan konseli, konselor

Page 7: MODEL LAYANAN PEER COUNSELING BERPENDEKATAN …

7

harus mempunyai kualitas kepribadian tertentu, termasuk kehangatan,

keharmonisan/kesesuaian, pemahaman, penerimaan, perhatian, respek pada konseli,

keterbukaan, dan kesukarelaan untuk ditantang orang lain, (c) satu cara yang paling baik

mengembangkan hubungan terapeutik tersebut adalah dengan mendengarkan konseli,

termasuk membicarakan secara luas topik-topik yang relevan dengan konseli, (d) konselor

membantu konseli meningkatkan pemahaman yang mendalam tentang konsekuensi dari

perilakunya sekarang, (e) proses konseling selalu merupakan proses mentoring, konselor

sebagai guru dan konseli sebagai siswa.

Teknik dan prosedur konseling: (a) menciptakan suasana konseling

(mengeksplorasi keinginan, kebutuhan, dan persepsi konseli sehingga konseli mengeksplorasi

keseluruhan tingkah lakunya dan membuat evaluasi sendiri seberapa efektif perilakunya

mampu memenuhi keinginannya), (b) prosedur yang mengarah kepada perubahan (konselor

berusaha mengetahui bagaimana konseli membuat pilihan-pilihan dalam berhubungan dengan

orang lain, konselor perlu keterampilan untuk mencari dan mendefinisikan keinginan konseli

serta mencari kunci ketidakpuasan hubungan dengan orang terdekatnya sekarang, konselor

meyakinkan konseli perilakunya sekarang tidak mengantarkannya pada apa yang ia inginkan,

konseli didorong untuk membuat rencana perilaku baru yang mengarah pada keinginannya,

kemudian konseli membuat komitmen sendiri sesuai rencananya), (c) secara sederhana

prosedur konseling Realitas, digambarkan Wubbolding (2000, 2001, 2002, Wubbolding &

Associates, 1998 dengan 4 huruf (WDEP), W = Wants and Needs, D = Direction and Doing,

E = Self-Evaluation, P = Planning and Action.

Konsep Pendekatan Peer Counseling Dengan sederhana dapat didefinisikan bahwa konseling sebaya adalah layanan

bantuan konseling yang diberikan oleh teman sebayanya (biasanya seusia/tingkatan

pendidikannya hampir sama) yang telah terlebih dahulu diberikan pelatihan-pelatihan untuk

menjadi konselor sebaya sehingga diharapkan dapat memberikan bantuan baik secara

individual maupun kelompok kepada teman-temannya yang bermasalah ataupun mengalami

berbagai hambatan dalam perkembangan kepribadiannya. Mereka yang menjadi konselor

sebaya bukanlah seorang yang profesional di bidang konseling tapi mereka diharapkan dapat

menjadi perpanjangan tangan konselor profesional.

Dengan adanya layanan peer counseling berarti sekolah menyiapkan siswa-siswa

tertentu untuk menjadi konselor non profesional bagi membantu masalah teman-temannya.

Para siswa calon peer counselor akan mendapatkan serangkaian pelatihan yang memadai

untuk jadi konselor sebaya, sehingga diharapkan meningkatkan kemampuan siswa (yang

dilatih sebagai peer-conselor dan konseli yang dibimbingnya) dalam menghadapi masalah.

Dalam School Dictionary (William D. Halsey, 1987) arti kata Peer adalah “ A person who is

equal to another, as in status, social class, age, or ability “, yang artinya kurang lebih

seseorang yang sebaya/sama dengan yang lain seperti dalam hal status, kelas sosial, umur

atau kemampuan. Light & Keller yang dikutip oleh A.T Rahayu (1999:10) memberikan

definisi “ Peers are relatively equal by virtue of their age, sex and rank (AS Child & AS

Student), peers stand in the same relation to persons in authority and therefore see the world

through the same eyes “. Definisi tersebut dapat diartikan bahwa teman sebaya

diidentifikasikan dalam usianya, jenis kelamin, tingkatan (sebagai anak dan peserta didik),

pendidikannya relatif sama dan melihat dunia dengan pandangan yang sama.

Konselor sebaya adalah para peserta didik yang memberikan bantuan kepada peserta

didik lain di bawah bimbingan konselor ahli (Carr, 1981 : 3). Lebih lanjut Carr menjelaskan

bahwa konselor sebaya terlatih yang direkrut dari jaringan kerja sosial memungkinkan

terjadinya sejumlah kontak yang spontan dan informal. Kontak-kontak yang demikian

memiliki multiplaying impact pada berbagai aspek pada anak-anak lainnya. Kontak-kontak

tersebut juga dapat memperbaiki atau meningkatkan iklim sosial dan dapat menjadi jembatan

Page 8: MODEL LAYANAN PEER COUNSELING BERPENDEKATAN …

8

penghubung antara konselor profesional dengan para anak yang tidak sempat atau tidak

bersedia berjumpa dengan konselor.

Berdasarkan dua definisi tersebut, dipahami bahwa pengertian peer adalah teman

sebaya atau setara dalam hal usia, pendidikan, jenis kelamin, status sosial dan kesamaan lain

yang membuat mereka merasa dan terlihat sepakat dalam setiap pandangan. Sedangkan

counseling menurut Shertzer & Stone (Nugent, 1981 : 4) adalah “an interaction process

which facilitates meaningful understanding of self and environment and result in the

estabilishment and or clarification of goals and values for future behavior “. Artinya proses

interaksi yang membantu pemahaman diri dan lingkungan yang berarti dan dampak-dampak

pembentukan atau pencerahan tujuan-tujuan dan nilai-nilai perilaku yang akan datang.

Tolbert (Priyatna, 1994 : 101) memberikan pendapat bahwa konseling merupakan

hubungan pribadi yang dilakukan secara tatap muka antara dua orang dimana konselor

melalui hubungan itu dan kemampuan-kemampuan khusus yang dimilikinya, menyediakan

situasi belajar dimana konseli dibantu untuk me mahami diri sendiri, keadaannya sekarang,

dan kemungkinan keadaan masa depan yang dapat ia ciptakan dengan meng gunakan potensi-

potensi yang dimilikinya, demi untuk kesejahteraan baik pribadi maupun masyarakat, dan

lebih jauh dapat belajar bagaimana memecahkan masalah-masalah dan menemukan

kebutuhan-kebutuhan yang akan datang.

Jadi, dari kedua definisi tersebut, dipahami bahwa konseling adalah suatu proses

penyelesaian masalah konseli yang dibantu oleh seorang yang memiliki keahlian konseling

melalui tatap muka sehingga didapat suatu pembelajaran yang bernilai untuk masa sekarang

dan yang akan datang. Melalui penjabaran ini, dipahami tentang arti peer dan

counseling. Istilah Peer Counseling dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai Konseling

Sebaya. Menurut Peter Van Kan (Fathur Rahman, 2001 : 3) menyatakan bahwa “ Peer

Counseling refers to a body of techniques and at the same time to an approach to people and

their difficulties and challenge “. Arti tulisan tersebut merupakan suatu kumpulan teknik dan

pendekatan terhadap pribadi-pribadi beserta permasalahannya untuk diselesaikan bersama.

Uraian tadi mempertegas bagaimana seharusnyanya menciptakan iklim atau atmosfir

sekolah sebagai lingkungan perkembangan yang kondusif bagi proses pembelajaran siswa

atau upaya memfasilitasi siswa dalam menuntaskan tugas-tugas perkembangannya.

Kelompok teman sebaya sebagai lingkungan sosial bagi remaja (siswa) mempunyai peranan

yang cukup penting bagi perkembangan kepribadiannya. Peranannya itu semakin penting,

terutama pada saat terjadinya perubahan dalam struktur masyarakat pada beberapa dekade

terakbir ini, yaitu (1) perubahan struktur ke-luarga, dari keluarga besar ke keluarga kecil, (2)

kesenjangan antara generasi tua dan generasi muda, (3) ekspansi jaringan komunikasi di

antara kawula muda, dan (4) panjangnya masa atau penundaan memasuki masyarakat orang

dewasa. Aspek kepribadian remaja yang berkembang secara menonjol dalam pengalamannya

bergaul dengan teman sebaya, adalah; (a) Social Cognition: kemampuan untuk memikirkan

tentang pikiran, perasaan, motif, dan tingkah laku dirinya dan orang lain. Kemampuannya

memahami orang lain, rnemungkinkan remaja untuk lebih mampu menjalin hubungan sosial

yang lebih baik dengan teman sebayanya. Mereka telah mampu melihat bahwa orang itu

sebagai individu yang unik, dengan perasaan, nilai-nilai, minat, dan sifat-sifat kepribadian

yang beragam, Kemampuannya ini berpengaruh kuat terhadap minatnya untuk bergaul atau

membentuk persahabatan dengan teman sebayanya (Sigelman & Shaffer, 1995: 372,376).(b)

Konformitas: motif untuk menjadi sama, sesuai, seragam, dengan nilai-nilai, kebiasaan,

kegemaran (hobi), atau budaya teman sebayanya. Berdasarkan survey nasional terhadap

remaja di Amerika, ditemukan bahwa remaja memiliki kecen-derungan yang kuat untuk

menjadi populer dan konformitas (Conger, 1983:328-329).

Konformitas kepada norma kelompok terjadi, apabila: (1) norma tersebut secara jelas

dinyatakan, (2) individu berada di bawah pengawasan kelompok, (3) kelompok memiliki

Page 9: MODEL LAYANAN PEER COUNSELING BERPENDEKATAN …

9

sanksi yang kuat, (4) kelompok memiliki sifat kohesif yang tinggi, dan (5) kecil sekali

dukungan terhadap penyim pangan dari norma (David W, Johnson, 1970: 229). Menurut

Katty King, MA (1999 : 2) memberikan pengertian bahwa: Peer Counseling is (1) Voluntary

activity; (2) No forcement for the opinion or solution; (3) Active listening; (4) Understand

each other.

Pengertian pertama, aktifitas peer counseling itu dilaksanakan atas dasar kesuka

relaan, tidak ada unsur paksaan keharusan yang membuat konselor sebaya konseli secara

terpaksa melakukan aktifitas konseling sebaya. Sedang untuk pengertian yang kedua (no

forcement for the opinion or solution), tidak ada paksaan dalam memberikan solusi dan

melaksanakan solusi, tidak ada kesan bahwa konselor sebaya lebih bijak dan lebih cerdas.

Dalam konseling sebaya juga tidak boleh ada kesan menggurui, jadi keputusan terakhir

didasarkan pada keinginan konseli (peserta didik yang dibantu dalam proses konseling) itu

sendiri. Pengertian yang ketiga (Active listening) yaitu mendengarkan secara kritis (tidak

sekedar mendengar saja), penuh analisa dan bersungguh-sungguh dalam proses penyelesaian

masalah, ada komunikasi yang efektif mengenai proses solusinya. Understand each other

adalah saling pengertian satu sama lain, memahami prinsip dan kepribadian masing-masing.

Dengan demikian Peer Counseling merupakan bentuk pemberian layanan

konseling sebagai proses yang wajar, yang diberikan oleh teman sebaya secara sukarela di

lingkungan sekolah, untuk meningkatkan fungsi sosial pemecahan masalah dimana

sebelumnya siswa sukarelawan (peer counseler) mengikuti kegiatan training konseling

sebaya terlebih dahulu. Konseling sebaya tidak diarahkan untuk mereka yang bermasalah

berat atau yang kiranya membutuhkan pertolongan konselor professional.

Nelson-Jones (Supraktiknya, 2000 : 7) menyatakan/berpendapat bahwa tujuan

konseling sebaya adalah menolong peserta didik mengatasi perasaan negatif terhadap diri

mereka sendiri, perasaan sepi, terisolasi dan melatih ketrampilan yang diperlukan dalam

hidup (life skill) seperti ketram pilan berkomnikasi, ketrampilan mengatasi masalah,

mengatasi konflik, mengambil keputusan, mengatasi kecemasan serta stres da sebagainya.

Jadi menurut penulis, konseling sebaya memiliki jangkauan penanganan yang luas karena

lebih bersifat preventif, kuratif dan develop mental. Konseling sebaya tidak hanya berkisar

pada bagaimana mengeluarkan peserta didik dalam membentuk kematangan pribadi dan

sosial.Fungsi konseling sebaya menurut Supraktiknya (2000 : 176) adalah sebagai berikut;

(1) Sebagai teman; (2) Menolong konseli agar mampu mengidentifikasikan tingkah laku

yang tidak bertanggungjawab dalam dirinya; (3) Memberikan layanan kepemimpinan; (4)

Menghilangkan perasaan-perasaan negatif; (5) Menyarankan kepada konseli agar mencari

bantuan yang lebih professional; (6) Mendo'akan si konseli.

Penulis berpendapat bahwa konselor sebaya dalam hal ini peserta didik

pembimbing merupakan pihak yang dipercaya dalam memberikan layanan konseling

walaupun masih bertaraf praprofessional (setegah-setengah dan tidak professional). Hak

yang menjadi kekhasan konselor sebaya adalah bahwa dia bisa bergerak ke tataran non

formal, lebih dekat secara pribadi dengan konseli dan persahabatan sebaya mereka yang

tidak secanggung guru pembimbing dan peserta didik (konseli).

Konseling sebaya memang tidak hanya sekedar menolong dan menggerakkan

peran sosial siswa di sekolah tapi konseling sebaya juga merupakan suatu tindakan mulia

yang langsung menyentuh pribadi siswa untuk mengembangkan sisi-sisi ketinggian

martabat manusia. Terlihat dari fungsinya yang sampai pada taraf mendo'akan si konseli,

konseling sebaya seolah lepas dari formalitas dan institusi pendidikan sebagai eksistensinya,

fungsi konseling sebaya seolah lebih dekat dengan istilah “Sahabat Sejati”. Hal itulah yang

menjadi tantangan peneliti untuk menciptakan suatu program “Persahabatan Sejati“ di

lingkungan yang cenderung formal yaitu sekolah. Jadi fungsi konseling sebaya itu adalah

sebagai teman yang bisa mengarahkan konseli pada sikap dan perilaku yang diharapkan.

Page 10: MODEL LAYANAN PEER COUNSELING BERPENDEKATAN …

10

Prinsip-prinsip Pelaksanaan Peer Counseling

Menurut Mary R.E.R (Supraktiknya, 2000 : 224) prinsip-prinsip konseling sebaya

adalah sebagai berikut : (a) Menjunjung tinggi martabat sang pribadi (b) Hak untuk

menentukan nasib sendiri (c) Individualitas (d) Konfidensialitas (e) Kemandirian (f)

Universalisme (g) Partisipasi (h) Tidak menilai (i) Objektivitas (j) Memberikan uluran

tangan (k). Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:

a. Menjunjung tinggi martabat sang pribadi

Setiap pribadi memiliki martabat, tidak peduli betapa parah masalah nya. Dasar

martabatnya ialah fakta bahwa semua manusia diciptakan oleh Allah, manusia

memiliki derajat yang tinggi disamping makhluk yang lain, sehingga dapat

membedakan diantaranya.

b. Hak untuk menentukan nasib sendiri

Setiap orang kecuali kadang-kadang karena dibuat tidak berdaya oleh masalah

yang sedang dihadapinya, bisa memecahkan sendiri masalahnya. Ia tidak boleh

dipaksa melakukan tindakan yang tidak pernah diinginkannya sendiri, mereka

mempunyai kecenderungan untuk mampu menentukan nasibnya sendiri.

c. Individualitas

Setiap orang adalah unik. Cara yang ditempuhnya untuk memecahkan masalah

berbeda dari cara yang ditempuh orang-orang lain yang meng hadapi masalah

serupa. suatu pola karakteristik tingkah laku yang dapat mewujudkan seseorang

sebagai individu yang berkarakteristik berbeda dengan individu-individu lain yang

memiliki karakteristik yang khas.

d. Konfidensialitas

Relasi dalam konseling sebaya dilindungi oleh sikap yang memberikan kepada

konseli privacy atau kerahasiaan pribadi sebanyak yang diperlukannya untuk

mengatasi masalah. Konfidensialitas menciptakan suasana percaya bagi konseli,

sehingga mereka memiliki sebuah kebebasan yang khas.

e. Kemandirian

Konseling sebaya melibatkan baik konselor maupun konseli yang sebaya usia

dalam proses memecahkan masalah. Relasi tersebut diarahkan menuju saat dimana

konseli mampu mandiri dalam memecah kan masalahnya. Tugas konselor sebaya

adalah menolong konseli meningkatkan kemampuannya dalam memecahkan

masalah, bukan membuat konseli menjadi tergantung kepadanya.

f. Universalisme

Konselor sebaya wajib menolong siapa saja yang memerlukan bantuannya, ada

kecenderungan kewajiban menolong sangat tulus tanpa pamrih didasari niat yang

ikhlas tanpa memandang jenis kelamin, kelas sosial, latar belakang agama atau

politik, warna kulit atau ras.

g. Partisipasi

Konseli wajib berpartisipasi secara aktif dalam proses memecahkan masalah,

melakukan adaptasi secara moral dan mental secara penuh ikut ambil bagian dalam

perasaan dan pemahaman yang dalam merasa bagian dalam hidupnya.

h. Tidak menilai

Konselor sebaya tidak boleh menilai konseli berdasarkan tindak perbuat annya

yang mungkin dipandang tidak pada tempatnya, diluar jangkauan kemampuan

yang wajar secara pribadi yang pilah dan utuh.

i. Objektivitas

Seorang konselor sebaya tidak boleh terlibat secara emosional dengan konselinya

sehingga ia tidak bisa lagi bersikap obyektif dalam menjalankan tugasnya.

Page 11: MODEL LAYANAN PEER COUNSELING BERPENDEKATAN …

11

Hilanglah obyektifitas ini bisa terwujud dalam sikap terlibat secara berlebihan

sampai memaksakan pandangannya sendiri dan tidak memberikan kesempatan

kepada si konseli untuk mengambil keputusan sendiri.

j. Memberikan uluran tangan

Seseorang yang tengah dirundung masalah mungkin bahkan terlampau tak berdaya

untuk meminta pertolongan. Seorang konselor sebaya wajib mengulur kan tangan

kepada teman, ikut memberikan secara suka rela bantuan pada teman yang sedang

bermasalah tanpa menyinggung harga dirinya.

k. Berpikir kritis

Konselor sebaya harus selalu mawas diri, kritis, cakap dan kreatif dalam bertindak

dan berbuat, apakah kehadirannya merupakan bagian dari masalah atau bagian dari

pemecahan masalah.

Keduabelas prinsip tersebut merupakan sikap-sikap yang harus dipegang

konselor sebaya dalam melaksanakan tugasnya sehingga nantinya tidak akan terjadi hal-

hal yang menyimpang. Menjunjung tinggi martabat si konseli (peserta didik yang

mengharapkan jasa konseling sebaya) merupakan suatu keharusan, konselor sebaya

tidak boleh menganggap konseli sebagai orang yang tidak tahu atau orang yang lemah,

tapi justru konseli adalah orang yang dengan segala keunikannya akan menyerap sendiri

pengalaman konseling sebaya itu dalam pribadinya yang pada akhirnya dia akan

mendasari segala keputusan yang diambilnya, perilaku dan sikapnya dikemudian hari.

Peneliti menyimpulkan, prinsip-prinsip konseling sebaya tersebut tidak lain adalah

sikap dari seorang sahabat sejati dengan itikad baik dan dengan segenap

kemampuannya bersedia mendampingi orang lain menuju kehidupan yang bermakna.

Prosedur Pelaksanaan Peer Counseling Menurut Suwardjo (2001:5), langkah yang dapat ditempuh oleh guru

pembimbing di sekolah adalah sebagai berikut : (a) Memilih calon pembimbing sebaya

(b) Memberikan pelatihan (c) Mengorganisir pelaksanaan bimbingan teman sebaya (d)

Pembinaan dan peningkatan pembimbing sebaya

Adapun langkah yang dimaksud dapat dijelaskan secara rinci seperti dibawah

ini sebagai berikut; (a) Memilih calon pembimbing sebaya yaitu dalam upaya ini guru

Bimbingan dan Konseling memilih serta melakukan seleksi terhadap sejumlah peserta

didik yang memiliki kepribadian, kemampuan serta memiliki wawasan luas serta

bersikap dewasa yang memiliki kharisma sehingga dapat mendukung tugas dan

perannya nanti antara lain secara psikologis lebih dewasa dari teman pada umumnya,

popular (secara positif), mempunyai kemampuan akademik lebih atau minimal

merata, proaktif, emosi cukup stabil, mampu menjaga rahasia, serta dapat bekerja

sama dengan guru dan siswa lain.(b) Memberikan pelatihan, setelah pemilihan telah

dilaksanakan maka langkah berikutnya adalah penetapan peserta didik yang sudah

terpilih dan ditetapkan sebagai kriteria yang memenuhi persyaratan dimaksud untuk

segera mengikuti serangkaian pelatihan atau training yang menekankan pada

pemahaman dan penguasaan sikap-sikap dasar yang harus dimiliki oleh calon seorang

konselor teman sebaya seperti kemampuan mengadakan layanan konseling

penerimaan, pemahaman, empati, serta kesejatiannya sebagai calon konselor; (c)

Mengorganisir pelaksanaan bimbingan teman sebaya berupa serangkaian kegiatan

yang telah didesain sedemikian rupa berupa mengoordinasikan, mendampingi proses

kegiatan tersebut atau guru pembimbing sebagai tempat berkonsultasi. (d) Pembinaan

dan peningkatan pembimbing sebaya, langkah berikutnya adalah melakukan upaya

dimana guru pembimbing melakukan pendampingan, pembinaan serta peningkatan

kemampuan para pembimbing sebaya, agar mereka dapat melakukan tugasnya sesuai

Page 12: MODEL LAYANAN PEER COUNSELING BERPENDEKATAN …

12

yang dikehendaki oleh konselor dan diharapkan mampu memainkan perannya secara

baik dan benar sehingga peserta didik yang dibantu dapat merasakan manfaatnya.

Langkah persiapan yang harus dilaksanakan sebelum program konseling

sebaya berjalan adalah menentukan konselor sebaya dan mem berikan pelatihan pada

konselor sebaya. Calon konselor sebaya tidak didapatkan begitu saja melainkan harus

melalui seleksi dan kriteria-kriteria yang harus dipenuhi oleh calon konselor sebaya.

Kriteria tersebut antara lain adalah kapasitas kepribadian seperti supel sehingga dikenal

baik oleh teman-temannya, tidak termasuk siswa bermasalah, kemampuan

berkomunikasi yang baik. Kapasitas intelektual seperti aktif dalam organisasi dan

prestasi akademik yang minimal rata-rata bahkan diatas rata-rata capaian temannya

dikelas. Selanjutnya, dalam pelaksanaan program tersebut ada koordinasi, konsultasi,

pengawasan secara intensif, pengembangan keterampilan dan kemampuan bagi

konselor sebaya yang dilakukan oleh guru BK.

Barbara B. Varenhorst melakukan cara lain tentang pengadaan konselor

sebaya dalam pedoman pengembangan programya (Krumboltz, 1976 : 544) yaitu tidak

ada seleksi konselor sebaya. Varenhorst berkeputusan seperti itu karena menurutnya

seleksi itu menyakitkan, jadi semua siswa berhak mengikuti program konseling sebaya.

Jika siswa tereliminasi, itu karena keinginan siswa sendiri untuk keluar dari program.

Dengan menerima semua siswa yang berminat mengikuti program, dapat ditemukan

aspek intervensi-konseling dari konseling sebaya itu sendiri dimana siswa yang

bermasalah dan yang merasa tidak sukses, bisa belajar mengenai solusi-solusi bagi

masalahnya, memperbaiki konsep dirinya sendiri melalui training konselor sebaya yang

diikutinya. Menurut Barbar B. Varenhorst (Krumboltz, 1976 : 542) sebagai perintis

pelaksanaan program ini memberikan prosedur menjadi beberapa bagian yaitu (a):

Pelaksanaan Training selama 18 jam bagi para peserta didik yang menjadi sukarelawan

(Peer Counseling). (b) Pengidentifikasian terhadap peserta didik dan keadaannya yang

datang untuk berkonseling sebaya yang biasa disebut dengan “ Tugas “. (c) Adanya

supervisi dan training yang kontinyu dalam bentuk kelompok “Praktikum “mingguan,

dimana terdapat diskusi tentang pengalaman dan permasalahan selama proses konseling

sebaya berlangsung.

Pendapat Suwardjo ternyata hampir mirip dengan pendapat Barbara B.

Varenhorst yaitu adanya pembekalan dan koordinasi, pengawasan dan diskusi tentang

pengalaman dan permasalahan. Tetapi dalam hal pengadaan konselor sebaya, terdapat

perbedaan dimana Varenhorst tidak mengadakan seleksi, sedangkan Suwardjo ada

seleksi dan kriteria tertentu untuk konselor sebaya. Untuk bahasan ini, penulis lebih

cenderung memilih cara pengadaan calon konselor sebaya menurut Suwardjo karena

dengan tidak adanya penyaringan membutuhkan waktu yang lama dan dana besar.

Dengan hal tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa ada kriteria calon konselor

sebaya dalam penelitian ini yaitu : (a) Lebih dewasa secara psikologis dari teman

pada umumnya. (b) Bukan peserta didik yang bermasalah. (c) Prestasi akademik yang

minimal rata-rata. (d) Populer secara positif atau dikenal baik oleh teman-teman sekelas.

(e) Emosi cukup stabil. (f) Proaktif. (g) Mampu menjaga rahasia. (h) Sanggup untuk

bekerjasama dengan peneliti selama penelitian berlangsung.

Konselor sebaya lebih dewasa dengan teman di kelas dimaksudkan agar

konselor sebaya mampu berfikir lebih rasional dalam memecahkan permasalahan serta

tidak mudah terpancing emosi. Konselor sebaya mesti bukanlah peserta didik bermasalah

agar konselor sebaya bisa dan mampu dapat memberikan perhatian sepenuhnya pada

konseli bukan justru sibuk dengan masalah sendiri. Prestasi akademik yang minimal rata-

rata memberikan indikasi bahwa konselor sebaya adalah peserta didik pandai dan rajin

sehingga di harapkan tidak malas juga dalam menangani masalah. Konselor sebaya mesti

Page 13: MODEL LAYANAN PEER COUNSELING BERPENDEKATAN …

13

dikenal baik/populer oleh peserta didik kelas artinya disenangi oleh siswa kelasnya serta

bisa diandalkan. Mampu menjaga sebuah rahasia adalah syarat penting agar konseling

sebaya menjadi program yang dapat dipercaya. Konselor sebaya juga sanggup

bekerjasama dengan konselor.

Materi Training Bagi Konseling Sebaya.

Materi-materi yang disajikan dan menjadi bahan diskusi dalam training para

konselor sebaya meliputi nilai-nilai hidup, kesadaran diri, komunikasi, seksualitas,

konseling (Supraktiknya, 2000 : 11) dan materi lain yang dianggap perlu dan sesuai

dengan konseling sebaya. Sumber-sumber materi yang akan dipergunakan dalam

training konseling sebaya, penulis dapatkan dari berbagai buku-buku yang mengulas

materi-materi tersebut sehingga tidak terpaku pada buku-buku konseling melainkan

juga buku-buku tentang pengembangan diri. yang meliputi aspek perkembangan sosial

peserta didik, yaitu hal-hal yang menyangkut:

(1) kemampuan berkomunikasi, serta menerima dan menyampaikan pendapat

secara logis, efektif dan produktif

(2) kemampuan bertingkah laku dan berhubungan sosial (di rumah, sekolah, dan

masyarakat) dengan menjungjung tinggi tata krama, norma, dan nilai-nilai,

agama, adat-istiadat dan kebiasaan yang berlaku

(3) hubungan dengan teman sebaya (di sekolah, dan di masyarakat)

(4) pengendalian emosi, penanggulangan konflik dan permasalahan yang timbul di

masyarakat (baik di sekolah maupun di luar sekolah)

(5) pemahaman dan pelaksanaan disiplin dan peraturan sekolah, di rumah, di

masyarakat

(6) pengenalan, perencanaan dan pengamalan pola hidup sederhana yang sehat dan

bergotong-royong

Keterampilan konseling untuk diajarkan kepada tenaga non profesional dari

perlakuan Co Counselor (peer counseling) telah dimodifikasi oleh Carkhuff (1969), Ivey

(1973), Gordon (1970). Keterampilan tersebut meliputi: (1) Attending yaitu perilaku

yang secara langsung berhubungan dengan respek, yang ditunjukan ketika helper

memberikan perhatian penuh pada helpee, melalui komunikasi verbal maupun non verbal,

sebagai komitmen untuk fokus pada helpee. Helper menjadi pendengar aktif yang akan

berpengaruh pada efektivitas bantuan. Termasuk pada komunikasi verbal dan non verbal

adalah; Empath, (2) Summarizing yaitu dapat menyimpulkan berbagai pernyataan helpee

menjadi satu pernyataan. Ini berpengaruh pada kesadaran untuk mencari solusi masalah,

(3) Questioning yaitu: proses mencari apa yang ada di balik diskusi, dan seringkali

berkaitan dengan kenyataan yang dihadapi helpee. Pertanyaan yang efektif dari helper

adalah yang tepat, bersifat mendalam untuk mengidentifikasi, untuk memperjelas masalah,

dan untuk mempertimbangkan alternatif, (4) Genuineness/kesejatian adalah

mengkomunikasikan secara jujur perasaan sebagai cara meningkatkan hubungan dengan

dua atau lebih individu, (5) Assertiveness/ketegasan, termasuk kemampuan untuk

mengekspresikan pemikiran dan perasaan secara jujur, yang ditunjukkan dengan cara

berterus terang, dan respek pada orang lain, (6) Confrontation adalah komunikasi yang

ditandai dengan ketidak sesuaian/ketidakcocokan perilaku seseorang dengan yang lain, (7)

Problem Solving adalah proses perubahan sesorang dari fase mengeksplorasi satu

masalah, memahami sebab-sebab masalah, dan mengevaluasi tingkah laku yang

mempengaruhi penyelesaian masalah itu.

Hal-hal yang Berkaitan dengan Training: para professional bertanggung jawab untuk

memberikan kepada para non profesional, pelatihan yang baik, penjelasan tentang standart

etik, supervisi yang pantas, dan suport atau dukungan pada orang yang dilatih dan dapat

Page 14: MODEL LAYANAN PEER COUNSELING BERPENDEKATAN …

14

berkontribusi pada tersedianya tenaga yang potensial. Brown (1974) sebagaimana dikutip

Judy A. Tindall dan Dean Gray (1985) mengemukakan bahwa program yang sukses untuk

pelatihan mesti mengontrol tiga aspek: (1) macam-macam pelatihan, (2) interaksi yang

efektif dari peers dan professional, dan (3) Supervisi dan kontrol yang pantas.

Penerapan Konseling Realitas pada Program“Peer Counseling” di SMK

Pelaksanaan konseling berpendekatan Terapi Realitas serta didorong oleh beberapa

pokok pikiran tentang pelaksanaan peer counseling, maka dapat ditawarkan berbagai bentuk

aplikatif dari program peer counseling. Model ini lebih merujuk pada pandangan Gysbers

&Henderson (1994); Gysbers & Moore, (1981). Dalam model itu terdapat tujuh komponen

dengan dua kategori utama yaitu: komponen struktur, dan komponen program.

Pada bangunan komponen struktur terbangun beberapa hal sebagai beikut; (1) definisi

program peer counseling, (2) rasional pentingnya program peer counseling, dan (3) asumsi

yang berisi prinsip yang mendasari program peer counseling. Sedangkan pada bangunan

komponen program meliputi (1) aktivitas-aktivitas utama dalam pelaksanaan program peer

counseling, (2) peran dan tanggung jawab personil sekolah yang terlibat dalam program peer

counseling. Beberapa kegitan yang termasuk bangunan komponen program adalah: (a)

Merancang program “peer counseling”, dengan mengikusertakan berbagai pihak meliputi

konselor profesional, kepala sekolah, persetujuan dan dukungan para guru dan administrasi.

Materinya meliputi: pemilihan ”peer counselor” dan pelatihan bagi peer counselor, bentuk

pelatihan, personil yang akan melatih dan kriterianya, biaya pelatihan, tempat pelatihan,

berapa lama pelatihan akan dilakukan, pihak-pihak yang dimintai dukungan untuk pelatihan,

keterampilan dasar konseling yang akan dilatihkan bagi peer counselor, pemahaman tentang

pendekatan terapi realitas yang dijadikan kerangka pikir teoritik dan praktis dalam latihan

konseling, serta evaluasi pelatihan.(b) Pelaksanaan pelatihan peer counselor (mulai dari

teoritis sampai praktek). Pelatihan dilaksanakan sesuai rencana, dan pendekatan terapi realitas

dijadikan acuan dalam memahami hakekat peer counsele sebagai manusia, dan bagaimana

masalah terjadi pada diri counsele, bagaimana mengarahkan peer counsele pada perubahan

perilaku, dengan kerangka WDEP, bagaimana hubungan konseling harus terjalin antara

konselor dengan konseli, prosedur dan teknik-teknik konseling, dan bagaimana menilai

kemajuan konseli dalam konseling. Pelatihan keterampilan dasar konseling akan berguna

untuk berkomunikasi dalam konseling, sesuai tahap-tahap konseling. Pelatihan konseling

dilakukan berupa latihan melaksanakan konseling individual maupun konseling kelompok.(c)

Bekerjanya peer counselor dalam melayani peer counselee pada counseling individual

ataupun konseling kelompok dibawah pengawasan supervisor (konselor profesional)(d)

Melakukan pembahasan dari berbagai kesulitan yang mungkin ditemui peer counselor, dan

menindaklanjuti proses konseling jika perlu. (e) Melaksanakan evaluasi terhadap hasil kerja

peer counselor, untuk peningkatan kemampuan peer counselor, dan mengkaji berbagai

kekuatan dan kelemahan yang terjadi.(f) Melakukan kaji tindak dari dampak program peer

counseling pada peer counselor dan pada peer counselee.

E. Simpulan dan Rekomendasi

Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditarik beberapa simpulan (1) Layanan peer

counseling memiliki peluang cukup besar untuk diterapkan di sekolah, jika digerakan oleh

konselor profesional dan didukung berbagai pihak, khususnya kepala sekolah, dan guru.(2)

Pendekatan terapi realitas, dapat menjadi salah satu pendekatan yang bisa dilatihkan pada

peer counselor, bersamaan dengan pelatihan keterampilan dasar konseling, karena

pendekatan ini praktis, sederhana untuk mengarahkan peer counselee pada perubahan

perilaku.(3) Pendekatan terapi realitas dipandang cocok bagi siswa SMK, terutama karena

pendekatan ini berorientasi pada masa sekarang, mengutamakan realitas, dan latihan

Page 15: MODEL LAYANAN PEER COUNSELING BERPENDEKATAN …

15

bertanggung jawab yang sangat dibutuhkan pada usia remaja sesuai tingkat perkembangan

intelektual, moral dan sosialnya. (4) Perlu riset mendalam untuk mencobakan keefektifan

program layanan peer counseling dengan pendekatan konseling realitas dalam membantu

menyelesaikan masalah-masalah peserta didik SMK.

Melalui pelatihan-pelatihan yang diberikan, diharapkan sesama anak sekolah mampu

saling dorong, saling bantu, dan mampu menjadi sumber resilience bagi sesama anak-anak di

sekolah. Dengan dimilikinya I have, teman teman sekelas akan dapat lebih terfasilitasi dalam

menemukan dirinya (I am) yang pada gilirannya akan menjadikan mereka lebih berdaya guna

(I can). Tugas konselor sebaya dapat melakukan hal-hal sebagai berikut; (1) melakukan

sosialisasi program konseling sebaya pada teman-teman di kelas secara informal yaitu

melalui kesempatan-kesempatan diskusi atau kesempatan-kesempatan yang memungkinkan

untuk sosialisasi, seperti di saat istirahat, di kantin, dan perjalanan pulang sekolah.(2)

Melaksanakan program konseling sebaya dimana peserta didik konselor sebaya melayani

konseling teman sekelasnya atau teman dekatnya di kelas lain dalam mencurahkan

problematika pergaulannya dengan lawan jenis. Peserta didik yang menjadi pembimbing

berfungsi sebagai mentor atau tutor yang membantu peserta didik lain dalam memecahkan

masalah yang dihadapinya, baik akademik maupun non-akademik. Di samping itu dia juga

berfungsi sebagai mediator yang membantu konselor dengan cara memberikan informasi

tentang kondisi, perkembangan, atau masalah peserta didik yang perlu mendapat layanan

bantuan bimbingan atau konseling.

DAFTAR PUSTAKA:

ABKIN. (2008). Penegasan Profesi Bimbingan dan Konseling. Bandung: ABKIN

ABKIN. (2009). Penegasan Profesi Bimbingan dan Konseling. Surabaya: ABKIN

Asmangiyah.(2008).http://www.lpmpdki.web.id/id/Riset-dan Penelitian/ Implementasi

Pelayanan- Konseling-Sekolah.html

Bamberger, P., and Sonnenstuhl, W.J. (1995). Peer referral networks and utilization of a

union-based EAP. The Journal of Drug Issues, 25, 2, 291-312.

Barclay, J.H., and Harland, L.K. (1995). Peer performance appraisals: The impact of rate

competence, rate location, and rating correctability on fairness perceptions. Group

& Organization Management, 20, 1, 39-60.

Burley, S., Gutkin, T., and Naumann, W. (1994). Assessing the efficacy of an academic

hearing peer tutor for a profoundly deaf student. American Annals of the Deaf, 139, 4,

415-419.

Carr, R.A. (1981). Theory and Practice of Peer Counseling. Ottawa: Canada Employment

and Immigration Commission.

Charlebois, P. LeBlanc, M., Tremblay, R.E., Gagnon, C. and Larivée, S. (1995). Teacher,

Mother, And Peer Support In The Elementary School As Protective Factors Against

Juvenile Delinquency. International Journal of Behavioral Development, 18, 1, 1-

22..

Cohen, P. (Spring, 1995). The content of their character: Educators find new ways to tackle

values and morality. Curriculum Update.

Corey, Gerald. (2005). Theory And Practice Of Counseling & Psychotherapy. USA:

Thomson Brooks/Cole.

Depdiknas (2008). Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan dan

Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal. Bandung: Jurusan PPB FIP UPI.

Dirjen P4TK, Depdiknas.(2007). Rambu-rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling

dalam Jalur Pendidikan Formal. Jakarta: Depdiknas.

Dolan, B. (1994). A teen hot line. The B.C. Counsellor, 16, 2, 28-34.

Page 16: MODEL LAYANAN PEER COUNSELING BERPENDEKATAN …

16

Emerson, B.L., &Hinkle, J.S. (1988). A police peer counselor uses reality therapy. Journal

of Reality Therapy, 8, 1, 2-5. (PsychLit)

Erhamwilda (2007). Survei terhadap Kecenderungan Siswa-Siswa SMA untuk Berkonsultasi

dalam Mengatasi Masalahnya. Penelitian Mandiri. Tidak diterbitkan.

Frisz, R.H. (1999). Multicutural Peer Counseling: Counseling the Multicultural Student.

Journal of Adolescence. 1999. 22.515-526 (Online). http://www.idealibrary.com.

Gysbers, N. C., & Henderson, P. (1994). Developing and Managing Your School Guidance

Program (second ed). Alexanderian, V.A: Amarican Association for Counseling and

Development.

Gysbers, N.C., & Moore, E.J. (1981). Improving Guidance Programs. Englewood Cliffs, NJ:

Prentice Hall.

Graetz, B., and Shute, R. (1995). Assessment of peer relationships in children with asthma.

Journal of Pediatric Psychology, 20, 2, 205-216.

Handoz. (2007). Teori tentang Self Concept. http://erikarianto. wordpress.com

/2008/01/05/konsep-diri-self-concept/

Hartnett, Sharon. (2007) Does Peer Group Identity Influence Absenteeism in High School

Students? High School Journal, v91 n2 p35-44 Dec 2007-Jan 2008. University of

North Carolina Press

Heppner, P.P, and Johnston, J.A. (1994). Peer consultation: Faculty and students working

together to improve teaching. Journal of Counseling and Development, 72, 5, 492-

499.

Heppner, P.Paul, I Bruce E. Wampold & I Dennis M. Kivlighan. (2008). Research Design in

Counseling. Thirth Edition. USA: Thomson Brooks/Cole.

Jersild, Athur.T. (1975). Child Psychology. Sevent Edition. New Jersey: Prentice Hall Inc,

Englewood Clifts.

Kamps, D.M., Barbetta, P.M., Leonard, B.R., and Delquardi, J. (1994). Classwide Peer

Tutoring: An Integration Strategy To Improve Reading Skills And Promote Peer

Interactions Among Students With Autism And General Education Peers. Journal of

Applied Behavior Analysis, 27, 49-61.

Kan, P.V. (1996). Peer Counseling in Explanation. (on line). Tersedia:

http://www.peercounseling. com.

Magin, D.J., and Churches, A.E. (1995). Peer Tutoring In Engineering Design: A Case Study.

Studies in Higher Education, 20, 1, 73-85.

Morgan, C.T. (1986). Introduction to Psychology. New York: MC.Graw Hill Book Company.

Mungin Eddy Wibowo. (2001). Model Konseling Kelompok di SMU. Disertasi. Bandung:

Pasca UPI. Tidak diterbitkan.

Nelson, J.R., Smith, D.J., and Colvin, G. (1995). The effects of a peer-mediated self-

evaluation procedure on the recess behavior of students with behavior problems.

Remedial and Special Education, 16, 2, 117-126.

Rey Carr (1994). Peer Counseling. Peer Counselor Journal (p.7).

Roesener, L. (1995). Changing the culture at Beacon Hill. Educational Leadership, 52, 7, 28-

32.

Silver, E., Coupey, s. Bauman, L., Doctors, S., &Boeck, M. (1992). Effects Of A Peer

Counseling Training Intervention On Psychological Functioning Of Adolescents.

Journal of Adolescent Development, 7, 110-128.

Suwardjo. (2008). Model Konseling Sebaya Untuk Pengembangan Daya Lentur

(Resiliences). (Studi Pengembangan Modeling Teman Sebaya untuk Mengembangkan

Daya Lentur Anak Asuh Panti Sosial Asuhan Anak, Propinsi Istimewa Yogyakarta).

Disertasi. Bandung: Pasca UPI (tidak diterbitkan).

Page 17: MODEL LAYANAN PEER COUNSELING BERPENDEKATAN …

17

Supratiknya, A, 2000. Psikologi Komunikasi. Yogyakarta : Lembaga Penelitian Universitas Sanata Dharma

Sudrajat Akhmad, http://akhmadsudrajat.wordpress.com/tag/bimbingan-dan-konseling/

Syamsu Yusuf L.N. (2005). Pengembangan Program Bimbingan dan Konseling di SMP

(Materi Workshop Bimbingan dan Konseling Berbasis Kompetensi Konselor SMP).

Jakarta : Direktorat PLP Depdiknas Bekerjasama dengan ABKIN.

Tanpa nama. (2007). Peer counseling. (http://www.wilsherifoundation.org/dw

Pages/senior.htm/

Tindall, Judy A & H.Dean Gray (1985). Peer Counseling, In Depth Look At Training Peer

Helpers. United State of America: Accelerated Development Publishers.

Varenthorst, Barbara B (1984). Peer Counseling: Past Promises, Curent Status, and

Future Directions. Editor: Steven D. Brown &Robert W.Lent . Handbook Of Counseling

Psychology. New York: John Wiley &Son.