Mobilisasi Post Operasi

download Mobilisasi Post Operasi

of 40

description

Mobilisasi Post Operasi

Transcript of Mobilisasi Post Operasi

BAB 1

11

BAB 1

PENDAHULUAN1.1 Latar Belakang Masalah

Pengetahuan adalah merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan (indera penglihatan, penciuman, rasa dan raba), sebagai manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo S, 2003 : 127). Pengetahuan juga mempengaruhi perilaku manusia dalam kesehariannya salah satunya adalah menjaga kesehatan seperti pemberian mobilisasi pada pasien post operasi fraktur ekstremitas. Mobilisasi merupakan pembuatan bagian yang dapat digerakkan yang terfiksasi, ini sangat diperlukan pada pasien post operasi fraktur mengingat sebagian besar pasien yang mengalami fraktur seringkali menimbulkan komplikasi nekrosis avaskuler atau fraktur dapat mengganggu aliran darah ke salah satu fragmen, sehingga fragmen tersebut kemudian mati, hal ini sering terjadi pada fraktur caput femaris dan gerakan ujung patahan akibat mobilisasi yang jelek dapat menyebabkan mal union, hal ini dapat diatasi dengan menghilangkan penyebabnya yaitu imobilisasi yang benar. Sedangkan fraktur sendiri merupakan putusnya kesinambungan tulang, ini memerlukan tindakan yang baik dan benar dan untuk mencapai hal itu diperlukan pengetahuan yang baik dalam pemberian tindakan (Henderson M A, 1997 : 222). Dari hal diatas motivasi dapat mempengaruhi pelaksanaan mobilisasi karena motivasi merupakan proses pembangkitan gerak agar seseorang bergerak untuk melakukan sesuatu.Insiden terjadinya fraktur di Indonesia akibat dari kecelakaan pada tahun 2003 sejumlah 13.399 jiwa, yang mengalami kematian sebanyak 9.865 orang, luka berat 6.142 orang dan luka ringan dengan fraktur sebanyak 8.694 orang (Http://penjelajahwaktu.blogspot.com/2007/09/artikel-trauma-pada-kecelakaan-lalu.html). Sedangkan data yang diperoleh dari RSU Unit Swadana Dr. R. Sosodoro Djatikoesoemo Bojonegoro pada tahun 2006 diketahui insiden terjadinya fraktur akibat kecelakaan ( 503 orang, pada tahun 2007 ( 668 orang. Di Ruang Anyelir pada satu bulan terakhir ada 27 pasien post operasi fraktur ekstremitas (Medical Record RSU Unit Swadana Dr. R. Sosodoro Djatikoesoemo Bojonegoro, April 2008), dari survey awal pada 5 pasien didapatkan 2 (40%) pasien mengerti tentang pelaksanaan mobilisasi post operasi fraktur ekstremitas.

Salah satu sebab pentingnya pengetahuan klien dalam pelaksanaan mobilisasi adalah setiap gerakan akan menyebabkan nyeri hebat sehingga uji pergerakan tidak boleh dilakukan secara kasar, disamping itu juga dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan lunak seperti darah dan saraf. Dampak yang bisa terjadi apabila kurangnya pengetahuan tentang mobilisasi dapat mengakibatkan masalah yang serius antara lain mobilisasi yang diberikan sebelum terjadi union maka kemungkinan terjadinya union sangat besar dan imobilisasi yang sempurna akan mencegah pergerakan dan kerusakan pembuluh darah yang akan mengganggu penyembuhan fraktur, sehingga hal ini sangat mempengaruhi proses dari fraktur itu sendiri (Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi : 102). Disamping itu motivasi juga dapat mempengaruhi pelaksanaan mobilisasi karena motivasi merupakan proses pembangkitan gerak agar seseorang bergerak untuk melakukan sesuatu.Mengingat banyaknya masalah di atas maka pengetahuan klien tentang mobilisasi sangat penting untuk mencegah terjadinya kerusakan jaringan lunak seperti darah dan saraf juga membantu mempercepat proses penyembuhan pada pasien fraktur dengan cara-cara mobilisasi meliputi flexi dan ekstensi jari-jari, insersi dan efersi kaki, flexsi dan ekstensi pergelangan kaki, flexsi dan ekstensi lutut (Ereeves). Dari uraian di atas maka penulis tertarik untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan pasien tentang mobilisasi dengan motivasi pelaksanaan mobilisasi post operasi fraktur ekstremitas di Ruang Anyelir RSU Unit Swadana Dr. R. Sosodoro Djatikoesoemo Bojonegoro Tahun 2008.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :

Bagaimana hubungan tingkat pengetahuan pasien tentang mobilisasi dengan motivasi pelaksanaan mobilisasi post operasi fraktur ekstremitas di Ruang Anyelir RSU Unit Swadana Dr. R. Sosodoro Djatikoesoemo Bojonegoro Tahun 2008 ?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui hubungan tingkat pengetahuan pasien tentang mobilisasi dengan motivasi pelaksanaan mobilisasi post operasi fraktur ekstremitas di Ruang Anyelir RSU Unit Swadana Dr. R. Sosodoro Djatikoesoemo Bojonegoro Tahun 2008

1.3.2 Tujuan Khusus

1.3.2.1 Mengidentifikasi tingkat pengetahuan pasien tentang mobilisasi pada post operasi fraktur ekstremitas di Ruang Anyelir RSU Unit Swadana Dr. R. Sosodoro Djatikoesoemo Bojonegoro Tahun 2008.

1.3.2.2 Mengidentifikasi motivasi pelaksanaan mobilisasi pasien post operasi fraktur ekstremitas di Ruang Anyelir RSU Unit Swadana Dr. R. Sosodoro Djatikoesoemo Bojonegoro Tahun 2008.

1.3.2.3 Menganalisa hubungan tingkat pengetahuan pasien tentang mobilisasi dengan motivasi pelaksanaan mobilisasi post operasi fraktur ekstremitas di Ruang Anyelir RSU Unit Swadana Dr. R. Sosodoro Djatikoesoemo Bojonegoro Tahun 2008.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Responden

Untuk membantu peningkatan pemahaman mobilisasi pada pasien post operasi fraktur ekstremitas.

1.4.2 Bagi Institusi

Memberikan informasi bagi istitusi yang berwenang tentang pelaksanaan mobilisasi post operasi fraktur ekstremitas.

1.4.3 Bagi Profesi Perawat

Sebagai bahan dari perawat dan mahapasien post operasi keperawatan dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien post operasi fraktur ekstremitas.

1.4.4 Bagi Peneliti

Sebagai pengalaman pertama dalam melakukan penelitian dengan menggunakan metode analitik.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKADalam bab ini akan dibahas tentang teori sebagai landasan dalam penelitian meliputi konsep pengetahuan, konsep mobilisasi, konsep motivasi, konsep perawatan post operasi, konsep fraktur ekstremitas, kerangka konsep dan hipotesa.

2.1 Konsep Pengetahuan

2.1.1 Pengertian Pengetahuan

Pengetahuan adalah merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah melakukan pengindraan terhadap suatu obyek tertentu (Notoatmodjo, 2003 : 127). Pengindraan terjadi melalui panca indra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba.

2.1.2 Tingkat Pengetahuan

Pengetahuan yang dicakup didalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat, yakni :

2.1.2.1 Tahu atau know

Tahu diartikan sebagai mengingat sesuatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang diterima. Oleh sebab itu, tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain : menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan dan sebagainya.

2.1.2.2 Memahami atau comprehension

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang obyek yang diketahui dan dapat menginterprestasi materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap obyek atau materi harus dapat menjelaskan, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya.

2.1.2.3 Aplikasi atau aplication

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya). Aplikasi disini dapat diartikan aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.

2.1.2.4 Analisis atau analisysAnalisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu obyek kedalam komponen-komponen, tetapi masih didalam suatu struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain.

2.1.2.5 Sintesis atau sintesys

Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

2.1.2.6 Evaluasi atau evaluation

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau obyek.

2.1.3 Cara Memperoleh Pengetahuan

Dari berbagai macam cara yang telah digunakan untuk memperoleh kebenaran pengetahuan sepanjang sejarah, dapat dikelompokkan menjadi dua (Notoatmodjo S, 2002 : 10-18), yakni :

2.1.3.1 Cara tradisional atau non-ilmiah

1. Cara coba-salah (trial and error)

Cara ini dilakukan dengan menggunakan kemungkinan dalam memecahkan masalah dan apabila kemungkinan tersebut tidak berhasil, dicoba kemungkinan yang lain. Metode ini telah meletakkan dasar-dasar menemukan teori-teori dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan dan juga merupakan pencerminan dari upaya memperoleh pengetahuan.

2. Cara kekuasaan atau otoritas

Pengetahuan ini diperoleh berdasarkan pada otoritas atau kekuasaan, baik tradisi, otoritas pemerintah, otoritas pemimpin, agama, maupun ahli ilmu pengetahuan. Pendapat yang dikeluarkan oleh tokoh-tokoh ilmu pengetahuan atau filsafat selalu digunakan sebagai referensi dalam memecahkan berbagai permasalahan yang dihadapi.

3. Berdasarkan pengalaman pribadi

Pengalaman pribadi merupakan sumber pengetahuan atau merupakan suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan, namun tidak semua pengalaman pribadi dapat menuntun seseorang untuk menarik kesimpulan dengan benar, hal ini diperlukan berpikir kritis dan logis.

4. Melalui jalan pikiran

Manusia telah mampu menggunakan penalarannya dalam memperoleh pengetahuan, manusia telah menggunakan jalan pikirannya baik melalui induksi maupun deduksi. Induksi dan deduksi pada dasarnya merupakan cara melahirkan pemikiran secara tidak langsung melalui pertanyaan- pertanyaan yang dikemukakan, kemudian dicari hubungannya sehingga dapat dibuat suatu kesimpulan.

2.1.3.2 Cara modern

Cara baru atau modern dalam memperoleh pengetahuan pada dewasa ini lebih sistematis, logis dan ilmiah. Cara ini disebut Metode Penelitian Ilmiah atau lebih populer disebut metodologi penelitian (Recearch Methodology).

2.1.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan

2.1.4.1 Pendidikan

Pada umumnya semakin tinggi pendidikan seseorang maka akan semakin baik pula tingkat pengetahuannya (Nursalam, 2001 : 163), dan pendidikan itu sendiri adalah bimbingan yang diberikan oleh seseorang terhadap perkembangan orang lain menuju kearah cita-cita tertentu (Nursalam, 2001 : 132 ).

2.1.4.2 Usia

Usia adalah umur individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat berulang tahun. Semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja (Nursalam, 2001 : 134 ).

2.1.4.3 Pekerjaan

Pekerjaan adalah kebutuhan yang harus dilakukan untuk menunjang kehidupannya dan kehidupan keluarganya. Bekerja pada umumnya adalah keluarga yang menyita waktu bekerja akan mempengarugi terhadap kehidupan keluarga (Nursalam dan Siti Pariani, 2001 : 133).

2.1.4.4 Pendapatan

Penghasilan yang rendah akan mengurangi kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan lainnya, seperti kebutuhan keluarga mereka terhadap gizi, perumahan dan lingkungan sehat, pendidikan dan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Jelas semuanya itu akan dengan mudah dapat menimbulkan penyakit (Effendy N, 1998 : 40).

2.2 Konsep Mobilisasi

2.2.1 Pengertian mobilisasi

Semua manusia yang normal memerlukan kemampuan untuk dapat bergerak, kehilangan kemampuan bergerak walaupun pada waktu yang singkat memerlukan tindakan-tindakan tertentu yang tepat baik pasien maupun perawat (Priharjo Robert, 1993 : 1).

Mobilisasi adalah kemampuan seseorang untuk bergerak secara bebas, mudah, teratur dan mempunyai tujuan dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup sehat (F. Gary, 2005 : 456).

Imobilisasi adalah ketidakmampuan seseorang untuk berjalan, bangkit berdiri dan lain-lain sebagaimana ketidakmampuan seseorang dalam melakukan aktiviats sehari-hari (Hinchliff Sue, 1999 : 284).

2.2.2 Tujuan mobilisasi

Status mobilisasi mempunyai kesehatan mental dan efektifitas fisik tubuh.

1. Harga diri dan body image.

2. Sistem tubuh, aktivitas yang teratur.

3. Meningkatkan kesehatan.

4. Mencegah ketidakmampuan.

5. Memperlambat serangan penyakit degeneratif.

2.2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi mobilisasi

Menurut Priharjo Robert (1993 : 5) faktor-faktor yang mempengaruhi mobilisasi adalah :

2.2.3.1 Tingkat perkembangan tubuhUsia akan mempengaruhi tingkat perkembangan neuromuskuler dan tubuh secara proporsional, pastur, pergerakan dan reflek akan berfungsi secara optimal.

2.2.3.2 Kesehatan fisik

Penyakit, cacat tubuh dan immobilisasi akan mempengaruhi pergerakan tubuh.

2.2.3.3 Keadaan nutrisi

Kurangnya nutrisi dapat menyebabkan kelemahan otot dan obesitas dapat menyebabkan pergerakan menjadi kurang bebas.

2.2.3.4 Gaya Hidup

Beberapa budaya menilai aktivitas fisik itu lebih penting dari yang lain, gaya hidup ini bermula. Beberapa anak dianjurkan keluarga untuk bermain di luar sedangkan yang lain menghabiskan waktu untuk menonton televisi, beberapa orang ikut berpartisipasi pada aktivitas fisik yang reguler untuk menjaga atau meningkatkan kesehatan mereka.

2.2.3.5 Ketidakmampuan

Menurut Tarwoto (2003 : 69) ketidakmampuan merupakan sebuah disfungsi mental atau fisik atau kelemahan yang menghambat seseorang melakukan aktivitas yang normal dari hidup dan pekerjaan. Kelemahan fisik dan mental yang menghalangi seseorang untuk melaksanakan aktifitas kehidupan ada 2 macam :

1. Ketidakmampuan primer

Disebabkan langsung oleh karena penyakit atau trauma.

Contoh : paralisis atau karena injuri spinal curd.2. Ketidakmampuan sekunder

Dampak atau akibat ketidakmampuan primer.

Contoh : kelemahan otot karena bedrest.

2.2.4 Mekanika tubuh

Mekanika tubuh menurut Priharjo Robert (1993 : 7) adalah :

2.2.4.1 Body aligment atau postur

Postur yang baik karena menggunakan otot dan rangka tersebut secara benar.

2.2.4.2 Keseimbangan

Keadaan postur yang seimbang sesuai dengan garis sumbu dengan sentralnya.

2.2.4.3 Koordinasi pergerakan tubuh

Kemampuan tubuh dalam mempertahankan keseimbangan seperti kemampuan benda.

2.2.5 Manfaat Mobilisasi

Menurut Priharjo Robert (1993 : 4) manfaat mobilisasi adalah :

1. Mencegah kontraktur.

2. Meningkatkan kardiak out put.

3. Mengatur ekspansi paru (memudahkan pertukaran O2 dan CO2).

4. Mencegah urine statis.

5. Melancarkan eliminasi alvi.

6. Mencegah kerusakan kulit.

7. Meningkatkan fungsi psikologis.

2.2.6 Pelaksanaan Mobilisasi

1. Lama mobilisasi

Minimal 15 menit - 2 jam tergantung pada kebutuhan klien.

2. Frekuensi mobilisasi

2-12 kali tiap hari tergantung kebutuhan klien.

3. Cara mobilisasi

Ada enam posisi tubuh yang dapat digunakan yaitu :

1) Terlentang.

2) Miring kanan.

3) Miring kiri.

4) Tengkurap.

5) Sim kanan.

6) Sim kiri.

2.3 Konsep Motivasi

2.3.1 Pengertian Motivasi

Motif adalah suatu istilah-istilah psikologis yang berasal dari bahasa Latin movere. Menurut Branca (Mahli Syarkawi, 2000 : 15) movere berarti bergerak. Selanjutnya pengertian motif lebih banyak dihubungkan dengan faktor penyebab timbulnya aktifitas dalam suatu proses terjadinya aktifitas itu sendiri.

Hal tersebut sesuai seperti yang dinyatakan oleh Withaker (Mahli Syarkawi, 2000 : 17) bahwa motif adalah kondisi internal yang membuat orang aktif dan mengarahkannya untuk mencapai tujuan tertentu. Sebagian ahli berpendapat bahwa istilah motif dan motivasi mengandung pengertian yang sama. Namun sebagian lagi berpendapat berbeda. Menurut Atkinson yang dikutip (Mahli Syarkawi, 2000 : 15) mengartikan motivasi sebagai perwujudan motif yang berbentuk tingkah laku yang nyata. Pendapat yang sedikit berbeda ialah pendapat Muharli (Mahli Syarkawi, 2000:15) yang mengatakan motif adalah alasan atau dorongan yang menggerakkan orang untuk melakukan sesuatu, sedangkan motivasi adalah proses pembangkitan gerak agar seseorang bergerak untuk melakukan sesuatu.

Pengertian tersebut mengandung tiga elemen penting sebagai berikut :

1. Bahwa motivasi ini mengawali terjadinya perubahan energi pada diri setiap individu manusia. Perkembangan motivasi akan membawa beberapa energi di dalam system Neurophysiological yang ada pada organisme manusia, karena menyangkut perubahan energi manusia (walaupun motivasi itu sendiri muncul dari dalam diri manusia). Penampakannya akan menyangkut kegiatan fisik manusia.

2. Motivasi ditandai dengan munculnya rasa atau feeling afeksi seseorang. Motivasi relevan dengan persoalan-persoalan kejiwaan afeksi dan emosi yang dapat menentukan tingkah laku manusia.

3. Motivasi akan dirangsang karena ada tujuan. Jadi motivasi dalam hal ini sebenarnya merupakan respon dari suatu aksi yaitu tujuan. Motivasi dapat juga dikatakan serangkaian usaha untuk menyediakan kondisi-kondisi tertentu, sehingga seseorang mau dan ingin melakukan sesuatu, jadi motivasi ini dapat dirangsang oleh faktor dari luar, walau motivasi itu sendiri tumbuhnya dari dalam diri seseorang.

Ada tiga komponen utama dalam motivasi yaitu : kebutuhan, dorongan dan tujuan. Kebutuhan terjadi bila individu merasa ada ketidak seimbangan antara apa yang ia miliki dan apa yang ia harapkan; dorongan merupakan kekuatan mental untuk melakukan kegiatan dalam rangka memenuhi harapan, sedangkan tujuan adalah hal yang ingin dicapai oleh seseorang individu, artinya tujuanlah yang mengarahkan perilaku seseorang itu.

Dalam kaitannya dengan kegiatan pelaksanaan mobilisasi, motivasi dapat dikatakan sebagai keseluruhan daya penggerak didalam diri individu yang menimbulkan kegiatan pelaksanaan mobilisasi, yang menjamin kelangsungan dari kegiatan pelaksanaan mobilisasi dan yang memberi arah pada kegiatan pelaksanaan mobilisasi sehingga tujuan yang dikehendaki oleh subyek pelaksanaan mobilisasi itu dapat tercapai.

2.3.2 Asal dan Perkembangan Motivasi

Seseorang sejak lahir telah membawa motif-motif atau dorongan-dorongan tertentu. Makin dewasa seseorang itu makin mengalami perkembangan motif melalui proses pelaksanaan mobilisasi, yang disebut motif-motif yang dipelajari (learnerd motive).

Dorongan yang timbul dari dalam diri pribadi seseorang sifatnya lebih lestari dibandingkan dengan motivasi karena pengaruh dari luar. Perilaku karena dorongan dari dalam dirinya akan lebih terarah dan konsisten dalam mencapai tujuannya. Sebaliknya perilaku yang terjadi karena pengaruh dari luar, perilaku itu akan kurang terarah, tidak konsisten dan sering mengalami pasang surut. Demikian juga aktivitas mobilisasi pasien post operasi tidak sama, tergantung pada motivasi mereka masing-masing (Pusdiknakes, 1995 : 5).

2.3.3 Kekuatan Motif dan Motivasi

Setelah kita membahas pengertian motif dan motivasi, selanjutnya kita ingin mengetahui kekuatan dari motivasi itu. Sebagai aspek psikologis, motivasi tidak dapat diukur secara langsung, melainkan hanya diukur gejala dari motivasi itu yang dinamakan tingkah laku. Dengan demikian untuk mengetahui kekuatan motivasi seseorang, juga dengan mengamati perilaku mereka yang berkaitan dengan aktifitas-aktifitas pelaksanaan mobilisasi.

Telah banyak para ahli mengadakan penyelidikan untuk menemukan cara mengukur intensitas atau kekuatan motif dan motivasi, di antaranya Skinner dengan menggunakan metode penghalang atau obstruction methode.

Dari hasil eksperimen itu Skinner (Mahli Syarkawi, 2000 : 16) mengambil kesimpulan bahwa kekuatan motivasi dapat diukur dengan mengamati atau menilai tingkat kemampuan organisme dalam mengatasi hambatan dan rintangan yang dihadapi, artinya semakin besar rintangan yang dapat diatasi berarti memiliki motivasi yang kuat pula.

Demikian pula halnya dengan motivasi pelaksanaan mobilisasi pasien post operasi, semakin besar rintangan yang diatasi, berarti semakin kuat juga motivasi pelaksanaan mobilisasi yang ia miliki, atau dengan kata lain semakin besar dan kuat motivasi pelaksanaan mobilisasi yang dimiliki, akan semakin mampu mengatasi hambatan dan masalah yang dihadapi.

2.3.4 Teori Motivasi

2.3.4.1 Teori motivasi kebutuhan

Maslow kebutuhan defisiensi adalah kebutuhan-kebutuhan fisiologis keamanan, dicintai serta diakui dalam kelompoknya dan harga diri atau prestasi. Kebutuhan ini tergantung pada orang lain.

2.3.4.2 Kebutuhan Pengembangan

Adalah kebutuhan anktualisasi diri, keinginan untuk mengetahui dan memahami dan yang terakhir kebutuhan estetis. Kebutuhan ini tidak memerlukan orang lain, ia menjadi lebih tergantung pada diri sendiri (Mangkunegara, 2001: 95).

2.3.4.3 Teori Dorongan (Drive Theories)

Teori ini mengatakan bahwa tingkah laku seseorang didorong kearah suatu tujuan tertentu karena adanya suatu kebutuhan. Dorongan tersebut adalah sesuatu yang dibawa sejak lahir atau bersifat intrinsik. Dorongan dapat dipelajari dan berasal dari pengalaman-pengalaman dimasa lalu, sehingga berbeda untuk tiap orang (Morgan at.al, 1996 : 8).

2.3.5 Bentuk-bentuk Motivasi

Menurut Mahli Syarkawi (2000 : 18) bentuk-bentuk motivasi adalah :2.3.5.1 Motivasi dilihat dari dasar pembentukannya

1. Motivasi bawaan

Adalah motivasi yang dibawa sejak lahir, motivasi itu ada tanpa dipelajari. Motivasi ini seringkali disebut motivasi yang disyaratkan secara biologis (Physiological Driver), misalnya dorongan untuk makan, dorongan untuk bekerja dan lain-lain.

2. Motivasi yang dipelajari

Adalah motivasi yang timbul karena dipelajari. Motivasi ini seringkali disebut motivasi yang disyaratkan secara sosial karena manusia hidup dalam lingkungan sosial dengan sesama manusia yang lain (Affialiative Needs), misalnya : dorongan untuk pelaksanaan mobilisasi suatu cabang ilmu pengetahuan dan lain-lain.

2.3.5.2 Motivasi berdasarkan sifat

Motivasi berdasarkan sifat menurut W.S. Winkel (1994 : 8) adalah :

1. Motivasi Intrinsik

Bentuk motivasi yang di dalamnya aktifitas pelaksanaan mobilisasi yang dimulai dan diteruskan berdasarkan suatu dorongan yang secara mutlak berhubungan dengan aktifitas pelaksanaan mobilisasi. Motivasi intrinsik merupakan dorongan pelaksanaan mobilisasi yang timbul dan berasal dari dalam individu sendiri tanpa adanya pengaruh dari luar. Motivasi ini memberikan dampak yang baik terhadap aktifitas pelaksanaan mobilisasi pasien post operasi. Dengan motivasi intrinsik ini pasien post operasi akan selalu melakukan aktifitas pelaksanaan mobilisasi yang terarah dalam mempelajari dan memahami suatu pelajaran, karena motivasi pelaksanaan mobilisasi yang tertanam dalam dirinya memang bertujuan untuk semata-mata mempalajari dan memahami yang dipelajari dengan sebaik-baiknya.2. Motivasi Ekstrinsik

Adalah motivasi yang menimbulkan aktifitas pelaksanaan mobilisasi yang dimulai dan diteruskan berdasarkan suatu dorongan yang tidak mutlak berkaitan dengan aktifitas pelaksanaan mobilisasi. Motivasi ekstrinsik timbul bukan berasal dari dirinya, akan tetapi terjadi karena adanya pengaruh dari luar. Motivasi ini memberikan dampak yang kurang baik terhadap aktifitas pelaksanaan mobilisasi pasien post operasi. Ia pelaksanaan mobilisasi bukan semata ingin memahami suatu pelajaran secara hakiki, akan tetapi ia pelaksanaan mobilisasi karena adanya pengaruh dan rangsangan dari luar dirinya yang sebenarnya tidak ada kaitannya dengan aktifitas pelaksanaan mobilisasi. Rangsangan dari luar itu dapat berupa penghargaan, pujian, imbalan dan lain sebagainya.

2.3.6 Motivasi berdasarkan tingkatan-tingkatan dari bawah sampai ke atas (Hirarkhi)

2.3.6.1 Motivasi Primer

1. Kebutuhan fisiologis, seperti lapar, haus dan lain-lain.

2. Kebutuhan akan keamanan, seperti terlindung, bebas dari ketakutan dan lain-lain.

2.3.6.2 Motivasi Sekunder

1. Kebutuhan akan cinta dan kasih, rasa diterima dan dihargai dalam suatu kelompok.

2. Kebutuhan untuk mewujudkan diri sendiri misalnya mengembangkan bakat dengan usaha mencapai hasil dalam bidang pengetahuan, sosial, pembentukan pribadi.

2.3.7 Ciri-ciri Motivasi

Menurut Azwar (1999 : 150) ciri-ciri orang yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi adalah :

1. Melakukan sesuatu dengan sebaik-baiknya.

2. Melakukan sesuatu dengan sukses.

3. Mengerjakan sesuatu dan menyelesaikan tugas-tugas yang memerlukan usaha dan keterampilan.

4. Ingin lebih baik dari orang lain.

5. Mengerjakan sesuatu yang sangat berarti atau penting.

6. Melakukan sesuatu pekerjaan yang sukar dengan baik.

7. Menyelesaikan sesuatu yang sukar.

8. Melakukan sesuatu yang lebih baik dari orang lain.

9. Membuat sesuatu yang hebat dan bermutu.2.3.8 Faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi

Menurut Tri Rusmi Widayatun (1999 : 116) faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi adalah :1. Faktor fisik dan proses mental.

2. Faktor herediter, lingkungan dan kematangan atau usia.

3. Faktor instrinsik seseorang.

4. Fasilitas (sarana dan prasana)

5. Situasi dan kondisi.

6. Program dan aktivitas.

7. Audio Visual Aid (Media)2.3.9 Cara meningkatkan motivasi

Menurut Tri Rusmi Widayatun (1999 : 116) cara meningkatkan motivasi adalah : 1. Dengan tehnik verbal

2. Tehnik tingkah laku (meniru, mencoba, menerapkan)

3. Tehnik intensif dengan cara mengambil kaidah yang ada.

4. Supervisi (kepercayaan akan suatu cara logis, namun membawa keberuntungan)

5. Citra atau image yaitu dengan imagenasi atau daya khayal yang tinggi maka individu termotivasi.

2.4 Konsep Perawatan Post Operasi

(Rondhianto, 29 January 2008. Keperawatan Perioperatif. Universitas Jember.http://www.blogger.com/email-post.g?blogID=5565340717432598598& post ID=322244381720216687)

2.4.1 Pengertian Perawatan Post Operasi Keperawatan post operatif adalah periode akhir dari keperawatan perioperatif. Selama periode ini proses keperawatan diarahkan pada menstabilkan kondisi pasien pada keadaan equlibrium fisiologis pasien, menghilangkan nyeri dan pencegahan komplikasi. Pengkajian yang cermat dan intervensi segera membantu pasien kembali pada fungsi optimalnya dengan cepat, aman dan nyaman.

Upaya yang dapat dilakukan diarahkan untuk mengantisipasi dan mencegah masalah yang kemungkinan mucul pada tahap ini. Pengkajian dan penanganan yang cepat dan akurat sangat dibutuhkan untuk mencegah komplikasi yang memperlama perawatan di rumah sakit atau membayakan diri pasien.

2.4.2 Tahapan Keperawatan Post Operasi

Perawatan post operatif meliputi beberapa tahapan, diantaranya adalah :

1. Pemindahan pasien dari kamar operasi ke unit perawatan pasca anastesi (Recovery Room)

2. Perawatan post anastesi di ruang pemulihan (Recovery Room)

3. Transportasi pasien ke ruang rawat

4. Perawatan di ruang rawat

2.4.3 Pemindahan Pasien Dari Kamar Operasi Ke Ruang Pemulihan

Pemindahan pasien dari kamar operasi ke ruang pemulihan atau unit perawatan pasca anastesi (PACU : Post Anasthesia Care Unit) memerlukan pertimbangan-pertimbangan khusus. Pertimbangan itu diantaranya adalah letak incisi bedah, perubahan vaskuler dan pemajanan. Letak incisi bedah harus selalu dipertimbangkan setiap kali pasien pasca operatif dipidahkan. Banyak luka ditutup dengan tegangan yang cukup tinggi, dan setiap upaya dilakukan untuk mencegah regangan sutura lebih lanjut. Selain itu pasien diposisikan sehingga ia tidak berbaring pada posisi yang menyumbat drain dan selang drainase. Hipotensi arteri yang serius dapat terjadi ketika pasien digerakkan dari satu posisi ke posisi lainnya. Seperti posisi litotomi ke posisi horizontal atau dari posisi lateral ke posisi terlentang. Bahkan memindahkan pasien yang telah dianastesi ke brankard dapat menimbulkan masalah gangguan vaskuler juga. Untuk itu pasien harus dipindahkan secara perlahan dan cermat. Segera setelah pasien dipindahkan ke barankard atau tempat tidur, gaun pasin yang basah (karena darah atau cairan lainnya) harus segera diganti dengan gaun yang kering untuk menghindari kontaminasi. Selama perjalanan transportasi tersebut pasien diselimuti dan diberikan pengikatan diatas lutut dan siku serta side rail harus dipasang untuk mencegah terjadi resiko injury.

2.4.4 Perawatan Post Anastesi Di Ruang Pemulihan (Recovery Room)

Setelah selesai tindakan pembedahan, pasien harus dirawat sementara di ruang pulih sadar (Recovery Room : RR) sampai kondisi pasien stabil, tidak mengalami komplikasi operasi dan memenuhi syarat untuk dipindahkan ke ruang perawatan (bangsal perawatan).

PACU atau RR biasanya terletak berdekatan dengan ruang operasi. Hal ini disebabkan untuk mempermudah akses bagi pasien untuk ;

1. Perawat yang disiapkan dalam merawat pasca operatif (perawat anastesi)

2. Ahli anastesi dan ahli bedah

3. Alat monitoring dan peralatan khusus penunjang lainnya.

Alat monitoring yang terdapat di ruang ini digunakan untuk memberikan penilaian terhadap kondisi pasien. Jenis peralatan yang ada diantaranya adalah alat bantu pernafasan : oksigen, laringoskop, set trakheostomi, peralatan bronkhial, kateter nasal, ventilator mekanik dan peralatan suction.

2.4.5 Komplikasi Post Operasi

2.4.5.1 Syok

Syok yang terjadi pada pasien bedah biasanya berupa syok hipovolemik, syok nerogenik jarang terjadi. Tanda-tanda syok secara klasik adalah pucat, kulit dingin, basah, pernafasan cepat, sianosis pada bibir, gusi dan lidah, nadi cepat, lemah dan bergetar, penurunan tekanan darah dan irine pekat

2.4.5.2 Perdarahan

Penatalaksanaan perdarahan seperti halnya pada pasien syok. Pasien diberikan posisi terlentang dengan posisi tungkai kaki membentuk sudut 20 derajat dari tempat tidur sementara lutut harus dijag tetap lurus.

Penyebab perdarahan harus dikaji dan diatasi. Luka bedah harus selalu diinspeksi terhadap perdarahan. Jika perdarahan terjadi, kassa steril dan balutan yang kuat dipasangkan dan tempat perdarahan ditinggikan pada posisi ketinggian jantung. Pergantian cairan koloid disesuaikan dengan kondisi pasien.

2.4.5.3 Trombosis vena profunda

Trombosis vena profunda adalah trombosis yang terjadi pada pembuluh darah vena bagian dalam. Komplikasi serius yang bisa ditimbulkan adalah embolisme pulmonari dan sindrom pasca flebitis.

2.4.5.4 Retensi urin

Retensi urine paling sering terjadi pada kasus-kasus pembedahan rektum, anus dan vagina. Atau juga setelah herniofari dan pembedahan pada daerah abdomen bawah. Penyebabnya adalah adanya spasme spinkter kandung kemih.

Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan adalah pemasangan kateter untuk membantu mengeluarkan urine dari kandung kemih.

2.4.5.5 Infeksi luka operasi (dehisiensi, evicerasi, fistula, nekrose, abses)

Infeksi luka psot operasi seperti dehiseinsi dan sebaginya dapat terjadi karena adanya kontaminasi luka operasi pada saat operasi maupun pada saat perawatan di ruang perawatan. Pencegahan infeksi penting dilakukan dengan pemberian antibiotik sesuai indikasi dan juga perawatan luka dengan prinsip steril. Salah satu syarat dilakukan mobilisasi pada fraktur adalah keadaan luka yang tertutup dengan jahitan dan tidak terjadi infeksi dan biasanya keadaan tersebut terjadi pada hari ke 5-7.

2.4.5.6 Sepsis

Sepsis merupakan komplikasi serius akibat infeksi dimana kuman berkembang biak. Sepsis dapat menyebabkan kematian bagi pasien karena dapat menyebabkan kegagalan multi organ.

2.4.5.7 Embolisme Pulmonal

Embolsime dapat terjadi karena benda asing (bekuan darah, udara dan lemak) yang terlepas dari tempat asalnya terbawa di sepanjang aliran darah. Embolus ini bisa menyumbat arteri pulmonal yang akan mengakibatkan pasien merasa nyeri seperti ditusuk-tusuk dan sesak nafas, cemas dan sianosis. Intervensi keperawatan seperti ambulatori pasca operatif dini dapat mengurangi resiko embolus pulmonal.

2.4.5.8 Komplikasi Gastrointestinal

Komplikasi pada gastrointestinal paling sering terjadi pada pasien yang mengalami pembedahan abdomen dan pelvis. Komplikasinya meliputi obstruksi intestinal, nyeri dan juga distensi abdomen.

2.5 Konsep Fraktur

2.5.1 Pengertian Fraktur (patah tulang)

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya (Suddarth&Brunner, 2002 : 2357).

Menurut Mansjoer Arif (2000 : 346), faktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa.

2.5.2 Etiologi fraktur

Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan puntir mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstrim. Meskipun tulang patah jaringan sekitarnya juga akan terpengaruh, mengakibatkan edema jaringan, lunak, perdarahan ke otot dan sendi, doslokasi sendi, ruptur tendo, kerusakan saraf dan kerusakan pembuluh darah. Organ tubuh dapat mengalami cidera akibat gaya yang disebabkan oleh fraktur atau akibat fragmen.

2.5.3 Klasifikasi fraktur

2.5.3.1 Fraktur komplet

Patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya mengalami pergeseran (bergeser dari posisi normal).

2.5.3.2 Fraktur tidak komplet

Patah hanya terjadi pada sebagian dari garis tengah tulang.

2.5.3.3 Fraktur tertutup (Fraktur simpel)

Fraktur yang tidak menyebabkan robeknya kulit.

2.5.3.4 Fraktur terbuka (fraktur komplikata atau kompleks)

Merupakan fraktur dengan luka pada kulit atau membran mukosa sampai kepatahan tulang. Fraktur terbuka terbagi atas tiga derajat :

Derajat I : Luka bersih, panjang kurang dari 1 cm.

Derajat II : Luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang ekstensif.

Derajat III : Luka sangat terkontaminasi dan mengalami kerusakan jaringan lunak ekstensif.

2.5.4 Manifestasi klinis

Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan ekstremiter, krepitus, pembengkakan lokal dan perubahan warna.

1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi.

2. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ekstremitas yang bisa diketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas normal.

3. Pada fraktur panjang terjadi pemendekatan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat di atas dan dibawah tempat fraktur.

4. Teraba adanya derik tulang dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya.

5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur.

Tidak semua tanda dan gejala tersebut terdapat pada setiap fraktur, kebanyakan justru tidak ada pada fraktur linear atau fisus atau fraktur impaksi atau permukaan patahan saling terdesak ke tempat lain. Diagnosis fraktur bergantung pada gejala, tanda fisik dan pemeriksaan sinar X pasien. Biasanya pasien mengeluh mengalami cidera pada daerah tersebut (Suddart & Brunner, 2002 : 2257-2359).

2.5.5 Penatalaksanaan Fraktur biasanya menyertai trauma, untuk itu sangat penting untuk melakukan pemeriksaan terhadap jalan nafas atau air way, proses pernafasan atau breathing, sirkulasi atau circulation, apakah terjadi syok atau tidak. Bila sudah dinyatakan tidak ada masalah lagi, baru lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik secara terperinci. Waktu terjadinya kecelakaan pantang ditanyakan untuk mengetahui berapa lama sampai di rumah sakit, mengingat golden periode 1-6 jam. Bila lebih dari 6 jam, komplikasi infeksi semakin besar. Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik secara cepat, singkat dan lengkap. Kemudian lakukan foto radiologis. Pemasangan bidai dilakukan untuk mengurangi rasa sakit dan mencegah terjadinya kerusakan yang lebih berat pada jaringan lunak selain memudahkan proses pembuatan foto (Mansjoer Arif, 2000 : 348).

2.5.6 Penyembuhan Fraktur

2.5.6.1 Stadium pembentukan hematom

1. Hematom terbentuk dari darah yang mengalir yang berasal dari pembuluh darah yang robek.

2. Hematoma dibungkus jaringan lunak sekitar (Periosteum dan otot).

3. Terjadi sekitar 1-2 x 24 jam.

2.5.6.2 Stadium proliferasi sel

1. Sel-sel berproliferasi dari lapisan dalam periosteum, sekitar lokasi fraktur.

2. Sel-sel ini menjadi precursor osteoblast.

3. Sel-sel ini aktif tumbuh kearah fragmen tulang.

4. Proliferasi juga terjadi dijaringan sumsum tulang.

5. Terjadi setelah hari ke 2 kecelakaan terjadi.

2.5.6.3 Stadium pembentukan kalus

1. Osteoblast membentuk tulang lunak (kallus)

2. Kallus memberikan rigiditas pada fraktur.

3. Jika terlihat massa kallus pada X-Ray berarti fraktur teraba telah menyatu.

4. Terjadi setelah 6-10 hari setelah kecelakaan.

2.5.6.4 Stadium Konsolidasi

1. Kallus mengeras dan terjadi proses konsolidasi, fraktur teraba telah menyatu.

2. Secara bertahap menjadi tulang mature.

3. Terjadi pada minggu ke 3 10 minggu setelah kecelakaan.

2.5.6.5 Stadium remodelling

1. Lapisan bulbous mengelilingi tulang khususnya pada lokasi eks fraktur.

2. Tulang yang berlebihan dibuang oleh osteoklas (Fagosit).

3. Pada anak-anak remodeling dapat sempurna, dewasa masih ada penebalan tulang.

2.6 Kerangka Konsep

Kerangka konsep adalah konsep yang dipakai sebagai landasan berpikir dalam kegiatan ilmu (Nursalam, 2003 : 56).

Keterangan :

: Diteliti

: Tidak diteliti

Gambar 2.1Kerangka Konsep Hubungan Tingkat Pengetahuan Pasien Tentang Mobilisasi Dengan Motivasi Pelaksanaan Mobilisasi Post Operasi Fraktur Ekstremitas Di Ruang Anyelir RSU Unit Swadana Dr. R. Sosodoro Djatikoesoemo Bojonegoro Tahun 2008.

2.7 Hipotesa Penelitian Hipotesa adalah suatu asumsi pernyataan tentang hubungan antara dua atau lebih variabel yang diharapkan bisa menjawab suatu pernyataan dalam riset (Nursalam, 2001 : 34).

H0 :Tidak ada hubungan tingkat pengetahuan pasien tentang mobilisasi dengan motivasi pelaksanaan mobilisasi post operasi fraktur ekstremitas di Ruang Anyelir RSU Unit Swadana Dr. R. Sosodoro Djatikoesoemo Bojonegoro Tahun 2008.

BAB 3

METODE PENELITIANMetode adalah merupakan cara utama yang digunakan untuk mencapai suatu tujuan, misalnya untuk menguji serangkaian hipotesa dengan menggunakan tehnik serta alat-alat tertentu (Notoatmodjo S, 2002 : 3). Pada bab ini akan diuraikan tentang desain penelitian, kerangka kerja (frame work), populasi, sampel, sampling dan waktu penelitian, identifikasi variabel, definisi operasional, tehnik pengumpulan data, masalah etika dan keterbatasan.

3.1 Desain Penelitian

Desain penelitian adalah sesuatu yang sangat penting yang memungkinkan pemaksimalan kontra beberapa faktor yang bisa mempengaruhi akurasi suatu hasil (Nursalam, 2003 : 77).

Pada penelitian ini menggunakan desain penelitian analitik dengan pendekatan observasi cross sectional yaitu penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi antara fenomena baik antara faktor resiko dengan faktor efek dengan cara pendekatan, observasi atau pengumpulan data sekaligus suatu saat (point time approach) (Notoatmodjo S, 2003 : 85).

3.2 Kerangka Kerja

Kerangka kerja merupakan bagan kerja terhadap rancangan kegiatan penelitian yang akan dilakukan, meliputi siapa yang akan diteliti (subjek penelitian), variabel yang akan diteliti dan variabel yang mempengaruhi dalam penelitian, ini dapat digambarkan :

3.3 Populasi, Sampel dan Sampling

3.3.1 Populasi

Populasi adalah keseluruhan dari objek penelitian atau objek yang akan diteliti (Nursalam, 2003 : 93). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien post operasi fraktur ekstremitas di Ruang Anyelir RSU Unit Swadana Dr. R. Sosodoro Djatikoesoemo Bojonegoro Tahun 2008, sebanyak 27 responden.

3.3.2 Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi (Nursalam, 2003 : 95), yang dijadikan sampel dalam penelitian ini adalah yang memenuhi kriteria inklusi yaitu karakteristik umum subjek penelitian dari suatu populasi target dan terjangkau yang akan diteliti. Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh pasien post operasi fraktur ekstremitas di Ruang Anyelir RSU Unit Swadana Dr. R. Sosodoro Djatikoesoemo Bojonegoro Tahun 2008 yaitu sebanyak 27 responden yang memenuhi kriteris inklusi.

Menurut Arikunto (2002 : 112) apabila populasi kurang dari 100, maka sampel diambil semua sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi. Pada penelitian ini sampel adalah jumlah populasi yang memenuhi kriteria inklusi.

Kriteria inklusi adalah karateristik sampel yang dapat dimasukkan atau yang layak untuk diteliti adalah :

1. Pasien dengan post operasi fraktur ekstremitas.

2. Pasien yang bersedia diteliti.

3. Pasien yang bersedia menandatangani informed consent.

3.3.3 Sampling

Sampling adalah proses menyeleksi porsi dalam populasi untuk mewakili populasi. Tehnik sampling merupakan cara-cara yang ditempuh dalam pengambilan sampel, agar memperoleh sampel yang benar-benar sesuai dengan keseluruhan penelitian (Nursalam, 2003 : 97). Pada penelitian ini menggunakan Total sampling yaitu penelitian menggunakan seluruh jumlah populasi sebanyak sampel yang telah memenuhi kriteria inklusi.

3.4 Identifikasi Variabel

Variabel adalah suatu ukuran atau ciri yang dimiliki oleh anggota suatu kelompok (orang, benda, situasi) yang berbeda yang dimiliki oleh kelompok tersebut (Nursalam, 2001 : 41).

3.4.1 Variabel independent

Variabel independent adalah stimulasi aktivitas yang menipulasi oleh peneliti untuk menciptakan suatu dampak pada variabel dependent (Nursalam, 2001 : 66). Variabel independent pada penelitian ini adalah tingkat pengetahuan pasien post operasi fraktur ekstremitas tentang mobilisasi.

3.4.2 Variabel dependent

Variabel dependent adalah variabel yang nilainya di tentukan oleh variabel lain (Nursalam, 2003 : 102). Variabel dependent pada penelitian ini adalah motivasi pelaksanaan mobilisasi pasien post operasi fraktur ekstremitas.

3.5 Definisi Operasional

Definisi operasional adalah definisi berdasarkan karakteristik yang diamati dari sesuatu yang didefinisikan tersebut (Nursalam, 2003 : 106).

Tabel 3.1Definisi Operasional Hubungan Tingkat Pengetahuan Pasien Tentang Mobilisasi Dengan Motivasi Pelaksanaan Mobilisasi Post Operasi Fraktur Ekstremitas Di Ruang Anyelir RSU Unit Swadana Dr. R. Sosodoro Djatikoesoemo Bojonegoro Tahun 2008.

VariabelDefinisi OperasionalIndikator Alat UkurSkalaSkor

Variabel independent :

Pengetahuan pasien post operasi fraktur ekstremitas tentang mobilisasi.Segala sesuatu yang diketahui oleh pasien tentang mobilisasi pada operasi pasien post operasi fraktur ekstremitas.Pengetahuan pasien tentang :

1. Pengertian mobilisasi.

2. Tujuan mobilisasi.

3. Faktor yang mempengaruhi mobilisasi.

4. Mekanika tubuh.

5. Manfaat mobilisasi.Kuesioner

Ordinal Ya : 1

Tidak : 0

Dengan kriteria :

1. Pengetahuan baik, bila responden bisa menjawab ya 4-5 pertanyaan (76-100%).

2. Pengetahuan cukup, bila responden bisa menjawab ya 3 pertanyaan (56-75%).

3. bila responden bisa menjawab ya ( 2 pertanyaan (( 55%).

Variabel dependen :

Motivasi pelaksanaan mobilisasi pasien post operasi fraktur ekstremitas.Motivasi pelaksanaan mobilisasi pada pasien post operasi fraktur ekstremitas.Pelaksanaan mobilisasi selama 15 menit-2 jam dengan posisi :

1. Terlentang.

2. Miring kanan.

3. Miring kiri.

4. Tengkurap.

5. Sim kanan.

6. Sim kiri.KuesionerOrdinal Ya : 1

Tidak: 0

Dengan Kriteria :

1. Pelaksanaan baik, bila responden bisa menjawab ya 8-10 pertanyaan (76-100%).

2. Pelaksanaan cukup, bila responden bisa menjawab ya 6-7 pertanyaan (56-75%).

3. Pelaksanaan kurang, bila responden bisa menjawab ya ( 5 pertanyaan (( 55%).

3.6 Pengumpulan Data Dan Analisa Data

3.6.1 Pengumpulan data

Pengumpulan data adalah suatu proses pendekatan kepada subyek dan proses pengumpulan karakteristik subyek yang diperlukan dalam suatu penelitian (Nursalam, 2003 : 115).

3.6.1.1 Proses pengumpulan data

Dalam proses pengumpulan data peneliti mendapatkan ijin dari Direktur Akademi Kesehatan Rajekwesi Bojonegoro, Kepala Dinas Kesbanglinmas Bojonegoro, Kepala Dinas Kesehatan, Direktur RSU Unit Swadana Dr. R. Sosodoro Djatikoesoemo Bojonegoro dan responden. Cara pengumpulan data dengan memberikan lembar pertanyaan kepada responden. Jika ada kesulitan dalam pengumpulan data, peneliti memberikan penjelasan pada responden tentang tujuan dan manfaat penelitian.

3.6.1.2 Instrumen penelitian

Instrument penelitian adalah hal-hal yang akan digunakan untuk pengumpulan data (Notoatmodjo S, 2002 : 48). Jenis instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner. Kuesioner adalah sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden dalam arti laporan tentang pribadinya atau hal-hal yang ia ketahui (Arikunto, 2002 : 128).

3.6.1.3 Tempat dan waktu penelitian

1. Tempat penelitian ini dilakukan di RSU Unit Swadana Dr. R. Sosodoro Djatikoesoemo Bojonegoro dengan alasan :

a. Belum pernah dilakukan penelitian serupa ditempat tersebut.

b. Tempat penelitian mudah dijangkau.

2. Waktu penelitian

Penelitian dan mulai pengambilan data dilakukan pada bulan Mei sampai dengan Juli Tahun 2008.

3.6.2 Analisa data

3.6.2.1 Editing

Langkah ini dilakukan untuk mengantisipasi kesalahan-kesalahan data yang telah dikumpulkan. Juga memonitor jangan sampai terjadi kekosongan data yang dibutuhkan.

3.6.2.2 Coding

Setiap responden diberi kode sesuai dengan nomor urut responden. Untuk jawaban data variabel independent pengetahuan pasien post operasi fraktur ekstremitas tentang mobilisasi baik diberi kode 3, cukup diberi kode 2 dan kurang diberi kode 1. Sedangkan variabel motivasi pelaksanaan mobilisasi pasien post operasi fraktur ekstremitas, Baik di beri kode 3, cukup diberi kode 2 dan kurang diberi kode 1.

3.6.2.3 Skoring

Pada variabel independent, diberi skor 0 jika jawaban tidak dan diberi skor 1 jika jawaban ya. Dan pada variabel dependent di beri skor 1 jika mobilisasi baik dan skor 2 jika mobilisasi tidak baik. Dapat dihitung dengan menggunakan rumus :

Keterangan :

N: Nilai yang didapat.

Sp : Skor yang didapat.

Sm : Skor tertinggi maksimal (Arikunto S, 2002 : 249).

Setelah dilakukan prosentase, kemudian tingkat pengetahuan di interpretasikan dengan :

1. Baik : bila responden bisa menjawab pertanyaan dengan nilai (76-100%).

2. Cukup : bila responden bisa menjawab pertanyaan dengan nilai (56-75%).

3. Kurang : bila responden bisa menjawab pertanyaan dengan nilai (( 55%).

3.6.2.4 Tabulating

Dari pengelolaan data yang dilakukan kemudian dimasukkan dalam tabel distribusi yang dikonfirmasikan dalam bentuk prosentase dan narasi kemudian dilakukan tabulasi silang untuk mengetahui hubungan antara variabel independent dan dependent. Dan hasil penelitian didistribusikan ke dalam tabel. Uji korelasi pada penelitian ini menggunakan uji korelasi spearmans rho dengan tehnik komputerisasi SPSS 12 dengan taraf siginifikasi 0,05 dimana H0 ditolak jika nilai signifikasi lebih kecil dari taraf nyata (( = 0,05). Spearmans rho akan menunjukkan korelasi antara dua gejala ordinal.

Untuk indeks korelasi dapat diketahui 4 hal, yaitu :

1. Arah korelasi

Dinyatakan dalam tanda + (plus) dan (minus), tanda (minus) menunjukkan adanya korelasi sejajar berlawanan arah.

2. Ada tidaknya korelasi

Dinyatakan dalam rangka pada indeks. Betapapun kecilnya indeks korelasi jika bukan 0,000 dapat diartikan bahwa kedua variabel yang dikorelasikan terdapat adanya korelasi.

3. Signifikan tidaknya harga r

Signifikan tidaknya korelasi.

4. Interpretasi mengenai tinggi rendahnya korelasi

Tabel 3.2 Tabel interpretasi nilai r

Besarnya nilai rInterpretasi

Antara 0,800 sampai dengan 1,00

Antara 0,600 sampai dengan 0,800

Antara 0,400 sampai dengan 0,600

Antara 0,200 sampai dengan 0,400

Antara 0,000 sampai dengan 0,200Tinggi

Cukup

Agak rendah

Rendah

Sangat rendah

(Arikunto, 1998 : 247).

3.7 Etika Penelitian

Dalam melakukan penelitian, peneliti mengajukan permohonan izin kepada Direktur RSU Unit Swadana Dr. R. Sosodoro Djatikoesoemo Bojonegoro untuk mendapatkan persetujuan dengan menekankan masalah etika yang meliputi :

3.7.1 Lembar persetujuan menjadi responden

Lembar persetujuan diberikan kepada subyek yang akan diteliti, peneliti menjelaskan maksud dan tujuan riset yang dilakukan serta dampak yang mungkin terjadi selama dan sesudah pengumpulan data. Jika klien dengan post operasi fraktur bersedia diteliti, maka klien harus menandatangani lembar persetujuan tersebut dan bila klien menolak untuk diteliti, maka peneliti tidak akan memaksa dan tetap menghormati hak-haknya.

3.7.2 Annonimity (tanpa nama)

Untuk menjaga kerahasiaan klien dengan post operasi fraktur, peneliti tidak mencantumkan namanya pada lembar pengumpulan data, cukup dengan memberikan nomor kode masing-masing lembar tersebut.

3.7.3 Confidentiality (kerahasiaan)

Kerahasiaan informasi yang diberikan oleh subyek dijamin oleh peneliti.

3.8 Keterbatasan

3.8.1 Pengumpulan data dengan kuesioner memungkinkan jawaban kurang valid karena lebih banyak dipengaruhi oleh sikap dan harapan-harapan pribadi yang bersifat subyektif, sehingga hasilnya kurang mewakili secara kwalitatif).

3.8.2 Waktu penelitian terbatas, sehingga sampel yang didapatkan terbatas jumlahnya, biaya yang tersedia serta kemampuan peneliti yang masih sangat terbatas (peneliti pemula), sehingga hasil yang diharapan kurang sempurna dan kurang memuaskan.

Baik

Pelaksanaan mobilisasi post operasi fraktur ekstremitas

Baik

Penyajian hasil

Cukup

Mobilisasi :

Pengertian mobilisasi

Tujuan mobilisasi

Faktor-faktor yang mempengaruhi mobilisasi

Mekanika tubuh

Manfaat Mobilisasi

Waktu pelaksanaan mobilisasi.

Frekuensi mobilisasi.

Cara mobilisasi

Kurang

Cukup

Kurang

Identifikasi variabel

Kesimpulan

Analisa data dengan uji Spearmans rho

Pengumpulan data : Kuesioner

Pengumpulan data : Kuesioner

Pengolahan data dengan cara coding, skoring, tabulating

Variabel dependent :

Motivasi pelaksanaan mobilisasi pasien post operasi fraktur ekstremitas

Variabel Independent :

Pengetahuan pasien post ops fraktur ekstremitas tentang mobilisasi

Sampel:Seluruh pasien post operasi fraktur ekstremitas di Ruang Anyelir RSU Unit Swadana Dr. R. Sosodoro Djatikoesoemo Bojonegoro Tahun 2008, sebanyak 27 responden yang memenuhi kriteria inklusi.

Sampling

Total sampling

Populasi:Seluruh pasien post operasi fraktur ekstremitas di Ruang Anyelir RSU Unit Swadana Dr. R. Sosodoro Djatikoesoemo Bojonegoro Tahun 2008, sebanyak 27 responden.

Gambar 3.1 Kerangka Kerja Hubungan Tingkat Pengetahuan Pasien Tentang Mobilisasi Dengan Motivasi Pelaksanaan Mobilisasi Post Ops Fraktur Ekstremitas Di Ruang Anyelir RSU Unit Swadana Dr. R. Sosodoro Djatikoesoemo Bojonegoro Tahun 2008

Tingkat pengetahuan pasien tentang mobilisasi:

Tahu

Memahami

Aplikasi

Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan :

Usia.

Pendidikan.

Pekerjaan.

Penghasilan

Analisis

Sintesis

Evaluasi

Perawatan Post operasi

Faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi :

Faktor fisik dan proses mental.

Faktor herediter, lingkungan dan kematangan atau usia.

Faktor instrinsik seseorang.

Fasilitas (sarana dan prasana)

Situasi dan kondisi.

Program dan aktivitas.

Audio Visual Aid (Media)

PAGE 1

_1218392930.unknown