MNC Ekonomi Global

download MNC Ekonomi Global

of 37

Transcript of MNC Ekonomi Global

Tata Hubungan Negara dengan MNC Pasca Krisis Ekonomi GlobalAmerika Serikat (AS) dalam perkembangan ekonomi dunia merupakan peta kekuatan ekonomi yang sangat besar dan memiliki pengaruh yang sangat kuat bagi perekonomian dunia. Keguncangan perekonomian AS bermula dari krisis subprime mortgage loan, yakni kredit pemilikan rumah (KPR) kepada para debitor menengah bawah yang tidak layak mendapatkan kredit. Permasalahan ini bermula dari tingkat inflasi yang cukup tinggi karena peningkatan harga properti, seperti tanah dan bangunan di daerah perekonomian, yang selanjutnya menyebabkan output bisnis (barang dan jasa) ikut merangkak naik karena biaya yang dikeluarkan oleh pelaku ekonomi mengalami kenaikan juga. Kenaikan harga properti tersebut diindikasikan karena terdapatnya peningkatan kebutuhan properti di daerah tersebut, sehingga apabila terdapat permintaan yang tinggi, sementara penawaran belum dapat mengimbangi, maka akan mempengaruhi harga untuk merangkak naik. Disamping itu, inflasi dipengaruhi oleh kenaikan harga minyak di dunia yang mendorong kenaikan harga kebutuhan hidup yang dialami oleh masyarakat AS, khususnya kalangan menengah ke bawah. Perkreditan rumah ini diberikan kepada orang-orang yang beresiko tinggi, yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pemberi kredit. Surat kredit tersebut selanjutnya dijual sebagai Mortgage-Backs Security (MBS) kepada para investor dengan adanya imbalan hasil. Namun, dengan terjadinya permasalahan inflasi yang dialami masyarakat AS, membuat para kreditor rumah tersebut tidak mampu untuk membayar cicilan kreditnya kepada lembaga pemberi kredit. Sehingga, terjadi kredit macet pada lembaga pemberi utang, sehingga tidak dapat membayar kewajibannya kepada investor sebagai imbalan hasil dari penjualan surat kredit tersebut. Hal ini yang dialami oleh perusahaan-perusahaan besar AS seperti Lehman Brothers, American International Group (AIG), Merril Lynch, Goldman Sach, dan lainlain mengalami kebangkrutan. Kasus subprime mortgage ini yang menyebabkan kondisi ekonomi AS saat ini menurun dengan ditandai inflasi tinggi, pertumbuhan ekonomi yang melambat, angka pengangguran yang melonjak, serta defisit budget dan defisit neraca pembayaran yang terus membengkak. Disamping itu kegiatan investasi pada bidang properti dan portfolio perusahaan syarat dengan tindakan spekulatif. Banyak pelaku spekulasi yang menginvestasikan keuangannya pada bidang properti dengan membeli sektor-sektor properti seperti rumah dan apartemen yang selanjutnya hanya dijadikan untuk penyewaan. Pembelian investasi tersebut dengan menggunakan dana pinjaman dari lembaga pemberi utang dimana dana pinjaman tersebut harus dibayarkan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Kesalahan ekspektasi bisnis dan gejala krisis yang muncul membuat investor tersebut menjual asetnya yang digunakan untuk

membayar pinjaman, namun pada umumnya tidak dapat mencukupi. Sehingga, memunculkan masalah kredit macet yang dihadapi lembaga pemberi hutang. Begitu pula keadaan pada investasi portfolio, yaitu untuk menjaga Total Shareholders Return (TSR), investor bermain-main dengan saham dengan prilaku spekulatif, yang hanya menguntungkan pada jangka pendek saja. Dengan terjadinya economic bubble yang disebabkan oleh pertumbuhan yang tidak riil, maka keadaan tersebut rentan terhadap keguncangan krisis ekonomi. Stiglitz mengkritik para akuntan dan CEO bank investasi yang tidak bekerja efisien. Selain melakukan kesalahan alokasi, mereka juga menggelembungkan aset. Cepat atau lambat, gelembung itu akan pecah dan terjadilah resesi ekonomi. Investasi yang berlebihan pada produk derivatif (stocks, komoditi, surat hutang, investasi dan nilai tukar uang) membuat perusahaan finansial jatuh. Sebagai contoh, harga minyak yang tidak stabil serta berbagai komoditas pertambangan dan perkebunan dikarenakan ulah perusahaan finansial. Harga pasar tak lagi merujuk pada nilai fisik barang, melainkan pada harga akan datang yang memang syarat dengan tindakan spekulasi. Pada dasarnya, pertumbuhan ekonomi yang dilatarbelakangi dengan pertumbuhan sektor finansial dimana pergerakan pasar modal dan investasi bebas untuk melewati batas negara, telah mengangkat pertumbuhan ekonomi AS. Akan tetapi hal ini tidak dibarengi dengan pertumbuhan sektor riil yang seharusnya juga menopang pertumbuhan ekonomi dengan memfasilitasi kegiatan ekonomi domestik. Sehingga dengan terjadinya krisis tersebut, memberikan dampak juga terhadap perkonomian negara lain yang memiliki hubungan dagang dengan pasar AS, terutama yang memiliki presentasi ketergantungan perdagangan yang besar dengan AS. CONTOH KASUS PADA MULTINATIONAL CORPORATION (MNC) Krisis yang dialami belakangan ini yang diawali dari dalam AS salah satunya dipicu oleh kegagalan MNC-MNC raksasa AS. Tahun 2003, investor legendaris Warren E. Buffett menyatakan bahwa derivatif sebagai "weapons of mass destruction". Buffett telah memprediksikan bahwa instumen finansial yang kompleks dengan berubah bentuk, berpindah dan berlipat-ganda sampai suatu saat akan menampakkan dampak yang berbahaya. Sebagai bukti adalah Lehman Brothers yang merupakan perusahaan finansial / lembaga pemberi hutang yang dilihat sebagai suatu bencana. Dalam kasus ini, Lehman Brothers memberikan kredit pemilikan rumah (KPR) kepada para debitor yang tidak pantas diberikan fasilitas kredit. Namun pemberian kredit tetap dilakukan agar dapat menjual kembali surat hutang tersebut kepada investor yang berinvestasi pada surat hutang. Surat kredit tersebut selanjutnya dijual sebagai Mortgage-Backs Security (MBS) kepada para investor dengan adanya imbalan hasil.

Akan tetapi dalam kondisi seperti itu, dimana tingkat inflasi yang tinggi akibat salah satunya faktor dari kenaikan harga minyak dunia , membuat para kreditor KPR tersebut tidak memiliki kemampuan untuk membayar cicilan dari kredit perumahan tersebut. Dikarenakan pembayaran kredit yang tidak lancar bahkan adanya kredit macet, maka membuat Lehman Brothers tidak mampu untuk membayarkan kewajibannya kepada para investor. Seperti contoh dalam kasusnya dengan Bank of Atlanta dimana menginvestasikan $US 757 juta dengan shareholders return sebesar $US 179 juta. Lehman Brothers terpojokkan dengan keadaan dimana tidak dapat memberikan return investment kepada para investor, Lehman Brothers melaporkan bahwa perusahaan tersebut pailit dan bangkrut. Krisis keuangan yang menimpa Lehman Brothers tidak hanya melumpuhkan ekonomi AS, tetapi juga mempengaruhi merosotnya ekonomi dunia. Kondisi ekonomi AS saat ini ditandai inflasi tinggi, pertumbuhan ekonomi yang melambat, angka pengangguran yang melonjak, serta defisit budget dan defisit neraca pembayaran yang terus membengkak. Keadaan seperti itu dimana pemerintah membiarkan perekonomian dijalankan oleh mekanisme pasar. Berdasarkan Joseph E Stiglitz, menyatakan informasi tidak pernah menyebar dengan sempurna, dan pasar takkan selalu berjalan sempurna. Serta, tanpa intervensi pemerintah, tanpa adanya regulasi atau perangkat hukum yang baik, dan pengawasan yang ketat, pasar akan mengarah pada inefisiensi. ANALISA HUBUNGAN MNC DENGAN NEGARA Dalam liberal ekonomi terdapat pemisahan antara kegiatan politik dengan ekonomi. Pengaruh politik memang tidak dapat dihindari dan peran pemerintah atau negara diperlukan dalam segi pertahanan, hukum dan kebijakan. Akan tetapi, bagi liberal, pemerintah dan politik tidak seharusnya dapat mempengaruhi kegiatan-kegiatan perkonomian, usaha dan bisnis, dan dalam hal ini, ekonomi diserahkan sepenuhnya kepada pasar, yang dalam hal ini terdapat sektor privat. Ekonomi liberal berkomitmen politik dan ekonomi merupakan bagian yang terpisah dan pasar harus tetap bebas dari pengaruh politik. Namun dengan krisis finansial global yang terjadi mendorong perubahaan penataan hubungan MNC dengan negara. Banyak perusahaan-perusahaan multinational yang berjatuhan sejak terjadinya krisis global karena sudah tidak dapat menjalankan kegiatan perekonomiannya dengan kapasitas yang mereka miliki. Sehingga memaksa MNC tersebut untuk mengurangi produksi, pemutusan hubungan kerja sampai penutupan perusahaan karena terjadi kebangkrutan. Keadaan seperti itu sudah tentu dapat mempengaruhi perekonomian suatu negara, karena kegiatan perekonomian tidak berjalan dengan baik, inflasi yang tinggi, tingkat pengangguran meningkat, dan defisit keuangan. Sehingga akan menimbulkan permasalahan

ekonomi dan sosial yang serius pada negara tersebut. Keadaan penurunan produktifitas dari sektor-sektor produksi dalam perekonomian memperburuk keadaan ekonomi negara-negara yang mengalami dampak dari krisis finansial global, sehingga hal tersebut mendorong pada perubahan kebijakankebijakan suatu negara dalam menanggapi permasalahan yang sedang dihadapi agar pertumbungan perekonomian tidak larut dalam keterpurukan dan dapat meningkat kembali dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Apabila kebijakan tersebut tidak dijalankan oleh pemerintahan yang bersangkutan, maka dampak yang akan dihadapi semakin meluas ke berbagai aspek kehidupan negara. Negara dalam menanggapinya dengan melakukan interfensi terhadap kegiatan ekonomi, walaupun dalam ekonomi politik internasional sekarang ini menganut sistem liberal yang menekankan kepada pasar yang bebas dari interfensi negara. Stephen Kresner berpendapat bahwa terdapat ekonomi realism yang dimotivasi oleh kebutuhan untuk memajukan kemajuan ekonomi dan stabilitas society dengan adanya pengaruh dari pemerintah. Keterkaitan negara di area ekonomi dan sosial adalah merupakan suatu tanggapan terhadap ketidakpastian dalam modern ekonomi sekarang ini baik domestik maupun global, dan respon terhadap kompleksitas pada kemajuan perindustrian dan kegiatan-kegiatan eknomi di masyarakat. Keadaan yang tidak menentu sekarang ini akibat dari krisis global, dibutuhkan peran negara dalam perekonomian untuk menjaga stabilitas ekonomi dan keamanan tenaga kerja. Pemerintah memiliki tanggung jawab terhadap ekonomi yang baik kepada warga negara, ketersediaan lapangan pekerjaan, stabilitas dan pertumbuhan, yang menjadi subjek penting dalam kebijakan publik negara. Interfensi pemerintah dalam menyelamatkan perekonomian negara dapat terlihat pada kebijakan bail-out sebesar $US 700 miliar yang dilakukan oleh pemerintah Amerika. George Bush, Presiden Amerika, mengeluarkan kebijakan tersebut sebagai rencana penyelamatan pada institusi-institusi yang mengalami permasalahan finansial dalam krisis global. Pemerintah berperan untuk membantu pencegahan krisis pada Wall Street, AIG dan Citibank. Sehingga dapat menghindarkan juga dari permasalahan sosial dan ekonomi yang akan muncul atas dampak krisis yang dapat terjadi di dalam maupun luar Amerika. Amerika, dalam mendorong pergerakan sektor rill dan menekan kenaikan angka pengangguran, akan menyediakan dana sebesar $US 34 miliar untuk mencegah bangkrutnya tiga perusahaan otomotif terbesar, yaitu General Motors, Ford dan Chrysler. Kebijakan ini dilakukan karena apabila salah satu dari perusahaan tersebut jatuh, maka akan berdampak buruk bagi perekonomian Amerika secara keseluruhan. Lebih dari setengah juta pekerja kehilangan pekerjaannya pada bulan November 2008 karena dampak dari krisis yang dialami. Keadaan tersebut mendorong tingkat pengangguran pada tingkat tertinggi selama 15 tahun terakhir. Begitu pula dengan

Kanada yang akan melakukan bantuan dana sebesar $US 3.3 miliar sebagai bantuan darurat untuk membantu General Motors dan Chrysler dalam operasinya di Kanada. Posisi strategis perusahaan multinasional merupakan bagian dari pertimbangan negara untuk melakukan bantuan terhadap operasional perusahaaan tersebut. Hal ini guna menjaga stabilitas ekonomi dan tingkat pengangguran dalam negara yang dapat berdampak sangat buruk terhadap perekonomian dan keadaan sosial negara, apabila kebijakan tersebut tidak dilakukan. Perusahaan-perusahaan multinasional yang beroperasi di Amerika dan Kanada, sebagai contoh di atas, telah memberikan kontribusi yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi dan dalam penyediaan lapangan pekerjaan di kedua negara itu. Secara pendekatan teoritis yang dikontribusikan oleh Keynesian School of Economic, interfensi pemerintah adalah untuk menjaga level yang aman dan sesuai dalam perkonomian negara yang menekankan pada tingkat tenaga kerja. Negara dapat dan seharusnya menggunakan power-nya sebagai upaya untuk memajukan pasar. Negara tetap memiliki peran dalam perekonomian domestik guna menjamin stabilitas. PENUTUP Krisis finansial global telah meruntuhkan perekonomian yang dialami banyak negara. Dalam ekonomi internasional sekarang ini, negara-negara menganut sistem ekonomi liberal dimana tidak adanya peran serta pemerintah dalam kegiatan ekonomi. Akan tetapi, krisis yang memberikan dampak yang sangat buruk tersebut memaksa pemerintah negara, seperti Amerika dan Kanada, untuk berperan dalam rencana penyelamatan perusahaan-perusahaan multinasional, yang mana jika tidak diberikan bantuan akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi yang semakin merosot dan meningkatnya pengangguran. Sehingga terdapat pergeseran penataan hubungan MNC dengan negara, dimana sebelumnya negara tidak dapat turut campur dalam kegiatan ekonomi, dan sekarang negara harus melakukan interfensi ke dalamnya akibat dari krisis yang terjadi.

Al Jazeera and agencies, US adopts $700bn bailout plan, Al Jazeera.net, 2008, America Economic Report-Daily 2008, The Truth About: Recession 2008 (EconomyInCrisis.Org), 2008. Balakrishnan, A., Food and oil prices push US inflation to highest since 1991, Guardian News and Media Limited, 2008, BBC News, 'Progress' in US auto bail-out, BBC @MMVI, 2008,

Djohanputro, B., Financial Bubble: Simtom dan Akar Permasalahan, Sekolah Tinggi Manajemen PPM, 2008 Goldstein, M., dan Henry, D., Lehman: One Big Derivatives Mess, Business Week, 2008. Investopedia, Economics Basics: Demand and Supply, A Forbes Digital Company, 2008 Karpenchuk, D., Canada joins US in auto bailout, ABC News, 2008 < http://www.abc.net.au/news/stories/2008/12/21/2452171.htm> Spero, J.E., The Politics of International Economic Relations (4th edn), St. Martins Press, 1990. Stiles, K.W., dan Akaha, T., International Political Economy, HarperCollins Publishers Inc, 1991. Story, L., dan White, B., The Road to Lehmans Failure Was Littered With Lost Chances, The New York Times, 2008. Tangkilisan, W., Kejatuhan Wall Street, Kegagalan Pasar Bebas? (koran Indonesia), 2008.

Awasi deal pemerintah dengan MNCPerspektif Online 10 December 2006oleh: Daisy Awondatu Siapa bilang publik tidak punya kekuatan untuk mengawasi MNC yang kolusi dengan pemerintah? Itu dulu, waktu orde baru masih berkuasa. Tapi sekarang, justru government power menurun, sedangkan kekuatan masyarakat - publik, media massa, NGO, dsb meningkat. Publik punya kekuatan untuk mengawasi keberadaan MNC di Indonesia. Poin penting ini yang disampaikan WW dalam memberikan kuliah tamu mengenai The Political Aspect of Multi National Corporations in Indonesia di IPMI pada mahasiswa S1. Untuk lihat foto, klik disini. Masa Lalu Keberadaan MNC di Indonesia tidak terlepas dari sejarah politik bangsa. Kalau kita flash back sejenak, kita bisa bagi kondisi politik Indonesia menjadi 3 era, yaitu: Soekarno, Soeharto, dan Post-Soeharto. Era Soekarno, tidak ada sama sekali MNC di Indonesia. Di era Soeharto, justru sebaliknya, MNC begitu mudahnya masuk, tumbuh dengan subur dan

berkembang pesat. Bisa dikatakan, Soeharto-lah yang membawa MNC masuk Indonesia lewat keberadaaan UU no.1/1967 mengenai Penanaman Modal Asing. Pada masa itu, segala sesuatu ditentukan dan diputuskan oleh Soeharto, mulai dari Pemilu, Hukum, bahkan siapa saja MNC yang boleh masuk ke Indonesia, semua dibawah kendali Soeharto. MNC yang masuk betul-betul dilindungi oleh Soeharto, dan yang bisa masuk hanya yang punya hubungan dengan Soeharto. Tidak heran, pada masa itu MNC bisa tumbuh dengan pesat, dan pertumbuhan MNC juga yang menumbuhkan ekonomi Indonesia pada masa itu. Pada masa itu, semua perusahaan besar baik dari dalam maupun luar negeri, pasti terkait dengan Soeharto. Semua perjanjian antara pemerintah dengan MNC dilakukan tanpa melalui birokrasi rumit, tapi melalui orang-orang dalam Soeharto. Dan, pada masa itu, semua perjanjian yang dibuat adalah merugikan bangsa Indonesia, pemerintahan, tapi menguntungkan bagi orang-oranmgnya. Tidak heran, pada masa itu Indonesia miskin, tapi orang-orangnya kaya. Saat Ini Post-Soeharto, MNC masih tetap ada sampai saat ini. Akan tetapi, MNC sudah tidak dilindungi lagi oleh kekuatan besar. Semua harus melalui birokrasi yang sama. Tidak heran, banyak MNC mengeluh semakin susah. Saat ini, pemerintah juga mulai memperbarui berbagai kontrak MNC asing. Pemerintah mau menumbuhkan kepercayaan rakyat, jadi urusan kontrak mulai ditata ulang, birokrasi diperbaiki, dll. Kalau pada masa lalu kontrak menguntungkan MNC, itu salah pejabat pemerintah. Biar bagaimanapun pengusaha tentu mau untung. Saat ini, ada golongan masyarakat yang menginginkan perubahan, tapi ada juga yang tidak. Ada banyak pihak yang menentang MNC di Indonesia, karena pada masa lalu mereka tidak terlibat dan mendapat bagian dari MNC itu. KKN memang sudah berkurang, tapi bukan jaminan pasti tidak akan ada KKN. Banyak sekali yang sudah ahli melakukan KKN, sampai aparat pun tidak bisa menangkapnya. Sistem internasional mempunyai rasionalitas dan identitas serta idealitas sebagai unit kesatuan yang dibangun menjadi pola-pola dan terbentuk sebuah sistem internasional baru berdasarkan isu orinted sehingga sebuah peristiwa baik dari era god sampai era humanity secara internasional dipengaruhi faktor internal dan eksternal. Menurut penulis kemnuculan perjanjian internasional sampai terbentuknya komunitas masyarakat internasional ditentukan oleh isu yang berkembang pada tatanan dunia yang berubah dan berkesinambungan, oleh karena itu sejak zaman peradaban tua yang dikenal era kerajaan di kawasan eropa, persia, dan semenanjung asia bisa dikatakan kekuatan dan sistem disini mengalami perubahan secara mendasar, maksudnya metode hubungan internasional setiap zaman mencari makna dan aplikasi sehingga sistem global pada saat ini bisa dikatakan sebagai hasil pembuktian bahwa dunia internasional sedang dibangun dan mengalami revolusi menuju tahapan dan tujuan si pemegang kekuatan agar bertindak dan mengawasi sistem internasional yang didomiasi oleh negara-negara barat ( negara dunia 1 ) membawa pengaruh bagi negara dunia ke-2 dan ke-3 dan pada akhirnya sistem global muncul sebagai harapan dan 1 tujuan sistem internasional yang terbukti sedang menuju proses sistem internasional yang utuh.

Globalisasi dan Pergeseran Peran NegaraOleh : Anik Dwi Martuti 2009-06-15 10:56:50 Globalisasi menjadi satu kata yang nyaring terdengar di seluruh dunia pada abad 21 ini. Prokontra pun mewarnai perjalanan globalisasi sebagai sebuah fenomena perubahan

yang terjadi secara menyeluruh, dirasakan secara kolektif, dan mempengaruhi banyak orang (lintas wilayah - lintas negara) yang mempengaruhi gaya hidup dan lingkungan kita. Dunia memang berubah dan globalisasi adalah dunia yang terhubung (connected world) seolah tanpa batas. Seiring dengan perkembangan teknologi komunikasi yang memudahkan pertukaran informasi, globalisasi makin tidak dapat dihindari, suka tidak suka globalisasi akan terus berjalan. Pertukaran ide makin instan, tidak hanya ide dalam artian ideologi, tetapi juga ide pertukaran manusia, ide pertukaran ekonomi, ide pertukaran materi, yang semua terjadi makin mudah dan cepat. Bahkan transaksi keuangan lintas-benua semakin dimungkinkan. Dalam hitungan detik, sejumlah uang dengan nominal sangat besar dapat menyeberang benua. Dengan menguasai kapital, kita bisa melakukan apa saja dengan waktu sangat cepat dan cara sangat mudah. Ini dibuktikan dengan data dari Laporan Pembangunan Manusia UNDP (1999) yang memperlihatkan negara-negara industri mempunyai capital besar- saat ini memegang 97% dari total jumlah paten diseluruh dunia. Sumber yang sama mengungkapkan adanya jurang perbedaan pendapatan antara orang terkaya kelima di dunia dan termiskin kelima di dunia -diukur dari rata-rata pendapatan nasional perkepalameningkat dari 30 orang miskin untuk 1 orang kaya ditahun 1960 menjadi 74 orang miskin untuk 1 orang kaya ditahun 1977. Dari data tersebut memperlihatkan bahwa ada persoalan dengan globalisasi. Beragam pertanyaan bisa dimunculkan terkait dengan hal tersebut. Apa dan bagaimana sesungguhnya globalisasi secara khusus globalisasi ekonomi karena terkait dengan kapital-, dampaknya terhadap masyarakat, dan kedaulatan berbangsa dan bernegara menarik untuk didiskusikan dan dikritisi. Pertanyaan lebih khusus selanjutnya terkait dengan peran negara. Apakah globlisasi ini mengubah atau menggeser peran negara dalam pengelolaan ekonomi? Dan sejauhmana pergeseran itu terjadi? Makalah ini mencoba menganalisis hal-hal tersebut secara ringkas yang diawali uraian singkat kerangka teori yang relevan.

Pengertian Globalisasi dan Neo LiberalUntuk menganalisa persoalan di atas diperlukan beberapa kerangka teori berkaitan dengan factor-faktor ekonomi politik di era globalisasi yang menyebabkan pergeseran peran Negara dan berdampak langsung bagi masyarakat, terutama yang miskin. Difinisi dan pengertian globalisasi menjadi poin penting untuk dipahami terlebih dahulu sebelum menganalisa dampaknya. Globalisasi adalah pasar yang mengglobal atau kapitalisme global. Pasar adalah nama lain dari kapitalisme dan kapitalisme global adalah perubahan nama dari kapitalisme internasional, karena kapitalisme secara kuantitatif telah membesar secara luar biasa. Kata global mengandung arti lingkupnya yang kompak, terintegrasi dan menyatu, menggantikan ekonomi nasional dan regional. Globalisasi semacam ini mengandung dua ciri utama, yaitu 1) multilateralisme, kekuasaan badan-badan antar pemerintah dan koherensi atau kerjasama erat diantara World Bank-IMF-WTO, dan 2) transnasionalisasi, menguatnya monopoli dan konsentarsi modal dan kekuasaan ekonomi kepada korporasi besar dunia atau trans national corporation (TNC) atau multi national corporation (NMC). Pengertian globalisasi tersebut berujung pada prinsip dan paham ekonomi neo-liberal, yang digagas dan dikembangkan oleh teori kontemporer Negara yang menjadi salah satu prespektif dalam mainstream theories on state1, yaitu neoliberal prespective dikembangkan oleh Albert Fislow. Pokok pandangan dari neoliberalisme bahwa

kebebasan individu dapat berjalan sepenuhnya dengan campur tangan sesedikit mungkin dari pemerintah dalam kehidupan ekonomi. Pandangan ini mengadung beberapa poin2, yaitu 1) aturan pasar yang membebaskan perusahaan dari setiap keterikatan yang dipaksakan pemerintah, 2) memotong pengeluaran publik dalam hal pelayanan social, 3) deregulasi untuk mendukukung pasar pasar bebas, 4) privatisasi ekonomi, 5) menghapus konsep barang-barang public atau komunitas, dan 6) membuka ekonomi nasional untuk perdagangan internasioanal dan investasi asing. Teori neo-liberal yang meminimalkan peran negara dalam pengelolaan ekonomi terlahir dari sejarah panjang pemikiran-pemikran yang digagas dan dikembangkan para pemikir dan ilmuwan politik sekaligus ekonom3. Ini berbeda dengan teori kontemporer lain dengan prespektif struktural yang menekankan pada cara negara menyediakan infrastruktur dan suprastruktur bagi ekonomi dikembangkan oleh Gramsci dan Poulantzas.

Globalisasi Ekonomi dan Pasar BebasBicara tentang globalisasi ekonomi tidak bisa terlepas dari pasar bebas yang kini telah menjadi ideology dunia bagaikan agama. Agar globalisasi berjalan lebih cepat, mesinmesin globalisasi -seperti IMF, Bank Dunia, ADB- semakin diperkuat perannya dan dibangun system secara seragam untuk diberlakukan di seluruh dunia. Proses integrasi sistem ekonomi nasional ke dalam system global inilah yang disebut globalisasi. Keampuhan pasar bebas dihembuskan oleh para ahli ekonomi dengan landasan teorinya. Penelitian-penelitian juga dilakukan untuk melegitimasi bahwa segala kebijakan populis yang memberi proteksi kepada rakyat hanyalah berakibat pada pemborosan belanja Negara (inefisiensi). Percepatan globalisasi diawali pada abad 20an ketika kapitalisme mengalami kemandegan dalam menumpuk modal. Dan pengembangan system ekonomi ini semakin mendapatkan jalan sejak diikrarkannya Washington Consensus4. Kaum kapitalis memandang bahwa kemandegan tersebut akibat adanya perlindungan pemerintah terhadap kesejahteraan rakyat, subsidi untuk rakyat dan pengakuan atas pengelolaan sumberdaya alam oleh rakyat. Hal inilah yang dianggap tidak efisien dan menghambat laju akumulasi modal sehingga perlu dicari system baru yang mengatur agar akumulasi modal dapat berjalan dengan baik. Berbagai pertemuan ilmiah dengan tema pokok ide globalisasi ekonomi yang mendasarkan pada pasar bebas diselenggarakan di berbagai kesempatan yang didukung oleh para ahli ekonomi neoliberal dari universitas-universitas ternama dunia, seperti Harvard, Cornell, dan Chicago. Dalam tiga dasawarsa terakhir cakupan sector yang harus dipasarbebaskan menjadi semakin luas. Kondisi ini menyuburkan sepak terjang korporasi global. Catatan G Lamie (2001) menyebutkan 100 entitas ekonomi terbesar di dunia terdiri dari 49 negara dan 51 korporasi, 200 perusahaan terbesar dunia menguasai seperempat aktivitas ekonomi terukur, dan nilai transaksi di pasar financial 60 kali lipat dari perdagangan riil. Pertanyaan yang bisa diajukan selajutnya adalah apa yang ditimbulkan dari penguasaan ekonomi oleh korporasi global? Apakah berdampak buruk atau baik perkembangan ekonomi nasional? Bagi kelompok pro-globalisasi, bisa menggunakan data-data pendukung untuk menyatakan bahwa perusahaan multinasional asing (MNC) mempunyai perananan yang semakin penting terhadap perkembangan ekonomi nasional suatu Negara, terutama peran dalam peningkatan produksi dan membuka lapangan pekerjaan baru.5 Namun itu tidak terjadi di semua Negara. Di Jerman dan Prancis misalnya, perusahaan

asing memberikan kontribusi yang hampir sama dengan perusahaan domestik nasional. Bahkan di Jepang sebagai Negara dengan kekuatan ekonomi terbesar ke dua di dunia, perusahaan asing masih sangat sedikit dan hanya mempekerjakan 0.8% dari jumlah total lapangan kerja di Jepang. Data-data tersebut semakin mengukuhkan pandangan kelompok pro-globalisasi bahwa korporasi global (MNC) tidak berdampak buruk tetapi justru mempunyai peranan penting dalam ekonomi nasional. Pernyataan itu semakin diperkuat dengan berbagai kebijakan, program dan aksi positif MNC untuk pengembangan perusahaan dan tanggung jawab social (corporate social responsibility). Soal gaji misalnya, perusahaan asing membayar pegawainya lebih tinggi dibandingkan gaji rata-rata nasional.6 Perusahaan asing juga menciptakan lapangan pekerjaan lebih cepat dibandingkan perusahaan domestik sejenis. Di Amerika contohnya, jumlah lapangan kerja yang diciptakan perusahaan asing mencapai 1.4% per tahun dari 1989 s/d 1996, sedang perusahaan domestic hanya 0,8%. Selain itu perusahaan asing tidak segan mengeluarkan biaya di bidang reseach and development (R&D) di negara di mana mereka menanamkan investasinya.7 Data lain menyebutkan perusahaan asing cenderung mengekspor lebih banyak dibandingkan perusahaan domestic.8 Namun data lain dari Laporan Pembangunan Manusia UNDP (1999) menunjukkan hal yang berbeda. Pada tahun 1977 terdapat pelebaran jurang perbedaan pendapatan antara orang terkaya kelima di dunia dan termiskin kelima di dunia -diukur dari rata-rata pendapatan nasional perkepala. Kondisi ini tentu tidak terjadi dengan sendirinya dan semata-mata hanya karena takdir Tuhan tetapi karena ada grand design yang sengaja dibuat oleh manusia. Dalam perkembangan selanjutnya, pasar bebas yang menjadi idiologi baru disuntikkan oleh lembaga-lembaga keuangan multi nasional -di bawah kendali World Bank dan IMF- kepada negara miskin dan berkembang sebagai resep untuk membangun Negara Selatan. Resepnya adalah proses privatisasi sector-sektor kebijakan public, termasuk listrik, air dan perumahan. Hasil privatisasi bisa diduga, antara lain peningkatan pengganguran, turunnya nilai pendapatan riil dan pajak perusahaan, setengah juta orang kehilangan pekerjaan, gaji golongan termiskin turun 20 persen, dan kenaikan harga air dan listrik (Bond, 2001). Inilah yang sering disebut oleh kelompok penentang globalisasi sebagai jaman penjajahan baru -seringkali disebut neo kolonialisme- dimana penjajahan bukan bersifat fisik tapi penjajahan pada teori dan ideologi. Catatan di atas memperlihatkan karakteristik utama globalisasi yaitu paradoks bahkan kontradiksi- globalisasi, yang membuka peluang bagi perusahaan multinasional untuk berperan besar dalam perekonomian nasional sekaligus melahirkan ancaman bagi Negara dan rakyat. Ancaman terhadap perdamaian dan keamanan global, kemiskinan gobal, lingkungan global dan migrasi masal adalah ruang-ruang yang menyediakan berbagai fakta paradoksial dan problematika globalisasi. Dan berbagai pihak mensikapi hal itu, salah satunya adalah Forum Sosial Dunia (FSD) yang mengartikulasikan sikap lugasnya terhadap globalisasi. Pertemuan FSD di Mumbai India dengan tema Another World is Possible yang diwarnai hiruk pikuk semakin menyadarkan luasnya ranah persoalan dan problematika globalisasi.

Pergeseran Peran NegaraUntuk mensikapi problematika globalisasi adalah penting melihat peran Negara yang saat ini mau tidak mau mendasarkan pada pokok pandangan neoliberalisme dalam pengelolaan ekonomi nasional. Kebebasan individu dapat berjalan sepenuhnya dengan campur tangan sesedikit mungkin dari pemerintah dalam kehidupan ekonomi mengakibatkan pembuat regulator utama dalam kehidupan ekonomi bukan lagi pemerintah tetapi mekanisme pasar.9 Paham ini membuat kekuasaan negara dan

kebijakan ekonomi nasional menjadi tidak lagi memiliki signifikansi dan efektivitas sebagaimana dulu ketika globalisasi belum menjadi acuan. Globalisasi adalah akhir dari negara bangsa. Itulah pernyataan yang ditudingkan pada pandangan neoliberalisme dalam melukiskan nasib negara dalam rejim perdagangan bebas. Benarkan negara bangsa berakhir? Apakah peran negara selanjutnya? Dalam diskursus pembangunan, terdapat dua kubu yang beroposisi dalam memandang peran negara. Kubu pertama adalah sudut pandang neoliberal dengan The Washington Consensus-nya yang melihat bahwa peran negara haruslah dibuat sekecilkecilnya. Apapun yang dilakukan negara, sektor swasta dapat melakukannya lebih baik, demikian slogan pemerintahan Reagan (US) dan Thatcher (UK) pada era 1980an yang merupakan promotor utama neoliberalisme. Menurut kubu ini, negara haruslah dibatasi perannya hanya sebagai wasit dan tidak boleh terlibat dalam aktivitas ekonomi apa pun. Bahkan perkembangan akhir-akhir ini menunjukkan selangkah lebih maju lagi dengan dilepaskannya peran negara dalam memberikan social security melalui jaminan kesehatan, kebutuhan pokok dan pengentasan kemiskinan. Sedang kubu kedua adalah sudut pandang Negara Transformatif (Stiglitz 2001:15). Dalam perspektif ini pembangunan memerlukan negara yang aktif dalam kebijakan ekonominya untuk mempromosikan industri nasional, pembangunan teknologi, dan jaminan sosial yang tidak bisa dicapai melalui mekanisme pasar. Pertarungan dua kubu memang tidak seimbang, dan sudut pandang yang dianut kubu pertama itulah yang kini mendominasi dunia. Peran negara seakan dipangkas sedemikian rupa, pasar negara-negara berkembang diliberalisasi dan dibuka seluasluasnya bagi modal asing dari Negara industri maju-, dan subsidi-subsidi sosial dipotong demi efisiensi. Negara-negara maju, seperti Amerika Serikat dan Eropa Barat melalui rejim WTO mengkampanyekan ideologi ini sebagai keharusan yang tak dapat dihindarkan (Steger 1999: 54-61). Negara-negara berkembang, terlebih lagi di Negara-negara miskin- kondisinya semakin memprihatinkan dengan semakin menipisnya dana pembangunan nasional sehingga harus berhutang di Negara-negara maju. Namun untuk dapat hutang, Negara harus mengikuti Program Penyesuaian Structural (SAP- Structural Adjusment Program) yang menjadi syarat berhutang bagi setiap negara yang mengajukan hutang kepada IMF dan Bank Dunia. Indonesia misalnya, SAP mulai diberlalukan pada tahun 1984 sebagai syarat berhutang kepada IMF dan Bank Dunia untuk program Pembangunan Indonesia. SAPs ini mencakup 3 hal pokok yang dijadikan landasan -Deregulasi, Privatisasi dan Liberalisasi- dan 5 pilar utamanya yang terdiri dari : 1. Mengurangi biaya pemerintah secara radikal untuk mengontrol inflasi dan mengurangi kebutuhan modal dari luar negeri. Dalam prakteknya ini diterjemahkan dengan pemotongan anggaran kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan. 2. Membuka pasar impor seluas-luasnya dan menghilangkan hambatan investasi asing, mendorong industri local dan industri yang lebih efisien dengan memacunya untuk berkompetisi dengan pihak asing 3. Memprivatisasi perusahaan Negara dan meregulasi aturan-aturan yang ada agar sumberdaya produktif bisa digunakan secara efisien berdasarkan mekanisme pasar 4. Devaluasi mata uang agar ekspor lebih kompetitif 5. Memotong upah untuk melancarkan mobilitas modal local dan asing. Melalui SAP ini terjadi reduksi bahkan eliminasi peran pemerintah dalam kebijakan ekonomi sehingga memungkinkan pihak Multi Nasional Corprate (MNC) untuk

menentukan dan mengontrol kebijakan. Akibatnya adalah kebijakan-kebijakan ekonomi yang ada harus diregulasi karena tidak sesuai lagi dengan pasar bebas keuntungan MNC-. Oleh karena itu, serangkaian kebijakan negara telah ditinjau kembali dan digantikan dengan kebijakan baru yang menguntungkan MNC dan rawan KKN. Hal ini semakin membuat MNC terlibat terlalu jauh pada perekonomian nasional Indonesia. Keterlibatan asing yang terlalu jauh dalam perekonomian nasional baru menyentak kita di Indonesia, ketika John Perkins menguraikan dalam bukunya Confessions of an Economic Hit Man. Peranannya sebagai agen perusak ekonomi yang beroperasi di Indonesia untuk menjadikan perekonomiannya tergantung dan dikuasai asing dengan berkedok sebagai konsultan pemerintah. Lebih mengejutkan lagi ketika dia mengatakan bahwa ada konspirasi melibatkan lembaga-lembaga internasional yang selama ini dipercayai akan membantu Indonesia keluar dari krisis. Selain oleh pemerintah negaranya, agen-agen perusak ekonomi juga kerap digunakan oleh kekuatan kapitalisme global. Kerusakan yang diarahkan oleh para agen perusak ekonomi berdampak sangat besar karena telah membuat negera, dalam hal ini Indonesia, terlilit utang, rakyatnya miskin, semakin tergantung pada impor dan menjauhkan dari cita-cita untuk menjadi bangsa modern yang mandiri. Kondisi berbeda terjadi di Negara maju yang tidak melakukan seperti apa yang mereka promosikan di Negara berkembang dan miskin. Kebijakan mereka -saat ini maupun di masa lalu- menunjukkan hal yang berbeda, seperti yang terjadi di Inggris dengan kebijakan proteksionisnya.10 Amerika Serikat juga menunjukkan sejarah yang sama bahkan lebih vulgar, misal sebagian alasan terjadinya Civil War11. Setelah Amerika Serikat menjadi kekuatan dunia yang dominan pasca Perang Dunia II, baru melangkah memasuki rejim perdagangan bebas. Contoh lain terjadi di masa pemerintahan Ronald Reagen yang sangat neoliberal, pengeluaran publik pemerintah federal tak pernah menyusut, dari 21.6 menjadi 23 persen dari GNP. Peningkatan itu sebagai konsekuensi pertumbuhan spektakuler belanja militer dari 4.9 menjadi 6.1 persen dari GNP. Peningkatan belanja publik ini dibiayai dari peningkatan defisit anggaran federal dan peningkatan pajak.12 Kenyataan ini menunjukkan dua hal, pertama, tidak benar bahwa Reagen melucuti peran negara, dengan memangkas belanja publik; kedua, apa yang dilakukan Reagen adalah mengubah watak intervensi negara dengan lebih melayani kepentingan kelas atas dan kelompok-kelompok ekonomi (perusahaan yang berhubungan dengan militer), yang telah mendanai kampanyenya. Pada saat yang sama, ia membuat kebijakan yang melawan kepentingan mayoritas rakyat AS, melalui kebijakan anti-buruh dan pemotongan belanja sosial hingga ke taraf yang tak pernah terbayangkan dalam sejarah AS. Bahkan pasca Reagen (Bush Sr. Clinton, dan Bush Yr), peran negara makin menguat, di bidang ekonomi, politik, budaya, dan keamanan. Di bidang ekonomi, misalnya, proteksi negara sangat besar terutama dalam bentuk subsidi pada sektor pertanian skala besar, militer, penerbangan, dan biomedis. Di bidang sosial, intervensi negara menjelma dalam wujud pelemahan hak-hak sipil, khususnya hak-hak buruh.

PenutupGlobalisasi bagaikan karta karun hasil perkembangan informasi tehnologi yang memungkinkan melihat seluruh wajah dunia dalam satu layar lebar, termasuk implementasi pasar bebas dan paham neoliberal di berbagai Negara. Pasar bebas sebagai ideology dari sudut pandang neoliberal dengan The Washington Consensusnya melihat bahwa peran negara haruslah dibuat sekecil-kecilnya, karena swasta dapat melakukan apapun yang dilakukan oleh individu.

Globalisasi dengan neo-liberalnya telah merubah peran dan kewenangan Negara di di underdevelop and developing society. Peran pembuat regulator ekonomi tidak lagi dipegang oleh Negara tetapi pasar. Kekuasaan negara dan kebijakan ekonomi nasional menjadi tidak lagi memiliki signifikansi dan efektivitas.13 Namun kondisi berbeda terjadi di Negara maju sebagai pelopor pasar bebas. Sejarah menunjukkan bahwa di Negara maju peran negara sangat penting untuk mencapai kemajuan pembangunan yang dicapainya saat ini (World Bank 1987, Shafaeddin 1998, Chang 2001). Ini dikarenakan para kapitalis sangat tergantung pada kekuasaan negara untuk menyokong kekuasaan ekonominya, memperkuat hak kepemilikannya, serta mengatur tata sosial dan kondisi-kondisi yang menguntungkan bagi proses ekspansi dan akumulai capital (Wood, 2005). Tanpa dukungan kekuasaan negara, kekuasaan ekonomi akan terjatuh dalam stagnasi. Tanpa intervensi negara (melalui sumberdaya dan aparatus kekuasaannya), ekspansi dan akumulasi kapital tak mungkin berlangsung secara besarbesaran. Lebih-lebih dalam era imperialisme, di mana pemenuhan kebutuhan dalam negeri sangat tergantung pada pasokan dari luar negeri, keterlibatan negara, terutama AS, sangat jelas terlihat. Double standard dipakai oleh Negara-negara maju yang mempunyai power dan capital. Tidak mengherankan kalau Chang (2001) menyebutkan bahwa promosi liberalisasi dari negara-negara maju itu adalah untuk menendang tangga (kicking away the ladder) supaya negara-negara berkembang tidak bisa memakai tangga itu untuk mengejar ketertinggalannya. Dengan demikian Negara maju dapat terus mendikte dan mengexploitasi sumber daya yang ada di Negara berkembang dengan beragam kemasan. Negara ini akan tetap menjadi miskin bahkan bisa bertambah semakin miskin dan selalu tergantung. Dan melahirkan neo kolonialisme dimana penjajahan bukan bersifat fisik tapi penjajahan pada teori dan ideologi. (ADM)

DAFTAR PUSTAKA1. Bony Setiawan, Dampak Globalisasi dan Liberalisasi Perdagangan terhadap Perempuan, Institute for Global Justice, Jakarta, 2003 2. Chang, H-J. Kicking Away the Ladder: Development Strategy in Historical Perspective. Anthem Press, 2001. 3. Chilcote, Ronald H. Theories of Comparative Political Economy, Westview Press, Corolando and Oxford. 4. Dedy N Hidayat, Globlisasi, Pascamodernisme dan Dunia Ketiga, Kompas, 18 Desenber, 1992 5. Dwi Astuti, Globalisasi dan Akibatnya terhadap Kemiskinan di Indonesia, Makalah Seminar Tentang Globalisasi dan Kemiskinan, Social 6. Marketing Transformative Leadership Assessment, Diselenggarakan oleh Formasi-AWCF, Hotel Bumikarsa, tanggal 2-3 Mei 2006. 7. Evan, Peter. B, Bringing the State Back In Brown University, Dietrich Rues, Chemeyer 8. Ellen Meiksins Wood, Empire of Capital, Verso, London, 2005. 9. James A Caporaso & David P. Levine, The Theories of Political Economy, Part 1: Politics and Economy, Cambridge University Press: NY and Melbourne, 1992.Abdul 10. Held, D., et. al. Global Transformations: Politics, Economics and Culture. Polity Press, 1999 11. Shafaeddin, M. How did Developed Countries Industrialize? The History of Trade and Industrial Policy: TheCases of Great Britain and the USA. UNCTAD Discussion Paper No. 139, 1998. 12. Steger, M.B. Globalism: The New Market Ideology. Rowman & Littlefield

Publishers, Inc., 2002. 13. World Bank, World Development Report 1987. Oxford University Press, 1987. May 8, '07 3:12 PM MELAWAN LIBERALISASI PENDIDIKAN TINGGI for everyone Oleh : M. Shiddiq al-Jawi 1. Pendahuluan Liberalisasi (kapitalisasi) pendidikan tinggi merupakan penerapan sistem kapitalisme dalam dunia pendidikan tinggi, dengan modus utamanya integrasi pendidikan tinggi dengan pasar global. Liberalisasi pendidikan tinggi berawal dari apa yang dilakukan oleh aktor-aktornya, yaitu Multi National Corporation (MNC) yang dibantu oleh Bank Dunia/IMF melalui kesepakatan yang dibuat oleh WTO untuk terjun dalam arus globalisasi berdasarkan paham neoliberalisme. Sebagai salah satu varian kapitalisme, neoliberalisme merupakan bentuk modern liberalisme klasik dengan 3 (tiga) ide utamanya; yaitu pasar bebas, peran negara yang terbatas, dan individualisme (yakni kebebasan dan tanggung jawab individu). (Adams, 2004). Implikasi dari perpaduan ide pasar bebas dengan marjinalisasi peran negara dan pengutamaan tanggung jawab individu, adalah dijauhkannya peran dan tanggung jawab negara dalam kegiatan ekonomi, termasuk pembiayaan pendidikan. Pelepasan tanggung jawab negara dalam pendidikan dilegalkan dengan istilah lain yang menipu : "pembebasan pendidikan dari intervensi negara". Di Indonesia, pelepasan tanggung jawab negara ini terwujud nyata sejak tahun 2000 ketika beberapa Perguruan Tinggi Negeri seperti UI, UGM, ITB dan IPB diubah bentuknya menjadi BHMN (Badan Hukum Milik Negara). Dengan format BHMN, pembiayaan pendidikan PTN-PTN tersebut tidak lagi sepenuhnya ditanggung pemerintah. Akhirnya PTN-PTN itu harus kesana kemari mencari dana sendiri, antara lain melalui "jalur khusus" dalam menerima mahasiswa. Biaya masuk jadi naik mulai Rp 25 juta sampai Rp 150 juta. Bahkan untuk masuk fakultas kedokteran sebuah PTN, ada mahasiswa yang harus membayar Rp 250 juta bahkan Rp 1 miliar (www.wikimu.com). Liberalisasi pendidikan tinggi ini harus dicermati dan dikritisi oleh semua pihak, khususnya mereka yang berwenang dan berkecimpung di dunia pendidikan tinggi. Mengapa? Ada setidaknya 2 (dua) alasan. Pertama, karena liberalisasi pendidikan merupakan suatu proses konspiratif (kongkalikong) yang jahat. Kedua, karena liberalisasi pendidikan menimbulkan dampak-dampak destruktif yang berbahaya. 2. Konspirasi Liberalisasi Pendidikan Tinggi Liberalisasi pendidikan tinggi tidak akan terjadi kalau tidak ada aktivitas aktor-aktor utama dan aktor pembantu yang saling bekerjasama dalam proyek globalisasi berdasarkan neoliberalisme sejak tahun 1980-an. Padahal, globalisasi menurut Stiglitz (2003) merupakan interdependensi yang tidak simetris antarnegara, lembaga, dan aktornya (Effendi, 2007). Karena itu, interdependesi seperti itu pasti lebih menguntungkan negara-negara kapitalis yang memiliki keunggulan ekonomi dan teknologi, dan sebaliknya hanya menimbulkan kerugian bagi negara-negara Dunia Ketiga yang lemah. Tegasnya, bagi Dunia Ketiga termasuk Indonesia, globalisasi adalah kolonialisasi (Khor, 1995; Ling, 2000).

Globalisasi dengan demikian, tak berlebihan jika disebut bentuk mutakhir imperialisme Barat. Jeffry Sachs yang dikenal radikal dalam menanggapi globalisasi menilai bahwa globalisasi tak lain adalah bungkus baru dari developmentalisme yang merupakan episode lanjutan dari imperialisme yang gagal dalam bentuk awalnya (Prasetyantoko, 2001:15). Oleh karena kerjasama dalam globalisasi ini adalah kerjasama dalam kejahatan, bukan dalam kebaikan, maka liberalisasi pendidikan tinggi kita sebut sebagai konspirasi alias kongkalikong. Allah SWT berfirman : "Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan janganlah kamu tolong menolong dalam dosa dan pelanggaran..." (QS Al-Ma`idah [5] : 2) Konspirasi liberalisasi pendidikan tinggi terwujud berkat ulah aktor-aktor utama dan aktor pembantu berikut ini (Wibowo, 2004; Mugasejati & Martanto, 2006; Nopriadi, 2007) : 1. Negara-negara kapitalis 2. Lembaga-lembaga Internasional (IMF, WTO, Bank Dunia) 3. Korporasi Multi Nasional (MNC/TNC) 4. Pemerintah Dunia Ketiga (1) Negara-Negara Kapitalis Negara-negara kapitalis merupakan aktor utama dalam liberalisasi pendidikan tinggi. Mengapa? Sebab mereka akan banyak mengeruk untung sangat besar. Sofian Effendi (2007) menerangkan ada 3 (tiga) negara yang paling mendapatkan keuntungan besar dari liberalisasi jasa pendidikan, yaitu Amerika Serikat, Inggris, dan Australia (Ender dan Fulton, Eds, 2002, hlm 104-105). Pada tahun 2000 ekspor jasa pendidikan Amerika mencapai USD 14 miliar atau 126 triliun rupiah. Di Inggris sumbangan pendapatan dari ekspor jasa pendidikan mencapai 4 % dari penerimaan sektor jasa negara tersebut. Pada 1993 sektor jasa telah menyumbangkan 20 % PDB Australia, menyerap 80 % tenaga kerja dan merupakan 20 % dari ekspor total negeri kangguru tersebut. Fakta tersebut dapat menjelaskan mengapa tiga negara maju tersebut amat getol menuntut liberalisasi sektor jasa pendidikan melalui WTO. Sofian Effendi (2007) menerangkan pula bahwa hingga saat ini, enam negara telah meminta Indonesia untuk membuka sektor jasa pendidikan yakni Australia, Amerika Serikat, Jepang, China, Korea, dan Selandia Baru. Subsektor jasa yang ingin dimasuki adalah pendidikan tinggi, pendidikan seumur hayat, dan pendidikan vocational dan profesi. (2) Lembaga-Lembaga Internasional Lembaga-lembaga internasional yang berperan strategis dalam liberalisasi pendidikan tinggi adalah tiga lembaga multilateral yang oleh Richard Peet (2002) disebut sebagai The Unholy Trinity (Tiga Serangkai Penuh Dosa), yaitu IMF, Bank Dunia dan WTO. Regulasi yang dikeluarkan ketiga lembaga tersebut secara perlahan tapi pasti akan mengakibatkan komodifikasi dan komersialisasi segala sesuatu yang dianggap berharga seperti : air, bahan pangan, kesehatan, karya seni, dan ilmu pengetahuan, apalagi teknologi. Semua itu terjadi terutama melalui proses marjinalisasi kekuasaan dan otoritas negara-negara Dunia Ketiga di dalam pengaturan ekonomi nasional mereka.

WTO akan teru menekan negara-negara anggotanya untuk menandatangani General Agreement on Trade in Services (GATS) yang mengatur liberalisasi perdagangan 12 sektor jasa, antara lain layanan kesehatan, teknologi informasi dan komunikasi, jasa akuntansi, pendidikan tinggi dan pendidikan selama hayat, serta jasa-jasa lainnya. (3). Korporasi Multi/Trans Nasional (MNC/TNC) Aktor ketiga ini secara langsung atau tidak memainkan peran penting dalam globalisasi, termasuk di dalamnya liberalisasi pendidikan tinggi. Berbagai MNC/TNC akan memanfaatkan pendidikan tinggi untuk mendapatkan tenaga kerja (SDM) yang murah dan pro kapitalis. Di sisi lain, perguruan tinggi akan dapat memanfaatkan MNC/TNC sebagai tempat magang dan sumber dana. Berbagai lembaga pendidikan tinggi luar negeri swasta (privat) dapat dianggap sebagai MNC/TNC yang akan turut serta masuk ke dalam kancah pendidikan tinggi di Indonesia. WTO sendiri telah mengidentifikasi empat mode penyediaan jasa pendidikan sebagai berikut: (1) Cross-border supply, institusi pendidikan tinggi luar negeri menawarkan kuliah-kuliah melalui internet dan online degree program, atau mode 1; (2) Consumtion abroad, adalah bentuk penyediaan jasa pendidikan tinggi yang paling dominan, mahasiswa belajar di perguruan tinggi luar negeri, disebut mode 2; (3) Commercial presence, atau kehadiran perguruan tinggi luar negeri dengan membentuk partnership, subsidiary, twinning arrangement dengan perguruan tinggi lokal, atau mode 3; (4) Presence of natural persons, dosen atau pengajar asing mengajar pada lembaga pendidikan lokal, atau mode 4. Liberalisasi perguruan tinggi menuju perdagangan bebas jasa yang dipromosikan oleh WTO adalah untuk mendorong agar pemerintah negara-negara anggota tidak menghambat empat mode penyediaan jasa tersebut dengan kebijakan-kebijakan intervensionis. (4). Pemerintah Dunia Ketiga Masuknya kekuatan perusahaan multinasional dan imperialisme negara kapitalis dalam proyek globalisasi tidak akan berhasil tanpa ada penerimaan dan dukungan dari pemerintah negara dunia ketiga, entah secara sukarela atau terpaksa. Pemerintah Indonesia (eksekutif), dan juga DPR (legislatif) sayang sekali secara sadar telah terlibat dalam konspirasi globalisasi ini. Sejak 1995 Indonesia telah menjadi anggota WTO dengan meratifikasi semua perjanjian-perjanjian perdagangan multilateral menjadi UU No 7 tahun 1994. Perjanjian tersebut mengatur tata cara perdagangan barang, jasa, dan trade related intellectual property rights (TRIPS) atau hal atas kepemilikan intelektual yang terkait dengan perdagangan. Dalam bidang jasa, yang masuk sebagai objek pengaturan WTO adalah semua jasa kecuali "jasa nonkomersial atau tidak bersaing dengan penyedia jasa lainnya." Di samping langkah legal-formal itu, pemerintah dunia ketiga juga dapat dipersalahkan berkolaborasi dengan asing karena lemahnya mereka dalam mengelola negara. Liberalisasi pendidikan tinggi akan mudah mencari alasan untuk masuk Indionesia karena dua alasan : pertama, perhatian pemerintah Indonesia terhadap bidang pendidikan masih rendah. Kedua, secara umum mutu pendidikan nasional kita mulai sekolah dasar sampai peguruan tinggi, jauh tertinggal dari standar mutu internasional. Kedua alasan tersebut yang hakikatnya lahir dari ketidakbecusan pemerintah, sering menjadi alasan untuk "mengundang" masuknya penyedia jasa pendidikan dan pelatihan luar negeri ke Indonesia.

Peran pemerintah sebagai aktor konspirasi global akan semakin jelas, kalau kita melihat berbagai perangkat undang-undang yang menguntungkan kaum kapitalis global, namun di sisi lain menyengsarakan rakyat Indonesia. Lihat misalnya adanya UU Sumber Daya Air, UU Minyak dan Gas, UU Kelistrikan, UU Penanaman Modal, dan yang sedang dibahas saat ini di DPR, yakni RUU BHP. RUU BHP direncanakan akan disahkan sebagai UU tahun 2010. RUU BHP ini merupakan salah satu proyek Dikti, yaitu Higher Education for Competitiveness Project (HECP) yang kemudian menjadi IMHERE (Indonesia Managing Higher Education for Relevance and Efficiency). Pendanaannya dibiayai melalui pinjaman (loan) dari Bank Dunia. Jelas RUU BHP membawa kepentingan asing. 3. Dampak Destruktif Liberalisasi Pendidikan Liberalisasi pendidikan yang konspiratif tersebut, banyak membawa dampak negatif. Di antaranya adalah : (1) Dampak ideologis : semakin kuatnya hegemoni idelogi kapitalisme-sekuler. Hal ini akan diperkirakan terjadi, karena pada dasarnya pendidikan bukanlah sekedar tranfer pengentahuan, melainkan juga transfer nilai-nilai atau keyakinan (doktrin). Sebagaimana pesantren melestarikan doktrin Islam seperti syariah, jihad, dan Khilafah, pendidikan tinggi yang mengalami liberalisasi juga akan membawa serta melestarikan doktrin-doktrin khasnya, yaitu nilai-nilai kapitalisme-sekuler, seperti kebebasan, demokrasi, HAM, dan sebagainya. Khususnya ini akan terjadi pada bidang keilmuan sosial / humaniora. Program yang sering digunakan untuk menanamkan ideologi kufur ini adalah pertukaran pelajar/mahasiswa atau pemberian beasiswa. Joseph S. Nye dalam Soft Power (2004) mengutip mantan Menlu AS Collin Powell, bahwa program beasiswa akan membuat para alumni AS menjadi "diplomat" AS di kelak kemudian hari. (2) Dampak politik : hancurnya kedaulatan negara untuk mengatur rakyatnya sendiri. Globalisasi pendidikan tinggi walaupun bertujuan untuk memperbaiki mutu dan akses ke pendidikan tinggi, pasti merupakan gangguan terhadap kedaulatan Indonesia dalam mengatur salah satu tujuan kemerdekaannya, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Kemandirian bangsa ini, dalam perumusan kebijakan nasional untuk mengatur bidang pendidikan, mau tidak mau harus dikorbankan agar provider pendidikan tinggi komersial dari luar negeri dapat lebih leluasa masuk (baca : menjajah) ke Tanah Air. (3) Dampak ekonomi : mahalnya biaya pendidikan. Dampak yang paling mudah dilihat dan dirasakan dari proses kapitalisasi pendidikan tinggi adalah mahalnya biaya pendidikan. Survei membuktikan terjadinya peningkatan biaya pendidikan pada semua perguruan tinggi yang telah menjadi BHMN. Contohnya di UI. Biaya DPKP (Dana Peningkatan Kualitas Pendidikan) yang semual besarnya ahanya Rp 500 ribu meningkat tiga kali lipat menjadi Rp 1,5 juta setelah UI menjadi BHMN. (4) Dampak Sosial : terjadinya kesenjangan kaya miskin Mahalnya biaya pendidikan akan memunculkan jurang peluang antara calon mahasiswa yang kaya dan yang miskin. Yang kaya akan lebih mudah masuk ke perguruan tinggi favoritnya karena dia punya uang. Sedangkan yang miskin terpaksa gagal. Maka dalam perspektif jangka panjang, akan terjadi kesenjangan sosial di masyarakat. Yang kaya akan

makin kaya, yang terpisah oleh jurang yang dalam dengan yang miskin yang gagal mengakses pendidikan tinggi. 4. Melawan Liberalisasi Pendidikan Tinggi Liberalisasi pendidikan tinggi perlu dilawan karena menimbulkan banyak bahaya (dharar) seperti telah diuraikan. Padahal dalam kaidah fiqih dinyatakan : Adh-Dharar yuzaalu "Segala bentuk bahaya wajib dihilangkan." Selain itu liberalisasi pendidikan adalah bagian dari imperialisme yang hanya akan memperkuat dominasi kafir atas muslim. Hal ini tidak boleh terjadi. Firman Allah SWT (artinya) : "Dan Allah sekali-kali tidak akan menjadikan jalan bagi orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang yang beriman." (QS An-Nisaa` : 141) Strategi perlawanannya secara garis besar adalah sebagai berikut : Pertama, langkah politik (al-kifah as-siyasi) : (1) kepada masyarakat. Memberikan penyadaran kepada masyarakat, khususnya masyarakat kampus agar lebih menyadari kondisi yang terjadi. Tujuannya adalah agar mereka sadar terjadinya penjajahan melalui liberalisasi pendidikan. Langkah yang ditempuh adalah membongkar konspirasi jahat di balik liberalisasi pendidikan tinggi, menjelaskan bahaya-bahayanya, dan berusaha memberikan strategi untuk melawannya. (2) kepada pemerintah. Memberikan kritik-kritik atas tindakan pemerintah yang tega menjadi komprador asing atau agen penjajah dalam liberalisasi pendidikan tinggi ini. Tujuannya agar pemerintah berhenti menjadi agen penjajah dan pengkhianat umat, serta kembali berpihak pada kepentingan umat. (3) kepada DPR. Memberikan kritik-kritik dan tekanan atas sikap DPR yang mengesahkan berbagai UU yang jahat dan konspiratif demi kedaulatan asing seraya menghancurkan kedaulatan bangsa sendiri. Tujuanya agar DPR berhenti sebagai badan legislatif yang mengesahkan UU rekayasa penjajah dengan mengatasnamakan rakyat. (4) kepada negara-negara kapitalis, MNC/TNC, dan lembaga-lembaga internasional. Menyampaikan kutukan, protes keras, dan kritik. Tujuannya agar mereka menghentikan kejahatan mereka melakukan imperialisme yang kejam atas umat manusia melalui liberalisasi pendidikan tinggi. Kedua, langkah ideologi (ash-shira'ul fikri) : (1) terhadap neoliberalisme (kapitalisme). Memberikan kritik-kritik karena dari segi fakta ideologi ini sangat berbahaya dan dari segi normatif sangat bertolak belakang dengan Islam. Tujuannya agar manusia hilang kepercayaannya (trust, tsiqah) pada ideologi kafir yang sangat berbahaya ini. (2) terhadap imperialisme. Menjelaskan kepada umat bahwa liberalisasi pendidikan adalah bagian dari imperialisme Barat. Imperialisme sendiri merupakan metode baku dalam penyebarluasan sekularisme. Tujuannya adalah untuk menghancurkan dan menghentikan imperialisme, dengan cara membongkar aksi imperiliasmenya dan

menghancurkan sekularisme sebagai titik tolaknya. Sebab imperialisme tidak akan dapat dihancurkan tanpa menghancurkan sekulerisme, yang merupakan dasar ideologi (qa'idah fikriyah) bagi ideologi kapitalisme. (3) terhadap ideologi Islam. Menjelaskan kepada umat bahwa ideologi yang benar adalah ideologi Islam, sebagai alternatif setelah umat tidak percaya lagi kepada ideologi kapitalisme. Tujuannya agar umat manusia percaya pada ideologi Islam dan mau memperjuangkan perwujudannya dalam realitas. Dan karena ideologi Islam tidak akan terwujud tanpa negara Khilafah, maka umat pun wajib dipahamkan akan urgensi keberadaan Khilafah demi terwujudnya ideologi Islam di muka bumi. (4) terhadap sistem pendidikan Islam. Menjelaskan kepada umat bagaimana sistem pendidikan Islam dalam negara Khilafah. Termasuk juga perlu dijelaskan bagaimana pembiayaan pendidikan yang gratis dalam sistem Islam. Tujuannya agar umat memahami sistem pendidikan alternatif yang baik, sebagai pengganti sistem pendidikan sekarang yang sekuler dan bobrok, dan mahal. Dalam konteks kekinian, pembiayaan pendidikan yang gratis dari negara sesungguhnya amat dimungkinkan. Dapat dilakukan berbagai langkah untuk mencari sumber pembiayaannya, antara lain penghapusan/pengurangan utang luar negeri, mengoptimalkan potensi pendapatan sumber daya alam, serta penegakan hukum yang tegas (misalnya menghapuskan korupsi dan illegal loging). [ ] DAFTAR BACAAN Adams, Ian, Ideologi Politik Mutakhir (Political Ideology Today), Penerjemah Ali Noerzaman, (Yogyakarta : Penerbit Qalam), 2004 Effendi, Sofian, "Menghadapi Liberalisasi Pendidikan Tinggi", Seputar Indonesia, 12-13 Maret 2007 Mugasejati, Nanang Pamuji & Martanto, Ucu (Eds), Kritik Globalisasi & Neoliberalisme, (Yogyakarta : Fisipol UGM), 2006 Nopriadi, Memahami Globalisasi, www.khilafah1924.org Prasetyantoko, A., Arsitektur Baru Ekonomi Global, (Jakarta : PT Elex Media Komputindo, 2001). Wibowo I., "Pendahuluan" dalam Wibowo, I & Wahono, Francis (Eds), Neoliberalisme, (Yogyakarta : Cinde Laras Pustaka Rakyat Cerdas), 2004. Yurino, Ari, Privatisasi Dunia Pendidikan: Hancurnya Pendidikan Bangsa, http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=1533&post=3

Globalisasi dan DampaknyaGlobalisasi didasari ideologi free market fundamentalism yang patuh pada mitos the invisible hand dan antipati terhadap peran negara. Diyakini bahwa kalau pemerintah mengeliminasi intervensi ekonominya (subsidi, proteksi, kepemilikan), maka pasar dapat menjalankan perannya lebih efisien yang pada gilirannya mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial melalui mekanisme efek rembesan ke bawah (trickle down effect). Kenyataannya, tangan tak kelihatan itu tidak mampu mengatur pasar secara

sempurna, utamanya di negara-negara informasi dan ketidaklengkapan pasar.

berkembang,

karena

ketidaksempurnaan

Di sini kita bisa melihat bahaya globalisasi. Bahaya globalisasi tidak hanya disebabkan oleh saratnya muatan ideologi neoliberalisme dan kepentingan kapitalis dunia. Lebih jauh, ia disokong oleh tiga lembaga internasional penting: Bank Dunia, International Monetary Fund (IMF), dan World Trade Organization (WTO) yang sanggup mencengkram dunia. Melalui strategy export-oriented production dan pendekatan structural adjustment policy (SAP), Bank Dunia dan IMF bertindak laksana agen kolonialisme baru yang mengeruk kekayaan negara-negara berkembang. Ketika sebuah negara sudah tergantung secara ekonomi karena terjebak pinjaman yang berkedok bantuan, maka WTO dapat dengan leluasa meliberalisasi ekonomi negara tersebut. Kenyataanya, globalisasi memperkokoh hegemoni perusahaan-perusahaan multinasional atau transnasional (MNCs/TNCs). Di balik kedok globalisasi, bersembunyi wajah neoliberalisme, dan di belakang neoliberalisme berjajar MNC yang memiliki kepentingan menguasai ekonomi dunia. Tony Clark (2001) mencatat dari 100 pemegang kekayaan dunia, 52-nya adalah MNC; sebanyak 70 persen perdagangan global di kontrol oleh hanya 500 MNC, dan 443 dari 500 perusahaan tersebut berasal atau berlokasi di AS (185), Eropa (158) dan Jepang (100). Kelimpahan kekayaan MNC membuat mereka memiliki posisi tawar (bargaining position) yang kuat. Mereka dapat memaksa negara (baca: kepala pemerintahan) bertekuk lutut. MNC bisa menawarkan investasi, lapangan pekerjaan, dan pertumbuhan ekonomi bagi negara sejauh memenuhi syarat-syarat yang ditetapkannya (pajak rendah, upah buruh minimum, serikat buruh yang lunak). Melemahnya sistem welfare state di Eropa Barat, misalnya, dapat disebut sebagai bentuk tunduknya kepala negara kepada MNC. Sampai tahun 1980-an tidak ada satu pun negara di Eropa Barat yang berani mengubah kebijakan sosial (kesehatan, pendidikan, jaminan hari tua) yang amat sensitif ini. Di pelopori panji ekonomi Thatcherisme, satu demi satu negara-negara yang terkenal dengan keroyalan pembangunan kesejahteraan sosial-nya itu merestrukturisasi welfare state. Alasannya, welfare state dianggap boros dan menakutkan para MNC memasukan modalnya ke negara mereka. Karena itu, Dunia Ketiga tentu tak dapat menghindari gemuruh ekstensifikasi liberasi perdagangan. Mengingat kapitalisme transnasional memiliki kemampuan merambah dan memasuki area yang paling sulit dijangkau, bahkan oleh pemerintah lokal sekalipun. Peran negara kemudian melemah karena otonominya ditekan oleh para pemegang modal internasional. Memperkuat Peran Negara Jelaslah sudah bahwa secara internasional memburuknya permasalahan sosial global bermuara pada globalisasi. Melebarnya kesenjangan sosial-ekonomi antara negara maju dan berkembang, meningkatnya ketergantungan negara berkembang terhadap negara maju, serta menguatnya dominasi negara kapitalis atas faktor-faktor produksi negara berkembang, telah melahirkan dan bahkan memperparah tragedi kemanusiaan. Selain itu, melemahnya peran negara dalam pembangunan ekonomi pada gilirannya akan

disusul dengan melemahnya peran negara dalam pembangunan kesejahteraan sosial. Sebagaimana terjadi di banyak negara berkembang, melemahnya peran negara ini seringkali menjadi pemicu disintegrasi sosial dan munculnya permasalahan sosial lokal. Sebagaimana ditulis Fukyama, liberalisme dan globalisasi menjadi penggerak perubahan ekonomi yakni dengan memangkas intervensi ekonomi negara ke tingkat yang minimal sekaligus membawa hasil-hasil yang menggembirakan: pertumbuhan ekonomi, pengurangan kemiskinan, dan integrasi pasar. Namun, dalam beberapa hal lain, ia justru membawa problematika baru: berkurangnya peran negara dalam ekonomi yang juga terkait degnan merosotnya kapasitas negara untuk melakukan fugsinya yang memang perlu. Dalam hal ini, pasar bebas, sesungguhnya, bisa saja berakibat positif melalui efisiensi dan efektifitas produksi. Akan tetapi, paralel dengan hal tersebut, pasar bebas juga menghasilkan satu kondisi di mana persaingan berlangsung secara tidak seimbang. Di samping, peranan modal akan mendominasi daerah tujuan investasi di bawah tekanan dengan mereduksi sisi-sisi kearifan ekonomi terhadap kemanusiaan. Kecuali itu, kondisi yang paling akut akan mengarahkan pembangunan pada terciptanya kesenjangan yang mengesampingkan citarasa keadilan. Dengan kejahatan kemanusiaan menjadi karakter utama yang melekat padanya. Negara harus memilih dalam memosisikan dirinya di hadapan imperium kapital. Yang bila dibiarkan bebas berkeliaran akan menghasilkan formasi sosial baru yang dialiri darah kebencian dan detak nadi kemarahan. Karena itu, pemerintah mesti mengintervensi segi-segi kebebasan pasar lewat pengaturan lalu lintas perdagangan yang masuk ke dalam negara. Sambil pada saat yang sama memberdayakan masyarakat luas lewat pemerataan ekonomi dan distribusi aset secara adil. Rekapitalisasi tak boleh melulu mengandalkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan mengesampingkan pemerataan pada saat yang bersamaan. Sejalan dengan agenda pemerataan ekonomi, negara juga wajib mengatur lalu lintas ditribusi barang. Hal ini dimaksudkan untuk memprioritaskan barang produksi nasional sebagai sumber pemenuhan kebutuhan masyarakat dalam negeri. Dengan demikian, bukan saja masyarakat teradvokasi oleh negara dalam menghasilkan barang-barang produksi dengan akibat utamanya adalah, kesejahteraan. Melainkan, negara juga membangun kemandirian ekonomi dan membebaskan diri dari intervensi asing di berbagai bidang. Kepentingan nasional akan jauh lebih mudah diselamatkan bila negara memiliki keberanian yang cukup untuk mengantisipasi, bukan menolak, gelombang globalisasi dan pasar bebas.

Dalam konteks globalisasi, negara semestinya bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyatnya. Sebab, negara yang lemah hanya akan menyebabkan kemersotan hidup bagi warganya. Oleh karena itu, pembangunan yang didisain oleh negara tak bisa dilepaskan dari tujuannya untuk mengabdi terhadap sasarannya sendiri. Dan sasaran pembangunan adalah rakyat.Di lain pihak, rakyat yang memiliki hak-hak kewarganegaraan pun harus membuat dan mematuhi kontrak sosial yang dibuatnya bersama negara.

Karenanya, pembangunan pun mempersyaratkan dimensi demokrasi sebagai sebuah kemutlakan. Di mana warga negara berhak untuk terlibat dalam keseluruhan proses pembangunan. Mulai dari tahap perencanaan hingga alokasi nilai yang didapat dari pembangunan tersebut. Tak cukup hanya dengan mengandalkan negara sebagai pihak yang merumuskan agenda pembangunannya sendiri. Sementara warga negara ditempatkan pada posisi marjinal, atau bahkan mungkin dieliminasi perannya. Hal demikian bukan hanya akan menghasilkan pemerintatahan otoritarian, tapi juga berpeluang besar berakhir dengan kegagalan.

Kehadiran negara yang bertanggung jawab dan memfungsikan dirinya dalam mengusahakan kesejateraan masyarakat ini disebut sebagai negara sosial. Bentuk praksis dari tanggung jawab negara terhadap kesejahteraan umum dapat diwujudkan melalui keberpihakan terhadap kelompok-kelompok ekonomi rakyat. Di mana negara diberi kewenangan mengintervensi pasar yang dimaksudkan untuk melindungi industri kecil dan kelompok-kelompok ekonomi rakyat lainnya. Termasuk juga di dalamnya distribusi yang adil dan merata kepada seluruh kelompok warga negara. Sehingga keadilan sosial (social justice) dapat terwujud dengan sebaik-baiknya. Yaitu keadilan yang pelaksanaannya tergantung pada struktur proses-proses ekonomis, politis, sosial, budaya, dan ideologis dalam masyarakat.

Di tingkat semacam inilah negara berwenang untuk terlibat. Dan aspek-aspek pembentukan negara kesejahteraan (welfare state) dapat terlaksana. Singkatnya, berhadapan dengan liberalisme, prinsip menegaskan tanggung jawabnya untuk mendukung dan melengkapkan usaha warga negara dalam mencapai kesejateraan. Sedangkan terhadap etatisme, prisip membatasi kewenangan negara hanya pada pelayanan-pelayanan yang tak mampu diselesaikan oleh konstruksi ekonomi dan politik warga negara. Negara yang menyatakan keberpihakannya terhadap rakyat lemah akan memiliki kemampuan untuk meningkatkan kesejahteraannya secara lebih luas. Di mana demokrasi menjadi menjadi ciri utama dalam keseluruhan proses pembangunan. Sementara kesejahteraan umum tetap menjadi perhatian penting sebagai tanggung jawab yang mesti dicapai negara. Hasil akhirnya, tentu saja terbangunnya sebuah negara kuat yang efektif, mandiri, dan berwibawa.

Ekonomi Internasional Bagian 2PENGARUH PERDAGANGAN TERHADAP PEREKONOMIAN DALAM NEGERI Dua konsekuensi penting dan perdagangan, yaitu: (a) adanya manfaat dan perdagangan (gains from trade) (b) adanya kecenderungan ke arah spesialisasi dalam produksi barang-barang yang memiliki keunggulan komparatif.

Kedua akibat ini termasuk akibat ekonomis dan perdagangan luar negeri. Ada akibatakibat lain yang bersifat non ekonomis. Dibukanya suatu perekonomian terhadap hubungan luar negeri mempunyai konsekuensi yang luas terhadap perekonomian dalam negeri. Konsekuensi ini mencakup aspek ekonomis maupun non-ekonomis, dan bisa bersifat positif maupun negatif bagi negara yang bersangkutan. Semua ini perlu kita kaji sebelum kita bisa mengatakan apakah perdagangan luar negeri bermanfaat atau tidak bagi suatu negara. Kedua pengaruh ekonomis di atas hanyalah sebagian dan seluruh pengaruh ekonomis dan perdagangan. Pengaruh-pengaruh ekonomis ini bisa digolongkan dalam tiga kelompok: (a) Pengaruh pengaruh pada konsumsi masyarakat (consumption effects). (b) Pengaruh pengaruh pada produksi (production effects). (c) Pengaruh pengaruh pada distribusi pendapatan masyarakat (distribution effects). PENGARUH TERHADAP KONSUMSI Salah satu pengaruh penting pada konsumsi masyarakat adalah karena perdagangan, masyarakat bisa berkonsumsi dalam jumlah yang lebih besar daripada sebelum ada perdagangan. Ini sama saja dengan mengatakan bahwa pendapatan riil masyarakat (yaitu, pendapatan yang diukur dan berapa jumlah barang yang bisa dibeli oleh jumlab uang tersebut), meningkat dengan adanya perdagangan Konsep yang sering disebut dengan nama Transformasi adalah proses pengubahan sumber-sumber ekonomi atau barang-barang dalam negeri menjadi barang-barang lain yang bisa memenuhi kebutuhan (konsumsi) masyarakat. Konsep transformasi ini mencakup: (a) Transformasi melalui produksi, yaitu memasukkan sumber-sumber ekonomi (input) ke dalam pabrik-pabrik dan proses produksi lain untuk menghasilkan barangbarang akhir (output). Inilah proses produksi dalam arti yang biasanya kita gunakan. (b) Transformasi melalui perdagangan, yaitu menukarkan suatu barang dengan barang lain yang (lebih) kita butuhkan. Dan segi arti ekonomisnya menukarkan satu barang dengan barang lain melalui perdagangan adalah juga suatu proses pengubahan. tidak ada bedanya dengan proses pengubahan melalui pabrikpabrik (proses produksi). Keduanya mencapal hasil yang sama, yaitu mengubah satu barang menjadi barang lain (yang diang gap lebih bernilai atau lebih dibutuhkan). Dalam ekonomi tertutup hanya ada satu proses transformasi, yaitu proses produksi. Bila perdagangan dibuka, proses transformasi bagi masyarakat menjadi dua macam, yaitu proses produksi dan proses perdagangan/pertukaran. Inilah sumber dan kenaikan pendapatan riil masyarakat dan perdagangan luar negeri: yaitu adanya kemungkinan yang lebih luas (dan lebih menguntungkan) untuk mentransformasikan sumber-sumber ekonomi dalam negeri menjadi barang-barang yang dibutuhkan masyarakat. Jadi menutup kemungkinan transformasi melalui perdagangan adalah sama saja dengan menutup kemungkinan diperolehnya kenaikan pendapatan riil. Berapa besar kenaikan pendapatan riil dan adanya perdagangan seperti yang diuraikan sebelumnya. Hal tergantung pada sampai berapa jauh dasar penukarannya membaik setelah ada perdagangan.

Satu lagi pengaruh yang penting dan perdagangan terhadap pola konsumsi masyarakat. Pengaruh ini dikenal dengan nama demonstration effects. Pengaruh terhadap konsumsi yang diuraikan di atas sebenarnya berkaitan dengan peningkatan kemampuan berkonsumsi, yaitu pendapataan riil masyarakat. Demonstration effects atau pengaruh percontohan > adalah pengaruh yang bersifat langsung dan perdagangan terhadap pola dan kecenderungan berkonsumsi masyarakat. Pengaruh ini bisa bersifat positif atau bersifat negatif. Demonstration effects yang bersifat positif adalah perubahan pola dan kecenderungan berkonsumsi yang mendorong kemauan untuk berproduksi lebih besar. Menurut J.S. Mill bahwa terutama di negara yang masih pada tahap perkembangan ekonomi yang rendah, ada kemungkinan penduduknya ada dalam keadaan tertidur dan puas diri, dengan perasaan bahwa selera dan keinginan mereka sudah semuanya terpenuhi Dibukanya perdagangan luar negeri kadang-kadang bisa mempunyai pengaruh yang serupa dengan revolusi industri, dengan diperkenalkan dengan barang-barang baru kepada penduduk atau karena terbukanya kemungkinan bagi mereka untuk memperoleh barang-barang yang sebelumnya tak terbayangkan bisa terjangkau oleh mereka . Demonstrasi effects yang bersifat negatif adalah apabila dibukanya hubungan dengan luar negeri menimbulkan pola dan kebiasaan konsumsi asing yang tidak sesuai dengan tahap perkembangan perekonomian tersebut. Misalnya, masyarakat (dimulai dan golongan yang berpenghasilan tinggi) cenderung untuk meniru gaya dan kebiasaan hidup dan konsumsi dan negara-negara maju lewat contoh-contoh yang ditunjukkan lewat media seperti film, televisi, majalah-majalah dan sebagainya. Akibatnya ada kecenderungan bagi masyarakat tersebut untuk berkonsumsi yang berlebihan (dilihat dan tahap perkembangan ekonomi dan kemampuan produksi masyanakat) Dengan lain perkataan, propensity to consume menjadi tenlalu tinggi. ini selanjutnya mengakibatkan sumber ekonomi yang tersedia untuk investasi rendah, dan ini berarti pertumbuhan ekonomi yang rendah; Menentukan apakah pengaruh positif lebih besar dan pengaruh negatif atau sebaliknya, adalah persoalan yang sulit. Kita harus melihat kasus demi kasus. Banyak bentuk pengaruh yang tidak bisa diukur dengan tepat, sehingga unsur subyektivitas (atau kecenderungan ideologis) sering tidak bisa dihindari. Beberapa negara (seperti RRC dan negana-negana sosialis lain) berpendapat bahwa pengarub negatmfnya lebih besar. Menurut mereka dibukanya hubungan luar negeni merangsang kebiasean hidup yang individualistis, pola konsumsi yang mewah dan menggoyahken keyakmnan ideologis masyarakat terhap sistem neqaranya. Negara-negara Barat yang telah maju dan sejumlah negar-negara sedang berkembang beranggapan sebaliknya, yaitu menganggap bahwa pengaruh negatmfnya tiaak melebihi pengaruh positifnya Sampai sekarang belum bisa diketahul secara pasti apakah tingkat investasi (dan tingkat pertumbuhan) menjadi Iebih rendah atau lebih tinggi dengan adanya perdagangan luar negeri. RRC dan beberapa negara sosialis lain dengan perekonomian yang relatif tertutup, bisa mencapai laju pertumbuhan yang sangat tinggi. Sebaliknya Jepang, Singapura, Korea Selatan, Hongkong, Taiwan yang mempunyal perekonomian terbuka juga bisa mencapai laju pentumbuhan yang sangat mengesankan. Demikian pula, apakah dibukanya hubungan perdagangan luar negeri menimbulkan pola dan gaya konsumsi masyarakat yang keliru, adalah masalah yang sulit dijawab secara tegas. Orang bisa mengatakan bahwa dalam masyarakat yang tertutuppun (seperti masyarakat-masyarakat feodal dimasa lampau) bisa terjadi pola konsumsi yang berlebihan

dan pemborosan-pemborosan sosial oleb golongan-golongan masyarakat tertentu. Dan sebaliknya, masyarakat yang terbuka mungkin bersifat hemat dan tidak men unjukkan pola konsumsi yang berlebihan. Nampaknya ada faktor lain yang lebih menentukan apakah suatu masyarakat adalah masyarakat yang hemat dan berpola konsumsi wajar atau masyarakat yang boros dan berpola konsumsi mewah. Faktor ini adalah pola distribusi kekayaan dan pendapatan yang ada di dalam masyarakat. Pola distribusi yang timpang menimbulkan pola konsumsi yang timpang dan boros, dan mi berlaku baik bagi ekonomi tertutup maupun ekonomi terbuka. Adanya perdagangan luar negeri mungkin membuat ketimpangan pola konsumsi tersebut lebih menyolok, karena mereka yang melakukan konsumsi yang berlebihan cenderung untuk memilih barang-barang luar negeri dan gaya hidup luar negeri. Namun dalam hal ini masalah pokoknya sebenarnya bukan karena masyarakat tersebut membuka hubungan dengan luar negeri, tetapi karena sejak awal distribusi kekayaan dan pendapatan di dalam negeri memang timpang, dan menutup diri dan percaturan ekonomi dunia tidak menyelesaikan masalah justru sebaliknya. Singkatnya demonstration effects memang ada, tetapi apakah efek negatifnya atau efek positifnya yang lebih menonjol sulit untuk ditentukan secara umum. ini tergantung situasinya kasus demi kasus. Namun kita juga harus berhati-hati dalam menentukan apakah pola konsumsi yang keliru memang karena demonstration effects atau sebab-sebab lain. PENGARUH TERHADAP PRODUKSI Perdagangan luar negeri mempunyai pengaruh yang kompleks terhadap sektor produksi di dalam negeri. Secara umum kita bisa menyebutkan empat macam pengaruh yang bekerja melalul adanya : (a) Spsialisasi produksi. (b) Kenaikan investasi surplus. (c) Vent for Surplus. (d) Kenaikan produktivitas. Spesialisasi. Kita telah melihat bahwa perdagangan internasional mendorong masing-masing negara ke arah spesialisasi dalam produksi barang di mana negara tersebut memiliki keunggulan komparatifnya. Dalam kasus constant-cost, akan terjadi spesialisasi produksi yang penuh, sedangkan. Dalam kasus increasing-cost terjadi spesialisasi yang tidak penuh. Yang perlu diingat di sini adalah bahwa spesialisasi itu sendiri tidak membawa manfaat kepada masyarakat kecuali apabila disertai kemungkinan menukarkan hasil produksiriya dengan barang-barang lain yang dibutuhkan. Spesialisasi plus perdagangan bisa meningkatkan pendapatan riil masyarakat, tetapi spesialisasi tanpa perdagangan mungkin justru menurunkan pendapatan nil dan kesejahteraan masyarakat. Tetapi apakah spesialisasi plus perdagangan selalu menguntungkan suatu negara? Dalam uraian kita dalam bab-bab sebelumnya, kita menyimpulkan, bahwa pendapatan riil masyarakat sesudah perdagangan selalu lebih tinggi atau setidak-tidaknya sama dengan pendapatan riil masyarakat sebelum perdagangan. ini berarti bahwa perdagangan tidak akan membuat pendapatan riil masyarakat lebih rendah, dan sangat mungkin membuatnya

lebih tinggi. Tetapi perhatikan bahwa analisa semacam ini bersifat statik, yaitu tidak memperhitungkan pengaruh -pengaruh yang timbul apabila situasi berubah atau berkembang, seperti yang kita jumpai dalam kenyataan. Ada tiga keadaan yang membuat spesialisasi dan perdagangan tidak selalu berrnanfaat bagi suatu negara. Ketiga keadaan ini berkaitan dengan kemungkinan spesialisasi produksi yang terlalu jauh, artinya adanya sektor produksi yang terlalu terpusatkan pada satu atau dua barang saja. Ketiga keadaan ini adalah: (a) Ketidak stabilan pasar luar negeri. Suatu negara yang karena dorongan melakukan spesialisasi perdagangan, hanya memproduksikan karet dan kayu. Apabila harga karet dan harga kayu dunia jatuh, maka perekonomian dalam negeri otomatis akan ikut jatuh. Lain halnya apabila negara tersebut tidak hanya berspesialisasi pada kedua barang tersebut, tetapi juga memproduksikan barang-barang lain baik untuk ekspor maupun untuk kebutuhannya dalam negeri sendiri. Turunnya harga dan satu atau dua barang mungkin bisa diimbangi oleh naiknya harga barang-barang lain. Inilah pertentangan atau konflik antara spesialisasi dengan diversifikasi. 1.Spesialisasi bisa meningkatkan pendapatan riil masyarakat secara maksimal, tetapi dengan risiko ketidak stabilan yang tinggi. Sebaliknya 2.diversifikasi lebih menjamin kestabilan pendapatan tetapi dengan konsekuensi harus mengorbankan sebagian dan kenaikan pendapatan dan spesialisasi. Sekarang hampir semua negara di dunia menyadari bahwa spesialisasi yang terlalu jauh (meskipun didasarkan atas prinsip keunggulan komparatif, seperti yang ditunjukkan oleh teori ekonomi) bukanlah keadaan yangbaik. Manfaatdari diversifikasi harus pula diperhitungkan. (b) Keamanan nasional. Apabila suatu negara hanya memproduksikan satu barang, misalnya karet, dan harus mengimpor seluruh kebutuhan bahan makanannya Meskipun karet adalah cabang produksi di mana negara tersebut memiliki keunggulan komparatif yang paling tinggi, sehingga bisa meningkatkan pendapatan riil masyarakat setinggi mungkin, tentunya keadaan seperti di atas tidak sehat. Seandainya terjadi perang atau apapun yang menghambat perdagangan luar negeri, dan manakah diperoleh bahan makanan bagi penduduk negara tersebut? Jelas bahwa pola produksi seperti yang didiktekan oleh keunggulan komparatif tidak harus selalu dilkuti apabila ternyata keiangsungan hidup negara itu sendiri sama sekali tidak terjamin. (c) Dualisme. Sejarah perdagangan internasional negara-negara sedang berkembang terutama semasa mereka masih menjadi koloni negara-negara Eropa, ditandai oleh timbulnya sektor ekspor yang beronientasi ke pasar dunia dan yang sedikit sekali berhubungan dengan sektor tradisional dalam negeri. Sektor ekspor seakan-akan bukan merupakan bagian dan negeri itu, tetapi bagian dan pasar dunia. Dalam keadaan seperti ini spesialisasi dan perdagangan internasional tidak memberi manfaat kepada perekonomian dalam negeri.

Keadaan ini di negara-negara sedang berkembang setelah kemerdekaan mereka, memang sudah menunjukkan perubahan. Tetapi Seiring belum merupakan perubahan yang fundamental. Sektor ekspor yangmodern masih nampak belum bisa menunjang sektor dalam negeri yang tradisional Ketiga keadaan tersebut di atas adalah peringatan bagi kita untuk tidak begitu saja dan tanpa reserve menerima dalil perdagangan Neo-Klasik bahwa spesialisasi dan perdagangan selalu menguntungkan dalam keadaan apapun. Tetapi di lain pihak. uraian di atas tidak merupakan bukti bahwa manfaat dari petdagangan tidaklah bisa dipetik dalam kenyataan. Teori keunggulan komparatif masih menjadi tahapan dasarnya, yaitu bahwa suatu negara seyogyanya memanfaatkan keunggulan komparatif dan kesempatan transformasi lewat perdagangan Hanya saja perlu diperhatikan bahwa dalam hal-hal tertentu pentimbangan pertimbangan lain jangan lupaken. Investible Surplus Meningkat. Pendagangan meningkatkan pendapatan riil masyarakat. Dengan pendapatan riil yang lebih tinggi berarti negara tersebut mampu untuk menyisihkan dana sumber sumber ekonomi yang lebih besar bagi investasi (inilah. yang disebut investible surplus). investasi yang lebih tinggi berarti laju pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Jadi perdagangan bisa mendorong laju pertumbuhan ekonomi. lnilah inti dan pengaruh pendagangan internasional tenhadap produksi lewat investible surplus. Ada tiga hal mengenai penganuh ini yang perlu dicatat: (a) Kita harus menanyakan berapa dan manfaat perdagangan (kenaikan pendapatan nil) yang diterima oleh warganegara riegara tersebut, dan berapa yang diterima oleh warganegara asing yang memiliki faktor produksi, misalnya modal, tenaga kerja, yang dipekerjakan di negara tersebut. Dengari lain perkataan. yang lebih penting adlah berapa kenaikan GNP, bukan kenaikan GDP. yang ditimbulkan oleh adanya perdagangan. (b) Kita harus menanyakan pula berapa dan kenaikan pendapatan nil karena perdagangan tersebut akan diterjemahkan menjadi kenaikan investasi dalam negeri, dan benapa ternyata dibelan jakan untuk konsumsi yang lebih tinggi atau ditransfer ke luar negeri oleh perusahaan-perusahaan asing sebagai imbalan bagi modal yang ditanamkannya? Dan segi pertumbuhan ekonomi yang penting adalah Icenaikan investasi dalam negeri dan bukan hanya investible surplusnya. (c) Kita harus pula membedakan antara pertumbuhan ekonomi dan pembangunan ekonomi. Disebutkan di atas bagaimana dualisme dalam struktur perekonomian bisa timbul dan adanya perdagangan internasional. Dimasa lampau, dan gejala-gejalanya masih tersisa sampal sekarang, kenaikan investible surplus tersebut cenderung untuk diinvestasikan di sektor modern dan hanya sedikit yang mengalir ke sektor tradisional. Pertumbuhan semacam mi justru semakin mempertajam dualisme dan perbedaan antara kedua sektor terebut. Dalam hal ini kita harus berhati-hati untuk tidak mempersamakan pertumbuhan ekonomi dengan pembangunan ekonomi dalam arti yang sesungguhnya. Inti dari uraian di atas adalah bahwa kenaikan investible surplus karena perdagangan adalah sesuatu yang nyata. Tetapi kita harus mempertanyakan Lebih lanjut siapa yang memperoleh manfaat, berapa besar manfaat tersebut yang direalisir sebagai investasi dalam negeri, dan adakah pengaruh dan manfaat tersebut terhadap pembangunan ekonomi dalam arti yang sesungguhnya.

Vent For Surplus > Menurut Smith, perdagangan luar negeri membuka daerah pasar baru yang lebih luas bagi hasil-hasil dalam negeri. produksi dalam negeri asing semula terbatas karena terbatasnya pasar di dalam negeri, sekarang bisa diperbesar lagi. Sumber-sumber ekonomi yang semula menganggur (surplus) sekarang memperoleh saluran (vent) untuk bisa dimanfaatkan, karena adanya daerah pasar yang baru. Konsep vent for surplus adalah bahwa pertumbuhan ekonomi terangsang oleh terbukanya daerah pasar yang baru. Sebagai contoh, suatu negara yang kaya akan tanah pertanian tetapi berpenduduk relatif sedikit. Sebelum kemungkinan perdagangan dengan luar negeri terbuka, negara tersebut hanya menghasilkan bahan makanan yang cukup untuk menghidupi penduduknya dan tidak lebih dan itu. Banyak tanah yang sebenarnya subur dan cocok bagi pertanian dibiarkan tak terpakai. Dengan adanya kontak dengan pasar dunia, negara tersebut mulai menanam barang-barang perdagangan dunia seperti lada, kopi, teh, karet, gula dan sebagainya dengan mernanfaatkan tanah pertanian yang menganggur tersebut. Dengan demikian pertumbuhan ekonomi meningkat. Yang perlu dicatat di sini adalah bahwa pemanfaatan tanah-tanah pertanian baru tersebut memerlukan modal dan investasi yang sangat besar, jauh melebihi kemampuan negara itu sendiri untuk membiayainya. Oleh sebab itu sejarah mencatat bahwa pembukaan perkebunan-perkebunan hampir selalu berasal dan modal asing. ini jelas dan sejarah negara-negara seperti Indonesia, Malaysia, India, Sri Langka dan banyak lagi lainnya. Dimasa sekarang sumber-sumber ekonomi yang belum dimanfaatkan kebanyakan tidak lagi berupa tanah-tanah pertanian (meskipun kadang-kadang masih demikian), tetapi berupa sumber-sumber alam (khususnya, energi) dan kadang-kadang juga tenaga kenja yang berlimpah dan murah. Modal yang besar dnn teknologi tinggi diperlukan bagi pemanfaatan sumber-sumber alam mi, dan semuanya itu seringkali di luar kemampuan negara pemilik sumber-sumber tersebut untuk membiayai dan melaksanakannya. Perdagangan luar negeri menciptakan pasaran yang lebih luas (vent) bagi hasil produksi dalam negeri, sehingga sumber-sumber ekonomi yang belum semua dimanfaatkan (surplus) bisa dimanfaatkan. Modal dan teknologi asing biasanya diperlukan untuk pemanfaatan sumber-sumber ekonomi. Dimasa lampau modal dan teknologi asing masuk ke sektor perkebunan, sekarang ke sektor sumber-sumber alam (energi, mineral). Perdagangan internasional dan hubungan luar negeri meningkatkan produktivitas melalui (a) economies of scale yang dimungkinkan oleh makin luasnya pasar (b) teknologi baru yang dialihkan dari luar negeri ke dalam negeri (c) rangsangan persaingan dalam meningkatkan kualitas barang hasil produksi Pengalihan dan teknologi mendapat perhatian yang khusus dalam forum-forum dan perundingan internasional maupun dalam pengkajian ilrniah. Economies of scale dan rangsangan persaingan belum mendapat perhatian yang sepadan. terdapat dua sudut pandangan mengenai pengaruh hubungan ekonomi internasional terhadap distribusi pendapatan, yaitu pendapat kaum Neo-Klasik dan pendapat golongan anti NeoKlasik. a. Kaum Neo-Klasik mengatakan bahwa baik perdagangan internasional maupun aliran modal internasional cenderung untuk meratakan distribusi pendapatan di dalam suatu negara maupun antar negara.

b. Kaum anti Neo-Klasik mengatakan bahwa perdagangan bebas dan penanaman modal asing justru meningkatkan ketimpangan distribusi pendapatan di dalam suatu negara maupun antar negara. Masing-masing sudut pandangan mempunyai unsur kebenarannya, sehingga masalahnya harus dilihat kasus demi kasus karena aspek non-ekonomis dari hubungan internasional sangat penting dan saling berkaitan satu sama lain dengan aspek ekonomis. Ada tiga keadaan yang membuat spesialisasi dan perdagangan tidak selalu berrnanfaat bagi suatu negara. Ketiga keadaan ini berkaitan dengan kemungkinan spesialisasi produksi yang terlalu jauh, dimana artinya adanya sektor produksi yang terlalu terpusatkan pada satu atau dua barang saja. Ketiga keadaan ini adalah: (a) Ketidak stabilan pasar luar negeri. Misalnya perdagangan yang terspesialisasi hanya memproduksikn karet dan kayu. Apabila harga karet dan harga kayu dunia jatuh, maka perekonomian dalam negeri otomatis akan ikut jatuh. Spesialisasi bisa meningkatkan pendapatan riil masyarakat secara maksimal, tetapi dengan risiko terjadi ketidak stabilan yang tinggi. Sebaliknya diversifikasi lebih menjamin kestabilan pendapatan tetapi dengan konsekuensi harus mengorbankan sebagian dari kenaikan pendapatan dan spesialisasi. Sekarang hampir semua negara di dunia menyadani bahwa spesialisasi yang terlalu jauh (meskipun didasarkan atas prinsip keunggulan komparatif. seperti yang ditunjukkan oleh teori ekonomi) bukanlah keadaan yangbaik. Manfaat dari diversifikasi harus pula diperhitungkan. (b) Keamanan Nasional. Bayangkan suatu negara hanya mem produksikan satu barang, misalnya karet, dan harus mengimpor seluruh kebutuhan bahan makanannya Meskipun karet adalah cabang produksi di mana negara tersebut memiliki keunggulan komparatif yang paling tinggi, sehingga bisa meningkatkan CPF nya setinggi mungkin, tentuhya keadaan seperti di atas tidak sehat. Seandainya terjadi perang atau apapun yang menghambat perdagangan luar negeri, dan manakah diperoleh bahan makanan bagi penduduk negara tersebut? Jelas bahwa pola produksi seperti yang didiktekan oleh keunggulan komparatif tidak harus selalu diikuti apabila ternyata kelangsungan hidup negara itu sendirii sama sekali tidak terjamin. (c) Dualisme, Sejanah perdagangan internasional negara-negara sedang berkembang terutama semasa mereka masih menjadi koloni negara-negara Eropa. ditandai oleh timbulnya sektor ekspor yang berorientasi ke pasar dunia dan yang sedikit sekali berhubungan dengan sektor tradisional dalam negeri. Sektor ekspor seakan-akan bukan merupakan bagian dan negreri itu, tetapi bagian dan pasar dunia. Dalam keadaan seperti spesialisasi ini dimana perdagangan internasional tidak memberi manfaat kepada perekonomian dalam negeri. Keadaai ini di negara-negara sedang berkembang setelah kemerdekaan mereka, memang sudah menunjukkan perubahan. namun Seringkali belum merupakan perubahan itu tidak terlalu fundamental. Sektor ekspor yang modern masih nampak belum bisa menunjang sektor dalam negeri yang tradisional Perdangan Bebas Perkembangan perdagangan internasional pada awalnya telah diwarnai dengan pasar bebas. Pasar bebas pada awalnya membawa harapan tentang semakin mudahnya aliran barang dan jasa antar negara, sehingga memicu peningkatan kualitas dan kuantitas barang yang diperdagangkan karena terkait dengan persaingan yang tinggi. Namun disisi lain, pasar bebas juga mendapatkan kritikan dari beberapa pihak terutama dari negara dunia ketiga.

Negara dunia ketiga beranggapan bahwa pasar bebas justru memba