MKN Vol_ 41 No_ 3 September 2008

download MKN Vol_ 41 No_ 3 September 2008

of 73

Transcript of MKN Vol_ 41 No_ 3 September 2008

dari redaksi100 TAHUN KEBANGKITAN BANGSAKebangkitan nasional merupakan momen penting Bangsa Indonesia yang mengingatkan berbagai pihak akan kekuatan Bangsa Indonesia keluar dari penindasan dan penjajahan yang dialaminya hingga menemukan jati dirinya sebagai bangsa yang berdaulat. Momen ini pun sering dijadikan Bangsa Indonesia sebagai semboyan dan slogan pemicu semangat dalam meraih sesuatu yang lebih berharga dari sebelumnya. Selain itu, momen kebangkitan nasional sering dijadikan harga diri Bangsa Indonesia di ajang internasional. Seiring waktu dan perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat Indonesia, momen dan arti penting kebangkitan nasional semakin memudar dan tidak tampak lagi di setiap peri kehidupan masyarakat termasuk kita kalangan akademisi. Kebangkitan nasional hanyalah cerita dulu dan nostalgia bangsa tanpa arti dan makna apapun. Untuk itu, momen kebangkitan nasional ini harus dikembalikan kepada makna sebenarnya. Makna yang mengandung arti bahwa Bangsa Indonesia memiliki kemandirian kewilayahan, kekuatan ekonomi yang utuh, kualitas sumberdaya manusia tinggi dan prinsip dasar gotong royong yang melekat. Dan untuk direnungkan Bangkit itu susah susah melihat orang lain susah senang melihat orang lain senang Bangkit itu takut takut korupsi takut makan yang bukan haknya Bangkit itu mencuri mencuri perhatian dunia dengan prestasi Bangkit itu marah marah bila martabat bangsa dilecehkan Bangkit itu malu malu menjadi benalu malu karena minta melulu Bangkit itu tidak ada tidak ada kata menyerah tidak ada kata putus asa bangkit itu aku Aku Untuk INDONESIA- ku Dedy Mizwar

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No.33 September 2008 Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. September 2008

ii 1

2

petunjuk untuk penulisMajalah Kedokteran Nusantara (MKN) adalah publikasi bulanan yang menggunakan sistem peer-review untuk seleksi makalah. MKN menerima artikel penelitian yang original dan relevan dengan bidang kesehatan, kedokteran dan ilmu kedokteran dasar di Indonesia. MKN juga menerima tinjauan pustaka, laporan kasus, penyegar ilmu kedokteran, universitas, ceramah, dan surat kepada redaksi. 1. Artikel Penelitian: Berisi artikel mengenai hasil penelitian original dalam ilmu kedokteran dasar maupun terapan, serta ilmu kesehatan pada umumnya. Format terdiri dari: Pendahuluan; berisi latar belakang, masalah dan tujuan penelitian. Bahan dan Cara; berisi desain penelitian, tempat dan waktu, populasi dan sampel, cara pengukuran data, dan analisa data. Hasil; dapat disajikan dalam bentuk tekstular, tabular, atau grafika. Berikan kalimat pengantar untuk menerangkan tabel dan atau gambar tetapi jangan mengulang apa yang telah disajikan dalam tabel/gambar. Diskusi; Berisi pembahasan mengenai hasil penelitian yang ditemukan. Bandingkan hasil tersebut dengan hasil penelitian lain. Jangan mengulang apa yang telah ditulis pada bab. Hasil Kesimpulan: Berisi pendapat penulis berdasarkan hasil penelitiannya. Ditulis ringkas, padat dan relevan dengan hasil. 2. Tinjauan Pustaka: Merupakan artikel review dari jurnal dan atau buku mengenai ilmu kedokteran dan kesehatan yang mutakhir. 3. Laporan Kasus: Berisi artikel tentang kasus di klinik yang cukup menarik dan baik untuk disebarluaskan di kalangan sejawat lainnya. Format terdiri atas: Pendahuluan, Laporan Kasus, Pembahasan. 4. Penyegar Ilmu Kedokteran: Berisi artikel yang mengulas berbagai hal lama tetapi masih up to date dan perlu disebarluaskan. 5. Ceramah: Tulisan atau laporan yang menyangkut dunia kedokteran dan kesehatan yang perlu disebarluaskan. 6. Editorial: Berisi artikel yang membahas berbagai masalah ilmu kedokteran dan kesehatan yang dewasa ini sedang menjadi topik di kalangan kedokteran dan kesehatan. Petunjuk Umum Makalah yang dikirim adalah makalah yang belum pernah dipublikasikan. Untuk menghindari duplikasi, MKN tidak menerima makalah yang juga dikirim pada jurnal lain pada waktu yang bersamaan untuk publikasi. Penulis harus memastikan bahwa seluruh penulis pembantu telah membaca dan menyetujui makalah. Semua makalah yang dikirimkan pada MKN akan dibahas para pakar dalam bidang keilmuan tersebut (peerreview) dan redaksi. Makalah yang perlu perbaikan formata atau isinya akan dikembalikan pada penulis untuk diperbaiki. Makalah yang diterbitkan harus memiliki persetujuan komisi etik. Laporan tentang penelitian pada manusia harus memperoleh persetujuan tertulis (signed informed consent). Penulisan Makalah Makalah, termasuk tabel, daftar pustaka, dan gambar harus diketik 2 spasi pada kertas ukuran 21,5 x 28 cm (kertas A4) dengan jarak tepi minimal 2,5 cm jumlah halaman maksimum 20. Setiap halaman diberi nomor secara berurutan dimulai dari halaman judul sampai halaman terakhir. Kirimkan sebuah makalah asli dan 2 buah fotokopi seluruh makalah termasuk foto serta disket. Tulis nama file dan program yang digunakan pada label disket. Makalah dan gambar yang dikirim pada MKN tidak akan dikembalikan pada penulis. Makalah yang dikirim untuk MKN harus disertai surat pengantar yang ditandatangani penulis. Halaman Judul Halaman judul berisi judul makalah, nama setiap penulis dengan gelar akademik tertinggi dan lembaga afiliasi penulis, nama dan alamat korespondensi, nomor telepon, nomor faksimili dan alamat e-mail. Judul singkat dengan jumlah maksimal 40 karakter termasuk huruf spasi. Untuk laporan kasus, dianjurkan agar jumlah penulis dibawati sampai 4 orang. Abstrak dan Kata Kunci Abstrak untuk Artikel Penelitian, Tinjauan Pustaka, dan Laporan Kasus dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dalam bentuk tidak terstruktur dengan jumlah maksimal 200 kata. Artikel penelitian harus berisi tujuan penelitian, metode, hasil utama dan kesimpulan utama. Abstrak dibuat ringkas dan jelas sehingga memungkinkan pembaca memahami tentang aspek baru atau penting tanpa harus membaca seluruh makalah. Teks Makalah Teks makalah disusun menurut subjudul yang sesuai yaitu Pendahuluan (Introduction), Metode (Methods), hasil (Results) dan diskusi (Discussion) atau format IMRAD. Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 3 September 2008 Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 2 Juni 2008 2008 3 September Majalah Kedokteran Nusantara Volume 3 iviv

Cantumkan ukuran dalam unit/satuan System Internationale (SI units). Jangan menggunakan singkatan tidak baku. Buatlah singkatan sesuai anjuran Style Manual for Biological Sciences misal mm, kcal. Laporan satuan panjang, tinggi, berat dan isi dalam satuan metrik (meter, kilogram, atau liter). Jangan memulai kalimat dengan suatu bilangan numerik, untuk kalimat yang diawali dengan suatu angka, tetapi tuliskan dengan huruf. Tabel Setiap tabel harus diketik 2 spasi. Nomor tabel berurutan sesuai dengan urutan penyebutan dalam teks. Setiap tabel diberi judul singkat. Setiap kolom diberi subjudul singkat. Tempatkan penjelasan pada catatan kaki, bukan pada judul. Jelaskan dalam catatan kaki semua singkatan tidak baku yang ada pada tabel, jumlah tabel maksimal 6 buah. Gambar Kirimkan gambar yang dibutuhkan bersama makalah asli. Gambar sebaiknya dibuat secara profesional dan di foto. Kirimkan cetakan foto yang tajam, di atas kertas kilap, hitam-putih, ukuran standar 127x173 mm, maksimal 203x254 mm. Setiap gambar harus memiliki label pada bagian belakang dan berisi nomor gambar, nama penulis, dan tanda penunjuk bagian atas gambar. Tandai juga bagian depan. Bila berupa gambar orang yang mungkin dapat dikenali, atau berupa illustrasi yang pernah dipublikasikan maka harus disertai izin tertulis. Gambar harus diberi nomor urut sesuai dengan pemunculan dalam teks, jumlah gambar maksimal 6 buah. Metode Statistik Jelaskan tentang metode statistik secara rinci pada bagian Metode. Metode yang tidak lazim, ditulis secara rinci berikut rujukan metode tersebut. Ucapan Terimakasih Batasi ucapan terimakasih pada para profesional yang membantu penyusunan makalah, termasuk pemberi dukungan teknis, dana, dan dukungan umum dari suatu institusi. Rujukan Rujukan ditulis sesuai aturan penulisan Vancouver, diberi nomor urut sesuai dengan pemunculan dalam keseluruhan teks, bukan menurut abjad. Cantumkan semua nama penulis bila tidak lebih dari 6 orang; bila lebih dari 6 orang penulis pertama diikuti oleh et al. Jumlah rujukan sebaiknya dibatasi sampai 25 buah dan secara umum dibatasi pada tulisan yang terbit dalam satu dekade terakhir. Gunakan contoh yang sesuai dengan edisi ke-5 dari Uniform Requirements for Manuscripts Submitted to Biomedical Journals yang disusun oleh International committee of Medical Journal Editors, 1997. Singkatan nama jurnal sesuai dengan Index Medicus. Hindari penggunaan abstrak sebagai rujukan. Untuk materi telah dikirim untuk publikasi tetapi belum diterbitkan harus dirujuk dengan menyebutkannya sebagai pengamatan yang belum dipublikasi (Unpublished observations) seizin sumber. Makalah yang telah diterima untuk publikasi tetapi belum terbit dapat digunakan sebagai rujukan dengan perkataan in press. Contoh: Leshner Al. Molecular mechaisms of cocine additiction. N Engl J Med. In press 1996. Hindari rujukan berupa komunikasi pribadi (personal communication) kecuali untuk informasi yang tidak mungkin diperoleh dari sumber umum. Sebutkan nama sumber dan tanggal/komunikasi, dapatkan izin tertulis dan konfirmasi ketepatan dari sumber komunikasi.

Makalah dikirimkan pada: Pemimpin Redaksi Majalah Kedokteran Nusantara Jl. dr. Mansur No. 5 Medan 20155 Indonesia

4 v

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41

No. 3

September 2008

DAFTAR ISIMajalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 3 September 2008 ISSN: 0216-325X

Susunan Redaksi Dari Redaksi Petunjuk untuk Penulis Daftar Isi

i ii iv vi

KARANGAN ASLI1. Malaria Pascabencana Alam di Kabupaten Nias SelatanLambok Siahaan

155 161

2. Hubungan antara Data Klinis dengan Fraksi Ejeksi Ventrikel Kiri Hasil Kateterisasi pada Penderita Jantung KoronerAbdul Gani, Daulat Manurung

3. Efek Celecoxib dan Diclofenac terhadap Tetesan Darah dari Ekor TikusYunita Sari Pane, Sunardi, Mustafa Ridwan Lubis, Dayat S. Hidayat, M. Ichwan, Aznan Lelo

169 173

4. Uji Efek Ekstrak Air dari Daun Avokad (Persea gratissima) terhadap Streptococcus Mutans dari Saliva dengan Kromatografi Lapisan Tipis (TLC) dan Konsentrasi Hambat Minimum (MIC)Fauzia, Astari Larasati

5. Dermatitis Kontak Alergi Karena Cat Rambut

Sri Yusfinah M.H. Pardede, Kristo A. Nababan, Irma D. Roesyanto Mahadi Delfitri Munir

179 185 191

6. Peran Gen HLA-DQB1 pada Penyebab Kerentanan Karsinoma Nasofaring Suku Batak7.

The Liposomes Diameter Measured by the Computerized Program of Image Pro Express 4.5Ernie H. Purwaningsih

TINJAUAN PUSTAKA8. Peranan Kadar C3 dan C4 pada Penderita Diabetes MellitusAbdul Gani

194 200 207

9. Kandidiasis Rongga Mulut pada Penderita Diabetes MellitusMinasari Nasution

10. Atrial Fibrilasi Pascatindakan Bedah JantungYutu Solihat, Akhyar H. Nasution, Henry Panjaitan

LAPORAN KASUS11. Dermatitis Kontak Alergi Karena Pemakaian Tato TemporerNovriwanty Carolina, Kristo A. Nababan, Irma D. Roesyanto Mahadi

215 219

12. Ewings Sarcoma

Soekimin, Reno Keumalazia Kamarlis

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 3 September 2008 Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 3 September 2008

5 vi

Karangan Asli

6

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41

No. 3

September 2008

KARANGAN ASLI

Malaria Pascabencana Alam di Kabupaten Nias SelatanLambok Siahaan Departemen Parasitologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara, Medan

Abstrak: Kabupaten Nias Selatan merupakan daerah endemis malaria di Provinsi Sumatera Utara, dengan angka Monthly Malaria Incidence (MoMI) sebesar 124,24% pada 2005. Peningkatan angka MoMI dipengaruhi oleh perubahan berbagai aspek sebagai dampak langsung dari gempa bumi tektonik yang diikuti dengan tsunami, 26 Desember 2004 dan gempa bumi susulan pada bulan Maret 2005. Lingkungan berubah menjadi lebih kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan vektor penyakit, termasuk malaria. Hidup di pengungsian serta menurunnya daya beli penduduk mempunyai dampak pada daya tahan tubuh terhadap penyakit infeksi. Begitu pula dengan rusaknya sarana dan prasarana kesehatan, sangat berpengaruh pada pencegahan dan penanganan penyakit infeksi. Pemeriksaan kesehatan dilakukan pada 1147 orang penduduk pada 8 desa di 3 kecamatan mulai bulan Agustus sampai dengan Desember 2006. Pemeriksaan dilakukan di balai desa atau dengan mengunjunginya ke rumah bila tidak dapat berjalan menuju balai desa. Dari 731 orang yang ikut pemeriksaan darah, diperoleh 380 orang penderita malaria, yaitu 244 orang terinfeksi Plasmodium falciparum, 59 orang terinfeksi Plasmodium vivax dan 77 orang terinfeksi keduanya. Prevalensi malaria tertinggi dijumpai di desa Hiliamaetaniha dan terbanyak pada kelompok umur 25-34 tahun. Gejala klinis yang dikeluhkan umumnya adalah demam, menggigil, pusing, badan pegal, lemas, dan gangguan pencernaan. Dari 380 orang penderita malaria, hanya 64,7% yang datang dengan gejala klinis demam, selebihnya tidak demam sama sekali. Sebaliknya 66,1% dari sampel yang bukan penderita malaria, datang dengan gejala klinis demam. Penderita malaria yang tidak datang dengan gejala klinis demam, umumnya menunjukkan gejala klinis seperti badan pegal (10%), pusing (7,1%), gangguan pencernaan (3,7%), lemas (3,2%) dan gabungan gejala tersebut. Kata kunci: Nias Selatan, malaria klinis, gejala klinis malaria, tanda klinis malaria Abstract: South of Nias regency is an endemic malaria in North Sumatera, that Monthly Malaria Incidence (MoMI) was 124,24% in 2005. The rise of MoMI was depend on alteration of several factors as the result of tectonic quake followed by tsunami, in December 26th 2004 and continuation earth quake in March 2005. The alteration made better natural environment for growth and development of vectors, included malaria vectors. Live as refugee in evacuation area and decrease of purchasing power, influenced immunity against infectious diseases. Broken down of health facility also influenced the prevention and treatment of infectious diseases. The study was done from August to December 2006, with 1147 subjects from 8 villages in 3 subdistricts were enrolled in the study. The examination was done in rural-owned building where the people conducted a public gathering or by visiting the patients directly to their house. Three hundred and eighty subjects were got malaria, from 731 examine-subject, consist of 244 subjects were falciparum malaria, 59 subjects were vivax malaria and 77 subjects got mixture infection. The high prevalency was found in Hiliamaetaniha village and in 25-34 years age group. The most symptoms were fever, chill, headache, myalgia, weakness and abdominal dyscomfort. From 380 malaria patients, there were only 64,7% got fever. On the contrary, 66,1% from sample who were not malaria patients, got fever. The other malaria patients had several signs such as myalgia (10%), headache (7,1%), abdominal dyscomfort (3,7%), weakness (3,2%) and combination of all signs. Keywords: South of Nias regency, clinical malaria, malaria sign, malaria symptomMajalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 3 September 2008 155

Karangan Asli

PENDAHULUAN Malaria merupakan salah satu penyakit yang menjadi ancaman masyarakat di daerah tropis dan subtropis terutama pada bayi, anak 1 balita, dan ibu melahirkan. Di seluruh dunia setiap tahunnya ditemukan 500 juta kasus malaria yang mengakibatkan 1 juta orang 2 meninggal dunia. Di Indonesia, menurut hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001, terdapat 70 juta penduduk yang tinggal 3 di daerah endemis malaria. Sementara itu pada tahun 2004, diperkirakan 50 orang menderita malaria per 1000 orang penduduk di Indonesia. Dan pada tahun 2005, diperkirakan 167 dari 293 kabupaten/kota di Indonesia, merupakan wilayah endemis 1 malaria. Kabupaten Nias Selatan merupakan daerah endemis malaria di Propinsi Sumatera Utara, dengan angka Monthly Malaria Incidence (MoMI) sebesar 124,24% pada 2005. Peningkatan angka MoMI dipengaruhi oleh perubahan berbagai aspek sebagai dampak langsung dari gempa bumi tektonik yang diikuti dengan tsunami, 26 Desember 2004 dan gempa bumi susulan pada bulan Maret 2005. Lingkungan berubah menjadi lebih kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan vektor penyakit, termasuk malaria. Hidup di pengungsian serta menurunnya daya beli penduduk mempunyai dampak pada daya tahan tubuh terhadap penyakit infeksi. Begitu pula dengan rusaknya sarana dan prasarana kesehatan, sangat berpengaruh pada pencegahan dan 4 penanganan penyakit infeksi. Tingginya kasus malaria klinis merupakan sesuatu yang perlu segera disingkapi. Hal ini bisa saja terjadi oleh karena resistensi obat atau karena kesalahan diagnosa, terutama bila menegakkan diagnosa malaria hanya berdasarkan gejala klinis dan tanda klinis saja. Padahal gejala klinis dan tanda klinis malaria pada daerah endemis, umumnya tidaklah khas dan hampir sama seperti gejala dan tanda klinis pada penderita infeksi lainnya, terutama 5,6 pada fase awal infeksi. Pengenalan gejala klinis yang khas di daerah endemis malaria merupakan salah satu cara untuk penanganan penyakit malaria secara cepat, tepat, dan rasional. Seleksi awal penderita yang disangkakan sebagai penderita malaria klinis, merupakan suatu hal yang perlu156

dimiliki oleh petugas kesehatan di lapangan, sebelum akhirnya dikonfirmasikan pada pemeriksaan mikroskopis yang masih merupakan standar diagnostik malaria. Penelitian ini dilakukan untuk melihat insidensi malaria di Kabupaten Nias Selatan pascabencana alam, serta melakukan pengamatan pada gejala dan tanda klinis yang paling banyak muncul pada penderita malaria tersebut. BAHAN DAN CARA Penelitian dilakukan secara cross sectional dan merupakan bagian dari rangkaian penelitian malaria yang dilaksanakan di 8 desa pada 3 kecamatan di Kabupaten Nias Selatan mulai bulan Agustus sampai dengan Desember 2006. Populasi penelitian adalah penduduk yang bertempat tinggal di tempat penelitian. Populasi terjangkau adalah pasien dengan keluhan demam atau riwayat demam satu minggu terakhir. Subjek penelitian adalah penderita malaria yang ditentukan berdasarkan pemeriksaan mikroskopis, yaitu dengan menemukan Plasmodium spp. pada sediaan darahnya. Sampel dengan keluhan demam atau riwayat demam satu minggu terakhir dengan atau tanpa tanda-tanda klinis malaria, diperiksa secara simultan untuk menegakkan diagnosa malaria. Pemeriksaan itu meliputi anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan apusan darah tepi malaria (sediaan tebal dan tipis). Sebelum pemeriksaan dilakukan, sampel diberi penjelasan tentang apa yang akan dilakukan sambil menanyakan kesediaannya untuk ikut dalam penelitian. Kesediaan untuk ikut penelitian ditandai dengan penandatanganan informed consent (Gambar 1).Populasi Penelitian

Pemeriksaan Fisik Anamnesa

Pemeriksaan Apusan Darah (Mikroskopis)

Gejala Klinis Tanda Klinis

Bukan Penderita Malaria

Penderita Malaria

Obat Yang Sesuai Dengan Penyakit

Obat Antimalaria

Gambar 1. Alur pemeriksaan pasien

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41

No. 3

September 2008

Lambok Siahaan

Malaria Pascabencana Alam...

Anamnesa pribadi meliputi identitas pribadi, keluhan penyakit saat ini, riwayat penyakit-penyakit kronik terdahulu, riwayat penyakit malaria, dan riwayat penggunaan obat antimalaria. Pemeriksaan fisik diagnostik yang dilakukan meliputi inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi untuk mendapatkan tanda objektif (tanda klinis) dan dikaitkan dengan kebutuhan pada penelitian. Pemeriksaan apusan darah meliputi pemeriksaan apusan darah tebal dan tipis. Darah diambil dari ujung jari yang telah ditusuk dengan menggunakan lancet steril setelah terlebih dahulu dibersihkan dengan memakai kapas alkohol. Darah tetes pertama dibuang dan selanjutnya diletakkan pada dua object glass, masing-masing di bagian tengahnya sebanyak 2 tetes. Untuk apusan darah tebal tetesan darah tersebut diaduk dengan menggunakan ujung object glass yang lain. Sementara itu untuk apusan darah tipis diratakan dengan menggunakan tepi sisi object glass dengan cara mendorong dari satu arah ke arah yang berlawanan. Kemudian dikeringkan pada suhu kamar. Setelah kering, apusan darah tipis di-fiksasi dengan metanol sebelum diberi pewarnaan, sementara apusan darah tebal langsung diberi pewarnaan. Pewarnaan dilakukan dengan menggunakan Giemsa 10%Tabel 1. Distribusi populasi penelitian

selama 10-15 menit, lalu dibilas dengan air kran yang mengalir. Setelah kering, slide siap untuk diperiksa dengan pembesaran mikroskop sebesar 1000x, untuk melihat ada tidaknya Plasmodium sp. serta menghitung 7 kepadatannya. Penderita malaria diberikan pengobatan malaria sesuai dengan standar pengobatan, dan bila bukan menderita malaria, akan diobati 8 Sebelum sesuai dengan penyakitnya. diberikan pengobatan, terlebih dahulu diberikan penjelasan kepada sampel tentang kegunaan obat dan efek samping yang dapat terjadi. Data yang diperoleh diolah secara deskripsi sederhana dan disajikan dalam bentuk tabel. HASIL PENELITIAN Tabel 1. menunjukkan bahwa populasi penelitian yang paling banyak adalah perempuan, kelompok umur 5-14 tahun dan di desa Botohilitano. Tabel 2. dan Tabel 3. menunjukkan bahwa penderita malaria terbanyak dijumpai pada perempuan, kelompok umur 25-34 tahun dan di desa Hiliamaetaniha. Sementara itu, spesies yang terbanyak dijumpai adalah Plasmodium falciparum.

Kelompok Umur < 5 tahun 5-14 tahun 15-24 tahun 25-34 tahun 35-44 tahun 45 - 54 tahun > 55 tahun Sihareo 13 (16%) 33 (40,7%) 12 (14,8%) 5 (6,2%) 9 (11,1%) 3 (3,7%) 6 (7,4%) Golambanua II 7 (9,3%) 10 (13,3%) 13 (17,3%) 14 (18,7%) 12 (16%) 11 (14,7%) 8 (10,7%) Hilisimetano 50 (17,9%) 89 (31,8%) 24 (8,6%) 52 (18,6%) 39 (13,9%) 17 (6,1%) 9 (3,2%) Soonogeo 6 (10,9%) 10 (18,2%) 12 (21,8%) 7 (12,7%) 9 (16,4%) 6 (10,9%) 5 (9,1%) Hilisitaro 12 (13,5%) 16 (18%) 15 (16,9%) 18 (20,2%) 13 (14,6%) 7 (7,9%) 8 (9%) Bawamatulo 0 (0%) 2 (2,9%) 17 (24,3%) 14 (20%) 16 (22,9%) 13 (18,6%) 8 (11,4%) Hiliamaetaniha 16 (14%) 2 (1,8%) 16 (14%) 29 (25,4%) 24 (21,1%) 18 (15,8%) 9 (7,9%) Botohilitano 25 (6,5%) 117 (30,5%) 54 (14,1%) 73 (19,1%) 48 (12,5%) 35 (9,1%) 31 (8,1%) Total 129 (11,2%) 279 (24,3%) 163 (14,2%) 212 (18,5%) 170 (14,8%) 110 (9,6%) 84 (7,3%) Desa

Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan 27 (33,3%) 54 (66,&%) 32 (42,7%) 43 (57,3%) 83 (29,6%) 197 (70,4%) 24 (43,6%) 31 (56,4%) 36 (40,4%) 53 (59,6%) 23 (32,9%) 47 (67,1%) 49 (43%) 65 (57%) 130 (33,9%) 253 (66,1%) 404 (35,2%) 743 (64,8%)

Total 81 (100%) 75 (100%) 280 (100%) 55 (100%) 89 (100%) 70 (100%) 114 (100%) 383 (100%) 1147 (100%)

Tabel 2. Distribusi penderita malariaDesa Sihareo Golambanua II Hilisimetano Soonogeo Hilisitaro Bawamatulo Hiliamaetaniha Botohilitano Total Periksa Darah 32 34 165 23 47 26 74 330 731 P.falciparum 16 13 47 0 18 0 34 116 244 (64,2%) Malaria P.vivax Campuran 1 3 3 5 6 27 0 0 3 3 0 0 9 8 37 31 59 (15,5%) 77 (20,3%) Total 20 (62,5%) 21 (61,8%) 80 (48,5%) 0 (0%) 24 (51,1%) 0 (0%) 51 (68,9%) 184 (55,8%) 380

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41

No. 3

September 2008

157

Karangan Asli

Tabel 3. Perbandingan karakteristik dasar

Karakteristik a. < 5 tahun b. 5-14 tahun c. 15 - 24 tahun d. 25 - 34 tahun e. 35 - 44 tahun f. 45 - 54 tahun g. > 55 tahun TotalTabel 4. Gejala dan tanda klinis

Periksa Darah Laki-Laki Perempuan 13 57 54 163 22 82 47 106 54 57 9 42 9 16 208 (28,5%) 523 (71,5%)

Penderita Malaria Total (%) Laki-Laki Perempuan Total 70 (9,6%) 22 (5,8%) 5 17 217 (29,7%) 41 (10,8%) 13 28 104 (14,2%) 41 (10,8%) 13 28 153 (20,9%) 88 (23,2%) 36 52 111 (15,2%) 34 40 74 (19,5%) 51 (7%) 64 (16,8%) 16 48 25 (3,4%) 50 (13,2%) 21 29 731 (100%) 138 (36,3%) 242 (63,7%) 380 (100%)

Karakteristik Gejala Klinis Demam + Gejala Lain Gabungan Gejala Tanpa Demam Demam Menggigil Badan Pegal Pusing Gangguan Pencernaan Lemas Tanda Klinis Kenaikan Suhu Tubuh Pembesaran Limfa

Periksa Darah (n=731) Jumlah Proporsi 151 57 327 0 79 59 29 29 20,7% 7,8% 44,7% 0% 10,8% 8,1% 4,0% 4,0%

Penderita Malaria (n=380) Jumlah Proporsi 52 43 194 0 38 27 14 12 13,7% 11,3% 51,1% 0,0% 10,0% 7,1% 3,7% 3,2%

582 0

79,6% 0%

239 0

62,9% 0%

Tabel 5. Perbandingan gejala klinis demam

Diagnosis Mikroskopis Malaria Bukan Malaria

Gejala Klinis Demam Tidak Demam 246 (64,7%) 134 (35,3%) 232 (66,1%) 119 (33,9%)

Total 380 (100%) 351 (100%)

Tabel 4. menunjukkan bahwa gejala klinis yang paling banyak dijumpai pada sampel yang diperiksa darahnya adalah demam (dengan atau tanpa gejala lain) yaitu sebanyak 65,4%. Sementara itu pada penderita malaria, 64,8% diantaranya dengan gejala klinis demam. Penderita malaria yang tidak datang dengan gejala klinis demam, umumnya menunjukkan gejala klinis seperti Badan Pegal (10%), Pusing (7,1%), Gangguan Pencernaan (3,7%), Lemas (3,2%), dan gabungan gejala tersebut. Pada pemeriksaan suhu tubuh (tanda klinis) dijumpai kenaikan suhu tubuh pada 79,6% sampel yang diperiksa darahnya. Sementara itu, kenaikan suhu tubuh juga dijumpai pada 62,9% penderita malaria.

Tabel 5. menunjukkan bahwa dari 351 orang yang bukan penderita malaria, 66,1% diantaranya datang dengan gejala klinis demam. Sebaliknya dari 380 orang penderita malaria, 35,3% diantaranya tanpa gejala klinis demam. DISKUSI Dari 1147 orang populasi penelitian, hanya 731 orang yang dilakukan pemeriksaan darah. Pemeriksaan darah tersebut memberikan hasil Slide Positive Rate (SPR) sebesar 52%. Hasil ini lebih besar dibandingkan dengan SPR pada tahun 2005, yaitu sebesar 12,7%. Hal ini disebabkan karena penderita malaria klinis yang dikonfirmasikan dengan pemeriksaan apusan

158

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41

No. 3

September 2008

Lambok Siahaan

Malaria Pascabencana Alam...

darah, hanya sekitar 7,8% dari keseluruhan 4 penderita malaria klinis yang ada. Sebaliknya, prevalensi penderita malaria dalam penelitian ini jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan kasus malaria klinis sepanjang tahun 2003-2005. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: 1. Besarnya data penderita malaria klinis tersebut terjadi karena penentuan diagnosa malaria klinis, hanya berdasarkan gejala klinis, tanpa pemeriksaan apusan darah. 2. Musim hujan sangat berpengaruh pada pembentukan perindukan nyamuk sebagai vektor pembawa penyakit malaria. Rendahnya prevalensi ini juga dimungkinkan karena penelitian dilakukan pada masa transisi musim kemarau ke awal musim hujan, sehingga belum banyak terbentuk tempat perindukan vektor. 3. Penentuan tempat penelitian lebih berdasarkan pada pertimbangan transportasi menuju lokasi dan biaya operasional, sehingga tempat yang terpilih, bukanlah desa dengan insiden tertinggi yang pernah dilaporkan, melainkan desa dengan insiden menengah ke bawah. Spesies yang dijumpai pada penelitian ini Plasmodium falciparum dan adalah Plasmodium vivax. Dengan jumlah kasus terbanyak adalah malaria oleh karena Plasmodium falciparum. Hal ini sesuai dengan laporan Dinas Kesehatan Kabupaten Nias 4 Selatan tahun 2005. Secara umum, prevalensi penderita malaria pada semua desa hampir sama, yaitu di atas > 45%, kecuali pada dua desa, yaitu Soonogeo dan Bawamatulo. Khusus pada dua desa tersebut, tidak dijumpainya kasus malaria lebih dimungkinkan karena faktor jumlah sampel yang diperiksa masih relatif sedikit. Dan selama masa penelitian dilakukan, penduduk yang berpartisipasi juga sangat sedikit. Peluang terjadinya penyakit malaria sangat ditentukan oleh seberapa besar penderita kontak dengan vektor pembawa penyakit, yang lebih banyak beraktivitas pada malam hari. Pada penelitian ini, kasus malaria terbanyak dijumpai pada kelompok umur 2534 tahun dan 35-44 tahun, yang tentunya sangat berhubungan dengan aktivitas pada malam hari atau pekerjaan yang berpeluang untuk kontak dengan vektor. Sementara itu,Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 3

tingginya kasus malaria pada perempuan lebih dimungkinkan karena komposisi penduduk yang memang lebih banyak perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Gejala klinis yang dijumpai umumnya adalah demam, menggigil, badan pegal, pusing, gangguan pencernaan, dan lemas. Demam sebagai salah satu gejala klasik malaria, tidak selalu harus ada pada penderita 5 malaria, terutama di daerah endemis malaria. Dari 380 orang penderita malaria, hanya 64,7% yang datang dengan gejala klinis demam, selebihnya tidak demam sama sekali. Sebaliknya, 66,1% dari sampel yang bukan penderita malaria, datang dengan gejala klinis demam (Tabel 5.). Selain demam, gejala klinis seperti: badan pegal, pusing, gangguan pencernaan dan lemas, juga harus diperhatikan sebagai gejala klinis malaria, terutama di daerah endemis malaria. Hasil penelitian ini yang menunjukkan bahwa gejala klinis pada penderita malaria yang tidak mengalami demam, umumnya adalah 10% dengan gejala klinis badan pegal, 7,1% dengan gejala klinis pusing, 3,7% dengan gejala klinis gangguan pencernaan dan 3,2% dengan gejala klinis lemas. Gejala klinis malaria yang bervariasi ini pun diperoleh pada berbagai penelitian yang dilakukan di berbagai tempat. Penelitian yang dilakukan pada anak penderita malaria di Gambia pada tahun 2000, diperoleh hasil bahwa 58,3% penderita malaria tersebut menderita demam, 86% mengalami pusing 9 dan 60,7% mengalami gangguan pencernaan. Sementara itu, penelitian di Thailand melaporkan bahwa gejala klinis penderita malaria umumnya adalah demam (42,3%), pusing (98,3%), badan pegal (96,6%), menggigil (88,4%), dan gangguan pencernaan 10 (29,3%). Penelitian lain yang dilakukan di Nigeria pada tahun 2005 juga mendapatkan hasil bahwa dari penderita malaria yang ada, 100% mengalami demam, 69,6% mengalami pusing dan 50,4% mengalami gangguan 11 pencernaan. Demam sebagai gejala klinis, umumnya lebih bersifat subjektif. Hal itu terlihat dari 582 orang sampel yang diperiksa darahnya dan yang mengalami kenaikan suhu tubuh (tanda klinis), 104 orang diantaranya (17,9%), tidak mengeluhkan demam sama sekali (gejala klinis). Sebaliknya, dari 246 orang penderita malaria yang mengeluhkan demam (gejalaSeptember 2008 159

Karangan Asli

klinis), hanya 239 orang (97,2%) yang mengalami kenaikan suhu tubuh (tanda klinis). Sehingga dalam pemeriksaan pasien malaria, sangat diperlukan pemeriksaan suhu tubuh dengan menggunakan alat ukur termometer, yang lebih bersifat objektif. Dalam penelitian ini tidak dijumpai adanya pembesaran limfa. Hal ini biasanya berhubungan dengan kronisitas penyakit dan imunitas tubuh. KESIMPULAN Pengenalan gejala klinis yang khas di daerah endemis malaria sangat membantu dalam penanganan penyakit malaria secara cepat, tepat, dan rasional guna menurunkan angka kesakitan dan kematian karena malaria. Tenaga kesehatan di daerah endemis diharapkan dapat mengenal gejala dan tanda klinis yang khas pada daerahnya, sebagai langkah awal diagnostik malaria klinis sebelum dikonfirmasikan pada pemeriksaan apusan darah (mikroskopis). Oleh karena itu, pengamatan lebih lanjut untuk menemukan gejala dan tanda klinis yang khas pada tiap daerah endemis perlu dilakukan, sambil terus membenahi laboratorium diagnostik malaria di daerah daerah endemis malaria.

4. Hakim L, Laporan Akhir Pendampingan Penanggulangan Malaria Kabupaten Nias Selatan Propinsi Sumatera Utara, Ditjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006 5. Harijanto PN, Gejala Klinik Malaria, Dalam: Harijanto PN (editor) Malaria, Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis Dan Penanganan, Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran, EGC, 2000, Hal: 151160. 6. Purwaningsih S, Diagnosis Malaria, Dalam: Harijanto PN (editor) Malaria, Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis Dan Penanganan, Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran, EGC, 2000, Hal: 185187. 7. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria di Indonesia, Ditjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan, 2006. 8. PAPDI, Konsensus Penanganan Malaria, 2003, Hal: 9-21 9. Seidlein LV, et al, Efficacy of artesunate plus pyrimethamine-sulphadoxine for uncomplicated malaria in Gambian children, The Lancet, Jan 29, 2000, pp 352 10. Erhart LM, et al, Hematologic and clinical indices of malaria in a semi-immune population of western Thailand, Am.J.Trop.Med.Hyg, 70(1), 2004, pp 814 11. Pitmang SL, et al, Comparison of sulphadoxine-pyrimethamine with and without chloroquine for uncomplicated malaria in Nigeria, Am.J.Trop.Med.Hyg, 72(3), 2005, 263-266.

DAFTAR PUSTAKA 1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Gebrak Malaria, Pedoman Tatalaksana Kasus Malaria di Indonesia, Ditjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan, Edisi Kedua, 2005, Hal: 1-2, 15-16. 2. Davis TME, Malaria treatment: Available from URL:http://www.rph.wa.gov.au/labs/ haem/malaria/treatment.html, 2002. 3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Profil Kesehatan Indonesia 2001, Menuju Indonesia Sehat 2010, 2002.

160

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41

No. 3

September 2008

Hubungan antara Data Klinis dengan Fraksi Ejeksi Ventrikel Kiri Hasil Kateterisasi pada Penderita Jantung Koroner*Abdul Gani, **Daulat Manurung **Div. Kardiologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr. Ciptomangunkusumo, Jakarta *Universitas Negeri Malikussaleh, Lhokseumawe, Nanggroe Aceh Darussalam

Abstrak: Dewasa ini penyakit jantung koroner merupakan jenis penyakit yang dapat menimbulkan banyak kematian pada penderita. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara data klinis dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri (FEVK) hasil Kateterisasi pada Penderita Jantung Koroner. Penelitian ini dilakukan selama 3 bulan, periode 1 Juni 2006 sampai 31 Agustus 2006 dengan jumlah responden 60 orang penderita penyakit jantung koroner. Desain penelitian ini berbentuk korelatif dengan pendekatan Cross Sectional studi untuk mencari adanya hubungan antara data klinis dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri (FEVK). Pengolahan dan analisa data dilakukan dengan komputerisasi menggunakan program SPSS 14 dan uji Chi Square Tes untuk mencari adanya hubungan antara variabel independen dan variabel dependen. Hasil yang didapatkan pada penelitian ini memperlihatkan bahwa kelompok FEVK akurate estimate (26,7%) dan non akurate estimate (73,3%) dengan detailnya adalah FEVK < 30% (under estimate) akurasinya 16,7% (10 penderita), sedangkan pada kelompok FEVK 31%-50% (akurat estimate) akurasinya 26,7% (16 penderita) selebihnya 56,7% (34 penderita) sebagai FEVK > 51% (over estimate). Selanjutnya untuk korelasi masing-masing variabel adalah sebagai berikut: pemeriksaan fisik (p = 0,138), elektrokardiogram (p = 0,243), foto toraks (p = 0,391), penyumbatan pembuluh darah koroner (p = 0,876), penggunaan obat-obatan (p = 0,223) dan bagaimanapun sub variabel penyumbatan pembuluh darah kiri menurun (p = 0,012) dan diikuti oleh kardiomegali (p = 0,030) mempunyai hubungan dengan FEVK. Dari hasil penelitian ini disarankan bagi peneliti yang akan datang hendaknya jumlah penderita yang diambil data klinisnya dan pengukuran keakuratan FEVK dalam jumlah besar dengan inklude kriteria dan nilai present yang adekuat untuk diikut sertakan dalam analisa inferential statistik Kata kunci: data klinis, FEVK, kateterisasi, penyakit jantung koroner. Abstract: Nowadays coronary heart disease is a type of disease that may cause a lot of death in patients. The objective of this study is to find out the relation between clinical data and left ventricle ejection fraction (FEVK). The design of the study was cross sectional study of 60 the coronary heart disease patients and conducted from June to August 31, 2006. Data processing and analysis were done by computer using SPSS 14 program and chi square test to determine relation between independent variable and dependent variable. The study result showed that FEVK accurate estimate (26,7%) group and non accurate estimate (73,3%) with the details are FEVK < 30% (under estimate) the accuracy was 16,7% (10 patients), while on 31%-50% FEVK group (accurate estimate) the accuracy was 26,7% (16 patients), the other 56,7% (34 patients) were FEVK >51% (over estimate). The relation of each variable was as follows physical check (p=0,138), eletrocardigram (p=243), thorax photo (p=391), coronary blood vessel obstruction (p=876), drug use (p=223) and same how left blood vessel obstruction decrease (p=0,012) and followed by cardiomegaly (p=0,030) have a relation with FEVK. It is required a longitudinal study with large number and longer period that include complete clinical data and the maesurement of the FEVK accuracy are in a great number and suitable criteria to be involved inferential statistical analysis. Keywords: clinical data, FEVK, catheterization coronary heart disease

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41

No. 3

September 2008

161

Karangan Asli

PENDAHULUAN Fraksi ejeksi ventrikel kiri (FEVK) merupakan indikator klinis yang dianggap telah umum dipakai untuk menilai fungsi 1) ventrikel kiri . Indikator klinis ini mempunyai nilai prognosis yang kuat bagi penderita infark miokard akut, penyakit jantung koroner kronis (2) dan penyakit jantung katup . Pengukuran fraksi ejeksi dapat dilakukan dengan menggunakan angiografi dan radionuklir ventrikulografi, akan tetapi biaya kedua pemeriksaan tersebut cukup mahal dan untuk Indonesia hanya dapat dilakukan di pusat kesehatan tertentu. Di samping itu pengukuran dengan menggunakan angiografi dilakukan secara invasif dengan resiko dan (1) derajat ketidaknyamanan yang tinggi . Menurut Eagle data klinis sederhana yang diperoleh dari evaluasi rutin penderita dapat digunakan untuk FEVK dengan hasil yang (3) cukup akurat . Data klinis yang diperoleh dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, elektrokardiografi, foto toraks telah terbukti (1,3,4) ada hubungannya dengan FEVK . Eagle membuktikan adanya korelasi yang kuat antara kardiomegali, gambaran hipertensi arteri pulmonalis, hipotensi, denyut apeks ventrikel kiri yang lama (sustained) dan bunyi jantung 3 dengan penurunan FEVK. Sedangkan Sanford membuktikan bahwa infark anterior (transmural ataupun nontransmural), kardiomegali pada foto toraks, ronkhi sampai dengan 2/3 lapangan paru, riwayat infark miokard, infark miokard transmural, denyut jantung di atas 100 kali per menit ternyata mempunyai korelasi yang (5) kuat dengan FEVK . Pada penderita hipertensi gangguan fungsi yang terjadi meliputi sistolik dan diastolik, (sedangkan pada penyakit paru kronis interpretasi gambaran foto toraks sulit dilakukan dengan (3) tepat) . Biasanya fraksi ejeksi ventrikel kiri diperoleh dari hasil perhitungan sebagai berikut: VDA VSA FEVK = ------------------- x 100% VDA VDA = volume diastolik akhir VSA = volume sistolik akhir Indikator klinis ini sangat mudah diukur (5) dan secara akurat pengukuran fraksi ejeksi ventrikel kiri dapat dilakukan dengan menggunakan angiografi ataupun dengan162

menggunakan (6,7).

radionuklir

ventrikulografi

Cara Kerja Rancangan penelitian ini berbentuk Cross Sectional Study yang bersifat korelatif yaitu untuk mengetahui adanya hubungan fraksi ejeksi ventrikel kiri dengan data klinis pada penyakit jantung koroner. Penelitian ini dilakukan terhadap penderita penyakit jantung koroner yang menjalani penyadapan jantung di Divisi Kardiologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN dr. Ciptomangunkusumo Jakarta selama 3 bulan. Penderita dimasukkan dalam penelitian ini apabila memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut: Inklusi 1. Penderita penyakit jantung koroner dengan penyempitan lebih dari 75% sekurang-kurangnya pada satu arteri koroner utama, atau penderita yang pernah mengalami infark miokard akut, atau penderita dengan riwayat angina pektoris. 2. Penderita berumur antara 3065 tahun. Eksklusi 1 Penderita dalam keadaan sakit berat, yaitu dalam kondisi syok kardiogenik, dalam serangan infark akut dan tidak dalam kondisi hemodinamis stabil. 2 Penderita dengan penyakit paru kronis, penyakit jantung katup dan kardiomiopati dikeluarkan dari penelitian ini. Pengambilan data penderita dilakukan pada hari penyadapan jantung, kecuali pemeriksaan foto toraks dapat dilakukan sekurang-kurangnya 6 hari sebelum atau sesudah penyadapan jantung dilakukan. Pengambilan data penderita meliputi: 1. Pemeriksaan fisik penderita untuk menilai apakah ada: 1.1. Takikardi, bila denyut nadi melebihi 100 denyut per menit 1.2. Takipnu, bila pernafasan melebihi 20 kali per menit 1.3. Hipotensi, bila tekanan sistolik dibawah 90 mmHg 1.4. Hipertensi, bila tekanan sistolik diatas 140 mmHg 1.5. Distensi vena leher di atas tulang klavikula, baik vena jugularis interna maupun vena jugularis eksterna,No. 3 September 2008

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41

Abdul Gani dkk.

Hubungan antara Data Klinis dengan Fraksi...

diukur pada posisi tubuh membentuk sudut 300 dengan bidang datar. 1.6. Bunyi jantung 3, ataupun bunyi jantung 4 1.7. Impuls apeks ventrikel kiri yang lama: impuls apeks melewati bunyi fase sistol, diukur dengan berpatokan pada bunyi jantung 1 dan bunyi jantung 2. Impuls apeks berpindah, apeks jantung terletak di lateral garis mid-klavikularis. Apeks jantung ditetapkan pada garis midklavikularis kiri setinggi sela iga 5, diukur pada posisi terlentang. 1.8. Ronkhi, apabila ditemukan pada kedua (bilateral) dengan lokasi sekurang-kurangnya 5 cm dari basal paru yang menetap sesudah batuk ataupun setelah inspirasi dalam yang (8) berulang . 1.9. Edema perifer, akumulasi cairan interstisial yang simetris pada daerah perifer. 2. Pembuatan foto toraks dilakukan sekurang-kurangnya 6 hari sebelum atau sesudah pengukuran fraksi ejeksi secara angiografi dilakukan. Alat yang digunakan adalah radiografi buatan Siemens. 3. Dilakukan pengukuran fraksi ejeksi dengan (3) menggunakan rumus empiris Eagle . FEVK = 102,7+ (- 7,0 X Kardiomegali) X100% + (-5,7 X Hipertensi Arteri Pulmonalis) X100% + (- 7,2 X Hipotensi) X100% + (+ 5,0 X Riwayat Hipertensi) X100% + (- 3,8 X Denyut apeks yang lama) X100% + (- 3,8 X Bunyi Jantung 3) X100% Bila variabel di atas tidak dijumpai dinilai 2, bila mungkin ada dinilai 3, bila jelas ada dinilai 4. dinyatakan akurat apabila nilai FEVK sama dengan nilai FEVK secara kateterisasi 10%. 4. Dilakukan penyadapan jantung kiri meliputi arteriografi koroner dan ventrikulogram kiri pada proyeksi oblik anterior kanan dengan sudut 300 4.1. Penyempitan koroner dinyatakan bermakna apabila dijumpai penyempitan lebih atau sama dengan 75% pada berbagai posisi, kecuali pembuluh kiri utama penyempitan

bermakna apabila lebih atau sama (8,9,10) dengan 50% . 4.2. Derajat stenosis (pengurangan diameter) ditentukan secara visual kemudian diukur dengan menggunakan metode Quantitative Coronery Angiography (QCA). Derajat stenosis dibagi menjadi: Grade 0 stenosis < 25%, grade l: stenosis 25 49%, grade 2 stenosis < 50 74%, grade 3: stenosis 75 94%, grade 4: stenosis > 95%. Pembagian segmen arteri koronaria mengikuti pembagian yang dipakai pada penelitian BARI (29 segmen dan 8 cabang utama arteri koronaria) Coronary score jumlah arteri koroner yang mempunyai stenosis (pengurangan diameter) lebih dari 75% (grade 3 atau 4). 01. Extent score: jumlah segment yang mempunyai stenosis grade >1. 02. Severity score rata-rata derajat stenosis (grade 1 atau lebih) segmen yang sakit. 03. Atherosclerotic score: rata-rata derajat stenosis dari semua segmen. 04. Lesi proksimal: adalah lesi di left main, LAD proksimal, LCX proksimal, RCA proksimal. 05. Lesi distal adalah lesi selain lesi (9) proksimal . HASIL PENELITIAN Penderita penyakit jantung koroner yang menjalani penyadapan jantung di laboratorium kateterisasi jantung Divisi Kardiologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta selama 3 bulan periode 1 Juni 2006 sampai 31 Agustus 2006 dan telah terpilih 60 penderita yang memenuhi kriteria penelitian. Dari 60 penderita yang ikut penelitian lakilaki 42 orang (70%) wanita 18 orang (30%), umur berkisar antara 3070 tahun (rata-rata 56,22 8,2). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 1. Gambaran klinis dari 60 penderita ini adalah 17 penderita (28,3%) berumur lebih dari 56 tahun, 10 penderita (16,7%) berumur di bawah 45 tahun dan 33 penderita (55,0%) berumur antara 4655 tahun. Penemuan pada pemeriksaan fisik berupa; Hipertensi 33 penderita (55%), hipotensi 1 penderitaSeptember 2008 163

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41

No. 3

Karangan Asli

(1,7%), bunyi jantung tiga didapatkan 4 penderita (6,7%), denyut apek ventrikel kiri yang lama 10 penderita (16,7%), bising mitral regurgitasi 4 penderita (6,7%), Hpf 19 penderita (31,7%) dan 19 penderita (31,7%) ditemui ronki basal paru. Gambaran elektrokardiografi memperlihatkan 29 penderita (48,3%) dengan gambaran EKG infark dinding anterior, 18 penderita (30%) dengan gambaran EKG infark dinding inferior, 29 penderita (48,3%) dengan hipertropi ventrikel kiri, 2 penderita (3,3%) dengan blok berkas cabang kanan, 11 penderita (18,3%) dengan Non Q, 7 penderita (11,7%) dengan IHD dan 6 penderita (10%) dengan sub

endocardial. Gambaran foto toraks polos memperlihatkan 25 penderita (41,7%) dengan kardiomegali, 8 penderita (13,3%) dengan hipertensi arteri pulmonalis, 4 penderita (6,7%) dengan edema interstitial dan 11 penderita (18,3%) dengan edema alveolar. Dari 60 penderita yang menggunakan obat, 26 penderita (43,3%) menggunakan obat penghambat beta, 13 penderita (21,7%) menggunakan obat penghambat kalsium, 52 penderita (86,7%) menggunakan obat isosorbit dinitrat, 7 penderita (11,7%) diantaranya menggunakan 3 obat, 17 penderita (28,3%) menggunakan digitalis,

Tabel 1. Distribusi frekuensi data klinis sederhana penderita penyakit jantung koroner di RSUPN Cipto Mangunkusumo tahun 2006No 1 2 Variabel Jenis Kelamin - laki-laki - perempuan Umur - < 45 tahun - 46-55 tahun - > 56 tahun Hasil pemeriksaan fisik - Hipertensi - Hipotensi - bunyi jantung tiga - denyut apek ventrikel kiri yang lama - Bising Mitral regurgitasi - Hpf - Ronkhi pada basal paru. Hasil Pemeriksaan EKG - Infark anterior - Infark inferior - Hipertropi ventrikel kiri - Blok berkas cabang kanan - Non Q - IHD - Sub Endocard Gambaran foto toraks - Kardiomegali - Hipertensi arteri pulmonalis - Edema interstitiel - Edema alveolar Penggunaan Obat - Penghambat beta - Penghambat Kalsium - Isosorbit dinitrat - Tiga obat - Digitalis - Vasodilator - Diuretik - Anti aritmia Hasil koroner Angiografi - Penyumb.bermakna pada pemb.utama kiri - Penyumb.bermakna pd pemb.anterior menurun kiri - Penyumb.bermakna pada pemb.sirkumplek kiri - Penyumb.bermakna pada pemb.koroner kanan - Penyumb.bermakna pada 1 pembuluh koroner - Penyumb.bermakna pada 2 pembuluh koroner - Penyumb.bermakna pada 3 pembuluh koroner - Tanpa penyumb. bermakna pada pemb.koroner. Frekuensi 42 18 10 33 17 33 1 4 10 4 19 19 29 18 29 2 11 7 6 25 8 4 11 26 13 52 7 17 42 15 2 35 22 21 28 13 8 15 10 Persentase 70% 30% 16,7% 55,0% 28,3% 55% 1,7% 6,7% 16,7% 6,7% 31,7% 31,7% 48,3% 30% 48,3% 3,3% 18,3% 11,7% 10% 41,7% 13,3% 6,7% 18,3% 43,3% 21,7% 86,7% 11,7% 28,3% 70% 25% 3,3% 58,3% 36,7% 35% 46,7% 21,7% 13,3% 25% 16,7%

3

4

5

6

7

164

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41

No. 3

September 2008

Abdul Gani dkk.

Hubungan antara Data Klinis dengan Fraksi...

42 penderita (70%) menggunakan vasodilator, 15 penderita (25%) menggunakan diuretika, 2 penderita (3,3%) menggunakan obat anti aritmia. Pemeriksaan koroner angiografi mendapatkan 35 penderita (58,3%) dengan penyempitan bermakna pada pembuluh utama kiri, 22 penderita (36,7%) dengan penyempitan bermakna di pembuluh anterior menurun kiri, 21 penderita (35%) dengan penyempitan bermakna pada pembuluh sirkumpleksa kiri, 28 penderita (46,7%) dengan penyempitan bermakna pada pembuluh koroner kanan, 13 penderita (21,7%) dengan penyempitan bermakna pada satu pembuluh koroner, 8 penderita (13,3%) dengan penyempitan bermakna pada dua pembuluh koroner, 15 penderita (25%) dengan penyempitan bermakna pada tiga pembuluh koroner, 10 penderita (16,7%) tanpa penyempitan bermakna pada pembuluh koronernya. FEVK kateterisasi penderita berkisar antara 20% - 90% (rata-rata 54,5% 18,17%). Kelompok FEVK dengan akurasi < 30% (under estimate) 16,7% (10 penderita), sedangkan pada kelompok FEVK 31%-50% (akurat estimate) 26,7% (16 penderita) selebihnya FEVK dengan akurasi > 51% (over estimate) 56,7% (34 penderita). Selanjutnya dalam analisa inferential dikelompokkan sebagai kelompok Accurate estimate dan Non Accurate estimate. Analisis univariat antara data klinis (pemeriksaan fisik) dengan FEVK adalah hipertensi (p = 0,481), hipotensi (p = 0,1000), bunyi jantung 3 (p = 0,212), denyut apek ventrikel kiri yang lama (p = 0,263), bising mitral regurgitasi (p = 0,1000), Hpf (p = 0,503) dan ronckhi basal paru (p = 0,503). Analisis univariat antara hasil elektrokardiogram dengan FEVK diperoleh hasil sebagai berikut: gambaran EKG infark anterior (p = 0,668), gambaran EKG infark inferior (p = 0, 1000), hipertropi ventrikel kiri (p = 0,459), right bundle branch block (p = 0,1000), non Q (p = 0,710), IHD (0,663), dan sub endocardial (p = 0,179) mempunyai korelasi dengan FEVK. Analisis univariat antara hasil pemeriksaan foto toraks dengan FEVK diperoleh hasil: kardiomegali (p = 0,030), hipertensi arteri pulmolis (p = 0,095), edeme

interstitiel (p = 0,565) dan edema alveolar (p = 0,1000). Analisis univariat antara penyumbatan pembuluh darah koroner dengan FEVK memperlihatkan bahwa sub variabel sebagai berikut: penyumbatan pembuluh utama kiri (p = 0,114), penyumbatan pembuluh anterior menurun kiri (p = 0,012), penyumbatan pembuluh sirkumpleksa kiri (p = 0,807), penyumbatan pembuluh koroner kanan (p = 0,138), penyumbatan pada satu pembuluh koroner (p = 0,481), penyumbatan pada dua pembuluh koroner (p = 0,669), penyumbatan pada tiga pembuluh koroner (p = 0,516), dan tanpa penyumbatan pembuluh koroner (p = 0,263). Selain variabel tersebut di atas analisis univariat juga memperlihatkan; beta bloker (p = 0,969), kalsium antagonis (p = 0,303), isosorbit dinitrat (p = 0,429), tiga obat (p = 0,663), digitalis (p = 0,193), vasodilator (p = 0,1000), diuretika (p = 0,1000), obat anti aritmia dengan (p = 0,466) dalam hubungannya dengan FEVK. Semua variabel dari kelompok pemeriksaan fisik, elektrokardiogram, foto toraks, penyumbatan pembuluh darah koroner dan penggunaan obat-obatan diikutsertakan di dalam analisa bivariat untuk mencari hubungan antara data klinis dengan FEVK. Hasil akhir dari analisa ternyata memperlihatkan bahwa korelasi masingmasing variabel adalah sebagai berikut: pemeriksaan fisik (p = 0,138), elektrokardiogram (p = 0,243), foto toraks (p = 0,391), penyumbatan pembuluh darah koroner (p = 0,876), penggunaan obat-obatan (p = 0,223). PEMBAHASAN Data penelitian ini menunjukkan bahwa FEVK sering kali dapat diperkirakan cukup akurat berdasarkan pemeriksaan klinis yang (3) teliti . Walaupun demikian, dengan menggunakan kriteria akurasi sedikit lebih besar dari yang dianjurkan oleh Eagle, penelitian ini hanya menemukan 26,7% FEVK yang akurat, hasil ini hampir sama dengan yang diperoleh Eagle dalam penelitiannya terhadap 125 penderita (3) penyakit jantung yang beragam . Sanford hanya mampu melakukan secara akurat pada 42% penderita, Gadsboll pada 43% (4,5) penderita . Berdasarkan hasil analisa bivariatSeptember 2008 165

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41

No. 3

Karangan Asli

memperlihatkan hampir semua variabel tidak menunjukkan adanya hubungan yang signifikan dengan FEVK dan hanya sub variabel penyumbatan pembuluh darah kiri menurun (p = 0,012) yang mempunyai hubungan dengan FEVK, sedangkan kardiomegali (p = 0,030). Peneliti sebelumnya seperti Sanford, Mc Namara juga mendapatkan bahwa keempat variabel di atas mempunyai korelasi dengan FEVK. Sanford dan kawan-kawan telah meneliti 100 penderita penyakit jantung koroner yang keseluruhannya menderita infark miokard akut. Ada 6 variabel yang identifikasi berpengaruh terhadap penurunan FEVK yaitu infark miokard anterior, gambaran radiologis toraks yang abnormal, ronkhi paru, riwayat infark miokard, infark transmural dan (4,10) takikardi . Sanford juga mendapatkan bahwa gelombang Q infark miokard (4) mempunyai korelasi dengan FEVK , Namun dalam penelitian ini hanya 11 penderita (18,3%) dengan gelombang Q, karena jumlah present sedikit sehingga tidak mempunyai hubungan yang signifikan dengan FEVK. Beberapa peneliti menemukan bahwa gambaran bendungan arteri pulmonalis pada foto toraks merupakan manifestasi (1) peningkatan tekanan kapiler paru . Cease dan Gyorup juga mendapatkan ukuran jantung dan gambaran vaskular paru pada foto toraks (1,12) merupakan prediktor penurunan FEVK . Gambaran radiologis kongestif paru telah dibuktikan oleh Mc Namara sebagai salah satu (10) prediktor FEVK , Mc Namara mendapatkan variabel tersebut bersama-sama variabel infark miokard dinding anterior, riwayat miokard akut dan konsentrasi kreatinin kinase (10) mempunyai korelasi dengan FEVK . Dengan menggunakan rasio Odds. Mc Namara memperlihatkan kongestif paru berada pada kedudukan kedua di bawah infark dinding anterior dalam menentukan FEVK. Mc Namara menyatakan bahwa penderita dengan variabel kongestif paru mempunyai kemungkinan 2,9 kali lebih besar untuk mendapatkan FEVK < 40%. Gadsboll juga membuktikan bahwa gambaran radiologis bendungan paru dan kardiomegali mempunyai korelasi yang kuat dengan FEVK (p < (8) 0,001) . Data penelitian ini memperlihatkan bahwa hipertensi arteri pulmonalis mempunyai nilai p yang tidak kecil (p = 0,95)166

dibanding variabel lainnya, variabel ini tidak mempunyai korelasi kuat, hal ini dikarenakan hanya 8 (18,3%) penderita yang mempunyai nilai present, sedangkan 52 (86,7%) not present sehingga sangat mempengaruhi analisa data dalam mencari hubungan dengan FEVK kateterisasi. Eagle dan kawan-kawannya mencoba melakukan FEVK secara langsung dari gambaran radiologis kongestif. Ternyata gambaran kongestif paru yang ditemui pada foto toraks selama masa perawatan cukup akurat untuk mendeteksi FEVK yang abnormal (FEVK < 51%) dengan sensitivitas 52% dan spesifisitas 74% dan nilai prediktif 73%. Eagle dan kawan-kawan mendapatkan bunyi jantung 3 sebagai salah satu variabel yang menyebabkan penurunan FEVK. Penelitian ini tidak mendapatkan variabel tersebut, mempunyai korelasi dengan FEVK penderita penyakit jantung koroner. Raco melaporkan bahwa hanya pada 40% penderita infark miokard bunyi jantung 3 dapat didengar dan bunyi jantung 4 ternyata mempunyai korelasi dengan kenaikan tekanan akhir (13) diastolik ventrikel kiri (TADVK). . Penelitian ini tidak mendapatkan adanya korelasi antara riwayat hipertensi dengan FEVK seperti yang dibuktikan oleh Eagle, hal yang sama juga diperoleh Mc Namara dalam penelitiannya terhadap penderita infark (3,10) miokard akut . Sanford menjumpai 42% penderita gagal jantung kongestif ini dengan fungsi sistolik yang normal. Strauer mendapatkan 36% penderita gagal jantung kongestif dengan fungsi sistolik yang normal (4,11). dan 38% dengan gangguan fungsi diastolik Penderita-penderita tersebut memiliki ukuran jantung yang besar dan atau tanda bendungan arteri pulmonalis yang menonjol pada foto toraks, bunyi jantung 3 serta apeks ventrikel (11) kiri yang lama ataupun berpindah . Beberapa variabel yang justru dikenal sebagai prediktor penting penurunan fungsi sistolik pada penelitian ini sering dijumpai pada penderita dengan gejala kongestif yang disebabkan oleh abnormalitas fungsi diastolik dan mungkin saja penderita tersebut memiliki FEVK yang (3) normal . Strauer melaporkan bahwa fungsi sistolik ventrikel kiri penderita hipertensi dengan hipertropi ternyata normal, walaupun masa ototnya bertambah tebal dan timbul penyakit jantung koroner. Gangguan fungsi sistolikNo. 3 September 2008

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41

Abdul Gani dkk.

Hubungan antara Data Klinis dengan Fraksi...

timbul apabila sudah terjadi kontraksi regional yang abnormal dan di latasi ventrikel ataupun (11) keduanya . Kenyataan pada penelitian ini memperlihatkan bahwa hipertensi mempunyai arti yang bermakna dengan FEVK, ini merupakan bukti lebih lanjut bahwa problem gangguan fungsi sistolik lawan diastolik berperan pada ketidakmampuan (3). FEVK secara tepat pada sebagian penderita Di samping itu abnormalitas hemodinamik yang mempengaruhi FEVK sangat bervariabel dan dapat dimodifikasi dengan pemberian obat-obatan. Sebagai salah satu contoh adalah penggunaan vasodilator pada pengobatan gagal jantung kongestif oleh karena penurunan fungsi sistolik. Memang benar vasodilatator dapat meningkatkan FEVK pada penderita semacam itu akan tetapi obat tidak mengubah (3,14) . Lebih lanjut fungsi intrinsik kontraktilitas Eagle melaporkan bahwa bronkodilatator dan timbulnya blok cabang berkas kanan merupakan prediktor batas (borderline) (3) kesalahan FEVK . Secara keseluruhan data penelitian ini memperlihatkan bahwa ketepatan klinis hanya akurat pada separuh dari jumlah penderita. Penelitian ini tidak dapat menentukan secara tepat pada kasus yang bagaimana FEVK ini secara akurat. Bagaimanapun, penggunaan alat canggih untuk mengukur FEVK tetap diperlukan, apalagi bila penatalaksanaan penderita ditentukan oleh pengukuran FEVK dengan alat tersebut. KESIMPULAN 1. Pada penelitian ini kelompok FEVK akurate estimate (26,7%) dan non akurat estimate (73,3%) dengan detailnya adalah FEVK < 30% (under estimate) akurasinya 16,7% (10 penderita), sedangkan pada kelompok FEVK 31%-50% (akurat estimate) akurasinya 26,7% (16 penderita) selebihnya 56,7% (34 penderita) sebagai FEVK > 51% (over estimate). 2. FEVK secara klinis mampu melakukan klasifikasi penderita ke dalam kelompok FEVK normal ataupun abnormal dengan nilai akurasi lebih dari 70%. 3. Hasil akhir dari analisa seluruh variabel memperlihatkan bahwa masing-masing variabel adalah sebagai berikut: pemeriksaan fisik (p = 0,138),Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 3

elektrokardiogram (p = 0,243), foto toraks (p = 0,391), penyumbatan pembuluh darah koroner (p = 0,876), dan penggunaan obat-obatan (p = 0,223). SARAN Penelitian ke depan hendaknya jumlah penderita yang diambil data klinisnya dan pengukuran keakuratan FEVK dalam jumlah besar dengan inklude kriteria dan nilai present yang ada adekuat untuk diikut sertakan dalam analisa inferential statistik

DAFTAR PUSTAKA 1. Cease KB, Nicklas JM. Prediction of left ventricular ejection fraction using simple quantitative clinical information. Am J Med 1986; 81: 429 436. 2. Francis GS, Benedict C, Johnstone DE et al. For the Solved Investigator. Comparison of neuroendocrine activation in patients with left ventricular dysfunction with and without congestive heart failure. A substudy of the studies of left ventricular dysfunction (SOLVD). Circulation 1990;82:1724-9 Eagle KA, Guartemous MD, Singer DE, Mulley AG, Reder VA, Boucher CA, Strauss HW, Thibault GE. Left ventricular ejection fraction. Physician estimates compare with gated blood pool scan measurement. Arch Intern Med 1988; 148: 882 885. Sanford CF, Corbett J, Nicod P, Curry GL, Lewis SE, et al. Value of radionuclide ventriculography in the immediate characterization of patiens with acut myocardial infarction, Am J Cardiol. 1982; 49: 637 644. Tapol EJ. Angiography. Textbook of cardiovascular medicine. 2nd ed.2002; 1660-1664. Koren MJ, Ulin RJ, Laragh JH, Devereux RB. Reduction in left ventricular mass during treatment of essential hypertension is associate with improved prognosis. Am J Hypertens 1999;4:1A

3.

4.

5.

6.

September 2008

167

Karangan Asli

7.

Leorn F, Reiber JHC, Tuineuberg JC, Koning G, Lesperance J. Coronary angiography and the culprit lesion in acute coronary syndromes. Acute coronary syndromes 2003; 226-230. Gadsboll N, Carlson PFH, Nielsen GG, Berning J, Brunn NE, et al. Symptoms and sign of heart failure in patients with myocardial infarction: reproducibility and relationship to X-ray, radionuclide ventriculography and right heart catheterization. Eur Heart J 1989; 10: 1017 1028. Sinha S, Sinha U, Mather R, Goldin J, Fonarow G et al. Estimation of left ventricular ejection fraction using a novel multiphase, darkblood, breathhold MR imaging technique. AJR 1997; 169: 101 112.

8.

12. Gyorup T, Kelabaek H, VestergaardMunck O, Godteredsen J. Propective, randomised, double blind study of radionuclide determination of left ventricular ejection fraction in acute myocardial infarction. Lancet 1986; 1: 583 -585 13. Raco DL, Yusuf S. Overview of randomised trials of percutaneous coronary intervention: comparison with medical and surgical therapy for chronic coronary artery disease. In: Grech ED, Ramsdale DR, eds. Practical interventional cardilogy. 2nd ed. London: Martin Dunitz, 2002:263-277. 14. Devereux RB, Palmieri V, Sharpe N et al. Effects of oncedaily angiotensinconverting enzye inhibition and calcium channel blockade-based antihypertensive treatment regimens on left ventricular hyperthropy and diastolic filling in hypertension: the prospective randomized enalapril study evaluating regression of ventricular enlargement (preserve) trial. Circulation 2001; 104:1248-54.

9.

10. Mc Namara RF, Carleen E, Moss AJ. Estimating left ventricular ejection fraction after myocardial infarction by various clinical parameter. Am J Cardiol 1988; 62: 192 196. 11. Strauer BE. Ventricular function and coronary hemodinamics in hypertensive heart disease. The Am. Jour of Cardiologi 2004: 44; 999 1006

168

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41

No. 3

September 2008

Abdul Gani dkk.

Hubungan antara Data Klinis dengan Fraksi...

Efek Celecoxib dan Diclofenac terhadap Tetesan Darah dari Ekor TikusYunita Sari Pane1, Sunardi2, Mustafa Ridwan Lubis2, Dayat S. Hidayat1, M. Ichwan1 Aznan Lelo1 Departemen Farmakologi & Terapeutik, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara1 Fakultas FMIPA Universitas Muslim Nusantara2

(COX-2) menyebabkan vasokonstriksi, peningkatan pembekuan darah akibat makin bebasnya jalur COX-1 dalam mensintesis tromboksan yang mempermudah terjadinya trombosis dan penyumbatan aliran darah. Tujuan: Penelitian ini mengkaji efek celecoxib dan diklofenak terhadap tetesan darah dari ekor tikus. Metoda: 20 ekor tikus putih sehat dengan berat badan 150-200 gr dibagi 4 kelompok, masingmasing terdiri dari 5 ekor. Kelompok I mendapat celecoxib dosis kecil (1,4 mg/kgBB per-oral), kelompok II mendapat celecoxib dosis besar (7 mg/kgBB per-oral), kelompok III mendapat natrium diclofenac (1 mg/kgBB per-oral) dan kelompok IV mendapat aquadest 1 cc sebagai plasebo. Masing-masing kelompok diberi obat 1 kali sehari selama 3 hari. Pada hari ke-10 dilakukan pemotongan ekor tikus 1 cm dari bagian ujungnya untuk melihat tetesan darah yang terjadi. Data yang diperoleh dianalisis dengan uji T Independent, dimana perbedaan dikatakan bermakna bila nilai p 0,05). Pada penelitian di Taiwan didapatkan alel gen HLA-DQB1*0201 rentan terhadap 15 KNF dengan risiko 2,6. Di China Selatan tidak dijumpai asosiasi antara alel gen HLA21 DQB1 dengan KNF. Telah diketahui bahwa polimorfisme molekul HLA ditentukan oleh urutan asam amino yang membentuk celah pengikat peptida, dan celah tersebut berinteraksi baik dengan peptida antigen maupun dengan reseptor sel T. Adanya bukti bahwa keragaman yang sangat besar pada urutan asam amino pada celah tersebut sangat penting secara fungsional diperoleh dari berbagai penelitian secara struktural, klinis 14 Analisis peptida maupun eksperimental. antigen yang terikat, jelas menunjukkan bahwa molekul-molekul HLA yang disandi oleh alel yang berbeda mempunyai pola pengikatan peptida yang berbeda. Adanya molekul HLA dengan sifat pengikatan peptida yang berbeda tersebut dapat menyebabkan suatu peptida antigen akan lepas dalam ikatan suatu molekul HLA sehingga menimbulkan pengaruh yang berbeda pada perangsangan aktivitas sel T. Terdapat bukti yang tidak langsung menyokong konsep bahwa alel kerentanan dan protektif merupakan molekul mengikat dan menyajikan epitop peptida yang 32 berbeda. Terjadinya KNF pada individu yang mempunyai gen kerentanan, karena alel gen kerentanan tidak mempresentasikan dengan baik atau mempresentasikan secara salah antigen VEB atau antigen tumor kepada sel ThCD4, yang berakibat proses respon imun 14 tidak terjadi. Dengan tidak terjadinya respon imun, maka antigen tumor akan menginfiltrasi sel tubuh lain sehingga memicu penyebaran 33 kanker. Alel gen protektif bekerja denganNo. 3 September 2008

188

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41

Delfitri Munir

Peran Gen HLA-DQB1...

baik mempresentasikan antigen VEB atau atigen tumor kepada sel ThCD4. Proses respon imun terjadi dengan baik sehingga, VEB maupun sel-sel kanker dapat dieliminasi oleh sistem imun tubuh dan proses keganasan tidak terjadi. Dengan demikian alel gen protektif merupakan alel gen pelindung 34 terhadap KNF. Terdapatnya alel gen kerentanan dan protektif HLA-DQB1 yang berbeda-beda pada setiap lokasi dan etnik, diduga akibat molekul pengikat dan penyaji epitop peptida yang berbeda. Di samping itu juga akibat pegambilan sampel yang berbeda, distribusi gen HLA yang berbeda pada setiap populasi dan akibat pengaruh faktor lingkungan yang kuat terhadap kejadian KNF di lokasi tersebut. KESIMPULAN Pada penelitian ini tidak dijumpai peran alel gen HLA-DQB1 pada penyebab kerentanan timbulnya KNF pada suku Batak.

6.

Lee AW, Foo W, Mang O, Sze WM, Chappell R, Lau WH, Ko WM. Changing epidemiology of nasophryeal carcinoma in Hong Kong over a 20-year period (1980-1999): an encouraging reduction in both incidence and mortality. Int J Cancer 2003; 103 (5): pp. 680-5. Fachiroh J, Schouten T, Hariwiyanto B. Molecular Diversity of Epstein-Barr Virus IgG and IgA Antibody Responses in Nasopharyngeal Carcinoma: A Comparison of Indonesian, Chinese and Europen Subject. The Journal of Infectious Diseases 2004; 190 (1): pp. 5362. Lutan R, Zachreini I. Immunohistochemical corelation betwen Nasopharyngeal Carcinoma and Epstein Barr Virus. Asean OtorhinolaryngologyHead and Neck Surgery Journal 1999; 3(3): pp. 257-9. Jia WH, Feng BJ, Xu ZL, Zhang XS, Huang P, Huang LX. Familial risk and clustering of nasopharyngeal carcinoma in Guangdong, China. Cancer 2004; 101 (2): pp. 363-9. on genetic epidemiology of nasopharyngeal carcinoma in Guangdong China. Zhonghua Yi Xue Yi Chuan Xue Za Zhi 2002; 19 (2): pp. 134-7.

7.

8.

9. DAFTAR PUSTAKA 1. Huang DP, Lo KW. Aetiological Factors

and Pathogenesis in Nasopharyngeal Carcinoma, 2nd edition, Hasselt, C.A. and Gibb, A.G. The Chinese University Press, Hongkong, 1999; pp. 31-50.2.

10. Huang T, Liu Q, Huang H, Cao S. Study

Yuan JM, Wang XL, Xiang YB, Gao YT, Ross RK, Yu MC. Preserved foods in relation to risk of nasopharyngeal carcinoma in Shanghai, China. Int J Cancer, 2000; 85 (3): pp. 358-63. Li CC, Yu MC, Henderson BE. Some epidemiologic observations of nasopharyngeal carsinoma in Guangdong, Peoples Republic of China. Ntl Cancer Inst Monogr 1985; 69: pp. 49-52. Albeck H, Neilsen LH, Hansen HE, Bentzen J, Ockelmann HH, Bretlau, P. Epidemiology of nasopharyngeal and salivary gland carcinoma in Greenland. Arctic Med Res 1992; 51 (4): pp. 18995. Takashita H, Furukawa M, Fujieda S, Shoujaku H, Ookura T, Sakaguchi M, Epidemiological research into nasopharyngeal carcinoma in the Chubu region of Japan. Auris Nasus Laryng 1999; 26(3): pp. 277-86.

11. Abbas AK, Lichtman AH. Cellular and

3.

Molecular Immunology, 5th edition. WB Saunders, Philadelphia 2000.12. Benacerraf B. Significance and biological

function of class II MHC molecules. Am J Pathol 1985; 120 (3): pp. 334-43.13. Judajana

4.

FM. Sistem major histocompatibilityl complex. Dalam Gangguan sistem imun mukosa intestinal, eds. Subijanto, PS Suhartono, TP Judajana FM Gideon, Surabaya 2003; pp. 12-30. Vries RR, van Rood JJ. Immunogenetic and Diseases in the Genetic Basis of Common Diseases, University Press Inc, New York 1992; pp. 92-114.

5.

14. de

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41

No. 3

September 2008

189

Karangan Asli

15. Hildesheim A, Apple RJ, Chen CJ, Wang

SS, Cheng YJ, Klitz W. Association of HLA Class I and II Allels and extended Haplotypes With Nasopharyngeal Carcinoma in Taiwan. Journal of the National Cancer Institute 2002; 94 (23): pp. 1780-89. S, Sassi F, Ladgham A. Association between HLA-A/-B antigens and DRB1 allels and nasopharyngeal carcinoma in Tunisia. Oncology 2001; 61 (1): pp. 558.

24. Rusdi A. Peranan HLA dalam ilmu

kedokteran dan beberapa problematik test HLA pada populasi Indonesia, Lokakarya HLA, Bandung 1992. Rubio Suarez A, Rivera Herrero F, Rama J. Carcinoma of the nasopharyng of Catarbia. Acta Otorrinolaryngol Esp 1999; 50 (5): pp. 381-6.

25. Morales-Angulo C, Megia Lopez R,

16. Mokni-Baizig N, Ayed K, Ayet FB, Ayet

26. Delfitri M. Beberapa Aspek KNF pada

Suku Batak di Medan dan Sekitarnya. MKN 2006; 39 (3): pp. 12-17. P. Serum EBV DNA as a Biomarker in primary Nasopharyngeal Carcinoma of Indian Origin. Jpn J Clin Oncol 2004; 34 (6): pp. 307-311. L, Berrino F, Coebergh JW. Variation of survaival for adults with nasopharyngeal cancer in Erope, 19781989. EUROCARE Working Group. Eur J Cancer 1998; 34 (14): pp. 2162-6. childhood. Cacer 1990; 66 (5): pp. 96871.

17. Burt RD, Vaughan TL, McKnight B,

27. Krishna SM, James S, Kattoor J, Balaram

Davis S, Beckman AM, Smith AG. Associations between human leukocyte antigen type and nasopharyngeal carcinoma in Caucasians in the United States. Cancer Epidemiol Biomarkers Prev 1996; 5 (11): pp. 879-87.18. Zurhausen

28. Jiong

H, Schulte-Holtausen H, Klein G, Henle W, Clifford Santeson L., EBV DNA in biopsies of Burkitt tumors and anaplastic carcinoma of the nasopharyng. Nature 1970; 228: pp. 1056-8.

29. Huang TB. Cancer of the nasopharynx in

19. Pathmanathan R, Raab-Traub. Epstein-

Barr virus in Nasopharyngeal Carcinoma, 3th edition, VFH Chong, SY Tsao, Amour Publishing, Singapore 1999; pp. 14-21.20. Qiu K, Tomita Y, Hashimoto M, Oshawa

30. Deng H, Zeng Y, Lei Y, Zhao Z, Wang P,

Li B. Serological survey of nasopharyngeal carcinoma in 21 cities of south China. Chin Med J (Engl) 1995; 108 (4): pp. 300-3.31. Jiang

M, Kawano K, Wu DM, Aozasa K. Epstein-Barr virus in gastric carcinomain Suzhu, China, and Osaka, Japan: Association with clinico-pathologic factors and HLA-subtype. Intl J Cancer 1997; 71 (2): pp. 155-8.21. Li PK, Poon AS, Tsao SY, Ho S, Tam JS,

X, Wei L. Nasopharyngeal carcinoma and cervical masses. Lin Chuang Er Bi Yan Hou Ke Za Zi 2005; 19 (4): pp. 160-2.

32. Devenport MP,

So AK. No association between HLADQ and -DR genotypes with nasopharyngeal carcinoma in southern Chinese. Cancer Genet Cytogenet 1995; 81(1): pp. 42-5. response in Immunology, 6th edition, eds. I. Roitt, J. Brostoff, D. Male, Mosby, Toronto 2001; pp. 173-88. Epstein-Barr virus latent membrane protein 1 blocks p53-mediated apoptosis through the induction of the A20 gene. J. Virol 1996; 70: pp. 8653-59.

Hill AVS. Peptides associated with MHC class I and class II molecules in HLA and MHC: Gene, Molecules and Function MJ. Browning and AJ Mc Michael, Bios Sci Publ Ltd Oxfort 1996; pp. 277-308. Prosedur Laboratorium. Edisi ke 4. Balai Penerbit FK-UI, Jakarta 2001.

33. Kresno SB. Imunologi: Diagnosis dan

22. Cooke A. Regulation of the immune

34. Rosenberg SO, Pulasky BA, Gunther V.

23. Fries KL, Miller WE, Raab-traub N.

Processing and presentation of antigen for activation of lymphocytes to tumor cells in Tumor immunology, eds. G Parmini and MT Lotze Taylor & Francis, London 2002; 11-37.

190

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41

No. 3

September 2008

The Liposomes Diameter Measured by the Computerized Program of Image Pro Express 4.5Ernie H. Purwaningsih Department of Medical Pharmacy, Faculty of Medicine, Indonesia University, Jakarta

To solve the problems, this study has done to create the computers program of Image Pro Express 4.5 for measuring and the Olympus scale as a standard measurement is still using. MATERIAL AND METHOD This study has already conducted at the Department of Medical Pharmacy and Medical Physics, Faculty of Medicine, Indonesia University during 3 months, from June to August 2007. Liposome of EPC (egg yolk Phosphatidylcholine) and TEL (Tetra Ether Lipid) which have named of liposome EPC-TEL 2.5, and the Olympus scale of 0.01 mm in the light microscope which has magnification of 400 have photographed and recorded in Adobe Photo-Shop 0.7 and jpeg system. Quinacrine solution of 0.05% was used in this study as liposomes marker. The control group of liposome EPC-TEL 2.5 before sonication or extrusion, the sonication and the extrusion liposome have studied previously on physical and chemical stability, at different temperatures (4 C, 37 C, and room temperature) and different times (at the day of 1; 7, 28; 56; 84). For this paper, part of the sonication data of liposome stability will be studied and reported as the liposomes diameter using the computer program of Image Pro Express 4.5. The steps of measuring the diameter of liposome using Image Pro Express 4.56:September 2008 191

4-5.

The stability of liposome was determined by several parameters, such as the amount and the diameter of liposome. It has to prove before clinically used. Their stability is influenced by physical or chemical condition, and biological activity. Measuring the liposomes diameter in our laboratory has to become crucial because of several conditions. For example, the equipment for measuring the diameter of liposome, particle seizer, is too expensive, and the Olympus scale measurements could not seen in a focus of liposomes picture at the microscope, simultaneously. Thats why it was not only has time consuming because of the measurement was done one by one manually, but also the diameter data were un exactly obtained.

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41

No. 3

Karangan Asli

1. Part (1/10) of the Olympus scale of 0.01 mm that contains 100 stripes were photographed in magnification of 400 and recorded in jpeg system. The area between two stripes was 100 nm. 2. That Olympus scale was entered into the Image Pro Express 4.5 and click measure for calibrating and measuring each area. On menu of line profile will show their pixels that identical with the length of the pixels. Calibrate all areas. 3. The picture of liposome EPC-TEL 2.5 was measured as same as the scale and noted the pixels of liposome. The measuring data were obtained from two to three samples each group. 4. Divide the liposomes pixels with the pixels of scale and then, multiply by 100 nm. The result was the diameters liposome. RESULTS AND DISCUSSION Each area of the scale (x2-x1) have pixels of 48; 49; 48; 46; 50; 47; 47; 50; 48; 47 respectively, those the mean pixel of each area was 47. This pixel correlated with 100 nm (Figure 1).

was 35; 30; 36, that was identical with 74.5 nm 63.8 nm; 76.6 nm (Figure 5, 6) These results rather similar to the diameter of the same composition of liposome 7 using Nicomp particle-seizer . The difference result between the Image Pro Express 4.5 and the particle-seizer was highly influenced by the Brownian movement of liposome. Thats why, the distribution of 7 the liposome diameter tend to be broad. . Unfortunately, this measuring model has had consumed long enough time, so we should try to innovate it to cut the steps.

Figure 2. The liposomes diameter of the control group. The pixel was 28, see the arrow (400X).

Figure 1. The scale of Olympus. Each area between two stripes was 100 nm, identical with the pixels of 47 (400 X)

Figure 3. The diameter of large liposome in the day of 7. The pixel was 75 (400X).

The pixel of each liposome from the control group, after sonication, was 27, 30, 28, respectively. By means of the steps above, the diameter of liposome as a control was (27/47X100 nm; 30/47X100 nm; 28/47X100 nm) 57.4 nm; 63.8 nm; and 59.8 nm, respectively (Figure 2). The large diameter of liposome at the day of 7 was shown at Figure 3 and 4, and the small diameter at Figure 5 and 6. The pixel of the large diameter was 75 (Figure 3) or 76 (Figure 4). Using the same formula, the exact diameter that has measured was 159.6 nm or 161.7 nm. The pixel of the small diameter

Figure 4. The diameter of large liposome at the day of 7 in other lining position. The pixel was 76 (400X).

192

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41

No. 3

September 2008

Ernie H. Purwaningsih

The Liposomes Diameter Measured...

measuring the diameter, but also the amount of the nanometers objects, such as liposome. Acknowledgments Many thanks to all Staff member of the Department of MedicalPphysics,Indonesia University especially to DR. Hamdani zain (alm), for generously supports to help improving our liposomes measurement. REFERENCES 1. Lasic DD (ed). Liposomes as a drug delivery system Liposomes from Physics to Application. Elsevier Science Publisher BV 1993, p.265-324. 2. Papahadjopoulos D, Allen TM, Gabizon A, et al. Sterically stabilized liposomes: Improvements in pharmacokinetics and antitumor therapeutic efficacy. Proc Natl Acad Sci 1991; 88: 11460-64. Huang SK, Mayhew E, Gilani S, Lasic DD, Martin FJ, Papahadjopoulos D. Pharmacokinetics and therapeutics of sterically stabilized liposomes in mice bearing C-26 colon carcinoma. Cancer Research 1992; 52: 6774-81. Gabizon AA. Selective tumor localization and improved therapeutic index of anthracyclines encapsulated in longcirculating liposomes. Cancer Research 1992; 52: 891-6. Freisleben HJ, Bormann J, Litzinger DC, Lehr F, Rudolph P, Schatton W, Huang L. Toxicity and biodistribution of liposomes of the main phospholipid from the Archaebacterium Thermoplasma acidophilum in mice. J Liposome Research 1995; 5 (1):215-23. Sugai A, Sakuma R, Fukuda I, Kurosawa N, Itoh YH, Kon K, Ando S, Itoh T. The structure of the core polyol of the ether lipids from Sulfolobus acidocaldarius. Lipids 1995;30 (4):339-44. Image Pro Express Cybernetics 2002. 4.5 in Media

Figure 5. The diameter of small liposome at the day of 7. The pixel was 35 (400X).

3.

4.Figure 6. The small diameter of liposome at the day of 7 in other lining position. The pixel was 30 and 36 (400X).

Based on these results, the Image Pro Express 4.5 could be come a model for measuring other objects such as cells, component of cells, etc. CONCLUSION AND SUGGESTION Conclusion The Image Pro Express 4.5 could be used for measuring the liposome diameter, faster than manually measurement, but slower than the particle-seizer spectrophotometer. This program could also be used to change the categorical data (bellow or upper 100 nm) into the numerical data of liposomes diameter (60 nm, 76 nm, or 160 nm) Suggestion For measuring the diameter of other objects, such as cells, component of cells, etc, the Image Pro Express 4.5 could also be a model because of these exact results. This program should be innovated, not only forMajalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 3

5.

6.

7. 8.

Purwaningsih EH, Freisleben HJ, Sadikin M. Peningkatan inkorporasi metalprednisolon palmitat pada liposom yang mengandung tetraeter lipid dari Sulfolobus acidocaldarius membran membentuk sediaan baru liposomal metilprednisolon palmitat. Jurnal Farmasi Indonesia 2002; 1(1):24-30.

September 2008

193

TINJAUAN PUSTAKA

Peranan Kadar C3 dan C4 pada Penderita Diabetes MellitusAbdul Gani Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UNSYIAH RSUD. dr. Zainoel Abidin, Banda Aceh

Abstrak: Sistem komplemen merupakan salah satu mediator utama reaksi radang, dan penting perananya dalam pertahanan tubuh menghadapi infeksi. Aktivitas biologiknya adalah sebagai anafilatoksin, ikut dalam netralisasi virus, khemotaksis lekosit dan opsonisasi, merangsang granulositosis dan pembentukan antibody serta limfokin, mempertinggi sitotoksis sel K(killer cell), inaktifasi endotoksin, dan pada akhirnya menyebabkan lisisnya mikroorganisme. Pada penderita dengan defisiensi komponen komplemen dilaporkan lebih mudah terkena infeksi atau penyakit kolagen vaskuler. Demikian pula pada defisiensi komponen komplemen ketiga (C3) dan komponen ke empat (C4). Diduga terjadinya penyakit kolagen vaskuler juga didahului dengan infeksi. Kata kunci: C3 and C4, Diabetes Mellitus Abstract: The complement system in one of the principal mediators of the inflammatory respon and thereby, serves as an essential function in host defense against infection. The biologic activites of the complement are virus neutralization, anaphylatoxin, chemotaxis of leucocytes, opsonization, enhacing induction of antibody formation, stimulating lymphokine production, enhancing killer cell citotoxicity, inducing granulocytosis, endotoxin inactivation and lysis of microorganisms. Patients with complement deficiencies such as C3 and C4 were reported to have had a high incidence of infections or collagen vascular disease. The reason of the occurrence of the collagen vascular disease was not known, but it might have been originated by infections. Keywords: C3 and C4, Diabetes Mellitus

PENDAHULUAN Terdapat bukti bahwa komplemen (C) ikut berperan dalam pertahanan tubuh menghadapi infeksi. Defisiensi komponen komplemen ketiga (C3) dilaporkan sebagai yang bertanggung jawab atas bertambahnya kepekaan terhadap infeksi. Diduga defisiensi komponen komplemen (C4) juga memberi pengaruh yang serupa. Adanya gangguan fungsi yang berkaitan dengan aktivitas komplemen seperti fagositosis (opsonisasi), khemotaksis dan pembentukan anafilatoksin diduga yang menjadi sebab turunnya pertahanan tubuh. Diabetes Mellitus (DM) yang terawat jelek (poorly controlled) akan menurunkan efisiensi pertahanan tubuh.194

Dengan perawata DM yang baik (well controlled) ketahanan penderita terhadap (1,2) Adapun infeksi dapat ditingkatkan. keseluruhan sebab yang menjelaskan tinggi insidens dan beratnya infeksi pada penderita DM masih banyak belum terungkap. Terdapat laporan bahwa fagositosis dan khemotaksis lekosit dan aktivitas opsonisasi serum (3) penderita DM menurun. Dalam hal ini terlihat adanya persamaan dengan gangguan aktivitas komplemen. Dengan demikian, mungkin sistem komplemen ikut terlibat atau setidak-tidaknya merupakan salah satu faktor yang ikut bertanggung jawab terhadap gangguan sistem pertahanan tubuh (1,2,3) tersebut.No. 3 September 2008

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41

Abdul Gani

Peranan Kadar C3 dan C4...

Peristilahan dalam Sistem Komplemen Dari komponen-komponen sistem komplemen, sebanyak 9 buah disingkat dengan huruf C besar dan di belakangnya diberi angka sesuai dengan urutan ditemukannya, yakni C1,C2,C3,C4 dan seterusnya sampai C9. Komponen pertama (C1) terdiri dari 3 subkomponen, C1q,C1r,C1s. Garis datar di atas angka merupakan tanda komponen yang aktif, ditandai dengan huruf kecil a, b, c atau d. Huruf a menandai pecahan kecil yang dibebaskan kecairan sekitarnya, sedangkan huruf b menandai pecahan besar yang berikatan dengan komponen aktif yang memecahnya atau dengan suatu komplek imun, sebagai contoh C3a dan C3b. Dalam hal ini C2 merupakan perkecualian, C2a (1,2,4) . Sistem adalah pecahan yang besar komplemen akan menjadi aktif lewat 2 jalur, yakni jalur klasik dan jalur alternatif (jalur properdin). Dikenal 3 komponen lain yang terlibat dalam aktifasi jalur alternatif, yakni faltor B, D dan P (properdin), bila aktif ditulis B, D dan P. Selain itu terdapat 2 komponen yang berfungsi sebagai inaktifator, yakni C1 Ina dan C3 Ina (1,2,3). Mekanisme Kerja Sistem Komplemen Prinsip-prinsip berikut ini merupakan dasar untuk memahami fungsi komplemen (1,2,3). 1. Sistem komplemen termasuk salah satu mediator reaksi radang. Sistem tersebut merupakan interaksi dari komponenkomponen yang berwujud protein. 2. Komponen-komponen yang berinteraksi secar runtut (cascade), aktifasi tiap komponen berlangsung setelah aktifasi komponen sebelumnya. 3. Interaksi pada jalur klasik berlangsung dengan urutan antigen antibodi C 142356789. Sedangkan untuk jalur alternatif urutannya ialah aktifator (antibodi) sistem properdin C356789; dalam hal ini peranan antibodi masih dipertanyakan. Kedua jalur teresbut saling berinteraksi; di samping itu juga berinteraksi dengan sistem pembekuan darah. 4. Interaksi 5 komponen pertama (C14235) bersifat enzimatis, aktifasi berarti merubahMajalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 3

komponen menjadi enzim. Pada mulanya sebagai hasil interaksi dengan antibodi, C1 menjadi aktif. Selanjutnya C4, C2, C3, C5 dan begitu pula dengan B pada jalur alternatif aktifasinya secara berurutan dilakukan oleh komponen sebelumnya yang telah aktif. Adapun antara C5b, C6, C7, C8 dan C9 berinteraksi dengan saling berikatan satu sama lain dalam bentuk ikatan nonkovalen atau ikatan hidrofobi; dengan demikian sifat molekul yang terbentuk sebelumnya berubah. Aktifasi Jalur Klasik dan Jalur Alternatif Jalur klasik SKEMA 1. menguraikan tahapan komponen komplemen berinteraksi. Sebagai standard in vitro untuk mempelajari interaksi pada jalur klasik adalah eritrosit dan (4,5) . Aktifasi jalur klasik dimulai antibodinya (1) dengan fiksasi C1q pada bagian Fc antibodi . CRP (C-reactive protein) yang terikat mikroorganisme juga dapat mengikat C1q (4) untuk memulai rangkaian reaksi aktifasi . Reaksi terakhir ini sangat penting sebagai pencetus reaksi radang pada saat antibody dari antigen tersebut belum terbentuk. Aktifasi C4 dan C2 menghasilkan fragmen yang sifatnya menyerupai kinin, menaikkan permeabilitas (5) venula post-kapiler, menyebabkan edema . Fragmen C4b difiksasi membentuk kompleks EAC14b yang berkemampuan untuk menempel ke berbagai sel, diantaranya ke neutrofil, monosit dan eritrosit; fenomena ini (2,3) . Pemecahan disebut immune adherence C3 dilakukan oleh kompleks EAC142 (C3 convertase jalur klasik). Fragmen C3b yang terfiksasi pada kompleks molekul tersebut kemudian menempel pada sel yang mempunyai reseptor C3b, seperti limfosit B, eritrosit dan fagosit (neutrofil, monosit, makrofag). Dengan cara seperti ini fagositosis menjadi efesien. Oleh C3bIna fragmen C3b diinaktifkan menjadi C3d yang tetap terikat pada kompleks malekul, dan dilepaskan C3c (3) . Fragmen C3a dan C5a bersifat sebagai anafilatoksin, mempengaruhi sel mast dan basofil mengeluarkan mediator vasoaktif. Ada pula fragmen C3 dan C5 yang merupakan khemotaksis fagosit, dan masing-masing sifat (2,3). fisikokimiawinya menyerupai C3a dan C5a Skema 1. Aktifasi komplemen pada jalur klasik dan interaksinya, dengan jalur alternatif. (Johnston dkk. 1989). E= eritrosit.September 2008 195

Tinjauan Pustaka

A=antibodi, C-CRP= Kompleks C- reactive protein. Pengrasakan membran sel (membrane attack) sebagai permulaan sitolisis dimulai setelah C5b terikat pada C423. Selanjutnya C6 tanpa terpecah berikatan dengan C5b, berfungsi menstabilkan C5b. Pada tahap berikutnya kompleks C5b6 terlepas dari C423 dan bereaksi dengan C7. Agar kemampuan lisisnya tidak hilang, kompleks C5b67 harus segera berikatan dengan membran sel; kompleks C5b67 yang bebas bersifat khemotaksis. Kemudian dengan terikatnya C8 dan C9 pada kompleks tersebut terjadilah (2,3) Suatu mekanisme kontrol sitolisis . mencegah aktifasi komplemen yang berlebihlebihan. C1 Ina menghambat kerja esterolisis C1s-- memecah C4 dan C2. Dalam 55 detik (6) sebanyak 90% C1 telah terikat pada C1 Ina . 0 Pada suhu 37 C waktu paruh C2 hanya sekitar 8 menit, hal ini menjadi pembatas waktu efektif C42 dan C423. Aktivitas C3a dan C5a akan terhenti setelah dipecah anafilaktoksin inaktifator yang beredar di dalam serum. C3b Ina memecah C3b, C4b, dan mungkin juga C5b menjadi fragmen (1,2,3,6) . inaktif Jalur alternatif (properdin) Permulaan aktifasi berupa interaksi antigen (polisakharida atau liposakharida) atau

agregasi imunoglobulin dengan IF (initiating (7) faktor) yang belum diketahui ; mungkin pula (8) berupa interaksi antigen antibodi . Diduga dalam aktifasi ini C1 atau C1s terlibat, namun (6,7) . tanpa mengikut sertakan C4 dan C2 Sebagai hasil interaksi tersebut P dan D menjadi P dan D. Selanjutnya D memecah B menjadi Bb dan Ba; pemecahan ini membutuhkan Mg ++ dan C3b atau CoVF. Kompleks C3bBb atau CoVFBb yang kemudian terbentuk merupakan C3 convertase. Dilaporkan bahwa enzim proteolisis (plasmin, tripsin, pronase) juga (5,6) . Dengan terikatnya berfungsi seperti D properdin (P) pada kompleks C3bBb, kerja C3b Ina dihambat dan kompleks tersebut (7) menjadi lebih stabil . Pada aktifasi sistem properdin ini, C3b dapat diperoleh dari hasil aktifasi jalur klasik, atau dari pemecahan C3 oleh trombin dan plasmin pada koagulasi darah, protease lekosit, dan tripsin. Seperti terlihat pada skema.2, C3b lewat alur amplifikasi merangsang terbentuknya C3b lebih banyak; pengaturan amplifikasi ini (6) dilakukan oleh C3b Ina . Skema 2. Aktifasi komplemen pada jalur alternatif (Johnston dkk. 1989). Ab = antibodi; Ig = imunoglobulin; Ag = antigen; IF = initiating faktor; CoVF = cobra venom factor.

Sistem komplemenKlasikC-CRP EA C1 EAC1 C1 Ina C4 C4a EAC146 Adherence C2 EAC142 C-kinin C3

AlternatifSistem Properdin

C3b Ina

C3b In