MK-Birgitta Cynthia Dwi Puspita.pdf

17
1 UNIVERSITAS INDONESIA AKULTURASI DALAM PERTUNJUKKAN WAYANG POTEHI DI INDONESIA MAKALAH NON-SEMINAR BIRGITTA CYNTHIA DWI PUSPITA 1006714071 FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM STUDI CINA DEPOK JUNI 2016 Akulturasi dalam pertunjukkan ..., Birgitta Cynthia Dwi Puspita, FIB UI, 2016

Transcript of MK-Birgitta Cynthia Dwi Puspita.pdf

Page 1: MK-Birgitta Cynthia Dwi Puspita.pdf

1

UNIVERSITAS INDONESIA

AKULTURASI DALAM PERTUNJUKKAN WAYANG POTEHI DI INDONESIA

MAKALAH NON-SEMINAR

BIRGITTA CYNTHIA DWI PUSPITA

1006714071

FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA

PROGRAM STUDI CINA

DEPOK

JUNI 2016

Akulturasi dalam pertunjukkan ..., Birgitta Cynthia Dwi Puspita, FIB UI, 2016

Page 2: MK-Birgitta Cynthia Dwi Puspita.pdf

2

Akulturasi dalam pertunjukkan ..., Birgitta Cynthia Dwi Puspita, FIB UI, 2016

Page 3: MK-Birgitta Cynthia Dwi Puspita.pdf

3

Akulturasi dalam pertunjukkan ..., Birgitta Cynthia Dwi Puspita, FIB UI, 2016

Page 4: MK-Birgitta Cynthia Dwi Puspita.pdf

4

Akulturasi dalam pertunjukkan ..., Birgitta Cynthia Dwi Puspita, FIB UI, 2016

Page 5: MK-Birgitta Cynthia Dwi Puspita.pdf

5

Akulturasi dalam pertunjukkan ..., Birgitta Cynthia Dwi Puspita, FIB UI, 2016

Page 6: MK-Birgitta Cynthia Dwi Puspita.pdf

6

Akulturasi dalam Pertunjukkan Wayang Potehi di Indonesia

Birgitta Cynthia Dwi Puspita

Program Studi Cina, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia

[email protected]

Abstrak:

Jurnal ini membahas mengenai akulturasi dalam pertunjukkan wayang Potehi di Indonesia. Tujuan dari

penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan apa yang dimaksud dengan wayang Potehi, kapan wayang

Potehi masuk dan berkembang di Indonesia, serta apakah sudah terjadi proses akulturasi dalam

pertunjukkan wayang Potehi di Indonesia. Melalui penelitian ini diharapkan masyarakat dapat memahami

mengenai pertunjukkan wayang Potehi dan akulturasi yang terdapat dalam pertunjukkan wayang Potehi di

Indonesia.

Abstract:

This journal discusses acculturation within Indonesian Potehi shadow puppet shows. Furthermore, it aims

to describe what Potehi shadow puppet shows are, its place in history, and any acculturation process that

might have happened to it in Indonesia. Through this paper, people are expected to understand deeply

about Potehi puppet shows and process of acculturation in Potehi puppet shows in Indonesia

Keywords: budaixi, wayang Potehi, akulturasi, lakon

1. Pendahuluan

Cina sebagai bangsa besar yang sudah memiliki

sejarah ribuan tahun, tentu saja memiliki

berbagai hal yang menarik ditinjau dari segi

sejarah maupun kebudayaan. Bangsa Cina

dikenal sebagai pedagang dan perantau yang

handal. Indonesia1 sebagai negara maritim dan

1Yang dimaksud dengan Indonesia pada masa itu

adalah wilayah Nusantara yang sempatbernama

Hindia-Belanda, sebelum berganti menjadi

Indonesia pada tahun 1945.

memiliki perairan yang luas menjadi sasaran

yang diangap sangat strategis oleh bangsa Cina

untuk membuka usaha ataupun sekadar singgah

untuk berdagang. Para pedagang Cina sudah

terlebih dahulu datang ke Indonesia, sebelum

orang Eropa datang, terutama di bandar-bandar

perdagangan di sepanjang pantai utara pulau

Jawa (Coppel, 1994:21). Selain berdagang dan

menetap di Indonesia, wajar jika dalam

( https://sejarahperniagaan.wordpress.com/2013/

02/03/sejarah-masuknya-tionghoa-di-indonesia/ )

Akulturasi dalam pertunjukkan ..., Birgitta Cynthia Dwi Puspita, FIB UI, 2016

Page 7: MK-Birgitta Cynthia Dwi Puspita.pdf

7

kehidupan sehari-hari mereka mempraktekkan

berbagai macam kebudayaan asal mereka,

termasuk kesenian. Salah satu kesenian yang

dibawa oleh para perantau Cina yang cukup bisa

bertahan hingga saat ini adalah pertunjukan

Potehi.

Potehi dalam bahasa Mandarin disebut 布袋戏

Bùdàixì yang berarti Bù= kain, dài= kantong,

dan xì=pertunjukkan, yang secara harfiah

berarti pertunjukkanboneka yang terbentuk dari

kantong kain. Dalam dialek Hokkian disebut

Pootayhie atau Potehi. Kain yang berbentuk

kantong tersebut kemudian dibentuk seperti

sebuah boneka, yang memiliki tinggi 30-40 cm.

Bagian kepala terbuat dari kayu diukir

menyerupai wajah manusia, begitu pula bagian

kaki diukir seperti sepatu.

Budaixi merupakan salah satu jenis pertunjukan

boneka khas Cina yang berasal dari provinsi

Fujian di bagian selatan Cina. Pada awalnya

boneka Potehi ini dibuat dan dimainkan oleh 5

orang tahanan penjara yang dijatuhi hukuman

mati. Mereka mencari cara untuk menghibur diri,

lalu tercetuslah ide untuk membuat hiburan

sendiri dengan cara menggunakan perkakas

seadanya untuk membuat tabuhan musik yang

digunakan untuk mengiringi pertunjukan boneka

kain sederhana buatan mereka. Raja mendengar

mengenai hal ini dan meminta mereka untuk

mempertunjukkannya di hadapan raja, dan

karena lakon yang dibawakan menceritakan

mengenai kebijaksanaan sang raja, maka raja

menyukainya serta membebaskan kelima

tawanan itu dari hukuman mati (Tjaturrini, 2006:

40). Diperkirakan jenis kesenian ini sudah ada

pada masa Dinasti Jin (265 – 420 Masehi) dan

berkembang pada Dinasti Song (960-1279).

Budaixi merupakan warisan kebudayaan Cina.

Pertunjukkan ini bisa sampai ke Indonesia

melalui imigran Cina yang datang sekitar abad

ke 16.

Menurut seorang narasumber yaitu Bapak

Sugiyo, dalang Potehi dari grup Fu Ho An asal

Jawa Timur, penyebutan Potehi menjadi wayang

Potehi dikarenakan ketika pertunjukkan ini

dipentaskan di kalangan masyarakat Indonesia,

mereka merasa bahwa pertunjukan Potehi ini

mirip seperti wayang golek, oleh karena itu

akhirnya kata wayang ditambahkan di depan

Potehi, menjadi wayang Potehi. Mulai dari

bagian ini dan seterusnya penulis akan

menggunakan penyebutan wayang Potehi untuk

Budaixi yang dipertunjukkan di Indonesia. Pada

mulanya, wayang Potehi dimainkan oleh orang

Cina asli menggunakan dialek Hokkian. Seiring

perjalanan waktu, terjadi pernikahan antara

dalang wayang Potehi yang merupakan orang

Cina asli atau totok dengan masyarakat pribumi

mengakibatkan terjadinya proses akulturasi 2 ,

yang menghasilkan keturunan Cina peranakan.

2Akulturasi menunjuk pada perubahan yang

dialami oleh seseorang akibat kontak dengan

budaya lainnya sekaligus akibat keikutsertaan

dalam proses yang memungkinkan budaya dan

kelompok etnis menyesuaikan diri dengan

budaya lainnya. (Usman, A. Rani, 2009:47)

Akulturasi dalam pertunjukkan ..., Birgitta Cynthia Dwi Puspita, FIB UI, 2016

Page 8: MK-Birgitta Cynthia Dwi Puspita.pdf

8

Hal ini berakibat pada kemampuan Bahasa Cina

dalang yang berasal dari kaum peranakan ini

menjadi tidak sebaik para dalang generasi

pertama atau bahkan mereka sudah tidak bisa

berbahasaCina lagi, khususnya dialek Hokkian.

Oleh sebab itu maka pertunjukkan wayang

Potehi ini mulai mencoba menggunakan Bahasa

Indonesia, namun tidak sepenuhnya terlepas dari

“suluk”nya3. Lakon yang disuguhkan pun mulai

menyatu dengan budaya Indonesia. Para dalang

peranakan mulai memasukkan cerita yang

mereka tulis, membuat lakon wayang Potehi

semakin kaya dan berwarna.

Di Cina, pada mulanya pertunjukkan Potehi

dimainkan untuk menunjukkan ucapan syukur

kepada 天 Tian (Yang Maha Kuasa) seperti pada

saat setelah musim panen, pesta pernikahan,

kelahiran bayi, dan ulang tahun kelenteng serta

ulang tahun para dewa. Dalam pertunjukkannya,

pada mulanya wayang Potehi memainkan lakon

yang berasal dari kisah klasik Cina atau legenda

dinasti-dinasti yang ada di Cina, misalnya

Perjalanan ke Barat (西游记; Xīyóu jì), Legenda

Ular Putih (白蛇故事 ;Báishé gùshì). Dengan

semakin berkembangnya zaman, pemerintah

Cinajuga menggunakan wayang Potehi sebagai

sarana untuk propaganda pemerintahan.

Di Indonesia, wayang Potehi juga dimainkan

pada saat ulang tahun dewa yang disembah oleh

3Suluk merupakan sederet kalimat mirip mantra

yang selalu diucapkan dalam bentuk lagon (lagu

vokal) oleh dalang untuk mengawali atau

menyelingi suatu adegan (Mastuti, 2014: 108)

suatu kelenteng, pada upacara menolak bala,

selain itu wayang Potehi juga sering dimainkan

untuk memeriahkan pasar malam (Muljarini,

1997: 26). Di Indonesia wayang Potehi juga

mulanya mengambil cerita-cerita klasik.

Beberapa lakon yang sering dibawakan dalam

wayang Potehi adalah 薛 仁 貴 Xuērénguì

(Hokkian: Si Jin Kui) ,征東 dan 征西 Zhēng

dōng dan Zhēng xī (Hokkian: Ceng Tang dan

Ceng Se ), 鋒 劍 春 秋 Fēng jiàn chūnqiū

(Hokkian: Hong Kiam Chun Chiu), 慈雲走國

Cí yún zǒu guó (Hokkian: Cu Hun Cau Kok),

dan 羅通掃北 Luō tōng sǎo běi (Hokkian: Lo

Thong Sau Pak). Dengan mengikuti

perkembangan jaman, maka pemilihan lakon

dalam wayang Potehi pun menyesuaikan tema

hari raya atau acara saat pertunjukkan tersebut

diadakan. Misalnya pada saat tahun baru Cina

atau Imlek, yang bertepatan dengan tahun kera,

maka lakon yang dibawakan adalah Perjalanan

ke Barat (西游记 ; Xīyóu jì) atau yang lebih

dikenal dengan lakon yang berjudul Kera Sakti.

Permasalahan yang coba diangkat dan dibahas di

dalam jurnal ini adalah mengenai apa yang

dimaksud dengan wayang Potehi, kapan wayang

Potehi masuk ke Indonesia, lakon apa saja yang

sering dimainkan baik itu di Cina dan Indonesia

serta apakah sudah terjadi proses akulturasi

dalam pertunjukkan wayang Potehi di Indonesia.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk

mendeskripsikan secara lengkap mengenai apa

itu wayang Potehi, awal mula wayang Potehi

Akulturasi dalam pertunjukkan ..., Birgitta Cynthia Dwi Puspita, FIB UI, 2016

Page 9: MK-Birgitta Cynthia Dwi Puspita.pdf

9

masuk ke Indonesia, lakon apa yang sering

dimainkan baik di Cina atau di Indonesia, dan

akulturasi dalam pertunjukkan wayang Potehi di

Indonesia serta lakon apa yang sering dimainkan

di Indonesia. Dengan demikian dapat

memberikan informasi pada pembaca mengenai

akulturasi yang terdapat dalam pertunjukkan

wayang Potehi di Indonesia.

Penelitian ini bukan merupakan penelitian

pertama yang membahas mengenai wayang

Potehi Sebelum penelitian ini telah ada sebuah

skripsi dari Dinanike Resti Hadi Muljarini,

mahasiswi Universitas Indonesia, pada tahun

1997 yang berjudul Pertunjukkan Wayang

Potehi di Tempat Ibadat Tri Dharma Hok Tek

Bio, Gombong. Perbedaan penelitian ini dengan

penelitian terdahulu terletak pada fokus

permasalahan penelitian. Dalam penelitian ini

penulis menitikberatkan hanya pada proses

akulturasi yang terjadi dalam pertunjukkan

wayang Potehi di Indonesia, sedangkan fokus

dari penelitian terdahulu menjabarkan

keseluruhan proses pertunjukkan wayang Potehi

di suatu tempat ibadat.

2. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini

adalah metode penelitian kualitatif. Pertama-

tama, penulis melakukan studi pustaka, lalu

melakukan pengumpulan data dengan

melakukan wawancara dengan narasumber dari

pengurus Klenteng Sin Tek Bio, Jakarta, yaitu

Bapak Sugiyo seorang dalang Potehi dari

kelompok Fu Ho An yang berasal dari Jawa

Timur serta Bapak Sanjaya selaku dalang Potehi

yang berasal dari Jakarta. Data yang di dapat

dari narasumber kemudian diolah dan ditinjau

kembali dengan data pustaka.

Pokok bahasan yang akan dibahas untuk

menjawab permasalahan yang telah disebutkan

di atas adalah apa yang dimaksud dengan

dengan wayang Potehi, kapan wayang Potehi

masuk ke Indonesia, lakon apa saja yang sering

dimainkan, di Cina dan Indonesia, dan apakah

sudah terjadi proses akulturasi dalam

pertunjukkan wayang Potehi di Indonesia.

3. Hasil Penelitian

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, laporan

hasil penelitian ini dibagi menjadi empat sub-

bagian, yaitu : Apa yang dimaksud dengan

dengan wayang Potehi, kapan wayang Potehi

masuk dan berkembang di Indonesia, lakon apa

saja yang sering dimainkan, di Cina dan

Indonesia, dan apakah sudah terjadi proses

akulturasi dalam pertunjukkan wayang Potehi di

Indonesia.

3.1. Apa yang dimaksud dengan dengan

wayang Potehi

Potehi dalam bahasa Mandarin disebut 布袋戏;

Bùdài xì, (Bù: kain, dài: kantong, dan xì:

pertunjukkan, yang secara harfiah

berarti pertunjukkan boneka yang terbuat dari

kantong kain, sedangkan dalam dialek Hokkian

disebut dengan Pootayhie atau Potehi. Wujud

Akulturasi dalam pertunjukkan ..., Birgitta Cynthia Dwi Puspita, FIB UI, 2016

Page 10: MK-Birgitta Cynthia Dwi Puspita.pdf

10

dari boneka ini memiliki tinggi 30-40 cm, terdiri

atas kepala boneka, tangan dan kaki yang terbuat

dari kayu, sedangkan untuk badannya tetap

terbuat dari kain yang dijahit seperti kantong.

Bagian kepala boneka terbuat dari kayu yang

diukir menyerupai wajah manusia, begitu pula

bagian kaki yang terbuat dari kayu, diukir

seperti sepatu. Di daerah Jawa Timur, bahan

dasar kayu yang digunakan biasanya adalah

kayu waru gunung (hibiscus macrophyllus),

sedangkan untuk bagian badan biasanya

menggunakan kain belacu yang dijahit seperti

kantong berbentuk persegi panjang. Pola

pembuatan kepala boneka mengikuti pola yang

sudah ada dan tidak berubah (Mastuti, 2014: 52).

Semua proses pembuatan boneka budaixi,

dimulai dari pembuatan kepala hingga menjahit

pakaian semua dikerjakan secara manual, tanpa

bantuan mesin-mesin canggih.

Gambar 1.Bentuk wayang Potehi sebelum diberi

pakaian. Sumber: dokumentasi penulis

Wayang Potehi dimainkan dalam sebuah

panggung berbentuk kotak berukuran sekitar

3×5 meter, yang mirip sebuah panggung boneka.

Di dalamnya terdapat 3 orang musisi, 1 dalang

dan seorang asisten dalang yang turut berperan

dalam setiap pementasan wayang Potehi.

Gambar 2.Bentuk panggung pertunjukan wayang

Potehi. Sumber: dokumentasi penulis

Menurut Bapak Sugiyo, salah satu keunggulan

dan keistimewaan dari wayang Potehi ini

terletak pada warna rupa wajah boneka yang

hampir mirip seperti manusia. Ornamen detail

wajah dan pakaian bercorak Cina. Bentuk rupa

dan corak pakaian wayang Potehi terinspirasi

dari pakaian-pakaian masyarakat Cina pada

masa lalu (jaman dinasti), seperti halnya wayang

kulit yang terinspirasi dari kisah dalam agama

Hindu yaitu kisah Mahabarata, karena itu bentuk

dan corak warna rupa wayang kulit itu akan

menyerupaipakaian dari lakon kisah tersebut.

Selain itu, beberapa boneka Potehi tidak

mewakili satu karakter saja, melainkan bisa

menjadi tokoh lain. Perubahan tersebut bisa

dilihat dari busana dan aksesori kepala yang bisa

dibongkar-pasang, disesuaikan dengan lakon

Akulturasi dalam pertunjukkan ..., Birgitta Cynthia Dwi Puspita, FIB UI, 2016

Page 11: MK-Birgitta Cynthia Dwi Puspita.pdf

11

yang akan dipentaskan. Namun boneka-boneka

seperti 孙悟空(Sūn Wùkōng atau Kera Sakti) ),

沙悟净(Shā Wùjìng), dan 猪八戒 (Zhū Bājiè)

tidak dapat diubah menjadi tokoh lainnya walau

pakaian dan aksesorisnya bisa diganti karena

wayang tersebut memiliki karakteristik khusus

pada rupa wajahnya.

Gambar 3. Tokoh yang memiliki karakteristik

khusus pada wajahnya. Dari kiri ke kanan:孙悟空

(Sūn Wùkōng), 沙悟净(Shā Wùjìng), dan 猪八戒

(Zhū Bājiè). Sumber: dokumentasi penulis

Jika dilihat dari arti secara harfiah, Budaixi atau

Potehi sama sekali tidak memiliki makna

“wayang”, tapi mengapa masyarakat Indonesia

hingga saat ini sering menyebutnya dengan

menggunakan nama wayang Potehi? Menurut

Bapak Sugiyo, hal itu bisa terjadi dikarenakan

setelah kain belacu dijahit berbentuk kantong

dan dipentaskan layaknya sebuah pertunjukan

boneka. Saat itu masyarakat Indonesia merasa

bahwa pertunjukan Budaixi ini mirip seperti

wayang golek yang berasal dari Jawa Barat,

maka akhirnya masyarakat banyak yang

menyebut pertunjukkan Budaixi menjadi

wayang Potehi.

Pementasan wayang Potehi ini biasanya

dilakukan di kelenteng. Pertunjukan wayang

Potehi merupakan sarana ritual untuk memuja

roh para leluhur dan dewa. Ketika pagelaran di

kelenteng, sebenarnya mereka bermain untuk

para dewa dan roh leluhur, seperti misalnya pada

saat tanggal 9 Maret 2016 di klenteng Sin Tek

Bio Jakarta. Pada tanggal tersebut pertunjukkan

wayang Potehi diadakan untuk memperingati

hari ulang tahun dewa utama yang dipuja yaitu

Dewa Bumi (土地公;Tǔdì Gōng) .

Urutan dalam setiap pementasan wayang Potehi

adalah, musik tanda pembuka oleh dalang, doa

kepada dewa untuk mohon berkah bagi umat

yang melaksanakan kaul, monolog perkenalan

tokoh pembuka, penyampaian isi cerita yang

berupa dialog, dan adegan antar tokoh, lalu

penutup.

Sering kali isi cerita serta kandungan moral yang

terdapat dalam kisah wayang Potehi tidak

sampai pada penonton. Bagi orang awam yang

baru pertama kali melihatnya tanpa mengetahui

latar belakang kisah-kisah klasik Cina akan

mengalami kesulitan untuk memahami isi cerita,

apalagi mengenal tokohnya. Saat dalang

mengucapkan “suluk” dalam dialek Hokkian,

banyak penonton yang menjadi semakin bingung.

Setelah pertunjukkan banyak yang bertanya

kepada sang dalang mengenai isi cerita atau arti

dari kalimat-kalimat bahasa Hokkian yang

diucapkan. Oleh karena itu tidak bisa dipungkiri

bahwa pengetahuan mengenai kisah klasik Cina

Akulturasi dalam pertunjukkan ..., Birgitta Cynthia Dwi Puspita, FIB UI, 2016

Page 12: MK-Birgitta Cynthia Dwi Puspita.pdf

12

serta sedikit pemahaman dialek Hokkian

menjadi bekal yang penting saat menyaksikan

pertunjukkan wayang Potehi.

3.2. Wayang Potehi mulai masuk dan

berkembang di Indonesia

Wayang Potehi mulai berkembang di Cina pada

masa Dinasti Song (960-1278) khususnya di

daerah-daerah seperti Shaanxi, Sichuan,

Guangdong, dan Jiangsu, dan mengalami masa

kejayaannya pada masa Dinasti Ming (1368-

1644) sampai Dinasti Qing (1644-1911). Sekitar

abad ke-16, banyak masyarakat Cina yang

meninggalkan negaranya dan berimigrasi ke

pulau-pulau Indonesia. Di Indonesia, masyarakat

Cina tidak hanya bekerja keras untuk

mempertahankan budaya Cina sendiri dan

membangun sistem budaya, mereka juga

mencoba untuk membaur ke dalam sistem

budaya lokal, dan membuat produk budaya

khusus milik Cina-Indonesia, seperti

pengembangan berbagai ukiran, lukisan, musik,

tari dan drama (Cai, 2015:70). Salah satu produk

budaya Cina yang masuk dan berkembang di

Indonesia adalah wayang Potehi. Wayang Potehi

mulai masuk dan menyebar ke kota-kota di

Indonesia seperti Jakarta, Semarang dan

Surabaya dan daerah pelabuhan lainnya, lalu

perlahan-lahan mulai berpindah ke daerah Gudo,

Jombang, Tulung Agung, Kediri, Blitar dan

daerah pedalaman lainnya.

Pada mulanya pertunjukkan wayang Potehi

dimainkan oleh dalang yang merupakan warga

asli Cina dan disampaikan dengan menggunakan

bahasa Hokkian dari awal hingga akhir. Namun

seiring dengan perkembangan zaman, adanya

pernikahan campur antara warga Cina dan

pribumi, serta mulai adanya warga pribumi yang

tertarik untuk mempelajari seni mendalang

wayang Potehi, maka lambat laun penggunaan

dialek Hokkian dalam pertunjukkan semakin

berkurang. Pada masa pemerintahan Orde Baru,

pemerintah sempat melarang penggunaan bahasa

Cina dalam pertunjukkan wayang Potehi, karena

takut mengandung makna-makna terselubung

berupa propaganda untuk menentang

pemerintahan. Pada tahun 1967 Presiden

Soeharto mengeluarkan Keppres nomor 14 tahun

1967 yang berisi pelarangan penggunaan bahasa

Cina, maupun pertunjukkan seni, serta upacara-

upacara tradisi Cina dilakukan di ruang publik.

Hal ini juga mengakibatkan berkurangnya orang

yang ingin belajar mendalang, sehingga

eksistensi wayang Potehi mulai meredup. Hal

tersebut terus berlangsung sampai pada masa

pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid

yang mengeluarkan Keppres nomor 6 tahun

2000. Keppres ini berisi pencabutan Keppres

yang dibuat oleh Presiden Soeharto mengenai

kebudayaan etnis Cina. Sejak dikeluarkannya

Keppers nomor 6 tahun 2000, pertunjukan

wayang Potehi pulih secara perlahan, mendapat

perhatian, serta mulai berkembang lagi.

Sejaktahun 2000 mulai bermunculan lagi orang-

orang pribumi yang ingin belajar mendalang,

lagipula penerus dalang-dalang wayang Potehi

Akulturasi dalam pertunjukkan ..., Birgitta Cynthia Dwi Puspita, FIB UI, 2016

Page 13: MK-Birgitta Cynthia Dwi Puspita.pdf

13

dari generasi sebelumnya masih ada dan

mendalang lagi. Namun bobot ilmu mendalang

dan kemahiran bahasa Cina masih sangat kurang

dibandingkan dengan para pendahulunya, maka

dari itu lambat laun pertunjukkan wayang Potehi

mulai mencoba menggunakan bahasa Indonesia

yang lebih dimengerti oleh masyarakat, tapi

tetap tanpa meninggalkan penggunaan “suluk”

yang menggunakan bahasa Cina (dalam hal ini

menggunakan dialek Hokkian).

3.3. Lakon yang sering dimainkan di

Cina dan Indonesia

Di negara asalnya yaitu Cina, pertunjukkan

wayang Potehi menggunakan lakon yang berasal

dari kisah klasik kesusastraan Cina tentang

legenda yang ada di Cina, seperti Perjalanan ke

Barat (西游记;Xīyóu jì), Legenda Ular Putih (白

蛇故事 ;Báishé gùshì), dan lain-lain. Dengan

semakin berkembangnya zaman, oleh

pemerintah Cina tak jarang wayang Potehi juga

dijadikan sarana untuk propaganda

pemerintahan.

Di Indonesia, pertunjukkan wayang Potehi

awalnya juga menggunakan kisah sastra klasik

Cina, namun saat ini lama-kelamaan para dalang

memiliki sebuah “tantangan” dan mencoba

untuk menyesuaikan dengan tema dan

permintaan dari pihak yang mengundang mereka

untuk pentas. Dari hasil wawancara, penulis

mendapatkan bahwa belum lama ini Bapak

Sugiyo dan grup Fu Ho An diundang oleh GKI

Jombang untuk mementaskan wayang Potehi

dengan kisah lahirnya Yesus Kristus, karena

pada saat itu bertepatan dengan hari raya Natal.

Hal ini membuktikan bahwa di masa yang akan

datang, pertunjukkan wayang Potehi bisa

memainkan lakon dan jalan cerita lain selain

kisah klasik Cina.

3.4. Proses akulturasi dalam

pertunjukkan wayang Potehi di

Indonesia

Akulturasi menunjuk pada perubahan yang

dialami oleh seseorang akibat kontak dengan

budaya lainnya sekaligus akibat keikutsertaan

dalam proses yang memungkinkan budaya dan

kelompok etnis menyesuaikan diri dengan

budaya lainnya (Usman, A. Rani, 2009:47).

Dalam pertunjukkan wayang Potehi terdapat tiga

komponen yang penting, yakni bahasa, lakon,

dan alat musik.

Bahasa

Dari segi bahasa, pertunjukkan wayang Potehi

mengalami proses akulturasi yang sangat

signifikan. Bisa dikatakan demikian, karena

seperti yang sudah dijelaskan di subbagian

sebelumnya, bahwa pertunjukkan wayang Potehi

yang awal mulanya dimainkan dengan

menggunakan dialek Hokkian, lambat laun

berubah, mulai menggunakan Bahasa Indonesia

dalam penyampaiannya. Hal ini menurut

BapakSugiyo merupakan suatu hal yang cukup

membantu para orang awam yang sama sekali

tidak memiliki latar belakang kemampuan

berbahasa Cina, untuk dapat memahami isi

cerita yang disampaikan.

Akulturasi dalam pertunjukkan ..., Birgitta Cynthia Dwi Puspita, FIB UI, 2016

Page 14: MK-Birgitta Cynthia Dwi Puspita.pdf

14

Alat Musik

Alat musik yang dimainkan pada saat

pertunjukkan, tidak banyak mengalami

perubahan dan akulturasi. Setiap pertunjukkan

wayang Potehi diselenggarakan, masih

menggunakan alat musik tradisional Cina yaitu :

鑼(luó ) gembreng/gong, 鑔 (chǎ ) kecer/simbal,

笛仔(dí zǐ ) suling, 月琴 (yuèqín) gitar, 絃仔

(xiánzǐ) rebab, 鼓 (gǔ) drum, dan 噯仔 (āizǐ)

terompet

.

Gambar 4.Beberapa alat musik yang masih

dimainkan saat petunjukkan wayang Potehi. Dari

kiri searah jarum jam: 絃仔 (xiánzǐ)rebab, 鼓 (gǔ)

drum, 鑔 (chǎ)kecer/simbal, dan 鑼 (luó)

gembreng/gong.Sumber: dokumentasi penulis

Lakon

Dari segi lakon, walaupun sekarang lakon yang

dimainkan dalam wayang Potehi mulai

disesuaikan dengan permintaan orang yang

“mengundang”, sebagai contoh Pak Sugiyo dan

kelompok Fu Ho An juga pernah diundang oleh

Mall Ciputra dan GKI Jombang untuk

mengadakan pertunjukkan, dan diminta untuk

mementaskan lakon tentang Dewi Bulan, maka

Pak Sugiyo berupaya untuk mencari bagaimana

kisah mengenai Dewi Bulan, sehingga bisa

mementaskan wayang Potehi dengan

menggunakan lakon tersebut. Saat diundang

pentas di klenteng Sin Tek Bio, karena tahun ini

bertepatan dengan tahun kera, maka lakon yang

dibawakan oleh pak Sugiyo adalah 西游记

(Xīyóu jì; Perjalanan ke Barat) atau yang lebih

dikenal dengan judul lakon Kera Sakti.

Dari hasil wawancara dengan dalang dan

asistennya, sampai saat ini mereka belum pernah

memainkan lakon cerita Jawa dalam

pertunjukkan Potehi, karena dianggap kurang

sesuai, dan juga dikarenakan lakon wayang Jawa

memiliki “pakem” tersendiri yang jauh berbeda

dengan pakem Potehi. Kedua pakem ini menurut

mereka tidak dapat digabungkan atau diubah.

Dari sini dapat dilihat bahwa proses akulturasi

dalam segi lakon wayang Potehi di Indonesia

tidak begitu besar, walau bisa dikatakan saat ini

lakon yang dipentaskan dapat disesuaikan

dengan tema-tema tertentu, sesuai dengan

permintaan, tapi tidak secara menyeluruh

terlepas kisah-kisah yang berasal dari Cina.

4. Kesimpulan

Keberadaan masyarakat peranakan Cina telah

menjadi bagian tak terpisahkan dari bangsa

Indonesia, termasuk dalam hal kesenian

tradisionalnya yang ikut memberi keragaman

dalam budaya nusantara. Perpaduan unsur

budaya asal daratan Cina dengan karakter

budaya nusantara menghadirkan keunikan

tersendiri dalam tradisi yang berkembang dalam

Akulturasi dalam pertunjukkan ..., Birgitta Cynthia Dwi Puspita, FIB UI, 2016

Page 15: MK-Birgitta Cynthia Dwi Puspita.pdf

15

masyarakat peranakan Cina di Indonesia.

Keunikan ini sangat terasa dalam seni

pertunjukan tradisional yaitu wayang Potehi.

Wayang Potehi berasal dari provinsi Fujian di

bagian selatan Cina dan telah berkembang

selama kurang lebih 3.000 tahun. Kesenian ini

diperkirakan masuk ke nusantara bersama

dengan ekspedisi perdagangan sekitar abad ke-

16. Masyarakat Cina yang berekspedisi di

nusantara, selain untuk berdagang juga mencoba

untuk membaur ke dalam sistem budaya lokal,

baik itu dalam bidang kesenian, kebudayaan,

dan lain-lain, termasuk memperkenalkan

kesenian wayang Potehi kepada masyarakat

nusantara.Potehi dalam bahasa Mandarin

disebut 布袋戏 Bùdàixì yang berarti Bù= kain,

dài= kantong, dan xì=pertunjukkan, yang secara

harfiah berarti pertunjukkan boneka yang terbuat

dari kantong kain. Dalam dialek Hokkian

disebut Pootayhie atau Potehi. Wayang Potehi

dimainkan oleh seorang dalang dan 3 orang

musisi di dalam sebuah panggung berbentuk

kotak berukuran sekitar 3×5 meter, yang mirip

sebuah panggung boneka. Wayang Potehi ini

memiliki keunggulan dalam hal corak dan warna

rupanya yang hampir mirip seperti manusia.

Keistimewaan lainnya yaitu, sebuah wayang

Potehi tidak hanya mewakili satu karakter saja,

melainkan bisa menjadi tokoh lain, hal ini

dikarenakan busana dan aksesori kepala dari

wayang yang bisa dibongkar-pasang,

disesuaikan dengan lakon yang akan

dipentaskan.

Ada tiga komponen yang penting dalam

pertunjukkan wayang Potehi, yakni bahasa,

lakon, dan alat musik. Dari segi bahasa,

pertunjukkan wayang Potehi mengalami proses

akulturasi yang sangat signifikan. Pada mulanya,

pertunjukan wayang Potehi ini dimainkan

dengan menggunakan dialek Hokkian, namun

seiring berjalannya waktu, karena sudah tidak

ada lagi dalang yang memiliki kemampuan

bahasa Cina sebaik generasi sebelumnya, maka

pertunjukkan wayang Potehi ini mulai

menggunakan bahasa Indonesia. Alat musik

yang dimainkan pada saat pertunjukkan juga

tidak banyak mengalami perubahan

akulturasi.Di setiap pertunjukkan, para pemusik

masih menggunakan alat musik tradisional Cina

seperti : 鑼 (luó) gembreng/gong, 鑔 (chǎ)

kecer/simbal, 笛仔 (dízǐ) suling, 月琴 (yuèqín)

gitar, 絃仔 (xiánzǐ) rebab, 鼓 (gǔ) drum, dan 噯

仔 (āizǐ) terompet.

Lakon yang sering dimainkan di Indonesia

adalah lakon yang berasal dari kisah klasik

kesusastraan Cina seperti Perjalanan ke Barat

(西游记; Xīyóu jì), Legenda Ular Putih (白蛇

故事 ; Báishé gùshì), dan lain-lain. Sekarang

para dalang sudah mulai mencoba untuk

menyesuaikan dengan tema acara dan

permintaan dari pihak yang mengundang mereka

untuk pentas.

Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat

disimpulkan kembali bahwa dari ketiga

komponen penting tersebut, bahasa

merndapatkan pengaruh terbesar dari terjadinya

Akulturasi dalam pertunjukkan ..., Birgitta Cynthia Dwi Puspita, FIB UI, 2016

Page 16: MK-Birgitta Cynthia Dwi Puspita.pdf

16

proses akulturasi tersebut. Sementara itu, dari

segi lakon yang dipentaskanserta alat musik

yang dimainkan pada saat pertunjukkan tidak

terlalu banyak mengalami perubahan.

Kesenian ini juga sempat mengalami pasang dan

surut sepanjang perjalanan sejarahnya di

nusantara. Di masa pemerintahan Presiden

Soekarno, kehadiran wayang potehi cukup

populer di tengah masyarakat, namun pada awal

era pemerintahan Orde Baru, seni wayang ini

seakan menghilang dari kehidupan masyarakat.

Pada masa itu, wayang Potehi hanya

dipertunjukkan di kalangan terbatas saja, namun

seiring berjalannya waktu serta berakhirnya

pemerintahan Orde Baru, wayang Potehi lambat

laun mulai muncul lagi dan mencoba

mempertahankan eksistensinya di dalam

kehidupan masyarakat nusantara.

Di dalam setiap pertunjukkan wayang Potehi,

seorang dalang memegang peranan yang

penting. Seorang dalang bukan hanya bertugas

untuk memainkan wayang saja, tetapi juga

menyiapkan berbagai keperluan berjalannya

pertunjukkan seperti cerita dan lakon apa yang

akan dimainkan serta membawakan cerita

dengan baik. Meskipun sang dalang bisa

menjelaskan proses pertunjukkan wayang Potehi

dengan cukup detail dan segala keperluan untuk

berjalannya pertunjukkan, namun ia tidak begitu

memahami apa makna dibalik ungkapan-

ungkapan bahasa Cina yang diucapkan saat

pementasan wayang Potehi, dikarenakan

kemampuan bahasa Cina yang tidak sebaik

dalang-dalang di generasi sebelumnya.

5. Daftar Pustaka

Buku

B. Soelarto, S. Ilmi Albiladiyah. 1980.

Wayang Cina - Jawa di Yogyakarta.

Direktorat Jenderal Kebudayaan

Gondomono.1996. Membanting Tulang

Menyembah Arwah; Kehidupan

Kekotaan Masyarakat Cina. Depok:

Fakultas Sastra Universitas Indonesia

Santosa, Iwan. 2012. Peranakan

Tionghoa di Nusantara, Catatan

Perjalanan dari Barat ke Timur. Jakarta:

Penerbit Buku Kompas

Liem, Yusiu. 2000. Prasangka

Terhadap Etnis Cina. Jakarta: Penerbit

Djambatan bekerja sama dengan

Penerbit Pena Klasik

Usman, A. Rani. 2009. Etnis Cina

Perantauan di Aceh. Jakarta: Yayasan

Obor Indonesia

Coppel, Charles A. 1994. Tionghoa

Indonesia Dalam Krisis. Diterjemahkan

oleh Tim Penerjemah PSH. Jakarta:

Pustaka Sinar Harapan, Anggota Ikapi

Ham, Ong Hok. 2005. Riwayat

Tionghoa Peranakan di Jawa. Disunting

oleh JJ Rizal. Depok: Komunitas Bambu

Akulturasi dalam pertunjukkan ..., Birgitta Cynthia Dwi Puspita, FIB UI, 2016

Page 17: MK-Birgitta Cynthia Dwi Puspita.pdf

17

Mastuti, Dwi Woro Retno. 2014.

Wayang Potehi Gudo. Jakarta: PT. Sinar

Harapan Persada dan PT. Aksara Warta

Mandarin (Indonesia Shangbao)

Skripsi, tesis

Muljarini, Dinanike Resti Hadi. 1997.

Pertunjukkan wayang Potehi di tempat

ibadah Tri Dharma Hok Tek Bio,

Gombong. Depok: Universitas Indonesia

Indahwati, Dara. 2010. Deskripsi dan

interpretasi warna dan motif busana

boneka wayang Potehi. Depok:

Universitas Indonesia.

Tjaturrini, Dyah. 2006. Wayang Potehi:

Suatu Kajian Tentang Kesenian

Tradisional China di Semarang. Depok:

Universitas Indonesia

Artikel, jurnal

蔡宗德 (Cai Zongde) . 2015. 印度尼西

亚华人布袋戏的历史、演出形态与音

乐 (Sejarah, tampilan bentuk dan musik

pertunjukkan boneka Budaixi Cina-

Indonesia).中央音乐学院学报2015 年

第 2 期 (Journal of the Central

Conservatory of Music)

Publikasi Elektronik

2015, Peninggalan Cina di

Jakarta.http://www.jakarta-

tourism.go.id/chinese-

heritage?language=id. Diakses pada 22

Februari 2016.

2015, 11 November. Kesenian Wayang

Potehi.http://www.tionghoa.info/kesenia

n-wayang-potehi/. Diakses pada 24

Februari 2016

https://sejarahperniagaan.wordpress.com

/2013/02/03/sejarah-masuknya-

tionghoa-di-indonesia/. Diakses pada 10

Mei 2016

Narasumber Wawancara

Bapak Sugiyo Waluyo (Pak Subur),

dalang wayang Potehi dari group Fu Ho

An (Jawa Timur). Jakarta 9 Maret 2014

Bapak Sanjaya (Bang Jaya), dalang

wayang Potehi, berasal Jakarta. Jakarta

9 Maret 2014

Akulturasi dalam pertunjukkan ..., Birgitta Cynthia Dwi Puspita, FIB UI, 2016