MI/TRI HANDIYATNO Konsumen kian Berani Bayar Mahal filekelas menengah ke bawah, tidak semata-mata...

1
18 E KONOMI NASIONAL RABU, 20 APRIL 2011 Konsumen kian Berani Bayar Mahal PEDAGANG ROTI: Pekerja menyelesaikan pembuatan roti di Sari Aroma, Petukangan, Jakarta, beberapa waktu lalu. Perkumpulan Pedagang Kecil Pengolah Terigu mengatakan pembatasan impor tepung terigu melalui pengenaan bea masuk antidumping bisa merugikan pedagang kecil karena akan menaikkan harga beli. JAJANG SUMANTRI K ONSUMEN kini leb- ih berani membayar mahal dan membeli barang yang sebe- lumnya tidak pernah mer- eka pertimbangkan. Perilaku tersebut terjadi di kalangan konsumen kelas atas maupun kelas menengah ke bawah. Berdasarkan riset terhadap industri ritel yang diselengga- rakan Nielsen, industri kebu- tuhan harian (fast moving con- sumer goods/FMCG) tumbuh dua kali lebih cepat ketimbang pertumbuhan ekonomi. Sepanjang 2010, pertumbuh- an industri tersebut mencapai 11,8% di saat laju pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) sebesar 6,1%. “Konsumen lebih rela menge- luarkan uang mereka untuk membeli produk. Meskipun harganya bisa jadi dua kali lipat lebih mahal,” ujar Executive Director of Client Leadership Nielsen Venu Madhav dalam paparan hasil riset di Jakarta, kemarin. Kecenderungan itu, menurut Madhav, terjadi dengan mulai masuknya tingkat perdapatan per kapita Indonesia ke level US$3.000. Konsumen golongan atas yang paling besar terkena dampak peningkatan kemak- muran tersebut. Nielsen home panel melapor- kan bahwa pengeluaran ru- mah tangga untuk kategori ke sehatan dan gaya hidup meningkat. “Konsumen kelas atas men- jadi lebih value-conscious, mere- ka lebih memilih produk yang menjawab kebutuhan gaya hidup dan kesehatan, produk yang menyediakan kenya- manan bagi konsumen juga akan tumbuh,” paparnya. Terdapat tiga kategori produk kebutuhan gaya hidup kelas atas yang mengalami pertum- buhan pesat, yaitu kondisioner rambut, susu cair, dan pasta gigi. Pada kondisioner misalnya, nilai penjualan keseluruh an tumbuh hingga 68% dari Rp291 miliar pada 2009 menjadi Rp488 miliar pada 2010. Pemicu- nya adalah tambahan tawaran kepraktisan melalui produk leave-on sehingga kondisioner tidak perlu lagi dibilas dan bisa dipakai setiap saat. “Meskipun harganya lebih dari dua kali lipat daripada kondisioner biasa, varian ini tumbuh tiga kali lipat pada 2010,” ungkapnya. Riset Nielsen menggolong- kan masyarakat dengan penge- luaran Rp2 juta ke atas sebagai kalangan menengah ke atas. Saat konsumen kelas atas memburu manfaat lebih pada produk konsumsi mereka, konsumen kelas menengah ke bawah juga mengalami pergeseran pola. “Konsumen kelas mene- ngah ke bawah mulai membeli produk yang tadinya mereka anggap sebagai produk premi- um,” kata Manajer FMCG Ser- vice Nielsen Indonesia Teddy Lesmana. Nielsen mengamati ada tiga kategori produk yang awalnya dianggap produk premium yang saat ini mulai diburu konsumen kelas menengah ke bawah. Yaitu keju, popok bayi, serta ikan dan daging beku. Hal itu juga ditunjang strategi produsen yang memproduksi dalam kemasan lebih kecil sehingga harga produk lebih terjangkau. Bukan semata PDB Saat dihubungi terpisah, Ke- tua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Pu- djianto mengatakan pergeseran pola belanja, khususnya di kelas menengah ke bawah, tidak semata-mata disebab- kan tercapainya pendapatan US$3.000 per kapita. “Bisa saja terjadi karena kon- sumen melakukan pengalihan (switching) dan ingin mencoba produk baru. Biasanya itu ha- nya terjadi di kelas menengah ke bawah. Misalnya dari susu kental manis beralih ke susu cair,” tuturnya. Pudjianto mengungkapkan, bila pergeseran pola belanja terjadi karena kenaikan penda- patan per kapita saja, kondisi itu tidak akan bertahan. “Kalau diikuti dengan ke- naikan ongkos transportasi, pendidikan, dan biaya untuk rumah, tentu tidak akan ada manfaatnya,” ujarnya. (E-1) [email protected] Pergeseran pola belanja ditunjang kenaikan pendapatan per kapita dan strategi penjualan dengan kemasan lebih kecil. Mal Pusat Belanja Mulai Ditinggalkan SETELAH mal-mal di Jakarta beralih konsep dari pusat perbe- lanjaan menjadi pusat hiburan, kini giliran mal di daerah yang beralih konsep. Mal-mal di daerah mulai menjadi tempat hiburan keluarga sekaligus untuk hiburan malam. “Mal di daerah sudah mulai menjadi tempat entertainment dan food and beverage. Di Sura- baya sudah berlangsung sejak 3-5 tahun terakhir. Di Ban- dung juga, bahkan beberapa pengembang merencanakan untuk punya mal seperti itu di daerah,” tutur Kepala Kon- sultan Procon Savills Utami Prastiana dalam jumpa pers di Jakarta, kemarin. Ekspansi ke arah entertain- ment dan dining tersebut, lan- jutnya, menyambut kejenuhan pasar ritel yang sebelumnya lebih banyak menjadi pusat perbelanjaan. “Pasar ritel di daerah itu yang berkembang primary needs seperti hipermar- ket. Brand yang masuk masih secondary brand yang biasanya lokal,” jelasnya. Menurutnya, perkembangan mal-mal di luar Jakarta terse- but sesuai dengan kebutuhan komunitas sekitarnya. De- ngan adanya komunitas yang didukung daya beli, mal akan tumbuh. Di Jakarta, ekspansi mal menjadi pusat hiburan su- dah terlihat dalam beberapa tahun terakhir. “Kalau dulu konsepnya department store , sekarang orang ke mal eng- gak hanya shopping, tapi lebih entertainment,” tukas Kepala Riset Procon Savills Herully Suherman. Mal kini membuka hiburan bagi keluarga, termasuk anak-anak, juga menyediakan hiburan di atas pukul 22.00 WIB, baik dengan format night club, restoran, maupun bioskop. Perubahan konsep tersebut ber- pengaruh dalam tenant mix di tiap mal. “Pada 2011 trennya ke situ,” tambah Herully. Namun, Procon menyarank- an agar retailer mencermati ke- padatan pengunjung, konsep, harga sewa, insentif, serta ek- sibilitas termin pembayaran. Berdasarkan evaluasi kuartal I 2010, pendapatan kotor pe- nyewaan ruang di pasar ritel Ja- karta naik signikan ketimbang tahun lalu. Pada pertengahan tahun lalu, pendapatan kotor per bulan ritel Rp744 ribu, se- dangkan untuk kuartal I 2010 Rp517 ribu. (*/E-4) SE be lan kin be da hi un me da ba 3-5 du pe un di su Pr Jak me jut pa leb pe da pri ke sec lok M ma bu ko ng JALIN KERJA SAMA: Senior Partner PricewaterhouseCoopers Irhoan Tanudiredja (kiri), Country Director Oxford Business Group (OBG) Maria Merono (tengah), dan Project Manager OBG Meike Neitz berfoto bersama seusai kerja sama dalam penyusunan buku panduan The Report: Indonesia 2011 di Jakarta, kemarin. Daya Serap Bulog masih Minim PETANI mengeluhkan rendah- nya daya serap Perum Bulog akan gabah dan beras petani. Terbukti, dari produksi hingga pertengahan April 2011, menca- pai 40,2 juta ton gabah kering giling (GKG) atau 60% dari total produksi domestik, Bulog hanya menyerap sekitar 652 ribu ton. Menurut Ketua Umum Ke- lompok Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Winarno To- hir, idealnya Bulog menyerap GKG di atas angka 1,5 juta ton. Untuk itu, hingga akhir April nanti, Bulog harus menyerap 3 juta ton GKG. “Maunya seluruh hasil produksi diserap Bulog. Dengan begitu, petani berkon- sentrasi kembali pada produksi selanjutnya,” ujarnya. Apalagi bila dibandingkan dengan jumlah beras impor, lanjut Winarno, angka penye- rapan GKG ini masih terlam- pau kecil. Bulog saat ini telah mengimpor beras dari Thailand dan Vietnam berjumlah 1,84 juta ton. “Lagi pula, peningka- tan harga juga terjadi karena peningkatan biaya produksi 10%-15% sebagai akibat hujan dan hama,” tandasnya. Sementara itu, Direktur Uta- ma Bulog Sutarto Alimoeso menerangkan, Bulog hanya mampu menyerap dalam jum- lah kecil karena harga GKG ma- sih 15% di atas harga pembelian pemerintah (HPP). Harga beras di Cipinang misalnya Rp5.500 per kilogram. Sementara itu, HPP adalah Rp5.060/kg. “Sebelumnya panen diper- kirakan terjadi pada Februari- Maret, lalu Mei-Juni. Namun, panen terjadi terus-menerus. Tidak ada lonjakan panen atau stabil. Namun, harga gabah relatif tinggi,” jelas Sutarto. Dia menambahkan, secara umum tingkat harga meng- untungkan petani. Pasalnya, mereka memperoleh harga lebih tinggi. Akan tetapi, dia menyayangkan bahwa pening- katan harga ini tidak diikuti dengan kualitas. “Beras impor, jumlah broken-nya 5%-15%. Ka- lau beras domestik broken-nya mencapai 20%,” ujar Soetarto. Meski demikian, lanjutnya, Bulog akan terus menjaga harga beras agar tidak terjadi lonjakan. Stok beras Bulog saat ini berada di posisi 1,5 juta ton. Itu cukup untuk enam bulan ke depan. “Kami akan terus me- nyerap produksi para petani yang rata-rata mencapai 20 ribu ton per hari,” jelasnya. (*/E-5) Tim Baru ACFTA Perluas Koordinasi PEMERINTAH mengakui tim koordinasi terkait pakta per- dagangan bebas ASEAN-China (ACFTA) yang dulu pernah di bentuk tidak optimal. Pe- merintah butuh tim baru untuk berkoordinasi, tidak hanya lin- tas kementerian dan lembaga, namun juga menghubungkan pemerintah pusat dan daerah. “Pak Menko (Perekonomian) menginginkan dibentuk tim baru untuk meningkatkan daya saing industri dan juga berkoordinasi langsung dengan daerah,” kata Deputi Menko Perekonomian Bidang Perin- dustrian dan Perdagangan Edy Putra Irawady saat dihubungi di Jakarta, kemarin. Ia membenarkan pemerintah sebelumnya sudah membentuk Tim Nasional Peningkatan Eks- por dan Peningkatan Investasi (Timnas PEPI) berdasarkan PP 28/2010 sebagai revisi PP 3/2006. Namun, Timnas PEPI yang dipimpin Presiden dan Ketua Harian Menko Perekono- mian itu dirasa kurang tajam. “Jika Timnas PEPI itu lebih banyak dijalankan di tingkat eselon I, tim baru yang di- inginkan adalah yang bisa me- nembus lintas wilayah hingga ke daerah-daerah, dan juga lintas sektor,” kata Edy. Sebab, imbuhnya, masalah daya saing bukan hanya terjadi di pusat. Masalah juga terjadi di daerah seperti tata ruang, insentif daerah, dan lainnya. Karena itu, tim harus meng- hubungkan pula pusat dengan daerah. “Semua ini tidak bisa diselesaikan satu malam,” kata dia. Sesuai hasil rapat koordinasi di Kementerian Ekonomi, Senin (18/4), pemerintah akan mem- bentuk tim yang meliputi se- jumlah kementerian/lembaga guna membahas penguatan daya saing industri dalam negeri sebagai solusi defisit perdagangan dengan China. Dalam dua bulan pertama 2011, defisit perdagangan Indone- sia dengan China mencapai US$980 juta. Itu lebih tinggi dari desit setahun sebelum- nya, US$893 juta. ”Saya tidak yakin tim baru bisa langsung mengatasi masa- lah itu. Seharusnya, strategi menghadapi ACFTA sudah muncul jika tim koordinasi terdahulu serius mengevalua- si,” komentar mantan Menteri Perindustrian Fahmi Idris. Ia mengimbau, jika pemerin- tah ingin tetap membentuk tim baru, hasil evaluasi sebaiknya dikemukakan secara trans- paran kepada publik dan dunia usaha. (Tup/Jaz/E-3) Edy Putra Irawadi Deputi Menko Perekonomian p k b Edy Putra Irawadi ANTARA DOK OBG MI/TRI HANDIYATNO

Transcript of MI/TRI HANDIYATNO Konsumen kian Berani Bayar Mahal filekelas menengah ke bawah, tidak semata-mata...

Page 1: MI/TRI HANDIYATNO Konsumen kian Berani Bayar Mahal filekelas menengah ke bawah, tidak semata-mata disebab-kan tercapainya pendapatan US$3.000 per kapita. “Bisa saja terjadi karena

18 EKONOMI NASIONAL RABU, 20 APRIL 2011

Konsumen kian Berani Bayar Mahal

PEDAGANG ROTI: Pekerja menyelesaikan pembuatan roti di Sari Aroma, Petukangan, Jakarta, beberapa waktu lalu. Perkumpulan Pedagang Kecil Pengolah Terigu mengatakan pembatasan impor tepung terigu melalui pengenaan bea masuk antidumping bisa merugikan pedagang kecil karena akan menaikkan harga beli.

JAJANG SUMANTRI

KONSUMEN kini leb-ih berani membayar mahal dan membeli barang yang sebe-

lumnya tidak pernah mer-eka pertimbangkan. Perilaku tersebut terjadi di kalangan konsumen kelas atas maupun kelas menengah ke bawah.

Berdasarkan riset terhadap industri ritel yang diselengga-rakan Nielsen, industri kebu-tuhan harian (fast moving con-sumer goods/FMCG) tumbuh dua kali lebih cepat ketimbang pertumbuhan ekonomi.

Sepanjang 2010, pertumbuh-an industri tersebut mencapai 11,8% di saat laju pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) sebesar 6,1%.

“Konsumen lebih rela menge-luarkan uang mereka untuk membeli produk. Meskipun harganya bisa jadi dua kali lipat

lebih mahal,” ujar Executive Director of Client Leadership Nielsen Venu Madhav dalam paparan hasil riset di Jakarta, kemarin.

Kecenderungan itu, menurut Madhav, terjadi dengan mulai masuknya tingkat perdapatan per kapita Indonesia ke level US$3.000.

Konsumen golongan atas yang paling besar terkena dampak peningkatan kemak-muran tersebut.

Nielsen home panel melapor-kan bahwa pengeluaran ru-mah tangga untuk kategori ke sehatan dan gaya hidup me ningkat.

“Konsumen kelas atas men-jadi lebih value-conscious, mere-ka lebih memilih produk yang menjawab kebutuhan gaya hidup dan kesehatan, produk yang menyediakan kenya-manan bagi konsumen juga akan tumbuh,” paparnya.

Terdapat tiga kategori produk kebutuhan gaya hidup kelas atas yang mengalami pertum-buhan pesat, yaitu kondisioner rambut, susu cair, dan pasta gigi.

Pada kondisioner misalnya, nilai penjualan keseluruh an tumbuh hingga 68% dari Rp291 miliar pada 2009 menjadi Rp488 miliar pada 2010. Pemicu-nya adalah tambahan tawaran kepraktisan melalui produk leave-on sehingga kondisioner tidak perlu lagi dibilas dan bisa dipakai setiap saat.

“Meskipun harganya lebih dari dua kali lipat daripada kon disioner biasa, varian ini tumbuh tiga kali lipat pada 2010,” ungkapnya.

Riset Nielsen menggolong-kan masyarakat dengan penge-luaran Rp2 juta ke atas sebagai kalangan menengah ke atas.

Saat konsumen kelas atas memburu manfaat lebih pada

produk konsumsi mereka, konsumen kelas menengah ke bawah juga mengalami pergeseran pola.

“Konsumen kelas mene-ngah ke bawah mulai membeli produk yang tadinya mereka anggap sebagai produk premi-um,” kata Manajer FMCG Ser-vice Nielsen Indonesia Teddy Lesmana.

Nielsen mengamati ada tiga kategori produk yang awalnya dianggap produk premium yang saat ini mulai diburu konsumen kelas menengah ke bawah. Yaitu keju, popok bayi, serta ikan dan daging beku.

Hal itu juga ditunjang strategi produsen yang memproduksi dalam kemasan lebih kecil se hingga harga produk lebih terjangkau.

Bukan semata PDBSaat dihubungi terpisah, Ke-

tua Umum Asosiasi Pengusaha

Ritel Indonesia (Aprindo) Pu-djianto mengatakan pergeseran pola belanja, khususnya di kelas menengah ke bawah, tidak semata-mata disebab-kan tercapainya pendapatan US$3.000 per kapita.

“Bisa saja terjadi karena kon-sumen melakukan pengalihan (switching) dan ingin mencoba produk baru. Biasanya itu ha-nya terjadi di kelas menengah ke bawah. Misalnya dari susu kental manis beralih ke susu cair,” tuturnya.

Pudjianto mengungkapkan, bila pergeseran pola belanja terjadi karena kenaikan penda-patan per kapita saja, kondisi itu tidak akan bertahan.

“Kalau diikuti dengan ke-naikan ongkos transportasi, pendidikan, dan biaya untuk rumah, tentu tidak akan ada manfaatnya,” ujarnya. (E-1)

[email protected]

Pergeseran pola belanja ditunjang kenaikan pendapatan per kapita dan strategi penjualan dengan kemasan lebih kecil.

Mal Pusat BelanjaMulai Ditinggalkan

SETELAH mal-mal di Jakarta beralih konsep dari pusat perbe-lanjaan menjadi pusat hiburan, kini giliran mal di daerah yang beralih konsep. Mal-mal di daerah mulai menjadi tempat hiburan keluarga sekaligus un tuk hiburan malam.

“Mal di daerah sudah mulai menjadi tempat entertainment dan food and beverage. Di Sura-baya sudah berlangsung sejak 3-5 tahun terakhir. Di Ban-dung juga, bahkan beberapa pengembang merencanakan untuk punya mal seperti itu di daerah,” tutur Kepala Kon-sultan Procon Savills Utami Prastiana dalam jumpa pers di Jakarta, kemarin.

Ekspansi ke arah entertain-ment dan dining tersebut, lan-jutnya, menyambut kejenuhan pasar ritel yang sebelumnya le bih banyak menjadi pusat per belanjaan. “Pasar ritel di daerah itu yang berkembang primary needs seperti hipermar-ket. Brand yang masuk masih secondary brand yang biasanya lokal,” jelasnya.

Menurutnya, perkembangan mal-mal di luar Jakarta terse-but sesuai dengan kebutuhan komunitas sekitarnya. De-ngan adanya komunitas yang

didukung daya beli, mal akan tumbuh.

Di Jakarta, ekspansi mal menjadi pusat hiburan su-dah terlihat dalam beberapa ta hun terakhir. “Kalau dulu kon sepnya department store, sekarang orang ke mal eng-gak hanya shopping, tapi lebih entertainment,” tukas Kepala Riset Procon Savills Herully Su herman.

Mal kini membuka hiburan bagi keluarga, termasuk anak-anak, juga menyediakan hiburan di atas pukul 22.00 WIB, baik dengan format night club, restoran, maupun bioskop. Perubahan konsep tersebut ber-pengaruh dalam tenant mix di tiap mal. “Pada 2011 trennya ke situ,” tambah Herully.

Namun, Procon menyarank-an agar retailer mencermati ke-padatan pengunjung, konsep, harga sewa, insentif, serta fl ek-sibilitas termin pembayaran.

Berdasarkan evaluasi kuartal I 2010, pendapatan kotor pe-nyewaan ruang di pasar ritel Ja-karta naik signifi kan ketimbang tahun lalu. Pada perte ngahan tahun lalu, pendapatan kotor per bulan ritel Rp744 ribu, se-dangkan untuk kuartal I 2010 Rp517 ribu. (*/E-4)

SEbelankinbedahibun

medaba3-5dupeundi suPrJak

mejutpale bpedaprikeseclok

Mmabukong

JALIN KERJA SAMA: Senior Partner PricewaterhouseCoopers Irhoan Tanudiredja (kiri), Country Director Oxford Business Group (OBG) Maria Merono (tengah), dan Project Manager OBG Meike Neitz berfoto bersama seusai kerja sama dalam penyusunan buku panduan The Report: Indonesia 2011 di Jakarta, kemarin.

Daya Serap Bulog masih MinimPETANI mengeluhkan rendah-nya daya serap Perum Bulog akan gabah dan beras petani. Terbukti, dari produksi hingga pertengahan April 2011, menca-pai 40,2 juta ton gabah kering giling (GKG) atau 60% dari total produksi domestik, Bulog hanya menyerap sekitar 652 ribu ton.

Menurut Ketua Umum Ke-lompok Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Winarno To-hir, idealnya Bulog menyerap GKG di atas angka 1,5 juta ton. Untuk itu, hingga akhir April nanti, Bulog harus menyerap 3 juta ton GKG. “Maunya seluruh

hasil produksi diserap Bulog. Dengan begitu, petani berkon-sentrasi kembali pada produksi selanjutnya,” ujarnya.

Apalagi bila dibandingkan dengan jumlah beras impor, lanjut Winarno, angka penye-rapan GKG ini masih terlam-pau kecil. Bulog saat ini telah mengimpor beras dari Thailand dan Vietnam berjumlah 1,84 juta ton. “Lagi pula, peningka-tan harga juga terjadi karena peningkatan biaya produksi 10%-15% sebagai akibat hujan dan hama,” tandasnya.

Sementara itu, Direktur Uta-ma Bulog Sutarto Alimoeso

menerangkan, Bulog hanya mampu menyerap dalam jum-lah kecil karena harga GKG ma-sih 15% di atas harga pembelian pemerintah (HPP). Harga beras di Cipinang misalnya Rp5.500 per kilogram. Sementara itu, HPP adalah Rp5.060/kg.

“Sebelumnya panen diper-kirakan terjadi pada Februari-Ma ret, lalu Mei-Juni. Namun, panen terjadi terus-menerus. Tidak ada lonjakan panen atau stabil. Namun, harga gabah relatif tinggi,” jelas Sutarto.

Dia menambahkan, secara umum tingkat harga meng-untungkan petani. Pasalnya,

mereka memperoleh harga le bih tinggi. Akan tetapi, dia m enyayangkan bahwa pening-katan harga ini tidak diikuti dengan kualitas. “Beras impor, jumlah broken-nya 5%-15%. Ka-lau beras domestik broken-nya mencapai 20%,” ujar Soetarto.

Meski demikian, lanjutnya, Bulog akan terus menjaga har ga beras agar tidak terjadi lon jakan. Stok beras Bu log saat ini berada di posisi 1,5 juta ton. Itu cukup untuk enam bulan ke depan. “Kami akan terus me-nyerap produksi para petani yang rata-rata mencapai 20 ribu ton per hari,” jelasnya. (*/E-5)

Tim Baru ACFTA Perluas KoordinasiPEMERINTAH mengakui tim koordinasi terkait pakta per-dagangan bebas ASEAN-China (ACFTA) yang dulu pernah di bentuk tidak optimal. Pe-merintah butuh tim baru untuk berkoordinasi, tidak hanya lin-tas kementerian dan lembaga, namun juga menghubungkan pemerintah pusat dan daerah.

“Pak Menko (Perekonomian) menginginkan dibentuk tim baru untuk meningkatkan da ya saing industri dan juga berko ordinasi langsung dengan daerah,” kata Deputi Menko Perekonomian Bidang Perin-dustrian dan Perdagangan Edy Putra Irawady saat dihubungi di Jakarta, kemarin.

Ia membenarkan pemerintah sebelumnya sudah membentuk

Tim Nasional Peningkatan Eks-por dan Peningkatan Investasi (Timnas PEPI) berdasarkan PP 28/2010 sebagai revisi PP 3/2006. Namun, Timnas PEPI yang dipimpin Presiden dan Ketua Harian Menko Perekono-mian itu dirasa kurang tajam.

“Jika Timnas PEPI itu lebih banyak dijalankan di tingkat eselon I, tim baru yang di-inginkan adalah yang bisa me-nembus lintas wilayah hingga ke daerah-daerah, dan juga lintas sektor,” kata Edy.

Sebab, imbuhnya, masalah daya saing bukan hanya terjadi di pusat. Masalah juga terjadi di daerah seperti tata ruang, insentif daerah, dan lainnya. Karena itu, tim harus meng-hubungkan pula pusat dengan

daerah. “Semua ini tidak bisa diselesaikan satu malam,” kata dia.

Sesuai hasil rapat koordinasi di Kementerian Ekonomi, Senin (18/4), pemerintah akan mem-bentuk tim yang meliputi se-jumlah kementerian/lembaga guna membahas penguatan daya saing industri dalam

ne geri sebagai solusi defisit perdagangan dengan China. Dalam dua bulan pertama 2011, defisit perdagangan Indone-sia dengan China mencapai US$980 juta. Itu lebih tinggi dari defi sit setahun sebelum-nya, US$893 juta.

”Saya tidak yakin tim baru bisa langsung mengatasi masa-lah itu. Seharusnya, strategi menghadapi ACFTA sudah muncul jika tim koordinasi terdahulu serius mengevalua-si,” komentar mantan Menteri Perindustrian Fahmi Idris.

Ia mengimbau, jika pemerin-tah ingin tetap membentuk tim baru, hasil evaluasi sebaiknya dikemukakan secara trans-paran kepada publik dan dunia usaha. (Tup/Jaz/E-3)

Edy Putra IrawadiDeputi Menko Perekonomian

pk

bEdy Putra IrawadiANTARA

DOK OBG

MI/TRI HANDIYATNO