Mitigasi Rob Demak

44
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di da rat dan laut.Wilayah pesisir mencakup wilayah pasang surut (intertidal dan subtidal) pada dan di atas continental shelf (hingga kedalaman 200 meter) yang langsung bergabung dengan daratan.Wilayah ini merupakan wilayah yang secara rutin tergenang oleh air laut. Kenaikan muka air laut akibat perubahan iklim global diprediksi akan menyebabkan meluasnya wilayah genangan banjir di wilayah pesisir. Banjir merupakan aliran atau ketinggian air yang sangat ekstrem yang terjadi pada sungai, danau, waduk, dan tubuh air lainnya, dimana air menggenangi wilayah di luar wilayah tubuh air itu sendiri.Banjir juga dapat terjadi ketika muka air laut mengalami kenaikan yang ekstrem atau di atas daratan pesisir yang disebabkan oleh pasang air laut dan gelombang tinggi.Di banyak wilayah di seluruh dunia, banjir merupakan fenomena yang paling banyak menimbulkan kerusakan yang berpengaruh terhadap kondisi sosial dan ekonomi penduduk. Rob terjadi karena pengaruh tinggi-rendahnya pasang surut air laut yang terjadi oleh gaya

description

rob pantai bedono

Transcript of Mitigasi Rob Demak

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di da rat dan laut.Wilayah pesisir mencakup wilayah pasang surut (intertidal dan subtidal) pada dan di atas continental shelf (hingga kedalaman 200 meter) yang langsung bergabung dengan daratan.Wilayah ini merupakan wilayah yang secara rutin tergenang oleh air laut. Kenaikan muka air laut akibat perubahan iklim global diprediksi akan menyebabkan meluasnya wilayah genangan banjir di wilayah pesisir.Banjir merupakan aliran atau ketinggian air yang sangat ekstrem yang terjadi pada sungai, danau, waduk, dan tubuh air lainnya, dimana air menggenangi wilayah di luar wilayah tubuh air itu sendiri.Banjir juga dapat terjadi ketika muka air laut mengalami kenaikan yang ekstrem atau di atas daratan pesisir yang disebabkan oleh pasang air laut dan gelombang tinggi.Di banyak wilayah di seluruh dunia, banjir merupakan fenomena yang paling banyak menimbulkan kerusakan yang berpengaruh terhadap kondisi sosial dan ekonomi penduduk.Rob terjadi karena pengaruh tinggi-rendahnya pasang surut air laut yang terjadi oleh gaya gravitasi dan juga terjadi akibat adanya fenomena iklim global yang ditandai dengan peningkatan temperatur rata-rata bumi dari tahun ke tahun. Lapisan ozon merupakan pelindung bumi dari pengaruh sinar matahari sehingga bila lapisan ini menipis maka akan terjadi pemanasan global, sehingga menyebabkan lapisan es di kutub utara dan antartika mencair. Akibatnya, permukaan permukaan laut air global naik. Berdasarkan data rata-rata suhu permukaan global meningkat 0,3-0,6 C, sejak akhir abad 19 sampai tahun 2100 suhu bumi diperkirakan akan naik sekitar 1,4-5,8C. Di pantai utara Jawa Tengah, luasan abrasi sudah mencapai 5.500 hektar yang tersebar di 10 kabupaten/kota. Salah satu daerah yang mengalami abrasi cukup parah adalah pantai di Kecamatan Sayung, Demak. Di daerah tersebut permasalahan yang terjadi cukup berat khususnya menyangkut penurunan fungsi lahan dikarenakan abrasi pantai, dan penggenangan air laut di kawasan tambak seluas 582,8 ha yang selama lima tahun ini tergenang dan kemudian hilang.Banjir Rob dan abrasi yang terjadi di Kecamatan Sayung, Demak merupakan implikasi dari berbagai proses alam mulai dari perubahan iklim, kenaikan muka air laut, dan land subsidance yang membuat wilayah kecamatan sayung menjadi terendam air dan hilang. Oleh sebab itu, di perlkan suatu kajian atau studi lebih lanjut mengenai kerentanan wilayah kecamatan sayung dan mencari penyelesaian masalah tersebut dengan mitigasi ataupun adaptasi yang dapat diterapkan di Kecamatan Sayung, Demak.1.2 Tujuan

Adapun tujuan dalam penyelesaian laporan ini antara lain :

1. Dapat mengetahui nilai potensi bahaya, kerentanan dan resiko pada suatu wilayah pengamatan.2. Dapat melakukan analisa dengan strategi adaptasi dan mitigasi yang efektif dalam menjawab permasalahan bencana suatu wilayah pengamatan.

1.3 Manfaat

Manfaat dari penulisan laporan ini bagi penulis adalah dapat mengetahui nilai suatu potensi bahaya, kerentanan suatu daerah dan resiko serta dapat menganalisa bagaimana tindakan yang harus di ambil sebagai langkah dari mitigasi dan adaptasi suatu daerah dalam menyelesaikan permasalahan pada suatu wilayah yang memiliki nilai kerentanan dan resiko yang tinggi.II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gambaran Umum Lokasi PengamatanSalah satu wilayah di Pantai Utara Jawa Tengah yang paling parah mengalami abrasi adalah pantai di Kecamatan Sayung Demak. Lebih dari 300 Ha selama lebih dari 5 tahun terakhir ini tergenang saat air laut pasang. Di wilayah pantai tersebut terdapat 4 desa yang terancam bahaya abrasi, yaitu Desa Bedono, Desa Surodadi, Desa Sriwulan dan Desa Timbulseloko. Desa yang saat ini mengalami kerusakan paling parah adalah Desa Bedono, bahkan dua dusun di desa itu kini telah tenggelam akibat rob yaitu Dusun Senik dan Dusun Tambaksari, menyusul Dusun Pandansari yang terancam tenggelam. Jika tidak segera ditangani, dikhawatirkan pada beberapa tahun mendatang air rob akan sampai pada jalur Pantura Semarang Demak (Bappeda Demak, 2000).Kecamatan Sayung terletak berbatasan dengan Kecamatan Genuk Semarang di sebelah baratnya sedangkan disebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Mranggen , disebelah utara Laut Jawa dan sebelah timur Kecamatan Karagtengah. Kecamatan Sayung memiliki luas 7.222 ha (8.05 persen dari seluruh luas wilayah Kabupaten Demak) yang terdiri dari 854 tanah sawah dan 6.368 ha tanah kering. Jumlah penduduk Kecamatan Guntur adalah sekitar 93.453 jiwa yang terdiri dari 45.624 jiwa laki-laki dan 47.929 jiwa perempuan ( Bappeda Demak, 2011).Kerusakan yang terjadi di Kecamatan Sayung tersebut, terjadi akibat gelombang laut yang mengakibatkan menurunnya fungsi lahan yang ada pada daerah pantai tersebut. Ditambah lagi akibat reklamasi pada pantai Semarang, pengambilan air tanah yang berlebihan, tidak adanya normalisasi Sungai Babon, serta warga sekitar yang melakukan penebangan mangrove secara berlebihan untuk dijadikan kayu arang (Bappeda Demak, 2000).2.2. Pasang SurutPasang surut adalah fluktuasi muka air laut karena adanya gaya tarik menarik benda-benda dilangit, terutama matahari dan bulan terhadap massa air laut dibumi. Gaya tarik bulan yang mempengaruhi pasang surut adalah 2,2, kali lebih besar dari pada gaya tarik matahari (Triatmodjo, 1999). Menurut Setiadi (1988) dalam Fadillah et al (2014), pasang surut adalah perubahan gerak relatif dari materi suatu planet, bintang dan benda angkasa lainnya yang diakibatkan oleh aksi gravitasi benda-benda di luar materi itu berada.Pasang surut atau pasut merupakan suatu fenomena pergerakan naik turunnya permukaan air laut secara berkala yang diakibatkan oleh kombinasi gaya gravitasi dan gaya tarik menarik dari benda-benda astronomi terutama oleh matahari, bumi dan bulan. Faktor non astronomi yang mempengaruhi pasut te rutama di perairan semi tertutup (teluk) antara lain adalah bentuk garis pantai dan topografi dasar perairan (Siswanto, 2010).

Pasang surut laut merupakan hasil dari gaya tarik gravitasi dan efek sentrifugal. Efek sentrifugal adalah dorongan ke arah luar pusat rotasi. Gravitasi bervariasi secara langsung dengan massa tetapi berbanding terbalik terhadap jarak. Meskipun ukuran bulan lebih kecil dari matahari, gaya tarik gravitasi bulan dua kali lebih besar daripada gaya tarik matahari dalam membangkitkan pasang surut laut karena jarak bulan lebih dekat daripada jarak matahari ke bumi. Gaya tarik gravitasi menarik air laut ke arah bulan dan matahari dan menghasilkan dua tonjolan (bulge) pasang surut gravitasional di laut. Lintang dari tonjolan pasang surut ditentukan oleh deklinasi, sedangkan sudut antara sumbu rotasi bumi dan bidang orbital bulan dan matahari (Gross, 1987 dalam Arifin, 2012). 2.3 Gaya Pembangkit Pasang Surut

Gaya-gaya pembangkitan pasang surut ditimbulkan oleh gaya tarik menarik antara bumi, bulan dan matahari. Penjelasan terjadinya pasang surut dilakukan hanya dengan memandang suatu sistem bumi-bulan; sedangkan untuk sistem bumi-matahari penjelasannya adalah identik. Dalam penjelasan ini dianggap bahwa permukaan bumi, yang apabila tanpa pengaruh gaya tarik bulan, tertutup secara merata oleh laut (bentuk permukaan air adalah bundar) (Triatmodjo, 1999).

Gaya-gaya pembangkit pasang surut ditimbulkan oleh gaya tarik menarik antara bumi, bulan dan matahari. Penjelasan terjadinya pasang surut dilakukan hanya dengan memandang suatu sistem bumi-bulan sedang sistem bumi-matahari penjelasannya adalah identik. Dalam penjelasan ini dianggap bahwa permukaan bumi, yang apabila tanpa pengaruh gaya tarik bulan, tertutup secara merata oleh laut (bentuk permukaan air adalah bundar) (Triadmojo,1999).

Pariwono dalam Nanda (2012) menyatakan hal yang serupa bahwa dari semua benda angkasa yang mempengaruhi proses pembentukan pasang surut air laut, hanya matahari dan bulan yang sangat berpengaruh melalui tiga gerakan utama yang menentukan paras / muka air laut di bumi ini. Ketiga gerakan itu adalah :

1. Revolusi bulan terhadap bumi, dimana orbitnya berbentuk elips dan memerlukan waktu 29,5 hari untuk menyelesaikan revolusinya.

2. Revolusi bumi terhadap matahari, dengan orbitnya berbentuk elips juga dan periode yang diperlukan 365.25 hari.

3. Perputaran bumi terhadap sumbunya dan waktu yang diperlukan 24 jam (one solar day). Rotasi bumi tidak menimbulkan pasang surut namun mempengaruhi muka air pasang surut.

Rotasi bumi menyebabkan elevasi muka air laut di khatulistiwa lebih tinggi daripada di garis lintang yang lebih tinggi. Tetapi karena pengaruhnya yang seragam di sepanjang garis lintang yang sama, sehingga tidak bisa diamati sebagai suatu variasi pasang surut. Oleh karena itu, rotasi bumi tidak menimbulkan pasang surut. Di dalam penjelasan pasang surut ini dianggap bahwa bumi tidak berrotasi (Triatmodjo, 1999). Perkataan pasang surut biasanya dikaitkan dengan proses naik turunnya paras laut (sea level) secara berkala yang ditimbulkan oleh adanya gaya tarik dari benda-benda angkasa terutama matahari dan bulan, terhadap massa air di bumi (Pariwono, 1989).2.4 Tipe Pasang Surut

Perairan laut memberikan respon yang berbeda terhadap gaya pembangkit pasang surut, sehingga terjadi tipe pasut yang berlainan di sepanjang pesisir. Menurut Dronkers (1964) dalam Rampengan (2009), ada tiga tipe pasut yang dapat diketahui, yaitu :

1. Pasang surut diurnal. Yaitu bila dalam sehari terjadi satu satu kali pasang dan satu kali surut. Biasanya terjadi di laut sekitar khatulistiwa.

2. Pasang surut semi diurnal. Yaitu bila dalam sehari terjadi dua kali pasang dan dua kali surut yang hampir sama tingginya.

3. Pasang surut campuran. Yaitu gabungan dari tipe 1 dan tipe 2, bila bulan melintasi khatulistiwa (deklinasi kecil), pasutnya bertipe semi diurnal, dan jika deklinasi bulan mendekati maksimum, terbentuk pasut diurnal.

Gambar 2.1 Kurva Tipe Pasut (Triatmodjo, 1999).Sedangkan untuk di Indonesia sendiri terbagi menjadi empat tipe:

1. Pasang Surut Harian Ganda (Semi Diurnal Tide)

Dalam satu hari terjadi dua kali air pasang dan dua kali air surut dengan tinggi yang hampir sama dan pasang surut terjadi secara berurutan secara teratur . Periode pasang surut adalah 12 jam 24 menit. Pasang surut tipe ini terjadi di selat Malaka sampai laut Andaman.

2. Pasang Surut Harian Tunggal (Diurnal Tide)

Dalam satu hari terjadi satu kali air pasang dan satu kali air surut. Periode pasang surut adalah 24 jam 50 menit. Pasang surut tipe ini terjadi di perairan selat karimata.

3. Pasang Surut Campuran Condong ke Harian Ganda (Mixed Tide Prevailing Semidiurnal)

Dalam satu hari terjadi dua kali air pasang dan dua kali air surut, tetapi tinggi dan periodenya berbeda. Pasang surut jenis ini banyak terdapat di perairan Indonesia timur.

4. Pasang Surut Campuran Condong ke Harian Tunggal (Mixed Tide Prevailing Diurnal)

Pada tipe ini dalam satu hari terjadi satu kali air pasang dan satu kali air surut, tetapi kadang-kadang untuk sementara waktu terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dengan tinggi dan periode yang sangat berbeda. Pasang surut jenis ini terdapat di selat Kalimantan dan pantai utara Jawa Barat.

Gambar 2.2 Sebaran Pasang Surut di Perairan Indonesia (Triatmodjo, 1999).Dilihat dari pola gerakan muka lautnya, pasang-surut di Indonesia dapat dibagi menjadi empat jenis yakni pasang-surut harian tunggal (diurnal tide), harian ganda (semidiurnal tide) dan dua jenis campuran. Jenis harian tunggal misalnya terdapat di perairan sekitar selat Karimata, antara Sumatra dan Kalimantan. Pada jenis harian ganda misalnya terdapat di perairan Selat Malaka sampai ke Laut Andaman. Di samping itu dikenal pula campuran antara keduanya, meskipun jenis tunggal maupun gandanya masih menonjol. Pada pasang-surut campuran condong ke harian ganda (mixed tide, prevailing semidiurnal) misalnya terjadi di sebagian besar perairan Indonesia bagian timur. Sedangkan jenis campuran condong ke harian tunggal (mixed tide, prevailing diurnal) contohnya terdapat di pantai selatan Kalimantan dan pantai utara Jawa Barat. Pola gerak muka air pada keempat jenis pasang-surut yang terdapat di Indonesia diberikan (Triatmodjo, 1999).2.5 Mean Sea Level (MSL)Kenaikan muka air laut merupakan fenomena naiknya muka air laut akibat pertambahan volume air laut. Perubahan tinggi permukaan air laut dapat dilihat sebagai suatu fenomena alam yang terjadi secara periodik maupun menerus. Perubahan secara periodik dapat dilihat dari fenomena pasang surut air laut, sedangkan kenaikan air laut yang menerus adalah seperti yang teridentifikasi oleh pemanasan global. Fenomena naiknya muka air laut yang direpresentasikan dengan SLR (sea level rise) dipengaruhi secara dominan oleh pemuaian thermal (thermal expansion) sehingga volume air laut bertambah. Selain itu, mencairnya es di kutub dan gletser juga memberikan kontribusi terhadap perubahan kenaikan muka air laut. Kenaikan muka air laut bisa menyebabkan berkurangnya atau mundurnya garis pantai, mempercepat terjadinya erosi pantai berpasir, banjir di wilayah pesisir, dan kerusakan infrastruktur yang berada di wilayah pesisir seperti dermaga, dan bangunan pantai lainnya. Hal ini semakin lama akan semakin mengganggu masyarakat yang tinggal di wilyah pesisir (Liyani. 2012).Geoid adalah bidang equipotensial gaya berat bumi yang diasumsikan berhimpit dengan permukaan laut rata-rata (MLR) yang tidak terganggu (Welenhof dan Moritz 2006 dalam Affandi dkk. 2012). Kegunaan dari geoid adalah sebagai acuan referensi tinggi. Pentingnya sebuah referensi tinggi tersebut tidak lepas dalam pengembangan suatu wilayah, terutama dalam hal pembangunan infrastruktur. Muka laut rata - rata (MLR) atau duduk tengah adalah permukaan laut rata-rata yang dihitung dalam periode waktu tertentu. Nilai MLR yang dianggap terbaik yaitu nilai pengamatan yang dilakukan selam 18,6 tahun. Karena muka laut rata-rata dianggap mendekati bentuk dari model geoid, sehingga nilai dari MLR dapat digunakan sebagai sebuah acuan referensi tinggi. Kedudukan serta nilai muka laut rata-rata setiap saat selalu berubah-ubah. Perubahan naik turun inilah yang disebut dengan perubahan muka air laut (sea level rise). Sea level rise (SLR) adalah peningkatan volume air laut yang disebabkan oleh beberapa faktor seperti fluktuasi curah hujan yang tinggi serta meningkatnya suhu air laut. Beberapa faktor tersebut diduga terjadi karena adanya perubahan iklim secara global. Jika berbicara tentang perubahan iklim secara global, tentu saja hal tersebut tidak lepas dari pengaruh pemanasan global (global warming). Efek yang timbul akibat global warming yaitu meningkatnya suhu di permukaan bumi, baik darat, alut ataupun atmosfer, yang mengakibatkan salah satunya yaitu mencairnya gunung es di daerah kutub. Hal ini lah yang mengakibatkan terjadinya peningkatan muka air laut (Affandi dkk. 2012).

2.6 Land Susidence (Penurunan Tanah)Penurunan muka tanah (land subsidence) merupakan fenomena yang sedang dikaji di beberapa negara, termasuk Indonesia. Penurunan muka tanah dapat menyebabkan beberapa masalah, seperti rusaknya struktur bangunan, peningkatan daerah resapan air laut dan peningkatan area banjir. Fenomena ini dapat disebabkan oleh beberapa proses baik alamiah seperti pemampatan sedimen maupun non-alamiah seperti ekstraksi air tanah, minyak bumi, gas atau pertambangan bawah tanah (Moh. Fifik Syafiudin dan R.S. Chatterjee, 2009).

Turunnya permukaan tanah yang terakumulasi selama rentang waktu tertentu akan dapat mencapai besaran penurunan hingga beberapa meter lebih (Galloway dkk., 1999) sehingga dampaknya dapat merusak infrastruktur perkotaan yang kemudian dapat saja menjadi gangguan terhadap stabilitas perekonomian dan kehidupan sosial di wilayah tersebut. Definisi penurunan muka tanah berdasarkan beberapa referensi dapat didefinisikan sebagai berikut: terjadi pada skala regional yaitu meliputi daerah yang luas atau terjadi secara lokal yaitu hanya sebagian kecil permukaan tanah. Hal ini biasanya disebabkan oleh adanya rongga di bawah permukaan tanah, biasanya terjadi di daerah yang berkapur atau turunnya kedudukan permukaan tanah yang disebabkan oleh kompaksi tanah (Wei, 2006).

Semarang merupakan ibukota Provinsi Jawa Tengah yang mengalami perkembangan dan pertumbuhan kota yang pesat. Hal ini ditunjukkan dengan adanya peningkatan laju pembangunan di kota tersebut. Dengan perkembangan ini, tentunya akan menimbulkan masalah baru yaitu penurunan muka tanah. Semarang terbentuk dari endapan alluvial yang terdiri dari material berukuran lempung dan pasir. Lapisan pembentuk tersebut berumur muda (sekitar 10.000 tahun) yang memiliki derajat kompaksi rendah sehingga masih memungkinkan tahapan pemadatan dan berpengaruh dengan penurunan muka tanah. Selain itu pengambilan air tanah secara besar-besaran mengakibatkan kekosongan di ruang bawah tanah dan ditambah juga dibebani dengan pembangunan gedung-gedung baru. Penurunan muka tanah tidaklah fenomena baru di Semarang. Dampak dari fenomena ini dapat dilihat dari adanya perluasan area banjir dan peningkatan daerah resapan air laut. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh JICA bekerja sama dengan Direktorat Geologi Tata Guna Lingkungan dan UNDIP pada tahun 2011 tentang penurunan muka tanah di Semarang menunjukkan bahwa Semarang mengalami penurunan muka tanah sebesar 1 cm/tahun - 10 cm/tahun (Kahar, 2011).2.7 Banjir dan Banjir Genangan (Rob)Banjir adalah bencana alam yang membuat banyak penduduk menderita. Hampir setiap tahun banjir melanda daerah-daerah yang letaknya di sepanjang pantai utara pulau jawa. Banjir dari tinjauan ekologis merupakan peristiwa fisik yang terjadi di lingkungan hidup manusia dan mempengaruhi kehidupan manusia (Khadiyanto dalam Wahyudi. 2007).

Banjir dapat terjadi karena hujan yang terus menerus dan saliran tidak dapat menampung air sehingga meluap. Terjadi banjir dapat pula disebabkan oleh pasang air laut yang masuk ke wilayah daratan, banjir genangan ini biasa disebut rob. Air laut masuk melalui sungai sungai pada saat pasang dan selanjutnya mengalir ke pemukiman setelah melewati drainase. Rob adalah kejadian / fenomena alam dimana air laut masuk ke wilayah daratan, pada waktu air laut mengalami pasang. Intrusi air laut tersebut dapat melalui sungai, saluran drainase atau aliran bawah tanah. Rob dapat muncul karena dinamika alam atau karena kegiatan manusia. Dinamika alam yang dapat menyebabkan rob adalah adanya perubahan elevasi pasang surut air laut. Sedangkan yang di akibatkan oleh kegiatan manusia misalnya karena pemompaan air yang berlebihan, pengerukan alur pelayaran, reklamasi dan lain-lain (Wahyudi. 2007).2.8 Perubahan Iklim

Pemanasan global sudah bukan lagi merupakan masalah masa depan, tetapi sudah menjadi masalah yang sedang kita hadapi sekarang. Hasil penelusuran terhadap database bencana alam intenasional (International Disaster Database) menunjukkan bahwa banyak bencana alam yang masuk ke dalam kategori bencana global ialah sebanyak 345 bencana (Boer dan Perdinan, 2008). Temuan ini sejalan dengan hasil kajian Panel Antar Pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC, 2007) bahwa pemanasan global akan meningkatkan frekuensi dan intensitas kejadian iklim ekstrim.

Penelitian tentang pengaruh pemanasan global terhadap perubahan musim di pulau Jawa sudah dilakukan oleh Naylor dkk. (2007) dalam Efendi (2012). Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa dalam 40 tahun mendatang, terjadinya pemanasan global akan menyebabkan awal musim hujan di Jawa Tengah akan mengalami kemunduran sedangkan akhir musim hujan akan lebih cepat yang berarti lama musim hujan akan semakin pendek. Di lain pihak curah hujan musim hujan akan cenderung meningkat sedangkan curah hujan musim kemarau cenderung menurun. Hal ini berimplikasi pada semakin meningkatnya risiko kekeringan pada musim kemarau dan risiko banjir atau bahaya longsor pada musim hujan. WWF (2007) dalam effendi (2012) menyatakan perubahan distribusi curah hujan tersebut menyebabkan berbagai potensi bencana alam yang dipicu oleh curah hujan menjadi semakin tinggi, seperti : banjir, longsor, peluapan sungai, dan penyebaran vektor penyakit. Sedangkan pada kondisi curah hujan yang mengecil dapat terjadi potensi bencana seperti : kekeringan, gagal panen, kekurangan air bersih, dan berbagai permasalahan sosial yang mungkin timbul.

Dalam laporan yang dikeluarkannya tahun 2001, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa temperatur udara global telah meningkat 0,6 derajat Celsius (1 derajat Fahrenheit) sejak 1861. Pemanasan tersebut terutama disebabkan oleh aktivitas manusia yang menambah gas-gas rumah kaca ke atmosfer. IPCC memprediksi peningkatan temperatur rata-rata global akan meningkat 1,1 hingga 6,4 C (2,0 hingga 11,5 F) antara tahun 1990 dan 2100. (IPCC, 2007). Kondisi ini akan mengakibatkan iklim tetap terus menghangat selama periode tertentu akibat emisi yang telah dilepaskan sebelumnya dan karbon dioksida akan tetap berada di atmosfer selama seratus tahun atau lebih sebelum alam mampu menyerapnya kembali (Stocker, et al., 2007). Dampak dari pemansan global (Global warming) akan mempengaruhi pola presipitasi, evaporasi, water run-off, kelembaban tanah dan variasi iklim yang sangat fluktuatif secara keseluruhan mengancam keberhasilan produksi pangan. Kajian terkait dampak perubahan iklim pada bidang pertanian oleh National Academy of Science/NAS (2007), menunjukkan bahwa pertanian di Indonesia telah dipengaruhi secara nyata oleh adanya variasi hujan tahunan dan antar tahun yang disebabkan oleh Australia-Asia Monsoon and El Nino-Southern Oscilation (ENSO).

Dampak perubahan iklim pada peningkatan temperatur sebenarnya sudah ditengarai sejak tahun 1990-an. Department for International Development (DFID), badan dari pemerintah Inggris yang mengurusi bantuan pembangunan untuk negara-negara lain) dan World Bank (2007) melaporkan rata-rata kenaikan suhu per tahun sebesar 0,3 derajat celsius. Pada tahun 1998 terjadi kenaikan suhu yang luar biasa mencapai 1 derajat celsius. Indonesia diprediksi akan mengalami lebih banyak hujan dengan perubahan 2-3 persen per tahun. Intensitas hujan akan meningkat, namun jumlah hari hujan akan semakin pendek, dan meningkatkan risiko banjir. Iklim selalu berubah menurut ruang dan waktu. Dalam skala waktu perubahan iklim akan membentuk pola atau siklus tertentu, baik harian, musiman, tahunan maupun siklus beberapa tahunan . Selain perubahan yang berpola siklus, aktivitas manusia menyebabkan pola iklim berubah secara berkelanjutan, baik dalam skala global maupun skala lokal. Unsur-unsur iklim yang menunjukan pola keragaman yang jelas merupakan dasar dalam melakukan klasifikasi iklim. Unsur iklim yang sering dipakai adalah suhu dan curah hujan (presipitasi).

Menurut Trenberth, Houghton dan Filho (1995) dalam Ditjen. Penataan Ruang - Dekimpraswil, 2002), iklim selalu berubah menurut ruang dan waktu. Dalam skala waktu perubahan iklim akan membentuk pola atau siklus tertentu, baik harian, musiman, tahunan maupun siklus beberapa tahunan . Selain perubahan yang berpola siklus, aktivitas manusia menyebabkan pola iklim berubah secara berkelanjutan, baik dalam skala global maupun skala lokal. Perubahan iklim akan membawa pengaruh pada intensitas dampak dan sangat tergantung pada tingkat penyimpangannya.

2.9 Kenaikan Muka Air Laut (Sea Level Rise)

Kenaikan muka air laut yang sering disebut dengan sea level rise (SLR) merupakan peningkatan volume air laut yang disebabkan oleh faktor-faktor kompleks. Sea level rise asal mulanya merupakan rangkaian proses pasang surut air laut. Namun, saat ini semakin tingginya muka air laut bukan lagi hanya karena proses dari pasang surut air laut, tetapi juga pengaruh dari perubahan iklim global. Permukaan laut telah mengalami kenaikan setinggi 120 meter sejak puncak zaman es 18.000 tahun yang lalu. Kenaikan tertinggi muka air laut terjadi sebelum 6.000 tahun yang lalu. Sejak 3.000 tahun yang lalu hingga awal abad ke-19, muka air laut hampir tetap hanya bertambah 0,1 hingga 0,2 mm/tahun, kemudian dari tahun 1900, permukaan laut naik 1 hingga 3 mm/tahun dan tahun 1992 satelit altimetri TOPEX/Poseidon mengindikasikan laju kenaikan muka laut sebesar 3 mm/tahun. Tinggi muka laut diseluruh dunia telah meningkat 10-25 cm selama abad 20. Apabila separuh es di Greenland dan Antartika meleleh maka terjadi kenaikan permukaan air laut di dunia rata-rata setinggi 6-7 meter.

Naiknya muka laut (Sea level rise) merupakan salah satu permasalahan penting yang harus dihadapi oleh negara-negara pantai atau negara kepulauan di dunia. Fenomena alam ini perlu diperhitungkan dalam semua kegiatan pengelolaan wilayah pesisir, karena dapat berdampak langsung pada pemunduran garis pantai serta dapat mengganggu aset-aset penduduk, mengganggu perkembangan ekonomi penduduk bahkan menyebabkan terjadinya perpindahan penduduk yang mendiami wilayah-wilayah rentan di sepanjang pesisir.SLR diduga disebabkan oleh isu perubahan iklim. Perubahan iklim menyebabkan peningkatan temperatur secara global sehingga memicu fluktuasi curah hujan yang tinggi dan meningkatnya suhu air laut yang menyebabkan terjadinya pemuaian terhadap volume air laut sehingga massa air laut berubah dan meningkat.

Berdasarkan hasil penelitian IPCC (2001), salah satu penyebab terbesar dalam kenaikan muka air laut adalah peningkatan temperatur air laut. Hal tersebut karena temperatur kedalaman laut berubah secara perlahan sehingga kenaikan temperatur akan terus berlanjut sampai beberapa abad ke depan walaupun konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer stabil. Selain itu, mencairnya glasier pegunungan dan tutupan es juga diprediksikan akan menjadi penyebab utama kenaikan muka air laut.

III. MATERI DAN METODE

3.1 Materi Pengamatan

Materi yang digunakan dalam laporan ini meliputi data yang di butuhkan yang meliputi data tabel potensi bahaya dan tabel kerentanan pantai yang akan dijadikan sebagai bahan acuan dalam menentukan potensi resiko daerah pengamatan.3.2 Waktu dan Lokasi PengamatanHari, Tanggal

: Senin, 08 Juni 2015

Waktu Pelaksanaan: Pk 10.00-13.00 WIBTempat

: Desa Bedono, Kecamatan Sayung, Kabupaten

Demak3.3 Alat dan BahanAlat dan bahan yang digunakan dalam laporan ini meliputi beberpa alat dan bahan mulai dari alat untuk membantu memperoleh data lapangan dan juga dalam analisa yang meliputi :Tabel 1. Alat dan Bahan

No Nama Alat / Bahan

Fungsi

1Tabel Potensi Bahaya

Sebagai penentu potensi bencana

suatu wilayah2Tabel Kerentanan Pantai

Sebagai penentu kerentanan suatu

wilayah3Alat tulis

Sebagai media pencatatan4Kamera

Sebagai alat dokumentasi3.4 Metode Pengambilan DataDalam pengumpulan data, dilakukan survey primer dan survey sekunder. Survei primer terdiri dari observasi langsung ke wilayah pengamatan (Foto kondisi eksisting) dan wawancara stakeholders, yang mana telah didapatkan beberapa stakeholders untuk wawancara yang didapatkan melalui analisis stakeholders. Survei sekunder hanya terdiri dari survei instansi dan wawancara. 3.5 Metode Pengolahan Data

Untuk menghasilkan mitigasi bencana banjir rob maka diperlukan beberapa tahapan analisis, adapun tahapan analisis tersebut adalah sebagai berikut :

Analisis Potensi BahayaAnalisis potensi bahaya ini menggunakan acuan dari tabel variabel potensi bahaya dimana kita harus mengamati keadaan suatu wilayah yang diamati dengan acuan pada variabel-variabel yang tertera pada tabel 2.

Tabel 2. Variabel-Variabel Perhitungan Potensi Bahaya

(Sumber : USGS, 2007. Dimodifikasi 2008)

Setelah menentukan kekuatan potensi bahaya berdasarkan variabel-variabel yang tertera pada tabel 2, maka kita harus mengklasifikasikan potensi bahaya tersebut untu mengetahui kelas atau tingkat potensi bahaya yang ada pada daerah pengamatan berdasarkan pada tabel 3.

Tabel 3. Klasifikasi Perhitungan Potensi Bahaya

(Sumber : USGS, 2007. Dimodifikasi 2008) Analisis Kerentanan PantaiAnalisis kerentanan pantai ini menggunakan acuan dari tabel variabel kerentanan pantai dimana kita harus mengamati keadaan suatu wilayah yang diamati dan mengkaji hasil wawancara dengan acuan pada variabel-variabel yang tertera pada tabel 4.Tabel 4. Variabel-Variabel Kerentanan Pantai

(Sumber: Ministry For Environment New Zeland Goverment, 2008, 2007, dimodifikasi 2008)Setelah menentukan kerentanan pantai berdasarkan variabel-variabel yang tertera pada tabel 4, maka kita harus mengklasifikasikan kerentanan pantai tersebut untu mengetahui kelas atau tingkat kerentanan pantai yang ada pada daerah pengamatan berdasarkan pada tabel 5.Tabel 5. Klasifikasi Perhitungan Kerentanan Pantai

(Sumber : USGS, 2007. Dimodifikasi 2008) Analisis Resiko Setelah mengetahui nilai dari suatu potensi bahaya dan kerentanan pantai, langkah berikutnya yaitu menganalisis resiko yang diperoleh dari perhitungan sebagai berikut:

Kemudian langkah terakhir yaitu mengklasifikasikan nilai suatu resiko suatu wilayah berdasarkan pada tabel 6:Tabel 6. Kelas Resiko

(Sumber : USGS, 2007. Dimodifikasi 2008)IV. HASIL DAN PEMBAHASAN4.1 Hasil

Analisa Potensi BahayaTabel 7. Variabel-Variabel Perhitungan Potensi Bahaya Berdasarkan Hasil Pengamatan

Tabel 8. Klasifikasi Perhitungan Potensi Bahaya Berdasarkan Hasil Pengamatan

Potensi Bahaya = Klasifikasi / variabel = (3+3+3) / 3 = 3

Analisa Kerentanan Pantai

Tabel 9. Variabel-Variabel Kerentanan Pantai Berdasarkan Hasil Pengamatan

Tabel 10. Klasifikasi Perhitungan Kerentanan Pantai Berdasarkan Hasil Pengamatan

Potensi Bahaya = Klasifikasi / variabel = (3+3+3+3+3+3+3+2) / 8 = 2.875

Analisa Resiko

Metode Perhitungan

Resiko = = 1.714Tabel 11. Kelas Resiko Berdasarkan Hasil Pengamatan

Tabel 12. Hasil Perhitungan Resiko NoWilayah AdministrasiPotensi BahayaKerentanan PantaiResikoKelasDeskripsi

1Desa Bedono, Kecamatan Sayung, Demak32.751.7141.5 -2.1Tinggi

4.2 PembahasanSetelah melakukan survei dan menganalisis hasil survei menggunakan analisa potensi bahaya, kerentanan dan resiko dapat kita ketahui bahwa Desa Bedono Kecamatan Sayung Kabupaten Demak memiliki Potensi Bahaya yang tinggi dengan nilai 3 (tiga), Nilai Kerentanan pantai dengan nilai 2.875 masuk kategori besar dan nilai resiko dengan nilai 1.714 yang masik kategori resiko tinggi.

Pada dasarnya Desa Bedono dapat digolongkan memiliki potensi bahaya yang tinggi karena geomorfologi daerah ini berupa lumpur dan di tumbuhi oleh mangrove yang hidup di sekitar pesisir pantai. Kemudian di ketahui juga dari beberapa penelitian sebelumnya bahwa wilayah ini juga mengalami erosi yang tinggi beserta perubahan elevasi muka air laut relatif sebesar 7.7 mm/tahun. Hal ini di perparah dengan adanya penurunan muka tanah atau land subsidence dimana sepanjang pesisir utara pulau jawa mengalaminya dengan intensitas jalan utama berada di sekitar pesisir dilewati oleh kendaraan bermuatan tinggi dan juga penggunaan air tanah yang sanggat tinggi di kota semarang juga turut menyumbangkan dampak penurunan muka tanah di sekitar wilayah ini sehingga warga terpaksa untuk meniinggikan rumahnya 10 cm/tahun untuk mencegah rumahnya tertimbun oleh lumpur.Lalu untuk analisa nilai kerentanan pantai yang tergolong tinggi dengan nilai 2.875 dimana nilai tersebut terdapat pada rentang angka 2.1-3.0 (golongan tinggi). Hal ini terlihat dari berbagai variabel yang di survei hampir semuanya memiliki nilai yang tinggi dimulai dari perpindahan penduduk. Melalui hasil wawancara dengan penduduk setempat, diketahui bahwa Desa Bedono dahulu memiliki 70 KK (kepala keluarga) yang tinggal di daerah itu jika kita asumsikan 1 KK terdapat 5 anggota keluarga maka total penduduk awal pada Desa Bedono ada sekitar 350 penduduk. Namun sekarang jumlah penduduk yang tersisa di wilayah survei di dalam desa Bedono hanya tinggal 5 KK saja atau kurang lebih sekitar 25 penduduk. Kemudian dapat dilihat pula adanya tiang-tiang listrik yang terendam oleh air laut dimana membuktikan bahwa pada wilayah tersebut dulu merupakan ruas-ruas jalan yang saat ini sudah tenggelam dan tidak terlihat lagi. Bagian terakhir ialah analisa resiko yang ketahui dari hasil analisa kerentanan dan potensi bahaya dan dapat di klasifikasikan bahwa Desa Bedono termasuk desa yang memiliki resiko tinggi karena memiliki nilai resiko sebesar 1.714 dimana nilai tersebut terdapat pada rentang angka 1.5-2.1 (golongan tinggi). Dan nilai itu didapat dari perhitungan dengan nilai masukan berasal dari nilai potensi bahaya dan nilai analisa kerentanan pantai dari hal ini dapat kita ketahui bahwa daerah Desa Bedono memerlukan penanganan khusus berupa perencanaan tata kelola wilayah yang baik.Usaha mitigasi yang dapat dilakukan adalah dengan mempertegas garis sepadan pantai dan melakukan penanaman mangrove sebagai tembok pertama yang menahan pasang air laut dan sekaligus melakukan penghijauan untuk memperlambat proses global warming yang berkaitan dengan perubahan iklim global. Melakukan penataat wilayah lingkungan pesisir yang sesuai untuk menghadapi bahaya banjir rob dan abrasi pantai. Adapun usaha adaptasi yang bisa diterapkan di wilayah di sekitar Desa Bedono ada 3 opsi yang bisa dilakukan yaitu mengakomodir seluruh tempat tinggal penduduk Desa Bedono dengan meninggikan rumah mereka ataupun menjadikan rumah mereka rumah panggung yang berada di atas permukaan air selanjutnya yang kedua adalah membangun tembok laut atau Sea Wall yang melindungi garis pantai agar air pasang tidak masuk ke wilayah penduduk dan yang terakhir adalah merelokasi rumah penduduk dari daerah rawan terkena banjir rob. Dari ketiga opsi tersebut opsi terakhir sangat tidak di sarankan mengingan bahwa kondisi Desa Bedono yang berdekatan dengan Kota Semarang yang sudah padat dimana tidak tersedia cukup lahan untuk merelokasi seluruh penduduk Desa Bedono. Adapun yang menurut saya solusi yang tepat diterapkan adalah dengan Membangun Sea Wall di wilayah desa. Hal ini akan lebih effektif karena mempertimbangkan tingkat kenaikan muka air laut karena perubahan iklim dan kenaikan muka air laut (SLR) yang setiap tahunnya terus bertambah dan di perparah dengan penurunan muka tanah. Hal ini yang sangat penting di perhitungkan karena jika hanya mengakomodir lama-lama daerah tersebut juga akan tetap hilang karena tenggelam dan tidak dapat berfungsi dengan effektif. V. KESIMPULAN5.1 KesimpulanBerdasarkan survei dan analisa yang telah dilakukan pada kegiatan praktikum mitigasi di Desa Bedono Kecamatan Sayung Kabupaten demak dapat disimpulkan bahwa Desa Bedono memiliki tingkat potensi bahaya yang tinggi dengan dengan nilai 3 (tiga) dari skala 1-3, Nilai Kerentanan pantai dengan nilai 2.875 masuk kategori besar dan nilai resiko dengan nilai 1.714 yang masik kategori resiko tinggi. Adapun usaha Mitigasi yang dapat di terapkan di wilayah desa bedono dapat berupa penanaman mangrove untuk menjadi tembok pertama menahan abrasi air laut dan memperbanyak ruang terbuka hijau untuk memperlambat proses pemanansan global yang berdampak pada perubahan iklim. Lalu untuk usaha adaptasi yang di sarankan adalah dengan melakukan perlindungan berupa membangun tembok laut atau Sea Wall yang melindungi pesisir pantai. Usaha ini di anggap paling effektif karena menimbang tingkat kenaikan muka air laut yang terus bertambah dan penurunan muka tanah (land subsidence) terus bertambah.5.2 SaranPerlu dilakukan penelitan atau praktikum lebih lanjut untuk mendapatkan berbagai parameter yang diperlukan untuk memperkuat hasil analisa potensi bahaya dan kerentanan pantai agar lebih valid dan kedepannya bisa menjadi sebuah data berkala yang dapat memantau atau monitoring serta menggambarakan perubahan tata ruang wilayah untuk pertimbangan usaha mitigasi dan adaptasi Desa Bedono Kecamatan Sayung Kabupaten Demak.DAFTAR PUSTAKAAffandi, Ikhsan Dwi., Muhamad Taufik. 2012. Analisa Perubahan Muka Air Laut (Sea Level Rise) Terkait Dengan Fenomena Pemanasan Global (Global Warming) ( Studi Kasus : Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya ) Jurnal Teknik Pomits Vol. 1Anonim. 2007. US Geological Survey (USGS). Open-File Report.

Arifin, Taslim. 2009. Kondisi Arus Pasang Surut di Perairan Pesisir Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Depik, 1(3): 183-188 Desember 2012. ISSN 2089-7790.Ariyanto, Shodiq Eko. - .Kajian Dampak Perubahan Iklim Terhadap Produktivitas Kacang Hijau (Phaseolus Radiatus L.) Di Lahan Kering. ISSN : 1979-6870Bappeda Kabupaten Demak. 2011. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Demak Tahun 2011 - 2031. Demak: Bappeda Kabupaten Demak.Boer, Rizaldi dan Perdinan. 2008. Adaptation to climate variability and climate change: Its socio-economic aspect. Paper presented at the EEPSEA Conference On Climate Change: Impacts, Adaptation, And Policy In South East Asia With A Focus On Economics, Socio-Economics And Institutional Aspects, 13-15 February 2008, Bali, , diakses tanggal 23 Juni 2015.

Ditjen. Penataan Ruang Dekimpraswil, Review Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, 2002. Kebijakan Nasional Untuk Pengembangan Kawasan Budidaya, Bahan Sosialisasi RTRWN dalam rangka Roadshow dengan Departemen Pertanian, Jakarta, 23 Juni 2015.Efendi, Muchtar., Henna Rya Sunoko., Widada Sulistya. 2012. Kajian Kerentanan Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim Berbasis Daerah Aliran Sungai (Studi Kasus Sub Das Garang Hulu). Jurnal Ilmu Lingkungan. Volume 10 Issue 1: 8-18 (2012) Issn 1829-8907

Fadillah, et al. 2014. Menentukan Tipe Pasang Surut dan Muka Air Rencana Perairan Laut Kabupaten Bengkulu Tengah Menggunakan Metode Admiralty. Maspari Journal, 2014, 6 (1), 1-12. ISSN: 2087-0558.

Galloway, D., Jones, D.R., dan Ingebritsen, S.E. 1999. Land Subsidence in The United States. US Geological Survey, New York, 1182, 1-15.

IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change). 2001. Climate change 2001. Impacts, adaptation and vulnerability. Contribution of Working Group II to the Third Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Cambridge University Press. Cambridge, UK.

IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change). 2007. Climate Change 2007, The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental United Kingdom and New York, USA Panel on Climate Change.: Cambridge University Press.

Kahar, Sutomo. 2011. Dampak Penurunan Tanah dan Kenaikan Muka Laut Terhadap Luasan Genangan Rob di Semarang. Semarang : Program Studi Magister Ilmu Lingkungan, Universitas Diponegoro.

Liyani., Kriyo Sambodho., Suntoyo. 2012. Analisa Perubahan Garis Pantai Akibat Kenaikan Muka Air Laut di Kawasan Pesisir Kabupaten Tuban. Jurnal Teknik Pomits Vol. 1, No. 1, Hal:1-5Ministry for the Environment, Climate Change Response Act 2002, 2008. https://www.mfe.govt.nz/laws/climate.html (Diakses pada 24 Juni 2015).

Ministry for the Environment, Review of Climate Change Policy, t.t. http://www.mfe.govt.nz/publications/climate/policy-review-05/policy-review-05-1.pdf (Diakses pada 25 Juni 2015).Nanda, Nurisman. 2012. Karakteristik Pasang Surut di Alur Pleayaran Sungai Musi Menggunakan Metode Admiralty. 110-115 Maspari 4(1). ISSN: 2087-0558.

Naylor, R.L., Battisti, D.S. Vimont, D.J., Falcon, W.P. and Burke, M.B. 2007. Assessing risks of climate variability and climate change for Indonesian rice agriculture. Proceeding of the National Academic of Science. 114:7752-7757.

Pariwono, I., John, 1989. Gaya Penggerak Pasang Surut. Makalah. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi, Jakarta.

Rampengan, Royke. 2009. Pengaruh Pasang Surut di Teluk Manado. Jurnal Perikanan dan Kelautan 5 (3): 15-19. ISSN: 1411-9234.

Siswanto, Dwi Aries et al. 2010. Analisa Stabilitas Garis Pantai di Kabupaten Bangkalan. Jurnal Ilmu Kelautan Vol. 15 (4) 221-230. ISSN 0853-7291.Stocker, Thomas F.; et al.7.5.2 Sea Ice. Climate Change 2001: The Scientific Basis. Contribution of Working Group I to the Third Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Intergovernmental Panel on Climate Change. Diakses pada 23 Juni 2015.

Syafiudin, Moh. Fifik dan R.S. Chatterjee. 2009. Potensi Pemanfaatan Teknologi Differential Interferometric Synthetic Aperture Radar (DInSAR) Berbasis Satelit Untuk Pemantauan Penurunan Muka Tanah Di Cekungan Bandung. Jurnal Ilmiah Geomatika Vol. 15 No. 1 : 47-58.

Triatmodjo, Bambang. 1999. Teknik Pantai. Beta Offset.Yogyakarta.Wahyudi. 2007. Tingkat Pengaruh Elevasi Pasang Surut Terhadap Banjir dan Rob di Kawasan Kaligawe Semarang. Riptek. Vol. I No1 November 2007, Hal : 27-34

Wei, L. (2006). Land Subsidence And Water Management In Shanghai. Master Thesis. TU Delft, The Netherlands, p.1-79.

Whitaker, B.N. dan Reddish. (1989). Subsidence Occurrence, Prediction, and Control. Elsevier Science Publishing Company INC, Netherland.World Wildlife Fund (WWF). 2007. Dampak Perubahan Iklim Terhadap Pengelolaan DAS Citarum. WWF Indonesia. Jakarta

LAMPIRAN

NoKoordinatGambarKeterangan

1110o2831,539-6o5650,799Saat SurutSaat Pasang

2110o2928,409-6o5725,849Kondisi makam/kuburan yang terkena dampak kenaikan muka air laut

3110o2847,700-6o5656,639Kondisi tiang listrik yang terendam air laut dimana dapat diketahui bahwa dulu merupakan area daratan

411002831,650

-605652,669Sisa bangunan yang merupakan bekas rumah penduduk yang saat ini kondisinya telah dijadikan dermaga nelayan

5110o2932,419

-6o565,132Kondisi perbedaan rumah yang sudah melakukan peninggian dan yang belum

611002831,531

-605650,799Sisa bangunan permanen yang saat ini kondisinya tinggal puing-puingnya saja di sekitar wilayah mangrove

711002242,080

-60597,930Kondisi rumah yang selalu ditinggikan tiap tahun untuk beradaptasi dari suatu kondisi perairan

811002834,780

-605657,080Breakwater yang mengitari kawasan desa Bedono

911002831,650

-605652,669Kondisi kawasan konservasi mangrove

1011003120,669

-605613,000Kondisi jalan menuju wilayah konservasi mangrove dan desa tertinggal yang mulai tergenang air laut

1111002918,619

-605648,139Kondisi rumah yang terkena dampak kenaikan muka air laut

12110o2931,873

-6o5624,153Kondisi salah satu rumah yang telah terendam air laut saat pasang

1311003119,845

-605620,166Kenampakan kenaikan muka air laut saat menjelang pasang

1411002918,324

-605611,016Kondisi sebuah sekolah dasar di Desa Benono yang hampir tergenang air laut